peran usia dan gender dalam realisasi kesantunan berbahasa indonesia mahasiswa

19
1 PERAN USIA DAN JENDER DALAM REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA MAHASISWA: SEBUAH STUDI PRAGMATIK Parlindungan Pardede Universitas Kristen Indonesia Abstrak As a social variable, age and gender play an essential role in determining the patterns, flow, and contents of speech acts in any interpersonal communication. This paper reveals the role of age and gender in Indonesian university students’ linguistic politeness. The subjects were 28 students of FKIP-UKI who were grouped into 18-23 years old group and 41-48 years old group. The data was obtained by asking them to fill in a Discourse Completion Test questionnaire and responding to an interview. The results of the analysis reveal some differences in the realization of linguistic politeness among subjects with different age and gender. Younger speakers were inclined to use straighter (more direct) refusal strategy, extensively use slangs, and frequently use informal addresses. In relation to gender, women tended to use indirect refusal strategy and were apt to utilize longer and more detailed explanations as a means to prevent their addressees’ disappointment. Key words: usia, jender, kesantunan, pertuturan, penutur, mitra tutur. Pendahuluan Usia adalah salah satu faktor penentu utama keanekaragaman bahasa. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa usia (sebagaimana halnya jender, kelas sosial, dan asal-usul etnis) merupakan salah satu faktor penentu posisi seseorang dalam masyarakat, yang secara otomatis menjadi faktor penting penyebab keanekaragaman berbahasa (Singh and Peccei, 2004: 114). Dalam setiap masyarakat, setiap tingkatan umur biasanya menggunakan tuturan dengan ‘cita-rasa’ yang khas. Ungkapan anak-anak biasanya berbeda dengan tuturan remaja, orang dewasa, maupun orang tua. Penelitian tentang hubungan antara usia dan bahasa, khususnya yang terkait dengan keanekaragaman berbahasa, banyak yang diarahkan untuk melihat fenomena perilaku berbahasa seseorang seiring dengan berubahnya usia sosial, bukan usia biologis, seseorang. Dengan kata lain, kajian perilaku berbahasa seseorang berkaitan lebih erat dengan usia sosialnya, yang tentu saja dipengaruhi oleh usia biologisnya. Sejumlah penelitian longitudinal tentang hubungan antara perilaku berbahasa seseorang dengan perubahan usia sosialnya mengungkapkan bahwa semakin tua seseorang maka dia akan semakin

Upload: parlindungan-pardede

Post on 25-Jun-2015

2.397 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

1

PERAN USIA DAN JENDER DALAM REALISASI

KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA MAHASISWA:

SEBUAH STUDI PRAGMATIK

Parlindungan Pardede

Universitas Kristen Indonesia

Abstrak As a social variable, age and gender play an essential role in determining the patterns,

flow, and contents of speech acts in any interpersonal communication. This paper reveals the role

of age and gender in Indonesian university students’ linguistic politeness. The subjects were 28 students of FKIP-UKI who were grouped into 18-23 years old group and 41-48 years old group.

The data was obtained by asking them to fill in a Discourse Completion Test questionnaire and responding to an interview. The results of the analysis reveal some differences in the

realization of linguistic politeness among subjects with different age and gender. Younger speakers were inclined to use straighter (more direct) refusal strategy, extensively use slangs, and

frequently use informal addresses. In relation to gender, women tended to use indirect refusal

strategy and were apt to utilize longer and more detailed explanations as a means to prevent their addressees’ disappointment.

Key words: usia, jender, kesantunan, pertuturan, penutur, mitra tutur.

Pendahuluan

Usia adalah salah satu faktor penentu utama keanekaragaman bahasa. Berbagai

penelitian menunjukkan bahwa usia (sebagaimana halnya jender, kelas sosial, dan asal-usul

etnis) merupakan salah satu faktor penentu posisi seseorang dalam masyarakat, yang

secara otomatis menjadi faktor penting penyebab keanekaragaman berbahasa (Singh and

Peccei, 2004: 114). Dalam setiap masyarakat, setiap tingkatan umur biasanya

menggunakan tuturan dengan ‘cita-rasa’ yang khas. Ungkapan anak-anak biasanya berbeda

dengan tuturan remaja, orang dewasa, maupun orang tua.

Penelitian tentang hubungan antara usia dan bahasa, khususnya yang terkait dengan

keanekaragaman berbahasa, banyak yang diarahkan untuk melihat fenomena perilaku

berbahasa seseorang seiring dengan berubahnya usia sosial, bukan usia biologis, seseorang.

Dengan kata lain, kajian perilaku berbahasa seseorang berkaitan lebih erat dengan usia

sosialnya, yang tentu saja dipengaruhi oleh usia biologisnya. Sejumlah penelitian

longitudinal tentang hubungan antara perilaku berbahasa seseorang dengan perubahan

usia sosialnya mengungkapkan bahwa semakin tua seseorang maka dia akan semakin

Page 2: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

2

konservatif (Aziz, 2003: 241). Hal ini terlihat dari semakin tingginya kepedulian seseorang

terhadap penggunaan ragam standar dan kosa kata formal seiring dengan bertambahnya

usianya, sebagai akibat dari tekanan atau tuntutan yang diperoleh di tempat kerja. Akan

tetapi ketika dia memasuki usia pensiun, perilaku berbahasanya kembali ke ragam santai

sehubungan dengan menurunnya hasrat untuk bersaing dalam untuk memperoleh

kekuasaan (Labov, dalam Aziz, 2003: 241). Sedangkan kelompok usia remaja cenderung

berada pada posisi selalu ingin memberontak terhadap aturan-aturan kebahasaan yang

‘dianjurkan’ atau digunakan orang tua.

Selain usia, jender juga merupakan faktor utama yang mengakibatkan

keanekaragaman bahasa. Malmkjær (2002: 302) menjelaskan bahwa kajian jender yang

terkait dengan kebahasaan sering terfokud pada perbedaan antara tuturan yang digunakan

perempuan dan laki-laki. Survey yang dilakukan Coates (dalam Malmkjær, 2002: 302)

terhadap berbagai kajian tentang pengaruh jender penutur terhadap variasi kebahasaan

memperlihatkan adanya tuturan yang secara ekslusif lebih disukai kaum perempuan dan

tuturan lain yang secara ekslusif lebih disukai laki-laki. Sebagai contoh, dalam interaksi

antar jender, perempuan secara umum mengajukan lebih banyak pertanyaan,

menggunakan tuturan yang lebih santun, dan lebih sedikit memotong pembicaraan

daripada laki-laki. Selain itu, bertolak belakang dengan mitos bahwa perempuan lebih

banyak berbicara daripada laki-laki, temuan beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-

laki mendengar lebih sedikit dan berbicara lebih banyak daripada perempuan (Catalan,

2003: 55).

Salah satu unsur pertuturan yang banyak dikaji selama hampir tiga dekade terakhir

adalah kesantunan berbahasa (linguistic politeness). Munculnya kajian-kajian kesantunan

ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa tak satupun dari teori tentang pertuturan yang ada,

baik teori implikatur Grice maupun teori tidak tutur (speech act) mampu menjelaskan

aspek penggunaan bahasa secara menyeluruh (Jaszczolt, 2002: 312). Prinsip-prinsip

kerjasama yang ditawarkan Grice tidak mampu mencakup strategi pertuturan yang

digunakan dalam percakapan. Sedangkan teori tidak tutur tidak mampu menjelaskan

ungkapan tidak langsung. Untuk mengatasi keterbatasan kedua teori tersebut, dibutuhkan

satu dimensi lain dalam kajian penggunaan bahasa, yang dikenal dengan kesantunan, yang

oleh Lakoff (1990: 34) didefinisikan sebagai suatu sistem relasi interpersonal yang

dirancang untuk memfasilitasi interaksi dengan cara meminimalisir potensi konflik dan

konfrontasi yang secara alami terdapat dalam interaksi antar individu. Berbagai penelitian

empiris maupun kajian teoritis yang ada menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa

Page 3: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

3

digunakan sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan sosial dan sekaligus

menjadi dukungan interpersonal dalam rangka mencegah konfrontasi.

Kesantunan berbahasa sering dikelompokkan ke dalam dua jenis. Pertama,

kesantunan tingkat pertama (first-order politeness), yang merujuk pada etiket atau azas

kepatutan dalam bertingkahlaku dalam suatu masyarakat. Kedua, kesantunan tingkat

kedua (second-order politeness), yang merujuk pada penggunaan bahasa untuk menjaga

hubungan interpersonal. Sebagai contoh, Janney and Arndt (dalam Watts, dkk., 1992: 24)

membedakan kesantunan sosial dan kesantunan interpersonal (yang juga disebut sebagai

tact). Bagi mereka, kesantunan sosial (first order) berfungsi untuk menyediakan strategi-

stragi rutin dalam rangka mengatur interaksi sosial. Sedangkan kesantunan interpersonal

(second-order) mengacu pada kesantunan dalam tingkatan pragmatik yang berfungsi

mendukung hubungan interpersonal dengan cara menjaga muka dan mengatur hubungan

interpersonal.

Makalah ini menyajikan temuan dari penelitian yang berhubungan dengan second-

order politeness, dengan fokus pada realisasi pertuturan berbahasa Indonesia di kalangan

mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Indonesia (FKIP-

UKI) Jakarta ditinjau dari sudut pandang kesantunan berbahasa yang selama ini ada,

seperti teori Grice (1973), Lakoff (1975), Leech (1983), dan Brown dan Levinson (1987).

Penelitian ini diarahkan untuk melihat peran jender dan usia dalam realisasi pertuturan,

khususnya dalam mengungkapkan penolakan (refusal). Untuk mencapai tujuan itu, para

responden dihadapkan pada beberapa situasi yang menuntut mereka melakukan

melakukan suatu perbuatan, padahal mereka sudah terlebih dahulu berkomitmen untuk

mengerjakan hal lain. Dalam situasi seperti itu, secara logis, para penutur seharusnya

menyampaikan penolakan. Namun, benarkah semua penutur secara otomatis

mengungkapkan penolakan? Jika ungkapan yang timbul bukan penolakan, melainkan

penerimaan, strategi kesantunan apa yang digunakan penutur agar dapat mereduksi

dampak pelanggaran prinsip-prinsip keharmonisan komunikasi?

Untuk memperoleh jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan itu, data dikumpulkan

melalui pengisian angket berupa Discourse Completion Test (DCT) dan wawancara yang

dilaksanakan selama bulan Juni-Juli 2009. DCT yang digunakan dalam penelitian ini

diadopsi dan dimodifikasi dari angket yang dikembangkan dalam Cross-cultural Speech Acts

Realization Project (CCSARP) oleh Blum-Kulka, dkk. (1989). DCT hasil modifikasi itu

memuat 10 pertanyaan yang terbagi dalam dua tipe. Dalam tipe A, setiap nomor diawali

dengan paparan sebuah situasi yang harus direspon dengan memilih salah satu opsi yang

tersedia serta menuliskan ungkapan yang digunakan pada tempat yang tersedia. Dalam tipe

Page 4: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

4

B, setiap nomor diawali dengan paparan sebuah situasi yang harus direspon dengan cara

yang dientukan sendiri oleh responden. Wawancara dilakukan untuk meminta klarifikasi

tentang jawaban yang diberikan para responden melalui angket. Karena keterbatasan

waktu, wawancara hanya dapat dilakukan terhadap sekitar 50% responden termuda dan

50% reponden tertua. Keputusan untuk mewawancarai hanya responden kelompok

termuda dan tertua diambil karena kelompok umur inilah yang dipilih jadi sampel

penelitian (lihat tabel 1).

Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan faktor jender dan usia

sebagai pertimbangan utama. Melalui penelusuran dokumen berupa biodata 450

mahasiswa FKIP-UKI yang aktif kuliah, penulis memilih secara acak 20 mahasiswa berusia

antara 18-23 tahun (10 perempuan dan 10 laki-laki) dan 20 mahasiswa berusia antara 40-

48 tahun (10 perempuan dan 10 laki-laki) sebagai sampel. Penentuan kedua kelompok itu

dilakukan untuk memperoleh dua kelompok dengan perbedaan umur yang cukup jauh. Hal

ini dapat dilakukan mengingat rentang usia para mahasiswa yang ada cukup variatif karena

adanya mahasiswa reguler (lulusan baru SMA yang langsung kuliah) dan mahasiswa

penyetaraan (lulusan D3 yang melanjutkan studi untuk menyelesaikan program strata satu

setelah bekerja beberapa tahun). Empat puluh mahasisa tersebut kemudian dihubungi,

diminta kesediaannya untuk mengisi angket dan menjawab beberapa pertanyaan sebagai

konfirmasi terhadap apa yang dituliskan dalam angket. Berdasarkan penjaringan data yang

dilakukan, a mahasiswa yang mengisi angket dengan baik dan berhasil diwawancarai hanya

7 laki-laki dan 8 perempuan pada kelompok umur 18-23 tahun serta 5 laki-laki dan 7

perempuan pada kelompok umur 41-48 tahun. Dengan demikian, sampel nyata penelitian

ini dapat digambarkan melalui tabel 1 berikut.

Tabel 1: Distribusi Responden Berdasarkan Umur dan Jender

18-23 tahun 41-48 tahun Jumlah

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

7 8 5 8 28

Kajian Teoretik

Peletak dasar kesantunan bahasa adalah Lakoff yang pada tahun 1973 menerbitkan

artikel berjudul “The Logic of Politeness; or Minding your P’s and Q’s” (Jaszczolt, 2002:

312). Sejak saat itu, sejumlah besar penelitian tentang kesantunan bahasa telah

dilaksanakan oleh berbagai bidang dan disiplin ilmu. Menurut Lakoff (1990), penelitian-

Page 5: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

5

penelitian itu dilaksanakan untuk meningkatkan kewaspadaan dalam berkomunikasi dan

mengupayakan pemahaman yang lebih akurat mengenai isu-isu kesantunan dalam

pertuturan. Akibatnya, kesantunan, sebagai titik tolak penelitian kebahasaan, diberi definisi

dan interpretasi yang beraneka ragam. Padahal, tujuan utama kesantunan adalah untuk

membangun keharmonisan hubungan antara penutur dan mitra tutur dalam sebuah

interaksi sosial (Thomas, 1995: 158). Dan mengingat bahwa kesantunan mendorong sikap

kooperatif, hal itu merupakan sarana yang tepat untuk meneliti kerjasama dan persaingan

dalam interaksi antara para mitra tutur berbeda usia maupun jender.

Brown dan Levinson (1987) menggagas teori kesantunan yang lebih komprehensif.

Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai sebuah penyimpangan

dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui kajian menyeluruh terhadap

kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami alasan bagi ketidakrasionalan dan

inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987:

62) pada konsep muka (face), yang didefinisikan sebagai gambaran diri dihadapan publik

yang dimiliki dan harus dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia

berinteraksi dalam pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka

positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan semua penutur agar wajah mereka

disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua penutur

agar tindakan mereka tidak dihambat oleh lawan bicara.

Secara umum, dalam setiap interaksi para mitra tutur akan bekerjasama untuk saling

menjaga muka. Namun sebuah pertuturan tidak mungkin berlangsung tanpa adanya

desakan atau intrusi dari satu pihak kepada otonomi pihak lainnya. Sebuah tindakan,

seperti menyuruh seseorang duduk, merupakan sebuah potensi ancaman bagi mukanya.

Tindak tutur seperti ini oleh Brown dan Levinson disebut sebagai tindak tutur yang

berpotensi mengancam muka atau face-threatening acts (FTAs). Jika seorang penutur harus

melakukan sebuah FTA, dia harus menentukan bagaimana hal itu harus diujarkan. Menurut

Brown dan Levinson (1987: 69), pilihan pertama yang harus diambil adalah apakah FTA itu

harus dilakukan secara langsung (on record) atau tak langsung (off record). Jika yang

dipilih adalah strategi on record, penutur dapat melakukannya secara langsung tanpa

adanya tindakan yang berfungsi memperhalus atau mengurangi FTA. Tindak tutur seperti

ini bersifat langsung, jelas, dan tidak ambigu. Sebaliknya, tindak tutur off record disertai

dengan oleh tindakan penghalus sebagai upaya untuk memperlihatkan bahwa ancaman

terhadap muka tidak diinginkan akan menjaga muka mitra tutur. Hal ini dapat dicapai

dengan mengadopsi strategi kesantunan positif atau negatif.

Page 6: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

6

Kesantunan positif adalah tindakan penyeimbang yang diarahkan untuk menjaga

muka positif mitra tutur, yang dilakukan penutur dengan cara menunjukkan bahwa

penutur menghargai keinginan dan kebutuhan mitra tutur. Sebaliknya, kesantunan negatif

adalah tindakan penyeimbang yang diarahkan untuk menjaga muka negatif mitra tutur,

yang dilakukan dengan cara menunjukkan niat penutur yang tidak bermaksud

memperdaya mitra tutur melalui pembatasan terhadap tindakan mitra tutur. Strategi off

record memampukan penutur menghindar dari tanggungjawab melakukan sebuah FTA. Hal

ini dapat dicapai dengan melakukan implikatur percakapan (Grice, 1975).

Menurut Brown and Levinson (1987) terdapat tiga variabel sosial yang memengaruhi

tingkat kesantunan antara penutur dan mitra tutur: tingkat kekuasaan relatif penutur

terhadap mitra tutur atau ‘power’ (P), jarak sosial penutur dengan mitra tutur atau ‘social

distance’ (D), and tingkat keabsolutan imposisi sebuah pertuturan (R). Peningkatan

kekuasaan mitra tutur (P), jarak sosial (D), dan tingkat keabsolutan imposisi sebuah

pertuturan (R) akan meningkatkan bobot sebuah FTA. Peningkatan bobot ini biasanya akan

menghasilkan penggunaan kesantunan yang lebih tinggi.

Selain itu, Brown dan Levinson (1987) juga menidentifikasi lima tingkatan strategi

kesantunan yang berpotensi mengancam muka pihak-pihak yang terlibat dalam suatu

interaksi. Kelima FTA itu disusun dalam tingkatan hirarkis yang berbeda-beda, dimulai dari

tindak tutur langsung hingga tidak tutur tidak langsung. FTA langsung, seperti pertuturan

yang tercatat secara terus terang (baldly on record) dipandang berpotensi paling tinggi

untuk mengancam muka para pihak yang terlibat, dan FTA tidak langsung, seperti

pertuturan yang tidak tercatat secara terus terang (off record) dipandang berpotensi paling

rendah sebagai ancaman dan sekaligus merupakan tindak tutur paling santun para pihak

yang terlibat (2) kesantunan positif; (3) kesantunan negatif; (4) tindak tutur tidak

langsung; dan (5) FTA. Dalam model Brown dan Levinson, kesantunan positif dan

kesantunan negatif bersifat ekslusif dan saling menguntungkan (mutual), dan kesantunan

negatif lebih mampu menjaga muka daripada kesantunan positif.

Meskipun teori Brown dan Levinson dianggap berlaku secara universal dalam

realisasi pertuturan, berbagai penelitian terkini memperlihatkan teori tunggal yang dapat

menjelaskan seluruh realisasi pertuturan tidak mungkin dibuat. Kajian-kajian di bidang

pragmatik lintas budaya dan pragmatik kontrastif mengungkapkan bahwa tindak tutur

memohon (requesting), meminta maaf (apologizing), mengeluh (complaining), berjanji

(promising), dan mengucapkan terima kasih (thanking) direalisasikan secara berbeda

dalam kebudayaan yang berbeda.

Page 7: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

7

Penelitian Blum-Kulka, dkk. (1989) tentang perbedaan aspek-aspek realisasi

pertuturan dalam bahasa Spanyol di Argentina, bahasa Inggris di Australia, bahasa Prancis

di Kanada, bahasa Jerman di Jerman, dan bahasa Yahudi di Israel mengungkapkan adanya

variasi dalam merealisasikan tindak tutur permohonan (request). Penutur bahasa Yahudi

menggunakan ungkapan setara “can/could” lebih jarang dan menggunakan ungkapan

setara dengan “willingness/readiness” lebih sering dari penutur bahasa lain. Penutur

bahasa Spanyol di Argentina menggunakan ungkapan setara dengan “prediction” lebih

sering dari penutur bahasa lain. Penutur bahasa Inggris di Australia menggunakan tindak

tutur paling tidak langsung, yang diikuti oleh penutur bahasa Jerman, penutur bahasa

Prancis di Kanada, penutur bahasa Yahudi, dan penutur bahasa Spanyol di Argentina.

Kajian tentang pertuturan menolak masih sedikit sekali dilakukan baik dari sudut

pandang sosiolinguistik (Beebe, dkk, 1990), apalagi dari sudut pandang pragmatik. Berikut

ini adalah beberapa dari sedikit penelitian yang telah dilakukan di bidang ini.

Studi Beebe dan Takahashi (1989) diarahkan untuk mengungkap realisasi pertuturan

menolak yang dilakukan oleh penutur bahasa Jepang yang sedang belajar bahasa Inggris

sebagai bahasa asing dengan pembanding orang Amerika. Banyak orang yang percaya

bahwa orang Jepang adalah penutur bahasa yang memiliki ciri khas, misalnya seringkali

mengungkapkan maaf dalam berbagai kesempatan, tidak bisa berbicara lugas, tak pernah

mau mengkritik orang lain, lebih baik menghindarkan diri dari pertentangan, dan tidak

mau mengatakan sesuatu yang mereka tak akan mau mendengarnya. Sementara itu, orang

Amerika dipercaya sebagai penutur yang selalu lugas dan langsung ketika membuat

penolakan. Temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa keyakinan kebanyakan orang

tentang penutur bahasa Jepang tadi tidak selalu dapat dibuktikan, karena ternyata orang

Jepang dapat berbicara dan menolak secara lugas dan langsung seperti halnya orang

Amerika. Hal ini terutama mereka lakukan terhadap mitra tutur yang status sosialnya

relatif lebih rendah daripada penutur. Akan tetapi, studi itu menunjukkan bahwa semakin

mahir orang Jepang tadi dalam berbahasa Inggris, strategi penolakan yang mereka

tunjukkan akan semakin tak langsung.

Temuan dalam studi Beebe, Takahashi, dan Ullis-Weltz (1990) mengungkapkan hal

yang hampir mirip dengan temuan di atas. Tidak seperti orang Amerika, orang Jepang

sering kali tidak menggunakan ungkapan maaf atau penyesalan, misalnya ketika mereka

menolak sebuah undangan dari seorang mitra tutur. Selain itu, ketika membuat penolakan,

orang Jepang lebih memperhatikan status mitra tutur daripada memperhatikan unsur

keakraban, yang justru lebih diperhatikan oleh orang Amerika. Demikian pula studi yang

dilakukan oleh Ito (1989), yang menunjukkan adanya perbedaan realisasi pertuturan

Page 8: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

8

menolak yang dlakukan oleh orang-orang Jepang bila dibandingkan dengan orang Amerika.

Dengan menggunakan pola pikir yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1987), Ito

menemukan bahwa orang Jepang lebih suka menggunakan kesantunan negatif dengan

strategi yang samar-samar menunjukkan penolakan, sementara orang Amerika lebih suka

dengan cara langsung mengatakan tidak dengan kesantunan positif.

Penelitian Widjaja (1997) difokuskan pada perbedaan realisasi pertuturan dalam

menolak ajakan kencan di kalangan perempuan Taiwan dan perempuan Amerika. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa kedua kelompok responden lebih suka menggunakan

strategi kesantunan negatif (penolakan langsung, penolakan tidak langsung, ungkapan

penyesalan, permohonan maaf, ungkapan keberatan, ungkapan menghindar, dan

pernyataan terima kasih). Selain itu, ternyata perempuan Taiwan lebih suka berterus

terang untuk menolak ajakan kencan.

Hasil penelitian yang dilakukan Aziz (2003) terhadap 107 responden di wilayah

Jabotabek, Bandung, dan Tasikmalaya menunjukkan bahwa ketika membuat penolakan,

responden cenderung untuk menggunakan strategi yang samar-samar disertai dengan

berbagai ungkapan pelembut dan permohonan maaf atas ketakbisaan mengabulkan

permohonan mitra tuturnya. Strategi lain yang juga cenderung mereka pakai adalah

mengambangkan jawaban, sehingga menunjukkan keragu-raguan penutur untuk

menerimanya. Ada juga kelompok responden yang nampaknya lebih memilih memberikan

alternatif lain kepada mitra tuturnya agar permintaannya tersebut dapat tetap dikabulkan.

Namun demikian, penutur bahasa Indonesia juga bisa membuat penolakan secara lugas dan

langsung, sebab pada kenyataannya mereka juga memilih strategi tersebut, terutama ketika

berhadapan dengan mitra tutur yang lebih muda, yang status sosialnya lebih rendah, dan

yang memiliki tingkat keakraban tinggi, seperti teman sejawat, misalnya.

Deskripsi Data

Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, ditemukan dua jenis jawaban

yang diberikan para responden terhadap berbagai situasi yang dihadapi dalam angket

isian, yaitu ungkapan menolak (refusal) dan ungkapan menerima (acceptance). Ungkapan

menolak, secara garis besar, dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu menolak secara langsung

(direct refusal) dan menolak secara tidak langsung (indirect refusal). Ungkapan menerima

juga dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu menerima secara langsung (direct acceptance)

dan menerima secara tidak langsung (indirect acceptance).

Ungkapan menolak secara langsung terdiri dari jawaban responden yang

mengandung kata TIDAK atau yang sejenisnya, seperti ndak, nggak, atau ogah. Sebaliknya,

Page 9: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

9

ungkapan menolak secara tidak langsung merupakan jawaban responden yang tidak

mengandung kata yang menegasikan (yakni kata TIDAK atau yang sejenisnya), namun,

dilihat dari konteksnya jawaban tersebut pada hakikatnya menyampaikan penolakan.

Ungkapan menerima secara langsung merupakan jawaban responden yang mengandung

kata YA dan yang sejenisnya (OK, baik, baiklah, silahkan). Sedangkan jawaban yang pada

hakikatnya menyampaikan penerimaan namun tidak mengandung kata YA dan yang

sejenisnya dikategorikan sebagai ungkapan menerima secara tidak langsung. Secara

keseluruhan, strategi menolak dan menerima yang digunakan para responden terdiri dari

enam belas ungkapan. (Lihat tabel 2).

Tabel 2: Kategori Jawaban

Kategori

Jawaban MENOLAK

Kategori

Jawaban MENERIMA

1 Langsung mengatakan

TIDAK 11 Langsung mengatakan YA

2 Ragu-ragu dan tidak

bersemangat

3 Menawarkan jalan keluar 12 Jawaban Retorik

4 Menunda Keputusan

5 Menyalahkan pihak ketiga 13 Ungkapan solidaritas

6 Seperti menerima tapi tidak

memberi kepastian

14 Menerima namun terlihat enggan

15 Menerima secara sembunyi

7 Menerima tapi dengan

penyesalan

16 Diam 8 Memberi alasan dan

penjelasan

9 Mengkritik dan marah

10 Menerima tapi bersyarat

Realisasi Ke(tak)santunan

Tingkat ke(tak)santunan tuturan yang digunakan para responden dalam penelitian

ini diukur dengan menggunakan empat kriteria sebagai parameter, yaitu: (1) tingkat

kelugasan (level of directness), (2) pemakaian kata sapaan (terms of address), (3) pemakaian

basa-basi (courtesy words) dan pemakaian kata-kata prokem (use of youth slang). Keempat

kriteria ini kemudian digunakan sebagai alat ukur dalam menentukan ke(tak)santunan

yang digunakan para responden ditinjau dari perbedaan usia dan jender, seperti yang akan

disajikan berikut ini.

Page 10: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

10

Kelompok Usia 18-23 Tahun

Responden kelompok usia 18-23 tahun terdiri dari 15 orang (7 laki-laki dan 8

perempuan). Jawaban-jawaban yang diberikan kelompok ini tersebar hampir pada seluruh

jawaban, walaupun sebaran itu tidak merata. Terdapat hanya tiga respon yang sama sekali

tidak dipilih oleh responden kelompok usia ini, yakni (1) menyalahkan pihak ketiga; (2)

langsung mengatakan YA ; dan (3) menerima secara sembunyi (lihat tabel 3).

Tabel 3: Sebaran Jawaban Kelompok Usia 18-23 Tahun

Kategori Jawaban N % dari 150 1

% dari 2802

1. Langsung mengatakan TIDAK 48 32 17

2. Ragu-ragu dan tidak bersemangat 2 1.3 0.7

3. Menawarkan jalan keluar 24 16 8.6

4. Menunda Keputusan 5 3.3 1.7

5. Menyalahkan pihak ketiga 0 0 0

6. Seperti menerima tapi tidak memberi

kepastian

2 1.3 0.7

7. Menerima tapi dengan penyesalan 15 10 5.3

8. Memberi alasan dan penjelasan 32 21.4 11.4

9. Mengkritik dan marah 4 2.7 1.7

10. Menerima tapi bersyarat 7 4,7 2.5

11. Langsung mengatakan YA 0 0 0

12. Jawaban Retorik 3 2 0.7

13. Ungkapan solidaritas 2 1.3 0.7

14. Menerima namun terlihat enggan 4 2.7 1.4

15. Menerima secara sembunyi 0 0 0

16. Diam 2 1.3 0.7

Jumlah 150 100%

Dilihat dari seluruh jawaban yang mereka berikan, dapat dikatakan bahwa

responden kelompok usia muda (18-23 tahun) cenderung sangat lugas dan terang-

1 Angka 150 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh DCT kelompok usia 18-23 tahun, yang berasal dari hasil perkalian antara jumlah responden kelompok usia 18-23 tahun dengan 10 situasi. Jadi, 15 X 10= 150.

2 Angka 280 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh seluruh DCT, yang berasal dari hasil perkalian antara jumlah seluruh responden dengan 10 situasi. Jadi, 28 X 10= 280

Page 11: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

11

terangan ketika menolak permintaan dari mitra tutur yang lebih muda. Respon yang

mereka berikan ketika menghadapi situasi A#1, misalnya, adalah strategi pertama

(langsung mengatakan TIDAK). Meskipun sebagian respon itu diiringi ungkapan penyerta,

hal itu hanya berfungsi sebagai basa-basi yang sebenarnya tidak bermakna, seperti terlihat

dari tiga contoh berikut:

[1] Sorry. Gue sibuk banget, nih.

[2] Jangan ganggu dulu, dong. Gue lagi sibuk.

[3] Aku sedang sibuk nih, besok saja kita ke toko buku.

Alasan pendek sibuk banget atau sedang sibuk dalam setiap respon tersebut nampaknya

ditujukan hanya untuk memperlunak nada penolakan penutur saja, dan dapat dipandang

sebagai ketidakkooperatifan penutur terhadap mitra tuturnya. Dengan demikian, ungkapan

itu menimbulkan kesan tak santun bagi mitra tutur.

Respon yang diberikan ketika menolak permintaan dari mitra tutur yang sebaya juga

terlihat lugas, walaupun kelugasan itu cenderung lebih diperlunak dengan menggunakan

ungkapan penyerta yang lebih panjang atau terkesan ‘rasional’, seperti terlihat dari

beberapa jawaban yang dibuat sewaktu menghadapi situasi A#2 dan B#4 berikut.

[3] Gimana, ya? Aku sedang pake, nih, menyelesaikan tugas. Bisa, kan, m injam ke yang lain.

[4] Kalau tugas saya tinggal sedikit, boleh saja kamu pakai. Tapi saya masih harus memakainya sampai pagi. Maaf, ya.

[5] Maaf, ya Rosa. Aku sedang membaca dan merangkum buku. dan tugas itu harus diserahkan besok.

[6] Maaf, ya, saya tidak bisa ikut karena harus merangkum buku.

Melalui ungkapan-ungkapan di atas, terlihat adanya ketegasan penutur untuk menolak

permintaan mitra tuturnya. Namun ketegasan itu “dibungkus” dengan pertanyaan retoris

Gimana, ya? atau rasionalisasi penolakan agar terkesan lebih santun.

Jawaban para responden kelompok usia muda ini terkesan jauh lebih santun dan

hati-hati ketika mereka menolak permintaan mitra tutur yang lebih tua. Strategi yang

banyak digunakan untuk menolak permintaan mitra tutur yang lebih tua itu adalah strategi

ketiga (menawarkan jalan keluar), ketujuh (menerima tapi dengan penyesalan), atau

kedelapan (memberi alasan dan penjelasan). Sebagian responden memang ada yang

menggunakan strategi pertama (langsung mengatakan TIDAK), namun hal itu selalu

disertai basa-basi, alasan, dan permohonan maaf sebagai pelembut. Berikut ini adalah

Page 12: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

12

beberapa ungkapan penolakan yang digunakan para responden terhadap ibu, dosen,

paman dan tante.

[7] Maaf, Ma. Saya tidak bisa ikut karena besok ada ujian. Mama nggak mau nilai saya jelek, kan.

[8] Maaf ya, Bu. Saya tidak bisa membantu Ibu karena harus menjaga ibu saya di R.S.

[9] Maaf, Paman, Tante. Saya harus mengerjakan tugas kelompok. Bagaimana kalau besok saja jalan-jalannya?

[10] Baik, Pak, Saya akan ikut ke Bogor kalau ada teman yang bisa menggantikan dalam panitia lomba 17-an di kelurahan saya.

Kata sapaan yang dipakai para responden kelompok usia muda (18-23 tahun) ini

cenderung terpolarisasi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kata gue, gua, aku,

lu, lo, elu, dan kamu, yang digunakan ketika berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih

muda atau sebaya. Kelompok kedua terdiri dari kata Saya, Pak, Bu, Ma(ma), Paman, dan

Tante, yang digunakan ketika berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih tua atau yang

status sosialnya lebih tinggi (seperti terhadap dosen).

Karakteristik lain dari pertuturan para responden kelompok usia 18-23 tahun ini

adalah penggunaan bahasa slang sewaktu berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih muda

atau sebaya. Ungkapan seperti Sorry, Mack, sibuk banget, Sorry Guy, bokap, dan nyokap

merupakan slang yang lazim digunakan terhadap mitra tutur yang lebih muda atau sebaya.

Namun ungkapan-ungkapan itu tidak pernah digunakan terhadap mitra tutur yang lebih

tua atau berstatus lebih tinggi.

Temuan tentang penggunaan kata sapaan dan slang ini menunjukkan adanya

kesadaran para penutur akan pentingnya menggunakan kata sapaan yang lebih santun

terhadap mitra tutur yang lebih tua atau berstatus lebih tinggi. Sehubungan dengan itu,

dapat dikatakan bahwa faktor senioritas dan status sosial merupakan faktor penentu dalam

pemilihan tingkat kesantunan tindak tutur.

Kelompok Usia 41-48 tahun

Responden kelompok usia 41-48 tahun terdiri dari 13 orang (46% dari seluruh

responden). Terdapat 130 jawaban yang diberikan kelompok usia senior ini, yang tersebar

hampir dalam semua kategori, namun penyebarannya tidak merata (lihat tabel 4).

Page 13: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

13

Tabel 4: Sebaran Jawaban Kelompok Usia 41-48 Tahun

Kategori Jawaban N % dari 1301 % dari 2802

1) Langsung mengatakan TIDAK 16 12.3 5.7

2) Ragu-ragu dan tidak bersemangat 3 2.3 1.1

3) Menawarkan jalan keluar 20 15.4 7.1

4) Menunda Keputusan 4 3.1 1.4

5) Menyalahkan pihak ketiga 1 0.7 0.36

6) Seperti menerima tapi tidak memberi

kepastian

24 18.5 8.6

7) Menerima tapi dengan penyesalan 15 11.5 5.4

8) Memberi alasan dan penjelasan 32 24.6 11.4

9) Mengkritik dan marah 2 1.5 0.7

10) Menerima tapi bersyarat 2 1.5 0.7

11) Langsung mengatakan YA 3 2.3 1.1

12) Jawaban Retorik 3 2.3 1.1

13) Ungkapan solidaritas 0 0 0

14) Menerima namun terlihat enggan 5 3.8 1.7

15) Menerima secara sembunyi 0 0

16) Diam 0 0 0

Jumlah 130 100%

Jika strategi penolakan langsung yang digunakan para responden kelompok usia

muda (18-23 tahun) mencapai 32%, maka persentase penolakan langsung yang digunakan

para responden kelompok usia senior hanya mencapai 12.3%. Temuan ini selaras dengan

temuan bahwa strategi penolakan tidak langsung (termasuk strategi menawarkan jalan

keluar, ragu-ragu dan tidak bersemangat, menunda keputusan, seperti menerima tapi tidak

memberi kepastian, dan memberikan alasan atau penjelasan) yang digunakan para

responden kelompok usia senior mencapai 64.6%, sedangkan penolakan tidak langsung

yang digunakan para responden kelompok usia muda hanya 43.3%. Data-data tersebut

mengungkapkan bahwa strategi penolakan yang dipakai responden kelompok usia senior

1 Angka 130 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh DCT kelompok usia 41-48 tahun, yang berasal dari hasil perkalian antara ke 13 responden kelompok usia 41-48 tahun dengan 10 situasi. Jadi, 13 X 10= 130.

2 Angka 280 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh seluruh DCT, yang berasal dari hasil perkalian antara jumlah seluruh responden dengan 10 situasi. Jadi, 28 X 10= 280

Page 14: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

14

cenderung berbentuk tak langsung, tanpa melihat apakah mitra tutur mereka lebih muda

sebaya, atau lebih tua. Meskipun terdapat beberapa penolakan dengan strategi langsung,

hal itu selalu diikuti sejumlah ungkapan pelembut. Berikut ini adalah dua contoh penolakan

yang mereka buat ketika menghadapi situasi A#1 dan A#3.

[11] Maaf, ya dek. Kakak tidak bisa menemani kamu ke toko buku. Makalah ini

harus diserahkan pada dosen besok pagi, jadi kakak harus

menyelesaikannya sekarang.

[12] Wah asyik juga tuh, konsernya. Tapi sayang saya tidak bisa ikut kalian

nonton, karena saya harus menjaga adik-adik saya. Mungkin lain kali saja,

ya.

Cara ini kelihatannya dimaksudkan para penutur untuk mencegah agar mitra tuturnya

tidak kecewa.

Dibandingkan dengan responden kelompok sebelumnya, para responden kelompok

usia senior ini cenderung menggunakan kata sapaan yang formal. Meskipun kepada mitra

tutur yang lebih muda dan sebaya mereka masih menggunakan kata sapaan yang akrab

(informal), seperti Dek, Kamu dan Kalian, namun kepada mitra tutur yang lebih tua atau

yang status sosialnya lebih tinggi (seperti terhadap dosen) mereka selalu menggunakan

kata sapaan yang formal, seperti Saya, Pak, Bu, Paman, dan Tante.

Karakteristik lain dari pertuturan para responden kelompok usia senior ini adalah

kecenderungan mereka mencegah penggunaan bahasa prokem (slang). Berbeda dengan

para responden kelompok usia 18-23 tahun yang sering menggunakan ungkapan Sorry,

Mack, sibuk banget, Sorry Guy, bokap, dan nyokap, para responden kelompok usia senior

sama sekali tidak pernah menggunakannya. Temuan ini menunjukkan bahwa secara umum

para penutur senior ini menganggap ragam bahasa prokem hanya pantas digunakan oleh

kaum muda. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam diri mereka terdapat prinsip

bahwa bahasa prokem akan mengurangi kesantunan dalam interaksi dengan orang lain.

Paling tidak, temuan ini mengungkapkan bahwa semakin tinggi usia seseorang, semakin

tinggi pula kepeduliannya terhadap penggunaan ragam standar dan kosa kata yang formal.

Kelompok Perempuan

Responden perempuan berjumlah 16 orang, atau 57% dari seluruh reponden.

Terdapat 160 jawaban yang diberikan kelompok perempuan ini, yang tersebar hampir

dalam semua kategori, namun penyebarannya tidak merata (lihat tabel 5).

Page 15: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

15

Tabel 5: Sebaran Jawaban Kelompok Perempuan

Kategori Jawaban N % dari 1601 % dari 2802

[1] Langsung mengatakan TIDAK 27 16.9 5

[2] Ragu-ragu dan tidak bersemangat 2 1.25 0.7

[3] Menawarkan jalan keluar 28 17.5 11

[4] Menunda Keputusan 5 3.1 1.8

[5] Menyalahkan pihak ketiga 1 0.6 0.36

[6] Seperti menerima tapi tidak

memberi kepastian

19 11.9 7.8

[7] Menerima tapi dengan penyesalan 16 10 6.4

[8] Memberi alasan dan penjelasan 44 27.5 15.7

[9] Mengkritik dan marah 1 0.6 0.36

[10] Menerima tapi bersyarat 5 3.1 1.8

[11] Langsung mengatakan YA 2 1.25 0.7

[12] Jawaban Retorik 4 2.5 3.2

[13] Ungkapan solidaritas 0 0 0

[14] Menerima namun terlihat enggan 4 2.5 1.4

[15] Menerima secara sembunyi 0 0 0

[16] Diam 2 1.25 0.7

Jumlah 160 100%

Berdasarkan jawaban yang mereka berikan, ditemukan bahwa penolakan langsung

yang mereka gunakan hanya mencapai 16.9%, sedangkan strategi penolakan tidak

langsung (termasuk strategi menawarkan jalan keluar, ragu-ragu dan tidak bersemangat,

menunda keputusan, seperti menerima tapi tidak memberi kepastian, dan memberikan

alasan atau penjelasan) mencapai 71.85%. Temuan ini mengindikasikan bahwa responden

perempuan cenderung menggunakan strategi penolakan tak langsung dibandingkan

dengan penolakan langsung.

Temuan lain yang menonjol dari jawaban yang diberikan para responden perempuan

adalah frekuensi yang cukup tinggi (27.5%) dalam menggunakan strategi memberikan

alasan atau penjelasan yang cukup panjang sebagai pelembut. Hal ini kelihatannya

1 Angka 160 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh DCT kelompok perempun, yang berasal dari hasil perkalian antara ke 16 responden perempuan dengan 10 situasi. Jadi, 16 X 10= 160.

2 Angka 280 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh seluruh DCT, yang berasal dari hasil perkalian antara jumlah seluruh responden dengan 10 situasi. Jadi, 28 X 10= 280

Page 16: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

16

dimaksudkan agar mitra tutur mereka tidak kecewa. Berikut ini adalah dua contoh

penolakan dibuat responden perempuan.

[13] Maaf ya, Bu. Saya tidak bisa membantu Ibu karena saya mendapat giliran

menjaga ibu saya di R.S. Kalau saja saya tidak harus jaga di RS, saya akan

sangat senang dapat membantu ibu.

[14] Aduh, bagaimana, ya. Aku sedang membaca dan merangkum buku. dan

tugas itu harus diserahkan besok. Mungkin lain kali aja, ya, saya ikut nonton.

Kelompok Laki-laki

Responden laki-laki terdiri dari 12 orang, atau 43% dari seluruh reponden. Terdapat

120 jawaban yang diberikan kelompok laki-laki ini, yang tersebar hampir dalam semua

kategori, namun penyebarannya tidak merata (lihat tabel 6).

Tabel 6: Sebaran Jawaban Kelompok Laki-Laki

Kategori Jawaban N % dari 1201 % dari 280

[1] Langsung mengatakan TIDAK 37 30.8 13.2

[2] Ragu-ragu dan tidak bersemangat 3 2.5 1.07

[3] Menawarkan jalan keluar 20 17 7.1

[4] Menunda Keputusan 4 3.3 1.4

[5] Menyalahkan pihak ketiga 0 0 0

[6] Seperti menerima tapi tidak memberi

kepastian

7 5.8 2.5

[7] Menerima tapi dengan penyesalan 14 11.7 5

[8] Memberi alasan dan penjelasan 20 17 7.1

[9] Mengkritik dan marah 5 4.17 1.8

[10] Menerima tapi bersyarat 4 3.3 1.4

[11] Langsung mengatakan YA 1 0.8 0.35

[12] Jawaban Retorik 2 1.7 0.7

[13] Ungkapan solidaritas 2 1.7 0.7

[14] Menerima namun terlihat enggan 5 4.17 1.8

[15] Menerima secara sembunyi 0 0 0

[16] Diam 0 0 0

Jumlah 120 100%

1 Angka 130 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh DCT kelompok usia 41-48 tahun, yang berasal dari hasil perkalian antara ke 13 responden kelompok usia 41-48 tahun dengan 10 situasi. Jadi, 13 X 10= 130.

Page 17: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

17

Berdasarkan jawaban yang mereka berikan, ditemukan bahwa penolakan

langsung yang kelompok laki-laki mencapai 30.8%, sedangkan strategi penolakan tidak

langsung (termasuk strategi menawarkan jalan keluar, ragu-ragu dan tidak

bersemangat, menunda keputusan, seperti menerima tapi tidak memberi kepastian, dan

memberikan alasan atau penjelasan) mencapai 57.3%. Temuan ini memperlihatkan

bahwa responden laki-laki sering menggunakan strategi penolakan langsung

dibandingkan dengan responden perempuan, meskipun kedua kelompok itu memiliki

kecenderungan yang sama-sama tinggi untuk menggunakan strategi penolakan tak

langsung.

Dibandingkan dengan proporsi penggunaan strategi memberikan alasan atau

penjelasan yang cukup panjang sebagai pelembut oleh para responden perempuan

yang cukup tinggi (27.5%), proporsi penggunaan strategi tersebut oleh oleh para

responden laki-laki hanya mencapai 17%. Kalaupun responden laki-laki menggunakan

strategi memberikan alasan atau penjelasan yang cukup panjang sebagai pelembut,

penjelasan mereka relatif lebih singkat. Temuan ini mengindikasikan bahwa responden

laki-laki lebih cenderung menggunakan ungkapan yang lebih singkat . Berikut ini adalah

dua contoh penolakan dibuat responden laki-laki sewaktu menghadapi situasi yang

sama dengan yang dihadapi oleh responden perempuan pada contoh [13] dan [14].

[15] Maaf ya, Bu. Saya tidak bisa membantu karena harus menjaga Ibu saya

yang sakit.

[16] Maaf, Rosa. Lain kali saja Aku ikut. Sekarang Aku harus menyelesaikan

tugas

Kesimpulan

Berdasarkan paparan dan analisis di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan

berikut:

1. Dibandingkan dengan penutur berusia senior, para penutur berusia muda lebih

cenderung menggunakan ungkapan yang lugas dan terang-terangan (dengan

menggunakan strategi penolakan langsung) ketika menolak permintaan dari mitra

tutur yang lebih muda dan sebaya. Akan tetapi ketika menolak permintaan dari mitra

tutur yang lebih tua, sama dengan penutur berusia senior, para penutur berusia muda

cenderung menggunakan strategi tak langsung, seperti menawarkan jalan keluar,

menerima tapi dengan penyesalan, atau memberi alasan dan penjelasan. Kalaupun

mereka menggunakan strategi penolakan langsung, hal itu selalu disertai basa-basi,

alasan, dan permohonan maaf sebagai pelembut.

Page 18: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

18

2. Para penutur berusia muda juga banyak menggunakan ragam bahasa slang serta kata

sapaan tak formal ketika berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih muda dan sebaya.

Akan tetapi ketika berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih tua, ragam bahasa dan

kata sapaan formal menjadi pilihan utama.

3. Dilihat dari segi jender, penutur laki-laki lebih sering menggunakan strategi penolakan

langsung.

4. Bila strategi penolakan tak langsung yang digunakan penutur perempuan dan laki-laki

dibandingkan,. Terlihat bahwa tuturan kelompok perempuan cenderung disertai

penjelasan atau alasan yang lebih panjang dibandingkan penutur laki-laki. Hal ini

dilandasi oleh keinginan penutur perempuan yang lebih tinggi dalam hal mencegah

kekecewaan mitra tutur mereka.

5. Perbedaan-perbedaan karakteristik penuturan yang ditemukan diantara kelompok-

kelompok tersebut menyiratkan adanya perbedaan pandangan tentang fenomena

kesantunan berbahasa antara generasi yang berbeda dan antara perempuan dan laki-

laki.

Daftar Pustaka

Aziz, E. Aminudin. 2003. “Usia dan Realisasi Kesantunan Berbahasa: Sebuah Studi Pragmatik pada Para Penutur Bahasa Indonesia”. Dipublikasikan dalam PELBBA 16 (Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa Atma Jaya: Keenam Belas). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Beebe, L.M. dan T. Takahashi. 1989. “Do you have a bag? Social status and patterned variation in second language acquisition”. Dalam S.M. Gass, C. Madden, D. Preston, dan L. Selinker (ed). Variation in second language acquisition vol I: sociolinguistic issues. Clevedon: Multilingual Matters.

Beebe, L.M., T. Takahashi and R. Ullis-Weltz. 1990. “Pragmatic Transfer in ESL Refusals”. Dalam R.C. Scarcella, E.S. Anderson, dan S.D. Krashen (ed). Developing communicative competence in a second language. NY: Newbury House.

Blum-Kulka et al. 1989. Cross-Cultural Pragmatics: Request and Apologies. Norwood. Ablex Publishing Corporation.

Brown, P. and S. C. Levinson. 1987. Politeness: Some universals in Language usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Catalan, Rosa María Jiménez. 2003. “Sex differences in L2 vocabulary learning strategies”. Published in International Journal Of Applied Linguistics, Vol. 13, No. 1, 2003. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics (6th ed.). Malden: Blackwell Publishing.

Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation. In Peter Cole and J.L. Morgan (eds.) Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, New York: Academic Press. pp. 41 – 58.

Ito, Y. 1989. Strategies of disagreement: a comparison of Japanese and American usage. Sophia Linguistica, 27, 193-203.

Page 19: Peran Usia Dan Gender Dalam Realisasi Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa

19

Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. London: Pearson Education Ltd.

Lakoff, R. T. 1990. Talking Power: The Politics of Language in Our Lives. Glasgow: Harper Collins.

Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman. Llamas, Louise Mullany and Peter Stockwell (eds.). 2007. The Routledge Companion to

Sociolinguistics. New York: Routledge. Malmkjær, Kirsten. 2002. The Linguistics Encyclopedia Second Edition. New York: Routledge. Nelson, G. L., Carson, J., Al Batal, M., & El Bakary, W. 2002. “Cross-cultural pragmatics:

Strategy use in Egyptian Arabic and American English refusals”. Published in Applied Linguistics, 23 (2), 163-189.

Singh, Ishtla and Jean Stilwell Peccei (eds.). 2004. Language, Society, and Power. New York: Routledge.

Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction. New York: Longman. Watts, R. J., S. Ide & K. Ehlich (Eds.).1992. Politeness in Language. Berlin: Mouton de Gruyter. Widjaja, C. S. 1997. “A study of date refusals: Taiwanese females vs. American females”.

University of Hawai'i Working Papers in ESL, 15 (2), 1-43. Makalah ini dipresentasikan dalam Forum Ilmiah Dwi-Bulanan FKIP-UKI, 9 Oktober 2009