perbedaan asupan zat gizi pangan hewani antara …eprints.ums.ac.id/77863/1/naskah publikasi.pdf ·...

24
PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA BADUTA STUNTING DAN NON STUNTING DI PUSKESMAS PRAMBANAN KABUPATEN KLATEN PUBLIKASI ILMIAH Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Oleh : DEWI ARI SHANDY J310171084 PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2019

Upload: others

Post on 08-Oct-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

i

PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI

ANTARA BADUTA STUNTING DAN NON STUNTING DI

PUSKESMAS PRAMBANAN KABUPATEN KLATEN

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I

pada Jurusan Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh :

DEWI ARI SHANDY

J310171084

PROGRAM STUDI ILMU GIZI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2019

Page 2: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

i

Page 3: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

ii

Page 4: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

iii

Page 5: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

1

PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA

BADUTA STUNTING DAN NON STUNTING DI PUSKESMAS

PRAMBANAN KABUPATEN KLATEN

Abstrak

Anak usia dibawah dua tahun (baduta) yaitu anak yang sedang mengalami proses

pertumbuhan yang sangat cepat. Masalah gizi baduta salah satunya stunting. Faktor

yang mempengaruhi status gizi adalah asupan protein, asupan zat besi dan asupan

zink. Pangan hewani memiliki kandungan zat gizi yang lebih baik daripada pangan

nabati, seperti protein, zat besi dan zink karena lebih mudah diserap tubuh.

Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

di atas target RPJMN 2015-2019 sebesar 28%. Menganalisis perbedaan asupan

protein, zat besi dan zink dari pangan hewani antara baduta stunting dan non

stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten. Penelitian ini bersifat

observational dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan

simple random sampling dengan jumlah 90 anak bawah dua tahun. Data asupan

protein, zat besi dan zink menggunakan Questional Semi-Quantitative Food

Frequency dan data status gizi dengan mengukur tinggi badan anak dua tahun. Uji

statistik yang digunakan adalah uji Independent sample T-test untuk asupan protein

dan zink dan uji Mann Whitney untuk asupan zat besi. Rata-rata asupan protein

pangan hewani pada baduta stunting yaitu 6.6 gram dan rata-rata asupan protein

pangan hewani pada baduta non stunting yaitu 9.0 gram. Rata-rata asupan zat besi

pangan hewani pada baduta stunting yaitu 1.1 mg dan rata-rata asupan zat besi

pangan hewani pada baduta non stunting yaitu 1.7 mg. Rata-rata asupan zink

pangan hewani pada baduta stunting yaitu 0.9 mg dan rata-rata asupan zink pangan

hewani pada baduta non stunting yaitu 1.3 mg. Hasil analisis uji beda asupan protein

p=0.000, zat besi p=0.000 dan zink p=0.003 pada baduta stunting dan non stunting.

Ada perbedaan asupan protein, zat besi dan zink dari pangan hewani antara baduta

stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten.

Kata Kunci : anak bawah dua tahun, asupan protein, asupan zat besi, asupan zink,

pangan hewani, stunting

Abstrack

Children under two years old are children who are experiencing a very rapid growth

process. One of Baduta nutrition problems is stunting. Factors affecting nutritional

status are protein intake, iron intake and zinc intake. Animal foods contain better

nutrients than plant foods, such as protein, iron and zinc because they are more

easily absorbed by the body. Baduta stunting prevalence in Prambanan Health

Center is 29%. This figure is still above the 2015-2019 RPJMN target of 28%. This

study aimed to analyze the differences in the intake of protein, iron and zinc from

animal food between stunting and non-stunting in the Prambanan Health Center in

Klaten. This study was observational with cross sectional design. Samplings were

taken using simple random sampling with a total 90 children under two years. Data

on protein, iron and zinc intake were analyzed using the Questional Semi-

Page 6: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

2

Quantitative Food Frequency and nutritional status data by measuring the height of

a two year old child. The statistical test used was Independent sample T-test for

protein and zinc intake and the Mann Whitney Test for iron intake. The average

intake of animal food protein in baduta stunting was 6.6 grams and the average

intake of animal protein in baduta non stunting was 9.0 grams. The average intake

of animal food iron in baduta stunting was 2 mg and the average intake of animal

food in baduta non stunting was 1.7 mg. The average intake of animal food zinc in

baduta stunting was 0.9 mg and the average intake of animal food zinc in baduta

non stunting was 1.3 mg. The results of the analysis of different tests of protein

intake p=0.000, iron p=0.000 and zinc p=0.003 in stunting and non-stunting. There

was a difference in the intake of protein, iron and zinc from animal foods between

stunting and non-stunting in the Prambanan Health Center of Klaten.

Keywords : children under two years, protein intake, iron intake, zinc intake,

animal food, stunting

1. PENDAHULUAN

Salah satu masalah gizi pada balita yang sering ditemukan adalah stunting. Stunting

adalah bentuk pertumbuhan yang gagal (growth faltering) akibat dari nutrisi yang

masuk tidak terpenuhi dan berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24

bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up

growth) yang memadai (Hoffman et al, 2000). Indonesia menempati peringkat ke 5

di dunia dengan jumlah anak pendek terbanyak yaitu 30-39%. Prevalensi stunting

anak balita di Indonesia berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun

2018 adalah 30,8%, sedangkan prevalensi stunting anak baduta sendiri yaitu 29,9%

(terdiri dari 12,8% sangat pendek dan 17,1% pendek). Hasil penelitian pendahuluan

yang dilaksanakan pada Bulan November 2018 di Dinas Kesehatan Kabupaten

Klaten prevalensi baduta stunting tahun 2017 tertinggi di Kabupaten Klaten yaitu

di Puskesmas Prambanan sebesar 29%. Angka ini masih di atas target RPJMN

tahun 2015-2019 baduta stunting yaitu sebesar 28% (Litbangkes, 2018).

Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada masa

pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Dampak buruk yang dapat

ditimbulkan oleh masalah gizi kronis, dalam jangka pendek adalah terganggunya

perkembangan otak, kecerdasan, pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme

dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang adalah menurunnya kemampuan

Page 7: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

3

kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh, dan risiko tinggi

munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,

kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak

kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Black et al,

2013). Status gizi anak dipengaruhi oleh banyak faktor dan faktor-faktor tersebut

saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Menurut Ergin et al (2007) ada 3

faktor langsung penyebab stunting yaitu riwayat penyakit, BBLR (Berat Badan

Lahir Rendah) dan asupan makanan. Sedangkan faktor tidak langsung yang

mempengaruhi status gizi antara lain ASI Eksklusif, tingkat pendapatan keluarga,

jumlah anggota keluarga dan pengetahuan (Khomsan, 2010).

Pangan hewani memiliki kandungan zat gizi yang lebih baik daripada

pangan nabati, seperti protein, zat besi dan zink karena lebih mudah diserap tubuh.

Kandungan protein, zat besi, dan zink pada pangan hewani dapat berfungsi sebagai

pertumbuhan tulang. Konsumsi pangan hewani diperlukan untuk pertumbuhan

tulang pada balita (Hutapea, 2010). Pangan hewani mengandung sumber protein

yang terdiri dari asam amino esensial yang lengkap susunannya yang mendekati

apa yang diperlukan oleh tubuh kita, sehingga sumber protein dari pangan hewani

lebih baik daripada protein dari pangan nabati (Astawan, 2008). Protein yang

mengandung asam amino essensial lengkap akan mendukung pertumbuhan balita

secara optimal. Namun, apabila kandungan asam amino tidak lengkap maka

pertumbuhan optimal pada anak tidak akan terjadi (Brown, 2008).

Pangan hewani mempunyai kandungan zat besi yang lebih baik daripada

pangan nabati. Zat besi adalah elemen esensial bagi tubuh yang dibutuhkan guna

memproduksi darah, yaitu guna untuk mensintesis hemoglobin. Zat besi pangan

hewani mudah diserap antara 10-20%. Zat besi dari pangan nabati hanya dapat

diserap antara1-5%. Zat besi pada sayur diserap 1%, sedangkan zat besi pada ikan

dapat diserap dalam jumlah lebih besar yaitu 11% (Astawan, 2008).

Page 8: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

4

Pangan hewani mempunyai nilai absorpsi seng yang lebih tinggi daripada

pangan nabati. Sumber seng yang memiliki nilai absorpsi tinggi berasal dari daging

dan susu (Solomons, 1993). Beberapa zat seperti asam sitrat, asam palmitat dan

asam pikolinik dapat meningkatkan penyerapan seng, sedangkan fitat (inositol

heksafosfat) dan serat (selulosa) menghambat absorpsi seng. Susu dan produknya

merupakan sumber seng yang penting bagi bayi dan anak-anak. Air susu ibu

mengandung protein ligand yang spesifik untuk seng, disamping asam sitrat, asam

palmitat, dan asam picolinic yang dapat meningkatkan absorpsi seng. Bahan pangan

nabati banyak mengandung asam fitat dan serat (selulosa) yang dapat menghambat

absorpsi seng (Taylor et al, 1991).

Hasil penelitian Aguayo et al (2016) yang dilakukan di India, menyatakan

bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pemberian makan yang kurang seperti

konsumsi telur, produk susu dengan pertumbuhan yang buruk dan stunting pada

anak-anak berusia 6-23 bulan. Hasil penelitian Adani dan Nindya (2017) yang

dilakukan di Kelurahan Manyar Sabrangan Surabaya pada balita usia 25-60 bulan

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan protein dan zink

pada anak balita stunting dan non stunting. Penelitian yang dilakukan Losong dan

Adriani (2017) di wilayah kerja Puskesmas Tambak Wedi Kecamatan Kenjeran

Surabaya pada balita usia 12-24 bulan menunjukkan terdapat perbedaan antara

asupan zat besi dan zink pada anak balita stunting dan non stunting. Hasil penelitian

lain yang dilakukan Putra (2012) menunjukkan terdapat perbedaan antara tingkat

konsumsi protein, zat besi dan zink antara balita stunting dan non stunting di

Kelurahan Kartasura Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo pada balita usia

1-5 tahun.

Tujuan penelitian ini ada tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam

penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan asupan zat gizi pangan hewani

antara baduta stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten

Klaten.

Page 9: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

5

2. METODE

Penelitian ini merupakan penelitian observational dengan pendekatan cross

sectional. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Prambanan

Kabupaten Klaten. Waktu penelitian pada bulan Februari sampai April 2019.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak bawah dua tahun yang bertempat

tinggal di wilayah kerja Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten yang telah

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik sampling dalam penelitian ini

menggunakan simple random sampling dan cara pengambilan sampel dengan cara

undian. Sampel penelitian ini sebanyak 90 anak bawah dua tahun yang terdiri dari

45 baduta stunting dan 45 baduta non stunting. Varibel dalam penelitian ini adalah

asupan protein, zat besi dan zink dari pangan hewani sebagai variabel bebas dan

stunting anak baduta sebagai variabel terikat.

Pengambilan data asupan protein, zat besi dan zink diperoleh dengan

wawancara asupan makanan anak bawah dua tahun dengan mengisi formulir Semi

Quantitative Food Frequency Questionnare (FFQ) dan kemudian dianalisis dengan

menggunakan program nutrisurvey. Data PB/U diperoleh dari pengukuran dengan

menggunakan alat baby length board dengan ketelitian 0,1 cm. Hasil pengukuran

dibandingkan dengan umur untuk mengetahui status gizi berdasarkan nilai Z-Score.

Uji kenormalan menggunakan uji Kolmogorof Smirnov dengan hasil asupan

protein (p=0,168) dan asupan zink (p=0,092) yang berarti berdistribusi normal,

sedangkan asupan zat besi (p=0,007) yang berarti berdistribusi tidak normal. Uji

beda yang digunakan yaitu uji Independent sample T-test untuk asupan protein dan

asupan zink karena data berdistribusi normal dan uji Mann Whitney untuk asupan

zat besi karena data berdistribusi tidak normal. Pengujian menggunakan tingkat

kepercayaan 95% dengan menggunakan program komputer SPSS. Penelitian ini

telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan (FEKP) Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan nomer etical clearance

1992/B.1/KEPK-FKUMS/III/2019.

Page 10: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

6

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Orang Tua

Karakteristik orang tua baduta digolongkan berdasarkan umur,

pekerjaan dan pendidikan ibu baduta. Distribusi karakteristik orang tua

dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Orang Tua

Sampel

Status Gizi Anak Baduta

Stunting Non stunting

N % N %

Umur Ibu

17-25 th

26-35 th

36-45 th

Jumlah

Pekerjaan Ibu

IRT

Buruh

Wiraswasta

Pegawai swasta

PNS

Jumlah

Pendidikan Ibu

SD

SMP

SMA

PT

Jumlah

7

30

8

45

21

9

12

0

3

45

5

8

25

7

45

15.6

66.7

17.8

100

46.7

20.0

26.7

0

6.7

100

11.1

17.8

55.6

15.6

100

10

25

10

45

26

6

8

2

3

45

1

6

29

9

45

22.2

55.6

22.2

100

57.8

13.3

17.8

4.4

6.7

100

2.2

13.3

64.4

20.0

100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur ibu paling banyak

berumur 26-35 tahun yaitu 66.7% untuk anak baduta stunting dan 55.6%

untuk anak baduta non stunting. Klasifikasi umur ibu dalam penelitian ini

berdasarkan klasifikasi usia menurut Depkes RI (2009) yaitu masa remaja

akhir: 17-25 tahun, masa dewasa awal: 26-35 tahun dan masa dewasa akhir

36-45 tahun. Usia 26-35 tahun merupakan usia dewasa awal untuk ibu anak

baduta. Menurut Budiman (2013) usia dewasa memberikan kesempatan

lebih besar untuk belajar dan mengembangkan daya tangkap dan pola pikir

seseorang. Semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkembang

Page 11: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

7

pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh

semakin meningkat. Rahardjo (2011) menyatakan bahwa usia dapat

menggambarkan kematangan seseorang dalam melakukan pengasuhan

terhadap anak (pembentukkan pola konsumsi makan) yang dapat

mempengaruhi status gizi.

Distribusi pekerjaan ibu paling banyak pada anak baduta stunting

dan non stunting adalah ibu rumah tangga yaitu 46.7% untuk anak baduta

stunting dan 57.8% untuk anak baduta non stunting. Pekerjaan ibu sangat

berkaitan erat dengan waktu yang digunakan untuk mengasuh anaknya,

sehingga ibu dapat memberikan pengasuhan yang baik (Suhendri, 2009).

Ibu yang tidak bekerja lebih baik dalam hal pengasuhan anaknya yang

artinya ibu yang tidak bekerja balitanya mempunyai status gizi lebih baik

dibandingkan dengan balita yang ibunya bekerja (Sulistyorini dan Rahayu,

2009). Ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih banyak untuk

anaknya dibandingkan ibu yang bekerja. Ibu yang tidak bekerja akan

menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat, sehingga akan

mempengaruhi kualitas pemberian makanan untuk mendukung

pertumbuhan dan perkembangan anak balita (Aridiyah, 2015).

Distribusi pendidikan ibu paling banyak pada anak baduta stunting

dan non stunting adalah SMA yaitu 55.6% untuk anak baduta stunting dan

64.4% untuk anak baduta non stunting. Tingkat pendidikan ibu akan

mempengaruhi sikap dan pola pikir ibu dalam memberikan makanan kepada

anaknya. Ibu dengan pendidikan tinggi akan mencari, memperoleh dan

menerima berbagai informasi dalam memilih bahan makanan, mengolah

makanan yang sehat dan bergizi sehingga kebutuhan zat gizi anak terpenuhi

(Rozali, 2016). Pendidikan ibu juga dapat mempengaruhi status gizi anak

karena semakin tinggi pendidikan maka akan semakin tinggi pengetahuan

dan kesadarannya untuk menjaga kesehatan anaknya (Zafar dkk, 2009).

3.2 Distribusi Asupan Protein dari Pangan Hewani

Asupan protein dari pangan hewani baduta didapatkan dengan

wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan protein

Page 12: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

8

baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif.

Distribusi sumbangan asupan protein dari pangan hewani berdasarkan status

gizi baduta menurut indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.

Distribusi Asupan Protein dari Pangan Hewani

Asupan protein pangan

hewani

Status Gizi Anak Baduta

Stunting Non stunting

Mean

Minimal

Maksimal

6.6 ± 2.9

3.2

16.6

9.0 ± 3.2

4.0

18.1

Tabel 2. menunjukkan bahwa rata-rata asupan protein pangan

hewani pada baduta stunting sebesar 6.6 gram, angka ini lebih rendah

dibandingkan dengan rata-rata asupan protein pangan hewani pada baduta

non stunting yaitu sebesar 9.0 gram. Nilai standar deviasi pada baduta

stunting 2.9 lebih kecil dari non stunting yaitu 3.2, nilai asupan protein

pangan hewani minimal pada baduta stunting 3.2 gram lebih kecil dari non

stunting yaitu 4.0 gram dan nilai asupan protein pangan hewani maksimal

pada baduta stunting yaitu 16.6 gram lebih kecil dari non stunting yaitu 18.1

gram.

3.3 Distribusi Asupan Zat Besi dari Pangan Hewani

Asupan zat besi dari pangan hewani baduta didapatkan dengan

wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan zat besi

baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif.

Distribusi asupan zat besi dari pangan hewani berdasarkan status gizi baduta

menurut indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.

Distribusi Asupan Zat Besi dari Pangan Hewani

Asupan zat besi pangan

hewani

Status Gizi Anak Baduta

Stunting Non stunting

Mean

Minimal

Maksimal

1.1 ± 0.7

0.2

3.3

1.7 ± 0.9

0.4

4.2

Page 13: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

9

Tabel 3. menunjukkan bahwa rata-rata asupan zat besi pangan

hewani pada baduta stunting sebesar 1.1 mg, angka ini lebih rendah

dibandingkan dengan rata-rata asupan zat besi pangan hewani pada baduta

non stunting yaitu sebesar 1.7 mg. Nilai standar deviasi pada baduta stunting

0.7 lebih kecil dari non stunting yaitu 0.9, nilai asupan zat besi pangan

hewani minimal pada baduta stunting 0.2 mg lebih kecil dari non stunting

yaitu 0.4 mg dan nilai asupan zat besi pangan hewani maksimal pada baduta

stunting yaitu 3.3 mg lebih kecil dari non stunting yaitu 4.2 mg.

3.4 Distribusi Asupan Zink dari Pangan Hewani

Asupan zink dari pangan hewani baduta didapatkan dengan

wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan zink baduta

selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif. Distribusi

asupan zink dari pangan hewani berdasarkan status gizi baduta menurut

indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4.

Distribusi Asupan Zink dari Pangan Hewani

Asupan zink pangan

hewani

Status Gizi Anak Baduta

Stunting Non stunting

Mean

Minimal

Maksimal

0.9 ± 0.5

0.1

2.3

1.3 ± 0.7

0.4

3.2

Tabel 4. menunjukkan bahwa rata-rata asupan zink pangan hewani

pada baduta stunting sebesar 0.9 mg, angka ini lebih rendah dibandingkan

dengan rata-rata asupan zink pangan hewani pada baduta non stunting yaitu

sebesar 1.3 mg. Nilai standar deviasi pada baduta stunting 0.5 lebih kecil

dari non stunting yaitu 0.7, nilai asupan zink pangan hewani minimal pada

baduta stunting 0.1 mg lebih kecil dari non stunting yaitu 0.4 mg dan nilai

asupan zink pangan hewani maksimal pada baduta stunting yaitu 2.3 mg

lebih kecil dari non stunting yaitu 3.2 mg.

Page 14: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

10

3.5 Distribusi Sumbangan Asupan Protein dari Pangan Hewani

Sumbangan asupan protein dari pangan hewani baduta didapatkan

dengan wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan

protein baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif

kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada usia

1-3 tahun. Distribusi sumbangan asupan protein dari pangan hewani

berdasarkan status gizi baduta menurut indeks PB/U dapat dilihat pada

Tabel 5.

Tabel 5.

Distribusi Sumbangan Asupan Protein dari Pangan Hewani

Kategori sumbangan

asupan protein

Status Gizi Anak Baduta

Stunting Non stunting

N % N %

Tidak cukup

Cukup

Jumlah

15

30

45

33.3

66.7

100

3

42

45

6.7

93.3

100

Distribusi pada Tabel 5. menunjukkan bahwa sumbangan asupan

protein pangan hewani paling tinggi pada anak baduta stunting dan anak

baduta non stunting adalah tingkat konsumsi protein cukup (≥20% dari

AKG) yaitu 66.7% pada anak baduta stunting lebih rendah dari anak baduta

non stunting yaitu 93.3%.

3.6 Distribusi Sumbangan Asupan Zat Besi dari Pangan Hewani

Sumbangan asupan zat besi dari pangan hewani baduta didapatkan

dengan wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan zat

besi baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif

kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada usia

1-3 tahun. Distribusi sumbangan asupan zat besi berdasarkan status gizi

baduta menurut indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 15: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

11

Tabel 6.

Distribusi Sumbangan Asupan Zat Besi dari Pangan Hewani

Kategori sumbangan

asupan zat besi

Status Gizi Anak Baduta

Stunting Non stunting

N % N %

Kurang

Cukup

Baik

Jumlah

4

11

30

45

8.9

24.4

66.7

100

0

8

37

45

0

17.8

82.2

100

Distribusi pada Tabel 6. menunjukkan bahwa sumbangan asupan zat

besi pangan hewani paling tinggi pada anak baduta stunting dan anak baduta

non stunting adalah tingkat konsumsi zat besi baik (>10% dari AKG) yaitu

66.7% pada anak baduta stunting lebih rendah dari anak baduta non stunting

yaitu 82.2%.

3.7 Distribusi Sumbangan Asupan dari Pangan Hewani

Sumbangan asupan zink dari pangan hewani baduta didapatkan

dengan wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan zink

baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif

kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada usia

1-3 tahun. Distribusi sumbangan asupan zink berdasarkan status gizi baduta

menurut indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7.

Distribusi Sumbangan Asupan Zink dari Pangan Hewani

Kategori sumbangan

asupan zink

Status Gizi Anak Baduta

Stunting Non stunting

N % N %

Kurang

Cukup

Baik

Jumlah

2

7

36

45

4.4

15.6

80.0

100

0

4

41

45

0

8.9

91.1

100

Page 16: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

12

Distribusi pada Tabel 7. menunjukkan bahwa sumbangan asupan

zink pangan hewani paling tinggi pada anak baduta stunting dan anak baduta

non stunting adalah tingkat konsumsi zink baik (>10% dari AKG) yaitu

80.0% pada anak baduta stunting lebih rendah dari anak baduta non stunting

yaitu 91.1%.

3.8 Perbedaan Asupan Protein Pangan Hewani antara Baduta Stunting

dan Non Stunting

Hasil dari uji perbedaan asupan protein pangan hewani antara baduta

stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten dapat

dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8.

Perbedaan Asupan Protein Pangan Hewani antara Baduta Stunting dan

Non Stunting

Asupan protein Status Gizi Anak Baduta Sig (p)

Stunting Non stunting

Mean

Minimal

Maksimal

6.6 ± 2.9

3.2

16.6

9.0 ± 3.2

4.0

18.1

0.000

Tabel 8. menunjukkan bahwa hasil analisis uji Independent sample

T-test, diperoleh hasil dengan p-value sebesar 0.000 yang berarti ada

perbedaan asupan protein pangan hewani antara baduta stunting dan non

stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Prakoso (2015) yang dilakukan di Desa Kopen

Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali pada balita usia 24-59 bulan

menyatakan bahwa ada perbedaan tingkat konsumsi protein antara anak

balita stunting dan non stunting. Hasil penelitian Adani dan Nindya (2017)

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan protein

anak balita stunting dan non stunting pada balita usia 25-60 bulan.

Penelitian lain yang dilakukan Aguayo et al (2016) yang dilakukan di India,

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pemberian makan

yang kurang seperti konsumsi telur, produk susu yang mana tinggi protein

Page 17: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

13

dengan pertumbuhan yang buruk dan stunting pada anak-anak berusia 6-23

bulan.

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian

terbesar tubuh sesudah air. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat

digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan

jaringan tubuh (Almatsier, 2010). Angka kecukupan protein tergantung dari

macam dan jumlah bahan makanan nabati dan hewani yang dikonsumsi

manusia setiap harinya (Kartasapoetra, 2010). Bahan makanan hewani

merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutunya,

seperti: telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier, 2010).

Pangan hewani mengandung sumber protein yang terdiri dari asam amino

esensial yang lengkap susunannya yang mendekati apa yang diperlukan oleh

tubuh kita, sehingga sumber protein dari pangan hewani lebih baik daripada

protein dari pangan nabati (Astawan, 2008).

Kualitas dan kuantitas asupan protein yang baik dapat berfungsi

sebagai Insulin growth factor 1 (IGF-1) yang merupakan mediator dari

hormon pertumbuhan dan pembentuk matriks tulang (Mikhail et al, 2013).

Asupan protein yang kurang dapat merusak massa mineral tulang dengan

cara merusak produksi IGF-1, yang mempengaruhi pertumbuhan tulang

dengan merangsang poliferasi dan diferensiasi kondrosit di lempeng epifisi

pertumbuhan dan akan memengaruhi osteoblas (Sari dkk, 2016). Hal

tersebut berarti bahwa jika balita kekurangan asupan protein dapat

menyebabkan pertumbuhan linier terganggu dan mengakibatkan stunting.

Kekurangan protein pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor dan

gangguan pertumbuhan tulang pada anak-anak dibawah lima tahun

(Almatsier, 2010).

3.9 Perbedaan Asupan Zat Besi Pangan Hewani antara Baduta Stunting

dan Non Stunting

Hasil dari uji perbedaan asupan zat besi pangan hewani antara

baduta stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten

Klaten dapat dilihat pada Tabel 9.

Page 18: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

14

Tabel 9.

Perbedaan Asupan Zat Besi Pangan Hewani antara Baduta Stunting dan

Non Stunting

Asupan zat besi Status Gizi Anak Baduta Sig (p)

Stunting Non stunting

Mean

Minimal

Maksimal

1.1 ± 0.7

0.2

3.3

1.7 ± 0.9

0.4

4.2

0.000

Tabel 9. menunjukkan bahwa hasil analisis uji Mann Whitney,

diperoleh hasil dengan p-value sebesar 0.000 yang berarti ada perbedaan

asupan zat besi pangan hewani antara baduta stunting dan non stunting di

Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian Losong dan Adriani (2017) yang dilakukan di wilayah

kerja Puskesmas Tambak Wedi Kecamatan Kenjeran Surabaya pada balita

usia 12-24 bulan menunjukkan terdapat perbedaan antara asupan zat besi

pada anak balita stunting dan non stunting. Penelitian yang dilakukan Putra

(2012) menunjukkan terdapat perbedaan antara tingkat konsumsi zat besi

antara balita stunting dan non stunting di Kelurahan Kartasura Kecamatan

Kartasura Kabupaten Sukoharjo pada balita usia 1-5 tahun. Hasil penelitian

lain yang dilakukan Rivera dkk (2003) menyatakan bahwa suplementasi

besi, seng dan vitamin A dapat meningkatkan pertumbuhan balita yang

kualitas dietnya buruk.

Zat besi adalah salah satu mineral mikro yang terbanyak dalam

tubuh manusia. Zat besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu

heme dan non heme. Besi heme ditemukan dalam produk hewani, terutama

daging, ikan, dan unggas. Besi heme memiliki tingkat absorbsi yang tinggi

karena penyerapannya tidak dihambat oleh bahan penghambat. Sekitar 50%

hingga 60% dari zat besi dalam daging, ikan, dan unggas adalah besi heme,

sisanya besi non heme. Besi non heme terdapat dalam tumbuh-tumbuhan,

seperti kacang, buah, sayuran, biji-bijian, tahu (Gropper & Smith, 2012).

Pangan hewani mempunyai kandungan Fe yang lebih baik daripada pangan

nabati. Zat besi pangan hewani mudah diserap antara 10-20%, Zat besi dari

Page 19: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

15

pangan nabati hanya dapat diserap antara1-5%. Zat besi pada sayur diserap

1%, sedangkan zat besi pada ikan dapat diserap dalam jumlah lebih besar

yaitu 11% (Astawan, 2008).

Asupan zat besi disimpan dalam otot dan sumsum tulang belakang.

Jika kecukupan zat besi inadekuat, maka simpanan zat besi pada sumsum

tulang belakang yang digunakan untuk memproduksi Hemoglobin (Hb)

menurun. Hb berfungsi sebagai pembawa oksigen dari paru-paru keseluruh

tubuh. Apabila Hb menurun, eritrosit protoporfirin bebas akan meningkat

yang akan mengakibatkan sintesis heme berkurang dan ukuran eritrosit akan

mengecil (eritrosit mikrositik). Kondisi yang seperti ini akan

mengakibatkan anemia besi (Zhang et al, 2011). Selain dapat menyebabkan

anemia besi, defisiensi besi dapat menurunkan kemampuan imunitas tubuh,

sehingga penyakit infeksi mudah masuk kedalam tubuh. Anemia besi dan

penyakit infeksi yang berkepanjangan akan berdampak pada pertumbuhan

linier anak (Soliman et al, 2014).

3.10 Perbedaan Asupan Zink Pangan Hewani antara Baduta Stunting

dan Non Stunting

Hasil dari uji perbedaan asupan zink pangan hewani antara baduta

stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten dapat

dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10.

Perbedaan Asupan Zink Pangan Hewani antara Baduta Stunting dan Non

Stunting

Asupan zink Status Gizi Anak Baduta Sig (p)

Stunting Non stunting

Mean

Minimal

Maksimal

0.9 ± 0.5

0.1

2.3

1.2 ± 0.7

0.4

3.2

0.003

Tabel 10. menunjukkan bahwa hasil analisis uji Independent sample

T-test, diperoleh hasil dengan p-value sebesar 0.003 yang berarti ada

perbedaan asupan zink pangan hewani antara baduta stunting dan non

stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten. Hasil penelitian ini

Page 20: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

16

sejalan dengan penelitian Adani dan Nindya (2017) yang dilakukan di

Kelurahan Manyar Sabrangan Surabaya pada balita usia 25-60 bulan

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan zink pada

balita stunting dan non stunting. Hasil penelitian Losong dan Adriani (2017)

yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tambak Wedi Kecamatan

Kenjeran Surabaya pada balita usia 12-24 bulan menunjukkan terdapat

perbedaan antara asupan zink pada anak balita stunting dan non stunting.

Penelitian lain yang dilakukan Mikhail, dkk (2013) bahwa kekurangan

asupan mikronutrien seperti kalsium, zink, magnesium, dan vitamin A dapat

menghambat pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya stunting pada

anak usia 0-4 tahun di Mesir.

Zink sangat berkaitan dengan metabolisme tulang, sehingga sangat

penting dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan (Anindita, 2012).

Pangan hewani mempunyai nilai absorpsi seng yang lebih tinggi daripada

pangan nabati. Sumber seng yang memiliki nilai absorpsi tinggi berasal dari

daging dan susu (Solomons, 1993). Beberapa zat seperti asam sitrat, asam

palmitat dan asam pikolinik dapat meningkatkan penyerapan seng,

sedangkan fitat (inositol heksafosfat) dan serat (selulosa) menghambat

absorpsi seng. Susu dan produknya merupakan sumber seng yang penting

bagi bayi dan anak-anak. Air susu ibu mengandung protein ligand yang

spesifik untuk seng, disamping asam sitrat, asam palmitat, dan asam

picolinic yang dapat meningkatkan absorpsi seng. Bahan pangan nabati

banyak mengandung asam fitat dan serat (selulosa) yang dapat menghambat

absorpsi seng (Taylor et al, 1991).

Asupan zink yang terdapat pada pangan hewani juga memiliki peran

yang sangat penting terhadap pertumbuhan manusia karena mempunyai

struktur dan peran dibeberapa sistem enzim yang terlibat dalam

pertumbuhan fisik, imunologi dan fungsi reproduksi. Apabila terjadi

kekurangan zink maka dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik pada anak-

anak (Abunada, et al 2013). Hormon-hormon penting yang berhubungan

dengan zink yang terlibat dalam pertumbuhan tulang seperti samatomedin-

Page 21: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

17

c, osteocalcin, testosteron, hormon tiroid dan insulin. Zink juga dapat

mempercepat efek vitamin D terhadap metabolisme tulang dengan stimulasi

sintesis DNA di sel-sel tulang. Zink sangat berkaitan dengan metabolisme

tulang, sehingga sangat penting dalam tahap pertumbuhan dan

perkembangan (Anindita, 2012).

Protein hewani terutama daging, hati, kerang, dan telur merupakan

sumber zink yang paling baik (Almatsier, 2010). Dampak apabila

kekurangan zink akan terjadi menurunnya ketajaman indera perasa,

melambatnya penyembuhan luka, gangguan pertumbuhan, penurunan

kematangan seksual, gangguan pembentukan IgG, dan gangguan

homeostatis (Siswanto, et al 2013). Dampak lain apabila kekurangan zink

yaitu dapat meningkatkan resiko diare dan infeksi saluran nafas (Anindita,

2012).

4. PENUTUP

Ada perbedaan asupan protein pangan hewani antara baduta stunting dan non

stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten dengan nilai (p=0.000). Ada

perbedaan asupan zat besi pangan hewani antara baduta stunting dan non stunting

di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten dengan nilai (p=0.000). Ada perbedaan

asupan zink pangan hewani antara baduta stunting dan non stunting di Puskesmas

Prambanan Kabupaten Klaten dengan nilai (p=0.003)

PERSANTUNAN

Terimakasih kepada Ibu Susi Dyah Puspowati, SP., M.Si., selaku Dosen

Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, nasehat, waktu dan masukan

kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abunada, S., Jalambo, O., Ramadan, dan Zabut. 2013. “Nutritional assessment of

zinc among adolescents in the Gaza Strip-Palestine”. Journal of

Epidemiology, pp.105-10.

Page 22: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

18

Adani, F. Y., dan Nidya, T. S. 2017. “Perbedaan Asupan Energi, Protein, Zink dan

Perkembangan Pada Balita Stunting dan Non Stunting”. Skripsi. Surabaya:

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Aguayo, V. M., Nair, R., Badgaiyan, N., dan Krishna, V. 2016. “Determinants of

Stunting and Poor Linear Growth in Children Under 2 Years of Age in India:

An in-Depth Analysis of Maharashtra’s Comprehensive Nutrition Survey”.

Maternal and Child Nutrition. Doi: 10.1111/mcn.12259.

Almatsier, S. 2010. “Prinsip Dasar Ilmu Gizi”. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Angka Kecukupan Gizi (AKG). 2013. Jakarta.

Anindita, P. 2012. “Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga,

Kecukupan Protein dan Zinc dengan Stunting (Pendek) Pada Balita Usia 6-

35 Bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang”. Skripsi. Semarang:

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.

Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., Ririanty, M. 2015. “Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan

dan Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rurals and

Urban Areas)". E-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 3 (1).

Astawan, M. 2008. “Sehat dengan Hidangan Hewani”. Penebar Swadaya: Depok.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes). 2018. “Hasil Utama

Riskesdas 2018”. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.

Brown, J. E. 2008. “Nutrition Through the Life Cycle, Fourth Edition”. Belmont:

Thomson Wadswoth.

Budiman, R. 2013. “Kapita Selekta Kuesioner”. Salemba Medika: Jakarta.

Depkes RI. 2009. “Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008”. Jakarta.

_________. 2014. “Pedoman Gizi Seimbang”. Kementerian Kesehatan RI.

Available at http://gizi.depkes.go.id. (diakses pada tanggal 5 Oktober 2018):

Jakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten. 2017. “Hasil Pemantauan Status Gizi Balita”.

Klaten.

Gropper, S. S., Smith, J. L., dan Groff, J. L. 2012. “Advence Nutrition and Human

Metabolism”. Fifth ed. Belmon, Wadsworth, Cengange Learning: USA.

Page 23: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

19

Hoffman, D. J., Sawaya, A. L., Verreschi, I., Tucker, K. L., Roberts, S. B. 2000.

“Why Are Nutritionally Stunted Children at Increased Risk of Obesity?

Studies of Metabolic Rate and Fat Oxidation in Shantytown Children from

São Paulo, Brazil. Am J Clin Nutrition 72:702–7.

Hutapea. 2010. “Biosintesis metabolic Skunder Edisi Kedua”. Terjemahan oleh

Bambang Srigandono. IKIP semarang Press: Semarang.

Kartasapoetra, M. M. 2010. “Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas

Kerja)”. Rineka Cipta: Jakarta.

Khomsan, A. 2010. “Pangan dan Gizi untuk Kesehatan”. Rajagrafindo Persada:

Jakarta.

Lanham-New, S. A., MacDonald, I. A., dan Roche, H. M. 2015. “Metabolisme Zat

Gizi (Nutritional and Metabolism)”. EGC: Jakarta.

Losong, N. H. F., dan Adriani, M. 2017. “Perbedaan Kadar Hemoglobin, Asupan

Zat Besi, dan Zinc pada Balita Stunting dan Non Stunting”. Skripsi.

Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Mikhail, W. Z. A., Sobhy, H. M., El-sayed, H. H., Khairy, S. A., Salem, H. Y. A.,

dan Samy, M. A. 2013. “Effect of Nutritional Status on Growth Pattern of

Stunted Preschool Children in Egypt”. Academic Journal of Nutrition 2 (1):

01-09.

Prakoso, B. A. 2015. “Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi Protein Vitamin A dan

Perilaku KADARZI pada Anak Balita Stunting dan Non Stunting di Desa

Kopen Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali”. Skripsi. Surakarta: Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pudyani, S. 2005. “Reversibilitas Klasifikasi Tulang Akibat Kekurangan Protein

Pre dan Post Natal”. Yogyakarta.

Putra, P. T. A. 2012. “Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi, Protein dan Zat Gizi

Mikro Antara Anak Balita Stunting dan Non Stunting di Kelurahan Kartasura

Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo”. Skripsi. Surakarta: Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Rahardjo, S. 2011. “Karakteristik Keluarga yang Berhubungan dengan Status Gizi

Balita Umur 6-59 Bulan”. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Rozali, N. A. 2016. “Peranan Pendidikan Pekerjaan Ibu dan Pendapatan Keluarga

terhadap Status Gizi Balita di Posyandu RW 24 dan 08 Wilayah Kerja

Puskesmas Nusukan Kota Surakarta”. Skripsi. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Page 24: PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA …eprints.ums.ac.id/77863/1/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih

20

Rudolf, M., dan Levene, M. 2010. “Pediatric and Child Health”. Edisi ke-2

Blackwel Publishing.

Siswanto., Budisetyawati., dan Ernawati, F. 2013. “Peran Beberapa Zat Gizi Mikro

dalam Sistem Imunitas”. Gizi Indon , 36(1), pp.57-64.

Soliman, A. T., Sanctis, V. D., dan Kalra, S. 2014. “Anemia and Growth”. Indian

Journal of Endocrinology and Metabolism 18.Suppl 1: S1–S5.

Solomons, N. W. 1993. Zinc. Dalam: Macrae R, Robinson RK, Sadler MJ, eds.

“Encyclopedia of food science, food technology and nutrition”. Academic

Press 4980-94: London.

Suhardjo. 2008. “Perencanaan Pangan dan Gizi”. Bumi Aksara: Jakarta.

Suhendri, U. 2009. “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi di Bawah

Lima Tahun di Puskesmas Sepatan Kecamatan Sepatan Kabupaten

Tangerang Tahun 2009”. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah.

Sulistyorini, E dan Rahayu, T. 2009. “Hubungan Pekerjaan Ibu Balita Terhadap

Status Gizi Balita di Posyandu Prima Sejahtera Desa Pandean Kecamatan

Ngemplak Kabupaten Boyolali Tahun 2009”. Skripsi. Boyolali: Akbid Estu

Utomo.

Supariasa, I. D. N., Bakri, B., dan Fajar, I. 2012. “Penilaian Status Gizi”. Buku

Kedokteran EGC: Jakarta.

Taylor, C. M., Bacon, J. R., dan Aggett, P. J. 1991. “Homeostasis regulation of zinc

absorption and endogenous lossess in zinc deprived man”. Am J Clin Nutr

53:755-63.

World Health Organization (WHO). 2010. “Nutrition Landscape Information

System (NLIS) Country Profile Indicators: Interpretation Guide”. Geneva:

World Health Organization.

Zafar, S., Yasin, H. S., dan Siddiqi, A. 2009. “Early Childhood Caries: Etiology,

Clinical Considerations, Consequences and Management”. Clinical Nutrition

Journal.

Zhang, J., Shi, J., Himes, J. H., Du, Y., Yang, S., Shi, S., dan Zhang, J. 2011.

“Undernutrition status of children under 5 years in Chinese rural areas – data

from the National Rural Children Growth Standar Survey”. Asia Pasific J

Clin Nutrition; 20(4): 584-592.