penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya
TRANSCRIPT
PENYESUAIAN PERKAWINAN PASANGAN YANG SALAH SATUNYA
MELAKUKAN KONVERSI AGAMA
Rosa Amelia Nareswari
Ratriana Y.E.Kusumiati
Heru Astikasari S.Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran penyesuaian perkawinan
pasangan yang salah satunya melakukan konversi agama dimana yang melakukan
konversi agama adalah suami. Konversi agama akan membuat seluruh kehidupan
seseorang berubah selama-lamanya, maka dibutuhkan penyesuaian untuk mencapai
kepuasaan dan kebahagiaan dalam sebuah perkawinan. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan wawancara dan observasi sebagai teknik pengumpulan data
kepada dua pasang partisipan. Hasil penelitian dengan menggunakan aspek menurut
Atwater dan Duffy (1999) dan tugas-tugas penyesuaian menurut DeGenova & Rice
(2005) menunjukan bahwa kedua pasang partisipan berhasil melakukan penyesuaian
meski belum cukup maksimal karena adanya beberapa kendala dengan kebiasaan
pribadi, hubungan dengan keluarga dan tempat tinggal pasangan yang berjauhan.
Namun tidak ada masalah yang berarti dengan konversi agama yang dilakukan karena
kedua partisipan mempunyai pandangan yang sama dalam menyikapi sebuah agama
yaitu perbedaan agama hanya dari tata cara beribadah dan mempercayai bahwa Tuhan
hanya ada satu.
Kata Kunci: Perkawinan, penyesuaian perkawinan, konversi agama
Abstract
The purpose of this research is to describe the image of the thoughts of marriage in
which one of the couple, in this case is the husband doing religion conversion. The
conversion of religion will make someone’s life completely changing for forever,
therefore it takes time to adapt in order to reach the satisfaction and the joy in a
marriage. This study used a qualitative method with interviews and observations as data
collection techniques to the two pairs of participants. The result of the research using
the aspects according to Atwater dan Duffy (1999) and the adapting task according to
DeGenova & Rice (2005) shows that the two couples succeed in doing the adaptation
even if it is not yet perfect since there are some problems regarding to personal habits,
relationship with the couple’s family and the distance that separates the couple. On the
other hand, there are no things that really matter regarding to religion conversion that is
done because both of the participants have the same vision in the difference of the
religion which is the differences is only on how the prayer is delivered, but they still all
believe that there is only one God.
Keywords : Marriage, marital adjustment, religious conversion
1
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah bersatunya seorang laki-laki dan perempuan untuk
membentuk suatu keluarga, yang mana keluarga tersebut disahkan melalui upacara
agama atau adat. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (dalam
Walgito, 2000) yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena dasar dari perkawinan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dasar-
dasar agama sangat penting dalam sebuah kehidupan perkawinan. Menurut Walgito
(2000), agama yang dianut oleh masing-masing anggota pasangan akan memberikan
tuntunan atau bimbingan bagaimana bertindak secara baik dan idealnya pasangan suami
istri mempunyai agama yang sama. Walgito (2000), juga mengatakan bahwa kesamaan
agama yang dianut, akan memberikan pandangan, sikap, frame of reference yang relatif
sama, sehingga dapat meminimalisir masalah yang timbul karena agama. Dalam sebuah
perkawinan yang berbeda agama, mereka hanya berpegang pada komitmen yang sudah
dibuat oleh kedua belah pihak, namun jika komitmen tidak berjalan dengan baik, maka
hubungan tersebut akan menjadi rumit dan berakibat pada terganggunya kerukunan
hidup berumah tangga karena peran agama menjadi tidak maksimal, begitupun saat
memiliki keturunan, jika memiliki anak, anak tersebut akan bingung memilih keturunan
(Makalew, 2013).
Dahulu bangsa Indonesia memperbolehkan seseorang untuk menikah beda
agama karena Nation dan Character Building yang dikumandangkan Bung Karno pada
masanya, sehingga perkawinan beda agama ataupun beda suku diperbolehkan dan
2
menjadi hal yang biasa (Kompas forum, 2009). Namun semenjak dicanangkannya
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, aturan perkawinan di Indonesia
menjadi seragam dan tidak memperkenankan pernikahan beda agama di Indonesia
sehingga salah satu harus melakukan konversi agama atau menikah diluar negeri.
Di Indonesia orang yang berpindah agama karena menikah dengan orang lain
bukan merupakan hal baru (Dwisaptani & Jenny, 2008). Fenomena konversi agama ini
sedang marak terjadi dalam dunia keartisan di Indonesia. Contohnya adalah yang
dilakukan oleh Jonas Rivanno dan Bella Safira yang melakukan konversi agama agar
dapat menikah dengan pasangannya (Kompasiana, 2013). Namun tidak hanya dilakukan
oleh kalangan artis saja namun juga orang-orang biasa yang tidak terliput oleh media.
Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) memang belum pernah menyusun statistik
khusus mengenai perpindahan agama namun banyak penelitian yang membahas tentang
konversi agama dikalangan masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Menurut
Paloutzian (dalam Ardhini, Abidin & Dinie, 2012), konversi agama akan membuat
seluruh kehidupan seseorang berubah selama-lamanya, karena pada dasarnya konversi
agama merupakan perubahan mendasar dan penataan ulang identitas diri, makna hidup
juga aktivitas seseorang.
Begitu juga dalam kehidupan perkawinan seseorang. Individu yang melakukan
konversi agama akan mengalami perubahan nilai, pola perilaku terhadap agama baru
yang mereka anut. Hal tersebut membuat individu tersebut harus beradaptasi dengan
banyak hal dan belajar hal-hal baru yang mewarnai kehidupannya untuk selamanya.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dwisaptani & Jenny (2008)
membahas dampak konversi agama yang di lakukan oleh ketiga partisipannya. Semua
partisipannya melakukan konversi agama karena mengikuti pasangannya dan akan
3
melangsungkan perkawinan, namun satu diantara ketiga partisipan tersebut mengalami
konflik psikologis. Begitu juga dalam penelitian yang dilakukan oleh Sukiman (2005),
yaitu dikatakan individu melakukan konversi agama karena rasa cinta kepada
pasangannya dan agar dapat sah secara hukum dan agama dalam melangsungkan
perkawinan mereka.
Dalam penelitian Sukiman (2005) juga diperoleh dampak-dampak yang dialami
individu setelah melakukan konversi agama, salah satunya dikucilkan oleh keluarga
besar konversan sampai orangtua salah satu konversan tidak mau mengakui suami
konversan hingga kedua orangtuanya meninggal. Dampak berupa konflik psikologis
sendiri tidak terlalu berarti dalam kehidupan individu yang melakukan konversi agama
tersebut dalam perkawinan mereka. Menurut Sukiman (2005) mengapa konflik
psikologis tidak terlalu berarti dalam kehidupan ketiga partisipannya dipicu oleh faktor
kefanatikan. Ketiga partisipan Sukiman tidak fanatik dalam menjalankan agamannya
namun lebih memilih rasa cintanya yang besar terhadap pasangannya. Sedangkan dalam
penelitian milik Dwisaptani & Jenny (2008), Subyeknya mendapatkan religiusitas yang
lebih pada agamanya sehingga timbul kefanatikan yang lebih hingga ia takut Tuhan
akan meninggalkannya saat ia melakukan konversi kembali.
Memang tidak semua pasangan dalam penelitian sebelumnya mengalami konflik
psikologis, namun dampak-dampak yang dialami partisipan dalam penelitian
sebelumnya dapat dikatakan mengganggu kehidupan perkawinan pasangan tersebut.
Oleh karena itu maka perlu dilakukan penyesuaian dalam kehidupan perkawinan
mereka. Karena banyak hal-hal baru yang akan dialami individu dalam kehidupannya
kedepan dengan agama baru yang dianutnya. Dalam sebuah perkawinan terdiri dari dua
4
individu yang banyak mempunyai perbedaan yang karena rasa cinta ingin diikat
menjadi sepasang suami istri (Walgito, 2000).
Hurlock (1991) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi
antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya
konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri.
Wismanto (2005) menyatakan bahwa proses pengenalan antar pasangan itu berlangsung
hingga salah satu pasangan mati. DeGenova dan Rice (2005) menyatakan bahwa ada 12
area yang mencakup penyesuaian-penyesuaian yang harus diwujudkan dalam
perkawinan, area ini disebut dengan tugas penyesuaian perkawinan. Tugas-tugas
tersebut adalah dukungan emosional, penyesuaian seksual, kebiasaan pribadi, peran
gender, keuangan, pekerjaan (kuliah) dan prestasi, kehidupan sosial termasuk
persahabatan dan rekreasi bersama keluarga, komunikasi, serta pemecahan masalah.
Penyesuaian menjadi hal yang penting dalam sebuah perkawinan dan akan berdampak
pada keberhasilan serta keharmonisan rumah tangga (Anjani & Suryanto, 2006).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ngantung (2012) penyesuaian dilakukan
oleh mahasiswi yang hamil diluar nikah melibatkan dua partisipan yang membahas
bagaimana penyesuaian mereka mengenai beratnya masalah ekonomi dan konflik yang
terjadi dalam perkawinan partisipan. Sedangkan Suryanto (2006) dalam penelitiannya
mengangkat penyesuaian pada periode awal pernikahan yang dapat disimpulkan
kehidupan perkawinan melewati 5 fase penyesuaian yaitu, 1) fase bulan madu 2) fase
pengenalan kenyataan 3) fase kritis perkawinan 4) fase menerima kenyataan, dan 5) fase
kebahagiaan sejati. Uraian diatas menyatakan bahwa jika seseorang memutuskan untuk
menikah maka akan selalu terjadi penyesuaian-penyesuaian di dalam kehidupannya,
apalagi jika individu tersebut melakukan konversi agama.
5
Terkait dengan penyesuaian seorang pelaku konversi agama dalam penelitian
sebelumnya, peneliti berasumsi bahwa ada masalah-masalah yang berasal dari dalam
dan luar subjek. Masalah yang berasal dari dalam yaitu dari psikologis konversan itu
sendiri karena mengalami konflik psikologis, sedangkan masalah dari luar adalah
masalah yang berasal dari keluarga pelaku konversi agama yang tidak dapat menerima
perilaku tersebut. Demi menyenangkan keluarga dan pasangan menjadi alasan sesorang
melakukan konversi agama (Hurlock, 1993). Akan banyak hal-hal baru yang muncul
dan akan menimbulkan hambatan-hambatan dalam menjalani kehidupan setelah
menikah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan membahas bagaimana penyesuaian
diri pasangan menikah yang salah satunya melakukan konversi agama.
Peneliti tertarik untuk mengangkat masalah tersebut karena dalam beberapa
penelitian sebelumnya mengatakan bagaimana pengalaman-pengalaman dan beberapa
dampak yang serupa yang terjadi dalam penelitian tersebut dan hanya mencari informasi
pada individu yang melakukan konversi saja, namun dalam penelitian ini akan
membahas bagaimana penyesuaian suami dan istri dalam menjalani perkawinan mereka
dengan suami yang melakukan konversi agama. Peneliti memilih untuk meneliti suami
karena di dalam sebuah perkawinan suami menjadi kepala keluarga dan menjadi
pemimpin dan panutan bagi istri dan anaknya. Peneliti juga melihat dari fenomena yang
terjadi di Indonesia dan juga dari penelitian yang dilakukan sebelumnya banyak
membahas mengenai istri yang melakukan konversi agama.
6
Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran
penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya melakukan konversi agama,
dimana yang melakukan konversi agama adalah suami.
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan melihat gambaran mengenai
penyesuaian pasangan yang salah satunya melakukan konversi agama, dimana suami
yang melakukan konversi agama dalam perkawinannya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang psikologi perkawinan dan keluarga. Sedangkan dari segi
praktisnya dapat memberikan informasi kepada pasangan yang salah satunya melakukan
konversi agama terutama suami mengenai kemungkinan permasalahan yang dihadapi.
PENYESUAIAN PERKAWINAN
1. Definisi perkawinan
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito, 2000). Menurut Olson dan
DeFrain (2006), perkawinan adalah komitmen emosional dan hukum dari dua orang
untuk membagi kedekatan emosional dan fisik, berbagi macam tugas dan sumber-
sumber ekonomi.
7
2. Definisi penyesuaian perkawinan
Hurlock (1991) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi
antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya
konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri.
Wismanto (2005) menyatakan bahwa proses pengenalan antar pasangan itu
berlangsung hingga salah satu pasangan mati, dan dalam perkawinan terjadi proses
pengembangan yang didasari oleh LOVE yaitu Listen, Observe, Value dan
Emphaty. Penyesuaian perkawinan merupakan proses modifikasi, adaptasi,
mengubah individu dan pola pasangan dalam berperilaku dan berinteraksi untuk
mencapai kepuasan maksimal dalam hubungan perkawinan (DeGenova & Rice,
2005).
3. Aspek penyesuaian perkawinan
Sementara itu, Atwater dan Duffy (1999), menyimpulkan bahwa terdapat empat
aspek penting dalam penyesuaian perkawinan. Pertama, pembagian tanggung jawab
perkawinan (sharing marital responsibility). Dalam aspek yang pertama ini
merujuk bagaimana dukungan satau sama lain dalam pembagian tugas rumah
tangga, dukungan emosional bagi suami atau istri yang bekerja dan juga bersama-
sama dalam membesarkan dan mengurus anak. Kedua, komunikasi dan konflik
(communication and conflict). Pada aspek yang kedua membahas bagaimana
pentingnya komunikasi dan manajemen konflik. Suami dan istri bebas berpendapat
dan mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain, hal tersebut membantu
pasangan dalam menyelesaikan konflik-konflik dalam perkawinan mereka. Ketiga,
seks dalam perkawinan (sex in marriage). Pada aspek yang ketiga membahas
8
bagaimana pentingnya seks dalam perkawinan, namun semakin lama usia
perkawinan semakin jarang melakukan hubungan seksual karena antar satu sama
lain merasa sudah biasa dengan pasangannya, makin berkurangnya energi dan
berkurangnya privasi karena kehadiran anak. Keempat, perubahan yang terjadi
sepanjang waktu di dalam kehidupan perkawinan (changes in marriage over time).
Pasangan yang bahagia cenderung menciptakan hal-hal yang memperkuat perasaan
bahagia dalam kehidupan perkawinannya sebaliknya pasangan yang yang tidak
bahagia cenderung menciptakan hal-hal yang menekan kebahagiaannya.
4. Tugas penyesuaian perkawinan
DeGenova dan Rice (2005) menyatakan bahwa ada 12 area yang mencakup
penyesuaian-penyesuaian yang harus dibuat dalam perkawinan, area ini disebut
dengan tugas penyesuaian perkawinan yaitu:
a. Pemenuhan dan dukungan emosional
1). Belajar untuk memberi dan menerima perhatian dan cinta
2). Mengembangkan sensitivitas, empati dan kedekatan
3). Memberikan dukungan emosional, membangun semangat, pemenuhan
kebutuhan ego
b. Penyesuaian seksual
1). Belajar untuk memberikan kepuasan, pemenuhan kebutuhan seksual
satu sama lain
2). Bekerja diluar mode, sikap atau perilaku, waktu, serta ekspresi seksual
3). Menggunakan sarana pengontrol kelahiran yang tepat
c. Kebiasaan pribadi
9
1). Menyesuaikan pada kebiasaan pribadi masing-masing, perkataan,
kebersihan, sikap atau perilaku, pola makan, tidur
2). Menghilangkan atau mengubah kebiasaan pribadi yang mengganggu
masing-masing
d. Peran gender
1). Menetapkan peran pasangan di dalam dan diluar rumah
2). Bekerja di luar peran gender dalam hubungan untuk menghasilkan
pendapatan, perawatan rumah, mengurus rumah tangga, mengurus
anak
e. Materi, keuangan
1). Memilih tempat tinggal: area geografi, lingkungan sekitar, tipe rumah
2). Melengkapi dan mengurus rumah
3). Perolehan pendapatan dan pengelolaan uang
f. Pekerjaan, prestasi
1). Mencari, seleksi, mempertahankan pekerjaan
2). Penyesuaian pada tipe, tempat, waktu, kondisi pekerjaan
3). Bekerja diluar jadwal ketika salah satu dari pasangan bekerja
4). Mengatur perhatian kepada anak ketika salah satu pasangan bekerja
g. Kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi, hiburan
1). Memilih dan menjalin pertemanan, kegiatan sosial
2). Mengunjungi teman bersama pasangan
3). Memutuskan tipe, frekuensi aktivitas sosial sebagai individu dan
sebagai pasangan
10
h. Keluarga
1). Membangun hubungan kekerabatan dengan ipar, mertua
2). Kompromi dengan keluarga
i. Komunikasi
1). Mengungkapkan dan mengkomunikasikan ide, kecemasan, perhatian,
kebutuhan
2). Saling mendengarkan satu sama lain dan bicara satu sama lain dengan
cara yang konstruktif
j. Kekuatan / kekuasaan, pengambilan keputusan
1). Memperoleh keseimbangan dalam status, kekuatan / kekuasaan
2). Belajar untuk membuat, menjalankan, melaksanakan keputusan
3). Kerjasama dalam mengambil keputusan
k. Konflik, pemecahan masalah
1). Belajar untuk mengidentifikasi penyebab konflik
2). Mengatasi konflik
3). Pemecahan / menyelesaikan masalah
4). Meminta bantuan jika diperlukan
l. Moral, nilai, ideologi
1). Memahami / mengerti, menyesuaikan pada moral individu, nilai, etnis,
kepercayaan, filosofi, dan tujuan hidup
2). Menetapkan nilai bersama, tujuan, filosofi
3). Menyesuaikan dan menerima keyakinan / agama masing-masing
4). Membuat keputusan dalam kaitannya dengan agama
11
5. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan
Menurut Tseng (1998) adanya saling keterbukaan pikiran atau openmindedness,
memiliki sikap fleksibilitas atau keluwesan, adanya toleransi yang tinggi,
pengetahuan, kepekaan terhadap kebutuhan pasangan menjadi faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penyesuaian perkawinan. Menurut Dyer (1983),
banyak faktor sosial dan demografis yang berhubungan dengan penyesuaian
perkawinan yaitu usia, agama, ras, pendidikan dan keluarga.
KONVERSI AGAMA
1. Definisi Konversi Agama
Secara umum dapat diartikan dengan berpindah agama ataupun masuk agama.
Kata konversi berasal dari bahasa latin conversio yang berarti tobat, pindah, berubah
(agama) dan selanjutnya kata tersebut dipakai dalam bahasa Inggris conversion yang
mengandung arti berubah dari suatu keadaan, atau dari satu agama ke agama lain
(Sukirman, 2005). Perubahan dalam agama atau sistem keyakinan tersebut meliputi tata
perilaku, perasaan dan sikap yang kemudian membentuk pola pandangan baru, sesuai
dengan pengalaman hidup yang pernah dialami dalam situasi dan kondisi lingkungan
sosial yang yang selalu dihadapinya setiap hari (Rumekso, 1998).
2. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Konversi Agama
Menurut Lewis (1993) ada lima macam faktor penyebab orang melakukan
konversi agama.
1. Kebudayaan (culture). Kebudayaan membangun bentuk intelektual, norma, dan
situasi kehidupan spiritual. Berbagai bentuk mitos, ritual dan simbol suatu
kebudayaan memberikan tuntunan petunjuk bagi kehidupan yang sering kali tidak
disadari diadopsi dan diambil untuk dijadikan jaminan.
12
2. Masyarakat (society). Aspek-aspek sosial dan institusional dari berbagai tradisi
(kebiasaan) yang ada dalam konversi yang sedang berlangsung.
3. Pribadi (Person). Perubahan-perubahan yang bersifat psikologis, yaitu pikiran-
pikiran, perasaan-perasaan dan berbagai tindakan.
4. Agama (Religion). Agama merupakan sumber dan tujuan konversi. Keagamaan
orang-orang memberii ketegasan bahwa maksud dan tujuan konversi adalah
membawa mereka ke dalam hubungan yang suci (ilahi) serta memberikannya suatu
pengertian dan maksud yang baru.
5. Sejarah (History). Motivasi-motivasi yang berlainan, di kesempatan waktu yang
berbeda dalam suatu konteks kejadian atau peristiwa yang khusus.
3. Proses-proses Konversi Agama
Menurut Daradjat (dalam Sukiman, 2005) proses konversi agama pada
umumnya melalui proses-proses jiwa sebagai berikut:
1. Masa tenang pertama, masa tenang sebelum mengalami konversi, dimana segala
sikap, tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh menentang agama.
2. Masa ketidaktenangan, konflik dan pertentangan batin berkecamuk dalam hatinya,
gelisah, putus asa, tegang, panik, baik disebabkan oleh moralnya, kekecewaan atau
apapun juga.
3. Setelah masa goncang mencapai puncaknya, maka terjadilah peristiwa konversi itu
sendiri. Orang merasa tiba-tiba mendapat petunjuk Tuhan, mendapat kekuatan dan
semangat. Menyerah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Keadaan tenteram dan tenang. Setelah krisis konversi lewat dan masa menyerah
dilalui, timbullah perasaan antau kondisi jiwa yang baru, rasa aman damai di hati,
13
tidak ada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan, tidak ada kesalahan yang patut di
sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan menjadi enteng dan terselesaikan.
5. Ekspresi konversi dalam hidup. Tingkat terakhir dari konversi itu adalah
pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk, kelakuan, sikap, dan
perkataan, dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturan-aturan yang
diajarkan oleh agama.
DINAMIKA PSIKOLOGIS
Penyesuaian perkawinan akan terus terjadi pada pasangan selama perkawinan itu
terjadi (Wismanto, 2005). Ketika suami istri memutuskan untuk hidup bersama berarti
masing-masing mengikatkan diri pada pasangan hidup dan kebebasan sebagai individu
dikorbankan untuk tujuan bersama melalui kesepakatan berdua (Suryanto, 2006). Tiap
pasangan harus menyiapkan diri untuk menerima kekurangan dan kelebihan pasangan
dengan kontrol diri yang baik, maka dari itu penyesuaian dalam perkawinan dibutuhkan
dalam menjalani sebuah perkawinan. Pentingnya penyesuaian dan tanggung jawab
sebagai suami atau istri dalam sebuah perkawinan akan berdampak pada keberhasilan
hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap adanya kepuasan hidup perkawinan, mencegah kekecewaan dan perasaan-
perasaan bingung, sehingga memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam
kedudukannya sebagai suami atau istri dan kehidupan lain diluar rumah tangga
(Hurlock, 2002).
Dalam fenomena yang dibahas dalam penelitian ini, penyesuaian dilakukan oleh
pasangan menikah yang salah satunya melakukan konversi agama yaitu suami. Dalam
penelitian sebelumnya konflik-konflik yang terjadi dalam penyesuaian perkawinan
pasangan ini paling banyak berasal dari keluarga konversan. Bahkan ada keluarga yang
14
tidak menganggap konversan menjadi salah satu anggota keluarganya karena konversi
agama yang mereka lakukan. Namun pelaku konversi agama tidak terlalu
mempermasalahkan konversi yang mereka lakukan karena faktor kefanatikan mereka.
Mereka tidak fanatik dalam menjalankan agamanya dan lebih memilih rasa cintanya
yang besar terhadap pasangan mereka. Bahkan mereka memutuskan untuk tetap
menikah tanpa restu dari salah satu keluarga pasangan karena tidak menyetujui
perkawinan yang terjadi. Dalam agama baru yang mereka anut pasti akan menimbulkan
perubahan-perubahan dalam kehidupan mereka dalam perkawinan dan hal-hal lainnya.
Dalam berkomunikasi, nilai-nilai, ideology, sosialisasi dan hal-hal lainnya akan
membutuhkan penyesuaian perkawinan antara pasangan tersebut.
METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Metode kualitatif dengan partisipan dalam penelitian ini adalah pasangan suami
istri yang suaminya melakukan konversi agama dengan usia perkawinan 1 sampai
10 tahun karena merupakan usia rawan perkawinan.
2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya
melakukan konversi agama, dimana suami yang melakukan konversi agama.
3. Sumber Data Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui bagaimana gambaran
proses penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya melakukan konversi
agama, maka sumber data adalah pasangan dengan kriteria sebagai berikut: (1)
sudah menikah; (2) konversi agama dilakukan sebelum menikah; (3) pelaku
konversi agama adalah laki-laki atau suami; (4) Usia perkawinan 1 hingga 10
15
tahun. Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dan observasi
berupa kata-kata dan simbol-simbol atau perilaku yang dimunculkan partisipan
dalam proses wawancara yang memiliki makna tertentu.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dan observasi.
5. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan selama hampir 1,5 bulan dari tanggal 30 Juli 2014 sampai
tanggal 12 September 2014. Wawancara berlangsung cukup lama karena kesulitan
dalam menentukan waktu untuk bertemu karena kesibukan partisipan. Penelitian ini
dilakukan di beberapa tempat yang berbeda, yaitu lapangan pancasila, kampus
UKSW, cafe dan rumah partisipan. Sebelum melakukan wawancara peneliti
menghubungi partisipan untuk menanyakan kesediaan partisipan dan juga untuk
menentukan waktu serta tempat untuk melakukan wawancara. Dalam penelitian ini,
data diperoleh dari suami dan istri.
Wawancara dengan partisipan dilakukan masing-masing dua kali. Waktu
yang digunakan untuk wawancara dalam pertemuan pertama 60 menit, pada
pertemuan kedua 30 menit. Peneliti membutuhkan dua pertemuan dalam
wawancara karena ingin menggali informasi dengan lebih spesifik, peneliti banyak
bertanya pertanyaan-pertanyaan yang mendalam dan menjadi poin-poin dalam
penyesuaian perkawinan menurut DeGenova & Rice (2005).
6. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data yang dilakukan yaitu: menjadikan satu seluruh
data atau penyatuan data; membuat catatan lapangan dalam bentuk verbatim
16
wawancara; mengkategorisasikan dan mengklasifikasikan data berdasarkan aspek-
aspek penyesuaian perkawinan; analisis data.
7. Uji Keabsahan Data
Kriteria keabsahan data yang digunakan ialah triangulasi sumber dengan
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu sebagai pembanding terhadap data
itu (Moleong, 2007), yaitu pasangan dan kerabat partisipan. Yang kedua ialah
member check, yang mana pemberi data menyepakati hasil penelitian (Sugiyono,
2010).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Partisipan 1
1. Identitas dan latar belakang
Partisipan adalah sepasang suami istri berinisial O yang pada awalnya beragama
Islam dan S beragama Khatolik. O berumur 30 tahun sedangkan S 28 tahun. Usia
perkawinan mereka 5 tahun dan dikaruniai dua orang anak. Mereka tinggal di kota
Salatiga, di tahun 2012 mereka memutuskan untuk bekerja di Bekasi dan menitipkan
kedua anak mereka pada orangtua masing-masing, namun O merasa tidak betah dengan
pekerjaannya di Bekasi dan memutuskan untuk kembali ke Salatiga bekerja sebagai E.O
karena lebih cocok bekerja dibidang seperti itu, sehingga sekarang mereka hidup
terpisah karena O berada di salatiga bersama anak dan keluarganya sedangkan S masih
bekerja di Bekasi.
Partisipan sama-sama anak kedua dari dua bersaudara, mereka bersahabat dari
kuliah kebetulan partisipan satu fakultas dan akhirnya memutuskan berpacaran selama
kurang lebih 3 tahun sampai akhirnya menikah. Walaupun partisipan berbeda agama
namun mereka tetap berpacaran secara terbuka dan diketahui oleh keluarga masing-
17
masing. Keluarga masing-masing mendukung dan tidak melarang hubungan partisipan.
Pada awalnya S ingin menikah secara beda agama karena S tidak ingin berpindah
agama, S juga tidak ingin O pindah agama tapi tidak menjalankan agama barunya secara
baik namun akhirnya O memutuskan untuk pindah agama mengikuti agama S karena
menginginkan hanya terdapat satu agama saja pada keluarganya.
2. Hasil
Pada aspek yang pertama yaitu pembagian tanggung jawab perkawinan (sharing
marital responsibility), terdiri dari empat tugas penyesuaian.
1. Peran gender : O dan S saling bertukar peran dalam mengurus rumah tangganya
karena menurut O itu terjadi secara naluriah.
O : ‘...kalau pertukaran peran itu
memang ga ada perjanjian di awal
sih sebenernya tapi itu secara..
istilahnya secara naluriah udah
jalannya seperti itu..’
S : ‘...kita ya udah kompak sih kalo bisa
ngerjain ya dikerjain kecuali memang kita ga
bisa dan akan jadi acak-acakanlah kasarannya
gitu ya...’
2. Materi dan keuangan : O dan S sama-sama bekerja dan penghasilan O lebih
banyak digunakan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya karena
O berada di Salatiga sedangkan S berada di Bekasi.
O : ‘...jarak ini saat ini uangnya kalau
yang dari aku memang aku simpen
sendiri dulu nanti kalau dia pulang
baru...’
S : ‘...ya itu paling sisa berapa baru yang udah
di cut untuk pengeluaran baru di transferin ke
aku paling gitu...’
3. Pekerjaan dan prestasi : Menurut O konversi agama tidak berpengaruh pada
pekerjaannya sekarang namun menurut S konversi agama yang dilakukan
suaminya tetap berpengaruh pada pekerjaannya sebagai guru di sekolah
Khatolik.
18
O : ‘...kalau buat aku karena memang
pada dasarnya kebetulan dari dulu
pekerjaanku ga pernah ada sangkut
pautnya sama agama jadi ga belum
kebetulan belum pernah mengalami
konflik sih...’
S : ‘...kalo menurutku sedikit banyak akan
berpengaruh karenakan gini.. kan dia sempet
ngajar di sekolah khatolik.. kalo misalnya dia
tetep muslim pun ga akan ada kesempatan untuk
itu kan...’
4. Kekuatan / kekuasaan dan pengambilan keputusan : Status O dan S seimbang
namun dominan dalam hal-hal tertentu. Saat mengambil keputusan ada
komunikasi sebelumnya.
O : ‘...kalo pada dasarnya sih
seimbang cuman dalam beberapa hal
pasti adalah kalo yang dominan.. kalo
untuk pengambilan keputusan sih
pada dasarnya pasti diomongin
bareng...’
S : ‘...kalo aku sih ngelihatnya untuk hal-hal
tertentu memang salah satu lebih dominan.. so
far sih masing seimbang.. kalo saya sih tetep
diobrolin dulu karena itu juga komitmen...’
Pada aspek yang kedua yaitu komunikasi dan konflik (communication and
conflict), terdiri dari dua tugas penyesuaian.
1. Komunikasi : O dan S terbuka satu sama lain namun tetap mempunyai privasi
masing-masing.
O : ‘...walaupun seterbuka apapun
pasti dimanapun pasangan aku yakin
pasti juga ada satu hal yang disimpen
juga.. tapi kalau untuk secara umum
sih memang komunikasi terbuka...’
S : ‘...tingkat keterbukaannya kalo aku ke dia ya
masih 90 persen sih...’
2. Konflik dan pemecahan masalah : Menurut O sikap cuek atau tidak peduli O
menjadi pemicu konflik paling sering. Sedangkan menurut S masalah terbesar
yang dialami adalah masalah dengan keluarganya terutama pakdhenya.
O : ‘...kalo paling sering itu karena
kecuekanku yang memicu konflik...’
S : ‘...kalo aku ngerasain konflik malah pas aku
mau nikah itu kan yang dari pakdheku itu, kan
sedikit banyak kan bikin stres juga...’
Pada aspek yang ketiga yaitu seks dalam perkawinan (sex in marriage), terdiri
dari satu tugas penyesuaian.
19
1. Penyesuaian seksual : Konversi agama yang dilakukan O tidak memengaruhi
penyesuaian seksual yang mereka lakukan. S merasa karena adanya anak susah
dalam menyisihkan waktu berdua bersama O.
O : ‘...aktivitas seksual itu kan
sebetulnya.. berbeda dengan agama..
dijadikan satu dengan agama
menurutku ga bisa.. jadi ga ada
pengaruhnya...’
S : ‘...kadang merasanya karena kita jauh
pengennya kalo pas lagi disini tu aku pengen
apa sih pergi berdua kek kemana gitu harusnya
kan jalan-jalan cuman ya itu ada selalu yang
ngintilin...’
Pada aspek yang keempat yaitu perubahan yang terjadi sepanjang waktu di
dalam kehidupan perkawinan (changes in marriage over time), terdiri dari lima
tugas penyesuaian.
1. Pemenuhan dan dukungan emosional : O merasa dirinya peka namun tertutupi
oleh sikap cuek. S merasa O sangat cuek bahkan menganggap semua laki-laki
cuek.
O : ‘...kalo untuk kepekaan aku..
punya kepekaan yang lebih dari orang
lain.. mungkin kembali lagi sikap
cuek’ku ini yang terkadang aku
sendiri juga bingung...’
S : ‘...karena pada dasarnya laki-laki itu tidak
peka.. aku ngambekpun dia ga nyadar malah
ngatain ngapain sih tiba-tiba marah dia
berasanya dia tidak punya salah apapun...’
2. Kebiasaan pribadi : Menurut O perubahan terbesar yang terjadi adalah
perubahan tanggung jawab. O dan S bersama-sama menyesuaikan dengan
kebiasaan masing-masing walau ada beberapa kebiasaan yang tidak disukai.
O : ‘...mungkin sikap tanggung
jawabnya yang jelas berubah.. dia
paling ga suka kebiasaan aku
merokok di depan dia
langsung..melarangnya istilahnya
ngasi pengertian-pengertian gitu dan
itupun juga berubah...’
S : ‘...ya biasanya masaknya kasarannya ni aku
kan kalo masak tomat kan bisa dua kalo orang
lain pake satu aku pake dua gitu dia suka
complain jadi sekarang tomat cuman separo
karena dia bener-bener ga suka makanan
asem...’
3. Kehidupan sosial, pertemanan dan hiburan : Konversi agama tidak berpengaruh
pada kehidupan sosial O namun hanya berpengaruh pada rutinitasnya saja.
20
O : ‘...untuk kearah sosial kan ga
terlalu pengaruh karena prinsipku
sebetulnya semua agama sama hanya
tata caranya aja yang beda jadi kalo
untuk lingkungan sosial ga..
perubahannya paling lebih kearah
rutinitas keagamaan aja...’
S : ‘...kayaknya ga deh ya soalnya temen-temen
dia kan temen aku juga kita juga berangkat dari
agama yang berbeda-beda ga ada yang
masalahin juga si a atau si b pindah agama
atau gimana gitu...’
4. Keluarga : O merasa beruntung dapat berhubungan sangat dekat dengan
keluarga istrinya yaitu S, begitupun sebaliknya.
O : ‘...untuk keluarga aku sama
keluarga istriku itu memang
hubungannya udah deket sejak
pacaran.. mungkin dikatakan
beruntung juga.. memang dari awal
memang keluarga udah saling
mendukung...’
S : ‘...Baik sih aku deket sih sama keluarga dia..
emang udah deket gampang juga keluarga dia
atau keluarga aku tu gampang ga neko-neko
juga santai karena mungkin juga kan udah
kenal lama...’
5. Moral, nilai dan ideologi : O masih belajar dalam menyesuaikan dengan agama
yang baru karena masih kurang kesadaran dan terjadi pertentangan dalam
dirinya, sedangkan S membantu O mendalami agama barunya.
O : ‘...sampai sekarang mindsetku
memang masih ke mindset muslim..
pada saat belajar itu terkadang ada
pertentangan sendiri misalnya lebih
mementingkan hal lain daripada
belajar itu...’
S : ‘...harus sedikit agak memaksa dia buat ke
gereja aku suruh anterin daripada cuman
nganterkan ayolah ikut ibadah bentar...’
Partisipan 2
1. Identitas dan latar belakang
Partisipan adalah sepasang suami istri berinisial G yang pada awalnya beragama
Kristen dan S beragama Islam. G berumur 28 tahun dan S berumur 25 tahun. Usia
perkawinan mereka 3 tahun dan dikaruniai satu anak. Partisipan tinggal di Salatiga dan
keduanya bekerja. G adalah anak pertama dari lima bersaudara sedangkan S anak
pertama dari tiga bersaudara. Partisipan bersahabat dari kuliah, mereka satu fakultas dan
21
merasa cocok dan akhirnya memutuskan untuk berpacaran selama 4 tahun sampai
memutuskan untuk menikah.
Pada 2 tahun awal hubungan pacaran mereka dijalani dengan backstreet tanpa
sepengetahuan orangtua mereka karena mereka tahu mereka berbeda agama, di tahun ke
tiga mereka memberanikan diri untuk berkata jujur pada orangtua masing-masing
tentang hubungan mereka. Penolakan terjadi pada kedua belah pihak keluarga masing-
masing namun setelah G memutuskan untuk melakukan pindah agama mengikuti agama
S, keluarga S mulai mau menerima keberadaan G sedangkan keluarga G masih tidak
dapat menerima sikap G yang melakukan pindah agama tapi lama kelamaan partisipan
memberi pengertian secara terus menerus dan keluarga G mau menerima keputusan G
dan semakin membaik dengan adanya anak dari perkawinan mereka.
2. Hasil
Pada aspek yang pertama yaitu pembagian tanggung jawab perkawinan (sharing
marital responsibility), terdiri dari empat tugas penyesuaian.
1. Peran gender : Ada kesepakatan diawal mengenai kesadaran dalam bertukar
peran dan mengurus rumah tangga.
G : ‘...kebetulan kita sama-sama ya
mengurus rumah tangga ya, bagi
peran ya imbanglah maksudnya saya
juga ngurus rumah tangga istri saya
juga...’
S : ‘...prinsip kami itu dikerjakan sama-sama
mbak jadi misalnya kita ga pandang itu
pekerjaan yang harus dikerjakan oleh istri
mana yang harus dikerjakan oleh suami...’
2. Materi dan keuangan : G dan S sama-sama bekerja, penghasilan keduanya
digabungkan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
G : ‘...penghasilan saya kasihkan ke
istri untuk mengatur penghasilan
itu...’
S : ‘...suami saya dapet berapa saya dapet
berapa kemudian uang itu nanti akhirnya di
gabung jadi baru saya melakukan pembagian
untuk pembayaran segala macemnya yang
harus dibayarkan setiap bulan..’’
22
3. Pekerjaan dan prestasi : Bagi G dan S konversi agama tidak memengaruhi
pekerjaan G karena menurut S yang dilihat adalah performa kerjanya.
G : ‘...ga ada hubungannya sama
konversi agama, ya di tempat kerja ga
mempermasalahkan konversi agama
sih...’
S : ‘...ga sih mbak karena memang.. yang
penting itu performa kerjanya mbak bukan latar
belakang dari keluarga, darimana kita
berasal...’
4. Kekuatan / kekuasaan dan pengambilan keputusan : G dan S saling
menyeimbangkan status dan peran masing-masing. Dalam mengambil
keputusan selalu ada komunikasi sebelumnya.
G : ‘...ga ada ya kalo yang dominan
ya semua sama-sama sih seimbang-
seimbang aja.. kalo pengambilan
keputusan biasanya kami ngobrol
dulu...’
S :‘...kita sendiri berusaha saling
menyeimbangkan mbak jadi porsinya samalah..
kita komunikasi kita ngobrol jalan tengahnya
yang paling enak gimana kemudian yaudah kita
ambil keputusan...’
Pada aspek yang kedua yaitu komunikasi dan konflik (communication and
conflict), terdiri dari dua tugas penyesuaian.
1. Komunikasi : G dan S adalah pasangan yang selalu berusaha terbuka dalam
segala hal pada pasangannya.
G : ‘...kami pasangan yang selalu
berusaha untuk mengkomunikasikan
segala sesuatu...’
S : ‘...pokoknya selagi kita masih bisa saling
ngobrol banyak cerita ya ya kita cerita aja jadi
banyak-banyakin ngobrol ajalah...’
2. Konflik dan pemecahan masalah : G dan S belum pernah mengalami masalah
yang besar dalam perkawinan mereka. Biasanya pemicu konflik paling sering
adalah sikap pelupa dan teledor G.
G :‘...kebetulan sampai sekarang
belum pernah ada konflik yang besar-
besar kayak gitu.. paling masalah
teledor.. pelupa juga...’
S : ‘...alhamdulilah sampe sekarang ini ga ada..
untuk masalah teledor itu paling sering sih..
emang dari dulu teledornya yang bikin saya
cerewet...’
23
Pada aspek yang ketiga yaitu seks dalam perkawinan (sex in marriage), terdiri
dari satu tugas penyesuaian.
1. Penyesuaian seksual : Konversi agama yang dilakukan G tidak memengaruhi
penyesuaian seksual yang mereka lakukan. Mereka melakukan hubungan
seksual pada saat yang sama-sama memungkinkan.
G :‘...ga mempengaruhi ya apa
masalah-masalah konversi agama itu
dengan aktivitas seksual.. ketika
pengen melakukan melakukan ketika
lagi sama-sama capek apa gamau
melakukan ya kita ga melakukan jadi
ga terpengaruh juga sih sama apa
hubungan konversi agama...’
S : ‘...ga kalo untuk itu masalah itu ga
mempengaruhi sama sekali.. kalo memang kami
memang sedang ingin melakukannya ya kami
lakukan tapi yang jelas memang ada
komunikasi dululah...’
Pada aspek yang keempat yaitu perubahan yang terjadi sepanjang waktu di
dalam kehidupan perkawinan (changes in marriage over time), terdiri dari lima
tugas penyesuaian.
1. Pemenuhan dan dukungan emosional : G mengekspresikan cintanya dengan
ucapan dan tingkah laku begitu juga dengan S. S menambahkan dengan
tanggung jawab pada keluarga seperti bertanggung jawab pada pekerjaan
masing-masing menjadi salah satu hal penting dalam mengekspresikan cinta.
G : ‘...sehari-hari paling ya kayak
bilang sayang atau ngasih pelukan-
pelukan ciuman...’
S : ‘...memang paling gampang kan lewat
kata-kata selain itu juga lewat tindakan
ditunjukan dengan tanggungjawab kami
masing-masing dengan pekerjaan dan
terhadap rumah tangga...’
2. Kebiasaan pribadi : Ada kebiasaan pribadi masing-masing tidak disukai oleh G
dan S. Alasan utama G dalam merubah kebiasaan merokoknya adalah dengan
adanya anak.
24
G : ‘...sampai sekarang masih ada
kebiasaan-kebiasaan saya atau
kebiasaan dia yang ga disukai..
sambil belajar kita saling
menyesuaikan.. karena udah ada anak
ngerokok paling sudah ga di dalem
rumah...’
S : ‘...karena sekarang udah ada anak jadi dia
menghindari merokok di depan saya dan di
depan anak karena yang pertama memang saya
kurang suka dia merokok cuman karena apa ya
kebiasaan memang ga bisa hilang secara
langsung ya jadi memang butuh belajar...’
3. Kehidupan sosial, pertemanan dan hiburan : Konversi agama tidak berpengaruh
pada kehidupan sosial G namun menurut S hanya berpengaruh pada rutinitas
suaminya saja.
G : ‘...di kehidupan sosial juga
sebenernya ga ada pengaruhnya sama
pindah agama itu.. di lingkungan
perumahan ga mempermasalahkan
masalah pindah agama juga...’
S : ‘...perubahannya lebih ke waktu
beribadahnya aja sih lebih kesitu...’
4. Keluarga : Pada saat G melakukan konversi agama ada rasa kecewa dan
kehilangan dari keluarganya, terjadi kecanggungan keluarga G kepada S tanpa
diketahui oleh G, namun membaik saat adanya anak.
G : ‘...ga ada penyesuaian-
penyesuaian yang susah sebenernya
ketika saya memutuskan untuk pindah
agama dalam keadaan keluarga
mereka juga sudah bisa menerima
bisa menerima saya sudah ga kayak
dulu waktu pacaran...’
S : ‘...sekarang udah baik-baik aja sejak anak
saya lahir semuanya jadi lebih baik.. waktu
suami saya baru melakukan konversi agama
orangtua dia masih canggung.. ya ada
kekecewaan terus ada kayak rasa kehilangan
gitu...’
5. Moral, nilai dan ideologi : Peran istri sangat besar untuk G dalam belajar agama
barunya. Karena G memang melakukan konversi agama dengan sepenuh hati
maka G belajar agama barunya dengan tekun agar dapat memberikan contoh
kepada anaknya.
G : ‘...saya sudah mantep untuk
pindah agama.. istri juga membantu
sih sebenernya ketika ada hal-hal apa
hal-hal dalam agama islam itu...’
S : ‘...suami saya udah niat jadi tetep saya
disini mendampingi dia untuk belajar untuk kita
bertumbuh bersama...
’
25
PEMBAHASAN
Dengan melihat kembali pada tujuan penelitian yaitu melihat gambaran mengenai
penyesuaian perkawinan pasangan yang salah satunya melakukan konversi agama
dalam penelitian ini suami yang melakukan konversi agama, berikut merupakan ulasan
dari kedua partisipan.
Pembagian tanggung jawab perkawinan (sharing marital responsibility)
Dalam aspek ini terdiri dari empat tugas penyesuaian yang akan diulas yaitu
peran gender, materi dan keuangan, pekerjaan dan prestasi, serta kekuatan / kekuasaan
dan pengambilan keputusan. Dari empat tugas penyesuaian tersebut banyak kesamaan
yang dialami oleh partisipan 1 dan 2. Dalam konteksnya dengan peran gender
Hoffman & Nye (dalam Anjani & Suryanto, 2006) berpendapat bahwa wanita biasanya
ditugaskan untuk mengurus rumah tangga, mengasuh dan merawat anak karena
dianggap cocok bagi kondisi psikologis dan fisiologis. Laki-laki sebagai pemberi nafkah
utama dan kepala keluarga yang harus dilayani dan dihormati oleh istri. Pendapat
tersebut tidak dilakukan oleh kedua partisipan. Kedua partisipan hampir sama dalam hal
mengurus rumah tangga, keduanya sama-sama melakukan pertukaran peran dalam
mengurus rumah tangga.
Pada partisipan 1 pertukaran peran dilakukan karena sudah terbiasa dengan
pertukaran peran yang dilakukan orangtua masing-masing terutama orangtua istri,
mereka merasa jika ada waktu kosong dan salah satu dapat membantu pekerjaan
pasangan yang lain kenapa tidak dilakukan. Saat anak mereka masih bayi partisipan
pernah bergantian bertugas menjaga anak mereka, sang istri terus bangun dari jam 9
malam sampai jam 3 pagi setelah itu istri tidur dan anak mereka gantian diurus oleh
suami. Partisipan 1 beraganggapan bahwa pertukaran peran dapat menjadi sarana
26
bekerjasama bagi mereka, perbedaan pendapat bagi mereka adalah hal yang wajar
dalam pertukaran peran yang mereka lakukan.
Kondisi tersebut hampir sama dengan apa yang dialami partisipan 2. Partisipan 2
berprinsip bahwa segala hal dilakukan secara bersama-sama, tidak ada yang namanya
pekerjaan istri atau pekerjaan suami. Partisipan 2 bersama-sama membagi tugas mereka
dengan imbang, keduanya mengurus rumah tangga dan juga mengurus anak. Saat istri
belum sempat membersihkan rumah dan suami bisa mengerjakan, suami akan
mengerjakan begitupun dengan masalah dapur entah memasak atau cuci piring suami
mau melakukannya. Namun dengan hal tersebut tidak membuat istri menjadi
menyerahkan semua tugasnya kepada suami namun tetap menjalankannya bersama-
sama.
Dalam konteksnya dengan materi dan keuangan, sumber keuangan partisipan
1 berasal dari keduanya. Suami dan istri sama-sama bekerja, namun tempat kerja
mereka berjauhan membuat mereka terpisah dalam masalah tempat tinggal. Suami
bekerja di Salatiga sedangkan istri bekerja di Bekasi. Karena keduanya bekerja mereka
beranggapan bahwa penghasilan mereka milik bersama. Penghasilan yang biasa
dikeluarkan untuk kebutuhan rumah tangga adalah penghasilan dari suami karena suami
yang ada di Salatiga dan tinggal bersama anak-anak mereka, setelah kebutuhan anak-
anak mereka tercukupi biasanya suami mengirim uangnya untuk istri di Bekasi sebagai
tambahan uang jajan karena suami menganggap penghasilan istri di Bekasi sudah cukup
untuk kehidupan istri disana. Sebelum mereka terpisah karena pekerjaan, istri yang
mengatur semua keuangan untuk kebutuhan rumah tangga mereka.
Sama halnya dengan yang dialami oleh partisipan 2, keduanya sama-sama
bekerja dan mempunyai penghasilan. Dalam mengatur keuangannya partisipan
27
menggabungkan penghasilan mereka yang akan diatur untuk kebutuhan rumah tangga
mereka, dalam hal ini yang mengatur keuangan adalah istri. Sampai saat ini partisipan
belum mengalami masalah dalam keuangan malah mereka bisa menyisihkan
penghasilan mereka untuk ditabung.
Dalam konteksnya dengan pekerjaan dan prestasi, partisipan 1 merasa
konversi agama yang Ia lakukan tidak mempengaruhi pekerjaannya saat ini namun
berpengaruh pada pekerjaan-pekerjaan tertentu misalnya saat partisipan bersama-sama
bekerja di sekolah khatolik di Bekasi, jika suami tidak melakukan konversi agama maka
ia tidak akan bisa diterima bekerja disana. Namun suami merasa tidak cocok dan
memilih kembali bekerja di Salatiga sebagai E.O dan istrinya masih bekerja di Bekasi
sebagai guru. Dengan pekerjaannya sekarang partisipan sudah merasa nyaman namun
keduanya menegaskan untuk berniat mencari pekerjaan yang lain. Bagi suami
pekerjaannya sekarang belum sesuai dengan ekspektasinya, ia menginginkan pekerjaan
yang Ia sendiri yang menentukan waktunya sedangkan istri ingin pindah kerja yang
jarak tempatnya lebih dekat dengan keluarganya.
Partisipan 2 juga berpendapat bahwa konversi agama yang dilakukan suami
tidak mempengaruhi mereka dalam pekerjaannya saat ini. Mereka merasa tidak ada
hubungan antara konversi agama dengan pemilihan pekerjaan mereka karena yang
dinilai adalah performa kerja mereka di tempat kerja mereka. Bekerja juga menjadi
salah satu cara untuk memperlihatkan bentuk tanggungjawab partisipan terhadap
keluarga mereka. Namun karena sibuk bekerja partisipan menjadi kurang dalam waktu
bertemu dan mengurus anak mereka, maka setiap hari minggu menjadi hari wajib bagi
partisipan dan anaknya berkumpul bersama entah pergi keluar atau hanya dirumah tanpa
ada kesibukan lain.
28
Dalam konteksnya dengan kekuatan / kekuasaan dan pengambilan
keputusan, partisipan 1 mempunyai keseimbangan dalam peran masing-masing. Tidak
ada yang terlalu dominan diantara keduanya dan sesuai porsinya masing-masing.
Misalnya dalam mengajari anak belajar biasanya dilakukan oleh istri sedangkan suami
biasanya mengurusi barang-barang elektronik. Dalam mengambil keputusan memang
biasanya ada pembicaraan terlebih dahulu namun istri merasa suami berpikir lebih logis
dibanding dirinya sedangkan istri lebih kepada perasaan, maka istri merasa lebih baik
suami yang memutuskan sesuatu dibanding dirinya walaupun sebelumnya pasti ada
pembicaraan antara mereka berdua.
Keseimbangan peran juga dialami oleh partisipan 2. Mereka saling
menyeimbangkan dalam status dan peran masing-masing dalam rumah tangga. Tidak
ada yang lebih dominan diantara suami atau istri. Namun partisipan 2 memiliki waktu
tertentu dalam berkomunikasi lebih serius, biasanya mereka menyempatkan waktu
sebelum tidur untuk sharing dan berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang
terjadi pada hari itu. Dalam mengambil keputusan partisipan 2 selalu berkomunikasi
terlebih dahulu namun jika salah satu harus mengambil keputusan secara cepat maka
ada pemberitahuan sebelumnya kepada salah satu pasangan melalui pesan sms atau
telepon dan pasangan yang lain berusaha untuk menerima keputusan pasangangannya.
Komunikasi dan konflik (communication and conflict)
Dalam aspek ini terdiri dari dua tugas penyesuaian yang akan diulas yaitu,
komunikasi dan konflik, pemecahan masalah. Dalam konteksnya dengan komunikasi,
Menurut Bower (1992, dalam Pudjiastuti & Mira, 2012) asertif diperlukan dalam
komunikasi. Asertivitas adalah kemampuan individu dalam bertingkah laku yang
menunjukkan adanya keberanian untuk secara jujur dan terbuka mengekspresikan
29
kebutuhan, perasaan dan pikiran apa adanya tanpa menyakiti orang lain. Hal inilah yang
terjadi pada kedua partisipan.
Partisipan 1 terbuka dalam berkomunikasi namun mereka juga punya privasi
yang mereka simpan sendiri tanpa diketahui oleh pasangan, bagi mereka hal tersebut
adalah hal biasa yang dilakukan oleh setiap pasangan. Suami adalah pribadi yang
bersikap acuh sedangkan istri adalah orang yang lebih mementingkan perasaannya, saat
istri marah akan suatu hal yang dilakukan suami terkadang suami tidak tahu kesalahan
apa yang dia lakukan karena sifat acuhnya, hal itu pada awalnya mengganggu istri
namun lama-kelamaan istri menjelaskan dengan baik tanda-tanda pada saat dia marah
apa yang dia lakukan, suami harus melakukan apa dan akhirnya suami mau belajar dan
tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Bagi partisipan 1 seseorang yang sudah
menikah itu tidak harus selalu menjadi suami istri, namun dapat memerankan menjadi
teman atau pacar itu juga hal yang penting bagi mereka. Sikap saling mendengarkan
juga ada pada hubungan mereka, bagi mereka mendengarkan adalah salah satu hal yang
terpenting dalam suatu hubungan.
Sedikit berbeda dengan yang dialami oleh partisipan 2, mereka berusaha selalu
terbuka dalam berkomunikasi dan tidak ada rahasia diantara mereka. Segala hal selalu
diobrolkan terlebih dahulu, dalam memutuskan suatu hal masalah anak ataupun masalah
rumah tangga. Jadi partisipan 2 adalah pasangan yang selalu mengkomunikasikan
segala hal pada pasangannya tidak hanya dilakukan secara langsung namun juga melalui
media elektronik yang sekarang mempermudah komunikasi antara mereka. Bagi mereka
sikap saling mendengarkan juga menjadi hal yang penting dalam sebuah hubungan
namun untuk mencapai sikap mendengarkan yang baik mereka juga melalui proses
belajar yang dilalui dari pacaran hingga sekarang mereka telah menikah.
30
Dalam konteksnya dengan konflik, pemecahan masalah, partisipan 1 merasa
keacuhan suami menjadi pemicu konflik yang sering terjadi dalam kehidupan mereka.
Namun hal itu tidak menimbulkan masalah besar bagi kehidupan perkawinan mereka,
yang masih segar teringat dalam ingatan istri adalah sikap pakdhe istri yang
membuatnya sempat stres karena pakdhenya menunjukan sikap tidak suka dengan
perkawinan secara khatolik yang mereka lakukan dahulu yang membuat mereka saling
tidak enak karena mereka adalah anggota keluarga berbeda jika mereka adalah orang
diluar keluarga partisipan.
Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi mereka selalu berkomunikasi, jika
keadaan sedang tidak enak untuk berkomunikasi maka mereka memilih untuk diam
namun nanti ada waktu dimana mereka akan membicarakan dan menyelesaikan masalah
tersebut. Dalam menyelesaikan konflik mereka tidak pernah meminta bantuan pada
keluarga besar hanya bercerita pada teman dekat namun mereka tetap memutuskan
sendiri apa yang harus dilakukan untuk permasalahan mereka.
Kondisi tersebut hampir sama dengan yang dialami oleh partisipan 2, menurut
mereka belum pernah ada masalah yang besar dalam perkawinan mereka. Biasanya
yang menjadi pemicu konflik paling sering adalah sikap-sikap teledor dan pelupa suami
seperti lupa menyimpan barang atau menaruh barang sembarangan. Hal-hal lain yang
menjadi pemicu konflik biasanya adalah perbedaan pendapat diantara keduanya namun
bagi mereka hal tersebut adalah biasa dialami oleh orang dalam berumah tangga. Dalam
menyelesaikan konflik partisipan 2 selalu mengkomunikasikannya bersama,
mengindentivikasikan penyebab konflik dengan merunut kebelakang apa yang menjadi
penyebab-penyebab konflik yang mereka alami dan sama dengan partisipan 1,
partisipan 2 juga tidak meminta bantuan kepada keluarga besar hanya bercerita pada
31
teman-teman dekat mereka namun pertimbangan terbesar partisipan dalam
menyelesaikan masalah adalah pendapat dari pasangan masing-masing.
Seks dalam perkawinan (sex in marriage)
Dalam aspek ini akan mengulas tentang penyesuaian seksual. Partisipan 1
merasa bahwa konversi agama yang Ia lakukan tidak mempengaruhi aktivitas seksual
yang mereka lakukan. Menurut partisipan aktivitas seksual dan agama itu sesuatu yang
berbeda walaupun di agama suami yang dulu ada beberapa peraturan tertentu untuk
berhubungan seksual namun menurut partisipan itu hanya sebuah norma dan tidak bisa
dijadikan satu dengan agama. Beardsley dan Stanford (1994, dalam Anjani & Suryanto,
2006) menyatakan bahwa suami istri yang telah memiliki anak akan lebih mencurahkan
kasih sayangnya kepada anak sehingga tidak waktu untuk bersama dengan pasangan.
Hal tersebut terjadi pada partisipan, menurut partisipan aktivitas seksualnya terpenuhi
dengan baik namun sekarang karena adanya anak partisipan agak kesulitan dalam
menyisihkan waktu untuk bersama atau sekedar keluar bersama berdua pasti ada anak
mereka ikut bersama mereka. Partisipan terutama istri ingin sekali untuk hanya berdua
bersama suami sekedar keluar makan atau ngobrol bersama namun kesusahan untuk
menentukan waktu tersebut. Kunci dalam aktivitas seksual partisipan 1 ialah adanya
komunikasi agar dapat saling belajar satu sama lain dan tidak ada paksaan.
Konversi agama juga tidak mempengaruhi aktivitas seksual yang dilakukan oleh
partisipan 2. Mereka bersama saling berkomunikasi tentang aktivitas seksual agar dapat
belajar satu sama lain. Partisipan 2 melakukan aktivitas seksual jika memang ingin
dengan keadaan yang sama-sama memungkinkan. Keadaan yang sama-sama
memungkinkan tersebut biasanya disaat keduanya tidak lelah dengan pekerjaannya,
tidak banyak pikiran dan yang pasti tidak mengganggu mereka dalam mengurus anak
32
mereka. Jika salah satu tidak ingin melakukan pasti ada obrolan sebelumnya ataupun
ketika aktivitas seksual itu dilakukan dengan keadaan yang tidak nyaman maka setelah
hubungan seksual dilakukan selalu ada komunikasi setelahnya.
Perubahan yang terjadi sepanjang waktu di dalam kehidupan perkawinan
(changes in marriage over time)
Dalam aspek ini terdiri dari lima tugas penyesuaian yang akan diulas yaitu,
pemenuhan dan dukungan emosional, kebiasaan pribadi, kehidupan sosial, pertemanan,
rekreasi dan hiburan, keluarga serta moral, nilai dan ideologi. Dalam konteksnya
dengan pemenuhan dan dukungan emosional pada partisipan 1 antara suami dan istri
terdapat saling berbeda pendapat mengenai masalah kepekaan, suami berpendapat
bahwa dirinya adalah orang yang sangat peka bahkan saat terjadi masalah suami sudah
tahu apa yang menjadi penyulut masalah tersebut namun karena sikapnya yang sangat
cuek membuat istrinya merasa bahwa suami adalah pribadi yang sangat tidak peka
bahkan istri merasa bahwa laki-laki itu memang dasarnya tidak peka sehingga membuat
istri lebih mengalah dan memberi tahu tanda-tanda pada saat istri sedang marah atau
sedang ada masalah bagaimana sikap yang harus dilakukan oleh suami. Partisipan 1
tidak terlalu suka untuk mengekspresikan rasa cintanya secara verbal lebih pada tingkah
laku seperti sentuhan dan ciuman. Dukungan penuh diberikan partisipan 1 terhadap
pekerjaan, cara mendidik anak dan masalah dengan keluarga.
Kondisi yang hampir sama dialami oleh partisipan 2, istri merasa bahwa suami
adalah pribadi yang kurang peka dalam memahami perasaan, sering banyak terjadi salah
paham diantara keduanya dalam menghadapi konflik yang terjadi, misalnya saat istri
sedang ada masalah dan memilih untuk diam suami tidak mengerti apa arti dari sikap
diam tersebut dan akhirnya suami terus bertanya apa yang terjadi pada istri dan akhirnya
33
mereka bertengkar walaupun tidak berlangsung lama. Partisipan 2 mengekpresikan
cintanya melalui kata-kata, sentuhan dan ciuman. Bagi partisipan 2 dukungan yang
diberikan pada pasangan dapat diperlihatkan dengan bentuk tanggung jawab diri sendiri
pada keluarga dan pasangan, misalnya dalam tanggung jawabnya dengan pekerjaannya,
tanggung jawabnya dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak secara bersama-sama.
Dalam konteksnya dengan kebiasaan pribadi, Rini (2002, dalam Anjani &
Suryanto, 2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian
perkawinan adalah persatuan dua pribadi yang berbeda, yang didalamnya akan banyak
terdapat perbedaan yang muncul. Hal tersebut terjadi pada kedua partisipan dalam
masalah kebiasaan pribadi pasangan masing-masing. Partisipan 1 merasa perubahan
yang terbesar adalah perubahan dalam tanggung jawab. Memang ada kebiasaan-
kebiasaan masing-masing yang tidak disukai pasangan, misalnya kebiasaan suami
merokok sedangkan kebiasaan istri saat bertemu teman-temannya dan pulang lupa
waktu. Kebiasaan-kebiasaan tersebut dirubah oleh partisipan entah dengan
kesadarannya sendiri atau dengan masukan dari salah satu pasangan untuk kebaikan
rumah tangga mereka. Partisipan 1 menyadari bahwa perubahan tersebut tidak langsung
terjadi namun dengan proses dan masih belajar hingga hubungan mereka sekarang.
Pada partisipan 2 juga terjadi hal yang sama dalam kebiasaan pribadi. Masing-
masing pasangan mempunyai kebiasaan pribadi yang tidak disukai satu sama lain.
Misalnya suami dengan keteledoran dan sifat pelupanya sehingga sering timbul
masalah-masalah kecil karena sikap tersebut sedangkan istri dengan kebiasaan
menonton televisi sampai malam yang sering mengganggu istirahatnya. Kebiasaan yang
tidak disukai tersebut juga dirubah oleh partisipan untuk kebaikan rumah tangga dan
keluarga mereka. Partisipan 2 mengganggap bahwa jika seseorang sudah berkeluarga
34
maka kebiasaan buruk tersebut sudah menjadi satu paket yang harus diterima oleh
masing-masing pasangan sehingga bagaimana caranya dapat mengurangi kebiasaan
buruk tersebut dan lebih baik juga dapat dihilangkan, tidak harus secara langsung
namun tetap berproses.
Dalam konteksnya dengan kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi dan
hiburan, partisipan 1 merasa bahwa konversi agama yang dilakukannya tidak
mempengaruhi dalam kehidupan sosialnya namun hanya berubah dalam segi rutinitas
saja misalnya saat dulu suami belum pindah agama ada kegiatan-kegiatan pemuda
masjid di hari-hari tertentu dan juga hari raya tertentu dan sekarang sudah tidak
melakukan hal tersebut karena pindah agama yang ia lakukan. Partisipan 1 mengenal
dengan baik teman-teman masing-masing pasangan karena mereka bersahabat dari
bangku kuliah dan juga menyisihkan waktu untuk saling bertemu jika istri pulang saat
liburan dari Bekasi. Belum pernah ada konflik yang besar dengan teman-teman
partisipan, mereka juga tidak memberikan batasan-batasan tertentu dalam pertemanan
hanya batasan mengenai status perkawinan mereka seperti dengan adanya anak ada jam-
jam tertentu untuk bertemu dan berkumpul bersama teman-teman partisipan.
Konversi agama juga tidak mempengaruhi kehidupan partisipan 2, hanya
perubahan dalam rutinitas dalam beribadah. Ada juga beberapa kegiatan baru yang
dilakukan suami setelah konversi agama yang ia lakukan seperti bakti sosial di masjid,
kampung dan lingkungan sekitarnya. Mengenai pertemanan, karena partisipan 2 juga
bersahabat dari kuliah mereka saling mengenal teman-teman masing-masing pasangan.
Batasan-batasan yang ada dalam partisipan 2 juga mengenai permasalahan waktu
bertemu dengan teman-teman karena ada hal yang lebih penting seperti keluarga dan
anak yang harus diurus, jangan sampai salah satu pasangan meninggalkan kewajiban
35
tersebut untuk hanya menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Partisipan 2 juga
menyempatkan waktu untuk bertemu teman-temannya sehingga hubungan terjalin baik
diantara keduanya.
Dalam konteksnya dengan keluarga, partisipan 1 merasa sudah dekat satu
sama lain dengan keluarga masing-masing. Dari awal pacaranpun penyesuaian mereka
tidak mengalami banyak kendala, bahkan partisipan merasa beruntung mempunyai
keluarga seperti keluarga mereka masing-masing karena dari awal partisipan bisa
sedekat itu dengan keluarga pasangan seperti keluarga sendiri. Suami juga merasa
bahwa ada faktor agama juga di dalam kedekatannya dengan keluarga pasangan karena
hanya keluarga inti pasangan saja yang beragama Khatolik sedangkan keluarga
besarnya beragama Islam dan juga faktor ibu istri juga pernah melakukan konversi
agama, hal tersebut membuat suami menjadi lebih gampang melakukan penyesuaian
dengan keluarga istri.
Kondisi tersebut berbeda dengan yang dialami oleh partisipan 2. Partisipan 2
merasa banyak kendala yang mereka hadapi dalam keluarga masing-masing. Hal
tersebut diperlihatkan dengan masa pacaran mereka selama 2 tahun dengan keadaan
yang backstreet atau sembunyi-sembunyi. Namun akhirnya mereka berani untuk
terbuka dengan keluarga masing-masing sampai akhirnya suami memutuskan untuk
pindah agama. Masalah tidak berhenti disitu saja namun ada rasa kekecewaan dan
kehilangan dari keluarga suami atas konversi agama yang suami lakukan. Masih banyak
beda pendapat antara partisipan dan orangtua suami dan istri merasa ada kecanggungan
yang terjadi antara orangtua suami kepada istri selama 2 tahun perkawinan.
Kecanggungan tersebut hanya dirasakan oleh istri namun ia tidak
menceritakannya pada suami karena suami diam saja dan istri berusaha untuk tidak
36
membuat hal itu menjadi masalah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gunarsa (1982,
dalam Anjani & Suryanto, 2006) yang menyatakan bahwa mertua ataupun orangtua
merasa bahwa hak-hak atas anaknya direbut oleh menantunya dan sering terjadi
perebutan cinta kasih antara mertua dan menantu. Persaingan ini bisa meruncing dan
bisa menimbulkan percekcokan. Namun kecanggungan tersebut berkurang setelah
mereka mempunyai anak dan terus menjalin komunikasi yang baik dengan orangtua
masing-masing.
Dalam konteksnya dengan moral, nilai dan ideologi, menurut Paolutzian
(1996, dalam Ardhini, Abidin & Dinie, 2012) konversi agama akan membuat seluruh
kehidupan seseorang berubah selama-lamanya, karena pada dasarnya konversi agama
merupakan perubahan mendasar dan penataan ulang identitas diri, makna hidup juga
aktivitas seseorang. Hal tersebut terjadi pada kedua partisipan, partisipan 1 terutama
suami masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk belajar lebih tentang agama
baru yang partisipan anut. Masih banyak mindset-mindset yang melekat tentang
agamanya yang lama.
Menurut partisipan pengetahuannya tentang agama barunya masih belum cukup
dalam dan proses belajarnya juga masih berlanjut sampai sekarang. Suami juga merasa
bahwa masih kurang kesadaran dan ada pertentangan dalam dirinya dalam belajar
agama barunya. Misalnya saat waktunya mempelajari agama ada teman-temannya
datang Ia memilih untuk berkumpul bersama teman-temannya dan masih mementingkan
hal lain daripada belajar agama barunya. Partisipan saling mengajarkan nilai-nilai
keagamaan dan mendidik anaknya pada satu tujuan walaupun tujuan dari masing-
masing individu berbeda namun bagaimana cara mereka untuk mengharmonisasikan
37
dan membuat satu tujuan yang sama untuk kebaikan keluarga mereka terutama anak-
anaknya.
Pada partisipan 2, istri dan keluarga istri bersama-sama mendampingi suami
dalam belajar dan menjalankan agama baru yang suami anut. Proses penyesuaian juga
masih berjalan hingga sekarang, karena suami pindah agama menjadi islam maka ia
harus menjalankan kewajiban-kewajibannya di agama Islam seperti menjalankan puasa
yang sampai sekarang suami masih merasa belum sempurna karena masih belum dapat
menjalankannya sebulan penuh. Karena suami melakukan konversi agama sepenuh hati
maka ia berusaha untuk lebih mengetahui dan mau belajar tentang agamanya dengan
tekun apalagi sebagai kepala keluarga ia juga harus mengajarkan nilai-nilai agama
untuk anaknya.
Istri sangat berperan besar dalam perubahan-perubahan besar terutama masalah
agama yang dianut suami saat ini. Sama dengan yang dialami partisipan 1, partisipan 2
juga punya tujuan hidup masing-masing namun mereka mencoba untuk berkomunikasi
dan mengharmonisasikannya agar berjalan bersama dan menetapkan satu tujuan yang
baik untuk kebahagiaan keluarga mereka.
Dari pembahasan tersebut, didapatkan hasil yang hampir sama dalam sebagian
besar aspek dan ada juga perbedaan dalam aspek-aspek tertentu. Kesamaan hasil
tersebut karena kedua partisipan mempunyai beberapa cerita dalam kehidupannya yang
sama misalnya latar belakang pertemanan mereka dari masa kuliah, keterbukaan dalam
komunikasi dan bagaimana mereka menyikapi sebuah agama. Sedangkan perbedaan
kedua partisipan karena latar belakang keluarga, umur perkawinan dan juga kesadaran
akan diri sendiri.
38
KESIMPULAN
1. Konversi agama tidak mempengaruhi penyesuaian perkawinan kedua partisipan
dalam aspek-aspek tertentu karena kedua partisipan mempunyai cara pandang yang
sama dalam menyikapi sebuah agama.
2. Kedua partisipan memandang sebuah perbedaan agama hanya dari tata cara
beribadahnya dan mempercayai bahwa Tuhan hanya satu.
3. Perubahan yang terjadi dalam konversi agama yang partisipan lakukan adalah
perubahan dalam rutinitas dalam menjalankan agama baru partisipan.
4. Keduanya melakukan konversi agama dengan sepenuh hati namun perbedaan yang
terlihat jelas adalah dari partisipan 1 yang masih kurang dalam kesadaran dirinya
untuk belajar tentang agama barunya dan terjadi pertentangan dalam dirinnya
sedangakan partisipan 2 giat dalam belajar agama barunya.
5. Keluarga mempunyai peran besar dalam masalah-masalah yang timbul dalam
penyesuaian parkawinan mereka terutama pada partisipan 2.
SARAN
Saran yang dapat peneliti berikan dari penelitian ini antara lain:
Untuk penelitian selanjutnya, hasil penelitian menunjukan bahwa penyesuian
kedua partisipan sudah berjalan baik namun masih kurang dalam jumlah partisipan,
variasi individu yang melakukan konversi agama dan informasi mengenai keluarga dan
kerabat dekat partisipan. Peneliti merekomendasikan untuk menambah jumlah
partisipan dengan umur perkawinan dan individu yang melakukan konversi agama yang
berbeda-beda serta melakukan wawancara singkat dengan keluarga masing-masing
terutama keluarga partisipan yang melakukan konversi agama mengenai penyesuaian
pasangan dan keluarga masing-masing.
39
DAFTAR PUSTAKA
Ardhini, R., Abidin. Z., & Dinie. R. D. (2012). Adjustment of mualaf adolescence.
Jurnal Psikologi, 1(1). Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang.
Diunduh 18 January, 2014 dari http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/empati/article/download/468/466
DeGenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate, relationship, marriages and family
(6th
Ed). USA: McGraw Hill.
Duvall, E. M., & Miller, B. C. (1985). Marriage and family development. (9thEd). NY:
Harper & Row publishers.
Dwisaptani. R. & Jenny L. S. (2008). Konversi agama dalam kehidupan pernikahan.
Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Ciputra, Surabaya. Diunduh 18
January, 2014 dari http://jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-
humaniora/article/view/948/795
Dyer, E. D. (1983). Courtship, marriage, and family: American style. Illionis: The
Dorsey Press.
Goel. S., Narang. D. K., & Kavita. K. (2013). Marital adjustment and mental health
among bank employees and doctors during middle age (40-55 years) in Delhi.
International Journal of Scientific and Research Publications, 3(1). University of
New Delhi & University of Rajashtan, Jaipur. Diunduh pada 5 April, 2014 dari
http://www.ijsrp.org/research-paper-1301/ijsrp-p1326.pdf
Hamamci, Z. (2005). Dysfunctional relationship beliefs in marital satisfaction and
adjustment. International Journal Social Behavior & Personality, 33(4), 313-328,
University of Giantep, Turkey.
Hurlock, E.B. (2002). Psikologi Perkembangan 5th
edition. Erlangga: Jakarta
Khasanah, K. (2008). Pengaruh konversi agama terhadap keharmonisan keluarga (Studi
kasus di kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang). Skripsi. Semarang: Institut
Agama Negeri Walisongo, Fakultas Ushuluddin. Diunduh 18 January, 2014 dari
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/76/jtptiain-gdl-khadirotul-3779-1-
4102039-p.pdf
Kompas.com. Diunduh pada 14 Maret, 2014 dari
http://regional.kompasiana.com/2013/11/14/dipolisikan-fpi-karena-mengaku-
kristen-etiskah-konversi-agama-dilakukan-tersembunyi-610693.html
Kompasforum.com. Diunduh pada 14 Maret, 2014 dari
http://forum.kompas.com/keluarga/14809-perkawinan-beda-agama-8-print.html
Lewis, R. R (1993). Understanding religius conversion. London: Yale Univercity Press.
Makalew, J. M. (2013). Akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia. Jurnal
Psikologi.
40
Ngantung, G. N. (2012). Penyesuaian perkawinan pada mahasiswi yang menikah karena
hamil diluar nikah. Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,
Fakultas Psikologi.
Prabowo, M. R. (2006). Penyesuaian perkawinan pada pasangan yang berlatar belakang
etnis batak dan etnis jawa. Skripsi. Jakarta: Universitas Gunadarma, Fakultas
Psikologi. Diunduh 18 January, 2014 dari
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2006/artikel_105
00255.pdf
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia
(3rd
Ed). Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.
Pudjiastuti, E. & Mira, S. (2012). Hubungan antara asertivitas dengan penyesuaian
perkawinan pasangan suami istri dalam usia perkawinan 1-5 tahun di Kecamatan
Coblong. Jurnal Psikologi, 3(1), Fakultas Psikologi, Universitas Islam, Bandung.
Sukiman. (2005). Konversi agama (Studi kasus pada dua keluarga di dusun Pasekan
Maguwoharjo, Depok, Sleman). Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama 6(1). Diunduh
18 Januari, 2014 dari http://digilib.uin-
suka.ac.id/8315/1/sukiman%20konversiagama%20%28studi%20kasus%20pada%2
0dua%20keluarga%20di%20dusun%20pasekan%20maguwoharjo%20depok,%20sl
eman%29.pdf
Suryanto. C. A. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Skripsi.
Surabaya: Universitas Airlangga Surabaya, Fakultas Psikologi. Diunduh 10
Oktober, 2013 dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/05%20-
20Pola%20Penyesuaian%20Perkawinan%20pada%20periode%20Awal.pdf
Suryani, L. K. & Cokorda, B. J. L. (2007). Mengatasi badai kehidupan perkawinan.
Intisari seri psikologi. Jakarta: PT Intisari Mediatama.
Walgito, B. (2000). Bimbingan & Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Andi.
Wismanto, B. (2005, 22 Agustus). Kepuasaan perkawinan diperoleh dari komitmen
perkawinan. Diunduh 10 Oktober 2013 dari
http://www.unika.ac.id/warta/22082005.htm.