perilaku kongnitif
DESCRIPTION
rentang perilaku kongnitifTRANSCRIPT
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
39
PENDEKATAN PERILAKU KOGNITIF DALAM PELATIHAN
KETERAMPILAN MENGELOLA KECEMASAN
BERBICARA DI DEPAN UMUM
Anne Fatma¹, Sri Ernawati¹
¹Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Sahid Surakarta
Email : [email protected]
Abstract
This research aimed to understand the effectiveness of Training on the
Skill of Managing Public Speaking Anxiety Using Cognitive-Behavioral Approach,
on the way it can reduce the level of Public Speaking Anxiety. The experiment design
used in this research is Non-randomized Pre-test and Post-test Control Group Design,
with the subjects were 20 undergraduate students of Sahid University Surakarta
experiencing public speaking anxiety.
The result of statistical analysis using the Mann-Whitney’s test are : there
was significantly different level of public speaking anxiety between the experimental
group and control group at pre-test and post-test, with z = -2,374 (p<0,01). The phi
square is 0,5388. It means that the training gave 53,88% on reducing the level of public
speaking anxiety.
The model of Training on the Skill of Managing Public Speaking Anxiety Using
Cognitive-Behavioral Approach was effective to reduce the level of public speaking
anxiety. So, it was matched with the hypothesis of this research.
Keywords : Cognitive-Behavioral Approach, Training, Public Speaking Anxiety
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
40
Abstrak
Penelitian ini bertujuan memahami efektivitas pelatihan dalam mengurangi level
kecemasan berbicara di depan umum melalui pendekatan perilaku kognitif. Desain
eksperimen menggunakan Non Random Pre-test dan Post-test terhadap kelompok control,
dengan jumlah subjek sebanyak 20 orang mahasiswa Universitas Sahid Surakarta yang
memiliki pengalaman berbicara di depan umum.
Hasil dari Mann-Whitney’s test yaitu adanya signifikasi perbedaan antara
kelompok control pada pre-test dan post-test, dengan nilai Z = - 2,374 (p<0,01).
Sedangkan phi kuadrat sebesar 0,5388. Artinya bahwa melalui pelatihan 53,88 % mampu
mengurangi tingkat kecemasan seseorang saat berbicara di depan umum.
Model yang digunakan dalam pelatihan adalah pendekatan perilaku kognitif
sehingga nyata dampaknya bagi pengurangan tingkat kecemasan. Dimana hal ini juga
sesuai dengan hipotesa yang disajikan.
Kata kunci : Kecemasan Berbicara di Depan Umum, Pelatihan, Pendekatan Perilaku
Kognitif.
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
41
PENGANTAR
Komunikasi adalah suatu hal
yang sangat penting dan tidak
mungkin dihindari dalam kehidupan
manusia sebagai mahluk sosial. Di
dalam masyarakat, individu yang
mampu berbicara dengan baik di
depan umum akan mempunyai nilai
lebih di mata orang lain. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Whalen
(1968) bahwa individu yang
mampu berkomunikasi dengan baik
di depan umum akan dianggap
lebih pintar, lebih menarik, dan
mampu menjadi pemimpin. Orang
yang kurang mampu berkomunikasi
dengan baik di depan umum
mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk gagal dalam presentasi karena
tidak dapat mempengaruhi orang
lain, meskipun ia mempunyai ide
yang bagus. Kemampuan berbicara di
depan umum juga sangat penting
untuk mencapai kesuksesan dalam
dunia kerja. Kemampuan berbicara
adalah salah satu pengukur
kesuksesan dalam mencari pekerjaan
dan kemajuan karir (Fordham &
Gabbin, 1996). Oleh karena itu, sudah
selayaknya kemampuan berbicara di
depan umum dilatih sejak dini
sebelum seseorang siap untuk
memasuki pasar kerja. Sebagai
kelompok yang mengenyam
pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut
untuk mampu menuangkan ide dan
pikirannya secara lisan, termasuk pada
saat mereka diminta untuk tampil
berbicara di depan umum.
Kompetensi mahasiswa dalam
berbicara di depan umum telah
menjadi suatu tuntutan yang
sewajarnya sebagai bekal di dunia
kerja dan kehidupan bermasyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa
75% mahasiswa di Amerika
mengalami kecemasaan berbicara di
depan umum (Thomas, 2005).
Menurut Wallechinsky (1977)
dalam survei untuk meranking
sepuluh besar ketakutan manusia,
sebanyak 41% menyatakan bahwa
berbicara di depan umum merupakan
ketakutan tertinggi, sementara
sebagai pembanding, hanya 19%
yang memilih kematian sebagai
ketakutan yang tertinggi. Pada tahun
1991, Chicago Tribune melakukan
polling tentang sumber ketakutan
terbesar manusia. Hasilnya,
ketakutan untuk berbicara di depan
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
42
umum menjadi sumber ketakutan
tertinggi (Whalen,1968). Croskey
(1993) melaporkan 14% siswa kursus
public speaking di Washington State
University yang mengalami
kecemasan tinggi saat diminta
berbicara di depan umum.
Penelitian yang dilakukan
oleh Rahayu dkk. (2003) pada
mahasiswa Akta IV Universitas
Islam Negeri (UIN) Malang
menghasilkan data 45,56%
mahasiswa mempunyai kecemasan
tinggi, 35,27% mahasiswa
mempunyai kecemasan sedang, dan
20,23% mahasiswa mempunyai
kecemasan rendah dalam hal
berbicara di depan umum.
Berdasarkan hasil penelitian
Suwandi (2004) di Fakultas Teologi
Universitas Sanata Dharma, 32,8%
mahasiswa mengalami kecemasan
sedang, 48,3% mahasiswa
mengalami kecemasan tinggi, dan
12,1% mahasiswa mengalami
kecemasan sangat tinggi dalam
situasi berbicara di depan umum.
Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara peneliti di komunitas
mahasiswa Universitas Sahid
Surakarta dan Magister Profesi
Psikologi UGM Yogyakarta,
sejumlah mahasiswa masih
mengalami kecemasan yang dirasa
mengganggu pada saat berbicara di
depan umum.
Pembahasan mengenai
kecemasan berbicara di depan
umum tidak dapat dilepaskan dari
wacana kecemasan secara umum.
Menurut pernyataan Leary,
kecemasan adalah respon individu
terhadap situasi-situasi yang
menakutkan. Kecemasan adalah rasa
yang muncul terkait dengan bahaya,
termasuk adanya keinginan untuk
terlepas dan terhindar dari bahaya
(Lazarus, 1976). Kondisi bahaya yang
dimaksudkan di sini adalah bahaya
yang bersifat psikis, terkait dengan
serangan terhadap identitas
seseorang. Reaksi yang muncul pada
saat cemas antara lain adalah perasaan
yang tidak jelas, tidak berdaya, dan
tidak pasti apa yang akan
dilakukan. Lebih lanjut menurut
Lazarus (1991), kecemasan muncul
ketika makna eksistensial seseorang
terganggu atau terancam sebagai hasil
dari ketidakmampuan fisik, konflik
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
43
intrapsikis, dan peristiwa yang sulit
didefinisikan. Apa yang ditakutkan
lebih bersifat simbolik daripada nyata.
Strongman (2003) menjelaskan
karakteristik kecemasan sebagai
rasa takut yang sumbernya tidak
jelas dan menimbulkan distres.
Kecemasan sering timbul dalam
menghadapi masalah sehari-hari.
Kecemasan dikatakan normal jika
tidak berlebihan dan muncul pada
situasi yang sesuai (Calhoun dan
Acocella, 1990), misalnya ketika
menghadapi situasi baru. Menurut
Burgoon dan Ruffner (1978),
kecemasan bahkan dibutuhkan
untuk memotivasi seseorang
mempersiapkan diri dengan baik
untuk menghadapi situasi tertentu.
Namun kecemasan dikatakan
merugikan jika berlebihan,
menguras tenaga dengan sia-sia,
mengakibatkan seseorang merasa
kecil, tidak berharga, dan tidak
berdaya (Calhoun dan Acocella,
1990).
Kecemasan semacam ini
dapat menghambat kegiatan sehari-
hari dan mengganggu hubungan
individu dengan orang lain. Burgoon
dan Ruffner (1978) mendefinisikan
kecemasan berbicara di depan umum
sebagai kecemasan yang timbul dalam
upaya untuk mengatasi situasi
berbicara di depan umum. Kecemasan
berbicara di depan umum adalah
suatu hal yang normal, bahkan dapat
dikatakan sehat apabila kecemasan
tersebut mendorong seseorang untuk
mempersiapkan diri sebaik mungkin
untuk mengantisipasi apa yang
ditakutkannya, namun kecemasan
yang terlalu tinggi pada saat
berbicara di depan umum akan
menghambat seseorang untuk
menunjukkan kapasitas dirinya.
Faktor yang mempengaruhi
kecemasan berbicara di depan
umum dapat digolongkan menjadi
dua, yaitu faktor yang berasal dari
dalam diri individu sendiri
(pengalaman, keterampilan
berbicara, harga diri, asertivitas,
efikasi diri, kemampuan berpikir
positif atau negatif, dan
kemampuan berpikir rasional), dan
faktor yang berasal dari luar
(jumlah, sikap, familiaritas, status,
evaluasi, dan perbedaan audiens).
Menurut Ayres (1990), jika faktor
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
44
audiens menjadi penyebab
timbulnya kecemasan berbicara di
depan umum, kondisi ini dapat
diperbaiki dengan cara mengubah
audiens (fokus pada audiens).
Namun jika faktor penyebab
kecemasan bersumber pada proses
kognitif dan perilaku pembicara,
maka penyelesaian masalah
difokuskan pada pembicara.
Menurut Bandura (1986),
kognisi adalah proses berpikir
seseorang tentang situasi tertentu.
Berdasarkan teori kognitif, cara
berpikir menentukan bagaimana
seseorang merasa dan berbuat
(Corsini & Wedding, 1989).
Dengan kata lain, cara seseorang
memaknai hubungan antara dirinya
dengan lingkungan di sekitarnya
akan berpengaruh terhadap perasaan
dan perilakunya. Sebagai contoh, jika
seseorang mempunyai pikiran yang
negatif tentang situasi berbicara di
depan umum, maka pikiran negatif
tersebut akan mempengaruhi
perasaan dan perilakunya
sehubungan dengan situasi tersebut.
Pikiran negatif tentang situasi
berbicara di depan umum akan
menimbulkan perasaan takut atau
cemas, yang kemudian akan berimbas
pada perilaku (Ayres, 1992). Di dalam
Pendekatan Perilaku-Kognitif,
komponen kognitif ditujukan untuk
mengubah pikiran-pikiran salah yang
menjadi penyebab masalah (Martin
& Pear, 1996), yang antara lain
dilakukan dengan proses :
1. Identifikasi cara berpikir yang
salah.
2. Mengubah pernyataan diri
negatif menjadi positif.
3. Mempertanyakan kepercayan-
kepercayaan yang tidak
fungsional.
4. Koreksi verbal atas pandangan
dan proses berpikir yang tidak
fungsional.
5. Mempertanyakan asumsi-
asumsi yang salah.
6. Menginstruksikan diri sendiri
untuk mengantisipasi situasi.
Berdasarkan teori Perilaku
yaitu Kondisioning Operan, suasana
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
45
hati tergantung dari perasaan yang
diasosiasikan terhadap peristiwa atau
situasi tertentu (Wolpe, 1958).
Asosiasi terhadap situasi
tertentu dipelajari berdasarkan
observasi dan pengalaman
(Hergenhahn & Olson, 2001).
Sebagai contoh, jika seseorang
pernah dihujani kritik dan ejekan
pada saat berbicara di depan
umum, maka ia akan
mengasosiasikan situasi tersebut
sebagai suatu hukuman, sehingga
rasa takut dipermalukan dapat
menjadi penghambat untuk berbicara
di depan umum (Ayres, 2002).
Kurangnya keterampilan seseorang
dalam melakukan sesuatu juga
akan menimbulkan rasa takut dan
cemas. Komponen behavioral di
dalam Pendekatan Perilaku-Kognitif
didasarkan pada pemberian
reinforcement positif dengan
penerapan perilaku yang spesifik
secara langsung. Reber (dalam
Sundberg, 2002) menjelaskan bahwa
Pendekatan Perilaku-Kognitif
awalnya berakar dari pendekatan
perilaku yang kemudian
berkembang dengan menambahkan
proses belajar dan modifikasi
kognitif seperti imagery, fantasy,
thought, dan self image, dengan
konsep dasar bahwa keyakinan
klien atas apa yang mereka lakukan
beserta alasan mereka melakukannya
adalah sama penting dengan apa
yang mereka lakukan itu sendiri.
Pendapat ini didukung oleh
pernyataan dari Craighead dan
Kadzin yang dikutip oleh Woody
dkk. (1992) bahwa Pendekatan
Perilaku-Kognitif menggabungkan
elemen-elemen dari Pendekatan
Perilaku dan Pendekatan Kognitif.
Pendekatan Perilaku menekankan
pentingnya peristiwa dan
lingkungan dalam pembentukan
perilaku. Pendekatan Kognitif
menekankan pentingnya cara berpikir
dalam pembentukan perilaku.
Menurut Pendekatan Perilaku-
Kognitif, proses berpikir maupun
peristiwa itu sendiri sama pentingnya
dalam pembentukan perilaku,
perilaku yang maladaptif bersumber
dari kesalahan dalam berpikir pada
saat memaknai peristiwa dan
lingkungan. Oleh karena itu, fokus
dari Pendekatan Perilaku-Kognitif
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
46
adalah modifikasi fungsi berpikir
dan penyelesaian masalah yang
diharapkan akan menimbulkan
perubahan kognitif maupun
perubahan perilaku. Oemarjoedi
(2004) berusaha menjelaskan dengan
lebih rinci bahwa Pendekatan
Perilaku-Kognitif dapat diarahkan
pada modifikasi fungsi berpikir,
merasa, dan bertindak, dengan
menekankan peran otak dalam
menganalisis, memutuskan, bertanya,
berbuat, dan memutuskan kembali.
Tujuan dari Pendekatan Perilaku-
Kognitif adalah mengajak klien untuk
menentang pikiran yang salah
dengan menampilkan bukti-bukti
yang bertentangan dengan keyakinan
mereka tentang masalah yang
dihadapi.
Menurut Sundel (2005),
Pendekatan Perilaku-Kognitif dapat
difokuskan pada dua hal. Fokus
pertama adalah mengubah kognisi
dengan harapan perubahan perilaku
dapat mengikutinya. Fokus ke dua
adalah mengubah perilaku dengan
harapan perubahan kognisi dapat
mengikutinya. Kenyataannya,
penerapan dari pendekatan Perilaku-
Kognitif dalam penanganan kasus di
lapangan sangat beragam. Kalodner
(dalam Gladding, 2000) mengatakan
bahwa tidak ada definisi tunggal
tentang Terapi Perilaku-Kognitif,
termasuk di dalamnya teori, teknik
terapi, maupun strategi penelitian.
Pada umumnya pendekatan Perilaku-
Kognitif bersifat direktif,
terstruktur, berorientasi tujuan, dan
membatasi waktu, misalnya dengan
menggunakan sistem home
assignment dan praktek; serta fokus
pada kemampuan mengatasi masalah.
Berdasarkan Pendekatan
Perilaku-Kognitif, perilaku yang
maladaptif dan kurang efektif
terbentuk karena pengaruh
lingkungan dan cara berpikir yang
kurang rasional dalam menyikapi
diri sendiri dan lingkungan.
Kecemasan berbicara di depan
umum antara lain dipengaruhi oleh
faktor penguatan (reinforcement) dari
lingkungan, kurangnya keterampilan
dalam berbicara di depan umum,
peniruan, dan cara berpikir yang
kurang rasional. Oleh karena itu,
penanganan terhadap kecemasan
berbicara di depan umum setidaknya
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
47
dilakukan berdasarkan faktor
penyebab tersebut.
Pendekatan Perilaku-Kognitif
dapat dilakukan secara individual
maupun di dalam kelompok. Di
dalam penelitian ini, pelatihan
dilakukan dengan pendekatan
kelompok.
Keuntungan pendekatan
kelompok (Prawitasari, 1999) adalah :
1. Peserta dapat belajar
bersosialisasi dengan anggota yang
lain dengan cara saling memberi
dan menerima umpan balik.
Komentar dan masukan yang
didapat dari anggota kelompok yang
mengalami permasalahan yang sama
akan lebih dipercaya dan mudah
dicerna.
2. Di dalam kelompok, anggota
akan belajar melatih perilakunya
yang baru. Kelompok merupakan
mikrokosmik sosial. Apabila
seseorang dapat berubah di dalam
kelompok, diharapkan ia dapat
berubah di dunia yang lebih luas.
3. Kelompok menjadi sarana untuk
melatih keterampilan sosial. Sesama
anggota dapat belajar untuk
membuat suasana positif dalam
kelompok dengan cara mendengar
secara aktif, memperlihatkan
perhatian, dan saling memberi
masukan. Anggota yang mempunyai
kelebihan atau mengalami kemajuan
lebih pesat dapat menjadi model
bagi anggota yang lain.
4. Kesempatan untuk memberi dan
menerima di dalam kelompok dapat
menumbuhkan suasana positif di
antara anggotanya, sehingga muncul
perasaan diterima dan dimengerti.
Rasa kebersamaan ini akan
menumbuhkan penghargaan diri dan
keyakinan anggota terhadap dirinya
sendiri, juga meningkatkan
kepercayaan kepada orang lain.
Pelatihan adalah proses
pendidikan jangka pendek yang
menggunakan prosedur sistematis
dan terorganisasi. Peserta pelatihan
mempelajari pengetahuan dan
keterampilan tertentu untuk tujuan
tertentu (Sikula, dalam Purwandari,
1997). Metode pelatihan lebih
difokuskan untuk melatih perilaku
yang spesifik. Pengubahan nilai-
nilai, sikap, dan insight tidak
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
48
diutamakan, berbeda dengan
psikoterapi yang bertujuan untuk
mengubah belief system (Goldstein,
1981). Penjelasan ini dapat
dipahami mengingat bahwa proses
pengubahan belief system harus
dilakukan secara mendalam dan
berkesinambungan dalam waktu yang
relatif lama, berbeda dengan proses
pelatihan yang dilakukan dalam
jangka waktu relatif pendek.
Menurut Kirkpatrick (dalam Salas
& Cannon-Bowers, 2001) pelatihan
adalah suatu metode pembelajaran
yang bertujuan untuk mengubah
aspek kognitif, afektif, dan hasil
ketrampilan atau keahlian. Metode
pelatihan sesuai untuk menerapkan
pendekatan Perilaku-Kognitif yang
bertujuan untuk mengubah kognisi
dan melatih perilaku tertentu pada
seseorang. Pentingnya memasukkan
pendekatan kognitif dalam pelatihan
keterampilan sosial juga ditekankan
oleh Kelly (1982). Penjelasan
tersebut menjadi dasar bagi peneliti
untuk menggunakan metode
pelatihan dengan dasar Pendekatan
Perilaku-Kognitif.
Di dalam penelitian ini,
pelatihan yang akan digunakan
untuk mengurangi kecemasan
berbicara di depan umum pada
subjek mahasiswa didasarkan pada
tiga proses Modifikasi Perilaku-
Kognitif, yaitu :
1. Observasi diri
Sebagai tahap awal untuk
mengubah perilaku, klien harus
mengenali cara berpikir, merasa,
dan bertindak (Meichenbaum dalam
Oemarjoedi, 2004). Observasi diri
atau pemantauan diri dilakukan
dengan cara meningkatkan
sensitivitas terhadap pikiran,
perasaan, perilaku, dan reaksi
fisiologis. Pemantauan diri akan
efektif jika disertai dengan evaluasi
diri dan pengukuhan diri (Prawitasari,
1999). Umpan balik dari pelatih
maupun peserta pelatihan merupakan
sarana bagi untuk melakukan evaluasi
diri yang realistis. Pemantauan atas
kemajuan diri sendiri (misalnya
simtom kecemasan berkurang atau
hilang) pada saat proses pelatihan atau
setelah pelatihan merupakan
pengukuh yang efektif untuk
mengatasi kecemasan.
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
49
2. Menyusun dialog internal baru
Berdasarkan teori kognitif,
cara seseorang memaknai lingkungan
sangat berpengaruh terhadap kondisi
emosinya. Cara berpikir yang
kurang rasional dalam menyikapi
diri sendiri dan lingkungannya dapat
menimbulkan perilaku yang
maladaptif dan kurang efektif. Pada
umumnya kecemasan berbicara di
depan umum bukan disebabkan oleh
ketidakmampuan individu, tetapi
sering disebabkan oleh pikiran-
pikiran negatif yang tidak rasional.
Pikiran-pikiran negatif seseorang akan
memunculkan ramalan-ramalan
negatif sebagai fungsi
keterlibatannya dalam situasi
berbicara di muka umum, sehingga
muncul kecemasan (Devito, 1984).
Oleh karena itu salah satu cara
untuk mengatasi kecemasan berbicara
di depan umum adalah dengan
mengubah pola pikir yang negatif
yang tidak rasional tersebut
menjadi pola pikir positif yang
rasional (Rahayu, 2004). Seseorang
dapat memantau cara berpikirnya
dengan cara menyadari dialog internal
di dalam dirinya sendiri (self talk).
Pemikiran-pemikiran negatif otomatis
tersebut kemudian dirasionalkan
dengan cara berdiskusi untuk
mendapatkan umpan balik dari
orang lain. Melalui pemantauan diri
berkala dengan disertai
keterampilan baru untuk mengubah
dialog internal menjadi lebih
rasional dan positif, maka seseorang
akan mendapatkan insight baru.
Supaya subjek lebih fokus terhadap
langkah-langkah penyelesaian
masalah dan bukan pada pemikiran
negatif, maka teknik instruksi diri
juga ditambahkan di dalam pelatihan
ini.
3. Belajar keterampilan baru
Penyebab munculnya
kecemasan berbicara di depan umum
tidak terlepas dari faktor kurangnya
keahlian subjek (Croskey dalam
Devito, 1995). Keahlian didapatkan
melalui proses pembelajaran baik
berupa transfer ilmu, latihan, dan
umpan balik dari orang lain.
Keterampilan baru yang dimiliki
subjek akan meningkatkan perasaan
mampu, karena setidaknya subjek
mempunyai bekal untuk mengelola
dirinya pada saat menghadapi situasi
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
50
tersebut. Pelatihan ini menjadi
wadah bagi subjek untuk berlatih
menghadapi situasi berbicara di
depan umum dan mendorong
subjek untuk menerapkan
keterampilan baru yang diajarkan di
luar pelatihan.
Ketiga proses dasar tersebut
diaplikasikan dalam paket pelatihan
yang berisi sub-sub pelatihan:
pemantauan diri, relaksasi,
identifikasi dialog internal,
membuat dialog internal baru,
instruksi diri, exposure, dan pelatihan
presentasi diri. Penguatan positif juga
dilakukan dalam penelitian ini dengan
pemberian reward.
Berdasarkan Pendekatan
Perilaku-Kognitif, baik lingkungan,
proses belajar, maupun cara
seseorang memaknai kejadian di
sekitarnya, mempunyai peran yang
sama besar dalam memperkuat
perilaku tertentu. Oleh karena itu
diasumsikan bahwa kecemasan
berbicara di depan umum dapat
dikurangi dengan cara mengubah
cara pandang, berlatih keterampilan
menghadapi situasi berbicara di
depan umum, dan mendapatkan
penguatan dari lingkungan, yang di
dalam penelitian ini dilakukan
dengan Pendekatan Perilaku-Kognitif
dengan metode pelatihan, yaitu
Pelatihan Keterampilan Mengelola
Kecemasan Berbicara di Depan
Umum. Diharapkan pelatihan yang
dilakukan di dalam penelitian ini
dapat mengurangi kecemasan pada
saat berbicara di depan umum.
Hipotesis penelitian ini
adalah : Pelatihan Keterampilan
Mengelola Kecemasan Berbicara di
Depan Umum dengan Pendekatan
Perilaku-Kognitif efektif untuk
menurunkan kecemasan berbicara di
depan umum.
METODE
Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian eksperimen, dengan
rancangan eksperimen Pre-test &
Post-test Control Group Design.
Subjek penelitian ini adalah 20
orang mahasiswa Universitas Sahid
Surakarta yang mengalami
kecemasan berbicara di depan
umum (berdasarkan hasil screening
menggunakan Skala Kecemasan
Berbicara di Depan Umum).
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
51
Adapun alat yang digunakan di
dalam penelitian ini yaitu
perlengkapan pelatihan, Skala
Kecemasan Berbicara di Depan
Umum, dan modul pelatihan yang
mencakup : lembar pemantauan diri,
lembar target, lembar reaksi
audiens dan pemecahan masalah,
lembar observasi presenter, lembar
relaksasi, lembar pernyataan
persetujuan, lembar instruksi diri,
lembar evaluasi pelatihan, berbagai
macam permainan, materi pelatihan,
dan panduan untuk trainer.
Pengukuran kecemasan
berbicara di depan umum pada
penelitian ini dilakukan sebanyak
dua kali, yaitu sebelum pelatihan
(pre-test) dan setelah pelatihan
(post-test), menggunakan Skala
Kecemasan Berbicara di Depan
Umum. Hasil pengukuran dianalisis
secara kuantitatif dengan
menggunakan Uji Mann-Whitney.
Analisis kualitatif berdasarkan hasil
monitoring individual terhadap
subjek penelitian dilakukan untuk
mendukung hasil analisis kuantitatif.
PROSEDUR
Persiapan Penelitian
Tahap awal yang pelaksanaan
penelitian adalah persiapan penelitian
yang akan dilakukan meliputi
beberapa tahap, yaitu :
1. Observasi dan wawancara
awal untuk identifikasi dan
penemuan masalah yang
terjadi.
2. Penyusunan rancangan
penelitian dan modul
pelatihan yang sesuai dengan
kebutuhan, terkait
permasalahan yang ada.
3. Adaptasi Skala Kecemasan
Berbicara di Depan Umum dari
Utami (1991).
4. Seleksi trainer dan observer
Trainer yang dipilih dalam
penelitian ini adalah trainer
dan observer yang berprofesi
sebagai Psikolog dan
mempunyai pengalaman dalam
memandu pelatihan.
5. Simulasi pelatihan dan revisi
modul pelatihan.
6. Uji coba alat ukur (SKBDU).
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
52
Uji coba Skala Kecemasan
Berbicara di Depan Umum
(SKBDU) dilakukan pada
tanggal 15 Oktober 2007
terhadap 150 orang mahasiswa
Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) dari berbagai
fakultas dan jurusan.
Perhitungan uji reliabilitas
setelah menghasilkan koefisien
Cronbach sebesar 0,942.
7. Screening terhadap subjek
yang memenuhi kriteria
penelitian. Pemberian SKBDU
pada dari mahasiswa
Universitas Sahid dilakukan
pada tanggal 22 sampai dengan
24 Oktober 2007. Pengambilan
data tersebut juga berfungsi
sebagai pre-test. Mahasiswa
Usahid yang terjaring dalam
screening sebagai peserta
pelatihan (mempunyai skor
SKBDU di atas rerata
hipotetik) diminta
kesediaannya untuk mengikuti
pelatihan.
Mereka diminta untuk hadir
pada pertemuan pra pelatihan
untuk membahas rencana
pelatihan dan penandatanganan
kesepakatan kontrak pelatihan.
8. Penentuan Peserta Pelatihan.
Pertemuan yang diadakan di
Universitas Sahid Surakarta
pada tanggal 31 Oktober
2007. Peneliti menjelaskan
tujuan, garis besar rencana
pelatihan, hak dan tanggung
jawab peserta pelatihan, dan
juga menentukan waktu dan
lokasi pelatihan. Sistem
undian dilakukan untuk
membagi 20 orang subjek
menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol.
Pelaksanaan Penelitian
Pre-test terhadap kelompok
eksperimen maupun kelompok
kontrol sebelumnya telah dilakukan
pada saat screening. Pelatihan
dilaksanakan selama dua hari, yaitu
tanggal 5 dan 19 November 2007.
Pelatihan Hari Pertama
Sesi 1.
1. Tema : Memahami kecemasan
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
53
2. Tujuan : Memahami kondisi
apa saja yang dapat memicu
munculnya kecemasan pada
saat berbicara di depan umum
3. Metode : sharing, tugas,
diskusi
Sesi 2.
1. Tema : mengubah cara
berpikir
2. Tujuan : membangun dialog
internal yang lebih konstruktif
3. Metode : ceramah, permainan,
tugas, diskusi
Sesi 3.
1. Tema : pelatihan relaksasi
2. Tujuan : mengontrol reaksi
fisiologis kecemasan
3. Metode : ceramah, praktek,
tugas, diskusi
Sesi 4
1. Tema : presentasi 1
2. Tujuan : menghadapi
kecemasan dan melatih
ketrampilan berbicara
3. Metode : permainan, praktek
Pelatihan Hari Kedua
Sesi 1
1. Tema : presentasi 2
2. Tujuan : menghadapi
kecemasan dan melatih
ketrampilan berbicara
4. Metode : praktek
Sesi 2
1. Tema : pelatihan presentasi
diri
2. Tujuan : menambah
ketrampilan dalam
mempresentasikan diri di
depan umum
3. Metode : ceramah, permainan,
praktek, diskusi, umpan balik
Post-test dan evaluasi
pelatihan dilaksanakan pada
tanggal 23 November 2008 di
Universitas Sahid Surakarta.
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
54
Tabel 1. Rangkuman Skor Pre-test, Skor Post-test, dan Selisih Skor Post-test -
Pre-test SKBDU
Skor SKBDU Nilai z Taraf
Signifikansi
p
Gain Score -2,374 0,003 p < 0,01
Pre-test Score -1,175 0,12 p > 0,05
Post-test Score -1,669 0,0475 p < 0,05
HASIL
Pembahasan dari hasil
penelitian yang telah dilakukan ini
meliputi dua bagian yaitu hasil
analisis data kelompok dan hasil
analisis data individual. Berikut
uraian hasil analisis masing-masing
data :
A. Analisis data kelompok
Hasil perolehan skor Skala
Kecemasan Berbicara di Depan
Umum dari kelompok eksperimen
maupun kelompok kontrol
berdasarkan pre-test dan post-test
dapat dilihat pada Tabel 1.
Uji Mann-Whitney
dilakukan berdasarkan selisih skor
SKBDU dua kelompok tersebut.
Skor z yang dihasilkan adalah -
2,374 dengan taraf signifikansi
0,003 (p<0,01). Hal ini menunjukkan
perbedaan tingkat kecemasan yang
signifikan sebelum dan sesudah
perlakuan antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
Berdasarkan U test Mann-
Whitney yang dilakukan pada skor
pre-test, tidak ada perbedaan skor
yang signifikan antara kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen.
Nilai z yang dihasilkan sebesar -
1,175, dengan taraf signifikansi
0,12 (p>0,01). Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan starting point yang
signifikan antara kelompok kontrol
dan kelompok eksperimen.
Perbedaan skor awal antara kedua
kelompok tersebut tidak
memberikan pengaruh yang berarti
terhadap skor post-test.
TALENTA PSIKOLOGI Vol. I. No. 1, Februari 2012
55
Penghitungan skor post-test
kelompok kontrol dan kelompok
eksperimen dengan uji U dari
Mann-Whitney menghasilkan nilai
z sebesar -1,669 dengan taraf
signifikansi sebesar 0,0475
(p<0,05). Hasil penghitungan ini
menguatkan hasil penghitungan
terhadap selisih skor kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen
yang sebelumnya dilakukan.
Terdapat perbedaan skor antara
kelompok yang mendapatkan
perlakuan dengan kelompok yang
tidak mendapatkan perlakuan.
Sumbangan efektif pelatihan
terhadap penurunan skor
kecemasan subjek dilakukan
dengan mencari nilai phi kuadrat
(Φ2 ). Penghitungan dilakukan
dengan tabel kontingensi. Pada
kelompok eksperimen, jumlah
subjek yang mengalami
peningkatan ranking sesudah post-
test ada 7 orang, sedangkan
subjek yang tidak mengalami
peningkatan ranking sejumlah 3
orang. Sepuluh orang subjek
kelompok kontrol tidak ada yang
mengalami peningkatan ranking.
Nilai phi yang didapat sebesar 0,734
dan nilai phi kuadrat 0,5388
(53,88%). Jika kelompok eksperimen
dibandingkan dengan kelompok
kontrol, sumbangan efektif faktor
pelatihan terhadap penurunan
kecemasan subjek adalah 53,88%.
Penurunan kecemasan subjek
sebesar 46,12% disebabkan oleh
faktor di luar penelitian, yaitu
faktor internal (harga diri,
asertivitas, dan efikasi diri) dan
faktor eksternal (familiaritas
terhadap kelompok, jumlah peserta
pelatihan, tingkat kesulitan tugas,
dan formalitas pelatihan).
B. Analisis data individual
Data individual diperoleh
dari keterangan subjek, observasi
pada masing-masing subjek dari
setiap pertemuan, serta lembar
evaluasi pelatihan. Tingkat
kemajuan yang dicapai oleh
peserta pelatihan sangat beragam.
Sembilan subjek mengalami
penurunan skor kecemasan, hanya
satu orang yang mempunyai skor
tetap. Berdasarkan kategorisasi, lima
subjek mengalami penurunan
kecemasan yang cukup berarti
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
56
sehingga tingkat kecemasan
mereka menurun dari kecemasan
tinggi menjadi sedang dan rendah,
dua orang peserta tetap masuk dalam
kelompok tingkat kecemasan sedang
setelah pelatihan. Tiga subjek
tetap masuk dalam kelompok
tingkat kecemasan tinggi.
Perubahan skor kecemasan
yang kecil setelah pelatihan
dialami oleh subjek yang termasuk
dalam kelompok kecemasan
sedang. Penulis menyimpulkan
bahwa subjek dengan tingkat
kecemasan sedang kurang sensitif
terhadap pelatihan yang diberikan
karena mereka lebih terampil
mengelola kecemasan berbicara di
depan umum. Tujuan mereka
mengikuti pelatihan lebih terfokus
pada peningkatan keterampilan
melakukan presentasi.
Berdasarkan pencapaian
target yang ditentukan oleh subjek
pada awal pelatihan, lima subjek
mengaku berhasil mencapai target
dan lima peserta lain tidak berhasil
mencapai target. Target untuk
menurunkan kecemasan pada
umumnya tidak dapat dicapai oleh
subjek yang kurang memahami
seberapa besar kemampuan mereka
dan kurang realistis dalam
pencapaian target.
Peserta pelatihan yang
mempunyai target realistis dan
merasa berhasil melakukan
presentasi dengan baik pada hari
pertama (mendapatkan penghargaan
atau masukan yang berarti dari
peserta lain) umumnya melaporkan
bahwa kecemasannya menurun dan
targetnya dapat dicapai. Peserta
pelatihan melaporkan peningkatan
rasa percaya diri pada presentasi
hari kedua kecuali dua orang yang
mengaku tidak suka berbicara di
depan umum. Mereka merasa
tidak mampu menyusun kalimat
dengan baik, dan itu menyulitkan
mereka pada saat presentasi.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis mencoba menyimpulkan
hal-hal yang dapat mendukung
penurunan kecemasan subjek, yaitu :
kepribadian, penerimaan diri,
kemampuan memahami diri,
keterbukaan terhadap masukan,
kedisiplinan untuk melatih
keterampilan dan menerapkan hasil
pelatihan, kegigihan, dan
kemampuan menentukan target
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
57
secara realistis.
PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data
kuantitatif yang menggunakan uji U
dari Mann Whitney terhadap selisih
skor maupun skor SKBDU,
diperoleh hasil yang menunjukkan
bahwa pada pelatihan yang
menggunakan Pendekatan Perilaku-
Kognitif ini dapat menurunkan
tingkat kecemasan berbicara di
depan umum pada kelompok
eksperimen. Sumbangan efektif
pelatihan terhadap penurunan
tingkat kecemasan sebesar 53,88%.
Hal ini menunjukkan bahwa
pelatihan yang diberikan efektif
untuk menurunkan tingkat
kecemasan berbicara di depan
umum.
Selain adanya perbedaan
ranking pada selisih skor SKBDU
antara kedua kelompok, penurunan
skor SKBDU pada sembilan orang
subjek kelompok eksperimen, dan
penurunan kategorisasi kecemasan
pada lima orang subjek, penurunan
tingkat kecemasan pada peserta
setelah pelatihan dapat dijelaskan
dengan analisis kualitatif berupa
berkurangnya tanda-tanda fisik
kecemasan ketika berbicara di
depan kelas pada pelatihan hari
kedua. Kondisi ini terlihat pada
berkurangnya gerakan-gerakan
yang berlebihan, getaran suara, dan
wajah yang memerah. Kesadaran
akan kontak mata dan inisiatif
untuk berkomunikasi juga menjadi
indikator adanya kemajuan pada
peserta pelatihan. Pada sesi
presentasi hari kedua, kebanyakan
peserta pelatihan lebih kooperatif
saat diminta untuk tampil. Peserta
yang sebelumnya menolak untuk
tampil lebih mudah diajak bekerja
sama.. Peserta yang merasa bahwa
dirinya mempunyai kecenderungan
untuk panik dan lupa pada apa
yang akan dikatakan melaporkan
bahwa pelatihan yang telah diikuti
dapat membuat mereka lebih tenang
dalam berpikir. Pada saat evaluasi,
ada beberapa peserta yang
memberikan masukan kepada
peneliti untuk memperbanyak sesi
presentasi agar kemampuan
berbicara dan mengelola
kecemasan lebih terasah. Ini
menunjukkan bahwa peserta
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
58
menyadari pentingnya berlatih
berbicara di depan umum untuk
mengelola kecemasan yang
menyertainya. Artinya, tujuan
pelatihan agar peserta dapat
mengurangi perilaku menghindar
untuk berbicara di depan umum
dapat dicapai.
Hal-hal lain yang mendukung
keberhasilan pelatihan antara lain :
1. Modul pelatihan
Rancangan pelatihan banyak
mengacu kepada terapi perilaku
berupa terapi relaksasi dan
terapi kognitif yang telah
dilakukan oleh Utami (1991)
maupun Purnamaningsih dan
Utami (1996). Pada penelitian
tersebut, Terapi Relaksasi dan
Terapi Kognitif efektif untuk
mengurangi kecemasan berbicara
di depan umum. Konsep
pelatihan ini disusun berdasarkan
Pendekatan Perilaku-Kognitif
yang efektif untuk mengatasi
permasalahan psikologis,
termasuk kecemasan sosial dan
kecemasan berbicara di depan
umum. Hal ini juga ikut
mempengaruhi efektivitas
pelatihan kecemasan berbicara di
depan umum yang dilakukan oleh
peneliti.
2. Pendekatan kelompok
Yalom (1985) menyebutkan
salah satu kelebihan pendekatan
kelompok adalah self disclosure
(membuka diri). Membuka diri
dilakukan dengan menceritakan
apa yang dirasakan, kesulitan
yang dialami dan cara
mengatasi kesulitan-kesulitan
tersebut. Setelah mendengar
anggota lain dalam kelompok
mengemukakan masalahnya
maka seseorang yang
mempunyai masalah akan
merasa bahwa dia tidak
sendirian dalam menghadapi
masalah tersebut. Dalam
kelompok juga akan terjadi
pencerahan apabila seseorang
menemukan sesuatu yang
penting tentang dirinya. Ia
dapat menerima dukungan dan
berbagi masalah dengan orang
lain.
Kelompok eksperimen terdiri
dari 10 orang (format kelompok
kecil). Perubahan perilaku pada
kelompok kecil lebih efektif
dibandingkan pada kelompok besar
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
59
karena perlakuan terhadap subjek
lebih merata dan intensif
(Prawitasari, 1999).
3. Trainer
Trainer mempunyai latar
belakang profesi Psikolog dan
mempunyai pengalaman
memandu pelatihan. Mereka
mampu menyampaikan materi
dengan jelas, dapat mengatasi
keterbatasan materi, dan
memandu pelatihan dengan cara
yang menarik.
4. Peserta
Meskipun ada beberapa subjek
yang harus dimotivasi terlebih
dulu untuk berlatih berbicara di
depan kelas, pada dasarnya
peserta pelatihan cukup
kooperatif. Kesungguhan dan
partisipasi aktif peserta
menentukan hasil pelatihan
(Salas & Cannon-Bowers, 2001).
5. Tema presentasi yang ringan
Berdasarkan laporan dari
sebagian peserta pasca
pelatihan, tema presentasi yang
ringan dan berkisar pada diri
sendiri memudahkan mereka
untuk menyusun apa yang
disampaikan pada saat presentasi.
Kondisi ini menimbulkan
perasaan mampu pada diri
sebagian peserta pada saat
presentasi sehingga mereka
merasa lebih percaya diri,
bahkan merasa perlu untuk ikut
pelatihan lagi.
6. Kesempatan mempraktekkan hasil
pelatihan
Pelaksanaan pelatihan pada hari
ke dua hampir bersamaan
dengan mulainya Ujian Tengah
Semester di Universitas Sahid
Surakarta. Banyak diantara
peserta yang mendapatkan
giliran untuk mempresentasikan
tugas kuliah, sehingga mereka
mempunyai kesempatan untuk
mempraktekkan keterampilan
yang telah didapatkan pada
pelatihan hari pertama. Secara
kebetulan ada acara seminar dan
lokakarya yang diikuti oleh
beberapa peserta pelatihan.
Kesempatan subjek untuk
mempraktekkan keterampilan
yang telah diajarkan di
kehidupan nyata juga
berpengaruh terhadap efektivitas
pelatihan.
Pelatihan yang diberikan
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
60
efektif untuk menurunkan kecemasan
berbicara di depan umum, dengan
sumbangan efektif sebesar 53,88%.
Meskipun demikian perlu
dicermati adanya faktor-faktor yang
dapat mengancam validitas internal
penelitian ini, yaitu :
1. Proses maturasi
Penurunan skor yang terjadi
pada kelompok eksperimen
bukan saja dipengaruhi oleh
perlakuan yang diberikan
melalui pelatihan, tapi dapat
juga dipengaruhi oleh adanya
proses kematangan alamiah
dalam perkembangan subjek
(Cook & Campbell, 1979).
Sebagai langkah antisipasi,
peneliti berusaha menentukan
waktu sesingkat mungkin antara
pre-test dan post-test. Jarak waktu
satu bulan antara pre-test dan
post-test diharapkan dapat
memperkecil kemungkinan adanya
ancaman proses maturasi terhadap
validitas internal hasil penelitian.
Tidak dilakukan monitoring
terhadap efek maturasi pada
kelompok kontrol.
2. Efek Histori
Faktor lain di luar pelatihan dapat
mempengaruhi perubahan skor
subjek adalah histori (Cook &
Campbell, 1979), yaitu ketika ada
kejadian tertentu pada subjek di
antara pre-test dan post-test yang
mempengaruhi peningkatan atau
penurunan kecemasan subjek.
Analisis data individual
berdasarkan hasil observasi dan
wawancara dilakukan pada subjek
kelompok eksperimen untuk
memonitor apakah efek histori
mengancam validitas internal hasil
penelitian. Efek histori juga dapat
mempengaruhi penurunan skor
SKBDU pada kelompok kontrol,
tapi tidak ada keterangan yang
mendukung karena tidak dilakukan
monitoring terhadap kelompok
kontrol.
3. Efek Testing
Pengukuran pada pre-test dan
post-test dengan menggunakan
alat ukur yang sama dapat
menjadi ancaman terhadap
validitas internal penelitian (Cook
& Campbell, 1979).
Subjek dapat mengingat isi
alat ukur berikut responnya,
sehingga spontanitas dalam
memberikan jawaban akan
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
61
berkurang. Skala yang terdiri dari
45 aitem dapat memperkecil
kemungkinan bagi subjek untuk
mengingat pernyataan dan jawaban
pada tes sebelumnya. Kondisi ini
berbeda dengan skala dengan
jumlah item sedikit yang relatif
mudah untuk diingat oleh subjek.
Ada kemungkinan subjek berusaha
memberikan kesan positif dalam
mengerjakan post-test. Peneliti
berusaha mengantisipasi
kemungkinan ini dengan
memberikan penjelasan kepada
subjek agar mereka menjawab
dengan jujur dan apa adanya,
termasuk dalam melaporkan
perubahan
kecemasan yang dialami.
4. Efek kesalahan observer
Peneliti bertindak sebagai
observer. Untuk mengantisipasi
kesalahan, subjektivitas, dan
kemungkinan penilaian yang
mendukung tujuan penelitian,
maka observasi tidak hanya
dilakukan oleh peneliti, tapi
juga dengan observer lain
yang dalam hal ini juga
merangkap peran sebagai
trainer atau co-trainer pada
sesi pelatihan yang berbeda.
Hasil observasi didiskusikan
bersama oleh observer setelah
pelatihan berakhir.
5. Faktor-faktor yang telah diteliti
pengaruhnya terhadap
kecemasan berbicara di depan
umum seperti: jenis kelamin,
harga diri, kemampuan berpikir
positif, asertivitas, dan efikasi
diri. Pelatih melakukan kontrol
jenis kelamin dengan cara
menyeimbangkan jumlah laki-
laki dan perempuan dalam satu
kelompok. Antisipasi ini
dilakukan terhadap kelompok
eksperimen maupun kelompok
kontrol. Masing-masing
kelompok terdiri dari lima orang
perempuan dan lima orang laki-
laki. Faktor harga diri,
kemampuan berpikir positif,
asertivitas, dan efikasi diri
tidak dikontrol dalam penelitian
ini. Selain faktor pelatihan,
faktor-faktor ini juga
memberikan sumbangan
terhadap penurunan skor
SKBDU pada kelompok kontrol.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
62
adanya penurunan tingkat kecemasan
berbicara di depan umum pada
kelompok yang mendapatkan
Pelatihan Keterampilan Mengelola
Kecemasan Berbicara di Depan
Umum dengan Pendekatan
Perilaku-Kognitif. Setelah
mendapatkan pelatihan, subjek
kelompok eksperimen lebih sadar
dalam memantau diri dan
mengontrol perilaku mereka untuk
meningkatkan kemampuan
berbicara di depan forum. Subjek
kelompok eksperimen juga terlihat
lebih aktif dan percaya diri pada
presentasi yang ke dua.
Penelitian ini menemukan
adanya karakteristik subjek yang
mendukung penurunan skor
kecemasan dan mendorong
kemajuan penampilan subjek pada
saat presentasi, yaitu semangat
untuk meningkatkan kemampuan,
konsistensi, ketepatan menilai
kelebihan dan kekurangan diri
pada saat berbicara, dan
kemampuan untuk menentukan
target yang realistis. Perasaan
berhasil yang muncul setelah
subjek dapat menyelesaikan tugas
presentasi dengan baik adalah
reward yang efektif untuk
meningkatkan rasa percaya diri
dan mengurangi rasa cemas pada
diri subjek. Baik kemampuan
mengelola kecemasan maupun
peningkatan pengetahuan dan
keterampilan sama-sama
mendukung kemajuan yang dicapai
oleh subjek penelitian apabila
subjek tahu benar seberapa besar
kemampuannya, tidak
membandingkan dirinya dengan
orang lain yang telah memiliki
kemampuan yang baik dalam
berbicara, dan tidak menargetkan
hasil yang besar dalam jangka waktu
yang singkat. Melatih keterampilan
berbicara tidak dapat dilakukan
secara instan. Keterampilan
berbicara membutuhkan proses
yang terus menerus dan
berkesinambungan, disertai dengan
umpan balik dan masukan dari
pihak-pihak lain.
Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat menambah
khasanah keilmuan Psikologi dan
dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Kelemahan
penelitian hendaknya dapat
dijadikan perbaikan untuk
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
63
melakukan penelitian selanjutnya
dengan harapan dapat
menyempurnakan kekurangan dalam
penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Ayres, J. (1990). Situational factors
and audiency anxiety.
Communication Education. 39,
283-291
Burgoon, M. & Ruffner, M.
(1978). Human
communication : a revision of
approaching speech
/communication. New York :
Rineheart & Winston.
Corsini, R. J. & Wedding, D.
(1989). Current
psychotherapies. Illinois: F.
E. Peacock Publishers, Inc.
Croskey, J.C. (1993). An
Introduction to rhetorical
communication apprehension.
New Jersey: Prentice Hall Inc.
Croskey, J.C., Simpson, T.J., &
Richmond, V.P. (1982).
Biological sex and
communication apprehension.
Communication Quarterly. 30:
2.
Devito, J.A., (1984). The elements
of public speaking. New
York: Harper and Row
Publisher.
Devito, J.A., (1995). The
interpersonal communication
book. New York : Harper
Collins College Publisher.
Fordham, D.R., & Gabbin, A.L.
(1996). Skills versus
apprehension: empirical
evidence on oral
communication. Bussiness
Communication Quarterly.
59, 88-97.
Gladding, S.T. (2000). Counseling,
a comprehensive profession.
Upper Saddle River :
Prentice Hall Inc.
Goldstein, A. P. 1981. Psychological
skill training: the structured
learning technique. New York
: Pergamon Press.
Lamb, D.H. (1972). Speech
anxiety: towards a
theoretical conceptualization
and preliminary scale
development. Speech
Monographs. 39, 62-67.
Lazarus, R.S. (1976). Patterns of
adjustment and human
effectiveness. Tokyo:
McGraw Hill Kogakusha.
Lazarus, R.S. (1991). Emotion and
adaptation. New York :
University Press.
Martin, G. & Pear, J. (1996).
Behavior modification : what
it is and how to do it. 5th
edition. Upper Saddle River :
Prentice Hall International,
Inc.
Kelly, J.A. 1982. Social skill
training.
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
64
New York : Springer Publishing
Company, Inc.
Oemarjoedi, A.K. (2004).
Pendekatan cognitive
behavior dalam psikoterapi.
Jakarta: Creative Media.
Patterson, C.H. (1986). Theories of
counseling and
psychotherapy. New York :
Harper & Row.
Pfeiffer, J.W., & Ballew, A.C.
1988. UA training
technologies series.
California : University
Associates, Inc.
Prawitasari, J. E. (1999).Pendekatan
kelompok. Materi Kuliah
Psikoterapi(Tidak
Diterbitkan). Yogyakarta :
Fakultas Psikologi UGM.
Purwan dari. (1997). Pelatihan
strategi berteman untuk
mengurangi kecenderungan
perilaku menarik diri remaja
awal. Tesis (tidak diterbitkan).
Yogyakarta : Program Pasca
Sarjana UGM.
Rahayu, I.T, Ardani, T. A.&
Sulistyaningsih. (2003).
Hubungan pola pikir positif
dengan kecemasan berbicara
di depan umum. Jurnal
Psikologi UNDIP. 1, 2, 131-
143
Rahayu, I. T. (2004). Pengaruh
pelatihan pengembangan
diri terhadap peningkatan
berpikir positif dan
penurunan kecemasan
berbicara di depan umum.
Tesis (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta : Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah
Mada
Salas, E. & Cannon-Bowers, J.A.
(2001). The science of
training : a decade of
progres, Annual Review
Psychology. Vol. 52, 471-
499.
Spielberger, C.D. (1966). Theory and
research on anxiety. New
York: Academic Press.
Strongman, K.T. (2003). The
psychology of emotion :
from everyday life to theory.
West Sussex : John Wiley &
Sons Ltd.
Sundberg, N.D., Wineberger, A.A.
& Taplin, J.R. (2002).
Clinical psychology :
envolving theory, practice,
and research. New Jersey :
Prentice Hall Inc.
Sundel, M. & Sundel, S.S. (2005).
Behavior change in the
human services, behavioral
and cognitive principles and
application. Thousand Oaks
: Sage Publications.
Suwandi. (2004). Hubungan efikasi
diri dan konsep diri
dengan kecemasan
berbicara di depan umum
mahasiswa teologi terapan
universitas sanata dharma.
Tesis (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta : Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah
Mada.
TALENTA PSIKOLOGI Vol. 1 No. 1, Februari 2012
65
Thomas, C. (2005). Conquering
speech anxiety.
supplemental chapter for
confidence in public
speaking.
http://www.roxbury.net/cps6
chape.pdf. (28 Juni 2006).
Utami, M.S. (1991). Pengaruh terapi
kognitif dan relaksasi untuk
mengurangi kecemasan
berbicara di depan umum.
Tesis (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta : Fakultas
Psikologi Uiversitas Gadjah
Mada.
Wallechinsky, D., Wallace, D. &
Wallace, H. (1977). The
book of list. New York:
Bantam Books.
Whalen, J.D. (1996). I see what you
mean. Thousand Oaks : Sage
Publications.
Wiederhold, B. K. & Wiederhold,
M.D. (2005). Virtual
reality and anxiety
disorders : advances in
evaluation and treatment.
Washington D.C. : American
Psychological Association.
Woody, R. H., La Voie, J. C. &
Epps, S. (1992). School
psychology, a developmental
and social systems approach.
Boston : Allyn and Bacon.
Yalom, I. D. (1985). The theory
and practice of group
psychotherapy. New York :
Basic Book