peranan pappasang sebagai sumber hukum dalam … · pengertian . antropologi dan antropologi hukum...
TRANSCRIPT
S K R I P S I
PERANAN PAPPASANG SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM MASYARAKAT ADAT KAJANG
(Suatu Kajian Antropologi Hukum)
Oleh:
MUHAMMAD AKHSAN AMIR
B 111 12 108
DAPARTEMEN HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
HALAMAN JUDUL
PERANAN PAPPASANG SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM MASYARAKAT ADAT KAJANG
(Suatu Kajian Antropologi Hukum)
Oleh:
MUHAMMAD AKHSAN AMIR
B 111 12 108
S K R I P S I
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Pada Dapartemen Hukum Masyarakat Dan Pembangunan
Program Studi Ilmu Hukum
DAPARTEMEN HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
PERANAN PAPPASANG SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM MASYARAKAT ADAT KAJANG
(Suatu Kajian Antropologi Hukum)
Disusun dan Diajukan Oleh :
MUHAMMAD AKHSAN AMIR B111 12 108
Telah Dipertahankan Dihadapan Panitia Ujian Skripsi Yang Dibentuk
Dalam Rangka Penyelesaian Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Masyarakat Dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Pada 24 Februari 2017 Dan Dinyatakan Diterima
Panitia Ujian
Ketua
Dr. Hasbir Paserangi S.H.,M.H. NIP. 19700708 199412 1 001
Sekretaris
Dr. Sri Susyanti Nur S.H.,M.H NIP. 19641123 199002 2 001
A.n. Dekan Bidang Akademik dan
Pengembangan
Prof. Dr. Ahmadi Miru S.H.,M.H NIP. 19610607 198601 1 003
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan Bahwa Skripsi Dari :
Nama : MUHAMMAD AKHSAN AMIR
Nomor Pokok : B111 12 108
Bagian : HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN
Judul : PERANAN PAPPASANG SEBAGAI SUMBER
HUKUM DALAM MASYARAKAT ADAT KAJANG
(Suatu Kajian Antropologi Hukum)
Telah Diperiksa Dan Disetujui Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi:
Makassar, Februari 2017
Pembimbing I
Dr. Hasbir Paserangi S.H.,M.H. NIP. 19700708 199412 1 001
Pembimbing II
Dr. Sri Susyanti Nur S.H.,M.H NIP. 19641123 199002 2 001
iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI
Diterangkan Bahwa Skripsi Dari :
Nama : MUHAMMAD AKHSAN AMIR
Nomor Pokok : B111 12 108
Bagian : HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN
Judul : PERANAN PAPPASANG SEBAGAI SUMBER
HUKUM DALAM MASYARAKAT ADAT KAJANG
(Suatu Kajian Antropologi Hukum)
Telah Memenuhi Syarat Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi Sebagai
Ujian Akhir Program Studi.
Makassar, Februari 2017
/
A.n. Dekan Bidang Akademik dan
Pengembangan
Prof. Dr. Ahmadi Miru S.H.,M.H NIP. 19610607 198601 1 003
v
A B S T R A K
MUHAMMAD AKHSAN AMIR (B111 12 108), Peranan Pappasang Sebagai Sumber Hukum Dalam Masyarakat Adat Kajang (Suatu Kajian Antropologi Hukum).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pappasang dalam masyarakat hukum adat Kajang serta mekanisme lembaga adat dalam melaksanakan pappasang. Penelitian ini dilaksanakan langsung di wilayah adat, tepatnya Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Metode penelitian ini adalah wawancara dan observasi dengan teknik penyusunan kualitatif dan dijabarkan secara analisis deskripsi.
Sumber Hukum Adat Kajang adalah pappasang, inilah yang menjadi pedoman pokok dalam membingkai pola kehidupan masyarakatnya yang terus dipertahankan, dalam segala sendi kehidupan masyarakatnya pappasang mengatur bagaimana hubungan dengan Tuhan yang disebut dengan Turiek Arakna, mengatur bagaimana hubungan antar sesama manusia dan mengatur hubungan dengan alam. Olehnya itu, pappasang mempunyai nilai sakralitas bagi masyarakat adat Kajang untuk menjaganya tetap terlaksana, dimana yang paling bertanggung jawab untuk menjaga sakralitas dan eksistensi dari pappasang adalah Ammatoa sebagai pemimpin adat. Ammatoa sendiri mempunyai pemangku-pemangku adat sebagai lembaga adat yang bertugas membantunya menjalankan pappasang dengan fungsi dan tugasnya masing-masing, lembaga adat menjalankan isi pasang sesuai dengan setiap urusan ataupun permasalahan yang dilimpahkan secara adat, mulai dari kegiatan A’borong sebagai bentuk peradilan adat, ritual-ritual serta upacara-upacara adat, ini semua merupakan mekanisme dalam melaksanakan pappasang sebagai sumber hukum dalam masyarakat adat Kajang
vi
A B S T R A C T
MUHAMMAD AKHSAN AMIR (B111 12 108) The Role of
Pappasang as a Source of Law in Indigenous Kajang Communities (a
study of law anthropology).
This study aims to determine the role of Pappasang as customary
law in the Kajang society and mechanism of traditional institutions in
implementing pappasang. This research was conducted in rural
indigenous areas, Tana Toa Village Kajang sub-districts Bulukumba
Regency. This research methods are interviews and observation
techniques elaborated preparation and analysis of qualitative descriptions.
Source Kajang customary law is pappasang. This is the basic
guidance in framing pattern of community life is maintained, in all aspects
of life in society pappasang regulate how a relationship with God called
TuriekArakna, regulate how the relationship between humans and regulate
the relationship with nature. Consequently, pappasang has a sacred value
for the Kajang people to keep it happen, which is most responsible for
keeping sacred and the existence of pappasang is Ammatoa as
indigenous leaders. Ammmatoa itself has a traditional authorities as
customs agency in charge of helping him run pappasang with the
functions and duties of each, run custom agency pairs contents in
accordance with any matters or issues delegated by custom, from
A'borong activity as a form of traditional justice, ritual rites and
ceremonies, these are the mechanisms to implement pappasang as a
source of law in the Kajang people.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan hidayah serta kesempatan dan
kesehatan yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dengan judul “PERANAN
PAPPASANG SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM MASYARAKAT
ADAT KAJANG (Suatu Kajian Antropologi Hukum)”
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna dan
masih memiliki banyak kekurangan baik dalam bentuk penyajian,
pelaksanaan penelitian, maupun sistematika penulisan, karena
keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penulis.
Maka dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak guna perkembangan intelektual
pribadi penulis.
Pada seluruh proses penyelesaian studi ini penulis menghaturkan
rasa terimakasih yang setulus-tulusnya kepada kedua orang tua penulis
H. Amiruddin S,Pd dan Hj. Ismawati S,Pd beserta seluruh keluarga besar
tercinta yang telah membesarkan dan memberikan kasih sayang yang
sangat dalam kepada penulis. Penulis juga banyak mendapatkan bantuan
viii
dari berbagai pihak dan oleh sebab itu maka penulis menyampaikan
terimakasih yang setulusnya kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin beserta segenap jajaran struktural di Rektorat
Universitas Hasanuddin.
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.
selaku Wakil Dekan I, Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H.selaku
Wakil Dekan II dan Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Wakil
Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Dr. Hasbir Paserangi, S.H., M.H. berperan selaku pembimbing I
dan Dr. Sri Susyanti Nur S.H.,M.H selaku pembimbing II.
Terimakasih atas segala perhatian serta nasehat dan saran demi
terselesaikannya skripsi ini.
4. Para Tim Penguji Dr. Wiwie Heryani S.H., M.H, Dr. Andi Tenri
Famauri S.H., M.H dan Dr. Ratnawati S.H., M.H. Terimakasih atas
semua saran dan kritikan yang membangun demi kesempurnaan
skripsi ini.
5. Prof. Dr. Suriyaman Mustari Pide S.H., M.H. selaku Penanggung
jawab Akademik selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
6. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
yang telah membantu dan member kemudahan dalam setiap
ix
pengurusan selama penulis kuliah hingga tahap penyelesaian
skripsi ini.
7. Kepala Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Kepala Desa
Tanah Towa, Kajang yang memberikan izin penelitian dan para
pemangku adat Kajang yang berkenan menjadi narasumber penulis
selama penelitian.
8. Organisasi dan lembaga yang menjadi ladang ilmu bagi penulis
selama masa studi CAREFA UNHAS, RAUSYAN FIKR, LEDHAK,
LP2KI, ALSA LC UNHAS, HMI KOMISARIAT HUKUM UNHAS,
LEGAL DISPOSISI, MAKRO GEAR 1995, JAKFI YOGYA, JAKFI
MAKASSAR, IMH Sulbar.
9. Keluarga kecil yang spesial, tempat berbagi senang, susah, konflik,
dan cinta. Carefa Survive Room (CSR) #vivacarefaforever
10. Teman seperjuangan selama masa kuliah, Wahyudi Kasrul S.H,
Agus Muliadi S.H, Arham Aras S.H, Jusliani S.H., Adri Inggil
Makrifah, S.H., Muh. Nur Fadli Imran, S.H, Aldi Hamzah,
Armansyah Akbar, Muhammad Sarif Nur, S.H., Andi Asriani Tenri
Angka, S.H., Ahmad Tojiwa Ram, S.H., Wahyu Hidayat, S.H., Resti
Gloria Pasomba, S.H.,terimakasih atas segala bantuan mulai dari
awal perkuliahan hingga saat ini.
11. Saudara tak sedarahku tercinta A. Aswin S, Km., Suparman S.H.,
Achriani S, Per., Andi Waiz Alqurni S, Bid., Dwi Putri Sasmita Tahir
S,Pd., Cua Rian Ripaldi S, Km., Wardiman S,Km.,Aan Edwin
x
Wiranata S,Pd., Anugrah Zulfaidah S.T., Fungki, Chairunnisa
S,Sas. Sri Utami Dian Kartika S, Bid. Arista Sari S, Bid. I Love You
All
12. Teman-teman Alumni angkatan 2012 SMA Negerii 1 Budong-
budong, Mamuju Tengah, dan SMA Neg 1 Kajang, Bulukumba,
Kalian luar biasa dan bahagia menjadi bagian dari kalian.
13. Teman-teman angkatan PETITUM 2012 yang selama ini bersama-
sama mengikuti pengaderan dan proses perkuliahan di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
14. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kecamatan Ujung Loe
Kabupaten Bulukumba Gelombang 90 Universitas Hasanuddin.
Terimakasih telah berproses dan mengabdi bersama.
Makassar, Februari 2017
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL. ....................................................................................ii
PENGESAHAN SKRIPSI. ..........................................................................iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI. ........................................v
ABSTRAK ..................................................................................................vi
ABSSTRACT .............................................................................................vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… ......1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................5
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………… .5
D. Manfaat Penelitian ......................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................7
A. Tinjauan Umum Tentang Antropologi Hukum .............................7
1. Pengertian Antropologi dan Antropologi
Hukum ..................................................................................7
xii
2. Ruang Lingkup Antropologi Hukum .......................................12
3. Metode Pendekatan Dalam Memahami
Antropologi Hukum ...............................................................14
B. Hukum Adat …………………………………………. .....................18
1. Pengertian Hukum Adat. .....................................................18
2. Adat dan Hukum Adat.. .......................................................20
3. Karakteristik Hukum Adat.. ..................................................23
C. Masyarakat Hukum Adat Kajang ................................................28
1. Kajang Sebagai Masyarakat Hukum Adat.. .........................28
2. Ammatoa Sebagai Pemimpin.. ............................................29
D. Pasang Ri Kajang.. .....................................................................31
1. Kepercayaan Terhadap Turiek Arakna.. ..............................31
2. Kepercayaan Terhadap Pasang (Pasang Ri
Kajang).. .............................................................................32
E. Lembaga Adat. ...........................................................................35
1. Nama dan Tugas Masing-masing Lembaga
Adat ......................................................................................35
2. Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat Menurut Perda Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015...................... 43
F. Lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten
Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Pengukuhan, Pengakuan Hak, Dan
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat
Ammatoa Kajang ......................................................................46
xiii
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................49
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan ................................................49
B. Jenis dan Sumber Data .............................................................49
C. Teknik Pengumpulan Data .........................................................50
D. Teknik Analisis Data ..................................................................50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ....................................................... 51
A. Sejarah Pasang Ri Kajang ..........................................................51
1. Kategori Pasang...................................................................51
2. Tiga Urutan Sanksi (Nipassala) Dalam Pasang ..................56
3. Jenis-Jenis Permasalahan dan Urusan yang
ditangani Ammatoa. ..............................................................57
B. Peranan Pappasang bagi masyarakat adat kajang .....................59
1. Sebagai Pedoman Hubungan Dengan Tuhan
(Turiek Arakna). ..................................................................60
2. Sebagai Pedoman Hubungan Dengan Manusia ..................61
3. Sebagai Pedoman Hubungan Dengan Alam .......................63
C. Wilayah Adat ..............................................................................66
1. Ilalang Embayya/Tana Kekea/ Lalang Rambang. ................66
2. Ipantarang Embayya/Tana Lohea/Luara Rambang .............67
D. 26 Pemangku Adat dan Tokoh Masyarakat
(Lembaga Adat).. ........................................................................68
xiv
E. Mekanisme dalam menjalankan Pasang oleh
Lembaga Adat .............................................................................76
1. A’borong. .............................................................................76
2. Mekanisme Lain Dalam Menyelesaikan
Setiap Urusan Dan Permasalahan ......................................83
a. Ritual Adat ......................................................................83
b. Upacara Adat ..................................................................87
C. Efektivitas Pasang dalam Menjaga Segala Sendi
Kehidupan Masyarakat Hukum Adat Kajang ...............................90
BAB IV PENUTUP. ...................................................................................
Kesimpulan ..................................................................................91
Saran ...........................................................................................92
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................xiii
LAMPIRAN
Perda Kab. Bulukumba No 9 Tahun 2015
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia berinteraksi dan beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari
sebagai bentuk dari kehidupan sosial. Perilaku tersebut ditiru oleh orang
lain dan menjadi suatu kebiasaan yang terus berlangsung sehingga
membentuk adat dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Seiring
berjalannya kehidupan bermasyarakat, lambat laun masyarakat mulai
menyadari adanya perilaku yang menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan
yang telah terbentuk sebelumnya. Hal tersebut mengakibatkan lahirnya
aturan-aturan lisan yang diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat
dengan tujuan menciptakaan keadaan harmonis, terpeliharanya nilai dan
moral serta sebagai bentuk pengawasan perilaku masyarakat yang
kemudian disebut sebagai adat sampai akhirnya menjadi hukum adat.
Alur mengenai lahirnya hukum adat menandakan bahwa hukum adat
berasal dari masyarakat sehingga disebut sebagai hukum yang lahir dari
bawah atau bottom up. Hukum adat atau hukum tidak tertulis merupakan
landasan dalam menentukan perilaku yang baik dan buruk. Hukum adat
memiliki sanksi tertentu apabila ada perilaku yang menyimpang atau tidak
sesuai dengan tatanan norma dan kaidah-kaidah kesusilaan. Hukum adat
hanya berlaku bagi masyarakat adat di wilayah tertentu sehingga bentuk
1
dari hukum adat bervariasi dari masyarakat adat yang satu dengan yang
lain.
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan keragaman agama,
adat-istiadat, suku, dan ras. Setiap adat yang ada di Indonesia memiliki
ciri khas masing-masing yang lahir dari masyarakat di wilayah tersebut.
Adapun terjalinnya hubungan antara perempuan dari adat yang satu
dengan laki-laki dari adat yang lain merupakan bagian dari persekutuan
hukum adat. Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum adat merupakan
hukum asli Indonesia. Contoh dari masyarakat adat adalah Minangkabau
di Sumatera, suku Dayak di Kalimantan, suku Kaili di Sulawesi Tengah,
suku Nuaulu di Maluku Tengah, dan berbagai masyarakat adat lainnya di
nusantara. Setiap masyarakat tersebut memiliki hukum adat tersendiri
yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat sesuai dengan wilayahnya
masing-masing.
Indonesia merupakan Negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, yang mengakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya (deskriptif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.1
Sulawesi Selatan juga memiliki masyarakat adat sebagaimana suku
Nuaulu di Maluku Tengah dan suku Dayak di Kalimantan. Salah satu
hukum adat yang ada di Sulawesi Selatan adalah hukum adat Kajang di
1Suriyaman Mustari Pide, 2009, Hukum Adat Dulu, Kini, dan Nanti, Jakarta: Pelita Pustaka, Hlm 29.
2
Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Kecamatan Kajang terdiri atas
dua wilayah yakni wilayah kajang luar dan kajang dalam. Wilayah Kajang
dalam merupakan wilayah adat tempat hukum adat Kajang berlaku.
Masyarakat adat Kajang beternak, mengembala, dan bercocok tanam di
wilayah adat Kajang dalam. Ciri khas masyarakat adat Kajang terletak
pada pakaian berwarna hitam yang mereka kenakan sehari-hari dan
berjalan tanpa mengenakan alas kaki. Kain dari pakaian yang dikenakan
merupakan hasil tenunan sendiri. Segala bentuk barang elektronik tidak
dipergunakan di area Kajang dalam, aturan tersebut juga berlaku bagi
siapapun yang ingin masuk ke wilayah adat.
Masyarakat adat kajang memiliki ketua adat beserta pemangku adat.
Ketua adat disebut dengan Ammatoa yaitu orang yang bersih hatinya dan
dipilih dengan ritual tertentu. Salah satu bagian yang terus dipertahankan
oleh masyarakat adat Kajang adalah pelestarian terhadap lingkungan
dengan cara menjaga hutan. Hal tersebut juga diatur dalam hukum adat,
mereka contohnya apabila salah satu masyarakat ingin menebang pohon
maka orang tersebut harus menanam dua bibit kemudian merawat
dengan baik hingga waktu yang ditentukan barulah orang tersebut boleh
menebang satu pohon. Hutan di kawasan adat terdiri atas dua yaitu hutan
yang dapat ditebang dimanfaatkan serta hutan keramat yang hanya boleh
dipergunakan untuk acara ritual adat. Setiap aturan tersebut juga memiliki
sanksi adat bagi siapapun yang melanggar.
3
Dalam kepercayaan masyarakat adat kajang, Turiek arakna (sesuatu
yang dipercaya mengatur segala kehidupan) dipercaya menurunkan
perintahnya kepada masyarakat kajang dalam bentuk pappasang atau
pasang (Sejenis wahyu dalam agama Abrahamik). Wahyu ini diturunkan
kepada manusia pertama yaitu Ammatoa. Pasang berarti pesan. Pesan
tidak dimaknai secara harfiah semata. Karena pesan yang dimaksud
dalam wahyu tersebut adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman
tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang
dipesankan secara lisan dan penuh dengan makna yang mendalam (tidak
ada yang tertulis;pen) oleh nenek moyang mereka dari generasi ke
generasi.
Pasang yang diturunkan kepada Ammatoa harus ditaati, dipatuhi
dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika mereka
melanggar pasang maka mereka akan mendapatkan ganjaran dan
hukuman atas perbuatannya.
Masyarakat Adat Kajang memiliki cara tersendiri dalam menerapkan
sanksi atas perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan adat, adapun
yang berwenang dalam melakukan proses dan pemecahan masalah yaitu
melalui semacam lembaga adat setempat yang dipercayakan kepada
Ammatoa sebagai pemimpin dan segenap pemangku adat yang dapat
menjalankan sidang adat untuk menyelesaikan masalah yang terjadi,
dimana sanksi adat yang dikeluarkan oleh Ammatoa bersifat dan pasti dan
tetap.
4
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana peran
pappasang yang dijadikan sumber hukum dalam memproses setiap
permasalahan yang dilimpahkan kepada ammatoa sebagai pemimpin dan
bagaimana metode bekerja dari sebuah lembaga adat tersebut. Maka,
Penulis mengangkatnya dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan
dengan judul “Peranan Pappasang Sebagai Sumber Hukum Dalam
Masyarakat Adat Kajang (Suatu Kajian Antropologi Hukum)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka Penulis menitikberatkan
dua rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah Peranan Pappasang Dalam Kehidupan Mayarakat
Adat Kajang ?
2. Bagaimanakah Pappasang Dilaksanakan Oleh Lembaga Adat
Dalam Menyelesaikan Permasalahan Masyarakat Adat Kajang ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Peranan Pappasang Dalam Kehidupan
Mayarakat Adat Kajang;
2. Untuk mengetahui Pelaksanaan Pappasang Dilaksanakan Oleh
Lembaga Adat Dalam Menyelesaikan Permasalahan Masyarakat
Adat Kajang.
5
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai kontribusi pemikiran mengenai pentingnya kajian hukum
adat khususnya wilayah teknis bagaimana pappasang sebagai
sumber hukum masyarakat adat kajang apabila dihadapkan pada
ancaman sanksi yang diterima oleh orang yang melakukan
pelanggaran.
2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang mengkaji
hal serupa.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Antropologi Hukum
1. Pengertian Antropologi dan Antropologi Hukum
Secara terminologi Istilah antropologi terjadi dari kata Antropos
dan Logos yang berasal dari kata Yunani, dimana antropos artinya
manusia dan logos artinya ilmu atau studi. Jadi antropologi adalah
ilmu atau studi tentang manusia, baik dari segi hayati maupun dari
segi budaya.2 Struktur yang tepat dalam memahami antropologi
umum dan antropologi hukum adalah menjelaskannya secara
terpisah, yakni
a) Antropologi Umum
Pengertian Antropologi menurut para ahli
1) David Hunter, Antropologi merupakan sebuah ilmu yang
lahir dari rasa ingin tahu yang tak terbatas dari umat
manusia.
2) Koentjaraningrat, Antropologi merupakan studi tentang
umat manusia pada umumnya dengan mempelajari
berbagai warna, bentuk fisik masyarakat dan budaya yang
dihasilkan.
3) William A. Haviland, Antropologi merupakan studi tentang
umat manusia, berusaha untuk membuat generalisasi yang
2 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia (Bandung, P.T. ALUMNI , 2010) Hlm 1
7
berguna tentang orang-orang dan perilaku mereka dan
untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap dari
keragaman manusia.
4) Rifhi Siddiq, Antropologi merupakan sebuah ilmu yang
mendalami semua aspek yang terdapat pada manusia yang
terdiri atas berbagai macam konsepsi kebudayaan, ilmu
pengetahuan, norma, seni, linguistik dan lambang, tradisi,
teknologi, kelembagaan
Antropologi adalah disiplin ilmu yang luas di mana
humaniora, ilmu sosial dan alam digabungkan dalam menjelaskan
apa artinya menjadi manusia. Antropologi dibangun berdasarkan
pengetahuan ilmu alam, termasuk penemuan asal dan evolusi
Homo sapiens, karakteristik fisik manusia, perilaku manusia,
variasi antara kelompok-kelompok manusia yang berbeda,
bagaimana masa lalu telah mempengaruhi evolusi organisasi
sosial Homo sapiens dan budayanya.
Serta dari ilmu-ilmu sosial, antropologi mempelajari
organisasi sosial manusia dan hubungan budaya, keturunan dan
kekerabatan sistem, spiritualitas dan agama, lembaga, konflik
sosial, dan lain-lain.
Secara garis besar Ilmu Antropologi umum dapat dibagai
menjadi dua konsentrasi pengkajian yang merupakan tipologi yang
8
harus dilakukan jika kita ingin melakukan penelitian lapangan
tentang masyarakat, yaitu:
1) Antropologi Biologi/Fisik
Biologi Antropologi juga disebut antropologi fisik
adalah cabang antropologi yang mempelajari tentang
primata manusia dan non-manusia (primata non-
manusia) dalam arti biologi, evolusi manusia, dan
demografi
2) Antropologi Sosial Budaya
Antropologi sosial adalah studi tentang hubungan
antara manusia dan kelompok. Sementara Antropologi
Budaya adalah studi banding tentang bagaimana
orang memahami dunia di sekitar mereka dengan
cara yang berbeda. Antropologi sosial berkaitan erat
dengan sosiologi dan sejarah untuk memahami
struktur sosial dari kelompok sosial sebagai kelompok
subkultur yang berbeda, dan etnis minoritas, dan
salah satu.3
Jika kita melihat sejarah dimana letak antroplogi hukum
dalam ilmu antrpologi umum, maka kita akan merujuk pada akhir
menjelang perang dunia kedua dan terutama sesudahnya,
3 http://www.gurupendidikan.com/40-pengertian-antropologi-menurut-para-ahli-dunia/
9
diberbagai negara lahir berbagai spesialisasi dalam antropologi
budaya, seperti yang disebut antropologi pembangunan,
antropologi pendidikan, antropologi kesehatan, antropologi
kependudukan, antropologi politik, dan sebagaimana yang akan
diuraikan dalam penelitian ini adalah Antroplogi Hukum.4
b) Antropologi Hukum
Berangkat dari pengertian antroplogi umum maka kita dapat
mengambil gambaran tentang antropologi hukum yakni ilmu
pengetahuan yang mempelajari manusia dengan kebudayaan
yang khusus dalam bidang hukum; Antropologi Hukum adalah
suatu spesialisasi ilmiah dari antropologi budaya, bahkan
antropologi sosial. Kebudayaan hukum yang dimaksud adalah
yang menyangkut aspek-aspek hukum, aspek-aspek yang
digunakan oleh kekuasaan masyarakat untuk mengatur anggota-
anggota masyarakat agar tidak melanggar kaidah-kaidah sosial
yang telah ditetapkan oleh masyarakat bersangkutan. Kaidah-
kaidah atau norma-norma sosial yang telah ditentukan batas-
batas dan sanksi-sanksinya itulah norma hukum. Jadi kesemua
sistem pelaksanaan kaidah-kaidah yang mempunyai sanksi
4 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum (Bandar Lampung, PT Citra Aditya Bakti) Hlm 2
10
adalah sistem kontrol sosial dan aspek-aspek kontrol sosial yang
dipertahankan masyarakat adalah merupakan proses hukum.5
Definisi oleh ahli yang dapat diterima Antropologi Hukum
adalah rumusan dari Hoebel yakni suatu norma sosial adalah
hukum. Bila terjadi pelanggaran atau tindakan tidak
mengindahkan norma sosial maka yang melanggar akan diberikan
sanksi, baik dalam bentuk sanksi tindakan fisik, diberikan sanksi
sosial dan sanksi yang lainnya oleh yang mempunyai wewenang
bertindak.
Berbeda halnya sebagaimana yang dikemukakan oleh
Leopold Pospisil mengemukakan bahwa “tidak segala
sesuatunya hanya diukur menurut ukuran yang berlaku dalam
budaya sendiri olah karena antropologi hukum itu juga memuat
beberapa pengertian diantaranya:
a. Antropologi hukum itu tidak membatasi pandangannya pada
kebudayaan tertentu, masyarakat manusia dipelajari dengan
cara perbandingan, bagaimana sederhananya tahap
perkembangan masyarakat, sepatutnya dipelajari disamping
masyarakat yang budayanya sudah maju, yang tidak
dibedakan secara kualitatif.
5 Op. Cit., Hlm 10
11
b. Antropologi hukum berbeda dengan cabang ilmu sosial lain
karena ilmu ini mempelajari masyarakat sebagai suatu
keseluruhan yang utuh dimana bagian-bagiannya saling
bertautan.
c. Antropologi hukum modern tidak lagi memusatkan perhatian
hanya pada kekuatan-kekuatan sosial dan hal-hal yang
superorganis, lalu mempekecil peranan individu, kesemuanya
mendapat perhatian yang sama.
d. Antropologi Hukum tidak memandang masyarakat yang dalam
keseimbangan yang mengalami gangguan jika ada
penyimpangan, tetapi masyarakat dipanndang secara
dinamis. Sehingga peranan sosial dari hukum tidak terbatas
mempertahankan statusquo.
e. Antropologi hukum termasuk ilmu tentang hukum yang bersifat
empiris, konsekuensinya adalah bahwa teori yang
dikemukakan harus didukung oleh fakta yang relevan atau
setidak-tidaknya terwakili secara representatif dari fakta yang
relevan, fakta yang dimaksud adalah yang dapat ditangkap
oleh panca indra.
2. Ruang Lingkup Antropologi Hukum
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa antroplogi
Hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia dengan
kebudayaan yang khusus dalam bidang hukum. Olehnya itu, perlu
12
juga kita ketahui masalah apa saja yang menjadi ruang lingkup
permasalahan dalam ilmu antropologi hukum. Menurut Laura Nader
dalam bukunya ‘The Anthropological study of Law (1965), antara lain
dikemukakan masalah pokok ruang lingkup antropologi hokum adalah
sebagai berikut :
a) Apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum dan bagaimana
karaktersitik hukum yang universal
b) Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan
dan organisasi sosial.
c) Mungkinkah mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan
variasi karakteristik hukum terbatas.
d) Apakah tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan
antara hukum dan aspek kebudayaan dan organisasi sosial, dan
mengapa pula hukum itu berubah.
e) Bagaimana cara mendeskripsikan sistem-sistem hukum, apakah
akibat jika sistem hukum dan subsistem hukum antara masyarakat
dan kebudayaan yang saling berhubungan, dan bagaimana
kemungkinan untuk membandingkan sistem hukum yang satu
dengan yang lain.6
Dengan demikian, Antropologi Hukum adalah ilmu tentang
manusia dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah sosial yang bersifat
6 Op. Cit Hlm7
13
hukum, sedangkan kaidah-kaidah sosial yang tidak bersifat hukum
bukanlah sasaran pokok dalam penelitian Antropologi hukum.7
3. Metode Pendekatan dalam Memahami Antropologi Hukum
Dalam memahami sebuah kajian keilmuan kita harus melakukan
penelitian, dan agar sebuah penelitian mengarah kepada rumusan
yang kita susun olehnya itu pasti menggunakan metode atau cara
dalam mengungkap informasi keilmuannya, dalam Antropologi Hukum
juga menggunakan beberapa macam metode pendekatan agar
gambaran utuh tentang antropologi hukum dapat kita mengerti secara
rapi dan menyeluruh, diantaranya:
a. Metode Historis
Cara pendekatan dengan metode historis yang dimaksud
ialah mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya
dengan kaca mata sejarah. Dimana perkembangan manusia dan
hukumnya itu berlaku secara evolusi, artinya berkembang dengan
lambat dan berangsur-angsur. Mulai dari kehidupan manusia yang
masih sederhana, dari kelompok-kelompok keluarganya yang
kecil-kecil berkembang menjadi kesatuan kerabat (suku),kesatuan
tetangga (dusun), kemudian berangsur-angsur menjadi kesatuan
masyarakat daerah (desa, marga atau daerah) dan akhirnya
7 Ibid
14
menjadi kesatuan masyarakat dengan sistem pemerintahan
negara yang maju (modern).8
b. Metode Normatif-Eksploratif
Cara pendekatan dengan metode normatif-eksploratif yang
dimaksud ialah mempelajari manusia dan buday hukumnya
dengan bertitik tolak pada norma-norma (kaidah-kaidah) hukum
yang sudah ada, baik dalam bentuk kelembagaan maupun dalam
bentuk perilaku. Jadi terlebih dahulu dilakukan penjajakan
(eksploratif) terhadap norma-norma hukumnya yang ideal, yang
dikehendaki berlaku.9
Jadi untuk dapat memahami perilaku manusia yang
berkaitan dengan hukum, maka yang harus dilakukan ialah
penjajakan ideologis terhadap norma-norma hukum sehingga
memudahkan untuk menemukan jalur pengamatan terhadap
perilaku hukum itu. Dengan demikian norma-norma hukum yang
dijajaki itu bukan semata-mata untuk mengetahui norma-norma
yang mana yang akan dditerapkan terhadap terhadap pelaku
peristiwa hukumnya, melainkan norma-norma hukum yang mana
yang akan digunakan dalam mengamati perilaku-perilaku
budayanya.10
8 Ibid, Hlm 9
9 Ibid, Hlm 11
10 Ibid, Hlm 12
15
Apabila penjajakan normatif hanya untuk mengetahui kaidah
hukum (perundangan) yang akan digunakan dalam
menyelesaikan persitiwa hukumnya saja maka yang demikian itu
bersifat pendekatan normatif-juridis yang banyak dilakukan oleh
para sarjana hukum praktisi bukan normatif eksploratif.
c. Metode Deskriptif Perilaku
Pendekatan antropologi hukum dengan metode deskriptif
perilaku ialah cara mempelajari perilaku manusia dan budaya
hukumnya, dengan melukiskan situasi hukum yang nyata. Cara
ilmiah ini mengenyampingkan norma hukum yang ideal, yang
dicitakan berlaku, tertulis ataupun tidak tertulis, sehingga ia
merupakan kebalikan dari metode normatif-eksploratif. Jadi
metode ini tidak bertitik tolak dari hukum yang eksplisit (terang dan
jelas) aturannya, yang positif dinayatakan berlaku tetapi yang
diutamakannya adalah kenyataan-kenyataan hukum yang benar-
benar nampak dalam situasi hukum atau peristiwa hukumnya.11
Hal ini sejalan dengan teori/doktrin yang dipaparkan oleh
Friedrich Karl Von savigny sebagai bapak sejarah hukum yang
menyebutkan “Law is and expression of the common
consciousness or spirit of people”. Artinya Hukum tidak dibuat,
tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das
rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Jadi
11 Ibid, Hlm 14
16
perilaku masyarakatlah yang menjadi sumber dimana hukum
dapat dikaji dan diamati sehingga melahirkan norma-norma yang
ideal untuk diterapkan dalam masyarakat.12
Jadi yang perlu diperhatikan dalam pendekatan ini adalah
bukanlah melakuka studi bagaimana manusia itu tunduk kepada
aturan-aturan hukum, tetapi sebaliknya m engapa aturan-aturan
yang diberlakukan sesuai dengan pola perilaku mereka.
d. Metode Studi Kasus
Cara pendekatan antropologi hukum dengan metode studi
kasus yang dimaksud ialah mempelajari kasus-kasus peristiwa
hukum yang terjadi, terutama kasus-kasus perselisihan, studi
kasus ini sifatnya induktif artinya dari berbagai kasus yang dapat
dikumpulkan, kemudian datanya dianalisis secara khusus lalu
dibandingkan denga ketentuan-ketentuan yang umum. Mengapa
pula titik perhatian ditujukan dengan adanya peristiwa
perselisihan, walaupun sebenarnya kasus perselisihan itu
bukanlah sebagai objek utama yang harus dipelajari dalam
penelitian antropologi hukum. Oleh karena pada kenyataannya
perilaku hukum manusia itu lebih banyak berperan dalam
penyelesaian kasus perselisihan kepentingan yang dapat kita teliti
12https://teorihukum.wordpress.com/2010/07/27/teori-friedrich-karl-von-savigny/
17
bagaimana manusia menyelesaikan perselisihan yang terjadi,
dalam hukum adat misalnya.
Dalam studi kasus, ia tidak berpangkal tolak dari norma-
norma hukum ideal seperti yang dilakukan dengan pendekatan
normatif-eksploratif, tetapi norma-norma hukum itu bukan
digunakan sejak permulaan tetapi ditempatkan dibelakang pada
bagian terakhir, oleh karena norma-norma hukum itu berperan
untuk menemukan yurisprudensi yang dalam kenyataaannya
berlaku. Sebagaimana yang dikatakan Hoebel, “The Case Method
Leads To Realistic Jurisprudence” (Hoebel 1979:36).13
B. HUKUM ADAT
1. Pengertian Hukum Adat
Dari beberapa ahli menjabarkan pandangannya terhadap
pengertian hukum adat:
a. Cornelis Van Vollenhoven
Hukum adat adalah aturan perilaku yang berlaku bagi orang-
orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang disatu
pihak mempunyai sanksi (sehingga disebut hukum) dan
dilain pihak tidak dikodifikasi.
b. Ter Haar Bzn
13 Ibid, Hlm 16
18
Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti
luas) yang mempunyai kewibawaan (macht, authority) serta
mempunyai pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku
secara serta merta (spontan) dan ditaati dengan sepenuh
hati. Fungsonaris hukum yang dimaksud disini adalah kepala
adat, para hakim, rapat desa, wali tanah, pejabat tanah, dan
para pejabat desa lainnya yang memberikan keputusan
didalam dan diluar sengketa yang tidak bertentangan
dengan keyakinan hukum masyarakat, yang diterima dan
dipatuhi karena sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat.
c. R. Soepomo
Hukum adat adalah hukum nonstatutair yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum
islam. Ia berurat berakar pada kebudayaan tradisional.
Sebagai hukum yang hidup, dia menjelmakan perasaan
hukum yang nyata dari masyarakat/rakyat. Ia senantiasa
tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
d. Soekanto
Hukum adat adalah kompleks adat-adat, kompleks adat ini
kebanyakaan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, bersifat
paksaan, mempunyai sanksi, sehinga memiliki akibat hukum.
19
e. Moh. Koesnoe
Memandang hukum adat apa adanya dipandang dari sudut
perilaku nyata yang biasa dikerjakan oleh kelompok
masyarakat untuk menyelesaikan suatu persoalan
masyarakat yang pada dasarnya sama dengan kebiasaan, ia
ada dalam alam kenyataan (empiris)
f. Soerjono Soekanto
Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan,
artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum
(sein sollen). Berbeda dengan kebiasaan belaka merupakan
hukum adat adalah perbuatan—perbuatan yang diulang
dalam bentuk yang sama yang menuju pada
rechtsvardigeordening der samen leving14
2. Adat dan Hukum Adat
Membedakan konsepsi tentang adat dan hukum adat adalah
sesuatu yang sangat penting karena keduanya mempunyai hubungan
yang sangat menentukan eksistensi satu sama lainnya. Adat adalah
kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus
menerus), dipertahankan oleh pendukungnya15. Kebiasaan ini dibuat
untuk dijadikan pedoman bagi anggota masyarakat untuk berperilaku
dengan harapan agar tujuan hidup mereka tercapai. Misalnya tujuan
14 I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2005) Hlm 10-24
15 Dominikus Rato, Pengantar Hukum Adat (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2009)Hlm 2.
20
hidup mereka itu adalah ketentraman, keteraturan, ketertiban,
kesejahteraan, kebaikan bersama dan keadilan.
Jika kebiasaan itu demikian baik, mulia, sudah terwujud, maka
dibutuhkan sarana yang lebih bersifat memaksa agar setiap anggota
masyarakat atau masyarakat itu sendiri menaati, mempertahankan,
melaksanakan, menjaga kelesatariannya yaitu dengan Hukum.
Karakteristik hukum yang melekat pada adat adalah keharusan
yang harus dimiliki oleh adat untuk menjadikannya sebagai konsepsi
hukum adat, seperti karakteristik umum dari hukum adalah adanya
sanksi, jadi ketika adat bekerja tanpa adanya ancaman sanksi
didalamnya maka dia hanya bersifat adat belaka, sama dengan halnya
adat bugis makassar, adat minangkabau dan lainnya, yang hanya
berhenti pada kebiasaan saja yang diulangi.
Olehnya itu adat yang bisa menjadi hukum adat adalah adat
yang mempunyai sanksi jika kebiasan itu dilanggar oleh masyarakat
adat. Jadi jika kita merunut proses lahirnya Hukum adat maka kita
akan mendapatkan awalan proses yaitu, perilaku yang terus-menerus
dilakukan perorangan akan menimbulkan kebiasaan pribadi. Adanya
aksi dan reaksi yang terpolarisasi dari hubungan timbal balik antara
individdu yang satu dengan yang lainnya, akan membentuk sebuah
interaksi sosial. Dalam interaksi sosial jika dilakukan secara berulang-
ulang akan memberi pengaruh terhadap tingkah laku pada lainnya,
sehingga terjadilah hubungan sosial. Dan apabila hubungan sosial ini
21
dilakukan secara sistematis, maka hubungan sosial tersebut akan
menjadi sebuah sistem sosial.
Tata alur inilah yang menunjukkan proses beralihnya istilah adat
menjadi hukum adat (adat recht) sebagai sebuah proses keteraturan
yang diterima sebagai sebuah kaidah. Menurut Soeryono Soekanto,
apabila sebuah kebiasaan tersebut diterima sebagi kaidah, maka
kebiasaan tersebut memiliki daya mengikat menjadi sebuah tata
kelakuan. Adapun ciri-ciri pokoknya adalah:
a. Tata kelakuan merupakan sarana untuk mengawasi perilaku
masyarakat.
b. Tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau
sebagai patokan yang membatasi aspek terjang warga
masyarakat.
c. Tata kelakuan mengidentifikasi pribadi dengan kelompoknya.
d. Tata kelakuan adalah merupakan salah satu sarana untuk
mempertahankan solidaritas masyarakat.
Secara singkat, proses lahirnya hukum adat dapat digambarkan
sebagai berikut:16
16 Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat. Dahulu, Kini dan akan datang (Jakarta, Prenadamedia Group 2014) Hlm 2-3
MANUSIA KEBIASAAN ADAT HUKUM
ADAT
22
Jadi perbedaan utama adat dan hukum adat adalah terletak pada
sifatnya yang memaksa, mengikat dan menjadi pedoman tata kelakuan
bagi masyarakat adat yang diancam dengan sanksi.
3. Karakteristik Hukum adat.
Menurut F.D. Holleman dalam bukunya De Commune Trek In Hen
Indonesischeven, mengatakan ada empat sifat umum dari masyarakat
adat yaitu magis religius, communal, concrete dan contan, penjabarannya
sebagai berikut:
a. Magis Religius
Hukum adat bersifat magis religius dapat diartikan bahwa
hukum adat pada dasarnya berkaitan dengan persoalan
magis dan spritualisme (kepercayaan terhadap hal-hal gaib).
Tidak berbeda jauh dengan dengan masyarakat yang telah
mengenal persentuhan sistem agama. Masyarakat
mewujudkan religiusitas ini dalam bentuk kepercayaan
kepada sesuatu yang lebih tinggi yang mengatur dan
memberikan kehidupan kepada masyarakat adat yang
mempercayainya.
b. Communal
Sifat ini adalah bahwa masyarakat hukum adat memiliki
pemikiran bahwa setiap individu merupakan bagian integral
dari masyarakat keseluruhan, dan setiap kepentingan
individu harus disejajarkan dengan kepentingan masyarakat
23
umum. Contoh kongkritnya adalah dalam rapat desa harus
tersusun dari semua golongan masyarakat, agar terjadi
musyawarah untuk mufakat demi kepentingan bersama.
c. Concrete
Yaitu sifat masyarakat hukum adat yang serba jelas dan
pasti, menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang
terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan diam-diam tetapi
terbuka, dalam hubungan hukum yang terjadi masyarakat
adat selalu mengutamakan kepastian dalam bertindak untuk
menghindari konflik yang bisa terjadi, seperti dalam jual beli
harus jelas barang apa yang ditukarkan atau yang dibeli
d. Contan
Yaitu sifat yang nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu
pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai
seketika itu juga dengan serentak bersamaan waktunya
tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh
adat.17
I Gede A.B Wiranata menambahkan dan menghimpun corak
khas masyarakat adat yang ditelaah dari beberapa ahli sebagai
sebuah akumulasi dari karakteristik, corak maupun ciri-ciri umum yang
diungkapkan oleh ahli, penjabarannya sebagai berikut:
17 Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat. Suatu Pengantar (Jakarta. PT Pradnya Paramita.2006) Hlm 48.
24
a. Keagamaan
Sisi religiusitas ini lebih memperlihatkan bahwa masyarakat
hukum adat sebagai suatu keseluruhan percaya akan
adanya dunia gaib, yang mengatasi kekuatan manusia,
dunia gaib itu mempengaruhi bahkan menentukan nasib
manusia.
b. Kebersamaan
Pada tatanan berfikir kebersamaan , individu senantiasa
akan menempatkan pola tingkah laku pengutamaan ego
kelompok, ego personal akan dikalahkan oleh ego kelompok.
c. Konkret dan Visual
Konkret artinya jelas,nyata, berwujud, sedangkan visual
artinya kasatmata, dapat dilihat langsung, terbuka dan tidak
tersembunyi. Tiap-tiap perbuatan dan keinginan atau
hubungan hukum tertentu dalam masyarakat hukum adat
senantiasa dinyatakan dengan perwujudan
benda/perlambang, nyata, diketahui, dan dilihat serta
didengar oleh orang lain, “ijab kabul”nya jelas. Makna antara
kata dan perbuatan berjalan secara bersama-sama, setiap
kata yang disepakati selalu diikuti oleh perbuatan nyata
secara bersamaan.
d. Dapat berubah dan mampu menyesuaikan diri.
25
Pada struktur perubahan sosial dan masyarakat, hukum adat
senantiasa dapat menerima masuknya unsur-unsur yang
datang dari luar, sejauh tidak bertentangan dengan jiwa
hukum adat itu sendiri. Perubahan hukum adat tidak selalu
dilakukan dengan menghilangkan ketentuan adat yang lama
dan menggantikannya dengan ketentuan adat yang baru,
namun dengan cara membiarkan kegiatan adat yang lama
masih berlaku, dengan menambahkan cara yang baru tetapi
dengan prinsip yang sama. Contohnya masyarakat adat
lampung dulu perkawinannya mensyaratkan membayar uang
jujur kelipatan 24 rial, 12 rial atau 8 rial, tetapi dengan tidak
berlakunya mata uang rial maka dizaman modern ini
menggunakan uang rupiah dengan kelipatan yang sama
dengan syarat yang sudah jadi ajaran pokoknya.
e. Terbuka dan sederhana
Sebagai akibat sikap terbuka dan dapat menerima
masuknya unsur dari luar, hukum adat senantiasa dapat
berubah, menurut keadaan, waktu dan tempat.
f. Tidak dikodifikasi
Kodifikasi yang dimaksud adalah rumusan aturan yang
tertuang secara tertulis, sistematis dan alfabetis baik yang
telah dikitabkan mejadi satu bagian atau yang masih terpisa
melalui lembaran-lembaran rumusan.
26
g. Musyawarah dan mufakat
Struktur kehidupan masyarakat dalam hukum adat
menghendaki keserasian dan keseimbangan dalam perilaku
yang ajeg. Oleh karena itu, salah satu corak yang menonjol
dalam hukum adat adalah mengemukanya tatanan
musyawarah dan mufakat. Meskipun secara struktural tidak
ada lembaga peradilan resmi, namun peranan pimpinan
persekutuan masyarakat lebih dititikberatkan pada peranan
dan usaha penengah sebagai “pemakat” bukan ”pemutus”
dalam perselisihan ynag muncul dalam kehidupan sehari-
hari.
h. Tradisonal
Tradisonal yaitu perilaku yang dilakukan secara turun-
temurun, klasik dan tradisional cenderung mewarnai
kehidupan masyarakat hukum adat. Kehidupan ini sudah
berjalan sejak nenek moyang, dimana berbagai tatanan
kebiasaan telah ada dan tetap dipertahankan, namun ada
rasa tidak enak kalau tidak dilaksanakan atau bahkan
ditinggalkan.18
18 I Gede A.B. Wiranata, Hukum adat Indonesia (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2005) Hlm 61-68
27
C. Masyarakat Hukum Adat Kajang
1. Kajang Sebagai Masyarakat Hukum Adat
Sebagaimana yang telah dijelaskan tentang adat dan hukum
adat sebelumnya bahwa kebiasaan yang dilakukan masyarakat harus
menimbulkan rasa kepatatuhan dan tata tertib bersama dan dijadikan
pedoman dalam bertingkah laku dan diancam dengan sanksi untuk
mendapatkan sebuah status hukum adat. Sama dengan masyarakat
adat kajang yang menjadikan adat mereka sebagai sumber tata
kelakuan bermasyarakat sehingga mereka layak disebut sebagai
masyarakat hukum adat.
Istilah kajang itu sendiri mempunyai dua pengertian yaitu kajang
sebagai kecamatan dan kajang dalam pengertian masyarakat hukum
adat, kajang sebagai kecamatan adalah wilayah kecamatan yang ada
dalam Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas
wilayah 15.430 ha, sedangkan yang akan dibahas disini adalah kajang
sebagai masyarakat hukum adat dimana Kajang adalah sebuah suku
yang tinggal secara bekelompok dalam sebuah hutan, dengan satu
asal-usul nenek moyang yang sama, dimana hutan dan isinya
dijadikan sumber dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan
menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun
2015 Tentang pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak
masyarakat hukum adat ammatoa kajang.Masyarakat Hukum Adat
(MHA) Ammatoa Kajang adalah sekelompok orang yang secara turun
28
temurun bermukim di Ilalang Embayya’19dan sebagian bermukim di
Ipantarang Embayya’20 yang melaksanakan Pasang ri Kajang.21
2. Ammatoa Sebagai Pemimpin
Ammatoa adalah seseorang yang terpilih sebagai pemimpin
masyaraka adat kajang, dan istilah ammatoa biasa juga disebut
dengan bohe amma ada juga yang memenggalnya menjadi Amma
dan Towa sehingga menjadi Amma Towa (M.Arifin Sallatang, op. Cit
Hlm 47), A. Kadir Ahmad,(Op.cit, hlm 12). Terdapat pula penulis yang
menulisnnya dengan istilah Ammatoa dengan menghilangkan huruf w
antara huruf o dan a, seperti yang dilakukan oleh Dian A. Daeng
Tawang (et.al.op.cit,. Hlm 6. K.M.A. Usop., op. Cit., hlm 91). A. Kadir
Ahmad , (op. Cit. Hlm 10) mengemukakan bahwa istilah amma towa
dipakainya apabila yang dimaksudkannya adalah pimpinan Komunitas
ammatoa (yaitu ammatoa itu sendiri sebagai gelar;pen), sedangkan
istilah ammatowa dipergunakannya apabila membicarakan komunitas
masyarakat itu sendiri. Untuk keperluan ketaatasasan, yang
digunakan ialah istilah Ammatoa karena sesuai dengan penulisan dan
19 Pasal 10 Ayat 1. Wilayah adat MHA Ammatoa Kajang terdiri dari wilayah Ilalang Embayya atau Rambang Seppang dan Ipantarang Embayya atau Rambang Luara. Pasa 10 Ayat 2 Ilalang Embayya atau Rambang Seppang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah adat dimana Pasang dilaksanakan dalam seluruh sendi-sendi kehidupan oleh seluruh warga masyarakat yang bermukim di dalamnya. 20 Ipantarang embayya atau rambang luara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) merupakan wilayah adat dimana sebagian besar warga masyarakat yang bermkim diwilayah ini tidak secara utuh melaksanakan pasang
21 Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Tentang pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat ammatoa kajang.
29
pengucapan yang lazilm dikalangan orang Makassar, Bugis dan
Konjo. Hal ini dijelaskan oleh Djamaluddin Samman22 yang
mengemukakan bahwa kata “toa” jika ditulis dalam bahasa makassar
maka dibaca juga berbedan yaitu “towa” jadi jika kata itu disambung
dengan kata “amma” maka ia akan menjadi “ammatoa” tetapi dibaca
“ammatowa”. Demikian juga dengan desa kawasan “keammatoaan”
yaitu kawasan “tana toa” tetapi dibaca “tana towa”23.
Mekanisme pemilihan Ammatoa diipilih bukan secara turun-
temurun (Monarki;pen), musyawarah untuk mufakat ataupun
pemilihan umum tetapi terpilih melalui prosesi yang syarat dengan
nilai religiusitas yang dipercaya masyarakat adat kajang sebagai cara
untuk mengetahui keinginan Turiek Arakna untuk menjadi Ammatoa
berikutnya.
Ammatoa sebagai wakil Tuhan, Ammatoa bertugas untuk
menyebarkan dan melestarikan pasang tersebut. Ammatoa harus
menyebarkan ajaran tersebut kepada manusia agar kehidupannya
menjadi lebih baik. Ammatoa dalam masyarakat kajang bergungsi
sebagai mediator yang menjadi antara Turiek Arakna dan manusia.24
22 Pembawa acara pelajaran bahasa makassar di TVRI Makassar)
23 Kaimuddin Salle. Kebijakan lingkungan menurut pasang. (Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 1999)
24 Juma Darmapoetra. Kajang; Pecinta Kebersamaan dan Pelestari alam. (Makassar, Arus Timur, 2014) Hlm 6-7
30
D. Pasang Ri Kajang
1. Kepercayaan Terhadap Turiek Arakna
Masyarakat adat kajang memiliki kepercayaan yang disebut
dengan Patuntung. Ajaran ini secara spesifik mengajarkan bahwa jika
manusia hendak mendapatkan kebenaran, maka manusia harus
menyandarkan diri pada tiga hal yaitu; menghormati Turiek Arakna
(Sesuatu yang punya kemauan, Tuhan), tanah yang diberikan Turiek
Arakna dan nenek moyang. Kepercayaan dan penghormatan
terhadap Turiek Arakna sebagai sebuah kesadaran primordial25 .
Kesadaran ini menjadi keyakinan paling mendasar dalam ajaran
patuntung. Bagi masyarakat adat kajang, Turiek Arakna adalah
pencipta segala sesuatu didunia. Ia memiliki sifat maha kekal, maha
perkasa dan maha kuasa.
Turiek arakna dipercaya menurunkan perintahnya kepada
masyarakat kajang dalam bentuk pasang (Sejenis wahyu dalam
agama Abrahamik). Wahyu ini diturunkan kepada manusia pertama
yaitu Ammatoa (Pemimpin masyarakat adat Kajang; pen).
25 Termasuk dalam bentuk tingkatan paling awal (M.Marwan S,H, Jimmy P S.H.2009. Kamus Hukum. Surabaya:Reality Publisher). Mula-mula;pertama;yang awal;paling dasar;pokok;kelas yang paling sahaja (Pius Purtanto, M. Dahlan Al Barry. 2001.Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola)
31
2. Kepercayaan terhadap Pasang.(Pasang Ri Kajang)
Pasang ri Kajang merupakan istilah yang lazim diucapkan bagi
masyarakat kajang sebagai sebuah ajaran yang dipercayainyainya,
karna menyimbolkan sebuah identitas didalamnya. Jika kita menelaah
secara harfiah bahasa konjo arti dari ketiga kata Pasang Ri Kajang
yaitu pasang berati pesan, ri berarti di dan Kajang –dalah sebuah
kecamatan dan adat, jadi dapat diartikan sebagai pesan-pesan di
Kajang hal inilah yang menjadikannya sebagai sebuah identitas
bahwa bukan hanya sekedar pesan-pesan seperti biasa kita jumpai
tapi pesan tersebut berasal dari kajang. Dimana, pesan tidak dimaknai
secara harfiah semata. Karena pesan yang dimaksud adalah sebuah
wahyu dari keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala
aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang
dipesankan secara lisan (tidak ada yang tertulis;pen) oleh nenek
moyang mereka dari generasi ke generasi26.
Jika kita melihat pasang dari isi dan maknanya mengandung
pengertian yaitu pasang sebagai nasihat dan wasiat, tuntunan atau
amanah dan dapat juga berarti ramalan serta berarti peringatan.
Selanjutnya, isi dan doktrin yang terkandung dalam pasang, baik yang
berupa wasiat, peringatan maupun yang merupakan amanah dan
tuntunan, semuanya itu merupakan nilai budaya dan nilai sosial oleh
26 Ibid hlm 6 32
masyarakat pemiliknya yaitu masyarakat ammatowa27. Sehingga,
wujud pasang itu sebenarnya merupakan himpunan dari seluruh
pengetahuan dan pengalaman dimasa lampau yang mencakup semua
aspek kehidupan moyang dan leluhur masyarakat ammatowa. Dengan
demikian, materi-materi pasang itu bukan hanya yang verbal tetapi
juga aktual. Artinya, meliputi perbuatan dan tingkah laku28.
Kemudian jika seluruh materi dan doktrin pasang itu
diklasifikasikan sesuai dengan makna yang dikandungnya maka dapat
dibagi bahwa pasang tersebut merupakan himpunan dari sejumlah
sistem. Meliputi sistem kepercayaan, sistem ritus dan sejumlah norma
sosial lainnya. Atau dengan tegas dikatakan, pasang ri kajang adalah
sebuah sistema credo29 yaitu suatu tata keimanan dan keyakinan
akan adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia. Disamping itu,
pasang dan ajarannya merupakan suatu merupakan suatu sistema
ritus yakni tata peribadatan manusia kepada yang dianggapnya Mutlak
tersebut. Juga pasang merupakan suatu sistema norma atau tata
kaidah yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan
mengatur hubungan antara sesama manusia dengan alam lainnya,
27 Mas Alim Katu. Tasawuf Kajang. (Makassar: Pustaka Refleksi ,2005) Hlm 20 28 Ibid hlm 20
29 Kredo (bahasa Latin: credo) atau pengakuan iman merupakan pernyataan atau pengakuan rangkuman mengenai suatu kepercayaan. Dalam Bahasa Latin, kata credo berarti "Aku Percaya". Dalam Bahasa Indonesia, istilah kredo umumnya digunakan oleh umat Katolik, sedangkan pengakuan iman digunakan oleh umat Kristen dan Katolik (Sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Kredo)
33
termasuk mengatur hubungan manusia dengan sesuatu yang
dianggap diluar manusia.
Dan seluruh isi dan makna pasang tersebut itu diwariskan secara
turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
penuturan lisan atau oral dengan bentuk ungkapan-ungkapan atau
cerita-cerita lisan.30 Pasang yang diturunkan kepada Ammatoa harus
diyakini dan ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat adat
Ammatoa. Jika mereka melanggar pasang maka mereka akan
mendapatkan hal buruk dalam kehidupannya.31
Dalam beberapa referensi tentang isi dan bunyi pasang antara
lain yang mengatur tentang prinsip hidup mereka yaitu:
Ammentengko Nu Kamase-mase. A’cidongko Nu Kamase-mase
A’dakkako Nu Kamase-mase. A’meako Nu Kamase Mae
Artinya:
Berdiri engkau sederhana. Duduk engkau sederhana.
Berjalan engkau sederhana. Berbicara engkau sederhana
Hal ini menjadi pedoman bertingkah laku dalam masyarakat
kajang yaitu menjadikan kesederhanan sebagai prinsip dimana tiada
sesuatu yang kita miliki dan sombongkan dan karena pada dasarnya
semua merupakan kekuasaan turiek arakna.
30 Ibid hlm 21
31 Juma Darmapoetra. Kajang; Pecinta Kebersamaan dan Pelestari alam. (Makassar, Arus Timur, 2014) Hlm 5-6
34
E. Lembaga adat
1. Nama dan Tugas Masing-masing Lembaga Adat
Dalam struktur kelembagaan yang diatur menurut pasang
mempunyai pucuk pimpinan tertinggi yaitu Ammatoa. Kemudian,
dibawah taktis ammatoa terdapat sejumlah aparat yang tergabung
dalam suatu lembaga. Lembaga-lembaga tersebut masing-masing
disebut dengan Adat Limaya, Karaeng Tallua, Lompo Adat dan
sejumlah aparat lainnya. Dibawah ini akan diuraikan lembaga adat itu
sebagai berikut:
a. Adat Limaya
Adat limaya merupakan suatu lembaga yang statusnya
setingkat dengan Karaeng Tallua. Anggotanya sebanyak
lima orang, dengan tugas-tugas tersendiri. Mereka itu
masing-masing adalah:
1. Galla Pantama, statusnya sebagai kepala
pemerintahan dalam struktur pemerintahan adat yang
dipimpin langsung oleh Ammatoa. Galla Pantama
Sekarang dijabat oleh Kepala Desa Posi Tanah.
2. Galla Lombok, bertugas mengurus masalah
pemerintahan pada daerah-daerah penaklukan
Ammatoa. Sekarang galla lombok menjabat sebagai
Kepala Desa Tanah Towa.
35
3. Galla Anjuru, bidang tugasnya adalah mengurus para
nelayan. Sekarang galla anjuru menjabat sebagai
Kepala Desa Lembanna.
4. Galla Kajang, bertugas mendampingi Galla Pantama
dalam pengendalian pemerintahan dan pesta pesta
adat. Jabatan Galla Kajang sekarang dipegang oleh
Kepala Desa Tanah Jaya.
5. Galla Puto, bertugas sebagai juru bicara Ammatoa
dan sebagai pengawas langsung tentang
pelaksanaan Pasang. Jabatan Galla Puto sekarang
dipegang oleh Kepala Desa Taambangan.
Perlu dijelaskan disini bahwa awal terbentuknya Adat Limaya
anggota-anggotanya terdiri dari putra-putra Ammatoa pertama.
Kemudian, setelah putra-putranya meninggal dunia, maka jabatan itu
dipegang oleh keturunannya yang telah digariskan dalam Pasang.
b. Karaeng Tallua.
Karaeng Tallua selaku lembaga Pemerintahan dalam
lingkungan masyarakat adat Ammatoa mempunyai tiga
anggota, yaitu Karaeng Kajang, Sullehatang dan Anak
Karaeng. Karaeng Tallua sebagai lembaga dalam struktur
pemerintahan masyarakat adat Ammatoa mempunyai fungsi
dan tugas tersendiri yaitu mendampingi Galla Pantama pada
setiap berlangsungnya pesta adat. Perlu dijelaskan disini
36
bahwa keanggotaan dalam Karaeng Tallua yang berarti
Karaeng yang Tiga, tri tunggal sudah mengalami perubahan-
peubahan akibat berubahnya sistem pemerintahan yang
berlaku.
Pada masa sebelum penjajahan Belanda yang
diangkat sebagai Karaeng adalah orang-orang yang
diangkat oleh Ammatoa sebagai penguasa di tanah lohea
yaitu daerah-daerah ditanah kamase-masea (wilayah diluar
kajang). Sebab anggota Karaeng Tallua itu sendiri
anggotanya adalah Karaeng Kajang, Sullehatang, dan Anak
Karaeng. Maka yang disebut dengan Sulehatang adalah
pejabat yang berfungsi sebagai wakil Karaeng Kajang
sedang Anak Karaeng adalah putra dari Karaeng Kajang.
Dengan demikian, masa penjajahan belanda ketika Kajang
merupaka suatu Distrik, yang diangkat sebagai Kaaraeng
Kajang adalah Kepala Distrik itu sendiri. Sedang wakilnya
diangkat Sullehatang dan putra kepala Distrik diangkat
ssbagai anak Karaeng. Sistem ini berlaku sampai pada
pemerintahan Republik. Maka pada tahun 1959,
berdasarkan Undang-undang Nonor 29 Tahun 1959 dimana
dibentuk Kecamatan dengan Camat sebagai Pimpinannya,
maka yang diangkat sebagai Karaeng Kajang adalah camat
Kajang sendiri. Begitu juga dengan wakil camat dan anaknya
37
dianggap sebagai sullehatang dan anak karaeng. Ini hanya
berlaku sampai pada pemerintahan Sahib Dg. Mattutu
sebagai Camat.
c. Adat Buttaya
Adat Buttaya dilihat dari pembagian kerja dan tugas
masing-masing, maka dapat dibedakan atas empat bidang
yaitu:
1. Adat Ri Tanah Lohea
Adat Ri Tanah Lohea ini mempunya lima anggota
yangg kesemuanya dai Adat Limaya dengan tugas
tersendiri yaitu:
a) Galla Pantama, dengan status sebagai
penghulu adat atau adat utama
b) Galla Lombok, menangani urusan
perbelanjaan.
c) Galla Kajang, mengurus perkara-perkara
hukum serta persoalan kriminal.
d) Galla Puto, bertugas sebagai juru bicara.
e) Galla Anjuru, bertugas sebagai Kepala
Perlengkapan.
2. Bidang Pelaksanaan
Dalam bidang ini terdapat delapan anggota yaitu:
38
a) Gurua, bertugas sebagai pembaca doa dan
mantera-mantera.
b) Kadanhangnga, membidangi masalah
pertanian.
c) Lompo Karaeng, tugasnya membantu Adat Ri
Tanah Lohea dalam pelaksanaan pesta dan
upacara adat.
d) Sanro Kajang, tugasnya menjaga serta
memelihara kesehatan rakyat.
e) Anre Guru Lassang, menangani pertanahan
dan keamanan.
f) Lompo Adat, sebagai pendamping saat pesta
adat.
g) Galla Malleleng, menangani segala urusan
perbelanjaan dan keuangan.
Semua anggota yang disebut ini hanya
bertanggung jawab kepada Karaeng Tallua.
3. Bidang Akkeke Buta
Dalam bidang ini terdapat lima anggota dengan
tugas pokoknya adalah memelihara dan memperbaiki
saluran air dan pengairan. Dengan demikian mereka
disebut Adat Akkeke, yang artinya anggota adat yang
39
bertugas menggali tanah. Mereka itu masing-masing
adalah:
a) Galla Ganta
b) Galla Sangkala
c) Galla Sapo
d) Galla Bantalang
e) Galla Batu Pajjara.
4. Bidang Pattambai Cidong.
Adat Pattambai Cidong ini mempunyai delapan
jenis keanggotaan yang diambil dari berbagai profesi
dan keahlian. Artinya anggota kelompok ini adalah
orang-orang yang mempunyai pekerjaan tertentu.
Mereka itu masing-masing adalah:
a) Laha Karaeng yaitu bekas kepala Distrik atau
bekas Karaeng Kajang.
b) Laha Adat adalah bekas Gallarang atau bekas
kepala desa.
c) Pattola Karaeng yaitu keluarga dekat pejabat
pemerintahan yang sedang berkuasa.
d) Pattola Adat yaitu keluarga dekat dari
pemangku atau pemimpin adat.
40
e) Tau Towa Pakrasangeng, yaitu orang-orang
yang terpandang dalam masyarakat atau non
Formal Leader.
f) Panrea yaitu orang-orang yang mempunyai
keahlian dan keterampilan tersendiri sebagai
pandai besi, pengrajin dan semacamnya
g) Duahang, yaitu ketua kelompok nelayan yang
memiliki perkumpulan nelayan yang disebut
dengan sero.
h) Oragi atau ahli pertukangan kayu, khususnya
dalam pembuatan rumah.
Anggota-anggota yang tersebut ini tidak
mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam
pemerintahan maupun dalam susunan adat. Dengan
demikian mereka itu hanya dikatakan Pallabui
Rurung, Pattambai Cidong dan Panroaki Bicara.
Pallabui Rurung artinya hanya memperpanjang
barisan atau rombongan, pattambai cidong artinya
pelengkap atau orang-orang yang sedang duduk-
duduk dilengkapi dengan kehadiran mereka itu.
Sedang Panroaki Bicara artinya hanya turut ramai
dalam pembicaraan. Jadi ringkasnya anggota-
41
anggota ini kedatangannya pada suatu pesta atau
keramaian tidak mempengaruhi jalannya pesta.
5. Appa Pantungkuluk-na Langik-a.
Appa Pantungkuluk-na Langik-a, secara
harfiah artinya empat penopang langit. Maksudnya
langit mempunyai empat penopang utama atau
kejayaan dalam pemerintahan harus diperkuat
dengan empat unsur. Unsur-unsur itu adalah:
a) Labbirik-a yaitu Karaeng Tallua.
b) Gattang-nga, yaitu Adat Limaya
c) Pesonaya, yaitu para dukun atau sanro.
d) Sabbarak-a, yaitu Gurua.
Jadi Appa Pantungkuluk-na Langik-a hampir
sama kalau dikatakan sebagai catur tunggal dalam
pemerintahan modern.
6. Angrongta
Angrongta adalah merupakan salah satu
jabatan dalam struktur kelembagaan dalam
masyarakat Ammatoa yang dijabat oleh seorang
Wanita. Angrongta terdiri dari dua kata yang masing-
masing mempunyai arti. Angrong artinya ibu sedang
“ta” merupakan kata ganti milik yang berarti kita, tapi
42
bukan diartikan sebagai ibu kita tetapi merupakan
suatu jabatan.
Perlu dijelaskan bahwa Angrongta tersebut
bukan istri dari Ammatoa, tetapi hanya sebagai aparat
dan mendampingi Ammatoa dalam menjalankan
peraturan dan ketentuan-ketentuan yang digariskan
dalam pasang khususnya yang tersangkut dengan
masalah perempuan.
2. Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat Menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun
2015 Tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, Dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang dijelaskan pengertian
tentang Lembaga Adat Pasal 1 ayat (14) Lembaga adat adalah
perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang bersamaan
dengan sejarah suatu masyarakat adat untuk mengatur dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan sesuai dengan
hukum adat yang berlaku.
Disebutkan pula tentang hak-hak Masyarakat Hukum adat yang
memberikan Lembaga-lembaga adat kewenangan untuk menjalankan
hukum adatnya sendiri yaitu Pasal Delapan (8) disebutkan bahwa
43
dalam kedudukannya sebagai subjek hukum, MHA (Masyarakat
Hukum Adat) Ammatoa Kajang berhak untuk:
a. mengatur kehidupan bersama di antara sesama warga MHA
Ammatoa Kajang dengan lingkungannya;
b. mengurus kehidupan bersama masyarakat adat berdasarkan
hukum adat yang diselenggarakan oleh lembaga adat;
c. mengelola dan mendistribusikan sumber daya diantara
warga masyarakat adat dengan memperhatikan
keseimbangan fungsi dan menjamin kesetaraan bagi
penerima manfaat; dan
d. menyelenggarakan kebiasaan yang khas, spiritualitas,
tradisi-tradisi, dan sistem peradilan adat.
Dan Pasal 21 (1) yang menyebutkan bahwa, MHA Ammatoa
Kajang berhak untuk mengurus diri sendiri secara swadaya, melalui
kelembagaan adat yang sudah ada secara turun temurun dan
lembaga-lembaga baru yang disepakati pembentukannya secara
bersama untuk menangani urusan internal/lokal didalam masyarakat
adat dan urusan-urusan eksternal yang berhubungan dengan
keberadaan masyarakat adat dan haknya.
Adapun jika terjadi sengketa akan dilaksanakan menurut
ketentuan adat yang berlaku sesuai pasang yang dilaksanakan oleh
Lembaga adat melalui sistem Peradilan Adat sesuai dengan Pasal 22
ayat:
44
1) MHA Ammatoa Kajang berhak untuk menjalankan hukum
adatnya.
2) Dalam hal terjadi pelanggaran atas hukum adat dalam
wilayah adat, baik yang dilakukan oleh MHA Ammatoa
Kajang maupun bukan MHA Ammatoa Kajang, diselesaikan
melalui sistem peradilan adat.
Yang dimaksud dengan peradilan adat adalah acara yang
berlaku menurut hukum adat dalam memeriksa, mempertimbangkan,
memutuskan atau menyelesaikan sesuatu perkara kesalahan adat
(Hilman Hadikusuma, 1989:106). Penjelasan tersebut memberikan
gambaran tentang peradilan adat yang akan berjalan sesuai dengan
nilai-nilai atau norma-norma masyarakat adat disuatu tempat yang
bersangkutan. Artinya didalam peradilan adat juga mengenal istilah
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.32
Lembaga adat dalam hukum adat menjadi sebuah sistem hukum
yang mengedapankan penyelesaian sengketa atau permasalah
dalam masyarakat dengan asas kerukunan atau keseimbangan
masyarakat itu sendiri. Hukum modern atau hukum dari eropa yang
lebih mengedapankan penyelesaian di pengadilan dengan biaya yang
lebih mahal dan berbelit sedangkan hukum adat cukup
mempertemukan pihak yang bersengketa dan dilanjutkan telah
32 Muhammad Awaluudin Rinjani, Tinjauan Antropologi Hukum terhadap penyelesaian sengketa (peradilan adat) Melalui Dewan Adat di Dessa Korowou. (Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 2009)
45
menurut hukum adat oleh para tetua adat, melalui lembaga-lembaga
adat lalu diputuskan. Perkara dengan hukum adat semacam ini sangat
cepat, murah dan efisien.
Ada berbagai macam pelaksanaan penyelesaian sengketa
melalui lembaga adat di Indonesia yaitu sebagai berikut:
a. Peradilan adat Papua
Otonomi khusus bagi papua diberikan oleh negara Republik
Indonesia melalui undang-undang 35 Tahun 2008 tentang
penetapam peraturan pemerintah pengganti undang-undang
nomor 1 tahun 2008.
b. Peradilan adat Aceh
c. Peradilan adat Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu
d. Peradilan adat Bali
e. Peradilan Adat Buton
f. Peradilan adat Sulawesi Tengah
g. Peradilan adat Maluku Tengah
F. Lahirnya Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, menyebutkan pemerintah daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan, dan pasal 18B ayat (2) yaitu Negara
46
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, adalah menjadi
dasar konstitusional masyarakat adat Kajang untuk mendapatkan
pengakuan dan pemenuhan hak-haknya baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pada bulan juli 2013 telah dibentuk dan diumumkan suatu tim yang
bertugas untuk menyusun regulasi berupa Perda Pengukuhan dan
Perlindungan masyarakat adat Ammatoa kajang di Kabupaten
Bulukumba. Tim ini terdiri dari Pemerintah Daerah yang diisi oleh
beberapa Dapartemen, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) baik
Internasional, Nasional maupun Regional (AMAN, CIFOR dan Balang
Institut) yang juga dianggap sebagai representasi tim ahli (expert)
dalam hukum adat dan juga sebagai perwakilan masyarakat adat, dan
unsur pemangku adat ammatoa Kajang yang diwakili oleh labbiriyah.
Anggota Tim yang berasal dari pemerintah daerah Bulukumba
terdiri dari beberapa Departemen berikut ini:
1. Dinas Kehutanan dan Perkebenunan
2. Bagian Hukum Sekretariat Daerah
3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
4. Bagian Pertanahan dan Sekretariat Daerah.
47
Secara umum tugas tim dari perwakilan pemerintah Daerah
adalah untuk mengharmoniskan temuan-temuan dan informasi yang
berhasil dihimpun oleh anggota tim lainnya, melakukan penyesuaian
dengan sistem hukum atau produk hukum yang telah ada tentang poin-
poin yang akan dimasukkan kedalam Ranperda (Rancangan Peraturan
Daerah) agar tidak saling berbenturan, dan memberiikan pertimbangan-
pertimbangan kepada forum dan anggota tim perumus akan kondisi
kekhususan Kabupaten Bulukumba yang perlu diperhatikan dalam
proses pembuatan kebijakan ini.33
Alhasil setelah dua tahun lebih berjuang untuk memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat Kajang sebagai sebuah
kepastian hukum maka pada tanggal 20 November 2015 Ditetapkanlah
Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, Dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang. Dan mulai berlaku sejak
tanggal diundangkan pada tanggal 29 Desember 2015.
33 Andi Rahmat Hidayat. Model Jaringan Publik (Studi Kasus Pada Perumusan Kebijakan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Di Kabupaten Bulukumba). (Tesis Megister Administrasi Pembangunan Program Pascasarjana Universitas Hassanuddin.2015)
48
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan cara untuk mendapatkan data yang
relevan dan sesuai dengan masalah yang diangkat dalam penelilitan. Oleh
karena itu, penelitian dilakukan melalui beberapa rangkaian.
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kajang Kabupaten
Bulukumba. Penulis memilih lokasi tersebut sebagaimana masalah
yang diangkat dalam penelitian ini. Tepatnya diwilayah Adat Kajang
dalam. Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan tanggal 6 Januari
2017 – 24 Januari 2017.
B. Jenis dan Sumber Data
Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
atas dua bagian, yaitu:
1. Data dalam bentuk hasil wawancara yang dilaksanakan untuk
menggali hal-hal yang relevan dengan penelitian. Wawancara
tersebut merupakan peroleh data secara langsung dari pihak-pihak
terkait.
2. Data dalam bentuk hasil observasi dengan cara melihat dan
mendatangi langsung wilayah tersebut.
49
C. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian lapangan, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Membuat daftar pertanyaan.
2. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang
telah disusun.
3. Observasi yaitu mendatangi langsung tempat atau objek penelitian
demi memeroleh data yang sesuai terkait dengan hukum adat
Kajang yang hanya berlaku di kawasan adat Ammatoa.
D. Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh diolah untuk merumuskan, menelaah
dan menganalisis permasalahan yang diangkat. Data tersebut
tergabung dalam data wawancara dan data observasi. Oleh karena
itu, dibutuhkan teknik dalam menganalisis data yang diperoleh. Dalam
penelitian ini, Penulis menggunakan analisis kualitatif dan deskriptif.
Data yang didapatkan diolah dengan analisis kualitatif dengan
melihat hasil penelitian lapangan kemudian mengkaji hasil dari
referensi yang digunakan. Olahan data tersebut disajikan dalam
bentuk deskriptif. Adapun penarikan kesimpulan akan dilakukan
dengan cara induktif. Hasil penjelasan dari wawancara akan
disesuaikan dengan data yang bersifat khusus untuk menjawab
rumusan masalah kemudian dapat ditarik kesimpulan secara umum.
50
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Pasang Ri Kajang
Jika merunut sejarah tentang Pasang sesuai dengan wawancara
langsung dari Ammatoa sebagai pemimpin disebutkan bahwa Pasang
adalah ajaran dan peraturan tentang segala sesuatu yang harus
dilaksanakan dalam kehidupan ini agar mendapat kesalamatan dari
Turiek Arakna dimana Pasang ini tidak dituliskan dan tidak boleh
dikitabkan karna pada awal mulanya pasang-lah yang menjadi sumber
dari ajaran yang tertulis, sumber Pasang yang diterima Ammatoa
adalah ajaran dan tuntunan langsung dari Turiek Arakna, jadi
semacam wahyu dalam Agama Abrahamik yang diturunkan dari
Tuhan ke seorang yang diutus untuk menyampaikan wahyu tersebut
ke seluruh umat manusia. Jika kita melihat kedudukannya dalam
Perda Kab. Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 1 ayat (7) yaitu:
Pasang Ri Kajang untuk selanjutnya disebut pasang adalah
sumber nilai yang mengatur seluruh sendi kehidupan MHA
Ammatoa Kajang, diantaranya berhubungan dengan
masalah sosial, budaya, pemerintahan, kepercayaan,
lingkungan dan pelestarian hutan.
1. Kategori Pasang
a. Pasang berupa Ajaran dan perintah
51
Pasang yang berupa ajaran dan perintah adalah bersifat
moralitas masyarakat dan persatuannya, dimana merupakan
hal yang menjadi kekhasan masyarakat adat kajang yang
ramah bagi semua orang baik dan bersatu dalam menjaga
keutuhan bersama, salah satu prinsip hidup yang paling
dipegang teguh adalah hidup kamase-masea (sederhana),
hidup dengan pola ini mengajarkan hidup yang sederhana dan
bersahaja dimana kesederhanaan ini disimbolkan dengan
kebersamaan, hal ini mengandung makna yang dalam yang
disampaikan oleh Galla’ Lombo’ dalam wawancara langsung
bahwa kesederhanaan disimbolkan dengan kebersamaan
karena membuat manusia sejajar dengan manusia yang lain,
yang berarti tidak ada yang boleh disombongkan dari apa yang
kita miliki,misalnya ukuran dan model rumah yang sama,
makanan yang sama, pekerjaan yang sama, pakaian yang
sama, dan kepercayaan yang sama hal ini terlihat dari pasang
yang berbunyi:
Ammentengko Nu Kamase-mase. Berdiri engkau sederhana
A’cidongko Nu Kamase-mase. Duduk engkau sederhana.
A’dakkako Nu Kamase-mase. Berjalan engkau sederhana.
A’mea’ko Nu Kamase Mase. Berbicara engkau sederhana
Prinsip ini jika diartikan secara harfiah sama dengan
artinya secara isi dan makna. Tetapi jika kita melihat isi Pasang
52
yang menjadi simbol persatuan tetapi harus dikaji secara
maknawi karena secara harfiah memakai kata-kata khiasan
seperti:
1. Lemo Sibatu (Satu buah Jeruk), maknanya adalah jeruk itu
menyimbolkan persatuan dan keteraturan didalamnya
karena sebuah jeruk dengan bulir jeruk tersusun teratur dan
rapi serta disatukan oleh kulit dalam dan luar.
2. Manyu’ Siparampe, Tallang Sipahua’ (Hanyut saling
memgang, tenggelam saling menaikkan), maknanya adalah
susah dan senang harus dirasakan bersama jika seseorang
dilanda sebuah musibah semua orang harus ikut
merasakannya dengan membantu, dan sebaliknya jika
seseorang merasakan berkah dan kesenangan maka semua
juga ikut merasakannya.
3. Ammolo’ Ri Hadahang, a’sallu’ ri ajoa (Menempuh jalan yang
telah diberi tanda, tunduk pada ajoa [alat yag dipakaikan
kepada sapi untuk membajak sawah]), maknanya adalah
keharusan untuk mengikuti aturan yang sudah ditetapkan
oleh nenek moyang, analoginya sama seperti sapi yang ingin
dipake membajak sawah harus memakai ajoa sebagai alat
yang dikendalikan oleh pembajak, jadi sapi harus menurut
kepada pembajak.
53
Jika kita mengartikan secara harfiah maka sulit untuk
menjelaskan apa maksud dari pasang ini, tetapi jika kita secara
makna maka akan kita dapatkan sebuah ajaran tentang
persatuan dan moralitas yang teguh.
b. Pasang berupa Larangan
Pasang dengan ketegori ini adalah isinya lebih mengarah
ke aturan yang bersifat sanksi bagi yang melanggar seperti,
tidak boleh memungut hasil hutan larangan, tidak boleh
merubah model rumah dan lain sebagainya bersifat larangan.
Hal ini menjadi ketegasan yang tetap dijaga sakralitasnya
hingga saat ini. Salah satu pasang yang yang berbunyi:
1. Pangsulu’ rara lalang rambang adalah larangan keras bagi
siapa saja yang mengeluarkan darah manusia, baik yang
disengaja maupun tidak, bahkan luka yang disebabkan
perkelahian ataupun karena hal-hal lain yang lain yang
disebabkan oleh pelanggran yang mengeluarkan darah
meskipun tidak ada pembunuhan maka akan Nipassala
(dikenakan sanksi) yaitu Poko’ Ba’bala (penjelasan akan
uraikan pada pembahasan lain)
2. Silariang adalah pernikahan yang tidak mengikuti aturan
adat untuk proses pernikahan dan tanpa persetujuan
keluarga sehingga kedua pihak antara laki-laki dan
perempuan keluar dari wilayah adat untuk melangsungkan
54
pernikahan, dimana pelanggaran ini dapat dikenakan sanksi
Poko’ Ba’bala ditambah dengan ritual A’dangang yaitu ritual
untuk memperingati seratus hari kematian seseorang,
maksudnya adalah kedua pihak sudah tidak dianggap lagi
sebagai masyarakat adat Ammatoa dan dianggap sudah
meninggal.
c. Pasang berupa ramalan dan wasiat
Pasang ini menjadi ciri khas yang melekat pada adat
Kajang dimana memuat ramalan-ramalan dan wasiat
didalamnya yang sudah ada dari dulu jauh dari pembuktiannya
yang ada sekarang, perlu untuk diketahui bahwa ramalan yang
akan dicontohkan berikut merupakan ramalan yang benar-
benar terjadi
1. Rie suku wattu kaleleng bulu takkalu’-kalu’ na nilambengi ri
ulara’ le’leng battu ri gowa sa’genna kajang na injo wattua
ni passiki’dekangji to ngera api (ada suatu saat nanti
tumbuhan kaleleng [semacam tali pengikat] menjalar
kemana-mana dan tanaman itu dilalui oleh ular hitam dari
gowa sampai kajang dan pada saat itu hanya dengan
sekejap mata kita dapat meminta koboran api), Ramalan ini
bercerita kehadiran listrik dan aspal.
2. Rie suku’ wattu bonto-bonto niparatai na nitiroi pantama
battu ba’le ri kassi (ada suatu saat nanti bonto-bonto [nama
55
gunung] akan rata dan akan terlihat jelas kampung
pantama jika kita melihat dari kassi’ [Ibukota Kecamatan
Kajang]), sesuai dengan wawancara dengan Haswan salah
satu masyarakat kassi yang juga paman peneliti,
menyebutkan bahwa bunyi pasang sudah ada sejak dia
sekolah di bangku Sekolah Dasar (SD), yang sangat sering
diungkapkan dan banyak orang yang merasa takjub ketika
pasang ini terbukti karena sulit rasanya saat itu berfikir
bagaimana bonto-bonto diratakan dan dilihatnya kampung
pantama dari kassi yang sebelumnya tidak mungkin
dilakukan.
3. Rie suku’ wattu bola Ndere’, na sa’rayya sialle (ada suatu
saat nanti rumah berjalan dengan sendirinya, dan suara
akan saling bertemu [tanpa bertemu langsung]) Pasang ini
meramalkan akan adanya mobil dan telefon jarak jauh.
2. Tiga urutan sanksi (Nipassala) dalam Pasang
Dalam hal jenis hukuman yang diberikan jika ada sengketa
yang dipermasalahkan dan dilimpahkan ke Ammatoa dalam acara
A’borong (penjelasannya pada poin berbeda), maka dalam
aturannya ada tiga hirarki sanksi yang akan dihasilkan oleh
Peradilan Adat yaitu:
56
a. Poko’ Ba’bala adalah pelanggaran berat dimana ancaman
ini dikenakan hukuman sebanyak dua belas real (setara
dengan dua belas juta rupiah)
b. Tangnga Ba’bala adalah pelanggaran sedang dimana
ancaman ini dikenakan hukuman sebanyak sembilan real
(setara dengan sembilan juta rupiah)
c. Cappa’ Ba’bala pelanggaran ringan dimana ancaman ini
dikenakan hukuman sebanyak lima real (setara dengan
lima juta rupiah)
Perlu untuk diketahui bahwa jenis sanksi diatas adalah
sanksi yang paling umum dimana sanksi ini didapatkan dalam
acara A’borong sebaagai bentuk Peradilan Adat Kajang.
3. Jenis-jenis permasalahan dan urusan yang ditangani Ammatoa
Sesuai dengan wawancara langsung yang dihimpun dari
Ammatoa, Galla Puto, Galla Lombo’, Tau Toa Pakrasangeng dan
masyarakat umum yang pernah membawa sengketanya ke
Ammatoa, bahwa jenis-jenis permasalahan dan urusan yang
ditangani oleh Ammatoa adalah:
a. Pembunuhan adalah hal yang sangat jarang terjadi bahkan
selama Ammatoa yang menjabat sekarang tidak ada satu
kasus pembunuhan pernah terjadi karna aturan yang sangat
keras tentang ini, sesuai dengan pasang Angpangsulu’ Rara Ri
Ialang Embayya,tapi pernah terjadi di Ammatoa sebelumnya.
57
Selain ammatoa pihak berwenang Kepolisian juga menangani
kasus ini.
b. Pencurian (Lengkasa)
c. Tidak mengikuti keputusan A’borong (Husung)
d. Penghinaan (Kanai)
e. Keperempuanan (Bahine)
Masalah keperempuanan sangat penting dalam aturan adat
Kajang karena posisi perempuan sangat dihargai, hal-hal yang
terkait dengan masalah keperempuanan adalah:
1. Kawin Lari (Silariang)
2. Menghamili Diluar Nikah (Pakatianang)
3. Memperkosa (Massa Bahine)
4. Ditangkap basah berduaan (Sipa’rua rua)
f. Perebutan Warisan
Sengketa Warisan yang biasa dibawa ke Ammatoa adalah
ternak, tanah, harta benda dll.
g. Tanah Giliran
Tanah giliran yang dimaksud adalah tanah yang menjadi milik
bersama diantara dua bersaudara atau lebih dengan status hak
pakai. Hak pakai inilah yang sering dipermasalahkan, dimana
sistemnya adalah permusim tanam, biasanya ada saudara yang
melebihi waktu tanam padahal waktunya sudah berakhir.
58
Salah satu kekhasan dari sengketa yang dilimpahkan ke
Ammatoa sesuai wawancara dengan Galla’ Lombo adalah
didominasi oleh sengketa perdata yaitu kasus warisan dan tanah,
jika dijumlahkan satu dari sepuluh sengketa ada delapan kasus
dengan sengketa perdata,tapi bukan berarti kasus diluar perdata
seperti pidana tidak dilayani di forum Ammatoa, tetap dilaksanakan
tetapi memang kasus pidana yang timbul dalam masyarakat adat
kajang sangat jarang terjadi, inilah bukti betapa pappasang
mempunyai fungsi kemanfaatan hukum yang sangat efektif.
B. Peranan Pappasang Bagi Masyarakat Adat Kajang
Peranan pappasang secara adalah sebagai sumber hukum
karena merupakan dasar dalam mengatur sistem masyarakat dan
sumber ajaran dari perilaku setiap masyarakat adat Kajang sesuai
pendapat Soedikno Mertokusumo bahwa sumber hukum itu adalah:
1. Sebagai asas hukum, yaitu sesuatu yang merupakan permulaan
hukum, misalnya Kehendak Tuhan, Akal Manusia, Jiwa Bangsa,
dsb
2. Menunjukkan sumber hukum terdahulu yang memberi bahan-
bahan yang sekarang berlaku
3. Sebagai sumber berlakunya yang memberi kekuatan berlaku
secara formal kepada peraturan hukum, misalnya penguasa dan
masyarakat.
59
4. Sebagai sumber darimana hukum itu dapat diketahui. Nisalnya
dokumen-dokumen, Undang-Undang, batu tertulis, dll
5. Sebagai sumber terbentuknya hukum atau sumber yang
menimbulkan hukum
Secara rinci perananan pappasang sesuai dengan wawancara
langsung dengan Ammatoa adalah pedoman bagaimana menjaga
hubungan tiga hal yang saling bertalian dan akan dikatakan berperan
jika masyarakat yang menganutnya menjaga dan melestarikan ketiga
hal ini, sebagai penjelasan dan contoh akan diuraikan sebagai berikut:
a. Sebagai Pedoman Hubungan Dengan Tuhan (Turiek Arakna)
Salah satu ritual wajib yang berasal dari pappasang ialah ritual
adat andingingi yang dilaksanakan dihutan keramat setiap awal
tahun untuk meminta rahmat, kemudahan rejeki, kesuburan tanah,
dihindarkan dari kemarau dan lainnya, serta ritual Akkatere bagi
masyarakat yang mempunyai panen yang berlebih yang
diungkapkan sebagai rasa syukur atas rejeki yang didapatkan,
merupakan budaya untuk menjaga hubungan dengan Turiek
Arakna sebagai penentu segalanya didalam kehidupan, hal ini
menjadi bukti bahwa isi dan nilai pappasang menjadikan hubungan
dengan Tuiek Arakna sebagai konsep Ke-Tuhan-an yang diyakini
masyarakat adat Kajang sebagai hal yang paling diutamakan dan
didahulukan dari yang lain, seperti hubungan dengan manusia
ataupun alam, karena keutamaan dalam pedoman ini menjadi
60
dasar dalam keutamaan pedoman yang lain. Atas dasar inilah yang
menjadi landasan Perda Kab. Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015
Bagian Ketiga Hak Spritualitas dan Kebudayaan Pasal 18 Ayat (1):
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak menganut dan
mempraktekkan kepercayaan, upacara-upacara
ritual yang diwarisi dari leluhurnya.
b. Sebagai pedoman hubungan dengan manusia
Peranan dari pappasang yang kedua adalah berfungsi sebagai
pedoman hubungan antar sesama manusia. Mulai dari bentuk
penghargaan, saling menghormati, dan norma-norma sosial
lainnya. Sebagai contoh, salah satu prinsip dasar dalam hubungan
antar sesama manusia tertera dalam pasang yang disampaikan
langsung oleh Ammatoa pada sesi wawancara yakni (rie appa’
battu lalang kalea intumi nu parallu ni pakahaji’i) maksudnya ada
empat dalam diri yang harus diperbaiki yaitu :
1. Buakkang Mata , dimaksudkan sebagai penjaga penglihatan
mata.
2. Pangsulu’ Sa’ra, dimaksudkan sebagai penjaga ucapan.
3. Pa’lampa Lima, dimaksudkan sebagai penjaga tangan
4. Angka’ Bangkeng dimaksudkaan sebagai penjaga langkah
laki.
Pasang ini disambung oleh Tau Toa Pakrasangeng yang
dijabat oleh Puto Sengka dalam wawancara langsung yang
61
memberikan contoh kongkrit dalam hal keperempuanan yakni jika
kita tidak menjaga mata dengan melihat seorang perempuan maka
keluarlah ucapan yang tidak pantas dan tangan sudah sampai pada
hal yang dilarang dimana langka kaki yang membawa kita pada
kemaksiatan. Prinsip berlaku untuk semua aktifitas keseharian
masyarakat adat Kajang, yang diyakini akan membawa kedaimaian.
Pedoman ini dijadikan salah satu hak masyarakat Adat
Kajang dalam Perda Kab. Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Bagian
Kelima Tantang Hak Untuk Mengurus Sendiri Pasal 21 ayat (1) dan
(2) yaitu:
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak untuk mengurus diri
sendiri secara swadaya, melalui kelembagaan adat
yang sudah ada secara turun temurun dan lembaga-
lembaga baru yang disepakati pembentukannya
secara bersama untuk menangani urusan
internal/lokal didalam masyarakat adat dan urusan-
urusan eksternal yang berhubungan dengan
keberadaan masyarakat adat dan haknya.
(2) Hak untuk mengurus diri sendiri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) merupakan hak yang
harus ada pada masyarakat adat sebagai prasyarat
dari pelaksanaan hak-hak bawaan mereka.
62
(3) Dalam menjalankan hak untuk mengurus diri sendiri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), MHA
Ammatoa Kajang berhak mendapat dukungan dari
pemerintah daerah, baik dukungan pendanaan
maupun dukungan sarana prasarana lain yang
diperlukan.
c. Sebagai pedoman hubungan dengan alam.
Pappasang yang mengatur tata cara mengambil hasil alam
yang digunakan dalam masyarakat adat kajang seperti
pengambilan hasil kekayaan hutan adalah salah satu peranan
pasang dalam hubungannya dengan alam, hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan pasal
67 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan:
(1)Masyarakat Hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
berhak:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan undang-undang;dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahterannya
63
(2)Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat
hukum adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan peraturan daerah.
Hukum adat yang termaktub dalam pappasang mengatur
pengambilan hasil hutan yaitu tanam, pilih baru tebang sebagai
contoh jika seseorang ingin menebang satu buah pohon maka
harus menanam dua bibit pohon yang sama, dan setelah
diputuskan oleh Ammatoa layak untuk tumbuh dan diwajibkan
memeliharanya sampai siap digunakan kembali oleh masyarakat
lainnya maka barulah seseorang dapat menebang satu pohon,
aturan ini sangat dijaga ketat pelaksanaannya karena memang
hutan dan isinya menjadi sumber penghidupan utama masyarakat
adat Kajang.
Dan aturan pasang yang membagi mana wilayah hutan yang
dapat dikelola secukupnya dan mana hutan yang sama sekali tidak
boleh disentuh oleh aktifitas manusia selain ritual adat yang dihadiri
oleh Ammatoa, ketetapan ini adalah sebuah kebijaksanaan, karena
menjadikan keseimbangan ekosistem hutan sebagai tujuan utama
dimana memang hutan juga akan tetap dibutuhkan hasilnya tetap
dengan syarat keperluan seperlunya sesuai prinsip hidup mereka
tallasa kamase-masea (Kehidupan yang sederhana), dan hutan
yang sama sekali tidak boleh dimanfaatkan isi dan hasilnya adalah
sebagai sebuah simbol dari perlindungan alam, sama halnya
64
dengan Kementrian Kehutanan yang membagi tipe hutan dalam
hutan produksi terbatas dan hutan lindung.
Dalam Perda Kab. Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Pasal
15 Tentang Hak atas Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam juga
memasukkan pedoman ini sebagai dasar hak dalam pengelolaan
kekayaan alam yaitu:
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak atas tanah-tanah,
wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki
atau duduki secara turun-temurun dan/atau diperoleh
melalui mekanisme yang lain.
(2) Sumber Daya Alam sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (1) mencakup segala sesuatu baik yang
dipermukaan maupun yang terkandung didalam
tanah.
(3) Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup hak
untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan
mengendalikan atas dasar kepemilikan turun-
temurun dan/atau cara-cara yang lain.
Serta Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 35/PUU-
X/2012 TANGGAL 16 Mei 2013, yang menyebutkan bahwa hutan adat
adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
menjadi salah satu dasar pemenuhan hak masyarakat adat Kajang
65
dalam mengelola dan menguasai hutan dan isinya dari negara yang
juga menjadi dasar menimbang dalam Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Dan Kehutanan Nomor: SK.6746/MENLHK-
PSKL/KUM.1/12/2016 Tentang Penetapan Hutan Adat Ammatoa
Kajang.
C. Wilayah Adat
Secara administrasi wilayah pemerintahan wilayah Adat Kajang
berada di Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang Kabupaten
Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan, dengan tujuh dusun yang ada
didalamnya. Tetapi jika kita melihat batas wilayah sesuai dengan
aturan adat, sesuai hasil wawancara dengan Galla’ Puto sebagai juru
bicara Ammatoa, pada dasarnya wilayah adat untuk pemberlakuan
pasang itu terbagi menjadi dua wilayah yaitu:
1. Ilalang Embayya/Tana Kekea/ Lalang Rambang.
Sesuai dengan wawancara dengan Galla’ Puto juru bicara
Ammatoa, batas yang dimaksud dengan Ilalang Embayya
(yang ia sebut lalang Rambang) adalah wilayah yang wajib
melaksanakan pasang dan tunduk langsung dengan aturan dan
ajaran yang ada dalam pasang olehnya itu ada batas yang jelas
yang maksud ilalang embbayya yang sudah digariskan oleh pa
sang atau Galla Puto sebut sebagai Le’ba’ Mariolo yaitu:
a. Doro yaitu nama batas wilayah yang berbatasan dengan
daerah bonto baji.
66
b. Limba yaitu nama batas wilayah yang berbatasan dengan
anjuru, sekarang dikenal dengan wilayah sumalayya.
c. Tuli yaitu nama batas wilayah yang berbatasan dengan
desa malleleng dan desa tanah towa
d. Sangkala, yaitu nama batas wilayah yang berbatasan
dengan wilayah bonto baji dan sangkala
Empat wilayah ini adalah perbatasan arah angin timur,
barat, selatan dan utara yang menjadi batas dalam ilalang
Embayya dan merupakan batas yang tidak akan pernah dan
bisa bergeser.
2. Ipantarang Embayya/Tana Lohea/Luara Rambang.
Ipantarang embayya adalah wilayah diluar dari ilalang
embayya yang dimana masyarakatnya diberikan hak apakah
ingin mengikuti ajaran dalam pasang atau tidak, karena
palaksanaan pasang tidak dijalankan dalam semua sendi
kehidupan masyarakatnya maka wilayah ini diberikan kepada
utuh kepada pemerintah daerah untuk mengurus secara
mendiri, dan jika terjadi sesuatu yang terkait masalah adat
maka dianjurkan untuk membawanya ke Ammatoa, dan secara
faktual wilayah ini tetap masuk dalam wilayah adat Ammatoa,
dan sering sekali dari wawancara dengan Galla Lombo’
sengketa yang terjadi di wilayah Ipantarang Embayya dibawa
masuk ke dalam Ilalang Embayya. Wilayah-wilayah yang
67
termasuk dalam Ipantarang Embayya diluar dari keempat
batas yang sebutkan dalam Ilalang Embayya, dimana fakta
yang membuktikan bahwa semakin dekat suatu wilayah dengan
wilayah Ilalang Embayya maka semakin banyak pula yang
tetap berpegang teguh dengan pasang seperti wilayah
sebagian Kecamatan Kajang, Kecamatan Herlang, Kecamatan
Bontotiro, Kecamatan Bonto Bahari, dan wilayah lain yang
masih menggunakan bahasa Konjo sebagai bahasa sehari-
harinya pasti tetap mempercayai bagian dari pappasang
meskipun tidak disemua sendi kehidupannya.
Hal ini juga dimuat dalam Perda Kab. Bulukumba Nomor 9 Tahun
2015 BAB VI perihal wilayah adat masyarakat adat Ammatoa Kajang
pasal 10 ayat (1) yaitu:
Wilayah adat MHA Ammatoa Kajang terdiri dari Wilayah
Ilalang embayya atau Rambang Seppang dan Ipantarang
Embayya atau Rembang Luara
D. 26 Pemangku Adat dan Tokoh Masyarakat (Lembaga Adat)
Dalam Hukum adat Kajang yang berlaku terdapat struktur
jabatan yang sudah dipertahankan dari dulu hingga sekrang ini,
Jabatan inilah yang dimaksud dalam Perda Kab. Bulukumba Nomor 9
Tahun 2015 Bab Lima Tentang Kelembagaan Masyarakat Hukum
Adat Ammatoa Kajang pasal 9 ayat (10). Sesuai wawancara langsung
oleh Ammatoa bahwa dalam struktur masyarakat Adat Kajang
68
mempunyai jabatan-jabatan (Gallarang) dengan tugas dan fungsi
masing-masing yang sudah diatur dalam pappasang sesuai pasal 9
ayat (2) Perda Kab. Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 yang
menegaskan “Tugas dan fungsi lembaga adat sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) adalah berdasarkan pasang” , adapun
struktur lembaga adat beserta penjabaran mengenai tugas dan
fungsinya adalah sebagai berikut:
1. Ammatoa
Ammatoa atau bisa juga disebut Bohe Amma Adalah Pemimpin
dengan Jabatan tertinggi dalam struktur adat dan terutama
dalam segala bidang. Ammatoa dipimpin oleh Puto Palasa.
Ada’ Lima Ri Tana Kekea
Sesuai dengan namanya ada lima orang yang menjabat jabatan
ini dan terbagi menjadi dua yaitu Ada’ Lima Ri Tana Kekea dimana
wilayah kerjanya adalah masuk dalam wilayah Ilalang Embayya dan
wilayah terdekat dengan wilayah Ilalang Embayya dan Ada’ L ima Ri
Tana Lohea adalah juga dijabat oleh lima orang dimana wilayah
kerjanya termasuk dalam wilayah Ipantarang Embayya. Yaitu:
2. Galla’ Pantama
Jabatan yang dijabat oleh Kepala Desa Pantama ini membidangi
urusan Pertanian dan ahli dalam bidang permusiman tanam dan
perbintangan. Jabatan ini dijabat oleh Kepala Desa Pantama
yaitu Azis
69
3. Galla’ Kajang
Galla‘ Kajang adalah jabatan yang bertugas dalam bidang
Agama dan Perkawinan yang dijabat oleh Puto Duppa Sengka
Tallu
4. Galla’ Puto
Galla’ Puto adalah jabatan yang bertugas sebagai Juru Bicara
Ammatoa dan orang yang harus membuka prosesi A’ borong jika
ada sengketa yang terjadi dan dibawa ke Ammatoa, dimana
jabatan ini dijabat oleh Puto Bolong
5. Galla’ Lombo’
Galla’ Lombo’ adalah jabatan yang bertugas sebagai urusan
dalam yang dijabat oleh Kepala Desa Tanah Towa yaitu Abd.
Salam
6. Galla’ Malleleng
Galla Malleleng adalah jabatan yang bertugas membidangi
masalah perikanan dan ahli dalam perbintangan dimana
sekarang dijabat oleh kepala Desa Malleleng yaitu Jamaluddin
Tambi
Ada’ Lima Ri Tana Lohea
Sesuai dengan namanya juga ada lima orang yang menjabat
jabatan ini bertugas sebagai angngintingingi tingkasayya yaitu para
penjaga batas Jabatan ini mempunyai satu tugas yang menyamakan
kelimanya yaitu sebagai orang-orang yang menyiapkan ritual pa’nganro
70
7. Galla’ Anjuru dijabat oleh Kepala Desa Lembanna yaitu Asri
Galla Anjuru
8. Galla’ Sapa dijabat oleh Kepala Desa Sapanang yaitu Ho’da’
Galla Sapa
9. Galla’ Bantalang dijabat oleh Kepala Desa Pattiroang yaitu
Ahmad Galla Bantalang
10. Galla’ Sangkala dijabat oleh Juma’ Galla’ Sangkala
11. Galla’ Ganta’ dijabat oleh Amiruddin Galla Ganta
Karaeng Tallu
Jabatan ini adalah jabatan yang terdiri dari tiga orang dan tidak
dapat dipisahkan satu sama lainnya disetiap upacara dan ritual adat
terutama panggilan langsung dari Ammatoa saat diperlukan, maka
harus dihadiri oleh sedikitnya satu perwakilan dari Karaeng Tallua
yang terdiri dari:
12. Labbiriyya / Karaeng Kajang, dimana jabatan ini berfungsi
sebagai penghubung antara orang-orang luar adat khususnya
pejabat pemerintahan seperti contohnya Menteri Lingkungan
Hidup yang mengunjungi Ammatoa dan wilayah adatnya, serta
dapat mewakili Ammatoa dalam urusan pemerintahan diluar
wilayah adat jika diperintahkan Ammatoa yang berhubungan
dengan kedudukan Masyarakat Hukum Adat seperti pada saat
perumusan Perda Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan,
Pengakuan Hak, Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
71
Adat Ammatoa Kajang. Jabatan ini dijabat oleh Kepala
Kecamatan Kajang yaitu Andi Buyung Saputra.
13. Sulehatang / Sa’bu Karaeng, jabatan ini bertugas sebagai
pengawas keamanan daerah adat dimana jabatan ini tidak
boleh merangkap pemerintah sekaligus jabatan pemangku adat,
dan tidak boleh berkantor formal. Jabatan ini sekarang dijabat
oleh Andi Sudirman Mangkono.
14. Muncongbuloa / Ana’ Karaeng, jabatan ini berfungsi urusan dan
luar kawasan adat, dimana jika ada pesta adat dan pernikahan
dihadiri oleh jabatan ini, dimana sekarang dijabat oleh Kepala
Desa Tambangan yaitu Andi Abu Ayyub Syech.
Jabatan Individu
15. Kali adalah jabatan yang bertugas dalam urusan Keagamaan
dan Perkawinan juga bertugas membaca doa. Kali sekarang
dijabat oleh kepala Kantor urusan Agama (KUA) Kecamatan
Kajang yaitu Agus Salim Ashud S.Ag
16. Putotoa Sangkala, adalah jabatan yang bertugas membawa
permasalahan dan urusan diwilayah sangkala ke Ammatoa jika
permasalahan tidak bisa diselesaikan diluar forum Ammatoa
yang dijabat oleh U’ding Putotoa Sangkala
17. Anrong Guru Lolisang adalah jabatan yang bertugas menjaga
daerah desa lolisang yang berbatasab dengan daerah penutup
72
(desa pattongko [Karaeng Pattongko]) yang dijabat oleh Kepala
Desa Lolisang yaitu Muhammad Amir
18. Karaeng Pattongko adalah jabatan yang bertugas sebagai
penjaga wilayah penutup Kajang (Benteng pertahanan terakhir
masa penjajahan) sesuai dengan namanya (Pattongko), yang
menarik dari jabatan ini adalah secara administrasi pemerintahan
wilayah ini masuk dalam wilayah Kab. Sinjai meskipun
berbatasan langsung dengan desa Lolisang Kab. Bulukumba,
tetapi karena aturan yang dipertahankan dari dulu yang
menyebutkan siapapun kepala desa (sejak dilaksanakannya
sistem pemilihan umum) di wilayah pattongko maka akan
menjabat sebagai Karaeng Pattongko. Jabatan ini dijabat oleh
Sultan Dg. Raja
19. Loha’ Karaeng
20. Panrea, jabatan ini adalah orang khusus yang membuat senjata-
senjata adat yang diperlukan dalam ritual dan upacara adat,
pandai besi ini hanya boleh diperintah langsung oleh Ammatoa,
menghindari orang-orang yang tidak berkepentingan
memperoleh senjata yang bukan haknya, panrea dijabat oleh
Kamba’ Panrea
21. Kadaha, ada suatu wilayah adat yang disebut dengan possi
tanah, dimana daerah ini penting maka perlu penjagaan khusus,
73
olehnya itu tugas utama dari kadaha adalah menjaga wilayah ini,
jabatan ini dijabat oleh Abd. Jagong Kadaha
22. Lompo Ada’, jabatan ini bertugas dengan istilah konjo Panre’
Lompo yaitu orang yang harus mengambil air di mata air keramat
pada ritual adat Pa’nganro (penjelasan lengkap ada pada
pembahasan lain), dan juga orang yang berada disamping tepat
Ammatoa saat upacara A’dingingi (penjelasan lengkap ada pada
pembahasan lain) dimana dialah yang menunjukkan tempat
dimana sesajian dalam upacara ini diletakkan. Jabatan ini dijabat
oleh Hamido’ Lompo Ada’.
23. Galla Jo’jolo, berbeda dengan karaeng pattongko sebagai
penjaga wilayah penutup, jabatan ini bertugas sebaliknya yaitu
penjaga wilayah pembuka (Benteng pertahanan awal pada masa
penjajahan), jabatan ini dijabat oleh Sukri Galla Jo’jolo.
24. Putotoa Ganta’, hampir sama dengan Putotoa Sangkala jabatan
ini bertugas membawa permasalahan dan urusan diwilayah
Ganta’ ke Ammatoa jika permasalahan tidak bisa diselesaikan
diluar forum Ammatoa, bedanya adalah permasalahan dan
urusan yang ingin dibawa ke Ammatoa harus melalui dan izin
dari Putotoa Sangkala terlebih dahulu, jika tidak maka Ammatoa
akan mengembalikan permasalahan kepada Putotoa Sangkala.
Jabatan ini dijabat oleh Sulo Putotoa Ganta’.
74
25. Kammula, jabatan ini terlihat mudah tetapi sangat penting dalam
upacara-upacara adat dimana orang yang menjabat jabatan ini
adalah orang yang harus duduk sebelum upacara dilaksanakan,
pentingnya adalah dialah yang menentukan apakah upacara
adat siap dilaksanakan atau tidak, dengan melihat apakah
pemangku adat yang wajib hadir sudah datang atau sudah
quorum atau tidak. Jabatan ini dijabat oleh Cindrang Kammula.
26. Lompo Karaeng, jabatan ini bertugas dengan istilah Passsolo’
dimana hal-hal yang bersifat administratif dan keuangan dalam
upacara-upacara adat diurus olehnya. Jabatan ini dijabat oleh
Sutong Lompo Karaeng.
Perlu diketahui lagi bahwa diluar dari dua puluh enam jabatan ini
ada lagi beberapa Tokoh Masyarakat yang diberikan tugas oleh
Ammatoa dengan fungsinya masing-masing, yaitu:
1. Anrongta, biasa disebut dengann Bali Cidong atau lawan duduk
dari Ammatoa jika dilaksanakan suatu acara dan ritual adat
seperti yang dilakukan saat acara A’dingingi dimana jabatan ini
juga bertugas untuk membaca doa-doa tertentu pada acara
ritual adat, dimana satu-satunya jabatan Tokoh Masyarakat
yang dijabat oleh Perempuan.
2. Tau Toa Pakrasangang.
3. Pattola Ada’.
4. Pattola Karaeng. 75
5. Gurua, adalah orang-orang yang terpelajar.
6. Kadahanga.
7. Sanro, Tokoh Masyarakat ini berfungsi sebagai orang yan
bertanggung jawab menjaga kesehatan masyarakat
8. Galla’ Batu Pajjara.
9. Laha’ Karaeng adalah mantan Karaeng Kajang.
10. Laha’ Ada’ adalah para mantan-mantan pemangku adat.
11. Duahang adalah orang yang ahli dalam perikanan dan
mengatur organisasi nelayan.
12. Oragi adalah orang-orang yang ahli dalam perkayuan dan ahli
dalam bidang pahat.
E. Mekanisme dalam menjalankan Pasang oleh Lembaga Adat
Jika kita melihat mekanisme Hukum Acara Lembaga Adat dalam
menyelesaikan setiap urusan dan permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat adat Kajang maka mekanismenya ialah:
1. A’borong.
A’borong diartikan sebagai wadah untuk menyelesaikan
segala permasalahan dan sengketa yang dilimpahkan secara
Hukum Adat berdasarkan Pasang. Inilah yang dimaksud dengan
dengan sistem peradilan adat dalam Perda Kab. Bulukumba Nomor
9 Tahun 2015 pasal 22 ayat (1) dan (2) yaitu:
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak untuk menjalankan hukum
adatnya.
76
(1) Dalam hal terjadi pelanggaran atas hukum adat dalam
wilayah adat, baik yang dilakukan oleh MHA Ammatoa
Kajang maupun bukan MHA Ammatoa Kajang,
diselesaikan melalui sistem peradilan adat.
Serta pasal 8 poin (d) yaitu:
Dalam Kedudukannya sebagai subjek hukum, MHA
Ammatoa Kajang berhak untuk:
(d) Menyelenggarakan Kebiasaan yang khas, spritualitas,
tradisi-tradisi dan sistem peradilan adat
Wadah ini berbentuk forum bersama yang harus dihadiri
oleh para pemangku adat dan tokoh masyarakat, A’borong menjadi
salah satu cara dalam memutuskan segala permasalahan dan
sengketa dan menjadi pilihan utama dalam proses penyelesaian
dibandingkan cara yang lain, jika memang bisa diselesaikan dalam
A’borong.
Setiap urusan dan permasalahan yang dilimpahkan ke
wilayah penyelesaian adat berdasarkan dua cara. Pertama, urusan
dan permasalahan tersebut merupakan perintah langsung
Ammatoa untuk menghadiri berupa acara adat seperti yang terjadi
pada saat ritual a’dingingi yang dihadiri langsung oleh peneliti,
dimana pemanggilan ini diwakili oleh pemangku adat dan tokoh
masyarakat. Kedua, setiap urusan dan permasalahan dapat berupa
pelaporan dari masyarakat langsung dan usulan dari para
77
pemangku adat (Gallarang) maupun tokoh masyarakat. Perlu
diketahui, bahwa pelaporan berarti suatu urusan dan permasalahan
tersebut belum pernah ada upaya untuk penyelesaian yang
dilimpahka secara Hukum Adat sebagai forum pertama untuk
menyelesaikannya, dan usulan berarti suatu masalah sudah pernah
diupayakan penyelesaiannya tetapi tidak menemui solusi dan
keputusan.
TIGA PUTUSAN DALAM PAPPASANG
Perlu diketahui bahwa ada aturan dalam Pasang yang
menyebutkan ada tiga (3) putusan (Le’ba) permasalahan/sengketa
yang tidak boleh diubah satu sama lainnya oleh putusan yang lain,
tiga putusan yang harus saling menguatkan, karena prinsip le’ba
hanya satu kali yang istilahkan sebagaii tala rie pinruang le’ba yaitu:
a. Keputusan Labbiriyya, adalah forum penyelesaian masalah yang
diputuskan oleh Kepala Kecamatan Kajang sebagai Karaeng
Kajang dimana bersifat administratif kepemerintahan, dan jika
bersinggungan dengan masalah adat dan permasalahan lain
yang tidak mampu diputuskannya kecuali di forum A’borong
Ammatoa maka ia membawa permasalahan tersebut ke
Ammatoa, jadi diforum ini bisa melahirkan keputusan dan bisa
melahirkan usulan.
b. Keputusan Ada’, adalah forum penyelesaian masalah yang
diputuskan oleh para pemangku adat (Gallarrang), sama dengan
78
forum Labbiriyya jika masalah tersebut menemui jalan buntu dan
tidak dapat diputuskan diforum Ada’ oleh para pemangku adat
maka wajib oleh pemangku adat menyerahkan permasalahan
dan sengketa tersebut ke Ammatoa. Forum ini juga bisa
melahirkan keputusan dan bisa melahirkan usulan.
c. Keputusan Ammatoa, adalah forum tertinggi dan terutama dalam
upaya penyelesaian sengketa dan permasalahan yang diajukan
oleh pemangku adat. Dimana forum ini pasti dan hanya
melahirkan keputusan.
Penjelasan dari ketiga putusan ini adalah :
a. Forum Labbiriyya dan Ada’ bisa diajukan oleh masyarakat
langsung tetapi forum Ammatoa hanya bisa diajukan oleh
Pemangku Adat (Usulan).
b. Jika ada keputusan di forum Labbiriyya dan Ada’ maka wajib
hukumnya untuk dilaksanakan dan tidak boleh lagi dibawa
masuk kedalam forum A’borong Ammatoa, terlebih lagi jika
sudah diputuskan oleh Ammatoa maka sangat dilarang dibawa
lagi ke forum Labbiriy ya dan Ada’ karna pada dasarnya kedua
forum ini adalah forum yang dipegang oleh pemangku-pemangku
adat Ammatoa sendiri.
c. Tidak ada mekanisme banding dalam sistem Peradilan Adat
(A’borong), jadi bukan berarti tiga urutan ini merupakan hirarki
Peradilat Adat Kajang yang diajukan sebagai banding dan kasasi
79
jika disamakan dengan peradilan Negara tetapi ketiganya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena pada
dasarnya ketiganya merupakan keputusan yang sama oleh
Ammatoa yang didasarkan pada pappasang bahwa ada tiga
jenis putusan dalam adat Kajang.
d. Siapapun yang tidak mengikuti putusan (Le’ba’) maka
digolongkan dalam sanksi Poko’ Ba’bala.
Tata Urutan Pelaksanaan A’borong adalah sebagai berikut:
1. Setelah ada pelaporan atau usulan dari Pemangku Adat
maka Ammatoa akan memanggil para pemangku adat untuk
membicarakannya lebih dulu.
2. Setelah siap untuk dilaksanakan prosesi A’borong maka
Galla Puto adalah orang yang harus membuka A’borong
sekaligus menutup setelah pada tahap keputusan (Le’ba’).
3. Setelah itu, orang-orang yang terkait dalam sengketa
langsung didudukkan dan dimintai keterangan awal, jika
sudah pernah diupayakan penyelesaiannya (oleh Labbiriyya
atau Ada’) maka akan diminta keterangan bagaimana
kronologis penyelesaian dan apa kendalanya, setelah jelas
apa duduk perkara dan kendalanya barulah A’borong
memulai dengan melanjutkan hasil-hasil pembicaraan
sebelumnya yang dilakukan oleh forum Labbiriyya ataupun
Ada’. Tetapi jika forum A’borong menjadi forum pertama
80
penyelesaian maka akan diminta keterangan awal apa yang
duduk perkara dan yang disengketakan sampai pada
kesimpulan bahwa sengketa itu siap untuk dibahas untuk
prosesi pembuktian.
4. Prosesi pembuktian adalah prosesi yang dilaksanakan sangat
teliti dan tegas. Semua orang-orang yang dianggap terlibat
dalam sengketa seperti tergugat, penggugat, saksi-saksi,
pihak ketiga, pihak keempat dan lainnya wajib untuk
didudukkan disatu barisan tempat duduk yang sama dan
dimintai keterangan yang jujur, jika ada keraguan didalamnya
atau keterangan yang disampaikan oleh pihak yang
bersengketa menurut forum sangat penting menjadi dasar
keputusan maka diperlukan daya paksa yang sangat tegas
dan sakral, yaitu dengan melaksanakan ritual tambahan yaitu
Tunra atau disumpah (Penjelasan lengkap tentang sumpah
ini akan dibahas pada poin berbeda).
5. Setelah prosesi pembuktian dan sumpah jika diperlukan telah
dilaksanakan maka forum Ammatoa memberikan ancaman
sanksi yang akan diterima, pada tahap ini kepada orang yang
dianggap bersalah (Tergugat) dapat meminta keringan
hukuman yang disebut kebijaksanaan Ammatoa sebagai
“Angrappungngi Amma” seperti pada kasus film Liontin
Tanah Terlarang yang didalamnya dimainkan dan menjadi
81
narasumber oleh beberapa masyarakat Kajang yang
memainkan secara keliru prosesi Adat Ganrang Tallua,
hinggga sampai pada sanksi Poko’ Ba’bala, tetapi diberikan
kebijaksanaan oleh Ammatoa untuk diringankan. Tetapi
kebijaksanaan ini tergantung pada jenis pelanggaran apa
yang ia buat, jika sudah terlalu penting dan menyangkut hajat
hidup orang banyak seperti menebang pohon dihutan
terlarang meskipun jumlahnya satu pohon kecil, mengambil
ikan meskipun seekor, atau mengambil madu setetes atau
mengeluarkan darah manusia ilalang embayya meskipun
tidak membunuh sekalipun seseorang maka tidak ada
kebijaksanaan Ammatoa yang diberikan karena pelanggaran
ini melanggar aturan yang memang sangat dilarang (Le’ba’
Riolo)
6. Keputusan (Le’ba) Pada akhir A’borong ini diputuskanlah
keputusan dari sengketa yang dibahas apakah termasuk
Cappa’ Ba’bala, Tangnga Ba’bala atau Poko’ Ba’bala, setelah
Ammatoa memberikan salah satu dari ketiga sanksi maka
putusan harus secepat mungkin dilaksanakan demi
menghindari kekacauan dan keburukan yang akan menimpa
wilayah adat yang disebut (manraki tau ta’bala).
82
2. Mekanisme Lain Dalam Menyelesaikan Setiap Urusan Dan
Permasalahan
Pada keadaan tertentu ketika suatu masalah tidak dapat
dilimpahkan pada metode A’borong atau keputusan A’borong tidak
dilaksanakan serta sengketa yang diserahkan dalam A’borong sulit
untuk diputuskan maka langkah-langkah yang diambil adalah
langkah tegas, ketegasan ini berbentuk ritual sakral yaitu:
1. Ritual Adat
A. Tunu Panroli (Bakar Linggis/besi)
Secara harfiah tunu panroli ini dapat diartikan dengan
bakar besi, dan dapat dibedakan menjadi dua tujuan ritual
yaitu:
a) Tunu Panroli sebagai pemecahan masalah.
Ritual adat ini hanya dilaksanakan pada kasus pencurian,
dimana ritual ini dilaksanakan jika tidak ada pengakuan
langsung dari yang dituduh sebagai pelaku pada prosesi
A’borong atau memang pelaku tidak ditemukan. Pada
prosesi ini sebuah besi akan dipanaskan sampai besi
tesebut berwarna merah panas, dan besi tersebut
dibacakan azimat dan mantra tertentu untuk mencari
siapa pencuri yang sebenarnya, dimana besi ini akan
dipegang seluruh orang yang ada dan yang dituduh
sebagai pelaki, bagi siapa yang tidak bersalah pasti tidak
83
akan ada luka bakar atau lecet sedikitpun tetapi
sebaliknya pelaku pasti terbakar. Tetapi rata-rata kasus
sesuai dengan wawancara langsung dengan Galla Puto
juru bicara Ammatoa, pelaku akan segera mengaku ketika
gilirannya memegang besi tersebut, tetapi ada juga
beberapa kasus dimana pelaku sudah menipis
keyakinannya terhadap pasang tetap berani menguji
kesaktian ritual tersebut dan akhirnya tangannya melepuh
dan ini betul-betul terjadi.
b) Tunu Panroli Sebagai Obat
Selain dalam jalan pemecahan masalah dalam kasus
pencurian, tunu panroli juga berfungsi sebagai salah satu
metode pengobatan. Metodenya sama dengan metode
pemecahan masalah tetapi tujuannya berbeda yaitu
mantra dan azimat yang dibacakan diniatkan untuk
mengobati, jenis peyakit yang dapat diobati baik berupa
medis maupun non medis.
Tunu Panroli dapat dilaksanakan diluar kawasan adat
tetapi orang yang melaksanakan adalah orang yang
memang bertugas menjalankan tugas ini, selain orang yang
bertugas ini, tunu panroli tidak dapat dilaksanakan.
B. Tunra (Penyumpahan)
84
Ritual ini adalah ritual yang dilakukan pada proses
pembuktian A’borong dan hal-hal yang lain yang bertujuan
untuk meminta keterangan atau kesaksian yang sejujur-
jujurnya. Adapun Tunra ini harus dibawa oleh ahli sumpah
yang ditunjuk langsung Ammatoa untuk membacakan
mantra dan azimat tertentu, dan Tunra tidak dapat
dilaksanakan sselain orang yang mempunyai tugas
membawanya. Dimana dampak yang didapat oleh orang
yang tidak memberikan keterangan dan kesaksian yang
sebenarnya maka akan mendapatkan kesukaran rejeki dan
umur yang tidak diberkahi, sama dengan tunu panroli
ancaman ini kebanyakan akan mengundurkan niat yang
bersengketa dan siap mengakui kesalahannya atau akan
memberikan kesaksian yang jujur walaupun akan
memberatkan orang yang dibelanya bagi yang meyakini
kesakralan pasang tetapi sebaliknya bagi yang sudah
menipis keyakinannya akan pasang akan tetap siap untuk
disumpah ,karna pada prinsipnya sanksi-sanksi yang seperti
ini secara ilmiah sulit untuk diterangkan tetapi pada fakta
yang terjadi pada Masyarakat Ammatoa betul-betul terjadi.
C. Tunu Passau (Bakar Sesajen)
85
Tunu passau sebagai jalan terakhir dalam
penyelesaian sengketa dan permasalahan. Syarat
dilaksanakannya Tunu Passau adalah:
1. Jika orang bersengketa tidak memenuhi penggilan
ammatoa dalam A’borong dimana pemanggilan ini harus
dianggap sebagai bentuk penolakan orang yang
bersengketa dan dapat dikenai langsung sanksi Poko’
Ba’bala.
2. Jika tidak ada saksi atau bukti pada pelanggaran
memang dinggap merugikan/mencelakai seseorang,
misalnya kasus yang dialami Karaeng Pattongko yang
berakhir pada ritual Tunu Passau, hal ini terjadi setelah
dibicarakan lebih dahulu Ammatoa dengan pemangku
adat lain, karena Karaeng Pattongko pun termasuk
pemangku adat. Setelah disetujui barulah prosesi ini
akan dilanjutkan.
Tata cara pelaksanaan ritual ini harus dilaksanakan
dikediaman langsung Ammatoa dan juga dilaksanakan
olehnya, pertama dengan membakar sesajen dan
mengasapi semua orang yang terlibat dalam sengketa
ataupun yang disangka telah mmebuat pelanggaran, setelah
itu turunlah kutukan Ammatoa, yang hanya Ammatoa sendiri
yang dapat mengucapkannnya. Setelah turun hukuman
86
berupa kutukan tersebut maka semua orang diharapkan
agar tetap tenang dalam beberapa hari kedepan untuk
mengetahui apa yang terjadi dan jika hari yang dimaksud
Ammatoa telah tiba, Ammatoa sendiri akan memutuskan
siapa yang bersalah dalam permasalahan yang terjadi.
2. Upacara Adat
Dalam hal-hal selain sengketa dan permasalahan
yang dilimpahkan pada prosesi A’borong dan cara lainya
sebagai salah satu mekanisme Lembaga adat dalam
menjalankan pasang, ada sebuah kebiasan berupa tradisi
yang tetap dilaksanakan sampai sekarang ini, tradisi ini
berupa upacara dan ritual dengan tujuan yang berbeda-beda
diantaranya:
1. Andingingi.
Adalah sebuah upacara yang dilaksanakan disetiap awal
tahun seperti yang dilaksanakan di awal bulan januari
2017 yang dihadiri langsung oleh peneliti, upacara adat ini
bertujuan untuk mendinginkan alam seperti dengan
namanya Andingingi, mendinginkan alam yang dimaksud
adalah terhindar dari kemarau, meminta hasil panen yang
baik, meminta rejeki dan rahmat alam kepada Tuhan
(Turiek Arakna). Upacara ini terbagi menjadi dua yaitu:
87
a. Andingingi Si Batu Lino, yaitu tujuannya untuk meminta
rahmat panen, air dan lainnya untuk umat seluruh
dunia, bukan hanya untuk masyarakt kajang, dan harus
dilaksnakan oleh Ammatoa langsung
b. Andingingi Bola, yaitu tujuan dan pelaksanaannya
dilaksanakan dirumah masing-masing masyarakat adat,
dan juga dapat dilaksanakan dengan atau tanpa
Ammatoa.
2. A’nganro
Upacara ini bertujuan utama untuk berdoa meminta umur
yang panjang dan berberkah, dimana juga terbagi
menjadi:
a. A’nganro Lompo, adalah doa yang dipimpin oleh
Ammatoa dan tujuannya umur yang bermanfaat bagi
masyarakat banyak.
b. A’nganro Ca’di, adalah doa yang bisa dilakukan oleh
masyarakat umum, dan bertujuan khusus anggota
keluarganya saja.
3. Akkattere
Upacara ini dilaksanakan oleh seseorang yang
mempunyai rejeki yang berlebih seperti hasil panen yang
berlebih, ternak yang lebih dan lainnya serta untuk
membayar nazar atau janji untuk syukuran yang
88
diucapkan oleh orang tua yang diwariskan kepada
anaknya dimana upacara ini seperti juga bentuk syukuran
atas rejeki yang berlebih yang didapatkan. Dalam upacara
ini harus duduk lengkap Ammatoa beserta pemangku
adatnya berjumlah dua puluh enam.
4. A’dampo
Upacara ini hampir sama dengan upacara yang lain untuk
meminta rahmat dan rejeki yang berberkah, tetapi
bedanya adalah adanya jumlah ternak minimal yang
dikorbankan yaitu sedikitnya dua ekor kerbau dan satu
ekor kuda, hal ini menjadikan upacara adat ini lebih sakral
karena pesembahannya tidak sedikit.
5. A’dangang
Adalah peringatan seratus hari kematiian seseorang,
peringatan ini bertujuan untuk memberikan doa kepada
sang almarhum agar tetap diberikan kemudahan disisi
Turiek Arakna dan juga sebagai momen mengenang
almarhum semasa hidup, upacara ini duduk dua puluh
enam pemangku adat, serta sesajen dan makanan yang
harus ada menjadikan upacara ini lebih khas lagi
dibandingkan takziah dalam agama Islam.
89
D. Efektivitas Pasang Dalam Menjaga Segala Sendi Kehidupan
Masyarakat Hukum Adat Kajang.
Jika kita melihat praktek efektifitas Pasang dalam menjalankan
peranannya sebagai sumber hukum dapat kita lihat berdasarkan:
1. Pasang dalam pelaksanaannya tetap terjaga dan generasi ke
generasi hal ini terbukti dari Lembaga adat yang bekerja dalam
menjaga keutuhan dan ketertiban masyarakat, prinsip-prinsip
hidup antara Turiek Arakna, manusia dan alam yang terlihat dari
ritual-ritual, budaya dan tradisi, spritualitas serta kebiasaan dan
kesederhanaan yang tercermin nyata pada kehidupan sehari-
hari.
2. Kesadaran hukum yang terbentuk secara nyata berdasarkan
kepada kepentingan bersama dan tata tertib bersama dengan
menjaga hubungan dengan Tuhan, manusia dan alam, bukan
kesadaran hukum yang terbentuk berdasarkan kepada ketakutan
atas hukuman/sanksi yang di ancam dalam aturan (pasang).
3. Kepercayaan yang masih sangat tinggi kepada mekanisme
penyelesaian masalah oleh Ammatoa, sesuai dengan
wawancara langsung dengan Galla Lombo’, hal ini terlihat dari
jumlah kasus yang ditangani oleh Ammatoa lebih banyak
daripada jumlah yang ditangani oleh Kepolisian.
90
BAB V
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
1. Pappasang merupakan sumber Hukum untuk mengatur segala
sendi kehidupan masyarakat adat Ammatoa Kajang yang
berhubungan dengan Tuhan (Turiek Arakna) , manusia dan
alam, dimana peranan ini tercermin dalam kehidupan sehari-
hari mulai dari sistem spritualitas yang dibuktikan adanya ritual
penyembahan yang diyakini, sistem sosial yang terlihat dari
contoh prinsip hidup kamase-masea, dan sistem pengelolaan
alam yang terbukti dari praktek tanam, pilih dan tebang.
2. Lembaga Adat yang dipimpin oleh Ammatoa dan para
pemangku Adat sebagai pelaksana Hukum Adat dalam
pappasang masih eksis dan efektif dalam menyelesaikan
setiap urusan dan permasalahan dalam wilayah adat Ammatoa
Kajang hal itu juga terbukti dari lahirnya Peraturan Daerah
Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Pengukuhan, Pengakuan Hak, Dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang serta Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor:
SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 Tentang Penetapan
Hutan Adat Ammatoa Kajang.
91
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan
berupa saran-saran sebagai berikut :
a. Pengukuhan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat
adat sepanjang sejalan dengan kriteria yang dimaksud dengan
masyarakat adat merupakan tugas dari Negara, olehnya itu
pencatatan dan inventarisasi yang lengkap tentang masyarakat
adat yang masih eksis wajib diakui secara hukum, dengan
melihat contoh masyarakat adat Kajang.
b. Kerena penelitian belum komprehensif membahas mengenai
penyelesaian diluar pengadilan (non-litigasi) salah satu
contohnya masyarakat adat menyelesaikan permasalahan,
lebih baiknya lagi agar penelitian yang menggunakan metode
pengkajian yang sama dalam wilayah hukum adat dapat
membahasnya agar melengkapi komparasi tinjauan
kepustakaan Hukum secara umum.
c. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan
kepustakaan dalam referensi hukum adat terkhusus
pembahasan masyarakat adat Kajang dengan metode
pengkajian Antropologi Hukum.
92
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Andi Rahmat Hidayat. Model Jaringan Publik (Studi Kasus Pada
Perumusan Kebijakan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Di
Kabupaten Bulukumba). (Tesis Megister Administrasi
Pembangunan Program Pascasarjana Universitas
Hassanuddin.2015)
Bushar Muhammad. 2006. Asas-asas hukum adat. Suatu pengantar.
Jakarta: Pradnya Paramita.
Dominikus Rato. 2009. Pengantar Hukum Adat. Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo
Hilman Hadikusuma. 2010. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: P.T.
ALUMNI
Hilman Hadikusuma. 2008. Pengantar Antropologi Hukum. Bandar
Lampung: PT Citra Aditya Bakti I Gede A.B. Wiranata. 2005. Hukum adat Indonesia “Perkembangannya
dari masa ke masa”. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Juma Darmapoetra. 2014. Kajang; Pecinta Kebersamaan dan Pelestari
alam. Makassar: Arus Timur
Kaimuddin Salle. Kebijakan lingkungan menurut pasang. (Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. 1999) Mas Alim Katu. 2005. Tasawuf Kajang. Makassar: Pustaka Refleksi
Satjipto Rahardjo. 2006. Ilmu Hukum Cetakan Keenam. Semarang: PT
Citra Aditya Bakti.
Suriyaman Mustari Pide. 2014. Hukum Adat. Dahulu, Kini dan Akan
Datang. Jakarta: Prenadamedia Group
x
Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor:
SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016 Tentang Penetapan Hutan Adat
Ammatoa Kajang.
Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak masyarakat hukum
adat ammatoa kajang.
Internet https://teorihukum.wordpress.com/2010/07/27/teori-friedrich-karl-von-
savigny/ (Diakses tanggal 3 februari 2017 Pukul 10.50 Wita)
http://www.gurupendidikan.com/40-pengertian-antropologi-menurut-para-
ahli-dunia/ (Diakses tanggal 5 Februari 2017 Pukul 11.32 Wita)
http://tesishukum.com/pengertian-sumber-hukum-menurut-para-ahli/
(Diakses tanggal 10 Februari 2017 jam 16.00 Wita)
x
1
BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 9 TAHUN 2015
TENTANG
PENGUKUHAN, PENGAKUAN HAK, DAN PERLINDUNGAN HAK
MASYARAKAT HUKUM ADAT AMMATOA KAJANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BULUKUMBA,
Menimbang : a. bahwa Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang yang
masih hidup dan menempati wilayah tertentu perlu
pengaturan berupa pengukuhan, pengakuan hak, dan
perlindungan hak sebagai salah satu upaya yang harus
dilakukan dalam rangka melaksanakan amanat
Konstitusi dan pemenuhan hak asasi manusia yang
sangat diperlukan untuk pengembangan kehidupan dan
keberadaannya secara utuh sebagai satu kelompok
masyarakat;
b. bahwa Masyarakat Hukum Adat Ammatoa K a j a n g
memiliki Pasang ri Kajang yang merupakan sumber
nilai yang mengatur seluruh sendi kehidupan Masyarakat
Hukum Adat Ammatoa Kajang;
c. bahwa sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
pemerintah kabupaten memiliki kewenangan untuk
mengukuhkan, mengakui, dan melindungi keberadaan dan
hak Masyarakat Hukum Adat di daerahnya melalui
peraturan daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Daerah tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa
Kajang;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1822);
2
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA
dan
BUPATI BULUKUMBA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGUKUHAN,
PENGAKUAN HAK, DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT
H U K U M ADAT A M M A T O A K A J A N G .
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Bulukumba.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Bulukumba.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
3
5. Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disebut MHA adalah sekelompok
orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di
Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan
yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.
6. MHA Ammatoa Kajang adalah sekelompok orang yang secara turun-
temurun bermukim di Ilalang Embayya’ dan sebagian bermukim di Ipantarang Embayya’ yang melaksanakan Pasang ri Kajang.
7. Pasang ri Kajang untuk selanjutnya disebut Pasang adalah sumber nilai yang mengatur seluruh sendi kehidupan MHA Ammatoa Kajang, diantaranya
berhubungan dengan masalah sosial, budaya, pemerintahan, kepercayaan, lingkungan dan pelestarian hutan.
8. Ammatoa adalah orang yang menjadi simbol tatanan masyarakat adat
Kajang yang ditetapkan oleh MHA Ammatoa Kajang sebagai pemangku adat tertinggi masyarakat adat Ammatoa Kajang dan bertempat tinggal di
ilalang embaya Desa Tana Toa Kecamatan Kajang.
9. Pengukuhan adalah penetapan atau pengesahan bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD atas keberadaan MHA Ammatoa Kajang.
10. Pengakuan hak MHA adalah pernyataan tertulis atas keberadaan MHA Ammatoa Kajang beserta hak-haknya yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
11. Perlindungan hak MHA adalah suatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada MHA Ammatoa Kajang dalam rangka menjamin terpenuhi hak-haknya, agar dapat hidup tumbuh dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi dan kekerasan.
12. Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan bersama MHA Ammatoa Kajang.
13. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah adat MHA Ammatoa Kajang.
14. Lembaga adat adalah perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan sejarah suatu masyarakat adat untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
15. Hak masyarakat adat adalah hak komunal atau perseorangan berdasarkan asal usul yang melekat pada masyarakat adat, yang
bersumber d a r i sistem sosial dan budaya mereka, khususnya hak-hak pengelolaan atas tanah, wilayah dan sumber daya alam.
16. Wilayah adat adalah satu kesatuan geografis, sosial dan budaya dengan
batas-batas tertentu yang dimiliki/didiami/dikelola/dimanfaatkan sesuai dengan aturan adat.
17. Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-padangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang hidup dan berkembang dalam satu komunitas masyarakat adat dan diikuti oleh anggota masyarakat adat yang bersangkutan.
18. Perwakilan masyarakat adat adalah lembaga dan/atau orang atau
sekumpulan orang yang merupakan utusan masyarakat adat dalam berbagai forum pengambilan keputusan maupun forum-forum penyelesaian sengketa.
19. Tim Penanganan sengketa adalah adalah Tim yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa antara MHA Ammatoa Kajang dengan pihak luar/pihak lain.
4
BAB II
PENGUKUHAN, PENGAKUAN HAK, DAN PERLINDUNGAN HAK
Pasal 2
Dengan Peraturan daerah ini Pemerintah Kabupaten Bulukumba memberikan
Pengukuhan, Pengakuan hak, dan perlindungan hak MHA Ammatoa Kajang.
Pasal 3
MHA Ammatoa Kajang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan kesatuan
masyarakat yang telah memenuhi unsur adanya:
a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. Harta kekayaan dan/atau benda adat; dan
d. Perangkat norma hukum adat.
BAB III
ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 4
Pengukuhan, Pengakuan hak, dan Perlindungan hak MHA Ammmatoa Kajang
dilaksanakan berdasarkan asas:
a. partisipasi;
b. keadilan;
c. transparansi;
d. kesetaraan;
e. kepentingan umum;
f. keselarasan; dan
g. keberlanjutan lingkungan.
Pasal 5
Pengukuhan, Pengakuan hak, dan Perlindungan hak MHA Ammatoa Kajang
bertujuan untuk:
a. menjamin d a n m e m a s t i k a n terlaksananya penghormatan oleh
semua pihak terhadap keberadaan MHA Ammatoa Kajang dan hak-
haknya yang telah diakui dan dilindungi secara hukum;
b. menyediakan dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam memberikan
layanan dalam rangka pemenuhan hak MHA Ammatoa Kajang;
c. memberikan kepastian hukum bagi hak MHA Ammatoa Kajang, agar
dapat hidup aman, tumbuh dan berkembang sebagai kelompok
masyarakat sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya serta
terlindungi dari tindakan diskriminasi;
d. memberikan perlindungan terhadap hak MHA Ammatoa Kajang di
Kabupaten Bulukumba dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
5
pembangunan; dan
e. memberikan kepastian terlaksananya tanggungjawab Pemerintah
Kabupaten Bulukumba di bidang penghormatan, pemenuhan,
perlindungan, dan pemberdayaan MHA Ammatoa Kajang dan hak-
haknya.
Pasal 6
Ruang lingkup materi muatan peraturan daerah ini meliputi:
a. kedudukan;
b. hak;
c. kelembagaan;
d. wilayah adat;
e. penanganan sengketa eksternal ; dan
f. tugas dan kewenangan.
BAB IV
KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT AMMATOA KAJANG
Pasal 7
(1) MHA A m m a t o a K a j a n g berkedudukan sebagai subjek hukum yang
memiliki hak yang melekat dan bersifat asal-usul.
(2) Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), MHA Ammatoa Ka j ang memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum berkaitan dengan hak mereka.
Pasal 8
Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum, MHA Ammatoa Ka j ang
berhak untuk:
a. mengatur kehidupan bersama di antara sesama warga MHA Ammatoa
Ka j ang dengan lingkungannya;
b. mengurus kehidupan bersama masyarakat adat berdasarkan hukum adat
yang diselenggarakan oleh lembaga adat;
c. mengelola dan mendistribusikan sumber daya diantara warga masyarakat
adat dengan memperhatikan keseimbangan fungsi dan menjamin
kesetaraan bagi penerima manfaat; dan
d. menyelenggarakan kebiasaan yang khas, spiritualitas, tradisi-tradisi, dan
sistem peradilan adat.
BAB V
KELEMBAGAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT AMMATOA KAJANG
Pasal 9
(1) Kelembagaan MHA Ammatoa Ka j ang terdiri dari:
a. Ammatoa;
6
b. Anrongta Baku’ Toaya dan Anrongta Baku’ Loloa;
c. Ada’ lima ri Tanakekea, terdiri dari: Galla Pantama, Galla Lombo’ , Galla
Malleleng, Galla Kajang, dan Galla Puto;
d. Ada’ lima ri Tanalohea, terdiri dari: Galla Ganta’, Galla Sangkala, Galla
Sapa’, Galla Bantalang dan Galla Anjuru’;
e. Karaeng Tallua, terdiri dari: Labbiria, Sulehatang dan Ana’ Karaeng
Tambangan/ Moncongbuloa;
f. Tutoa Sangkala;
g. Tutoa Ganta;
h. Galla’ Jojjolo (Ada’ balibutta);
i. Galla’ Pattongko (Ada’ balibutta);
j. Kali Kajang;
k. Kadaha’;
l. Lompo Karaeng;
m. Lompo Ada’;
n. Sanro Kajang; dan
o. Anrong Guru.
(2) Tugas dan fungsi lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
berdasarkan Pasang.
BAB VI
WILAYAH ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT AMMATOA KAJANG
Pasal 10
(1) Wilayah adat MHA Ammatoa Kajang terdiri dari wilayah Ilalang Embayya
atau Rambang Seppang dan Ipantarang Embayya atau Rambang Luara.
(2) Ilalang Embayya atau Rambang Seppang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan wilayah adat dimana Pasang dilaksanakan dalam seluruh
sendi-sendi kehidupan oleh seluruh warga masyarakat yang bermukim di
dalamnya.
(3) Ipantarang Embayya atau Rambang Luara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan wilayah adat dimana sebagian besar warga masyarakat yang
bermukim di wilayah ini tidak secara utuh melaksanakan Pasang.
(4) Wilayah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat dalam wilayah
administratif Kecamatan Kajang, Kecamatan Bulukumpa, Kecamatan
Ujungloe, dan Kecamatan Herlang sebagaimana tergambar pada Peta
da lam Lampiran I yang merupakan bag ian yang t idak
terp isahkan dar i Peraturan Daerah in i .
7
(5) Ilalang Embayya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana
tergambar pada Peta da lam Lampiran I I yang merupakan bag ian
yang t idak te rp isahkan dar i Peraturan Daerah in i .
BAB VII
SISTEM PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN LAHAN
Pasal 11
(1) Sistem penguasaan dan pemanfaatan lahan di wilayah MHA Ammatoa
Kajang ditetapkan berdasarkan Pasang.
(2) Pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kekayaan budaya MHA
Ammatoa Kajang.
Pasal 12
(1) Penguasaan dan pemanfaatan lahan-lahan yang berada di wilayah MHA
Ammatoa Kajang terdiri dari lahan milik bersama dan lahan milik pribadi.
(2) Lahan milik bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
tataguna lahannya meliputi:
a. hutan adat (borong lompoa);
b. tanah kalompoang/gallarang;
c. tanah Adat; dan
d. tanah gilirang.
(3) Lahan milik pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
tataguna lahannya meliputi lahan pemukiman, pekarangan, kebun, dan
sawah.
(4) Borong lompoa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagaimana
tergambar pada Peta da lam Lampiran I I I yang merupakan bag ian
yang t idak te rp isahkan dar i Peraturan Daerah in i .
Pasal 13
(1) Hutan adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) merupakan lahan
milik bersama di wilayah MHA Ammatoa Kajang yang tidak boleh diubah
status penguasaan dan pemanfaatannya.
(2) Hutan adat terdiri dari Borong Lompoa/hutan besar dan Palleko’na
Boronga’/hutan kecil.
(3) Borong Lompoa mencakup seluruh sumberdaya alam dan sumberdaya
budaya yang di dalamnya terdapat tumbuhan, satwa liar, danau, mata air,
dan saukang.
(4) Palleko’na Boronga’ terdapat di sepuluh lokasi yaitu Hutan Karenglohe, Hutan
Kalimbuara, Hutan Barombong, Hutan Pudondo’, Hutan Buki’ Madu, Hutan
Buki’a, Hutan Sangkala Lombok, Hutan Pokkolo, Hutan Tamaddohong dan
Hutan Bongki.
BAB VIII
TUGAS DAN WEWENANG MASYARAKAT HUKUM ADAT AMMATOA KAJANG
Pasal 14
Tugas dan wewenang MHA Ammatoa Kajang adalah:
8
a. mematuhi, menjaga, dan melestarikan pasang sebagai pedoman tatatan
kehidupan masyarakat adat; dan
b. menjaga kawasan hutan adat tetap berfungsi sebagai hutan adat.
BAB IX
HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT AMMATOA KAJANG
Bagian Kesatu
Hak atas Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam
Pasal 15
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak atas tanah-tanah, wilayah dan sumber daya
alam yang mereka miliki atau duduki secara turun temurun dan/atau
diperoleh melalui mekanisme yang lain.
(2) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala
sesuatu baik yang dipermukaan maupun terkandung di dalam tanah.
(3) Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup hak untuk memiliki, menggunakan,
mengembangkan dan mengendalikan atas dasar kepemilikan turun
temurun dan/atau cara-cara yang lain.
Pasal 16
(1) Hak atas tanah dapat bersifat komunal/kolektif dan/atau bersifat
perseorangan sesuai dengan hukum adat yang berlaku setempat.
(2) Hak atas tanah yang bersifat komunal/kolektif tidak dapat dipindah
tangankan kepada pihak lain.
(3) Hak atas tanah yang dimiliki secara perseorangan hanya dapat
dipindahtangankan sesuai dengan persyaratan dan proses yang ditentukan
hukum adat.
(4) Pemanfaatan tanah yang bersifat komunal/kolektif dan tanah
perseorangan di dalam wilayah adat oleh pihak lain hanya dapat dilakukan
melalui mekanisme pengambilan keputusan bersama berdasarkan hukum
adat.
Bagian Kedua
Hak Atas Pembangunan
Pasal 17
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak menentukan dan mengembangkan sendiri
bentuk pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaannya.
(2) Jika pemerintah dan/atau pemerintah daerah atau pihak lain di luar
pemerintah akan melaksanakan atau merencanakan pelaksanaan satu
program pembangunan di wilayah adat MHA Ammatoa Kajang terlebih
dahulu harus memberikan informasi yang lengkap kepada MHA Ammatoa
Kajang.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berisikan segala sesuatu
keterangan yang terkait dengan program serta dampak dan potensi dampak
pembangunan tersebut.
9
(4) Berdasarkan informasi yang diterima, MHA Ammatoa Kajang berhak untuk
menolak, menerima atau mengusulkan bentuk pembangunan yang lain yang
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya.
Bagian Ketiga
Hak atas Spiritualitas dan Kebudayaan
Pasal 18
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak menganut dan mempraktekkan kepercayaan,
upacara-upacara ritual yang diwarisi dari leluhurnya.
(2) MHA Ammatoa Kajang berhak untuk mengembangkan tradisi, adat istiadat
yang meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi dan
mengembangkan wujud kebudayaannya di masa lalu, sekarang dan yang
akan datang.
(3) MHA Ammatoa Kajang berhak menjaga, mengendalikan, melindungi,
mengembangkan dan mangaplikasikan pengetahuan tradisional dan
kekayaan intelektualnya.
Bagian Keempat
Hak atas Lingkungan Hidup
Pasal 19
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak atas lingkungan hidup yang sehat.
(2) Dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang sehat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat adat berhak untuk
mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses atas informasi, dan
partisipasi yang luas dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan
hidup.
Pasal 20
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak atas pemulihan dan perlindungan atas
lingkungan hidup yang mengalami kerusakan di wilayah adat.
(2) Pemulihan lingkungan hidup yang rusak di wilayah adat dilakukan
dengan memperhatikan usulan kegiatan pemulihan lingkungan yang
diajukan oleh MHA Ammatoa Kajang yang terkena dampak termasuk di
dalamnya adalah mempertimbangkan tatacara pemulihan lingkungan
hidup berdasarkan kearifan lokalnya.
Bagian Kelima
Hak Untuk Mengurus Sendiri
Pasal 21
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak untuk mengurus diri sendiri secara swadaya,
melalui kelembagaan adat yang sudah ada secara turun temurun dan
lembaga-lembaga baru yang disepakati pembentukannya secara bersama
untuk menangani urusan internal/lokal didalam masyarakat adat dan
urusan-urusan eksternal yang berhubungan dengan keberadaan masyarakat
adat dan haknya.
(2) Hak untuk mengurus diri sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan hak yang harus ada pada masyarakat adat sebagai prasyarat dari
pelaksanaan hak-hak bawaan mereka.
(3) Dalam rangka menjalankan hak untuk mengurus diri sendiri sebagaimana
10
dimaksud pada ayat (1), MHA Ammatoa Kajang berhak mendapatkan
dukungan dari pemerintah daerah, baik dukungan pendanaan maupun
dukungan sarana prasarana lain yang diperlukan.
Bagian Keenam
Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat
Pasal 22
(1) MHA Ammatoa Kajang berhak untuk menjalankan hukum adatnya.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran atas hukum adat dalam wilayah adat,
baik yang dilakukan oleh MHA Ammatoa Kajang maupun bukan
MHA Ammatoa Kajang, diselesaikan melalui sistem peradilan adat.
BAB X
TUGAS DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 23
Pemerintah Daerah bertugas:
a. mengembangkan dan melaksanakan program pemberdayaan MHA Ammatoa
Kajang secara partisipatif dengan mempertimbangkan kearifan lokal;
b. menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan MHA Ammatoa Kajang
dalam rangka menjaga kelestarian keutuhan adat istiadat, tradisi, wilayah
masyarakat adat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c. melakukan sosialisasi dan informasi program pembangunan kepada MHA
Ammatoa Kajang; dan
d. melakukan pembinaan kepada MHA Ammatoa Kajang.
Bagian Kedua
Kewenangan
Pasal 24
Pemerintah Daerah berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan perlindungan terhadap kebudayaan MHA Ammatoa
Kajang;
b. menetapkan kebijakan sarana dan prasarana yang diperlukan MHA
Ammatoa Kajang;
c. menetapkan kebijakan sosialisasi dan informasi program pembangunan
kepada MHA Ammatoa Kajang; dan
d. melakukan pembinaan dan perlindungan kepada MHA Ammatoa Kajang,
dan memastikan bahwa perempuan dan anak-anak menikmati
perlindungan penuh dan jaminan dalam melawan segala bentuk
pelanggaran dan diskriminasi.
BAB XI
PENANGANAN SENGKETA
Pasal 25
(1) Dalam rangka penanganan sengketa berkaitan dengan pelanggaran hak
MHA Ammatoa Kajang yang diakui dalam dan melalui Peraturan Daerah
ini, Pemerintah Daerah membentuk Tim Penanganan Sengketa yang
11
bersifat ad hoc.
(2) Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sengketa antara MHA
Ammatoa Kajang dengan pihak luar/pihak lain.
(3) Tim Penanganan Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1 )ditetapkan melalui Keputusan Bupati.
Pasal 26
Anggota Tim Penanganan Sengketa sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1 ) terdiri dari unsur:
a. Perwakilan Pemerintah Daerah;
b. Perwakilan MHA Ammatoa Kajang;
c. Akademisi;
d. Lembaga Keagamaan;
e. Organisasi non pemerintah; dan
f. Perwakilan pihak ketiga yang terlibat sengketa.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Dalam menjalankan peraturan daerah ini hak-hak pihak ketiga diatas wilayah
MHA Ammatoa Kajang tetap diakui keberadaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Bulukumba.
Ditetapkan di Bulukumba pada tanggal 20 November 2015
BUPATI BULUKUMBA,
MUH. YUSUF SOMMENG
Diundangkan di Bulukumba pada tanggal 29 Desember 2015
SEKRETARIS DAERAH KAB. BULUKUMBA,
A. B. AMAL
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2015 NOMOR 9
12
NO. REG. PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA PROVINSI
SULAWESI SELATAN (9/2015)
13
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PENGUKUHAN, PENGAKUAN HAK, DAN PERLINDUNGAN HAK
MASYARAKAT HUKUM ADAT AMMATOA KAJANG
I. UMUM
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat
mandiri. Dalam kesatuan MHA tersebut dikenal adanya lembaga adat yang
telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam
eksistensinya, MHA memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta
kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan
berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan masyarakat di kawasan adat sesuai dengan adat
istiadat dan hukum adat setempat. Dalam kaitan itu, negara mengakui dan
menghormati kesatuan MHA beserta hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Di Kabupaten Bulukumba, MHA Ammatoa Kajang merupakan salah
satu komunitas adat yang tersisa dan keberadaannya beserta segenap aspek
adat/budayanya masih nampak hingga saat ini. Bahwa secara mitologi
sejarah/asal-usulnya diawali dengan munculnya orang pertama di Suku
Adat Ammatoa yaitu Ammatoa yang dipercaya oleh masyarakat Kajang
sebagai orang pertama yang diturunkan oleh Turiek Akra’na (Tuhan) ke
dunia dimana tempat pertama kali diturunkan adalah daerah yang saat ini
suku adat Ammatoa diami dan mereka percaya bahwa orang pertama
tersebut diturunkan pertama kali sama seperti dengan nama tempat
diturunkannya yaitu Tana Toa (tanah tertua). Ammatoa inilah yang
kemudian menyebarkan segala pesan/tuntunan (Pasang) ke warganya dan
telah diwariskan/dijaga secara turun-temurun hingga hari ini.
Di sisi lain, Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba juga
menyadari bahwa perkembangan jaman membawa keniscayaaan dalam hal
semakin berubah dan berkembangnya peradaban manusia yang bisa
14
memberi dampak positif ataupun negatif dimana hal tersebut bisa dialami
oleh setiap orang ataupun komunitas, tidak terkecuali kepada MHA
Ammatoa Kajang. Kita tentunya tidak menginginkan jika nilai-nilai luhur
dalam Pasang ri Kajang yang selama ini dijalankan warga Ammatoa dan
terbukti sangat bermanfaat bagi peradaban manusia ikut tergerus
diakibatkan oleh ‘gempuran’ kemajuan dan kebutuhan manusia modern
yang cenderung eksploitatif dan semakin jauh dari fitrahnya.
Berdasar dari pemikiran tersebut maka Pemerintah Kabupaten
Bulukumba bersama berbagai elemen masyarakat dan organisasi yang
memiliki keprihatinan dan kepedulian menjaga eksistensi MHA Ammatoa
Kajang senantiasa berupaya melakukan pembinaaan dan penerangan bagi
warga Ammatoa untuk tetap setia menjalankan nilai-nilai positif yang
terkandung di dalam Pasang. Salah satu langkah nyata yang dilakukan
tersebut adalah dengan membentuk Peraturan Daerah tentang Pengukuhan,
Pengakuan hak, dan Perlindungan hak MHA Ammatoa Kajang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah bahwa
menempatkan masyarakat hukum adat di Indonesia sebagai
warga Negara Indonesia, yang menjadi subjek utama dalam
politik pembangunan di Indonesia, berhak penuh untuk
diperlakukan setara, berhak penuh untuk mendapatkan semua
informasi publik, berhak penuh untuk menentukan pilihannya
secara bebas, dan menyelenggarakan urusannya ke dalam
komunitas masyarakatnya dengan perangkat sosial politik
budaya yang dilindungi Negara, yang dengan sadar pula
memenuhi seluruh tanggung jawab mereka kepada Negara.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa pengakuan
dan pelindungan hak MHA tidak boleh direduksi menjadi benefit
sharing, karena makna keadilan itu sendiri sangatlah luas dan
menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia karena dapat
menjadi bias manfaat material atau ekonomi semata, namun
mencakup pula kesetaraan dalam posisi sosial politik dan
dihadapan hukum.
15
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas transparansi” adalah bahwa
keterbukaan informasi kepada masyarakat sebagai subjek dalam
pembangunan, yang memiliki hak dan kewajiban tertentu
terhadap Negara dalam kedudukan mereka sebagai warga Negara
Indonesia; transparansi yang menunjang pencerdasan
masyarakat adat agar kemakmuran mereka sebagai bagian dari
“bangsa dan tumpah darah Indonesia‟ terus meningkat; yang
menghormati budaya-budaya masyarakat adat sebagai unsur
pembentuk budaya nasional Indonesia; yang memberikan ruang
bagi masyarakat untuk secara bebas dan otonom membuat
keputusan tentang masa depan mereka.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kesetaraan” adalah bahwa tiadanya
pembedaan berdasarkan warna kulit, tingkat pendidikan,
perbedaaan/ragam kebudayaan, sistem kepercayaan, sehingga
penyelenggaraan pembangunan bangsa dan Negara
menempatkan masyarakat adat sebagai salah satu komponen
penting dari bangsa Indonesia untuk menjadi lebih cerdas, lebih
sejahtera, dan lebih berkemampuan untuk mengembangkan
kehidupan kelompok maupun pribadi dalam lingkup komunitas
maupun dalam lingkup bangsa dan sebagai warga dunia.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kepentingan umum” adalah bahwa
pengakuan dan perlindungan terhadap hak MHA harus
mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara yang digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa
pengakuan dan pelindungan MHA dilakukan dengan
memperhatikan keseimbangan dan sejalan dengan kepentingan
masyarakat dan Negara.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan lingkungan” adalah
bahwa penegasan atas kesadaran global bahwa nasib manusia
sesungguhnya tergantung pada kemampuannya mengelola
lingkungan hidup, tempat dia berdiam dan hidup di dalamnya.
Lingkungan yang tidak memenuhi syarat-syarat minimal untuk
mendukung kehidupan akan mengakibatkan bencana bagi
manusia. Prinsip ini mesti dilakukan secara integratif oleh semua
pihak dalam pembangunan. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa prinsip ini menghimbau manusia untuk bijaksana dalam
melihat eksistensi lingkungan sekaligus supaya mengelolanya
dengan cara yang cerdas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
16
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Berdasarkan petunjuk dalam Pasang ri Kajang, bahwa pada
dasarnya daerah/wilayah adat Ipantarang Embayya atau
Rambang Luara terdapat dua pandangan; Awalnya Ipantarang
Embayya mencakup daerah yang disebut Sape, Solo, Kaili
Salaparang (Semarang) hingga Ambon Ternate. Namun belakangan
dipersempit yaitu hanya mencakup wilayah yang terdapat pada
daerah Tanuntung, Tammatto, Buatana, Sangkala, Lombo.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Tanah Kalompoang/Gallarang, adalah
tanah adat yang hak pengelolaannya diberikan kepada pemangku
adat, dan diperuntukkan sebagai sumber penghidupannya.
Yang dimaksud dengan Tanah Gilirang adalah tanah milik rumpun
keturunan yang dikelola secara bergiliran oleh keturunan satu
rumpun MHA.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan lahan milik pribadi adalah lahan/tanah
yang diserahkan dari rumpun keluarga berdasarkan kebutuhan
atas kesepakatan rumpun keluarga yang bersangkutan.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
17
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Saukang adalah tempat keramat untuk
melaksanakan ritual adat, berbetuk makam dan/atau tempat-
tempat lain yang bernilai khusus.
Ayat (2)
Di dalam Palleko’na Boronga’ umumnya terdapat Saukang sebagai
tempat melaksanakan ritual adat yang memiliki nilai sosial dan
spiritual.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Mekanisme yang lain” adalah pemilikan
yang tidak didasarkan secara turun-temurun tetapi
menggunakaan mekanisme yang diakui oleh hukum adat,
misalnya Tesang .
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bersifat komunal/kolektif” adalah hak
untuk menggarap dan mengelola lahan tertentu dalam wialyah
adat yang dimiliki lebih dari satu atau beberapa orang warga MHA
Ammatoa Kajang.
Yang dimaksud dengan “bersifat perseorangan” adalah hak untuk
menggarap dan mengelola lahan tertentu dalam wialyah adat yang
dimiliki oleh satu/setiap orang warga MHA Ammatoa Kajang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
18
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hak untuk menjaga, mengendalikan, melindungi, dan
mengembangkan pengetahuan tradisional serta kekayaan
intelektual misalnya: teknologi, budidaya, benih, obat-obatan,
hasil tenun, desain, permainan tradisional, seni pertunjukan, seni
visual, dan kesusasteraan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud bersifat ad hoc adalah bahwa kepanitiaan atau tim
yang dibentuk dimaksudkan dimaksudkan untuk salah satu
tujuan saja, dalaam hal ini menangani permasalahan atau
sengketa adat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Dalam keanggotaan Tim Penanganan Sengketa, unsur Perwakilan dari
MHA lebih banyak dari unsur-unsur lain sebagai bentuk penghargaan
dan perlindungan serta efektifitas komunikasi antar tim.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 9