pengesahan panitia ujianrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5714/1...tahun 2008 yang...
TRANSCRIPT
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi Berjudul EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA
SELATAN SETELAH DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008
TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN telah diujikan pada Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 6 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan
Madzhab Hukum (PMH).
Jakarta, 6 Desember 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. (…………………….)
NIP. 195703121985031003
2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. (…………………….)
NIP. 196511191998031002
3. Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, M.Ag. (…………………….)
NIP. 150277991
4. Penguji I : Kamarusdiana, S.Ag., MH. (…………………….)
NIP. 197202241998031003
5. Penguji II : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (…………………….)
NIP. 195003061976031001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Uiversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Oktober 2010
Widya Alia
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi penulis panjatkan atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW., Rasul yang paling mulia dan penutup para Nabi, serta
iringan do’a untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang selalu setia
hingga akhir zaman.
Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah berakhir. Banyak suka maupun duka mengiringi
perjalanan panjang studi yang penulis lalui. Kadang haru dan bahagia mengenang
banyak kenangan dan pengalaman yang penulis peroleh. Namun, selesainya
penyusunan skripsi ini bukanlah akhir dari perjuangan. Ini merupakan awal dari
perjuangan lain yang akan penulis tempuh dalam hidup ini. Satu tugas telah selesai
maka ada tugas lain yang menanti.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis sadar bahwa tidak akan sanggup
menghadapi berbagai hambatan dan rintangan yang mengganggu berjalannya
penulisan ini tanpa adanya doa, dorongan motivasi dan bantuan yang bersifat materil
maupun spiritual baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya
kepada:
vi
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta dan Pembantu Dekan I,
II, dan II yang telah memberikan ilmu kepada penulis.
2. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA., selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum beserta Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku
Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum yang telah
membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktivitas yang
berkenaan dengan jurusan.
3. Dr. Yayan Sopyan M.Ag., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan nasihat kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan beserta pihak-pihak yang terkait,
khususnya Ibu Tamah, SH., Bapak Drs. Kadi Sastro Wirjono yang telah
meluangkan waktunya dan ketersediaannya untuk diwawancara, dan untuk
mbak Ayu yang telah membantu penulis menemui orang yang tepat untuk
dimintai data tentang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
5. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas maupun
Perpustakaan umum lainnya beserta staf yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi keperpustakaan berupa beberapa buku maupun
literature lainnya sehingga memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Para Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan berlangsung.
vii
7. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda H. Wahyu Widiana dan Ibunda
Hj. Nina Noor Farah yang telah mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya
sehingga penulis selalu bersemangat menyelesaikan skripsi ini setiap
mengingatnya. Skripsi ini penulis persembahkan untuk “Papap dan Mama”.
Kepada kakak-kakak dan adik-adik tersayang, a Kiki, a Dede, a Zenit, Zico
dan Adli, kalian selalu memberikan semangat dan doa dalam mengerjakan
skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga besar penulis, kalau bukan berkat doa
kalian tidak akan mampu penulis menyelesaikan skripsi ini.
8. Untuk teman-teman tersayang yang selalu mengingatkan penulis, PH
Community, Lidya, Robhitoh, Acep, Ruqiyah, Khairunnisa, Khodijah,
Zakiah, Husnul, Iin, Merli, Diana, Aam, Afifah, Ronti, Siti, Vini dan Rival
teman seperjuangan dalam memperjuangkan penyusunan skripsi ini serta
seluruh teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006 yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu. Untuk Akang-akang, Teteh-teteh dan adik-adik
Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) kalian
adalah rumah kedua setelah keluarga untuk penulis bisa berbagi dan bertukar
fikiran. Terimakasih atas doa dan semangat yang kalian beri.
9. Dan kepada seluruh pihak yang telah membatu penulis dalam mengerjakan
skripsi ini.
viii
Tiada kata yang patut penulis ucapkan selain kata syukur dan
terimakasih kepada Sang Pencipta dan Sang Pencinta yang selalu mencurahkan
kasih sayang-Nya yang begitu besar, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan
dengan baik. Dan untuk orang-orang yang telah berjasa, penulis hanya bisa
mendoakan semoga selalu dilimpahkan Rahmat dan Hidayah oleh-Nya. Amin.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis dan untuk para pembaca.
Jakarta, 20 Oktober 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN........................................................................... iv
KATA PENGANTAR.................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................. 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian......................................... 6
D. Metode Penelitian................................................................ 7
E. Review Studi Terdahulu...................................................... 11
F. Sistematika Penulisan........................................................... 14
BAB II MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian dan Sejarah Mediasi di Indonesia…………….. 16
B. Dasar Hukum Mediasi……………………………………. 22
C. Ruang Lingkup Mediasi………………………………….. 31
D. Prinsip-prinsip Mediasi………………………………….. 34
E. Mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008…………. 37
x
BAB III TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Teori Efektivitas................................................................. 44
B. Selayang Pandang Pengadilan Agama Jakarta Selatan...... 49
BAB IV ANALISIS EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Dasar Hukum Seorang Hakim Menjadi Mediator.............. 61
B. Administrasi Mediasi Berdasarkan PERMA Nomor 1
Tahun 2008 dan Praktek yang Ada di Lapangan............... 63
C. Hambatan Dalam Mengupayakan Keefektivan Mediasi… 65
D. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan…………………………………… 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................... 86
B. Saran.................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia pastilah ada permasalahan-permasalahan dalam
menjalankan hidup ini. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini akan menemui
suatu tantangan-tantangan berupa konflik atau pertikaian-pertikaian yang terjadi
antar manusia itu sendiri karena berbeda kepentingan satu sama lain. Kita tidak
dapat mengelak atau menghindar dari permasalahan-permasalahan hidup. Kita
harus menghadapi segala macam permasalahan-permasalahan dan menyelesaikan
permasalahan atau konflik tersebut. Salah satu permasalahan tersebut yaitu
perbedaan-perbedaan dan pertentangan dari sesama manusia karena berbeda
kepentingan antara satu sama lain. Perbedaan dan pertentangan yang dialami
manusia tersebut merupakan hal yang alamiyah, karena Allah swt. menciptakan
manusia dalam keragaman, berbeda-beda suku dan bangsa. Keragaman dan
perbedaan-perbedaan tersebut dapat kita lihat dari perbedaan warna kulit, bahasa,
ras, agama, budaya, pola pikir dan perbedaan kepentingan. Keragaman dan
perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu potensi yang dapat menimbulkan
konflik-konflik antar manusia. Oleh karena itu manusia harus dapat menangani
konflik dan menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi antar manusia,
sehingga tidak membawa pada kekerasan apalagi sampai ada pertumpahan darah.
2
Al-Qur’an pun mengakui konflik dan persengketaan di kalangan manusia
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.1 Hal ini dijelaskan pada
firman Allah swt. :
وإذ قال ربل نهمهائكة إوي جاعم في انأرض خهيفة قانىا أتجعم فيها مه يفسد فيها ويسفل
(30: 2/انبقرة)اندماء ووحه وسبح بحمدك ووقدس نل قال إوي أعهم ما نا تعهمىن
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
„sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.‟
Mereka berkata: „mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi adalah orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau. Tuhan berfirman: „sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui„.”(QS. Al-Baqarah/2 : 30).
Dari ayat ini sudah jelas terlihat bahwa manusia merupakan orang yang
akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Manusia dan
konflik tidak dapat dipisahkan dan konflik tak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Ayat ini pun menjelaskan bahwa keterkaitan manusia dengan konflik
sudah diinformasikan jauh sebelum diciptakannya (orang yang akan membuat
kerusakan). Oleh karena itu kita sebagai manusia yang diberi kelebihan untuk
memimpin muka bumi ini, harus bisa menyikapi konflik tersebut dengan
mengendalikan hawa nafsu yang kita miliki.
Perlunya penyikapan konflik secara benar tersebut berangkat dari adanya
kesadaran bahwa konflik yang ditimbulkan dari sebuah interaksi sosial yang
saling merugikan dapat menimbulkan terjadinya ketidakharmonisan antar sesama.
1 Syahrizal Abbas, Mediasi, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group), h. 120.
3
Walaupun terkadang tidak dapat dihindari bakal terjadinya konflik. Untuk
mengantisipasi terjadinya konflik berkelanjutan, penyelesaian sengketa atau
konflik dapat dilakukan melalui beberapa cara, diataranya adalah mediasi.
Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai
penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh
permasalahan yang disengketakan.2 Pada sistem pengadilan yang ada di Indonesia
pun mewajibkan proses mediasi tersebut. Hal ini terdapat pada PERMA No. 1
Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan dari PERMA No. 2 Tahun 2003.
PERMA No. 1 Tahun 2008 ini dikeluarkan oleh Bagir Manan selaku ketua
Mahkamah Agung RI.
PERMA Nomor 1 tahun 2008 ini mewajibkan seluruh perkara perdata
yang masuk ke pengadilan harus melewati proses mediasi. Apabila pihak-pihak
yang terkait menolak melakukan mediasi maka mediasi proses persidangan tidak
dapat dilanjutkan karena batal demi hukum. Seperti yang tertera pada PERMA
Nomor 1 tahun 2008 ini bab I pasal 2 mengenai “Ruang Lingkup dan Kekuatan
Berlaku PERMA” ayat (2) dan (3). Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib
mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam
Peraturan ini. Dan apabila tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan
2 Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang
Perbankan” artikel diakses pada tanggal 21 maret 2010 dari
http://www.bapmi.org/pdf/DiskusiTerbatasPelaksanaanMediasi_FelixSoebagjo.pdf
4
Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau
Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal ini dapat
dikatakan proses mediasi ini merupakan paksaan bagi para pihak yang berpekara.
Oleh karena itu dengan dikeluarkannya PERMA No.1 Tahun 2008
mengenai mediasi ini yang mengharuskan para pihak yang berpekara mengikuti
proses mediasi, penulis tertarik untuk mengetahui seberapa efektif pelaksanaan
mediasi yang telah masuk ke dalam sistem peradilan di Indonesia dan diwajibkan
bagi pihak-pihak yang berpekara untuk dapat mengikuti prosedur mediasi
tersebut, khususnya di wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Penulis
memilih melakukan penelitian di lokasi tersebut karena Pengadilan Agama
Jakarta Selatan merupakan “Pilot Project” dalam bidang mediasi untuk seluruh
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Jadi, dengan diketahuinya keefektifan
mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan “Pilot Project”nya
akan tergambarkan keefektifan mediasi secara scala besar nasional.
Karena latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menuliskannya
menjadi sebuah skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS MEDIASI DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH
DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN”.
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat keluasan dan kompleksitas masalah mediasi tidaklah mungkin
dituangkan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis akan membatasi
permasaahan yang ada, yaitu keefektivan mediasi yang terdapat di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dan hanya pada kasus perceraian 2 (tiga) tahun belakangan
ini.
Agar lebih terfokus, penulis akan membatasi permasalahan sebagai
berikut:
1. Skripsi ini hanya mengkaji efektivitas pelaksanaan mediasi.
2. Mediasi yang dilakukan sesuai dengan PERMA No 1 Tahun 2008.
3. Tahun perkara dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009.
4. Lokasi penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Perumusan Masalah
Masalah adalah adanya perbedaan antara teori dan kenyataan, oleh karena
adanya perbedaan itu penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Berapa perbandingan antara jumlah perkara yang dimediasi dengan jumlah
perkara yang berhasil di mediasi?
2. Apa kendala yang dihadapi oleh para mediator dalam menjalankan mediasi
itu?
6
3. Seberapa efektif mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Selain gambaran di atas, pembuat skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS
MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH
DIKELUARKANYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN” mempunyai tujuan, yaitu:
1. Secara teoritis, dimaksudkan agar masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa pada khususnya dapat mengetahui sejauh mana keefektivan
mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Mengetahui Perbandingan jumlah perkara yang dimediasi dengan jumlah
perkara yang berhasi di mediasi.
3. Mengetahui kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi para mediator
dalam menjalankan mediasi.
Disamping itu, semoga penulisan ini dapat berguna sebagai:
1. Memperkaya khazanah keilmuan intelektualitas di bidang hukum,
khususnya mengenai mediasi.
2. Dari segi praktis, diharapkan berguna untuk memberikan informasi kepada
segenap pihak yang berkompeten untuk dijadikan bahan evaluasi terhadap
pelaksanaan program hukum dan untuk meningkatkan efektivitas mediasi
7
dalam memutuskan perkara perdata sehingga dapat mengendalikan jumlah
kasus dalam litigasi.
D. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini, maka
penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan
survei. Dilakukan pendekatan survei ini yaitu untuk lebih dapat
mengamati sejauh mana efektivitas mediasi di lapangan. Dengan
dilakukannya survei langsung ke lapangan penulis akan lebih aktual
mendapatkan informasi mengenai keefektivan mediasi.
2. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
menghasilkan deskripsi berup kata-kata atau lisan dari fenomena yang
diteliti natau dari orang-orang yang berkopenten di bidangnya.3 Penelitian
kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada,
hingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari
segi jenis data.
3 Lexi. J. Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2001),
hal. 3.
8
Selain itu penelitian ini termasuk juga dalam jenis empiris. Karena
penulis terjun langsung ke lokasi penelitian untuk menganalisa
keefektivan suatu hukum. Penelitian jenis empiris terdiri dari penelitian
terhadap identifikasi hukum dan efektivisitas hukum.4
Penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu untuk menganalisa
dan menguraikan mengenai pelaksanaan mediasi yang dilakoni olah para
hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setelah dikeluarkannya
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
3. Data Penelitian
Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dan
terbagi menjadi 2:
a. Data Primer
Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui
wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dan berkaitan
dengan penelitian terutama hakim-hakim mediator di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan tentang mediasi dan Dirjen Badan Peradilan
Agama selaku pejabat yang berwenang dalam penerapan PERMA No.
1 Tahun 2008 pada tahun 2010.
4 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 42.
9
b. Data Sekunder
Data sekunder didapat dari peraturan perundang-undangan,5
data-data resmi dari instansi pemerintah, dari peradilan, buku-buku
literatur, karangan ilmiah, makalah umum dan bacaan lain yang
berkaitan dengan judul penelitian.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahan-
bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara
sebagai berikut:
a. Studi Pustaka (library research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku
perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan
masalah. Pengolahan data studi pustaka ini dilakukan dengan cara
dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang
terdapat dalam skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan (field research)
Melalui penelitian ini, didapatkan data-data mengenai perkara-
perkara perceraian yang berhasil dan gagal menggunakan mediasi
serta melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengerti dan
5 Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet.4,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.302.
10
menguasai tentang mediasi yang berada di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan yaitu Drs. Kadi Sastrowirjono selaku mediator non hakim
Pengadilan Agama Jakarta selatan dan Tamah, SH., selaku mediator
hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Serta Pejabat Badan
Peradilan Agama yaitu Drs. Wahyu Widiana, MA. Selaku Dirjen
Badan Peradilan Agama. Wawancara ini menggunakan metode bebas
dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan referensi
untuk memperkuat data.
c. Pengolahan Data
Setelah memperoleh data-data tersebut di atas, penulis mengolah
data dengan metode deskriptif dan komparatif. Yaitu menyajikan dan
menggambarkan data secara alamiah tanpa melakukan suatu
manipulasi. Dalam penyajian data tersebut dikomparatifkan antara
data yang tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka dan
kenyataan sesungguhnya yang didapatkan dari penelitian di lapangan.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis wacana (content
analysis), yaitu mengidentifikasi kehadiran konsep tertentu melalui
rangkaian kata yang ada pada suatu teks. Rangkaian kata dalam suatu
teksnya itu berupa fakta-fakta pengamatan di lapangan, wawancara dan
dokumen yang tersedia.
11
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, yaitu menggunakan deskriptif
analisis. Dalam penulisannya penulis berpedoman pada buku pedoman
penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan
Hukum tahun 2007, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.
E. Review Studi Terdahulu
Sebelum dilakukannya penelitian ini, terdapat skripsi-skripsi dengan
penelitian mengenai perdamaian yang ditulis oleh mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, yaitu:
NO IDENTITAS SUBSTANSI PEMBEDA
1. Nama : Suaeb
Jurusan/prodi : PMH/PH
Tahun : 2006
Judul :
“Peran Hakim Dalam
Mendamaikan Perkara
Perceraian di Pengadilan
Agama Bekasi”
Menjelaskan tentang
perceraian yang terdiri dari
pengertian perceraian,
sebab perceraian dan
akibat yang ditimbulkan
dari perceraian. Kemudian
membahas tentang upaya
perdamaian dalam perkara
cerai di Pengadilan
Agama, pengertian
perdamaian, maksud
perdamaian dalam
perceraian serta tekhnik
dan tatacara hakim dalam
mendamaikan para pihak
pada kasus perceraian.
Dalam skripsi ini
lebih ditekankan
peran hakim yang
mendamaikan para
pihak dalam artian
dilihat dari segi
meditor atau
subjeknya,
sedangkan di skripsi
penulis lebih melihat
dari segi objeknya,
yaitu mediasi yang
dilaksanakannya,
berhasil atau tidak.
2. Nama : Budi
Setiawan
Jurusan/prodi : PMH/PF
Tahun : 2006
Judul :
Membahas seputar
pengertian hakam , syarat-
syarat menjadi hakam,
kemudian membahas
perdamaian di masa
Dalam skripsi
tersebut lebih
menekankan pada
perbandingan antara
perdamaian pada
12
“Hakam Menurut Imam
madzhab dan UU No. 7
Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Serta
Peranannya Dalam
Menyelesaiakan
Sengketa Perceraian
(Studi Kasus Pada
Pengadilan Agama
Jakarta Utara).”
sahabat dan perdamaian
pada sengketa perceraian
di masa sekarang. Selain
itu dalam skripsi ini
memuat juga mengenai
pandangan Imam madzhab
dan Undang-undang
Peradilan Agama tentang
hakam, serta bentuk dan
upaya hakam dalam
mendamaikan, peranan
hakam di Pengadilan
Agama Jakarta Utara yang
terdiri dari sekilas tentang
Pengadilan Agama Jakarta
Utara, jenis perkara yang
ditangani hakam serta
peranan hakam dalam
sengketa perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta
Utara.
masa sahabat dengan
perdamaian pada
masa sekarang.
Sedangkan skripsi
penulis lebih
mengedepankan efek
dari mediasi tersebut
yang dituangkan
dalam efektivitas
mediasi. Dan
landasan hukumnya
juga berbeda, pada
skripsi yang ditulis
oleh Budi Setiawan
berdasarkan pada
UU No. 7 Tahun
1989, sedangkan
penulis
menggunakan
PERMA No. 1
Tahun 2008.
3. Nama :
Musliman
Jurusan/prodi : ASS/PA
Tahun : 2007
Judul :
“Upaya Hakim Dalam
Mendamaikan Pihak-
pihak Terhadap Perkara
Perceraian (Studi Kasus
di Pengadilan Agama
Depok)”
Menjelaskan tentang
perceraian yang terdiri dari
pengertian perceraian,
macam-macam perceraian,
bentuk-bentuk perceraian,
dan alasan-alasan
dilakukannya perceraian.
juga membahas tentang
pengertian perdamaian,
dasar hukumnya dan tata
cara mengajukan
perceraian. selain itu
penulis membahas upaya
hakim dalam
mendamaikan pihak-pihak
terhadap perceraian di
Pengadilan Agama Depok.
Dalam skripsi yang
ditulis oleh
Musliman
membahas tentang
upaya hakim yang
mendamaikan pihak-
pihak di dalam
persidangan.
Sedangkan dalam
judul yang penulis
angkat membahas
tentang upaya
mediator baik hakim
atau non hakim
dalam mendamaikan
pihak-pihak yang
berpekara di luar
persidangan.
13
4 Nama :
Nusra Arini
Jurusan/prodi : PMH/PH
Tahun : 2009
Judul :
“Aplikasi PERMA No.1
Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi Dalam
Putusan Perkara Perdata
di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan”
Menjelaskan tentang
kandungan PERMA No.1
Tahun 2008,
pngertian,sejarah mediasi,
dasar hukum mediasi
dalam litigasi, tujuan
hukum dalam litigasi,
prosedur mediasi,putusan
perkara perdata,
pengaplikasian PERMA
No.1 Tahun 2008 di
Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dan pengaruh
Mediasi terhadap putusan
sebelum dan sesudah
PERMA.
Perbedaannya
dengan skripsi yang
penulis tulis adalah
dalam skripsi yang
di tulis oleh Nusra
Arini ini lebih
menekankan
pengaplikasian
mediasi, sedangkan
penulis lebih
meneliti tentang
keefektifan mediasi
di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan, apakah
berhasil guna atau
tidaknya.
Dalam penulisan skripsi, penulis mengangkat judul “Efektivitas Mediasi
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Setelah dikeluarkannya PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”, penulis
menjelaskan tentang keefektivan mediasi yang diwajibkan oleh PERMA Nomor
1 Tahun 2008 mengenai mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Judul ini
belum ada di skripsi-skripsi sebelumnya.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam skripsi ini akan
penulis sajikan atau paparkan dalam 5 Bab, diantaranya:
Bab I, bab ini memuat tentang PENDAHULUAN yang terdiri dari latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
14
penelitian, metodelogi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika
penulisan.
Bab II, dalam bab ini akan dikemukakan secara umum MEDIASI
DALAM TINJAUAN TEORITIS yang meliputi pengertian mediasi, sejarah
mediasi, baik itu sejarah awal mulanya mediasi di Indonesia ataupun sejarah awal
mulanya mediasi dalam Islam. Kemudian membahas mengenai dasar hukum
mediasi dalam hukum Nasional dan dalam hukum Islam, bagaimana prinsip-
prinsipnya dan praktik mediasi pada keduanya, pada PERMA No. 1 Tahun 2008
dan A-Qur’an, kemudian mengenai ruang lingkup mediasi dan dasar hukum
mediasi, baik dasar hukum mediasi dalam hukum nasional maupun dalam hukum
Islam serta jenis-jenis perkara yang ditangani mediasi.
Bab III, pada bab ini akan dipaparkan penjelasan secara terperinci tentang
TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN. Terdiri dari pengertian umum efektivitas,
indikator dapat dikatakan efektif, letak geografis Pengadilan Agama Jakarta
Selatan serta sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Bab IV, PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN SETELAH DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1
TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN. Bab ini
merupakan bab inti yang ada dalam skripsi ini, karena dalam bab ini akan dibahas
beberapa problem dalam penerapan serta bagaiman efektivitas mediasi di ranah
hukum Indonesia khususnya di Peradilan Agama Jakarta Selatan.
15
Bab V, PENUTUP. Bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya
ilmiah lazim dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa
persoalan yang dibahas dan saran dari penulis untuk masyarakat umum.
Adapun untuk melengkapi skripsi ini dan untuk
mempertanggungjawabkan karya ilmiah ini, diakhiri dengan data-data buku
sebagai referensi dalam mengkaji permasalahan di seputar hukum mengenai
mediasi.
16
BAB II
MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian dan Sejarah Mediasi di Indonesia
1. Pengertian Mediasi
Dalam pengertian umum, makna mengenai mediasi secara etimologi
dan terminologi yang diberikan oleh para ahli akan dipaparkan sebagai
berikut. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin yaitu
mediare, yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan kepada
peran yang bertindak sebagai mediator. Mediator dalam menjalankan
tugasnya berada di tengah-tengah para pihak yang bersengketa atau dalam
artian menengahi kedua belah pihak. “Berada di tengah” juga mempunyai
makna harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa dan harus mampu menjaga kepentingan para pihak
yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan
(trust) dari para pihak yang bersengketa.1 Oleh karena itu, para mediator
haruslah orang yang dapat dipercaya untuk mendamaikan atau menengahi
kedua belah pihak yang bersengketa tanpa memihak salah satunya.
Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus yang dikutip dalam
buku “Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum adat dan Hukum
1 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 2.
17
Nasional” karangan Syahrizal Abbas disebutkan bahwa mediasi adalah
kegiatan menjebatani kedua belah pihak yang bersengketa guna
menghasilkan kesepakatan (agreement).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasehat. 2
2. Sejarah Mediasi di Indonesia
Pada tanggal 24 sampai dengan 27 September 2001, Rakernas Mahkamah
Agung RI yang diadakan di Yogyakarta telah menghasilkan beberapa
rekomendasi, salah satu keputusan rakernas tersebut merekomendasikan
pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya perdamaian
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg.3
Sejalan dengan hasil rakernas tersebut dan untuk membatasi perkara
kasasi ke Mahkamah Agung secara substantif dan prosessual, maka Mahkamah
Agung mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam
bentuk mediasi, yang diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002.
2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h.569.
3 Yasardin, “Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA No.1 Tahun
2002”, Suara Uldilag, Edisi II (1 Juli 2003): h.52.
18
Namun, belakangan MA menyadari SEMA itu sama sekali tidak berdaya
dan tidak efektif sebagai landasan hukum untuk mendamaikan para pihak. SEMA
itu tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Hanya
memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu segi, serta tidak
memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian
lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya, sejak berlakunya SEMA
tersebut pada 1 Januari 2002, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual
penyelesaian perkara. Namun, tetap berlangsung secara konvensional melalui
proses litigasi biasa.4
Umur SEMA No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan
Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, hanya 1
tahun 9 bulan (30 Januari 2002 sampai dengan 11 September 2003). Pada tanggal
11 September 2003, MA mengeluarkan PERMA No.2 Tahun 2003 sebagai
penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan:
Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga
Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) dinyatakan tidak berlaku.
PERMA No.2 Tahun 2003 terdiri dari 6 Bab dan 18 Pasal:
Sistematika PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1-2
4 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.242.
19
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
Tahap Pra Mediasi
Tahap Mediasi
Tempat dan Biaya
Lain-lain
Penutup
Pasal 3-7
Pasal 8-14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17-18
Dalam konsideran dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi
penerbitan PERMA menggantikan SEMA No.1 Tahun 2002 Tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam
bentuk mediasi, antara lain:
1. Mengatasi Penumpukan Perkara
Pada huruf a konsideran dikemukakan pemikiran bahwa perlu diciptakan
suatu instrumen efektif yang mampu mengatasi kemungkinan perkara di
pengadilan, tentunya terutama di tingkat kasasi. Menurut PERMA, instrumen
yang dianggap efektif adalah sistem mediasi. Caranya dengan jalan
pengintegrasian mediasi ke dalam sistem peradilan.
2. SEMA No.1 Tahun 2002, Belum Lengkap
Pada huruf e konsideran dikatakan, salah satu alasan mengapa
PERMA diterbitkan, karena SEMA No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk
mediasi tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan
Lembaga Damai dalam bentuk mediasi belum lengkap atas alasan SEMA
20
tersebut belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem
peradilan secara memaksa (compulsory) tetapi masih bersifat sukarela
(voluntary). Akibatnya, SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara
intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.
3. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg, Dianggap Tidak Memadai
Pada huruf f konsideran tersurat pendapat, cara penyelesaian
perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg masih belum
cukup mengatur tata cara proses mendamaikan yang pasti, tertib dan lancar.
Oleh karena itu, sambil menunggu pembaharuan hukum acara, Mahkamah
Agung menganggap perlu menetapkan PERMA yang dapat dijadikan
landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para
hakim di pengadilan tingkat pertama mendamaikan para pihak yang
berperkara.5
Mahkamah Agung menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu proses
penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah. Selain itu, mediasi dapat
memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian
yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Menurut hakim agung Susanti
5 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, h.243.
21
Adi Nugroho, mediasi yang terintegrasi ke pengadilan diharapkan efektif
mengurangi tumpukan perkara, termasuk di Mahkamah Agung (MA).6
Sejak tahun 2006 MA sudah membentuk tim yang bekerja mengevaluasi
kelemahan-kelemahan pada PERMA No.2 Tahun 2003. Beranggotakan dari
hakim, advokat, Pusat Mediasi Nasional dan organisasi yang selama ini concern
pada masalah-masalah mediasi, Indonesian Institute for Conflict Transformation
(IICT). Hasil kerja tim menyepakati peraturan baru, yakni PERMA No.1 Tahun
2008. Ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung, Prof.Dr.Bagir Manan,SH.,M.CL
pada tanggal 31 Juli 2008. Perma ini lahir karena dirasakan Perma No.2 Tahun
2003 mengandung kelemahan yang beberapa hal harus disempurnakan.
Penerbitan PERMA No.1 Tahun 2008 mengubah secara mendasar
prosedur mediasi di Pengadilan. MA belajar dari kegagalan selama lima tahun
terakhir. Bab VIII Pasal 26 PERMA ini menyatakan:
Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor
2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak
berlaku.
Dari jumlah klausul, PERMA 2008 jauh lebih padat karena memuat 27
Pasal, sementara PERMA 2003 hanya 18 Pasal. Perbedaan jumlah pasal ini
setidaknya menunjukkan ada perbedaan keduanya. Perma No.1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mencoba memberikan pengaturan yang
6 Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010 dari
http://hukumonline.com/detail.asp?id=20214&cl=Berita.
22
lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di
pengadilan.
PERMA 2008 memang membawa perubahan mendasar dalam beberapa
hal, misalnya rumusan perdamaian pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan
kembali. PERMA 2003 sama sekali tak mengenal tahapan demikian. PERMA
No.1 Tahun 2008 memungkinkan para pihak atas dasar kesepakatan mereka
menempuh perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding,
kasasi atau peninjauan kembali. Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus
majelis pada masing-masing tingkatan tadi.
Selain kemungkinan damai pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan
kembali, PERMA No.1 Tahun 2008 memuat rumusan baru tentang konsekuensi
hukum jika proses mediasi tak ditempuh. Pasal 2 ayat (3) tegas menyebutkan:
“Tidak menempuh proses mediasi berdasarkan Peraturan ini
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau
pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Demikianlah latar belakang lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008 yang
merupakan peraturan baru dalam proses penyelesaian perkara melalui litigasi
(lembaga peradilan).
B. Dasar Hukum Mediasi
1. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Nasional
Yang menjadi dasar hukum diberlakukannya mediasi dalam proses
litigasi:
23
a. Pancasila.
Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR
di Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam
filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah
mufakat, hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang mediasi adalah Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3
ayat 2 menyatakan “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1)
menyatakan: Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk usaha
penyelesaian perkara dilakukan di luar pengadilan negara melalui
perdamaian atau arbitrase.7
Kini telah jelas dan diakui secara hukum tentang adanya suatu
lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak
yang bersengketa untuk menyelesaian sengketanya. Karena selama ini
yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah
Arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. Pasal 130 HIR/154 Rbg
7 Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI (Jakarta: Peslitbang Hukum Dan
Peradilan MA-RI, 2007), h.36.
24
Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg
mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai.
Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:
Jika pada hari sidang yang ditentukan itu kedua belah pihak datang,
maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan
mendamaikan mereka.8
Selanjutnya ayat (2) menyatakan:
Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu
bersidang, diperbuat suatu surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua
belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu,
surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan
yang biasa.9
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal
130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun pasal 154
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk
menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses ini.10
8 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor: Politeia,1985), h.88.
9 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, h.187.
10
Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi
kekurangan yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan masing-masing. Proses peradilan
memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi berbelit-belitnya proses
acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang
harus ditanggung oleh para pihak. Dan dalam penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai
kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesaian sehingga prosesnya
lebih sederhana, murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai
tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu dari pihak
menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan mengalami kesulitan bila
ingin mengambil tindakan hukum. Lihat Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) &
Arbiterase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h. 23-33.
25
c. Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama
Pasal 82 berbunyi:
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian. Hakim
berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara
pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar
negeri, dan tidak dapat menghadap secara pribadi dapat diwakilkan
oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka
penggugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara
pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Karena perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Allah,
walaupun perbuatan itu adalah halal. Maka, peraturan ini menetapkan bahwa
seorang hakim dalam menangani kasus (pasal ini menyebutkan gugat cerai)
berkewajiban untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Usaha perdamaian (mediasi) tidak hanya dilakukan pada peradilan
tingkat pertama saja tapi juga pada tingkat banding maupun tingkat kasasi.
Oleh karena itu, hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan
pihak yang berperkara.
d. Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975
Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 berbunyi:
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Di mana penjelasan pasal tersebut adalah:
26
“Usaha untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam
pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak
terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara
perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum
diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat
meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap
perlu.11
Pasal tersebut menyiratkan bahwa mediasi wajib dilakukan oleh para
pihak yang berperkara (dalam pasal ini suami istri) dengan bantuan seorang
mediator (hakim). Proses mediasi dapat dilakukan pada setiap persidangan, ini
berarti bahwa usaha untuk mendamaikan tidak hanya dilakukan pada sidang
pertama saja yang dihadiri oleh kedua belah pihak, tetapi dapat juga dilakukan
pada sidang kedua, sidang ketiga dan sidang berikutnya selama perkara belum
diputus.
e. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Sebagaimana dalam Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang
menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan
Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui
perdamaian dengan bantuan mediator.
Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum
pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak
untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan
pemeriksaan perkara.
11
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang-
Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Depag RI, 2001), h.178.
27
2. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan
istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan
menurut syara‟ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu
persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.12
a. Al-Qur’an
Dasar hukum dalam Al-Qur‟an, termaktub dalam surat An-Nisa‟ ayat 128:
وا وا أى صلذا ب إعزاضا فلا جاح عل ا شسا أ إى اهزأة خافت هي بعل
كاى بوا تتقا فئى الل إى تذسا فس الشخ أدضزت الأ ز الصلخ خ صلذا
(128: 4/الساء)تعولى خبزا
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. An-Nisa‟: 4 ayat 128)
Makna “wal shulhu khair” yakni “dan perdamaian itu lebih baik”. Ali bin
Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu „Abbas ra, ia berkata: “yaitu memberikan
pilihan”. Maksudnya apabila suami memberikan pilihan kepada istri antara
bertahan atau bercerai, itu lebih baik daripada si suami terus menerus
mengutamakan istri yang lain daripada dirinya.
12
As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III (Beirut: Dar Al Fikr, 1977), h.305.
28
Dzahir ayat ini bahwa perdamaian di antara keduanya dengan cara istri
merelakan sebagian haknya bagi suami dan suami menerima hal tersebut, lebih
baik daripada terjadi perceraian secara total.
Sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, beliau tetap
mempertahankan Saudah binti Zam‟ah dengan memberikan malam gilirannya
kepada „Aisyah RA. Beliau tidak menceraikannya dan tetap menjadikannya
sebagai istri.
Beliau melakukan hal itu agar diteladani oleh umatnya, bahwasanya hal
tersebut disyari‟atkan dan dibolehkan. Hal itu lebih utama pada hak Nabi
Muhammad SAW. Kesepakatan itu lebih dicintai oleh Allah daripada perceraian.
Firman Allah “wal shulhu khair” „dan perdamaian itu lebih baik‟, bahkan
perceraian sangat dibenci Allah SWT.13
Ayat ini berkaitan dengan perdamaian
masalah perkawinan.
Selain ayat tersebut, ada ayat lain yang secara langsung menganjurkan
agar diadakan perdamaian yakni Surat Al-Hujarat ayat 9:
وا عل الأخز فقاتلا الت وا فئى بغت إدذا إى طائفتاى هي الوؤهي اقتتلا فأصلذا ب
ذب أقسطا إى الل وا بالعذل فئى فاءت فأصلذا ب تبغ دت تفء إل أهز الل
(9: 49/الذجزات)الوقسطي
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
13
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka
Ibnu Katsir, 2008), h.683-684.
29
kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Hujurat/49: 9)
Allah berfirman seraya memerintahkan untuk mendamaikan dua kubu
kaum mukmin yang saling bertikai. Mereka tetap disebut sebagai orang-orang
beriman meski saling menyerang satu sama lain.14
Bila Al-Qur‟an membolehkan perdamaian dalam masalah-masalah seperti
di atas, maka perdamaian dalam masalah keperdataan yang menyangkut dengan
harta bendapun sudah barang tentu dibolehkan pula. Bahkan bila ditelaah dengan
seksama kajian sulh dalam kitab-kitab fiqh klasik, objek kajiannya tertuju pada
bidang perjanjian atau perikatan yang menyangkut harta benda.
b. Al Sunnah
Dalam penyelasaian sengketa, langkah pertama yang Rasulullah tempuh
adalah jalan damai. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
ي الا : قال , عي اب ززة ي الوسلو قال رسل الله صل الله عل سلن الصلخ جائش ب
دزم دلا لا (را اب داد)صلذا ادل دزاها ا15
Artinya: Dari abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Perdamaian antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali
perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal”(HR. Abu Daud).
14
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, cet.2 (Bogor: Pustaka
Ibnu Katsir, 2008), h.470.
15
Abu Daud, Kitab Sunan Abu Daud (Beirut: Karoban Hazm, 1974), h.553. Dapat juga
dilihat Li „Ala Addin Samarqondi, Tuhfah al-fuqoha Juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993),
h.249.
30
ادل دزاها , قال ا التزهذ ن , الاشزطادزم دلالا , ا ط شز ى عل : سادالوسلو
خ ث دسي صذ ذادذ
Tirmidzi menambahkan:
Artinya:“Dan orang-orang Islam itu menurut perjanjian mereka, kecuali
perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram” (Tirmidzi berkata, hadis ini Hasan Shahih).16
Perdamaian yang dikandung oleh sabda ini bersifat umum, baik
mengenai hubungan suami istri, transaksi maupun politik. Selama tidak
melanggar hak-hak Allah dan Rasul-Nya, perdamaian hukumnya boleh.17
c. Doktrin Umar ibn Khattab
Umar dalam suatu peristiwa pernah berkata:
فئى فصل الفضاء , ردا الخصم دت صطلذا: قال عوز رض الله ع
رث بن الضغائي18
“Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan
perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian
diantara mereka”.
16
Muhammad ibn „Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nailu al-authar Juz 5 (Kairo: Al-Babi
al-Holbi, t.th), h.378.
17
“Sulh”, dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h.1653.
18
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid 3 (Mesir: Dar al Fatah, 1990) h. 210.
31
C. Ruang Lingkup Mediasi
Konflik atau sengketa yang terjadi pada manusia cukup luas ruang
lingkupnya. Konflik dan persengketaan dapat saja terjadi dalam wilayah publik
maupun wilayah privat. Konflik dalam wilayah publik yaitu konflik yang terkait
erat dengan kepentingan umum, di mana negara berkepentingan untuk
mempertahankan kepentingan umum tersebut. Kejahatan dan pelanggaran yang
dilakukan seseorang, harus diselesaikan secara hukum melalui penegakan aturan
pidana di pengadilan. Dalam kasus pidana, pelaku kejahatan atau pelanggaran
tidak dapat melakukan tawar-menawar dengan negara. Dalam hukum islam,
kepentingan umum yang dipertahankan negara melalui sejumlah aturan pidana
dikenal dengan mempertahankan hak Allah (haqqullah).
Beda halnya dengan wilayah hukum privat, di mana titik berat
kepentingannya terletak pada kepentingan perseorangan (pribadi). Dimensi privat
cukup luas cakupannya. Yaitu meliputi hukum keluarga, hukum kewarisan,
hukum kekayaan, hukum perjanjian (kontrak), bisnis dan lain-lain. Dalam
dimensi hukum privat atau perdata, para pihak yang bersengketa dapat melakukan
penyelesaian sengketanya melalui jalur hukum di pengadilan ataupun di luar jalur
pengadilan. Karena dalam hukum islam dimensi perdata mengandung hak
manusia (haqqul „ibad) yang dapat dipertahankan melalui kesepakatan damai
antar para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu, mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa
memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat/perdata. Sengketa-sengketa
32
perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis,
lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan
melalui jalur mediasi. Penyelesaian melalui mediasi ini dapat di tempuh di
pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi yang dijalankan di pengadilan
merupakan rentetan dari prosedur hukum di pengadilan. Sedangkan bila mediasi
dilakukan di luar pengadilan, maka proses mediasi tersebut adalah bagian
tersendiri yang terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan.19
Berdasarkan pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa
semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib
terlebih dahulu diselesaikan melalui proses mediasi, kecuali untuk beberapa
perkara. Pengecualian tersebut adalah perkara yang diselesaikan melalui
pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan keberatan atas putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Pemeriksaan perkara niaga, hubungan industrial, perlindungan konsumen
dan persaingan usaha telah diatur dalam prosedur tersendiri, sehingga meskipun
perkara itu termasuk dalam kategori sengketa perdata, tetapi dikecualikan dari
19
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 21-23.
33
kewajiban untuk menempuh proses mediasi sebagaimana diatur dalam PERMA
ini.20
Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga
tidak dapat dimediasi karena substansi persoalan adalah murni hukum yaitu
berkaitan dengan validitas atau keabsahan dari putusan KPPU, sehingga masalah
pokok adalah sah atau tidak sahnya putusan KPPU. Peran pengadilan tingkat
pertama dalam konteks ini adalah untuk menentukan keabsahan putusan KPPU.
Persolan hukum seperti itu tidak memberi peluang bagi para pihak untuk
mengadakan tawar-menawar dalam sebuah proses perundingan.
Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setiap perkara yang diterima wajib
terlebih dahulu diselesaikan melalui mediasi tetapi dalam perkara kontentius.21
Dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak hadir pada sidang pertama. Karena
pada sidang pertama inilah para pihak diperintahkan untuk menempuh proses
mediasi oleh majelis hakim yang menangani perkara tersebut.
Sedangkan perkara voluntair22
karena hanya satu pihak yang mengajukan
permohonan, tentu saja tidak dapat menempuh mediasi. Seperti perkara penetapan
ahli waris, dispensasi nikah, pengangkatan anak.
20
Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama JICA dan IICT, Buku Komentar
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di
Pengadilan (Jakarta: MA-RI, JICA dan IICT, 2008), h.23.
21
Perkara Kontentius adalah perkara gugatan/permohonan yang didalamnya mengandung
sengketa antara pihak-pihak.
22
Perkara Voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan didalamnya tidak terdapat
sengketa, sehingga tidak ada pihak lawan.
34
Jadi, kalau dalam PERMA No.1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa semua
perkara perdata wajib menempuh proses mediasi. Sedangkan di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dibatasi pada perkara kontentius.
D. Prinsip-prinsip Mediasi
1. Prinsip-prinsip Mediasi Menurut Para Ahli
Menurut Ruth Carlton terdapat lima prinsip mediasi, lima prinsip ini
dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi, kelima prinsip itu adalah prinsip
kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip
pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality) dan prinsip
solusi yang unik (a uniqe solution).
a. Prinsip Kerahasiaan (confidentiality)
Kerahasiaan yang dimaksud di sini adalah bahwa segala sesuatu
yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan
pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau
diberitahukan kepada pers oleh masing-masing pihak. Begitupun mediator
itu sendiri tidak boleh membocorkan isi dari mediasi tersebut. Bahkan
setelah mediasi itu memperoleh hasil, dokumentasi-dokumentasi yang ada
harus dimusnahkan untuk menjaga kerahasiaan hasil mediasi tersebut.
Dan para pihak yang terlibatpun diharapkan menghargai kerahasiaannya.
mediator tidak dapat dijadikan saksi dalam memberi keterangan dalam
kasus yang ia tangani.
35
b. Prinsip Sukarela (volunteer)
Yang dimaksud dengan sukarela disini yaitu masing-masing
pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginannya sendiri, dengan
sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Prinsip
kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerjasama
untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka dan atas
keinginan mereka sendiri.
c. Prinsip Pemberdayaan (empowerment)
Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang
ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasiakan
masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka
inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai.
Oleh karena itu setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak
dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari
pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih
memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya.
d. Prinsip Netralitas (neutrality)
Dalam mediasi, seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya
saja, dan mengontrol berjalan atau tidak mediasi tersebut. Sedangkan
isinya tetap menjadi milik orang yang bersengketa. Dalam mediasi,
mediator tidak ikut campur seperti halnya seorang hakim atau juri yang
dapat menghakimi benar atau salahnya salah satu pihak atau
36
membenarkan dan menyalahkan salah satu pihak, tetapi mediator di sini
bersifat netral.
e. Prinsip Solusi yang unik (a uniqe solution).
Solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak haus sesuai
dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreatifitas. Oleh
karena itu hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan
kedua belah pihak, yang terkait erat oleh konsep pemberdayaan masing-
masing pihak.
2. Prnsip-prinsip Mediasi Dalam al-Qur’an
Mediasi dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Shulhu/Ishlah,
beberapa ahli fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam
redaksi yang berbeda, artinya yang mudah difahami adalah memutus suatu
persengketaan. Dalam penerapan yang kita fahami adalah suatu akad dengan
maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling
bersengketa yang berakhir dengan perdamaian. Allah Swt telah mengingatkan
kepada kita akan posisi antara sesame manusia, hal tersebut tercantum di
dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 10,
Artinya: “Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara,
sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.
37
Ada beberapa bentuk Ishlah dalam Islam yang kita kenal antara lain :
a. Ishlah antara orang muslim dengan orang kafir;
b. Ishlah antara suami dengan isteri;
c. Ishlah antara kelompok yang berbuat aniaya dengan orang yang berbuat
adil;
d. Ishlah antara orang yang saling menuntut;
e. Ishlah dalam hal penganiayaan seperti mema‟afkan dengan ganti rugi
berupa uang;
f. Ishlah untuk memutuskan suatu persengketaan yang terjadi dalam hak
milik.
E. Mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
PERMA Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan
terdiri dari 8 bab dan 27 pasal:
Sistematika PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan
Bab I: Ketentuan Umum Ruang Lingkup dan Kekuatan
Berlakunya Perma
Pasal
1 – 6
38
Biaya pemanggilan para pihak
Jenis perkara yang dimediasi
Sertifikasi mediator
Sifat proses mediasi
Bab II: Tahap Pra Mediasi Kewajiban hakim pemeriksaan dan kuasa
hukum
Hak para pihak memilih mediator
Daftar mediator
Honorarium mediator
Batas waktu pemilihan mediator
Menempuh mediasi dengan iktikad baik
Pasal
7 – 12
Bab III: Tahap-Tahap
Proses Mediasi
Penyerahan resume perkara dan lama
waktu proses mediasi
Kewenangan mediator menyatakan
mediasi gagal
Tugas-Tugas mediator
Keterlibatan ahli
Mencapai kesepakatan
Tidak mencapai kesepakatan
Keterpisahan mediasi dan litigasi
Pasal
13– 19
Bab IV: Tempat Pasal
39
Penyelenggaraan Mediasi 20
Bab V: Perdamaian di
Tingkat Banding, Kasasi
dan Peninjauan Kembali
Pasal
21– 22
Bab VI: Kesepakatan di
Luar Pengadilan
Pasal
23
Bab VII: Pedoman Perilaku
Mediator dan Insentif
Pasal
24– 25
Bab VIII: Penutup Pasal
26– 27
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung
RI Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan
tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003
ditentukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan.
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagai upaya
mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta
memberikan akses lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan
instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa,
disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).
40
Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila
hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim
tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam
pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan
telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator
untuk perkara yang bersangkutan.
Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan
mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama,
kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan
hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaikan Sengketa
Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perkara
yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan
lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama.
Mediator non hakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat
mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI ( Pasal 5 ayat (1) Perma).
Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah
ditentukan yang dihadiri oleh para pihak.
Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda
proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih
mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan. Untuk
memudahkan memilih mediator, ketua pengadilan menyediakan daftar mediator yang
41
memuat sekurang-kurangnya (5) nama mediator yang disertai dengan latar belakang
pendidikan atau pengalaman para mediator. Ketua pengadilan mengevaluasi
mediator dan memperbarui daftar mediator setiap tahun. (Pasal 9 Ayat (7) Perma).
Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak dipungut biaya
apapun, sedangkan bila memilih mediator nonhakim uang jasa ditanggung bersama
para pihak berdasakan kesepakatan.
Dalam Pasal 11 Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak
diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari
kerja sejak pertama kali sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih
kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim membertahukan mediator untuk
melaksanakan tugasnya.
Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 hari sejak mediator dipilih oleh
para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim (Pasal 13 ayat (3)Perma). Atas
dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 hari
sejak berakhirnya masa 40 hari (Pasal 13 ayat (4) Perma).
Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa para pihak atas dasar kesepakatan mereka
dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang diproses banding,
kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada
tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.
Para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada
ketua pengadilan tinggi pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat
pertama segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang
42
berwenang, atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendap para pihak untuk
menempuh perdamaian.
Adapun perbedaan-perbedaan mendasar antara PERMA No. 2 Tahun 2003
dan PERMA 1 Tahun 2008 adalah sebagai berikut23
:
1. Penegasan sifat wajib, mediasi yang jika tidak dipatuhi berakibat putusan atas
perkara yang bersangkutan batal demi hukum [Pasal 2 ayat (3)]. Dalam
PERMA sebelumnya tidak ada penegasan seperti ini.
2. Pihak tergugat lebih dahulu menanggung biaya pemanggilan para pihak [Pasal
3]. Dalam PERMA sebelumnya tidak ada pengaturan seperti ini.
3. Hakim pemeriksa perkara diperkenankan menjadi mediator [Pasal 8 ayat (1)
d]. Dalam PERMA sebelumnya hakim pemeriksa perkara tidak diperbolehkan
menjadi hakim mediator.
4. Dimungkinkannya mediator lebih dari satu orang [ Pasal 8 ayat (1) edan ayat
(2)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
5. Pembuatan resume perkara oleh para pihak tidak lagi bersifat wajib [Pasal 13
ayat (1) dan (2)]. Dalam PERMA sebelumnya pembuatan resume bersifat
wajib.
6. Lama proses mediasi yaitu 40 (empat puluh) hari dan dapat diperpanjang serta
masa untuk proses mediasi itu terpisah dari masa pemeriksa perkara selma 6
23
Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia
Institute For Conflict Transformation (IICT), Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency
(JICA) dan Indonesia Institute For Conflict Transformation (IICT), 2008), h. 11-13.
43
(enam) bulan. Dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 selam 21 (dua puluh satu)
hari dan termasuk masa pemeriksaan perkara [Pasal 13 ayat (3) dan (5)].
7. Mengenai kewenangan mediator untuk menyatakan mediasi gagal dan tidak
layak (pasal 15), dalam PERMA sebelumnya pengaturan ini tidak ada.
8. Hakim wajib mendorong para pihak untuk menempuh perdamaian pada tiap
tahap pemeriksaan perkara sebelum pembacaan putusan [Pasal 18 ayat (3)].
Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
9. Mediator tidak bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas isi
kesepakatan [Pasal 19 ayat (4)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak
diatur.
10. Pengaturan lebih rinci tentang perdamaian pada tingkat banding dan kasasi
[Pasal 21 dan Pasal 22]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
11. Pengaturan kesepakatan perdamaian yang diselenggarakan di luar pengadilan
[Pasal 23]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
44
BAB III
TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Teori Efektivitas
Efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilan
suatu hukum dalam menangani suatu permasahan yang dapat diselesaikan oleh
keeksistensian hukum itu tersebut, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan
pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana
hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat
kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.
Efektivitas juga dapat dikatakan adanya kesesuaian antara orang yang
melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, dan berkaitan erat dengan
perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan.1
Efektifitas juga merupakan kata yang menunjukkan turut tercapainya suatu
tujuan. Kriteria yang menjadikan suatu tujuan atau rencana menjadi efektif, harus
meliputi : kegunaan, ketetapan dan objektifitas, adanya ruang lingkup (prinsip
1 E. Mulyana, Menejemen berbasis sekolah, konsep strategi dan implementasi (Jakarta, PT
Rosyda Karya, 2004), h. 82.
45
kelengkapanm, kepaduan dan konsisten), biaya akuntabilitas serta ketepatan
waktu.2
Efektivitas hukum dalam masyarakat berarti menilai daya kerja hukum itu
dalam mengatur atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Namun
agar hukum dan peraturan benar-benar berfungsi sacara efektif, senantiasa
dikembalikan pada penegak hukumnya, dan untuk itu sedikitnya memperhatikan
empat faktor penegakan hukum (law enforcement), yaitu:
1. Hukum atau aturan itu sendiri ;
2. Penegak hukum;
3. Fasilitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum;
4. Masyarakat;
Adapun secara terminologi, pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan
pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, tergantung pada
sudut pandang yang diambil. Soejono Soekanto mengungkapkan bahwa
efektivitas adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum dalam masyarakat
benar-benar hidup dalam masyarakat, artinya hukum tersebut benar-benar berlaku
secara yuridis, sosialis dan efektif.3
Kemudian efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pencapaian
tujuan dari usaha yang telah dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan mediasi di
2 T. Hani Handoko, Managemen, edisi II (Yogyakarta, BPFE, 1993), h.7.
3 Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Padang, Alumni,
1979), h. 114.
46
Peradilan Agama Jakarta Selatan. Seberapa besar kesuksesan yang diraih oleh
Pengadilan Agama Jakarta Selatan melaksanakan usaha damai dalam wadah
mediasi dengan memperhatikan berbagai macam aturan yang ada, baik peraturan
yang berasal dari pemerintah maupun peraturan yang berasal dari agama.
Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak
efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk dibahas dalam
perspektif efektivitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau
pelaksanaan hukum yang kurang efektif. Pada hakikatnya persoalan efektivitas
hukum seperti yang diungkapkan Syamsuddin Pasamai, dalam bukunya
“Sosiologi dan Sosiologi Hukum”, persoalan efektivitas hukum mempunyai
hubungan yang sangan erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan
penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya
hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.4
Dalam hal ini ukuran atau indikator efektivitas adalah sebagai berikut:5
1. Berhasil guna, yakni untuk menyatakan bahwa kegiatan telah
dilaksanakan dengan tepat (sesuai target) dengan waktu yang ditetapkan.
2. Ekonomis, dipergunakan dengan setepat-tepatnya sesuai dengan rencana
serta tidak ada penyelewengan.
4 Ilham Idrus, “efektivitas Hukum” artikel di akses pada 23 September 2010 dari
hhtp://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html
5 Sujudi FX, O&M, Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen (Jakarta, CV Masagung,
1990), h.36.
47
3. Pelaksanaan kerja bertanggung jawab, sebagai bukti telah dimanfaatkan
dengan setepat-tepatnya.
4. Rasionalitas wewenangan dan tanggungjawab, harus dihindari adanya
dominasi oleh salah satu pihak atas pihak lainnya.
5. Pembagian kerja yang nyata, dibagi berdasarkan beban kerja, ukuran
kemampuan kerja dan waktu yang tersedia.
6. Prosedur kerja yang praktis, kegiatan operasional yang dapat
dilaksanakan dengan lancar.
Apabila dikaitkan dengan mediasi Laurence Boulle seperti yang dikutip
dalam buku “Arbitrase dan Mediasi di Indonesia” karangan Gatot Soemarsono,
untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan mediasi ada beberapa prasyarat yang
berupa faktor-faktor kunci kesuksesan (key success factor) yang harus diketahui.
Faktor-faktor kunci kesuksesan mediasi tersebut diantaranya:6
1. sengketa masih dalam batas “wajar”.
Konflik diantara para pihak masih moderate, artinya permusuhan masih
dalam batas yang bisa ditoleransi. Ukuran wajar atau moderate sangat relatif.
Misalanya, jika kedua belah pihak tidak mau bertemu, berarti permusuhan diantara
mereka telah sangat parah. Jika sengketa sudah sangat parah, harapan untuk
mendapatkan win-win solution sulit atau tidak mungkin tercapai. Dengan demikian
mereka lebih menyukai penyelesaian lose solution. Dalam kondisi demikian,
6 Gatot Soemarsono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h. 6-7.
48
penyelesaian melalui APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa)7 mungkin tidak
mampu memberikan kontrol perlindungan serta pengaruh yang cukup untuk
menghasilkan keputusan yang konstruktif.
2. Komitmen para pihak
Para pihak, penguasa, atau pelaku bisnis yang bersengketa memang
bertekad menyelesaikan sengketa mereka melalui APS, dan mereka menerima
tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri serta menerima legitimasi dari
APS. Semakin besar komitmen dan penerimaan atas proses tersebut dari para
pihak, semakin besar kemungkinan para pihak akan memberikan response positif
terhada penyelesaian melalui APS.
3. keberlanjutan hubungan
Penyelesaian melalui APS selalu menginginkan hasil win-win solution.
Dengan demikian, harus ada keinginan dari para pihak untuk mempertahankan
hubungan baik mereka. Misalnya, dua pengusaha yang bersengketa, seorang dari
Indonesia dan seorang dari jepang, inin tetap melanjutkan hubungan usahanya
setelah sengketa mereka berhasil. Dengan pertimbangan kepentingan di masa
depan, hal itu mendorong mereka untuk tidak hanya memikirkan hasilnya tapi juga
cara mencapainya.
7 Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilandengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
49
4. Keseimbangan posisi tawar menawar
Para pihak harus memikliki keseimbangan dalam posisi tawar menawar.
Meskipun hal itu kadang sulit dijumpai, khususnya jika sengketa melibatkan
multinasional dan pengusaha lokal, dimana hampir seluruh sumberdaya dikuasai
oleh pengusaha multinasional. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak
seharusnya mempengaruhi posisi tawar menawar. Artinya salah satu pihak harus
tidak mendikte atau bahkan mengintimidasi agar sebuah penyelesaian di setujui.
5. Prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia
Para pihak menyadari bahwa, tidak seperti penyelesaian sengketa di
pengadilan,proses penyelesaian sengketa melalui APS tidak terbuka untuk umum.
Demikian pula, hasil penyelesaian sengketa tidak dimaksudkan untuk diketahui
oleh umum atau dipublikasikan kepada khalayak, bahkan dinilai konfidensial. Jadi,
tujuan yang hendak dicapai, yang terpenting, adalah para pihak mencapai
penyelesaian sengketa mereka dengan hasil yang memuaskan.
B. Selayang Pandang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya
Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta Selatan hanya terdapat tiga kantor
yang dinamakan kantor cabang, yaitu:
50
a. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
b. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah
c. Kantor cabang Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk8
Semua Pengadilan Agama tersebut diatas termasuk wilayah hukum cabang
Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya cabang
Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat Keputusan Menteri Agama
Nomor 71 Tahun 1967 tanggal 16 Desember 1967. Semua pengadilan agama di
provinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di daerah Ibu Kota
Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi cabang
Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah Mahkamah Islam Tinggi
menjadi Pengadilan Tinggi Agama.
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1985 tanggal 16 Juli 1985 Pengadilan Tinggi Surakarta dipindah ke
Jakarta, akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987
dan secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta
adalah menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Berdasarkan
Surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985
tanggal 16 Juli 1985, Pengadilan Tinggi di Surakarta dipindahkan ke Jakarta,
akan tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara
8 Yuridiksi Pengadilan Tinggi agama Jakarta, Mahkamah Agaung RI, Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama, 2006, hal. 31
51
otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah
menjadi wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.9
Terbentuknya Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu merupakan
cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang berkantor di jalan
Otista Raya Jakarta Timur.
Sebutan pada waktu itu adalah Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Kantor cabang Pengadilan Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya
jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan
masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup luas. Ketika itu keadaan
kantor masih dalam keadaan darurat yang menempati gedung bekas kantor
Kecamatan Pasar Minggu, di suatu gang kecil yang sampai saat ini masih dikenal
dengan Gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta Selatan. Ketika pimpinan
kantor dipegang oleh Bapak H. Polana.
Pada tahun 1976 gedung kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati serambi
Mesjid Syarief Hidayatullah dan sebutan kantor cabang pun dihilangkan menjadi
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dan pada masa itu diangkat pula hakim
honorer untuk menangani perkara-perkara yang masuk diantaranya adalah Bapak
H. Ichtijanto, SH.
9 Ibid., h. 31.
52
Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala kandepag Jakarta Selatan
pada waktu itu yang dijabat oleh Bapak Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring dengan
perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas-tugas
kepaniteraan yaitu Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi, Saimin, Tuwon
Haryanto, Fatullah AN., Hasan Mugni dan Imron. Keadaan penempatan kantor
serambi mesjid tersebut bertahan sampai tahun 1979.10
Pada bulan September 1979 kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan
pindah ke gedung baru di jalan Ciputat raya Pondok Pinang dengan menempati
gedung baru dengan tanah yang masih menumpang pada areal tanah PGAN
Pondok Pinang. Pada saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh
Bapak H. Alimi BA pada Tahun 1979, diangkat pula hakim-hakim honorer untuk
menangani perkara-perkara yang masuk. Diantaranya yaitu KH. Ya’kub, KH.
Muhdats Yusuf, Hamim Qarib, Rasyid Abdullah, Ali Imran, dan Drs. H. Noer
Chazin.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu pada masa kepemimpinan Drs. H.
Djabir Mansyur SH. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke jalan
rambutan VII No.48 Pejaten Barat Pasar Minggu Jakarta selatan dengan
menempati gedung baru yang merupakan hibah dari Pemda DKI.
Di gedung ini meskipun tidak memenuhi syarat untuk sebuah Kantor
Pemerintahan setingkat Walikota, karena gedungnya berada di tengah-tengah
perumahan penduduk dan jalan masuknya termasuk kelas jalan III C, namun
10
Ibid., h. 33.
53
sudah lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang, hal ini karena pembenahan-
pembenahan fisik terus dilakukan.11
Pada bulan Maret 2010, kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah
di Jl. Harsono RM No. 1 Kel. Ragunan Pasar Minggu Jakarta Selatan hingga saat
ini. Dan di sinilah lokasi yang dijadikan tempat penelitan oleh penulis.
Gedung baru Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini telah memenuhi
kriteria untuk sebuah Pengadilan. Berada di pinggir jalan raya dan sangat stategis.
Selain itu di gedung baru ini terdapat 2 ruang mediasi. Ruang yang pertama
dibagi menjadi 2 ruangan lagi, dan ruangan ke dua dibagi menjadi 3 ruangan. Jadi
total ruangan mediasi yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini adalah
sebanyak 5 ruangan.
Bangunan Pengadilan Agama Jakarta Selatan saat ini terbilang megah
dibanding dengan Pengadilan Agama lainnya. Karena Pengadilan Agama Jakarta
Selatan merupakan “perwujudan wajah baru” Pengadilan Agama di Indonesia
yang sudah terealisasi dan “perwujudan wajah baru” itu akan merambat ke
seluruh Pengadilan Agama di Indonesia nantinya.
Selain bangunan yang megah, Pengadilan Agama Jakarta Selatanpun
merupakan “Pilot Project” dalam bidang mediasi untuk Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia. Ada beberapa Pengadilan Agama di Jakarta yang di jadikan
“Pilot Project” untuk Pengadilan Agama secara keseluruhan. Diantaranya
Pengadilan Agama Jakarta Utara merupakan “Pilot Project” dalam bidang IT,
11
Ibid., h. 34.
54
Pengadilan Agama Barat merupakan “Pilot Project” dalam bidang IT dan Arsip,
dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan “Pilot Project” dalam bidang
mediasi.
Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan yaitu
sebagai berikut:
KETUA
WK. KETUA
HAKIM
PANITERA /
SEKRETARIS
WK. PANITERA WK. SEKRETARIS
Kasubag
Umum
Kasubag
Keuangan
Kasubag
Kepegawa
ian
Panmud
Hukum
Panmud
Gugatan
Panmud
Permohon
an
PANITERA
PENGGANTI
JURUSITA
JURUSITA
PENGGANTI
55
Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan saat ini adalah Drs. H. Ahsin
Abdul Hamid, SH., MH., wakil ketua yaitu Drs. H. Yasardin, SH, MH, dan
Pansek adalah Drs. Achmad Jufri, SH.
Pada saat ini jumlah hakim yang ada di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan terdapat 17 hakim, 16 diantaranya menjadi hakim mediator dan hanya 6
hakim yang memiliki sertifikat mediator. Nama-nama hakim yang menjadi
mediator yaitu:
1. Dra. Hj. Noorjannah Azis, M.H.,
2. Dra. Hj. Ida Nursa’adah, S.H., M.H.,
3. Drs. Agus Yunih, S.H., M.H.I.,
4. Drs. Nurhafizah, S.H., M.H.,
5. Drs. Farchanah M, M.Hum.,
6. Drs. Chotman Jauhari, M.H.,
7. Hj. Shafwah S.H., M.H.,
8. H. Muh. Kailani S.H., M.H.,
9. Dra. Muhayah S.H.,
10. Drs. Harum Rendeng S.H., M.H.,
11. Tamah, S.H.,
12. Dra. Hj. Tuti Ulwiyah M.H.,
13. Drs. Muslim, S.H., M.S.I.,
14. Drs. Abdurrahim M.H.,
15. Drs. Sohel,
16. Drs. Muhail, S.H.,
Dan yang memiliki sertifikat mediator adalah Hj. Shafwah S.H., M.H.;
Dra. Muhayah S.H.; Tamah, S.H.; Dra. Hj. Tuti Ulwiyah M.H.; dan Drs. H.
Saefuddin Turmudzi, M.H.
56
2. Wewenang relatif dan wewenang absolut Pengadilan Agama Jakarta
Selatan
Menurut M. Yahya Harahap,12
ada lima tugas dan kewenangan yang
terdapat di lingkungan Peradilan Agama, yaitu: 1) Fungsi kewenangan
mengadili; 2) Memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum
islam kepada instansi pemerintah; 3) Kewenangan lain oleh atau berdasarkan
UU; 4) Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili perkara dalam
tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif; 5) bertugas
mengawasi jalannya peradilan.
Kewenangan atau kekuasaan13
peradilan kaitannya adalah dengan
hukum acara menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan relatif14
dan kekuasaan
absolut.15
Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan Pengadilan Agama
tingkat pertama dan mempunyai tugas-tugas sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan agama berwenang mengadili
12
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU nomor 7
1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993) h.33.
13
Kata “kekuasaan” sering disebut “kompetensi” yang berasal dari bahasa Belanda
“competentie” yang kadang diterjemahkan “kewenangan” dan terkadang dengan “kekuasaan”.
14
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan
berdasarkan wilayah. Misalnya Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Pengadilan Agama Jakarta
Timur.
15
Kekuasaan absolut diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang beberapa jenis dan satu
tingkatan berdasarkan jenis perkara. Misalnya Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri.
57
perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang
beragama Islam dan berdomisili di wilayah kekuasaan hukum pengadilan
agama tersebut. Adapun tugas dan wewenang peradilan agama berdasarkan
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Amandemen UU Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai berikut:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah”.
Semua kompetensi di atas diatur berdasarkan Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah dan Kompilasi Hukum Islam. Adapun pelaksanaan
tugas-tugas pokok ini, pembinaanya dilakukan oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Kewenangan peradilan agama Pasal 49 huruf (a) yakni bidang
perkawinan. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang
dilakukan menurut syariah. Perkara-perkara tersebut yang merupakan
kewenangan absolut Peradilan Agama dijelaskan pada pasal 49 ayat (2) yang
terdapat 22 butir, 22 butir tersebut adalah:
1. Izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berumur 21 tahun,
dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
58
7. Gugatan kelalaian;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mampu memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan wali
dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak belum cukup berumur 18
tahun yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul anak;
21. Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran; dan
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan berlaku yang dijalankan menurut peraturan yang
lain.
Kewenangan lain pengadilan agama adalah memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di bidang hukum waris yang meliputi: penentuan siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, pelaksanaan pembagian harta peninggalan,
dan penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa
yang menjadi ahli waris dan penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Kewenangan pengadilan agama lainnya adalah dalam perkara wasiat,
hibah, wakaf, zakat dan infaq. Serta kewenangan pengadilan agama diperluas,
termasuk bidang ekonomi syari’ah. Hal ini sesuai dengan perkembangan
59
hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim.
Dengan penegasan dan peneguhan kewenangan pengadilan agama
dimaksudkan untuk memberi dasar hukum bagi pengadilan agama dalam
menyelesaikan perkara ekonomi syariah.16
Terhadap kekuasaan absolut ini, maka pengadilan agama diharuskan
untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya termasuk kekuasaan absolut
atau tidak. Kalau ternyata tidak termasuk kekuasaan absolut, maka pengadilan
agama dilarang menerimanya. Jika pengadilan agama menerima juga, maka
pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut dengan “eksepsi
absolut”, baik dalam tingkatan pertama maupun sampai tingkatan kasasi.
Sedangkan untuk kompetensi relatif atau kewenangan jurisdiksi
Pengadilan Agama Jakarta Selatan adalah meliputi 10 kecamatan, yaitu:
a. Kebayoran Lama dengan enam kelurahan
b. Pesanggrahan dengan lima kelurahan
c. Pasar Minggu dengan tujuh kelurahan
d. Jagakarsa dengan lima kelurahan
e. Mampang Prapatan dengan lima kelurahan
f. Pancoran dengan enam kelurahan
g. Kebayoran Baru dengan sepuluh kelurahan
h. Setiabudi dengan tujuh kelurahan
16
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2008), h.347.
60
i. Tebet dengan tujuh kelurahan
j. Cilandak dengan lima kelurahan
Kompetensi relatif ini memiliki arti yang sangat penting sehubungan
dengan pengadilan mana seseorang mengajukan perkaranya dan eksepsi
tergugat.
Dalam hal ini, pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Amandemen UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agamamenyatakan “Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten /
kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten / kota”.
Dengan demikian, tiap-tiap pengadilan agama mempunyai wilayah
hukum tertentu atau dikatakan mempunyai (yuridiksi relatif) tertentu. Dalam
hal ini meliputi kabupaten atau kota atau dalam keadaan tertentu bisa ada
pengecualian, sebagaimana terdapat dalam penjelasan pada pasal tersebut.
Disamping wewenang di atas, Pengadilan Agama Jakarta Selatan juga
bertugas melaksanakan sebagian tugas-tugas pokok Departeman Agama dalam
hal ini khususnya pada pembinaan hukum agama, hisab dan rukyat. Berkaitan
dengan tugas tersebut, Pengadilan Agama Jakarta Selatan bertugas
menyelenggarakan kegiatan pengorganisasian, administrasi dan keuangan.
61
BAB IV
ANALISIS EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Dasar Hukum Seorang Hakim Menjadi Mediator.
Dengan adanya PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun
2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan, maka pengadilan-pengadilan di
seluruh Indonesia mulai menerapkan wajib mediasi bagi perkara perdata.
Pengadilan-pengadilan di seluruh Indonesia mulai berbenah untuk pelaksanaan
mediasi ini. Dari mulai menyediakan tempat khusus mediasi sampai dengan
menyediakan mediator-mediator. Pada dasarnya mediator untuk pengadilan,
khususnya Pengadilan Agama bisa berasal dari mana saja asalkan memiliki
sertifikat mediator. Akan tetapi, sedikitnya mediator non litigasi yang memiliki
sertifikat mediator maka para hakim pun dikerahkan untuk menjadi mediator. Dari
banyaknya hakim di Pengadilan Agama seluruh Indonesia hanya sedikit yang
memiliki sertifikat. Menurut Dirjen Badilag, dari sekitar 3600 hakim Pengadilan
Agama seluruh Indonesia hanya sekitar kurang lebih 300 hakim yang memiliki
sertifikat. Hal tersebut mungkin dikarenakan PERMA tentang mediasi tersebut
baru dikeluarkan pada tahun 2008.1
Hakim yang menjadi mediator atau mediator litigasi tidak diwajibkan
memiliki sertifikat. Hakim yang tidak memiliki sertifikatpun diperbolehkan
1 Wawancara pribadi dengan Drs. Wahyu Widiana. Jakarta, 8 September 2010.
62
menjadi mediator. Akan tetapi tetap hakim yang memiliki sertifikat yang
didahulukan sebagai mediator. Berbeda halnya dengan mediator non litigasi atau
non hakim. Bagi mediator non hakim diwajibkan memiliki sertifikat mediator.
Dalam hal mediator non hakim ini Peradilan Agama menggandeng BP4 (Badan
Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan).2 Selain BP4, mediator yang
ada di ranah Peradilan Agama yaitu mantan-mantan hakim yang sudah pensiun
dan sebenarnya ini sangat menguntungkan, karena mantan-mantan hakim
merupakan orang yang terbiasa menangani perkara di Pengadilan.3
Dikarenakan sedikitnya hakim Peradilan Agama yang memiliki sertifikat,
maka BADILAG (Badan Peradilan Agama) menyisipkan pelatihan mediasi pada
pelatihan CAKIM (Calon Hakim) tiap tahunnya dan para cakim langsung
mendapatkan sertifikat mediator. Kegiatan ini mulai berjalan pada pelatihan
CAKIM angkatan ke-5 yang diadakan pada tahun 2010 ini. Dan akan berjalan ke
tahun-tahun berikutnya. Jadi para hakim Peradilan Agama di masa yang akan
datang akan memiliki sertifikat sepenuhnya dan tanpa terkecuali. Karena pelatihan
tersebut diwajibkan oleh para CAKIM. Sebelumnya, pelatihan mediasi tersebut
dilaksanakan pada hakim-hakim dan tidak semua hakim mengikutinya.
2 Hermansyah, “Para Mediator Se-DKI Jakarta Mulai Diperkenalkan”, artikel diakses pada
22 September 2010 dari
http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5288&Itemid=1
3 Wawancara pribadi dengan Drs. Kadi Sastro Wirjono. Jakarta, 8 September 2010.
63
B. Administrasi Mediasi Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan dan praktek yang ada di lapangan.
Sebelum adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebenarnya Pengadilan
Agama telah melaksanakan perdamaian dengan landasan Pasal 130 HIR / 154Rbg.
Karena Pasal 130 HIR ini sudah merupakan kewajiban bagi hakim untuk
melaksanakan perdamaian semua perkara perdata.4 Hingga adanya PERMA ini,
mediasi di Peradilan Agama terus memberikan perubahan ke arah yang lebih baik.
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini mulai terealisasikan di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan sejak bulan september 2008. Namun Pengadilan Agama Jakarta
Selatan belum secara keseluruhan melaksanakan PERMA ini, tetapi fleksibel
disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan harus ada tambahan biaya untuk
pemanggilan para pihak, harus memenuhi waktu mediasi yaitu 40 hari ditambah
14 hari sehingga tidak memenuhi asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Terlebih
lagi apabila mediasi tersebut gagal maka akan memakan waktu lebih lama. Tetapi
walaupun demikian mediasi ini sedikitnya memberikan manfaat bagi para pihak
yang berperkara. Nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan
pertimbang untuk berdamai.
Secara garis besar administrasi mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1
Tahun 2008 dan praktek yang ada di lapangan khususnya di Pengadilan Agama
4 Ridan Ikhwan, “Hakim dalam Menjalankan Proses Persidangan” dalam acara Mootcourt
Training And Competetion pada tanggal 18 April 2008 di Student Center UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
64
Jakarta Selatan tidak jauh berbeda. Walaupun PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini
telah terealisasikan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada bulan September
2008, akan tetapi ada sebagian yang belum memenuhi kelayakan mediasi
berdasarkan PERMA tersebut. Misalnya belum adanya ruangan khusus mediasi,
kurangnya mediator-mediator yang bersertifikat, administrasi yang belum
tercatatkan dan lain sebagainya. Namun pada bulan Maret 2010 Pengadilan
Agama Jakarta selatan memiliki ruangan khusus mediasi dan akta-akta hasil
mediasi mulai dicatatkan. Sedangkan mengenai masalah kurangnya mediator yang
bersertifikat hingga saat ini masih menjadi permasalahan peradilan Agama Jakarta
Selatan khususnya dan merupakan permasalahan bagi Peradilan Agama secara
nasional. Seperti yang telah dikatakan oleh Dirjen Badilag, dari kurang lebih 3600
hakim yang ada di Indonesia hanya 300 hakim yang memiliki sertifikat mediator.
Sedangkan di Pengadilan Agama jakarta Selatan dari 17 hakim hanya 6 orang
hakim yang memiliki sertifikat mediator.5
Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan terdapat 17 hakim, 16 diantaranya
yang menjadi mediator dan 4 mediator non hakim.6 Dan ini merupakan salah satu
ketidak singkronan dari apa yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dan
yang terjadi di lapangan. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa
hakim yang tidak memiliki sertifikat mediator hanya boleh menjadi mediator
apabila di wilayah pengadilan tersebut tidak terdapat satupun mediator yang
5 Wawancara pribadi dengan Drs. Wahyu Widiana MA. Jakarta, 8 September 2010.
6 Wawancara pribadi dengan Tamah, SH. Jakarta, 8 September 2010.
65
bersertifikat. Akan tetapi pada kenyataannya hampir semua hakim yang ada di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan menjadi mediator meskipun tidak semuanya
memiliki sertifikat dan terdapat mediator non hakim yang bersertifikat di
Pengadilan tersebut (Bab II pasal 9 ayat (3)). Hal ini dikarenakan kurangnya
mediator yang bersertifikat dan banyaknya jumlah perkara perdata yang masuk ke
pengadilan.
Selain itu dalam PERMA tersebut disebutkan bahwa para pihak yang
berpekara yang berhak menentukan mediatornya, namun tak sedikit majelis hakim
sendiri yang menentukan atau menyodorkan mediatornya. Dalam hal ini
dikarenakan para pihak tidak mengenal betul para mediator yang ada dalam daftar
mediator. Tetapi ada pula yang menolak, hal tersebut dikarenakan masalah jadwal
waktu yang tidak mereka sepakati, bukan karena kepribadian mediator itu sendiri
atau lain hal.7
C. Hambatan Dalam Mengupayakan Keefektivan Mediasi
Terkadang mediasi bisa menghambat prosedur pelaksanaan persidangan di
Pengadilan Agama. Karena dengan adanya jadwal mediasi secara otomatis akan
menambah agenda penyelesaian perkara. Hambatan yang dihadapi oleh hakim
adalah sebagai berikut:
7 Wawancara pribadi dengan Drs. Kadi Sastro Wirjono. Jakarta, 8 September 2010.
66
1. Dalam perkara perceraian.
Karena perceraian adalah masalah hati, maka hal ini tidak sedikit para
pihak yang tidak mau melaksanakan mediasi. Dengan alasan persoalan yang
mereka hadapi sudah mencapai klimaks.8 Karena dalam persidangan pun majelis
hakim telah berusaha untuk mendamaikan dengan memberi nasehat, sehingga
menurut para pihak tidak mau membuang-buang waktu untuk proses mediasi.
2. Biaya perkara bertambah.
Karena ada biaya untuk pemanggilan para pihak. Apalagi jika proses
mediasi yang dilakukan di luar pengadilan atau dengan kata lain dengan bantuan
mediator dari luar pengadilan. Tentu saja membutuhkan biaya untuk mediatornya
atau mungkin ada biaya untuk tempat pelaksanaan mediasi. Oleh karena itu
Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum menerapkan biaya mediasi, karena
dengan pertimbangan bahwa; 1) PERMA ini masih baru, 2) belum ada petunjuk
secara langsung, 3) menambah beban bagi para pihak yang bersengketa.
3. Waktu sangat dimaksimalkan.
Dengan diadakannya mediasi di dalam peradilan, proses litigasi menjadi
tertunda hingga adanya hasil mediasi tersebut. Oleh karena itu waktu yang
disediakan untuk mediasi sangat dimaksimalkan.
8 Wawancara pribadi dengan Drs. Kadi Sastro Wirjono. Jakarta, 8 September 2010.
67
Dari segi waktu, kendala yang dihadapi oleh hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan selama PERMA No.1 Tahun 2008 ini diberlakukan dapat dirinci
sebagai berikut:
a. Para pihak yang meminta waktu mediasi diperpanjang
Dengan adanya jadwal mediasi, pemeriksaan pokok perkara ditunda.
Apalagi jika para pihak meminta kepada majelis hakim untuk memperpanjang
waktu mediasi.
Sebelum adanya peraturan ini, sidang yang kedua biasanya pembacaan
gugatan. Namun sekarang bisa mencapai kurun waktu 1 bulan setengah baru
dibacakan gugatan karena dilakukan mediasi terlebih dahulu. Dengan demikian
para hakim memerlukan waktu yang lebih untuk memeriksa satu pokok perkara.
b. Persidangan hadir, namun pada saat mediasi tidak hadir
Para pihak hadir ketika persidangan pertama. Setelah sidang pertama
majelis hakim Pengadilan Agama memerintahkan kepada para pihak yang
berperkara untuk menuju ruang mediasi.
Namun, terkadang ada salah satu pihak yang tidak mematuhi peraturan
tersebut. Misalnya perkara cerai gugat, pihak tergugat setelah keluar dari ruang
sidang tidak langsung menuju ruang mediasi tetapi langsung pulang, mungkin
karena alasan tidak ingin bercerai. Akibatnya, yang hadir pada ruang mediasi
68
hanya salah satu pihak, yaitu pihak penggugat. Tentu saja proses mediasi tidak
bisa dilaksanakan.
Maka pada sidang berikutnya ketika majelis hakim menanyakan tentang
mediasi yang diperintahkan pada sidang sebelumnya. Mereka menjawab bahwa
mereka belum menempuh proses mediasi. Majelis hakim pun memerintahkan
kembali untuk menempuh proses mediasi. Dengan kejadian ini berarti
membutuhkan waktu lagi untuk menunggu hasil mediasi.
c. Sidang pertama tidak hadir, namun sidang berikutnya hadir
Ketika sidang pertama salah satu pihak tidak hadir, tapi pada saat sidang
berikutnya pihak tersebut hadir. Bahkan ada juga pihak yang hadir pada saat
sidang sudah sampai pada tahap pembuktian. Maka majelis hakim tetap harus
memerintahkan lagi kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Dan
majelis hakim membutuhkan waktu lagi untuk menunggu sampai adanya laporan
dari hakim mediator.
Selain hambatan tentu saja terdapat keuntungan setelah proses mediasi baik
bagi pihak yang bersengketa maupun bagi hakim mediator sendiri. Bagi pihak
yang bersengketa kalau terjadinya perdamaian tentunya adalah sesuatu yang sangat
menguntungkan. Karena masalah yang mereka hadapi terselesaikan dengan
kebaikan dan keuntungan yang diperoleh bagi masing-masing pihak. Kalau
69
putusan pengadilan tidak memberi penyelesaian yang menyeluruh. Bahkan tidak
memuaskan kepada yang kalah maupun yang menang.
Selain itu, kekalahan dan kemenangan tidak mendatangkan kedamaian
kalbu dan nurani. Bahkan seperti yang diungkapkan pepatah Cina a lawsuit bred
ten years of hatred. Berperkara di pengadilan menumbuhkan benih kebencian dan
dendam bertahun-tahun.
Namun sebaliknya, kalau tidak terjadi perdamaian minimal sebagai dasar
untuk saling inrtospeksi diri. Sebagai suatu motivasi agar para pihak menyadari
akan hal-hal yang telah dilakukan pada masa yang lalu dan sebagai pelajaran agar
tidak terulang kembali pada masa yang akan datang. Misalnya masalah perceraian,
dengan proses mediasi para pihak diingatkan dengan nasehat dari hakim mediator
akan pentingnya pernikahan sebagai sebuah ibadah. Oleh karenanya, kalaupun
mediasi gagal dan berakhir dengan putusan perceraian. Nasehat dari mediator dapat
diterapkan oleh para pihak pada pernikahan yang kedua dan diharapkan tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pernikahan yang pertama.
Mengutip pernyataan Bapak Ketua Muda MA (Drs. Andi Syamsu Alam,
S.H.,M.H) dan Bapak Dirjen Badan Peradilan Agama (Drs. Wahyu Widiana, M.A)
menyatakan bahwa mediasi ini merupakan produk Islami dalam rangka
penyelesaian sengketa di pengadilan. Oleh sebab itu, mediasi melalui mediator
harus dilaksanakan secara optimal sebagai bagian dari sebuah proses aktivitas
70
ijtihad demi mendapatkan keputusan yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi
kedua belah pihak.
Tujuan utama dari mediasi adalah tercapainya perdamaian, sementara
perdamaian itu merupakan hukum yang tertinggi sesuai dengan adagium hukum
yang berbunyi "Ash-Shulh Sayyid al-hukm". Perdamaian menjadi sangat penting
dilaksanakan apalagi dalam menyelesaikan sengketa-sengketa keluarga. Keluarga
berarti umat, baiknya suatu keluarga, sangat berpengaruh dan berdampak kepada
perbaikan umat secara keseluruhan.
Meskipun perceraian tidak dapat terelakkan, bukan berarti mediasi gagal
secara total, minimal dalam mediasi kepada kedua belah pihak telah dilakukan
pencerahan dan internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam persoalan rumah tangga,
supaya kelak apabila mereka menikah lagi, mereka telah memiliki pemahaman
yang cukup baik tentang arti sebuah rumah tangga. Namun demikian, melalui
mediasi yang dilaksanakan secara maksimal, mudah-mudahan tercapai perdamaian
tanpa perceraian.9
Dan keuntungan bagi hakim adalah akan mendapatkan reward
(penghargaan / pointer). Karena dalam PERMA tersebut menyatakan bahwa setiap
mediator harus dicantumkan dalam putusan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban
dalam pelaksanaan mediasi.
9 Admin, “Optimalisasi Pelaksanaan Mediasi”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010
dari http://www.pasimalungun.net/kiri/optimalisasi_pelaksanaan_mediasi.htm
71
Keuntungan lainnya adalah dengan keterbatasan waktu, tenaga dan dana
untuk penyuluhan hukum sebenarnya dapat teratasi melalui proses mediasi
sebagaimana yang diatur dalam Perma ini. Mediator yang diambil dari hakim,
dapat lebih leluasa dan memiliki waktu yang cukup luas untuk memberikan
pemahaman tentang hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Penyuluhan secara
face to face seperti tersebut pasti lebih terarah dan mencapai sasaran ketimbang
penyuluhan hukum secara umum. Meskipun bingkainya adalah mediasi namun
isinya adalah penyuluhan hukum. Apabila mediasi secara optimal tersebut telah
terlaksana secara kontinu mudah-mudahan akan terdapat perubahan paradigma di
kalangan masyarakat dalam memandang pengadilan yang selama ini hanya
dianggap sebagai pemutus perkara, berubah menjadi lembaga yang memberikan
keadilan dengan kepuasan kedua belah pihak.
D. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
Semenjak ditetapkannya PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor
1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan
fundamental dalam praktek peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya
bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan suatu
perkara, tetapi berwenang mendamaikan para pihak yang berpekara. Pengadilan
yang selama ini terkesan sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan
72
keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga
yang mencari solusi antara pihak-pihak yang bertikai.
Pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan ini diharapkan bisa menjadi tonggak awal keefektifan usaha
perdamaian atau mediasi, bukan hanya dalam tataran teoritis, tetapi juga dalam
praktiknya di lapangan. Karena PERMA tersebut merupakan hasil dari
penyempurnaan dari PERMA sebelumnya, yakni PERMA Nomor 2 Tahun 2003
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dianggap kurang begitu efektif
dalam menyelesaiakan perkara di Pengadilan.
Pada dasarnya hukum mediasi tercantum dalam pasal 2 ayat (2) PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan
setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian
perkara melalui mediasi. Dan apabila tidak menempuh prosedur mediasi ini
maka berdasarkan PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR
dan atau pasal 154 Rbg. Yang mengakibatkan putusannya batal demi hukum.
Artinya, semua perkara yang masuk pada Pengadilan tingkat pertama tidak
mungkin melewatkan prosedur mediasi.10
Pemberlakuan PERMA mediasi ini terbilang baru dalam ranah
Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu institusi yang
mempraktikkan mediasi, karenanya Pengadilan Agama Jakarta Selatan butuh
10
Siddiki, Drs., Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilam Sederhana, Cepat dan Biaya
Ringan, www.badilag.net,2009, hal.2.
73
waktu penyesuaian untuk bisa memaksimalkan tingkat keefektivan PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini.
Dalam pemberlakuan PERMA tersebut, Pengadilan Agama Jakarta
Selatan yang berasaskan sederhana, cepat dan biaya ringan mengambil langkah
/pola fleksibel, yakni setelah hakim telah menentukan mediator yang ditunjuk,
maka para pihak yang terkait memasuki ruang mediasi pada hari itu juga,
menentukan waktu mediasi yang ditentukan bersama dan hakim pun langsung
menunda persidangan. Selain memudahkan para pihak yang berperkara, hal
tersebut juga dimaksudkan untuk meringankan perkara dan menghemat waktu.
Meskipun demikian, Pengadilan Agama Jakarta Selatan tetap berpedoman pada
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Mengenai tingkat keefektifan mediasi yang dianggap kurang efektif,
seperti yang diutarakan salah satu Ketua Muda Mahkamah Agung RI, H. Andi
Syamsu Alam, hal tersebut juga dibenarkan oleh H. Wahyu Widiana, Dirjen
Badilag RI, selain belum maksimalnya pemberdayaan PERMA Nomor 1 tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tersebut, terlebih lagi perkara
perceraian. Karena perkara perceraian menyakut soal hati yang tidak bisa
dipaksakan, karena para pihaklah yang benar-benar merasakan permasalahannya.
Dan kebanyakan dari mereka datang membawa permasalahan tersebut ke
pengadilan dengan tekad bulat untuk bercerai. Maka akan sulit sekali untuk
didamaikan.
74
Mengenai keefektivan mediasi dalam penelitian ini terdapat dua
perspektif dari kata “efektif”. Yang pertama apakah peraturan yang berlaku itu
efektif dalam artian berjalan dan dilaksanakan. Dan kedua makna efektif di sini
yaitu apakah hasil yang diharapkan atau target dari peraturan tersebut berhasil.
Apabila kefektifan yang dimaksud pada bagian pertama, PERMA No. 1 Tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan berhasil dilaksanakan, berarti
PERMA ini efektif. Namun apabila efektif yang dimaksud pada bagian kedua,
tentang hasil target dari penerapan PERMA ini, berarti PERMA No. 1 Tahun
2008 ini belum efektif.
Efektivitas menurut Ilham Idrus dalam artikelnya yang berjudul “
Efektivitas Hukum” yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya terdapat 6
indikator, yaitu berhasil guna; ekonomis; pelaksanaan kerja bertanggung jawab;
rasionalitas wewenang dan tanggung jawab; pembagian kerja yang nyata; dan
prosedur kerja yang praktis. Dikaitkan dengan indikator tersebut pelaksanaan
mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan belum sepenuhnya efektif. Karena
dari 6 poin yang harus dicapai untuk dikatakan efektif hanya 3 poin yang
tercapai. Analisis Efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
mengenai perkara perceraian berdasarkan indikator tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Berhasil guna.
Pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan khususnya dalam
perkara perceraian belum berhasil guna. Target dibentuknya PERMA
75
tentang mediasi tersebut adalah untuk mengontrol jumlah perkara yang
dilitigasi. Namun pada kenyataannya target tersebut belum tercapai. Banyak
perkara yang tetap dilitigasikan setelah mengikuti mediaisi ini.
2. Ekonomis.
Dari segi ini pun pelaksanaan mediasi tersebut juga malah menambah
pengeluaran biaya. Misalnya untuk biaya pemanggilan para pihak, untuk
pengadaan mediator, dan penambahan biaya administrasi lainnya.
3. Pelaksanaan kerja bertanggung jawab.
Pelaksanaan mediasi ini pun belum benar-benar dimanfaatkan oleh para
pihak yang berpekara. Dan yang amat disayangkan kebanyakan dari mereka
justru hanya menganggap pelaksanaan mediasi ini hanya untuk syarat agar
perkara mereka dilanjutkan di persidangan.
4. Rasionalitas wewenang dan tanggung jawab.
Dalam hal ini, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah terlaksana dengan
baik. Telah ada prosedur-prosedur administrasi yang tersistem dengan baik.
5. Pembagian kerja yang nyata.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan juga telah melaksanakan pembagian
kerja yang nyata secara baik. Pembagiaan kerja dilakukan berdasarkan
kapasitas kemampuan para pegawainya dan dilakukan dengan ketepatan
waktu yang tersedia.
76
6. Prosedur kerja yang praktis.
Kegiatan operasional mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ini
dapat dilaksanakan dengan lancar. Tidak ada penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi dalam melakukan peraturan ini. Misalnya
semua perkara perdata yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan
ini memang betul-betul harus melalui proses mediasi, apabila tidak
perkara tersebut memang tidak dilanjutkan.
Oleh karena itu, mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dapat
dikatakan belum efektif. Dari banyaknya perkara yang dimediasi hanya
sekitar 7 % yang berhasil dan dicabut dari persidangan. Namun dari
keberhasilan tersebut bukanlah perkara perceraian. Kebanyakan yang berhasil
tersebut adalah diluar perkara perceraian.
Dalam buku “ Arbitrase dan Mediasi di Indonesia” karangan Gatot
Soemarsono, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan mediasi
atau APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) menurut Laurence Boulle yang
telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, yaitu sengketa masih dalam batas
wajar; komitmen para pihak; keberlanjutan hubungan; keseimbangan posisi
tawar menawar; prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia. Akan tetapi
pada perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan kebanyakan
tidak memenuhi faktor-faktor tersebut sehingga perkara tersebut sulit untuk
dimediasikan. Berikut adalah singkronisasi antara faktor-faktor yang
77
mempengaruhi mediasi dengan perkara-perkara yang ada di Pengadilan
Agama Jakarta Selaatan:
1. Sengketa masih dalam batas wajar.
Kebanyakan dari perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta
Selatan khususnya perkara perceraian sudah tidak tergolong batas
wajar. Kebanyakan dari mereka sudah bertekad untuk bercerai, karena
permasalahan yang mereka hadapi sudah melampaui batas wajar
sehingga sulit untuk dimediasi.
2. Komitmen para pihak.
Komitmen para pihak yang berpekara khususnya dalam perkara
perceraian sangatlah minim. Bahkan ada beberapa dari mereka untuk
melakukan pertemuan mediasi saja ada tidak menepatinya (tidak
komitmen). Sehingga terpaksa waktu untuk dimediasi mereka ditunda.
3. Keberlanjutan hubungan.
Keberlanjutan hubungan mereka (para pihak dalam sengketa
perceraian) pun sudah tidak baik. Seharusnya ada keinginan dari para
pihak untuk mempertahankan hubungan baik mereka. Tetapi justru
yang terjadi dalam kasus perceraian malah sebaliknya. Mereka
menganggap sudah tidak ada lagi hubungan yang harmonis dan
mereka beritikad untuk bercerai. Sehingga sulit lagi untuk menyatukan
hati yang telah tersakiti.
78
4. Keseimbangan posisi tawar menawar.
Para pihak dalam perkara perceraian sudah tidak lagi memiliki
keseimbangan dalam posisi tawar menawar. Kecuali apabila dalam
posisi perkara akibat perceraian masih bisa dikendalikan.
5. Prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia
Para pihak harus diberi pengertian bahwa proses mediasi ini sangatlah
tertutup dan hanya pihak-pihak yang bersangkutan saja yang dapat
menghadiri acara mediasi ini. Tetapi tidak menutup kemungkinan
pihak luar ikut dalam proses mediasi ini kecuali ada persetujuan dari
pihak yang berpekara. Tidak seperti proses persidangan yang terbuka
untuk umum. Oleh karna itu diharapkan dengan tertutup dan rahasia
para pihak mau terbuka satu sama lain.
Melihat dari beberapa faktor di atas perkara yang masuk ke
Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak memenuhi semua faktor-faktor
tersebut sehingga sulit untuk tercapainya keberhasilan mediasi.
Ketidakefektivan mediasi ini sangat terlihat jelas dari jumlah kasus
perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun
2008-2009, baik perkara cerai talak maupun cerai gugat. Untuk lebih
rincinya dapat dilihat dalam tabel.
79
Perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2008
Tabel 1
NO
.
JENIS PERKARA J
A
N
F
E
B
M
A
R
A
P
R
M
E
I
J
U
N
J
U
L
A
G
T
S
E
P
O
K
T
N
O
V
D
E
S
JM
L
1 Izin Poligami - - - 1 - - 2 - 1 1 - - 5
2 Pencegahan
Perkawinan
- - - - - - - - - - - - -
3 Penolakan Perk.
Oleh PPN
- - - - - - - - - - - - -
4 Pembatalan
Perkawinan
- 1 - 1 1 - - - 1 - 1 - 5
5 Kelelaian Atas
Kew. Sm/is
- - - - - - - - - - - - -
6 Cerai Talak 54 4
7
65 63 48 57 49 62 3
2
60 58 43 63
8
7 Cerai Gugat 13
5
9
7
84 13
1
97 11
4
12
9
12
2
6
1
13
3
13
4
87 13
24
8 Harta Bersama - - 2 2 - 2 1 - 2 - 2 - 11
9 Pengasuhan Anak 2 1 2 - - - 1 - 1 - - - 7
10 Nafkah Anak Oleh
Ibu
- - - - - - - - - - - - -
11 Hak-hak Bekas
Istri
- - - - - - - - - - - - -
12 Pengesahan Anak - - - - - - - - - - - - -
13 Pengangkatan
Anak
- - 2 - - - - - - - - - 2
14 Pencabutan kek.
Wali
- - - - - - - - - - - - -
15 Penunjukan O.Lain
sbg wali
2 1 - 4 - 1 2 3 1 - - - 14
16 Ganti Rugi Thd
Wali
- - - - - - - - - - - - -
17 Asal Usul Anak - - - - - - - - - - - - -
18 Penolakan Perk.
Campuran
- - - - - - - - - - - - -
19 Isbat Nikah 3 6 19 4 4 8 2 2 4 2 2 - 56
20 Izin Kawin - - - - - - - - - - - - -
21 Dispensasi Kawin - - - - 1 - - - - - - - 1
22 Wali Adhol - 1 3 1 1 - - 1 - - - 1 8
80
23 Gugat Waris 1 1 1 1 1 - 2 - 1 2 1 1 12
24 Penetapan Ahli
Waris
3 4 11 7 6 8 4 5 4 1 7 5 65
25 Wasiat - - 1 - - - - - - - - - 1
26 Hibah - 1 - - 2 - - - - - - - 3
27 Wakaf - - - - - - - - - - - - -
28 Shadakoh - - - - - - - - - - - - -
29 P3HP*) 7 9 11 13 8 8 6 5 1
1
3 3 2 65
30 Lain-lain - - 2 - - - - - - - - - 2
Sumber: Laporan Perkara tahunan 2008 Pengdilan Agama Jakarta Selatan
Perkara yang diputus Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2008
Tabel 2
NO
.
JENIS
PERKARA
J
A
N
F
E
B
M
A
R
A
P
R
M
E
I
J
U
N
J
U
L
A
G
T
S
E
P
O
K
T
N
O
V
D
E
S
JM
L
1 Sisa Tahun Lalu 52
1
53
5
55
6
55
5
57
9
58
1
60
7
58
0
5
6
3
53
4
61
3
65
1
2 Perkara yang
diterima
20
7
16
9
20
3
22
8
16
9
19
8
19
8
20
0
2
1
9
20
2
20
8
13
9
22
40
3 Izin Poligami 1 - - - - - 1 1 - 1 1 - 5
4 Izin kawin - - - - - - - - - - - - -
5 Dispensasi kawin - - - - - 1 - - - - - - 1
6 Pencegahan perk. - - - - - - - - - - - - -
7 Penolak perk.
Oleh PPN
- - - - - - 1 - - - - - 1
8 Pembatalan perk. - - - - - - - - - - - - 1
9 Kelalaian atas
kew sm/is
- - - - - - - - - - - - -
10 Cerai talak 50 34 45 57 44 35 50 55 3
4
32 40 52 52
7
11 Cerai gugat 95 71 00 94 79 82 11
9
12
3
7
3
65 84 12
9
11
14
81
12 Harta bersama - - - 1 - - 5 2 1 1 - - 10
13 Pengasuhan anak - - 4 - 1 1 1 - - 1 - - 8
14 Pengangkatan
anak
- - - - - - - - - - - - -
15 Nafkah anak oleh
ibu
- - - - - - - - - - - - -
16 Hak-hak bekas
istri
- - - - - - - - - - - - -
17 Pengesahan anak - - - - - - - - - - - - -
18 Pencabutan kek.
orang tua
- - - - - - - - - - - - -
19 Pencabutan kek.
Wali
- - - - - - - - - - - - -
20 Penunjukan org
lain sbg wali
- 3 - - 4 1 - 2 4 - - - 14
21 Ganti rugi
terhadap wali
- - - - - - - - - - - - -
22 Asal usul anak - - - - - - - - - - - - -
23 Penolakan kawin
campurn
- - - - - - - - - - - - -
24 Isbat nikah 1 1 13 5 2 3 6 3 3 - 3 1 41
25 Wali adhol - - - 3 1 1 - - 1 - - - 6
26 Gugat waris 2 5 7 8 5 5 9 3 5 2 4 1 56
27 Per penetapan
ahli waris
- - - - - - - - - - - 7 7
28 Wasiat - - - - - - - - - - - - -
29 Hibah - - - - 1 - 1 - - - - - 2
30 Wakaf - - - - - - - - - - - - -
31 Sodaqah - - - - - - - - - - - - -
32 P3HP 5 8 12 10 6 10 9 3 1
5
2 4 2 86
33 Lain-lain - - 1 3 - - - - - - - - 4
34 Dicabut 29 10 10 17 13 20 7 13 9 7 21 20 17
6
35 Ditolak 4 - - - - 1 - - 1 - - - 6
36 Gugur 2 5 2 3 1 4 11 4 - 1 6 5 44
37 Tidak diterima 2 3 2 1 - 2 1 1 - 2 1 2 17
38 Dicoret dari
register
2 8 8 2 10 6 4 7 2 10 6 6 71
Sumber: Laporan Perkara tahunan 2008 Pengdilan Agama Jakarta Selatan
82
Dari data yang ada pada tabel di atas dapat kita lihat jumlah perkara yang
masuk pada tahun 2008 adalah sebesar 2240 perkara dan yang diputus adalah
sebesar 2197, sedangkan yang dicabut adalah sebesar 176. Dari jumlah-jumlah
tersebut dapat dilihat kecilnya angka perkara yang dicabut. Perkara yang di cabut
pada tahun 2008 adalah 7.8 % dari perkara keseluruhan. Dan keberhasilan mediasi
merupakan sebagian kecil dari perkara yang dicabut. Jadi dapat dikatakan
keberhasilan mediasi sangat minim.
Untuk dapat membandingkan pergerakan keefektifan mediasi dari tahun
2008 ke 2009 dapat di lihat dari tabel berikut.
Perkara yang diterima Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2009
Tabel 3
NO
.
JENIS PERKARA J
A
N
F
E
B
M
A
R
A
P
R
M
E
I
J
U
N
J
U
L
A
G
T
S
E
P
O
K
T
N
O
V
D
E
S
JM
L
1 Izin poligami - 1 - 2 - 1 2 2 1 2 - - 11
2 Pencegahan
perkawinan
- - - - - - - - - - - - -
3 Penolakan perk.
Oleh PPN
- - - - - - - - - - - - -
4 Pembatalan perk. - 1 - 1 2 1 - - - - - - 5
5 Kelalaian atas kew.
Sm/is
- - - - - - - - - - - - -
6 Cerai talak 53 5
3
59 83 63 66 59 60 2
6
94 62 77 75
5
7 Cerai gugat 14
6
1
2
8
16
1
13
4
13
6
15
3
11
9
10
6
5
7
19
9
15
9
16
8
16
66
8 Harta bersama - 1 1 1 1 6 - - 2 2 2 5 21
9 Pengingkaran anak 1 - - - - - - - - - - - 1
83
10 Pengasuhan anak - 1 - - 2 - 4 2 - 1 3 1 14
11 Nafkah anak oleh
ibu
- - - - - - - - - - - - -
12 Hak-hak bekas istri - - - - - - - - - - - - -
13 Pengesahan anak - - - - 1 - - - - - - - 1
14 Pencabutan kek.
Wali
- - - - - - - - - - - - -
15 Perwalian 2 1 1 1 3 5 5 5 5 2 3 4 37
16 Pengangkatan anak - - - - 1 - 1 1 1 1 1 - 6
17 Penunjukan o.lain
sbg wali
- - - - - - - - 1 - - - 1
18 Ganti rugi thd wali - - - - - - - - - - - - -
19 Asal usul anak - - - - - - - 1 - - - - 1
20 Penolakan kawin
campuran
- - - - - - - - - - - - -
-21 Isbat nikah - 3 2 2 3 7 2 3 3 6 5 1 37
22 Izin kawin - - - - - - - - - - - - -
23 Dispensasi kawin - - 1 - 1 - - - - 1 - - 3
24 Wali adhol - 1 - 3 - 1 - 1 - - 2 - 8
25 Pengesahan
pencatat perk.
- - 2 - - 1 1 1 1 - - - 6
26 Gugat waris 3 1 - - 1 3 1 3 1 - - 2 15
27 Prmh. Penetapan
ahli waris
10 8 13 6 6 12 3 8 3 13 10 8 10
0
28 Wasisat - 1 - - - - - - - - - - 1
29 Hibah - - - - - - - - - - - - -
30 Wakaf - - - - - - - - - - - - -
31 Shodaqoh - - - - - - - - - - - - -
32 Ekonomi syariah - - - - - 1 - - - - - - 1
Sumber: Laporan Perkara tahunan 2009 Pengdilan Agama Jakarta Selatan
Perkara yang diputus Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tahun 2009
Tabel 4
NO
.
JENIS PERKARA J
A
N
F
E
B
M
A
R
A
P
R
M
E
I
J
U
N
J
U
L
A
G
T
S
E
P
O
K
T
N
O
V
D
E
S
JM
L
1 Sisa tahun lalu 56
4
5
7
55
1
58
2
57
6
60
7
55
7
54
6
5
1
43
5
58
5
63
3
84
1 6
2 Izin Poligami 1 - 1 1 - 1 - 2 1 1 1 - 9
3 Izin kawin - - - - - - - - - - - - -
4 Dispensasi kawin - - 1 - - 1 - - - - - - 2
5 Pencegahan
Perkawinan
- - - - - - - - - - - - -
6 Penolakan Perk.
Oleh PPN
- - - - - - - - - - - - -
7 Pembatalan
Perkawinan
1 - - 1 - 1 1 - - - - - 4
8 Kelelaian Atas
Kew. Sm/is
- - - - - - - - - - - - -
9 Cerai Talak 56 5
1
40 45 49 73 51 58 4
8
44 40 56 61
1
10 Cerai Gugat 10
4
1
1
7
12
7
13
3
10
6
15
8
11
3
11
3
9
1
85 11
4
11
9
13
80
11 Harta Bersama - - 1 2 - - - - 2 1 1 - 7
12 Pengasuhan Anak - - - - - 3 1 2 - - - 2 8
13 Pengangkatan
Anak
- - - - - 1 - - 2 1 - - 4
14 Nafkah Anak Oleh
Ibu
- - - - - - - - - - - - -
15 Hak-hak Bekas
Istri
- - - - - - - - - - - - -
16 Pengesahan Anak - - - - - - - - - - - - -
17 Pencabutan kek.
Org tua
- - - - - - - - - - - - -
18 Perwalian 2 - 1 - 1 8 3 6 7 2 2 3 35
19 Pencabutan kek.
Wali
- - - - - - - - - - - - -
20 Penunjukan o.lain
sbg wali
- - - - - - - - - - - - -
21 Ganti rugi thd wali - - - - - - - - - - - - -
22 Asal usul anak - - - - - - - - - - - - -
23 Penolakan kawin
campuran
- - - - - - - - - - - - -
24 Isbat nikah 1 1 2 3 2 5 5 2 1 5 3 2 32
25 Wali adhol 2 1 - 1 - - - 1 2 - - 1 8
26 Pengesahan
pentatatan perk
- - - 1 - - 2 2 1 - - - 6
85
27 Gugat waris 1 2 - 2 - 1 - 1 - - - 2 9
28 Per penetapan ahli
waris
4 1
2
10 11 5 14 3 7 5 10 5 8 94
29 Wasiat - - - 1 - - - - - - - - 1
30 Hibah - - - - - - - - - - - - -
31 Wakaf - - - - - - - - - - - - -
32 Shodaqoh - - - - - - - - - - - - -
33 Ekonomi syariah - - - - - - - - - - - -
34 P3HP 5 8 12 10 6 10 9 3 1
5
2 4 2 86
35 Lain-lain - - - - - - - - - - - - -
36 Dicabut 17 1
9
14 24 15 24 16 20 1
7
14 18 17 21
5
37 Ditolak 1 2 1 2 - 2 1 - 1 1 - 1 12
38 Gugur 10 9 8 5 7 9 7 5 2 2 7 5 76
39 Tidak diterima 2 - 2 1 4 4 2 2 1 4 6 5 33
40 Dicoret dari
register
6 6 1 6 - 2 3 2 1 1 2 8 38
Sumber: Laporan Perkara tahunan 2009 Pengdilan Agama Jakarta Selatan
Di tahun 2009 jumlah perkara yang masuk adalah sebesar 2690. Dan
perkara yang diputus sebesar 2582. Sedangkan perkara yang dicabut sebesar 215.
Besar persentase perkara yang dicabut adalah sebesar 8 %. Dibandingkan dengan
jumlah persentase tahun 2008, tahun 2009 lebih besar. Ini menunjukkan adanya
peningkatan sebesar 0.02 %. Walaupun peningkatan tersebut sangat kecil sekali ini
menunjukkan keberhasilan perkara yang dicabut, dan bisa jadi merupakan indikasi
peningkatan keberhasilan mediasi. Semoga tahun-tahun kedepannya terus menerus
meningkat, sehingga keberhasilan mediasi terus meningkat pula tiap tahunnya.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah Penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan skripsi ini,
maka dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dari data yang didapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tidak dicantumkan
perkara yang berhasil dimediasi atau yang gagal dimediasi. Akan tetapi salah
seorang hakim yang juga mediator bersetifikat menyebutkan bahwa dari kurang
lebih 700 perkara yang beliau mediasi terdapat 6 perkara yang berhasil
dimediasi dan gugatannya dicabut kembali. Walaupun tidak adanya data
keberhasilan mediasi, tetapi terdapat data perkara yang dicabut setiap tahunnya.
Dari sanalah kita dapat melihat perbandingan perkara yang dimediasi dan
perkara yang dicabut atau berhasil dimediasi. Pada tahun 2008 jumlah perkara
yang masuk adalah sebanyak 2240 perkara dan yang dicabut sebesar 176. Dari
jumlah-jumlah tersebut dapat dilihat kecilnya angka perkara yang dicabut.
Perkara yang di cabut pada tahun 2008 adalah 7.8 % dari perkara keseluruhan.
Sedangkan pada tahun 2009 jumlah perkara yang masuk adalah sebesar 2690.
Sedangkan perkara yang dicabut sebesar 215 perkara. Besar persentase perkara
yang dicabut adalah sebesar 8 % dari perkara yang masuk di tahun tersebut.
2. Kendala atau hambatan yang dihadapi oleh para mediator dalam menjalankan
mediasi tersebut yaitu ketika menghadapi perkara perceraian. Karena perceraian
merupakan perkara non materi yang melibatkan masalah hati dan perasaan.
87
Misalkan seperti perasaan cemburu atau sakit hati karena adanya WIL (Wanita
Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain). Sehingga perkara perceraian sangat
sulit untuk dimediasi. Akan tetapi apabila perkara akibat perceraian yang
berupa materi masih dapat dimediasi. Misalnya masalah harta gonogini,
masalah hak asuh anak, dan lain sebagainya.
3. Sejak dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan mediasi wajib dilakukan oleh semua perkara perdata yang masuk
dalam Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama. Para pihak yang berperkara
tidak boleh menolak pelaksanaan mediasi tersebut. Apabila salah satu pihak
menolak mengikuti mediasi tersebut maka proses persidangan batal demi
hukum dan tidak dapat dilanjutkan. Pada sidang pertama, majelis hakim wajib
memberitahukan kepada para pihak untuk menempuh jalur mediasi. Di sini
hakim menjelaskan bagaimana proses mediasi. Setelah para pihak mau untuk
dimediasi hakim menyarankan nama mediator atas persetujuan kedua pihak
yang berpekara. Setelah itu di luar ruang sidang para pihak yang berpekara
mengadakan pertemuan dengan mediator dan menentukan waktu pelaksanaan
mediasi. Mediasi berjalan selama 40 hari. Apabila berhasil gugatan akan
dicabut dan apabila gagal maka persidangan dilanjutkan. Dari data yang
diterima dari Pangadilan Agama Jakarta Selatan tidak tercantumkan mediasi
yang berhasil dan yang gagal. Hanya dalam data tersebut terdapat data perkara
yang di cabut. Dari jumlah yang dicabut tersebut sedikitnya terdapat faktor
keberhasilan mediasi. Menurut seorang hakim yang juga mediator bersertifikat
88
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Tamah, SH., menyebutkan kurang lebih
dari 700 perkara yang beliau mediasi hanya terdapat 6 perkara yang berhasil
dimediasi dan dicabut gugatannya. Disini terlihat bahwa minimnya tingkat
keberhasilan mediasi. Apabila di lihat dari indikator keberhasilan mediasi yang
diungkapkan Sujudi FX dalam “Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen”pun
mediasi ini belum dapat dikatakatan efektif. Mediasi ini belum berhasil guna,
dengan target yang ingin dicapai yaitu menekan jumlah perkara yang
dilitigasikan. Kemudian dari sisi ekonomis, mediasi ini justru dianggap tidak
ekonomis dan dianggap menambah biaya yang harus dikeluarkan para pihak
berpekara, karena bagi mereka ini hanyalah suatu syarat yang harus dilewati
saja. Karena kebanyakan dari mereka datang ke Pengadilan Agama Jakarta
Selatan khususnya perkara perceraian mereka datang dengan tekad yang bulat,
mereka sudah bertekad untuk bercerai sehingga sulit untuk di mediasi.
Sedangkan dalam hal pelaksanaan kerja yang bertanggung jawab, pembagian
kerja yang nyata dan prosedur yang praktis sudah terlaksana. Kefektivan dalam
bidang hukum tidak ditentukan oleh 1 (satu) faktor saja. Melainkan sedikitnya 4
(empat) faktor. Yaitu yang telah dipaparkan dalam bab 3, (1) Hukum itu
sendiri; (2) Penegak Hukum; (3) fasilitas yang mendukung; (4) masyarakat
yang menjalankan hukum tersebut. Keefektivan mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan kurang berjalan dikarenakan faktor yang terakhir, yaitu faktor
masyarakat yang menjalankan hukum tersebut. Dari segi peraturan, penegak
hukum dan fasilitas sudah memadai terlaksananya hukum tersebut. Hanya dari
89
masyarakatnya yang kurang mendukung keberhasilan dari peraturan tersebut.
Khususnya dalam perkara perceraian, sangat sulit untuk dimediasi dikarenakan
menyangkut masalah perasaan.
Akan tetapi dilihat dari keberhasilan mediasi dari 2 tahun belakangan ini, yaitu
2008 dan 2009, keberhasilan mediasi mengalami peningkatan walaupun hanya
sedikit. Namun diharapkan peningkatan tersebut akan terus menerus meningkat
tiap tahunnya sehingga target dari PERMA nomor 1 tahun 2008 tersebut dapat
tercapai, yaitu mengendalikan perkara yang dilitigasi. Dengan begitu PERMA
mengenai mediasi tersebut dapat dikatakan efektif di Pengadilan Agama Jakarta
selatan.
B. Saran
Diakhir penulisan skripsi ini, penulis ingin mengajukan saran-saran, yaitu:
1. Kepada pemerintah Republik Indonesia, agar kekuatan hukum mengenai proses
mediasi tidak hanya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), tetapi dibuatkan
peraturan perundang-undangannya agar lebih tinggi tingkat kekuatan hukumnya
dengan mengamandemen kekurangan-kekurangan yang masih ada dan semuga
tujuan dari mediasi tersebut tercapai. Serta perlunya memaksimalkan sosialisasi
kepada masyarakat mengenai mediasi ini. Misalnya diadakan penyuluhan-
penyuluhan, dan lain sebagainya.
2. Kepada Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi kehakiman, agar
memperluas dan meningkatkan mutu dari pelatihan mediasi tersebut. Serta
90
mewajibkan para hakim untuk mengikuti pelatihan mediasi. Karena pada
umumnya kebanyakan dari hakim di Indonesia masih belum memiliki
kemampuan dalam hal mediasi dan baru sedikit diantaranya yang memiliki
sertifikasi mediasi. Sehingga program mediasi yang ada dalam sistem peradilan
di Indonesia dapat dengan maksimal dan efektif untuk dilaksanakan.
3. Kepada pengadilan Agama Jakarta selatan, penulis berharap sebaiknya
menerapkan daftar mediator lengkap dengan pendidikan, profesi dan
pengalaman, agar para pihak dapat menentukan sendiri mediator yang
diinginkan. Selanjutnya membuat laporan daftar perkara yang berhasil
didamaikan sehingga terlihat jelas tingkat keberhasilan mediasi yang
dilaksanakan. Supaya dapat meningkatkan keefektifan mediasi dari perkara-
perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
4. Kepada para hakim yang menangani perkara perdata, penulis menyarankan agar
mengikuti pelatihan mediasi supaya dapat menjadi mediator yang baik dan
terlatih, serta dapat memaksimalkan upaya damai kepada para pihak yang
berpekara. Terlebih lagi bagi hakim yang beragama islam, karena mediasi ini
merupakan suatu produk islami. Apabila dapat dilaksanakan dengan optimal
maka hal tersebut merupakan perwujudan dari bentuk ijtihad demi
mendapatkan keputusan yang memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak.
5. Kepada para pihak yang berpekara, agar mematuhi dan mengikuti aturan-aturan
pengadilan yang telah ditetapkan, sehingga tidak menghambat prosedur
pengadilan. Karena selain bermanfaat untuk masa sekarang mediasi juga
91
bermansfaat untuk kehidupan para pihak di masa mendatang. Karena
penyelesaian sengketa melalui mediasi mengutamakan prinsip-prinsip
musyawarah untuk mencapai mufakat yang selaras dengan budaya bangsa
Indonesia, maka sudah selayaknya mediasi diterapkan secara maksimal dalam
setiap proses penyelesaian sengketa di Pengadilan.
6. Kepada akademisi hukum yang ada di Indonesia, agar memasukkan
permasalahan mediasi ini lebih mendetil ke dalam mata kuliah Fakultas
Hukum. Agar para mahasiswa Fakultas Hukum lebih memahami pentingnya
perdamaian atau mediasi ini. Sekaligus mensosialisasikan kepada para calon
praktisi hukum nantinya.
7. Kepada para mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia hukum, agar lebih
mendalami keilmuan tentang mediasi. Agar peradilan di Indonesia di masa
yang akan datang lebih meningkat mutu dan kualitasnya. Karena para
mahasiswalah yang nantinya akan mengganti kedudukan-kedudukan para
pemerintah di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan
Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2,cet.2 (Bogor:
Pustaka Ibnu Katsir, 2008).
Al-qur‟an Karim
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia
Jakarta: Kencana, 2008.
As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III. Beirut: Dar Al Fikr, 1977.
Daud, Abu. Kitab Sunan Abu Daud, Beirut: Karoban Hazm, 1974.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Depag
RI, 2001.
Handoko, T. Hani. Managemen, edisi II. Yogyakarta, BPFE, 1993.
Harahap, Muhammad Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Ibrahim, Johny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi
Revisi, Cet.4 , Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Ibrahim, Johny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi,
Cet.4. Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Mahkamah Agung RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia
Institute For Conflict Transformation (IICT). Buku Komentar Perma No.1
Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan. Mahkamah Agung
RI, Japan Internationalcooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute For
Conflict Transformation (IICT), 2008.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada media Group,
2005.
Mulyana, E. Menejemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi Dan Implementasi.
Jakarta: PT Rosyda Karya, 2004.
Mulyana, E. Menejemen berbasis sekolah, konsep strategi dan implementasi. Jakarta,
PT. Rosyda Karya, 2004.
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia,1985.
Sabiq, As Sayyid. Fiqh As Sunnah, Juz III, Beirut: Dar Al Fikr, 1977.
Samarqondi, Li „Ala Addin. Tuhfah al-fuqoha Juz 3. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1993.
Soekanto, Soejono dan Purbacaraka, Purnadi. Perihal Kaidah Hukum. Padang:
Alumni, 1979.
Soemarsono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006.
Sujudi FX, O&M, Penunjang Berhasilnya Proses Menejemen, Jakarta, CV
Masagung, 1990.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007.
Supranto, J. Metode Penelitian Hukum Dan Statistik. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI, Jakarta: Peslitbang Hukum Dan
Peradilan MA-RI, 2007.
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan
Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988.
ARTIKEL DALAM JURNAL
Yasardin. “Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA No.1
Tahun 2002”, Suara Uldilag, Edisi II (1 Juli 2003).
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
DOKUMEN ELEKTRONIK DARI INTERNET
Admin, “Optimalisasi Pelaksanaan Mediasi”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari
2009 dari
http://www.pasimalungun.net/kiri/optimalisasi_pelaksanaan_mediasi.htm
Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari
2009 dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=20214&cl=Berita.
Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dibidang Perbankan” artikel diakses pada tanggal 21 maret 2010 dari
http://www.bapmi.org/pdf/DiskusiTerbatasPelaksanaanMediasi_FelixSoebagj
o.pdf
Hermansyah, “Para Mediator Se-DKI Jakarta Mulai Diperkenalkan”, artikel diakses
pada 22 September 2010 dari
http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5288&It
emid=1
Idrus, Ilham. “efektivitas Hukum”. artikel di akses pada 23 September 2010 dari
hhtp://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html
Siddiki, Drs., Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilam Sederhana, Cepat dan
Biaya Ringan, www.badilag.net,2009.
Wawancara Pribadi
Wawancara Pribadi dengan Kadi Sastro Wirjono. Jakarta. 8 September 2010.
Wawancara Pribadi dengan Tamah. Jakarta. Jakarta. 8 September 2010.
Wawancara Pribadi dengan Wahyu Widiana. Jakarta. 7-8 September 2010.