penguatan majelis rakyat papua dalam undang-undang nomor...
TRANSCRIPT
1
PENGUATAN MAJELIS RAKYAT PAPUA DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG
OTONOMI KHUSUS PAPUA
A. Latar Belakang Masalah
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
diberlakukan Otonomi Khusus oleh pemerintah Republik Indonesia.
Selain Provinsi Papua yang mendapatkan status Otonomi Khusus
adalah Provinsi Aceh Nangroe Darullsalam (NAD) dengan UU
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Otonomi Khusus
Provinsi Papua berlangsung sejak tahun 2001 dimana setelah
dikeluarkannya Nomor 21 Tahun 2001 yang telah dirubah dengan UU
No.35 Tahun 2008 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua
(selanjutnya disebut dengan UU Otsus Papua).
Pengacuan dalam pembentukan daerah khusus dapat dilihat dalam
konstitusi UUD 1945 Perubahan keempat, diatur dalam Bab VI
2
tentang Pemerintah Daerah. Pemberian Otonomi Khusus bagi Papua
di dasarkan pada UUD 1945 Perubahan Keempat, ketentuan sebagai
berikut;
Pasal 18 B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang;
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Provinsi-provinsi yang mendapatkan pemberlakuan khusus dari
negara dikarenakan dalam konstitusi memberikan peluang untuk
membuat daerah tersebut khusus dengan melihat latar belakang ke
khususan yang ada pada daerah tersebut.
Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintah Daerah yang bersifat
khusus dan Istimewa (Pasal 18 B ayat 1 UUD 1945). Yang dimaksud
dengan “bersifat istimewa” adalah pemerintah asli atau pemerintahan
bumiputra. Dalam prakteknya penyelenggaraan pemerintahan daerah
terdapat daerah istimewa. Dalam Pasal 18 B. Perkataan “khusus”
memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain karena dimungkinkan
membentuk daerah dengan otonomi khusus (Aceh dan papua). Untuk
Aceh, otonomi khusus berkaitan dengsn pelaksana syariat islam.
3
Setiap daerah dapat menuntut kekhususan berdasarkan faktor tertentu
tanpa kriteria umum yang telah ditentukan dalam undang-undang.1
Pelaksanaan Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 tampak dari
adanya daerah-daerah khusus dan daerah-daerah istimewa, yakni :
1. Daerah Khusus IbuKota Jakarta, UU Nomor 29 Tahun 2007
tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh;
3. Daerah Khusus Papua, Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus Provinsi Papua;
4. Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Nomor 3 Tahun 1950 Tentang
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pembentukan UU Otsus Papua yang mana merupakan usul dari
masyarakat Papua. Dimana undang-undang tersebut merupakan
aspirasi dari masyarakat Papua yang muncul dengan terjadinya
1 Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Pustaka Setia, Bandung. ,
2010, hal. 36
4
gejolak politik di Papua. Dalam hal ini, pembentukan dari undang-
undang tersebut untuk meredam keinginan memisahkan diri
(merdeka) masyarakat Papua dari Republik Indonesia. Dimana konsep
dan rencana dalam pembentukan Undang-undang Otonomi Khusus
merupakan hasil rumusan dari masyarkat asli Papua dengan
mengutamakan perlindungan dan keberpihakan terhadap orang asli
Papua di atas tanahnya sendiri.
Sebagaimana amanat UU No. 21 Tahun 2001, Otsus Papua pada
dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi
Pemerintah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus
diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas
berarti tanggung jawab yang lebih besar bagi Pemerintah Provinsi dan
rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur
pemanfaatan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat Papua.
Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan
potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk
memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui
para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan
adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi
pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman
5
kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan
alam Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu
daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan
terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Dengan berlakunya Otonomi Khusus Papua, penduduk asli Papua
mempunyai identitas diri yang khas dan merupakan suatu keragaman
dari masyarakat asli Papua. Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi
Papua memberikan keberpihakan dan perlindungan terhadap hak-hak
dasar dari penduduk asli Papua. Untuk itu perlindungan terhadap hak-
hak dasar orang asli Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupan,
yaitu:2
(1) Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu
kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi
seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan
proporsional.
(2) Perlindungan hak‐hak orang Papua atas tanah dan air dalam
batas‐batas tertentu dengan sumberdaya alam yang terkandung di
dalamnya.
2 Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia
Pustaka Utama, jakarta, 2003, hal. 54
6
(3) Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk berkumpul dan
mengeluarkan pendapat dan aspirasinya.
(4) Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk terlibat secara nyata
dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan
kehidupan berdemokrasi yang sehat.
(5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan
menjalankan ajaran agama yang diyakininya, tanpa ada
penekanan dari pihak manapun; dan
(6) Perlindungan kebudayaan dan adat istiadat orang Papua.
Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua
yang mencakup enam dimensi pokok kehidupan diharapkan dapat
memberikan suatu pemahaman dalam keadilan di dalam isi dari
peraturan Perundang-undang tentang Otonomi Khusus Provinsi
Papua. Enam dimensi pokok tersebut yang menjadi sumber pijakan
dalam melihat isi dari Undang-undang Otonomi Khusus apakah telah
memuat rasa keadilan atau belum dalam Otonomi Khusus.
Disisi lain dalam UU Otsus Papua terdapat suatu yang menjadi ke
khususan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Hal ini dapat
7
dilihat pada pembentukan suatu lembaga yang dinamakan Majelis
Rakyat Papua (selanjutnya disebut MRP).
MRP merupakan suatu bagian dari pelaksanaan Otsus Papua yang
tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri. MRP adalah partner kerja
dari DPRD dan Pemerintah Daerah Papua dalam pelaksanaan Otsus
Papua dimana lebih menekankan dalam perlindungan orang asli Papua
dalam kebijakan pelaksanaan Otsus Papua.
Pembagian kekuasaan (sharing of power) dalam konteks Otsus Papua
tidak saja menyangkut hubungan pusat dan daerah, tetapi yang juga
pembagian kekuasaan dan kewenangan di Provinsi Papua.
Pembagian kewenangan antara Eksekutif dan Legislatif dalam
pelaksanaan Otsus Papua :3
Lembaga Eksekutif, lembaga ditingkat provinsi dipimpin oleh seorang
Gubernur dan ditingkat Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati dan
Walikota. Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih melalui sistem
pemilihan umum yang dipilih secara langsung oleh masyarakat.
3 Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua,Gramedia,
Jakarta, 2003, hal. 65
8
Lembaga Legislatif, lembaga legislatif terdiri dari 2 (dua) badan yaitu
Dewan Perwakilan Daerah Privinsi Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat
Papua (MRP). Sistem ini biasanya dikenal dengan sistem bikameral4.
Keanggotaan dari wakil-wakil DPRP adalah wakil-wakil yang berasal
dari partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan
MRP terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-
wakil perempuan yang dipilih oleh rakyat. Selain bersama-sama
dengan DPRP bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan oleh
lembaga eksekutif, MRP juga berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan
tugas DPRP.
Salah satu alasan di Papua terdapat 2 (dua) lembaga perwakilan
(legislatif) sistem bikameral yang berada di Papua mengambil contoh
dari salah satu negara pasifik selatan dan yang memiliki kesamaan
budaya dengsna Papua, menggunakan sistem bikameral, yang terdiri
dari House of Representatives (parlemen) dan senat. Parlemen dipilih
melalui sistem pemilihan komunal yang digabungkan dengan cros-
votting, sedangkan senat diatur melalui cara tertentu dengan memberi
wewenang kepada Dewan Besar Kepala Suku, Perdana Menteri
pimpinan opisisi dan Dewan Kepulaun Rotuma untuk mencalonkan
9
figur-figurnya berdasarkan kuota yang telah ditentukann. Sistem
parlemen yang ditentukan dalam UU Otsus Papua salah satunya
bertujuan untuk memastikan bahwa orang asli Papua memiliki
representasi yang layak dalam parlemen secara berkesinambungan.5
Otsus Papua, memberikan perlindungan hak-hak politik masyarakat
adat dan penduduk asli Papua dengan diciptakannya suatu kamar
tertentu di dalam parlemen Provinsi Papua, yang mana disebut dengan
MRP yang hanya diisi oleh orang asli Papua yang adalah wakil-wakil
adat, agama dan perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga
dari total jumlah anggota kamar tersebut.
Dengan cara seperti ini, sistem pengawasan (check and balances) dari
MRP dimana keterwakilan penduduk asli di dalam pengambilan
keputusan politik dalam suatu pemerinthana lokal ditingkat Provinsi
dapat terwakilkan dengan memperhatikan kedudukan dan kepentingan
dari orang asli Papua di distribusikan dalam jumlah kamar yang
memiliki tugas dan kewajiban sebagai berikut :
5 Agus Sumule, Ibid, hal. 65
10
Memberikan pertimbangan kepada parlemen provinsi (DPRP),
kabupaten/kota serta Gubernur, Bupati dan Walikota mengenai hal-hal
yang terkait perlindungan terhadap hak-hak asli orang Papua.
Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima pengaduan
masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya, dan memfasilitasi
tindak lanjut penyenlesaiannya
Menolak peraturan provinsi dan kebijakan lain yang dinilai
bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.
Dalam pembuatan RUU Otsus Papua, yang mana sebelumnya telah
dikonsultasikan ke beberapa para ahli di Indonesia menyangkut
keberadaan MRP di Papua. Dibawah ini terdapat beberapa pandangan
ahli yang memberikan pandangan mengenai kedudukan MRP.
Jimly Assidiqie, memberikan saran agar nama parlemen di Papua
adalah Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP ini terdiri dari dua kamar
(bikameral), pertama senat yang terdiri dari orang-orang asli Papua
(wakil-wakil adat, agama dan perempuan) kedua adalah kamar yang
terdiri dari wakil-wakil partai politik yang dipilih melalui pemilu,
yang disebut-sebut DPRD (sekarang disebut dengan DPRP).
11
Anton Sujata dan Sunarjati Hartono, ke khususan dalam Otsus Papua
terletak pada sistem dua kamar (bikameral).
Budhi Santoso, dalam hal perlindungan terhadap hak politik, yang
dirumuskan dalam sistem bikameral dalam parlemen dan peluang bagi
pembukaan partai lokal, merupakan suatu langkah maju, terutama
dalam memberikan peluang dan temapat yang cukup besar bagi kaum
perempuan untuk duduk dalam lembaga MRP.
Dengan pembentukan MRP, memberikan gambaran bahwa di Papua
terdapat 2 (dua) lembaga legistatif, yaitu DPRP yang merupakan
perwakilan dari anggota partai-partai politik yang dipilih secara
langsung oleh masyarakat sedangkan MRP yang merupakan lembaga
kultur/budaya yang mana anggota berasal dari masyarakat Adat,
Agama dan Perempuan yang mana pengangkatan anggota MRP
dilakukan melalui pemilihan dengan jalan demokrasi. MRP adalah
suatu lembaga yang menjadi partner kerja dengan Pemerintah Daerah
dan DPRP Papua. Kedudukan MRP dengan segala tugas dan
kewenangannya dapat memberikan suatu manfaat atas pelaksanaan
Otonomi Khusus dimana diharapkan dapat meberikan masukan
terhadap kepentingan masyarakat asli Papua.
12
Namun di dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua masih terdapat
permasalahan selama ini. Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi
khusus antara lain :
Pertama, adanya ketidak sepahaman antara pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi papua dalam pelakasanaan otonomi khusus.
Pemerintah pusat tidak meiliki komitmen yang kuat dalam
pelaksanaan otonomi khusus. Hal ini dikarenakan adanya pandangan
bahwa otonomi khusus merupakan sarana bagi gerakan separatis
papua merdeka. Sehingga pemerintah pusat melakukan pembiaran
terhadap pelaksanaan otonomi khusus dengan terjadi penyimpangan
dan pemekaran wilayah. Sedangkan pemerintah daerah papua seperti
tidak siap dengan pelaksanaan otonomi khusus.
Kedua, Adanya temuan penyimpangan dalam pengelolaan dana
alokasi Otsus Papua. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan
telah menemukan penyelewengan dana otonomi khusus (otsus) Papua
sebesar Rp 4,2 triliun dari total dana Rp 28,8 triliun sejak periode
2002-20106. Rizal Djalil dari BPK mengklaim ada 1,85 triliun dana
6"Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Papua Capai Rp 4,2 Triliun",
Republika.co.id, Kamis, 21 April 2011.
13
alokasi Otsus Papua periode 2008-2010 yang didepositokan, padahal
dana itu seharusnya dialokasi untuk pengembangan pendidikan dan
kesehatan rakyat Papua.
Ketiga, Intervensi pemerintah pusat sangat besar dalam membuat
kebingungnan dalam pelaksanaan otonomi khusus papua, dimana
pemerintah pusat lambat mengeluarkan peraturan pemerintah tentang
pembentukan MRP (Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2004),
yang mana setelah tiga tahun baru dikeluarkan. Hal ini memberikan
reaksi dikalangan elite politk papua dengan menganggap pemerintah
pusat tidak menginginkan terbentuknya MRP dan tidak ingin
menjalankan otonomi khusus dengan sungguh-sungguh. Dimana
memberikan akibat pada lambatnya pembuatan Perdasi dan Perdasus
oleh MRP. Kemudian pada tahun 2011, Pemerintah Pusat melalui
Mendagri mennyetujui pembentukan MRP yang berada diProvinsi
Papua Barat.
Pembentukan MRP di Papua Barat telah keluar dari semangat
Otonomi Khusus Papua. UU Otsus Papua, PP No. 54/2004 dan
Perdasus No. 4/2010 tentang Pemilihan Majelis Rakyat Papua hanya
http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/04/21/lk01q5-
penyimpangan-dana-otonomi-khusus-papua-capai-rp-42-triliun (diakses tanggal 16
Juli 2011)
14
mengenal adanya satu MRP di Papua. Namun, terbitnya Perdasus No.
5/2011 tentang Pemilihan Majelis Rakyat Papua di Provinsi Papua
Barat telah memberikan jalan bagi terbentuknya dualisme MRP di
Papua. Terbentuknya MRP Papua Barat dikarenakan pandangan
bahwa baik di Papua dan Papua Barat harus dibentuk MRP sebagai
akibat dari pemekaran Papua. Hal ini yang oleh DPRP Papua Barat
kemudian menggelar paripurna khusus untuk menerbitkan Perdasus
5/2011
Keempat, Pemaksaan pemekaran wilayah Papua yang dilakukan
pemerintah Indonesia. Inpres Nomor 1 tahun 2003 tentang pemekaran
Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah yang disahkan
pemerintah Indonesia mengkhianati amanat tentang prosedur
pemekaran provinsi Papua yang diatur dalam Pasal 76 UU Otsus.
Inpres 1/2003 adalah tindak lanjut dari UU 45/1999 tentang
Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian
Jaya Tengah. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK
Nomor 018/PUU-I/2003 pada tanggal 11 November 2004 telah
menyatakan UU 45/1999 tidak lagi memiliki kekuatan hukum
mengikat.
15
Kelima, Pemilihan dan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur
tidak sesuai dengan amanat UU Otsus Papua. Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 81/PUU-VIII/2010 tanggal 2 Maret 2011 menyatakan
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPR Papua (DPRP)
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Otsus Papua
tidak memenuhi kriteria kekhususan atau keistimewaan yang melekat
pada daerah Papua. Dengan keputusan MK tersebut, maka
kewenangan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPRP
serta tata cara pemilihan yang terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) Huruf
(a) UU Otsus Papua sudah tidak lagi dapat digunakan oleh DPRP
untuk melakukan pemilihan dan pengangkatan gubernur dan wakil
gubernur Papua berdasarkan kekhususan Provinsi Papua sebagaimana
yang diamanatkan dalam UU Otsus Papua.
Keenam, Pemerintah pusat memiliki pandangan bahwa lambang atau
simbol kedaerahan yang berhubungan dengan gerakan separatis harus
dilarang penggunaannya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Hal ini menimbulkan
ketidak percayaan masyarakat papua terhadap pemerintah pusat
karena PP 77/2007 bertentangan dengan amanat tentang penggunaan
lambang daerah Papua dalam Pasal 2 UU Otsus Papua.
16
Dengan dikeluarkan PP nomor 77 tahun 2007, hal ini membuat
semakin timbul ketidak percayaan dari masyarakat Papua terhadap
pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan dalam UU otonomi khsus
papua, lambang dan simbol-simbol daerah tersebut diatur UU otonomi
khusus (pasal 2 UU nomor 21 tahun 2001).
Dasar pembentukan MRP adalah untuk melindungi kepentingan
masyarakat asli Papua dan pemberlakuan affirmative action. Yang
mana hak-hak dari masyarakat asli Papua terlindungi.
Permasalahan dalam MRP adalah adanya suatu ketimpangan dalam
pelaksanaannya. Dalam hal ini MRP tidak dapat menjalankan hak dan
kewajiban yang tertuang dalam UU Otsus Papua.
Hal ini terjadi dikarenakan antara MRP dan DPRP berjalan sendiri-
sendiri dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Dengan demikian
mengakibatkan MRP yang seharusnya menjadi partner kerja hanya
sebagai lembaga yang dibuat untuk memenuhi apa yang tertuang di
dalam UU Otsus Papua tanpa mempunyai kekuatan berarti dalam
pengawasan pelaksanaan Otsus Papua.
17
Akibat dari kurang maksimalnya posisi MRP mengakibatkan
keberpihakan terhadap orang asli Papua (affirmative action policy-
selanjutnya disebut dengan affirmatif7) menjadi melemah. Disini yang
menjadi tanggung jawab dari MRP dalam melindungi dan
mengembangkan kesatuan dalam masyarakat asli Papua. Selain
mendorong dalam pembentukan peraturan yang melindungi
kepentingan masyarakat asli Papua tetapi juga secara keseluruhan
menjaga kesatuan dalam masyarakat Papua dan juga dalam hal
mengusulkan pembuatan peraturan (Perdasus). UU Otsus Papua
memberikan peran yang besar dan terpusat pada Majelis Rakyat Papua
(MRP). Majelis ini merupakan lembaga representatif kultural orang
asli Papua. MRP terdiri dari wakil-wakil adat, agama, dan perempuan
yang tersebar di seluruh kabupaten khususnya wakil adat yang
mewakili 250 suku di Papua.
Peran strategis lainnya dari MRP adalah memberi pertimbangan dan
persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP
bersama dengan gubernur. Perdasus diadakan dalam rang ka
7Bertujuan memberi peluang dan keistimewaan pada kelompok minoratas tertentu
sebelumnya tidak diuntungkan secara sosio-politis dan historis untuk jangka waktu
tertentu agar suatu saat kelompok minoratas tersebut menguasai akses sumberdaya
dan memiliki kemampuan serta kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam proses
sosial di berbagai bidang.
18
pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Otsus. Pasal-pasal yang
dimaksud seperti Pasal 76 tentang “Pemekaran Provinsi menjadi
provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya,
kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi serta
perkembangan di masa datang“.
Yang tak kalah pentingnya, tugas MRP juga memperhatikan dan
menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama,
kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut
hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut
penyelesaiannya. Tugas dan wewenang yang satu ini jelas-jelas
merupakan bentuk pemberian terhadap eksistensi dan jati diri orang
Papua asli.
Penguatan8 MRP yang lebih baik, peningkatan pengawasan
pelaksanaan Otsus Papua terhadap partner kerja (DPRD dan Pemda
Papua) dalam pengelolaan kebijakan Otsus Papua. Terutama
hubungan antara DPRP dan MRP dalam sistem dua kamar (bikameral)
yang selama ini kelihatan MRP tidak memiliki kekuatan dalam
8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua Pengertian Penguatan adalah
Proses, cara, perbuatan menguati atau menguatkan.
19
pelaksanaan pemerintahan dalam era Otonomi Khusus di Papua demi
kedaulatan masyarakat asli Papua.
Penguatan pada MRP harus dilakukan, hal ini dikarenakan terdapat
kelemahan dalam pelaksanaan. Penguatan MRP dapat terjadi oleh UU
Otsus Papua. Dalam hal ini para anggota yang terbagi dalam
kelompok Kerja dapat menjaga pelaksanaan Otsus Papua. Peran dan
fungsi pengawasan terhadap Gubernur dan DPRP harus berjalan
dengan baik untuk memaksimalkan peran dari MRP dalam
pelaksanaan Otsus Papua.
Kelemahan dari MRP dapat dilihat dengan berjalannya MRP sampai
dengan saat ini berdasarkan beberapa fungsi dan kewenangannya
dalam pengawasan dan sebagai rekan kerja Gubernur dan DPRP
belum berjalan maksimal. Berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UU
Otsus Papua, MRP mempunyai fungsi dan tugas, sebagai
perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua belum berjalan secara
maksimal. Beberapa kewenangan yang dimiliki MRP seperti,
memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan
Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur.
Memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana
20
perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah provinsi papua
khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak dasar orang asli
Papua. Kewenangan yang dimilki oleh MRP bukan hanya pada tingkat
Provinsi namun juga pada tingkat Kabupaten dan Kota.
Selain kewenangan yang dimiliki oleh MRP, terdapat juga hak yang
harus dilaksanakan oleh MRP seperti meminta keterangan kepada
pemerintah provinsi, kabupaten/kota mengenai hal-hal yang terkait
dengan perlindungan orang asli Papua selama ini tidak berjalan.
Meminta peninjauan kembali perdasi atau keputusan gubernur yang
dinilai bertentangan dengan hak-hak orang asli Papua sama sekali
tidak terlaksana. Hal ini membuat MRP yang sebenarnya wakil dari
masyarakat adat Papua tidak mempunyai kekuatan dalam memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asli orang Papua.
Secara umum MRP mempunyai peran dalam perlindungan terhadap
kehidupan nilai-nilai dalam kultur masyarakat Papua. Namun dalam
perjalanan MRP tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan
dikarenakan keterbatasan yang didapat dalam peraturan perundangan.
21
Keterbatasn MRP dapat diakibatkan dari peraturan yang tidak
mendukung dalam pelaksanaan fungsi sebagai pelindung nilai-nilai
dalam masyarakat asli Papua. Penghambat tersebut dapat terjadi
dikarenakan aturan hukum yang tidak memadai dalam sistem
kewenangan apa saja yang harus dilakukan oleh MRP, kemampuan
anggota MRP dalam melaksanakn fungsi sehingga berkesan bahwa
anggota MRP yang terpilih hanya menjadi pelengkap dalam
pelaksanaan Otsus dikarenakan sistem perekrutan untuk menjadi
anggota MRP tidak mempunyai ukuran yang jelas yang mana tidak
diatur dalam suatu peratuturan hukum, dan yang terakhir adalah
peraturan yang menyangkut akuntabilitas anggota MRP dalam
melaksanakan fungsinya dengan berdasarkan aturan hukum yang
berlaku. Hal ini untuk memberikan rasa tanggung jawab dari anggota
MRP sebagai wujud perwakilan orang asli Papua yang mempunyai
tanggung jawab terhadap masyarakat Papua yang diwakili dalam
melindungi hak-hak dasar orang asli Papua dalam pelaksanaan Otsus
Papua.
22
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan pokok yang akan diteliti
antara lain adalah sebagao berikut, yaitu :
Mengapa fungsi dan peran MRP Papua tidak berjalan dengan baik
ditinjau dalam Undang-undang Otsus Papua?
C. Tujuan Penelitian
Majelis Rakyat Papua yang merupakan salah satu tonggak dari
pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Dengan demikian penelitian ini
berusaha mengungkap beberapa masalah dalam MRP yang merupakan
pelaksanaan Otonomi Khusus yang dihadapi oleh masyarakat Papua.
Dengan demikian keberadaan MRP memberikan kesamaan dengan
sistem bikameral yang dimana terdapat 2 dua lembaga keterwakilan.
MRP yang merupakan salah satu tiang dalam pelaksanaan otonomi
khusus Papua, merupakan salah satu partner kerja dengan DPRP dan
Pemerintah Provinsi Papua. Dan MRP merupakan perwakilan secara
kultural dari masyarakt Papua. Dengan mempunyai peran dan fungsi
dalam legislasi memberikan usulan dalam pembuatan Perdasus
(Peraturan Khusus Daerah), pengawasan dan perwakilan.
23
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
Pemerintah Daerah Papua dan Majelis Rakyat Papua dalam
pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Dengan bahan hukum yang terkumpul dapat memberikan suatu
pemahaman yang lebih jelas tentang pelaksanaan Otonomi Khusus di
Papua. Sehingga memberikan kontribusi positif dalam pelaksanaan
Otonomi Khusus di Papua. Sehingga pelaksanaan dari Otonomi
Khusus dapat bermanfaat dan memberikan kemanfaaatan dalam
pengetahuan dan kemajuan teori dalam ilmu hukum serta praktek
dalam penerapan ilmu hukum dalam segala bidang dikehidupan
masyarakat asli Papua.
E. Kerangka Teoriti
Penelitian hukum dalam rangka penulisan tesis ini dimulai dengan
pembahasan otonomi daerah, pemerintah daerah dan struktur lembaga
perwakilan rakyat daerah. Serta Kedudukan Majelis Rakyat Papua
dalam UU Otsus Papua yang memberikan gambaran pada pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua terdapat 2 (dua) lembaga perwakilan.
24
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan
demikian, otonomi adalah pemerintahan yang mampu
menyelenggarakan pemerintahan, yang dituangkan dalam peraturan
sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.9
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang dalam Pasal 10 ayat (3), disebutkan bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:
politik luar negeri, pertahanan, kemanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional serta agama. Sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi dan kabupaten/kota adalah di luar yang
ditentukan untuk pemerintah pusat tersebut.
9 Utang Rosidin., opcit., hal. 85
25
Pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia
mensyaratkan ciri-ciri sebagai berikut:10
1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan
layaknya negara federasi;
2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah
otonom dan bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan
pemerintahan yang diberikan kepada daerah;
3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan
pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Van der port, Desentralisasi teritorial dalam bentuk badan yang
didasarkan pada wilayah, sedangkan desentralisasi fungsional
menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-
tujuan tertentu.11
Hans Kelsen, desentralisasi adalah satu bentuk organisasi negara.
Pengertian desentralisasi berkaitan dengan pengertian negara. Negara
menurut kelsen adalah tatanan hukum (legal order). Dengan demikian
10
Krishna D. Darumuri dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan
Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, citra aditya bakti, 2003, hal .9 11
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, sinar
harapan, Jakarta, ,1994, hal.21
26
desentralisasi itu menyangkut sistem tatanan hukum dalam kaitannya
dengan wilayah negara.
Menurut Van der port, disetiap negara kesatuan (unity state,
eenheidsstaat) dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas dan
sistem sentralisasi atau desentralisasi. Dalam desentralsasi akan
didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaran
pemerintahan tidak semata-mata dilakuan oleh pemerintah pusat,
melainkan oleh satuan-satuan pemerintahan tingakatan yang lebih
rendah yang mandiri (zelfstanding) bersifat otonom.12
Parson, mendefinisikan desentralisasi sebagai sharing of the
governmantl power by a central rulling group with other groups, each
having authority within a specific area of the state (pembagian
kekuasaan dari pusat dengan kelompok lain yang memiliki wewenang
ke dalam suatu daerah tertentu dari suatu negara). Sedangkan
Mawhood mendefisinikan desentralisasi adalah devolution of power
from central to local governments (devolusi kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah).
12
Ni’ Matul Huda, Problematika Pembatalan Perda, FH UII, Yogyakarta, 2010,
hal. 25
27
Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan
cara-cara memberi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah
satu penjelmaan pembagian tersebut adalah daerah-daerah akan
memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan
atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga
daerah. Berdasarkan pengertian tersebut, maka didapatkan beberapa
sistem rumah tangga daerah, yaitu sistem rumah tangga formil, sistem
rumah tangga material dan sistem rumah tangga nayta atau riil.13
Ada perbedaan antara local autonomy (otonomi daerah) dengan local
government atau local administration (pemerintah daerah). Hal ini
dikarenakan kebijakan otonomi daerah tidak hanya dimaksudkan
untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah
daerah, tetapi yang lebih penting pada akhirnya adalah otonomi rakyat
daerah dalam berhadapan dengan birokrasi.14
Struktur parlemen di Indonesia menurut beberapa ahli dikembangkan
ke arah sistem bikameral kuat (strong bicameralism) dalam arti kedua
13
Ibid., hal. 26 14
Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika.
Jakarya 2010, hal.153
28
kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan
saling mengimbangi satu sama lain. Usulan ini berkaitan dengan sifat
kebijakan otonomi daerah yang cenderung sangat luas dan hampir
mendekati pengertian federalisme. Pada negara-negara federal yang
memiliki dua kamar selalu mengembangkan tradisi storng
bicameralism, sedangkan dilingkungan negara-negara kesatuan
bikameralisme yang dipraktikan adalah soft bicameralism.15
Dalam sistem Bikmeral yang terjadi dalam pelaksanaan UU Otsus
Papua dimana terdapat DPRP dan MRP sebagai lembaga perwakilan
masyarakat. Memberikan suatu gambaran ke dalam sistem Bikameral
yang dikenal adanya dua kamar didalam lembaga perwakilan.
Dokrin ini berasal dari teori klasik Aristoteles dan Polybus yang
mengargumentasikan bahwa pemerintah yang baik adalah gabungan
antara prinsip demokrasi dan oligarki. Dalam perkembangannnya,
parlemen modern mengenal sistem dua kamar (Bikameral).16
Dalam hal teori sistem Bikameral, Giovani Sartori membagi model
Bikameral menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Sistem bikameral yang lemah
15
Ibid., hal. 154 16
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi MenguatnyaMmodelLlegislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia,RrajaGrafindo Persada, Jakarta,
2010, hal. 235
29
(asymmetric bicameralism/weak bicarelism/soft bicamralism), yaitu
apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar
lainnya; (2) Sistem bikameral yang simetris atau relatif sama kuat
(symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu apabila
kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat; dan (3) Perfect
bicameralism, yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul
seimbang.17
Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan
menurut fungsinya dan ini ada hubungannya dengan doktrin Trias
Politika. Trias Politika adalah kekuasaan negara dalam tiga macam
kekuasaan. Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat
undang-undang (rulemaking function); kedua kekuasaan eksekutif
atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application);
ketiga, kekuasaan yudikatif, kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang (rule adjudication function)18
.
Dalam prinsip kedaulatan rakyat diorganisasikan dalam dua pilihan,
yaitu sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau
pembagian kekuasaan (distribution atau division of power).
17
Ibid, hal. 235 18
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakrta, 2008, hal 281
30
Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan
dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi
(checks and balances)19
.
F. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum
doctrinal. Dimana dengan melakukan penelitian terhadap pendekatan
analisis peraturan perundang-undangan yang mana apakah dalam teori
sistem perundang-undangan dapat dimungkinkan pembuatan suatu
Undang-undang dengan nama otonomi khusus dapat diberikan kepada
suatu daerah tertentu di Indonesia. Di dalam pembuatan Undang-
undang Otonomi Khusus terdapat juga pembetukan suatu lembaga
baru yang dimana menerapkan sistem Bikameral di daerah.
b. Pendekatan Masalah.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute-aproach). Dimana pendekatan ini menggunakan bahan hukum
19
Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hal. 135
31
primer, bahan hukum sekunder. Data primer adalah data yang
diperoleh dari konstitusi Indonesia UUD 1945 Perubahan, Undang-
undang No 10 Tahun 2004 Tentang Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Provinsi papua. Sedangkan data sekunder
adalah yang mana diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan ilmiah.
Pendekatan Sejarah, digunakan untuk melihat berlakunya UU Otsus
Papua dan penerapan dari pelaksanaan Otsus Papua dari sisi
pengaturan. Dan lahirnya lembaga MRP dalam pelaksanaan Otsus
Papua. Dengan pendekatan sejarah dapat melihat perubahan dan
perkembangan peraturan perundangan dalam pelaksanaan Otsus
Papua.
Pendeketan Konsep digunakan dalam melihat fungsi dan peran MRP
dan DPRP dalam pelaksanaan Otsus Papua. Pendalaman dari sistem
bikameral dengan melihat hubungan antara MRP dan DPRP dalam
pelaksanaan Otsus Papua. Dengan demikian dapat melihat konsep
32
bikameral dalam hubungan antara kedua lembaga tersebut (MRP dan
DPRP).
G. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dilakukan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan.
Dimana dilakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut
menurut sumber dan susunan yang dikaji secara komprehensif.
H. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dan digunakan dalam penelitian tesis
studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, buku-buku dan
makalah atau penelitian ilmiah yang menyangkut penelitian tesis
sehingga memberikan kepada penulis untuk membuat secara
sistematis yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan dalam penulisan tesis. Bahan hukum dianalisa untuk
melihat bagaimana dalam pembentukan Undang-undang Otonomi
Khusus dalam susunan hierarki peraturan perundang-undangan, sistem
bikameral yang terjadi dengan adanya lembaga MRP dan DPRP di
dalam Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Papua .
33
I. Pertanggung Jawaban Sistematika
Sistematika dalam penulisan tesis, dimana Bab I berisi menganai latar
belakang masalah mengenai dibentuknya Undang-undang Nomor 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Kemudian
dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua terdapat suatu
lembaga yang disebut dengan Majelis Rakyat Papua yang merupakan
suatu lembaga kultural masyarakat asli Papua. Dengan hadirnya MRP
dengan demikian apakah dalam pelaksanaan Otonomi Khusus telah
mengakomodir bentuk dari sistem bikameral. Dalam perjalan Otonomi
Khusus Papua dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2011 apakah
Undang-undang Otonomi Khusus Papua dengan segala isinya di
dalam pasal-pasal telah memberikan suatu keberpihakan bagi
masyarakat asli Papua dalam memberikan perlindungan (affirmative
action).
Dalam Bab II ini akan memuat hasil yang merupakan kajian dari
bahan-bahan hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan dan
teori-teori yang berhubungan dengan penulisan Bab II.
Bab III mengkaji mengenai penguatan MRP dalam pelaksanaan Otsus
Papua. Dengan demikian dalam penelitian ini peneliti ingin melihat
34
kedudukan MRP yang merupakan lembaga perwakilan kultural dalam
pelaksanaan Otsus yang memberikan keterwakilan terhadap
masyarakat Papua. Dengan demikian hasil penelitian yang akan
dicapai adalah melihat bagaimana penguatan MRP dengan berlakunya
UU Otsus Papua selama ini. Dan analisa dari hasil penelitian
berdasarkan bahan-bahan hukum yang mendukung dalam melakukan
interpretasi dan argumentasi.
Bab IV berisi mengenai keseluruhan dari apa yang telah dikaji dari
Bab II, III dan IV yang mana akan dibuat dalam suatu kesimpulan
penulisan tesis dan juga peneliti memberikan saran-saran yang akan
dutulis dalam Bab IV terhadap hasil pengkajian dari tesis ini sehingga
dapat memberikan masukan-masukan yang positif bagi pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua.