perencanaan areal kapal pltd apung sebagai kawasan...

112
Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam Oleh: Cut Sri Handayani A34203001 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: buithien

Post on 21-Apr-2018

223 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung

Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami

Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam

Oleh:

Cut Sri Handayani

A34203001

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

RINGKASAN

CUT SRI HANDAYANI. Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh Siti Nurisyah. Perencanaan kawasan Areal Kapal PLTD Apung sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan untuk melestarikan salah satu objek peninggalan tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akibat peristiwa bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004. Pelestarian yang dilakukan yaitu dengan merencanakan suatu kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami tersebut.

Perencanaan ini menggunakan metode pendekatan Gold (1980) yang menggabungkan pendekatan tradisional dengan masa depan, yang menekankan pada campuran antara rencana lingkungan, ilmu sosial, dan administrasi. Tahapan perencanaan menurut metode ini, yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis dan sintesis, dan perencanaan lanskap. Analisis data dilakukan berdasarkan potensi wisata sejarah, pertimbangan perencanaan sesuai RTRW, aspek pendukung (topografi dan kemiringan, iklim, dan kondisi tanah), dan kondisi sosial masyarakat serta pengunjung. Konsep yang akan dikembangkan pada tapak yaitu “mengkreasikan areal di kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif melalui media dan jalur interpretasi”.

Kawasan wisata ini sebagian besar daerahnya berada di daerah Ulee Lheue. Daerah Ulee Lheue merupakan salah satu daerah yang mengalami kerusakan paling parah di kota Banda Aceh pada saat bencana tsunami terjadi. Di daerah ini, ketinggian air mencapai 20 m. Selain letaknya yang berada di daerah patahan aktif, kerusakan ini juga dikarenakan jaraknya yang tidak terlalu jauh dari laut. Dengan demikian, pembangunan di daerah ini harus berada pada fungsi-fungsi ruang kota dalam wujud zonasi berdasarkan tingkat potensi kerusakan, serta dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana perlindungan terhadap bencana gempa dan tsunami. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, diperoleh alternatif pengembangan kawasan wisata yang sesuai dengan jalur interpretasi wisata sejarah pergerakan kapal tersebut. Kawasan wisata sejarah ini dibagi menjadi tiga zona berdasarkan keterkaitannya dengan bencana tsunami. Ketiga zona ini yaitu zona wisata utama, zona transisi dan zona pelayanan. Zona Wisata Utama merupakan zona yang berkaitan langsung dengan pergerakan kapal PLTD Apung dari Perairan Ulee Lheue menuju kawasan pemukiman. Berdasarkan tingginya (kepentingan) nilai sejarah, zona wisata utama terbagi lagi kedalam dua ruang, yaitu ruang inti dan ruang penyangga. Zona Transisi merupakan zona yang terdiri dari berbagai aktivitas manusia yang bersifat edukatif dan merupakan zona dimana objek dan atraksi berada. Zona ini berperan untuk menjaga dan melindungi objek bersejarah yang ada di dalam zona wisata utama. Zona pelayanan difungsikan untuk mengakomodasi berbagai fasilitas wisata untuk memudahkan pengunjung mendapatkan berbagai fasilitas selama berada di kawasan wisata.

Dalam hasil rencana areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunmai, tersedia beberapa fasilitas wisata. Adapun fasilitas yang terdapat di kawasan ini yaitu, ticketing, Visitor Information Center (VIC), parking lots, pos satpam, food court, darmaga, perahu, penyewaan perahu, tempat beribadah, boardwalk, children playground, foodcourt, tempat pembuangan sampah, toilet. Dalam perencanaan di areal sekitar kapal PLTD Apung, pengunjung juga dapat menikmati berbagai media interpretasi seperti tsunami interpreting outdoor playground, museum tsunami, sirene tower, refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut), amphitheater, coastal forest, signage. Sedangkan untuk rencana jalur interpretasi wisata pada kawasan terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan pengguna. Ketiga jalur itu adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak, pengunjung dewasa, dan para peneliti. jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di areal yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Untuk pengunjung dewasa, jalur wisata yang dilalui meliputi jalur pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari lautan dan berakhir di posisi terakhir kapal pasca tsunami. Jalur wisata yang dapat digunakan oleh para peneliti sebagian besar hampir sama dengan jalur yang dilalui oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang membedakan adalah hanya para peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan masuk ke dalam bangunan sirene tower dan refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut). Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi. Namun dalam perencanaan ini terdapat beberapa permasalahan, diantaranya yaitu belum adanya kesepakatan antara pemerintah dan penduduk setempat dalam hal pembebasan lahan, belum jelas siapa yang akan mengelola kawasan wisata ini, serta terjadinya perubahan fungsi lahan kota yang dilakukan masyarakat dari area tsunami heritage menjadi pemukiman baru. Oleh karena itu, perlu adanya upaya memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai pentingnya melestarikan kawasan bersejarah tersebut dan memberikan dana kompensasi/ganti rugi yang sesuai, adanya upaya relokasi masyarakat setempat ke area lain yang tidak mengganggu nilai-nilai kesejarahan dari objek wisata tsunami, serta mencegah terjadinya perubahan fungsi-fungsi tersebut dengan adanya kontrol dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk mempertahankan nilai-nilai kesejarahannya. Dan untuk pengembangan kawasan wisata sejarah ini selanjutnya yaitu dengan penempatan fasilitas dan ruang-ruang lebih mendetil.

PERENCANAAN AREAL KAPAL PLTD APUNG

SEBAGAI KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI

DI KOTA BANDA ACEH, NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Cut Sri Handayani

A34203001

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan

Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh,

Nanggroe Aceh Darussalam.

Nama : Cut Sri Handayani

NIM : A34203001

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA

NIP. 131 516 290

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr

NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banda Aceh, 19 September 1985. Penulis merupakan

anak pertama dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Teuku Hazlianto dan Ibu

Jauhari Usti.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SD Negeri 7 Banda

Aceh pada tahun 1997. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama di SLTP Negeri 3 Banda Aceh dan lulus pada tahun 2000 dan

menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di SMU Negeri 4 Banda

Aceh pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi

Arsitektur Lanskap, Departemen Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor

melalui program Undangan Seleksi Masuk Institut (USMI).

Selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan

menjadi Ketua Bidang Kerohanian dan Pendidikan Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong

(2004-2005), Anggota Seksi Humas Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap

(2004-2005), serta Anggota Seksi Beasiswa dan Pendidikan Komisi Peduli Aceh.

Penulis juga mendapat kesempatan untuk melaksanakan kegiatan magang pada tahun

2007 di PT. Envirospace Consultant Indonesia, Bogor. Selain itu, penulis juga

berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Rancangan Taman Khusus dan Mata

Kuliah Analisis dan Perencanaan Tapak pada tahun ajaran 2006/2007, serta Mata

Kuliah Perencanaan Lanskap pada tahun ajaran 2007/2008.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penyusunan laporan penelitian dapat diselesaikan.

Penelitian ini berjudul “Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung sebagai

Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh

Darussalam” dan disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan laporan penelitian ini dibantu dan didukung oleh berbagai

pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Papa T. Hazlianto dan Mama Jauhari Usti, atas doanya selama ini.

2. Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku dosen pembimbing skripsi.

3. Dr. Ir. Nurhayati, MSc selaku dosen pembimbing akademik.

4. Adik-adikku Oriza, Putri, dan Celvin atas supportnya.

5. Bunda Ani dan Abi, serta seluruh keluarga. Makasih atas nasihat dan

makanannya...It so delicious n I love it!

6. Formasi ‘anak-anak Aceh’, Opeh, Beteu, Tigor, n Puji. Makasih atas

bantuannya selama di Aceh, di Enviro, di praktikum, di Kerinci, di

Kampus, dan di berbagai tempat yang pernah kita kunjungi. Don’t forget

‘bout our work ethics, guys!

7. Teman-teman di Wisma Shambala atas bantuan printernya.

8. Seluruh teman-teman ARL angkatan 40, Weeta, Marna, Piko, Ali, Tope,

Mpit, Alin, Arin, Febi, Dunk2, Anggie, Uti, Wira, Ucy, Budiman, Indah,

Deni, Mada, Michan, Sano, Miftah, Shasa, Keni, Putri, Jabi, Pepenk,

Komti, Ario, Greg, Meidi, Ayu, Ubud, Icha, Dwee, Titie, Teta, Dani,

Iwan, Aki (Rezki), n Indra. thanks for unforgetable momment.

9. Arsitektur Lanskap IPB yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

10. Shinta (alias mami...), Tari n Baiq, thanks to let me stay at ur room gals.

11. Pihak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.

12. Pihak Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota

Banda Aceh.

13. Pihak Dinas Perkotaan dan Permukiman Kota Banda Aceh.

14. Pihak Stasiun BMG Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar.

15. Cik yang di Meulaboh...(sumpah, icut lupa siapa namanya....maaf ya

cik...^.^). Terima kasih dah mau menampung kami ‘ank2 Aceh’ di rumah

cik.

16. Bang Dodi....makasih dah bersedia nganterin ami ‘ank2 Aceh’ keliling

Banda Aceh dan Meulaboh. Makasih Banget ya....

17. Kak Ita, Landscaper 38. Makasih atas bantuannya selama di Meulaboh

18. Pak yahya and his library. Thanks for undersatanding me n I’ve been

return all of that books, rite?

19. Bos and his photocopy guys....makasih dah bersedia direpotin selama

penyusunan dan penyelesaian laporan penelitian ini.

20. Last but not least, my special bestfriends, Acha n Ijonk.....thanks to share n

care ‘bout me. I hope we’ll be bestfriend forever.I put u both at the last list

cause I don’t know how can I say thanks to and makes the rite word.Thank

u really pretty much.

21. Serta seluruh pihak yang telah membantu selama proses penyusunan

laporan penelitian ini.

Akhirnya semoga studi ini dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Mohon maaf sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada.

Semoga amal ibadah penuh keikhlasan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Bogor, Januari 2008

Penulis

DAFTAR ISI Halaman

KATA PENGANTAR………………………………………………………. i

DAFTAR ISI………………………………………………………………… ii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………… iv

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... v

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………….. 1 Tujuan……………………………………………………………….. 3 Manfaat……………………………………………………………… 3 Kerangka Pikir………………………………………………………. 4 TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sejarah

Definisi Lanskap Sejarah……………………………………. 6 Tipe-Tipe Lanskap Sejarah……....…...............……………... 6 Pelestarian Lanskap sejarah…………………………………. 7

Pengembangan Lanskap Sejarah sebagai Kawasan Wisata…. 7 Interpretasi Definisi Interpretasi………………………………………….. 9 Tujuan Interpretasi…………………………………………… 9 Prinsip-Prinsip Interpretasi…………………………………... 10 Unsur-Unsur Utama Interpretasi……………………………... 11 Perencanaan Lanskap………………………………………………… 13 Perencanaan Kawasan Wisata…………………………..….... 14 Perencanaan Kawasan Interpretasi Sejarah…………………... 14 METODOLOGI Lokasi dan Waktu……………………………………………………. 16 Bahan dan Alat ………………...…………………………………….. 17 Metode Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah..…………………….. 17 Tahapan Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah……………………… 19 KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN Wilayah Kota Banda Aceh…………………………………………… 23 Kawasan Bencana Tsunami………………………………………….. 26 DATA DAN ANALISIS Kondisi Umum...................................................................................... 29 Kondisi Tapak Sebelum Tsunami.....................……………………… 29 Kejadian Saat Tsunami………...………………………....………….. 31 Kondisi Fisik Tapak Setelah Tsunami.................................................. 37

iii

Halaman Potensi Wisata Sejarah Tsunami Batas & Luas Kawasan Perencanaan..…….............................. 38 Objek-Objek Wisata Sejarah Tsunami...................................... 41 Aksesibilitas……………………………………….................. 47 Alternatif Jalur Wisata Sejarah................................................. 53 Pertimbangan Perencanaan RTRBWK…………………………………………................. 56 Tata Guna Lahan (Land Use).....……….………….................. 59 Kebijakan Pemerintah NAD…………....…..………………… 61 Aspek Pendukung Biofisik Topografi & Kemiringan.…………..………............… 63 Iklim…………………….……………………............. 66 Kondisi Tanah.………….……………...........……….. 69 Kondisi Sosial Masyarakat Lokal Dampak Tsunami terhadap Masyarakat Lokal .................…… 71 Pengunjung................................................................................ 72 Konsep Dasar Perencanaan………………………………….……….. 73 Pengembangan Konsep Konsep Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah........................... 73 Konsep Obyek-obyek Sejarah Tsunami.………….………….. 75 Konsep Sirkulasi........................................................................ 77 Konsep Aktivitas.....…......…………………………………… 78 Konsep Infrastruktur………………...……............................... 79

PERENCANAAN KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI Rencana Tata Ruang.....................................................….…………… 81 Rencana Sirkulasi.................................................................................. 84 Kawasan Wisata Sejarah Tsunami........................................................ 85 Rencana Jalur Wisata.......……………………………….……….….... 87 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan…………………………………………………………… 93 Saran………………………………………………………………...... 94 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 95 LAMPIRAN……………………………………………………………….. ... 97

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tahapan Pelaksanaan dan Alokasi Waktu Penelitian................................ 17

2. Jenis, Cara, dan Sumber Pengambilan Data…………....……………….. 20

3. Objek Wisata Sejarah yang Diusulkan berdasarkan

Urutan Kejadian Pergerakan Kapal PLTD Apung.................................... 36

4. Analisis Aksesibilitas dan Alternatif Perencanaan.................................... 51

5. Pembagian Zona pada BWK Barat Kota Banda Aceh.............................. 57

6. Bentuk-bentuk Peruntukan Lahan beserta Luasan Lahan Pra-Tsunami................................................................................... 59

7. Analisis Topografi dan Kemiringan Lahan............................................... 64

8. Luasan Area dalam Kawasan Wisata........................................................ 80

9. Hubungan Objek Wisata dengan Atraksi dan Fasilitas Wisata................. 92

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Form Kuisioner Penelitian........................................................................ 97

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pikir …………………………………………………………....... 5

2. Diagram Alur Prinsip Dasar Program Interpretasi……………………....…. 11

3. Lokasi Penelitian............………………………………………..…….......... 16

4. Tahapan Proses Penelitian………....………………………..…..…......…... 18

5. Batas Wilayah dan Batas Kecamatan di Kota Banda Aceh….....………….. 24

6. Patahan Semangko………………………………….....…………………… 25

7. Peta Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami di Tiap Kecamatan di Kota Banda Aceh………………………………….……………………. 27 8. Skema Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan Kota Banda Aceh…………….. 28

9. Kondisi Peruntukan Lahan di Kawasan Ulee Lheue Setelah Bencana Tsunami..........................................……………………… 30

10. Jalur Masuk Kapal PLTD Apung ke Daratan……………………………… 32

11. Foto Udara yang Menggambarkan Lokasi Kapal PLTD Apung Pasca Tsunami................................................................................... 34

12. Batas Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.................................. 35

13. Kondisi Rumah di Sekitar Tapak Pasca Tsunami.......................................... 37

14. Kondisi Tapak di Sekitar Kapal PLTD Apung.............................................. 40

15. Perairan Ulee Lheue....................................................................................... 41

16. Desa Lambung............................................................................................... 42

17. Rumah Tsunami............................................................................................. 43

18. Mesjid Subulussalam...................................................................................... 43

19. Kapal PLTD Apung....................................................................................... 44

20. Monumen Syuhada........................................................................................ 45

21. Mesjid Baiturrahim......................................................................................... 46

22. Diagram Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung..................................... 48

23. Kondisi Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung...................................... 50

24. Aksesibilitas................................................................................................... 52

25. Jalur Pergerakan Kapal dan Lokasi Objek Wisata Sejarah............................ 54

26. Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.................................................................. 55

Halaman

vi

27. Peta Arahan Fungsi Berdasarkan Zona Fisik per BWK Kota Banda Aceh................................................................................ 58

28. Peta Eksisting Tata Guna Lahan.................................................................... 60

29. Kawasan Wisata Berdasarkan Peruntukan Kota............................................ 62

30. Hasil Perhhitungan Topografi dan Kemiringan Lahan................................... 65

31. Grafik Beberapa Unsur Iklim di Kecamatan Ulee Lheue dalam Kurun Waktu 1997-2006................................................................................ 67

32. Berbagai Bentuk Tajuk Pohon....................................................................... 68

33. Peta Kesesuaian Lahan terhadap Bangunan................................................... 70

34. Konsep Pengembangan Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah Tsunami....... 74

35. Konsep Ruang Wisata…………………....................................................... 75

36. Contoh Media Interpretasi ............................................................................ 76

37. Konsep Pengembangan Jalur Sirkulasi........................................................... 78

38. Sighseeing....................................................................................................... 79

39. Suasana di Beberapa Infrastruktur Pendukung.............................................. 80

40. Contoh Motif dan Bentuk Bangunan............................................................. 80

41. Rencana Tata Ruang Wisata Tsunami........................................................... 82

42. Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.................................................. 86

43. Rencana Jalur Wisata..................................................................................... 88

44. Potongan Tampak........................................................................................... 89

45. Ilustrasi Suasana di Kawasan Wisata Sejarah Tsunami.................................. 90

PENDAHULUAN

Latar Belakang Kota Banda Aceh adalah ibukota provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Awalnya, kota ini bernama Kutaraja, kemudian sejak 28 Desember 1962 namanya

diganti menjadi Banda Aceh. Sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh menjadi

pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kota yang telah

berumur 802 tahun ini, berdasarkan Perda Aceh No.5/1988, tanggal 22 April 1205

ditetapkan sebagai tanggal keberadaan kota tersebut1).

Pada tanggal 26 Desember 2004, kota ini dilanda gelombang pasang

tsunami yang menelan sekitar 150.000 jiwa dan menghancurkan lebih dari 60%

bangunan kota ini. Tsunami di Aceh bisa digolongkan sebagai bencana alam yang

paling mengerikan dalam sejarah dunia dalam beberapa tahun terakhir. Di

beberapa tempat di Aceh, gelombang tsunami mencapai setinggi 9 meter2). Karena

letak kota yang tidak jauh dari daerah pantai, menyebabkan kerusakan yang

sangat parah, yaitu di Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Jaya Baru (Tim

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara,

2005).

Berdasarkan data yang bersumber dari BRR Aceh-Nias tersebut, sebagian

besar fasilitas yang ada rusak berat, diantaranya yaitu: perumahan dan

infrastruktur dasar (4.787 rumah permanen); fasilitas pendidikan (41 sekolah);

fasilitas kesehatan dan pribadi; fasilitas agama, sosial dan budaya; serta fasilitas

perdagangan dan industri.

Untuk mengenang tragedi bencana dunia yang melanda Aceh akhir tahun

2004 lalu, pemerintah akan segera membangun sebuah museum internasional, tiga

situs dan enam monumen tsunami yang representatif di Banda Aceh awal tahun

2007. Dengan adanya bangunan-bangunan tersebut, diharapkan bisa

meninggalkan sejarah bagi masa depan dan juga mampu menarik wisatawan asing

yang datang ke Aceh 3).

1) http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banda_Aceh#column-one (10 November 2006)

2) http://www.news.php aceh 2.htm (17 November 2006).

3) Serambi Indonesia edisi No. 6.192 Thn ke-40 (23 September 2006) dalam Museum Tsunami Dunia Segera Dibangun.

2

Menyusul adanya rencana pemerintah tersebut, maka salah satu kawasan

yang diusulkan sebagai monumen tsunami yaitu kawasan di sekitar kapal PLTD

Apung yang terdapat di daerah Punge Blangcut Kecamatan Jaya Baru. Kapal

PLTD Apung merupakan sebuah kapal pembangkit listrik yang menggunakan

tenaga diesel. Awalnya kapal tersebut berada di Kalimantan. Akan tetapi, karena

Aceh kekurangan pasokan listrik, maka kapal ini ditempatkan di Perairan Ulee

Lheue. Saat tsunami terjadi, kapal PLTD Apung terdampar ke daerah perumahan

penduduk sekitar 4 km dari perairan Ulee Lheue. Padahal bobot kapal ini

mencapai ribuan ton (Sufi dan Agus, 2005). Sebenarnya, kapal PLTD Apung ini

direncanakan akan ditarik kembali ke laut. Hal ini dikarenakan jika dilihat dari

segi kondisi fisik dan keadaan mesinnya, kapal ini masih mampu beroperasi

dengan baik. Namun dikarenakan jaraknya yang tergolong jauh dari laut, maka

kapal tersebut tetap dibiarkan berada di tempatnya.

Saat ini, kapal tersebut merupakan salah satu objek wisata tsunami di kota

Banda Aceh. Berbagai pengunjung baik dari daerah Aceh maupun luar Aceh,

bahkan wisatawan asing, berdatangan ingin menyaksikan secara langsung

fenomena dari peristiwa tsunami. Hal yang harus diperhatikan jika kawasan

tersebut dijadikan sebagai kawasan wisata adalah pengaturan tata ruang kawasan

dan jalur interpretasi sebagai kawasan wisata sejarah. Diharapkan penataan ruang

dan jalur interpretasi wisata sejarah dapat mempertahankan, atau bahkan dapat

meningkatkan nilai historis daerah tersebut.

Perencanaan kawasan wisata juga harus memperhatikan kesesuaian

penggunaan lahan dengan rencana tata ruang kota dan lanskap kota. Penggunaan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh dan Rencana Detil Tata

Ruang (RDTR) Kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru digunakan sebagai panduan

dalam merencanakan kawasan wisata sejarah tsunami.

3

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini melestarikan salah satu objek peninggalan

tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya

akibat peristiwa dasyat bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh

Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yaitu dengan merencanakan suatu

kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. mengidentifikasi kondisi tapak lokasi PLTD Apung, serta obyek-obyek

dan atraksi pendukung wisata sejarah lainnya.

2. menganalisis kondisi tapak PLTD Apung untuk dijadikan sebagai kawasan

wisata sejarah.

3. merencanakan kawasan wisata sejarah tsunami.

4. merencanakan jalur interpretasi sejarah tsunami.

5. mengakomodasi aktifitas dan menata fasilitas di kawasan wisata dan jalur

interpretasi sejarah.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Mengakomodasi keinginan masyarakat yang ingin menyaksikan benda

bersejarah dan mengenang terjadinya peristiwa bencana alam tsunami di

Aceh.

2. Sarana pendidikan dan menambah pengalaman mengenai tsunami baik

bagi masyarakat Aceh maupun bangsa Indonesia, dan bangsa-bangsa lain

pada umumnya.

3. Menjadi bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah

Nanggroe Aceh Darussalam dalam upaya rekonstruksi dan rehabilitasi

Aceh pasca terjadinya tsunami baik dari segi fisik maupun kesejarahan.

4. Sumber PAD bagi pemerintah daerah dengan mengembangkan kawasan

sekitar kapal PLTD Apung sebagai salah satu kawasan wisata.

4

Kerangka Pikir

Kota Banda Aceh merupakan ibukota propinsi NAD yang mengalami

kerusakan sangat parah dan menelan korban jiwa terbanyak setelah kabupaten

Meulaboh, Aceh Barat. Kerusakan yang ditimbulkan memberikan dampak yang

cukup besar bagi masyarakat Aceh, baik secara fisik (sarana dan prasarana kota,

perumahan, dll) maupun psikologi (emosional, kehilangan kerabat, dan sosial

budaya).

Dalam rangka mengenang tragedi bencana dunia yang melanda Aceh akhir

tahun 2004 lalu, diperlukan adanya upaya-upaya untuk melestarikan objek-objek

bersejarah. Berkaitan dengan masalah ini, pemerintah daerah NAD mengambil

kebijakan-kebijakan, yaitu dengan mendirikan sebuah museum internasional, tiga

situs dan enam monumen tsunami. Salah satu kawasan yang direncanakan akan

dikembangkan menjadi monumen sejarah tsunami yaitu kawasan di sekitar Kapal

PLTD Apung. Perencanaan di kawasan ini mempunyai keunikan tersendiri

dimana kapal dengan bobot ribuan ton mampu terbawa arus tsunami hingga

mencapai 4 km jaraknya dari posisinya semula. Selain kapal PLTD Apung, di

daerah ini juga terdapat beberapa objek bersejarah lainnya yang berpotensi

sebagai objek tujuan wisata.

Perencanaan yang akan dilakukan yaitu perencanaan kawasan dan jalur

interpretasi wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif pada lokasi terjadinya

perpindahan kapal PLTD Apung. Dengan dijadikannya kawasan ini sebagai

kawasan dan jalur interpretasi sejarah, diharapkan dapat mengingatkan kembali

para pengunjung akan peristiwa tsunami yang pernah terjadi di NAD. Dengan

latar belakang keadaan yang demikian, diperlukan aplikasi yang sesuai dengan

kondisi terjadinya tsunami pada saat itu, yaitu dengan mewujudkan suatu kawasan

wisata sejarah tsunami di Kota Banda Aceh, NAD. Kerangka berpikir penelitian

dapat dilihat pada Gambar 1.

5

Gambar 1. Kerangka Pikir

Monumen Situs Museum

Untuk mengenang kejadian tsunami 2004

Tsunami 26 Desember 2004

Mengalami kerusakan lingkungan yang sangat parah

Infrastruktur kota, Perumahan, Sosial dan budaya, Emosional, dll

Kota Banda Aceh, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh, NAD

Upaya penataan kawasan dan jalur interpretasi wisata sejarah tsunami yang bersifat edukatif

Lokasi kapal PLTD Apung II

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Sejarah Definisi Lanskap Sejarah Lanskap sejarah merupakan suatu kawasan geografis dimana pada

kawasan tersebut merupakan obyek atau latar belakang atas suatu peristiwa

interaksi yang bersejarah dalam kehidupan manusia (Simonds, 1978). Lanskap

sejarah penting dilestarikan untuk memberikan suatu makna simbolis bagi

peristiwa terdahulu dan peristiwa sekarang. Lingkungan fisiknya yang tertata

merupakan suatu penghubung peristiwa masa lalu yang mempengaruhi kita

dengan peristiwa yang menentukan masa depan. Tanpa suatu kesan konteks fisik,

maka pengetahuan kita mengenai peristiwa-peristiwa semacam ini terbatas pada

catatan lisan dan gambar-gambar grafis (Nurisyah dan Pramukanto, 1995).

Tipe-Tipe Lanskap Sejarah

Secara umum, Nurisyah dan Pramukanto (2001) mengemukakan bahwa tipe

lanskap sejarah dapat dikategorikan berdasarkan hal-hal tersebut:

1) Lanskap yang berasosiasi dengan kehidupan pedesaan dan ekonomi

pedesaan pada setiap periode prasejarah sampai sekarang.

2) Lanskap yang berasosiasi dengan kehidupan perkotaan pada setiap periode

yang dimulai dari awal pembentukannya sampai sekarang.

3) Lanskap yang berasosiasi dengan berbagai aktivitas industri dan pabrik

seperti lanskap perkebunan, lanskap kawasan industri.

4) Lanskap yang berasosiasi dengan individu atau kelompok bangunan dan

monumen sejarah.

5) Lanskap yang berasosiasi dengan orang atau peristiwa-peristiwa sejarah

yang penting, termasuk tempat-tempat yang ada hubungannya dengan

seniman-seniman, penyair-penyair, medan pertempuran dan sebagainya.

6) Tapak-tapak historic scenic, yaitu tempat-tempat yang dalam istilah

sejarah sudah dikenal baik atau sangat berpengaruh karena berbagai

pemandangan yang menarik yang dimilikinya.

7) Taman dan tempat rekreasi yang bersejarah.

7

Pelestarian Lanskap sejarah

Nurisyah dan Pramukanto (2001) mengemukakan bahwa untuk tindakan

pelestarian dapat dilakukan dengan suatu bentuk pendekatan atau kombinasi

beberapa pendekatan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap:

1) nilai-nilai, makna atau arti kesejarahan yang dimiliki oleh suatu tatanan

lanskap (landscape fabric), dan

2) bentang alam atau taman tersebut secara fisik.

Pendekatan ini umumnya mempertimbangkan aspek-aspek yang berperan

dalam proses dinamika perubahan lanskap tersebut yang meliputi aspek sejarah,

aspek arkeologis, aspek etnografis, dan nilai-nilai desain yang dimilikinya.

Dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap tersebut, beberapa

pilihan bentuk tindakan teknis yang umumnya dilakukan adalah adaptive use

(penggunaan adaptif), rekonstruksi, rehabilitasi, restorasi, stabilisasi, konservasi,

interpretasi, period setting (replikasi, imitasi), release, dan replacement

(penggantian) (Nurisyah dan Pramukanto, 2001). Dalam penelitian ini, tindakan

teknis yang diterapkan untuk pelestarian lanskap sejarah yaitu dalam bentuk

interpretasi.

Pengembangan Lanskap Sejarah sebagai Kawasan Wisata Wisata (tour, travel, jalan-jalan) didefinisikan sebagai pergerakan orang

untuk sementara (temporal) dalam jangka waktu tertentu ke tujuan-tujuan di luar

rutinitas dan tempat biasa mereka tinggal dan bekerja. Selama tinggal di tujuan

wisata tersebut mereka melakukan kegiatan rekreatif dan menyenangkan dan

disediakan fasilitas untuk mengakomodasikan kebutuhan mereka (Nurisyah dan

Damayanti, 2006).

Bentuk-bentuk wisata yang dapat ditawarkan kepada pengunjung sangat

beragam. Wisata dikategorikan berdasarkan faktor penyebab dilakukannya

kegiatan ini, yaitu (1) obyek dan atraksi utama yang dikembangkan, (2) tujuan

berwisata, (3) letak geografis kawasan (Nurisyah dan Damayanti, 2006).

Berdasarkan objek dan atraksi utama yang dikembangkan di lokasi tujuan wisata,

Brunn dalam Nurisyah dan Damayanti (2006), mengkategorikan wisata dalam

bentuk: (a) ecotourism, green tourism atau alternative tourism yaitu wisata yang

8

berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan industri

kepariwisataan, perlindungan terhadap sumber daya alam dan kualitas lingkungan,

serta kesejahteraan masyarakat lokal, (b) wisata budaya atau cultural tourism,

yaitu wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata utama dengan

penekanan pada aspek pendidikan dan pengetahuan, dan (c) wisata alam, nature

tourism yaitu wisata untuk meningkatkan pengalaman terhadap obyek dan daya

tarik kondisi alam dan panoramanya. Berdasarkan tujuan berwisata, bentuk wisata

dikategorikan dengan (a) wisata rekreasi, (b) wisata ilmu, (c) wisata medis, (d)

wisata olahraga, (e) wisata konvensi; berdasarkan letak geografisnya, kegiatan ini

dibagi menjadi (1) wisata pegunungan, (2) wisata pesisir/pantai, (3)wisata

lautan/bahari.

Ketersediaan obyek, daya tarik atau atraksi pada suatu kawasan

merupakan komponen utama dalam pengembangannya menjadi kawasan tujuan

wisata (Gunn dalam Nurisyah dan Damayanti, 2006). Obyek dan daya tarik wisata

didefinisikan sebagai suatu keadaan alam serta perwujudan dari ciptaan manusia,

tata hidup, seni budaya serta sejarah dan tempat yang memiliki daya tarik untuk

dikunjungi wisatawan. Atraksi wisata adalah semua perwujudan dan sajian alam

serta kebudayaan, yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati

wisatawan di suatu kawasan wisata atau daerah tujuan wisata melalui suatu bentuk

pertunjukan yang khusus diselenggarakan untuk para wisatawan yang

mengunjungi kawasan tersebut (Yoeti dalam Nurisyah dan Damayanti, 2006).

Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah merupakan

suatu bukti fisik dari keberadaan manusia. Waktu yang tercermin dalam suatu

lanskap sejarah membedakan designed landscape. Selanjutnya, salah satu

kepentingan dari pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan

sejarah ini adalah untuk motivasi ekonomi. Peninggalan budaya dan sejarah

memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara dengan baik, terutama apabila dapat

mendukung perekonomian kota/daerah bila dikembangkan sebagai kawasan

tujuan wisata (cultural and historical type of tourism). Disamping upaya

pelestarian benda bersejarah, peningkatan kondisi ekonomi merupakan alasan lain

untuk mengadakan wisata pada lanskap sejarah di kawasan sekitar kapal PLTD

Apung.

9

Interpretasi

Definisi Interpretasi

Interpretasi menurut Tilden (1957) yang dianggap sebagai bapak

interpretasi, menyatakan bahwa interpretasi adalah penafsiran suatu aktifitas

bidang pendidikan dengan tujuan untuk mengungkapkan hubungan dan arti

melalui penggunaan obyek asli dengan pengalaman langsung dan oleh ilustrasi

media bukan hanya sekedar penyampaian informasi. Interpretasi merupakan suatu

mata rantai komunikasi antara pengunjung dan sumberdaya yang ada

(Sharpe, 1982). Menurut Muntasib (2002), interpretasi merupakan suatu cabang

ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seni dalam memberikan penjelasan

tentang suatu kawasan (flora, fauna, proses geologis, dan sebagainya) serta sejarah

dan budaya masyarakat kepada pengunjung yang datang ke kawasan tersebut,

sehingga dapat memberikan kepuasan dan pengetahuan baru yang dapat

menggugah pemikiran untuk mengetahui, menyadari dan menarik minat

pengunjung untuk ikut menjaga dan melestarikan serta mempelajari lebih lanjut.

Tujuan Interpretasi

Dalam hal ini, Sharpe (1982) mengemukakan tiga sasaran interpretasi,

yaitu:

• interpretasi dapat membantu pengunjung memperkaya pengetahuan dan

menjadi tertarik pada suatu lokasi.

• mewujudkan tujuan pengelolaan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan

sumberdaya alam sehingga dapat dinikmati pengunjung secara maksimal.

selain itu kerusakan dapat diminimalisir karena pengunjung dituntut untuk

tidak mengganggu sumberdaya yang ada.

• menjadi sasaran promosi agar masyarakat mengetahui keberadaan

sumberdaya atau obyek yang dimaksud melalui biro-biro perjalanan.

10

Prinsip-Prinsip Interpretasi

Dalam kegiatan interpretasi ada enam prinsip yang harus diperhatikan

(Tilden, 1957). Keenam prinsip tersebut, yaitu:

a) Suatu interpretasi tidak ada hubungannya antara apa yang diperagakan

dengan apa yang dialami atau kepribadian personalitas para pengunjung,

merupakan sesuatu yang sia-sia.

b) Informasi, penerangan, atau materi yang sejenis dengan itu saja bukanlah

sebuah interpretasi. Interpretasi merupakan ungkapan rahasia berdasarkan

atas informasi-informasi, namun interpretasi berbeda dan lebih luas

daripada informasi. Di dalam interpretasi termasuk juga didalamnya

unsur-unsur informasi.

c) Interpretasi merupakan suatu seni yang dikombinasikan dari berbagai

macam seni, baik yang bersifat ilmiah, sejarah, arsitektur, atau seni yang

pada tingkat tertentu dapat diajarkan kepada orang lain.

d) Cara mengutarakan interpretasi bukanlah dengan sebuah perintah,

melainkan dengan menggunakan pancingan-pancingan, dorongan atau

persuasi (provokasi).

e) Interpretasi bermaksud mempertunjukkan secara jelas dan bukan sebagian-

sebagian. Interpretasi sebaiknya tidak dirahasiakan atau hanya boleh untuk

golongan tertentu saja.

f) Interpretasi yang ditujukan untuk anak-anak tidak dapat digunakan untuk

orang dewasa, karena keduanya memiliki pendekatan yang berbeda.

Kerangka pemikiran interpretasi mengacu pada pendekatan prinsip dasar

program interpretasi yang merupakan kombinasi dari enam hal, yaitu : pelayanan

Informasi, Pelayanan Pemanduan, Pendidikan, Hiburan serta Inspirasi dan

promosi (Departemen Kehutanan, 1988a). Mengenai prinsip dasar program

interpretasi dapat dijabarkan pada Gambar 2.

11

Gambar 2. Diagram Alur Prinsip Dasar Program Interpretasi

(Departemen Kehutanan, 1988a)

Unsur-Unsur Utama Interpretasi

Berdasarkan Departemen Kehutanan (1988a), di dalam interpretasi

terdapat tiga unsur pokok yang menjadi satu kesatuan, yaitu:

a). Pengunjung

Beberapa hal yang harus perlu dianalisa dan diperhitungkan dalam

perencanaan serta pelaksanaan interpretasi yang berkaitan dengan pengunjung

agar interpretasi yang disajikan mencapai sasaran, antara lain:

• Lokasi yang paling banyak pengunjungnya.

• Asal daerah pengunjung yang paling banyak berkunjung ke kawasan

tersebut.

• Waktu ramai pengunjung.

• Persen pengunjung yang memasuki pintu utama dan juga untuk jumlah

pengunjung yang memasuki kawasan melalui pintu alternatif lain.

b). Pemandu wisata

Kualitas pemandu sangat menentukan keberhasilan interpretasi yang

dilaksanakan. Syarat kemampuan yang harus dimiliki oleh pemandu wisata

adalah:

1. Penguasaan ilmu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu yang berkaitan

dengan sesuatu yang menjadi obyek interpretasi.

2. Menguasai pengetahuan di bidang pendidikan dan komunikasi masa, serta

mampu dalam prakteknya.

KEGIATAN INTERPRETASI

PENGUNJUNG TERTARIK

MENGERTI

MEMAHAMI TIDAK MENGGANGGU

IKUT MELESTARIKAN

12

3. Menguasai cara-cara melaksanakan interpretasi secara benar, bukan hanya

sekedar memberikan informasi.

c). Obyek-obyek Interpretasi

Obyek interpretasi adalah segala sesuatu yang berada dalam kawasan

wisata alam, yang dipilih untuk diinterpretasikan kepada pengunjung. Obyek

interpretasi ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu obyek interpretasi berupa

sumberdaya alam dan potensi sejarah (Departemen Kehutanan, 1988a).

Agar interpretasi dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pemilihan

dan penggunaan serta pembinaan obyek interpretasi. Seleksi penentuan obyek

interpretasi harus memperhatikan sifat dan keadaan pengunjung serta sifat

sumberdaya atau potensi sejarah yang menjadi obyek interpretasi. Selain itu,

obyek interpretasi juga haruslah potensial, misalnya karena tingkat kelangkaannya

tinggi, peranannya dalam kehidupan manusia sangat menonjol, mudah dan aman

untuk dipegang, dilihat langsung, dicium ataupun dipegang oleh pengunjung

(Departemen Kehutanan, 1988a).

Untuk mendukung suatu kegiatan interpretasi dibutuhkan fasilitas-fasilitas

yang mendukung kegiatan interpretasi tersebut. Fasilitas tersebut dapat berupa

media peralatan, metode, perlengkapan dimana pesan-pesan interpretasi dapat

disampaikan kepada umum dengan baik (Sharpe, 1982).

Menurut Sharpe (1982), ilustrasi media interpretasi memiliki bentuk yang

bermacam-macam. Salah satunya adalah pemandu, booklet, leaflet, brosur, peta

wisata, pusat interpretasi, pameran museum, galeri, dan sebagainya.

Sedangkan untuk menunjang wisata sejarah yang dilakukan, perlu

dipahami mengenai sistem rekreasi. Dalam suatu sistem rekreasi, terdapat

hubungan erat antara sisi supply dan demand. Supply dalam rekreasi didefinisikan

sebagai semua pengembangan fisik dan program yang memenuhi kebutuhan dan

keinginan pengunjung (Gunn, 1997). Kebutuhan dan keinginan pengunjung inilah

yang disebut dengan demand. Elemen lanskap yang dirancang juga merupakan

salah satu supply rekreasi. Supply rekreasi ini terdiri atas attraction, services,

transportation, informations, dan promotions (Gunn, 1997).

Menurut Knudson (1980) fasilitas dan pelayan baik berupa tenaga

akomodasi dan pengorganisasian merupakan suplai rekreasi. Suplai rekreasi yang

13

dimaksud yaitu sesuatu yang dapat disediakan untuk melayani pengunjung dalam

berekreasi.

Perencanaan fasilitas diperlukan guna menunjang aktifitas di lintasan

sekaligus mengurangi dampak pengunjung. Fasilitas di tepi jalan dapat berupa

shelter, gazebo, atau tempat duduk untuk istirahat. Jauh dekatnya jarak lintasan

tergantung bentuk lahannya (Knudson, 1980).

Menurut Departemen Kehutanan (1988a), jalur interpretasi adalah rute

yang dirancang guna obyek interpretasi (geologis, biologis, historis, dan

kebudayaan yang menarik) dijelaskan dengan bantuan pemandu, tanda-tanda,

pamflet atau peralatan elektronik. Hal ini dimaksudkan agar pengunjung

mendapatkan pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan tersebut pengalaman

secara langsung di lapangan.

Selain berfungsi sebagai akses penghubung, rute atau lintasan juga

menampilkan keindahan pemandangan terbaik (Simonds, 1983). Lintasan juga

harus aman, menghindari daerah berbahaya, memiliki keindahan (vista) dan obyek

khas, nyaman, tidak terlalu jauh, mudah dilalui, dilengkapi papan petunjuk dan

tidak mengganggu kehidupan alami (Berkmuller, 1981).

Perencanaan Lanskap

Perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan

untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk

mencapai keadaan yang diharapkan tersebut (Gold, 1980). Sedangkan menurut

Laurie (1990) mengungkapkan bahwa dalam perencanaan tapak terdapat

penyesuaian tapak dengan program. Persyaratan program harus dilengkapi dan

dihubungkan satu dengan lainnya, disertai imajinasi serta kepekaan terhadap

analisis tapak. Disamping itu, perencanaan menyangkut pengaturan fungsi ruang,

sirkulasi, keindahan dan keunikan dengan memanfaatkan elemen air, tanah, dan

berbagai benda, serta keadaan yang ada seperti taman, bangunan, kondisi

topografi, dan pemandangan (Rachman, 1984).

Nurisyah dan Pramukanto (1995) berpendapat bahwa dalam perencanaan

dibutuhkan suatu pendekatan yang dilakukan terhadap kebutuhan khusus dari

suatu kelompok sosial atau lahan. Pendekatannya harus efektif untuk penyediaan

14

segala bentuk pelayanan dan ruang bagi masyarakat yang menggunakannya.

Masyarakat atau orang mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda dalam

penggunaan ruang sehingga pengamatan sosial sangat penting. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa proses perencanaan lanskap diawali dengan memperhatikan,

menafsirkan dan menjawab kepentingan manusia dan mengakomodasikan

berbagai kepentingan ini ke produk (lahan) yang direncanakan antara lain seperti

untuk mengkreasikan dan merencanakan secara fisik berbagai bentuk pelayanan,

fasilitas dan berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya tersedia lainnya dan nilai-

nilai budaya manusia.

Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah

Perencanaan kawasan wisata merupakan perencanaan yang

memperhatikan dengan mengantisipasi dan mengatur perubahan-perubahan yang

terjadi pada tapak, memajukan pengembangan sesuai dengan tata tertib yang

berlaku dan meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan sekitarnya

dalam proses pengembangannya (Murphy dalam Hall, 2000). Selain itu,

perencanaan harus meningkatkan elemen kritis dalam menjamin pengembangan

berkelanjutan dalam jangka panjang terhadap tujuan wisata. Menurut Hall (2000)

wisata merupakan intergrasi mendalam antara ekonomi, sosial dan maksimalisasi

lingkungan hingga mencapai pengembangan wisata yang sesuai.

Dengan demikian, perencanaan kawasan wisata sejarah juga harus

memperhatikan ketiga aspek tersebut. Dalam pengembangannya juga dibutuhkan

suatu touring plan yang bertujuan untuk mengarahkan pengunjung menikmati

obyek wisata atau atraksi yang disediakan.

Perencanaan Kawasan Interpretasi Sejarah

Perencanaan kawasan interpretasi sejarah merupakan perencanaan yang

terdiri atas perencanaan kawasan dan jalur interpretasi. Perencanaan kawasan

interpretasi dalam perencanaan ini merupakan media atau objek sejarah tsunami

yang akan diinterpretasikan kepada pengunjung. Sedangkan jalur interpretasi yang

direncanakan yaitu rute/jalur yang menggambarkan suasana sejarah terjadinya

15

tsunami di Aceh. Dengan demikian, pengunjung dapat ikut merasakan suasana

pada saat tsunami terjadi.

Dalam merencanakan jalur interpretasi, menurut Nurisyah dan Damayanti

(2006), hal-hal yang dapat dijadikan panduan dijelaskan sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data yang terkait dengan kondisi bio-fisik, sosial-budaya,

kesejarahan kawasan.

2. Menetapkan tujuan interpretasi pada jalur tersebut, yang sejalan dengan

tujuan umum dan visi kawasan.

3. Menentukan pendekatan untuk analisis sumber daya alam dan budaya

dalam kawasan sehingga didapat zona-zona yang dapat dan tidak dapat

dikembangkan jalur interpretasi di dalamnya (karena faktor keamanan

pengunjung dan sumber daya).

4. Menentukan titik-titik potensial dalam zona terpilih dan menseleksinya

dengan kriteria tertentu.

5. Menghubungkan titik-titik potensial, menentukan titik start dan stop

sehingga tercipta rute yang dibuat berdasarkan pada suatu tema.

6. Menentukan jenis media dan fasilitas penunjuang jalur interpretasi beserta

lokasi penempatannya.

7. Mengintegrasikan jalur dengan metode serta program interpretasi lainnya

dalam kawasan atau jika ada dengan sekitar kawasan.

Setelah diperoleh jalur, selanjutnya adalah mengimplementasikannya dan

mengelola jalur tersebut dalam kawasan. Untuk melihat keberhasilan jalur

tersebut sebagai media interpretasi, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi

terhadap jalur yang dapat dinilai tingkat keberhasilannya, salah satunya yaitu

dengan penilaian pengunjung.

01

73

14

04

06

11

72

71

08

09

02

05

07

12

03

15

16

7410

13

17

PETA ORIENTASI TAPAK

NAD

WILAYAH KOTAMADYA BANDA ACEH

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Lokasi penelitian dilakukan di kawasan Punge Blangcut Kecamatan Jaya

Baru yang merupakan salah satu kawasan terjadinya tsunami (Gambar 3). Dalam

perencanaan ini, kawasan wisata mengalami perluasan hingga ke daerah Ulee

Lheue, Kecamatan Meuraxa. Perluasan kawasan merupakan penambahan dari

luasan kawasan di sekitar kapal PLTD Apung yang telah disepakati oleh

Pemerintah Daerah Kota Banda Aceh, kawasan objek-objek bersejarah lainnya

dengan kawasan jalur interpretasi sejarah. Kawasan ini termasuk ke dalam

wilayah Kotamadya Banda Aceh, Provinsi NAD dan terletak di bagian barat kota

Banda Aceh.

Gambar 3. Lokasi Penelitian

SELAT MALAKA

Pelabuhan Ulee Lheue

NTS

Lokasi penelitian Rencana jalan arteri primer Jalan arteri sekunder Jalan kolektor sekunder

17

Waktu penelitian dimulai dari survei lapang sampai dengan penyusunan

laporan akhir penelitian, berlangsung selama sembilan bulan, yakni dari bulan

Februari hingga bulan November 2007 (Tabel 1).

Tabel 1. Tahapan Pelaksanaan dan Alokasi Waktu Penelitian

Kegiatan Alokasi Waktu Produk Persiapan Studi Februari 2007 Proposal Studi Pengumpulan dan Pengolahan Data Maret sampai Juli 2007 Hasil Analisis Data Perencanaan Agustus sampai minggu

pertama September 2007 Rencana lanskap

Penyusunan Pelaporan Minggu keempat September-November 2007

Laporan Hasil Studi

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi : peta lokasi, peta penyebaran penduduk,

peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh, Rencana Detil

Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Meuraxa, data iklim, peta topografi, peta tata

guna lahan, dan kuisioner.

Alat yang digunakan terdiri dari : kamera digital (Merk Casio Tipe EX-

Z50, 5 megapixel), komputer, software (Autocad, ACDSee Pro Photo Manager,

Adobe Photoshop, Corel Draw, Excel), alat-alat tulis, GPS, alat pengukur suhu

dan kelembaban, meteran.

Metode Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Metode perencanaan kawasan wisata sejarah tsunami secara arsitektural

yang digunakan adalah metode pendekatan Gold (1980). Metode perencanaan

Gold adalah tipe perencanaan yang menggabungkan pendekatan tradisional

dengan masa depan, yang menekankan pada campuran antara rencana lingkungan,

ilmu sosial, dan administrasi.

Tahapan perencanaan menurut Gold (1980), yaitu persiapan,

pengumpulan data, analisis dan sintesis, dan perencanaan lanskap. Tahapan proses

perencanaan yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 4.

18

Gambar 4. Tahapan Proses Penelitian (Modifikasi Gold, 1980)

data fisik: Batas wilayah, objek dan

alur sejarah, geologi, aksesibilitas, topografi dan

kemiringan lahan, tata guna lahan,

kondisi tanah, iklim

data sosial : sejarah pergerakan

kapal PLTD Apung, jumlah dan

kepadatan penduduk, perilaku

serta keinginan penduduk setempat

Pengumpulan Data

Persiapan

Analisis dan Sintesis

Proses

Hasil

• tujuan perencanaan • usulan penelitian • informasi sementara

Perencanaan Lanskap

potensi, kendala, amenity dan danger

signal tapak

Rencana Lanskap Wisata Sejarah Tsunami

data primer dan data sekunder, fakta, dan informasi pendukung

data teknik : RTRW

kota Banda Aceh

alternatif pengembangan tapak terpilih

tata ruang

Aktifitas wisata

Objek-objek sejarah tsunami

infrastruktur

Konsep Wisata Sejarah

Penentuan Batas Tapak

19

Tahapan Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Persiapan

Pada tahap ini dilakukan penetapan tujuan sebagai langkah awal untuk

mengarahkan suatu tindakan spesifik apa yang akan dilakukan dalam perencanaan

kawasan interpretasi sejarah tsunami. Kemudian diteruskan dengan pengumpulan

informasi mengenai program yang berhubungan dengan pariwisata, pengelolaan

dan aspek sosial lainnya, serta perizinan di berbagai instansi pemerintahan daerah.

Pengumpulan informasi sementara ini menjadi bahan dalam penyusunan usulan

penelitian.

Pengumpulan Data

Inventarisasi merupakan tahapan pengumpulan data dan semua informasi

yang berkenaan dengan kondisi tapak dan faktor-faktor di luar tapak yang

mempengaruhi perencanaan lanskap tersebut. Jenis data dapat berupa data primer

dan data sekunder. Pada Tabel 2 menjelaskan jenis data dan cara pengambilannya,

serta sumber perolehan data. Pengumpulan data dilakukan untuk menentukan

potensi wisata sejarah, kendala, amenity dan danger signal pada tapak dalam

tahap analisis. Potensi merupakan bagian terbaik dari tapak yang dapat

dimanfaatkan dalam pengembangannya sebagai kawasan wisata sejarah. Kendala

merupakan bagian tapak yang berbahaya dan menghambat dalam perencanaan,

tetapi masih dapat diperbaiki untuk dimanfaatkan. Amenity adalah bagian unik,

langka, dan indah dari suatu tapak yang memberikan kenyamanan. Danger signal

merupakan bagian tapak yang sangat berbahaya dan sulit untuk diubah tanpa

mengundang resiko dan diperlukan teknik khusus untuk dapat memperbaiki

kondisi tersebut. Danger signal dapat terjadi karena faktor alam (tsunami, gempa,

badai, abrasi) maupun akibat ketidak tahuan atau ketidak-pedulian manusia (erosi,

sedimentasi dari aliran sungai, pencemaran) (Nurisyah dan Damayanti, 2006).

Metode pengambilan data yang dilakukan adalah metode survei lapang

(berupa pengamatan langsung, dokumentasi dan wawancara) dan studi pustaka.

Survei lapang dilakukan untuk mengetahui keadaan tapak sebenarnya. Studi

pustaka dilakukan untuk mendapatkan data fasilitas standar yang diperlukan.

Studi pustaka diperoleh dari buku-buku acuan, laporan-laporan pendahuluan dan

20

bacaan lain yang berhubungan dan mendukung pelaksanaan studi. Selain itu juga

dilakukan pengumpulan data melalui penelusuran sejarah terjadinya tsunami di

kawasan Ulee Lheue.

Tabel 2. Jenis, Cara, dan Sumber Perolehan Data

Wawancara dilakukan terhadap lima orang responden yang dianggap

sebagai key person dalam menentukan objek-objek yang masih berhubungan

dengan peristiwa terjadinya tsunami, yaitu perwakilan dari Dinas Pariwisata

Provinsi NAD, Kepala kelurahan Desa Punge Blangcut sebagai perwakilan dari

tokoh masyarakat, serta pemilik lahan lokasi kapal PLTD Apung dan masyarakat

sekitar yang menyaksikan sendiri masuknya kapal PLTD Apung ke daerah

pemukiman sebagai perwakilan dari masyarakat setempat. Dari tahap wawancara

ini dapat diketahui kondisi tapak sebelum dan setelah tsunami, keinginan dan

kebutuhan tipe informasi fasilitas interpretasi, serta harapan dari masyarakat

setempat terhadap pembangunan kawasan wisata sejarah di daerah tersebut

(Lampiran 1). Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada para responden, yaitu

Aspek Jenis Data Cara Pengambilan Data Sumber

Fisik 1. Letak, luas, dan status 2. Geologi, tanah &

topografi. 3. Iklim 4. Tata guna lahan 5. Objek dan atraksi

wisata sejarah

Pustaka dan wawancara Pustaka Pustaka Pustaka dan pengamatan

Pustaka dan pengamatan

Bappeda Kotamadya Banda Aceh. Bappeda Kotamadya Banda Aceh, Dinas Tata Kota Banda Aceh. Sta. Klimatologi Banda Aceh. Bappeda Kotamadya Banda Aceh, Dinas Tata Kota Banda Aceh, BRR, dan Lapang. Dinas Kebudayaan Provinsi NAD.

Sosial 1. Data Penduduk 2. Persepsi, tujuan,

aktifitas yang diinginkan masyarakat

2. Perilaku pengunjung

Pustaka Wawancara dengan penduduk Pengamatan

Bappeda Kotamadya Banda Aceh, BRR. Kuisioner Kuisioner

Teknik RTRW kota Banda Aceh

Pustaka

Kantor Pemda NAD

21

mengenai pendapat masyarakat terhadap rencana pembangunan kawasan wisata

bersejarah di kawasan Ulee Lheue, jenis kegiatan atau aktifitas yang dapat

dilakukan, ketersediaan fasilitas wisata, atraksi wisata yang tersedia, serta

preferensi masyarakat dan pengunjung terhadap pengembangan areal kapal PLTD

Apung sebagai kawasan wisata sejarah tunami.

Analisis dan Sintesis

Berdasarkan data yang dikumpulkan, dilakukan analisis terhadap tapak

untuk menentukan potensi dan kendala amenity serta danger signal pada tapak.

Dari data dan informasi yang diperoleh, dilakukan analisis secara deskriptif dalam

bentuk tabular dan data spasial.

Beberapa komponen dari data fisik dan data teknik akan dianalisis secara

deskriptif dalam bentuk tabular dan spasial. Data teknik yang dianalisis yaitu

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Bagian Wilayah Kota (BWK).

Komponen data fisik yang dianalisis, yaitu batas dan luas kawasan perencanaan,

aksesibilitas (sistem sirkulasi dan transportasi), tata guna lahan, biofisik yaitu

topografi dan kemiringan lahan, kondisi tanah, iklim (suhu udara, curah hujan dan

kecepatan dan arah angin, kelembaban udara dan persentase penyinaran matahari).

Untuk data sosial budaya akan dianalisis secara deskriptif.

Setelah meng-overlay seluruh data dan informasi, kemudian akan

dilanjutkan dengan tahap sintesis. Pada tahap ini akan diperoleh alternatif terpilih

pengembangan potensi dan pemecahan masalah untuk mendapatkan hasil yang

sesuai dengan tujuan perencanaan tapak tersebut. Hasil dari sintesis berupa

alternatif terpilih untuk menentukan konsep yang kemudian akan dijadikan acuan

dalam rencana pengembangan pembagian ruang dengan mempertimbangkan

aspek sosial-budaya masyarakat setempat, nilai sejarah tapak, dan aspek biofisik

tapak, sehingga diharapkan fungsi wisata dapat berjalan dan nilai sejarahnya tetap

lestari.

22

Perencanaan Lanskap

Merupakan tahapan untuk menentukan pengembangan yang akan

dilakukan dalam menata ruang dan fasilitas melalui penelusuran sejarah tsunami.

Pra-perencanaan ini disajikan dalam bentuk rencana tata ruang dengan pembagian

ruang dan letak fasilitas berdasarkan kesesuaian lahan yang mendukung kegiatan

wisata dan interpretasi sejarah. Rencana pengembangan areal kapal PLTD Apung

sebagai kawasan wisata sejarah tsunami akan diterjemahkan kedalam bentuk

rencana lanskap (landscape plan).

KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN

Wilayah Kota Banda Aceh Kota Banda Aceh yang merupakan ibukota dari Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD), terletak di pantai utara Pulau Sumatera pada 05º30’-

05º35’LU dan 95º30’-99º16’BT. Kota Banda Aceh berada pada ketinggian rata-

rata 0,80 m diatas permukaan laut (dpl). Kawasan ini rawan terhadap banjir

khususnya apabila terjadi secara bersamaan banjir kiriman dari perbukitan di

Kabupaten Aceh Besar, pasang air laut, dan hujan yang lebat di Banda Aceh.

Luas wilayah kota Banda Aceh adalah 61,359 Km2 yang terbagi atas 9

kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 89 desa (Bappeda Kota Banda Aceh,

2006). Adapun batas-batas wilayah kota Banda Aceh (Gambar 5) adalah sebagai

berikut :

Utara : Selat Malaka

Selatan : Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya, Kab. Aceh Besar

Barat : Kecamatan Peukan Bada dan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar

Timur : Kecamatan Kuta Baru dan Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh

Besar.

Luas dan persentase wilayah kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas dan Persentase Wilayah Kecamatan di Kota Banda Aceh

No. Kecamatan Luasan Wilayah (Km2) Persentase (%)

1. Meuraxa 7,258 11,83

2. Baiturrahman 477.8 7,40

3. Kuta Alam 442.4 16,37

4. Ulee Kareng 934.1 10,02

5. Jaya Baru 365.4 6,16

6. Banda Raya 464.6 7,80

7. Leung Bata 895.0 8,70

8. Syiah Kuala 1414.9 23,21

9. Kuta Raja 587.2 8,49

Total 61,359 100,00

Sumber : Revisi RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2006-2016

24

Gambar 5. Batas Wilayah dan Kecamatan di Kota Banda

Aceh

25

Secara geologis, Pulau Sumatera dilalui oleh patahan aktif yang

memanjang dari Banda Aceh di utara hingga Lampung di selatan, yang dikenal

sebagai Sesar Semangko (Semangko Fault) (Gambar 6). Patahan ini bergeser

sekitar 11 cm/tahun. Oleh karenanya, daerah yang terlintasi patahan ini rentan

terhadap gempa dan longsor. Kota Banda Aceh terletak diantara dua patahan

(sebelah timur – utara dan sebelah barat – selatan kota) atau berada pada

pertemuan Plate Euroasia dan Australia berjarak ± 130 km dari garis pantai barat

sehingga daerah ini sangat rawan terhadap bahaya tsunami.

Gambar 6. Patahan Semangko (Sumber : Bappeda Kota Banda Aceh, 2006)

Berdasarkan keterangan tersebut, daerah Ulee Lheue merupakan salah satu

daerah yang mengalami kerusakan paling parah di kota Banda Aceh. Pada saat

terjadinya bencana tsunami, ketinggian air di daerah ini mencapai 20 m. Selain

letaknya yang berada di daerah patahan aktif, kerusakan juga dikarenakan

Ruas-ruas Patahan Semangko

Kota Banda Aceh

26

jaraknya yang tidak terlalu jauh dari laut. Dengan demikian, pembangunan di

daerah ini harus berada pada fungsi-fungsi ruang kota dalam wujud zonasi

berdasarkan tingkat potensi kerusakan, serta dilengkapi dengan berbagai sarana

dan prasarana perlindungan terhadap bencana gempa dan tsunami.

Kawasan Bencana Tsunami Bencana alam gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004

menyebabkan kerusakan di berbagai kecamatan di Kota Banda Aceh. Dari 9

kecamatan ada 6 kecamatan yang mengalami kehancuran baik hancur total, rusak

berat, rusak sedang dan ringan. Kecamatan yang mengalami kerusakan yaitu

Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Kuta Raja, Kuta Alam, Baiturahman dan Syiah

Kuala. Dilihat dari tingkat kerusakan, wilayah kota Banda Aceh dan sekitarnya

dibagi menjadi tiga bagian wilayah kerusakan (Gambar 7), yaitu:

1. bagian wilayah kota A yang mengalami rusak total

2. bagian wilayah kota B yang mengalami rusak struktur bangunan, dan

3. bagian wilayah kota C yang mengalami rusak ringan.

Gelombang tsunami menyebabkan sekitar 70% dari wilayah kota terendam

air dan kerusakan fisik mencapai 60%, bahkan Kecamatan Meuraxa mengalami

kerusakan mencapai 100%. Untuk Kecamatan Jaya Baru mengalami kerusakan

sekitar 92% dari luas wilayahnya 378 Ha.

Sesuai dengan strategi pengembangan Kota Banda Aceh RTRW 2010

yang memadukan antara pengembangan multi-center dan linear-growth, maka

struktur pusat pelayanan kegiatan kota mengalami perubahan seperti yang tertera

pada Gambar 8. Pengertian dari multi-center adalah memberikan fungsi tertentu

pada titik-titik tumbuh (pusat pelayanan). Sedangkan linear growth adalah

memberikan dan meningkatkan kondisi/fungsi jaringan atau prasarana transportasi

pada daerah yang dikembangkan.

27

Gambar 7. Peta Tingkat Kerusakan Akibat Tsunami di Tiap Kecamatan di Kota

Banda Aceh

(Sumber : RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016)

Sebelum bencana tsunami melanda Aceh, Kecamatan Jaya Baru termasuk

dalam salah satu sub pusat Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan di Kota Banda

Aceh, yaitu sub pusat Ulee Lheue. Lokasi sub pusat Ulee Lheue yang berbatasan

langsung dengan Selat Malaka menyebabkan kawasan ini hancur di seluruh

wilayahnya. Untuk mengantisipasi kerusakan yang lebih tinggi lagi, sub pusat

Ulee Lheue mengalami pergeseran peran pusat-pusat pelayanan ke kawasan

bagian selatan Kota Banda Aceh. Hal ini dikarenakan kawasan selatan kota

(kawasan prioritas) memiliki daya tarik yang kuat bagi pengembangan kota di

masa datang karena kawasan ini mempunyai ”keunggulan” dibanding kawasan

lainnya, antara lain :

1. Kawasan ini terbebas dari bencana tsunami, sehingga secara psikologis

masyarakat yang menghuni kawasan ini merasa lebih aman.

A B

C

28

Sebelum tsunami

Gambar 8. Skema Struktur Pusat Pelayanan Kegiatan Kota Banda Aceh

(Sumber : Bappeda Kota Banda Aceh, 2006)

2. Masih tersedianya lahan yang cukup bagi pengembangan permukiman dan

fasilitas umum kota.

3. Tersedianya akses yang cukup baik yakni dengan keberadaan jalan arteri

primer (Jalan Elak/Jl. Soekarno-Hatta) dan jalan tembus baru dari

Simpang Surabaya ke Jalan Elak.

Dengan adanya perubahan sub pusat pelayanan di kota Banda Aceh, maka

berdasarkan hasil analisis, pengembangan di kawasan kapal PLTD Apung lebih

mengarah kepada upaya mengantisipasi dampak bencana tsunami. Pembangunan

dilakukan berdasarkan potensi yang ada pada tapak dan menyesuaikan dengan

kesesuaian lahan.

Setelah tsunami

DATA DAN ANALISIS

Bencana tsunami dan gempa bumi yang terjadi di Kota Banda Aceh pada

tanggal 26 Desember 2004 meninggalkan banyak peninggalan yang dapat

dijadikan sebagai obyek dan daya tarik wisata sejarah yang potensial. Obyek-

obyek tersebut jika ditata dapat dijadikan salah satu daya tarik sebagai kawasan

pariwisata yang dapat mengingat dan mengenang peristiwa dan dampak dari

bencana tsunami.

Kawasan wisata tsunami diarahkan di kawasan Ulee Lheue, daerah ini

merupakan daerah yang hancur parah akibat bencana tersebut. Kawasan kapal

PLTD Apung yang menjadi artifak utama pada tapak dalam kegiatan perencanaan

ini, merupakan bagian dari wilayah kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Jaya

Baru yang awalnya merupakan pemekaran wilayah Kecamatan Meuraxa.

Kondisi Tapak sebelum Tsunami Dari segi penggunaan lahan sebelum kejadian tsunami, kawasan

Kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru merupakan kawasan pantai yang sebagian

besar wilayahnya berupa kawasan pertambakan. Dalam beberapa tahun terakhir

sebelum terjadinya tsunami, kawasan ini dijadikan sebagai permukiman, pusat

pelayanan jasa, tambak dan kawasan hutan lindung mangrove. Namun setelah

terjadinya tsunami, sebagian besar mangrove di daerah ini hilang (Gambar 9).

Kejadian Saat Tsunami Untuk mendapatkan gambaran terjadinya tsunami pada tanggal 26

Desember 2004 yang lalu, dilakukan wawancara terhadap lima orang narasumber

dari pemerintah, tokoh masyarakat, pemilik rumah, serta dua orang masyarakat

yang pada saat itu berada di tempat kejadian. Berdasarkan hasil wawancara, dapat

diketahui bahwa pada saat terjadinya gempa bumi pada tanggal 26 Desember

2004 pukul 08.00 WIB, sebagian besar masyarakat berada di dalam rumah.

30

Gambar 9. Kondisi Peruntukan Lahan di Kawasan Ulee Lheue Setelah Bencana Tsunami

(a) Kawasan Permukiman

(d) Hutan Mangrove yang Hilang Akibat Tsunami

(c) Kawasan Tambak

(b) Kawasan Pelabuhan Pasca Tsunami

a

b

c

d

Peta orientasi

Selat Malaka

Deah Glumpang

Lambung

Blang Oi

Punge Ujong

Punge Blangcut

Gampong Baro

Cot Lamkuweuh

Ulee Lheue

0 68 204 m

Zona awal kapal Zona pergerakan kapal Zona akhir kapal

31

Gempa tektonik berkekuatan 8.9 skala Richter tersebut menyebabkan beberapa

bangunan rumah runtuh. Selain itu, gempa bumi ini juga menimbulkan gelombang

tsunami. Gelombang besar ini bergerak dari Selat Malaka dan perairan Ulee

Lheue menuju daratan dengan kecepatan tinggi melalui permukaan dan bagian

dalam tanah. Sebagian besar benda-benda dan bangunan yang dilalui gelombang

ini hancur. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang tidak sempat melarikan diri

juga menjadi korban.

Kapal PLTD Apung yang semula berada di Pelabuhan Ulee Lheue terbawa

oleh ombak dan arus air laut hingga akhirnya terdampar di kawasan pemukiman

penduduk di daerah Punge Blangcut Kecamatan Jaya Baru, sekitar 4 km dari

posisi awal (Gambar 10). Kapal ini terbawa arus dan ombak air laut dari dua arah,

yakni dari arah Ulee Lheue dan dari arah Peunayong (utara Kota Banda Aceh).

Beberapa desa yang dilewati kapal PLTD Apung, yaitu Desa Deah Glumpang,

Lambung, Blang Oi, Punge Jurong, dan Punge Blangcut.

Pada saat kapal terbawa gelombang tsunami dari arah Ulee Lheue, kapal

berjalan lurus ke arah kota. Namun gelombang tsunami dari arah Peunayong

menyebabkan kapal berubah arah dan sempat berputar-putar di atas atap rumah-

rumah penduduk. Umumnya, rumah penduduk yang dilalui kapal tersebut rusak

parah akibat hantaman badan kapal dan jangkar kapal yang pada saat itu masih

dalam kondisi berlabuh di perairan Ulee Lheue. Akibatnya, jangkar kapal

menarik bangunan dan benda lain yang dilaluinya.

Pada saat terjadinya tsunami, kapal ini sempat menyelamatkan banyak

orang. Namun, satu hal yang sulit difahami adalah selama perjalanannya, kapal ini

tidak menabrak mesjid yang terdapat dalam jalur pelayarannya, yaitu mesjid

Subulussalam. Menurut narasumber, jalur kapal PLTD Apung seolah-olah ada

yang membelokkan, sehingga tidak menabrak mesjid. Diperkirakan dikarenakan

adanya gelombang air laut yang membelokkan kapal tersebut. Letak mesjid ini

tidak jauh dari posisi kapal saat ini. Kondisi mesjid ini sendiri telah mengalami

pemugaran kembali dan masih digunakan oleh masyarakat setempat sebagai

tempat beribadah.

32

Gambar 10. Jalur Masuk Kapal PLTD Apung ke

Daratan

33

Pada saat air laut surut, kapal PLTD Apung ini akhirnya mendarat di atas

sebuah rumah dan menimpa seluruh bangunan rumah. Dengan kebijakan Pemda

Kota Banda Aceh, kapal dengan bobot ribuan ton ini akhirnya dijadikan sebagai

salah satu bukti sejarah tsunami di Kota Banda Aceh. Para korban tsunami di

daerah ini kemudian dimakamkan di Kuburan Massal yang dijadikan sebagai

sebuah Monumen Syuhada atau yang lebih dikenal Taman Syuhada.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, dapat diketahui sejarah

terjadinya tsunami tersebut, serta bagaimana kapal PLTD Apung sampai ke

posisinya saat ini (Gambar 11). Kapal ini perlu dilestarikan untuk menjaga

peninggalan sejarah dan edukasi yang bernilai tinggi bila dikembangkan.

Disamping itu juga dapat mendukung perekonomian daerah tersebut sebagai

kawasan tujuan wisata.

Untuk menentukan batas kawasan yang akan direncanakan, ditentukan

berdasarkan luas lahan dalam Pembebasan Tanah Tahap 1 yang dilakukan oleh

pemerintah kota Banda Aceh sebagai kawasan sejarah. Untuk kawasan

kepariwisataan, areal diperluas ke area yang masih ada kaitannya dengan kejadian

pada saat tsunami terjadi, yaitu berdasarkan jalur pergerakan kapal (Gambar 12).

Adapun batas-batas kawasan perencanaan yaitu :

Utara : berbatasan dengan Selat Malaka, dan Kecamatan Kuta Raja.

Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Jaya Baru

Timur : berbatasan dengan Kecamatan Baiturrahman dan Krueng Doy

Barat : berbatasan dengan Selat Malaka

Berdasarkan cerita yang diperoleh mengenai sejarah pergerakan kapal

PLTD Apung mulai dari posisinya awal kapal yang berada di Perairan Ulee Lheue

hingga menuju ke kawasan pemukiman (kejadian saat tsunami), maka dapat

diketahui beberapa obyek bersejarah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai

obyek wisata sejarah (Tabel 3).

34

Gambar 11. Foto Udara yang Menggambarkan

Lokasi Kapal PLTD Apung Pasca Tsunami

35

Gambar 12. Batas Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah

Tsunami

36

Tabel 3. Obyek Wisata Sejarah yang Diusulkan berdasarkan Urutan Kejadian Pergerakan Kapal PLTD Apung

Berdasarkan data pada Tabel 3, terlihat bahwa kondisi di beberapa lokasi

obyek wisata masih minim akan aktivitas dan fasilitas yang terbatas. Keadaan ini

dipengaruhi oleh belum adanya upaya penataan dan pengelolaan kawasan wisata

tsunami secara terkoordinir. Selain itu, perhatian pemerintah setempat lebih

terfokus pada pembenahan fasilitas umum yang rusak akibat bencana gempa dan

tsunami.

Kondisi Fisik Tapak Setelah Tsunami Setelah terjadinya tsunami, kondisi di sekitar Ulee Lheue mengalami rusak

parah. Beberapa wilayah di kecamatan ini sebagian hilang karena tenggelam air

laut. Pola pemanfaatan ruang yang akan dikembangkan pada tapak lebih

mengarah kepada pengembangan fisik ke arah daratan, tetapi karakteristik

kawasan sebagai kota tepi pantai juga akan tetap dipertahankan sesuai dengan

kondisi geografisnya.

Saat ini, kondisi di sekitar kawasan kapal PLTD Apung mengalami

perbaikan. Sebagian besar penduduk yang selamat kembali membangun dan

Eksisting No. Lokasi Pembagian

Zona

Obyek Wisata

Aktivitas Fasilitas

1. Desa Ulee Lheue

Posisi awal kapal

Perairan Ulee Lheue

sightseeing -

2. Desa Lambung Pergerakan kapal

Desa Percontohan Pasca Tsunami

Pengamatan, penelitian

Sirene tower (Sea Defence Study), jalan

3. Desa Punge Ujong

Pergerakan kapal

Rumah Tsunami sightseeing -

4. Desa Punge Blangcut

Posisi akhir kapal

Mesjid Subulussalam

beribadah Toilet

5. Desa Punge Blangcut

Posisi akhir kapal

Kapal PLTD Apung

Sightseeing, foto hunting

Parkiran, guide

6. Desa Ulee Lheue

Di luar jalur interpretasi

Monumen Syuhada

Sightseeing, berjalan-jalan, berdoa

sign board, trackking

7. Desa Ulee Lheue

Di luar jalur interpretasi

Mesjid Baiturrahim

Sightseeing, foto hunting

Toilet, parkiran

37

memperbaiki rumah yang rusak. Selain itu, pihak BRR dan berbagai LSM lainnya

juga turut membantu rekonstruksi dan rehabilitasi di daerah tersebut (Gambar 13).

Gambar 13. Kondisi Rumah di Sekitar Tapak Pasca Tsunami

Dalam perencanaan kawasan wisata sejarah tsunami, keberadaan

pemukiman yang terlalu padat dan lokasinya yang terlalu berdekatan dengan

obyek bersejarah dapat mengganggu upaya pelestariannya. Hal ini berkaitan

dengan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat seperti penjualan ikan

di samping kapal PLTD Apung. Pemukiman yang jaraknya terlalu dekat dengan

obyek wisata disarankan untuk dipindahkan ke area lain yang memungkinkan

untuk pembangunan pemukiman. Sedangkan beberapa rumah yang rusak akibat

tsunami tetap dipertahankan sebagai bagian dari bukti sejarah tsunami.

(a) Rumah Penduduk yang Mulai Dibangun Kembali

(b) Kondisi Rumah Penduduk yang Dipertahankan sebagai Obyek Sejarah

Kawasan Permukiman

(c) Salah Satu Rumah Bantuan dari LSM Kawasan Permukiman

38

Masuknya kapal PLTD Apung akibat gelombang tsunami ke daerah

pemukiman padat di daerah ini merupakan salah satu sejarah fisik dan sosial yang

penting untuk diingat oleh seluruh bangsa sehingga perlu untuk dilestarikan. Hal

ini dimaksudkan untuk memberikan suatu makna simbolis bagi peristiwa

terjadinya tsunami yang hebat dan menghancurkan tersebut.

Untuk merealisasikannya, direncanakan akan dibangun suatu kawasan

wisata sejarah tsunami. Dalam kawasan ini juga direncanakan jalur dan media

interpretasi sejarah untuk memudahkan pengunjung mengerti dan memahami

mengenai sejarah terjadinya tsunami sehingga pengunjung menyadari akan

bahaya yang ditimbulkan dari bencana ini, serta ikut menjaga dan melestarikan

obyek-obyek bersejarah tersebut.

Potensi Wisata Sejarah Tsunami Batas dan Luas Kawasan Perencanaan

Secara geografis, lokasi PLTD Apung terletak antara 5º32’30”-

5º34’40”LU dan 95º16’35”- 95º19’18”BT. Berbeda dengan luasan yang

direncanakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) kota Kota Banda Aceh dalam

RTRW 2006-2016 yaitu sekitar 18,162 Ha atau 0,296 % dari luas Kota Banda

Aceh. Luas tapak yaitu sekitar 219,37 Ha, dengan asumsi bahwa kawasan wisata

diperluas sesuai dengan kesepakatan antara Pemda Kota Banda Aceh dengan

masyarakat. Berdasarkan luasan tersebut, maka luas kawasan yang direncanakan

oleh pemerintah perlu diperluas. Jaraknya yang tidak telalu jauh dari pusat kota

Banda Aceh, memudahkan pengunjung untuk datang ke daerah ini.

Secara administratif, lokasi kapal PLTD Apung berada di desa Punge

Blang Cut Kecamatan Jaya Baru dan sebagian kawasan lainnya termasuk

Kecamatan Meuraxa, Kotamadya Banda Aceh. Daerah ini termasuk wilayah

perkotaan yang diapit oleh beberapa desa, diantaranya Gampong Baro, Punge

Ujong, Punge Jurong dan Sukaramai dari kecamatan Baiturrahman. Lokasi kapal

juga dekat dengan jalan arteri dan pusat kota. Hal ini merupakan potensi dalam

mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan wisata.

39

Sebagai salah satu calon daerah tujuan wisata tsunami di kota Banda Aceh,

kondisi di sekitar kapal PLTD Apung masih sangat minim dari kenyamanan

berwisata dan fasilitas masih kurang memadai (Gambar 14). Saat ini, obyek

wisata yang telah terencana dengan baik hanya Monumen Syuhada dan Mesjid

Baiturrahim. Sebagian obyek wisata yang lainnya hanya berupa obyek bersejarah

tanpa adanya penataan kawasan wisata yang terencana dan tertata dengan baik.

Kondisi ini dapat ditingkatkan dengan mendata dan mengurutkan rangkaian

obyek-obyek bersejarah yang berpotensi untuk dikembangkan dan mengadakan

atraksi-atraksi wisata yang masih berhubungan dengan tsunami .

Sebagian besar area kapal berupa lahan kosong dan beberapa ditanami

rumput liar dan tanaman rawa, seperti dari jenis Thypa. Bahkan di beberapa

lokasi, masyarakat setempat membuang sampah di lokasi kapal. Pembuangan

sampah tidak pada tempatnya mengurangi keindahan di sekitar kapal PLTD

Apung. Oleh karena itu, tempat pembuangan sampah ini harus dipindahkan, dan

disediakan tempat pembuangan yang tidak terlalu dekat dengan kapal, sebagai

obyek wisata, dan tidak mengurangi keindahan tapak.

Selain membuang sampah sembarangan, di lokasi kapal PLTD Apung juga

dijumpai penjual yang menggelar barang dagangannya, yaitu berbagai jenis ikan.

Bau tidak sedap yang ditimbulkan dari penjualan ikan tersebut mengganggu

pengunjung. Kondisi ini menurunkan citra kapal PLTD Apung sebagai salah satu

obyek sejarah tsunami dan dapat menurunkan jumlah pengunjung yang datang ke

lokasi wisata ini. Menghadapi masalah seperti ini, perlu adanya penempatan atau

lokalisasi penjualan ikan, sehingga tidak mengganggu upaya pelestarian obyek

bersejarah. Selain itu juga diperlukan peraturan yang tegas mengenai larangan

berjualan di tempat yang tidak semestinya.

40

Gambar 14. Kondisi Tapak di Sekitar Kapal PLTD Apung

(a) Pemandangan yang tidak mengenakkan akibat adanya pembuangan sampah di sekitar

kapal

(b) Penjual Ikan Menggelar Dagangannya Dipinggir Kapal PLTD Apung

(c) Rumah Penduduk terlalu dekat dengan kapal

(d) Tanaman alang-alang mendominasi tapak memberi kesan tapak tampak tidak

terurus

Peta orientasi

Selat Malaka

Deah Glumpang

Lambung

Blang Oi

Punge Ujong

Punge Blangcut

Gampong Baro

Cot Lamkuweuh

Ulee Lheue

0 68 204 m

Zona awal kapal Zona pergerakan kapal Zona akhir kapal

a bd

c

41

Obyek-Obyek Wisata Sejarah Tsunami

Perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami di Aceh

lebih dipusatkan di daerah Ulee Lheue. Beberapa titik-titik obyek interpretasi

berdasarkan urutan kesejarahannya merupakan obyek wisata utama sejarah

tsunami.

Obyek Wisata Utama

Obyek wisata utama merupakan obyek-obyek wisata sejarah yang masih

berkaitan dengan jalur masuknya kapal PLTD Apung ke daratan. Beberapa obyek

wisata sejarah tsunami yang dapat ditemui di sepanjang jalur interpretasi, yaitu:

1. Perairan Ulee Lheue

Perairan Ulee Lheue (Gambar 15), merupakan kawasan yang berada di

lingkungan pelabuhan Ulee Lheue, pelabuhan antar samudera di kota Banda

Aceh. Daerah ini juga merupakan lokasi awal kapal PLTD Apung sebelum

terjadinya tsunami. Dalam perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi

sejarah tsunami ini, kawasan ini merupakan titik awal dari jalur interpretasi

sejarah tsunami.

Gambar 15. Perairan Ulee Lheue

2. Desa Lambung

Diantara beberapa desa yang dilalui oleh kapal PLTD Apung, Desa

Lambung (Gambar 16) terpilih sebagai desa yang mewakili desa-desa lainnya

42

sebagai desa yang mengalami kerusakan terparah. Kondisi Desa Lambung

pasca tsunami sangat berbeda dengan saat sebelum tsunami terjadi. Desa ini

awalnya merupakan desa yang ramai penduduk. Pasca tsunami, di desa ini

tidak ada satu pun bangunan yang masih utuh. Oleh karena itu, desa Lambung

dapat dijadikan salah satu media obyek interpretasi yang mampu

merefleksikan kondisi dan suasana desa pasca bencana tsunami.

Gambar 16. Desa Lambung

3. Rumah Tsunami

Rumah ini (Gambar 17) terdapat di Desa Punge Ujong. Obyek wisata ini

merupakan salah satu rumah yang masih tersisa dan masih dapat diperbaiki

walaupun mengalami beberapa kerusakan akibat benturan-benturan kapal.

Rumah ini tetap dipertahankan mengingat rumah ini merupakan bukti bahwa

kapal PLTD Apung tidak menghancurkan rumah tersebut. Jaraknya yang tidak

terlalu jauh dari jalan Sultan Iskandar Muda memudahkan pengunjung untuk

mendatangi lokasi ini atau hanya sekedar melihatnya dari jalan.

4. Mesjid Subulussalam

Setelah melewati rumah-rumah penduduk, kapal bergerak ke selatan kota

menuju Mesjid Subulussalam (Gambar 18) akibat hempasan gelombang

tsunami yang datang dari arah Peunayong. Seperti yang telah dijelaskan, kapal

43

tidak menabrak mesjid tersebut, tetapi sempat berputar-putar, kemudian

bergerak ke selatan kota dan akhirnya berhenti di atas rumah salah satu warga

Punge Blangcut. Saat ini mesjid telah mengalami perbaikan dan dapat

dimanfaatkan sebagai salah satu fasilitas peribadatan dalam kawasan wisata.

Gambar 17. Rumah Tsunami

Gambar 18. Mesjid Subulussalam

44

5. Kapal PLTD Apung

Kapal PLTD Apung (Gambar 19) merupakan obyek wisata utama dalam

perencanaan ini. Hal ini dikarenakan kapal ini telah berpindah lokasinya dari

Pelabuhan Ulee Lheue hingga sampai di kawasan pemukiman padat di

kelurahan Punge Blangcut akibat tsunami. Dalam perjalananya, kapal ini juga

sempat menyelamatkan beberapa orang. Akibat bobotnya yang berton-ton,

maka kapal ini tetap dibiarkan ditempatnya dan dijadikan sebagai salah satu

monumen bersejarah di Aceh. Peristiwa ini menunjukkan betapa dasyatnya

bencana tsunami yang terjadi di Aceh.

Gambar 19. Kapal PLTD Apung

6. Monumen Syuhada atau Taman Syuhada

Monumen Syuhada (Gambar 20) merupakan kuburan massal bagi para

korban bencana gempa bumi dan tsunami di kawasan Ulee Lheue pada tanggal

26 Desember 2004. Pekuburan ini dinamakan Monumen Syuhada atau Taman

Syuhada dengan berdasarkan pada ajaran agama Islam bahwa para korban

yang meninggal dalam kondisi bencana alam merupakan para syuhada dan

tidak wajib untuk dimandikan sebelum dimakamkan.

Monumen Syuhada berada di Jalan Sultan Iskandar Muda. Letaknya yang

berada di pinggir jalan memudahkan pengunjung untuk mengakses lokasi ini.

Saat ini, obyek wisata pendukung ini sudah tertata dengan baik. Kekurangan

45

dari penataannya adalah tidak tersedianya area parkir, sehingga banyak

pengunjung yang membawa kendaraan pribadinya memarkirkan kendaraannya

di pinggir jalan. Keadaan ini dapat menyebabkan kemacetan, terutama pada

hari peringatan Tsunami 26 Desember setiap tahunnya, dan hari-hari besar

Agama Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Gambar 20. Monumen Syuhada

7. Mesjid Baiturrahim

Selain Monumen Syuhada yang berada di luar jalur pergerakan kapal

PLTD Apung, begitu juga halnya dengan Mesjid Baiturrahim (Gambar 21)

merupakan salah satu dari beberapa mesjid di Kota Banda Aceh yang berada

di pesisir pantai. Pada saat bencana tsunami terjadi, mesjid Baiturrahim tidak

mengalami kerusakan yang berarti dan menjadi salah satu tempat berlindung

masyarakat sekitarnya. Pasca tsunami, korban yang selamat berkumpul di

mesjid ini dan pemberian bantuan dilakukan di tempat ini. Selain itu korban

tsunami yang meninggal juga dikumpulkan di mesjid ini untuk kemudian

dikebumikan di lokasi Monumen Syuhada.

Selamatnya bangunan mesjid dari gelombang tsunami merupakan suatu

keajaiban dimana semua bangunan yang berada disekitarnya hancur dan yang

46

tersisa hanyalah pondasi bangunan itu sendiri. Keberadaan mesjid ini

merupakan salah satu bukti kekuasaan Allah SWT yang patut direnungkan.

Walaupun letaknya yang berada di luar jalur interpretasi wisata,

keberadaannya Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim mendukung

keberadaan tapak sebagai kawasan wisata sejarah tsunami. Dengan demikian,

obyek Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim dapat menjadi salah satu

obyek wisata alternatif.

Gambar 21. Mesjid Baiturrahim

Obyek Wisata Pendukung

Selain terdapat beberapa obyek wisata utama, di kawasan Ulee Lheue juga

terdapat obyek wisata sejarah tsunami pendukung. Obyek wisata pendukung ini

masih berkaitan dengan peristiwa bencana tsunami. Beberapa obyek pendukung

wisata sejarah, yaitu :

1. Tsunami Interpreting Outdoor Playground

Tsunami Interpreting Outdoor Playground merupakan tempat untuk

memberikan pengetahuan dan pembelajaran kepada anak-anak mengenai

tsunami, mulai dari tanda-tanda akan adanya tsunami hingga cara-cara

penyelamatan diri yang dapat dilakukan apabila bencana tersebut terulang

kembali.

47

2. Museum Tsunami

Museum ini merupakan museum yang menyimpan berbagai hal yang

berkaitan dengan tsunami dan sejarah terjadinya tsunami di Aceh dan di

beberapa negara di dunia yang pernah dilanda bencana tsunami. Keberadaan

museum ini diharapkan dapat menjadi salah satu pusat informasi dan ilmu

pengetahuan bagi pengunjung yang ingin mengetahui segala sesuatu mengenai

tsunami dan cara-cara penyelamatan dari bencana tsunami.

3. Sirene Tower

Bangunan Sirene Tower adalah menara yang dibangun untuk memberikan

informasi mengenai tanda-tanda gelombang pasang dan terjadinya tsunami

bagi masyarakat di Kota banda Aceh umumnya dan masyarakat di pesisir

pantai Ulee Lheue khususnya. Dengan demikian, masyarakat dapat

menyelamatkan diri.

4. Refuge Building Inventory

Merupakan salah fasilitas yang diperuntukkan bagi penyelamatan pertama

dalam menghadapi korban bencana tsunami.

5. Amphitheater

Amphitheater lebih difungsikan sebagai sarana pementasan atraksi wisata

seperti tarian-tarian tradisional Aceh maupun opera mengenai tsunami.

6. Coastal Forest

Merupakan formasi tanaman pantai seperti bakau, pohon sagu, dan pohon

kelapa yang memiliki kemampuan alamiah untuk mereduksi gelombang

tsunami. Coastal forest merupakan solusi dari kelemahan penggunaan struktur

buatan seawell dan breakwater.

Aksesibilitas

Kawasan PLTD Apung memiliki aksesibilitas yang cukup baik dan mudah

dicapai dengan sistem jaringan sirkulasi yang baik. Jarak antara lokasi

perencanaan ke pusat kota Banda Aceh sekitar 2 km dan jarak ke pelabuhan Ulee

Lheue sekitar 4 km (Gambar 22).

Berdasarkan Gambar 22, untuk menuju ke lokasi tapak dapat melalui

beberapa jalan alternatif utama yaitu melalui Jalan Iskandar Muda (dari pusat

kota Banda Aceh), dari arah pusat kota melalui Jalan Rama Setia, dari arah

48

Lamteumen, dan dari arah Pantai Lhok Nga. Untuk aksesibilitas dari arah Pantai

Lhok Nga dapat menempuh Jalan Lhok Nga yang merupakan jalur lingkar luar

Kota Banda Aceh, atau dapat juga melalui Jalan Teuku Umar, kemudian menuju

jalan Sultan Iskandar Muda.

Kondisi jalan dari keempat akses yang dapat dilalui secara umum rusak,

berbatu, berdebu dan berlubang. Kondisi ini sangat mengganggu pernafasan bagi

para pengendara kendaraan, terutama kendaraan beroda dua dan beroda tiga

(becak motor). Perbaikan jalan sangat dibutuhkan guna memperlancar kegiatan

berwisata.

Gambar 22. Diagram Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung

Berdasarkan berbagai alternatif aksesibilitas menuju kawasan kapal PLTD

Apung pada Gambar 22, akses dari arah Jl. Rama Setia menjadi akses yang paling

dekat dari pusat kota Banda Aceh dan merupakan interpretasi dari jalur sejarah

masuknya kapal PLTD Apung ke daratan akibat tsunami. Selain melalui Jl. Rama

Keterangan :

Akses masuk

Jalan alternatif

Lhok Nga

Pusat Kota melalui Jl. Sultan Iskandar Muda

Pusat Kota melalui Jl. Rama Setia

Dari Arah Lamteumen

Tapak

± 30 menit

± 10 menit

± 50 menit

± 15 menit ± 10 menit

± 90 menit

± 15 menit

± 40 menit

49

Setia, akses menuju tapak juga dapat ditempuh melalui baberapa jalan alternatif

dari berbagai wilayah di Kotamadya Banda Aceh. Untuk memudahkan

pengunjung memahami jalur sejarah tsunami yaitu dengan menempatkan

signboard-singboard di beberapa titik akses masuk alternatif menuju tapak.

Transportasi di kota Banda Aceh memiliki jaringan pelayanan dalam dan

luar kota. Jaringan pelayanan dalam kota meliputi kendaraan umum, yaitu

angkutan umum atau yang umumnya disebut labi-labi, becak, bus Damri dan mini

bus (L300). Untuk jaringan luar kota dilayani oleh angkutan lintas propinsi seperti

bus antar kota, pesawat terbang, dan kapal laut.

Untuk menuju lokasi kapal PLTD Apung dengan menggunakan angkutan

umum, saat ini kondisinya hanya bisa dilalui oleh becak, dan mini bus, sedangkan

angkutan labi-labi hanya melewati jalur yang sudah ditetapkan oleh pemerintah

kota, yaitu hanya sampai jalan Sultan Iskandar Muda. Melihat perkembangan

yang terjadi, banyak pengunjung yang mendatangi lokasi kapal PLTD Apung

dengan kendaraan pribadi.

Dari Mesjid Raya Baiturrahman (pusat kota Banda Aceh) menuju kawasan

PLTD Apung, jika menggunakan angkutan umum dapat menggunakan labi-labi,

jurusan Ulee Lheue. Sedangkan dari arah Pantai Lhok Nga dapat menggunakan

labi-labi jurusan Lhok Nga, atau dapat juga menggunakan labi-labi jurusan

Leupung. Hal ini dikarenakan daerah ini merupakan daerah terkena tsunami yang

terparah di kecamatan Jaya Baru. Oleh karena itu, seluruh perangkat jalan hancur.

Untuk akses dari arah Bandara Sultan Iskardar Muda (SIM) dapat menggunakan

angkutan jurusan Blang Bintang. Kondisi jalan masih tergolong rusak. Hal ini

terlihat dari adanya beberapa perbaikan jalan di beberapa ruas jalan. Selain itu

akses dari arah ini juga mengalami pelebaran jalan. Kondisi aksesibilitas menuju

kapal PLTD Apung dapat dilihat pada Gambar 23.

Dari hasil survei yang dilakukan, jalan yang mengelilingi kawasan

perencanaan tergolong dalam kelas jalan lingkungan atau jalan lokal. Jalan

Lingkungan atau Jalan Lokal merupakan jalan yang melayani suatu lingkungan

atau yang menghubungkan suatu lingkungan dengan jalan kolektor. Sedangkan

Jalan Kolektor, adalah jalan yang menghubungkan bagian-bagian utama di dalam

50

kota atau sebagai penghubung dengan jalan jalan utama di dalam kota (RTRW

Kota Banda Aceh 2006-2016, 2006).

Gambar 23. Kondisi Aksesibilitas Menuju Kapal PLTD Apung

Jika melihat kondisi jalan lingkungan saat ini, lebar jalan terlalu sempit

dan hanya cukup dilalui oleh satu kendaraan roda empat ukuran kecil. Melihat

perkembangan kawasan ini apabila dikembangkan sebagai kawasan wisata,

sebaiknya kelas jalan ditingkatkan, yaitu dari kelas jalan lingkungan menjadi jalan

kolektor sekunder. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengunjung dalam

mengakses kawasan wisata. Selain lebar jalan yang belum sesuai dengan RTRW

Kota Banda Aceh, sarana untuk pejalan kaki pada jalan arteri juga belum tersedia,

yaitu jalur pedestrian dan jalur sepeda. Pedestrian diperuntukkan bagi pengunjung

maupun masyarakat yang ingin mengunjungi obyek-obyek wisata tsunami yang

ada dengan berjalan kaki atau bersepeda atau hanya sekedar berjalan-jalan di

sekitar tapak.

(a) Kondisi jalan melalui Lamteumen

(d) Kondisi Jalan menuju kapal PLTD Apung melalui Jalan Sultan Iskandar Muda

(b) Kondisi Jalan menuju kapal PLTD Apung melalui Jl. Rama Setia

(c) Kondisi Jalan melalui Pantai Lhok Nga

51

Analisis aksesibilitas, jaringan jalan dan alternatif perencanaan kawasan

wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis Aksesibilitas dan Alternatif Perencanaan No. Data Analisis Alternatif Perencanaan

1. 2. 3. 4. 5.

Jarak dan waktu tempuh Aksesibilitas Sistem Transportasi Kondisi Jalan Jarak antara jalan lingkungan dan obyek wisata sejarah yang berdekatan

Jarak menuju lokasi sekitar 2 km atau 10 menit dari pusat kota Dapat melalui : - Pusat Kota Banda

Aceh (melalui Jl. Sultan Iskandar Muda)

- Pusat Kota (melalui Jl. Rama Setia)

- Lamteumen - Pantai Lhok Nga Sebagian besar pengunjung menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum roda empat. Sebagian besar masih dalam keadaan rusak akibat tsunami. Tidak ada rambu-rambu lalu lintas dan fasilitas jalan lainnya. Berdasarkan RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016 termasuk kedalam kelas jalan lingkungan atau jalan lokal. Hal ini menghambat jalur sirkulasi dalam tapak dan akses kaluar masuk tapak. Dapat merusak obyek sejarah akibat vandalisme

Jarak dari pusat kota ke lokasi tapak dekat, sehingga tapak lebih mudah diakses oleh masyarakat lokal, maupun dari luar kota. Akses masuk-keluar utama melalui Jl. Rama Setia karena jalan ini merupakan jalan yang paling dekat dan mudah diakses seluruh masyarakat Banda Aceh. Akses masuk-keluar juga dapat melalui Jl. Sultan Iskandar Muda dan Jl. Lhok Nga. Untuk Jalan keluar alternatif dapat melalui Jl. Punge Blangcut menuju Lamteumen. Pengadaan lapangan pasrkir denganpembagian lapangan parkir bagi kendaraan umum jenis Bus Pariwisata, kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Perlunya perbaikan jalan dan penyediaan kelengkapan fasilitas jalan. Selain itu juga diperlukan jalur pedestrian dan jalur sepeda. Peningkatan kelas jalan menjadi jalan kolektor sekunder. Diperlukan upaya-upaya pelestarian benda bersejarah dengan membuat zona penyangga.

Dari hasil analisis pada Tabel 4, maka diperoleh peta hasil analisis

aksesibilitas yang dapat dilihat pada Gambar 24.

52

Gambar 24. Aksesibilitas

53

Alternatif Jalur Wisata Sejarah

Jalur sejarah diperlukan sebagai bahan masukan dalam penentuan jalur

interpretasi wisata utama di dalam tapak. Dalam perencanaannya, jalur interpretasi

wisata utama yang digunakan yaitu jalur masuknya kapal PLTD Apung ke

daratan. Selain itu, jalur ini juga menghubungkan beberapa obyek bersejarah

lainnya yang masih berkaitan dengan bencana tsunami. Hal ini dimaksudkan

untuk memudahkan pengunjung memahami makna dari obyek sejarah tsunami

(Gambar 25)

Kawasan wisata sejarah ini terdiri dari jalur interpretasi yang

menghubungkan keseluruhan kawasan tapak dan beberapa obyek wisata sejarah,

baik obyek wisata utama maupun obyek wisata pendukung yang masih berada

dalam jalur pergerakan kapal PLTD Apung. Kegiatan wisata yang disarankan bagi

pengunjung yaitu dengan mengikuti urutan obyek yang sesuai dengan sejarah

pergerakan kapal yang diawali dari Perairan Ulee Lheue. Di perairan ini

merupakan area kapal sebelum bencana tsunami terjadi. Seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, kapal berada di perairan ini dalam keadaan berlabuh.

Obyek wisata yang dapat dilihat selanjutnya yaitu Desa Lambung. Di desa

ini, pengunjung dapat menyaksikan puing-puing rumah yang masih tersisa.

Rumah Tsunami merupakan obyek ketiga. Pada area ini, pengunjung hanya bisa

menyaksikan rumah tersebut dari jarak tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari bahaya runtuhnya bangunan rumah yang sewaktu-waktu dapat

terjadi. Kemudian Mesjid Subulussalam menjadi kunjungan selanjutnya. Di

Mesjid ini, pengunjung yang beragama Islam juga dapat melaksanakan ibadah di

tempat ini. Lokasi keberadaan kapal PLTD Apung merupakan obyek terakhir

dalam jalur interpretasi.

Untuk obyek wisata pendukung yang berada di luar jalur pergerakan kapal

dapat ditempuh dengan mengunakan alternatif jalur wisata. Obyek wisata yang

dapat dilihat yaitu Monumen Syuhada dan Mesjid Baiturrahim.

Dari analisis potensi wisata yang dilakukan menghasilkan kawasan wisata

sejarah (Gambar 26).

54

Gambar 25. Jalur Pergerakan Kapal dan Lokasi

Objek Wisata Sejarah

55

Gambar 26. Kawasan Wisata Sejarah Tsunami

56

Pertimbangan Perencanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh (RTRW) adalah rencana

pemanfaatan ruang kota yang disusun untuk menjaga keseimbangan dan

keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka pembangunan kota.

RTRW berfungsi sebagai panduan dalam merumuskan kebijaksanaan

pembangunan antar sektoral dan wilayah; dasar dalam menentukan arah dan

pengendalian kegiatan pembangunan; arahan investasi yang dilakukan oleh

pemerintah, masyarakat dan swasta; serta upaya meningkatkan peran kota sebagai

pusat pengembangan dalam suatu sistem pengembangan wilayah di lingkungan

ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Konsep pengembangan ruang Kota Banda Aceh ke depan direncanakan

akan untuk dibagi menjadi empat zona yang disesuaikan dengan pengembangan

kota yang digunakan, pertumbuhan penduduk, ketersediaan sumber daya lahan

dan antisipasi terhadap potensi bencana. Berdasarkan revisi RTRW 2010, Kota

Banda Aceh terbagi dalam empat Bagian Wilayah Kota (BWK), yaitu BWK

Barat, BWK Pusat (Utara), BWK Selatan dan BWK Timur. Untuk revisi RTRW

2016, pembagian keempat BWK ini tetap digunakan, hanya ada penyesuaian batas

menggunakan unit administrasi kecamatan.

Kecamatan Jaya Baru dan Muraxa termasuk kedalam BWK Barat. BWK

ini difungsikan sebagai pusat kegiatan pelabuhan dan wisata, yang didukung

kegiatan perdagangan dan jasa, kawasan permukiman dan sebagainya. Pusat

BWK ini ditetapkan di Lamteumen. Selanjutnya BWK Barat terbagi atas tujuh

zona berdasarkan karakter zona kesesuaian pengembangan fisik (Tabel 5).

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa Pemda Kota Banda Aceh

merencanakan pembangunan kawasan wisata Monumen PLTD Apung. Rencana

ini terletak pada zona BWK A.5 (Gambar 27). Rancangan RTRW ini menjadi

landasan dalam pengembangan dan pembangunan kawasan wisata dan jalur

interpretasi sejarah tsunami.

Dalam pengembangan kawasan wisata PLTD Apung diketahui bahwa

areal lahan yang ditempati kapal tersebut merupakan hak milik pribadi salah

seorang masyarakat. Menurut Qanun RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2006-

57

2015 Bab IV mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Ruang Pasal 27,

menyatakan bahwa: 1) Rencana tata ruang berkewajiban untuk mempertahankan

kelestarian cagar alam, situs budaya dan peninggalan sejarah; 3) Jika sewaktu-

waktu berdasarkan hasil penelitian, ditemukan adanya situs budaya atau

peninggalan sejarah lainnya, maka penemuan itu dengan sendirinya ditetapkan

sebagai kawasan cagar alam, situs budaya dan peninggalan sejarah baru. 4) Bila

penetapan kawasan sebagaimana dimaksud ayat (3) pasal ini, termasuk dalam

areal lahan yang dimiliki dan atau dikuasai oleh pihak lain, maka Pemerintah Kota

berkewajiban memberikan ganti rugi. (5) Ganti rugi sebagaimana maksud ayat (4)

pasal ini adalah dilaksanakan berdasarkan yang diatur menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Tabel 5. Pembagian Zona pada BWK Barat Kota Banda Aceh

No. Kode Zona BWK

Fungsi Wilayah

1. P1 (Pesisir) Sebagai daerah perlindungan pantai yang berupa Hutan Mangrove (hutan lindung) dan juga kawasan perikanan tangkap/perikanan samudera

2. A.1 Kawasan konservasi yang berupa zona hijau/pond serta dapat menjadi daerah wisata. Selain itu juga diarahkan menjadi budidaya tambak. Pada zona ini diarahkan untuk kawasan permukiman terbatas, yang berarti bahwa tidak ada pengembangan permukiman baru.

3. A.2 Kawasan konservasi yang berupa zona hijau/pond serta dapat menjadi daerah wisata. Selain itu juga diarahkan menjadi budidaya tambak. Zona ini juga diarahkan untuk kawasan permukiman terbatas, yang berarti bahwa tidak ada pengembangan permukiman baru.

4. A.3 Zona ini berfungsi sebagai zona tambak, kawasan konservasi (berupa zona hijau dan wisata) serta permukiman terbatas.

5. A.4 Terdapat perkantoran baik pemerintah maupun swasta, kawasan campuran komersial dan fasilitas umum, serta permukiman kepadatan sedang dan tinggi.

6. A.5 Merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan sedang, termasuk zona perdagangan dan jasa yang menyebar secara linier mengikuti pola jalan, terdapat terminal kota, dan kawasan wisata Monumen PLTD Apung.

7. A.6 Merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan sedang. Selain itu juga termasuk zona perdagangan dan jasa yang menyebar secara linier mengikuti pola jalan

(Sumber: RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016, 2006)

58

Gambar 27. Peta Arahan Fungsi Berdasarkan

Zona Fisik per BWK Kota Banda Aceh

59

Dengan memperhatikan peraturan tersebut, maka saat ini kondisinya areal

di sekitar kapal PLTD Apung telah dibebaskan sebagian yakni melalui

kesepakatan Pembebasan Tanah Tahap 1 dan sebagian areal yang belum

dibebaskan, saat ini masih dalam tahap diskusi dengan masyarakat setempat.

Tata Guna Lahan (Land Use)

Menyikapi perubahan fisik dan non-fisik di kecamatan Meuraxa dan Jaya

Baru pasca tsunami, maka pola dan struktur ruang yang akan dikembangkan harus

melalui pendekatan terhadap perencanaan mitigasi bencana gempa dan tsunami.

Penggunaan lahan saat ini di dominasi oleh lahan permukiman dan lahan-lahan

yang menjadi genangan ditimbun oleh masyarakat dan digunakan untuk

perumahan atau pemukiman (Tabel 6).

Tabel 6. Bentuk-bentuk Peruntukan Lahan beserta Luasan Lahan Pra-Tsunami

Sumber: RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016

Berdasarkan data yang terdapat dalam Tabel 6, sebagian besar wilayah di

kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru pra-tsunami merupakan kawasan pemukiman

padat. Pada saat tsunami, sebagian besar bangunan rumah hancur. Dengan

demikian banyak wilayah yang berubah penggunaanya menjadi rawa-rawa yang

tidak ditanami. Untuk memperbaiki tata guna lahan sesuai dengan tujuan saat ini

yaitu sebagai kawasan wisata sejarah, maka tata guna lahan pada tapak dapat

dilihat pada Gambar 28.

Penggunaan Lahan (Ha) Bentuk Lahan

Meuraxa Jaya Baru

Sawah 65 3

Ladang 111 0

Perkebunan 4 0

Pemukiman 478 28

Bangunan Industri 1 0

Bangunan lainnya 47 0

Lain-lain (bukan hutan negara) 16 0

Tidak diusahakan 56 0

60

Gambar 28. Peta Eksisting Tata Guna Lahan

61

Lahan tidak terbangun merupakan lahan yang hancur akibat tsunami pada

26 Desember 2004 yang lalu. Kawasan ini mengalami perubahan yang sangat

cepat. Sedangkan lahan terbangun pada tapak didominasi oleh pemukiman. Sirene

Tower dan Refuge building inventory dibangun untuk mendeteksi kemungkinan

adanya gelombang tsunami susulan dalam waktu dekat, sehingga diharapkan

dapat memberikan informasi kepada masyarakat di pesisir pantai khususnya untuk

menyelamatkan diri dan mampu mengurangi jumlah korban jiwa.

Kebijakan Pemerintah NAD

Berdasarkan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah Aceh

dan Nias, Sumatera Utara (Rencana Induk R2WANS) tahun 2005, secara prinsip

kebijakan struktur dan pola pemanfaatan ruang provinsi NAD diarahkan untuk

mengembalikan dan merehabilitasi struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah

Provinsi NAD.

Untuk struktur dan pola pemanfaatan ruang kabupaten/kota, pemerintah

membedakan dalam empat hal, yakni sistem kota, struktur ruang kota, kawasan

non-budidaya dan kawasan budidaya. Untuk kawasan budidaya dibagi menjadi

dua kawasan, yakni:

1. Kawasan Permukiman

a) membangun kembali permukiman kota yang rusak beserta

fasilitasnya.

b) melengkapi permukiman yang ada dengan fasilitas mitigasi

bencana.

c) mengembangkan bangunan penyelamatan/rumah vertikal pada

kawasan-kawasan berkepadatan tinggi.

d) menciptakan kawasan permukiman baru.

2. Kawasan Bersejarah

Mengkonservasi dan merevitalisasi kawasan bersejarah yang masih ada.

Dengan memperhatikan kebijkan pemerintah kota Banda Aceh tersebut,

maka perencanaan kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami di

kawasan kapal PLTD Apung dilakukan dengan upaya mengkonservasi obyek

sejarah tsunami sekaligus menjadikan kawasan disekitarnya sebagai kawasan

wisata sejarah (Gambar 29).

62

Gambar 29. Kawasan Wisata Berdasarkan Peruntukan

Kota

63

Aspek Pendukung Biofisik

Topografi dan Kemiringan

Topografi merupakan bentukan lahan suatu lanskap berdasarkan

perbedaan tingkat ketinggian lahan. Aspek ini sangat penting untuk diketahui

dalam perencanaan suatu kawasan sebagai dasar pertimbangan dalam

pembangunan jalur jalan, penempatan utilitas, tata ruang dan tata letak bangunan.

Kecamatan Jaya Baru berada di kawasan pesisir bagian barat Kota Banda

Aceh. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran. Terletak pada ketinggian 0,8 m

di atas permukaan laut (dpl) pada saat sebelum terjadi tsunami. Saat ini

kondisinya, terjadi penurunan ketinggian sebesar 0,75 m dpl. Dengan demikian,

beberapa kawasan di kecamatan ini terendam dan luas wilayahnya menurun

menjadi 725,8 Ha.

Untuk kawasan perencanaan merupakan dataran rendah dengan ketinggian

kurang dari 4 m dpl dengan kemiringan 0-10%. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa kawasan ini memiliki topogafi relatif datar dan tingkat erosi relatif rendah

menyebabkan sistem drainase buruk. Hal ini terlihat dari kontur pada peta yang

nilainya semakin rendah ke arah barat tapak (Gambar 30). Beberapa bagian utara,

barat dan selatan di luar tapak dikelilingi oleh air baik berupa genangan air

maupun rawa. Bahkan di bagian utara lokasi kapal PLTD Apung juga terdapat

genangan permanen. Dengan kondisi lahan yang relatif datar seperti ini

merupakan kendala yang dapat menimbulkan masalah drainase seperti terjadinya

penggenangan dan banjir.

Menurut data dari DPU (Departemen Pekerjaan Umum), secara

keseluruhan Provinsi Aceh mempunyai saluran drainase lama yang mencakup

wilayah seluas 35 km². Cakupan wilayah ini, termaksud didalamnya kawasan

prioritas, dibagi dalam tiga zona drainase. Setiap zona memiliki jaringan yang

mencakup saluran-saluran drainase yang ada di sepanjang jalan dan dilengkapi 8

titik pompa berdasarkan karakteristik topografinya. Wilayah drainase primer

terhubung kebeberapa sungai, antara lain Krueng Aceh, Krueng Doy, banjir kanal

dan lainnya.

64

Berdasarkan data yang diperoleh, penanggulangan terjadinya

penggenangan air dan banjir dapat diatasi dengan menggunakan pompa air. Pada

tapak terdapat dua pompa air primer. Pompa air yang pertama diarahkan ke laut

sedangkan pompa yang lain digunakan untuk mengalirkan air ke Krueng Doy

(Sungai Doy). Saluran drainase pada tapak mengikuti pola tata ruang dan jaringan

jalan. Selain itu juga dapat diatasi dengan membuat pembuangan air dan rawa-

rawa atau danau buatan yang berfungsi sebagai penangkap air dan mencegah

terjadinya banjir. Area ini juga dapat dimanfaatkan sebagai area permainan air

dalam pengembangan kawasan ini sebagai kawasan wisata sejarah. Disamping itu

juga dapat menggunakan tanaman-tanaman yang toleran terhadap genangan.

Upaya lainnya untuk mengatasi banjir yaitu dengan meningkatkan fungsi

hutan sebagai sarana penyimpanan air. Dalam tapak, keberadaan hutan juga dapat

berfungsi sebagai green belt untuk menghambat/memecah kekuatan gelombang

tsunami.

Selain perlindungan terhadap banjir, perlindungan terhadap bencana

tsunami selain dengan hutan, juga dapat dilakukan dengan perlindungan pantai,

seperti breakwater, dinding penahan gelombang, (sea wall), dan formasi pantai

(coastal forest). Analisis topografi dan kemiringan lahan dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7. Analisis Topografi dan Kemiringan Lahan

Data Analisis Alternatif Perencanaan

Kemiringan Lahan 0-10%

Secara visual merupakan potensi karena obyek wisata utama berada kontur yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya. Topografi relatif datar dan tingkat terjadinya erosi relatif rendah menimbulkan masalah drainase seperti penggenangan air dan banjir.

Mempertahankan ketinggian lahan di sekitar obyek wisata. Memperbaiki sistem saluran drainase sehingga air tidak menggenang. Penggunaan alat pompa air dan mengarahkan pembuangan air ke saluran drainase primer Krueng Doy dan ke laut, bisa juga dengan membuat kolam, danau atau sumur resapan. Menggunakan tanaman-tanaman yang toleran terhadap genangan dan mampu menyerap air.

65

Gambar 30. Hasil Perhhitungan Topografi dan Kemiringan Lahan

66

Kenyamanan (iklim)

Iklim merupakan hasil dari sejumlah faktor yang saling mempengaruhi.

Faktor-faktor tersebut yaitu curah hujan (mm/hari atau mm/tahun), angin (km/jam,

kecepatan, arah), suhu udara (ºC maks, min, rata-rata), kelembaban nisbi (%maks,

min, rata-rata), radiasi matahari (%), dan kualitas udara. Berdasarkan kondisi

iklim yang dipantau dari Stasiun BMG Blang Bintang Aceh Besar dengan posisi

05º05’LU dan 95º13’BT yang berada pada 20 m dari msl selama kurun waktu

sepuluh tahun (1997-2006). Dari hasil tabulasi data iklim, menggambarkan bahwa

suhu udara berkisar antara 25-27ºC, curah hujan bulanan berkisar antara

64-205 mm/bln, kecepatan angin berkisar antara 2,9-5,0 knot, kelembaban nisbi

berkisar antara 73-83%, serta intensitas penyinaran matahari berkisar pada 42,9-

74,9 % (Gambar 31).

Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui Derajat Kenyamanan

(Thermal Humidity Index/THI) dengan menggunakan rumus :

dengan T = suhu udara (ºC), RH = kelembaban nisbi udara (%)

Melalui perhitungan dengan menggunakan rumus THI, diketahui bahwa

nilai kenyamanan pada tapak berkisar antara 26.5-28,4. Umumnya, masyarakat di

daerah tropis akan merasa tidak nyaman pada THI yang lebih dari 27.

Suhu udara pada pagi-sore dan siang hari sangat berbeda. Tapak pada pagi

dan sore hari sangat nyaman. Angin juga berhembus dengan kencangnya. Hal ini

terlihat dari pergerakan bendera yang berkibar. Berbeda kondisinya dengan pada

pagi dan sore hari, suhu udara pada tapak akan terasa sangat terik pada siang hari.

Selain itu angin juga berhembus sepoi-sepoi. Dengan demikian, sebagian besar

pengunjung berdatangan ke lokasi ini pada sore hari.

THI = 0,8 T + (RH x T) 500

67

Gambar 31. Grafik Beberapa Unsur Iklim di Kecamatan Ulee Lheue dalam Kurun

Waktu 1997-2006 (Sumber : Stasiun BMG Blang Bintang)

Beradasarkan hasil analisis, untuk meningkatkan kenyamanan pada tapak

diperlukan adanya naungan baik berupa elemen soft material maupun hard

material. Soft material dapat menggunakan tanaman sedangkan hardmaterial

Curah Hujan Rata-rata (1997-2006)

0

50

100

150

200

250

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

(mm/bln)

Suhu Udara Rata-rata (1997-2006)

24.525

25.526

26.527

27.528

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

(C)

Intensitas Penyinaran Matahari Rata-rata (1997-2006)

01020304050607080

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

(%)

Kelembaban Rata-rata (1997-2006)

68707274767880828486

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan

(%)

68

dapat menggunakan bangunan shelter, gazebo, atau bangunan naungan lainnya.

Untuk penggunaan elemen tanaman pada tapak lebih difungsikan sebagai peneduh

dan tanaman yang akan digunakan merupakan tanaman yang toleran terhadap

genangan dan mampu menyerap air.

Bentuk-bentuk tajuk pohon dapat berbentuk kerucut, kolumnar, dome

(kubah), bulat, piramidal, menjurai, atau menyebar (Gambar 32).

Gambar 32. Berbagai Bentuk Tajuk Pohon (Booth, 1983)

bulat

menjurai piramidal

kolumnar

menyebar

kubah

kerucut

69

Kondisi Tanah

Kondisi tanah di lokasi perncanaan menurut Ramos Kam dalam tesisnya

yang berjudul Evaluasi Kualitas Lahan dan Arahan Konservasi pada Kawasan

Pantai Kota Banda Aceh Pasca Tsunami, batuan penyusun di kawasan

perencanaan umumnya merupakan aluvial sungai dan endapan aluvial pantai,

yang tersusun dari kerikil, pasir, dan lempung. Jenis tanahnya adalah aluvial

(Entisol) yang umumnya berwarna abu-abu hingga kecoklat-coklatan. Kedalaman

efektif tanah diatas 100 cm dengan kondisi drainase sedang. Pada lahan ini

kemungkinan terjadinya erosi sangat kecil. Selain itu, air tanah di kawasan ini

dangkal dan terjadi intrusi air laut sehingga air tanah menjadi payau.

Jenis tanaman yang umumnya tumbuh pada kondisi tanah dengan

topografi relatif datar dan kondisi drainase yang kadang-kadang tergenang yaitu

nipah, bakau, nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes falcataria),

Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia spp., mahoni (Swietenia spp.),

jati (Tectonia grandis), ki hujan (Samanea saman), Thypa sp., dan lantoro

(Leucanea glauca) (Manan, 1976). Tanaman kelapa dapat tumbuh pada lahan

kawasan pantai dengan kondisi drainase yang baik (tidak pernah tergenang).

Berdasarkan hasil analisis kondisi tanah pada tapak, terlihat bahwa daerah-

daerah yang sering tergenang air tidak sesuai untuk didirikan bangunan di atasnya.

Ini disebabkan oleh kondisi tanah yang labil dan ketidakmampuan tanah untuk

menahan beban bangunan diatasnya (Gambar 33). Daerah-daerah yang tergenang

ini lebih diarahkan sebagai area permainan air. Pembangunan fasilitas wisata

yang berupa bangunan berupa bangunan semi permanen. Analisis yang dilakukan

terhadap aspek pendukung menentukan kualitas dan kenyamanan kawasan wisata

tersebut.

70

Gambar 33. Peta Kesesuaian Lahan terhadap

Bangunan

71

Kondisi Sosial Masyarakat Lokal

Dampak Tsunami terhadap Masyarakat Lokal Bencana alam gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah

menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir Kota Banda Aceh. Sebagian besar

masyarakat Aceh kehilangan anggota keluarganya. Pada saat itu perekonomian di

Aceh sempat lumpuh. Karena sebagian besar perekonomian masyarakat

digerakkan dari sektor perdagangan dan jasa.

Kejadian tsunami ini tidak akan mudah dilupakan mengingat banyaknya

jumlah korban jiwa yang meninggal. Masyarakat di Aceh biasanya akan ramai

mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti ziarah ke pemakaman massal,

mengunjungi kapal PLTD Apung, dan berbagai tempat lainnya. Hal ini akan

berdampak berkelanjutan dan setiap tahun akan selalu dikenang.

Jumlah penduduk di kecamatan Meuraxa pasca tsunami sekitar 30.296

orang dan 2520 orang di kecamatan Jaya Baru. Mayoritas masyarakat di dua

kecamatan ini beragama Islam.

Sebagian besar wilayah di Punge Blangcut merupakan kawasan

pemukiman padat. Namun untuk kawasan yang akan direncanakan, beberapa

penduduk yang kondisi rumahnya rusak berat tidak membangun kembali

rumahnya.

Kawasan kapal PLTD Apung merupakan kawasan pemukiman padat.

Masyarakat di daerah tersebut biasanya menggunakan tapak untuk melakukan

berbagai kegiatan aktifitas sehari-hari, misalnya sebagai tempat tinggal, berjualan,

dan sebagai jalur sirkulasi dari daerah Kelurahan Sukaramai menuju ke kawasan

Ulee Lheue. Untuk kegiatan perdagangan dan jasa sangat tepat jika hal ini dapat

dikembangkan dengan lebih baik. Dengan adanya pengembangan kawasan ini

sebagai kawasan wisata, masyarakat dapat ikut berperan dalam rangka kegiatan

jual beli, seperti penjualan berbagai aksesoris dan souvenir khas Aceh. Dengan

demikian, pengembangan kawasan wisata tsunami ini dapat meningkatkan

pendapatan perekonomian penduduk setempat.

Intensitas penggunaan pada tapak oleh masyarakat sekitar sedang.

Umumnya mayarakat melakukan aktivitas pada pagi dan sore hari. Sebagian besar

72

aktivitas di sekitar kawasan kapal PLTD Apung dilakukan di bagian utara dan

selatan tapak. Dalam rangka upaya melestarikan obyek sejarah, aktivitas

masyarakat lokal secara intensif hanya diperbolehkan berada pada area

pelayanan.

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber, diketahui

bahwa sebagian besar masyarakat setempat menyetujui adanya pembangunan

kawasan wisata sejarah tsunami di daerah mereka. Dengan adanya pengembangan

dan pembangunan di daerah ini diharapkan dapat memberikan peluang

kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, sehingga dapat meningkat taraf

hidupnya.

Pengunjung

Kawasan kapal PLTD Apung sampai saat ini digunakan oleh pengunjung

sebagai salah satu obyek wisata yang memiliki nilai sejarah yaitu sejarah tsunami.

Dengan adanya kapal ini, menjadi salah satu bukti nyata bahwa tsunami pernah

terjadi di daerah Aceh. Hal ini menjadi peninggalan bagi generasi masa depan.

Adanya kapal PLTD Apung mampu mengakomodasi keinginan masyarakat yang

ingin menyaksikan benda bersejarah dan mengenang terjadinya peristiwa bencana

alam tsunami.

Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan di kawasan sekitar kapal yaitu

menikmati keindahan pemandangan kota Banda Aceh dari atas kapal, foto

hunting yang umumnya berlatarkan kemegahan kapal PLTD Apung. Potensi ini

dapat lebih dikembangkan dengan menyediakan beberapa fasilitas seperti

teropong untuk menikmati pemandangan yang jauh jaraknya. Selain itu, di bagian

selatan kapal berbatasan langsung dengan jalan yang intensitasnya cukup ramai

dilalui oleh kendaraan baik masyarakat sekitar maupun pengunjung. Hal ini

merupakan salah satu kendala yang dapat merusak nilai-nilai kesejarahan kapal

tersebut karena berpotensi terjadinya vandalisme.

Intensitas pengunjung mengunjungi kawasan wisata ini ramai, terutama

pada sore hari dan pada hari-hari libur atau pada momen-momen tertentu.

Aktivitas pengunjung lebih terpusat disekitar kapal PLTD Apung, terutama di atas

kapal pada sore hari.

73

Untuk pengembangan kawasan PLTD Apung, berdasarkan hasil

wawancara diperoleh bahwa sebagai pengunjung, masyarakat berharap adanya

peningkatan penataan ruang dan fasilitas pendukung kegiatan wisata.

Konsep Perencanaan Konsep Dasar Perencanaan

Mengkreasikan areal di sekitar Kapal PLTD Apung dalam kawasan wisata

sejarah tsunami yang bersifat edukatif melalui media dan jalur interpretasi. Wisata

yang akan dikembangkan di kawasan ini juga menghubungkan beberapa obyek

wisata sejarah tsunami lainnya sebagai obyek wisata pendukung. Pengembangan

wisata secara ekonomi juga diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan

hidup masyarakat lokal, namun kepentingan pelestarian kesejarahan tetap lebih

diutamakan.

Pengembangan Konsep

Konsep Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah

Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah merupakan salah satu upaya untuk

menggambarkan suasana pada saat peristiwa tsunami 2004 melanda Aceh.

Dengan adanya Kapal PLTD Apung sebagai obyek wisata sejarah utama, serta

perumahan penduduk yang terkena bencana gelombang tsunami, dan jalur

interpretasi, diharapkan pengunjung dapat mengingat kembali kejadian tsunami

dan mampu mengantisipasi apabila kejadian yang sama terulang kembali.

Dalam pengembangannya, tapak terbagi atas tiga zona, yaitu zona wisata

utama, zona transisi dan zona pelayanan. Masing-masing zona tersebut memiliki

ruang-ruang yang saling berkaitan (Gambar 34). Penerjemahan konsep tata ruang

secara spasial dapat dilihat pada Gambar 35. Pengaturan ruang bertujuan untuk

membatasi jumlah pengunjung masuk ke dalam zona wisata utama.

Zona Wisata Utama merupakan zona yang didalamnya terdapat obyek-

obyek bersejarah tsunami yang berada dalam jalur pergerakan kapal PLTD Apung

dari Perairan Ulee Lheue menuju kawasan pemukiman. Berdasarkan tingginya

nilai sejarah, zona ini terbagi lagi menjadi dua ruang, yaitu ruang inti dan ruang

penyangga.

74

Ruang inti yaitu ruang dimana obyek-obyek wisata utama sejarah tsunami

berada. Obyek-obyek tersebut merupakan area dengan tingkat kepekaan yang

tinggi dan tingkat penggunaan yang sangat rendah. Ruang inti ini memungkinkan

peran manusia yang merugikan dapat terhindari, sehingga kealamian obyek

bersejarah kapal PLTD Apung tetap lestari.

Ruang penyangga, berfungsi untuk melindungi ruang inti dan merupakan

bagian dari zona kesejarahan yang masih dapat digunakan dengan beberapa

pertimbangan tertentu. Ruang ini dapat berupa area yang didalamnya tidak

memungkinkan manusia melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu

kealamian obyek bersejarah tersebut. Ruang penyangga dapat berupa area atau

hanya menggunakan pagar pembatas yang mampu melindungi obyek bersejarah

dari gangguan aktivitas manusia. Area yang dijadikan sebagai penyangga dapat

berupa area tambak, RTH kota, danau buatan atau kolam.

Gambar 34. Konsep Pengembangan Tata Ruang Kawasan Wisata Sejarah Tsunami

Zona Transisi merupakan zona yang terdiri dari berbagai aktivitas

manusia yang bersifat edukatif. Pada zona wisata ini masih memiliki keterkaitan

dengan bencana tsunami. Zona transisi merupakan zona dimana media interpretasi

dan atraksi berada. Zona ini berperan untuk menjaga dan melindungi obyek

bersejarah yang ada di dalam zona wisata utama.

Zona wisata Pelayanan

Zona Transisi

Zona Wisata Utama

Batas zona

Zona Transisi

Zona Wisata Pelayanan

75

Gambar 35. Konsep Ruang Wisata

76

Zona Pelayanan difungsikan untuk mengakomodasi berbagai fasilitas

wisata untuk memudahkan pengunjung mendapatkan berbagai fasilitas selama

berada di kawasan wisata. Fasilitas yang disediakan, seperti tempat makan, tempat

parkir, dan berbagai fasilitas interpretasi wisata lainnya.

Konsep Obyek-obyek Sejarah Tsunami

Dalam perencanaan kawasan wisata sejarah ini, terdapat obyek wisata

sejarah utama dan media interpretasi yang tersedia pada jalur interpretasi. Obyek-

obyek wisata sejarah utama yaitu Perairan Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah

Tsunami, Mesjid Subulussalam, Kapal PLTD Apung, Monumen Syuhada, dan

Mesjid Baiturrahim. Sedangkan beberapa contoh media interpretasi tsunami

(Gambar 36) yang digunakan dapat berupa sculpture, signboard, signate, peta

wisata, leaflet, maupun obyek-obyek pendukung wisata lainnya, seperti ruang

pameran, museum, dan galeri yang terletak di area penerimaan pada ruang

pelayanan. Keberadaan obyek-obyek wisata dalam tapak diketahui setelah

menelusuri sejarah pergerakan kapal PLTD Apung pada saat bencana tsunami

terjadi.

(a) signboard (b) amphitheater (c) pusat informasi

(d) signage

Gambar 36. Contoh Media Interpretasi

77

Penentuan posisi obyek-obyek wisata berada pada ruang inti zona wisata

utama ditentukan berdasarkan tingkat (kepentingan) nilai sejarahnya. Untuk media

interpretasi umumnya berada pada zona transisi dan sebagian besar berada di

sekitar areal kapal PLTD Apung. Media interpretasi yang juga sebagai obyek

wisata pendukung seperti Coastal forest, Sirene Tower, Refuge Building

Inventory, Museum Tsunami, Tsunami Interpreting Outdoor Playground, dan

Amphitheater.

Konsep Sirkulasi

Jalur pergerakan ini merupakan jalur interpretasi sejarah pergerakan kapal

PLTD Apung. Jalur ini kemudian akan diaplikasikan sebagai jalur sirkulasi wisata

dalam tapak. Sirkulasi utama dalam tapak secara umum berbentuk menyerupai

huruf ‘U’. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan akses masuk dan keluar tapak.

Jalur ini mengakses seluruh ruang yang ada (Gambar 37). Dengan demikian,

pengunjung dapat melihat seluruh obyek wisata yang ada. Jalur interpretasi atau

jalur wisata menghubungkan obyek-obyek wisata sejarah utama, yaitu perairan

Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah Tsunami, Mesjid Subulussalam, dan Kapal

PLTD Apung. Selain obyek-obyek tersebut, jalur interpretasi juga

menghubungkan beberapa obyek wisata pendukung. Obyek wisata Rumah

Tsunami dan Mesjid Subulussalam merupakan obyek wisata alternatif. Artinya,

pengunjung tidak diharuskan mengunjungi kedua obyek ini. Jika ingin

mengetahui mengenai lokasi pemakaman korban bencana tsunami dan mesjid

yang bersejarah, pengunjung dapat mengunjungi kedua obyek ini.

Masuk-keluar tapak dapat melalui dua akses, terdapat di zona awal dan

akhir kapal. Akan tetapi untuk memperkuat sejarah, pengunjung disarankan

masuki tapak melalui lokasi awal kapal dan keluar tapak melalui lokasi akhir

kapal. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi pengunjung yang

ingin memasuki kawasan ini melalui lokasi akhir kapal.

78

Gambar 37. Konsep Pengembangan Jalur Sirkulasi

Pada zona wisata utama diperlukan akses yang minimal. Tingkat

kebutuhannya tergantung dari tingkat kepekaan obyek tersebut. Semakin

memasuki kedalam ruang inti, jalur sirkulasi semakin sedikit dan hanya berupa

jalan tersier berbentuk trekking atau boardwalk. Hal ini dimaksudkan untuk

membatasi jumlah pengunjung berada dalam ruang inti.

Untuk zona transisi, jalur sirkulasi yang diperlukan jauh lebih panjang

jika dibandingkan dengan zona sejarah. Pada zona ini terdapat jalan primer, jalan

sekunder. Jalan primer merupakan jalan yang eksisting dan dapat dilalui oleh

kendaraan sedangkan jalan sekunder merupakan jalan baru yang menghubungkan

obyek wisata dan media interpretasi. Jalan ini hanya dapat diakses bagi para

pengunjung wisata. Akses ke dalam zona ini tidak begitu dibatasi seperti halnya

dalam zona wisata utama. Untuk pengunjung yang ingin mengelilingi keseluruhan

obyek wisata yang ada, disediakan bis yang khusus melayani trayek di dalam

kawasan wisata saja. Sirkulasi dalam zona pelayan berupa jalan sekunder yang

menghubungkan beberapa jalan primer.

Konsep Aktivitas

Berbagai aktivitas yang dapat dilakukan, seperti melihat jalur interpretasi

sejarah, piknik, bermain, bersantai, menikmati berbagai obyek wisata dan atraksi

budaya masyarakat lokal, wisata berbelanja kerajinan masyarakat setempat serta

wisata kuliner masakan Aceh.

Jalan tersier Jalan Sekunder Jalan Primer

Zona wisata Pelayanan

Zona Transisi

Zona Wisata Utama

Batas zona Akses

Zona Transisi

Zona Wisata Pelayanan

79

Dalam pengembangan kawasan wisata sejarah, kawasan ini dibedakan

menjadi tiga zona, yaitu zona pelayanan, zona tansisi, dan zona wisata utama.

Pada zona pelayanan, pengunjung dapat melakukan berbagai aktivitas yang

sifatnya rekreatif. Zona transisi merupakan penghubung antara zona pelayanan

dan zona wisata utama. Di zona transisi, pengunjung dapat melakukan aktifitas

rekreatif seperti bermain, foto hunting, berperahu, rekreasi, edukasi, hikking,

tracking, jogging, dan shightsesing (Gambar 38). Perumahan masyarakat yang

masih tersisa pasca tsunami berada pada zona ini. Zona wisata utama mencakup

seluruh kawasan kesejarahan. Aktivitas yang dapat dilakukan seperti foto

hunting, shightseeing, berdoa, dan tracking.

Gambar 38. Sightseeing

Konsep Infrastruktur

Untuk mendukung berbagai kegiatan/aktifitas wisata sejarah di kawasan

ini dikembangkan berbagai infrastruktur pendukung yang dapat meningkatkan

kenyamanan pengunjung (Gambar 39). Bentukan-bentukan yang akan diterapkan

pada infrastruktur di kawasan wisata sejarah ini diadopsi dari bentuk-bentuk

bangunan adat dan motif-motif Aceh (Gambar 40).

80

Gambar 39. Suasana di Beberapa Infrastruktur Pendukung

Gambar 40. Contoh Motif dan Bentuk Bangunan (Hadjad, A. dkk. 1984)

a. Motif Pintu Aceh b. Lonceng Cakradonya

c. Ilustrasi Bentuk Bangunan

PERENCANAAN KAWASAN WISATA SEJARAH TSUNAMI

Rencana Tata Ruang Tahap awal yang dilakukan adalah overlay peta kawasan wisata sejarah,

dan kawasan wisata berdasarkan peruntukan kota, maka diperoleh hasil

peruntukan tata ruang untuk kawasan wisata sejarah. Berbagai area yang terdapat

pada kawasan ini yaitu area objek wisata tsunami, area rekreasi, area pertahanan

bencana, area penerimaan, rest area, area pemukiman terbatas, area tambak, area

green belt, dan area pertokoan souvenir (Gambar 41). Luas masing-masing area

dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Luasan Area dalam Kawasan Wisata

Objek-objek wisata sejarah tsunami berada di ruang inti pada zona utama

wisata sejarah. Berdasarkan Tabel 8, luas area ini 60,55 ha atau sekitar 27,6 %

dari luas total kawasan keseluruhan. Area ini merupakan area yang terluas bila

dibandingkan area-area wisata lainnya. Area ini terdapat pada Desa Deah

Glumpang, Desa Lambung, Desa Ulee Lheue, Desa Punge Ujong dan Desa Punge

Blangcut.

Area rekreasi terdapat di Desa Deah Glumpang dan Desa Punge Blangcut.

Pada area ini terdapat objek pendukung wisata, seperti amphitheater, museum

tsunami, dan Tsunami Interpreting Outdoor Playground. Selain itu, pada area

rekreasi juga terdapat Kiddie Park. Tempat ini menyediakan berbagai permainan

air yang dikhususkan bagi anak-anak berumur dibawah 12 tahun.

No. Jenis Area Luas Area (ha) Persentase (%) 1. Area objek wisata tsunami 60,55 27,6 2. Area rekreasi 39,80 18,14 3. Area pertahanan bencana 3 1,37 4. Area penerimaan 11,9 5,42 5. Rest area 3,53 1,61 6. Area pemukiman terbatas 30,6 13,95 7. Area tambak 16,92 7,71 8. Area green belt 45,65 20,81 9. Area pertokoan souvenir 7,42 3,39 Total 219,37 100

82

Gambar 41. Rencana Tata Ruang Wisata

Tsunami

83

Area pertahanan bencana dimaksudkan sebagai area pelengkap

penyelamatan apabila terjadi bencana dari laut seperti tsunami. Pada area ini juga

dilengkapi bagunan penyelamatan. Area pertahanan ini terdapat di dua desa yaitu

Desa Deah Glumpang dan Desa Gampong Baro.

Untuk mencapai keberhasilan dalam kepentingan dan pengelolaan

interpretasi dibutuhkan berbagai fasilitas utama dan pendukung. Dua fasilitas

utama yang harus tersedia adalah Pusat Informasi Wisata (Visitor Information

Center, VIC) dan Pemandu Wisata (interprenter). Area penerimaan terdiri dari

area parkir, VIC (Visitor Information Center) yang meliputi pusat informasi,

toilet, mushalla; tempat berkumpul dan tempat pengambilan tiket (loket) masuk

kawasan wisata. Area penerimaan berada di dua tempat, yaitu pada lokasi posisi

awal dan posisi akhir pergerakan kapal.

Area peristirahatan (rest area) merupakan area yang diperuntukkan bagi

berbagai fasilitas seperti tempat makanan dan minuman, penginapan semi

permanen, dan tempat duduk. Area peristirahatan ini berada di Desa Deah

Glumpang.

Area pemukiman terbatas merupakan kawasan pemukiman penduduk asli

setempat yang merupakan bagian dari sejarah pergerakan kapal PLTD Apung.

Penduduk setempat dapat menjadi guide dalam perencanaan ini. Penduduk

pemukiman ini juga diharapkan dapat mendukung kegiatan kepariwisataan di

kawasan ini dengan tidak hanya sebagai penyedia berbagai makanan dan

minuman bagi para pengunjung serta sebagai pemasok barang-barang souvenir,

tetapi juga turut mengontrol perkembangan kawasan wisata sejarah.

Area tambak berada di Desa Lambung yang merupakan tambak yang

dikelola oleh masyarakat setempat. Juga dapat berfungsi sebagai area resapan air

dan mampu mencegah terjadinya banjir.

Area green belt dimaksudkan sebagai pemecah gelombang tsunami dan

melindungi pemukiman yang berada di dalamnya. Area ini terbagi menjadi

Coastal Forest dan jalur hijau di sepanjang jalan utama. Panjang jalur hijau

sekitar 2149,8 m.

Area pertokoan souvenir merupakan area yang disediakan bagi penduduk

setempat (home industry) untuk mendagangkan hasil-hasil kerajian khas Aceh,

84

baik yang merupakan barang (souvenir) maupun makanan. Area ini berada di

perempatan jalan utama di bawah fly over.

Rencana Sirkulasi

Setelah aktivitas-aktivitas dalam zona potensial kesejarahan diruangkan,

maka selanjutnya adalah menentukan rencana sirkulasi berdasarkan konsep

pembatasan pengunjung. Artinya akses dimodifikasi sedemikian rupa sehingga

terjadi penyaringan pengunjung ke dalam areal wisata yang memang benar-benar

berminat dan memiliki komitmen dalam pelestarian sejarah.

Akses yang cukup banyak dan strategis mencapai pusat-pusat wisata.

Dengan demikian, pengunjung dapat mengakses tapak dari dua pintu masuk, yaitu

melalui Jalan Rama Setia atau melalui Jalan Sultan Iskandar Muda. Akan tetapi

bagi pengunjung yang ingin mengetahui sejarah pergerakan kapal PLTD Apung

dari sebelum tsunami melanda Aceh, disarankan untuk memasuki kawasan ini dari

Jalan Rama Setia, yang akhirya terhubung dengan dermaga di perairan Ulee

Lheue.

Untuk sirkulasi jalan dalam kawasan wisata ini terbagi atas tiga jenis jalan,

yaitu :

Jalan Primer

Jalan primer merupakan jalan yang eksisting dan dapat dilalui oleh

kendaraan bermotor. Jalur primer dapat dijadikan sebagai jalan alternatif bagi

pengunjung yang ingin menyaksikan obyek-obyek wisata tanpa harus melalui

jalan sekunder. Untuk menyaksikan obyek wisata Monumen Syuhada dan Mesjid

Baiturrahim yang berada di luar jalan sekunder dapat melalui jalan ini. Jalan

primer dapat dilalui kendaraan bermotor hingga bis atau bisa juga dengan berjalan

kaki.

Jalan sekunder

Jalan sekunder merupakan jalan baru yang menghubungkan obyek wisata

dan media interpretasi. Jalan ini berupa broadwalk dan hanya dapat diakses bagi

para pengunjung wisata. Untuk pengunjung yang ingin mengelilingi keseluruhan

obyek wisata yang ada dan tidak mampu berjalan kaki dikarenakan jaraknya yang

85

cukup jauh, disediakan bis yang khusus melayani trayek di dalam kawasan wisata

saja.

Jalan Tersier

Untuk menuju objek wisata sejarah yang terdapat dalam zona wisata

utama dapat melalui jalan tersier. Jika dibandingkan dengan jalan primer dan jalan

sekunder, jalan ini berupa trek dengan lebar sekitar 2 m. penyempitan lebar jalan

ini dimaksudkan agar terjadi penyaringan pengunjung dan mencegah terjadinya

penumpukan pengunjung di tiap-tiap objek wisata.

Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Rencana areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah tsunami

pada Gambar 42 memiliki beberapa objek wisata. Objek wisata ini tersebar dalam

beberapa area, sebagian besar tergantung dari jalur interpretasi sejarah pergerakan

kapal PLTD Apung pada saat bencana tsunami melanda Aceh 26 Desember 2004.

Pada area perairan Ulee Lheue, pengunjung dapat melihat posisi awal

kapal PLTD Apung pada saat sebelum tsunami melalui deck yang disediakan.

Bagi pengunjung yang ingi menyaksikan secara langsung lokasi awal kapal, dapat

mengakses tempat tersebut dengan menggunakan perahu.

Setelah perairan Ulee Lheue, pengunjung diarahkan menuju Desa

Lambung. Di desa ini, pengunjung dapat melihat kondisi bangunan yang telah

hancur akibat tsunami, barang-barang yang berantakan, serta bentukan-bentukan

patung abstrak manusia korban tsunami. Area ini dibuat kondisi yang serupa

dengan kondisi daerah tersebut pasca tsunami. Dengan mengunjungi desa ini

pengunjung diharapkan mampu merasakan suasana yang terjadi pada saat itu.

Area souvenir merupakan lokasi bagi masyarakat setempat untuk menjual

barang-barang atau souvenir khas Aceh dan barang-barang yang masih berkaitan

dengan kapal PLTD Apung. Bagi pengunjung yang mengikuti jalur interpretasi

wisata dapat menuju area pertokoan souvenir ini setelah mengunjungi area objek

wisata kapal PLTD Apung. Lokasi pertokoan ini berada tepat dibawah fly over.

86

Gambar 42. Rencana Kawasan Wisata Sejarah Tsunami

87

Di area rekreasi terdapat berbagai jenis permainan anak. Permainan ini

masih berkaitan dengan upaya pemberian pengetahuan kepada anak-anak usia dini

untuk mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan dari bencana tsunami dan

mengajarkan kepada mereka metode penyelamatan diri yang harus dilakukan

apabila bencana tsunami datang kembali.

Pengunjung yang ingin menyaksikan berbagai pertunjukan/atraksi seni

tari tradisional Aceh dapat mengunjungi amphitheater. Pengunjung yang ingin

menyaksikan pertunjukan ini dapat menyesuaikan waktunya dengan jadwal

pertunjukan.

Rencana Jalur Wisata

Jalur interpretasi sebagai jalur wisata yang digunakan menggambarkan

berpindahnya kapal PLTD Apung dari perairan Ulee Lheue ke daratan akibat

gelombang tsunami. Selain itu, jalur interpretasi juga menghubungkan titik-titik

objek bersejarah.

Jalur interpretasi atau jalur wisata menghubungkan tiap-tiap atraksi wisata

dengan rute melingkar. Setiap jalur memiliki interpretasi sendiri yang

memungkinkan pengunjung mengalami pengalaman yang berbeda. Tujuannya

adalah untuk mendiversifikasikan pengunjung sehingga tidak menumpuk pada

satu atraksi saja, tetapi menyebar ke atraksi lainnya. Selain itu juga untuk

mengatur lama tinggal dan waktu perjalanan.

Perencanaan jalur interpretasi wisata utama (Gambar 43) pada kawasan

wisata sejarah tsunami terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan

pengguna. Ketiga jalur itu adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak,

pengunjung dewasa, dan para peneliti. Beberapa beberapa gambar potongan

tampak pada tapak juga dapat dilihat pada Gambar 44 dan gambar ilustrasi

aktivitas yang dapat ditemui pada tapak dapat dilihat pada Gambar 45, serta

hubungan objek wisata dengan atraksi dan fasilitas wisata dapat dilihat pada

Tabel 9.

88

Gambar 43. Rencana Jalur Wisata (Touring Plan)

89

Gambar 44. Potongan Tampak

90

Gambar 45. Ilustrasi Suasana di Kawasan Wisata Sejarah Tsunami

91

Jalur Anak-anak

Jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di areal

yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Dengan memperhatikan Gambar 43,

dapat dilihat bahwa jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak ditandai dengan

keterangan nomor 7,8,10,11.

Jalur Pengunjung Dewasa

Untuk pengunjung dewasa, jalur wisata yang dilalui meliputi jalur

pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari lautan dan berakhir di posisi terakhir

kapal pasca tsunami. Jalur ini dimulai dari keterangan nomor 1,5,2,6,

8,9,10,11,12, dan diakhiri nomor 13.

Jalur bagi Para peneliti

Jalur wisata yang dapat digunakan oleh para peneliti sebagian besar

hampir sama dengan jalur yang dilalui oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang

membedakan adalah hanya para peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan

masuk ke dalam bangunan sirene tower dan refuge building inventory (ruang

penyelamatan terhadap bencana dari laut). Titik-titik area yang dilalui yaitu dari

keterangan nomor 1,3,5,4,3,6,8,10,11,12, dan 13.

Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan

merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi.

92

Tabel 9. Hubungan Objek Wisata dengan

Atraksi dan Fasilitas Wisata

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Kapal PLTD Apung merupakan salah satu objek wisata sejarah tsunami

yang ada di Banda Aceh. Areal di sekitar kapal ini layak dijadikan sebagai

kawasan wisata tsunami di kota Banda Aceh. Kapal ini memiliki keunikan dimana

pada saat terjadinya tsunami, kapal dengan bobot ribuan ton mampu berpindah

posisi sejauh 4 km. Kejadian ini menunjukkan kedasyatan peristiwa tsunami yang

melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Selain itu, kapal PLTD

Apung juga menjadi salah satu bukti nyata bencana tsunami pernah melanda

Aceh. Perencanaan areal di sekitarnya mampu melestarikan nilai-nilai sejarah

yang terkandung di dalamnya, yaitu dengan adanya media dan jalur interpretasi.

Perencanaan areal kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah

tsunami juga didukung pemerintah daerah Kota Banda Aceh yang terdapat dalam

RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016. Jika melihat potensi sumber daya yang ada,

luasan area yang diusulkan oleh Pemda kota Banda Aceh sebagai kawasan wisata

tsunami, masih tergolong kecil. Hal ini dikarenakan ada beberapa obyek-obyek

dan atraksi pendukung yang dapat dikembangkan di areal ini. Oleh karena itu

diperlukan adanya perluasan area. Beberapa objek wisata utama yang dapat

ditemui yaitu Perairan Ulee Lheue, Desa Lambung, Rumah Tsunami, Mesjid

Subulussalam, Monumen Syuhada, dan Mesjid Baiturrahim. Selain itu

pengunjung juga dapat menikmati berbagai media interpretasi seperti tsunami

interpreting outdoor playground, museum tsunami, sirene tower, refuge building

inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari laut), amphitheater, coastal

forest.

Perencanaan jalur interpretasi wisata pada kawasan wisata sejarah tsunami

terbagi menjadi tiga jalur yang dibedakan berdasarkan pengguna. Ketiga jalur itu

adalah jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak, pengunjung dewasa, dan para

peneliti. jalur yang diperuntukkan bagi anak-anak lebih singkat dan berada di

areal yang dekat dengan Kapal PLTD Apung. Untuk pengunjung dewasa, jalur

wisata yang dilalui meliputi jalur pergerakan kapal PLTD Apung, mulai dari

lautan dan berakhir di posisi terakhir kapal pasca tsunami. Jalur wisata yang dapat

94

digunakan oleh para peneliti sebagian besar hampir sama dengan jalur yang dilalui

oleh pengunjung dewasa. Akan tetapi yang membedakan adalah hanya para

peneliti yang diizinkan untuk mengunjungi dan masuk ke dalam bangunan sirene

tower dan refuge building inventory (ruang penyelamatan terhadap bencana dari

laut). Dengan perencanaan jalur ini, pengunjung dapat mengingat kembali dan

merasakan dasyatnya peristiwa tsunami yang terjadi.

Berbagai kegiatan atau aktivitas yang bersifat mendidik mengenai segala

hal tentang tsunami dapat dijumpai di kawasan ini. Diantaranya, foto hunting,

menyaksikan atraksi pendukung wisata sejarah tsunami dan kesenian tradisional

lainnya, tracking, sightseeing, rekreasi, beribadah, mengenang kejadian tsunami,

dan berdoa. Sedangkan fasilitas yang dapat dijumpai yaitu, parkiran, ticketing,

museum, auditorium, amphitheater, sirene tower, refuge building inventory,

shelter, boardwalk, signboard, signage, tempat makan, toilet, tempat bermain, dan

tempat rekreasi.

Saran 1. Memberikan pengertian kepada masyarakat pentingnya melestarikan kawasan

tersebut dan memberikan ganti rugi yang sesuai.

2. Relokasi masyarakat setempat ke area lain yang tidak mengganggu nilai-nilai

kesejarahan dari objek wisata tsunami, serta mencegah terjadinya perubahan

fungsi-fungsi tersebut dengan adanya kontrol dari pemerintah, masyarakat,

dan sektor swasta untuk mempertahankan nilai-nilai kesejarahannya.

3. Perlunya pengembangan kawasan ini dengan penempatan fasilitas dan ruang-

ruang lebih mendetil.

DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Banda Aceh.

2006. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Kota Banda Aceh. Jakarta.

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). 2005. Rencana Induk Rehabilitasi

dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Jakarta. Berkmuller, K. 1981. Guidelines and Techniques for Environmental

Interpretation. University of Michigan. Michigan 48109. USA. 100 p. Booth, N. K. 1983. Basic Elements of Landscape Architectural Design.

Departement of Landscape Architecture Ohio State University. Waveland Press, Inc. USA.

Departemen Kehutanan. 1988a. Pedoman Interpretasi Taman Nasional. Direktorat

Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Direktorat Taman Nasional dan Hutan Wisata. Proyek Pembangunan Taman Nasional dan Hutan Wisata. Bogor. 107 hal.

Dinas Perkotaan dan Permukiman. 2006. Revisi Rencana tata Ruang Wilayah

Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2006-2016. Banda Aceh.

Gold, S. M. 1980. Recreation Planning and Design. McGraw-Hill Book Co. New

York. 332 p. Gunn, C. A. 1997. Vacationscape: Developing Tourist Area, Third Edition. Taylor dan Francis Publ. Washington. Hadjad, A. dkk. 1984. Arsitektur Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Banda Aceh.

Hall, C. M. 2000. Tourism Planning: Policies, Processes and Relationship.

Pearson Education Asia (Pte) Ltd,. 236p. Knudson, D. M. 1980. Outdoor Recreation. Mac Millan Publ., Co,. Inc. New

York. 332 p. Laurie, M. 1990. Pengantar kepada Arsitektur Pertamanan (terjemahan).

Intermatra. Bandung. 130 hal. Muntasib, E. K. S. H. 2002. Teknik Interpretasi Lingkungan. Diktat Kuliah D3

KSH. Studio Rekreasi Alam. Institut Pertanian Bogor. 50 hal.

96

Nurisyah, S dan V. D. Damayanti. 2006. Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Guna Mendukung Program Pendidikan Sumber Daya Pesisir Dan Kelautan dalam Kumpulan Riset Kelautan: Jalan Menuju Kejayaan Bahari. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, BAKOSURTANAL. Cibinong.

Nurisyah, S. dan Q. Pramukanto. 1995. Perencanaan Lanskap (Penuntun

Praktikum). Program Studi Arsitektur Pertamanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. 59 hal.

____________. 2001. Perencanaan Kawasan untuk Pelestarian Lanskap Sejarah

dan Taman Sejarah. Bahan Perkuliahan Perencanaan Lanskap. Program Studi Arsitektur Lanskap. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Bogor. 53 hal.

Rachman, Z. 1984. Proses Berpikir Lengkap Merencana dan Melaksana dalam

Arsitektur Lanskap. Makalah Diskusi Festa VI - Himagron (tidak dipublikasikan). Bogor.

Sharpe, G. W. 1982. Interpreting The Environment. John Wiley and Sons, Inc.

New York. 694 p. Simonds, J. O. 1978. Earthscape. Van Nonstrand Reinhold-Co. New York. 340 p. ___________. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co. New York.

331 p. Sufi, R dan Agus B.W. 2005. Menjelajah Jejak Gempa dan Tsunami; Guide Book

to Aceh. Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. 77 hal.

Tilden, F. 1957. Interpreting Our Heritage Chapel Hill. The University of North

Carolina Press. New York. Tim Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Pedoman Penggunaan Kerangka Peta dan Basis Data Aceh & Nias Versi 2.2. 2005. Jakarta : PT. Insan Hitawasana Sejahtera.

Lampiran 1. Form Kuisioner Penelitian

Kuesioner Penelitian Perencanaan Areal Kapal PLTD Apung Sebagai Kawasan Wisata Sejarah Tsunami Di Kota Banda Aceh,

Nanggroe Aceh Darussalam

Kuisioner ini merupakan salah satu upaya mahasiswa untuk mengetahui tanggapan dan harapan masyarakat terhadap rencana pengembangan areal di

sekitar kapal PLTD Apung sebagai kawasan wisata sejarah di wilayah Kota Banda Aceh.

Karakteristik Responden Jenis Kelamin : Umur :…… tahun Pendidikan Terakhir :

a. SD c. SLTA e. Perguruan Tinggi b. SLTP d. Akademi f. Lainnya………………

Pekerjaan : a. Pelajar e. Polisi/ABRI b. Mahasiswa f. Pensiunan c. Swasta g. Ibu rumah tangga d. Wiraswasta h. Lainnya………………..

1. Di kawasan sekitar kapal PLTD Apung akan dibangun suatu kawasan

wisata sejarah tsunami yang bertujuan melestarikan salah satu objek peninggalan tsunami, yaitu kapal PLTD Apung dan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akibat peristiwa dasyat bencana tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 yaitu dengan merencanakan suatu kawasan yang dapat mengingatkan setiap orang akan peristiwa tsunami. Bagaimana tanggapan anda :

……………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………….... 2. Batasan perencanaan kawasan wisata sejarah dalam mengembangannya

sebaiknya: a) hanya di sekitar lokasi kapal b) mencakup daerah-daerah lainnya yang berpotensi menjadi kawasan

wisata c) lainnya (sebutkan)………..

Alasannya: ....................................................................................................................... .......................................................................................................................

3. Dalam menentukan jalur masuk kawasan wisata ini yang sesuai sebagai jalur interpretasi tunami sebaiknya diambil dari jalur : a) masuknya kapal ke daratan b) masuknya air laut ke daratan c) lainnya..........

98

4. Jika kawasan di sekitar kapal tersebut dikembangkan sebagai kawasan wisata dan jalur interpretasi sejarah tsunami, maka kegiatan apa saja yang ingin anda lakukan di lokasi tersebut? *)

a. berfoto b. melihat pertunjukan c. duduk-duduk d. melihat-lihat objek

wisata

e. bermain f. jalan santai g. berjualan h. lainnya

(sebutkan)................. 5. Jenis fasilitas apa saja yang anda inginkan untuk menunjang kegiatan

tersebut?*)a. pusat informasi b. ampitheater c. mushala d. tempat duduk e. shelter f. toilet g. gazebo h. tempat bermain anak-

anak

i. plaza j. tempat makan k. kios-kios cendramata l. parkiran m. museum tsunami n. auditorium o. lainnya

(sebutkan).................

6. Jika di tempat tersebut diadakan atraksi wisata, bagaimana pendapat anda? a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak tahu

Alasannya: ...............................................................................................................................................................................................................................................

7. Jenis atraksi apa yang anda inginkan untuk mengakomodasi suasana di lokasi tersebut? *)

a. tarian tradisional Aceh b. pemutaran film tsunami c. lainnya(sebutkan)....................................... 8. Apa harapan anda sehubungan dengan adanya perencanaan kawasan

wisata sejarah tsunami di sekitar kawasan kapal PLTD Apung tersebut ? ........................................................................................................................ ........................................................................................................................ ........................................................................................................................

*) jawaban boleh lebih dari satu

- Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya -