pengaruh totalitas kerja, tuntutan kerja dan...
TRANSCRIPT
PENGARUH TOTALITAS KERJA, TUNTUTAN KERJA
DAN SUMBER DAYA PRIBADI TERHADAP
SUBJECTIVE WELLBEING
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun oleh :
Melina Eriadya
1110070000159
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014M
v
ABSTRACT
(A) Faculty Of Psychology, Islamic State University Jakarta
(B) September 2014
(C) Melina Eriadya
(D) xiv + 111 pages +attachments
(E) The Effect of Work Engagement, Job Demands and Personal Resources
On Subjective Wellbeing
(F) Subjective well-being of employees is a hot topic in the life of the
organization and has been the focus and attention of the public. This study
aims to determine the effect of the work engagement, job demands and
personal resources to Subjective wellbeing.
This study used a sample of 431 Civil Service Ministry of Social Affairs of
the Republic of Indonesia.Uji validity of each item was conducted by CFA
(Confirmatory Factor Analysis) using LISREL software version 8.70.
Then to see the effect of independent variables on Subjective wellbeing,
researchers using multiple regression analysis (multiple regression
analysis).
Based on the data analysis, there is the influence ofwork engagement, job
demands and personal resources to Subjective wellbeing. Furthermore, in
this study there are only two independent variables which provide
signifikn influence on Subjective wellbeing, the dedication or dedication
and optimism. Thus, it can be said that there is a significant effect of
dedication or dedication and optimism of the Subjective wellbeing. Then if
viewed by a donation from each vriabel, it turns out there are three
variables were significant contributions. These variables include
absorption, dedication and optimism.
(G) Reading list: 20 books, 47 journal
vi
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
{B) September 2014
(C) Melina Eriadya
(D) xiv + 111 halaman + lampiran
(E) Pengaruh Totalitas Kerja, Tuntutan Kerja dan Sumber Daya Pribadi
Terhadap Subjective Wellbeing
(F) Subjective well-being karyawan merupakan topik yang hangat dalam
kehidupan organisasi dan telah menjadi fokus dan perhatian masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh totalitas kerja,
tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective wellbeing.
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 431 Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Sosial Republik Indonesia.Uji validitas masing-masing item
dilakukan dengan metode CFA (Confirmatory Factor Analysis)
menggunakan software LISREL versi 8.70. Kemudian untuk melihat
pengaruh variabel-variabel independen terhadap subjective wellbeing,
peneliti menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression
analysis).
Berdasarkan analisis data yang dilakukan, terdapat pengaruh totalitas
kerja, tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective
wellbeing. Selanjutnya, pada penelitian ini hanya terdapat dua variabel
independent yang memberikan pengaruh signifikn terhadap subjective
wellbeing, yaitu dedication atau dedikasi dan optimisme. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari
dedication atau dedikasi dan optimisme terhadap subjective wellbeing.
Kemudian jika dilihat berdasarkan sumbangan dari masing-masing vriabel,
ternyata terdapat tiga variabel yang signifikan sumbangannya. Variabel-
variabel tersebut antara lain absorption, dedication dan optimisme.
(G) Daftar Bacaan: 20 buku, 47 jurnal
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil „alamin, puji dan syukur Peneliti panjatkan kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kasih sayang yang diberikan-Nya sehingga
peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “PENGARUH
TUNTUTAN KERJA DAN SUMBER DAYA PRIBADI TERHADAP
SUBJECTIVE WELLBEING DENGAN TOTALITAS KERJA SEBAGAI
VARIABEL MEDIATOR”
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, berikut para keluarga dan sahabat.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini Peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abdul
Mujib M.Ag, M.Si. Terima kasih atas ilmu dan dedikasinya selama ini.
2. Bapak Dr. Abdul Rahman Saleh, M.Si, sebagai dosen pembimbing I Terima
kasih telah membimbing peneliti semenjak KKL hingga penelitian ini selesai,
terimakasih kasih atas segala dukungan, bimbingan, arahan dan kritik, serta
saran yang membangun bagi peneliti, dan waktu yang diberikan selama
bimbingan.
3. Bapak Miftahuddin,M.Si., sebagai dosen pembimbing II Terima kasih atas
segala dukungan, bimbingan, arahan, kritik, serta saran yang membangun
bagi peneliti, dan waktu yang diberikan selama bimbingan hingga selesainya
penelitian ini.
4. Para responden karyawan Kementerian Sosial serta Pak Wiwid dan mas Ian
selaku Kepala Bagian Biro Kepegawaian Kementiran Sosial dan pamong
peneliti, yang telah menolong peneliti dalam penelitian ini .Terimakasih
viii
karena telah meluangkan waktu, bersedia mengisi kuesioner dan membantu
peneliti. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT. Amin.
5. Ibu Zulfa, sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membantu,
mendukung dan memberi masukan selama masa perkuliahan. Terimakasih
atas saran dan perhatian yang telah diberikan selama ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan. Terima kasih telah banyak membantu Peneliti selama menjalani
perkuliahan hingga selesai.
7. Bapak Ridwan dan Ibu Endang Rahayu selaku orang tua peneliti. Terima
kasih yang tak terhingga untuk setiap dukungan, kasih sayang dan kesabaran
serta segala doa yang tak henti-hentinya dipanjatkan untuk putri tercinta,
sehingga terciptanya penelitian ini sampai selesai.
8. Resti Deviani selaku kakak bagi peneliti. Terimakasih atas segala
dukungannya, doanya, waktunya, dan ilmunya yang tidak pernah lelah untuk
dibagi kepada peneliti hingga penelitian ini selesai.
9. Semua sahabat terdekat, my luvly alge Baiamal Marissa I.L, Fisqiyatul
Rohmah, Khaleda Mutiasari, Rahmania, Saidah C.H, Selvy Rhahmadia,
Shentia Rewena Lase, Rosalina Baruz, Winda Natasya. Thanks for being my
best guys, luv!
10. Ka Puty, my angel, my hero, terima kasih atas segala bantuannya selama ini
kepada peneliti yang sudah sabar membantu, meluangkan waktu, membagi
ilmu dan mengajarkan peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini. I luv u!
11. Teman seperjuangan bimbingan skripsi dan geng rumpi Tiara Dean Risa,
Sabrina Dwi Maidah yang dari awal sampai akhir penulisan skripsi selalu
menemani, memberikan support kepada peneliti, semua teman seperpayungan
yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, my sweet gengs Nashwa,
Tenry, Amira, Rahma, Yunita, Maul, Aniq dan teman-teman kelas D 2010
yang telah memberika perhatian, keceriaan, canda dan tawa selama berada di
kelas maupun luar kelas. Terimakasih atas waktu dan kebersamaan selama
ini, peneliti bangga menjadi warga kelas D.
ix
Akhir kata, Peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan,
bantuan, bimbingan dapat dikabulkan dan dibalas dengan balasan yang sebaik-
baiknya. Selain itu melihat kekurangan dan keterbatasan Peneliti, maka segala
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan sebagai bahan
penyempurnaan penelitian ini.
Jakarta, 12 September 2014
Peneliti
x
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Pembimbing ii
Lembar Pengesahan Panitia Ujian iii
Lembar Orisinalitas iv
Abstrak v
Kata Pengantar vii
Daftar Isi x
Daftar Tabel xiii
Daftar Gambar xiv
BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 11
1.2.1 Pembatasan Masalah 11
1.2.2 Perumusan Masalah 12
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 12
1.3.1 Tujuan Penelitian 13
1.3.2 Manfaat Penelitian 13
1.3.2.1 Manfaat Teoritis 13
1.3.2.2 Manfaat Praktis 13
1.4 Sistematika Penulisan 13
BAB 2 Landasan Teori
2.1 Subjective Wellbeing 15
2.1.1 Pengertian Subjective Wellbeing 15
2.1.2 Komponen-komponen Subjective Wellbeing 17
2.1.2.1 Afek Positif dan Afek Negatif 18
2.1.2.2 Kepuasan Hidup (Life Satisfaction) 19
xi
2.1.2.3 Kepuasan Terhadap Ranah Kehidupan (Domain
Satisfaction) 21
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Wellbeing 23
2.1.4 Pengukuran Subjective Wellbeing 25
2.2 Totalitas Kerja 27
2.2.1 Pengertian Totalitas Kerja 28
2.2.2 Aspek-aspek Totalitas Kerja 28
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Totalitas Kerja 32
2.2.4 Pengukuran Totalitas K erja 33
2.3 Tuntutan Kerja 33
2.3.1 Pengertian Tuntutan Kerja 33
2.3.2 Aspek-aspek Tuntutan Kerja 34
2.3.3 Pengukuran Tuntutan Kerja 36
2.4 Sumber Daya Pribadi 36
2.4.1 Pengertian Sumber Daya Pribadi 36
2.4.2 Aspek-aspek Sumber Daya Priadi 37
2.4.3 Alat Ukur Sumber Daya Pribadi 39
2.5 Kerangka Berpikir 41
2.6 Hipotesis 45
BAB 3 Metode Penelitian
3.1 Populasi dan Sampel 46
3.2 Variabel Penelitian 47
3.3 Definisi Operasional 48
3.4 Instumen Pengumpulan Data 50
3.5 Uji Validitas Konstruk Instrumen Pengumpulan Data 54
3.5.1 Uji Validitas Konstruk Skala Subjective Wellbeing 57
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Skala Totalitas Kerja 58
xii
3.5.2.1 Vigor 58
3.5.2.2 Dedication 60
3.5.2.3 Absorption 62
3.5.3 Uji Validitas Konstruk Skala Tuntutan Kerja 64
3.5.3.1 Workload 64
3.5.3.2 Emotional Demands dan Emotionl Dissonance 66
3.5.4 Uji Validitas Konstruk Skala Sumber Daya Pribadi 68
3.5.4.1 Optimisme 68
3.5.4.2 Self-Efficacy 70
3.5.4.3 Self-Esteem 72
3.6 Prosedur Pengumpulan Data 73
3.7 Teknik Analisis Data 74
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Responden Penelitian 77
4.2 Analisis Deskriptif 79
4.3 Kategorisasi Variabel Penelitian 80
4.4 Hasil Uji Hipotesa 84
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
5.1 Kesimpulan 95
5.2 Diskusi 95
5.3 Saran 103
5.3.1 Saran Teoritis 103
5.3.2 Saran Praktis 103
DAFTAR PUSTAKA 105
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Blue Print Skala Subjective Wellbeing 51
Tabel 3.2. Blue Print Skala Totalitas Kerja 51
Tabel 3.3 Blue Print Skala Tuntutan Kerja 53
Tabel 3.4 Blue Print Skala Sumber Daya Pribadi 54
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Subjective Wellbeing 58
Tabel 3.6 Muatan Item Vigor 60
Tabel 3.7 Muatan Item Dedication 62
Tabel 3.8 Muatan Item Absorption 64
Tabel 3.9 Muatan Item Workload 66
Tabel 3.10 Muatan Item Emotional Demands dan Emotional
Dissonance 67
Tabel 3.11 Muatan Item Optimisme 69
Tabel 3.12 Muatan Item Self-Efficacy 71
Tabel 3.13 Muatan Item Self Esteem 73
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jenis
Kelamin, Tingkat pendidikan dan Status Perkawinan 77
Tabel 4.2 Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jumlah
Penghasilan dan Lama Bekerja 78
Tabel 4.3 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian 80
Tabel 4.4 Pedoman Interpretasi Skor 81
Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian 81
Tabel 4.6 Model Summary Analisis Regresi 84
Tabel 4.7 Anova Pengaruh Keseluruhan IV Terhadap DV 85
Tabel 4.8 Koefisien Regresi 86
Tabel 4.9 Proporsi Varians untuk Masing–Masing Independent
Variable 91
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir 44
Gambar 3.1 Uji Validitas Konstruk Skala Subjective Wellbeing 57
Gambar 3.2 Uji Validitas Konstruk Vigor 59
Gambar 3.3 Uji Validitas Konstruk Dedication 61
Gambar 3.4 Uji Validitas Konstruk Absorption 63
Gambar 3.5 Uji Validitas Konstruk Workload 65
Gambar 3.6 Uji Validitas Konstruk Emotional Demands dan
Emotional Dissonance 67
Gambar 3.7 Uji Validitas Konstruk Optimisme 69
Gambar 3.8 Uji Validitas Konstruk Self-Efficacy 70
Gambar 3.9 Uji Validitas Konstruk Self Esteem 72
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Well-being adalah istilah umum untuk menggambarkan kondisi individu atau
kelompok, misalnya kondisi sosial, ekonomi, psikologis, rohani atau medis
seseorang. Well-being yang tinggi berarti bahwa individu atau kelompok memiliki
pengalaman yang positif, sementara well-being yang rendah dikaitkan dengan
keadaan atau kondisi yang negatif. Walaupun tidak ada definisi yang jelas tentang
well-being, well-being dapat didefinisikan sebagai “a special case for attitude”
(Guttman, Levy, Louis dan Shlomit, 1982).
Well-being itu terbagi dalam dua yaitu subjective well-being dan objective
well-being. Subjective well-being adalah evaluasi-evaluasi kognitif dan afektif
seseorang dalam hidupnya. Evaluasi-evaluasi tersebut terdiri dari reaksi-reaksi emosi
yang dijadikan sebagai penilaian kognitif dalam kepuasan dan pemenuhan.
Sedangkan teori objective well-being biasanya didukung oleh daftar persyaratan yang
harus dipenuhi orang untuk menjalani kehidupan yang baik, suatu kebutuhan
universal dan tidak berbeda di antara masyarakat. Objective well-being berhubungan
dengan kepuasan akan kebutuhan dasar. Seperti untuk karakteristik rumah, hal yang
perlu dipertimbangkan berkaitan dengan air minum yang bagus, listrik dan
kebersihan. Sedangkan dalam hal hubungannya dengan pendidikan seperti frekuensi
2
hadir sekolah, tipe sekolah, lokasi sekolah, model transport yang digunakan dan
berapa lama jarak yang ditempuh (Royo & Jackeline, 2005).
Pada penelitian ini, peneliti lebih fokus kepada subjective well-being agar
penelitian tidak terlalu luas. Karena subjective well-being lebih menggambarkan
individu mengenai kesejahteraannya secara spesifik dan secara menyeluruh mengenai
kepuasan hidup secara subjektif dibandingkan dengan objective well-being yang
cenderung lebih bersifat kebutuhan universal dan tidak berbeda di antara masyarakat.
Subjective wellbeing merupakan sebuah konsep yang luas yang meliputi
emosi yang menyenangkan, rendahnya level mood negatif, dan tingginya kepuasan
hidup. Pengalaman positif pada tingginya subjective wellbeing adalah konsep pokok
dari positif psikologi karena dapat membuat hidup individu berharga. Subjective
wellbeing dapat diukur dengan happiness dan life satisfaction atau kepuasan hidup
(Diener, Lucas, Oishi, 2005). Menurut Seligman, Parks & Steen (2004) happiness
didefinisikan sebagai “very thing which makes life worth living” atau banyak hal
yang membuat hidup layak untuk ditinggali.
Sementara Diener memandang bahwa subjective wellbeing merupakan
penilaian secara global terhadap kepuasan hidup, berdasarkan pendekatan ini
pengetahuan dari subjective wellbeing dilihat dari penilaian individu secara global
terhadap kepuasan hidup dan kualitas hidup individu (Diener, 1984; 1994; 2000;
Diener, Lucas, Oishi, 2002; Diener, Suh, Smith, 1999; Diener et al., 2005). Subjective
wellbeing mengacu pada evaluasi diri dari kepuasan hidup (Robbins & Kliewer,
2000). Pada penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada subjective wellbeing yang
3
ditinjau berdasarkan evaluasi diri dari kepuasan hidup. Ketika subjective wellbeing
dinilai, apa yang dinilai adalah bagaimana orang berpikir dan merasakan kehidupan
mereka.
Selanjutnya, subjective well-being karyawan merupakan topik yang hangat
dalam kehidupan organisasi (Grant et al., 2007) dan telah menjadi fokus dari
masyarakat dan perhatian media (Farid dan Lazarus, 2008). Atas dasar inilah penulis
mencoba untuk melakukan penelitian tentang subjective well-being dikalangan
karyawan yang ada di Indonesia.
Karyawan yang wellbeing adalah karyawan yang bahagia. Carr (2004)
mengatakan bahwa kebahagiaan dapat disetarakan dengan istilah subjective well-
being. Menurut pendapat Diener dan Lucas (1999) subjective well-being adalah
evaluasi individu tentang kehidupannya, termasuk penilaian kognitif terhadap
kepuasan hidupnya serta penilaian afektif terhadap emosinya. Subjective well-being
dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia (Diener dan Lucas, 1999).
Banyak orang yang merasa puas dengan penghasilan yang didapat sehingga dapat
merasakan kesenangan dan ketenangan dalam hidupnya, namun ada juga yang merasa
tidak pernah puas dengan penghasilan yang didapat, sehingga tidak dapat merasakan
kesenangan dan ketenangan dalam hidupnya.
Subjective well-being merupakan konsep yang meliputi emosi, pengalaman
menyenangkan, rendahnya tingkat mood negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.
Subjective well-being terdiri dari tiga aspek pembangun yaitu afek positif dan afek
negatif serta kepuasan hidup. Afek positif dan negatif merupakan bagian dari aspek
4
afektif, sedangkan kepuasan hidup merupakan aspek yang merepresentasikan aspek
kognitif individu. Diener, et.al (dalam Eid dan Larsen, 2008) menambahkan kepuasan
terhadap domain spesifik sebagai salah satu aspek subjective well-being. Komponen
kognitif subjective well-being meliputi kepuasan hidup secara keseluruhan dan
kepuasan terhadap domain spesifik dalam kehidupan individu.
Individu dengan subjective well-being yang tinggi menilai hidupnya secara
positif dan merasakan kegembiraan dan kebahagiaan. Individu memiliki subjective
well-being yang tinggi jika merasakan kepuasan hidup dan kesenangan yang lebih
sering dan sedikit sekali merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti
kesedihan atau kemarahan. Sedangkan individu dengan subjective well-being yang
rendah adalah individu yang merasakan sedikit sekali kesenangan, serta lebih sering
merasakan emosi negatif seperti kemarahan dan rasa cemas. subjective well-being
fokus kepada keseimbangan antara pengalaman mood positif dan negatif setiap
harinya dan jumlah kepuasan yang secara umum dirasakan mengenai hidupnya
(Diener, Scollon dan Lucas, 2003).
Kepuasan hidup secara umum merupakan penilaian individu terhadap
kehidupannya, sedangkan kepuasan domain merupakan evaluasi individu terhadap
domain-domain spesifik individu. Domain-domain spesifik ini meliputi kesehatan,
keuangan, pekerjaan, kekayaan, pernikahan hingga hubungan pertemanan yang
dijalani oleh individu. Aspek afektif mengacu pada afek dominan yang dirasakan
individu yang akan mempengaruhi tingkat subjective well-being (Diener, Scollon dan
Lucas, 2003).
5
Subjective well-being pada karyawan menjadi penting untuk diteliti karena
memiliki pengaruh terhadap banyak aspek psikologi. Russell (2008) menyimpulkan
bahwa subjective well-being memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja (work
performance) dan kepuasan kerja. Artinya semakin tinggi subjective well-being, maka
semakin tinggi pula kinerja (work performance) dan kepuasan kerja. Penelitian yang
dilakukan oleh Soini, Aro & Niemivirta (2007) menyimpulkan bahwa subjective
well-being memiliki pengaruh positif terhadap self-improvement (pengembangan diri)
serta achievement goal orientation. Artinya semakin tinggi subjective well-being,
maka semakin tinggi pula self-improvement (pengembangan diri) serta achievement
goal orientation.
Terdapat berbagai penelitian tentang subjective well-being misalnya oleh
Diener dan Diener (1996) dalam laporan penelitiannya yang meneliti tentang
sebagian besar orang bahagia. Dalam penelitian ini peneliti bertanya kepada orang
yang mempunyai kesempatan untuk melaporkan secara lisan seberapa bahagia atau
puas mereka. Pertanyaan yang diberikan bertujuan untuk melihat fakta siapa yang
lebih atau kurang bahagia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang
merasa puas dengan pernikahannya, pekerjaannya, dan waktu luang yang dimiliki.
Selanjutnya, Campbell, Converse, dan Rogers (1976) menyimpulkan bahwa
efek dari variabel-variabel demografis berpengaruh kecil pada subjective well-being,
karena itulah pada penelitian ini peneliti tidak meneliti pengaruh variabel-variabel
demografis terhadap subjective well-being. Peneliti lain menunjukkan bahwa
subjective well-being terutama ditentukan oleh sifat daripada situasi kehidupan
6
eksternal (Costa dan McCrae, 1980, 1984; Costa, McCrae, dan Zonderman, 1987;
Diener, Sandvik, Pavot, dan Fujita, 1992 dalam Eunkook Suh, Diener, dan Fujita,
1996).
Banyak faktor yang menjadi variabel penentu munculnya subjective well-
being pekerja di suatu perusahaan. Bakker dan Oerlemans (2010) menjelaskan bahwa
terdapat hubungan antara work engagement dengan subjective well-being. Istilah
work engagement dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai keterlibatan kerja,
keterikatan kerja, keterlarutan kerja dan totalitas kerja. Namun, dalam penelitian ini
peneliti menggunakan istilah work engagement sebagai totalitas kerja (Shaleh, 2013).
Totalitas kerja biasanya didefinisikan sebagai hal positif, yang terkait dengan keadaan
pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorbsi atau penyerapan
(Schaufeli, Salanova, Gonzales- Roma, dan Bakker, 2002).
Semangat mengacu pada memiliki tingkat energi dan ketahanan mental yang
tinggi dalam satu pekerjaan serta bersedia berupaya dan tekun. Dedikasi mengacu
pada antusiasme, inspirasi, merasa dipentingkan, kebanggaan dan tantangan.
Penyerapan atau absorption dalam kegiatan kerja mengacu pada konsentrasi penuh
dalam pekerjaan (Salanova dan Schaufeli, 2008). Pekerja yang engaged adalah
pekerja yang energik, memiliki self-efficacy yang tinggi. Selain itu, sikap positif dan
aktivitas mereka menyebabkan mereka mendapatkan feedback yang positif (Bakker
dan Leiter, 2010).
Menurut Sonnentag, 2003 (dalam Bakker dan Oerlemans (2010) totalitas kerja
merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan subjective well-being karyawan, dan
7
perilaku bekerja untuk beberapa alasan. Pertama, totalitas kerja merupakan
pengalaman positif pada diri individu (Schaufeli et.al, 2002). Kedua, totalitas kerja
berkaitan dengan kesehatan yang baik dan afeksi kerja yang positif (Damerouti,
Bakker, de Jonge, Jansen, & Schaufeli, 2001; Rothbard, 2001). Ketiga, totalitas kerja
membantu individu mengambil keuntungan dari pekerjaan yang membuat stres (Brit,
Adler, & Bartone, 2001). Keempat, totalitas kerja memiliki kaitan yang positif
terhadap komitmen kerja (Demorouti et.al, 2001) dan diharapkan dapat meningkatkan
performa karyawan ( Kahn, 1990).
Menurut Maslach, et al. (2001), rendahnya tingkat burnout dan tingkat
totalitas kerja yang tinggi dapat dianggap mempengaruhi wellbeing pekerja. Watson
dan Tellegen (1985) berpendapat bahwa burnout dan totalitas kerja adalah bagian dari
sebuah taksonomi wellbeing yang lebih komprehensif yang terdiri dari dua dimensi
independen, yakni pleasure atau kesenangan dan aktivasi. Burnout ditandai dengan
masih rendahnya tingkat aktivasi dan kesenangan, dan totalitas kerja di sisi lain
ditandai oleh tingginya tingkat aktivasi dan kesenangan. Bertentangan dengan
pendapat Watson dan Tellegen, Schaufeli, et al. (2002) mengatakan bahwa
kesenangan tidak termasuk dalam totalitas kerja. Dengan demikian dalam
merepresentasikan wellbeing, work engagement mencerminkan tingkat aktivasi yang
tinggi.
Selama tiga dekade terakhir, Bakker dan Demerouti (2006) menyatakan
bahwa banyak studi yang menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan (job
characteristics), yang meliputi job demands, job control, dan job resources, dapat
8
memiliki dampak yang mendalam pada well-being pekerja. Tuntutan kerja atau job
demands merujuk pada aspek-aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari
suatu pekerjaan yang membutuhkan usaha atau kemampuan secara fisik dan/atau
psikologis yang terus-menerus dan oleh karena itu diasosiasikan dengan biaya fisik
dan/atau psikologis tertentu (Bakker dan Demerouti, 2006).
Wood, Stride, Threapleton, Wearn, Nolan, Osborn, Paul, dan Johnson (2010)
menjelaskan bahwa rendahnya level tuntutan kerja (job demands) seseorang yang
dikombinasikan dengan tingginya kontrol akan pekerjaan (job control) dan hubungan
yang suportif di tempat kerja meningkatkan kesejahteraan pekerja (staff well-being).
Lebih lanjut, Love, Irani, Standing, dan Themistocleous (2007) menjelaskan bahwa
tuntutan kerja (job demands) dan variabel lainnya yang dijelaskan dalam model
Karasek, yakni Job-Strain Model (JSM), menjadi prediktor yang signifikan terhadap
well-being pekerja pada pekerja kesehatan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tuntutan kerja memiliki pengaruh
terhadap stres, depresi, dan burnout. Karasek (1979) yang menjelaskan Job Strain
Model (JSM) mendefinisikan tuntutan kerja sebagai aspek yang menimbulkan stres
atau stressor dari pekerjaan. Hal ini juga didukung oleh Kristensen et al., (2004) yang
mengungkapkan bahwa tuntutan kerja menjadi konstruk paling penting dalam
menjelaskan stres pada pekerjaan. Penelitian Kitaoka-Higashiguchi, Nakagawa,
Morikawa, Ishizaki, Miura, Naruse, dan Kido (2002) menunjukkan bahwa semakin
tinggi tuntutan kerja maka semakin tinggi pula tingkat depresi seseorang.
9
Grebner, Semmer, dan Elfering, 2005 (dalam Panari, Guglielmi, Ricci,
Tabanelli, dan Violante, 2012) menyatakan bahwa stresor pekerjaan (dalam hal ini,
tuntutan kerja) adalah satu hal yang mungkin menjadi penyebab buruknya wellbeing,
kesehatan, dan performa kerja (job performance). Pekerja menjadi bosan dengan
kegiatan pekerjaan sehari-hari mereka, tetapi energi mereka harus cukup untuk
memenuhi tuntutan tugas. Ketika seorang individu bekerja dengan beban kerja mental
yang tinggi dan merasa lelah, tambahan energi diperlukan untuk memastikan bahwa
kinerja mereka tetap baik. Hal ini dapat mengakibatkan kelelahan akut yang pada
gilirannya dapat mengakibatkan efek kronis pada kesehatan dan kesejahteraan
(Demerouti, et al. 2001). Dengan demikian, tuntutan kerja dapat dikatakan memiliki
hubungan yang terbalik atau negatif dengan well-being, dimana semakin rendah
tingkat tuntutan kerja maka semakin tinggi tingkat well-being dan sebaliknya.
Selain itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi subjective well-being
pekerja, yakni personal resources atau sumber daya pribadi. Personal resources atau
sumber daya pribadi adalah evaluasi diri yang positif terkait dengan ketahanan dan
merujuk kepada individu yang memiliki kemampuan untuk mengontrol dan
memberikan dampak yang baik pada lingkungan mereka (Hobfoll, Johnson, Ennis,
dan Jackson, 2003). Dengan demikian, personal resources atau sumber daya pribadi
adalah (a) berfungsi untuk mencapai tujuan, (b) melindungi dari ancaman dan biaya
fisiologis dan psikologis yang terkait, dan (c) merangsang pertumbuhan dan
perkembangan pribadi. Evaluasi diri yang positif sangat berhubungan dengan
berbagai aspek kesejahteraan. Semakin tinggi sumber daya pribadi, maka individu
10
tersebut menganggap diri sendiri sebagai individu-individu yang lebih positif. Pada
gilirannya, ada kemungkinan bahwa individu akan mencapai tujuan yang mereka
tetapkan dengan kemampuan mereka. Individu menjadi termotivasi (motivasi
intrinsik) untuk mengejar tujuan-tujuan mereka dan sebagai akibatnya mereka akan
mendapatkan kepuasan, yang dalam hal ini adalah bagian dari subjective wellbeing
(Luthans dan Youssef, 2007).
Sumber daya pribadi terdiri dari 3 aspek, yakni self-efficacy, organizational-
based self-esteem, dan optimism. Sumber daya pribadi telah diakui penting untuk
kesejahteraan psikologis individu secara umum, dan untuk kesejahteraan yang
berhubungan dengan pekerjaan secara khusus (Xanthopoulou, D., Bakker, A. B.,
Demerouti, E., dan Schaufeli, 2007). Tidak seperti ciri-ciri kepribadian yang stabil
dan relatif tetap, sumber daya pribadi ini lunak dan terbuka terhadap perubahan dan
perkembangan, dan dengan demikian dianggap paling sesuai untuk penelitian ini.
Self-efficacy (yaitu persepsi individu mengenai kemampuan mereka dalam
memenuhi tuntutan; Chen, Gully, dan Eden, 2001) berkontribusi untuk memotivasi
individu dalam menjawab tantangan, berupaya dan tekun dalam menghadapi
rintangan (Bandura, 1989). Lebih lanjut, Pierce dan Gardner (2004) dalam studinya
menunjukkan bahwa self-esteem yang berbasis organisasi (OBSE), yaitu tingkat
dimana anggota organisasi percaya bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan
mereka dengan berpartisipasi dan berperan dalam organisasi, adalah sangat
berhubungan dengan kepuasan kerja dan komitmen. Selain itu, dalam studi
longitudinal baru antara personil kesehatan di Finlandia, OBSE ternyata menjadi
11
salah satu prediktor paling penting dari variabel work engagement atau totalitas kerja
ketika diukur dua tahun kemudian (Mauno, S., Kinnunen, U., Ruokolainen, M. 2007).
Demikian pula, optimisme, yang merupakan kecenderungan untuk percaya
bahwa individu akan mendapatkan hasil yang baik dalam hidup (Scheier, Carver, dan
Bridge, 2001). Individu yang optimis lebih mampu menghadapi situasi yang
mengancam karena individu yang optimis mengadopsi strategi-strategi aktif
(Iwanaga, Yokoyama, dan Seiwa, 2004), dan mereka dapat beradaptasi dengan baik
di tempat kerja (Luthans dan Youssef, 2007).
Penelitian- penelitian Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya tentang
subjective wellbeing yang dihubungkan dengan variabel-variabel seperti totalitas
kerja, tuntutan tugas, dan sumber daya pribadi belum banyak dilakukan. Atas dasar
itulah peneliti memilih judul “Pengaruh Totalitas Kerja, Tuntutan Kerja dan Sumber
Daya Pribadi Terhadap Subjective Wellbeing”.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Untuk membatasi agar permasalahan penelitian tidak meluas, maka masalah dalam
penelitian ini dibatasi pada subjective well-being, totalitas kerja, tuntutan kerja, dan
sumber daya pribadi. Adapun variabel yang diteliti adalah sebagai berikut:
1. Diener memandang bahwa subjective wellbeing merupakan penilaian secara
global terhadap kepuasan hidup, berdasarkan pendekatan ini pengetahuan dari
subjective wellbeing dilihat dari penilaian individu secara global terhadap
kepuasan hidup dan kualitas hidup individu (Diener, 1984; 1994; 2000;
12
Diener, Lucas, Oishi, 2002; Diener, Suh, Smith, 1999; Diener et al., 2005).
Pada penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada subjective wellbeing yang
ditinjau berdasarkan evaluasi diri dari kepuasan hidup.
2. Seseorang yang meliliki totalitas kerja adalah seseorang yang akan bekerja
keras, memberikan usaha yang lebih (extra effort), aktif terlibat, fokus
terhadap pekerjaan, hadir secara fisik dan memberikan energi terhadap apa
yang dikerjakan (Schaufeli dan Bakker, 2004).
3. Tuntutan kerja mengacu pada aspek fisik, psikologis, sosial atau organisasi
pada pekerjaan yang memerlukan dukungan upaya fisik dan/atau psikologis
(seperti, kognitif atau emosional) dan oleh karena itu dikaitkan dengan biaya
fisik dan/atau psikologis tertentu (seperti, tekanan kerja, kelebihan peran, dan
tuntutan emosional) (Schaufeli dan Bakker, 2004).
4. Sumber daya pribadi merupakan aspek diri yang secara umum dihubungkan
dengan kegembiraan dan merujuk pada perasaan individu mengenai
kemampuan mereka untuk mengontrol dan memberikan dampak pada
lingkungan mereka (Xanthopoulou et al., 2007).
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut :
Apakah terdapat pengaruh tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective
wellbeing melalui totalitas kerja sebagai variabel mediator?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
13
1.3.1 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap
subjective wellbeing yang dimediasi oleh variabel totalitas kerja.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfat terhadap disiplin ilmu pengetahuan
khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) dengan memberikan bukti-
bukti empiris pada penelitian ini.
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi teoritis dan empiris atau masukan bagi
peneliti-peneliti lain yang ingin mengukur tentang subjective wellbeing pekerja.
1.3.2.2 Manfaat Praktis
Bagi Penulis : Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai materi Sumber
Daya Manusia khususnya yang berkaitan dengan tuntutan kerja, sumber daya pribadi,
totalitas kerja, dan subjective wellbeing pegawai.
Bagi Kementerian Sosial RI memberikan gambaran dan informasi mengenai kondisi
fisik dan psikis pegawainya, khususnya untuk memberikan masukan tentang
bagaimana agar kesejahteraan pegawai dapat meningkat.
1.4 Sistematika Penulisan
BAB 1 : PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang penelitian yang di dalamnya tercantum alasan pentingnya
penelitian dilakukan, kemudian dilanjutkan dalam sub bab pertanyaan penelitian,
14
serta menjelaskan tujuan, manfaat, serta sistematika penulisan dari hasil penelitian
ini.
BAB 2 : LANDASAN TEORI
Dalam bab ini, dilakukan penguraian tentang landasan teori yang digunakan sebagai
dasar dalam melihat hubungan antara variabel-variabel yang ingin diteliti. Yaitu
meliputi definisi-definisi, aspek-aspek, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan
pengukuran.
BAB 3: METODE PENELITIAN
Pada bab ini memuat jenis penelitian, populasi, sampel, dan teknik pengambilan
sampel, variabel penelitian, alat ukur yang digunakan, uji validitas konstruk, prosedur
penelitian dan teknik analisis data.
BAB 4 : HASIL PENELITIAN
Merupakan presentasi dan analisis data yang berisi tentang analisa hasil uji hipotesis.
BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
15
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Subjective Well-Being
Konsep subjective wellbeing berkenaan dengan fungsi psikologis dan pengalaman
secara optimal. Ryan dan Deci (2001) menerapkan dua pendekatan untuk memahami
wellbeing, yakni pendekatan eudaimonic dan pendekatan hedonic.
Pendekatan eudaimonic berfokus pada kebermaknaan dan realisasi diri serta
mendefinisikan wellbeing sebagai sebuah tingkat ketika seseorang dapat berfungsi
secara penuh. Lalu, pendekatan eudaimonic ini dapat disebut sebagai psychological
wellbeing. Sedangkan, pendekatan hedonic berbeda dengan pendekatan eudaimonic,
pendekatan eudaimonic berfokus pada kebahagiaan seseorang ketika seseorang telah
mencapai kesenangan lalu hedonic dihubungkan dengan wellbeing, maka didapatkan
pengertian bahwa hedonic sebagai pencapaian kesenangan dan menghindari hal-hal
yang menyakitkan atau menyedihkan. Selanjutnya, pendekatan hedonic ini disebut
dengan istilah subjective wellbeing (Ryan dan Deci, 2001).
2.1.1 Pengertian Subjective Well-Being
Menurut Diener et al., (2005) subjective well-being mencakup kedalam
komponen yang luas, seperti kebahagian, kepuasan hidup, keseimbangan kesenangan,
pemenuhan, dan stress serta penanganan secara afektif dan evaluasi kognitif hidup
seseorang. Banyak pendekatan yang mendefinisikan subjective well-being dalam
beberapa cara. Diener et al., (2005) mengemukakan ada 3 pendekatan yang
16
mengindetifikasikan subjective well-being yaitu yang pertama memandang bahwa
subjective well-being merupakan penilaian secara global terhadap kepuasan hidup,
berdasarkan pendekatan ini pengetahuan dari subjective well-being membutuhkan
akses pada penilaian individu secara global terhadap kepuasan hidup dan kualitas
hidup. Pandangan yang kedua memandang subjective well-being sebagai pengumpul
dari pengalaman-pengalaman emosi, dan pendekatan ketiga mengatakan bahwa
subjective well-being sebagai pengumpul dari multi reaksi emosi sepanjang waktu
(Kaheman, 1999).
Menurut Diener dan Lucas (1999) subjective well-being adalah evaluasi
individu tentang kehidupannya, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan
hidupnya serta penilaian afektif terhadap emosinya. Seseorang dikatakan memiliki
subjective well-being yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup
mereka, sering merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif.
subjective well-bein dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia (Diener
& Lucas, 1999). Ketika seseorang mengkarakteristikan atau mencirikan suatu
kehidupan yang baik maka ia akan membicarakan tentang kebahagiaan, kesehatan,
dan umur yang panjang (Diener & Chan, 2011).
Diener memandang bahwa subjective wellbeing merupakan penilaian secara
global terhadap kepuasan hidup, berdasarkan pendekatan ini pengetahuan dari
subjective wellbeing dilihat dari penilaian individu secara global terhadap kepuasan
hidup dan kualitas hidup individu (Diener, 1984; 1994; 2000; Diener, Lucas, Oishi,
17
2002; Diener, Suh, Smith, 1999; Diener, 2005). Definisi dari Diener tersebut yang
peneliti gunakan dalam penelitian ini.
Lebih lanjut, Diener (2005) menggunakan Satisfaction With Life Scale
(SWLS) yang ia kembangkan pada tahun 1984 untuk mengukur subjective wellbeing
seseorang. Hal tersebut dikarenakan subjective well being berkenaan dengan evaluasi
hidup seseorang yang dapat dilihat dari kepuasaan hidup mereka, yang didasarkan
kepada perasaan, termasuk suasana hati dan emosi. Ketika seseorang merasakan sedih
atau mereka merasa gembira itu dikarenakan mereka merasakan apakah hidup mereka
baik atau tidak (Diener & Chan, 2011).
2.1.2 Komponen-komponen Subjective Well-being
Subjective well-being tersusun dari beberapa komponen utama, termasuk
kepuasan hidup secara umum, kepuasan terhadap ranah spesifik kehidupan, adanya
afek yang positif (mood dan emosi yang menyenangkan), dan ketiadaan afek negatif
(mood dan emosi yang tidak menyenangkan) (Eddington & Shuman, 2005). Keempat
komponen utama ini, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan hidup dan kepuasan
ranah kehidupan, memilki korelasi sedang satu sama lain, dan secara konseptual
berkaitan satu sama lain. Namun, dari tiap-tiap komponen menyediakan informasi
unik mengenai kualitas subjektif kehidupan seseorang (Diener, Scollon, & Lucas,
2003). Afek positif dan afek negatif termasuk ke dalam komponen afektif, sementara
kepuasan hidup dan domain kepuasan termasuk ke dalam komponen kognitif.
Komponen-komponen utama kemudian direduksi ke dalam beberapa elemen
khusus. Afek positif meliputi kegembiraan, keriangan hati, kesenangan, kebahagiaan
18
hati, kebanggaan, afeksi, dan kebahagiaan. Afek negatif meliputi munculnya perasaan
bersalah, malu, kesedihan, kecemasan, dan kekhawatiran, kemarahan, stress, depresi,
dan rasa iri. Kepuasan hidup dikategorikan melalui kepuasan terhadap hidup saat ini,
kepuasan dengan masa lalu, dan kepuasan dengan masa depan. Kepuasan ranah
kehidupan muncul terhadap pekerjaan, keluarga, waktu, kesehatan, keuangan, dirinya
sendiri, dan kelompoknya (Eddington & Shuman, 2005). Berikut ini adalah
penjelasan untuk tiap-tiap komponen yang membentuk subjective well-being.
2.1.2.1 Afek Positif dan Afek Negatif Emosi
Emosi atau mood, yang keduanya diberi label afek, mencerminkan penilaian
seseorang terhadap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Larsen dan Diener,
1992 (dalam Carr, 2004) dan Averill, 1997 (dalam Carr, 2004) menjelaskan bahwa
pengalaman emosi setidaknya memiliki dua dimensi, yaitu activation atau arousal;
dan pleasantness atau evaluation. Afek positif adalah kombinasi arousal dan
pleasantness, dan emosi yang termasuk di dalamnya antara lain aktif, siap sedia, dan
senang. Afek negatif adalah kombinasi arousal dan unpleasantness, dan didalamnya
terdapat emosi seperti cemas, sedih, dan ketakutan.
Lucas, Diener dan Suh, 1996 (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005)
mendemonstrasikan bahwa item yang banyak dari skala kepuasan hidup, perasaan
senang (pleasant affect), dan perasaan tidak senang (unpleasant affect) membentuk
faktor-faktor yang bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, afek memiliki
dimensi frekuensi dan intensitas. Dimensi frekuensi merupakan keseluruhan jumlah
predominasi afek positif dan afek negatif. Afek positif dan afek negatif bersifat
19
independen, meskipun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa keduanya
berkorelasi negatif. Semakin sering seseorang merasakan salah satu afek, semakin
rendah frekuensi afek lain yang dirasakannya. Dimensi intensitas mengacu pada kuat
lemahnya afek yang dirasakan oleh seseorang. Hal inilah yang menjelaskan mengapa
kedua afek yang independen ini muncul secara bersamaan.
Diener, 1991 (dalam Diener, Scollon, dan Lucas, 2003) menyatakan dalam
penelitian-penelitian well-being, sebaiknya menggunakan frekuensi dalam meneliti
mengenai afek positif dan negatif. Alasannya, karena well-being berbicara mengenai
evaluasi kondisi emosi yang sifatnya relatif jangka panjang, sedangkan intensitas
lebih bisa menjelaskan suasana emosi yang bersifat lebih sementara, seperti mood.
Selain itu, jika afek positif dan negatif terasa kuat secara bersamaan maka akan
membingungkan dalam penentuan well-being seseorang.
2.1.2.2 Kepuasan Hidup (Life Satisfaction)
Kepuasan hidup yang sering kali disebut dengan istilah penilaian kehidupan
secara global (Diener, Scollon, & Lucas, 2003), merefleksikan penilaian individu
bahwa kehidupannya ini berjalan dengan baik. Setiap individu dapat menelaah
kondisi kehidupannya sendiri, menimbang pentingnya kondisi-kondisi tersebut, dan
kemudian mengevaluasi kehidupannya ke dalam skala memuaskan dan tidak
memuaskan. Evaluasi global semacam ini disebut sebagai penilaian kognitif atas
kepuasan hidup. Dikatakan demikian karena penilaian ini membutuhkan proses
kognitif.
20
Beberapa penelitian memfokuskan diri pada bagaimana penilaian ini dibuat.
Umumnya individu tidak menguji semua aspek kehidupan mereka dan
menimbangnya secara tepat. Mungkin karena proses semacam ini sukar, kebanyakan
orang menggunakan berbagai cara singkat dalam menghasilkan penilaian kepuasan.
Secara spesifik, orang menggunakan informasi yang menonjol saat melakukan
penilaian (Schwarz & Strack, 1999, dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003).
Meskipun menggunakan cara singkat atau jalan pintas, penilaian kepuasan hidup
individu secara temporal cukup stabil (Magnus & Diener, 1991; Ehrhard et al., 2000,
dalam Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Hal ini terjadi karena informasi yang
digunakan pada saat membuat penilaian kepuasan cenderung merupakan informasi
yang mudah diakses setiap saat.
Dengan kata lain, penilaian kepuasan yang dilakukan seseorang didasarkan
pada informasi yang tersedia pada saat penilaian tersebut dilakukan, dan kebanyakan
dari informasi tersebut merupakan informasi yang tetap sama dari waktu ke waktu. Di
dalam banyak kasus, orang cenderung menggunakan informasi yang relevan dan
stabil, yang pada akhirnya akan menghasilkan penilaian kepuasan yang stabil dan
bermakna (Diener, Scollon& Lucas, 2003).
Pada saat membuat penilaian kepuasan hidup, seseorang juga menggunakan
sumber-sumber informasi lain, diantaranya perbandingan dengan standar-standar
yang penting (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Campbell et al. (dalam Diener,
Scollon, & Lucas, 2003) menyatakan bahwa individu melihat pada domain yang
penting dalam hidup dan membandingkan domain kehidupan ini dengan berbagai
21
standar pembanding, misalnya situasi yang mereka alami di masa lalu, keadaan di
lingkungan sekitar mereka masa kini, ataupun harapan akan sesuatu di masa depan.
Kepuasan hidup digunakan sebagai salah satu cara mengukur well-being
karena dengan cara ini peneliti dapat menangkap well-being dalam bentuk luas dari
sudut pandang partisipan itu sendiri (Diener, 1991, dalam Diener, Scollon, & Lucas,
2003). Selain itu, keuntungan dari melihat kepuasan hidup sebagai ukuran well-being
adalah karena tipe pengukuran ini menangkap sensasi secara global akan well-being
dari perspektifnya sendiri.
2.1.2.3 Kepuasan Terhadap Ranah Kehidupan ( Domain Satisfaction)
Komponen selanjutnya yang termasuk dalam model hirarki subjective well-
being adalah kepuasan ranah kehidupan (Domain satisfaction). Kepuasan ranah
kehidupan mencerminkan penilaian seseorang mengenai domain tertentu dalam
kehidupannya. Proses penilaian kepuasan ranah kehidupan digabungkan, dan titik
berat yang diberikan pada tiap domain, dapat bervariasi bagi setiap orang.
Diener et al. (2002, dalam Diener, Scollon, Lucas, 2003) menemukan bahwa
orang-orang yang bahagia cenderung menitikberatkan domain-domain terbaik dalam
kehidupan mereka, sedangkan orang-orang yang tidak bahagia cenderung lebih
menitikberatkan pada domain-domain terburuk dalam kehidupan mereka. Karena itu,
kepuasan ranah kehidupan tidak hanya dapat mencerminkan bagian-bagian
komponen dari sebuah penilaian kepuasan hidup, tetapi juga dapat menyediakan
informasi yang unik mengenai keseluruhan well-being seseorang. Ketika
mengkonstruksikan penilaian kepuasan hidup secara global (life satisfaction),
22
seseorang menelaah berbagai domain dalam kehidupannya (kesehatan, kehidupan,
keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sosial), menimbang pentingnya domain-domain
tersebut, dan kemudian mengumpulkan sejumlah penilaian tadi untuk memperoleh
keseluruhan evaluasi dari kepuasan hidupnya.
Jadi, life satisfaction dihasilkan melalui proses heuristik. Individu tidak
memiliki kemampuan untuk menggabungkan dan mengagregasi sederet domain
kehidupan. Kepuasan ranah kehidupan akan menjadi penting bagi para peneliti yang
tertarik akan pengaruh well-being pada area tertentu. Sebagai contoh, jika peneliti
ingin mengetahui peningkatan well-being pekerja, kepuasan terhadap pekerjaan dapat
memberikan pengukuran yang lebih sensitif dibanding yang dihasilkan oleh global
well-being.
Sama halnya jika seorang peneliti ingin meneliti populasi khusus, mungkin
diperlukan pengukuran terhadap domain tertentu yang relevan dengan populasi
kelompok tersebut (Diener, Scollon, & Lucas, 2003). Karena itu, selain dapat
menyediakan informasi mengenai cara individu melakukan penilaian global, skor
yang didapat dari kepuasan ranah kehidupan juga menyediakan informasi lebih detail
tentang aspek tertentu dalam kehidupan seseorang yang berjalan dengan baik atau
buruk (Diener, Scollon, & Lucas, 2003).
23
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being
Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being antara lain:
1. Totalitas Kerja
Totalitas kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi subjective wellbeing.
Menurut Maslach, et al. (2001) tingkat totalitas kerja yang tinggi dapat dianggap
mempengaruhi subjective wellbeing. Watson dan Tellegen (1985) berpendapat bahwa
totalitas kerja adalah bagian dari sebuah taksonomi kesejahteraan yang lebih
komprehensif yang terdiri dari dua dimensi independen, yakni pleasure atau
kesenangan dan aktivasi. Bertentangan dengan pendapat Watson dan Tellegen,
Schaufeli, et al. (2002) mengatakan bahwa kesenangan tidak termasuk dalam totalitas
kerja. Dengan demikian, dalam merepresentasikan subjective wellbeing, totalitas
kerja mencerminkan tingkat aktivasi yang tinggi.
2. Tuntutan Kerja
Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) menyatakan bahwa stresor pekerjaan (dalam
hal ini, job demands atau tuntutan kerja) adalah satu hal yang mungkin menjadi
penyebab buruknya subjective wellbeing, kesehatan, dan performa kerja (job
performance). Pekerja menjadi bosan dengan kegiatan pekerjaan sehari-hari mereka,
tetapi energi mereka harus cukup untuk memenuhi tuntutan tugas. Ketika seorang
individu bekerja dengan beban kerja mental yang tinggi dan merasa lelah, tambahan
energi diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja mereka tetap baik. Hal ini dapat
mengakibatkan kelelahan akut yang pada gilirannya dapat mengakibatkan efek kronis
pada kesehatan dan kesejahteraan (Demerouti, et al. 2001). Dengan demikian, job
24
demands dapat dikatakan memiliki hubungan yang terbalik atau negatif dengan
subjective well-being, dimana semakin rendah tingkat job demands maka semakin
tinggi tingkat subjective well-being dan sebaliknya.
3. Sumber Daya Pribadi
Semakin tinggi sumber daya pribadi, maka individu tersebut menganggap diri sendiri
sebagai individu-individu yang lebih positif. Pada gilirannya, ada kemungkinan
bahwa individu akan mencapai tujuan yang mereka tetapkan dengan kemampuan
mereka. Individu menjadi termotivasi (motivasi intrinsik) untuk mengejar tujuan-
tujuan mereka dan sebagai akibatnya mereka akan mendapatkan kepuasan, yang
dalam hal ini adalah bagian dari subjective wellbeing (Luthans dan Youssef, 2007).
4. Kepribadian
Wilson (1967 dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2005) menyatakan bahwa faktor
kepribadian memiliki hubungan dengan subjective well-being. Ia menyatakan bahwa
orang yang bahagia adalah seorang yang ekstrovert, optimis, religious, memiliki self-
esteem yang tinggi, memiliki semangat kerja dan memiliki cita-cita. Sedangkan
Deneve dan Cooper (1998, dalam Diener, Lucas, dan Oishi, 2003) mengidentifikasi
137 trait kepribadian yang berhubungan dengan subjective well-being adalah
extraversion dan neurotism. Costa dan McCrae (dalam Diener, Lucas, & Oishi, 2003)
menemukan bahwa extraversion memprediksikan afek yang menyenangkan dan
neuroticism memprediksikan afek tidak menyenangkan dalam periode sepuluh tahun.
Sementara itu, trait lain dalam model kepribadian “the big five trait factor”, yaitu
agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience menunjukkan
25
hubungan yang lebih lemah dengan subjective wellbeing (Watson & Clark dalam
Diener, Lucas, & Oishi, 2003).
2.1.5 Pengukuran Subjective Well-being
Subjective well-being telah diukur dengan berbagai macam cara dalam
berbagai penelitian. Tidak ada satu skala yang secara khusus digunakan atau lebih
baik dari pada skala yang lain. Banyak skala yang ada menggunakan satu item
dengan kategori respon yang berbeda-beda. Dengan menggunakan sudut pandang
psikometri, pengukuran yang didasarkan dengan satu item cenderung sederhana, tapi
juga memiliki kegunaan yang nyata (Andrews dan Robinson, 1991).
Meskipun satu item dapat digunakan untuk mengukur kepuasan atau
kebahagiaan, dalam level umum ataupun level spesifik dalam aspek kehidupan,
pengukuran subjective well-being yang paling luas digunakan merupakan skala
dengan multi item. Skala dengan multi item, dalam beberapa pengukuran, secara
umum memiliki validitas dan/atau reabilitas yang lebih tinggi karena error dalam
pengukuran yang mungkin terjadi dalam skala satu item, paling tidak, bisa dikurangi
dengan adanya item-item yang lain. Selain itu, dengan skala multi item, bisa
didapatkan informasi yang lebih luas tentang komponen-komponen yang menyusun
subjective well-being (Andrews & Robinson, 1991).
Ukuran subjective well-being harus mengambil dari perspektif responden
sendiri. Untuk alasan ini, kebanyakan studi dari subjective well-being telah
mengandalkan langkah-langkah konstruksi self-report. Namun, ada banyak alasan
untuk berhati-hati dalam menafsirkan hasil yang hanya didasarkan pada ukuran
26
evaluasi diri. Beberapa orang tampak lebih bahagia daripada yang lain hanya karena
mereka menggunakan angka yang lebih tinggi dalam skala respon atau karena mereka
ingin menjadi baik di mata eksperimen. Jadi, meskipun self-report memainkan peran
sentral dalam penelitian subjective well-being, mereka harus dilengkapi dengan
teknik pengukuran untuk mendapatkan pemahaman lengkap konstruksi (Diener,
Scollon dan Lucas, 2003).
Self-report dalam subjective well-being bervariasi dalam kompleksitasnya.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa bahkan yang paling sederhana -
ukuran single-item - bisa menunjukkan beberapa tingkat reliabilitas dan validitas.
Diener, et al (in press), misalnya, menunjukkan bahwa ukuran item tunggal
("kegembiraan") dapat memprediksi kondisi subjective wellbeing seseorang hingga
18 tahun kemudian. Demikian pula, Lucas et al (in press) menunjukkan bahwa
pengukuran dari item kepuasan hidup relatif stabil sepanjang waktu dan sesuai
dengan perubahan dalam fenomena kehidupan. Oleh karena itu, jika fokus penelitian
adalah untuk mendapatkan subjective well-being dengan ukuran yang dapat
diandalkan dan valid serta tidak dapat menggabungkan berbagai indikator self-report,
maka untuk dapat menilai konstruk ini dapat menggunakan pengukuran skala
kepuasan hidup.
Sebagian besar dari pengukuran subjective well-being menggunakan elemen
dengan validitas item yang jelas. Sebagai contoh, skala kepuasan hidup dapat
meminta responden sejauh mana mereka setuju dengan pernyataan seperti: "Saya
27
puas dengan hidup saya" atau "dalam banyak hal, hidup saya mendekati ideal" Diener
et al., 1985 (dalam Diener, Scollon dan Lucas, 2005).
Pada penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan skala Satisfaction
With Life Scale (SWLS) yang dikembangkan oleh Diener tahun 1984 untuk
mengukur subjective wellbeing. Alasan peneliti memilih alat ukur tersebut adalah
karena alat ukur ini mempunyai konsistensi internal yang baik, dimana alpha
cronbachnya ada di 0,87, dan menunjukkan bahwa SWLS mempunyai kekayaan
psikometrik (Diener, et al. 1985).
2.2 Totalitas Kerja
Individu dengan totalitas kerja yang tinggi mengidentifikasi pekerjaan mereka
sendiri dan termotivasi dalam melaksanakan pekerjaannya. Mereka cenderung untuk
bekerja lebih keras dan lebih produktif daripada karyawan lain dan lebih mungkin
untuk menghasilkan kepuasan pelanggan dan tercapainya keinginan organisasi. Orang
dengan totalitas kerja yang tinggi akan menggunakan kemampuan dan keterampilan
mereka dengan baik, merasa tertantang dalam pekerjaan dan berprestasi.
Penelitian menunjukkan bahwa karyawan dengan totalitas kerja yang tinggi
memiliki energi dan self-efficacy yang tinggi dalam bekerja (Schaufeli et al., 2001).
Karena perilaku positifnya, karyawan dengan totalitas kerja yang tinggi mendapatkan
feedback yang baik, apresiasi dan kesuksesan. Karyawan dengan totalitas kerja yang
tinggi juga memiliki antusias dan energi yang baik di luar pekerjaannya, seperti
dalam olahraga, hobi, dan kegiatan volunteer. Karyawan dengan totalitas kerja yang
tinggi tidak adiksi dalam bekerja, mereka menikmati hal-hal lain di luar pekerjaan
28
mereka. Berbeda dengan workaholic, karyawan dengan totalitas kerja yang tinggi
tidak bekerja karena mereka memiliki dorongan dalam diri yang kuat atau inner drive
melainkan karena mereka menganggap bahwa bekerja itu menyenangkan (Bakker dan
Oerlemans, 2010)
2.2.1 Pengertian Totalitas Kerja
Schaufeli dan Bakker (2004) menjelaskan bahwa seseorang yang total dalam
bekerja atau yang memiliki totalitas kerja yang tinggi akan bekerja keras,
memberikan usaha yang lebih (extra effort), aktif terlibat, fokus terhadap pekerjaan,
hadir secara fisik dan memberikan energi terhadap apa yang dikerjakan. Pengertian
dari Schaufeli dan Bakker (2004) tersebut akan menjadi pengertian yang peneliti
gunakan dalam penelitian kali ini.
Secara lebih spesifik Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma dan Bakker (2002)
mendefinisikan totalitas kerja sebagai hal positif, total, yang terkait dengan keadaan
pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorbsi atau penyerapan.
Totalitas kerja lebih daripada keadaan sesaat dan spesifik, mengacu ke keadaan yang
begerak tetap meliputi aspek kognitif dan afektif yang tidak fokus pada objek,
peristiwa, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli dan Martinez, 2002).
2.2.2 Aspek-aspek Totalitas Kerja
Totalitas kerja merupakan hal positif, yang terkait dengan keadaan pikiran
yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorbsi atau penyerapan (Schaufeli et.
al, 2002). Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya
dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja dan
29
kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi kesulitan atau kegagalan
tugas. Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan seseorang dan
mencakup perasaan antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. Dimensi ketiga
dari totalitas kerja adalah penyerapan atau Absorbsi. Absorpsi ditandai dengan
seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya, dalam waktu tertentu
ia akan merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.
Beberapa studi telah memvalidasi secara empiris instrumen yang mengukur
totalitas kerja, Utrecht Work Engagement Scale (UWES) (Schaufeli et al, 2003;.
Schaufeli dan Bakker, 2004, Schaufeli, Taris dan Rhenen, 2008). Seorang karyawan
yang tergolong memiliki work engagement dengan kata lain dapat didefinisikan
dengan melakukan pekerjaan yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan
penyerapan dalam menyelesaikan semua penugasannya.
Secara ringkas Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker, (2002)
menjelaskan mengenai aspek-aspek yang terdapat dalam totalitas kerja, yaitu:
a. Vigor (Semangat)
Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk
berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam
menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya
dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
b. Dedikasi
Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa
kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
30
c. Absorpsi (Penyerapan)
Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu
pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan
dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
Menurut Development Dimensions International (DDI) dalam Bakker dan Leiter
(2010), terdapat 3 komponen dalam totalitas kerja, yaitu:
(1) Affection yang merupakan komponen emosional yang menunjuk pada ekspresi
perasaan suka/tidak terhadap obyek sikap. Aspek ini bisa kita lihat dari cara
seseorang bersemangat menghadapi tugas-tugas dengan terus
mempertahankan energi sampai pada tahap outputnya.
(2) Behaviour yang merupakan komponen perilaku nyata yang selalu terkait
dengan sikap internal seseorang/obyek sikap, hal ini bisa dilihat ketika ia
melibatkan diri dengan perilaku seseorang dengan dedikasinya dari dirinya
sehingga ketika menjalankan tugasnya dalam pekerjaan ia akan menyerahkan
semua potensi dengan harapan dan tujuan mendapatkan sebuah penghargaan
untuk aktualisasi dirinya.
(3) Cognitive merupakan komponen “gudang” yang terdiri dari berbagai
informasi terkait dengan obyek sikap dan seluruh informasi yang terorganisir
untuk menanggapi sikap. Pada komponen ini bisa kita lihat apabila seseorang
sudah terlibat dalam pekerjaannya ia akan menggunakan pola pikirnya untuk
membuat ide yang creative berusaha mencarai inovasi sehingga pekerjaan
yang dilakukan terasa ringan dan menyenangkan.
31
Dari ketiga komponen sikap tersebut bisa kita ketahui bahwa karyawan yang
total dalam pekerjaannya pasti akan memberikan sikap 1) semangat, (2) dedikasi, dan
(3) absorpsi atau penyerapan. Kekuatan pendorong pentingnya totalitas kerja adalah
bahwa hal tersebut memberikan dampak bagi organisasi. Sebagai contoh, penelitian
empiris mengenai totalitas kerja menunjukkan bahwa tingkat totalitas kerja yang
tinggi menyebabkan meningkatnya komitmen organisasi, kepuasan kerja meningkat,
ketidakhadiran rendah, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. (Schaufeli dan
Salanova, 2007).
Menurut Hewitt (Schaufeli & Bakker, 2010), karyawan yang memiliki
totalitas kerja yang tinggi akan secara konsisten mendemonstrasikan tiga perilaku
umum, yaitu:
1. Say – secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia bekerja
kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan juga kepada pelanggan.
2. Stay – Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia bekerja
dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain.
3. Strive – Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat
berkontribusi pada kesuksesan bisnis organisasi.
Robertson dan Smythe, 2007 (dalam Schaufeli, Taris dan Rhenen, 2008)
berpendapat bahwa karyawan yang total menunjukkan antusiasme, hasrat yang nyata
mengenai pekerjaannya dan untuk organisasi yang mempekerjakan mereka.
Karyawan yang total menikmati pekerjaan yang mereka lakukan dan berkeinginan
untuk memberikan segala bantuan yang mereka mampu untuk dapat mensukseskan
32
organisasi dimana mereka bekerja. Karyawan yang total juga mempunyai level energi
yang tinggi dan secara antusias terlibat dalam pekerjaannya (Schaufeli, Taris dan
Rhenen,, 2008). Leiter & Bakker (2010), ketika karyawan total, mereka merasa
terdorong untuk berusaha maju menuju tujuan yang menantang, mereka
menginginkan kesuksesan. Lebih lanjut, totalitas kerja merefleksikan energi
karyawan yang dibawa dalam pekerjaan.
2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Totalitas Kerja
Totalitas kerja juga dapat dipengaruhi oleh sumber daya pekerjaan, yaitu
aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk
mencapai tujuan pekerjaan, mengurangi tuntutan pekerjaan dan harga secara baik
secara fisiologis maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan personal individu (Demerouti et al, 2001, dalam
Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007). Dalam Job Demand-
Resources Model, job resources merupakan variabel penahan agar job demands tidak
menyebabkan exhaustion pada pekerja, karena pekerja yang mampu memenuhi
sumber daya pekerjaannya, maka tuntutan kerja akan lebih cepat teratasi sehingga
mempunyai tingkat exhaustion yang lebih rendah (Bakker et al. 2005, dalam
Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, dan Schaufeli, 2007). Sumber daya pekerjaan
meliputi empat faktor, yaitu: otonomi (autonomy), dukungan sosial (social support),
bimbingan dari atasan (supervisory coaching), dan kesempatan untuk berkembang
secara profesional (opportunities for professional development).
33
Selain faktor yang telah disebutkan terdapat faktor-faktor lain yang
mempengaruhi totalitas kerja. Menurut Lockwood (2007) totalitas merupakan konsep
yang kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya budaya di dalam tempat
bekerja, komunikasi organisasional, gaya manajerial yang memicu kepercayaan dan
penghargaan serta kepemimpinan yang dianut dan reputasi perusahaan itu sendiri.
Totalitas juga dipengaruhi karakteristik organisasional, seperti reputasi untuk
integritas, komunikasi internal yang baik, dan inovasi budaya (Corporate Leadership
Council, 2004).
2.2.5 Pengukuran Totalitas Kerja
Pengukuran totalitas kerja menggunakan skala Utrecht Work Engagement Scale
(UWES) yang dikembangkan oleh Schaufeli, Bakker, dan Salanova (2006), yang
terdiri dari tiga sub-skala yakni vigor atau semangat, dedikasi, dan penyerapan atau
absorpsi. Skala ini berisi 17 item pernyataan yang masing-masing komponen terdiri
dari enam item vigor, enam item dedikasi dan lima item absorpsi atau penyerapan.
2.3 Tuntutan Kerja (Job Demands)
2.3.1 Pengertian Tuntutan Kerja
Asumsi utama dari job demands-resources (JDR) model adalah bahwa setiap
pekerjaan memiliki faktor-faktor resiko tertentu yang diasosiasikan dengan hubungan
stres kerja atau burnout, faktor-faktor ini dapat diklasifikasikan dalam dua kategori
umum (seperti, job demands dan job resources), kedua model tersebut dapat
diterapkan untuk berbagai pengaturan kerja, terlepas dari tuntutan tertentu dan
sumber daya yang terlibat (Bakker, Damerouti, Euwena, 2005).
34
Mikkelsen, et al. (2005) mendefinisikan tuntutan kerja sebagai aspek yang
berhubungan dengan pemicu terjadinya stres kerja dan sumber beban kerja di antara
para pekerja sosial. Tuntutan kerja merupakan tugas yang berhubungan dengan
pekerjaan yang membutuhkan usaha dan variasi dari pemecahan masalah yang
kompleks untuk berhubungan dengan klien (Tooren, jonge, Vlerick, Daniels & de
Ven, 2011). Tuntutan kerja menggambarkan aspek dari pekerjaan yang berpotensi
mengakibatkan ketegangan kerja dalam kondisi kerja yang berlebihan (Rothmann,
Mostert, Strydom, 2006). Hal ini juga disebut sebagai work stressor.
Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), tuntutan kerja mengacu pada aspek
fisik, psikologis, sosial atau organisasi pada pekerjaan yang memerlukan dukungan
upaya fisik dan/atau psikologis (seperti, kognitif atau emosional) dan oleh karena itu
dikaitkan dengan biaya fisik dan/atau psikologis tertentu (seperti, tekanan kerja,
kelebihan peran, dan tuntutan emosional). Walaupun job demands bukanlah hal yang
negatif, mereka bisa berubah menjadi job stressors ketika bertemu tuntutan yang
memerlukan usaha besar dan oleh karena itu dikaitkan dengan besarnya biaya yang
mendapatkan respon negatif seperti depresi, kecemasan atau burnout (Schaufelli &
Bakker, 2004).
2.3.2 Aspek-aspek Tuntutan Kerja
Aspek-aspek dari tuntutan kerja menurut Bakker (dalam Xanthopoulou, Bakker,
Demerouti, dan Schaufeli, 2007) adalah sebagai berikut:
35
1. Workload
Workload mengacu pada sejauh mana karyawan perlu melakukan banyak tugas dalam
jangka waktu yang singkat. Workload ditandai dengan bekerja secara non stop dalam
jam kerja yang lama, beban pekerjaan yang terlalu banyak dan terbatasnya waktu
yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Terdapat 4 skala item
workload yang dikembangkan oleh Bakker, Demerouti, dan Verbeke (2004). Salah
satu itemnya adalah “apakah anda memiliki banyak pekerjaan yang harus
dikerjakan?”
2. Emotional demands
Emotional demands atau tuntutan emosional adalah masalah di tempat kerja yang
mempengaruhi karyawan secara pribadi dan menguras emosi. Tuntutan emosional
fokus pada interaksi emosional yang terjadi di tempat kerja (misalnya, klien yang
tidak menyenangkan). Pada kondisi emosional yang menuntut, pekerja diharuskan
memiliki investasi energi yang lebih selama bekerja. Ketika energi habis, beban kerja
menjadi meningkat (Xanthopoulou, Bakker, dan Fischbach, 2013).
3. Emotional Dissonance
Emotional dissonance adalah konflik antara perasaan emosi yang dirasakan pekerja
yang sebenarnya dengan emosi yang ditampilkan selama berinteraksi dengan orang
lain pada saat bekerja. Pekerja dalam konteks ini harus menampilkan emosi positif
dan menekan emosi negatif mereka dalam berinteraksi dengan klien ataupun mitra
kerjanya. Pekerja tidak bisa merasakan emosi positif di setiap situasi apalagi disaat
36
mereka harus menghadapi klien yang menuntut dan tidak bersahabat (Xanthopoulou,
Bakker, dan Fischbach, 2013).
2.3.3 Pengukuran Tuntutan Kerja
Pada penelitian ini, aspek workload diukur dengan menggunakan skala yang
dikembangkan oleh Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli, dan Schreurs (2003). Aspek
emotional demands dan emotional dissonance diukur dengan menggunakan skala
yang dikembangkan oleh Xanthopaulo, Bakker, dan Fischbach (2013).
2.4 Sumber Daya Pribadi (Personal Resources)
2.4.1 Pengertian Sumber Daya Pribadi
Pegawai dalam menjalankan fungsinya, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
situasi saja (contoh: pekerjaan), melainkan juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik
yang dimilikinya. Hobfoll mendefinisikan sumber daya pribadi sebagai evaluasi diri
positif yang terkait dengan ketahanan dan mengacu pada rasa individu dari
kemampuan mereka untuk mengendalikan dan memberikan dampak yang baik pada
lingkungan mereka (Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007).
Sumber daya pribadi merupakan aspek diri yang secara umum dihubungkan
dengan kegembiraan dan merujuk pada perasaan individu mengenai kemampuan
mereka untuk mengontrol dan memberikan dampak kepada lingkungan mereka secara
sukses (Xanthopoulou et al., 2007). Menurut Van de Heuvel, Damerouti, Bakker, dan
Schaufeli (2010) sumber daya pribadi didefinisikan sebagai aspek lower-order, aspek
kognitif afektif yang mencerminkan believe positif pada diri individu dan dunianya.
Berdasarkan COR teori, sumber daya pribadi dianggap sebagai aspek nilai yang
37
tinggi, berhubungen dengan resiliensi dan berkontribusi terhadap resiliensi individu
untuk mengontrol dan mempengaruhi lingkungan dengan sukses. Sumber daya
pribadi menjelaskan proses motivasional. Dengan memasukkan sumber daya pribadi,
JD-R model menjawab pertanyaan mengenai proses dan hubungan antara
karakteristik pekerjaan dan hasil (Broeck, A.,V. & Ruysseveldt, J.V, Vanbelle, E &
Witte, H. D. (2013).
2.4.2 Aspek-aspek Sumber Daya Pribadi
Beberapa aspek dalam sumber daya pribadi menurut Hobfoll (dalam Xanthopoulou,
Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007). adalah sebagai berikut:
1. Self-efficacy
Self-efficacy yaitu keyakinan individu terhadap kapabilitas yang dimilikinya
untuk mengontrol kejadian-kejadian yang dapat mempengaruhi hidupnya (Bandura,
1989 dalam Xanthopoulou, et. al 2007) Chen et al. (dalam Xanthopoulou, Bakker,
Demerouti, and Schaufeli, 2007) mendefinisikan Self-efficacy sebagai persepsi
individu pada kemampuan mereka dalam menghadapi tuntutan yang berada bahkan
diluar kemampuan mereka. Self-efficacy merupakan aspek dalam personal resources
yang paling banyak diteliti dan sering digunakan pada penelitian dalam setting
pendidikan, klinis maupun organisasional.
Self-efficacy dapat mempengaruhi pola berpikir, emosi dan aksi dalam
berbagai konstruk motivasi. Dalam setting kerja, korelasi yang signifikan telah
banyak ditemukan dalam hal hubungan self-efficacy dengan work performance
(Stajkovic & Luthans, 1998). Self-efficacy ditandai dengan kepercayaan diri dapat
38
menyelesaikan semua masalah yang dihadapi, keyakin dapat memberi masukan pada
kemajuan oranisasi, keyakinan dan kepercayaan dengan kemampuan diri ketika harus
berhubungan dengan orang lain.
2. Organizational-based self-esteem (OBSE)
Shahizan (2003) mengungkapkan bahwa self-esteem atau harga diri
merupakan evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang.
Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui
atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut
terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Gecas
dan Rosenberg mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi positif yang menyeluruh
tentang dirinya (Hurlock, 2007).
Sedangkan organizational-based self-esteem menurut Pierce adalah suatu
keyakinan pekerja yang percaya bahwa mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka
dengan berpartisipasi dalam peran pada organisasi (Xanthopoulou, Bakker,
Demerouti, and Schaufeli, 2007). Self-esteem (organizational based self-esteem)
ditandai dengan evaluasi positif yang menyeluruh tentang diri dan keyakinan bahwa
diri mampu memenuhi kebutuhan dengan berpartisipasi dalam peran dalam
organisasi.
3. Optimisme
Optimisme menurut Scheier adalah tendensi untuk percaya bahwa akan
mendapatkan hasil baik dalam kehidupannya. Optimisme juga dapat didefinisikan
secara umum sebagai perkiraan hasil yang positif. Optimisme ditandai dengan
39
menganggap bahwa setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, merasa sangat energik
dalam mencapai target kerja, merasa yakin akan meraih kesuksesan dalam karir.
Dalam beberapa studi yang dilakukan belakangan ini, optimism ditemukan secara
terpisah menjadi mediator hubungan antara job resources dengan work engagement
dan secara tidak langsung juga memiliki pengaruh terhadap organizational
performance (Xanthopoulou, et al, 2007).
2.4.3 Alat Ukur Sumber Daya Pribadi
Pada penelitian-penelitian sebelumnya skala yang biasanya mereka gunakan untuk
mengukur faktor sumber daya personal ini adalah dengan menggabungkan beberapa
skala pengukuran dari masing-masing aspek dari faktor tersebut. Alat ukur sumber
daya personal tersebut kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan instrument
pengukuran. Dalam penelitian kali ini, peneliti menggabungkan alat ukur dari
masing-masing aspek yang akan peneliti jabarkan berikut ini:
1. Self-efficacy
Ada beberapa alat ukur yang telah banyak dikembangkan oleh beberapa peneliti
terdahulu. Salah satunya adalah skala General Self-Efficacy Scale yang
dikembangkan oleh Schwarzer et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and
Schaufeli, 2007 ) yang terdiri dari 10 (sepuluh) item. Selain itu aspek self-efficacy
juga dapat diukur dengan skala yang dikembangkan oleh Luthan et. al (2007) dikenal
dengan nama skala psycap questionnaire (PCQ), dalam skala PCQ tersebut terdapat
beberapa item yang mengukur aspek self-efficacy tersebut. Dalam penelitian kali ini,
meneliti menggunakan 5 (lima) item dari PCQ yang mengukur aspek self-efficacy
40
saja, dengan menggunakan 5 (lima) alternatif jawaban dari 1 (sangat tidak sesuai)
hingga 5 (sangat sesuai).
2. Organizational-based on Self-esteem (OBSE)
Aspek OBSE dapat diukur dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh
Pierce et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007) yang
terdiri dari 10 item skala termasuk “Saya dianggap orang yang serius.” Peneliti
mengadaptasi skala ini sebagai skala yang akan digunakan dalam mengukur
organizational-based on self-esteem dengan menggunakan 5 (lima) alternatif jawaban
dari 1 (sangat tidak sesuai) hingga 5 (sangat sesuai).
3. Optimisme
Pengukuran pada aspek ini bisa dilakukan dengan mengadaptasi skala Life
Orientation Test-Revised (LOT-R) yang dikembangkan oleh Scheier et. al (dalam
Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007) yang terdiri dari 10
(sepuluh) item skala meliputi “Saya selalu optimis dengan masa depan saya.” Selain
itu aspek ini juga dapat diukur dengan mengadaptasi skala PCQ yang dikembangkan
oleh Luthan et. al (2007) dengan mengadaptasi beberapa item skala yang hanya
mengukur aspek optimis saja. Dalam penelitian kali ini peneliti mengadaptasi 5
(lima) item yang terdapat dalam skala PCQ untuk mengukur aspek optimis. Salah
satu itemnya seperti “Saya merasa yakin bahwa saya akan meraih kesuksesan dalam
karir saya,” dengan 5 (lima) pilihan alternatif jawaban, dari 1 (satu) sangat tidak
sesuai hingga 5 (lima) sangat sesuai.
41
2.5 Kerangka Berpikir
Organisasi modern mengaharapkan pekerjanya untuk lebih proaktif dan
menunjukkan inisiatif, mengambil tanggungjawab untuk mengembangkan sikap
profesionalnya, dan berkomitmen untuk meningkatkan standar kualitas kinerja. Para
pekerja tersebut membutuhkan perasaan energetic dan dedikasi – organisasi
membutuhkan pekerja yang total (Bakker dan Schaufeli, 2008).
Kemudian, dalam beberapa dekade terakhir hubungan antara pekerjaan
dengan subjective wellbeing tidak hanya dilihat dari aspek negatifnya saja, seperti
burnout atau psychological distress, tetapi juga dilihat dari aspek positif seperti
totalitas kerja (Inoue, A., Kawakami, N., Tsutsumi, A., Shimazu, A., Miyaki, K.,
Takahashi, M., Kurioka, S., Eguchi, H., Tsuchiya, M., Enta, K., Kosugi, Y., Sakata,
T., dan Totsuzaki, T., 2014). Totalitas kerja menjadi salah satu faktor yang menjadi
variabel penentu munculnya subjective wellbeing di suatu perusahaan. Bakker dan
Oerlemans (2010) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara work engagement
dengan subjective wellbeing.
Totalitas kerja berhubungan dengan ekspresi diri melalui kerja dan peran
karyawan dalam kegiatan tempatnya bekerja (Kahn, 1990). Untuk beberapa alasan,
totalitas kerja adalah sebuah konsep yang relevan dengan subjective well-being
karyawan. Pertama, totalitas kerja terkait dengan hasil-hasil positif dalam organisasi
seperti kepuasan kerja dan motivasi (Bakker, Demerouti & Schaufeli, 2003; Mei et
al., 2004; Schaufeli & Bakker, 2004). Kedua, totalitas kerja terkait dengan perilaku
positif dalam organisasi seperti inisiatif pribadi untuk bekerja dan mempunyai
42
keinginan untuk belajar (Sonnentag, 2003). Ketiga, karyawan yang total dalam
pekerjaan mereka cenderung berkomitmen untuk organisasi mereka, sedangkan
mereka yang totalitas kerjanya rendah cenderung menunjukkan rendahnya komitmen
terhadap organisasi mereka (Blizzard, 2002). Individu yang sangat total dalam
pekerjaan mereka mengidentifikasi pekerjaan mereka sendiri dan termotivasi dalam
melaksanakan pekerjaannya. Mereka cenderung untuk bekerja lebih keras dan lebih
produktif daripada karyawan lain dan lebih mungkin untuk menghasilkan kepuasan
pelanggan dan tercapainya keinginan organisasi. Orang yang total dalam bekerja akan
menggunakan kemampuan dan keterampilan mereka dengan baik, merasa tertantang
dalam pekerjaan dan berprestasi.
Selanjutnya, Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) menyatakan bahwa
stresor pekerjaan (dalam hal ini, job demands atau tuntutan kerja) adalah satu hal
yang mungkin menjadi penyebab buruknya subjective wellbeing, kesehatan, dan
performa kerja (job performance). Pekerja menjadi bosan dengan kegiatan pekerjaan
sehari-hari mereka, tetapi energi mereka harus cukup untuk memenuhi tuntutan
tugas. Ketika seorang individu bekerja dengan beban kerja mental yang tinggi dan
merasa lelah, tambahan energi diperlukan untuk memastikan bahwa kinerja mereka
tetap baik. Hal ini dapat mengakibatkan kelelahan akut yang pada gilirannya dapat
mengakibatkan efek kronis pada kesehatan dan kesejahteraan (Demerouti, et al.
2001). Dengan demikian, job demands dapat dikatakan memiliki hubungan yang
terbalik atau negatif dengan subjective well-being, dimana semakin rendah tingkat job
demands maka semakin tinggi tingkat subjective well-being dan sebaliknya.
43
Sama halnya dengan tuntutan kerja, faktor lain yang mempengaruhi subjective
wellbeing yaitu sumber daya pribadi (personal resources). Sumber daya pribadi
adalah evaluasi diri yang positif terkait dengan ketahanan dan merujuk kepada
individu yang memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memberikan dampak
yang baik pada lingkungan mereka (Hobfoll, Johnson, Ennis, dan Jackson, 2003).
Semakin tinggi sumber daya pribadi (personal resources), maka individu tersebut
menganggap diri sendiri sebagai individu-individu yang lebih positif.
Penelitian membuktikan bahwa evaluasi diri yang positif dapat meningkatkan
pencapaian, motivasi, kinerja, kepuasan kerja, kepuasan hidup, dan lain sebagainya
(lihat Judge, Van Vianen dan De Pater, 2004, dalam Bakker, 2011). Semakin tinggi
sumber daya pribadi, maka individu tersebut menganggap diri sendiri sebagai
individu-individu yang lebih positif. Pada gilirannya, ada kemungkinan bahwa
individu akan mencapai tujuan yang mereka tetapkan dengan kemampuan mereka.
Individu menjadi termotivasi (motivasi intrinsik) untuk mengejar tujuan-tujuan
mereka dan sebagai akibatnya mereka akan mendapatkan kepuasan, yang dalam hal
ini adalah bagian dari subjective wellbeing (Luthans dan Youssef, 2007).
44
Gambar 2.1
Bagan Kerangka Berpikir
Totalitas Kerja
Absorption
Dedication
Vigor
Tuntutan Kerja
Emotional
Dissonance
Emotional
Demands
Workload
Sumber Daya
Pribadi
Optimisme
Self-efficacy
Self-esteem
(organizational
based self-esteem)
Subjective
Wellbeing
45
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis Mayor
Ada Pengaruh Totalitas Kerja, Tuntutan Kerja, dan Sumber Daya Pribadi Terhadap
Subjective Wellbeing.
Hipotesis Minor
H1 = Ada pengaruh absorption terhadap subjective wellbeing.
H2 = Ada pengaruh dedication terhadap subjective wellbeing.
H3 = Ada pengaruh vigor terhadap subjective wellbeing.
H4 = Ada pengaruh emotional dissonance terhadap subjective wellbeing.
H5 = Ada pengaruh emotional demands terhadap subjective wellbeing.
H6 = Ada pengaruh workload terhadap subjective wellbeing.
H7 = Ada pengaruh optimisme terhadap subjective wellbeing.
H8 = Ada pengaruh self-efficacy terhadap subjective wellbeing.
H9 = Ada pengaruh self-esteem (organizational based self-esteem) terhadap
subjective wellbeing.
46
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab tiga ini dipaparkan populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi
operasional, instrumen pengumpulan data, uji validitas instrumen pengumpulan data,
prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.
3.1 Populasi dan Sampel
Bardasarkan data dari biro kepegawaian Kementerian Sosial RI, populasi
seluruh pegawai Kementerian Sosial RI berjumlah 4.460 pegawai. Karena banyaknya
anggota populasi dalam penelitian ini, maka peneliti hanya mengambil sebagian atau
wakil populasi yang diteliti. Wakil populasi atau sampel tersebut terdiri dari pegawai
biro organisasi dan kepegawaian, biro keuangan, biro humas, dan biro hukum yang
berada dalam naungan Kementerian Sosial RI dengan kriteria pegawai negeri sipil
yang telah bekerja di Kementerian Sosial RI selama minimal 6 bulan. Adapun dari
600 kuesioner yang peneliti berikan kepada pihak instansi, hanya 431 kuesioner yang
kembali. Jumlah kuesioner tersebut yang peneliti jadikan sampel dalam penelitian ini.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk kategori non probability sampling
karena kemungkinan terpilihnya sampel dari setiap anggota populasi tidak dapat
dipastikan
47
3.2 Variabel Penelitian
Sebelum membahas definisi operasional penelitian, dibawah ini terdapat beberapa
variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana yang telah disebutkan
pada bab sebelumnya. Untuk berikutnya, yang disebut dengan variabel adalah
dimensi dari totalitas kerja yaitu absorption, dedication dan vigor, dimensi dari
tuntutan kerja yaitu emotional dissonance, emotional demands dan workload dan
dimensi dari sumber daya pribadi yaitu optimisme, self-efficacy dan self-esteem
(organizational based self-esteem).
Adapun variabel – variabel yang peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Subjective wellbeing
2. Absorption (penyerapan)
3. Dedication (dedikasi)
4. Vigor (semangat)
5. Emotionl dissonance
6. Emotional demands
7. Workload
8. Optimisme
9. Self-efficacy
10. Self-esteem (organizational based self-esteem)
Dependent variable dalam penelitian ini adalah subjective wellbeing, sedangkan
sisanya adalah independent variable.
48
3.3 Definisi Operasional Variabel
Setelah menentukan variabel mana yang menjadi fokus penelitian (DV), variabel
mana yang menjadi IV, dan veriabel mana yang menjadi variabel moderator, peneliti
menentukan definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini,
penentuannya didasarkan pada definisi konseptual yang telah dijelaskan pada bab
dua. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Subjective wellbeing merupakan penilaian secara global terhadap kepuasan
hidup, pengetahuan dari subjective wellbeing dilihat dari penilaian individu
secara global terhadap kepuasan hidup dan kualitas hidup. Pengukuran
subjective well-being yang digunakan dalam penelitian ini adalah satisfaction
with life scale (SWLS) atau skala kepuasan hidup, dimana individu melihat
pada domain yang penting dalam hidup dan membandingkan domain
kehidupan tersebut dengan berbagai standar pembanding, misalnya situasi
yang mereka alami di masa lalu, keadaan di lingkungan sekitar mereka masa
kini, ataupun harapan akan sesuatu di masa depan.
2. Absorption atau penyerapan ditandai dengan individu yang selalu penuh
konsentrasi dan serius terhadap suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa
berlalu begitu cepat dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan
pekerjaan.
3. Dedication atau dedikasi ditandai dengan individu yang merasa terlibat sangat
kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme,
kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
49
4. Vigor atau semangat merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama
bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan, tekun dalam menghadapi kesulitan kerja, juga kemauan untuk
menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan
meskipun menghadapi kesulitan.
5. Emotional dissonance adalah konflik antara perasaan emosi yang dirasakan
pekerja yang sebenarnya dengan emosi yang ditampilkan selama berinteraksi
dengan orang lain pada saat bekerja. Pekerja dalam konteks ini harus
menampilkan emosi positif dan menekan emosi negatif mereka dalam
berinteraksi dengan klien ataupun mitra kerjanya.
6. Emotional demands atau tuntutan emosional adalah masalah di tempat kerja
yang mempengaruhi karyawan secara pribadi dan menguras emosi. Tuntutan
emosional fokus pada interaksi emosional yang terjadi di tempat kerja
7. Workload ditandai dengan bekerja secara non stop dalam jam kerja yang
lama, beban pekerjaan yang terlalu banyak dan terbatasnya waktu yang
diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut
8. Optimisme ditandai dengan menganggap bahwa setiap masalah selalu ada
jalan keluarnya, merasa sangat energik dalam mencapai target kerja, merasa
yakin akan meraih kesuksesan dalam karir.
9. Self-efficacy ditandai dengan kepercayaan diri dapat menyelesaikan semua
masalah yang dihadapi, keyakin dapat memberi masukan pada kemajuan
50
oranisasi, keyakinan dan kepercayaan dengan kemampuan diri ketika harus
berhubungan dengan orang lain.
10. Sedangkan self-esteem (organizational based self-esteem) ditandai dengan
evaluasi positif yang menyeluruh tentang diri dan keyakinan bahwa diri
mampu memenuhi kebutuhan dengan berpartisipasi dalam peran dalam
organisasi.
3.4 Instrumen Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data
adalah alat ukur yang langsung diberikan ke subjek yang akan memberikan
jawabannya dengan memilih salah satu jawaban yang sudah tersedia. Alat ukur yang
digunakan terdiri dari empat macam, yaitu alat ukur subjective well-being, alat ukur
totalitas kerja, alat ukur tuntutan kerja, dan alat ukur sumber daya pribadi.
Baik pada keempat skala tersebut disusun berdasarkan model Likert. Subjek
diminta menyatakan kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap isi pernyataan dalam
lima kategori jawaban, yaitu 1 = Sangat Tidak Sesuai, 2 = Tidak Sesuai, 3 = Agak
Sesuai, 4 = Sesuai, 5 = Sangat Sesuai.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Skala Satisfaction With Life Scale (SWLS)
Untuk mengukur subjective wellbeing, digunakan skala Satisfaction With Life
Scale yang dikembangkan oleh Diener pada tahun 1984. Pada alat ukur ini
terdapat 5 pernyataan, Alat ukur ini mempunyai konsistensi internal yang baik,
51
dimana alpha cronbach nya ada di 0,87, dan menunjukkan bahwa SWLS
mempunyai kekayaan psikometrik (Diener, et al. 1985).
Tabel 3.1
Blue Print Skala Subjective Well-being
No Dimensi Favorable Jumlah
1 Subjective well-being 1,2,3,4,5 5
Jumlah 5
2. UWES (Utrecht Work Engagement Scale)
Skala ini dikembangkan oleh Wilmar B. Schaufeli, Arnold B. Bakker, dan Marisa
Salanova pada tahun 2006. Skala ini terdiri dari 17 item. Dimensi vigor atau
semangat terdiri dari 6 item, dimensi dedikasi terdiri dari 5 item, dan dimensi
absorpsi atau penyerapan terdiri dari 6 item.
Tabel 3.2
Blue Print Skala Totalitas Kerja (UWES)
Aspek
Indikator
Item
Favo-
rabel
Item
Unfavo-
rable
Jumlah
Vigor atau
semangat
1. Adanya curahan energi dan
mental yang kuat selama
bekerja.
1,3,4,5,6 2 6
2. Keberanian untuk berusaha
sekuat tenaga dalam
menyelesaikan suatu
pekerjaan.
3. Tekun dalam menghadapi
kesulitan kerja.
4. Kemauan untuk
menginvestasikan segala upaya
dalam suatu pekerjaan
5. Tetap bertahan meskipun
menghadapi kesulitan.
52
Aspek
Indikator
Item
Favo-
rabel
Item
Unfavo-
rable
Jumlah
Dedication 1. Menemukan kesulitan dalam
memisahkan diri dengan
pekerjaan
2. Mengalami rasa
kebermaknaan, antusiasme,
kebanggaan, inspirasi dan
tantangan.
Absorption
atau
penyerapan
1. Bekerja penuh konsentrasi.
2. Serius terhadap suatu
pekerjaan.
3. Dalam bekerja waktu terasa
berlalu begitu cepat.
4. Menemukan kesulitan dalam
memisahkan diri dengan
pekerjaan.
12,13,
14,15,
16,17
6
TOTAL 16 1 17
3. Skala Tuntutan Kerja
Pada penelitian ini, aspek workload dalam mengukur tuntutan kerja diukur dengan
menggunakan skala yang dikembangkan oleh Bakker, Demerouti, Taris, Schaufeli,
dan Schreurs (2003). Aspek emotional demands dan emotional dissonance diukur
dengan menggunakan skala yang dikembangkan oleh Xanthopaulo, Bakker, dan
Fischbach (2013). Adapun blue print dari skala tuntutan kerja akan dijelaskan
dalam tabel berikut:
53
Tabel 3.3
Blue Print Skala Tuntutan Kerja
Aspek
Indikator
Item
Favorabel
Jumlah
Workload Tugas yang berlebihan dan
tenggang waktu yang singkat.
1,2,3,4 4
Emotional
Demands
Menghadapi situasi emosional
dalam pekerjaan.
5,6,7 3
Emotional
Dissonance
Menampilkan emosi positif dan
menekan emosi negatif dalam
berinteraksi dengan klien ataupun
mitra kerja.
8,9,10 3
TOTAL 10
4. Skala Sumber Daya Pribadi
Sumber daya pribadi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang
didapat dari pengukuran terhadap sumber daya ribadi, yang dalam penelitian kali ini
menggunakan aspek yang dikembangkan oleh Hobfoll 2002, Luthans & Youssef,
2007, yaitu: Self-efficacy, Organizational Based Self-Esteem, dan Optimism. Untuk
aspek Self-efficacy akan diukur dengan 6 item yang diadaptasi dari skala PCQ yang
dikembangkan oleh Luthan et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and
Schaufeli, 2007) meliputi; “Saya merasa percaya diri dapat menyelesaikan semua
masalah yang saya hadapi.”
Pada aspek Organizational Based Self-esteem akan diukur dengan 10 item
skala yang dikembangkan oleh Pierce, Gardner, Cummings dan Dunham (dalam
Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and Schaufeli, 2007) contoh item seperti “Saya
orang yang penting”. Untuk aspek optimis peneliti juga mengadaptasi skala PCQ
54
yang dikembangkan oleh Luthan et. al (dalam Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, and
Schaufeli, 2007).
Tabel 3.4
Blue Print Skala Sumber Daya Pribadi
Aspek
Indikator
Item
Favorable
Jumlah
Self-Efficacy Percaya diri dapat menyelesaikan semua
masalah yang dihadapi.
1,2,3,4,5,6 6
Yakin dapat memberi masukan pada
kemajuan oranisasi.
Yakin dan percaya dengan kemampuan
diri ketika harus berhubungan dengan
orang lain.
Self-Esteem Evaluasi positif yang menyeluruh
tentang diri dan keyakinan untuk
mampu memenuhi kebutuhan dengan
berpartisipasi dalam peran dalam
organisasi.
12,13,14,
15,16,17,
18,19,20,
21
10
Optimisme Menganggap bahwa setiap masalah
selalu ada jalan keluarnya.
7,8,9,10,
11 5
Merasa sangat energik dalam mencapai
target kerja.
Merasa yakin akan meraih kesuksesan
dalam karir.
TOTAL 21
3.5 Uji Validitas Konstruk Instrumen Pengumpulan Data
Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan pengujian terhadap
validitas konstruk alat ukur. Untuk menguji validitas konstruk digunakan analisis
Confirmatory Factor Analysis atau CFA, untuk melihat validitas konstruk setiap item
serta menguji struktur faktor yang diturunkan secara teoritis.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan teori adalah konsep bahwa seluruh item
mengukur satu hal yang sama (unidimensional) yaitu konstruk yang hendak diukur.
Analisis faktor adalah alat analisis statistik yang digunakan untuk mereduksi faktor-
55
faktor yang mempengaruhi suatu variabel menjadi beberapa set indikator saja, tanpa
kehilangan informasi yang berarti. Dan akan memungkinkan item yang tidak valid
akan dibuang dan yang valid akan dihitung dan digunakan dalam penelitian.
Setelah diuji validitasnya, selanjutnya akan diuji reabilitasnya dari item-item
skala tersebut. Reliabilitas adalah alat ukur untuk mengukur suatu kuesioner yang
merupakan indicator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel
atau handal jika jawaban responden terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil
dari waktu ke waktu (Sugiyono, 2004). Nilai reliabilitas nantinya akan didapatkan
sekaligus ketika melakukan uji validitas dengan menggunakan bantuan software
LISREL 8.7 (Joreskog dan Sorbom, 1999).
Dalam rangka pengujian validitas alat ukur, peneliti melakukan uji validitas konstruk
instrument tersebut. Oleh karena itu, digunakan CFA (Confirmatory Factor Analysis)
dengan bantuan software LISREL 8.70 (Joreskog dan Sorbom, 1999) untuk pengujian
validitas instrumen. Adapun logika dari CFA (Umar, 2013) yaitu:
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan
secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk
mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap
faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.
2. Teori setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap subtes
hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes bersifat
unidimensional.
56
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks korelasi
antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks
korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data
empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka
tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ - matriks S atau bisa juga
dinyatakan dengan ∑ - S = 0.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi
square. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis nihil
tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat diterima
bahwa item ataupun subtes instrumen hanya mengukur satu faktor saja.
5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau
tidak mengukur apa yang hendak diukur, dengan menggunakan t-test. Jika hasil
t-test tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa
yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di drop dan sebaliknya.
6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya
negatif, maka item tersebut harus di drop. Sebab hal ini tidak sesuai dengan sifat
item, yang bersifat positif (favorable).
3.5.1 Uji Validitas Konstruk Skala Subjective Well-being
Peneliti menguji apakah 5 item yang ada bersifat unidimensional, artinya item-item
tersebut benar-benar hanya mengukur subjective well-being. Dari hasil awal analisis
CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi Square
= 55.08, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.153. Namun setelah dilakukan
57
modifikasi sebanyak 2 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan
pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian diperoleh model fit
dengan nilai Chi Square menghasilkan P-value > 0.05 (signifikan). Artinya model
satu faktor (unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu
faktor saja yaitu kesejahteraan subjektif. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar
di bawah ini :
Gambar 3.1 Uji Validitas Konstruk Skala Subjective Well-being
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
58
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran subjective well-
being disajikan pada tabel 3.5.
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Subjective Well-being
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari
item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian
item-item tersebut tidak akan di-drop.
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Skala Totalitas Kerja
3.5.2.1 Vigor
Peneliti menguji apakah 6 item benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-
benar hanya mengukur vigor. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor,
ternyata tidak fit dengan Chi Square = 83.13, df = 5, P-value = 0.00000, RMSEA =
0.191. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 2 kali terhadap model dengan
membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis,
maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 2,44 , df = 3 , P-value = 0.48602,
RMSEA = 0.000 . Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
5
0.64
0.71
0.73
0.73
0.50
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
12.84
13.98
14.89
14.96
9.78
V
V
V
V
V
59
diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu vigor. Model fit
tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.2 Uji Validitas Konstruk Vigor
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran vigor disajikan pada
tabel 3.6.
60
Tabel 3.6 Muatan Item Vigor
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua
koefisien sudah bermuatan positif. Dengan demikian item-item tersebut tidak akan di-
drop.
3.5.2.2 Dedication
Peneliti menguji apakah 5 item tersebut benar-benar bersifat unidimensional, artinya
benar-benar hanya mengukur dedication. Dari hasil analisis CFA dengan model satu
faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 101.64, df = 5, P-value = 0.00000,
RMSEA = 0.212. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 2 kali terhadap
model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang
dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 6.17, df = 3, P-value =
0.10378, RMSEA = 0.050. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu dedication.
Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar 3.3.
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
5
0.60
0.57
0.65
0.40
0.44
0.08
0.06
0.08
0.06
0.06
7.87
9.01
8.59
6.90
7.66
V
V
V
V
V
61
Gambar 3.3 Uji Validitas Konstruk Dedication
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran dedication disajikan
pada tabel 3.7.
62
Tabel 3.7 Muatan Item dedication
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel 3.7 dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan semua
koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari item
sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian item-
item tersebut tidak akan di-drop.
3.5.2.3 Absorption
Peneliti menguji apakah 6 item dari absorption benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur absorption. Dari hasil analisis CFA dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 229.62, df = 9, P-value =
0.00000, RMSEA = 0.239. Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 5 kali
terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-
item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 5.77 df = 4,
P-value = 0.21701, RMSEA = 0.032. Artinya, model dengan satu faktor
(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja
yaitu absorption. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
5
0.40
0.82
0.81
0.72
0.52
0.05
0.04
0.04
0.05
0.05
7.84
18.72
18.57
16.00
10.68
V
V
V
V
V
63
Gambar 3.4 Uji Validitas Konstruk Absorption
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran absorption
disajikan pada tabel 3.8.
64
Tabel 3.8 Muatan Item Absorption
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari
item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian
item-item tersebut tidak akan di-drop.
3.5.3 Uji Validitas Konstruk Skala Tuntutan Tugas
3.5.3.1 Workload
Peneliti menguji apakah 4 item benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-
benar hanya mengukur tuntutan tugas. Dari hasil analisis CFA dengan model satu
faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 18.25 , df = 2 , P-value = 0.00011 ,
RMSEA = 0.137 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 1 kali terhadap
model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang
dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 3.22, df = 1, P-value =
0.07297, RMSEA = 0.072. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat
diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu workload. Model
fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
5
6
0.42
0.67
0.91
0.62
0.51
0.54
0.05
0.05
0.04
0.05
0.05
0.05
8.43
14.55
21.00
13.14
10.35
11.29
V
V
V
V
V
V
65
Gambar 3.5 Uji Validitas Konstruk Workload
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran workload disajikan
pada tabel 3.9.
66
Tabel 3.9 Muatan Item workload
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari
item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian
item-item tersebut tidak akan di-drop.
3.5.3.2 Uji Validitas Konstruk Emotional Demands dan Emotional Dissonance
Peneliti menguji apakah ketiga item dari emotional demands dan ketiga item dari
emotional dissonance benar-benar bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya
mengukur tuntutan kerja. Dari hasil analisis CFA dengan model satu faktor, model
tidak fit dengan Chi Square = 599.76, df = 9, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.391.
Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 8 kali terhadap model dengan
membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis,
maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 2.75, df = 1, P-value = 0.09709,
RMSEA = 0.064. Artinya, model dengan satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu tuntutan kerja. Model fit
tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
0.51
0.41
0.55
0.73
0.06
0.07
0.06
0.07
8.96
5.63
9.17
10.19
V
V
V
V
67
Gambar 3.6 Uji Validitas Konstruk Emotional Demands dan Emotional
Dissonance
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran emotional demands
dan emotional dissonance disajikan pada tabel 3.10.
68
Tabel 3.10 Muatan Item Emotional Demands dan Emotional Dissonance
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari
item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian
item-item tersebut tidak akan di-drop.
3.5.4 Uji Validitas Konstruk Skala Sumber Daya Pribadi
3.5.4.1 Optimisme
Peneliti menguji apakah kelima item benar-benar bersifat unidimensional, artinya
benar-benar hanya mengukur sumber daya pribadi. Dari hasil analisis CFA dengan
model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 28.11 , df = 5 , P-value =
0.00000 , RMSEA = 0.124 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 1 kali
terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-
item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 4.73, df = 4,
P-value = 0.31635, RMSEA = 0.021. Artinya, model dengan satu faktor
(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja
yaitu optimisme. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
5
6
0.66
0.85
0.73
0.39
1.00
1.00
0.07
0.07
0.06
0.05
0.07
0.07
9.99
12.63
11.65
7.33
14.67
14.66
V
V
V
V
V
V
69
Gambar 3.7 Uji Validitas Konstruk Optimisme
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran optimisme disajikan
pada tabel 3.11.
Tabel 3.11 Muatan Item optimisme
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
5
0.62
0.73
0.69
0.83
0.59
0.05
0.05
0.05
0.04
0.05
12.73
15.77
14.90
18.68
12. 28
V
V
V
V
V
70
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari
item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian
item-item tersebut tidak akan di-drop.
3.5.4.2 Self Efficacy
Peneliti menguji apakah keenam item benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur sumber daya pribadi. Dari hasil analisis CFA
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 92.60, df = 9 , P-
value = 0.00000 , RMSEA = 0.147 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak 3
kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara
item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 9.28,
df = 6, P-value = 0.15818, RMSEA = 0.036. Artinya, model dengan satu faktor
(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja
yaitu self-efficacy. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.8 Uji Validitas Konstruk Self-Efficacy
71
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu
juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran self-efficacy
disajikan pada tabel 3.12.
Tabel 3.12 Muatan Item Self Efficacy
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari
item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian
item-item tersebut tidak akan di-drop.
3.5.4.3 Self Esteem
Peneliti menguji apakah keenam item benar-benar bersifat unidimensional,
artinya benar-benar hanya mengukur sumber daya pribadi. Dari hasil analisis CFA
dengan model satu faktor, ternyata tidak fit dengan Chi Square = 5870.04, df = 45 , P-
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
5
6
0.55
0.77
0.87
0.73
0.86
0.80
0.05
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
11.91
18.19
21.51
17.28
21.32
19.08
V
V
V
V
V
V
72
value = 0.00000 , RMSEA = 0.549 . Namun, setelah dilakukan modifikasi sebanyak
24 kali terhadap model dengan membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara
item-item yang dianalisis, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi Square = 25.29,
df = 21, P-value = 0.23486, RMSEA = 0.022. Artinya, model dengan satu faktor
(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja
yaitu sumber daya pribadi. Model fit tersebut ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 3.9 Uji Validitas Konstruk Self-Esteem
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu perlu
di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor dari item.
Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan
faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut signifikan dan begitu juga sebaliknya.
Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran self esteem disajikan pada tabel 3.13.
73
Tabel 3.13 Muatan Item Self Esteem
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1.96) ; X = tidak signifikan
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item signifikan ( t > 1.96) dan
semua koefisien sudah bermuatan positif. Artinya semua koefisien muatan faktor dari
item sesuai dengan sifat item yang semuanya bersifat favorable. Dengan demikian
item-item tersebut tidak akan di-drop.
3.6 Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai
berikut :
1. Peneliti mulai merumuskan masalah yang akan di teliti dengan melihat pada
fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar.
2. Kemudian peneliti melanjutkan dengan kajian pustaka untuk melihat masalah
tersebut dari sudut pandang teoritis agar dapat dipertanggungjawabkan
keilmiahannya, serta untuk mecari variabel-variabel yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
No Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.44
0.73
0.39
0.64
0.71
0.77
0.84
0.93
0.90
0.82
0.05
0.04
0.05
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
9.27
17.59
8.42
14.68
16.76
18.74
21.18
25.04
23.75
20.47
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
74
3. Setelah mendapatkan semua yang dibutuhkan untuk landasan teorinya, peneliti
menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Selanjutnya
peneliti menentukan populasi dan sampel (beserta teknik pengambilan sampel
dan teknik pengambilan data) yang akan menjadi subjek penelitian nantinya.
4. Setelah alat ukur sudah siap, peneliti melakukan pengambilan data dengan
menyebarkan angket kuesioner kepada responden-responden dibantu oleh Kepala
Bagian Formasi Pegawai Biro Kepegawaian Kementerian Sosial RI untuk
menentukan jadwal pengisian angket. Proses pengambilan data dilakukan sejak
tanggal 1 juli 2014sampai dengan 21 juli 2014.
5. Hasil skala yang telah diisi kemudian diskoring untuk kemudian dianalisis
datanya.
3.7 Teknik Analisis Data
Untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen terhadap subjective wellbeing,
peneliti menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression analysis).
Pengolahan data dilakukan dengan analisis data secara statistik sebagai cara untuk
mengetahui pengaruh variabel bebas (independent variabel) : Work Engagement
(vigor, dedication, absorption), Tuntutan kerja (workload, emotional demands,
emotional dissonance) dan sumber daya pribadi (optimisme, self efficacy dan self
esteem) terhadap variabel terikat (dependent variabel) yaitu subjective wellbeing. Ada
empat tahap yang akan dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen (Pedhazur, 1997). Pertama, peneliti menghitung
parameter (α, 𝑏 1 , 𝑏2, …, 𝑏k) dari persamaan regresi Y = a + 𝑏1𝑋1 + 𝑏2𝑋2 + … +𝑏𝑘𝑋𝑘.
75
Dengan begitu, peneliti dapat menggunakan variabel-variabel untuk memprediksi Y
partisipan.
Dalam hal ini hipotesis yang akan diukur, penulis menggunakan teknik
analisis regresi berganda, dengan rumus:
y = a + b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+
b8X8+ b9X9+e
Keterangan:
y = subjective wellbeing
a = konstan, intercept
b = koefisien regresi
X1 = absorption
X2 = dedication
X3 = vigor
X4 = emotional dissonance
X5 = emotional demands
X6 = workload
X7 = optimisme
X8 = self efficacy
X9 = self esteem
e = residu (hal yang mempengaruhi DV diluar dari IV)
Kedua, peneliti akan menghitung proporsi varians dari subjective wellbeing
yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen yang peneliti teliti, yaitu 𝑅2.
Ketiga, peneliti akan menguji signifikansi dari hasil yang didapat. Jadi peneliti dapat
mengetahui apakah regresi dari totalitas kerja atas delapan variabel signifikan secara
76
statistik. Peneliti juga dapat mengetahui apakah koefisien regresi (b) dari persamaan
regresi secara statistik berbeda dari nol. Terakhir, peneliti dapat menentukan
relativitas pentingnya masing-masing variabel independen dalam menjelaskan
totalitas kerja.
Untuk menilai apakah model regresi yang dihasilkan merupakan model yang
paling sesuai (memiliki error terkecil), dibutuhkan beberapa pengujian dan analisis.
Melalui regresi berganda ini akan diperoleh nilai R, yang merupakan koefisien
korelasi berganda antara variabel independen dengan variabel dependen. Kemudian
besarnya kemungkinan yang disebabkan oleh faktor-faktor yang telah disebutkan tadi
ditunjukkan oleh koefisien determinasi berganda atau 𝑅2. Fungsi 𝑅2
ini digunakan
untuk melihat proporsi varians subjective wellbeing yang dipengaruhi work
engagement atau totalitas kerja (vigor, dedication, absorption), tuntutan kerja
(workload, emotional demands, emotional dissonance) dan sumber daya pribadi
(optimisme, self efficacy dan self esteem).
Berikutnya, untuk membuktikan apakah regresi Y dan X signifikan atau tidak,
maka dapat diuji dengan menggunakan uji F (Pedhazur, 1997). Dari hasil uji F yang
dilakukan nantinya, dapat dilihat apakah variabel independen yang diujikan tersebut
memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Kemudian untuk menguji apakah
pengaruh yang diberikan variabel independen signifikan terhadap variabel dependen,
maka peneliti melakukan uji T. Hasil uji t ini akan diperoleh dari hasil regresi yang
akan dilakukan oleh peneliti nantinya. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan analisis secara statistik.
77
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini, penulis akan menguraikan mengenai gambaran subjek penelitian,
deskripsi data, analisis data dan hasilnya.
4.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah
penghasilan, status perkawinan, dan lama bekerja. Responden dalam penelitian ini
adalah Pegawai Negeri Sipil Kementerian Sosial RI, Kemudian pada tabel 4.1 penulis
akan memaparkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, tingkat
pendidikan, jumlah penghasilan, status perkawinan, dan lama bekerja sebagai berikut:
Tabel 4.1
Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan dan Status Perkawinan
Karakteristik Sampel N=431
n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
DIPLOMA
S1
S2
Status Perkawinan
Belum Menikah
Menikah
Janda
Duda
184 (42.7)
247 (57.3)
6 (1.4)
15 (3.5)
111 (25.7)
58 (13.4)
196 (45.5)
45 (10.5)
42 (9.7)
374 (86.8)
12 (2.8)
3 (0.7)
78
Dari 431 responden dalam penelitian ini terlihat bahwa mayoritas responden
adalah wanita. Banyaknya jumlah responden wanita adalah sebesar 247 atau 57.3%
sedangkan responden laki laki sebesar 184 atau 42.7%. Selanjutnya, berdasarkan
tingkat pendidikan, mayoritas responden tingkat pendidikan terakhirnya adalah SMA
dan S1. Responden dengan tingkat pendidikan terakhir SMA sebanyak 111 orang
atau 25.7% sedangkan responden dengan tingkat pendidikan terakhir S1 sebanyak
196 atau 45.5%. Berdasarkan status perkawinan, sebanyak 42 atau 9.7% responden
belum menikah, 374 atau 86.8% responden sudah menikah, 12 atau 2.8% responden
adalah janda dan 3 atau 0.7% responden adalah duda.
Tabel 4.2
Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Jumlah Penghasilan dan Lama
Bekerja
Karakteristik Sampel N=431
n (%)
Jumlah Penghasilan
1-3 juta
3,1-5 juta
5,1-7 juta
≥ 7 juta
Lama Bekerja
6 bulan -5 tahun
5,1-10 tahun
10,1-15 tahun
15,2-20 tahun
20,1-25 tahun
25,1-30 tahun
≥ 30 tahun
164 (38)
224 (52)
41 (9.5)
2 (0.5)
84 (19)
103 (23)
42 (9)
39 (8)
107 (24)
52 (12)
24 (5)
79
Berdasarkan jumlah penghasilan, mayoritas responden yakni 224 atau 52%
berpenghasilan 3,1-5 juta per bulan, sedangkan hanya sedikit responden yang
berpenghasilan lebih dari 7 juta per bulan, yakni sebanyak 2 orang atau 0.5%.
Sedangkan jika dilihat berdasarkan rentang lama bekerja, responden yang memiliki
jumlah terbanyak adalah responden dengan rentang lama bekerja antara 20,1-25 tahun
dengan jumlah sebanyak 107 responden atau 24%. Sedangkan responden dengan
jumlah yang paling sedikit adalah responden yang bekerja lebih dari 30 tahun yakni
sebanyak 24 responden atau 5%.
4.2 Analisis Deskriptif
Skor yang digunakan dalam analisis statistik pada penelitian ini adalah skor
murni (t-score) yang merupakan hasil proses konversi dari raw score. Proses ini
dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan perbandingan antar skor hasil
penelitian variabel-variabel yang diteliti, dengan demikian semua raw score pada
setiap variabel harus diletakkan pada skala yang sama. Hali ini dilakukan dengan
mentransformasikan raw score menjadi Z-score, agar nilai Z-score menjadi positif
perlu dilakukan perhitungan t-score = 50 + 10*Z.
Untuk menjelaskan gambaran umum deskripsi statistic dari variabel-variabel
yang diteliti, indeks yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah skor mean,
standar deviasi, minimum dan maksimum dari setiap variabel penelitian. Skor
tersebut disajikan dalam tabel berikut ini:
80
Tabel 4.3
Deskripsi Statistik Variabel Penelitian
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Subjective wellbeing 431 18.31 62.71 50.00 7.926
Absorption 431 17.31 60.51 50.00 7.623
Dedication 431 18.60 64.54 50.00 7.522
Vigor 431 26.04 72.91 50.00 7.684
Emotional
dissonance
431
10.50
52.48
50.00
10.90
Emotional demands
431
11.18
55.90
50.00
9.132
Workload 431 13.11 62.25 50.00 8.164
Optimisme 431 12.47 62.36 50.00 7.123
Self-efficacy 431 14.72 59.08 50.00 7.860
Self-esteem 431 18.75 57.26 50.00 6.252
Valid N (listwise) 431
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa skor subjective wellbeing, absorption,
dedication, vigor, emotional dissonance, emotional demands, workload, optimisme,
self-efficacy dan self-esteem diletakkan pada skala yang sama, maka mean kesepuluh
variabel adalah 50 dan nilai minimum, maximum beserta standar deviasi dapat dilihat
dari tabel di atas.
4.3 Kategorisasi Variabel Penelitian
Setelah melakukan deskripsi statistik dari masing-masing variabel, maka hal yang
perlu dilakukan adalah pengkategorisasian terhadap data penelitian dengan
menggunakan standar deviasi dan mean dari t-score. Kategorisasi dalam penelitian ini
dibuat menjadi tiga kategori yaitu, tinggi, sedang dan rendah. Dalam hal ini
ditetapkan norma sebagai berikut:
81
Tabel 4.4
Pedoman Interpretasi Skor Kategori Rumus
Tinggi X < Mean – 1SD
Sedang Mean – 1SD ≤ X ≤ Mean +1SD
Rendah
X > Mean + 1SD
Uraian mengenai gambaran kategori skor variabel penelitian berdasarkan
tinggi, sedang dan rendahnya variabel yang digunakan dalam penelitian ini akan
disajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.5
Kategorisasi Skor Variabel
Kategorisasi Skor Variabel
Variabel Tinggi % Sedang % Rendah %
Subjective wellbeing 6 1,4 284 65,9 141 32,7
Absorption 3 0,7 181 42 247 57,3
Dedication 20 4,6 331 76,8 80 18.6
Vigor 39 9 351 81.4 41 9,5
Emotional dissonance 0 0 103 23,9 328 76,1
Emotional demands 0 0 82 19 349 81
Workload 4 0,9 267 61,9 160 37,1
Optimisme 6 1,4 341 79,1 84 19,5
Self-efficacy 0 0 271 62,9 160 37,1
Organizational- based
self esteem 0 0 319 74 112 26
Sebagaimana disebutkan dalam tabel 4.5, dapat dilihat bahwa pegawai yang
memiliki subjective wellbeing yang berkategori rendah sebanyak 32,7% dengan
jumlah 141 orang, pegawai yang memiliki subjective wellbeing yang sedang
sebanyak 65,9% dengan jumlah 284 orang, dan pegawai yang memiliki subjective
wellbeing yang tinggi adalah sebanyak 1,39% dengan jumlah 6 orang. Pada penelitian
82
ini, subjective wellbeing pada kategori sedang merupakan jumlah kategori terbanyak
yaitu 82,4% dengan jumlah 356 orang.
Untuk variabel absorption terlihat bahwa pegawai yang memiliki absorption
yang berkategori rendah sebanyak 57,3% dengan jumlah 247 orang, pegawai yang
memiliki absorption yang sedang sebanyak 42% dengan jumlah 181 orang, dan
pegawai yang memiliki absorption yang rendah 0,7% dengan jumlah 3 orang. Untuk
variable dedication terlihat bahwa pegawai yang memiliki dedication yang
berkategori rendah sebanyak 18,6% dengan jumlah 80 orang, pegawai yang memiliki
dedication yang sedang sebanyak 76.8% dengan jumlah 331 orang, dan pegawai yang
memiliki dedication yang rendah 04,6% dengan jumlah 20 orang.
. Untuk variabel vigor atau semangat terlihat bahwa pegawai yang memiliki
vigor yang berkategori rendah sebanyak 9,5% dengan jumlah 41 orang, pegawai yang
memiliki vigor yang sedang sebanyak 81,4% dengan jumlah 351 orang, dan pegawai
yang memiliki vigor yang berkategori tinggi yaitu 9% dengan jumlah 6 0rang.
Untuk variabel emotional dissonance terlihat bahwa pegawai yang memiliki
emotional disonance yang berkategori rendah sebanyak 76,1% dengan jumlah 328
orang, pegawai yang memiliki emotional dissonance dengan kategori sedang
sebanyak 23,9% dengan jumlah 103 orang, dan tidak ada pegawai yang memiliki
emotional dissonance yang berkategori tinggi. Sehingga dapat dikatakan hampir
semua pegawai memiliki tingkat emotional dissonance yang rendah.
Untuk variabel emotional demands terlihat bahwa pegawai yang memiliki
emotional demands yang berkategori rendah sebanyak 81% dengan jumlah 349
83
orang, pegawai yang memiliki emotional demands dengan kategori sedang sebanyak
19% dengan jumlah 82 orang, dan tidak ada pegawai yang memiliki emotional
demands yang berkategori tinggi. Sehingga dapat dikatakan hampir semua pegawai
memiliki tingkat emotional demands yang rendah. Sedangkan untuk variabel
workload terlihat bahwa pegawai yang memiliki workload yang berkategori rendah
sebanyak 37,1% dengan jumlah 160 orang, pegawai yang memiliki workload dengan
kategori sedang sebanyak 61,93% dengan jumlah 267 orang, dan pegawai yang
memiliki workload yang berkategori tinggi yaitu 0,9% dengan jumlah 4 0rang.
Untuk variabel optimisme terlihat bahwa pegawai yang memiliki optimisme
yang berkategori rendah sebanyak 19,5% dengan jumlah 231 orang, pegawai yang
memiliki optimisme dengan kategori sedang sebanyak 79,1% dengan jumlah 341
orang, dan pegawai yang memiliki optimisme yang berkategori tinggi yaitu 1,4%
dengan jumlah 9 0rang Untuk variabel self-efficacy terlihat bahwa pegawai yang
memiliki self-efficacy yang berkategori rendah sebanyak 37,1% dengan jumlah 160
orang, pegawai yang memiliki self-efficacy dengan kategori sedang sebanyak 62,9%
dengan jumlah 271 orang, dan tidak ada pegawai yang memiliki self-efficacy yang
berkategori tinggi.
Terakhir, pada hasil kategorisasi self-esteem (organizational based self-
esteem) terlihat bahwa pegawai yang memiliki self-esteem yang berkategori rendah
sebanyak 26% dengan jumlah 112 orang, pegawai yang memiliki self-esteem yang
sedang sebanyak 74% dengan jumlah 319 orang, dan pegawai yang memiliki self-
84
esteem yang tinggi. Sehingga kategorisasi self-esteem pegawai terbanyak terdapat
pada kategori sedang.
4.4 Hasil Uji Hipotesa
Selanjutnya, uji hipotesis untuk mengetahui pengaruh masing-masing IV terhadap
DV dalam penelitian ini, analisisnya dilakukan dengan teknik multiple regresion.
Data yang dianalisis ialah faktor skor atau true score yang diperoleh dari hasil
analisis faktor. Alasan penulis menggunakan faktor skor ini ialah untuk menghindari
dampak negatif dari kesalahan pengukuran. Pada tahapan ini peneliti menguji
hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan menggunakan software
SPSS. Dalam regresi ada 3 hal yang dilihat, yaitu melihat besaran R-square untuk
mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV, kedua apakah
secara keseluruhan IV berpengaruh secara signifikan terhadap DV, kemudian terakhir
melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari IV. Pengujian hipotesis
dilakukan dilakukan dengan berapa tahapan. Langkah pertama peneliti melihat
besaran R-square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan
oleh IV. Lihat tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.6
Model Summary Analisis Regresi Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .358a .128 .109 7.480798
a. Predictors: (Constant), esteem, dissonance, absorption, workload, dedication, demands, efficacy, vigor, optimisme
85
Berdasarkan data pada tabel 4.6 dapat kita lihat bahwa perolehan Rsquare
sebesar 0,128 atau 12,8%. Artinya proporsi varians dari subjective wellbeing yang
dijelaskan oleh semua independen variabel adalah sebesar 12,8%. Sedangkan 87,2 %
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.
Langkah kedua peneliti menganalisis dampak dari seluruh independen
variabel terhadap subjective wellbeing. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.6
berikut:
Tabel 4.7
Anova Pengaruh Keseluruhan IV Terhadap DV
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 3453.533 9 383.726 6.857 .000a
Residual 23560.142 421 55.962
Total 27013.675 430
a. Predictors: (Constant), esteem, dissonance, absorption, workload, dedication, demands,
efficacy, vigor, optimism
b. Dependent Variable: swb
Berdasarkan pada tabel di atas, diketahui bahwa nilai Sig. pada kolom paling
kanan adalah sebesar 0.000. Dengan demikian diketahui bahwa nilai Sig. < 0.05,
maka hipotesis (mayor) nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan
dari dimensi totalitas kerja (vigor, dedication, absorption), dimensi tuntutan kerja
(workload, emotional demands, emotional dissonance) dan dimensi sumber daya
pribadi (optimisme, self efficacy dan self esteem) terhadap subjective wellbeing
ditolak. Artinya, ada pengaruh yang signifikan dari work engagement atau totalitas
86
kerja (vigor, dedication, absorption), tuntutan kerja (workload, emotional demands,
emotional dissonance) dan sumber daya pribadi (optimisme, self efficacy dan self
esteem) terhadap subjective wellbeing.
Langkah terakhir adalah melihat koefisien regresi dari masing-masing IV.
Untuk mengetahui signifikan atau tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan, dapat
dilihat melalui kolom Sig. (kolom keenam). Jika Sig. < 0.05 maka koefisien regresi
yang dihasilkan signifikan pengaruhnya terhadap subjective wellbeing, begitupun
sebaliknya. Adapun besarnya koefisien regresi dari masing-masing IV terhadap
subjective wellbeing dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut ini
Tabel 4.8
Koefisien Regresi
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 29.759 12.627 2.357 .019
Absorption -.011 .129 -.005 -.087 .931
Dedication .526 .258 .144 2.040 .042
Vigor -.087 .128 -.053 -.682 .495
Dissonance -.076 .049 -.084 -1.548 .122
Demands .001 .074 .001 .012 .991
Workload .044 .123 .019 .354 .724
Optimism .396 .160 .258 2.482 .013
Efficacy .035 .160 .021 .221 .825
Esteem .025 .072 .021 .346 .730
a. Dependent Variable: swb
Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.7 dapat disampaikan persamaan regresi
sebagai berikut:
87
SWB = 29,759 – 0,011 (absorption) + 0,526 (dedication) - 0,087 (vigor) - 0,076
(dissonance) + 0,001 (demands) + 0,044 (workload) + 0,396 (optimism) + 0,035
(efficacy) + 0,025 (organizational-based self esteem)
Dari tabel koefisien regresi di atas, terdapat dua variabel yang dikatakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing yakni dedication
atau dedikasi dan optimisme, sedangkan sisa lainnya tidak signifikan.
Hal ini berarti bahwa dari sembilan independen variabel, hanya dua variabel
yang dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing
yakni dedication atau dedikasi dan optimisme. Penjelasan dari nilai koefisien regresi
yang diperoleh pada masing-masing IV adalah sebagai berikut:
1. Variabel absorption atau penyerapan
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.011 dengan signifikansi sebesar
0.931 (> 0.05) dengan demikian Ho1 yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan dari absorption terhadap subjective wellbeing tidak ditolak.
Artinya, absorption tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
subjective wellbeing.
2. Variabel dedication atau dedikasi
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,526 dengan signifikansi sebesar
0,042 (< 0,05), dengan demikian Ho2 yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan dari dedication terhadap subjective wellbeing ditolak. Artinya,
dedication atau dedikasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
88
subjective wellbeing. Nilai koefisien variabel menunjukan arah positif artinya
semakin tinggi dedication maka semakin tinggi subjective wellbeing individu.
3. Variabel vigor atau semangat
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,087 dengan signifikansi sebesar
0,495 (> 0,05), dengan demikian Ho3 yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan dari vigor atau semangat terhadap subjective wellbeing tidak
ditolak. Artinya, vigor atau semangat tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap subjective wellbeing.
4. Variabel emotional dissonance
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0,076 dengan signifikansi sebesar
0,122 (> 0,05), dengan demikian Ho4 yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan dari emotional dissonance terhadap subjective wellbeing tidak
ditolak. Artinya, emotional dissonance tidak memiliki pengaruh positif yang
signifikan terhadap totalitas kerja.
5. Variabel emotional demands
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,001 dengan signifikansi sebesar
0,991 (> 0,05), dengan demikian Ho5 yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan dari emotional demands terhadap subjective wellbeing tidak
ditolak. Artinya, emotional demands tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap subjective wellbeing.
89
6. Variabel workload
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,044 dengan signifikansi sebesar
0,724 (> 0,05), dengan demikian Ho6 yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan dari workload terhadap subjective wellbeing tidak ditolak.
Artinya, workload tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
subjective wellbeing.
7. Variabel optimisme
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,396 dengan signifikansi sebesar
0,013 (< 0.05), dengan demikian Ho7 yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan dari optimisme terhadap subjective wellbeing ditolak. Artinya,
optimisme memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing.
Nilai koefisien variabel menunjukan arah positif artinya semakin tinggi
optimisme maka semakin tinggi subjective wellbeing individu.
8. Variabel self efficacy
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.035 dengan nilai P-value sebesar
0,825 (> 0,05), dengan demikian Ho8 yang menyatakan tidak ada pengaruh
yang signifikan dari self efficacy terhadap totalitas kerja karyawan tidak
ditolak. Artinya, self efficacy tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap subjective wellbeing.
9. Variabel organizational-based self esteem
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,025 dengan nilai P-value sebesar
0,730 (> 0,05), dengan demikian Ho7 yang menyatakan tidak ada pengaruh
90
yang signifikan dari organizational-based self esteem terhadap subjective
wellbeing tidak ditolak. Artinya, organizational-based self esteem tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing.
Proporsi Varians
Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui bagaimana sumbangan proporsi varians dari
masing-masing independent variable terhadap totalitas kerja. Berikut ini akan
disajikan tabel dimana dalam tabel tersebut terdiri atas kolom pertama (model) adalah
IV yang dianalisis satu persatu, kolom ketiga (R-Square) merupakan penambahan
varians DV dari tiap IV yang dianalisis satu persatu tersebut, kolom keenam (R-
square change) merupakan nilai murni varians DV dari tiap IV yang dianalisis satu
persatu, kolom ketujuh (F change) adalah nilai F hitung bagi IV yang bersangkutan,
kemudian kolom df ialah derajat kebebasan atau taraf nyata bagi IV yang
bersangkutan dan df terdiri atas numerator dan denumerator. Lalu yang terakhir
adalah kolom signifikansi (Sig. F change). Besarnya proporsi varians pada totalitas
kerja dapat dilihat pada tabel 4.9 berikut ini:
91
Tabel 4.9
Proporsi Varians untuk Masing–Masing Independent Variable
a. Predictors: (Constant), absorption
b. Predictors: (Constant), absorption, dedication
c. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor
d. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance
e. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands
f. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands, workload
g. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands, workload, optimism
h. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands, workload, optimisme, efficacy
i. Predictors: (Constant), absorption, dedication, vigor, dissonance, demands, workload, optimisme, efficacy, esteem
Berdasarkan data pada tabel 4.8 dapat disampaikan informasi sebagai berikut :
1. Variabel absorption memberikan sumbangan sebesar 2,9 % dalam varians
subjective wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change=
12,948 dan df1= 1 dan df2= 429 dengan Sig.F Change= 0,000 ( <0,05).
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
Change Statistics
R Square Change
F Change df1 df2
Sig. F Change
1 .171a .029 .027 .781819 .029 12.948 1 429 .000
2 .266b .071 .066 .765930 .041 18.984 1 428 .000
3 .266c .071 .064 .766783 .000 .048 1 427 .827
4 .273d .075 .066 .766065 .004 1.801 1 426 .180
5 .274e .075 .064 .766694 .001 .301 1 425 .584
6 .278f .077 .064 .766837 .002 .842 1 424 .359
7 .357g .128 .113 .746456 .050 24.470 1 423 .000
8 .357h .128 .111 .747299 .000 .046 1 422 .831
9 .358
i .128 .109 .748080 .000 .120 1 421 .730
92
2. Variabel dedication memberikan sumbangan sebesar 4,1% dalam subjective
wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change= 18,984 dan df1=
1 dan df2= 428 dengan Sig.F Change= 0,000 ( <0,05).
3. Variabel vigor memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians subjective
wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change= 0,048 dan
df1= 1 dan df2= 427 dengan Sig.F Change= 0,827 (>0,05).
4. Variabel emotional dissonance memberikan sumbangan sebesar 4 % dalam
varians subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F
Change= 1,801 dan df1= 1 dan df2= 426 dengan Sig.F Change= 0,180
(>0,05).
5. Variabel emotional demands memberikan sumbangan sebesar 1% dalam
varians subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F
Change= 0,301 dan df1= 1 dan df2= 425 dengan Sig.F Change= 0,584
(>0,05).
6. Variabel workload memberikan sumbangan sebesar 2% dalam varians
subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change=
0,842 dan df1= 1 dan df2= 424 dengan Sig.F Change= 0,359 (>0,05).
7. Variabel optimisme memberikan sumbangan sebesar 5% dalam varians
subjective wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan dengan F Change=
24,470 dan df1= 1 dan df2= 423 dengan Sig.F Change= 0,000 (<0,05).
93
8. Variabel self-efficacy memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians
subjective wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan dengan F Change=
0,046 dan df1= 1 dan df2= 422 dengan Sig.F Change= 0,831 (>0,05).
9. Variabel self-esteem (organizational based self-esteem) memberikan
sumbangan sebesar 0% dalam varians subjective wellbeing. Sumbangan
tersebut tidak signifikan dengan F Change= 0,20 dan df1= 1 dan df2= 421
dengan Sig.F Change= 0,730 (>0,05).
Dengan demikian, bahwa terdapat tiga IV dari sembilan IV, yaitu absorption,
dedication, dan optimisme yang mempengaruhi subjective wellbeing secara
signifikan jika dilihat dari besarnya R2 yang dihasilkan dari sumbangan proporsi
variabel yang diberikan.
Tabel 4.10
Kontribusi Independent Variable Terhadap Dependent Variable
Model Summary
Model R R Square
Adjusted
R Square
Std. Error of
the Estimate
Change Statistics
R Square
Change F Change df1 df2
Sig. F
Change
1 .266a .071 .064 7.667833 .071 10.817 3 427 .000
2 .278b .077 .064 7.668371 .006 .980 3 424 .402
3 .358c .128 .109 7.480798 .051 8.176 3 421 .000
a. Predictors: (Constant), vigor, absorption, dedication
b. Predictors: (Constant), vigor, absorption, dedication, demands, workload, dissonance
c. Predictors: (Constant), vigor, absorption, dedication, demands, workload, dissonance, esteem, efficacy, optimism
94
Dari tabel 4.10 diketahui bahwa semua dimensi dalam totalitas kerja
(absorption, dedication dan vigor) memberikan kontribusi sebesar 7,1% terhadap
subjective wellbeing. Untuk dimensi tuntutan kerja (emotional dissonance, emotional
demands dan workload) memberikan kontribusi sebesar 0,6% terhadap subjective
wellbeing. Kemudian untuk dimensi sumber daya pribadi (optimisme, self-efficacy
dan self-esteem) memberikan kontribusi sebesar 5,1% terhadap subjective wellbeing
95
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Dalam bagian ini memuat kesimpulan, diskusi, dan saran. Secara rinci dijelaskan
sebagai berikut:
5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian dan didapatkan hasil-hasil yang kemudian dianalisis
oleh peneliti, didapatkan kesimpulan yang juga merupakan jawaban dari
permasalahan penelitian. Berdasarkan analisis data penelitian maka kesimpulan yang
didapatkan dari penelitian ini adalah : “ada pengaruh yang signifikan totalitas kerja,
tuntutan kerja dan sumber daya pribadi terhadap subjective wellbeing”. Selanjutnya,
pada penelitian ini hanya terdapat dua variabel independent yang memberikan
pengaruh signifikn terhadap subjective wellbeing, yaitu dedication atau dedikasi dan
optimisme. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dari dedication atau dedikasi dan optimisme terhadap subjective wellbeing.
Kemudian jika dilihat berdasarkan sumbangan dari masing-masing vriabel, ternyata
terdapat tiga variabel yang signifikan sumbangannya. Variabel-variabel tersebut
antara lain absorption, dedication dan optimisme.
5.2 Diskusi
Hasil pengujian hipotesis pengaruh totalitas kerja, tuntutan kerja dan sumber
daya pribadi terhadap subjective wellbeing yang dilakukan peneliti menunjukkan
bahwa ada pengaruh yang signifikan dari seluruh independent variable terhadap
96
subjective wellbeing. Besarnya pengaruh seluruh independent variable terhadap
subjective wellbeing adalah sebesar 12,8%. %. Sedangkan 87,2 % sisanya
dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.
Totalitas kerja menjadi salah satu faktor yang menjadi variabel penentu
munculnya subjective wellbeing di suatu perusahaan atau instansi. Hal ini sejalan
dengan penelitian Bakker, Demerouti dan Schaufeli pada tahun 2003 dan Schaufeli &
Bakker, 2004 yang menyatakan bahwa totalitas kerja terkait dengan hasil-hasil positif
dalam organisasi seperti kepuasan kerja dan motivasi (Bakker et al, 2004). Peneliti
lain menyatakan bahwa totalitas kerja terkait dengan perilaku positif dalam organisasi
seperti inisiatif pribadi untuk bekerja dan mempunyai keinginan untuk belajar
(Sonnentag, 2003).
Selanjutnya, karyawan yang total dalam pekerjaan mereka cenderung
berkomitmen untuk organisasi mereka, sedangkan mereka yang totalitas kerjanya
rendah cenderung menunjukkan rendahnya komitmen terhadap organisasi mereka
(Blizzard, 2002). Peneliti lain menunjukkan bahwa karyawan yang total memiliki
energi dan self-efficacy yang tinggi dalam bekerja (Schaufeli et al., 2001). Karena
perilaku positifnya, karyawan yang total mendapatkan feedback yang baik, apresiasi
dan kesuksesan. Hal tersebut juga membuktikan bahwa orang yang total dalam
bekerja, subjective wellbeingnya akan meningkat.
Berdasarkan analisa yang dilakukan, peneliti menganalisa tiga dimensi
totalitas kerja yaitu absorption atau penyerapan, dedication atau dedikasi dan vigor
atau semangat. Ternyata diperoleh hasil yaitu variabel dedication memberikan
97
pengaruh signifikan sebesar 2,9%. Sedangkan jika di lihat dari sumbangan masing-
masing IV terhadap DV (proporsi varians), variabel absorption juga memberikan
sumbangan yang signifikan yakni 2,9% terhadap subjective wellbeing. Dedikasi dan
absorption atau penyerapan merupakan salah satu aspek terpenting pegawai untuk
meningkatkan totalitasnya dalam bekerja, sedangkan orang yang total dalam bekerja
akan memiliki subjective wellbeing yang tinggi. Semua pegawai pada instansi ini
memiliki dedikasi yang rendah sehingga mereka tidak total dalam bekerja. Karena
itulah berdasarkan analisis yang dilakukan dedication dan absorption berpengaruh
positif terhadap subjective wellbeing, dalam hal ini semakin rendah dedikasi maka
semakin rendah subjective wellbeing pegawai.
Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis uji hiptoesa penelitian, variabel vigor
atau semangat tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap subjective
wellbeing. Hal ini mungkin disebabkan karena pekerjaan tidak menuntut pegawai
untuk selalu berusaha dan bersemangat, pegawai tidak terpacu memberikan yang
terbaik bagi instansi tempatnya bekerja, semangat atau tidaknya pegawai dalam
bekerja dalam hal ini tidak berpengaruh terhadap subjective wellbeing pegawai.
Kemudian Grebner, Semmer, dan Elfering (2005) menyatakan tuntutan kerja
adalah satu hal yang mungkin menjadi penyebab buruknya wellbeing, kesehatan, dan
performa kerja (job performance). Tuntutan kerja dapat dikatakan memiliki hubungan
yang terbalik atau negatif dengan well-being, dimana semakin rendah tingkat tuntutan
kerja maka semakin tinggi tingkat well-being dan sebaliknya.
98
Pada penelitian ini, ketiga aspek dari tuntutan kerja, yakni emotional
dissonance, emotional demands dan workload tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap subjective wellbeing. Hal ini terjadi karena tuntutan kerja pegawai
rendah, subjective wellbeing pegawai pun tidak terlalu tinggi, tergolong sedang atau
biasa saja. Seharusnya, semakin rendah pekerjaan maka semakin tinggi tingkat
subjective wellbeing pegawai. Karena itulah, pada penelitian ini variabel tuntutan
pekerjaan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap subjective wellbeing.
Selanjutnya, penelitian membuktikan bahwa sumber daya pribadi atau
evaluasi diri yang positif dapat meningkatkan pencapaian, motivasi, kinerja, kepuasan
kerja, kepuasan hidup, dan lain sebagainya (lihat Judge, Van Vianen dan De Pater,
2004, dalam Bakker, 2011). Semakin tinggi sumber daya pribadi individu, semakin
tinggi kemungkinan seseorang dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Individu
yang memiliki motivasi intrinsik untuk mengejar tujuan-tujuan mereka, memiliki
kinerja dan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Bakker, 2011).
Berdasarkan hasil analisis uji hipotesa, penelitian ini menunjukkan bahwa dari
3 aspek sumber daya pribadi, hanya aspek optimismelah yang memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap subjective wellbeing. Hal ini sejalan dengan penelitian dari
Huda Ayyash-Abdo dan María-José Sánchez-Ruiz (2011) yang menyatakan bahwa
optimisme berpengaruh terhadap subjective wellbeing diantara mahasiswa Labanese
University. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Nursanti, H. D., (2012)
menunjukkan variabel optimisme pada subjek penelitian berada pada kategori tinggi.
Variabel subjective well-being pada subjek penelitian berada pada kriteria tinggi.
99
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
optimisme dengan subjective well-being dengan nilai r = 0,516 dengan nilai
signifikansi atau p = 0,000. Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungan positif
yang signifikan antara optimisme dengan subjective well-being pada karyawan
outsourcing PT Bank Rakyat Indonesia Cabang Cilacap. Sehingga semakin tinggi
optimisme yang dimiliki karyawan, maka semakin tinggi kebahagiaan dan kepuasan
hidupnya.
Dalam penelitian ini, variabel self efficacy tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap subjective wellbeing. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Maria Cristina J. Santos, Cipriano S. Magramo Jr, Faustino
Oguan Jr. dan JN Junnile Paat (2014) yang menyatakan bahwa self efficacy dan
subjective wellbeing memiliki hubungan yang positif dimana semakin tinggi self-
efficacy seseorang maka semakin tinggi subjective wellbeing orang tersebut, dan
sebaliknya.
Selanjutnya, pada penelitian ini variabel self-esteem atau organizational based
self esteem juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap subjective
wellbeing pegawai. Hal ini sejalan dengan Buehler, Griffin, & Ross (dalam Bakker &
Leiter, 2010) yang menyatakan tingginya organizational based self esteem dapat
menyebabkan seseorang meremehkan waktu sehingga tidak dapat mencapai
pencapaian tujuan dan mengakibatkan individu tersebut memiliki subjective
wellbeing yang rendah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dian-Zhi Liu
100
(2011) menyatakan bahwa self-esteem memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
subjective wellbeing pada pekerja rural migrant.
Berdasarkan data kategorisasi variabel yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya (bab 4), semua pegawai memiliki dedikasi yang rendah terhadap instansi
tempatnya bekerja, hal ini berarti pegawai pada instansi ini tidak merasa terlibat
dalam pekerjaannya, tidak menganggap pekerjaannya bermakna, tidak memiliki
antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan dalam bekerja. Pegawai pada
penelitian ini kebanyakan memiliki absorption yang rendah, hal ini berarti
kebanyakan pegawai tidak terlalu konsentrasi dan serius terhadap pekerjaannya,
pekerja tidak merasa larut atau menyatu dengan pekerjaannya. Hal ini mungkin
disebabkan karena tuntutan kerja mereka rendah (baik pada aspek workload,
emotional demands maupun emotional dissonance) sehingga pekerjaannya tidak
menuntutnya untuk berkonsentrasi, serius, dan terlibat penuh dalam pekerjaannya.
Pegawai tidak perlu berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan
sehingga pegawai tidak memiliki vigor atau semangat yang tinggi dalam bekerja.
Kategorisasi subjective wellbeing pegawai pada instansi ini pun rata-rata termasuk
dalam kategorisasi sedang dan rendah.
Dari hasil penelitian ini sebenarnya tidak serta-merta ditarik kesimpulan yang
menggugurkan teori yang ada. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap
sumber error yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara hasil penelitian
dengan teori. Di antara sekian banyak faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya
ketidaksesuaian antara hasil penelitian dengan teori di antaranya adalah kesalahan
101
dalam pengukuran (measurement error), kesalahan spesifikasi variable dan kesalahan
dalam sampling (sampling error). Sebaiknya, agar penelitian terhindar dari error
dalam penyimpulan, sumber-sumber error ini sebaiknya dapat dikontrol oleh peneliti.
Sebenarnya persoalan kesalahan dalam pengukuran sudah dikontrol dengan
baik. Bahkan analisis terhadap instrument yang digunakan termasuk salah satu aspek
yang difokuskan dalam penelitian ini.
Analisis instrument dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap.
Pertama, ketiga instrumen dianalisis dengan pendekatan Confirmatory Factor
Analysis (CFA) yang dimaksudkan untuk menguji apakah item yang disusun mampu
mengukur konstruk yang ingin diukur. Semua item dalam skala subjective wellbeing,
totalitas kerja, tuntutan kerja dan sumber daya pribadi memiliki t-value yang
memenuhi persyaratan untuk menentukan validitas item, yaitu >1,96 . hal ini berarti
setiap item dalam skala subjective wellbeing, totalitas kerja, tuntutan kerja dan
sumber daya pribadi mampu menghasilkan informasi tentang konstruk yang
ditetapkan secara teoritis.
Kedua, setelah dilakukan uji validitas menggunakan CFA, peneliti
memasukkan item yang valid dari setiap variabel ke dalam SPSS untuk dilakukan
multiple regression analysis. Akan tetapi sebelumnya seluruh item valid dari masing-
masing item tersebut distandarisasi terlebih dahulu menjadi Z-score lalu dikonversi
menjadi T-score. T-score dari masing-masing variable inilah yang digunakan untuk
melakukan multiple regression analysis.
102
Sumber kesalahan lain yang mempengaruhi hasil adalah spesifikasi variabel
yang diteliti. Dalam penelitian ini, subjective wellbeing dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Totalitas kerja dan sumber daya pribadi merupakan faktor
internal yang mempengaruhi subjective wellbeing, sedangkan tuntutan kerja adalah
faktor eksternal yang mempengaruhi subjective wellbeing. dilihat dari persoalan
spesifikasi variabel ini, penelitian ini sudah menggunakan tiga variabel sebagai
predictor.dilihat dari spesifikasi variabel, tidak ditemukan kesalahan dalam
menentukan variabel penelitian.
Sampling error juga merupakan salah satu sumber yang dapat menimbulkan
bias dalam penarikan kesimpulan penelitian. Hal ini bisa disebabkan karena peneliti
tidak turun langsung untuk membagi angket dikarenakan akan mengganggu proses
bekerja pegawai. Sehingga angket atau kuesioner diserahkah kepada pihak biro
organisasi dan kepegawaian instansi untuk disebarkan. Hal tersebut bisa membuat
responden tidak sesuai dalam mengisi angket yang menyebabkan sebaran data atau
jawaban tidak merata, sehingga mempengaruhi hasil penelitian. Oleh karena itu
seharusnya peneliti menggunakan simple random sampling.
Tak jarang terjadi penarikan sampel dengan non probability sampling dalam
kesimpulannya digeneralisasikan secara umum. Padahal, penelitian yang sampelnya
diambil dengan metode non probability sampling tidak bisa mengestimasi populasi.
Jadi kesimpulannya hanya berlaku bagi sampel dalam penelitian tersebut.
103
5.3 Saran
Berdasarkan penulisan penelitian ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat
banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu, peneliti memberikan beberapa saran
untuk bahan pertimbangan sebagai penyempurnaan penelitian selanjutnya, baik
berupa saran teoritis dan saran praktis.
5.3.1 Saran Teoritis
1. Untuk penelitian selanjutnya, masih banyak variabel yang belum diteliti
seperti burnout, job resources, spiritualitas, psychological capital, dan lain
sebagainya jika ingin melakukan penelitian tentang subjective wellbeing
dalam konteks pekerjaan.
2. Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan sampel yang berbeda.
Sebaiknya sampel yang digunakan adalah subjek yang bekerja pada
perusahaan atau pada pekerja kesehatan seperti dokter atau perawat, karena
tuntutan kerja dan sumber daya pekerjaan yang berbeda akan menghasilkan
hasil penelitian yang bervariasi.
3. Peneliti selanjutnya juga diharapkan bisa langsung turun lapangan untuk
menghindari bias atau ketidaksesuaian respondendalam mengisi angket atau
kuesioner sehingga jawaban responden merata.
5.3.2 Saran Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan yang positif bagi instansi
untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi subjective
wellbeing karyawan seperti tuntutan kerja, sumber daya pribadi dan totalitas
104
kerja karena organisasi yang berhasil adalah organisasi dimana karyawannya
merasa sejahtera dalam bekerja.
2. Hendaknya Instansi lebih memperbanyak kegiatan pembinaan mental seperti
training motivasi dan kegiatan outbound, yang bertujuan untuk meningkatkan
optimisme, dedikasi, absorption pegawai agar memiliki subjective well-being
yang tinggi.
.
105
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, F., & Robinson, J. (1991). Measures of subjective well being. In J. P.
Robinson, P. R. Shaver, & L. S. Wrightsman (Eds.), Measures of personality
and social psychological attitudes (61-67). San Diego: Academic Press.
Bakker, A. B. & Oerlemans, W. G. M, (2010). Subjective well-being in
organizations. In K. Cameron & G. Spreitzer (Eds.), Handbook of Positive
Organizational Scholarship. Oxford University Press.
Bakker, A. B. & Damerouti, E., (2006). The job demands-resources model: State of
the art. Journal of Managerial Psychology, 22 (3), 309-328.
Bakker,A.B. & Leiter, M.P. (2010). Work Engagement: Introduction, In Bakker,
A.B.,& Leiter, M.P (Eds) Work Engagement : a handbook of essential
theory and research. New York: Psychology Press. Books.
Bakker, A. B., Damerouti, E. & Schaufeli. W. B. (2003). Dual processes at work in a
call centre: An application of the job demands – resources model. Europan
Journal Of Work and Organizational Psychology, 12 (4), 393–417.
Bakker, A. B., Damerouti, E. & Euwema, M. C. (2005). Job resources buffer the
impact of job demands on burnout. Journal of Occupational Health
Psychology, 10 (2), 170–180.
Bakker, A. B., Damerouti, E. & Verbeke. W. (2004). Using the job demands-
resources model to predict burnout and performance. Human Resource
Management, 43 (1), 83–104.
Bakker, A. B., Demerouti, E., Taris, T. W., Schaufeli, W. B. & Schreurs, P. J. G.
(2003). A multigroup snalysis of job demands model in four home care
organization. International Journal Of Stres Management, 10 (1), 16-38.
Bandura, A. (1989). Social cognitive theory. In R. Vasta (Ed.), Annals of child
development. Six theories of child development, 6 (1-60). Greenwich, CT:
JAI Press.
Broeck, A.,V., Ruysseveldt, J.V., Vanbelle, E & Witte, H. D. (2013). The job
demands-resources model: overview and suggestion for the future research. In
Bakker, A.B (ed). Advances in Positive Organizational Psychology 1 (83-
105). UK; Emerald Group Publishing Limited.
106
Carr, Alan. (2004). Positive psychology: the science of happiness and human
strenght. New-York: Brunner-Routledge.
Campbell, A., Converse, P. E., and Rodgers, W. L. 1976. The Quality of American
Life: Perceptions, Evaluations, and Satisfactions. NewYork: Russell Sage
Foundation.
Chen, G., Gully, S. M., & Eden, D. (2001). Validation of a new general self-efficacy
scale. Organizational Research Methods, 4 (1), 62-83.
Coetzer, C.F & Rothmann, S. (2007). Job demands, job resources and work
engagement of employees in a manucfaturing organization. South of Africa
Bussines Review, 11(3), 20-35.
Damerouti, E., Bakker, A. B., Nachreiner, F. & Schaufeli, W. B. (2001). The job
demands–resources model of burnout. Journal of Applied Psychology, 86,
499–512.
Diener, E., Wirtz, D., Tov, W., Kim-Prieto, C., Choi. D., Oishi, S., & Biswas-Diener,
R.(2009). New measures of well-being: Flourishing and positive and negative
feelings. Social Indicators Research, 39, 247-266.
Diener, Carol. & Diener, Ed. (1996). Psychological science: research report, most
people are happy. American Psychological Society, 7 (3).
Diener, E. & Lucas, R.E. (1999). Personality and Subjective Well-Being. Dalam D.
Kahneman, E. Diener & N. Schwarz (Eds). Well being the foundations of
hedonic psychology (795-814). New York: Oxford University Press, Inc.
Diener, Ed., Lucas, Richard. E. & Oishi, Shigero. (2005). Subjective well being: the
science of happiness and life satisfaction. Dalam C.R. Snyder & S.J. Lopez
(edtr.), Handbook of positive psychology (63-73). New York: Oxford
University Press.
Diener, Ed., Lucas, Richard. E. & Oihi, Shigero. (2003). Personality, culture, and
subjective well being: emotional and cognitive evaluation of life. Annual
Reviews, 54, 403-426.
Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J. & Griffin, S. (1985). The satisfaction with
life scale. Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.
107
Eddington, N. & Shuman, R. (2005). Subjective well being (happiness). Continuing
psychology education: 6 continuing education hours. Diunduh pada 7 Februari
2014 dari http://www.texcpe.com/cpe/PDF/ca-happiness.pdf.
Eid, M. & Larsen, R.J. (2008). The Science of Subjective Well-Being. New York :
Guilford Press. Guilford Publications 72 Spring Street New York, NY 10012
212-431-9800 800-365-7006 www.guilford.com.
Farid, M. & Lazarus, H. (2008). Subjective well-being in rich and poor countries.
Journal of Management Development, 27 (10), 1053-1065.
Guttman, Levy, Louis, Shlomit (1982). "On the definition and varieties of attitude
and wellbeing". Social Indicators Research 10 (2): 159.
doi:10.1007/bf00302508.
Grant JE, Kim SW, Odlaug BL. N-acetyl cysteine, a glutamate-modulating agent, in
the treatment of pathological gambling: A pilot study. Biol Psychiatry.
2007;62:652–657.
Heuvel, M.V., Demerouti, E., Schaufeli. W.B., & Bakker. A.B. (2010). Personal
Resources and Work Engagement in the Face of Change. In Houdmont, J &
Leka, S (ed) Contemporary Occupational Health Psychology : Global
Perspective on Research and Practice (125-150). UK: Jhon Wiley & Sons Ltd.
Hobfoll, S E and Leiberman, J R, (1987). Personality and social resources in
immediate and continued stress-resistance among women. Journal of
Personality and Social Psychology, 52, 18–26.
Hobfoll, S. E., Johnson, R. J., Ennis, N., & Jackson, A. P. (2003). Resources loss,
resources gain, and emotional outcomes among inner city women. Journal of
Personality and Social Psychology, 84, 632–643. doi: 10.1037/0022-
3514.84.3.632.
Hurlock, E.B. (2007). Developmental psychology: A life – span approach. New
Delhi: Tata McGraw – Hill.
Inoue, A., Kawakami, N., Tsutsumi, A., Shimazu, A., Miyaki, K., Takahashi, M.,
Kurioka, S., Eguchi, H., Tsuchiya, M., Enta, K., Kosugi, Y., Sakata, T., dan
Totsuzaki, T. (2014). Association of job demands with work engagement of
japanese employees: Comparison of Challenges with Hindrances (J-HOPE).
DOI: 10.1371/journal.pone.0091583.
108
Iwanaga, M., Yokoyama, H. & Seiwa, H. (2004). Coping availability and stress
reduction for optimistic and pessimistic individuals. Personality and
Individual Difference, 36,11-22.
Jöreskog, K. G., & Sörbom, D. (1989). Lisrel 7: User’s Reference Guide.
Mooresville: Scientific Software, Inc.
Karasek, Robert A, Jr. (1979). Job demands, job decision latitude, and mental
strain: Implication for Job Redesign. Administrative Science Quarterly, 24,
285-308.
Kitaoka-Higashiguchi, K., Nakagawa, H., Morikawa, Y., Ishizaki, M., Miura, K.,
Naruse, Y., & Kido, T. (2002). The association between job demand, control,
and depression, in workplaces in Japan. Journal of Occupational Health, 44,
nn 427-428.
Kristensen, T. S., Bjorner, J. B., Christensen, K. B., & Borg, V. (2004). Distinction
Between Work Pace and Working Hours in the Measurement of Quantitative
Demands at Work. Work & Stress, 18, 4, 305-322.
Langelaan, S., Bakker, A. B., Doornen, L. J. P., Schaufeli, W. B. (2006) Burnout and
work engagement: Do individual differences make a difference?. Personality
and Individual Differences 40, 521–532.
Lockwood, N. (2007). Leveraging Employee Engagement for Competitive Advantage
HR Strategic Role. SHRM Research.
Love, P.E.D., Irani, Z., Standing, C., dan Themistocleous, M. (2007). Influence of
job demands, job control and social support on information systems
professionals’ psychological well-being. International Journal of Manpower,
28, 6, 513-528.
Luthans, Youssef & Avolio. (2007). Psychological Capital : Developing the Human
Competitive Edge. Oxford University Press.
Mauno, S., Kinnunen, U., Ruokolainen, M., 2007. Job demands and resources as
antecedents of work engagement: a longitudinal study. Journal of Vocational
Behavior, 70 (1), 149–171.
Maslach, C., Schaufeli, W.B. and Leiter, M.P. (2001), “Job burnout”, Annual Review
of Psychology, 52, 397-422.
109
Mastenbroek, Jaarsma, Scherpbier, van Beukelen & Demerouti. E (2014). The role
of personal resources in explaining well-being and performance: A study
among young veterinary Professionals. European Journal of Work and
Organizational Psychology, 37-41.
Mikkelsen TS, Hillier LD, Eichler EE, et al. (11 co-authors). 2005. Initial sequence of
the chimpanzee genome and comparison with the human genome. Nature.
437, 69–87.
Panari, Guglielmi, Ricci, Tabanelli, & Violante (2012). Assessing and improving
health in the workplace: an integration of subjective and objective measures
with the STress Assessment and Research Toolkit (St.A.R.T.) method.
Journal of Occupational Medicine and Toxicology, 7 (18).
Pedhazur, E. J. (1997), Multiple Regression in Behavioral Research: Explanation and
Prediction (3rd ed.), Orlando: Harcourt Brace College.
Pierce, J. L., Gardner, D. G., (2004). Self-esteem within the work and
organizational context: A review of the organization-based self-esteem
literature. Journal of Management 30(5) 591–622.
Robbins, S. & Kliewer, W. (2000). Advances in theory and research on subjective
wellbeing. In S. Brown and R. Lent (Eds.) Handbook of counseling
psychology. (p.310-345). USA: John Wiley & Sons.
Robertson, I., Cooper, C.L. (2011). Well-being: Productivity and Happiness at Work.
London: Palgrave Macmillan.
Rothmann, S., Mostert, K., Strydom, M. (2006). A psychometric evaluation of the
job demands-resources scale in South Africa. SA Journal of Industrial
Psychology, 32 (4), 76-86.
Royo, Monica Guillen & Jackeline Velazco. (2005, Juny). Exploring the
relationship between happiness, objective and subjective well-being: evidence
from rural thailand. ESRC Research Group on Well-being in Developing
Countries, University of Bath, Great Britain.
Russell, J.E.A. 2008. Promoting subjective well-being at Work. Journal of Career
Assessment, 16, 118-132.
Ryan, R. M. & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of
research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review Psychology
52, 141–66.
110
Salanova, M., & Schaufeli, W.B. (2008). A cross-national study of work engagement
as a mediator between job resources and proactive behaviour. The
International Journal of Human Resource Management, 19 (1).
Schaufeli, W. B. & Bakker, A.,B. (2010). Defining and measuring work engagement:
Bring Clarity to the concept, In Bakker, A.B.,&Leiter, M.P (Eds) Work
Engagement : a handbook of essential theory and research. New York:
Psychology Press.
Schaufeli , W. B. & Bakker, A. B. (2001). Dual processes at work in a call centre: An
application of the job demands – resources model. Europan Journal Of Work
And Organizational Psychology, 2003, 12 (4), 393–417.
Schaufeli, W. B., Salanova, M., Gonza´lez-Roma´, V. & Bakker, A. B. (2002). The
measurement of engagement and burnout and: a confirmative analytic
approach. Journal of Happiness Studies, 3, 71–92.
Schaufeli, W. B., Salanova, M., & Bakker, A. B. (2006). The Measurement of Work
Engagement With a Short Questionnaire A Cross-National Study.
Educational and Psychological Measurement, 66 (4), 701-716.
Schaufeli, W.B. & Bakker, A.B. (2004). Job demands, job resources, and their
relationship with burnout and engagement: a multi-sample study. Journal of
Organizational Behavior, 25, 293–315.
Schaufeli, W. B.& Martinez, I. M. (2002). Burnout and engagement in University
Students. Journal Of Cross-Cultural Psychology, 33 (5), 464-481.
Schaufeli, W. B., Taris, T. W., Rhenan, W. (2008). Workaholism, Burnout, and Work
Engagement:Three of a Kind or Three Different Kinds of Employee Well-
being?. International Association of Applied Psychology. Blackwell
Publishing, 9600 Garsington Road, Oxford OX4 2DQ, UK and 350 Main
Street, Malden, MA 02148, USA, 57 (2), 173–203.
Scheier, Michael F., Charles S. Carver, and Michael W. Bridges. (2001). “Optimism,
Pessimism, and Psychological Well-being,” in Optimism & Pessimism:
Implications for Theory, Research, and Practice, Edward C. Chang, editor
(Washington, DC: American Psychological Association).
Seligman, M. E. P., Parks, A., & Steen, T. (2004). A balanced psychology and a full
life. The Royal Society, Philosophical Transactions: Biological Sciences, 359,
1379-1381.
111
Shaleh, A.R. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dosen. Disertasi
UGM. Tidak diterbitkan,
Sugiyono. (2004). Metode penelitian bisnis. Alfabeta, CV. Bandung.
Soini H. T., Katarina S. Aro, M. Niemivirta. (2007). Achievement goal orientations
and subjective well-being: A person-centred analysis. Elsevier Learning and
Instruction, 18, 251-266.
Tooren, M. V., Jonge, J. D., Vlerick, V., Daniels, K. & Ven, B. V. (2011).
International.Journal Behavioral Medicine, open access at Springerlink.com,
18, 373–383.
Umar, J. (2013). JP3I (Jurnal Pengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia).
Ciputat : Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 11 (5), 338-339.
Watson, D. & Tellegen, A. (1985). Toward a consensual structure of mood.
Psychological Bulletin, 98, 219-235.
Wood, S., Stride, C., Threaplethn, K., Wearn, E., Nolan, F., Osborn, D., Paul, M. &
Johnson, S. (2011). Demands, control, supportive relationship and well-being
amongst British mental Health Worker. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol,
46, 1055-1068
Wright, T.A. & Bonnet, D.G. 2007. Job satisfaction and psychological well-being as
Nonaddictive Predictors of Workplace Turnover. Journal of Management, 33:
141-161.
Xanthopoulou, D., Bakker, A. B., Demerouti, E., &Schaufeli, W. B. (2007).The role
of personal resources in the job demands-resources model.International
Journal of Stress Management, 14, 121–141.
Xanthopoulou. D., Bakker, A. B., Fischbach, A. (2013). Work engagement among
employees facing emotional demands The role of personal resources. Journal
of Personnel Psychology, 12 (2):74–84.
Zulkarnain & Akbar, K. P. (2013). Analysis of psychological well-being and turnover
intentions of hotel employees: An empirical study. International Journal of
Innovation and Applied Studies, 3 (3), 662-671.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Saya mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saat ini sedang melakukan penelitian yang merupakan persyaratan untuk mencapai gelar
sarjana Psikologi. Oleh karena itu kami mengharapkan bantuan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk
mengisi angket ini.
Dalam menjawab angket ini tidak ada jawaban salah atau benar, maka
Bapak/Ibu/Saudara/i bebas menentukan jawaban yang paling sesuai dengan diri
Bapak/Ibu/Saudara/i. Setiap jawaban yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan akan terjamin
kerahasiaannya dan hanya dipakai untuk penelitian ini saja.
Bacalah petunjuk pengisian terlebih dahulu. Setelah selesai mengisi angket ini mohon
diteliti kembali jawaban Bapak/Ibu/Saudara/i agar tidak ada pernyataan yang tidak terjawab atau
terlewati.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, Juli 2014
Hormat saya,
Peneliti
Data Responden
Inisial :
Jenis Kelamin :
Pendidikan terakhir :
Jumlah Penghasilan :
Status :
Lama Bekerja :
Petunjuk Pengisian
Pernyataan di bawah ini menggambarkan bagaimana Bapak/Ibu/Sdr/i menilai diri
Bapak/Ibu/Sdr/i dalam enam bulan terakhir ini. Gunakan skala berikut untuk menunjukkan
tingkat kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan kondisi Bapak/Ibu/Sdr/i pada setiap pernyataan.
(1= Sangat Sesuai, 2= Tidak Sesuai, 3= Agak Sesuai, 4= Sesuai, 5= Sangat Sesuai).
Contoh
No. Pernyataan 1 2 3 4 5
1. Sejauh ini saya merasa kesehatan saya
baik.
Selamat Mengerjakan
Skala 1
No Pernyataan 1 2 3 4 5
1 Dalam banyak hal, hidup saya mendekati
ideal.
2 Kondisi hidup saya sangat bagus.
3 Saya puas dengan hidup saya.
4 Sejauh ini saya mendapatkan hal-hal penting
yang saya mau dalam hidup.
5 Jika saya bisa mengubah hidup saya, saya
hampir tidak mau mengubah hal sedikit pun.
Skala 2
No Pernyataan 1 2 3 4 5
1 Saya selalu merasa senang berangkat bekerja.
2 Di tempat saya bekerja, saya sering merasa
tidak bertenaga.
3 Saya selalu tekun bekerja, meskipun ada hal
yang tidak sesuai dengan harapan saya.
4 Saya dapat bekerja dalam waktu yang lama
pada satu periode pekerjaan.
5 Saya memiliki mental yang sangat kuat dalam
bidang pekerjaan saya.
6 Saya merasa sangat kuat dan bersemangat
dalam pekerjaan saya.
7 Bekerja sabagai pegawai negeri menurut saya
sangatlah menantang.
8 Pekerjaan saya menginspirasikan diri saya
dalam setiap aspek kehidupan saya.
9 Saya sangat antusias dengan segala hal yang
berhubungan dengan pekerjaan saya.
10 Saya bangga dengan pekerjaan yang saya
lakukan.
11
Berkaitan dengan pekerjaan, saya telah
menemukn satu pekerjaan yang sangat
bermakna dan penuh harapan.
12 Pada saat sedang bekerja, saya bisa lupa
dengan sekeliling saya.
13 Waktu berjalan tak terasa ketika saya sedang
bekerja.
14 Saya merasa terhanyut dalam pekerjaan saat
saya bekerja.
15
Sungguh sulit untuk mengalihkan saya dari
pekerjaan ketika saya sedang
mengerjakannya.
16 Saya sangat menyelami pekerjaan saya.
17 Saya merasa bahagia ketika saya bekerja
sangat intense.
Skala 3
No Pernyataan 1 2 3 4 5
1 Saya memiliki terlalu banyak pekerjaan untuk
dikerjakan.
2 Saya bekerja dibawah tekanan.
3 Saya penuh perhatian dalam banyak hal diwaktu
yang sama.
4 Saya harus memberikan perhatian terus-menerus
terhadap pekerjaan saya.
5 Pekerjaan saya menuntut secara emosional.
6
Dalam pekerjaan saya, saya dihadapkan dengan
hal-hal pribadi yang secara personal menyentuh
saya.
7 Saya menghadapi situasi emosional dalam
pekerjaan saya.
8 Selama bekerja, saya sering menekan perasaan
saya.
9
Selama bekerja, saya sering mengekspresikan
perasaan positif saya terhadap klien ataupun
mitra kerja sementara saya merasa sebaliknya.
10 Selama bekerja, saya harus mengerti klien atau
mitra kerja yang mengganggu.
Skala 4
No Pernyataan 1 2 3 4 5
1 Saya merasa percaya diri dapat menyelesaikan
semua masalah yang saya hadapi.
2 Saya merasa percaya diri menampilkan karya
saya dalam pertemuan apapun yang saya hadiri.
3 Saya yakin sekali dapat memberi masukan pada
kemajuan tempat saya bekerja.
4
Saya yakin sekali dapat memberi masukan pada
organisasi saya dalam menyusun dan mencapai
target-target kerjanya.
5
Saya yakin dan percaya dengan kemampuan saya
ketika harus berhubungan dengan orang lain di
luar instansi tempat saya bekerja untuk
mendiskusikan berbagai masalah yang relevan.
6
Saya percaya diri dalam mempresentasi
informasi yang terkait dengan perkembangan
pengetahuan di hadapan kolega.
7 Saya dapat menemukan jalan keluar dari setiap
tekanan dalam pekerjaan saya.
8 Pada saat ini, saya merasa sangat energik dalam
mencapai target kerja saya.
9 Selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah.
10 Saya merasa yakin bahwa saya akan meraih
kesuksesan dalam karir saya.
11 Saya memiliki banyak cara untuk sukses dalam
karir saya.
12 Saya dianggap orang yang serius.
13 Saya dapat dipercaya.
14 Saya orang yang penting.
15 Saya dapat membuat sebuah perubahan.
16 Saya berharga.
17 Saya suka menolong.
18 Saya cukup bisa diandalkan.
19 Saya cukup bisa diajak bekerja sama.
20 Saya adalah orang yang dapat dipercaya.
21 Saya orang yang efisien.
Mohon periksa kembali lembar angket ini agar tidak ada pernyataan yang terlewat.
Terimakasih