penguatan majelis rakyat papua dalam undang-undang nomor...

34
1 PENGUATAN MAJELIS RAKYAT PAPUA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS PAPUA A. Latar Belakang Masalah Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang diberlakukan Otonomi Khusus oleh pemerintah Republik Indonesia. Selain Provinsi Papua yang mendapatkan status Otonomi Khusus adalah Provinsi Aceh Nangroe Darullsalam (NAD) dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Otonomi Khusus Provinsi Papua berlangsung sejak tahun 2001 dimana setelah dikeluarkannya Nomor 21 Tahun 2001 yang telah dirubah dengan UU No.35 Tahun 2008 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua (selanjutnya disebut dengan UU Otsus Papua). Pengacuan dalam pembentukan daerah khusus dapat dilihat dalam konstitusi UUD 1945 Perubahan keempat, diatur dalam Bab VI

Upload: hoangdang

Post on 17-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

1

PENGUATAN MAJELIS RAKYAT PAPUA DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001

TENTANG

OTONOMI KHUSUS PAPUA

A. Latar Belakang Masalah

Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

diberlakukan Otonomi Khusus oleh pemerintah Republik Indonesia.

Selain Provinsi Papua yang mendapatkan status Otonomi Khusus

adalah Provinsi Aceh Nangroe Darullsalam (NAD) dengan UU

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Otonomi Khusus

Provinsi Papua berlangsung sejak tahun 2001 dimana setelah

dikeluarkannya Nomor 21 Tahun 2001 yang telah dirubah dengan UU

No.35 Tahun 2008 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua

(selanjutnya disebut dengan UU Otsus Papua).

Pengacuan dalam pembentukan daerah khusus dapat dilihat dalam

konstitusi UUD 1945 Perubahan keempat, diatur dalam Bab VI

Page 2: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

2

tentang Pemerintah Daerah. Pemberian Otonomi Khusus bagi Papua

di dasarkan pada UUD 1945 Perubahan Keempat, ketentuan sebagai

berikut;

Pasal 18 B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

dengan undang-undang;

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Provinsi-provinsi yang mendapatkan pemberlakuan khusus dari

negara dikarenakan dalam konstitusi memberikan peluang untuk

membuat daerah tersebut khusus dengan melihat latar belakang ke

khususan yang ada pada daerah tersebut.

Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintah Daerah yang bersifat

khusus dan Istimewa (Pasal 18 B ayat 1 UUD 1945). Yang dimaksud

dengan “bersifat istimewa” adalah pemerintah asli atau pemerintahan

bumiputra. Dalam prakteknya penyelenggaraan pemerintahan daerah

terdapat daerah istimewa. Dalam Pasal 18 B. Perkataan “khusus”

memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain karena dimungkinkan

membentuk daerah dengan otonomi khusus (Aceh dan papua). Untuk

Aceh, otonomi khusus berkaitan dengsn pelaksana syariat islam.

Page 3: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

3

Setiap daerah dapat menuntut kekhususan berdasarkan faktor tertentu

tanpa kriteria umum yang telah ditentukan dalam undang-undang.1

Pelaksanaan Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 tampak dari

adanya daerah-daerah khusus dan daerah-daerah istimewa, yakni :

1. Daerah Khusus IbuKota Jakarta, UU Nomor 29 Tahun 2007

tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2. Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh;

3. Daerah Khusus Papua, Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi

Khusus Provinsi Papua;

4. Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Nomor 3 Tahun 1950 Tentang

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pembentukan UU Otsus Papua yang mana merupakan usul dari

masyarakat Papua. Dimana undang-undang tersebut merupakan

aspirasi dari masyarakat Papua yang muncul dengan terjadinya

1 Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Pustaka Setia, Bandung. ,

2010, hal. 36

Page 4: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

4

gejolak politik di Papua. Dalam hal ini, pembentukan dari undang-

undang tersebut untuk meredam keinginan memisahkan diri

(merdeka) masyarakat Papua dari Republik Indonesia. Dimana konsep

dan rencana dalam pembentukan Undang-undang Otonomi Khusus

merupakan hasil rumusan dari masyarkat asli Papua dengan

mengutamakan perlindungan dan keberpihakan terhadap orang asli

Papua di atas tanahnya sendiri.

Sebagaimana amanat UU No. 21 Tahun 2001, Otsus Papua pada

dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi

Pemerintah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus

diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas

berarti tanggung jawab yang lebih besar bagi Pemerintah Provinsi dan

rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur

pemanfaatan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat Papua.

Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan

potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk

memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui

para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan

adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi

pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman

Page 5: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

5

kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan

alam Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu

daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan

terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.

Dengan berlakunya Otonomi Khusus Papua, penduduk asli Papua

mempunyai identitas diri yang khas dan merupakan suatu keragaman

dari masyarakat asli Papua. Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi

Papua memberikan keberpihakan dan perlindungan terhadap hak-hak

dasar dari penduduk asli Papua. Untuk itu perlindungan terhadap hak-

hak dasar orang asli Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupan,

yaitu:2

(1) Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu

kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi

seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan

proporsional.

(2) Perlindungan hak‐hak orang Papua atas tanah dan air dalam

batas‐batas tertentu dengan sumberdaya alam yang terkandung di

dalamnya.

2 Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, Gramedia

Pustaka Utama, jakarta, 2003, hal. 54

Page 6: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

6

(3) Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk berkumpul dan

mengeluarkan pendapat dan aspirasinya.

(4) Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk terlibat secara nyata

dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan

kehidupan berdemokrasi yang sehat.

(5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan

menjalankan ajaran agama yang diyakininya, tanpa ada

penekanan dari pihak manapun; dan

(6) Perlindungan kebudayaan dan adat istiadat orang Papua.

Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua

yang mencakup enam dimensi pokok kehidupan diharapkan dapat

memberikan suatu pemahaman dalam keadilan di dalam isi dari

peraturan Perundang-undang tentang Otonomi Khusus Provinsi

Papua. Enam dimensi pokok tersebut yang menjadi sumber pijakan

dalam melihat isi dari Undang-undang Otonomi Khusus apakah telah

memuat rasa keadilan atau belum dalam Otonomi Khusus.

Disisi lain dalam UU Otsus Papua terdapat suatu yang menjadi ke

khususan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Hal ini dapat

Page 7: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

7

dilihat pada pembentukan suatu lembaga yang dinamakan Majelis

Rakyat Papua (selanjutnya disebut MRP).

MRP merupakan suatu bagian dari pelaksanaan Otsus Papua yang

tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri. MRP adalah partner kerja

dari DPRD dan Pemerintah Daerah Papua dalam pelaksanaan Otsus

Papua dimana lebih menekankan dalam perlindungan orang asli Papua

dalam kebijakan pelaksanaan Otsus Papua.

Pembagian kekuasaan (sharing of power) dalam konteks Otsus Papua

tidak saja menyangkut hubungan pusat dan daerah, tetapi yang juga

pembagian kekuasaan dan kewenangan di Provinsi Papua.

Pembagian kewenangan antara Eksekutif dan Legislatif dalam

pelaksanaan Otsus Papua :3

Lembaga Eksekutif, lembaga ditingkat provinsi dipimpin oleh seorang

Gubernur dan ditingkat Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati dan

Walikota. Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih melalui sistem

pemilihan umum yang dipilih secara langsung oleh masyarakat.

3 Agus Sumule, Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua,Gramedia,

Jakarta, 2003, hal. 65

Page 8: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

8

Lembaga Legislatif, lembaga legislatif terdiri dari 2 (dua) badan yaitu

Dewan Perwakilan Daerah Privinsi Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat

Papua (MRP). Sistem ini biasanya dikenal dengan sistem bikameral4.

Keanggotaan dari wakil-wakil DPRP adalah wakil-wakil yang berasal

dari partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan

MRP terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-

wakil perempuan yang dipilih oleh rakyat. Selain bersama-sama

dengan DPRP bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan oleh

lembaga eksekutif, MRP juga berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan

tugas DPRP.

Salah satu alasan di Papua terdapat 2 (dua) lembaga perwakilan

(legislatif) sistem bikameral yang berada di Papua mengambil contoh

dari salah satu negara pasifik selatan dan yang memiliki kesamaan

budaya dengsna Papua, menggunakan sistem bikameral, yang terdiri

dari House of Representatives (parlemen) dan senat. Parlemen dipilih

melalui sistem pemilihan komunal yang digabungkan dengan cros-

votting, sedangkan senat diatur melalui cara tertentu dengan memberi

wewenang kepada Dewan Besar Kepala Suku, Perdana Menteri

pimpinan opisisi dan Dewan Kepulaun Rotuma untuk mencalonkan

Page 9: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

9

figur-figurnya berdasarkan kuota yang telah ditentukann. Sistem

parlemen yang ditentukan dalam UU Otsus Papua salah satunya

bertujuan untuk memastikan bahwa orang asli Papua memiliki

representasi yang layak dalam parlemen secara berkesinambungan.5

Otsus Papua, memberikan perlindungan hak-hak politik masyarakat

adat dan penduduk asli Papua dengan diciptakannya suatu kamar

tertentu di dalam parlemen Provinsi Papua, yang mana disebut dengan

MRP yang hanya diisi oleh orang asli Papua yang adalah wakil-wakil

adat, agama dan perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga

dari total jumlah anggota kamar tersebut.

Dengan cara seperti ini, sistem pengawasan (check and balances) dari

MRP dimana keterwakilan penduduk asli di dalam pengambilan

keputusan politik dalam suatu pemerinthana lokal ditingkat Provinsi

dapat terwakilkan dengan memperhatikan kedudukan dan kepentingan

dari orang asli Papua di distribusikan dalam jumlah kamar yang

memiliki tugas dan kewajiban sebagai berikut :

5 Agus Sumule, Ibid, hal. 65

Page 10: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

10

Memberikan pertimbangan kepada parlemen provinsi (DPRP),

kabupaten/kota serta Gubernur, Bupati dan Walikota mengenai hal-hal

yang terkait perlindungan terhadap hak-hak asli orang Papua.

Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima pengaduan

masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya, dan memfasilitasi

tindak lanjut penyenlesaiannya

Menolak peraturan provinsi dan kebijakan lain yang dinilai

bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Dalam pembuatan RUU Otsus Papua, yang mana sebelumnya telah

dikonsultasikan ke beberapa para ahli di Indonesia menyangkut

keberadaan MRP di Papua. Dibawah ini terdapat beberapa pandangan

ahli yang memberikan pandangan mengenai kedudukan MRP.

Jimly Assidiqie, memberikan saran agar nama parlemen di Papua

adalah Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP ini terdiri dari dua kamar

(bikameral), pertama senat yang terdiri dari orang-orang asli Papua

(wakil-wakil adat, agama dan perempuan) kedua adalah kamar yang

terdiri dari wakil-wakil partai politik yang dipilih melalui pemilu,

yang disebut-sebut DPRD (sekarang disebut dengan DPRP).

Page 11: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

11

Anton Sujata dan Sunarjati Hartono, ke khususan dalam Otsus Papua

terletak pada sistem dua kamar (bikameral).

Budhi Santoso, dalam hal perlindungan terhadap hak politik, yang

dirumuskan dalam sistem bikameral dalam parlemen dan peluang bagi

pembukaan partai lokal, merupakan suatu langkah maju, terutama

dalam memberikan peluang dan temapat yang cukup besar bagi kaum

perempuan untuk duduk dalam lembaga MRP.

Dengan pembentukan MRP, memberikan gambaran bahwa di Papua

terdapat 2 (dua) lembaga legistatif, yaitu DPRP yang merupakan

perwakilan dari anggota partai-partai politik yang dipilih secara

langsung oleh masyarakat sedangkan MRP yang merupakan lembaga

kultur/budaya yang mana anggota berasal dari masyarakat Adat,

Agama dan Perempuan yang mana pengangkatan anggota MRP

dilakukan melalui pemilihan dengan jalan demokrasi. MRP adalah

suatu lembaga yang menjadi partner kerja dengan Pemerintah Daerah

dan DPRP Papua. Kedudukan MRP dengan segala tugas dan

kewenangannya dapat memberikan suatu manfaat atas pelaksanaan

Otonomi Khusus dimana diharapkan dapat meberikan masukan

terhadap kepentingan masyarakat asli Papua.

Page 12: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

12

Namun di dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua masih terdapat

permasalahan selama ini. Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi

khusus antara lain :

Pertama, adanya ketidak sepahaman antara pemerintah pusat dan

pemerintah provinsi papua dalam pelakasanaan otonomi khusus.

Pemerintah pusat tidak meiliki komitmen yang kuat dalam

pelaksanaan otonomi khusus. Hal ini dikarenakan adanya pandangan

bahwa otonomi khusus merupakan sarana bagi gerakan separatis

papua merdeka. Sehingga pemerintah pusat melakukan pembiaran

terhadap pelaksanaan otonomi khusus dengan terjadi penyimpangan

dan pemekaran wilayah. Sedangkan pemerintah daerah papua seperti

tidak siap dengan pelaksanaan otonomi khusus.

Kedua, Adanya temuan penyimpangan dalam pengelolaan dana

alokasi Otsus Papua. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan

telah menemukan penyelewengan dana otonomi khusus (otsus) Papua

sebesar Rp 4,2 triliun dari total dana Rp 28,8 triliun sejak periode

2002-20106. Rizal Djalil dari BPK mengklaim ada 1,85 triliun dana

6"Penyimpangan Dana Otonomi Khusus Papua Capai Rp 4,2 Triliun",

Republika.co.id, Kamis, 21 April 2011.

Page 13: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

13

alokasi Otsus Papua periode 2008-2010 yang didepositokan, padahal

dana itu seharusnya dialokasi untuk pengembangan pendidikan dan

kesehatan rakyat Papua.

Ketiga, Intervensi pemerintah pusat sangat besar dalam membuat

kebingungnan dalam pelaksanaan otonomi khusus papua, dimana

pemerintah pusat lambat mengeluarkan peraturan pemerintah tentang

pembentukan MRP (Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2004),

yang mana setelah tiga tahun baru dikeluarkan. Hal ini memberikan

reaksi dikalangan elite politk papua dengan menganggap pemerintah

pusat tidak menginginkan terbentuknya MRP dan tidak ingin

menjalankan otonomi khusus dengan sungguh-sungguh. Dimana

memberikan akibat pada lambatnya pembuatan Perdasi dan Perdasus

oleh MRP. Kemudian pada tahun 2011, Pemerintah Pusat melalui

Mendagri mennyetujui pembentukan MRP yang berada diProvinsi

Papua Barat.

Pembentukan MRP di Papua Barat telah keluar dari semangat

Otonomi Khusus Papua. UU Otsus Papua, PP No. 54/2004 dan

Perdasus No. 4/2010 tentang Pemilihan Majelis Rakyat Papua hanya

http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/04/21/lk01q5-

penyimpangan-dana-otonomi-khusus-papua-capai-rp-42-triliun (diakses tanggal 16

Juli 2011)

Page 14: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

14

mengenal adanya satu MRP di Papua. Namun, terbitnya Perdasus No.

5/2011 tentang Pemilihan Majelis Rakyat Papua di Provinsi Papua

Barat telah memberikan jalan bagi terbentuknya dualisme MRP di

Papua. Terbentuknya MRP Papua Barat dikarenakan pandangan

bahwa baik di Papua dan Papua Barat harus dibentuk MRP sebagai

akibat dari pemekaran Papua. Hal ini yang oleh DPRP Papua Barat

kemudian menggelar paripurna khusus untuk menerbitkan Perdasus

5/2011

Keempat, Pemaksaan pemekaran wilayah Papua yang dilakukan

pemerintah Indonesia. Inpres Nomor 1 tahun 2003 tentang pemekaran

Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah yang disahkan

pemerintah Indonesia mengkhianati amanat tentang prosedur

pemekaran provinsi Papua yang diatur dalam Pasal 76 UU Otsus.

Inpres 1/2003 adalah tindak lanjut dari UU 45/1999 tentang

Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian

Jaya Tengah. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK

Nomor 018/PUU-I/2003 pada tanggal 11 November 2004 telah

menyatakan UU 45/1999 tidak lagi memiliki kekuatan hukum

mengikat.

Page 15: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

15

Kelima, Pemilihan dan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur

tidak sesuai dengan amanat UU Otsus Papua. Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 81/PUU-VIII/2010 tanggal 2 Maret 2011 menyatakan

pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPR Papua (DPRP)

sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU Otsus Papua

tidak memenuhi kriteria kekhususan atau keistimewaan yang melekat

pada daerah Papua. Dengan keputusan MK tersebut, maka

kewenangan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPRP

serta tata cara pemilihan yang terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) Huruf

(a) UU Otsus Papua sudah tidak lagi dapat digunakan oleh DPRP

untuk melakukan pemilihan dan pengangkatan gubernur dan wakil

gubernur Papua berdasarkan kekhususan Provinsi Papua sebagaimana

yang diamanatkan dalam UU Otsus Papua.

Keenam, Pemerintah pusat memiliki pandangan bahwa lambang atau

simbol kedaerahan yang berhubungan dengan gerakan separatis harus

dilarang penggunaannya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah

No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Hal ini menimbulkan

ketidak percayaan masyarakat papua terhadap pemerintah pusat

karena PP 77/2007 bertentangan dengan amanat tentang penggunaan

lambang daerah Papua dalam Pasal 2 UU Otsus Papua.

Page 16: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

16

Dengan dikeluarkan PP nomor 77 tahun 2007, hal ini membuat

semakin timbul ketidak percayaan dari masyarakat Papua terhadap

pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan dalam UU otonomi khsus

papua, lambang dan simbol-simbol daerah tersebut diatur UU otonomi

khusus (pasal 2 UU nomor 21 tahun 2001).

Dasar pembentukan MRP adalah untuk melindungi kepentingan

masyarakat asli Papua dan pemberlakuan affirmative action. Yang

mana hak-hak dari masyarakat asli Papua terlindungi.

Permasalahan dalam MRP adalah adanya suatu ketimpangan dalam

pelaksanaannya. Dalam hal ini MRP tidak dapat menjalankan hak dan

kewajiban yang tertuang dalam UU Otsus Papua.

Hal ini terjadi dikarenakan antara MRP dan DPRP berjalan sendiri-

sendiri dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Dengan demikian

mengakibatkan MRP yang seharusnya menjadi partner kerja hanya

sebagai lembaga yang dibuat untuk memenuhi apa yang tertuang di

dalam UU Otsus Papua tanpa mempunyai kekuatan berarti dalam

pengawasan pelaksanaan Otsus Papua.

Page 17: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

17

Akibat dari kurang maksimalnya posisi MRP mengakibatkan

keberpihakan terhadap orang asli Papua (affirmative action policy-

selanjutnya disebut dengan affirmatif7) menjadi melemah. Disini yang

menjadi tanggung jawab dari MRP dalam melindungi dan

mengembangkan kesatuan dalam masyarakat asli Papua. Selain

mendorong dalam pembentukan peraturan yang melindungi

kepentingan masyarakat asli Papua tetapi juga secara keseluruhan

menjaga kesatuan dalam masyarakat Papua dan juga dalam hal

mengusulkan pembuatan peraturan (Perdasus). UU Otsus Papua

memberikan peran yang besar dan terpusat pada Majelis Rakyat Papua

(MRP). Majelis ini merupakan lembaga representatif kultural orang

asli Papua. MRP terdiri dari wakil-wakil adat, agama, dan perempuan

yang tersebar di seluruh kabupaten khususnya wakil adat yang

mewakili 250 suku di Papua.

Peran strategis lainnya dari MRP adalah memberi pertimbangan dan

persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP

bersama dengan gubernur. Perdasus diadakan dalam rang ka

7Bertujuan memberi peluang dan keistimewaan pada kelompok minoratas tertentu

sebelumnya tidak diuntungkan secara sosio-politis dan historis untuk jangka waktu

tertentu agar suatu saat kelompok minoratas tersebut menguasai akses sumberdaya

dan memiliki kemampuan serta kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam proses

sosial di berbagai bidang.

Page 18: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

18

pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Otsus. Pasal-pasal yang

dimaksud seperti Pasal 76 tentang “Pemekaran Provinsi menjadi

provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah

memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya,

kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi serta

perkembangan di masa datang“.

Yang tak kalah pentingnya, tugas MRP juga memperhatikan dan

menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama,

kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut

hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut

penyelesaiannya. Tugas dan wewenang yang satu ini jelas-jelas

merupakan bentuk pemberian terhadap eksistensi dan jati diri orang

Papua asli.

Penguatan8 MRP yang lebih baik, peningkatan pengawasan

pelaksanaan Otsus Papua terhadap partner kerja (DPRD dan Pemda

Papua) dalam pengelolaan kebijakan Otsus Papua. Terutama

hubungan antara DPRP dan MRP dalam sistem dua kamar (bikameral)

yang selama ini kelihatan MRP tidak memiliki kekuatan dalam

8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua Pengertian Penguatan adalah

Proses, cara, perbuatan menguati atau menguatkan.

Page 19: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

19

pelaksanaan pemerintahan dalam era Otonomi Khusus di Papua demi

kedaulatan masyarakat asli Papua.

Penguatan pada MRP harus dilakukan, hal ini dikarenakan terdapat

kelemahan dalam pelaksanaan. Penguatan MRP dapat terjadi oleh UU

Otsus Papua. Dalam hal ini para anggota yang terbagi dalam

kelompok Kerja dapat menjaga pelaksanaan Otsus Papua. Peran dan

fungsi pengawasan terhadap Gubernur dan DPRP harus berjalan

dengan baik untuk memaksimalkan peran dari MRP dalam

pelaksanaan Otsus Papua.

Kelemahan dari MRP dapat dilihat dengan berjalannya MRP sampai

dengan saat ini berdasarkan beberapa fungsi dan kewenangannya

dalam pengawasan dan sebagai rekan kerja Gubernur dan DPRP

belum berjalan maksimal. Berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UU

Otsus Papua, MRP mempunyai fungsi dan tugas, sebagai

perlindungan terhadap hak-hak orang asli Papua belum berjalan secara

maksimal. Beberapa kewenangan yang dimiliki MRP seperti,

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan

Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur.

Memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana

Page 20: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

20

perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah provinsi papua

khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak dasar orang asli

Papua. Kewenangan yang dimilki oleh MRP bukan hanya pada tingkat

Provinsi namun juga pada tingkat Kabupaten dan Kota.

Selain kewenangan yang dimiliki oleh MRP, terdapat juga hak yang

harus dilaksanakan oleh MRP seperti meminta keterangan kepada

pemerintah provinsi, kabupaten/kota mengenai hal-hal yang terkait

dengan perlindungan orang asli Papua selama ini tidak berjalan.

Meminta peninjauan kembali perdasi atau keputusan gubernur yang

dinilai bertentangan dengan hak-hak orang asli Papua sama sekali

tidak terlaksana. Hal ini membuat MRP yang sebenarnya wakil dari

masyarakat adat Papua tidak mempunyai kekuatan dalam memberikan

perlindungan terhadap hak-hak asli orang Papua.

Secara umum MRP mempunyai peran dalam perlindungan terhadap

kehidupan nilai-nilai dalam kultur masyarakat Papua. Namun dalam

perjalanan MRP tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan

dikarenakan keterbatasan yang didapat dalam peraturan perundangan.

Page 21: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

21

Keterbatasn MRP dapat diakibatkan dari peraturan yang tidak

mendukung dalam pelaksanaan fungsi sebagai pelindung nilai-nilai

dalam masyarakat asli Papua. Penghambat tersebut dapat terjadi

dikarenakan aturan hukum yang tidak memadai dalam sistem

kewenangan apa saja yang harus dilakukan oleh MRP, kemampuan

anggota MRP dalam melaksanakn fungsi sehingga berkesan bahwa

anggota MRP yang terpilih hanya menjadi pelengkap dalam

pelaksanaan Otsus dikarenakan sistem perekrutan untuk menjadi

anggota MRP tidak mempunyai ukuran yang jelas yang mana tidak

diatur dalam suatu peratuturan hukum, dan yang terakhir adalah

peraturan yang menyangkut akuntabilitas anggota MRP dalam

melaksanakan fungsinya dengan berdasarkan aturan hukum yang

berlaku. Hal ini untuk memberikan rasa tanggung jawab dari anggota

MRP sebagai wujud perwakilan orang asli Papua yang mempunyai

tanggung jawab terhadap masyarakat Papua yang diwakili dalam

melindungi hak-hak dasar orang asli Papua dalam pelaksanaan Otsus

Papua.

Page 22: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

22

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan pokok yang akan diteliti

antara lain adalah sebagao berikut, yaitu :

Mengapa fungsi dan peran MRP Papua tidak berjalan dengan baik

ditinjau dalam Undang-undang Otsus Papua?

C. Tujuan Penelitian

Majelis Rakyat Papua yang merupakan salah satu tonggak dari

pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Dengan demikian penelitian ini

berusaha mengungkap beberapa masalah dalam MRP yang merupakan

pelaksanaan Otonomi Khusus yang dihadapi oleh masyarakat Papua.

Dengan demikian keberadaan MRP memberikan kesamaan dengan

sistem bikameral yang dimana terdapat 2 dua lembaga keterwakilan.

MRP yang merupakan salah satu tiang dalam pelaksanaan otonomi

khusus Papua, merupakan salah satu partner kerja dengan DPRP dan

Pemerintah Provinsi Papua. Dan MRP merupakan perwakilan secara

kultural dari masyarakt Papua. Dengan mempunyai peran dan fungsi

dalam legislasi memberikan usulan dalam pembuatan Perdasus

(Peraturan Khusus Daerah), pengawasan dan perwakilan.

Page 23: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

23

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

Pemerintah Daerah Papua dan Majelis Rakyat Papua dalam

pelaksanaan Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Dengan bahan hukum yang terkumpul dapat memberikan suatu

pemahaman yang lebih jelas tentang pelaksanaan Otonomi Khusus di

Papua. Sehingga memberikan kontribusi positif dalam pelaksanaan

Otonomi Khusus di Papua. Sehingga pelaksanaan dari Otonomi

Khusus dapat bermanfaat dan memberikan kemanfaaatan dalam

pengetahuan dan kemajuan teori dalam ilmu hukum serta praktek

dalam penerapan ilmu hukum dalam segala bidang dikehidupan

masyarakat asli Papua.

E. Kerangka Teoriti

Penelitian hukum dalam rangka penulisan tesis ini dimulai dengan

pembahasan otonomi daerah, pemerintah daerah dan struktur lembaga

perwakilan rakyat daerah. Serta Kedudukan Majelis Rakyat Papua

dalam UU Otsus Papua yang memberikan gambaran pada pelaksanaan

Otonomi Khusus Papua terdapat 2 (dua) lembaga perwakilan.

Page 24: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

24

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti

sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan

demikian, otonomi adalah pemerintahan yang mampu

menyelenggarakan pemerintahan, yang dituangkan dalam peraturan

sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.9

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang dalam Pasal 10 ayat (3), disebutkan bahwa urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:

politik luar negeri, pertahanan, kemanan, yustisi, moneter dan fiskal

nasional serta agama. Sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan provinsi dan kabupaten/kota adalah di luar yang

ditentukan untuk pemerintah pusat tersebut.

9 Utang Rosidin., opcit., hal. 85

Page 25: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

25

Pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia

mensyaratkan ciri-ciri sebagai berikut:10

1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan

layaknya negara federasi;

2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah

otonom dan bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan

pemerintahan yang diberikan kepada daerah;

3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan

pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat.

Van der port, Desentralisasi teritorial dalam bentuk badan yang

didasarkan pada wilayah, sedangkan desentralisasi fungsional

menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-

tujuan tertentu.11

Hans Kelsen, desentralisasi adalah satu bentuk organisasi negara.

Pengertian desentralisasi berkaitan dengan pengertian negara. Negara

menurut kelsen adalah tatanan hukum (legal order). Dengan demikian

10

Krishna D. Darumuri dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan

Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, citra aditya bakti, 2003, hal .9 11

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, sinar

harapan, Jakarta, ,1994, hal.21

Page 26: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

26

desentralisasi itu menyangkut sistem tatanan hukum dalam kaitannya

dengan wilayah negara.

Menurut Van der port, disetiap negara kesatuan (unity state,

eenheidsstaat) dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas dan

sistem sentralisasi atau desentralisasi. Dalam desentralsasi akan

didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaran

pemerintahan tidak semata-mata dilakuan oleh pemerintah pusat,

melainkan oleh satuan-satuan pemerintahan tingakatan yang lebih

rendah yang mandiri (zelfstanding) bersifat otonom.12

Parson, mendefinisikan desentralisasi sebagai sharing of the

governmantl power by a central rulling group with other groups, each

having authority within a specific area of the state (pembagian

kekuasaan dari pusat dengan kelompok lain yang memiliki wewenang

ke dalam suatu daerah tertentu dari suatu negara). Sedangkan

Mawhood mendefisinikan desentralisasi adalah devolution of power

from central to local governments (devolusi kekuasaan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah).

12

Ni’ Matul Huda, Problematika Pembatalan Perda, FH UII, Yogyakarta, 2010,

hal. 25

Page 27: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

27

Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan

cara-cara memberi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah

satu penjelmaan pembagian tersebut adalah daerah-daerah akan

memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan

atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga

daerah. Berdasarkan pengertian tersebut, maka didapatkan beberapa

sistem rumah tangga daerah, yaitu sistem rumah tangga formil, sistem

rumah tangga material dan sistem rumah tangga nayta atau riil.13

Ada perbedaan antara local autonomy (otonomi daerah) dengan local

government atau local administration (pemerintah daerah). Hal ini

dikarenakan kebijakan otonomi daerah tidak hanya dimaksudkan

untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah

daerah, tetapi yang lebih penting pada akhirnya adalah otonomi rakyat

daerah dalam berhadapan dengan birokrasi.14

Struktur parlemen di Indonesia menurut beberapa ahli dikembangkan

ke arah sistem bikameral kuat (strong bicameralism) dalam arti kedua

13

Ibid., hal. 26 14

Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika.

Jakarya 2010, hal.153

Page 28: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

28

kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan

saling mengimbangi satu sama lain. Usulan ini berkaitan dengan sifat

kebijakan otonomi daerah yang cenderung sangat luas dan hampir

mendekati pengertian federalisme. Pada negara-negara federal yang

memiliki dua kamar selalu mengembangkan tradisi storng

bicameralism, sedangkan dilingkungan negara-negara kesatuan

bikameralisme yang dipraktikan adalah soft bicameralism.15

Dalam sistem Bikmeral yang terjadi dalam pelaksanaan UU Otsus

Papua dimana terdapat DPRP dan MRP sebagai lembaga perwakilan

masyarakat. Memberikan suatu gambaran ke dalam sistem Bikameral

yang dikenal adanya dua kamar didalam lembaga perwakilan.

Dokrin ini berasal dari teori klasik Aristoteles dan Polybus yang

mengargumentasikan bahwa pemerintah yang baik adalah gabungan

antara prinsip demokrasi dan oligarki. Dalam perkembangannnya,

parlemen modern mengenal sistem dua kamar (Bikameral).16

Dalam hal teori sistem Bikameral, Giovani Sartori membagi model

Bikameral menjadi tiga jenis, yaitu : (1) Sistem bikameral yang lemah

15

Ibid., hal. 154 16

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi MenguatnyaMmodelLlegislasi

Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia,RrajaGrafindo Persada, Jakarta,

2010, hal. 235

Page 29: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

29

(asymmetric bicameralism/weak bicarelism/soft bicamralism), yaitu

apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar

lainnya; (2) Sistem bikameral yang simetris atau relatif sama kuat

(symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu apabila

kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat; dan (3) Perfect

bicameralism, yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul

seimbang.17

Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan

menurut fungsinya dan ini ada hubungannya dengan doktrin Trias

Politika. Trias Politika adalah kekuasaan negara dalam tiga macam

kekuasaan. Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat

undang-undang (rulemaking function); kedua kekuasaan eksekutif

atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application);

ketiga, kekuasaan yudikatif, kekuasaan mengadili atas pelanggaran

undang-undang (rule adjudication function)18

.

Dalam prinsip kedaulatan rakyat diorganisasikan dalam dua pilihan,

yaitu sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau

pembagian kekuasaan (distribution atau division of power).

17

Ibid, hal. 235 18

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakrta, 2008, hal 281

Page 30: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

30

Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan

dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam

lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi

(checks and balances)19

.

F. Metode Penelitian

a. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum

doctrinal. Dimana dengan melakukan penelitian terhadap pendekatan

analisis peraturan perundang-undangan yang mana apakah dalam teori

sistem perundang-undangan dapat dimungkinkan pembuatan suatu

Undang-undang dengan nama otonomi khusus dapat diberikan kepada

suatu daerah tertentu di Indonesia. Di dalam pembuatan Undang-

undang Otonomi Khusus terdapat juga pembetukan suatu lembaga

baru yang dimana menerapkan sistem Bikameral di daerah.

b. Pendekatan Masalah.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan

(statute-aproach). Dimana pendekatan ini menggunakan bahan hukum

19

Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hal. 135

Page 31: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

31

primer, bahan hukum sekunder. Data primer adalah data yang

diperoleh dari konstitusi Indonesia UUD 1945 Perubahan, Undang-

undang No 10 Tahun 2004 Tentang Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001

Tentang Otonomi Khusus Provinsi papua. Sedangkan data sekunder

adalah yang mana diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-

buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan ilmiah.

Pendekatan Sejarah, digunakan untuk melihat berlakunya UU Otsus

Papua dan penerapan dari pelaksanaan Otsus Papua dari sisi

pengaturan. Dan lahirnya lembaga MRP dalam pelaksanaan Otsus

Papua. Dengan pendekatan sejarah dapat melihat perubahan dan

perkembangan peraturan perundangan dalam pelaksanaan Otsus

Papua.

Pendeketan Konsep digunakan dalam melihat fungsi dan peran MRP

dan DPRP dalam pelaksanaan Otsus Papua. Pendalaman dari sistem

bikameral dengan melihat hubungan antara MRP dan DPRP dalam

pelaksanaan Otsus Papua. Dengan demikian dapat melihat konsep

Page 32: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

32

bikameral dalam hubungan antara kedua lembaga tersebut (MRP dan

DPRP).

G. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

dilakukan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan.

Dimana dilakukan klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut

menurut sumber dan susunan yang dikaji secara komprehensif.

H. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dan digunakan dalam penelitian tesis

studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, buku-buku dan

makalah atau penelitian ilmiah yang menyangkut penelitian tesis

sehingga memberikan kepada penulis untuk membuat secara

sistematis yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan dalam penulisan tesis. Bahan hukum dianalisa untuk

melihat bagaimana dalam pembentukan Undang-undang Otonomi

Khusus dalam susunan hierarki peraturan perundang-undangan, sistem

bikameral yang terjadi dengan adanya lembaga MRP dan DPRP di

dalam Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Papua .

Page 33: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

33

I. Pertanggung Jawaban Sistematika

Sistematika dalam penulisan tesis, dimana Bab I berisi menganai latar

belakang masalah mengenai dibentuknya Undang-undang Nomor 21

Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Kemudian

dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua terdapat suatu

lembaga yang disebut dengan Majelis Rakyat Papua yang merupakan

suatu lembaga kultural masyarakat asli Papua. Dengan hadirnya MRP

dengan demikian apakah dalam pelaksanaan Otonomi Khusus telah

mengakomodir bentuk dari sistem bikameral. Dalam perjalan Otonomi

Khusus Papua dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2011 apakah

Undang-undang Otonomi Khusus Papua dengan segala isinya di

dalam pasal-pasal telah memberikan suatu keberpihakan bagi

masyarakat asli Papua dalam memberikan perlindungan (affirmative

action).

Dalam Bab II ini akan memuat hasil yang merupakan kajian dari

bahan-bahan hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan dan

teori-teori yang berhubungan dengan penulisan Bab II.

Bab III mengkaji mengenai penguatan MRP dalam pelaksanaan Otsus

Papua. Dengan demikian dalam penelitian ini peneliti ingin melihat

Page 34: Penguatan Majelis Rakyat Papua dalam Undang-Undang Nomor ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2887/2/T2_322010006_BAB I.pdf · UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN

34

kedudukan MRP yang merupakan lembaga perwakilan kultural dalam

pelaksanaan Otsus yang memberikan keterwakilan terhadap

masyarakat Papua. Dengan demikian hasil penelitian yang akan

dicapai adalah melihat bagaimana penguatan MRP dengan berlakunya

UU Otsus Papua selama ini. Dan analisa dari hasil penelitian

berdasarkan bahan-bahan hukum yang mendukung dalam melakukan

interpretasi dan argumentasi.

Bab IV berisi mengenai keseluruhan dari apa yang telah dikaji dari

Bab II, III dan IV yang mana akan dibuat dalam suatu kesimpulan

penulisan tesis dan juga peneliti memberikan saran-saran yang akan

dutulis dalam Bab IV terhadap hasil pengkajian dari tesis ini sehingga

dapat memberikan masukan-masukan yang positif bagi pelaksanaan

Otonomi Khusus Papua.