pengaruh suplementasi mineral mikro organik …digilib.unila.ac.id/54823/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
PENGARUH SUPLEMENTASI MINERAL MIKRO ORGANIKTERHADAP KECERNAAN PROTEIN KASAR DAN
SERAT KASAR KAMBING PERANAKANETAWA JANTAN
(Skripsi)
Oleh
Erika Lucy Aprilia
JURUSAN PETERNAKANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG2018
ABSTRAK
PENGARUH SUPLEMENTASI MINERAL MIKRO ORGANIKTERHADAP KECERNAAN PROTEIN KASAR DAN SERAT
KASAR KAMBING PERANAKAN ETAWA JANTAN
Oleh
Erika Lucy Aprilia
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh suplementasi mineral mikroorganik terhadap kecernaan serat kasar dan protein kasar kambing PeranakanEtawa (PE) Jantan. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret--Juli 2018 di KandangKambing Jurusan Peternakan dan analisis proksimat di Laboratorium Nutrisi danMakanan Ternak Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5kelompok perlakuan dan 3 ekor kambing sebagai ulangan dengan pengelompokanberdasarkan bobot tubuh. Bobot rata-rata kambing yang digunakan yaitu14,2--38Kg/ekor. Perlakuan yang diberikan meliputi R0:Ransum Basal; R1: Ransum Basal+ 40 ppm minera organik Zn-lisinat; R2: Ransum Basal + 10 ppm minera organikCu-lisinat; R3: Ransum Basal + 0,1 ppm minera organik Se-lisinat; R4: RansumBasal + 0,30 ppm minera organik Cr-lisinat. Data dianalisis dengan analisis ofvarian dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi mineral mikro organiktidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan protein kasar (KcPK),sedangkan terhadap kecernaan serat kasar (KcSK) memberikan pengaruh yangnyata (P<0,05). Nilai kecernaan serat kasar berpengaruh nyata pada suplementasimineral mikro organik Zn-lisinat 40 ppm (45,66%) dan Cr-lisinat 0,3 ppm(45,62%).
Kata kunci: Kambing PE, Kecernaan protein kasar dan serat kasar, Mineral mikroorganik.
ABSTRACT
THE EFFECT OF ORGANIC MICRO MINERAL SUPLEMENTATIONON THE DIGESTIBILITY OF CRUDE PROTEIN AND CRUDE FIBER
IN MALE ETAWA CROSSBREED GOATS
Oleh
Erika Lucy Aprilia
The objective this research to determine the effect of organic micro mineralsuplementation on crude proteinand crude fiber male Etawa Crossbreed goatsdigestibility. The research held on March--July 2018 at the Cage of LivestockDepartements and proximate analysis were conducted at the Nutrition and FeedLaboratory, Livestock Departements, Faculty of Agriculture, University ofLampung. The design used was Rendomized Block Design (RBD) with 5treatments and 3 repetitions by grouping based on body weight. The average ofbody weight is 14,2--38 kg/head. The treatment implemented in this research wasR0: Basal Ration; R1: Basal Ration+ 40 ppm Mineral Organik Zn-lysinate; R2:Basal Ration+ 10 ppm Mineral Organik Cu-lysinate; R3: Basal Ration+ 0,1 ppmMineral Organic Se-lysinate; R4: Basal Ration+ 0,30 ppm Mineral Organic Cr-lysinate. Data were analyzed by Analysis of Varians 5% and continued withLeast Significant Difference test (LSD). The result showed organic micro mineralsuplementation not significant (P>0,05) on crude protein digestibility, while thesignificant effect (P<0,05) on crude fiber digestibility. The significant effect oncrude fiber digestibility of Zn-lysinate 40 ppm suplementation (45,66%) and Cr-lysinate 0,3 ppm (45,62%).
Keywords: Crude fiber and crude protein digestibility, Etawa crossbreed, Organicmicro mineral.
PENGARUH SUPLEMENTASI MINERAL MIKRO ORGANIKTERHADAP KECERNAAN PROTEIN KASAR DAN
SERAT KASAR KAMBING PERANAKANETAWA JANTAN
Oleh
ERIKA LUCY APRILIA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSarjana Peternakan
Pada
Jurusan PeternakanFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Labuhan Ratu IX, Kecamatan Labuhan Ratu,
Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung pada 14 April 1996, sebagai anak
pertama dari pasangan Bapak Sukamto dan Ibu Kurniawati, Kakak dari Riki
Dimaskur dan Riza Febriani.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 2 Labuhan Ratu pada
2008, Sekolah Menengah Pertama di SMP N 1 Labuhan Ratu pada 2011, dan
Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Labuhan Ratu pada 2014. Pada tahun yang
sama, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN).
Penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) pada Juli--Agustus 2017 di PT.
Nusantara Tropical Farm Feedlot di Jl. Taman Nasional Way Kambas, Desa
Rajabasa Lama 1, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur dan
melaksanakan penelitian pada Maret--Juli 2018 di Laboratorium Lapang Terpadu,
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pada Januari--
Maret 2016, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Mekar
Jaya, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah
Kimia Dasar, Biokimia Umum, Pengenalan Bahan Pakan dan Formulasi Ransum,
dan Pemanfaatan Limbah Agroindustri, serta terdaftar sebagai anggota himpunan
mahasiswa peternakan (HIMAPET) dan anggota dana usaha FOSI FP 2015/2016.
MOTTO
“Apabila hidupmu terasa begitu sulit, maka koreksi hubunganmu dengan Allah,
dengan Al-quran, dengan keluargamu, dengan sesama makhluk,
lalu dengan dirimu sendiri mungkin ada yang salah
(Erika Lucy Aprilia)”
“Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan maka apabila kamu
telah selesai dari suatu urusan kerjakanlah dengan sungguh (urusan) yang lain.
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu mengharap
(QS. Al-Insyirah : 5-8)”
“Nikmat tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan?
(Ar-Rahman)”
“Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan
kau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan
kau akan mati esok. Sebaik-baik pekerjaan yaitu pekerjaan
yang mencari ridho Allah SWT
(Teh Yani)”
Alhamdulillah...
Ku ucakan syukur atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telahmemberikan kenikmatan sehat dan kesempatan hingga sampai ketahap ini.
Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhinggaku persembahkan karya kecil ini untuk:
Mama dan Bapak tercinta, Adik Riki, Adik Riza,dan seluruh keluarga besarku, pemilik proyek yang telah mebiayai penelitian
ini, seluruh sahabatku, seseorang terkasih yang selalu ku semogakan,serta almamaterku tercinta UNILA yang selalu kubanggakan.
Tanpa doa, motivasi, kasih sayang, dan pengorbanan mereka, aku tidaklahberarti apa-apa.
Semoga karya kecil ini bukan menjadi karya yang terakhir untuk penulis
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW
beserta keluarga dan sahabatnya tercinta.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Suplementasi Mineral Mikro Organik terhadap
Kecernaan Protein Kasar dan Serat Kasar pada Kambing Peranakan Etawa
Jantan” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di
Universitas Lampung.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si.--selaku Dekan Fakultas
Pertanian--yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan
penelitian dan mengesahkan skripsi ini.
2. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P.--selaku Ketua Jurusan Peternakan--yang telah
memberikan nasihat, arahan, dan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S.--selaku Pembimbing Utama--atas ide
dan pemilik proyek penelitian, arahan, bimbingan, dan nasihat selama
penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta membiayai penelitian ini.
4. Bapak Agung Kusuma Wijaya, S.Pt., M.P.--selaku Pembimbing Anggota--
atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam
proses penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Ir. Erwanto, M.S.--selaku Penguji Utama--atas arahan, petunjuk,
dan saran yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Dr. Ir. Sulastri, M.P.--selaku Dosen Pembimbing Akademik--yang telah
memberikan arahan, nasihat, motivasi kepada penulis selama menjadi
mahasiswi di Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
7. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas
Lampung--atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
8. Orang Tuaku tercinta Bapak Sukamto dan Mama Kurniawati--yang telah
mencurahkan kasih sayang, cinta, do’a, perhatian, tenaga, biaya, dan motivasi
dengan tulus ikhlas kepada penulis.
9. Adik Riki Dimaskur, Adik Riza Febriani, dan keluarga besarku--yang telah
memberikan keceriaan dan kasih sayang kepada penulis.
10. Keluarga kesekianku Mamak Sukati dan keluarga, Umi Siti Nurjanah dan
keluarga, Bude Sutinah dan keluarga--atas semua kasih sayang yang telah
diberikan kepada penulis.
11. Ulya, Melly, Nanda, Anjar, Azis, dan Aziz--selaku teman seperjuangan
selama penelitian--yang telah memberikan bantuan, dan motivasi kepada
penulis selama penyusunan skripsi ini.
12. Keluarga besar HIMAPET, FOSI FP periode 2015--2016, IKAM-LAMTIM
periode 2014--2015, dan Elephant Gowes --atas kebersamaan membangun
potensi diri dan berkarya.
13. Zulfa, Dewi, Mbak Ana, April, Winda, Simak, Melan, Agista, Mbak Fina,
Adik Fitri, Adik Eka, dan Eka Nurlita--sebagai teman kost atas kebersamaan
bantuan,dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini.
14. Anggia Ayu, Karine Meynda, Estu Pralampita, Fazario Aditya, Umar Indra
Cahya Abam, dan Rangga Saputra--sebagai teman Kuliah Kerja Nyata
(KKN) yang telah memberikan motivasi dan dukungan dalam penyusunan
skripsi ini.
15. Tri Rahayu, Lia Anggraini, Inda Lusiana, Fahmi Muti’ah, dan Usni Farida,
serta keluarga IPA 1 SMAN 1 Labuhan ratu--atas persahabatannya yang
terjalin selama ini.
16. Gusti, Ulya, Mita, Desy Marisa, Desi Ariyani, Aisyah, Ficke, Edy, Irvan, Iis,
Winda, Dewi, Linda, Simak, Riska, Desi Savitri, Seto, Diyon, Azis, dan Fiqri,
seluruh teman-teman angkatan 2014, adik-adik angkatan 2015, 2016, dan
2017--yang telah memberikan motivasi, bantuan, dan kesan yang mendalam
kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
17. Almamaterku tercinta Universitas Lampung.
Bandarlampung, 2 Agustus 2018
Erika Lucy Aprilia
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR ISI.............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. v
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ............................................................................... 3
C. Manfaat Penelitian ............................................................................. 3
D. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 4
E. Hipotesis ............................................................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 7
A. Kambing Peranakan Etawa................................................................ 7
B. Menajemen Pakan.............................................................................. 8B.1. Bahan Pakan............................................................................... 8
B.1.1. Hijauan............................................................................ 9B.1.2. Konsentrat ....................................................................... 12B.1.3. Feed Sumplement ............................................................ 14
B.2. Pemberian Pakan pada Kambing ............................................... 18
C. Pencernaan Ruminansia..................................................................... 20
D. Kecernaan Pakan ............................................................................... 22D.1. Kecernaan serat kasar ................................................................ 24D.2. Kecernaan protein kasar............................................................. 25
III. METODE PENELITIAN ................................................................. 30
A. Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 30
B. Bahan dan Alat Penelitian ............................................................... 30B.1. Bahan penelitian ...................................................................... 30B.2. Alat penelitian.......................................................................... 30
C. Rancangan Penelitian ...................................................................... 31C.1. Rancangan perlakuan............................................................... 31C.2. Rancangan percobaan .............................................................. 32C.3. Prosedur penelitian .................................................................. 32
C.3.1. Persiapan penelitian....................................................... 32C.3.2. Pembuatan mineral mikro organik ................................ 33C.3.3. Pembuatan ransum......................................................... 35C.3.4. Kegiatan penelitian ........................................................ 36C.3.5. Koleksi feses ................................................................. 36C.3.6. Analisis proksimat ......................................................... 37C.3.7. Peubah yang diamati...................................................... 41C.3.8. Analisis data ................................................................. 42
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 43
A. Pengaruh pemberian mineral mikro organik terhadap kecernaanprotein kasar kambing peranakan etawa jantan .............................. 43
B. Pengaruh pemberian mineral mikro organik terhadap kecernaanserat kasar kambing peranakan etawa jantan .................................. 46
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 50
A. Kesimpulan....................................................................................... 50
B. Saran ................................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 51
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit ................................................. 14
2. Kandungan nutrisi ransum basal ........................................................ 31
3. Rata-rata kecernaan protein kasar ...................................................... 45
4. Rata-rata kecernaan serat kasar.......................................................... 49
5. Kandungan bahan penyusun ransum basal ........................................ 56
6. Rataan pertambahan bobot tubuh harian kambing PE....................... 58
7. Kecernaan serat kasar hasil penelitian ............................................... 59
8. Hasil Analisis of Varians kecernaan serat kasar ................................ 59
9. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) kecernaan protein................... 59
10. Kecernaan protein kasar hasil penelitian ........................................... 60
11. Hasil Analisis of Varians kecernaan protein kasar ............................ 60
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tata letak kambing penelitian ............................................................... 32
2. Penimbangan kambing .......................................................................... 61
3. Menimbang mineral mikro organik sesuai kebutuhan .......................... 61
4. Pengadukan larutan lisin ....................................................................... 62
5. Mineral mikro organik Zn-lisinat, Cu-lisinat, Se-lisinat, dan
Cr-lisinat................................................................................................ 62
6. Cara pengaplikasian mineral ke dalam ransum..................................... 63
7. Pembuatan ransum untuk kebutuhan ternak selama 7 hari ................... 63
8. Pembuatan silase daun singkong dan silase tebon jagung .................... 64
9. Pengambilan sampel feses untuk dianalisis proksimat ......................... 64
10. Pengambilan hasil penampungan feses total......................................... 65
11. Penjemuran sampel feses ...................................................................... 65
12. Proses destruksi pada analisis proksimat protein kasar......................... 66
13. Proses destilasi pada analisis proksimat protein kasar .......................... 66
14. Proses titrasi pada analisis proksimat protein kasar .............................. 67
15. Proses analisis serat kasar ..................................................................... 67
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahan pangan asal ternak seperti daging ruminansia termasuk sumber protein
hewani penting bagi manusia yang berperan dalam pertumbuhan dan
memperbaiki sel tubuh yang rusak. Namun, ketersediaanya belum mampu
memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan
produksi maupun mencari alternatif ternak lain sebagai penghasil daging. Salah
satu jenis ternak yang berpotensi dikembangkan di Provinsi Lampung untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani yaitu kambing Peranakan Etawa (PE) jantan.
Kambing PE jantan merupakan ternak ruminansia kecil yang dapat dijadikan
sebagai penghasil daging karena memiliki bayak keunggulan. Kambing PE
merupakan hasil persilangan dari kambing etawa (India) dengan kambing kacang,
sehingga memiliki penampilan mirip kambing etawa tetapi lebih kecil. Jenis
kambing ini memiliki ukuran badan yang relatif besar, daya adaptasi yang tinggi
terhadap suhu daerah tropis, dan pertumbuhan yang lebih cepat. Pernyataan
tersebut didukung oleh data Badan Pusat Statistik (2017) bahwa jumlah ternak
kambing pada 2014--2016 terus mengalami kenaikan berturut-turut sebanyak
1.250.823 ekor, 1.297.872 ekor, dan 1.326.103 ekor.
2
Salah satu faktor yang mendukung keunggulan kambing PE adalah manajemen
yang baik seperti manajemen pakan. Ransum ruminansia terdiri dari hijauan dan
pakan penguat (konsentrat). Unsur atau senyawa kimia dalam ransum kambing
yang diberikan harus menunjang kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi,
dan reproduksi. Senyawa tersebut meliputi air, protein, lemak, karbohidrat,
vitamin, dan mineral. Protein termasuk senyawa yang berguna bagi pertumbuhan
ternak, sedangkan serat kasar termasuk salah satu fraksi serat kasar yang
digunakan sebagai energi utama. Untuk itu semua senyawa tersebut harus
termasuk bagian dari bahan pakan yang dapat dicerna, dapat diserap agar dapat
bermanfaat bagi tubuh.
Usaha memperbaiki pemanfaatan pakan ruminansia selain perbaikan kualitas
pakan prarumen juga harus ditunjang dengan perbaikan yang mendukung
bioproses di dalam rumen. Muhtarudin (2002) dan Muhtarudin et al. (2003)
memaparkan bahwa nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba rumen
mempengaruhi proses pencernaan di dalam rumen. Bioproses rumen meliputi
kecernaan serta penyerapan bahan pakan yang dimakan oleh ternak. Laju
pertumbuhan mikroba rumen akan maksimal apabila didukung pasokan nutrisi
prekursor yang optimum. Suplementasi nutrisi dibutuhkan untuk mendukung
pertumbuhan mikroba rumen.
Mineral merupakan bahan tambahan atau suplemen pakan yang berperan dalam
optimalisasi bioproses dalam rumen dan pasca rumen, katalisator enzim yang
mengaktivasi mikroba rumen utuk merombak pakan berseratkasar. Pemberian
mineral mikro dalam bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan mineral
3
sehingga dapat lebih tinggi diserap dalam tubuh ternak. Berdasarkan uraian di
atas, perlu dilakukan penelitian penambahan beberapa jenis mineral organik
khususnya yang tidak tersedia dalam tubuh ternak seperti Zn-lisinat, Cu-lisinat,
Se-lisinat, Cr-lisinat untuk pada ransum kambing PE terhadap kecernaan protein
kasar dan serat kasar.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian yang akan dilaksanakan bertujuan untuk:
1. mengetahui pengaruh suplementasi mineral mikro organik Zn-lisinat, Cu-
lisinat, Se-lisinat, dan Cr-lisinat dalam ransum terhadap kecernaan protein
kasar kambing PE jantan;
2. mengetahui pengaruh suplementasi mineral mikro organik Zn-lisinat, Cu-
lisinat, Se-lisinat, dan Cr-lisinat dalam ransum terhadap kecernaan serat kasar
kambing PE jantan.
C. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan para peneliti, kalangan akademis, dan memberikan informasi kepada
masyarakat khususnya peternak mengenai manfaat penggunaan mineral mikro
organik Zn-lisinat, Cu-lisinat, Se-lisinat, dan Cr-lisinat yang di suplementasikan
dalam ransum terhadap kecernaan protein kasar dan serat kasar kambing PE
jantan.
4
D. Kerangka Pemikiran
Menurut syukur dan suharno (2014) kambing PE memiliki genetik yang baik
terlahir dari persilangan antara kambing etawa dan kambing lokal. Kambing PE
dapat dijadikan penghasil daging yang dapat membantu memenuhi kebutuhan
protein hewani. Keuntungan yang tinggi tersebut akan didapat apabila kebutuhan
kambing tersebut juga terpenuhi. Kebutuhan nutrisi kambing atau ternak lain
yaitu karbohidrat, protein, lemak, serat kasar, vitamin, air,dan mineral. Menurut
Fathul et al. (2015) memaparkan bahwa protein merupakan salah satu zat
makanan yang berperan dalam penentuan produktivitas ternak.
Kebutuhan nutrisi kambing lain yang harus tercukupi yaitu karbohidrat. Salah
satu fraksi karbohidrat yang berperan penting dalam pencernaan ruminansia yaitu
serat kasar. Serat kasar merupakan bagian dari karbohidrat dan didefinisikan
sebagai fraksi yang tersisa setelah dipanaskan dengan larutan asam sulfat standar
dan sodium hidroksida pada kondidi yang terkontrol. Serat kasar kaya akan lignin
dan selulosa, sehingga sulit dicerna. Serat kasar yang terdapat dalam pakan
sebagian besar tidak dapat dicerna pada ternak non ruminansia, tetapi digunakan
secara luas pada ternak ruminansia. Serat kasar bagi ruminansia digunakan
sebagai sumber energi utama. Namun, memiliki hubungan negatif dengan
kecernaan. Semakin rendah serat kasar maka kecernaan ransum semakin tinggi
(Despal, 2000). Kecernaan serat kasar bergantung pada kandungan serat kasar
yang dikonsumsi dan aktivitas mikroorganisme (Tilman et al., 2005). Upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan kecernaan bahan pakan terutama protein dan serat
5
kasar, yaitu dengan penambahan mineral organik dalam ransum yang diberikan
pada kambing PE tersebut.
Kecukupan mineral makro dan mikro mendukung bioproses rumen dan pasca
rumen. Mineral-mineral ini berperan dalam optimalisasi bioproses rumen dan
metabolisme zat-zat makanan. Mineral mikro dan makro di dalam saluran
pencernaan ternak dapat saling berinteraksi positif atau negatif dengan faktor
lainnya misal asam fitat dan serat kasar dapat yang menurunkan ketersediaan
mineral. Pemberian mineral dalam bentuk organik dapat meningkatkan
ketersediaannya, sehingga dapat lebih tinggi diserap dalam tubuh ternak.
Penambahan mineral organik tersebut mempengaruhi kerja rumen yang akan
berpengaruh pada pertumbuhan mikroba rumen dan peningkatan penampilan
ternak (Muhtarudin dan Widodo, 2003).
Peningkatan kecernaan bahan kering ransum selalu diiringi dengan kecernaan
bahan organik ransum. McDowell (1992) memaparkan bahwa di dalam rumen
terdapat beberapa bakteri rumen yang mensekresikan enzim untuk mencerna
bahan organik pakan guna mendukung pertumbuhan ternak tersebut. Sehingga
perlakuan penambahan mineral mikro organik ke dalam pakan diharapkan dapat
meningkatkan kecernaan bahan organik seperti protein dan serat kasar.
E. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
1. adanya pengaruh suplementasi mineral mikro organik Zn-lisinat, Cu-lisinat,
Se-lisinat, dan Cr-lisinat dalam ransum terhadap kecernaan protein kasar
kambing PE jantan;
6
2. adanya pengaruh suplementasi mineral mikro organik Zn-lisinat, Cu-lisinat,
Se-lisinat, dan Cr-lisinat dalam ransum terhadap kecernaan serat kasar pada
kambing PE jantan.
7
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kambing Peranakan Etawa
Ternak ruminansia (poligastrik) seperti sapi, kerbau, kambing dan domba
merupakan ternak yang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
ternak monogastrik (Iambung tunggal). Keunggulan ternak ruminansia terutama
kemampuannya untuk memanfaatkan bahan pakan yang mengandung serat kasar
dengan baik (Adrial dan Mokhtar,2013).
Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing etawa dan kambing
lokal yang memiliki genetik yang baik. Kambing jenis ini memiliki banyak
keuntungan seperti produksi susu, anak kambing, dan daging. Keunggulan utama
dari kambing PE adalah produksi susu yang tinggi dibandingkan dengan kambing
jenis lainnya (Syukur dan Suharno, 2014).
Kambing PE memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bagian dahi sampai hidung
cembung, telinga panjang menggantung ke bawah dengan ukuran panjang 15--30
cm (Mulyono, 1999). Kambing PE jantan berbulu di bagian atas dan bawah leher,
rambut pundak dan paha belakang lebih lebat dan panjang. Kambing PE betina
memiliki bulu panjang hanya pada bagian paha belakang. Warna bulu kambing
PE terdiri atas kombinasi coklat sampai hitam atau abu-abu dan muka cembung
(Tanius, 2003).
8
Kambing PE dapat menghasilkan 1--4 ekor per kelahiran atau rata-rata dua ekor.
Perkawinan pertama yang tepat bagi kambing yaitu umur 15--18 bulan karena
pada umur tersebut organ reproduksinya sudah berkembang sempurna (Sarwono,
2012). Direktorat Jendral Peternakan (1991) menetapkan standar bibit untuk
kambing PE betina memiliki bobot badan 15--25 kg dan tinggi pundak 55--60 cm.
Bobot badan jantan dewasa dapat mencapai 40--50 kg (Suparman, 2007).
B. Manajemen Pakan
B.1. Bahan pakan
Kebutuhan pakan ternak ruminansia dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap
nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat bergantung pada jenis
ternak, umur, dan fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, atau menyusui), kondisi
kesehatan, serta lingkungan hidupnya (Kartadisastra, 1997). Menurut Fathul et al.
(2015) pada ternak ruminansia, kebutuhan akan zat-zat makanan dipengaruhi oleh
tujuan pemeliharaan (laktasi, masa kering, pedaging, pembibit, dan pekerja),
bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh atau produksi susu, dan periode umur.
Ransum ruminansia terdiri dari hijauan dan pakan penguat (konsentrat). Unsur
atau senyawa kimia dalam ransum kambing yang diberikan harus menunjang
kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi, dan reproduksi. Senyawa
tersebut bagian dari bahan pakan yang dapat dicerna, dapat diserap, dan
bermanfaat bagi tubuh (Fathul et al., 2015).Menurut Sarwono (2005) berpendapat
bahwa pakan yang sempurna mengandung kelengkapan protein, karbohidrat,
lemak, air, vitamin, dan mineral.
9
B.1.1. Hijauan
Kambing Peranakan Etawa (PE), seperti halnya ternak ruminansia lainnya pakan
utamanya adalah hijauan. Devendra dan Burns (1994) mengemukakan bahwa
semakin banyak variasi campuran pakan hijauan yang diberikan semakin baik,
karena dapat saling melengkapi nutriennya atau terjadi suplementary effect.
Hijauan pakan ternak adalah semua bentuk bahan pakan berasal dari tanaman atau
rumput termasuk leguminosa baik yang belum dipotong maupun yang dipotong
dari lahan dalam keadaan segar yang berasal dari pemanenan bagian vegetatif
tanaman yang berupa bagian hijauan yang meliputi daun, batang, kemungkinan
juga sedikit bercampur bagian generatif, utamanya sebagai sumber makanan
ternak ruminansia (Nurlaha et al., 2014).
Pemberian hijauan dapat diberikan dalam bentuk segar atau dilakukan pengolahan
terlebih dahulu. Pengolahan dan pengawetan pakan dilakukan untuk optimalisasi
pemanfaatan potensi pakan lokal dan limbah pertanian/perkebunan serta
menjamin ketersediaan. Pengolahan hijauan yang dapat diterapkan antara lain
pencacahan, hay, silase, pakan fermentasi, teknik penyimpanan dan penyajian
pakan (Adrial dan Mokhtar, 2013).
Upaya untuk memperbaiki kualitas gizi, mengurangi atau menghilangkan
pengaruh negatif dari bahan pakan tertentu dapat dilakukan dengan penggunaan
mikroorganisme melalui proses fermentasi. Fermentasi juga dapat meningkatkan
nilai kecernaan, menambah rasa dan aroma, serta meningkatkan kandungan
vitamin dan mineral. Pada proses fermentasi dihasilkan pula enzim hidrolitik
10
serta membuat mineral lebih mudah untuk diabsorbsi oleh hewan ternak
(Winarno, 2000).
Salah satu proses fermentasi yaitu dengan teknik silase menggunakan EM-4.
Silase adalah semua pakan yang sudah mengalami fermentasi secara anaerob.
Pada proses ini terjadi perubahan bahan-bahan organik menjadi asam laktat oleh
bakteri anaerob. Oleh karena itu, jangan diberikan ke ternak secara keseluruhan
(Fathul et al., 2015). Pakan yang difermentasi dengan EM-4 menyebabkan
peningkatan daya cerna dan kandungan protein bahan, kemampuan untuk
menurunkan kadar serat kasar, dan meningkatkan palatabilitas bahan pakan.
Bahan pakan yang dijadikan sebagai bahan pakan yaitu: silase daun singkong dan
silase tebon jagung.
A. Silase daun singkong
Daun singkong merupakan limbah hasil pertanian dari hasil panen ubi kayu atau
ketela pohon (manihot esculenta crantz). Potensi yang diharapkan dari daun
singkong adalah protein kasarnya yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 18--34
% dari bahan kering. Berdasarkan kandungan protein yang terkandung, maka
dapat dikatakan bahwa daun singkong memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dan
setara dengan jumlah hijauan tanaman kacang-kacangan (Surrachman, 1987).
Maka dari itu, kandungan protein kasar dari bahan kering daun singkong dapat
digunakan sebagai bahan suplementasi yang potensial untuk ternak ruminansia
maupun unggas.
Kandungan protein kasar pada daun singkong adalah 19,20% akan meningkat bila
difermentasikan dengan aspergilus niger menjadi 25%. Berdasarkan kandungan
11
protein yang terkandung, maka dapat dikatakan bahwa daun singkong memiliki
nilai gizi yang cukup tinggi dan setara dengan jumlah hijauan tanaman kacang-
kacangan (Purba et al., 2016).
Daun singkong selain memiliki kandungan protein kasar yang tinggi juga
memiliki kandungan HCN yaitu senyawa toksik pada tanaman singkong.
Penurunan kadar HCN pada daun singkong dapat dilakukan dengan cara
pengeringan dengan sinar matahari (Pond dan Manner, 1974), perendaman,
penguapan, dan pengeringan dibawah suhu 75 0C (Ciptadi dan Mafhud, 1980);
pengirisan, perendaman dan pencucian dengan air mengalir (Winarno, 1980).
Menurut McDonald (1988) berpendapat bahwa daun singkong mengandung
senyawa sianida (HCN) yang terdapat dalam getah yang bersipat racun dan dapat
mematikan ternak. Ada beberapa cara untuk menurunkan kandungan asam
sianida daun singkong di antaranya. mengeringkan, melayukan atau menyimpan
dalam waktu yang lama (fermentasi).
Dari segi kandungan nutrisi daun singkong yang telah dibuat silase ada
kandungan protein kasar justru meningkat. Sebelum di buat silase kandungan
protein nya 21,45% dan setelah dibuat silase menjadi 25,41%. Data hasil analisis
daun singkong yang dibuat silase adalah kadar air 69,50%, kadar Nitrogen
13,41%, kadar P 0,405, kadar K 2,73%, dan kadar protein kasar (PK) 25,75%
( BPTP Lampung, 2011).
B. Silase tebon jagung
Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak
mengandung serat kasar dimana tersusun atas senyawa kompleks lignin,
12
hemiselulosa dan selulosa (lignoselulosa), dan masing-masing merupakan
senyawa-senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara
biologi. Selulosa merupakan sumber karbon yang dapat digunakan
mikroorganisme sebagai substrat dalam proses fermentasi untuk menghasilkan
produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Namun, selulosa dan hemiselulosa
yang tersedia terbatas pemanfaatannya, karena adanya lignin yang mengikat
selulosa maupun hemiselulosa pada residu lignoselulosa. Diperlukan mikroba
pendegradasi lignoselulosa, sehingga selulosa maupun hemiselulosa bisa
dimanfaatkan sebagai sumber karbon (Rahayunet al.,2017).
Tebon jagung merupakan seluruh tanaman jagung termasuk batang, daun dan
buah jagung muda yang umumnya dipanen pada umur 45-65 hari dengan
kandungan nutrisi, yaitu PK (12,06%), SK (25,2%), Ca (0,28%), P (0,23%).
Kualitas nutrisi silase terbaik adalah yang dibuat dengan penambahan fermentor
Lignochloritik sebanyak 20 ml, dan disimpan selama 1,5 bulan, karena memiliki
kandungan air dan SK terendah, yaitu 78,07% dan 25,21%, PK dan LK tertinggi,
yaitu 10,41% dan 2,13%. Lignochloritik terbukti mampu mendegradasi lignin,
sehingga selulosa dan hemiselulosa dalam hijauan pakan bisa dimanfaatkan
sebagai sumber energi utama ternak ruminansia (Rahayu et al.,2017).
B.1.2. Konsentrat
Kambing-kambing di daerah tropis seperti Indonesia sulit untuk berproduksi
secara optimal jika pakannya hanya mengandalkan hijauan saja, karena hijauan
pakan khususnya rumput-rumputan di daerah tropis memiliki kualitas yang
rendah. Oleh karena itu diperlukan pakan konsentrat untuk memenuhi kebutuhan
13
nutriennya. Pada ternak ruminansia kehilangan terbesar zat-zat makanan adalah
dalam bentuk feses. Jika jumlah zat makanan yang dikonsumsi lebih besar
daripada yang hilang, maka hewan tersebut dalam keseimbangan positif
(Devendra dan Burns, 1994).
Konsentrat meliputi produk biji-bijian dan limbah olahannya serta jenis bungkil-
bungkilan. Konsentrat merupakan bahan pakan yang kaya akan energi, protein,
mineral, vitamin, kandungan serat kasarnya rendah serta mudah dicerna, sehingga
dapat meningkatkan konsumsi dan kecemaan pakan mengatakan bahwa
pemberian rumput tunggal belum mampu mengoptimalkan produktifitas ternak,
sementara menurut Nasrullah et al. (1996) pemberian pakan konsentrat cenderung
tidak ekonomis. Bahan pakan konsentrat salah satunya bungkil inti sawit.
Bungkil inti sawit adalah limbah ikutan proses ekstrasi inti sawit. Bahan ini dapat
diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik (Davendra, 1997).
Bungkil inti sawit telah digunakan secara luas untuk pakan ternak dengan tingkat
daya cerna berkisar 70 %. Bungkil inti sawit (BIS) mempunyai kandungan nutrisi
yang lebih baik daripada solid sawit (Tabel 1). Produksi rata-rata sekitar 40
ton/hari/pabrik. Bahan pakan ini sangat cocok terutama untuk pakan konsentrat
ternak ruminansia, namun penggunaannya sebagai pakan tunggal dapat
menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan. Oleh karena itu, perlu
diberikansecara bersama-sama dengan bahan pakan lainnya (Mathius, 2004).
14
Kandungan nutrisi bungkil inti sawit sebagai berikut:
Tabel 1.Kandungan nutrisi bungkil inti sawitZat makanan kandungan %
Bahan kering 92,6
Protein kasar 21,51
Serat kasar 10,5
Lemak kasar 2,4
TDN 72,0
Ca 0,53
P 0,19Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Petenakan Fakultas
Pertanian USU, Medan (2007);b. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
B.1.3. Feed Suplement
Suplemen pakan merupakan pakan tambahan yang mengandung protein,
kabohidrat,vitamin, dan mineral. Unsur mineral merupakan salah satu komponen
yang sangat diperlukan oleh tubuh. Sebagian besar mineral akan tertinggal dalam
bentuk abu sebagai senyawa anorganik sederhana, serta akan terjadi
penggabungan antar individu atau dengan oksigen sehingga terbentuk garam
anorganik (Davis dan Mertz, 1987). Unsur-unsur mineral dalam tubuh terdiri dari
mineral makro dan mineral mikro.
Mineral makro dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang relatif besar mencakup Ca,
Mg, P, Na, K, Cl, dan S, sedangkan mineral mikro dibutuhkan oleh tubuh dalam
jumlah yang relatif lebih sedikit dibandingkan mineral makro. Mineral mikro
mencakup Zn, Cu, Fe, Se, Mn, Co dan Cr. Pemberian unsur makro maupun mikro
dalam bentuk organik dapat meningkatkan ketersediaan, sehingga dapat diserap
lebih tinggi dalam tubuh ternak (Muhtarudin, 2002 dan Muhtarudin et al., 2003).
15
Georgievskii et al. (1982) menyatakan bahwa fungsi utama mineral pada
ruminansia, yaitu mempengaruhi simbiotik mikroflora di saluran pencernaan.
Mineral organik adalah mineral yang berasal dari kelompok logam transisi pada
tabel periodik yang berikatan dengan asam-asam amino dan satu peptida kecil
dengan membentuk struktur cincin terbuka, mempunyai pH stabil, dan bermuatan
netral (Vandergrift, 1992). Penggunaan mineral organik lebih bermanfaat karena
lebih muda diserap dan larut (Georgievskii, 1982; McDowell, 1997) serta bebas
dari gangguan antagonisnya (Chase et al., 2000; Bailey et al., 2001).
A. Seng (Zn)
Underwood and Suttle (1999), memaparkan bahwa Zn berfungsi untuk
meningkatkan metabolisme protein. Pemberian mineral Zn perlu dilakukan
dengan pertimbangan untuk memenuhikebutuhan bagi ternak ruminansia yakni
sebesar 40--50 ppm (Arora, 1989). Kebutuhan Zn untuk ternak ruminansia adalah
33-50 mg/kg. Apabila terjadi status defisiensi Zn, maka aktivitas mikroba rumen
tidak berlangsung optimal sehingga tingkat pemanfaatan pakan menjadi lebih
rendah yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas ternak (Little et al.
1989; McDowell 1992). Toharmat et al. (2007), menambahkan Zn dalam ransum
bentuk mash yang mengandung 50% pakan sumber serat untuk memenuhi
kebutuhan nutrien kambing PE muda, ternyata penambahan Zn mempengaruhi
konsumsi pakan dan kecernaan serat.
Suplementasi Zn dalam bentuk organik secara in vitro meningkatkan kecernaan
bahan kering (KCBK) rumput. Supriyati et al. (2000) melaporkan bahwa
suplementasi beberapa mineral tunggal seperti Zn, Cu,Mn terhadap kecernaan
16
rumput gajah secara in vitro ternyata yang memberikan respon terbaik adalah Zn.
Dilaporkan pula bahwa penambahan Zn organik dalam bentuk proteinat/
biokompleks dapat meningkatkan KCBK rumput Panicum maximum secara in
vitro sebesar15,35% (dari 56,74 menjadi 65,45%).
Nagalaksmi et al. (2013), memaparkan bahwa perbedaan sumber Zn organik
memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap kecernaan secara in vitro. Zn
metionin dan Zn asam amino memberikan pengaruh terbaik terhadap kecernaan
bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan selulosa, dan produksi gas
secara in vitro. Peningkatan kecernaan nutrien disebabkan meningkatnya aktivitas
mikroba rumen yang diakibatkan oleh meningkatnya metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak.
B. Kromium (Cr)
Kromium menjadi unsur mikro esensial karena berhubungan dengan kerja insulin.
Bentuk kompleks Cr antara insulin dan reseptor insulin memfasilitasi interaksi
antara jaringan dan insulin. Kromium esensial yang bervalensi Cr3+ sulit diserap,
sedangkan Cr6+ mudah larut dan mudah diserap tetapi bersifat toksik. Satu-
satunya bentuk pasokan Cr3+ ke dalam tubuh ternak ialah dalam bentuk ikatan
ligand organik (Sutardi, 2002).
Suplementasi mineral organik (Cr-Rhizopus sp.) dan organik (CrCl3.6H2O) 1, 2,
3 dan 4 ppm bahan kering ransum in vitro menunjukkan bahwa Cr organik 1 ppm
menghasilkan kecernaan bahan organik tertinggi (34,7%), dengan produksi VFA
dan NH3 adalah 86 mM dan 11,01 mM. Sementara suplementasi mineral Cr
anorganik, kecernaan bahan organik tertinggi adalah pada suplementasi 4 ppm
17
(33,2%) dengan produksi VFA dan NH3 adalah 87 mM dan 10,13 mM
(Jayanegara, 2003).
Kromium (Cr) merupakan salah satu mineral mikro esensial bagi ternak. Cr
penting dalam metabolisme glukosa, protein dan lemak dalam jaringan otot ternak
serta dalam pengaturan kolesterol darah (Ohh dan Lee, 2005). Ternak yang
kekurangan Cr menunjukkan pertumbuhan yang terhambat degenerasi nekrotil
dari hati dan penggunaan glukosa yang kurang efisien (Tillman et al., 1998).
C. Selenium (Se)
Selenium (Se) sebagai bagian integral dari enzim glutation peroksidase yang
berfungsi sebagai pereduksi peroksida dan termasuk salah satu unsur pertahanan
tubuh. Selenium kurang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia, karena
selenit direduksi menjadi senyawa yang tidak larut dalam rumen. Selenium dalam
jumlah normal dapat menstimulir sintesa protein mikroba. Namun, jika berlebih
akan menghambat sintesa protein mikroba (Arora, 1995). Mineral ini mungkin
diperlukan dalam mekanisme penyerapan lipid di saluran pencernaan atau
pengangkutan lemak melalui dinding usus (Prakkasi, 1998).
Pemberian mineral Se untuk sapi perah dianjurkan sebanyak 0,3 ppm bahan
kering ransum (NRC, 1981) dan 40 mg/kg (NRC, 1978) pada ransum kuda.
Konsumsi Se dalam jumlah berlebih akan menyebabkan gangguan reproduksi
pada sapi, babi, domba, dan ayam (Tillman et al, 1993). Defisiensi Se dapat
dicegah dengan sumplementasi vitamin E (McDonald et al., 1995).
18
D. Tembaga (Cu)
Mineral Cu berguna sebagai pembentuk hemoglobin pada sel darah merah.
Cuprum (Cu) dan Molibdenum (Mo) biasanya berinteraksi dengan penggunaan
sulfur pada ternak. Pemberian makanan ternak mengandung Cu harus lebih
berhati-hati karena konsumsi Cu berlebih dapat memungkinkan terjadinya
keracunan. NRC (1978), merekomendasikan angka kebutuhan Cu, yaitu 10
mg/kg untuk ternak ruminansia. Pada ternak ruminansia Cu kurang baik
diabsorpsi karena hanya 1--3% yang diabsorpsi oleh tubuh ternak (McDowell,
1992). Keterkaitan antara Cu dengan mineral lainnya seperti Molibdenum (Mo)
dan Sulfat juga merupakan salah satu faktor penyebabnya. Penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa keracunan yang disebabkan oleh Mo dapat dikurangi dengan
pemberian CuSO4 dalam makanan sehingga sulfat dalam makanan dapat
mempengaruhi kerja Mo.
B.2. Pemberian pakan pada kambing
Berdasarkan penelitian Astuti et al.(2015) pemberian hijauan terlebih dahulu dan
dua jam kemudian konsentrat memiliki konsumsi bahan kering terendah diduga
karena pemberian hijauan terlebih dahulu akan menimbulkan bulky, serta
mengalami gerak laju digesti yang lebih lama dalam rumen. Gerak laju digesti
yang lama mengakibatkan jumlah pakan yang terkonsumsi rendah sebab pakan
akan berada di rumen lebih lama.
Menurut Siregar (2003) memaparkan bahwa pemberian konsentrat 2 jam sebelum
hijauan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum,
19
yang akan meningkatkan konsumsi bahan kering ransum. Devendra dan Burns
(1994) menyatakan bahwa konsentrat yang lebih mudah dicerna akan memacu
pertumbuhan mikroba dan meningkatkan proses fermentasi dalam rumen.
Namun, pemberian pakan tambahan terlebih dahulu sebelum hijauan dapat
menurukan pH rumen karena konsentrasi VFA rumen yang menurun terlalu tinggi
akibat konsumsi karbohidrat mudah terfermentasi (Tillman et al., 1998).
Berdasarkan penelitian Astuti et al.(2015) pada perlakuan pemberian konsentrat
dan hijauan yang dilakukan secara bersama-sama didapat pertambahan bobot
tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini karena
pemberian konsentrat dan hijauan yang dilakukan secara bersama-sama dapat
meningkatkan keberadaan saliva sehingga keadaan rumen lebih stabil. Menurut
Rianto et al.(2006), pemberian hijauan sedikit sebelum atau bersama-sama
konsentrat menyebabkan produksi saliva meningkat, sehingga buffer dalam rumen
menjadi kuat.
Buffer yang kuat mampu mempertahankan pH rumen, sehingga populasi mikroba
tetap terjaga dan mampu mengkonsumsi pakan lebih banyak serta meningkatkan
pertambahan bobot tubuh harian. Pemberian pakan dengan mengatur jarak waktu
antara pemberian konsentrat dengan hijauan akan meningkatkan produksi
(Syahwani, 2004). Kebutuhan bahan kering untuk kambing di Asia yaitu 3,5%
dari bobot hidup (NRC, 2006), sedangkan menurut Haryanto dan Djajanegara
(1993) kebutuhan protein ransum pada kambing sedang tumbuh di Indonesia 12--
14% dan DE = 2,8 Mcal.
20
C. Pencernaan Ruminansia
Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami
bahan makanan di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia. Proses
pencernaan pada rumnansia lebih kompleks dari ternak non ruminansia. Proses
utama dari pencernaan ruminansia yaitu secara mekanik, hidrolisis dan
fermentatif. Sistem pencernaan ternak ruminansia relatif lebih kompleks
dibanding dengan ternak lainnya dikarenakan selain proses pencernaan oleh alat-
alat pencernaan, ruminansia sendiri juga terjadi proses pencernaan oleh
mikroorganisme (Sutardi, 1980).
Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan dalam mulut dan gerakan
gerakan saluran pencernaan oleh kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan
secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen (Tillman et al., 1993).
Ternak ruminansia memiliki empat bagian perut, yaitu rumen, reticulum,
omasum, dan abomasum. Rumen dari hewan ruminansia merupakan tempat
berdiamnya triliun mikroorganisme termasuk protozoa, bakteri dan fungi.
Mikroorganisme ini mencerna hijauan yang mengandung selulosa dan
hemiselulosa, konsentrat yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein.
Aktivitas mikroorganisme dalam mencerna selulosa dan hemiselulosa sangat
bermanfaat dikarenakan selulosa dan hemiselulosa tidak bisa dicerna secara
langsung oleh ternak (induk semang).
Proses pencernaan fermentatif di dalam retikulo-rumen yang terletak sebelum
usus halus terjadi sangat intensif dan dalam kapasitas besar. Ukuran rumen dan
retikulum sangat besar dapat mencapai 15--22% dari bobot tubuh (Sutardi, 1980).
21
Hal ini memberikan keuntungan ternak ruminansia karena pakan yang dikonsumsi
dapat diolah dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap dalam jumlah
yang lebih banyak.
Mikroorganisme mencerna bahan-bahan kasar terutama menjadi asam asetat,
propionat, dan butirat yang disebut dengan asam lemak mudah terbang/Volatile
Fatty Acid (VFA). Sebagian besar VFA diserap melalui dinding rumen ke dalam
aliran darah. Aksi mikroorganisme di dalam rumen manjadi dasar alasan
mengapa ruminansia dapat bertahan dengan makanan yang berserat tinggi
(Lasley, 1981). Kecernaan pakan tergantung dari peranan mikroba rumen, adanya
mikroba rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna makanan yang
mengandung serat kasar tinggi (Sutardi, 2003).
Arora (1996) menyatakan bahwa di dalam rumen terdapat mikroorganisme yang
dikenal dengan mikroba rumen. Melalui mikroba ini, maka bahan-bahan
makanan yang berasal dari hijauan yang mengandung polisakarida kompleks,
selulosa, dan lignoselulosa, sehingga dapat dipecah menjadi bagian-bagian
sederhana. Selain itu, pati; karbohidrat; dan protein dirombak menjadi asam
asetat; propionat; dan butirat. Retikulum memiliki bentuk menyerupai sarang
lebah yang berfungsi menarik bahan makanan yang berbentuk padat ke dalam
rumen. Retikulum membantu ruminansia meregurgitasi bolus ke dalam mulut.
Setelah omasum, makanan kemudian didorong masuk menuju abomasum yang
merupakan tempat pertama terjadinya pencernaan secara kimiawi, karena adanya
getah lambung. Proses pencernaan selanjutnya berlangsung di dalam usus dengan
bantuan enzim. Pakan yang telah melalui proses pencernaan diabsorbsi dalam
22
usus. Zat-zat makanan tersebut kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh yang
membutuhkan, sedangkan zat-zat makanan yang tidak dapat diserap masuk ke
dalam usus besar dan akan dikeluarkan melalui anus.
D. Kecernaan pakan
Kecernaan bahan pakan adalah bagian zat yang dapat dicerna oleh tubuh dan
diasumsikan diserap oleh tubuh ternak sehingga tidak diekskresikan dalam feses.
Jumlah maupun komposisi kimia serat suatu bahan pakan sangat berpengaruh
terhadap kecernaannya (Tillman et al., 1998). Kecernaan tergantung pada
kecepatan pengeluaran pakan dari saluran pecernaan, apabila pakan dalam saluran
pencernaan lebih lama dan digunakan oleh mikroba dan enzim pencerna maka
kecernaan akan lebih tinggi (Ranjhan,1980).
Faktor utama yang memengaruhi kecernaan pakan adalah material serat, sehingga
perubahan-perubahan yang dilakukan atas komponen serat akan memengaruhi
kecernaan bahan pakan. Faktor yang memengaruhi kecernaan bahan pakan adalah
jenis hewan, jenis pakan, jumlah ransum, macam bahan pakan, cara pengolahan
bahan pakan dan zat makanan yang dikandung di dalamnya. Kemampuan
seekor ternak mengkonsumsi pakan tergantung pada hijauan, temperatur
lingkungan, ukuran tubuh ternak, dan keadaan fisiologi ternak. Konsumsi
makanan akan bertambah jika aliran makanan cepat tercerna atau jika diberikan
makanan yang berdaya cerna tinggi. Penambahan makanan penguat atau
konsentrat ke dalam pakan ternak juga dapat meningkatkan palatabilitas
pakan yang dikonsumsi dan pertambahan berat badan (Anggorodi, 1994).
23
Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses pengunyahan atau
pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini, pakan
bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui esofagus untuk
selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna
oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak dicerna di rumen dialirkan ke
abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernan
tersebut akan diserap oleh usus halus dan masuk ke dalam darah (Sutardi, 1980).
Menurut Fathul et al. (2013) memaparkan bahwa nilai kecernaan yaitu seluruh zat
makanan yang dikunsumsi dikurangi dengan zat makanan yang dikeluarkan dalam
feses yang tidak tercerna. Nilai kecernaan ini lebih dikenal dengan Apparent
Digestible Coeficient (ADC) atau koefisien kecernaan semu, dengan rumus
sebagai berikut:
Kecernaan In vivo merupakan suatu cara penentuan kecernaan menggunakan
hewan percobaan dengan analisis nutrient pakan dan feses (Fathul et al., 2015).
Anggorodi (1994) menambahkan pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu
bahan merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrient dari suatu bahan yang
didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan.
Pengukuran daya cerna konvensional terdiri dari dua periode, yaitu periode
pendahuluan dan periode koleksi. Selama periode pendahuluan yang berlangsung
24
7 sampai 10 hari. Tujuan dari periode ini untuk membiasakan ternak terhadap
ransum yang diberikan dan keadaan sekitarnya, serta untuk menghilangkan sisa-
sisa pakan dari waktu sebelumnya. Periode pendahuluan ini diikuti dengan 5--15
hari periode koleksi dan selama periode ini feses dikumpulkan, ditimbang dan
dicatat. Ternak ruminansia membutuhkan waktu 48--96 jam untuk mengeluarkan
sisa pakan dari ransum sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan waktu 7-10 hari
untuk periode pendahuluan (Tillman et al., 1998).
D.1. Kecernaan serat kasar
Menurut Suprapto et al.(2013) bahwa serat kasar bagi ruminansia digunakan
sebagai sumber energi utama dan lemak kasar merupakan sumber energi yang
efisien dan berperan penting dalam metabolisme tubuh sehingga perlu diketahui
kecernaannya dalam tubuh ternak. Tillman et al. (1998) berpendapat bahwa
kecernaan serat kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan
jumlah serat kasar yang dikonsumsi. Kadar serat kasar terlalu tinggi dapat
mengganggu pencernaan zat lain. Daya cerna serat kasar dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat
kasar dan aktivitas mikroorganisme (Maynard et al., 2005).
Persentase serat kasar yang dikonsumsi akan mempengaruhi daya cerna bahan
makanan, serat kasar yang tinggi akan menurunkan kecernaan dan laju degradasi
zat makanan (Parakkasi, 1999). Semakin tinggi serat kasar akan menurunkan
daya cerna bahan kering, protein kasar dan energi dapat dicerna (Price et
al.,1980). Hal ini disebabkan untuk mencerna serat kasar secara efesien,
25
mikroorganisme membutuhkan sumber energi yang cukup dari makanan yang
masuk ke rumen.
Mourino et al. (2001) menjelaskan bahwa aktivitas bakteri selulolitik di dalam
rumen berlangsung secara normal apabila pH rumen di atas 6,0. Kambing
memiliki pH normal sekitar 6,8--7 sehingga optimal untuk aktivitas mikroba.
Apabila pH rumen lebih rendah dari 5,3 maka aktivitas bakteri selulolitik menjadi
terhambat. Pakan dengan perlakuan silase memiliki pH rendah yaitu 4--5. Pakan
silase yang diberikan pada kambing akan menghambat aktivitas mikroba rumen,
sehingga mikroba sulit dalam mendegradasi pakan. Hal tersebut menyebabkan
menurunnya kecernaan serat kasar.
Menurut Pond et al.(1995 ) bahwa kadar abu memiliki hubungan yang positif
dengan kadar serat kasar. Budiman et al. (2006) memaparkan bahwa mikroba
pencerna serat bukanlah pemakan tunggal terhadap substrat serat semata, akan
tetapi dalam kenyataannya mikroba pencerna serat juga membutuhkan metabolit
lain dari hasil degradasi mikroba lainnya. Tillman et al. (1998), juga
menambahkan bahwa hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa
dan hemiselulosa, tetapi mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan
menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna pati dan
karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat.
D.2. Kecernaan protein kasar
Kebutuhan ternak akan protein biasanya disebutkan dalam bentuk protein kasar
(PK). Kebutuhan protein ternak dipengaruhi oleh masa pertumbuhan, umur
fisiologis, ukuran dewasa, kebuntingan, laktasi, kondisi tubuh, dan rasio energi
26
protein. Protein adalah salah satu komponen gizi makanan yang diperlukan ternak
untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan ternak yang berjalan cepat akan
membutuhkan protein lebih tinggi di dalam ransumnya (Haryanto, 1992).
Semakin cepat makanan diberikan maka semakin tinggi pula konsumsi protein.
Umumnya pada ternak ruminansia apabila konsumsi energi dimanfaatkan dengan
baik maka akan berpengaruh pada konsumsi zat makanan lainnya seperti protein,
mineral, dan vitamin (Rudiah, 2011).
Konsumsi protein kasar yang tinggi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah jenis bahan pakan khususnya bahan penyusun konsentrat.
Kebutuhan ternak akan protein biasanya dalam bentuk protein kasar. Perombakan
protein yang cepat menghasilkan kadar amonia rumen yang tinggi dan sebagian
diserap dan diekskresikan sebagai urea (Tillman et al., 1998).
Seluruh protein yang berasal dari makanan pertama kali dihidrolisis oleh mikroba
rumen. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan
dengan kenaikan kadar amonia. Hidrolisis protein menjadi asam amino diikuti
oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia (Arora, 1989). Selain itu,
mikroba-mikroba yang mati akan masuk ke dalam usus menjadi sumber protein
bagi ruminansia (65% sumbangan protein bagi ruminansia berasal dari mikroba
tersebut) (Subagdja, 2000). Tingginya serat kasar dalam rumen cenderung
mengurangi daya cerna protein. Jika peningkatan protein dalam ransum yang
disertai peningkatan serat kasar maka terjadi sedikit perubahan daya cerna protein,
tetapi jika serat kasar dikurangi dan protein ditingkatkan maka daya cerna protein
akan meningkat pula (Crampton dan Harris, 1969).
27
Pemberian mineral Zn dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen dan
meningkatkan penampilan ternak (Muhtarudin et al., 2003). Defisiensi Zn dapat
menyebabkan parakeratosis jaringan usus dan mengganggu peranan Zn dalam
metabolisme mikroorganisme rumen. Suplementasi mineral Zn baik berupa Zn
lisinat atau proteinat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan
parameter nutrisi pada ternak. Zn memegang peranan penting terutama dalam
proses fisiologis dan metabolisme ternak. Zn juga berfungsi di dalam sintesis
beberapa hormon seperti insulin dan glukagon, serta berperan dalam metabolisme
karbohidrat, keseimbangan asam basa dan metabolisme vitamin A (Linder, 1992),
sintesis asam nukleat (RNA, DNA) polimerase dan sintesis protein (Lieberman
dan Bruning, 1990).
Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia akan mengalami proses
fermentasi di dalam rumen. Mikroba rumen membutuhkan mineral termasuk Zn
untuk pertumbuhannya (Adawiah et al., 2007). Hampir setiap sel membutuhkan
mineral Zn agar tetap hidup sehat dan dapat berfungsi dengan baik, akan tetapi
tidak banyak yang mengetahui proses pengaturan Zn di dalam sel. Sumber Zn
dalam pakan ternak cukup tinggi dijumpai pada tepung tulang (75--100 mg/kg
BK),sereal, dan leguminosa. Zn dapat dijumpai dalam bentuk organik seperti Zn
lisinat dan Zn metionat.
Rojas et al. (1995) membandingkan penggunaan Zn-lisin, Zn-metionin, dan
ZnSO4 ternyata didapat Zn-lisin terserap lebih banyak dibandingkan perlakuan
lainnya yang digambarkan dengan kandungan Zn yang tinggi pada ginjal, liver,
28
dan pankreas. Lisin di dalam Zn-lisinat dapat meningkatkan kecernaan protein di
pasca rumen. Lisin merupakan salah satu asam amino pembatas bagi ternak
ruminansia (Richardson dan Hosfield, 1978).
Mineral Zn yang terkandung dalam pakan baik dalam rumput maupun konsentrat
akan mengalami proses pemecahan dalam saluran pencernaan. Absorpsi Zn lebih
merupakan refleksi permintaan fisiologis tubuh akan Zn. Hewan yang
kekurangan Zn akan mengabsorpsi lebih banyak (hampir 80%) Zn pakan akan
diserap oleh tubuh. Penyerapan Zn terjadi di duodenum, ileum, jejunum, dan
hanya sedikit terjadi di kolon ataupun lambung, serta absorbsi terbesar terjadi di
ileum. Penyerapan Zn sekitar 30 sampai 60%, dipengaruhi oleh jumlah dan
imbangan mineral lain serta susunan ransum dan bentuk kimia Zn.
Larvor (1983) berpendapat bahwa Zn sebagai metalloenzim yang melibatkan
banyak enzim antara lain polymerase DNA, peptidase karboksi A dan B dan
posfatase alkalin. Enzim-enzim tersebut masing-masing berperan dalam
proliferasi DNA yang selanjutnya berpengaruh pada sintesis protein, proses
pencernaan protein, absorbsi asam amino, serta metabolisme energi (Church and
Pond, 1976). Aktivitas enzim-enzim tersebut akan terganggu apabila terjadi
defisiensi Zn. Menurut Fathul et al. (2003) memaparkan bahwa ada kemungkinan
Zn-lisinat sebagian didegradasi di dalam rumen, tetapi ada bagian yang lolos
degradasi dan dapat dimanfaatkan di usus halus (pascarumen).
Adanya penambahan lisin di pascarumen dapat menambah keseimbangan asam
amino sehingga proses penyerapan asam amino dapat lebih sempurna yang
berimplikasi meningkatkan kecernaan bahan kering ransum. Asam amino lisin
29
mengalami perombakan total di dalam rumen, treonin tidak ditemukan dalam
rumen dan sampel digesta duodenum (Sutardi, 1997). Selanjutnya untuk
meningkatkan asupan asam amino tersebut dapat dilakukan proteksi agar tidak
didegradasi di dalam rumen (Trinacty et al., 2009).
30
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Maret--Juli 2018 bertempat di Laboratorium
Lapang Terpadu Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Analisis proksimat protein kasar dan serat kasar ransum dilaksanakan di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung.
B. Bahan dan Alat Penelitian
B.1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu 15 ekor kambing Peranakan
Etawa (PE) jantan milik Jurusan Peternakan. Ransum yang digunakan terdiri atas
hijauan dan konsentrat. Hijauan berupa silase daun singkong dan silase daun
jagung. Konsentrat yang digunakan yaitu bungkil kelapa sawit, onggok, dedak
halus, bungkil kedelai, molases, dan perlakuan ransum berupa mineral mikro
organik (Zn-lisinat, Cu-lisinat, Se-lisinat, dan Cr-Lisinat), serta air sumur.
B.2. Alat Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan 15 unit kandang individu. Untuk penimbangan
bahan pakan, sisa pakan, dan feses menggunakan timbangan gantung digital.
Penimbangan bobot badan awal dan akhir untuk mengetahui Pertambahan Bobot
31
Badan (PBB) menggunakan timbangan digital iconix. Peralatan kandang lain
yang digunakan yaitu waring penampung feses, sekop, sapu lidi, ember, kantung
plastik, buku tulis, pena, terpal, karung, drum plastik, copper, mesin giling, dan
besek plastik. Analisis proksimat menggunakan 1 set peralatan untuk menguji
kadar protein kasar dan kadar serat kasar feses.
C. Rancangan Penelitian
C.1. Rancangan Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 5 jenis ransum perlakuan sebagai berikut:
R0 :Ransum Basal
R1: Ransum Basal + 40 ppm Mineral Mikro Organik Zn-lisinat
R2: Ransum Basal + 10 ppm Mineral Mikro Organik Cu-lisinat
R3: Ransum Basal + 0,1 ppm Mineral Mikro Organik Se-lisinat
R4: Ransum Basal + 0,3 ppm Mineral Mikro Organik Cr-lisinat
Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan sebagai ransum basal sebagai
berikut:
Tabel 2. Kandungan nutrisi ransum basal
Jenis Ransum Imbangan BK
kandungan nutrisi berdasarkan bahan kering
Abu LK SK PK BETN------------------------------------------%----------------------------------
Konsentrat 70 62,41 6,39 1,53 9,68 8,66 43,73
Silase Daun Singkong 15 20,11 1,72 2,47 2,15 3,23 5,43
Silase Daun Jagung 15 25,89 2,78 1,93 2,44 2,07 5,77
Jumlah 100 - 10,89 5,94 14,27 13,97 54,94Keterangan : BK (bahan kering dari bahan segar), PK (protein kasar), LK (lemak kasar), SK
(serat kasar), BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen) dalam bentuk %.Sumber : Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian UniversitasLampung (2018).
32
C.2. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode in vivo dengan teknik penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 5 perlakuan
dengan 3 ulangan dengan materi 15 ekor kambing PE dikelompokan menjadi 3
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor dengan pengelompokkan
berdasarkan bobot tubuh, tata letak kambing dan pembagian bobotnya sebagai
berikut:
R3 R2 R1 R0 R4 R1 R3 R0 R2 R4
Kelompok 3 Kelompok 2
R1 R0 R2 R3 R4
Kelompok 1
Gambar 1. Tata letak kambing penelitian
Kelompok I : 14,20--19,60 kg;
Kelompok II : 22,40--27,90 kg;
Kelompok III : 29,60--38,00 kg.
C.3. Prosedur Penelitian
C.3.1. Persiapan penelitian
Persiapan penelitian meliputi persiapan kandang penelitian, kambing penelitian,
mineral mikro organik perlakuan, dan ransum penelitian. Adapun persiapan
kandang dan kambing penelitian sebagai berikut :
1) membersihkan kandang dan lingkungan kandang;
2) menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam penelitian;
33
3) memasang alas tempat pakan dan waring penampung feses pada bawah
kandang;
4) memberikan label pada kandang atau kambing yang digunakan;
5) melakukan penimbangan bobot tubuh awal kambing dan mencatatnya sebagai
data dasar untuk mengelompokkan kambing;
6) memasukkan kambing dalam kandang individu sesuai dengan rancangan
percobaan dan tata letak yang telah ditentukan;
7) melakukan pemberian obat cacing pada kambing sebelum pemeliharaan.
C.3.2. Pembuatan mineral mikro organik
1. Pembuatan mineral mikro organik Zn-lisinat
2 Lys (HCL)2 + ZnSo4 Zn(Lys(HCL)2) + SO42-
1) menyiapkan peralatan dan bahan;
2) menimbang lisin sebanyak 43,82 gr dan memasukkan bahan tersebut ke dalam
gelas ukur 250 ml;
3) menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian
mengaduknya hingga homogen;
4) menimbang ZnSO4 sebanyak 16,13 gr dan memasukkan bahan tersebut ke
dalam gelas ukur 250 ml yang berbeda;
5) menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian
mengaduknya hingga homogen;
6) mencampurkan kedua larutan dan memasukkan larutan ke dalam botol,
kemudian menutup botol dengan rapat.
34
2. Pembuatan Mineral Cu-lisinat
2 Lys (HCL)2 + CuSo4 Cu (Lys(HCL)2) + SO42-
1) menyiapkan peralatan dan bahan;
2) menimbang lisin sebanyak 43,5 gr dan memasukkan lisin tersebut ke dalam
gelas ukur 250 ml;
3) menambahkan aquades ke dalam gelas ukur berisi lisin yang telah ditimbang
hingga 100 ml, kemudian mengaduknya hingga homogen;
4) menimbang CuSO4 sebanyak 16,00 gr dan memasukkan bahan tersebut ke
dalam gelas ukur 250 ml yang berbeda;
5) menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian
mengaduknya hingga homogen;
6) mencampurkan kedua larutan dan memasukkan larutan ke dalam botol,
kemudian menutup botol dengan rapat.
3. Pembuatan Mineral Cr-lisinat
3 Lys (HCL)2 + CrCl3 . 6 H2O Lys 3Cr + H2O
1) menyiapkan alat dan bahan;
2) menimbang lisin sebanyak 11,2 gr dan memasukkan bahan tersebut ke dalam
gelas ukur 250 ml;
3) menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian
mengaduknya hingga homogen;
4) menimbang CrCl3 6H2O sebanyak 0,5 gr dan memasukkan bahan tersebut ke
dalam gelas ukur 250 ml yang berbeda;
5) menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian
mengaduknya mengaduknya hingga homogen;
35
6) mencampurkan kedua larutan dan memasukkan larutan ke dalam botol,
kemudian menutup botol dengan rapat.
4. Pembuatan Mineral Se-lisinat
2 Lys (HCL)2 + NaSeO3 LysSO3 + 2NaCl
1) menyiapkan alat dan bahan;
2) menimbang lisin sebanyak 0,87 gr dan memasukkan bahan tersebut ke dalam
gelas ukur 250 ml;
3) menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian
mengaduknya hingga homogen;
4) menimbang NaSeO3 sebanyak 0,63 gr dan memasukkan bahan tersebut ke
dalam gelas ukur 250 ml yang berbeda;
5) menambahkan aquades ke dalam gelas ukur tersebut hingga 100 ml, kemudian
mengaduknya hingga homogen;
6) mencampurkan kedua larutan dan memasukkan larutan ke dalam botol,
kemudian menutup botol dengan rapat.
C.3.3. Persiapan ransum
1) membuat formulasi ransum sesuai dengan kebutuhan kambing;
2) menyiapkan bahan pakan yang akan dibuat ransum dengan cara menimbang
semua bahan pakan yang tersedia mulai dari persentase formulasi yang paling
banyak hingga yang sedikit;
3) menghomogenkan semua bahan pakan tersebut;
4) memberikan perlakuan pada ransum yaitu dengan penambahan mineral organik
pada masing masing ransum perlakuan.
36
(penambahan perlakuan pada ransum dengan mencampurkan mineral mikro
organik dengan salah satu bahan pakan, kemudian menghomogenkan seluruh
bahan pakan sesuai dengan formulasi);
5) memasukan masing-masing ransum ke dalam karung;
6) memberikan tanda pada masing-masing karung tersebut;
7) menyimpan ransum dalam tempat yang bersih dan terhindar dari gangguan
(hujan/air);
8) menimbang ransum apabila akan diberikan kepada ternak.
C.3.4. Kegiatan penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama merupakan prelium,
yaitu kambing percobaan diberi ransum perlakuan yang berlangsung selama 14
hari. Tahap kedua yaitu pengambilan data yang dilakukan setelah ternak melalui
tahap prelium, pengambilan data dilakukan dengan melakukan koleksi feses yang
berlangsung selama 7 hari. Data yang harus diambil yaitu data jumlah feses,
jumlah ransum yang dikonsumsi, dan jumlah ransum yang tersisa. Selain itu,
sampel ransum dan sampel feses selama periode diambil dan akan dilakukan
analisis proksimat untuk mengetahui banyaknya nutrisi yang tercerna, khususnya
protein kasar dan serat kasar. Tahap ketiga yaitu tahap pengolahan data hasil
analisis proksimat
C.3.5. Koleksi feses
Metode koleksi yang digunakan yaitu metode koleksi total dengan mengumpulkan
feses yang dihasilkan selama 24 jam selama 7 hari. Prosedur yang harus
dilakukan sebagai berikut:
37
1) menyiapkan wadah penampung feses;
2) mengumpulkan feses yang dihasilkan kambing dan menimbang feses yang
dihasilkan selama 24 jam yang dilakukan pada pagi hari pukul 07.00--08.00
WIB sebelum ternak diberi ransum yang berlangsung selama 7 hari, kemudian
menimbang dan mencatat bobot feses basah yang dihasilkan sebagai bobot
segar (BS);
3) menghomogenkan feses yang dihasilkan selama 24 jam dalam 7 hari
berdasarkan jenis perlakuan;
4) mengeringkan feses di bawah sinar matahari hingga kering dan menimbang
kembali feses untuk mengetahui bobot kering udara feses (BKU);
5) mengambil sampel feses sebanyak 10% BKU/hari, kemudian menghaluskan
sampel menggunakan blender agar menjadi tepung;
6) melakukan analisis proksimat terhadap sampel tepung feses berupa kandungan
protein kasar dan serat kasarnya.
C.3.6. Analisis proksimat
Analisis kandungan protein kasar dan serat kasar pada sampel feses maupun
pakan menggunakan metode analisis proksimat menurut Fathul et al. (2013).
1. Protein Kasar
Pengukuran protein kasar dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) menimbang sample analisa sebanyak 0,5 gram dan mencatat bobotnya (A);
2) memasukkan sampel feses ke dalam labu kjeldahl dan menambahkan 5 ml
H2SO4 pekat;
38
3) menyalakan alat destruksi dan memulai proses destruksi. Mematikan alat
destruksi apabila sampel berubah menjadi larutan jernih dan mendiamkan
hingga dingin;
4) menambahkan 200 ml air suling dan 50 ml NaOH 45% ke dalam labu
Kjeldahl.Menyiapkan 25 ml H3BO3 dalam gelas erlenmeyer, kemudian
menambahkan 2 tetes indikator metile red and blue (larutan berubah menjadi
biru). Memasukkan ujung alat kondensor ke dalam erlenmeyer tersebut dalam
posisi terendam;
5) menyalakaan alat destilasi dan mengangkat ujung alat kondensor yang
terendam apabila larutan telah menjadi sebanyak 150 ml;
6) membilas ujung alat kondensor dengan air suling menggunakan botol semprot,
dan menyiapkan alat untuk titrasi. Mengisi buret dengan larutan HCl 0,1 N,
mengamati dan membaca angka pada buret, kemudian mencatatnya (L1);
7) melakukan titrasi secara perlahan dan menghentikan titrasi apabila larutan
berubah menjadi warna hijau, mengamati dan membaca angka pada buret, dan
mencatatnya (L2);
8) melakukan langkah di atas tanpa menggunakan sampel sebagai blanko;
9) menghitung persentase nitrogen dengan rumus :
Keterangan:
N : kandungan nitrogen(%) N basa : normalitas NaOH
L blanko : volume titran blanko (ml) N : berat atom N
L sampel : volume titran sampel (ml) A : bobot kertas saring (gram)
39
10) menghitung kadar protein dengan rumus:
KP = N X Fp
Keterangan : KP : kadar protein (%)
N : kandungan nitrogen (%)
Fp : angka faktor protein
11) melakukan analisis secara duplo dan menghitung rata-rata kadar protein
sampel.
1. Serat Kasar
Pengukuran kadar serat kasar dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1) memanaskan kertas saring biasa (6x6 cm2) di dalam oven 105oC selama 6
jam, kemudian mendinginkan dengan desikator selama 15 menit dan
menimbang dan mencatat bobot ketras saring (A);
2) menambahkan sampel ke dalam kertas saring sebanyak 0,1 gram, kemudian
menimbang kertas saring berisi sampel tersebut dan mencatat bobotnya (B);
3) menuangkan sampel ke dalam erlenmayer dan menambahkan H2SO4 0,25 N
sebanyak 200 ml dengan menggunakan gelas ukur, menghubungkan
erlenmeyer dengan kondensor dan dipanaskan. Memanaskan selama 30
menit terhitung sejak awal mendidih;
4) menyaring dengan corong kaca beralaskan kain linen, kemudian membilas
dengan air suling panas menggunakan botol semprot hingga bebas asam.
Melakukan uji kertas lakmus untuk mengetahui bebas asam, kemudian
memasukkan residu kembali ke dalam erlenmeyer;
5) menuangkan 200 ml NaOH 0,313 N, lalu menghubungkan erlenmeyer
dengan kondensor dan memanaskan selama 30 menit terhitung sejak awal
40
mendidih. Menyaring dengan corong kaca yang beralaskan dengan kertas
saring whatman ashles yang telah diketahui bobotnya (C);
6) membilas dengan air suling panas menggunakan botol semprot sampai bebas
basa. Melakukan uji kertas lakmus untuk mengetahui bebas basa, kemudian
bilas dengan aseton;
7) melipat kertas saring whatman ashles berisi residu dan memanaskan di dalam
oven 105oC selama 6 jam. Mendinginkan dalam desikator selama 15 menit,
kemudian menimbang dan mencatat bobotnya (D);
8) memasukkan residu ke dalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya
dan mencatat bobotnya (E);
9) mengabukan dengan cara memasukkan ke dalam tanur 600oC selam 2 jam,
lalu mematikan tanur dan mendiamkan sampai warna merah membara pada
cawan sudah tidak terlihat. Memasukkan ke dalam desikator, sampai
mencapai suhu kamar, lalu menimbang dan mencatat bobotnya (F);
10) menghitung kadar serat kasar :
KS: kadar serat kasar (%)
A : bobot kertas saring (gram)
B : bobot kertas saring berisi sampel (gram)
C : bobot kertas saring whatman ashless (gram)
D : bobot kertas saring whatman ashless berisi residu (gram)
E :bobot cawan porselen berisi residu (gram)
41
F :bobot cawan porselen berisi abu (gram)
16) melakukan analisis secara duplo, lalu menghitung rata-ratanya.
C.3.7. Peubah yang diamati
Pengukuran kecernaan dihitung berdasarkan rumus koefisien cerna semu menurut
Fathul et al. (2013) nilai kecernaan ini lebih dikenal dengan Apparent Digestible
Coeficient (ADC) atau koefisien kecernaan semu, dengan rumus sebagai berikut:
1. Kecernaan protein kasar
Kecernaan protein ransum yang diteliti diukur dengan cara menghitung selisih
protein ransum yang dikonsumsi dengan protein yang keluar bersama feses,
kemudian dibagi protein ransum yang dikonsumsi, lalu dikali 100%. Rumus
kecernaan protein kasar sebagai berikut :
2. Kecernaan serat kasar
Kecernaan serat kasar ransum yang diteliti diukur dengan cara menghitung selisih
serat kasar ransum yang dikonsumsi dengan serat kasar yang keluar bersama
feses, kemudian dibagi serat kasar ransum yang dikonsumsi, lalu dikali 100%.
Rumus kecernaan serat kasar sebagai berikut :
42
C.3.8. Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis of Varian (ANOVA) apabila dari
hasil analisis tersebut berpengaruh nyata pada salah satu peubah maka akan di uji
lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5% dan atau 1%.
50
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. suplementasi mineral organik (Zn-lisinat, Cu-lisinat, Se-lisinat, dan Cr-lisinat)
dalam ransum kambing peranakan etawa tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap kecernaan protein kasar;
2. suplementasi mineral organik (Zn-lisinat, Cu-lisinat, Se-lisinat, dan Cr-lisinat)
dalam ransum kambing PE berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan
serat kasar pada penambahan mineral mikro organik Zn-lisinat 40 ppm (KcSK
45,66%) dan Cr-lisinat 0,3 ppm (KcSK 45,62%).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian ini, maka disarankan:
1. perlu adanya pengujian kandungan mineral mikro organik di dalam ransum
khususnya Zn-lisinat, Cu-lisinat, Se-lisinat, dan Cr-lisinat sebelum dilakukan
penelitian untuk menghindari defisiensi maupun kelebihan dosis pemberian
mineral pada ternak penelitian;
2. perlu pertimbangan kisaran bobot badan dan umur kambing PE jantan dengan
selisih yang tidak terlalu jauh untuk membatasi penyebab keragaman.
51
DAFTAR PUSTAKA
Adawiah, T., T. Sutardi, W. Toharmat, N. Manalu, R., dan U.H. Tanuwiria. 2007.Respon terhadap suplementasi sabun mineral dan mineral organik sertakacang kedelai sangrai pada indikator fermentabilitas ransum dalam rumendomba. J. Media Peternakan 30(1): 63--70
Anggorodi, H.R. 1994. Ilmu Nutrisi Makanan Ternak Umum. PT GramediaPustaka Umum. Jakarta
Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan oleh R.Murwani dan Srigandono. UGM Press. Yogyakarta
Astuti, A., Erwanto, P.E. Santosa. 2015. Pengaruh cara pemberian konsentrathijauan terhadap respon fisiologis dan performa sapi Peranakan Simmental.JIPT. 3(4): 201--207
Budiman, A., T. Dhalika, B. Ayuningsih. 2006. Uji kecernaan serat kasar danbahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dalan ransum lengkap berbasishijauan daun pucuk tebu (Saccharum officinarum). JIT6(2):132--135
Cheeke, 1999. Applied Animal Nutrition: Feeds and Feeding. 2 Ed. Prentice Hall,Upper saddle river. New Jersey
Church, D.C., and W.G. Pond. 1976. Digestive Physiology and Nutrition ofRuminants. Digestive Physiology 2nd Edition. USA
Ciptadi, W dan Mahfhud. 1980. Mempelajari Pendayagunaan Umbi-umbianSebagai Sumber Karbohidrat. Departement Teknologi Hasil PertanianBogor. Bogor
Crampton, E. W. and L. E. Harris. 1969. Aplied Animal Nutrition. 2nd Edition. W.H. Freeman and Co. San Fransisco
Davis, G.K. and W. Merzt. 1987. Tace Element in Human and Animal Nutrition.Fifth Editio (W. Mertz, ed.). Academic Press, Inc. London
Despal. 2000. Kemampuan komposisi kimia dan kecernaan in vitro dalammengestimasi kecernaan in vivo. J. Media Peternakan 23(3) : 84-88
Devendra, C., dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. InstitutPertanian Bogor Press. Bogor
52
Erwanto. 1995. Optimalisasi System Fermentasi melalui Suplementasi SulfurDefaunasi, Reduksi Emisi Metan, dan Simulasi Pertumbuhan Mikroba padaTernak Ruminansia. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Fathul, F., Muhtarudin, Y. Widodo. 2003. Perbedaan bentuk Zn (organik dananorganik) terhadap ketersediaan Zn dalam serum serta pertumbuhankambing kacang. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 3(4): 253--258
Fathul, F dan S. Wajizah. 2010. Penambahan mikro mineral Mn dan Cu dalamransum terhadap aktivitas biofermentasi rumen domba secara in vitro. JITV.15(1) : 9-15
Georgievskii, V.I., B.N. Annenkov and V.T. Samokhin. 1982. Mineral Nutritionof Animals. Butterworths. London Boston Sydney Durban WellingtonToronto
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. 2005. Tabel KomposisiPakan untuk Indonesia. Edisi ke 5. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta
Hartati, E dan S. Putra. 1998. Suplementasi Minyak Lemuru dan Seng ke dalamRansum yang Mengandung Silase Pod Coklat dan Urea untuk MemacuPertumbuhan Sapi Holstein Jantan. Disertasi. Program Pascasarjana InstitutPertanian Bogor. Bogor
Haryanti,M. F.Fathul, and Liman. 2018. The Effect of Organic Micro MineralFeeding on Different Levels on NH3 and Goat Crossbreed Rumen FluidEtawa. Skripsi. University of Lampung
Haryanto, B. dan A. Djajanegara. 1992. Pemenuhan Kebutuhan Zat-Zat MakananTernak Ruminansia Kecil dalam Produksi Ternak Kambing dan Domba diIndonesia. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Jayanegara, A.2003. Uji In Vitro Ransum yang Disuplementasi KromiumAnorganik dan Organik. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut PertanianBogor. Bogor
Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia.Kanisius. Yogyakarta
Khalil, M. N. Lestari, P. Sardilla, dan Hermon. 2014. The use of local mineralformulas as a feed block supplement for beef cattle fed on wild forages.Media Peternakan 38(1): 34--41
Larvor, P. 1983. The Pools of Cellular Nutrients. Mineral, In: DynamicBiochemistry of Animal Production. P.M. Riis. Ed. Elseveir. Amsterdam.Lieberman, and N. Bruning. 1990. The Real Vitamin and Mineral Book.Avery Group. New York
53
Lasley, J.f. 1981. Beef Cattle Production. Englewood Ciffs. New Jersey
Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan dari:Nutritional Biochemistry and Metabolism. Universitas Indonesia. Jakarta
Little, D.A., Supriyati and R.J. Peterham. 1989. Mineral composition ofIndonesian ruminant forages. Trop. Agric Trinidad 66 : 33-37
Martini dan S.Sitompul. 2005. Penetapan Serat Kasar dalam Pakan Ternak tanpaEkstrak Lemak. Balai Penelitian Ternak. Bogor
Mathius I.W., D. Sitompul, B.P. Manurung, dan Azmi. 2004. Produk sampingtanaman dan pengolahan kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapipotong Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pemerintah ProvinsiBengkulu. Bengkulu
Maynard, L.A., J.K. Loosil, H.F. Hintz, and R.G. Warner. 2005. AnimalNutrition. 7th Edition. Mc Graw-Hill Book Company. New York
McDonald, P., R.A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, C.A. Morgan. 1995. AnimalNutrition. 5th Ed. Longman Scientific and Technical. New York
. 2002. AnimalNutrition. 6th Ed. Prentice Hall. Eglewood Cliffs. New Jersey
McDowell, L.R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. AcademicPress. London
Muhtarudin, 2002. Pengaruh Amoniasi, Hidrolisat Tepung Bulu Ayam, DaunSingkong, dan Campuran Lysin Zn Minyak Lemuru Terhadap PenggunaanPakan pada Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor
Muhtarudin, Liman, dan Y. Widodo. 2003. Penggunaan Seng Organik danPolyunsaturated Fatty Acid dalam Upaya Meningkatkan KetersediaanSeng, Pertumbuhan, serta Kualitas Daging Kambing. Laporan PenelitianHibah Bersaing Perguruan Tinggi. Universitas Lampung.
Muhtarudin. 2007. Penggunaan mineral organik dalam upaya meningkatkanbioproses rumen, pertumbuhan, serta kualitas daging kambing dan sapi.Buletin PembangunanProvinsi Lampung. 2(2): 108-116
Nagalaksmi, D., S. Parashuramulu, D. Shrinivasa Rao, L. Vikram. 2013. Effect ofinorganic and various organic sources of zinc and their combinations on invitro gas production and in vitro digestibilities. Int J Pharm Biol Sci. 3: 462-466
54
National Research Council. 2006. Nutrient Requirements of DomesticAnimal;Nutrient Requirements of Goats. Phisiology of Digestion No. 15.NationalAcademy of Sciences. Washington DC. USA.
Parakkasi, A. 1998. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UniversitasIndonesia Press. Jakarta
. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UniversitasIndonesia Press. Jakarta
Pond, WG, D.C. Church, and K.R Pond. 1995. Basic Animal Nutrition andFeeding. 4th Edition. John Willey and Sons. Canada.
Prasad, A. S. 1991. Discovery of human Zinc deficiency and studies in anexperimental human model. The American journal of clinical nutrition.53(2): 403--412
Price, M. A., S. D Jones., G. W. Mathison, and R. T. Berg. 1980. The effect ofincreasing dietary roughage and slaughter weight on the feedlotperformance and carcass characteristics of bull and steer. J.Sci. 60: 349--358
Purba, E.P., Erwanto dan Liman. 2017. Pengaruh penambahan silase daunsingkong dan mineral mikro organik dalam ransum berbasis limbah kelapasawit terhadap kecernaan serat kasar dan protein kasar. Jurnal PenelitianPeternakan Indonesia. 1(1): 16-19
Putra, S. 1999. Peningkatan performans sapi Bali melalui perbaikan mutu pakandan suplementasi seng asetat. Disertasi. Program Pascasarjana InstitutPertanian Bogor. Bogor
Randjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition in Tropics. 2nd Edition. Vikas PublishingHouse, Pvt Limited. New Delhi
Rangkuti, J. H. 2011. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawa (PE)pada Kondisi Tatalaksana yang Berbeda. Departemen Ilmu Produksi danTeknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rianto, E., D. Anggalina, S. Dartosukarno, dan A. Purnomoadi. 2006. Pengaruhmetode pemberian pakan terhadap produktivitas domba ekor tipis. ProsidingSeminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan- BadanLitbang Pertanian. Bogor. 3: 254--257
Richardson, C. R., dan E. E. Hatfield. 1978. The limiting amino acids in growingcattle. J. Anim. Sci. 46(3): 740--745
Rojas, L. X., L. R. McDowell, R. J. Cousins, F. G. Martin, N. S. Wilkinson, A. B.Johnson, dan J. B Velasquez. 1995. Relative bioavailability of two organicand two inorganic zinc sources fed to sheep. J. Anim. Sci.73(4): 1202--1207
55
Rudiah. 2011. Respon kambing kacang jantan terhadap waktu pemberian pakan.Media Litbang Sulteng. 4(1): 67--74
Sihombing, D. 1991. Ilmu Ternak Babi. Fakultas Pernakan IPB. Bogor
Siregar, S.B. 2003. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta
Subagdja, D. 2000. Peran Probiotik untuk Ternak Ruminansia. Gelar TeknologiFestival Peternakan Jawa Barat. Paper. Fakultas Peternakan. UniversitasPadjadjaran. Bandung
Suharno, B dan Nazaruddin., 1994. Ternak Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suprapto, H., F.M. Suhartati, dan T. Widiyastuti. 2013. Kecernaan serat kasar danlemak kasar complete feed limbah rami dengan sumber protein berbedapada kambing pernakan etawa lepas sapih. Jurnal Ilmu Peternakan.1(3):938--946
Supriyati. 2000. Pengaruh suplementasi zn biokompleks dan zink metionat dalamransum domba. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 13:89--94
Surrachman, M. 1987. Studi Pemanfaatan Daun Singkong Dengan CaraPembuatan Daun Singkong Berbentuk Serbuk. Departemen TeknologiPertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang
Sutardi, T.1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan. Institut PertanianBogor. Bogor
. . 1997.Peluang Dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu NutrisiTernak. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak FakultasPeternakan Institute Pertanian Bogor. Bogor
. . 2002. Teknologi Pakan dan Aplikasinya. Pelatihan ManajemenPengelolaan Ternak Potong. Pemerintah Propinsi Kepulauan BangkaBelitung Dinas Pertanian dan Kehutanan. Pangkalpinang
Syahwani, R. 2004. Pengaruh Cara Pemberian Pakan dan Penambahan ProbiotikPada Pakan Terhadap Konsumsi dan Kecernaan Serat Kasar pada Domba.Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor
Tanius, T.S.A. 2003. Seri Agribisnis Beternak Kambing Perah Peranakan Etawa.Surakarta
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6. GadjahMada University Press. Yogyakarta
Toharmat, T., N. Hotimah., E. Nursasih, R. Nazillah, T.Q. Noerzihad, N.A. Sigitdan Y. Retnani. 2007. Status Ca, Mg dan Zn pada kambing Peranakan
56
Etawah muda yang diberi ransom bentuk mash dengan pakan sumber seratberbeda. Media Peternakan.30(2): 71--78
Trinacty, J., L. Krizova, M. Richter, V. Carry, and J. Riha. 2009. Effect of rumenprotectedmethionine, lysine or both on milk production and plasma aminoacid of high-yielding dairy cows. Czech. J. Anim. Sci. 54(6): 239--248
Underwood, E.J. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock 2nd Edition. CAB.England
Vandergriff, B. 1992. The theory and practice of mineral proteinates in theanimals feed industry in Improving utilization while Reducing Pollution:New Dimensions Through Biotechnology. Asia Pacific Lecture Tour.Alltech, Inc. Nicholasville USA. 133--146
Wijaya, A.K., Liman, Muhtarudin, F. Fathul, K. Adhianto. 2017. The effect ofdifferent ration treatment on the digestibility crude protein and crude fiber inettawa goat grade. In : 5th International Seminar of Animal Nutrition &Feed Science. 7--9 November 2017. In Press Lombok
Winedar, H., Listyawati dan S. Sutarno. 2006. Digestibility of feed protein, metaprotein content and increasing body weight of broiler chicken after givingfeed fermented with effective microorganisms-4 (EM4). Journal ofBiotechnology. 3 (1): 14--19