penolakan menjadi ahli waris menurut hukum...
TRANSCRIPT
PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Yatmi Wulan Sari
NIM : 100044219402
Dibawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Yatmi Wulan Sari
NIM : 100044219402
Dibawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM
ISLAM DAN KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PERDATA telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas syariah dan Hukum Univesitas Negri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 13 Mei 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada program studi
Al - ahwal Al - syakhsiyah (Adminitrasi Keperdataan Islam).
Jakarta, 13 Mei 2009
Mengesahkan,
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
NIP. 150 169 102
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH
NIP. 150 285 972
3. Pembimbing I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.
NIP. 150 169 102
4. Penguji I : DR. KH. A. Djuaini Sukry, LC, MA.
NIP. 150 256 969
5. Penguji II : Prof. DR. H. A. Sutarmadi.
NIP. 150 031 177
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Oktober 2008
Yatmi Wulan Sari
KATA PENGANTAR
������������������������ �������� �������� ����������������������������
��������������������������������
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat illahi Rabbi atas segala rahmat
dan hidayahnya, sholawat tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
beserta para sahabatnya.
Penulis bertolak dari satu keyakinan bahwa, atas izin dan petunjuknya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisannya skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan.
Karenanya penulis sangat menghargai semua pihak yang dapat memberikan masukan
hingga penulisan skripsi ini menjadi lebih baik. Karena itu sudah sepatutnya penulis
mengucapkan rasa hormat dan terimakasih, kepada semua pihak yang telah
memberikan , dorongan doa dan pengorbanan moril, materil, pada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini
Akhirnya izinkan penulis untuk menyampaikan rasa terimakasih sebesar
besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. Prof. Dr. H Muhammad Amin Suma,
SH, MA, MM.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, MA. Sebagai Dosen Pembimbing Skripsi dan
Drs. Kama Rusdiana Selaku Ketua Dan Sekretaris Program Studi Ahwal
Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. KH. A. Djuaini Sukry, LC, MA. Selaku Penguji I dan Prof. Dr. H. A.
Sutamardi Selaku Penguji II
4. Kepada Orang Tua Tercinta, Ayahanda, dan Bunda Yang Telah Memberikan
Motivasi Dan Do'a Untuk Penulis Dapat Menyelesaikan Skripsi Ini.
5. Kakak-Kakakku Dan Adik-Adikku, Dan Yang Tersayang Yang Selalu
Memberi Semangat Penulis Dalam Mengerjakan Skripsi Ini.
6. Untuk Teman-Temanku dan Semua Pihak Yang Telah Memberikan Semangat
Baik Moril Maupun Materi.
Akhirnya Skripsi Ini Kupersembahkan Kepada Insan Akademik Almamater
Dan Para Pencari Ilmu, Harapan Penulis Semoga Karya Ilmiah Ini Bermanfaat Dan
Dapat Menambah Khazanah Pengetahuan.
Jakarta, Mei 2009
Penulis
Yatmi Wulan Sari
DAFTAR ISI
LEMBARAN PERNYATAAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 7
C. Metode Pembahasan 8
D. Sistem Penyusunan 9
BAB II BEBERAPA PENGERTIAN-PENGERTIAN
A. Pengertian Hukum Islam 11
B. Pengertian Hukum Perdata 18
C. Pengertian Kewarisan 21
BAB III KONSEP KEWARISAN HUKUM ISLAM DAN KITAB
UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA
A. Dasar Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam Dan Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata 24
B. Sebab - Sebab Mewaris Menurut Hukum Islam Dan Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata 37
C. Bagian - Bagian Waris Menurut Hukum Islam Dan Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata 45
BAB IV PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS
A. Penolakan Menjadi Ahli Waris Menurut Hukum Islam 57
B. Penolakan Ahli waris Menurut Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata 68
C. Persamaan dan perbedaan penolakan menjadi waris 73
D. Analisis 78
BAB V PENUTUP
A. kesimpulan 84
B. Saran 86
DAFTAR PUSTAKA 87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia, diawali dengan kelahiran, hidup dan
diakhiri dengan kematian, ketiga peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang tidak
dapat dielakkan, apakah melalui prosedur yang sah/tidak, maupun karena
perkawinan.
Peristiwa kelahiran seseorang, tentunya akan menimbulkan akibat hukum
seperti hubungan hukum dengan orang tua, saudaranya, keluarga, pada umumnya,
dan juga timbulnya hak dan kewajiban pada dirinya, peristiwa perkawinan juga
menimbulkan akibat hukum yang kemudian diatur dalam hukum perkawinan.
Sehingga timbul hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antar suami istri,
terhadap anak-anak dan pihak-pihak lainnya. Demikian juga peristiwa kematian
(meninggal dunia) juga merupakan peristiwa yang menimbulkan akibat hukum
terhadap orang lain terutama pada keluarganya dan pihak-pihak tertentu. Pada saat
kematian akan timbul persoalan tentang bagaimana harus dilakukan terhadap harta
yang ditinggalkan.1
1 Suparman Usman , Ikhtisar hukum waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Serang , Darul Ulum Press, 1993), Cet. Kedua, h. 49-50.
Dengan meninggalnya seseorang, segala kewajiban pada prinsipnya tidak
beralih kepada pihak lain. Adapun mengenai harta kekayaan beralih kepada pihak
lain yang masih hidup yakni orang yang telah ditetapkan sebagai pihak penerima.2
Proses beralihnya kekayaan dari yang meninggal kepada orang yang masih
hidup, inilah yang diatur hukum waris.3 Dalam hukum islam, ilmu tersebut dikenal
dengan nama hukum waris, Fiqih Mawaris atau Ilmu Faraid.4 Di Indonesia selain
waris yang berasal dari syari’at islam dan yang telah di formilkan yakni KHI dikenal
juga hukum waris adat dan hukum waris dari kitab undang-undang hukum perdata
(Burgelijk wetboek), yang terdapat dalam buku II. Berdasarkan ketiga hukum itu
hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang menentukan dan mencerminkan
sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.5
Apabila memperhatikan pengaturan dan kedudukan waris yang bersumber
pada ketentuan hukum yang berlainan itu, maka akan dapat diketahui baik dari segi
perbedaan maupun segi persamaannya dan selanjutnya akan dapat diketahui pula.
Bagaimana bagian masing-masing pada ketentuan hukum waris itu mengatur
kedudukan harta benda warisan, ahli waris yang menerima dan menolak bagian dan
permasalahan waris lainnya.
2 Suparman Usman & yusuf somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1997), Cet. Pertama, h. 13
3 Usman, Ikhtisar Hukum Waris, h.49-50
4 Usman & Somawinata, Fiqh Mawaris, h.13
5 Usman, Ikhtisar Hukum Waris, h.49-50
Dalam literatur hukum waris Islam mengatur adanya kelompok atau golongan
ahli waris menurut garis keturunannya, masing-masing yang dihubungkan kepada
pewaris, seperti ahli waris menurut garis keturunannya masing-masing yang
berhubungan dengan pewaris, seperti ahli waris ashabul furudh (ا���ب ا���وض) dan
golongan dzawil arham ( مرح��ا يو ذ ), serta golongan terakhir yaitu waris ‘asshabah
(����).
Sedangkan dalam sistem kewarisan menurut hukum perdata, para ahli waris
dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga kemungkinan, yaitu :
1. Menerima harta warisan secara penuh dan murni (Zuivere aanvaarding)
2. Menerima harta warisan dengan syarat (Beneficiare aanvaarding)
3. Menolak harta warsan (Verwerpen)
Namun pada kenyataannya. tidak menutup kemungkinan terjadi sikap
penolakan atas bagian harta kekayaan itu. Maka penulis mengadakan penilitian yang
bertujuan untuk mengetahui perbedan dan persamaan waris menurut hukum Islam
dan kitab undang-undang hukum perdata.
Dalam hukum Islam waris dijelaskan takharuj atau pengunduran diri adalah
kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau beberapa orang
diantara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasi atau imbalan dari
salah seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya, baik imbalan tersebut berasal
dari harta perseorangan maupun dari harta peninggalan itu sendiri.6
6 Ibid, h. 153
Sedangkan dalam pengertian pengunduruan diri memiliki arti perjanjian atau
perdamaian para hali waris untuk mengeluarkan atau mengundurkan sebagiannya dari
pewarisan, dengan mendapatkan suatu prestasi atau imbalan yang ditentukan. 7
Dalam pasal 1057 kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk wetboek)
yaitu “Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan
suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan pengadilan negeri, yang dalam daerah
hukumnya telah terbuka warisan itu”.8
Dari pasal tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa para ahli waris dapat
menentukan sikap untuk menolak bagian warisan dari si pewaris dalam bentuk suatu
pernyataan kepada kepaniteraan pengadilan negeri setempat dimana warisan itu telah
terbuka.
Konsekwensinya ahli waris yang menolak bagian waris tersebut dinyatakan
tidak pernah menjadi ahli waris. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan dalam
pasal kitab undang-undang hukum perdata pasal 1058.9
Adapun yang dimaksud dengan penolakan itu sendiri adalah melepaskan
suatu hak sebagaimana halnya dengan setiap pelepasan hak lainnya. Mulai berlaku
dengan menyatakan kehendaknya pada yang bersangkutan, dalam hal ini ahli waris.10
7 Ibid, h. 152
8 R. Subekti dan R Tjitosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),
(Jakarta: PT. Pradanya Paramita, 2001), Cet. Ke 30 h. 273.
9 Ibid, Pasal 1058 berbunyi “Si Waris” yang menolak warisannya, dianggap tidak pernah telah
menjadi waris.
Bagian warisan ahli waris yang menolak jatuh kepada ahli waris lain yang
sedianya berhak atas bagian itu seandainya orang yang menolak itu tidak hidup pada
waktu meninggalnya si pewaris dan juga tidak menyebabkan adanya pergantian
tempat kepada keturunannya, jika yang menolak itu satu-satunya ahli waris dalam
derajatnya atau semua ahli waris menolak, maka semua keturunan dari ahli waris
yang menolak itu tampil sebagai ahli waris atas dasar kedudukan mereka sendiri
(Vitegen Hoofde) dan mewaris untuk bagian yang sama. 11
Berkenaan dengan penolakan yang terjadi ahli waris tersebut diatas, bila
dikolerasikan dengan penjabaran atau objek pembahasan hokum waris Islam, baik
menurut persepsi ulama, dan atau menurut ketentuan perundang-undangan yang
mengatur perihal kewarisan, terdapat titik-titik perbedaan yang sangat essensial
antara keduanya.
Dalam hukum Islam (Fiqih) dijelaskan bahwa pengunduran diri seorang waris
dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagiannya secara syar’i. Dalam hal ini
dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah
seorang ahli waris lainnya atau dari harta peninggalan yang ada.12
Dan dalam hukum
perdata menurut pasal 1057 penolakan menjadi ahli waris harus terjadi dengan tegas
10 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda. (Jakarta
:Penerbit Intermasa, 1986) Cet. Kedua, h.41.
11 Usman, Ikhtisar HUkum Waris Islam, h. 127
12 Muhammad Ali Ash-Shabuni penerjemah A.M. Basmalah, “Pembagian waris menurut Islam”. Gema
Insani Press, 1995 diakses pada 1 September 2008 http://media.isnet.org/islam/waris/Takharuj.html
dan dilakukan dengan bentuk pernyataan seperti apa yang harus melalui kepeniteraan
pengadilan negeri.
Selain itu, perbedaan lainnya terdapat pada segi pengertiannya dalam
penolakan memiliki arti melepaskan suatu hak13
Penolakan tidak mempengaruhi
legitim (bagian warisan) dari ahli waris lainnya.14
Dan bagian legietieme
portienyapun akan hilang15
sedangkan dalam pengertian pengunduran diri memiliki
arti perjanjian atau perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan atau
mengundurkan sebagiannya dari pewarisan, dengan mendapatkan suatu prestasi atau
imbalan ditentukan.16
Dari kesimpulan perbedaan tentang pengertian penolakan menurut hukum
Islam dan hukum perdata. Terdapat perbedaan dalam pemberian imbalan. Dalam
kewarisan Islam pengunduran diri mendapatkan suatu prestasi atau imbalan yang
sudah ditentukan, sedangkan dalam hukum perdata (Burgeljik Wetboek) tidak diatur
adanya pemberian imbalan atau prestasi kepada ahli waris yang menolak bagian
warisan yang mengundurkan diri untuk menerima bagian warisan, Itulah beberapa
permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih jauh, karena kewarisan yang dalam
sistem kewarisan perdata (Burgelijk wetboek) dengan kewarisan yang dalam hukum
13 A.Pitlo, Hukum Waris, Jakarta, h.41
14 Ibid, h. 42
15 Efendi Perangin, Hukum waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Keempat, h. 12
16 Usman dan Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 151
Islam terdapat beberapa prinsip dan pembahasan yang bertolak belakang diantara
keduanya.
Melihat hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul :
“PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”
B. Pembatasan & Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasinya hanya pada
pembahasan tentang penolakan menjadi ahli waris menurut hukum islam dan
kitab undang-undang hukum perdata
2. Perumusan Masalah
Masalah bahasan dalam skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut :
“Baik dalam hukum islam maupun dalam kitab undang-undang
hukum perdata masing-masing berhak menerima bagian waris dari
keluarganya yang mati. Dalam kenyataannya terdapat ahli waris yang
menolak. Mendapat hak waris untuk hal inlahi yang ingin penulis telusuri
dalam skripsi ini. Baik sebab-sebab yang bersangkutan mengundurkan diri
maupun statusnya sebagai ahli waris.”
Rumusan Masalah diatas dapat penulis rinci dalam bentuk pernyataan
sebagai berikut :
1. Apakah sebab-sebab seseorang menolak menjadi ahli waris menurut
hukum Islam ?
2. Bagaimana status seseorang ahli waris yang menolak menjadi ahli waris,
apa saja sebab penolakan menjadi ahli waris menurut hukum kitab
undang-undang hukum perdata?
3. Apa persamaan dan perbedaan tentang penolakan menjadi ahli waris
menurut kedua hukum tersebut ?
C. Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah asas
pendekatan deskripsi, yuridis dan komparatif dengan metode kepustakaan (library
research).
Metode deskripsi, yaitu pertama penulis menggali bahan-bahan dari buku-
buku, naskah dan data-data yang berkaitan dengan pembahasan.
Metode yuridis setelah bahan tersebut terkumpul dan di analisis dan di
kaji perspektif hukumnya menurut hukum perdata barat.
Baru kemudian dilakukan pendekatan komparatif (perbandingan) hukum
mungkin di terapkan dengan memakai unsur-unsur system hukum sebagai titik
tolak pembanding :
a. Struktur hukum, yaitu lembaga hukum
b. Subtansi, yaitu perangkat kaidah-kaidah hukum dan
c. Budaya hukum perangkat nilai yang dianut17
Namun disini penulis hanya membandingkannya dari subtansi hukumnya saja,
karena fungsi perbandingan pada hakekatnya menjelaskan persamaan-persamaan
terhadap objek diselidiki yang kesemuanya dijelaskan dalam perbandingan sebagai
suatu metode baik deskripsi, analisis maupun secara teori yang kemudian dievaluir.18
Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku pedoman
skripsi ini penulis menggunakan buku pedoman skripsi, tesis dan disertai UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Sistematika Penyusunan
Supaya lebih sistematis, skripsi ini disusun dalam (lima) bab pokok
pembahasan dengan perincian sebagai berikut :
1). Bab I adalah pendahuluan,berisi latar belakang pemikiran dari judul skripsi,
Pembatasan masalah dan perumusan masalah, metode penyusunan skripsi.
2). Bab II berisi penjelasan secara umum pengertian tentang kewarisan, meliputi
pengertian hukum islam, pengertian hukum perdata, pengertian kewarisan.
3). Bab III memberikan penjelasan dasar hukum kewarisan, sebab-sebab mewaris dan
bagian-bagian ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang hukum
perdata barat (Burgelijk Wetboek).
17 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normative. (Jakarta : Rajawali, 1980)
Cet. Kedua, h101
18 Syachran Basah. Hukum Tata Negara Perbandingan. (Bandung :Alumni, 1976),h.13.
4). Bab IV memberikan penjelasan tentang penolakan menjadi ahli waris, di
dalamnya menjelaskan penolakan menjadi ahli waris menurut hukum islam,
penolakan ahli waris menurut kitab undang-undang hukum perdata, serta
persamaan dan perbedaan penolakan.
5). Bab V merupakan penutup yang meliputi kesimpulan semua pembahasan skripsi
dan saran-saran.
BAB II
BEBERAPA PENGERTIAN-PENGERTIAN
A. Pengertian Hukum Islam
Untuk dapat memahami pengertian hukum Islam maka terlebih dahulu kita
pahami pengertian tentang kata hukum, jika berbicara tentang hukum. Secara
sederhana terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau seperangkat
norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat baik
peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa.19
Dalam konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh
Allah swt. Tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain
(hablum minannas) dan benda dalam masyarakat. Akan tetapi hubungan dengan yang
lainnya, yaitu hubungan antara manusia dengan tuhan (hablum minallah).20
19 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Islam diIndonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Kedelapan, h. 38
20 Ibid
Hukum menurut Ahmad Rofiq ialah seperangkat peraturan tentang tindak
tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku
dan untuk seluruh anggotanya.21
Sedangkan menurut L.J Van Apeldoorn dalam bukunya pengantar Ilmu
Hukum, bahwa adalah seluruh peraturan tingkah laku yang ditetapkan oleh
pemerintah.22
Kata hukum yang dipergunakan sekarang dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata Hukum (tanpa U antara huruf K dan M). Dalam bahasa Arab artinya norma atau
kaidah yakni ukuran. Tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk
menilai tingkah laku atau perbuatan manusia atau benda.
Dari beberapa pengertian dan penjelasan tentang hukum diatas, maka dapat
dsimpulkan bahwa hukum adalah norma atau seperangkat peraturan yang mengatur
tungkah laku hubungan manusia dalam masyarakat yang bersifat mengikat dan
berlaku bagi masyarakat pada umumnya.
Setelah kita pahami setelah kita pahami arti dari kata hukum, berikutnya kata
hukum tersebut di sandarkan kepada kata Islam jika kita telusuri Al-Qur’an dan
literature hukum dalam Islam, kata hukum Islam tidak di temukan didalamnya, Islam
hanya mengenal kata Syari’ah, Fiqih dan kompilasi hukum Islam.23
21 Ahmad Rafiq. Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.
keempat, h. 7 22 L.j. Van Apeldorn. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : PT. Pradnya Paramit, 1996), Cet. Ke-
26, h. 3
23 Faturrahman Djamil. Filsafah Hukum Islam. (Jakarta : Logos, publishing house, 1996),Cet.
Pertama,, h. 12
Namun ketiga kata tersebut yaitu syari’ah, fiqih, dan kompilasi hukum Islam
seringkali di gunakan untuk menunjukan satu arti yaitu hukum Islam, meskipun
antara ketiganya mempunyai perbedaan masing-masing24
Untuk lebih jelasnya perlu diuraikan kata-kata tersebut satu per satu yaitu :
a. Syari’ah
Dilihat dari sudut pandang kebahasaan, kata syari’ah mempunyai arti
jalan tempat keluarnya air minum. Kemudian bangsa arab menggunakan kata
ini untuk konotasi jalan lurus. Maka dalam pembahasan mengenai hukum
menjadi bermakna segala sesuatu yang diisyaratkan Allah SWT kepada hamba-
hambanya sebagai jalan lurus untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan
diakhirat.25
Ulama lain memberi pengertian, syari’ah ialah hukum-hukum yang
bersumber dari Allah SWT untuk hamba-hambanya yang oleh seorang rasul
baik hukum yang berkaitan dengan cara berperilaku yang dihimpun dalam ilmu
fiqih maupun yang berkaitan dengan cara mengadakan kepercayaan yang
dihimpun dalam ilmu kalam. Syari’ah juga terkadang disebut dengan pengertian
agama.26
24 Umar Syihab, Hukum Islam dan Transpormasi Pemikiran (Semarang : Dina Utama,
Semarang, 1996), Cet. Pertama, h. 11
25 Dede Rosyida. Hukum Islam dan pramata Sosial, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
Persada, 1993), Cet Pertama, h. 3
26 Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991), Cet.
Keenam, h. 9
Syari’at memuat ketetapan-ketetapan Allah SWT dan ketentuan rasulnya baik
berupa larangan maupun perintah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.27
b. Fiqih
Secara bahasa kata fiqih bermakna sesuatu dan memahaminya dengan
baik. Sedangkan menurut istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara yang
bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalil secara spesifik.28
. secara garis besar
isi kitab fiqih meliputi empat bidang, yaitu ibadah, munakahat, muamalah dan
jinayah.29
Fiqih di ibaratkan dengan ilmu, karena fiqih itu semacam ilmu
pengetahuan, memang fiqih itu tidak sama dengan ilmu secara fiqih itu bersifat
zany, karena ia adalah hasil apa yang dapat dicapai melalui ijtihadnya para
mujtahid sedangkan ilmu itu mengandung arti suatu yang pasti qath’iy.30
Pada pokoknya perbedaan antara syari’at dan fiqih adalah sebagai
berikut :
1. Syari’at adalah wahyu dari Allah SWT, sedangkan fiqih adalah pemahaman
manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil dari pemahaman
tersebut.
27 Ali, Hukum Islam, h. 41
28 Djamil, Filsafat Hukum Islam.
29 Cik Hasan Bisri. Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet. Ketiga, h. 67
30 Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, kencana, 2003, Cet. Pertama, hal. 5
2. Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang luas. Fiqih
bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur
perbuatan manusia yang biasanya di sebut sebagai perbuatan hukum.
3. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan rasulnya karena berlaku abadi.
Sedangkan fiqih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi dan dapat
berubah dari waktu ke waktu.
4. Syari’at hanya satu pemahaman, sedangkan fiqih mungkin lebih dari satu
pemahaman seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan
istilah mazhab atau mazahib.
5. Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fiqih menunjukkan
keragamannya.31
c. Nash
“Dan lapangan ijtihad terhadap Nash itu ada yang qath’y ada yang
Dzanni, dari segi wurud Qur’an itu Qath’y. sedangkan hadits itu dzanni.
Sekalipun Qur’an itu qath’y namun dilalahnya belum tentu qath’y yakin ada yang
qath’y dan ada yang dzami. Dalam hal yang qath’y dilalah ada yang masuk
kategori ta’abudi yakni yang tidak boleh ditanya tentang apa sebab demikian
dank arena apa demikian. Ta’abudi disebut juga dengan istilah ghairu Al-
Ma’qul.
Sedangkan yang ta’aquli, yakni yang boleh ditanya apa sebab dank arena
apa, istilah ta’aquli ini juga disebut dengan ma’qul yakni yang dapat
dirasioalkan.
Sekalipun ta’abudi disebut ghairu ma’qul atau tidak bias dimasuki ijtihad,
kalau dilihat dari perjalanan sejarah islam, hal ini banyak sekali dilakukan
syaidina umar yang tampaknya semuanya yang bersifat tatbiki, penerapan atau
aplikasinya.
31 Ali.Hukum Islam, h. 45
Dari yang tersebut diatas berarti yang tidak bias dimasuku ijtihad
hanyalah yang qath’y dilalah yang bersifat ta’abudi. Namun ada juga pendapat
yang tidak begitu popular yakni pendapat Al-Naim dimana dengan teori nasikh
masuknya yang terbalik, yang ta’abudi inipun masih bias dimasuki ijtihad.32
d. Kompilasi Hukum Islam
Beberapa pengertian tentang kompilasi hukum islam adalah sebagai berikut :
a. Adalah himpunan bahan-bahan hukum dalam islam suatu buku, atau lebih
tepat yaitu himpunan kaidah-kaidah hukum islam yang disusun secara
sistematik selengkapnya mungkin dengan berpedoman pada rumusan kalimat
atau pasal yang lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan.33
b. Adalah rangkaian dari berbagai pendapat hukum yang dimbil dari berbagai
kitab, yang ditulis oleh para ulama fiqih yang bias digunakan untuk referensi
pada pengedilan agama untuk dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu
himpunan.34
Berdasarkan uraian dan penjelasan tentang pengertian diatas, maka jelaslah
bahwa yang dimaksud dengan kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi
hukum islam yang ditulis pasal demi pasal yang berjumlah 229 pasal dari 3 kelompok
materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk
wasiat dan hibah (44 Pasal), dan hukum perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal
32 H.A.Basiq Djalil. Pernikahan Lintas Agama (dalam persfektif Fiqih dan Kompilasi Hukum
Islam), Jakarta, penerbit Qulbun Salim, thn 2005 Cet Pertama. h.180-181
33 Tahir Azhari. Kompilasi Hukum Islam sebagai Alternatif :suatu Analisa Sumber-sumber
hukum islam, dalam Mimbar Hukum (Jakarta : Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, 1991), h.15
34 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta Akademika Pressindo, 1995),
Cet Kedua, h.10
ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.35
Ketiga
materi hukum tersebut diperlakukan sebagai bahan rujukan dan pedoman bagi para
hukum di lingkungan peradilan Agama di Indonesia dalam memutuskan perkara-
perkara yang dihadapinya.
Setelah melihat beberapa pembahasan diatas tentang Syari’ah,Fiqih,KHI dan
Nash, maka dapat dibedakan pengertian antara,Ssyari’ah,Fiqih, KHI dan Nash
sebagai berikut :
1. Pengertian syariah adalah hukum yang bersumber dari Allah SWT berupa
ketetapan Allah dan ketetapan rasul, baik berupa larangan maupun perintah
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia
2. Pengertian Fiqih adalah pemahaman manusia yang merupakan beragam aliran-
aliran hukum yang memenuhi syarat tentang syariat yang ruang lingkupnya
terbatas dan dapat berubah dari waktu-kewaktu.
3. Kompilasi hukum islam adalah himpunan bahan-bahan hukum islam yang
dirangkai dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari beberapa kitab yang
ditulis oleh ulama fiqih yang digunakan untuk referensi pengadilan kitab yang
dikembangkan serta dihimpun kedalam suatu humpunan berupa pasal-pasal
yang digunakan dalam perundang-undangan.
4. Nash dari segi wurud Qur’an itu qath’y sedangkan hadits itu dzani qath’y itu
dilalahnya ada yang qath’y dan ada yang dzanni dan dzanni itu dilalahnya juga
35 Wahyu Widiana, Aktualitas Kompilasi Hukum Islam di Peradilan Agama Paper. Disamping
dalam seminar sehari dengan tema “Refleksi Sebelas Tahun”, Kompilasi Hukum Islam : “Ekstensi KHI
dulu, dan yang akan datang”, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 7 Mei 2002 M/1423 H)
ada yang qath’y dan dzanni dan nash yang qath’y dilalahnya itu ada yang
bersifat ta’abudi dan ada yang bersifat ta’aquli.
B. Pengertian Hukum Perdata
Pada dasarnya hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu hukum public
dan hukum privat (hukum perdata). Hukum Public merupakan ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata mengatur
kepentingan yang bersifat keperdataan. Istilah hukum perdata pertama kali
diperkenalkan oleh Djojodiguno sebagai terjamahan dari Burgerlijkrecht pada masa
penduduk jepang. Disamping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah Civielrecht
dan privatrecht.36
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan yang mengatur
kepentingan antara warga Negara perseorangan yang satu dengan warga Negara
perseorangan yang lain.37
Kaidah hukum perdata dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu tertulis dan
tidak tertulis. Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata
yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi,
36 Dune dalam Salim Hs. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (Burgelijk Wetboek), Cet. Kedua,
h. 5
37 Srisoe Dewi Majehone Sofwan. Hukum Perdata Hukum Belanda (Yogyakarta : Penerbit
Liberty), 1981, Cet. Keempat, h. 1
sedangkan kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah hukum perdata yang
timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan).38
Subjek hukum dibedakan menjadi dua macam yaitu manusia dan badan
hukum. Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif
dan kewenangan hukum. Sedangkan badan hukum adalah kumpulan orang-orang
yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.39
Hukum perdata menurut ilmu hukum dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :
a. Hukum tentang diri seseorang
b. Hukum kekeluargaan
c. Hukum Kekayaan
d. Hukum Warisan
1) Hukum tentang diri seseorang, memuat peraturan-peraturan tentang manusia
sebagai subjek hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk
memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-
haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2) Hukum keluarga, mengatur perihal hubungan kekeluargaan, yaitu
perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara
suami-istri, hubungan antara orang tua dan anak, perkawinan dan curatele.
38 Salim Hs. Pengantar hukum Perdata Tertulis, h. 6
39 Ibid., 7.
3) Hukum kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat
dinilai dengan uang. Kekayaan seseorang yang dimakudkan ialah jumlah
segala hak dan kewajiban orang itu dinilai dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap
orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya
berlaku terhadap seseorang atau suatu pihak yang tertentu saja dinamakan
hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atau suatu
benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
4) Hukum waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang
jikalau ia meninggal atau hukum yang mengatur akibat-akibat hubungan
keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.40
Dari berbagai rumusan diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum
dalam definisi hukum perdata, yaitu :
1. Adanya kaidah hukum (tertulis atau tidak tertulis)
2. Mengatur hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum
yang lain.
3. Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang hukum
keluarga, hukum kekayaan dan hukum warisan.41
40 Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta : PT. Intermasa, 1987), Cet ke-21, h. 16-17
41 Ibid., 6.
C. Pengertian Kewarisan
a. Pengertan Kewarisan Menurut Hukum Islam
Menurut kamus bahasa Arab kata waris merupakan bentuk masdar dari kata
yang mempunyai arti mewarisi (harta) bapaknya42
atau mewarisi (harta) dari
bapaknya. Sedangkan mewarisi menurut istilah, yaitu menurut T.M Hasby Ash-
Shiddieqy ialah harta peninggalan orang yang telah meninggal, yang diwarisi oleh
para ahli warisnya.43
Dalam rumusan kompilasi hukum Islam (pasal 171 huruf a) tentang hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta
peninggaln (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris
dan berapa bagiannya masing-masing. Sedangkan (pasal 171 huruf c) tentang ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris beragama islam yang tidak terhalang karena
hukum menjadi ahli waris.44
Faraid (����ا) adalah jamak dari faraidah ( �����)), yang berlaku satu bagian
tertentu, jadi faraid berarti beberapa bagian tertentu
42 Ahmad Warson Al-Munawir. Kamus Arab Indonesia Al-Munawir (Yogyakarta : 1984), h.
1655
43 Tm Hasby Ash-Shiddiqey. Fiqih Al-Mawaris (Semarang : PT. Rizki putra,2001), Cet .ketiga,
h. 17
44 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta :
Diektorat Pembinaan peradilan agama, 2002), h. 81
Didalam faraid dibahas hal-hal yang berkenaan dengan warisan (harta
peninggalan), ahli waris, ketentuan bagian ahli waris dan pelaksanaan
pembagiannya.45
Didalam Al-Qur’an Allah berfirman, dalam surat An-Nisa ayat 7 :
������������ ��� !"# $☺�&' ⌧)"�*+ ,-"��.��/� "-�01"�/�23�4 �5�6��&7����4
��� !"# $☺�&' ⌧)"�*+ ,-"��.��/� 89�01"�/�23�4 $☺�' :;*� 0��<�'
�44= �>?7⌧@ A 7B� !"# <C4�/E:' ) ) ٧ :٤/#"�ء�ا
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang Telah ditetapkan ( An-Nissa /4 : 7)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ilmu Faraid adalah ketentuan-
ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam Al-Qur’an.46
Sementara H.Abdullah Siddik Menjelaskan bahwa Ilmu Faraid adalah suatu
Ilmu pembagian pusaka seseorang yang meninggal dunia dengan kata lain Ilmu
Faraid merupakan suatu Ilmu yang menerangkan ketentuan-ketentuan pusaka yang
menjadi ahli waris. 47
45 M.Ali Hasan, Hukum Dalam Islam, Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1996, Cet. Keenam,, h. 10
46 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995), Cet. Kedua,, h. 1
47 Abdullah Siddik. Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di seluruh Dunia Islam (Jakarta
: PT. Intermassa, 1990),Cet Pertama, h. 42
b. Pengertian Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek)
Pengertian kewarisan menurut hukum perdata barat (Burgelijk Wetboek)
seperti yang dikemukakan oleh Apitlo.
“Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh orang meninggal dunia dan akibat dari
pemindahan ini, bagi orang-orang yang memperolehnya baik dalam hubungan
antara mereka dengan pihak ketiga”.48
Soediman Kartohadiprojo berpendapat bahwa :
“Hukum kewarisan barat adalah bagian kesemuanya kaedah hukum yang
mengatur nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia dan menentukan siapa
yang mendapat warisan”49
Dari pengertian diatas dapatlah diartikan bahwa pengertian kewarisan
mempunyai arti yang cukup luas meliputi unsur-unsur :
1. Adanya orang yang meninggal dunia yaitu orang yang meninggalkan harta
warisan.
2. Adanya orang yang masih hidup yaitu orang yang menurut Undang-Undang atau
statement untuk berhak mendapatkan warisan dari orang yang meninggal dunia.
3. Adanya benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang pada saat dia meninggal
dunia yang disebut harta warisan atau warisan.50
48 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Terjemahan
(Jakarta, Intermassa, 1990) , Cet. Pertama, h. 1
49 Soediman Kartohadiprojo. Pengantar Tata Hukum di Indonesia (Jakarta : PT. Pembangunan,
1967), Cet. Kelima, h. 16
BAB III
KONSEP KEWARISAN ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA
A. Dasar Kewarisan Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
1. Dasar Kewarisan Menurut Hukum Islam
Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang ditunjuk
oleh nash-nash yang sharih meski dalam soal pembagian harta pusaka sekalipun
adalah suatu keharusan selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang
lain yang menunjukkan ketidakwajibannya. Padahal tidak ada nash yang demikian itu
bahkan didalam surat An-Nisaa ayat 13 dan 14, “Tuhan akan menempatkan surga
selama-lamanya orang-orang yang mentaati ketentuan (pembagian harta pusaka)
dan memasukan ke neraka untuk selama-lamanya orang-orang yang tidak
mengindahkannya. 51
Waris adalah bagian dari syari’at Islam, oleh karenanya Islam mengatur
secara sempurna masalah-masalah yang berkaitan dengan waris. Al-Qur’an
menegaskan secara terperinci ketentuan bagian ahli waris yang disebut dengan
50 Suparman Usman. Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
(Burgelijk Wetboek ) Daud ulum press, 1993), Cet. Kedua, h. 55 51 Faturrahman. Ilmu Waris, Bandung, PT. Al-Maarif, 1975, Cet. Keempat, H. 34
Furudul Muqadarah (bagian yang ditentukan) atau bagian ashabah serta orang-orang
yang tidak termasuk ahli waris.52
Pokok-pokok hukum waris tercakup dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah
SAW, tentang siapa yang berhak untuk saling mewarisi, serta ketetapan berapa besar
bagian untuk masing-masing ahli waris dalam menerima harta waris.
a. Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an pembicaraan mengenai pembagian warisan53
yaitu : ayat
tentang hak kewarisan laki-laki dan wanita dari orang tuanya dan kerabatnya seperti
dalam Surat An-Nisa ayat 7, yang berbunyi :
������������ ��� !"# $☺�&' ⌧)"�*+ ,-"��.��/� "-�01"�/�23�4 �5�6��&7����4
��� !"# $☺�&' ⌧)"�*+ ,-"��.��/� 89�01"�/�23�4 $☺�' :;*� 0��<�'
�44= �>?7⌧@ A 7B� !"# <C4�/E: ) ) ٧ :٤/#"�ء�ا
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang Telah ditetapkan. ( An-Nissa /4 : 7)
a) Ayat tentang perolehan anak dengan tiga garis hukum, perolehan Ibu/Bapak
dengan tiga garis hukum, tentang wasiat dan hutang.
52 Hasbiyallah, Belajar Ilmu Waris, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet. Pertama, H. 6
53 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2004), Cet.
Kedelapan h. 6-33
Penjelasan ayat 11
A. Ayat perolehan anak dengan tiga garis hukum :
a. Allah menentukan mengenai pembagian harta warisan untuk anak-anakmu
ialah untuk seorang anak laki-laki sebanyak bagian dua orang anak
perempuan.
b. Jika anak-anak kamu itu hanya anak perempuan saja dan jumlahnya ada
dua orang atau lebih mereka mendapat dua pertiga bagian harta
peninggalan.
c. Dan jika anak perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua
harta peninggalan.
B. Ayat perolehan Ibu/Bapak dengan tiga garis hukum
a. Dan bagi dua orang Ibu/Bapak, masing-masingnya mendapat seperenam
dari harta peninggalan kalau si pewaris meninggalkan anak.
b. Maka jika si pewaris tidak meninggalkan anak dan mewarisinya
Ibu/Bapaknya maka bagi ibunya sepertiga jika tidak ada baginya saudara.
c. Maka jika si pewaris tidak meninggalkan anak tetapi ada baginya saudara
dan mewarisinya Ibu/Bapaknya maka bagi ibunya seperenam.
d. Pelaksanaan pembagian harta warisan termasuk dalam garis hukum a
sampai dengan f itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang si pewaris.
Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 11 yang berbunyi :
F�5G��H�I J� KL�M NOPQ�R *��44= S ��⌧@T��� ;�U�' VW��
,M�X�Y*U#Z3 A -�[*\ $�5@ ☯5�6��^ *_N�*\ ,M�X"`"a/� $�cd�*\ *U?�?� "' ⌧)"�*+ S -�e�4 fg"#�⌧@
<h�R��.�4 �cd�*\ �!�&<� A ���I��"1i3�4 ,V;5G�� BR�d.�4 �☺jk�l�&' m:Rn�� $☺�' ⌧)"�*+
-�e "-�⌧@ o0�*� p*��4 A -�[*\ ��T� �5G"I o=T� p*��4 Eo0�4�r�4�4
0d��"14= ���&'s6*\ l?�tZ� A -�[*\ "-�⌧@ Eo=*� uh���v�e
���&'s6*\ m:Rn�� A @��' �R�?"1 Bw�Y�H�4 p �I �wkx �44= �M/y�� G
NO5@5"�"1�5 NO5@5"�h7N14=�4 z{ "-4mrfR*+ NOc|I4= }~"�/�4= N15G*�
7?/E"# A <wz�I��*\ 8��&' �� G :-�e T� "-�⌧@ �☺���" U☺� G�� ) ٤/#"�ء�ا
:١١ (
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (An-Nissa /4: 11)
b) Ayat tentang perolehan duda, janda dan saudara dalam hal kalalah54
dengan dua
garis hukum.
54 Kalalah adalah seseorang pewaris yang meninggal dunia dan si pewaris tersebut tidak
mempunyai anak maka saudaranya tampl mewaris
� Tiga Garis Hukum adalah Bahwa ada tiga garis hukum yg disebutkan dalam ayat-ayat
kewraisan itu.
Penjelasan ayat 12 :
A. Ayat perolehan duda dengan dua garis hukum
a) Duda karena suami yang kematian istri mendapat seperdua harta
peninggalan istrinya kalau si istri meninggalkan anak.
b) Duda karena suami yang kematian istri mendapat seperempat harta
peninggalan istrinya kalau si istri meninggalkan anak.
c) Pelaksanaan pembagian harta warisan termasuk dalam garis hukum a dan
b diatas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang si pewaris.
B. Ayat tentang perolehan janda dengan dua garis hukum
d.) Janda karena istri yang kematian suami mendapat seperempat harta
peninggalan suami tidak meninggalkan anak.
e.) Janda karena istri yang kematian suami mendapat seperdelapan harta
peninggalan suaminya kalau si suami tidak meninggalkan anak.
f.) Pelaksana pembagian harta warisan termasuk dalam garis hukum d dan e
diatas itu sesudah dibayarkan wasiat atau hutang si pewaris.
C. Ayat tentang perolehan kalalah :
g.) Jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah
(kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang
saudara perempuan, maka setiap mereka itu memperoleh seperenam.
� Dua garis hukum adalah bahwa ada dua garis hukum yg disebutkan dalam ayat-ayat
kewarisan itu.
h.) Jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan di warisi secara penuh
(kalalah) sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih
dari dua orang maka mereka bersekutu untuk a sepertiga.
i.) Pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut dalam garis hukum g & h
diatas itu sesudah dibayarkan wasiat atau hutang si pewaris
Seperti dalam surat An-Nisa ayat 12 yang berbunyi :
[ NOP�*��4 �!�# "' ⌧)"�*+ NOP��.�4/�4= -�e ��T� �5G"I $�cT�
p*��4 A -�[*\ "-zQ ��c*� p*��4 OP�d�*\ �01��� $☺�' v��Q"�*+ A @��' �R�?"1 Bw�Y�H�4 8�X�H�I
��c�1 �44= =�/y�� A ��c*��4 �01��� $☺�' ��02/@"�*+ -�e
NOT� �P�"I NO5GT� pR*��4 A -�[*\ "-zQ NOP�*� p*��4 $�cd�*\ �☺tU� $☺�' i5��Q"�*+ A @��&' �R�?"1
Bw�Y�H�4 89�H�?+ ��c�1 �44= =M/y�� G -�e�4 89�⌧@ u;��r a�r�I
�* d�zQ 44= uh4="�/' Eo=*��4 ��4= �44= ug�v�= ,V;5G��*\ BR�d.�4
�☺c�7�&' m:Rn�� A -�[*\ SK�0#�zQ �>*7�Q4= ��' �B��.*�
fgc*\ m5��zQ�>P� L�M �l?�tZ� A @��' �R�?"1 Bw�Y�H�4 Ap6 �I
�wkx �44= �M/y�� �>N�⌧� ��r�z�' A <w�Y�H�4 v��&' �� G J��4
����"� ����� ) ١٢ :٤/#"�ء�ا ( ��
Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nissa /4 :
12)
j.) Ayat tentang seseorang yang mendapatkan harta peninggalan dari Ibu/Bapaknya,
kerabatnya dan handai taulan seperjanjiannya, seperti dalam surat An-Nisa
ayat:33
�V;P����4 h7\��?�� �L�.��"' $☺�' ⌧)"�*+ ,-"��.��/�
89�01"�/�23�4 A "My��T��4 fO�R*e" NOP�< �☺�I4= NO?��?+"�*\
NOjkv�n !"# A :-�e T� "-�zQ ALd+" ,V;PQ =5�p⌧� �RY�c⌧T ) ٣٣ :٤/#"�ء�ا (
Artinya : Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak
dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-orang
yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka
bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.(An-Nissa /4 : 33)
k.) Ayat tentang arti kalalah, juga mengenai perolehan saudara-saudara dalam
kalalah, seperti dalam surat An-Nisa ayat 176 yang berbunyi :
�B"#�02/E"`��h� ,;?� J� NOP�Y�2/EI L�M ��* d�*G/� A ,-�e S�"m�N� �Bd��� ��/�*� o0�*�
p*��4 Eo=*��4 ug�v�= �cd�*\ �!�# "' ⌧)"�*+ A ��?��4
��c?���"I -�e NOT� �5G"I h��� p*��4 A -�[*\ "2"#�⌧@
,M�X"2�</� �☺cd�*\ ,-*U?�tU� �EC ⌧)"�*+ A -�e�4
SK�0#�⌧@ <h���v�e <{����r ☯5�6��^�4 ��⌧@T���*\ ;�Z�'
VW�� ,M�X�Y*☯#Z3 G M�&X"�I J� NOP�*� -4= S��� �*+ G J��4
,V;5G�1 ~5�p⌧� B���� ) ١٧٦ :٤/#"�ء�ا ( �"
Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (An-Nissa /4 : 176)
b. Al-Hadits
1. Hadits riwayat muslim
4 إب�اه8> و;329� ب4 را�: و3�� ب4 ح389 وا�5�26 ��ب4 ح123#� إس��ق ب
:�أA��ن� 3�� ا��2ز2اق أA��ن� : ح123#� و?�ل اAB��ان: ?�ل إس��ق را
رسJل ا�G26 ?�ل: ;9I� 4� بH 4�وس 4� أبG8 4� اب4 2���س ?�ل
� K6� آL�ب ا�K26� G26 ا�G86� G26 وس26> ا?"J9ا� ا9��ل ب48 أهN ا���ا
�P6وK� رNO ذآ� ���9� ت�آQ ا���ا) <6"; S٥)روا
Telah menceritakan kepada kami ishaq bin ibrahim dan Muhammad bin rofi’
dan abd bin humaid dan adapun lafadznya dari ibnu rofi’ ishak berkata : telah
diceritakan kepada kami dan berkata pula yang lain : kami di beri kabar oleh
abdurrozak dan ma’mar dari ibnu towus, dari bapaknya, dari ibnu abbas r.a
berkata : bersabda Rosulallah SAW bersabda: bagikanlah harta warisan kepada
ahli waris ( Ashabul Furudh ) sesuai dengan ketetapan kitabullah, sisanya
kepada keluarga laki-laki yang terdekat ( Ashabah ).55
( Riwayat Muslim )5
2. Hadits riwayat muslim :
ح123#� 3�� اK6�P� ب4 ح29�د وهJ ا�#2�سVW ح123#� وهU8 4� اب4 :H�وس 4� أبG8 4� اب4 2���س ?�ل
�9�بWY : ?�ل رسJل ا�K26� G26 ا�G86� G26 وس26> �Z6هPب ��أJY�� ا���[JZ� ٦)رواS ;"6> ( وK� رNO ذآ�
Telah menceritakan kepada kami Abdul A’la bin Hamid dan dia dari bangsa "Narsiy"
telah bercerita pula kepada kami Wuhaib dari ibnu thowus dari bapaknya, dari ibnu
abbas r.a berkata, Rosulallah SAW bersabda : Bagikanlah harta warisan kepada
ahli waris ( yang berhak, dzawil Furudh ), Sedang sisanya kepada keluarga laki-laki
yang terdekat ( Ashabah ). ( Riwayat Muslim ) 56
c. Ijma dan Ijtihad
Ijma dan Ijtihad para sahabat, imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid
kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil terhadap pemecah-pemecah masalah
waris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih seperti pembagian
muqasamah (bagi sama) dalam masalah Al Jaddu wal-ikhwah (kakek bersama dengan
saudara-saudara) kemudian masalah wasiat wajibah, masalah pengangguran dan
penambahan bagian ahli waris (auld an rad) masalah garawin dan lainnya.57
2. Dasar hukum kewarisan menurut kitab undang-undang hukum perdata
55 Abi Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al- Naisabury, Shahih Muslim, ( Bairut-
Lebanon : ‘Dar ‘Al-Kitab Al-Arabi ) Hadits 4143, h. 671.
56 Abi Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al- Naisabury, Shahih Muslim, ( Bairut-
Lebanon : ‘Dar ‘Al-Kitab Al-Arabi ) Hadits 4143, h. 671.
57 Usman dan Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 21
Bahwa cikal bakal kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk Wetboek)
pada mulanya berasal dari bangsa romawi. Sejak lebih kurang 50 sebelum masehi,
pada waktu itu seorang Raja Romawi Julius Caesar berkuasa di Eropa barat, hukum
romawi sudah diperlakukan disana terutama di Prancis dalam perkembangan
selanjutnya telah berkuasa terus menyusun hukum nasionalnya, untuk mencapai
kesatuan Hukum Perdata (Huku Sipil) mereka. Hal ini telah dirintis sejak Raja
Lodewijk XV yang membawa code justianus (Corpus Jueris Cilivis) ke Prancis yang
pada waktu itu Corpus Juris Civilis ini. Dianggap sebagai suatu hukum yang paling
sempurna.58
Pada waktu Napoleon Bonaparte kemudian dapat menguasai Romawi, Corpus
Juris Civilis ini kemudian diasimilasi dengan hukum Islam yang digodok Napoleon
Bonaparte di Mesir dengan bantuan seorang syekh Sayukat Al-Azhar dengan
mempergunakan Kitab Fiqih Abdullah Asy-Syargawi (1737-1812), dibantu oleh tim
khusus Perancis yang ditunjuk oleh Napoleon Bonaparte, yaitu Portalis Fronchets
Biqot de preamencu, maka tidak salah kiranya Hasbullah Bakri mengatakan bahwa
Bueelijk Wetboek (Kitab Undang-undang hukum perdata) barat yang dibawa oleh
pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia berdasarkan asas Konkordasi itu suatu
58 Usman, Iktisar Hukum Waris, h. 2
penjiplakan dari hukum fiqih Islam yang berdasaran Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah
SAW.59
Perkembangan selanjutnya dalam tahun 1810, Negara Belanda dikuasai oleh
Perancis di bawah Napoleon Bonaparte, dan pada tahun 1811 Code Civil Prancis
seperti halnya juga Code de Penal dan Code du Commerce (Hukum Pidana dan
Hukum Dagang Prancis) diperlukan pula di negeri Belanda.60
Berdasarkan asas
konkordasi akhirnya diberlakukan pula di Indonesia.61
Meresmikan diberlakukannya di Hindia Belanda (Indonesia) itu
dikeluarkanlah pengumuman Pemerintah Hindia Belanda tanggal 30 April 1847,
Nomor 23 yang baru mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848.62
Adapun kitab Undang-undang hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), terutama
pasal 528, tentang hak mewarisi diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan
ketentuan dari pasal 584 KUHPdt, menyangkut hak waris sebagai salah satu cara
untuk memperoleh hak kebendaan.63
Oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke
59 Hasbullah Bakri dalam Idris Ramulyo. Perbandingan Umum Kewarisan Islam di peradilan
agama dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata di peradilan negeri, (Jakarta : Pedoman Ilmu,
1992), h. 157-158 60 M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Pelakanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat,
Jakarta, Sinar Grafika, 1996, cet. Kedua, h. 11
61 Ibid
62 Ibid
63 Usman. Ikhtisar Hukum Waris , h. 13
IIKUHPdt (tentang benda)64
. Jadi keseluruhan pokok dasar hukum kewarisan perdata
ini tercantum dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berupa pasal-pasal.
Menurut statsblad 1952 Nomor 415 jo 447 yang telah diubah, ditambah dan
sebagainya terakhir dengan S.1929 No.221 pasal 131 jo. Pasal 163, hukum kewarisan
yang diatur dalam KUHPdt tersebut diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan
mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut.65
Dengan Statsblad 1917 No.129 jo. Staatsblad 1928 No.557 hukum kewarisan
dalam KUHPdt diberlakukan bagi orang-orang timur asing Tionghoa, dan
berdasarkan Staatsblad 1917 No.12 menundukkan diri terhadap Hukum Eropa, maka
bagi orang-orang Indonesia mungkin pula menggunakan hukum kewarisan yang
terutang dalam KUHPdt dengan demikian maka KUHPdt (Burgelijk Wetboek)
diberlakukan kepada :
1. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa misalnya
Inggris, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang Jepang.
2. Orang-orang timur Asia Tionghoa.
3. Orang-orang timur asia lainnya, orang-orang pribumi menundukkan diri.66
Menurut KUHPdt pasat 874, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1. Ahli waris menurut ketentuan Undang-undang; dan
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testasmen).
64 Ibid., h. 12
65 Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan, h. 30
66 Ibid
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab
intesatto”. Sedangkan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”67
Adapun dasar atau sumber hukum kewarisan perdata, ini tertuang dalam
KUHP perdata pasal 830, 831, 34, 832, 841 dan 842 yang berbunyi:
1. Pasal 830 BW :
“pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
2. Pasal 831 BW:
“Apabila beberapa orang antara mana yang satu adalah untuk menjadi warisan
yang lain, karena satu mala petaka yang sama atau pada suatu hari, telah menemui
ajalnya dengan tak dapat diketahui siapakah kiranya yang mati terlebih dahulu,
maka dianggaplah mereka telah meninggal dunia pada detik yang sama, dan
perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain tidaklah berlangsung
karenanya”.
3. Pasal 834 BW:
“Apabila seorang tampil sebagai ahli waris, mereka berhak menuntut supaya
segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si peninggal diserahkan
kepadanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntut ini menyerupai
hak penuntutan seseorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya
penuntutan itu ditunjukkan kepada orang yang menguasai satu benda warisan
dengan maksud memilikinya”.
4. Pasal 832 BW :
67 Ibid ., h. 31
“Menurut Undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga
sedarah baik sah, maupun luar kawin dan si suami atai isteri yang hidup terlama,
semua menurut peraturan-peraturan tertera di bawah ini:
Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama
diantara suami-isteri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal,
menjadi milik Negara, yang mana berwajib akan melunasi hutangnya, sekedar
harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.”Pasal 841 BW :
“Pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak
sebagai pengganti, dalam derajat dan segala hak orang yang diganti”.
5. Pasal 842 BW :
“Pergantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada
akhirnya”.
Dalam segala hal, pergantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam.
Hal bilamana beebrapa anak dari yang meninggal mewarisi bersama-sama dengan
keturunan seorang anak yang telah meninggal lebih dahulu, maupun sekalian
keturunan mereka mewarisi bersama-sama lain dalam pertalian keluarga yang
berbeda-beda derajatnya.68
B. Sebab-sebab Mewaris Menurut Hukum` Islam Dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
68 R. Subekti, R. Tjitrasidibio, kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW, PT. Pradnya
Paramita, 2005, Cet. Ke- 28
1. Sebab-sebab Mewaris menurut Hukum Islam.69
a. Karena hubungan perkawinan
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan
adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan seseorang tersebut, yang
termasuk dalam klarifikasi ini adalah suami atau si isteri dari si mayat.
b. Karena adanya hubungan darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan
adanya hubungan nasab atau hubungan darah/ ini seperti : ibu, bapak, kakek,
nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain.
c. Karena memerdekakan si mayat
d. Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayat
disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayat dari perbudakan, dalam hal
ini dapat saja seseorang laki-laki atau seorang perempuan.
e. Karena sesama muslim
Seorang muslim yang meninggal dunia dan ia tidak ada meninggalkan ahli
waris sama sekali (punah), maka harta warisannya diserahkan kepada baitul
maal dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
2. Sebab-sebab mewaris menurut KHI :
A. Ahli waris menurut hubungan perkawinan terdiri dari :
1. Janda atau
2. Duda
69 Faturrahman,. Ilmu Waris, h. 80
Apabila ahli waris laki-laki, perempuan secara keseluruhan ada, maka yang
berhak mendapatkan warisan hanyalah :
1. Anak (perempuan / laki-laki)
2. Ayah
3. Ibu
4. Janda ata Duda (paal 174 ayat 2 KHI)
B. Ahli waris menurut hubungan darah (Nasabiyah) (pasal 174 ayat 1) ahli waris
kelompok ini jumlah keseluruhannya ada 39 orang terdiri dari 21 orang laki-laki
dan 18 orang perempuan, ahli waris golongan laki-laki terdiri dari-ayah, anak
laki-laki, saudara laki-laki paman dan kakak, adapun ahli waris golongan
perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
Halangan untuk menerima atau disebut mawaani’al irts adalah tindakan atau hal-
hal yang dapat menggugurkan hak-hak seseorang untuk mempusakai beserta
adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai. Para ahli waris yang
kehilangan hak waris karena adanya mawaani’al irts ini disebut mahrim dan
halangannya disebut hirman70
Adapun hal-hal yang dapat menghalangi, yang disepakati ulama ada tiga macam,
yaitu pembunuhan, berlainan agama dan perbudakan. Sedangkan yang tidak
disepakati ulama adalah berlainan Negara.71
70 Faturrahman. Ilmu Waris, Bandung , Al-Ma’arif , 1981, Cet. Kedua, H. 83
71 Rofiq. Hukum Islam di Indonesia, h. 124
a. Perbudakan (Al-Raqqu)
Perbuatan menjadi penghalang pusaka-mempusakai para faradiyun. Telah
bulat pendapatnya untuk menetapkan perbudakan adalah suatu hal yang menjadi
penghalang pusaka mempusakai, berdasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash
yang shorih yang menafikan kecakapan bertindak seorang budak dalam segala bidang
yaitu firman Allah yang termaktub dalam ayat An-Nahl:75.
v~�>z J� �⌧*U"' 7RN�" �<@�?�f☺:' ¡{ mr�R/e"I ALd+" =5�p⌧�
)N�2#٧٥: ١٦ /أ�( “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun....dst” (An-Nahl /16:75)
. Mahfum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak yang tidak cakap mengurusi
hak milik kebendaan dengan jalan apa saja dalam soal pusaka mempusakai terjadi di
satu pihak melepaskan hak milik kebendaan dan disatu pihak yang lain menerma hak
milik kebendaan.72
b. Pembunuhan (Al-Qatlu)
Jumhur ulama sependapat bahwa pembunuhan pada prinsipnya menghalangi si
pembunuh untuk mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh, dengan alasan
sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad:
72 Ibid., h. 83.84
2�ج 4� 9��و ب4 ح123#� أبJ ا9�#_ر إسN8��9 ب4 9�� أراS 4� حU8I 49�� ب K�إ :���4� أبSb3O 4� G8 ?�ل ?NL رNO اب#G 39�ا
4; ���; G86� NI � G#� G26ا� W2�ب رضde�2� اY61�481 ح Nبf�ا اY��تN وJ��� أنWb سQI9 وO 481�61_�� وأرب48I 1#28� و?�ل �� ی�ث
iL6LY� S3�Jوا3� ب NLYل �� یJYوس26> ی G86� G26ا� K26� G26ل ا�Jرس
٢٣ );"#3 أح39(
Telah menceritakan Kepada kami Abu Mundzir Ismail Bin Umar Saya melihatnya
dari hajjaj dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dan kakeknya dia berkata: seorang
laki-laki telah membunuh anaknya dengan sengaja maka dilaporkan kepada umar
bin Khatab R.a kemudian beliau memberikannya hukuman dengan membayar
seratus unta tiga puluh hiqqah, tiga puluh jadzuah dan empat puluh tsaniyah dan
berkata : seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan harta warisan ( dari orang
yang dibunuhnya ) seandainya saja saya tidak mendengar Rosulallah. SAW bahwa
seorang ayah itu tidak boleh dibunuh/qishas disebabkan membunuh anaknya maka
pasti saya akan membunuhmu. ( Musnad Ahmad )23
73
c. Berlainan agama (Khilaaf Al-Diin)
Berlainan agama yang menjadi penghalang saling mewarisi adalah apabila
terjadi perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara pewaris dan ahli waris,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
�jب J5 وأب�أح39 ب4 ا��"4 وأبJ ;329� : أA��ن� أبJ 3�� ا�G26 ا���;329� ب4 أبK اJ��ارس : ب4 أبK ح�;3 اY9��ئ وأبJ ��دق
یJYIب ح123#� أبJ بj� ;329� ب4: ا��382]نJ��? VKا ح123#� أبJ ا2�I��س : 4� l�یO 44� اب <��� Jأب K��نAأ VKن�m2329� ب4 إس��ق ا��;
Z�ب bK6� 4� ب4 ح"48 4� 9��و ب9n� 4�ن 4� أس�;� ب4 اب4 G26ل ا�Jوس6> �6-زی3 ?�ل ?�ل رس G86� oا K- : <6"9�ی�ث ا [
73 Musnad Ahmad, Bab 1, Musnad Umar bin Khatab Juz 1, h. 332
�� ا9�"6>�j�و] ا ���j�4� (.ا q8�2ا�� K� Vري�e��ا Sروا Kأب <8���(٢٤
Telah memberitahukan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafidz dan Abu Bakar Ahmad
bin Hasan dan abu Muhammad bin Abi Hamid Al-Mughori dan Abu Shodiq
Muhammad bin Abi Al-Qawaris As-Shoydalani, mereka berkata : telah menceritakan
kepada kami Abu Abbas Muhammad bin Ya’kub telah menceritakan kepada kami
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq As-Shogoni, telah memberitahukan kepadaku Abu
‘Ashim dari Abu Juhaij dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husein dari Amr bin Utsman
dari usaman bin Zaid dia berkata : Rosulallah SAW bersabda : “ Orang islam tidak
dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewaris harta orang
islami ”. ( HR. Bukhori didalam shohih dari Abi ‘ Ashim). 2474
d. Berlainan Negara (Khalifah Al-Darain)
Pengertian Negara adalah suatu wilayah yang ditempati oleh pewaris dan ahli
waris, baik berbentuk kerajaan, kesultanan maupun republic. Dan Negara dikatakan
berlainan menurut Ibnu Abidin (Facthur Rahman, 1994 ; 106) karena ditandai dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Angkatan perangnya berlainan, artinya masing-masing negawa memiliki angkatan
bersenjata sendiri.
2. Memiliki kepala Negara berlainan
3. Tidak memiliki ikatan kekuasaan (Ismah) satu sama lain.
Adapun berlainan Negara yang menjadi penghalang saling mewarisi adalah
apabila diantara ahli waris dan pewarisnya berdomisili di dua Negara yang berbeda
74 As-Sunah Al-Kubra Imam Baihaqi, Bab orang Islam Tidak dapat Mewarisi Harta Orang
Kafir, Juz 6, h. 349
kriterianya. Namun apabila dua Negara yang berlainan tersebut sama-sama muslim
para ulama tidak menjadi penghalang saling mewarisi diantara keduanya.75
Sedangkan Menurut KHI sebagai berikut :
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang
telah mempuyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena :
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
para pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukumannya yang lebih berat (pasal 173)
2. Sebab-sebab Mewaris Menurut Kitab Undang-undang hukum perdata
Seseorang ahli waris mewarisi harta pewaris menurut hukum waris perdata
(BW) dengan dua cara, yaitu:
1. Menurut ketentuan Undang-undang
2. Karena ditunjukkan dalam surat wasiat (testament)76
Orang-orang yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang diatur dalam
undang-undang. Untuk menetapkan itu, para anggota keluarga si peninggal dibagi
dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan pertama maka
itulah yang bersama-sama mewarisi semua harta peninggalah seseorang yang
75 Ibid., h. 10
76 Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, h. 95
meninggal dunia. Sedangkan anggota keluarga lainnya tidak mendapat bagian
apapun. Jika tidak ada anggota dari golongan pertama tadi, barulah mereka yang
tergolong kedalam pihak kedua tampil kemuka sebagai ahli waris. Kedua, barulah
orang dari golongan / pihak ketiga tampil.77
Tampil kedalam golongan pertama, adalah anak-anak beserta turunannya
dalam garis lenceng ke bawah dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan
dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran mereka itu mengecualikan lain-lain
anggota dalam garis lancing ke atas dan garis ke samping, meskipun mungkin
diantara anggota-anggota keluarganya yang belakangan ini, ada yang derajatnya lebih
dekat dengan si meninggal.
Jika tidak ada sama sekali anggota keluarga dari golongan pertama dan kedua,
maka harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Untuk para
anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak si
Ibu meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-
seolah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya di situ tidak mungkin terjadi
satu kali saja. Jika dari pihak salah satu orang tua tidak terdapat ahli waris lagi, maka
seluruh warisan jatuh kepada keluarga pihak orang tua yang lain.78
Disamping undang-undang dasar hukum seseorang mewarisi harta
peninggalan pewaris dapat melalui cara lain, ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
77 Ibid., h. 98
78 Ibid., h. 99 - 100
Surat wasiat (testament) adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa
yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia.79
Pada asalnya suatu pernyataan yang
demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (cenzidjidig) dan setiap waktu dapat
ditari kembali oleh yang membuatnya dengan demikian, dapat dimengerti bahwa
tidak segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam
wasiatnya itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan.80
Pasal 874 BW yang
menerangkan tentang arti wasiat atau testament, memang sudah mengandung suatu
syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Pembatasan penting, misalnya terletak dalam paal-pasal tentang “litieme portie” yaitu
bagian warisan yang sudah ditetapkan menjadi hak para ahli waris dalam garis
lenceng dan tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Pasal 875 kitab undang-undang hukum perdata memberikan definisi wasiat.
Pasal itu berbunyi: “Adapun yang dinamakan wasiat atau testament ialah suatu akta
yang membuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan menjadi
setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali lagi.
C. Bagian-bagian Warisan Menurut Hukum Islam dan Kitab undang-undang
Hukum Perdata.
79 Ibid., h. 106
80 Ibid, 106 -107
Bagian-bagian yang dimaksud di sini, adalah yang akan ditetapkan menjadi
hak para ahli waris.
Ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang berhak mendapat bagian
dari harta peninggalan.81
Sedangkan Menurut KHI :
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan
tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris (pasal 171 huruf c KHI). Sedangkan
penegrtian ahliw aris menurut Idris Ramulyo; sekumpulan orang atau seseorang
atau individu atau kerabat-kerabat yang ada hubungan keluarga si meninggal dunia
dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh
seeorang (pewaris)82
1. Bagian-bagian waris menurut Hukum Islam
Dalam hukum waris Islam ahli waris yang dinyatakan mendapat harta warisan
dapat dibedakan dalam tiga golongan, yaitu:
1). Ahli Waris Dzawil Furudh
Ahli waris dzawil furudh adalah ahliw aris yang selalu mendapatkan bagian
tertentu tidak berubah seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.83
Ahli waris dzawil furudh adalah sebagai berikut:
a. Suami
b. Bapak
81 Eman Suparman. Hukum Waris Indonesia Dalam Persfektif Islam, Adat dan BW, (Bandung
:PT. Refika Aditama, 2007), Cet. Kedua, h. 17
82 Idris Ramulyo. Perbandingan pelaksanaan Hukum Kewarisan menurut Hukum Perdata
(Jakarta: Sinar grafika, 1994), Cet. Kedua, h. 103
83 Usman dan Somawinata, Fiqh Mawaris, h. 66
c. Kakek dan seterusnya ke atas
d. Saudara laki-laki seibu
e. Isteri
f. Anak perempuan
g. Anak perempuan dari anak laki-laki
h. Ibu
i. Nenek dari garis ayah
j. Nenek dari garis ibu
k. Saudara perempuan sekandung
l. Saudara perempuan sebapak
m. Saudara seayah dan sseibu
Adapun macam-macam ketentuan (al-furudh al-muqadarah) yang diatur
dalam al-Qur’an itu ada enam, yaitu:
a. Setengah separuh (1/2=al-nisf)
b. Sepertiga (1/3=al-sulus)
c. Seperempat (1/4=al-rubu)
d. Seperenam (1/6=al-sudus)
e. Seperdelapan (1/8=al-sumum)
f. Dua pertiga (2/3=al-sulusan)
Ketentuan tersebut pada dasarnya wajib dilaksanakan kecuali apabila dalam
kasus-kasus tertentu tidak bisa dilaksanakan, misalnya terjadi kekurangan harta (al-
‘aul atau kelebihan harta al-radd).84
1) Ahi waris ‘Asabah
Yang dimaksud dengan ‘Asabah ialah mereka yang mendapatkan sisa sesudah
‘ashabul furudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka.85
Dengan kata lain. ‘Asabah juga berarti mereka yang ebrhak atas semua
peninggalan bila tidak di dapatkan seorangpun diantara ‘Ashabul furudh.86
Adapun macam-macam ahli waris ‘Asabah ada tiga macam yaitu:
A. ‘Asabah bi Nafsih, yaitu ahli waris yang karenadirinya sendiri berhak menerima
bagian ‘Asabah (sisa) ahli waris ini semuanya ada 13 orang. Yaitu:
a) Anak laki-laki
b) Cucu laki-laki garis laki-laki
c) Bapak
d) Kakek garis bapak
e) Saudara laki-laki sekandung
f) Saudara laki-laki seayah
g) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
84 Ahmad Rofiq, Hukum waris, h. 65 - 66
85 Mudzakir As, Fikih Sunnah (terjemah). (Bandung : Al-Ma’arif Jilid 14) , Cet. Kedua, h. 159
86 Ibid
i) Paman sekandung
j) Paman seayah
k) Anak laki-laki paman sekandung
l) Anak laki-laki paman seayah
m) Mu’tiq dan mu’tiqah (laki-laki atau perempuan yang memerdekakan hamba
sahaya)
B ‘Asabah bi Al-Ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-
sama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris
penerima tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (tidak menerima
bagian ‘Asabah) mereka adalah:
a. Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
b. Cucu perempuan garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
c. Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung
d. Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.87
C ‘Asabah Ma’al-Ghair, yaitu saudara perempuan kandung atau sebapak yang
menjadi ashabah karena di dampingi oleh keturunan perempuan.
‘Asabah ma’al-Ghair itu adalah:
a) Saudara perempuan kandung yang didampingi oleh anak perempuan atau oleh
cucu perempuan saja atau mereka bersama-sama dan seterusnya ke bawah.
87 Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet
keempat, h. 73-74
b) Saudara perempuan sebapak yang didampingi oleh anak mereka saja atau
mereka bersama-sama dan seterusnya ke bawah.88
2) Ahli waris Dzawil Arham
Yakni mencakup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan
orang yang meninggal. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa orang-orang yang
mempunyai kekerabatan dengan si pewaris, selain kedua puluh lima yang telah
disebutkan di atas termasuk dzawil arham.89
Orang-orang yang termasuk kelompok dzawil arham tersebut antara lain,
adalah:
a. Cucu perempuan pancar perempuan dan seterusnya ke bawah.
b. Cucu laki-laki pancar perempuan dan seterusnya ke bawah
c. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah.
d. Anak perempuan saudara laki-laki sebapak dan seterusnya.
e. Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah
f. Anak perempuan saudara sebapak dan seterusnya ke bawah.
g. Anak laki-laki saudara perempuan sebapak dan seterusnya ke bawah
h. Kakek dari ihak ibu dan seterusnya ke bawah
88 Sayuti Thalib. Hukum kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Cet
kelima, h. 114-115
89 Usman dan Somawinata. Fiqih Maswaris Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama 1997), Cet. Pertama, h. 21
i. Dan lain sebagainya.90
Diantara para ahli waris yang ditentukan sebagainya di dalam Al-Qur’an
hanya ahli waris dzul faraidh sehingga bagian mereka selamanya tetap tertentu dan
tidak berubah-ubah, berbeda dengan para ahli waris lain yang bukan dzul faraidh,
yaitu asabah dan dzul arham, bagian mereka merupakan sisa setelah di keluarkan hak
para ahli waris dzu faraidh.
Adapun bagian tetap dan dalil-dalil para ahli waris dzul faraidh tersebut
adalah91
:
1) Ahli waris yang mendapat seperdua
a. Anak perempuan tunggal (Annisa ayat 11)
b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
c. Saudara perempuan
- Saudara perempuan tunggal yang sekandung
- Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara perempuan
yang sekandung tidak ada (an-nisa ayat 175)
d. Suami, suami mendapatkan seperdua, apabila istrinya tidak mempunyai anak
atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki (an-nisa ayat 12)
2) Ahli waris yang mendapatkan seperempat
90 Ibid., h. 79-80
91 M. Ali Hasan,. Hukum warisan dalam Islam, Jakarta, PT. Bulan Bintang , Cet. Kelima, 1981,
h. 17-26
a. Suami, suami mendapatkan seperempat apabila istrinya ada mempunyai anak,
atau cucu anak laki-laki (an-nisa ayat12)
b. Istri (seorang atau lebih, mereka mendapatkan seperempat, apa bila suaminya
tidak ada mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (an-nisa ayat:12)
3) Ahli waris yang mendapatkan seperdelapan
Istri (seorang atau lebih) mereka mendapat seperdelapan apabila suaminya ada
mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki (an-nisa ayat 12)
4) Ahli waris yang mendapat dua pertiga
c. Dua orang anak perempuan atau lebih mereka mendapat dua pertiga apabila
tidak ada anak laki-laki (annisa ayat1).
d. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak lak-laki mereka mendapat dua
pertiga apabila anak perempuan tidak ada.
e. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu sebapak (sekandung) (an-
nisa ayat 177).
f. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak (annisa ayat 177)
5) Ahli waris yang mendapat sepertiga
g. Ibu, ibu mendapat sepertiga, apabila anaknya yang meninggal apaabila
anaknya meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu (dari anak laki-laki)
atau dia tidak mempunyai saudara-saudara (laki-laki atau perempuan yang
sekandung), yang sebapak atau seibu (an nisa ayat 11)
h. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan yang seibu) an nisa
ayat 12
6) Ahli waris yang mendapat seperenam
i. Ibu, mendapat seperenam, apabila anaknya yang meninggal itu ada
mempunyai anak, atau cucu (dari anak laki-laki) atau saudara-saudara (laki-
laki atau perempuan) yang sekandung yang sebapak atau yang seibu, an nisa
ayat 11)
j. Bapak, mendapat seperenam, apabila anaknya yang meninggal itu ada
mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki an
nisa ayat 11
k. Nenek, (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) nenek mendapat seperenam apabila
ibu tidak ada.
l. Cucu Perempuan (seorang atau lebih dari anak laki-laki cucu perempuan
mendapat seperenam bagian, apabila orang yang meninggal mempunyai anak
tunggal akan tetapi apabila anak perempuannya lebih dari seorang maka cucu
perempuan tidak mendapatkan apa-apa.
m. Kakek, mendapat seperenam apabila orang yang meninggal mempunyai anak
atau cucu dari anak laki-laki sedang bapaknya tidak ada.
n. Seorang saudara (laki-laki atau perempuan yang seibu) an nisa ayat 12.
o. Saudara perempuan yang sebapak seorang atau lebih saudara perempuan yang
sebapak mendapat seperenam apabila saudaranya yang meninggal mempunyai
seorang saudara perempuan sekandung.
2. Bagian-bagian waris Menurut Hukum Perdata
Dengan memperhatikan pasal-pasal yang berhubungan dengan pembagian
warisan, pihak yang dapat menuntut pembagian warisan adalah sebagai berikut 1066
dan seterusnya.
1. Para ahli waris
2. Para ahli waris dari ahli waris (dalam hal ini terjadi pergantian)
3. Mereka yang punya tagihan
Dengan demikian menurut pasal tersebut di atas, para ahli waris tiap saat
dapat menuntut pembagian waris (beedel dheiding) sesuai dengan kepentingan
mereka masing-masing. Undang-undang tidak menentukan cara yang lebih khusus
dalam pembagian itu, apabila semua ahli waris mampu untuk melakukan hukum yang
sah (cakap berbuat) dan mereka semuanya ada di tempat atau hadir (pasal 1069).
Namun selain itu, para ahli waris yang akan menuntut pembagian warisannya,
mereka harus melakukan beberapa ketentuan yang telah diatur dalam pasal 1072,
1073, dan seterusnya. Menurut pasal-pasal tersebut pembagian warisan itu harus
dilaksanakan sebagai berikut:
a. Pebagian warisan harus dihadiri oleh balai harta (pasal 1072 KUH Perdata)
b. Pembagian harus dilakukan dimuka seorang notaries yang dipilih oleh para ahli
waris, apabila mereka berbeda pendapat dalam hal ini, notaries itu akan ditunjuk
oleh pengadilah negeri. (pasal 1074). Harus ada rincian barang-barang harta
warisan. Kalau ada perubahan dari keadaan sejak meninggalnya pewaris,
perubahan itu harus dijelaskan yang dikuatkan dengan sumpah di depan notaries
oleh mereka yang memegang barang tersebut. (pasal 1073)
c. Harta warisan itu harus dinilai harganya (pasal 1077 KUH Perdata)92
Adapun bagian masing-masing ahli waris menurut KUH Perdata (BW) adalah
sebagai berikut:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak
beserta keturunan mereka serta suami atau istri yang ditinggalkan yang hidup
paling lama. Suami atau isteri yang hidup paling lama. (Pasal 852) ini diakui
sebagai ahli waris baru pada tahun 1936, sedangkan sebelumnya suami / istri
saling mewarisi. (pasal 852a).
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan
saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang
tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak kurang dari
seperempat bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewarisi bersama-
sama saudara pewaris. (pasal 854).
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris. (Pasal 853).
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis kesamping. (pasal
858)93
Dalam KUH Perdata mengenal empat golongan ahli waris yang bergiliran
berhak atas harta peninggalan. Keempat golongan tersebut sekaligus merupakan
92 Suparman Usman. Ikhtisar Hukum Waris, Darul Ulum Press, 1993, Cet. Kedua, h. 133-134
93 Eman Suparman. Hukum Waris Islam Dalam Persfektif, Adat dan BW, (Bandung : PT,
Refika Aditama, 2007), Cet. Kedua, h. 3
urutan tertib penerimanya apabila golongan I ada, maka golongan II, III, dan IV tidak
berhak mendapatkan warisan. Jika golongan I tidak ada, maka golongan II tampil
sebagai penerima bagian warisan, sedangkan golongan II dan IV tidak memperoleh
bagian. Golongan III akan mendapatkan bagian apabila golongan I dan II tidak ada,
demikian juga golongan IV akan mendapatkan bagian jika golongan I, II, III tidak
ada.
Sedangkan apabila semua golongan tersebut tidak ada, maka menurut pasal
832 KUH Perdata bahwa segala harta peninggalan menjadi milik Negara. Dan Negara
wajib melunasi segala hutang si pewaris sekedar harta peninggalan mencukupi untuk
itu.
Apabila harta warisan itu terbuka, namun tidak seorang pun dari seempat
golongan ahli waris tersebut yang tampil ke depan sebagai ahli waris atau mereka itu
menolak harta warisan, maka harta warisan itu dianggap sebagai harta warisan yang
tak terurus.
Dalam hal demikian, Balai harta peninggalah atau istiah lain disebut
Weekamer tanpa menunggu perintah dari hukum, wajib mengurus warisan yang tidak
terurus tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada Kejaksaan Negeri
setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan itu
dianggap terurus atau tidak, maka penentuan ini akan diputuskan oleh hakim.94
94 Ibid., h. 38
BAB IV
PENOLAKAN MENJADI AHLI WARIS
p. Penolakan Ahli Waris Menurut Hukum Islam
Takharuj (penolakan ahli waris) di KHI tidak dijelaskan. Dalam pasal
183 KHI hanya menjelaskan bahwa, para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya.95
Pembahasan Penolakan ahli waris dalam hukum islam yaitu :.
1. Pengertian Takharuj
Takharuj (�جeت ) yang berasal dari kata �جA (keluar) maksudnya suatu
perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris.96
Untuk mengeluarkan salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka
dengan memberikan suatu prestasi, baik peserta tersebut berasal dari harta milik
orang yang pada mengundurkannya maupun berasal dari harta peninggalan yang
bakal di bagi-bagikan.97
Apabila ada diatara ahli waris yang melepaskan haknya,
95 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 2002,
Cet. Kedua, h. 86
96 M.Ali Hasan. Hukum Waris Dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1996), Cet. Keenam, h.
114
97 Faturrahman. Ilmu Waris, (Bandung , PT. Al-maarif ), 1981, Cet Kedua, h. 468
secara keseluruhan arau sebagiannya, maka hal tersebut tidak menyalahi syati’at
bahkan bias dipandang sebagai suatu sikap yang terpuji.98
Takharuj menurut Imam Muchlas artinya sama-sama keluar dari suatu
kelompok takharuj, dalam masalah ini artinya adalah suatu musyawarah damai
diantara ahli waris yang di dalamnya ada sebagian anggota ahli waris yang
mengundurkan diri untuk tidak menginginkan haknya dan tidak mengambil bagian
dari warisannya nanti, kemudian bagian atau sebagian dari haknya itu diambil dan
tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya.99
Mengenai pengunduran diri ini para ulama telah mendefinisikannya
sebagaimana diterangkan dibawah ini:
“Perjanjian atau perdamaian ahli waris atas keluar/mundurnya sebagaian mereka
dalam menerima bagiannya terhadap pewarisan dengan memberikan suatu prestasi
atau imbalan tertentu baik (imbalan itu) dari harta peninggalan maupun dari yang
lain”.100
Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu ahli waris di daerah Jakarta,
mengatakan bahwa dimana sewaktu bapaknya masih hidup, memberikan wasiat
berupa tanah kepada semua anaknya didaerah Wonogiri. Kemudian orang tuanya
meninggal, akhirnya semua tanah warisan diterima kepada ahli waris sesuai dengan
98 Hasan. Hukum Waris, h. 115
99 Imam Muchlas. Waris Mewaris Dalam Islam (Pasuruan : PT. Garoeda Buana Indah, 1996),
Cet. Pertama, h. 63
100 Usman dan Somawinata. Fiqih Mewaris, h. 152
wasiat yang di berikan kepada orang tuanya. Kemudian salah satu anaknya ( ahli
waris ) yang tinggal di jakarta setelah menerima warisan menyerahkan kepada kakak
perempuannya, setelah dimusyawarahkan dengan keluarga. Adapun alasan dia
memberikan semua warisannya :
1. Si pewaris tidak bisa mengurus tanah warisan, yang disebabkan tanah lokasi
sangat jauh dari tempat tinggalnya.
2. Kakak perempuan yang menerima warisan, kehidupan ekonominya kurang
mencukupi dibanding saudara yang lain.
Dari kasus tersebut diatas, dapat dipahami bahwa pengunduran diri atau
takharuj adalah kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau
beberapa orang di antara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima
prestasi/imbalan dari salah seorang atau beberapa ahli waris lainnya, hak imbalan
tersebut berasal dari harta perseorangan atau maupun dari harta peninggalan itu
sendiri.101
Pengeluaran diri ahli waris dari hak mewaris bukan berarti ia (Mutakharaj)
digolongkan kepada ahli waris mahjub (terhalang), mamnu (terlarang), dan juga
karana ia mempunyai beban hutang kepada pewaris atau para ahli waris lainnya,
melainkan ia menyatakan sikap tersebut karena adanya beberapa kemungkinan, yaitu:
101 Ibid., h. 153
1. Atas dasar ridho dan ikhlas (tanpa ada paksaan dari ahli waris lain) dari ahli waris
yang diundurkan dengan semata-mata ibadah.102
2. Kemungkinan lain adalah, seorang ahli waris mengundurkan diri atau diminta
mengundurkan diri oleh ahli waris lainnya. Baik dengan imbalan maupun tidak,
umpamanya, orang yang mengundurkan diri itu kaya raya.103
Sekalipun demikian, kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas mesti adanya
kesepakatan hak bagian warisanya dilimpahkan kepada ahli waris lainnya dengan
tidak menuntut pretasi/imbalan dengan tujuan untuk kemashlahatan.
Sikap pengeluaran diri tersebut menurut hukum syara dibolehkan sepanjang
sikap pengeluaran diri itu atas dasar keridhoan/keikhlasan dari ahli waris yang
dikeluarkan dan para ahli waris lainnya. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam
asas hukum takharuj, yaitu :
�u `��� ب�tط ا��LاضW ;4 ا�Jر�1 و?3 روى �O رج�eLوا�اv;�م ا��e�ري تY86I� �4 اب4 ���س رضW ا9Z#� o� أنG ?�ل
و?�ل ا����5 اب4 ح^� ) یeL�رج ا��tیj�ن وأهN ا��89اث :( S�#I9��8 ب` Wاب4 أب G6و�.) qL� Gري ;: `�ح�eا�� q8��
١٠.)ا���ري
Dan takharuj boleh secara hukum syar’i dengan syarat saling meridhoi dari ahli
waris dan telah diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari. Penjelasan dari Ibnu Abbas ra,
bahwasannya dia berkata : ( saling melepaskan hak milik antara dua pasangan dan
102 Sayid Sabiq. Fiqih Sunnah, Jilid 14 (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1995), Cet. Pertama
103 Hasan. Hukum Waris, h. 114
ahli waris ) dan berkata Hafiz Ibnu Hajar dan disambung oleh Ibnu Syaibah yang
sema’na dengannya. ( Shohih Bukhari bersama penjelasannya Fathul Bari )10104
2. Status Pengunduran Diri
Pengunduran diri merupakan perjanjian dua pihak, satu pihak menyerahkan
tertentu sebagai prestasi kepada pihak lain dan pihak lain menyerahkan bagian
pusakannya sebagaian tegenprestasi pada pihak pertama.105
Prestasi yang diserahkan pada pihak pertama seolah-olah merupakan harga
embelian dan *tegenprestasi yang diserahkan oleh pihak kedua seolah-olah
merupakan barang yang dibeli. Maka dengan demikian pengunduran diri atau
takharuj ini berstatus sebagai perjanjian jual beli.106
Jika prestasi yang diserahkan itu sebagai alat penukar terhadap tegenprestasi
yag baik diterimanya, maka pengunduran diri ini berstatus perjanjian tukar-menukar.
Disamping itu jika prestasinya yang diserahkan pada pihak yang diundurkan
itu diambil dari harta peninggalan itu sendiri, maka perjanjian pengunduran diri itu
berstatus perjanjian pembelian harta pusaka.107
104 Mufthi Syeikh Ahmad Huraidi, Fatwa-Fatwa Al-Azhar , Bab Takharuj, Juz. 2, h. .259, Pada
Tanggal 5 Syawal 1389 Bertepatan 17 Desember 1969 M.
105 Faturrahman. Ilmu Waris, h.468- 469
106 Ibid, Tegenprestasi adalah timbal balik dari pihak kedua atas prestasi yang diberikan dari
pihak pertama
107 Ibid
3. Dasar Hukum Pengunduran Diri
Dalam menerangkan dasar hukum adanya pengunduran diri ini para ulama
mengemukakan pendapatnya dengan berdasarkan pada salah satu hadits dari Ibnu
Abbas r.a yang menerangkan bahwa :
�أن2 3�� ا��2ح49 بJ� 4ف x26H ا;�أتG ا2L��� وهJ ;�ی�Zء 23�ت��Y3 انIب G#; 9�ن ب4 2���نn� �Z12رJ� . VWI��2tل ا��? :
N�2L; �8بVuاب4 ا� zوح3ی ، :dY#; 3�� . (ه_ا Sا��2ز2اق ورواG�2#�; W�(
4� ابO 4�یl أA��نW اب4 أبj86; W� أنG2 سPل 3�� ا�G26 ب4 G� ل�Y�x26H 3�� ا��2ح49 بJ� 4ف ب#Q اP���| : " ا�Vuب8�
�Z2L�� ، 1>2 ;�ت ، �Jر12 �28�6j�ا �Z23�ت W�: وزاد " . 9n� �Z�ن ورواS (.وأ;2� أن� �6� أرى أن ت�ث ;JL�ت�: ?�ل اب4 ا�Vuب8�
�VWI 4� ;"6> ، 4� ابO 4�یl بG وس29�ه� ت9�ض��2tا�(
أن ا;�أة :( دی#�ر و�4 ��9و ب4 .ه_ا ح3یN�2L; z: و?�ل �1�n49 بnا� z61 4; G6أه �ZO�Aف أJ� 43 ا��ح49 ب��
، 3��8/289 ا��زاق �W ا��9#� روا� (و91�ن48 أ�� دره> �W ا�"#4 ا���jى SJ�#ب WYZ8ا�� S١٤) .6/65وروا
Sesunلguhnya Abdurrahman bin Auf menthalaq istrinya sama sekali ( menjatuhkan
thalaq tiga ) dan dia sakit, maka utsman bin affan memberikan hak waris kepadanya
setelah habis masa iddahnya. Berkata Syafi’i hadits ini munqoti, dan hadits zubair
muttasil (Riwayat Abdurrazzaq di musonnipnya ) Dari Ibnu Jarih telah
memberitahukan kami Ibnu Abi Mulaikata bahwa sesungguhnya dia bertanya kepada
Abdullah bin Zubair maka dia berkata kepadanya : Abdurrahman bin auf telah
mentalaq istrinya binti Al-asba Al-kalbiyah sekali kali ( thalaq tiga ) Kepadanya,
kemudian dia meninggal dunia, maka Utsman bin Affan memberikan hak waris
kepadanya pada masa iddahnya. Dan ditambahkan : berkata Ibnu Zubair : Dan
adapun saya ketika saya lihat bahwa dia diwariskan .( Riwayat Syafi’i dari Muslim,
dari Abi Jarih darinya menamakannya Tumadhir) Ini hadits Muttasil. Dan dari Amru
bin dinar : bahwa sesunnguhnya istri Abdurrahman bin Auf diberikan oleh keluarga
Abdurrahman bin Auf kepada istrinya 3/8 dari 83.000 dirham.( Diriwayatkan dari
Abdurrozzaq di musonif no. 289/8, diriwayatkan Al-baihaqi semisalnya sunan kubro
no. 65/6.)14108
Suatu analogi bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbale baik, baik berupa
perjanjian jual-beli perjanjian tukar menukar maupun perjanjian pembagiannya (harta
pusaka) yang ketiga perjanjian ini data diterapkan kepada perjanjian takharuj, selali
dibenarkan oleh syari’at sepanjang syarat-syarat ketentuan syari’at itu telah
dipenuhinya dan terutama bila para pihak yang mengadakan perjanjian telah saling
menyatakan kerelaannya masing-masing.109
Kitab undang-undang hukum warisan Mesir membenarkan takharuj dalam
pasal yang terakhir, pasal 48 dari kitab undang-undang tersebut dijelaskan dengan
definisinya, bentuk-bentuknya dengan cara-cara membagikan harta pusaka kepada
ahli waris, sekiranya dalam pembagian harta pusaka tersebut sebgagian ahli waris
yang mengatakan perjanjian takharuj sebagaimana dalam teks selengkapnya adalah
sebagai berikut:
“Takharuj ialah perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan sebagian
mereka dari mempusakai dengan kesesuaian yang sudah maklum apabila salah
seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli waris lainnya. Maka bagiannya
108
Imam Malik Bin Anas , Kitab "Muwattho", Bab "Tholaqul Mariedh", Terbitan Kementrian
Agama Dan Wakaf, Republik Arab Mesir, 1426 H/2005 M, Cet. Kesembilan, Hadist. 575, h. 180; Imam Syafe'i, Kitab Musnad, Bab Thalaq Dan Rujuk, Terbitan Darul Kutub, Ilmiah Beirut-
Lebanon, h. 294. Oleh mufthi syeikh Ahmad Huraidi pada tanggal 5 syawal 1389 bertepatan 17
Desember 1969 M , fatwa-fatwa Al-Azhar bab takhooruj, juz 2, Hadist 31125, h. 259,
109 Faturrahman. Ilmu Waris, h. 470
dibagi antar mereka menurut perbandingan bagian mereka dalam harta peninggalan
dan jika sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta mereka didalam perjanjian
takharuj tidak diterangkan cara membagi bagian orang yang keluar maka bagian
tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata”.110
4. Bentuk-bentuk pengunduran diri dan Cara membagikannya.
Terdapat tiga bentuk pengnduran diri yaitu:
A. Seorang ahli waris mengundurkan seorang ahliw aris yang lain dengan
memberikan sejumlah uang atau uang yang diambilkan dari miliknya sendiri.
Oleh karena ia telah memebrikan suatu prestasi kepada ahli waris yang
diundurkan, ia bantuk menerima tegenprestasi yang diberikan oleh orang yang
diundurkan, yang berupa bagian dari harta peninggalan yang semestinya akan
diterima pihak pertama seolah-olah telah membeli bagian pusaka pihak kedua.
Dengan sejumlah uang yang telah ia serahkan jadi pertama disamping mendapat
sahamnya sendiri yang harus diterima, sehingga ia memperoleh saham orang
yang telah diundurkannya.111
Adapun ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan masalah pembagian harta
peninggalan dalam bentuk ketiga ini, ialah:
a. Hendaknya dicari dahulu besarnya saham atau penerimaan masing-masing
ahli waris termasuk juga saham pihak yang diundurkannya.
110 Ibid., h. 471
111 Ibid
b. Pihak yang diundurkan (Mutakharaj) harus dianggap dan diperhitungkan
sebagai ahli waris yang maujud yang harus dicari besar kecilnya saham yang
seharusnya diterima.
c. Kemudian saham pihak yang diundurkan tersebut dikumpulkan
(ditambahkan) kepada saham pihak yang mengundurkannya.
d. Besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya
takharuj tetap dipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta pusaka
seelah terjadinya perjanjian takharuj.
B. Beberapa ahli waris mengundurkan seorang ahli waris dengan memberikan
prestasi yang diambilkan dari ahrta peninggalan itu sendiri. Bentuk perjanjian
pengunduran diri ke II ini merupakan bentuk yang sangat umum banyak terjadi
dalam pembagian harta pusaka dari pada bentuk yang lain. Setelah sempurna
perjanjian takharuj ini dipenuhi, maka pihak yang diambil sejumlah tertentu yang
diberikan kepada pihak-pihak yang diundurkan dalam jumlah tersebut mereka
bagi bersama sesua dengan perbandingan saham mereka masing-masing.
Dalam perjanjian takharuj bentuk ke II ini, yakni yang prestasinya diambilkan
dari sebagian harta peninggalan itu sendiri, berlaku ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
a. Sisa harta peninggalan dibagi antar para ahli waris menurut perbandingan
saham mereka masing-masing sebelum terjadi perjanjian takharuj.
b. Saham-saham mereka kemudian dijumlah untuk dijadikan asal masalah baru,
sebagai pengganti asal masalah yang lama harus ditinggalkan.
c. Pihak yang telah diundurkan, walaupun telah menerima sejumlah prestasi
tertentu, tetap diperhitungkan bagian para ahli waris yang mengundurkan,
sebab kalau demikian maka hasil dari penerimaan para ahli waris
akanberlainan dan berlwanan dengan ijma.112
C. Beberapa orang ahli waris mengundurkan ahli waris dengan memebrikan prestasi
yang diambilkan dari harta milik masing-masing secara urutan. Dalam hal ini
orang yang mengundurkan diri atau diundurkan oleh ahli waris seolah-olah telah
menjual haknya terhadap harta peninggalan dengan sejumlah prestasi yang telah
diberikan oleh ahli waris yang pada mengundurkannya, dan akibatnya seluruh
harta peninggalan untuk mereka semuanya. Besar kecilnya urutan (iuran) yang
harus dibayar oleh masing-masing mereka yang mengundurkan, adalah menurut
yang telah mereka sepakati.113
Adapun ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengunduran diri bentuk ke-III
ini adalah:
a. Takharuj tida mempengaruhi terhadap besarnya asal masalah semua, yakni
besarnya asal masalah dalam pembagian harta pusaka sebelum terjadinya takharuj
dapat dijadikan asal masalah dalam pembagian harta pusaka, setelah terjadinya
takharuj, karena asal masalahnya tidak berubah.
b. Ahli waris yang diundurkan dalam pembagian harta pusaka kepada ahli waris
yang pada mengundurkannya dianggap tidak ada.
112 Ibid., h. 472
113 Ibid
c. Dalam pembagian harta pusaka kepada mereka yang pada mengundurkannya,
mengingat corak-corak cara membayarnya ditentukan sebagai berikut :
1. Dalam pembayaran corak pertama, maka pembagian kepada ahli waris yang
pada mengundurkan adalah sebagai pembagian dalam bentuk takharuj ke II,
yakni seluruh harta peninggalan dibagi kepada mereka menurut perbandingan
saham mereka masing-masing kemudian dalam membagikan bagian orang
yang diundurkan demikian hendaknya.
2. Dalam pembayaran corak ke II, maka bagian orang yang diundurkan dibagi
sama rata. Demikian juga dalam perjanjia takharuj tersebut diterangkan cara-
cara pembagian orang yang diundurkan, maka pembagiannya harus disama
ratakan sebab ketiadaan diterangkan cara-cara tersebut, menunjukan kerelaan
masing-masing untuk dibagi secara sama rata, kalau tidak demikian tentunya
mereka pada membuat ketntuan-ketentuan baik mengenai jumlah yang harus
dibayar maupun bagaimana cara pembagiannya.
3. Dalam pembayaran corak ke III, yakni yang pembayarannya tidak menurut
perundingan saham meerka dalam mempusakai atau tidak sama banyak, maka
pembagian orang yang diundurkan hendaknya menurut perbandingan jumlah
besar kecilnya uang yang telah mereka bayarkan demi untuk melaksanakan
keadilan dan menyesuaikan kaidah “Al-Ghurmu bin Ghurmi”, artinya ialah
suatu kerugian itu hendaknya ditutup dengan keuntungan (Ghanimah).114
114 Ibid., h. 473
q. Penolakan Ahli Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam undang-undang menetapkan bahwa harta peninggalan seseorang tidak
hanya berbentuk aktiva tapi juga termasuk pasiva, artinya tidak hanya berbentuk
benda-benda, hak-hak kebendaan atau piutang yang merupakan tagihan para ahli
waris, tetapi termasuk juga harta peninggalan itu semua hutang yang merupakan
beban atau kewajiban bagi para ahli warisnya untuk melunasi hutang-hutangnya. Hal
ini sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 1100 kitab undang-undang hukum
perata yang berbunyi “Para ahli waris yang telah menerima suatu warisan
diwajibkan dalam hal pembayaran hutang hibah wasiat dan beban yang lain,
memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari
warisan”.115
Berhubungan dengan itu, untuk menghindari beban yang berat bagi ahi waris
ada beberapa ketentuan yang akan memberikan kemungkinan kepada para ahli waris
untuk mengambil sikap yang menguntungkan. Para ahli waris mempunyai hak
berfikir dalam menentukan sikapnya.116
Jangka waktu berfikir adalah empat bulan. Pengadilan negeri mempunyai
wewenang atas permintaan untuk memperpajang jangka waktu ini satu atau beberapa
kali. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1024 KUH Perdata.
115 Usman, Ikhtisar Hukum, h. 121
116 Ibid., h.122
Ahli waris yang hendak berfikir, mestilah mengajukan suatu pernyataan oleh
ia sendiri atau melalui perantaraan seorang wakil di kepaniteraan pengadilan negeri.
Pernyataan tersebut dapat berbentuk lisan, setelah itu dari pernyataan tersebut dapat
dibukukan suatu akta dalam suatu register yang disediakan untuk itu.117
Apabila tenggang waktu yang telah disediakan telah lewat, maka para ahli
waris dapat dipaksa untuk megambil sikap menerima warisan, menerima dengan
syarat atau menolak warisan.118
Hak berfikir dalam menentukan para ahli waris dicabut oleh ahli waris
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1043 kitab undang-undang hukum perdata yang
berbunyi “ketentuan dengan mana si yang mewariskan telah melarang dipergunakan
hak memikir dan hak istimewa untuk menggadaikan pencatatan harta peninggalan,
adalah batal dan tidak sah”.
Jika ahi waris menyatakan sikap menolak, maka ia tidak dapat lagi menerima
harta warisan. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 1058 kitab
undang-undang hukum perdata.
Orang yang dapat menolak karena hendak membebaskan dirinya dari hutang
harta peninggalan, orang dapat menola karena benci kepada pewaris dan anak
117 A.Pitlo. Hukum Waris, h. 41
118 Usman. Ikhtisar Hukum, h. 122-123
cucunya, tetapi juga orang dapat menolak untuk menguntungkan waris serta atau
waris dari kelompok berikutnya.119
Dan adapula kemungkinan, bahwa penolakan bisa dihibahkan dan dengan
demikian akan diindahkan bagian-bagian legitimnya dan pemasukan hata
peninggalan dari orang yang menolak120
Untuk lebih jelasnya, dibawah ini beberapa keterangan yang berkenaan
dengan penolakan menjadi ahli waris menurut konsepsi hukum perdata.
1. Pengertian Penolakan Warisan
Penolakan adalah melepaskan suatu hak, sebagaimana halnya dengan setiap
pelepasan hal lainnya, berlaku mulai sejak menyatakan kehendaknya untuk itu kepada
orang yang bersangkutan, dalam hal ini ahli waris.121
Seorang ahli waris dapat menolak warisan yang terbuka baginya, akan tetapi
warisan itu dinyatakan dengan tegas memberi suatu ketetapan kepaniteraan
pengadilan negeri untuk menyatakan sikap akan menolak warisan yang terbuka itu (
pasal 1057 ).122
119 A.Pitlo. Hukum Waris, h. 40
120 Ibid
121 Ibid, h. 41
122 Efendi Perangin. Hukum Waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet keempat, h.
171
Bahwa seorang itu dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, jadi penolakan
berlaku surut sampai wafatnya si peninggal warisan. 123
2. Dasar Hukum Penolakan Warisan
Dalam literature hukum perdata, dasar hukum penolakan warisan diatur dalam
pasal 1057 sampai 1065 kitab undang-undang hukum perdata pasal 1057 menyatakan
bahwa penolaan harus dilakukan dengan tegas dalam pernyataan yang dibuat
dikepanitraan pengadilan negeri didalam wilayah harta warisan itu berada, dan dalam
pasal-pasal berikutnya dinyatakan bahwa berkenan dengan penolakan warisan dan
bentuk-bentuk penolakan itu sendiri akan disinggung pada pembahasan selanjutnya.
3. Syarat-syarat dan Akibat Hukum Penolakan Warisan
Adapun syarat penolakan warisan adalah :
a. Syarat dari penolakan adalah harus dilakukan setelah harta warisan terbuka atau
harus dilakukan setelah perisiwa kematia, menurut 1334 ayat 2 bahwa tidaklah di
perkenankan bentuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka.124
b. Untuk memperolehnya mestilah orang yang masih hidup pada saat pewaris
meninggal dunia.125
123 Ibid
124 Anistus Amanat., Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 2001, Cet kedua, h. 48
125 A. Pitlo. Hukum Waris, h. 14
c. Dilakukan dengan tegas di depan kepanitraan pengedilan negeri hukumnya
setelah warisan itu terbuka (Pasal 1057).
d. Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir yaitu jangka
waktu empat bulan, ahli waris diberikan kesempatan berfikir untuk menentukan
sikapnya menolak warisan ( Pasal 1024 dan 1029 )
Setelah syarat-syarat diatas terpenuhi, maka ahli waris sudah dapat dinyatakan
menolak warisan yang telah jatuh padanya.
Adapun akibat hukum adanya penolakan warisan adalah :
a. Seseorang akan kehilangan haknya untuk mewaris, sehingga orang itu di anggap
tidak pernah menjadi ahli waris (pasal 1058) & bagian legietieme portienyapun
akan hilang.126
b. Si ahli waris yang menolak dinyatakan tidak pernah menjadi ahli waris, dan
konsekwensinya orang yang menolak bagian dari warisan (Leqitieme porty),
karena berpindah atau jatuh kepada mereka sebagai para ahli waris yang sedianya
berhak atas bagian warisan itu seandainya orang yang menolak tidak hidup pada
waktu meninggalnya orang yang mewariskan. Hal ini telah ditegaskan dalam
pasal 1059 kitab undang-undang hukum perdata.
c. Keturunan dari ahli waris yang menolak tidak bisa mewaris karena pengertian
tempat (pasal 1060).
apabila si ahli waris mempunyai hutang maka ada kemungkinan para berpiutang
akan dirugikan dengan penolakan warisan oleh si ahli waris debitur.127
126 Perangin. h.12
Maka untuk menyelesaikan masalah ini mesti merujuk pasal 1061 kitab
undang-undang hukum perdata yaitu yang berbunyi. Semua pemegang piutang
terhadap orang yang menolak suatu warisan untuk kerugian mereka dapat meminta
dikuasakan oleh hakim untuk atas nama si yang berutang itu, sebagai pengganti dari
dan untuk orang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu.
Seseorang waris yang telah menghilangkan atau menyembunyikan benda-
benda yang termasuk harta peninggalan, kehilangan haknya untuk menolak , ia tetap
menjadi waris murni, meskipun ia menolak. Sedangkan ia tidak dapat menuntut suatu
bagian pun dalam harta benda yang telah dihilangkan atau disembunyikan itu
menurut pasal 1064, pada pasal 1064, memberikan perlindungan kepada ahli waris
dari penggelapan yang dilakukan oleh ahli waris lainnya.128
Pada akhirnya pasal 1065 kitab undang-undang hukum perdata menyatakan
bahwa “Tidak seorang dapat seluruhnya dipulihkan kembali dari penolakan suatu
warisan, kecuali penolakan itu terjadi karena penipuan paksaan”.
Dapat penulisan kemukakan disini, menurut kitab undang-undang hukum
perdata (Burgelijk Wetboek) yang berlaku.
r. Persamaan Dana Perbedaan Penolakan Menjadi Ahli Waris
Perbedaan hasil terhadap suatu masalah adalah hal yang bersifat wajar dalam
arti bahwa semua orang boleh memberikan suatu analisa yang mungkin berbeda
127 Wirjono Prodjodikoro. Hukum Kewarisan Di Indonesia, Sumur Bandung, 1980, Cet.
Keenam, h. 131
128 Perangin. h. 171
antara satu dengan yang lainnya walaupun demikian pula dalam masalah yang sama
namun dalam masalah penolakan menjadi ahli waris menurut hukum Islam dan ktiab
undang-undang hukum perdata ini.
Dari beberapa keterangan yang berkenaan dengan penolakan menjadi ahli
waris yang telah dibahas. Bila dikorelasikan dengan penjabaran atau objek
pembahasan hukum waris islam, baik menurut persepsi utama dan atau menurut
peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kewarisan akan terdapat
beberapa persamaan dan perbedaan sikap penolakan/pengunduran dari menjadi ahli
waris.
Adapun perbedaan antara penolakan menjadi ahli waris menurut hukum islam
dan kitab undang-undang hukum perdata adalah pada segi pengertiannya. Dalam
penolakan menjadi ahli waris menurut kitab undang-undang hukum perdata memiliki
arti melepaskan suatu hak.129
Penolakan tidak mempengaruhi legitim (bagian
warisan) dari ahli waris lainnya.130
Dan bagian legietieme portienyapun akan
hilang.131
Sedangkan penolakan menurut hukum islam adalah pengunduran diri
menjadi ahli waris memiliki pengertian pengunduran diri atau takharuj adalah
kesepakatan para ahli waris tentang pengunduran salah seorang atau beberapa orang
129 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta,
Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 41
130 Ibid., h. 42
131 Perangin. h. 12
di antara mereka dari penerimaan warisan setelah menerima prestasi/imbalan dari
salah seorang atau beberapa ahli waris lainnya, baik imbalan tersebut berasal dari
harta perseorangan atau maupun dari harta peninggalan itu sendiri.132
Dalam pasal 1057 kitab undang-undang hukum perdata dinyatakan bahwa
menolak suatu harta warisan harus terjadi dengan tegas, dan dilakukan dengan suatu
pernyataan yang dibuat kepanitraan pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya
telah terbuka warisan itu.
Sedangkan literature hukum Islam dijelaskan bahwa pengunduran diri itu
cukup dengan ucapan atau sikap dari ahli waris yang mengundurkan atau
mengeluarkan salah satu ahli waris.
Selain itu, dalam hukum kewarisan kewarisan perdata seseorang yang
menolak bagian yang seharusnya didapat karena hendak membebaskan diri dari
hutang-hutang harta peninggalah sehingga dengan tindakkan penolakan tersebut si
ahli waris bebas dari segala tanggung jawabnya. Khususnya melunasi beban hutang si
waris (orang yang meninggal dunia).133
Sedangkan dalam hukum kewarisan islam,
membayar hutang tetap sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh para ahli
waris134
, walaupun salah satu ahli waris tersebut mengudurkan diri menjadi ahli
waris.
132 Usman dan Somawinata. Fiqh Mawaris, h. 153
133 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta,
Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h.40
134 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Keempat, h.
48
Di samping itu pula terdapat beberapa persamaan yang mendasar dari sikap
penolakan menjadi ahli waris menurut hukum perdata dengan sikap pengunduran diri
menjadi ahli waris menurut hukum islam. Persamaan-persamaan tersebut antara lain
adalah setiap orang yang meninggal dunia segala hak dam kewajiban berpindah
kepada ahli waris.135
selain itu pula dengan adnya sikap penolakan dan pengunduran
diri dari kelompok ahli waris akan menguntungkan para ahli waris atau ahli waris
dari kelompok berikutnya.136
Dan pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya
dan tempat kedudukannya digantikan oleh ahli waris lainnya.137
Jadi secara ringkas persamaan dan perbedaan penolakan ahli waris menurut
hukum islam dan kitab undang-undang hukum perdata adalah :
a. Perbedaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-undang
hukum perdata :
No Menurut Hukum Islam Menurut KUH Perdata
1
Penolakan memiliki arti kesepakatan /
perjanjian para ahli waris untuk
mengeluarkan dan mengundurkan diri
sebagai ahli waris lainnya dari
pewaris dengan mendapatkan suatu
prestasi atau imbalan yang ditentukan
Penolakan memiliki arti melepaskan
suatu hak dan tidak mempengaruhi
legitim (bagian warisan) dari ahli
waris lainnya, serta bagian
legietieme portienya pun akan
hilang, jadi kesimpulannya dalam
135 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Presfektif Islam, Adat, dan BW, Bandung,
PT. Refika Aditama, 2007, Cet Kedua, h.26
136 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta,
Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 40
137 Imam Muchlas. Waris Mawaris Dalam Islam, h. 63
2
3
para ahli waris.
Pengunduran diri cukup dengan
ucapan atau sikap dari ahli waris yang
mengundurkan diri yang diucapkan
dihadapan para ahli waris yang
mengundurkan/mengeluarkan salah
satu ahli waris. Melalui
perjanjian/kesepakatan.
Membayar hutang tetap sebagai
kewajiban yang harus dipenuhi oleh
para ahli waris, walaupun salah satu
ahli waris tersebut mengudurkan diri
menjadi ahli waris.
hukum perdata tidak diatur adanya
pemberian imbalan / prestasi.
Menolak suatu warisan harus terjadi
dengan tegas, dan dilakukan
dengansuatu pernyataan yang dibuat
di kepaniteraan pengadilan negeri,
yang dalam daerah hukumnya telah
terbuka warisan itu.
Seseorang yang menolak bagian
yang seharusnya didapat karena
hendak membebaskan diri dari
hutang-hutang harta peninggalan
sehingga dengan tindakan penolakan
tersebut si ahli waris bebas dari
segala tanggung jawabnya
kahususnya melunasi beban hutang
pewaris.
b. Persamaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan kitab undang-
undang hukum perdata.
1. Setiap orang yang meninggal dunia seketika itu juga hak dan kewajiban
pewaris atau orang yang meninggal dunia berpindah kepada ahli waris.
2. Sikap penolakan dan pengunduran diri dari kelompok ahli waris akan
menguntungkan para ahli waris atau ahli waris dari kelompok berikutnya. Dan
pengunduran diri menjadi ahli waris bagiannya dan tempat kedudukannya
digantikan oleh ahli waris lainnya.
s. Analisis
Dalam hal menolak warisan ini menurut hukum kewarisan islam bahwa
seorang ahli waris boleh saja menolak harta warisan atau tidak mau menerimanya
bukan dengan alasan ia ingin membebaskan diri dari hutang-hutang pewaris seperti
yang dianut dalam kitab undang-undang hukum perdata (Burgelijk Wetboek)
melainkan atas kemauannya sendiri saja. Dengan alasan untuk menambah bagian
kepada ahli waris lain. Sedangkan dalam hukum kewarisan perdata barat (Burgeljik
Wetboek) seorang ahli waris dapat menolak untuk menerima warisan dikarenakan
ingin membebaskan diri dari hutang-hutang pewaris. Hal ini dibolehkan, yang
berakibat ahli waris tersebut menyerahkan semua benda yang termasuk warisan
kepada kekuasaan.
Penolakan menjadi ahli waris menurut hukum perdata adalah pelepasan hak
dan diatur adanya pemberian imbalan/ prestasi.
Dengan menolak menjadi ahli waris, akan terhindar dari segala kewajiban
yang seharusnya menjadi tanggung jawab ahli waris, kewajiban itu salah satunya
meliputi melunasi utang pewaris jika pewaris meninggalkan utang sewaktu masa
hidupnya.
Sedangkan aturan hukum kewarisan islam menegaskan bahwa terdapat
beberapa hak yang berhubungan dengan harta peninggalan pewaris (orang yang
meninggal dunia) yang wajib di tunaikan sebelum warisan dibagi kepada ahli waris.
Adapun hak-hak tersebut adalah :
1. Biaya perawatan jenazah
Perawatan jenazah yang dimaksudkan meliputi seluruh biaya memandikan,
mengafani, mengantar (mengusung) dan menguburkan.138
2. Pelunasan Hutang
Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang
disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah di terima orang yang utang.
Apabila seseorang yang meninggalkan utang pada orang lain belum bayar, maka
sudah seharusnya utang tersebut. Dilunasi dari harta peninggalannya, sebelum
harta itu di bagikan kepada ahli waris.139
Dasar hukum tentang wajibnya
didahulukan pelunasan hutang pewaris dijelaskan dalam firman Allah dalam surat
An-Nisa ayat 11 yang berbunyi :
F�5G��H�I J� KL�M NOPQ�R *��44= S ��⌧@T��� ;�U�'
VW�� ,M�X�Y*U#Z3 A -�[*\ $�5@ ☯5�6��^ *_N�*\ ,M�X"`"a/� $�cd�*\ *U?�?� "' ⌧)"�*+ S -�e�4 fg"#�⌧@ <h�R��.�4 �cd�*\
�!�&<� A ���I��"1i3�4 ,V;5G�� BR�d.�4 �☺jk�l�&'
m:Rn�� $☺�' ⌧)"�*+ -�e "-�⌧@ o0�*� p*��4 A -�[*\ ��T� �5G"I o=T� p*��4 Eo0�4�r�4�4
0d��"14= ���&'s6*\ l?�tZ� A -�[*\ "-�⌧@ Eo=*� uh���v�e
138 Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1995), Cet Ketiga, h.40
139 Ahmad Rofiq, Hukum Waris, h. 48-49
���&'s6*\ m:Rn�� A @��' �R�?"1 Bw�Y�H�4 p �I �wkx �44= �M/y��
G NO5@5"�"1�5 NO5@5"�h7N14=�4 z{ "-4mrfR*+
NOc|I4= }~"�/�4= N15G*� 7?/E"# A <wz�I��*\ 8��&' �� G :-�e T�
"-�⌧@ �☺���" U☺� G�� ) ١١ :٤/#"�ء�ا (
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.( An-Nissa / 4 : 11 )
3. Wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah yang bersifat sukarela tanpa dipengaruhi oleh
siapapun, apabila seseorang meninggal dunia, semasa hidupnya berwasiat atas
sebagian harta kekayaan kepada suatu badan atau orang lain, wajib dilaksanakan
sebelum harta peninggalan dibagi oleh ahli warisnya.140
4. Pusaka yang dimiliki oleh para waris, apabila masih ada sisa harta, sesudah
diambil keperluan tahjiz ( biaya perawatan jenazah ), keperluan membayar hutang
dan wasiat.
140 Ibid., h. 52-53
Maka sisa itu menjadi hak para ahli waris dan dibagikan sesuai ketentuan
syarat sendiri.141
Dengan demikian para ahli waris berkewajiban untuk menyelesaikan
beban si pewaris, yakni membayar beban hutang piutangnya.
Sedangkan menurut KHI hak-hak harta peninggalan ahli waris adalah
sebagai berikut menurut pasal 175 KHI.
1. Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah :
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
c. Menyelesaikan wasiat pewaris
d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak
2. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya
terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
Kelompok-kelompok ahli waris menurut pasal 174 KHI :
1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah
• Golongan laki-laki terdiri dari : Ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman
dan kakek.
• Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan
141 TM Hasby Ash-Shidieqy. Fiqih Mawaris, Semarang, PT. Rizki Putra, 1997. Cet .Pertama. h. 21-22
2. Apabila semua ahli waris ada maka yang berhak mendapat warisan hanya anak,
ayah, ibu, janda atau duda.
Pelunasan hutang itu merupakan kewajiban yang utama seabgai pembebasan
pertanggung jawaban diakhirat.142
Yang perlu di perhatikan di dalam pembagian warisan ketika pewaris masih hidup
adalah keadalan. Betapapun juga ketentuan warisan didalam Al-Qur’an tetap perlu
dijadikan acuan karena dengan demikian baik bagi pewaris yang akan menghadap
kepada sang khaliq, juga tidak terbebani karena persoalan kebendaan, dan ahli
warisnya juga dapat menerima kenyataan dari bagian yang seharusnya diterimanya
dengan penuh keikhlasan.143
Menurut hukum Islam penolakan mejadi ahli waris tidak ada ketentuannya
yang terdapat dalam aturan waris islam adalah adanya pengunduran diri (takharuj)
menjadi ahli waris dan pengunduran diri itu berdasarkan kesepakatan ahli waris
dengan salah satu ahli waris lainnya.144
dan bukan berdasarkan ahli waris melihat
hutang-hutang sewaktu hidupnya sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata
pasal 1146 yang berbunyi “ Mempunyai hubungan dengan kewajiban para ahli waris
untuk melunasi hutang-hutang pewaris. 145
142 Usman dan Somawinata. Fiqih Mawaris, h.52
143 Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris, h.202
144 Usman & Somawinata. Fiqh Mawaris, h. 152
145 Amir martosoedono. Hukum Waris, semarang, penerbit effhar, Cet, ketiga, h. 117
Penolakan menjadi ahli waris dalam hukum perdata dibenarkan dengan tujuan
untuk membebaskan diri dari kewajiban membayar hutang.146
walaupun yang
membuat keputusan itu adalah pengadilan. Namun segala keputusan itu tidak sesuai
dengan aturan Al-Qur’an dan Hadits bahwa seorang ahli waris itu mempunyai
kewajiban membayar hutang orang yang meninggalkan harta warisan, karena itu
merupakan hak-hak orang yang meninggal, maka menurut hukum islam penolakan
menjadi ahli waris dalam kitab undang-undang hukum perdata tidak dibenarkan dan
tidak diakui keabsahannya karena tidak sesuai dengan aturan warisan menurut hukum
Islam.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
146 A. Pitlo. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Jakarta,
Penerbit Intermasa, 1986, Cet Kedua, h. 40
1. Pengertian takharuj menurut hukum islam adalah suatu perjanjian/kesepakatan
yang diadakan oleh para ahli waris salah satu dari mereka yang
mengundurkan diri tidak menerima warisan dan kedudukannya digantikan
ahli waris lainnya. Sedangkan menurut kitab undang-undang hukum perdata
penolakan warisan adalah melepaskan suatu hak yang semestinya didapat.
Jika telah terbuka suatu warisan.
2. Dalam hukum islam seseorang yang menolak atau mengundurkan diri
menjadi ahli waris ada beberapa sebab yaitu :
a. Ada kehendak untuk keluar menjadi ahli waris atau dasar keridhoan
(keikhlasan) sendiri.
b. Dan ada yang mengundurkan diri oleh ahli waris lainnya baik dengan
imbalan maupun tidak, umpamanya orang yang mengundurkan diri itu
kaya raya.
Namun demikian, kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas mesti adanya
kesepakatan dari para ahli waris yang mengundurkan dari ahli waris yang
diundurkan dengan tujuan kemasalahatan.
3. Dalam hukum perdata seseorang menolak menjadi ahli waris ada beberapa
sebab :
a) Karena hendak membebaskan dirinya hutang karena benci kepada pewaris
dan anak cucunya (hal ini jarang sekali terjadi)
b) Seseorang dapat pula menolak untuk menguntungkan waris serta atau
waris dari kelompok berikutnya dan ada pula kemungkinan, bahwa
penolakan bisa dihibahkan dan dengan demikian akan diindahkan bagian-
bagian legitimnya dan pemasukan harta peninggalan dari orang yang
menolak.
4. Persamaan penolakan ahli waris menurut hukum islam dan menurut kitab
undang-undang hukum perdata adalah:
1) Setiap orang yang meninggal dunia seketika itu juga hak dan kewajiban
pewaris berpindah kepada ahli waris dan
2) Sikap penolakan dan pengunduran diri menjadi ahli waris atau ahli waris
lain dari kelompok berikutnya.dan pengunduran diri menjadi ahli waris
bagiannya itu diambil dan tempat kedudukannya di gantikan oleh ahi
waris lainnya.
Sedangkan perbedaan menurut hukum islam pengunduran diri adalah :
1) Ucapan atau sikap yang diucapkan dihadapan para ahliwaris lainnya
melalui kesepakatan dan perdamaian.
2) Menurut hukum perdata harus terjadi dengan tegas, dan dilakukan dengan
suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan pengadilan negeri yang di
dalam daerahnya telah terbuka warisan itu.
Dalam hukum islam seseorang yang mengundurkan diri :
1) Mendapatkan suatu prestasi atau imbalan yang ditentukan ahli waris
2) Menurut hukum perdata tidak diatur adanya pemberian legitim ( bagian )
sedikitpun dari ahli waris.
Dalam hukum islam membayar hutang tetap dipenuhi para ahli waris dengan
catatan, maximum sebesar harat yang ditinggalkan (Lihat KHI)
Sedangkan dalam hukum perdata seseorang yang menolak bagian warisan
karena hendak membebaskan dirinya dari pertanggung jawaban membayar
hutang.
B. Saran-Saran
1. Penolakan warisan baik menurut hukum kewarisan islam maupun hukum
kewarisan perdata barat (Burgeljik Wetboek). Hendaknya aplikasinya secara
konsisten untuk menyelesaikan hal-hal tentang kewarisan, terutama penolakan
warisan ( takharuj ).
2. Penyelesaian permasalahan waris yang terjadi,baik melalui jalan musyawarah
maupun jalan pengadilan harus didasarkan pada ketentuan hukum.
3. Takharuj perlu dimasukkan dalam Kurikulum Fiqih Aliyah
4. Takharuj perlu dimasukkan melalui Khutbah Jum’at, kurikulum-kurikulum
dan Majelis Ta’lim.
DAFTAR PUSTAKA
A Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda.
Jakarta, Darul Ulum Press, 1993, Cet Ke-2
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam :Pengantar Ilmu Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia , Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet Ke-8
Apeldorn, L.J. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1996,
Cet. Ke-26
Azhari, Tahir, Kompilasi Hukum Islam Sebagai Alternatif :Suatu Analisa Sumber-
Sumber Hukum Islam, Dalam Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah Dan
DITBINBAPERA, 1991.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo,
1995, Cet Ke-2.
Al-Munawir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir, Yogyakarta,
1984.
Ash-Shiddiqey, TM Hasby, Fiqih Mawaris, Semarang, PT. Rizki Putra, 2001, Cet
Ke-3.
Afif, A. Wahab, Hukum Kewarisan Antara Hukum Adat Dan Islam, Seminar Hukum
Waris Bagi Umat Islam, Buku Laporan, Proyek Pembinaan Badan Peradilan,
Departemen Agama, 1997/1998.
Amanat, Anisitus, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet Ke-3
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. penerjemah A.M. Basamalah, “pemabagian waris
menurut islam”, Gema Insani Press, 1995 diakses pada 1 september 2008
http://media.isnet.org/islam/Waris/Takharuj.htmlin
Abi hasan Bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al – Naisabury, Shahih Muslim,
Bairut –Lebanono, Dar ‘ Alkitab Al-Arabi, Hadits. 4143
Basah, Syachran, Hukum Tata Negara Perbandingan, Bandung, Alumni, 1976.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2000, Cet Ke-3.
Bakri, Hasbullah Dalam Idris Ramulyo, Perbandingan Umum Kewarisan Islam Dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pedoman Ilmu, 1992
Djamil, Faturrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, Publishing House, 1996,
Cet Ke-1
Djalil, A.Basiq, Pernikahan Lintas Agama (Dalam Persfektif Fiqih Dan Kompilasi
Hukum Islam), Penerbit Qolbun Salim, 2005, Cet Ke-1.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
Jakarta, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2002.
Fachturrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Maarif, 1994, Cet Ke-3
Hanafi, Ahmad, Pengantar Dan Sejarah Islam, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1991, Cet
Ke-6
Hasan, M.Ali, Hukum Dalam Islam, Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1996, Cet Ke-6
Hasbiyallah, Belajar Ilmu Waris, Bandung , PT. Remaja Rosdakarya, 2007, Cet Ke-1
Imam Malik Bin Anas, Kitab “Muwattho” , Bab “ Tholaqul Mariedh”, Terbitan
Kemeterian Agama Dan Wakaf, Republik Arab Mesir, 1426 H/2005 M, Cet
Ke-9, Hadist. 575, Imam Syafe’i, Kitab Musnad, Bab Thalaq dan Rujuq,
Terbitan Darul Kutub, Ilmiah Beirut Lebanon.
Kartohadiprojo, Soediman, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT.
Pembangunan, 1997, Cet Ke-5.
Lubis , Suwardi K dan Simanjuntak, Komis, Hukum Waris Islam, Jakarta, PT
Pembangunan, 1997, Cet Ke-5.
Muchlas, Imam, Waris Mewaris Dalam Islam, Pasuruan, PT. Garoeda Indah,1996,
Cet Ke-1.
Muzakir, Fiqih Sunah, Jilid 14, Bandung , Pt. Al-Maarif, 1995, Cet Ke-2
Muthfi Syeih Ahmad Huraidi, fatwa-Fatwa al-Azhar , Bab Takharuj, Juz, 2, Pada
Tanggal 5 syahwal Bertepatan 17 Desember 1969 M
Perangin, Effendi, Hukum Waris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet Ke-4
R. Subekti Dan R Tjitosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek), Jakarta, PT. Pradanya Paramita, 2001, Cet Ke -30
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2000, Cet.Ke-4
--------------. Fiqh Mawaris. Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995, Cet Ke-2.
Rosyida, Dede, Hukum Islam Dan Pranata Sosial, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 1993, Cet Ke-1
Ramulyo, Idris, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat,
Jakarta, Sinar Grafika,1996, Cet Ke- 2
--------------. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Menurut Hukum
Perdata. Jakarta: Sinar Grafika,1994, Cet Ke-2.
Soekanto, Soejono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normative, Jakarta,
Rajawali, 1980, Cet Ke-2
Syihab, Umar, Hukum Islam Dan Transformasi Pemikiran, Semarang, Dina Utama,
1996, Cet Ke-1
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih , Kencana ,2003 , Cet Ke-1
Salim Hs, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (Burgelijk Wetboek, Cet Ke-2
Sofwan, SrisoeDewi Majehone, Hukum Perdata Hukum Benda, Yogyakarta,Penerbit
Liberty, 1981, Cet Ke-4
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata , Jakarta, PT. Intermasa, 1987, Cet Ke-21
Siddik, Abdullah, Hukum Waris Islam Dan Perkembangannya Di Seluruh Duna
Islam, Jakarta, PT.Intermasa, 1990, Cet Ke-1
Suparman, Eman, Hukum waris Indonesia dalam Persfektif Islam, Adat dan BW,
Bandung, PT. Refika Aditama, 2007, Cet Ke-2
Sunan Imam Baihaqi, Tidak Dapat Warisan Bagi Pembunuh, Jili 2, Hadist. 12604,
Abdurrozak Mushnaf, Jilid 9, Hadist 17798
Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara,
1987. Cet Ke-3
Usman, Suparman, Ikhtisar Hukum Islam Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Serang, Darul ulum Press, 1993, Cet ke-2
Usman, Suparman dan Somawinata, Yusuf, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta, Gaya Media Pratama, 1997, Cet. Ke-1
Widiana, Wahyu, Aktualitas Kompilasi Hukum Islam Di Peradilan Agama Paper.
Disamping Dalam Seminar Sehari Dengan Tema “Refleksi Sebelas Tahun”,
Kompilasi Hukum Islam : “Ekstensi KHI Dulu, Dan Yang Akan Datang”,
(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 7 Mei 2002 M/1423 H)