peran kpu terhadap partisipasi calon legislatif...
TRANSCRIPT
PERAN KPU TERHADAP PARTISIPASI CALON LEGISLATIF
PEREMPUAN DALAM MENGHADAPI TAHUN POLITIK
PERIODE 2019 KOTA JAMBI
SKRIPSI
Oleh:
ISTIQOMAH
SIP. 141735
PEMBIMBING:
Dr. A. A. Miftah, M. Ag
Ulya Fuhaidah, S. Hum, M. Si
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
ii
iii
iv
v
MOTTO
الر حيم الر حم ن الل ه بسم
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan
Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl Ayat 97).
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil „alamin
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberi nikmat kesehatan
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh strata 1 (S1)
Shalawat beserta salam tidak lupa pula kukirimkan kepada junjunganku
Muhammad Rasullah Saw.
Alhamdulilla sebagai ucapan terima kasih dan rasa syukur, cinta dan kasih
sayang yang tulus, kupersembahkan Skripsi ini kepada orang-orang tercinta yaitu
Ayahanda Ali Imran tercinta dan Ibunda Nurmalasari Tersayang yang selalu
memberikan kasih sayang, dukungan, serta doa. Adikku Qomariah dan Akbar
Muslim yang telah memberi dukungan beserta motivasi dan semangat yang selalu
tercurahkan selama melewati proses hidup terutama dalam penyelesaian skripsi
ini.
Terima kasih juga saya ucapkan pada teman-teman yang sudah
memotivasi dan memberi semangat kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dan untuk sahabat seperjuanganku yaitu Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan
angkatan 2014.
vii
ABSTRAK
Istiqomah; SIP. 141735; Peran KPU Terhadap Partisipasi Calon Legislatif
Perempuan Dalam Menghadapi Tahun Politik Periode 2019 Kota Jambi.
Skripsi ini berjudul “Partisipasi Caleg Perempuan dalam Menghadapi Tahun
Politik Periode 2018-2021 Kota Jambi”. Penelitian tersebut dilandasi oleh adanya
ketentuan yang meminta terpenuhinya kuota perempuan dalam legislatif sebanyak
30%.Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan upaya
yang telah dilakukan oleh KPU Kota Jambi sehingga kuota keterwakilan
perempuan dalam politik terpenuhi dan (2) mendeskripsikan faktor-faktor yang
ikut berperan dalam upaya KPU Kota Jambi mendorong partai politik memenuhi
keterwakilan perempuan dalam politik.
Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data
melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan, diperoleh hasil dan kesimpulan bahwa KPU mendorong dengan
maksimal para perempuan di Kota Jambi dalam pencalonan anggota legislatif di
Kota Jambi. Upaya-upaya yang dilakukan KPU berupa upaya yang bermaksud
mempermudah urusan dan persyaratan dalam pencalonan anggota legislatif
perempuan di Kota Jambi. Selain itu, KPU juga meminta kepada semua partai
politik untuk mengirimkan sebanyak-banyaknya calon perempuan ke dalam
pencalonan legislatif di Kota Jambi. Usaha tersebut dibuktikan dengan adanya
wawancara kepada berbagai pihak, yaitu KPU, partai politik, dan para perempuan
yang mencalonkan diri sebagai anggota legistlatif di Kota Jambi.
Kata Kunci: Partisipasi, Caleg Perempuan, Legislatif
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-nya serta anugerah yang tiada terkira, shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada junjungan kita Rasullah SAW yang telah mengajarkan
suri tauladan, dan yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah ke jaman modern
seperti yang kita rasakan sekarang sekarang dengan kemudahannya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peran KPU Terhadap
Partisipasi Calon Legislatif Perempuan Dalam Menghadapi Tahun Politik Periode
2019 Kota Jambi..”
Skripsi ini disusun guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan
kelulusan studi pada Program Sarjana (S1) Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Oleh karena itu, hal yang pantas penulis
ucapkan adalah kata terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu
penyelesaian skripsi ini, terutama sekali kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Su‟aidi Asy‟ari, MA., Ph.D selaku Rektor UIN STS Jambi.
2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
3. Bapak H. Hermanto Harun, Lc, M. HI. Ph. D, selaku Wakil Dekan I
4. Ibu Dr. Rahmi Hidayat, MH., selaku Wakil Dekan II Fakultas Syariah UIN
STS Jambi.
5. Ibu Yuliatin, MH., selaku Wakil Dekan III Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
6. Ibu Mustiah, S.Ag. M.Sy, selaku Ketua JurusanIlmu Pemerintahan Fakultas
Syariah UIN STS Jambi.
ix
7. Ibu Tri Endah Karya Lestiyani, S.IP, M.IP., selaku Sekretaris Fakultas
Syariah UIN STS Jambi.
8. Dr. A.A. Miftah, M.Ag. dan Ulya Fuhaidah S. Hum, M.Si selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II skripsi ini.
9. Bapak dan Ibu Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh Karyawan/Karyawati di
lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
10. Teman-teman, sahabat seperjuangan saya yang tidak mungkin disebutkan
satu-persatu.
11. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, baik langsung
maupun tidak langsung.
Di samping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan dan sangat dibutuhkan kontribusi pemikiran demi perbaikan skripsi
ini. Kepada Allah SWT kita mohon ampunan-Nya, dan kepada manusia kita
memohon kemaafannya. Semoga amal kebajikan kita dinilai seimbang oleh Allah
SWT. Aamiin.
Jambi, November 2019
Penulis
Istiqomah
SIP. 141735
x
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN .................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................... ii
NOTA DINAS ............................................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................. iv
MOTTO ........................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ......................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ...................................... 8
D. Kerangka Teori................................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 27
BAB II METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ........................................................................ 30
B. Jenis Penelitian ................................................................................... 30
C. Sumber Data ....................................................................................... 30
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 31
E. Teknik Analisis Data .......................................................................... 32
F. Triangulasi Data ................................................................................. 33
G. Sistematika Penulisan......................................................................... 34
BAB III BIOGRAFI
A. Latar Belakang KPU .......................................................................... 36
B. Visi dan Misi KPU ............................................................................. 40
C. Tugas dan Wewenang KPU ............................................................... 41
xi
D. Daftar Biro, Bagian, dan Subbagian Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia ................................................................. 43
E. KPU Kota Jambi ................................................................................. 49
BAB IV PEMBAHASAN
A. Upaya KPU Kota Jambi untuk Memenuhi Kuota Keterwakilan
Perempuan dalam Politik ................................................................... 51
B. Faktor-faktor yang Berperan dalam Upaya KPU Kota Jambi
untuk Memenuhi Kuota Keterwakilan Perempuan dalam Politik...... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 65
B. Saran ................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam dekade terakhir ini, masalah keterwakilan perempuan dalam
perpolitikan di Indonesia menjadi wacana yang penting dalam upaya
meningkatkan peran politik perempuan. Keterwakilan politik (political
representative), diartikan sebagai terwakilinya kepentingan anggota
masyarakat (termasuk perempuan) oleh wakil-wakilnya di institusi-institusi
perwakilan (DPR, DPRD, DPD) melalui proses politik.1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengamanatkan perlunya
pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Hal demikian ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan
kewajiban setiap warga negara Indonesia.2 Sehubungan dengan kesetaraan
gender tersebut, pada Undang-Undang Nomor2 Tahun 2008 telah
ditentukan secara tegas mengenai porsi keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan suatu parpol. Prinsip kesetaraan gender, di dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002, maupun Undang-Undang yang sama yang
mengatur sebelumnya tidak menyebutkan hal kesetaraan gender. Sementara
1
Ana Maria Gadi Djou. Partisipasi Perempuan Dalam Partai Politik Dan Pemilu
Serempak. Jurnal Volume 4 Nomor 3, Fakultas Hukum Universitas Flores, 2018.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh, diakses pada 10 Juli 2019. 2
Astrid Anugrah, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik, (Jakarta: Pancuran Alam,
2009), cetak. II, hal. 1.
xiii
pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 memiliki prinsip yang sama,
di mana minimal harus terdapat 30% perempuan di DPR. Dengan demikian,
dapat dikatakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 merupakan media hukum yang revolusioner
dibidang kepartai politikan di negeri ini. Lahirnya prinsip keterwakilan
perempuan atau juga disebut sistem kuota perempuan,bersumber dari
ketidakpuasan beberapa kalangan. Hal itu khususnya dari kelompok feminis,
yang melihat betapa “memperihatinkan” porsi atau presentasi kalangan
perempuan di lingkungan parpol-parpol yang ada. Kalangan perempuan
dilingkungan parpol, atau mungkin bisa diistilahkan dengan feminis parpol
terdiri dariaktivis partai, pengurus, calon legislatif (caleg) dan anggota
legislatif (parlemen) dari kaum perempuan.3
Isu keterwakilan perempuan di bidang politik sebenarnya pada pemilu
2009 diharapkan dapat menjadi titik awal untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan bagi perempuan di bidang politik dengan menerapkan kebijakan
affimative action baik di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik4
dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah5 yang memberikan perlakuan
3 Ibid, hal. 10.
4 Terutama Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pendirian dan pembentukan Partai
Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan” 5 Diantaranya Pasal 53 yang isinya “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”, Pasal 55 ayat (2)
yang isinya “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3
(tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.”
xiv
khusus dengan kuota 30% bagi perempuan sebagai langkah awal untuk
mendorong keterwakilan perempuan di bidang politik menuju arah
yangsetara dan berkeadilan. Namun sangat disayangkan pada perjalanannya
kebijakan affirmative action ini “dianulir” secara tidak langsung melalui
putusan Mahkamah Konstitusi Keputusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang
membatalkan berlakunyaPasal 214 Huruf a,b,c,d, dan e di mana ketentuan
Pasal 214 Huruf a,b,c,d, dan e ini yang pada intinya adalah membatalkan
penggunaan nomor urut dalam penentuan calon legislatif terpilih melainkan
dengan berdasarkan suara terbanyak sehingga dengan pembatalan tersebut
secara otomatis zipper system yang berdasarkan nomorurut untuk
menentukan posisi perempuan tidak dapat dijalankan.
Masalah selanjutnya adalah keterwakilan perempuan di parlemen akan
berkurang dengan ditutupnya kesempatan untuk melaksanakan affirmative
action dalam Pemilu 2009 lalu, perlu diketahui bersama bahwa ada
beberapa alasan kenapa kuota perempuan dirasakan penting untuk dilakukan
perlakuan yang khusus dalam Pemilu 2009 yang lalu.
Alasan yang dikemukakan oleh Maria Farida Indrati dalam kutipannya
dari Hanna Pitkin, The Concept of Representation, 1967, sebagai berikut:
1)Perempuan mewakili setengah dari populasi dan punya hak untuk
setengah darikursi (”justice argument”); 2) Perempuan mempunyai
(namun pada prakteknya sistem yang dikenal dengan zipper system atau zig-zag tidak dapat
dijalankan karena hasil putusan Mahkamah Keputusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang
membatalkan berlakunya Pasal 214 Huruf a,b,c,d, dan e dimana ketentuan Pasal 214 Huruf a,b,c,d,
dan e ini yang pada intinya adalah menggunakan sistem nomor urut, maka karena dibatalkan
secara otomatis zipper system tidak dapat dijalankan walaupun tidak membatalkan Pasal 55).
xv
pengalaman yang berbeda dari laki-laki (biologis maupun sosial) yang
diwakili (”experience argument”).
Sejalan dengan argumen ini, perempuan dapat memasuki posisi
kekuasaan karena merekaakan terikat dalam politik yang berbeda; 3).
Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan sehingga
laki-laki tidak dapat mewakili perempuan(”interest group argument”); 4).
Politisi perempuan mewakili model peran penting mendorong perempuan
lain untuk mengikuti. Inti ide di belakang kouta gender pemilihan adalah
merekrut perempuan ke dalam institusi politik dan memastikan bahwa
perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik.6
Dari empat alasan tersebut sebenarnya jika kita ingin mengakui dan
menyadari bahwa keberadaan kuota perempuan menjadi hal yang wajib
untuk mewujudkan kesetaraan dan perlakuan khusus tersebut sebenarnya
juga telah diakomodir olehkonstitusi. Selain tunduk kepada konstitusi kita,
Indonesia sebagai state parties yang telah meratifikasi CEDAW mempunyai
kewajiban untuk menjalankan segala prinsip-prinsip yang tercantum dalam
konvensi tersebut ke dalam hukum nasional. Salah satu prinsip yang
menjadi alasan untuk melegalkan tindakan khusus dalam pemberian kuota
kepada perempuan adalah dengan melihat ketentuan Pasal 4 CEDAW, yang
isinya adalah:
”Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk
memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dianggap
6Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008
xvi
sebagai diskriminasi. Tetapi hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama
dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda. Langkah itu
harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan kesempatan dan
tindakan telah tercapai.”
Prinsip pada pasal itu memang hanya bersifat sementara sampai
kondisi dari perempuan mencapai kesetaraan dengan laki-laki atau dengan
kata lain hal ini disebut dengan diskriminasi positif untuk mendorong
perempuan setara dengan laki-laki di dunia politik.7
Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang
terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang. Partisipasi
perempuan dibidang politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan
peran menjadi anggota parlemen. Partisipasi perempuan dalam pemilu
legislatif menunjukan adanya kemajuan bagi proses demokrasi yang
berbudaya partisipatoris dan tentu saja hal ini membuat kaum perempuan
lebihkaya akan pemenuhan haknya. Dengan adanya keterwakilan
perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang
masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai
produk politik yangdibuat.
Untuk dapat terlibat dalam segala aspek kegiatan politik bagi
perempuan tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia yang dicapai
sekarang ini terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat partisipasi
politiknya. Kendala pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai alasan
7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, hal. 110
xvii
lemahnya partisipasi politik perempuan, dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal berupa keengganan besar perempuan untuk terlibat
dalam kegiatan politik. Keengganan ini dikarenakan sosiokultural mereka
yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakan dan menyampaikan
keinginan serta aspirasinya di bidang politik. Aktivitas dianggap tidak layak
bagi perempuan, karena sifat-sifatnya yang jauh dari citra perempuan. Dunia
politik dianggap“keras”, “kotor”, dan penuh dengan muslihat sehingga
dianggap tidak cocok untuk citra perempuan. Lingkungan sosial budaya
yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan, antara lain
wawasan orangtua, adat, penafsiran terhadap ajaran agama yang tidak tepat,
tingkat pendapatan keluarga, dan system pendidikan yang diskriminatif.
Masih lekatnya budaya tradisional dan kecilnya akses wanita pada
penguasaan faktor sosial ekonomi menyebabkan terbentuknya image dalam
diri perempuan bahwa memang sewajarnya mereka berada dibelakang pria.
Kendala eksternal antara lain dari birokrasi yang paternalistik, pola
pembangunan ekonomi dan politik yang kurang seimbang dan kurang
berfungsinya partai politik. Kendala pokok lemahnya partisipasi politik
perempuan antara lain berada pada lingkungan sosial budaya yang kurang
mendukung pengembangan potensi perempuan. Selain itu dapat pula
bersumber dari kebijaksanaan pembangunan politik yang kurang memadai
xviii
serta kurang berfungsinya partai politik.8 Peningkatan partisipasi politik
perempuan dapat diupayakan antara lain dengan melalui pendidikan politik
yang mampu menciptakan kemampuan dan kesadaran perempuan akan hak
dan kewajibannya di bidang politik. Dalam hal ini memang tidak terlepas
dari keberadaan laki-laki yang secara luas mendominasi arena politik, laki-
laki sangat dominan dalam memformulasikan aturan-aturan permainan
politik; dan laki-laki lah yang sering mendefinisikan standar untuk evaluasi.
Adapun jumlah keseluruhan caleg yang didaftarkan dari 16 partai dan
enam daerah pemilihan yakni Daerah Pemilihan 1 (DP1) Kota Jambi 91
(laki-laki) 42 (perempuan). Daftar caleg perempuan perpartai dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
No Nama Partai Jumlah
1 Partai Kebangkitan Bangsa 3
2 Partai Gerakan Indondesia Raya 3
3 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 3
4 Partai Golongan Karya 3
5 Partai Nasdem 1
6 Partai Garuda 3
7 Partai Berkarya 3
8 Partai Keadilan Sejahtera 3
9 Partai Persatuan Indonesia 3
10 Partai Persatuan Pembangunan 3
11 Partai Solidaritas Indonesia 2
12 Partai Amanat Nasional 3
13 Partai Hati Nurani Rakyat 2
14 Partai Demokrat 3
15 Partai Bulan Bintang 3
16 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1
8 Vandyk Lumiu. 2014. Partisipasi Politik Perempuan dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014
di Kecamatan Siau Barat Selatan. Skripsi. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNSRAT
xix
Sumber: KPU Prov. Jambi 20199
Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti tertarik meneliti
tentang Partisipasi Perempuan Dalam Menghadapi Tahun Politik Periode
2018-2021 Kota Jambi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: bagaimana implementasi kebijakan pemerintah dalam
mendorong Partisipasi Perempuan dalam berpolitik di Kota Jambi yaitu :
1. Apa upaya yang telah dilakukan oleh KPU Kota Jambi sehingga kuota
keterwakilan perempuan dalam politik terpenuhi?
2. Apa faktor-faktor yang berperan dalam upaya KPU Kota Jambi untuk
memenuhi keterwakilan perempuan dalam politik?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian adalah untuk menganalisis partisipasi
perempuan dalam menghadapi tahun politik periode 2018-2021.
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada pihak-pihak
yang terkait, terutama bagi :
1. Bagi aspek praktis
Memberikan masukan bagi perempuan untuk dapat berguna sebagai
bahan pertimbangan dan pedomandalam pengambilan kebijaksanaan
yang berhubungan dengan keputusan politik.
2. Bagi aspek keilmuan
9 Informasi didapat dari web KPU, https://pemilu2019.kpu.go.id/#/ppwp/hitung-suara/ ,
diakses pada 9 Juli 2019.
xx
Sebagai pengetahuan mengenai partisipasi perempuan dalam menghadapi
dan sebagai acuan referensi serta sebagai bahan penunjang untuk
penelitian selanjutnya. Bagi penulis sendiri disamping menambah
pengalaman dan menjadi pembanding antara ilmu yang diperoleh di
bangku kuliah dalam aplikasi nyata di dunia kerja dan publik
(masyarakat) juga sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana.
D. Kerangka Teori
1. Kebijakan dan Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu demokrasi.
Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Adanya
keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah
menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga
negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu
yang dimaksud dengan partisipasi politik menurut Hutington dan Nelson
adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.10
Di negara demokrasi seperti Indonesia setiap warga negara
berkewajiban ikut serta dalam menentukan kebijakan yang akan mengatur
kehidupanya, karena pemerintah hanya sebagai pelaksana dan mengevaluasi
setiap keinginan masyarakat dan pada hakikatnya masyarakat itu sendiri
yang mengatur kehidupanya. Karena arti demokrasi itu sendiri adalah
10
Cholisin, dkk. Dasar-Dasar Ilmu Politik. ( Yogyakarta: UNY Press, 2007).
xxi
peraturan yang datangnya dari rakyat dilaksanakan oleh rakyat dan untuk
kehidupan yang baik dalam bermasyarakat.
Di bawah ini bentuk piramida partisipasi politik yang
menggambarkan hierarki partisipasi politik.11
Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa partisipasi
politik merupakan suatu kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang
turut serta secara aktif dalam kehidupan politik dengan jalanmemilih
pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi
kebijakan nasional. Kegiatan partisipasi politik secara konvensional
mencakup tindakan berikut ini.
a. Memberikan suara dalam pemilihan umum (voting);
11
Roth dan Wilson. The Comparative Study of Politic. (New York: Prencite Hall Inc,
1980).
xxii
b. Menghadiri rapat umum (campaign);
c. Menjadi anggota suatu partai atau kelompokkepentingan;
d. Mengadakan komunikasi dengan pejabat pemerintah, atau anggota
parlemen.
Sedangkan kegiatan partisipasi politik yang berbentuk non-
konvensional, berupa:
a. Pengajuan petisi (tuntutan);
b. Melakukan demonstrasi (seruan bersama dijalanan);
c. Melakukan konfrontasi (perlawanan);
d. Melakukan mogok (non action).
Bentuk partisipasi politik adalah sebagai berikut.12
a. Menduduki jabatan politik atau administrasi;
b. Mencari jabatan politik atau administrasi;
c. Keanggotaan aktif suatu organisasi politik;
d. Keanggotaan pasif suatu organisasi politik;
e. Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik;
f. Keanggotaan pasif suatu organisasi semupolitik;
g. Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan lain sebagainya;
h. Partisipasi dalam diskusi politik informal;
i. Voting (pemberian suara)
j. Apathis total.
2. Kebijakan Afirmatif dalam Undang-Undang Pemilu
12
Rush dan Althoff. Pengantar Sosial dan Politik. Jakarta: Raja Grafindo, 1997.
xxiii
Kebijakan afirmatif adalah kebijakan yang diambil bertujuan agar
kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang
yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama.
Kebijakan afirmatif juga dapat diartikan sebagai kebijakan yang memberike
istimewaan pada kelompok tertentu. Dalam konteks politik, tindakan
afirmatif dilakukan untuk mendorong agar jumlah perempuan di Lembaga
Legislatif lebih representatif.
Gender sebagai alat analisis umumnya digunakan oleh penganut
aliran ilmu sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan
structural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Perbedaan gender yang
selanjutnya melahirkan peran gender sesungguhnya tidak menimbulkan
masalah sehingga tidak perlu digugat.13
Perjuangan kesetaraan gender
adalah salah satu upaya mewujudkan demokratisasi karena dengan adanya
kesetaraan gender maka seluruh masyarakat baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai akses untuk melakukan proses demokratisasi itu
sendiri. Dalam kaitannya dengan lembaga legislatif.
Pemilu 2004 merupakan tonggak peningkatan keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif. Peningkatan tersebut memang sangat kecil
dibandingkan dengan perjuangan para aktivis perempuan sejak proses
Rancangan Undang-Undang sampai Undang-Undang Pemilu 2003 yang
mencantumkan kuota perempuan 30%, tetapi patut disyukuri karena
memang mengubah paradigma berpikir yang patriarkis menjadi cara berpikir
13
Puspitawati, H., Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. (PT IPB
Press. Bogor, 2012)
xxiv
kesetaraan gender. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa "Setiap partai politik
peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten Kota untuk setiap daerah Pemilihan dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%."
Secara umum kebijakan afirmatif tersebut semakin disempurnakan.
Hal tersebut dapat kita lihat pada UU No. 22 Tahun 2007 tentang
penyelenggaraan pemilu yang kini UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilu dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif). Pada pasal 6 ayat (5) UU
No.22 Tahun 2007 dan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan
Pemilu dinyatakan bahwa:"komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-
kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)".
Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai politik juga
telah secara tegas dicantumkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) telah
menjamin keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif. Karena
telah memberikan perlakuan khusus (kebijakan afirmatif) kepada perempuan
dan sejalan dengan konstitusi, menyebutkan partai politik wajib mengajukan
minimal 30% perempuan sebagai calon anggota legislatif. Undang-undang
xxv
tersebut juga diperkuat dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor.
7 Tahun 2003 tentang Pencalonan Anggota Legislatif.14
3. Peran Partai Politik dalam Affirmative Action
Partai politik merupakan wadah untuk menciptakan kesetaraan dan
keadilan gender. Dalam berbagai aspek kehidupan bernegara dan berbangsa.
Partai politik telah pula diberi kepercayaan dalam affirmative action, yaitu
menguatnya pemberdayaan politik perenpuan dengan mendapat perwakilan
sebesar 30%. Munculnya affirmative action merupakan peluang bagi kaum
perempuan untuk dapat berpartisipasi di bidang politik.
Sebagai wadah untuk berpartisipasi dalam bidang politik, partai
politik merupakan tempat yang tepat, karena di dalam partai politik kaum
perempuan mendapat pendidikan politik dan etika politik. Partai politik
adalah wadah bagi kaum perempuan untuk mendapat pendidikan berpolitik,
sarana partisipasi politik, komunikasi, dan menyiapkan kader-kader
pemimpin bangsa. Banyaknya partai politik yang muncul di era reformasi
merupakan peluang besar bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi di
sektor ini. Sebab adanya partisipasi perempuan dalam partai politik
dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita, bahkan untuk
meningkatkan kepercayaan public atas hasil politik.15
Perempuan dan politik merupakan rangkaian kata yang sering kali
dijadikan slogan oleh partai politik menjelang pemilu. Slogan tersebut
14
http://theglobejournal.com, diakses tanggal 6-11-2018. 15
Siti Hariati Sastriyani, Gender and Politic, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.)
xxvi
dimaksudkan sebagai kampanye agar perempuan tertarik menyumbangkan
suaranya pada partai politik. Namun hal tersebut sepertinya hanya sebatas
slogan karena saat pemilu berakhir partai politik lupa akan janjinya. Seperti
yang dikutip dalam buku Mulia dan Anik Farida16
, ada berbagai alasan
dikemukakan oleh para pemimpin partai politik perihal penurunan
keterwakilan perempuan di DPR, yaitu:
a. Partai politik kesulitan dalam merekrut anggota legislatif perempuan.
Persoalan mengadang tidak hanya pada kuantitas tetapi juga kualitas
calon.
b. Parpol mengaku sulit mengajak perempuan terlibat dalam wacana
politik, apalagi mengajaknya terlibat dalam politik praktis.
Ada empat faktor dalam eksistensi partai politik yang signifikan
dalam menentukan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen, sebagai
berikut.17
a. struktur organisasi politik,
b. kerangka kerja lembaga,
c. ideologi partai (ideologi yang bersifat progresif),
d. aktivis partai politik, perempuan.
Gagasan mengenai kuota bagi perempuan yang telah ditawarkan
kepada partai politik untuk menciptakan representasi yang lebih adil,
kenyataannya sampai sekarang memang masih merupakan sebuah
16
Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan Dan Politik, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005). 17
Ayu Putu Nantri, Perempuan dan Politik. (Bali: Unud, 2009)
xxvii
perjuangan yang sangat panjang. Tampaknya belum ada political will dan
apalagi political action dari politisi dan tokoh partai yang kebanyakan laki-
laki untuk mengubah keadaan ini.18
4. Konsep Partisipasi
Banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang partisipasi.
Namun secara harfiah, partisipasi berarti “turut berperan serta dalam suatu
kegiatan”, “keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran
serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat
didefinisikan secara luas sebagai “bentuk keterlibatan dan keikutsertaan
masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam
dirinya (interinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik) dalam keseluruhan
proses kegiatan yang bersangkutan.
Secara umum, partisipasi menurut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan19
merupakan perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan,
keikutsertaan dan peran serta. Menurut Bryant dan White20
partisipasi
diartikan sebagai pemungutan suara, keanggotaan dalam partai, kegiatan
dalam perkumpulan sukarela, gerakan protes, dan sebagainya.
Partisipasi lebih menitikberatkan pada keterlibatan masyarakat secara
aktif, berdasarkan pendapat MS. Wahyu (2005: 225) yang menyatakan:
“Partisipasi adalah pengikut sertaan seluruh anggota masyarakat di dalam
18
Soetjipto. 2005. Pengujian Konstruk Kriteria Kecanduan Interner. Jurnal Psikologi, vol
32, no.2. Fakultas Psikologi UGM 19
Alwi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Departemen Pendidikan
Kebudayaan, 1997. 20
Khairul Muluk, Desentralisasi pemerintahan Daerah, Bayumedia Publishing, Malang,
2006.
xxviii
seluruh kegiatan pembangunan yang mencakup perencanaan,pelaksanaan,
evaluasi, dan pemanfaatan hasil tanpa berarti mengorbankan kepentingan
diri sendiri.”
Berdasarkan deskripsi di atas menitikberatkan kepada keterlibatan
secara aktif masyarakat baik dalam proses perencanaan sampai dengan
pemanfaatannya. Akan tetapi adanya bentuk partisipasi tersebut tidaklah
mencederai hak-hak sosial masyarakat, tidak merugikan serta mengorbankan
kepentingan masyarakat itu sendiri.
5. Partisipasi Perempuan dalam Politik
Berbicara tentang perempuan dan politik,merupakan bahasan yang
menarik. Sebab, peranpolitik perempuan dari perspektif kalangan feminism
radikal adalah dimana terjadinya transformal total, peran perempuan di
ranah domestik ke ranah publik atau dalam bahasa populernya, kesetaraan
gender.21
Keterlibatan wanita dikancah politik bukan hal yang baru. Dalam
sejarah perjuangan kaum wanita, partisipasi wanita dalam pembangunan,
telah banyak kemajuan yang telah dicapai terutama di bidang pendidikan,
ekonomi, sosial, budaya dan bidang pemerintahan. Keterwakilan perempuan
sangatlah penting dengan alasan sebagai berikut: (1) Nilai sosial budaya
yang lebih mengutamakan laki-laki, (2) Pembagian kerja berdasarkan gender
dalam masyarakat agraristradisional, (3) Citra perempuan sebagai kaum
yang lemah lembut, ( 4). Ajaran agama yang ditafsirkan secara sempit dan
21
Samuel P dan Joan Nelson Huntington, Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Jakarta:Rineka Cipta. 1994.
xxix
parsial, (5). Kurangnya political will Pemerintah, (6). Kekurangan dalam
kualitas individu dan kaderisasi politik.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
membedakan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dan menjamin
bagi warga negaranya dalam persamaan hak dan kewajiban di bidang politik
dan lainnya. Pada tahun 1978 persamaan hak, tanggung jawab, dan
kesempatan tersebut ditekankan secara eksplisit di dalam Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Kepedulian Indonesia terhadap persamaan hak ini
juga tercermin dengan ikut sertanya menandatangani konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tahun
1980 dan diratifikasi pada tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 198422
. Dari segi ideologi dan Hak Asasi Manusia, perempuan
mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dan laki-
laki mempunyai hak, kedudukan dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh kesehatan, pendidikan, pekerjaan, hak untuk hidup, hak
kemerdekaan pikiran, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, hak untuk berserikat, berorganisasi, berpolitik,
dan berbagai hak universal yang dilindungi oleh hukum.
Perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama, yang
dijamin dan dilindungi oleh Negara. Untuk itu urgensi keterlibatan
perempuan dalam penyelengaraan pemerintah yang demokratis adalah
sebagai manusia dan perempuan. KPU mencatat jumlah pemilih pada
22
Ibid.,
xxx
pemilihanumum tahun 2019 dengan pemilih dalam negeri 185.092.310
orang dan pemilih diluar negeri 1.281.597 orang dan diantaranya pemilih
perempuan sejumlah 93.166.615 orang. Pada pemilu tahun 2019 perempuan
yang tergabung kedalam daftar calon tetap sejumlah 3.194 orang (Surat
Keputusan KPU Nomor 1129/PL.01.4-Kpt/06/IX/2018) tentu hal ini telah
sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilu mengharuskan keterwakilan perempuan 30 Persen perempuan
didalam daftar calon legislatif dipenuhi kontestan pemilu 2019 keterwakilan
perempuan mencapai 40 Persen.
Pemilu sebelumnya keterwakilan perempuan dalam penerapan
kebijakan afirmasi dalam tiga pemilu terakhir pada tahun 2004, 2009 dan
2014. Keterwakilan perempuan yang duduk di parlemen pada tahun 2004
sebanyak 11,8 Persen dengan jumlah 65orang perempuan dari 550 total
anggota DPR, lalu pada tahun 2009 dilakukan kebijakan afirmasi plus yaitu
30 Persen perempuan dan penempatan 1 dari 3 orang, ternyata memberi
hasil yang lebih baik yaitu 18Persen dengan jumlah 101 dari 560 anggota
DPR.23
Pada pemilu tahun 2014 afirmasi plus yang sama memberi hasil yang
menurun dari pemilu sebelumnya yaitu 97 orang dengan persentase 17,3
Persen. Naik dan menurunnya keterwakilan perempuan didalam parlemen
dapat dipicu karena kebijakan yang sama, karena pada dasarnya gairah kaum
perempuan dalam dunia politik jika tidak ditompang dengan upaya upaya
23
https://news.detik.com/adv-todaynews-detiknews/d-1527041/kebijakan-peningkatan-
keterwakilan-perempuan-pemilu-2004-dan-2009, diakses pada 9 September 2019
xxxi
serta kebijakan yang lebih memacu jumlah keterwakilan akan berakibat
menurun, hal ini dapatdilihat dari penggunakan kebijakan yang sama dari
pemilu 2009 dan 2014. Kekuatiran keterwakilan perempuan menurun itu
bukan berarti hilang pada 2019 meski 40 Persen perempuan masuk kedalam
daftar pencalonan legislatif dipemilihan umum 2019, karena terkadang
partai politik mengikut sertakan perempuan kedalam busaran pemilihan
hanya sebagai pemenuhan syarat saja, masih banyak partai politik yang
belum peka terhadap isu jender.
Melihat tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan
terhadap pemerintah, partisipasi politik perempuan bisa dibagi ke dalam
empat tipe, yaitu sebagai berikut.24
a. Aktif, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran politik, dan
kepercayaan kepada pemerintah tinggi;
b. Apatis (pasif-tertekan), yaitu apabila kesadaran politik dan kepercayaan
kepada pemerintah rendah;
c. Militan radikal, yaitu apabila kesadaran politik tinggi, kepercayaan
kepada pemerintah sangat rendah;
d. Pasif, yaitu apabila kesadaran politik rendah, dan kepercayaan kepada
pemerintah sangat tinggi.
Dalam menjalankan partisipasinya perempuan mendapatkan banyak
kendala. Terdapat empat kendala bagi perempuan dalam berpartisipasi di
bidang politik, yaitu alasan berikut ini.25
24
Zaenal Mukarom, 2008. Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang
Keterwakilan Perempuan di Legislatif. Jurnal Mediator, Volume 9, No. 2., hal. 260.
xxxii
a. Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif
dan peran produktif, di dalam maupun di luar rumah;
b. Perempuan relatif memiliki pendidikan yang rendah dibanding dengan
laki-laki karena perbedaan kesempatan yang diperoleh;
c. Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara
seksual dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi
gerak perempuan;
d. Adanya hambatan legal bagi perempuan,seperti larangan kepemilikan
tanah, larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau program Keluarga
Berencana tanpa persetujuan dari suami atau ayahnya.
Menurut hasil penelitian tentang partisipasi politik perempuan di
negara-negara berkembang, ada kecenderungan rendah dibandingkan laki-
laki. Pasalnya, mereka lebih banyak terlibat dalam urusan rumah tangga
atau domestik. Memang diakui bahwa ada beberapa keterbatasan bagi
perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik. Tiga di antaranya yang
menonjol yaitu sebagai berikut.26
a. Pertama, aspek supply and demand.
Supply berkaitan dengan faktor-faktor prinsipal yang menentukan
kemampuan politik perempuan. Demand merupakan faktor institusional
dan politis yang berkaitan dengan masalah rekruitmen politik bagi
perempuan. Antara supply dan demand ini tidak saling bergantung
karena perempuan bisa saja mengantisipasi kesulitan-kesulitan praktis
25
ibid. 26
Ibid.
xxxiii
dalam mengombinasikan peran-peran domestiknya dengan jabatan-
jabatan politik.
b. Kedua, keterbatasan kemampuan perempuan dalam dunia politik erat
kaitannya dengan masalah sosialisasi politik. Sosialisasi politik
cenderung menggiring perempuan untuk mendapatkan status tertentu
tanpa usahanya sendiri (ascribe status). Githesen and Prestage
mengatakan bahwa masalah yang dihadapi perempuan dalam dunia
politik mencakup ketegangan antara ascribe status dan achieved status
yang merupakan akibat proses sosialisasi politik.
c. Ketiga, faktor yang bersifat situasional yang meliputi masalah yang
bersifat keibuan. Tanggung jawab pada anak-anak di rumah, tampaknya
merupakan rintangan paling serius bagi perempuan untuk membuka
akses dalam meraih jabatan-jabatan politis dan pemerintahan. Selain itu,
masalah krusial lain adalah perempuan bekerja tidak memiliki banyak
waktu yang tersisa, sehingga ada ketidakmungkinan menerima jabatan
politik tertentu. Keadaan itu menyebabkan bentuk partisipasi politik
perempuan menjadi non institusional.
Di antara bentuk partisipasi nyata perempuan adalah dengan melihat
keterwakilan mereka dipanggung politik dan lembaga politik formal. Secara
realitas, ternyata di Indonesia jumlah perwakilan perempuan masih sangat
xxxiv
rendah dibandingkan laki-laki. Dalam lembaga legislatif, keterwakilan
perempuan amat kecil, tidak seimbang dengan jumlah mereka.27
Minimnya keterwakilan perempuan, pada dasarnya didorong oleh
upaya-upaya sistematis atau kesengajaan dari berbagai pihak. Para pengurus
partai politik mungkin sengaja menempatkan perempuan pada urutan
tertentu, sehingga mengecilkan kemungkinan calon legislatif perempuan
untuk dapat duduk di lembaga legislatif.28
Di samping itu, juga masih
minimnya perempuan yang terjun di dunia politik, baik secara kuantitas
maupun kualitas, menyebabkan kemungkinan calon legislatif perempuan
untuk duduk di lembaga legislative semakin mengecil. Minimnya calon
legislatif dari perempuan merupakan fenomena yang telah lama terjadi di
Indonesia.
Demikian pula dalam masalah partisipasi politik perempuan. Sebuah
pengamatan mengungkapkan bahwa perempuan yang terjun ke dalam
kegiatan politik dan mendapat jabatan politik dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.
a. Kelompok pertama adalah perempuan yangmemeroleh jabatan politik
karena mereka memiliki hubungan dengan laki-laki tertentu. Misalnya,
suaminya eksekutif, sang istri duduk di dewan.Ayahnya duduk di
legislatif, putrinya dikader untuk duduk di legislatif. Ayahnya memiliki
reputasi social politik, sehingga putrinya dianggap dan diposisikan
cukup mampu menjadi anggota dewan.
27
Jurnal Perempuan, 2003 28
Ibid.
xxxv
b. Kelompok kedua adalah perempuan yang terjun ke dunia politik setelah
bebas tugas dalam membesarkan anak-anaknya. Hal itu menyebabkan
usia karier politiknya menjadi lebih pendek.
c. Kelompok ketiga adalah perempuan yang dalam usia muda 30-an terjun
dalam politik. Biasanya, mereka telah cukup lama aktif dalam dunia
ormas,LSM, atau organisasi ekstra kampus. Mereka inilah yang
termasuk jenis politisi perempuan professional karier yang jumlahnya
paling sedikit akibat proses sosialisasi, pendidikan, dan rekruitmen
politik perempuan yang tidak berakar dan berjalan secara sistematis.
Kecilnya keterwakilan perempuan ini bisa dilihat di DPRD Kota
Bandung di mana anggota legislatif perempuan masa kerja 2004-2009,
hanya 6 orang dari total 45 orang (13,3%). Padahal, penduduk kota Bandung
berdasarkan hasilSusenas tahun 2003 adalah 2.228.268 jiwa, dengan jumlah
perempuan 1.113.267 jiwa, atau 49,96%, dan penduduk laki-laki 1.115.001
jiwa, atau 50,04% .29
Ini menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang besar
dari penduduk tidak tampak dalam jumlah keterwakilan di lembaga
legislatif.
Ketimpangan perwakilan perempuan ini bukanhanya terjadi di
daerah, tetapi juga di tingkat nasional. Kalau ditelusuri semenjak tahun 1950
sampai pemilu 2004, tidak ada perubahan yang signifikan. Peningkatan
muncul pada periode 1987-1992, sebanyak 13%, tetapi justru setelah periode
29
BPS, 2003
xxxvi
tersebut terus mengalami penurunan sampai dengan periode 2004-2009
menjadi 11,8%.
6. Peran dan Posisi KPU dalam Politik di Indonesia
Peran KPU dalam sosialisasi politik ditegaskan dalam UU Pemilu
No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum pada pasal 8
ayat (1) huruf q: melaksanakan sosialisasi mengenai penyelenggaraan
pemilu dan atau yang berkenaan dengan tugas dan wewenang KPU kepada
masyarakat. Khusus untuk KPUD kabupaten/kota, perannya dalam
sosialisasi ditegaskan dalam pasal 10 huruf o: melaksanakan sosialisasi
mengenai penyelenggaraan pemilu dan atau yang berkenaan dengan tugas
dan wewenang KPU kapubaten/kota kepada masyarakat.
Peran KPU dalam menyosialisasikan kegiatan Pemilu kepada
masyarakat bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat agar
bersedia memberikan suaranya pada saat pemungutan suara. Hal ini sangat
penting mengingat dalam setiap pelaksanaan pemungutan suara, masih
banyak masyarakat yang memilih golput. Bahkan dalam Pilkada di berbagai
daerah, persentase golput relatif besar yaitu sekitar 25 – 35% dari total
jumlah pemilih. Walaupun golput juga bagian dari pilihan demokratis yaitu
pilihan antara memilih dan tidak memilih, tetapi sikap golput berpotensi
memandulkan pemilu sebagai ajang penjaringan aspirasi masyarakat.
Mereka yang golput tentu tidak diketahui bagaimana aspirasi mereka.30
30
Yusuf, A.R. M. 2010. Peran Komisi Pemilihan Umum (Kpu) Dalam Pendidikan
Politik. GaneÇ Swara Vol.4 No.1
xxxvii
Berkenaan dengan teknis penyelenggaraan pemilu, tugas dan
wewenang tersebut dapat disederhanakan ke dalam delapan tahapan pemilu
yang harus dikawal KPU agar terlaksana sesuai dengan jadwal yang
ditetapkan. Kedelapan tahapan itu adalah:
2) Pendaftaran dan/atau pemuktahiran daftar pemilih,
3) Pendaftaran, penelitian dan penetapan peserta pemilu,
4) Pembentukan dan/atau perubahan daerah pemilihan,
5) Pendaftaran, penelitian dan penetapan calon atau daftar calon,
6) Pelaksanaan kampanye, dan pelaporan penerimaan dan pengeluaran dana
kampanye,
7) Pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara, dan
rekapitulasi hasil perhitungan suara pada berbagai tingkat di atas tempat
pemungutan suara,
8) Pembagian kursi dan/atau penetapan calon terpilih, dan
9) Penyelesaian perselisihan hasil pemungutan suara.31
Selain bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kedelapan tahapan
proses pemilu tersebut beserta tugas-tugas dan wewenang lainnya, KPU juga
dituntut untuk melaksanakan pemilu secara aman dan damai. Dalam kaitan
ini, KPU harus benar-benar bekerja secara transparan, mandiri dan
independen (non partisan). Independensi dan profesionalitas petugas
penyelenggara pemilu merupakan salah satu faktor utama dalam
menciptakan pemilu yang demokratis dan damai. Keberpihakan
31
Ramlan Surbakti, Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Pembangunan Tata Politik
Demokratis (Jakarta: Kemitraan, 2008), hal. 16
xxxviii
penyelenggara pemilu kepada salah satu kontestan tertentu akan mendorong
munculnya kecurangan-kecurangan yang pada akhirnya dapat menimbulkan
konflik dan tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat. KPU harus
menjadi wasit yang baik dalam mengawal seluruh proses kompetisi
demokrasi yang diselenggarakan.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh Oktaviani Adhi Suciptaningsih yang berjudul Partisipasi Perempuan
Dalam Lembaga Legislatif Di Kabupaten Kendal.32
Metode penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan dengan
observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa partisipasi perempuan dalam Lembaga Legislatif di Kabupaten
Kendal masih sangat rendah, dari 45 orang anggota dewan legislatif, hanya
4 orang saja yang perempuan. Rendahnya partisipasi perempuan ini
disebabkan karena banyaknya kendala yang menghambat perempuan untuk
maju berpartisipasi dalam lembaga legislatif, diantaranya kendala
psikologis, ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Selain itu pada penelitian yang dilakukan Liky Faizal yang berjudul
Perempuan dalam Politik (menurut perspektif Al-Quran) dengan Sebagian
besar masyarakat memandang bahwa seorang perempuan yang menjadi
pemimpin tidak layak karena mendahului kaum laki-laki, dan di lain pihak
juga banyak yang juga menentang karena permasalahan gender. Menurut
32
Oktaviani Adhi Suciptaningsih. Partisipasi Perempuan Dalam Lembaga Legislatif Di
Kabupaten Kendal. Jurnal Komunitas, Volume 2 No. 2, 2010.
xxxix
salah satu pelaku politik, kaum perempuan tidak mendapat tempat yang
berarti, bahkan termaginalkan. Persoalan kepemimpinan adalah persoalan
yang sangat penting dan strategis, karena sangat menentukan sebuah
keluarga, masyarakat, dan bangsa. Oleh karena itu masalah ini menarik
untuk dikaji lagi menurut perpektif Alqur‟an. Maka dalam hal ini kita harus
memahami duduk persoalan kepemimpinan perempuan di dalam ajaran
Islam, yang didukung oleh fakta-fakta peradaban manusia sejak dahulu
hingga sekarang, dan tidak ada kitab fiqh yang mengatakan perempuan tidak
boleh menjadi pemimpin didalam rumah tangga. 33
Selanjutnya penelitian dari Ani Purwanti yang berjudul Partisipasi
Perempuan Pada Lembaga Legislatif Tahun 2014-2019 di Provinsi Jawa
Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adallah pendekatan
sosio legal research. Hasil penelitian menunjukkan di DPRD di Provinsi
Jawa Timur terdapat 15 perempuan dari 100 anggota, laki-laki 85, sehingga
representasi perempuan sebesar 15%. Kota Surabaya mempunyai rep
resentasi 34% (17 dari 50), Madiun 33,3 %, Kediri 33,3%, Probolinggo
33,3%, Sampang 2,2%, Pasuruan 3,3% (1 dari 30) serta Bangkalan 0%.
Faktor utama rendahnya representasi adalah budaya putri akhi yang
berkelindan di antara stakholder, yaitu partai Politik, perempuan dan
masyarakat pemilih. 34
33
Liky Faizal. Perempuan Dalam Politik (Kepemimpinan Perempuan Perspektif Al-
Qur’an). Jurnal TAPIs, Volume 12 No. 1, 2016. 34
Ani Purwanti, Partisipasi Perempuan Pada Lembaga Legislatif Tahun 2014-2019 di
Provinsi Jawa Timur, Jurnal Jilid 44 No. 2, (Universitas Diponegoro, 2015), hal. 18
xl
Dari beberapa penelitian terdahulu diatas, penulis menganalisis
perbedaan dalam penelitian ini yaitu dari segi tahun peneliti mengambil
tahun 2019, dari segi tempat penelitian ini dilakukan di Kota Jambi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitiaan ini yaitu pendekatan
kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara
dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini yaitu KPU mendorong dengan
maksimal para perempuan dalam pencalonan anggota legislatif di Kota
Jambi. Upaya-upaya yang dilakukan KPU berupa upaya yang bermaksud
mempermudah urusan dan persyaratan dalam pencalonan anggota legislatif
perempuan di Kota Jambi. Selainitu, KPU juga meminta kepada semua
partai politik untuk mengirimkan sebanyak-banyaknya calon perempuan ke
dalam pencalonan legislatif di Kota Jambi.
xli
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yurisdis empiris, yaitu pendekatan yuridis (hukum dilihat sebagai norma
atau das sollen), karena dalam membahas permasalahan penelitian ini
menggunakan bahan-bahan hukum (baik hukum yang tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis atau baik bahan hukum primer maupun bahan
hukum sekunder). Pendekatan empiris (hukum sebagai kenyataan sosial,
kultural atau das sein), karena dalam penelitian ini digunakan data primer
yang diperoleh dari lapangan..
B. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis kualitatif. Menurut
Dr. Catherine Dawson yang dikutip dari bukunya yang berjudul Metodologi
Penelitian Praktis, mengatakan “Penelitian kualitatif itu mengeksplorasi
sikap, perilaku dan pengalaman melalui metode wawancara”35
C. Sumber Data
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh dari hasil observasi, literature,
wawancara dengan pihak-pihak tertentu yang berkaitan dengan
35 Chaterine Dawson, Metodologi Penelitian Praktis. (Yogyakarta, 1997), hal. 14.
xlii
penelitian ini. Data primer merupakan data yang diambil langsung dari
peneliti kesumbernya yang berupa benda-benda dan manusia.36
Adapun data primer yang akan diambil dalam penelitian ini meliputi :
1. Hj. Evi Julianty calon tetap anggota DPRD Provinsi Jambi
2. Lismarita calon tetap anggota DPRD Provinsi Jambi
3. Rice Yogina S.E calon anggota DPRD Provinsi Jambi
4. Weni Gemasih Mico SH kader pengurus DPW PAN Provinsi Jambi
5. Mhd. Anwar sadat, SE. Kepala Subbagian Teknis Pemilu dan Humas
KPU.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bacaan atau
literature-literatur serta sumber-sumber lain yang mempunyai hubungan
dengan penelitian ini.37
Data sekunder digunakan sebagai data
pelengkap atau data pendukung dari data primer. Adapun data sekunder
yaitu yang diambil dalam penelitian ini adalah dalam penetapan Daftar
calon tetap (DCT) anggota DPRD Provinsi Jambi tahun 2019 dari KPU.
D. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi dilakukan untuk melacak secara sistematis dan langsung
gejala-gejala komunikasi terkait persoalan dengan penelitian.
b. Wawancara
36
Suhasimi Arikunto. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), hal. 17. 37
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2009), Cet. Ke 8, hal. 137.
xliii
Wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting
dalam penelitian untuk mendapatkan topic dari situasi terhadap apa yang
dikaji. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyiapkan pertanyaan
yang akan diajukan sesuai dengan data yang dibutuhkan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari data dokumen yang artinya metode
mencari data mengenai hal-hal berupa catatan, benda-benda, tertulis,
buku, dokumen dan peraturan-peraturan.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dengan cara penganalisaan ilmiah yang
dimulai dari persoalan-persoalan yang bersifat umum. Mengingat
penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, maka analisis data
menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Setelah data terkumpul maka
dilakukan suatu analisis melalui data kualitatif dengan menggunakan
analisis sebagai berikut.38
1. Analisis Domain
Analisis domain digunakan untuk memperoleh gambaran objek
penelitian sccara umum atau ditingkat pemukan, namun relatif utuh
tentang objek penelitian tersebut. Analisis domain ini penulis gunakan
untuk menganalis data yang diperoleh dari lapangan penelitian.
2. Analisis Taksonomi
38
Ibid.,
xliv
Analisis taksonomi terfokus pada domain-domain tertentu,
kemudian memilih domain tersebut menjadi sub-sub domain serta bagian-
bagian yang lebih khusus dan terperinci yang umumnya memiliki rumpun
yang memiliki kesamaan, dengan demikian teknis taksonomi akan
menghasilkan analisis yang terbatas pada suatu domain tertentu dan hanya
berlaku pada satu domain tersebut pula. Analisis ini diperlukan dalam
mendeskripsikan atau menjelaskan fenomena atau fokus yang menjadi
sasaran permasalahan yang diteliti.
3. Analisis Kompenensial
Analisis komponensial baru layak dilakukan oleh peneliti kalau
seluruh kegiatan observasi dan wawancara yang berulang-ulang telah
memperolch hasil yang maksimal sesuai dengan yang diharapkan dalam
penelitian. Analisis ini diperlukan setelah adanya analisis domain dan
analisis taksonomi yang merupakan jawaban dari permasalahan yang
diteliti, serta analisis ini digunakan untuk mengambil suatu kesimpulan
terhadap permasalahan yang ditemukan pada analisis sebclumnya yaitu
analisis domain dan taksonomi.
F. Triangulasi Data
Triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai perbandingan terhadap data itu.39
Teknik triangulasi yang sering
digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya." Triangulasi dengan
39
Ibid.,
xlv
sumber dalam penelitian ini peneliti gunakan untuk membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini peneliti
terapkan dalam bentuk:
1) Membandingkan data hasil pengamatan yang peneliti peroleh dalam
observasi dengan data hasil wawancara.
2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
3) Membanding data hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
4) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu
5) Membandingkan kedudukan dan perspektif orang seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan rendah, menengah atau tinggi, orang berada dan orang-
orang pemerintahan.40
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, Kerangka Pemikiran, Metodelogi dan
sistematika penulisan.
40
Suhasimi Arikunto, Loc.Cit.
xlvi
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini meliputi: jenis penelitian, jenis dan sumber data, populasi dan
sample, tehnik pengumpulan data, variable penelitian dan pengukuran serta
teknik analisis data.
BAB III OBYEK PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang obyek penelitian.
BAB IV PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan tentang deskripsi objek penelitian, analisis data, dan
interpretasi hasil.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab terakhir sekaligus menjadi penutup dalam skripsi ini. Bab
ini berisi kesimpulan dari hasil dan pembahasan penelitian, keterbatasan
penelitian, dan saran-saran terhadap pengembangan teori maupun aplikasi.
xlvii
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Latar Belakang KPU
KPU yang ada sekarang merupakan KPU keempat yang dibentuk sejak
era Reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16
Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai
Politik. KPU pertama dilantik Presiden BJ Habibie.KPU kedua (2001-2007)
dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur
akademis dan LSM.KPU kedua dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) pada tanggal 11 April 2001.41
KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007
yang berisikan tujuh orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi,
akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus
Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum. Untuk
menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah
sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi
pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil.Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil
tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih
berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat.Sebagai anggota KPU,
integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor
41
https://www.kpu.go.id/index.php/home, diakses pada tanggal 9 September 2019
xlviii
penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena
didukung oleh personal yang jujur dan adil.
Tepat tiga tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004,
muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas
pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu.Sebagai
penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.Untuk itu atas
usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya
keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang
Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.42
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh
suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri.Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab
KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga
yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa
jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan
Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.43
42
https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umum, diakses pada 10 September
2019 43
https://www.kpu.go.id/index.php/home, diakses pada 10 September 2019
xlix
Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian
disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.
Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai
lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai
lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab
sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan
seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya.KPU memberikan laporan
Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.44
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu
juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan
PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang
bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan
semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal
terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.
44
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur
mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara
pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu.
l
Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas
dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik
Penyelenggara Pemilu.Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan
dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU,
KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR,
DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah
anggota KPU berkurang menjadi 7 orang. Pengurangan jumlah anggota KPU dari
11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas,
fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan
tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu
Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU
5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Penyelenggara Pemilu
berpedoman kepada asas: mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib
penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas;
profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.45
Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu-adalah Presiden membentuk Panitia
45
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum
li
Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang
yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian
diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and proper test.
Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9
Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon
anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif
untuk mengikuti tes tertulis.Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45
orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang
diumumkan tanggal 31 Juli 2007.
B. Visi dan Misi KPU
1. Visi
Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara
Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan
akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.46
2. Misi
a. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan
Umum;
46
http://www.kpu-jambikota.go.id/, diakses 10 September 2019.
lii
b. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif
dan beradab;
c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien
dan efektif;
d. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan
setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam
Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang
demokratis.
C. Tugas dan Wewenang KPU
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum dijelaskan bahwa untuk
melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai
berikut.47
47
https://www.kpu.go.id/index.php/home, diakses 10 September 2019.
liii
1. Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
2. Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai
peserta Pemilihan Umum;
3. Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat
sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
4. Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap
daerah pemilihan;
5. Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan
untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
6. Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan
Umum;
7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat
tambahan huruf:48
1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga
ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam
Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum
dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.
48
http://kpu-padanglawasutarakab.go.id/index.php/profil/tugas-dan-kewenangan
liv
D. Daftar Biro, Bagian, dan Subbagian Sekretariat Jenderal Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia
Biro merupakan bagian induk dari bagian dan subbagian.Berikut ini
rincian biro beserta bawahannya.
1. Biro Perencanaan dan Data49
a. Bagian Program dan Anggaran
1) Subbagian Penyusunan Program dan Anggaran Wilayah I
2) Subbagian Penyusunan Program dan Anggaran Wilayah II
3) Subbagian Penyusunan Program dan Anggaran Wilayah III
b. Bagian Kerjasama Antar Lembaga, Penelitian, dan Pengembangan
1) Subbagian Kerjasama Antar Lembaga
2) Subbagian Penelitian dan Pengembangan Organisasi dan Sitem Pemilu
3) Subbagian Norma, Desain, dan Standar Kebutuhan Pemilu
c. Bagian Pengolahan Data dan Informasi
1) Subbagian Pemutakhiran Data dan Informasi
2) Subbagian Pengembangan Teknologi Informasi dan Program Aplikasi
3) Subbagian Pengembangan Jaringan Komunikasi Data
d. Bagian Monitoring dan Evaluasi
1) Subbagian Monitoring dan Supervisi
2) Subbagian Evaluasi dan Dokumentasi
3) Subbagian Tata Usaha Biro
49
https://www.kpu.go.id/index.php/home, di akses pada 10 September 2019.
lv
2. Biro Keuangan
a. Bagian Penglolaan Keuangan
1) Subbagian Pengelolaan Keuangan di Wilayah I
2) Subbagian Pengelolaan Keuangan di Wilayah II
3) Subbagian Pengelolaan Keuangab di Wilayah III
b. Bagian Verifikasi Pelaksanaan Anggaran
1) Subbagian Verifikasi Pelaksanaan Anggaran Wilayah I
2) Subbagian Verifikasi Pelaksanaan Anggaran Wilayah II
3) Subbagian Verifikasi Pelaksanaan Anggaran Wilayah III
c. Bagian Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
1) Subbagian Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Wilayah I
2) Subbagian Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Wilayah II
3) Subbagian Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Wilayah III
d. Bagian Perbendaharaan
1) Subbagian perbendaharaan dan Gaji
2) Subbagian Perbendaharaan Barang dan Jasa
3) Subbagian Tata Usaha Biro
3. Biro Hukum
a. Bagian Perundang-undangan
1) Subbagian Kajian Naskah Pengaturan Pemilu
2) Subbagian Penyusunan Peraturan dan Keputusan KPU
lvi
3) SUbbagian Penyuluhan Peraturan Perundang-undangan50
b. Bagian Advokasi dan Penyelesaian Sengketa Hukum
1) Subbagian Advokasi Hukum
2) Subbagian Penyelesaian Sengketa Hukum
3) Subbagian Legalisasi Produk Hukum
c. Bagian Administrasi Hukum
1) Subbagian Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu
2) Subbagian Verifikasi Perseorangan Perserta Pemilu
3) Subbagian Administrasi Keuangan dan Dana Kampanye Peserte
Pemilu
d. Bagian Dokumentasi dan Informasi Hukum
1) Subbagian Dokumentasi Peraturan Perundang-undangan
2) Subbagian Informasi Peraturan Perundang-undangan
3) Subbagian Tata Usaha Biro
4. Biro Umum
a. Bagian Tata Usaha
1) Subbagian Kearsipan dan Tata Persuratan
2) Subbagian Tata Usaha Pimpinan
3) Subbagian Tata Usaha Biro
b. Bagian Persidangan dan Protokol
1) Subbagian Protokol
2) Subbagian Dokumentasi Persidangan
50
Ibid.,
lvii
3) Subbagian Perpustakaan dan Media Center51
c. Bagian Rumah Tangga
1) Subbagian Inventaris
2) Subbagian Perjalanan Dinas
3) Subbagian Urusan Dalam dan Telekomunikasi
d. Bagian Keamanan
1) Subbagian Pengaman Lingkungan Kantor dan Rumah Dinas
2) Subbagian Pengaman Pejabat dan Personel
3) Subbagian Keamanan Dalam
5. Biro Sumber Daya Manusia
a. Bagian Perencanaan dan Pangadaan Sumber Daya Manusia
1) Subbagian Analisis Kebutuhan, Sumber Daya Manusia dan Kesra
2) Subbagian Pengadaan dan Penempatan Sumber Daya Manusia
3) Subbagian Pengelolaan Data Informasi Sumber Daya Manusia
b. Bagian Mutasi dan Disiplin
1) Subbagian Mutasi dan Disiplinan Wilayah I
2) Subbagian Mutasi dan Disiplinan Wilayah II
3) Subbagian Mutasi dan Disiplinan Wilayah III
c. Bagian Pendidikan dan Pelatihan
1) Subbagian Pendidikan dan Pelatihan Teknis
2) Subbagian Pendidikan dan Pelatihan Jabatan
3) Subbagian Tata Usaha Biro52
51
Ibid.,
lviii
d. Bagian Tata Laksana Sumber Daya Manusia
1) Subbagian Evaluasi dan Pelaporan
2) Subbagian Penyusunan Uraian Tugas Staf Pelaksana
3) Subbagian Pengembangan Karier
6. Biro Teknis dan Hubungan Partisipasi Masyarakat
a. Bagian Teknis Pemilu
1) Subbagian Pemetaan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi
2) Subbagian Pencalonan dan Penetapan Calon Terpilih
3) Subbagian Pemungutan, Penghitungan Suara, dan Penetapan Hasil
Pemilu
b. Bagian PAW Anggota DPR, DPD, dan DPRD
1) Subbagian PAW Anggota DPR, DPD, dan DPRD Wilayah I
2) Subbagian PAW Anggota DPR, DPD, dan DPRD Wilayah II
c. Bagian Publikasi dan Sosialisasi Informasi Pemilu
1) Subbagian Pemberitaan dan Penerbitan Informasi Pemilu
2) Subbagian Sosialisasi dan Kampanye
3) Subbagian Tata Usaha Biro
d. Bagian Bina Partisipasi Masyarakat
1) Subbagian Bina Partisipasi Masyarakat Wilayah I
2) Subbagian Bina Partisipasi Masyarakat Wilayah II
52
https://jdih.kpu.go.id/data/data_kepkpu/KPT%20929%20THN%202019, di akses pada
10 Oktober 2019.
lix
3) Subbagian Bina Partisipasi Masyarakat Wilayah III53
7. Biro Logistik
a. Bagian Pengelolaan Data dan Dokumentasi Kebutuhan Sarana Pemilu
1) Subbagian Penyusunan, Pengelohan Data, Dokumentasi Kebutuhan
Sarana Pemilu
2) Subbagian Alokasi dan Pelaporan
3) Subbagian Tata Usaha Biro
b. Bagian Pengadaan Saran dan Prasarana Pemilu
1) Subbagian Standar Barang dan Jasa
2) Subbagian Administrasi Pengadaan Barang dan Jasa
3) Subbagian Dokumentasi Pengadaan Barang dan Jasa
c. Bagian Distribusi Sarana dan Prasarana Pemilu
1) Subbagian Distribusi Angkutan Reguler
2) Subbagian Distribusi Angkutan Non Reguler
3) Subbagian Dokumentasi Distribusi
d. Bagian Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Pemilu serta Inventarisasi
1) Subbagian Penerimaan Sarana Pemilu
2) Subbagian Penyimpanan dan Pemeliharaan Sarana Pemilu serta
Inventarisasi
3) Subbagian Penyaluran Sarana Pemilu54
53
Ibid., 54
https://jdih.kpu.go.id/data/data_kepkpu/KPT%20929%20THN%202019., diakses pada
10 September 2019.
lx
E. KPU Kota Jambi
KPU Kota Jambi beralamatkan di Jalan Manado Samping GOR Kota
Baru Jambi.Email yang dapat dihubungi adalah [email protected]
dengan nomor telpon (0741) 445958. Berikut ini informasi tambahan
mengenai KPU Kota Jambi.
1. Komisioner KPU Kota Jambi55
a. Ketua KPU : Yatno, S.Pd.I.
b. Anggota : Hazairin, S.H., M.H.
H. Abdul Rahim, S.P.
Deni Rahmat, S.Sos.
Adithiya Diar, M.H.
2. Sekretariat KPU56
a. Kepala Subbagian Hukum : Salma Dahlan, SH.
b. Kepala Subbagian Program dan Data : Syamsul Ardi, SE.
c. Kepala Subbagian Teknis Pemilu dan Hupmas :
Mhd.. Anwar Sadat, SE.
d. Staf Umum dan Logistik :
Efranika Septiani Senja, A.Md.
55
http://www.kpu-jambikota.go.id/komisioner, diakses pada 11 Septmber 2019 56
http://www.kpu-jambikota.go.id/pegawai, diakses pada 11 Septmber 2019
lxi
Heni Herawati
Umbaran
Eni Sartika
Hermayanto, A.Md.
Lutfi Faturochman
e. Staf Hukum : Henny Magdalena, SH.
f. Staf Teknis dan Hupmas : Yessi Afriyani, SE.
g. Staf Program dan Data :
Linawati
Suwage Yulianto, S.Kom.
Lenmiyerti, SE.
lxii
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Upaya KPU Kota Jambi untuk Memenuhi Kuota Keterwakilan
Perempuan dalam Politik
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui beberapa UU, yaitu UU
No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No.
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD menetapkan
aturan terkait keterwakilan perempuan yaitu sebesar 30 persen dalam
Pemilu 2024. Aturan tersebut berdampak positif kepada meningkatnya
persentase jumlah keterpilihan caleg perempuan di DPR. Untuk mendorong
keterlibatan perempuan pada politik, KPU melakukan beberapa upaya, yaitu
(1) mendukung penuh seluruh proses pendaftaran dan (2) meminta partai
politik untuk memperbanyak politisi perempuan.57
1. KPU Mempermudah Pencalon Perempuan dalam Seluruh Proses
Pendaftaran
KPU, Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI), Kaukus Perempuan
Politik Indonesia (KPPI) dan Maju Perempuan Indonesia (MPI) sepakat,
mendorong partisipasi perempuan baik di perwakilan partai politik, maupun
dalam setiap agenda sosialisasi KPU yang akan dilaksanakan, baik di tingkat
57 Komisi Pemilihan Umum, https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi, diakses pada 13
September 2019
lxiii
pusat dan kabupaten/ kota. Keterwakilan perempuan adalah suatu hal yang
sangat penting. Hal tersebut tertuang dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilu, disebutkan bahwa keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen
tidak hanya sebatas tingkat kepengurusan parpol di pusat, tetapi juga
keterwakilan 30 persen diperluas hingga kabupaten/ kota lantaran pada pemilu
2014 lalu.
Keterwakilan perempuan sangtlah penting, dan aturan tersebut tentu
akan diakomodir melalui PKPU 2018 terkait pencalonan legislatif. Perempuan
harus ada di semua unsur, untuk menjaga proses demokrasi yang dibangun di
atas praktek dan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan
berkelanjutan.
Pada saat Pemilu 2014, perolehan suara terhadap keterwakilan
perempuan mengalami penurunan. Oleh karena itu, KPPRI meminta KPU
melakukan pengawalan terhadap keterwakilan 30 persen perempuan, tidak
hanya di pusat tetapi juga di kabupaten/kota. KPU tidak hanya menagkomodir
30 persen keterwakilan perempuan saja, tetapi juga memberikan jaminan
untuk perempuan bisa dapat menempati posisi-posisi strategis, baik di parpol
maupun di institusi.58
KPU mendukung dan menjamin perjuangan perempuan agar bisa
menempati posisi strategis baik di parpol maupun pemerintahan. KPU
berkomitmen akan mendukung secara penuh keterlibatan perempuan dalam
pemilu dimulai dari proses rekrutmen tim seleksi calon anggota KPU Provinsi
58 Ibid.,
lxiv
melalui pembentukan tim seleksi. Ketentuan 30 persen keterwakilan
perempuan dalam daftar calon memang termuat dalam UU Pemilu, tetapi
komitmen pemaknaannya harus dilakukan di setiap daerah pemilihan.
Mengenai persyaratan pendaftaran calon anggota legislatif, Undang-
Undang telah mengatur persyaratan bagi setiap warga negara yang ingin
menjadi calon legislatif (caleg) baik di DPR, DPD, maupun DPRD. Dalam
peraturan perundang-undangan, tidak terdapat perbedaan persyaratan sebagai
calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota antara
perempuan dan laki-laki sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 60
Undang-Undang 12 Tahun 2003 Tentang calon anggota DPR DPD DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten kota harus memenuhi syarat dalam
pencalonan.59
a. Warga negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih.
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Bertempat tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam Bahasa Indonesia.
e. Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau
sederajat.
59 Sumber KPU tentang data syarat menjadi Caleg menurut Undang-Undang 12 Tahun
2003
lxv
f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi 17
Agustus 1945.
g. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
karenamelakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
tahun atau lebih.
h. Sehat jasmani dan rohani.
i. Terdaftar sebagai pemilih.
j. Bersedia bekerja penuh waktu.
k. Mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil.
l. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik.
m. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya.
n. Menjadi anggota partai politik peserta pemilu.
o. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan.
p. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.60
Sejak lama Indonesia mengupayakan pemberdayaan perempuan dalam
peta perpolitikan. Undang-Undang dasar 1945, secara formal telah menjamin
partisipasi perempuan dalam bidang politik. Pada tahun 1952 misalnya,
Indonesia meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hak
perempuan (Universal Convention on Political Right of Women) melalui UU
Nomor 68 tahun 1958 Tentang Persetujuan konpensi hak-hak politik kaum
60 Ibid.,
lxvi
wanita, dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno saat itu. Undang-Undang
ini memberikan perempuan hak untuk memilih dan dipilih dalam lembaga
legislatif negara. Keterlibatan perempuan dalam politik dapat memperbaiki
masalah-masalah yang seringkali menghambat pembangunan.61
Informan Rice Yogina, salah satu caleg dari dapil Kota Baru-Jambi
menyatakan:
“Saya mengabdikan diri melayani ABK sejak tahun 2009 sampai
sekarang. Saya sempat menjadi Ketua Komunitas Peduli Autis Unggul
Sakti pada tahun 2009-2014. Selain itu, organisasi juga diikuti
diantaranya : Sekretaris HMC Jambi 2012-2014, ketua bidang
ekonomi KKB BNI 46 2017 - sekarang, wakil bendahara IKA SMPN 7
Jambi 2018 - sekarang, wakil bendahara Dewan Pimpinan Wilayah
Partai Amanat Nasional (DPW PAN) Provinsi Jambi 2017 - sekarang,
serta Sekretaris wilayah Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia
Provinsi Jambi 2016 - sekarang & Wakil Ketua I PUAN 2018 - skrg.
Berbekal rasa keprihatinan terhadap ABK dan korban kekerasan, saya
akhirnya memantapkan diri untuk maju menjadi anggota legislatif
diusung oleh partai PAN”. (wawancara tgl 10 September 2019).62
Sistem politik Indonesia yang memberi kelonggaran jalan bagi kaum
perempuan yang ingin terjun ke kancah perpolitikan, belum sepenuhnya
mendapatkan respon dari masyarakat luas khususnya di tingkat lokal (desa).
Ketentuan yang seharusnya dapat memberi semangat dan kemauan bagi elit-
elit politik untuk memberi kesempatan bagi perempuan untuk tampil lebih
banyak, pada realitasnya belum terwujud. Partisipasi perempuan dalam
kegiatan “lobbying” sebagai keterlibatan perempuan dalam upaya baik
perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah
61 Novi Yanthy Adelina. 2014. Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2009-2014. ADIL: Jurnal Hukum Vol. 7 No.2 62 Wawancara dengan Rice Yogina, tanggal 10 September 2019.
lxvii
dan pemimpin-pemimpin politik maupun elit-elit lokal mempengaruhi
keputusan-keputusan mereka agar mendukung pencalonannya sebagai anggota
legislatif. Informan Rice Yogina SE, calon legislatif DPRD dari Partai Amanat
Nasional Jambi, menyatakan:
“Saya sudah berupaya melobi para elit-elit politik baik ditingkat
kabupaten, kecamatan maupun ditingkat desa dan pejabat-pejabat
pemerintah agar membantu mengamankan pencalonan kaum
perempuan dari partai Amanat Nasional, mengingat kurangnya
keterwakilan perempuan pada pemilihan legislatif.” (wawancara tgl.
10 September 2019).63
Selain itu informan Hj. Evi Yulianty, salah seorang caleg dari daerah
pemilihan (Dapil) Jambi Timur, Jambi, menyatakan:
“Saya ikut bergabung menjadi salah satu calon legislatif dari PAN atas
dasar kepedulian saya terhadap hak hak perempuan terutama di
Jambi,saya berpartisipasi dan terjun langsung dikancah politik ini adalah
karena keinginan saya untuk menyampaikan suara rakyat jambi sangat
besar” (wawancara 9 September 2019).64
Dari pernyataan para narasumber, penulis dapat menyimpulkan bahwa
perempuan di Jambi turut berpartisipasi dalam pencalonan anggota legislatif
didasari berbagai macam alasan. KPU membuka kesempatan yang besar
kepada para perempuan. KPU mendukung dengan maksimal pemenuhan
kuota. Tersebut dengan cara mempermudah pendaftaran.
2. KPU Meminta Partai Politik untuk Memperbanyak Politisi Perempuan
Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara penulis dengan salah satu
informan yaitu anggota KPU yang mengatakan bahwa pendaftaran para
63 Wawancara dengan Rice Yogina, tanggal 10 September 2019. 64 Wawanca dengan Hj. Evi Yulianty, tanggal 9 September 2019
lxviii
perempuan sebagai calon legislatif sangat diharapkan di Kota Jambi. KPU
meminta semua parta politik untuk mengirimkan lebih banyak calon
perempuan agar semakin banyak pula yang lolos mejadi anggota legislatif.
Berikut ini hasil wawancara dengan anggota KPU.
Kami sangat senang jika banyak perempuan yang mendaftar menjadi
calon legislatif.Kami sudah meminta tiap partai politik untuk mengirimkan
banyak calon legislatif dari pihak ibu-ibu.Kita harus meningkatkan
emansipasi wanita di Kota Jambi.Semakin banyak calon perempuan dari
tiap parpol, semakin banyak pula kemungkinan menangnya.Jika kita
mengirimkan sedikit perempuan, bisa-bisa tidak ada yang menang.Paling
tidak tiap partai politik memiliki anggota legislatif perempuan.”
(wawancara 10 September 2019).65
Gambar 4.1 Dokumentasi dengan Anggota KPU
66
Selanjutnya, informan Lismarita, Caleg Dapil Alam Barajo, Jambi,
menyatakan hal yang serupa mengenai permintaan KPU tersebut.
“Saya akui ikut dalam proses pencalonan anggota legislatif kali ini atas
dasar permintaan partai untuk duduk mewakili PAN di daerah pemilihan
saya, namun saya sendiri punya visi dan misi yang jelas jika saya berhasil
duduk di kursi DPRD” (wawancara tgl.4 September 2019).67
65 Wawancara dengan anggota KPU, tanggal 10 September 2019 66 Dokumentasi dengan Anggota KPU 67 Wawancara dengan Lismarita, Caleg Dapil Alam Barajo, Jambi , tanggal 4 September
2019
lxix
Partai politik mengakui cukup kesulitan memiliki banyak calon
pendaftar perempuan seperti yang diperintahkan oleh KPU kepada semua
anggota partai politik.
“Kami mengalami kesulitan menjalankan amanat undang-undang yang
mensyaratkan 30% keterwakilan perempuan, bukan saja dalam
kepengurusan, tetapi juga untuk mencari suara terbanyak. KPU meminta
kami mengirimkan banyak calon perempuan. Sebetulnya tidak mudah
mencari pencalon perempuan.Tapi kami tetap optimis mengingat
semuanya demi kebaikan partai dan juga kemajuan politik di Jambi.”
(wawancara tgl. 10 September 2019).
Dari beberapa wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa KPU
sudah meminta semua partai politik untuk mengirimkan banyak calon
perempuan. Hal tersebut diakui langsung oleh pihak KPU, partai politik, dan
perempuan yang mencalonkan diri.
Gambar 5.1 Dokumentasi dengan anggota KPU68
Upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam berpolitik
yaitu dengan variabel teknis langsung terhadap keterpilihan calon-calon
perempuan antara lain sebagai berikut:69
68 Dokumentasi dengan anggota KPU 69 Ramlan Surbakti,dkk. 2011. Meningkatkan Keterwakilan Perempuan. Jakarta:
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.hlm 6-7.
lxx
1. Pembentukan daerah pemilihan (dapil). Dalam sistem
proporsional, jumlah kursinya selalu banyak (multi-member
constituency). Berdasarkan jumlah kursi di setiap dapil, terdapat
tiga tipe dapil, yaitu: pertama, kursi kecil (2-5 kursi); kedua, kursi
menengah (6-10 kursi); dan kursi besar (lebih dari 11 kursi).
Menurut Matland, jumlah kursi besar memang menguntungkan
perempuan karena kian banyak perempuan yang bisa dicalonkan.
Namun apabila dilihat dari calon terpilih, jumlah kursi besar
merugikan perempuan karena perolehan kursi tersebar, padahal
calon utama setiap parpol biasanya laki-laki.
2. Metode pencalonan. Metode pencalonan dalam sistem proporsional
dibedakan atas daftar tertutup (close List PR) dan daftar terbuka
(open List PR), serta MPP dan STV. Matland menyimpulkan,
metode pencalonan tertutup justru menguntungkan perempuan,
lebih-lebih bila daftar calon disusun secara selang-seling atau zig-
zag: calon laki-laki–calon perempuan atau calon perempuan–calon
laki-laki. Karena dengan daftar calon tertutup pemilih hanya
memilih parpol dan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor
urut; jika parpol meraih sedikitnya dua kursi, bisa dipastikan
terdapat perempuan di dalamnya.70
3. Metode pemberian suara, yang terkait langsung dengan metode
pencalonan. Jika metode pencalonan menggunakan Close List PR,
70 Ibid.,
lxxi
pemilih cukup memilih parpol saat memberikan suaranya.
Sebaliknya pada daftar terbuka, pemilih bisa memilih parpol dan
calon, atau calon saja. Bagaimanapun metodenya, berdasarkan
pengalaman di banyak negara, metode memberikan suara kepada
parpol adalah yang paling menguntungkan calon perempuan.
4. Formula perolehan kursi. Para ahli pemilu membedakan dua jenis
formula perolehan kursi, yaitu: pertama, metode kuota, di
antaranya yang banyak dipakai adalah varian Hamilton/Hare/
Niemeyer; dan kedua, metode divisor dengan varian metode
d‟Hondt dan metode Webster/St Lague. Dengan melihat berapa
banyak parpol yang memperoleh kursi di setiap dapil, metode
d‟Hondt menguntungkan calon perempuan.
5. Formula calon terpilih. Penetapan calon terpilih sangat
menguntungkan calon perempuan apabila dilakukan berdasarkan
nomor urut sebagaimana metode pencalonan List PR.
Memainkan variabel teknis langsung maupun tidak langsung dalam
sistem pemilu tersebut bisa dimanfaatkan gerakan keterwakilan
perempuan untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen
melalui pemilu yang demokratis. Pada titik inilah berbagai model
kebijakan afirmasi (affirmative action) mendapat ruang untuk diadopsi
dalam pengaturan sistem pemilu melalui undang-undang pemilu.71
71 Ibid.,
lxxii
B. Faktor-faktor yang Berperan dalam Upaya KPU Kota Jambi untuk
Memenuhi Kuota Keterwakilan Perempuan dalam Politik
Berdasarkan hasil penelitian poin 1 di atas tentang peran KPU dalam
mendorong para perempuan Kota Jambi untuk mendaftarkan diri sebagai
calon anggota legislatif, tampak bahwa upaya-upaya tersebut cukup
memberikan hasil yang baik ditunjukkan dengan banyaknya perempuan dalam
politik.
Dalam pemilihan umum, jumlah perolehan suara partai maupun
perolehan suara perorangan dari calon legislatif akan menentukan seberapa
banyak kursi yang diraih oleh suatu partai maupun calon legislatif yang akan
menduduki kursi tersebut. Untuk menentukan seseorang/ partai menduduki
satu kursi di DPRD maka setidaknya dia membutuhkan perolehan suara
hingga mencapai ambang batas jumlah BPP. Biasanya untuk DPRD dengan
populasi pemilih sekitar 4000-an lebih, maka seorang calon legislatif
setidaknya mengantongi suara sebanyak 1800 – 2000 suara untuk duduk
sebagai anggota DPRD.72
Faktor yang berperan dalam upaya KPU Jambi untuk memenuhi
kuota 30 persen tersebut, yaitu kebijakan afirmatif yang telah dibuat sehingga
mampu mendorong tingkat partisipasi politik dari kaum perempuan.
Kebijakan tersebut mengharuskan partai yang ingin ikut pemilu harus
72 KPU Kota Jambi, http://www.kpu-jambikota.go.id, diakses pada 13 September 2019.
lxxiii
memenuhi kuota perempuan sebesar 30%. Oleh karena itu partai politik
berlomba-lomba memenuhi kuota minimal perempuan agar bisa ikut dalam
pemilu.
Partisipasi politik perempuan di Kota Jambi terbentuk melalui soalisasi
dan berbagai informasi yang diterima dan dikelola dalam lingkungan sosial
pemilih perempuan. Informasi informasi yang ada akan membentuk bangunan
Kognitif pemilih perempuan dan yang nantinya akan mendorongnya untuk
memberikan informasi pada pilihan politiknya.
Walaupun sistem pemilu khususnya pada Pemilu 2019, merupakan
gambaran realitas demokrasi yang mulai terwujud yang ditunjukkan dimana
pihak-pihak luar ikut berpartisipasi dalam mengevaluasi dan memonitor
penghitungan suara.Upaya memberi kesempatan luas kepada seluruh lapisan
masyarakat khususnya kaum perempuan yang berada di tingkat bawah
(desa/kelurahan), perlu dilakukan suatu kegiatan untuk mencari dukungan
sebelum pemilihan.
Informan Hj. Evi Yulianty, salah seorang caleg dari daerah pemilihan
(Dapil) Jambi Timur, Jambi, menyatakan:
“Dalam kegiatan pemilihan calon legislatif 2019 ini, sebelumnya saya
sudah mempunyai aktivitas sosial di luar. Mungkin dasar itu sehingga
saya didatangi oleh salah seorang pengurus partai agar
mempersiapkan diri mengikuti pemilihan sebagai calon anggota
legislatif dari Partai Amanat Nasional. Sejak itu pula saya semakin
intens melakukan aktivitas dalam rangka pemilihan umum agar saya
memperoleh suaru terbanyak dan duduk sebagai anggota legilatif.
Kegiatan yang saya lakukan selama kampanye di daerah pemilihan
saya antara lain mengikuti kegiatan sosial dan memberikan bantuan
lxxiv
sumbangan ke rumah-rumah ibadah” (wawancara tgl. 9 September
2019).73
Keterlibatan perempuan dalam pemilihan dalam kegiatan mencari
dukungan baik melalui kampanye maupun dalam bentuk aktivitas lain
memberikan bantuan sumbangan dan berdialog langsung dengan masyarakat
pemilih, hanya dilakukan oleh calon perempuan yang sudah aktif dalam
organisasi-organisasi sosial di desa. Hal ini membuat calon lain sulit
memperoleh dukungan suara terbanyak. Informan Lismarita, Caleg Dapil
Alam Barajo, Jambi, menyatakan:
“Saya akui tidak maksimal terlibat dalam kegiatan pemilihan untuk
memperoleh suara di pemilihan legislatif karena saya hanya diminta
untuk mencalonkan saja, sementara saya tidak memiliki kemampuan
materi yang cukup untuk melakukan kegiatan sosialisasi, kampanye
dan kegiatan lainnya.Akibatnya, saya pesimis dapat mengumpul suara
banyak pada pemilihan legislatif 2019 ini” (wawancara tgl.4
September 2019).74
Hasil wawancara dengan informan Weni Gemasih Mico SH, Pengurus
Harian Partai Amanat Nasional Jambi, menyatakan:
“Pada kegiatan pemilihan calon legislatif 2019, calon kaum
perempuan yang mewakili partai kami kesulitan melakukan
kegiatan.Walaupun secara normatif, tidak ada peraturan perundang-
undangan dalam bidang politik yang mendiskriminasi perempuan
namun, kami mengakui kesulitan bagi calon perempuan karena
kurangnya aktivitas sosial yang mereka lakukan di daerah pemilihan
(Dapil) sehingga kurang dikenal oleh masyarakat pemilih”
(wawancara tgl. 3 September 2019).75
73 Wawancara dengan Hj. Evi Yulianty,tanggal 9 September 2019
74 Wawancara dengan Lismarita, Caleg Dapil Alam Barajo, Jambi, tanggal 4 September 2019.
75 Wawancara dengan Weni Gemasih Mico SH, Pengurus Harian Partai Amanat Nasional Jambi, tanggal 3 September 2019.
lxxv
Peraturan yang dijadikan sebagai instrumen politik dan hukum,
walaupun tidak secara eksplisit menunjukkan diskriminasi terhadap
perempuan namun tidak pula memberikan pembelaan dan kemudahan bagi
perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik. Menrut Moore, 76
salah
satu ciri yang penting dan kedudukan perempuan dalam masyarakat ialah
mereka adakalanya mempunyai kekuasaan politik tetapi tidak mempunyai
kekuatan, legitimasi, dan otoritas.
Adapun faktor penghambat dalam keterwakian pemilihan umum ini
adalah minimnya keterwakilan perempuan di dalam lembaga-lembaga
pengambilan keputusan di Indonesia menjadi persoalan ketika transisi menuju
demokrasi menuntut kesetaraan dan keadilan perempuan. Kondisi sosiokultur
bangsa yang pekat dengan budaya patriarki menjadi salah satu faktor
penghalang untuk aktualisasi perempuan sebagai pengambil kebijakan
pembangunan bangsa ini. Budaya patriarki menggambarkan tingginya
dominasi laki-laki yang tidak memberikan kesampatan pada perempuan.
Budaya ini menganggap perempuan lemah dan lebih memposisikan
perempuan sebagai ibu rumah tangga.
Adapun beberapa faktor yang mendorong perempuan terjun di dunia
politik diantaranya adalah adanya kebijakan yang mengharuskan partai politik
untuk menyertakan peremuan dalam dunia perpolrikan tanah air khususnya
melalui pemilu legislatif. Contoh yang terakhir tentu UU No. 5 tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, dimana pada pasal 55
76 Armayanti, 2007, hal. 48.
lxxvi
menyebutkan kuota minimal 30% perempuan bagi partai politik. Hal itulah
yang kemudian endorong semakin banyaknya perempuan yang ikut dalam
pesta demokrasi 5 tahunan.
lxxvii
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang dilaksanakan, mengenai
Partisipasi Perempuan dalam Menghadapi Tahun Politik Periode 2018-2021 Kota
Jambi diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. KPU sangat berperan besar dalam meningkatkan partisipasi perempuan di
kancah politik. Berlandaskan beberapa UU, yaitu UU No. 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR-DPRD menetapkan aturan terkait keterwakilan perempuan yaitu
sebesar 30 persen.
2. Faktor yang berperan dalam upaya KPU Jambi untuk memenuhi kuota 30
persen tersebut, yaitu kebijakan afirmatif yang telah dibuat sehingga mampu
mendorong tingkat partisipasi politik dari kaum perempuan. Kebijakan tersebut
mengharuskan partai yang ingin ikut pemilu harus memenuhi kuota perempuan
sebesar 30%. Oleh karena itu partai politik berlomba-lomba memenuhi kuota
minimal perempuan agar bisa ikut dalam pemilu.
lxxviii
B. Saran
Dari hasil penelitian yang sudah diperoleh, maka penulis mengemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk memaksimalkan partisipasi politik perempuan dalam menghadapi
pemilu mendatang, perlunya pengurus partai politik mempersiapkan kader-
kader perempuan melalui pendidikan politik untuk memberi pemahaman
tentang akivitas yang berkaitan dengan kegiatan pemilihan, lobbying,
kegiatan organisasi, mencari koneksi, dan melakukan tindakan kekerasan.
2. Mengingat pemilih perempuan berasal dari kondisi sosial yang berbeda-beda,
dengan tingkat pendidikan yang tidak sama dan hal ini sangat berkorelasi
dengan akses informasi terhadap proses politik, maka seyogyanya pemerintah
maupun pihak-pihak seperti LSM dapat memberikan bentuk pendidikan politik
yang bersifat menyeluruh dan persuasif, sehingga pemilih perempuan dapat
mengetahui proses politik dengan lebih jelas.
lxxix
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Alwi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Departemen
Pendidikan Kebudayaan, 1997.
Astrid Anugrah. Keterwakilan Perempuan Dalam Politik. Jakarta: Pancuran
Alam, 2009.
Cholisin, dkk. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press, 2007.
Chaterine Dawson. Metodologi Penelitian Praktis. Yogyakarta, 1997.
Ana Maria Gadi Djou. Partisipasi Perempuan Dalam Partai Politik Dan Pemilu
Serempak, 2018.
Liky Faizal. Perempuan Dalam Politik (Kepemimpinan Perempuan Perspektif Al-
Qur’an). Jurnal TAPIs, 12 (1), 2016.
Siti Musdah Mulia dan Anik Farida. Perempuan dan Politik, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Khairul Muluk. Desentralisasi pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia
Publishing, 2006.
Ramlan Surbakti. Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Pembangunan Tata Politik
Demokratis. Jakarta: Kemitraan, 2006.
Siti Hariati Sastriyani. Gender and Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soetjipto. Pengujian Konstruk Kriteria Kecanduan Interner.Jurnal Psikologi, vol
32, no.2. Fakultas Psikologi UGM, 2005.
Oktaviani Adhi Suciptaningsih. Partisipasi Perempuan Dalam Lembaga
Legislatif di Kabupaten Kendal. Jurnal Komunitas, 2 (2), 2010.
Yusuf, A.R. M. Peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Pendidikan
Politik.Gane Ç Swara Vol.4 No.1, 2010.