peran agroindustri dalam perekonomian wilayah … · ekspor adalah sarana transportasi, ......
TRANSCRIPT
PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN
WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN
AGLOMERASI INDUSTRI
DISERTASI
MUHAMMAD IRFAN AFFANDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala penyataan dalam
disertasi saya yang berjudul :
“PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR
DAN AGLOMERASI INDUSTRI”
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi
ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2009
Muhammad Irfan Affandi NRP. A161020051
ABSTRACT
MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. The Roles of Agroindustry in the Regional Economy of Lampung Province: Analysis of Intersectoral Linkages and Agglomeration of Industries. (D.S. PRIYARSONO as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and BONAR M. SINAGA as Members of Advisory Committee). The objectives of this study are to analyze intersectoral linkages among agroindustry in the regional economy of Lampung Province, to identify the existence of spatial concentration and agglomeration of agroindustry, to analyze agglomeration economies in the agroindustrial sectors, and to analyze some policies that are potentially improve the roles of agroindustry in the regional economy. This study used data of provincial Input-Output Table of 2000 and 2005 aggregated into 26 sectors (12 agroindustrial sectors and 14 non agroindustrial sectors) and results of Medium and Large Industrial Survey 1998-2005. In addition, it used indices to measure the size of agglomeration. It utilized also Cobb-Douglas production function to measure the agglomeration economies. Some policy simulations were analyzed to identify the effects of changes of final demand on sectoral outputs, income, and labor. The results show that in terms of linkages and multipliers of sectoral output, income, and labor, agroindustrial sectors have the biggest roles in the regional economy. The sectors also boost the other sectors’ growth. They have strong backward as well as forward linkages that are greater than those of other sectors. Most agroindustrial sectors are concentrated in one or few districts/municipalities. These concentrations significantly effect the production outputs. Most economies of localization and urbanization exist in the agroindustrial sectors.
The combined policies of increasing government expenditure, investment, and export that are proportionally allocated to all of the agglomerated agroindustrial sectors result in the greatest positive change of sectoral output, households’ income, and labors absorption. The impact of economic policy on the agglomerated agroindustrial sectors are greater than that of similar policy that are applied to non agglomerated agroindustrial sectors. Keywords: agroindustry, linkages, agglomeration, input-output, policy
RINGKASAN MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung: Analisis Keterkaitan Antarsektor dan Aglomerasi Industri. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan BONAR M. SINAGA sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk
pengembangan agroindustri di luar Jawa. Berdasarkan Tabel Input-Output
Provinsi Lampung Tahun 2005, peringkat terbesar dalam kontribusi output
sektoral adalah sektor agroindustri. Sektor agroindustri menyumbang sekitar 28%
output daerah atau senilai Rp 22 156 435 juta, memiliki kontribusi sekitar 12%
dari total PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2001-2004,dan
menyerap sekitar 77% tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam
kurun waktu tahun 2000-2005. Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan
tenaga kerja, agroindustri berperan sebagai leading sector sehingga
pengembangan agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat
strategis.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan sektor agroindustri
dalam perekonomian wilayah, mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan
aglomerasi pada sektor agroindustri, menganalisis penghematan aglomerasi sektor
agroindustri, dan menganalisis dampak kebijakan ekonomi yang berpotensi
meningkatkan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah.
Analisis data menggunakan Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun
2000 dan 2005 yang diagregasi ke dalam 26 sektor (12 sektor agroindustri dan 14
sektor non agroindustri) dan hasil Survei Industri Sedang dan Besar Tahun 1988-
2005. Selain itu, analisis data menggunakan indeks-indeks untuk mengetahui
kekuatan aglomerasi dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas untuk
mengetahui besarnya agglomeration economies. Simulasi kebijakan di sektor
agroindustri dilanjutkan untuk mengetahui dampak perubahan permintaan akhir
terhadap output sektoral, pendapatan dan tenaga kerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari nilai keterkaitan dan
pengganda output sektoral, pendapatan dan tenaga kerja sektor agroindustri
mempunyai peran terbesar dalam perekonomian wilayah dan mendorong
pertumbuhan sektor-sektor lain. Sektor agroindustri mempunyai keterkaitan ke
belakang dan ke depan lebih besar dibandingkan sektor non agroindustri.
Sebagian besar agroindustri berkonsentrasi pada satu atau beberapa
kabupaten/kota yang berdekatan. Ada pengaruh nyata dari subsektor-subsektor
agroindustri yang beraglomerasi terhadap output produksi. Penghematan akibat
lokalisasi (localization economies) dan penghematan akibat urbanisasi
(urbanization economies) pada setiap subsektor agroindustri sebagian besar
memberikan pengaruh positif terhadap output produksi.
Kebijakan ekonomi sektor agroindustri di Provinsi Lampung yang
mempunyai dampak paling besar terhadap perubahan output sektoral, pendapatan
rumah tangga, dan penyerapan tenaga kerja adalah kebijakan gabungan
peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor yang dialokasikan
pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. Dampak
kebijakan ekonomi terhadap sektor-sektor agroindustri yang beraglomerasi lebih
besar daripada dampak kebijakan ekonomi sektor-sektor agroindustri yang tidak
beraglomerasi.
Pengembangan agroindustri disarankan untuk memperhatikan konsentrasi
dan spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi,
dan promosi pengembangan ekonomi daerah melalui aglomerasi industri.
Pengembangan agroindustri yang beraglomerasi hendaknya didukung oleh
kebijaksanaan fiskal guna pengembangan produktivitas dan pembangunan
infrastruktur (penataan ruang kawasan industri, sarana transportasi, pengendalian
pencemaran dan lainnya). Infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan
ekspor adalah sarana transportasi, komunikasi dan pelabuhan ekspor yang
memadai bagi transportasi komoditas agroindustri.
Penelitian lanjutan disarankan untuk menganalisis keterkaitan antar
industri antar wilayah dengan membangun Tabel Input-Output Interregional antar
kabupaten/kota atau antar provinsi, dan penelitian tentang aglomerasi dengan
model simultan yang menggambarkan hubungan antar produksi industri yang
beraglomerasi, pendapatan regional, pengeluaran pemerintah, investasi dan
ekspor.
Kata kunci: agroindustri, keterkaitan, aglomerasi, input-output, kebijakan
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisankarya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG:
ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN AGLOMERASI INDUSTRI
Oleh:
MUHAMMAD IRFAN AFFANDI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Muhammad Firdaus, M.Si
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec
Judul Disertasi : PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN AGLOMERASI INDUSTRI
Nama Mahasiswa : Muhammad Irfan Affandi
Nomor Pokok : A161020051
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 29 Oktober 2008 Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah,
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi yang berjudul "Peran Agroindustri
dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung: Analisis Keterkaitan
Antarsektor dan Aglomerasi Industri" dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. D.S.
Priyarsono, MS, Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Bonar
M. Sinaga, MA. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah
memberikan arahan dan bimbingan terutama mengenai pemodelan, pengolahan
data, penyajian dan konsistensi dalam penyusunan disertasi, serta dorongan
semangat untuk mempercepat penyelesaian studi. Terima kasih pula kepada
Dr. Muhammad Firdaus, M.Si. selaku Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup, serta
Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. dan Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka atas saran dan masukan yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta para
Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya
pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, atas arahan, bimbingan dan ilmu
yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang
telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti Program Doktor di
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Pendidikan Tinggi
Depdiknas, melalui BPPS, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk
mengikuti Program Doktor di IPB, serta Lembaga Penelitian Universitas
Lampung dan Yayasan Dana Mandiri yang telah memberikan bantuan fasilitasi
dan dana penelitian disertasi. Tak lupa juga terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan Program S-3 Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2001 dan 2002,
kolega dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Lampung, serta pihak-pihak yang tidak dapat disebut satu persatu.
Terutama untuk kedua orang tuaku Bapak M. Hasyim (almarhum) dan Ibu
Hj. Akmaliyah, kedua mertuaku Bapak Abd Rachman (almarhum) dan Ibu Hj.
Subaidijah, serta kakak-kakak dan adik-adik atas perhatian dan dorongan
semangat. Rasa terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada istri tercinta
Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si, ananda Muhammad Riza Darmawan, Safira Nuril Izzah,
dan Muhammad Rafi Naufal, yang telah setia dan sabar mendampingi dengan
penuh pengertian dan pengorbanan selama penulis mengikuti program doktor ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Februari 2009 Muhammad Irfan Affandi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 24 Juli 1964 sebagai anak
kelima dari pasangan M. Hasyim dan Hj. Akmaliyah. Pendidikan sarjana
ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya Malang, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan
studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
(PWD) Program Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1994. Pada
tahun 2002, dengan beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional, penulis
mendapat kesempatan melanjutkan studi program Doktor pada Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB.
Sejak tahun 1989 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung sampai sekarang.
Penulis pernah menjadi Sekretaris Pusat Pengembangan Wilayah LPM
Universitas Lampung Tahun 1998-2003 dan Ketua Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Lampung Tahun 2001-2002, serta aktif dalam
kegiatan perencanaan tata ruang wilayah. Sebagian hasil penelitian disertasi
penulis diseminarkan pada :
1. Seminar The IRSA 1st International Institute di ITB Bandung
The Impacts of Agro Industry Development on The Regional Economic
Growth And Employment In Province of Lampung
2. Seminar Internasional IRSA 2008 di Univertsitas Sriwijaya Palembang
Improving Regional Economic Development Through Promoting
Agglomeration Economies: The Case of Agroindustry in Lampung, Sumatra
Dua artikel jurnal dari sebagian disertasi yang sudah diterbitkan yaitu :
1. Peranan Agroindustri Dalam Perekonomian Provinsi Lampung: Analisis
dengan Pendekatan Tabel Input-Output
Jurnal Media Ekonomi Universitas Trisakti Volume 13 Nomor 2 Agustus
2007.
2. Aglomerasi dan Pengembangan Klaster Industri Guna Meningkatkan Daya
Saing Jurnal Ekonomi Universitas Tarumanegara Tahun XIII No.2 Juli Tahun
2008
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………... iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….…… vi
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………... vii
I. PENDAHULUAN ………………………………………………......... 1
1.1. Latar Belakang ………………………………………………….. 1
1.2. Perumusan Masalah …………………………………………….. 3
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………...... 7
1.4. Kegunaan Penelitian ………………………………………......... 8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ………………………….......... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 11
2.1. Aglomerasi ……………………………………………………..... 11
2.2. Keterkaitan Antarsektor ………………...……………………….. 19
2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan …………………………….. 23
2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya ……………… 26
2.5. Geografi dan Lokasi Industri …………………………………….. 30
2.6. Teori Lokasi, Kutub Pertumbuhan dan Pengembangan Wilayah ... 33
2.7. Skala Pengembalian ……….…………………………………...… 38
2.8. Tinjauan Studi Terdahulu Model I-O dalam Analisis Perekonomian 40
2.9. Tinjauan Studi Terdahulu Aglomerasi Industri …............………... 41
III. KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 46
3.1. Kerangka Teori ………………………………………………........ 46
3.1.1. Tabel Input-Output, Perekonomian dan Industri …………... 46
3.1.2. Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi ………….…. 55
3.1.3. Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika ………… 63
3.2. Kerangka Pemikiran …………………………………………......... 65
3.2.1. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Lampung 65
3.2.2. Konsentrasi Spasial, Klaster dan Kekuatan Aglomerasi ……. 66
3.2.3. Penghematan Akibat Aglomerasi di Sektor Agroindustri …..... 67
ii
3.2.4. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap
Perekonomian Wilayah ……………………………………… 68
3.3. Hipotesis ……………………………………………………………. 71
IV. METODE PENELITIAN ………………………………………….……. 72
4.1. Lokasi Penelitian ……………………………………………….. 72
4.2. Jenis, Sumber dan Pengolahan Data ……………………………….. 72
4.3. Analisis Input-Output ………………………………………………. 73
4.4. Analisis Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi …………... 77
4.5. Analisis Penghematan Aglomerasi ………………………………… 81
4.6. Konstruksi Keterkaitan Input-Output Ekonometrika ………………. 83
4.7. Analisis Simulasi ………………………………………………….... 85
V. KETERKAITAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROPINSI LAMPUNG ……………………………….……. 90
5.1. Kontribusi Agroindustri dalam Perekonomian di Provinsi Lampung 90
5.1.1. Struktur Output ……………………………….……..….. 90
5.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto ………………………………… 91
5.2. Keterkaitan Antarsektor Agroindustri dengan Sektor Ekonomi
Lainnya ……………………………………………….…………….. 92
5.2.1. Keterkaitan Antarsektor ke Belakang ……………...….……. 92
5.2.2. Keterkaitan Antarsektor ke Depan ………………….………. 95
5.2.3. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor …………………….….. 99
5.2.4. Penelusuran Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang ….….... 101
5.3. Pengganda Sektor Agroindustri …………………..………….......... 103
5.3.1. Pengganda Output …………………………………..……..... 103
5.3.2. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga …………………….. 107
5.3.3. Pengganda Tenaga Kerja ……………...…………………..... 109
VI. KONSENTRASI SPASIAL DAN PENGHEMATAN AGLOMERASI AGROINDUSTRI ………………………………………………………. 114
6.1. Konsentrasi Spasial ………...................…………………………… 114
6.2. Kekuatan Aglomerasi …………………………………………… ... 118
6.3. Sumber-sumber Aglomerasi ………….…………………………… 125
6.4. Penghematan Akibat Aglomerasi dan Produktivitas Agoindustri di
iii
Provinsi Lampung ………………………………………………… 129
6.4.1. Hasil Pengujian Statistik Model …………………………… 129
6.4.2. Produktivitas Agroindustri di Provinsi Lampung …………. 131
6.4.3. Penghematan Akibat Aglomerasi Agoindustri ……………. 133
VII. DAMPAK KEBIJAKAN DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI LAMPUNG ……….….. 144
7.1. Output Sektoral …………………………………………………… 144
7.2. Pendapatan Rumah Tangga ……………………………………….. 150
7.3. Kesempatan Kerja …………………………………………………. 154
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………….….. 159
8.1. Kesimpulan ………………………………….…………………..... 159
8.2. Impikasi Kebijakan …………………………………….………..... 161
8.3. Saran Penelitian Lanjutan …………………….…….…………….. 162
DAFTAR PUSTAKA …………….............……….………………...... 164
LAMPIRAN ................................................................................…….… 170
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman ….......….… 15
2. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Ekonometrika/OLS 42
3. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Tabel Input-Output 44
4. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Indeks …………. 45
5. Model dasar Tabel Input-Output …………………………….………… 48
6. Nama dan Kode Sektor berdasarkan Agregasi Sektor Tabel Input-Output Provinsi Lampung …………….………………………………….……. 75 7. Klasifikasi Subyek Agroindustri berdasarkan Tabel I-O dan KBLI …… 84
8. Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 …………………………………….………...…….……… 91
9. Keterkaitan ke Belakang Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………………...…….………. 94
10. Keterkaitan ke depan Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………………...…….………. 96
11. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2005 ……………………………………...……...…….……….. 99
12. Penelusuran Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 ….........................................................….…….. 102 13. Penelusuran Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 ......….…....................................................….... 103 14. Pengganda Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ……………………………….…...…….……… 105
15. Pengganda Pendapatan Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………………... 108
16. Pengganda Tenaga Kerja Sektor Agroindustri ……………...………... 110
17. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Agroindustri Tahun 2005 …...........................................................……....……….... 111
v
18. Indeks Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung …. 115
19. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung …………………………………….……………....………... 116 20. Indeks Ellison-Glaeser ( EGγ ) Sektor Agroindustri Provinsi Lampung 118
21. Penetapan Klaster Agroindustri di Provinsi Lampung ……...……….. 124
22. Sumber-sumber Aglomerasi Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung …………………………………….………………….…… 126
23. Koefisien Produksi pada Agroindustri di Provinsi Lampung .............. 132 24. Koefisien Akibat Aglomerasi pada Agroindustri di Provinsi Lampung 134
25. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 ……….…… 146
26. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 ……….…… 151
27. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005 …………….………………….………………….……..... 152
28. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005 …………….…………………….………………….……. 155
29. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 156
30. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 161
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi …….……....….….……. 12
2. Pertumbuhan Jalur Seimbang dan Tidak Seimbang …....…….…….…..... 22
3. Skala Pengembalian ………….………….….......…….......................… 40
4. Strategi Model Integrasi I-O dan Ekonometrika …….…...….……....… 64
5. Kerangka Pemikiran Penelitian ……….…………….…….……....…... 70
6. Kerangka Operasional Penelitian ……….…………….…..……....….. 87
7. Pemetaan Klaster Agroindustri Provinsi Lampung……….…..….…...... 123
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 ……….……….… 171 2. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….……….… 176 3. Kontribusi Output Sektor Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….....................…….……….………….……….………….... 182 4. Lokasi Pengembangan Klaster Industri Agro ….........................…….… 183 5. Kontribusi Industri Pengolahan dalam PDRB Propinsi Lampung Atas Dasar Harga yang Berlaku …......…….……….………….……….….... 184 6. Perkembangan Ekspor Industri di Provinsi Lampung Tahun 2001-2005 185 7. Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2000-2005 ……….……….………….……….…………....…….….... 186 8. Peta Penyebaran Industri Provinsi Lampung….………….................. 187 9. Metode Pembaharuan Data …….…………….…………….…………. 188 10. Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………....……......... 191 11. Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………....……......... 192 12. Pangsa Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….………….……….…………....…….… 193 13. Pangsa Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….………….……….…………....…….… 194 14. Daya Sebar dan Derajat Kepekaan Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2005 ….…………….…………….…………….…... 196 15. Pengganda Output Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ……….………….……….…………....…….…….………… 197 16. Pengganda Pendapatan Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………….…………….…………….…………... 198 17. Pengganda Kesempatan Kerja Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………………….…………….…………. 199
viii
18. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi Tahun 2000 ….…………….…………….…………….…………....... 200 19. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi Tahun 2005 ….…………….…………….…………….…………....... 201 20. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2000 (jutaan
rupiah) ……….……….………….……….…………....…….…........... 202
21. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 (jutaan rupiah) ……….……….………….……….…………....…….…........... 203
22. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung Tahun 2000 ……….……….………….……….…………....…….…... 204
23. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….……….………….……….…………....…….….... 205
24. Peta Rencana Sistem Pelayanan Perkotaan Provinsi Lampung........... 206 25. Direktori Industri Sedang dan Besar Provinsi Lampung Tahun 2005 207 26. Tingkat Pendidikan Pekerja Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 1997 ….…………….…………….…………….…………....... 215 27. Hasil Estimasi Model dan Statistik t Tabel .…………….………….... 216 28. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 .…………. 221 29. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2005 223
30. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Tahun 2005 .………. 225
31. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 .…………. 227 32. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri
Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005 ……….…………….…………….………….................. 229
33. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 231
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009
di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan
agroindustri. Prioritas tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian
wilayah, khususnya di luar Jawa. Rencana tersebut beralasan karena agroindustri
merupakan subsektor industri yang selama ini memberikan kontribusi besar dalam
penyerapan tenaga kerja dan ekspor non migas. Pengembangan agroindustri pada
dasarnya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah memberikan
pengaruh yang besar terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1998. Krisis
ekonomi yang diawali oleh turunnya nilai rupiah terhadap US dollar menyebabkan
semakin mahalnya harga barang-barang impor. Hal ini pada gilirannya
menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh
produsen dalam negeri, yang banyak menggantungkan produksi melalui
ketersediaan bahan baku impor. Krisis ekonomi yang berkepanjangan tersebut
menyebabkan output menjadi berkurang sehingga mengakibatkan penurunan produk
domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada tahun tersebut mengalami kontraksi sekitar -13.1%, yang mengakibatkan
banyak sektor ekonomi terpuruk, terutama industri dan konstruksi.
Menurut Departemen Perindustrian (2005), perekonomian Indonesia mulai
mengarah pada pemulihan krisis ekonomi yang tercermin dari membaiknya kondisi
ekonomi makro dengan indikator terkendalinya inflasi, stabilnya nilai tukar terhadap
nilai mata uang asing khususnya dolar Amerika Serikat, rendahnya suku bunga bank
dan sebagainya. Sejalan dengan kemajuan itu, sektor industripun mengalami
2
perbaikan kinerja, baik dalam hal pertumbuhan, kontribusi, maupun peranannya.
Meskipun ada perbaikan yang cukup berarti, harus diakui bahwa peran sektor
industri dalam ekonomi nasional, serta sektor riil lainnya masih lebih rendah
dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis.
Herjanto (2003) menyebutkan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi pada
pertengahan tahun 1997, perkembangan jumlah unit usaha, tenaga kerja, nilai
produksi, nilai investasi dan nilai ekspor agroindustri menunjukkan peningkatan
yang cukup menggembirakan. Dari jumlah unit usaha, pada tahun 1995 tercatat
sebanyak 2 068 unit usaha sedangkan pada tahun 1997 telah mencapai 2 416 unit
usaha atau naik rata-rata 8.41% pertahun. Penyerapan tenaga kerja juga mengalami
peningkatan, apabila pada tahun 1995 sebesar 817 466 orang, pada tahun 1997 telah
mencapai 971 896 orang. Perkembangan ekspor juga menunjukkan peningkatan
yang tajam. Pada tahun 1995 nilai ekspor tercatat sebesar US$ 1.65 milyar, pada
tahun 1997 telah mencapai US$ 2.39 milyar atau mengalami pertumbuhan rata-rata
20.5% pertahun.
Saat awal krisis ekonomi pada tahun 1997, agroindustri masih bertahan. Hal
ini ditunjukkan dengan tingkat utilitas rata-rata sekitar 75.3%. Setelah krisis
melanda Indonesia, terjadi penurunan tingkat utilitas menjadi sekitar 6.9% pada
tahun 1998. Nilai ekspor juga mengalami penurunan, di mana pada tahun 1997 nilai
ekspor mencapai US$ 2.39 milyar sedangkan tahun 1998 menjadi US$ 1.96 milyar
(turun -17.8%). Meskipun demikian, kontribusi sektor agroindustri terhadap
perekonomian masih tetap tinggi. Pada tahun 1998, saat pertumbuhan ekonomi
negatif, sektor agroindustri menyumbang Rp 39.87 trilyun pada PDB ekonomi atau
sebesar 17.56% dari kontribusi sektor industri pengolahan non-migas.
Pada tahun 2000 sumbangan sektor agroindustri terhadap PDB ekonomi
mencapai Rp 51.5 trilyun. Kelompok industri berbasis hasil pertanian (skala
3
menengah besar) berjumlah 2 190 unit usaha dengan nilai investasi sebesar Rp 27
trilyun. Nilai produksi mencapai Rp 39.1 trilyun dan total ekspor mencapai US$ 3
milyar. Sedangkan untuk skala kecil menengah berjumlah lebih dari 545 000 unit
usaha dengan nilai produksi mencapai Rp 12.5 trilyun dan nilai investasi sebesar Rp
2.97 trilyun, serta total ekspor sebesar US$ 112.5 juta.
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk
pengembangan agroindustri di luar Jawa. Besarnya potensi tersebut dapat dilihat dari
kontribusi agroindustri terhadap output sektoral dalam perekonomian wilayah
Lampung. Berdasarkan Lampiran 1, 2 dan 3 yang merupakan data Tabel Input-
Output Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005, peringkat terbesar dalam
kontribusi output sektoral adalah sektor-sektor dalam kelompok agroindustri.
Sektor-sektor agroindustri tersebut menyumbang sekitar 28% output daerah, dimana
persentase ini lebih besar dibandingkan sektor pertanian.
Jika dibandingkan dengan sektor produksi primer (perkebunan, padi,
perikanan, peternakan dan kehutanan), perolehan output dan nilai tambah pada
sektor agroindustri tersebut sangat besar. Sektor agroindustri memberikan
sumbangan sekitar 50% terhadap ekspor non migas Provinsi Lampung selama tahun
2001-2005 (lihat Lampiran 6 dan 7). Pada tahun 2001 nilai ekspor industri hasil
pertanian mencapai US $ 245 812.64 ribu. Nilai ekspor komoditas ini terus bergerak
naik hingga mencapai US $ 586 216.46 ribu pada tahun 2005.
1.2. Perumusan Masalah
Kebijakan dalam pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk
menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi
perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan internasional
merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus dari strategi
4
pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri
manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional.
Untuk membangun daya saing yang berkelanjutan, upaya pemanfaatan
seluruh potensi sumber daya yang dimiliki bangsa serta kemampuan untuk
memanfaatkan peluang-peluang yang ada di luar maupun di dalam negeri harus
dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, daya saing yang berkelanjutan tersebut
terletak pada upaya menggerakkan dan mengorganisasikan seluruh potensi sumber
daya produktif untuk menghasilkan produk inovatif yang lebih murah, lebih baik,
dan lebih mudah diperoleh dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan permintaan
pasar.
Menurut Pandjaitan (2000), dalam rangka untuk meningkatkan daya saing
industri, diperlukan pengelompokan industri yang saling berhubungan secara
intensif, dan merupakan aglomerasi perusahaan-perusahaan yang membentuk
kemitraan. Pentingnya perhatian tentang aglomerasi, berkait dengan sejumlah
argumen bahwa aglomerasi muncul karena pelaku ekonomi berupaya mendapatkan
penghematan aglomerasi baik karena lokasi perusahaan (localization economies),
maupun urbanisasi (urbanization economies) (Kuncoro, 2000). Hal ini sejalan
dengan pemikiran O’Sullivan (2000) bahwa kedua macam penghematan ekonomi
tersebut merupakan konsentrasi ekonomi secara spasial. Kedua macam
penghematan ini, yang sering disebut agglomeration economies, secara implisit
memperlihatkan hubungan antara industrialisasi dan urbanisasi dalam proses
pembangunan. Penghematan akibat lokalisasi terjadi apabila biaya produksi
perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut
meningkat. Dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam industri yang sama,
suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Tiga tipe agglomeration
economies yaitu internal returns to scale, localization economies, dan urbanization
5
economies (O’Sullivan, 2000; Capello, 2007). Fujita et al. (1999) menyatakan
terjadinya aglomerasi didasari oleh pentingnya hasil yang meningkat akibat skala
ekonomi, biaya transportasi, serta keterkaitan ke belakang dan ke depan yang besar.
Penghematan lokalisasi yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan yang
memiliki aktifitas dan berhubungan satu sama lain, telah memunculkan fenomena
klaster industri, atau sering disebut industrial clusters atau industrial districts.
Klaster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat
terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua
industri. Menurut Markusen (1996), aglomerasi industri merupakan kumpulan
klaster-klaster industri.
Keterkaitan aglomerasi industri dengan kebijaksanaan industri nasional
adalah kebijakan persebaran lokasi industri melalui penguatan klaster industri.
Kebijakan klaster industri secara formal tercantum dalam Undang-undang No. 25
Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), dinyatakan bahwa
dalam rangka konsolidasi pembangunan sektor primer, sekunder dan tersier,
termasuk persebaran pembangunan sektor-sektor tersebut dapat ditempuh melalui
klaster industri. Klaster industri merupakan bentukan organisasi yang paling sesuai
guna menjawab tantangan globalisasi. Kebijakan ini dilanjutkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009 yang berkaitan
dengan sektor industri (Bappenas, 2005).
Dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009, disebutkan
bahwa peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan
klaster. Klaster-klaster tersebut tersebut adalah (1) industri makanan dan minuman,
(2) industri pengolahan hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri
alas kaki, (5) industri kelapa sawit, (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan
6
bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri
mesin listrik dan peralatan listrik, serta (10) industri petrokimia. Kriteria penentuan
klaster adalah berdasarkan peranan industri terhadap (1) penyerapan tenaga kerja,
(2) pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, (3) pengolahan hasil pertanian dan
sumberdaya alam, (4) potensi pengembangan ekspor, serta (5) terkait dengan
industri masa depan.
Menurut Departemen Perindustrian (2005), industri masa depan adalah
industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, didasarkan pada besarnya
potensi sumberdaya alam, kemampuan atau daya kreasi dan ketrampilan, serta
profesionalisme sumberdaya manusia. Industri masa depan sebagai industri yang
pengembangannya diprioritaskan pada masa yang akan datang, meliputi: (1) industri
berbasis agro, (2) industri alat angkut, serta (3) industri teknologi informasi dan
peralatan telekomunikasi (telematika). Pengembangan industri berbasis agro
(agroindustri) dilakukan melalui pendekatan klaster. Lokasi pengembangan klaster
agroindustri dapat dilihat pada Lampiran 4.
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk
pengembangan agroindustri di luar Jawa dan lokasi utama klaster agroindustri.
Berdasarkan Lampiran 5 diketahui bahwa agroindustri di Provinsi Lampung
memiliki kontribusi yang besar dalam PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Dari
lampiran tersebut terlihat bahwa agroindustri menyumbang sekitar 12% dari total
PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2000-2004 dan menyerap
sekitar 75% dari tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam kurun
waktu tahun 2000-2005. Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan tenaga
kerja, agroindustri berperan sebagai leading sector sehingga pengembangan
agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat strategis. Salah satu
syarat tercapainya transformasi struktural dari pertanian ke industri adalah adanya
7
keterkaitan antara pertanian dan industri yang tangguh. Dengan demikian, penelitian
keterkaitan antarsektor agroindustri di Provinsi Lampung diperlukan untuk melihat
peran agroindustri sebagai leading sector menuju tercapainya transformasi struktural
dari pertanian ke industri.
Aglomerasi agroindustri di Provinsi Lampung terjadi karena posisi Provinsi
Lampung dekat dengan kawasan Jabotabek sebagai daerah pemasaran, dan dekat
dengan sumber bahan baku (lihat Lampiran 8). Oleh karena itu, diperlukan
penelitian tentang aglomerasi industri dan peranannya dalam perekonomian Provinsi
Lampung. Analisis peranan agroindustri dalam perekonomian wilayah dilakukan
agar target agroindustri dalam meningkatkan output, pendapatan dan penyerapan
tenaga kerja wilayah memberikan kontribusi yang besar.
Dari latar belakang dan gambaran kondisi agroindustri di Provinsi Lampung,
maka ada beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana keterkaitan antarsektor agroindustri terhadap sektor-sektor lain
dalam perekonomian wilayah?
2. Apakah terjadi konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor-sektor
agroindustri di Provinsi Lampung?
3. Apakah aglomerasi menimbulkan penghematan (agglomeration economies)
dalam produksi sektor agroindustri?
4. Kebijakan ekonomi apakah yang berpotensi meningkatkan peran sektor
agroindustri dalam perekonomian wilayah?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah :
1. Menganalisis keterkaitan sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah.
2. Mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor
agroindustri.
8
3. Menganalisis penghematan aglomerasi (agglomeration economies) dalam sektor
agroindustri.
4. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri dalam
perekonomian wilayah.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberikan kontribusi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
pengambilan keputusan guna mengoptimalkan peranan agroindustri dalam
perekonomian Provinsi Lampung melalui pendekatan aglomerasi, keterkaitan
dan kontribusi agroindustri dalam output, pendapatan, dan tenaga kerja.
2. Memperkaya khasanah pengetahuan tentang ekonomi pembangunan, ekonomi
pertanian, geografi ekonomi, ekonomi regional, ekonomi publik, dan
perencanaan wilayah.
3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan
Penelitian ini mengkaji dampak eksternalitas aglomerasi dan peran
agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung dengan ruang lingkup
dan keterbatasan sebagai berikut :
1. Penelitian ini meliputi langkah-langkah berikut: (1) pengkajian struktur ekonomi
wilayah, (2) pembaharuan data (updating) Tabel Input-Output Tahun 2000 ke
Tahun 2005, (3) pengkajian keterkaitan ke belakang dan ke depan, serta dampak
pengganda agroindustri, (4) pengkajian besarnya konsentrasi spasial dan
kekuatan aglomerasi, (5) pengkajian faktor-faktor penentu penyebab tumbuhnya
penghematan akibat aglomerasi agroindustri (agglomeration economies), (6)
pemodelan simulasi/skenario kebijakan, dan (7) perumusan implikasi kebijakan.
9
2. Lingkup wilayah penelitian dibatasi pada tingkat makro wilayah Provinsi
Lampung dan tidak menganalisis keterkaitan antar wilayah (inter region). Salah
satu alat analisis data yang dipergunakan adalah Model Input-Ouput (I-O)
sehingga berlaku asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam model tersebut.
Asumsi-asumsi tersebut adalah : (1) keseluruhan kegiatan ekonomi dibagi habis
menurut klasifikasi tertentu ke dalam sektor dan institusi, (2) jumlah penerimaan
dan jumlah pengeluaran dari masing-masing sektor/institusi berimbang (adanya
prinsip keseimbangan umum), dan (3) distribusi koefisien antar sektor/berlaku
konstan.
3. Asumsi yang digunakan dalam analisis input-output yaitu: (1) keseragaman
(homogeneity), yang mensyaratkan bahwa tiap sektor memproduksi suatu output
tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis terhadap
input dari output sektor yang berbeda-beda, (2) kesebandingan (proportionality),
yang menyatakan hubungan antara input dan output di dalam tiap sektor
merupakan fungsi liniar, yaitu jumlah tiap jenis input yang diserap oleh sektor
tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output dari
sektor-sektor tersebut, (3) penjumlahan (additivity), yang berarti bahwa efek
total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan efek masing-masing
kegiatan, dan (4) ekses kapasitas atau kapasitas sumberdaya berlebih. Artinya
sisi penawaran selalu dapat merespon perubahan sisi permintaan dan penawaran
tidak pernah menimbulkan kesenjangan antara keduanya. Konsekuensinya
harga-harga tidak pernah berubah atau harga tetap (fixed price) dan bersifat
eksogen.
4. Tidak membangun Tabel Input-Output Interregional antar kabupaten/kota
ataupun antar provinsi.
10
5. Analisis pengaruh penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies)
agroindustri dibatasi pada maanfaatnya bagi produksi atau output industri besar
dan sedang karena berhubungan dengan konfigurasi spasial dan keterbatasan
data.
6. Analisis konsentrasi spasial dan kekuatan aglomerasi sektor agroindustri dibatasi
pada unit spasial kabupaten atau kabupaten yang berdekatan (co-location).
7. Analisis knowledge spillovers dibatasi pada tingkat pendidikan pekerja,
sedangkan natural advantage berkaitan dengan bahan baku agroindustri.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aglomerasi
Montgomery (1988) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial
dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang
berdekatan (economies of proximity), yang diasosasikan dengan klaster spasial dari
perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Markusen (1996) menyatakan bahwa
aglomerasi merupakan suatu lokasi yang "tidak mudah berubah" akibat adanya
penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya
berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat
kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Aglomerasi merupakan
kumpulan klaster-klaster industri. Namun suatu klaster, atau superklaster di Brazil,
atau bahkan kumpulan klaster tidak dapat diidentikkan dengan suatu kota. Nama-
nama populer seperti Silicon Valley di AS atau Sinos Valley di Brazil menunjukkan
bentuk-bentuk geografis yang berbeda. Negara Bagian Minnesota juga merupakan
aglomerasi industri dari masing-masing bagian wilayah yang berspesialisasi yaitu
Twin Cities untuk industri jasa, Southeast Minnesota untuk industri mesin,
Southwest Minnesota untuk industri peralatan pertanian, Northwest Minnesota
untuk industri pengolahan hasil pertanian, dan Northeast Minnesota untuk industri
hasil hutan dan rekreasi (Munnich, 2005).
Perkembangan konsep dan pemikiran tentang aglomerasi dapat dirangkum
dalam Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa setiap studi atau teori
mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik atau moderen.
Ditinjau dari perspektif klasik, aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan
diasosiasikan dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" (economies of
agglomeration) melalui konsep eksternalitas. Para pendukung perspektif ini telah
12
meletakkan dasar-dasar model mikro mengenai eksternalitas akibat skala ekonomis
(Kuncoro, 2000).
Sumber: Kuncoro (2000)
Gambar 1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi
Jalur pemikiran tersebut dikembangkan dengan berbagai studi empiris yang
mencoba menganalisis dan mengestimasi besarnya skala ekonomis. Sementara itu,
para ahli ekonomi regional mendefinisikan kota sebagai hasil dari produksi
aglomerasi secara spasial. Hal ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya literatur
mengenai formasi kota.
Menurut Hoover (1985), penghematan aglomerasi adalah penghematan yang
terjadi akibat terkonsentrasinya aktivitas ekonomi secara spasial. Penghematan
tersebut dapat terjadi dalam industri yang sama atau beberapa industri yang berbeda.
KLASIK
Penghematan Eksternal
Formasi Perkotaan
Eksterna-litas Dinamis
Pertumbuhan Kota
Biaya Transaksi
Lokalisasi vs Urbanisasi
Marshall- Arrow Romer
Jacobs Central Place vs Network System
Increasing return
(Penghematan akibat skala)
Knowledge spill over akibat keanekaragaman
Ketergantungan skala vs netralitas
Minimisasi biaya transaksi akibat skala
AGLOMERASI
MODERN
13
Hoover (1985) menyatakan bahwa ada 2 macam penghematan akibat aglomerasi,
yaitu penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Penghematan lokalisasi
terjadi karena konsentrasi spasial dalam industri yang sama, meliputi penghematan
transfer yang terjadi pada keseluruhan perusahaan dalam industri dan saling terkait
satu sama lain. Hal ini menyebabkan penurunan biaya produksi perusahaan pada
suatu industri ketika produksi total dari industri tersebut meningkat (economies of
scale). Penghematan urbanisasi terjadi apabila industri-industri pada suatu wilayah
terasosiasi dan terakumulasi dalam berbagai tingkatan aktivitas ekonomi secara
keseluruhan. Penghematan urbanisasi mendorong terciptanya pendukung dari
aktivitas ekonomi secara keseluruhan dan menciptakan keuntungan secara kumulatif
bagi seluruh industri.
Berdasarkan Pemikiran Hoover tentang localization economies dan
urbanization economies, Glaeser et al. (1992) mengklasifikasikan dua macam
knowledge spillovers, yaitu intraindustry spillovers dan interindustry spillovers.
Intraindustry spillovers adalah knowledge spillovers yang terjadi pada suatu industri
yang dikembangkan berdasarkan pemikiran Romer. Sedangkan interindustry
spillovers, yang dikembangkan oleh Jacob, merupakan knowledge spillovers yang
terjadi antar industri yang berkaitan dalam suatu lokasi.
Jacob (1969) mengembangkan pemikiran Hoover tentang penghematan
urbanisasi. Jacob menyatakan bahwa terjadi ekternalitas positif antar industri berupa
interindustry spillovers yang biasa disebut sebagai Jacobs externalities sebagai
dampak terkonsentrasinya dan terasosiasinya industri-industri pada suatu wilayah.
Henderson (1994) melengkapi pemikiran Jacob dan menyatakan bahwa penelitian
dan pengembangan (R&D) berpengaruh positif terhadap Jacobs externalities.
Perspektif moderen menunjukkan beberapa kritik terhadap teori Klasik
mengenai aglomerasi. Pada konteks ini, tiga jalur pemikiran dapat diidentifikasi.
14
Pertama, teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic externalities).
Kedua, mahzab pertumbuhan perkotaan. Ketiga, paradigma berbasis biaya transaksi.
Dalam kaitannya dengan aglomerasi, sebagian besar ekonom mendefinisikan
kota sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi secara spasial. Quigley (1998)
mengidentifikasi empat macam pemikiran studi aglomerasi dan yang diidentifikasi
menjadi empat periode evolusi pemikiran. Periode pertama, yaitu beberapa
dasawarsa setelah Perang Dunia I, fokus analisis adalah pada faktor-faktor yang
mempengaruhi lokasi perusahaan dan rumah tangga dalam suatu kota. Pada periode
kedua, yang dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kebanyakan studi
mencoba menjelaskan daya tarik lokasi kawasan perkotaan. Periode ketiga muncul
dari analisis yang intensif mengenai kota-kota utama di AS dan memperkenalkan
konsep eksternalitas, yang muncul akibat skala ekonomis.
Menurut Quigley (1998), saat ini kita berada dalam pertengahan periode
keempat dalam mencoba memahami perekonomian kota. Pada periode ini, kota
digunakan untuk menganalisis hakikat dan sebab-sebab pertumbuhan ekonomi.
Kebanyakan analisis aglomerasi secara implisit mengasumsikan bahwa formasi dan
perkembangan kota dapat dipahami bila mekanisme konsentrasi produksi secara
spasial telah dimengerti dengan benar.
Kuncoro (2000) menyatakan bahwa aglomerasi tidak selalu memunculkan
suatu kota. Perbedaan antara aglomerasi dan kota terutama terletak pada perbedaan
antara kesederhanaan (simplicity) dan kompleksitas. Teori klasik mengenai
aglomerasi berargumen bahwa aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi
berupaya mendapatkan penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies),
baik karena penghematan akibat lokasi maupun penghematan akibat urbanisasi,
dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Aglomerasi ini
mencerminkan adanya sistem interaksi antara pelaku ekonomi yang sama: apakah
15
antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan dalam industri yang
berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan rumah tangga. Di lain pihak, kota
adalah suatu daerah keanekagaman yang menawarkan manfaat kedekatan lokasi
konsumen maupun produsen. Beberapa faktor kunci yang memiliki implikasi
terhadap skala dan keberagaman kota disajikan pada Tabel 1. Faktor-faktor ini
meliputi skala ekonomis, penghematan akibat berbagi input baik dalam proses
produksi maupun konsumsi, penurunan biaya transaksi, dan penurunan variabilitas
akibat keanekaragaman aktivitas ekonomi.
Tabel 1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman
Faktor Contoh Argumen Teori
1. Penghematan skala (Scale economies) Dalam produksi, di
dalam perusahaan Dalam konsumsi
Skala pabrik yang lebih besar Barang publik: taman, stadion olah raga
Mills, Dixit Arnott & Stiglizt
2. Berbagi bahan baku (Shared inputs) Dalam produksi Dalam konsumsi
Perbaikan, akuntansi, hukum, iklan Teater, restoran, kultur tinggi/rendah
Krugman Rivera-Batiz
3. Biaya transaksi (Transaction cost) Dalam produksi
Dalam konsumsi
Kesesuaian pasar tenaga kerja Kawasan perbelanjaan
Heisley & Strange, Acemoglu, Artle
4. Penghematan statistik (Statistical economies) Dalam produksi Dalam konsumsi
Asuransi bagi penganggur Penjualan kembali aset Barang-barang substitusi
David & Rosenbloom Heisley & Strange
Sumber: Quigley (1998)
Pendekatan lain adalah mengaitkan aglomerasi sebagai suatu bentuk spasial
dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" melalui konsep eksternalitas. Scott
and Storper (1992) membedakan konsep eksternalitas antara: (1) penghematan
internal dan eksternal (internal economies dan external economies); dan (2)
16
penghematan akibat skala dan cakupan (economies of scale dan economies of
scope).
Penghematan internal adalah suatu pengurangan biaya secara internal di
dalam suatu perusahaan atau pabrik. Seberapa jauh pengurangan biaya dapat dicapai
pada suatu perusahaan tergantung apakah efisiensi dapat ditingkatkan atau
dipertahankan. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara
internal meliputi: pembagian kerja (spesialisasi), digantinya tenaga manusia dengan
mesin, melakukan subkontrak beberapa aktivitas proses produksi kepada perusahaan
lain, dan menjaga titik optimal operasi yang meminimalkan biaya.
Penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat
aktivitas di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Sebagaimana halnya suatu
perusahaan dapat mencapai penghematan biaya secara internal dengan memperluas
produksi atau meningkatkan efisiensi, suatu atau beberapa industri dapat meraih
penghematan eksternal dengan beraglomerasi secara spasial. Penghematan biaya
terjadi akibat perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama
lain dalam memperoleh pasar atau konsumen. Penghematan juga terjadi karena
adanya tenaga terampil dan bahan baku pada daerah tersebut yang menopang
jalannya usaha perusahaan. Manfaat aglomerasi industri diperkuat oleh sarana dan
prasarana seperti pendidikan, air, transportasi, dan hiburan, yang memungkinkan
adanya penghematan biaya.
Penghematan akibat skala muncul karena perusahaan menambah produksi
dengan cara memperbesar pabrik (skala). Penghematan biaya terjadi dengan
meningkatkan skala pabrik sehingga biaya produksi per unit dapat ditekan. Ini
berbeda dengan penghematan akibat cakupan yang terjadi karena sejumlah aktivitas
atau sub-unit usaha secara internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang
bersamaan sehingga menghemat biaya. Penghematan eksternal maupun
17
penghematan skala ekonomis dan cakupan secara khusus berkaitan dengan proses
aglomerasi. Penghematan akibat aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barang-
barang konsumsi, variabilitas input antara, dan angkatan kerja (Kuncoro, 2000).
Dewasa ini teori-teori klasik yang dianggap standar ditantang dan
disempurnakan oleh tiga jalur paradigma: (1) teori-teori baru mengenai eksternalitas
dinamis yang menekankan peranan transfer informasi dan inovasi, (2) paradigma
pertumbuhan perkotaan, dan (3) paradigma yang berbasis biaya transaksi.
Teori-teori baru mengenai eskternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi
informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produktivitas dan
kesempatan kerja. Pendekatan ini menjelaskan secara simultan bagaimana kota-kota
terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Berbeda dengan eksternalitas statis,
Menurut Henderson et al. (1995) eksternalitas dinamis menekankan pada pentingnya
transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antar perusahaan dalam suatu industri,
yang diperoleh lewat komunikasi yang terus berlangsung antar perusahaan lokal
dalam industri yang sama. Porter (1990) membuat argumen yang serupa bahwa
pertumbuhan didorong oleh transfer pengetahuan pada industri yang berspesialisasi
pada produk tertentu dan terkonsentrasi secara spasial.
Pertumbuhan kota-kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih
kompleks daripada sekedar penghematan akibat aglomerasi. Teori skala kota yang
optimal (theories of optimum city size), yang dikaji ulang oleh Fujita and Thisse
(2002) menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktivitas ekonomi
sebagai hasil yang menarik antara kekuatan sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan
sentripetal (centripetal forces), yang ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi,
adalah semua kekuatan menarik aktifitas ekonomi ke daerah perkotaan. Kekuatan
sentrifugal (centrifugal forces) adalah kebalikan dari kekuatan sentripetal.
18
Ronald Coase (Pemenang Hadiah Nobel dalam llmu Ekonomi tahun 1991)
merupakan ekonom yang mengembangkan analisis biaya transaksi (ABT). Menurut
Coase (1992), untuk melakukan suatu transaksi pasar diperlukan identifikasi dengan
siapa seseorang bertransaksi, menginformasikan kepada masyarakat bahwa
seseorang ingin berurusan beserta persyaratannya, melakukan negosiasi hingga
penawaran, menulis kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk
meyakinkan bahwa syarat-syarat kontrak telah diikuti, dan seterusnya. Biaya
transaksi tidak hanya mempengaruhi penyusunan kontrak tetapi juga mempengaruhi
barang dan jasa yang diproduksi. Adanya biaya transaksi akan mendorong
munculnya perusahaan.
Sumber-sumber aglomerasi ekonomi terdiri dari spillovers (rembesan)
informasi, input lokal tidak diperdagangkan, dan sumber tenaga kerja lokal terlatih
(Mccann, 2001; Capello, 2007). Jika beberapa perusahaan pada industri yang sama
terkumpul pada lokasi yang sama, ini berimplikasi bahwa pemilik perusahaan relatif
mudah dalam mengakses tenaga kerja dari perusahaan lokal lainnya. Tenaga kerja
yang berkumpul pada lokasi yang sama memudahkan rembesan (spillovers)
informasi melalui kontak langsung atau tidak langsung (Cohen, 2005). Pada situasi
di mana beberapa perusahaan ada di lokasi yang sama, ada kemungkinan terdapat
input lokal tidak diperdagangkan seperti infrastruktur tersebut, dengan cara yang
lebih efisien dibandingkan jika perusahaan terdispersi/menyebar. Konsentrasi
spasial menurunkan biaya transaksi informasi. Konsentrasi spasial meningkatkan
kemungkinan informasi yang tepat akan ditransmisikan, dan ketersediaan tenaga
kerja terlatih pada lokasi tersebut relatif lebih banyak dari pada tenaga kerja yang
terdispersi.
19
2.2. Keterkaitan Antarsektor
Debat ahli ekonomi mengenai pertumbuhan seimbang (balanced growth)
dan tidak seimbang (unbalanced growth) telah memberikan sumbangan bagi studi
kuantitatif pola-pola pembangunan. Pendukung pertumbuhan seimbang seperti
Nurkse (1953) atau Rosenstein-Rodan (1963) mengargumentasikan bahwa negara
harus membanguan berbagai industri secara simultan jika ingin mencapai
pertumbuhan berkelanjutan. Tipe pembangunan ini sering disebut sebagai
pertumbuhan seimbang pada sisi permintaan, karena pembangunan industri
ditentukan oleh permintaan atau pola pengeluaran dari konsumen dan investor.
Pertumbuhan seimbang pada sisi penawaran menunjukkan kebutuhan untuk
membangun beberapa industri secara bersamaan untuk mencegah kemacetan
penawaran.
Salah satu masalah terkait dengan argumen pertumbuhan seimbang
berkaitan dengan nasehat suatu negara miskin dengan sedikit atau tanpa industri
disarankan untuk membangun beberapa industri secara bersamaan atau terus
mengalami stagnasi. Program ini terkadang disebut sebagai big push atau critical
minimum effort. Saran tersebut tidak mendorong negara miskin yang memiliki
beban sumberdaya manajerial dan finansial yang membatasinya untuk mendirikan
beberapa pabrik baru.
Dalam pembahasan mengenai pola pembangunan industri, ditunjukkan
bahwa sedikit bukti yang menunjukkan bahwa semua negara mengikuti pola
tertentu. Beberapa negara memberikan penekanan pada satu industri tertentu,
sedangkan negara lain terkonsentrasi pada set industri yang berbeda. Pendukung
pola pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth), khususnya Hirschman
(1958), menyadari perbedaan tersebut dan menggunakannya untuk mengusulkan
20
pola pembangunan industrial yang berbeda. Suatu negara dapat mengkonsentrasikan
energinya hanya pada beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya.
Menurut Perkins (2001), pertumbuhan tidak seimbang yang diusulkan oleh
Hirschman, tidak berisi cara melepaskan diri dari dilema pertumbuhan seimbang.
Hirschman membangun ide pertumbuhan tidak seimbang tertuju bagaimana
seharusnya pembangunan berjalan. Konsep sentral dari teori Hirschman (1958)
adalah keterkaitan. Industri dikaitkan dengan industri lain dengan cara-cara yang
dapat diperhitungkan dalam memutuskan suatu strategi pembangunan. Industri
dengan backward linkages menggunakan input dari industri lain. Keterkaitan ke
depan terjadi dalam industri yang memproduksi barang yang menjadi input industri
lain.
Keterkaitan ke depan dan ke belakang menghasilkan tekanan yang
mengawali penciptaan industri baru yang pada gilirannya menciptakan tekanan
tambahan dan seterusnya. Tekanan ini dapat berbentuk peluang profit baru bagi
pengusaha swasta atau tekanan yang dibangun melalui proses politik agar
pemerintah mengambil kebijakan. Investor swasta misalnya memutuskan
membangun pabrik tanpa memberikan fasilitas perumahan bagi pekerjanya.
Pemerintah mengambil kebijakan untuk membangun infrastruktur dan jalan.
Perkins (2001) menyatakan bahwa meskipun di permukaan pola
pembangunan seimbang dan tidak seimbang nampak tidak konsisten satu sama lain,
namun dapat dipandang sebagai sisi yang berlawanan dari koin yang sama. Tidak
ada pola tunggal dalam industrialisasi yang harus diikuti semua negara. Di sisi lain,
analisis kuantitatif menunjukkan bahwa beberapa pola sangat mirip antar kelompok
negara. Meskipun negara dengan jumlah perdagangan luar negeri yang besar dapat
mengikuti strategi tidak seimbang untuk beberapa lama, suatu negara tidak dapat
21
mengandalkan industri yang diinginkannya dan selanjutnya terfokus pada industri
tersebut di seluruh tahap pembangunan negara tersebut.
Konsep keterkaitan menunjukkan bahwa ketidakseimbangan yang kaku akan
menghasilkan tekanan yang memaksa suatu negara kembali ke jalur pertumbuhan
seimbang. Jadi, tujuan mendesaknya adalah derajat keseimbangan dalam program
pembangunan. Tetapi perencana memiliki pilihan antara berusaha menjaga
keseimbangan melalui proses pembangunan atau terlebih dulu menciptakan
ketidakseimbangan dengan pemahaman bahwa tekanan keterkaitan akan
memaksanya kembali ke keseimbangan. Pilihan-pilihan tersebut adalah mengikuti
jalur pertumbuhan seimbang yang ditunjukkan oleh garis lurus atau pertumbuhan
tidak seimbang diperlihatkan ditunjukkan oeh garis kurva, yang dilustrasikan pada
Gambar 2.
Saling ketergantungan antar sektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek
keterkaitan, yaitu: (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect),
mengukur efek peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap
tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan
(employment linkage effect), mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu
sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan
penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) mengukur efek perubahan
salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan
pendapatan (Chenery and Clark, 1959).
Peningkatan satu unit permintaan akhir pada variabel eksogen dapat
meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri
dan tingkat penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan.
Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga
dicerminkan oleh penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan
22
pendapatan mendorong peningkatan permintaan barang-barang konsumsi,
menginduksi lebih banyak output dan kesempatan kerja.
Gambar 2. Jalur Pertumbuhan Seimbang dan Tidak Seimbang
Menurut Meier (1995), dua mekanisme yang bekerja dalam sektor aktivitas
produksi secara langsung adalah pertama, penyediaan input yang menghasilkan
permintaan atau backward linkage effects, yaitu setiap aktivitas ekonomi non primer
akan mempengaruhi upaya untuk mensuplai melalui produksi domestik input yang
diperlukan oleh aktivitas tersebut. Kedua, pemanfaatan output atau forward linkage
effects, yaitu setiap aktivitas yang menurut sifatnya tidak menjadi barang akhir, akan
mempengaruhi usaha untuk memanfaatkan output sebagai input pada aktivitas baru.
Pengembangan agroindustri di satu pihak meningkatkan permintaan input
antara (intermediate input) seperti bahan baku tanaman pangan, tanaman
perkebunan, perikanan dan lain-lain yang dipasok oleh sektor pertanian. Hal ini
Output sektor B
Out
put s
ekto
r A
Jalur pertumbuhantidak seimbang
Jalur pertumbuhan seimbang
a
b
23
disebut keterkaitan ke belakang (backward linkage). Di pihak lain, sektor
agroindustri meningkatkan penawaran output untuk sektor-sektor lain seperti
perdagangan dan industri lainnya, di samping ada yang digunakan sendiri oleh
agroindustri. Hal ini disebut keterkaitan ke depan (forward linkage). Jadi, kedua
aspek ini yang dikenal sebagai efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage
effect), yang mengarah ke belakang dan ke depan.
Selain itu, pengembangan sektor agroindustri akan meningkatkan penyediaan
kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, yang selanjutnya meningkatkan
permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan
untuk mengkonsumsi barang-bararig tersebut merupakan dorongan untuk
meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan di sektor
agroindustri. Hubungan ini dikenal sebagai efek keterkaitan ketenagakerjaan
(employment linkage effect) dari efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income
generation linkage effect).
2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan
Istilah agroindustri tidak dapat dipisahkan dari istilah agribisnis. Keduanya
memang menyangkut unsur yang sama, yaitu agro, tetapi memiliki ruang lingkup
yang berbeda. Berikut beberapa kutipan yang dapat membedakan keduanya.
Davis dan Golberg dari Harvard University, yang dikenal sebagai pencetus
istilah agribisnis, mendefinisikan agribisnis sebagai jumlah total dari semua operasi
yang terlibat dalam manufaktur dan distribusi suplai usahatani; aktivasi produksi
pada usahatani; dan penyimpanan atau pengolahan dan distribusi komoditas
usahatani dan barang-barang dagangan yang dihasilkannya (Herjanto, 2003).
Sedangkan, Downey and Erickson (1987) dalam memberikan pengertian tentang
agribisnis mencakup semua bisnis dan aktivitas manajemen yang dilakukan perusahaan
24
yang memberikan input untuk sektor usahatani, menghasilkan produk usahatani, dan/atau
pemrosesan, transport, pembiayaan, penanganan atau pemasaran produk usahatani.
Austin (1992) memberikan definisi agroindustri sebagai suatu usaha yang
mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahannya
mencakup transformasi dan preservasi melalui perubahan secara fisik dan kimiawi,
penyimpanan, pengemasan dan distribusi. Karakteristik pengolahan dan derajat
transformasi dapat sangat beragam, mulai dari pembersihan, grading dan
pengemasan, pemasakan, pencampuran dan perubahan kimiawi yang menciptakan
makanan sayur-sayuran yang berserat.
Hubungan antara sektor pertanian dengan sektor industri dalam agribisnis
menurut Sinaga (1998) adalah agribisnis mencakup seluruh kegiatan di sektor
pertanian dan sebagian dari sektor industri. Subsektor industri tersebut menghasilkan
sarana produksi pertanian dan mengolah hasil-hasil pertanian dan dikenal sebagai
agroindustri.
Dari beberapa definisi di atas jelas bahwa agroindustri mempunyai ruang
lingkup yang lebih kecil dibandingkan agribisnis. Agroindustri terbatas pada
kegiatan pengolahan produk yang berbasiskan pertanian, sedangkan agribisnis
mencakup semua kegiatan sejak menyediakan input, membudidayakan, mengolah,
menyediakan dana, memasarkan, dan mendistribusikan produk-produk berbasiskan
pertanian.
Agroindustri dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu
(upstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang menghasilkan sarana
produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream agrobusiness) yaitu
subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian (Sinaga, 1998).
Dalam konsep pembangunan ekonomi, suatu sektor disebut sebagai sektor
yang memimpin (a leading sector) jika sektor tersebut memenuhi beberapa kriteria
25
sebagai berikut: (1) memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara
keseluruhan, (2) memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, serta (3)
memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages)
yang cukup besar. Kondisi tersebut umumnya dicirikan oleh tingginya elastisitas
harga untuk permintaan dan penawaran, elastisitas pendapatan untuk permintaan
yang relatif besar, multiplier pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif besar,
kemampuan menyerap bahan baku dan kemampuan memberikan sumbangan input
yang besar, serta memiliki keterkaitan erat dengan sektor ekonomi lain yang juga
memiliki pangsa yang relatif besar dalam struktur ekonomi. Berdasarkan pemikiran
di atas dan menelaah kondisi yang terjadi di Indonesia, Saragih (1992) melihat
bahwa agroindustri dapat berperan sebagai sektor yang memimpin.
Dengan menggunakan pendekatan input-output, Saragih (1996) melakukan
kajian peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia. Selama periode
1971-1995, pangsa agroindustri terhadap ekspor industri nonmigas mengalami
pertumbuhan, demikian pula pangsa terhadap impor juga mengalami peningkatan.
Meskipun keduanya mengalami peningkatan, tetapi proporsi ekspor masih lebih
besar daripada impor, sehingga selalu menjadi penghasil surplus devisa. Dengan
neraca perdagangan yang terus positif, agroindustri tetap menjadi penyumbang
terbesar dalam devisa non migas.
Untuk mengukur kinerja ekonomi agroindustri menggunakan tiga kriteria
ekonomi: nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per output, dan nilai tambah
per unit input tidak termasuk modal tetap. Agroindustri dapat berperan penting
dalam pertumbuhan ekonomi serta sebagai prime mover dalam industrialisasi
pedesaan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Pryor and Holt (1998) yang
menunjukkan bahwa kontribusi agrobisnis dalam perkembangan ekonomi nasional
26
(GDP) mencapai 53%, lebih tinggi dari Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun
Brazil.
Menurut Rusastra et al. (2005), dalam rangka mewujudkan struktur
perekonomian yang seimbang, kebijakan ekonomi di sektor agroindustri memiliki
beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah,
menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan
meningkatkan pembagian pendapatan. Agar agroindustri dapat berperan sebagai
penggerak utama perekonomian maka harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut : berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan
input-output yang besar dengan industri lainnya, dan padat tenaga kerja
(Simatupang dan Purwoto, 1990).
2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya
Menurut Porter (1998), klaster adalah sekelompok perusahaan dan lembaga
terkait yang berdekatan secara geografis, memiliki kemiripan yang mendorong
kompetisi serta juga bersifat komplementer. Kedekatan produk dari perusahaan-
perusahaan ini pada tahap awal akan memacu kompetisi dan kemudian mendorong
adanya spesialisasi dan peningkatan kualitas serta mendorong inovasi dalam
diferensiasi pasar. Porter (1998) menggambarkan bahwa klaster merupakan
konsentrasi geografis atas berbagai industri yang terkait, penyedia jasa pendukung
dan berbagai institusi yang mendukungnya.
Klaster dapat berupa sebuah kawasan tertentu, sebuah kota sampai wilayah
yang lebih luas. Bahkan klaster juga berupa sebuah wilayah lintas negara seperti
Jerman Selatan dengan wilayah Swiss yang berbahasa Jerman. Kriteria geografisnya
terletak pada apakah efisien ekonomis atas jarak tersebut ada dan terwujud dalam
berbagai aktivitas bisnis yang menguntungkan atau tidak.
27
Porter (1998) berpendapat bahwa klaster disebabkan oleh (1) keunggulan
kompetitif, (2) sejarah, dan (3) institusi. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan
faktor yang berhubungan dengan kondisi penawaran dan permintaan, hubungan
industri, dan persaingan lokal yang memberikan keuntungan bagi perusahaan lokal.
Sejarah berkaitan dengan faktor yang mendasari industri atau penggunaan teknologi
yang menyebabkan keunggulan kompetitif. Institusi adalah kelembagaan formal dan
informal yang mempengaruhi pengembangan klaster guna mendukung kreasi, difusi,
dan impor pengetahuan.
Proses pembentukan klaster pertama kali diamati oleh Alfred Marshall pada
tahun 1919. Marshall mengidentifikasi manfaat dari berkumpulnya perusahaan
dalam sebuah ruang geografis tertentu. Karakteristik manfaat ini tidak dinikmati
secara pribadi dan mikro oleh sebuah perusahaan serta dapat dinikmati bersama oleh
perusahaan lain. Manfaat seperti ini sering juga disebut sebagai economies of
localization.
Menurut Hartarto (2004), fenomena pengklasteran merupakan suatu
fenomena yang terjadi sejak permulaan awal industrialisasi. Fenomena ini terjadi
dari penenunan kapas di Lancashire dan industri mobil di Detroit sampai industri
tekstil di Ahmadabad dan Bombay serta penyamakan kulit di Calcutta dan Arcot.
Markusen (1996) membuat tesis tentang pola klaster industri beradasarkan
studinya di Amerika Serikat. Berdasarkan variabel struktur bisnis dan skala
ekonomi, keputusan investasi, jalinan kerjasama dengan pemasok, jaringan
kerjasama sesama pengusaha dalam klaster, jaringan kerjasama dengan perusahaan
di luar klaster, pasar dan migrasi tenaga kerja, keterkaitan identitas budaya lokal,
peranan pemerintahan daerah, dan peranan asosiasi, pola klaster dibedakan menjadi
empat distrik yaitu Distrik Marshallian, Distrik Hub & Spoke, Distrik Satelit, dan
Distrik State-anchored.
28
Kebijakan pengembangan klaster industri di Indonesia secara formal
tercantum dalam Program Pembangunan Nasional 1999-2004. Dalam Program
Pembangunan Nasional tersebut dijelaskan bahwa dalam rangka
mengkonsolidasikan pembangunan sektor-sektor primer, sekunder, dan tersier,
termasuk keseimbangan persebaran pembangunannya ditempuh pendekatan klaster
industri. Melalui pendekatan ini diharapkan pola keterkaitan antar kegiatan baik di
dalam sektor industri sendiri (keterkaitan horisontal) maupun antara sektor industri
dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi terkait (keterkaitan vertikal) akan
dapat secara responsif menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat.
Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa
berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada
kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan
horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada
gilirannya justru melemahkan pengembangan klaster dan daya saing nasional.
Berdasarkan RPJM Tahun 2004-2009 dan Kebijakan Menteri Perindustrian
2005-2009, peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui
penguatan klaster. Strategi pengembangan industri di masa depan terdiri atas strategi
pokok dan strategi operasional. Strategi pokok tersebut meliputi: (1) memperkuat
keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai pada klaster dari industri yang
bersangkutan, (2) meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai, (3)
meningkatkan sumber daya yang digunakan industri, dan (4) menumbuh-
kembangkan industri kecil dan menengah. Sedangkan untuk strategi operasional
terdiri dari: (1) menumbuh-kembangkan lingkungan bisnis yang nyaman dan
kondusif, (2) penetapan prioritas industri dan penyebarannya, (3) pengembangan
industri dilakukan dengan pendekatan klaster, dan (4) pengembangan kemampuan
inovasi teknologi.
29
Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi serta terbatasnya
kemampuan sumberdaya pemerintah, fokus utama pengembangan industri
manufaktur ditetapkan pada beberapa sub-sektor yang memenuhi satu atau lebih
kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) memenuhi kebutuhan
dasar dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan), (3) mengolah hasil
pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain
dalam negeri, dan (4) memiliki potensi pengembangan ekspor. Diturunkan dari
keempat kriteria di atas berdasarkan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif,
prioritas dalam tahun 2005-2009 adalah pada penguatan klaster-klaster: (1) industri
makanan dan minuman, (2) industri pengolah hasil laut, (3) industri tekstil dan
produk tekstil, (4) industri alas kaki, (5) industri kelapa sawit; (6) industri barang
kayu (termasuk rotan dan bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri
pulp dan kertas, (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik, dan (10) industri
petrokimia.
Intervensi langsung pemerintah secara fungsional dalam bentuk investasi dan
layanan publik diarahkan pada hal-hal di mana mekanisme pasar tidak dapat
berlangsung. Dalam tataran ini, aspek tersebut meliputi: (1) pengembangan riset
untuk pembaruan dan inovasi teknologi produksi, termasuk pada pengembangan
manajemen produksi yang memperhatikan kesinambungan lingkungan dan teknik
produksi yang ramah lingkungan (clean production), (2) peningkatan kompetensi
dan keterampilan tenaga kerja, (3) layanan informasi pasar produk dan faktor
produksi baik di dalam maupun luar negeri, (4) pengembangan fasilitasi untuk
memanfaatkan aliran masuk dana asing sebagai potensi sumber alih teknologi dan
perluasan pasar ekspor, (5) sarana dan prasarana umum pengendalian mutu dan
pengembangan produk, dan (6) prasarana klaster lainnya, terutama dalam
mendorong penyebaran industri ke luar Jawa.
30
2.5. Geografi dan Lokasi Industri
Aktivitas industri membutuhkan fasilitas fisik, bangunan instalasi
permesinan, perlengkapan dan faktor lingkungan kerja. Dari seluruh fasilitas fisik,
maka lokasi merupakan faktor penentu sebelum kegiatan tersebut berlangsung. Di
samping itu, lokasi menjadi tempat melangsungkan suatu kegiatan dan dapat
menentukan atau mempengaruhi hal teknis yang berhubungan dengan kegiatan
perusahaan, seperti pengangkutan bahan baku, permesinan dan perlengkapan
lainnya, pemasaran dan perlengkapan lainnya
Sejumlah faktor yang ikut menentukan munculnya industri di suatu wilayah,
antara lain faktor ekonomis, historis, manusia, politis, dan akhirnya geografis.
Menurut Richardson (1977), faktor geografis terdiri atas bahan mentah, sumberdaya
tenaga, suplai tenaga kerja, suplai air, pemasaran, dan fasilitas transportasi.
1. Bahan mentah
Tak ada barang dapat dibuat jika tak ada bahan-mentahnya; misalnya untuk
industri pensil dibutuhkan tambang grafit dan kayu jenis khusus tentunya.
Industri kulit pasti berlatarbelakang daerah peternakan di mana jenis ternak
dapat menyediakan kulit yang diperlukan. Industri semen membutuhkan jenis
lempung yang mengandung kapur. Selanjutnya masih perlu dipikirkan,
bagaimana mengangkut bahan mentah tersebut ke kota yang mempunyai industri
tersebut.
2. Sumberdaya tenaga
Sumberdaya tenaga yang diperlukan dalam industri adalah sumberdaya untuk
menggerakkan mesin pabrik, yaitu tenaga air atau perlistrikan. Untuk
mendatangkan bahan-bahan seperti itu, lokasi pabrik dapat mendekat ke
pelabuhan pengimpor bahan tersebut atau mendekat ke lokasi sumber air dan
pembangkit listrik.
31
3. Suplai tenaga kerja
Suplai tenaga kerja menyangkut dua segi, yaitu kuantitatif artinya banyaknya
orang yang direkrut dan kualitatif yaitu tenaga kerja berdasarkan ketrampilan
tekniknya.
4. Suplai air
Industri amat memerlukan persediaan air, misalnya pabrik kertas, pabrik pangan,
dan pabrik kimiawi. Bahkan ada yang memerlukan air bersih atau air yang keras
atau lunak secara kimiawi, serta air yang bebas dari pencemaran. Hal ini penting
dalam pelayanan industri pembuatan kertas, minuman dan tekstil.
5. Pemasaran
Tujuan industri adalah memproduksi barang-barang untuk dijual sehingga
pemasaran mempunyai kedudukan yang penting. Pemasaran tergantung pada
luasnya pasar, kuatnya pasaran, dan taraf hidup para pelanggan.
6. Fasilitas transportasi
Transportasi lewat darat, air atau udara amat diperlukan bagi industri. Hal ini
bertalian dengan usaha untuk mendatangkan bahan mentah dan usaha untuk
melempar produksi ke pasar.
Kajian lokasi industri sebagaimana dikemukakan oleh McCann (2001)
bertujuan untuk menemukan lokasi optimal (optimum location) bagi setiap pabrik
atau industri, yaitu lokasi yang terbaik secara ekonomis. Keuntungan tertinggi akan
diperoleh apabila biaya yang ditanggung paling rendah, namun diperoleh
pendapatan yang tertinggi. Teori Weber menyatakan bahwa lokasi industri mengacu
pada tempat yang biayanya paling minimal. Inilah prinsip dari least cost location, di
mana untuk mendapatkan hal itu perlu dilakukan evaluasi pada beberapa prakondisi
sebagai berikut: (1) wilayah yang seragam dalam hal topografi, iklim, dan
penduduknya, (2) sumberdaya atau bahan mentah, (3) upah buruh, (4) biaya
32
transportasi yang tergantung dari bobot bahan mentah dan jarak antara terdapatnya
sumberdaya (bahan mentah) dan lokasi pabrik, dan (5) terdapatnya kompetisi
antarindustri.
Masalah lokasi bisa muncul baik sebelum pendirian suatu perusahaan
maupun setelah perusahaan berproduksi. Bisa saja suatu perusahaan yang sudah
lama berproduksi mendadak harus pindah lokasi, sehubungan dengan perkembangan
perusahaan, perubahan pasar, atau sumber penawaran bahan baku. Dengan
demikian, dalam situasi persaingan yang melibatkan masalah biaya, maka penentuan
lokasi industri menjadi faktor penting. Hal ini sesuai dengan dasar teori lokasi
perusahaan, yaitu penentuan lokasi perusahaan pada titik geografis yang terbanyak
memberi kesempatan pada peningkatan daya saing atau potensi pasar perusahaan.
Tingkat persaingan dalam pasar dapat diketahui dari posisi suatu perusahaan
dalam suatu industri. Struktur (structure) menentukan perilaku (conduct) dan pada
gilirannya juga akan menentukan kualitas dari kinerja industri-industri. Struktur
mengacu pada sifat industri yang mempengaruhi keadaan proses persaingan.
Struktur mencakup ukuran dan distribusi ukuran perusahaan, penghalang-
penghalang dan syarat-syarat masuk dalam industri, diferensiasi produk, struktur
harga/biaya, dan aturan pemerintah.
Struktur pasar bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan (conduct), misalnya
kebijakan personalia, syarat-syarat kerja, dan berbagai faktor lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap
alokasi sumber daya perusahaan tersebut dan produk-produk dihasilkannya. Perilaku
(conduct) perusahaan dalam industri perlu mempertimbangkan faktor-faktor desain
produk, diferensiasi produk, cara penetapan harga, aktivitas-aktivitas promosi
penjualan, dan iklan. Kinerja merupakan suatu penilaian tentang pencapaian
33
ekonomi dari tujuan-tujuan yang telah direncanakan, misalnya efisiensi,
pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan kesempatan kerja.
2.6. Teori Lokasi, Kutub Pertumbuhan dan Pengembangan Wilayah
Dari sekian banyak teori lokasi dan teori perwilayahan yang telah
diintrodusksi oleh para pencetusnya dapat diketengahkan beberapa di antaranya
yang dianggap penting, yaitu Von Thunen pada tahun 1826, A. Weber pada tahun
1909, W. Christaller pada tahun 1933, A. Losch pada tahun 1944, F. Perroux pada
tahun 1955, W. Isard pada tahun 1956, dan J. Friedmann pada tahun 1964.
Von Thunen telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada
tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan. Menurut Von Thunen, jenis
pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pula pada
aksesibilitas relatif. Lokasi berbagai jenis produksi pertanian (seperti menghasilkan
tanaman pangan, perkebunan, dan sebagainya) ditentukan oleh kaitan antara harga
barang-barang hasil dalam pasar dan jarak antara daerah produksi dengan pasar
penjualan. Kegiatan yang mampu menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar akan
ditempatkan pada kawasan konsentris yang pertama di sekitar kota, karena
keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan untuk membayar sewa lahan
yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya kurang intensif dibandingkan dengan
kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya.
Menurut von Thunen, produsen-produsen tersebar di daerah luas, sedangkan
pembeli-pembeli terkonsentrasi pada titik sentral (buyers concentrated, seller
dispersed). Titik sentral pada umumnya merupakan kota, dan tidak terdapat
perbedaan lokasi di antara para pembeli di dalam kota. Semua pembeli membayar
suatu harga tertentu, tetapi unit penghasilan bersih di antara para produsen berbeda-
beda, tergantung pada jaraknya dari pusat konsumsi. Model von Thunen ini
termasuk dalam kategori satu unit pasar dan banyak unit produksi.
34
Jika terdapat kenaikan biaya transpor, maka harga barang akan naik, dan
sebaliknya penurunan biaya transpor akan menurunkan harga pasar dan
memperbesar penjualan. Manfaat dari penjualan yang bertambah tersebut akan
dinikmati oleh para penjual yang jaraknya lebih jauh, yang berarti lebih
banyak penjual yang melayani suatu pasar sehingga mengakibatkan meningkatnya
permintaan.
Meskipun model Von Thunen masih sangat sederhana, namun sumbangan
pemikirannya bagi pengembangan wilayah cukup penting yaitu mengenai penentuan
kawasan (zoning) menurut berbagai jenis kegiatan usaha (pertanian).
Analisis penentuan lokasi optimum seperti dikemukakan oleh von Thunen
telah mendapat perhatian utama dalam pemikiran Alfred Weber. Ia menekankan
pentingnya biaya transportasi sebagai faktor pertimbangan lokasi. Teori Weber
sebenarnya menekankan dua kekuatan lokasional primer, yaitu selain orientasi
transportasi juga orientasi tenaga kerja. Weber telah mengembangkan pula dasar-
dasar analisis wilayah pasar dan merupakan seorang ahli teori lokasi yang pertama
membahas mengenai aglomerasi. Pemikiran Weber telah memberikan sumbangan
ilmiah dalam banyak aspek, di antaranya yaitu penentuan lokasi yang optimal dan
kontribusinya yang esensial dalam pengembangan wilayah yaitu mengenai
munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri).
Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusunan suatu model
wilayah perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah
teori tempat sentral (central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat
paling besar, sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat paling kecil.
Secara horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang
tersusun dalam tata ruang geografis, dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang
lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang
35
lebih luas dibandingkan pusat-pusat yang kecil; sedangkan secara vertikal, model
tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai
barang-barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di
pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusat-pusat yang lebih rendah
ordenya. Prinsip pemasaran dengan susunan piramidal pada model tempat sentral
dapat menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller, seluruh
wilayah perdagangan dapat dilayani, sedangkan dalam kenyataannya sebagian dari
wilayah-wilayah tersebut tidak sepenuhnya dapat terlayani karena terbatasnya
fasilitas transportasi dan hambatan-hambatan geografis.
Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusat-
pusat kota (wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola
tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dengan perkataan
lain tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat
statis, agar teori tempat sentral dapat menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu
ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah yang menjelaskan mengenai proses
perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari teori pertumbuhan wilayah adalah
teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) yang diformulasikan oleh Perroux.
Sumbangan positif teori tempat sentral karena teori tersebut relevan bagi
perencanaan dan pengembangan wilayah yaitu sistem herarki pusat merupakan
sarana yang efisien untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya
pusat-pusat kota merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal
dan melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi.
Losch mengintroduksikan pengertian-pengertian wilayah pasar sederhana,
jaringan wilayah pasar, dan sistem jaringan wilayah pasar. Prasarana transportasi
merupakan unsur pengikat wilayah-wilayah pasar. Unit-unit produksi pada
umumnya ditetapkan pada pusat-pusat pasar yang juga merupakan pusat-pusat
36
urban. Perusahaan-perusahaan akan memilih lokasinya pada suatu tempat dimana
terdapat permintaan maksimum.
Menurut Fujita et al. (1999), ada tiga arus pemikiran teori lokasi yaitu arus
pertama dari analisis von Thunen mengenai land rent dan land use. Arus kedua,
berhubungan dengan Alfred Weber dan pengikutnya, memfokuskan pada
permasalahan lokasi optimal pabrik. Arus ketiga teori lokasi pusat dari Christaller
dan Losch menawarkan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana ekonomi skala dan
biaya transportasi berinteraksi dalam menghasilkan ekonomi spasial.
Berdasar struktur herarkis tempat sentral yang telah ditunjukkan oleh
Christaller di atas, Isard telah menekankan pentingnya kedudukan pusat-pusat urban
tingkat nasional (metropolis) dalam kaitannya dengan aglomerasi industri.
Selanjutnya Isard mengembangkan gejala locational economies (penghematan
lokasi), dan urbanization economies (penghematan urbanisasi) sebagai akibat dari
pengaruh lokasi. Urutan besarnya peranan kota-kota dapat ditentukan dengan cara
meranking pusat-pusat yang bersangkutan (rank size rule) menurut jumlah
penduduknya.
Dalam kerangka dasar pemikiran Perroux, suatu tempat merupakan suatu
kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kunci (key industry
dalam bahasa Inggris atau industries clef dalam bahasa Perancis) yang memainkan
peranan sebagai pendorong yang dinamik karena industri tersebut mempunyai
kemampuan untuk melakukan inovasi. Suatu kutub pertumbuhan dapat merupakan
pula suatu kompleks industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Industri
kunci adalah industri yang mempunyai dampak berantai ke depan (forward linkage)
yang kuat.
Istilah industri pendorong dan industri kunci agar digunakan secara tepat.
Industri pendorong adalah yang mempunyai pengaruh penting terhadap kegiatan-
37
kegiatan pada industri-industri lainnya, baik sebagai pensuplai atau langganan untuk
barang-barang atau jasa-jasa, sedangkan industri kunci adalah industri yang
menentukan peningkatan aktivitas maksimum (Richardson, 1977).
Konsep kutub pertumbuhan merupakan suatu konsep yang sangat menarik
bagi para perencanaan wilayah. Persoalan utama yang dihadapi dalam penerapan
konsep tersebut adalah pemilihan industri kunci atau industri yang menonjol
(leading industry) sebagai penggerak dinamika perturnbuhan. Dalam kasus suatu
kompleks industri yang harus diperhatikan yaitu mengidentifikasikan
ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan proses
pemindahan perturnbuhan, serta dimensi lokasional dan geografis dari kegiatan-
kegiatan tersebut. Pemilihan industri yang menonjol yang ditetapkan di kutub
perturnbuhan pada umumnya merupakan industri terberat atau terbesar yang terdapat
di daerah tersebut. Hal ini tidak hanya menyangkut pengertian dampak berantai ke
belakang dan ke depan, tetapi berkaitan pula dengan jaringan ketergantungan secara
teknik dan ekonomi. Di daerah-daerah non industri banyak mengalami gejala-gejala
bahwa industri-industri yang dianggap menonjol tidak memiliki ciri-ciri
sebagaimana dinyatakan dalam konsep di atas karena keterbatasan skala teknik dan
ekonominya, sehingga penerapan kriteria pemilihan industri-industri tersebut
tergantung pada kondisi setempat, artinya bersifat relatif.
Konsepsi Perroux merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit
pada aglomerasi. Dinyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di
segala tempat, akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Perroux
lebih memberikan tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan
menganggap industri pendorong (propulsive industries) sebagai titik awal perubahan
unsur yang esensial untuk menunjang pembangunan selanjutnya.
38
Dimensi geografis telah dimasukkan dalam pengaruh kutub pengembangan.
Antara kota dan pedesaan terdapat kaitan yang sangat erat, satu sama lain saling
melengkapi seperti dikemukakan Isard (1956). Friedmann (1964) meninjau dari
ruang lingkup yang luas dengan menampilkan teori core region (wilayah inti).
Wilayah inti dikaitkan dengan fungsinya yang dominan terhadap perkembangan
wilayah-wilayah di sekitarnya, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat
industri. Wilayah-wilayah di sekitar wilayah inti disebut wilayah-wilayah pinggiran
(periphery regions).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi suatu industri
atau unit produksi pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah
dan wilayah pasarnya. Kriteria penentuan yang digunakan bermacam-macam, yaitu
biaya transportasi yang terendah, sumber tenaga kerja yang relatif murah,
ketersediaan sumberdaya air, energi ataupun daya tarik lainnya berupa
penghematan-penghematan lokasional dan penghematan-penghematan aglomerasi.
Dimensi wilayah dan aspek tata ruang telah dimasukkan sebagai variabel tambahan
yang penting dalam kerangka teori pembangunan.
2.7. Skala Pengembalian
Skala pengembalian (returns to scale) menunjukkan hubungan perubahan
input secara bersama-sama (dalam persentase) terhadap perubahan output. Menurut
Nicholson (2000), skala pengembalian merupakan suatu keadaan di mana output
meningkat sebagai respon adanya kenaikan proporsional dari seluruh input.
Berkaitan dengan efek skala, skala pengembalian dibedakan menjadi tiga macam
yaitu skala pengembalian konstan (constant returns to scale), skala pengembalian
menurun (decreasing returns to scale), dan skala pengembalian meningkat
(increasing returns to scale).
39
Sebuah fungsi produksi dikatakan menunjukkan skala pengembalian konstan
(constant returns to scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat
berakibat pada peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Jika penggandaan
seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka fungsi
produksi tersebut dikatakan menunjukkan skala pengembalian menurun (decreasing
returns to scale). Jika penggandaan seluruh input menghasilkan output lebih dari
dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil meningkat
(increasing returns to scale).
Menurut Sugiarto et al. (2002), spesialisasi pekerja dan teknologi skala besar
sering disebut sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi baik increasing returns to
scale maupun decreasing returns to scale. Sebagai ilustrasi, pekerja spesialis
biasanya memiliki kinerja yang membaik dengan bertambahnya waktu dan
pengalaman. Tetapi bila mereka secara terus menerus menggeluti pekerjaan tersebut,
kemungkinan timbul kejenuhan yang pada akhirnya menurunkan kinerja. Teknologi
skala besar terkait dengan economic of scale. Sampai pada tingkat produksi tertentu
di mana kapasitas maksimal faktor produksi belum terlampaui, produksi masih bisa
dioptimalkan. Namun apabila kapasitas optimal faktor produksi telah terlampaui,
penambahan produksi walaupun sangat kecil akan berdampak pada peningkatan
biaya produksi.
Secara umum increasing returns to scale muncul pada saat skala operasi
perusahaan masih kecil hingga sedang, diikuti munculnya kondisi constant returns
to scale dan selanjutnya muncul kondisi decreasing returns to scale saat skala
operasi perusahaan sudah besar. Gambar 3 mengilustrasikan keadaan tersebut, yaitu
dari titik A ke titik D berlaku kondisi increasing return to scale, dari titik D ke titik
F berlaku kondisi constant return to scale dan di atas F berlaku kondisi decreasing
returns to scale.
40
Gambar 3. Skala Pengembalian
2.8. Studi Terdahulu Model I-O dalam Analisis Perekonomian
Kerangka analisis dengan model I-O telah diterapkan secara luas oleh para
peneliti sebelumnya untuk mengungkapkan berbagai aspek ekonomi regional.
Beberapa peneliti seperti Sumartono (1985), Sarkaniputra (1986), dan Sastrowiharjo
(1989) menggunakan kerangka analisis input output tersebut.
Sumartono (1985), dalam studinya menggunakan Tabel I-O Indonesia tahun
1980 mengungkapkan keterkaitan dan ketergantungan sektor pertanian dalam
struktur perekonomian di Indonesia. Studinya menemukan bahwa keterkaitan
langsung sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian masih relatif lemah, yang
ditunjukkan oleh koefisien keterkaitan langsung ke depan sebesar 0.44 dan koefisien
keterkaitan ke belakang sebesar 0.34. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa output
sektor pertanian belum banyak digunakan oleh sektor lain, sebaliknya sektor
pertanian belum banyak menggunakan output sektor lain. Temuan ini menunjukkan
bahwa keadaan struktur ekonomi Indonesia pada tahun 1980 belum menggambarkan
41
keadaan ekonomi yang seimbang antara sektor pertanian dengan sektor bukan
pertanian.
Sarkaniputra (1986), menggunakan model I-O sebagai kerangka strategi
pembangunan pertanian. Dari hasil studinya dirumuskan strategi pembangunan
pertanian, antara lain (1) kebijakan yang berorientasi pada perluasan lapangan kerja
di sektor agribisnis yang disertai dengan perbaikan penghasilan melalui sistem bagi
hasil, (2) kebijakan yang berorientasi pada pembangunan organisasi yang ditujukan
untuk memperkuat institusi sosial yang telah ada, pengaturan kapasitas pemilikan
tanah, besar sewa dan bagi hasil, pembangunan agraria, dan pengaturan kegiatan
produksi, serta (3) kebijakan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi di
daerah pedesaan.
Sastrowiharjo (1989), menggunakan model I-O untuk mengetahui
pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Provinsi Jambi. Dan hasil studinya
ditemukan bahwa proses pertumbuhan perekonomian Provinsi Jambi ditentukan
oleh pertumbuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumahtangga, pengeluaran
pemerintah rutin, pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek pembangunan,
investasi swasta, stok dan ekspor. Dalam jangka pendek, pertumbuhan permintaan
akhir untuk setiap komoditi bersifat independen, artinya tidak ditentukan oleh sistem
produksi itu sendiri, tetapi oleh faktor-faktor lain. Temuan lainnya yaitu struktur
perekonomian provinsi Jambi pada tahun 1984 mengalami perubahan yang jelas, di
mana kelompok sektor pertanian yang pada tahun 1978 memberikan sumbangan
PDRB sebesar 53.46% turun menjadi sebesar 44.46% tahun 1984.
2.9. Studi Terdahulu Aglomerasi Industri
Penelitian tentang aglomerasi industri dengan pendekatan ekonomi belum
banyak dilakukan oleh peneliti. Dari beberapa penelitian tersebut terdapat penelitian
42
menggunakan metode ekonomi geografi, metode ekonometrika/ OLS (lihat Tabel 2),
metode Input-Output (lihat Tabel 3), dan metode indeks (lihat Tabel 4).
Penelitian aglomerasi dengan pendekatan ekonomi geografi dimulai dengan
Markusen (1996) membuat tesis tentang pola klaster industri atau aglomerasi
beradasarkan studinya di Amerika Serikat. Berdasarkan variabel struktur bisnis dan
skala ekonomi, keputusan investasi, jalinan kerjasama dengan pemasok, jaringan
kerjasama sesama pengusaha dalam klaster, jaringan kerjasama dengan perusahaan
di luar klaster, pasar dan migrasi tenaga kerja, keterkaitan identitas budaya lokal,
peranan pemerintah lokal daerah, dan peranan asosiasi, maka pola klaster dibedakan
menjadi empat distrik yaitu Distrik Marshallian, Distrik Hub & Spoke, Distrik
Satelit, dan Distrik State-anchored.
Tabel 2. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Ekonometrika/OLS
Peneliti Variabel
Dependen Variabel Penjelas
Kesimpulan
Kim (1995) Lokalisasi Regional
Intensitas sumberdaya, skala ekonomis, variabel boneka industri dan variable boneka waktu
Perubahan dalam penggunaan sumberdaya dan skala ekonomi, secara signifikan menjelaskan kecenderungan lokalisasi regional di Amerika Serikat
Kuncoro (2000) Indeks Spesialisasi Industri Manufaktur
Intensitas sumberdaya, kandungan impor, biaya tenaga kerja, skala ekonomis, orientasi ekspor, investasi asing langsung, indeks persaingan, umur, dan pendapatan per kapita
Variabel-variabel yang signifikan antara lain skala ekonomis, kandungan impor, biaya tenaga kerja, orientasi ekspor, investasi asing, indeks persaingan, dan umur mempengaruhi spesialisasi regional secara signifikan. Pendapatan regional per kapita sebagai variable spesifik regional juga mampu menjelaskan spesialisasi regional dengan baik
43
Tabel 2. Lanjutan
Peneliti Variabel Dependen
Variabel Penjelas
Kesimpulan
Somik et al. (2004)
Output Industri Kapital, Labor, Energi, Material, penghematan akibat lokal dan penghematan akibat urbanisasi
Semua variabel memiliki efek positif terhadap output industri
Subana (2005) Produk Domestik Bruto (PDRB) kabupaten
Proksi investasi (modal), angkatan kerja, proksi aglomerasi tenaga kerja
Proksi investasi (modal) dan urbanisasi tenaga kerja berpengaruh positif tenaga kerja
Doriza (2005) Output Kapital, Labor, Energi, Material, penghematan akibat lokal, dan penghematan akibat urban
Semua variabel memiliki efek positif terhadap output industri
Kuncoro (2000) menganalisis dinamika dan kekuatan aglomerasi industri di
Jawa tahun 1976-1995 dengan metode ekonometrika yang menggunakan data panel
dan regresi berganda OLS (ordinary least squre). Variabel penelitian yang
digunakan adalah Indeks Spesialisasi Industri Manufaktur sebagai variabel
dependen. Variabel penjelasnya adalah intensitas sumberdaya, kandungan impor,
biaya tenaga kerja, skala ekonomis, orientasi ekspor, investasi asing langsung,
indeks persaingan, umur, dan pendapatan per kapita.
Wahyudin (2004) meneliti lokasi dan konsentrasi spasial industri manufaktur
Indonesia yang berorientasi ekpor pada tingkat kabupaten/kota. Penelitian tersebut
menggunakan analisis statistik deskriptif, indeks entropi theil guna mengamati
konsentrasi dan dispersi.
Hamzah (1997) meneliti pergerakan faktor produksi pada aglomerasi industri
dengan model Cobb-Douglas yang menunjukkan bahwa perpindahan faktor-faktor
produksi seperti tenaga kerja, investasi, dan inovasi mempengaruhi tingkat
pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan Harmidi (2001) menganalisis aglomerasi
44
industri manufaktur besar dan sedang di DKI Jakarta menggunakan model linier
OLS dan panel data Tahun 1975-1998.
Tabel 3. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Analisis Input-Output No. Peneliti Model Implikasi
1. Okamoto (2004a)
Multi-regional Input-output untuk China (CMRIO) untuk analisa aglomerasi dan keterkaitan intra dan inter regional China
Wilayah-wilayah industri yang beraglomerasi mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang cukup besar dibandingkan wilayah lain
2. Okamoto (2004b) Tabel Input-Output untuk analisis aglomerasi dan daya saing industri di Malaysia
Industri yang beraglomerasi mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang cukup besar dibandingkan wilayah lain
3. Kuncoro (2005) Tabel Input-Output untuk masing-masing daerah yang diperbandingkan eksternalitas aglomerasinya
Wilayah yang lebih besar kekuatan aglomerasinya mempunyai indeks aglomerasi yang lebih dibandingkan daerah lain
4. Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota (2005)
Tabel Input-Output dipergunakan untuk menganalisis peran dan keterkaitan klaster industri
Wilayah dalam klaster mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang lebih besar dibandingkan wilayah lain
Penelitian aglomerasi menggunakan metode input-output dilakukan oleh.
Okamoto (2004a) dan Okamoto (2004b). Okamoto (2004a) mengalisis aglomerasi
industri di China guna melihat keterkaitan intra dan inter regional (lihat Tabel 3).
Sedangkan Okamoto (2004b) mengunakan model input-output untuk menganalisis
aglomerasi dan daya saing internasional produk industri Malaysia. Indikator yang
digunakan Okamoto (2004a) dalam menganalisis aglomerasi adalah besarnya
keterkaitan setiap industri. Industri yang mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke
depan yang besar akan cenderung beraglomerasi.
Penelitian klaster industri dilakukan oleh Humphrey Institute of Public
Affairs University of Minnesota (2005) di Negara Bagian Minnesota. Penelitian
tersebut menggunakan pendekatan Markusen (1996) dalam menganalisis pola
45
klasternya, sedangkan keterkaitan klaster indutri menggunakan input-output dan
jaringan klaster dalam pembangunan ekonomi menggunakan pendekatan Porter
(1998).
Beberapa peneliti aglomerasi yang menggunakan sejumlah indeks adalah
Ellison and Glaeser (1999); Lafourcade and Mion (2003). Adapun indeks-indeks
yang digunakan antara lain Indeks Gini Lokasional, Indeks Ellison dan Glaeser, dan
Location Quotient (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Indeks
No. Peneliti Indeks Implikasi
1. Ellison and Glaeser (1999)
Indeks Gini Lokasional, Indeks Ellison dan Glaeser
Industri yang terspesialisasi, konsentrasi spasial terjadi karena natural advantage dan knowledge spillover (disebut juga Marshal-Arrow-Romer atau MAR eksternalitas).
2. Lafourcade and Mion (2003)
Location Quotient (LQ) Spesialisasi relatif (agroindustri) pada suatu wilayah terjadi apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada spesialisasi industri pada wilayah agregat
46
III. KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Teori
3.1.1. Tabel Input-Output, Perekonomian Wilayah dan Industri
Tabel Input-Output (Tabel I-O) telah dikenal sejak pertengahan abad ke-18,
khususnya oleh Francois Quesnay pada tahun 1758 dengan Tableau
De'economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro ekonomi
I-O khususnya antara petani dan buruh (farmers and laborers), tuan tanah
(landowners) dan pihak lainnya (others, sterile class). Leon Walras pada tahun 1877
dengan general equilibrium membuatnya menjadi lebih terinci melalui pemisahan
sektor yang lebih baik dan jelas. Perkembangan Tabel Input-Output menuju bentuk
yang mendasari Tabel Input-Output modern adalah Tabel I-O yang dikembangkan
oleh Leontief pada tahun 1947.
Tujuan Leontief mengembangkan Tabel I-O adalah untuk menjelaskan
besarnya arus interindustri dalam hal tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat
ini, analisis I-O telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat
struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta
dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian.
Menurut Nicholson (2001), model keseimbangan umum dari Walras
menjelaskan adanya dua lembaga ekonomi yaitu rumah tangga dan perusahaan. Di
antara kedua lembaga tersebut terjadi, penawaran barang-barang jadi (final good)
dari perusahaan dan permintaan terhadap barang-barang jadi oleh rumahtangga,
tetapi secara bersamaan terjadi permintaan terhadap faktor-faktor produksi dari
perusahaan terhadap rumah tangga. Apabila jumlah yang diminta sama dengan
jumlah yang ditawarkan, maka keseimbangan umum tercapai.
47
Konsep dasar Model Input-Output Leontief adalah: (1) struktur
perekonomian tersusun dari berbagai sektor atau industri yang satu sama lain
berinteraksi melalui transaksi jual beli, (2) output suatu sektor dijual kepada sektor
lainnya untuk memenuhi permintaan akhir rumah tangga, pemerintah, pembentukan
modal dan ekspor, (3) input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya, dan rumah
tangga dalam bentuk jasa dan tenaga kerja, pemerintah dalam bentuk pajak tidak
langsung, penyusutan, surplus usaha dan impor, (4) hubungan input-output bersifat
linier, (5) dalam suatu kurun waktu analisa selama satu tahun, total input sama
dengan total output, dan (6) suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan.
Suatu sektor hanya menghasilkan suatu output yang dihasilkan oleh suatu teknologi.
Model dasar Tabel Input-Output disajikan pada Tabel 5.
Tabel input-output digunakan untuk: (1) memperkirakan dampak permintaan
akhir terhadap output, nilai tambah, impor, dan penyerapan tenaga kerja di berbagai
sektor produksi, (2) menyusun proyeksi variabel-varibel ekonomi makro, (3)
menganalisis perubahan harga, (4) mengetahui sektor-sektor yang pengaruhnya
paling dominan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang pengaruhnya
paling dominan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional, (5) melihat
komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa, terutama dalam analisis
terhadap kebutuhan dan kemungkinan substitusinya, dan (6) melihat konsistensi dan
kelemahan berbagai data statistik yang pada gilirannya dapat digunakan sebagai
landasan perbaikan, penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut (BPS, 2000).
Model input-output juga dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain
sebagai: (1) analisis struktural yang melukiskan hubungan permintaan dan
penawaran pada tingkat keseimbangan, (2) alat evaluasi pengaruh ekonomi pada
investasi masyarakat terhadap perekonomian wilayah dan nasional, (3) alat
peramalan dan perencanaan melalui mekanisme tertentu, (4) alat analisis regional
48
dan interregional, (5) analisis dampak antar sektor ekonomi, tenaga kerja,
pendapatan, dan lain-lain, (6) analisis kepekaan dan uji kelayakan, (7) bersama-sama
dengan metode linear programming dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, dan
(8) bersama-sama dengan analisis comparative cost, untuk analisis industrial
kompleks dalam suatu rangkaian analisis ekonomi regional (BPS, 2000).
Tabel 5. Model Dasar Tabel Input-Output
Sektor 1 2 … J … N C G I E
Total Output
1 X11 … … Xij … Xin C1 G1 I1 E1 X1 2 X21 … … X2j … X2n C2 G2 I2 E2 X2 … … … … … … … … … … … … I … … … Xij … … Ci Gi Ii Ei Xi .. … … … … … … … … … … …
Input Antara
N Xn1 … … Xnj … Xnn Cn Gn In En Xn W W1 … … Wj … Wn CW GW IW EW W T T1 … … Tj … Tn CT GT IT ET T
Input Primer
S S1 … … Sj … Sn CS GS IS ES S Impor M M1 Mj Mn CM GM IM - M Total Input X1 Xj Xn C G I E X
Keterangan : i,j : Sektor ekonomi, i =1,2,...n, dan j =1,2, ...n Xij : Total output sektor i yang dipergunakan sebagai input sektor j Xi : Total ouput sektor i, X j total input sektor j, untuk sektor yang sama (i=j) , total output sama dengan total input (Xi= Xj). Ci : Pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i Gi : Pengeluaran pemerintah yaitu belanja rutin dan pembangunan terhadap output sektor i. Ii : Pengeluaran pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor i, output i, ouput sektor i yang menjadi barang modal. Ei : Ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang disekpor/ dijual ke luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i. Yi : Total permintaan akhir terhadap output sektor i (Yi=Ci+Gi+Ii+E i) Wj : Balas jasa rumah tangga yaitu upah dan gaji dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j. Tj : Pendapatan pemerintah yaitu pajak dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j. Sj : Surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha Mj : Impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/ dibeli dari luar wilayah.
49
Secara sederhana, tabel input output pada Tabel 5 terdiri dari : pemintaan
antara, permintaan akhir, input antara, input primer, total input dan total output.
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa pada sektor 1, output sebesar X1 dialokasikan
sebesar X11, X21, X31 dan X14 berturut-turut kepada sektor 1, 2, 3 dan 4, sebagai
permintaan antara, serta Fi yaitu konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah,
investasi, dan ekspor, untuk memenuhi permintaan akhir. Alokasi output secara
keseluruhan dapat dirumuskan ke dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut :
11131211 XFXXX =+++
22232221 XFXXX =+++
33333231 XFXXX =+++
Persamaan diatas selanjutnya ditulis kembali sebagai berikut :
11113112111 XFXaXaXa =+++
22213222221 XFXaXaXa =+++
33333332331 3 XXaXaXa =+++
Dimana jijij XXa /= dan menyatakan koefisien (teknik) secara langsung. Dalam
bentuk matriks persamaan dapat dinyatakan sebagai berikut :
AX + F = X (3.1)
Dimana : [ ijα ] merupakan matriks koefisien, X menyatakan matriks total dan F
menyatakan matriks permintaan akhir. Persamaan 3.1 dapat dinyatakan sebagai
berikut :
FAIX .)( 1−−= (3.2)
Tabel input-output sederhana dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu
kuadran I, II, III dan IV. Menurut Bendavid (1991), pembagian tabel input-output
ke dalam empat kuadran tersebut sangat penting untuk memahami ketergantungan
ekonomi dan gambaran holistik masing-masing sektor.
50
Kuadran Antara (kuadran I) atau intermediate quadrant disebut juga kuadran
interindustri atau kuadran prosesing, yaitu suatu matriks dalam tabel input-output
yang menunjukkan transaksi antar sektor produksi atau industri dalam
perekonomian. Menurut Bendavid (1991), analisis input output berbeda dengan
perhitungan sosial, dimana pendapatan dan nilai tambah sudah dalam permintaan
akhir (final demand). Kuadran ini merupakan sumber yang membedakan antara
sistem perhitungan sosial (misalnya pendapatan dan pengeluaran) nasional atau
regional dengan perhitungan sosial lainnya, karena transaksi antara yang
menyebabkan timbulnya perhitungan ganda terhadap nilai output transaksi.
Analisis keterkaitan antar sektor atau ketergantungan ekonomi bertitik tolak
dari kuadran ini sehingga kuadran ini menjadi suatu bagian terpenting dalam model
input-output. Dari kuadran ini pula akan dapat disusun matriks koefisien input yang
merupakan dasar analisis linkages, yaitu perbandingan antara penggunaan input
antara dengan nilai output dari sektor yang bersangkutan atau dengan kata lain
kuadran antara (kuadran I) memiliki peranan penting karena kuadran inilah yang
menunjukkan antara sektor ekonomi dalam melakukan proses produksinya. Kuadran
antara menunjukkan keterkaitan antar sektor perekonomian. Keterkaitan ini penting
untuk melihat perubahan output suatu sektor terhadap pendapatan, ketenagakerjaan
dan output sektor-sektor lainnya.
Kuadran pemintaan akhir (kuadran II) atau final demand quadrant
menunjukkan penjualan barang dan jasa yang diproduksi oleh sektor-sektor
perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Isian sel pada kuadran II ada dua
jenis, yaitu: (1) transaksi permintaan akhir, dan (2) komponen penyediaan pada
masing-masing sektor produksi. Permintaan akhir terdiri dari enam komponen, yaitu
pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran konsumsi pemerintah,
pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, ekspor barang dan ekspor jasa.
51
Jumlah permintaan merupakan jumlah permintaan antara ditambah dengan jumlah
permintaan akhir.
Isian sepanjang baris pada kuadran II memperlihatkan komposisi permintaan
akhir terhadap suatu sektor produksi dan bagaimana komposisi penyediaannya.
Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan distribusi masing-masing
komponen permintaan akhir dan penyediaan menurut sektor. Secara umum
komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran rumahtangga, pengeluaran
pemerintah, pembentukan modal, perubahan stok, dan ekspor merupakan sisi
pengeluaran dalam sistem perhitungan nasional atau merupakan komponen
perhitugan gross domestic regional product dari sisi pengeluaran.
Kuadran input primer (kuadran III) atau primary input quadrant disebut juga
dengan kuadran nilai tambah yang menunjukkan pembelian input yang dihasilkan
diluar sistem produksi oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Isian kuadran III
terdiri dari sel-sel nilai tambah bruto atau input primer. Nilai tambah bruto terdiri
dari upah dari gaji, surplus usaha/penyusutan, pajak tak langsung dan subsidi. Isian
sepanjang baris pada kuadran III menunjukkan distribusi penciptaan masing-masing
komponen nilai tambah bruto menurut sektor. Sedangkan isian sepanjang kolom
menunjukkan komposisi penciptaan nilai tambah bruto oleh masing-masing sektor
menurut komponennya.
Dalam banyak analisis, nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh masing-
masing sektor pada umumnya dikonversikan ke produk domestik regional bruto.
Untuk keperluan ini maka nilai tambah bruto sektor perdagangan terlebih dahulu
harus ditambah pajak penjualan impor dan bea masuk. Di samping melalui nilai
tambah bruto, dapat juga diturunkan dari permintaan akhir, yaitu jumlah seluruh
permintaan akhir dikurangi dengan impor barang dan impor jasa.
52
Kuadran input primer permintaan akhir (kuadran IV) atau kuadran input
primer permintaan akhir menunjukkan transaksi langsung antara kuadran input
primer dan permintaan akhir tanpa melalui sistem produksi atau kuadran antara.
Umumnya kuadran IV ini jarang terdapat dalam tabel input-output. Tabel transaksi
menggambarkan tentang arus (flow) komoditi barang dan jasa yang dinyatakan
dalam nilai uang diantara sektor-sektor dalam satuan waktu dan sistem ekonomi
tertentu. Penjualan dan pembelian diantara sektor ekonomi diproyeksikan dalam
suatu matriks yang terdiri dari baris dan kolom, pada suatu sektor tertentu ke sektor-
sektor lainnya serta kepada konsumen akhir, seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
Pembelian sektor tertentu terhadap output sektor lainnya serta pembelian
faktor-faktor produksi primer (nilai tambah bruto didistribusikan menurut kolom).
Sedangkan isian angka menurut baris memperlihatkan bagaimana output suatu
sektor dialokasikan unruk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir. Isian
angka menurut kolom menunjukkan permintaan input antara maupun input primer
yang disediakan oleh input-input lain untuk melaksanakan proses produksi.
Menurut Kuncoro (2004b), analisis tabel input-output dapat dipergunakan
untuk mengukur struktur dan perilaku industri. Untuk mengetahui struktur industri
digunakan analisis keterkaitan antarsektor ke depan dan ke belakang dan analisis
konsentrasi industri. Perilaku industri dipergunakan analisis angka pengganda
output, pendapatan dan tenaga kerja. Analisis perilaku (conduct) merupakan salah
satu elemen dasar analisis klasik yang dikenal pada ekonomi industri. Perilaku
perusahaan-perusahaan dalam suatu industri tidak pernah lepas dari struktur industri
dan pasar yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan.
Menurut Miller and Blair (1985), ada tiga angka pengganda yang
dipergunakan untuk mengestimasi efek dari perubahan eksogen guna mengukur
perilaku industri, yaitu :
53
Output Multiplier (Efek Pengganda Output)
Rumus efek pengganda output adalah sebagai berikut :
∑=
=n
iijjO
1
α (3.3)
dimana :
i = nomor baris
j = nomor kolom
Oj = efek pengganda sektor j
α = elemen dalam matriks Leontief invers
Income Multiplier (Efek Pengganda Pendapatan)
Rumus efek pengganda pendapatan adalah sebagai berikut :
∑=
==n
iijinj aH
1...1 α (3.4)
dimana :
Hj = efek pengganda pendapatan
a = koefisien pendapatan
α = elemen dalam matriks Leontief invers
Employment multipler (Efek pengganda tenaga kerja)
ij
n
inj WE α∑
=+=
11 (3.5)
dimana:
Eij = efek pengganda tenaga kerja
w = koefisien tenaga kerja
α = elemen dalam matriks Leontief invers
Rasmussen (1956) mengukur keterkaitan antarsektor berdasarkan
penjumlahan kolom (atau baris) pada matrix invers Leontief, (I–A)-1. Keterkaitan ke
54
belakang dan keterkaitan ke depan menurut metode ini masing-masing diukur
dengan cara :
∑=
=n
iij
Rj gBL
1
(3.6)
dan,
∑=
=n
jij
Rj gFL
1 (3.7)
Di mana RjBL dan R
jFL berturut-turut menunjukkan ukuran keterkaitan ke belakang
dan keterkaitan ke depan untuk metode Rasmussen, sedangkan ujg adalah elemen
pada matriks invers Leontief, (I–A)-1. Oleh karena model Rasmussen menggunakan
matriks invers Leontief, maka ukuran keterkaitan antarsektor yang diperoleh bisa
dikatakan merupakan ukuran keterkaitan secara tidak langsung, yang menghitung
dampak tidak langsung dari suatu sektor dalam perekonomian.
Rasmussen (1956) juga memberikan dua jenis ukuran indeks lainnya yang
disebut : (1) kemampuan penyebaran (power of dispersion), dan (2) kepekaan
penyebaran (sensitivity of dispersion). Dengan dua indeks ini kita bisa melakukan
perbandingan besarnya derajad keterkaitan antarsektor, yang nantinya bisa
ditentukan sektor-sektor mana saja yang dapat dijadikan sebagai sektor kunci atau
sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi.
∑∑∑==
i jijn
n
jiij
j g
ga
1 (3.8)
dan,
jβ =∑∑∑=
i jijn
n
jiij
g
g
1 (3.9)
55
Dari persamaan 3.8 dan 3.9, jα menunjukkan indeks daya penyebaran dari sektor j
dalam perekonomian, dan iβ merupakan indeks derajat kepekaan dari sektor i.
Sedangkan iig adalah elemen matriks invers Leontief, G = (1-A)-1. Invers Leontief
dipergunakan untuk multiplier (angka pengganda), baik pengganda output,
pendapatan rumah tangga (RT) dan tenaga kerja.
Analisis keterkaitan dipergunakan untuk mengukur keterkaitan antara sektor
pertanian dan industri. Salah satu syarat perlu (necessary condition) agar dapat
mencapai transformasi struktural dari pertanian ke industri manufaktur adalah
adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh. Kaitan yang
paling sesuai menuju industri yang tangguh adalah pengolahan produk-produk
pertanian ke dalam pengembangan sektor agroindustri.
3.1.2. Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi
Konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas
ekonomi secara spasial berlokasi pada suatu wilayah tertentu (Fujita et al., 1999).
Definisi tersebut melengkapi pandangan Krugman (1991) yang menyatakan bahwa
konsentrasi spasial merupakan aspek yang ditekankan dari aktivitas ekonomi secara
geografis dan sangat penting penentuan lokasi industri. Krugman (1991)
menyatakan bahwa dalam konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial, ada tiga hal
yang saling terkait yaitu interaksi antara skala ekonomi, biaya transportasi, dan
permintaan. Untuk mendapatkan dan meningkatkan kekuatan skala ekonomis,
perusahaan-perusahaan cenderung berkonsentrasi secara spasial dan melayani
seluruh pasar dari suatu lokasi. Sedangkan untuk meminimumkan biaya transportasi,
perusahaan cenderung berlokasi pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang
besar, akan tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar
terkonsentrasinya aktivitas ekonomi. Selanjutnya, Fujita et al. (1999) menjelaskan
56
bahwa pada dasarnya, pemikiran tentang terjadinya aglomerasi didasari oleh
pentingnya hasil yang meningkat akibat skala ekonomi dan biaya transportasi, serta
keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan yang besar merupakan
argumentasi logis yang dapat menjelaskan terjadinya aglomerasi.
Menurut Aiginger and Hansberg (2003), konsentrasi spasial merupakan
regional share yang menunjukkan distribusi lokasional dari suatu industri.
Sedangkan spesialisasi industri didefinisikan sebagai distribusi share industri dari
suatu wilayah. Pada wilayah terspesialisasi, konsentrasi spasial menunjukkan
tingkatan aktivitas dan distribusi lokasional dari industri pada wilayah tersebut.
Adanya spesialisasi, konsentrasi spesial di industri utama relatif lebih tinggi dari
pada konsentrasi spesial di luar industri utama. Dengan demikian, kontribusi industri
utama pada suatu wilayah menimbulkan distribusi spasial yang cenderung
terkonsentrasi pada suatu wilayah. Suatu industri yang terpesialisasi atau industri
utama akan cenderung terkonsentrasi pada wilayah secara spasial.
Dasar analisis pada penelitian ini bersumber pada dua indikator yang
merupakan dasar dalam penyusunan indeks spesialisasi dan konsentrasi spasial
seperti yang dikemukakan oleh Kuncoro (2000) yang menggunakan PDRB yaitu:
i
sis
i PDRBPDRB
V = (3.10)
dimana :
SiV = pangsa dari PDRB subsektor Agroindustri s di kota atau kabupaten i
terhadap PDRB sektor industri manufaktur kabupaten atau kota i
secara keseluruhan.
i = kota atau kabupaten di Provinsi Lampung
s = subsektor industri/ agroindustri berdasarkan klasifikasi ISIC
57
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Aiginger and Hansberg (2003),
kontribusi PDRB subsektor industri manufaktur s di kabupaten atau kota i terhadap
PDRB kabupaten secara keseluruhan dapat menunjukkan subsektor industri
manufaktur apa yang merupakan spesialisasi sektor dan kabupaten i.
i
sis
i PDRBPDRB
V = (3.11)
Spesialisasi pada tingkatan yang lebih luas dilambangkan oleh sV yang merupakan
pangsa dari PDRB subsektor agroindustri s terhadap PDRB sektor agroindustri
Provinsi Lampung secara keseluruhan. sV menunjukkan subsektor agroindustri
yang merupakan spesialisasi dari sektor agroindustri. Penggunaan data PDRB dalam
menganalisis spesialisasi didasarkan pada penelitian Kuncoro (2000).
S
SiS
i PDRBPDRB
S = (3.12)
dimana :
S Si = konsentrasi spesial
SiPDRB = PDRB subsektor S di kota/ kabupaten i
SPDRB = PDRB subsektor S di seluruh provinsi
Pada sisi lain, Aiginger and Hansberg (2003) menyatakan bahwa konsentrasi
dapat didefinisikan sebagai regional pangsa yang menunjukkaan distribusi
lokasional dari suatu industri. Konsentrasi spesial yang dilambangkan S Si
menunjukkan kontribusi PDRB subsektor s di kota/ kabupaten i terhadap PDRB
subsektor s di seluruh Provinsi Lampung. Penggunaan data PDRB pada konsentrasi
spasial berdasarkan penelitian yang dilakukan Sjoberg and Sjoholm (2001).
PDRBPDRB
X ii = (3.13)
dimana :
58
X i = kontribusi kabupaten/ kota i terhadap agroindustri Provinsi Lampung
Perbandingan nilai X i antara daerah i = (1…..n) menunjukkan distribusi lokasional
agroindustri di Provinsi Lampung.
Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah menganalisis
spesialisasi daerah adalah Location Quotient (LQ), yang juga disebut Koefisien
Hoover-Balassa (Lafourcade and Mion, 2003). Pendekatan ini menyatakan bahwa
spesialisasi relatif (agroindustri) pada suatu wilayah terjadi apabila spesialisasi
industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada spesialisasi industri pada wilayah
agregat (Kuncoro, 2000).
XS
VVLQ
i
Si
S
Si == (3.14)
dimana :
LQ = Location Quotient atau Koefisien Hoover-Balassa
SiV = pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap
industri provinsi
SV = pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
provinsi
SiS = kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi
iX = kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi
Apabila VV SSi > atau XS i
Si > maka 1>LQ ; Apabila VV SS
i < atau
XS iSi > maka 1<LQ . Nilai 1>LQ , menunjukkan bahwa subsektor s
terspesialisasi secara relatif di wilayah i. Menurut Bendhavid (1991), subsektor s
merupakan subsektor unggulan yang layak untuk dikembangkan di wilayah i dan
59
demikian pula sebaliknya apabila 1<LQ maka subsektor s bukan merupakan
subsektor unggulan daerah tersebut.
Pada sisi lain, Krugman (1991) menyatakan tentang perbedaan struktur
industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun
seluruh wilayah akan mempengaruhi daya saing wilayah yang menjadi standar.
Hasil penilaian menunjukkan tingkat spesialisasi wilayah yang dianalisis. Oleh
karena itu, dalam menganalisis spesialisasi suatu daerah digunakan indikator yang
digunakan oleh Krugman (1991) yaitu Indeks spesialisasi regional atau K SPEC .
Kim (1999) menyatakan bahwa nilai yang menjadi ukuran K SPEC berkisar antara
nilai nol dan dua. Nilai nol menunjukkan bahwa adanya kesamaan struktur industri
antara wilayah yang dianalisis dengan wilayah yang dijadikan benchmark. Nilai dua
menunjukkan tidak adanya kesamaan struktur antara wilayah yang dianalisis
sehingga masing-masing wilayah yang dinalisis terspesialisasi pada industri
unggulan masing-masing.
∑ −==
N
S
SSiSPEC VVK
1 (3.15)
dimana :
K SPEC = indeks spesialisasi regional.
SiV = pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri di tingkat provinsi
SV = pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
provinsi
K SPEC atau indeks spesialisasi regional menunjukkan tingkatan spesialisasi suatu
wilayah bila dengan wilayah lain dengan wilayah bersama sebagai benchmark.
Dalam konteks Provinsi Lampung, yang menjadi benchmark dalam menganalisis
K SPEC pada i adalah struktur agroindustri Provinsi Lampung. K SPEC bernilai dua
60
apabila struktur agroindustri pada wilayah i memiliki tidak memiliki kesamaan
dengan struktur agroindustri di Lampung secara keseluruhan. K SPEC bernilai nol
apabila persamaan struktur agroindustri daerah i sama dengan struktur agroindustri
Lampung secara keseluruhan. K SPEC wilayah i bernilai lebih besar daripada satu
sampai dengan lebih kecil sama dengan dua menunjukkan bahwa wilayah i lebih
terspesialisasi daripada wilayah lain di Lampung.
Pendekatan lain untuk menganalisis konsentrasi spasial adalah Indeks
Herfindahl yang dilambangkan HS yang menunjukkan distribusi lokasi pada
subsektor s di wilayah tertentu. Nilai HS berkisar antara nol dan satu, semakin tinggi
HS maka distribusi lokasi semakin tidak merata dan industri manufaktur pada
subsektor S cenderung terkonsentrasi pada wilayah tertentu.
( )∑==
M
i
SS SH i1
2 (3.16)
dimana :
HS = distribusi lokasi pada subsektor s di wilayah tertentu
SiS = konsentrasi spasial subsektor s di kabupaten/ kota i
Ellison and Glaeser (1997) menganalisis konsentrasi spasial dengan
menggunakan indeks yang berbasis tenaga kerja :
( )∑== −M
iEG XSg i
si1
2 (3.17)
dimana :
g EG = Indikator Gini Lokasional
siS = kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi
iX = kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
provinsi
61
Indikator ini menunjukkan tingkat spesialisasi suatu sektor dan konsentrasi spasial
antara beberapa wilayah.
Indeks yang dikembangkan dari g EG telah digunakan oleh Ellison and
Glaeser (1999) untuk menganalisa konsentrasi spasial dari industri manufaktur di
Amerika Serikat, berdasarkan analisa yang telah dilakukan berkesimpulan bahwa
pada industri yang terspesialisasi, konsentrasi spasial terjadi karena natural
advantage dan knowledge spillover (disebut juga Marshal-Arrow-Romer atau MAR
eksternalitas). Akan tetapi sangat sulit untuk mengukur dorongan dari knowledge
spillover terhadap konsentrasi spasial. Oleh karena itu, Ellison and Glaeser (1999)
mengemukakan tentang kontribusi natural advantages berdasarkan factor
endowment yang secara simultan mempengaruhi dan mendorong skala ekonomi
internal perusahaan. Ellison and Glaeser (1999) membangun indikator untuk
merefleksikan kontribusi dari natural advantages dan knowledge spillover, yaitu :
f
fEG
EG HHG
−−
=1γ (3.18)
dimana :
EGγ = Indeks Ellison dan Glaeser
EGG = besarnya kekuatan aglomerasi
fH = indeks Herfindahl
Indikator tersebut dibangun dari persamaan (3.19) dan (3.20)
( )∑−=
=
M
i
EGEG
X
gG
i1
21 (3.19)
dimana :
EGG = besarnya kekuatan aglomerasi
EGg = indeks konsentrasi spasial
62
iX = kontribusi kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
GEG atau yang biasa disebut dengan raw concentration menunjukkan besarnya
kekuatan aglomerasi yang mendorong konsentrasi spasial dan disusun berdasarkan
persamaan (3.17)
( )2
1∑=
=L
f
SfZH (3.20)
H f merupakan firm size Herfindahl yang menunjukkan distribusi tenaga kerja pada
industri, sedangkan SfZ adalah firm size yang dikalkulasi berdasarkan pangsa tenaga
kerja firm terhadap tenaga kerja industri. Lafourcade and Mion (2003)
menggunakan H sebagai proxy untuk menggantikan H f dengan memakai data
PDRB (salah unsurnya adalah upah tenaga kerja ) dimana :
( )∑==
M
i
SM SH i
1
21 (3.21)
H = Indeks Herfindahl
SiS = konsentrasi spasial subsektor s di kabupaten/ kota i
Oleh karena itu, dengan mengganti H f dengan H maka persamaan (3.18) akan
berubah menjadi:
H
HGEGEG −
−=
1γ (3.22)
dimana :
EGγ = Indeks Ellison dan Glaeser
EGG = besarnya kekuatan aglomerasi
H = Indeks Herfindahl
Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan oleh Ellison dan Glaeser,
γ EG menunjukkan pengaruh natural advantage dan knowledge spillover terhadap
konsentrasi spasial dari industri. Ellison and Glaeser (1997) menyatakan bahwa
standar pengukuran dari indeks tersebut berdasarkan beberapa perhitungan empiris
63
adalah: di bawah 0.02 menunjukkan dispersi spasial dan di atas 0.05 menunjukkan
terjadinya aglomerasi yang kedua-duanya disebabkan oleh pengaruh natural
advantage dan knowledge spillover.
3.1.3. Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika
Ada tiga strategi yang dipergunakan dalam menggabungkan model input-
output dan ekonometrika yaitu (1) embedding, (2) linking, dan (3) coupling.
Perbedaan utama ketiga strategi ini terletak pada rezim integrasi dan struktur
integrasi tenaga kerja. Rezim integrasi berhubungan dengan sifat dasar dan kuatnya
interaksi antara model input-output dan ekonometrika, interaksi antar model dapat
berupa sistem persamaan rekursif atau simultan. Struktur integrasi terdiri atas
persamaan matematis dan metode solusi optimal yang dipilih. Struktur tersebut
dapat bersifat komposit dan modular. Struktur komposit menyatakan bahwa kedua
model di dalam sekuensial persamaan linear dan atau non-linear yang kemudian
diselesaikan dengan algoritma iterasi yang tepat. Sedangkan struktur modular
menunjukkan bahwa suatu model dapat dijalankan sampai konvergen sebagai sub-
sekuensial kemudian berinteraksi dengan sub-sekuensial model yang lain.
Integrasi model dengan strategi embedding, didominasi oleh model
ekonometrika, sedangkan model input-output hanya bersifat memberikan informasi
keterkaitan antar sektor-sektor perekonomian. Akibatnya rezim integrasinya tidak
bersifat rekursif dan simultan karena satu model lebih berpengaruh dari model yang
lain. Struktur integrasi dari strategi dari strategi embedding ini bersifat komposit.
Dalam strategi linking, model input-output tidak terlalu tergantung dengan
model ekonometrika. Rezim integrasi dari strategi ini bersifat rekursif karena satu
model digunakan sebagai input atau informasi bagi model yang lain secara rekursif
(satu arah). Strategi integrasi Model I-O dan Ekonometrika dapat dilihat pada
Gambar 4.
64
Sumber : Rey, 1999
Gambar 4. Strategi Integrasi Model I-O dan Ekonometrika
Strategi yang terakhir adalah coupling, strategi ini menggambarkan eratnya
hubungan dan kuatnya interaksi antara model input-output dan ekonometrika. Model
ini memandang satu kesatuan antara model input-output dan ekonometrika, yang
dihubungkan oleh permintaan akhir. Strategi integrasi coupling, terdiri dari atas
beberapa bagian yang saling tumpah tindih, mirip seperti embedding, sedangkan
bagian lain mirip dengan strategi linking.
Studi-studi yang menggunakan model integrasi input-output dan
ekonometrika banyak dilakukan di Amerika Serikat. Strategi integrasi embedding
digunakan oleh Glemon and Lane (1990) untuk Kentucky. Strategi integrasi linking
digunakan oleh King et al. (1977) untuk Ohio. Sedangkan strategi integrasi coupling
digunakan oleh Conway Jr. (1990) untuk Washington dan Israilevich et al. (1996)
untuk Chicago.
65
3.2. Kerangka Pemikiran
3.2.1. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung
Agroindustri merupakan pengolahan produk berbasis pertanian. Agroindustri
terdiri dari agroindustri hulu (upstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang
menghasilkan sarana produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream
agrobusiness) yaitu subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian.
Agroindustri merupakan merupakan subsistem agribisnis yang berperan untuk
meningkatkan nilai tambah subsistem produksi pertanian.
Agroindustri merupakan salah satu sektor yang berpotensi menjadi leading
sector dalam perekonomian nasional atau regional. Indikator suatu sektor menjadi
leading sector antara lain memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara
keseluruhan, pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi; dan memiliki
keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang cukup
besar. Pada tahun 2005, agroindustri di Provinsi Lampung memberikan kontribusi
terhadap total output sebesar 28%, sementara sektor pertanian berkontribusi sebesar
27%.
Agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang (hulu) sangat besar karena
menggunakan input dari bahan baku sektor pertanian. Sektor pertanian di Provinsi
Lampung merupakan sektor yang berkontribusi besar setelah sektor agroindustri.
Agroindustri mempunyai keterkaitan ke depan (hilir) besar karena outputnya
dipergunakan sebagai input industri atau sektor lain. Keterkaitan industri
merupakan salah satu proses yang mendorong terjadinya aglomerasi.
Aglomerasi agroindustri di Provinsi Lampung terjadi karena posisi wilayah
provinsi dekat dengan kawasan megapolitan Jabotabek dan adanya ekspor langsung
ke pasar internasional melalui Pelabuhan Panjang dan pelabuhan khusus yang
66
dibangun oleh industri. Selain industri berorientasi ekspor, juga berkembang
industri berbasis bahan baku yang tersebar di wilayah sentra produksi pertanian.
Selain keterkaitan, agroindustri juga memberikan dampak pengganda bagi
output sektoral, pendapatan rumah tangga sektoral, dan kesempatan kerja sektoral.
Angka pengganda output menghitung output total yang tercipta dari satu unit uang
permintaan akhir. Karena output sektor-sektor agroindustri yang paling besar, maka
keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri dalam perekonomian
wilayah Provinsi Lampung menjadi lebih besar dibandingkan sektor lain.
3.2.2. Konsentrasi Spasial, Klaster dan Kekuatan Aglomerasi
Konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas
ekonomi secara spasial yang berlokasi pada suatu wilayah tertentu. Klaster adalah
konsentrasi spasial dari industri-industri yang sama atau sejenis. Aglomerasi
merupakan berkumpulnya atau terkonsentrasinya suatu kegiatan ekonomi pada suatu
wilayah atau area tertentu yang memberikan manfaat bagi kegiatan sektor ekonomi.
Aglomerasi merupakan suatu proses yang menyebabkan industri
berkonsentrasi secara spasial. Suatu industri yang terpesialisasi atau industri utama
(share besar) akan cenderung terkonsentrasi pada wilayah secara spasial.
Agroindustri di Provinsi Lampung merupakan sektor utama atau industri yang
terspesialisasi sehingga cenderung terkonsentrasi secara spasial
Aglomerasi menimbulkan manfaat bagi pembangunan wilayah yaitu
pergerakan barang, pergerakan sumberdaya manusia, dan kemudahan informasi.
Pada beberapa industri yang lokasinya berdekatan, commuting cost untuk
memudahkan pergerakan barang di antara industri tersebut menjadi lebih murah.
Pasar tenaga kerja menjadi lebih besar di kawasan industri yang teraglomerasi,
informasi mengenai ketenagakerjaan menjadi lebih banyak, sedangkan biaya lain
yang ditimbulkan adalah biaya hidup, commuting, dan biaya lainnya.
67
Kekuatan aglomerasi disebabkan oleh natural advantage dan knowledge
spillover. Natural advantage bagi sektor agoindustri di Provinsi Lampung didukung
ketersediaan bahan baku dan sarana infrastruktur penunjang. Sedangkan faktor
knowledge spillover ditunjang oleh semakin meningkatnya derajat pendidikan
pekerja.
3.2.3. Penghematan Akibat Aglomerasi di Sektor Agroindustri
Aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan
penghematan aglomerasi (agglomeration economies), baik karena penghematan
lokasi maupun penghematan urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling
berdekatan satu sama lain.
Penghematan aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barang-barang
kapital, skala ekonomi, bahan baku, upah tenaga kerja dan jumlah pekerja.
Interaksi dalam aglomerasi industri mencerminkan adanya sistem interaksi antara
pelaku ekonomi, antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan
dalam industri yang berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan rumah tangga.
Faktor-faktor yang menentukan ouput agroindustri di Provinsi Lampung yang
beraglomerasi (agglomeration economies) adalah kapital, bahan baku, upah tenaga
kerja, energi, penghematan akibat lokasi, dan penghematan akibat urbanisasi.
Penghematan akibat lokalisasi terjadi jika biaya produksi dari perusahaan
secara individu menurun sebagai akibat dari meningkatnya jumlah output dari
wilayah perkotaan. Salah satu alasan mengapa penghematan akibat lokalisasi akan
meningkatkan produktivitas karena alasan tenaga kerja, di mana pada daerah industri
tertentu, tenaga dengan keahlian yang dibutuhkan oleh industri tersebut berkumpul
dan memudahkan industri dalam mencari tenaga kerja sesuai kebutuhan sehingga
menurunkan biaya pencarian.
68
Penghematan akibat urbanisasi merupakan keuntungan-keuntungan yang
bcrsifal eksternal bagi industri, terutama dirasakan di daerah perkotaan. Aglomerasi
yang bersifat penghematan akibat urbanisasi akan mempengaruhi aktifitas ekonomi
wilayah perkotaan/metropolitan karena pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja
(kepadatan penduduk) mencerminkan pertumbuhan ekonomi daerah. Masuknya
unsur penghematan akibat aglomerasi ke dalam fungsi produksi menyebabkan
terjadinya kenaikan penggunaan input. Akibatnya, output akan terdorong naik
dengan derajat yang lebih tinggi dibanding kenaikan input itu sendiri, sehingga
penghematan akibat aglomerasi akan membawa dampak positif bagi perekonomian
wilayah.
3.2.4. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Perekonomian Wilayah
Guna mewujudkan struktur perekonomian yang seimbang, kebijakan
ekonomi di sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan
sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan lapangan pekerjaan,
meningkatkan penerimaan devisa, dan meningkatkan pembagian pendapatan. Agar
agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama perekonomian, persyaratan
yang harus dipenuhi adalah: berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah,
mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri lainnya, dan padat
tenaga kerja.
Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi, serta terbatasnya
kemampuan sumberdaya pemerintah, maka kebijakan ekonomi di sektor
agroindustri sejalan dengan fokus utama kebijakan pengembangan industri.
Kebijakan ekonomi tersebut ditetapkan pada sub-sektor yang memenuhi kriteria
sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) memenuhi kebutuhan dasar
dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan), (3) mengolah hasil
69
pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain
dalam negeri, dan (5) memiliki potensi pengembangan ekspor.
Kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi, baik
peningkatan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi maupun peningkatan
ekspor akan meningkatkan output sektor agroindustri. Pendapatan regional yang
dimodifikasi dari rumus Keyness merupakan penjumlahan konsumsi, investasi,
pengeluaran pemerintah dan selisih antara ekspor dan impor.
Dalam analisis input-output, ada tiga hal yang berpengaruh terhadap output
atau pertumbuhan ekonomi yaitu investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor.
Pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) merupakan pembelian barang dan
jasa yang merupakan injeksi terhadap perekonomian wilayah. Pengeluaran
pemerintah dalam pengembangan agroindustri berupa program pengembangan
produktivitas agroindustri, penyediaan infrastruktur dan pengembangan kawasan.
Investasi agroindustri diperlukan untuk meningkatkan stok kapital guna
meningkatkan kapasitas produksi. Peningkatan investasi dilakukan melalui
penambahan pabrik agroindustri dan peningkatan kapasitas produksi. Peningkatan
ekspor di Provinsi Lampung akan dapat meningkatkan pertumbuhan regional karena
sebagian besar produk agroindustri berorientasi ekspor. Kebijakan pengeluaran
pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan ekspor ditujukan untuk
meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam peningkatan output, pendapatan
rumah tangga, dan kesempatan kerja.
Dampak kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri melalui keterkaitan
antarsektor akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya.
Peningkatan output akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja, baik
tenaga kerja sektor agroindustri maupun non sektor agroindustri, serta permintaan
terhadap modal yang dipenuhi oleh rumah tangga dan perusahaan. Hal ini akan
70
Spasial
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian
PEREKONOMIAN WILAYAH
SEKTOR AGROINDUSTRI Kontribusi/ Pangsa Keterkaitan Antarsektor Pengganda
Industri Beraglomerasi (Klaster)
Industri Tidak Beraglomerasi/ (Klaster)
PENGHEMATAN AGLOMERASI Penghematan Lokalisasi Penghematan Urbanisasi
KEBIJAKAN EKONOMI Pengeluaran Pemerintah Investasi Ekspor
KINERJA MENINGKAT Output Pendapatan Rumah Tangga Kesempatan Kerja
71
berdampak lebih lanjut pada peningkatan pendapatan rumah tangga dan perusahaan.
Proses ini akan terus berlangsung melalui efek pengganda.
Keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri yang
beraglomerasi dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung lebih besar dari
pada keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda sektor lain. Oleh karena itu,
kebijakan yang meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam hal output,
pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja sektoral adalah kebijakan gabungan
pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan ekspor ditujukan
pada sektor agroindustri yang beraglomerasi. Kerangka pemikiran yang
menghubungkan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah, aglomerasi
industri dan dampak kebijakan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 5.
3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran, maka disusun hipotesis yaitu :
1. Konstribusi, keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri dalam
perekonomian wilayah Provinsi Lampung lebih besar daripada peranan,
keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda non agroindustri.
2. Terjadi konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri.
3. Faktor-faktor yang menentukan ouput industri yang beraglomerasi adalah
kapital, bahan baku, upah tenaga kerja, energi, penghematan akibat lokalisasi
(localization economies) dan penghematan akibat urbanisasi (urbanization
economies).
4. Kebijakan yang meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam hal output,
pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja sektoral adalah kebijakan
gabungan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan
ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi.
72
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Lampung, yang didasarkan atas
beberapa pertimbangan, yaitu: (1) Provinsi Lampung memiliki aktivitas agroindustri
yang dominan dibandingkan provinsi lain yang ada di Sumatera, sehingga layak
menjadi sebuah obyek kajian ekonomi makro regional, (2) Provinsi Lampung
merupakan lokasi utama pengembangan klaster agroindustri berdasarkan Kebijakan
Pembangunan Industri Nasional 2004-2009, dan (3) Provinsi Lampung telah
melaksanakan desentralisasi fiskal sehingga dapat lebih leluasa dalam mengelola
kebijakan fiskalnya.
4.2. Jenis, Sumber dan Pengolahan Data
Data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian adalah data
yang diperoleh dari berbagai sumber. Data utama yang diperlukan dalam penelitian
adalah PDRB Kabupaten/ Kota, PDRB Provinsi Lampung, Tabel Input-Output
Provinsi Lampung Tahun 2000, serta Statistik Industri Besar dan Sedang Provinsi
Lampung 1988-2005.
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 diperoleh dengan cara
meng-update dari Tabel Input-Output Tahun 2000 dengan metode RAS (lihat
Lampiran 22). Untuk meng-update Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun
2000 ke Tahun 2005 dilakukan dengan mencari data : Total Input Antara, Total
Input Primer, Total Output Antara, dan Permintaan Akhir pada tahun 2005. Total
Input merupakan penjumlahan Total Input Antara dengan Total Input Primer (Nilai
Tambah). Total Output merupakan penjumlahan Total Output Antara dan
Permintaan Akhir.
73
Data lain yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini adalah
data sekunder yang diperoleh dari Departemen Perindustrian, Badan Pusat Statistik,
Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, Bappeda
Provinsi Lampung, Dinas Kebudayaan Pariwisata Promosi dan Investasi Provinsi
Lampung, asosiasi perusahaan, dinas/instansi tingkat kabupaten/kota, serta
berbagai sumber lain yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian. Survei
terhadap departemen/ dinas/ instansi di samping untuk mengumpulkan data
sekunder, juga untuk mengetahui kebijakan/strategi/ program yang berkaitan dengan
aglomerasi dan klaster industri. Survei dilakukan pada Bulan November 2006
sampai dengan Juli 2007.
Pengolahan data penelitian menggunakan bantuan software Microsoft Office
2003, IO Windows for Practioners 1.0.1 , SAS/ ETS 6.12 dan GRIMP 7.2.
4.3. Analisis Input-Output
Data utama yang diperlukan dalam penelitian analisis Input-Output adalah
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 (dua titik waktu).
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 diperoleh dengan cara
mengestimasi data input-output pada tahun 2000, sebagai data perekonomian setelah
krisis ekonomi di Indonesia, khususnya di provinsi Lampung. Selain itu, diperlukan
data-data lain yang dapat mendukung analisis dan pembahasan penelitian ini.
Rancang bangun Tabel Input-Output Provinsi Lampung 2005 memerlukan
beberapa jenis data antara lain dari Tabel Input-Output Provinsi Lampung 2000,
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), dan Statistik Keuangan Daerah. Data
Tabel I-O Tahun 2000 meliputi : (1) alokasi nilai tambah faktor produksi tenaga
kerja dan modal, (2) transaksi antar sektor produksi menurut harga pembelian, (3)
ekspor, impor dan investasi, (4) marjin perdagangan dan pengangkutan, dan (5)
pajak tidak langsung netto. Data Susenas meliputi : (1) pengeluaran golongan rumah
74
tangga atas komoditas, dan (2) pajak langsung masing-masing golongan rumah
tangga, sedangkan Statistik Keuangan Daerah meliputi: (1) penerimaan pemerintah
daerah, (2) pengeluaran pemerintah untuk rutin (APBD), (3) pengeluaran pemerintah
untuk infrastruktur ekonomi, dan (4) pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur
sosial.
Tabel Input-Output (I-O) Provinsi Lampung Tahun 2000 merupakan tabel
dasar untuk penyusunan Tabel Input-Output (I-O) Provinsi Lampung Tahun 2005.
Pada prinsipnya Tabel I-O Provinsi Lampung Tahun 2005 yang dibangun disusun
dengan struktur sebagai berikut :
1. Kuadran I, yaitu kuadran transaksi antar sektor atau permintaan antara, yang
terdiri dari atas 70 sektor.
2. Kuadran II, yaitu kuadran permintaan akhir, yang terdiri dari 5 jenis permintaan,
yaitu: (1) konsumsi rumahtangga (C), (2) konsumsi pemerintah (G), (3)
pembentukan modal tetap/ investasi (I), (4) perubahan stok (R), dan (5) ekspor
(X).
3. Kuadaran III, yang merupakan kuadran nilai tambah atau input primer, terdiri
dari : (1) upah dan gaji, (2) surplus usaha, (3) penyusutan, dan (4) pajak tidak
langsung.
Tabel Input-Ouput tahun 2005 dibangun dengan cara mengagregasi Tabel
Input-Ouput Tahun 2000 yang terdiri dari 70 sektor menjadi 26 sektor. Hasil agegasi
26 sektor terdiri dari 12 sektor-sektor agroindustri dan 14 sektor-sektor non
agroindustri. Nama dan kode transaksi Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000
dan agregasi sektor-sektor pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005
disajikan pada Tabel 6.
75
Tabel 6. Nama dan Kode Sektor berdasarkan Agregasi Sektor Tabel Input-Output Provinsi Lampung Nomor Sektor
Sektor Tahun 2000 Agregasi Sektor Tahun 2005
Kode
1 Padi 2. Jagung 3 Ubi Kayu 4 Sayur-sayuran 5 Pisang 6 Nanas 7 Buah-buahan lainnya 8 Tanaman bahan makanan lainnya
Tanaman Pangan TPGN
9 Karet 10 Tebu 11 Kelapa 12 Kelapa Sawit 13 Kopi 14 Cengkeh 15 Kakao 16 Lada 17 Tanaman perkebunan lainnya 18 Tanaman lainnya
Tanaman Perkebunan TKBN
19 Peternakan dan hasil-hasilnya 20 Unggas dan hasil-hasilnya
Peternakan PTK
21 Kayu 22 Hasil hutan lainnya
Kehutanan KHTN
23 Perikanan laut 24 Perikanan darat 25 Udang
Perikanan IKAN
26 Penambangan minyak/gas dan panas bumi
27 Penambangan dan penggalian lainnya
Pertambangan dan Penggalian
TBNG
28 Industri pengolahan buah/ sayuran Industri Buah dan Sayur
IBS
29 Industri pengolahan ikan dan udang Industri Ikan dan Udang
IKUD
30 Industri pengolahan/ pengawetan makanan lainnya
Industri Tapioka & Tepung Lain
ITKT
31 Industri kopra Industri Kopra/ Kelapa IKKL 32 Industri minyak/lemak Industri Minyak/
Lemak IML
33 Industri penggilingan padi Industri Padi IPD 34 Industri gula Industri Gula IGL 35 Industri pengupasan biji kopi 36 Industri penggilingan kopi
Industri Kopi IKP
37 Industri pakan ternak Industri Pakan Ternak IPKT 38 Industri pengupasan/ penggilingan
tanaman lainnya 39 Industri makanan lainnya
Industri Makanan Lainnya
IMLN
40 Industri minuman Industri Minuman IMN 47 Industri barang karet dan plastik Industri Pengolahan
Karet IKRT
76
Tabel 6. Lanjutan Nomor Sektor
Sektor Tahun 2000 Agregasi Sektor Tahun 2005
Kode
41 Industri permintalan dan rajutan 42 Industri tekstil, pakaian dan kulit 43 Industri bambo, kayu dan kulit 44 Industri kertas, barang kertas dan karton 45 Industri pupuk, pestisida dan kimia 46 Industri pengilangan minyak bumi 48 Industri barang mineral bukan logam 49 Industri dasar besi/baja, logam dasar
bukan besi 50 Industri mesin, alat/perlengkapan bukan 51 Industri alat angkut dan perbaikannya 52 Industri barang lainnya
Industri Lainnya ILNY
53 Listrik, gas dan air minum Listrik, Gas dan Air Minum
LGA
54 Bangunan Bangunan/Konstruksi BKST 55 Perdagangan 56 Restoran 57 Hotel
Perdagangan, Hotel &Restoran
PHR
58 Angkutan darat 59 Angkutan air 60 Angkutan udara 61 Jasa penunjang angkutan 62 Komunikasi
Transportasi dan Komunikasi
TRKM
63 Bank dan lembaga keuangan lainnya 64 Usaha bangunan dan jasa perusahaan
Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
LKJP
65 Pemerintahan umum dan pertahanan Pemerintahan Umum PTUM 66 Jasa kesehatan, pendidikan dan jasa
pemerintahan lainnya 67 Jasa kesehatan, pendidikan dan jasa
swasta lainnya 68 Jasa hiburan, rekreasi dan kebudayaan
swasta 69 Jasa perbengkelan, perorangan, dan jasa
rumah tangga 70 Kegiatan yang tidak jelas batasannya
Jasa-jasa dan Lainnya JJLN
Sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung
Tahun 2005 diagregrasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
(KBLI) 2005 dan International Standard of Industrial Clasification (ISIC), yaitu
industri pengolahan buah/sayuran, industri pengolahan ikan dan udang, industri
pengolahan/ pengawetan makanan lainnya, industri kopra, industri minyak/ lemak,
77
industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan
lainnya, dan industri minuman.
Uji Perbedaan Kelompok Agroindustri dan Non Agroindustri Mann-Whitney
Uji Mann-Whitney (Mann-Whitney Test) disebut juga Uji U atau Uji Jumlah
Peringkat Wilcoxon (Wilcoxon Rank Sum Test). Uji Mann-Whitney merupakan
alternatif dari uji-t dua sampel independen. Uji Mann-Whitney berdasarkan jumlah
peringkat (rank) data. Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan
ranking yang diberikan kepada kelompok agroindustri dan kelompok non
agroindustri. Data dari kedua sampel digabungkan dan diberi peringkat dari terkecil
hingga terbesar.
Bentuk hipotesis untuk Uji Tanda :
210 : ηη =H
211 : ηη ≠H
dimana :
1η = median peringkat pada group 1 (kelompok agroindustri)
2η = median peringkat pada group 2 (kelompok non agroindustri)
Dalam pengujian hipotesis, kriteria untuk menolak dan menerima Ho berdasarkan P-
value adalah :
Jika P-value < α, maka Ho ditolak
Jika P-value ≥ α, maka Ho diterima
4.4. Analisis Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi
1. Koefisien Hoover-Balassa
Pendekatan yang paling sering digunakan untuk menganalisis spesialisasi
daerah adalah Location Quotient (LQ), yang juga disebut Koefisien Hoover-Balassa.
Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif (agroindustri) pada suatu
78
wilayah terjadi apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada
spesialisasi industri pada wilayah agregat.
XS
VVLQ
i
Si
S
Si == (3.14)
dimana :
LQ = Location Quotient atau Koefisien Hoover-Balassa
SiV = pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap
industri provinsi
SV = pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
provinsi
SiS = konsentrasi spasial industri s di kota/ kabupaten
iX = kontribusi kabupaten/ kota i terhadap agroindustri provinsi
Nilai 1>LQ , menunjukkan bahwa subsektor s terspesialisasi secara relatif di
wilayah i, subsektor s merupakan subsektor unggulan yang layak untuk
dikembangkan di wilayah i. Nilai 1<LQ maka subsektor s bukan merupakan
subsektor unggulan daerah tersebut.
2. Indeks Spesialisasi Regional
Indeks Spesialisasi Regional atau K SPEC merupakan indeks yang
dipergunakan untuk menganalisis perbedaan struktur industri pada suatu wilayah
dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun seluruh wilayah menjadi
standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spesialisasi wilayah yang dianalisis.
Kim (1999) menyatakan bahwa nilai yang menjadi ukuran K SPEC berkisar antara
nilai nol dan dua.
∑ −==
N
S
SSiSPEC VVK
1 (3.15)
dimana :
79
K SPEC = indeks spesialisasi regional.
SiV = pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri di tingkat provinsi
SV = pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
provinsi
K SPEC atau indeks spesialisasi regional menunjukkan tingkatan spesialisasi suatu
wilayah bila dengan wilayah lain dengan wilayah bersama sebagai benchmark.
Dalam konteks Provinsi Lampung, yang menjadi benchmark dalam menganalisis
K SPEC pada i adalah struktur agroindustri Provinsi Lampung. K SPEC bernilai dua
apabila struktur agroindustri pada wilayah i memiliki tidak memiliki kesamaan
dengan struktur agroindustri di Lampung secara keseluruhan. K SPEC bernilai nol
apabila persamaan struktur agroindustri daerah i sama dengan struktur agroindustri
Lampung secara keseluruhan. K SPEC wilayah i bernilai lebih besar daripada satu
sampai dengan lebih kecil sama dengan dua menunjukkan bahwa wilayah i lebih
terspesialisasi daripada wilayah lain di Lampung.
3. Indeks Gini Lokasional
Indeks Gini Lokasional digunakan untuk menganalisis tingkat spesialisasi
suatu sektor dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah.
( )∑== −M
iEG XSg i
si1
2 (3.17)
dimana :
g EG = Indeks Gini Lokasional
siS = kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi
iX = kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap
80
agroindustri provinsi
4. Indeks Kekuatan Aglomerasi
Indeks Kekuatan Aglomerasi atau GEG yang biasa disebut raw concentration
menunjukkan besarnya kekuatan aglomerasi yang mendorong konsentrasi spasial.
( )∑−=
=
M
i
EGEG
X
gG
i1
21 (3.19)
dimana :
EGG = besarnya kekuatan aglomerasi
EGg = Indeks Gini Lokasional (konsentrasi spasial)
iX = kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi
5. Indeks Ellison-Glaeser atau Pengaruh Aglomerasi
Indeks Ellison-Glaeser diperlukan untuk menganalisis pengaruh natural
advantage dan knowledge spillovers terhadap konsentrasi spasial dari industri.
H
HGEGEG −
−=
1γ (3.22)
dimana :
EGγ = Indeks Ellison-Glaeser
EGG = besarnya kekuatan aglomerasi
H = Indeks Herfindahl
Ellison and Glaeser (1997) menyatakan bahwa standar pengukuran dari
indeks tersebut berdasarkan beberapa perhitungan empiris : di bawah 0.02
menunjukkan dispersi dan di atas 0.05 menunjukkan terjadinya aglomerasi yang
kedua-duanya disebabkan oleh pengaruh natural advantage dan knowledge
spillovers.
81
4.5. Analisis Penghematan Akibat Aglomerasi
Spesifikasi model yang dilakukan merupakan pengembangan model Somik
(2004) dan Kanemoto (1996). Model tersebut mengikuti bentuk model yang menguji
kontribusi faktor eksternal dalam suatu fungsi produksi sesuai model Moomaw
(1983), Nakamura (1985) dan Henderson (1995). Model tersebut secara matematis
dinyatakan sebagai berikut :
)()(^
iii KXAgY = (4.1)
),()( UrbLocfAg i =
=)(^
iKX f(kapital, upah, bahan baku, energi)
Dimana Yi adalah output pada industri i, g(Ai) menunjukkan pengaruh
eksternal dari sumber-sumber aglomerasi; Loc merupakan ukuran penghematan
akibat lokalisasi, sedangkan Urb merupakan ukuran penghematan akibat urbanisasi.
^)( iKX merupakan input industri i, yang terdiri dari kapital, upah (labor), bahan
baku (material) dan energi.
Spesifikasi model dalam penelitian ini merupakan fungsi produksi Cobb-
Douglas dalam bentuk linier logaritma yaitu :
+++++= itititititit laborcapitalurbanlocalLnY lnˆlnˆlnˆlnˆˆ 2121 ββααα (4.2)
ititit energimaterial εββ ++ lnˆlnˆ43
Dimana Yi merupakan output agroindustri industri yang tergantung pada jenis
penghematan akibat aglomerasi yang terdiri dari penghematan akibat lokalisasi
(lokalt) dan penghematan akibat urbanisasi (urbant). Jenis input produksi terdiri dari
kapital, upah, bahan baku, dan energi.
82
Hipotesis yang digunakan adalah menduga bahwa 432121 ,,,,, ββββαα
adalah positif. Seluruh variabel memiliki efek positif terhadap output industri. Nilai
koefisien tersebut merupakan elastisitas output kapital, elastisitas output labour,
elastisitas output material, elastisitas output energi.
Metode untuk menganalisis faktor-faktor penentu penghematan aglomerasi
adalah uji regresi ols dan panel data untuk berbagai macam agroindustri pada
industri besar dan sedang di Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005.
Variabel terikat yang digunakan adalah output, sedangkan variabel-variabel
bebasnya adalah kapital, bahan baku, upah tenaga kerja, energi, penghematan akibat
lokasi, dan penghematan akibat urbanisasi. Output produksi (OP) didefinisikan
sebagai total nilai output yang dihasilkan oleh kelompok industri atau subsektor
agroindustri dalam ribuan rupiah. Kapital (KPT) didefinisikan sebagai taksiran
modal yang diperlukan dalam industri, terdiri dari taksiran gedung, mesin dan
barang kapital lainnya dalam ribuan rupiah. Bahan Baku (BBK) atau material
didefinisikan sebagai total nilai input yang diperlukan oleh kelompok industri dalam
ribuan rupiah. Upah Tenaga Kerja (UTK) didefinisikan sebagai total upah tahunan
pekerja dalam ribuan rupiah. Energi (ENG) didefinisikan sebagai energi yang
dipergunakan dalam proses produksi yang dihitung dari total pembelian listrik dan
bahan bakar dalam ribuan rupiah.
Penghematan Lokalisasi (PLK) didefinisikan sebagai jumlah tenaga kerja
pada sektor agroindustri. Penggunaan ukuran jiwa pekerja ini sejalan dengan
manfaat spillovers karena lokalisasi ekonomi berasal dari aktivitas di suatu daerah.
Penghematan Urbanisasi (PUB) didefinisikan sebagai kepadatan penduduk yang
menggambarkan konsentrasi spasial. Penggunaan jiwa penduduk per km persegi
sebagai ukuran konsentrasi spasial.
83
OPt = f (KPT, BBK, UTK, ENG, PAL, PUB) (4.3) LnOPt = bo + b1LnKPTt+b2LnBBKt+ b3LnUTKt+b4LnENGt+ b5LnPALt +b6LnPUBt
Paramater yang diharapkan : b1, b2, b3, b4, b5, b6 >0
dimana Sektor Agroindustri (berdasarkan ISIC/KLUI) yang dianalisis adalah :
1 = Industri Pengolahan Buah/ Sayuran
2 = Industri Ikan, Daging dan Udang
3 = Industri Tapioka dan Tepung Lain
4 = Industri Kopra/ Kelapa
5 = Industri Minyak/ Lemak
6 = Industri Padi
7 = Industri Gula
8 = Industri Kopi
9 = Industri Pakan Ternak
10 = Industri Makanan Lainnya
11 = Industri Minuman
12 = Industri Pengolahan Karet
Kemudian dilakukan perbandingan antara industri yang beraglomerasi dan tidak
beraglomerasi, dengan menggunakan persamaan gabungan sektor agroindustri
sebagai berikut :
OPit = f (KPT, BBK, UTK, ENG, PLK, PUB, DAG) (4.4) DAG = Dummy aglomerasi, jika sektor agroindustri beraglomerasi
(berklaster) maka dinilai 1 dan yang tidak beraglomerasi dinilai 0.
LnOPit=bo+b1LnKPTit+b2LnBBKit+b3LnUTKit+b4LnENGit+b5LnPLKit+ b6LnPUBit+ dAGit
Paramater yang diharapkan : b1, b2, b3, b4, b5, b6 , d>0
4.6. Konstruksi Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika
Strategi integrasi model input dan ekonometrika yang digunakan dalam
penelitian ini adalah linking, dengan tahapan :
84
1. Dalam penelitian ini pendugaan parameter menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS). Pada dasarnya, setiap persamaan yang terbaik memenuhi tiga
kriteria yaitu : (1) ekonomi (tanda dan besaran), (2) statistika (R2, uji statistik F
dan uji statistik t), dan (3) ekonometrika (multikolinearitas, heteroskedastis dan
autokorelasi). Koefisien diterminasi digunakan untuk melihat kemampuan model
dalam menjelaskan perilaku variabel endogen. Untuk mengetahui dan menguji
apakah variabel penjelas secara bersama-sama menjelaskan atau tidak terhadap
variabel yang dijelaskan digunakan uji statistik F, sedangkan untuk menguji
apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap
variabel yang diterangkan digunakan uji statistik t.
2. Model OLS juga digunakan untuk menentukan koefisien ),()( UrbLocfAg i =
yang mengindikasikan besarnya pengaruh aglomerasi terhadap produktivitas.
Masing-masing produktivitas output pada kelompok agroindustri diuji dengan
model tersebut.
3. Industri-industri dalam kelompok agroindustri tersebut masuk dalam Tabel I-O
yang dibangun pada tahun 2000 dan di-update tahun 2005 (lihat Tabel 7).
Tabel 7. Klasifikasi Subyek Agroindustri berdasarkan Tabel I-O dan KBLI
No. Subyek Agroindustri Tabel Input-output Kode I-O
Ekonometrika KBLI
1. Industri Pengolahan Buah/ Sayuran
Kode 28 Kode 151 Kode 1513
2 Industri Pengolahan Ikan dan Udang
Kode 29 Kode 151 Kode 1512
3. Industri Pengolahan/ Pengawetan Makanan Lainnya
Kode 30 Kode 153
4. Industri Kopra/ Kelapa Kode 31 Kode 153 5. Industri Minyak/ Lemak Kode 32 Kode 151 6. Industri Padi Kode 33 Kode 153 7. Industri Gula Kode 34 dan 35 Kode 154 8. Industri Kopi Kode 36 dan 37 Kode 153
9. Industri Pakan Ternak Kode 38 Kode 153
10. Industri Makanan Lainnya Kode 39 Kode 154
11. Industri Minuman Kode 40 Kode 155
12. Industri Pengolahan Karet Kode 47 Kode 251
85
4. Masukan dari ekonometrika yang diperlukan dalam Model Input-Output adalah
besarnya koefisien, elastisitas produksi, dan tanda positif atau negatif yang
menentukan apakah sektor agroindustri beraglomerasi atau tidak, yang
digunakan untuk menentukan kisaran permintaan akhir dalam simulasi
kebijakan.
5. Masukan dari Model Input-Output adalah besarnya input antara, nilai tambah,
dan output pada tahun 2000 dan 2005 yang dibandingkan dengan hasil survei
industri besar dan sedang.
4.7. Analisis Simulasi
Analisis dampak digunakan untuk mengetahui dampak perubahan variabel
eksogen (injeksi) terhadap neraca eksogen pada Tabel Input-Output Provinsi
Lampung Tahun 2005. Tujuan analisis simulasi adalah untuk mengetahui dampak
perubahan variabel eksogen (injeksi) pada permintaan akhir terhadap neraca
endogen yaitu output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja di Provinsi
Lampung. Hasil analisis simulasi dipakai sebagai perumusan implikasi kebijakan
(lihat Gambar 6).
Dalam Model Input-Output, output memiliki hubungan timbal balik dengan
permintaan akhir. Jumlah output yang dapat diproduksi tergantung pada jumlah
permintaan akhirnya. Kenaikan output sektoral diikuti secara proporsional oleh
kenaikan pendapatan rumah tangga dan jumlah kesempatan atau penyerapan tenaga
kerja.
1. Dampak Permintaan Akhir terhadap Output FAIX 1)( −−= (4.5)
dimana :
X = matriks output
86
1)( −− AI = matriks pengganda
F = permintaan akhir
2. Dampak Permintaan Akhir terhadap Pendapatan Rumah Tangga FAIIn 1)( −−= τν (4.6) dimana :
In = matriks pendapatan
τ = matriks pendapatan
ν = matriks koefisien nilai tambah
3. Dampak Permintaan Akhir terhadap Kesempatan Kerja
FAIL 1)( −−= γ (4.7)
dimana :
L = matriks kesempatan kerja
γ = matriks koefisien tenaga kerja
Simulasi perubahan dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri meliputi :
1. Kebijakan Pengeluaran Pemerintah
S1 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, yang dialokasikan pada
sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional.
S2 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, yang dialokasikan pada
sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional.
S3 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, yang dialokasikan pada
pembangunan infrastruktur.
Tujuan: Untuk mengetahui dampak kebijakan pengeluaran pemerintah terhadap
perubahan output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja sektoral.
87
Gambar 6. Kerangka Operasional Penelitian
TABEL I-O TAHUN 2000
INDEKS KONSENTRASI SPASIAL
Updating Data
TABEL I-O TAHUN 2005
KLASTER INDUSTRI & BESARNYA AGREGASI 12
SEKTOR AGROINDUSTRI
PENGHEMATAN AKIBAT AGLOMERASI
PENGGANDA
KETERKAITAN
SIMULASI DAN ANALISIS
KEBIJAKAN
Pemetaan Agroindustri
Survei Industri
IMPLIKASI KEBIJAKAN
88
2. Kebijakan Investasi
S4 : simulasi peningkatan investasi 20%, yang dialokasikan pada semua sektor
agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional.
S5 : simulasi peningkatan investasi 20%, yang dialokasikan pada semua sektor
agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional.
Tujuan: Untuk mengetahui dampak kebijakan investasi terhadap perubahan
output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja sektor agroindustri yang
beraglomerasi dan yang tidak beraglomerasi.
3. Kebijakan Ekspor
S6 : simulasi peningkatan ekspor 25%, yang dialokasikan pada semua sektor
agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional.
S7 : simulasi peningkatan ekspor 25%, yang dialokasikan pada semua sektor
agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional.
Tujuan: Untuk mengetahui dampak kebijakan ekspor terhadap perubahan
output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja.
4. Kebijakan Tunggal Komparasi
S8 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 25% yang
dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional.
S9 : simulasi peningkatan investasi sebesar ekspor 25% yang dialokasikan
pada semua sektor agroindustri secara proporsional.
S10 : simulasi peningkatan ekspor 25% yang dialokasikan pada semua sektor
agroindustri secara proporsional.
Tujuan: Untuk mengetahui dampak kebijakan tunggal pengeluaran pemerintah,
investasi dan ekspor (besar perubahan yang sama) terhadap perubahan output,
pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja.
89
5. Kebijakan Gabungan
S11 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, investasi 20%, dan
ekspor 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang
beraglomerasi secara proporsional.
S12 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30% , investasi 20%, dan
ekspor 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak
beraglomerasi secara proporsional.
S13 : simulasi gabungan peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, investasi
20%, dan ekspor 25% yang dialokasikan pada tiga sektor agroindustri
penyumbang output dan beraglomerasi terbesar secara proporsional.
S14 : simulasi gabungan peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, investasi
20%, dan ekspor 25% yang dialokasikan pada tiga sektor agroindustri
yang merupakan penyerap tenaga kerja dan beraglomerasi terbesar
secara proporsional.
Tujuan : Untuk mengetahui dampak kebijakan gabungan pengeluaran
pemerintah, investasi dan ekspor terhadap perubahan output, pendapatan
rumah tangga dan kesempatan kerja
Besaran angka pengeluaran pemerintah 30%, investasi 20% dan ekspor 25%
di Provinsi Lampung merupakan rata-rata kenaikan pengeluaran pemerintah
kabupaten/kota dan provinsi dalam program pengembangan agroindustri,
pertumbuhan investasi industri PMA/PMDN, dan peningkatan ekspor agroindustri
selama tahun 2001-2005. Simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi
dan ekspor 25% pada kebijakan tunggal komparasi merupakan besaran rata-rata
peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, pertambahan investasi 20%, dan
peningkatan ekspor 25%.
90
V. KETERKAITAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG
5.1. Kontribusi Agroindustri dalam Perekonomian di Provinsi Lampung
Kontribusi agroindustri dalam perekonomian wilayah di Provinsi Lampung
dilihat dari struktur output dan nilai tambah bruto (value added). Kedua nilai
tersebut merupakan indikator makro yang menunjukkan besarnya sektor unggulan
daerah secara makro.
5.1.1. Struktur Output
Output merupakan nilai produksi (baik barang ataupun jasa) yang dihasilkan
oleh sektor-sektor ekonomi di Provinsi Lampung. Dengan menelaah besarnya output
yang diciptakan oleh masing-masing sektor, berarti akan diketahui sektor-sektor
yang mampu memberikan sumbangan besar dalam pembentukan output secara
keseluruhan di Provinsi Lampung.
Berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi, terlihat bahwa sektor agroindustri
merupakan sektor terbesar menurut peringkat outputnya. Output sektor agroindustri
tersebut memberikan andil sebesar Rp 21 766 835 juta atau 27.93%, diikuti sektor
perdagangan sebesar Rp 10 693 953 juta atau 13.72%, dan sektor pertanian tanaman
pangan sebesar Rp 9 999 424 juta atau 12.83%. Sektor bangunan dan konstruksi
menduduki peringkat ke 4 dengan kontribusi sebesar Rp 6 021 228 juta atau 7.48%.
Jika dilakukan perbandingan antarsektor agroindustri pada tahun 2000 dan
tahun 2005, peringkat pertama pada tahun 2000 adalah industri padi sebesar
Rp 3 301 974 juta atau 7.85%, peringkat kedua industri makanan lainnya sebesar
Rp 2 744 860 juta atau 6.53%, sedangkan peringkat ketiga adalah industri kopi
sebesar Rp 1 715 973 juta atau 4.08% (lihat Lampiran 3). Pada tahun 2005,
peringkat pertama adalah industri makanan lainnya sebesar Rp 3 784 981 juta atau
91
4.86%, peringkat kedua adalah industri gula sebesar Rp 3 348 117 juta atau 4.30%,
sedangkan peringkat ketiga adalah industri tapioka dan tepung lain sebesar Rp 2 868
404 juta atau 3.68%.
Tabel 8. Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 No.
Kode Sektor
Nilai Tahun 2000
(Rp juta)
Pangsa Total
Output (%)
Pering-kat
Nilai Tahun 2005
(Rp juta)
Pangsa Total
Output (%)
Pering-kat
1. IBS 786 890 1.8699 8 1 150 181 1.4756 9 2. IKUD 1 309 108 3.1109 4 2 380 795 3.0544 4 3. ITKT 949 206 2.2556 6 2 868404 3.6799 3 4. IKKL 271 063 0.6441 11 413 558 0.5306 11 5. IML 723 487 1.7192 9 1 208 335 1.5502 8 6. IPD 3 301 974 7.8467 1 2 163 021 2.7750 5 7. IGL 1 166 162 2.7712 5 3 348 117 4.2954 2 8. IKP 1 715 973 4.0778 3 2 060 497 2.6435 6 9. IPKT 925 555 2.1994 7 1 343 493 1.7236 7 10 IMLN 2 744 860 6.5228 2 3 784 981 4.8558 1 11 IMN 58 321 0.1385 12 95 832 0.1229 12 12 IKRT 334 287 0.7944 10 949 621 1.2183 10
5.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto
Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta
karena adanya kegiatan produksi. Dalam Tabel Input-Output, nilai tambah ini dirinci
menurut upah dan gaji, surplus usaha (sewa, bunga dan keuntungan), penyusutan
dan pajak tak langsung neto. Besarnya nilai tambah pada tiap-tiap sektor ditentukan
oleh besamya output (nilai produksi) yang dihasilkan serta jumlah biaya yang
dikeluarkan dalam proses produksi. Oleh sebab itu, sektor yang memiliki output
besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar, tergantung dari biaya produksi
yang dikeluarkan.
Berdasarkan klasifikasi 26 sektor ekonomi Provinsi Lampung, terlihat bahwa
sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam perekonomian Provinsi Lampung
adalah sektor pertanian tanaman pangan sebesar Rp 7 875 793 juta atau 19.35%,
92
sektor perdagangan sebesar Rp 6 781 912 juta atau 16.67%, dan tanaman
perkebunan sebesar Rp 4 693 007 juta atau 11.53%.
Pada sektor-sektor agroindustri, kontribusi nilai tambah terbesar dihasilkan
oleh industri gula sebesar Rp 881 594 juta atau 2.17%, industri tapioka dan tepung
lainnya sebesar Rp 656 005 juta atau 1.61%, sedangkan industri makanan lainnya
sebesar Rp 241 378 juta atau 0.59%.
5.2. Keterkaitan Antarsektor Agroindustri dengan Sektor Ekonomi Lainnya
5.2.1. Keterkaitan Antarsektor ke Belakang
Keterkaitan antarsektor ke belakang menunjukkan seberapa besar input
yang digunakan oleh suatu sektor dari output sektor lain akibat peningkatan satu
satuan permintaan akhir sektor tersebut. Analisis keterkaitan, baik keterkaitan ke
depan maupun keterkaitan ke belakang digunakan untuk mengetahui struktur
agroindustri. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan ke belakang dengan klasifikasi
26 sektor, terlihat bahwa sektor agroindustri di Provinsi Lampung mempunyai
keterkaitan ke belakang paling besar dibandingkan sektor-sektor ekonomi yang lain
(lihat Lampiran 10).
Sektor-sektor non agroindustri yang mempunyai keterkaitan ke belakang
yang besar pada tahun 2005 adalah industri lainnya sebesar 1.0694 untuk keterkaitan
langsung dan sebesar 1.1175 untuk keterkaitan langsung dan tak langsung (total),
keterkaitan langsung sektor listrik, gas dan air sebesar 1.0718 dan keterkaitan total
sebesar 1.0912, sedangkan keterkaitan langsung sektor bangunan dan konstruksi
sebesar 0.9101 dan keterkaitan total sebesar 1.1901.
Pada tahun 2005, besarnya keterkaitan ke belakang sektor agroindustri pada
industri pengolahan ikan dan udang untuk keterkaitan langsung adalah 1.3817 dan
keterkaitan total sebesar 1.6528. Pada industri pakan ternak, keterkaitan langsung
93
sebesar 1.2428 dan keterkaitan total sebesar 1.6224, pada industri gula keterkaitan
langsung sebesar 1.5502 dan keterkaitan total sebesar 1.6132, pada industri padi
keterkaitan langsung sebesar 1.1856 dan keterkaitan total sebesar 1.6124, pada
industri makanan lainnya keterkaitan langsung sebesar 1.2148 dan keterkaitan total
sebesar 1.6011, pada industri tapioka dan tepung lain keterkaitan langsung sebesar
1.2743 dan keterkaitan total sebesar 1.5834, pada industri pengolahan karet
keterkaitan langsung sebesar 1.2001 dan keterkaitan total sebesar 1.5802, pada
industri buah dan sayur keterkaitan langsung sebesar 1.1882 dan keterkaitan total
sebesar 1.5792, pada industri kopra/kelapa keterkaitan langsung sebesar 1.1668 dan
keterkaitan total sebesar 1.5518, pada industri kopi keterkaitan langsung sebesar
1.2200 dan keterkaitan total sebesar 1.319, pada industri minyak/lemak keterkaitan
langsung sebesar 1.0941 dan keterkaitan total sebesar 1.2158, sedangkan pada
industri minuman keterkaitan langsung sebesar 0.8942 dan keterkaitan total sebesar
0.9783.
Apabila data pada tahun 2000 dibandingkan dengan data tahun 2005 (Tabel
9), terlihat bahwa terjadi perubahan/pergeseran peringkat pada industri tapioka dan
tepung lain (dari peringkat 7 ke peringkat 6), industri padi (dari peringkat 3 ke
peringkat 4), industri gula (dari peringkat 5 ke peringkat 3), industri makanan
lainnya (dari peringkat 4 ke peringkat 5), dan industri pengolahan karet (dari
peringkat 6 ke peringkat 7).
Berdasarkan data angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor ekonomi pada
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000, terdapat dua kelompok yaitu
sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektor-sektor
agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor,
sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.000039 yang lebih kecil
94
dibandingkan nilai α = 0.05, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian, besarnya
angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non
agroindustri berbeda, di mana angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor
agroindustri lebih besar dibandingkan angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor
non agroindustri.
Tabel 9. Keterkaitan ke Belakang Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005
Kaitan ke Belakang Tahun 2000
Kaitan ke Belakang Tahun 2005
No. Sektor
Langsung
Langsung dan Tak
Langsung
Peringkat Langsung
Langsung dan Tak
Langsung
Peringkat
1. IBS 1.1181 1.7842 8 1.1882 1.5792 8 2. IKUD 1.3103 2.1079 1 1.3817 1.6528 1 3. ITKT 1.1924 1.8705 7 1.2743 1.5834 6 4. IKKL 1.1731 1.7837 9 1.1668 1.5518 9 11. IML 1.0484 1.3171 11 1.0941 1.2158 11 12. IPD 1.1122 1.9210 3 1.1856 1.6124 4 13. IGL 1.6838 1.8792 5 1.5502 1.6132 3 14. IKP 1.0856 1.3193 10 1.2200 1.3191 10 15. IPKT 1.1785 1.9391 2 1.2428 1.6299 2 16. IMLN 1.1671 1.8895 4 1.2148 1.6011 5 17. IMN 0.6689 0.8202 12 0.8942 0.9783 12 18. IKRT 1.1628 1.8740 6 1.2001 1.5802 7
Berdasarkan data angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor ekonomi
pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005, terdapat dua kelompok
yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektor-
sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12
sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.000039 yang lebih kecil
dibandingkan nilai α = 0.05, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya angka
keterkaitan ke belakang sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non
agroindustri berbeda, di mana angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor
agroindustri lebih besar dibandingkan sektor-sektor non agroindustri.
95
5.2.2. Keterkaitan Antarsektor ke Depan
Keterkaitan ke depan menunjukkan peran suatu sektor dalam menyediakan
output untuk digunakan sebagai input oleh sektor-sektor lain akibat peningkatan satu
satuan permintaan akhir sektor tersebut. Berdasarkan Tabel Input-Output Provinsi
Lampung Tahun 2005, peringkat pertama keterkaitan ke depan pada 26 sektor di
Provinsi Lampung adalah sektor tanaman perkebunan dengan keterkaitan langsung
sebesar 1.3341 dan keterkaitan total sebesar 1.9743. Selanjutnya, sektor tanaman
pangan dengan keterkaitan langsung sebesar 1.2148 dan keterkaitan total sebesar
1.9032.
Keterkaitan ke depan agroindustri dengan sektor lain di Provinsi Lampung
tahun 2000 dan tahun 2005 disajikan pada Tabel 10. Keterkaitan ke depan sektor
agroindustri Provinsi Lampung tahun 2005 yang terbesar adalah industri pengolahan
karet dengan keterkaitan langsung sebesar 1.2484 dan keterkaitan total sebesar
1.7699, pada industri gula keterkaitan langsung sebesar 1.0315 dan keterkaitan total
sebesar 1.3087, pada industri tapioka dan tepung lain keterkaitan langsung sebesar
0.6043 dan keterkaitan total sebesar 1.2396, pada industri padi keterkaitan langsung
sebesar 0.6336 dan keterkaitan total sebesar 1.0911, pada industri pakan ternak
keterkaitan langsung sebesar 0.9476 dan keterkaitan total sebesar 1.0122, pada
industri pengolahan ikan dan udang keterkaitan langsung sebesar 0.3771 dan
keterkaitan total sebesar 0.8030, pada industri minuman keterkaitan langsung
sebesar 0.5228 dan keterkaitan total sebesar 0.6608, pada industri makanan lainnya
keterkaitan langsung sebesar 0.1245 dan keterkaitan total sebesar 0.7933, pada
industri buah dan sayur keterkaitan langsung sebesar 0.0203 dan keterkaitan total
sebesar 0.6941, pada industri minyak/lemak keterkaitan langsung sebesar 0.4728
dan keterkaitan total sebesar 0.7933, pada industri kopi keterkaitan langsung sebesar
96
0.1253 dan keterkaitan total sebesar 0.6241, sedangkan pada industri kopra/kelapa
keterkaitan langsung sebesar 0.3458 dan keterkaitan total sebesar 0.6121.
Apabila data pada tahun 2000 dibandingkan dengan data pada tahun 2005,
terlihat bahwa terjadi perubahan/pergeseran peringkat pada industri buah dan sayur
(dari peringkat 9 ke peringkat 8), industri pengolahan ikan dan udang (dari peringkat
8 ke peringkat 6), industri tapioka dan tepung lain (dari peringkat 5 ke peringkat 3),
industri padi (dari peringkat 2 ke peringkat 4), industri gula (dari peringkat ke
peringkat 2), industri pengolahan karet (dari peringkat 4 ke peringkat 5), dan industri
minuman (dari peringkat 6 ke peringkat 9).
Tabel 10. Keterkaitan ke Depan Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005
Kaitan ke depan tahun 2000 Kaitan ke depan tahun 2005 No. Sektor
Langsung
Langsung dan Tak
Langsung
Peringkat Langsung
Langsung dan Tak
Langsung
Peringkat
1. IBS 0.2167 0.7837 9 0.2203 0.6941 8 2. IKUD 0.4371 0.8509 8 0.3771 0.8030 6 3. ITKT 0.4352 1.0530 5 0.6043 1.2396 3 4. IKKL 0.3395 0.6895 12 0.3458 0.6121 12 5. IML 0.4771 0.7344 10 0.4728 0.6265 10 6. IPD 0.1857 1.3058 2 0.6336 1.0911 4 7. IGL 0.8976 1.2102 3 1.0315 1.3087 2 8. IKP 0.1900 0.7303 11 0.1253 0.6241 11 9. IPKT 0.6584 1.1966 4 0.9476 1.0122 5 10. IML 0.5724 1.0143 7 0.1245 0.7933 7 11. IMN 0.3795 1.0390 6 0.5228 0.6608 9 12. IKRT 1.2106 1.4206 1 1.2484 1.7699 1
Pada tahun 2000 dan tahun 2005, terlihat adanya pergeseran angka dan
peringkat keterkaitan ke depan pada sektor agroindustri, namun peringkat pertama
tetap dihasilkan oleh industri pengolahan karet.
Berdasarkan data angka keterkaitan ke depan sektor-sektor ekonomi pada
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (lihat Lampiran 11), terdapat dua
kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri.
97
Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung
sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14
sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.00049 yang
lebih kecil dari nilai α = 0.05, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian, besarnya
angka keterkaitan ke depan sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non
agroindustri berbeda, di mana angka keterkaitan ke depan sektor-sektor agroindustri
lebih besar dibandingkan angka keterkaitan ke depan sektor-sektor non agroindustri.
Berdasarkan data angka keterkaitan ke depan sektor-sektor ekonomi pada
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (lihat Lampiran 11), ada dua
kategori pengelompokan, yaitu sektor agroindustri dan sektor non agroindustri.
Jumlah sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak
12 sektor, sedangkan jumlah sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.00059 yang lebih kecil
dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya angka
keterkaitan ke depan sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non
agroindustri berbeda, di mana angka keterkaitan ke depan sektor-sektor agroindustri
lebih besar dibandingkan angka keterkaitan ke depan sektor-sektor non agroindustri.
Berdasarkan data analisis keterkaitan ke belakang dan depan, terlihat bahwa
sektor agroindustri mempunyai keterkaitan yang besar dengan sektor lain. Nilai
keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang lebih besar dari pada nilai
keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan. Hal ini mengindikasikan bahwa
sektor agroindustri di Provinsi Lampung lebih mampu mendorong sektor pertanian
sebagai pemasok bahan baku dibandingkan penciptaan kenaikan output apabila
terjadi peningkatan satu-satuan permintaan akhir (final demand).
Keterkaitan ke belakang sektor agroindustri adalah keterkaitan dengan
sektor-sektor yang memasok bahan baku yaitu tanaman pangan, tanaman
98
perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sektor-sektor primer juga mempunyai nilai
ouput yang sebagian besar merupakan input sektor agroindustri. Sedangkan
keterkaitan ke depan sektor agroindustri merupakan keterkaitan dengan sektor yang
memanfaatkan output sektor agroindustri. Output sektor agroindustri sebagian besar
ditujukan untuk keperluan ekspor dan sebagian dimanfaatkan untuk industri lain.
Kondisi tersebut menyebabkan nilai rata-rata keterkaitan ke belakang sektor industri
lebih besar dibandingkan nilai rata-rata keterkaitan ke depan, sehingga nilai rata-
rata daya penyebaran sektor agroindustri lebih besar dari pada nilai rata-rata daya
kepekaannya (lihat Lampiran 14).
Okamoto (2004a) menyatakan bahwa keterkaitan merupakan salah satu
proses untuk mempercepat terjadinya aglomerasi atau terkonsentrasinya industri.
Hasil penelitian Okamoto di Cina menunjukkan bahwa nilai keterkaitan yang tinggi
menyebabkan terjadinya aglomerasi. Fujita et al. (1999) menyatakan bahwa
terjadinya aglomerasi didasarkan pada hasil yang meningkat akibat skala ekonomi,
biaya transportasi, keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan yang besar.
Dengan demikian nilai keterkaitan sektor agroindustri dengan sektor lain yang besar
mengindikasikan terjadinya aglomerasi pada sektor agroindustri di Provinsi
Lampung.
Lebih lanjut Fujita et al. (1999) menyatakan bahwa intraindustry dan
interindustry spillover merupakan salah satu pendorong terjadinya aglomerasi
industri atau clustering. Mekanisme trade off antara centripetal forces dan
centrifugal forces menyebabkan terjadinya aglomerasi. Centripetal forces atau
agglomeration forces adalah kekuatan yang mendorong terjadinya konsentrasi
spasial, sedangkan centrifugal forces atau dispersion forces adalah kekuatan yang
berlawanan dan mendorong terjadinya distribusi spasial. Centripetal forces terdiri
dari keterkaitan (linkages), pasar yang besar (thick market), knowledge spillover,
99
serta eksternalitas yang menguntungkan (pure external economies). Centrifugal
forces terdiri input/faktor yang tidak cepat bergerak (immobile factor), nilai lahan
(land rent and comuting), kemacetan (congestion and other pure), dan
diseconomies. Jika persyaratan utama aglomerasi adalah keterkaitan, nilai
keterkaitan ke belakang dan depan yang besar pada sektor agroindustri di Provinsi
Lampung mengindikasikan bahwa terjadi aglomerasi pada sektor tersebut.
5.2.3. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor
Pengelompokkan keterkaitan antarsektor yang didasarkan pada kombinasi
antara forward dan backward linkage, yaitu forward rendah dan backward tinggi,
forward tinggi dan backward tinggi, forward tinggi dan backward rendah, serta
forward rendah dan backward rendah disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Kombinasi keterkaitan antarsektor ekonomi di Provinsi Lampung
Forward
Rendah Tinggi
Backward Tinggi Forward Rendah Backward Tinggi IBS IKUD IKKL IML IKP JJLN IMLN
Forward Tinggi Backward Tinggi ITKT IPD IGL IPKT IKRT
Rendah Forward Rendah Backward Rendah IMN BKST PTUM
Forward Tinggi Backward Rendah TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG ILNY LGA PHR TRKM LKJP
100
Agroindustri yang mempunyai kaitan ke depan (forward) dan ke belakang
(backward) yang tinggi adalah tapioka dan tepung lain, industri gula, industri pakan
ternak dan industri karet. Peningkatan investasi di sektor-sektor agroindustri ini
akan memberikan dampak yang luas tidak hanya terhadap sektor input, tetapi juga
pada sektor output. Tingginya kaitan ke belakang menunjukkan tingginya
penyebaran dampak perubahan sektor tersebut terhadap subsektor lainnya, yang
tergolong pada industri hulu (sektor input). Output sektor-sektor ini akan menjadi
input bagi sektor lain yang lebih hilir.
Agroindustri yang mempunyai klasifikasi kaitan ke depan tinggi dan kaitan
ke belakang rendah tidak ada. Sektor pertanian masuk dalam klasifikasi tersebut.
Sektor pertanian umumnya masih perlu untuk dilakukan proses pengolahan oleh
sektor industri pengolahan, khususnya pengolahan hasil pertanian. Dengan
demikian, sektor-sektor ini lebih peka terhadap perubahan sektor lain akibat
perubahan permintaan akhir terhadap masing-masing sektor. Sementara itu,
perubahan permintaan akhir terhadap sektor-sektor ini tidak memberikan dampak
yang besar terhadapsektor lain karena kaitan ke belakangnya rendah.
Agroindustri yang memiliki kaitan ke belakang tinggi dan kaitan ke depan
rendah adalah industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan dan udang, industri
kopra/ kelapa, industri minyak/ lemak, industri kopi, dan industri makanan lainnya.
Kaitan ke belakang yang tinggi merupakan alasan utama mengapa agroindustri
menjadi prioritas dalam pembangunan ekonomi wilayah. Sedangkan kaitan ke depan
yang rendah pada sektor tersebut tidak mengherankan mengingat sektor tersebut
merupakan sektor hilir dalam proses input-output. Investasi pada industri-industri
tersebut akan menumbuhkan industri hulu, khususnya sektor pertanian.
101
Agroindustri yang mempunyai kaitan ke depan dan ke belakang rendah
adalah industri minuman. Di samping tidak peka terhadap perubahan sektor lain,
sektor ini juga tidak dapat diandalkan untuk menumbuhkan sektor lain apabila
investasi pada sektor ini ditingkatkan.
Menurut Setiawan (2006), sektor-sektor industri makanan dan minuman
(agroindustri) di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat merupakan sektor
yang memiliki daya mengait ke sektor hulu atau backward linkages dan sekaligus
memiliki daya dorong ke sektor hilir atau forward linkages yang tinggi. Hasil
penelitian Supriyati dan Suryani (2006) di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera
Utara menunjukkan tingginya daya kepekaan sektor agroindustri karena pengaruh
pertumbuhan ekonomi wilayah yang memiliki kaitan ke belakang yang kuat serta
mampu menarik pertumbuhan output industri hulunya. Nilai derajat kepekaan
menunjukkan efek relatif yang disebabkan oleh perubahan sektor agroindustri yang
menimbulkan perubahan output sektor-sektor lain dengan menggunakan output
dari sektor agroindustri tersebut, baik langsung maupun tidak langsung.
5.2.4. Penelusuran Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang
Analisis penelusuran keterkaitan ke depan dan ke belakang digunakan untuk
mengetahui secara rinci keterkaitan sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor
ekonomi dalam perekonomian wilayah. Penelusuran dilakukan dengan cara
mengetahui persentase sektor-sektor dari nilai keterkaitan .
Berdasarkan Tabel 12 dan Lampiran 12 terlihat bahwa keterkaitan ke
belakang terdiri dari keterkaitan dengan sektor itu sendiri, sektor yang memasok
bahan baku, sektor perdagangan, sektor transportasi dan komunikasi, serta sektor
lainnya. Keterkaitan dengan sektor itu sendiri berkisar antara 40.50–56.12%.
Keterkaitan sektor diri sendiri merupakan keterkaitan sesama sektor agroindustri
102
dalam menggunakan input. Penggunaan input sesama sektor dalam prakteknya
merupakan kerjasama antar perusahaan sejenis. Keterkaitan ke belakang dengan
sektor yang memasok bahan baku berkisar antara 9.29–35.59%. Keterkaitan tersebut
merupakan keterkaitan sektor agroindustri dengan sektor-sektor pertanian seperti
tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan perikanan. Keterkaitan dengan sektor
perdagangan berkisar antara 5.57–12.43%. Sektor perdagangan berkaitan dengan
transaksi ekspor-impor. Dengan demikian sebagian sektor agroindustri
menggunakan input dari impor dan jasa perdagangan lainya.
Tabel 12. Penelusuran Keterkaitan Ke Belakang Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 No. SEKTOR Nilai
KeterkaitanSektor
1 (%)
Sektor 2 (%)
Sektor 3
(%)
Sektor 4 (%)
Sektor Lain (%)
1. IBS 1.5792 IBS (43.98)
TPGN (35.59)
PHR (9.01)
TRKM (2.50 )
(8.92)
2. IKUD 1.6528 IKUD (44.23)
IKAN (28.68)
PHR (12.43)
TRKM (3.29)
(11.37)
3. ITKT 1.5834 ITKT (46.73)
TPGN (14.13)
PHR (12.24)
TKBN (4.57)
(22.33)
4. IKKL 1.5518 IKKL (46.04)
TKBN (34.607)
PHR (9.61)
TRKM (3.13)
(6.613)
5. IML 1.2158 IML (40.50)
TKBN (32.379)
IKKL (10.26)
PHR (8.60)
(8.261)
6. IPD 1.6124 IPD (44.28)
TPGN (43.980(
PHR (5.57)
TRKM (1.89)
(4.28)
7. IGL 1.6132 IGL (56.12)
TKBN (25.240)
PHR (7.20)
TRKM (3.33)
(8.11)
8. IKP 1.3191 IKP (45.47)
TKBN (28.532)
PHR (10.41)
TRKM (8.38)
(7.208)
9. IPKT 1.6299 IPKT (42.58)
TPGN (33.90)
PHR (9.96)
TRKM (2.62)
(10.94)
10. IML 1.6011 IML (42.58)
TPGN (26.207)
TKBN (11.222)
PHR (8.67)
(11.321)
11. IMN 0.9783 IMN (53.70)
TKBN (9.29)
IGL (6.96)
PHR (11.14)
(18.91)
12. IKRT 1.5802 IKRT (50.47)
TKBN (31.771)
PHR (8.28)
TRKM (2.98)
(6.499)
Berdasarkan Tabel 13 dan Lampiran 13 terlihat bahwa keterkaitan ke depan
terdiri dari keterkaitan dengan sektor itu sendiri, sektor yang memanfaatkan output
103
untuk bahan baku, sektor perdagangan, sektor, jasa-jasa lainnya dan sektor lainnya.
Keterkaitan dengan sektor diri sendiri berkisar antara 72.48–98.94%. Keterkaitan
diri sendiri merupakan keterkaitan sesama sektor agroindustri dalam menggunakan
input. Penggunaan input sesama sektor dalam prakteknya merupakan kerjasama
antar perusahaan sejenis.
Keterkaitan ke depan sektor agroindustri yang menggunakan output berkisar
antara 0.65–18.47%. Keterkaitan dengan sektor perdagangan berkisar antara 0.38–
0.70%. Sektor perdagangan berkaitan dengan transaksi ekspor-impor. Dengan
demikian sebagian besar sektor agroindustri menggunakan output untuk diekspor ke
luar wilayah dan jasa perdagangan lainya.
Tabel 13. Penelusuran Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 No. SEKTOR Nilai
KeterkaitanSektor
1 (%)
Sektor 2 (%)
Sektor 3 (%)
Sektor 4
(%)
Sektor Lain (%)
1. IBS 0.6941 IBS (94.57)
PHR (3.08)
JJLN (1.06)
(1.29)
2. IKUD 0.8030 IKUD (96.12)
PHR (3.23)
(1.65)
3. ITKT 1.2396 ITKT (78.44)
PHR (6.52)
JJLN ( 7.54)
IMN (1.04)
(7.5)
4. IKKL 0.6121 IKKL (74.75)
IML (18.47)
IPKT (3.69)
(3.09)
5. IML 0.6265 IML (88.97)
IPKT (1.62)
IMLN (1.42)
ITKT (1.33)
(7.99)
6. IPD 1.0911 IPD (84.98)
IKAN (1.62)
PHR (1.46)
JJLN (2.63)
(11.94)
7. IGL 1.3087 IGL (72.48)
ITKT (11.67)
IMN (9.26)
JJLN (1.55)
(6.59)
8. IKP 0.6241 IKP (89.35)
PHR ( 7.21)
(3.44)
9. IPKT 1.0122 IPKT (75.95)
PTK (11.68)
PHR (5.67)
ITKT (3.85)
(6.7)
10. IMLN 0.7933 IMLN (95.49)
ITKT (0.65)
IPKT (0.94)
PHR (0.38)
(2.92)
11. IMN 0.6608 IMN (98.94)
PHR (0.21)
(0.85)
12. IKRT 1.7699 IKRT (81.55)
BKST (2.52)
ILNY (2.31)
IMN (1.49)
(13.44)
104
5.3. Pengganda Sektor Agroindustri
5.3.1. Pengganda Output
Model Input-Output yang dipergunakan adalah model input-output terbuka
yang menganggap rumah tangga (household) sebagai exogenous factor. Rumah
tangga merupakan salah satu konsumen akhir yang mengkonsumsi sejumlah output
yang dipergunakan sebagai konsumsi akhir.
Angka pengganda (multiplier) menggambarkan dampak yang terjadi
terhadap variabel endogen tertentu akibat perubahan terhadap variabel eksogen
dalam perekonomian. Angka pengganda tipe I menganggap rumah tangga
(household) sebagai exogenous factor. Angka pengganda tipe II menganggap rumah
tangga (household) sebagai endogenous factor. Sedangkan variabel-variabel
endogen adalah output sektoral. Pada penelitian ini dipergunakan angka -engganda
tipe I.
Nilai pengganda (multiplier) output dari suatu sektor menunjukkan besarnya
peningkatan output pada sektor tersebut akibat kenaikan satu satuan permintaan
akhir. Suatu sektor yang memiliki nilai pengganda output tinggi akan memberikan
pangaruh yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan pekerjanya jika terjadi
kenaikan permintaan pada output yang diproduksinya. Angka pengganda juga
dipergunakan untuk mengetahui perilaku industri.
Apabila ditinjau dari angka pengganda output klasifikasi 26 sektor ekonomi
Provinsi Lampung, pemegang nilai pengganda output yang besar dicapai oleh
sektor-sektor agroindustri (terutama urutan 1 sampai 10). Sektor-sektor tersebut
adalah sektor industri pengolahan ikan dan udang, industri pengolahan karet,
industri tapioka dan tepung lain, industri pakan ternak, industri makanan lainnya,
105
industri kopi, industri buah dan sayur, industri padi, industri gula dan industri
minuman.
Nilai pengganda output terbesar sektor agroindustri adalah pada industri
pengolahan ikan dan udang sebesar 2.6480. Artinya, terjadinya peningkatan output
pada sektor industri pengolahan ikan, daging dan udang sebesar satu rupiah
mengakibatkan peningkatan jumlah output pada semua sektor sebesar 2.6480 rupiah
(lihat Tabel 14).
Berdasarkan Tabel 14, apabila dilakukan perbandingan angka pengganda
output sektor agroindustri pada tahun 2000 dan 2005, terdapat pergeseran/
perubahan nilai peringkat pada ITKT (dari peringkat 6 ke peringkat 3), IML (dari
peringkat 10 ke peringkat 11), IPKT (dari peringkat 3 ke peringkat 4), IMLN (dari
peringkat 4 ke peringkat 6), dan IMN (dari peringkat 4 ke peringkat 5). Sedangkan
peringkat angka pengganda output untuk industri lain tetap.
Tabel 14. Pengganda Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005
No. Sektor Nilai Tahun 2000
Peringkat Nilai Tahun 2005
Peringkat
1. IBS 2.3625 7 2.8607 72. IKUD 2.7686 1 3.2984 13. ITKT 2.3939 6 2.9948 34. IKKL 1.7288 12 1.9146 125. IML 1.7380 10 2.0989 116. IPD 2.3501 8 2.8207 87. IGL 1.8578 9 2.4548 98. IKP 2.4571 5 2.9336 59. IPKT 2.4903 3 2.9523 410. IMLN 2.4661 4 2.9206 611. IMN 1.7332 11 2.4002 1012. IKRT 2.5196 2 3.0585 2
Berdasarkan data angka pengganda output sektor-sektor ekonomi pada
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (lihat Lampiran 15), terdapat dua
kategori yaitu sektor agroindustri dan non agroindustri. Jumlah sektor agroindustri
dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah
106
sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa
nilai P-value sebesar 0.000093 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05
sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya angka pengganda output antara
sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana
angka pengganda output antara sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan
sektor-sektor non agroindustri.
Berdasarkan data angka pengganda output sektor-sektor ekonomi pada
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (lihat Lampiran 15), terdapat dua
kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri.
Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung
sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14
sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.000093
yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan
demikian besarnya angka pengganda output antara sektor-sektor agroindustri dengan
sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda output antara
sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda output sektor-
sektor non agroindustri.
Dampak pengganda output sektor agroindustri dapat dirinci melalui
disagregasi. Disagregasi yang dimaksud dalam pembahasan ini mempunyai
pengertian bahwa dampak berganda output dari suatu sektor agroindustri akan
dirinci secara sektoral, di mana penjumlahan dampak dari seluruh sektor tersebut
merupakan besarya dampak pengganda output terhadap perekonomian Provinsi
Lampung. Dengan cara ini akan diketahui dengan jelas ke mana saja dampak
pengganda output sektor agroindustri itu disebar, sehingga dapat menunjukkan
sektor ekonomi mana yang paling diuntungkan apabila dilakukan pengembangan
107
sektor agroindustri. Dampak injeksi awal permintaan akhir pada sektor agroindustri
adalah :
1. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan
akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri pengolahan ikan dan udang adalah
sektor perikanan sebesar 0.9459 rupiah atau 28.68% dari dampak total sektor
industri pengolahan ikan dan udang terhadap perekonomian Provinsi Lampung
sebanyak 3.2984 rupiah.
2. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan
akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri pengolahan karet adalah sektor
tanaman perkebunan sebesar 0.9716 rupiah atau 31.77% dari dampak total sektor
sektor industri pengolahan karet terhadap perekonomian Provinsi Lampung
sebanyak 3.0584 rupiah.
3. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan
akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri tapioka dan tepung lain adalah sektor
peternakan (PTK) sebesar 0.4231 rupiah atau 14.13% dampak total sektor
industri tapioka dan tepung lain terhadap perekonomian Provinsi Lampung
sebanyak 2.9948 rupiah dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR)
sebesar 0.3665 atau 12.24% dampak total sektor sektor industri tapioka dan
tepung lain terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9948 rupiah.
4. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan
akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri pakan ternak adalah sektor tanaman
pangan sebesar 1.0008 rupiah atau 33.90% sektor industri pakan ternak terhadap
perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9523 rupiah.
5. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan
akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri makanan lainnya adalah sektor
tanaman pangan sebesar 0.7654 rupiah atau 26.21% sektor industri makanan
108
lainnya terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9206 rupiah dan
sektor tanaman perkebunan sebesar 0.2613 rupiah atau 11,22% sektor industri
makanan lainnya terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9206
rupiah.
5.3.2. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Nilai pengganda pendapatan rumah tangga dari suatu sektor menunjukkan
besarnya peningkatan pendapatan rumahtangga yang bekerja pada sektor tersebut
akibat kenaikan satu satuan permintaan akhir. Suatu sektor yang memiliki nilai
pengganda pendapatan tinggi akan memberikan pangaruh yang besar terhadap
peningkatan kesejahteraan pekerjanya jika terjadi kenaikan permintaan pada output
yang diproduksinya.
Tabel 15 memperlihatkan nilai pengganda pendapatan sektor-sektor
agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005. Berdasarkan data tersebut terlihat
bahwa urutan sektor yang memberikan pengganda yang besar adalah industri
pengolahan ikan dan udang sebesar 20.7939, industri pakan ternak sebesar 20.5521,
industri pengolahan karet sebesar 15.7328, dan industri makanan lainnya sebesar
12.3682. Sektor industri pengolahan ikan dan udang memiliki nilai pengganda
pendapatan sebesar 20.7939, artinya apabila terjadi peningkatan output pada sektor
industri tersebut sebesar satu rupiah hanya akan mengakibatkan peningkatan
pendapatan rumah tangga sebesar 20.7939 rupiah baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Tabel 15. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2000 dan Tahun 2005 No. Sektor Pengganda
Pendapatan Tahun 2000
Peringkat Pengganda Pendapatan Tahun 2005
Peringkat
1 IBS 3.4430 8 9.9603 62 IKUD 9.8197 1 20.7939 1
109
3 ITKT 4.0219 7 7.6987 84 IKKL 2.7136 10 5.0786 115 IML 2.7271 9 6.0044 96 IPD 6.4481 3 5.3231 107 IGL 1.5350 12 8.4118 78 IKP 4.7591 5 12.1358 59 IPKT 6.5972 2 20.5521 2
10 IMLN 4.4004 6 12.3682 411 IMN 1.7450 11 3.0947 1212 IKRT 6.0017 4 15.7328 3
Berdasarkan data angka pengganda pendapatan rumah tangga sektor-sektor
ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (lihat Lampiran
16), terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non
agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi
Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri
sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar
0.000025 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan
demikian besarnya pendapatan rumah tangga antara sektor-sektor agroindustri
dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda
pendapatan rumah tangga sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka
pengganda sektor-sektor non agroindustri.
Berdasarkan data angka pengganda pendapatan rumah tangga sektor-sektor
ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (lihat Lampiran
16), terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non
agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi
Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri
sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar
0.000025 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan
demikian besarnya pendapatan rumah tangga sektor-sektor agroindustri dengan
sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda pendapatan rumah
110
tangga sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda
pendapatan rumah tangga sektor-sektor non agroindustri.
5.3.3. Pengganda Tenaga Kerja Nilai pengganda tenaga kerja dari suatu sektor menunjukkan besarnya
peningkatan tenaga kerja akibat kenaikan satu satuan permintaan akhir. Berdasarkan
hasil analisis tabel input-output diperoleh nilai pengganda tenaga kerja pada sektor-
sektor agroindustri Provinsi Lampung tahun 2005 berkisar antara 3.6307 sampai
44.4494.
Nilai pengganda tenaga kerja terbesar adalah pada industri pengolahan ikan
dan udang, yaitu sebesar 44.4494. Artinya, apabila terjadi peningkatan output
industri pengolahan ikan dan udang sebesar satu rupiah hanya akan mengakibatkan
peningkatan tenaga kerja sebesar 44.4494. Berdasarkan angka yang diperoleh,
terlihat bahwa sektor-sektor agroindustri mempunyai pengganda yang sangat besar
terhadap tenaga kerja. Pada Tabel 16 terlihat bahwa peringkat pengganda tenaga
kerja sektor agroindustri antara tahun 2000 dan tahun 2005 menunjukkan pergeseran
peringkat pada beberapa industri sektor agroindustri.
Tabel 16. Peringkat Pengganda Tenaga Kerja Sektor Agroindustri
No. Sektor Pengganda Tenaga kerja Tahun 2000
Peringkat Pengganda Tenaga kerja Tahun 2005
Peringkat
1. IBS 16.1178 7 18.2218 82. IKUD 39.2294 1 44.4494 13. ITKT 14.8172 8 25.2196 44. IKKL 9.7087 11 10.6087 115. IML 10.0656 9 11.1682 96. IPD 22.0238 4 22.2228 67. IGL 21.2912 5 23.4915 58. IKP 9.7634 10 10.8540 109. IPKT 30.9823 2 32.9436 210. IMLN 20.8743 6 20.9656 711. IMN 2.4587 12 3.6307 1212. IKRT 25.5432 3 28.5534 3
111
Berdasarkan data angka pengganda tenaga kerja sektor-sektor ekonomi pada
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (lihat Lampiran 17), terdapat dua
kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri.
Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung
sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14
sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.00006 yang
lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian
besarnya pengganda tenaga kerja sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor
non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda tenaga kerja sektor-sektor
agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda tenaga kerja sektor-sektor
non agroindustri.
Berdasarkan data angka pengganda tenaga kerja sektor-sektor ekonomi
pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (lihat Lampiran 17),
terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non
agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi
Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor non agroindustri sebanyak
14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.00006
yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian
besarnya pengganda tenaga kerja antara sektor-sektor agroindustri dengan sektor-
sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda tenaga kerja sektor-
sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda tenaga kerja sektor-
sektor non agroindustri.
Berdasarkan rekapitulasi peringkat pengganda pada Tabel 16, urutan
peringkat pengganda kesempatan kerja sektor agroindustri adalah industri
pengolahan ikan dan udang, industri pakan ternak, industri pengolahan karet,
industri tapioka dan tepung lain, industri gula, industri makanan lainnya, industri
112
padi, industri buah dan sayur, industri kopi, industri minyak/lemak, industri
kelapa/kopra, dan industri minuman.
Tabel 17. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Agroindustri Tahun 2005 Sektor
Peringkat Keterka-itan ke Belakang
Peringkat Keterka-itan ke Depan
Peringkat Penggan-da Output
Peringkat Penggan-da Pend. RT
Peringkat Pengganda Kesempatan Kerja
Total Nilai
Pering- kat
IBS 8 8 7 6 8 37 8IKUD 1 6 1 1 1 10 1ITKT 6 3 3 8 4 24 4IKKL 9 12
12 11 11 55 11
IML 11 10 11 9 9 50 10IPD 4 4 8 10 6 32 7IGL 3 2 9 7 5 26 5IKP 10 11 5 5 10 41 9IPKT 2 5 4 2 2 15 2IMLN 5 7 6 4 7 29 6IMN 12 9 10 12 12 55 12IKRT 7 1 2 3 3 16 3
Hasil penelitian Supriyati dan Suryani (2006) di Jawa Barat, Jawa Timur,
dan Sumatera Utara tentang pengganda agroindustri terhadap output, pendapatan
dan tenaga kerja menunjukkan bahwa sektor agroindustri mempunyai nilai
pengganda yang tinggi, baik terhadap output, pendapatan maupun tenaga kerja
dibandingkan dengan sektor non agroindustri. Nilai pengganda di Jawa Timur lebih
besar dibandingkan agregat maupun wilayah lain, namun masih di bawah nilai
pengganda sektor agroindustri Provinsi Lampung.
Pengganda output yang tinggi tersebut disebabkan agroindustri yang
memanfaatkan bahan baku pada sektor pertanian cukup besar, ditunjang dengan
potensi sektor pertanian yang cukup besar pula. Pengganda pendapatan akan tinggi
apabila output agroindustri mampu diserap, baik sebagai konsumsi langsung
maupun untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negeri. Sektor agroindustri
113
yang mempunyai pengganda tenaga kerja tinggi perlu distimulasi sehingga akan
dapat mengatasi permasalahan pengangguran yang semakin meningkat.
Menurut Setiawan (2006), suatu sektor dinyatakan sebagai unggulan dalam
pembangunan ekonomi daerah dengan melihat kriteria sebagai berikut: (1)
sumbangan sektor produksi pada total output, (2) sumbangan sektor produksi
terhadap nilai tambah bruto, (3) daya penyebaran dan daya penyebaran dan derajat
kepekaan yang merupakan keterkaitan sektoral ke hulu dan hilir, (4) nilai pengganda
output, nilai tambah dan tenaga kerja, dan (5) prospek sektor tersebut di masa
mendatang. Jika dilihat dari kinerja agroindustri di Provinsi Lampung dari peranan,
angka pengganda dan keterkaitan antar sektoral maka sektor agroindustri merupakan
sektor pemimpin (leading sector) dalam pembangunan ekonomi wilayah.
Sektor-sektor agroindustri yang merupakan industri prioritas berdasarkan
peringkat pada Tabel 17 serta Lampiran 18 dan 19 di Provinsi Lampung adalah
industri pengolahan ikan dan udang, industri pakan ternak, industri pengolahan
karet, industri tapioka dan tepung lain, industri gula dan industri makanan lainnya
(enam peringkat teratas). Pengembangan industri tersebut memerlukan dukungan
kelembangan dan politik dari pemerintah. Pemerintah pusat dan daerah memainkan
peran penting yang memberikan manfaat industri-industri tersebut melalui kebijakan
fiskal (pengeluaran pemerintah), serta mendorong investasi dan ekspor.
Oleh karena itu, kebijakan dan program pemerintah provinsi dan kabupaten/
kota se Provinsi Lampung menjadikan sektor agroindustri sebagai prioritas, tanpa
mengabaikan potensi dan peluang sektor-sektor lainnya. Prioritas tersebut perlu
diwujudkan dalam program atau kegiatan pengembangan agroindustri yang dapat
direalisasikan, terlebih sektor ini bisa menggerakkan sektor pertanian karena adanya
keterkaitan yang besar antara sektor pertanian dengan sektor agroindustri.
114
VI. KONSENTRASI SPASIAL DAN PENGHEMATAN AKIBAT AGLOMERASI
6.1. Konsentrasi Spasial
Menurut Fujita et al. (1999) konsentrasi spasial merupakan pengelompokan
setiap industri dan aktivitas ekonomi yang secara spasial berlokasi pada suatu
wilayah tertentu. Aiginger and Hansberg (2003) menyatakan bahwa konsentrasi
spasial dapat didefinisikan sebagai pangsa output regional yang menunjukkaan
distribusi lokasional dari suatu industri.
Komposisi dan besaran produk domestik regional bruto (PDRB) sektor
agroindustri berdasarkan sebaran sektor dan kabupaten/ kota tahun 2000 dan 2005
dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21. Berdasarkan lampiran tersebut, urutan
besarnya PDRB Provinsi Lampung adalah industri gula sebesar Rp 992 872 juta
atau 20.86%, industri pengolahan ikan dan udang sebesar Rp 646 442 juta atau
14.39%, industri tapioka dan tepung lain sebesar Rp 627 400 juta atau 13.18%,
industri makanan lainnya Rp 465 961 juta atau 9.79%, industri pengolahan karet
Rp 378 668 juta atau 7.96%, industri pakan ternak Rp 312 024 juta atau 6.55%,
industri kopi Rp 285 965 juta atau 6.00%, industri padi Rp 262 152 juta atau 5.50%,
industri buah dan sayur Rp 256 626 juta atau 5.39%, industri minyak/lemak Rp 124
188 juta atau 2.60%, industri kopra/kelapa Rp 97 094 juta atau 2.04%, dan industri
minuman Rp 43 266 juta atau 0.90%. Besaran PDRB per sektor agroindustri dari
urutan pertama hingga urutan dua belas di Provinsi Lampung menunjukkan
ketidakseimbangan kontribusi antara beberapa agroindustri tersebut.
Apabila ditinjau dari kontribusi kabupaten/kota terhadap PDRB sektor
agroindustri di Provinsi Lampung, kabupaten yang memberikan kontribusi output
terbesar pada tahun 2005 adalah Kabupaten Tulang Bawang sebesar Rp 1 207 738
juta atau 26.88%, diikuti Kabupaten Lampung Tengah Rp 870 839 juta atau
115
19.38%, dan Kota Bandar Lampung Rp 836 951 juta atau 18.63%. Ketiga
kabupaten/kota tersebut merupakan sentra produksi utama agroindustri di Provinsi
Lampung (lihat Lampiran 20, 21, 22 dan 23).
Kontribusi kabupaten/kota lainnya dalam PDRB sektor agroindustri Provonsi
Lampung adalah Kabupaten Lampung Selatan sebesar Rp 571 285 juta atau 12.72%,
Kabupaten Lampung Utara Rp 414 662 juta atau 9.23%, Kabupaten Lampung
Timur Rp 264 840 juta atau 5.89%, Kabupaten Tanggamus Rp 202 177 juta atau
4.50%, Kabupaten Way Kanan Rp 77 971 juta atau 1.74%, Kabupaten Lampung
Barat Rp 29 621 juta atau 0.66%, dan Kota Metro Rp 16 572 juta atau 0.37%.
Besaran PDRB Sektor Agroindustri per kabupaten/ kota di Provinsi Lampung
menunjukkan ketidakmerataan kontribusi antara beberapa kabupaten/kota.
Indeks Gini Lokasional (gEG) merupakan tingkat spesialisasi suatu sektor
dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah. Nilai Gini Lokasional Sektor
Agroindustri di Provinsi Lampung atau indeks ketidakmerataan lokasi disajikan
pada Tabel 18.
Tabel 18. Indeks Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung 2000 2005 No. Sektor Agroindustri
gEG Klasifikasi gEG Klasifikasi
1 Industri Buah dan Sayur 0.2712 Terkonsentrasi 0.2739 Terkonsentrasi
2 Industri Ikan, Daging & Udang 0.1469 Terkonsentrasi 0.2511 Terkonsentrasi
3 Industri Tapioka & Tepung Lain 0.2702 Terkonsentrasi 0.2738 Terkonsentrasi
4 Industri Kopra/ Kelapa 0.0249 Menyebar 0.0252 Menyebar
5 Industri Minyak/ Lemak 0.0158 Menyebar 0.0156 Menyebar
6 Industri Padi 0.1351 Terkonsentrasi 0.1364 Terkonsentrasi
7 Industri Gula 0.4517 Terkonsentrasi 0.4181 Terkonsentrasi
8 Industri Kopi 0.0695 Menyebar 0.0695 Menyebar
9 Industri Pakan Ternak 0.1039 Terkonsentrasi 0.1004 Terkonsentrasi
10 Industri Makanan Lainnya 0.6143 Terkonsentrasi 0.6295 Terkonsentrasi
11 Industri Minuman 0.0215 Menyebar 0.0218 Menyebar
12 Industri Pengolahan Karet 0.0629 Menyebar 0.0974 Menyebar
116
Pada Tabel 18, terlihat bahwa sebagian besar sektor agroindustri di Provinsi
Lampung pada tahun 2005 terkonsentrasi secara spasial. Nilai Gini Lokasional
sektor agroindustri terbesar adalah industri makanan lainnya sebesar 0.6295, diikuti
industri gula sebesar 0.4181, industri buah sayur sebesar 0.2739, industri tapioka
dan tepung lain sebesar 0.2738, serta industri ikan, daging dan udang sebesar
0.2511. Hasil nilai Gini Lokasional menunjukkan ketidakmerataan lokasi
agroindustri di Provinsi Lampung.
Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) menunjukkan perbedaan struktur
industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun
seluruh wilayah, yang akan mempengaruhi daya saing wilayah yang menjadi
standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spealisasi wilayah yang dianalisis.
Indeks Spesialisasi Krugman pada tahun 2000 dan 2005 disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung
2000 2005 No.
Sektor Agroindustri
Kspec Klasifikasi Kspec Klasifikasi
1 Industri Buah dan Sayur 1.041829 Terspesialisasi 1.004104 Terspesialisasi
2 Industri Ikan, Daging & Udang 1.164160 Terspesialisasi 1.507187 Terspesialisas
3 Industri Tapioka & Tepung Lain 1.375592 Terspesialisasi 1.390984 Terspesialisas
4 Industri Kopra/ Kelapa 0.355566 Kurang terspesialisasi
0.353130 Kurang terspesialisasi
5 Industri Minyak/ Lemak 0.327284 Kurang terspesialisasi
0.312591 Kurang terspesialisasi
6 Industri Padi 0.681447 Kurang terspesialisasi
0.689609 Kurang terspesialisasi
7 Industri Gula 2.111491 Terspesialisasi 2.034469 Terspesialisasi
8 Industri Kopi 0.774254 Kurang terspesialisasi
0.766481 Kurang terspesialisasi
9 Industri Pakan Ternak 0.835137 Kurang terspesialisasi
0.786864 Kurang terspesialisasi
10 Industri Makanan Lainnya 1.752682 Terspesialisasi 1.688222 Terspesialisasi
11 Industri Minuman 0.301427 Kurang terspesialisasi
0.299717 Kurang terspesialisasi
12 Industri Pengolahan Karet 0.718105 Kurang terspesialisasi
0.828129 Kurang terspesialisasi
117
Hasil analisis menunjukkan bahwa industri gula mempunyai nilai Indeks
Spesialisasi Krugman terbesar, yang berarti bahwa Provinsi Lampung mempunyai
tingkat spesialisasi yang tinggi pada industri gula. Urutan selanjutnya terhadap nilai
Indeks Spesialisasi Krugman adalah industri makanan lainnya, industri pengolahan
ikan dan udang, industri tapioka dan tepung lain, serta industri buah dan sayur.
Menurut Marshal (1920) dalam McCann (1991), ketersediaan tenaga kerja
spesialis akan menguntungkan perusahaan yang terspesialisasi di wilayah tersebut.
Sedangkan Porter (1990) menyatakan bahwa tenaga kerja yang terspesialisasi
merupakan bagian dan faktor determinan dalam keunggulan ekonomi suatu wilayah.
Adanya tenaga kerja yang terspesialisasi akan mendorong perusahaan yang
terspesialisasi untuk terkonsentrasi pada wilayah tersebut (Lafourcade and Mion,
2003). Graham (2007) melihat perlunya penggunaan kedekatan lokasi (co-location)
untuk mengidentifikasi industri yang teraglomerasi dan berklaster. Oleh karena itu,
klaster agroindustri yang berbasis bahan baku layak dikembangkan di Kabupaten
Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang karena Kabupaten Lampung
Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang merupakan wilayah yang lokasinya
berdekatan. Industri berorientasi ekspor-impor cocok untuk dikembangkan di Kota
Bandar Lampung karena kedekatannya dengan pelabuhan ekspor-impor.
Pada sisi lain, konsentrasi spasial pada agroindustri di Kota Bandar Lampung
terjadi akibat adanya aglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya
transportasi. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Krugman (1991) yang
menyatakan bahwa aglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya
transportasi berlokasi di sekitar local demand yang besar serta upaya memperoleh
akses pasar yang luas. Industri-industri yang mengalami konsentrasi spasial tersebut
adalah industri pengolahan kopi, industri minyak/ lemak, dan industri minuman.
Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung yang cukup banyak merupakan pasar yang
118
potensial bagi output industri tersebut. Selain itu, pelabuhan Panjang di Kota Bandar
Lampung mempermudah akses menuju pasar ekspor-impor bagi industri pakan ternak,
pengolahan karet, dan industri-industri lain.
6.2. Kekuatan Aglomerasi Ellison and Glaeser (1997) mengemukakan peranan knowledge spillover dan
eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantages dalam mendorong terjadinya
konsentrasi spasial sebagai kekuatan aglomerasi. Kontribusi natural advantages
berdasarkan factor endowment secara simultan mempengaruhi dan mendorong skala
ekonomi internal perusahaan. Ellison and Glaeser (1997) membuat suatu indeks
( EGγ ) dengan standard pengukuran sebagai berikut : di bawah 0.02 menunjukkan
dispersi, sedangkan di atas 0.05 menunjukkan terjadinya aglomerasi, di mana kedua-
duanya disebabkan oleh pengaruh natural advantage dan knowledge spillover.
Tabel 20. Indeks Ellison-Glaeser Sektor Agroindustri Provinsi Lampung 2000 2005 No. Sektor Agroindustri
EGγ Klasifikasi Pering-kat EGγ Klasifikasi Pering-
kat 1 Industri Buah dan
Sayur 0.244708 Aglomerasi 3 0.24741368 Aglomerasi 3
2 Industri Ikan, Daging & Udang
0.132928 Aglomerasi 5 0.22424705 Aglomerasi 5
3 Industri Tapioka & Tepung Lain
0.230377 Aglomerasi 4 0.23278537 Aglomerasi 4
4 Industri Kopra/ Kelapa
0.021578 Dispersi 0.02190139 Dispersi
5 Industri Minyak/ Lemak
0.013836 Dispersi 0.01356651 Dispersi
6 Industri Padi 0.116101 Aglomerasi 6 0.11748674 Aglomerasi 6
7 Industri Gula 0.424831 Aglomerasi 2 0.39360045 Aglomerasi 2
8 Industri Kopi 0.059059 Aglomerasi 8 0.05894218 Aglomeras 9
9 Industri Pakan Ternak 0.093962 Aglomerasi 7 0.09033555 Aglomerasi 7
10 Industri Makanan Lainnya
0.547666 Aglomerasi 1 0.56691352 Aglomerasi 1
11 Industri Minuman 0.018969 Dispersi 0.01927654 Dispersi
12 Industri Pengolahan Karet
0.050537 Aglomerasi 9 0.082884 Aglomerasi 8
119
Berdasarkan Tabel 20, nilai Indeks Ellison-Glaeser ( EGγ ) atau terbesar pada sektor
agroindustri di Provinsi Lampung tahun 2005 adalah industri makanan lainnya,
diikuti industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, industri
ikan, daging, dan udang, industri padi, industri pakan ternak, industri karet, dan
industri kopi. Sektor agroindustri yang mempunyai nilai indeks Ellison-Glaeser
( EGγ ) di atas 0.05 dinyatakan beraglomerasi. Nilai tersebut tidak berbeda jauh
dengan indeks Ellison-Glaeser pada tahun 2000, namun pada tahun 2005 industri
kopi yang menempati peringkat 8 pada tahun 2000 turun menjadi peringkat 9
(terendah) pada tahun 2005.
Industri makanan lainnya mempunyai nilai indeks Ellison-Glaeser sebesar
0.5669. Nilai indeks Ellison-Glaeser pada industri makanan lainnya tersebut
merupakan indeks terbesar di antara sektor agroindustri di Provinsi Lampung pada
tahun 2005. Industri makanan lainya terkonsentrasi pada kota Metro. Besarnya nilai
indeks tersebut menjelaskan terjadinya MAR (Marshall-Arrow-Romer) eksternalitas
(knowledge spillover) dan eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantage.
Faktor natural advantage berkaitan dengan potensi kawasan budidaya yang
dimanfaatkan untuk budidaya pertanian sebagai bahan baku agroindustri.
Berdasarkan RTRW Provinsi Lampung Tahun 2006, 70% dari luas wilayah Provinsi
Lampung yaitu sebesar 3 301 545 ha dimanfaatkan untuk kawasan budidaya.
Mayoritas penggunaan budidaya digunakan untuk budidaya pertanian lahan kering
dan lahan basah sesuai dengan kesesuaian lahannya.
Nilai indeks Ellison-Glaeser ( EGγ ) untuk industri kopra dan kelapa sebesar
0.02190139, industri minyak lemak sebesar 0.0135665, dan industri minuman
sebesar 0.01927654. Ketiga sektor tersebut memiliki nilai indeks Ellison-Glaeser
dibawah 0.02 yang menunjukkan adanya dispersi (penyebaran) atau tidak adanya
aglomerasi. Pada ketiga sektor agroindustri tersebut juga tidak ditemukan peranan
120
eksternalitas knowledge spillover dan peranan eksternalitas yang disebabkan oleh
natural advantage.
Dinamika nilai indeks Ellison-Glaeser ( EGγ ) tahun 2000 dan tahun 2005
dipengaruhi pula oleh dinamika pada nilai Indeks Gini Lokasional (gEG) dan
indeks kekuatan aglomerasi (GEG). Terjadi penurunan gEG pada industri
minyak/lemak pada tahun 2000 sebesar 0.0158 menjadi sebesar 0.0156 pada tahun
2005. Penurunan gEG menunjukkan bahwa keanekaragaman karakteristik antar
wilayah pada industri minyak/lemak semakin berkurang. Penurunan gEG pada
industri minyak/lemak menunjukkan penurunan eksternalitas yang disertai dengan
penurunan kekuatan aglomerasi (terlihat dari penurunan gEG dari 0.015913 pada
tahun 2000 menjadi 0.015645 pada tahun 2005). Penurunan nilai gEG terjadi pula
pada industri kopra/ kelapa dan industri minuman.
Pada industri buah dan sayur di Provinsi Lampung terjadi peningkatan gEG dari
0,2712 pada tahun 2000 menjadi 0,2739 pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan
peningkatan perbedaan kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah sektor tersebut. Hal
ini diikuti oleh peningkatan kekuatan aglomerasi tersebut (peningkatan kekuatan
aglomerasi terlihat dari kenaikan GEG dari 0.27231 tahun 2000 menjadi 0.27485 pada
tahun 2005). Kenaikan dorongan aglomerasi disebabkan oleh peningkatan
eksternalitas yang disebabkan knowledge spillover natural advantage (diperlihatkan
oleh kenaikan EGγ dari sebesar 0.244708 pada tahun 2000 menjadi 0.247413 pada
tahun 2005).
Industri buah dan sayur di Provinsi Lampung mengalami peningkatan gEG dari
0,2712 pada tahun 2000 menjadi 0,2739 pada tahun 2005 menujukkan peningkatan
perbedaan kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah subsektor tersebut. Hal ini
diikuti oleh peningkatan kekuatan aglomerasi tersebut (peningkatan kekuatan
aglomerasi terlihat dari kenaikan GEG dari 0.27231 tahun 2000 menjadi 0.27485 pada
121
tahun 2005. Kenaikan dorongan aglomerasi disebabkan oleh peningkatan eksternalitas
yang disebabkan knowledge spillover natural advantage (diperlihatkan oleh kenaikan
EGγ dari sebesar 0.244708 pada tahun 2000 menjadi 0.2474137 pada tahun 2005).
Industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lainnya, industri
padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya,
dan industri pengolahan karet, dalam kurun waktu tahun 2000 ke 2005 mengalami
peningkatan gEG. Peningkatan gEG ini menunjukkan peningkatan perbedaan
kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah sektor tersebut.
Menurut Ellison and Glaeser (1999), jumlah penduduk sebagai pasar yang
potensial dan pelabuhan laut yang mendukung industri merupakan natural
advantages wilayah yang berperan penting dalam proses aglomerasi. Fujita and Mori
(1996) menyatakan bahwa adanya pelabuhan laut memperbesar skala kota dan
meningkatkan ektemalitas positif dari konsentrasi spasial. Pendapat ini didukung oleh
Porter (1990) yang menyatakan bahwa demand condition dan factor condition (termasuk
di dalamnya akses transportasi dan infrastruktur) merupakan determinan keunggulan
industri suatu wilayah.
Provinsi Lampung memiliki enam pelabuhan laut, meliputi satu pelabuhan
umum yang diusahakan dan lima pelabuhan yang tidak diusahakan, serta satu
pelabuhan khusus yang dikelola oleh agroindustri udang PT Dipasena Citra Darmaja
di Pantai Timur Provinsi Lampung. Pelabuhan laut yang diusahakan di Provinsi
Lampung adalah Pelabuhan Panjang yang dikelola oleh PT (Persero) PELINDO II
Cabang Panjang. Kelima pelabuhan yang tidak diusahakan adalah Kota Agung,
Teluk Betung, Labuhan Maringgai, Menggala, dan Mesuji.
Penghematan urbanisasi terjadi ketika efisiensi perusahaan meningkat akibat
meningkatnya produksi dan efisiensi seluruh perusahaan dalam wilayah yang sama.
Penghematan karena berlokasi di wilayah yang sama ini terjadi akibat skala
122
perekonomian kota dan wilayah yang besar serta beranekaragam, dan bukan akibat
skala suatu jenis industri. Penghematan urbanisasi memunculkan fenomena yang
disebut dengan aglomerasi perkotaan yang menyebabkan terjadinya perluasan
wilayah metropolitan (extended metropolitan regions) dan mendorong industrialisasi
pada suatu wilayah (Kuncoro, 2000). Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah
tenaga kerja pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung, yaitu sebesar 37 042
pekerja pada tahun 2000 menjadi 61 522 pekerja pada tahun 2005. Peningkatan
jumlah tenaga kerja pada sektor agroindustri tersebut didorong oleh perkembangan
industri di Provinsi Lampung akibat penghematan urbanisasi.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang nasional (Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 26 Tahun 2008), kawasan perkotaan Bandar Lampung merupakan
pusat kegiatan nasional (PKN). PKN merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional dan beberapa provinsi atau
pelayanan primer (Departemen Pekerjaan Umum, 2008). Sedangkan kota-kota lain
di Provinsi Lampung yaitu Metro, Kalianda, Liwa, Menggala, Kotabumi dan
Kotaagung merupakan pusat kegiatan wilayah atau pelayanan sekunder yang
melayani kegiatan provinsi atau kabupaten/kota (Bappeda Provinsi Lampung, 2006).
Konfigurasi sistem perkotaan yang berpengaruh pada aglomerasi secara spasial
dapat dilihat pada Lampiran 24.
Klaster adalah konsentrasi spasial dari industri-industri yang sama atau
sejenis. Penetapan klaster tersebut didasarkan pada Indeks Spesialisasi Krugman,
Indeks Ellison-Gleaser, dan pemetaan agroindustri. Pemetaan agroindustri dilakukan
untuk mengelompokkan sektor agroindustri berdasarkan kedekatan lokasi dalam
kabupaten atau kabupaten yang berdekatan (lihat Gambar 7). Berdasarkan kriteria-
kriteria tersebut, pengelompokkan sektor agroindustri yang berklaster dan yang tidak
berklaster dapat dilihat pada Tabel 21.
123
Gambar 7. Pemetaan Klaster Agroindustri Provinsi Lampung
124
Tabel 21. Penetapan Klaster Agroindustri di Provinsi Lampung
Agroindustri Indeks Spesialisasi
Krugman 2005
Indeks Ellison Gleaser
2005
Pemetaan Agroindustri Penetapan Klaster
Industri Buah dan Sayur
Terspesialisasi Aglomerasi Ada klaster di Kab. LampungTengah & Tulang Bawang
Klaster
Industri Ikan, Daging & Udang
Terspesialisasi Aglomerasi Ada klaster di Kab. Tulang Bawang
Klaster
Industri Tapioka & Tepung Lain
Terspesialisasi Aglomerasi Ada klaster di Kab Lampung Tengah dan Tulang Bawang
Klaster
Industri Kopra/ Kelapa
Kurang terspesialisasi
Dispersi Tidak ada klaster Tidak Berklaster
Industri Minyak/ Lemak
Kurang terspesialisasi
Dispersi Tidak ada klaster Tidak Berklaster
Industri Padi Kurang terspesialisasi
Aglomerasi Ada Klaster di Kab Lampung Tengah & Tanggamus
Klaster
Industri Gula Terspesialisasi Aglomerasi Ada klaster di Kab.
Lampung Tengah & Tulang Bawang
Klaster
Industri Kopi Kurang terspesialisasi
Aglomerasi Ada Klaster di Kota Bandar Lampung
Klaster
Industri Pakan Ternak
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi Ada Klaster di Kota Bandar Lampung
Klaster
Industri Makanan Lainnya
Terspesialisasi Aglomerasi Ada Klaster di Kota Metro Klaster
Industri Minuman Kurang terspesialisasi
Dispersi Tidak Ada klaster Tidak Berklaster
Industri Pengolahan Karet
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi Ada Klaster di Bandar Lampung dan Lampung Selatan
Klaster
Sektor agroindustri yang berklaster adalah adalah industri makanan lainnya,
industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, industri ikan,
daging, dan udang, industri padi, industri pakan ternak, industri karet, dan industri
kopi. Sektor agroindustri yang tidak berklaster adalah industri kopra dan kelapa,
industri minyak/lemak, dan industri minuman.
125
6.3. Sumber-sumber Aglomerasi
Menurut MacCann (1991) terdapat tiga sumber-sumber aglomerasi, yaitu
spillovers informasi, input lokal tidak diperdagangkan, dan sumber tenaga kerja
lokal terlatih. Spillovers informasi pemilik perusahaan relatif mudah dalam
mengakses tenaga kerja dari perusahaan lokal lainnya. Tenaga kerja yang
berkumpul pada lokasi yang sama memudahkan rembesan (spillovers) informasi
melalui kontak langsung atau tidak langsung. Input lokal tidak diperdagangkan
seperti infrastruktur tersebut, menyebabkan perusahaan lebih efisien dibandingkan
apabila perusahaan terdispersi / menyebar. Ketersediaan tenaga kerja terlatih pada
lokasi tersebut relatif lebih banyak dari pada tenaga kerja yang terdispersi.
Dalam analisis sumber-sumber aglomerasi pada sektor agroindustri di
Provinsi Lampung, spillovers informasi didekati dengan afiliasi perusahaan pada
kelompok yang dapat mempercepat kwoledge spillovers, input lokal yang tidak
diperdagangkan dilihat dari infrastruktur yang mendukung pengembangan
agroindustri, dan tenaga terlatih yang didekati dari tingkat pendidikan pekerja.
Salah satu infrastruktur penting yang mendukung pengembangan agroindustri
adalah jalan. Jaringan prasarana jalan di Provinsi Lampung terdiri dari ruas-ruas
jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Sumber-sumber aglomerasi sektor
agroindustri di Provinsi Lampung disajikan pada Tabel 22.
Berdasarkan Tabel 22, terlihat bahwa pada sektor agroindustri di Provinsi
Lampung terdapat kelompok mayoritas pada setiap cabang agroindustri, adanya
infrastruktur yang mendukung pengembangan agroindustri, serta mayoritas pekerja
yang berpendidikan SMA. Adanya kelompok perusahaan akan memudahkan
pekerja untuk mendapatkan informasi ketenagakerjaan pada perusahaan
kelompoknya. Infrastruktur yang mendukung merupakan salah satu input yang
126
tidak diperdagangkan. Rincian nama perusahaan agroindustri, produksi utama,
jumlah tenaga kerja, dan alamatnya dapat dilihat pada Lampiran 25.
Tabel 22. Sumber-sumber Aglomerasi Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung
No Agroindustri Jumlah Perusa-haan
Kelompok Mayoritas
Infrastruktur Pendukung
Sumberdaya Manusia
1. Industri buah dan sayur
3 PT Great Giant Pineapple
Jalan lintas tengah Sumatera yang relatif terawat dan dipelihara oleh Negara
Tingkat pendidikan pekerja mayoritas adalah SMA (67.98 %),
2. Industri ikan, daging dan udang
3 PT Central Proteinaprima Tbk
Pantai timur Provinsi Lampung yang sudah dilengkapi pelabuhan ekspor
Tingkat pendidikan pekerja mayoritas adalah SMA (67.98 %),
3. Industri minyak dan lemak
3 Tidak ada mayoritas, 1 perusahaan berada di lokasi bahan baku dan 2 lainnya tidak
Infrastruktur yang mendukung kedua kelompok tersebut berbeda
Mayoritas pekerja berpendidikan SD (60.69 %)
4. Industri padi 11 Asosiasi Terpeliharanya jaringan irigasi dan jalan pada sentra produksi padi
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (42.67 %)
5. Industri kelapa/ kopra
3 Tidak ada Infrastruktur berbeda antar beberapa kabupaten/kota
Mayoritas pekerja berpendidikan SD (38.26 %)
6. Industri tapioka dan tepung lain
39 CV Bumi Waras dan Budi Acid Jaya
Infrastruktur sentra produksi tapioka yang dibangun mulai dari zaman transmigrasi hingga sekarang
Mayoritas pekerja berpendidikan SD dan SMP
7. Industri pengolahan kopi
6 Berafiliasi pada AEKI, salah satu grup adalah PT Aman Jaya Perdana
Mayoritas pada kawasan industri di sekitar Pelabuhan Panjang dan infrastruktur perkotaan
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (48 %)
8. Industri pengolahan makanan lainnya
35 Berafiliasi pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Infrastruktur perkotaan pada sentra industri
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (34 %)
9. Industri gula 5 Sugar Group Company
Jalan Lintas Tengah dan Timur Sumatera, dan infrastruktur perkebunan antar perusahaan yang baik
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (60 %)
127
Tabel 22. Lanjutan No Agroindustri Jumlah
Perusa-haan
Kelompok Mayoritas
Infrastruktur Pendukung
Sumberdaya Manusia
10. Industri pakan ternak
6 PT Vista Grain Perusahaan berada pada kawasan industri di sekitar Pelabuhan Panjang dan infrastruktur perkotaan
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (31 %)
11. Industri minuman
8 Salah satu industri PT Keong Nusantara Abadi, yang lainnya menyebar
Infrastruktur berbeda antar beberapa kabupaten/kota
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (58 %)
12. Industri pengolahan karet
9 PTP Nusantara VII
Infrastruktur jalan kebun, jalan antar kabupaten dan prasarana perkotaan
Mayoritas pekerja berpendidikan SD dan SMP masing-masing 45 % dan 25%
Dalam kurun waktu tahun 1997 – 2005, tingkat pendidikan pekerja pada
sektor agroindustri menunjukkan peningkatan. Tingkat pendidikan pekerja industri
buah sayur pada tahun 2005 adalah SMA (67.98%), apabila dibandingkan dengan
tahun 1997 terjadi peningkatan derajat pendidikan untuk lulusan D3 dan sarjana
(masing-masing menjadi sebesar 5%). Tingkat pendidikan pekerja industri buah
sayur pada tahun 2005 adalah SMA (67.98 %), apabila dibandingkan dengan tahun
1997 terjadi peningkatan derajat pendidikan untuk lulusan D3 dan sarjana (masing-
masing menjadi sebesar 12% dan 9%). Sedangkan mayoritas pekerja pada industri
tapioka adalah berpendidikan SD dan SMP masing-masing sebesar 25%, apabila
dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang
berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 6% dan 4% (lihat
Lampiran 24).
Pekerja pada industri kopi mayoritas berpendidikan SMA (48%), apabila
dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang
berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 5% dan 4% pada
128
tahun 2005. Pada industri pengolahan makanan, terjadi peningkatan pada jumlah
pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 3%
dan 2%. Sedangkan pekerja pada industri gula terjadi peningkatan jumlah pekerja
yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 11% dan 9%.
Mayoritas pekerja pada industri pakan ternak adalah berpendidikan SMA
(31%), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah
pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 4.5%
dan 3% pada tahun 2005. Pada industri minuman terjadi peningkatan jumlah
pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 3.2%
dan 2.5%. Pada industri pengolahan karet terjadi peningkatan pendidikan pada
jumlah pekerja, tetapi yang meningkat adalah tingkat D3 dan sarjana, masing-
masing menjadi 3% dan 2.4%.
Selama tahun 1997 – 2005, tingkat pendidikan pekerja sektor agroindustri di
Provinsi Lampung yang mengalami peningkatan adalah pada tingkat D3 dan sarjana
dari mayoritas pekerja yang berpendidikan SMA. Hal ini menunjukkan semakin
meningkatnya kualitas pekerja dalam kurun waktu tersebut. Tenaga berkualitas
merupakan sumber tenaga kerja lokal terlatih yang merupakan salah satu sumber
aglomerasi.
Berdasarkan Tabel 22, disimpulkan bahwa sebagian besar agroindustri besar
dan sedang yang beraglomerasi di Provinsi Lampung terdiri dari :
1. Agroindustri besar dan sedang, terutama industri buah dan sayur, industri ikan,
daging, dan udang, industri tapioka dan tepung lain, dan mempunyai kelompok
mayoritas atau merupakan bagian atau anak perusahaan dari group besar.
2. Agroindustri berada pada sentra produksi pada jalur jalan negara atau provinsi
yang mempunyai akses ke kota pusat pelayanan atau ke pelabuhan ekspor.
3. Mayoritas pekerja berpendidikan setingkat SMA.
129
6.4. Produktivitas dan Penghematan Akibat Aglomerasi
6.4.1. Hasil Pengujian Statistik Model
Spesifikasi model yang dilakukan merupakan pengembangan dari model
Somik (2004), Cohen (2005) dan Kanemoto (1996). Model tersebut mengikuti
bentuk model yang menguji kontribusi faktor eksternal dalam suatu fungsi produksi
sesuai model Moomaw (1983), Nakamura (1985) dan Henderson (1995). Model
yang dipergunakan dalam analisis produktivitas dan penghematan akibat aglomerasi
adalah :
)()(^
iii KXAgY = ),()( UrbLocfAg i = (4.1)
),,,()(^
EnegiBahanbakuUpahKapitalfKX i =
Di mana Yi adalah output pada subsektor agroindustri/ industri tertentu i,
g(Ai) menunjukkan pengaruh eksternal dari sumber-sumber aglomerasi; dimana Loc
merupakan ukuran penghematan akibat lokalisasi dan Urb merupakan ukuran
penghematan akibat urbanisasi. ^
)( iKX merupakan input industri i, yang terdiri dari
kapital, upah (labor), bahan baku (material) dan energi.
Spesifikasi model dalam penelitian ini merupakan fungsi produksi cobb-
douglas dalam bentuk linier logaritma yaitu :
+++++= itititititit laborcapitalurbanlocalLnY lnˆlnˆlnˆlnˆˆ 2121 ββααα (4.2)
ititit energimaterial εββ ++ lnˆlnˆ43
Dimana Yit merupakan output agroindustri/ industri tertentu i pada tahun ke t yang
tergantung pada jenis penghematan akibat aglomerasi yang terdiri dari penghematan
akibat lokalisasi (lokalt) dan penghematan akibat urbanisasi (urbant). Jenis input
produksi terdiri dari kapital, upah, bahan baku, dan energi.
130
Hipotesis yang digunakan dengan menduga bahwa 432121 ,,,,, ββββαα
adalah positif. Seluruh variabel memiliki efek positif terhadap output industri. Nilai
koefisien tersebut merupakan elastisitas output kapital, elastisitas output labour,
elastisitas output material, elastisitas output energi.
Hasil regresi berdasarkan pengujian pendekatan model estimasi output sektor
agroindustri di Provinsi Lampung secara umum menunjukkan pengaruh yang nyata
(lihat Lampiran 27). Hasil tersebut dibuktikan antara lain: (1) nilai R-squared yang
menunjukkan seluruh variabel bebas menerangkan variabel ln output berkisar antara
0.7 sampai dengan 0.97, (2) nilai F statistik menunjukkan bahwa variabel bebas
secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
terikatnya, dan (3) tidak ditemukan gangguan autokorelasi, multikolinearitas, dan
heterokedastisitas pada semua data 12 sektor agroindustri yang dianalisis.
Pengujian variabel secara parsial menggunakan uji t-statistik. Uji tersebut
digunakan untuk menguji signifikansi parameter atau koefisien industri buah dan
sayur, industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri
kopra/kelapa, industri minyak/lemak, industri padi, industri gula, industri kopi,
industri pakan ternak, industri makanan lainnya, industri minuman, dan industri
pengolahan karet. Variabel bebas terdiri dari ln kapital, ln bahan baku, ln upah
tenaga kerja dan ln energi berpengaruh nyat terhadap ln output industri. Nilai uji t-
hitung lebih besar dibandingkan t-tabel (untuk α sebesar 1.5 dan 10%) sehingga
seluruh variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ln output.
Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa output prooduksi sektor
agroindustri di Provinsi Lampung secara signifikan dipengaruhi oleh fungsi
produksi atau variabel faktor produksi dan fungsi eksternal atau variabel unsur
eksternal. Hasil ini sejalan dengan penelitian Somik (2004) dan Cohen (2005) yang
membuktikan adanya kontribusi faktor eksternal dalam suatu fungsi produksi.
131
6.4.2. Produktivitas Agroindustri di Provinsi Lampung Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara input dengan output. Suatu
persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan
kombinasi input tertentu. Dua aspek fungsi produksi yang bisa diukur adalah konsep
return to scale dan marginal physical product (MPP).
MPP adalah perubahan output sebagai akibat perubahan satu satuan input
yang diperoleh melalui turunan pertama dan fungsi produksi Cobb-Douglass (CD).
Pemahaman tentang MPP penting untuk mengetahui produktivitas masing-masing
faktor input. Apabila nilai MPP untuk tiap-tiap input di atas dikaitkan dengan
elastisitas inputnya, maka akan diperoleh keistimewaan dalam fungsi produksi CD.
Elastisitas input adalah persentase perubahan output sebagai akibat persentase
perubahan input. Tujuannya adalah untuk: (1) menjelaskan input mana yang lebih
elastis dibandingkan dengan input lainnya, dan (2) mengetahui intensitas faktor
produksinya, apakah bersifat padat kerja atau padat modal.
Fungsi produksi menggambarkan hubungan input, ouput, dan waktu, dikenal
dengan efisiensi menurut Hicks (Hicksian neutral technical progress) yang
dinyatakan dalam bentuk logaritma natural (ln A). Nilai ini dapat disebabkan oleh
kapital, labor, energi, bahan baku, penghematan akibat aglomerasi dan sebagainya.
Dengan kata lain, efisiensi menurut Hicks, dapat menggambarkan tingginya
penggunaan teknologi untuk mcnghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi.
Koefisien produktivitas agroindustri di Provinsi Lampung berdasarkan
pengujian model disajikan pada Tabel 23. Skala pengembalian (return to scale)
agroindustri di Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005 berkisar antara 0.2827
(industri padi) dan 1.227 (industri pakan ternak). Rendahnya elastisitas pada industri
padi menunjukkan bahwa terjadi fenomena berlakunya hukum diminishing marginal
132
productivity of energy, di mana penambahan terhadap energi justru akan
menurunkan total produksi industri.
Tabel 23. Koefisien Produksi pada Agroindustri di Provinsi Lampung
Agroindustri Elastisitas Output Kapital
Elastisitas Output
Bahan Baku
Elastisitas Output Upah
Tenaga Kerja
Elastisitas Output Energi
Return to Scale (RTS)
Industri Buah dan Sayur 0.0264 0.5744 0.2858 0.1293 1.0159 Industri Ikan, Daging & Udang
0.2866 0.7815 -0.024 -0.1489 0.895
Industri Tapioka & Tepung Lain
0.0415 0.5903 0.2923 0.1275 1.0516
Industri Kopra/ Kelapa -0.0472 0.2911 0.3863 0.1044 0.7346
Industri Minyak/ Lemak 0.016 0.4112 0.0323 0.0922 0.5517
Industri Padi -0.2296 0.614 0.0629 -0.165 0.2827
Industri Gula 0.2332 -1.4695 1.2841 1.0748 1.1226
Industri Kopi -0.0178 0.3262 0.6219 0.0275 0.9578
Industri Pakan Ternak 0.0802 0.5267 0.57 0.0501 1.227
Industri Makanan Lainnya 0.0996 0.9245 -0.121 -0.0136 0.8894
Industri Minuman 0.0105 0.2874 0.3966 0.0541 0.7486
Industri Pengolahan Karet 0.092 -0.00285 0.2382 0.73 1.05735
Terdapat empat agroindustri yang memiliki nilai increasing return to scale
(IRTS) yaitu industri buah dan sayur sebesar 1.0159, industri tapioka dan tepung
lain sebesar 1.0516, industri gula sebesar 1.226, dan industri pakan ternak sebesar
1.227. RTS tertinggi terjadi pada industri pakan ternak sebesar 1.227, yang
menunjukkan karakter increasing return to scale, artinya bahwa penambahan faktor
produksi sebanyak 1 unit menyebabkan peningkatan output sebesar 1.227 unit.
Elastisitas output kapital/marjinal produksi kapital berkisar antara -0.2296 (industri
gula) dan 0.2866 (industri ikan, daging dan udang). Kecilnya elastisitas output
kapital/marjinal produksi di antara marjinal produksi input lainnya terkait dengan
perkembangan agoindustri di Provinsi Lampung periode tahun 2000 – 2005, di mana
penambahan investasi kurang nyata untuk peningkatan stok kapital.
133
Elastisitas output bahan baku/marjinal produksi bahan baku berkisar antara
-0.00285 (industri pengolahan karet) dan 0.9245 (industri makanan lainnya). Hampir
seluruh agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan elastisitas output bahan
baku/marjinal produksi bahan baku yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap
output produksi. Elastisitas output upah tenaga kerja/marjinal produksi upah tenaga
kerja berkisar antara -0.0242 (industri ikan, daging dan udang) dan 1.3841 (industri
gula). Tingkat efisiensi perusahaan berkaitan erat dengan biaya-biaya faktor input
terutama tenaga kerja yang digunakan untuk setiap unit output yang dihasilkan
dalam proses produksi.
Elastisitas output energi/marjinal produksi energi berkisar antara -0.0136
(industri makanan lainnya) dan 1.0748 (industri gula). Hampir seluruh agroindustri
di Provinsi Lampung menunjukkan elastisitas output energi/marjinal produksi energi
yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap output produksi. Dengan kata lain,
produktivitas energi terhadap output produksi efisien karena kebutuhan dan
permintaan terhadap input energi pada tiap sektor agroindustri tersebut mengalami
peningkatan sehingga mampu meningkatkan jumlah output produksi.
6.4.3. Penghematan Akibat Aglomerasi Agoindustri
Hasil regresi terhadap masing-masing output sektor agroindustri di Provinsi
Lampung menunjukkan bahwa jenis aglomerasi yang terjadi memberikan pengaruh
signifikan (positif atau negatif) terhadap agregat output yang diwakili oleh variabel
output industri. Interpretasi berkaitan dengan aglomerasi lebih menekankan pada
tanda signifikansi. Koefisien penghematan akibat aglomerasi pada agroindustri
disajikan pada Tabel 24.
Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif dari penghematan akibat
lokalisasi yaitu: industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan, daging dan
134
udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi, industri gula, industri kopi,
industri makanan lainnya, dan industri minuman.
Tabel 24. Koefisien Penghematan Akibat Aglomerasi pada Agroindustri
No. Agroindustri Lokal Urban
1 Industri Buah dan Sayur 0.024 4.522 2 Industri Ikan, Daging & Udang 0.05 7.1304 3 Industri Tapioka & Tepung Lain 0.096 4.201 4 Industri Kopra/ Kelapa -0.0837 -7.67 5 Industri Minyak/ Lemak 0.0573 3.1878 6 Industri Padi 1.742 4.6547 7 Industri Gula 2.163 60.418 8 Industri Kopi 0.0275 1.916 9 Industri Pakan Ternak -0.271 0.2217 10 Industri Makanan Lainnya 0.199 3.7155 11 Industri Minuman 0.0658 -8.534 12 Industri Pengolahan Karet -0.048 4.212
Pertimbangan pemilihan lokasi industri buah dan sayur disebabkan
perusahaan pengolahan buah dan sayur memilih dekat dengan sumber bahan
bakunya. Industri buah dan sayur memerlukan lokasi dan kondisi agroklimat yang
sesuai. Sebagian besar industri buah dan sayur berada di Kabupaten Lampung
Tengah karena agroklimat yang sesuai, serta memiliki akses yang baik ke pelabuhan
Panjang dan Kota Bandar Lampung sebagai transit tujuan ekspor industri buah dan
sayur.
Industri pengolahan ikan, daging, dan udang memilih berlokasi di daerah
sentra produksinya karena berorientasi pada input (resources based oriented).
Kontributor terbesar industri pengolahan ikan, daging, dan udang di Provinsi
Lampung berasal dari industri pengolahan udang PT Dipasena Citra Darmaja dan PT
Central Pertiwi Bratasena di Kabupaten Tulang Bawang. Dilihat dari fungsi
produksi industri pengolahan ikan, daging, dan udang Provinsi Lampung pada
tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan lebih efektif dalam
135
meningkatkan output, namun penggunaan tenaga kerja yang tinggi akan
menurunkan output.
Industri tapioka dan tepung lain berlokasi di daerah sentra produksi di
Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah dan Lampung Timur karena
berorientasi pada input (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung
didirikan pada lokasi bahan baku. Secara historis, Kabupaten Lampung Tengah
merupakan daerah transmigran yang lebih banyak ditanami singkong sebagai bahan
baku tapioka sebelum menghasilkan tanaman lain. Dilihat dari fungsi produksi
industri tapioka dan tepung lain di Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005,
keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi)
lebih efektif dalam meningkatkan output.
Dua macam pertimbangan untuk pemilihan lokasi industri minyak/lemak di
daerah sentra agroindustri di Kabupaten Lampung Tengah karena berorientasi pada
input (resources based oriented) dan berlokasi dekat dengan Kota Bandar Lampung
sehingga lebih berorientasi pada konsumen dan kelancaran transportasi pemasaran.
Berdasarkan fungsi produksi industri minyak/lemak Provinsi Lampung pada tahun
1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan
energi) efektif dalam meningkatkan output.
Pertimbangan pemilihan lokasi industri pengolahan padi (beras) di daerah
sentra produksi padi di Kabupaten Lampung Tengah dan Tanggamus karena industri
padi berorientasi pada input (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung
berlokasi dekat dengan bahan bakunya. Berdasarkan fungsi produksi industri padi
Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan
(kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output.
Industri gula berlokasi di daerah sentra produksi tebu di Kabupaten Tulang
Bawang dan Lampung Tengah. Industri ini berorientasi pada input (resources based
136
oriented) karena agroindustri gula cenderung berlokasi dekat dengan bahan
bakunya. Berdasarkan fungsi produksi industri gula Provinsi Lampung pada tahun
1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan
energi) efektif dalam meningkatkan output.
Sebagian besar industri pengolahan kopi di Provinsi Lampung berlokasi di
Kota Bandar Lampung karena berorientasi pada ekspor. Agroindustri pengolahan
kopi cenderung berlokasi di dekat Pelabuhan Panjang sebagai sarana pelabuhan
ekspor utama di Provinsi Lampung. Berdasarkan fungsi produksi industri kopi
Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan
(kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output.
Pertimbangan pemilihan lokasi industri minuman di daerah sentra produksi
yaitu di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan berorientasi pada
input produksi (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung berlokasi
dekat dengan bahan bakunya. Berdasarkan fungsi produksi industri minuman
Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan
(kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output.
Agroindustri yang mempunyai pengaruh negatif dari penghematan akibat
lokalisasi yaitu: industri kopra/kelapa, industri pakan ternak, dan industri
pengolahan karet. Industri kopra/kelapa masih beroperasi dalam skala kecil dan
menengah, sehingga pengaruh penghematan lokalisasi dicerminkan dari spillovers
yang masih negatif terhadap output.
Industri kopra/kelapa beroperasi dalam jumlah perusahaan yang terbatas,
sehingga pengaruh penghematan lokalisasi yang dicerminkan dari spillovers masih
negatif terhadap output. Industri pakan ternak masih beroperasi dalam kapasitas
terbatas dan belum ada penambahan investasi, sehingga pengaruh penghematan
lokalisasi yang dicerminkan dari spillovers masih negatif terhadap output.
137
Penghematan akibat urbanisasi akan mempengaruhi aktivitas ekonomi
daerah, antara lain pertumbuhan tenaga kerja yang mencerminkan pertumbuhan
ekonomi daerah. Masuknya unsur penghematan akibat aglomerasi ke dalam fungsi
produksi menyebabkan terjadinya kenaikan penggunaan input sehingga output akan
terdorong naik dengan derajat yang lebih tinggi dibanding kenaikan input itu sendiri.
Dengan demikian, penghematan akibat aglomerasi akan membawa dampak positif
bagi pertumbuhan daerah. Timbulnya penghematan akibat urbanisasi memerlukan
peningkatan produktivitas industri yang berpengaruh pada lokasi perusahaan.
Penghematan akibat urbanisasi ekonomi dapat dilihat dari pengaruh positif dan
negatif terhadap outputnya.
Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif terhadap output dari
penghematan akibat urbanisasi yaitu: industri buah dan sayur, industri pengolahan
ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri minyak/lemak,
industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan
lainnya, dan industri pengolahan karet.
Industri buah dan sayur berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan
kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya
kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan
permintaan dan penjualan produk industri buah dan sayur.
Pemilihan lokasi industri pengolahan ikan, daging dan udang dengan
pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat
ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu
meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri ikan, daging dan udang.
Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of energy, di mana
penambahan terhadap energi justru akan menurunkan total produksi industri.
138
Industri tapioka dan tepung lain berlokasi pada suatu area dengan
pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat
ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu
meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri tapioka dan tepung lain .
Industri minyak/lemak berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan
kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya
kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan
permintaan dan penjualan produk industri minyak/lemak.
Industri pengolahan padi berlokasi dengan pertimbangan kedekatan dengan
perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk
di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan
produk industri padi (beras). Pada industri ini terjadi diminishing marginal
productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan
menurunkan total produksi industri.
Iindustri gula berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan
dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan
penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan
penjualan produk industri gula. Pada industri ini terjadi diminishing marginal
productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan
menurunkan total produksi industri.
Industri pengolahan kopi berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan
kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya
kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan
permintaan dan penjualan produk industri kopi (kopi bubuk). Pada industri ini
terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap
kapital justru akan menurunkan total produksi industri.
139
Pemilihan lokasi industri pakan ternak pada suatu area dengan pertimbangan
kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya
kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan
konsumsi ternak, sehingga permintaan dan penjualan ternak meningkat. Pada
industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana
penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri.
Agroindustri yang mempunyai pengaruh negatif dari penghematan akibat
urbanisasi yaitu industri kopra/kelapa dan industri minuman. Industri kopra/kelapa
masih beroperasi dalam skala kecil dan menengah serta jumlah perusahaan terbatas,
sehingga penghematan urbanisasi yang dicerminkan dari pengaruh kepadatan
penduduk masih negatif terhadap output. Pada industri ini terjadi diminishing
marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan
menurunkan total produksi industri.
Industri minuman juga masih beroperasi dalam jumlah perusahaan terbatas,
sehingga penghematan urbanisasi yang dicerminkan dari pengaruh kepadatan
penduduk terhadap output secara makro masih negatif. Adanya kenaikan jumlah
kepadatan penduduk dapat mengurangi output produksi karena biaya yang
dikeluarkan perusahaan masih lebih besar dari pada manfaat yang diperoleh oleh
industri minuman.
Perbandingan antara industri yang beraglomerasi (berklaster) dan tidak
beraglomerasi (berklaster) menggunakan persamaan gabungan sektor agroindustri
sebagai berikut :
OPit = f (KPT, BBK, UTK, ENG, PLK, PUB, DAG) (4.4)
LnOPit = bo+b1LnKPTit+b2LnBBKit+b3LnUTKit+b4LnENGit+b5LnPLKit+
b6LnPUBit+ dAGit
140
dimana KPT merupakan kapital, BBK merupakan bahan baku, UTK merupakan
upah tenaga kerja, ENG merupakan energi, PLK merupakan penghematan lokasi,
PUB merupakan penghematan urbanisasi dan DAG merupakan dummy aglomerasi,
dengan ketentuan apabila sektor agroindustri beraglomerasi/ berklaster maka dinilai
1, sedangkan yang tidak beraglomerasi/ tidak berklaster dinilai 0. Variabel dummy
digunakan untuk mengindikasikan sektor agroindustri yang beraglomerasi atau
berklaster dan yang tidak beraglomerasi (tidak berklaster)pada satu atau beberapa
kabupaten yang berdekatan. Jika sektor agroindustri beraglomerasi/berklaster maka
dinilai 1 dan yang tidak beraglomerasi (tidak berklaster) dinilai 0.
Hasil estimasi model pada persamaan 4.4 adalah:
OP = 1.235410 + 0.046605 KPT + 0.751021 BBK+ 0.132418 UTK +
0.052742 ENG + 0.021854 PLK + 0.063572 PUB + 0.146681 DAG
Hasil estimasi persamaan 4.4 tersebut menghasilkan nilai return to scale
(RTS) sebesar 1.00464, artinya penambahan faktor produksi 1% unit
menyebabkan output bertambah 1.00464%. Hasil RTS ini menunjukkan output
berada di antara constant return to scale dan increasing return to scale.
Koefisien pada persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan
elastisitas, terdiri dari elastisitas output kapital, elastisitas output bahan baku,
elastisitas output upah tenaga kerja, elastisitas output energi, elastisitas output
penghematan lokalisasi dan elastisitas output penghematan urbanisasi. Interpretasi
hasil pengujian setiap koefisien adalah :
1. Kapital
Koefisien kapital positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi kapital
menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output kapital sebesar 0.046605,
artinya penambahan kapital 1% menyebabkan output bertambah 0.046605 %.
141
2. Bahan Baku
Koefisien bahan baku positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi bahan baku
menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output bahan baku sebesar
0.751021, artinya penambahan bahan baku 1 % menyebakan output bertambah
0.751021%.
3. Upah Tenaga Kerja.
Koefisien upah tenaga kerja positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi upah
tenaga kerja menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output upah tenaga
kerja sebesar 0.132418, artinya penambahan upah tenaga kerja 1% unit
menyebabkan output bertambah 0.132418%.
4. Energi
Koefisien energi yang positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi energi
menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output energi sebesar 0.052742,
artinya penambahan energi 1% unit menyebabkan output bertambah 0.132418%.
5. Penghematan Lokalisasi
Koefisien penghematan lokalisasi positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi
penggunaan tenaga kerja menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas
penghematan lokasi sebesar 0.021854, artinya penambahan tenaga kerja 1% unit
menyebabkan output bertambah 0.021854%.
6. Penghematan Urbanisasi
Koefisien penghematan urbanisasi positif mengindikasikan bahwa semakin
tinggi kepadatan penduduk menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas
penghematan urbanisasi sebesar 0.063572, artinya penambahan kepadatan
penduduk 1% menyebabkan output bertambah 0.063572%.
Jika dilihat dari hasil estimasi yang menggunakan fungsi Cobb-Douglas,
semua variabel berpengaruh nyata terhadap output sektor agroindustri. Output
142
produksi sektor agroindustri di Provinsi Lampung berdasarkan data pada tahun
1988–2005 dipengaruhi oleh kapital, bahan baku, upah tenaga kerja dan energi,
penghematan akibat lokalisasi, penghematan akibat urbanisasi, dan penetapan sektor
agroindustri yang beraglomerasi atau tidak beraglomerasi.
Sektor-sektor agroindustri yang beraglomerasi (industri buah dan sayur,
industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi,
industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan
industri pengolahan karet) berbeda secara signifikan dengan sektor-sektor
agroindustri yang tidak beraglomerasi (industri kopra/kelapa, industri minyak/lemak,
dan industri minuman).
Hasil tersebut dibuktikan antara lain: (1) nilai R-squared yang menunjukkan
seluruh variabel bebas menerangkan variabel ln output sebesar 0.97, (2) nilai F
statistik menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama mempunyai
pengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya, dan (3) tidak ditemukan gangguan
autokorelasi, multikolinearitas, dan heterokedastisitas.
Jika dilihat dari manfaat industri yang mengkonsentrasikan lokasinya melalui
tiga manfaat yaitu ekonomi internal untuk perusahaan (economies of scale), ekonomi
eksternal untuk perusahaan tetapi internal untuk industri (localization economies),
dan ekonomi eksternal untuk perusahaan dan eksternal untuk industri (urbanization
economies), maka aglomerasi pada sembilan sektor agroindustri memberikan
manfaat nyata.
Pengembangan agroindustri hendaknya memperhatikan konsentrasi spasial
dan spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan
promosi pengembangan ekonomi daerah melalui promosi pentingnya manfaat dari
aglomerasi industri. Oleh karena itu, pemerintah daerah seyogyanya memberi ruang
143
bagi dunia usaha yang berinvestasi di sektor agroindustri berlokasi dengan
mempertimbangkan keterkaitan dan kedekatannya dengan industri lainnya.
144
VII. DAMPAK KEBIJAKAN DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI LAMPUNG
7.1. Output Sektoral Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi baik
peningkatan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi maupun peningkatan
ekspor akan meningkatkan output sektor agroindustri. Dampak kebijakan ekonomi
di sektor agroindustri melalui keterkaitan antarsektor akan meningkatkan
pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya. Peningkatan output akan mendorong
peningkatan permintaan tenaga kerja, baik tenaga kerja sektor agroindustri maupun
sektor non agroindustri, dan permintaan terhadap modal yang dipenuhi oleh rumah
tangga dan perusahaan. Hal ini akan berdampak lebih lanjut terhadap peningkatan
pendapatan rumah tangga dan perusahaan. Proses ini akan terus berlangsung melalui
efek pengganda (multiplier effect).
Simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri Provinsi Lampung yang
diskenariokan terdiri dari simulasi kebijakan ekonomi tunggal dan gabungan.
Simulasi kebijakan ekonomi tunggal adalah simulasi kebijakan pada satu variabel
permintaan akhir, yaitu pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor. Sedangkan
simulasi kebijakan ekonomi gabungan/kombinasi adalah simulasi kebijakan pada
gabungan/kombinasi lebih dari satu variabel permintaan akhir. Kebijakan ekonomi
gabungan/kombinasi terdiri dari kebijakan gabungan dan kebijakan prioritas tiga
agroindustri. Dampak kebijakan ekonomi terhadap perekonomian difokuskan pada
pencapaian output sektoral, pendapatan rumah tangga sektoral, dan kesempatan
kerja sektoral.
Simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap output sektoral
dapat dilihat pada Tabel 25 dan 26. Sedangkan alternatif atau sumber simulasi
145
kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap output sektoral dapat dilihat pada
Lampiran 28 dan 31.
Tabel 25. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005
(%)
DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL
PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI EKSPOR No. SEKTOR
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7
1 TPGN 17.777 4.198 6.010 18.559 4.198 18.559 4.198
2 TKBN 9.132 26.492 3.005 8.280 26.492 8.280 26.492
3 PTK 3.146 1.561 2.225 3.138 1.561 3.138 1.561
4 KHTN 0.070 0.069 0.490 0.070 0.069 0.070 0.069
5 IKAN 4.154 1.098 1.618 4.147 1.098 4.147 1.098
6 TBNG 0.372 0.301 5.175 0.369 0.301 0.369 0.301
7 IBS 2.055 0.084 0.122 2.052 0.084 2.052 0.084
8 IKUD 4.882 0.115 0.168 4.875 0.115 4.875 0.115
9 ITKT 6.712 1.388 1.996 6.687 1.388 6.687 1.388
10 IKKL 0.311 14.265 0.201 0.504 14.265 0.504 14.265
11 IML 0.669 23.848 0.711 0.675 23.848 0.675 23.848
12 IPD 8.029 2.156 3.104 7.999 2.156 7.999 2.156
13 IGL 5.270 0.814 0.835 5.204 0.814 5.204 0.814
14 IKP 3.829 0.156 0.209 3.824 0.156 3.824 0.156
15 IPKT 2.948 0.286 0.409 7.163 0.286 7.163 0.286
16 IMLN 7.818 1.060 1.518 3.530 1.060 3.530 1.060
17 IMN 0.065 1.926 0.095 0.065 1.926 0.065 1.926
18 IKRT 2.591 0.573 1.713 2.588 0.573 2.588 0.573
19 ILNY 0.813 0.757 6.237 0.814 0.757 0.814 0.757
20 LGA 0.493 0.482 0.743 0.494 0.482 0.494 0.482
21 BKST 0.740 0.929 34.852 0.725 0.929 0.725 0.929
22 PHR 10.316 10.002 15.730 10.437 10.002 10.437 10.002
23 TRKM 3.983 3.617 5.040 3.992 3.617 3.992 3.617
24 LKJP 2.573 2.444 5.863 2.563 2.444 2.563 2.444
25 PTUM 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
26 JJLN 1.252 1.378 1.931 1.244 1.378 1.244 1.378
Total Dampak (%) 100 100 100 100 100 100 100
Nilai Dasar (Juta Rp) 77 947 008 77 947 008 77 947 008 77 947 008 77 947 008 77 947 008 77 947 008
Perubahan (Juta Rp) 4 393 381 4 247 942 4 334 485 3 313 230 3 207 790 7 824 872 7 575 853
Perubahan (%) 5.636 5.450 5.561 4.251 4.115 10.039 9.719
146
Tabel 26. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 (%)
DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL
KEBIJAKAN TUNGGAL KOMPARASI
KEBIJAKAN GABUNGAN No. SEKTOR
S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14
1 TPGN 16.6713 16.6713 16.6713 18.5591 4.1983 15.6002 5.9342
2 TKBN 10.5450 10.5450 10.5450 8.2801 26.4917 10.6076 6.7942
3 PTK 3.0174 3.0174 3.0174 3.1375 1.5609 4.7569 5.0709
4 KHTN 0.0697 0.0697 0.0697 0.0697 0.0693 0.0688 0.0602
5 IKAN 3.9055 3.9055 3.9055 4.1467 1.0981 1.1582 11.6432
6 TBNG 0.3661 0.3661 0.3661 0.3693 0.3008 0.3422 0.5735
7 IBS 1.8946 1.8946 1.8946 2.0520 0.0842 0.0883 0.0890
8 IKUD 4.4939 4.4939 4.4939 4.8754 0.1153 0.1204 16.4855
9 ITKT 6.2790 6.2791 6.2791 6.6872 1.3879 12.0815 13.1519
10 IKKL 1.4471 1.4472 1.4472 0.5045 14.2652 0.2632 0.2301
11 IML 2.5555 2.5556 2.5555 0.6755 23.8483 0.8468 0.6493
12 IPD 7.5508 7.5508 7.5508 7.9992 2.1563 2.4031 2.4880
13 IGL 4.9071 4.9071 4.9071 5.2043 0.8140 10.5857 11.3485
14 IKP 3.5304 3.5304 3.5304 3.8240 0.1563 0.1513 0.1539
15 IPKT 2.7310 2.7310 2.7310 7.1634 0.2857 0.7828 1.1435
16 IMLN 7.2678 7.2678 7.2678 3.5299 1.0595 19.2536 1.2098
17 IMN 0.2165 0.2165 0.2165 0.0650 1.9262 0.0674 0.0699
18 IKRT 2.4270 2.4270 2.4270 2.5876 0.5732 0.6330 0.7126
19 ILNY 0.8089 0.8089 0.8089 0.8139 0.7573 0.8450 0.7188
20 LGA 0.4920 0.4920 0.4920 0.4945 0.4819 0.5153 0.5710
21 BKST 0.7553 0.7553 0.7553 0.7246 0.9285 0.7604 0.8733
22 PHR 10.2902 10.2902 10.2902 10.4369 10.0020 10.4462 11.8942
23 TRKM 3.9534 3.9534 3.9534 3.9924 3.6165 3.6945 3.9166
24 LKJP 2.5625 2.5625 2.5625 2.5631 2.4441 2.6308 2.8490
25 PTUM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
26 JJLN 1.2619 1.2619 1.2619 1.2440 1.3784 1.2970 1.3688
Total Dampak (%)
100 100 100 100 100 100 100
Nilai Dasar (Juta Rp)
77 947 008 77 947 008 77 947 008 77 947 008 77 947 008 77 947 008 77 947 008
Perubahan (Juta Rp)
3 549 516 4 015 254 10 367 040 15 531 483 15 037 209 15 346 596 14 605 061
Perubahan (%)
4.554 5.151 13.300 19.926 19.292 19.688 18.737
147
Kebijakan tunggal pada sektor agroindustri Provinsi Lampung yang
menghasilkan dampak besar bagi peningkatan output sektoral secara berurutan
adalah kebijakan ekspor, kebijakan pengeluaran pemerintah dan kebijakan investasi.
Kebijakan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi, dan peningkatan ekspor
pada sektor agroindustri yang beraglomerasi lebih besar dibandingkan sektor
agroindustri yang tidak beraglomerasi.
Kebijakan ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S6)
menghasilkan dampak perubahan output sebesar 10.89%. Nilai perubahan output
tersebut merupakan perubahan output terbesar di antara kebijakan tunggal lainnya.
Kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S1)
menghasilkan dampak perubahan output lebih besar dari pada kebijakan pengeluaran
pemerintah pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (S2) dan kebijakan
pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur (S3). Demikian pula,
kebijakan investasi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S4) menghasilkan
dampak perubahan output lebih besar dari pada kebijakan pengeluaran pemerintah
pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (S5).
Kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur (S3)
sebesar 30% menghasilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan S2. Pengembangan
agroindustri yang beraglomerasi hendaknya didukung oleh kebijaksanaan fiskal
guna pengembangan produktivitas dan pembangunan infrastruktur (penataan ruang
kawasan industri, sarana transportasi, pengendalian pencemaran dan lainnya).
Infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan ekspor adalah sarana transportasi,
komunikasi dan pelabuhan ekspor yang memadai bagi transportasi komoditas
agroindustri. Infrastruktur bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga bagi
investor atau dunia usaha, yang diadakan melalui pengembangan investasinya.
148
Terdapat tiga kombinasi pada kebijakan komparasi tunggal, yaitu kebijakan
pengeluaran pemerintah (S8), kebijakan investasi (S9), serta kebijakan ekspor (S10).
Di antara tiga kombinasi tersebut, kombinasi kebijakan kebijakan ekspor (S9)
menghasilkan dampak perubahan output sebesar 13.3% atau paling besar di antara
perubahan output dan dari berbagai kebijakan komparasi tunggal.
Kebijakan kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan peningkatan
pengeluaran pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan ekspor sebesar
25%, dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara
proporsional (S11). Sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah
sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan ekspor sebesar 25% dialokasikan pada
semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional (S12).
Simulasi kebijakan memperlihatkan bahwa S11 menghasilkan dampak perubahan
output dan nilai pengganda output S12. Sejalan dengan dengan kebijakan tunggal,
kebijakan pengeluaran pemerintah, kebijakan peningkatan investasi, dan
peningkatan ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi lebih besar dari
pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi.
Dua simulasi kebijakan pengembangan tiga agroindustri prioritas (S13 dan
S14) memberikan dampak perubahan yang besar terhadap output, masing-masing
sebesar 19.69% dan 18.74%. Nilai perubahan tersebut lebih kecil dibandingkan S11
yang merupakan kebijakan kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan
peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan
ekspor sebesar 25%, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang
beraglomerasi secara proporsional. S11 memberikan perubahan yang paling besar
dibandingkan dengan simulasi-simulasi kebijakan yang lain.
Simulasi dampak kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri yang
beraglomerasi (S1, S4, S6, S11, S13, dan S14) terhadap output sektoral
149
menghasilkan perubahan dampak sektoral terbesar terhadap output sektor pertanian
(tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berkisar
antara 3–18%, output sektor agroindustri berkisar antara 2–12%, dan output sektor
perdagangan (ekspor-impor) berkisar 10%. Hal ini menunjukkan bahwa dampak
kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi terhadap output,
sektor hulu atau pemasok bahan baku agroindustri yang berasal dari sektor pertanian
merupakan sektor yang memperoleh manfaat terbesar.
Dampak peningkatan ekspor pada dasarnya merupakan efek kebijakan
peningkatan investasi agroindustri dan kebijakan pengeluaran pemerintah berkaitan
dengan agroindustri yang menghasilkan produksi untuk ekspor. Namun apabila
peningkatan ekspor tersebut merupakan suatu kebijakan untuk mencapai target
ekspor tertentu, maka kebijakan tersebut harus diikuti dengan upaya lain untuk
mendorong percepatan ekspor, misalnya melakukan perluasan pasar, mengaktifkan
pendekatan ke pihak yang memiliki saluran distribusi ke luar negeri, peningkatan
kualitas sarana dan prasarana ekspor seperti pelabuhan, jalan dan infrastruktur lain,
upaya-upaya perbaikan mutu produk ekspor, serta diversifikasi produk olahan untuk
meningkatkan nilai tambah ekspor.
Pengembangan agroindustri harus disertai penciptaan iklim investasi yang
kondusif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap peningkatan peran
dunia usaha dan swasta untuk meningkatkan output sektor agroindustri dan
pendapatan rumah tangga. Iklim investasi yang kondusif antara lain berkaitan
dengan penyederhanaan sistem dan perizinan, penurunan berbagai pungutan yang
tumpang tindih, serta transparansi biaya perizinan sektor agroindustri dari instansi/
dinas pemerintahan yang berwenang di bidang investasi (BKPM/ BKPMD).
150
7.2. Pendapatan Rumah Tangga
Seperti halnya dampak kebijakan terhadap output sektoral, kebijakan
ekonomi yang ditujukan ke agroindustri akan menghasilkan peningkatan pendapatan
rumah tangga. Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri melalui keterkaitan
antarsektor lebih lanjut akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi
lainnya. Peningkatan output akan mendorong peningkatan pendapatan rumah
tangga, baik pendapatan rumah tangga agroindustri maupun non agroindustri. Proses
ini akan terus berlangsung melalui efek pengganda (multiplier effect).
Simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap pendapatan
rumah tangga sektoral dapat dilihat pada Tabel 27 dan 28. Sedangkan alternatif atau
sumber simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap pendapatan
rumah tangga sektoral dapat dilihat pada Lampiran 29 dan 32.
Pada kebijakan tunggal, kebijakan ekspor pada sektor agroindustri yang
beraglomerasi (S6) menghasilkan dampak perubahan pendapatan rumah tangga
sebesar 5.611% terhadap total pendapatan rumah tangga. Nilai perubahan
pendapatan rumah tangga tersebut merupakan perubahan pendapatan rumah tangga
sektoral terbesar diantara kebijakan tunggal lainnya.
Kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang
beraglomerasi (S1) menghasilkan dampak perubahan pendapatan rumah tangga
lebih besar daripada kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri
yang tidak beraglomerasi (S2) dan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk
pengembangan infrastruktur (S3). Kebijakan investasi pada sektor agroindustri yang
beraglomerasi (S4) menghasilkan dampak perubahan pendapatan rumah tangga
lebih besar daripada kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri
yang tidak beraglomerasi (S5).
151
Tabel 27. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005
(%) DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA SEKTORAL
PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI EKSPOR No. SEKTOR
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7
1 TPGN 26.708 6.328 6.334 28.043 6.328 28.043 6.328
2 TKBN 16.377 47.665 3.780 14.934 47.665 14.934 47.665
3 PTK 4.584 2.281 2.273 4.597 2.281 4.597 2.281
4 KHTN 0.100 0.100 0.494 0.101 0.100 0.101 0.100
5 IKAN 6.748 1.790 1.844 6.775 1.790 6.775 1.790
6 TBNG 0.791 0.642 7.724 0.790 0.642 0.790 0.642
7 IBS 0.430 0.018 0.018 0.432 0.018 0.432 0.018
8 IKUD 0.440 0.010 0.011 0.442 0.010 0.442 0.010
9 ITKT 4.256 0.883 0.888 4.264 0.883 4.264 0.883
10 IKKL 0.124 5.705 0.056 0.202 5.705 0.202 5.705
11 IML 0.045 1.602 0.033 0.045 1.602 0.045 1.602
12 IPD 0.674 0.182 0.183 0.676 0.182 0.676 0.182
13 IGL 4.946 0.766 0.550 4.912 0.766 4.912 0.766
14 IKP 0.714 0.029 0.027 0.717 0.029 0.717 0.029
15 IPKT 0.292 0.028 0.028 0.714 0.028 0.714 0.028
16 IMLN 1.337 0.182 0.182 0.607 0.182 0.607 0.182
17 IMN 0.039 1.171 0.040 0.040 1.171 0.040 1.171
18 IKRT 0.363 0.080 0.168 0.364 0.080 0.364 0.080
19 ILNY 0.644 0.602 3.465 0.648 0.602 0.648 0.602
20 LGA 0.372 0.365 0.394 0.376 0.365 0.376 0.365
21 BKST 1.225 1.543 40.479 1.207 1.543 1.207 1.543
22 PHR 15.028 14.619 16.075 15.292 14.619 15.292 14.619
23 TRKM 7.079 6.449 6.283 7.136 6.449 7.136 6.449
24 LKJP 2.789 2.658 4.459 2.795 2.658 2.795 2.658
25 PTUM 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
26 JJLN 3.892 4.300 4.213 3.891 4.300 3.891 4.300
Total Dampak (%)
100 100 100 100 100 100 100
Nilai Dasar (Juta Rp)
15 131 408 15 131 408 15 131 408 15 131 408 15 131 408 15 131 408 15 131 408
Perubahan (Juta Rp)
476 716 462 452 672 716 359 511 347 230 849 059 820 054
Perubahan (%)
3.151 3.056 4.446 2.376 2.295 5.611 5.420
152
Tabel 28. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005
(%) DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN KERJA SEKTORAL
KEBIJAKAN TUNGGAL KOMPARASI KEBIJAKAN GABUNGAN No. SEKTOR
S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14
1 TPGN 25.0538 25.0538 25.0538 28.0429 6.3284 22.4063 8.5630
2 TKBN 18.9159 18.9159 18.9159 14.9341 47.6651 18.1858 11.7025
3 PTK 4.3969 4.3969 4.3969 4.5969 2.2813 6.6248 7.0952
4 KHTN 0.1000 0.1000 0.1000 0.1006 0.0998 0.0944 0.0830
5 IKAN 6.3459 6.3460 6.3460 6.7747 1.7897 1.7987 18.1659
6 TBNG 0.7792 0.7792 0.7792 0.7902 0.6421 0.6961 1.1721
7 IBS 0.3966 0.3966 0.3966 0.4319 0.0177 0.0177 0.0179
8 IKUD 0.4048 0.4048 0.4048 0.4416 0.0104 0.0104 1.4259
9 ITKT 3.9823 3.9823 3.9823 4.2643 0.8829 7.3232 8.0093
10 IKKL 0.5770 0.5770 0.5770 0.2022 5.7046 0.1003 0.0881
11 IML 0.1711 0.1711 0.1711 0.0455 1.6019 0.0542 0.0418
12 IPD 0.6344 0.6344 0.6344 0.6758 0.1817 0.1930 0.2007
13 IGL 4.6067 4.6067 4.6067 4.9124 0.7665 9.4978 10.2298
14 IKP 0.6588 0.6588 0.6588 0.7175 0.0293 0.0270 0.0276
15 IPKT 0.2709 0.2709 0.2709 0.7143 0.0284 0.0742 0.1089
16 IMLN 1.2437 1.2437 1.2437 0.6073 0.1819 3.1489 0.1988
17 IMN 0.1313 0.1313 0.1313 0.0396 1.1714 0.0390 0.0407
18 IKRT 0.3397 0.3397 0.3397 0.3641 0.0805 0.0847 0.0958
19 ILNY 0.6408 0.6408 0.6408 0.6483 0.6018 0.6398 0.5468
20 LGA 0.3719 0.3719 0.3719 0.3758 0.3653 0.3723 0.4144
21 BKST 1.2510 1.2510 1.2510 1.2067 1.5425 1.2037 1.3889
22 PHR 14.9952 14.9952 14.9952 15.2919 14.6194 14.5487 16.6427
23 TRKM 7.0280 7.0280 7.0280 7.1361 6.4486 6.2770 6.6855
24 LKJP 2.7787 2.7787 2.7787 2.7946 2.6584 2.7265 2.9665
25 PTUM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
26 JJLN 3.9252 3.9252 3.9252 3.8907 4.3005 3.8558 4.0884
Total Dampak (%)
100 100 100 100 100 100 100
Nilai Dasar (Juta Rp)
15 131 408 15 131 408 15 131 408 15 131 408 15 131 408 15 131 408 15 131 408
Perubahan (Juta Rp)
386 315 4 37 004 1 128 307 1 685 286 1 627 714 1 663 176 1 639 493
Perubahan (%)
2.553 2.888 7.457 11.138 10.757 10.992 10.835
153
Pada kebijakan komparasi tunggal terdapat tiga kombinasi, yaitu kebijakan
pengeluaran pemerintah (S8), kebijakan investasi (S9), dan kebijakan ekspor (S10).
Di antara tiga kombinasi tersebut, kebijakan ekspor (S9) menghasilkan dampak
perubahan pendapatan rumah tangga sebesar 7.455% atau paling besar di antara
perubahan pendapatan rumah tangga dari berbagai kebijakan komparasi tunggal.
Dua kebijakan gabungan tiga agroindustri prioritas (S13 dan S14)
memberikan dampak perubahan yang besar terhadap pendapatan rumah tangga
sektoral, masing-masing sebesar 10.039% dan 9.719%. Nilai perubahan tersebut
lebih kecil daripada kebijakan kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan
peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan
ekspor sebesar 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang
beraglomerasi secara proporsional (S11), yang memberikan persentase perubahan
pendapatan rumah tangga paling besar (11.138 %).
Simulasi dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang
beraglomerasi (S1, S4, S6, S11, S13, dan S14) menghasilkan perubahan dampak
sektoral terbesar terhadap pendapatan rumah tangga sektor pertanian (tanaman
pangan, tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berkisar antara 4–
28%, pendapatan rumah tangga sektor agroindustri yang berkisar antara 0,2–7%, dan
pendapatan rumah tangga sektor perdagangan yang berkisar 15%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang
beraglomerasi terhadap pendapatan rumah tangga, sektor yang memperoleh manfaat
terbesar adalah sektor hulu atau pemasok bahan baku yang berasal dari sektor
pertanian.
154
7.3. Kesempatan Kerja
Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri melalui keterkaitan antar
sektor lebih lanjut akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya.
Peningkatan output akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja, baik
tenaga kerja pertanian di sektor agroindustri maupun non agroindustri. Proses ini
akan terus berlangsung melalui efek pengganda (multiplier effect).
Simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap kesempatan
kerja sektoral dapat dilihat pada Tabel 29 dan 30. Sedangkan alternatif atau sumber
simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap output sektoral dapat
dilihat pada Lampiran 30 dan 33.
Pada kebijakan tunggal, kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor
agroindustri yang beraglomerasi (S1) menghasilkan dampak perubahan kesempatan
kerja sebesar 6.08% terhadap total kesempatan kerja. Nilai perubahan kesempatan
kerja tersebut merupakan perubahan kesempatan kerja sektoral terbesar diantara
kebijakan tunggal lainnya.
Kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang
beraglomerasi (S1) menghasilkan dampak perubahan kesempatan kerja lebih besar
daripada kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang tidak
beraglomerasi (S2) dan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan
infrastruktur (S3). Kebijakan investasi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi
(S4) menghasilkan dampak perubahan kesempatan kerja lebih besar daripada
kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang tidak
beraglomerasi (S5).
Kebijakan komparasi tunggal terdiri dari kebijakan pengeluaran pemerintah
(S8), kebijakan investasi (S9), dan kebijakan ekspor (S10). Di antara tiga kombinasi
tersebut, kebijakan ekspor (S9) menghasilkan dampak perubahan kesempatan kierja
155
sebesar 13.982% atau paling besar di antara perubahan pendapatan rumah tangga
dari berbagai kebijakan komparasi tunggal.
Tabel 29. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005
(%) DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL
PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI EKSPOR No. SEKTOR
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7
1 TPGN 8.793 8.793 19.347 40.240 8.793 40.240 8.793
2 TKBN 66.225 66.225 11.547 21.430 66.225 21.430 66.225
3 PTK 3.170 3.170 6.944 6.596 3.170 6.596 3.170
4 KHTN 0.139 0.139 1.508 0.144 0.139 0.144 0.139
5 IKAN 2.487 2.487 5.633 9.721 2.487 9.721 2.487
6 TBNG 0.057 0.057 1.498 0.072 0.057 0.072 0.057
7 IBS 0.010 0.010 0.023 0.262 0.010 0.262 0.010
8 IKUD 0.006 0.006 0.014 0.268 0.006 0.268 0.006
9 ITKT 0.518 0.518 1.146 2.586 0.518 2.586 0.518
10 IKKL 3.349 3.349 0.073 0.123 3.349 0.123 3.349
11 IML 0.940 0.940 0.043 0.028 0.940 0.028 0.940
12 IPD 0.107 0.107 0.236 0.410 0.107 0.410 0.107
13 IGL 0.450 0.450 0.710 2.979 0.450 2.979 0.450
14 IKP 0.017 0.017 0.035 0.435 0.017 0.435 0.017
15 IPKT 0.017 0.017 0.037 0.433 0.017 0.433 0.017
16 IMLN 0.107 0.107 0.235 0.368 0.107 0.368 0.107
17 IMN 0.688 0.688 0.052 0.024 0.688 0.024 0.688
18 IKRT 0.047 0.047 0.217 0.221 0.047 0.221 0.047
19 ILNY 0.353 0.353 4.472 0.393 0.353 0.393 0.353
20 LGA 0.054 0.054 0.127 0.057 0.054 0.057 0.054
21 BKST 0.306 0.306 17.679 0.248 0.306 0.248 0.306
22 PHR 7.785 7.785 18.820 8.411 7.785 8.411 7.785
23 TRKM 2.133 2.133 4.568 2.437 2.133 2.437 2.133
24 LKJP 0.135 0.135 0.496 0.146 0.135 0.146 0.135
25 PTUM 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
26 JJLN 2.108 2.108 4.540 1.970 2.108 1.970 2.108
Total Dampak (%)
100 100 100 100 100 100 100
Nilai Dasar (Jiwa)
4 121 960 4 121 960 4 121 960 4 121 960 4 121 960 4 121 960 4 121 960
Perubahan (Jiwa)
250 627 235 602 160 866 189 008 176 755 446 381 417 443
Perubahan (%)
6.080 5.716 3.903 4.585 4.288 10.829 10.127
156
Tabel 30. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005
(%) DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL
KEBIJAKAN KOMPARASI TUNGGAL KEBIJAKAN GABUNGAN No. SEKTOR S8 S9 S10 S11 S12 S13 S14
1 TPGN 35.8286 35.8286 35.8285 40.2401 8.7926 33.5132 13.3101
2 TKBN 27.0509 27.0509 27.0509 21.4296 66.2252 27.2005 18.1902
3 PTK 6.2878 6.2878 6.2878 6.5962 3.1697 9.9087 11.0286
4 KHTN 0.1431 0.1431 0.1431 0.1444 0.1386 0.1411 0.1291
5 IKAN 9.0751 9.0751 9.0751 9.7213 2.4866 2.6903 28.2366
6 TBNG 0.0708 0.0708 0.0708 0.0720 0.0567 0.0661 0.1157
7 IBS 0.2397 0.2397 0.2397 0.2619 0.0104 0.0112 0.0117
8 IKUD 0.2446 0.2446 0.2446 0.2677 0.0061 0.0066 0.9365
9 ITKT 2.4065 2.4065 2.4065 2.5857 0.5184 4.6284 5.2606
10 IKKL 0.3487 0.3487 0.3487 0.1226 3.3492 0.0634 0.0579
11 IML 0.1034 0.1034 0.1034 0.0276 0.9404 0.0342 0.0274
12 IPD 0.3834 0.3834 0.3834 0.4097 0.1067 0.1220 0.1318
13 IGL 2.7837 2.7837 2.7837 2.9786 0.4500 6.0028 6.7190
14 IKP 0.3981 0.3981 0.3981 0.4351 0.0172 0.0171 0.0181
15 IPKT 0.1637 0.1637 0.1637 0.4331 0.0167 0.0469 0.0715
16 IMLN 0.7515 0.7515 0.7515 0.3683 0.1068 1.9902 0.1306
17 IMN 0.0793 0.0793 0.0793 0.0240 0.6878 0.0247 0.0267
18 IKRT 0.2053 0.2053 0.2053 0.2208 0.0472 0.0535 0.0629
19 ILNY 0.3873 0.3873 0.3873 0.3931 0.3533 0.4044 0.3591
20 LGA 0.0563 0.0563 0.0563 0.0571 0.0538 0.0590 0.0682
21 BKST 0.2558 0.2558 0.2558 0.2476 0.3064 0.2574 0.3087
22 PHR 8.2193 8.2193 8.2193 8.4105 7.7853 8.3406 9.9154
23 TRKM 2.3922 2.3922 2.3922 2.4373 2.1325 2.2346 2.4734
24 LKJP 0.1447 0.1447 0.1447 0.1460 0.1345 0.1485 0.1679
25 PTUM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
26 JJLN 1.9804 1.9804 1.9804 1.9697 2.1081 2.0347 2.2421
Total Dampak (%) 100 100 100 100 100 100 100
NilaDasar (Jiwa) 4 121 960 4 121 960 4 121 960 4 121 960 4 121 960 4 121 960 4 121 960
Perubahan (Jiwa) 197 323 223 214 576 319 886 015 828 578 812 238 817 441
Perubahan (%) 4.787 5.415 13.982 21.495 20.102 19.705 19.831
157
Dua kebijakan tiga agroindustri prioritas (S13 dan S14) memberikan dampak
perubahan yang besar terhadap kesempatan kerja sektoral, masing-masing sebesar
19.705% dan 19.831%. Nilai perubahan tersebut lebih kecil daripada kebijakan
kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan peningkatan pengeluaran
pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan ekspor sebesar 25% yang
dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional
(S11), yang memberikan perubahan kesempatan kerja paling besar (28.9441%).
Simulasi dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang
beraglomerasi (S1, S4, S6, S11, S13, dan S14) menghasilkan perubahan dampak
sektoral terbesar terhadap kesempatan kerja sektor pertanian (tanaman pangan,
tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berkisar antara 2 – 66%,
kesempatan kerja sektor agroindustri berkisar 0,1–9 %, sedangkan kesempatan kerja
sektor perdagangan berkisar 7 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa dampak
kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang beraglomerasi terhadap kesempatan
kerja, sektor yang memperoleh manfaat terbesar adalah sektor hulu atau pemasok
bahan baku yang berasal dari sektor pertanian.
Menurut Rusastra et al. (2005), dalam rangka mewujudkan struktur
perekonomian yang seimbang, kebijakan pengembangan agroindustri memiliki
beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan output/nilai
tambah, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan
meningkatkan pembagian pendapatan. Simulasi-simulasi kebijakan ekonomi sektor
agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan kinerjanya untuk mencapai sasaran-
sasaran tersebut.
Kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi pada
pencapaian output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja menunjukkan
kinerja lebih besar daripada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi. Hal
158
tersebut disebabkan pada sektor agroindustri yang beraglomerasi, nilai pengganda
dan keterkaitan output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja lebih besar
daripada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi.
159
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8. 1. Kesimpulan
1. Kontribusi, keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri dalam
perekonomian wilayah Provinsi Lampung lebih besar daripada peranan,
keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda non agroindustri.
a. Kontribusi output sektor-sektor agroindustri terbesar dibandingkan sektor-
sektor lain dalam perekonomian Provinsi Lampung
b. Sektor agroindustri di Provinsi Lampung mempunyai keterkaitan ke
belakang paling besar di antara sektor-sektor ekonomi yang lain. Sektor
agroindustri mempunyai nilai keterkaitan ke belakang yang tertinggi adalah
industri pengolahan ikan dan udang. Sektor yang mempunyai nilai
keterkaitan ke depan yang tinggi adalah industri pengolahan karet.
c. Keterkaitan antarsektor ke belakang sektor agroindustri ditujukan pada
sektor-sektor yang menyediakan bahan baku, sedangkan keterkaitan
antarsektor ke depan sektor agroindustri pada sektor perdagangan dan
transportasi.
d. Nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja terbesar dalam
perekonomian Provinsi Lampung diberikan oleh sektor industri pengolahan
ikan dan udang, industri pakan ternak, dan industri pengolahan karet.
e. Sektor-sektor agroindustri yang merupakan industri prioritas (nilai ranking
keterkaitan dan pengganda yang besar) yaitu industri pengolahan ikan dan
udang, industri pakan ternak, industri pengolahan karet, industri tapioka dan
tepung lain, industri gula dan industri makanan lainnya.
2. Terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri di
Provinsi Lampung.
160
a. Sebagian besar agroindustri berkonsentrasi (berklaster) dan berspesialisasi
pada satu atau beberapa kabupaten/kota. Industri yang berklaster adalah
industri buah sayur, industri pengolahan ikan dan udang, industri tapioka dan
tepung lain, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak,
industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet. Sedangkan industri
yang tidak berklaster adalah industri minyak/lemak, industri kopra/kelapa,
dan industri minuman.
b. Adanya ketidakmerataan lokasi sektor agroindustri di Provinsi Lampung
pada industri makanan lainnya, diikuti oleh industri gula, industri buah
sayur, industri tapioka dan tepung lain, serta industri ikan, daging dan udang.
c. Sektor agroindustri di Provinsi Lampung yang mempunyai kekuatan atau
dorongan aglomerasi terbesar adalah industri makanan lainnya, diikuti
industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, serta
industri ikan, daging, dan udang.
3. Sektor agroindustri di Provinsi Lampung sebagian besar mengalami
penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies) yang mempengaruhi
output produksi.
a. Penghematan akibat aglomerasi pada setiap sektor agroindustri berbeda.
Setiap penghematan akibat aglomerasi yang terjadi memberikan pengaruh
yang positif dan negatif terhadap output produksi.
b. Industri yang mengalami penghematan akibat lokalisasi dan penghematan
akibat urbanisasi terjadi pada industri buah dan sayur, industri pengolahan
ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi,
industri gula, industri kopi, dan industri makanan lainnya.
c. Penghematan akibat lokalisasi terjadi dan memberikan pengaruh terhadap
output industri. Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif dari
161
penghematan akibat lokalisasi yaitu: industri buah dan sayur, industri
pengolahan ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain,
industri padi, industri gula, industri kopi, industri makanan lainnya, dan
industri minuman.
d. Penghematan akibat urbanisasi terjadi dan memberikan pengaruh terhadap
output industri. Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif terhadap
output dari penghematan akibat urbanisasi yaitu : industri buah dan sayur,
industri pengolahan ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung
lain, industri minyak/ lemak, industri padi, industri gula, industri kopi,
industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan
karet.
e. Klasifikasi sektor-sektor agroindustri beraglomerasi dan sektor-sektor
agroindustri yang tidak beraglomerasi berpengaruh terhadap output produksi.
4. Kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi pada
pencapaian output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja
menunjukkan kinerja lebih besar dibandingkan sektor agroindustri yang tidak
beraglomerasi. Skenario kebijakan yang memberikan dampak perubahan output,
pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja terbesar adalah kebijakan
kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan peningkatan pengeluaran
pemerintah, investasi, dan ekspor yang dialokasikan pada semua sektor
agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional.
8.2. Impikasi Kebijakan
1. Pengembangan sektor agroindustri memerlukan dukungan kelembagaan dan
fasilitasi dari pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan dan program pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota se Provinsi Lampung menjadikan sektor
162
agroindustri sebagai prioritas, tanpa mengabaikan potensi dan peluang sektor-
sektor lainnya.
2. Pengembangan agroindustri hendaknya memperhatikan konsentrasi dan
spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan
promosi pengembangan ekonomi daerah melalui promosi pentingnya manfaat
dari aglomerasi industri. Oleh karena itu, pemerintah daerah seyogyanya
memberi ruang bagi dunia usaha yang berinvestasi di sektor agroindustri
berlokasi dengan mempertimbangkan keterkaitan dan kedekatannya dengan
industri lainnya.
3. Pengembangan agroindustri yang beraglomerasi hendaknya didukung oleh
kebijaksanaan fiskal guna pengembangan produktivitas dan pembangunan
infrastruktur (penataan ruang kawasan industri, sarana transportasi, pengendalian
pencemaran dan lainnya). Infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan
ekspor adalah sarana transportasi, komunikasi dan pelabuhan ekspor yang
memadai bagi transportasi komoditas agroindustri.
4. Pengembangan agroindustri harus disertai penciptaan iklim investasi yang
kondusif dari pemerintah daerah bagi peningkatan peran dunia usaha dan swasta,
guna meningkatkan output sektor agroindustri dan pendapatan masyarakat.
8.3. Saran Penelitian Lanjutan 1. Penelitian tentang aglomerasi dengan model persamaan simultan yang
menggambarkan hubungan antar persamaan produksi industri yang
beraglomerasi, pendapatan regional, pengeluaran pemerintah, investasi dan
ekspor.
163
2. Untuk menganalisis keterkaitan antarindustri antarwilayah disarankan untuk
membangun Tabel Input-Output Interregional kabupaten/kota ataupun antar
provinsi.
3. Pengembangan model penelitian integrasi Input-Output-Ekonometrika tipe
Coupling yang menggabungkan penyesuaian output dan harga guna
menganalisis perekonomian wilayah.
4. Penelitian aglomerasi dengan memasukkan variabel-variabel lain seperti
perkembangan inovasi dalam produksi dan networking antar perusahaan.
164
DAFTAR PUSTAKA
Aiginger, K. and E. Hansberg. 2003. Specialization versus Concentration: A Notes of Theory and Evidence. Empirica, 44(4):255-266.
Austin, J.E. 1992. Agroindustrial Project Analysis: Critical Design Factors. John Hopkins University Press, Baltimore.
Bappenas. 2005. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Bappeda Provinsi Lampung. 2006. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Lampung. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung, Bandar Lampung.
Badan Pusat Statistik. 2000. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output.
Center for Statistical Services, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bendavid, A.V. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners.
Fourth Edition. Praeger, London. Capello, R. 2007. Regional Economics. Routledge, Taylor and Francis Group,
London Chenery, H. and P. Clark. 1959. Interindustry Economics. John Wiley and Sons
Inc., New York. Coase, R.H. 1992. The Institutional Structure of Production. American Economic
Review, 28(4):713-720. Cohen, J.P. and C.J.M. Paul. 2005. Agglomeration Economies and Industry
Location Decisions: The Impacts of Spatial and Industrial Spillovers. Regional Science and Urban Economics, 35(3):215-237.
Conway Jr., R.S. 1990. The Washington Projection and Simulation Model: A
Regional Interindustry Econometric Model. International Regional Science Review, 13(1):141-165.
Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional.
Departemen Perindustrian, Jakarta. Downey, W.D. and S.P. Erickson. 1987. Agribusiness Management. McGraw Hill,
New York.
165
Doriza, S. 2005. Penghematan Akibat Aglomerasi dan Produktivitas Industri di Jawa Timur. Tesis Magister. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Ellison, G. and E. Glaeser. 1997. Geographic Concentration in US Manufacturing
Industries: A Dartboard Approach. Journal Political Economy, 105(5):889-927.
________. and E. Glaeser. 1999. The Geographic Concentration of Industry: Does
Natural Advantage Explain Agglomeration? American Economic Review, 89(2):311-316.
Friedmann, J. 1964. Regional Development and Planning. MIT Press, Cambridge. Fujita, M. and T. Mori. 1996. The Role of Ports in Making of Major Cities: Self
Agglomeration and Hub Effect. Journal of Development Economics, 49(1):93-120.
________., P. Krugman and A.J. Venagbles. 1999. The Spatial Economy: Cities,
Regions, and International Trade. The MIT Press, Cambridge. ________. and J.F. Thisse. 2002. Economics of Agglomeration: Cities, Industrial
Location, and Regional Growth. Cambridge University Press, Cambridge. Glaeser, E., H.D. Kallal, J.A. Scheinkman and A. Shleifer. 1992. Growth in Cities.
Journal of Political Economy, 100(6):1126-1152. Glennon, D. and J. Lane. 1990. Input-Output Restrictions, Regional Structural,
Models and Econometric Forecast. In: Anselin and Madden (Eds). New Directions in Regional Analysis. Belhaven, London.
Graham, D.J. and H.Y. Kim. 2007. An Empirical Analytical Framework for
Agglomeration Economies. The Annals of Regional Science, 42(2):267-289. Hamzah, L.M. 1997. Pergerakan Faktor Produksi dan Aglomerasi Industri. Tesis
Magister. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Harmidi, S.H.B. 2001. Analisis Aglomerasi Industri Manufaktur Besar dan Sedang
di DKI Jakarta Tahun 1975-1998. Tesis Magister. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Hartarto, A. 2004. Strategi Clustering dalam Industrialisasi Indonesia. Penerbit
Andi, Yogyakarta. Henderson, J.V., A. Kuncoro and M. Turner. 1995. Industrial Development in
Cities. Journal of Political Economy, 103(5):67-90. Herjanto, E. 2003. Dampak Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Terhadap Kinerja
Sektor Agroindustri Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
166
Hirchman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University Press, New Heaven.
Hoover, E. 1985. An Introduction to Regional Economics. Third Edition. Alfred
A. Knopf, New York. Humphrey Institute of Public Affairs. 2005. Industry Cluster and Quantitative
Analysis. Working Paper. University of Minnesota, Minneapolis. Isard, W. 1956. Location and Space Economy. John Wiley and Sons Inc., New
York. Israilevich, P.R., R. Mahidhara and G.J.D. Hewings. 1996. The Choice of Input-
Output Table Embedded in Regional Econometric Input-Output Models. Regional Science, 75(2):103-119.
Jacobs, J. 1969. Economy of Cities. Vintage, New York.
Kanemoto, Y., T. Ohkawara and T. Suzuki. 1996. Agglomeration Economies and Test For Optimal City in Japan. TCER-NBER-CEPR Trilateral Conference in Tokyo. University of Tokyo, Tokyo.
King, A.E, R. Sines and W.L. L’Esperance. 1977. Conjoining an Input-Output
Model with an Econometric Model of Ohio. Regional Science Perspectives, 7(2):54-77.
Kim, S. 1995. Expansion of Markets and the Geographic Distribution of Economics
Activities: The Trends in U.S. Regional Manufacturing Structure 1860-1987. The Quarterly Journal of Economics. 110(4):881-908.
Kuncoro, M. 2000. Beyond Agglomeration and Urbanization. Gadjah Mada
International Journal of Business, 2(3):307-325. ___________. 2004a. Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur
di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 19(4):1-20. ___________. 2004b. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP
AMP YKPN, Yogyakarta. ___________. 2005. Agglomeration Externalities Within Metropolitan Regions: An
Input-Output Analysis of Jabotabek and Singapore. The Journal of Accounting, Management, and Economic Research, 5(1):1-32.
Krugman, P. 1991. Geography and Trade. MIT Press, Cambridge. Lafourcade, M. and G. Mion. 2003. Concentration, Spatial Clustering and Size of
Plants: The Sources of Co-location Externalities. CORE Working Paper No. 2003/91. Catholiq University of Louvain, Louvain.
Mccann, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press, New
York.
167
Markusen, A. 1996. Sticky Places in Slipppery Space: A Typology of Industrial Districts. Economic Geography, 72(3):293-313.
Marshall, A. 1920. Principles of Economics. Macmillan, London. Meier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Oxford University
Press, New York. Miller, R.E. and P.D. Blair. 1985. Input-Output Analysis: Foundation and
Extensions. Printice Hall Inc., New Jersey. Montgomery, M.R. 1988. How Large is Too Large? Implication of the City Size
Literature for Population Policy and Research. Economic Development and Cultural Change, 36(4):691-720.
Moomaw, R.L. 1983. Is Population Scale a Worthless Surrogate for Bussines
Agglomeration Economies? Regional Science and Urban Economics. 13(4): 524-545.
Munnich, L. 2005. Knowledge Clusters as a Means of Promoting Regional
Economic Development. Humphrey Institute of Public Affairs, University of Minnesota, Minneapolis.
Nakamura, R. 1985. Agglomeration Economies in Urban Manufacturing Industries:
A Case of Japanese Cities. Journal of Urban Economics, 17(1):108-124. Nicholson, W. 2001. Intermediate Microeconomics: And Its Application. Eight
Edition. Amherst College, Massachusetts. Nurkse, R. 1953. Problem of Capital Development in Underdeveloped Countries.
Oxford University Press, New York. Okamoto, N. 2004a. Agglomeration, Intraregional and Interregional Linkage in
China. In: Okamoto and Ihara (Eds). Spatial Structure and Regional Development in China: Input-Output Approach. IDE Development Prespective Series 5. Institute of Developing Economic, JETRO, Tokyo.
________,Y. 2004b. Agglomeration and International Competitiveness: Can
Malaysia’s Growth be Sustainable. In: Kuchiki and Tsuji (Eds). Industrial Clusters in Asia: Analysis of Their Competition and Cooperation. IDE Development Prespective Series 6. Institute of Developing Economic, JETRO, Tokyo.
O’Sullivan, A. 2000. Urban Economics. Irwin McGraw-Hill, Boston. Pandjaitan, L. 2000. Kebijakan Nasional Sektor Industri: Aglomerasi dengan
Kemitraan. Departemen Perindustrian, Jakarta. Perkins, D.H., S. Radeler, D.R. Snodgrass, M. Gillis and M. Romer. 2001.
Economics of Development. W.W. Norton & Company, New York.
168
Porter, M.E. 1998. Clusters and the New Economics of Competition. Harvard Business Review, 76(6):77-91.
Pryor, J. and T. Holt. 1998. Agribusiness as An Engine of Growth. USAID,
Washington D.C. Quigley, J.M. 1998. Urban Diversity and Economic Growth. Journal of Economic
Prespectives, 12(2):127-138. Richardson, H.W. 1977. Regional Economics. Macmillan, London. Rey, S.J. 1999. Integrated Regional Economic and Input-Output Modeling. Working
Paper. Department of Geography, San Diego State University, San Diego. Rosenstein-Rodan, P.N. 1963. Problem of Industrialization of Eastern and
Southestern Europe. In: Agarwal and Singh (Eds). The Economic of Under Development. Oxford University Press, New York.
Rasmussen, P.N. 1956. Studies in Intersectoral Relations. PC, Amsterdam. Rusastra, I.W., K. M. Noekman, Supriyati, Erma Suryani dan R. Elizabeth. 2005.
Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Saragih, B. 1992. Dinamika Pemikiran tentang Pembangunan Pertanian.
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta. Saragih, B. 1996. Agroindustri sebagai Suatu Sektor yang Memimpin Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II. Yayasan Bina Desa, Jakarta. Sarkaniputra, M. 1986. Analisa Input-Output Sebagai Kerangka Strategi
Pembangunan Pertanian. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta .
Sastrowiharjo, M. 1989. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Provinsi
Jambi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Scott, A.J. and M. Storper. 1992. Regional Development Reconsidered. Belhaven
Press, London. Setiawan, D.M.D. 2006. Peranan Sektor Unggulan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Daerah. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sjoberg, O. and F. Sjoholm. 2001. Trade Liberalization and the Geography of
Production: Agglomeration, Concentration and Dispersal in Indonesia’s Manufacturing Industry. Working Paper No. 138. Stocholm School of Economics, Stocholm.
169
Simatupang, P. dan A. Purwoto. 1990. Pengembangan Agroindustri Sebagai Penggerak Pembangunan Desa. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Sinaga, R.S. 1998. Peluang Perekonomian Indonesia Melalui Pemahaman Konsep
dan Peran Agribisnis. Dies Natalis XI STIE IBII. IBII, Jakarta. Somik, V.L, Z. Shalizi and U. Deichman. 2004. Agglomeration Economies and
Productivity in Indian Industry. Journal of Development Economics, 73(2):643-673.
Sugiarto, T., Herlambang, Brastoro, R. Sudjana dan S. Kelana 2002. Ekonomi
Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Subana, P.A. 2005. Analisis Pengaruh Spasial Tingkat Urbanisasi Tenaga Kerja
Terhadap PDRB Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Tesis Magister. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok.
Supriyati dan E. Suryani. 2006. Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan
Agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 24(2):92-106. Wahyudin, M. 2004. Industri dan Orientasi Ekspor: Dinamika dan Analisis Spasial.
Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG TPGN 146 905 9 19 065 0 12 824 0 TKBN 0 44 265 725 0 0 0 PTK 9 678 2 507 567 0 113 0 KHTN 1 798 735 133 34 245 22 IKAN 0 0 0 0 70 283 0 TBNG 0 0 1 0 12 562 1 238 IBS 0 0 0 0 0 0 IKUD 0 0 94 0 0 0 ITKT 0 0 84 0 573 0 IKKL 0 0 55 0 141 0 IML 0 0 212 0 61 0 IPD 0 0 16 634 0 18 859 0 IGL 0 0 3 0 140 0 IKP 0 0 0 0 36 0 IPKT 0 0 152 055 0 31 435 0 IML 0 0 3 0 637 0 IMN 0 0 0 0 0 0 IKRT 3 204 3 107 786 4 1 844 74 ILNY 42 766 14 176 1 212 618 2 196 850 LGA 0 771 2 289 155 1 104 181 BKST 1 803 18 696 1 995 2 652 6 571 3 011 PHR 286 687 100 842 52 261 2 834 63 195 14 550 TRKM 36 928 28 729 8 191 2 951 4 806 8 189 LKJP 36 747 15 479 1 519 350 8 973 14 652 PTUM 0 0 0 0 0 0 JJLN 438 3 476 441 249 1 950 1 469 TOTAL 566 954 232 792 258 325 9 847 238 548 44 236 UPGJ 1 051 669 621 322 259 557 10 310 311 115 163 897 PJK+IMPOR 5 064 330 2 655 889 1 150 972 50 175 1 238 301 608 557 TOTAL 5 631 284 2 888 681 1 409 297 60 022 1 476 849 652,793 NT LAIN 4 012 661 2 034 567 891 415 39 865 927 186 444 660
Lampiran 1. Lanjutan
(juta rupiah SEKTOR IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD TPGN 438 725 0 5 967 0 0 2 589 265 TKBN 29 661 0 3 644 159 103 352 868 0 PTK 0 0 221 693 0 0 0 KHTN 0 133 3 29 6 1 IKAN 0 677 707 0 0 0 0 TBNG 145 3 438 0 166 12 0 IBS 1 362 0 0 0 0 0 IKUD 0 163 089 0 0 0 0 ITKT 153 9 32 826 0 265 0 IKKL 14 44 589 7 589 182 967 0 IML 2 284 182 6 831 0 1 203 0 IPD 0 0 0 0 0 28 006 IGL 12 158 0 101 990 0 0 0 IKP 0 0 0 0 0 0 IPKT 0 0 0 0 0 0 IML 820 2 184 3 957 0 5 0 IMN 0 0 0 0 0 0 IKRT 2 841 3 230 2 191 6 480 1 250 ILNY 650 1 078 444 20 162 70 LGA 598 1 664 1 596 452 166 960 BKST 0 2 340 194 101 270 19 PHR 119 862 310 336 165 733 42 552 87 811 130 305 TRKM 11 920 28 099 15 416 4 575 7 342 33 740 LKJP 4 165 14 728 3 609 986 923 5 937 PTUM 0 0 0 0 0 0 JJLN 1 127 2 273 1 384 896 206 97 TOTAL 626 485 1 210 534 568 067 216 475 634 686 2 789 650 UPGJ 47 700 28 786 110 824 25 574 11 730 91 277 PJK+ IMPOR 160 405 98 574 381 139 54 588 88 801 512 324 TOTAL 786 890 1 309 108 949 206 271 063 723 487 3 301 974 NT LAIN 112 705 69 788 270 315 29 014 77 071 421 047
Lampiran 1. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR IGL IKP IPKT IML IMN IKRT TPGN 0 9 124 505 409 1 057 652 345 0 TKBN 288 478 840 500 1 050 577 577 2 769 174 948 PTK 0 0 26 2 080 0 0 KHTN 0 0 0 9 0 0 IKAN 0 0 0 2 083 0 0 TBNG 3 942 0 0 420 0 428 IBS 0 0 0 0 0 0 IKUD 0 0 7 0 0 0 ITKT 0 0 78 6 402 60 0 IKKL 0 0 50 620 501 0 0 IML 0 38 15 664 38 595 0 0 IPD 0 0 4 339 25 856 0 0 IGL 15 345 0 76 37 072 4 286 0 IKP 0 90 357 0 0 286 0 IPKT 0 0 17 598 0 0 0 IML 0 92 10 629 111 664 44 0 IMN 0 0 0 0 241 0 IKRT 3 249 1 745 1 150 2 297 372 48 435 ILNY 6 786 226 389 885 194 420 LGA 703 434 1 163 2 391 128 1 010 BKST 3 443 0 41 814 21 171 PHR 73 328 308 681 170 331 386 251 6 356 41 668 TRKM 18 206 176 836 15 203 35 860 957 5 718 LKJP 15 103 1 761 1 028 8 027 1 402 2 536 PTUM 0 0 0 0 0 0 JJLN 2 066 548 73 1 225 1 360 1 868 TOTAL 430 649 1 430 342 794 874 2 297 661 18 821 277 202 UPGJ 164 407 76 301 26 703 130 600 5 463 11 432 PJK+IMPOR 735 513 285 631 130 681 447 199 39 500 57 085 TOTAL 1 166 162 1 715 973 925 555 2 744 860 58 321 334 287 NT LAIN 571 106 209 330 103 978 316 599 34 037 45 653
Lampiran 1. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP TPGN 0 0 0 36 946 0 0 TKBN 2 337 0 0 41 942 0 0 PTK 52 0 0 127 578 0 0 KHTN 11 492 0 9 043 519 0 0 IKAN 6 0 0 96 369 0 0 TBNG 57 425 13 800 227 638 1 0 0 IBS 5 0 0 2 558 0 0 IKUD 0 0 0 6 178 0 0 ITKT 112 0 0 57 538 0 0 IKKL 0 0 0 9 0 0 IML 597 0 0 42 100 0 0 IPD 0 0 0 77 367 0 0 IGL 206 0 0 8 859 0 0 IKP 0 0 0 8 343 0 0 IPKT 0 0 0 0 0 0 IML 78 0 0 12 855 250 0 IMN 0 0 0 7 048 17 3 IKRT 3 391 626 39 361 15 093 8 502 490 ILNY 33 974 13 916 300 121 6 694 1 549 1 698 LGA 3 703 17 243 1 795 33 076 4 266 5 435 BKST 1 614 3 777 5 067 8 253 16 741 76 077 PHR 131 998 36 764 615 717 215 916 70 886 24 376 TRKM 20 064 3 631 50 253 258 003 83 162 16 055 LKJP 15 243 13 296 138 813 117 783 60 689 105 523 PTUM 0 0 0 0 0 0 JJLN 5 079 630 6 539 35 998 5 328 7 078 TOTAL 287 376 103 683 1 394 347 1 217 026 251 390 236 735 UPGJ 83 836 30 760 631 408 1 064 328 341 317 207 735 PJK+ IMPOR 336 956 139 587 1 629 076 5 055 865 1 457 434 1193 314 TOTAL 624 332 243 270 3 023 423 6 272 891 1 708 824 1430 049 NTLAIN 253 120 108 827 997 668 3 991 537 1 116 117 985 579
Lampiran 1. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR PTUM JJLN TOTAL KONS RT PA LAIN TOTAL TPGN 0 5 286 4 827 522 624 960 803 762 5 631 284 TKBN 0 432 2 520 299 167 048 368 382 2 888 681 PTK 0 24 690 388 984 673 919 1020 313 1 409 297 KHTN 0 36 24 238 1 967 35 784 60 022 IKAN 0 27 260 873 708 523 813 603 141 1 476 849 TBNG 0 423 321 639 1 173 331 154 652 793 IBS 0 281 4 206 71 506 782 684 786 890 IKUD 0 3 731 173 099 48 879 1136 009 1 309 108 ITKT 0 35 765 133 865 456 427 815 341 949 206 IKKL 0 0 242 529 0 28 534 271 063 IML 0 1 790 109 557 270 551 613 930 723 487 IPD 0 27 132 198 193 2 731 106 3103 781 3 301 974 IGL 0 3 329 183 464 265 486 982 698 1 166 162 IKP 0 61 99 083 112 863 1616 890 1 715 973 IPKT 0 0 201 088 13 099 724 467 925 555 IML 0 2 477 145 695 946 114 2599 165 2 744 860 IMN 0 26 7 335 46 470 50 986 58 321 IKRT 0 10 240 153 968 113 299 180 319 334 287 ILNY 0 13 850 444 944 127 446 179 388 624 332 LGA 0 7 437 88 720 134 577 154 550 243 270 BKST 0 15 709 169 380 0 2854 043 3 023 423 PHR 0 141 174 3 600 414 2 306 739 2672 477 6 272 891 TRKM 0 17 121 891 955 700 416 816 869 1 708 824 LKJP 0 30 820 620 092 781 372 809 957 1 430 049 PTUM 0 0 0 0 1272 406 1 272 406 JJLN 0 16 486 98 284 744 527 1001 488 1 099 772 TOTAL 0 385 556 16 522 261 0 25558518 42080 779 UPGJ 1 211 815 544 662 0 0 0 0 PJK+IMPOR
1 272 406 714 216 25 558 518 0 2854 043 28412 561
TOTAL 1 272 406 1 099 772 42 080 779 0 28412561 70493 340 NT LAIN 60 591 169 554
Lampiran 2. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG TPGN 801 076 56 116 176 0 79 478 0 TKBN 0 206 979 3 334 0 0 0 PTK 33 055 9 729 2 164 0 439 0 KHTN 9 313 4 326 770 317 1 442 171 IKAN 0 0 0 0 309 502 0 TBNG 0 0 4 0 53 955 7 013 IBS 0 0 0 0 0 0 IKUD 0 0 428 0 0 0 ITKT 0 0 568 0 3 939 0 IKKL 0 0 207 0 540 0 IML 0 0 862 0 252 0 IPD 0 0 41 809 0 48 210 0 IGL 0 0 12 0 593 0 IKP 0 0 0 0 114 0 IPKT 0 0 435 103 0 91 485 0 IML 0 0 11 0 2 312 0 IMN 0 0 0 0 0 0 IKRT 14 607 16 094 4 004 33 9 554 506 ILNY 156 158 58 815 4 946 4 064 9 114 4 653 LGA 0 3 763 10 988 1 199 5 390 1 166 BKST 7 618 89 752 9 419 20 178 31 554 19 070 PHR 820 952 328 111 167 236 14 615 205 674 62 457 TRKM 153 228 135 447 37 981 22 051 22 665 50 935 LKJP 125 712 60 168 5 807 2 156 34 888 75 138 PTUM 0 0 0 0 0 0 JJLN 1 913 17 254 2 153 1 959 9 682 9 620 TOTAL 2 123 630 930 494 843 982 66 572 920 782 230 727 UPH GJ 1 635 503 1 097 888 451 075 32 364 549 896 382 076 SRPLS 6 091 656 3 263 667 1 437 189 97 112 1 472 737 972 396 PNYST 99 962 246 739 73 724 7 104 112 212 43 451 PJKTL+IMP 48 672 84 713 38 243 3 940 53 854 20 743 TOTAL 9 999 423 5623 502 2 844 213 207 092 3 109 481 1 649 393 EMPLOY 1 194 654 801 953 329 488 23 641 401 672 17 725
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD TPGN 845 108 0 36 012 0 0 3045 343 TKBN 43 119 0 16 597 295 428 701 053 0 PTK 0 0 838 023 0 0 0 KHTN 0 359 17 68 15 1 IKAN 0 1 369 090 0 0 0 0 TBNG 194 6 774 0 283 22 0 IBS 1 623 0 0 0 0 0 IKUD 0 346 359 0 0 0 0 ITKT 327 28 219 762 0 774 0 IKKL 17 77 2 195 11 528 297 381 0 IML 2 936 345 27 515 0 2 114 0 IPD 0 0 0 0 0 13 586 IGL 16 001 0 420 544 0 0 0 IKP 0 0 0 0 0 0 IPKT 0 0 0 0 0 0 IML 925 3 636 13 984 0 8 0 IMN 0 0 0 0 0 0 IKRT 4 575 7 678 11 055 12 1 056 1 229 ILNY 838 2 052 1 794 33 286 55 LGA 907 3 727 7 588 876 344 889 BKST 0 5 155 907 193 551 17 PHR 121 248 463 347 525 255 54 980 121 395 80 481 TRKM 17 472 60 791 70 795 8 565 14 707 30 196 LKJP 5 033 26 270 13 664 1 522 1 524 4 381 PTUM 0 0 0 0 0 0 JJLN 1 739 5 177 6 692 1 766 434 91 TOTAL 1 062 062 2 300 866 2 212 399 3 75 254 1 141 664 3 176 270 UPH GJ 26 204 23 341 197 996 17 945 8 807 30 617 SRPLS 56 972 45 615 422 084 17 236 53 517 131 175 PNYST 3 773 5 948 30 735 2 975 3 981 9 682 PJK+IMPR 1 170 5 025 5 190 148 366 373 TOTAL 1 150 181 2 380 795 2 868 404 413 558 1 208 335 3 348 117 EMPLOY 8 088 7 204 61 113 5 539 2718 9 450
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR IGL IKP IPKT IML IMN IKRT TPGN 0 17 547 962 453 2 001 727 1 400 0 TKBN 914 987 1 219 874 1 509 824 958 8 482 570 864 PTK 0 0 31 2 466 0 0 KHTN 0 0 0 16 0 0 IKAN 0 0 0 2 801 0 0 TBNG 11 482 0 0 551 0 1 282 IBS 0 0 0 0 0 0 IKUD 0 0 10 0 0 0 ITKT 0 0 165 13 441 270 0 IKKL 0 0 59 514 585 0 0 IML 0 49 19 908 48 752 0 0 IPD 0 0 3 408 20 184 0 0 IGL 44 063 0 99 47 937 11 886 0 IKP 0 89 013 0 0 595 0 IPKT 0 0 15 737 0 0 0 IML 0 104 11 852 123 751 105 0 IMN 0 0 0 0 607 0 IKRT 11 416 2 806 1 831 3 634 1 262 175 081 ILNY 19 098 291 496 1 122 527 1 216 LGA 2 328 658 1 745 3 565 409 3 440 BKST 11 212 0 60 1 194 66 573 PHR 161 840 311 746 170 335 383 888 13 548 94 611 TRKM 58 224 258 781 22 030 51 644 2 956 18 813 LKJP 39 822 2 125 1 228 9 531 3 570 6 879 PTUM 0 0 0 0 0 0 JJLN 6 956 844 111 1 857 4 423 6 471 TOTAL 1 281 427 1 903 837 1 272 522 3 543 603 50 107 879 230 UPH GJ 221 003 41 849 14 502 70 492 6 324 14 465 SRPLS 609 944 91 219 41 626 137 735 33 981 46 368 PNYST 28 614 15 221 13 325 20 630 3 146 5 643 PJK+IMPR 22 033 8 371 1 518 12 521 2 274 3 916 TOTAL 2 163 021 2 060 497 1 343 493 3 784 981 95 832 949 622 EMPLOY 68 214 12 917 4 476 21 758 1 952 4 465
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP TPGN 0 0 0 173 776 0 0 TKBN 11 096 0 0 148 878 0 0 PTK 205 0 0 375 848 0 0 KHTN 68 679 0 39 062 2 319 0 0 IKAN 27 0 0 322 068 0 0 TBNG 250 389 58 090 717 416 3 0 0 IBS 19 0 0 7 443 0 0 IKUD 0 0 0 21 706 0 0 ITKT 782 0 0 300 208 0 0 IKKL 0 0 0 26 0 0 IML 2 507 0 0 132 161 0 0 IPD 0 0 0 150 096 0 0 IGL 886 0 0 28 469 0 0 IKP 0 0 0 20 101 0 0 IPKT 0 0 0 0 0 0 IML 287 0 0 35 405 1 086 0 IMN 0 0 0 20 565 78 12 IKRT 17 837 3 179 149 645 59 349 52 726 2 679 ILNY 143 133 56 600 913 909 21 083 7 694 7 435 LGA 18 353 82 505 6 430 122 554 24 929 27 995 BKST 7 868 17 775 17 853 30 076 96 218 385 425 PHR 436 119 117 265 1470 387 533 309 276 132 83 701 TRKM 96 057 16 782 173 894 923 401 469 410 79 882 LKJP 60 166 50 665 396 027 347 552 282 429 432 871 PTUM 0 0 0 0 0 0 JJLN 25 600 3 066 23 823 135 645 31 663 37 077 TOTAL 1 140 010 405 927 3 908 446 3912 040 1 242 363 1 057 077 UPH GJ 150 429 53 284 1 085 390 1696 054 836 912 387 382 SRPLS 374 763 153 568 765 792 4261 232 1 824 385 1 606 606 PNYST 53 108 20 958 166 434 402 770 283 722 127 718 PJK+IMPOR 26 308 13 988 95 166 421 856 138 220 103 574 TOTAL 1 744 618 647 725 6 021 228 10 693 952 4 325 602 3 282 357 EMPLOY 46 431 4 122 113 354 474 850 145 505 10 305
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR PTUM JJLN TOTAL KONS RT KONS PM TPGN 0 26 399 8 106 550 1 054 738 0 TKBN 0 1 628 4 968 786 207 358 1 151 PTK 0 77 233 1 339 192 969 929 0 KHTN 0 171 127 045 4 400 0 IKAN 0 96 734 2 100 223 784 076 0 TBNG 0 1 464 1 108 922 1 725 0 IBS 0 868 9 953 106 850 0 IKUD 0 13 918 382 421 97 126 0 ITKT 0 198 139 738 403 1 192 372 0 IKKL 0 0 372 070 0 0 IML 0 5 966 243 368 444 257 0 IPD 0 55 891 333 184 2 687 488 0 IGL 0 11 359 581 849 427 170 0 IKP 0 156 109 979 165 497 0 IPKT 0 0 542 324 15 782 0 IML 0 7 244 200 708 1 357 929 0 IMN 0 81 21 343 62 073 0 IKRT 0 42 755 594 601 223 068 24 412 ILNY 0 46 318 1 461 730 104 576 6 271 LGA 0 29 259 361 006 219 269 67 450 BKST 0 60 786 813 520 0 114 407 PHR 0 370 249 7 388 880 1 709 118 95 767 TRKM 0 65 064 2 861 770 917 265 124 229 LKJP 0 96 564 2 085 692 1 148 857 40 634 PTUM 0 0 0 0 3 740 115 JJLN 0 65 961 401 978 1 230 486 641 988 TOTAL 0 1 274 208 37 255 500 15 131 409 4 856 424 UPH GJ 3 562 014 775 762 13 369 574 0 0 SRPLS 0 184 414 24 192 991 0 0 PNYST 178 101 49 860 2 009 536 0 0 PJK+IMP 0 7 221 1 119 403 0 0 TOTAL 3 740 115 2 291 465 77 947 004 15 131 409 4 856 424 EMPLOY 150 445 199 921 4 121 960 0 0
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR PTK MDL STOK EKSPOR TOTAL TPGN 0 358 188 479 948 9 999 423 TKBN 0 114 044 332 163 5 623 502 PTK 10 037 91 521 433 534 2 844 213 KHTN 0 1 535 74 112 207 092 IKAN 0 0 225 182 3 109 481 TBNG 0 228 538 518 1 649 393 IBS 0 43 285 990 093 1 150 181 IKUD 0 123 389 1 777 859 2 380 795 ITKT 0 52 371 885 258 2 868 404 IKKL 0 10 471 31 017 413 558 IML 0 26 288 494 422 1 208 335 IPD 0 51 827 275 618 3 348 117 IGL 0 46 500 1 107 502 2 163 021 IKP 0 70 357 1 714 664 2 060 497 IPKT 0 10 817 774 570 1 343 493 IML 0 10 874 2 215 470 3 784 981 IMN 0 723 11 693 95 832 IKRT 0 6 212 101 329 949 622 ILNY 44 240 7 288 120 513 1 744 618 LGA 0 0 0 647 725 BKST 5 093 301 0 0 6 021 228 PHR 295 333 0 1 204 854 10 693 952 TRKM 50 734 0 371 604 4 325 602 LKJP 0 0 7 174 3 282 357 PTUM 0 0 0 3 740 115 JJLN 0 0 17 013 2 291 465 TOTAL 5 493 645 1 025 918 14 184 110 77 947 006 UPH GJ 0 0 0 13 369 574 SRPLS 0 0 0 24 192 991 PNYST 0 0 0 2 009 536 PJK+IMPR 0 0 0 1 119 403 TOTAL 5 493 645 1 025 918 14 184 110 118 638 510 EMPLOY 0 0 0 4 121 960
Lampiran 3. Kontribusi Output Sektor Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 No. Sektor Output
Tahun 2000 (juta)
Pangsa (%)
Output Tahun 2005 (juta)
Pangsa (%)
1 Pertanian Tanaman Pangan 5 631 284 13.382 9 609 824 12.3282 Tanaman Perkebunan 2 888 681 6.865 5 623 502 7.2153 Peternakan 1 409 297 3.349 2 844 213 3.6494 Kehutanan 60 022 0.143 207 092 0.2665 Perikanan 1 476 849 3.510 3 109 481 3.9896 Pertambangan dan
Penggalian 652 793 1.551 1 649 393 2.1167 Industri Buah dan Sayur 786 890 1.870 1 150 181 1.4768 Industri Pengolahan Ikan
dan Udang 1 309 108 3.111 2 380 795 3.0549 Industri Tapioka dan
Tepung Lain 949 206 2.256 2 868 404 3.68010 Industri Kopra/ Kelapa 271 063 0.644 413 558 0.53111 Industri Minyak/ Lemak 723 487 1.719 1 208 335 1.55012 Industri Padi 3 301 974 7.847 3 348 117 4.29513 Industri Gula 1 166 162 2.771 2 552 620 3.27514 Industri Kopi 1 715 973 4.078 2 060 497 2.64315 Industri Pakan Ternak 925 555 2.199 1 343 493 1.72416 Industri Makanan Lainnya 2 744 860 6.523 3 784 981 4.85617 Industri Minuman 58 321 0.139 95 832 0.12318 Industri Pengolahan Karet 334 287 0.794 949 622 1.21819 Industri Lainnya 624 332 1.484 1 744 618 2.23820 Listrik Gas dan Air Minum 243 270 0.578 647 725 0.83121 Bangunan/Konstruksi 3 023 423 7.185 6 021 228 7.72522 Perdagangan Hotel dan
Restoran 6 272 891 14.907 10 693 952 13.72023 Transportasi dan
Komunikasi 1 708 824 4.061 4 325 602 5.54924 Lembaga keuangan
persewaan dan jasa perusahaan 1 430 049 3.398 3 282 357 4.211
25 Pemerintahan Umum 1 272 406 3.024 3 740 115 4.79826 Jasa-jasa dan Lainnya 1 099 772 2.613 2 291 465 2.940
Jumlah 42 080 779 100 77 947 006 100
Lampiran 4. Lokasi Pengembangan Klaster Industri Agro No. Jenis Klaster Lokasi
1 Industri Makanan dan Minuman
1.1 Industri Pengolahan Kakao dan Cokelat
Banten, Jabar, Jatim, Sulteng, Sultra, Sumut, Lampung
1.2 Industri Pengolahan Buah Sumut, Kep. Riau, Sumsel, Lampung, Jabar, Jatim
1.3 Industri Pengolahan Kelapa Riau, Jawa, Sulawesi 1.4 Industri Pengolahan Kopi Lampung, Sumut, Jatim, Sulsel 1.5 Industri Pengolahan Gula Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim 1.6 Industri Pengolahan
Tembakau Sumut, Jabar, Jateng, Jatim, NTB
2 Industri Pengolah Hasil Laut Jatim, Bali, NTT, Sulsel, Sulut, Maluku, Maluku Utara, Lampung, Papua, Sumut, Sulteng, Kaltim, Jateng
3 Industri Kelapa Sawit Sumut, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Jatim, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Papua
4 Industri Barang Kayu Sumatera, Jawa, Kalimantan 5 IKM Makanan Ringan NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi,
Bengkulu, Lampung, Sumsel, DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulsel, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, Papua
Sumber : Departemen Perindustrian, 2005.
Lampiran 5. Kontribusi Industri Pengolahan dalam PDRB Propinsi Lampung Atas Dasar Harga yang Berlaku ( %)
Tahun No. Industri Pengolahan 2001 2002 2003 2004
2005
1. Minyak dan Gas Bumi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 a. Pengolangan Minyak Bumi 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 b. Gas Alam Cair 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Non Minyak dan Gas Bumi 13.23 12.95 12.88 12.88 12.80a. Makanan, minuman dan
tembakau 12.27 11.86 11.72 11.66 11.73
b. Tekstil dan Kulit 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 c. Barang dari kayu dan hasil hutan 0.31 0.36 0.38 0.45 0.36 d. Kertas dan barang cetakan 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 e. Kimia dan barang dari karet 0.35 0.39 0.40 0.38 0.37
Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2005.
Lampiran 6. Perkembangan Ekspor Industri di Provinsi Lampung Tahun 2001- 2005
(ton) No. Komoditas 2001 2002 2003 2004 2005A Hasil Pertanian 136 548 184 471 281 277 234 288 409 488
1 Kopi 51 879 84 337 125 078 124 067 230 8912 Udang Beku 37 373 63 240 103 270 80 785 128 9443 Rempah-rempah 37 602 28 191 37 144 23 103 23 0174 Biji Coklat 1 215 5 632 12 280 1 993 19 4265 Ikan dan Lainnya 2 807 1 215 241 721 2 2216 Damar dan getah
damar 295 304 624 297 -
7 Buah-buahan 156 84 427 1 188 2 0108 Hasil Pertanian
Lainnya 5 218 1 467 51 072 0 2 975
B Hasil Industri 245 812 326 135 368 612 393 430 586 2161 Kayu Olahan 10 670 13 587 25 769 19 853 12 3452 Besi/ baja 108 620 1 767 82 4193 Karet Alam Olahan 4 343 5 046 11 226 17 104 27 1464 Makanan Ternak 1 454 3 761 5 432 972 7 3205 Minyak Nabati 8 501 23 458 32 688 60 165 135 6786 Makanan Olahan 93 809 132 175 115 766 122 714 147 5347 Bahan Kimia 24 450 22 504 18 730 14 333 14 0878 Kaca/ barang dari
kaca 4 852 6 254 5 488 4 486 5 396
9 Kertas/ barang dari kertas
10 811 106 973 1 699 1 098 155 343
10 Industri Lainnya 86 811 11 754 160 439 - 80 942C Hasil Tambang 20 729 6 390 89 904 41 974 88 058
1 Batubara 5 572 21 031 27 387 41 575 87 6152 Hasil Tambang
Lainnya 818 101 - 442
Lampiran 7. Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2001-2005 No. Indikator 2001 2002 2003 2004 2005
1. Pertumbuhan Ekonomi
3.59 5.62 5.76 5.07 4.02
2. Inflasi 12.94 10.32 5.44 5.22 21.17 3. PDRB Harga Konstan
2000 (Milyar Rp) 24 079.60 25 433. 27 26 898. 05 28 262. 28 29 397. 24
4. PDRB per Kapita (Rp)
4 274 064 4 218 733 4 647 890 5 098 641 5 748 422
5. Neraca Perdagangan Luar Negeri
a. Ekspor (Ribu US $)
388.8 531.7 739.8 669.7 1 083.8
b. Impor (Ribu US $) 892.0 1 154.0 951.3 1 338.6 3 473.8 6. Investasi
a. PMDN (Ribu Rp) 184 064 2 785 086.3 148 900 618 000 1 440 039 b. PMA (Ribu Rp) - 87 391 97 440 280 068 63 497
7. Suku Bunga Deposito Berjangka Bank Umum 1 Bulan (%)
17.88 14.33 9.65 13.50 14.00
Lampiran 8. Peta Penyebaran Industri Provinsi Lampung
Lampiran 9. Metode Pembaharuan Data Tahapan untuk meng-update atau memperbaharui Tabel Input-Output
Provinsi Lampung Tahun 2000 ke Tahun 2005 adalah:
1. Mencari data Total Input Antara, Total Input Primer, Total Output Antara, dan
Permintaan Akhir. Total Input merupakan penjumlahan Total Input dengan Total
Input Primer (Nilai Tambah). Total Output merupakan penjumlahan Total
Output Antara dan Total Permintaan Akhir (Final Demand).
2. Matriks Transaksi Antara (A) Tahun 2005 dibuat dengan meng-up date Matriks
Transaksi Antara (A) Tahun 2000 dengan metode RAS.
Seperti dijelaskan pada Bab III bahwa Tabel input-output umumnya terdiri
dari kuadran I, II dan III. Kuadran I tidak lain merupakan matriks input antara atau
disebut juga koefisien teknis (matriks A). Dua kuadran berikutnya berkaitan dengan
matriks permintaan akhir dan nilai tambah yang secara praktis lebih mudah disusun
dibanding matriks A, karena data/informasi yang tersedia seperti data pendapatan
nasional, matriks ekspor impor dan lain-lain sudah sangat membantu. Jika
pendekatan ketiga atau tidak langsung yang digunakan untuk memperbaiki matriks
A, maka kita mau tidak mau harus berhadapan dengan pendekatan matematis.
Metode RAS merupakan salah satu dari beberapa metode yang dapat dipakai
untuk memperbaharui data input-ouput, terutama koefisien teknis (matriks A). Hal
ini dilakukan karena metode ini dari segi metodologi cukup sederhana, banyak
dipakai, dan hasilnya cukup memuaskan.
Metode RAS pertama kali dikembangkan oleh Prof. Richard Stone dari
Cambridge University, Inggris. Metode ini secara intensif telah dimanfaatkan oleh
lembaga statistik untuk keperluan pembuatan tabel input-output up-dating. Secara
sederhana metode RAS merupakan suatu metode untuk memperkirakan matriks
koefisien input yang baru pada tahun t “A(t)” dengan menggunakan informasi
koefisien input tahun dasar “A(0)”, total permintaan antara tahun t, dan total input
antara tahun t.
Secara matematis metode RAS dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Andaikan matriks koefisien input pada tahun dasar adalah A(0) = {a,j(0)}, i,,j
=1,2,...,n. Matriks koefisien input untuk tahun proyeksi t diperkirakan dengan
rumus A(t) = R A(0) S di mana R = matriks diagonal yang elemen-elemennya
menunjukkan pengaruh substitusi, dan S = matriks diagonal yang elemen-
elemennya menggambarkan pengaruh fabrikasi. Pengaruh substitusi
menunjukkan seberapa jauh suatu komoditi (baca menurut baris dalam tabel
input-output) dapat digantikan oleh komoditi lain dalam proses produksi.
Pengaruh fabrikasi menunjukkan seberapa jauh suatu sektor (baca menurut
kolom dalam tabel input-output) dapat menyerap input antara dari total input
yang tersedia.
2. Andaikan r, dan s, berturut-turut merupakan elemen matriks diagonal R dan S.
Misalkan pula Xij(O) adalah input antara sektor j yang berasal dari output sektor
i pada tahun dasar. Untuk menjaga konsistensi hasil estimasi r, dan Sj, perlu
ditambahkan dua persamaan pembatas seperti tertera di bawah ini.
∑=
==n
jijijj nibsxr
1........,2,1,)0(
∑=
==n
ijjijj niksxr
1........,2,1,)0(
dimana:
bi = jumlah permintaan antara sektor i pada tahun t
kj = jumlah input antara sektor j pada tahun t
Dengan dua persamaan pembatas tersebut diperoleh 2n persamaan dengan 2n
bilangan yang tidak diketahui (n buah n dan n buah Sj). Akan tetapi jika kita
perhatikan lebih jauh, sebenarnya hanya ada 2n-1 persamaan yang bebas, sedangkan
persamaan yang satunya bergantung dengan persamaan lainnya.
Lampiran 10. Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005
Kaitan ke Belakang Tahun 2000
Kaitan ke Belakang Tahun 2005
No. Sektor
Langsung
Langsung dan Tak Langsung
Pering-kat
Langsung
Langsung dan Tak Langsung
Pering-kat
1. TPGN 0.1897 0.7241 25 0.3632 0.6923 23 2. TKBN 0.1556 0.7422 24 0.2830 0.6614 24 3. PTK 0.3934 0.8374 16 0.5075 0.8344 18 4. KHTN 0.3429 0.7763 21 0.5498 0.8173 20 5. IKAN 0.3335 0.8133 18 0.5064 0.7812 21 6. TBNG 0.1371 0.7694 22 0.2392 0.6410 25 7. IBS 1.1181 1.7842 9 1.1882 1.5792 9 8. IKUD 1.3103 2.1079 1 1.3817 1.6528 1 9. ITKT 1.1924 1.8705 8 1.2743 1.5834 7 10. IKKL 1.1731 1.7837 10 1.1668 1.5518 10 11. IML 1.2484 1.9871 2 1.2941 1.6158 4 12. IPD 1.1122 1.9210 4 1.1856 1.6224 2 13. IGL 1.6838 1.8792 6 1.5502 1.6132 5 14. IKP 1.0856 1.3193 11 1.2200 1.3191 11 15. IPKT 1.1785 1.9391 3 1.2428 1.6199 3 16. IMLN 1.1671 1.8895 5 1.2148 1.6011 6 17. IMN 0.6689 0.8202 17 0.8942 0.9783 16 18. IKRT 1.1628 1.8740 7 1.2001 1.5802 8 19. ILNY 0.8347 0.8952 15 1.0694 1.1175 12 20. LGA 0.9063 0.9365 14 1.0718 1.0912 13 21. BKST 0.9698 1.0422 13 1.1101 1.0901 14 22. PHR 0.4159 0.8011 19 0.6256 0.8503 17 23. TRKM 0.3046 0.7813 20 0.4912 0.7694 22 24. LKJP 0.3665 0.7561 23 0.5508 0.8236 19 25. PTUM 0.0000 0.4033 26 0.0000 0.4218 26 26. JJLN 0.7301 1.2735 12 0.9510 1.0598 15
Lampiran 11. Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005
Kaitan ke depan Tahun 2000
Kaitan ke depan Tahun 2005
No. Sektor
Langsung
Langsung dan Tak Langsung
Pering-kat
Langsung
Langsung dan Tak Langsung
Pering-kat
1. TPGN 1.4477 1.6265 2 1.2148 1.9032 2 2. TKBN 1.1849 1.6740 1 1.3341 1.9743 1 3. PTK 0.8509 1.1940 14 1.1054 1.0390 15 4. KHTN 0.8482 1.2461 11 1.4402 1.2907 10 5. IKAN 1.1638 1.5333 5 1.5856 1.1646 13 6. TBNG 0.7822 1.5155 6 1.5783 1.2150 12 7. IBS 0.2167 0.7837 21 0.2203 0.6941 21 8. IKUD 0.4371 0.8509 19 0.3771 0.8030 17 9. ITKT 0.4352 1.0530 16 0.6043 1.2396 11 10. IKKL 0.3395 0.6895 24 0.3458 0.6121 25 11. IML 0.4771 0.7344 22 0.4728 0.6265 23 12. IPD 0.1857 1.3058 10 0.6336 1.0911 14 13. IGL 0.8976 1.2102 12 1.0315 1.3087 8 14. IKP 0.1900 0.7303 23 0.1253 0.6241 24 15. IPKT 0.6584 1.1966 13 0.9476 1.0122 16 16. IMLN 0.5724 1.0143 18 0.1245 0.7933 18 17. IMN 0.3795 1.0390 17 0.5228 0.6608 22 18. IKRT 1.2106 1.4206 7 1.2484 1.7699 3 19. ILNY 1.1537 1.5547 4 1.1587 1.3669 7 20. LGA 1.1118 1.3820 9 1.2427 1.3084 9 21. BKST 0.1699 0.5007 25 0.3172 0.7507 20 22. PHR 0.9997 1.1718 15 1.2531 1.6220 4 23. TRKM 1.3111 1.5937 3 1.3203 1.5531 5 24. LKJP 1.3169 1.4053 8 1.3019 1.4917 6 25. PTUM 0.0000 0.4298 26 0.0000 0.3845 26 26. JJLN 0.2750 0.7885 20 0.4118 0.7825 19
Lampiran 12. Pangsa Keterkaitan ke belakang Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005 (%)
No. SEKTOR IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT 1 Tanaman Pangan 35.592 2.521 3.792 0.472 0.419 43.980 0.358 0.921 33.900 26.207 1.566 0.418 2 Tanaman Perkebunan 2.639 0.765 4.570 34.607 32.379 0.301 25.240 28.532 2.572 11.222 9.298 31.771 3 Peternakan 0.54 0.60 14.13 0.52 0.47 0.40 0.39 0.53 0.57 0.58 0.74 0.46 4 Kehutanan 0.07 0.05 0.03 0.07 0.06 0.08 0.07 0.05 0.07 0.07 0.05 0.06 5 Perikanan 0.33 28.68 0.45 0.36 0.32 0.20 0.27 0.38 0.36 0.35 0.54 0.32 6 Pertambangan dan Penggalian 0.19 0.81 0.20 0.26 0.21 0.17 0.62 0.22 0.18 0.20 0.32 0.31 7 Industri Buah dan Sayur 43.98 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 8 Industri Ikan dan Udang 0.02 44.23 0.03 0.03 0.02 0.01 0.02 0.03 0.03 0.02 0.05 0.02 9 Industri Tapioka & Tepung Lain 0.31 0.46 46.73 0.34 0.32 0.18 0.26 0.35 0.33 0.46 0.77 0.31 10 Industri Kopra/ Kelapa 0.06 0.10 0.30 46.04 10.26 0.02 0.03 0.04 2.13 0.19 0.05 0.03 11 Industri Minyak/ Lemak 0.23 0.18 0.64 0.13 40.50 0.07 0.10 0.14 0.77 0.69 0.16 0.11 12 Industri Padi 0.15 0.64 0.40 0.16 0.14 44.28 0.12 0.17 0.27 0.38 0.25 0.14 13 Industri Gula 0.70 0.12 7.04 0.08 0.08 0.05 56.12 0.09 0.09 0.67 6.96 0.08 14 Industri Kopi 0.02 0.03 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 45.47 0.02 0.02 0.37 0.02 15 Industri Pakan Ternak 0.09 0.95 2.20 0.09 0.08 0.07 0.07 0.09 42.58 0.10 0.13 0.08 16 Industri Makanan Lainnya 0.07 0.15 0.30 0.04 0.03 0.02 0.03 0.04 0.43 44.44 0.11 0.03 17 Industri Minuman 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02 0.02 0.02 53.70 0.02 18 Industri Pengolahan Karet 0.42 0.47 0.49 0.29 0.30 0.19 0.62 0.43 0.28 0.28 1.20 50.47 19 Industri Lainnya 0.79 0.40 0.41 0.63 0.58 0.83 1.08 0.58 0.74 0.73 0.83 0.67 20 Listrik, Gas dan Air Minum 0.21 0.36 0.43 0.32 0.22 0.13 0.25 0.27 0.25 0.22 0.55 0.40 21 Bangunan/Konstruksi 0.35 0.76 0.48 0.88 0.80 0.26 1.10 0.90 0.34 0.48 0.88 0.86 22 Perdagangan, Hotel &Restoran 9.01 12.43 12.24 9.61 8.60 5.57 7.20 10.41 9.96 8.67 11.14 8.28 23 Transportasi dan Komunikasi 2.50 3.00 3.29 3.13 2.67 1.89 3.33 8.38 2.62 2.47 3.86 2.98 24 Lembaga keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 1.42 1.85 1.39 1.40 1.17 1.15 2.24 1.60 1.26 1.29 3.63 1.54 25 Pemerintahan Umum 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 26 Jasa-jasa dan Lainnya 0.26 0.42 0.38 0.50 0.33 0.13 0.44 0.35 0.21 0.23 2.86 0.62 TOTAL 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Lampiran 13. Pangsa Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005 (%)
No. SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP 1 Industri Buah dan
Sayur 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 95.57 0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02 2 Industri Ikan dan
Udang 0.02 0.02 0.04 0.04 0.02 0.02 0.04 98.12 0.07 0.05 0.05 0.03 0.03 0.05 3 Industri Tapioka
& Tepung Lain 0.26 0.22 0.29 0.39 0.38 0.18 0.51 0.87 78.44 0.55 0.57 0.30 0.34 0.58 4 Industri Kopra/
Kelapa 0.03 0.02 0.60 0.04 0.16 0.02 0.11 0.19 0.51 74.75 18.47 0.04 0.04 0.07 5 Industri Minyak/
Lemak 0.13 0.10 0.36 0.16 0.18 0.07 0.47 0.43 1.33 0.25 88.97 0.15 0.15 0.28 6 Industri Padi 0.15 0.12 1.44 0.21 1.62 0.09 0.28 1.44 0.80 0.30 0.30 84.98 0.19 0.33 7 Industri Gula 0.06 0.05 0.07 0.09 0.10 0.04 1.13 0.22 11.67 0.13 0.13 0.07 72.48 0.14 8 Industri Kopi 0.02 0.02 0.02 0.03 0.02 0.01 0.04 0.06 0.05 0.04 0.04 0.02 0.02 98.35 9 Industri Pakan
Ternak 0.11 0.07 11.68 0.09 2.55 0.04 0.16 1.88 3.85 0.15 0.15 0.12 0.09 0.16 10 Industri Makanan
Lainnya 0.04 0.03 0.17 0.05 0.15 0.02 0.15 0.36 0.65 0.08 0.08 0.05 0.05 0.09 11 Industri Minuman 0.02 0.02 0.02 0.03 0.02 0.01 0.04 0.06 0.05 0.04 0.04 0.02 0.03 0.05 12 Industri
Pengolahan Karet 0.25 0.39 0.28 0.50 0.42 0.16 0.64 0.82 0.75 0.43 0.50 0.29 0.74 0.65
Lampiran 13. Lanjutan
(%) No. SEKTOR IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL 1 Industri Buah dan Sayur 0.02 0.01 0.02 0.01 0.03 0.02 0.02 3.08 0.01 0.01 0.00 0.06 100 2 Industri Ikan dan
Udang 0.05 0.04 0.07 0.05 0.08 0.07 0.08 0.23 0.03 0.03 0.00 0.67 100 3 Industri Tapioka &
Tepung Lain 0.57 0.77 1.04 0.55 0.94 0.74 0.86 6.52 0.30 0.31 0.00 7.54 100 4 Industri Kopra/ Kelapa 3.69 0.32 0.06 0.06 0.12 0.08 0.10 0.29 0.03 0.03 0.00 0.18 100 5 Industri Minyak/ Lemak 1.62 1.42 0.26 0.24 0.53 0.35 0.42 1.26 0.12 0.11 0.00 0.64 100 6 Industri Padi 0.54 0.75 0.39 0.30 0.49 0.41 0.48 1.46 0.16 0.15 0.00 2.63 100 7 Industri Gula 0.15 1.11 9.26 0.13 0.26 0.18 0.21 0.62 0.07 0.07 0.00 1.55 100 8 Industri Kopi 0.04 0.04 0.65 0.04 0.06 0.05 0.06 7.21 0.02 0.02 0.00 0.05 100 9 Industri Pakan Ternak 75.95 0.18 0.18 0.15 0.22 0.19 0.22 5.67 0.07 0.07 0.00 1.01 100 10 Industri Makanan
Lainnya 0.94 95.49 0.20 0.08 0.14 0.11 0.13 0.38 0.07 0.04 0.00 0.46 100 11 Industri Minuman 0.05 0.04 98.94 0.04 0.06 0.06 0.07 0.21 0.02 0.02 0.00 0.05 100 12 Industri Pengolahan
Karet 0.44 0.43 1.49 81.55 1.31 0.93 2.52 0.74 1.29 0.51 0.00 1.97 100
Lampiran 14. Daya Sebar dan Derajat Kepekaan Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2005 Sektor Daya Penyebaran Derajat Kepekaan Tanaman Pangan 0.9928 0.7938 Tanaman Perkebunan 0.8023 0.6774 Peternakan 1.0341 0.8583 Kehutanan 0.8945 0.7186 Perikanan 0.7469 0.9018 Pertambangan dan Penggalian
0.8571 0.7821
Industri Buah dan Sayur 1.4986 1.4416 Industri Ikan dan Udang 1.1823 1.4239 Industri Tapioka & Tepung Lain
0.8772 1.1096
Industri Kopra/ Kelapa 1.4916 0.7821 Industri Minyak/ Lemak 1.2405 1.0773 Industri Padi 1.8016 1.2389 Industri Gula 1.3460 1.0905 Industri Kopi 1.2430 1.4323 Industri Pakan Ternak 1.4288 0.8827 Industri Makanan Lainnya 1.1326 1.4108 Industri Minuman 0.7124 1.0090 Industri Pengolahan Karet 1.2654 0.8389 Industri Lainnya 0.8288 0.7576 Listrik, Gas dan Air Minum
0.7320 0.7911
Bangunan/Konstruksi 0.8694 1.1596 Perdagangan, Hotel &Restoran
0.5233 0.7365
Transportasi dan Komunikasi
0.8882 0.7335
Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
1.0083 0.7649
Pemerintahan Umum 0.0000 1.4637 Jasa-jasa dan Lainnya 0.8117 1.1235
Lampiran 15. Pengganda Output Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005
No. Sektor Pengganda Tahun 2000
Peringkat Pengganda Tahun 2005
Peringkat
1. TPGN 1.5301 26 1.8764 262. TKBN 1.5684 25 1.8807 253. PTK 1.7695 15 2.1832 184. KHTN 1.6403 22 2.2085 175. IKAN 1.7185 19 2.1408 206. TBNG 1.6257 23 1.9173 237. IBS 2.3625 8 2.8607 98. IKUD 2.7686 1 3.2984 19. ITKT 2.3939 7 2.9948 410. IKKL 1.7288 18 1.9146 2411. IML 1.7380 16 2.0989 2212. IPD 2.3501 9 2.8207 1013. IGL 1.8578 14 2.4548 1314. IKP 2.4571 6 2.9336 715. IPKT 2.4903 4 2.9523 616. IMLN 2.4661 5 2.9206 817. IMN 1.7332 17 2.4002 1518. IKRT 2.5196 3 3.0585 319. ILNY 1.8916 13 2.7079 1220. LGA 1.9789 11 2.7107 1121. BKST 2.2023 10 2.9751 522. PHR 1.6928 20 2.2755 1623. TRKM 1.6509 21 2.1642 1924. LKJP 1.5976 24 2.1107 2125. PTUM 1.9652 12 2.4495 1426. JJLN 2.6909 2 3.2753 2
Lampiran 16. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005
No. Sektor Pengganda Tahun 2000
Peringkat Pengganda Tahun 2005
Peringkat
1. TPGN 1.0920 23 1.3065 232. TKBN 1.0732 24 1.2213 243. PTK 1.1966 19 1.4319 194. KHTN 1.2230 18 1.5977 175. IKAN 1.1571 20 1.4151 216. TBNG 1.0546 25 1.1561 257. IBS 3.4430 8 9.9603 68. IKUD 9.8197 1 20.7939 19. ITKT 4.0219 7 7.6987 810. IKKL 2.7136 10 5.0786 1111. IML 2.7271 9 6.0044 912. IPD 6.4481 3 5.3231 1013. IGL 1.5350 14 8.4118 714. IKP 4.7591 5 12.1358 515. IPKT 6.5972 2 20.5521 216. IMLN 4.4004 6 12.3682 417. IMN 1.7450 11 3.0947 1218. IKRT 6.0017 4 15.7328 319. ILNY 1.6716 12 2.9688 1320. LGA 1.6686 13 2.9279 1421. BKST 1.4204 15 1.9110 1522. PHR 1.2469 17 1.5836 1823. TRKM 1.1506 21 1.3860 2224. LKJP 1.2717 16 1.7539 1625. PTUM 1.0000 26 1.0000 2626. JJLN 1.1488 22 1.4290 20
Lampiran 17. Pengganda Kesempatan Kerja Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 No. Sektor Pengganda
2000 Peringkat Pengganda
2005 Peringkat
1. TPGN 1.1631 22 1.1731 242. TKBN 1.0126 25 1.1028 253. PTK 1.1878 21 1.2898 214. KHTN 1.0346 24 1.1741 235. IKAN 1.1619 23 1.2617 226. TBNG 1.5653 18 1.6693 187. IBS 16.1178 7 18.2218 88. IKUD 39.2294 1 44.4494 19. ITKT 14.8172 8 25.2196 410. IKKL 9.7087 11 10.6087 1111. IML 10.0656 9 11.1682 912. IPD 22.0238 4 22.2228 613. IGL 21.2912 5 23.4915 514. IKP 9.7634 10 10.8540 1015. IPKT 30.9823 2 32.9436 216. IMLN 20.8743 6 20.9656 717. IMN 2.4587 16 3.6307 1418. IKRT 25.5432 3 28.5534 319. ILNY 2.6826 15 2.5826 1620. LGA 6.1013 12 6.1114 1221. BKST 3.0995 14 3.0990 1522. PHR 1.5862 17 1.7862 1723. TRKM 1.3742 20 1.4742 2024. LKJP 4.6536 13 5.6536 1325. PTUM 1.0000 26 1.0000 2626. JJLN 1.5153 19 1.6155 19
Lampiran 18. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi Tahun 2000 Sektor Peringkat
Keterkaitan Ke Belakang
Peringkat Keterkaitan Ke Depan
Peringkat Pengganda Output
Peringkat Pengganda Pend. RT
Peringkat Pengganda Kesempatan Kerja
Total Nilai
Pering-kat
TPGN 25 2 26 23 22 98 24 TKBN 24 1 25 24 25 99 25 PTK 16 14 15 19 21 85 18 KHTN 21 11 22 18 24 96 23 IKAN 18 5 19 20 23 85 19 TBNG 22 6 23 25 18 94 22 IBS 8 21 8 8 7 52 8 IKUD 1 19 1 1 1 23 1 ITKT 7 16 7 7 8 45 6 IKKL 9 24 18 10 11 72 13 IML 11 22 16 9 9 67 12 IPD 3 10 9 3 4 29 4 IGL 5 12 14 14 5 50 7 IKP 10 23 6 5 10 54 9 IPKT 2 13 4 2 2 23 2 IMLN 4 18 5 6 6 39 5 IMN 17 17 17 11 16 78 16 IKRT 6 7 3 4 3 23 3 ILNY 15 4 13 12 15 59 10 LGA 14 9 11 13 12 59 11 BKST 13 25 10 15 14 77 15 PHR 19 15 20 17 17 88 21 TRKM 20 3 21 21 20 85 20 LKJP 23 8 24 16 13 84 17 PTUM 26 26 12 26 26 116 26 JJLN 12 20 2 22 19 75 14
Lampiran 19. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi Tahun 2005 Sektor Peringkat
Keterkaitan Ke Belakang
Peringkat Keterkaitan Ke Depan
Peringkat Pengganda Output
Peringkat Pengganda Pend. RT
Peringkat Pengganda Kesempatan Kerja
Total Nilai
Pering-kat
TPGN 23 2 26 23 24 98 23 TKBN 24 1 25 24 25 99 24 PTK 18 16 18 19 21 91 21 KHTN 20 10 17 17 23 87 19 IKAN 21 13 20 21 22 97 22 TBNG 25 12 23 25 18 103 25 IBS 7 21 9 6 8 52 8 IKUD 1 15 1 1 1 19 1 ITKT 6 11 4 8 4 33 4 IKKL 9 25 24 11 11 80 18 IML 11 23 22 9 9 74 14 IPD 4 14 10 10 6 44 7 IGL 3 8 13 7 5 36 5 IKP 10 24 7 5 10 56 9 IPKT 2 17 6 2 2 29 3 IMLN 5 18 8 4 7 42 6 IMN 16 22 15 12 14 79 17 IKRT 8 3 3 3 3 20 2 ILNY 12 7 12 13 16 60 11 LGA 13 9 11 14 12 59 10 BKST 14 20 5 15 15 69 12 PHR 17 4 16 18 17 72 13 TRKM 22 5 19 22 20 88 20 LKJP 19 6 21 16 13 75 15 PTUM 26 26 14 26 26 118 26 JJLN 15 19 2 20 19 75 16
Lampiran 20. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2000 (jutaan rupiah) Industri LB TGM LS LTM LT LU WK TB BL MT Total Industri Buah dan Sayur
404 644 20 578 840 128 421 0 19730 0 0 0 170 618
Industri Ikan Daging & Udang
0 644 94 660 0 4 086 0 0 175 844 3 118 0 278 352
Industri Tapioka & Tepung Lain
1 615 902 0 75 617 163 445 52 146 11 274 50 241 31 175 0 386 416
Industri Kopra/ Kelapa
4 038 0 16 463 5 041 0 0 0 0 37 411 0 62 952
Industri Minyak/ Lemak
1 615 2 577 8 231 0 0 0 0 0 68 586 0 81 009
Industri Padi 4 576 47 671 2 058 8 402 46 699 20 858 0 31 401 0 906 162 570 Industri Gula 269 1 933 1 235 504 239 330 99 077 0 263 765 0 0 606 114 Industri Kopi 4 307 15 461 41 157 0 0 0 0 0 124 702 0 185 626 Industri Pakan Ternak
673 0 6 174 4 201 11 675 0 0 0 180 818 109 203 648
Industri Makanan Lainnya
6 191 45 094 102 892 47 051 11 675 33 895 0 31 401 37 411 10 142 325 751
Industri Minuman 1 346 6 442 0 0 0 0 0 0 18 705 1 811 28 304 Industri Pengolahan Karet
0 773 82 313 1 344 17 512 44 324 5 637 12 560 43 646 0 208 110
Jumlah 25 034 122 141 375 761 143 000 622 842 250 301 36 642 565 212 545 570 12 967 2 699 470 Keterangan : LB = Kabupaten Lampung Barat LU = Kabupaten Lampung Utara TGM = Kabupaten Tanggamus WK = Kabupaten Way Kanan LS = Kabupaten Lampung Selatan TB = Kabupaten Tulang Bawang LTM = Kabupaten Lampung Timur BL = Kabupaten Bandar Lampung LT = Kabupaten Lampung Tengah MT = Kota Metro
Lampiran 21. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 (jutaan rupiah) Sektor Agroindustri
LB TGM LS LTM LT LU WK TB BL MT TOTAL
Industri Buah dan Sayur
478 1 066 31 987 1 556 179 555 0 41 984 0 0 0 256 626
Industri Ikan Daging & Udang
0 1 066 147 140 0 5 713 0 0 487 741 4 783 0 646 442
Industri Tapioka & Tepung Lain
1 911 1 493 0 140 045 228 524 90 707 23 991 92 903 47 826 0 627 400
Industri Kopra/ Kelapa
4 778 0 25 589 9 336 0 0 0 0 57 391 0 97 094
Industri Minyak/ Lemak
1 911 4 265 12 795 0 0 0 0 0 105 217 0 124 188
Industri Padi 5 415 78 909 3 199 15 561 65 293 34 555 0 58 064 0 1 157 262 152 Industri Gula 319 3 199 1 919 934 334 624 164 137 0 487 741 0 0 992 872 Industri Kopi 5 096 25 592 63 974 0 0 0 0 0 191 303 0 285 965 Industri Pakan Ternak
796 0 9 596 7 780 16 323 0 0 0 277 389 139 312 024
Industri Makanan Lainnya
7 326 74 644 95 961 87 139 16 323 56 152 0 58 064 57 391 12 962 465 961
Industri Minuman 1 593 10 663 0 0 0 0 0 0 28 695 2 315 43 266 Industri Pengolahan Karet
0 1 280 179 126 2 490 24 485 69 110 11 996 23 226 66 956 0 378 668
Jumlah 29 621 202 177 571 285 264 840 870 839 414 662 77 971 1 207 738 836 951 16 572 4 492 658 Keterangan : LB = Kabupaten Lampung Barat LU = Kabupaten Lampung Utara TGM = Kabupaten Tanggamus WK = Kabupaten Way Kanan LS = Kabupaten Lampung Selatan TB = Kabupaten Tulang Bawang LTM = Kabupaten Lampung Timur BL = Kabupaten Bandar Lampung LT = Kabupaten Lampung Tengah MT = Kota Metro
Lampiran 22. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung Tahun 2000 INDUSTRI LB(LQ) TGM(LQ) LS(LQ) LTM(LQ) LT(LQ) LU(LQ) WK(LQ) TB(LQ) BL(LQ) MT(LQ)
1 IBS 0.255189 0.083448 0.86647 0.09296 3.262216 0 8.519403 0 0 0 2 IKUD 0 0.05115 2.443101 0 0.063624 0 0 3.01717 0.055417 0 3 ITKT 0.450704 0.051584 0 3.694082 1.833231 1.4554 2.149513 0.62097 0.399195 0 4 IKKL 6.916336 0 1.878698 1.511679 0 0 0 0 2.940431 0 5 IML 2.149868 0.703016 0.729966 0 0 0 0 2.95E-06 4.189172 0 6 IPD 3.035317 6.480843 0.090936 0.975615 1.244984 1.383748 0 0.922498 0 1.159565 7 IGL 0.04789 0.070471 0.014634 0.015701 1.71137 1.762937 0 2.07841 0 0 8 IKP 2.501935 1.840822 1.592825 0 0 0 0 0 3.323999 0 9 IPKT 0.356332 0 0.21778 0.389411 0.248464 0 0 0 4.393267 0.11108
10 IMLN 2.049453 3.059517 2.269146 2.726601 0.155331 1.122187 0 0.460384 0.568246 6.48139 11 IMN 5.127584 5.030225 0 0 0 0 0 0 3.269934 13.32026 12 IKRT 0 0.082097 2.841483 0.12194 0.364706 2.297013 1.995595 0.288253 1.03771 0
Lampiran 23. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 INDUSTRI LB(LQ) TGM(LQ) LS(LQ) LTM(LQ) LT(LQ) LU(LQ) WK(LQ) TB(LQ) BL(LQ) MT(LQ)
1 IBS 0.2823651 0.092335 0.98021 0.102859217 3.609616 0 9.426652 0 0 0 2 IKUD 0 0.036655 1.78999 0 0.045594 0 0 2.806659 0.039713 0 3 ITKT 0.4619843 0.052875 0 3.786534278 1.879112 1.566416 2.20331 0.550827 0.409186 0 4 IKKL 7.4630797 0 2.07261 1.631178399 0 0 0 0 3.172875 0 5 IML 2.3339562 0.763214 0.81022 0 0 0 0 1.5E-06 4.54788 0 6 IPD 3.1326804 6.688727 0.09596 1.006909778 1.284919 1.428134 0 0.823923 0 1.19676 7 IGL 0.0486549 0.071597 0.0152 0.015951504 1.738719 1.79111 0 1.827367 0 0 8 IKP 2.7028861 1.988674 1.7593 0 0 0 0 0 3.590977 0 9 IPKT 0.3870548 0 0.24186 0.42298591 0.269886 0 0 0 4.772055 0.120657
10 IMLN 2.3845081 3.559702 1.61955 3.172359447 0.180726 1.305648 0 0.463544 0.661146 7.541 11 IMN 5.5827055 5.476705 0 0 0 0 0 0 3.560171 14.50256 12 IKRT 0 0.075091 3.72007 0.111533418 0.333581 1.977395 1.825287 0.228161 0.949149 0
Lampiran 24. Peta Rencana Sistem Pelayanan Perkotaan Provinsi Lampung Sumber : Bappeda Provinsi Lampung, 2006
Lampiran 25. Direktori Industri Sedang dan Besar Provinsi Lampung Tahun 2005 1. Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging Ikan, Buah-Buahan, Sayuran
No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama Tenaga Kerja Alamat
1 IKUD-LT PT. Great Giant Pineapple Coy (GGPC)
Nanas Kemasan 5576 Terbanggi Besar KM 7 Lampung Tengah
2 IKUD-LT PT. Tris Delta Agrindo Nenas Kaleng 150 Jl. Raya Trans Sumatera KM. 55-56 Lampung Tengah 3 IML-BL PT. Tunas Baru Lampung Minyak Goreng (KLP) 154 Jl. Yos Sudarso No.29 Panjang Bandar Lampung 35244 4 IML-LT PTPN VII (Persero)
BEKRI Minyak Sawit 863 Sinar Banten, Gn Sugih Lampung Tengah
5 IKUD-TB PT. Dipasena Citra Darmaja Udang Beku 10211 Desa Bumi Dipasena, Tulang Bawang 6 IKUD-LS PT. Keong Nusantara
Abadi Bekicot Olahan 1860 Desa Bumi Sari RK II Lampung Selatan
7 IML-BL CV. Sinar Laut Minyak Goreng (SWT) 93 Jl. Sukarno Hatta Km.6, Bandar Lampung 8 IKUD-TB PT. Central Pertiwi Bahari Udang Beku 2648 Adiwarna, Tulang Bawang 9 IBS-WK PT. Kencana Acilindo
Perkasa Nanas Kaleng 101 Pakuan Ratu, Way Kanan
10 IML-BL PT. Tunas Baru Lampung Miyak Goreng (SWT) 112 Jl. Yos Sudarso 29 Panjang Bandar Lampung
Lampiran 25. Lanjutan 2. Industri Penggilingan Padi-Padian, Tepung dan Makanan Ternak
No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama
Tenaga Kerja Alamat
1 ITKT-BL CV. Setia Utama Jagung Pipil (Sortasi) 55 Jl.Ir. Sutami Km. 14 No.22, Bandar Lampung 2 ITKT-
LTM PT. Inti Sumber Agung Lancar Tepung Tapioka 36 Desa Sumber Agung Lampung Timur 34181
3 IKP-BL Tri Panca Grup Kopi Biji (Sortasi) 252 Jl. Yos Sudarso No 41 Ketapang Bandar Lampung 35241 4 IKP-BL PT. Abdina Jaya Kopi Biji (Sortasi) 23 Jl. Ir. Sutami Km 4.5 Bandar Lampung 35241 5 ITKT-LT Tapioka Karya Kencana Tepung Tapioka 27 Desa Rantau Jaya Baru, Lampung Tengah 34157 6 ITKT-TB PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 392 Desa Penumangan Tulang Bawang 34593 7 IKP-BL CV. Antara Saudara Kopi Biji (Sortasi) 204 Jl. Soekarno Hatta No.3, Bandar Lampung 35241 8 IKP-BL PT. Sungai Budi Kopi Biji (Sortasi) 29 Jl. Yos Sudarso No. 29, Bandar Lampung 35241 9 ITKT-LT PT. Eka Inti Tapioka Murni Tepung Tapioka 54 Setia Bumi 7. Lampung Tengah 34156
10 ITKT-LTM
PT. Eka Inti Tapioka Tepung Tapioka 87 Ds I Sukaraja Nuban, Lampung Timur 34156
11 ITKT-LT PT. Eka Inti Tapioka Tepung Tapioka 41 Bumi Nabung Timur, Lampung Tengah 34157 12 ITKT-LT Tapioka Serba Jaya Tepung Tapioka 87 Dusun Gaya Baru II, Lampung Tengah 13 IMLN-BL CV. Mustika Kencana Coklat (Sortasi) 34 Jl. Kgs.Anang No.23, Bandar Lampung 35241 14 IKP-BL PT. Aneka Sumber Kencana Kopi Biji (Sortasi) 150 Jl. Ian Koki No.5,Bandar Lampung 15 ITKT-LT PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 300 Jl. Trans Sumatra Km.223, Lampung Utara 34564 16 IKP-BL PT. Aman Jaya Perdana Lada Hitam & Kopi
(Sortasi) 300 Jl.Ir. Sutami Km. 7 Bandar Lampung 35121
18 IKKL-BL PT. Sari Segar Husuda Tepung kelapa 600 JL. Raya Bakauhuni Km.16 Lampung Selatan 35453 19 ITKT-TB PT. Wira Kencana Adiperdana Tepung Tapioka 111 Jl. Raya Unit II Banjar Agung,Tulang Bawang 34596 20 ITKT-TB Bumi Sakti Perdana Laujaya Tepung Tapioka 23 Desa Sukajaya, Tulang Bawang 34593
Lampiran 25. Lanjutan
No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama
Tenaga Kerja
Alamat
21 ITKT-TB PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 236 Desa Kibang Yekti Unit VI, Tulang Bawang 34596 22 IPKT-BL PT. Sierad Produce, Tbk Pakan Ternak 222 Jl.Ir.Sutami Km.12, Lampung Selatan 35361 23 ITKT-LT PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 456 Desa Gunung Batin Udik, lampung Tengah 34163 24 ITKT-LU PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 399 Desa Gedung Ketapang,Lampung Utara 34554
25 IKP-BL PT. Istana Lampung Jaya Megah Sortasi Lada 27 Jl.M. Salim No. 26 Way Lunik, Bandar lampung
26 ITKT-TB PT. Bumi Jaya Murni Tepung Tapioka 27 Desa Jaya Murni, Tulang Bawang 34593 27 ITKT-WK Gunung Sugih Agung Tepung Tapioka 25 Serupa indah, Way Kanan 28 ITKT-TB PT. Teguh Wibawa Bhakti Tepung Tapioka 138 Desa Banjar Agung, Tulang Bawang 29 ITKT-TB PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 483 Desa Bujuk Agung, Tulang Bawang 30 ITKT-LT Tapioka Sangga Buana Tepung Tapioka 39 Desa Sangga Buana, Lampung Tengah 34156 31 ITKT-TB PT. Sinar Pematang Mulia Tepung Tapioka 111 Desa Rejomulyo, Tulang Bawang 32 ITKT-LT CV. Sinar Bintang Tepung Tapioka 67 Desa Bumi Raharjo, Lampung Tengah 34161 33 ITKT-LT Tapioka Bangun Tepung Tapioka 50 Desa Buyut Ilir, Lampung Tengah 34161 35 ITKT-LT PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 384 Desa Terbanggi Besar, Lampung Tengah 34163 36 ITKT-LT Tapioka Gunung Intan Tepung Tapioka 37 Desa Rukti Basuki, Lampung tengah 34157 37 ITKT-LT PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 439 Desa Buyut Ilir, Lampung Tengah 34161 38 ITKT-LT Tapioka Gayatri Tepung Tapioka 29 Ds. IV Reno Basuki Lampung Teangah 39 ITKT-LT Tapioka Sidokerto Tepung Tapioka 43 Desa Sidokerto, Lampung Tengah 34161 40 ITKT-BL Sagu Aren Nasional Tepung Sagu 84 Jl. Imam Bonjol Gg. Ruyung, No.10 Bandar lampung 35145 41 ITKT-LT Tapioka Bangun Tepung Tapioka 27 Desa Gaya Baru I, Lampung Tengah 34158 42 ITKT-LT Tapioka Gaya Baru III Tepung Tapioka 23 Dsn. Gaya Baru III, Lampung tengah 34158 43 IKP-BL CV. Maja Raya Kopi Biji (Sortasi) 20 Jl. Kgs.Hi.Anang No.36, Bandar Lampung 44 ITKT-LT PT. Budi Sanwa Starch Sagu Halus 126 Ds. Buyut Ilir,Lampung Tengah 34161 45 ITKT-LU Lpmd Tapioka 154 Jl. Raya Trans Sumatra Km.19, Simpang Perungung, Lampng
Utara 34501
Lampiran 25. Lanjutan
No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama Tenaga Kerja
Alamat
46 IKP-BL PT. Lembah Gunung Kopi Biji (Sortasi) 20 JL. Soekarno Hatta No.12, Bandar Lampung 35241 47 IPD-LTM Beras Sri Rejeki Beras 24 Persil 2 Desa Raman Aji, Lampung Timur 34154 48 ITKT-LT Pabrik Sagu Gaya Baru IV Sagu kasar 29 Desa Gaya Baru IV, Lampung Tengah 34158 49 IPD-TG Beras Kurnia Jaya Beras 23 Desa Margodadi, Tanggamus 35373 50 IKP-BL CV. Bali Kencana Kopi Biji (Sortasi) 25 Jl. Yos Sudarso No.275 Bumi Waras, Bandar Lamping
35226 51 ITKT-LT Tapioka Santosa/Bumi Nabung Tepung Tapioka 25 Ds. Bumi Nabung Ilir, Lampung Tengah 34157 52 IPD-LT Beras Jaya Makmur Beras 21 Desa Bangun Rejo, Lampung Tengah 34161 53 IPKT-BL PT. Sinar Mutiara Agro Kencana Jagung Pipil (Sortasi) 64 Jl.Ir.Sutami No.36, Bandar Lampung 54 ITKT-LTM PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 300 Ds. Labuhan Ratu, Lampung Timur 34196 55 ITKT-LT Tapioka Siswo Bangun XVI Tepung Tapioka 39 Desa Siswo Bangun, Lampung Tengah 34156 56 IPKT-BL PT. Vistagrain Corporation Pakan Ternak 112 Jl. Yos Sudarso No.257, Bandar Lampung 35227 57 IPKT-BL PT. Jaka Utama Kratfutter Pakan Ternak 20 Jl. Raya Kalianda Km.12, Bandar Lampung 35241 58 IPD-LT Beras Bubur Jaya/Atun Beras 23 Desa untoro Dusun II, Lampung Tengah 59 IKP-LS PT. Indra Brothers Kopi Biji (Sortasi) 182 JL. Raya Bakauhuni Km.16 Lampung Selatan 35453 60 IPKT-BL PT. Japfa Kompeed Indonesia Pakan Ternak 147 Jl. Raya Ir. Sutami Km.18, 2 Lampung Selatan 61 IPKT-BL PT. Sentra Profeed Intermitra Pakan Ternak 71 Jl. Soekarno Hatta Km.8,5 Bandar Lampung 35121
62 IPKT-BL PT. Sumber Mustika Pengeringan Jagung (Sortasi) 53 Jl. Ir. Sutami, Bandar Lampung 35241
63 IPD-LT Beras Maju Jaya Beras 26 Trimurjo No.10 Lk 3, Lampung Tengah 34172 64 ITKT-LT PT. Budi Acid Jaya Tepung Tapioka 320 Desa Gunung Agung Km 87. Lampung Tengah 34163 65 IPKT-BL PT. Indonesian Peleting CO. Ltd Pakan Sapi 38 Jl. Ir. Sutami Km 18,2 Lampung Selatan 35361
Lampiran 25. Lanjutan
No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama
Tenaga Kerja
Alamat
67 IKP-BL PT. Putra Bali Adyamulya Kopi Biji (Sortasi) 41 Jl Jend Gatot Subroto No 79 Bandar Lampung 35226 68 ITKT-LTM Aci Way Raman Tepung Tapioka 24 Desa Raman Endra, Lampung Timur 34154 69 ITKT-LTM CV. Sukabumi Tepung Tapioka 33 Jl. Batang Hari, Lampung Timur 34191 70 ITKT-LT PT. Wiratapioka Mandiri Tepung Tapioka 106 Rumbia Lampung Tengah 71 ITKT-LTM PT. Umas Jaya Agro Tama Tepung Tapioka 212 Jl. Raya Panjang-Sribahwono Km 36, Lampung Timur 72 IPD-TG Rukun Beras 23 Kp. Waluyojati, Tanggamus 73 ITKT-TB PT. Bumi Tapioka Jaya Tapioka 80 Ds. Karta, Tulang Bawang 74 ITKT-LTM Wirakencana Adiperdana Industri Tapioka 103 Kedaton Buring, Lampung Timur 75 ITKT-TB Pa.Menggala " C " Tapioka 32 Desa Suka Jaya, Tulang Bawang
3. Industri Makanan Lainnya
No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama
Tenaga Kerja
Alamat
1 IMN-LTM PT. Indomiwon Citra Inti Micin 638 Gunung Pasir. Jaya, Lampung Timur 2 IMLN-LT PT.Vewong Budi Indonesia Penyedap Masakan 364 Jl. Raya Gunung Sugih Kota Gajah, Lampung tengah 486122 3 IMLN-TG Sinar Mustika Jaya Kerupuk (Chiki) 149 Jl. Baru Kodomoro, Tanggamus 35373 4 IGL-TB PT. Indo Lampung Perkasa Gula Putih 4765 Jl. Lintas Timur Km. 108 Tulang Bawang 5 IMLN-LS Bihun Sumber Alam Bihun 20 Desa Suka Raja Lampung Selatan 35371 6 IMLN-LS CV. Pelita Jaya Kerupuk Chiki 56 Candi Mas, Lampung Selatan 7 IMLN-LT Suhun Komsrudin Ali Suhun 32 Desa Gunung Sugih Pasar, Lampung Tengah 34161
Lampiran 25. Lanjutan
No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama
Tenaga Kerja
Alamat
8 IMLN-MT Bihun Mudah Harapan Bihun 20 Jl. Tiram No. 3 15 A, Metro 34111 9 IMLN-LS Roti Mitra Agung, UD Roti 38 Desa Candi Mas, Lampung Selatan 35362
10 IMLN-LS Roti Maju Jaya Roti 51 Sukarame, Lampung Selatan 35362 11 IMLN-LS PT. Indofood Sukses Makmur Tbk Mie Instan 205 Jl.Ir. Sutami Km 15, Tanjung Bintang, Lampung Selatan 12 IMLN-BL Keripik Pisang Suseno Keripik Pisang 20 Jl. Hayam Wuruk, Bandar Lampung 35211 13 IMLN-MT Roti Agogo Roti 125 Jl. Imam Bonjol No. 35, Metro 34113 14 IMLN-MT Roti Ak.100 Roti 63 Jl. Sere 21 C, Metro 34112 15 IMLN-MT Roti Sagon Monas Roti 23 Jl. Imam Bonjol No. 56/57 Metro 47927 16 IKP-BL PT. Nestle Beverages Indonesia Coffe Instan 224 Jl. Raya Kalianda Km. 12 Bandar Lampung 35241 17 IKP-BL PT. Elyana & Co Kopi Biji (Sortasi) 50 Jl. Prof. Dr.Ir.Sutami Km.7 Bandar Lampung 35241 18 IMLN-TG Kue Ratimin Roti 50 Ds.Pringkumpul, Pringsewu No. 1340, Tanggamus 35373 19 IMLN-LS Sinar Surya Keriupuk 30 Desa Bumi Sari, Lampung Selatan, 20 IMLN-TG Roti Semanis Madu Roti 20 Jl.Kh.Dewantoro No.68, Pringsewo, Tanggamus 35373 21 IMLN-LS PT. Air Jadi Es Balok 29 Jl Raya Natar Km 16 Po Box 77, Lampung Selatan 35362 22 IMLN-MT PT. Metro Abadi Makmur Es Balok 31 Jl. Imam Bonjol Banjar Km. 68, Metro 34117 23 IMLN-LT PT. Iglo Mekar Es Balok 20 Jalan Negara Km.68, Lampung Tengah 34163 24 IGL-LT PT. Gunung Madu Plantations Gula Pasir 569 Km 90 Ds Gunung Batin Baru Lamping Tengah 34163 25 IMLN-
LTM PT. Air Kuala Es Balok 31 Desa Tulung Patik Lampung Timur 34199
26 IMLN-LS PT. Air Kali Urang Es Balok 31 Jl. Raya Trans Sumatra, Lampung Selatan 35551
27 IGL-LU PTPN. VII ( P ) Bunga Mayang Gula Pasir 1495 Desa Negara Tulang Bawang Tungkai Selatan Po Box 125, Lampung Utara 34554
28 IMLN-LT PT. Batu Salju Bening Es Balok 20 Jl. Raya Punggur, Lampung Tengah 34152 29 IGL-LT PT. Gula Putih Mataram Gula Pasir 4018 Desa Mataram Udik, Lampung Tengah 34164 30 IMLN-LS Kecap Kawan Setia Kecap 35 Desa Negri Sakit, Lampung Selatan
Lampiran 25. Lanjutan
No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama
Tenaga Kerja
Alamat
31 IGL-TB PT. Sweet Indo Lampung Gula Pasir 368 Desa Astra Kesetra, Tulang Bawang 32 IMLN-BL Cv. Jaya Raya Abadi Kecap (Kg) 26 Jl. Pagar Alam No. 181 Bandar Lampung
33 IMLN-BL Permen Timur Jaya Permen 22 Jl. Merauke No. 84 Teluk Betung selatan, Bandar Lampung 35226
34 IMLN-BL PD. Andalas Mekar Sentosa Keripik Pisang 52 Jl. Imam Bonjol Gg.Kelana No. 24 Bandar Lampung 35154
35 IMLN-LT PT. Budi British Bahan Pangan Glukosa Dari Tapioka 98 Desa Gunung Batik Udik, Lampung Tengah 34163
36 IMLN-LS Cv. L. Brana Kerupuk 25 Candi Mas I No. 314 Km.25, Lampung Selatan 35362 37 IMLN-LS Kerupuk Sinar Palembang Kerupuk 58 Batu Ceper Km. 27, Lampung Selatan 35362 38 IMLN-LT Kerupuk Dua Saudara Kerupuk 40 Desa Seputih Jaya, Lampung Tengah 34161 39 IMLN-LS PD. Mitra Perkasa Kerupuk Chiki 56 Desa Candi Mas, Lampung Selatan 40 IMLN-LS Kerupuk Sinar Pagi Kerupuk 20 Desa Candi Mas, Lampung Selatan 41 IMLN-LU Pilus Cap Dua Anak Kerupuk (Pilus) 23 Jl.A Akuan Gg. Cempaka No. 414, Lampung Utara 34511 42 IMLN-LU Kerupuk Pada Suka Kerupuk 23 Jl. Cemara No. 65, Lampung Utara 34511 43 IMLN-MT Roti Mawar Roti 202 Jl. Jendral Sudirman No. 193, Metro 44 IMLN-LS Kerupuk Bintang Tiga Kerupuk (Chiki) 55 Desa Candi Mas, Lampung Selatan 35362 45 IMLN-LS Chiki Jempol Jaya Kerupuk (Chiki) 62 Desa Tanjung Sari, Lampung Selatan 46 IMLN-LS Kerupuk Rubi Makmur Sakti Kerupuk (Chiki) 20 Desa Bumisari, Lampung Selatan, 47 IMLN-LS Chiki Bumi Jaya Kerupuk (Chiki) 86 Desa Bumi Sari, Lampung Selatan,
Lampiran 25. Lanjutan 4. Industri Minuman No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama Tenaga
Kerja Alamat
1 IMN-BL PT. Tirta Investama Air Mineral (Aqua) 126 Jl.Kh.A. Dahlan No. 202, Bandar Lampung 35211 2 IMN-BL Umum Sumatra Limun 30 Jl. Selat Malaka I No. 12, Bandar Lampung 3 IMN-BL PT. Sari Segar Husada Minuman Sari Kelap 30 Jl.Kh. Agus Anang No. 31, Bandar Lampung 4 IMN-BL PT. Multilamindo Abadi Lestari Air Mineral (Amila) 28 Jl. Pagar Alam Gg. Landak, Bandar Lampung
5 IMN-TG PD. Sarialam Marisa Limun 25 Jl. Melati Ii No. 25 Pringimbo Pringsewu, Tanggamus 35373
6 IMN-BL Limun Metro Limun 25 Jl. Lembang No.1 Bandar Lampung 7 IMN-BL PT. Coca Cola Panjava Bottling Co Minuman Ringan 207 Jl. Raya Sri Bowono Km. 13,5 Lampung Selatan 35361 8 IMN-TG Limun Metro Jaya "Cap Panda" Limun 22 Jl.Kh.Gholib, Pringsewu, Tanggamus 35373 9 IMN-BL PT. Tri Jaya Tirta Darma Ari Minum Kemasan 112 Jl. Saleh Raja Kasuma Yudi, Bandar Lampung
5. Industri Karet dan Bahan dari Karet No Kode Nama Perusahaan Jenis Produksi Utama Tenaga
Kerja Alamat
1 IKRT-WK PTPN.VII (P) Tulang Buyut Karet Remah (SIR) 667 Desa Kali Papan, Way Kanan 2 IKRT-LS PTPN.VII (P) Kedaton
(Way Galih) Karet Remah (SIR) 170 Desa Way Galih, Tromol Poe No. 70, Lampung Selatan
35361 3 IKRT-LS PTPN.VII (P) Way Berlulu Karet Remah (SIR) 750 Desa Kebagusan Gd. Tataan, Lampung Selatan 4 IKRT-BL PT. Garuntang Karet Remah (SIR) 227 Jl. Udang No. 279 Bumi Waras, Bandar Lampung 5 IKRT-BL PT. Way Kandis Karet Remah (SIR) 129 Jl.Hi.Komarudin No. 9, Bandar Lampung 35144 6 IKRT-LU PT. Nakau Pengolahan Karet (RSS) 410 Ds Candi Mas, Po Box 102 Kotabumi, Lampung Utara 7 IKRT-BL PT. Gunung Putra Surya Vulkanishir Ban 72 Jl.Hm. Salim No. 52a, Bandar Lampung 8 IKRT-TB PD. Sinar Jaya Karet Remah (SIR) 64 Desa Penumangan Baru, Tulang Bawang 9 IKRT-LS PTPN.VII (P) Kebun Rejosari Karet Remah (SIR) 288 Jl. Raya No. 71 A (Pewa, Kebon Rejo sari) 10 IKRT-TB PT. Humah Indah Mekar Karet Asap 143 Desa Panumargah Tulang Bawang 34543
Lampiran 26. Tingkat Pendidikan Pekerja Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 1997
No Kode Industri
Jumlah Perusa-
haan (buah)
Jumlah Pekerja (jiwa)
TT SD
(jiwa)
SD (jiwa)
SMP (jiwa)
SMA (jiwa)
D3/SM (jiwa)
S1 (jiwa)
S2 (jiwa)
S3 (jiwa)
1. Ind. Buah & Sayur 4 2 748 15 226 397 1 868 101 140 1 0 2. Ind. Pengolahan Ikan
dan Udang 3 11 260 138 727 2 723 5 885 996 597 68 1 3 Industri Minyak dan
Lemak 4 1 338 2 812 184 314 11 15 0 0 4. Industri Padi 9 389 24 106 75 166 6 7 1 0 5. Ind. Kopra/ Kelapa 58 1 404 27 536 318 486 21 12 1 0 6. Ind. Gula 4 4 453 0 427 678 2 935 213 199 1 0 7. Ind. Tapioka &
Tepung 43 3 700 455 1 104 920 974 74 36 0 0
8. Ind. Kopi 12 973 19 279 151 470 22 29 1 0 9. Ind. Peng. Mkn
Lainnya 41 2 065 56 717 483 717 11 15 0 0
10. Ind. Pakan Ternak 7 697 58 196 72 169 2 9 0 0 11. Ind. Minuman 10 748 14 112 141 437 18 0 0 0 12. Industri Karet 12 4 100 162 2 484 749 563 10 42 0 0 Total 147 33 508 1 461 9 472 9 465 19 322 1 724 1 379 77 1 Persentase 3.358 21.771 21.755 44.410 3.962 3.170 0.177 0.002
Lampiran 27. Hasil Estimasi Model dan Statistik t Tabel IBS Industri Buah dan Sayur Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef -20.2814 0.0264 0.5744 0.2858 0.1293 0.024 4.522Sb 8.93453 0.01195 0.1094 0.1387 0.068 0.0112 1.4494Thit -2.27 2.21 5.25 2.06 1.9 2.15 3.12Kpts 1 %
N N Y N N N Y
Kpts 5 %
Y Y Y Y Y Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
IKUD Industri Pengolahan Ikan dan Udang Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef -29.8748 0.2866 0.7815 -0.024 -0.1489 0.0496 7.1304Sb 10.2918 0.176 0.1223 0.0134 0.0902 0.0212 2.2144Thit -2.9 2.63 4.75 -1.81 -1.65 2.34 3.22Kpts 1 %
N Y N N N Y
Kpts 5 %
Y Y Y N Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y
ITKT Industri Tapioka dan Tepung Lain Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef 22.2933 0.0415 0.5903 0.2923 0.1275 0.096 4.201Sb 11.20266 0.01781 0.124274 0.1372 0.0817 0.0478 1.0912Thit 1.99 2.33 4.75 2.13 1.56 2.01 3.85Kpts 1 %
N N Y N N N Y
Kpts 5 %
Y Y Y Y N Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
Lampiran 27. Lanjutan
IKKL Industri Kopra/ Kelapa Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef 35.9702 -0.0472 0.2911 0.3863 0.1044 -0.084 -7.670Sb 13.7291 0.0254 0.0558 0.1961 0.0746 0.0457 0.6039Thit 2.62 -1.86 5.22 1.97 1.4 -1.83 -12.7Kpts 1 %
N N Y N N N N
Kpts 5 %
Y Y Y N N Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
IML Industri Minyak/ Lemak Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef -13.5935 0.016 0.4112 0.0323 0.0922 0.0573 3.1878Sb 7.347838 0.00751 0.107 0.0141 0.0452 0.0318 1.5626Thit -1.85 2.13 6.64 2.29 2.04 1.8 2.04Kpts 1 %
N Y N N N N
Kpts 5 %
Y Y Y Y Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y
IPD Industri Padi Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef -20.5896 -0.2296 0.614 0.0629 -0.165 1.742 4.6547Sb 11.19 0.12084 0.15049 0.0446 0.0876 0.9416 1.6332Thit -1.84 -1.9 4.08 1.41 -1.88 1.85 2.85Kpts 1 %
N N Y N N N N
Kpts 5 %
Y Y Y N Y Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
Lampiran 27. Lanjutan IGL Industri Gula Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef -231.471 -0.7332 -1.1695 1.4841 1.4748 2.163 60.418Sb 110.5295 0.312 0.71311 -0.613 0.7972 1.1692 18.999Thit -2.09 -2.35 -1.64 -2.42 1.85 1.85 3.18Kpts 1 %
N N N N N N Y
Kpts 5 %
Y Y N Y N N Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
IKP Industri Kopi Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef -1.5964 -0.0178 0.3262 0.6219 0.0275 0.6677 1.916Sb 0.7787 0.0093 0.1623 0.3173 0.0126 0.3649 0.9438Thit -2.05 -1.92 2.01 1.96 2.19 1.83 2.03Kpts 1 %
N N N N N N N
Kpts 5 %
Y Y Y Y Y Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
IPKT Industri Pakan Ternak Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef 1.9654 -0.0802 0.5267 0.57 0.0501 -0.271 0.2217Sb 0.704444 0.04774 0.1593 0.2549 0.0202 0.1419 0.0729Thit 2.79 -1.68 3.31 2.24 2.48 -1.91 3.04Kpts 1 %
N N Y N N N N
Kpts 5 %
Y N Y Y Y Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
Lampiran 27. Lanjutan IMLN Industri Makanan Lainnya Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef -12.0682 -0.0996 0.9245 -0.121 -0.0136 0.199 3.7155Sb 4.388436 0.04116 0.201856 0.0738 0.0061 0.1301 1.2426Thit -2.75 -2.42 4.58 -1.64 -2.22 1.53 2.99Kpts 1 %
N N Y N N N Y
Kpts 5 %
Y Y Y Y Y N Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
IMN Industri Minuman Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef 42.891 0.0105 0.2874 0.3966 0.0541 0.0658 -8.534Sb 19.4571 0.00438 0.154516 0.1638 0.2953 0.0323 3.8269Thit 2.2 2.4 1.86 2.42 1.88 2.04 -2.23Kpts 1 %
N N N N N N N
Kpts 5 %
Y Y N Y Y Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
IKRT Industri Pengolahan Karet Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB koef 29.3402 -0.092 -0.00285 0.2382 0.73 -0.048 4.212Sb 7.3692 0.0431 0.001939 0.1498 0.0862 0.0262 1.381Thit 3.98 -2.13 -1.47 1.59 8.47 -1.83 3.05Kpts 1 %
Y N N N Y N N
Kpts 5 %
Y Y N N Y Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
Lampiran 27. Lanjutan FUNGSI GABUNGAN KPT BBK UTK ENG PLK PUB AGL koef 0.0226 0.75102 0.13241 0.05274 0.02185 0.06357 0.14668Sb 0.01102 0.02876 0.03828 0.02054 0.00916 0.03045 0.06835Thit 2.04988 26.1059 3.45853 2.56739 2.38415 2.08768 2.14576Kpts 1 %
N Y Y N N N N
Kpts 5 %
Y Y Y Y Y Y Y
Kpts 10 %
Y Y Y Y Y Y Y
Keterangan : Taraf nyata t tabel 1 % =3.10; 5 % =1.796; 10 % =1.363 Y = hasil pengujian nyata (tolak H0) N = hasil pengujian tidak nyata (terima H0) KPT = Kapital BBK = Bahan Baku UTK = Upah Tenaga Kerja ENG = Energi PLK = Penghematan Lokasi PUB = Penghematan Urbanisasi AGL = Aglomerasi
Lampiran 28. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005
(%) DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL
PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI EKSPOR No. SEKTOR P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
1 Tanaman Pangan 16.671 17.777 4.198 6.010 16.671 18.559 4.198 14.549 18.559 4.198 2 Tanaman Perkebunan 10.545 9.132 26.492 3.005 10.545 8.280 26.492 11.164 8.280 26.492 3 Peternakan 3.017 3.146 1.561 2.225 3.017 3.138 1.561 2.516 3.138 1.561 4 Kehutanan 0.070 0.070 0.069 0.490 0.070 0.070 0.069 0.068 0.070 0.069 5 Perikanan 3.906 4.154 1.098 1.618 3.906 4.147 1.098 5.443 4.147 1.098 6 Pertambangan dan Penggalian 0.366 0.372 0.301 5.175 0.366 0.369 0.301 0.395 0.369 0.301 7 Industri Buah dan Sayur 1.895 2.055 0.084 0.122 1.895 2.052 0.084 3.307 2.052 0.084 8 Industri Ikan dan Udang 4.494 4.882 0.115 0.168 4.494 4.875 0.115 6.877 4.875 0.115 9 Industri Tapioka & Tepung Lain 6.279 6.712 1.388 1.996 6.279 6.687 1.388 4.532 6.687 1.388 10 Industri Kopra/ Kelapa 1.447 0.311 14.265 0.201 1.447 0.504 14.265 0.828 0.504 14.265 11 Industri Minyak/ Lemak 2.556 0.669 23.848 0.711 2.556 0.675 23.848 2.277 0.675 23.848 12 Industri Padi 7.551 8.029 2.156 3.104 7.551 7.999 2.156 3.191 7.999 2.156 13 Industri Gula 4.907 5.270 0.814 0.835 4.907 5.204 0.814 3.877 5.204 0.814 14 Industri Kopi 3.530 3.829 0.156 0.209 3.530 3.824 0.156 5.970 3.824 0.156 15 Industri Pakan Ternak 2.731 2.948 0.286 0.409 2.731 7.163 0.286 3.110 7.163 0.286 16 Industri Makanan Lainnya 7.268 7.818 1.060 1.518 7.268 3.530 1.060 8.560 3.530 1.060 17 Industri Minuman 0.217 0.065 1.926 0.095 0.217 0.065 1.926 0.104 0.065 1.926 18 Industri Pengolahan Karet 2.427 2.591 0.573 1.713 2.427 2.588 0.573 2.212 2.588 0.573 19 Industri Lainnya 0.809 0.813 0.757 6.237 0.809 0.814 0.757 0.784 0.814 0.757 20 Listrik, Gas dan Air Minum 0.492 0.493 0.482 0.743 0.492 0.494 0.482 0.499 0.494 0.482
Lampiran 28. Lanjutan.
(%) DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL
PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI EKSPOR No. SEKTOR P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
21 Bangunan/Konstruksi 0.755 0.740 0.929 34.852 0.755 0.725 0.929 0.790 0.725 0.929 22 Perdagangan, Hotel &Restoran 10.290 10.316 10.002 15.730 10.290 10.437 10.002 10.783 10.437 10.002 23 Transportasi dan Komunikasi 3.953 3.983 3.617 5.040 3.953 3.992 3.617 4.298 3.992 3.617 24 Lembaga keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 2.563 2.573 2.444 5.863 2.563 2.563 2.444 2.599 2.563 2.444
25 Pemerintahan Umum 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 26 Jasa-jasa dan Lainnya 1.262 1.252 1.378 1.931 1.262 1.244 1.378 1.266 1.244 1.378 Total Dampak 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Persentase Perubahan dari nilai dasar (Rp 77 947 008 juta) 5.465 5.636 5.450 5.561 4.121 4.251 4.115 9.870 10.039 9.719
Lampiran 29. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2005
(%)
DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI EKSPOR No. SEKTOR P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
1 Tanaman Pangan 25.054 26.708 6.328 6.334 25.054 28.043 6.328 21.954 28.043 6.328 2 Tanaman Perkebunan 18.916 16.377 47.665 3.780 18.916 14.934 47.665 20.108 14.934 47.665 3 Peternakan 4.397 4.584 2.281 2.273 4.397 4.597 2.281 3.682 4.597 2.281 4 Kehutanan 0.100 0.100 0.100 0.494 0.100 0.101 0.100 0.099 0.101 0.100 5 Perikanan 6.346 6.748 1.790 1.844 6.346 6.775 1.790 8.880 6.775 1.790 6 Pertambangan dan Penggalian 0.779 0.791 0.642 7.724 0.779 0.790 0.642 0.844 0.790 0.642 7 Industri Buah dan Sayur 0.397 0.430 0.018 0.018 0.397 0.432 0.018 0.695 0.432 0.018 8 Industri Peng. Ikan & Udang 0.405 0.440 0.010 0.011 0.405 0.442 0.010 0.622 0.442 0.010 9 Industri Tapioka dan Tepung
Lain 3.982 4.256 0.883 0.888 3.982 4.264 0.883 2.886 4.264 0.883 10 Industri Kopra/ Kelapa 0.577 0.124 5.705 0.056 0.577 0.202 5.705 0.332 0.202 5.705 11 Industri Minyak/ Lemak 0.171 0.045 1.602 0.033 0.171 0.045 1.602 0.153 0.045 1.602 12 Industri Padi 0.634 0.674 0.182 0.183 0.634 0.676 0.182 0.269 0.676 0.182 13 Industri Gula 4.607 4.946 0.766 0.550 4.607 4.912 0.766 3.655 4.912 0.766 14 Industri Kopi 0.659 0.714 0.029 0.027 0.659 0.717 0.029 1.119 0.717 0.029 15 Industri Pakan Ternak 0.271 0.292 0.028 0.028 0.271 0.714 0.028 0.310 0.714 0.028 16 Industri Makanan Lainnya 1.244 1.337 0.182 0.182 1.244 0.607 0.182 1.471 0.607 0.182 17 Industri Minuman 0.131 0.039 1.171 0.040 0.131 0.040 1.171 0.063 0.040 1.171 18 Industri Pengolahan Karet 0.340 0.363 0.080 0.168 0.340 0.364 0.080 0.311 0.364 0.080 19 Industri Lainnya 0.641 0.644 0.602 3.465 0.641 0.648 0.602 0.624 0.648 0.602 20 Listrik, Gas dan Air Minum 0.372 0.372 0.365 0.394 0.372 0.376 0.365 0.379 0.376 0.365
Lampiran 29. Lanjutan.
(%) DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA
PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI EKSPOR No. SEKTOR P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
21 Bangunan/Konstruksi 1.251 1.225 1.543 40.479 1.251 1.207 1.543 1.315 1.207 1.543 22 Perdagangan, Hotel & Restoran 14.995 15.028 14.619 16.075 14.995 15.292 14.619 15.778 15.292 14.619 23 Transportasi dan Komunikasi 7.028 7.079 6.449 6.283 7.028 7.136 6.449 7.671 7.136 6.449 24 Lembaga keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 2.779 2.789 2.658 4.459 2.779 2.795 2.658 2.830 2.795 2.658 25 Pemerintahan Umum 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 26 Jasa-jasa dan Lainnya 3.925 3.892 4.300 4.213 3.925 3.891 4.300 3.953 3.891 4.300 Total Dampak 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Persentase Perubahan dari nilai dasar (Rp 15 131 408 juta) 3.064 3.056 3.151 4.446 2.310 2.295 2.376 5.511 5.611 5.420
Lampiran 30. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Tahun 2005
(%)
DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA Pengeluaran Pemerintah Investasi Ekspor No. SEKTOR
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 1 Tanaman Pangan 35.829 8.793 8.793 19.347 35.829 40.240 8.793 31.516 40.240 8.793 2 Tanaman Perkebunan 27.051 66.225 66.225 11.547 27.051 21.430 66.225 28.866 21.430 66.225 3 Peternakan 6.288 3.170 3.170 6.944 6.288 6.596 3.170 5.285 6.596 3.170 4 Kehutanan 0.143 0.139 0.139 1.508 0.143 0.144 0.139 0.141 0.144 0.139 5 Perikanan 9.075 2.487 2.487 5.633 9.075 9.721 2.487 12.748 9.721 2.487 6 Pertambangan dan Penggalian 0.071 0.057 0.057 1.498 0.071 0.072 0.057 0.077 0.072 0.057 7 Industri Buah dan Sayur 0.240 0.010 0.010 0.023 0.240 0.262 0.010 0.422 0.262 0.010 8 Industri Ikan dan Udang 0.245 0.006 0.006 0.014 0.245 0.268 0.006 0.377 0.268 0.006 9 Industri Tapioka & Tepung Lain 2.406 0.518 0.518 1.146 2.406 2.586 0.518 1.750 2.586 0.518 10 Industri Kopra/ Kelapa 0.349 3.349 3.349 0.073 0.349 0.123 3.349 0.201 0.123 3.349 11 Industri Minyak/ Lemak 0.103 0.940 0.940 0.043 0.103 0.028 0.940 0.093 0.028 0.940 12 Industri Padi 0.383 0.107 0.107 0.236 0.383 0.410 0.107 0.163 0.410 0.107 13 Industri Gula 2.784 0.450 0.450 0.710 2.784 2.979 0.450 2.217 2.979 0.450 14 Industri Kopi 0.398 0.017 0.017 0.035 0.398 0.435 0.017 0.679 0.435 0.017 15 Industri Pakan Ternak 0.164 0.017 0.017 0.037 0.164 0.433 0.017 0.188 0.433 0.017 16 Industri Makanan Lainnya 0.752 0.107 0.107 0.235 0.752 0.368 0.107 0.892 0.368 0.107 17 Industri Minuman 0.079 0.688 0.688 0.052 0.079 0.024 0.688 0.038 0.024 0.688 18 Industri Pengolahan Karet 0.205 0.047 0.047 0.217 0.205 0.221 0.047 0.189 0.221 0.047 19 Industri Lainnya 0.387 0.353 0.353 4.472 0.387 0.393 0.353 0.378 0.393 0.353 20 Listrik, Gas dan Air Minum 0.056 0.054 0.054 0.127 0.056 0.057 0.054 0.058 0.057 0.054
Lampiran 30. Lanjutan.
(%)
DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI EKSPOR No. SEKTOR
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 21 Bangunan/Konstruksi 0.256 0.306 0.306 17.679 0.256 0.248 0.306 0.270 0.248 0.306 22 Perdagangan, Hotel &Restoran 8.219 7.785 7.785 18.820 8.219 8.411 7.785 8.682 8.411 7.785 23 Transportasi dan Komunikasi 2.392 2.133 2.133 4.568 2.392 2.437 2.133 2.621 2.437 2.133 24 Lembaga keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 0.145 0.135 0.135 0.496 0.145 0.146 0.135 0.148 0.146 0.135 25 Pemerintahan Umum 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 26 Jasa-jasa dan Lainnya 1.980 2.108 2.108 4.540 1.980 1.970 2.108 2.002 1.970 2.108 Total Dampak 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Persentase Perubahan dari nilai dasar (4 121 960 orang) 5.745 6.080 5.716 3.903 4.332 4.585 4.288 10.294 10.829 10.127
Lampiran 31. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005
(%) DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL
KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI No. SEKTOR
P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 1 Tanaman Pangan 16.6713 15.3054 15.1742 15.5947 18.5591 4.1983 15.6002 5.9342 2 Tanaman Perkebunan 10.5450 10.9434 10.9817 10.8590 8.2801 26.4917 10.6076 6.7942 3 Peternakan 3.0174 2.6948 2.6638 2.7631 3.1375 1.5609 4.7569 5.0709 4 Kehutanan 0.0697 0.0688 0.0687 0.0690 0.0697 0.0693 0.0688 0.0602 5 Perikanan 3.9055 4.8950 4.9901 4.6854 4.1467 1.0981 1.1582 11.6432 6 Pertambangan dan Penggalian 0.3661 0.3848 0.3866 0.3809 0.3693 0.3008 0.3422 0.5735 7 Industri Buah dan Sayur 1.8946 2.8034 2.8907 2.6109 2.0520 0.0842 0.0883 0.0890 8 Industri Ikan dan Udang 4.4939 6.0281 6.1754 5.7031 4.8754 0.1153 0.1204 16.4855 9 Industri Tapioka & Tepung Lain 6.2791 5.1543 5.0463 5.3925 6.6872 1.3879 12.0815 13.1519 10 Industri Kopra/ Kelapa 1.4472 1.0488 1.0106 1.1332 0.5045 14.2652 0.2632 0.2301 11 Industri Minyak/ Lemak 2.5555 2.3764 2.3592 2.4143 0.6755 23.8483 0.8468 0.6493 12 Industri Padi 7.5508 4.7446 4.4751 5.3390 7.9992 2.1563 2.4031 2.4880 13 Industri Gula 4.9071 4.2444 4.1807 4.3847 5.2043 0.8140 10.5857 11.3485 14 Industri Kopi 3.5304 5.1004 5.2512 4.7678 3.8240 0.1563 0.1513 0.1539 15 Industri Pakan Ternak 2.7310 2.9749 2.9983 2.9232 7.1634 0.2857 0.7828 1.1435 16 Industri Makanan Lainnya 7.2678 8.0996 8.1795 7.9234 3.5299 1.0595 19.2536 1.2098 17 Industri Minuman 0.2165 0.1441 0.1371 0.1594 0.0650 1.9262 0.0674 0.0699 18 Industri Pengolahan Karet 2.4270 2.2885 2.2752 2.3178 2.5876 0.5732 0.6330 0.7126 19 Industri Lainnya 0.8089 0.7928 0.7913 0.7962 0.8139 0.7573 0.8450 0.7188 20 Listrik, Gas dan Air Minum 0.4920 0.4965 0.4969 0.4955 0.4945 0.4819 0.5153 0.5710
Lampiran 31. Lanjutan
(%)
DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA
AGROINDUSTRI No. SEKTOR
P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 21 Bangunan/Konstruksi 0.7553 0.7779 0.7801 0.7732 0.7246 0.9285 0.7604 0.8733 22 Perdagangan, Hotel &Restoran 10.2902 10.6077 10.6382 10.5404 10.4369 10.0020 10.4462 11.8942 23 Transportasi dan Komunikasi 3.9534 4.1749 4.1962 4.1280 3.9924 3.6165 3.6945 3.9166 24 Lembaga keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 2.5625 2.5862 2.5885 2.5812 2.5631 2.4441 2.6308 2.8490 25 Pemerintahan Umum 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 26 Jasa-jasa dan Lainnya 1.2619 1.2642 1.2645 1.2637 1.2440 1.3784 1.2970 1.3688 Total Dampak 100 100 100 100 100 100 100 100
Persentase Perubahan dari nilai dasar (Rp 77 947 008 juta) 9.586 15.334 13.991 19.455 19.926 19.292 18.737 19.688
Lampiran 32. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005
(%)
DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA SEKTORAL KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA
AGROINDUSTRI No. SEKTOR
P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 1 Tanaman Pangan 25.0538 23.0614 22.8695 23.4843 28.0429 6.3284 22.4063 8.5630 2 Tanaman Perkebunan 18.9159 19.6820 19.7558 19.5194 14.9341 47.6651 18.1858 11.7025 3 Peternakan 4.3969 3.9371 3.8929 4.0347 4.5969 2.2813 6.6248 7.0952 4 Kehutanan 0.1000 0.0991 0.0990 0.0993 0.1006 0.0998 0.0944 0.0830 5 Perikanan 6.3460 7.9747 8.1316 7.6290 6.7747 1.7897 1.7987 18.1659 6 Pertambangan dan Penggalian 0.7792 0.8212 0.8252 0.8123 0.7902 0.6421 0.6961 1.1721 7 Industri Buah dan Sayur 0.3966 0.5884 0.6069 0.5477 0.4319 0.0177 0.0177 0.0179 8 Industri Ikan dan Udang 0.4048 0.5444 0.5579 0.5148 0.4416 0.0104 0.0104 1.4259 9 Industri Tapioka & Tepung Lain 3.9823 3.2776 3.2097 3.4272 4.2643 0.8829 7.3232 8.0093 10 Industri Kopra/ Kelapa 0.5770 0.4193 0.4041 0.4527 0.2022 5.7046 0.1003 0.0881 11 Industri Minyak/ Lemak 0.1711 0.1596 0.1584 0.1620 0.0455 1.6019 0.0542 0.0418 12 Industri Padi 0.6344 0.3997 0.3771 0.4495 0.6758 0.1817 0.1930 0.2007 13 Industri Gula 4.6067 3.9950 3.9361 4.1248 4.9124 0.7665 9.4978 10.2298 14 Industri Kopi 0.6588 0.9543 0.9828 0.8916 0.7175 0.0293 0.0270 0.0276 15 Industri Pakan Ternak 0.2709 0.2958 0.2982 0.2905 0.7143 0.0284 0.0742 0.1089 16 Industri Makanan Lainnya 1.2437 1.3897 1.4037 1.3587 0.6073 0.1819 3.1489 0.1988 17 Industri Minuman 0.1313 0.0876 0.0834 0.0969 0.0396 1.1714 0.0390 0.0407 18 Industri Pengolahan Karet 0.3397 0.3211 0.3193 0.3251 0.3641 0.0805 0.0847 0.0958 19 Industri Lainnya 0.6408 0.6298 0.6287 0.6321 0.6483 0.6018 0.6398 0.5468 20 Listrik, Gas dan Air Minum 0.3719 0.3762 0.3767 0.3753 0.3758 0.3653 0.3723 0.4144
Lampiran 32. Lanjutan
(%)
DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA SEKTORAL
KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI No. SEKTOR
P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 21 Bangunan/Konstruksi 1.2510 1.2919 1.2958 1.2832 1.2067 1.5425 1.2037 1.3889 22 Perdagangan, Hotel &Restoran 14.9952 15.4984 15.5469 15.3916 15.2919 14.6194 14.5487 16.6427 23 Transportasi dan Komunikasi 7.0280 7.4412 7.4810 7.3535 7.1361 6.4486 6.2770 6.6855 24 Lembaga keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 2.7787 2.8118 2.8150 2.8048 2.7946 2.6584 2.7265 2.9665 25 Pemerintahan Umum 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 26 Jasa-jasa dan Lainnya 3.9252 3.9428 3.9445 3.9391 3.8907 4.3005 3.8558 4.0884 Total Dampak 100 100 100 100 100 100 100 100
Persentase Perubahan dari nilai dasar (Rp 15 131 408 juta) 5.374 8.575 7.821 10.885 11.138 10.757 10.992 10.835
Lampiran 33. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 (%)
DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA
AGROINDUSTRI No. SEKTOR
P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 1 Tanaman Pangan 35.8285 33.0604 32.7931 33.6491 40.2401 8.7926 33.5132 13.3101 2 Tanaman Perkebunan 27.0509 28.2157 28.3282 27.9680 21.4296 66.2252 27.2005 18.1902 3 Peternakan 6.2878 5.6442 5.5820 5.7811 6.5962 3.1697 9.9087 11.0286 4 Kehutanan 0.1431 0.1420 0.1419 0.1422 0.1444 0.1386 0.1411 0.1291 5 Perikanan 9.0751 11.4324 11.6600 10.9311 9.7213 2.4866 2.6903 28.2366 6 Pertambangan dan Penggalian 0.0708 0.0748 0.0752 0.0739 0.0720 0.0567 0.0661 0.1157 7 Industri Buah dan Sayur 0.2397 0.3564 0.3677 0.3316 0.2619 0.0104 0.0112 0.0117 8 Industri Ikan dan Udang 0.2446 0.3298 0.3380 0.3117 0.2677 0.0061 0.0066 0.9365 9 Industri Tapioka & Tepung Lain 2.4065 1.9854 1.9448 2.0750 2.5857 0.5184 4.6284 5.2606 10 Industri Kopra/ Kelapa 0.3487 0.2540 0.2448 0.2741 0.1226 3.3492 0.0634 0.0579 11 Industri Minyak/ Lemak 0.1034 0.0966 0.0960 0.0981 0.0276 0.9404 0.0342 0.0274 12 Industri Padi 0.3834 0.2421 0.2285 0.2722 0.4097 0.1067 0.1220 0.1318 13 Industri Gula 2.7837 2.4200 2.3849 2.4974 2.9786 0.4500 6.0028 6.7190 14 Industri Kopi 0.3981 0.5781 0.5955 0.5398 0.4351 0.0172 0.0171 0.0181 15 Industri Pakan Ternak 0.1637 0.1792 0.1807 0.1759 0.4331 0.0167 0.0469 0.0715 16 Industri Makanan Lainnya 0.7515 0.8418 0.8505 0.8226 0.3683 0.1068 1.9902 0.1306 17 Industri Minuman 0.0793 0.0531 0.0505 0.0587 0.0240 0.6878 0.0247 0.0267 18 Industri Pengolahan Karet 0.2053 0.1945 0.1935 0.1968 0.2208 0.0472 0.0535 0.0629 19 Industri Lainnya 0.3873 0.3815 0.3809 0.3827 0.3931 0.3533 0.4044 0.3591 20 Listrik, Gas dan Air Minum 0.0563 0.0571 0.0572 0.0570 0.0571 0.0538 0.0590 0.0682
Lampiran 33. Lanjutan (%)
DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA
AGROINDUSTRI No. SEKTOR
P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 21 Bangunan/Konstruksi 0.2558 0.2648 0.2657 0.2629 0.2476 0.3064 0.2574 0.3087 22 Perdagangan, Hotel &Restoran 8.2193 8.5160 8.5446 8.4529 8.4105 7.7853 8.3406 9.9154 23 Transportasi dan Komunikasi 2.3922 2.5391 2.5533 2.5078 2.4373 2.1325 2.2346 2.4734 24 Lembaga keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan 0.1447 0.1468 0.1470 0.1464 0.1460 0.1345 0.1485 0.1679 25 Pemerintahan Umum 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 26 Jasa-jasa dan Lainnya 1.9804 1.9942 1.9955 1.9913 1.9697 2.1081 2.0347 2.2421 Total Dampak 100 100 100 100 100 100 100 100
Persentase Perubahan dari nilai dasar (4 121 960 orang) 10.077 16.038 14.626 20.371 21.495 20.102 19.705 19.831
Lampiran 33. Lanjutan Keterangan Pilihan-pilihan kebijakan pada Lampiran 28-33 No. Kode Uraian Alternatif Kebijakan 1. P1 Peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan
pada semua sektor agroindustri secara proporsional 2. P2 Peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasika
pada sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional
3. P3 peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional
4. P4 peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan pada pembangunan infrastruktur
5. P5 peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional.
6. P6 peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional
7. P7 peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional
8. P8 peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional.
9. P9 peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional
10. P10 peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional
11. P11 pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 % dan investasi dinaikkan sebesar 20 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional
12. P12 pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional
13. P13 investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional
14. P14 pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional,
15. P15 pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional
16. P16 pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor
dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional
17. P17 pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada tiga sektor agroindustri penyumbang output dan beraglomersi terbesar secara proporsional
18 P18 pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada tiga sektor agroindustri yang mempunyai penyerap tenaga kerja dan beraglomersi terbesar secara proporsional