perilaku kongnitif

27
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012 39 PENDEKATAN PERILAKU KOGNITIF DALAM PELATIHAN KETERAMPILAN MENGELOLA KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM Anne Fatma¹, Sri Ernawati¹ ¹Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sahid Surakarta Email : [email protected] [email protected] Abstract This research aimed to understand the effectiveness of Training on the Skill of Managing Public Speaking Anxiety Using Cognitive-Behavioral Approach, on the way it can reduce the level of Public Speaking Anxiety. The experiment design used in this research is Non-randomized Pre-test and Post-test Control Group Design, with the subjects were 20 undergraduate students of Sahid University Surakarta experiencing public speaking anxiety. The result of statistical analysis using the Mann-Whitney’s test are : there was significantly different level of public speaking anxiety between the experimental group and control group at pre-test and post-test, with z = -2,374 (p<0,01). The phi square is 0,5388. It means that the training gave 53,88% on reducing the level of public speaking anxiety. The model of Training on the Skill of Managing Public Speaking Anxiety Using Cognitive-Behavioral Approach was effective to reduce the level of public speaking anxiety. So, it was matched with the hypothesis of this research. Keywords : Cognitive-Behavioral Approach, Training, Public Speaking Anxiety

Upload: hendrik-vidi

Post on 13-Jul-2016

15 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

rentang perilaku kongnitif

TRANSCRIPT

Page 1: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

39

PENDEKATAN PERILAKU KOGNITIF DALAM PELATIHAN

KETERAMPILAN MENGELOLA KECEMASAN

BERBICARA DI DEPAN UMUM

Anne Fatma¹, Sri Ernawati¹

¹Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Sahid Surakarta

Email : [email protected]

[email protected]

Abstract

This research aimed to understand the effectiveness of Training on the

Skill of Managing Public Speaking Anxiety Using Cognitive-Behavioral Approach,

on the way it can reduce the level of Public Speaking Anxiety. The experiment design

used in this research is Non-randomized Pre-test and Post-test Control Group Design,

with the subjects were 20 undergraduate students of Sahid University Surakarta

experiencing public speaking anxiety.

The result of statistical analysis using the Mann-Whitney’s test are : there

was significantly different level of public speaking anxiety between the experimental

group and control group at pre-test and post-test, with z = -2,374 (p<0,01). The phi

square is 0,5388. It means that the training gave 53,88% on reducing the level of public

speaking anxiety.

The model of Training on the Skill of Managing Public Speaking Anxiety Using

Cognitive-Behavioral Approach was effective to reduce the level of public speaking

anxiety. So, it was matched with the hypothesis of this research.

Keywords : Cognitive-Behavioral Approach, Training, Public Speaking Anxiety

Page 2: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

40

Abstrak

Penelitian ini bertujuan memahami efektivitas pelatihan dalam mengurangi level

kecemasan berbicara di depan umum melalui pendekatan perilaku kognitif. Desain

eksperimen menggunakan Non Random Pre-test dan Post-test terhadap kelompok control,

dengan jumlah subjek sebanyak 20 orang mahasiswa Universitas Sahid Surakarta yang

memiliki pengalaman berbicara di depan umum.

Hasil dari Mann-Whitney’s test yaitu adanya signifikasi perbedaan antara

kelompok control pada pre-test dan post-test, dengan nilai Z = - 2,374 (p<0,01).

Sedangkan phi kuadrat sebesar 0,5388. Artinya bahwa melalui pelatihan 53,88 % mampu

mengurangi tingkat kecemasan seseorang saat berbicara di depan umum.

Model yang digunakan dalam pelatihan adalah pendekatan perilaku kognitif

sehingga nyata dampaknya bagi pengurangan tingkat kecemasan. Dimana hal ini juga

sesuai dengan hipotesa yang disajikan.

Kata kunci : Kecemasan Berbicara di Depan Umum, Pelatihan, Pendekatan Perilaku

Kognitif.

Page 3: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

41

PENGANTAR

Komunikasi adalah suatu hal

yang sangat penting dan tidak

mungkin dihindari dalam kehidupan

manusia sebagai mahluk sosial. Di

dalam masyarakat, individu yang

mampu berbicara dengan baik di

depan umum akan mempunyai nilai

lebih di mata orang lain. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Whalen

(1968) bahwa individu yang

mampu berkomunikasi dengan baik

di depan umum akan dianggap

lebih pintar, lebih menarik, dan

mampu menjadi pemimpin. Orang

yang kurang mampu berkomunikasi

dengan baik di depan umum

mempunyai kemungkinan lebih besar

untuk gagal dalam presentasi karena

tidak dapat mempengaruhi orang

lain, meskipun ia mempunyai ide

yang bagus. Kemampuan berbicara di

depan umum juga sangat penting

untuk mencapai kesuksesan dalam

dunia kerja. Kemampuan berbicara

adalah salah satu pengukur

kesuksesan dalam mencari pekerjaan

dan kemajuan karir (Fordham &

Gabbin, 1996). Oleh karena itu, sudah

selayaknya kemampuan berbicara di

depan umum dilatih sejak dini

sebelum seseorang siap untuk

memasuki pasar kerja. Sebagai

kelompok yang mengenyam

pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut

untuk mampu menuangkan ide dan

pikirannya secara lisan, termasuk pada

saat mereka diminta untuk tampil

berbicara di depan umum.

Kompetensi mahasiswa dalam

berbicara di depan umum telah

menjadi suatu tuntutan yang

sewajarnya sebagai bekal di dunia

kerja dan kehidupan bermasyarakat.

Kenyataan menunjukkan bahwa

75% mahasiswa di Amerika

mengalami kecemasaan berbicara di

depan umum (Thomas, 2005).

Menurut Wallechinsky (1977)

dalam survei untuk meranking

sepuluh besar ketakutan manusia,

sebanyak 41% menyatakan bahwa

berbicara di depan umum merupakan

ketakutan tertinggi, sementara

sebagai pembanding, hanya 19%

yang memilih kematian sebagai

ketakutan yang tertinggi. Pada tahun

1991, Chicago Tribune melakukan

polling tentang sumber ketakutan

terbesar manusia. Hasilnya,

ketakutan untuk berbicara di depan

Page 4: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

42

umum menjadi sumber ketakutan

tertinggi (Whalen,1968). Croskey

(1993) melaporkan 14% siswa kursus

public speaking di Washington State

University yang mengalami

kecemasan tinggi saat diminta

berbicara di depan umum.

Penelitian yang dilakukan

oleh Rahayu dkk. (2003) pada

mahasiswa Akta IV Universitas

Islam Negeri (UIN) Malang

menghasilkan data 45,56%

mahasiswa mempunyai kecemasan

tinggi, 35,27% mahasiswa

mempunyai kecemasan sedang, dan

20,23% mahasiswa mempunyai

kecemasan rendah dalam hal

berbicara di depan umum.

Berdasarkan hasil penelitian

Suwandi (2004) di Fakultas Teologi

Universitas Sanata Dharma, 32,8%

mahasiswa mengalami kecemasan

sedang, 48,3% mahasiswa

mengalami kecemasan tinggi, dan

12,1% mahasiswa mengalami

kecemasan sangat tinggi dalam

situasi berbicara di depan umum.

Berdasarkan hasil observasi dan

wawancara peneliti di komunitas

mahasiswa Universitas Sahid

Surakarta dan Magister Profesi

Psikologi UGM Yogyakarta,

sejumlah mahasiswa masih

mengalami kecemasan yang dirasa

mengganggu pada saat berbicara di

depan umum.

Pembahasan mengenai

kecemasan berbicara di depan

umum tidak dapat dilepaskan dari

wacana kecemasan secara umum.

Menurut pernyataan Leary,

kecemasan adalah respon individu

terhadap situasi-situasi yang

menakutkan. Kecemasan adalah rasa

yang muncul terkait dengan bahaya,

termasuk adanya keinginan untuk

terlepas dan terhindar dari bahaya

(Lazarus, 1976). Kondisi bahaya yang

dimaksudkan di sini adalah bahaya

yang bersifat psikis, terkait dengan

serangan terhadap identitas

seseorang. Reaksi yang muncul pada

saat cemas antara lain adalah perasaan

yang tidak jelas, tidak berdaya, dan

tidak pasti apa yang akan

dilakukan. Lebih lanjut menurut

Lazarus (1991), kecemasan muncul

ketika makna eksistensial seseorang

terganggu atau terancam sebagai hasil

dari ketidakmampuan fisik, konflik

Page 5: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

43

intrapsikis, dan peristiwa yang sulit

didefinisikan. Apa yang ditakutkan

lebih bersifat simbolik daripada nyata.

Strongman (2003) menjelaskan

karakteristik kecemasan sebagai

rasa takut yang sumbernya tidak

jelas dan menimbulkan distres.

Kecemasan sering timbul dalam

menghadapi masalah sehari-hari.

Kecemasan dikatakan normal jika

tidak berlebihan dan muncul pada

situasi yang sesuai (Calhoun dan

Acocella, 1990), misalnya ketika

menghadapi situasi baru. Menurut

Burgoon dan Ruffner (1978),

kecemasan bahkan dibutuhkan

untuk memotivasi seseorang

mempersiapkan diri dengan baik

untuk menghadapi situasi tertentu.

Namun kecemasan dikatakan

merugikan jika berlebihan,

menguras tenaga dengan sia-sia,

mengakibatkan seseorang merasa

kecil, tidak berharga, dan tidak

berdaya (Calhoun dan Acocella,

1990).

Kecemasan semacam ini

dapat menghambat kegiatan sehari-

hari dan mengganggu hubungan

individu dengan orang lain. Burgoon

dan Ruffner (1978) mendefinisikan

kecemasan berbicara di depan umum

sebagai kecemasan yang timbul dalam

upaya untuk mengatasi situasi

berbicara di depan umum. Kecemasan

berbicara di depan umum adalah

suatu hal yang normal, bahkan dapat

dikatakan sehat apabila kecemasan

tersebut mendorong seseorang untuk

mempersiapkan diri sebaik mungkin

untuk mengantisipasi apa yang

ditakutkannya, namun kecemasan

yang terlalu tinggi pada saat

berbicara di depan umum akan

menghambat seseorang untuk

menunjukkan kapasitas dirinya.

Faktor yang mempengaruhi

kecemasan berbicara di depan

umum dapat digolongkan menjadi

dua, yaitu faktor yang berasal dari

dalam diri individu sendiri

(pengalaman, keterampilan

berbicara, harga diri, asertivitas,

efikasi diri, kemampuan berpikir

positif atau negatif, dan

kemampuan berpikir rasional), dan

faktor yang berasal dari luar

(jumlah, sikap, familiaritas, status,

evaluasi, dan perbedaan audiens).

Menurut Ayres (1990), jika faktor

Page 6: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

44

audiens menjadi penyebab

timbulnya kecemasan berbicara di

depan umum, kondisi ini dapat

diperbaiki dengan cara mengubah

audiens (fokus pada audiens).

Namun jika faktor penyebab

kecemasan bersumber pada proses

kognitif dan perilaku pembicara,

maka penyelesaian masalah

difokuskan pada pembicara.

Menurut Bandura (1986),

kognisi adalah proses berpikir

seseorang tentang situasi tertentu.

Berdasarkan teori kognitif, cara

berpikir menentukan bagaimana

seseorang merasa dan berbuat

(Corsini & Wedding, 1989).

Dengan kata lain, cara seseorang

memaknai hubungan antara dirinya

dengan lingkungan di sekitarnya

akan berpengaruh terhadap perasaan

dan perilakunya. Sebagai contoh, jika

seseorang mempunyai pikiran yang

negatif tentang situasi berbicara di

depan umum, maka pikiran negatif

tersebut akan mempengaruhi

perasaan dan perilakunya

sehubungan dengan situasi tersebut.

Pikiran negatif tentang situasi

berbicara di depan umum akan

menimbulkan perasaan takut atau

cemas, yang kemudian akan berimbas

pada perilaku (Ayres, 1992). Di dalam

Pendekatan Perilaku-Kognitif,

komponen kognitif ditujukan untuk

mengubah pikiran-pikiran salah yang

menjadi penyebab masalah (Martin

& Pear, 1996), yang antara lain

dilakukan dengan proses :

1. Identifikasi cara berpikir yang

salah.

2. Mengubah pernyataan diri

negatif menjadi positif.

3. Mempertanyakan kepercayan-

kepercayaan yang tidak

fungsional.

4. Koreksi verbal atas pandangan

dan proses berpikir yang tidak

fungsional.

5. Mempertanyakan asumsi-

asumsi yang salah.

6. Menginstruksikan diri sendiri

untuk mengantisipasi situasi.

Berdasarkan teori Perilaku

yaitu Kondisioning Operan, suasana

Page 7: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

45

hati tergantung dari perasaan yang

diasosiasikan terhadap peristiwa atau

situasi tertentu (Wolpe, 1958).

Asosiasi terhadap situasi

tertentu dipelajari berdasarkan

observasi dan pengalaman

(Hergenhahn & Olson, 2001).

Sebagai contoh, jika seseorang

pernah dihujani kritik dan ejekan

pada saat berbicara di depan

umum, maka ia akan

mengasosiasikan situasi tersebut

sebagai suatu hukuman, sehingga

rasa takut dipermalukan dapat

menjadi penghambat untuk berbicara

di depan umum (Ayres, 2002).

Kurangnya keterampilan seseorang

dalam melakukan sesuatu juga

akan menimbulkan rasa takut dan

cemas. Komponen behavioral di

dalam Pendekatan Perilaku-Kognitif

didasarkan pada pemberian

reinforcement positif dengan

penerapan perilaku yang spesifik

secara langsung. Reber (dalam

Sundberg, 2002) menjelaskan bahwa

Pendekatan Perilaku-Kognitif

awalnya berakar dari pendekatan

perilaku yang kemudian

berkembang dengan menambahkan

proses belajar dan modifikasi

kognitif seperti imagery, fantasy,

thought, dan self image, dengan

konsep dasar bahwa keyakinan

klien atas apa yang mereka lakukan

beserta alasan mereka melakukannya

adalah sama penting dengan apa

yang mereka lakukan itu sendiri.

Pendapat ini didukung oleh

pernyataan dari Craighead dan

Kadzin yang dikutip oleh Woody

dkk. (1992) bahwa Pendekatan

Perilaku-Kognitif menggabungkan

elemen-elemen dari Pendekatan

Perilaku dan Pendekatan Kognitif.

Pendekatan Perilaku menekankan

pentingnya peristiwa dan

lingkungan dalam pembentukan

perilaku. Pendekatan Kognitif

menekankan pentingnya cara berpikir

dalam pembentukan perilaku.

Menurut Pendekatan Perilaku-

Kognitif, proses berpikir maupun

peristiwa itu sendiri sama pentingnya

dalam pembentukan perilaku,

perilaku yang maladaptif bersumber

dari kesalahan dalam berpikir pada

saat memaknai peristiwa dan

lingkungan. Oleh karena itu, fokus

dari Pendekatan Perilaku-Kognitif

Page 8: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

46

adalah modifikasi fungsi berpikir

dan penyelesaian masalah yang

diharapkan akan menimbulkan

perubahan kognitif maupun

perubahan perilaku. Oemarjoedi

(2004) berusaha menjelaskan dengan

lebih rinci bahwa Pendekatan

Perilaku-Kognitif dapat diarahkan

pada modifikasi fungsi berpikir,

merasa, dan bertindak, dengan

menekankan peran otak dalam

menganalisis, memutuskan, bertanya,

berbuat, dan memutuskan kembali.

Tujuan dari Pendekatan Perilaku-

Kognitif adalah mengajak klien untuk

menentang pikiran yang salah

dengan menampilkan bukti-bukti

yang bertentangan dengan keyakinan

mereka tentang masalah yang

dihadapi.

Menurut Sundel (2005),

Pendekatan Perilaku-Kognitif dapat

difokuskan pada dua hal. Fokus

pertama adalah mengubah kognisi

dengan harapan perubahan perilaku

dapat mengikutinya. Fokus ke dua

adalah mengubah perilaku dengan

harapan perubahan kognisi dapat

mengikutinya. Kenyataannya,

penerapan dari pendekatan Perilaku-

Kognitif dalam penanganan kasus di

lapangan sangat beragam. Kalodner

(dalam Gladding, 2000) mengatakan

bahwa tidak ada definisi tunggal

tentang Terapi Perilaku-Kognitif,

termasuk di dalamnya teori, teknik

terapi, maupun strategi penelitian.

Pada umumnya pendekatan Perilaku-

Kognitif bersifat direktif,

terstruktur, berorientasi tujuan, dan

membatasi waktu, misalnya dengan

menggunakan sistem home

assignment dan praktek; serta fokus

pada kemampuan mengatasi masalah.

Berdasarkan Pendekatan

Perilaku-Kognitif, perilaku yang

maladaptif dan kurang efektif

terbentuk karena pengaruh

lingkungan dan cara berpikir yang

kurang rasional dalam menyikapi

diri sendiri dan lingkungan.

Kecemasan berbicara di depan

umum antara lain dipengaruhi oleh

faktor penguatan (reinforcement) dari

lingkungan, kurangnya keterampilan

dalam berbicara di depan umum,

peniruan, dan cara berpikir yang

kurang rasional. Oleh karena itu,

penanganan terhadap kecemasan

berbicara di depan umum setidaknya

Page 9: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

47

dilakukan berdasarkan faktor

penyebab tersebut.

Pendekatan Perilaku-Kognitif

dapat dilakukan secara individual

maupun di dalam kelompok. Di

dalam penelitian ini, pelatihan

dilakukan dengan pendekatan

kelompok.

Keuntungan pendekatan

kelompok (Prawitasari, 1999) adalah :

1. Peserta dapat belajar

bersosialisasi dengan anggota yang

lain dengan cara saling memberi

dan menerima umpan balik.

Komentar dan masukan yang

didapat dari anggota kelompok yang

mengalami permasalahan yang sama

akan lebih dipercaya dan mudah

dicerna.

2. Di dalam kelompok, anggota

akan belajar melatih perilakunya

yang baru. Kelompok merupakan

mikrokosmik sosial. Apabila

seseorang dapat berubah di dalam

kelompok, diharapkan ia dapat

berubah di dunia yang lebih luas.

3. Kelompok menjadi sarana untuk

melatih keterampilan sosial. Sesama

anggota dapat belajar untuk

membuat suasana positif dalam

kelompok dengan cara mendengar

secara aktif, memperlihatkan

perhatian, dan saling memberi

masukan. Anggota yang mempunyai

kelebihan atau mengalami kemajuan

lebih pesat dapat menjadi model

bagi anggota yang lain.

4. Kesempatan untuk memberi dan

menerima di dalam kelompok dapat

menumbuhkan suasana positif di

antara anggotanya, sehingga muncul

perasaan diterima dan dimengerti.

Rasa kebersamaan ini akan

menumbuhkan penghargaan diri dan

keyakinan anggota terhadap dirinya

sendiri, juga meningkatkan

kepercayaan kepada orang lain.

Pelatihan adalah proses

pendidikan jangka pendek yang

menggunakan prosedur sistematis

dan terorganisasi. Peserta pelatihan

mempelajari pengetahuan dan

keterampilan tertentu untuk tujuan

tertentu (Sikula, dalam Purwandari,

1997). Metode pelatihan lebih

difokuskan untuk melatih perilaku

yang spesifik. Pengubahan nilai-

nilai, sikap, dan insight tidak

Page 10: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

48

diutamakan, berbeda dengan

psikoterapi yang bertujuan untuk

mengubah belief system (Goldstein,

1981). Penjelasan ini dapat

dipahami mengingat bahwa proses

pengubahan belief system harus

dilakukan secara mendalam dan

berkesinambungan dalam waktu yang

relatif lama, berbeda dengan proses

pelatihan yang dilakukan dalam

jangka waktu relatif pendek.

Menurut Kirkpatrick (dalam Salas

& Cannon-Bowers, 2001) pelatihan

adalah suatu metode pembelajaran

yang bertujuan untuk mengubah

aspek kognitif, afektif, dan hasil

ketrampilan atau keahlian. Metode

pelatihan sesuai untuk menerapkan

pendekatan Perilaku-Kognitif yang

bertujuan untuk mengubah kognisi

dan melatih perilaku tertentu pada

seseorang. Pentingnya memasukkan

pendekatan kognitif dalam pelatihan

keterampilan sosial juga ditekankan

oleh Kelly (1982). Penjelasan

tersebut menjadi dasar bagi peneliti

untuk menggunakan metode

pelatihan dengan dasar Pendekatan

Perilaku-Kognitif.

Di dalam penelitian ini,

pelatihan yang akan digunakan

untuk mengurangi kecemasan

berbicara di depan umum pada

subjek mahasiswa didasarkan pada

tiga proses Modifikasi Perilaku-

Kognitif, yaitu :

1. Observasi diri

Sebagai tahap awal untuk

mengubah perilaku, klien harus

mengenali cara berpikir, merasa,

dan bertindak (Meichenbaum dalam

Oemarjoedi, 2004). Observasi diri

atau pemantauan diri dilakukan

dengan cara meningkatkan

sensitivitas terhadap pikiran,

perasaan, perilaku, dan reaksi

fisiologis. Pemantauan diri akan

efektif jika disertai dengan evaluasi

diri dan pengukuhan diri (Prawitasari,

1999). Umpan balik dari pelatih

maupun peserta pelatihan merupakan

sarana bagi untuk melakukan evaluasi

diri yang realistis. Pemantauan atas

kemajuan diri sendiri (misalnya

simtom kecemasan berkurang atau

hilang) pada saat proses pelatihan atau

setelah pelatihan merupakan

pengukuh yang efektif untuk

mengatasi kecemasan.

Page 11: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

49

2. Menyusun dialog internal baru

Berdasarkan teori kognitif,

cara seseorang memaknai lingkungan

sangat berpengaruh terhadap kondisi

emosinya. Cara berpikir yang

kurang rasional dalam menyikapi

diri sendiri dan lingkungannya dapat

menimbulkan perilaku yang

maladaptif dan kurang efektif. Pada

umumnya kecemasan berbicara di

depan umum bukan disebabkan oleh

ketidakmampuan individu, tetapi

sering disebabkan oleh pikiran-

pikiran negatif yang tidak rasional.

Pikiran-pikiran negatif seseorang akan

memunculkan ramalan-ramalan

negatif sebagai fungsi

keterlibatannya dalam situasi

berbicara di muka umum, sehingga

muncul kecemasan (Devito, 1984).

Oleh karena itu salah satu cara

untuk mengatasi kecemasan berbicara

di depan umum adalah dengan

mengubah pola pikir yang negatif

yang tidak rasional tersebut

menjadi pola pikir positif yang

rasional (Rahayu, 2004). Seseorang

dapat memantau cara berpikirnya

dengan cara menyadari dialog internal

di dalam dirinya sendiri (self talk).

Pemikiran-pemikiran negatif otomatis

tersebut kemudian dirasionalkan

dengan cara berdiskusi untuk

mendapatkan umpan balik dari

orang lain. Melalui pemantauan diri

berkala dengan disertai

keterampilan baru untuk mengubah

dialog internal menjadi lebih

rasional dan positif, maka seseorang

akan mendapatkan insight baru.

Supaya subjek lebih fokus terhadap

langkah-langkah penyelesaian

masalah dan bukan pada pemikiran

negatif, maka teknik instruksi diri

juga ditambahkan di dalam pelatihan

ini.

3. Belajar keterampilan baru

Penyebab munculnya

kecemasan berbicara di depan umum

tidak terlepas dari faktor kurangnya

keahlian subjek (Croskey dalam

Devito, 1995). Keahlian didapatkan

melalui proses pembelajaran baik

berupa transfer ilmu, latihan, dan

umpan balik dari orang lain.

Keterampilan baru yang dimiliki

subjek akan meningkatkan perasaan

mampu, karena setidaknya subjek

mempunyai bekal untuk mengelola

dirinya pada saat menghadapi situasi

Page 12: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

50

tersebut. Pelatihan ini menjadi

wadah bagi subjek untuk berlatih

menghadapi situasi berbicara di

depan umum dan mendorong

subjek untuk menerapkan

keterampilan baru yang diajarkan di

luar pelatihan.

Ketiga proses dasar tersebut

diaplikasikan dalam paket pelatihan

yang berisi sub-sub pelatihan:

pemantauan diri, relaksasi,

identifikasi dialog internal,

membuat dialog internal baru,

instruksi diri, exposure, dan pelatihan

presentasi diri. Penguatan positif juga

dilakukan dalam penelitian ini dengan

pemberian reward.

Berdasarkan Pendekatan

Perilaku-Kognitif, baik lingkungan,

proses belajar, maupun cara

seseorang memaknai kejadian di

sekitarnya, mempunyai peran yang

sama besar dalam memperkuat

perilaku tertentu. Oleh karena itu

diasumsikan bahwa kecemasan

berbicara di depan umum dapat

dikurangi dengan cara mengubah

cara pandang, berlatih keterampilan

menghadapi situasi berbicara di

depan umum, dan mendapatkan

penguatan dari lingkungan, yang di

dalam penelitian ini dilakukan

dengan Pendekatan Perilaku-Kognitif

dengan metode pelatihan, yaitu

Pelatihan Keterampilan Mengelola

Kecemasan Berbicara di Depan

Umum. Diharapkan pelatihan yang

dilakukan di dalam penelitian ini

dapat mengurangi kecemasan pada

saat berbicara di depan umum.

Hipotesis penelitian ini

adalah : Pelatihan Keterampilan

Mengelola Kecemasan Berbicara di

Depan Umum dengan Pendekatan

Perilaku-Kognitif efektif untuk

menurunkan kecemasan berbicara di

depan umum.

METODE

Penelitian ini menggunakan

jenis penelitian eksperimen, dengan

rancangan eksperimen Pre-test &

Post-test Control Group Design.

Subjek penelitian ini adalah 20

orang mahasiswa Universitas Sahid

Surakarta yang mengalami

kecemasan berbicara di depan

umum (berdasarkan hasil screening

menggunakan Skala Kecemasan

Berbicara di Depan Umum).

Page 13: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

51

Adapun alat yang digunakan di

dalam penelitian ini yaitu

perlengkapan pelatihan, Skala

Kecemasan Berbicara di Depan

Umum, dan modul pelatihan yang

mencakup : lembar pemantauan diri,

lembar target, lembar reaksi

audiens dan pemecahan masalah,

lembar observasi presenter, lembar

relaksasi, lembar pernyataan

persetujuan, lembar instruksi diri,

lembar evaluasi pelatihan, berbagai

macam permainan, materi pelatihan,

dan panduan untuk trainer.

Pengukuran kecemasan

berbicara di depan umum pada

penelitian ini dilakukan sebanyak

dua kali, yaitu sebelum pelatihan

(pre-test) dan setelah pelatihan

(post-test), menggunakan Skala

Kecemasan Berbicara di Depan

Umum. Hasil pengukuran dianalisis

secara kuantitatif dengan

menggunakan Uji Mann-Whitney.

Analisis kualitatif berdasarkan hasil

monitoring individual terhadap

subjek penelitian dilakukan untuk

mendukung hasil analisis kuantitatif.

PROSEDUR

Persiapan Penelitian

Tahap awal yang pelaksanaan

penelitian adalah persiapan penelitian

yang akan dilakukan meliputi

beberapa tahap, yaitu :

1. Observasi dan wawancara

awal untuk identifikasi dan

penemuan masalah yang

terjadi.

2. Penyusunan rancangan

penelitian dan modul

pelatihan yang sesuai dengan

kebutuhan, terkait

permasalahan yang ada.

3. Adaptasi Skala Kecemasan

Berbicara di Depan Umum dari

Utami (1991).

4. Seleksi trainer dan observer

Trainer yang dipilih dalam

penelitian ini adalah trainer

dan observer yang berprofesi

sebagai Psikolog dan

mempunyai pengalaman dalam

memandu pelatihan.

5. Simulasi pelatihan dan revisi

modul pelatihan.

6. Uji coba alat ukur (SKBDU).

Page 14: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

52

Uji coba Skala Kecemasan

Berbicara di Depan Umum

(SKBDU) dilakukan pada

tanggal 15 Oktober 2007

terhadap 150 orang mahasiswa

Universitas Muhammadiyah

Surakarta (UMS) dari berbagai

fakultas dan jurusan.

Perhitungan uji reliabilitas

setelah menghasilkan koefisien

Cronbach sebesar 0,942.

7. Screening terhadap subjek

yang memenuhi kriteria

penelitian. Pemberian SKBDU

pada dari mahasiswa

Universitas Sahid dilakukan

pada tanggal 22 sampai dengan

24 Oktober 2007. Pengambilan

data tersebut juga berfungsi

sebagai pre-test. Mahasiswa

Usahid yang terjaring dalam

screening sebagai peserta

pelatihan (mempunyai skor

SKBDU di atas rerata

hipotetik) diminta

kesediaannya untuk mengikuti

pelatihan.

Mereka diminta untuk hadir

pada pertemuan pra pelatihan

untuk membahas rencana

pelatihan dan penandatanganan

kesepakatan kontrak pelatihan.

8. Penentuan Peserta Pelatihan.

Pertemuan yang diadakan di

Universitas Sahid Surakarta

pada tanggal 31 Oktober

2007. Peneliti menjelaskan

tujuan, garis besar rencana

pelatihan, hak dan tanggung

jawab peserta pelatihan, dan

juga menentukan waktu dan

lokasi pelatihan. Sistem

undian dilakukan untuk

membagi 20 orang subjek

menjadi dua kelompok, yaitu

kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol.

Pelaksanaan Penelitian

Pre-test terhadap kelompok

eksperimen maupun kelompok

kontrol sebelumnya telah dilakukan

pada saat screening. Pelatihan

dilaksanakan selama dua hari, yaitu

tanggal 5 dan 19 November 2007.

Pelatihan Hari Pertama

Sesi 1.

1. Tema : Memahami kecemasan

Page 15: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

53

2. Tujuan : Memahami kondisi

apa saja yang dapat memicu

munculnya kecemasan pada

saat berbicara di depan umum

3. Metode : sharing, tugas,

diskusi

Sesi 2.

1. Tema : mengubah cara

berpikir

2. Tujuan : membangun dialog

internal yang lebih konstruktif

3. Metode : ceramah, permainan,

tugas, diskusi

Sesi 3.

1. Tema : pelatihan relaksasi

2. Tujuan : mengontrol reaksi

fisiologis kecemasan

3. Metode : ceramah, praktek,

tugas, diskusi

Sesi 4

1. Tema : presentasi 1

2. Tujuan : menghadapi

kecemasan dan melatih

ketrampilan berbicara

3. Metode : permainan, praktek

Pelatihan Hari Kedua

Sesi 1

1. Tema : presentasi 2

2. Tujuan : menghadapi

kecemasan dan melatih

ketrampilan berbicara

4. Metode : praktek

Sesi 2

1. Tema : pelatihan presentasi

diri

2. Tujuan : menambah

ketrampilan dalam

mempresentasikan diri di

depan umum

3. Metode : ceramah, permainan,

praktek, diskusi, umpan balik

Post-test dan evaluasi

pelatihan dilaksanakan pada

tanggal 23 November 2008 di

Universitas Sahid Surakarta.

Page 16: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

54

Tabel 1. Rangkuman Skor Pre-test, Skor Post-test, dan Selisih Skor Post-test -

Pre-test SKBDU

Skor SKBDU Nilai z Taraf

Signifikansi

p

Gain Score -2,374 0,003 p < 0,01

Pre-test Score -1,175 0,12 p > 0,05

Post-test Score -1,669 0,0475 p < 0,05

HASIL

Pembahasan dari hasil

penelitian yang telah dilakukan ini

meliputi dua bagian yaitu hasil

analisis data kelompok dan hasil

analisis data individual. Berikut

uraian hasil analisis masing-masing

data :

A. Analisis data kelompok

Hasil perolehan skor Skala

Kecemasan Berbicara di Depan

Umum dari kelompok eksperimen

maupun kelompok kontrol

berdasarkan pre-test dan post-test

dapat dilihat pada Tabel 1.

Uji Mann-Whitney

dilakukan berdasarkan selisih skor

SKBDU dua kelompok tersebut.

Skor z yang dihasilkan adalah -

2,374 dengan taraf signifikansi

0,003 (p<0,01). Hal ini menunjukkan

perbedaan tingkat kecemasan yang

signifikan sebelum dan sesudah

perlakuan antara kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol.

Berdasarkan U test Mann-

Whitney yang dilakukan pada skor

pre-test, tidak ada perbedaan skor

yang signifikan antara kelompok

kontrol dan kelompok eksperimen.

Nilai z yang dihasilkan sebesar -

1,175, dengan taraf signifikansi

0,12 (p>0,01). Hal ini

menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan starting point yang

signifikan antara kelompok kontrol

dan kelompok eksperimen.

Perbedaan skor awal antara kedua

kelompok tersebut tidak

memberikan pengaruh yang berarti

terhadap skor post-test.

Page 17: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012

55

Penghitungan skor post-test

kelompok kontrol dan kelompok

eksperimen dengan uji U dari

Mann-Whitney menghasilkan nilai

z sebesar -1,669 dengan taraf

signifikansi sebesar 0,0475

(p<0,05). Hasil penghitungan ini

menguatkan hasil penghitungan

terhadap selisih skor kelompok

kontrol dan kelompok eksperimen

yang sebelumnya dilakukan.

Terdapat perbedaan skor antara

kelompok yang mendapatkan

perlakuan dengan kelompok yang

tidak mendapatkan perlakuan.

Sumbangan efektif pelatihan

terhadap penurunan skor

kecemasan subjek dilakukan

dengan mencari nilai phi kuadrat

(Φ2 ). Penghitungan dilakukan

dengan tabel kontingensi. Pada

kelompok eksperimen, jumlah

subjek yang mengalami

peningkatan ranking sesudah post-

test ada 7 orang, sedangkan

subjek yang tidak mengalami

peningkatan ranking sejumlah 3

orang. Sepuluh orang subjek

kelompok kontrol tidak ada yang

mengalami peningkatan ranking.

Nilai phi yang didapat sebesar 0,734

dan nilai phi kuadrat 0,5388

(53,88%). Jika kelompok eksperimen

dibandingkan dengan kelompok

kontrol, sumbangan efektif faktor

pelatihan terhadap penurunan

kecemasan subjek adalah 53,88%.

Penurunan kecemasan subjek

sebesar 46,12% disebabkan oleh

faktor di luar penelitian, yaitu

faktor internal (harga diri,

asertivitas, dan efikasi diri) dan

faktor eksternal (familiaritas

terhadap kelompok, jumlah peserta

pelatihan, tingkat kesulitan tugas,

dan formalitas pelatihan).

B. Analisis data individual

Data individual diperoleh

dari keterangan subjek, observasi

pada masing-masing subjek dari

setiap pertemuan, serta lembar

evaluasi pelatihan. Tingkat

kemajuan yang dicapai oleh

peserta pelatihan sangat beragam.

Sembilan subjek mengalami

penurunan skor kecemasan, hanya

satu orang yang mempunyai skor

tetap. Berdasarkan kategorisasi, lima

subjek mengalami penurunan

kecemasan yang cukup berarti

Page 18: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

56

sehingga tingkat kecemasan

mereka menurun dari kecemasan

tinggi menjadi sedang dan rendah,

dua orang peserta tetap masuk dalam

kelompok tingkat kecemasan sedang

setelah pelatihan. Tiga subjek

tetap masuk dalam kelompok

tingkat kecemasan tinggi.

Perubahan skor kecemasan

yang kecil setelah pelatihan

dialami oleh subjek yang termasuk

dalam kelompok kecemasan

sedang. Penulis menyimpulkan

bahwa subjek dengan tingkat

kecemasan sedang kurang sensitif

terhadap pelatihan yang diberikan

karena mereka lebih terampil

mengelola kecemasan berbicara di

depan umum. Tujuan mereka

mengikuti pelatihan lebih terfokus

pada peningkatan keterampilan

melakukan presentasi.

Berdasarkan pencapaian

target yang ditentukan oleh subjek

pada awal pelatihan, lima subjek

mengaku berhasil mencapai target

dan lima peserta lain tidak berhasil

mencapai target. Target untuk

menurunkan kecemasan pada

umumnya tidak dapat dicapai oleh

subjek yang kurang memahami

seberapa besar kemampuan mereka

dan kurang realistis dalam

pencapaian target.

Peserta pelatihan yang

mempunyai target realistis dan

merasa berhasil melakukan

presentasi dengan baik pada hari

pertama (mendapatkan penghargaan

atau masukan yang berarti dari

peserta lain) umumnya melaporkan

bahwa kecemasannya menurun dan

targetnya dapat dicapai. Peserta

pelatihan melaporkan peningkatan

rasa percaya diri pada presentasi

hari kedua kecuali dua orang yang

mengaku tidak suka berbicara di

depan umum. Mereka merasa

tidak mampu menyusun kalimat

dengan baik, dan itu menyulitkan

mereka pada saat presentasi.

Berdasarkan uraian di atas,

penulis mencoba menyimpulkan

hal-hal yang dapat mendukung

penurunan kecemasan subjek, yaitu :

kepribadian, penerimaan diri,

kemampuan memahami diri,

keterbukaan terhadap masukan,

kedisiplinan untuk melatih

keterampilan dan menerapkan hasil

pelatihan, kegigihan, dan

kemampuan menentukan target

Page 19: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

57

secara realistis.

PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis data

kuantitatif yang menggunakan uji U

dari Mann Whitney terhadap selisih

skor maupun skor SKBDU,

diperoleh hasil yang menunjukkan

bahwa pada pelatihan yang

menggunakan Pendekatan Perilaku-

Kognitif ini dapat menurunkan

tingkat kecemasan berbicara di

depan umum pada kelompok

eksperimen. Sumbangan efektif

pelatihan terhadap penurunan

tingkat kecemasan sebesar 53,88%.

Hal ini menunjukkan bahwa

pelatihan yang diberikan efektif

untuk menurunkan tingkat

kecemasan berbicara di depan

umum.

Selain adanya perbedaan

ranking pada selisih skor SKBDU

antara kedua kelompok, penurunan

skor SKBDU pada sembilan orang

subjek kelompok eksperimen, dan

penurunan kategorisasi kecemasan

pada lima orang subjek, penurunan

tingkat kecemasan pada peserta

setelah pelatihan dapat dijelaskan

dengan analisis kualitatif berupa

berkurangnya tanda-tanda fisik

kecemasan ketika berbicara di

depan kelas pada pelatihan hari

kedua. Kondisi ini terlihat pada

berkurangnya gerakan-gerakan

yang berlebihan, getaran suara, dan

wajah yang memerah. Kesadaran

akan kontak mata dan inisiatif

untuk berkomunikasi juga menjadi

indikator adanya kemajuan pada

peserta pelatihan. Pada sesi

presentasi hari kedua, kebanyakan

peserta pelatihan lebih kooperatif

saat diminta untuk tampil. Peserta

yang sebelumnya menolak untuk

tampil lebih mudah diajak bekerja

sama.. Peserta yang merasa bahwa

dirinya mempunyai kecenderungan

untuk panik dan lupa pada apa

yang akan dikatakan melaporkan

bahwa pelatihan yang telah diikuti

dapat membuat mereka lebih tenang

dalam berpikir. Pada saat evaluasi,

ada beberapa peserta yang

memberikan masukan kepada

peneliti untuk memperbanyak sesi

presentasi agar kemampuan

berbicara dan mengelola

kecemasan lebih terasah. Ini

menunjukkan bahwa peserta

Page 20: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

58

menyadari pentingnya berlatih

berbicara di depan umum untuk

mengelola kecemasan yang

menyertainya. Artinya, tujuan

pelatihan agar peserta dapat

mengurangi perilaku menghindar

untuk berbicara di depan umum

dapat dicapai.

Hal-hal lain yang mendukung

keberhasilan pelatihan antara lain :

1. Modul pelatihan

Rancangan pelatihan banyak

mengacu kepada terapi perilaku

berupa terapi relaksasi dan

terapi kognitif yang telah

dilakukan oleh Utami (1991)

maupun Purnamaningsih dan

Utami (1996). Pada penelitian

tersebut, Terapi Relaksasi dan

Terapi Kognitif efektif untuk

mengurangi kecemasan berbicara

di depan umum. Konsep

pelatihan ini disusun berdasarkan

Pendekatan Perilaku-Kognitif

yang efektif untuk mengatasi

permasalahan psikologis,

termasuk kecemasan sosial dan

kecemasan berbicara di depan

umum. Hal ini juga ikut

mempengaruhi efektivitas

pelatihan kecemasan berbicara di

depan umum yang dilakukan oleh

peneliti.

2. Pendekatan kelompok

Yalom (1985) menyebutkan

salah satu kelebihan pendekatan

kelompok adalah self disclosure

(membuka diri). Membuka diri

dilakukan dengan menceritakan

apa yang dirasakan, kesulitan

yang dialami dan cara

mengatasi kesulitan-kesulitan

tersebut. Setelah mendengar

anggota lain dalam kelompok

mengemukakan masalahnya

maka seseorang yang

mempunyai masalah akan

merasa bahwa dia tidak

sendirian dalam menghadapi

masalah tersebut. Dalam

kelompok juga akan terjadi

pencerahan apabila seseorang

menemukan sesuatu yang

penting tentang dirinya. Ia

dapat menerima dukungan dan

berbagi masalah dengan orang

lain.

Kelompok eksperimen terdiri

dari 10 orang (format kelompok

kecil). Perubahan perilaku pada

kelompok kecil lebih efektif

dibandingkan pada kelompok besar

Page 21: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

59

karena perlakuan terhadap subjek

lebih merata dan intensif

(Prawitasari, 1999).

3. Trainer

Trainer mempunyai latar

belakang profesi Psikolog dan

mempunyai pengalaman

memandu pelatihan. Mereka

mampu menyampaikan materi

dengan jelas, dapat mengatasi

keterbatasan materi, dan

memandu pelatihan dengan cara

yang menarik.

4. Peserta

Meskipun ada beberapa subjek

yang harus dimotivasi terlebih

dulu untuk berlatih berbicara di

depan kelas, pada dasarnya

peserta pelatihan cukup

kooperatif. Kesungguhan dan

partisipasi aktif peserta

menentukan hasil pelatihan

(Salas & Cannon-Bowers, 2001).

5. Tema presentasi yang ringan

Berdasarkan laporan dari

sebagian peserta pasca

pelatihan, tema presentasi yang

ringan dan berkisar pada diri

sendiri memudahkan mereka

untuk menyusun apa yang

disampaikan pada saat presentasi.

Kondisi ini menimbulkan

perasaan mampu pada diri

sebagian peserta pada saat

presentasi sehingga mereka

merasa lebih percaya diri,

bahkan merasa perlu untuk ikut

pelatihan lagi.

6. Kesempatan mempraktekkan hasil

pelatihan

Pelaksanaan pelatihan pada hari

ke dua hampir bersamaan

dengan mulainya Ujian Tengah

Semester di Universitas Sahid

Surakarta. Banyak diantara

peserta yang mendapatkan

giliran untuk mempresentasikan

tugas kuliah, sehingga mereka

mempunyai kesempatan untuk

mempraktekkan keterampilan

yang telah didapatkan pada

pelatihan hari pertama. Secara

kebetulan ada acara seminar dan

lokakarya yang diikuti oleh

beberapa peserta pelatihan.

Kesempatan subjek untuk

mempraktekkan keterampilan

yang telah diajarkan di

kehidupan nyata juga

berpengaruh terhadap efektivitas

pelatihan.

Pelatihan yang diberikan

Page 22: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

60

efektif untuk menurunkan kecemasan

berbicara di depan umum, dengan

sumbangan efektif sebesar 53,88%.

Meskipun demikian perlu

dicermati adanya faktor-faktor yang

dapat mengancam validitas internal

penelitian ini, yaitu :

1. Proses maturasi

Penurunan skor yang terjadi

pada kelompok eksperimen

bukan saja dipengaruhi oleh

perlakuan yang diberikan

melalui pelatihan, tapi dapat

juga dipengaruhi oleh adanya

proses kematangan alamiah

dalam perkembangan subjek

(Cook & Campbell, 1979).

Sebagai langkah antisipasi,

peneliti berusaha menentukan

waktu sesingkat mungkin antara

pre-test dan post-test. Jarak waktu

satu bulan antara pre-test dan

post-test diharapkan dapat

memperkecil kemungkinan adanya

ancaman proses maturasi terhadap

validitas internal hasil penelitian.

Tidak dilakukan monitoring

terhadap efek maturasi pada

kelompok kontrol.

2. Efek Histori

Faktor lain di luar pelatihan dapat

mempengaruhi perubahan skor

subjek adalah histori (Cook &

Campbell, 1979), yaitu ketika ada

kejadian tertentu pada subjek di

antara pre-test dan post-test yang

mempengaruhi peningkatan atau

penurunan kecemasan subjek.

Analisis data individual

berdasarkan hasil observasi dan

wawancara dilakukan pada subjek

kelompok eksperimen untuk

memonitor apakah efek histori

mengancam validitas internal hasil

penelitian. Efek histori juga dapat

mempengaruhi penurunan skor

SKBDU pada kelompok kontrol,

tapi tidak ada keterangan yang

mendukung karena tidak dilakukan

monitoring terhadap kelompok

kontrol.

3. Efek Testing

Pengukuran pada pre-test dan

post-test dengan menggunakan

alat ukur yang sama dapat

menjadi ancaman terhadap

validitas internal penelitian (Cook

& Campbell, 1979).

Subjek dapat mengingat isi

alat ukur berikut responnya,

sehingga spontanitas dalam

memberikan jawaban akan

Page 23: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

61

berkurang. Skala yang terdiri dari

45 aitem dapat memperkecil

kemungkinan bagi subjek untuk

mengingat pernyataan dan jawaban

pada tes sebelumnya. Kondisi ini

berbeda dengan skala dengan

jumlah item sedikit yang relatif

mudah untuk diingat oleh subjek.

Ada kemungkinan subjek berusaha

memberikan kesan positif dalam

mengerjakan post-test. Peneliti

berusaha mengantisipasi

kemungkinan ini dengan

memberikan penjelasan kepada

subjek agar mereka menjawab

dengan jujur dan apa adanya,

termasuk dalam melaporkan

perubahan

kecemasan yang dialami.

4. Efek kesalahan observer

Peneliti bertindak sebagai

observer. Untuk mengantisipasi

kesalahan, subjektivitas, dan

kemungkinan penilaian yang

mendukung tujuan penelitian,

maka observasi tidak hanya

dilakukan oleh peneliti, tapi

juga dengan observer lain

yang dalam hal ini juga

merangkap peran sebagai

trainer atau co-trainer pada

sesi pelatihan yang berbeda.

Hasil observasi didiskusikan

bersama oleh observer setelah

pelatihan berakhir.

5. Faktor-faktor yang telah diteliti

pengaruhnya terhadap

kecemasan berbicara di depan

umum seperti: jenis kelamin,

harga diri, kemampuan berpikir

positif, asertivitas, dan efikasi

diri. Pelatih melakukan kontrol

jenis kelamin dengan cara

menyeimbangkan jumlah laki-

laki dan perempuan dalam satu

kelompok. Antisipasi ini

dilakukan terhadap kelompok

eksperimen maupun kelompok

kontrol. Masing-masing

kelompok terdiri dari lima orang

perempuan dan lima orang laki-

laki. Faktor harga diri,

kemampuan berpikir positif,

asertivitas, dan efikasi diri

tidak dikontrol dalam penelitian

ini. Selain faktor pelatihan,

faktor-faktor ini juga

memberikan sumbangan

terhadap penurunan skor

SKBDU pada kelompok kontrol.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan

Page 24: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

62

adanya penurunan tingkat kecemasan

berbicara di depan umum pada

kelompok yang mendapatkan

Pelatihan Keterampilan Mengelola

Kecemasan Berbicara di Depan

Umum dengan Pendekatan

Perilaku-Kognitif. Setelah

mendapatkan pelatihan, subjek

kelompok eksperimen lebih sadar

dalam memantau diri dan

mengontrol perilaku mereka untuk

meningkatkan kemampuan

berbicara di depan forum. Subjek

kelompok eksperimen juga terlihat

lebih aktif dan percaya diri pada

presentasi yang ke dua.

Penelitian ini menemukan

adanya karakteristik subjek yang

mendukung penurunan skor

kecemasan dan mendorong

kemajuan penampilan subjek pada

saat presentasi, yaitu semangat

untuk meningkatkan kemampuan,

konsistensi, ketepatan menilai

kelebihan dan kekurangan diri

pada saat berbicara, dan

kemampuan untuk menentukan

target yang realistis. Perasaan

berhasil yang muncul setelah

subjek dapat menyelesaikan tugas

presentasi dengan baik adalah

reward yang efektif untuk

meningkatkan rasa percaya diri

dan mengurangi rasa cemas pada

diri subjek. Baik kemampuan

mengelola kecemasan maupun

peningkatan pengetahuan dan

keterampilan sama-sama

mendukung kemajuan yang dicapai

oleh subjek penelitian apabila

subjek tahu benar seberapa besar

kemampuannya, tidak

membandingkan dirinya dengan

orang lain yang telah memiliki

kemampuan yang baik dalam

berbicara, dan tidak menargetkan

hasil yang besar dalam jangka waktu

yang singkat. Melatih keterampilan

berbicara tidak dapat dilakukan

secara instan. Keterampilan

berbicara membutuhkan proses

yang terus menerus dan

berkesinambungan, disertai dengan

umpan balik dan masukan dari

pihak-pihak lain.

Hasil dari penelitian ini

diharapkan dapat menambah

khasanah keilmuan Psikologi dan

dapat diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari. Kelemahan

penelitian hendaknya dapat

dijadikan perbaikan untuk

Page 25: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

63

melakukan penelitian selanjutnya

dengan harapan dapat

menyempurnakan kekurangan dalam

penelitian ini.

DAFTAR RUJUKAN

Ayres, J. (1990). Situational factors

and audiency anxiety.

Communication Education. 39,

283-291

Burgoon, M. & Ruffner, M.

(1978). Human

communication : a revision of

approaching speech

/communication. New York :

Rineheart & Winston.

Corsini, R. J. & Wedding, D.

(1989). Current

psychotherapies. Illinois: F.

E. Peacock Publishers, Inc.

Croskey, J.C. (1993). An

Introduction to rhetorical

communication apprehension.

New Jersey: Prentice Hall Inc.

Croskey, J.C., Simpson, T.J., &

Richmond, V.P. (1982).

Biological sex and

communication apprehension.

Communication Quarterly. 30:

2.

Devito, J.A., (1984). The elements

of public speaking. New

York: Harper and Row

Publisher.

Devito, J.A., (1995). The

interpersonal communication

book. New York : Harper

Collins College Publisher.

Fordham, D.R., & Gabbin, A.L.

(1996). Skills versus

apprehension: empirical

evidence on oral

communication. Bussiness

Communication Quarterly.

59, 88-97.

Gladding, S.T. (2000). Counseling,

a comprehensive profession.

Upper Saddle River :

Prentice Hall Inc.

Goldstein, A. P. 1981. Psychological

skill training: the structured

learning technique. New York

: Pergamon Press.

Lamb, D.H. (1972). Speech

anxiety: towards a

theoretical conceptualization

and preliminary scale

development. Speech

Monographs. 39, 62-67.

Lazarus, R.S. (1976). Patterns of

adjustment and human

effectiveness. Tokyo:

McGraw Hill Kogakusha.

Lazarus, R.S. (1991). Emotion and

adaptation. New York :

University Press.

Martin, G. & Pear, J. (1996).

Behavior modification : what

it is and how to do it. 5th

edition. Upper Saddle River :

Prentice Hall International,

Inc.

Kelly, J.A. 1982. Social skill

training.

Page 26: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

64

New York : Springer Publishing

Company, Inc.

Oemarjoedi, A.K. (2004).

Pendekatan cognitive

behavior dalam psikoterapi.

Jakarta: Creative Media.

Patterson, C.H. (1986). Theories of

counseling and

psychotherapy. New York :

Harper & Row.

Pfeiffer, J.W., & Ballew, A.C.

1988. UA training

technologies series.

California : University

Associates, Inc.

Prawitasari, J. E. (1999).Pendekatan

kelompok. Materi Kuliah

Psikoterapi(Tidak

Diterbitkan). Yogyakarta :

Fakultas Psikologi UGM.

Purwan dari. (1997). Pelatihan

strategi berteman untuk

mengurangi kecenderungan

perilaku menarik diri remaja

awal. Tesis (tidak diterbitkan).

Yogyakarta : Program Pasca

Sarjana UGM.

Rahayu, I.T, Ardani, T. A.&

Sulistyaningsih. (2003).

Hubungan pola pikir positif

dengan kecemasan berbicara

di depan umum. Jurnal

Psikologi UNDIP. 1, 2, 131-

143

Rahayu, I. T. (2004). Pengaruh

pelatihan pengembangan

diri terhadap peningkatan

berpikir positif dan

penurunan kecemasan

berbicara di depan umum.

Tesis (Tidak Diterbitkan).

Yogyakarta : Fakultas

Psikologi Universitas Gadjah

Mada

Salas, E. & Cannon-Bowers, J.A.

(2001). The science of

training : a decade of

progres, Annual Review

Psychology. Vol. 52, 471-

499.

Spielberger, C.D. (1966). Theory and

research on anxiety. New

York: Academic Press.

Strongman, K.T. (2003). The

psychology of emotion :

from everyday life to theory.

West Sussex : John Wiley &

Sons Ltd.

Sundberg, N.D., Wineberger, A.A.

& Taplin, J.R. (2002).

Clinical psychology :

envolving theory, practice,

and research. New Jersey :

Prentice Hall Inc.

Sundel, M. & Sundel, S.S. (2005).

Behavior change in the

human services, behavioral

and cognitive principles and

application. Thousand Oaks

: Sage Publications.

Suwandi. (2004). Hubungan efikasi

diri dan konsep diri

dengan kecemasan

berbicara di depan umum

mahasiswa teologi terapan

universitas sanata dharma.

Tesis (Tidak Diterbitkan).

Yogyakarta : Fakultas

Psikologi Universitas Gadjah

Mada.

Page 27: perilaku kongnitif

TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012

65

Thomas, C. (2005). Conquering

speech anxiety.

supplemental chapter for

confidence in public

speaking.

http://www.roxbury.net/cps6

chape.pdf. (28 Juni 2006).

Utami, M.S. (1991). Pengaruh terapi

kognitif dan relaksasi untuk

mengurangi kecemasan

berbicara di depan umum.

Tesis (Tidak Diterbitkan).

Yogyakarta : Fakultas

Psikologi Uiversitas Gadjah

Mada.

Wallechinsky, D., Wallace, D. &

Wallace, H. (1977). The

book of list. New York:

Bantam Books.

Whalen, J.D. (1996). I see what you

mean. Thousand Oaks : Sage

Publications.

Wiederhold, B. K. & Wiederhold,

M.D. (2005). Virtual

reality and anxiety

disorders : advances in

evaluation and treatment.

Washington D.C. : American

Psychological Association.

Woody, R. H., La Voie, J. C. &

Epps, S. (1992). School

psychology, a developmental

and social systems approach.

Boston : Allyn and Bacon.

Yalom, I. D. (1985). The theory

and practice of group

psychotherapy. New York :

Basic Book