perizinan sebagai instrumen pengendalian usaha pondok wisata
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan
berupa sumber daya yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam
hayati, sumber daya alam nonhayati, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam
dan buatan yang dapat dijadikan objek dan daya tarik wisata berupa keadaan
alam, flora dan fauna, hasil karya manusia, serta peninggalan sejarah dan budaya.
Kekayaan sumber daya yang dimiliki tersebut kemudian dapat dijadikan modal
bagi pembangunan dan peningkatan kepariwisataan, dimana usaha untuk itu sudah
sejak lama dikembangkan oleh Indonesia khususnya Provinsi Bali. Provinsi Bali
merupakan daerah pariwisata yang dikenal baik oleh para wisatawan domestik
maupun mancanegara. Keindahan alam serta keunikan budaya merupakan daya
tarik dari pulau dewata ini.
Hingga dengan saat ini pariwisata masih merupakan salah satu potensi
utama yang diandalkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Pariwisata di Provinsi Bali
mempunyai peranan penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan
berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, memperbesar
pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, oleh karenanya segenap sumber daya yang bernilai kepariwisataan digali
dan dikembangkan secara serius dan prestisius. Kondisi seperti ini membawa
konsekuensi pesatnya pertumbuhan pembangunan di bidang pariwisata, salah
satunya adalah pembangunan sarana akomodasi bagi wisatawan yang berkunjung
1
2
ke Bali. Sarana akomodasi ini menjadi salah satu peluang usaha yang cukup
banyak diminati baik oleh masyarakat lokal maupun investor asing. Kondisi
tersebut mengakibatkan merebaknya sarana akomodasi pariwisata di Bali, dimana
salah satu bentuk dari sarana akomodasi pariwisata tersebut adalah pondok wisata.
Aktivitas pembagunan usaha akomodasi pariwisata tersebut tentu saja
menggunakan lahan dan ruang sebagai tempat menampung kegiatan yang
dimaksud. Ini berarti berhubungan erat dengan masalah lingkungan tempat
aktivitas pembangunan tersebut berlangsung. Asep Warlan Yusuf mengistilahkan
antara lingkungan hidup dengan ruang memiliki hubungan resiprokal yang
bersifat komplementer, dimana masing-masing saling melengkapi dan saling
mengisi.1 Pemanfaatan ruang akan berdampak terhadap kelestarian lingkungan
hidup dan sebaliknya pengelolaan lingkungan hidup akan mempengaruhi ruang
tempat unsur-unsur lingkungan hidup berada.2 Penggunaan lahan oleh setiap
aktivitas pembangunan sedikitnya akan mengubah rona lingkungan awal menjadi
rona lingkungan baru, sehingga terjadi perubahan kesinambungan lingkungan
yang kalau tidak dilakukan pengelolaan secara cermat dan bijaksana akan
berpotensi menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan, merusak bahkan
memusnahkan kehidupan habitat tertentu dalam suatu ekosistem.3
Untuk mencegah kemerosotan kualitas lingkungan maka diperlukan adanya
upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
1 Asep Warlan Yusuf dalam I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum
Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, h. 56.
2 I Made Arya Utama, Ibid. 3 H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodich, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa Bandung h. 42.
3
membahayakan lingkungan. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk
mengendalikan usaha dan/atau kegiatan yang dapat membahayakan lingkungan
adalah melalui instrumen perizinan. Dari sisi hukum administrasi negara, izin
merupakan salah satu wujud tindak pemerintahan. Tindak pemerintahan menurut
Philipus M. Hadjon berarti tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
administrasi negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan.4 Izin sebagai suatu
ketetapan pada hakikatnya adalah tindakan hukum sepihak berdasarkan
kewenangan publik yang memperbolehkan atau memperkenankan menurut
hukum bagi seseorang/badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan.5 Izin
sebagai norma penutup diharapkan mampu untuk mengendalikan setiap aktivitas
manusia agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
merupakan tugas dan kewenangan pemerintah untuk menjaga ketertiban dan
keamanan dimana merupakan tugas klasik yang sampai dengan saat ini masih
tetap dipertahankan. Dari segi hukum lingkungan izin merupakan salah satu
bentuk upaya pengelolaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, dimana
dalam pelaksanaanya dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek-
aspek hukum lingkungan diantaranya adalah aspek penataan ruang.
Apabila ditinjau dari aspek penataan ruang maka pengembangan usaha
akomodasi pariwisata di Bali saat ini tidak hanya marak dikembangkan pada
kawasan dataran rendah, melainkan mulai merambah ke kawasan dataran tinggi
yang sebagian besar kawasannya ditetapkan sebagai kawasan lindung. Pada
4 Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan
(Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya, h. 1. 5 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan
Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung.
4
dasarnya kawasan lindung merupakan kawasan dimana seluruh fungsi ruang
berhubungan dengan kelestarian lingkungan, memproduksi oksigen, perlindungan
manusia dari berbagai kemungkinan terjadinya bencana dan malapetaka, serta
tempat berlangsungnya konservasi alam. Ironisnya, dalam menata dan mengelola
ruang manusia sering dihadapkan berbagai benturan kepentingan. Hal ini
disebabkan antara lain karena pada kawasan lindung tidak jarang tersimpan
sedemikian banyak potensi sumberdaya alam bernilai ekonomi tinggi. Di
dalamnya juga, seringkali manusia mendapatkan berbagai kesempatan baru untuk
memperoleh kemanfaatan baru bagi kehidupan sehingga fungsi kawasan lindung
kadang kala tidak dapat dilakukan dengan sempurna. Hal ini tercermin dalam
pengertian kawasan lindung yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali
No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun
2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16) yang
memberikan celah dapat dilakukannya kegiatan budidaya dalam kawasan lindung.
Pengertian mengenai Kawasan lindung diatur dalam Pasal 1 angka 26 Peraturan
Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa ”kawasan
lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.” Adanya frasa “fungsi utama” dalam pengertian kawasan lindung tersebut
menimbulkan peluang penafsiran adanya fungsi lain disamping fungsi utama dari
kawasan lindung yang mana fungsi lain tersebut dapat dijadikan pembenar bagi
adanya kegiatan budidaya.
5
Provinsi Bali memiliki kawasan lindung seluas 175.577 ha atau 31,2% dari
luas daerah Provinsi Bali, dimana kawasan lindung tersebut berdasarkan
spesifikasinya terbagi atas beberapa jenis kawasan dan salah satunya adalah
Kawasan Taman Wisata Alam. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam
Pasal 42 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, yang
menyatakan bahwa:
Kawasan lindung mencakup: a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; b. Kawasan perlindungan setempat; c. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; d. Kawasan rawan bencana alam; e. Kawasan lindung geologi; f. Kawasan lindung lainnya.
Dalam uraian dari ketentuan pasal tersebut memang tidak disebutkan secara
eksplisit mengenai kedudukan taman wisata alam sebagai bagian dari kawasan
lindung, namun berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49) dinyatakan bahwa taman
wisata alam dikatagorikan dalam kawasan pelestarian alam. Sehingga dengan
demikian taman wisata alam merupakan bagian dari kawasan lindung. Adapun
ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan
bahwa:
Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: a. Taman nasional b. Taman hutan raya c. Taman wisata alam.
6
Kawasan taman wisata alam yang digolongkan sebagai kawasan lindung ini
mempunyai panorama alam yang menarik. Keindahan, keunikan dan kekhasan
yang dimiliki oleh Taman Wisata Alam ini kemudian menjadi daya tarik bagi para
pemilik modal untuk mengembangkan usaha akomodasi pariwisata khususnya
pondok wisata pada kawasan tersebut.
Pengusahaan pondok wisata pada taman wisata alam dimungkinkan oleh
beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah
No. 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa,
Taman nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 44). Hal tersebut dapat dijumpai dalam
beberapa ketentuan pasal sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa:
Dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam, keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta dapat dilakukan kegiatan membangun sarana kepariwisataan.
b. Ketentuan Pasal 7 ayat (1)menyatakan bahwa:
Pengusahaan pariwisata alam meliputi: a. usaha penyediaan jasa wisata alam; dan b. usaha penyediaan sarana wisata alam.
c. Ketentuan Pasal 7 ayat 3 menyatakan bahwa:
Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meliputi: a. wisata tirta; b. akomodasi; dan c. sarana wisata petualangan
7
d. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Huruf b menyatakan bahwa:
Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata.
Dari uraian ketentuan PP No. 36 Tahun 2010 diatas dinyatakan dengan tegas
bahwa dalam kawasan taman wisata alam dapat diselenggarakan usaha akomodasi
pariwisata berupa pondok wisata sebagai bentuk pengusahaan pariwisata alam di
bidang usaha penyediaan sarana wisata alam.
Ketentuan lain yang mengatur mengenai hal yang serupa ditemukan dalam
Pasal 101 ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 48) yang menyatakan bahwa:
Peraturan zonasi untuk taman wisata alam dan taman wisata alam laut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada
huruf c.
Dari uraian pasal di atas dapat diketahui bahwa sama seperti ketentuan
sebelumnya, PP No. 26 tahun 2008 juga memberikan kesempatan bagi dapat
dibangunya pondok wisata pada kawasan taman wisata alam sebagai wujud dari
bangunan penunjang kegiatan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Namun tidak demikian dengan ketentuan penataan ruang pada tingkat
daerah di Provinsi Bali dapat dijumpai pada Peraturan Daerah Provinsi Bali No.
16 Tahun 2009 dimana didalamnya memuat substansi baru mengenai arahan
8
zonasi kawasan taman wisata alam yaitu dalam Pasal 109 ayat (5) yang
menyatakan bahwa:
Arahan peraturan zonasi taman wisata alam sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat (4) huruf e, mencakup: a. pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan; b. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; c. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud dalam huruf b; dan d. pelarangan pendirian pembangunan pada zona pemanfaatan.
Dengan demikian berdasarkan Pasal 109 ayat (5) huruf d Perda No. 16 Tahun
2009 jelas bahwa tidak dimungkinkan bagi adanya kegiatan pembangunan pondok
wisata pada zona pemanfaatan kawasan taman wisata alam.
Berdasarkan uraian peraturan tersebut di atas maka jelas nampak adanya
konflik norma. Adapun konflik norma yang terjadi adalah karena disatu sisi Perda
No. 16 tahun 2009 menyatakan bahwa pada zona pemanfaatan kawasan taman
wisata alam tidak diperkenankan untuk diadakan pembangunan pondok wisata,
sedangkan di sisi lain dalam PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan dengan tegas
bahwa dalam dalam blok pemanfaatan kawasan taman wisata alam dapat
diselenggarakan usaha akomodasi pariwisata dimana salah satu bentuknya adalah
pondok wisata. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian yang lebih serius
mengingat dimungkinkanya pembangunan akomodasi pariwisata pada kawasan
lindung khususnya dalam hal ini pada kawasan taman wisata alam dikhawatirkan
akan berpotensi menimbulkan kerusakan, dan pencemaran lingkungan yang akan
mengakibatkan terganggunya fungsi lindung dari kawasan taman wisata alam
tersebut.
9
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas maka yang menjadi permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut:
1. Dapatkah pengusahaan pondok wisata dilakukan pada kawasan taman
wisata alam yang digolongkan sebagai kawasan lindung di Provinsi
Bali?
2. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintahan Daerah untuk memberi kepastian hukum terkait adanya
konflik norma dalam pengaturan izin pengusahaan bagi pondok wisata
pada kawasan taman wisata alam?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan Umum
Secara umum penelitian atas beberapa permasalahan yang telah
dikemukakan di atas adalah bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum atau
untuk menambah khasanah pengetahuan di bidang Hukum Administrasi Negara,
khususnya di bidang Hukum Tata Ruang dan Hukum Perizinan.
1.3.2.Tujuan Khusus
Sehubungan dengan tujuan umum maka adapun tujuan khusus yang ingin
dicapai lebih lanjut dalam penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui apakah sebenarnya dapat diselenggarakan
pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam.
10
2. Untuk mengetahui upaya apakah yang dapat dilakukan pemerintah yang
berwenang guna untuk melindungi taman wisata alam terkait dengan
pengembangan istrumen perizinan.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua permasalahan
yang dibahas dalam proposal tesis ini terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Secara teoritis adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan
ilmu hukum. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman perizinan sebagai instrumen yang dapat
digunakan untuk mengendalikan kegiatan dan/atau usaha yang dapat
membahayakan kelestarian fungsi lindung dari kawasan taman wisata
alam.
2. Bagi Pemerintah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan atau masukan serta pengetahuan akan adanya konflik norma
mengenai pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam,
serta upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatasi
permasalahn tersebut .
3. Bagi masyarakat hasil penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai dapat tidaknya dilakukan
pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, sehingga
11
dapat memaksimalkan peran serta masyarakat dalam mengawasi
kegiatan pembangunan.
1.5. Landasan Teoritis
Berikut ini adalah beberapa landasan yuridis yang digunakan dalam
membahas paper ini:
1.5.1. Konsep Negara Hukum
Terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara
Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara
Hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.Frederich
Julius Stahl mengungkapkan setidaknya terdapat empat unsur dari rechstaat,
yaitu:6
1. Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia
2. Adanya pembagian kekuasaan
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
4. adanya peradilan administrasi Negara yang berdiri sendiri (independent)
Kemudian A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law adalah sebagai
berikut:7
1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk
menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan
bebas yang begitu luas dari pemerintah;
6 Adi Sulistiyono, 2007, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral,
Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Cetakan ke I, h. 32
7 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembaentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, h.75
12
2. persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh
ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik
pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum
yang sama.
3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak
individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya
prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen
sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-
pejabatnya.
Berdasarkan ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat
(3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga tidak
diragukan lagi bahwa Indonesia adalah sebagai negara hukum karena secara tegas
ditetapkan dalam bentuk norma hukum tertinggi. namun selama ini seringkali
konsep negara hukum disamakan begitu saja dengan konsep rechtstaat dan
konsep the rule of law. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia
mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtstaat yang pernah
diberlakukan Belanda pada masa pendudukannya di Indonesia, pada
perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang
dalam periodisasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara
hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.8 Indonesia seyogianya tidak
8 Ibid, h. 66-67
13
begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechstaat sebagai
Jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah
memiliki konsep negara hukumnya sendiri, yaitu negara hukum Pancasila. Hal ini
dapat dilihat dalam hubungannya dengan Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945
yang menyatakan bahwa:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social, maka (untuk mencapai tujuan negara tersebut) disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.
Mencermati bunyi dari Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 di atas
dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya konsep negara hukum Indonesia
merupakan perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan
negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh. Pancasila merupakan
dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana
untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya hukum nasional disusun apabila
tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang sejahtera
dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.9
Adapun unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila
menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut:10
9 Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasil, dalam Kongres
Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni 2009.
10 Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 11.
14
a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga
negara;
b. Adanya pembagian kekuasaan negara;
c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus
selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya
merdeka.
Sedangkan unsur-unsur minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum
berdasarkan pandangan Bagir Manan adalah sebagai berikut:11
a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum
b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya
c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);
d. Ada pembagian kekuasaan.
Dari unsur-unsur negara hukum yang diuraikan di atas, terdapat dua unsur
yang bertalian erat dengan usulan penelitian ini, yaitu unsur semua tindakan harus
berdasar hukum dan unsur adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi
manusia. Unsur semua tindakan harus berdasarkan atas hukum memiliki arti
bahwa setiap tindakan penyelenggara negara serta warga negara harus dilakukan
berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka konsekuensinya hukum harus
dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
11 Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia dalam I Made
Arya Utama, Op. Cit. h. 15
15
dengan kata lain setiap orang warga negara Indonesia harus patuh dan tunduk
pada norma hukum yang berlaku. Terkait dengan hal tersebut maka dalam
pengusahaan pariwisata alam khususnya pengusahaan pondok wisata yang akan
dilaksanakan pada kawasan taman wisata alam hendaknya tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia sebagai salah satu unsur negara
hukum telah dipenuhi oleh negara Indonesia. Jaminan hak asasi manusia tersebut
dimuat dalam berbagai instrument yuridis, salah satu bentuk jaminan hak asasi
manusia adalah diaturnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hal
tersebut diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk mewujudkan hak tersebut adalah
dengan mengintegrasikan pertimbangan kelestarian lingkungan dalam setiap izin
dari suatu kegiatan dan/atau usaha yang akan diselenggarakan.
1.5.2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang undangan
Peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dan tidak bisa
diabaikan terutama dalam suatu negara hukum. Pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik akan menunjang terjaminnya suatu kepastian
hukum, karena dari suatu peraturan perundang-undangan akan dapat diramalkan
atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh subjek pengaturan dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Pembentukan peraturan perundang-
undangan secara ideal dilandasi paling tidak oleh tiga hal, yaitu:
16
1. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
2. Politik hukum (peraturan perundang-undangan) yang baik
3. Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai.
Ad.1. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik perlu
diperhatikan berbagai asas hukm yang berkembang. Van der Viles membedakan
antara asas-asas formal dan material, yaitu:12
Asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-undangan, meliputi: 1. Asas tujuan yang jelas 2. Asas organ/lembaga yang tepat 3. Asas perlunya peraturan 4. Asas dapat dilaksanakan 5. Asas konsesnsus
Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan, meliputi: 1. Asas tentang terminology dan sistematika yang benar 2. Asas tentang dapat dikenali 3. Asas pengakuan yang sama dalam hukum 4. Asas kepastian hukum 5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual
Selanjutnya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik di Indonesia diatur dalam Pasal 5 UU no. 10 Tahun 2004, yang menyatakan
bahwa:
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan b. Kelembagaan atau organ yang tepat c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan d. Dapat dilaksanakan e. Kedayaunaan dan kehasilgunaan f. Kejelasan rumusan g. Keterbukaan
12 Van der Viles dalam Widodo Ekatjahjana, 2008, Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 26
17
Ad.2. Politik hukum yang baik
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep
politik hukum berada pada ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai
yang berasal dari aspek social, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan
demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik
hukum tidak hanya memiliki satu konfigurasi, tetapi lebih.13
Politik hukum nasional secara konstitusional dapat ditemukan dalam UUD
NRI 1945. Pasal 1 UUD NRI 1945 memberikan landasan bagi konsep politik
hukum (peraturan perundang-undangan) nasional di Indonesia yang hendak
diimplementasikan. Adapun ketentuan Pasal 1 UUD NRI 1045 menyatakan
sebagai berikut:
(1) Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republic. (2) Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-
undang dasar. (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD NRI 1945 itu maka konsep politik
hukum (pembentukan peraturan perundang-undangan) nasional Indonesia paling
tidak dilandasi oleh tiga prinsip yang fundamental sebagai berikut:
a. Prinsip negara hukum
b. Prinsip negara kesatuan dengan bentuk republic
c. Prinsip demokrasi
13 Widodo Ekatjahjana, Ibid, h. 6
18
Prinsip negara hukum yang dianut dalam Pembukaan UUD NRI 1945
adalah prinsip welfare state, dimana mengisyaratkan agar dalam pembentukan
politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan untuk:
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan social.
Prinsip negara kesatuan mengisyaratkan agar setiap pembentukan politik
perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara kesatuan
dengan bentuk pemerintahan republik. Maka pembentukan dan materi peraturan
perundang-undangan baik di Pusat maupun di Daerah tidak boleh lepas dari kedua
hal tersebut. Sedangkan prinsip demokrasi mengisyaratkan agar setiap
pembentukan politik perundang-undangan nasional senantiasa melibatkan peran
serta rakyat.14
Ad.3 Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai
Setiap peraturan perundang-undangan harus dapat diuji keabsahan
hukumnya melalui lembaga pengujian peraturan perundang-undangan. Lemabaga
pengujian ini dapat berupa lembaga yudisial, lembaga non yudisial, ataupun
campuran, yaitu lembaga yudisial dan lembaga non yudisial.15
Dalam system pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia
seharusnya yang dikembangkan adalah jenis pengujian secara yudisialoleh badan
14 Ibid, h.9 15 Ibid, h.21
19
yudisial, karena di dalam UUD NRI dengan jelas disebutkan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Pengujian yang bersifat non yudisial dapat
dilakukan oleh lembaga di luar badan yudisial sepanjang lembaga tersebut
menguji (meninjau) produk peraturan perundang-undangan yang dibuatnya
sendiri.16
1.5.3. Konsep Desentralisasi
Di dalam unitary state atau negara kesatuan, penyelenggaraan
pemerintahannya dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a. Tidak mengadakan pembagian wilayah negara atas daerah-daerah
(biasanya untuk negara yang wilayahnya kecil). Disini prinsip yang
digunakan, adalah:
sentralisasi, artinya dalam negara kesatuan hanya ada satu
pemerintahan yaitu Pemerintahan Pusat yang mempunyai
kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan
pemerintahan;
konsentrasi, artinya menyelenggarakan segala macam urusan negara
hanya oleh alat perlengkapan pemerintah pusat yang berkedudukan
di pusat pemerintahan negara saja (dilawankan dengan
dekonsentrasi).17
b. Membagi wilayah negara atas daerah-daerah yang oleh Pemerintah Pusat
daerah-daerah tersebut diberikan hak dan wewenang untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya. Untuk mengatur dan mengurus
16 Ibid, 17 Joeniarto, 1979, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Alumni, Bandung, hal.24.
20
rumah tangganya tersebut, daerah memiliki pemerintahannya sendiri
yang disebut Pemerintahan Daerah. Daerah-daerah semacam ini disebut
daerah otonom atau local autonomy. Daerah-daerah otonom ini dibentuk
berdasarkan prinsip desentralisasi.
c. Membagi wilayah negara atas daerah-daerah, tetapi oleh Pemerintah
Pusat tidak diberikan hak dan wewenang untuk mengurus rumah tangga
daerah. Pemerintah Pusat menempatkan alat-alat perlengkapan
Pemerintah Pusat di daerah-daerah sebagai perpanjangan tangan
Pemerintah Pusat di daerah. Daerah-daerah seperti ini disebut dengan
wilayah administratif. Pembentukan daerah/wilayah administratif ini
adalah berdasarkan prinsip dekonsentrasi.
Dalam konteks negara Indonesia, negara Indonesia adalah negara kesatuan.
Sebagai negara kesatuan maka kedaulatan negara adalah tunggal tidak tersebar
pada negara-negara bagian seperti dalam negara federal/serikat. Karena itu pada
dasarnya sistem pemerintahan dalam negara kesatuan adalah sentralisasi, artinya
pemerintah pusat memegang kekuasaan penuh. Namun mengingat negara
Indonesia sangat luas, dengan jumlah penduduk yang banyak dan tingkat
heterogenitas yang begitu komples tentu pemerintah pusat tidak mungkin dapat
secara efektif menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan tanpa melibatkan
perangkat daerah dan menyerahkan beberapa kewenangannya kepada daerah
otonom. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dimaksud salah satunya
diperlukan desentralisasi disamping dekonsentrasi. Baik dekonsentrasi maupun
desentralisasi bermula dari sentralisasi oleh karenanya konsep sentralisasi dan
21
desentralisasi bukanlah konsep yang dikotomis tapi merupakan satu rangkaian
kesatuan (kontinum).
Secara etimologis istilah “desentralisasi” berasal dari bahasa Latin, yaitu
“de” yang berarti lepas dan “centrum” yang berarti pusat.Jadi desentralisasi
adalah melepaskan dari pusat.18 Desentralisasi yang berasal dari sentralisasi yang
mendapat awal de berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi
tidak putus sama sekali dengan pusat, tapi hanya menjauh dari pusat.19
Menurut Koesoemahatmadja, di dalam arti ketatanegaraan dengan
desentralisasi itu dimaksud adanya pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari
pusat kepada daerah-daerah, yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-
daerah otonomi). Desentralisasi adalah juga cara atau sistem untuk mewujudkan
asas demokrasi, yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta
dalam pemerintahan negara.20
Secara yuridis, menurut Pasal 1 angka 6 UU.No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125) menyatakan bahwa desentralisasi adalah Penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Sedangkan pengertian
dekonsentrasi berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No. 32 Tahun 2004 adalah
Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai
18 Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang Surut Hubungan Kewenangan
antara DPR dan Kepala Daerah, PT.Alumni, Bandung, hal.115. 19 Hanif Nurcholis, 2007Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah,
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, ,hal.9. 20 Koesoemahatmadja, RDH., 1979, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di
Indonesia, Binacipta, Bandung, hal.14.
22
wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dari
pengertian yuridis tersebut, maka desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintahan atau penyerahan wewenang (menggunakan kata penyerahan);
sedangkan, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
(menggunakan kata pelimpahan).
Bagir Manan menyatakan bahwa perlunya desentralisasi (pembentukan
pemerintahan daerah) tidak semata-mata untuk mencapai efisiensi dan efektivitas
pemerintahan saja akan tetapi karena adanya berbagai tuntutan seperti tuntunan
negara hukum, tutntutatn negara kesejahteraan, tuntutan demokrasi, serta tuntutan
kebhinekaan seperti berikut ini.21
a. Tuntutan negara hukum
Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat). Adapun cirri
negara hukum adalah adanya pembagian kekuasaan dan pemencaran
kekuasaan. Pembagian dan pemencaran itu merupakan upaya mencegah
bertumpuknya kekuasaan pada satu pusat pemerintahan, sehingga beban
pekerjaan yang dijalankan menjadi lebih ringan. Adanya pemencaran
kekuasaan itu juga pada hakikatnya dalam rangka “check and balances”
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
b. Tuntutan negara kesejahteraan
Negara kesejahteraan ini adalah negara hukum yang memperhatukan pada
upaya mewujudkan kesejahteraan orang banyak. UUD 1945 baik dalam
pembukaan maupun batang tubuh memuat berbagai ketentuan yang
21 Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH)
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, h.17
23
meletakkan kewajiban pada negara atau pemerintah untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi orang banyak. Bahkan sila Kelima Pancasila dengan tegas
menyatakan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Konsekuensinya diperlukan perangkat pemerintahan terdekat yang dapat
memahami maupun menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat dengan cepat.
c. Tuntutan Demokrasi
Pada sila keempat Pancasila disebutkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Kerakyatan atau
kedaulatan rakyat adalah demokrasi. Dalam batang tubuh UUD NRI 1945
ditegaskan “Kedaulatan ada di tangan rakyat”. Kerakyatan demokrasi
menghendaki partisipasi daerah otonom yang disertai Badan Perwakilan
sebagai wadah yang memperluas kesempatan rakyat berpartisipasi.
d. Tuntutan Kebhinekaan
Rakyat dan Bangsa Indonesia dikaji dari aspek social, ekonomi, budaya
maupun agama merupakan masyarakat yang pluralistic yang mempunyai sifat
dan kebutuhan yang berbeda-beda. Untuk mewujudkan keadilan,
kesejahteraan, dan keamanannya maka tidak mungkin memaksa untuk adanya
keseragaman, karena setiap penyeragaman dapat meningkatkan gangguan
terhadap rasa keadilan, kesejahteraan dan keamanan. Dengan demikian daerah
otonom pada hakikatnya dapat dipandang sebagai sarana untuk mewadahi
perbedaan tersebut dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika
Dalam membahas desentralisasi berarti secara tidak langsung membahas
pula mengenai otonomi . Hal ini disebabkan kedua hal tersebut merupakan satu
24
rangkaian yang tak terpisahkan apalagi dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani (autos = sendiri; nomos
= undang-undang) dan berarti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving). Tetapi
menurut perkembangannya sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain
mengandung arti “perundangan” (regeling), mengandung pula arti
“pemerintahan” (bestuur). Dengan diberikannya hak dan kekuasaan perundangan
dan pemerintahan kepada badan-badan otonomi, badan-badan tersebut dengan
inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan jalan
mengadakan peraturan-peraturan daerah. 22 Menurut Amrah Muslimin, otonomi
berarti pemerintahan sendiri (auto = sendiri, nomes = pemerintahan).23
Ateng Syafrudin mengemukakan, istilah otonomi mempunyai makna
kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas
atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan. Dalam pemberian tanggung jawab terkandung dua
unsur:24
1. Pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan
serta kewenangan untuk melaksanakannya;
2. Pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan
menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.
Bagir Manan menyatakan, otonomi adalah kebebasan dan kemandirian
satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan
22 Koesoemahatmadja, RDH. Op.Cit., hal.15. 23 Amrah Muslimin,1978 Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Cetakan ke-1, Alumni,
Bandung.,hal.6. 24 Juanda, Op.Cit.,hal.126.
25
pemerintahan.25 Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas
dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan
pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan
hakikat isi otonomi. Kebebasan dan kemandirian dalam otonomi bukan
kemerdekaan. Kebebasan dan kemandirian itu adalah kebebasan dan kemandirian
dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Otonomi sekadar subsistem dari sistem
kesatuan yang lebih besar. Dari segi hukum tata negara khususnya teori bentuk
negara, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan. Otonomi adalah
fenomena negara kesatuan. Segala pengertian dan isi otonomi adalah pengertian
dan isi negara kesatuan. Negara kesatuan merupakan landasan dari pengertian dan
isi otonomi.26
Dalam arti yuridis, Pasal 1 angka 5 UU.No.32 Tahun 2004 memberikan
pengertian mengenai otonomi daerah sebagai “Hak, wewenang, dan kewajiban
Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”. Sedangkan pengertian Daerah Otonom menurut Pasal 1 angka 6
UU.No.32 Tahun 2004, adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI”
Mengenai daerah otonom, Utrecht mengemukakan desentralisasi territorial
di wujudkan dengan diadakannya pemerintahan sendiri di daerah-daerah
25 Bagir Manan. Op.Cit., h. 26 Bagir Manan dalam Juanda, Ibid, hal.126-127.
26
tertentu yang dapat mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan asas otonomi
(swatantra). Daerah semacam itu disebut daerah otonom (daerah swatantra).27
Dari pengertian tersebut, daerah otonom adalah daerah-daerah tertentu yang
memiliki pemerintahan sendiri (self government) yang dapat mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan asas otonomi. Pemerintahan sendiri ini disebut
pemerintahan daerah otonom (local self government). Daerah yang menerima
penyerahan wewenang dari pusat dengan cara desentralisasi atau devolusi
(penyerahan hak/tugas) menjadi daerah otonom. Daerah tersebut memiliki
kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan rumah tangganya
(kepentingannya sendiri) yang diperbolehkan oleh undang-undang tanpa campur
tangan langsung dari pemerintah pusat. Dengan desentralisasi atau devolusi
terbentuk sebuah daerah (otonom) dengan batas-batas yang jelas, yang
masyarakatnya diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum.28
Daerah otonom mempunyai kewenangan mengatur (rules making =
regeling) dan mengurus (rules application=bestuur). Dalam istilah administrasi
publik masing-masing wewenang tersebut lazim disebut wewenang membentuk
kebijakan (policy making) dan wewenang melaksanakan kebijakan (policy
executing). Mengatur merupakan perbuatan menciptakan norma hukum yang
berlaku umum. Dalam konteks otonomi daerah, norma hukum tertuang dalam
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Sedangkan mengurus
merupakan perbuatan menerapkan norma hukum yang berlaku umum pada situasi
27Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia; Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, hal.342. 28 Hanif Nurcholis, Op.Cit. hal.28-29.
27
konkrit dan individu (beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan dan
pembangunan objek tertentu.29
Terkait dengan uraian di atas maka dalam penyelenggaraan desentralisasi
mensyaratkan akan adanya pembagian pembagian urusan pemerintahan
antarpemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut
didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan
yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan
yang dimaksud meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter,
yustisi, dan agama. Disamping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang
bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penangannya dalam bagian
atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent
senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah dan ada
bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota.
1.5.4. Teori Wewenang
Kata wewenang berasal dari kata wenang, yang menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia wenang (wewenang) diartikan sebagai hak dan kekuasaan
(untuk melakukan sesuatu). Sedangkan :kewenangan juga diberikan arti yang
sama.30 Indroharto mengemukakan, bahwa dalam arti yuridis, pengertian
29 Ibid, hal.25-26. 30 Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
,hal.1150.
28
wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.31
Dari perspektif hukum administrasi negara, Indroharto32 maupun Philipus
M.Hadjon33 menyebutkan tiga sumber untuk memperoleh wewenang
pemerintahan, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat.
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan
suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang memberikan atribusi wewenang
pemerintahan itu dibedakan antara:
1. yang berkedudukan sebagai “original legislator”: yang dinegara kita
adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai pembentuk
Konstitusi, dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama-sama
Presiden sebagai melahirkan Undang-undang;
2. yang bertindak sebagai “delegated legislator”: seperti Presiden yang
berdasar pada suatu ketentuan Undang-undang mengeluarkan suatu
Peraturan Pemerintah di mana diciptakan wewenang pemerintahan
kepada badan/pejabat pemerintahan tertentu.
Delegasi adalah pelimpahan wewenang yang telah ada oleh badan/pejabat
pemerintahan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif
31 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.68. 32 Ibid, hal.90. 33 Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih, Pidato penerimaan jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Senin, 10 Oktober 1994, hal.7.
29
kepada badan/pejabat pemerintahan lainnya. Dalam hal pelimpahan wewenang
pemerintahan melalui delegasi ini terdapat syarat-syarat sebagai berikut:34
1. delegasi harus difinitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarkhi
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. adanya kewajiban mempertanggungjawabkan dari penerima delegasi
(delegataris) kepada delegans;
5. delegans dapat memberikan instruksi tentang penggunaan wewenang
tersebut kepada delegataris.
Mandat adalah pelimpahan tugas (penugasan) oleh pejabat atasannya
(pemberi mandat) kepada bawahannya (penerima mandat) untuk “atas nama”
pejabat atasannya melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta
mengeluarkan keputusan-keputusan administrasi tertentu.
Dalam kaitannya dengan Pemerintah Daerah, menurut Sarwoto yang
mengkaji dalam perspektif hukum tata negara, adapun kekuasaan hukum atau
kewenangan dari Pemeritah Daerah untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan dapat diperoleh melalui dua cara, yakni:
1. pengakuan kekuasaan (attributie);
2. pelimpahan kekuasaan (overdracht).
34 Ridwan,HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, UII Press, Yoyakarta,
hal.76.
30
Pelimpahan kekuasaan sendiri dapat dibedakan lagi atas dua macam, yakni
pemberian kuasa (mandaatverlening) dan pendelegasian (delegatie). Atas dasar
pembagian tersebut maka hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah menurut beliau dapat dikualifikasikan menjadi dua macam, yakni:
a. hubungan dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi;
b. hubungan yang berkaitan dengan pelaksanaan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.35
1.5.5. Konsep Perizinan.
Perizinan merupakan kata benda yang dibentuk dari kata izin dengan
mendapat imbuhan per-an.36 Perizinan merupakan bentuk jamak dari kata izin
yang oleh W.J.S. Poerwadarminta diartikan dengan perkenaan atau pernyataan
mengabulkan tiada melarang atau surat yang menyatakan boleh melakukan
sesuatu.37
NM.Spelt dan JBJM.Ten Berge membedakan penggunaan istilah perizinan
dan izin, dimana perizinan merupakan pengertian izin dalam arti luas, sedangkan
istilah izin digunakan untuk pengertian izin dalam arti sempit. Pengertian
perizinan (izin dalam arti luas) adalah suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan
tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan
memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk
35 I Made Arya Utama, Op.Cit., hal.81. 36 Hasan Alwi, dkk, Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia, dalam I Made Arya Utama, Ibid,
h. 87. 37 I Made Arya Utama, Ibid.
31
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang.38 Sedangkan
yang pokok dari izin dalam arti sempit (izin) ialah bahwa suatu tindakan dilarang,
terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang
disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu
bagi tiap-tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan
dalam keadaan-keadaan khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang
diperkenankan dilakukan dengan cara-cara tertentu (dicantumkan berbagai
persyaratan dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan). Terkait dengan uraian
tersebut Michael Faure and Nicole Niessen mengartikan izin sebagai berikut “The
basic idea of a permit system is that the law explicitly forbids a certain activity,
and subsequently rules that this activity is only allowed when a competent
authority has issued permit.39”
Izin adalah “Keputusan Administrasi Negara / Tata Usaha Negara”. Ini
berarti bahwa dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam
hubungan ini oleh administrasi negara / pemerintah dicantumkan syarat-syarat
dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh pihak
yang memperoleh izin. Penolakan izin hanya dilakukan jika kriteria yang
ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi atau bila karena suatu alasan tertentu
tidak mungkin member izin kepada semua orang.40
38 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh
Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya, hal.2. 39 Marjan Peeters, “Elaborting on Integration of environmental legislation: the case of
Indonesia” dalam Faure, Michael and Niessen, Nicole, Editor, 2006,Environmental Law in Development, Lessons from the Indonesian Experience, Edward Eglar Publishing, USA, h. 107
40 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit., h.3.
32
Hal di atas menunjukkan bahwa penetapan perizinan sebagai salah satu
instrument hukum dari pemerintah ialah untuk mengendalikan kehidupan
masyarakat agar tidak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, serta
membatasi aktifitas masyarakat agar tidak merugikan orang lain.41
1.5.6. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengelola sumber-
sumber daya alam secara rasional dan bijaksana untuk memenuhi kebutuhan
generasi sekarang tanpa harus mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Hal
tersebut diungkapkan oleh H.W.O. Okoth-Ogendo yang menyatakan bahwa
“….Sustainable development as development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own
needs.”42
Untuk pembangunan yang berkelanjutan itu dilakukan melalui pendekatan
ekosistem yakni kegiatan pembangunan yang memperhatikan kepentingan
lingkungan hidup yang menjadi subjek sekaligus objek pembangunan atau yang
disebut sebgai pembangunan berwawasan lingkungan. Dengan kata lain asas
pembangunan berwawasan lingkungan merupakan suatu sarana untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.43 Dalam menciptakan pembangunan
berkelanjutan tersebut maka pengelolaan sumber alam dalam segala usaha
pendayagunaannya tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan dan
41 Tatik Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, dalam I Made
Arya Utama, Op.Cit., h. 24. 42 H.W.O. Okoth-Ogendo, “Governance and sustainable in Africa”, dalam Konrad Ginther,
Erick Denters and Paul J.I.M. de Waart, Editor, 1994, Sustainable Development and Good Governance, London, Martinus Nijhoff Publisher, hal. 105
43 I Made Arya Utama,Op.Cit.,, h. 153
33
kelestarian kemampuannya, dengan merubah pola pendekatan yang use oriented
ke arah environment oriented yaitu mengelola lingkungan hidup tanpa harus
merusak dan/atau mencemarkannya.44
Keberhasilan pengelolaan lingkungan yang berbasis environment oriented
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai apabila ditunjang
oleh sikap administrasi pemerintahan yang secara efektif dan terpadu
memberikan perlindungan hukum bagi lingkungan itu sendiri. Pasal 1 angka 2
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140) memberikan pengertian Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Dengan demikian
perlindungan hukum terhadap lingkungan hidup dapat diartikan sebagai upaya
yang dilakukan melalui instrument yuridis guna melestarikan fungsi lingkungan
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
Adapun salah satu instrumen yuridis administrasi untuk mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan adalah perizinan.45
44 Ibid, h.76-77 45 Fuad Amsyari “Problematika Pengendalian Pencemaran Lingkungan” dalam Kumpulan
Materi Kursus Perizinan Lingkungan Sebagai Instrumen Pencegahan Pencemaran Lingkungan, PPLH Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 Juni 2000, h. 4
34
1.5.7. Asas Preferensi
Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki
(kewerdaan atau urutan). Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada
peraturan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan
suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan
adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Jika ternyata ada
pertentangan yang terjadi dalam suatu sistem peraturan
perundang-undangan maka salah satu dari keduanya harus ada yang
dimenangkan dan ada yang dikalahkan. Oleh karena itu diperlukan
asas-asas yang mengatur mengenai kedudukan masing-masing peraturan
perundang-undangan, terkait dengan hal tersebut setidaknya terdapat 3 asas
(adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dikenal sebagai
asas preferensi, yaitu:
1. Asas lex superior derogat legi inferiori,
Terkait Asas lex superior derogat legi inferiori Kusnu Goesniadhie
menyatakan bahwa:
Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi yang mengatur materi normative yang sama. Jika terjadi pertentangan, maka peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah, dank arena adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan maka hal demikian berlaku asas lex superior derogate legi inferiori.46
46 Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan
yang baik, A3, Malang.h. 36.
35
Hal tersebut sebagaimana dimaksud oleh Gert-Fredrik Malt yang
menyatakan bahwa:
“the lex superior principle points to the formaland substantive reasons for assuming, given a set of different opinions covering the same situation an emanating from different sources (persons, procedures, values), that one (in principle and which one) should be considered as representing the ultimate or most fundamental and important opinion of the utterer (or a body of utterers, such as the society as a whole?) and that is the valid one. In a world where points of view, values, and opinions may differ (disagree) such an assumption will promote the necessary and maximal orientatition of the total set of opinions in the sistem toward coherence and unity (of order, of value, of opinion, of acts, avoiding anarchy) and efficiency in the application of means and end.”47
2. Asas lex posteriori derogate legi priori Selanjutnya terkait Asas lex superior derogat legi inferiori Gert-Fredrik
Malt menyatakan bahwa:
“The lex posterior principle thus points to the formal and substantive reasons for assuming, given an older and more recent statement (concerning fact, values, and norms), that the latter represents the ultimate (actual) opinion of the utterer and is also the valid one. In a changing world such an assumption will promote a necessary and maximal orientation of the total set of opinions in the sistem towards the actual (present).”48 Hal senada mengenai asas ini diungkapkan oleh Kusnu Goesniadhie yang
menyatakan bahwa:
Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur materi normatif yang sama. Kalau diundangkan peraturan perundang-undangan yang baru dengan tidak mencabut peraturan perundang-undangan yang lama yang mengatur materi normatif yang sama sedangkan kedua-duanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-
47 Gert-Fredrik Malt, “Methods for the solution of Conflict between Rule in a sistem of
Positive Law” dalam Bob Brouwer, et.al., Editor, Coherence and Coflict in Law, Procceedings of the 3rd Benelux-Scandinavian Symposium in Legal Theory. h. 211
48 Gert-Fredrik Malt, Op.Cit., h..208
36
undangan yang lama, hal demikian berlaku asas lex posteriori derogate legi priori.49
3. Asas lex specialis derogate legi generali
Terkait dengan asas lex specialis derogate legi generali, Gert-Fredrik Malt
menyatakan bahwa:
“The lex specialis principle points to the formal and substantive reasons for assuming, given a more general and a more specific statement, coverting the same situation, that the latter represents the ultimate opinions of the utterer and also the valid one in relation to the situation. In a complex world, such as assumtions will promote necessary and maximal orientatios of the total set of opinions in the sistem toward the concrete (reality).50 Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Kusnu Goesniadhie yang
menyatakan bahwa:
Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, sedangkan kedua-duanya mengatur materi normatif yang sama. Jika terjadi demikian maka peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, hal demikian akan berlaku asas lex specialis derogate legi generali.51
Adapun tipe penyelesaian yang berkaitan dengan asas preferensi hukum
sebagaimana diuraikan diaas yaitu sebagai berikut:52
1. Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan mempertahankan
bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan
49 Kusnu Goesniadhie, Op.Cit.,h. 36 50 Gert-Fredrik Malt, Op.Cit. h. 209 51 Kusnu Goesniadhie, Op.Cit. h. 37 52 P.W. Brouwer et.al. Coherence and Conflict in Law dalam Philipus M. Hadjon dan
Tatiek Sri Djatmiati, 2009, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h.al.31
37
dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik
logika diinterpretasi sebagai pragmatis.
2. Reinterpretasi
Dalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan:
Cara yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti
asas-asas preferensi, menginterpretasi kembali norma yang utama
dengan cara yang lebih fleksibel.
Cara yang kedua dengan menginterpretasi norma preferensi dan
kemudian menerapkan norma tersebut dengan mengenyampingkan
norma yang lain.
3. Pembatalan (invalidation)
Ada dua macam pembatalan, yaitu:
a. pembatalan abstrak dan formal dilaksanakan misalnya oleh suatu
lembaga khusus. Di Indonesia Pembatalan Peraturan Pemerintah ke
bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
b. Pembatalan praktikal, yaitu tidak menerapkan norma tersebut
dalam kasus konkrit.
4. Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misal:
dalam hal satu norma yang unggul dalam arti Overruled norm, berkaitan
dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang
kalah maka dengan cara memberikan kompensasi.
38
1.5.8. Teori Pernjenjangan Norma
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori
gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans
Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Algemeine rechtslehre” mengemukakan
bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen maka suatu norma hukum dari negara
manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.norma yang dibawah
berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sampai pada
suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.53
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan
pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok
besar, yaitu:
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)
Kelompok II : Staatsgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (undang-undang formal)
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan
otonom).
Berdasarkan rumusan Pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53) dinyatakan tentang jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7:
53 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, ,Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta,
h. 44-45.
39
(1) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan daerah.
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 merupakan
Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Norma fundamental
negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasan dasar
bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis
besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma
hukum yang berisi sanksi.
Batang Tubuh UUD Negara Republik Indonesia 1945 merupakan
Staatsgrundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokoknegara yang merupakan
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata
cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat dari
norma hukumnya masih bersifat garis besar dan pokok dan merupakan norma
hukum tunggal, belum dilekati oleh norma hukum sanksi. Undang-undang
dikatagorikan dalam Fomell Gesetz sementara Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, serta Peraturan Daerah digolongkan dalam Verordnung & Autonome
Satzung.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitaian yang digunakan dalam proposal penelitian ini
adalah penelitian hukum normative. Penelitian ini beranjak dari adanya konflik
norma antara Perda No. 16 Tahun 2009 dengan beberapa peraturan perundang-
40
undangan seperti PP No. 36 Tahun 2010 dan Keputusan Presiden No 32 Tahun
1990 dimana konflik norma yang terjadi adalah terkait dengan dapat atau tidaknya
dilakukan pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam.
1.6.2. Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, dengan
pendekaan tersebut diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai masalah
yang diteliti.
Pendekatan yang digunakan untuk membahas permasalahan pada proposal
tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (The
Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and
Conceptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approcah) dilakukan dengan
menelaah peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini digunakan untuk
mengkaji adanya permasalahan hukum dalam peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan permasalahan yang akan di bahas dalam proposal penelitian
hukum ini.
Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and Conceptual Approcah)
yaitu beranjak dari peraturan perundang-undangan maupun pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
menemukan ide-ide yang relevan dengan isu yang dihadapi54.
54 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,hal. 93
41
Dengan beberapa pendekatan hukum yang digunakan tersebut diharapkan
dapat diperoleh pemecahan yang tepat terhadap kedua pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam proposal tesis ini.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum55
2. Bahan-bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan pokok permasalahan yang akan diteliti
antara lain:
a. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49);
b. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53)
c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125)
55 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan
singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13
42
d. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)
e. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132)
f. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59)
g. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman nasional, Taman
Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 25)
h. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48)
i. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan
kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1990 Nomor 49)
j. Peraturan Menteri No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis REncana Usaha
dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
43
k. Keputusan Kepala Bapedal No 56 Tahun 1994 tentang Pedoman
Dampak Penting
l. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029
(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16)
3. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
lebih lanjut terhadap bahan hukum primer,56 dalam penulisan tesis ini
digunakan bahan hukum sekunder seperti:
a. Buku-buku mengenai hukum perizinan, hukum tata ruang, hukum
administrasi negara;
b. Makalah-makalah yang berasal dari seminar maupun pidato
mengenai hukum perizinan dan hukum lingkungan;
c. Artikel-artikel yang terkait dengan permasalahan yang di bahas baik
yang dimuat dalam media cetak mauapun media elektronik.
4. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 57. Bahan
hukum tersier yang dugunakan dalam penulisan ini adalah Kamus
Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini
adalah denngan menggunakan gabungan antara metoda bola salju dan metoda
sistem kartu. Metoda bola salju (snowball method) adalah metoda dimana bahan
56 Ibid 57 Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.251-262
44
hukum dikumpulkan melalui beberapa literature kemudian dari beberapa literature
tersebut diambil sejumlah sumber yang mendukung literature tersebut. Bahan
hukum yang diperoleh kemudian dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu
(card sistem). Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji berpendapat bahwa kartu yang
perlu disiapkan yaitu58 kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau
mengutip data beserta sumber darimana data tersebut diperoleh (nama
pengarang/penulis,judul buku/artikel, halaman, dan sebagainya)
Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam kartu kutipan adalah
mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam
kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli
yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas
pendapatnya. Selanjutnya bahan sekunder yang diperoleh melalui studi
kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan kedua pokok permasalahan
yang akan diteliti selanjutnya dibahas melalui beberapa teknik analisis yaitu
teknik deskripsi, interpretasi, konstruksi, sistematisasi, evaluasi, dan
argumentasi.59 Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik deskripsi, sistematisasi, evaluasi, dan argumentasi.
Analisis bahan hukum dalam penelitian ini diawali dengan melakukan
teknik deskripsi. Teknik deskripsi adalah penguraian suatu bahan hukum yang
58 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2004, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53
59 Anonim, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, hal. 8-9.
45
telah dikumpulkan. Dalam hal ini deskripsi dilakukan terhadap beberapa peratutan
perundang-undangan yang menunjukkan adanya konflik dan kekaburan norma
mengenai dapat dibangunnya sarana akomodasi pariwisata dalam kawasan taman
wisata alam, yang dimulai dari PP No. 36 Tahun 2010, dilanjutkan dengan PP No.
26 Tahun 2008 dan kemudian Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009.
Bahan hukum yang telah dideskripsikan tersebut kemudian disistemasi, dievaluasi
dan diberikan argumentasi. Teknik sistematisasi adalah upaya mencari kaitan
rumusan suatu konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun
yang tidak sederajat.60 Dalam usulan penelitian ini teknik ini digunakan dengan
mengkaitkan rumusan konsep hukum dari kedua pokok permasalahan yang
terdapat antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun tidak
sederajat. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan norma, keputusan, baik yang tertera dalam
bahan primer maupun bahan hukum sekunder.61 Teknik ini digunakan untuk
menentukan tepat atau tidak tepatnya pernyataan norma yang terkait dengan
dapat dilakukannya pembangunan sarana akomodasi pada kawasan taman wisata
alam. Kemudian terhadap penilaian tersebut diberikan alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum atau yang disebut dengan teknik armumentasi untuk
mengahasilkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.
60 Ibid 61 Ibid
46
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI
PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN DALAM PENGUSAHAAN PONDOK WISATA
PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM
2.1 Perizinan Sebagai Instrumen Pengendalian
Instrumen pengendalian merupakan bagian dari upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.” Hal yang serupa juga diatur
dalam pasal selanjutnya yaitu dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum.
Dari kedua ketentuan tersebut diketahui bahwa upaya pengendalian merupakan
bagian dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 13 Pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup meliputi:
46
47
a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 14 instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a. KLHS; b. tata ruang; c. baku mutu lingkungan hidup; d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. Amdal; f. UKL-UPL; g. perizinan; h. instrumen ekonomi lingkungan hidup; i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. anggaran berbasis lingkungan hidup; k. analisis risiko lingkungan hidup; l. audit lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhandan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.
Diantara ke tiga belas instrumen pencegahan tersebut perizinan merupakan
instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai ujung tombak dalam
mengendalikan aktivitas rakyatnya. Esensi dari tindakan hukum pemerintah
berupa perizinan adalah melarang seseorang atau suatu badan hukum tertentu
melakukan suatu kegiatan dan/atau usaha tanpa mendapatkan
persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata usaha negara
yang berwenang. Sehingga setiap usaha dan/atau kegiatan baru dapat
dilaksanakan setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang
berwenang.
Dalam setiap rencana kegiatan, penanggungjawab kegiatan dan atau usaha
akan selalu dibebani oleh suatu instrument perlindungan yang disebut izin dalam
48
rangka menata ketertiban sebagai instrument preventif.62 Siti Sundari Rangkuti
menyatakan bahwa perizinan merupakan instrument yang sangat penting dalam
rangka pengendalian lingkungan.63
Izin merupakan wewenang yang bersifat hukum publik, wewenang tersebut
dapat berupa wewenang ketatanegaraan (staasrechtelijk bevoehdheid), bisa juga
berupa wewenang administrasi (administratiefrechtelijk bevoehdheid). Wewenang
menerbikan izin bisa berupa wewenang terikat (gebonden bevoehdheid) dan bisa
juga berupa wewenang bebas (discretionary power).64 Dengan wewenang tersebut
penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan menggunakan sarana izin
sebagai sarana yuridis untuk mengatur tingkah laku masyarakat. Dengan memberi
izin pemerintah memperkenankan pemohon melakukan tindakan-tindakan yang
sebenarnya dilarang. Dengan kata lain melalui perizinan diberikan perkenan untuk
melakukan sesuatu yang diliarang, berarti esensi dari perizinan adalah
dilarangnya suatu tindakan, kecuali diperkenankan dengan izin.
Perizinan dengan karakteristik yuridisnya sebagai perbuatan hukum bersegi
satu dapat membebankan kewajiban-kewajiban tertentu secara sepihak kepada
masyarakat.65 Oleh karena itu instrumen perizinan merupakan salah satu wujud
keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam Hukum
Administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan masyarakat agar
mau mengikuti cara yang dianjurkan oleh peraturan perundang-undangan yang
62 Taufik Iman Santoso, 2008, Amdal, Setara Press, Malang, h. 35 63 Siti Sundari Rangkuti, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University
Press, Surabaya, h. 3 64 Philipus M. Hadjon, 1995, Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung. 65 I Made Arya Utama, Op.Cit.,h. 133
49
berlaku.66 Dengan karakteristik yang demikian pemerintah dapat memprsyaratkan
setiap rencana kegiatan dan/atau usaha yang memiliki dampak terhadap
lingkungan hidup agar dilakukan atas persetujuan Pemerintah dalam bentuk
perizinan berwawasan lingkungan hidup. 67
Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakekatnya ditetapkan
untuk mengkonkritisasikan wewenangnya dengan beberapa tujuan (motif)
tertentu. Menurut Spelt dan Ten Berge, tujuan (motif) menggunakan sistem
perizinan dapat berupa:68
Kegiatan mengarahkan (mengendalikan–‘sturen’) akivitas-aktivitas
tertentu (misalnya izin bangunan);
Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);
Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin
membongkar pada monmen-monumen);
Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah
padat penduduk);
Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin
berdasarkan “Drank-en Horecawet, dimana pengurus harus memenuhi
syarat-syarat tertentu).
Dalam kaitannya dengan izin yang diperlukan dalam pengusahaan pondok wisata
pada kawasan taman wisata alam, maka adapun motif yang terkandung di
dalamnya adalah motif untuk mengarahkan/mengendalikan. Motif untuk
66 N.M. Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge, Op.Cit.h.2. 67 I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 153 68 Ibid, h.4-5.
50
mengarahkan/mengendalikan adalah untuk mengarahkan agar aktivitas yang
dilaksanakan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan disini adalah dimaksudkan
agar usaha yang dijalankan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan usaha yang akan diselenggarakan, untuk proses
perizinan terkait usaha tersebut perlu memperhatikan beberapa peraturan
peraturan perundang-undangan khususnya dibidang lingkungan, seperti peraturan
di bidang konservasi, kemudian peraturan di bidang tata ruang, dan tentunya
bertumpu pada undang-undang yang menjadi payung dari semua peraturan di
bidang lingkungan hidup yaitu Undang-Undang tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana esensi dari seluruh peraturan tersebut
pada dasarnya menuntut agar usaha yang dilaksanakan tidak menimbulkan
kerusakan dan pencemaran yang dapat merusak kualitas lingkungan khususnya
pada kawasan taman wisata alam itu sendiri. Sehingga kualitas lingkungan dari
kawasan taman wisata alam tetap terjaga.
2.2. Pengertian Usaha Pondok Wisata
Untuk mendukung kegiatan perekonomian di Provinsi Bali sebagian besar
masyarakatnya memiliki usaha yang bergerak di bidang pariwisata salah satu
bentuk usaha di bidang pariwisata adalah usaha akomodasi pariwisata. Usaha
akomodasi adalah suatu usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian
bangunan yang disediakan secara khusus, dimana setiap orang dapat menginap
51
dengan atau tanpa makan dan memperoleh pelayanan serta menggunakan fasilitas
lainnya dengan melakukan pembayaran.69
Dalam pengertian umum akomodasi pariwisata di dalamnya menyangkut
hotel, penginapan, villa, peristirahatan, bungalow, homestay dan sebagainya.
Semua jenis akomodasi dibangun sebagai tempat beristirahat para wisatawan
selama berada di Tourist Destination Area.70
Dalam ketentuan Undang-undang No. 10 tahun 2009 tentang
Kepariwisataan ditentukan bahwa pondok wisata merupakan salah satu bentuk
usaha akomodasi pariwisata, yaitu ditemukan dalam Penjelasan pasal 14 ayat (1)
huruf f, berikut akan diuraikan terlebih dahulu bunyi Pasal 14 ayat (1) yang
menyatakan bahwa:
(1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain: a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata; c. jasa transportasi wisata; d. jasa perjalanan wisata; e. jasa makanan dan minuman; f. penyediaan akomodasi; g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; i. jasa informasi pariwisata; j. jasa konsultan pariwisata; k. jasa pramuwisata; l. wisata tirta; dan m. spa. Dalam penjelasan Pasal 14 huruf f dinyatakan bahwa “Yang dimaksud
dengan usaha penyediaan akomodasi adalah usaha yang menyediakan pelayanan
69 Yayuk Sri Perwani, 1992, Teori dan Petunjuk Praktek Housekeeping untuk akademi
Perhotelan, Make a Room, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1-2. 70 Yayu Indrawati, “Persepsi Wisatawan Lanjut Usia pada Fasilitas Akomodasi dan
Aktivitas Pariwisata Bernuansa Seni Budaya di Desa Sanur”, diunduh dari URL: http://www.isi-dps.ac.id/download/6-Yayu-Pariwisata.pdf diunduh pada tanggal 21 April 2010
52
penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha
penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan,
persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan
pariwisata.” Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 58 Peraturan
Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, menyatakan bahwa:
Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa: a. usaha hotel; b. usaha pondok wisata; c. usaha bumi perkemahan;dan d. usaha persinggahan karavan.
Dari uraian penjelasan Pasal 14 huruf f UU No. 10 tahun 2009 dan Pasal 58
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 diketahui bahwa usaha pondok
wisata merupakan bagian dari usaha penyediaan akomodasi, dimana berdasarkan
Pasal 14 huruf f UU No. 10 Tahun 2009 usaha penyediaan akomodasi adalah
salah satu bentuk dari usaha pariwisata. Selanjutnya berikut ini akan diuraikan
beberapa pengertian mengenai usaha pondok wisata, yaitu:
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 11
Tahun 2007 Tentang Retribusi Izin Usaha Hotel Melati Dan Pondok Wisata
Di Kabupaten Buleleng menyatakan bahwa:
Pondok Wisata adalah rumah atau bagian dari rumah penduduk yang difungsikan sebagai akomodasi wisata dengan fasilitas yang lebih sederhana daripada hotel dan disewakan untuk jangka waktu tertentu.
Badan Pusat Statistik, memberikan pengertian pondok wisata sebagai berikut:
Usaha Pondok Wisata adalah suatu usaha perorangan dengan menggunakan sebagian rumah tinggalnya untuk penginapan bagi orang dengan perhitungan pembayaran harian71
71 Badan Pusat Statistik, “Konsep dan Definisi Statistik Hotel dan Akomodasi Lainnya di
Indonesia” di unduh dari:URL:http://www.bps.go.id/aboutus.php?id_subyek=16&tabel=1&fl=2, pada tanggal 15 Mei 2010.
53
Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas menyatakan bahwa:
Pondok wisata (home stay) yaitu usaha penyediaan jasa pelayanan penginapan bagi umum dengan pembayaran harian yang dilakukan perseorangan dengan menggunakan sebagian atau seluruhnya dari tempat tinggalnya.72
Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan telekomunikasi
Nomor 74/PW.105/MPPT-85 tentang Peraturan Usaha Pondok Wisata Pondok
wisata adalah salah satu usaha perorangan dengan mempergunakan sebagian dari
rumah tinggalnya untuk penginapan bagi setiap orang dengan perhitungan
pembayaran harian. Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan:
Tidak termasuk dalam pengertian pondok wisata menurut peraturan ini adalah:
a. Hotel, Losmen, Penginapan Remaja (Youth Hostel) dan Perkemahan;
b. Asrama Haji, Asrama, dan Rumah Pemondokan bagi Mahasiswa dan Pelajar;
c. Tempat penginapan yang dikelola oleh instansi Pemerintah maupun Swasta yang khusus digunakan sebagi tempat peristirahatan bagi karyawannya.
Pasal 4 (1) Pengusahaan Pondok Wisata adalah usaha penyediaan pelayanan
penginapan; (2) Pengusahaan pondok wisata dapat menyediakan jasa pelayanan
makanan dan minuman sebagai jasa tambahan; (3) Pengusahaan pondok wisata harus memenuhi persyaratan sebagaimana
terlampir dalam keputusan ini. Dengan demikian pada dasarnya usaha pondok wisata adalah usaha yang
menggunakan rumah atau bagian dari tempat tinggal yang difungsikan sebagai
akomodasi wisata dengan fasilitas yang lebih sederhana daripada hotel dan
disewakan untuk jangka waktu tertentu dengan perhitungan pembayaran harian.
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dari sebuah pondok wisata,
72 Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas, “Konsep dan Definisi Seputar Pariwisata”, diunduh dari: URL: http://www.budpar.go.id, pada tanggal 15 Mei 2010.
54
persyaratan itu diatur dalam Lampiran Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi Nomor: KM.74/PW.105/MPPT-85. Adapun lampiran Keputusan
Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor: KM.74/PW.105/MPPT-85
menyebutkan persyaratan dari sebuah pondok wisata, yaitu sebagai berikut:
Unsur Persyaratan Uraian Persyaratan
1. Kamar a. Kamar yang disewakan harus merupakan bagian dari rumah tinggal
b. Jumlah Kamar yang disewakan maksimal 5 (lima) buah.
c. Luas kamar tidur minimal 2,70 m2 per orang.
d. Tata Udara diatur dengan baik
e. Tersedia Persyaratan Penghunian kamar f. Perlengkapan Kamar tidur:
1) Tempat tidur 2) Bantal dengan sarung bantal
3) seprai 4) Selimut
5) Kaca rias 6) Asbak
7) Keranjang sampah
2. Kamar Mandi a. Dilengkapi dengan bak mandi, ember, dan gayung
b. Ventilasi diatur dengan baik
c. Tersedia air dengan cukup
3. Lain-lain a. Lingkungan rumah yang dijadikan pondok wisata harus dijaga kebersihannya
b. Tersedia alat pemadam kebakaran
c. Tersedia tempat pembuangan sampah yang
55
tertutup
Selanjutnya untuk kegiatan yang wajib diselenggarakan dalam usaha pondok
wisata diatur dalam ketentuan Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun
1996, yang menyatakan bahwa:
(1) Kegiatan usaha pondok wisata meliputi : a. penyediaan kamar tempat menginap; b. penyediaan tempat atau pelayanan makan dan minum; dan c. pelayanan pencucian pakaian/binatu.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a merupakan pelayanan pokok yang wajib diselenggarakan oleh penyelenggara usaha pondok wisata
Sehubungan dengan pengertian, syarat, serta kegiatan yang wajib
diselenggarakan oleh sebuah pondok wisata, juga terdapat fasilitas yang dapat
dibangun guna menunjang pengusahaan pondok wisata itu sendiri, berikut ini
akan diuraikan mengenai fasilitas yang dapat dibangun dalam kaitannya dengan
pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, ketentuan
mengenai fasilitas pondok wisata ini diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan
No. 167/Kpts-II/1994 tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam
di Kawasan Pelestarian Alam. Adapun beberpa ketentuan yang mengatur
mengenai fasilitas yang dapat dibangun guna menunjang usaha pondok wisata
pada kawasan taman wisata alam akan diuraikan sebagai berikut:
Pasal 6 menyatakan bahwa: Jenis sarana pariwisata alam yang dapat dibangun adalah:
a. Sarana akomodasi b. Rumah makan dan minuman c. Sarana wisata tirta d. Sarana wisata budaya e. Sarana angkutan umum f. Kios cinderamata.
56
Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa: Jenis sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a meliputi:
a. Pondok wisata alam/pondok apung b. Bumi Perkemahan c. Karavan d. Penginapan remaja e. Fasilitas Akomodasi f. Fasilitas pelayanan umum dan kantor.
Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa: Fasilitas akomodasi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e tersebut di atas meliputi:
a. pertemuan b Ruang makan dan minum c. Fasilitas untuk bermain anak d. Gudang
Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa: Fasilitas pelayanan umum dan kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f meliputi:
a. Fasilitas pelayanan informasi; b. Fasilitas pelayanan telekomunikasi c. Fasilitas pelayanan administrasi d. Fasilitas pelayanan angkutan e. Fasilitas pelayanan penukaran uang f. Fasilitas pelayanan cucian g. Telepon umum h. Mushola i. Pos PPPk/Poliklinik j. Menara untuk pengintaian dan pemandangan k. Tempat sampah l. Kantor m. Mess karyawan n. Pemadam kebakaran
Pasal 13 menyatakan bahwa: Jenis Prasarana untuk menunjang sarana pengusahaan pariwisata alam yang dapat dibangun adalah:
a. Jalan b. Jembatan c. Areal parker d. Jaringan listrik e. Jaringan air minum f. Jaringan telepon g. Jaringan drainase/saluran
57
h. Sistem pembuangan limbah i. Dermaga/Pelabuhan tambat j. Helipad.
Pasal 22 menyatakan bahwa: Fasilitas pelengkap sarana dan prasarana pengusahaan pariwisata alam yang dapat dibangun adalah :
a. Penataan tanaman pada bagian-bagian tertentu; b. Papan-papan petunjuk; c. Ornamen-ornamen, monument, bangku dan meja piknik d. Fasilitas umum
Pasal 24 menyatakan bahwa: Papan-papan petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 huruf b, yang dibangun dapat berupa:
a. Papan nama b. Papan informasi c. Papan petunjuk arah d. Papan larangan/peringatan e. Papan bina cinta alam, dan f. Papan rambu lalulintas.
Pasal 25 menyatakan bahwa: Ornamen-ornamen, monument, bangku dan meja piknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c, yang dibangun disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat. Pasal 26 menyatakan bahwa: Fasilitas umum terdiri atas:
a. Toilet b. Hidran air minum
2.3. Kawasan Taman Wisata Alam di Provinsi Bali
Selain merupakan destinasi wisata yang diminati karena kebudayaannya,
Provinsi Bali juga memiliki potensi daya tarik wisata alam yang memikat.
Terdapat beberapa objek yang menyuguhkan panorama alam yang indah dengan
keaslian alamnya yang masih terjaga, beberapa objek dengan kriteria tersebut
dapat dijumpai dalam suatu kawasan yang disebut sebagai taman wisata alam.
58
Pada kawasan taman wisata alam ini wisatawan bisa menikmati suasana alam
yang masih sangat asri dan lingkungan yang relatif masih alami.
Penetapan suatu kawasan sebagai kawasan taman wisata alam adalah apabila
kawasan tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan sebagai taman wisata alam
sebagaimana diatur Pasal 57 ayat (8) PP No. 26 Tahun 2006 jo. Pasal 51 ayat 5
Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 menyatakan bahwa:
Taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf h ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya
yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik, dan langka; b. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata; c. memiliki luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan wisata alam; dan
d. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata alam.
Berdasarkan kriteria tersebut terdapat beberapa kawasan di Provinsi Bali
yang ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam, sebaran kawasan taman
wisata alam di provinsi Bali dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 45 ayat 6
yang menyatakan bahwa:
Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Sebaran Taman Wisata Alam di provinsi Bali adalah: 1. TWA Buyan-Tamblingan di Kabupaten Buleleng seluas 1.491,16 ha, 2. TWA Batur-Bukit Payung di Kabupaten Bangli seluas 2.075,00 ha, 3. TWA Penelokan di Kabupaten Bangli seluas 574,27 ha, 4. TWA Sangeh di Kabupaten Badung seluas 13,97 ha; 5. TWA Laut terdapat di Kawasan Taman Nasional Bali Barat di
wilayah Kabupaten Buleleng 6. TWA Laut Nusa Lembongan di Kabupaten Klungkung seluas 300 ha.
Adapun uraian dari sebaran kawasan taman wisata alam sebagaimana
dimaksud Pasal 45 ayat 6 adalah sebagai berikut:
59
1. TWA Buyan-Tamblingan
Secara administrative pemerintahan kawasan Taman Wisata Alam Danau
Buyan Tamblingan termasuk dalam wilayah Kecamatan Sukasada dan kecamatan
Banjar, kabupaten Buleleng dan kabupaten Tabanan, provinsi Bali. Kawasan ini
termasuk dalam kelompok hutan Gunung Batukahu (RTK 4) yang telah
ditetapkan sebagai hutan tutupan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia
Belanda tanggal 29 Mei 1927 No. 28. Berdasarkan surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 144/Kpts-II/1996 tanggal 4 april 1996 tentang penetapan sebagian
kawasan hutan Batukahu (RTK 4) yang terletak di Kabupaten Tabanan dan
Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, seluas 1.336,50 Ha sebagai Taman Wisata
Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan (tidak termasuk danau Buyan).
Selanjutnya dengan Surat keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan No. 140/Kwl-5/1997 tanggal 22 Januari 1997 diadakan revisi terhadap
luas kawasan taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan menjadi
1.703 Ha (sudah termasuk Danau Buyan dan Danau Tamblingan)
Dengan terdapatnya dua damau yang cukup luas dikelilingi hutan yang
masih asri serta tebing-tebing curam yang menawan, menjadikan kawasan ini
mempunyai panorama alam yang menarik. Keadaan peraiaran danau yang tenang
dan udara pegunungan yang sejuk dan nyaman memberikan kesempatan untuk
melaksanakan kegiatan wisata alam. Di beberapa lokasi pinggir danau terdapat
pula beberapa buah pura yang dibangun diantara pepohonan yang besar dan lebat,
sehingga dapat menambah potensi yang tidak hanya indah tetapi unik dan khas.
60
2. TWA Sangeh
Taman Wisata alam Sangeh terletak di desa Sangeh, kecamatan Abiansemal,
Kabupaten Badung. Status kawasan ini sebelumnya adalah cagar alam, namun
dengan terbitnya Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor: II/Kpts-II/1993
tanggal 16 Februari tahun 1993 berubah menjadi taman wisata alam dengan luas
13.969 Ha. Daya tarik objek TWA sangeh adalah adanya kehidupan kera abu-
abu, kemudian terdapat tegakan murni pohon Pala yang sangat khas dan
mendominsasi kawasan tersebut, selain itu terdapat pula bangunan pura dalam
kawasan tersebut, seperti Pura Bukit Sari dan Pura Melanting.
3. TWA Penelokan
Taman Wisata Alam Penelokan terletak di Desa Penelokan, Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli, yang masuk dalam Register Tanah Kehutanan
(RTK) 8 Hunung Abang-Agung. Status kawasan ini ditetapkan dengan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 655/Kpts/Um/10/1978 tanggal 29 Oktober
1978 dengan luas 574.275 Ha.
Kawasan taman wisata alam ini terletak diketinggian antara 1.200-1.500 m
dpl dengan udara yang sejuk dan mempunyai panorama yang sangat indah dan
unik karenan dari kawasan ini dapat dilihat keindahan Gunung Batur dan
Danaunya. Apabila udara cerah, dapat pula dilihat puncak Gunung Agung yang
menjulang di sebelah tenggara.
4. TWA Gunung Batur Bukit Payang
Taman Wisata Gunung Batur Bukit Payang terletak di desa Penelokan,
Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Status kawasan ini ditetapkan dengan
61
Surat Keputusan Menteri Pertamian Nomor:321/Kpts/Um/11/1982 tanggal 10
Nopember 1982 dengan luas 2.075 Ha. Kawasan taman wisata ini memiliki udara
yang sejuk, panorama yang indah dan unik karena dari kawasan ini dapat dilihat
keindahan Gunung Batur dan danaunya.
5. TWA Laut Nusa Lembongan dan TWA Laut terdapat di Kawasan Taman Nasional Bali Barat
Daya Tarik dari taman wisata alam ini adalah pasirnya yang putih, airnya
bersih dan jernih, dan merupakan tempat yang bagus untuk menyaksikan
keindahan matahari terbenam. Aktivitas wisata laut yang bisa dilakukan di TWA
ini adalah, kano, banana boat, bahkan diving dan snorkeling dimana terdapat
ratusan ikan warna-warni, gundukan batu karang putih, hingga rumput laut,
terlihat memesona di kedalaman laut yang jernih.
Secara yuridis pengertian taman wisata alam dapat dijumpai dalam beberapa
ketentuan, salah satunya dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 16, UU No. 5 Tahun
1990 yang menyatakan bahwa “Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian
alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.” Status
taman wisata alam sebagai bagian dari kawasan pelestarian alam juga dapat
ditemukan dalam Pasal 29 ayat (1) UU No. 5 Tahun yang menyatakan bahwa:
Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: d. Taman nasional e. Taman hutan raya f. Taman wisata alam
Kawasan pelestarian alam menurut struktur pola penataan ruang merupakan
bagian dari kawasan lindung, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 42 ayat (1)
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa:
62
Kawasan lindung mencakup: g. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; h. Kawasan perlindungan setempat; i. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; j. Kawasan rawan bencana alam; k. Kawasan lindung geologi; l. Kawasan lindung lainnya
Dengan demikian taman wisata alam merupakan bagian dari kawasan
lindung. Dalam kedudukannya sebagai kawasan lindung, kawasan taman wisata
alam berdasarkan Pasal 85 ayat (1) huruf a Perda Provinsi Bali No 16 Tahun 2009
ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup, bunyi Pasal 80 ayat (1) huruf a yang menetapkan
kawasan taman wisata alam sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut
kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup adalah sebagai berikut:
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf e, mencakup: a. Taman Nasional Bali Barat di Kabupaten Jembrana dan Buleleng,
Kawasan Taman Hutan Raya Prapat Benoa (Ngurah Rai) di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Taman Wisata Alam (TWA) Daratan yang mencakup TWA Danau Buyan-Tamblingan di Kabupaten Buleleng, TWA Batur-Bukit Payung dan TWA Penelokan di Kabupaten Bangli, TWA Sangeh di Kabupaten Badung; TWA Bawah Laut di Nusa Lembongan Kabupaten Klungkung, TWA Bawah Laut Pulau Menjangan di Kabupaten Jembrana, Cagar Alam atau Hutan Lindung Batukaru di Kabupaten Tabanan;
Adapun kriteria taman wisata alam tersebut sehingga ditetapkan sebagai
kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup berdasarkan Pasal 90 adalah sebagai berikut:
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85, ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;
63
b. merupakan aset daerah berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem;
c. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; d. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air; e. memberikan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam; dan f. memberikan perlindungan terhadap daerah pesisir.
Terhadap Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dari
sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, diperlukan strategi
untuk dapat melestarikan dan meningkatkan fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup dari kawasan tersebut, adapun strategis pelestarian dan peningkatan fungsi
daya dukung lingkungan tersebut diatur dalam Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan
sebagai berikut:
Strategi pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, mencakup: a. menetapkan kawasan strategis provinsi yang berfungsi lindung; b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis provinsi yang
berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis provinsi
yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; d. membatasi pengembangan sarana dan prasarana di dalam dan di sekitar
kawasan strategis provinsi yang dapat memicu perkembangan kegiatan budidaya intensif;
64
BAB III
PENGUSAHAAN PONDOK WISATA PADA KAWASAN TAMAN
WISATA ALAM DI PROVINSI BALI
3.1. Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman
Wisata Alam dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan.
3.1.1. Pengertian dan Jenis Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dan tidak bisa
diabaikan terutama dalam suatu negara hukum. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu unsur dari negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau yang sering disebut sebagai asas legalitas, asas legalitas
merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum. Asas
legalitas ini akan menunjang berlakunya kepastian hukum, sebab suatu kepastian
hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat setiap tindakan yang
akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan yaitu dengan
melihat kepada peraturan-perundang-undangan yang berlaku, maka pada asasnya
lalu akan dapat dilihat atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat
pemerintah yang bersangkutan.73
Istilah peraturan perundang-undangan berasal dari kata dasar undang-
undang, dimana undang-undang dapat diartikan secara formal maupun materiil.74
Undang-undang secara formal adalah produk kekuasaan legislatif, sedangkan dari
73 Ridwan HR, Op.Cit., h. 97. 74 Yohanes Usfunan, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang baik
Manciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis”, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara FH UNUD, 1 Me1 2004, Denpasar, Universitas Udayana, h. 13
64
65
segi materiil kata undang-undang dimaksudkan sebagai peraturan perundang-
undangan yaitu setiap keputusan yang dikeluarkan oleh yang berwenang dan
mempunyai kekuatan mengikat, hal ini sejalan dengan pengertian peraturan
perundang-undangan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (LNRI Tahun
2004 Nomor 53) yang menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum.”
Selain pengertian perundang-undangan yang diuraikan di atas, Maria Farida
Indrati Soeprapto mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai suatu
keputusan dari suatu lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusi
dan delegasi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang kepada lembaga
negara/pemerintah.Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-
batas yang diberikan.75 Sebagai contoh, atribusi yang diberikan oleh Pasal 5 ayat
(1) UUD NRI 1945 yang menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Disisi lain ada delegasi
kewenangan yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-
undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan itu
dinyatakan secara tegas atau tidak. Berbeda dengan atribusi, pada delegasi
75 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 35
66
kewenangan tersebut tidak diberikan melainkan diwakilkan. Selain itu
kewenangan delegasi ini bersifat sementara, dalam arti kewenangan ini
diselenggarakan sepanjang pelimpahan itu masih ada.76Contoh delegasi adalah
kewenangan pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya.
Dengan demikian kata peraturan perundang-undangan mencakup peraturan
yang merupakan produk kekuasaan legislatif dan produk kekuasaan eksekutif.
Sebagaimana diketahui bahwa seiring dengan perkembangan tugas-tugas
pemerintahan, khususnya dalam ajaran welafare state, memberikan kewenangan
yang luas kepada administrasi negara termasuk kewenangan dalam bidang
legislasi, maka peraturan peraturan hukum dalam hukum administrasi negara
disamping dibuat oleh lembaga legislatif juga ada peraturan-peraturan yang dibuat
secara mandiri oleh administrasi negara77. Bahkan jika diukur dari segi jumlah
sebagian besar peraturan perundang-undangan dibentuk oleh administrasi negara,
hal tersebut diungkapkan oleh HWR Wade yang menyatakan bahwa “There is no
more characteristic asminidtrative activity than legislation. Measured merely by
volume, more legislation is produced by the executive government than by
legislature”.78 Kewenangan legislasi bagi pemerintah tidak dapat dielakkan dalam
suatu negara kesejahteraan, Bagir manan menyebutkan ketidakmungkinan
76Ibid 77Ridwan HR, Op.Cit., h. 35 78 H.W.R. Wade, 1986, Administrative Law, Fifth Edition, Oxford University Press, Oxford,
h. 733
67
meniadakan kewenangan eksekutf untuk ikut membentuk peraturan perundang-
undangan, yaitu sebagai berikut:79
1. Paham pembagian kekuasaan yang lebih menekankan pada perbedaan
fungsi daripada pemisahan organ terdapat dalam ajaran pemisahan
kekuasaan. Dengan demikian, fungsi pembentukan peraturan perundang-
undangan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan
pemerintahaan. Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan
dapat juga dilekatkan pada administrasi negara, baik sebagai kekuasaan
mandiri atau sebagai kekuasaan yang dijalankan secara bersama-sama
dengan badan legislatif.
2. Dalam suatu negara kesejahteraan diperlukan berbagai instrumen hukum
yang tidak mungkin semata-mata diserahkan pada legislatif untuk
menyelenggarakan kesejahteraan umum, administrasi negara diperlukan
untuk mengatur tanpa mengabaikan asas-asas negara berdasarkan hukum
dan asas-asas umum pemerintahan yang layak. Dalam keadaan demikian
makin tumbuh kekuasaan administrasi negara di bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan.
3. Untuk menunjang perubahan masyarakat yang berjalan makin cepat dan
kompleks diperlukan percepatan pembentukan hukum, hal ini
mendorong administrasi negara untuk berperan lebih besar dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
79Bagir Manan, 1995, Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Makalah pada penataran Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Unhas, Ujung Pandang, 31 Agustus 1995, dalam Ridwan HR, Ibid, h.140-141.
68
4. Berkembangnya berbagai jenis peraturan perundang-undangan, mulai
dari UUD sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat daerah.
Badan legislatif tidak membentu segala jenis peraturan perundang-
undangan melainkan terbatas pada undang-undang dan UUD, jenis
lainnya dibuat oleh administrasi negara.
Dalam praktek, diakui bahwa organ legislatif tidak memiliki instrumen
pelaksana, waktu, dan sumberdaya memadai untuk merumuskan secara detail
berbagai hal yang berkenaan dengan undang-undang sehingga diserahkan kepada
eksekutif. Meskipun sebagian besar peraturan perundang-undangan itu dibentuk
oleh organ eksekutif bukan berarti eksistensi lembaga legislatif dalam suatu
negara hukum menjadi tidak perlu. Kewenangan legislasi bagi pemerintah atau
organ eksekutif itu pada dasarnya berasal dari undang-undang, sesuai dengan asas
legalitas dalam negara hukum, yang berarti berasal dari persetujuan parlemen.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan
adalah segala aturan tertulis yang dibuat oleh penguasa yang berwenang. adapun
jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, dari jenis
peraturan perundang-undangan yang ada sebagian besar merupakan produk
hukum dari badan eksekutif, adapun bunyi rumusan Pasal 7 ayat (1) tersebut
adalah sebagai berikut:
Pasal 7: (2) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden
69
e. Peraturan daerah.
UUD adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu
negara, yang menjadi dasar segala peraturan perundang-undangan. Dengan kata
lain bahwa semua peraturan perundang-undangan harus tunduk pada UUD atau
tidak boleh bertentangan dengan UUD.80 Di sisi lain UUD merupakan dokumen
hukum yang mengandung aturan-aturan ketentuan-ketentuan yang pokok atau
dasar-dasar mengenai ketatanegaraan daripada suatu negara yang lazim
kepadanya diberi sifat luhur dan kekal dan apabila akan mengadakan
perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau
dibandingkan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan
dan ketetapan yang lainnya.81Dimana perubahan dan penetapan terhadap UUD
berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 merupakan kewenangan
MPR.
Undang-undang adalah produk hukum yang dibuat oleh DPR bersama
dengan presiden, dasar hukum kewenangan DPR bersama dengan presiden
membentuk undang-undang dapat dilihat dari Pasal 5 ayat(1) UUD NRI 1945
yang menyatakn bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) UUD
NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang”, dan dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 10
Tahun 2004 menyatakan bahwa “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-
80 K. Wantjik Saleh, Perkembangan perundang-undangan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 10-11 dalam Titik Triwulan Tutik, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta, h. 51
81 Dasril Radjab, 1994, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 27
70
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden.”
Perppu merupakan bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh
presiden sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 22 ayat (1)
UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang”, dan Pasal 1 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 yang menyatakan
bahwa “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan
yang memaksa.”
Peraturan Pemerintah ialah bentuk peraturan yang menurut UUD NRI 1945
dapat dibuat oleh Presiden untuk melaksanakan lebih lanjut suatu undang-undang
sebagaimana mestinya, kewenangan ini diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UUD NRI
1945 jo. Pasal 1 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh presiden berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (6) UU No. 10 tahun
2004 yang menyatakan bahwa “Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibuat oleh Presiden”, sedangkan dasar kewenangan pembentukan
peraturan presiden tidak secara tegas disebutkan dalam UUD NRI 1945, dalam
Pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar”, sebagai
71
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di negara Indonesia, Presiden adalah
pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus pemegang kekuasaan
legislatif.82Menurut Jellinek83 pemerintah dalam arti formal mengandung
kekuasaan mengatur dan kekuatan memutus sedangkan pemerintahan dalam arti
material mengandung unsur melaksanakan.Dengan kekuasaan mengatur terlihat
dari jalur legislatif Presiden harus menempatkan persetujuan DPR yaitu dalam
membentuk suatu undang-undang, sedangkan apabila presiden mengatur dalam
kekuasaan eksekutif dengan membentuk suatu peraturan presiden berupa
penjabaran lebih lanjut dari undang-undang maupun peraturan pemerintah.
Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur Pemerintah Dearah yang berwenang
membuat peraturan daerah. Kewenangan Pemerintah Dearah dalam membentuk
peraturan daerah adalah konsekuensi dianutnya desentralisasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Kesatuan
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Artinya, Negara
Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah desentralisasi, bukan
sentralisasi sehingga pemerintahan daerah diadakan dalam kaitan
desentralisasi.Selanjutnya, Pasal 18 ayat(6) UUD 1945 menetapkan,
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Artinya,
82 I Made Subawa, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 38
83 Jellinek dalam I Made Subawa, dkk, Ibid.
72
peraturan daerah merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.peraturan daerah disini adalah aturan daerah dalam arti
materiil yang bersifat mengikat warga dan penduduk daerah otonom. Kewenangan
pemerintah daerah dalam membetuk peraturan daerah juga diatur dalam beberapa
pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004, yaitu Pasal 25 huruf c dinyatakan bahwa
“Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenangmenetapkan peraturan daerah
yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”, selanjutnya dalam Pasal 42
ayat (1) huruf a menyatakan bahwa”DPRD mempunyai tugas dan
wewenangmembentuk peraturan daaerah yang di bahas dengan Kepala Daerah
untuk mendapatpersetujuan bersama”, dan kemudian dalam Pasal 136 ayat (1)
menyatakan bahwa ”Peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD”
Di samping jenis peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan
secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1) sebagaimana diuraikan di atas, masih
terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui dalam Pasal 7 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Adapun bunyi ketentuan Pasal 7 ayat
(4) menyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.” Selanjutnya dalam Penjelasanya disebutkan bahwa “Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang
dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
73
Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah
atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat”.Dengan demikian setiap lembaga/pejabat
negara tertentu dapat saja memiliki kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan. Kewenangan yang diberikan atau dipunyai oleh lembaga
atau pejabat itu dapat berbentuk kewenangan atributif atau kewenangan
delegatif/derivatif.
3.1.2. Konflik Norma Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam
Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya diperlukan untuk
mengarahkan dan mengendalikan prilaku warga masyarakat maupun pejabat
pemerintah agar sesuai dengan yang ditetapkan dalam ketentuan yang
bersangkutan. Agar tujuan tersebut dapat terlaksana tentunya penormaan tindakan
pemerintahan yang diformulasikan dalam produk hukum tidak boleh kabur
ataupun terjadi suatu konflik norma antara norma yang satu dengan yang lainnya
sehingga menimbulkan kebingungan bagi pemerintah dalam mengambil suatu
keputusan.84 Namun dalam kenyataannya dalam Pengaturan Pengusahaan Pondok
Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam masih dapat ditemukan adanya
konflik norma, konflik norma terjadi apabila norma dari suatu peraturan
bertentangan dengan norma pada peraturan lainnya, Hans Kelsen menyatakan
bahwa “A conflict exist between two norms when that which one of them decrees
84 Ibid, 167
74
to be obligatory is incompatible with that which the other decrees to be
obligatory, so that the observance or application of one norm necessarily or
possibly involves the violation of the other.”85 Konflik norma ini dapat ditemukan
dalam produk hukum yang mengatur mengenai dapat tidaknya dibangun usaha
pondok wisata pada kawasan taman wisata alam. Dapat dilaksanakan usaha
pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tersebut dapat diatur dalam UU
tentang Konservasi beserta peraturan pelaksananya, namun ketentuan ini
bertentangan dengan pengaturan penataan ruang di Provinsi Bali yang diatur
dalam Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009.
a. Pengaturan terkait Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang Penataan Ruang
Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang menegaskan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.” Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara
terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan, untuk itu diperlukan suatu penataan
ruang.
Ruang mengandung pengertian sebagai “wadah yang meliputi ruang daratan,
ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan
hidupnya”.Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap, sedangkan aktivitas
85 Hans Kelsen, General Theory of Norms, Translated by Michael Hartney, Oxford
University Press, New York, 1991, Hal 123
75
manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang
untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari.Untuk itu ruang yang
sifatnya terbatas perlu ditata agar dapat dimanfaatkan secara efektif dan efesien.
Tata ruang memiliki arti susunan ruang yang teratur, dalam kata teratur
terkandung terkandung pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah dipahami
dan dilaksanakan. Karena itu pada tata ruang yang ditata adalah tempat berbagai
kegiatan serta sarana dan prasarananya.86 Suatu tata ruang yang baik dapat
dihasilkan dari kegiatan menata ruang yang baik disebut penataan ruang. Dalam
pengertian ini, penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu perencanaan
tata ruang, perwujudan tata ruang, dan pengendalian tata ruang.87
Perencanaan tata ruang merupakan kegiatan merumuskan dan menetapkan
manfaat ruang dan kaitannya atau hubungan antara berbagai manfaat ruang,
berdasarkan kegiatan-kegiatan yang perlu dan dapat dilaksanakan untuk
memenuhi kebutuhan manusia di masa yang akan datang.88 Selanjutnya yang
dimaksud perwujudan tata ruang adalah kegiatan di lapangan untuk menetapkan
bagian-bagian ruang yang diperlukan untuk berbagai kegiatan sesuai dengan
rencana tata ruang.89 Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah setiap
kegiatan yang ditujukan untuk menjaga agar kegiatan pemanfaatan ruang, dengan
atau tanpa bangunan dilaksanakan sesuai dengan tata ruang, dengan kata lain
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk megarahkan
pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
86 M. Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 80
87Ibid. 88Ibid. 89Ibid
76
ditetapkan90. Salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang populer
adalah perizinan. Instrumen perizinan mengendalikan setiap kegiatan pemanfaatan
ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan
demikian untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang telah sesuai dengan
peruntukannya dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan di bidang
penataan ruang. Terkait dengan hal tersebut maka untuk mengetahui apakah dapat
diterbitkan izin terhadap usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam
maka perlu diuji kesesuaian antara rencana pemanfaatan kawasan taman wisata
alam dengan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang,
diantaranya adalah PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, dan Perda Provnsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi.
Pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penataan ruang,
dimana daerah mempunyai hak untuk melaksanakan penataan ruang di daerahnya.
Pergantian sistem pemerintahan tersebut berdampak positif terhadap penataan
ruang diantaranya adalah Pemerintah Daerah dapat mengawasi pembangunan di
daerahnya secara bertanggungjawab penuh sehingga pembangunan sesuai dengan
aspirasi masyarakatnya. Dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang perlu
ditindaklanjuti melalui pengaturan zona (zone regulation). Peraturan Zonasi
(Zoning Regulation) adalah ketentuan yang mengatur tentang klasifikasi zona,
90Ibid
77
pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan lahan, dan prosedur pelaksanaan
pembangunan.91 Dengan kata lain peraturan zonasi adalah ketentuan yang harus
dan tidak boleh dilaksanakan pada suatu zona pemanfaatan ruang yang dapat
berupa ketentuan tentang bangunan, penyediaan sarana dan prasarana,
permukiman, dan ketentuan lain yang dibutuhkan dalam mewujudkan ruang yang
nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Di Provinsi Bali arahan peraturan zonasi
ditemukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang baru yaitu dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi, diaturnya substansi baru mengenai arahan peraturan zonasi
kawasan taman wisata alam. ditemukan dalam Pasal 109 ayat (5) yang
menyatakan bahwa:
Arahan peraturan zonasi taman wisata alam sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat (4) huruf e, mencakup: a. pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan; b. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; c. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud dalam huruf b; dan d. pelarangan pendirian pembangunan pada zona pemanfaatan.
Mencermati substansi Pasal 109 ayat (5) diketahui bahwa Perda Provinsi Bali No.
16 Tahun 2009 tidak menghendaki adanya pendirian bangunan apapun pada
kawasan taman wisata alam, walau pada zona pemanfaatannya sekalipun. Hal ini
tercermin dari bunyi ketentuan Pasal 109 ayat (5) huruf b tersebut tersebut yang
menyatakan bahwa kawasan taman wisata alam hanya dapat digunakan untuk
91 Agus Parmono, Urgensi Pengaturan Zona Dalam Upaya Pengendalian Pemanfaatan
Ruang Daerah Berkelanjutan, dalam http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=122, diunduh pada tanggal 18 April 2010
78
kegiatan wisata alam, kemudian dalam huruf c secara tegas tidak
memperbolehkan adanya pemanfaatan ruang selain untuk kegiatan wisata alam,
yang selanjutnya dalam huruf d menyatakan pelarangan bagi adanya pendirian
bangunan pada zona pemanfaatan. Sehingga jelas bahwa Perda No. 16 Tahun
2009 tidak memberikan peluang bagi didirikannya pondok wisata pada zona
pemanfaatan di kawasan taman wisata alam.
Selanjutnya satu tingkat di atas peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009
terdapat peraturan pemerintah yang mengatur pula mengenai pemanfaatan
kawasan taman wisata alam yaitu Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48), ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam
Pasal 101 ayat (6) yang menyatakan bahwa:
Peraturan zonasi untuk taman wisata alam dan taman wisata alam laut disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada
huruf c.
Dari uraian bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa pasal 101 ayat (6) khususnya
dalam ketentuan huruf c, memperbolehkan akan adanya pendirian bangunan
dalam hal untuk menunjang kegiatan wisata alam. Pondok wisata dapat
dikatagorikan sebagai bangunan penunjang kegiatan wisata alam karena pondok
wisata dapat dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan bagi mereka yang sedang
melakukan kegiatan wisata alam. Dengan diperkenankannya adanya pendirian
79
bangunan penunjang kegiatan wisata alam maka dengan sendirinya PP No. 26
Tahun 2008 ini bertentangan dengan Perda No. 16 Tahun 2009.
b. Pengaturan Usaha Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam pada Peraturan perundang-undangan di bidang Konservasi.
Merujuk pada beberapa peraturan perundang-undangan di bidang
konservasi, kawasan taman wisata alam merupakan kawasan pelestarian alam
yang salah satu peruntukannya adalah dapat dimanfaatkan sebagai tempat bagi
kegiatan wisata alam. Selanjutnya dalam menunjang kegiatan tersebut beberapa
peraturan perundang-undangan memberikan kemungkinan bagi dapat
diselenggarakannya usaha sarana pariwisata alam pada kawasan tersebut, salah
satu usaha yang dapat diselenggarakan adalah usaha pondok wisata. Adapun
pengaturan yang menjadi dasar bagi dapat diselenggarakannya usaha pondok
wisata pada kawasan taman wisata alam akan diuraikan sebagai berikut:
Pasal 31 ayat (1) UU No.5 Thn 1990 menyebutkan bahwa: Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
Hal senada juga disebutkan dalam Pasal Pasal 1 angka 8 PP No.68 Thn 1998
tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132) yang menyatakan bahwa:
Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
Dari kedua ketentuan tersebut dinyatakan bahwa kawasan taman wisata alam
merupakan kawasan pelestarian alam yang di dalamnya dapat diselenggarakan
kegiatan wisata alam / rekreasi alam. Adapun yang dimaksud dengan wisata alam
80
secara yuridis dapat ditemukan dalam pasal 1 ayat (4) PP No. 36 Tahun 2010
yang menyatakan bahwa “Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian
dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk
menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di taman nasional, taman hutan
raya dan taman wisata alam.” Selanjutnya untuk menunjang kegiatan pariwisata
pada kawasan taman wisata alam maka di dalamnya dapat diselenggarakan
pengusahaan pariwisata alam. Pasal 1 ayat (1) PP No. 36 Tahun 2010 memberikan
pengertian “Pengusahaan pariwisata alam adalah suatu kegiatan untuk
menyelenggarakan usaha pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional,
taman hutan raya, dan taman wisata alam berdasarkan rencana pengelolaan.”
Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan apa yang dimaksud dengan Usaha
pariwisata alam adalah “usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi
pemenuhan kebutuhan wisatawan d an penyelenggaraan pariwisata alam.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengusahaan Pariwisata alam dijabarkan dalam
pasal berikutnya, yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Ketentuan Pasal 4 yang menyatakan bahwa: Pengusahaan pariwisata alam dilakukan dalam: a. suaka margasatwa; b. taman nasional; c. taman hutan raya; dan d. taman wisata alam.
b. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa:
Dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan kegiatan mengunjungi, melihat, menikmati keindahan alam, keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta dapat dilakukan kegiatan membangun sarana kepariwisataan.
81
c. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (3) menyatakan bahwa: (1) Pengusahaan pariwisata alam meliputi:
a. usaha penyediaan jasa wisata alam; dan b. usaha penyediaan sarana wisata alam.
(3) Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat meliputi: a. wisata tirta; b. akomodasi; dan c. sarana wisata petualangan
d. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) Huruf b menyatakan bahwa: Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, villa, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata.
e. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (5) menyatakan bahwa: (1) Pengusahaan pariwisata alam hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
izin pengusahaan. (2) Izin pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh:
a. Menteri, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam suaka margasatwa, taman nasional kecuali zona inti, dan taman wisata alam; atau
b. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam taman hutan raya.
(5) Permohonan izin pengusahaan yang diajukan oleh badan usaha dan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat diberikan untuk izin usaha penyediaan jasa wisata alam dan/atau izin usaha penyediaan sarana wisata alam.
f. Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa:
Dalam hal izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk usaha penyediaan sarana wisata alam, hanya dapat diberikan pada: a. zona pemanfaatan taman nasional; b. blok pemanfaatan taman wisata alam; dan c. blok pemanfaatan taman hutan raya.
g. Pasal 18 huruf d, e, dan f menyatakan bahwa: Izin usaha penyediaan sarana wisata alam diberikan dengan ketentuan: a. luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam paling
banyak 10% (sepuluh per seratus) dari luas areal yang ditetapkan dalam izin;
b. sarana wisata alam yang di bangun untuk wisata tirta dan akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b, harus semi permanen dan bentuknya disesuaikan dengan arsitektur budaya setempat; dan
82
c. dalam melaksanakan pembangunan sarana wisata alam disesuaikan dengan kondisi alam dengan tidak mengubah bentang alam.
Dari uraian ketentuan Pasal tersebut diketahui bahwa dalam kawasan taman
wisata alam dapat dilaksanakan kegiatan pengusahaan pariwisata alam yaitu
dengan menyelenggarakan berbagai jenis usaha sarana pariwisata alam, salah satu
bentuknya adalah usaha sarana akomodasi berupa pondok wisata. Selanjutnya
ditemukan adanya pembatasan kawasan yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat
diselenggakannya kegiatan pengusahaan pariwisata alam pada kawasan taman
wisata alam yaitu dibatasi hanya pada blok pemanfaatannya saja. Kemudian
dalam Pasal 18 diatur mengenai ketentuan yang berkenaan dengan luas kawasan
yang dapat di bangun, bahan bangunan yang digunakan dan penyesuaian
bangunan dengan kondisi dan bentang alam.
Induk dari PP No. 36 Tahun 2010 yaitu UU No. 5 tahun 1990 juga memuat
ketentuan yang memungkinkan bagi diadakannya kegiatan pengusahaan
pariwisata alam berupa usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam,
yaitu dalam Pasal 34 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.
(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai dapat diselenggarakannya usaha pondok wisata pada
kawasan taman wisata alam memang tidak dinyatakan secara ekspisit, namun
83
secara tersirat dapat ditemukan dalam ketentuan ayat (2) dan (3), dari ketentuan
ayat tersebut ditentukan bahwa bagi yang telah memperoleh hak pengusahaan
dapat memanfaatkan kawasan taman wisata alam untuk membangun sarana
kepariwisataan. Jenis dari sarana kepariwisataan yang dimaksud dapat ditemukan
dalam Pasal 7 ayat (3) jo. Penjelasan Pasal 7 ayat 3 huruf b PP No. 36 tahun 2010
yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu dimana salah satu bentuknya adalah
pondok wisata.
Pengaturan mengenai dapat dibangunya pondok wisata pada kawasan taman
wisata alam selanjutnya dapat ditemukan dalam Surat Keputusan Dirjen PHPA
No. 129 Tahun 1996 yang didalamnya memuat beberapa ketentuan, diantaranya
adalah mengenai hal-hal yang boleh dilakukan pada kawasan taman wisata alam
yaitu
1. Dalam blok pemanfaatan dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan kawasan dan potensinya dalam bentuk kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata alam;
2. Kegiatan pengusahaan wisata alam dapat diberikan kepada pihak ketiga, baik koperasi, BUMN, swasta, maupun perorangan;
3. Blok pemanfaatan dapat digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan penangkaran jenis sepanjang untuk menunjang kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, restocking, dan budidaya oleh masyarakat setempat;
4. Dalam blok pemanfaatan dapat dibangun sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan dan wisata alam (Pondok wisata, bumi perkemahan, karavan, penginapan remaja, usaha makan dan minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, wisata budaya, dan penjualan cinderamata) yang dalam pembangunannya harus memperhatikan gaya arsitektur daerah setempat;
Setelah menguraikan beberapa peraturan yang memberikan landasan bagi
dapat dibangunya pondok wisata pada kawasan taman wisata alam pada ketentuan
berikut ini yaitu Pasal 4 Kepmenhut No.167/Kpts-II/1994 memberikan syarat dari
84
bentuk bangunan/sarana yang dibangun pada kawasan taman wisata alam, yaitu
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ukuran panjang, lebar dan tinggi bangunan/sarana disesuaikan dengan perbandingan/proporsi untuk setiap bentuk arsitektur daerah/lokal dengan memperhatikan kondisi fisik kawasan tersebut;
b. Pembangunan sarana yang diperkenankan maksimum 2 (dua) lantai; c. Tidak mengubah karakteristik bentang alam yang ada. d. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata tersebut tidak
memanfaatkan danau, melainkan di luar sempadan danau (radius 50 m dari danau).
Berdasarkan uraian peraturan tersebut di atas maka jelas nampak adanya
konflik norma. Adapun konflik norma yang terjadi adalah karena disatu sisi Perda
No. 16 tahun 2009 menyatakan bahwa pada zona pemanfaatan kawasan taman
wisata alam tidak diperkenankan untuk diadakan pembangunan pondok wisata,
sedangkan pada beberapa peraturan perundang-undangan yang lain memberikan
landasan hukum bagi dapat dilaksanakannya pendirian bangunan pondok wisata.
Adanya konflik norma diantara peraturan tersebut menimbulkan
kebingungan dan ketidakpastian hukum bagi pejabat dalam mengambil keputusan
terhadap adanya permohonan izin untuk memanfaatkan blok pemanfaatan
kawasan taman wisata alam sebagai lokasi pengusahaan pondok wisata.
Pengaturan penggunaan lahan yang jelas secara hukum tentunya sangat
diperlukan untuk menjadi landasan utama dan sebagai acuan untuk menentukan
apakah suatu permohonan pemanfaatan akan sesuai dengan rencana atau tidak.
Klasifikasi penggunaan lahan yang jelas menentukan izin dapat diberikan atau
ditolak hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 37 ayat (7) UU No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68) menyatakan bahwa “Setiap pejabat pemerintah yang berwenang
85
menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang.”
3.1.3. SinkronIsasi Hukum terkait adanya Konflik Norma Pengaturan Pengusahaan Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam.
Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya diperlukan untuk
mengarahkan dan mengendalikan prilaku warga masyarakat maupun pejabat
pemerintah. Dalam hal ini kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang
harmonis tentunya menjadi sangat diperlukan untuk mewujudkan ketertiban,
menjamin kepastian dan perlindungan hukum. Namun penerapan peraturan
perundang-undangan dalam jumlah banyak secara bersamaan dalam waktu yang
sama dan ruang yang sama, membawa potensi terjadinya konflik norma diantara
peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini mengingat masing-masing
peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan,
dan pedoman untuk melaksanakan strategi.92
Secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu sistem yang
tidak menghendaki adanya pertentangan antara unsur-unsur atau bagian-bagian di
dalamnya. Bertallanfy menyatakan bahwa “sistem are complexes of elements in
interaction, to which certain law can be applied”.93Menurut Bertallanfy, sistem
adalah himpunan unsur-unsur yang saling mempengaruhi, untuk mana hukum
tertentu menjadi berlaku. Hukum positif tersusun dalam suatu tatanan, mulai dari
92 Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan
Yang Baik, A3 dan Nasa Media, Malang, h. 9 93Bertallanfy dalam Kusnu Goesniadhie, Ibid.h. 21
86
hukum dasar sampai pada hukum yang paling konkrit dan individual, dimana
harus bersumber pada tata nilai dasar yang mengandung penilaian-penilaian etis.94
Menurut Kelsen “An order is a sistem of rules. Law is not, as it is sometimes
said, a rule. It is a set of rule having the kind of unity weunderstand by sistem”95
Hukum adalah seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur
semacam kesatuan atau daya pengikat yang dipahami sebagai suatu sistem. UUD
serta segala peraturan perundang-undangan penjabaran dan pelaksanaannya, juga
memiliki kesatuan atau daya pengikat bangsa Indonesia sebagai suatu sistem
dalam negara.96Peraturan perundang-undangan saling berkaitan dan merupakan
bagian dari suatu sistem, yaitu sistem hukum nasional. Ditinjau dari sistem hukum
nasional, peraturan perundang-undangan yang mengatur izin dalam usaha pondok
wisata pada kawasan taman wisata alam telah terjadi suatu konflik karena belum
sinergisnya peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral.
Dalam hal terjadi suatu konflik norma maka perlu diadakan suatu upaya
sinkronosasi peraturan perundang-undangan. Sinkronisasi adalah penyelarasan
dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
peraturan perundang-undangan lain yang telah ada yang mengatur suatu bidang
tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur
dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi
(suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka
94 Hans Kelsen dalam Kusnu Goesniadhie, Op.Cit., hal 21 95Hans Kelsen, ”General Theory of Law and State”,diunduh dari: URL:
http://books.google.co.id/books?id=4dAr24lK4BEC , diunduh pada tanggal 6 Sepetmber 2010 96Kusnu Goesniadhie, hal 22
87
semakin detail dan operasional materi muatannya.97Adapun tujuan dari kegiatan
sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu
yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan
bidang tersebut secara efisien dan efektif.
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu:98
1. Sinkronisasi Vertikal
Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu
dengan yang lain dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi,
dalam hal ini harus memperhatikan hirarkhi peraturan perundang-undangan,
dalam sinkronisasi vertical harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor
penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
2. Sinkronisasi Horisontal.
Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan
yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi
horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan
waktu ditetapkannya peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan.
Sebagaimna telah diuraikan sebelumnya telah terjadi konflik norma terkait
dapat tidaknya dibangun pondok wisata pada kawasan taman wisata alam, yaitu
konflik antara Perda 16 Tahun 2006 dengan UU No. 5 tahun 1990 jo. PP No. 36
97 Pt Tribina Matra Carya Cipta, Prosedur Penyusunan Sinkronisasi dalam
http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf , diunduh pada tanggal 22 Agustus 2010
98Ibid
88
Tahun 2010 jo. PP No. 26 Tahun 2008. Melihat pada jenis peraturan perundang-
undangan yang mengalami konflik norma maka dapat disimpulkan telah terjadi
konflik norma yang bersifat vertikal. Sehingga dalam pemecahannya perlu
memperhatikan asas hirarki peraturan perundang-undangan.
Secara teoritis mengenai hirarki peraturan perundang-undangan dapat diikuti
pandangan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky bahwa norma-norma dalam negara
tersusun secara hirarkis, dari yang paling umum yang bersifat abstrak hingga ke
jenjang yang lebih khusus. Di puncak dari norma itu terdapat norma dasar
(grundnorm, atau ursprungsnorm atau basicnorm) yang merupakan asas-asas
hukum yang bersifat abstrak, karena itu disebut pula abstracte norm. Karena
bersifat abstrak, norma dasar itu perlu dikonkretkan melalui suatu norma antara
(tussennorm) yang tetuang ke dalam peraturan perundang-undangan sehingga
menjadi norma yang nyata (concrete norm). Dengan demikian maka norma-norma
dalam negara itu tersusun dalam kesatuan yang utuh menurut struktur
piramida.Pandangan Hans Kelsen itu dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang
mengatakan bahwa norma-norma hukum itu tersusun dari atas ke bawah, yaitu99:
Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)
Staatsgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok Negara)
Formell Gesetz (undang-undang formal)
Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom).
99Maria Farida Indrati Soeprapto,Op.Cit., h. 44-45.
89
Berdasarkan rumusan Pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan tentang jenis dan hirarki
peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7: (1) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan daerah.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan di Indonesia tersusun dari atas
ke bawah sebagai suatu pertanggaan yang secara keseluruhan merupakan suatu
piramida. Pada posisi puncak terdapat UUD NRI 1945 sebagai norma dasar
disusul oleh undang-undang, dan seterusnya dikonkretkan dalam peraturan
perunadangan yang normanya lebih riil. Hal itu mengandung arti bahwa peraturan
perundnag-undangan yang lebih tinggi merupakan pedoman dalam pembentukan
peraturan perundangan di bawahnya.Sebaliknya peraturan perundangan yang ada
di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang ada di atasnya.
Dalam hal terjadi konflik norma sebagaimana yang diuraikan di atas, maka
tedapat beberapa asas yang dapat dapat dipilih sesuai dengan konflik antar
peaturan mana yang terjadi, adapun asas-asas yang dapat digunakan dalam
menyelesaikan konflik norma yaitu:100
1. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu peraturan yang lebih
tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah. Jadi jika ada
suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang
100 Soeroso, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 135
90
lebih tinggi, maka yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi
tersebut.
2. Asas lex specialis derogat legi generali, yaitu pada peraturan yang
sederajat, peraturan yang lebih khusus melumpuhkan peraturan yang
umum. Jadi dalam tingkatan perundang-undangan yang sederajat yang
mengatur mengenai materi yang sama, jika ada pertentangan diantara
keduanya maka yang digunakan adalah peruran yang lebih khusus.
3. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu pada peraturan yang
sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.
Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru, secara
otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.
Berdasarkan jenis pertentangan perundang-undangan yang terjadi maka adapun
asas yang dapat digunakan untuk menentukan peraturan perundang-undangan
mana yang berlaku adalah asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu dimana
peraturan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan yang lebih rendah.
Dengan diberlakukannya asas ini maka ketentuan yang berlaku dari adanya
konflik norma yang sedang berlangsung adalah peraturan perundang-undangan
yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi yaitu UU No. 5 tahun 1990 jo. PP No.
36 Tahun 2010 jo. PP No. 26 Tahun 2008, dengan berlakunya substansi dari
peraturan perundang-undangan trsebut maka pada kawasan taman wisata alam
dapat diselenggarakan usaha pondok wisata.
91
3.2. Perlindungan Kelestarian Lingkungan beserta Fungsi dari Kawasan
Taman Wisata Alam melalui Instrumen Perizinan.
3.2.1. Urgensi Perizinan sebagai Instrumen Pengendalian Usaha Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam
Segala sesuatu di dunia ini erat hubungannya satu dengan yang lain, antara
manusia dengan manusia, antara manusia dengan hewan, antara manusia dengan
tumbuh-tumbuhan dan bahkan antara manusia dengan benda mati sekalipun.
Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola dari sistem
tersebut. Alam dipengaruhi oleh manusia dan manusia dipengaruhi oleh alam.101
Atas dasar peranan manusia tersebut, khususnya terkait dengan pembangunan
perlu adanya upaya yang dapat dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan
maupun pencemaran lingkungan.
Manusia melakukan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya
melalui kegiatan pembangunan. Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan,
dalam suatu pembangunan keseimbangan lingkungan dirubah ke keseimbangan
yang baru. Sebagai salah satu tujuan wisata, Provinsi Bali sudah sejak lama
menitikberatkan pembangunannya pada bidang pariwisata. Pembangunan di
bidang pariwisata seperti sarana akomodasi pariwisata kini mulai merambah
kawasan lindung, salah satunya adalah kawasan taman wisata alam. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, taman wisata alam merupakan kawasan
pelestarian alam, selanjutnya berdasarkan struktur pola ruang kawasan pelestarian
alam merupakan bagian dari kawasan lindung, sebagai kawasan lindung Perda
Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali menetapkan
101 Koesnardi Hardjosoemantri, 1994, Hukum Lingkungan, Cet.2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 2. Lihat juga R. M. Gatot P. Soemartono, 2004, Hukum Lingkungnan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.12
92
taman wisata alam sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi
dan daya dukung lingkungan hidup, adapun latar belakang taman wisata alam
ditetapkan sebagai sebagai kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi
dan daya dukung lingkungan hidup karena berdasarkan Pasal 42 ayat (1) kawasan
tersebut merupakan:
a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati; b. merupakan aset daerah berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi
perlindungan ekosistem; c. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; d. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air; e. memberikan perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam; dan f. memberikan perlindungan terhadap daerah pesisir.
Ditetapkannya kawasan taman wisata alam dengan berbagai status tersebut
tidak menutup kemungkinan bagi adanya pembangunan sarana wisata di
dalamnya, hal ini dipertegas dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49) yang tidak menentang adanya kegiatan budidaya pada
kawasan lindung, dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Keppres tersebut
menyatakan bahwa “Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budi
daya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.” Formulasi rumusan pasal
yang demikian dapat ditafsirkan bahwa pada kawasan lindung dapat
diselenggarakan kegiatan pengusahaan pondok wisata sepanjang tidak
mengganggu fungsi lindung.
Pembangunan sarana wisata tentu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
para wisatawasan, namun perlu disadari bahwa adanya perubahan-perubahan
dalam lingkungan akibat pembangunan tersebut tidak hanya memberi dampak
93
positif dari segi ekonomis tapi juga mengandung risiko adanya pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang dapat mengakibatkan turunya kualitas lingkungan
hidup.
Dalam lingkungan hidup terdapat suatu hubungan timbal balik antara
komponen-komponen pembentuk lingkungan hidup. Hubungan timbal balik
tersebut dapat dilihat antara manusia dengan lingkungan, dimana aktivitas
manusia mempengaruhi lingkungan, sebaliknya kelangsungan hidup dan
kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya.102 Demikian
pula yang terjadi dalam kaitannya dengan aktivitas manusia berupa pengusahaan
sarana wisata pada kawasan taman wisata alam. Dalam hal adanya pengusahaan
srana wisata pada kawasan taman wisata alam, maka antara manusia dengan
semua komponen baik hidup dan tak hidup di kawasan tersebut akan terjadi suatu
hubungan timbal balik. Aktivitas manusia tersebut sedikit tidaknya akan
mempengaruhi lingkungan dimana usaha pondok wisata tersebut dilangsungkan.
Dampak dari pengaruh yang diterima oleh lingkungan terhadap adanya usaha
tersebut, nantinya tidak hanya mempengaruhi komponen biotik dan abiotik
pembentuk lingkungan, namun dalam jangka panjang juga akan mempengaruhi
kelangsungan hidup manusia.
Lingkungan sebagai sumber daya alam merupakan aset yang dapat
dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-
102M. Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, h. 9
94
besarnya kemakmuran rakyat.” Begitu pentingnya peran lingkungan bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka manusia didalam hidupnya harus
melindungi dan mengamankan lingkungan agar terjaga kelestariannya dan
dimanfaatkan secara berkesinambungan, untuk itu diperlukan perlindungan dan
pengelolaan yang baik terhadap lingkungan agar terhindar dari pencemaran dan
kerusakan, selanjutnya bentuk perlindungan dan pengelolaan tersebut perlu
dituangkan dalam bentuk peraturan. Peraturan tersebut ditujukan untuk mengatur
tingkah laku manusia tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan
terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan
dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang. Keseluruhan peraturan yang
mengatur berbagai aspek lingkungan tersebut disebut sebagai hukum lingkungan.
Menurut Danusaputro103 hukum lingkungan adalah hukum yang mendasari
penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan
lingkungan hidup. Beliau membedakan antara hukum lingkungan modern yang
berorientasi kepada lingkungan atau environment-oriented law dan hukum
lingkungan klasik yang berorientasi pada penggunaan lingkungan atau use-
oriented law, hal ini didasari oleh perkembangan pemikiran manusia terhadap
lingkungan.
Zaman dahulu manusia percaya dan yakin akan kemampuan sistem alam
untuk menanggulangi gangguan atau bahaya lingkungan secara alamiah, begitu
pula halnya dengan manusia, mereka mempunyai daya penyesuaian diri atas
perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan atas dasar terapan ilmu dan
103 St. Munajat Danusaputro, 1980, Hukum Lingkungan, Buku V;Sektoral jilid 5, Binacipta ,
Bandung, h. 35-36.
95
teknologi ciptaannya sendiri. Sehingga hukum yang tercipta pada masa itu adalah
hukum lingkungan klasik yang hanya berorientasi pada penggunaannya saja yaitu
menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali
untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan
dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal
mungkin, dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya.104
Seiring dengan kenyataan bahwa lingkungan tidak bisa begitu saja
merehabilitasi keadaanya sendiri maka anggapan manusia akan kebebasannya
terhadap alam lingkungannya mulai pudar.105 Karena hubungan yang terjadi
adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya untuk
memperoleh keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.106 Maka kemudian
berubahlah pola pemikiran menuju ke arah environment oriented sehingga
memunculkan aturan-aturan yang berorientasi kepada kepentingan alam. Hukum
tersebut juga dikenal sebagai hukum lingkungan modern dimana didalamnya
menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan
manusia dengan tujuan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan alam
artinya berupa keharusan untuk melindungi dan mengamankan alam terhadap
kemerosotan mutu dan kerusakaannya untuk menjamin kelestariannya agar dapat
secara terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi
mendatang.
Sebenarnya di Indonesia peraturan yang mengatur tentang masalah
lingkungan hidup bukan merupakan hal yang baru, karena cukup banyak
104 M. Daud Silalahi, Op.Cit., h. 6-8 105 Ibid 106 Barry Commoner dalam M. Daud Silalahi, Ibid, h. 8
96
peraturan hukum di bidang lingkungan hidup yang telah berlaku baik pada zaman
Hindia Belanda, Jepang maupun zaman kemerdekaan. Hasil inventarisasi hukum
lingkungan pada tahun 1976 telah menghasilkan Himpunan Peraturan Perundang-
undangan di bidang Lingkungan Hidup yang terdiri atas:107
1. 22 Undang-undang dan Ordonansi
2. 38 Peraturan Pemerintah dan verordening
3. 5 Keputusan Presiden
4. 2 Instruksi Presiden
5. 45 Keputusan/Peraturan Menteri
6. 4 Keputusan Direktur Jendral;dan
7. Sejumlah Peraturan Daerah Tingkat I dan II
Setelah zaman kemerdekaan, produk hukum pemerintah kolonial ini masih
berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Setiap
peraturan perundang-undangan hasil inventarisasi tersebut masing-masing berdiri
sendiri dan tidak ada ikatan antara yang satu dengan lainnya, sehingga
keefektivitasannya menjadi berkurang. Berbagai peraturan tentang lingkungan
hidup tersebut masih bersifat sektoral, tersebar dan tidak lengkap serta banyak
yang tidak bisa dijalankan karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip
lingkungan hidup. Untuk itu kemudian dipandang perlu diadakan suatu
penyempurnaan dari berbagai peraturan tersebut yang masih berlaku, disamping
pembentukan ketentuan pokok yang dapat merangkum segala macam peraturan
107 R.M. Gatot P. Soemartono, Op.Cit., h. 60
97
yang ada ke dalam satu wadah yang secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan lingkungan hidup yang sudah digariskan.
Alasan lain perlunya disusun Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah
adanya petunjuk di dalam Repelita III, Bab 7 tentang “Sumber Alam dan
Lingkungan Hidup” yang menyatakan bawa “Sementara itu, bersamaan dengan
pembuatan peraturan perundang-undangan secara sektoral sesuai dengan
kepentingan perlindungan dan pembangunan lingkungan hidup di masing-masing
bidang, begitu pula segera digarap suatu undang-undang yang memuat ketentuan-
ketentuan pokok tentang masalah lingkungan yang menyangkut pengaturan:108
(a) Permukiman manusiawi dan lingkungan hidup;
(b) Pengelolaan sumber daya alam;
(c) Pencemaran lingkungan hidup;dan
(d) Yurisdiksi departemen-departemen di bidang lingkungan hidup.
Undang-Undang yang memuat asas serta prinsip-prinsip pokok tentang
perlindungan dan pengembangan lingkungan hidup ini beserta sanksi-sanksinya
akan merupakan dasar bagi semua peraturan perundang-undangan yang lainnya
yang diciptakan secara sektoral.”
Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah suatu Undang-Undang tentang
Lingkungan Hidup (UULH) yang diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982,
yaitu UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup. Dengan lahirnya UU
Nomor 4 Tahun 1982 tercipta suatu sistem yang ‘memayungi’ semua peraturan
perundang-undangan yang bersifat sektoral. UULH bertindak sebagai ‘umbrela
108 Ibid, h.61
98
act’ atau payung hukum yaitu payung bagi penyusunan peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk, selain daripada itu ia juga berfungsi sebagai
payung untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan
yang memuat segi-segi lingkungan hidup yang kini telah berlaku. Dengan
demikian, UULH dapat dikatakan sebagai tonggak pemisah antara peraturan lama
(yaitu sebelum berlakunya UULH) dan peraturan baru, serta menjadikannya
sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam suatu sistem. UU Nomor 4
Tahun 1982 telah mengalami beberapa pergantian, yaitu melalui UU Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan yang terakhir dengan
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Undang-Undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam
melindungi lingkungan hidup. Di dalamnya diatur berbagai upaya dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk menjamin kelestarian
lingkungan hidup beserta fungsinya ditengah maraknya pembangunan yang
mengatasnamakan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Undang-
undang ini dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan
sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan lingkungan hidup memerlukan koordinasi
dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga
pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab
masing-masing. Yang kemudian keseluruhan peraturan perundang-undangan
tersebut disebut sebagai hukum lingkungan.
Pembangunan tidak selalu hanya membawa dampak positif, oleh karena itu
konsep pembangunan yang akan diselenggarakan haruslah memperhatikan
99
dampak lingkungan, jauh ke depan, demi generasi masa depan. Untuk
mengantisipasi hal tersebut telah diatur upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup di Indonesia.
Terhadap kegiatan pembangunan sarana wisata pada kawasan taman wisata alam
tersebut dapat dilakukan upaya pengendalian agar fungsi lindung dari kawasan
taman wisata alam tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Upaya
pengendalian dapat dilakukan melalui pengitegrasian studi kelayakan lingkungan
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
Sejak awal perencanaan usaha dan/atau kegiatan sudah harus diperkirakan
perubahan rona lingkungan hidup akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan
hidup yang baru, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, yang
timbul sebagai akibat diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan pembangunan,
Dengan diintegrasikanya studi kelayakan lingkungan dalam suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan diharapkan dapat mencegah atau meminimalisir dampak negatif
yang ditimbulkan terhadap lingkungan hidup. Namun untuk mencapai sasaran
tersebut studi kelayakan lingkungan tidak berdiri sendiri, agar berjalan efektif
maka dalam pelaksanaanya dikaitkan dengan instrumen perizinan. Persyaratan
yang terkait dengan perlindungan lingkungan hidup berupa studi kelayakan
lingkungan dibebankan sebagai syarat dalam suatu permohonan izin suatu usaha
dan/atau kegiatan. Dikaitkannya studi kelayakan lingkungan dalam system
perizinan karena izin dipandang sebagai instrumen yang efektif dalam
mengendalikan tingkah laku masyarakat
100
3.2.2. Kewenangan Pemerintah dalam Mengendalikan Usaha Pondok Wisata Pada Kawasan Taman Wisata Alam melalui Instrumen Perizinan.
Izin merupakan instrument hukum administrasi negara yang paling sering
digunakan pemerintah dalam mengandalikan tingkah laku warganya. Izin
dipandang dapat mengendalikan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan, hal ini didasarkan
pada esensi dari izin itu sendiri yang melarang seseorang atau suatu badan hukum
tertentu melakukan suatu kegiatan dan/atau usaha tanpa mendapatkan
persetujuan/perkenan terlebih dahulu dari badan atau pejabat tata usaha negara
yang berwenang.109 Izin memiliki fungsi yang bersifat preventif karena instrumen
izin tersebut tidak bisa dilepaskan dari perintah dan kewajiban yang harus ditaati
oleh pemegang izin.110 Hal tersebut juga berlaku bagi orang atau badan usaha
yang akan menyelengggarakan usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata
alam, ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010
melarang adanya usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tanpa
mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang, sehingga usaha
tersebut baru bisa dilaksanakan apabila telah diberi perkenan terlebih dahulu oleh
badan atau pejabat yang berwenang. Adapun bunyi dari ketentuan Pasal 8 ayat (1)
PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan bahwa “Pengusahaan pariwisata alam hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin pengusahaan”, dan izin pengusahaan
untuk menyelenggarakan usaha akomodasi disebut dengan izin penyediaan sarana
wisata alam.
109 NM Spelt, dan JBJM Ten Berge,Op.Cit, h.2 110 N.H.T Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, h.239.
101
Izin merupakan otoritas dan monopoli dari penguasa atau pemerintah, tidak
ada lembaga lain di luar pemerintah yang bisa memberikan izin. Hal ini berkaitan
dengan prinsip kekuasaan negara atas semua sumber daya alam demi kepentingan
hidup orang banyak.111
Izin merupakan salah satu bentuk turut campur pemerintah dalam kehidupan
rakyatnya, dalam perspektif hukum penyelenggaraan perizinan berbasis pada teori
negara hukum modern (negara hukum demokratis) yang merupakan perpaduan
antara konsep negara hukum dan konsep negara kesejahteraan.112 Sejak
ditinggalkannya negara ‘penjaga malam’, yang menempatkan pemerintah hanya
selaku penjaga ketertiban dan keamanan serta tidak diperkenankannya campur
tangan dalam kehidupan masyarakat, negara melalui pemerintah beserta
perangkatnya terlihat aktif dalam kehidupan masyarakat.113 Sebagaimana
diketahui bahwa kegagalan implementasi nachtwachtersstaat kemudian
memunculkan gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, yaitu welfare state.114 Pemerintah
mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk mengusahakan kesejahteraan bagi
warganya. Sejak itu negara turut serta secara aktif dalam pergaulan
kemasyarakatan, sehingga lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas.
Administrasi negara diserahi tugas untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum
dengan cara ikut serta secara aktif dalam berbagai kehidupan rakyatnya di bidang
111 N.H.T Siahaan, Loc.Cit. 112 Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan, dalam Sektor Pelayanan Publik, SInar Grafika,
Jakarta, h. 1 113 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara,
Refika Aditama, Bandung, h. 121 114 Ridwan HR, Op.Cit., h. 15
102
ekonomi, sosial, budaya, medis, perpajakan dan sebagainya. Peran pemerintah
dalam berbagai kegiatan masyarakat semakin nyata. Salah satu campur tangan
pemerintah terhadap aktivitas masyarakat yang begitu terasa dalam hal ini adalah
melalui instrumen perizinan. Melalui perizinan pemerintah mencampuri,
mengarahkan, mengendalikan berbagai aktivitas dan sepak terjang warganya.115
Pemerintah dalam melakukan suatu perbuatan termasuk dalam
mengeluarkan suatu izin harus didukung oleh suatu kewenangan. Berdasarkan
Prajudi Atmosudirdjo kewenangan biasanya terdiri dari beberapa wewenang
(kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
suatu bidang pemerintahan atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai suatu onderdil tertentu saja.116 Indroharto
mengemukakan, bahwa dalam arti yuridis, pengertian wewenang adalah
kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum.117 Kewenangan di dalamnya terkandung hak
dan kewajiban sebagaimana yang diungkapkan oleh P. Nicolai sebagai berikut:
Het vermogen tot het verrichten van bepalde rechtshandelingen (handelingen die op rechtsgevolg gerichtzijn dus ertoe strekken dat bepaalde rectshtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepalde feitelijke handeling te verichten van een of n ate laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op vet verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepalde hendeling te verichten of n ate laten.118 (kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
115 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembanahan, PT. Grasindo
Jakarta, h. X 116 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal. 73-74. 117 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.68. 118 P Nicolai dalam Ridwan HR, hal. 102
103
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu)
Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan itu berasal dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. R.J.H.M. Huisman menyatakan pendapat
sebagai berikut:
Een bestuurorgan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet kan bevoeghdhen verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet alleen attribueren aan een bestuurorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteur voor het milieu enz.), of zelf aan privaatrechtelijke rechtspersonen.119 (Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya inspektur pajak, inpektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah} atau bahkan terhadap badan hukum privat).
Pemikiran yang diungkapkan oleh Huisman bahwa suatu kewenangan lahir
melalui peraturan perundangan adalah sejalan dengan konsep negara hukum yang
dianut Indonesia, dimana salah satu unsur dari negara hukum adalah pemerintah
berdasarkan peraturan perundang-undangan atau yang sering disebut sebagai asas
legalitas, berdasarkan asas ini maka wewenang pemerintah berasal dari peraturan
perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan
perundang-undangan.
Alenia keempat Pembukaan UUD Negara RI 1945 adalah kaidah dasar yang
melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia.
119 R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding, Kobra, Amsterdam, h. 7
104
Ketentuan yang terdapat didalamnya menegaskan kewajiban negara dan tugas
pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani Indonesia dalam
lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan
segenap umat manusia.120 Karena Pembukaan UUD Negara RI 1945 menjiwai
batang tubuh UUD Negara RI 1945, maka UUD Negara RI 1945 menciptakan
tujuan-tujuan itu dalam pasal-pasalnya, seperti dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3)
yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” Kata dikuasai dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) tersebut
bukanlah berarti dimiliki oleh negara, melainkan harus diartikan memberikan
wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia
untuk pada tingkat tertinggi mengatur dan mengawasi pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam.121 Hal ini kemudian menjadi dasar kewenangan
bagi pemerintah maupun pemerintah daerah untuk mengawasi pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam yang dapat dilakukan melalui instrumen perzinan.
Dalam kaitannya dengan izin yang diperlukan dalam usaha pondok wisata
pada kawasan taman wisata adalah menjadi kewenangan dari Pemerintah Pusat.
Izin tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menjadi
urusan pemerintahan di bidang kehutanan hal tersebut disebabkan karena usaha
yang akan dilakukan memanfaatkan kawasan hutan. Berdasarkan ketentuan Pasal
29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan taman wisata alam merupakan
120 Rachmadi Usman, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 34.
121 Ibid.
105
kawasan pelestarian alam yang masuk dalam katagori hutan konservasi. Adapun
bunyi ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa: Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari: a. Taman nasional b. Taman hutan raya c. Taman wisata alam.
Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
Pemerintah menetapkan hutan beradasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a. Hutan konservasi b. Hutan lindung, dan c. Hutan produksi.
Pasal 7 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. Kawasan hutan suaka alam b. Kawasan hutan pelestarian alam c. Taman buru
Karena kawasan taman wisata alam merupakan kawasan pelestarian alam
yang masuk dalam katagori hutan konservasi, maka dalam pemanfaatannya
berhubungan dengan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
Berdasarkan Lampiran Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 huruf aa
tentang pembagian urusan pemerintahan bidang kehutanan, pada No. 49, Sub
bidang Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan
Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru, adapun pembagian
urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan izin dalam
pemanfaatam kawasan taman wisata alam bagi terselenggaranya usaha pondok
wisata adalah sebagai berikut:
106
Kewenangan pemerintah pusat adalah Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru.
Kewenangan pemerintah provinsi adalah Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi.
Kewenangan Pemerintah Kabupaten Kota adalah Pertimbangan teknis
pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota.
Dari ketentuan pembagian urusan pemerintahan tersebut dapat diketahui
bahwa pemberian izin bagi usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam
menjadi kewenangan dari pemerintah pusat. Sedangkan kewenangan pemerintah
daerah baik provinsi maupun kabupaten hanyalah memberikan pertimbangan
teknis terhadap adanya permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut.
Penjabaran lebih lanjut mengenai kewenangan pemerintah pusat dalam
memberikan izin pengusahaan pariwisata alam pada kawasan taman wisata alam
dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1990, yaitu dalam
Pasal 34 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.
(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.
Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa pengelolaan kawasan taman wisata alam
merupakan kewenangan dari pemerintah pusat. Dimana untuk kepentingan
pariwisata, dalam kawasan taman wisata alam dapat diselenggarakan usaha sarana
107
pariwisata dan untuk menyelenggarakan usaha sarana pariwisata tersebut perlu
terlebih dahulu memperoleh hak pengusahaan atas kawasan taman wisata alam
dari pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan, hal tersebut
diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat 2 huruf a PP No. 36 Tahun 2010 menyatakan
bahwa “Izin pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Menteri, untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam suaka
margasatwa, taman nasional kecuali zona inti, dan taman wisata alam”.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 12 menyatakan bahwa “Menteri adalah menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.”
Sehubungan dengan hal tersebut berikut ini akan diuraikan mekanisme
perizinan dalam permohonan Izin pengusahaan yang diatur dalam PP No. 36
Tahun 2010.
Pasal 13 menyatakan bahwa: (1) Permohonan izin usaha penyediaan sarana wisata alam diajukan oleh
pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dan huruf c kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4).
(3) Dalam hal permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan persetujuan prinsip usaha penyediaan sarana wisata alam kepada pemohon.
(5) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya.
108
Pasal 10 (1) Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan teknis.
(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon perorangan meliputi: a. identitas pemohon; b. nomor pokok wajib pajak; dan/atau c. sertifikasi keahlian.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon badan usaha dan koperasi meliputi: a. akte pendirian badan usaha atau koperasi; b. surat izin usaha perdagangan; c. nomor pokok wajib pajak; d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank; e. profile perusahaan; dan f. rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus dipenuhi oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) berupa pertimbangan teknis dari: a. pengelola kawasan konservasi pada areal yang dimohon; dan b. satuan kerja perangkat daerah yang membidangi urusan
kepariwisataan di daerah.
Pasal 14 ayat (1) menyetakan bahwa: (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5), pemohon wajib: a. membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan
dengan skala paling besar 1:5.000 (satu banding lima ribu) dan paling kecil 1:25.000 (satu banding dua puluh lima ribu);
b. melakukan pemberian tanda batas pada areal yang dimohon; c. membuat rencana pengusahaan pariwisata alam; d. menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan lingkungan
dan upaya pemantauan lingkungan; dan e. membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan
perundangundangan.
Berdasarkan uraian tersebut izin usaha penyediaan sarana wisata alam
diterbitkan diawali dengan adanya permohonan tertulis yang disertai pemenuhan
syarat izin usaha oleh pemrakarsa usaha. Pemrakarsa usaha dalam hal ini dibatasi,
dimana berdasarkan Pasal 8 ayat 5 pihak yang dapat menyelenggarakan usaha
sarana wisata alam di batasi hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha dan
109
Koperasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dan penilaian permohonan,
penilaian pertama ialah penilaian untuk memperoleh persetujuan prinsip yaitu
dilakukan terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (3) dan (4), selanjutnya setelah memperoleh persetujuan prinsip pemohon
dibebankan kewajiban untuk memenuhi ketentuan pasal 14 ayat (1). Dalam hal
pemegang persetujuan prinsip telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
kewenangannya memberikan izin usaha penyediaan sarana wisata alam.
3.2.3. Peran Perizinan dalam menjaga Kelestarian Lingkungan beserta Fungsinya terkait adanya Pengusahaan Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam
Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat tidak terhindar dari resiko yang dapat ditimbulkan oleh pembangunan itu
sendiri yaitu berupa turunya kemampuan daya dukung lingkungan yang
mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan.122 Untuk itu upaya untuk
mendayagunakan sumber daya yang terkandung dalam lingkungan hidup dengan
tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat hendaknya dilakukan dengan
tetap memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup
melalui pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
pada hakikatnya merefleksikan makna yang sarat harapan untuk memadukan
lingkungan hidup ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan,
kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa depan. Prinsip ini secara teoritis
122 Niniek Suparni. 1994. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 125
110
merupakan kebutuhan pembangunan yang sulit terelakan dalam dinamika
pembangunan dewasa ini. Esensi dari prinsip ini adalah berupaya memadukan
lingkungan hidup dan pembangunan sebagai dua hal yang tidak terpisahkan satu
sama lain dalam rutinitas pembangunan nasional.123 Filosofi yang digunakan
kalangan ahli seperti Emil Salim mendeskripsikan bahwa unsur lingkungan itu
melarut dalam pembangunan. Unsur lingkungan tidak terpisah dari pembangunan
sebagaimana dipisahkannya gula dari air teh, tetapi lingkungan dilarutkan dalam
pembangunan berkelanjutan seperti gula melarut dalam air the manis.124
Menyadari adanya potensi dampak negatif yang mungkin dapat ditimbulkan
dari usaha sarana wisata terhadap lingkungan hidup, begitu pula lingkungan yang
tidak bisa begitu saja merehabilitasi dirinya sendiri, maka diperlukan upaya
pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan salah satunya adalah dengan
mendayagunakan instrumen hukum administrasi negara berupa izin.
Agar tujuan perizinan sebagai instrument pengendalian dalam mencegah
kerusakan dan pencemaran lingkungan dapat dicapai, maka pelaksanaanya
dikaitkan dengan studi kelayakan lingkungan yang dicantumkan sebagai syarat
dalam permohonan izin tersebut. Studi kelayakan tersebut berupa AMDAL dan
UKL-UPL.
123 Syamsutarya Bethan, 2008, Menerapkan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan
Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, Alumni, Bandung, hal. 132
124 Emil Salim, 1991, “Pembangunan berkelanjutan (Strategi Alternatif dalam Pembangunan Dekade Semilan Puluhan)” Artikel pada Prisma (Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi) LP3ES, Jakarta, dalam Syamsutarya Bethan, Ibid.
111
1. AMDAL
Pengaturan mengenai AMDAL dapat ditemukan dalam berbagai pengaturan
seperti:
a. UU No. 32 Tahun 2009
b. PP No. 27 Tahun 1999
c. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 40 Tahun 2000
d. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 41 Tahun 2000
e. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006
f. Keputusan Bapedal No. 56 Tahun 1994
g. Keputusan Bapedal No. 8 Tahun 2000
h. Keputusan Bapedal No. 9 Tahun 2000
Pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 mengatur bahwa “Setiap rencana
usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan hidup”, adapun pengertian dari analisis mengenai dampak lingkungan
(Amdal) dapat ditemukan dalamPasal 1 angka 1 PP No. 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup menyatakan bahwa:
“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan”
112
Dengan demikian AMDAl merupakan hasil studi mengenai dampak suatu
kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan.125
Adapun kriteria yang digunakan sebagai acuan dari dampak penting yang
dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 dapat ditemukan dalam
Pasal 22 ayat (2) UU No. 32 Tahun 1999 jo. Pasal 5 ayat (1) PP No. 27 Tahun
1999, menyatakan bahwa:
Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Selanjutnya adapun kriteria jenis kegiatan dan/atau usaha yang ditenggarai
dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan diatur dalam
Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 3 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak
terbaharui; c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;
125 Muhammad Erwin, 2008, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup , Refika Aditama, Bandung, h. 44
113
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. penerpan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup; i. kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan atau mempengaruhi
pertahanan negara. Selenjutnya pada Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11
Tahun 2006 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi
dengan Amalisis Mengenai Dampak Lingkungan merinci berbagai jenis usaha
atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL, adapun bidang usaha dan/atau
kegiatan tersebut meliputi:
a. Bidang Pertahanan b. Bidang Pertanian c. Bidang Perikanan d. Bidang Kehtanan e. Bidang Perhubungan f. BIdang Teknologi Satelit g. Bidang Perindustrian h. Bidang Pekerjaan Umum i. Bidang Sumber daya Energi dan Miniral j. Bidang Pariwisata k. Bidang Pengembangan Nuklir l. Bidang Pengelolaan Limbah B3 m. Bidang Rekayasa Genetika
Untuk bidang Pariwisata, pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan
adalah gangguan terhadap ekosistem, hidrologi, bentang alam, dan potensi konflik
social, adapun jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL bidang
pariwisata menurut Kepmen LH No 11 tahun 2006 akan diuraikan sebagai
berikut:
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus 1. a. Kawasan
Pariwisata Semua Besaran Berpotensi menimbulkan
perubahan fungsi lahan/kawasan,gangguan lalu lintas, pembebasan lahan, dan
114
sampah b. Taman Rekreasi 100 ha
2. Lapangan Golf (tidak termasuk driving range)
Semua Besaran Berpotensi menimbulkan dampak dari penggunaan pestisida/herbisida, limpasan air permukaan (run off), serta kebutuhan air yang relative besar.
Amdal adalah sebuah proses perencanaan yang digunakan untuk
memprediksi, menganalisa dan mengartikan dampak nyata dari sebuah proposal
atau rencana pembangungan terhadap lingkungan serta untuk menyediakan
informasi yang bisa digunakan dalam proses pengambilan keputusan apakah
proposal tersebut akan disetujui atau tidak. Dokumen AMDAL terdiri dari:
• Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-
ANDAL)
• Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
• Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
• Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai
oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan
apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Adapun prosedur
AMDAL terdiri dari :
a. Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib
AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib
menyusun AMDAL atau tidak
115
b. Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa
wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan
dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan
kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum
menyusun KA-ANDAL
c. Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses
untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi
ANDAL (proses pelingkupan). Setelah selesai disusun, pemrakarsa
mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL
untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk
penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh
penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
d. Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL,
dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah
disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL). Proses penilaian ANDAL,
RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen
ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai.
Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL,
RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh
penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
116
2. UKL-UPL
Dasar huum bagi UKL-UPL dapat ditemukan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan sebagai nerikut:
a. UU No. 32 Tahun 2009
b. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 86 Tahun 2002
Bagi kegiatan dan/atau usaha yang tidak memenuhi kriteria dampak besar
dan penting sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 3 ayat (1) PP No.
27 Tahun 1999, kepadanya diwajibkan untuk melakukan upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Hal ini diatur dalam
Pasal 34 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1999 jo. Pasal 3 ayat 4 tahun 1999
menyatakan bahwa:
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan. Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan
menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang
tersedia. UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk
pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan
atau kegiatan
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi
dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
1) Identitas pemrakarsa
2) Rencana Usaha dan/atau kegiatan
117
Uraian secara singkat rencana usaha atau kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh pemrakarsa, yang mencakup antara lain:
a. Jenis rencana usaha atau kegiatan
b. Rencana lokasi yang tepat dari rencana usahanatau kegiatan, dan
apakah telah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) atau
tidak.
c. Jarak rencana lokasi usaha dengan sumber daya atau kegiatan lain di
sekitarnya, seperti hutan, sungai, pemukman, industry, dan lain-lain
serta hubungan keterkaitanya.
d. Sarana/fasilitasyang direncanakan mencakup:
a) Luas areal yang digunakan untuk usaha atau kegiatan
b) Peralatan yang digunakan termasuk jenis dan kapasitasnya
c) Jenis bahan baku serta bahan tambahan maupun bahan lain yang
dipergunakan
d) Sumber air dan penggunaannya
e) Sumber energy
f) Tenaga kerja yang digunakan
3) Komponen Lingkungan
Uraian singkat mengenai sumber/sumber alam/komponen lingkungan yang
diperkirakan terkena dampak, seperti: sungai, udara, flora, fauna, dan lain-
lain.
4) Dampak Lingkungan yang akan terjadi
118
Dampak-dampak yang akan muncul baik yang berupa limbah atau polusi
maupun benuk lainnya yang mencakup:
a. Sumber dampak;
b. Jenis dampak dan ukurannya;
c. Sifat dan tolak ukur dampak.
5) Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
a. Upaya pengelolaan lingkungan yang memuat uraian rinci mengenai
upaya pengelolaan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh
pemrakarsa
b. Upaya pemantauan lingkungan yaitu uraian secara rinci mengenai
upaya pemantauan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh
pemrakarsa, khususnya yang berkaitan langsung dengan sifat kegiatan
utamanya atau khasnya yang mencakup antara lain:
6) Jenis dampak yang dipantau;
7) Lokasi pemantauan;
8) Waktu pemantauan
9) Cara Pemantauan.
6) Pelaporan
Uraian secara rinci mengenai mekanisme laporan dari pelaksanaan upaya
pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan pada saat
rencana usaha atau kegiatan dilaksanakan (Instansi Pembina, BAPEDAL,
Pemprov,Pemkab/Pemkot setempat).
119
7) Pernyataan pelaksanaan
Pernyataan pemrakarsa untuk melaksanakan upaya pengelolaan
lingkunganatas rencana usaha atau kegiatan yang dilengkapi dengan tanda
tangan pemrakarsa.
Terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib AMDAL atau UKL UPL
maka wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup, hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 32 Tahun 1999
dinyatakan bahwa “Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-
UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.”
Upaya pencegahan terhadap potensi kerusakan dan/atau pencemaran yang
ditimbulkan dari usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup melalui pengkajian atau studi kelayakan secara cermat terhadap usaha
pondok wisata yang akan dilakukan pada kawasan taman wisata alam merupakan
tindakan yang sangat penting dalam rangka mencegah adanya pencemaran dan
kerusakan lingkungan dari kawasan taman wisata alam. studi kelayakan tersebut
diselipkan sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin bagi
pengusahaan pondok wisata pada kawasan taman wisata alam tersebut.
Pengintegrasian studi kelayakan lingkungan dalam proses memperoleh izin
terkait usaha pondok wisata pada kawasan taman wisata alam telah dilakukan, hal
ini dapat dilihat dari syarat yang diwajibkan untuk dipenuhi dalam memperoleh
izin usaha penyediaan sarana wisata. Adapun ketentuan mengenai syarat ysng
memuat kewajiban studi kelayakan lingkungan sebagai syarat dalam permohonan
120
izin penyediaan sarana usaha wisata alam diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1)
huruf d PP No. 36 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa:
Pasal 14 (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5), pemohon wajib: a. membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan
dengan skala paling besar 1:5.000 (satu banding lima ribu) dan paling kecil 1:25.000 (satu banding dua puluh lima ribu);
b. melakukan pemberian tanda batas pada areal yang dimohon; c. membuat rencana pengusahaan pariwisata alam; d. menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan
lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; dan e. membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan
perundangundangan. (2) Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian tanda batas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibebankan pada pemohon. (3) Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dihitung berdasarkan
luas areal yang diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam atau jenis kegiatan usaha penyediaan jasa wisata alam.
(4) Dalam hal pemegang persetujuan prinsip telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya memberikan izin usaha penyediaan sarana wisata alam.
Dari uraian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d dapat dilihat
dicantumkannya dokumen UKL-UPL sebagai kewajiban yang harus dilampirkan
dalam permohonan izin usaha penyediaan sarana wisata alam, namun hal ini
bertentangan dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup jo. angka I.7.
Keputusan Kepala Bapedal No. 56 tahun 1994 jenis yang menyatakan bahwa studi
kelayakan yang seharusnya wajib dimiliki terhadap usaha dan atau kegiatan yang
akan dilangsungkan pada kawasan lindung adalah AMDAL. Adapun bunyi
ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup jo. angka I.7. Keputusan
Kepala Bapedal No. 56 tahun 1994 akan diuraikan sebagai berikut:
121
a. Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 yang
menyataka bahwa:
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam lampiran I Peraturan Menteri ini tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
b. Angka I.7 Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 Tentang
Pedoman Mengenai Dampak Penting yang menyatakan bahwa:
Suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dibangun di kawasan lindung yang telah berubah peruntukkannya atau lokasi rencana usaha atau kegiatan tersebut berbatasan langsung dengan kawasan lindung, termasuk dalam kategori menimbulkan dampak penting. Yang dimaksud dengan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang adalah sebagai berikut : a. Kawasan Hutan Lindung b. Kawasan Bergambut c. Kawasan Resapan Air d. Sempadan Pantai e. Sempadan Sungai f. Kawasan Sekitar Danau/Waduk g. Kawasan Sekitar Mata Air h. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa,
Hutan Wisata, Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa)
i. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara.sungai, gugusan karang atau terumbu karang, dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem)
j. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove) k. Taman Nasional l. Taman Hutan Raya m. Taman Wisata Alam n. Kawasan Cagar Budaya dan ilmu Pengetahuan (termasuk daerah karst
berair, daerah dengan budaya masyarakat istimewa, daerah lokasi situs purbakala atau peninggalan sejarah bernilai tinggi)
o. Kawasan Rawan Bencana Alam
Pengintegrasian Amdal sebagai syarat memperoleh izin bagi usaha pondok
wisata pada kawasan taman wisata alam pernah dilakukan oleh peraturan
pelaksana dari PP sebelumnya yang saat ini digantikan oleh PP No. 36 Tahun
122
2010. Pencantuman Amdal sebagai syarat memperoleh izin bagi usaha pondok
wisata pada kawasan taman wisata alam ditemukan dalam Pasal 7 dan Pasal 8
Kep.Menhut.No.446/Kpts-II/1996 Tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian,
Dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam dan yang akan diuraikan
berikut ini.
Pasal 6 Menteri berdasarkan saran dan pertimbangan dimaksud dalam pasal 5, menyatakan menerima atau menolak permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diteriamnya saran dan pertimbangan dari Ketua Tim Pertimbangan.
Pasal 7 Dalam hal Menteri memberikan persetujuan untuk proses lebih lanjut atas permohonan izin pengusahaan pariwisata alam tersebut, Ketua Tim Pertimbangan selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima persetujuan Menteri, memberitahukan kepada pemohon untuk menyusun rencana karya pengusahaan pariwisata alam yang dilengkapi dengan rencana tapak (site plan) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
Pasal 8 (1) Penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam serta
kelengkapanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan atas biaya pemohon, dan harus selesai serta diserahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam selambat-lambatnya dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dikeluarkannya surat pemberitahuan dari Ketua Tim Pertimbangan.
(2) Dalam penilaian Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam tersebut apabila dipandang perlu dapat dilakukan peninjauan lapangan oleh instansi struktural yang terkait.
(3) Hasil penilaian Rencana Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam dan AMDAL oleh Ketua Komisi Pusat AMDAL Departemen Kehutanan disampaikan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Menteri, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya rencana karya pengusahaan pariwisata alam dari permohonan.
123
Pengintegrasian studi kelayakan lingkungan hidup berupa Amdal dalam
proses permohonan izin yang diperlukan dalam usaha pondok wisata pada
kawasan taman wisata alam merupakan langkah preventif dalam memberikan
perlindungan terhadap lingkungan telah dilakukan oleh Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 446/Kpts-II/1996. Namun melalui PP no 36 Tahun 2010
kewajiban Amdal sebagai syarat memperoleh izin usaha ini telah diganti dengan
kewajiban melampirkan dokumen UKL UPL
124
BAB IV
UPAYA PEMERINTAH PUSAT DAN/ATAU PEMERINTAHAN DAERAH
MEMBERI KEPASTIAN HUKUM TERKAIT ADANYA
KONFLIK NORMA PENGATURAN IZIN PENGUSAHAAN BAGI
PONDOK WISATA PADA KAWASAN TAMAN WISATA ALAM
4.1. Pentingnya Harmonisasi Hukum dalam Proses Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Perizinan sebagai dokumen hukum tentunya bersumber dan/atau sebagai
penjabaran produk hukum yang sifatnya lebih umum dan berkedudukan lebih
tinggi.126 Produk hukum seperti peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum dari suatu perizinan memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian
hukum (rechtszekerheid, legal certainty).
Untuk berfungsinya kepastian hukum suatu peraturan perundang-undangan
harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yang diantaranya adalah konsisten dalam
perumusan, dimana dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus
terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya. Namun kondisi tidak
harmonis (disharmoni) dalam bidang peraturan perundang-undangan sangat besar
potensinya, adanya konflik norma ini kemudian dapat menimbulkan kebingungan
bagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam membuat suatu keputusan
terkait suatu permohonan izin yang menjadi kewenangannya.
Adanya konflik norma pada peraturan perundang-undangan yang menjadi
landasan hukum bagi izin usaha penyediaan sarana wisata alam memang sangat
126 I Made Arya Utama, Op.Cit., h. 105
124
125
potensial terjadi karena begitu banyaknya peraturan perundang-undangan di
negara kita yang mengatur satu objek atau substansi yang sama.
Pada umumnya ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni hukum,
yaitu sebagai berikut:127
a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda;
b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau penggantian;
c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem;
d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;
e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas;
f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
Adanya konflik norma antara suatu peraturan dengan peraturan perundang-
undangan yang lain, baik secara vertical maupun horizintal seharusnya tidak akan
terjadi apabila dilakukan upaya pencegahan sejak dini. Oleh karena itu,
pengharmonisasian suatu rancangan peraturan perundang-undangan sebelum
ditetapkan menjadi langkah yang sangat penting dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Pengharmonisasian merupakan salah satu dari rangkaian proses
pembentukan peraturan perundang-undangan disamping perencanaan, persiapan,
teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan. Diantara rangkaian proses tersebut, proses pengharmonisasian
127A.A. Oka Mahendra, 01 April 2010 Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 14 Juni 2010
126
mempunyai peran yang sangat penting yaitu dimaksudkan agar tidak terjadi atau
mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Untuk itu dapat
dikatakan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah128 proses
yang diarahkan untuk menuju keselerasan dan keserasian antara satu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga
tidak terjadi tumpang tindih, inkonsistensi atau konflik/perselisihan dalam
pengaturan. Dalam kaitannya dengan sistem asas hierarki peraturan perundang-
undangan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya maka proses tersebut
mencakup harmonisasi semua peraturan perundang-undangan termasuk peraturan
daerah baik secara vertikal maupun horisontal.
Upaya pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dilakukan selain
untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga terdapat 3 (tiga) alasan lain
yang menjadi dasar pertimbangan, yaitu:129
1. Peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari sistem
hukum;
Peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub sistem dari
sistem yang lebih besar tentu harus memenuhi ciri-ciri tertentu, yang antara
128 Murti, Muhammad Sapta, “Harmonisasi Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-
undangan lainnya (Analisis Urgensi, Aspek Pengaturan,dan Permasalahan)”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/422-harmonisasi-peraturan-daerah-dengan-peraturan-perundang-undangan-lainnya.html diunduh pada tanggal 13 Juni 2010
129 Wicipto Setiadi, “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/232-proses-pengharmonisasian-sebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-peraturan-perundang-undangan.html
127
lain: ada saling keterkaitan dan saling tergantung serta merupakan satu
kebulatan yang utuh, disamping ciri-ciri lainnya. Dalam sistem peraturan
perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, ciri-ciri tersebut dapat
diketahui dari ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004.
Pasal 2 Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa “Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”. Penjelasan pasal
tersebut menjelaskan bahwa “Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan
Pancasila sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa
dan negara, sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila”.
Kemudian Pasal 3 ayat (1) Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan
bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar peraturan perundang-undangan”. Penjelasan Pasal 3
ayat (1) menjelaskan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber
hukum bagi pembentukan peraturan perudang-undangan di bawah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
menentukan bahwa “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah
128
sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan”. Penjelasan Pasal 7
ayat (5) menentukan bahwa yang dimaksud dengan “hierarki” adalah
penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan
pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Adapun hierarki peraturan perundang-undangan dapat dijumpai dalam Pasal 7
ayat (1), (2), (3) dan (4) yang menyatakan bahwa:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal ini merupakan pasal yang terpenting dalam kaitannya dengan
harmonisasi peraturan perundang-undangan, terkait dengan peraturan daerah,
pasal ini kemudian bertalian dengan ketentuan Pasal 136 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Peraturan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
129
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi”. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ini memberikan
gambaran tentang heirarki peraturan perundang-undangan yang merupakan
jawaban dari ketentuan Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004. Dari hierarki yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor
10 tahun 2004 maka keberadaan dan substansi peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan UUD NRI 1945, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Selain itu berkaitan pula dengan Pasal 12
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Materi muatan
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi”. Karena peraturan daerah merupakan penjabaran
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka materi yang
diatur dalam peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan tersebut.
Berdasarkan asas hierarki, yang dimaksud dengan peraturan perundang-
undangan merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki ketergantungan,
keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu peraturan daerah dilarang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan demikian hal yang mendasar dalam penyusunan rancangan peraturan
daerah adalah kesesuaian dan kesinkronannya dengan peraturan perundang-
undangan lainnya. Dalam hal terjadi pertentangan antara peraturan daerah
130
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka diperlukan
suatu pengharmonisasian.
Dari ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa terjadi saling
keterkaitan dan saling ketergantungan satu peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan lain yang merupakan satu kebulatan
yang utuh. Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara harus mengalir dalam materi muatan peraturan perundang-undangan.
Demikian pula Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga
keselarasan, kemantapan, dan kebulatan konsepsi peraturan perundang-
undangan sebagai sistem agar peraturan perundang-undangan berfungsi
secara efektif.
2. Peraturan perundang-undangan dapat diuji (judicial review) baik secara
materiel maupun formal.
Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menentukan antara lain bahwa “Mahkamah Agung berwenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang. Kemudian Pasal 24 C ayat (1) antara lain menentukan
bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar”. Berhubung dengan itu, pengharmonisasian
131
rancangan peraturan perundang-undangan sangat strategis fungsinya sebagai
uapaya preventif untuk mencegah diajukannya permohonan pengujian
peraturan perundang-undangan kepada kekuasaan kehakiman yang
berkompeten. Putusan kekuasaan kehakiman dapat menyatakan bahwa suatu
materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari peraturan perundang-
undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau tidak mempunyai
dampak yuridis, sosial dan politis yang luas. Karena itu pengharmonisasian
suatu peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara cermat dan tepat.
3. Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan
secara taat asas demi kepastian hukum.
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan
secara taat. Asas dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik harus memenuhi berbagai persyaratan yang berkaitan dengan
sistem, asas, tata cara penyampaian dan pembahasan, teknis penyusunan serta
pemberlakuannya dengan membuka akses kepada masyarakat untuk
berpartisipasi.
Setidak-tidaknya ada 2 (dua) aspek yang diharmonisasikan pada waktu
menyusun peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan aspek
konsepsi materi muatan dan aspek teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan.130
1. Yang berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan perundang-
undangan mencakup:
130Ibid
132
a) Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan
perundang-undangan dengan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus
menjadi sumber dalam setiap peraturan perundang-undangan, sehingga
nilai-nilai tersebut menjadi aktual dan memberikan batas kepada
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Setiap peraturan
perundang-undangan secara substansial semestinya menjabarkan nilai-
nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.
Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee), cita hukum tidak hanya
berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji
apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus
sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa
tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.
b) Pengharmonisan konsepsi materi muatan rancangan peraturan
perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar. Materi muatan
rancangan peraturan perundang-undangan harus diselaraskan dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara.
Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan
Undang-Undang Dasar selain berkaitan dengan pasal-pasal tertentu yang
dijadikan dasar pembentukannya dan pasal-pasal yang terkait, juga
dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi baik di
bidang social, politik maupun ekonomi.
c) Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan
asas pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-
133
undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menggolongkan asas
peraturan perundang-undangan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu: asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi
muatan, dan asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan
bahwa “Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
adalah sebagai berikut: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat
dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan
keterbukaan”.
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan
bahwa “asas materi muatan peraturan perundang-undangan adalah
sebagai berikut: kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan,
bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, ketertiban kepastian hukum, dan/atau keseimbangan,
keserasian, dan kesejahteraan”. Disamping itu masih ada asas lain sesuai
dengan bidang hukum yang diatur, misalnya asas legalitas dalam hukum
pidana, asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Asas hukum
adalah penting untuk dapat melihat jalur “benang merah” dari sistem
hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Melaluai asas-asas tersebut
dapat dicari apa yang menjadi tujuan umum aturan tersebut.
134
Asas peraturan perundang-undangan sangat bermanfaat bagi penyiapan,
penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Asas tersebut berfungsi untuk memberi pedoman dan bimbingan dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
d) Pengharmonisasian materi/muatan rancangan peraturan perundang-
undangan secara horizontal agar tidak tumpang tindih dan saling
bertentangan, karena hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Dalam pelaksanaan
pengharmonisasian secara horizontal sudah tentu berbagai peraturan
perundang-undangan sederajat yang terkait perlu dipelajari secara cermat
agar konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan yang erat
berhubungan satu sama lain selaras. Pembentuk peraturan perundang-
undangan tentu perlu melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait,
yang secara substansial menguasai materi muatan suatu peraturan
perundang-undangan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-
undangan lain.
e) Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundang-
undangan dengan konvensi/perjanjian internasional. Konvensi/ perjanjian
internasional juga harus diperhatikan agar peraturan perundang-undangan
nasional tidak bertentangan dengan konvensi/perjanjian internasional,
terutama yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia.
f) Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan dengan
putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian
135
terhadap peraturan perundang-undangan. Putusan Mahkamah Konstitusi
atau Mahkamah Agung atas pengujian terhadap peraturan perundang-
undangan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus
dipertimbangkan oleh perancang peraturan perundang-undangan dalam
menyusun peraturan perundang-undangan.
g) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengharmonisasian rancangan
peraturan perundang-undangan dengan teori hukum, pendapat para ahli
(dogma), yurisprudensi, hukum adat, norma-norma tidak tertulis,
rancangan peraturan perundang-undangan, rancangan pasal demi pasal
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dan kebijakan-
kebijakan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan
disusun.
2. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan baik menyangkut
kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan
bentuk peraturan perundang-undangan. Teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004. Pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan akibatnya memang tidak sefatal pengabaian keharusan harmonisasi
atas susbtansi peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak dapat menjadi alasan
batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan
yudicial review. Apabila kita mengabaikan teknik penyusunan peraturan
136
perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan tersebut kurang
baik dalam segi penyusunan.
Dengan demikian dalam proses harmonisasi diperlukan ketelitian,
kecermatan, dan keakuratan dalam mengidentifikasikan peraturan perundang-
undangan yang terkait, analisis norma-norma yang dinilai bersesuaian atau
bertentangan. Dalam proses tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip peraturan
perundang-undangan yang harus dipegang teguh oleh para penyusun misalnya
bahwa Rancangan Peraturan daerah dibuat untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah maka rancangan peraturan daerah tidak dapat mengatur sesuatu hal
yang melebihi amanat peraturan pemerintah tersebut.
Internalisasi pengharmonisasian hukum dalam proses pembetukan peraturan
perundang-undangan tingkat pusat telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, diantaranya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 68
Tahun 2005 yang mengatur tentang pembentukan Panitia Antardepartemen,
pengajuan surat permintaan keanggotaan Panitia Antardepartemen kepada
Menteri dan menteri/pimpinan lembaga terkait; dan penegasan keikutsertaan
wakil dari Kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan dalam setiap Panitia Antardepartemen dimaksudkan untuk
melakukan pengharmonisasian Rancangan Undang-Undang dan teknik
perancangan perundang-undangan. Dalam Peraturan Presiden tersebut juga diatur
mengenai teknik-teknik pelaksanaan pengharmonisasian termasuk mekanisme
penyelesaian dalam hal terdapat perbedaan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2005 diatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
137
konsepsi Rancangan Undang-Undang dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 17,
yang pada intinya menentukan bahwa Rancangan Undang-Undang sebelum
dimintakan persetujuan Presiden sebagai Prolegnas terlebih dahulu dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-
Undang.
Berbeda hal nya dengan peraturan di tingkat daerah yang hingga saat ini
belum memiliki landasan hukum tentang internalisasi pengharmonisasian dalam
proses pembentukan peraturan daerah. Hal ini tentunya membawa potensi besar
bagi adanya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian harmonisasi Rancangan peraturan
daerah dengan peraturan perundang-undangan perlu didukung oleh aturan yang
jelas dan tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa diintergrasikan sebagai
syarat formal penyusunan peraturan daerah seperti halnya proses
pengharmonisasian, pemantapan, dan pembulatan konsepsi Rancangan Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden,
termasuk Rancangan Instruksi Presiden yang dilaksanakan sesuai Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU,
Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005
tentang Prolegnas.
Model pengharmonisasian peraturan perundang-undangan ditingkat Pusat
dapat diadaptasi dalam proses penyusunan peraturan daerah dan dimungkinkan
untuk dibuatkan payung hukumnya berdasar pada ketentuan Pasal 18 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa tata cara mempersiapkan
138
rancangan perda yang berasal dari gubernur, bupati/walikota diatur dengan
Peraturan Presiden.131 Perpres ini semestinya segera dibentuk karena ada
kemungkinan daerah mengabaikan harmonisasi Raperda dengan peraturan
perundang-undangan lainnya dengan alasan tidak ada dasar hukum dan pedoman
teknis yang cukup kuat selama Perpres tersebut belum ditetapkan.132 Pentingnya
pengaturan pengharmonisasian bagi Raperda diatur dalam Perpres tersebut agar
selaras dengan pengaturan di DPRD dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2010 dimana Pasal 53 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur bahwa
Badan Legislasi Daerah bertugas melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi
dan/atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut
disampaikan kepada pimpinan DPRD. Ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah
tersebut sesuai dengan ketentuan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 dimana proses tersebut melekat dalam tugas dari Badan Legislasi.
4.2. Upaya Pemerintahan Daerah dalam Memberi Kepastian Hukum terkait Adanya Konflik Norma dalam Pengaturan Izin Pengusahaan Bagi Pondok Wisata pada Kawasan Taman Wisata Alam
Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang sangat penting
dalam sistem hukum kita dan mengikat publik haruslah mengandung kepastian,
sehingga akibat dari tindakan tertentu yang sesuai atau yang bertentangan dengan
hukum dapat diprediksi. Dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat
131 Supriadi, “Harmonisasi Perda Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya”,
diunduh dari URL: http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/harmonisasi-perda-dengan-peraturan.html, diunduh pada tanggal 16 Juni 2010
132Ibid
139
menjadi sarana yang penting untuk menjaga hubungan yang sinergis antarwarga
masyarakat dan antara warga masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan
tujuan bersama secara dinamis, tetapi tertib dan teratur. Namun pada kenyataanya
disharmonisasi hukum berupa konflik norma masih dapat dijumpai yaitu dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan izin usaha penyediaan sarana
wisata alam.
Terhadap adanya pertentangan/konflik norma antara suatu peraturan dengan
peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi maka dapat dilakukan
pengujian peraturan perundang-undangan. Pengujian peraturan perundang-
undangan secara terminologi bahasa terdiri dari perkataan pengujian dan
peraturan perundang-undangan. Pengujian berasal dari kata ‘uji’ yang memiliki
arti percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga ‘pengujian’ diartikan
sebagai proses, cara, perbuatan menguji. Sedangkan peraturan perundang-
undangan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 2004 diartikan sebagai
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang yang mengikat secara umum. Dengan demikian, pengujian peraturan
perundang-undangan dapat diartikan sebagai proses untuk menguji peraturan
tertulis baik yang dibentuk oleh lembaga negara maupun pejabat yang berwenang
yang memiliki kekuatan mengikat secara umum.
Dalam perspektif pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia
dikenal adanya 2 (dua) peristilahan, yaitu toetsingsrecht dan kontrol normatif.
Pada umumnya istilah toetsingsrecht diartikan sebagai hak atau kewenangan
untuk menguji atau hak uji. Pengertian menguji atau melakukan pengujian
140
merupakan proses untuk memeriksa, menilai, dan memutuskan objeknya.
Pemahaman menguji atau melakukan pengujian dalam perspektif toetsingsrecht
adalah memeriksa, menilai dan memutuskan terhadap tingkat konstitusionalitas
suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan
yang derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga negara yang oleh undang-undang
dasar dan/atau oleh undang-undang diberikan kewenangan.133
Pengertian toetsingsrecht memang cukup luas sehingga peristilahan yang
timbul tergantung dengan subjek dan objek dalam pengujian tersebut. Jika hak
atau kewenangan menguji diberikan kepada lembaga kekuasaan kehakiman maka
proses pengujiannya disebut sebagai judicial review atau pengujian oleh lembaga
judicial atau pengadilan. Namun jika pengujian dilakukan bukan oleh lembaga
peradilan maka hal itu tidak dapat disebut dengan judicial review. Sebutan yang
tepat tergantung kepada lembaga yang melakukan pengujian.134 Apabila
pengujian itu dilakukan oleh lembaga legislatif maka proses pengujian tersebut
disebut sebagai legislative review. Demikian pula jika pengujian tersebut
dilakukan oleh lembaga eksekutif maka pengujian semacam itu disebut sebagai
executive review.
Oemar Seno Adjie mengartikan legislative review sebagai peninjauan
kembali produk hukum oleh lembaga pembuatnya, yaitu Presiden bersama-sama
dengan DPR. Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia legilatif review ini pernah
dilakukan melalui ketetapan MPRS No. XIX/MPR/1966 yang menugaskan
133 Sri Soemantri Martosoewignjo dalam Zainal Arifin Hoesein, 2009, Judicial Review Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 39
134 Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta Pusat, h. 1-2
141
kepada Pemerintah bersama-sama DPR untuk mengadakan peninjauan kembali
(legislative review) terhadap produk hukum legislatif (Presiden dan DPR).
Dalam hal executive review, hak atau kewenangan untuk menguji diberikan
kepada lembaga eksekutif atau kepada pemerintah. Hal ini misalnya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menentukan bahwa “Menteri diberi
kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah yang dinilai bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”,135 dimana dalam
rangka pengawasan Menteri Dalam Negeri diberikan kewenangan untuk menguji
peraturan daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, diberi kewenangan untuk
menyatakan batal atau membatalkan berlakunya peraturan daerah yang dibentuk
oleh Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota). Mekanisme ini disebut
sebagai mekanisme pengujian juga, tetapi tidak dilakukan oleh lembaga
kehakiman (judiciary) ataupun legislator melainkan oleh lembaga pemerintahan
eksekutif tingkat atas (pusat). 136
Selanjutnya toetsingsrecht dalam arti judicial review dapat dilakukan
manakala prinsip kekuasaan negara menganut pemisahan kekuasaan atau
separation of power dan checks and balances. Judicial review merupakan bagian
dari prinsip kontrol secara judicial atas produk peraturan perundang-undangan
agar tidak bertentangan dengan norma hukum secara hierarkis. Menurut Jimly jika
135 Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem
Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. IX 136 Jimly Asshiddiqie, 2006, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta Pusat, h. 74
142
objek yang diuji adalah undang-undang terhadap UUD maka hal tersebut disebut
sebagai constitutional review, tetapi jika peraturan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang maka disebut sebagai legal review. Berdasarkan Pasal
24C UUD NRI 1945 pengujian undang-undang terhadap UUD dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi, sedangkan berdasarkan Pasal 24A UUD NRI pengujian
peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
Pengujian peraturan perundang-undangan dalam perspektif kontrol normatif
diartikan sebagai suatu mekanisme penyelarasan norma hukum oleh lembaga
negara karena adanya usulan atau desakan masyarakat terhadap berbagai produk
hukum yang dihasilkan oleh lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh
konstitusi untuk melakukan tugas itu.
Sebagai kontrol normatif, maka pengujian dapat dilakukan oleh lembaga
pembuatnya sendiri atau juga dapat dilakukan oleh lembaga di luar lembaga
pembuat peraturan tersebut. Apabila pengujian dilakukan oleh lembaga
pembuatnya dapat disebut pengujian internal atau pengawasan internal, tetapi jika
yang melakukan pengujian adalah lembaga di luar lembaga pembuatnya dapat
disebut pengujian eksternal atau pengawasan eksternal.137
Lembaga pembuat peraturan perundang-undangan dimungkinkan menguji
produk hukumnya sendiri. Apabila kewenangan pembentukan peraturan
perundang-undangan dilekatkan pada legislatif maka kontrol normatif pengujian
tersebut disebut legislative review. Apabila kewenangan pembentukan peraturan
137 Paulus Effendi Lotulung dalam Zainal Arifin Hoesein h. 57
143
tersebut adalah eksekutif atau pemerintah, maka kontrol normatif pengujian
tersebut disebut executive review.
Dalam kaitannya dengan pengujian peraturan perundang-undangan dalam
pespektif toetsingsrecht maka terhadap konflik norma yang terjadi antara Perda
Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2007 jo. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 maka pengujian dapat dilakukan oleh 2 (dua) lembaga yaitu
Mahkamah Agung dan Menteri Dalam Negeri,
a. Executive Review oleh Departemen Dalam Negeri
Executive review perda dilakukan oleh pemerintah c.q Departemen Dalam
Negeri merupakan pengujian peraturan (toetzingrecht) yang lahir dari
kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi)
pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi dari penerapan asas desentralisasi
adalah daerah memiliki kebebasan dan kemandirian dalam mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangannya. Namun
demikian, kebebasan dan kemandirian daerah dalam mengatur urusan
pemerintahan itu harus tetap dalam ikatan negara kesatuan. Untuk menjaga agar
kebebasan itu tidak keluar dari ikatan negara kesatuan maka diperlukan
pengawasan sebagai media kontrol terhadap pemerintah daerah. Pengawasan
dilaksanakan sebagai suatu usaha preventif atau juga untuk memperbaikinya
apabila terjadi kekeliruan sebagai tindakan represif. Dalam hal pengawasan
represif Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menguji dan
membatalkan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah apabila
144
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Dengan demikian pengujian yang dilakukan oleh pemerintah
pusat terhadap suatu peraturan daerah adalah dalam rangka pengawasan
pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah.
Dalam rangka pengawasan terhadap peraturan daerah, pemerintah pusat
dapat melakukan 2 (dua) macam pengawasan yaitu pengawasan preventif dan
pengawasan represif.138 Pengawasan preventif dilakukan oleh Menteri Dalam
Negeri disebut dengan executive preview, sedangkan dalam hal pengawasan
represif disebut sebagai executive review. Executive preview adalah pengujian
yang dilakukan oleh pemerintah eksekutif terhadap rancangan peraturan daerah.
Jadi, dalam hal executive preview, yang menjadi bahan pengujian adalah
rancangan peraturan daerah yang belum diberlakukan atau belum diundangkan.
Sedangkan executive review adalah pengujian yang dilakukan pemerintah
eksekutif terhadap peraturan daerah yang sudah berlaku. Pengawasan preventif
dilakukan terhadap rancangan perda yang bermuatan APBD, pajak daerah dan
retribusi daerah serta perda tata ruang.139 Pengawasan preventif terhadap
rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang
kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan Pengawasan preventif
terhadap rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata
ruang provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat).140 Selanjutnya pengawasan
138 Irawan Soejito, 1984, Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Bina Aksara, Jakarta, h. 201 139Nazad na Komunitas Hukum Tata Negara Indonesia, “Analisis Normatif Evaluasi Dan
Pengujian Peraturan Daerah Oleh Pemerintah Pusat”, diunduh dari URL: http://bs-ba.facebook.com/group.php?gid=68003490816 diunduh pada tanggal 17 September 2010.
140 Hanif Nucholis, Op.Cit., h. 325
145
represif dilakukan terhadap seluruh perda yang sudah dibuat oleh pemerintah
daerah, termasuk perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan
preventif. Pengujian peraturan daerah oleh pemerintah ini dilakukan dengan
melibatkan beberapa lembaga, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen
Keuangan terhadap perda bermuatan keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum
terhadap perda tata ruang, serta departemen sektoral sumberdaya alam terhadap
perda yang bermuatan sumberdaya alam. Tidak jarang proses evaluasi/pengujian
perda oleh pemerintah dilakukan lintas departemen yang dikoordinasikan oleh
Departemen Dalam Negeri selaku ‘pembina’ pemerintah daerah. Pengujian
peraturan daerah merupakan kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan
terhadap penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah.
Pengujian peraturan daerah oleh pemerintah atau yang dalam pengujian
peraturan dikenal dengan istilah executive review lahir dari kewenangan
pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam rangka pengawasan daerah Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 memberikan perintah bahwa peraturan daerah yang dibuat oleh
DPRD bersama Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama
7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Selanjutnya Pasal 145 ayat (2) menyatakan
bahwa “Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.” Kemudian dalam Pasal 145 ayat (3)
menyebutkan bahwa “Keputusan pembatalan Peraturan daerah sebagaimana
dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam
146
puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)”. Selanjutnya Pasal 145 ayat (4) menyebutkan bahwa “Apabila
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”.
b. Judicial Review oleh Mahkamah Agung
Erat kaitannya dengan fungsi Mahkamah Agung yang bersifat yudisial,
kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian peraturan perundang-
undangan lahir dari kewenangan yang disebut judicial review. Dalam keadaan
demikian, maka Mahkamah Agung adalah lembaga kehakiman yang diberi tugas
menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk peraturan
perundang-undangan. Dalam menjalankan fungsi demikian itu, Mahkamah Agung
bersifat pasif menunggu diajukannya permohonan keberatan dari para pihak yang
berkepentingan di daerah.
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang, dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menjalankan
kekuasaan kehakiman sebagai kewenangan atributif yang ditentukan dalam:
1. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945; 2. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 3. Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman; 4. Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
147
5. Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan
6. Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.
Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
yang mengalami konflik norma dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang oleh Mahkamah Agung
tersebut kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan
perundang-undangan oleh lembaga kehakiman.
Apabila dikaitkan dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka
Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji terhadap Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Kewenangan Mahkamah Agung
melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas didasarkan atas standar
atau ukuran yaitu adanya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Ketentuan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 31 A ayat (3) huruf b
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan
bahwa:
Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:
148
1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;”
Dasar permohonan pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian
aspek materiil (materiele toetsingsrecht). Dalam hal ini Mahkamah Agung
mempunyai wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu
produk hukum isinya sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi derajatnya. Sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian
aspek formil (formele toetsingsrecht) dalam hal ini Mahkamah Agung memiliki
wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum telah dibuat melalui cara-
cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Terkait dengan adanya suatu konflik norma yang terjadi maka apabila suatu
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi suatu peraturan bertentangan
dengan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan ketentuan Pasal 31
ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 peraturan perundang-
undangan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun bunyi ketentuan Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “Mahkamah Agung
menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.” Selanjutnya
dalam ayat (4) menyatakan bahwa “Peraturan perundang-undangan yang
dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai
149
kekuatan hukum mengikat.” Dimungkinkan dapat terjadi dalam proses pengujian
Mahkamah Agung hanya menemukan satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian
materi muatan dalam peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi, maka
seluruh materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Peraturan Daerah
dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Dalam pasal 2 ayat (4) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Permohonan
keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari (seratus delapan puluh) hari
sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.” Batasan
waktu membawa konsekuensi terbatasnya hak warga negara untuk mengajukan
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah
di kemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2004 tersebut. Hal yang perlu dicermati sebagai kelemahan dari
penyelesaian konflik norma melalui judicial review di Mahkamah Agung.
Dari uraian tersebut diketahui bahwa baik executive review yang dilakukan
oleh Departemen Dalam Negeri maupun judicial review oleh Mahkamah Agung
masing-masing memiliki tenggang waktu pengujian, dalam rangka pengawasan
represif ditetapkan bahwa Peraturan Daerah yang dibuat oleh DPRD bersama
Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan, selanjutnya keputusan pembatalan peraturan daerah
150
sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama
60 (enam puluh) hari sejak diterimanya peraturan daerah. Sehingga setelah batas
waktu yang ditetapkan tersebut pemerintah pusat tidak lagi mempunyai
kewenangan untuk menguji peraturan daerah. Demikian pula dengan judicial
review oleh Mahkamah Agung juga memiliki batas waktu pengajuan permohonan
keberatan kepada Mahkamah Agung yaitu dalam tenggang waktu 180 hari sejak
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang akan diajukan permohonan
judicial review.
Dengan adanya batas waktu tersebut maka telah tertutup upaya pengujian
baik terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 maupun terhadap
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2010 ditetapkan pada tanggal 12 Februari 2010, sehingga tidak
dapat diajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung. Demikian pula
terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 yang ditetapkan
pada tanggal 28 Desember 2009 telah melewati batas waktu untuk dapat diuji
melaui executive review maupun judicial review. Keadaan yang demikian tidak
dapat dibiarkan, karena dari adanya konflik norma peraturan perundang-undangan
ini dapat mengakibatkan beberapa dampak berupa:
a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya;
b. Timbulnya ketidakpastian hukum;
c. Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien;
d. Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan
pedoman berperilaku kapada masyarakat.
151
Selain pengujian peraturan perundang-undangan dalam pespektif
toetsingsrecht maka terhadap Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 juga dapat
dilakukan upaya kontrol normatif. Kontrol normatif secara internal dilakukan oleh
lembaga pembuat perda itu sendiri, yaitu Gubernur bersama DPRD. Sedangkan
control normatif secara eksternal dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan
Mahkamah Agung, namun sebagaimana telah diuraikan sebelumnya telah tertutup
upaya pengujian Perda No. 16 Tahun 2009 oleh Menteri Dalam Negeri maupun
Mahkamah Agung karena terbentur dengan adanya batas waktu untuk dapat
diujinya Perda tersebut.
Oleh karena itu dibutuhkan adanya upaya pro aktif dari pemerintahan daerah
untuk mengevaluasi produk hukumnya sendiri yang tengah mengalami konflik
norma dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang disebut
sebagai kontrol internal. Dalam pengujian peraturan yang dilakukan oleh lembaga
yang membuatnya sendiri, maka perlu dibedakan antara legislative act dan
executive act. Yang pertama, yaitu legislative act, adalah peraturan-peraturan
yang ditetapkan oleh lembaga legislatif atau melalui proses legislasi, sedangkan
yang kedua (executive act) merupakan peraturan-peraturan yang murni ditetapkan
oleh lembaga atau instansi pemerintah eksekutif. Dalam struktur peraturan
perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang
dapat disebut sebagai produk legislatif adalah Undang-Undang dan peraturan
daerah. Sementara itu, peraturan dibawah undang-undang seperti peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur dan lainnya
merupakan bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga eksekutif (executive
152
act). Legislative act dapat dinilai, diuji, dan direvisi oleh lembaga yang
membuatnya sendiri sesuai dengan keperluan melalui prosedur legislative review.
Begitu pula terhadap executive act dapat dinilai, diuji, dan direvisi oleh lembaga
yang membuatnya sendiri sesuai dengan keperluan melalui prosedur executive
review.141 Adapun tidak lanjut yang dapat dilakukan terkait mekanisme executive
review maupun legislative review adalah dengan merubah atau mencabut
peraturan perundang-undangan yang mengalami konflik norma.
1. Perubahan Peraturan Perundang-undangan.
Perubahan suatu perundang-undangan dilakukan apabila terdapat ketentuan-
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang telah tidak sesuai
lagi dengan situasi atau kondisi yang berlaku dalam masyarakat.
Perubahan suatu peraturan perundang-undangan dapat meliputi hal-hal sebagai
berikut:142
a. Menambah atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau
mengapus ketentuan yang sudah ada baik yang berbentuk Bab, Bagian,
Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan
lain-lainnya.
b. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk
Bab, Bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf,
tanda baca dan lain-lainnya.
Perlu diperhatikan pula bahwa perubahan terhadap suatu peraturan tidak
boleh mengakibatkan:
141 Fatmawati, Op.Cit., h. X-XII 142 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik
Perubahannya, Buku 2, Kanisius, Yogyakarta, h179
153
a. perubahan sistematika peraturan yang dirubah;
b. perubahan terhadap lebih dari 50% materi peraturan atau perubahan
terhadap esensi peraturan yang dirubah.
Bila terjadi perubahan seperti butir a dan b, maka sebaiknya peraturan tersebut
dicabut dan disusun kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru
mengenai masalah tersebut.
2. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 suatu
pencabutan perundang-undangan dilakukan jika peraturan perundang-undangan
yang lama tidak diperlukan lagi dan diganti dengan peraturan perundang-
undangan yang baru, peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas
mencabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan itu. Ada 2 (dua)
jenis pencabutan peraturan perundang-undangan, yaitu:143
a. Pencabutan dengan penggantian.
Suatu pencabutan dengan penggatian terjadi apabila suatu peraturan
perundang-undangan yang ada digantikan dengan suatu peraturan perundang-
undangan yang baru dan sederajat.
b. Pencabutan tanpa penggantian
Pencabutan tanpa penggantian adalah mencabut peraturan perundang-
undangan yang ada melalui peraturan perundang-undangan yang sederajat
tanpa disertai dengan penggantian terhadap peraturan yang dicabut.
143 Ibid
154
Terkait uraian tersebut maka upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Pemerintahan Daerah untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum adalah
dengan melakukan legislative review oleh Gubernur dan DPRD terhadap Perda
Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, dimana hasil dari legislative review tersebut
berupa perubahan terhadap ketentuan Pasal yang mengalami konflik norma.
Perubahan dilakukan dengan mengganti bunyi ketentuan pasal yang mengalami
disharmonisasi dengan menerapkan asas preferensi, yaitu dengan merubah
ketentuan Pasal 109 ayat (5) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun
2009. Dalam mengadakan perubahan terhadap suatu perundang-undangan,
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:144
a. Perubahan suatu perundang-undangan dilakukan oleh pejabat yang
berwenang membentuknya, berdasarkan pada prosedur yang berlaku, dan
dengan suatu peraturan-perundang-undangan yang sejenis (atau setingkat);
b. Perubahan suatu peraturan perundang-undangan diharapkan dilakukan
secara baik tanpa mengubah sistematika dari peraturan perundang-
undangan yang diubah;
c. Dalam suatu perubahan, perumusan Judul hendaknya disebut peraturan
perundang-undangan mana yang diubah dan untuk perubahan yang kedua
kali dan selanjutnya disebutkan dengan jelas perubahan yang keberapa
kalinya.
144Ibid, h. 180-181
155
d. Dalam konsiderans dari peraturan perundang-undangan yang diubah harus
dikemukakan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan lainnya
mengapa peraturan yang bersangkutan perlu diadakan perubahan;
e. Batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan yang diubah hanya
terdiri dari 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka romawi. Dalam kedua
pasal tersebut dimuat ketentuan sebagai berikut:
1) Pasal I memuat segala sesuatu perubahan dengan diawali
penyebutan peraturan perundang-udangan yang diubah dan urutan
perubahan-perubahan tersebut hendaknya ditulis dengan angka
arab 1, 2, 3 dan selanjutnya;
2) Pasal II memuat ketentuan mengenai mulai berlakunya peraturan
perubahan tersebut.
f. Apabila suatu peraturan perundang-undangan sudah mengalami perubahan
berulang lagi, maka sebaiknya peraturan perundang-undangan tersebut
dicabut dan diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru;
g. Apabila pembuat peraturan perundang-undangan berniat mengubah suatu
peraturan perundang-undangan secara besar-besaran, maka demi
kepentingan pemakai peraturan perundang-undangan tersebut dipandang
lebih baik apabila dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.
156
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
simpulan yang dapat ditarik terhadap kedua permasalahan yang di bahas adalah:
1. Usaha pondok wisata dapat dilaksanakan hanya pada blok pemanfaatan
kawasan taman wisata alam. Usaha tersebut dapat diselenggarakan
apabila pemrakarsa usaha (pemohon izin dalam hal ini dibatasi hanya
Badan Hukum dan Koperasi) telah memperoleh izin usaha penyediaan
sarana wisata alam dari Menteri Kehutanan. Untuk memperoleh izin
tersebut pemrakarsa usaha harus mengajukan permohonan yang telah
dilengkapi dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
2. Bahwa adapun upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintahan Daerah
untuk memberi kepastian hukum terkait adanya konflik norma dalam
pengaturan izin pengusahaan bagi pondok wisata pada kawasan taman
wisata alam adalah dengan melakukan legislative review oleh Gubernur
dan DPRD terhadap Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009. Hasil
legislative review tersebut berupa perubahan ketentuan pasal yang
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu terhadap Pasal
109 ayat (5) Perda Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 dan Pasal 14 ayat
(1) huruf d PP No. 36 Tahun 2010.
156
157
5.2. Saran
Beberapa saran yang dapat disampaikan berkenaan dengan hasil
pembahasan terhadap kedua permasalahan yang dikaji dalam tesis ini adalah:.
1. Untuk menghindari potensi terjadinya konflik norma antara perda
dengan peraturan di atasnya maka perlu segera dibentuk peraturan
presiden yang memberi landasan hukum bagi internalisasi
pengharmonisasian dalam proses pembentukan perda.
2. Hendaknya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli
terhadap lingkungan yang dicerminkan dalam pembentukan regulasi
yang tepat terkait pengelolaan kawasan taman wisata alam, dimana
pemanfaatan kawasan seharusnya sesuai dengan fungsi dari kawasan
tersebut, sehingga dalam kawasan taman wisata alam yang memiliki
kedudukan sebagai kawasan lindung sebaiknya tidak diperbolehkan
adanya kegiatan pembangunan sarana akomodasi pariwisata.
158
DAFTAR PUSTAKA
1.BUKU
Anonim, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar
Asshiddiqie, Jimly 2006, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta Pusat
__________, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta Pusat
Astawa, I Gde Pantja dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung
Atmosudirdjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta
Bethan, Syamsutarya, 2008, Menerapkan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dalam Aktivitas Industri Nasional, sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, Alumni, Bandung
Brouwer, Bob, et.al., Editor, Coherence and Coflict in Law, Procceedings of the 3rd Benelux-Scandinavian Symposium in Legal Theory
Danusaputro, St. Munajat, 1980, Hukum Lingkungan, Buku V;Sektoral jilid 5, Binacipta , Bandung,
Ekatjahjana, Widodo, 2008, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Teknik Penyusunannya, Citra Aditya Bakti, Bandung
Erwin, Muhamad, 2008, Hukum Lingkungan, dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung.
Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Faure, Michael and Niessen, Nicole, Editor, 2006,Environmental Law in Development, Lessons from the Indonesian Experience, Edward Eglar Publishing, USA
Ginther, Konradet.all., Editor, 1994, Sustainable Development and Good Governance, Martinus Nijhoff Publisher, London.
159
Goesniadhie, Kusnu, 2009, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik, A3, Malang
Hadjon, Philipus M., 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan (Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya
__________, 1995, Aspek-Aspek Hukum Administrasi dari KTUN, Bandung.
__________, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembaentukan Peradilan Administrasi, Peradaban,
Hardjosoemantri, Koesnardi, 1994, Hukum Lingkungan, Cet.2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Hoesein, Zainal Arifin, 2009, Judicial Review Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
H.W.R. Wade, 1986, Administrative Law, Fifth Edition, Oxford University Press, Walton street
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Buku I; Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Joeniarto, 1979, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Alumni, Bandung,
Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah – Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPR dan Kepala Daerah, PT.Alumni, Bandung
Kelsen, Hans, 1991,General Theory of Norms, Translated by Michael Hartney, Oxford University Press, New York,
Koesoemahatmadja, RDH., 1979, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung
Manan, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,
Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta
Muslimin, Amrah, 1978 Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Cetakan ke-1, Bandung.
160
N.H.T Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta
NM Spelt, dan JBJM Ten Berge, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, disunting oleh Philipus M.Hadjon, Yuridika, Surabaya
Nurcholis, Hanif, 2007Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Perwani, Yayuk Sri, 1992, Teori dan Petunjuk Praktek Housekeeping untuk akademi Perhotelan, Make a Room, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembanahan, PT. Grasindo Jakarta
Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Radjab, Dasril, 1994, Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University Press, Surabaya
Ridwan, H. Juniarso dan Sodich, Achmad, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa Bandung.
Ridwan,HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, Cet.Kedua, UII Press, Yoyakarta,
Santoso, Taufik Iman, 2008, Amdal, Setara Press, Malang
Sastrawijaya, A. Tresna, 2000, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta.
Silalahi, M. Daud, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Alumni, Bandung,
Soeroso, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Soejito, Irawan, 1984, Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Bina Aksara, Jakarta
Soekanto, Soerjono, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2001, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
161
Soemartono, R. M. Gatot P., 2004, Hukum Lingkungnan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Buku 1, Kanisius, Yogyakarta
__________, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Proses dan Teknik Perubahannya, Buku 2, Kanisius, Yogyakarta
Subawa, I Made, dkk., 2005, Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
Suparni. Niniek, 1994. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta
Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Perizinan, dalam Sektor Pelayanan Publik, SInar Grafika, Jakarta
Sulistiyono, Adi, 2007, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, Cetakan ke I, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Usman, Rachmadi, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Utama, I Made Arya, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung.
Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia; Pustaka Tinta Mas, Surabaya
2. MAKALAH
Atmoredjo, Sudjito bin, Negara Hukum dalam Perspektif Pancasil, dalam
Kongres Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah
Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni
162
Amsyari, Fuad, “Problematika Pengendalian Pencemaran Lingkungan” dalam
Kumpulan Materi Kursus Perizinan Lingkungan Sebagai Instrumen
Pencegahan Pencemaran Lingkungan, PPLH Lembaga Penelitian
Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 Juni 2000
Hadjon, Philipus M,. “Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam
Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih”, Pidato penerimaan jabatan
Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Senin, 10 Oktober
1994
Manan, Bagir, 1995, “Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Makalah pada penataran Hukum
Administrasi Negara”, Fakultas Hukum Unhas, Ujung Pandang, 31
Agustus 1995
Usfunan, Yohanes, 2004, “Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang baik
Manciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Demokratis”, Pidato
pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara
FH UNUD, 1 Me1 2004, Denpasar, Universitas Udayana
3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9)
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)
163
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59)
Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 25)
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48)
Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil
Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 mengenai Pedoman Dampak Penting.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16)
164
4. ARTIKEL DALAM FORMAT ELEKTRONIK
Mahendra, A.A. Oka, “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan” diunduh dari http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 14 Juni 2010
Parmono, Agus, “Urgensi Pengaturan Zona Dalam Upaya Pengendalian Pemanfaatan Ruang Daerah Berkelanjutan,” diunduh dari http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=122 diunduh pada tanggal 18 April 2010
Badan Pusat Statistik, “Konsep dan Definisi Statistik Hotel dan Akomodasi Lainnya di Indonesia” di unduh dari: URL:http://www.bps.go.id/aboutus.php?id_subyek=16&tabel=1&fl=2, pada tanggal 15 Mei 2010.
Direktorat Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Bappenas, “Konsep dan
Definisi Seputar Pariwisata”, diunduh dari: URL: http://www.budpar.go.id, diunduh pada tanggal 15 Mei 2010
Indrawati, Yayu, “Persepsi Wisatawan Lanjut Usia pada Fasilitas Akomodasi dan Aktivitas Pariwisata Bernuansa Seni Budaya di Desa Sanur”diunduh dari URL: http://www.isi-dps.ac.id/download/6-Yayu-Pariwisata.pdf, pada tanggal 21 April 2010
Murti, Muhammad Sapta, “Harmonisasi Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan lainnya (Analisis Urgensi, Aspek Pengaturan,dan Permasalahan)”, diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/422-harmonisasi-peraturan-daerah-dengan-peraturan-perundang-undangan-lainnya.html diunduh pada tanggal 13 Juni 2010
Nazad na Komunitas Hukum Tata Negara Indonesia, “Analisis Normatif Evaluasi Dan Pengujian Peraturan Daerah Oleh Pemerintah Pusat”, diunduh dari URL: http://bs-ba.facebook.com/group.php?gid=68003490816, diunduh pada tanggal 10 September 2010.
PT Tribina Matra Carya Cipta, “Prosedur dan Penyusunan Sinkronisasi” diunduh dari http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf, diunduh pada tanggal 22 Agustus 2010
Setiadi, Wicipto, “Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Peraturan Perundang-undangan” diunduh dari URL: http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/232-proses-pengharmonisasian-sebagai-upaya-meningkatkan-kualitas-peraturan-perundang-undangan.html, diunduh pada tanggal 20 juni 2010
165
Sudarmadji, “Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup, dan Otonomi Daerah”, dalam http://geo.ugm.ac.id/archives/125, diunduh pada tanggal 20 Juni 2010
Supriadi, “Harmonisasi Perda Dengan Peraturan Perundang-undangan Lainnya”, diunduh dari http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/harmonisasi-perda-dengan-peraturan.html, diunduh pada tanggal 16 Juni 2010