pengaruh surfaktan nonionik dan pengadukan … · biologi. upaya pengolahan limbah minyak bumi dan...

38
PROFIL KELARUTAN LIMBAH MINYAK BUMI DALAM AIR AKIBAT PENGARUH SURFAKTAN NONIONIK DAN LAJU PENGADUKAN ASRIQA SARY PURWADAYU DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Upload: tranduong

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PROFIL KELARUTAN LIMBAH MINYAK BUMI DALAM

AIR AKIBAT PENGARUH SURFAKTAN NONIONIK DAN

LAJU PENGADUKAN

ASRIQA SARY PURWADAYU

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

ABSTRAK

ASRIQA SARY PURWADAYU. Profil Kelarutan Limbah Minyak Bumi dalam Air

akibat Pengaruh Surfaktan Nonionik dan Laju Pengadukan. Dibimbing oleh AHMAD

SJAHRIZA dan CHARLENA

Limbah minyak bumi merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pemulihan lahan

tercemar oleh minyak bumi dapat dilakukan dengan menggunakan kapasitas kemampuan

mikroorganisme. Penambahan surfaktan nonionik dan pengadukan akan meningkatkan kelarutan minyak dalam air sehingga mempermudah kontak antara mikroorganisme dan

sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya.

Pada penelitian ini, surfaktan yang digunakan adalah Tween 80 dan Brij 35. Parameter yang diamati adalah konsentrasi surfaktan dan laju pengadukan. Konsentrasi

surfaktan ditentukan dari nilai tegangan permukaan dan stabilitas emulsi. Stabilitas

emulsi tertinggi untuk Tween 80 sebesar 0.24% pada konsentrasi 0.0175%, sedangkan

Brij 35 sebesar 0.22% pada konsentrasi 0.0150%. Laju pengadukan yang digunakan adalah 100, 120, dan 140 rpm. Laju pengadukan optimum diperoleh pada nilai 140 rpm,

hal ini didasarkan pada nilai TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) cair. Nilai TPH cair

pada laju 100, 120, dan 140 rpm untuk Twen 80 dan Brij 35 berturut-turut sebesar 0.25, 0.32, 0.40 dan 0.36, 0.55, 0.74%. Nilai TPH cair menggambarkan banyaknya minyak

yang terdispersi ke dalam air. Parameter lain seperti TPH padat dan COD (Chemical

Oxygen Demand) yang diperoleh pada laju 140 rpm sebesar 15.56% dan 41235 mg/L

untuk Tween 80, sedangkan untuk Brij 35 sebesar 16.55% dan 41717 mg/L.

ABSTRACT

ASRIQA SARY PURWADAYU. Solubility Profile of Petroleum Waste In Water as Effect of Nonionic Surfactant and Stirring Rate. Supervised by AHMAD SJAHRIZA and

CHARLENA.

Petroleum waste is classified as a dangerous waste that cause pollution and damage the environtment. The remediation of petroleum polluted soil could be done by

microorganism capability. Additional of nonionic surfactant and stirring rate would make

soil dispersed well in water, facilitating good contact between microorganism and

petroleum carbon as its feed. In this research, Tween 80 and Brij 35 were used as surfactants. The observed

parameters were concentrations and stirring rates. Surfactant concentration was selected

based on surface tension value and emulsion stability. The highest emulsion stability for Tween 80 observed was 0.24% at concentration 0.0175%, while for Brij 35 equal to

0.22% at concentration 0.0150%. Stirring rates were applied 100, 120, and 140 rpm,

successively based on liquid Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) value. Liquid TPH value at 100, 120, and 140 rpm for Tween 80 and Brij 35 were 0.25, 0.32, 0.40 and 0.36,

0.55, 0.74%, successively. Liquid TPH depicted amount of oil that was dispersed into the

water. The other parameters such as solid TPH and Chemical Oxygen Demand (COD)

obtained for 140 rpm were 15.56% and 41235 mg/L for Tween 80 while for Brij 35 equal to 16.55% and 41717 mg/L.

3

PROFIL KELARUTAN LIMBAH MINYAK BUMI DALAM

AIR AKIBAT PENGARUH SURFAKTAN NONIONIK DAN

LAJU PENGADUKAN

ASRIQA SARY PURWADAYU

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

Judul : Profil Kelarutan Limbah Minyak Bumi dalam Air Akibat Pengaruh

Surfaktan Nonionik dan Laju Pengadukan

Nama : Asriqa Sary Purwadayu

NIM : G44203021

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Ahmad Sjahriza Dra. Charlena, M.Si

NIP 196204061989031002 NIP 19671222994032002

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Hasim, DEA

NIP 196103281986011002

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah berjudul Profil Kelarutan

Limbah Minyak Bumi dalam Air akibat Pengaruh Surfaktan Nonionik dan Laju

Pengadukan merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan mulai bulan November 2009 sampai Maret 2009 di Laboratorium Kimia Fisik dan Lingkungan dan Laboratorium

Kimia Terpadu Departemen Kimia FMIPA IPB.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini, di antaranya Bapak Drs. Ahmad Sjahriza dan Ibu Dra.

Charlena, M.Si selaku pembimbing yang memberikan masukan, pengarahan, dan

dorongan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Papa, Mama, De Ninik, De Kasan, dan Miftahul Anwar Abdillah

tercinta atas segala cinta, kasih sayang, semangat, kesabaran, dan doa yang diberikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf Departemen Kimia IPB, Ibu Ai,

Bapak Nano, dan Bapak Mail. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Iya’, Nita, Elin, Yudhi,

Sari, Cici’, Diyana, Melissa, Rize, Corry, Rully, Dandung, dan teman-teman di Tim

Bioremediasi (Kak Zaky, Rony, Anjar, Yockie, Joko, Noviadi, Niken, Eka, Tanti) atas dukungan dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2009

Asriqa Sary Purwadayu

6

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bondowoso, Jawa Timur pada tanggal 22 Januari 1985

sebagai anak tunggal pasangan Joko Hadiwarnoyo dan Aspi’ah. Tahun 2003 penulis menyelesaikan studi di SMU Negeri 2 Bondowoso. Pada tahun yang sama penulis lulus

seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI) pada Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT Polyprima Karyareksa, Cilegon, Banten. Judul yang dipilih adalah Korelasi antara Ukuran Partikel dan Kadar Pengotor

Organik dalam Crude Terephthalic Acid (CTA) dan Pure Terephthalic Acid (PTA).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Anorganik, Kimia Dasar, dan Spektroskopi I Program Diploma Analisis Kimia IPB tahun

ajaran 2008/2009.

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. viii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ ix

PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Minyak Bumi ........................................................................................ 1

Surfaktan ........................................................................................................... 2

Tegangan Permukaan ......................................................................................... 3 Emulsi ............................................................................................................... 3

Busa .................................................................................................................. 4

Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) ................................................................. 4 Chemical Oxygen Demand (COD) ..................................................................... 4

BAHAN DAN LINGKUP Bahan dan Alat .................................................................................................. 4

Lingkup Penelitian ............................................................................................. 4

HASIL DAN PEMBAHASAN Tegangan Permukaan ......................................................................................... 6

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan pada Stabilitas Emulsi .................................... 7

Tinggi Busa ....................................................................................................... 7 pH .................................................................................................................... 8

Pengaruh Pengadukan terhadap Nilai TPH ......................................................... 8

Pengaruh Pengadukan terhadap Nilai COD ........................................................ 10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ........................................................................................................... 10

Saran ................................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 11

LAMPIRAN ............................................................................................................... 13

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai pH sebelum dan sesudah pengadukan.............................................................. 8

2 Nilai TPH cair sampel ............................................................................................. 9

3 Nilai TPH padat sampel ........................................................................................... 9

4 Persentase hidrokarbon minyak bumi yang larut dalam air ....................................... 9

5 Persentase hidrokarbon minyak bumi yang tertinggal di padatan .............................. 9

6 Nilai COD sampel ................................................................................................... 10

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur molekul Tween 80 .................................................................................... 3

2 Struktur molekul Brij 35 .......................................................................................... 3

3 Metode cincin Du Noủy .......................................................................................... 3

4 Tegangan permukaan Tween 80 .............................................................................. 6

5 Tegangan permukaan Brij 35 ................................................................................... 6

6 Stabilitas emulsi Tween 80 ...................................................................................... 7

7 Stabilitas emulsi Brij 35 .......................................................................................... 7

8 Pembentukan busa Tween 80................................................................................... 8

9 Pembentukan busa Brij 35 ....................................................................................... 8

10 Hasil pengukuran TPH cair...................................................................................... 9

11 Hasil pengukuran TPH padat ................................................................................... 9

12 Hidrokarbon minyak bumi dalam air ....................................................................... 10

13 Hidrokarbon minyak bumi dalam padatan ................................................................ 10

14 Hasil pengukuran COD ........................................................................................... 10

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Diagram alir penelitian ............................................................................................ 14

2 Penentuan densitas larutan Tween 80 ....................................................................... 15

3 Penentuan tegangan permukaan Tween 80 dengan metode cincin Du Noűy ............. 16

4 Penentuan densitas larutan Brij 35 ........................................................................... 17

5 Penentuan tegangan permukaan Brij 35 dengan metode cincin Du Noűy .................. 18

6 Pengukuran stabilitas emulsi Tween 80 ................................................................... 19

7 Pengukuran stabilitas emulsi Brij 35 ....................................................................... 19

8 Pengukuran busa Tween 80 ..................................................................................... 20

9 Pengukuran busa Brij 35.......................................................................................... 21

10 Pengukuran TPH padat sampel awal ........................................................................ 22

11 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan .................................................... 22

12 Pengukuran TPH cair setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan ................ 23

13 Pengukuran TPH padat setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan ............. 24

14 Pengukuran COD setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan ...................... 25

15 Hidrokarbon minyak bumi dalam air dan padatan ................................................... 26

16 Standardisasi larutan FAS 0.5000 N dengan larutan K2Cr2O7 0.0252 N .................... 27

17 Pembuatan pereaksi COD ........................................................................................ 27

1

PENDAHULUAN

Penanggulangan pencemaran akibat

limbah minyak bumi dapat dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu secara fisika, kimia, dan

biologi. Upaya pengolahan limbah minyak

bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak

bumi dapat dilakukan dengan pengolahan

secara biologis sebagai alternatif teknologi

pengolahan limbah minyak bumi. Hal ini

dilakukan untuk mencegah penyebaran dan

penyerapan minyak kedalam tanah. Penanggulangan tumpahan minyak bumi

secara fisika biasanya digunakan pada awal

penanganan. Pada penanganan ini, tumpahan

minyak bumi diatasi secara cepat sebelum

menyebar kemana-mana. Minyak bumi yang

terkumpul di permukaan dapat diambil

kembali, misalnya dengan oil skimmer,

sedangkan yang mengendap sulit diambil

secara fisika. Pengambilan minyak di

permukaan tidak dapat dilakukan secara

tuntas. Apabila minyak sudah menyebar

kemana-mana, cara ini sulit dilakukan (Prince et al. 2003). Penanggulangan secara kimia

dilakukan dengan mencari bahan kimia yang

mempunyai kemampuan mendispersi minyak,

tetapi pemakaiannya dapat menimbulkan

masalah.

Salah satu cara pengolahan limbah

minyak dan tanah terkontaminasi oleh minyak

bumi adalah pengolahan secara biologis.

Pemulihan lahan tercemar oleh minyak bumi

dapat dilakukan dengan menggunakan

kapasitas kemampuan mikroorganisme. Fungsi dari mikroorganisme adalah

mendegradasi struktur hidrokarbon yang ada

dalam tanah yang terkontaminasi minyak

bumi menjadi mineral-mineral yang lebih

sederhana serta tidak membahayakan terhadap

lingkungan. Teknik seperti ini disebut

bioremediasi. Menurut Udiharto (1996),

bioremediasi adalah teknologi ramah

lingkungan yang cukup efektif, efisien, dan

ekonomis. Bioremediasi merupakan proses

detoksifikasi dan degradasi limbah minyak.

Seluruh prosedur kerja serta pelaksanaan bioremediasi mengacu pada Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

128 Tahun 2003 tentang tata cara dan

persyaratan teknik pengelolaan limbah

minyak dan tanah terkontaminasi oleh minyak

bumi secara biologis. Limbah yang akan

diolah dengan metode biologis harus

dianalisis terlebih dulu kandungan minyak

atau Total Petroleum Hydrocarbon (TPH).

Konsentrasi maksimum TPH awal sebelum

proses pengolahan biologis adalah tidak lebih

dari 15%. Sedangkan nilai akhir hasil akhir

pengolahannya adalah TPH 1%.

Biodegradasi limbah minyak bumi di

lingkungan air terjadi pada bagian antarmuka

lapisan air dan minyak. Oleh karena itu,

biodegradasi akan lebih cepat terjadi bila

limbah minyak tersebut dalam bentuk

terdispersi dalam air. Kondisi ini akan

memudahkan penyediaan oksigen dan unsur-

unsur makanan yang diperlukan untuk

pertumbuhan mikroorganisme (Udiharto 1996).

Surfaktan memiliki gugus polar dan

nonpolar sekaligus dalam satu molekulnya.

Salah satu sisinya akan mengikat minyak

(nonpolar), di sisi lain surfaktan akan

mengikat air (polar). Menurut Clark (2004),

surfaktan nonionik adalah bahan esensial yang

tidak beracun dengan konsentrasi ambang

batas lebih dari 100g/kg. Selain itu, umumnya

surfaktan nonionik bersifat biodegradabel.

Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan penambahan surfaktan nonionik yang disertai

pengadukan agar membantu kelarutan minyak

sehingga mempercepat proses degradasi.

Penelitian bertujuan menentukan

konsentrasi optimum surfaktan nonionik

sebagai pengemulsi limbah minyak bumi

dalam air serta laju pengadukan optimum

yang mendukung kelarutan limbah minyak

bumi dalam air.

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Minyak Bumi

Minyak bumi terbentuk sebagai hasil

akhir dari penguraian bahan-bahan organik

(sel-sel dan jaringan hewan/tumbuhan) yang

tertimbun selama berjuta tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan ataupun daerah

lepas pantai (Hadi 2004). Komposisi senyawa

hidrokarbon pada minyak bumi tidak sama,

bergantung pada sumber penghasil minyak

bumi tersebut. Misalnya, minyak bumi

Amerika komponen utamanya ialah

hidrokarbon jenuh, yang digali di Rusia

banyak mengandung hidrokarbon siklik,

sedangkan yang terdapat di Indonesia banyak

mengandung senyawa aromatik dan kadar

belerangnya sangat rendah. Komposisi

minyak bumi maupun produknya merupakan campuran kompleks senyawa organik yang

terdiri atas senyawa hidrokarbon dan non

hidrokarbon. Kandungan senyawa

hidrokarbon dalam minyak bumi lebih dari

90%, sisanya merupakan senyawa non

hidrokarbon (Udiharto 1996).

2

Limbah minyak bumi adalah sisa atau

residu minyak yang terbentuk dari proses

pengumpulan dan pengendapan kontaminan

minyak yang terdiri atas kontaminan yang

sudah ada di dalam minyak, maupun

kontaminan yang terkumpul dan terbentuk

dalam penanganan suatu proses dan tidak

dapat digunakan kembali dalam proses

produksi. Limbah minyak bumi dapat berasal

dari tumpahan dan ceceran pada kegiatan

produksi, pengeboran, serta distribusi minyak bumi, rembesan minyak dari reservoarnya,

minyak bekas, dan limbah kegiatan lain

(Polosoro 2005).

Selama kegiatan industri perminyakan

yaitu mulai dari pengeboran, produksi,

transportasi minyak bumi, dan pengilangan

produk minyak umumnya terjadi tumpahan

maupun ceceran minyak bumi dan produk-

produknya yang terjadi di lingkungan lahan

maupun perairan. Dalam keadaan normal,

limbah yang terbuang ke lingkungan tidak terlalu besar, namun apabila terjadi

kecelakaan akan berakibat fatal seperti yang

terjadi di beberapa tempat di dunia.

Senyawa hidrokarbon yang terkandung

dalam minyak bumi berupa benzena, toluena,

etil benzena, dan xilena, dikenal sebagai

BTEX yang merupakan komponen utama

dalam minyak bumi, bersifat mutagenik dan

karsinogenik pada manusia. Senyawa ini sulit

mengalami perombakan di alam, baik di air

maupun di darat (Fahruddin 2004).

Surfaktan

Surfaktan adalah suatu bahan yang aktif

pada antarmuka antara dua fase, seperti pada

antarmuka antara fase hidrofilik dan

hidrofobik. Molekul surfaktan akan

berkumpul pada antarmuka dan menurunkan

tegangan permukaannya (Atkins 1994).

Surfaktan menurunkan tegangan permukaan

air dengan cara mengadsorpsi pada antarmuka

gas-cair. Surfaktan juga mengurangi tegangan

permukaan minyak dan air dengan cara mengadsorpsi pada antarmuka cair-cair

(Schramm 2000).

Salah satu fungsi surfaktan adalah sebagai

pengemulsi, yaitu sebagai pendispersi suatu

cairan ke dalam cairan lain yang tidak saling

campur karena surfaktan memiliki gugus polar

dan gugus non polar sekaligus dalam satu

molekulnya. Sehingga satu sisi surfaktan akan

mengikat minyak yang bersifat non polar dan

sisi lainnya akan mengikat air yang bersifat

polar. Penambahan surfaktan ke dalam suatu campuran minyak-air dimaksudkan agar

substrat (minyak) lebih larut dalam air.

Dengan larutnya substrat non polar ini, proses

metabolisme dapat berlangsung dengan cepat.

Surfaktan berperan sebagai elektrolit dalam

larutan encer, tetapi dalam konsentrasi yang

lebih tinggi menghasilkan peran yang

berbeda. Hal ini dijelaskan melalui bentuk

formasi agregat dari molekul yang besar

disebut dengan misel (Schramm 2000).

Surfaktan digunakan secara luas dan

ditemukan dalam berbagai aplikasi seperti

pada industri perminyakan karena kemampuannya yang baik sekali dalam

memengaruhi sifat-sifat permukaan dan

antarmuka. Sifat yang luar biasa dari larutan

encer surfaktan berasal dari keberadaan gugus

hidrofilik (kepala) dan gugus hidrofobik

(ekor) pada molekulnya. Gugus polar atau

ionik biasanya berinteraksi kuat dengan

lingkungan berair melalui interaksi dipol-

dipol. Sifat dasar dari gugus polar ini yang

digunakan dalam pembagian kategori

surfaktan (Schramm 2000). Gugus hidrofilik adalah gugus polar seperti karboksilat,

sulfonat, sulfat, fosfat, garam aluminium

kuartener, dan lain-lain, sedangkan gugus

hidrofobik adalah rantai karbon dengan

panjang 8 hingga 22. Berdasarkan gugus

hidrofilik, surfaktan dibagi menjadi tiga, yaitu

ionik (kationik dan anionik), nonionik (gugus

hidrofilik tidak bermuatan), dan amfoterik

(dapat bermuatan positif dan negatif).

Surfaktan nonionik berbeda dari surfaktan

anionik dan kationik, molekulnya tidak bermuatan ketika dilarutkan dalam media

berair. Kehidrofilikannya disebabkan oleh

ikatan hidrogen antara molekul surfaktan

dengan molekul-molekul air. Umumnya

surfaktan nonionik mengandung rantai

poli(etilen oksida) sebagai gugus hidrofilik.

Poli(etilen oksida) adalah polimer yang larut

dalam air (Tharwat 2005). Rantai poli(etilen

oksida) dari surfaktan non ionik biasanya

sangat panjang sedangkan rantai yang sedang

dan lebih pendek dimiliki oleh surfaktan

kationik (Holmber et al. 2003). Polioksietilen(20)sorbitan monooleat

yang biasa disebut juga dengan Tween 80

termasuk dalam jenis surfaktan nonionik yang

berasal dari sorbitan polioksilat dan asam

oleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26. Tween 80 memiliki bobot molekul 1310

gram/mol, densitas sebesar 1.06-1.09

gram/mL. Tween 80 berupa cairan kental

berwarna kuning dan larut dalam air. Gugus

hidrofiliknya adalah polieter yang disebut juga

gugus polioksietilen (polimer dari etilen oksida). Tween 80 biasa digunakan dalam es

krim dan obat tetes mata. Tween 80

3

merupakan surfaktan nonionik yang bersifat

biodegradabel dan tidak toksik (Quintero et al.

2005). Struktur Tween 80 dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1 Struktur molekul Tween 80

(Schraam 2005).

Brij 35 atau bisa disebut dengan lauril

alkohol etoksilat. Rumus molekulnya ialah

(C12H25(OCH2CH2)23OH). Brij termasuk

dalam golongan alkohol etoksilat yang

memiliki bagian ekor hidrofobik berupa rantai

alkohol dengan 12 atom karbon dan bagian

kepala hidrofilik berupa rantai etoksi. Surfaktan ini stabil pada pH 3 sampai 11

(Holmberg et al. 2003). Wujudnya cairan

kental dan larut dalam air. Brij 35 biasanya

digunakan dalam deterjen, penstabil,

pengemulsi, dan lain-lain. Struktur Brij 35

dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur molekul Brij 35.

Tegangan Permukaan

Salah satu sifat yang merupakan akibat

langsung dari gaya antarmolekul yang

terdapat di dalam zat cair adalah tegangan

permukaan. Gaya yang terjadi menimbulkan

tegangan di permukaan zat cair (seolah-olah

permukaan zat cair itu ditutupi oleh selapis

kulit yang kuat). Molekul di bagian dalam

mengalami gaya tarik menarik yang sama dari

segala arah. Sebuah molekul dari permukaan

ditarik hanya oleh molekul-molekul lain yang

ada di permukaan (sebelah kiri dan kanannya) dan oleh molekul-molekul yang ada di bawah

permukaan. Hasilnya adalah suatu gaya yang

mengarah ke bagian dari zat cair tersebut.

Tegangan permukaan larutan hampir

mencapai jenuh saat mencapai KMK. Pada

konsentrasi yang lebih tinggi, hampir semua

molekul surfaktan membentuk misel dan

sedikit molekul yang teradsorpsi di

permukaan sehingga hanya sedikit terjadi

perubahan tegangan permukaan (Jaya 2005).

Metode cincin Du Noűy adalah salah satu metode yang digunakan untuk menentukan

tegangan permukaan. Gaya untuk menahan

cincin horizontal dalam permukaan yang

ditarik lebih besar ketika cairan diantara fluida

bawah dan fluida atas posisinya vertikal (Hills

1988). Metode ini didasarkan pada penentuan

gaya yang diperlukan untuk menarik cincin

Pt-Ir dari permukaan cairan (Holmberg et al.

2003).

Gambar 3 Metode cincin Du Noűy

(Holmberg et al. 2003).

Cincin yang tergantung pada neraca torsi

ditarik dari cairan dengan memutar kawat

torsi. Gaya (F) yang diperlukan untuk

memutuskan film cairan adalah F = 4πRγ dengan R jari-jari cincin dan γ tegangan

permukaan. Metode ini mempunyai faktor

koreksi (Fr), yaitu:

R

r

dDC

PFr

679.104534.0

01452.07250.0

2

dengan r adalah jari-jari kawat, R jari-jari

cincin, P nilai tegangan permukaan terukur, C

keliling cincin, d berat jenis untuk fluida di

atas, dan D adalah berat jenis untuk fluida di

bawah. Untuk mendapatkan nilai tegangan

permukaan yang sebenarnya, faktor koreksi

harus dimasukkan ke dalam perhitungan sehingga persamaan menjadi:

γ = R

F

4× Fr =

R

mg

4× Fr = P × Fr

dengan F gaya yang terbaca pada skala neraca torsi, γ tegangan permukaan yang nyata dan

Fr faktor koreksi.

Emulsi

Emulsi merupakan dispersi suatu cairan

dalam cairan lainnya. Hampir semua emulsi

terdiri dari air pada salah satu fasenya dan

cairan organik pada fase lainnya. Fase organik

biasanya berupa minyak. Emulsi terbagi atas

dua macam, yaitu emulsi minyak dalam air

dan emulsi air dalam minyak (Holmberg et al.

2003). Emulsi tidak hanya berisi minyak, air, dan pengemulsi (surfaktan) tetapi juga partikel

padat bahkan gas (Schramm 2005).

Stabilitas emulsi merupakan suatu sistem

ketika tetesan mempertahankan sifat awalnya

seimbang

4

karena penggabungan tetesan-tetesan dicegah

oleh energi penghalang yang cukup besar.

Pada umumnya energi penghalang dibangun

oleh lapisan pengemulsi yang terbentuk pada

permukaan tetesan-tetesan (Heusch et al.

1987). Stabilitas suatu produk emulsi

bergantung pada cara pengemulsian dan jenis

pengemulsi yang ditambahkan pada saat

emulsifikasi.

Bahan yang umum untuk menstabilkan

emulsi adalah surfaktan karena surfaktan hampir terjerap ireversibel pada antarmuka.

Tolakan sterik di antara bagian-bagian

surfaktan dalam medium pendispersi

merupakan suatu pengaruh yang penting.

Rantai hidrokarbon dihalangi dalam

pergerakan termalnya jika dua tetesan air

saling mendekati terlalu rapat dan gugus

kepala hidrofilik didehidrasi sehingga terjadi

kontak yang rapat. Akibatnya tolakan hidrasi

menstabilkan emulsi (Jaya 2005).

Busa

Busa merupakan dispersi dari gas dalam

cairan atau padatan. Perbandingan antara gas

dan cairan akan menentukan penampakan dari

busa yang biasa disebut bilangan busa. Pada

bilangan busa yang kecil, gelembung gas

berbentuk bola dan lamela di antara busanya

sangat tebal. Busa terdiri atas dua jenis dan

memiliki perbedaan dalam metode

karakterisasinya. Dua macam busa tersebut,

yaitu busa stabil dan busa tidak stabil (Holmberg et al. 2003). Busa biasanya

memiliki diameter lebih besar dari 10μm dan

mungkin lebih besar dari 1000 μm. Busa tidak

hanya terdiri atas gas dan cairan (biasanya

surfaktan) tetapi juga dispersi minyak dan

partikel padat (Schramm 2005).

Busa selalu terbentuk dari campuran,

sebaliknya cairan murni tidak akan berbusa.

Kondisi pertama yang diperlukan oleh

campuran cairan untuk berbusa adalah salah

satu komponen haruslah memiliki permukaan

yang aktif. Penurunan tegangan permukaan pada penambahan komponen kedua

merupakan ukuran aktivitas permukaan.

Sedangkan kondisi kedua adalah elastisitas

permukaan (Holmberg et al. 2003).

Total Petroleum Hydrocarbon (TPH)

Total Petroleum Hydrocarbon (TPH)

didefinisikan suatu campuran kimia yang

tersusun atas hidrokarbon yang ada di

lingkungan. Hidrokarbon minyak bumi

umumnya ditemukan pada bahan pencemar lingkungan misalnya bahan bakar transportasi

walaupun tidak selalu dikategorikan limbah

berbahaya (ATSDR 1999).

Departement of Environmental Quality

(DEQ) mendefinisikan TPH sebagai senyawa

karbon yang memiliki jumlah atom C antara 6

sampai 35 yang mewakili bermacam-macam

variasi dari campuran senyawa kompleks.

Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) adalah

parameter yang menurut APHA (1992) merupakan salah satu cara untuk menghitung

kandungan bahan organik total. Berbagai

metode pengukuran COD telah dikembangkan

oleh para ahli, diantaranya metode open reflux

(titrimetri) dan metode closed reflux (titrimetri

dan spektrofotometri).

Jumlah bahan organik yang dapat

teroksidasi dapat ditentukan secara tidak

langsung melalui jumlah oksigen yang

digunakan untuk mengoksidasi bahan-bahan

organik secara kimiawi yang disebut COD. Nilai COD dapat ditentukan dengan oksidasi

secara kimiawi menggunakan kalium

bikromat yang dipanaskan dengan asam sulfat

pekat. Kandungan oksigen yang digunakan

untuk menghancurkan bahan organik diukur

oleh besarnya penggunaan zat oksidator kuat

(K2Cr2O7) dalam suasana asam dengan katalis

peraksulfat.

BAHAN DAN LINGKUP

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah jenis

surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35),

dan limbah minyak bumi berasal dari Riau.

Alat-alat yang digunakan adalah

ultrasonic homogenizer, dan Surface

Tensiometer Model 20.

Lingkup Penelitian

Penelitian ini terbagi atas tiga tahap, yaitu

menentuan tegangan permukaan surfaktan

nonionik (Tween 80 dan Brij 35), menguji

pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap

stabilitas emulsi, memvariasikan laju

pengadukan. Parameter yang ditentukan

antara lain TPH padat, TPH cair, pH, dan

COD (dari masing-masing pengadukan).

Pengukuran Bobot Jenis Akuades dan

Surfaktan

Piknometer kosong ditimbang, lalu diisi

dengan akuades sampai penuh dan ditimbang

kembali. Bobot akuades adalah selisih antara

5

awalturbiditas

akhirturbiditas

bobot piknometer yang berisi akuades dan

bobot piknometer kosong. Pengukuran bobot

jenis surfaktan dilakukan dengan metode yang

sama.

Pengukuran Tegangan Permukaan

Surfaktan (ASTM 2001)

Masing-masing surfaktan (Tween 80 dan

Brij 35) dilarutkan dalam akuades dengan

variasi konsentrasi 0.0000, 0.0025, 0.0050,

0.0075, 0.0100, 0.0125, 0.0150, 0.0175, 0.0200, 0.0225, 0.0250, 0.0275, 0.0300,

0.0350, 0.0400% (v/v). Pengukuran dilakukan

menggunakan Surface Tensiometer Model 20.

Cincin Pt-Ir yang bersih dicantelkan pada kail.

Sebanyak 40 mL larutan surfaktan

dipindahkan ke dalam gelas kimia dan

ditempatkan pada meja sampel. Meja sampel

digerakkan sampai cairan ada di bawah cincin

Pt-Ir. Cincin tercelup sekitar 1/8 inchi. Tangan

torsi dilepaskan dan alat diatur ke posisi nol,

posisi diatur dengan sekrup kanan sampai garis dan jarum penunjuk berimpit. Sekrup di

bawah skala depan diputar sampai skala

vernier pada skala luar dimulai dari nol. Meja

sampel diturunkan sampai cincin ada di

permukaan cairan. Permukaan cairan akan

menjadi gelembung, kemudian dilanjutkan

dengan dua pengaturan bersama sampai

lapisan gelembung pada permukaan cairan

pecah. Skala yang terbaca pada titik pecah

lapisan gelembung adalah tegangan

permukaan terukur.

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Terhadap

Stabilitas Emulsi Stok surfaktan (Tween 80 dan Brij 35)

dibuat pengenceran dengan lima konsentrasi

yang memiliki nilai tegangan permukaan

mendekati konsentrasi misel kritis (KMK),

kemudian 50 mL surfaktan dengan masing-

masing konsentrasi tersebut dicampurkan

dengan 14.7059 gram limbah minyak. Lalu

larutan tersebut diemulsikan dengan memakai

ultrasonic homogenizer masing-masing selama 5 menit pada frekuensi 25 kHz,

kemudian diukur turbiditasnya dengan

menggunakan turbidimeter. Setiap emulsi

yang sudah dibuat dimasukkan ke dalam

tabung sentrifuse dan disentrifuse selama 45

menit pada laju 2000 rpm, kemudian diukur

kembali turbiditasnya dengan menggunakan

turbidimeter. Stabilitas emulsi dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

% Stabilitas emulsi = x 100%

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Terhadap

Pembentukan Busa (ASTM 2002)

Sebanyak 200 mL surfaktan dimasukkan

ke dalam botol khusus (volume 500 mL).

Botol tersebut ditempatkan dalam water bath

(25 ± 1ºC) selama 1 sampai 2 jam. Suhu

dalam penangas diukur dan diatur menjadi (25

± 1ºC). Botol dikeluarkan dari penangas dan

ditandai tinggi cairan di atas permukaan

cairan (I). Botol tersebut dikocok dengan kuat

(minimal 40 kali) dalam waktu kurang dari 10 detik. Tinggi total busa ditandai (di atas

permukaan busa), tinggi ini disebut dengan

tinggi total busa pada waktu nol (M). Pencatat

waktu dinyalakan. Tinggi busa setelah 5 menit

dicatat sebagai tinggi total busa setelah 5

menit (R). Suhu pengukuran dicatat. Tinggi

busa maksimum (FM) dan tinggi busa setelah

5 menit (FR) dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

FM = M – I

FR = R – I Keterangan:

FM : Tinggi busa maksimum

M : Tinggi total maksimum busa pada

waktu nol

I : Tinggi awal cairan

FR : Tinggi busa tersisa setelah 5 menit

R : Tinggi total busa setelah 5 menit

Pengaruh Pengadukan Terhadap Analisis

pH, TPH padat, TPH cair, dan COD

Konsentrasi surfaktan dengan stabilitas tertinggi digunakan untuk mengetahui

pengaruh pengadukan terhadap stabilitas

emulsinya. Sebanyak 300 mL larutan

surfaktan ditambahkan 88.2353 gram limbah

minyak bumi. Pengadukan dengan laju 100,

120, dan 140 rpm selama 1 jam dilakukan

pada contoh tersebut untuk masing-masing

surfaktan. Masing-masing perlakuan diukur

pH, TPH padat, TPH cair, dan CODnya.

Penetapan pH

Sebanyak 10 mL larutan surfaktan yang telah dicampur dengan limbah minyak

dimasukkan ke dalam gelas piala 100 mL

kemudian pengukuran pH dilakukan dengan

indikator pH universal.

Pengukuran TPH padat (US EPA 1998)

Nilai TPH diukur menggunakan metode

gravimetri. Sebanyak 5 gram limbah minyak

hasil pengadukan dibungkus dengan kertas

saring. Timbel yang telah dibuat tersebut

dimasukan dalam soxhlet dan diekstrak dengan pelarut heksana sebanyak 100 mL

selama 4 jam. Ekstrak yang diperoleh

6

dihilangkan airnya dengan Na2SO4 anhidrat

lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh

kemudian dipekatkan dengan radas uap putar

hingga kering. Labu yang telah kering

dipanaskan dalam oven pada suhu 70 ºC

selama 45 menit kemudian didinginkan dalam

desikator dan ditimbang. Bobot yang terukur

adalah bobot minyak dan lemak. Sampel hasil

pengeringan dilarutkan kembali dengan

heksana dan ditambahkan silika gel untuk

menghilangkan senyawa-senyawa polar dan disaring. Pelarut diuapkan kembali dan

dipanaskan dalam oven, bobot yang terukur

merupakan residu minyak (nilai TPH).

Pengukuran TPH cair (US EPA 1999)

Sebanyak 50 mL larutan surfaktan yang

telah dicampur dengan limbah minyak (hasil

pengadukan) diekstraksi dengan 25 mL

heksana. Ekstraksi dilakukan dua kali.

Kandungan air pada contoh dihilangkan

dengan menambahkan Na2SO4 anhidrat, kemudian disaring. Pelarut dihilangkan

menggunakan rotary evaporator, setelah itu

dioven selama 45 menit pada suhu 70ºC.

Wadah dan sampel didinginkan dalam

desikator lalu ditimbang. Bobot yang terukur

bobot minyak dan lemak. Sampel hasil

pengeringan dilarutkan kembali dengan

heksana dan ditambahkan silika gel untuk

menghilangkan senyawa-senyawa polar dan

disaring. Pelarut diuapkan kembali dan

dioven, bobot yang terukur merupakan residu minyak (TPH).

Analisis COD (Clesceri et al. 2005)

Sebanyak 10 mL sampel dipipet dan

dimasukkan ke dalam tabung COD.

Kemudian 5 mL larutan campuran kalium

dikromat-merkuri sulfat dipipet ke dalam

sampel. Setelah itu, ditambahkan 10 mL

larutan campuran asam sulfat-perak sulfat dan

campuran diaduk kemudian ditutup. Tahap

diatas diulangi pada 10 mL akuades sebagai

blanko. Setelah masing-masing unit pengaman pada tutup dipasang, tabung dimasukkan ke

dalam oven pada suhu 150°C. Setelah 2 jam,

tabung COD dikeluarkan dari dalam oven dan

dibiarkan hingga dingin. Campuran dari

tabung COD dipindahkan ke dalam

Erlenmeyer 100 mL dan dibilas dengan 10 mL

akuades. Lalu, 2 mL asam sulfat pekat dan 3

tetes larutan indikator feroin ditambahkan

secara berturut-turut ke dalam campuran.

Campuran dititrasi dengan larutan baku fero

amonium sulfat 0,05 N yang telah distandardisasi sampai terjadi perubahan

warna dari hijau menjadi merah coklat lalu

dicatat volume pemakaian larutan baku

feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan

perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tegangan Permukaan Pengukuran tegangan permukaan larutan

surfaktan Tween 80 dan Brij 35 menggunakan

metode cincin Du Noűy. Metode ini

didasarkan pada penentuan gaya yang

diperlukan untuk menarik cincin Pt-Ir dari

permukaan cairan (Holmberg et al. 2003).

Gaya yang diperlukan untuk menarik cincin

sebanding dengan tegangan permukaan

surfaktan. Tegangan permukaan larutan

surfaktan Tween 80 dan Brij 35 dapat dilihat

pada lampiran 3 dan 5. Gambar 4 dan 5 menunjukkan tegangan

permukaan tanpa penambahan surfaktan

mempunyai nilai tertinggi, yaitu 71.71

dyne/cm dibandingkan dengan penambahan

surfaktan. Air mempunyai tegangan

permukaan yang lebih besar di antara dispersi

dan kebanyakan cairan lain karena gaya

kohesifnya lebih besar berdasarkan ikatan

hidrogennya. Hasil pengukuran menunjukkan

penurunan tegangan permukaan maksimum

untuk Tween 80 dan Brij 35 diperoleh pada

konsentrasi 0.0175% yang mendekati nilai KMK.

20

30

40

50

60

70

80

0.0000 0.0100 0.0200 0.0300 0.0400

Konsentrasi Tween 80 (% v/v)

Teg

an

ga

n p

erm

uk

aa

n (

dy

ne/c

m)

Gambar 4 Tegangan permukaan Tween 80.

20

30

40

50

60

70

80

0.0000 0.0100 0.0200 0.0300 0.0400

Konsentrasi Brij 35 (% v/v)

Teg

an

ga

n P

erm

uk

aa

n (

dy

ne/c

m)

Gambar 5 Tegangan permukaan Brij 35.

Penurunan tegangan permukaan mula-

mula terjadi saat konsentrasi surfaktan sangat rendah. Hal ini disebabkan molekul surfaktan

7

teradsorpsi di permukaan. Jika konsentrasi

ditingkatkan lagi, sebagian molekul surfaktan

membentuk misel, yaitu gerombol kecil

molekul yang gugus hidrokarbonnya (non

polar) ada di bagian tengah dan gugus

hidrofiliknya berada di bagian luar. Misel-

misel tersebut tersolvasi oleh molekul air.

Oleh karena itu, kenaikan konsentrasi akan

meningkatkan jumlah misel yang terbentuk.

Konsentrasi saat surfaktan mulai

membentuk misel dengan stabil disebut konsentrasi misel kritis (KMK). Pada KMK,

tegangan permukaan hampir mencapai jenuh.

Pada konsentrasi yang lebih tinggi, hampir

semua molekul surfaktan membentuk misel

dan sedikit molekul yang teradsorpsi di

permukaan sehingga hanya sedikit terjadi

perubahan tegangan permukaan.

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan pada

Stabilitas Emulsi

Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk mengamati pengaruh konsentrasi

surfaktan terhadap stabilitas emulsi

didasarkan pada nilai tegangan permukaan

terkecil dari surfaktan, yaitu 49.58 dyne/cm

untuk Tween 80 (0.0175%) dan 31.29

dyne/cm untuk Brij 35 (0.0175%). Hasil

pengukuran stabilitas emulsi pada lima

konsentrasi dengan membandingkan

kekeruhan emulsi sebelum dan sesudah

sentrifugasi hanya memberikan perubahan

stabilitas emulsi sedikit saja (Lampiran 6 dan 7).

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0 0.0125 0.015 0.0175 0.02 0.0225

Konsentrasi Tween 80 (% v/v)

Sta

bil

ita

s em

uls

i (%

)

Gambar 6 Stabilitas emulsi Tween 80.

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.0000 0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225

Konsentrasi Brij 35 (% v/v)

Stab

ilita

s em

ulsi

(%

)

Gambar 7 Stabilitas emulsi Brij 35.

Gambar 6 dan 7 menunjukkan kenaikan

stabilitas emulsi pada suatu titik kemudian

stabilitas emulsi menurun dan cenderung

tetap. Stabilitas emulsi maksimum untuk

Tween 80 sebesar 0.24% pada konsentrasi

0.0175%, sedangkan Brij 35 sebesar 0.22%

pada konsentrasi 0.0150%. Pada pengukuran

tegangan permukaan sebelumnya diperoleh

nilai KMK sekitar 0.0175% untuk Tween 80

dan Brij 35. Jika dibandingkan dengan

pengukuran tegangan permukaan tersebut,

hasil pengukuran stabilitas emulsi sesuai

dengan sifat surfaktan bahwa efektivitas surfaktan dalam menurunkan tegangan

permukaan tercapai di sekitar titik KMKnya.

Kenaikan stabilitas emulsi disebabkan

molekul-molekul surfaktan teradsorpsi pada

antarmuka air dan minyak (Gambar 6 dan 7).

Adsorpsi ini terjadi berdasarkan pergerakan

gugus hidrofobik untuk mencegah kontak

dengan air dan mengarah ke minyak karena

tarik-menarik antara minyak dan gugus

hidrofobik, sedangkan gugus hirofilik dari

molekul surfaktan tarik-menarik dengan air. Adsorpsi yang terjadi ini menurunkan

tegangan antarmuka minyak-air sehingga

meningkatkan stabilitas emulsi yang

terbentuk. Tegangan antarmuka minyak-air

telah jenuh pada saat misel terbentuk sehingga

molekul surfaktan yang teradsorpsi pada

antarmuka minyak-air juga lebih sedikit.

Akibatnya, kemampuan dalam menurunkan

tegangan antarmuka lebih kecil atau tidak

mampu lagi menurunkan tegangan antarmuka

sehingga stabilitas emulsi cenderung tetap setelah mencapai maksimum (Jaya 2005).

Tinggi Busa

Busa merupakan dispersi dari gas dalam

cairan atau padatan (Holmberg et al. 2003).

Metode pengocokan digunakan untuk

mengetahui tinggi busa yang dihasilkan oleh

surfaktan. Konsentrasi yang digunakan dalam

pengukuran ini sama dengan pengukuran

stabilitas emulsi.

Gambar 8 dan 9 menunjukkan hasil

pengukuran tinggi busa Tween 80 dan Brij 35. Kenaikan tinggi busa terjadi dengan

penambahan konsentrasi surfaktan. Pada

konsentrasi yang rendah, viskositas larutan

surfaktan kecil sehingga mempermudah

tumbukan antar lapisan tipis yang berdekatan.

Akibatnya, pembentukan busa semakin

sedikit dengan berkurangnya konsentrasi

surfaktan (Lampiran 8 dan 9). Secara umum, kemampuan pembentukan

busa surfaktan meningkat dengan

meningkatnya panjang rantai alkil pada gugus hidrofobik dan menurun dengan percabangan

pada gugus hidrofobiknya. Pembentukan busa

8

juga menurun dengan meningkatnya jumlah

unit oksietilen pada gugus hidrofilik yang

dimiliki surfaktan nonionik (Schramm 2005).

Secara keseluruhan, tinggi busa Tween 80

lebih besar dibandingkan dengan Brij 35. Hal

ini disebabkan oleh rantai hidrokarbon pada

Tween 80 (18 atom karbon) lebih panjang

daripada Brij 35 (12 atom karbon).

Peningkatan jumlah atom karbon

menyebabkan peningkatan jumlah lapisan

tipis yang terbentuk sehingga semakin banyak jumlah gas atau udara yang terjerap dalam

lapisan tipis tersebut (busa semakin banyak).

Jumlah unit oksietilen pada gugus hidrofilik

yang dimiliki oleh Brij 35 sebanyak 23 buah,

sedangkan Tween 80 sebanyak 20 sehingga

jelas bahwa busa yang dihasilkan oleh Brij 35

lebih sedikit daripada Tween 80.

0

5

10

15

20

25

30

0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225

Konsentrasi Tween 80 (% v/v)

Tin

gg

i b

usa

(m

m)

FM rerata FR rerata

Gambar 8 Pembentukan busa Tween 80.

0

5

10

15

20

25

30

0.0125 0.0150 0.0175 0.0200 0.0225

Konsentrasi Brij 35 (% v/v)

Tin

gg

i b

usa

(m

m)

FM rerata FR rerata

Gambar 9 Pembentukan busa Brij 35.

Busa yang dihasilkan oleh surfaktan

nonionik lebih sedikit jika dibandingkan

dengan surfaktan anionik. Sehingga, busa

yang dihasilkan oleh surfaktan nonionik tidak akan mengganggu transfer oksigen yang

diperlukan oleh bakteri pada biodegradasi

limbah minyak bumi.

pH

Biodegradasi minyak bumi dipengaruhi

oleh nilai pH yang terjadi pada lingkungan

tersebut (Zhu et al. 2001). Nilai pH

berhubungan dengan jumlah asam yang

terkandung dalam tanah. Tabel 1

menunjukkan nilai pH sebelum dan sesudah

pengadukan yaitu sekitar 4. Nilai ini

disebabkan oleh kondisi limbah minyak bumi

yang digunakan sudah asam, sehingga setelah

dicampurkan pada larutan surfaktan,

campurannya menjadi asam.

Tabel 1 Nilai pH sebelum dan sesudah

pengadukan

Laju

pengadukan

(rpm)

pH sebelum

pengadukan

pH sesudah

pengadukan

B T80 B35 B T80 B35

100 4 4 4 4 3 3

120 4 4 4 4 4 4 140 4 4 4 4 4 4

Keterangan:

B : Blanko

T80 : Tween 80 (0.0175%)

B35 : Brij 35 (0.0150%)

Menurut Dragun (1998), mayoritas

mikrorganisme tanah akan tumbuh dengan

subur pada pH antara 6 sampai 8. Nilai pH

yang rendah pada campuran surfaktan dan

limbah minyak bumi ini dapat diatasi dengan

penambahan larutan basa sehingga

mikroorganisme tidak mati dan dapat

mendegradasi limbah dengan baik.

Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai

TPH

TPH menggambarkan jumlah

hidrokarbon dengan berbagai macam panjang

rantainya tanpa melihat jenisnya yaitu

alisiklik, aromatik atau alifatik. TPH

merupakan parameter yang paling tepat untuk

menggambarkan biodegradasi limbah minyak

bumi. TPH awal limbah minyak bumi yang

digunakan pada penelitian ini tergolong tinggi, yaitu 17.22% sehingga membuat laju

degradasi tidak optimum (Lampiran 10).

Menurut Vidali (2001) kondisi optimum

biodegradasi terjadi pada total kontaminan

(TPH) sebesar 5 – 10 %.

Salah satu cara untuk mengoptimumkan

biodegradasi limbah minyak bumi ini dengan

penambahan surfaktan dan melakukan

pengadukan sebelum biodegradasi tersebut

berlangsung. Hal ini akan meningkatkan

jumlah minyak yang terdispersi dalam air

karena biodegradasi terjadi pada bagian antarmuka air dan minyak.

Nilai TPH cair dari sampel pada beberapa

laju pengadukan dengan atau tanpa

penambahan surfaktan ditunjukkan pada

Tabel 2. Penambahan Brij 35 (0.0150%)

memberikan nilai TPH cair lebih tinggi

dibandingkan dengan Tween 80 dan blanko.

9

Tabel 2 Nilai TPH cair sampel

Laju TPH TPH TPH

pengadukan Blanko 0.0175% 0.0150%

Tween 80 Brij 35

(rpm) (%) (%) (%)

100 0.10 0.25 0.36

120 0.17 0.32 0.55

140 0.24 0.40 0.74

Gambar 10 menunjukkan dengan jelas

perbedaan nilai TPH cair sampel tanpa

penambahan surfaktan (blanko), dengan

penambahan Tween 80, dan Brij 35 pada laju

100, 120, dan 140 rpm. Pada blanko, nilai

TPH cair meningkat dengan bertambahnya

laju pengadukan, tetapi hanya memberikan

sedikit kenaikan nilai TPH cair. Sedangkan

dengan penambahan surfaktan, kenaikan nilai

TPH cair semakin besar seiring dengan penambahan laju pengadukan (Lampiran 12).

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

100 120 140

Laju pengadukan (rpm)

TP

H c

air

(%

)

Blanko Tween 80 Brij 35

Gambar 10 Hasil pengukuran TPH cair.

Nilai TPH cair dengan penambahan Brij

35 (0.0150%) lebih tinggi dibandingkan

Tween 80 (0.0175%). Hal ini berarti dispersi

minyak dalam air juga lebih tinggi. Laju

pengadukan meningkatkan nilai TPH cair,

dengan kata lain kelarutan limbah minyak

bumi juga meningkat dengan bertambahnya

laju pengadukan. Sehingga, nilai TPH cair

tertinggi dengan penambahan Brij 35

(0.0150%) pada laju 140 rpm, yaitu sebesar

0.70%. Penambahan Brij 35 dengan konsentrasi lebih rendah (0.0150%) daripada

Tween 80 (0.0175%) dianjurkan untuk

aplikasi di lapangan, selain lebih ekonomis

juga memberikan kelarutan limbah minyak

bumi yang lebih besar daripada Tween 80.

Tabel 3 menunjukkan nilai TPH padat

hasil penelitian. Semakin meningkatnya nilai

TPH cair, maka nilai TPH padatnya akan

menurun. Hal ini hanya terlihat pada blanko

dan penambahan Brij 35. Semakin

bertambahnya laju pengadukan, maka minyak yang terdispersi dalam air semakin meningkat

sehingga menyebabkan nilai TPH padat

menurun (Lampiran 13).

Tabel 3 Nilai TPH padat sampel

Laju TPH TPH TPH

pengadukan Blanko 0.0175% 0.0150%

Tween 80 Brij 35

(rpm) (%) (%) (%)

100 16.29 13.13 16.91

120 16.13 16.69 16.75

140 16.10 15.56 16.55

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

100 120 140

Laju pengadukan (rpm)

TP

H p

ad

at

(%)

Blanko Tween 80 Brij 35 Gambar 11 Hasil pengukuran TPH padat.

Gambar 11 menunjukkan hasil

pengukuran TPH padat sampel setelah

pengadukan. Penurunan nilai TPH padat tidak

terlihat jelas pada Gambar 11. Akan tetapi, hal

ini dapat dilihat dengan menghitung

persentase hidrokarbon minyak bumi yang

larut dalam air dan yang masih tertinggal di

padatan pada masing-masing sampel (Tabel 4

dan 5).

Tabel 4 Persentase hidrokarbon minyak bumi

yang larut dalam air

Laju Blanko Tween 80 Brij 35

pengadukan

(rpm) (%) (%) (%)

100 23.65 49.28 52.07

120 34.63 49.52 62.42

140 42.71 56.51 69.59

Tabel 5 Persentase hidrokarbon minyak bumi

yang tertinggal di padatan

Laju Blanko Tween 80 Brij 35

pengadukan

(rpm) (%) (%) (%)

100 76.35 50.72 47.93

120 65.37 50.48 37.58

140 57.29 43.49 30.41

Kelarutan limbah minyak bumi juga

dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.

Persentase hidrokarbon minyak bumi yang

larut dalam air meningkat dengan

bertambahnya laju pengadukan (Lampiran

15). Akibatnya, persentase hidrokarbon

minyak bumi yang masih tertinggal di padatan

akan menurun. Pada Penambahan Brij 35

memberikan persentase hidrokarbon dari

10

limbah minyak bumi yang larut dalam air

paling besar (69.59%) dan yang masih

tertinggal di padatan paling kecil (30.41%).

Nilai ini tercapai pada laju 140 rpm. Laju 140

rpm ini belum dapat dikatakan laju optimum

karena kelarutan limbah minyak bumi yang

lebih besar masih mungkin diperoleh pada

laju pengadukan yang lebih tinggi. Akan

tetapi, laju pengadukan yang terlalu tinggi

akan menambah jumlah busa yang terbentuk

sehingga dapat mempengaruhi kinerja bakteri pendegradasi limbah minyak bumi tersebut.

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

100 120 140Kecepatan pengadukan (rpm)

% H

idro

karb

on

min

yak

bu

mi

dala

m a

ir (

%)

Blanko Tween 80 Brij 35 Gambar 12 Hidrokarbon minyak bumi dalam

air.

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

100 120 140

Kecepatan pengadukan (rpm)

% H

idro

ka

rbo

n m

iny

ak

bu

mi

da

lam

pa

da

tan

(%

)

Blanko Tween 80 Brij 35

Gambar 13 Hidrokarbon minyak bumi dalam

padatan.

Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai

COD

COD merupakan salah satu cara untuk

menghitung kandungan bahan organik total

(APHA 1992). Pengukuran nilai COD dalam

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

pengaruh penambahan surfaktan dan laju

pengadukan terhadap jumlah senyawa

organik yang terkandung dalam limbah

minyak bumi. Tabel 6 menunjukkan nilai COD sampel setelah pengadukan.

Laju pengadukan mempengaruhi nilai

COD sampel. Semakin tinggi laju

pengadukan, nilai CODnya akan semakin

besar (Lampiran 14). Hal ini berarti semakin

tinggi laju pengadukan, semakin banyak

senyawa organik dari limbah minyak bumi

yang masuk dalam air. Hal ini sesuai dengan

nilai TPH cair sebelumnya karena semakin

besar nilai TPH cair, maka semakin banyak

senyawa organik yang masuk dalam air

sehingga nilai CODnya akan meningkat pula.

Penambahan Brij 35 pada 140 rpm

memberikan nilai COD terbesar (41717

mg/L) dibandingkan dengan sampel lainnya.

Nilai COD menunjukkan limbah minyak

bumi tersebut banyak mengandung senyawa

organik berupa hidrokarbon, nitrogen, sulfur,

dan oksigen. Sehingga jumlah oksigen yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa tersebut menjadi senyawa yang lebih

sederhana semakin tinggi.

Tabel 6 Nilai COD sampel

Laju COD COD COD

pengadukan Blanko 0.0175% 0.0150%

Tween 80 Brij 35

(rpm) mg/L mg/L mg/L

100 16171 16774 17256

120 24245 28342 28462

140 33041 41235 41717

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000

100 120 140

Laju pengadukan (rpm)

CO

D (

mg

/L)

Blanko Tween 80 Brij 35 Gambar 14 Hasil pengukuran COD.

Nilai COD blanko lebih rendah

dibandingkan penambahan Tween 80 dan Brij

35 (Gambar 14). Hal ini menunjukkan

penambahan surfaktan memberikan pengaruh

yang besar terhadap kandungan senyawa

organik dari limbah minyak bumi yang

terdapat dalam air. Surfaktan sendiri

merupakan senyawa organik sehingga akan menambah jumlah senyawa organik yang

harus dioksidasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penambahan surfaktan nonionik dan

pengaruh laju pengadukan meningkatkan

kelarutan limbah minyak bumi dalam air.

Nilai TPH cair pada penambahan Brij 35

sebesar 0.74% dan Tween 80 sebesar 0.40%

pada laju pengadukan 140 rpm membuktikan

bahwa semakin tinggi kecepatan pengadukan

11

maka kelarutan limbah minyak bumi dalam

air semakin besar. Selain itu, nilai COD juga

semakin tinggi dengan bertambahnya

kecepatan pengadukan. Penggunaan Brij 35

0.0150% (stabilitas emulsi 0.22%) lebih baik

dibandingkan dengan Tween 80 0.0175%

(stabilitas emulsi 0.24%) karena dengan

konsentrasi yang lebih rendah mampu

memberikan kelarutan limbah minyak bumi

dalam air yang lebih besar walaupun stabilitas

emulsinya sedikit lebih rendah.

Saran

Perlu dilakukan penambahan perlakuan

awal yang dapat meningkatkan kelarutan

limbah minyak bumi dalam air sehingga dapat

diketahui efektivitas penambahan surfaktan

dan laju pengadukan terhadap kelarutan

limbah minyak bumi dalam air serta

pengaplikasian di lapangan (bioremediasi).

DAFTAR PUSTAKA

[APHA] American Public Health Association

1992. Standard Methods for the

Examination of Water and Wastewater.

18th edition. Washington DC: APHA,

AWWA & WEF.

[ASTM] American Society for Testing and

Materials. 2001. D 1331-89. Standard

Test Methods for Surface and Interfacial

Tension of Solutions of Surface Active

Agents. West Conshohocken, PA19428-2959, West Conshohocken: ASTM.

[ASTM] American Society for Testing and

Materials. 2002. D 3601-88. Standard

Test Methods for Foam In Aqueous

Media. West Conshohocken, PA19428-

2959, West Conshohocken: ASTM.

[ATSDR] Agency for Toxic Substances and

Disease Registry. 1999. Toxicological

Profile for total petroleum hydrocarbons

(TPH). Atlanta, GA: U.S. Department of Health and Human Services, Public

Health Service.

Atkins PW. 1994. Physical Chemistry. Ed ke-

5. USA: Oxford University Press.

Clark J. 2004. Mechanism, chemistry, and

physics dispersants in oil spill response.

Presentation to NRC committee on

understanding oil spill dispersants:

efficacy and effects. Exxon Mobile

Research ang Engineering.

Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 2005.

Standard Method for Examination of

Water and Wastewater 21th .5220.C-

Clossed Reflux, Titrimetri Method.

APHA, AWWA, WEF.

[DEQ] Department of Environmental Quality.

2007. Risk-Based Cleanup Levels for

Total Petroleum Hydrocarbons (TPH).http://www.deq.state.ok.us/factshe

ets/land/TPH.pdf [20 Agust 2008].

Departemen Lingkungan Hidup Republik

Indonesia. 2003. Keputusan Menteri

Negara Lingkungan Hidup Nomor 128

Tahun 2003 tentang Tatacara dan

Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah

Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi

Limbah Minyak Bumi secara Biologis.

Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup.

Dragun, J. 1998. The Soil Chemistry of

Hazardous Materials. 2nd Edition.

Amherst Scientific Publishers, Amherst,

MA.

Fahruddin. 2004. Dampak Tumpahan Minyak

pada Biota Laut. http://www.kompas.com

/kompascetak/0403/17/ilpeng/918248.htm

[16 Jul 2008].

Hadi SN. 2004. Degradasi minyak bumi via

“tangan” mikroorganisme.http://www.

chemistry.org/?sect=artikel&ext=64 [19

Sep 2008]

Heusch R, Bayer AG, Leverkusen. 1987.

Emulsions. Volume ke-A9. Ullmann’s

Encyclopedia of Industrial Chemistry.

New York: Federal Republic of Germany.

Hills BA. 1988. The Biology of Surfactant.

Cambridge: Cambridge University Press.

Holmberg K, Jönsson B, Kronberg B,

Lindman B. 2003. Surfactants and

Polymers in Aqueous Solution. Ed ke-2.

England: John Wiley & Sons.

Jaya HS. 2005. Profil stabilitas emulsi fraksi

ringan minyak bumi dalam air dengan

penambahan surfaktan nonionik.

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

12

Polosoro A. 2005. Potensi Alkil Linear

Sulfonat dalam mempengaruhi kinerja

mikrob pendegradasi minyak bumi.

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut

Pertanian Bogor.

Prince RC, Lessard RR, Clark JR. 2003.

Bioremediation of marine oil spills. Oil &

Gas Sci Technol 58:463-468

Quintero JC, Moreira MT, Feijoo G. 2005.

Effect of surfactant on the soil desorption

of hexacyclohexane (HCH) isomers and

their anaerobic biodegradation. J Chem

Technol Biotechnol 80:1005-1015.

Schramm LL. 2000. Surfactants:

Fundamentals and Applications in The

Petroleum Industry. Cambridge:

Cambridge University Press.

Schramm LL. 2005. Emulsions, Foams, and

Suspensions: Fundamentals and

Applications. Weinheim: WILEY-VCH

Verlag GmbH & Co. KGaA.

Tharwat FT. 2005. Applied Surfactants:

Principles and Applications. Weinheim:

Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.

Udiharto M. 1996. Bioremediasi minyak

bumi. Di dalam: Peranan Bioremediasi Dalam Pengelolaan Lingkungan.

Prosiding Pelatihan dan Lokakarya.

Cibinong, 24-28 Juni 1996. Cibinong:

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

hlm 24-39.

US EPA. 1998. Method 9071B, Revision 2: N-

Hexane Extractable Material (HEM) for

Sludge, Sediment, and Solid Samples.

Washington DC: United States

Environment Protection Agency.

US EPA. 1999. EPA-821-R-98-002. Method

1664, Revision A:N-Hexane Extractable

Material (HEM; Oil and Grease) and

Silica Gel Treated N-Hexane Extractable

Material (SGTHEM; Non-polar Material)

by Extraction and Gravimetry.

Washington DC: United States

Environment Protection Agency.

http://www.strataspe.com/speapps/enviro

n/EPA%201664A.pdf [5 Sep 2008]

Vidali M. 2001. Bioremediation. An

Overview. Department of Inorganic

Chemical. University of Padova, Padova.

Zhu X, AD Venosa, MT Suidan and K Lee.

2001. Guidelines For The

Bioremediation of Marine Shorelines

and Freshwater Wetlands. United States

Environment Protection Agency.

Cincinnati.

13

L A M P I R A N

14

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Penentuan konsentrasi surfaktan dengan γ terendah

Pengaruh konsentrasi surfaktan dengan γ

terendah terhadap kekeruhan emulsi

Penentuan konsentrasi surfaktan yang memiliki

stabilitas emulsi tertinggi

Pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap tegangan permukaan

Pengukuran pH, TPH padat, TPH cair, dan COD

Pengaruh konsentrasi surfaktan dengan γ

terendah terhadap pembentukan busa

Pengaruh laju pengadukan 100, 120, dan 140 rpm selama 1 jam

15

Lampiran 2 Penentuan densitas larutan Tween 80

[Tween 80] Volume Bobot piknometer Bobot piknometer + isi (g) Bobot Tween 80 (g) Densitas Tween 80 (g/mL) Densitas Tween 80

piknometer kosong rerata

(% v/v) (mL) (g) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 (g/mL)

0.0000 25 18.8471 44.4494 44.4518 44.4520 25.6023 25.6047 25.6049 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242

0.0025 25 18.8660 44.4711 44.4744 44.4821 25.6051 25.6084 25.6161 1.0242 1.0243 1.0246 1.0244

0.0050 25 18.8861 44.4710 44.4735 44.4743 25.5849 25.5874 25.5882 1.0234 1.0235 1.0235 1.0235

0.0075 25 18.8725 44.4671 44.4765 44.4736 25.5946 25.6040 25.6011 1.0238 1.0242 1.0240 1.0240

0.0100 25 18.8591 44.4661 44.4676 44.4688 25.6070 25.6085 25.6097 1.0243 1.0243 1.0244 1.0243

0.0125 25 18.8559 44.4718 44.4674 44.4782 25.6159 25.6115 25.6223 1.0246 1.0245 1.0249 1.0247

0.0150 25 18.8529 44.4677 44.4748 44.4678 25.6148 25.6219 25.6149 1.0246 1.0249 1.0246 1.0247

0.0175 25 18.8544 44.4625 44.4618 44.4620 25.6081 25.6074 25.6076 1.0243 1.0243 1.0243 1.0243

0.0200 25 18.8643 44.4478 44.4480 44.4506 25.5835 25.5837 25.5863 1.0233 1.0233 1.0235 1.0234

0.0225 25 18.8709 44.4410 44.4503 44.4500 25.5701 25.5794 25.5791 1.0228 1.0232 1.0232 1.0230

0.0250 25 18.8712 44.4413 44.4473 44.4493 25.5701 25.5761 25.5781 1.0228 1.0230 1.0231 1.0230

0.0275 25 18.8564 44.4453 44.4467 44.4510 25.5889 25.5903 25.5946 1.0236 1.0236 1.0238 1.0237

0.0300 25 18.8488 44.4475 44.4480 44.4498 25.5987 25.5992 25.6010 1.0239 1.0240 1.0240 1.0240

0.0350 25 18.8486 44.4488 44.4515 44.4542 25.6002 25.6029 25.6056 1.0240 1.0241 1.0242 1.0241

0.0400 25 18.8545 44.4535 44.4600 44.4529 25.5990 25.6055 25.5984 1.0240 1.0242 1.0239 1.0240

Contoh perhitungan:

piknometervolume

kosongpiknometerBobotisipiknometerBobotDensitas

mL

ggDensitas

25

8471.184494.44

Densitas = 1.0241 g/mL

16

Lampiran 3 Penentuan tegangan permukaan Tween 80 dengan metode cincin Du Noűy

[Tween 80] P (dyne/cm) P rerata Fr γ = P x Fr

(% v/v) I II III IV V (dyne/cm) (dyne/cm)

0.0000 76.70 76.70 76.70 76.20 76.70 76.60 0.9361 71.71

0.0025 76.00 76.60 76.10 76.10 76.40 76.24 0.9357 71.34

0.0050 69.50 69.60 69.40 69.10 69.80 69.48 0.9293 64.57

0.0075 68.20 68.00 68.30 68.60 68.40 68.30 0.9281 63.39

0.0100 63.40 63.40 63.40 63.60 63.50 63.46 0.9233 58.59

0.0125 62.90 62.30 62.20 62.50 62.10 62.40 0.9221 57.54

0.0150 61.10 61.60 61.70 61.60 61.70 61.54 0.9212 56.69

0.0175 54.30 54.60 54.20 53.70 54.50 54.26 0.9137 49.58

0.0200 55.30 55.60 55.50 55.70 55.70 55.56 0.9152 50.85

0.0225 62.80 62.60 62.70 62.30 62.40 62.56 0.9224 57.71

0.0250 61.60 61.90 61.70 61.80 61.60 61.72 0.9215 56.87

0.0275 62.40 62.20 62.40 62.40 62.60 62.40 0.9222 57.55

0.0300 60.00 59.80 59.70 60.00 59.60 59.82 0.9195 55.00

0.0350 57.00 57.50 57.30 57.30 57.40 57.30 0.9169 52.54

0.0400 59.40 59.40 59.20 59.30 59.60 59.38 0.9191 54.58

Contoh perhitungan:

Keliling cincin = 5.9450

r/R = 0.0187

Densitas udara = 0.0012 g/mL

R

r

dDC

PFr

679.104534.0

01452.07250.0

2

)0187.0679.1(04534.00012.00244.19450.5

24.5401452.07250.0

2x

xFr

Fr = 0.9357

γ = P x Fr

= 76.24 x 0.9357

= 71.34 dyne/cm

17

Lampiran 4 Penentuan densitas larutan Brij 35

[Brij 35] Volume Bobot piknometer Bobot piknometer + isi (g) Bobot Brij 35 (g) Densitas Brij 35 (g/mL) Densitas Brij 35

piknometer kosong rerata

(% v/v) (mL) (g) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 (g/mL)

0.0000 25 18.8471 44.4494 44.4518 44.4520 25.6023 25.6047 25.6049 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242

0.0025 25 18.8488 44.4469 44.4408 44.4437 25.5981 25.5920 25.5949 1.0239 1.0237 1.0238 1.0238

0.0050 25 18.8513 44.4416 44.4452 44.4448 25.5903 25.5939 25.5935 1.0236 1.0238 1.0237 1.0237

0.0075 25 18.8483 44.4519 44.4527 44.4544 25.6036 25.6044 25.6061 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242

0.0100 25 18.8511 44.4424 44.4521 44.4464 25.5913 25.6010 25.5953 1.0237 1.0240 1.0238 1.0238

0.0125 25 18.8492 44.4370 44.4424 44.4433 25.5878 25.5932 25.5941 1.0235 1.0237 1.0238 1.0237

0.0150 25 23.3265 47.6260 47.6459 47.6291 24.2995 24.3194 24.3026 0.9720 0.9728 0.9721 0.9723

0.0175 25 18.8470 44.4405 44.4422 44.4413 25.5935 25.5952 25.5943 1.0237 1.0238 1.0238 1.0238

0.0200 25 23.3333 47.6316 47.6315 47.6275 24.2983 24.2982 24.2942 0.9719 0.9719 0.9718 0.9719

0.0225 25 18.8478 44.4373 44.4418 44.4418 25.5895 25.5940 25.5940 1.0236 1.0238 1.0238 1.0237

0.0250 25 23.3390 47.6243 47.6270 47.6286 24.2853 24.2880 24.2896 0.9714 0.9715 0.9716 0.9715

0.0275 25 18.8512 44.4415 44.4435 44.4458 25.5903 25.5923 25.5946 1.0236 1.0237 1.0238 1.0237

0.0300 25 23.3325 47.6318 47.6315 47.6396 24.2993 24.2990 24.3071 0.9720 0.9720 0.9723 0.9721

0.0350 25 18.8488 44.4498 44.4460 44.4537 25.6010 25.5972 25.6049 1.0240 1.0239 1.0242 1.0240

0.0400 25 23.3391 47.6285 47.6385 47.6308 24.2894 24.2994 24.2917 0.9716 0.9720 0.9717 0.9717

Contoh perhitungan:

piknometervolume

kosongpiknometerBobotisipiknometerBobotDensitas

mL

ggDensitas

25

8474.184585.44

Densitas = 1.0244 g/mL

18

Lampiran 5 Penentuan tegangan permukaan Brij 35 dengan metode cincin Du Noűy

[Brij 35] P (dyne/cm) P rerata Fr γ = P x Fr

(% v/v) I II III IV V (dyne/cm) (dyne/cm)

0.0000 76.70 76.70 76.70 76.20 76.70 76.60 0.9361 71.71

0.0025 54.40 54.50 54.30 54.40 54.70 54.46 0.9139 49.77

0.0050 49.40 49.40 50.00 49.70 49.90 49.68 0.9088 45.15

0.0075 49.70 49.70 49.30 49.50 49.50 49.54 0.9086 45.01

0.0100 44.30 43.80 44.30 44.50 43.90 44.16 0.9026 39.86

0.0125 44.80 45.10 44.90 45.10 45.00 44.98 0.9036 40.64

0.0150 44.20 44.10 44.50 44.30 44.10 44.24 0.9054 40.05

0.0175 35.10 35.00 35.20 35.10 35.00 35.08 0.8921 31.29

0.0200 37.20 37.30 37.30 37.50 37.50 37.36 0.8971 33.52

0.0225 36.90 37.00 37.00 37.10 36.90 36.98 0.8943 33.07

0.0250 43.50 43.50 43.50 43.60 43.70 43.56 0.9046 39.40

0.0275 42.50 42.40 42.50 42.30 42.40 42.42 0.9007 38.21

0.0300 39.50 39.40 39.40 39.40 39.30 39.40 0.8996 35.44

0.0350 40.00 40.10 40.00 39.90 40.00 40.00 0.8979 35.91

0.0400 40.30 40.20 40.20 40.20 40.30 40.24 0.9006 36.24

Contoh perhitungan:

Keliling cincin = 5.9450

r/R = 0.0187

Densitas udara = 0.0012 g/mL

R

r

dDC

PFr

679.104534.0

01452.07250.0

2

)0187.0679.1(04534.00012.00238.19450.5

46.5401452.07250.0

2x

xFr

Fr = 0.9139

γ = P x Fr

= 54.46 x 0.9139

= 49.77 dyne/cm

19

Lampiran 6 Pengukuran stabilitas emulsi Tween 80

[Tween 80] Kekeruhan sebelum Rerata Kekeruhan setelah Rerata Stabilitas

sentrifugasi (NTU) (NTU) sentrifugasi (NTU) (NTU) emulsi

(% v/v) I II III I II III (%)

0.0000 488 489 481 486 0.11 0.10 0.12 0.11 0.02

0.0125 732 737 738 736 0.20 0.21 0.25 0.22 0.03

0.0150 555 534 558 549 0.79 0.74 0.75 0.76 0.14

0.0175 412 418 416 415 0.97 1.00 1.02 1.00 0.24

0.0200 622 624 625 624 0.56 0.56 0.56 0.56 0.09

0.0225 382 384 383 383 0.30 0.29 0.31 0.30 0.08

Contoh perhitungan:

% Stabilitas emulsi = emulsiawalturbiditas

emulsiakhirturbiditas X 100%

% Stabilitas emulsi = 418

00.1 X 100%

% Stabilitas emulsi = 0.24 %

Lampiran 7 Pengukuran stabilitas emulsi Brij 35

[Brij 35] Kekeruhan sebelum Rerata Kekeruhan setelah Rerata Stabilitas

sentrifugasi (NTU) (NTU) sentrifugasi (NTU) (NTU) emulsi

(% v/v) I II III I II III (%)

0.0000 488 489 481 486 0.11 0.10 0.12 0.11 0.02

0.0125 473 476 474 474 0.57 0.57 0.57 0.57 0.12

0.0150 674 674 672 673 1.48 1.44 1.50 1.47 0.22

0.0175 538 536 540 538 0.17 0.18 0.20 0.18 0.03

0.0200 507 505 510 507 0.21 0.18 0.20 0.20 0.04

0.0225 563 569 567 566 0.15 0.16 0.17 0.16 0.03

Contoh perhitungan:

% Stabilitas emulsi = emulsiawalturbiditas

emulsiakhirturbiditas X 100%

% Stabilitas emulsi = 673

47.1 X 100%

% Stabilitas emulsi = 0.22 %

20

Lampiran 8 Pengukuran busa Tween 80

[Tween 80] Ulangan I M R FM FM rerata FR FR rerata

(% v/v) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)

0.0125 1 57 80 77 23 23 20 20

2 57 79 76 22 19

3 57 80 77 23 20

0.0150 1 56 81 77 25 24 21 21

2 57 79 77 22 20

3 56 80 77 24 21

0.0175 1 57 82 78 25 25 21 21

2 57 82 78 25 21

3 57 81 77 24 20

0.0200 1 57 84 80 27 26 23 23

2 57 83 81 26 24

3 57 83 79 26 22

0.0225 1 57 85 80 28 27 23 23

2 57 84 79 27 22

3 56 83 79 27 23

Keterangan:

FM : Tinggi busa maksimum

M : Tinggi total maksimum busa pada

waktu nol

I : Tinggi awal cairan

FR : Tinggi busa tersisa setelah 5 menit

R : Tinggi total busa setelah 5 menit

T : 26 º C

Contoh perhitungan:

FM = M - I FM = (80 – 57) mm

FM = 23 mm

FR = R – I

FR = (77 – 57) mm

FR = 20 mm

21

Lampiran 9 Pengukuran busa Brij 35

[Brij 35] Ulangan I M R FM FM rerata FR FR rerata

(% v/v) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)

0.0125 1 57 79 77 22 22 20 20

2 57 79 78 22 21

3 57 78 76 21 19

0.0150 1 56 78 76 22 22 20 20

2 56 78 76 22 20

3 56 78 76 22 20

0.0175 1 57 80 78 23 23 21 21

2 57 79 77 22 20

3 57 80 78 23 21

0.0200 1 56 79 76 23 24 20 21

2 56 80 77 24 21

3 56 80 77 24 21

0.0225 1 57 82 79 25 26 22 23

2 57 83 80 26 23

3 57 83 80 26 23

Keterangan:

FM : Tinggi busa maksimum

M : Tinggi total maksimum busa pada

waktu nol

I : Tinggi awal cairan

FR : Tinggi busa tersisa setelah 5 menit

R : Tinggi total busa setelah 5 menit

T : 26 º C

Contoh perhitungan:

FM = M - I FM = (79 – 57) mm

FM = 22 mm

FR = R – I

FR = (77 – 57) mm

FR = 20 mm

22

Lampiran 10 Pengukuran TPH padat sampel awal

Ulangan Bobot Erlenmeyer

(g)

Bobot Erlenmeyer

+ isi (g)

Bobot Minyak

(g)

Bobot Sampel

(g)

TPH

(% b/b)

1 108.6435 110.4234 1.7799 10.2000 17.45

2 109.7502 111.4817 1.7315 10.1913 16.99

Rerata 17.22

Contoh perhitungan:

TPH (% b/b) = bobot minyak x 100%

bobot sampel

TPH (% b/b) = g

g

2000.10

7799.1 x 100%

TPH (% b/b) = 17.45 %

Lampiran 11 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan

Laju pH sebelum Pengadukan pH sesudah Pengadukan

pengadukan Blanko Tween 80 Brij 35 Blanko Tween 80 Brij 35

(rpm) 0.0175% 0.0150% 0.0175% 0.0150%

100 4 4 4 4 3 3

120 4 4 4 4 4 4

140 4 4 4 4 4 4

23

Lampiran 12 Pengukuran TPH cair setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan

Laju Sampel Ulangan Bobot Erlenmeyer Bobot Erlenmeyer + Bobot minyak Volume sampel TPH TPH rerata

pengadukan (rpm) kosong (g) isi (g) (g) (ml) (% b/v) (% b/v)

100 Blanko 1 77.5504 77.5966 0.0462 50 0.09 0.10

2 74.9430 74.9957 0.0527 50 0.11

Tween 80 1 110.3784 110.5053 0.1269 50 0.25 0.25

2 109.9905 110.1138 0.1233 50 0.25

Brij 35 1 109.2872 109.4800 0.1928 50 0.39 0.36

2 107.9752 108.1435 0.1683 50 0.34

120 Blanko 1 73.9443 74.0394 0.0951 50 0.19 0.17

2 74.3106 74.3841 0.0735 50 0.15

Tween 80 1 78.2978 78.4725 0.1747 50 0.35 0.32

2 112.9715 113.1179 0.1464 50 0.29

Brij 35 1 106.2060 106.5221 0.3161 50 0.63 0.55

2 109.8598 110.0964 0.2366 50 0.47

140 Blanko 1 117.6363 117.7578 0.1215 50 0.24 0.24

2 114.8871 115.0010 0.1139 50 0.23

Tween 80 1 107.1992 107.4028 0.2036 50 0.41 0.40

2 113.1312 113.3243 0.1931 50 0.39

Brij 35 1 78.7689 79.1641 0.3952 50 0.79 0.74

2 77.7464 78.0960 0.3496 50 0.70

Contoh perhitungan:

TPH (% b/v) = bobot minyak x 100%

volume sampel

TPH (% b/v) = mL

g

50

0462.0 x 100%

TPH (% b/v) = 0.09 %

24

Lampiran 13 Pengukuran TPH padat setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan

Laju Sampel Ulangan Bobot Erlenmeyer Bobot Erlenmeyer + Bobot minyak Bobot sampel TPH TPH rerata

pengadukan (rpm) kosong (g) isi (g) (g) (ml) (% b/b) (% b/b)

100 Blanko 1 78.2014 79.0382 0.8368 5.0157 16.68 16.29

2 81.7396 82.5349 0.7953 5.0056 15.89

Tween 80 1 80.5790 81.2456 0.6666 5.0045 13.32 13.13

2 77.5364 78.1836 0.6472 5.0010 12.94

Brij 35 1 73.8138 74.6508 0.8370 5.0095 16.71 16.91

2 73.9353 74.7937 0.8584 5.0177 17.11

120 Blanko 1 67.4618 68.3049 0.8431 5.0068 16.84 16.13

2 80.6198 81.3913 0.7715 5.0024 15.42

Tween 80 1 112.9511 113.8566 0.9055 5.0024 18.10 16.69

2 107.1490 107.9209 0.7719 5.0540 15.27

Brij 35 1 106.0121 106.8597 0.8476 5.0474 16.79 16.75

2 110.2658 111.1012 0.8354 5.0007 16.71

140 Blanko 1 73.8027 74.6108 0.8081 5.0066 16.14 16.10

2 73.9319 74.7352 0.8033 5.0048 16.05

Tween 80 1 107.9849 108.7782 0.7933 5.0080 15.84 15.56

2 109.2443 110.0109 0.7666 5.0146 15.29

Brij 35 1 109.2440 110.0467 0.8027 5.0041 16.04 16.55

2 73.5880 74.4433 0.8553 5.0166 17.05

Contoh perhitungan:

TPH (% b/b) = bobot minyak x 100%

bobot sampel

TPH (% b/b) = g

g

0157.5

8368.0 x 100%

TPH (% b/b) = 16.68 %

25

Lampiran 14 Pengukuran COD setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan

Laju Sampel Ulangan Volume FAS 0.05 N Volume FAS 0.05 N Volume FAS 0.05 N Volume sampel COD COD rerata

pengadukan (rpm) awal (ml) akhir (ml) terpakai (ml) (ml) (mg/ml) (mg/ml)

100 Blanko 1 20.20 26.85 6.65 10 16292 16171

2 26.85 33.55 6.70 10 16051

Tween 80 1 12.20 18.70 6.50 10 17015 16774

2 18.70 25.30 6.60 10 16533

Brij 35 1 25.30 31.80 6.50 10 17015 17256

2 31.80 38.20 6.40 10 17497

120 Blanko 1 23.45 28.85 5.40 10 22317 24245

2 28.85 33.45 4.60 10 26173

Tween 80 1 24.20 28.25 4.05 10 28824 28342

2 28.25 32.50 4.25 10 27860

Brij 35 1 39.60 43.65 4.05 10 28824 28462

2 43.65 47.85 4.20 10 28101

140 Blanko 1 20.30 23.30 3.00 10 33885 33041

2 23.35 26.70 3.35 10 32198

Tween 80 1 11.90 13.35 1.45 10 41356 41235

2 13.35 14.85 1.50 10 41115

Brij 35 1 17.50 18.95 1.45 10 41356 41717

2 19.00 20.30 1.30 10 42079

Contoh perhitungan:

Volume FAS untuk titrasi blanko = 10.03 mL

Faktor pengenceran = 125 kali

COD (mg/L) = xfpmLsampelVolume

oksigenBExxNxBA 1000

COD (mg/L) = 12510

810000482.040.503.10x

mL

xxx

COD (mg/L) = 22317 mg/L

26

Lampiran 15 Hidrokarbon minyak bumi dalam air dan padatan

Laju Sampel Ulangan Bobot minyak

dalam cairan

Bobot minyak

dalam padatan

Bobot minyak total

dalam sampel

% Hidrokarbon

minyak bumi

% Hidrokarbon

minyak bumi

% Hidrokarbon

minyak bumi

% Hidrokarbon

minyak bumi

pengadukan (rpm)

(g) (g) (g) dalam air dalam air rerata dalam padatan

dalam padatan

rerata

100 Blanko 1 2.7720 9.8158 12.5878 22.02 23.65 77.98 76.35

2 3.1620 9.3478 12.5098 25.28 74.72

Tween 80 1 7.6140 7.8360 15.4500 49.28 49.28 50.72 50.72

2 7.3980 7.6133 15.0113 49.28 50.72

Brij 35 1 11.5680 9.8288 21.3968 54.06 52.07 45.94 47.93

2 10.0980 10.0636 20.1616 50.09 49.91

120 Blanko 1 5.7060 9.9071 15.6131 36.55 34.63 63.45 65.37

2 4.4100 9.0737 13.4837 32.71 67.29

Tween 80 1 10.4820 10.6504 21.1324 49.60 49.52 50.40 50.48

2 8.7840 8.9864 17.7704 49.43 50.57

Brij 35 1 18.9660 9.8779 28.8439 65.75 62.42 34.25 37.58

2 14.1960 9.8266 24.0226 59.09 40.91

140 Blanko 1 7.2900 9.4955 16.7855 43.43 42.71 56.57 57.29

2 6.8340 9.4425 16.2765 41.99 58.01

Tween 80 1 12.2160 9.3187 21.5347 56.73 56.51 43.27 43.49

2 11.5860 8.9932 20.5792 56.30 43.70

Brij 35 1 23.7120 9.4360 33.1480 71.53 69.59 28.47 30.41

2 20.9760 10.0293 31.0053 67.65 32.35

Contoh perhitungan:

% Hidrokarbon minyak bumi dalam air = Bobot minyak dalam cairan (g) x 100%

Bobot minyak total dalam sampel (g) % Hidrokarbon minyak bumi dalam air = 2.7720 g x 100%

12.5878 g

% Hidrokarbon minyak bumi dalam air = 22.02%

27

Lampiran 16 Standardisasi larutan FAS 0.5000 N dengan larutan K2Cr2O7 0.0252 N

Ulangan Meniskus awal

(mL)

Meniskus akhir

(mL)

Volume terpakai

(mL)

Volume K2Cr2O7

(mL)

Konsentrasi

FAS (N)

1 1.7 6.9 5.2 10 0.0485

2 6.9 12.1 5.2 10 0.0485

3 12.1 17.4 5.3 10 0.0475

0.0482

Contoh perhitungan:

VFAS x N FAS = VK2Cr2O7 x N K2Cr2O7

5.2 mL x N FAS = 10 mL x 0.0252 N

N FAS = mL

NxmL

2.5

0252.010

N FAS = 0.0482 N

Lampiran 17 Pembuatan pereaksi COD

Pembuatan larutan baku FAS

Larutan baku fero amonium sulfat kira-kira 0,05 N dibuat dengan menimbang 9.8083 g

Fe(NH4)2(SO4)2.6 H2O (untuk 500 mL larutan), lalu dilarutkan dengan 200 mL air suling dalam

labu takar 500 mL. Sebanyak 10 mL asam sulfat pekat ditambahkan, kemudian volumenya ditepatkan sampai tanda tera.

Pembuatan larutan indikator ferroin

Larutan indikator ferroin dibuat dengan menimbang 1.4893 g 1,10-fenantrolin, kemudian

dilarutkan dengan 50 mL air suling dalam labu takar 100 mL. Sebanyak 0.7178 g FeSO4.7H2O

ditambahkan, lalu volumenya ditepatkan sampai tanda tera.

Pembuatan larutan K2Cr2O7-HgSO4

Larutan K2Cr2O7 dibuat dengan menimbang 1.2289 g K2Cr2O7, lalu dilarutkan dengan 200 mL

air suling dalam labu takar 250 mL. Sebanyak 41.75 mL asam sulfat pekat ditambahkan, kemudian

ditambahkan 8.3910 g HgSO4. Volumenya ditepatkan sampai tanda tera

Pembuatan larutan pereaksi asam sulfat-perak sulfat

Larutan pereaksi sulfat dibuat dengan menimbang 3.6 g Ag2SO4, lalu ditambahkan 300 mL

asam sulfat pekat. Larutan didiamkan selama satu hari.

28

29