pengkajian kembali syarat minimal alat bukti dalam
TRANSCRIPT
I
PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT
BUKTI DALAM PENETAPAN TERSANGKA
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Nama : Upik Puspitasari
NIM : 017201605006
FAKULTAS HUMANIORA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
CIKARANG
JANUARI, 2020
II
III
IV
V
VI
THE REVIEW ON THE MINIMUM REQUIREMENTS OF
PROOF IN DETERMINING SUSPECT
Abstract
In revealing crime, evidence is needed as a basis for forming the conviction of law
enforcers that a crime has indeed occurred and it is suspected that there is someone
who committed it. This evidence is collected in inventory, and is referred from the
first time law enforcement will determine simeone as a suspect. Evidence undergo
an interpretation phase. When the investigator wants to establish a person as a
suspect, for example, evidence as a basis for determining a suspect are mentioned
as preliminary evidence or sufficient evidence. Both of these are interpreted as
evidence plus a police report. Dertemination of this kind becomes problematic
becase the determination of suspects sounds very easy. Then came the verdict No.
21/PUU-XII/2014, which gives interpretation that ‘suffcient evidence’ or ‘suffcient
preliminary evidence’ interpreted to be merely constitutional if interpreted as at
least two pieces of evidence. These types of evidence can be found in Article 184 of
the Criminal Procedure Code. In other words, if there are two of the evidence in
Article 184 of the Criminal Procedure Code, that is suffcient evidence. The problem
is, suffcient evidence in a quantity frame like this leaves an interesting gap to be
examined, a gap regarding the qualityof evidence that should also be sought,
considered and tesyed by law enforcement. So, what is called qualitative evidence
will be reviewed an comparison of the Dutch legal system and united states of
America.
Keywords : Evidence, relevan, reliabel, non-modifiable and prosedural.
VII
PENGKAJIAN KEMBALI SYARAT MINIMAL ALAT BUKTI
DALAM PENETAPAN TERSANGKA
Abstrak
Dalam mengungkapkan kejahatan dibutuhkan bukti/alat bukti sebagai dasar
pembentuk keyakinan penegak hukum bahwa memang telah terjadi kejahatan dan
dicurigai bahwa ada seseorang tertentu yang melakukannya. Bukti/alat bukti ini
dikumpulkan, diinventarisir, dan dirujuk sejak pertama kali penegak hukum akan
menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bukti dan alat bukti mengalami fase
penafsiran. Ketika penyidik hendak menetapkan seseorang menjadi tersangka,
misalnya, bukti dan alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka disebutkan sebagai
bukti permulaan atau bukti yang cukup. Kedua hal tersebut ditafsirkan sebagai satu
alat bukti ditambah laporan polisi. Penentuan semacam ini menjadi problematik
karena penetapan tersangka terdengar menjadi sangat mudah. Lantas muncullah
Putusan No. 21/PUU-XII/2014, yang memberi penafsiran bahwa ‘bukti yang
cukup’ atau ‘bukti permulaan yang cukup’ ditafsirkan menjadi semata-mata
konstitusional jika diartikan sebagai minimal dua alat bukti. Jenis-jenis alat bukti
itu dapat ditemukan pada Pasal 184 KUHAP. Dengan kata lain, jika ada dua dari
sejumlah alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP tersebut, maka itu sudah
dikategorikan bukti yang cukup. Yang menjadi persoalan, bukti yang cukup dalam
bingkai kuantitas seperti ini menyisakan celah yang menarik untuk diteliti, celah
mengenai kualitas alat bukti yang seharusnya juga dicari, dipertimbangkan, dan
diuji oleh penegak hukum. Maka, apa yang disebut alat bukti yang kualitatif itu
akan diulas dengan perbandingan terhadap sistem hukum Belanda dan Amerika
Serikat.
Kata kunci : alat bukti, relevan, reliabel, prosedural, non –modifiable
VIII
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... I
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... II
DEKLARASI SKRIPSI .............................................................................. III
KATA PENGANTAR ................................................................................ IV
ABSTRAK ................................................................................................. VI
DAFTAR ISI .............................................................................................. IX
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 7
1.3 Metodologi Penelitian ........................................................................... 7
1.4 Arti Penting Penelitian ........................................................................ 9
1.5 Kerangka pemikiran ........................................................................... 10
1.6 Sistematika Penulisan ........................................................................ 12
BAB II
ALAT BUKTI DAN PEMBUKTIAN
2.1 Implikasi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 ............................... 16
2.2 Pembuktian di Amerika Serikat ....................................................... 18
2.3 Pembuktian di Belanda ...................................................................... 22
2.4 Indonesia (Teori dan Putusan Pengadilan) ................................... 24
BAB III
KUALITAS ALAT BUKTI: AMERIKA, BELANDA, INDONESIA
3.1 Kualitas Alat Bukti ............................................................................. 30
3.1.1 Relevan ................................................................................... 30
3.1.2 Prosedural .............................................................................. 33
3.1.3 Non-modifiable ...................................................................... 35
3.2 Alasan Dua Alat Bukti Dipandang Cukup ...................................... 37
3.3 Kelemahan Paradigma Alat Bukti Yang Kuantitatif .................... 38
IX
BAB IV
ANALISA
4.1 Derajat Kecukupan Dua Alat Bukti Dalam Penetapan Tersangka
..................................................................................................................... 41
4.1.1 Efektivitas antara Syarat Kuantitatif dan Kualitatif Terhadap Dua
Alat Bukti .............................................................................................. 43
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 46
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................. 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebuah peristiwa tindak pidana didorong atas kehendak untuk melakukan
tindakan, apapun tindakan itu, yang menguntungkan bagi dirinya dengan cara
mengabaikan serta melanggar aturan hukum yang berlaku, dan merugikan orang
lain.1 Meski untuk beberapa kejahatan lainnya, seperti pembunuhan karena
dendam, keuntungan bagi diri pelaku tidak terlalu jelas, namun hasrat pembalasan
dendam dapat dipertimbangkan sebagai kelegaan bagi diri pelaku, di sisi lain
penderitaan bagi korban menjadi akibatnya.
Dalam mengungkap kejahatan, penegakan hukum pidana perlu cermat dan
berdasar pada alat bukti atau barang bukti yang nyata,2 mengingat tujuan dari
adanya peradilan pidana itu sendiri yaitu untuk mengungkap suatu kebenaran dari
tuduhan atas telah dilakukannya tindak pidana yang mana pengungkapan ini akan
berlangsung di suatu persidangan. Persidangan berguna untuk membawa titik
terang apakah seseorang yang disangka dan didakwa tersebut benar-benar telah
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
Berbicara mengenai sistem pembuktian, pada hakekatnya proses
pembuktian bermula sejak diketahui adanya suatu peristiwa tindak pidana. Dimulai
dari penyelidikan, demi memisahkan peristiwa hukum dengan peristiwa sosial
untuk menentukan apakah penyidikan perlu dilakukan.3 Jika penyidikan dirasa
harus dilakukan, maka penegak hukum kepolisian akan menentukan penyidik,
mengolah tempat kejadian perkara, mengumpulkan bukti, dan dapat mengenakan
upaya paksa (penetapan tersangka, penahanan, penyitaan, penggeledahan,
penyadapan).
1 Nugroho, B. Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana. Jurnal Yuridika, (Volume 32, 2017). Hlm 19. 2 Sukarna, K. Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana. Prosiding Seminar Nasional, (2014). Hlm 350. 3 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981, Pasal 1 Butir (4) KUHAP.
2
Agar proses penegakan hukum demikian dapat kredibel maka dalam suatu
pemeriksaan harus dilakukan secara berkala, tidak ada rekayasa, serta merta bebas
dari paksaan maupun ancaman, mulai dari penangkapan sampai dengan penjatuhan
hukuman. Hal ini menjadi penting dikarenakan akan terdapat asasi manusia (HAM)
seseorang yang dipertaruhkan yakni tersangka/terdakwa.4 Penegakan hukum mulai
dari penyelidikan, penuntutan, proses di muka hakim, hingga pemasyarakatan tidak
dapat dibenarkan jika dijalankan dengan melanggar hukum, karena menindak
pelanggar hukum dengan cara-cara yang juga melanggar hukum hanya akan
menciptakan kejahatan baru.
Mengenai sistem pembuktian, yang mana hal ini bertujuan guna mengetahui
bagaimana cara meletakkan hasil sebuah pembuktian terhadap perkara yang sedang
diperiksa, telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) Bab XVI tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Pasal 183
(KUHAP) dalam sistem pembuktian menggunakan teori pembuktian negatif yang
berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Dari bunyi pasal di atas dapat dipahami apa yang dimaksud dengan
pembuktian negatif. Pembuktian negatif ialah prinsip pembuktian yang membatasi
hakim untuk menilai alat bukti dan barang bukti yang dihadirkan di hadapannya
secara limitatif yakni bahwa alat bukti tersebut minimal dua alat bukti. Pembuktian
negatif mengantarkan hakim kepada keyakinannya terhadap terjadi atau tidak
terjadi suatu tindak pidana dengan mendasarkan pada dua alat bukti. Dengan dua
4 Hamzah, P. D, (2016). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 249.
3
alat bukti, secara sederhana, barulah hakim dapat menambahkan keyakinannya
dalam vonis yang hendak diberikan.
Dari pasal di atas juga ditemukan kalimat “dengan sekurang-kurangnya.”
Jadi, pasal tersebut mengatur mengenai “minimum kuantitas alat bukti” yang
dianggap cukup dalam membuktikan kesalahan tersangka.5 Kurang dari dua, maka
hakim tidak dapat menjatuhkan vonis. Lebih dari dua, tidak masalah. Dengan
demikian, pembuktian di sini menjadi kuantitatif.
Lantas, apa saja itu alat bukti? Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan
macam alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa. Artinya, di luar dari apa yang ditentukan oleh Pasal 184 ayat
1 KUHAP tidak dapat di kategorikan sebagai alat bukti. Sejumlah alat bukti tersebut
di definisikan di dalam KUHAP yakni:
1. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah keterangan yang didengar, dilihat, dan
dialami sendiri dengan didukung atas dasar pengetahuannya
(Pasal 1 angka 27 KUHAP);
2. Keterangan Ahli
Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
titik terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
(Pasal 186 KUHAP);
3. Surat
Surat merupakan yang berita acara yang berisikan
penerjemahan suatu isi pikiran (Pasal 187) KUHAP;
4. Petunjuk
Menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, atau keadaan
yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang
5 M. Yahya Harahap, S, (2015). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 283.
4
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan
bahwa telah terjadi tindak pidana dan adanya pelaku. Dalam
Pasal 188 ayat (2) petunjuk hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (Pasal 188
KUHAP);
5. Keterangan Terdakwa
Menyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan
atau yang diketahui sendiri (Pasal 189 KUHAP).
Alat Bukti Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi
Mengenai alat bukti, penting untuk mempelajarinya dari proses penyidikan
yang berujung pada penangkapan dan penetapan tersangka. Dalam penangkapan
seseorang menjadi tersangka sudah diatur dalam KUHAP. Yang mana definisi
penangkapan yaitu diatur Pasal 1 angka 20 KUHAP adalah :
“Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidik atau penuntutan dan atau peradilan dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”
Dikarenakan, pada fase ini, siapa itu tersangka dan berdasarkan apa
seseorang itu ditetapkan menjadi tersangka akan bermula. Pasal 1 angka (14)
KUHAP relevan dengan hal tersebut, yakni berbunyi:
“Tersangka adalah seseorang yang karena
perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana”
Pada frase di atas ditemukan kata ‘bukti permulaan’ yang mana menjadi
dasar untuk menetapkan tersangka. Setelah tersangka telah ditetapkan, lazimnya
diikuti oleh penangkapan. Merujuk Pasal 17 KUHAP, lagi-lagi bukti permulaan
5
disinggung. Pasal 17 berbunyi: “Perintah penangkapan dilakukan terhadap
seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.”
Bukti permulaan tidak mendapatkan penjabaran lebih lanjut di dalam
KUHAP. Jabaran lebih lanjut dapat ditemukan pada Peraturan Kapolri No. 14
Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 1 angka (21)
memaparkan bukti permulaan sebagai dasar atas dugaan seseorang telah melakukan
tindak pidana. Bukti permulaan tersebut berupa laporan polisi ditambah 1 (satu) alat
bukti yang sah yang digunakan sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.
Bukti permulaan dalam definisi yang diberikan oleh Peraturan Kapolri di
atas dirasa terlalu sederhana karena bentuk bukti laporan polisi sendiri dapat dibuat
oleh siapun pun tidak menutup kemungkinan akan dapat direkayasa. Sementara,
dengan kualifikasi yang sederhana seperti itu seseorang akan ditetapkan sebagai
tersangka dan dapat dikenakan upaya paksa. Upaya paksa niscaya bertabrakan
dengan hak asasi manusia seseorang yang dengan sederhananya tadi telah
ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini akan berdampak pada terganggunya kepastian
hukum bagi warga-negara.6
Oleh karena itu, bukti permulaan harus mendapatkan kejelasan yang lebih
kuat dan memadai.7 Jika laporan polisi dipertimbangkan kedudukannya sama
dengan alat bukti, di sini letak kerawanannya dikarenakan laporan polisi pada
prinsipnya ialah laporan yang dapat dibuat oleh setiap orang. Sementara, bukti
tambahannya, selain laporan polisi, menurut Peraturan Kapolri di atas, cukup hanya
berjumlah satu alat bukti. Hal ini kemudian memunculkan persoalan, yaitu
persoalan yang terjadi pada kualitas alat bukti dalam mempertersangkakan
seseorang sehingga diujikanlah persoalan tersebut ke hadapan Mahkamah
Konstitusi yang diajukan oleh pemohon. Kemudian dituangkan dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.
6 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Hlm 57. 7 Ibid 58.
6
Alat Bukti Sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum adanya putusan mahkamah konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-
XII/2014, alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka yaitu adanya
bukti permulaan yang cukup. Pada frasa tersebut dianggap sebagai penyebab suatu
perubahan terhadap upaya praperadilan yang ada di Indonesia. Disebut sebagai
bukti permulaan yang diperlukan karena untuk menduga adanya tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Kemudian dalam hal tersebut dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan oleh penegak hukum hingga bertentangan dengan prinsip
due process of law serta melanggar hak dan kepastian hukum yang adil.8
Putusan MK tersebut mengubah frase mengenai alat bukti menjadi bukti
permulaan yang cukup yaitu dengan 2 (dua) alat bukti. Sejak sudah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dalam praktek menjadi
yurisprudensi hakim merujuk pada apa yang disebut bukti permulaan yang cukup
dan bagaimana hakim menjatuhkan putusannya. Sehingga Mahkamah Konstitusi
mendefinisikan bukti permulaan yang cukup dalam penetapan tersangka menjadi
minimal dua alat bukti (menjadi sama dengan alat bukti minimal dalam pengadilan
agar hakim dapat menjatuhkan vonisnya).
Sebuah perkara pidana hakim MK memberikan tafsir bahwa penetapan
tersangka dapat dilakukan sepanjang adanya minimal dua alat bukti dan tidak lagi
menggunakan frasa “bukti permulaan yang cukup”. Alat bukti yang terdapat pada
Pasal 184 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 1 angka 14 dan Pasal 17 KUHAP
mengenai frasa “bukti permulaan yang cukup”. Artinya, dua alat bukti tersebut
harus guna mendasari sangkaan penyidik.9 Sehingga ‘bukti permulaan yang cukup’
tidak lagi digunakan atau setidak-tidaknya harus diartikan minimal dua alat bukti.
Meski begitu, penulis merasa ada yang terlewat dari Putusan MK di atas.
Yang terlewat adalah alat bukti yang menjadi pokok pengujian akhirnya ditafsirkan
secara kuantitatif, tidak kualitatif. Kualitatif di sini penulis di dapat secara
sederhana sampaikan ialah kualitas dari alat bukti: apakah alat bukti tersebut
8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Hlm 92. 9 Ibid. Hlm 94.
7
reliabel, apakah prosedur hukum sudah dipatuhi dalam pengumpulan alat bukti,
apakah alat bukti tersebut obyektif dan tidak ada dimasukkan rekayasa sedikit pun.
Oleh karena itu, memang Putusan MK tersebut patut diapresiasi demi
pengembangan penegakan hukum yang lebih protektif terhadap hak asasi manusia,
namun di saat yang bersamaan penulis merasa penting untuk meneliti apakah
kuantifikasi alat bukti sebagaimana berkembang di dalam KUHAP dan Peraturan
Kapolri yang lantas berlanjut hingga Putusan MK tersebut sudah sepatutnya? Atau
sebaiknya turut dipersoalkan juga kualitas alat bukti? Guna membahas hal-hal
tersebut penulis kemudian menyusun penelitian dengan judul Pengkajian Kembali
Syarat Minimal Alat Bukti Dalam Penetapan Tersangka.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah penelitian merupakan suatu pernyataan yang memepersoalkan
keberadaan objek penelitian, atau apa yang menjadi titik fokus suatu penelitian.10
Berdasarkan pada uraian dalam Bab Pendahuluan di atas, maka rumusan
permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian pada skripsi ini adalah:
Sampai derajat mana penetapan kriteria kuantitatif 2 (dua) alat bukti
berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 memiliki sifat kecukupan
dalam penetapan tersangka ?
1.3 Metodologi Penelitian
Skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif yang artinya adalah suatu
prosedur penelitian ilmiah guna menemukan keberadaan suatu kebenaran
berdasarkan analisa logika hukum dari sisi normatifnya.11 Dengan melakukan
pendekatan studi terhadap aturan hukum yang berlaku utamanya seperti KUHP,
putusan Mahkamah Konstitusi, putusan pengadilan, serta peraturan Kapolri.12
10 Ronny Kountur, (2007) Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: Buana Printing. Hlm 35. 11 Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang, 2007). Hlm 57. 12 Rianto Adi, (2005). Metode Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit. Hlm 92.
8
Untuk menjawab pertanyaan penelitian pada skripsi ini, terkait aturan hukum, maka
aturan yang diteliti ialah aturan yang bersubstansi pengaturan terhadap alat bukti,
di antaranya KUHAP dan peraturan Kapolri.
Mengingat bahwa penulis merasa tidak cukup hanya mempelajari sistem
hukum di Indonesia terkait alat bukti, untuk itu penulis mencoba melakukan
penelitian dengan turut memelajari penerimaan alat bukti di Belanda dan Amerika
Serikat. Perbandingan sistem hukum dimaksudkan untuk melihat secara
menyeluruh dan mendetail aspek-aspek penetapan tersangka dari negara tersebut
dan membandingkannya dengan Indonesia. Serta menjadikan hasil perbandingan
untuk pengembangan hukum acara pidana Indonesia dan mengetahui kategori alat
bukti yang disebut ‘cukup’ pada dua negara tersebut.
Turut juga dipelajari dalam skripsi ini ialah putusan pengadilan, baik
pengadilan umum (peradilan dalam Mahkamah Agung) maupun putusan
Mahkamah Konstitusi. Putusan peradilan diunduh dari situs
www.putusan.mahkamahagung.go.id, yang mana putusan cukup dominan yang
diunduh adalah putusan praperadilan. Putusan praperadilan menjadi penting untuk
diteliti pada skripsi ini karena pada proses peradilan, penetapan tersangka dan alat
bukti menjadi persoalan yang dibawa ke hadapan persidangan.
Selanjutnya ialah putusan Mahkamah Konstitusi. Adapun setidaknya
putusan yang diteliti ialah Putusan No. 21/PUU-XII/2014 di mana putusan ini
sangat penting karena memberikan definisi ekstensi mengenai frase ‘bukti yang
cukup’ atau ‘bukti permulaan yang cukup’. Putusan ini lantas membawa pengaruh
pada penegakan hukum apapun yang membutuhkan alat bukti di dalamnya, baik
pada fase penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Dalam penelitian ini analisis yang digunakan adalah analisis kuslitatif yang
merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu dengan
mengumpulkan semua data yang diperoleh dari bahan hukum primer dan
sekunder.13 Data yang digunakan yaitu literatur hukum yang ditulis oleh penulis
hukum dalam negeri. Untuk mendapatkan aspek aturan hukum mengenai alat bukti,
13 Soerjono Soekanto, (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. Hlm 25
9
selain menggunakan literatur hukum, penulis juga membaca jurnal-jurnal terkait
bersama dengan hasil penelitian lainnya (tulisan berbentuk tesis) yang mengulas
mengenai alat bukti dan alat bukti elektronik. Sebagai batasan, meski membaca
mengenai alat bukti elektronik yang diulas sepaket dengan alat bukti (alat bukti
biasa), skripsi ini tidak akan membahas alat bukti elektronik sedikit pun.
1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan mengenai latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah:
a. Tujuan penulis dalam penelitian guna mengkaji pelaksanaan dalam
menetapkan alat bukti yang sebagimana sudah diatur dalam KUHAP
untuk menetapkan tersangka;
b. Mengkaji kembali mengenai kekuatan 2 (dua) alat bukti dianggap cukup
dalam penetapan tersangka;
1.4.2 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari beberapa sudut pandang yaitu kegunaan
dari sudut pandang secara teoritis dan sudut pandang secara praktis, yaitu
sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
Penulis mengaharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk
memperkaya dan memperluas terkait dalam kajian ilmu hukum pidana,
khususnya yang berkaitan dengan alat bukti dalam mempertersangkakan
seseorang.
b. Kegunaan Praktis
Hasil dari penelitian skripsi ini dapat menjadi bahan rujukan seminimal
mungkin bagi diskursus hukum mengenai alat bukti.
10
1.5 Kerangka pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan sebuah keberadaan hukum sebagaimana
merupakan aturan yang sangat dibutuhkan dalam setiap di kehidupan sosial
masyarakat karena hukum dapat mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan yang
tertib. Peraturan-peraturan memang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat
demikian juga dalam hubungannya dengan negara. Kepastian hukum harus dijaga
demi keharmonisan dan keamanan negara, maka hukum positif harus selalu ditaati,
meskipun isinya kurang memiliki keadilan serta juga kurang sesuai dengan tujuan
hukum. Pada penelitian ini dapat digambarkan ke dalam kerangka berfikir sebagai
berikut :
Perlu Pengkajian
Metode : Perbandingan Hukum
Elemen 1
(Syarat Minimal Alat Bukti)
Elemen 2
(Penetapan Tersangka)
Pra Putusan MK
“Bukti yang
Cukup”
Pasca Putusan MK
“Sekurang-kurangnya 2
alat bukti (bukti
permulaan yang cukup)
Pra Putusan
MK “Bukan
Objek
Praperadilan”
Pasca Putusan
MK “Objek
Praperadilan”
Amerika Serikat Belanda
Analisa karakter tradisi hukum
dan regulasi di AS mengenai alat
bukti dalam penetapan tersangka
dengan mencari kelemahan dan
kelebihannya.
Analisa karakter tradisi hukum dan
regulasi di Belanda mengenai alat
bukti dalam penetapan tersangka
serta mencari kelemahan dan
kelebihannya
11
Penyelidikan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh penyidik
ketika sudah dilakukannya proses penyidikan guna menemukan orang yang diduga
melakukan tindak pidana. Dalam proses inilah penyidik dapat menetapkan status
tersangka kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti-
bukti yang ditemukan. Dengan kata lain tugas utama penyidik yaitu mencari serta
mengumpulkan bukti permulaan, hal ini ditunjukan untuk membuat titik terang
suatu tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Pada Pasal 1
angka 2 KUHAP menyatakan :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan dalam hal
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti dapat membuat terang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”
Bukti permulaan sebagaimana sudah diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 14
KUHAP, yang menyatakan bahwa:
“Tersangka adalah seseorang yang karena
perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana”
Chandra M. Hamzah memberikan definisi terhadap fungsi bukti permulaan yang
sebagaimana merupakan suatu satu kesatuan dengan fungsi bukti permulaan yang
cukup.14 Yang mana bukti permulaan yang cukup dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kategori yang menjadi syarat, yaitu :
1) Dilakukannya proses penyidikan; serta
14 Chandra M. Hamzah, (2014) Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Hlm. 6
Masukan dan kesimpulan yang
dapat ditarik oleh negara Indonesia
12
2) Dapat menepatkan status tersangka terhadap seseorang diduga
melakukan suatu tindak pidana.
Arti terhadap kedua kategori, yang pertama bukti permulaan yang cukup
merupakan sebagai acauan menduga adanya suatu perkara pidana dan selanjutnya
dapat ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Kemudian terhadap kategori yang kedua,
bukti permulaan yang cukup merupakan sebagai dugaan tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang dan dapat ditetapkan status tersangka.
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas serta mempermudah dalam
pembahasan, maka pembahasan secara keseluruhan dalam skripsi ini secara umum
memberikan sistematika pembahasan penulisan ini sebagai berikut:
Bab I - Pendahuluan
Dalam bab ini merupakan bagian pembuka yang berisi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, tujuan penulisan, kerangka pemikiran
yang berisi kerangka teori dan kerangka konseptual, metode penelitian
serta sistematika penulisan.
Bab II - Teori dan Data
Dalam bab 2 (dua) penulis membahas mengenai konsep alat bukti dan
pembuktian di Indonsia dan perbandingannya dengan negara Amerika
Serikat dan Belanda.
Bab III - Pembahasan
Dalam bab ini penulis membahas mengenai apa yang menjadi suatu
titik pokok penelitian.
Bab IV - Analisa
Tahap selanjutnya dalam bab 4 (empat) penulis membahas titik pokok
yang diteliti yaitu konsep alat bukti dan pembuktian di Indonesia serta
13
membandingkannya dengan negara Amerika Serikat dan Belanda yang
akan dijadikan sebagai tolak ukur.
Bab V - Kesimpulan
Dalam bab terakhir penulis memberikan kesimpulan dan saran pada
penulisan serta dalam hasil analisa apakah akan dapat menemukan
jawaban tepat.
14
BAB II
ALAT BUKTI DAN PEMBUKTIAN
AMERIKA SERIKAT, BELANDA, INDONESIA
Untuk memahami persoalan alat bukti dari sudut kuantitatif dan kualitatif,
dengan mempelajari putusan praperadilan menjadi keniscayaan. Pada praperadilan
atas obyek penetapan tersangka, penetapan tersangka akan menjadi fokus
perdebatan. Tidak semata-mata mengenai mengapa seseorang ditetapkan sebagai
tersangka, tetapi juga pada praperadilan berobyek penetapan tersangka ini juga akan
diperbantahkan alat bukti yang mendasari seseorang itu ditetapkan sebagai
tersangka. Penelitian terhadap putusan praperadilan dalam Bab ini akan dimulai
dari kasus Bactiar Abdul Fatah, di bawah ini.
Adapun Putusan praperadilan dimaksud di atas ialah Putusan No.
38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel di mana Bachtiar Abdul Fatah duduk sebagai
pemohon. Bachtiar ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan telah melakukan
korupsi yang memenuhi unsur di dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dari putusan ini jaksa ialah pihak termohon yang telah menetapkan
pemohon sebagai tersangka.
Yang menjadi dalil pokok Pemohon dalam praperadilan ini ialah terkait
relevansi dua alat bukti yang sah yang digunakan termohon untuk menetapkan
pemohon sebagai tersangka. Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
mengklasifikan perbuatan yang dianggap korupsi yakni memperkaya diri sendiri
atau korporasi yang merugikan keuangan negara. Akan tetapi, menurut dalil
Pemohon, dua alat bukti yang sah tersebut belum memiliki nilai ketepatan, sebab
belum ada unsur terpenuhinya skala perhitungan kerugian negara yang nyata dan
pasti jumlahnya yang haruslah dilakukan oleh ahli.15
15 Putusan Mahkamah Agung Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. Hlm 53.
15
Bagi Pemohon, alat bukti yang dikumpulkan jaksa merupakan alat bukti
hasil dari pemeriksaan yang bersifat formalitas atau dianggap semata-mata sebagai
pemanis.16 Sebab mengenai dua alat bukti yang sah secara kuantitas sudah
terpenuhi, akan tetapi dua alat bukti tersebut menjadi permasalahan karena
dianggap belum berkualitas, sebagaimana telah dikemukakan di atas, karena tidak
berhasil menunjukan perbuatan Pemohon apakah nyata-nyata memang telah
merugikan keuangan negara.
Dalam putusan nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel menyatakan
menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk sebagian.
Gugatan terhadap praperadilan yang pokok permohonannya mengenai sah tidaknya
penetapan tersangka menyatakan hakim telah melakukan tindakan yang tidak
profesional karena telah melakukan penafsiran memperluas objek kewenangan
praperadilan. Dengan kata lain, demi penyidikan satu kejahatan, alat bukti tidak
cukup hanya kuantitatif, tetapi yang lebih penting dari itu harus substansial.
Selanjutnya adalah Putusan No. 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm. Putusan No.
5/Pid.Prap/2015/PN Kfm ini tidak jauh berbeda dengan perkara Bachtiar Abdul
Fatah mengenai dugaan tindak pidana korupsi. Drs. Edmundus Fallo, M.M sebagai
pemohon melakukan penyimpangan dalam pengelolaan dana alokasi khusus bidang
pendidikan.Kemudian Kejaksaan Tinggi Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai
Termohon yang sudah menetapkan Pemohon sebagai tersangka.
Dalam perkara ini berdasarkan alasan termohon mengenai serangkaian
tindakan terkait alat bukti tersangka sudah memenuhi syarat minimal dua alat bukti
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP.17 Namun, dalil ini ahli
yang dihadirkan pemohon menyatakan penetapan status tersangka dilakukan tanpa
pernah terlebih dulu dilakukan pemerikasaan, dalam hal ini penyelidikan dan
penyidikan.18 Maka dengan hal ini, Pemohon memandang penetapan dirinya
sebagai tersangka bertentangan dengan putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 di mana
16 Ibid. Hlm 81. 17 Putusan Mahkamah Agung Nomor 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm. Hlm 14. 18 Ibid. Hlm 22.
16
sudah lebih dulu dilakukan penyelidikan dan penyidikan dengan kemudian
menghasilkan dua alat bukti sebagai dasar.
2.1 Implikasi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam kewenangan
praperadilan hanya membahas mengenai penangkapan, penahanan, penyitaan dan
penggeledahan. Kemudian sejak sudah adanya putusan MK Nomor 21/PUU-
XII/2014 adanya perluasan kewenangan di praperadilan yaitu memperluas
penafsiran hukum dalam pengujian penetapan status tersangka.
Sebelum putusan MK di atas, penyidikan ditujukan untuk mengumpulkan
bukti demi menjadi dasar penetapan tersangka. Namun, bukti macam apa yang
dijadikan dasar dalam penetapan tersangka dapat ditemukan dalam pasal yang
mengatur mengenai definisi tersangka, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat
(14) KUHAP yakni:
“Tersangka merupakan seorang yang karena
perbuatannya serta berdasarkan butki permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Bukti permulaan tidak mendapatkan definisi lebih lanjut dan hanya berhenti
di sana, hingga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dijatuhkan.
Perubahan pun terjadi, yakni dapat dilihat pada poin Pertimbangan dalam putusan,
yang menyatakan:
“Frasa “bukti permulaan” “bukti permulaan yang
cukup” dan “bukti yang cukup” yang sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 KUHAP juga harus
ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
terdapat pada Pasal 184 KUHAP dan disertai
dengan pemeriksaan calon tersangkanya”.
Dengan demikian berdasarkan kedua Pasal tersebut dan diimbangi dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dapat disimpulkan menjadi
17
beberapa nilai yang dapat dikandung dalam suatu penetapan tersangka, diantaranya
yaitu:
1. Mengenai norma kewenangan penegak hukum dalam melakukan
tindakan penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka
berdasarkan peraturan hukum yang berlaku;
2. Membahas mengenai prosedural dalam menetapkan seorang sebagai
status tersangka urutan utamanya yaitu dilakukannya penyelidikan,
penyidikan serta mengumpulkan dua alat bukti yang sah sesuai
dalam Pasal 184 KUHAP;
3. Terakhir menyinggung terkait nilai syarat formal yang artinya syarat
terpenuhinya dua alat bukti yang sah sesuai dalam Pasal 184
KUHAP dan disertai pemerikasaan calon tersangka;
Adapun maksud dari Putusan MK untuk menafsirkan ‘bukti yang cukup’
‘bukti permulaan yang cukup’ dan ‘bukti yang cukup’ tersebut adalah untuk
menciptakan penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip
(due process of law).19 Due process of law sendiri dapat dipahami secara sederhana
sebagai proses penerapan hukum yang berjalan proporsional dan reliabel dengan
mengutamakan perlindungan hak asasi manusia hingga ada putusan dari pengadilan
yang menyatakan seseorang tersebut bersalah atau tidak.
Meski demikian, Mahkamah Konstitusi dengan putusan tersebut tidak sama
sekali menghilangkan frasa “bukti permulaan yang cukup.” Frasa ini masih
memiliki validitas sepanjang dimaknai sebagai adanya 2 (dua) alat bukti yang
berasal dari daftar alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Namun, dengan adanya, katakanlah, pengetatan terhadap jumlah alat bukti
dalam mendasari penetapan tersangka, menurut hemat penulis, tidak berarti
persoalan menjadi selesai. Penulis memandang bahwa jumlah minimal alat bukti
dalam penetapan tersangka membuat upaya pengungkapan suatu tindak pidana
19 Ibid. Hlm 92.
18
menjadi kuantitatif. Yang implikasinya ialah substansi dan kualitas alat bukti
menjadi persoalan kedua sejauh penyidik telah mengantongi dua alat bukti.
Lantas, bagaimana pembuktian di negara lain? Penulis melakukan
penelitian dokumen hukum dan literatur terhadap dua negara yakni Belanda dan
Amerika Serikat. Belanda dipandang relevan dikarenakan negara ini memiliki
hubungan sejarah sistem hukum dengan sistem hukum Indonesia. Sementara,
Amerika Serikat dipilih untuk turut dipelajari dikarenakan negara ini memiliki
riwayat perkembangan diskursus hukum terkait pembuktian yang relatif panjang
dan menarik, dimulai dari adanya hak untuk diam (dalam Miranda Rules) hingga
berkembangnya proses pembuktian menggunakan tes DNA. Sebagai batasan
penelitian, dalam skripsi ini tidak akan disinggung mengenai Miranda Rules dan tes
DNA tersebut, namun penulis lebih berfokus pada bagaimana pembuktian di
Amerika Serikat menempatkan posisi alat bukti.
Alat Bukti Reliable atau Admissible di Beberapa Negara
2.2 Pembuktian di Amerika Serikat
Negara Amerika Serikat merupakan negara yang menganut sistem Common
Law yang artinya sistem hukum berdasarkan pada penilaian orang awam (laymen)
dalam sistem juri dan menganut model ketaatan pada yurisprudensi.20 Dengan
model yurisprudensial ini maka sumber hukum di negara ini selain aturan hukum
ialah berasal dari putusan hakim atau pengadilan.
Arti Juri sendiri merupakan orang-orang sipil yang terdapat pada negara
tersebut yang sifatnya netral atau tidak memiliki hubungan dengan seorang
Terdakwa. Selain itu, Juri bukanlah orang-orang yang mengerti hukum, melainkan
berasal dari golongan awam atau masyarakat biasa.21 Sebelum menjadi Juri, para
calon Juri tersebut akan mengikuti beberapa tes dan wawancara oleh Hakim, Jaksa,
dan Pengacara. Pemilihan Juri ini dilakukan dengan alasan karena adanya harapan
20 Nevrina Hastuti, “Eksistensi Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat” https://jabar.kemenkumham.go.id. Diakses Pada 7 Januari 2020. 21 Wildya Utama, “Perbedaan Sistem Peradilan di Indonesia Dengan Negara Lain” https://www.slideshare.net. Diakses pada 14 Januari 2020
19
bahwa para Juri dapat memandang suatu perkara dengan seadil-adilnya.
Selanjutnya Juri memiliki wewenang untuk melihat alat bukti yang diajukan serta
menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa.22
Kemudian, di Amerika Serikat, peranan seorang Hakim hanya sebagai
pemimpin suatu perkara yang disidangkan serta kemudian menjatuhkan berat-
ringannya hukuman kepada Terdakwa. Peranan Juri dalam menilai salah atau
tidaknya Terdakwa menjadi benang merah seorang Hakim untuk mengambil
keputusan. Hakim di Amerika Serikat dituntut untuk menerapkan sikap aktifnya
dalam mengumpulkan alat-alat bukti kemudian memberi komentar atas bukti
tersebut. Akan tetapi keyakinan seorang Hakim tidak bisa menjadi tolak ukur dalam
proses pemeriksaan Terdakwa. Sebab proses pembuktian di Amerika tidak terbatas
hanya kepada Undang-Undang, melainkan biasanya menggunakan hukum yang
berlaku umum dan menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat.
Membahas mengenai pembuktian yang ada di negara Amerika Serikat baik
negara bagian maupun pusatnya secara subtansi dalam pembuktian tidak boleh
bertentangan satu sama lain.23 Dengan kata lain maka keduanya harus
mencerminkan nilai yang sama serta seimbang, yang memberi akses yang seimbang
pula kepada para pihak (penuntut maupun tersangka, dalam hal ini pengacara).
Adapun yang dipertimbangkan sebagai alat bukti (evidence) di Amerika
Serikat yaitu di antaranya: 24
Bukti nyata yang artinya bukti alat bukti yang paling bernilai;
Bukti digital atau dokumenter;
Bukti kesaksian, dan
Pengamatan juri.
22 Syafruddin, SH, MH. “Signifikasi Perbandingan Hukum Pidana Dalam Proses Pembaharuan Hukum Pidana”. Hlm. 6. Diakses Pada 14 Januari 2020 23 Ariehta Eleison Sembiring, “Cloud Computing Acquired Digital Evidence: Evidence Integrity and Criminal Proceedings”, (Graduate Thesis of Tilburg University 2018). Hlm 13. 24 Nurul Wahida, “Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian” https://www.academia.edu. Diakses pada 7 Januari 2020.
20
Berbicara mengenai pembuktian, tak terlepas dari pembahasan alat bukti,
salah satunya adalah alat bukti elektronik. Di Amerika Serikat, alat bukti yang
berbasis eletronik dikategorikan sebagai bukti yang nyata atau alat bukti yang
paling bernilai. Alasan Pengadilan di Amerika Serikat menerapkan adanya bukti
digital adalah dikarenakan bukti digital sulit untuk dihancurkan, dapat
diduplikasikan, serta mudah untuk didapat. Dalam pembuktiannya pun, bukti
digital memerlukan perhatian lebih dalam melihat unsur-unsurnya. Unsur-unsur
tersebut antara lain:25
o Relevansi
Informasi yang dimuat menjadi alat bukti harus ada keterkaitan
atau kecocokan dengan adanya suatu tindak pidana yang harus
dibuktikan;
o Autentik
Bukti infomasi yang nyata serta memiliki nilai kesamaan saat
direpresentasikan oleh saksi maupun ahli.
Selain terkait unsur tersebut dengan mengacu pada Federal Rules of
Evidence mengenai keaslian pembuktian yang disimpan secara eletronik menjadi
pandangan utama Pengadilan.26 Menurut Peraturan Nomor 1001, terkait keaslian
konten eletronik adalah apabila sudah dijadikan print-out atau jenis out-put dengan
tujuan supaya dapat dibaca dengan jelas.
Poin utamanya adalah untuk menunjukkan data secara akurat (asli).27
Terkadang bukti digital yang digunakan di Pengadilan seringkali dianggap tidak
dapat diterima jika diperoleh tanpa izin. Untuk itu, dalam mendapatkannya, bukti
digital harus dihadirkan sebagai bukti dengan surat perintah untuk penyelidikan dan
Penyidikan.
25 Ariehta Eleison Sembiring, Op. Cit. Hlm 16 26 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 17 27 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 17
21
Dalam suatu perkara di mana seseorang yang akan dilakukan penyelidikan
jika apabila merasa tidak puas dengan tindakan proses tersebut boleh menentang
tanpa surat perintah.28 Sehingga secara tidak langsung dari hal tersebut akan
memungkinkan adanya suatu penyebab, yang mana hasilnya akan dapat dilihat dari
penyelidikan apakah tanpa surat sebanding atau tidak. Yang kemudian Hakim
memeriksa dari kedua belah pihak, jika apabila Hakim memutuskan bahwa
penyelidikan tidak memiliki bukti yang cukup, maka hal tersebut tidak diterima.
Di negara ini sendiri tidak ada penjelasan mengenai pembeda antara barang
bukti dan alat bukti, secara tidak langsung maka kedua hal tersebut menjadi satu
kesatuan dan menjadi benang merah guna mengetahui adanya tindak pidana.
Selanjutnya alat bukti yang dapat diterima ketika alat bukti tersebut sudah relevan
dengan kasus atau perkara yang terjadi.29
Amerika Serikat juga memiliki aturan hukum yang berperan sebagai
rujukan utama dalam pengaturan mengenai alat bukti, yakni Federal Rules of
Evidence, khususnya pada Pasal 403.30 Pasal ini dapat dibaca bahwa alat bukti-alat
bukti apapun dapat saja dihadirkan dan diterima di pengadilan (admissible) sejauh
relevan dan tidak menyesatkan atau membingungkan hakim.
Alat bukti sendiri dapat digolongkan menjadi dua yakni alat bukti langsung
dan alat bukti tidak langsung.31 Penjelasan mengenai alat bukti langsung yaitu bukti
yang memiliki potensi besar dalam proses penyidikan untuk menunjukan kebenaran
yang nyata pada suatu kejadian tindak pidana, contonya seperti CCTV dan saksi.
Kemudian, alat bukti tidak langsung merupakan bukti yang bergantung pada proses
yang gunanya untuk menghubungkan membentuk kesimpulan berupa fakta.
Contoh, sidik jari di tempat terjadinya tindak pidana.
Baik alat bukti langsung dan juga alat bukti tidak langsung, kedua-duanya
memiliki sifat admisibilitas (dapat diterima) sejauh alat bukti tersebut juga
menggambarkan senyatanya substansi alat bukti (tidak diubah), selain dari relevan
28 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 17 29 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 13. 30 Washington. Federal Rules of Evidence. Desember 1, 2017. Article IV. 31 Ariehta Eleison Sembiring. Op, Cit. Hlm 14.
22
dan tidak membingungkan hakim sebagaimana telah dikemukan di atas.32 Dengan
demikian, secara garis besar, posisi alat bukti di negara Amerika Serikat dinilai dari
kualitasnya, bukan kuantitasnya. Penulis tidak menemukan semacam syarat
minimal dua alat bukti yang ada di Indonesia tersebut ada disyaratkan di Amerika
Serikat.
2.3 Pembuktian di Belanda
Negara Belanda dalam sistem hukumnya menganut sistem kodifikasi, arti
kodifikasi itu sendiri adalah proses pengumpulan aturan-aturan hukum yang
tersebar di sana-sini menjadi satu bundel aturan hukum. Belanda merupakan negara
bersistem Civil Law yang lebih menekankan pada peraturan perundang-undangan
sebagai sumber hukumnya. Meski demikian, putusan pengadilan terdahulu
(yurisprudensi) dan hukum kebiasaan yang sering tidak tertulis juga turut memiliki
nilai mengikat sebagai hukum yang sah.
Membahas mengenai pembuktian, Belanda menganut teori pembuktian
dengan sistem Negatief Wettelijk Stelsel.33 Arti dari sistem tersebut yaitu
penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Dari penjabaran tersebut
memiliki rumusan yang berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim serta diimbangi dengan terkumpulnya alat bukti yang sah sesuai
undang-undang.”34
Terkait penjelasan tersebut di Belanda memiliki aturan tertulis yaitu Pasal
338 Criminal Code Procedure/CCP (sejenis dengan KUHAP) yang berisikan
“seorang pelanggar dapat didakwa di pengadilan jika apabila sudah memperoleh
alat bukti yang sah sesuai dengan undang-undang.35 Kemudian dalam Pasal 339
32 Ariehta Eleison Sembiring, Op, Cit. Hlm 18. 33 M Yahya Harahap, S.H, Op, Cit. Hlm. 278. 34 M Yahya Harahap, S.H, Op, Cit. hlm. 279. 35 Peter J.P. Tak, The Dutch Criminal Justice System, (Boom Juridische uitgevers, 2003). Hlm. 65.
23
CCP menjelasakan mengenai apa saja yang menjadi alat bukti yang sesuai undang-
undang, di antaranya:36
Pengamatan hakim, misalnya (foto maupun rekaman);
Keterangan terdakwa;
Keterangan saksi;
Keterangan ahli; dan
Surat (bahan tertulis)
Di Belanda sendiri dalam aturan pembuktian yang mana sebagai contoh “….
pengadilan bebas dalam menilai kelayakan dan kebenarannya dari bukti dan
kualitas bukti” Dengan begitu dapat dilihat aturan hukum di Belanda admisibilitas
alat bukti lebih ditekankan pada nilai bukti dan kualitas bukti.
Selanjutnya, di Belanda terkait dengan aturan pengumpulan alat bukti
terutama berkaitan dengan introgasi terdakwa atau saksi-saksi dapat dilakukan
secara paksa guna untuk mengumpulkan bukti.37 Tindakan secara paksa ini juga
memiliki batasan dalam pelaksanaannya, seperti tidak boleh menggunakan tekanan
dan tidak boleh menggunakan kekerasan fisik maupun psikolog. Sedangkan
maksud dari tindakan secara paksa ini dapat dilakukan dengan bantuan seorang ahli
di ruang interogasi dan secara intensif dengan waktu lama dan juga mensugesti
dengan menggunakan foto keluarga atau foto korban.38
Akan tetapi dengan langkah ini (tindakan secara paksa) hanya dapat
digunakan dalam kasus kejahatan yang vonis hukumannya selama empat tahun atau
lebih.39 Serta tindakan seperti ini harus memiliki izin dari hakim yang memeriksa
perkara yang sedang terjadi. Kemudian jika alat bukti yang diperoleh selama proses
36 Peter J.P. Tak. Ibid. Hlm. 65. 37 Peter J.P. Tak. Ibid. Hlm. 66. 38 MJ. Borgers & L. Stevens, “The Use of Illegaly Gathered Evidence in the Dutch Criminal Trail” Nederlandse Vereniging Voor Rechtsvergelijking,” Eletronic Journal of Comparative Law (Volume 14.3, December 2010). Hlm. 13. 39 Peter J.P. Tak, Op, Cit. Hlm. 66.
24
pencaharian secara tidak sah maka dengan begitu akan menimbulakan konsekuensi,
hal ini sudah terdapat dalam Pasal 359a CCP, diantarnya: 40
Pengadilan dapat mengurangi hukuman apabila tidak adanya
keteraturan hukum;
Alat bukti dapat dibuang (tidak dipertimbangkan);
Kasus atau perkara tidak di tindak lanjuti.
Sehingga dapat disimpulkan mengenai aturan pembuktian di Belanda tidak
berbicara terkait jumlah alat bukti yang dapat menjadikan seseorang menjadi
tersangka. Dengan kata lain di Belanda sendiri mengenai alat bukti lebih condong
pada sisi kualitas serta diimbangi dengan keyakinan seorang hakim terhadap
penetapan tersangka.
2.4 Indonesia (Teori dan Putusan Pengadilan)
Mengenai alat bukti yang reliable atau admissible di Indonesia sendiri
diartikan dengan mengalisa penerapan hukum dari Putusan Mahkamah Agung
(MA). Penulis menganalisa dalam 2 (dua) Putusan MA dengan karakteristik yang
berbeda yaitu Putusan Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 dan Putusan Nomor 574
K/Pid.Sus/2018. Dengan menganalisa Putusan yang terkait penulis berharap hasil
analisis dua kasus tersebut dapat menggambarkan mengenai fenomena dalam
pembuktian alat bukti perkara pidana.
Putusan Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010
Dalam Putusan Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010 Jaksa Penuntut Umum (JPU)
mendakwakan Terdakwa dengan Pasal 59 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan terdakwa atas nama Ket San. Hakim
pada Pengadilan Negeri Sambas Nomor 201/Pid.B/2009PN.SBS memutus
40 Peter J.P. Tak, Op, Cit. Hlm. 66.
25
Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana secara tanpa hak memiliki
serta membawa Psikotropika Golongan I. Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut
Umum menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun serta denda Rp.
150.000.000 subsidair 1 bulan kurungan.
Alat bukti yang dituduhkan kepada terdakwa tidak ditemukan secara jelas
siapa pemiliknya. Akan tetapi dalam kasus tersebut alat bukti berada saat di mana
Terdakwa berdiri dekat barang psikotropika tersebut.41 Sehingga untuk mencari
kepastian siapa pemilik barang tersebut, Terdakwa dipaksa mengaku oleh polisi
dengan cara memukulinya. Selanjutnya ada alasan keberatan Terdakwa dalam
dakwaannya, bahwa ada keterangan saksi tidak memiliki nilai kebenaran alias
diragukan. Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium guna mendapatkan
kebenaran. Ternyata hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan tidak ada hasil
urine Terdakwa yang mengandung atau memakai barang psikotropika.42
Tidak jarang dalam hal kepemilikan psikotropika atau narkotika merupakan
hasil rekayasa dari polisi, yang kemudian dengan berbagai trik atau cara
menyatakan bahwa barang tersebut milik Terdakwa. Sehingga polisi mampu untuk
membuat perekayasaan bukti tersebut dengan ditemukannya di kantong atau di
tempat Terdakwa berada dekat dengan barang tersebut.43 Hal tersebut dapat
menunjukkan tentang adanya potensi kesewenang-wenangan dan pelanggaran atas
Hak Asasi Manusia jika ternyata alat bukti (terutama bukti permulaan yang cukup)
yang didapat tersebut dari proses yang tidak tepat secara hukum.
Mahkamah Agung memutus dengan menyatakan bahwa terdakwa Ket San
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan
sebagaimana yang didakwakan.44 Sehingga, apabila perolehan alat bukti yang
dilakukan dengan proses tidak benar atau tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku, maka Tersangka sepatutnya dilepaskan dari seluruh jerat hukum.
41 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010. Hlm 20 42 Ibid. Hlm 20 43 Ibid. Hlm 21 44 Ibid. Hlm 22
26
Tentunya, ada sanksi bagi oknum aparat yang mengatasnamakan penegak hukum
untuk melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugasnya.
Dalam Putusan ini jelas bahwa alat bukti harus memiliki kualitas sebelum
menjadikan seseorang Tersangka. Alat bukti yang berkualitaslah yang dapat
mencegah adanya rekayasa dalam pembuktian kasus. Hal tersebut juga penting
dalam hal untuk menjamin hak-hak warga negara, terutama hak atas perlindungan
dan kepastian hukum (Lihat Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945).
Putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018
Kasus ini adalah kasus yang terbilang fenomenal di Indonesia. Baiq Nuril,
seorang bawahan dari seorang Kepala Sekolah mesum yang terpaksa terkena
hukum yang cenderung sembrono.45 Dalam penuntutannya, Jaksa Penuntut Umum
Kejaksaan Mataram mengutarakan bahwa Baiq Nuril dijatuhkan hukuman dengan
6 (enam) bulan penjara serta membayar denda sebanyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta). Baiq nuril didakwa melanggar kententuan pidana Pasal 27 Ayat 1 Juncto
Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dengan mendistribusikan informasi yang
bermuatan melanggar kesusilaan.
Dalam kasus Baiq Nuril yang dinyatakan melanggar Pasal 27 Ayat (1)
Juncto Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, dapat dilihat adanya beberapa unsur yaitu:
a. Unsur Dengan Sengaja dan Tanpa Hak.
Dalam kasus ini memang benar adanya kesengajaan untuk
melakukan perekaman mengenai pembicaraan dirinya dengan Hj.
Muslim.46 Akan tetapi hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk
pelindungan diri dan dijadikan sebagai bukti bahwa dirinya tidak
memiliki hubungan apapun dengan Hj. Muslim. Baiq Nuril pun
menjelaskan fakta terkait alas konten tersebut disimpannya
45 Mochamad Januar Rizki, “Hikmah Kasus Baiq Nuril” https://m.hukumonline.com. Diakses pada 15 Januari 2020 46 Putusan Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018. Hlm 6
27
selama 1 (satu) tahun. Ia juga mengungkapkan bahwa tidak ada
niatan untuk menyebarkan perekaman yang berisi konten
kesesusilaan tersebut.
Sengaja dan Tanpa Hak di sini seharusnya diartikan juga dalam
konteks perbuatan yang memiliki niat jahat (mens rea). Hal
pertama yang seharusnya dibuktikan oleh JPU dan Hakim adalah
motif di balik dari perekaman yang sengaja dilakukan Nuril
tersebut. Alih-alih mempertanyakan motif, Penegak Hukum
berlaku lebih kaku dalam halnya hanya membuktikan
terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE
tersebut.
b. Unsur Mendistribusikan dan/atau Membuat Dapat Diaksesnya.
Terdapat 2 perbuatan dalam unsur ini. Pertama adalah perbuatan
“Mendistribusikan”. Kedua adalah “Membuat dapat Diaksesnya).
Hanya saja, penghubung dua frasa tersebut adalah kata dan/atau.
Kata “dan” dalam hukum, terutama dalam ketentuan perundang-
undangan, memiliki makna kumulatif. Sedangkan kata “atau”
bermakna alternatif. Maka jika kedua kata tersebut (dan/atau)
disatukan maka akan bermakna kumulatif-alternatif.47 Artinya,
perbuatan kedua, dalam hal ini “Membuat dapat Diaksesnya”,
dalam unsur tersebut bersifat pilihan. Penegak Hukum akan
menentukannya.
c. Unsur “Mendistribusikan” sendiri, dalam kasus Nuril, terdapat
dua perbuatan yang berbeda, yaitu: memindahkan data dari
handphone ke laptop dan penyebaran data yang terdapat di laptop
Hj. Imam Mudawin. Pada dasarnya perbuatan Baiq Nuril terhenti
saat pemindahan rekaman tersebut dari handphone miliknya ke
laptop milik Hj. Imam Mudawin. Hal ini sebagai maksud untuk
dijadikan bahan laporan ke DPRD Mataram serta ada besar
47 Angka 262, 263, 264 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
28
kemungkinan Hj. Imam Mudawin menistribusikan rekaman
tersebut.48
Mengenai kasus ini jelas bahwa Baiq Nuri merupakan korban dari tindakan
asusila yang tidak pantas dilakukan oleh Hj. Muslim. Dalam konteks pembuktian,
hal pertama yang harus dilihat adalah apakah tindakan-tindakan Baiq Nuril tersebut
sudah memenuhi unsur Pasal 27 Ayat (1) UU ITE yang kemudian dihubungkan
dengan niat jahat (mens rea) juga asas-asas hukum pidana lainnya.
Putusan No 574 K/Pid.Sus/2018 merupakan suatu bentuk kesembronoan
Penegak Hukum serta menunjukkan lemahnya interpretasi hukum oleh Penegak
Hukum. Baiq Nuril yang seharusnya adalah potensial korban, jika tidak ingin
menyebutnya korban, malah dihukum dengan laporan dari pelaku pengirim pesan
singkat mesum tersebut.
Jika membaca dengan teliti kasus tersebut, dapat dilihat bahwa Baiq Nuril
hanya merekam. Kemudian rekaman tersebut diberikan kepada Imam Mudawin.
Tindakan pendistribusian sejatinya dilakukan oleh Imam Mudawin. Jika tidak ingin
mengatakan bahwa Imam Mudawin lah yang bersalah dalam tindakan
pendistribusian, maka setidaknya laporan polisi tersebut adalah salah alamat,
ditujukan pada orang yang tidak tepat.
Ada dampak dari Putusan Mahkamah Agung terhadap Baiq Nuril yaitu
tidak terpenuhinya rasa aman dan keadilan serta tidak adanya kepastian hukum bagi
Baiq Nuril. Preseden buruk tersebut sebenarnya juga (mungkin) berdampak pada
masyarakat Indonesia. Bahwa dalam kasus-kasus serupa, Hakim ingin mengatakan
bahwa masyarakat Indonesia yang terkena tindakan asusila melalui media
elektronik, tidak sekali-sekali boleh merekamnya. Ada jerat hukum pidana yang
menanti jika hal tersebut dilakukan.
Dapat disimpulkan bahwa Hakim yang menjatuhkan hukuman pidana
terhadap Baiq Nuril terkesan menyederhanakan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 27 Ayat 1 UU ITE. Sehingga Hakim belum mampu melihat kasus terhadap
48 Putusan Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018. Ibid. Hlm 7
29
perbuatan yang sebenarnya secara utuh yang dimulai dari motif atau sebuah
dorongan niat bahkan sampai dengan tujuan dari perbuatan yang dilakukan oleh
Baiq Nuril. Serta menganggap masih adanya kekosongan dalam ruang lingkup
hukum. Artinya, dalam kasus ini pengak hukum belum mampu menyediakan
tempat bagi korban dalam memberikan pembuktian serta melaporkan kepada
penegak hukum dalam tindak pidana yang sedang terjadi.
30
BAB III
KUALITAS ALAT BUKTI
3.1 Kualitas Alat Bukti
3.1.1 Relevan
Dalam suatu perkara tindak pidana, hal utama yang harus terpenuhi yaitu
unsur pembuktian guna dapat membuktikan seseorang telah melakukan tindak
pidana dan dapat dijadikan status Tersangka. Pembuktian terkait benar tidaknya
seorang Tersangka melakukan perbuatan tindak pidana merupakan hal terpenting,
dimana dalam pembuktian, hak asasi manusia dipertaruhkan. Ada beberapa konsep
yang mendasar terkait dengan suatu pembuktian, di antarnya yaitu:49
Suatu alat bukti harus memiliki relevansi atau berkaitan dengan
fakta perkara yang sedang di proses;
Mengenai alat bukti haruslah adanya nilai diterima ataupun tidak
diterima. Secara garis besarnya primafacie dari alat bukti yang
diterima adalah alat bukti memiliki nilai yang relevan;
Adanya prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diterima atau
tidak diakuinya suatu bukti yang diperoleh dengan cara melawan
hukum;
Dalam konteks Pengadilan, terdapat unsur dimana setiap bukti
yang dianggap relevan dan diterima terlebih dahulu dievaluasi
oleh Hakim.
Relevansi alat bukti menjadi suatu hal yang penting dalam perkara pidana.
Berkaca pada negara Amerika Serikat dalam peraturan Federal Rules of Evidence,
alat bukti yang dapat dikatakan bukti yang relevan jika: 50
49 Josua Sitompul, S.H., IMM. “Syarat dan Kekuatan Hukum Alat Bukti Eletronik” https://m.hukumonline.com. Diakses pada 15 Januari 2020 50 Washington. Federal Rules of Evidence. Desember 1, 2017. Article IV
31
Memiliki adanya kecendrungan untuk memunculkan fakta
dengan banyak atau minimnya alat bukti;
Adanya fakta yang merupakan konsekuensi dalam menentukan
tindakan.
Garis besarnya pembuktian yang relevan sendiri tidak memandang terkait
jumlah kuantitas terkumpulnya alat bukti. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
bukti yang relevan memiliki pengecualian, yaitu:51
Adanya masalah atau perkara yang membingungkan;
Adanya keputusan yang tidak adil;
Menyajikan alat bukti yang tidak diperlukan;
Menyesatkan atau membingungkan Hakim.
Mengenai beban pembuktian yang mewajibkan Jaksa Penuntut Umum
untuk membuktikan kesalahan Terdakwa, seperti yang tercantum dalam Pasal 66
KUHAP bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Hal
ini yang juga disampaikan oleh M. Yahya Harahap, bahwa penuntut umum diberi
wewenang untuk mengajukan segala upaya dalam membuktikan kesalahan
terdakwa.52 Untuk itu, bukti tersebut harus berdasarkan pada asas terbukti secara
sah dan meyakinkan (Beyond a Reasonable Doubt). Yang mana tanpa bukti yang
cukup 10%, 20%, 30% membuktikan kesalahan, paling tidak 90% mampu
membuktikan.53 Kemudian ada beberapa patokan mengenai penerapan standar
terbukti secara sah dan menyakinkan, antara lain:54
Memahami definisi terbukti secara sah dan menyakinkan, hal ini
menjadi tujuan pokok guna mencari dan mewujudkan kebenaran
yang sejati (ultimate truth, dan absolute truth). Jangan sampai
51 Ibid. Hlm 14 52 M Yahya Harahap, S.H. (2015). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 274. 53 Ibid. Hlm 338. 54 Ibid. Hlm 339
32
menghukum orang yang tidak bersalah, dan jangan sampai
membebaskan orang yang bersalah;
Tidak mewajibkannya dalam membuktikan terkait adanya
keraguan dalam suatu perkara. Artinya, tidak berarti semua
keadaan yang meragukan mesti dibuktikan dalam satu perkara,
maka yang paling utama yang harus dibuktikan adalah perbuatan
(actus rea), dan kesengajaan (mens rea);
Harus berpedoman pada sistem pembuktian yang memenuhi
standar terbukti secara sah dan menyakinkan berdasarkan dengan
alat bukti yang limitaif sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.
Kemudian dianggap alat bukti yang sah menurut hukum adalah
sudah memenihi syarat formal dan materil, sehingga dapat
digaris bawahi bahwa kekuatan pembuktian bukan tergantung
pada kuantitas melainkan kualitas;
Adanya kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, artinya
meskipun kesalahan sudah terbukti berdasar alat bukti yang sah
dan memenuhi syarat formal dan materil maka penerimaan atas
suatu kebenaran harus berdasarkan pertimbangan hukum dan
etika;
Memiliki acuan dalam penerapan tingkat standar kesalahan
Terdakwa berdasarkan bukti yang tidak meragukan. Artinya,
pembuktian memiliki nilai kekuatan 90%, dan keraguan hanya
10%. Dalam hal ini kesalahan Terdakwa sudah dianggap pasti
dan diyakini.
Dapat dilihat bahwa pembuktian bertitik tolak pada alat bukti Bahwa alat
bukti tersebut harus ada relevansinya dengan perkara yang terjadi. Tentu saja hal
yang tidak kalah pentingnya adalah dapat diterima atau tidaknya alat bukti tersebut.
Lalu sebagai unsur penentuan keabsahan alat bukti, cara memperoleh alat bukti
tersebut harus dengan cara-cara yang diperbolehkan oleh Undang-Undang.
Terakhir, harus adanya pengevaluasian oleh Hakim terkait alat bukti yang diperoleh
33
sebelum menjatuhkan Putusan. Terpenuhinya unsur-unsur tersebut kiranya dapat
mengurangi potensi kesewenang-wenangan, yang tentu saja melawan hukum, yang
mungkin akan diterima oleh Terdakwa/Tersangka.
3.1.2 Prosedural
Dalam penetapan Tersangka harus sesuai dengan prosedur atau tata cara
yang berlaku dalam perundang-undangan, dalam hal ini KUHAP. Pasal 1 angka 14
KUHAP menjelaskan:
“Tersangka adalah seseorang yang karena
perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah dijadikan sebagai tolak ukur
dalam menentukan bukti permulaan yang cukup, yang tentu saja sudah dibahas
harus berdasarkan pada 2 alat bukti. Hal tersebut pulalah yang membuat Pasal 1
angka 14 KUHAP tersebut terkesan multi tafsir. Sebab, untuk menentukan sesuatu
sebagai bukti permulaan sangat tergantung pada kualitas.
Selanjutnya mengenai prosedur penyelesaian perkara termasuk Penyidikan
dan Penetapan Tersangka harus dilakukan secara profesional, proporsional dan
transparan. Alasan tersebut agar tidak ada penyalahgunaan wewenang dan tidak
semata-mata hanya menjadikan seorang Tersangka.
Pada frasa “alat bukti yang sah” dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) mengandung dua arti penting. Yang pertama terkait
jenisnya yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan yang kedua mengenai
bagaimana perolehan alat bukti tersebut. Dalam KUHAP dikenal beberapa tahapan,
yaitu: Tahap Penyidikan, Tahap Penuntutan, dan Tahap Pemeriksaan.
Hal utama sebelum menetapkan status Tersangka yaitu dilakukan kegiatan
Penyidikan guna mencari dan mengumpulkan bukti-bukti guna membuat titik
terang dalam menemukan Tersangkanya. Kegiatan Penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik harus diberitahukan kepada penuntut umum dalam bentuk Surat
34
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).55 Guna surat tersebut adalah untuk
memantau perkembangan Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian.
Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian
yang melekat di setiap alat bukti yang diperoleh harus dengan cara-cara yang
dibenarkan oleh Undang-Undang. Tujuannya tentu saja agar dapat mewujudkan
kebenaran yang hendak akan dijatuhkan. Ada beberapa butir pokok yang menjadi
alat ukur pembuktian, diantaranya:56
Adanya dasar pembuktian yang dipergunakan dalam
pertimbangan keputusan Pengadilan guna memperoleh fakta-
fakta yang benar;
Alat-alat bukti yang digunakan oleh Hakim harus dapat
menggambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana;
Cara penguraian pembuktian memiliki peran penting dalam
pemeriksaan di Pengadilan, sebab berdasarkan alat bukti yang
terkumplah Hakim dapat menetapkan keyakinannya;
Kekuatan pembuktian pada masing-masing alat bukti yang sudah
terkumpul;
Beban suatu pembuktian harus berdasar pada Undang-Undang
untuk membuktikan suatu perkara yang didakwakan;
Mengenai bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian
untuk mengikat keabsahan.
Hal utama dalam pembuktian yang berkualitas itu tentu saja pada alat bukti
yang terpenting yang didapat dari proses hukum yang benar. Untuk mendapatkan
alat bukti dalam suatu perkara pidana harus dilakukannya proses Penyelidikan dan
55 Norman Edwin Elnizar. “SPDP Terbit Tak Berarti Sudah Ada Tersangka” https://m.hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020 56 Unknown. “Mengatur Alat Bukti Yang Dibenarkan Undang-Undang”. https://www.coursehero.com. Diakses pada 16 Januari 2020
35
Penyidikan barulah seseorang dapat ditetapkan menjadi Tersangka. Dalam hal
tersebut harus berkesesuaian dengan peraturan hukum yang berlaku.
3.1.3 Non-modifiable
Pasal 184 KUHAP menjelaskan mengenai apa saja yang termasuk ke dalam
alat bukti yang sah, yaitu diantarnya:
Keterangan saksi;
Keterangan ahli
Surat;
Petunjuk;
Keterangan Terdakwa.
Sehingga mengenai alat bukti yang sah tersebut dapat diandalkan sebagai
penyederhana guna menemukan jawaban dari suatu perkara pidana. Dalam
pembuktian yang dilakukan oleh Penyidik mulai dari tahap Penyelidikan,
Penyidikan hingga seseorang dapat ditetapkan menjadi Tersangka dengan
perolehan alat bukti yang sudah didapat. Maka alat bukti tersebut tidak boleh diubah
maupun direkayasa.57
Merekasaya atau mengubah suatu alat bukti yang sudah terkumpul
merupakan suatu perbuatan bohong. Dalam ajaran agama sendiri melarang untuk
melakukan perbuatan berbohong. Akan tetapi di Indonesia berbohong di dalam
ranah persidangan merupakan suatu tindak pidana dan memiliki sisi ancaman
pidana yang berat.58 Dalam perbuatan tersebut, pada suatu perkara pidana,
pengrekayasaan atau pengubahan mengenai alat bukti dapat menyebabkan alat
57 Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. “Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di Persidangan”. https://m.hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020 58 Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Hukuman Bagi Saksi Palsu di Persidangan”. https://m.hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020
36
bukti tersebut dibuat-buat oleh pelaku itu sendiri atau dibuat-buat oleh penegak
hukum atau pihak lain yang memiliki kepentingan.59
Ada aturan mengenai hal tersebut, pada Pasal 242 Ayat (1) KUHAP
menegaskan:
“Barang siapa dengan sengaja memberi keterangan
palsu di atas sumpah, baik secara lisan maupun
tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang
khusus untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lam tuju tahun”
Kemudian pada Pasal 242 Ayat (2) KUHAP berisikan acaman hukuman
lebih berat, Pasal tersebut berisikan:
“Jika keterangan palsu yang diberikan dalam
perkara pidana dan ternyata merugikan Terdakwa
atau Tersangka maka diancam pidana penjara paling
lama sembilan tahun”.
Sehingga dalam hal ini berbohong atau tidaknya seseorang terkait alat bukti
di persidangan maka sepenuhnya ditentukan Hakim. Hakim berwenang
menentukan dan menilai setiap keterangan yang diberikan dalam persidangan.
Biasanya keyakinan Hakim yang arif dan bijaksana dalam menangani perkara
tentunya dapat melihat itu semua untuk mencari kebenaran yang hakiki.
Jika memberikan keterangan tidak benar atau palsu bahkan ada intensi
mengubah atau merekayasa alat bukti, dan tidak ada kesinambungan alat bukti lain
dalam membuktikan kesalahan Terdakwa maka akibat hukumnya adalah Terdakwa
harus dibebaskan. Dengan kata lain unsur perbuatan (actus reus) maupun
kesengajaan (mens rea) dalam suatu perkara pidana harus dapat dibuktikan dengan
sebenar-benarnya. Sehingga harus dipastikan terkait alat bukti yang sedari awal
59 Roy Riady. “Belajar Hukum: Upaya Rekayasa Saksi vs Kearifan Hakim”. https://kumparan.com. Diakses pada 16 Januari 2020
37
diambil hingga dihadirkan dalam persidangan, secara hukum, tidaklah bisa atau
tidak boleh diubah dalam keadaan apapun.
3.2 Alasan Dua Alat Bukti Dipandang Cukup
Mengenai bukti permulaan yang cukup, ada aturan mengenai pernyataan
tersebut di antaranya:
Pasal 1 angka 14 KUHAP:
“Tersangka adalah seseorang yang karena
perbuatannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
Pasal 17 KUHAP:
“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang
yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.
Pasal 21 Ayat (1) KUHAP:
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang Tersangka yang diduga
kerasa melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal ini maka timbul adanya
keadaan kekhawatiran bahwa Tersangka melarikan
diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau
bahkan mengulangi tindak pidana”
Pengertian bukti yang cukup adalah salah satu syarat terkait dilakukannya
upaya penahanan seseorang untuk mengetahui suatu perkara tindak pidana. Dalam
Pasal tersebut mengenai bukti permulaan yang cukup tidak ada ketentuan yang jelas
menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu. Dirasa, KUHAP tidak
memberikan secara jelas mengenai bukti permulaan yang cukup. Kemudian
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan bernomor 21/PUU-XII/2014. Dalam
Putusan tersebut menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
38
cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21
Ayat 1 KUHAP harus dimaknai minimal dua alat bukti sesuai dengan Pasal 184
KUHAP.60
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa syarat minimum dua alat bukti
harus transparan dan merupakan perlindungan terhadap hak asasi seseorang agar
sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah memberikan keterangan
yang seimbang.61 Sehingga tanpa “bukti permulaan yang cukup” Penyidik tidak
dapat melakukan penangkapan. Mengenai dengan pelaksanaan sistem peradilan
pidana di Indonesia terkait “bukti permulaan yang cukup” atau “bukti yang cukup”
merupakan hasil dari Penyidikan yang diterima oleh Jaksa Penuntut Umum yang
menjadikan dasar untuk memberikan dakwaan seseorang.62
Dengan kata lain, pernyataan tersebut adalah untuk menentukan dapat atau
tidaknya seseorang dijadikan Tersangka. Hal ini bertujuan untuk menghindari
adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Penyidik, terutama dalam
menentukan bukti permulaan yang cukup. Sebab, apabila tanpa adanya penafsiran
dua alat bukti yang cukup tersebut, tidak ada koridor dan batasan untuk Penuntut
Umum dalam menentukan hal-hal yang memang tepat dan benar untuk Terdakwa.63
Pemaknaan atau penafsiran yang Mahkamah Konstitusi mengenai dua bukti
yang cukup tersebut memang memiliki implikasi terhadap upaya praperadilan di
indonesia. Munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menambah kepastian
hukum bagi masyarakat Indonesia, terutama terhadap hak Tersangka.
3.3 Kelemahan Paradigma Alat Bukti Yang Kuantitatif
60 Agus Sahbani. “MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan https://hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020 61 Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Arti ‘Bukti Permulaan yang Cukup’ dalam Hukum Acara Pidana” https://m.hukumonline.com. Diakses pada 16 Januari 2020 62 Chandra M Hamzah. (2014). Penjelasan Hukum (Restatement) Bukti Permulaan Yang Cukup. Jakarta: PSHK. Hlm 23 63 Hery Shietra. “Dijadikan Tersangka dengan Kurang dari Dua Jenis Alat Bukti, dapat Diajukan Praperadilan” https://www.hukum-hukum.com. Diakses pada 17 Januari 2020
39
Salah satu bentuk penetapan Tersangka merupakan bagian dari suatu proses
Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik. Untuk melakukan penangkapan kepada
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana menurut hukum di Indonesia harus
ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Kemudian dengan diimbangi
dengan adanya keyakinan Hakim yang harus kooperatif dalam melihat alat bukti
yang dihadapkan di Pengadilan.
Dua alat bukti yang cukup dapat dikategorikan dengan alat bukti yang
bersifat kuantitatif. Arti dari paradigma kuantitatif adalah sebuah pencatatan dalam
bentuk jumlah atau nominal. Jadi paradigma dalam alat bukti yaitu alat bukti yang
berdasarkan dengan nominalnya “dua”. Dari perolehan dua alat bukti terhadap
seseorang yang diduga melakukan perkara pidana yang sedang terjadi maka dapat
dilakukan penangkapan.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang
memberikan penafsiran dua alat bukti, MK menganggap syarat minimum dua alat
bukti guna menetapkan seserang menjadi Tersangka merupakan bentuk dari
menghindari adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
Penyidik, terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup. Paradigma ini
sendiri memberikan penjelasan mengenai alat bukti yang mengutamakan pada
proses dan persepsi saja. Hal ini pun menjadi sorotan tersendiri, memiliki
pendekatan khas yang patut untuk lebih diperhatikan.
Dalam paradigma terhadap alat bukti yang kuantitatif memiliki asumsi yang
penting yaitu harus memiliki nilai yang realitas. Artinya, dalam mengidentifikasi
suatu alat bukti perkara pidana yang sedang terjadi harus memiliki fragmen dan
kecendrungan yang bersifat konstan terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan.
Akan tetapi dalam paradigma alat bukti yang kuantitatif sendiri memiliki adanya
kelemahan, yaitu di antaranya:
Perolehan alat buktinya akan cenderung berasal dari nilai yang
condong terhadap satu sisi;
Pengambilan alat bukti yang hanya dari sisi subyektif;
Orientasi terhadap alat bukti hanya terbatas karena terpaku pada
jumlah;
40
Adanya pembatasan peluang dalam menggali kualitas alat bukti
yang di dapat.
Dengan kata lain paradigma terhadap alat bukti yang kuantitatif hanya
memfokuskan pada makna subjektif, pendefinisian, dan dianggap jarang dalam
melihat dari sisi kualitatif.
41
BAB IV
ANALISA
4.1 Derajat Kecukupan Dua Alat Bukti Dalam Penetapan
Tersangka Berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
Membahas kembali mengenai pembuktian dalam penetapan Tersangka
sudah diatur dalam Pasal 1 angka 14 , Pasal 1, Pasal 21 Ayat (1) KUHAP. Dalam
KUHAP tidak menjelaskan berapa jumlah alat bukti untuk menetapkan seorang
menjadi Tersangka. Kemudian Mahkamah Konstitusi memperluas frasa “bukti
permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” menjadi
kuantitatif yaitu 2 (dua) alat bukti. Mahkamah Konstitusi dalam perluasan frasa
tersebut, dapat dikatakan, memiliki alasan agar penegak hukum tidak menjadikan
seseorang sebagai Tersangka tanpa adanya alasan yang jelas.64
Dua alat bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai
Tersangka, sebenarnya tidak cukup. Sebab belum mencakup standar pembuktian
secara sah (beyond a reasonable doubt). Hal ini beralasan karena masih banyak
penegak hukum dalam mengumpulkan alat bukti tidak dilakukan dengan cara-cara
yang sah apalagi benar. Proses yang tidak sah atau tidak benar tersebut seperti:
Perolehan alat bukti kurang;
Pengambilan alat bukti yang dilakukan secara tidak sesuai
(kekerasan, intimidasi, tidak adanya surat);
Alat bukti yang tidak sesuai realita kejadian atau perkara
(direkasaya atau dimodifikasi).
Salah satu contohnya, dalam Putusan Nomor 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm ini
penetapan Tersangkanya sudah ditetapkan akan tetapi dalam penetapan tersebut
tanpa lebih dulu dilakukan acara pemeriksaan.65 Sehingga hal tersebut dianggap ada
proses hukum yang dilakukan secara tidak benar dan tidak sesuai dengan proses
64 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Hlm 112 65 Putusan Mahkamah Agung Nomor 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm. Hlm 22
42
hukum yang sah. Dalam hal proses penetapan Tersangka yang dilakukan secara
tidak sah atau tidak benar, dapat dilakukan upaya keberatan di Praperadilan.
Berbicara mengenai cukupnya dua alat bukti dalam penetapan status
Tersangka, kualitas terhadap alat bukti belum tentu terpenuhi. Kualitas yang tidak
hanya berbicara mengenai jumlah, tetapi juga cara mendapatkan. Serta terkait dua
alat bukti akan lebih tepat jika diketegorikan setidaknya sebagai batas minimal
untuk memperoleh alat bukti.
Membahas mengenai kualitas yang merupakan sebuah tolak ukur atau nilai
terhadap sesuatu hal. Dalam kualitas pembuktian terhadap penetapan Tersangka
kepada seseorang itu sendiri menyangkut pada prosesnya pengambilan alat bukti.
Sehingga alat bukti yang memiliki kualitas tersebut harus memenuhi unsur yang
sebagaimana disebutkan dalam Bab 3, antara lain:
Relevan
Mengenai perolehan alat bukti untuk menetapkan seseorang
menjadi Tersangka harus sesuai dengan perkara pidana yang
sedang terjadi. Sehingga alat bukti yang relevan itu bagaimana
cara memperoleh alat bukti dan pengevaluasian oleh Hakim
terkait alat bukti yang diperoleh sebelum menjatuhkan Putusan.
Prosedural
Dalam pembuktian yang berkualitas itu bahwa alat bukti yang
terpenting adalah didapat dari proses hukum yang benar. Untuk
mendapatkan alat bukti dalam suatu perkara pidana harus
dilakukannya proses Penyelidikan dan Penyidikan, hingga
seseorang dapat ditetapkan menjadi Tersangka, dalam hal
tersebut harus berkesesuaian dengan peraturan hukum yang
berlaku.
Non-modifiable
Alat bukti yang sudah diperoleh tidak boleh diubah maupun
direkayasa. Sehingga harus dipastikan terkait alat bukti yang
43
sedari awal diambil hingga dihadirkan dalam persidangan, secara
hukum, tidaklah bisa atau tidak boleh diubah dalam keadaan
apapun.
Sehingga dalam pembuktian guna menetapkan seseorang menjadi
Tersangka tidak dapat dikategorikan cukup dengan adanya dua alat bukti. Dua alat
bukti tidak bisa dijadikan acuan dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka.
Sebab pada dasarnya selain berbicara pada jumlah alat buktinya, maka harus
disertakan pula dengan sisi kualitas alat bukti tersebut.
4.1.1 Efektivitas antara Syarat Kuantitatif dan Kualitatif
Terhadap Dua Alat Bukti
Dalam pengkajian terhadap syarat minimal dua alat bukti untuk menetapkan
seseorang menjadi Tersangka, yang menjadi pokok persoalan yaitu dua alat bukti
tersebut apakah dapat dinyatakan memiliki efektivitas yang baik atau sebaliknya.
Sudah dibahas sebelumnya mengenai derajat kecukupan dua alat bukti dalam
penetapan Tersangka yang ternyata dua alat bukti tersebut belum cukup sebagai
acuan untuk menjadikan seseorang Tersangka.
Kuantitas dua alat bukti tidak bisa dikategorikan sebagai acuan dalam
penetapan Tersangka, sebab hal tersebut dianggap menjadi jalan pintas penegak
hukum untuk mendapat alat bukti yang dilakukan dengan cara tidak sah. Artinya,
ia hanya memikirkan bahwa jika sudah ada dua alat bukti maka seseorang dapat
dijadikan Tersangka tanpa memikirkan kualiatas alat bukti tersebut. Akan lebih
tepatnya jika apabila dalam menjadikan seseorang Tersangka setidaknya dua alat
bukti diubah menjadi batas minimal untuk memperoleh alat bukti. Hal ini bertujuan
supaya tidak ada kesewang-wenangan penegak hukum dalam menjadikan
seseorang Tersangka.
Sehingga kuantitas batas minimal dua alat bukti dalam penetapan Tersangka
seseorang dapat menjadi tolak ukur keakuratan terhadap tindak pidana yang sedang
terjadi. Yang mana dalam kuantitas batas minimal dua alat bukti juga harus
44
diimbangi dengan sisi kualitas. Dengan kata lain keduanya memiliki satu
keterkaitan dan menjadi benang merah di antara keduanya.
Ada sebuah pernyataan yang mendefinisikan dalam perumpamaan barang
atau layanan bahkan jasa yang memiliki nilai tinggi akan menghasilkan suatu hasil
sepadan dan memiliki nilai pakai yang lebih serta berkualiatas. Kemudian jika
apabila hal tersebut diterapkan pada pembuktian tindak pidana maka hal tersebut
akan menghasilkan keakuratan terhadap penetapan Tersangka. Yang mana jika
semakin banyak pencaharian untuk alat bukti maka semakin berkualitas juga
keakuratan alat bukti dalam menetapkan Tersangka.
Untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka, tidak tepat jika
menggunakan frasa dua alat bukti yang dianggap cukup, melainkan harus berdasar
pada kualitas. Kualitas itu sendiri menyangkut pada unsur relevan, prosedural dan
non-modifiable terhadap alat bukti. Maka akan lebih menjadi efektif jika syarat
kualitas yang lebih diutamakan dan dua alat bukti menjadi batas minimal dalam
menjadi seseorang Tersangka dalam suatu perkara pidana.
45
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
Berkembangnya peraturan pembuktian dalam tindak pidana di Indonesia
sudah banyak mengalami perkembangan mulai dari ilmu pengatahuan hingga
teknologi. Pengaturan alat bukti di Indonesia sendiri umumnya bersifat terbatas
(limitasi). Artinya, dalam KUHAP tidak menjelaskan berapa jumlah dari frasa bukti
permulaan yang cukup, sehingga kemudian Mahkamah Konstitusi sendiri
memberikan perluasan mengenai frasa tersebut menjadi dua alat bukti. Mahkamah
Konstitusi melakukan perluasan dengan alasan agar tidak ada penyalahgunaan
wewenang dalam menjadikan seseorang tersangka tanpa adanya alasan yang jelas.
Berbicara mengenai perluasan frasa dua alat bukti dianggap cukup yang
sebenarnya adalah tidak cukup untuk menjadikan seseorang tersangka. Dengan
asalan karena belum dapat dikatakan berkualitas jika hanya dua alat bukti sebagai
acuan sehingga sehingga akan sulit mencari kualitas terhadap alat bukti karana
jumlahnya yang terbatas. Kualitas dalam alat bukti itu sendiri harus mengandung
pada 3 (tiga) unsur yaitu relevan, prosedural, dan non-modifiable. Serta kemudian
frasa dua alat bukti untuk mempertersangakakan seseorang akan lebih tepatnya jika
diubah menjadi batas minimal. Sehingga hal ini akan adanya dampak kekuatan dan
keakuratan terhadap alat bukti yang dapat membuktikan dakwaan di pengadilan.
Dianggap juga untuk meminimalisir terjadinya kesalahan hakim dalam memutus
perkara pidana yang dijadikan dasar untuk membuat putusan.
Dengan kata lain menrut hemat penulis dalam menetapkan seseorang
menjadi tersangka harus sesuai dengan proses yang benar dan memiliki unsur
kualitatif guna dapat mengakuratkan pembuktian terhadap tindak pidana yang
terjadi. Serta perlu adanya re-konsep peraturan baru mengenai syarat cukupnya 2
(dua) alat bukti yang sebagaimana menjadi acuan dalam menetapkan seseorang
menjadi tersangka lebih tepat jika diubah menjadi batas minimal.
46
DAFTAR PUSTAKA
“BUKU dan JURNAL”
M. Yahya Harahap, S. (2015). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.
Jakarta: Sinar Grafika
Soerjono Soekanto, (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press
Hamzah, P. D. (2016). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Rianto Adi. (2005). Metode Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit
Peter J.P. Tak (2003). The Dutch Criminal Justice System. Boom Juridische
Uitgevers Chandra M Hamzah. (2014). Penjelasan Hukum (Restatement) Bukti
Permulaan Yang Cukup. Jakarta: PSHK.
Ronny Kountur. (2007) Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta:
Buana Printing.
Chandra M. Hamzah, (2014) Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang
Cukup, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Nugroho, B. Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana. Jurnal Yuridika. Vol 32,
2017
MJ. Borgers & L. Stevens. “The Use of Illegaly Gathered Evidence in the Dutch
Criminal Trail” Nederlandse Vereniging Voor Rechtsvergelijking
Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang,
2007).
Sukarna, K, (2014) “Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Peradilan Pidana”.
Prosiding Seminar Nasional
“PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
Washington. Federal Rules of Evidence. Desember 1, 2017
Perturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
47
Putusan Praperadilan Mahkamah Agung Nomor 5/Pid.Prap/2015/PN Kfm
Putusan Praperadilan Mahkamah Agung Nomor 1531 K/Pid.Sus/2010
Putusan Praperadilan Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
“SKRIPSI”
Ariehta Eleison Sembiring. “Cloud Computing Acquired Digital Evidence:
Evidence Integrity and Criminal Proceedings”. Graduate Thesis of Tilburg
University 2018
“INTERNET”
Nurul Wahida. “Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian” https://www.academia.edu
Wildya Utama. “Perbedaan Sistem Peradilan di Indonesia Dengan Negara Lain”.
https://www.slideshare.net
Syafruddin, SH, MH. “Signifikasi Perbandingan Hukum Pidana Dalam Proses
Pembaharuan Hukum Pidana”.
Nevrina Hastuti. “Eksistensi Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika
Serikat”. https://jabar.kemenkumham.go.id
Norman Edwin Elnizar. “SPDP Terbit Tak Berarti Sudah Ada Tersangka”.
https://m.hukumonline.com
Unknown. “Mengatur Alat Bukti Yang Dibenarkan Undang-Undang”.
https://www.coursehero.com
Sidiq. “Metode Penelitian Kuantitatif”. https://sosiologis.com
Unknown. “Karakter Hukum Pembuktian”.
https://Pengadilanmiliterindonesia.blogspot.com
Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. “Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di
Persidangan”. https://m.hukumonline.com
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Hukuman Bagi Saksi Palsu di Persidangan”.
https://m.hukumonline.com
Hery Shietra. “Dijadikan Tersangka dengan Kurang dari Dua Jenis Alat Bukti,
dapat Diajukan Praperadilan”. https://www.hukum-hukum.com
48
Agus Sahbani. “MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan.
https://hukumonline.com
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Arti ‘Bukti Permulaan yang Cukup’ dalam Hukum
Acara Pidana”.https://m.hukumonline.com
49
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
KETERANGAN DIRI
1. Nama : Upik Puspitasari
2. Tempat/ : Boyolali, 15 Mei 1998
Tanggal Lahir
3. NIM : 017201605006
4. Jurusan : Hukum
5. Semester : Akhir
6. Tahun Ajaran : 2016
7. Jenis Kelamin : Perempuan
8. Agama : Islam
9. Status : Belum Menikah
Perkawinan
10. Pekerjaan : Mahasiswa
11. Alamat : Kp. Pegaulan Rt. 010/002, Kecamatan Cikarang
Selatan, Kelurahan Sukaresmi, Kabupaten Bekasi
12. Riwayat : SD Negeri Sukaresmi 06 (2004-2010)
Pendidikan SMP Karya Iman Lippo Cikarang (2010-2013)
SMA Karya Iman Lippo Cikarang (2013-2016)