pengawetan daging segar olahan

10
1 PENGAWETAN DAGING SEGAR DAN OLAHAN * Sri Usmiati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Kampus Penelitian Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12 Cimanggu, Bogor PENDAHULUAN Daging berperanan cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional karena merupakan salah satu komoditas sumber protein hewani yang penting untuk kesehatan dan pertumbuhan. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus dalam penyediaan daging untuk konsumen. Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas Rumah Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran mikroba patogen. Saat ini permintaan masyarakat terhadap daging juga disertai oleh adanya kecemasan masyarakat terhadap kasus bahaya pangan, contohnya kasus antraks (penyakit ternak yang disebabkan oleh mikroba patogen bakteri Bacillus antracis) pada daging (domba, kambing, sapi) yang dapat menular kepada manusia dan menyebabkan kematian. Pada bulan Oktober 2004 kasus antraks di kabupaten Bogor menyebabkan enam korban jiwa dan puluhan lainnya dirawat secara intensif di rumah sakit. Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan mengalami kerusakan. Hal ini karena daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Kerusakan daging oleh mikroba mengakibatkan penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis mikroba yang mencemari permukaan daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan ternak dan tingkat pengendalian hiegines dan sistem sanitasi yang baik selama penanganan hingga dikonsumsi. Besarnya kontaminasi mikroba pada daging menentukan kualitas dan masa simpan daging. Untuk menghindari kerusakan, daging perlu diawetkan dengan memperhatikan persyaratan keamanan pangan. DAGING SEGAR Daging merupakan semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan- jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan * Disampaikan pada Siaran KAREDOK di Radio RPC Ciawi tanggal 15 Pebruari 2010

Upload: babarock

Post on 29-May-2015

9.658 views

Category:

Education


51 download

DESCRIPTION

Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam pengawetan daging segar olahan dengan benar yang dikemukakan oleh Sri Usmiati dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Kampus Penelitian Pertanian Bogor

TRANSCRIPT

Page 1: Pengawetan daging segar olahan

1

PENGAWETAN DAGING SEGAR DAN OLAHAN*

Sri Usmiati

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

Kampus Penelitian Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 12 Cimanggu, Bogor

PENDAHULUAN

Daging berperanan cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional karena

merupakan salah satu komoditas sumber protein hewani yang penting untuk kesehatan

dan pertumbuhan. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi keamanan

pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian khusus

dalam penyediaan daging untuk konsumen. Daging yang dapat dikonsumsi adalah

daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh petugas

Rumah Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran mikroba patogen.

Saat ini permintaan masyarakat terhadap daging juga disertai oleh adanya

kecemasan masyarakat terhadap kasus bahaya pangan, contohnya kasus antraks

(penyakit ternak yang disebabkan oleh mikroba patogen bakteri Bacillus antracis) pada

daging (domba, kambing, sapi) yang dapat menular kepada manusia dan menyebabkan

kematian. Pada bulan Oktober 2004 kasus antraks di kabupaten Bogor menyebabkan

enam korban jiwa dan puluhan lainnya dirawat secara intensif di rumah sakit.

Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan mengalami

kerusakan. Hal ini karena daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan

media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Kerusakan daging oleh mikroba

mengakibatkan penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis mikroba yang mencemari

permukaan daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan ternak dan

tingkat pengendalian hiegines dan sistem sanitasi yang baik selama penanganan hingga

dikonsumsi. Besarnya kontaminasi mikroba pada daging menentukan kualitas dan masa

simpan daging. Untuk menghindari kerusakan, daging perlu diawetkan dengan

memperhatikan persyaratan keamanan pangan.

DAGING SEGAR

Daging merupakan semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan jaringan-

jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan

* Disampaikan pada Siaran KAREDOK di Radio RPC Ciawi tanggal 15 Pebruari 2010

Page 2: Pengawetan daging segar olahan

2

kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno, 1998). Daging yang umum

dikonsumsi dapat diperoleh dari ternak ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau, domba,

kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, rusa, kuda, babi).

Daging juga dapat dibedakan atas daging merah dan daging putih tergantung

perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merah adalah daging yang

memiliki serat yang sempit, kaya akan pigmen daging (mioglobin), mitokondria dan

enzim respirasi berhubungan dengan tingginya aktivitas otot serta kandungan glikogen

yang rendah. Daging putih merupakan daging yang berserat lebih besar dan lebar,

sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan aktivitas otot

yang singkat/cepat serta kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih mempunyai

kadar protein lebih tinggi dibanding daging merah namun daging merah memiliki kadar

lemak jenuh dan kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih.

Daging sapi

Daging sapi berwarna merah terang/cerah, mengkilap, dan tidak pucat. Secara

fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih terasa basah

dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging sapi sangat khas (gurih).

Kandungan protein daging sapi sebesar 18,8% dan lemak total 14%.

Daging domba dan kambing

Ciri-ciri daging domba dan kambing hampir sama dengan daging sapi. Namun

daging domba dan kambing memiliki serat lebih kecil dibandingkan serat daging sapi,

serta aroma daging kambing yang khas goaty. Daging domba dan kambing masing-

masing mengandung protein 17,1% dan 16,6% dan lemak 14,8% dan 9,2%.

Daging ayam

Daging ayam berwarna putih keabuan dan cerah. Kulit ayam berwarna putih

kekuningan dan bersih. Jika disentuh daging terasa lembab tidak lengket. Serat daging

ayam halus, mudah dikunyah/digiling, mudah dicerna, berflavor lembut, aroma tidak

menyengat, dan tidak berbau amis. Daging ayam mengandung protein 18,2% dan lemak

total 25%.

Page 3: Pengawetan daging segar olahan

3

Daging kelinci

Daging kelinci tidak berbau, berwarna putih hampir sama dengan daging ayam,

seratnya halus. Kandungan kolesterol daging kelinci rendah sehingga baik dikonsumsi

oleh penderita jantung, manula, dan obesitas, dipercaya dapat mengobati asma karena

mengandung kitotefin serta asam lemak omega-3 dan omega-9. Daging kelinci

mengandung protein antara 18,6-25,6% dan kadar lemak 3,91-10,9%.

KEAMANAN PANGAN DAGING

Terbukanya wawasan dan kesadaran konsumen terhadap pentingnya jaminan

keamanan dan mutu pangan asal ternak menyebabkan daging harus memenuhi

persyaratan aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Penerapan sistem keamanan pangan

harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan. Indonesia telah memiliki UU

No. 7/1996 tentang Pangan antara lain mengatur Sistem Keamanan Pangan dan Sistem

Kesehatan Hewan Nasional.

Proses pengawasan mutu dan keamanan pangan asal ternak dimulai sejak dari

kandang, pakan dan obat, budi daya, penanganan Sejak penyembelihan, pengolahan,

distribusi, penyimpanan, pemasaran hingga ke konsumen (kira-kira 5-6 jam setelah

pemotongan). Agar daging tidak rusak dan tetap sehat, maka penanganan saat di rumah

potong harus cepat, tepat dan hati-hati mengacu pada Good Handling Practices (GHP).

Saat ini masih banyak ditemukan proses penanganan karkas di rumah potong yang

belum memenuhi ketentuan GHP. Proses penirisan darah yang kurang sempurna saat

penyembelihan sehingga warna daging menjadi kehitam-hitaman dan mudah tercemar

mikroba yang menyebabkan masa simpan daging menjadi singkat. Penanganan sejak di

rumah potong hingga ke konsumen dapat merubah mutu secara alamiah ataupun akibat

tercemar dari lingkungan. Daging sangat sensitif terhadap mikroba pembusuk karena

sifat fisikokimianya (water activity, pH, zat gizi/nutrisi) mendukung pertumbuhan

mikroba. Sebagian besar mikroba patogen terdapat pada kulit atau permukaan luar

daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan. Oleh karena itu, walaupun

ternak yang dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak memenuhi syarat maka

kecenderungan menimbulkan bahaya dan penyakit sangat besar.

Page 4: Pengawetan daging segar olahan

4

Sebagai bahan pangan, daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik dan

kimia (Nugroho, 2004). Bahaya biologi disebabkan oleh mikroba patogen; bahaya kimia

ditimbulkan oleh adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida; dan bahaya fisik

disebabkan oleh cemaran logam, dan lain-lain. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi

selama proses pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan hingga

cutting dan proses pengolahan menjadi produk olahan.

Dari ketiga potensi bahaya, yang berhubungan erat dengan daya simpan daging

karena menyebabkan kebusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba.

Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging antara lain Escherichia coli,

Salmonella sp. dan Staphylococcus sp. (Mukartini et al., 1995). Penyakit karena bakteri

dapat bersifat meracuni (food poisoning), salah satunya disebabkan oleh Staphylococcus

(Maruyama and O’Leary dalam Nugroho, 2004). Kejadian diare berdarah (haemolytic

uremic syndrome/HUS) pada orang yang mengkonsumsi daging yang terkontaminasi E.

coli. Salmonella sp. merupakan kontaminan utama pada daging sapi dan unggas segar

(Ho et al., 2004), dan beberapa kasus dapat menyebabkan kematian (Haeghebaert et al.

dalam Veclerc et al., 2002).

Daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroba. Kerusakan daging

ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika

jumlah mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan

daging. Kerusakan mikroba pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri

pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut:

Pembentukan lendir

Perubahan warna

Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya

senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S dan senyawa lain-lain

Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk

asam dan senyawa pahit

Terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging

PENGAWETAN DAGING

Pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpannya sampai

sebelum dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan

Page 5: Pengawetan daging segar olahan

5

3 metode yaitu pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik

meliputi proses pelayuan (penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih),

pemanasan (proses pengolahan daging untuk menekan/membunuh kuman seperti

pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan (penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu

4-10°C, freezer suhu <0°C), pengawetan secara biologi melibatkan proses fermentasi

menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami, sedangkan pengawetan kimia

merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia.

Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan

kimia dari bahan aktif alamiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan

bahan aktif alamiah antara lain menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit,

lengkuas, jahe), metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan

memiliki daya antibakteri, antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan menggunakan

bahan kimia seperti garam dapur, sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit,

sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat),

gula pasir dan lain-lain dan lain-lain. Dengan jumlah penggunaan yang tepat,

pengawetan dengan bahan kimia sangat praktis karena dapat menghambat

berkembangbiaknya mikroba jamur, kapang/khamir dan bakteri patogen.

Pengawetan daging dengan pemanasan

a. Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu didih untuk

membunuh kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada 3 cara

pasteurisasi yaitu:

(i) Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada suhu

yang tidak tinggi (62o-65°C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1 jam).

(ii) Pasteurisasi singkat (High Temperature Short Time/HTST). Pemanasan

dilakukan pada suhu tinggi (85o-95°C) dengan waktu yang relatif singkat (1-2

menit).

(iii)Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan pada suhu tinggi dan

segera didinginkan pada suhu 10°C.

b. Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai

suhu di atas titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan

dengan cara :

Page 6: Pengawetan daging segar olahan

6

(i) UHT yaitu pemanasan sampai suhu 137°-140°C selama 2-5 detik.

(ii) Produk dalam kemasan hermetis dipanaskan pada suhu 110°-121°C selama 20-

45 detik.

Pengawetan daging dengan bahan kimia

a. Bahan aktif alamiah

(i) Bawang putih dan bawang bombay, kandungan alisin berguna untuk

antimikroba

(ii) Kunyit, kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat

bakterisidal

(iii)Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri

dan jamur

(iv) Jahe, senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan

minyak dan lemak

(v) Bakteriosin, merupakan produk ekstraseluler (Jack et al., 1995) yang diproduksi

oleh bakteri asam laktat, sebagai protein yang aktif secara biologi atau kompleks

protein (agregat protein, protein lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa

secara ribosomal dan menunjukkan aktivitas antibakteri (Vuyst and Vandamme,

1994; Ammor et al., 2006). Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus

memenuhi kriteria seperti pengawet atau bahan tambahan pangan lainnya antara

lain aman bagi konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok

bakteri gram positif dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi secara merata

dalam sistem makanan, dan ekonomis (Ray, 1996).

b. Bahan kimia

Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia pengawet

yang termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk olahan daging.

Namun masyarakat dewasa ini ketakutan bila mendengar istilah bahan pengawet

atau bahan kimia yang dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Bahan tambahan

pangan adalah bahan aditif yang mengandung senyawa kimia yang telah diizinkan

penggunaannya (Suryanto, 2009). Di Indonesia, penggunaan bahan tambahan

tersebut diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/MENKES/PER/X/1999

Page 7: Pengawetan daging segar olahan

7

tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.

722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Beberapa BTP

yang diizinkan antara lain adalah:

Garam NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan

khamir/yeast dan jamur. Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.

Sodium tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri

sehingga produk olahan daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6

jam dalam larutan disodium fosfat dengan konsentrasi 6,23% dapat

meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan STPP pada produk olahan

daging tidak boleh lebih dari 0,5%.

Gula pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan

minimal 3% atau disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.

Sodium nitrit, digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan

pigmen daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm,

kadang-kadang dikombinasikan dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah

pembentukan senyawa karsinogen nitrosamin.

Sodium laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum

penggunaan sodium laktat adalah 2,9%

Sodium asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan

jumlah penggunaan maksimum 0,25%.

Sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging

olahan digunakan dengan konsentrasi 0,1%.

Beberapa bahan kimia yang tidak dapat digunakan (dilarang) digunakan sebagai

bahan pengawet antara lain formalin, asam borat, asam salisilat, kalium klorat,

kloramfenikol, formalin, dan lain-lain. Bahan pengawet yang dilarang namun sering

dijumpai dalam produk makanan diantaranya adalah formalin dan boraks.

a. Ciri daging dan produk daging berformalin dan bahayanya

Formalin adalah cairan (dalam suhu ruang) yang tidak berwarna, bau

menyengat, mudah larut dalam air dan alkohol, digunakan sebagai pengawet

jaringan, desinfektan, pembasmi serangga, industri tekstil dan kayu lapis.

Produk yang biasa menggunakan formalin:

Bakso: kenyal, awet pada suhu kamar bisa tahan sampai lima hari.

Page 8: Pengawetan daging segar olahan

8

Daging ayam: berwarna putih bersih dan tidak mudah busuk atau awet dalam

beberapa hari.

Deteksi makanan berformalin: tidak ada lalat yang mau hinggap. Jika kadar

formalinnya banyak, daging ayam agak sedikit tegang (kaku) dan jika daging

ayam dimasukkan ke dalam reagen atau diuji laboratorium, muncul gelembung

gas. Perlu curiga bila harga produk sangat murah dan tidak wajar.

Bahaya formalin: mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit

menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan , sakit perut

yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kerusakan hati,

jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal, kejang,

tidak sadar hingga koma dan kematian, menyebabkan kanker karena formalin

bersifat karsinogenik.

Pertolongan yang dapat dilakukan jika keracunan formalin (tertelan) adalah

segera hubungi dokter atau dibawa ke rumah sakit.

b. Ciri makanan mengandung boraks dan bahayanya

Boraks adalah serbuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut

alkohol, pH 9,5. Boraks biasa dipakai untuk pengawet kayu, antispetik dan

pengontrol kecoa.

Produk bakso menjadi lebih kenyal, bila digigit/ditekan akan kembali ke bentuk

semula, tahan lama/awet beberapa hari, warna lebih putih, bau tidak alami (ada

bau lain yang muncul) dan bila dilemparkan ke lantai akan memantul.

Deteksi makanan mengandung boraks hampir sama seperti formalin walaupun

cukup sulit menentukannya namun dengan uji laboratotium akan dapat

dibuktikan dengan jelas.

Bahaya boraks : merusak kulit, selaput lendir (merah), gangguan

pencernaan/usus, muntah, diare, depresi susunan syaraf pusat, bahkan

menyebabkan kanker

Pengawetan daging melalui pengolahan

Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka waktu

yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan pengawetan

adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur, kapang/khamir, dan bakteri

patogen, agar daging tidak mudah rusak.

Page 9: Pengawetan daging segar olahan

9

Dalam rangka mempertahankan nilai gizi daging dilakukan upaya pengolahan

untuk tujuan pengawetan dan perluasan jangkauan pemasaran. Beberapa cara

pengolahan daging yang dapat dilakukan antara lain dengan proses pengeringan (contoh

dendeng), pengasapan (contoh daging asap), pengasaman (contoh salami), pemanasan

(contoh abon), kombinasi perlakuan-perlakuan tersebut (contoh: sosis, bakso, nugget,

kornet, dan lain-lain). Dalam bentuk produk olahan maka daging dapat disimpan lebih

lama serta relatif tidak mengalami perubahan mutu dan citarasa spesifik daging.

PENUTUP

Daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan berguna untuk kesehatan

manusia, juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Kerusakan

daging oleh mikroba mengakibatkan penurunan mutu daging. Pengawetan daging

adalah salah satu cara untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum

dikonsumsi. Namun masyarakat dewasa ini takut bila mendengar istilah pengawet atau

bahan kimia karena dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Oleh karena itu

penggunaan pengawet terutama dari bahan kimia harus memperhatikan jenis bahan

kimia yang digunakan serta jumlah penggunaan yang direkomendasikan dalam

aplikasinya untuk daging dan olahannya agar tidak menimbulkan efek negatif bagi

kesehatan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2000. Teknologi Tepat Guna: Pengawetan dan Bahan Kimia.

Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,

Kemenegristek.

Anonymous. 2006. Bahaya Formalin dan Boraks.

http://wowsalman.blogspot.com/2006/01/bahaya-formalin-dan-boraks.html.

(15 Pebruari 2010)

Anonymous. 2009. Mengenal Formalin dan Bahayanya.

http://netverum.blogspot.com/2009/03/mengenal-formalin-dan-bahayanya.html.

(15 Pebruari 2010)

Ammor S., G. Tauveron, E. Dufour, and I. Chevallier. 2006. Antibacterial activity of

lactic acid bacteria against spoilage and pathogenic bacteria isolated from the

same meat small-scale facility: 1—Screening and characterization of the

antibacterial compounds. Food Control 17: 454–461

Page 10: Pengawetan daging segar olahan

10

Ho, C.P., Huang, N.Y., and Chen, B.J. 2004. A Survey of microbial contamination of

food contact surfaces at broiler slaughter plants in Taiwan. J. of Food Protection.

(67) 12 : 2809-2811.

Ikrar, T. 2010. Bahaya Makanan Yang Dicampur Bahan Pengawet, Diantaranya

Formalin.

http://groups.yahoo.com/group/alumni-unhas/message/2606. (15 Pebruari 2010)

Jack RW, JR Tagg dan B Ray. 1995. Bacteriocin of Gram positive bacteria. Appl

Environ microbial 59: 171-200.

Komariah, Surajudin dan D. Purnomo. 2006. Aneka Olahan Daging Sapi: Sehat, Bergizi

dan Lezat. Cetakan kedua. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Lailogo, O., Kanahau, D dan Nulik, J. 2005. Produk ternak dan inovasi teknologi

peternakan menunjang keamanan pangan hewani di Nusa Tenggara Timur.

Prosiding Lokakarya Keamanan Pangan Produk Peternakan, 12-13 September

2005. Hal: 189-196.

Mukartini, S., C. Jehne, B. Shay, and C.M.L. Harper. 1995. Microbiological status of

beef carcass meat in Indonesia. J. Food Safety 15: 291−303

Nugroho, W.S. 2004. Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Staphylococcus, Bakteri

Jahat yang Sering Disepelekan.

Ray, B. 1996. Fundamental Food Microbiology. CRC Press, Tokyo.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Suryanto, E. 2009. Pemilihan Pengawet Produk Olahan Daging.

http://chickaholic.wordpress.com/2009/05/07/pemilihan-pengawet-produk-

olahan-daging/. (5 Pebruari 2010)

Syukur, D.A. 2006. Bahaya Formalin dan Boraks.

http://www.disnakeswan-lampung.go.id. (15 Pebruari 2010)

Veclerc, V. , B. Dufour , B. Lombard , F. Gauchard , B. Garin-Bastuji , G. Salvat, A.

Brisabois , M. Poumeyrol , M-L. De Buyser, N. Gnanou-Besse , and C. Lahellec.

2002. Pathogens in meat and milk products: Surveillance and impact on human

health in France. Livestock Production Science 76: 195–202.

Vuyst L.D. and E. J. Vandamme. 1994. Bacteriocins of lactic acid bacteria:

Microbiology, genetic and applications. Blackie academic & Professional.

Glasgow.