pergulatan politik kh. abdul wahab … fileyang tidak dapat dilukiskan dengan rangkaian kata-kata....
TRANSCRIPT
PERGULATAN POLITIK KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH; STUDI ANALISA TERHADAP NU DAN NEGARA
Oleh: IIS SUPRIYATNA
9933216582
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2006
PERGULATAN POLITIK KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH; STUDI ANALISA TERHADAP NU DAN NEGARA
Oleh: IIS SUPRIYATNA
9933216582
Dibawah bimbingan :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Sya’ban Muhammad Dra. Haniah Hanafie, M. Si 150 316 239 150 299 932
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2006
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Ilahi, yang telah memberikan rahmat-Nya kepada
kita semua, sehingga kita diberikan nikmat yang tak terhingga. Atas sifat pemurah-
Nya pula, penulis dapat merampungkan penulisan skripsi yang merupakan salah satu
syarat untuk memnuhi gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) di Universitas Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam tak lupa tetap tercurahkan kepada sang
revolusioner dunia, Nabi Muhammad saw, yang telah merekonstruksi umat dari
zaman kejumudan menuju era pencerahan.
Selanjutnya, perkenankanlah penulis untuk dapat mencurahkan terima kasih
yang terkira kepada segenap pihak, seperti penulis paparkan di bawah ini, yang telah
banyak membantu dalam upaya penyelesaian skripsi ini. Sebab penulis menyadari,
tanpa bimbingan dan motivasi dari semua pihak, terasa sangatlah penulis mampu
melewati rintangan ini.
Dengan penuh hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana
penulis mencoba menggapai cita-cita dari tempat yang mulia ini. Penulis sampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Amsal Bachtiar, MA.,
selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Juga kepada Bapak Agus Darmadji,
M. Fil., dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan
Pemikiran Politik Islam, yang selalu memberi motivasi dan semangat. Juga kepada
Bapak Dadi Darmadi, MA., selaku pembimbing akademik.
Dengan penuh hormat, penulis haturkan terima kasih kepada Bapak Dr.
Sya’ban Muhammad dan Ibu Dra. Haniah Hanafie, M.Si., yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis ditengah aktifitas yang sangat padat.
Untaian terima kasih yang setulus hati penulis haturkan kepada ayah dan ibu,
yang tidak dapat dilukiskan dengan rangkaian kata-kata. Kasih sayang, ketabahan dan
kesabaran beliau selalu menyertai penulis di setiap waktu, yang tak henti-hentinya
untuk selalu mendorong dan memberi semangat agar tegar menghadapi hidup. Juga
kepada adik-adikku yang penulis cintai dan sayangi: Widi, Mutia, Yus dan Yudi.
Keluarga adalah pemberi semangat dan inspirator bagi penulis.
Ucapan terima kasih, juga penulis haturkan kepada para pengasuh, para
ustadz, dan keluarga besar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang,
khususnya kepada KH. M. Sholeh Abdul Hamid, “matur nuwun atas do’anya”, serta
Nyai Hj. Mahfudhoh Aly Ubaid dan Nyai Hj. Munjidah Wahab, yang telah memberi
pencerahan kepada penulis. Juga kepada Bapak Ali Muttaqin, M.Ag, atas
kerjasamanya. Tak lupa untuk kawan-kawan seperjuangan di Pondok, yang kini
sedang sedang menapaki karir, “Yak opo kabare?”
Dengan penuh khidmat penulis ucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat
seperjuangan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat. Tak
lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan PPI selama
menempuh studi di kampus ini: Anshori, Ayuk, Bejo, Arif, Singgih, Helmi, Toriq,
Bajigur, dll. Juga kepada kawan-kawan di “Istana Kerinduan”: Dzay, Dicky, Rika,
Sabri&Ika, Doni&Rifki, Uncle Sam, Heru, Tanjung, Dede, Aziz, Lulu, dll. Khususon
penulis haturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kepada Wawan “wsb
syah” Saepul Bahri, Ricky Haryanto dan Sayyid Nur Fattah yang telah banyak
berkorban dan memberi semangat serta dukungan, demi kemajuan penulis. Jasa
kalian takkan pernah sirna oleh masa. Kepada Pak Wawan Djunaedi dan Mba Iklilah
MDF yang begitu peduli terhadap masa depan penulis. Juga untuk Rachel, Kaka, dan
Umar yang selalu membuat penulis tersenyum dengan kemungilannya. Tak lupa
penulis sampaikan kepada “@nhoy” yang telah memberi warna dalam hidup penulis,
melalui semangat dan kasih sayangnya.
Penulis ucapkan terima kasih kepada M. Afifuddin, Ali Saban, Syifa, Robi,
Gunawan, Sukma, Kholilah, dan sahabat-sahabat BEM UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta periode 2002-2003, bersama mereka bersatu untuk mengharumkan nama
almamater. Juga kepada kawan-kawan di Himpunan Mahasiswa Alumni Bahrul
‘Ulum Ibukota (HIMABI), PERMALA, Koridor~195, Piramida Circle, dll.
Tak lupa penulis haturkan terima kasih yang teramat dalam kepada para dosen
di Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan pikiran kepada penulis
sebagai jalan untuk menatap masa depan yang lebih baik.
Demikian secercah pengantar skripsi ini penulis sampaikan, atas kerja
samanya, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap,
gerak dan langkah kita dalam “mengais” ilmu tak pernah lekang oleh zaman.
Amin….
Ciputat, Februari 2006
Penulis
PERGULATAN POLITIK KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH; STUDI ANALISA TERHADAP NU DAN NEGARA
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 9
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 9
D. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan .............................. 9
E. Sistematika Penyusunan ............................................................... 10
BAB II BIOGRAFI KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH ...................... 12
A. Masa Kecil, Remaja dan Dewasa ................................................. 12
B. Pengalaman Belajar ...................................................................... 16
C. Pengalaman Intelektual ................................................................ 18
D. Landasan Pemikiran Politik ......................................................... 24
BAB III KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH DAN PENGALAMAN
POLITIK ........................................................................................... 28
A. Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama .................................................. 28
B. Kiprah dan Usaha Merestrukturisasi NU menjadi Organisasi ...... 36
C. Tanggapan Kaum Penjajah terhadap Organisasi NU ................... 42
BAB IV NU vis a vis NEGARA; PERGULATAN POLITIK PRAKTIS
KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH ........................................... 50
A. NU dan Masyumi ......................................................................... 50
B. NU Mendirikan Partai Politik ....................................................... 55
C. Dinamika Partai NU pada Pemilu ................................................ 60
D. Akomodasi Demokrasi Terpimpin ............................................... 66
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 76
Kesimpulan ........................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 80
LAMPIRAN – LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara geografis, kondisi umum dari masyarakat Indonesia mayoritas
beragama Islam, meskipun bila ditinjau dari aspek budaya, antara daerah satu dengan
daerah yang lain memiliki watak dan adat istiadat yang berbeda. Kultur yang
majemuk ini pada akhirnya membuat Islam dapat menjadi alat pemersatu. Hal itu
terbukti dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Fenomena ini tidak lepas
dari tradisi dan kebiasaan orang Indonesia yang masih memiliki kepercayaan sebelum
masuknya Islam.
Sejarah mencatat, dalam mempersatukan Indonesia yang majemuk ini, para
tokoh-tokoh nasional merumuskan suatu konsep yang dapat dijadikan alat sebagai
pemersatu. Maka terciptalah Pancasila yang dianggap sebagai miniatur budaya
bangsa Indonesia, dan diakui sebagai dasar negara. Namun dalam perjalanannya, ide
Pancasila sebagai dasar negara dipertanyakan kembali oleh kalangan yang pro
terhadap penerapan negara berdasarkan syari’at Islam. Dan pada akhirnya persoalan
ini menjadi semakin tidak terarah dan menimbulkan polemik yang berkepanjangan
hingga kini.
Membicarakan hubungan antara agama dan kekuasaan jelas tak pernah sepi
dari perdebatan, dan selalu menjadi wacana menarik di kalangan pemerhati agama
maupun akademisi. Jika agama diperlakukan sebagai alat yang konstruktif, maka
dengan sendirinya agama dapat dijadikan sarana untuk mengontrol segala kebijakan
yang dilakukan penguasa. Bahkan di masa kolonial, agama dijadikan sebagai sarana
dalam mengusung “ideologi jihad” untuk melawan ekspansi penjajah, meskipun pada
mulanya agama hanya bersifat sosio-kultural. Dari konteks ini, perkembangan agama
Islam memang sudah menjadi bagian integral dari sejarah Indonesia.1
Secara eksplisit, Islam dalam kancah keindonesiaan memiliki andil yang
cukup besar dalam membentuk Indonesia, meskipun di satu sisi tidak pada posisi
hegemonik. Ketika euforia nasionalisme terasa kuat dan menjalar ke semua wilayah,
Islam sebagai suatu agama ikut berperan aktif dalam melepaskan diri dari kunkungan
penjajah. Fenomena ini tercermin dari gerakan organisasi Islam seperti Sarekat Islam
(SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis dan organisasi keagamaan
lainnya.
Dinamika gerakan Islam dalam mencapai kemerdekaan dengan segala macam
polemik yang diakibatkan tidak terlepas dari kiprahnya dalam dunia politik. Implikasi
yang muncul dari pergulatan politik itu pada akhirnya berimbas pada perpecahan
kelompok, meskipun pada awalnya perbedaan tersebut hanya berkisar pada persoalan
syara’.2 Berangkat dari polemik inilah, persoalan mengenai Islam dan negara telah
sampai pada klimaksnya, dimana upaya-upaya untuk mengimplementasikan cita-cita
tersebut. Meskipun masing-masing kelompok berangkat dari semangat nasionalisme,
1 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 21. 2 Din Syamsudin membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu : Tradisionalis, modernis dan
fundamentalis. Lihat, Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. 116.
namun pada faktor-faktor tertentu memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat
mendasar dan menjadi polemik yang berkepanjangan.
Hal ini sangatlah lumrah, karena masing-masing kelompok memiliki acuan
yang berlainan. Bagi kelompok tradionalis, yang dipercaya sebagai Islam otentik,
tradisi-tradisi harus dipertahankan dan mengikuti norma-norma hukum Islam yang
sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual, sehingga relasi Islam dan negara
lebih ditekankan pada model Islam klasik. Bagi kelompok modernis, yang anti
terhadap paradigma tradisionalisme dan mengalami akulturasi dengan budaya barat,
lebih responsif terhadap sistem modern dengan mengakomodasi model barat dengan
memformulasikan konsep tersebut dalam usaha menjawab tantangan zaman.
Sedangkan kelompok fundamentalis, yang sangat anti terhadap sistem barat, lebih
menekankan pada model negara Islam teokratis seperti pada masa awal munculnya
agama Islam.3
Dari konteks ini, dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam menerapkan sistem
pemerintahan di Indonesia, ada dua spektrum pemikiran politik Islam yang
kontradiksi. Pertama, agama dipandang sebagai landasan utama dalam idealisme
politik dan dilegitimasi oleh dasar hukum negara. Hal ini pada umumnya terlihat dari
upayanya dalam menerapkan syari’ah di dunia politik. Kedua, agama hanya bersifat
substantif, tanpa menekankan aspek legalitas formal. Konsep ini tercermin dari nilai-
nilai yang terkandung didalamnya, seperti: keadilan, egaliter, musyawarah dan
3 Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, hal. 117-151.
partisipatif. Sehingga lebih fleksibel dalam menerima pengaruh dari sistem politik
modern.
Gerakan yang berorientasi pada corak tradisionalis, salah satunya adalah
Nahdlatul Ulama. Sebagai sebuah gerakan yang berorientasi pada disiplin keagamaan
yang notabene sangat kuat dalam mempertahankan tradisi-tradisi Islam klasik, NU
memiliki peran yang cukup signifikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Selain itu, NU juga termasuk sebagai organisasi yang memiliki semangat
nasionalisme yang tinggi. Diskursus ini tidak terlepas dari hubungan yang istimewa
diantara tokoh-tokohnya dengan kalangan nasionalis. Yang menarik dalam organisasi
ini, setiap kebijakan yang diambil selalu bercorak “akomodatif”, dan hal ini identik
dengan pola tradisi jawa, tempat lahirnya organisasi ini.4 Meskipun para
pemimpinnya sering terjadi perbedaan yang tajam, namun NU selalu menjaga
hubungan yang harmonis dengan penguasa. Karenanya NU sering mendapat tuduhan
sebagai organisasi oportunis.5
Ciri khas dari organisasi ini adalah peran sentral dari tokoh-tokoh yang
terlibat dalam gerakan organisasi ini, yaitu kiai. Sejak awal berdiri, NU memang
sebagai wadah yang mengayomi lembaga-lembaga pesantren yang ada di Indonesia,
karenanya organisasi ini tidak bisa dipisahkan dari tradisi pesantren. Hal ini
dilakukan sebagai upaya menanggulangi wabah reformasi atau pembaharu yang
menentang adat istiadat yang dilakukan oleh kaum tradisionalis. Polemik ini semakin
4 Andree Feilard menyebutnya dengan politik “jalan tengah”, lihat. Andree Feilard, NU vis-à-
vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hal. 413. 5 Effendy, Islam dan Negara, hal. 42.
pelik sejak munculnya organisasi-organisasi pembaharu, yang pada substansinya
berkisar pada seputar persoalan syara’. Konflik yang terjadi antara NU dengan
kalangan pembaharu tersebut akhirnya merambat kepersoalan politik.
Ketika NU mulai beralih ke persoalan politik, dengan munculnya sejumlah
kaum muda dalam memegang memegang kendali NU di tingkat tanfidziah, berbagai
polemik di tubuh NU mulai muncul. Benih-benih perseteruan tersebut akibat
ketidaksepahaman dari kelompok tua yang berusaha mempertahankan tradisi dengan
kelompok muda yang menginginkan adanya dinamika baru di tubuh NU.6 Sejak saat
itu NU mulai merambah pesoalan kenegaraan, meskipun disatu sisi berbagai kalangan
yang mayoritas kaum tua berusaha untuk bertahan dari rel.
Berbagai kemelut yang terjadi di tubuh NU tidak membuat NU pecah,
meskipun dalam sikap mengambil garis secara tegas. Justru yang terjadi adalah
kekokohan NU dari kebijakan-kebijakannya yang notabene selalu bersifat
akomodatif. Kondisi ini tidak terlepas dari peran ulama yang tetap memiliki perhatian
besar terhadap kemaslahatan anggotanya dalam menyikapi berbagai persoalan,
terlebih lagi persoalan kebangsaan.
Pada substansinya, NU merupakan sebuah organisasi yang diatur oleh
sejumlah kecil ulama dan aktifis yang memiliki pengaruh yang luas di masyarakat,
dan ini menjadi kekuatan utama dalam pengaruhnya di tingkat arus bawah. Selain itu,
6 Abdurrahman Wahid, “NU dan Politik”, dalam Slamet Efendy Yusuf, dkk., Dinamika Kaum
Santri; menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hal. 159.
sikap fleksibilitas NU tercermin dari sikap yang lebih suka dekat dengan penguasa
dibanding golongan modernis.7
Bila berbicara mengenai NU tentunya tidak terlepas dari para pendirinya yang
telah membuat organisasi memiliki basis massa terbesar di Indonesia. Salah satu
tokoh yang memiliki pengaruh dari mulai berdiri hingga masa-masa Islam menjadi
wacana umum seputar kenegaraan adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah. Beliau
adalah tokoh yang membidani organisasi tersebut. Semangat Kiai Wahab dalam
usaha mendirikan suatu jam’iyah bagi ulama tradisionalis yang dikenal dengan NU
ini, merupakan cerminan dari pentingnya tokoh Kiai Wahab. Selain itu kedekatanny
dengan para tokoh-tokoh nasionalis seperti HOS. Cokroaminoto, Soekarano adalah
indikasi dari seorang tokoh tradisionalis yang dekat dengan kelompok nasionalis.
Sejak berdirinya hingga pasca kemerdekaan, Kiai Wahab termasuk orang
yang mempengaruhi perjalanan NU selama setengah abad. Hal ini terlihat dari
gigihnya usaha beliau dalam mengembangkan NU diawal berdirinya jam’iyah ini.
Keterlibatan beliau dalam Islamic Studie Club, Kongres al-Islam, maupun MIAI serta
Masyumi, menunjukkan bahwa Kiai Wahab termasuk seorang tokoh memiliki
pengetahuan yang luas dan pandangannya jauh menembus kedepan, baik dibidang
politik maupun keagamaan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang berusaha
mengakomodir segala persoalan seputar polemik keagaman antara kelompok
tradisionalis dengan kelompok reformis.
7 Feilard, NU vis-à-vis Negara, hal. 46-47.
Dalam memimpin NU yang dimulai pasca kemerdekaan hingga awal-awal
Orde Baru, beliau sangat menaruh perhatian besar terhadap politik dan nasionalisme.
Dalam pandangannya, antara agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Sebagai orang
yang perhatian terhadap dinamika umat Islam, beliau ikut serta dalam urusan politik,
bahkan hingga akhir hayatnya. Dari semua kalangan ulama pendiri NU, hanya
beliaulah yang paling giat dan keras usahanya dalam mendirikan dan
mengembangankan NU.8
Sebagai orang yang besar di dunia pesantren, KH. Abdul Wahab Hasbullah
telah lebih maju dalam berfikir kedepan. Hal ini terlihat dari aktifitasnya di Taswirul
Afkar, sebuah forum diskusi hasil inisiatif dan merupakan cikal bakal berdirinya NU.
Gebrakan yang dilakukannya merupakan suatu upaya untuk mempertemukan aspirasi
masyarakat Islam pesantren dengan aspirasi masyarakat lain dengan dilandasi
kepentingan bersama dalam menghadapi politik kolonial.9 Forum yang didirikan
bersama KH. Mas Mansur ini merupakan suatu apreasiasi dari keprihatinan beliau
terhadap umat Islam di Indonesia yang telah disusupi oleh pemikiran-pemikiran baru
yang cenderung menentang tradisi yang sudah sejak lama.
Dalam mengendalikan NU, KH. Abdul Wahab Hasbullah memandang bahwa
dalam mengambil setiap kebijakan yang relevan terhadap kepentingan negara
haruslah sesuai dengan sendi-sendi Islam, dan yang terpenting adalah persaudaraan
nasional antar sesama. Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa Islam berguna bagi
8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal.
250. 9 Yusuf, dkk., Dinamika Kaum Santri, hal. 8.
negara sebagai satu jaminan atas ketertiban dalam masyarakat, dan beliau juga tidak
memaksakan negara harus berdasarkan syari’at Islam.10 Pandangan beliau
diimplementasikan dalam setiap kebijakannya ketika menghadapi persoalan
kenegaraan. Di saat Masyumi menghadapi konflik mengenai persoalan perlu tidaknya
masuk dalam kabinet Hatta, yang salah satu programnya adalah melaksanakan
Persetujuan Renville yang ditolak Masyumi, Kiai Wahab tampil memecahkan
persoalan disertai joke-joke jitu. Kiai Wahab mengusulkan agar Masyumi terlibat
dalam Kabinet Hatta. Pertimbangannya jika Masyumi terlibat di dalam, akan lebih
mudah menentang kebijaksanaan kabinet tersebut. Forum ternyata menyetujui usul
itu setelah melalui perdebatan seru,11 dengan menawarkan usulan agar masuk
kabinet, demi kemaslahatan umat. Begitu juga ketika NU menghadapi posisi
dilematis dalam persoalan Demokrasi Terpimpin, Kiai Wahab dengan keluwesannya,
berusaha mengajak para penentang Demokrasi Terpimpin untuk mencoba meyakini
segi positif dari sistem tersebut.12
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk membahas
lebih mengenai perjalanan Nahdlatul Ulama dan kiprahnya di dunia politik.
Karenanya penulis membuat skripsi ini dengan judul: “Pergulatan Politik KH.
Abdul Wahab Hasbullah; Studi Analisa terhadap Hubungan NU dan Negara”.
10 Feilard, NU vis-à-vis Negara, hal. 55. 11 Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 354-355. 12 Saifullah Ma’shum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak
NU, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999), h. 132-136.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk mengantisipasi agar tulisan ini tidak terlalu melebar maka penulis
hanya membatasi pada pergulatan politik KH. Abdul Wahab Hasbullah yang
relevansinya terhadap NU dan negara.
Sebagai rumusan masalah penulis merangkumnya dalam suatu pertanyaan:
1. Bagaimana kiprah KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam usaha
mengembangkan NU yang didirikannya?.
2. Bagaimana pergulatan politik KH. Abdul Wahab Hasbullah yang terkait
dengan NU dengan negara?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mendapatkan pemahaman utuh mengenai pergulatan politik KH. Abdul
Wahab Hasbullah dengan menganalisa hubungan NU dengan negara.
2. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi
setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat Sarjana program
Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Dalam membahas permasalahan di atas, penulis dalam menyusun skripsi ini
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), dengan jalan
mencari dan mengumpulkan data-data tertulis melalui buku-buku maupun literatur
lain yang relevan dengan pembahasan ini.
Dari penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis.
Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang
obyektif mengenai permasalahan yang terkait dengan isi skripsi ini. Analitis dipakai
agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga
mengena pada inti permasalahan.
Dari segi teknis penulisan, skripsi ini merujuk pada Buku Pedoman Akademik
Tahun 2005/2006, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penyusunan
Merujuk pada apa yang dituliskan di atas dan untuk mempermudah
pembahasan, skripsi ini disusun sistematis melalui bab dan sub bab dengan membagi
pembahasan menjadi empat bab yang secara garis besar diuraikan sebagai berikut:
Bab pertama, berisikan latar belakang masalah, Alasan Pemilihan Judul,
Tujuan Penelitian, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Metode Penelitian dan
Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua, memaparkan tentang biografi singkat KH. Abdul Wahab
Hasbullah dengan sub bab membahas riwayat hidup, pengalaman belajar, pengalaman
intelektualnya, dan Landasan Pemikiran Politik.
Bab ketiga, mengupas tentang peran KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam
pengalaman politiknya tahun 1926-1947, dengan sub bab: tokoh pendiri NU, kiprah
dan usaha merestrukturisasi NU menjadi organisasi, dan tanggapan kaum penjajah
terhadap organisasi NU.
Bab keempat, membahas tentang Pergulatan politik KH. Abdul Wahab
Hasbullah; Studi Analisa terhadap Hubungan NU dan Negara dengan sub bab: NU
dan Masyumi, NU mendirikan partai politik, dinamika partai NU pada pemilu, dan
Akomodasi Demokrasi Terpimpin.
Bab kelima adalah penutup yang berisikan kesimpulan yang diambil
berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta
daftar pustaka.
BAB II
BIOGRAFI KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH
F. Masa Kecil, Remaja dan Dewasa
KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah figur ulama dan tokoh masyarakat yang
memiliki andil yang cukup besar dalam perjuangan bangsa, khususnya dalam
mencapai kemerdekaan. Selain sebagai tokoh bangsa, beliau juga termasuk panutan
bagi santri-santri di pondok pesantren yang dipimpinnya, yaitu di Pondok Pesantren
Bahrul ‘Ulum, tepatnya di desa Tambak beras, kabupaten Jombang-Jawa Timur.
Beliau juga termasuk orang yang pertama mendirikan madrasah di pondok pesantren
tersebut. Sebuah lembaga pendidikan yang tergolong baru dilingkungan pesantren,
karena saat itu umumnya di pesantren menerapkan sistem sorogan dan bandungan.13
Kiai Wahab (Panggilan sehari-hari KH. Abdul Wahab Hasbullah) termasuk
dari golongan bangsawan (ningrat jawa) dan keturunan ulama. Dari silsilahnya, Kiai
Wahab masih ada keturunan dengan Raja Brawijaya IV (Lembu Peteng) dilihat dari
garis ayahnya. Sedang dari silsilah ibunya, memiliki garis keturunan yang sama
dengan ayahnya yang pertemuan nasabnya pada Jaka Tingkir (Karebet), yang
merupakan putra Raja Brawijaya IV.14 Jaka Tingkir menikah dengan putri Sultan
Treggono, raja ketiga dari Kerajaan Demak, dan melahirkan putra yang bernama
Pangeran Banawa. Selama hidupnya Pangeran Banawa tinggal di daerah Kudus
dengan menjadi guru tarekat. Banawa memiliki putra yang bernama Muhammad yang
lebih dikenal dengan Pangeran Sambo. Cicit Pangeran Sambo, setelah dua keturunan,
bernama Kiai Sikhah yang dikenal dengan Kiai Abdus Salam.15
Kiai Abdus Salam dikaruniai dua orang putri, yaitu Nyai Latifah dan Nyai
Layyinah. Dari pernikahan antara Nyai Latifah dengan Kiai Said, murid dari Kiai
Abdus Salam, dikaruniai empat orang anak, Kiai Syafi’i, Kiai Chasbullah (ayahanda
Kiai Wahab), Kiai Hasyim, dan Nyai Kasminah. Dari pernikahan Nyai Layyinah
13 Sorogan adalah mengajar secara perorangan, guru mengajar beberapa murid yang berbeda-
beda mata pelajarannya secara bergantian. Bandungan adalah sejumlah murid yang setingkat pengetahuannya belajar secara bersama-sama mengikuti satu macam mata pelajaran sambil menyimak kitab yang dibaca guru. Lihat, Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987),.h. 30.
14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), h. 250.
15 Saifullah Ma’sum, ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 1998), h. 71-72.
dengan Kiai Utsman, murid Kiai Abdus Salam juga, dikaruniai seorang putri bernama
Nyai Halimah yang biasa disebut dengan Winih (bibit), yang merupakan ibunda K.H.
Hasyim Asy’ari.
Dari silsilah tersebut, Kiai Wahab termasuk masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan ulama yang paling masyhur di awal abad ke-20 yang sama-sama
dari Jombang, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu
keturunan dengan Kiai Abdus Salam yang biasa dikenal dengan Kiai Sikhah yang
berasal dari Tuban. Bahkan dalam silsilahnya ke atas, konon masih memiliki garis
keturunan dengan Siti Fatimah binti Nabi Muhammad saw.16
Dalam buku-buku yang menjelaskan tentang biografi Kiai Wahab, tercatat
bahwa Kiai Wahab lahir pada bulan Maret tahun 1888,17 di Tambakberas, Jombang,
Jawa Timur. Dalam gambaran orang yang mengaguminya, Kiai Wahab dilukiskan
sebagai orang gesit, penuh semangat, dan berwibawa. Kulitnya sedikit hitam, tetapi
tidak mengurangi sinar wajahnya yang menyimpan sifat kasih. Konon, kiai ini sulit
sekali untuk marah dan dendam, karena sifatnya yang humoris.18
Selain itu, Kiai Wahab digambarkan juga sebagai orang yang berpengetahuan
yang sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang-orang yang pernah
16 Saifullah Ma’sum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak
NU, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999), h. 201.
17 Greg Fealy berpendapat, Kiai Wahab diperkirakan lahir antara tahun 1883 atau 1884, lihat, Greg Fealy, Wahab Chasbullah: Tradisionalis dan Perkembangan Politik NU, dalam Greg Fealy dan Greg Barton, ed., Tradionalisme Radikal Persinggahan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1999) h. 2.
18 Ma’sum, Karisma Ulama, h. 142-143.
dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian kata-katanya yang serba
baru dan mengandung nilai-nilai kebenaran yang mempesona.
Kiai Wahab menikah dengan Nyai Maemunah binti Kiai Musa Kertopaten
Surabaya pada tahun 1916, dan dikaruniai seorang anak bernama K.H. Muhammad
Wahib Wahab, yang merupakan salah Mentri Agama pada zaman Orde Lama. Nyai
Maemunah meninggal ketika sedang melaksanakan ibadah haji tahun 1921.
Sepeninggal istri pertamanya, Kiai Wahab menikah dengan Nyai Alawiyah binti Kiai
Tamim, dan memperoleh seorang anak yang bernama Nyai Khadijah. Pernikahan ini
tidak berlangsung lama, karena istrinya meninggal lagi. Setelah meninggalnya istri
yang kedua, Kiai Wahab menikah dengan Nyai Asna binti Sa’id, ayahnya seorang
sorang pedagang dari Surabaya. Dari pernikahan ini dikaruniai seorang anak yang
bernama K.H. Muhammad Nadjib Wahab, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambak Beras.
Pernikahan inipun tidak berlangsung lama, karena ditinggal mati oleh istrinya.
Setelah meninggalnya Nyai Asnah, Kiai Wahab menikah dengan Fatimah binti
Burhan, seorang janda beranak satu yang bernama K.H. Ahmad Sjaichu (salah satu
tokoh NU dan mantan ketua DPR-GR), dan tidak dikaruniai anak. Kemudian Kiai
Wahab menikah lagi dengan Nyai Fatimah binti Ali dari Mojokerto dan Nyai
Askanah binti M. Idris dari Sidoarjo. Dari kedua istrinya juga tidak dikaruniai anak.
Kemudian Kiai Wahab menikah kembali dengan Nyai Masmah, sepupu Nyai
Asnah binti Sa’id, dan dikaruniai seorang putra yang bernama K.H. Muhamad Adib
Wahab. Setelah meninggalnya Nyai Masmah, Kiai Wahab menikah lagi dengan Nyai
Ashikhah binti Abdul Majid, dan dikaruniai dua orang putri, diantaranya Nyai
Djumiatun, dan Nyai Mu’tamaroh. Setelah meninggalnya Nyai Ashikhah disaat
kembali dari ibadah haji, Kiai Wahab menikah lagi untuk yang terakhir kalinya, yaitu
dengan kakak kandung Nyai Ashikhah, yaitu Nyai Halimatus Sa’diyah, dan
dikaruniai lima orang anak, yaitu Nyai Hj. Mahfudhoh Ali ubaid (anggota DPR),
Nyai Hj. Chisbiyah, Nyai Hj. Munjidah, K.H. Hasib Wahab dan K.H. Moh. Roqib
Wahab.19
G. Pengalaman Belajar
Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di pesantren, maka Wahab kecil
dibekali pendidikan utama langsung dari orang tuanya. Oleh ayahnya diajari
pendidikan agama tingkat dasar, seperti membaca al-Qur’an, Tauhid, Fiqh, bahasa
Arab, dan Tasawuf.20
Setelah dididik selama tiga belas tahun dan dirasa cukup, Kiai Wahab
berkelana ke berbagai pondok pesantren. Di beberapa pesantren tersebut, Kiai Wahab
memperdalam bermacam-macam ilmu dengan spesifikasi yang berbeda. Pesantren
Langitan merupakan pilihan pertama untuk belajar. Setelah setahun belajar, Kiai
Wahab pindah ke Pesantren Mojosari Nganjuk dibawah bimbingan Kiai Sholeh dan
19 Ma’sum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 30. 20H. Aboebakar (Atjeh), ed., Sedjarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,
(Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hajim, 1957), h. 6.
Kiai Zainuddin, di sana Kiai Wahab mempelajari kitab-kitab fiqh, khususnya kitab
Fath’ul Mu’in selama empat tahun. Kemudian Kiai Wahab melajutkan studinya ke
Pesantren Cepoko yang hanya bertahan selama empat bulan. Kemudian pindah ke
Pesantren Tawangsari Surabaya, di sana Kiai Wahab mempelajari hukum Islam
dibawah bimbingan oleh Kiai Ali selama satu tahun.
Dari Pesantren Tawangsari, pindah ke Pesantren Branggahan Kediri dibawah
bimbingan Kiai Faqihuddin selama satu tahun. Di sana Kiai Wahab belajar Tafsir dan
Tasawuf. Setelah menamatkan pelajarannya di Branggahan, Kiai Wahab kemudian
melanjutkan ke Pesantren Kademangan Bangkalan dibawah bimbingan Kiai Cholil,
seorang ulama tradisionalis yang cukup terkenal di masanya. Selama tiga tahun Kiai
Wahab memperdalam tata Bahasa Arab. Dari pesantren Kademangan kemudian Kiai
Wahab oleh Kiai Cholil disarankan agar melanjutkan studinya di Pesantren Tebuireng
dibawah bimbingan K.H. Hasyim Asy’ari. Di pesantren ini, Kiai Wahab
mendapatkan bimbingan selama empat tahun. Bahkan oleh Kiai Hasyim, Kiai Wahab
diangkat sebagai lurah pondok, suatu jabatan tertinggi di kalangan santri.
Di berbagai pesantren inilah, kehidupan Kiai Wahab ditempa dan mempelajari
banyak kitab penting hingga mahir. Namun dengan begitu banyaknya pesantren yang
dikunjungi dan segudang kitab yang dipelajarinya, tidak membuat Kiai Wahab puas,
bahkan semakin membuat dirinya haus oleh ilmu. Melihat semangat Kiai Wahab
dalam mencari ilmu begitu menggebu-gebu, maka disarankan oleh Kiai Hasyim
Asy’ari untuk melanjutkan studi ke Makkah. Akhirnya pada tahun 1912 Kiai Wahab
berangkat ke Makkah dengan mengajak KH. Bisri Syansuri ikut serta.21 Di kota suci
ini, selain menyempurnakan rukun Islam yang kelima, Kiai Wahab bertemu dan
berguru dengan beberapa ulama terkenal. Di antaranya: Kiai Machfudz Termas, Kiai
Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kiai Bakir Yogyakarta,
Kiai Asy’ari Bawean, Syaikh Said al-Yamani, dan Syaikh Said Ahmad ibn Bahri
Syatha, Syaikh Umar Bajened dan Syaikh Abdul Karim al-Daghistani.22 Kesempatan
selama di Makkah dipergunakan sebaik mungkin untuk memperkaya khasanah
keilmuannya dengan langsung belajar pada ulama-ulama yang sudah termasyhur
hingga ke seluruh penjuru dunia. Setelah mengenyam pendidikan selama lima tahun
di Makkah, Kiai Wahab kembali ke tanah air.
Pendidikan yang diperolehnya dengan tanpa mengenal lelah ini semakin
menambah wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kiai Wahab.
Dari riwayat pendidikannya, tidak heran jika di kalangan ulama dan para pejuang
sebayanya, Kiai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan
keilmuannya.
H. Pengalaman Intelektual
Bakat kepemimpinan dan kecerdasan Kiai Wahab sudah menonjol sejak di
menempuh pendidikan di pesantren. Terkadang disela-sela belajar, Kiai Wahab
sering mengadakan kelompok belajar dan diskusi secara rutin. Dalam diskusi
21 Ma’sum, Karisma Ulama, h. 128. 22 Ma’sum, Karisma Ulama, h. 144.
kelompok tersebut, dibahas berbagai macam persoalan mulai dari keagamaan
hingga sosial kemasyarakatan. Karenanya, sepulangnya dari pesantren, Kiai
Wahab tidak canggung sama sekali ketika terjun ke masyarakat untuk
mempraktekkan ilmunya. Di pesantren Tebuireng misalnya, Kiai Wahab terlibat
dalam “kelas musyawarah” yang merupakan forum diskusi yang terdiri dari santri
senior yang telah memiliki pengalaman mengenyam pendidikan pesantren minimal
selama sepuluh tahun di berbagai pesantren. Dalam forum “kelas musyawarah”
dibahas berbagai persoalan keagamaan yang berkaitan dengan fenomena yang
terjadi di masyarakat, dengan kitab kuning sebagai rujukannya. Dalam forum
tersebut, yang terlibat selain Kiai Wahab adalah: K.H. Bisri Syansuri Jombang,
K.H. As’ad Syamsul Arifin Situbondo, K.H. Manaf Abdul Karim Lirboyo, K.H.
Abbas Cirebon, dan lain-lain.
Selama belajar di Makkah, Kiai Wahab juga terlibat dalam organisasi, diantaranya
bersama Kiai Abbas dari Jember, Kiai Asnawi dari Kudus, membentuk Sarikat
Islam cabang Makkah,23 bahkan keterlibatannya di SI terus dilakukannya ketika
kembali ke tanah air. Bahkan keterlibatannya di SI semakin mendekatkan
hubungan Kiai Wahab dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia yang menjadi
23 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1992), h. 17.
pemimpin politik saat itu, seperti H. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, W.
Wondoamiseno, Alimin, Soekarno dan lain sebagainya.24
Sepulangnya dari Makkah pada tahun 1914, Kiai Wahab tidak langsung mengabdi
ke pesantrennya. Umumnya jika seorang santri atau putra Kiai yang memiliki
pesantren, sepulang dari menempuh pendidikan, langsung mengabdi di pesantren
tersebut. Kiai Wahab justru tinggal di Surabaya, salah satu kota terbesar ke dua di
masa Hindia Belanda, bahkan di kota ini dikenal sebagai pusat perdagangan dan
aktifitas politik dan sosial dari berbagai organisasi.25
Kenyataan sosial yang terjadi pada waktu itu adalah masyarakat dalam tekanan
penjajah Belanda dengan segala bentuk akibatnya, karenanya Kiai Wahab
mencoba mencari cara bagaimana dapat menyumbangkan pikirannya yang
progresif agar dapat memperbaiki keadaan. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa
Kiai Wahab tidak kembali untuk mengabdi di pesantren ayahnya.
Kiai Wahab segera melibatkan dirinya dalam berbagai aktifitas. Aktifitas pertama
yang dilakukannya, setibanya di Surabaya, adalah mengajar di Madrasah al-
Qur’an milik mertuanya dari istri pertamanya, Kiai Musa. Di sela-sela
kesibukkanya mengajar, Kiai Wahab mencoba melakukan kontak dengan teman-
teman belajarnya, baik di waktu menuntut ilmu di pesantren maupun di Makkah
untuk membicarakan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Akhirnya pada
24 Zamakhsyari Dhofier, “K.H. Hasyim Asy’ari: Penggalang Islam Tradisionalis”, dalam Humaidi Abdussani dan Ridwan Fakla, A.S, ed., Biografi 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Ltn-NU, 1995), h. 31.
25 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 51.
tahun 1916 bersama K.H. Mas Mansur, kawan mengaji di Makkah, Kiai Wahab
membentuk madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah
air).26 Madrasah ini mendapat dukungan penuh dari ulama-ulama pesantren seperti
K.H. Bisri Syansuri, K.H. Abdul Halim Laimunding, K.H. Alwi Abdul Aziz, K.H.
Ma’shum, Abdullah Ubaid, dan beberapa ulama terkenal lainnya. Karenanya
dalam menjalankan roda organisasi, banyak dibantu oleh ulama-ulama tersebut.
Dalam organisasi inilah Kiai Wahab, yang menjabat Kepala Dewan Guru, mulai
memimpin dan menggerakkan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan
nasionalisme. Selain Mas Mansur yang menjabat sebagai Kepala Sekolah, tokoh-
tokoh besar lain, seperti HOS Cokro Aminoto, Soendjata, R. Panji Suroso, juga
membantu mendirikan madrasah ini.27
Dua tahun kemudian, tahun 1918, Kiai Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar
(Kabangkitan Para Saudagar). Lembaga yang bergerak di bidang perekonomian ini
adalah sebuah koperasi dagang yang pemegang sahamnya terdiri dari para ulama.
Di organisasi ini Kiai Wahab memegang jabatan sebagai bendahara sekaligus
penasehat dengan ketuanya KH. Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang pengusaha,
tidaklah mengherankan jika waktu itu Kiai Wahab sudah memiliki mobil mewah
buatan Amerika dan sepeda motor Harley Davidson yang kerap digunakan untuk
berkeliling Surabaya dan Jombang dengan tetap mengenakan pakaian
26 Aboebakar berpendapat bahwa Nahdlatul Wathan kemungkinan lahir pata tahun 1914, namun baru bisa diakui secara yuridis oleh pemerintah Belanda tahun 1916. lih. Aboebakar, Sedjarah Hidup, h. 489.
27 Andrre Feilard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 9.
“kebesarannya” berupa sarung dan serban putih serta sepatu.28 Fenomena ini
merupakan gambaran unik dari seorang “Kiai desa” ditengah tradisi Kiai yang
identik dengan kesederhanaan.29
Diawal tahun 1919, bersama seorang ulama senior dari Surabaya, KH. Ahmad
Dahlan Kebondalem, Kiai Wahab mendirikan forum diskusi yang bernama
Taswirul Afkar (Pergolakan Pemikiran),30 Mula-mula kelompok ini mengadakan
kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir
dan berpendapat yang diterapkan serta topik-topik yang dibicarakan mempunyai
jangkauan kemasyarkatan yang cukup luas, dalam waktu singkat kelompok ini
menjadi sangat populer dan menarik minat kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam
dari berbagai kalangan bertemu dalam forum ini untuk memperdebatkan dan
memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Agaknya Kiai Wahab bermaksud ingin mempertemukan aspirasi masyarakat Islam
tradisionalis dengan aspirasi masyarakat Islam pembaharu dalam suatu wadah
menuju satu kepentingan bersama yaitu menghadapi politik kolonial Belanda yang
ingin umat Islam menjadi terpecah belah.31
28 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 45-46. 29 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 201-202. 30 Versi lain mengatakan Taswirul Afkar berdiri pada tahun 1914 bersama KH. Mas Mansur.
Lih. Slamet Effendy Yusuf, dkk, Dinamika Kaum Santri; menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 6-7.
31 Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Yamunu, 1972), h. 607
Forum ini menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh
nasional. Selain itu, menjadi jembatan antara generasi tua dengan generasi muda.
Dengan semakin populernya forum ini, akhirnya Taswirul Afkar yang mulanya
hanya bertempat di Surabaya, kemudian menjalar ke seluruh kota di Jawa Timur.
Bahkan gemanya sampai ke daerah-daerah lain di seluruh Jawa. Forum ini tidak
hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang sedang marak, tetapi
juga dimaksudkan untuk menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh
pergerakan. Selain itu dalam upaya rekrutmennya, Kiai Wahab lebih
mementingkan progresifitas berfikir dan bertindak, sehingga forum ini juga
menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran
keilmuan dan dunia politik.32
Namun, seiring dengan meruncingnya perdebatan antara golongan tradisionalis
dengan golongan pembaharu, hal ini berimbas pula perbedaan pendapat pada
persoalan khilafiyah antara Kiai Wahab yang lebih condong kepada kaum
tradisionalis dengan KH. Mas Mansur yang lebih dekat dengan pemikiran
kalangan pembaru. Karena perbedaan inilah, akhirnya hubungan antara Kiai
Wahab dan Mas Mansur menjadi retak. Akhirnya pada tahun 1922, KH. Mas
Mansur menyatakan keluar dari Nahdlatul Wathan, dan kemudian menjadi anggota
Muhammadiyah.33
32 Ma’sum, Karisma Ulama, h. 145-146. 33 Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam, h. 606.
Dengan keluarnya Mas Mansur tidak menjadikan Kiai Wahab patah semangat dari
upaya penggalangan pemikiran di kalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas
dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan
kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh keagamaan lainnya. Dengan
pendiri al-Irsyad, Syaikh Ahmad Syurkati, misalnya, Kiai Wahab seringkali
melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Begitu juga dengan pendiri
Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, Kiai Wahab sering bertandang ke rumahnya
di Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya.34 Ketika di Surabaya kaum
terpelajar mendirikan Islamic Studie Club yang banyak dihadiri oleh kaum
pergerakan, Kiai Wahab pun ikut terlibat dan menggunakan kesempatan tersebut
untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, bahkan Kiai Wahab berkawan akrab
dengan Dr. Soetomo dan lain-lainnya.
Dengan dibantu oleh K.H. Mas Alwi selaku Kepala Sekolah, menggantikan K.H.
Mas Mansur, Kiai Wahab membentuk cabang-cabang baru, diantaranya: Akhul
Wathan di Semarang, Far’ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang,
Far’ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabatul Wathan di
Pacarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.35
Selain sebagai tokoh intelektual dan tokoh politik, Kiai Wahab juga termasuk
sebagai seorang advokat. Beliau menjadi pengacara sejak masih muda. Seperti
34 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 55. 35 Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu Sala,
1985), h. 25.
yang dikisahkan oleh Hj. Mafudhoh Aly Ubeid, salah satu putri Kiai Wahab “ada
seorang pengusaha punya kapal, kapal tersebut dikuasai Belanda, ketika mau
diambil susah. Kiai Wahab berusaha mengambil kapal tersebut, dan berhasil
ditanganinya”.36 Sebagai seorang pengusaha yang memiliki pabrik yang diberi
nama PT. Sri Gula, beliau juga kerap menangani orang-orang yang ingin pergi
haji. Sebagai ulama, Kiai Wahab juga tak lupa untuk menyempatkan waktunya
untuk mengajar dan memberi ceramah, baik di pondok maupun di luar.
I. Landasan Pemikiran Politik
Kerangka berfikir para tokoh NU tidak terlepas dari yurisprudensi Islam yang
berasal dari abad pertengahan. Karenanya, pandangan politik NU dipengaruhi oleh
para pemikir Islam klasik yang bercorak pada pemahaman ahlus sunnah wal jama'ah
dengan menganut mazhab empat. Dari empat mazhab ini, kalangan tradisionalis lebih
menekankan pada mazhab Syafi'iyah, ketimbang ketiga mazhab lainnya. Paham ahlus
sunnah wal jama'ah merupakan pendekatan multidimensional dari suatu gagasan
konfigurasi aspek kalam, fiqh dan tasawwuf.37 Dengan penjabarannya sebagai
berikut:
1. Dalam bidang Fiqh, menganut salah ajaran dari empat mazhab yaitu : Mazhab
Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali
36 Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006 37 Ridwan, M.Ag., Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik,
(Yogyakarta: STAINU Purwokerto dan Pustaka Pelajar, 2004), h.201.
2. Dalam bidang tauhid atau akidah, menganut paham Imam Abu Hasan al-
Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi
3. Dalam bidang tasawwuf, menganut pada imam Abu Qosim al-Junaidi dan
Imam al-Ghozali.38
Ketiga aspek ini merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Namun
umumnya para pelaku NU lebih menekankan pada dimensi fiqh dibanding aspek
yang lainnya.
Keakraban masyarakat NU terhadap corak pemikiran yang mengacu pada
mazhab Syafi'iyah yang dikenal sebagai imam moderat menjadikan pola pikir NU
lebih akomodatif, khususnya dalam merespon persoalan politik dan saat memberikan
treatment kepada kekuasaan. Sebagai organisasi yang umumnya keluaran pesantren,
kaidah fiqh merupakan kerangka utama dalam menetapkan suatu kebijakan. Bagi
kalangan tradisionalis fiqh merupakan "ratu ilmu pengetahuan".39
Saifuddin Zuhri berpendapat, salah satu strategi yang diterapkan NU dalam
setiap perjuangannya, berpegang pada kaidah yang dirumuskan oleh Imam Syafi'i,
yaitu: dar al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-masalih (menghindari bahaya
diutamakan daripada melaksanakan kebaikan).40 Anjuran menghindari bahaya
seringkali dikaitkan dengan dua prinsip yang lebih luas cakupannya, yaitu amar
ma'ruf nahi munkar dan maslahat.
38 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,
1992), h. 21-22. 39 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.
68. 40 Ridwan, Paradigma Politik NU, h. 204.
Pola yang diterapkan oleh Kiai Wahab, pun tidak terlepas dari jalur di atas.
Dalam setiap kebijakan yang dilakukan oleh Kiai Wahab lebih menekankan pada
upaya menghindari bahaya ketimbang berkonfrontasi dengan kekuasaan. Karenanya,
sikap NU cenderung bersifat akomodatif dengan lebih mengutamakan stabilitas
politik dan harmonisasi kehidupan sosial.
Bagi Kiai Wahab, Al-Qur’an dan Hadis adalah landasan dasar yang harus
diutamakan, selain dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan NU dalam Qonun Asasi-
nya.41 Namun dalam satu sisi, Kiai Wahab juga menegaskan, bahwa hukum agama
tidak harus didasarkan pada kaidah tekstual, hukum agama juga harus peka terhadap
realitas sosial.42
Hal ini terlihat dari beberapa langkah politik yang dilakukan oleh Kiai Wahab
selama hidupnya. Salah satu contoh adalah pemberian gelar waliyul amri dlaruri
bisy-syaukah kepada Presiden Soekarno. Kiai Wahab membenarkan gelar tersebut
yang berlandaskan pada kaidah fiqh dengan meng-qiyas-kan seorang wanita Islam
yang tidak mempunyai seorang wali nasab, disyaratkan untuk menikah dengan wali
hakim. Dan wali hakim diangkat atau ditunjuk oleh penguasa atau sultan yang sedang
berkuasa (dzu syaukah). Karena Soekarno termasuk seorang penguasa, maka
pemberian gelar tersebut untuk memenuhi keabsahan dalam kaidah fiqh.
Dari konteks ini dapat ditegaskan bahwa kerangka berfikir Kiai Wahab tidak
terlepas dari masalah yang berkaitan dengan kepentingan umat. Sikap fleksibilitas
41 Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, Wawancara pribadi 42 Fealy, Wahab Chasbullah, h. 4
beliau dalam menghadapi masalah umat menjadikan Kiai Wahab dikenal sebagai
seorang pemimpin dan kiai yang akomodatif.
Prinsip ini tidak hanya diterapkan dalam lingkup umum an sich, dalam
persoalan yang berkaitan dengan keluarga, beliau lebih mementingkan orang lain
dibandingkan keluarganya. Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga beliau lebih
mengutamakan kepentingan kerabatnya dibanding anak-anaknya.43 Bahkan dalam
menentukan kebijakan-kebijakan NU, beliau lebih mementingkan orang lain. Untuk
dapat mengupayakan terealisasinya perjuangan tersebut, beliau berprinsip bila
mempunyai usaha yang lancar, maka nilai perjuangan akan lebih baik.44 Dengan kata
lain beliau sangat memperhatikan kebutuhan umat untuk kesejahteraan.
43 Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006 44 Hj. Munjidah Wahab, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006
BAB III
KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH DAN PENGALAMAN POLITIK
J. Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama
Pada tahun 1869 M terjadi suatu peristiwa yang memiliki pengaruh yang besar
terhadap perkembangan dunia Islam di Timur Tengah. Peristiwa tersebut adalah
pembukaan Terusan Suez. Sejak itu arus pelayaran yang pada mulanya sepi menjadi
ramai. Akibat yang muncul tidak hanya pada bidang perdagangan semata. Bagi umat
Islam di Indonesia, pembukaan Terusan Suez memberikan implikasi yang tidak
sedikit, khususnya dalam masalah haji. Tercatat setiap tahun terjadi peningkatan
dalam menunaikan ibadah haji.45 Selain fenomena tersebut, di Timur Tengah sedang
merebak gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad Abdul
Wahab yang dikenal dengan gerakan Wahabiyah-nya, maupun Jamaluddin al-
Afghani dan Muhammad Abduh dengan gerakan Pan Islamisme-nya. Imbas dari
gerakan tersebut dalam konteks ke-Indonesiaan, terjadi kontak pemikiran intensif
antara jama’ah haji Indonesia dengan gerakan ini dan banyak para jama’ah haji yang
sambil menuntut ilmu itu terpengaruh oleh faham gerakan tersebut. Tak pelak lagi,
ketika para jama’ah haji kembali ke tanah air, mereka membawa faham pembaharuan
itu untuk disosialisasikan di daerahnya masing-masing.
45 Umumnya para jama’ah haji tidak hanya sekedar melakukan ritual ibadah. Banyak yang
menetap selama beberapa tahun untuk berguru kepada para syeikh di sana. Lihat, Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 2.
Namun tidak semua kalangan menerima faham tersebut secara bulat-bulat,
khususnya kalangan ulama pesantren yang pernah belajar di Mekkah. Mereka
menilai bahwa pembaharuan Islam tidak mesti dilakukan secara frontal seperti yang
difahami oleh para penganut faham pembaharuan. Mereka berpendapat, bahwa
pembaharuan Islam dapat direlevansikan terhadap tradisi lokal. Bila purifikasi ajaran
Islam ini dilakukan secara radikal, akan berdampak pada psikologis masyarakat.46
Dengan munculnya gerakan ini, praktis sejak awal 1910-an di kalangan
masyarakat Islam Indonesia, khususnya di Jawa, berkembang polarisasi antara
kelompok tradisional dan kelompok modernis dan sering menimbulkan perdebatan-
perdebatan di antara dua kubu itu. Rivalitas dua kubu tersebut, semakin memuncak
seiring dengan dukungan yang kian meningkat dari kalangan modernis dalam wilayah
kaum tradisional di sepanjang pesisir utara dan timur Jawa.47
Sebagai upaya sosialisasi gerakan pembaharuan ini, di kalangan modernis,
berdiri dua organisasi yang berlainan visi di wilayah Jawa. Pertama, Sarikat Islam,48
organisasi ini bercorak politik. Organisasi ini lahir, selain karena faktor gerakan Pan
Islamamisme, juga karena situasi ekonomi umat Islam yang didominasi Cina. Kedua,
46 A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS,
1995), h. 47. 47 Saifullah Ma’shum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak
NU, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999), h. 65-66.
48 Sarikat Islam berdiri pada 11 November 1912 di Solo oleh Samanhudi. Pada mulanya dinamakan Sarikat Dagang Islam. Mengenai perkembangan SI, lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), h. 115.
adalah Muhammadiyah, Persis, Jami’atul Khoir dan al-Irsyad,49 yang bergerak di
bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Muhammadiyah mendapat dukungan besar
dan mengalami kemajuan pesat. Diantara keempat organisasi tersebut,
Muhammadiyah termasuk organisasi yang paling keras menentang perilaku tradisi
lokal yang dianut oleh kalangan tradisionalis.
Menghadapi ancaman serius dari kaum modernis ini, KH. Abdul Wahab
Hasbullah tampil sebagai figur yang membela kaum tradisionalis. Langkah awal yang
dilakukan adalah bersama KH. Mas Mansur, membentuk Madrasah Nahdlatul
Wathan. Tak lama kemudian mendirikan Taswirul Afkar yang dikenal dengan
sebagai forum diskusi, dan Nahdlatul Tujjar. Figur Kiai Wahab semakin lama
semakin populer seiring dengan penampilannya dalam setiap forum diskusi maupun
debat publik dengan kalangan modernis. Terlebih lagi, setelah hubungannya dengan
Mas Mansur retak dan kemudian hengkang dari Nahdlatul Wathan.
Sebagai seorang yang piawai dalam diskusi dan pendebat ulung, Kiai Wahab
juga tak segan-segan berhadapan dengan tokoh-tokoh nasional kala itu. Tokoh-tokoh
terkemuka seperti: KH. Ahmad Dahlan, Syeikh Ahmad Soorkati, KH. Mas Mansur,
dan tokoh lainnya, merupakan lawan debat yang sering menjadi langganan Kiai
Wahab.50
49 Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta.
Sedangkan Persatuan Islam (Persis) pada tahun 1923 di Bandung. Jami’atul Khoir pada 17 Juli 1905, dan al-Irsyad pada 11 Agustus 1915 di Jakarta. Namun kedua organisasi yang disebutkan terakhir ini, tidak bertahan lama. Lihat, Noer, Gerakan Modern, h. 68-97.
50 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 68.
Diskusi-diskusi dengan kalangan modernis, yang pada mulanya hanya bersifat
berdebatan semata, menjadi semakin meruncing. Untuk mengantisipasi pertikaian
yang umumnya berkisar pada persoalan khilafiyah itu, maka dibentuklah upaya
untuk mencari penyelesaian permasalahan dengan membentuk Kongres al-Islam
yang dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, H.O.S. Cokro Aminoto, KH.
Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, dan KH. Mas Mansur. Kongres pertama
dilaksanakan di Cirebon pada tanggal 31 Oktober – 2 November 1922. Kongres ini
dimaksudkan untuk menampung seluruh aspirasi umat.
Namun karena dalam kongres tersebut membicarakan tentang persoalan agama,
dimana al-Irsyad dan Muhammadiyah disatu pihak dan golongan tradisi di pihak
lain, maka sering menimbulkan perdebatan. Mereka sepakat memilih wakil dari SI
sebagai pimpinan. Namun dengan dipilihnya wakil SI sebagai pemimpin tidak
menjadikan persoalan selesai. buntut dari persoalan tersebut, semakin menurunnya
kepercayaan kalangan tradisi terhadap SI, terlebih lagi Muhammadiyah dan al-
Irsyad.51
Alih-alih mencari titik temu di kalangan umat Islam yang sedang berselisih,
ternyata menjadi ajang hujat menghujat di kedua belah pihak. Alasan yang diambil
sangatlah wajar, karena kalangan tradisi mendapat perlakuan kurang mengenakkan
dengan kata-kata pedas dan memojokkan terhadap mazhab yang menjadi
pegangan para ulama tradisional selama ini. Kaum tradisionalis yang diwakili oleh
51 Noer, Gerakan Modern, h. 144.
Kiai Wahab dan KH. R. Asnawi, meninggalkan kongres itu dengan menyimpan
kecurigaan yang kuat terhadap kaum pembaharu.52
Ketika Raja Fu’ad dari Kairo bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat,
yang ramai dibicarakan pada masa itu, pada bulan Maret 1924. Sebagai jawaban
dari undangan tersebut, maka dibentuk komite khilafat di Surabaya yang di ketuai
oleh Wondoamiseno dari SI, dengan wakilnya K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Pada
kongres al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 memutuskan mengirim
delegasi ke kongres Kairo, yang terdiri dari Surjopranoto (SI), Haji Fachruddin
(Muhammadiyah) dan K.H. A. Wahab Hasbullah (kalangan tradisional), namun
kongres tersebut di tunda.53
Setelah Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah dengan dukungan
kaum Wahabi, dan terjadinya perebutan kedudukan khilafah antara Kairo dan
Makkah, maka Ibnu Sa’ud berinisiatif untuk mengadakan Kongres di Makkah.
Sebagai jawabannya, Kongres al-Islam keempat diselenggarakan di Yogyakarta
pada tanggal 21-27 Agustus 1925 dan kongres al-Islam di Bandung pada tanggal 6
Februari 1926. Dalam kongres tersebut peran golongan pembaharu begitu
dominan, sehingga aspirasi kaum tradisionalis terabaikan.
Hal ini terlihat dari keputusan-keputusan yang diambil kongres ternyata
representasi dari rapat organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur pada tanggal 8-
52 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.
31. 53 Noer, Gerakan Modern, h. 242-243.
10 Januari 1926, satu bulan sebelum kongres ke lima. Karena pihak tradisional
tidak mendapat peran dalam utusan delegasi, maka kiai Wahab sebagai wakil dari
kaum tradisionalis hanya bisa mengusulkan agar tradisi keagamaan yang telah
lama dilakukan oleh kalangan tradisional agar diberi jaminan kebebasan oleh raja
Sa’ud. Namun usulan Kiai Wahab tersebut sama sekali tidak dihiraukan oleh kaum
pembaharu.
Akibat dari perlakuan tersebut, kalangan tradisional yang diwakili Kiai Wahab
menyatakan keluar dari kongres tersebut dan kemudian mencoba menggalang
kekuatan tradisional, untuk mengadakan musyawarah yang dikhsususkan bagi
ulama sependirian. Setelah mendapat restu dari KH. Hasyim Asy’ari, maka
bersama sahabat karib sekaligus iparnya, KH. Bisri Syansuri, Kiai Wahab
berkeliling pulau Jawa menghubungi kiai-kiai pesantren untuk memperoleh
dukungan.54 Perjalanan keliling Jawa, mulai dari Banyuwangi di ujung timur
hingga Menes di ujung barat, berhasil menghadirkan sejumlah ulama ternama di
Jawa pada awal Januari 1926.55 Mereka sepakat membentuk suatu panitia khusus
yang disebut dengan Komite Hijaz yang diketuai oleh H. Hasan Gipo. Komite ini
direspon dengan sangat antusias oleh kalangan ulama terkemuka di Jawa.
54 Mulanya ide Kiai Wahab yang ditawarkan sejak pra Kongres al-Islam tidak disetujui oleh
KH. Hasyim Asy’ari, meskipun sudah mendapat dukungan oleh para kiai-kiai yang lain. Lihat, Saifullah Ma’shum, ed., Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 1998), h. 68.
55 Slamet Effendi Yusuf, dkk, Dinamika Kaum Santri; menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 18.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M, bertepatan dengan 16 Rajab 1334 H, bertempat
di rumah Kiai Wahab, telah berkumpul sejumlah ulama dari seluruh pulau Jawa
untuk merumuskan sikap para ulama yang akan disampaikan pada Raja Sa’ud.
Untuk dapat disetujui oleh Raja Sa’ud, maka dibentuklah jam’iyah yang bernama
Nahdlatul Ulama. Dalam musyawarah tersebut disepakati lima hal penting:
1. Meminta kepada Raja Sa’ud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
2. Memohon tetap diresmikannya tempat-tempat bersejarah karena tempat-tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid, seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khaizyran, dll.
3. Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal ihwal haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Mekkah maupun tentang Syeihk.
4. Memohon hendaknya semua hukum yang berlaku di negri Hijaz, ditulis sebagai UU, supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum tertulisnya UU tersebut.
5. Jam’iyyah NU memohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Sa’ud dan sudah pula menyampaikan usul-usul tersebut.56
Komite Hijaz juga sepakat mengirim delegasi ke Saudi, yaitu adalah KH. R.
Asnawi dan KH. Bisri Syansuri, untuk menyampaikan hasil keputusan
musyawarah kepada Raja Sa’ud. Namun utusan tersebut gagal berangkat ke Saudi,
akhirnya hasil keputusan rapat dikirimkan lewat kawat. Setelah dua tahun tidak
ada respon dari Raja Sa’ud, kemudian dikirim utusan untuk menghadap Raja
Sa’ud yang diwakili oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad
Ghonaim al-Mishri. Delegasi tersebut berhasil mendapat jaminan dari Raja Sa’ud
56 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Solo: Jatayu, 1985), h.
54-55.
mengenai kebebasan bermazhab yang dikirimkan melalui surat.57 Setelah misi
yang diemban Komite Hijaz berhasil, kemudian mereka mengadakan rapat
kembali untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda.58
Meskipun Kiai Wahab adalah pencetus ide dan pelopor utama dalam pembentukan
NU, ia tidak bersedia menduduki jabatan Ra’is Akbar yang merupakan jabatan
tertinggi. Jabatan itu diserahkan oleh gurunya, KH. Hasyim Asy’ari dan KH.
Ahmad Dachlan Kebondalem sebagai wakilnya. Baginya dengan menduduki
jabatan Katib ‘Am Syuriah, ia merasa cukup puas.
Keputusan Kiai Wahab dengan menolak jabatan tersebut, sangatlah beralasan.
Meskipun Kiai Wahab sangat gigih dalam memperjuangkan berdirinya NU,
namun peran KH. Hasyim Asy’ari sangatlah besar sakali. Untuk memuluskan
rencana membujuk para kiai ini, perlu dukungan Kiai Hasyim yang memang telah
diakui secara luas sebagai kiai karismatik, khususnya di pulau Jawa. Tanpa
dukungannya, sangat sulit mendirikan sebuah organisasi kiai yang solid.
Dari konteks ini sangat jelas sekali bahwa perjalanan hidup Kiai Wahab tidak
terlepas dari NU, demikian pula sebaliknya. Bagi Kiai Wahab, NU adalah segala-
galanya. Karena melalui NU, ia bisa mengagungkan Allah swt dan mengabdikan diri
kepada-Nya dengan seluruh jiwa raga. Sebagai penggerak pertama dalam wadah NU,
Kiai Wahab sangat kreatif, dengan memprakarsai perkumpulan para ulama seluruh
57 Marijan, Quo Vadis NU, h. 16. 58 NU baru memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah Belanda pada tanggal 6 Februari
1930. lihat, Andree Feilard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 12.
Jawa dan mengakomodir ulama secara formal.59 Sebagaimana diutarakan oleh KH.
Idham Chalid, Kiai Wahab juga ingin menjadikan NU sebagai sebuah pesantren
dalam skala besar yang dapat dijadikan sebagai tempat beribadah, menuntut ilmu,
bergotong royong dan mengabdikan diri kepada masyarakat dengan menyumbangkan
karya-karya yang bermanfaat.60 Karenanya, tidaklah mengherankan jika dikatakan,
Kiai Wahab adalah NU dalam praktek, suatu kombinasi integral antara iman, ilmu
dan amal yang disertai akhlak yang mulia untuk mengabdi kepada Allah swt serta
mendedikasikan diri hanya kepada agama, nusa dan bangsa.
K. Kiprah dan Usaha Merestrukturisasi NU menjadi Organisasi
Sebagai perintis yang membidani organisasi para kiai ini, Kiai Wahab
berjuang keras untuk mengembangkan organisasi baru ini. Ia berkeliling pulau Jawa,
dari masjid ke masjid, surau ke surau, tanpa kenal lelah. Jerih payah yang dilakukan
Kiai Wahab dan pengurus lainnya, membuahkan hasil yang gemilang. Setiap
muktamar yang diadakan, selalu mengalami peningkatan anggota. Tercatat pada
muktamar pertama (1926) dihadiri oleh 96 kiai, muktamar kedua (1927) sebanyak
146 kiai dan 242 peserta biasa. Setahun kemudian, pada muktamar ketiga dihadiri
oleh 260 kiai dan telah terbentuk 35 cabang. Pada tahun berikutnya dalam muktamar
59 Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, Putri KH. Abdul Wahab Hasbullah, wawancara pribadi, Jakarta,
16 Maret 2006. 60 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 77.
keempat, dihadiri oleh 1450 peserta dengan 63 cabang yang telah terbentuk.61 Tahun-
tahun berikutnya NU mengalami kemajuan pesat dengan anggota yang tersebar di
hampir seluruh pulau Jawa dan di Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku dan
Sumatra Utara.62
Melihat perkembangan yang cukup signifikan, maka tidak mengherankan jika
dalam dasawarsa pertama, 1926-1936, jumlah cabang NU telah mampu mengimbangi
Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Muhammadiyah.63 Dengan berkembangnya
NU dalam waktu relatif singkat, maka NU menjadi organisasi besar yang berskala
nasional.64
Sosialisasi yang dilakukan untuk pengembangan NU tidak hanya dilakukan
melalui media dakwah dan tabligh semata. Salah satu strategi yang dilakukan Kiai
Wahab adalah merintis tradisi jurnalistik. Dengan bermodalkan sebuah mesin
percetakan dan sebuah gedung sekaligus sebagai kantor PBNU di Jalan Sasak 23
Surabaya, Kiai Wahab mulai merintis penerbitan media massa yang dinamakan
Swara Nahdlatul Ulama, dengan langsung dipimpin oleh Kiai Wahab sendiri. Tujuh
tahun kemudian, karena kesibukannya di NU, Kiai Wahab digantikan oleh KH.
Mahfudz Siddiq dan berganti nama menjadi Berita Nahdlatul Ulama.
61 Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 75-81, lihat juga, Fealy, Ijtihad Politik Ulama,
h. 39. 62 Noer, Gerakan Modern, h. 252. 63 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 83. 64 Pada mulanya banyak yang menganggap organisasi ini hanya berkembang di tingkat lokal
Surabaya, hampir tidak jauh berbeda dengan perkembangan Nahdlatul Wathan maupun Taswirul Afkar. Lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 38.
Meningkatnya grafik pertumbuhan NU tidak hanya dari segi kuantitas an sich,
tetapi sangat kompleks. Bidang yang ditangani NU juga mencakup pada sektor
pendidikan, perdagangan, kepemudaan, gender, dll. Hal ini mendorong dibentuknya
departemen baru untuk lebih terkoordinir. Diantara semua sektor, yang cukup
berhasil adalah bidang pendidikan. Tercatat dari tahun ke tahun banyak pesantren-
pesantren baru dan madrasah baru yang ikut bergabung.65
Meluasnya pengaruh NU dari waktu ke waktu agaknya sangat beralasan jika
ditinjau dari ikatan emosional yang terjadi antara sesama kiai. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam kemajuan NU, kiai merupakan unsur utama terhadap pesatnya
perkembangan dan perluasan pengaruh NU. Salah satu faktor yang sangat
mendukung perkembangan NU adalah kedudukan KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ra’is
Akbar, meskipun dalam aktifitasnya di organisasi tidak begitu aktif, tetapi kedudukan
tersebut memberi warna tersendiri dalam menarik minat orang-orang untuk masuk
NU.66 Faktor lain yang berpengaruh adalah rasa solidaritas sesama golongan
tradisional yang dalam posisi terancam oleh golongan pembaharu.
Menurut Abdurrahman Wahid, perjalanan pada masa dasawarsa awal tahun,
NU memposisikan diri sebagai organisasi keagamaan murni dengan orientasi
perjuangan dibidang pendidikan dan dakwah. Namun menginjak tahun berikutnya,
orientasi NU mengalami perubahan. Hal itu terjadi saat muktamar NU ke-11 di
Banjarmasin tahun 1936. Dalam muktamar tersebut, NU memutuskan bahwa “Negara
65 Dibidang ditangani oleh lembaga pendidikan Ma’arif yang dibentuk pada tahun 2938. lihat,
Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 41. 66 Noer, Gerakan Modern, h. 249.
dan tanah air wajib dilestarikan, wajib menurut fiqh”.67 Persoalan ini timbul dari
pertanyaan mengenai status negara Indonesia dalam pandangan syari’at Islam. Dalam
keputusan tersebut, Indonesia atau tanah Jawa merupakan negara Islam, karena
pernah dikuasai oleh ummat Islam dalam bentuk kerajaan Islam. Meskipun Indonesia
dipimpin oleh pemerintah non-Islam namun mayoritas penduduk negara ini adalah
muslim dan tetap diberi kebebasan menjalankan syari’at Islam.
Pada substansinya, kecenderungan yang mengarah pada persoalan politik
telah muncul sejak awal berdirinya. Hal ini tercermin dalam dua sasaran
perjuangannya. Pertama, memperkuat dan mengembangkan amal ibadah dan aqidah
serta pengembangan amal-amal sosial, baik bidang pendidikan maupun ekonomi.
Kedua, berjuang untuk melawan kolonial Belanda dengan pola perjuangan yang
bersifat kultural.68
Bagi Kiai Wahab, tujuan mendirikan NU tidak hanya sekedar
mengembangkan pendidikan dan ekonomi semata, tetapi sebagai upaya melepaskan
diri dari belenggu penjajahan. Ketika ada yang menanyakan mengenai kemerdekaan,
sehari sebelum NU lahir, Kiai Wahab menjawab:
“Itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam kita tidak leluasa sebelum merdeka.... kita jangan putus asa, kita harus yakin tercapai negri merdeka.”69
67 M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1996), h. 63-66.
Ridwan, M.Ag., Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, (Yogyakarta: STAINU Purwokerto dan Pustaka Pelajar, 2004), h.191-192.
68 Ridwan, Paradigma Politik NU, h. 189. 69 Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 32-33, lihat juga, Feilard, NU vis-à-vis
Negara, h. 15-16.
Sebagai langkah kongkrit, pasca muktamar di Banjarmasin, NU
mengupayakan rekonsiliasi terhadap kaum modernis yang memang sejak awal selalu
berseteru dengan NU. Gayung bersambut, ajakan tersebut diterima golongan
modernis. Setahun kemudian, 1937, dibentuklah Majelis Islam ‘Ala Indonesia
(MIAI). Organisasi ini merupakan gabungan beberapa organisasi Islam yang
bertujuan menggalang kekuatan umat Islam menghadapi penjajah, maka kedudukan
organisasi ini menjadi sangat penting.70
Berdirinya MIAI, lagi-lagi tidak terlepas dari peran Kiai Wahab. Pada tanggal
21 September 1937, ia memainkan peranan penting dalam pembentukan MIAI
tersebut. Pertemuan pertama dilaksanakan di rumahnya sendiri, dan dihadiri oleh
rekannya dari NU, KH. Ahmad Dachlan Kebondalem, KH. Mas Mansur dari
Muhammadiyah, dan Wondoamiseno dari SI. Inisiatif dari keempat tokoh yang
berbeda haluan ini, sepakat membentuk badan federasi bernama MIAI untuk
dijadikan tempat “Permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-
wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan yang berdasar
agama Islam di seluruh Indonesia.”71
Meskipun Kiai Wahab dan KH. Ahmad Dachlan mewakili NU, namun secara
organisatoris, NU baru masuk pada tahun 1939 setelah merasa yakin kaum modernis
70 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqh dalam Politik,
(Jakarta: Gramedia, 1996), h. 96, lihat juga, Marijan, Quo Vadis NU, h. 50-51. 71 Noer, Gerakan Modern, h. 262.
tidak mendominasi federasi ini,72 sebagaimana yang terjadi pada saat pembentukan
Kongres al-Islam pada tahun 1920-an.
Syafi’i Ma’arif berpendapat ada dua alasan pokok kenapa MIAI dipandang
penting. Pertama, usaha politik Islam masih jauh dari harapan, karena persatuan umat
Islam belum kokoh. Kedua, landasan spiritual, sebagaimana termaktub dalam al-
Qur’an dalam surat al-Imron : 103 yang menjelaskan tentang larangan bertikai.73
Dalam menjalankan roda organisasi, Kiai Wahab selalu melibatkan kader
muda, karenanya muncullah tokoh-tokoh muda yang tampil dalam skala nasional,
sepreti : KH. Wahid Hasyim, KH. Mahfudz Siddiq, KH. Abdullah Ubaid, KH.
Masykur, KH.Ilyas, KH. Muhammad Dachlan, dll.74 Mengingat begitu pentingnya
peran pemuda dalam memajukan NU, kader muda membentuk wadah tersendiri pada
tahun 1934 dan mendapat dukungan dari Kiai Wahab, meskipun harus beberapa kali
mengajukan usul dan beberapa kali pula ditolak.75
Upaya yang dilakukan Kiai Wahab ini, mengantarkan kader-kader muda ikut
menentukan arah kebijakan politik Indonesia. Di MIAI misalnya, Kiai Wahab dan
Kiai Ahmad Dachlan, digantikan oleh Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Mahfudz Siddiq
sebagai wakil utama NU.76
72 Noer, Gerakan Modern, h. 264, lihat juga, Feilard, NU vis-à-vis Negara, h. 17. 73 Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
h, 17-18. 74 Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 35 75 Organisasi ini kurang disetujui oleh ulama konservatif, karena gerakan pemuda cenderung
meniru cara berpakaian ala barat, seperti: celana panjang, sepatu, dan dasi. Lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 43-44.
76 KH. Wahid Hasyim dan KH. Mahfudz Siddiq masuk dalam MIAI sebagai wakil utama NU pada tahun 1941. lihat, Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 94-95.
Sikap NU setelah beralih ke persoalan politik membuat gerah pemerintah
kolonial Belanda, sebab beberapa kali NU membuat ulah. Tercatat NU berani
menentang kebijakan Guru Ordonantie 1925 (peraturan guru) yang merugikan
Islam.77 Tuntutan itu mengejutkan banyak pihak, khususnya Belanda. NU juga
mendukung dibentuknya GAPI (Gabungan Politik Indonesia) agar “Indonesia
berparlemen”,78 dan beberapa tuntutan lain seperti: mencabut pembatasan bagi guru
dan juru dakwah Islam, penghapusan subsidi bagi sekolah Kristen. Pada tahun 1941
NU mencalonkan Soekarno sebagai pemimpin presiden bila kemerdekaan Indonesia
sudah dideklarasikan.79
Tanggapan Kaum Penjajah terhadap Organisasi NU
Selama tiga setengah tahun, di bawah pendudukan Jepang, merupakan masa
yang sangat menentukan dalam perjalanan NU selanjutnya. Jika dimasa-masa
pengembangan di masa Belanda, NU cenderung sangat hati-hati memasuki kancah
perpolitikan. Sejak tahun 1940-an NU mulai menampakkan jati dirinya, dan sebagai
titik awal pekembangan NU adalah masuknya Jepang ke Indonesia.80 Tercatat dalam
sejarah, Jepang menyerbu Belanda dengan menduduki Indonesia pada bulan Februari
142. Mula-mula rakyat menerima kedatangan Jepang dengan antusias. Dengan dalih
77 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 49. 78 GAPI lahir pada tanggal 12 Mei 1939 di Jakarta. Kemudian GAPI Membentuk Kongres
Rakyat Indonesia (KRI) tanggal 25 Desember 1939. Tujuan utamanya adalah Indonesia Raya. Lihat, Marwati Djoened dan Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1990, h. 230-232.
79 Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 112. 80 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 50. lihat juga, Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 194.
memberi jaminan kemerdekaan bagi Indonesia, bangsa Indonesia berhasil di”nina
bobo”kan oleh Jepang.81
Namun, sikap terlena tersebut tidak berlangsung lama, rakyat mulai sadar,
bahwa kita telah ditipu oleh kelicikan Jepang. NU mulai menentang tindakan Jepang
yang semena-mena dan memaksakan “ajaran baru”, seperti saikere yang dalam
pandangan ulama adalah haram.82 Melihat gelagat yang kurang baik ini, akhirnya
Jepang menangkap KH. Hasyim Asy’ari pada bulan April 1942.83 Kejadian yang
menggemparkan ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan kiai. Melihat gentingnya
suasana yang terjadi saat itu, Kiai Wahab langsung mengambil alih seluruh tanggung
jawab NU.
Tindakan yang berani dan beresiko ini tidak lain adalah untuk menyelamatkan
perjuangan NU. Bersama KH. Wahid Hasyim, Kiai Wahab bekerja keras mengurus
pembebasan KH. HasyimAsy’ari. Hampir lima bulan Kiai Wahab berjuang dan
akhirnya membuahkan hasil dengan bebasnya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz
Siddiq. Setelah itu, Kiai Wahab berkeliling Jawa untuk mencoba membebaskan
ulama-ulama yang lain.84
81 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press,
1981), h. 300-301 82 Saikere adalah membungkukkan badan sampai 90 derajat (seperti ruku’) selama beberapa
detik menghadap ke arah Tokyo dengan maksud menghormat kepada Tenno Heika (Raja Jepang). Lihat, Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 225-226
83 Selain itu KH. Mahfudz Siddiq juga ditangkap. Dan tak lama kemudian terjadi penangkapan terhadap beberapa ulama dan tokoh-tokoh NU di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Lihat, Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 96-97
84 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 199-201
Satu bulan sebelum penangkapan Kiai Hasyim, tepatnya tanggal 20 Maret
1942, Jepang melarang semua kegiatan yang bersifat politik dan membubarkan
seluruh organisasi yang ada di Indonesia dan diganti dengan gerakan Tiga A,85 yang
diketuai oleh Syamsudin, bekas pemimpin Parindra.86 Gerakan yang ditawarkan
Jepang ini tidak mendapat sambutan dari rakyat.
Karena gagal mencapai tujuannya, Jepang membubarkan Gerakan Tiga A dan
mendekati tokoh-tokoh nasional. Kemudian terbentuklah PUTERA (Pusat Tenaga
Rakyat) yang dipimpin oleh empat serangkai: Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar
Dewantara, dan KH. Mas Mansur.87 Namun, organisasi ini juga kurang mendapat
simpati
Selain mendekati kalangan nasionalis, Jepang juga merangkul golongan Islam
modern, namun Jepang merasa kecewa, karena golongan Islam modern cenderung
reaktif. Akhirnya Jepang lebih suka bekerja sama dengan golongan tradisionalis
pedesaan.
Karena dianggap gagal, kemudian Putera diganti menjadi Jawa Hokokai
(Perhimpunan Layanan Jawa) pada bulan Januari 1944,88 dengan mendudukkan KH.
Hasyim Asy’ari sebagai penasehat utama. Selain itu Kiai Hasyim juga menduduki
85 Nama itu berasal dari slogan bahwa Jepang adalah pemimpin Asia, pelindung Asia dan
cahaya Asia. 86 Deliar Noer, Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti,
1987), h. 22. 87 Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, h. 306. 88 Selain itu Jepang juga membentuk PETA (Pembela Tanah Air) pada bulan Oktober. PETA
merupakan organisasi pemuda yang disiapkan menjadi tentara sukarela. Dibulan yang sama, Jepang juga membentuk Romusha (serdadu ekonomi) yang diprioritaskan sebagai pekerja paksa.
jabatan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang dwakilkan oleh
anaknya KH. Wahid Hasyim.89
Meskipun pemerintah membubarkan seluruh organisasi, namun kegiatan NU
tetap berjalan. Para ulama juga berusaha agar organisasi NU diizinkan kembali.
Setelah Jepang menyadari bahwa jalan menuju rakyat melalui Islam hanya bisa oleh
NU. Maka setelah menempuh berbagai usaha, akhirnya pada tanggal 10 September
1943 NU diresmikan kembali.90 Hal yang sama juga dialami oleh Muhammadiyah,
karena Jepang melihat bahwa kedua organisasi ini pada dasarnya bersifat non politis.
Tak lama kemudian Perserikatan Umat Islam (PUI) dan Perserikatan Umat Islam
Indonesia (PUII) ikut diizinkan kembali.91
Usaha mengembalikan NU sebagai organisasi tidak terlepas dari peran Kiai
Wahab bersama KH. Wahid Hasyim. Kiai Wahab yang selama pendudukan Jepang
menjabat sebagai Shu Sangi Kai (Dewan Penasehat Daerah) Surabaya, mencoba
melakukan negosiasi agar peran NU dilibatkan dalam setiap kebijakan yang berkaitan
dalam bidang keagamaan. Jepang akhirnya merespon usaha Kiai Wahab tersebut.
Satu bulan setelah NU disahkan kembali, MIAI dibubarkan dan diganti
dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dengan anggota-anggota hanya
terdiri dari organisasi yang diakui pemerintah, yaitu NU dan Muhammadiyah. KH.
Hasyim Asy’ari diangkat sebagai ketua umum, namun sebagian tugasnya
89 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 204-205. 90 Noer, Partai Islam Dipentas Nasional, h. 23-24. 91 Didin Syafruddin, ed., Mentri-Mentri Agama RI; Biografi Sosial Politik, (Jakarta: Balitbang
Depag RI dan PPIM IAIN Jakarta, 1998), h. 128.
dilaksanakan oleh KH. Wahid Hasyim,92 sedang Kiai Wahab ditunjuk sebagai dewan
penasehat. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan. Meskipun secara teoritis
Masyumi merupakan organisasi non politik, namun kenyataanya organisasi ini juga
bersifat setengah politik. Posisi-posisi penting yang diperoleh NU digunakan untuk
menggerakkan rakyat sebagai langkah persiapan mencapai kemerdekaannya bersama-
sama dengan kekuatan nasionalis lainnya.
Ketika Jepang merekrut pasukan sebanyak-banyaknya dengan membentuk
PETA, untuk meraih kemenangan akhir melawan sekutu dalam perang Asia Timur,
kesempatan ini juga juga tidak disia-siakan oleh Kiai Wahab dan KH. Wahid Hasyim.
Melalui Masyumi, Kiai Wahid mengusulkan kepada Jepang untuk memberikan
latihan militer khusus bagi para santri. Akhirnya beberapa minggu setelah PETA
dibentuk, Kiai Wahab dan Kiai Wahid membentuk laskar Hisbullah.93 Laskar ini
disiapkan ke arah kemerdekaan. Selain membentuk laskar Hizbullah, Kiai Wahab
juga memelopori terbentuknya Barisan Mujahidin dan Barisan Kiai. Barisan yang
dipimpin Kiai Wahab ini didirikan dengan dalih untuk mempersiapkan perlawanan
terhadap Jepang maupun sekutu.
Dalam mempersiapkan kemerdekaan, tokoh-tokoh NU juga terlibat dalam
badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Badan yang dibentuk
bulan Maret 1945 ini, melibatkan tokoh-tokoh dari kalangan nasionalis dan kalangan
Islam. Dari NU terdiri dari KH. Hasyim asy’ari, KH. Masykur, dan KH. Wahid
92 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 50. 93 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 222.
Hasyim. Bahkan KH. Wahid Hasyim masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI),94 suatu badan yang merumuskan pernyataan kemerdekaan yang
kemudian dibacakan saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal
17 Agustus 1945.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus
1945, tak lama kemudian sekutu mendarat di Jakarta pada akhir September. Pasukan
yang ditunggangi oleh Belanda ini, berusaha mengambil kekuasaan kembali.
Menghadapi ancaman ini, NU mengadakan pertemuan pada tanggal 21-22 Oktober
1945 di Surabaya. Pertemuan tersebut memutuskan bahwa perjuangan kemerdekaan
adalah jihad. Keputusan ini dikenal dengan “Resolusi Jihad”.95 Deklarasi ini
menyebar dengan cepat, dan tak lama kemudian Laskar Hizbullah yang belum lama
dibentuk melakukan perlawanan terhadap sekutu, meskipun pemerintah republik
menahan diri tidak melakukan perlawanan. Agaknya pemerintah masih percaya
bahwa penyelesaian secara diplomatik masih bisa diharapkan.
Tak lama setelah Indonesia merdeka, Sukarno mengangkat Kiai Wahab
sebagai anggota Dewan Pertimbangan Partai (DPA).96 Ketika revolusi meletetus,
Kiai Wahab terjun dalam gerakan gerilya. Dimasa genting tersebut, Kiai Wahab
menunjukkan kepiawaiannya dalam melakukan langkah strategis. Kiai Wahab
menjelajahi hampir seluruh pelosok daerah pulau Jawa, untuk menggembleng
94 Saifuddin Zuhri, KH. Abdul Wahab Hasbullah; Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Yamunu, 1972), h. 51.
95 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 108-109 96 Tokoh lain diantaranya: Ki Hajar Dewantara, Dr. Douwes Dekker, Dr. Rajiman
Wedyodiningrat, dan tokoh pergerakan lainnya. Lihat, Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 148.
semangat juang para pemuda dan para kiai dengan mengobarkan semangat jihad
menghadapi musuh yang ingin menghalangi kemerdekaan Indonesia. Dalam
mengobarkan semangat juang, Kiai Wahab selalu menekankan ucapan yang sangat
populer, “Kalau mau keras harus mempunyai keris”,97 artinya, kita dapat bertindak
jika kita telah mempunyai kekuatan, baik kekuatan politik, militer maupun kekuatan
batin. Bahkan dalam pertempuran di Surabaya pada 10 Nevember 1945, Kiai Wahab
mempunyai andil yang sangat besar.98 Ia juga menyumbangkan hartanya untuk
sarana militer, mengadakan kontrol dengan unit gerilya, membentuk pelaksanaan
rekrutmen dan pelatihan santri di Jawa Timur.99
Selama awal-awal kemerdekaan, NU menjadi basis utama dalam melakukan
perlawanan fisik menentang penjajah. Kegigihan NU berjuang melawan sekutu yang
jauh lebih unggul dari segi teknologi, tidak menyurutkan langkah NU dalam
melakukan perlawanan. Tidak dapat dipungkiri, “Resolusi Jihad” memberi dampak
yang cukup besar bagi massa NU, yang selama ini cenderung kooperatif kepada
pemerintahan kolonial, baik pada penjajahan Belanda maupun Jepang.
Dimasa berlangsungnya revolusi fisik tersebut, KH. Hasyim Asy’ari yang
biasa dipanggil dengan Hadrotus syeikh, wafat pada tanggal 27 Juli 1947. Kiai
Hasyim wafat setelah mendengar kabar jatuhnya kota Malang di tangan sekutu.100
97 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 104 98 Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi 99 Zuhri, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 59. 100 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 349.
Sebagai ulama paling senior, Kiai Wahab tampil menggantikan kedudukan
KH. Hasyim Asy’ari sebagai Ro’is Akbar NU. Namun dengan rendah hati Kiai
Wahab tidak bersedia menyandang gelar tersebut. Baginya gelar tersebut hanya
pantas disandang oleh Hadrotus Syeikh, Kiai Wahab lebih suka menggunakan nama
Ra’is Am (Ketua Umum).101 Selain di NU, Kiai Wahab juga menggantikan
kedudukan KH. Hasyim Asy’ari dalam Masyumi. Sejak itu peran Kiai Wahab
semakin dominan dalam perjalanan NU pada periode selanjutnya.
BAB IV
PERGULATAN POLITIK KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH; STUDI ANALISA TERHADAP NU DAN NEGARA
NU dan Masyumi Kedudukan umat Islam dalam permulaan kemerdekaan sangat tidak menguntungkan di bidang politik, meskipun di tingkat arus bawah, umat Islam adalah penentu kemerdekaan Indonesia. Dominasi kekuatan nasionalis menyulitkan pihak Islam untuk andil sebagai penentu kebijakan. Sisi lain, kedudukan Islam juga lemah di BPUPKI maupun PPKI. Kondisi ini semakin tidak menguntungkan ketika presiden membentuk Komite Nasional Indoensia Pusat (KNIP), yang merupakan badan perwakilan rakyat transisi. Umat Islam hanya mendapat kursi sebanyak 11% dari jatah yang diberikan.
Ketika pemerintah mengumumkan agar masyarakat yang terdiri dari berbagai
aliran membentuk partai politik pada 3 Oktober 1945, hal ini direspon positif oleh
kalangan umat Islam. Maka, diadakanlah Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta,
tanggal 7 dan 8 November 1945 bertempat di Yogyakarta yang dihadiri seluruh
101 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 165-166.
wakil-wakil dari berbagai organisasi Islam.102 Setelah melalui perdebatan panjag,
terbentuklah Partai Masyumi yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari pada Masjlis
Syuro, dan Badan Eksekutifnya dipimpin oleh Sukiman Wirjo Sandjojo. Sedang Kiai
Wahab menjabat anggota Majelis Syuro.
Di awal perjalanannya Masyumi lebih memusatkan pada perjuangan
kemerdekaan Indonesia yang masih di rongrong oleh penjajah. Setelah perjanjian
KMB (Konferensi Meja Bundar) ditanda tangani antara pihak Belanda dan
Indonesia,103 perjuangan ini telah berakhir. Di masa perjuangan tersebut, dapat
disebutkan persoalan internal partai hampir tidak ada.104
Dengan masuknya NU dalam wadah partai Masyumi, semakin membuka
peluang bagi NU dalam politik praktis. Sikap antusias ini diperlihatkan ketika
muktamar NU ke-16 pada tahun berikutnya di Purwokerto. Dalam keputusannya, NU
medorong para anggotanya untuk “berbondong-bondong masuk partai Masyumi”.105
Sebagai orang nomor satu di Nahdlatul Ulama dan sekaligus di Masyumi,
Kiai Wahab yang menggantikan kedudukan KH. Hasyim Asy’ari setelah wafat,
melakukan gebrakan-gebrakan baru. Langkah pertamanya adalah mengusulkan agar
102 Penamaan Masyumi semata-mata karena nama tersebut memang sudah cukup populer di
masa itu. Namun, Masyumi di sini, bukan hasil representasi dari Masyumi di masa Jepang. Nama ini juga tidak memiliki singkatan apapun.Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 31.
103 Perjanjian yang diadakan di Den Haag pada 29 Desember 1949 ini, telah memberikan legitimasi kepada Indonesia aebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Lihat, Deliar Noer, Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1987), h. 194-195.
104 Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, h. 34. 105 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.
53-54.
NU dan Masyumi menerima ajakan Bung Hatta dalam Kabinetnya.106 Sebagaimana
kita ketahui, Bung Hatta menggantikan Kabinet Amir Syarifuddin yang hanya
berumur 6 bulan. Singkatnya usia kabinet Amir akibat dari penandatanganan
“Persetujuan Renville” yang dilakukan antara pihak Indonesia dan Belanda.
Persetujuan ini merugikan posisi Indonesia, dan imbasnya, anggota-anggota kabinet
dari seluruh partai, seperti : PNI dan Masyumi, kecuali Front Demokrasi Rakyat
(cikal bakal PKI), mengundurkan diri.107
Sebagai kabinet baru, Bung Hatta mengajak Masyumi ikut bergabung.
Tawaran tersebut sangat menarik minat tokoh-tokoh masyumi. Namun mereka ragu,
karena dalam salah satu programnya adalah melaksanakan persetujuan Renville.
Suatu program yang sangat ditentang oleh Masyumi.108
Usulan Kiai Wahab dalam suatu rapat DPP Masyumi ini, tidak diterima begitu
saja oleh peserta yang pada umumnya menolak tawaran Bung Hatta. Namun Kiai
Wahab, yang menyetujui tawaran tersebut, beralasan:
“Kita tidak hendak melaksanakan perkara munkar, bahkan sebaliknya kita hendak melenyapkan munkar…. dengan perbuatan dengan jalan duduk dalam Kabinet Hatta. Kalau kita berdiri di luar kabinet, kita cuma bisa teriak-teriak thok. Mungkin bahkan dituduh sebagai pengacau…!”109
106 Andree Feilard, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,Bentuk dan Makna, (Yogyakarta:
LKiS, 1999), h. 43. 107 M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press,
1981), h. 340. 108 Dalam kabinet, Indonesia merupakan negara federasi (Republik Indonesia Serikat) yang
menerima pengembalian kedaulatan dari pihak Belanda tanggal 27 Desember 1949. lihat, Noer, Partai Islam, h. 199.
109 Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 354-355.
Akhirnya perdebatan sengit yang berlangsung hingga dua hari ini selesai
dengan keputusan yang sesuai dengan usulan Kiai Wahab. Dalam kebinet tersebut
pihak NU hanya memperoleh satu kursi dari 4 kursi yang ditawarkan kepada
Masyumi.
Diawal berdirinya, Masyumi merupakan partai Islam yang berwadah tunggal,
karenanya seluruh komponen Islam melebur dalam partai tersebut. Posisi ulama juga
mendapat tempat mulia. Namun menjelang tahun 1950-an, Masyumi, yang
merupakan partai Islam multi kompleks, mulai terlihat keretakannya. Hal ini bermula
dari perubahan AD/ART partai Masyumi tentang Majelis Syuro.110 Perubahan
AD/ART yang dilakukan pada Muktamar IV Masyumi tanggal 15-19 Desember
1949, membatasi peran politik ulama dalam memberikan fatwa. Sebagai Ketua
Majelis Syuro, Kiai Wahab menolak keras anggaran dasar tersebut. penolakan Kiai
Wahab yang tidak ditanggapi ini, semakin memperumit persoalan dalam stuktur
partai. Selain itu, faktor yang semakin memperlebar jurang antara ulama, yang nota
bene didominasi oleh NU, dengan Masyumi adalah sikap kalangan modernis yang
cenderung memandang rendah ulama. Hal ini membuat golongan tradisionalis
menjadi tersinggung dan melakukan walk out.111
Perubahan tersebut tidak terlepas dari dominasi kelompok Natsir yang
menggantikan Sukiman. Selama ini NU bergandengan erat kelompok Sukiman, sebab
110 Noer, Partai Islam , h. 80-81. 111 Saifullah Ma’shum, ed., KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak
NU, (Jakarta: Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999), h. 117.
kelompok Sukiman lebih mengakomodasi kepentingan NU dibanding Natsir.112
Namun sejak Muktamar tahun 1949, kelompok Sukiman tersingkir dan kelompok
Natsir memainkan peran politiknya. Bahkan Natsir juga menggusur angkatan tua
kaum tradisionalis. Sejak itu hubungan NU dengan Masyumi tidak pernah pulih.
Tindakan Natsir menimbulkan kemarahan yang meluas di kalangan NU dan mulai
muncul kampanye tentang penarikan diri dari Masyumi.
Menanggapi sikap Masyumi, Kiai Wahab sebagai politisi dan ulama, merasa
bahwa peran NU dalam politik di Masyumi sudah tidak menguntungkan. Kiai Wahab
yakin, potensi massa NU sangat besar jika menjadi kekuatan politik. Karena didalam
Masyumi sudah tidak dapat dicapai, maka NU harus membuat partai sendiri.113
Maka, dalam Muktamar NU ke-18 berlangsung di Jakarta pada tahun 1950, Kiai
Wahab yang terpilih lagi sebagai Ra’is ‘Am, menegaskan dalam pidato pertamanya:
“Banyak pemimpin-pemimpin NU di daerah-daerah dan juga di pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. orang-orang ini terpengaruh bisikan orang lain yang menghembuskan propaganda agar NU tidak yakin akan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah merima, betul-betul meriam. Tapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya…gelugu alias batang kelapa sebagai meriam tiruan…! Pemimpin NU yang tolol itu tidak sadar akan siasat lawan dalam menjatuhkan NU melalui cara membuat NU ragu-ragu akan kekuatan sendiri.”114
Pidato tersebut jelas mengindikasikan sikap mengancam terhadap Masyumi.
Meskipun di sana sini muncul dukungan terhadap usulan Kiai Wahab tersebut, NU
112 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 100. 113 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 107-108. 114 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 390.
tetap mencoba menempuh jalan kompromi dengan melakukan negosiasi agar peran
ulama dalam Masyumi diperhatikan sebagaimana yang telah dilakukan di awal-awal
berdirinya Masyumi.115 Jalan damai tersebut tidak ditanggapi oleh Masyumi.
Melihat sikap Masyumi yang tidak merespon usulan NU, maka NU pada
tanggal 3 September 1951, membentuk suatu badan yang bernama Majelis
Pertimbangan Politik (MPP) PBNU.116 Majelis ini bertugas mengikuti perkembangan
politik di tanah air, menganalisa dan menyimpulkan untuk diserahkan kepada PBNU,
sebagai suatu saran atau usul. Namun substansinya MPP dipersiapkan untuk kperan
politik yang lebih besar dan menyusun rencana untuk menjadi partai politik.117
NU Mendirikan Partai Politik Konflik yang terjadi antara NU dengan Masyumi semakin tajam tatkala DPP
Masyumi, pada bulan Februari 1952, menolak usulan NU mengenai jabatan Mentri
Agama yang sudah lama dipegang oleh NU dalam kabinet baru tersebut.118 Ada
kecenderungan Masyumi ingin mengambil jabatan itu dan menyingkirkan tokoh NU
dalam pengambilan keputusan politik.119 Tindakan tersebut menimbulkan kemarahan
di kalangan warga NU. Kiai Wahab mengancam, jika DPP Masyumi tetap
bersikukuh, maka NU akan memisahkan diri dari partai. Usulan Kiai Wahab yang
115 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 118-119. 116 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 396. 117 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 104. 118 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 397. 119 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 120.
disampaikan melalui tiga surat pribadinya kepada DPP Masyumi, tidak mendapat
respon.
Dalam surat pertamanya, di awal Maret 1952, Kiai Wahab melancarkan
tekanan langsung terhadap DPP Masyumi. Surat tersebut juga dibeberkan kepada
pers.120 Dalam suratnya, Kiai Wahab mengusulkan kabinet koalisi di bawah pimpinan
Sukiman dengan KH. Wahid Hasyim sebagai Mentri Agama. Secara tegas Kiai
Wahab mengingatkan bahwa tanggapan Masyumi sangat menentukan keanggotaan
NU selanjutnya dalam Masyumi. Tindakan Kiai Wahab berhasil merusak posisi
Masyumi dalam pembentukan kabinet yang memang berambisi dalam posisi-posisi
strategis dan menutup peluang Natsir untuk menduduki jabatan Perdana Mentri.
Satu minggu kemudian, 15 Maret, Kiai Wahab mengirimkan surat yang
kedua. Dalam surat tersebut, Kiai Wahab mengingatkan, jika Sukiman tidak
ditempatkan dalam kabinet,
“Tidak diragukan lagi bahwa Masjumi akan mengalami perpecahan besar-besaran… bahwa bila ternjata peringatan saja setjara gedoran ini senantiasa tidak mendapat perhatian, maka pertjajalah, bagaimana hasilnya nanti, mari kita sama-sama melihatnja.”121
Tuntutan Kiai Wahab dalam surat kedua, pun tidak diterima oleh Masyumi,
meskipun Masyumi menanggapinya dengan mengundang Kiai Wahab dalam
pertemuan dengan DPP Masyumi, dua hari kemudian.
120 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 109. 121 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 111-112.
Karena pembentukan kabinet yang dipimpin oleh Prawoto Mangkusasmito
(Masyumi) dan Sidik Djojosukanto (PNI) gagal dalam menyusun kabinet, akhirnya
formatur mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno pada tanggal 17 Maret
1952.122 Kemudian formatur dipercayakan pada Wilopo dari PNI.
Dalam surat terakhir yang termasuk resmi mengatasnamakan pimpinan NU,
tertanggal 20 Maret 1952, Kiai Wahab kembali mengajukan tuntutan kepada
Masyumi. Tuntutan Kiai Wahab disertai alasan mengapa NU harus memegang
jabatan Menteri Agama. Di bagian akhir suratnya, Kiai Wahab memberi ultimatum
dengan tenggat waktu selama dua hari. Jika tidak dijawab, “maka saja minta maaf
beribu-ribu maaf, saja akan berdjuang (sic) untuk mentjapae tuntutan tersebut tiada
melalui Masjumi lagi”.123 DPP Masyumi menaggapi surat tersebut dengan
mengundang Kiai Wahab dalam rapat DPP Masyumi tiga hari kemudian. Namun,
lagi-lagi sikap DPP Masyumi selalu berujung kekecewaan.
Menghadapi sikap Masyumi yang memang sudah tidak bisa diajak kompromi,
Kiai Wahab merespon dengan menunjukkan salinan surat-suratnya kepada formatur
kabinet Wilopo. Kiai Wahab berharap, pada detik-detik terakhir pembentukan
kabinet, NU tidak tersingkir dalam kabinet. Tindakan Kiai Wahab membuat geram
DPP Masyumi dan pada tanggal 26 Maret Masyumi menetapkan KH. Faqih Utsman
dari Muhammadiyah sebagai Mentri Agama dan disetujui oleh kabinet Wilopo.124
122 Noer, Partai Islam, h. 82. 123 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 113. 124 Noer, Partai Islam, h. 86.
Beberapa hari kemudian, tanggal 5 April 1952 di Surabaya, diadakan
Konferensi PBNU. Dalam konferensi tersebut, Kiai Wahab mendesak kepada PBNU
untuk memberikan arahan yang jelas pada muktamar berikutnya. Konferensi tersebut
akhirnya memutuskan keluar dari Masyumi dan menyerahkan cara pelaksanaan
kepada Muktamar NU ke-19 di Palembang.125
Tiga minggu kemudian, tepatnya tanggal 26 April – 1 Mei 1952, Muktamar
NU ke-19 diselenggarakan. Acara ini merupakan muktamar terbesar yang pernah
diadakan. Dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa NU keluar dari Masyumi dan
menjadi partai politik sendiri.126
Tindakan spekulatif yang sangat berani ini masih menyisakan keraguan di
kalangan NU sendiri. keraguan tersebut sangatlah beralasan, mengingat sumber daya
NU sangat minim, kalau tidak dikatakan langka. Sebagai seorang yang mempelopori
penarikan NU dari Masyumi, Kiai Wahab berusaha meyakinkan kalangan NU yang
ragu dengan menegaskan sikapnya.
“Kalau tuan-tuan ragu dengan kebenaran sikap yang kita ambil, nah silakan saja tuan-tuan tetap duduk dalam Masyumi. Biarlah saya sendiri pimpin NU sebagai partai politik yang memisahkan diri dari Masyumi. Saya cuma minta ditemani satu orang pemuda, cukup satu orang, sebagai sekretaris saya. Tuan-tuan boleh lihat nanti…!.”127
Bagi Kiai Wahab, peran NU sebagai basis massa terbesar seharusnya
memiliki peran penting dalam kancah perpolitikan. Namun, dalam Masyumi peran
125 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 119. 126 Keputusan keluar dari Masyumi didukung oleh 61 suara berbanding 9 suara dengan 7
suara abstain. Lihat, Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 198. 127 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 399.
NU justru terpinggirkan sejak kelompok Natsir mendominasi partai. Struktur DPP
Masyumi justru diborong oleh orang-orang yang tidak mempunyai basis massa.
Terlepas dari persoalan kursi Mentri Agama dan struktur partai, persoalan etika juga
menjadi pemicu retaknya hubungan NU dan Masyumi. DPP Masyumi dengan
dominasi kelompok Natsir terkesan meremehkan para ulama. Bahkan salah satu
tokoh Masyumi, Mohammad Saleh, berseloroh bahwa politik merupakan bidang yang
kompleks, tidak dapat ditangani oleh ulama yang hanya berkutat di sekitar pesantren,
dan politik “tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih”.128
Disaat NU sedang menggalang kekuatan pasca penarikan diri dari Masyumi
dan membentuk partai sendiri, salah satu tokoh Masyumi, Isa Anshori, bertanya
kepada Kiai Wahab:
“Kiai, kalau NU menjadi partai politik, apakah sudah menyiapkan tokoh-tokoh untuk calon mentri, duta besar, gubernur, dsb. Berapa NU memiliki Mr, Dr, Ir?”
Kiai Wahab kontan menimpali:
“Kalau saya akan membeli mobil baru, dealer mobil itu tidak akan bertanya ‘apa tuan bisa memegang kemudi?’ pertanyaan serupa itu tidak perlu, sebab andaikata saya tidak bisa mengemudikan mobil, saya bisa memasang iklan: ‘mencari sopir’. Pasti nanti akan datang pelamar-pelamar sopir antre di muka pintu rumah saya…!”129
Untuk merealisasikan keputusan Muktamar di Palembang, NU membentuk
delegasi yang bertugas merundingkan teknis pelaksanaan secara organisatoris kepada
Masyumi. Namun perundingan yang berlangsung selama tiga bulan ini, tidak
128 Noer, Partai Islam, h. 88. 129 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 399.
menghasilkan keputusan yang berarti, bahkan terkesan mengadili NU seolah-olah
sebagai terdakwa.130
Sikap mangkir NU dari Masyumi sangatlah beralasan, hal ini seperti
diutarakan oleh Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, salah satu putri Kiai Wahab :
“Pada saat itu NU memang harus berpolitik, kalau tidak maka tidak akan bisa menjadi pemegang policy. Kalau saat itu masih menjadi ormas saja maka NU tidak akan berkembang. Jadi supaya menunjukkan posisi NU, bagaimana NU bisa mewarnai, maka harus berpolitik. Ternyata ketika berpolitik NU memang berkembang”.131
Keluarnya NU dari Masyumi merupakan episode penting dalam karir Kiai
Wahab yang menggambarkan seorang yang tampil secara total dan penuh keyakinan
terhadap kebenaran pandangannya. Meskipun dalam sikap politik Kiai Wahab yang
cenderung menyerempet bahaya ini sering menggunakan otoritasnya sebagai Rais
Am dan salah satu pendiri NU, namun itu semua untuk kepentingan NU sendiri
melalui jalur politik.
Dinamika Partai NU dalam Pemilu Setelah berubah menjadi partai politik, NU kemudian menggalang kekuatan
Islam dengan mengumpulkan organisasi-organisasi Islam. Maka, pada 30 Agustus
1952, berdiri suatu badan federasi umat Islam yang bernama Liga Muslimin
Indonesia (LMI).132 NU sebagai pemrakarsa badan ini, mendapat respon dari partai-
partai Islam, seperti Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarekat Indonesia
130 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 399-401. 131 Hj. Mahfudhoh Aly Ubeid, wawancara pribadi, Jakarta, 16 Maret 2006 132 Noer, Partai Islam, h. 94.
(Perti), Dar al-Da’wah wal Irsyad (DDI),133 dan Persarikatan Tionghoa Islam
Indonesia (PTII) yang bergabung setahun kemudian. Sedangkan Masyumi
menanggapi dengan dingin.
Dalam merekrut massa NU yang selama ini berkiblat ke Masyumi, NU
menginginkan cabang-cabang Masyumi membubarkan diri. Namun Natsir menolak
usulan tersebut, karena khawatir terjadi eksodus besar-besaran di kalangan
tradisionalis.134 Akhirnya NU dan Masyumi sepakat memberi kesempatann kepada
anggota NU untuk memilih dengan batas waktu paling lambat tanggal 31 Oktober
1952. Usaha merekrut massa yang “keluyuran” di Masyumi membawa hasil. Terjadi
peningkatan cabang-cabang NU, sedang Masyumi mengalami penurunan drastis,
khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Saat Kabinet Wilopo jatuh pada 2 Juni 1953, terjadi perdebatan sengit yang
berlarut-larut karena terdapat ketidaksepahaman dalam pembentukan formatur
kabinet.135 Dimasa kritis itu, Kiai Wahab kembali memainkan kepiawaiannya
sebagai politisi ulung. Disaat perundingan dalam “Front Gabungan”,136 menemui
jalan buntu dan Masyumi keluar, NU justru masuk dalam kabinet yang dipimpin oleh
133 PSII adalah pecahan Masyumi. Mengenai Perti dan PSII serta DDI, lihat, Noer, Partai
Islam, h. 72-79, dan 94-95. 134 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 127. 135 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 157. 136 Front Gabungan terdiri atas PNI, NU dan Masyumi.
Ali Sastroamijoyo dari PNI.137 Kemudian NU mendapat tiga jabatan mentri di
pemerintahan.138
Sikap NU dimata Masyumi dianggap sebagai pengkhianat. Namun bagi Kiai
Wahab tindakan tersebut didasarkan pada pertimbangan amar ma’ruf nahi munkar
dan maslahat, demi menghindari bahaya yang lebih besar akibat perundingan yang
berkepanjangan dan menemui jalan buntu serta melindungi kepentingan NU dan
muslim lainnya.139 Kiai Wahab menjamin, jika susunan kabinet tidak memuaskan,
NU akan menarik dukungannya.140
Yang menarik dari sikap NU dalam relasinya terhadap negara adalah
kejadian yang menghebohkan pada tahun berikutnya. Pada tanggal 2-7 Maret 1954
diselenggarakan Konferensi Alim Ulama se-Indonesia di Cipanas Jawa Barat. Dalam
konferensi tersebut diputuskan memberi gelar Waliyul amri dlaruri bisy-syaukah
kepada Sukarno. Pemberian gelar tersebut diprotes oleh Masyumi yang dianggap
kurang tepat dan sebagai bencana bagi perjuangan Islam sebab negara Indonesia
hingga sekarang tidak berasaskan Islam.141
Kejadian ini bermula dari diskusi pra konferensi di Jakarta pada tanggal 2
Maret 1954 yang dihadiri oleh wakil-wakil organisasi Islam baik dari NU,
137 Sikap NU besar kemungkinan atas intervesi Sukarno yang menginginkan partai Islam
dapat masuk dalam kabinet setelah Masyumi menolak. Lih. Noer, Partai Islam, h. 228. 138 Diantaranya: Zainul Arifin menjabat Wakil Perdana Mentri, KH. Masykur menjabat
Mentri Agama, dan Mohammad Hanafiah menjabat Mentri Pertanahan. Lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 159.
139 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 128. 140 Tindakan tersebut betul-betul dibuktikan ketika kabinet Ali benar-benar jatuh NU berperan
penting dengan mengusulkan agar kabinet tersebut dibubarkan. Lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h.171-175.
141 Feilard, NU vis-à-vis Negara, h. 47.
Muhammadiyah, Perti dll. Dalam diskusi membahas masalah-masalah status
kementrian agama sebagai wali hakim dalam pernikahan,142 kemudian melebar
menjadi status presiden dalam kapasitasnya sebagai pemegang kekuasaan. Pertemuan
tersebut akhirnya sepakat memberi gelar waliyul amri dlaruri bisy-syaukah. Namun
Muhammadiyah menolak kesepakatan tersebut dan keluar dari pertemuan itu.
Kiai Wahab membenarkan pemberian gelar tersebut di depan parlemen pada
tanggal 29 Maret 1954. Menurutnya yang berhak menetapkan wali hakim adalah
kepala negara yang diwakili oleh pejabat yang terkait. Jika rakyat tidak mengakui
keabsahan kepala negara dari sudut agama, niscaya akan muncul waliyul amri-
waliyul amri yang lain. Sedang imam yang sempurna sudah tidak ada lagi, yang ada
adalah imam dloruri.143 Selain itu, keputusan tersebut untuk memberikan legitimasi
kepada pemerintah yang dipimpin Sukarno dalam menindak DI/TII, mengingat sikap
Masyumi yang cenderung simpati terhadap gerakan tersebut.144
Sebetulnya keputusan konferensi di Cipanas adalah kelanjutan dari pertemuan
tahun sebelumnya di Bogor, pada tanggal 4-5 Mei 1953. Pertemuan yang dipimpin
oleh Mentri Agama KH. Faqih Usman dari Muhammadiyah itu, memutuskan hal
yang sama dengan keputusan Cipanas. Perbedaanya hanya pada pemberian gelar.
Keputusan Bogor, yang berhak mendapat gelar adalah presiden an sich. Sedang
142 Kasus ini berkaitan dengan pengangkatan wali hakim yang bukan dari KUA di Sumatra
Barat. Dalam adalah tersebut, wali hakim dipilih oleh pemangku adat, bukan pejabat negara. Lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 179.
143 Feilard, NU vis-à-vis Negara, h. 48. 144 Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila; Sejarah dan Peran NU dalam Perjuangan
Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila Sebagai Satu-satunya Asas, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 136, lihat juga, Fealy. Ijtihad Politik Ulama, h. 183.
keputusan Cipanas adalah presiden beserta kabinet dan parlemen.145 Anehnya,
keputusan Bogor tidak pernah dikritik.
Setelah kabiner Ali mengundurkan diri pada 24 Juli 1955, dalam
pembentukan kabinet tersebut, NU yang pada masa kabinet sebelumnya berkoalisi
dengan PNI, kini berbalik mendukung Masyumi yang mendominasi kebinet yang
dipimpin oleh Burhanuddin Harahap, setelah PNI tidak setuju dalam penyusunan
tersebut. Tindakan tersebut untuk mengantisipasi tertundanya pelaksanaan Pemilu,
karena dapat berakibat buruk.146
Tahun 1955 merupakan tahun yang menjadi bukti bahwa NU adalah basis
massa besar yang selama ini diremehkan oleh kelompok lain. Perjuangan NU yang
dipimpin oleh Kiai Wahab, mengejutkan banyak pihak. Tidak sedikit yang mengakui,
“sesumbar” Kiai Wahab bukanlah isapan jempol belaka. Hasil pemilu untuk parlemen
yang diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 menunjukkan NU sebagai
kekuatan besar dan masuk dalam jajaran empat partai besar.147 NU memperoleh 45
kursi di parlemen, PNI dan Masyumi masing-masing 57 kursi, serta PKI 39 kursi.148
Dalam pemilihan Majelis Konstituante, yang dilaksanakan pada 15 Desember 1955,
145 Feilard, NU vis-à-vis Negara, h. 49. 146 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 204. 147 PNI memperoleh 8,5 juta suara (22,3 %), Masyumi mendapat 8 juta suara (20,9 %), NU
memperoleh 7 juta suara (18,4 %) dan PKI 6,1 juta suara (16,4 %). Lihat, Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 208.
148 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 433.
posisi NU naik sebanyak 0,5%.149 Selain menjadi anggota perlemen, Kiai Wahab
juga termasuk anggota Majelis Konstituante.150
Kemenangan NU dalam meraih kekuasaan tidak terlepas dari peran Kiai
Wahab dalam menggerakan NU menuju politik praktis. Kecerdasan dan kejelian Kiai
Wahab menempatkan posisi NU sebagai partai yang patut di perhitungkan. Tindakan
Kiai Wahab yang terkesan nekat saat keluar dari Masyumi bukanlah tanpa
perhitungan. Hal ini dibuktikan dalam perolehan suara di pemilu 1955 yang menurut
banyak kalangan cukup demokratis.
Naiknya KH. Idham Chalid sebagai Ketua Umum Tanfidziyah pada
Muktamar NU ke-21 bulan Desember 1956 di Medan, semakin memperkukuh posisi
Kiai Wahab dalam mendominasi langkah NU selanjutnya. Di bawah bimbingan Kiai
Wahab, popularitas Idham Chalid semakin menanjak. Naiknya Idham Chalid tidak
terlepas dari peran campur tangan Kiai Wahab yang sejak awal memang berencana
memilihnya.151
Setelah berhasil menempatkan NU sebagai salah satu partai besar, NU
mendapat 5 kursi dalam kabinet Ali babak II.152 Namun dalam kabinet tersebut tidak
mengikutsertakan PKI, meskipun Sukarno mendesak.153 Kabinet ini tidak dapat
149 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 220. 150 Majelis ini bertugas menyusun Undang-Undang Dasar. 151 KH. Mohammad Dachlan yang merupakan rival Idham Chalid dalam Muktamar, kurang
disukai oleh Kiai Wahab. Lih. Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 230. 152 Kelima orang itu adalah: Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Mentri I, Mr. Soenarjo
sebagai Mentri Dalam Negri, KH. Fatah Yasin sebagai Mentri Sosial, KH. Ilyas sebagai Mentri Agama dan Mr. Burhanudin sebagai Mentri Perekonomian. Lihat, Noer, Partai Islam, h. 251.
153 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 227.
bertahan lama, akibat gejolak politik yang dapat meruntuhkan stabilitas negara.154
Suasana menjadi genting tatkala Muhammad Hatta mengundurkan diri dari Wakil
Presiden.155 Muhammad Hatta merasa kecewa terhadap kinerja parlemen yang yang
tidak memiliki wibawa, dan sikap pemerintah yang mengesampingkan kesejahteraan
rakyat, serta sikap Sukarno yang sering bertindak ekstra konstitusional.156 Kondisi
ini semakin memperparah keadaaan dan kudeta terjadi di daerah-daerah, seperti:
Medan, Padang, Sulawesi, dan beberapa daerah lainnya.157 Dalam situasi genting
itulah NU mengadakan muktamar di Medan dengan lancar.
Pada tanggal 9 Januari 1957, Masyumi mengundurkan diri dari kabinet,
disusul oleh Perti seminggu kemudian. Kiai Wahab merasa prihatin dengan
mundurnya Masyumi dari kabinet.
“Sekiranya saya mengetahui niatan untuk menarik mentri-mentrinya, saya akan meyakinkan Masyumi bahwa hal itu amat merugikan situasi perjuangan kita. Sebagai partai-partai Islam yang mayoritas dalam kabinet, menjadi tanggung jawab kita untuk memecahkan kemelut di dalam negri secara bermusyawarah.”158
Kekhawatiran Kiai Wahab terbukti setelah tahun-tahun berikutnya, PKI
semakin merajalela, sedangkan Masyumi akhirnya hancur setelah dibubarkan oleh
Sukarno pada tahun 1960.
154 Noer, Partai Islam, h. 254. 155 Muhammad Hatta mundur pada 1 Desember 1957. NU berusaha menyatukan dwi tunggal,
namun gagal. Lihat, Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 483. 156 Deliar Noer, Muhammad Hatta, Biografi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 482-484. 157 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 442. 158 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 444.
Akomodasi Demokrasi Terpimpin Periode tahun 1957-1960 merupakan masa pergolakan politik yang mengubah
wajah Indonesia dari sistem parlementer yang selama 7 tahun dipergunakan menjadi
sistem presidentil. Perubahan sistem ini semakin memperkuat posisi Sukarno, dan
menjadi otoriter. Tindakan yang belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia ini,
dianggap sangat aneh menurut tokoh-tokoh partai, termasuk PNI sendiri.159 Di tubuh
NU masa-masa transisi menuju Demokrasi Terpimpin memunculkan ketegangan
serius, khususnya dalam melihat NU ke depan. Hal ini berimplikasi pada ambivalensi
dalam menentukan sikap NU.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi sikap NU yang mendua. Pertama,
peralihan sistem dari parlementer mengarah ke eksekutif dengan dominasi Sukarno.
Kedua, peran Masyumi yang termarginalkan akibat dari pemberontakannya terhadap
sistem yang diterapkan Sukarno. Ketiga, dominasi peran PKI dan sayap kiri di
pemerintah.160 Ketiga faktor ini memunculkan dua kubu dalam tubuh NU.
Ketika kabiner Ali II gagal dalam mempertahankan kedudukannya pada 14
Maret 1957 dengan menyerahkan mandatnya kepada Sukarno. Ditengah susasana
yang kacau, Sukarno mengambil alih kendali kekuasaan dengan memberlakukan
keadaan bahaya.161 Kesemrawutan yang terjadi dalam kabinet dan kekecewaan
masyarakat terhadap partai politik membuat Sukarno gerah. Dalam pidatonya bulan
Oktober 1956, Sukarno mengecamnya sebagai “penyakit partai” dan sesegera
159 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 446. 160 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 132-233. 161 Didin Syafruddin, ed., Mentri-Mentri Agama RI; Biografi Sosial Politik, (Jakarta:
Balitbang Depag RI dan PPIM IAIN Jakarta, 1998), h. 147. lihat juga, .Noer, Partai Islam, h. 256.
mungkin agar para pimpinan partai “bergabung untuk bersama-sama mengubur
partai”.162 Sukarno menginginkan agar seluruh partai bergabung dengan membentuk
kabiner gotong royong, konsep tersebut diperkenalkan dengan menamakannya
sebagai Demokrasi Terpimpin.163
Tindakan Sukarno tersebut menimbulkan pro kontra di kalangan partai.
Hampir semua partai menolak usulan tersebut, kecuali PKI. Sedangkan PNI dan PSII
tidak bereaksi. Selain menolak gagasan Dewan Nasional, NU juga melihat bahwa
keterlibatan PKI dalam kabinet tidak akan menolong penyelesaian masalah
nasional.164 Akhirnya Sukarno mencoba membujuk NU untuk ikut serta dalam
kabinet dan menyetujui Dewan Nasional.
Menghadapi kondisi yang dilematis ini, lagi-lagi Kiai Wahab memainkan
peran kunci dalam penyelesaian persoalan NU. Dalam rapat PBNU pada tanggal 9-10
Maret 1957 mengenai persoalan tersebut, Kiai Wahab dengan tegas menyatakan agar
NU ikut serta dalam kabinet dan meyetujui Dewan Nasional, meskipun tidak sesuai
dengan konstitusi. Menurut Kiai Wahab, NU akan rugi jika menolak permintaan
Sukarno, bahkan bisa membahayakan NU jika menempatkan diri sebagai oposisi.165
162 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 242. 163 Selain itu Sukarno juga mengusulkan gagasan agar perlunya Dewan Nasional yang
bertugas memberi nasihat kepada kabinet. Lihat, Noer, Partai Islam, h. 352-353. 164 Sukarno merasa kecewa dengan sikap NU, sebab bagi Sukarno sikap NU sangat
menentukan jalannya konsepsi ini. Sukarno berharap, jika NU setuju, maka partai-partai lain mungkin akan ikut jejak NU. Lih. Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 244.
165 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 254.
Dalam pandangan Kiai Wahab, Sukarno terlalu berambisi untuk
mempersatukan “kabinet berkaki empat” yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan
PKI. Dalam salah satu rapat Kiai Wahab mengatakan:
“Bung Karno kelewat gandrung persatuan hingga termakan oleh ambisinya mempersatukan partai-partai yang sejak semula mempunyai unsur-unsur yang berbeda, yang mustahil bisa dipersatukan”.166
Dalam rapat tersebut, akhirnya diputuskan, PBNU mendukung keputusan
Sukarno mengenai Dewan Nasional dan tetap menolak keikursertaan PKI dalam
kabinet. Ada dua alasan kuat yang mendukung kebijakan Kiai Wahab. Pertama,
faktor kemaslahatan demi menyelamatkan umat. Kedua, mempertahankan demokrasi
dan menghalangi komunis, partai yang selama ini tidak disukai oleh golongan
Islam.167
Setelah dua kali gagal membentuk kabinet, akhirnya Sukarno membentuk
kabinet tersebut dengan menamakanya sebagai kabinet ekstra parlementer (kabinet
zaken) yang dipimpin oleh Dr. Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Mentri. NU
mendapat empat kursi mentri di kabinet yang dikenal dengan Kabinet Karya.
Pasca pemilu tahun 1958, kondisi perpolitikan di Indonesia semakin runyam.
Terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh golongan yang menentang sikap
Sukarno, seperti: PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang
didukung oleh politisi dari Masyumi, Permesta dan Darul Islam.168 Yang menarik,
166 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 445. 167 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 255. 168 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 269.
NU justru menyatakan agar pemberontakan tersebut segera ditumpas.169 Kiai Wahab
beralasan bahwa sikap NU merupakan bentuk kekecewaan atas keterlibatan Masyumi
didalamnya dan pemberontakan ini dapat menjerumuskan negara dan bangsa kepada
kehancuran. Tindakan tersebut sama saja dengan memberi kesempatan kepada PKI
untuk berkuasa dan pupusnya harapan terhadap perjuangan Islam.170 Akibat dari
pemberontakan tersebut, akhirnya dua partai yang menentang keras Demokrasi
Terpimpin, yaitu Masyumi dan PSI di bubarkan pada bulan Agustus 1960.171
Perjuangan Islam semakin jauh dari harapan setelah keluarnya Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 dan Majelis Konstiante dibubarkan. Keluarnya dekrit itu,
semakin memperkuat dominasi Sukarno yang didukung PKI melalui sistem
Demokrasi Terpimpin. Menanggapi kondisi ini, NU lebih memilih “berdamai”
dengan lebih bersikap akomodatif. Kiai Wahab menegaskan dalam sidang terakhir
Majelis Konstituante, bahwa partai Islam telah menggunakan haknya secara
demokratis di dalam Konstituante, “Terserah pemerintah, mau menempuh ‘dekrit’
bahkan mau ‘junta militer’ sekalipun, silahkan!”.172
Ketika Sukarno membentuk DPR GR dan kabinet Karya, dan membubarkan
parlemen hadil pemilu 1955, Masyumi dan PSI tidak diikutsertakan.173 Sedang di
tubuh NU sendiri terjadi konflik yang berkepanjangan. Di saat-saat yang genting
seperti itu, Kiai Wahab kembali menjadi penentu dalam situasi yang tidak
169 Saifuddin Zuhri, Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building, (Jakarta: Lembaga Penggali dan Penjebar “Api Islam”, 1965), h. 482.
170 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 270. 171 Feilard, NU vis-à-vis Negara, h. 62. 172 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 452. 173 Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, h. 61.
menguntungkan bagi NU. Dalam suatu rapat yang berlangsung panas, Kiai Wahab
menekankan terhadap bahayanya jika NU menentang.
“Kita putuskan sekarang ini saja karena waktunya sangat mendesak. Menunggu berlangsungnya Musyawarah Antar Wilayah bisa ketinggalan kereta api…. kita masuk saja dulu dalam DPR GR, setelah itu kita minta penegasan Musyawarah Antar Wilayah. Kalau Musyawarah Antar Wilayah memutuskan kita harus masuk, kita sudah berada di dalam. Tetapi jika musyawarah memutuskan menolak DPR GR, apa sulitnya kita keluar… kalau sekarang ini kita menolak…. lalu Musyawarah Antar Wilayah memutuskan kita harus masuk kedalam DPR GR, kita sudah terlambat, pintu masuk sudah ditutup.”174
Kiai Wahab berhasil meyakinkan kelompok anti Demokrasi Terpimpin yang
dikenal dengan golongan garis keras. Dalam kabinet NU mendapat jatah dua kursi,
meskipun kecewa NU tetap legowo, karena jabatan Mentri Agama masih
dipercayakan kepada NU.
Mengenai Demokrasi Terpimpin, Kiai Wahab bependapat:
“Demokrasi Terpimpin tentulah demokrasi, dalam arti bahwa rakyat mempunyai kedaulatan yang dilindungi hukum dalam mengeluarkan pendapat dan cita-cita. Demokrasi memang harus terpimpin, yakni terpimpin oleh norma dan moral. Tanpa kepemimpinan itu akan menjurus kepada anarkhi. Demokrasi Terpimpin titik beratnya pada kata demokrasinya. Sebaliknya, kepemimpinan tanpa demokrasi akan menjurus kepada diktatur. Baik anarkhi maupun diktatur bertentangan dengan demokrasi itu sendiri”.175
Bahkan Saifuddin Zuhri menegaskan, bahwa NU telah mempraktekkan sistem
Demokrasi Terpimpin sejak awal berdirinya. Hal itu bisa dilihat dari susunan
kepemimpinan yang dikenal dengan Syuriah dan Tanfidziyah. Karenanya sistem ini
174 Saifuddin Zuhri, KH. Abdul Wahab Hasbullah; Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama,
(Jakarta: Yamunu, 1972), h. 51. 44 175 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 475.
bukan lagi barang baru bagi warga NU.176 Terlepas dari pembelaannya terhadap
Sukarno, sikap tersebut jelas memberikan legitimasi yang kuat terhadap Sukarno
dengan Demokrasi Terpimpinnya.
Pada 18 Mei 1963, dalam suatu sidang, MPRS menetapkan Sukarno sebagai
presiden seumur hidup, suatu keputusan yang bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan yang diterima secara aklamasi oleh anggota MPRS ini, juga didukung oleh
NU yang ditegaskan oleh Kiai Wahab. Kiai Wahab berpendapat, ketetapan MPRS
tersebut merupakan suatu keputusan rakyat. Dalam tinjauan hukum Islam, “Presiden
Sukuarno harus menerima keputusan tersebut dengan kesungguhan hati, bahkan
jikalau rakyat telah memutuskan demikian, maka wajib bagi Presiden Sukarno untuk
menerima keputusan tersebut”.177
Akomodasi NU terhadap Demokrasi Terpimpin bukanlah kesepakatan
bersama yang telah didukung oleh mayoritas ulama, tidak sedikit yang menentang
sistem tersebut. Tokoh yang dipelopori oleh KH. Bisri Syansuri ini, melihat bahwa
sistem tersebut tidak demokratis dan tidak memberi kesempatan kepda golongan
oposisi.178 Jika NU terlibat dalam DPR GR, berarti sama dengan memaafkan
ghashab.179 Dalam pandangan kelompok garis keras ini, Sukarno telah melanggar
hak-hak para pemilih dengan membubarkan parlemen secara sewenang-wenang.
Walaupun Kiai berusaha meyakinkan, namun kelompok ini tetap bersikukuh.
176 Zuhri, Agama Unsur Mutlak, h. 485. 177 Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, h. 114. 178 Zuhri, Berangkat dari Pesantren, h. 483. 179 Ghashab adalah suatu istilah hukum yang artinya merampas hak atau milik orang lain.
Akhirnya untuk menengahi dua kubu ini, PBNU mengadakan sidang paripurna pada
23-24 Juni. Hasil paripurna memutuskan “memberi kebebasan kepada warga N.U.
jang ditundjuk sebagai anggota DPRGR untuk menerima atau menolak penundjukan
tersebut”.180
Sikap akomodatif terjadap Demokrasi Pemimpin merupakan cermin dari
kemenangan besar bagi kubu Kiai Wahab. Bagi Kiai Wahab sendiri, kemenangan ini
adalah puncak dari karir yang panjang. Sejak memimpin NU dari tahun 1947, Kiai
Wahab telah menjadi tokoh NU yang paling mendukung sikap moderat. Jika
membaca gerak langkah Kiai Wahab dalam menentukan kebijakan, tidak terlepas dari
tradisi pesantren. Menurut Abdurrahman Wahid, dominasi kiai merupakan hierarki
kekuasaan yang diakui oleh dunia pesantren, karena kiai memiliki otoritas moral yang
besar di kalangan satri. Karenanya kekuasaan kiai adalah kekuasaan mutlak.181
Dunia pesantren yang lebih dikenal dengan budaya feodal ini, ketika masuk
dalam politik, menjadi sistem integral yang tak dapat dipisahkan. Budaya ini
tercermin dari kebijakan Kiai Wahab dengan mengatasnamakan NU. Bagi kalangan
yang mengaguminya, dominasi Kiai Wahab di NU justru menunjukkan
kemampuannya yang luar biasa dalam menentukan kebijakan politik. Selain itu
pandangan yang luas baik dalam masalah politik maupun agama serta kecerdikannya,
semakin membuat dirinya disegani orang. Saifuddin Zuhri menggambarkan peran
Kiai Wahab sebagai tokoh tidak dapat dipisahkan dengan NU, gerak langkah NU
180 Fealy, Ijtihad Politik Ulama, h. 293-294. 181 Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawan Raharjo, ed.,
Pesantren dan Pembaharuan, ( Jakarta: LP3ES, 1974), h. 88-89.
merupakan gerak juang NU. Tanpa mengabaikan peran tokoh lain, peran Kiai Wahab
sangat menentukan. Bahkan, “….apabila seluruh pimpinan bergabung tetapi minus
Kiai Wahab maka keputusan tak dapat diambil, tanpa Kiai Wahab bukan lagi NU”.182
Meminjam istilah Syafi’i Ma’arif, dalam melakukan kebijakan untuk
kemaslahatan umat dengan bergumul dengan realitas politik, Kiai Wahab selalu
menggunakan “logika pesantren”. Sebuah logika yang terkadang cenderung
mengarah kepada sikap pragmatis. Dengan kata lain, jika tidak dapat mencapai 100%,
janganlah ditinggalkan hasil yang hanya sebagian.183 Hal inilah yang menjadi
landasan dasar masuknya NU dalam Demokrasi Terpimpin.
Pembelaannya terhadap Sukarno betul-betul ditunjukkan hingga akhir
hayatnya, bahkan Kiai Wahab termasuk orang yang paling terakhir di NU yang
menarik dukungannya terhadap Sukarno tatkala kepemimpinan Sukarno runtuh dan
digantikan oleh Orde Baru. Sebagai tokoh nasional yang cenderung akomodatif,
akibat pembelaanya terhadap pemerintah, Kiai Wahab tidak terlepas dari sasaran
kritik. Beliau dianggap sebagai oportunis, Kiai Orla dan Kiai Nasakom. Menghadapi
kecaman ini, Kiai Wahab tidak merasa risau. Justru Kiai Wahab menanggapi,
“Ejekan itu masih belum apa-apa dibanding dengan ejekan terhadap Nabi
Muhammad saw yang dianggap gila. Saya kan masih belum dianggap gila”.184
182 Zuhri, KH. Abdul Wahab Hasbullah, h. 69 183 Haniah Hanafie, Dinamika Kekuatan Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: FISIP
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1999), h. 49. lihat juga, Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, h. 57.
184 Ma’shum, KH. Abdul Wahab Chasbullah, h. 49.
Hampir sepanjang hayatnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya
dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam dan bangsa melalui Nahdlatul Ulama.
Karenanya, tidak heran jika Kiai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali Muktamar
NU. Saat sakit dan menjelang wafatnya, Kiai Wahab masih berkeinginan bisa
menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap bisa ikut memberikan
suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu dikabulkan Tuhan.
Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, Kiai kondang ini terpilih sebagai Rois
'Am, meskipun dalam pemilihan tersebut yang menang adalah KH. Bisri Syansuri,
tetapi sebagai rasa penghormatan terhadap sosok kiai yang disegani itu, KH. Bisri
Syansuri tidak bersedia menerima jabatan itu.
Dalam pidatonya yang terakhir sebagai Rois ‘Am, Kiai Wahab masih sempat
berharap, “Supaya NU tetap menemukan arah jalannya di dalam mensyukuri nikmat
karunia Allah SWT, sebagai suatu partai terbesar (dalam arti besar amal saleh dan
hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak
Ahlussunnah wal Jama’ah”. Diingatkan pula agar kaum Nahdliyin kembali pada jiwa
Nahdlatul Ulama tahun 1926. Dan sekarang ini NU telah kembali ke khittah 1926.
Mengikuti harapan Kiai Wahab.
Empat hari kemudian setelah Muktamar Surabaya, ulama yang banyak berjasa
terhadap bangsa ini dipanggil Tuhan. Dia wafat di rumahnya yang sederhana, di
Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang pada 29 Desember 1971.
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
Mencermati sejarah pergulatan politik KH. Abdul Wahab Hasbullah, agaknya
sulit untuk mencari kata-kata yang tepat dan mengena bagi beliau. Meminjam istilah
KH. Abdul Wahid Hasyim yang menyebut Kiai Wahab sebagai "Kiai merdeka",
mungkin sebagai gambaran dari sosoknya yang cenderung berjiwa bebas dan tidak
terikat oleh pengaruh apapun. Berpendirian tegas dan memiliki prinsip adalah salah
satu cerminan Kiai Wahab.
Berbicara mengenai perjalanan hidup Kiai Wahab pada prinsipnya sejajar
dengan sejarah Nahdlatul Ulama mulai dari awal berdirinya hingga awal Orde Baru.
Kiai yang hidup di tiga zaman ini, di mata warga NU, tidak hanya sekadar bapak dan
pendiri organisasi Islam yang berbasis massa terbesar di Indonesia, melainkan
sebagai simbol dalam banyak hal, dari tradisi intelektual di kalangan ulama pesantren
sampai lambang pemersatu. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut
Kiai Wahab adalah ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud
kelompok kecil yang tidak diperhitungkan orang sampai menjadi partai politik dan
jam'iyah Islam terbesar di Indonesia.
Lahir dari lingkungan pesantren semakin membentuk karakter Kiai Wahab
melalui transmisi keilmuan dan penyerapan nilai-nilai keislaman secara natural,
karena sejak awal Kiai Wahab sudah dididik oleh ayahnya yang berpengetahuan luas.
Penyerapan ilmu dan tradisi semakin kental, tatkala Kiai Wahab mulai menapaki
langkah dengan nyantri di berbagai pesantren di masa remajanya. Mencari ilmu
dengan berpindah-pindah kelak menjadi faktor penunjang dalam menyusun barisan
untuk menggalang kekuatan NU. Kepergiannya ke Mekkah semakin memperkokoh
wawasan keilmuannya dan pergaulannya yang semakin luas.
Pengembaraan intelektual Kiai Wahab mempunyai benang merah yang jelas
dan bisa ditelusuri melalui berbagai aktivitas beliau sepanjang hidupnya. Dimulai
dengan mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar, mendirikan pergerakan
Nahdlatul Wathan dan Nahdlatul Tujjar, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz,
sampai memberikan inspirasi dan sekaligus membidani lahirnya Nahdlatul Ulama.
Kerjasama dengan Dr. Soetomo di dalam Islam Studie Club adalah cikal bakal
munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerjasama antara kekuatan Islam
dan nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa
mengesampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan terbesar yang
diberikan seorang ulama kepada bangsa. Bukanlah seorang intelektual jika Kiai
Wahab tidak bisa memecahkan persoalan-persoalan pelik dengan spontan, cerdas dan
memiliki joke-joke dan humor yang tinggi. Dalam hal yang satu ini Kiai Wahab
adalah jagonya.
Sejak NU masih cikal bakal hingga tahun 1960-an, Kiai Wahab selalu berada di
depan dalam pasang surut organisasi yang didirikannya ini. Ketika ulama sudah mulai
termarginalkan dalam Masyumi, NU menyatakan kelur dari Masyumi dan menjadi
partai politik. Peran Kiai Wahab sangat menonjol dalam keputusan tersebut. Bahkan
ketika banyak yang merasa atas tindakan NU keluar dari Masyumi, Kiai Wahab
kembali meyakinkan bahwa NU adalah kelompok besar.
Hidup dalam suasana yang penuh dengan dinamika intelektual dan perjuangan
ideologi yang selalu bergolak, semakin memperlihatkan sosok Kiai Wahab sebagai
seorang ulama, cendekiawan, sekaligus politisi.
Dari wacana yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, perjalanan Kiai
Wahab yang hidup di tiga dekade ini, dapat diklarifikasi menjadi dua faktor. Pertama,
Abdul Wahab muda merupakan sosok cendekiawan yang mampu memberikan
inspirasi dalam perkembangan intelektual sunni ditengah-tengah kaum santri dalam
suatu perkembangan zaman yang selalu berubah. Wahab muda juga mampu
berinteraksi dengan kalangan nasionalis dan modernis. Kedua, Abdul Wahab sebagai
seorang tokoh tua yang disegani kawan maupun lawan atas kiprahnya dalam politik.
Sebagai tokoh politisi berskala nasional, Kiai Wahab tetap dengan
kesedehanaannya. Baju kesayangannya sejak zaman revolusi adalah potongan safari
lengan panjang berwarna khaki dengan kemeja putih yang lehernya dikeluarkan,
persis tokoh-tokoh muda zaman sekarang. Tetapi ini yang penting, tetap mengenakan
sarung dan serban. Pakaian semacam itu dikenakan pada waktu berada di parlemen,
Istana Presiden atau di front pertemuan. Pendirian politiknya maupun pendirian
hukum agamanya dikemukakan tanpa ragu-ragu, jelas dan terbuka. Tidak gentar
menghadapi reaksi dari mana pun. Jika menurut keyakinannya sesuai dengan hukum
Islam, dikemukakan tanpa tedeng aling-aling.
Sebagai tokoh yang dekat dengan Sukarno sejak mudanya, Kiai Wahab selalu
menjaga hubungan baik dengannya. Sikap terus terangnya ketika menyatakan
ketidaksetujuan atas sikap Sukarno, tidak membuat Kiai Wahab berkonfrontasi
dengannya. Kiai Wahab tetap menjaga hubungan ini hingga akhir hayatnya. Bahkan
Kiai Wahab termasuk tokoh paling akhir di kalangan NU yang menarik dukungannya
terhadap Sukarno.
Dipenghujungnya usianya, beliau tetap menempati posisi sebagai Ra’is Am,
meskipun pada muktamar Kiai Wahab kalah dalam pemilihan. Sebagai rasa
hormatnya terhadap Kiai Wahab, KH. Bisri Syansuri sebagai Ra’is Am tidak bersedia
menerima jabatan.
Namun sejak kondisinya melemah dan sering sakit-sakitan, dominasi Kiai
Wahab berangsur-angsur menurun sejak tahun 1960-an hingga wafat. Tetapi jabatan
Ra’is Am tetap dipegang hingga beliau wafat.
PROFIL SINGKAT PENULIS
Iis Supriyatna, adalah nama yang diberikan oleh kedua orang
tuanya Wardi Suparman dan Kasirah, di sebuah desa terpencil di
Lampung Selatan, pada 27 September 1979 silam. Pemuda
blasteran Sunda-Jawa ini, memulai karir pendidikannya di MI al-
Wathoniyah 17 Jakarta Timur (lulus tahun 1985-1991). Lalu di
MTs al-Wathoniyah 17 Jakarta Timur (lulus tahun 1991-1994). Kemudian
melanjutkan pendidikannya di MAN Tambak Beras Jombang sembari nyantri di
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambak Beras Jombang (lulus tahun 1994-1997).
Kemudian ia mencoba beralih ke dunia kerja selama dua tahun. Namun,
karena keinginannya yang besar untuk menuntut ilmu, akhirnya ia bosan, dan
kemudian kembali ke dunia pendidikan dengan menempuh studi di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1999.
Semasa perkuliahan, sempat aktif di beberapa organisasi, diantaranya: Forum
Kajian Koridor~195 sebagai Koordinator Kajian Sosial Politik (2000-2001),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai Koordinator Departemen
Pengkaderan & Pengembangan Organisasi PMII KOMFUSPERTUM Cabang Ciputat
(2001-2002); Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M)
PMII Cabang Ciputat (2001-2002); Sekretaris Bidang II PMII Cabang Ciputat (2002-
2003), Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Alumni Bahrul ‘Ulum (HIMABI)
Jakarta (2001-2002), Ketua Lembaga Pers dan Penerbitan Persatuan Mahasiswa
Lampung (PERMALA) Jakarta (2001-2003), Sekretaris Menteri Hubungan Antar
Perguruan Tinggi (HAPT) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2002-2003).
Liku-liku perjalanan hidupnya yang pahit dan getir tidak menyurutkan
semangatnya untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kedua orang tua yang
sangat dicintainya itu. Dengan menempuh studi yang cukup panjang dan melelahkan,
pemuda yang memiliki motto “Hidup adalah Perjuangan” ini, akhirnya dapat
mempersembahkan gelar sarjana sebagai hadiah bagi kedua orang tua pada tanggal 25
Maret 2006.
DAFTAR PUSTAKA Abdul, Halim, KH. Sejarah Perjuangan Kyai Abdul Wahab Chasbullah. Bandung:
Penerbit Baru, 1970. Abdulgani, Roeslan, Dr. H. Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: Pustaka
Merdeka, 1987. Abdullah, Taufik. Islam dan Politik di Indonesia; Sebuah Tinjauan dari Pengalaman
Historis. Jakarta: Proyek Studi Politik Dalam Negeri, LIPI, 1982. Abdussani, Humaidi dan Fakla A.S., Ridwan, ed. Biografi 5 Rais ‘Am Nahdlatul
Ulama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Ltn-NU, 1995. Aboebakar (Atjeh), H., ed. Sedjarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan
Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hajim, 1957. Alfian. Sekitar Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU). Jakarta: Leknas LIPI, 1979. Amin, M. Masyhur. NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya. Yogyakarta: al-Amin
Press, 1996. Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Surabaya:
Jatayu Sala, 1984. Aziz, Abdul Ghafar, Dr. Islam Politik; Pro dan Kontra. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993. Dhofier, Zamaksyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai.
Jakarta: LP3ES, 1982. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. Fatah, Eep Saefulloh. Zaman Kesempatan; Agenda-Agenda Besar Demokratisasi
Pasca Orde Baru. Bandung: Mizan, 2000. Fealy, Greg dan Barton, Greg, ed. Tradionalisme Radikal Persinggahan Nahdlatul
Ulama-Negara. Yogyakarta: LKiS, 1999.
-------. Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS, 2003. Feilard, Andree. NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi,Bentuk dan Makna. Yogyakarta:
LKiS, 1999. Ghozali, Abdur Rohim, ed. Dua yang Satu; Muhammadiyah dalam Sorotan
Cendekiawan NU. Bandung: Mizan, 2000. Haidar, M. Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqh dalam
Politik. Jakarta: Gramedia, 1996. Hanafie, Haniah. Dinamika Kekuatan Politik Islam di Indonesia. Jakarta: FISIP
Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1999. Karim, A. Gaffar. Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia. Yogyakarta:
LKiS, 1995. Leirissa, R.Z. Terwujud Suatu Gagasan Sejarah Indonesia 1900-1950. Jakarta:
Akdemika Pressindo, 1985. Ma’arif, Syafi’i, Dr. Islam dan Politik di Indonesia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1988. Ma’shum, Saifullah, ed. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU.
Bandung, Mizan, 1998. -------. KH. Abdul Wahab Chasbullah; Perintis, Pendiri dan Penggerak NU. Jakarta:
Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1999.
Maksum, ed. Mencari Pemimpin Umat; Polemik tentang Kepemimpinan Islam di
Tengah Pluralitas Masyarakat. Bandung: Mizan, 1999. Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1992. Nasution, Harun. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: UI Press, 1986. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980. -------. Muhammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, 1990.
-------. Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1987.
Notosoetardjo, H.A. Sejarah Ringkas NU. Jakarta: Panitia Harlah 40 Tahun NU,
1966. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Susanto, Nugroho Noto. Sejarah Nasional
Indonesia V. Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1990. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity
Press, 1981. Ridwan, M.Ag. Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik.
Yogyakarta: STAINU Purwokerto dan Pustaka Pelajar, 2004. Sanjoto, Prandrajta Dirdjo. Memelihara Umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa.
Yogyakarta: LKiS, 1999. Shihab, Alwi. Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap
penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998. Siddiq, Ahmad. Khittah Nadliyah. Surabaya: Balai Buku, 1979. Sitompul, Einar Martahan. NU dan Pancasila; Sejarah dan Peran NU dalam
Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila Sebagai Satu-satunya Asas. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Suryanegara, Ahmad Mansur. “Gerak Langkah Jam’iyah dan Partai Politik Nahdlatul
Ulama.” Panji Masyarakat, No. 336, 1981. -------. Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung:
Mizan, 1981. Syafruddin, Didin, ed. Mentri-Mentri Agama RI; Biografi Sosial Politik. Jakarta:
Balitbang Depag RI dan PPIM IAIN Jakarta, 1998. Syamsudin, Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001. Wahid, Abdurrahman. Membangun Demokrasi. Bandung: Rosdakarya, 1999. -------. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Yogyakarta, LKiS, 1997.
Yusuf, Slamet Efendy. Dinamika Kaum Santri; menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU. Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
Zuhri, Saifuddin. Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building. Jakarta: Lembaga
Penggali dan Penjebar “Api Islam”, 1965. -------. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung, 1987. -------. Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2001. -------. KH. Abdul Wahab Hasbullah; Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama. Jakarta:
Yamunu, 1972. -------. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:
Yamunu, 1972.