pengobatan oral antijamur

34
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT UNIVERSITAS HASANUDDIN OKTOBER 2007 PENGOBATAN ORAL ANTIJAMUR DISUSUN OLEH : Abrianto Pappuangan C11103029 Aphin Dili C11103148 PEMBIMBING : dr. Tjokorda Dalem Pemayun SUPERVISOR : dr. Anni Adriani, Sp.KK DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK 1

Upload: rifnafebraini

Post on 09-Sep-2015

88 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

kulit

TRANSCRIPT

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERANREFERATUNIVERSITAS HASANUDDINOKTOBER 2007 PENGOBATAN ORAL ANTIJAMUR

DISUSUN OLEH :

Abrianto PappuanganC11103029

Aphin DiliC11103148PEMBIMBING :dr. Tjokorda Dalem PemayunSUPERVISOR :dr. Anni Adriani, Sp.KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2007PENGOBATAN ORAL ANTIJAMUR

Pendahuluan

Sampai saat ini, prinsip-prinsip farmakologi dalam penanganan infeksi jamur masih banyak yang belum dimengerti, walaupun dalam tiga dekade terakhir telah banyak ditemukan obat-obat antijamur. Kesulitan terbesar yang dialami adalah timbulnya variasi yang sangat luas dari berbagai penelitian dengan metode penelitian yang berbeda, mengenai efek klinis yang dihasilkan dari obat-obat yang diteliti; bahkan pada penelitian dengan menggunakan metode yang sama. Pengembangan obat antijamur saat ini telah dilakukan baik oleh perusahaan farmasi maupun kalangan akademisi.1,2

Obat antijamur oral digunakan baik pada infeksi sistemik maupun infeksi kulit yang superfisial. Untuk infeksi kulit, antijamur oral biasanya digunakan pada pasien yang tidak berespon baik dengan pengobatan topikal. Infeksi jamur sistemik paling sering terjadi pada individu dengan status imun yang rendah.3,4Obat antijamur oral terdiri dari beberapa penggolongan besar, yaitu golongan azole, golongan allylamine, golongan analog nukleosida, dan golongan lainnya. Obat golongan azole antara lain itrakonazol, flukonazol, ketokonazol, dan vorikonazol. Obat golongan allylamine yaitu terbinafine. Obat golongan analog nukleosida yaitu flusitosin. Obat golongan lainnya yaitu griseofulvin.3,4,5Itrakonazol

Itrakonazol dihasilkan pertama kali sekitar tahun 1986. Digunakan pertama kali di Amerika dalam pengobatan mikosis secara sistemik pada September 1992, kemudian dilanjutkan dalam terapi onikomikosis pada Oktober 1995. Diperkirakan bahwa obat ini telah digunakan sebanyak 40 juta kali di seluruh dunia, terutama pada pengobatan onikomikosis dan dermatomikosis superfisialis yang lain.5,6

Itrakonazol bersifat fungistatik dan efektif sebagai antijamur spektrum luas, termasuk dermatofit, yeast, dan infeksi jamur sistemik.4,5,7Farmakologi

Formula molekular itrakonazol yaitu C35H38Cl2N8O4 dengan berat molekul 705,64. Itrakonazol bersifat lipofilik kuat, basa lemah (pKa = 3,7), tidak dapat larut dalam air, dan dapat terionisasi pada pH yang rendah. Bioavailibilitas oral paling maksimal ketika dikonsumsi bersamaan dengan makanan biasa terutama yang mengandung banyak lemak atau minuman asam, yang dapat berbeda pada tiap individu. Itrakonazol diabsorpsi sempurna dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 4 jam.1,5,6,7,8,9Gambar 1*. Struktur kimia itrakonazol

Itrakonazol memiliki ikatan kuat dengan protein plasma dan didistribusikan ke dalam jaringan lipofilik. Konsentrasi obat ini dalam jaringan lemak, omental, hati, ginjal, dan kulit sama dengan 2-20 kali konsentrasi plasma. Terdapat juga pada saliva dan cairan serebrospinal dalam jumlah yang kecil.1,6,8

Itrakonazol dimetabolisme di hati. Lebih dari 30 metabolit telah diidentifikasi dan kebanyakan berupa metabolit inaktif. Itrakonazol diekskresi melalui urine (35%) dan feses (54%).1,4,6,7

Mekanisme kerja itrakonazol, yaitu menghambat sitokrom P-450 enzim lanosterol 14--demethylase sehingga tidak terjadi konversi lanosterol menjadi ergosterol. Ergosterol merupakan komponen sterol utama dari membran sel jamur. Bila ergosterol tidak ada, akan terjadi kerusakan permeabilitas dan keseluruhan aktivitas membran sel jamur.1,4,6Indikasi

Itrakonazol digunakan dalam pengobatan infeksi yeast, dermatofit, bahkan mikosis sistemik. Kontraindikasi untuk penggunaan obat ini yaitu individu yang hipersensitif terhadap itrakonazol dan kehamilan. Itrakonazol merupakan obat yang masuk dalam kategori C pada kehamilan dan tidak dianjurkan diberikan selama masa menyusui karena sifat obat yang juga dieksresi melalui air susu. Itrakonazol aman dan efektif digunakan pada orang usia lanjut.1,4,6Efek Samping

Efek samping yang paling sering terjadi yaitu sakit kepala, gangguan gastrointestinal, dan kelainan kulit. Efek samping lain seperti hipertrigliserida, edema, urtikaria, anafilaktik, eritema multiforme, neuropati, impotensi, hipertensi, leukopeni, sindroma nefrotik, dan peningkatan moderat dari enzim hepar.1,4,6,7

Pemberian itrakonazol pada pasien dengan riwayat gagal jantung merupakan kontraindikasi dan juga tidak dianjurkan pemberian pada pasien dengan riwayat penyakit hati. Perlu untuk terus mengevaluasi tes faal hati terutama kadar serum transaminase bila itrakonazol diberikan lebih dari 1 bulan dan pada individu dengan gangguan fungsi hati.1,4,6,7Sediaan dan Dosis

Itrakonazol tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg. Dosis yang diberikan pada tinea korporis dan tinea kruris yaitu 200 mg per hari selama 1 minggu atau dapat pula 100 mg per hari selama 2 minggu. Pada tinea pedis dan tinea manum, dosis yang diberikan yaitu 200 mg dua kali sehari selama 1 minggu atau 100 mg per hari selama 2-4 minggu. Untuk tinea unguium, dosis yang diberikan 200 mg per hari selama 6-8 minggu (tinea pada kuku jari tangan) atau selama 3-4 bulan (tinea pada kuku jari kaki). Sedangkan pada kandidosis oral dapat diberikan 100 mg per hari selama 2 minggu.1,4,6,7

Dosis pada anak biasanya 5 mg per kilogram berat badan setiap hari, dengan dosis maksimal 200 mg per hari.4,6,7Flukonazol

Flukonazol diformulasikan pada tahun 1981. Disepakati pertama kali untuk digunakan kepada manusia pada tahun 1988 di Perancis dan Inggris, serta di Amerika pada tahun 1990. Diterima oleh 19 negara untuk digunakan dalam terapi onikomikosis. Cina dan Finlandia merupakan dua negara pertama yang menggunakan flukonazol dalam terapi onikomikosis. Diperkirakan bahwa obat ini telah digunakan sebanyak 50 juta kali di seluruh dunia.5,6Fluconazole bersifat fungistatik dan efektif terhadap yeast dan dermatofit. 4Farmakologi

Formula molekuler flukonazol yaitu C13H12F2N6O dengan berat molekul 306,3. Flukonazol diabsorpsi dengan baik bila diberikan secara oral. Bioavailabilitas cukup tinggi yang mungkin disebabkan oleh berat molekul yang relatif rendah dan sifatnya yang lebih hidrofilik bila dibandingkan dengan golongan azole yang lain. Absorpsi flukonazol tidak dipengaruhi oleh perubahan pH lambung. Absorpsi flukonazol juga tidak terlalu dipengaruhi oleh pemberian bersama makanan ataupun antasida. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-2 jam. Flukonazol tidak bersifat lipofilik kuat. Flukonazol membentuk ikatan lemah terhadap protein, lemak maupun jaringan dan sekitar 90% beredar bebas dalam plasma. Berbeda dengan ketokonazol dan itrakonazol, flukonazol dapat berdifusi dengan baik ke dalam cairan serebrospinal.1,4,6,8,9

Tidak seperti obat golongan azole yang lain, flukonazol kurang mengalami metabolisme primer di hati. Obat ini dikeluarkan primer melalui ekskresi ginjal. Sekitar 80% diekskresikan melalui urine, 2% diekskresikan melalui feses , sekitar 11% sebagai metabolit, dan sisa 7% masih tidak diketahui.1,4,6,9

Mekanisme kerja flukonazol hampir sama dengan obat golongan azole yang lain. Secara in vitro, obat ini menunjukkan aktivitas fungistatik. Sama dengan itrakonazol, flukonazol juga menghambat lanosterol 14--demethylase.1,4,6

Gambar 2*. Struktur kimia flukonazolIndikasi

Di Amerika, flukonazol secara resmi tidak digunakan dalam terapi onikomikosis ataupun dermatomikosis lainnya. Flukonazol lebih diindikasikan pada kandidosis vaginalis, kandidiasis esofagus dan orofaring, dan meningitis kriptokokal. Sebagai profilaksis, flukonazol juga diindikasikan pada pasien transplantasi sumsum tulang yang mendapat kemoterapi sitotoksik atauoun radioterapi. Di beberapa negara lain, flukonazol dapat digunakan dalam penanganan onikomikosis dan juga jenis dermatomikosis yang lain.6Flukonazol ditoleransi baik pada orang usia lanjut. Walaupun demikian, pada usia lanjut dengan kerusakan ginjal diperlukan perhatian dalam menyusun dosis pemberian obat. Fluconazole merupakan obat yang masuk dalam kategori C pada kehamilan. 1,4,6

Suatu studi menunjukkan efektivitas penggunaan flukonazol dalam mencegah terjadinya infeksi jamur invasif pada preterm infant dengan berat badan yang sangat rendah.10Efek Samping

Efek samping yang paling sering dilaporkan antara lain sakit kepala, sakit perut, gangguan pernafasan, diare, dan nausea. Efek samping yang lain, seperti drug eruptions, trombositopenia, transient amenorrhea, peningkatan tes fungsi hati, sedikit peningkatan kadar serum kreatinin fosfokinase, dizziness, anoreksia, dan alopesia juga dapat terjadi walaupun pada umumnya dapat teratasi dengan berlanjutnya terapi flukonazol. 1,9

Sediaan dan Dosis

Flukonazol tersedia dalam sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200 mg. Sangat penting untuk memperhatikan dosis pemberian mengingat flukonazol diekskresi terutama melalui ginjal.5,9

Pada kandidosis orofaring biasanya diberikan dosis 200 mg hari pertama dilanjutkan 100 mg per hari selama paling kurang 2 minggu. Kandidosis esofagus berespon baik pada dosis 100-200 mg per hari. Dosis tersebut juga telah digunakan untuk mengurangi candiduria pada pasien resiko tinggi. Untuk kandidosis vaginalis, dosis yang diberikan 150 mg dosis tunggal. Dosis 400 mg per hari juga dapat menurunkan insiden kandidosis dalam pada penerima transplantasi sumsum tulang allogenik dan juga bermanfaat untuk mengatasi kandidemia pada pasien nonimmunosuppressed. Flukonazol 400 mg per hari selama 8 minggu pertama digunakan pada pasien AIDS setelah kondisi klinis sedikit membaik. Setelah 8 minggu, dosis diturunkan sampai 200 mg per hari.1

Dosis pada anak biasanya 3-6 mg per kilogram berat badan per hari.1Ketokonazol

Ketokonazol merupakan obat golongan imidazol yang pertama tersedia untuk penanganan infeksi jamur. Obat ini dikeluarkan di Amerika pada tahun 1981. Walaupun ketokonazol termasuk obat yang harganya lebih rendah namun jarang dipakai karena sifatnya yang hepatotoksik.5,6FarmakologiKetokonazol merupakan antijamur sistemik per oral yang diserap baik melalui saluran cerna dan menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan aktivitas berbagai jenis jamur. Penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang pada penderita dengan pH lambung yang tinggi, pada pemberian bersama antagonis-H2 atau bersama antasida. Pengaruh makanan tidak begitu nyata terhadap penyerapan ketokonazol. Distribusi setelah diserap belum banyak diketahui.11Gambar 3*. Struktur kimia ketokonazol

Setelah pemberian per oral, obat ini ditemukan dalam urin, kelenjar lemak, air ludah, juga pada kulit yang mengalami infeksi, tendon dan cairan sinovial. Kadar ketokonazol dalam cairan otak sangat kecil dan hanya ditemukan pada infeksi selaput otak. Dalam plasma, 84% ketokonazol berikatan dengan protein plasma terutama albumin. Lima belas persen berikatan dengan sel darah dan 1% dalam bentuk bebas. Sebagian besar dari obat ini mengalami metabolisme lintas pertama. Diduga ketokonazol diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama urine, semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif. Gangguan ginjal dan faal hati yang ringan tidak mempengaruhi kadarnya dalam plasma.11IndikasiKetokonazol digunakan baik pada infeksi dermatofit maupun pada deep fungal infection. Ketokonazol terutama efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi dan jaringan lemak. Ketokonazol tidak dianjurkan untuk meningitis kriptokokus karena penetrasinya kurang baik, tetapi obat ini efektif untuk kriptokokus nonmeningeal, dan terbukti bermanfaat pula pada parakoksidioidomikosis, beberapa bentuk koksidioidomikosis, dermatomikosis dan kandidosis (mukokutan, vaginal dan oral).5,11Efek SampingEfek toksik ketokonazol lebih ringan daripada amfoterisin B. Mual dan pruritus adalah efek samping yang paling sering dijumpai, keadaan ini akan lebih ringan bila obat ditelan bersama makanan, sebelum tidur, atau dibagi dalam beberapa dosis. Efek samping yang lebih jarang ialah sakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit dan trombositopenia. Obat ini dapat meningkatkan aktivitas enzim hati untuk sementara waktu dan kadang-kadang dapat menimbulkan kerusakan hati. Frekuensi kerusakan hati yang berat ialah sekitar 1:10000-15000. Hepatotoksisitas yang berat lebih seirng dijumpai pada wanita berumur lebih dari 40 tahun yang menggunakan obat ini untuk onikomikosis atau penggunaan lama. Nekrosis hati yang masif telah menimbulkan kematian pada beberapa penderita. Sebaiknya dilakukan pemantauan faal hati pada terapi jangka panjang. 11Ginekomastia, infertilitas, penurunan libido atau oligospermia dapat terjadi pada pria, terutama bila diberikan lebih dari 600 mg per hari. Karena ketokonazol menghambat aktivitas sitokrom P450, maka sintesis testosteron gonad dan androgen adrenal juga dapat terhambat. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar LH dan FSH dalam serum. Dosis 600-800 mg sehari menghambat steroidogenesis adrenal pada tahap 11-hidroksilasi proses sintesisnya. Ketoonazol juga menghambat deposisi metilprednisolon, prednison, dan prednisolon dengan menghambat 6-hidroksilase. Akibatnya efek supresi adrenal kortikosteroid ini memanjang. Ketokonazol juga menghambat sintesis kortisol endogen. 11Obat ini sebaiknya dihindarkan pada wanita hamil, karena pada tikus, dosis 80 mg/kgBB/hari menimbulkan cacat pada jari fetus hewan coba tersebut. 11Sediaan dan Dosis

Ketokonazol tersedia dalam sediaan 200 mg. Dosis pada orang dewasa biasanya 400 mg sekali sehari dan pada anak 3,3-6,6 mg/kgBB/hari. Dosis yang biasa digunakan, antara lain 200-400 mg per hari selama 5 hari untuk tinea versikolor, tinea pedis dan tinea kapitis; 200 mg per hari selama 28 hari pada pityrosporum folikulitis dan dermatitis seboroik.1,6VorikonazolVorikonazol merupakan obat antijamur spektrum luas biasanya digunakan pada infeksi Candida dan cendawan. US Mycoses Study Group dan Invasive Fungal Infections Co-operative Group of the European Organisation for Research and Treatment of Cancer telah melaporkan signifikansi penggunaan voriconazole dibandingkan D-AmB pada pasien invasive aspergillosis, dengan tingkat respon 53% : 31%, tingkat survival 71% : 58%. Laporan ini akan menimbulkan perdebatan mengenai perlu tidaknya menentukan standar baru dalam antifungal lini pertama pada penderita invasive aspergillosis.12,13

Farmakologi

Vorikonazol secara cepat dan diabsorpsi baik melalui pemberian secara oral. Obat ini didistribusikan secara luas di dalam jaringan tubuh. Waktu paruh vorikonazol tergantung daripada dosis yaitu kira-kira 6 jam pada dosis 200 mg. Vorikonazol dimetabolisme di hati dan hanya sekitar 2% diekskresikan melalui urine.13Gambar 4*. Struktur kimia vorikonazolIndikasi

Vorikonazol digunakan pada kandidosis esofagus, invasive aspergillosis, infeksi jamur Scedosporium spp dan Fusarium spp, serta infeksi jamur berat lainnya.13

Vorikonazol tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Pemberian vorikonazol pada wanita menyusui juga tidak dianjurkan, karena obat ini diekskresikan melalui air susu.13

Efek Samping

Efek nonterapi yang telah dilaporkan antara lain nausea, vomitus, sakit kepala, sakit perut, diare, serta pembengkakan pada tungkai dan lengan.13Sediaan dan Dosis

Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 200 mg. Dosis dewasa yang dianjurkan yaitu : (1) bila berat badan > 40 kg, dosis yang diberikan 400 mg setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 200 mg dua kali sehari; (2) bila berat badan < 40 kg, dosis yang diberikan 200 mg setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 100 mg dua kali sehari. Jika respon klinis tidak adekuat, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 300 mg dua kali sehari pada pasien dengan berat badan > 40 kg dan 150 mg dua kali sehari pada pasien dengan berat badan < 40 kg. Dosis anak umur 2 - < 12 tahun adalah 6 mg per kilogram berat badan setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 4 mg per kilogram berat badan setiap 12 jam.13Flusitosin

Flusitosin merupakan obat antifungal tipe antimetabolik. Kapsul flusitosin telah dipasarkan di Amerika Serikat sejak tahun 1972. Flusitosin memiliki spektrum anti jamur yang agak sempit. Obat ini efektif untuk pengobatan kriptokokosis, kandidosis, kromomikosis, torulopsis, dan aspergilosis. Criptococcus dan Candida dapat menjadi resisten selama pengobatan dengan flusitosin.1,2,11,14FarmakologiFlusitosin merupakan satu-satunya obat antimetabolik yang mempunyai efektivitas antifungal. Dalam sel jamur, flusitosin mengalami deaminasi menjadi 5-flurouracil. Flusitosin menghambat sintesis protein jamur dengan cara mengganti uracil dengan 5-flurouracil pada rantai RNA jamur. Keadaan ini tidak terjadi pada mamalia karena dalam tubuh mamalia, flusitosin tidak diubah menjadi 5-flurouracil.1,11,14

Flusitosin diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna. Pemberian bersama makanan memperlambat penyerapan tanpa mengurangi jumlah zat yang diserap. Penyerapan juga diperlambat pada pemberian dengan suspensi magnesium hidroksida atau alumunium hidroksida dan dengan neomisin. Kadar puncak dalam darah adalah 1-2 jam setelah pemberian oral. Pada penderita insufisiensi ginjal, kadar dalam darah akan meningkat. Setelah diserap, flusitosin didistribusikan dengan baik ke seluruh jaringan. Flusitosin dapat memasuki cairan akuosa. Dalam saliva kadar flusitosin kira-kira separuh kadarnya dalam darah. Sembilan puluh persen flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi glomerulus dalam bentuk utuh. Waktu paruh obat ini pada orang normal adalah sekitar 2,4-4,8 jam, sedikit memanjang pada bayi prematur, dan dapat sangat memanjang pada penderita insufisiensi ginjal. Pada orang normal bersihan kreatinin dari flusitosin adalah sekitar 75% dari bersihan kreatinin. Karena itu, bersihan kreatinin dapat digunakan sebagai patokan dalam penyesuaian dosis obat. Flusitosin dapat dikeluarkan dengan hemodialis dan peritoneal dialisis. 1,2,11

Gambar 5*. Struktur kimia flusitosin

Indikasi

Flusitosin merupakan obat jamur yang penting pada infeksi sistemik, selain karena kurang toksik, obat ini dapat diberikan peroral. Karena cepat terjadi resistensi jamur terhadap flusitosin, obat ini sering dikombinasikan dengan obat lain misalnya amfoterisin B. Penggunaan flusitosin sebagai obat tunggal hanya diindikasikan pada kromoblastomikosis.2,5,11 Efek SampingFlusitosin dapat menimbulkan anemia, leukopeni, dan trombositopeni, terutama pada penderita dengan kelainan hematologik, yang sedang mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi tulang, dan penderita dengan riwayat memakai obat tersebut. Efek samping lainnya adalah mual, muntah, diare, dan enterokolitis yang hebat, kira-kira 5% penderita mengalami peningkatan enzim SGOT dan SGPT, serta dapat juga terjadi hepatomegali. Efek samping ini hanya terjadi sementara, dan menghilang sendiri ketika pengobatan dihentikan. Kadang-kadang dapat pula terjadi sakit kepala, kebingungan, pusing, mengantuk dan halusinasi. Flusitosin tidak bersifat nefrotoksik. Keamanan obat ini pada kehamilan belum terbukti, sebaiknya flusitosin tidak diberikan kepada ibu hamil. 1,11,14Sediaan dan DosisFlusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg. Dosis yang biasa digunakan adalah 50-150 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 4 dosis. Dosis ini harus disesuaikan padai penderita dengan insufisensi ginjal. 11Khusus pada meningitis yang disebabkan Cryptococcus, kombinasi 100-150 mg/kgBB/hari flusitosin dengan 0,3 mg/kgBB/hari amfoterisin B merupakan obat terpilih. 1,11Griseofulvin

Griseofulvin pertama kali diisolasi dari Penicilium griseofulvum dierckx pada tahun 1939 namun kurang mendapat perhatian karena tidak mempunyai efek terhadap bakteri. Griseofulvin digunakan untuk mengobati penyakit dermatofit sejak tahun 1958. 1,4,6 Secara in vitro, griseofulvin efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Terhadap sel muda yang sedang aktif bertumbuh, griseofulvin bersifat fungisidal, tapi pada sel yang lebih tua, griseofulvin hanya dapat menghambat unsur yang dorman (fungistatik). Griseofulvin bekerja dengan menghambat mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam sel. 1,9,11,15FarmakologiGriseofulvin kurang baik penyerapannya pada saluran cerna bagian atas karena obat ini tidak larut dalam air. Penyerapannya akan lebih mudah bila diberikan bersama makanan berlemak. 1,9,11,15

Gambar 6*. Struktur kimia griseofulvinObat ini mengalami metabolisme di hati. Waktu paruh obat ini kira-kira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan dikeluarkan melalui urine dalam bentuk metabolit (6-metilgriseofulvin) selama 5 hari. Kulit yang sakit mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap obat ini. Obat ini akan dihimpun dalam sel pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin, sehingga sel baru ini resisten terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas dan diganti oleh sel yang normal. Obat ini dapat ditemukan dalam lapisan tanduk pada kulit 4-8 jam setelah pemberian oral. Keringat dan hilangnya cairan transepidermal memegang peranan penting dalam penyebaran obat ini pada srtatum korneum. Sedikit sekali obat yang ditemukan dalam cairan dan jaringan tubuh lainnya. 1,11Indikasi

Griseofulvin efektif untuk infeksi jamur di kulit, jamur, dan kuku yang disebabkan oleh jamur Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Gejala pada kulit akan berkurang setelah 48-96 jam setelah pengobatan dengan griseofulvin, sedangkan penyembuhan total akan terjadi setelah beberapa minggu. Biakan jamur menjadi negatif setelah 1-2 minggu, sehingga pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4 minggu. Infeksi pada telapak tangan dan kaki lebih lambat bereaksi, biakan baru menjadi negatif setelah 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar 4-8 minggu. Infeksi kuku kaki membutuhkan waktu 6-12 bulan. Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari dosis biasanya. Pada keadaan yang disertai hiperkeratosis perlu penambahan zat keratolitik. Kandidiasis dan tinea versikolor tidak dapat diobati dengan griseofulvin, tetapi cukup dengan pemberian sediaan topikal. 1,11,16Efek SampingEfek samping yang berat jarang timbul akibat pemakaian griseofulvin. Leukopeni dan granulositopeni dapat terjadi namun sering hilang bila terapi dilanjutkan. Sakit kepala merupakan efek yang paling sering dikeluhkan penderita, kira-kira pada 15% penderita, yang biasanya menghilang sendiri meskipun pemakaian obat dilanjutkan. Efek samping lainnya seperti artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur, insomnia, berkurangnya kecakapan, pusing dan sinkop. Pada saluran cerna dapat terjadi mulut kering, mual, muntah, diare, dan flatulensi. Mungkin pula ditemukan albuminuria dan silinderuria tanpa kelainan ginjal. Pada kulit dapat terjadi urtikaria, reaksi fotosensitifitas, eritema multiform, vesikel, dan erupsi menyerupai morbili.1,4,9,11Sediaan dan Dosis Terdapat 2 tipe preparat yang tersedia, yaitu griseofulvin microsize dan griseofulvin ultramicrosize. Bentuk ultramicrosize lebih baik diserap dan hanya membutuhkan 50-70% dosis bentuk microsize. 9Griseofulvin microsize dipasarkan di Indonesia dalam bentuk tablet 125 mg dan 500 mg.serta suspensi mengandung 125 mg/ml. Dosis pada anak 10 mg/kgBB/hari, sedangkan untuk dewasa 500-1000 mg/hari dalam dosis tunggal. Bila dosis tunggal tidak dapat ditoleransi maka dibagi menjadi beberapa dosis. Dosis yang lebih besar (1,5-2 gr/hari) dapat diberikan dalam waktu singkat, kemudian harus diturunkan kembali menjadi 0,5-1 gr/hari setelah lesi mengalami perbaikan. Hasil memuaskan akan dicapai bila dosis yang dibutuhkan dibagi menjadi 4 dan diberikan tiap 6 jam. Lama pengobatan sangat tergantung dari tempat infeksi. Tablet yang mengandung ultramikrosize tersedia dalam takaran 330 mg. 11,15TerbinafinTerbinafin adalah antijamur sintetik yang merupakan golongan alllylamine. Semua derivat alllylamine mempunyai gugus alllylamine tersier, suatu struktur yang penting dalam aktivitas antijamur. 5,12Terbinafin pertama kali ditemukan pada tahun 1974. Obat ini pertama kali digunakan di Inggris pada februari 1991, di Kanada pada mei 1993, dan di Amerika Serikat pada Mei 1996.6Secara in vitro, terbinafin efektif terhadap beberapa strain Aspergillus spp., beberapa jamur endemik yang patogen, dan Sporothrix schenckii. Candida spp., termasuk strain yang resisten terhadap triazole, dan P. boydii, dapat memberi respon yang baik ketika dikombinasi dengan golongan azole atau amfoterisin B. 2,5,11 FarmakologiTerbinafin diserap dengan baik pada saluran pencernaan. Waktu paruhnya adalah 1,5 jam. Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, dan didistribusikan di seluruh jaringan lemak, dermis, epidermis, dan kuku. Obat ini bertahan di plasma, dermis, epidermis, rambut, dan kuku selama beberapa minggu. Keberadaan obat ini dalam plasma harus diperhatikan ketika telah ditemukan efek samping. Terbinafin masuk ke stratum korneum melalui kelenjar sebasea, masuk ke keratin, dan berdifusi di sepanjang dermis-epidermis. Terbinafin tidak ditemukan dalam kelenjar ekrin. Terbinafin ditemukan di kulit dengan konsentrasi di atas mean inhibitory concentration (MIC) kebanyakan dermatofit selama 2-3 minggu setelah penghentian terapi oral. Setelah 6-12 minggu setelah terapi, terbinafin ditemukan di lempeng kuku selama 30-36 minggu, yang konsentrasinya di atas MIC kebanyakan dermatofit. 4,6,9,17Terbinafin dimetabolisme di hati. Oleh karena itu, penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Pada penderita gangguan ginjal, eliminasi obat dari dalam tubuh dapat terjadi lebih lambat karena sekitar 80% obat ini diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui feses. Dosis terbinafin harus dibagi dua jika serum kratinin lebih dari 3000 umol/L, atau bersihan kreatinin kurang atau sama dengan 50 ml/menit. 4,9

Gambar 7*. Struktur kimia terbinafineIndikasi

Terbinafin sangat efektif untuk onikomikosis dan penyakit dermatomikosis yang lain. Pada penelitian yang membandingkan penggunaan terbinafin dan itrakonazole pada terapi onikomikosis kuku jari kaki ditemukan bahwa penggunaan terbinafin lebih efektif dari pada itrakonazole.4,9

Efek SampingKarena selektivitasnya yang tinggi, insiden efek samping jarang ditemukan. Efek samping yang sering ditemukan adalah efek pada gastrointestinal (sekitar 3,5-5%). Efek samping lain seperti sakit kepala, exanthematous eruption, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), psoriasis pustular, subacute cutaneus lupus erythematosus, nyeri dada, hipestesi, kelelahan, dan malaise. Pada beberapa kasus ditemukan hepatoselllular injury, agranulositosis yang reversibel, dan reaksi kulit berat, termasuk toxic epidermal necrolysis dan erythema multiforme.Terbinafin tidak boleh diberikan pada ibu yang sedang mengandung atau sedang menyusui.4,6,17

Sediaan dan Dosis Sediaan terbinafin adalah tablet 250 mg dan harus diminum 1 kali sehari dalam 6 minggu untuk pengobatan onikomikosis pada kuku jari tangan dan 1 kali sehari selama 12 minggu untuk onikomikosis pada kuku jari kaki. Sebelum di terapi dengan terbinafin, sebaiknya diperiksa serum transaminasenya dan jika pasien memiliki gangguan fungsi hati, obat sebaiknya tidak diberikan. Jika gejala atau tanda infeksi sekunder ditemukan pada pasien yang sementara mendapat terapi terbinafin, pemeriksaan darah lengkap harus untuk melihat ada tidaknya neutropenia.4,6,17

Kesimpulan

Obat oral antijamur terdiri dari beberapa golongan, yaitu golongan allylamine, azole, analog nukleosid, dan golongan lainnya. Golongan allylamine yaitu terbinafine. Golongan azole diantaranya itrakonazol, flukonazol, ketokonazol, dan vorikonazol. Golongan analog nuklosid yaitu flusitosin dan golongan lainnya yaitu griseofulvin.

Obat golongan allylamine bekerja dengan menghambat epoxidase squalene. Penghambatan ini mengakibatkan defisiensi ergosterol dan akumulasi squalene. Defisiensi ergosterol menyebabkan gangguan pada permeabilitas dan fungsi membran sel jamur sedangkan akumulasi squalene lebih bersifat fungisidal. Obat golongan ini sangat efektif pada onikomikosis.

Obat golongan azole bekerja dengan menghambat konversi lanosterol menjadi ergosterol yang menimbulkan gangguan pada permeabilitas dan fungsi membran sel jamur. Obat golongan ini efektif pada mikosis profunda, superficial dan juga kandidosis.

Obat golongan analog nukleosida bekerja menghambat sintesis protein jamur. Obat ini efektif pada mikosis profunda dan kandidosis. Sedangkan golongan lainnya, yaitu griseofulvin bekerja dengan menghambat proses mitosis sel jamur. Obat golongan ini efektif pada dermatofitosis.

Keempat golongan obat antijamur oral pada dasarnya aman dan ditoleransi dengan baik. Walaupun demikian dapat juga terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping yang paling sering adalah gangguan pada sistem gastrointestinal. Perlu juga diperhatikan pemberian pada kehamilan, orang usia lanjut dan anak-anak. DAFTAR PUSTAKA

1. Bennett JE. Antimicrobial agents: antifungal agents. In: Hardmann JG, Limbird LE, Gilman AG, editors. Goodman & gilmans the pharmacological basis of therapeutics. 10th ed. New York: McGraw-Hill; 2001. P. 1295-311.

2. Revankar SG, Graybill JR. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinnis MR, Pfaller MA, editors. Clinical mycology. New York: Churchill Livingstone; 2003. p. 157-81.

3. Finn R. Drug update: oral antifungal drugs clinical rounds. [Online]. 2004 Jan 15 [cited 2007 Oct 1]; Available from: URL:http://findarticles.com/p/articles/mi_mOCYD/is_2_39/ai_1131385504. Konnikov N, Raynham H. Oral antifungal agents. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6th ed. New York: McGraw-Hill;2003. p. 2443-7.

5. Andriole VT. Current and future antifungal therapy: new target for antifungal agents. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 1999 Apr 7;44:151-62.

6. Gupta AK. Systemic antifungal agents. In: Wolverton SE, editor. Comprehensive dermatologic drug therapy. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2001. p. 55-75.

7. New Zealand Dermatological Society Incorporated. Itraconazole. [Online]. 2007 Jul 3 [cited 2007 Oct 3]; Available from: URL:http://dermnetz.org/treatments/itraconazole.html8. Martin MV. The use of fluconazole and itraconazole in the treatment of Candida albicans infections: a review. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 1999 Jul 27;44:429-37.9. Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed. Edinburgh: Mosby; 2004. p. 409-39.

10. Kaufman D, Boyle R, Hazen KC, Patrie JT, Robinson M, Donowitz G. Fluconazole prophylaxis againts fungal colonization and infection in preterm infants. N Eng J Med 2001 Dec 6;345:1660-6.11. Setiabudy R, Bahry B. Obat jamur. In: Ganiswarna SG, editor. Farmakologi dan terapi. 4th ed. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1995. p. 560-4.

12. Maschmeyer G. New antifungal agents-treatment standards are beginning to grow old. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2002;49:239-41.

13. New Zealand Dermatological Society Incorporated. Voriconazole. [Online]. 2006 Dec 26 [cited 2007 Oct 3]; Available from: URL:http://dermnetz.org/treatments/voriconazole.html14. Lewis RE, Pharm D. Flucytosine. [Online]. 2007 Oct 4 [cited 2007 Oct 6]; Available from: URL:http://www.doctorfungus.org/thedrug/flucytosine.htm15. Maddin S. Dermatologic therapy. In: Moschella SL, Hurley HJ, editors. Dermatology. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1985. p. 1965-8. (vol 2).

16. Thomas B. Clear choice in managing epidermal tinea infections. The Journal of Family Practice 2003 Nov;52:11.17. New Zealand Dermatological Society Incorporated. Terbinafine. [Online]. 2006 Dec 26 [cited 2007 Oct 3]; Available from: URL:http://dermnetz.org/treatments/terbinafine.html*Dikutip dari kepustakaan No.1

*Dikutip dari kepustakaan No.1

*Dikutip dari kepustakaan No.1

*Dikutip dari kepustakaan No.2

*Dikutip dari kepustakaan No.1

*Dikutip dari kepustakaan No.1

*Dikutip dari kepustakaan No.1

2