peniadaan mekanisme investor-state dispute...
TRANSCRIPT
PENIADAAN MEKANISME INVESTOR-STATE
DISPUTE SETTLEMENT (ISDS) DALAM
PERJANJIAN PERDAGANGAN AUSTRALIA DAN
JEPANG TAHUN 2014
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Muhammad Fikri Kodri
11141130000018
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
PENIADAAN MEKANISME INVESTOR-STATE DISPUTE SETTLEMENT
(ISDS) DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN AUSTRALIA DAN JEPANG
TAHUN 2014
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 5 Juni 2018
Muhammad Fikri Kodri
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Muhammad Fikri Kodri
NIM : 11141130000018
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
PENIADAAN MEKANISME INVESTOR-STATE DISPUTE SETTLEMENT
(ISDS) DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN AUSTRALIA DAN JEPANG
TAHUN 2014
dan telah memenuhi syarat untuk diuji,
Jakarta, 5 Juni 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Ahmad Alfajri, M.A Taufiq Rahman, MA
NIP: NIP:
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
PENIADAAN MEKANISME INVESTOR-STATE DISPUTE SETTLEMENT
(ISDS) DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN AUSTRALIA DAN JEPANG
TAHUN 2014
Oleh
Muhammad Fikri Kodri
11141130000018
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4
Juli 2018 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Ahmad Alfajri, M.A Eva Mushoffa, MHSPS
NIP: NIP:
Penguji I, Penguji II,
Ahmad Alfajri, M.A Febri Dirgantara Hasibuan, M.M
NIP: NIP:
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 4 Juli 2018
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
Ahmad Alfajri, M.A
NIP:
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi peniadaan
mekanisme investor-state dispute settlement (ISDS) dalam perjanjian perdagangan
Australia dan Jepang tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penolakan Australia dalam pencatutan
mekanisme ISDS dalam perjanjian perdagangan Australia dan Jepang. Penelitian ini
dilakukan melalui metode penulisan kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi
pustaka. Peneliti menemukan, bahwa terdapat faktor institusi domestik, faktor
institusi internasional dan faktor decision environment yang mempengaruhi
penolakan Australia terhadap pencatutan mekanisme ISDS dalam perjanjian
perdagangan Australia dan Jepang. Australia bukanlah negara yang selalu anti
terhadap mekanisme ISDS, namun dalam perjanjian perdagangan yang
ditandatangani dengan Jepang pada tahun 2014 Australia menolak permintaan Jepang
untuk mencatutkan mekanisme ISDS. Hal tersebut dirumuskan melalui tahapan
analisa, yaitu dengan melihat kerjasama ekonomi antara Australia dan Jepang,
kemudian melihat penolakan Australia terhadap mekanisme ISDS dalam perjanjian
yang ditandatantangani oleh Australia dan selanjutnya dianalisa dengan
menggunakan kerangka teoritis.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam skripsi ini adalah institusionalisme
dan konsep foreign policy decision making. Dari hasil analisa dengan menggunakan
teori dan konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi
peniadaan mekanisme ISDS dari perjanjian perdagangan Australia dan Jepang tahun
2014 adalah, faktor institusi domestik Australia dimana terdapat penolakan terhadap
mekanisme ISDS dari dalam badan Productivity Commision Australia, Parlemen
Australia, NGO dan Mahkamah Agung Australia. Selain itu faktor institusi
internasional JAEPA dan faktor decision environment juga mempengaruhi penolakan
Australia terhadap pencatutan mekanisme ISDS dalam JAEPA.
Kata kunci: Institusionalisme, mekanisme investor-state dispute settlement, investasi
asing, perjanjian perdagangan bebas.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrrahim, segala puji dan syukur selalu penulis ucapkan
kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis telah melibatkan beberapa pihak yang
sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis sampaikan rasa
terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Orangtua Penulis, Ayah, Ibu dan Adik yang selalu memberikan dukungan
terus menerus baik secara moril maupun materil. Dan untuk selalu
memberikan doa dan semangat untuk penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Ahmad Alfajri, M.A, selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi,
3. Bapak Taufiq Rahman, MA, selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan arahan dalam proses penyusunan skripsi ini
hingga selesai,
4. Dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta. Terima kasih atas segala
ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan,
5. Teman-teman terbaik penulis, anak-anak kontrakan Inhutani, teman-teman
kelas A Hubungan Internasional angkatan 2014, dan semua teman-teman
vi
angkatan 2014 Hubungan Internasional UIN Jakarta. Terima kasih atas
dukungan, doa dan semangat juga bantuan ilmu selama penulis mengerjakan
skripsi ini. Terima kasih juga karena telah mewarnai kehidupan perkuliahan
penulis.
6. Kakak-kakak senior jurusan Hubungan Internasional UIN Jakarta. Terima
kasih atas semua masukan, saran dan buku yang telah diberikan kepada
penulis sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan perkuliahan.
Harapan penulis semoga Allah SWT membalas semua dukungan dan bantuan
yang diberikan dengan kebaikan yang berlipat. Terakhir, penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih banyak kekurangan. Semoga dengan segala kekurangan yang
dimiliki, skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi setiap
pembacanya dan bagi perkembangan studi Hubungan Internasional
Jakarta, 5 Juni 2018
Muhammad Fikri Kodri
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL… ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR…................................................................................................xi
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ................................................................. 1
B. Pertanyaan Masalah ................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat ................................................................. 8
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 9
E. Kerangka Teoretis…............................................................... 14
1. Institusionalisme…..…………………………………14
2. Konsep Foreign Policy Decision Making……………16
F. Metode Penelitian .................................................................. 17
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 19
BAB II KERJASAMA EKONOMI AUSTRALIA-JEPANG
A. Kerjasama Ekonomi Australia dan Jepang…...….................. 21
B. Pembentukan Perjanjian JAEPA…………............................ 23
C. Implikasi Perjanjian JAEPA bagi Perekonomian Australia....27
viii
BAB III PENOLAKAN AUSTRALIA TERHADAP MEKANISME
INVESTOR-STATE DISPUTE SETTLEMENT
A. Investor-State Dispute Settlement....................... 34
1. Sejarah Mekanisme ISDS Pra Perang Dunia II..…… 34
2. Sejarah Mekanisme ISDS Pasca Perang Dunia II….. 35
3. Mekanisme Investor-State Dispute Settlement…….. 37
B. Penerapan Mekanisme ISDS oleh Australia….................... 39
C. Penolakan Australia terhadap Pencatutan Mekanisme ISDS
dalam JAEPA………………………………………..……. 45
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENOLAKAN
AUSTRALIA TERHADAP PENCATUTAN MEKANISME ISDS
DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN AUSTRALIA DAN
JEPANG TAHUN 2014
A. Faktor Institusi Domestik Australia…………........................ 50
1. Productivity Commision Australia………………....…… 51
2. Parlemen Australia…………………………………..…. 53
3. Supreme and Federal Court Australia….………....…… 58
4. Non-Governmental Organization……………………… 59
B. Faktor Institusi Internasional……………………...…………61
1. Institusi JAEPA………………………………………… 61
C. Faktor Decision Environment….…………………………… 63
BAB V PENUTUP
ix
A. Kesimpulan ………........................………………………….65
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….xii
LAMPIRAN………...……………………………………………………………. xxiv
x
DAFTAR TABEL
Tabel III. B. 1 Penerapan Mekanisme ISDS oleh Australia dalam EPA....…41
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II. B. 1 Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Perdana Menteri
Australia Tony Abbott menandatangani perjanjian
JAEPA.……………………………………………………... 26
Gambar II. C. 1 Sepuluh Besar Komoditi Ekspor Australia ke Jepang ...…… 28
Gambar II. C. 2 Grafik Partner Dagang Terbesar Australia…..……………... 29
Gambar III. C. 3 Grafik Ekspor Komoditi Tambang dari Australia ke
Jepang…………………………………………..…………... 30
Gambar II. C. 4 Sumber Investasi Asing di Australia…...…………………… 32
xii
DAFTAR SINGKATAN
AFTINET Australian Fair Trade & Investment Netwotk Ltd
ALP Australian Labour Party
BITs Bilateral Investment Treaties
EPA Economic Partnership Agreement
FCN Friendship, Commerce and Navigation
FDI Foreign Direct Investment
ICJ International Court of Justice
ICSID International Centre for Settlement of Investment Disputes
ISDS Investor-State Dispute Settlement
JAEPA Japan-Australia Economic Partnership Agreement
MFN Most Favour Nation
TPP Trans Pasific Partnership
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Investor State Dispute Settlement (ISDS) adalah suatu mekanisme
penyelesaian sengketa antara perusahaan multinasional atau investor asing yang
melakukan investasi di negara tujuan dengan negara tujuan investasi tersebut.
Mekanisme ini memberikan kesempatan kepada investor untuk menuntut negara
tujuan investasi ke pengadilan internasional jika terjadi pelanggaran atas suatu
aturan investasi internasional. Dengan adanya mekanisme ISDS ini, suatu
perusahaan multinasional atau investor tidak perlu bergantung pada negara
asalnya jika terdapat sengketa dan ingin menuntut negara tujuan investasi.1
Sejarah dari mekanisme ISDS yang digunakan saat ini, adalah bermula dari
penggunaan International Court of Justice (ICJ) dalam upaya penyelesaian
sengketa antara investor dan negara tujuan investasi. Salah satu perjanjian yang
melibatkan ICJ dalam penyelesaian sengketanya adalah perjanjian
Jerman-Pakistan pada tahun 1959. Kedua negara sepakat jika terjadi permasalahan
atas interpretasi dari perjanjian, maka masalah tersebut dapat diselesaikan di ICJ
jika kedua pihak menyetujui. Namun jika tidak tercapai kesepakatan maka akan
1 Nitij Pal, “What is ISDS (investor - state dispute settlement) ?,”. [artikel on-line] tersedia di
http://www.andeco.com.au/uncategorized/what-is-isds-investor-state-dispute-settlement/ diunduh pada 17
Oktober 2017.
2
digunakan mekanisme arbitrasi antara kedua belah pihak.2 Penggunaan ICJ dalam
proses penyelesaian sengketa dalam perjanjian Jerman-Pakistan tersebut dianggap
sebagai titik awal dari tren penggunaan mekanisme ISDS yang dikenal dewasa ini.
Akan tetapi pelibatan ICJ dalam proses penyelesaian sengketa antara pihak
investor dengan pihak pemerintah negara seperti yang ada di perjanjian
Jerman-Pakistan tahun 1959 tersebut dianggap belum mampu mengatasi
penyelesaian sengketa antara investor dengan pihak pemerintah secara profesional,
karena campur tangan negara yang masih besar dalam mekanisme tersebut. Oleh
karena itu dibentuklah International Centre for Settlement of Investment Disputes
(ICSID) pada tahun 1966. Pembentukan ICSID sendiri dimaksudkan untuk
membantu mengurangi nuansa politis dalam penyelesaian suatu sengketa, karena
sebelumnya saat terjadi suatu pelanggaran atas aturan investasi internasional,
maka pihak penuntut hanya mampu untuk melakukan tindakan yang terbatas pada
empat hal yaitu: melakukan negosiasi dengan pemerintah negara tujuan investasi,
menuntut negara tujuan investasi ke pengadilan lokalnya, meminta negara asal
untuk melakukan negosiasi secara diplomatis dengan negara tujuan secara G2G,
dan meminta negara asal untuk mendukung tuntutan atas nama negara asal ke
ICJ.3
Tren penggunaan mekanisme ISDS sendiri dapat dilihat dari jumlah kasus
yang ditangani oleh ICSID sejak dibentuknya institusi tersebut. Sampai dengan
2 Christian Tietje, “The Impact of Investor-State-Dispute Settlement (ISDS)in the Translantic Trade and
Investment Partnership”, Leiden University: 2014. [jurnal on-line]; tersedia di
http://media.leidenuniv.nl/legacy/the-impact-of-investor-state-dispute-settlement-isds-in-the-ttip.pdf
diunduh pada 17 Oktober 2017. 3 Susan D. Franck. 2007.” Foreign Direct Investment Treaty Arbitration and the rule of Law”, Global
3
tahun 2016 ICSID telah mengurusi sebanyak 570 kasus. Berdasarkan laporan
tahunan yang dipublikasikan oleh ICSID, pada tahun 2016 lembaga ini mengurusi
247 kasus, dan jumlah tersebut merupakan yang terbesar yang pernah ditangani
oleh ICSID dalam satu tahun sejak awal pembentukan ICSID. Pada tahun 2016 51%
kasus berasal dari Bilateral Investment Treaties (BITs) yaitu perjanjian investasi
antara dua negara. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2016
terlihat pergeseran tren dimana sebelumnya mayoritas kasus yang dibawa ke
ICSID dimenangkan oleh pihak pemerintah/negara, namun pada 2016 kurang
lebih 56% kasus yang ditangani oleh ICSID dimenangkan oleh pihak
perusahaan/investor.4
Mekanisme ISDS diterapkan dalam berbagai perjanjian perdagangan
internasional yang bersifat bilateral maupun multilateral. Sebagai contoh salah
satu perjanjian perdagangan internasional yang menerapkan mekanisme ISDS
adalah Trans Pasific Partnership (TPP) yang sampai dengan saat ini masih belum
berlaku. TPP merupakan perjanjian perdagangan bebas antara Amerika Serikat
dengan 11 negara lain yaitu Jepang, Australia, Selandia Baru, Cili, Meksiko, Peru,
Singapura, Brunei Darussalam, Kanada, Malaysia dan Vietnam.5 Selain dalam
perjanjian perdagangan multilateral dan perjanjian investasi bilateral, seperti telah
disebutkan diatas mekanisme ISDS diterapkan dalam perjanjian perdagangan
4 Trends in investor-state dispute settlement, [artikel on-line] tersedia di
http://www.nortonrosefulbright.com/knowledge/publications/148969/trends-in-investor-state-dispute-settlem
ent diakses pada 17 Oktober 2017 5 Kimberly Amadeo. 2017. “Trans Pasific Partnership Summary, Pros and Cons”. [artikel on-line] tersedia
di https://www.thebalance.com/what-is-the-trans-pacific-partnership-3305581 diakses pada 7 Oktober 2017
4
bilateral yang didalamnya terdapat bab investasi. Salah satu negara yang
menerapkan mekanisme ISDS dalam perjanjian perdagangannya adalah Australia.
Mekanisme ISDS diterapkan oleh Australia dalam melakukan perjanjian
perdagangan dengan negara lain. Mekanisme ini berlaku terhadap investor asing
di Australia atau bagi investor Australia di negara lain yang terikat mekanisme
ISDS dengan Australia. Dalam mekanisme ini investor yang melakukan investasi
di Australia mampu untuk menggugat pihak pemerintah Australia jika dianggap
mengeluarkan aturan yang menghambat proses investasi ataupun terdapat
pelanggaran terhadap perjanjian yang ada. Begitupun sebaliknya investor
Australia di negara tujuan mampu menggugat pemerintah negara tujuan investasi
jika terdapat hal yang serupa. Subjek dari mekanisme ISDS berfokus kepada
kewajiban negara tujuan yang tidak bisa dilanggar seperti pengambilan alih,
prinsip non-diskriminasi dan standar minimum perlakuan terhadap investor.6
Australia menerapkan mekanisme ISDS dalam perjanjian perdagangannya
dengan negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, Singapura, Thailand, Cili,
negara-negara ASEAN dan 21 negara yang tergabung dalam Investment
Protection and Promotion Agreement ( IPPA). Salah satu negara Asia yang
menandatangani perjanjian perdagangan dengan Australia pada tahun 2014 adalah
Jepang. Australia dan Jepang menandatangani perjanjian perdagangan bebas pada
tahun 2014 yang dikenal dengan nama Japan Australia Economic Partnership
Agreement (JAEPA) dan mulai berlaku sejak tanggal 15 Januari 2015. Perjanjian
6 Investor State Dispute Settlement. [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/topics/Pages/isds.aspx diakses pada 29 September 2017.
5
ini merupakan hasil dari 16 kali perundingan antara kedua negara yang dilakukan
sejak tahun 2007.7
Namun saat Australia menekan perjanjian perdagangan dengan Jepang
tersebut, mekanisme ISDS ini tidak dicatutkan sebagaimana Australia memiliki
perjanjian perdagangan bilateral dengan negara-negara lain. Dalam bab 19 yang
membahas permasalahan Dispute Settlement atau penyelesaian sengketa,
mekanisme yang digunakan dalam perjanjian JAEPA adalah dimulai dari
konsultasi, mediasi sampai dengan proses arbitrase. Jika suatu sengketa muncul,
maka kedua belah pihak yaitu Pemerintah Jepang dan Pemerintah Australia dapat
menerapkan mekanisme arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa.
Mekanisme arbitrase yang diterapkan akan menghasilkan keputusan juri yang
selanjutnya akan digunakan sebagai solusi atas suatu sengketa yang muncul.8
Pihak Jepang adalah pihak yang meminta agar mekanisme ISDS dicatutkan
dalam bab penyelesaian sengketa di perjanjian JAEPA. Sampai dengan
perundingan ke 10 pihak Jepang tetap mengajukan permintaan agar mekanisme
ISDS dicatutkan dalam JAEPA. Australia merasa bahwa permintaan dari Jepang
ini adalah suatu hal yang sangat sulit untuk disetujui, karena Australia mendorong
agar mekanisme ISDS tidak dicatutkan dalam JAEPA.9
7 Japan-Australia Economic Partnership Agreement (JAEPA). [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/agreements/jaepa/news/Pages/news.aspx diakses pada 17 Oktober 2017. 8 Agrement Between Australia and Japan for An Economic Partnership. [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/agreements/jaepa/official-documents/Documents/jaepa-chapters-1-to-20.pdf diakses
pada 17 Oktober 2017. 9 Australia-Japan Free Trade Agreement, Tenth Negotiations. [database on-line] tersedia di
http://web.archive.org/web/20110317020931/http://www.dfat.gov.au/fta/ajfta/newsletter_update/update_10.ht
ml diakses pada 5 Juli 2018.
6
Pihak Jepang adalah pihak yang meminta agar mekanisme ISDS dicatutkan
dalam JAEPA. Jepang adalah negara yang cenderung akan mencatutkan
mekanisme ISDS dalam perjanjian investasi bilateralnya (BITs) dan perjanjian
perdagangan bebasnya (EPA). Dari pihak domestik Jepang sendiri, Japan
Business Federation atau yang dikenal sebagai Nippon Keidanren sangat
mendorong agar mekanisme ISDS dicatutkan dalam berbagai BITs maupun EPA
yang ditandatangani Jepang.10
Jepang dapat dikatakan sebagai negara yang cukup pasif dalam hal
perlindungan investasi. Hal ini terlihat dari jumlah tuntutan yang dilakukan oleh
investor asal Jepang yang dapat dikatakan sangat kecil jumlahnya dibandingkan
dengan negara-negara lain. Dengan total dua tuntutan hingga saat ini, jumlah
tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki 145
kasus, Inggris dengan 64 kasus dan Jerman dengan 53 kasus. Hal ini berbanding
terbalik dengan jumlah Foreign Direct Investment (FDI) Jepang ke negara lain
yang berada di angka yang relatif sangat tinggi. Dimana pada tahun 2015 jumlah
FDI Jepang ke luar negeri mencapai angka US$ 128.6 miliar. Hal ini menjadikan
Jepang sebagai investor kedua terbesar di dunia lewat FDI.11
Mayoritas penjanjian investasi atau perjanjian perdagangan internasional
antara Jepang dengan negara lain menerapkan mekanisme ISDS didalamnya,
10 Shotaro Hamamoto, A passive player in international investment law: typically Japanese?, dalam “Foreign
Investment and Dispute Resolution Law and Practice in Asia”. 2012. diedit oleh Vivienne Bath dan Luke
Nottage. London: Routledge, hal 63-64. 11 A Guide to International Investment Agreements. [database on-line] tersedia di
http://isds.bilaterals.org/?a-guide-to-international&lang=en diakses pada 17 Oktober 2017.
7
namun tidak dalam perjanjian perdagangannya dengan Australia.12
Sebagai
pengganti dari penerapan mekanisme ISDS, Australia dan Jepang memiliki
mekanisme penyelesaian sengketa melalui proses lain yang dianggap belum
mampu memberikan mekanisme penyelesaian sengketa yang dianggap pantas dan
sesuai.13
Dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa terdapat different treatment dalam
perjanjian perdagangan antara Australia dan Jepang. Karena, Australia
menerapkan mekanisme ISDS dalam mayoritas perjanjian perdagangannya
dengan negara lain dan mengikatkan diri dalam perjanjian perdagangan
internasional yang menerapkan mekanisme ISDS. Namun dalam perjanjian
JAEPA, pihak Australia menolak untuk setuju terhadap permintaan dari pihak
Jepang untuk mencatutkan mekanisme ISDS dalam perjanjian JAEPA.
B. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut :
“Apa faktor-faktor yang mempengaruhi penolakan Australia terhadap
pencatutan mekanisme investor-state dispute settlement (ISDS) dalam perjanjian
perdagangan Australia dan Jepang tahun 2014?”
12 Sabina Adascalitei, 31 Agustus 2017. “EU-Japan Partnership Agreement”. [artikel on-line] tersedia di
http://www.ciarb.org/news/ciarb-news/news-detail/features/2017/08/31/eu-japan-partnership-agreement
diakses pada 7 Oktober 2017. 13 Richard Allen, 17 Juli 2017. “New EU-Japan Trade Deal: EU declares ISDS “dead”. [artikel on-line]
tersedia di https://globalarbitrationnews.com/new-eu-japan-trade-deal-eu-declares-isds-dead/ diakses pada 7
Oktober 2017.
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian denganan judul “Peniadaan
Mekanisme investor-state dispute settlement (ISDS) dalam Perjanjian
Perdagangan Australia dan Jepang tahun 2014” ini adalah :
1. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penolakan
Australia terhadap pencatutan mekanisme investor-state dispute
settlement (ISDS) dalam perjanjian perdagangan Australia dan Jepang
tahun 2014.
2. Untuk mengetahui alasan Australia meniadakan mekanisme
investor-state dispute settlement (ISDS) dalam perjanjian
perdagangannya tahun 2014.
3. Mengaplikasikan teori dan konsep dari studi Hubungan Internasional
khususnya teori dalam Ekonomi Politik Internasional yang dapat
digunakan sebagai alat analisis terhadap penelitian ini.
Hasil penelitian ini diharapkan membawa manfaat, diantaranya adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan
ilmu Hubungan Internasional baik di lingkup universitas, nasional
maupun internasional.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian
berikutnya untuk membahas tentag peniadaan mekanisme ISDS dalam
perjanjian perdagangan Australia dan Jepang.
9
D. Tinjauan Pustaka
Pertama, tulisan yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini yaitu
jurnal yang berjudul “Investor-State Arbitration: Not in the Australia-Japan
Free Trade Agreement, and Not Ever for Australia?”14
yang ditulis oleh Luke R.
Nottage, dari The University of Sydney Law School, The University of Sydney
(2014). Dalam tulisan ini disebutkan bahwa alasan sebenarnya dari pengecualian
mekanisme ISDS dalam JAEPA tidak bisa diketahui secara menyeluruh, karena
dianggap bahwa JAEPA bukanlah perjanjian yang bersifat kaku dan tidak bisa
mengalami revisi di kemudian hari, namun kira-kira alasan dari kedua negara
yang bersepakat untuk tidak menerapkan mekanisme ISDS dalam perjanjian
mereka adalah karena pihak Jepang yang tidak terlalu mendorong untuk
menerapkan mekanisme ISDS tersebut dalam perjanjiannya dengan Australia.
Para investor yang berasal dari Jepang merasa bahwa mekanisme ISDS tersebut
tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi mereka, sehingga kelompok
pengusaha di Jepang tidak menuntut pemerintahannya untuk terus menjamin agar
kebijkan ISDS tersebut diterapkan dalam setiap perjanjian perdagangan Jepang
dengan negara lain. Kemudian Nottage menjelaskan dampak dari peniadaan
mekanisme ISDS bagi perjanjian-perjanjian yang akan ada di kemudian hari.
Terdapat potensi bahwa peniadaan mekanisme ISDS ini akan menjadi sebuah tren
karena beberapa negara seperti Singapura, Cili dan Kanada yang memiliki sistem
14
Luke R.Nottage. 2014. “Investor-State Arbitration: Not in the Australia-Japan Free Trade Agreement, and
Not Ever for Australia?”, Australia: Sydney Law School Research Paper No. 15/45, Journal of Japanese Law,
Vol. 19, No. 38, hal. 37-52.
10
hukum domestik yang kuat akan melirik kepada peniadaan mekanisme ISDS dan
berasumsi bahwa mekanisme ISDS tersebut tidak lagi diperlukan. “Anti-ISDS”
yang bermula dari peniadaan yang dilakukan Australia dan Jepang juga memiliki
potensi untuk tersebar di bagian negara Asia lain dan mempengaruhi kesepakatan
perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang masih
dalam pembahasan. Selanjutanya tulisan ini membahas bagaimana dinamika dari
dalam senat Australia merespon pemerintahan Perdana Menteri Abbot yang setuju
untuk menerapkan mekanisme ISDS dalam perjanjian perdagangannya dengan
Korea Selatan dan Cina. Dalam kesimpulannya Nottage menuliskan bahwa
mekanisme ISDS yang sudah ada patut untuk diikuti dan terus dinegosiasi dalam
penerapan aturan proteksi yang substantif dari prosedur ISDS. Nottage
menyarankan bahwa mekanisme ISDS tersebut sebaiknya diterapkan terutama
dalam perjanjian-perjanjian regional yang mengikutsertakan negara-negara maju
ataupun berkembang.
Penelitian diatas memiliki kesamaan dalam menganalisa alasan Australia
dan untuk meniadakan mekanisme ISDS dalam perjanjian perdagangan Australia
dan Jepang. Oleh karena itu penelitian ini dipilih untuk menjadi tinjauan pustaka
karena kesamaan asumsi bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
Australia meniadakan mekanisme ISDS dalam JAEPA. Penelitian ini juga melihat
sebagian alasan yang mempengaruhi peniadaan mekanisme ISDS dalam
perjanjian perdagangan Australia dan Jepang, dan dampak dari peniadaan tersebut
bagi tren penggunaan mekanisme ISDS oleh Australia. Perbedaan dengan
penelitian yang akan dilakukan adalah, penelitian diatas tidak menggunakan teori
11
institusionalisme yang nantinya akan digunakan dalam penelitian ini. Dan juga
level analisis yang digunakan dalam penelitian ini berada di level negara dan level
sistem. Selain itu penelitian diatas berfokus kepada bagaimana tren penggunaan
mekanisme ISDS khususnya bagi Australia setelah peniadaan mekanisme ISDS
dalam JAEPA. Berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan yang berfokus
kepada faktor-faktor yang melatarbelakangi penolakan Australia dalam pencatutan
mekanisme ISDS dalam perjanjian JAEPA.
Kedua, adalah sebuah laporan penelitian karya Dr Patrick Carvalho yang
berjudul “Investor-State Arbitration and the Rule of Law: Debunking the
Myths”15
yang dipublikasikan oleh The Centre For Independent Studies Nomor
13. Patrick (2016) menjelaskan secara singkat pada bagian awal bagaimana
kemunculan mekanisme ISDS dan tren penggunaannya di dunia dewasa ini.
Selanjutnya Patrick menjelaskan dengan negara mana saja Australia memiliki
perjanjian yang mengandung mekanisme ISDS, lalu bagaimana penggunaan
mekanisme ISDS dari berbagai era pemerintahan Australia yang dimulai dari
pemerintahan Bob Hawke dan Paul Keating, pemerintahan John Howard,
pemerintahan Kevin Rudd-Julia Gillard-Kevin Rudd, pemerintahan Tony Abbott
dan yang sekarang memerintah yaitu pemerintahan Malcolm Turnbull. Dalam
laporan ini disebutkan bagaimana dinamika penenerapan mekanisme ISDS dalam
berbagai perjanjian di masing-masing era kepemimpinan Perdana Menteri yang
berbeda-beda. Selanjutnya dalam tulisan ini disebutkan aspek-aspek yang harus
15
Dr. Patrick Carvalho. 2016. “Investor-State Arbitration and the Rule of Law: Debunking the Myths”,
Australia: The Centre For Independent Studies No.13, [jurnal on-line] tersedia di
https://www.cis.org.au/app/uploads/2016/04/rr13.pdf diakses pada 30 Oktober 2017.
12
diperbaiki dari adanya mekanisme ISDS, meskipun mekanisme ISDS dianggap
sebagai suatu ketentuan terbaik yang mampu memberikan keadilan dan kesetaraan
bagi dua entitas berbeda yang memiliki perbedaan nilai hukum dan kebiasaan
yang dimiliki. Aspek-aspek yang memerlukan perbaikan tersebut adalah
transparansi dari proses penggunaan mekanisme ISDS, pembatasan yang jelas
dalam penggunaan mekanisme ISDS dan konsistensi penerapan ketentuan dan
pmebatasan yang ada di mekanisme ISDS. Tulisan ini sesuai dengan judulnya
juga berisi bantahan terhadap “mitos” dari penggunaan mekanisme ISDS.
Tulisan karya Patrick (2016) tersebut memiliki kesamaan dalam melihat
bagaimana mekanisme ISDS diterapkan dalam masing-masing era pemerintahan
di Australia. Selain itu, tulisan diatas juga sama-sama melihat bagaimana tren dari
penggunaan mekanisme ISDS oleh negara-negara dalam beberapa tahun
kebelakang. Perbedaan tulisan karya Patrick (2016) dengan penelitian yang akan
dilakukan adalah subjek dan objek yang dianalisis berbeda, dimana tulisan diatas
hanya meneliti bagaimana dinamika penggunaan mekanisme ISDS yang ada di
pemerintah Australia dan memberikan bantahan terhadap “mitos” dari
penggunaan mekanisme ISDS, sedangkan penelitian yang akan dilakukan akan
melihat bagaimana penolakan Australia terhadap pencatutan mekanisme ISDS
dalam JAEPA dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya.
Ketiga, sebuah jurnal karya Beth A. Simmons yang berjudul “East Asia,
Investment, and International Law: Distinctive or Convergent?”16
Dalam The
16
Beth A. Simmons. 2015. East Asia, Investment, and International Law: Distinctive or Convergent?,
Republic of Korea: The Korean Journal of International Studies Vol. 13-3, hal. 461-487.
13
Korean Journal of International Studies Vol. 13-3. Beth (2015) menjelaskan
bahwa negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Cina dan Korea Selatan
cenderung untuk melakukan FDI ke negara-negara lain dalam jumlah yang besar,
namun sangat bertolak belakang dengan perlindungan investasinya. Jumlah FDI
negara-negara Asia Timur yang besar tidak menimbulkan hubungan yang erat dan
signifikan dengan hukum investasi internasional dan institusinya seperti yang
lazim digunakan oleh negara-negara Barat, yang berfungsi untuk melindungi para
investor di negara tujuan investasi. Negara-negara seperti Jepang, Cina dan Korea
Selatan cenderung memiliki sesuatu yang berbeda dengan penggunaan hukum
internasional terutama pada bidang investasi. Fokus dari jurnal ini sendiri adalah
membahas bagaimana dinamika negara-negara Asia Timur dalam berurusan
dengan rezim investasi internasional dan rezim peradilan internasional seperti
ICSID.
Tulisan karya Beth (2015) tersebut memiliki kesamaan dalam melihat
bagaimana suatu negara mengikatkan diri dengan aturan hukum perjanjian
investasi internasional. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah,
pengikatan Jepang terhadap aturan hukum perjanjian investasi internasional
bukanlah fokus utama dan hanya bagian dari penelitian yang berfokus kepada
alasan dan juga faktor-faktor yang mendorong Australia untuk meniadakan
mekanisme ISDS dalam perjanjian perdagangan Australia dan Jepang.
14
E. Kerangka Teoretis
1. Institusionalisme
Institusionalisme mendefiniskan institusi yang secara umum merupakan
seperangkat aturan baik formal maupun informal yang memiliki peranan untuk
mengatur, menetapkan, membatasi dan mengarahkan pola perilaku negara sesuai
dengan tujuan dari dibentuknya institusi tersebut. Institusi terbagi menjadi
beberapa bentuk seperti perjanjian, rezim dan organisasi. Teori institusionalisme
menganggap bahwa ekonomi dan politik merupakan dua aspek yang saling
ketergantungan dan tidak dapat dipisahkan.17
Basic actors atau aktor dasar yang memiliki peranan dalam mengarahkan
preferensi dan perilaku negara adalah insitusi. Bentuk dari institusi sendiri terbagi
menjadi beberapa bentuk seperti Perusahaan, institusi Pemerintah, dan institusi
seperti organisasi persatuan pekerja dan non-governmental organisations (NGO).
Institusionalisme memandang bahwa dalam perekonomian modern, pihak
pemerintah terlibat dalam kisaran 30-50% aktivitas ekonomi di pasar.
Pembahasan mengenai keputusan atau preferensi yang akan diambil oleh suatu
negara, ada di tingkat legislatif, pembuat kebijakan seperti Kementerian, dan
Mahkamah Agung.18
Sebagai aktor utama, negara memilih untuk bekerjasama dengan membuat
suatu institusi internasional yang mampu mengakomodir kebutuhan dari para
17 Raymond C. Miller. 2008. “International Political Economy: Contrasting world views”. New York:
Routledge. hal. 101-102. 18
Miller. “International Political Economy: Contrasting world views”. hal 103-105.
15
anggotanya, karena keuntungan yang didapatkan akan semakin maksimal.
Keberadaan institusi internasional tersebut membuat negara-negara yang
tergabung didalamnya berada pada situasi saling ketergantungan.
Institusionalisme juga menganggap bahwa keberadaan institusi tidak hanya
membentuk perilaku aktor tetapi juga tujuan yang ingin dicapai oleh aktor
tersebut.19
Institusi internasional memiliki pengaruh dalam membentuk preferensi suatu
negara, dan preferensi tersebut akan mempengaruhi aturan institusi internasional
dimana negara tersebut terlibat. Preferensi suatu negara juga merupakan hasil dari
timbal balik dari proses politik dan ekonomi institusi domestik yang ada di negara
tersebut, dan pengaruh dari institusi internasional dimana negara tersebut terlibat.
Jadi institusi domestik yang ada di suatu negara dan institusi internasional dimana
negara tersebut terlibat, akan saling mempengaruhi dan membentuk preferensi
atau keputusan yang dihasilkan oleh suatu negara.20
Berdasarkan teori institusionalisme tersebut, peniadaan mekanisme ISDS
dalam perjanjian perdagangan Australia dan Jepang mengindikasikan bahwa
memang terdapat peran negara dalam perekonomian. JAEPA merupakan institusi
perjanjian dengan bentuk pasar bebas dan perdagangan bebas yang dibentuk oleh
kedua negara, dan didalamnya memberikan kesempatan kepada individu ataupun
perusahaan dari Jepang dan Australia untuk saling melakukan kegiatan ekonomi.
19 Henry Farrell and Abraham L. Newman, 2010, Making global Markets: Historical Institusionalism in
international political economy, dalam “Review of International Political economy” 17:4, hal. 615-616. 20 Farrell and Newman, Making global Markets: Historical Institusionalism in international political
economy, dalam “Review of International Political economy” 17:4, hal. 618-619.
16
Pada bab investasi di perjanjian JAEPA, mekanisme ISDS dalam proses
penyelesaian sengketa yang memberikan kewenangan bagi investor untuk
menuntut negara tujuan ditiadakan dan kedua negara sepakat untuk menggunakan
mekanisme lain yang harus melibatkan kedua belah pihak pemerintah. Sesuai
dengan pandangan institusionalisme, institusi domestik dan institusi JAEPA itu
sendiri mempengaruhi Australia untuk menolak pencatutan mekanisme ISDS
dalam JAEPA.
Peniadaan mekanisme ISDS dalam JAEPA merupakan hasil kesepakatan
kedua negara yang sejak awal merupakan preferensi dari pihak Australia.
Preferensi tersebut terbentuk karena institusi JAEPA yang berfungsi untuk
meliberalisasi kegiatan perekonomian kedua negara, dan perluasan bidang
investasi. Hal tersebut memicu reaksi dari institusi domestik yang ada di Australia
dan mempengaruhi preferensi Australia untuk menolak pencatutan mekanisme
ISDS dalam JAEPA. Jadi, sesuai dengan pandangan dari institusionalisme,
institusi domestik dan institusi JAEPA itu sendiri memiliki pengaruh terhadap
peniadaan mekanisme ISDS.
2. Konsep Foreign Policy Decision Making
Konsep Foreign Policy Decision Making adalah sebuah konsep yang melihat
bahwa pilihan individu, kelompok dan koalisi yang ada di dalam suatu negara
akan mempengaruhi suatu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh suatu negara.
FPDM adalah sebuah aksi dari sebuah negara untuk memainkan perannya dalam
hubungan internasional. Melalui FPDM, suatu negara akan memposisikan diri
17
dalam sistem internasional yang ada sebagai arena untuk memperkuat atau
mempengaruhi negara lain. Negara sebagai aktor utama mempresentasikan hasil
dari pembuatan kebijakan luar negeri, namun bukan berarti di dalam situasi
domestik tidak terjadi perbedaan dalam pandangan atas kebijakan yang
dikeluarkan. Terdapat empat determinan yang mempengaruhi FPDM di dalam
suatu negara yaitu:
1. Decision Environment
2. Psychological factors
3. International factors
4. Domestic factors21
Dalam konsep FPDM decision environment atau situasi dan kondisi dimana
keputusan negara dikeluarkan, akan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan
oleh negara tersebut. Faktor keadaan seperti resiko dan pengalaman atas suatu
keputusan yang dipilih oleh Pemerintah akan mempengaruhi kebijakan yang
dipilih oleh suatu negara.22
Berdasarkan konsep FPDM, pengalaman Australia dengan mekanisme ISDS
mempengaruhi keputusan Australia untuk menolak permintaan Jepang
mencatutkan mekanisme ISDS dalam JAEPA.
F. Metode Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses
21
Alex Mintz & Karl Derouen. 2010. “Understanding Foreign Policy Decision Making”. New York:
Cambridge University Press. hal 4. 22
Mintz & Derouen. . “Understanding Foreign Policy Decision Making”. hal 27-28.
18
penelitian yang berdasar pada fenomena sosial dan permasalahan manusia yang
terjadi di masyarakat. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang akan
digunakan untuk penelitian yang bersifat deskriptif dan analisanya cenderung
induktif. Pendekatan kualitatif melihat suatu fakta yang ada untuk kemudian
dianalisa dengan ditunjang oleh teori yang ada, sehingga fakta tersebut dapat
dijelaskan.23
Metode yang digunakan dalam penelitian yang akan dilakukan bersifat
deskriptif analitis, yaitu suatu metode yang digunakan untuk memberikan
gambaran dan analisa berbagai situasi yang menjadi bagian dari permasalahan
yang akan diteliti secara sistematis. Penelitian dilakukan dengan pengumpulan
sampel atau data yang kemudian akan dianalisa. Pada akhirnya penelitian in akan
memberikan kesimpulan yang bersifat umum.24
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menghubungkan antara teori dengan data-data yang didapat melalui riset
perpustakaan (library research). Sumber pustaka tersebut berupa buku, jurnal
ilmiah, skripsi, dan refeensi ilmiah lain yang didapatkan di perpustakaan FISIP
UIN Jakarta dan Perpustakaan Nasional. Sumber pustaka juga didapatkan dari
sumber-sumber resmi yang tersedia di internet
23 John W. Creswell. 1994. “Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches”. Thousand Oaks :
SAGE Publications, Inc Charles, William Maynes, The Perils of (and for) an Imperial America, foreign
Policy, Summer, 1998. 24 Sugiyono. 2009. “Metode Penelitian Bisnis: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D”. Bandung:
Alfabeta, hal 28-29.
19
G. Sistematika Penulisan
Proposal penelitian ini terdiri dari lima bab, Adapun sistematika penulisan
sebagai berikut :
BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode
penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II Bab ini akan menjelaskan mengenai kerjasama ekonomi
Australia dan Jepang, selanjutnya akan dibahas mengenai
pembentukan perjanjian JAEPA, dan implikasi dari
perjanjian JAEPA terhadap perekonomian Australia.
BAB III Bab ini menggambarkan mengenai sejarah mekanisme
ISDS secara singkat, lalu bagaimana Australia menerapkan
dan mengikatkan diri pada mekanisme ISDS, selanjutnya
akan dijelaskan bagaimana penolakan Australia terhadap
pencatutan mekanisme ISDS dalam perjanjian JAEPA.
BAB IV Bab ini merupakan bagian yang mengkorelasikan antara
BAB II dan BAB III. Pada bab ini, akan dipaparkan
mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
peniadaan mekanisme ISDS dalam JAEPA dari kedua
negara. Dengan kata lain, bab ini akan menganalisis dengan
20
menggunakan teori yang telah dipaparkan sebelumnya guna
menjawab pertanyaan penelitian.
BAB V Bab ini adalah Penutup. Sebagai penutup penelitian, pada
bab ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan serta saran
dari pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya.
21
BAB II
KERJASAMA EKONOMI AUSTRALIA-JEPANG
Dalam bab II skripsi ini akan memberikan penjelasan mengenai kerjasma
ekonomi antara Australia dan Jepang, terutama perjanjian JAEPA. Pada bagian
awal akan dibahas terlebih dahulu mengenai kerjasama ekonomi yang dilakukan
oleh kedua negara. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan bagaimana aktivitas
ekonomi Australia dan Jepang yang diperlihatkan dari volume perdagangan dan
investasi kedua negara dan komoditas perdagangan utama kedua negara. Pada
bagian akhir akan dijelaskan mengenai implikasi perjanjian Japan-Australia
Economic Partnership Agreement (EPA) terhadap perekonomian Australia.
A. Kerjasama Ekonomi Australia dan Jepang
Australia dan Jepang memiliki sejarah hubungan perdagangan dan investasi
yang cukup panjang, dan sudah terjalin sejak sangat lama. Sejak tahun 1896,
kantor Konsulat Jepang pertama berdiri di Townsville, Quennsland. Kemudian di
tahun berikutnya yaitu pada tahun 1897, saat pelayaran reguler antara Sydney dan
Yokohama dimulai, Konsulat Jepang kedua di Australia didirikan di Sydney. Pada
tahun 1901, Konsulat di Sydney diubah menjadi Konsulat Jenderal, dan kantor
Konsulat di Townsville ditutup.25
Pendirian Konsulat Jepang di Australia dapat
dikatakan merupakan awal dari hubungan diplomatik antara kedua negara.
25 Mission & History of The Consulate-General of Japan, Sydney. [database on-line] tersedia di
http://www.sydney.au.emb-japan.go.jp/english/about_us/history_of_consulate_general.htm diakses pada 10
April 2018.
22
Pada masa Perang Dunia, Australia dan Jepang menjadi pihak yang
berlawanan. Australia sendiri menjadi aliansi dari Amerika Serikat dan Inggris,
sedangkan Jepang merupakan lawannya. Selama masa Perang Dunia tersebut,
hubungan kedua negara tentu saja menjadi renggang. Australia dan Jepang mulai
memperbaiki kembali hubungan bilateral kedua negara saat menandatangani San
Fransisco Peace Treaty pada tahun 1951.26
Penandatanganan perjanjian tersebut
dapat dikatakan sebagai titik balik hubungan kedua negara, yang sebelumnya
menjadi rival dalam Perang Dunia. Hal ini diikuti dengan berdirinya kedutaan
besar Australia di Tokyo pada tahun 1952.27
Hubungan perdagangan dan investasi antara Jepang dan Australia telah
terjalin sejak akhir abad ke 18. Salah satu pihak yang melakukan hubungan
perdagangan dengan Australia sejak abad ke 19 adalah Kanematsu Corporation.
Pada tahun 1890 Kanematsu Corporation mengimpor wol dan gandum dari
Australia ke Jepang. Dalam perkembangannya Kanematsu Corporation telah
merambah bidang usaha lain, dan masih beroperasi di Australia sampai dengan
sekarang.28
Selanjutnya pada tahun 1901 perusahaan Jepang Mitsui & Co juga
membangun kantor resmi pertamanya di Sydney, dan mengimpor kapas, logam
non besi sampai berhenti saat terjadi Perang Dunia II dan dibuka kembali secara
resmi pada 1955.29
26 John Price. “A Just Peace? The 1951 San Fransisco Peace Treaty in Historical Perspective”. JPRI
Working Paper No. 78, June 2001. [jurnal on-line] tersedia di
http://www.jpri.org/publications/workingpapers/wp78.html diakses pada 10 April 2018. 27 History of the Embassy. [database on-line] tersedia di http://japan.embassy.gov.au/tkyo/aboutus.html
diakses pada 10 April 2018. 28 Kanematsu Company Introduction. [database on-line] tersedia di http://kanematsu.com.sg/about/ diakses
pada 13 April 2018. 29 A long History in Australia. Mitsui & Co. [database on-line] tersedia di
www.mitsui.com/au/en/company/history/index.html diakses pada 13 April 2018.
23
B. Pembentukan Perjanjian JAEPA
Seperti telah disebutkan diatas, Australia dan Jepang mempunyai sejarah
hubngan bilateral yang tidak begitu baik saat menjadi rival dalam Perang Dunia.
Namun hubungan bilateral kedua negara di bidang ekonomi terus mengalami
kemajuan pasca berakhirnya Perang Dunia. Hal tersebut ditandai dengan
penandatanganan Agreement on Commerce between Australia and Japan tahun
1957. Perjanjian tersebut memuat tentang komitmen kedua negara untuk
menerapkan prinsip Most Favour Nation (MFN) satu sama lain, aturan non
diskriminasi dalam perdagangan, juga akses terhadap pasar Jepang untuk
beberapa sektor produk Australia dan aturan pembatasan bagi sektor lain.
Termasuk didalamnya perizinan ekspor dan impor. Dalam perjanjian ini Jepang
juga memberikan beberapa aturan spesifik bagi komoditi ekspor Australia.30
Sejak awal Australia mengetahui bahwa Jepang menginginkan perjanjian
perdagangan tahun 1957 tersebut dalam bentuk Friendship Commerce and
Navigation (FCN), akan tetapi Australia tidak serta merta menyetujuinya.
Perjanjian dengan model FCN akan sulit diwujudkan karena sistem federal yang
ada di Australia. Australia menawarkan untuk membuat perjanjian yang sesuai
dengan pandangan dari pihak Australia. Namun tidak sampai disitu, Jepang terus
mendorong agar perjanjian FCN dengan Australia dapat diwujudkan. Pada tahun
30 Australian Statistician, Prepared under instruction from the Right Honourable the Treasurer by R. J.
Cameron. 1976. “Official Yearbook of Australia No. 61, 1975 and 1976”. Canberra: Australian Bureau of
Statistics.
24
1963 atas dorongan dan lobi dari pihak Jepang, Agreement on Commerce between
Australia and Japan yang ditandatangani tahun 1957 mengalami revisi.31
Revisi Agreement on Commerce between Australia and Japan pada tahun
1963 menyepakati penghapusan segala aturan yang membatasi kegiatan
perdagangan bilateral anata Jepang dan Australia. Dalam perjanjian hasil revisi
tersebut, Australia dan Jepang menyepakati prinsip Most Favour Nation (MFN)
untuk diterapkan oleh kedua negara. Hubungan bilateral di bidang ekonomi yang
dilandasi oleh prinsip MFN tersebut, memberikan dampak positif bagi Jepang.
Dimana pada tahun 1970 Jepang menjadi partner nomor satu Australia di bidang
perdagangan.32
Pihak Jepang yang masih memiliki keinginan untuk mempunyai perjanjian
FCN dengan Australia, terus melakukan negosiasi agar kedua negara memiliki
kerangka perjanjian FCN tersebut sesuai yang dikehendaki oleh pihak Jepang.
Pada tahun 1969 kalangan pebisnis dari Jepang mengajukan perjanjian dalam
bentuk FCN kepada Australia. Bentuk perjanjian FCN tersebut mendapat
penolakan dari pihak Australia karena dianggap tidak memberikan keuntungan
yang signifikan bagi perekonomian Australia. Pada tahun 1973 untuk merespon
permintaan perjanjian FCN dari pihak Jepang, Australia mengajukan draf
perjanjian yang dianggap sesuai oleh Australia. Negosiasi pun terus berjalan
31
Moreen Dee. “Friendship and co-operation: the 1976 Basic Treaty between Australia and Japan”.
Australia in the World, The Foreign Affairs and Trade Files, No. 3 2006 [jurnal on-line] tersedia di
http://australia.or.jp/_projects/yoe/english/docs/friendship_and_cooperation_basic_treaty_e.pdf diakses pada
14 April 2018. 32 Fedor Mediansky dkk. 2001. “Australian Foreign Policy: Into the New Millenium”. South Yarra:
Macmillan Publishers Australia. hal 16-19.
25
hingga akhirnya pada Desember 1975, dibawah kekuasaan Partai Konserfatif
Australia negosiasi selesai dan dicapai kesepakatan.33
Perjanjian FCN antara Australia dengan Jepang merupakan perjanjian FCN
pertama dan satu-satunya bagi Australia. Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua
negara pada 16 Juni 1976. Permasalahan investasi dan perdagangan bilateral
antara Jepang dan Australia diatur dalam perjanjian ini, yang dikenal dengan
nama NARA Treaty of Friendship and Cooperation between Australia and Japan.
Selain permasalahan investasi dan perdagangan, permasalahan izin tinggal warga
negara serta kerjasama di bidang teknologi, pendidikan dan lingkungan diatur
dalam perjanjian FCN ini.34
Kerjasama ekonomi antara Jepang dan Australia terus berlangsung sampai
dengan saat ini. Hubungan kedua negara di bidang ekonomi mencapai tahapan
yang signifikan saat ditandatanganinya Japan-Australia Economic Partnerhsip
Agreement (JAEPA). Perjanjian ini mulai berlaku pada 15 Januari 2015,
ditandatangani oleh Perdana Menteri Australia Tony Abbott dan Perdana Menteri
Jepang Shinzo Abe di Canberra, Australia pada 8 Juli 2014.35
Perundingan perjanjian JAEPA mulai dilaksanakan oleh kedua negara pada
tahun 2007. Namun kesepakatan perjanjian JAEPA tidak tercapai hingga
terpilihnya Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri. Kunjungan Perdana Menteri
33 Alan Rix. 1999. “The Australia-Japan Political Alignment: 1952 to the Present”. London: Routledge. Pp
61-63. 34 Peter Drysdale. “Did the NARA Treaty make a difference” dalam Australian Journal of International
Affairs, Vol. 60 No. 4, 2006. 35 Japan-Australia Economic Partnership Agreement. [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/agreements/in-force/jaepa/Pages/japan-australia-economic-partnership-agreement.asp
x diakses pada 15 April 2018.
26
Shinzo Abe ke Australia pada April 2014 dianggap membukakan jalan
tercapainya kesepakatan perjanjian JAEPA yang sempat “macet”.36
Gambar II. B. 1 Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Perdana Menteri
Australia Tony Abbott menandatangani perjanjian JAEPA.
Sumber: Australian Government, Department of Foreign Affairs and Trade37
Perjanjian JAEPA dapat dikatakan sebagai perjanjian “historis” yang akan
mempengaruhi hubungan perdagangan dan investasi kedua negara secara
signifikan. Pengurangan tarif di berbagai sektor akan diberlakukan dan
sektor-sektor investasi akan diperluas. Dalam bidang investasi pihak swasta asal
Jepang akan mendapatkan penambahan ambang batas yang meningkat dari $248
juta menjadi lebih dari $1 miliar.38
36 Takashi Tsuchiya. 2014. “ A True Blue Goodbye” dalam JETRO Sydney Newsletter, Issue 2. [artikel
online] tersedia di
https://www.jetro.go.jp/australia/topics/20140630215-topics/JETROSydneyNewsletterJune2014.pdf diakses
pada 15 April 2018. 37 JAEPA news and Updates. [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/agreements/in-force/jaepa/news/Pages/news.aspx diakses pada 15 April 2018 38 Anthony Fensom, 8 April 2014. Australia and Japan Conclude Free Trade Deal. The Diplomat , [artikel
on-line] tersedia di https://thediplomat.com/2014/04/australia-and-japan-conclude-free-trade-deal/ diakses
pada 15 April 2018.
27
C. Implikasi Perjanjian JAEPA bagi Perekonomian Australia
Dalam sektor perdagangan, JAEPA memberikan insentif yang diantaranya
adalah sekitar 99,7% komoditi ekspor Australia akan mendapatkan akses bebas
bea cukai. Komoditi tersebut terdiri dari sektor pertanian, pertambangan, jasa dan
manufaktur. Pada sektor pertanian dan pertambangan, secara bertahap tarif untuk
ekspor komoditi-komoditi utama ekspor Australia akan dieliminasi secara
bertahap.39
Pada sektor agrikultur, komoditi ekspor utama Australia pun akan
mendapatkan keuntungan dari penghilangan tarif secara bertahap. Hal tersebut
adalah sebagai sebagai berikut:
1. Pengurangan tarif yang signifikan bagi komoditi daging sapi.
2. Penghilangan 15% tarif secara bertahap bagi komoditi wine dalam
kurun waktu tujuh tahun.
3. Pemberian kuota bebas bagi komoditi keju Australia.
4. Pemberian akses kuota bebas bagi peningkatan perdagangan komoditi
konsentrat susu protein, laktosa, kasein, es krim, dan yoghurt beku.
5. Pengihilamgam tarif dalam kurun waktu secepatnya bagi komoditi
buah-buahan.
6. Penghilangan tarif secara bertahap bagi komoditi makanan laut seperti
lobster, krustasea, kerang, tuna dan salmon dalam kurun waktu 10
tahun.
39 Chris Pash. 9 Juli 2014. “Here‟s The Sweeping Impactof The Japan-Australia Free Trade Agreement on
Economic Setors”. [artikel on-line] tersedia di
https://www.businessinsider.com.au/impact-of-japan-australia-free-trade-agreement-2014-7 diakses pada 17
April 2018.
28
7. Pemberian akses kuota bebas bagi komoditi gandum.
8. Penghilangan tarif dalam kurun waktu secepatnya bagi komoditi
gula.40
Secara umum, komoditi ekspor Australia ke Jepang yang dominan sampai
dengan tahun 2016 adalah seperti yang ada pada gambar berikut ini :
Gambar II. C. 1 Sepuluh Besar Komoditi Ekspor Australia ke Jepang
Sumber: Franklin Customs Brokers & Freight Forwarding41
Volume perdagangan kedua negara pun selalu berada didalam urutan teratas
bagi Australia. Jepang selalu menjadi negara tujuan ekspor komoditi Australia
40
Chris Pash. 9 Juli 2014. “Here‟s The Sweeping Impactof The Japan-Australia Free Trade Agreement on
Economic Setors”. [artikel on-line] tersedia di
https://www.businessinsider.com.au/impact-of-japan-australia-free-trade-agreement-2014-7 diakses pada 5
Juli 2018. 41 Major Exports of Australia to China, Japan, South Korea, USA and India for 2016. [artikel on-line]
tersedia di
https://www.franklincustomsbrokersandfreightforwarding.com.au/news-freight-forwarding-custom-broker-cl
earance/major-exports-australia-china-japan-south-korea-usa-india-2016/ diakses pada 18 April 2018.
29
terbesar, namun sejak tahun 2013 Cina menyaingi jumlah volume perdagangan
antara Jepang dan Australia sehingga menggeser Jepang dari posisi Australia‟s
Top Two Way Trading Partner.42
Meskipun tergeser dari posisi partner dagang terbesar Australia, Jepang tetap
menjadi partner terbesar kedua bagi Australia di sektor perdagangan. Sebanyak 15%
dari total keseluruhan ekspor Australia bertujuan ke Jepang. Selain itu, Jepang
juga merupakan importir ketiga terbesar bagi Australia pada tahun 2015-2016.43
Hal tersebut sesuai dengan kurva berikut :
Gambar II. C. 2 Grafik Partner Dagang Terbesar Australia
Sumber : ABC News44
42 Dr Anne Holmes, ”Australia‟s Economic Relationship with China”. [database on-line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/Briefing
Book44p/China diakses pada 18 April 2018. 43 Japan‟s import and exports. [artikel on-line] tersedia di
https://asialinkbusiness.com.au/japan/getting-started-in-japan/japans-imports-and-exports diakses pada 18
April 2018. 44
Michael Janda, 4 Juni 2015. Australia‟s trade deficit of $3.9b its worst on record. [artikel on-line] tersedia
di http://www.abc.net.au/news/2015-06-04/trade-deficit-more-than-trebles/6521468 diakses pada 18 April
2018.
30
Jepang sendiri sangat membutuhkan impor terutama di sektor sumber daya
alam. Keterbatasan Jepang dalam memproduksi sumber daya alam terutama
energi, membuat Jepang menjadi negara importir energi terbesar kedua di dunia.
Sektor energi yang dihasilkan oleh Jepang sendiri hanya mampu memenuhi
sekitar 15% dari total keseluruhan kebutuhannya.45
Oleh karena itu, sektor terbesar bagi ekspor dari Australia ke Jepang adalah
berasal dari sektor pertambangan. Komoditi gas alam cair, batubara, bijih besi dan
konsentrat adalah komoditi utama ekspor Australia ke Jepang. Meskipun
permintaan terhadap komoditi pertambangan mengalami pasang surut, namun
komoditi tersebut tetap masuk kedalam tiga besar komoditi ekspor Australia ke
Jepang.46
Hal tersebut sesuai dengan kurva berikut:
Gambar II. C. 3 Grafik Ekspor komoditi tambang dari Australia ke Jepang
45 Japan is the second largest net importer of fossil fuels in the world. 7 November 2013. [artikel on-line]
tersedia di https://www.eia.gov/todayinenergy/detail.php?id=13711 diakses pada 18 April 2018. 46 Mark Thirlwell, 13 Januari 2017. “Australia‟s Export Performace in 2015-2016”. [artikel on-line] tersedia
di https://www.austrade.gov.au/News/Economic-analysis/australias-export-performance-in-2015-16 diakses
pada 18 April 2018.
31
Sumber: Australia Trade Government47
Sebagai sektor utama ekspor Australia ke Jepang, perjanjian JAEPA akan
memberikan pemotongan tarif yang sangat signifikan terutama bagi komoditi raw
materials dari Australia. Komoditi pertambangan yang mendapatkan pemotongan
tarif adalah sebagai berikut :
1. Penghilangan 11,7% tarif secara bertahap bagi komoditi nikel mentah
dalam kurun waktu tujuh tahun.
2. Penghilangan 6,3% tarif secara bertahap bagi komoditi bijih besi
dalam kurun waktu tujuh tahun.
3. Penghilangan 3,2% tarif dalam kurun waktu secepatnya bagi komoditi
batubara.
4. Penghilangan 7,9% tarif dalam kurun waktu secepatnya bagi komoditi
minyak bumi non-mentah .
5. Penghilangan 3,3% tarif dalam kurun waktu secepatnya bagi komoditi
alumunium hidroksida.
6. Penghilangan 3,2% tarif dalam kurun waktu secepatnya bagi komoditi
titanium dioksida.48
Jumlah investasi antara Jepang dan Australia sampai dengan tahun 2016
mencapai $322 miliar. Jumlah tersebut terbagi menjadi $213,5 miliar investasi
Jepang ke Australia dan sisanya adalah investasi Australia ke Jepang. Dengan
47
Mark Thirlwell, 13 Januari 2017. “Australia‟s Export Performace in 2015-2016”. [artikel on-line] tersedia
di https://www.austrade.gov.au/News/Economic-analysis/australias-export-performance-in-2015-16 diakses
pada 18 April 2018. 48 The Impact of The Australia/Japan Trade Agreement on Australia‟s Resource Sector. [artikel on-line]
tersedia di
https://www.grtlawyers.com/the-impact-of-the-australiajapan-trade-agreement-on-australias-resources-sector/
diakses pada 5 Juli 2018.
32
jumlah tersebut, Jepang pernah menjadi negara nomor dua terbesar sumber
investasi asing bagi Australia, dan menjadi nomor tiga terbesar.49
Hal tersebut
sesuai dengan kurva berikut :
Gambar II. C. 4 Sumber Investasi asing di Australia
Sumber: The United States Study Centre at the University of Sydney50
Investasi Jepang di Australia dapat dikatakan sangat terdiversifikasi. Berbagai
macam sektor mulai dari energi sampai manufaktur menjadi tujuan investor asal
Jepang. Namun sektor utama yang menjadi tujuan dari investasi Jepang adalah
energi dan sumber daya alam. Keberagaman investasi Jepang di Australia
semakin meningkat sejak penandatangan JAEPA. Beberapa perusahaan asal
Jepang yang bergerak di bidang jasa seperti Nippon Life Insurance dan
produk-produk retail seperti Uniqlo, Muji dan Daisho masuk ke pasar Australia.
49 Australia's investment relationship with Japan, 2016. Department of Foreign Affairs and Trade, Australian
Government. [database on-line] tersedia di https://dfat.gov.au/trade/resources/Documents/japan.pdf diakses
pada 18 April 2018. 50 Richar Holden, dkk, 4 Mei 2017.”By the Numbers: How The US is Australia‟s Indispensable Economic
Partner”. [artikel on-line] tersedia di
https://www.ussc.edu.au/analysis/by-the-numbers-how-the-us-is-australias-indispensable-economic-partner
diakses pada 18 April 2018.
33
Terdapat sekitar 45 perusahaan asal Jepang yang beroperasi di Australia sampai
saat ini.51
Selain perjanjian di bidang ekonomi, kedua negara juga melakukan kerjasama
di bidang pertahanan. Pada Maret 2007 Australia dan Jepang menandatangani
Japan-Australia Joint Declaration and Security Cooperation. Penandatanganan
perjanjian tersebut dilaksanakan oleh Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan
Perdana Menteri Australia John Howard.52
Jadi, aktivitas perdagangan dan investasi antara Australia dan Jepang
memiliki pengaruh yang signifikan satu sama lain terutama bagi Australia.
Dengan adanya kerjasama ekonomi yang dilakukan oleh kedua negara, Jepang
mendapatkan raw material dan Australia mendapatkan pasar untuk mengekspor
produknya. Dengan adanya perjanjian JAEPA komoditi ekspor utama Australia
akan mengalami pengeliminiasian tarif secara bertahap dan akan memberikan
keuntungan lebih bagi perekonomian Australia. Oleh karena itu, perjanjian
JAEPA menjadi penting karena semakin meningkatkan aktivitas ekonomi antara
kedua negara dan memberikan keuntungan yang signifikan bagi Australia.
51 Japanese Investment in Australia. 2017. Report by the Australian Trade and Investment Commision,
Commonwealth of Australia. [database online] tersedia di www.austrade.gov.au/japaneseinvestment diakses
pada 18 April 2018. 52 Samee Siddiqui, 13 April 2016. “Japanese-Australian Relations”. [artikel on-line] tersedia di
http://studies.aljazeera.net/en/reports/2016/04/japanese-australian-relations-160413095617326.html diakses
pada 15 April 2018.
34
BAB III
PENOLAKAN AUSTRALIA TERHADAP MEKANISME INVESTOR
STATE DISPUTE SETTLEMENT
Dalam bab III skripsi ini akan memberikan penjelasan mengenai mekanisme
investor-state dispute settlement (ISDS) dan penolakan mekanisme tersebut oleh
Australia. Pada bagian awal akan dibahas terlebih dahulu mengenai penjelasan
dan sejarah mekanisme ISDS. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai
bagaimana kebiasaan Australia dalam mencatutkan mekanisme ISDS pada
perjanjian yang disepakatinya. Pada bagian akhir akan dijelaskan bagaimana
penolakan Australia dalam pencatutan mekanisme ISDS terutama dalam
perjanjian JAEPA.
A. Mekanisme Investor-State Dispute Settlement
1. Sejarah Mekanisme ISDS Pra Perang Dunia II
Sejak awal kemunculannya, investasi asing selalu mendapatkan perlindungan
dari negara tujuan investasi dalam mencapai kepentingannya. Hal ini dapat dilihat
dari adanya perjanjian yang mengatur soal perlingungan aset/properti asing sejak
zaman kolonialisme. Namun pada era kolonialisme, perlindungan investasi bukan
merupakan suatu hal yang krusial. Meskipun tidak krusial, praktik perlindungan
terhadap properti atau investasi asing tetap ada, dan pada era ini hanya terdapat
sebagian kecil perjanjian yang memuat pasal mengenai perlindungan terhadap
properti asing. Salah satu contoh perjanjian yang didalamnya terdapat pasal
35
perlindungan terhadap propeti adalah yang dibuat oleh Amerika Serikat di awal
abad ke 18 yang bernama “Friendship, Commerce and Navigation” (FCN). Dalam
perjanjian tersebut terdapat pasal yang mengatur kompensasi bagi
pengambilalihan hak milik properti oleh negara tujuan dan “full and perfect
protection” atau perlindungan menyeluruh bagi properti yang dimiliki Amerika
Serikat di negara tujuan investasi.53
2. Sejarah Mekanisme ISDS Pasca Perang Dunia II
Setelah Perang Dunia II berakhir, proses dekolonialisasi terjadi di
kawasan-kawasan bekas jajahan dan mulai terbentuk negara bangsa yang baru.
Negara bangsa yang baru terbentuk tersebut cenderung memiliki sistem ekonomi
dan politik yang sosialis. Sistem sosialis tersebut membuat negara bangsa yang
baru terbentuk menasionalisasikan segala aset yang ditinggalkan oleh kaum
kolonial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi para investor soal aset yang
mereka miliki. Para investor asing merasa perlu membuat suatu kerangka
multilateral yang legal untuk mengatur permasalahan investasi. Terdapat beberapa
inisiatif yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun non pemerintah untuk
membuat kerangka multilateral tersebut. Oleh pihak non pemerintah diantaranya
adalah pembuatan International Code of Fair Treatment for Foreign Investment
(ICC Code) dan Draft Statutes of the Arbitral Tribunal for Foreign Investment
and the Foreign Investment Court oleh International Law Association (ILA) yang
biasa disebut sebagai statuta ILA. Namun kedua hal tersebut tidak pernah
53Kenneth J. Vandevelde. “A Brief History of International Investment Agreement”. U.C. Davis Journal of
International Law & Policy, Vol. 12, No.1, p. 157, 2005. 3 November 2013. [jurnal on-line]; tersedia di
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1478757 diunduh pada 28 Februari 2018.
36
diaplikasikan, karena dianggap terlalu kompleks dan belum sesuai untuk
diaplikasikan.54
Kemudian, diajukanlah Draft Convention on Investment Abroad
(Abs-Shawcross Draft Convention) pada tahun 1959 oleh Herman Abs dan
Hartley Shawcross. Pembuatan draf ini dapat dikatakan sebagai titik balik bagi
kerangka hukum perlindungan investasi dan penyelesaian sengketa. Karena
didalam draf ini terdapat mekanisme arbitrase untuk penyelesaian sengketa di
pasal VII draf tersebut. Namun pihak yang mampu mengajukan tuntutan yang
disebutkan dalam draf ini hanyalah pihak pemerintah negara.55
Secara singkatnya
pasal VII berisi bahwa jika nantinya terjadi sengketa atas interpretasi ataupun
pengaplikasian dari perjanjian, maka kasus tersebut dapat dibawa ke International
Court of Justice (ICJ) jika kedua belah pihak pemerintah menyepakatinya.56
Dalam era selanjutnya, perjanjian investasi banyak dilakukan secara bilateral,
atau yang sering disebut sebagai Bilateral Investment Treaty (BITs). Mayoritas
BITs mencatutkan proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak
pemerintah, seperti perjanjian bilateral antara Jerman dan Pakistan tahun 1959.
Namun dalam perkembangannya proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
kedua belah pihak pemerintah dianggap tidak efisien dan terlalu kental dengan
nuansa politis, sehingga dalam perkembangannya muncullah mekanisme
54 Andrew Newcomb & Lluis Paradell. 2009. “Law and Practice of Investment Treaties”: Standards of
Treatment. Great Britain: Kluwer Law International BV. hal. 20-21 55 Frederic G. Sourgens. 2013. “Keep the Faith: Investment Protection Following the Denunciation of
International Investment Agreements”. Santa Clara Journal of International Law 335 Vol.11 Issue.2 [jurnal
on-line] tersedia di
https://digitalcommons.law.scu.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com/&httpsredir=1&arti
cle=1142&context=scujil diakses pada 28 Februari 2018. 56 Draft Convention on Investment Abroad (Abs-Shawcross Draft Convention) [database on-line] tersedia di
http://unctad.org/Sections/dite_tobedeleted/iia/docs/compendium/en/137%20volume%205.pdf diakses pada
28 Februari 2018.
37
penyelesaian sengketa yang mengizinkan investor untuk menuntut negara tujuan
investasi melalui proses arbitrase. Mekanisme tersebut dikenal dengan nama
investor-state dispute settlement (ISDS).57
3. Mekanisme Investor-State Dispute Settlement
Investor-State Dispute Settlement atau mekanisme ISDS dapat diartikan
sebagai suatu instrumen hukum internasional yang memberikan kewenangan
kepada investor untuk dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah
negara tujuan investasi, jika pemerintah negara tujuan investasi tersebut dianggap
melanggar aturan investasi yang disepakati.58
Fungsi dari mekanisme ISDS sendiri adalah sebagai „kunci‟ bagi investor
asing agar dapat menuntut negara tujuan investasi secara langsung. Meskipun
investasi asing sendiri memiliki prinsip standar perlindungan umum yang terdiri
dari :
a. Perlindungan dari diskriminasi. Yaitu prinsip most favour nation dan
national treatment yang harus diterapkan oleh negara tujuan investasi.
b. Perlindungan dari pengambilalihan paksa yang bersifat bukan untuk
kepentingan publik dan tidak ada kompensasi yang sesuai.
c. Perlindungan dari perilaku negara tujuan investasi yang tidak adil dan
membeda-bedakan.59
57 Jeswald W. Salacuse. 2009. “The Law of Investment Treaties”. New York: Oxford University Press. hal.
92-93 58 TPP, Konsolidasi Kekuatan atau Perdagangan Adil?. 24 Agustus 2017 [Artikel on-line] tersedia di
http://theglobal-review.com/tpp-konsolidasi-kekuatan-atau-perdagangan-adil/ diakses pada 1 Maret 2018. 59 Fact Sheet:” Investment Protection and Investor-to-State Dispute Settlement in EU agreements”.
November 2013 [Artikel on-line] tersedia di
https://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2013/november/tradoc_151916.pdf diakses pada 1 Maret 2018.
38
Jika, suatu negara tujuan investasi dianggap melanggar salah satu dari prinsip
standar perlindungan umum atau bahkan lebih, maka investor asing dapat
langsung mengajukan tuntutan sesuai dengan fungsi dari mekanisme ISDS.
Mekanisme ISDS sendiri dapat dikatakan menjadi sebuah tren, karena
mayoritas perjanjian investasi yang muncul selanjutnya mencantumkan
mekanisme ISDS dalam bab penyelesaian sengketanya. Hal ini tidak terlepas dari
pembentukan International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID)
pada tahun 1966 yang mendukung eksistensi mekanisme ISDS. ICSID dapat
digunakan dalam konteks penyelesaian sengketa suatu kasus dengan beberapa
kondisi. Yaitu saat kedua pihak setuju untuk menyelesaikan kasusnya lewat
ICSID dan dicantumkan didalam perjanjiannya, juga sengketa tersebut haruslah
antara dua kewarganegaraan yang berbeda.60
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kehadiran ICSID juga dapat
dikatakan sebagai respon dari proses dekolonialisasi yang terjadi di dunia. Salah
satu kasus yang dapat dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan ICSID adalah kasus nasionalisasi perusahaan-perusahaan Perancis
di Tunisia. Hal ini berawal ketika The Tunisian National Assembly atau Parlemen
Tunisia yang mengeluarkan undang-undang nasionalisasi lahan milik warga
negara asing pada tahun 1964. Perancis yang merupakan bekas penjajah Tunisia,
terancam kehilangan aset-asetnya yang ada di Tunisia. Hal ini menyebabkan
hubungan Perancis dan Tunisia menjadi tegang. Para pemilik aset dari Perancis
tersebut mengadukan permasalahan ini kepada Bank Dunia namun tidak
60 Richard Lighfoot & James Nicolaides. “Resolving investment dispute through ICSID”. ADR Buletin Vol.
9 No. 8. 6-1-2007. [jurnal on-line] tersedia di
http://epublications.bond.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1401&context=adr diakses pada 1 Maret 2018.
39
mendapat hasil apapun. Selang beberapa waktu setelah kejadian tersebut
ditandatanganilah The Convention on the Settlement of Investment Dispute
between States and Nationals of Other State atau biasa disebut sebagai konvensi
ICSID. Pembentukan ICSID sendiri diprakarsai oleh Persatuan Bangsa-bangsa
(PBB).61
Keberadaan mekanisme ISDS memberikan keuntungan yang sangat signifikan
terutama bagi investor asing yang berinvestasi di negara tujuan investasi. Karena
investor asing tidak perlu bergantung kepada negara asal jika negara host
dianggap melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang ada atau mengeluarkan
aturan yang dianggap mempersulit proses investasi. Dan jika terdapat tuntutan
dari investor asing kepada negara host, maka pemerintah negara yang dituntut
tersebut harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menghadapi tuntutan
tersebut.62
B. Penerapan Mekanisme ISDS oleh Australia
Australia menerapkan mekanisme ISDS dalam berbagai perjanjiannya dengan
negara lain. Perjanjian investasi bilateral yang pertama kali ditandatangani
Australia adalah dengan Cina pada tahun 1988. Perjanjian ini berlaku sejak tangal
11 Juli 1988, dan didalamnya sudah terdapat mekanisme ISDS dalam bab
penyelesaian sengketanya.63
Dalam berbagai perjanjian investasi bilateral ataupun
pada bab investasi dalam perjanjian kerjasama ekonomi bilateral maupun
61 Huala Adolf. 2005. “Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar". Rajawali Pers : Bandung. hal
34-37 62
Claire Provost and Matt Kenard, 10 Juni 2015. “The Obsecure Legal System that lets Corporations Sue
Countries”.[artikel on-line] tersedia di
https://www.theguardian.com/business/2015/jun/10/obscure-legal-system-lets-corportations-sue-states-ttip-ic
sid diakses pada 5 Juli 2018. 63 Australian Treaty Series 1988 No. 14, Department of Foreign Affairs and Trade. [database on-line]
tersedia di http://www.austlii.edu.au/au/other/dfat/treaties/1988/14.html diakses pada 1 Maret 2018.
40
multilateral, Australia memasukan mekanisme ISDS dalam bab penyelesaian
sengketanya.
Sampai dengan tahun 2017, Australia memiliki sekitar 20 Bilateral
Investment Treaties (BITs) dengan negara-negara lain dan semua perjanjian
tersebut mengandung mekanisme ISDS dalam bab penyelesaian sengketanya.
Negara-negara yang memiliki BITs dengan Australia tersebut adalah Argentina,
Cina, Republik Ceko, Mesir, Hongkong, Hungaria, India, Indonesia, Laos,
Lituania, Meksiko, Pakistan, Papua Nugini, Peru, Filipina, Polandia, Romania, Sri
Lanka, Turki, Uruguay, dan Vietnam.64
Selain memiliki perjanjian investasi bilateral, Australia juga memiliki
perjanjian perdagangan bebas, atau yang biasa disebut sebagai economic
partnership agreement (EPA) dengan negara-negara di dunia seperti Singapura,
Cina, Amerika Serikat, Thailand, Cili, Malaysia, Selandia Baru, Korea Selatan
dan Jepang. Australia juga tergabung dalam perjanjian-perjanjian multilateral
seperti The Energy Charter Treaty dan ASEAN Australia New Zealand
(AANZTA). Juga beberapa perjanjian multilateral yang belum berlaku seperti
TPP dan Pacific Agreement on Closer Economic Relation Plus (PACER Plus).65
Berbeda denga BITs, tidak semua EPA memiliki mekanisme ISDS
didalamnya. Hal tersebut sesuai dengan tabel berikut :
64 Australia Bilateral Investment Treaties (BITs). [database on-line] tersedia di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/11#iiaInnerMenu diakses pada 2 Maret 2018. 65 Australia Treaties with Investment Provision (TIPs). [database on-line] tersedia di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryOtherIias/11#iiaInnerMenu diakses pada 2 Maret 2018.
41
Tabel III. B. 1 Penerapan mekanisme ISDS oleh Australia dalam EPA
No Negara Partner Tahun berlaku Mekanisme ISDS
1 Singapura 2003 Ada
2 Amerika Serikat 2005 Tidak ada
3 Thailand 2005 Ada
4 Cili 2009 Ada
5 Malaysia 2013 Tidak Ada
6 Selandia Baru 2013 Tidak Ada
7 Korea Selatan 2014 Ada
8 Jepang 2015 Tidak Ada
9 Cina 2015 Ada
Sumber: www.Investmentpolicyhub.unctad.org
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa Australia tidak memasukkan
mekanisme ISDS ke dalam semua perjanjian perdagangan bebasnya dengan
negara lain. Singapore-Australia Free Trade Agreement (SAFTA) merupakan
perjanjian perdagangan bebas pertama yang didalamnya terdapat mekanisme
ISDS. Selanjutnya Australia menekan perjanjian Australia-United States Free
Trade Agreement (AUSFTA) yang didalamnya tidak terdapat mekanisme ISDS,
42
lalu Australia-Thailand Free Trade Agreement (TAFTA) yang mencantumkan
mekanisme ISDS didalamnya.
Ketiga perjanjian tersebut ditandatangani di era pemerintahan John Howard
yang menjabat dari tahun 1996 sampai tahun 2007.66
Dalam era pemerintahan John Howard, hubungan Australia dengan Amerika
Serikat dapat dikatakan sangat dekat. Sejak terpilihnya George W. Bush pada
November 2000, Perdana Menteri Howard dapat dikatakan sangat intens dalam
„mendekati‟ Amerika Serikat. Hal ini terbukti dari keikutsertaan Australia dalam
pengiriman pasukan bersenjata saat Amerika Serikat melakukan invasi ke Iraq
pada tahun 2003. Namun, keikutsertaan Australia dalam invasi Amerika Serikat
ke Iraq oleh beberapa kalangan dianggap tidak perlu. Selain itu, pada waktu itu
Australia tidak mempunyai ancaman apapun dari kelompok radikal Islam. Dan
keikutsertaan Australia dalam invasi Iraq tersebut dianggap malah menambah
ancaman dari kelompok radikal islam bagi Australia.67
Pembahasan mengenai perjanjian perdagangan bebas antara Amerika Serikat
dengan Australia pun dimulai pada Maret 2003, saat dimulainya invasi Iraq. Pada
8 Februari 2004 pembahasan perjanjian perdagangan bebas Australia dan
Amerika Serikat mencapai kesepakatan, dan ditandatangai pada 18 Mei 2004.68
66 Australia‟s Prime Minister, John Howard. [database on-line] tersedia di
http://primeministers.naa.gov.au/primeministers/howard/ diakses pada 3 Maret 2018. 67 Robert Manne. Maret 2006. “Little America : How John Howard has Changed Australia”. [artikel on-line]
tersedia di
https://www.themonthly.com.au/monthly-essays-robert-manne-little-america-how-john-howard-has-changed-
australia-184 diakses pada 3 Maret 2018. 68 United States and Australia sign Free Trade Agreement. [dokumen on-line] tersedia di
https://ustr.gov/about-us/policy-offices/press-office/press-releases/archives/2004/may/united-states-and-austr
alia-sign-free-trade-a diakses pada 3 Maret 2018.
43
Beberapa kalangan menilai bahwa perjanjian perdagangan bebas yang
ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Australia hanyalah demi kepentingan
politik yang ingin dicapai oleh John Howard. Karena pada waktu itu kondisi
perdagangan antara Australia dengan Amerika Serikat mengalami defisit bagi
Australia, dan perjanjian perdagangan bebas tidak akan memberikan keuntungan
bagi Australia, dan malah sebaliknya. Amerika Serikat akan mendapatkan
keuntungan dari perjanjian tersebut atas penghilangan tarif di berbagai sektor dan
tidak adanya mekanisme ISDS. Sedangkan Australia dianggap akan mendapatkan
kerugian.69
Selanjutnya pada tahun 2009 Australia menekan perjanjian perdagangan
bebas dengan Cili, dan Australia memasukkan mekanisme ISDS dalam bab
penyelesaian sengketanya. Perjanjian ini ditandatangani pada era pemerintahan
Kevin Rudd yang menjabat dari tahun 2007 sampai tahun 2010. Kevin Rudd
sendiri merupakan Pemimpin Partai Buruh Australia sejak 2006 sampai ia terpilih
menjadi Perdana Menteri di tahun 2007.70
Sejak 2009, Australia tidak menandatangani perjanjian kerjasama
perdagangan bebas sampai dengan tahun 2013 saat Australia menandatangani
perjanjian perdagangan bebas dengan Malaysia dan Selandia Baru pada era
pemerintahan Julia Gillard yang menjabat sejak tahun 2010 sampai 2013, dan
69 House committee JSCT USAFTA. [Pdf on-line] tersedia di
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEw
ij69WPuqXaAhWEgI8KHbV0DrUQFghJMAQ&url=https%3A%2F%2Fwww.aph.gov.au%2FParliamentary
_Business%2FCommittees%2FHouse_of_Representatives_Committees%3Furl%3Djsct%2Fusafta%2Fsubs%
2Fsub036.pdf&usg=AOvVaw2piACZXZ0L3d3THo2EUOLn diakses pada 3 Maret 2018. 70 Australia‟s Prime Minister, Kevin Rudd. [database on-line] tersedia di
http://primeministers.naa.gov.au/primeministers/rudd/ diakses pada 3 Maret 2018.
44
merupakan Perdana Menteri Australia wanita pertama.71
Kedua perjanjian
perdagangan bebas tersebut dalam bab investasinya, tidak mencantumkan
mekanisme ISDS dalam bab penyelesaian sengketanya.
Hal tersebut disebabkan karena pada April 2011 kabinet Julia Gillard
menyatakan bahwa Australia akan meninjau kembali pencatutan mekanisme ISDS
dalam berbagai perjanjian investasinya dengan negara lain. Kabinet Julia Gillard
menyatakan bahwa Australia tidak akan lagi mencantumkan mekanisme ISDS
dalam perjanjian investasi yang akan disepakati kedepannya. Secara kebetulan, di
tahun yang sama pada bulan Juni, Phillip Morris mengajukan tuntutan terhadap
Australia atas aturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia bahwa desain
dari kemasan rokok dilarang mencantumkan logo perusahaan, dan harus memuat
gambar efek buruk dari merokok. Hal ini dinilai melanggar perjanjian investasi
bilateral yang telah disepakati oleh Australia dan Hongkong.72
Pernyataan kabinet Julia Gillard atas peniadaan mekanisme ISDS dalam
perjanjian investasi yang akan disepakati oleh Australia kedepannya, baik dengan
negara maju ataupun berkembang dan tuntutan Phillip Morris terhadap Australia
seakan-akan „mendukung‟ peniadaan mekanisme ISDS dalam perjanjian
perdagangan yang disepakati di era pemerintahan Perdana Menteri Julia Gillard.
71 Australia‟s Prime Minister, Julia Gillard. [database on-line] tersedia di
http://primeministers.naa.gov.au/primeministers/gillard/ diakses pada 4 Maret 2018. 72 Andrew D. Mitchell, Elizabeth Sheargold dan Tnia Voon. 2017. “Regulatory Autonomy in International
Economic Law: The Evolution of Australian Policy on Trade and Investment”. Cheltenham: Edward Elgar
Publishing Limited. hal. 352.
45
Hal ini terbukti dari tidak adanya mekanisme ISDS dalam perjanjian perdagangan
bebas antara Australia dengan Malaysia dan Selandia Baru.73
Sikap Australia yang ingin meniadakan mekanisme ISDS dalam perjanjian
perdagangan maupun investasinya, tidak bertahan lama. Pada era Perdana Menteri
Tony Abbott, disepakati tiga perjanjian perdagangan bebas, yaitu dengan Korea
Selatan, Jepang dan Cina. Dari ketiga perjanjian perdagangan bebas tersebut,
hanya dalam perjanjiannya dengan Jepang, Australia menolak untuk
mencantumkan mekanisme ISDS.74
C. Penolakan Australia terhadap Pencatutan Mekanisme ISDS dalam
JAEPA
Sejak awal pembahasan perjanjian perdagangan bebas Australia dan Jepang
yang ditandatangani tahun 2014, permasalahan mekanisme penyelesaian sengketa
menjadi pembahasan yang penting bagi kedua belah pihak. Pihak Jepang dalam
perjanjian JAEPA meminta agar mekanisme ISDS dicatutkan dalam bab
penyelesaian sengketa. Di sisi lain pihak Australia merasa bahwa permintaan
Jepang atas pencatutan mekanisme ISDS merupakan hal yang sulit untuk
diwujudkan. 75
Jepang sendiri menerapkan mekanisme ISDS dalam berbagai perjanjiannya
dengan negara lain. Dalam BITs yang ditandatangani oleh Jepang,
73 Andrea Bjorklund, ed., 2013. “Yearbook on International Investment Law &Policy 2012-2013”. New
York: Oxford University Press. hal 238. 74 Allens. 21 November 2014 “Focus: investor-state dispute settlement and the China-Australia Free Trade
Agreement”. [artikel on-line] tersedia di
https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=36cabf4d-a1fe-4fe9-b76b-c49778a507cf diakses pada 10
April 2018. 75
Luke R.Nottage. 2014. “Investor-State Arbitration: Not in the Australia-Japan Free Trade Agreement, and
Not Ever for Australia?”, Australia: Sydney Law School Research Paper No. 15/45, Journal of Japanese Law,
Vol. 19, No. 38, hal. 37-52.
46
keseluruhannya mengandung mekanisme ISDS. Sampai dengan tahun 2017,
Jepang memiliki sekitar 29 BITs dengan negara lain, yang 28 diantaranya masih
berlaku dan 1 sudah tidak berlaku. Negara-negara yang memiliki BITs dengan
Jepang tersebut adalah Bangladesh, Kamboja, Cina, Kolombia, Mesir, Hongkong,
Iran, Iraq, Israel, Kazakhstan, Kenya, Korea Selatan, Kuwait, Laos, Mozambik,
Myanmar, Oman, Pakistan, Papua Nugini, Peru, Rusia, Arab Saudi, Sri Lanka,
Turki, Ukraina, Uruguay, Uzbekistan dan Vietnam. BITs yang sudah tidak
berlaku adalah antara Jepang dengan Mongolia.76
Selain perjanjian investasi bilateral, Jepang juga menekan perjanjian
perdagangan bebas atau economic partnership agreement (EPA) dengan
negara-negara lain di dunia seperti Singapura, Meksiko, Malaysia, Filipina, Cili,
Thailand, Brunei Darussalam, Indonesia, Vietnam, India, Swis, Peru, Mongolia
dan Australia. Selain secara bilateral Jepang juga memiliki perjanjian
perdagangan bebas yang memiliki anggota lebih dari 1 Negara. Perjanjian tersebut
diantaranya adalah dengan ASEAN dan Trilateral Investment Agreement dengan
Cina dan Korea Selatan.77
Sampai dengan tahun 2014 Jepang merupakan negara terbesar kedua di dunia
yang melakukan foreign direct investment (FDI). Dengan jumlah FDI yang besar
Jepang merasa sangat memerlukan mekanisme ISDS sebagai perlindungan bagi
investor Jepang dan untuk mendorong agar jumlah investasi terus bertambah.
Perusahaan-perusahaan asal Jepang pun sangat bergantung terhadap penggunaan
76 Japan Bilateral Investment Treaties (BITs). [database on-line] tersedia di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/105?type=c#iiaInnerMenu diakses pada 10 April
2018. 77 Japan Treaties with Investment Provisions (TIPs). [database on-line] tersedia di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryOtherIias/105#iiaInnerMenu diakses pada 10 April 2018.
47
mekanisme ISDS dan pemerintah Jepang pun mendorong agar EPA yang
disepakati oleh Jepang mengandung mekanisme ISDS. Oleh karena itu
pemerintah Jepang merasa perlu untuk membuat penggunaan mekanisme ISDS
dan institusinya seperti ICSID dan UNCITRAL sebagai suatu mekanisme yang
penting digunakan oleh MNC asal Jepang yang melakukan investasi di negara
lain.78
Oleh karena itu Jepang mendorong agar mekanisme ISDS dicatutkan
dalam perjanjian JAEPA.
Dalam perjanjian JAEPA pihak Australia sejak awal memang menolak untuk
mencatutkan mekanisme ISDS didalamnya. Pihak Australia merasa bahwa isi dari
perjanjian JAEPA yang meniadakan mekanisme ISDS sebagai suatu kemajuan.
Australia dan Jepang merasa bahwa kerjasama yang kedua negara telah capai
berisi jaminan untuk liberalisasi yang lebih luas di masa mendatang. Negosiasi
perjanjian JAEPA juga memakan waktu yang cukup lama. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Menteri Perdagangan dan Investasi Australia, Andrew Robb yang
menyatakan bahwa :
JAEPA improves investment protections for both Australian and Japanese
investors. With $130 billion invested in Australia in 2013, Japan is our third-largest
investor and our most important Asian investor. By raising the foreign investment
screening threshold for Japanese private investors, JAEPA will encourage increased
and more diverse investment from Japan and deliver the clear message that
Australia is open for business.. So we fought for the best possible deal and made sure
that JAEPA also included mechanisms for future liberalisation.79
78 Direction of Japan‟s trade policy response, METI Report Data. [database on-line] tersedia di
http://www.meti.go.jp/english/report/data/WP2016/pdf/3-2-1.pdf diakses pada 6 Juli 2018. 79 Statement on the Japan-Australia Economic Partnership Agreement, by Andrew Robb. [database on-line]
tersedia di
48
Perjanjian JAEPA telah meningkatkan perlindungan investasi bagi investor
Australia maupun Jepang. Dengan jumlah investasi $130juta pada tahun 2013,
Jepang adalah sumberinvestasi terbesar ketiga bagi Australia dan sumber investasi
utama dari Asia. Dengan penambahan ambang batas investasi bagi sektor swasta
Jepang, JAEPA akan meningkatkan jumlah dan keberagaman investasi dari Jepang
ke Australia dan mengirimkan sinyal bahwa Australia terbuka bagi investasi
Jepang. ..Australia sudah mengusahakan yang terbaik untuk memastikan bahwa
perjanjian JAEPA mencatutkan mekanisme liberalisasi yang lebih luas kedepannya.
Sesuai dengan pernyataan dari Menteri Perdagangan dan Investasi Australia
Andrew Robb, isi dari perjanjian JAEPA merupakan sinyal bagi investor Jepang
untuk meningkatkan investasinya di Australia. Karena adanya penambahan
ambang batas investasi dan peningkatan liberalisasi di masa yang akan datang.
Jadi, sebagai negara yang melakukan FDI dalam jumlah yang cukup besar,
Jepang mendorong agar setiap perjanjian yang didalamnya mengatur mengenai
investasi mencatutkan mekanisme ISDS didalam bab penyelesaian sengketanya.
Hal ini juga berlaku pada perjanjian perdagangan bebas yang disepakati oleh
Jepang dengan Australia. Namun, dorongan pihak Jepang untuk mencatutkan
mekanisme ISDS tidak berlangsung sesuai permintaan pihak Jepang. Karena
penolakan dari pihak Australia terhadap pencatutan mekanisme ISDS didalam
JAEPA. Oleh karena itu, menjadi penting untuk melihat faktor-faktor apa yag
mempengaruhi penolakan Australia terhadap pencatutan mekanisme ISDS dalam
perjanjian JAEPA.
http://trademinister.gov.au/speeches/Pages/2014/ar_sp_140715.aspx?w=O%2F%2FeXE%2BIYc3HpsIRhVl0
XA%3D%3D diakses pada 5 Juli 2018.
49
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENOLAKAN
AUSTRALIA TERHADAP PENCATUTAN MEKANISME ISDS DALAM
PERJANJIAN PERDAGANGAN AUSTRALIA DAN JEPANG TAHUN
2014
Dalam bab ini akan dipaparkan analisis faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi penolakan Australia terhadap pencatutan mekanisme ISDS dalam
perjanjian perdagangan Australia dan Jepang tahun 2014. Dalam penelitian ini
penulis melihat terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Australia untuk
meniadakan mekanisme ISDS dalam perjanjian JAEPA. Hal tersebut akan dibahas
melalui kerangka institusionalisme karena terdapat fakta adanya pengaruh dari
institusi domestik Australia, dan institusi JAEPA yang memberikan perluasan
sektor investasi dan dianggap sebagai perjanjian yang sangat liberal oleh Jepang.
Selama masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott, Australia
menandatangani tiga perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain.
Negara-negara tersebut adalah Korea Selatan, Jepang dan Cina. Dalam tiga
perjanjian perdagangan bebas tersebut, hanya dalam perjanjian JAEPA
mekanisme ISDS tidak dicatutkan dalam bab penyelesaian sengketa.
Dalam perjanjian perdagangan bebas antara Australia dengan Jepang,
pemerintah yang berkuasa di Australia tidak sedang dalam masa anti-ISDS namun
sejak awal memang menolak mekanisme ISDS untuk dicatutkan dalam JAEPA.
50
Hal in terbuktidari laporan hasil perundingan ke-10 yang menyatakan penolakan
Australia atas permintaan Jepang untuk mencatutkan mekanisme ISDS dalam
JAEPA. Oleh karena itu, sesuai dengan kerangka institusionalisme, terdapat
pengaruh dari institusi domestik dan institusi internasional yang mempengaruhi
penolakan Australia terhadap pencatutan mekanisme ISDS dalam JAEPA.
A. Faktor Institusi Domestik Australia
Teori institusionalisme menganggap bahwa keberadaan institusi tidak hanya
membentuk perilaku aktor tetapi juga tujuan yang ingin dicapai oleh aktor
tersebut. Preferensi politik negara adalah hasil dari proses politik domestik yang
ada di negara tersebut. Dalam proses tersebut sekelompok orang yang ada didalam
institusi tersebut akan menggunakan posisi yang mereka duduki tersebut untuk
mencapai keuntungan mereka sendiri, dan seringkali merugikan pihak lain. Hal
tersebut memiliki hubungan dengan pihak pemerintah, dimana pemerintah akan
mempengaruhi kelompok tersebut, dan hasilnya kelompok tersebut akan
mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.80
Tujuan dari preferensi yang dikeluarkan oleh negara adalah untuk mencapai
tujuan ekonomi yang terdiri dari bertambahnya kekayaan, bertambahnya
pendapatan dan kontrol atas aktivitas ekonomi agar tetap menguntungkan.
Bentuk-bentuk dari institusi domestik terdiri dari perusahaan, pihak pembuat
kebijakan dari pemerintah dan Non Governmental Organization (NGO).
80
Henry Farrell and Abraham L. Newman, 2010, Making global Markets: Historical Institusionalism in
international political economy, dalam “Review of International Political economy” 17:4, hal. 620-622
51
1. Productivity Commision Australia
Productivity Commision adalah sebuah badan penasihat dan riset independen
Australia di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan yang akan mempengaruhi
keputusan yang diambil oleh pemerintah Australia dalam suatu isu tertentu. Badan
ini terbentuk untuk menggantikan Komisi Industri, Biro Ekonomi Industri dan
Komisi Penasihat Ekonomi Australia. Kontribusi yang dihasilkan oleh
Productivity Commision adalah independent advice dan informasi untuk
pemerintah Australia.81
Pihak-pihak penentu kebijakan yang turut serta merumuskan rekomendasi dari
Productivity Commision adalah publik, industri, serikat pekerja, kelompok sosial
dan pemerintah dari seluruh level yang ada di Australia. Productivity Commision
bertugas untuk menganalisa isu tertentu yang diberikan oleh pemerintah Australia,
lalu memberikan hasilnya yang berisi tentang keuntungan ataupun kerugian yang
akan didapat oleh pemerintah Australia atas penentuan kebijakan ataupun sikap
atas suatu isu tertentu. Oleh karena itu, badan ini akan sangat mempengaruhi
kebijakan ataupun sikap yang diambil oleh Australia dalam suatu isu tertentu.82
Teori institusionalisme memandang bahwa government agencies adalah
institusi domestik suatu negara yang akan mempengaruhi preferensi yang diambil
oleh suatu negara.83
Dan Productivity Commision adalah satu bentuk institusi
dari government agencies yang memang diberikan tugas oleh Pemerintah
81 Australian Government Productivity Commision, About the Commision. [database on-line] tersedia di
https://www.pc.gov.au/about diakses pada 5 Juli 2018. 82 Judith Sloan, 2011, “How useful is the Productivity Commision?”. Policy Journal Vol. 27 No 1. hal 31-36. 83
Raymond C. Miller. 2008. “International Political Economy: Contrasting world views”. New York:
Routledge. hal. 101-105.
52
Australia untuk memberikan rekomendasi yang nantinya akan mempengaruhi
keputusan yang diambil oleh Pemerintah Australia.
Hasil riset dari Productivity Commision Australia adalah mekanisme ISDS
mendatangkan lebih banyak kerugian dibandingkan dengan keuntungan bagi
Australia. Dengan jumlah FDI asing yang tinggi di Australia, keberadaan
mekanisme ISDS akan mengancam kedaulatan pemerintah Australia itu sendiri.
Salah satu hal yang mempengaruhi membuat Productivity Commision
mengeluarkan hasil tersebut adalah karena adanya tuntutan terhadap pemerintah
Australia dari suatu perusahaan asing yang beroperasi di Australia yaitu Phillip
Morris Co pada tahun 2011 dan kasusnya selesai pada Desember tahun 2015.84
Oleh karena itu Productivity Commision Australia mengganggap bahwa
pencatutan mekanisme ISDS dalam JAEPA akan membuat pemerintah Australia
mengeluarkan cost yang sebetulnya tidak perlu dan lebih merugikan dibandingkan
menguntungkan pihak pemerintah Australia. Sleain itu, jumlah FDI Australia
yang relatif kecil di Jepang membuat pencatutan mekanisme ISDS bukan hal yang
sangat krusial. Penolakan Productivity Commision Australia adalah sebagai
berikut :
The Australian Government should not include matters in bilateral and regional
trade agreements that would serve to increase barriers totrade, raise costs or alter
established social policies without a comprehensive review of the implications and
available options for change. On spesific matters, the Australian Government should:
84 Trade & Assistance Review 2013-14, Productivity Commision Annual Report Series. hal 80-81
[database on-line] tersedia di
http://www.pc.gov.au/research/ongoing/trade-assistance/2013-14/trade-assistance-review-2013-14.pdf
diakses pada 6 Juli 2018.
53
c) seek to avoid the inclusion of investor-state dispute settlement provisions
in BRTAs that grant foreign investors in Australia substantive or
procedural rights greater than those enjoyed by Australian investors.85
Dan Pemerintah Australia pada akhirnya memakai rekomendasi dari
Productivity Commision tersebut karena didukung oleh jumlah investasi Australia
yang tidak terlalu besar di Jepang. Juga dengan jumlah investasi Jepang yang
ketiga terbesar di Australia, akan meminimalisir kemungkinan kerugian bagi
Pemerintah Australia.86
2. Parlemen Australia
Dalam tubuh domestik Australia, terdapat mekanisme bahwa setiap perjanjian
internasional yang ditandatangani oleh Australia dengan negara lain, baik itu
bersifat bilateral maupun multilateral memerlukan ratifikasi dari parlemen agar
perjanjian tersebut dapat berlaku. Hal ini berlaku terhadap perjanjian di bidang
ekonomi. Dalam proses ratifikasi tersebut, Parlemen Australia mampu untuk
memberikan persetujuan atau penolakan terhadap suatu perjanjian. Keikutsertaan
parlemen dalam menentukan perjanjian internasional yang akan ditandatangani
85
Trade & Assistance Review 2013-14, Productivity Commision Annual Report Series. hal 82
[database on-line] tersedia di
http://www.pc.gov.au/research/ongoing/trade-assistance/2013-14/trade-assistance-review-2013-14.pdf
diakses pada 6 Juli 2018. 86
Agreement between Australia and Japan for an Economic Partnerhsip, The Parliament of the
Commonwealth of Australia; Joint Standing Committee on Treaties. Report 144. [database on-line] tersedia di
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEw
jR1OWO7JfcAhVXdt4KHe4KDKUQFggqMAA&url=https%3A%2F%2Fwww.aph.gov.au%2FDocumentSt
ore.ashx%3Fid%3Db416336b-f7b4-458a-9b89-bfc15cb64bc4%26subId%3D299115&usg=AOvVaw1JrCZW
HeYgJ_tU8KcHWacb diakses pada 6 Juli 2018.
54
oleh Australia dengan negara lain dimulai sejak perjanjian tersebut masih dalam
proses negosiasi.87
Sistem pemerintahan yang ada di Australia adalah terdiri dari tiga tingkat.
Yaitu tingkat federal, negara bagian dan lokal. Pemerintah di tingkat feeral
mempunyai fungsi yang lebih tinggi dari tingkat negara bagiandan tingkat lokal.
Urusan luar negeri, pertahanan, perdagangan dan imigrasi berada pada cakupan
pemerintah di tingkat federal. Jika terdapat aturan yang berbeda antara pemerintah
federal dan pemerintah negara bagian, maka aturan yang berlaku adalah yang
berasal dari pemerintah federal.88
Hal ini menandakan bahwa, aturan di bidang
ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah federal sangat mempengaruhi
perekonomian Australia secara keseluruhan.
Komposisi partai politik yang ada di Australia sendiri saat Perdana Menteri
Tony Abbott memerintah terdiri dari 33 kursi untuk pendukung pemerintah yang
didalamnya terdapat 23 kursi untuk Liberal Party of Australia (LP), 6 kursi untuk
Liberal National Party (LNP), 3 kursi untuk National Party (NATS) dan 1 kursi
untuk Country Liberal Party (CLP). Sedangkan di pihak oposisi pemerintah
terhdapat 25 kursi yang keseluruhannya berasal dari Australian Labor Party
(ALP). Dan sisanya 17 kursi adalah bagi partai dengan komposisi anggotanya
87 Treaty making process. [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/international-relations/treaties/treaty-making-process/Pages/treaty-making-process.aspx
diakses pada 25 April 2018. 88 Three Level of Government. [database on-line] tersedia di
https://www.parliament.vic.gov.au/about/the-parliamentary-system/three-level-of-government diakses pada
25 April 2018.
55
yang tidak lebih dari 10 anggota di parlemen federal, dan salah satunya adalah
Greens Party (GP).89
Greens Party di Australia merupakan salah satu pihak yang sangat menentang
keterlibatan Australia dalam perjanjian-perjanjian yang didalamnya mengandung
mekanisme ISDS. Terutama saat Australia terlibat dalam pembahasan Trans
Pasific Partnership Agreement (TPP). Pada 5 Maret 2014, anggota Parlemen San
Peter Whish-Wilson mengajukan proposal anti ISDS yang diberi judul “Trade
and Foreign Investment” (Protecting the Public Interest) Bill 2014.90
Proposal tersebut berisi tuntutan bahwa Australia tidak diperkenankan untuk
terlibat dalam kesepakatan perjanjian yang didalamnya mengandung mekanisme
ISDS. Hal tersebut berbunyi :
The Parliament of Australia enacts :
1 Short title
This Act may be cited as the Trade and foreign Investment (Protecting the
Public Interest) Act 2014
2 Commencement
This Act commences on the day after this Act receives the Royal Assent
3 Investor state dispute settlement provisions
The Commonwealth must not, on or after this commencement of this Act, enter
into an agreement (however described) with one or more foreign countries that
includes an investor state dispute settlement provisions.” 91
89 Senate Composition. [database on-line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/Senators_and_Members/Senators/Senate_composition diakses pada 25 April 2018. 90 Trade and foreign Investment (Protecting the Public Interest) Bill 2014. [database on-line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Bills_LEGislation/Bills_Search_Results/Result?bId=s951
diakses pada 26 April 2018. 91 A Bill for an Act to protect Australian Laws by banning investor-state dispute settlement provisions, and
for related purposes. [database on-line] tersedia di
http://parlinfo.aph.gov.au/parlInfo/download/legislation/bills/s951_first-senate/toc_pdf/1403120.pdf;fileType
=application%2Fpdf diakses pada 26 April 2018.
56
Meskipun pada akhirnya proposal tersebut tidak lolos di parlemen,
kemunculan proposal ini mempengaruhi pencatutan mekanisme ISDS dalam
proses negosiasi perjanjian perdagangan bebas yang sedang dijalani Australia.
Pada saat proposal anti ISDS muncul, Australia berada pada masa negosiasi
perdagangan bebas dengan tiga negara, yaitu Korea Selatan, Cina dan Jepang.
Proposal anti ISDS tersebut berpengaruh besar terhadap South Korean-Australia
Free Trade Agreements (KAFTA). Dimana pada 27 Maret 2014 ALP dan Greens
Party di Australia mengajukan persyaratan khusus dan peninjauan kembali
sebelum KAFTA dapat diratifikasi oleh Parlemen Australia.92
ALP sebagai partai pekerja memiliki pandangan yang cukup negatif terhadap
perdagangan bebas, liberalisasi ekonomi dan investasi asing. Hal tersebut sesuai
dengan prinsip ALP yang menjunjung tinggi hak para pekerja Australia. ALP juga
adalah koalisi dari Greens Party dalam pengajuan proposal anti ISDS pada tahun
2014. Penolakan ALP terhadap keterlibatan Australia dalam perjanjian yang
didalamnya mengandung mekanisme ISDS, sangat terlihat terutama pada tahun
2011 saat pemerintahan Perdana Menteri Julia Gillard menyatakan bahwa
Australia akan menolak untuk menandatangani perjanjian yang didalamnya
mengandung mekanisme ISDS.93
92 Luke R. Nottage, Investor-State Arbitration Policy and Practice in Australia dalam “Second Thoughts:
Investor State Arbitration between Developed Democracies”, Diedit oleh Armand de Mestral. Centre for
International Governance Innovation, Canada. CIGI Investor-State Arbitration Series, Paper No. 6, 2016. hal
385. 93 Janet M Eaton, 31 Desember 2013. “Australia‟s Rejection of Investor-State, from AUSFTA to the Gillard
Government‟s Trade Policy and the implications for Canada”. [database on-line] tersedia di
57
Permasalahan pencatutan mekanisme ISDS dalam JAEPA menjadi satu hal
yang krusial. Karena sampai dengan negosiasi ke 10, pihak Jepang masih terus
menginginkan mekanisme ISDS dicatutkan dalam JAEPA. Selain itu, sampai
dengan negosiasi terakhir yaitu negosiasi ke 16 pasal tentang penyelesaian
sengketa masih menjadi poin penting dalam pembahasan JAEPA antara pihak
Jepang dan Australia.94
Australia sendiri sejak awal mendorong agar mekanisme
ISDS tidak dicatutkan dalam JAEPA.
Pembahasan perjanjian JAEPA yang dimulai sejak tahun 2007 tersebut,
setidaknya mengalami dua kali masa penolakan terhadap mekanisme ISDS di
Australia. Pertama pada tahun 2011 saat kabinet Perdana Menteri Julia Gillard
menyatakan penolakan terhadap mekanisme ISDS dalam perjanjian yang akan
ditandatangani Australia.95
Kedua pada tahun 2014, saat Greens Party (GP) dan
ALP mengajukan proposal penolakan terhadap mekanisme ISDS dalam perjanjian
yang akan ditandatangani oleh Australia.
Peniadaan mekanisme ISDS dalam JAEPA sendiri sangat dipengaruhi oleh
masa-masa penolakan terhadap mekanisme ISDS oleh Australia tersebut. Selain
itu keberadaan Australian Labor Party (ALP), dan Greens Party (GP) yang
berkedudukan sebagai oposisi dari pihak pemerintah juga mempengaruhi
peniadaan mekanisme ISDS pada JAEPA. Karena, pada waktu perjanjian JAEPA
https://www.commonfrontiers.ca/Single_Page_Docs/PDF_Docs/Jan08_14-AUSFTA-paper.pdf diakses pada
26 April 2018. 94 JAEPA News and Updates. [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/agreements/in-force/jaepa/news/Pages/news.aspx diakses pada 28 April 2018. 95 Chapter 9 Government Trade Policy Statement. [database on-line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Joint/Completed_Inquiries/jfadt/apla/report/out
put/chapter9 diakses pada 28 April 2018.
58
ada di tahap akhir negosiasi, partai pemenang di Australia adalah partai Liberal,
dan ALP merupakan oposisi dari partai Liberal.96
Posisi ALP dan Greens Party di parlemen yang konsisten menolak
mekanisme ISDS dalam perjanjian yang akan disepakati oleh Australia
mempengaruhi peniadaan mekanisme ISDS dalam JAEPA. Karena, dinamika
dalam parlemen Australia akan menyulitkan JAEPA untuk bisa diratifikasi jika
mengandung mekanisme ISDS, sehingga sejak awal pembahasan Australia
menolak untuk mencatutkan mekanisme ISDS.
3. Supreme and Federal Court Australia
Institusionalisme mendefinisikan institusi menjadi beberapa bentuk seperti
Perusahaan, institusi Pemerintah, dan institusi seperti organisasi persatuan pekerja
dan non-governmental organisations (NGO). Pembahasan mengenai keputusan
atau preferensi yang akan diambil oleh suatu negara, ada di tingkat legislatif,
pembuat kebijakan seperti Kementerian, dan Mahkamah Agung.97
Mahkamah Agung Australia menolak pengikatan Australia terhadap
perjanjian yang didalamnya mengandung mekanisme ISDS. Mekanisme ISDS
dipandang sebagai proses arbitrasi yang terlalu mahal bagi Australia. OECD
memeprkirakan dalam suatu kasus yang berkaitan dengan mekanisme ISDS,
pihak-pihak yang berseteru harus mengeluarkan minimal $8 juta. Mekanisme
ISDS juga dianggap tidak transparan dalam menghasilkan suatu keputusan yang
96 Amokura Kawharu and Luke Nottage. 2017. “International Investment Treaties and Arbitration Across
Asia”. diedit oleh Julien Chassie dan Luke R Nottage. Leiden: Koninklijke Brill NV. Hal 473-476. 97
Miller. “International Political Economy: Contrasting world views”. hal 103-105.
59
harus dipatuhi oleh negara. Dan keberadaan mekanisme ISDS dianggap
mencederai kedaulatan Australia.98
Oleh karena itu sesuai dengan pandangan institusionalisme, penolakan
Mahkamah Agung Australia mempengaruhi penolakan Australia terhadap
pencatutan mekanisme ISDS dalam Perjanjian perdagangan bebas (EPA) maupun
perjanjian multilateral yang ditandatangani Australia.
4. Non-Governmental Organization
Non-Governmental Organization atau NGO didefinisikan sebagai suatu
organisasi mandiri yang tidak bergantung kepada pihak pemerintah ataupun
negara. NGO memiliki peranan untuk mendukung dan memberdayakan
masyarakat, meningkatkan pengaruh politik secara meluas melalui kerjasama dan
ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan
negara.99
Institusionalisme memandang bahwa keberadaan NGO merupakan
representasi dari kekuatan kelompok masyarakat yang memiliki perhatian lebih
kepada berbagai sektor mulai dari lingkungan sampai dengan militer. NGO
sendiri memiliki peranan dan mampu untuk mempengaruhi preferensi yang
dikeluarkan oleh suatu negara. Kekuatan pengaruh NGO terhadap keputusan yang
98 Chief Justice RS French AC, 9 Juli 2014. “Investor-State Dispute Settlement-A Cut Above the
Courts?”.[database on-line] tersedia di
http://www.hcourt.gov.au/assets/publications/speeches/current-justices/frenchcj/frenchcj09jul14.pdf diakses
pada 7 Juli 2018. 99 Heyzeert Noeleen dkk. 1995.”Government-NGO Relations in Asia, Prospects and Challenges For People
Centered Development”. Kuala Lumpur: Asian Development Center. hal 8-9.
60
diambil oleh suatu negara sangat bergantung kepada waktu kapan suatu isu yang
menjadi concerns dari NGO tersebut menjadi suatu hal yang penting.100
Di Australia sendiri, terdapat beberapa NGO yang memiliki fokus di bidang
perjanjian perdagangan internasional seperti Australia Fair Trade and Investment
Network Ltd (AFTINET) dan Blue for Free Speech. Secara khusus AFTINET
mengirimkan petisi kepada Menteri Perdagangan Australia yang berisi tentang
penolakan pencatutan mekanisme ISDS dalam perjanjian JAEPA.101
Dan
pengajuan AFTINET sebelummnya mengenai penolakan mekanisme ISDS bagi
perjanjian yang akan ditandatangani Australia, pernah diterima oleh Parlemen
Australia Komisi Senate Standing Committees of Foreign Affairs Defence and
Trade.102
Berdasarkan teori institusionalisme, keberadaan NGO akan mempengaruhi
preferensi yang dikeluarkan oleh suatu negara. Dalam hal ini
pengajuan-pengajuan tentang penolakan mekanisme ISDS dalam JAEPA oleh
NGO tentunya mempengaruhi preferensi Australia untuk menolak pencatutan
mekanisme ISDS dalam perjanjian JAEPA. Dengan adanya pengajuan-pengajuan
atas penolakan keikutsertaan Australia dalam perjanjian yang didalamnya
mengandung mekanisme ISDS tersebut, membentuk preferensi Australia.
100
Raymond C. Miller. 2008. “International Political Economy: Contrasting world views”. New York:
Routledge. hal. 103. 101 Urgent letter to the Trade Minister re: Japan-Australia FTA. [database on-line] tersedia di
http://aftinet.org.au/cms/urgent-letter-japan-fta-isds-2014 diakses pada 6 Juli 2018. 102 Report: Proposed Trans-Pasific Partnership (TPP) Agreeement. [database on-line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Senate/Foreign_Affairs_Defence_and_Trade/T
PP/Report diakses pada 6 Juli 2018.
61
B. Faktor Institusi Internasional
1. Institusi JAEPA
Teori institusionalisme mendefinisikan institusi kedalam beberapa bentuk,
dan salah satu diantara bentuk institusi adalah perjanjian. Negara merupakan aktor
utama, dan perjanjian yang disepakati oleh suatu negara dengan negara lain akan
membentuk suatu institusi internasional, dan institusi tersebut akan
mempengaruhi preferensi dari negara yang terlibat didalamnya.103
Oleh karena itu,
perjanjian perdagangan bebas yang disepakati oleh Australia dan Jepang tentunya
akan mempengaruhi penolakan Australia terhadap permintaan Jepang untuk
mencatutkan mekanisme ISDS didalam JAEPA.
Perjanjian JAEPA merupakan salah satu perjanjian yang dianggap paling
liberal yang pernah disepakati oleh Jepang. Dengan adanya klausul penambahan
ambang batas investasi, jumlah investasi Jepang di Australia terus bertambah.
Selain itu sektor-sektor investasi yang sebelumnya didominasi oleh sektor
pertambangan, mulai merambah ke sektor lainnya. Sektor agrikultur dan sektor
agribisnis yang sebelumnya masih tidak tersentuh investasi asing, mulai terbuka
setelah perjanjian JAEPA berlaku. Sebagai contoh adalah Mitsubishi Corporation
yang pada awalnya hanya berinvestasi di bidang energi, namun mulai merambah
bidang lain seperti ekspor agrikultur dan water treatment operations.104
103
Raymond C. Miller. 2008. “International Political Economy: Contrasting world views”. New York:
Routledge. hal. 101-105. 104 Mitsuyuki Takada, 9 April 2016.”Australia-Japan: Building a diverse economic partnership”. [artikel
on-line] tersedia di
https://www.theaustralian.com.au/business/business-spectator/australiajapan-building-a-diverse-economic-par
tnership/news-story/e077188d17c85fa5a1453d7dc6dfb7e6 diakses pada 5 Mei 2018.
62
Investasi asing atau foreign direct investment (FDI) di Australia sendiri
memiliki pengaruh terhadap angka penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan gross
domestic product (GDP) dan nilai ekspor Australia. Sektor pertambangan pada
tahun 2011-2014 yang merupakan tujuan utama investasi asing di Australia, turut
mempengaruhi kenaikan GDP di Australia.105
Dengan adanya perjanjian JAEPA,
keuntungan yang didapatkan oleh pihak Australia tentunya akan semakin
bertambah karena jumlah investasi yang masuk ke Australia akan semakin
meningkat.
Di bidang investasi Jepang adalah sumber investasi ketiga terbesar bagi
Australia, pun di bidang perdagangan. Dimana volume perdagangan antara
Australia dengan Jepang adalah yang kedua terbesar bagi Australia. Jepang
sendiri merupakan tujuan ekspor Australia yang berada di peringkat nomor satu,
sehingga pasar Jepang menjadi sangat krusial bagi produk-produk ekspor
Australia yang utamanya adalah raw materials. Ekspor dari sektor pertambangan
Australia sendiri menempatkan Australia sebagai suplier utama raw materials
untuk kebutuhan Jepang.106
Teori institusionalisme menganggap bahwa preferensi negara adalah hasil
dari timbal balik atau aksi-reaksi dari insitusi domestik maupun institusi
105 Viral Pandya & Sommala Sisombat. Impacts of Foreign Direct Investment on Economic Growth:
Empirical Evidence from Australian Economy, “International Journal of Economics and Finance”. Vol.9,
No. 5; 2017. Canadian Center of Science and Education. [jurnal on-line] tersedia di
http://ccsenet.org/journal/index.php/ijef/article/viewFile/67054/36775 diakses pada 5 Mei 2018. 106 Japan: a trustworthy and valuable trading partner. [artikel on-line] tersedia di
https://business.nab.com.au/japan-trustworthy-valuable-trading-partner-27565/ diakses pada 5 Mei 2018.
63
internasional dimana negara tersebut terlibat.107
Peniadaan mekanisme ISDS
dalam JAEPA adalah hasil dari pengaruh keberadaan institusi JAEPA itu sendiri.
Jika perjanjian JAEPA mencatutkan mekanisme ISDS, maka sangat mungkin
kedepannya terdapat suatu tuntutan dan akan merugikan pihak Australia.
Faktor-faktor seperti sejarah hubungan antara Jepang dan Australia yang
sangat baik serta sangat minim konflik, sektor agrikultur Jepang yang akses
pasarnya tidak terlalu terbuka bagi investor asal Australia dan jumlah FDI yang
relatif cukup kecil dari Australia ke Jepang juga mendukung peniadaan
mekanisme ISDS dari JAEPA.108
Hal-hal tersebut juga mendukung penolakan
Australia terhadap permintaan Jepang untuk mencatutkan mekanisme ISDS dalam
JAEPA.
C. Faktor Decision Environment
Konsep FPDM memandang bahwa situasi dan kondisi akan mempengaruhi
kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara. Faktor pengalaman negara
terhadap suatu kasus dan faktor tingkat resiko akan membentuk kebijakan yang
dipilih oleh suatu negara.109
Pada saat negosiasi perjanjian JAEPA, Australia sedang menghadapi tuntutan
dari Philip Morris Ltd yang dimasukkan ke UNCITRAL pada 21 November 2011.
Australia dituntut karena dianggap melanggar prinsip expropiation dan fair and 107
Henry Farrell and Abraham L. Newman, 2010, Making global Markets: Historical Institusionalism in
international political economy, dalam “Review of International Political economy” 17:4, hal. 618. 108
Luke R. Nottage, Investor-State Arbitration Policy and Practice in Australia dalam “Second Thoughts:
Investor State Arbitration between Developed Democracies”, Diedit oleh Armand de Mestral. Centre for
International Governance Innovation, Canada. CIGI Investor-State Arbitration Series, Paper No. 6, 2016. hal
399. 109
Alex Mintz & Karl Derouen. 2010. “Understanding Foreign Policy Decision Making”. New York:
Cambridge University Press. hal 27-28.
64
equitable treatment. Tuntutan tersebut muncul karena aturan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Australia mengenai aturan bungkus rokok yang harus polos tanpa
label merk suatu perusahaan.110
Tuntutan tersebut selesai setelah hampir empat
tahun masa pengadilan, tepatnya pada Februari 2015.111
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Ausralia dalam melawan tuntutan
dari Philip Morris tersebut tidaklah kecil. Productivity Commision menyatakan
bahwa kasus tersebut memberatkan masyarakat Australia yang bertugas untuk
membayar pajak dan merugikan pihak pemerintah Australia.112
Oleh karena itu,
tuntutan tersebut mempengaruhi keputusan Australia untuk menolak permintaan
Jepang mencatutkan mekanisme ISDS dalam JAEPA. Selain itu Australia juga
beresiko mendapat tuntutan dari pihak Jepang jika JAEPA mengandung
mekanisme ISDS didalamnya.
110
Chief Justice RS French AC, 9 Juli 2014. “Investor-State Dispute Settlement-A Cut Above the Courts?”.
[database on-line] tersedia di
http://www.hcourt.gov.au/assets/publications/speeches/current-justices/frenchcj/frenchcj09jul14.pdf diakses
pada 7 Juli 2018. 111 “Plain Packaging laws survive international court as Philip Morris warned over „abuse of rights‟”, 17
Mei 2016. [artikel on-line] tersedia di
http://www.abc.net.au/news/2016-05-17/philip-morris-loses-legal-battle-against-plain-packaging-laws/74203
56 diakses pada 7 Juli 2018. 112
Trade & Assistance Review 2013-14, Productivity Commision Annual Report Series. hal 83-84.
[database on-line] tersedia di
http://www.pc.gov.au/research/ongoing/trade-assistance/2013-14/trade-assistance-review-2013-14.pdf
diakses pada 6 Juli 2018.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kepada bab-bab sebelumnya yang telah dipaparkan dalam
skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa penolakan Australia terhadap permintaan
Jepang untuk mencatutkan mekanisme ISDS dalam JAEPA dipengaruhi oleh
faktor institusi domestik yang ada di Australia, faktor institusi JAEPA dan faktor
decision environment yang mengarahkan penolakan Australia tersebut.
Perjanjian perdagangan bebas antara Autralia Jepang mulai diusulkan pada
tahun 2005 saat Perdana Menteri Australia pada watu itu berkunjung ke Jepang.
Negosiasi kerangka perjanjian perdagangan bebas ini dimulai sejak tahun 2007
dan mencapai kesepakatan pada tahun 2014. Dalam perjanjian perdagangan bebas
yang diberi nama Japan-Australia Economic Partnership Agreement (JAEPA) ini,
mekanisme investor-state dispute settlement (ISDS) yang biasanya ada dalam
perjanjian perdagangan bebas yang ditandatangani oleh Jepang dan Australia
dengan negara-negara lain, ditiadakan.
Pihak yang mendorong agar mekanisme ISDS dicatutkan dalam JAEPA
adalah Jepang, sedangkan Australia menolak mekanisme ISDS dicatutkan dalam
JAEPA. Faktor institusi domestik Australia memiliki pengaruh terhadap
preferensi dari Australia agar mekanisme ISDS ditiadakan dari perjanjian JAEPA.
Keberadaan Productivity Commision yang memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah Australia untuk meniadakan mekanisme ISDS dalam perjanjian
66
perdagangan yang akan disepakati oleh Australia, mempengaruhi keputusan
Australia untuk menolak pencatutan mekanisme ISDS dalam JAEPA. Pemerintah
menerima usulan tersebut sesuai dengan pernyataan dari Parlemen Australia.
Proposal anti ISDS yang diajukan oleh Greens Party dan ALP pada Maret
2014, di Parlemen Australia berpegaruh besar terhadap perjanjian perdagangan
bebas antar Australia. Proposal anti ISDS tersebut muncul saat JAEPA berada
pada era negosiasi akhir. Fungsi dari Parlemen yang sejak awal ikut andil dalam
pembahasan perjanjian perdagangan yang akan Autralia sepakati dan nantinya
bertugas untuk meratifikasi perjanjian tersebut mempengaruhi keputusan
Australia untuk menolak pencatutan mekanisme ISDS dalam JAEPA.
Institusionalisme memandang bahwa institusi domestik yang ada didalam
suatu negara seperti NGO akan membentuk keputusan yang diambil oleh
pemerintah. Dalam hal ini terdapat NGO yang mengirimkan pengajuan-pengajuan
dalam bentuk petisi maupun surat kepada Kementerian Perdagangan Australia
ataupun Parlemen Australia yang berisi tentang penolakan terhadap keikutsertaan
Australia dalam perjanjian yang didalamnya mengandung mekanisme ISDS.
Teori institusionalisme juga memandang Mahkamah Agung sebagai decision
making arena yang akan membentuk keputusan yang diambil oleh suatu negara.
Dalam hal ini Mahkamah Agung Australia menolak pencatutan mekanisme ISDS
dalam berbagai bentuk perjanjian yang akan Australia sepakati, bilateral maupun
multilateral.
Faktor institusi internasional yaitu institusi JAEPA itu sendiri juga
memepengaruhi penolakan Australia terhadap pencatutan mekanisme ISDS.
67
Dengan adanya penambahan ambang batas investasi, maka jumlah investasi
Jepang di Australia akan terus bertambah. Sebagai negara sumber investasi asing
terbesar kedua bagi Australia, jika terdapat mekanisme ISDS dalam JAEPA maka
kemungkinan kerugian yang didapat Pemerintah Ausralia akan lebih besar. Selain
itu tuntutan dari Philip Morris Ltd yang dianggap sebagai contoh kerugian dalam
pencatutan mekanisme ISDS dalam perjanjian yang Australia sepakati.
Australia sangat memerlukan perjanjian perdagangan bebas tersebut karena
akan memberikan intensif bagi komoditi ekspor uatama Australia. Insentif
tersebut terdiri dari pemotongan tarif dan penambahan ambang batas investasi.
Hal-hal tersebut tentunya akan mendorong kemajuan di bidang ekonomi bagi
Australia.
Dengan demikian skripsi ini telah menjawab pertanyaan penelitian yang ada
yaitu, faktor-faktor yang mempengaruhi penolakan Australia terhadap pencatutan
mekanisme ISDS dalam JAEPA adalah faktor institusi domestik Australia, faktor
dari institusi JAEPA dan faktor decision environment.
Pembahasan mengenai mekanisme ISDS adalah suatu pembahasan yang
cukup penting dan menarik untuk dibahas. Penelitian dalam skripsi ini penulis
sadari masih ada beberapa hal seharusnya bisa ditingkatkan lagi. Penelitian
selanjutnya akan menjadi lebih baik jika mampu melakukan wawancara dengan
beberapa pihak yang terkait langsung dengan proses negosiasi dari perjanjian
JAEPA, sehingga analisis yang dihasilkan akan lebih komprehensif.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adolf, Huala. 2005. “Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar". Bandung:
Rajawali pers.
Bjorklund, Andrea. ed., 2013. “Yearbook on International Investment Law &Policy
2012-2013”. New York: Oxford University Press.
Bath, Vivienne dan Luke Nottage, ed. 2012. “Foreign Investment and Dispute
Resolution Law and Practice in Asia”. London: Routledge.
Cameron, R. J. 1976. Australian Statistician, Prepared under instruction from the
Right Honourable the Treasurer. “Official Yearbook of Australia No. 61,
1975 and 1976”. Canberra: Australian Bureau of Statistics.
Chasssie, Julian dan Luke R Nottage, ed. 2017. Amokura Kawharu and Luke
Nottage. “International Investment Treaties and Arbitration Across Asia”.
Leiden: Koninklijke Brill NV.
Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.
Thousand Oaks : SAGE Publications, Inc Charles, William Maynes, The
Perils of (and for) an Imperial America, foreign Policy, Summer, 1998.
Farrell, Henry and Abraham L. Newman, 2010, Making global Markets: Historical
Institusionalism in international political economy, dalam “Review of
International Political economy” 17:4.
Hindelang, Steven dan Markus Krajeswki ed. 2016. “Shifting Paradigms in
International Investment Law: More Balanced; Less Isolated, Increasingly
Diversified”. New York: Oxford University Press.
Mediansky, Fedor dkk. 2001. “Australian Foreign Policy: Into the New Millenium”.
South Yarra: Macmillan Publishers Australia.
Miller, Raymond C. 2008. “International Political Economy: Contrasting world
views”. New York: Routledge.
Mintz, Alex & Karl Derouen. 2010. “Understanding Foreign Policy Decision
Making”. New York: Cambridge University Press.
xiv
Mitchell, Andrew D, Elizabeth Sheargold dan Tnia Voon. 2017. “Regulatory
Autonomy in International Economic Law: The Evolution of Australian
Policy on Trade and Investment”. Cheltenham: Edward Elgar Publishing
Limited.
Newcomb, Andrew & Lluis Paradell. 2009. “Law and Practice of Investment
Treaties”: Standards of Treatment. Great Britain: Kluwer Law International
BV.
Noeleen, Heyzeert dkk. 1995.”Government-NGO Relations in Asia, Prospects and
Challenges For People Centered Development”. Kuala Lumpur: Asian
Development Center.
Rix, Alan. 1999. “The Australia-Japan Political Alignment: 1952 to the Present”.
London: Routledge.
Salacuse, Jeswald W. 2009. “The Law of Investment Treaties”. New York: Oxford
University Press.
Jurnal
Carvalho, Dr. Patrick. 2016. Investor-State Arbitration and the Rule of Law:
Debunking the Myths, Australia: The Centre For Independent Studies No.13,
[jurnal on-line] tersedia di
https://www.cis.org.au/app/uploads/2016/04/rr13.pdf (diunduh pada 30
Oktober 2017).
Dee, Moreen. 2006. “Friendship and co-operation: the 1976 Basic Treaty between
Australia and Japan”. Australia in the World, The Foreign Affairs and Trade
Files, No. 3 [jurnal on-line] tersedia di
http://australia.or.jp/_projects/yoe/english/docs/friendship_and_cooperation_
basic_treaty_e.pdf diakses pada 14 April 2018.
Drysdale, Peter. 2006. “Did the NARA Treaty make a difference” dalam Australian
Journal of International Affairs, Vol. 60 No. 4.
Franck, Susan D. 2007. Foreign Direct Investment Treaty Arbitration and the rule of
Law, Global Business & Development Law Journal Vol.19: 21.
Lighfoot, Richard & James Nicolaides. “Resolving investment dispute through
ICSID”. ADR Buletin Vol. 9 No. 8. 6-1-2007. [jurnal on-line] tersedia di
http://epublications.bond.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1401&context=
adr diakses pada 1 Maret 2018.
xv
Mestral, Armand de ed. Luke R. Nottage, Investor-State Arbitration Policy and
Practice in Australia dalam “Second Thoughts: Investor State Arbitration
between Developed Democracies”,. Centre for International Governance
Innovation, Canada. CIGI Investor-State Arbitration Series, Paper No. 6,
2016. hal 385.
Nottage, Luke R. 2014. Investor-State Arbitration: Not in the Australia-Japan Free
Trade Agreement, and Not Ever for Australia?, Australia: Sydney Law
School Research Paper No. 15/45, Journal of Japanese Law, Vol. 19, No. 38,
pp. 37-52.
Pandya, Viral & Sommala Sisombat. Impacts of Foreign Direct Investment on
Economic Growth: Empirical Evidence from Australian Economy,
“International Journal of Economics and Finance”. Vol.9, No. 5; 2017.
Canadian Center of Science and Education. [jurnal on-line] tersedia di
http://ccsenet.org/journal/index.php/ijef/article/viewFile/67054/36775
diakses pada 5 Mei 2018.
Price, John. “A Just Peace? The 1951 San Fransisco Peace Treaty in Historical
Perspective”. JPRI Working Paper No. 78, June 2001. [jurnal on-line]
tersedia di http://www.jpri.org/publications/workingpapers/wp78.html
diakses pada 10 April 2018.
Simmons, Beth A. 2015. East Asia, Investment, and International Law: Distinctive or
Convergent?, Republic of Korea: The Korean Journal of International
Studies Vol. 13-3, hal. 461-487.
Sloan, Judith 2011, “How useful is the Productivity Commision?”. Policy Journal
Vol. 27 No 1. hal 31-36.
Sourgens, Frederic G. 2013. “Keep the Faith: Investment Protection Following the
Denunciation of International Investment Agreements”. Santa Clara Journal
of International Law 335 Vol.11 Issue.2 [jurnal on-line] tersedia di
https://digitalcommons.law.scu.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www
.google.com/&httpsredir=1&article=1142&context=scujil diakses pada 28
Februari 2018.
Tietje, Christian. The Impact of Investor-State-Dispute Settlement (ISDS) in the
Translantic Trade and Investment Partnership, Leiden University: 2014.
[jurnal on-line] tersedia di http://media.leidenuniv.nl/legacy/the-impact-of-
investor-state-dispute-settlement-isds-in-the-ttip.pdf (diunduh pada 17
Oktober 2017).
xvi
Vandevelde, Kenneth J. 2005. “A Brief History of International Investment
Agreement”. U.C. Davis Journal of International Law & Policy, Vol. 12,
No.1, p. 157. 3 November 2013. [jurnal on-line]; tersedia di
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1478757 diunduh pada
28 Februari 2018.
Internet
A Bill for an Act to protect Australian Laws by banning investor-state dispute
settlement provisions, and for related purposes. [database on-line] tersedia di
http://parlinfo.aph.gov.au/parlInfo/download/legislation/bills/s951_first-
senate/toc_pdf/1403120.pdf;fileType=application%2Fpdf diakses pada 26
April 2018.
A Guide to International Investment Agreements, [artikel on-line] tersedia di
http://isds.bilaterals.org/?a-guide-to-international&lang=en diakses pada 17
Oktober 2017.
A long History in Australia. Mitsui & Co. [database on-line] tersedia di
www.mitsui.com/au/en/company/history/index.html diakses pada 13 April
2018.
AC, Chief Justice RS French, 9 Juli 2014. “Investor-State Dispute Settlement-A Cut
Above the Courts?”.[database on-line] tersedia di
http://www.hcourt.gov.au/assets/publications/speeches/current-
justices/frenchcj/frenchcj09jul14.pdf diakses pada 7 Juli 2018.
Agrement Between Australia and Japan for An Economic Partnership, [database on-
line] tersedia di http://dfat.gov.au/trade/agreements/jaepa/official-
documents/Documents/jaepa-chapters-1-to-20.pdf diakses pada 17 Oktober
2017.
Agreement between Australia and Japan for an Economic Partnerhsip, The
Parliament of the Commonwealth of Australia; Joint Standing Committee on
Treaties. Report 144. [database on-line] tersedia di
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ca
d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjR1OWO7JfcAhVXdt4KHe4KDKUQFggqM
AA&url=https%3A%2F%2Fwww.aph.gov.au%2FDocumentStore.ashx%3Fid
%3Db416336b-f7b4-458a-9b89-
bfc15cb64bc4%26subId%3D299115&usg=AOvVaw1JrCZWHeYgJ_tU8KcH
Wacb diakses pada 6 Juli 2018.
Allens. 21 November 2014 “Focus: investor-state dispute settlement and the China-
Australia Free Trade Agreement”. [artikel on-line] tersedia di
xvii
https://www.lexology.com/library/detail.aspx?g=36cabf4d-a1fe-4fe9-b76b-
c49778a507cf diakses pada 10 April 2018.
Australia Bilateral Investment Treaties (BITs). [database on-line] tersedia di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/11#iiaInnerMenu
diakses pada 2 Maret 2018.
Australian Government Productivity Commision, About the Commision. [database on-
line] tersedia di https://www.pc.gov.au/about diakses pada 5 Juli 2018.
Australia Treaties with Investment Provision (TIPs). [database on-line] tersedia di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryOtherIias/11#iiaInnerMenu
diakses pada 2 Maret 2018.
Australia's investment relationship with Japan, 2016. Department of Foreign Affairs
and Trade, Australian Government. [database on-line] tersedia di
https://dfat.gov.au/trade/resources/Documents/japan.pdf diakses pada 18 April
2018.
Australia‟s Prime Minister, John Howard. [database on-line] tersedia di
http://primeministers.naa.gov.au/primeministers/howard/ diakses pada 3 Maret
2018.
Australia‟s Prime Minister, Julia Gillard. [database on-line] tersedia di
http://primeministers.naa.gov.au/primeministers/gillard/ diakses pada 4 Maret
2018.
Australia‟s Prime Minister, Kevin Rudd. [database on-line] tersedia di
http://primeministers.naa.gov.au/primeministers/rudd/ diakses pada 3 Maret
2018.
Australian Treaty Series 1988 No. 14, Department of Foreign Affairs and Trade.
[database on-line] tersedia di
http://www.austlii.edu.au/au/other/dfat/treaties/1988/14.html diakses pada 1
Maret 2018.
Chapter 9 Government Trade Policy Statement. [database on-line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Joint/Completed
_Inquiries/jfadt/apla/report/output/chapter9 diakses pada 28 April 2018.
Ciobo, Steven 24 Agustus 2017. ”Australia-Japan trade relations: From mines to the
lab and back”. [artikel on-line] tersedia di https://www.lowyinstitute.org/the-
interpreter/australia-japan-trade-relationship-from-mines-to-lab-back diakses
pada 3 Mei 2018.
xviii
Direction of Japan‟s trade policy response, METI Report Data. [database on-line]
tersedia di http://www.meti.go.jp/english/report/data/WP2016/pdf/3-2-1.pdf
diakses pada 6 Juli 2018.
Draft Convention on Investment Abroad (Abs-Shawcross Draft Convention) [databse
on-line] tersedia di
http://unctad.org/Sections/dite_tobedeleted/iia/docs/compendium/en/137%20v
olume%205.pdf diakses pada 28 Februari 2018.
Dupont, Alan. 2016. Japan turns to Australia in Search of Friends. [artikel on-line]
tersedia di https://newsroom.unsw.edu.au/news/social-affairs/japan-turns-
australia-search-friends diakses pada 9 Desember 2017.
Eaton, Janet M, 31 Desember 2013. “Australia‟s Rejection of Investor-State, from
AUSFTA to the Gillard Government‟s Trade Policy and the implications for
Canada”. [database on-line] tersedia di
https://www.commonfrontiers.ca/Single_Page_Docs/PDF_Docs/Jan08_14-
AUSFTA-paper.pdf diakses pada 26 April 2018.
EIA: Japan Oil Market Overview, 6 Februari 2017. [artikel on-line] tersedia di
https://www.hellenicshippingnews.com/eia-japan-oil-market-overview/
diakses pada 10 Mei 2018.
EU-Japan Partnership Agreement, [artikel on-line] tersedia di
http://www.ciarb.org/news/ciarb-news/news-detail/features/2017/08/31/eu-
japan-partnership-agreement diakses pada 7 Oktober 2017.
Fact Sheet:” Investment Protection and Investor-to-State Dispute Settlement in EU
agreements”. November 2013 [Artikel on-line] tersedia di
https://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2013/november/tradoc_151916.pdf
diakses pada 1 Maret 2018.
Fensom, Anthony 8 April 2014. Australia and Japan Conclude Free Trade Deal. The
Diplomat , [artikel on-line] tersedia di
https://thediplomat.com/2014/04/australia-and-japan-conclude-free-trade-deal/
diakses pada 15 April 2018.
Grey, Peter 15 Juli 2014.” Japan and Australia – Capitalising on the JAEPA”.
[artikel on-line] tersedia di http://www.corrs.com.au/thinking/insights/japan-
and-australia-capitalising-on-the-jaepa/ diakses pada 3 Mei 2018.
xix
History of the Embassy. [database on-line] tersedia di
http://japan.embassy.gov.au/tkyo/aboutus.html diakses pada 10 April 2018.
Holden, Richard dkk, 4 Mei 2017. By the Numbers: How The US is Australia‟s
Indispensable Economic Partner. [artikel on-line] tersedia di
https://www.ussc.edu.au/analysis/by-the-numbers-how-the-us-is-australias-
indispensable-economic-partner diakses pada 18 April 2018.
Holmes, Dr Anne ”Australia‟s Economic Relationship with China”. [database on-
line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parlia
mentary_Library/pubs/BriefingBook44p/China diakses pada 18 April 2018.
House committee JSCT USAFTA. [Pdf on-line] tersedia di
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ca
d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwij69WPuqXaAhWEgI8KHbV0DrUQFghJMA
Q&url=https%3A%2F%2Fwww.aph.gov.au%2FParliamentary_Business%2F
Committees%2FHouse_of_Representatives_Committees%3Furl%3Djsct%2F
usafta%2Fsubs%2Fsub036.pdf&usg=AOvVaw2piACZXZ0L3d3THo2EUOL
n diakses pada 3 Maret 2018.
Hoshi, Takeo. 2018.” Has Abenomics Succeeded in Raising Japan‟s Inward Foreign
Direct Investmen”t. [atikel on-line] tersedia di
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/aepr.12211 diakses pada 13
April 2018.
Investor State Dispute Settlement, [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/topics/Pages/isds.aspx diakses pada 29 September
2017.
JAEPA News and Updates. [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/agreements/in-force/jaepa/news/Pages/news.aspx
diakses pada 28 April 2018.
Janda, Michael 4 Juni 2015. Australia‟s trade deficit of $3.9b its worst on record.
[artikel on-line] tersedia di http://www.abc.net.au/news/2015-06-04/trade-
deficit-more-than-trebles/6521468 diakses pada 18 April 2018.
Japan: a trustworthy and valuable trading partner. [artikel on-line] tersedia di
https://business.nab.com.au/japan-trustworthy-valuable-trading-partner-
27565/ diakses pada 5 Mei 2018.
xx
Japan‟s import and exports. [artikel on-line] tersedia di
https://asialinkbusiness.com.au/japan/getting-started-in-japan/japans-imports-
and-exports diakses pada 18 April 2018.
Japan-Australia Economic Partnership Agreement (JAEPA), [database on-line]
tersedia di http://dfat.gov.au/trade/agreements/jaepa/news/Pages/news.aspx
diakses pada 17 Oktober 2017.
Japan-Australia Economic Partnership Agreement. [database on-line] tersedia di
http://dfat.gov.au/trade/agreements/in-force/jaepa/Pages/japan-australia-
economic-partnership-agreement.aspx diakses pada 15 April 2018.
Japan-Egypt Relations (Basic Data). [dokumen on-line] tersedia di
http://www.mofa.go.jp/region/africa/egypt/data.html diakses pada 10 April
2018.
Japan Bilateral Investment Treaties (BITs). [database on-line] tersedia di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryBits/105?type=c#iiaInner
Menu diakses pada 10 April 2018.
Japan is the second largest net importer of fossil fuels in the world. 7 November
2013. [artikel on-line] tersedia di
https://www.eia.gov/todayinenergy/detail.php?id=13711 diakses pada 18
April 2018.
Japanese Investment in Australia. 2017. Report by the Australian Trade and
Investment Commision, Commonwealth of Australia. [databse online]
tersedia di www.austrade.gov.au/japaneseinvestment diakses pada 18 April
2018.
Japan Treaties with Investment Provisions (TIPs). [database on-line] tersedia di
http://investmentpolicyhub.unctad.org/IIA/CountryOtherIias/105#iiaInnerMen
u diakses pada 10 April 2018.
JETRO, Focus: Economic Recovery. 5 Desember 2005 [database on-line] tersedia di
http://kwrintl.com/library/2005/focus42.html diakses pada 13 April 2018.
Kanematsu Company Introduction. [database on-line] tersedia di
http://kanematsu.com.sg/about/ diakses pada 13 April 2018.
Khan, Mustafizur Rahman 3 Agustus 2015. What Can Bangladesh Make out Japan‟s
Recent Interests and Trends?. [artikel on-line] tersedia di
xxi
https://sdasia.co/2015/08/03/what-can-bangladesh-make-out-of-japans-recent-
interests-and-trends/ diakses pada 13 April 2018.
Manne, Robert. Maret 2006. “Little America : How John Howard has Changed
Australia”. [artikel on-line] tersedia di
https://www.themonthly.com.au/monthly-essays-robert-manne-little-
america-how-john-howard-has-changed-australia-184 diakses pada 3 Maret
2018.
Major Exports of Australia to China, Japan, South Korea, USA and India for 2016.
[artikel on-line] tersedia di
https://www.franklincustomsbrokersandfreightforwarding.com.au/news-
freight-forwarding-custom-broker-clearance/major-exports-australia-china-
japan-south-korea-usa-india-2016/ diakses pada 18 April 2018.
Mission & History of The Consulate-General of Japan, Sydney. [database on-line]
tersedia di http://www.sydney.au.emb-
japan.go.jp/english/about_us/history_of_consulate_general.htm diakses pada
10 April 2018.
New EU-Japan Trade Deal: EU declares ISDS “dead”, [artikel on-line] tersedia di
https://globalarbitrationnews.com/new-eu-japan-trade-deal-eu-declares-isds-
dead/ diakses pada 7 Oktober 2017.
Nitij Pal, What is ISDS (investor - state dispute settlement) ?, [artikel on-line]
tersedia di http://www.andeco.com.au/uncategorized/what-is-isds-investor-
state-dispute-settlement/ diakses pada 17 Oktober 2017.
Pash, Chris. 9 Juli 2014. “Here‟s The Sweeping Impactof The Japan-Australia Free
Trade Agreement on Economic Setors”. [artikel on-line] tersedia di
https://www.businessinsider.com.au/impact-of-japan-australia-free-trade-
agreement-2014-7 diakses pada 17 April 2018.
Philippines. [database on-line] tersedia di https://data.worldbank.org/?locations=CH-
XD diaskes pada 13 April 2018.
“Plain Packaging laws survive international court as Philip Morris warned over
„abuse of rights‟”, 17 Mei 2016. [artikel on-line] tersedia di
http://www.abc.net.au/news/2016-05-17/philip-morris-loses-legal-battle-
against-plain-packaging-laws/7420356 diakses pada 7 Juli 2018.
xxii
Prime Minister of Japan and His Cabinet. [database on-line] tersedia di
http://japan.kantei.go.jp/rekidaisouri/koizumi_e.html diakses pada 11 April
2018.
Profile of the Prime Minister. [database on-line] tersedia di
https://japan.kantei.go.jp/96_abe/meibo/daijin/abe_e.html diakses pada 13
April 2018.
Provost, Claire and Matt Kenard, 10 Juni 2015. “The Obsecure Legal System that lets
Corporations Sue Countries”.[artikel on-line] tersedia di
https://www.theguardian.com/business/2015/jun/10/obscure-legal-system-
lets-corportations-sue-states-ttip-icsid diakses pada 5 Juli 2018.
Remarks By Prime Minister abe to the Australian Parliament, Tuesday, July 8, 2014.
[database on-line] tersedia di
https://japan.kantei.go.jp/96_abe/statement/201407/0708article1.html diakses
pada 30 April 2018.
Report: Proposed Trans-Pasific Partnership (TPP) Agreeement. [database on-line]
tersedia di
https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Senate/Foreign
_Affairs_Defence_and_Trade/TPP/Report diakses pada 6 Juli 2018.
Senate Composition. [database on-line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/Senators_and_Members/Senators/Senate_compositi
on diakses pada 25 April 2018.
Siddiqui, Samee. 13 April 2016. “Japanese-Australian Relations”. [artikel on-line]
tersedia di http://studies.aljazeera.net/en/reports/2016/04/japanese-australian-
relations-160413095617326.html diakses pada 15 April 2018.
Statement on the Japan-Australia Economic Partnership Agreement, by Andrew
Robb. [database on-line] tersedia di
http://trademinister.gov.au/speeches/Pages/2014/ar_sp_140715.aspx?w=O%
2F%2FeXE%2BIYc3HpsIRhVl0XA%3D%3D diakses pada 5 Juli 2018.
Switzerland. [database on-line] tersedia di https://data.worldbank.org/?locations=CH-
XD diakses pada 13 April 2018.
Takada, Mitsuyuki 9 April 2016.”Australia-Japan: Building a diverse economic
partnership”. [artikel on-line] tersedia di
https://www.theaustralian.com.au/business/business-spectator/australiajapan-
xxiii
building-a-diverse-economic-partnership/news-
story/e077188d17c85fa5a1453d7dc6dfb7e6 diakses pada 5 Mei 2018.
The Impact of The Australia/Japan Trade Agreement on Australia‟s Resource Sector.
[artikel on-line] tersedia di https://www.grtlawyers.com/the-impact-of-the-
australiajapan-trade-agreement-on-australias-resources-sector/ diakses pada 5
Juli 2018.
Thirlwell, Mark 13 Januari 2017. “Australia‟s Export Performace in 2015-2016”.
[artikel on-line] tersedia di https://www.austrade.gov.au/News/Economic-
analysis/australias-export-performance-in-2015-16 diakses pada 18 April
2018.
Three Level of Government. [database on-line] tersedia di
https://www.parliament.vic.gov.au/about/the-parliamentary-system/three-
level-of-government diakses pada 25 April 2018.
Tieying, Ma. “Why Japan‟s investing more in Southeast Asia”, DBS Asian Insights.
[artikel on-line] tersedia di https://www.dbsinsights.com/asias-growth-
story/japans-investing-southeast-asia diakses pada 13 April 2018.
TPP, Konsolidasi Kekuatan atau Perdagangan Adil?. 24 Agustus 2017 [Artikel on-
line] tersedia di http://theglobal-review.com/tpp-konsolidasi-kekuatan-atau-
perdagangan-adil/ diakses pada 1 Maret 2018.
Trade & Assistance Review 2013-14, Productivity Commision Annual Report Series.
hal 80-81
[database on-line] tersedia di http://www.pc.gov.au/research/ongoing/trade-
assistance/2013-14/trade-assistance-review-2013-14.pdf diakses pada 6 Juli
2018.
Trade and foreign Investment (Protecting the Public Interest) Bill 2014. [database on-
line] tersedia di
https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Bills_LEGislation/Bills_Se
arch_Results/Result?bId=s951 diakses pada 26 April 2018.
Trans Pasific Partnership Summary, Pros and Cons, [artikel on-line] tersedia di
https://www.thebalance.com/what-is-the-trans-pacific-partnership-3305581
diakses pada 7 Oktober 2017.
Treaty making process. [database on-line] tersedia di http://dfat.gov.au/international-
relations/treaties/treaty-making-process/Pages/treaty-making-process.aspx
diakses pada 25 April 2018.
xxiv
Trends in investor-state dispute settlement, [artikel on-line] tersedia di
http://www.nortonrosefulbright.com/knowledge/publications/148969/trends-
in-investor-state-dispute-settlement diakses pada 17 Oktober 2017.
Tsuchiya, Takashi. 2014. “ A True Blue Goodbye” dalam JETRO Sydney Newsletter,
Issue 2. [artikel online] tersedia di
https://www.jetro.go.jp/australia/topics/20140630215-
topics/JETROSydneyNewsletterJune2014.pdf diakses pada 15 April 2018.
United States and Australia sign Free Trade Agreement. [dokumen on-line] tersedia
di https://ustr.gov/about-us/policy-offices/press-office/press-
releases/archives/2004/may/united-states-and-australia-sign-free-trade-a
diakses pada 3 Maret 2018.
Urgent letter to the Trade Minister re: Japan-Australia FTA. [database on-line]
tersedia di http://aftinet.org.au/cms/urgent-letter-japan-fta-isds-2014 diakses
pada 6 Juli 2018.
Urgent Request for the Commencement of the Japan-Australia Economic Partnership
Agreement Negotiations. 19 September 2006. [database on-line] tersedia di
http://www.keidanren.or.jp/english/policy/2006/066.html diakses pada 10 Mei
2018.
Wada, Maiko. “The Promotion of Foreign Direct Investment into Japan- The
Measures‟ Impact on FDI Series”. Bank of Japan Working Paper Series
No.05-E-2 Februari 2005. [artikel on-line] tersedia di
https://www.boj.or.jp/en/research/wps_rev/wps_2005/data/wp05e02.pdf
diakses pada 12 April 2018.
119
CHAPTER 14 INVESTMENT
Article 14.1 Scope
1. This Chapter shall apply to measures adopted or maintained by a Party relating to:
(a) investors of the other Party;
(b) covered investments; and (c) with respect to Article 14.9, all investments in the Area of the Party
adopting or maintaining the measure. 2. With the exception of Article 14.15, in the event of any inconsistency between this Chapter and another Chapter, the other Chapter shall prevail to the extent of inconsistency.
Article 14.2 Definitions
For the purposes of this Chapter:
(a) investment in its Area of an investor of the other Party, in existence as of the date of entry into force of this Agreement or established, acquired or expanded thereafter;
(b)
organised under the law of a Party; (c)
such by the International Monetary Fund under the Articles of Agreement of the International Monetary Fund, as amended;
(d)
expansion, management, conduct, operation, maintenance, use, enjoyment and sale or other disposition of investments;
(e)
national authority of a Party and a covered investment or an investor of the other Party, on which the covered investment or the investor relies in
120
establishing or acquiring a covered investment, that grants rights to the covered investment or investor:
(i) with respect to natural resources that a national authority
controls, such as for their exploration, extraction, refining, transportation, distribution or sale;
(ii) to supply services to the public on behalf of the Party, such as
power generation or distribution, water treatment or distribution, or telecommunications; or
(iii) to undertake infrastructure projects, such as the construction
of roads, bridges, canals, dams, or pipelines, that are not for the exclusive or predominant use and benefit of the government;
Note 1:
executed by both parties, whether in a single instrument or in multiple instruments, that creates an exchange of rights and obligations, binding on both parties. For greater certainty:
(i) a unilateral act of an administrative or judicial
authority, such as a permit, licence, or authorisation issued by a Party solely in its regulatory capacity, or a decree, order, or judgment, standing alone; and
(ii) an administrative or judicial consent decree or order,
shall not be considered a written agreement.
Note 2: means an authority at the central level of government.
(f)
directly or indirectly, by an investor, that has the characteristics of an investment, including such characteristics as the commitment of capital or other resources, the expectation of gain or profit, or the assumption of risk. Forms that an investment may take include:
(i) an enterprise and a branch of an enterprise; (ii) shares, stocks or other forms of equity participation in an
enterprise; (iii) bonds, debentures, loans and other forms of debt; (iv) futures, options and other derivatives;
121
(v) rights under contracts, including turnkey, construction,
management, production or revenue-sharing contracts; (vi) claims to money or to any contractual performance related to
a business activity and having an economic value; (vii) intellectual property as defined in Article 16.2 (Intellectual
Property - Definitions); (viii) rights conferred pursuant to laws and regulations or contracts
such as concessions, licences, authorisations and permits; and (ix) any other tangible and intangible, movable and immovable
property, and any related property rights, such as leases, mortgages, liens and pledges; and
Note: Investments may also include amounts yielded by investments
that are re-invested, in particular, profit, interest, capital gains, dividends, royalties and fees. A change in the form in which assets are invested does not affect their character as investments.
(g)
Party, that seeks to make, is making, or has made, an investment in the Area of the other Party.
Article 14.3 National Treatment
Each Party shall accord to investors of the other Party and to covered investments treatment no less favourable than that it accords, in like circumstances, to its own investors and to their investments with respect to investment activities in its Area.
Article 14.4 Most-Favoured-Nation Treatment
Each Party shall accord to investors of the other Party and to covered investments treatment no less favourable than that it accords, in like circumstances, to investors of a non-Party and to their investments with respect to investment activities in its Area. Note: For greater certainty, this Article does not apply to dispute settlement
procedures or mechanisms under any international agreement.
122
Article 14.5 Minimum Standard of Treatment
Each Party shall accord to covered investments treatment in accordance with customary international law, including fair and equitable treatment and full protection and security. Note 1: This Article prescribes the customary international law minimum standard
of treatment of aliens as the minimum standard of treatment to be afforded by a P
addition to or beyond that which is required by the customary international law minimum standard of treatment of aliens.
Note 2: A determination that there has been a breach of another provision of this
Agreement, or of a separate international agreement, does not establish that there has been a breach of this Article.
Article 14.6 Access to the Courts of Justice
1. Each Party shall with respect to investment activities in its Area accord to investors of the other Party treatment no less favourable than that it accords in like circumstances to its own investors or investors of a non-Party, with respect to access to its courts of justice and administrative tribunals and agencies. 2. Paragraph 1 does not apply to treatment provided to investors of a non-Party pursuant to an international agreement concerning access to courts of justice or administrative tribunals, or judicial cooperation agreements.
Article 14.7 Special Formalities and Information Requirements
1. Nothing in Article 14.3 shall be construed to prevent a Party from adopting or maintaining a measure that prescribes special formalities in connection with investment activities of investors of the other Party and covered investments, such as compliance with registration requirements, or requirements that investors be residents of the Party or that covered investments be legally constituted under the laws and regulations of the Party provided that such formalities do not materially impair the protections afforded by the Party to investors of the other Party and covered investments pursuant to this Chapter. 2. Notwithstanding Articles 14.3 and 14.4, a Party may require an investor of the other Party, or a covered investment, to provide information concerning that covered
123
investment solely for informational or statistical purposes. The Party shall protect such information that is confidential from any disclosure that would prejudice the competitive position of the investor or covered investment. Nothing in this paragraph shall be construed to prevent a Party from otherwise obtaining or disclosing information in connection with the equitable and good faith application of its law.
Article 14.8 Senior Management and Boards of Directors
1. Neither Party shall require that an enterprise of that Party that is a covered investment appoint to senior management positions nationals of any particular nationality. 2. A Party may require that a majority or less than a majority of the board of directors, or any committee thereof, of an enterprise of that Party that is a covered investment, be of a particular nationality, or resident in the Area of the Party, provided that the requirement does not materially impair the ability of the investor to exercise control over its investment.
Article 14.9 Prohibition of Performance Requirements
1. Neither Party shall apply in connection with investment activities of an investor of a Party in its Area any measure which is inconsistent with the Agreement on Trade-Related Investment Measures in Annex 1A to the WTO Agreement. 2. Without prejudice to paragraph 1, neither Party shall impose or enforce any of the following requirements, in connection with investment activities of an investor of a Party or of a non-Party in its Area:
(a) to export a given level or percentage of goods or services; (b) to achieve a given level or percentage of domestic content; (c) to purchase, use or accord a preference to goods produced in its Area, or
to purchase goods from persons in its Area; (d) to relate in any way the volume or value of imports to the volume or
value of exports or to the amount of foreign exchange inflows associated with an investment of the investor;
(e) to restrict sales of goods or services in its Area that an investment of the
investor produces or provides by relating such sales in any way to the volume or value of its exports or foreign exchange earnings;
124
(f) to transfer technology, a production process or other proprietary
knowledge to a person in its Area, except when the requirement:
(i) is imposed or enforced by a court of justice, administrative tribunal or competition authority to remedy a practice determined after judicial or administrative process to be anticompetitive under its competition laws and regulations; or
(ii) concerns the disclosure of proprietary information or the use
of intellectual property rights which is undertaken in a manner not inconsistent with the TRIPS Agreement; or
(g) to supply to a specific region or the world market exclusively from its
Area, one or more of the goods that an investment of the investor produces or the services that an investment of the investor provides.
3. Without prejudice to paragraph 1, neither Party shall condition the receipt or continued receipt of an advantage, in connection with investment activities of an investor of a Party or of a non-Party in its Area, on compliance with any of the following requirements:
(a) to achieve a given level or percentage of domestic content; (b) to purchase, use or accord a preference to goods produced in its Area, or
to purchase goods from persons in its Area; (c) to relate in any way the volume or value of imports to the volume or
value of exports or to the amount of foreign exchange inflows associated with an investment of the investor; or
(d) to restrict sales of goods or services in its Area that an investment of the
investor produces or provides by relating such sales in any way to the volume or value of its exports or foreign exchange earnings.
4. Nothing in paragraph 3 shall be construed to prevent a Party from conditioning the receipt or continued receipt of an advantage, in connection with investment activities of an investor of a Party or of a non-Party in its Area, on compliance with a requirement to locate production, supply a service, train or employ workers, construct or expand particular facilities, or carry out research and development, in its Area. 5. Subparagraphs 2(a), 2(b), 2(c), 3(a) and 3(b) shall not apply to qualification requirements for goods or services with respect to export promotion and foreign aid programs.
125
6. Subparagraphs 2(b), 2(c), 2(f), 2(g), 3(a) and 3(b) shall not apply to government procurement. 7. Subparagraphs 3(a) and 3(b) shall not apply to requirements imposed by an importing Party relating to the content of goods necessary to qualify for preferential tariffs or preferential quotas. 8. Paragraphs 2 and 3 shall not apply to any requirement other than the requirements set out in those paragraphs. Note: For greater certainty, this Article does not preclude enforcement of any
commitment, undertaking or requirement between private parties, where a Party did not impose or require the commitment, undertaking or requirement.
Article 14.10 Non-Conforming Measures and Exceptions
1. Articles 14.3, 14.4, 14.8 and 14.9 shall not apply to:
(a) any non-conforming measure that is maintained by the following on the date of entry into force of this Agreement, as set out in Schedules in Annex 6 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 1 of Articles 9.7 and 14.10):
(i) the central government of a Party; or (ii) a State or Territory of Australia or a prefecture of Japan;
(b) any non-conforming measure that is maintained by a local government
other than a State or Territory or a prefecture referred to in subparagraph (a)(ii) on the date of entry into force of this Agreement;
(c) the continuation or prompt renewal of any non-conforming measure
referred to in subparagraphs (a) and (b); or (d) an amendment or modification to any non-conforming measure referred
to in subparagraphs (a) and (b), provided that the amendment or modification does not decrease the conformity of the measure, as it existed immediately before the amendment or modification, with Articles 14.3, 14.4, 14.8 and 14.9.
2. Articles 14.3, 14.4, 14.8 and 14.9 shall not apply to any measure that a Party adopts or maintains with respect to sectors, sub-sectors and activities set out in its Schedule in Annex 7 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 2 of Articles 9.7 and 14.10).
126
3. Neither Party shall, under any measure adopted after the date of entry into force of this Agreement and covered by its Schedule in Annex 7 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 2 of Articles 9.7 and 14.10), require an investor of the other Party, by reason of its nationality, to sell or otherwise dispose of an investment that exists at the time the measure becomes effective. 4. In cases where a Party makes an amendment or a modification to any non-conforming measure set out in its Schedule in Annex 6 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 1 of Articles 9.7 and 14.10) or where a Party adopts any new or more restrictive measure with respect to sectors, sub-sectors or activities set out in its Schedule in Annex 7 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 2 of Articles 9.7 and 14.10) after the date of the entry into force of this Agreement, the Party shall, prior to the implementation of the amendment or modification or the new or more restrictive measure, or as soon as possible thereafter:
(a) on request of the other Party, promptly provide information and respond to questions pertaining to any such proposed or actual amendment, modification or measure;
(b) to the extent possible, provide a reasonable opportunity for comments by
the other Party on any such proposed or actual amendment, modification or measure; and
(c) to the maximum extent possible, notify the other Party of any such
amendment, modification or measure that may substantially affect the
5. Each Party shall endeavour, where appropriate, to reduce or eliminate the non-conforming measures set out in its Schedules in Annexes 6 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 1 of Articles 9.7 and 14.10) and 7 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 2 of Articles 9.7 and 14.10) respectively. 6. Articles 14.3 and 14.4 shall not apply to any measure covered by the exceptions to, or derogations from, obligations under Articles 3 and 4 of the TRIPS Agreement. 7. Articles 14.3, 14.4 and 14.8 shall not apply to any measure that a Party adopts or maintains with respect to:
(a) government procurement; or (b) subsidies or grants provided by a Party, including government-supported
loans, guarantees and insurance.
127
Article 14.11 Expropriation and Compensation
1. Neither Party shall expropriate or nationalise a covered investment either directly or indirectly through measures equivalent to expropriation or nationalisation
(a) for a public purpose; (b) on a non-discriminatory basis; (c) in accordance with due process of law; and (d) upon payment of prompt, adequate and effective compensation in
accordance with paragraphs 2 through 4. 2. The compensation shall be equivalent to the fair market value of the expropriated investment at the time when the expropriation was publicly announced or when the expropriation occurred, whichever is the earlier. The fair market value shall not reflect any change in market value occurring because the expropriation had become publicly known earlier. 3. The compensation shall be paid without delay and shall include interest at a commercially reasonable rate accrued from the date of expropriation to the date of payment and shall be effectively realisable and freely transferable in accordance with Article 14.13. 4. If payment is made in a freely usable currency, the compensation paid shall include interest, at a commercially reasonable rate for that currency, accrued from the date of expropriation until the date of payment. 5. If a Party elects to pay in a currency other than a freely usable currency, the compensation paid, converted into the currency of payment at the market rate of exchange prevailing on the date of payment, shall be no less than the sum of the following:
(a) the fair market value on the date of expropriation, converted into a freely usable currency at the market rate of exchange prevailing on that date; and
(b) interest, at a commercially reasonable rate for that freely usable currency,
accrued from the date of expropriation until the date of payment. 6. This Article does not apply to the issuance of compulsory licences granted in relation to intellectual property rights in accordance with the TRIPS Agreement, or to the revocation, limitation, or creation of intellectual property rights, to the extent that
128
such issuance, revocation, limitation, or creation is consistent with Chapter 16 (Intellectual Property).
Note: For greater certainty, the reference to the TRIPS Agreement in paragraph 6 includes any waiver in force between the Parties of any provision of that Agreement granted by WTO members in accordance with the WTO Agreement.
Article 14.12 Treatment in Case of Strife
1. Each Party shall, with respect to restitution, indemnification, compensation or any other settlement, accord to investors of the other Party that have suffered loss or damage to their covered investments due to armed conflict or civil strife such as revolution, insurrection, civil disturbance or any other similar event in its Area, treatment that is no less favourable than that it would accord, in like circumstances, to its own investors or to investors of a non-Party. 2. Any payments as a means of settlement referred to in paragraph 1 shall be effectively realisable, freely transferable and freely convertible at the market exchange rate into the currency of the Party of the investors concerned or freely usable currencies. 3. Notwithstanding the provisions of Article 1.10 (General Provisions Security Exceptions), neither Party shall be relieved of its obligation under paragraph 1 by reason of its measures taken pursuant to that Article.
Article 14.13 Transfers
1. Each Party shall allow all transfers relating to a covered investment to be made freely into and out of its Area without delay. Such transfers shall include those of:
(a) the initial capital and additional amounts to maintain or increase investments;
(b) profits, capital gains, dividends, royalties, interest, fees and other current
incomes accruing from investments; (c) proceeds from the total or partial sale or liquidation of investments; (d) payments made under a contract including loan payments in connection
with investments;
129
(e) earnings and remuneration of personnel from abroad who work in connection with investments in the Area of the Party;
(f) payments made in accordance with Articles 14.11 and 14.12; and (g) payments arising out of a dispute.
2. Each Party shall allow such transfers to be made in freely usable currencies at the market exchange rate prevailing at the time of each transfer. 3. Notwithstanding paragraphs 1 and 2, a Party may delay or prevent such transfers through the equitable, non-discriminatory and good-faith application of its laws relating to:
(a) bankruptcy, insolvency or the protection of the rights of creditors; (b) issuing, trading or dealing in securities or derivatives; (c) criminal or penal offences; (d) reporting or record keeping of transfers of currency or other monetary
instruments when necessary to assist law enforcement or financial regulatory authorities; or
(e) ensuring compliance with orders or judgments in judicial or
administrative proceedings.
Article 14.14 Subrogation
If a Party or its designated agency makes a payment to an investor of the Party pursuant to an indemnity, guarantee or insurance contract pertaining to an investment of that investor within the Area of the other Party, that other Party shall recognise:
(a) the assignment, to the Party or its designated agency, of any right or claim of the investor in respect of such investment, that formed the basis of such payment; and
(b) the right of the Party or its designated agency to exercise by virtue of
subrogation such right or claim to the same extent as the original right or claim of the investor.
130
Article 14.15 General Exceptions
Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between covered investments or investors of the other Party and other investments or investors, where like conditions prevail, or a disguised restriction on investment, nothing in Articles 14.3, 14.4, and 14.9 shall prevent the adoption or enforcement by either Party of measures:
(a) necessary to protect public morals or to maintain public order;
Note: The public order exception may be invoked only where a genuine and sufficiently serious threat is posed to one of the fundamental interests of society.
(b) necessary to protect human, animal or plant life or health;
Note: This exception includes environmental measures necessary to protect human, animal or plant life or health.
(c) necessary to secure compliance with laws or regulations which are not
inconsistent with the provisions of this Chapter, including those relating to:
(i) the prevention of deceptive and fraudulent practices or to deal
with the effects of a default on a contract; (ii) the protection of the privacy of individuals in relation to the
processing and dissemination of personal data and the protection of confidentiality of individual records and accounts; or
(iii) safety;
(d) imposed for the protection of national treasures of artistic, historic or
archaeological value; or (e) relating to the conservation of living or non-living exhaustible natural
resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption.
131
Article 14.16 Temporary Safeguard Measures
1. A Party may adopt or maintain restrictive measures with regard to cross-border capital transactions as well as payments or transfers for transactions related to covered investments:
(a) in the event of serious balance-of-payments and external financial difficulties or threat thereof; or
(b) in exceptional cases where movements of capital cause or threaten to
cause serious difficulties for macroeconomic management, in particular monetary and exchange rate policies.
2. Restrictive measures referred to in paragraph 1 shall:
(a) be applied such that the other Party is treated no less favourably than any non-Party;
(b) be consistent with the Articles of Agreement of the International
Monetary Fund; (c) not exceed those necessary to deal with the circumstances set out in
paragraph 1; (d) be temporary and be phased out progressively as the situation specified in
paragraph 1 improves; (e) be promptly notified to the other Party; and (f) avoid unnecessary damages to the commercial, economic and financial
interests of the other Party. 3. The Party which has adopted any measures under paragraph 1 shall, on request, commence consultations with the other Party in order to review the restrictions adopted by it.
Article 14.17 Denial of Benefits
1. A Party may deny the benefits of this Chapter to an investor of the other Party that is an enterprise of the other Party and to its investments, where the denying Party establishes that the enterprise is owned or controlled by an investor of a non-Party and the denying Party:
132
(a) does not maintain diplomatic relations with the non-Party; or (b) adopts or maintains measures with respect to the non-Party that prohibit
transactions with the enterprise or that would be violated or circumvented if the benefits of this Chapter were accorded to the enterprise or to its investments.
2. A Party may deny the benefits of this Chapter to an investor of the other Party that is an enterprise of the other Party and to its investments, where the denying Party establishes that the enterprise is owned or controlled by an investor of a non-Party or of the denying Party and the enterprise has no substantial business activities in the Area of the other Party. Note: For the purposes of this Article, an enterprise is:
(a) it is beneficially owned by the investor; and
(b)
majority of its directors or otherwise to legally direct its actions.
Article 14.18 Sub-Committee on Investment
1. For the purposes of the effective implementation and operation of this Chapter, the Parties hereby establish a Sub-Committee on Investment (hereinafter referred to in
- 2. The functions of the Sub-Committee shall be:
(a) exchanging information on any matters related to this Chapter; (b) reviewing and monitoring the implementation and operation of this
Chapter and the non-Schedules in Annexes 6 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 1 of Articles 9.7 and 14.10) and 7 (Non-Conforming Measures Relating to Paragraph 2 of Articles 9.7 and 14.10);
(c) discussing any issues related to this Chapter; (d) considering any issues raised by either Party concerning the imposition
or enforcement of performance requirements, including those specified in Article 14.9;
133
(e) considering any issues raised by either Party concerning investment agreements between a Party and an investor of the other Party;
(f) reporting the findings and outcome of discussions of the Sub-Committee
to the Joint Committee; and (g) carrying out other functions as may be delegated by the Joint Committee.
3. The Sub-Committee shall be composed of and co-chaired by representatives of the Governments of the Parties. 4. The Sub-Committee may invite, by consensus, representatives of relevant entities other than the Governments of the Parties with the necessary expertise relevant to the issues to be discussed. 5. The Sub-Committee shall meet at such venues and times and by such means as may be agreed by the Parties.
Article 14.19 Review
1. Unless the Parties otherwise agree, the Parties shall conduct a review of this Chapter with a view to the possible improvement of the investment environment through, for example, the establishment of a mechanism for the settlement of an investment dispute between a Party and an investor of the other Party. Such review shall commence in the fifth year following the date of entry into force of this Agreement or a year on which the Parties otherwise agree, whichever comes first. 2. The Parties shall also conduct such a review if, following the entry into force of this Agreement, Australia enters into any multilateral or bilateral international agreement providing for a mechanism for the settlement of an investment dispute between Australia and an investor of another or the other party to that agreement, with a view to establishing an equivalent mechanism under this Agreement. The Parties shall commence such review within three months following the date on which that international agreement entered into force and will conduct the review with the aim of concluding it within six months following the same date. 3. At any time after the first year following the entry into force of this Agreement, either Party may request the other Party to agree to commence the review provided for in paragraph 1.