penggunaan mometasone furoate untuk mencegah kekambuhan polip setelah bedah endoskopi sinus

18
Penggunaan Mometasone Furoate Untuk Mencegah Kekambuhan Polip Setelah Bedah Endoskopi Sinus Tujuan: Untuk mengevaluasi efek mometasone furoate pada pencegahan atau pengurangan kekambuhan nasal polip dan memburuknya gejala setelah operasi endoskopi sinus fungsional (functional endoscopic sinus surgery/FESS). Desain: Studi acak, double-blind, terkontrol placebo, multicenter. Tempat: Sepuluh klinik telinga, hidung, dan tenggorokan di Swedia. Pasien: Subyek dewasa dengan polip hidung bilateral yang memenuhi kriteria untuk menjalani operasi FESS. Intervensi: Dua miinggu setelah FESS, subyek diacak untuk menerima semprot hidung mometasone furoate, 200 ug sekali sehari, atau plasebo. Hasil pengukuran utama penelitian: Waktu untuk kambuh, yang didefinisikan sebagai peningkatan 1 poin atau lebih pada skala endoskopi polip 0 - 6 poin. Hasil: Pada populasi per - protocol (n = 104), median waktu untuk kambuh masing – masing adalah 173 dan 61 hari untuk kelompok mometasone dan kelompok plasebo (P = 0,007; hazard rasio [95% confidence interval], 0,72 [0,55-0,93]). Dalam populasi intent-to -treat (n = 159), median waktu untuk kambuh lebih dari 175 hari di kelompok mometasone dan 125 hari pada kelompok plasebo (P = 0,049; hazard rasio, 0,79

Upload: lockon73

Post on 06-Sep-2015

18 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Penggunaan Intranasal steroid

TRANSCRIPT

Penggunaan Mometasone Furoate Untuk Mencegah Kekambuhan Polip Setelah Bedah Endoskopi Sinus

Tujuan: Untuk mengevaluasi efek mometasone furoate pada pencegahan atau pengurangan kekambuhan nasal polip dan memburuknya gejala setelah operasi endoskopi sinus fungsional (functional endoscopic sinus surgery/FESS). Desain: Studi acak, double-blind, terkontrol placebo, multicenter.Tempat: Sepuluh klinik telinga, hidung, dan tenggorokan di Swedia.Pasien: Subyek dewasa dengan polip hidung bilateral yang memenuhi kriteria untuk menjalani operasi FESS. Intervensi: Dua miinggu setelah FESS, subyek diacak untuk menerima semprot hidung mometasone furoate, 200 ug sekali sehari, atau plasebo.Hasil pengukuran utama penelitian: Waktu untuk kambuh, yang didefinisikan sebagai peningkatan 1 poin atau lebih pada skala endoskopi polip 0 - 6 poin.Hasil: Pada populasi per - protocol (n = 104), median waktu untuk kambuh masing masing adalah 173 dan 61 hari untuk kelompok mometasone dan kelompok plasebo (P = 0,007; hazard rasio [95% confidence interval], 0,72 [0,55-0,93]). Dalam populasi intent-to -treat (n = 159), median waktu untuk kambuh lebih dari 175 hari di kelompok mometasone dan 125 hari pada kelompok plasebo (P = 0,049; hazard rasio, 0,79 [0,62-0,99]). Efek samping paling umum adalah epistaksis, 6 kasus pda kelompok mometasone dan 3 pada kelompok plasebo.Kesimpulan : Penggunaan mometasone furoate pascaoperasi, 200 mg sekali sehari, memberikan waktu yang lebih lama bagi polip hidung untuk kambuh daripada placebo pada subyek dengan poliposis hidung bilateral yang telah menjalani FESS, perbedaannya signifikan secara statistik. Kemampuan mometason untuk mencegah atau memperpanjang waktu untuk kambuh antara subyek yang menjalani FESS penting karena hal ini dapat memperpanjang waktu sebelum menjalani operasi berikutnya.

PENDAHULUANPoliposis hidung adalah gangguan inflamasi umum dari saluran pernapasan bagian atas yang diperkirakan mempengaruhi antara 2,1 % dan 4,3% orang dewasa di Eropa. Meskipun patofisiologi poliposis hidung belum didefinisikan secara tepat, diperkirakan melibatkan peradangan mukosa sinonasal. Tanda poliposis hidung bilateral adalah infiltrat seluler dengan eosinophilia dominan serta peningkatan kadar mediator inflamasi, termasuk interleukin 5 dan eotaksin, yang berkontribusi untuk migrasi dan kelangsungan hidup eosinofil. Mukosa yang meradang dan mengalami edema prolaps ke dalam saluran hidung dan menyebabkan dengan gejala poliposis hidung, termasuk sumbatan hidung, kongesti dan gangguan penciuman atau tidak mencium sama sekali. Hasilnya, pasien mengalami penurunan substansial kualitas hidup. Setelah mempertimbangkan penyebab yang mendasari, polip hidung biasanya dikelola dengan kombinasi intervensi medis dan bedah. Diantaranya, kortikosteroid (nasal, oral jangka pendek) Dan FESS, teknik yang invasive minimal menggunakan endoskopi untuk meningkatkan ventilasi dan drainase, telah terbukti menjadi perawatan medis dan bedah pilihan.Kortikosteroid topikal nasal telah menunjukkan keberhasilan dalam studi kecil yang mengevaluasi penggunaannya dalam mengurangi ukuran polip dan hidung tersumbat pada subyek dengan polyposis hidung. Baru-baru ini, 3 studi acak double-blind, terkontrol plasebo, multicenter besar telah menunjukkan bahwa kortikosteroid topikal semprot hidung mometasone furoate, diberikan sekali sehari, menghasilkan penurunan yang secara statistik signifikan dalam ukuran polip hidung dan skor kongesti/obstruksi, relatif terhadap plasebo, selama periode pengobatan 4 bulan. Pedoman terbaru European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps Group merekomendasikan kortikosteroid intranasal sebagai pengobatan lini pertama polip hidung pada orang dewasa dan memberikan tingkat rekomendasi A untuk pengobatan kortikosteroid intranasal pada pasien dengan polyp nasal. Studi yang lebih kecil juga telah menunjukkan bahwa kortikosteroid nasal topikal efektif dalam mengurangi kekambuhan polip hidung setelah polypectomy sederhana. Manfaat ini, setidaknya sebagian, disebabkan efek kortikosteroid topikal dalam mengurangi infiltrasi eosinofilik dari mukosa hidung.Sampai saat ini, 2 penelitian telah mengevaluasi efektivitas kortikosteroid nasal topical antara subyek yang telah mengalami FESS; keduanya menilai semprot hidung flutikason propionat dan menghasilkan hasil yang tidak konsisten. Oleh karena itu, kita hanya memiliki bukti rekomendasi grade B untuk pengobatan kortikosteroid hidung setelah FESS. Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menguji efikasi dan keamanan mometason furoate, 200 mg sekali sehari, sebuah kortikosteroid anti - inflamasi topikal aktif, dibandingkan dengan plasebo, dalam mencegah atau mengurangi kekambuhan polip hidung pada subyek dengan poliposis hidung bilateral yang telah diveriviksi dengan endoskopi yang baru saja menjalani FESS.

METODEDesain Studi Studi ini merupakan sebuah studi acak, double-blind, terkontrol plasebo, multicenter. Penelitian dilakukan di 10 klinik telinga, hidung, dan tenggorokan di Swedia (Gambar 1). Setelah penilaian pada kunjungan 1 (V1), subyek yang memenuhi kualifikasi memasuki fase washout dari berbagai durasi tergantung pada rata rata pengobatan. Pada V2, subyek menjalani FESS, dengan pengangkatan polip, uncinectomy, dan ethmoidal tambahan dan eksplorasi sphenoidal berdsarkan temuan klinis. Untuk subjek yang sebelumnya telah menjalani FESS, operasi tergantung pada temuan klinis, dan dalam beberapa kasus cukup dengan pengangkatan polip. Semua subjek yang memberikan persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian diidentifikasi berdasarkan inisial selama V1 ke V3 (tindak lanjut). Subyek dinilai kembali sekitar 2 minggu setelah operasi (baseline, V4), dan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dialokasikan secara acak dalam rasio 1:1 untuk menerima baik mometasone furoate, 200 mg sekali sehari (2 semprotan di setiap lubang hidung), atau matching semprot hidung plasebo, menurut kode komputer yang dibuat oleh seorang ahli statistik (M.A.). Pengacakan dilakukan di blok 4 dengan menggunakan nomor acak yang dihasilkan oleh fungsi UNIFORM SAS (SAS Versi 6.10; SAS Institute Inc, Cary, North Carolina) dan berdasarkan waktu jam. Semua peserta, peneliti, dan staf administrasi yang melakukan intervensi dan staf yang menilai hasil diblinding dari kelompok alokasi. Pengobatan dimulai sekitar 2 minggu setelah pembedahan dan dilanjutkan selama 24 minggu jika tidak ada kekambuhan. Subjek juga diberikan 20 pipet mengandung oxymetazoline hidroklorida (0,5 mg/mL) sebagai obat penyelamatan. Penilaian lanjutan dilakukan pada hari ke 28, 56, 112, dan 168 setelah pengacakan terapi, dengan periode 7 hari untuk setiap kunjungan. Protokol penelitian terakhir, termasuk perubahan dan amandemen bentuk informasi dan persetujuan subjek, ditinjau dan disetujui oleh komite etik independen/kelembagaan, dewan peninjau, dan Swedish Medical Products Agency sebelum subjek terlibat dalam penelitian. Semua subjek memberi informed consent tertulis untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan protokol, persyaratan, praktek klinis yang baik, dan prinsip-prinsip etika dari Deklarasi Helsinki, seperti yang diadopsi oleh Majelis Kesehatan Dunia, 1964 (dan revisi berikutnya).

SubyekPada awal penelitian, subyek harus berusia 18 tahun atau lebih dengan polip hidung bilateral untuk memenuhi kriteria operasi. Subyek yang memiliki asma dapat dimasukkan jika mereka tidak memiliki eksaserbasi asma dalam waktu 30 hari sebelum masuk dalam penelitian. Jika diobati dengan kortikosteroid inhalasi, subjek ini diberikan regimen moderat, dosis stabil beklometason dipropionat, 1000 mg/d atau kurang, atau setara. Subjek dikeluarkan dari penelitian jika mereka menjalani polypectomy dalam 6 bulan sebelumnya; operasi hidung yang belum sembuh atau trauma; lebih dari 5 riwayat polypectomi; atau sedang memiliki infeksi hidung, rhinitis medicamentosa, disfungsi mukosiliar, kelainan struktural hidung, atau reaksi idiosinkrasi terhadap kortikosteroid. Subyek juga dikeluarkan jika mereka memiliki tuberkulosis paru aktif atau laten; kondisi medis lain yang signifikan, yang dalam penilaian peneliti, bisa mengganggu evaluasi (misalnya, cystic fibrosis); atau riwayat hipersensitivitas terhadap obat penelitian, atau jika mereka hamil, menyusui, atau tidak menggunakan tindakan pencegahan kehamilan yang memadai. Intoleransi obat antiinflamasi nonsteroid bukanlah kriteria eksklusi. Pada titik pembanding, subjek menjalani FESS sesuai dengan prosedur bedah yang sudah ditentukan dan memiliki skor polip dari 1 atau kurang (jumlah skor dari kedua lubang hidung). Subyek asma dapat dimasukkan jika mereka tidak punya eksaserbasi asma sejak V1. Subyek asma menerima pengobatan yang diperlukan, dosis stabil kortikosteroid inhalasi, tidak melebihi dosis beclomethasone 1000 mg/d atau setara. Kriteria eksklusi pembanding serupa dengan kriteria awal penelitian.

Periode WashoutPeriode washout dari berbagai jangka waktu diperlukan untuk subjek yang memakai obat tambahan pada awal penelitian. Periode washout yang dibutuhkan adalah 3 bulan untuk kortikosteroid intramuskular atau intra - artikular; 4 minggu untuk obat inhalasi (kecuali dosis stabil untuk pengobatan asma), oral, intravena, dubur, intranasal, atau kortikosteroid mata; 30 hari untuk obat yang diteliti; 2 minggu untuk agen dermatologi berpotensi tinggi; 1 minggu untuk atropin nasal dan ipratropium bromida; 5 hari untuk hydroxyzine hidroklorida ; 72 jam untuk antihistamin long-acting dan dekongestan oral; dan 24 jam untuk antihistamin short-acting dan dekongestan oral, hidung, dan mata. Perawatan yang dilarang selama masa studi adalah kortikosteroid sistemik, kortikosteroid inhalasi (selain beklometason dipropionat, 1000 mg/d atau setara untuk pengobatan asma); kortikosteroid dermatologi (kecuali dosis stabil untuk pengobatan gangguan dermatologi kronis); kortikosteroid topikal hidung selain obat studi; kortikosteroid topikal okular; topical nasal atau antihistamin mata; atropin hidung atau ipratropium; dekongestan oral; dekongestan nsal selain obat penyelamatan yang disediakan; antileukotrienes; perangkat yang mendilatasi lubang hidung untuk meningkatkan pernapasan hidung; dan isotonik larutan natrium klorida nasal (setelah baseline).

PenilaianEndoskopi dari rongga hidung, setelah diberikan dekongestan, dilakukan pada semua kunjungan studi. Polip dinilai untuk masing-masing rongga hidung pada skala 0 sampai 3 (0, tidak ada polip, 1, polip di meatus tengah, tidak mencapai di bawah perbatasan inferior konka tengah; 2, polip mencapai batas bawah inferior dari konka tapi tidak berbatas inferior turbinate; dan 3, polip besar sampai ke bawah atau perbatasan inferior konka atau polip medial ke konka tengah). Ukuran polip dan digambarkan dalam suatu diagram yang mewakili penampang koronal (Gambar 2) dan sagital. Puncak arus inspirasi hidung dilakukan sebelum administrasi dekongestan di V4 untuk V8. Ambang batas butanol penciuman Tes juga dilakukan sebelum pemberian dekongestan pada V4, V6, dan V8. Tanda dan gejala dari poliposis hidung dicatat sekali setiap hari oleh subjek dalam buku harian, dan pada masing-masing kunjungan, subjek dan peneliti melakukan evaluasi bersama. Keparahan dari hidung tersumbat/ kongesti, Rhinorrhea, dan rasa bau secara individual dinilai dengan skala 0 sampai 3, mulai dari tidak ada tanda-tanda/gejala atau penciuman normal (0 poin) hingga gejala parah atau berkurangnya indera penciuman (3 poin). Kepatuhan untuk melakukan pengobatan dicatat oleh pasien setiap hari dalam buku harian. Efek samping (AE) dikumpulkan dan dilaporkan dari V2 (operasi) sampai akhir penelitian.

Analisis StatistikSemua subjek yang telah menerima 1 atau lebih dosis obat studi dimasukkan dalam populasi keselamatan. Populasi intent-to-treat (ITT) memasukkan semua subjek yang menerima dosis 1 atau lebih dari obat studi dan memiliki data baseline dan postbaseline. Populasi per - protocol (PP) memasukkan semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi/eksklusi, mengkonsumsi obat studi seperti yang ditentukan dalam protokol, dan tidak mengkonsumsi obat yang dilarang selama penelitian. Dengan ukuran sampel 62 subyek per kelompok pengobatan, uji log - rank 0.05 dua sisi untuk kurva survival adiperkirakan memiliki kekuatan 80% untuk mendeteksi perbedaan antara kelompok 1 proporsi 0,65 dan kelompok 2 proporsi 0,40 (rasio hazard konstan 0,46). Dengan fraksi diperkirakan 15% dari subyek dengan data nonevaluable, diperkirakan 146 subyek dibutuhkan untuk dimasukkan dalam studi. Titik akhir primer adalah waktu untuk kambuh dari baseline, dengan kekambuhan didefinisikan sebagai peningkatan skor polip 1 atau lebih, di mana nilai dasar adalah 1 atau kurang. Skor tersebut tercatat sebagai jumlah skor dari kedua lubang hidung. Titik akhir sekunder termasuk gejala subyektif, ambang batas penciuman butanol, dan puncak aliran inspirasi hidung. Kurva Kaplan - Meier dihasilkan untuk menentukan waktu untuk kambuh, dan 2 kelompok dibandingkan dengan uji log - rank. Subyek yang menghentikan keterlibatannya dalam penelitian secara prematur dan mengalami kekambuhan dicatat pada saat drop out atau dimasukkan dalam analisis sebagai kambuh; subyek yang mengakhiri studi tanpa mengalami kekambuhan dimasukkan dalam analisis sebagai pengamatan sensor. Rasio Hazard diperkirakan dengan hazard model Cox proporsional. Variabel biner dibandingkan dengan Mantel - Haenszel X2 tes, distratifikasi berdasarkan pusat. Interaksi penanganan x pusat diuji dengan menerapkan uji homogenitas Breslow-Day test dari rasio odds umum. Variabel kontinyu dan ordinal dibandingkan dengan uji Wilcoxon rank sum.

HASILDisposisi SubjekSebanyak 201 subyek yang disaring, 162 di antaranya diacak untuk pengobatan. Dari jumlah tersebut, 80 secara acak dialokasikan untuk mendapatkan obat studi dan 82 diacak untuk mendapatkan plasebo. Kunjungan 1 dilakukan sejak tanggal 2 September 2003 hingga 8 Maret 2005; tanggal untuk subjek terakhir adalah 14September, tahun 2005. Sebagian besar karakteristik awal adalah serupa dalam setiap kelompok (Tabel 1 ). Seratus enam puluh dua subjek dimasukkan dalam analisis keselamatan; 159 subyek memiliki data efikasi postbaseline dan dimasukkan dalam kumpulan data ITT. Sebanyak 104 subyek memenuhi semua kriteria untuk analisis PP (Tabel 2). Delapan puluh subyek pada populasi ITT (50,3%) menyelesaikan studi, termasuk 43 (54%) pada kelompok mometasone dan 37 (46%) pada kelompok plasebo; angka dalam populasi PP adalah 32 (60%) dan 20 (39%). Alasan untuk terminasi dini diberikan dalam Tabel 2.

EfikasiHasil untuk variabel efikasi primer (waktu untuk kambuh) ditunjukkan pada Gambar 3. Periode kambuh secara signifikan lebih lama antara subyek yang menerima mometasone baik dalam dataset ITT dan dataset PP. Untuk analisis PP, rata-rata waktu untuk kambuh adalah 173 hari dalam kelompok mometasone dan 61 hari pada kelompok plasebo (P = 0,007, rasio hazard dan 95% interval kepercayaan [CI], 0.72 [0,55-0,93]). Rata-rata waktu untuk kambuh pada populasi ITT lebih dari 175 hari pada kelompok mometasone dan 125 hari pada kelompok plasebo (P = 0,049; rasio hazard dan 95% CI, 0,79 [0,62-0,99]).Proporsi subyek dalam kumpulan data ITT dengan gejala hidung tersumbat/ongesti sedang sampai parah adalah 84,3% (134 pasien) sebelum operasi, 15,1% (24 pasien) pada pengacakan (V4), dan 10,1% (16 pasien) pada akhir pengobatan. Pola ini sama untuk hampir semua variabel efikasi sekunder. Perubahan skor untuk hidung tersumbat/kongesti dan rasa subjektif dari bau (dievaluasi bersama oleh dokter dan pasien) dari awal sampai akhir pengobatan di tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara kelompok mometasone dan kelompok plasebo (Tabel 3). Perubahan rhinorrhea dari awal sampai akhir pengobatan menunjukkan perbaikan signifikan antara subyek yang menerima mometasone dibandingkan dengan plasebo (P = .004 untuk populasi ITT; rasio odds [95% CI] untuk tingkat perbaikan, 0,14 [0,03-0,53]). Demikian pula, meskipun nilai buku harian tidak menunjukkan perbedan gejala yang signifikan antara 2 kelompok untuk hidung tersumbat atau indra penciuman, skor yang secara signifikan lebih baik untuk rhinorrhea diamati dalam kumpulan data ITT kelompok mometason (P = .04; rata - rata perbedaan [95% CI], 0,15 [0,01-0,30]). Tidak ada perbedaan perubahan puncak aliran inspirasi hidung antara 2 kelompok, yang mungkin dijelaskan oleh peningkatan hidung tersumbat setelah operasi. Mengenai tes ambang batas butanol, tidak ada perbedaan penurunan waktu yang signifikan antara 2 kelompok pengobatan. Efek dari penanganan yang homogen di pusat studi. Dalam analisis pelengkap, dilakukan post stratifikasi sehubungan dengan riwayat rhinitis alergi atau asma. Hasil analisis bertingkat konsisten dengan perbandingan pengobatan utama. Pada kelompok plasebo yang diobati (PP), waktu rata-rata kambuh adalah 48 hari antara subyek dengan riwayat rhinitis alergi dibandingkan dengan 110 hari pada subyek tanpa riwayat alergi rhinitis (P = .03; rasio hazard [95% CI], 0,58 [0,33-0,94]). Di antara subyek dengan riwayat asma, dalam kelompok yang sama, rata-rata waktu untuk kambuh adalah 48 hari dibandingkan dengan 72 hari pada subyek tanpa asma (P = .04; rasio hazard [95% CI], 0,42 [0,16 - 0.86]). Pada kelompok mometasone, ada perbedaan besar yang terlihat antara subkelompok yang sesuai.

KeamananFrekuensi AE antara kelompok mometasone dan plasebo sebanding. Dari 162 subjek dalam analisis keamanan, total 75 dan 59 AE terkait dengan pembedahan pada kelompok mometasone dan kelompok plasebo. Ketika AE yang berhubungan dengan operasi dieksklusi, 101 AE (terutama ringan sampai sedang) dilaporkan dalam Kelompok mometasone dan 106 pada kelompok plasebo selama masa pengobatan. Sebanyak 7 AE, t 3 di kelompok mometasone dan 4 pada kelompok plasebo, menyebabkan penghentian selama masa pengobatan. Salah satu kasus dalam kelompok mometasone dilaporkan sebagai AE berat terkait dengan operasi (perdarahan hidung). Dalam kelompok mometasone, dilaporkan 11 AE yang terkait pengobatan, termasuk 6 kasus epistaksis (yang termasuk berbagai episode perdarahan luas mulai dari nasal discharge berdarah hingga bintik-bintik darah di lendir), 2 kasus dispepsia, dan 1 kasus obstruksi, sakit kepala, dan bersin. Pada kelompok plasebo, dilaporkan 9 peristiwa yang dilaporkan terkait pengobatan, termasuk 3 kasus epistaksis dan 1 kasus mual, sakit kepala, hidung tersumbat, rhinorrhea, bersin, dan iritasi kulit.

KOMENTARDalam penelitian pada subyek pascaoperasi yang menjalani FESS, pengobatan dengan semprot hidung mometasone furoate, 200 mg sekali sehari, menghasilkan periode kekambuhan yang jauh lebih dibandingkn plasebo. Secara keseluruhan, mometasone ditoleransi dengan baik, dengan sebagian besar AE tergolong ringan. Dengan pengecualian rhinorrhea (yang diukur dengan baik dokter dan subjek), tidak ada perbedaan antara 2 kelompok pada hasil sekunder. Kurangnya pengaruh pada sebagian besar hasil pengukuran sekunder tidak mengejutkan, karena kemungkinan besar berkaitan dengan efek dari FESS, misalnya, dampak utama FESS pada banyak tanda dan gejala poliposis hidung memberi sedikit ruang untuk perbedaan perbaikan yang signifikan dan dengan demikian mungkin telah dikaburkan antara mometasone dan plasebo pada langkah-langkah ini. Dalam studi klinis sebelumnya, FESS secara signifikan mengurangi obstruksi hidung akibat polip bahkan setelah diberikan kombinasi kortikosteroid oral dan intranasal. Dalam analisis bertingkat, kami menemukan bahwa subjek pada kelompok plasebo (analisis PP) dengan riwayat rhinitis alergi atau asma memiliki waktu yang lebih singkat untuk mengalami kekmbuhan polip daripada subyek tanpa rhinitis alergi atau asma. Ini mungkin disebabkan oleh inflamasi yang lebih agresif pada pasien dengan rhinitis alergi atau asma dan poliposis hidung, menunjukkan bahwa kehadiran rhinitis alergi atau asma secara negatif mempengaruhi hasil pasca operasi. Dokter harus memeriksa rhinitis alergi dan asma pada pasien dengan poliposis hidung. Studi sebelumnya telah menemukan bahwa kortikosteroid intranasal lainnya, termasuk beclomethasone, budesonide, dan flunisolide, efektif dalam mengurangi kambuhnya polip hidung setelah pembedahan. Namun, penelitian tersebut terbatas karena sebagian besar hanya menggunakan sejumlah kecil subyek dan operasi yang dilakukan terutama polypectomy sederhana.Dijkstra dan rekan-rekannya mengevaluasi semprot hidung flutikason propionat untuk mencegah rinosinusitis kronis dan polip hidung pada subyek menjalani FESS. Dalam sebuah studi terkontrol placebo, double-blind, pada orang dewasa yang telah menjalani FESS (n = 162, tetapi hanya 68 dengan polip hidung), subjek secara acak dialokasikan untuk menerima flutikason propionat, 400 mg dua kali sehari, 800 ug dua kali sehari, atau plasebo selama 1 tahun. Hasil penelitian primer adalah persentase subyek yang keluar dari penelitian karena kekambuhan atau persistensi penyakit, didefinisikan sebagai pertumbuhan progresif polip hidung, tanda dan gejala sinusitis kronis berulang dikombinasikan dengan tanda-tanda rinosinusitis pada endoskopi hidung, dan kelainan pada pemindaian tomografi, atau keluhan terus-menerus selama 2 bulan atau lebih setelah FESS. Sebuah penurunan gejala yang signifikan terlihat setelah FESS; Namun, setelah 1 tahun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok flutikason propionat (400 dan 800 mg) dan kelompok plasebo dalam persentase subyek yang mengundurkan diri karena penyakit berulang atau persisten (masing-masing 51%, 55%, dan 39%). Dibandingkan dengan plasebo, tingkat kekambuhan adalah 1,22 kali lipat lebih tinggi pada kelompok 400 mg dan 1,48 kali lipat lebih tinggi pada kelompok 800 mg. Demikian pula, ketika subjek dengan skor polip tinggi selama FESS dianalisis secara terpisah, masih ada ada perbedaan yang signifikan antara kelompok flutikason dan plasebo.Studi, prospektif, acak, bertingkat, double-blind, terkontrol placebo lain menilai 109 subyek dengan rinosinusitis kronis termasuk 77 subjek dengan poliposis yang menjalani FESS dan 6 minggu setelah operasi mendapatkan terapi flutikason propionat, 200 mg dua kali sehari, atau plasebo. Pada 5 tahun, perubahan pengukuran skala analog visual menunjukkan hasil yang secara signifikan lebih baik pada subyek yang menerima flutikason dibandingkan subjek yang menerima plasebo. Perubahan edema endoskopi, skor polip, dan volume total hidung juga secara signifikan lebih baik pada kelompok flutikason dibandingkan plasebo kelompok di tahun ke 4.Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil percobaan sebelumnya yang menunjukkan penurunan tingkat polip yang konsisten pada bulan ke 4 pada subyek dengan poliposis hidung yang diobati secara medis dengan mometasone. Uji coba ini menunjukkan mometason layak digunkan untuk pengobatan polip hidung pada orang dewasa. Kerusakan setelah FESS pada pasien dengan nasal poliposis sulit untuk ditangkap dalam periode penelitian maksimum 6 bulan yang kami lakukan. Oleh karena itu, waktu untuk kambuh dipilih sebagai hasil primer. Untuk alasan etika, melakukan studi terkontrol plasebo lagi tidak dapat dilakukan di Swedia. Subyek dengan poliposis hidung bilateral yang menerima mometasone furoate, 200 mg sekali sehari, setelah FESS memberikan waktu yang lebih lama bagi polip hidung untuk kambuh daripada placebo. Karena pasien dengan poliposis sering memerlukan prosedur bedah tambahan karena pertumbuhan kembali polip hidung dan memburuknya gejala, kemampuan mometason untuk memperpanjang waktu untuk kambuh memiliki implikasi positif bagi pasien dan dokter, serta potensi untuk mengurangi biaya keseluruhan yang terkait dengan pengelolaan kondisi ini. Pada pasien dengan poliposis hidung, kapan dan di mana pasien melakukan FESS adalah pertanyaan yang sebagian besar tetap belum terjawab.