pengaruh penerapan tarif tunggal pajak penghasilan badan
TRANSCRIPT
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IndonesiaVol. 19 No. 1 Januari 2019: 96–117
p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-928096
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak Penghasilan Badan terhadapIndikasi Penggelapan Pajak
The Effect of Single Rate Implementation on Corporate Income Tax to TaxEvasion Indication
Bramastia Candra Putraa,∗, & Riatu Mariatul Qibthiyyaha
aFakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
[diterima: 12 Juni 2018 — disetujui: 15 Agustus 2018 — terbit daring: 20 Maret 2019]
Abstract
This paper investigates the difference effects of progressive rate and single rate implementation on corporate incometax to tax evasion indication. Using firm level data of tax audit results as a measure of tax evasion indication for sixyears observations. The empirical results from the sample data show that the implementation of single rate on corporateincome tax reduces the tax evasion indication. In addition, the results show that the higher the marginal income tax rate,the higher the tax evasion indication.Keywords: single rate; corporate income tax; firm behavior; tax evasion
AbstrakPaper ini menginvestigasi perbedaan pengaruh penerapan tarif pajak progresif dan tarif pajak tunggal padaPajak Penghasilan (PPh) Badan terhadap indikasi penggelapan pajak. Paper ini menggunakan data hasilpemeriksaan pajak pada level perusahaan sebagai ukuran indikasi penggelapan pajak selama enam tahunobservasi. Hasil studi empiris pada sampel data menunjukkan bahwa penerapan tarif pajak tunggal padaPPh Badan mengurangi tingkat indikasi penggelapan pajak. Selain itu, semakin tinggi tarif pajak penghasilancenderung menstimulasi peningkatan indikasi penggelapan pajak.Kata kunci: tarif tunggal; pajak penghasilan badan; perilaku perusahaan; penggelapan pajak
Kode Klasifikasi JEL: H25; H26; H32
Pendahuluan
Salah satu perkembangan kebijakan ekonomi pub-lik yang paling banyak digunakan oleh beberapanegara adalah penerapan tarif pajak tunggal (flat)(Paulus dan Peichl, 2009). Sejak 1990-an, Hong Kongdan Kepulauan Channel (sekelompok pulau di le-pas pesisir Normandia, Prancis, di Selat Inggris)mulai menerapkan sistem tarif pajak tunggal yangkemudian diikuti oleh Estonia dan negara-negaralain di kawasan Eropa dan Asia. Hampir 30% ne-
∗Alamat Korespondensi: Gedung Pascasarjana Lt. 2 FEB UI, Jl.Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Kukusan, Beji, Kota Depok,Jawa Barat 16424 Telp. (021) 78849152 Fax. (021) 78849154. E-mail:[email protected].
gara di dunia telah menerapkan sistem tarif pajaktunggal (Peichl, 2014) karena beberapa keunggulanutama dari sistem tersebut. Salah satu keunggulantersebut adalah dapat mengurangi motivasi WajibPajak (WP) untuk melakukan penggelapan maupunpenghindaran pajak dan memiliki pengaruh signi-fikan terhadap peningkatan kepatuhan perpajakan(Ivanova et al., 2005; Paulus dan Peichl, 2009). Pe-nelitian empiris yang menganalisis efek penerapansistem tarif pajak tunggal terhadap indikasi pengge-lapan pajak masih sedikit, salah satunya dilakukandi Rusia (Gorodnichenko et al., 2009).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keu-angan melakukan perubahan peraturan perpajakan
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 97
terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh) Badan da-lam Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Ta-hun 1983 tentang Pajak Penghasilan berupa sim-plifikasi tarif pajak untuk penghasilan WP Badan.Sebelum tahun 2008, UU Perpajakan di Indonesiamenerapkan sistem tarif pajak progresif untuk me-lakukan perhitungan PPh Badan dengan ketentuansebagai berikut: (1) 10% untuk penghasilan kenapajak sampai dengan Rp50 juta; (2) 15% untuk peng-hasilan kena pajak dari Rp50 juta hingga Rp100 juta;dan (3) 30% untuk penghasilan kena pajak lebih dariRp100 juta. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut, Indonesia mulai menerapkansistem tarif pajak tunggal untuk perhitungan PPhBadan sebesar 28% yang efektif per 1 Januari 2009dan 25% yang efektif per 1 Januari 2010. Salah satutujuan dari kebijakan ini adalah untuk peningkatankepatuhan sukarela dari WP, terutama apabila kom-pleksitas peraturan perpajakan yang kemungkinanmenjadi penyebab rendahnya kepatuhan sukareladari WP. Wajib Pajak Badan yang terdaftar di Indo-nesia hanya berkisar 49% dari jumlah total badanusaha. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkanbahwa penambahan jumlah WP Badan terdaftardari tahun 2006 hingga 2008 sekitar 40%, tidak se-besar penambahan jumlah WP Orang Pribadi yangberkisar hingga 10,7 kali (DJP, 2009).
Berdasarkan tinjauan literatur, perbedaan karak-teristik dalam istilah penggelapan pajak dan peng-hindaran pajak terdapat pada aspek legalitas (Slem-rod dan Yitzhaki, 2002). Penghindaran pajak meru-pakan salah satu usaha yang dilakukan WP sendiriatau melalui konsultan pajak untuk melaporkanjumlah penghasilan dan pajak serendah mungkindengan memanfaatkan celah-celah dalam peratur-an perpajakan yang berlaku atau ranah legal sepertimelakukan tax planning melalui manajemen labaatau transaksi hubungan istimewa (Slemrod, 2004;Cai dan Liu, 2009). Penggelapan pajak merupak-an usaha untuk menekan jumlah penghasilan dan
pajak yang dilaporkan serendah mungkin melaluiperbuatan yang melanggar peraturan perpajakanyang berlaku atau tindakan ilegal seperti pengguna-an faktur pajak fiktif, dengan sengaja tidak melapor-kan sejumlah penghasilan atau penjualan tertentu,menyembunyikan sejumlah barang dagangan ataubarang hasil produksi dengan tidak dilaporkan kedalam pembukuan resmi, dan sebagainya.
Secara teori, peningkatan tarif pajak dapat me-ningkatkan atau menurunkan intensi penggelapanpajak. Wajib Pajak dapat memaksimalisasi utilitas-nya dengan memilih untuk melakukan penggelap-an pajak atau tidak, dengan konsekuensi adanyapemeriksaan/audit dari otoritas pajak terkait dandikenakan penalti yang tinggi atas perilaku peng-gelapan pajak tersebut. Allingham dan Sandmo(1972) menggagas teori perilaku penggelapan pajak(tax evasion) pertama kali dengan asumsi bahwaWP merupakan seorang yang bersifat risk-aversedan penalti ditetapkan proporsional dari jumlahpendapatan yang tidak dilaporkan. Dalam modelAllingham dan Sadmo (1972), kausalitas perubahantarif pajak terhadap penggelapan pajak adalah tidakpasti (ambigu). Yitzhaki (1974) kemudian mengu-bah asumsi sebelumnya bahwa penalti berubahseiring dengan jumlah pajak yang tidak dibayar (se-iring dengan tarif pajak) dan membuktikan bahwaperubahan tarif pajak menyebabkan peningkatanjumlah pendapatan yang dilaporkan.
Kerangka teoretis yang diajukan oleh Yitzhaki(1974) tersebut sesuai dengan kebanyakan peratur-an pajak yang berlaku saat ini bahwa penalti ataspenggelapan pajak dikenakan terhadap jumlah pa-jak yang tidak dilaporkan. Meskipun demikian, ha-sil kerangka teoretis tersebut bertentangan dengancommon sense dan intuisi ekonomi (Yaniv, 2013). Pe-nelitian empiris selanjutnya mengkaji ulang asumsiyang digunakan dalam kerangka teoretis Yitzhaki(1974) dengan mempertimbangkan variasi berbe-da dalam bracket penghasilan (Gahramanov, 2009),analisis dinamis (Dalamagas, 2011), dan tingkat
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...98
konsumsi (Yaniv, 2013), serta membuktikan kemba-li ambiguitas hasil kerangka teoretis yang digagasoleh Allingham dan Sandmo (1972). Ambiguitastersebut mungkin dapat merepresentasikan intuisiekonomi secara umum dan untuk sistem perpa-jakan yang berlaku (Sandmo, 2005). Oleh karenaitu, eksplorasi mengenai hubungan antara tarif pa-jak dan intensi penggelapan pajak lebih bersifatempiris, walaupun untuk menjelaskan perilakupenggelapan pajak secara empiris juga merupakansuatu hal yang sulit.
Penelitian empiris mengenai hubungan antaratarif pajak penghasilan dan indikasi penggelapanpajak yang telah banyak dilakukan di luar negeri,terutama di negara maju, menggunakan berbagaijenis data dan pengukuran indikasi penggelapan pa-jak, baik secara langsung (hasil pemeriksaan/auditpajak) maupun tidak langsung. Bahkan, pengu-kuran indikasi perilaku penggelapan pajak seca-ra langsung melalui data hasil pemeriksaan/auditotoritas pajak menunjukkan indikasi terdapatnyapenggelapan pajak yang dilakukan oleh WP, belummerupakan hal yang bersifat final karena masihterdapat proses keberatan kepada otoritas pajakdan banding ke pengadilan pajak (Clotfelter, 1983).Pengukuran indikasi pajak secara langsung dengandata mikro masih merupakan hal yang lebih handaldibandingkan pengukuran lainnya.
Sebagian besar penelitian empiris di Indonesiaberkaitan dengan pengaruh tarif pajak penghasil-an terhadap indikasi penggelapan pajak mayoritasmenggunakan data primer berupa hasil survei de-ngan responden WP yang terdaftar di salah satukantor pajak saja. Validitas dari hasil survei tersebutbergantung pada tingkat reliabilitas dan kejujuranjawaban responden terhadap perilaku respondenyang sebenarnya. Beberapa penelitian melalui su-rvei responden yang telah dilakukan di Indonesiamemiliki dua kesimpulan berkaitan hubungan anta-ra tarif pajak penghasilan dan perilaku penggelapanpajak, yaitu korelasi positif (Permatasari dan Lak-
sito, 2013; Kurniawati dan Toly, 2014; Salam danRahim, 2016) dan korelasi negatif (Ardyaksa danKiswanto, 2014). Hasil penelitian empiris tersebutbelum dapat merepresentasikan perilaku WP Badandi Indonesia1.
Penelitian empiris di negara maju mengenai hu-bungan tarif pajak dengan indikasi penggelapanpajak relatif konklusif, baik berdasarkan pengu-kuran indikasi penggelapan pajak secara langsungmaupun tidak langsung. Namun demikian, peneli-tian empiris di Indonesia, sebagai salah satu negaraberkembang, masih belum konklusif karena pene-litian tersebut masih menggunakan pengukuranindikasi penggelapan pajak secara tidak langsungyang berupa survei WP di suatu wilayah tertentudengan jumlah responden yang relatif kecil.
Penelitian ini menginvestigasi ulang hubungankausalitas antara tarif pajak penghasilan terhadapindikasi perilaku penggelapan pajak terhadap WPBadan di Indonesia, terutama terkait dengan kon-teks penerapan tarif tunggal untuk PPh Badan.Penelitian ini merupakan kajian empiris pertamadi Indonesia yang melakukan identifikasi penga-ruh penerapan tarif pajak progresif dan tarif pajaktunggal (flat) terhadap indikasi penggelapan pajakdengan menggunakan pengukuran indikasi peng-gelapan pajak secara langsung yakni dari data ha-sil pemeriksaan pajak oleh otoritas pajak. Denganmenggunakan analisis regresi dengan model To-bit, cakupan unit analisis mikro perusahaan yangterdaftar sebagai WP Badan di Indonesia selamaenam tahun pengamatan, dengan sampel secaraacak yang mencakup seluruh kawasan di Indonesiadengan berbagai macam kategori usaha, juga meru-pakan aspek kajian yang masih jarang dieksplorasiterutama untuk penelitian mengenai efektivitaskebijakan pajak (Joulfaian, 2000; Abdixhiku et al.,
1sampel yang diambil dari penelitian empiris di Indonesiaadalah WP terdaftar di salah satu kantor pajak saja, seperti KPPPratama Yogyakarta atau KPP Madya Semarang saja, sehinggapenelitian tersebut tidak dapat menarik kesimpulan bahwa peri-laku dari sampel tersebut merepresentasikan WP keseluruhandi Indonesia.
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 99
2017). Kajian empiris yang ada saat ini lebih banyakberfokus pada kepatuhan pajak tingkat individualrumah tangga dengan asumsi bahwa agen ekonomitersebut menentukan keputusan strategis melakuk-an penggelapan pajak atau tidak. Hanya beberapakajian akademis yang berfokus pada pilihan agenekonomi perusahaan untuk melakukan penggelap-an pajak atau tidak (Joulfaian, 2000; Crocker danSlemrod, 2005; Wang, 2012; Abdixhiku et al., 2017).
Tinjauan Literatur
Teori Penggelapan Pajak
Teori ekonomi yang mempelajari perilaku pengge-lapan pajak pertama kali digagas oleh Allinghamdan Sandmo (1972). Dalam model teoretis terse-but, Allingham dan Sandmo (1972) memasukkanfaktor-faktor yang memengaruhi perilaku peng-gelapan pajak seperti tarif pajak, probabilitas ter-deteksi menurut agen ekonomi, tarif penalti ataspelanggaran, dan pendapatan bersih. Berdasar pa-da kerangka teoretis tersebut, dengan asumsi agenekonomi bersifat risk averse dan tarif penalti dike-nakan terhadap pendapatan yang tidak dilaporkan,tarif pajak menyebabkan adanya efek substitusiyang memiliki implikasi bahwa peningkatan tarifpajak meningkatkan perilaku penggelapan pajak,serta efek pendapatan yang berimplikasi bahwapeningkatan tarif pajak menyebabkan peningkatankepatuhan pajak. Oleh karena itu, model Allinghamdan Sandmo (1972) menyimpulkan bahwa terda-pat ambiguitas atas tarif pajak terhadap perilakupenggelapan pajak.
Selanjutnya, Yitzhaki (1974) mengkritisi modelAllingham dan Sandmo (1972) dengan mengubahasumsi utama bahwa tarif penalti dikenakan terha-dap sejumlah pajak yang tidak dilaporkan. Dengandemikian, peningkatan tarif pajak hanya memilikiefek pendapatan yang menyebabkan penurunanperilaku penggelapan pajak. Asumsi yang digu-
nakan oleh Yitzhaki (1974) merupakan fakta ataskebanyakan peraturan perpajakan yang berlaku.Meskipun demikian, model Yitzhaki (1974) ini ber-tentangan dengan intuisi ekonomi dan mayoritashasil penelitian empiris tentang penggelapan pa-jak (Yaniv, 2013). Oleh karena itu, beberapa pene-litian selanjutnya mencoba menginvestigasi ulangasumsi-asumsi yang dipergunakan dalam modeltersebut dengan mempertimbangkan variasi berbe-da dalam bracket penghasilan (Gahramanov, 2009),analisis dinamis (Dalamagas, 2011), dan tingkatkonsumsi (Yaniv, 2013), serta membuktikan kemba-li ambiguitas hasil kerangka teoretis yang digagasoleh Allingham dan Sandmo (1972).
Estimasi model empiris untuk mengidentifikasiperilaku penggelapan pajak dari suatu model teore-tis merupakan hal yang sulit dan memiliki beberapakendala. Clotfelter (1983) menjelaskan bahwa ken-dala utama yang dihadapi dalam mengestimasimodel empiris untuk identifikasi perilaku peng-gelapan pajak berasal dari bagaimana mengukurindikasi penggelapan pajak dan spesifikasi modeluntuk mendeteksi ada tidaknya indikasi penggelap-an pajak serta pemberian penalti atas pelanggarantersebut. Berdasar temuan beberapa penelitian em-piris sebelumnya, terdapat dua pengukuran indika-si penggelapan pajak yakni pengukuran langsungdan tidak langsung.
Selain itu, untuk konteks kebijakan tarif tung-gal, penerapan tarif tunggal bisa saja merupakanzero sum game, sehingga kemungkinan hanya akanmemindahkan beban pajak dari kalangan berpeng-hasilan tinggi ke kalangan berpenghasilan rendahdan menengah (Skipper dan Burton, 2008). Dampakpenerapan tarif tunggal terhadap indikasi pengge-lapan pajak tidak mudah diukur karena beberapaWP menghadapi tarif pajak yang lebih rendah, se-mentara WP lainnya menghadapi tarif pajak yanglebih tinggi. Paulus dan Peichl (2009) berargumenbahwa dampak penerapan tarif tunggal terhadappenurunan indikasi penggelapan pajak cenderung
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...100
lebih lemah di negara maju dibandingkan di nega-ra berkembang. Namun demikian, penerapan tarifpajak tunggal menurunkan indikasi penggelapanpajak secara bertingkat bergantung pada tingkatpenghasilan WP, namun cenderung meningkatkanindikasi penggelapan pajak pada WP berpenghasil-an rendah (Fougere 1 dan Ruggeri, 1998).
Indikator Penggelapan Pajak
Pengukuran indikasi penggelapan pajak dapat dila-kukan dengan menggunakan indikasi penggelapanpajak secara langsung, yang umumnya adalah se-lisih (discrepancy) dari basis atau nilai pajak yangdilaporkan dengan yang seharusnya dilaporkan,yang umumnya merupakan data hasil pemeriksaan(audit) dari instansi pajak terkait; sementara indi-kasi penggelapan pajak tidak langsung umumnyadiperoleh dari self-report survey atau indikator yangterkait dengan basis pajak. Pengukuran langsungmerupakan identifikasi indikasi perilaku pengge-lapan pajak berdasarkan hasil pemeriksaan/auditoleh otoritas pajak seperti data kepatuhan pajakindividual dari Internal Revenue Service’s (IRS) Ta-xpayer Compliance Measurement Program (TCMP) diAmerika Serikat (Clotfelter, 1983; Slemrod, 1985;Feinstein, 1991), data kepatuhan pajak individualdari Income Tax Department (ITD) di Jamaika (Almet al., 1993), data kepatuhan pajak korporasi dariTCMP (Joulfaian, 2000), dan data pelaporan pajakindividu dari program amnesti pajak di California,Amerika Serikat (Crane dan Nourzad, 1990). Se-mentara itu, Poterba (1987) menggunakan ukuranindikasi penggelapan pajak secara langsung denganmenggunakan data agregat tahunan realisasi peme-riksaan/audit pelaporan capital gains dari otoritaspajak.
Penelitian yang menggunakan data mikro indi-vidu rumah tangga/perusahaan hasil koreksi pe-meriksaan/audit otoritas pajak dapat menunjukkanperubahan indikasi penggelapan pajak per individuatas perubahan tarif pajak (Clotfelter, 1983; Slem-
rod, 1985; Crane dan Nourzad, 1990; Feinstein, 1991;Alm et al., 1993; Joulfaian, 2000) dan merupakan pe-ngukuran yang paling handal (Andreoni et al., 1998;Slemrod dan Yitzhaki, 2002). Penelitian empirisyang menggunakan pengukuran langsung memili-ki reliabilitas yang lebih tinggi apabila data yangdigunakan merupakan data final hasil keputusanpengadilan atau keberatan atas hasil pemeriksaanpajak (dengan kondisi WP mengajukan keberatandan/atau banding atas hasil pemeriksaan pajak),namun yang perlu menjadi perhatian adalah su-litnya dalam pemerolehan data dari otoritas pajaktersebut, terutama di negara berkembang. Selainitu, data yang diperoleh tidak dapat merepresen-tasikan jumlah indikasi penggelapan pajak secaraagregat di suatu wilayah karena cakupan pemerik-saan/audit pajak di negara maju seperti AmerikaSerikat hanya sekitar 0,6% (Internal Revenue Services,2016), sedangkan di negara berkembang seperti In-donesia sekitar 1,67% untuk WP Badan dan 0,35%untuk WP Orang Pribadi (DJP, 2016). Namun, iden-tifikasi indikasi penggelapan pajak secara langsungsering kali terkendala konteks data hasil pemerik-saan/audit pajak bersifat rahasia, sehingga jarangbisa digunakan untuk penelitian (Clotfelter, 1983).
Pengukuran indikasi penggelapan pajak secara ti-dak langsung pada penelitian empiris sebelumnya,menggunakan data lainnya seperti data agregattingkat pendapatan rumah tangga individu (Pom-merehne dan Weck-Hannemann, 1996; Levaggi danMenoncin, 2013), data agregat country rating berda-sarkan laporan dari Global Competitiveness Report(Richardson, 2006), data mikro jumlah konsumsidan pendapatan hasil survei rumah tangga (Go-rodnichenko et al., 2009), dan data hasil survei per-usahaan individual dari World Bank, baik berupaBusiness Environment and Enterprise Performance Su-rvey (BEEPS) ataupun Productivity and InvestmentClimate Private Enterprise Survey, yang mencakup se-jumlah perusahaan di berbagai negara (Wang, 2012;Gokalp et al., 2017; Abdixhiku et al., 2017). Penggu-
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 101
naan data pendapatan nasional, jumlah konsumsiindividu, ataupun permintaan mata uang mung-kin dapat memberikan gambaran seberapa besartingkat penggelapan pajak atau underground eco-nomy dari suatu wilayah pengamatan2. Namun,data yang diperoleh biasanya berupa data agre-gat. Penggunaan data agregat dapat menyebabkanhasil estimasi yang diperoleh cenderung bias kare-na agregasi dan memiliki reliabilitas lebih rendahuntuk dapat dijadikan sebagai pertimbangan pe-ngambilan kebijakan ekonomi. Identifikasi indikasipenggelapan pajak melalui data eksperimental ju-ga perlu mempertimbangkan tingkat keabsahandata dari objek penelitian karena penentuan jum-lah dan karakteristik responden yang ideal tidakmempunyai standar parameter yang jelas.
Kerangka Teori
Setiap agen ekonomi melakukan optimalisasi uti-litas untuk dirinya sendiri, salah satunya denganunder-reporting jumlah penghasilan yang akan dike-nakan pajak oleh otoritas pajak, yang merupakansuatu perilaku penggelapan pajak. Perilaku peng-gelapan pajak merupakan suatu keputusan agenekonomi yang memiliki faktor risiko. Konsekuensiatas pilihan tersebut, apabila diketahui oleh otoritaspajak, adalah penalti atas kesengajaan melakukanpenggelapan pajak. Sejauh mana konsekuensi inidikenakan pada agen ekonomi terkait, bergantungpada probabilitas ada tidaknya pemeriksaan/audit
2Beberapa penelitian menggunakan pengukuran indikasipenggelapan pajak dari jumlah permintaan mata uang, selisihpendapatan nasional antara data otoritas pajak, atau survei de-ngan data national accounts (Pommerehne dan Weck-Hannemann,1996; Gorodnichenko et al., 2009; Levaggi dan Menoncin, 2013).Penelitian lainnya yang terkait dengan indikasi penggelapanpajak secara tidak langsung adalah penggunaan indikator selisihjumlah konsumsi rumah tangga antara hasil survei dengan datanational accounts (Gorodnichenko et al., 2009; Levaggi dan Me-noncin, 2013), data primer yang berasal dari survei respondenterutama WP terdaftar (Permatasari dan Laksito, 2013; Ardyak-sa dan Kiswanto, 2014; Kurniawati dan Toly, 2014; Salam danRahim, 2016), dan data hasil eksperimental (Spicer dan Becker,1980; Becker et al., 1987; Fortin et al., 2007).
yang dilakukan oleh otoritas pajak dan probabilitasterdeteksi dari proses pemeriksaan/audit tersebut.
Agen ekonomi dapat mengalami salah satu daritiga kondisi berikut atas pilihan optimalisasi utilitastersebut. Kondisi pertama terjadi apabila agen ekono-mi tersebut akan memperoleh kerugian yang lebihbesar daripada apabila melaporkan jumlah pengha-silan sebenarnya karena akan dikenakan sejumlahpenalti yang besar atas selisih penghasilan dan/ataupajak yang tidak dilaporkannya, probabilitas ter-kena pemeriksaan/audit oleh otoritas pajak tinggi,dan probabilitas terdeteksi dari proses pemeriksa-an/audit tersebut juga tinggi. Kondisi kedua terjadiapabila agen ekonomi tersebut memilih untuk ti-dak melaporkan jumlah penghasilan sebenarnyadan probabilitas terkena pemeriksaan/audit lebihkecil. Kondisi ketiga terjadi apabila agen ekonomitersebut memilih untuk tidak melaporkan jumlahpenghasilan sebenarnya dan probabilitas terkenapemeriksaan/audit oleh otoritas pajak lebih besar,namun probabilitas terdeteksi dari proses pemerik-saan/audit tersebut relatif kecil, maka agen ekonomitersebut akan memperoleh keuntungan yang opti-mal.
Kerangka kerja teoretis yang telah digagas olehAllingham dan Sandmo (1972) dan Yitzhaki (1974)menggunakan asumsi bahwa jumlah penghasilansebenarnya (π) hanya diketahui oleh WP, tetapidapat diketahui oleh otoritas pajak melalui peme-riksaan (audit) yang membutuhkan sejumlah biaya(administrative costs). Pada kondisi tertentu, WP me-miliki pilihan untuk melakukan penggelapan pajakdengan melaporkan jumlah penghasilannya di ba-wah nilai yang sebenarnya (X). Probabilitas WPyang melakukan penggelapan pajak (θ) terdeteksimelalui pemeriksaan/audit oleh otoritas pajak dandikenakan sejumlah penalti (δ) atas jumlah pengha-silan yang tidak dilaporkan (π − X) dengan asumsiδ > 1 dan akan melebihi nilai penghasilan yangsebenarnya. Wajib Pajak yang bersifat risk aversememilih untuk melaporkan penghasilannya (X), se-
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...102
hingga penghasilan yang tidak dilaporkan adalah(π − X). Untuk memaksimalkan expected utility WPtersebut, maka:
EU = (1−θ)U(π− tX) +θU(π− tX− δ(π−X)) (1)
Y = π − tX
danZ = π − tX − δ(π − X) (2)
π merupakan nilai penghasilan WP yang sebenar-nya dan t merupakan tarif pajak penghasilan yangdikenakan. Fungsi utilitas U(.) menunjukkan prefe-rensi WP terhadap pilihan berisiko. Dalam modelini, pilihan untuk melakukan atau tidak dan sebera-pa besar jumlah penghasilan yang tidak dilaporkanselaras dengan pilihan dan seberapa besar yangdipertaruhkan. Setiap poin penghasilan kena pajakyang tidak dilaporkan akan menghasilkan expectedpayoff sebesar (1 − θ)t − θδ. First order condition da-ri optimalisasi penggelapan pajak adalah sebagaiberikut:
[−t(1 − θ)U′(Y) − (t − δ)θU′(Z)] = 0 (3)
dan second order condition adalah sebagai berikut:
D = t2(1 − θ)U”(Y) + (t − δ)2θU”(Z) (4)
Apabila Persamaan (3) diturunkan terhadap t,
(5)∂X∂t
= −1D
X[t(1 − θ)U”(Y) + (”t − δ”)θU”(Z)]
+1D
[(1 − θ)U”(Y) + θU”(Z)]
Ambiguitas kesimpulan akan muncul karena efekpendapatan bernilai negatif karena tarif pajak me-nyebabkan penurunan perilaku penggelapan pajakdan efek substitusi bernilai positif karena peningkat-an tarif pajak meningkatkan perilaku penggelapanpajak (Allingham dan Sandmo, 1972; Gahramanov,2009). Kerangka teoretis tersebut hanya memper-timbangkan keputusan satu agen ekonomi, yakni
individu rumah tangga atau perusahaan, pada saatproses optimalisasi utilitas masing-masing denganmelakukan penggelapan pajak atau tidak pada saatpelaporan pajak penghasilan. Namun demikian,sebagaimana dijelaskan oleh Clotfelter (1983), salahsatu fokus penelitian ini adalah meneliti penga-ruh dari tarif pajak marginal dengan mengasumsi-kan bahwa total pendapatan pajak konstan, sehing-ga pertanyaan teoretis yang relevan terhadap efeksubstitusi dari kebijakan perpajakan adalah untukmendorong perilaku penggelapan pajak seiring pe-ningkatan tarif pajak marginal.
Metode
Model Empiris
Penelitian ini mengidentifikasi indikasi penggelap-an pajak melalui pengukuran langsung berdasarkanada tidaknya selisih antara jumlah penghasilan ko-tor atau penghasilan kena pajak yang dilaporkan da-lam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badandengan hasil pemeriksaan/audit dari DJP selakuotoritas pajak di Indonesia. Pertimbangan menggu-nakan pengukuran langsung karena pengukuranindikasi penggelapan pajak secara langsung meru-pakan pengukuran yang paling handal (Andreoni etal., 1998; Slemrod dan Yitzhaki, 2002) dan belum adapenelitian yang menggunakan data ini pada levelnasional (untuk konteks Indonesia). Keunggulanatas penggunaan data ini adalah kesempatan untukmengobservasi perilaku agen ekonomi secara indi-vidual, apabila dibandingkan dengan penggunaanpengukuran tidak langsung. Selain itu, data dariDJP memiliki banyak informasi yang berguna ter-kait item penghasilan maupun perhitungan pajak.Pengidentifikasian perilaku penggelapan pajak initelah sesuai dengan penelitian empiris sebelumnyayang menggunakan pengukuran langsung (Clotfel-ter, 1983; Slemrod, 1985; Crane dan Nourzad, 1990;Feinstein, 1991; Alm et al., 1993; Joulfaian, 2000).
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 103
Pemodelan perilaku ekonomi dari individu ataukorporasi intinya adalah membandingkan antaraekspektasi utilitas dari aktivitas legal dengan ile-gal. Dalam model tersebut, pilihan aktivitas ilegalmemiliki konsekuensi (ketidakpastian) dari adanyarisiko dari terdeteksinya atau tidak aktivitas ilegaltersebut dan penalti terkait dengan aktivitas ile-gal tersebut. Dalam hal suatu pemeriksaan/auditpajak untuk mendeteksi penggelapan pajak, mo-del empiris memiliki hambatan tersendiri berupaperhitungan probabilitas pemeriksaan/audit pajakdan probabilitas terdeteksi dalam proses pemeriksa-an/audit tersebut karena proses pemeriksaan/auditpajak itu sendiri merupakan informasi yang bersifatrahasia dan kompleks, sehingga dapat diasumsi-kan bahwa tingkat probabilitas pemeriksaan/auditpajak dan tingkat probabilitas terdeteksi bersifatendogen.
Kerahasiaan data proses pemeriksaan/audit pa-jak tersebut, termasuk probabilitas pemeriksaan,merupakan suatu informasi yang sensitif karena pe-ngetahuan tersebut dapat membuat individu ataukorporasi merencanakan kapan melakukan peng-gelapan pajak atau tidak (Clotfelter, 1983). Otoritaspajak tentunya memformulasikan desain dan atur-an pelaksanaan tertentu terkait pemilihan objekpemeriksaan/audit pajak. Di Indonesia, sebelumtahun 2011, kebijakan pemilihan objek pemeriksa-an merupakan kewenangan masing-masing kantorpajak dan belum ada kerangka aturan yang me-nyeragamkan pemilihan objek pemeriksaan. Mulaitahun pajak 2011, setiap tahunnya DJP mengelu-arkan aturan pelaksanaan khusus untuk pemilihanobjek pemeriksaan/audit pajak pada tahun tersebutdengan penitikberatan pada hal-hal tertentu seper-ti tingkat kepatuhan WP, klasifikasi WP tertentuberdasarkan sektor usaha, dan penilaian lainnya.
Data terkait probabilitas pemeriksaan untuk se-tiap perusahaan yang tersedia di DJP tidak dapatdiperoleh dan digunakan dalam penelitian ini. Ke-rangka kerja teoretis Allingham dan Sandmo (1972)
dan Yitzhaki (1974) menekankan penggunaan pro-babilitas terdeteksi menurut individu atau perusa-haan dalam menentukan maksimalisasi utilitasnyayang dapat dipengaruhi oleh probabilitas pemerik-saan dari otoritas pajak. Oleh karena itu, Feinstein(1990) menjelaskan bahwa dengan tidak adanya pro-babilitas pemeriksaan, maka estimasi persamaankepatuhan individu/perusahaan harus dilihat seba-gai koefisien reduced-form yang dapat menangkapkecenderungan individu/perusahaan untuk mela-kukan ketidakpatuhan dan rasa was-was terhadappemeriksaan/audit pajak.
Di balik keunggulan penggunaan data hasil pe-meriksaan/audit pajak, terdapat beberapa keterba-tasan yang melekat dari hasil pemeriksaan/auditpajak tersebut. Pertama, pemeriksa/auditor pajakmengalami keterbatasan ruang lingkup dalam mem-peroleh informasi tambahan guna mengungkap adatidaknya penggelapan pajak yang dilakukan olehWP. Kedua, otoritas pajak memiliki keterbatasansumber daya pemeriksa/auditor pajak, sehinggaotoritas pajak menentukan daftar prioritas peme-riksaan dan memiliki audit coverage ratio yang rela-tif kecil. Ketiga, pemeriksa/auditor pajak memilikilatar belakang pendidikan/pelatihan dan pering-kat/jabatan pekerjaan, sehingga probabilitas tidakterdeteksi muncul dari proses pemeriksaan/auditpajak tersebut. Wajib Pajak yang diperiksa bisasaja telah melakukan penggelapan pajak, namunteridentifikasi sebagai WP patuh dalam proses pe-meriksaan/audit tersebut (Feinstein, 1991).
Feinstein (1990) mengembangkan strategi empi-ris untuk menangkap adanya pelanggaran tidakterdeteksi atas proses pemeriksaan/audit pajak me-lalui detection controlled estimation (DCE). Untukmenggunakan strategi empiris tersebut, peneliti-an tersebut memerlukan data tertentu tentang ba-gaimana proses pemeriksaan/audit pajak tersebutberjalan seperti jumlah pemeriksa/auditor, riwayatkepatuhan pajak dari WP, jangka waktu pemerik-saan, pengalaman kerja dan riwayat pendidikan
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...104
dan pelatihan pemeriksa/auditor pajak, grade pe-meriksa/auditor pajak, dan sebagainya. Namun,data tersebut sepenuhnya bersifat rahasia dan tidakdapat digunakan dalam penelitian ini.
Clotfelter (1983) menjelaskan bahwa proporsi WPyang tidak memiliki selisih nilai penghasilan ko-tor dan penghasilan kena pajak berdasarkan hasilpemeriksaan/audit pajak adalah cukup besar, se-hingga estimasi model akan menggunakan analisisregresi dengan model Tobit. Penelitian ini tidak da-pat menggunakan model estimasi DCE, sehinggahasil estimasi cenderung bias ke bawah (Feinstein,1990) dan merupakan keterbatasan penelitian ini.Oleh karena itu, model empiris yang digunakandalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(6)EVAit = αit + β1FLTit + β2MTRit + β3NIit
+ δTHNt + γKTGi + µWILi + εit
dengan EVA adalah indikasi penggelapan pajak,FLT adalah dummy penerapan tarif pajak tunggalPPh Badan, MTR adalah tarif pajak marginal, NIadalah jumlah penghasilan bersih menurut hasilpemeriksaan pajak, THN adalah dummy tahun pajaksesuai observasi penelitian, KTG adalah dummykategori usaha perusahaan, dan WIL adalah dummypulau tempat domisili usaha perusahaan.
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah in-dikasi penggelapan pajak (EVA) yang diidentifikasimelalui ada tidaknya selisih nilai penghasilan kotoratau penghasilan kena pajak antara yang dilapor-kan dalam SPT Tahunan PPh Badan dengan hasilpemeriksaan/audit pajak. Apabila tidak terdapatselisih atau memiliki selisih negatif penghasilankotor atau penghasilan kena pajak antara yang di-laporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan denganhasil pemeriksaan/audit pajak, akan berisi angka0 (nol) yang diidentifikasi tidak memiliki indikasipenggelapan pajak. Hal ini telah sesuai dengan pe-nelitian empiris sebelumnya yang dilakukan olehClotfelter (1983), Slemrod (1985), Crane dan Nour-zad (1990), Feinstein (1991), Alm et al. (1993), danJoulfaian (2000).
Variabel independen utama dalam penelitian iniadalah dummy penerapan tarif pajak tunggal (FLT)pada tahun observasi. Variabel ini akan bernilai 1(satu) apabila pada tahun pajak, yang mana kebijak-an tarif pajak tunggal telah diterapkan, dan begitujuga sebaliknya. Tarif pajak tunggal merupakan sa-lah satu bentuk simplifikasi peraturan perpajakanyang diharapkan dapat mengurangi jumlah pengge-lapan pajak (Gorodnichenko et al., 2009; Paulus danPeichl, 2009). Penelitian ini diharapkan memperolehhasil estimasi bahwa penerapan tarif pajak tunggalberkorelasi negatif dengan indikasi penggelapanpajak sesuai dengan penelitian empiris sebelumnyayang dilakukan oleh Gorodnichenko et al. (2009).
Variabel independen kedua adalah tarif pajakmarginal (MTR) atas penghasilan kena pajak WPBadan yang berlaku pada tahun observasi. Tarifpajak marginal yang digunakan dalam penelitianini adalah tarif pajak yang berlaku pada setiap nilaitambahan penghasilan yang dievaluasi pada nilaipenghasilan bruto (Clotfelter, 1983; Slemrod, 1985;Poterba, 1987; Crane dan Nourzad, 1990; Feinste-in, 1991; Alm et al., 1993; Pommerehne dan Weck-Hannemann, 1996; Joulfaian, 2000; Levaggi danMenoncin, 2013). Penelitian ini tidak menggunakantarif pajak efektif karena tarif pajak efektif tidakhanya merepresentasikan statutory tax rate yang ber-laku, tetapi juga kebijakan perpajakan lainnya yangberpengaruh terhadap perhitungan pajak terutang.Sesuai dengan kerangka teoretis sebelumnya, di-harapkan variabel tarif pajak marginal berkorelasipositif dengan indikasi penggelapan pajak.
Variabel independen ketiga yang digunakan ada-lah jumlah penghasilan bersih menurut hasil pe-meriksaan/audit pajak (NI). Clotfelter (1983) menje-laskan bahwa gagasan utama penggunaan variabeljumlah penghasilan bersih terkait dengan asumsiincreasing absolute risk aversion. Indikasi pengge-lapan pajak akan semakin tinggi seiring denganpertambahan nilai penghasilan bersih, walaupuntidak ada prediksi seberapa besar efek magnitude
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 105
yang mungkin terjadi tanpa terlebih dahulu mela-kukan spesifikasi eksplisit dari fungsi utilitas yangdigunakan dalam model empiris terkait. Dalam pe-nelitian empiris sebelumnya, jumlah penghasilanbersih berkorelasi positif dengan indikasi pengge-lapan pajak (Clotfelter, 1983; Slemrod, 1985; Cra-ne dan Nourzad, 1990; Feinstein, 1991; Alm et al.,1993; Pommerehne dan Weck-Hannemann, 1996;Joulfaian, 2000), sehingga hasil penelitian ini jugadiharapkan demikian.
Sementara itu, tujuan penggunaan variabel dum-my tahun pengamatan (THN), adalah untuk melihatada tidaknya fixed effect dari masing-masing tahunpengamatan terhadap indikasi penggelapan pajakdi Indonesia yang mungkin disebabkan denganadanya pengaruh kebijakan pemerintah lainnyadan kondisi perekonomian pada masing-masingtahun pengamatan tersebut.
Variabel kontrol selanjutnya adalah dummy kate-gori usaha (KTG), yang terbagi dalam 21 kategoriusaha dengan baseline 1 kategori usaha yakni perta-nian, perkebunan, dan kehutanan. Tujuan penggu-naan variabel dummy kategori usaha adalah untukmemperhitungkan berbagai kemungkinan perbeda-an lingkungan usaha pada masing-masing kategoriusaha.
Variabel kontrol terakhir adalah dummy pulautempat domisili usaha (WIL). Dalam penelitian ini,dummy wilayah terdiri dari 7 (tujuh) wilayah beru-pa Bali (sebagai reference dummy), Jawa, Kalimantan,Maluku dan Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, danSumatera. Tujuan penggunaan variabel dummy wi-layah ini adalah untuk memperhitungkan adanyafixed effect dari masing-masing wilayah pengamat-an yang mungkin disebabkan adanya kebijakanwilayah tertentu terkait lingkungan usaha, prosespemeriksaan, maupun kultur budaya setempat.
Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data yang diperolehdari DJP selaku otoritas pajak di Indonesia. Data
ini mencakup 6 tahun pajak sebagai observasi pe-nelitian, yaitu dari tahun 2007 hingga 2012, denganjumlah observasi sebesar 19.059 yang terdiri dari6.006 observasi hasil pemeriksaan/audit pajak dan13.053 observasi tidak diperiksa. Pemilihan sampelWP Badan dilakukan secara acak sesuai perolehandata yang diizinkan dari pihak DJP. Sampel yangterpilih mencakup semua kategori usaha dan ukur-an usaha WP Badan yang terdaftar resmi dalamadministrasi DJP serta tersebar di seluruh penjuruIndonesia, sehingga sampel ini dapat merepresen-tasikan keadaan di Indonesia.
Selanjutnya, informasi yang diperoleh dari da-ta DJP ini dilarang menyertakan informasi detailWP Badan secara individual yang mungkin dapatmemengaruhi preferensi melakukan penggelapanpajak atau tidak, seperti detail nama dan alamatWP Badan, pengurus dan pimpinan dari WP Badan,dan informasi yang bersifat rahasia lainnya. Infor-masi dari data yang disediakan oleh DJP termasukjumlah penghasilan dan pajak yang dilaporkan da-lam SPT Tahunan PPh Badan dan nilai yang benarmenurut pemeriksa/auditor pajak.
Jumlah penghasilan dan pajak yang dikoreksimelalui hasil pemeriksaan/audit pajak belum tentusesuai dengan jumlah penghasilan dan pajak yangsebenarnya dimiliki oleh WP dan mungkin akan di-bawa ke ranah keberatan dan banding ke pengadil-an pajak, namun hal tersebut telah mewakili opinidari DJP. Meskipun terdapat keterbatasan prosespemeriksaan/audit pajak, hasil pemeriksaan/auditpajak tersebut merupakan pengukuran yang bagusserta dapat diandalkan apabila dibandingkan de-ngan pengukuran lainnya dan digunakan dalampenelitian ini (Andreoni et al., 1998; Slemrod danYitzhaki, 2002).
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...106
Hasil dan Analisis
Statistik Deskriptif
Dalam penelitian ini, indikasi penggelapan pajakteridentifikasi apabila jumlah penghasilan brutodan penghasilan kena pajak pada hasil pemeriksa-an/audit pajak lebih tinggi (selisih positif) daripadanilai yang tertera dalam SPT Tahunan PPh Badanyang dilaporkan. Berdasarkan Tabel 1, pada tahunpajak 2007, jumlah SPT Tahunan PPh Badan yangteridentifikasi memiliki indikasi penggelapan pajakmenurut jumlah penghasilan bruto dan penghasil-an kena pajak adalah sekitar 58,3% dan 85,7% secaraberurutan. Selama 6 tahun pengamatan, tren jum-lah SPT Tahunan PPh Badan yang teridentifikasimemiliki indikasi penggelapan pajak pada jumlahpenghasilan bruto dan penghasilan kena pajak cen-derung menurun hingga pada 2012 yang bernilaisekitar 46,7% dan 77,2% secara berurutan. Berda-sarkan hasil statistik deskriptif tersebut, penerapantarif tunggal terhadap PPh Badan menyebabkanpenurunan indikasi penggelapan pajak. Namun,hal ini masih perlu diperkuat dengan estimasi lebihlanjut karena penelitian ini hanya menggunakansampel.
Secara lebih lengkap, hasil statistik deskriptif da-ta sampel penelitian yang digunakan dapat dilihatdi Lampiran 1. Dalam data sampel penelitian terse-but, terdapat 4.114 perusahaan dalam 21 kategoriusaha merupakan WP Badan yang terdaftar di DJP.Hasil pemeriksaan/audit pajak hanya memuat 2.136perusahaan selama 6 tahun pengamatan, sehinggapenelitian ini hanya menggunakan data dari hasilpemeriksaan sebesar 6.006 observasi yang memuat2.136 perusahaan tersebut. Perusahaan dikelom-pokkan di salah satu dari 21 kategori usaha. PadaLampiran 2, jumlah observasi terbanyak dari SPTPPh Badan yang dilaporkan dan yang diperiksaoleh pemeriksa/auditor pajak pada sampel adalahkategori usaha industri pengolahan sebesar 6.839dan 2.382 observasi secara berurutan, selanjutnya
kategori usaha perdagangan besar dan eceran se-besar 4.259 dan 1.065 observasi secara berurutan.Jumlah observasi terkecil dari SPT PPh Badan yangdilaporkan pada sampel adalah kategori usaha jasaperorangan melayani rumah tangga dan kegiatanbadan internasional sebanyak 4 observasi masing-masing, sedangkan pada hasil pemeriksaan/auditpajak adalah kategori kegiatan jasa lainnya danadministrasi pemerintah sebesar 5 dan 6 observasisecara berurutan.
Berdasarkan data sampel tersebut, data indi-kasi penggelapan pajak dengan kriteria jumlahpenghasilan bruto menunjukkan bahwa tingkatindikasi penggelapan pajak tertinggi terjadi padaperusahaan-perusahaan yang berada pada kategoriusaha industri pengolahan dan kegiatan jasa lain-nya. Indikasi penggelapan pajak terendah terjadipada perusahaan yang berada pada kategori usahajasa kesehatan dan kegiatan sosial serta pengadaanlistrik, air, dan gas. Data indikasi penggelapan pa-jak dengan kriteria jumlah penghasilan kena pajakmenunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan de-ngan kategori usaha kegiatan jasa lainnya, kegiatanrekreasi dan hiburan, serta jasa keuangan dan asu-ransi memiliki indikasi penggelapan pajak tertinggi.Perusahaan dengan kategori usaha jasa pendidikandan real estat memiliki indikasi penggelapan pajakterendah. Namun, hal tersebut perlu dianalisis le-bih lanjut pada model estimasi berikutnya untukmenentukan apakah masing-masing kategori usahamemiliki efek tetap pada lingkungan usaha yangmemengaruhi indikasi penggelapan pajak yang ter-deteksi pada proses pemeriksaan/audit pajak diIndonesia.
Gambar 1 dan Lampiran 3 menunjukkan trenindikasi penggelapan pajak yang terdeteksi melaluiproses pemeriksaan/audit pajak pada nilai pengha-silan bruto yang understated berdasarkan kelompokbracket penghasilan kena pajak yang berlaku se-belum tahun pajak 2009. Pada kelompok pertamadengan penghasilan kena pajak lebih kecil atau sa-
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 107
Tabel 1: Statistik Deskriptif Sampel Penelitian
2007 2008 2009 2010 2011 2012Jumlah SPT dilaporkan 2.556 2.793 3.188 3.126 3.634 3.762Jumlah SPT diperiksa 937 964 868 1.011 1.166 1.060Penghasilan kotor understated 546 (58,3%) 570 (59,1%) 406 (46,7%) 515 (50,9%) 559 (47,9%) 495 (46,7%)Penghasilan kena pajak understated 803 (85,7%) 795 (82,5%) 670 (77,2%) 787 (77,8%) 900 (77,2%) 818 (77,2%)
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
ma dengan Rp50 juta, tren indikasi penggelapanpajak menunjukkan penurunan dari tahun 2007sebesar 55,04% ke 42,93% pada 2012. Tren indikasipenggelapan pajak pada kelompok kedua denganpenghasilan kena pajak dari Rp50 juta hingga Rp150juta dan kelompok ketiga dengan penghasilan ke-na pajak lebih dari Rp150 juta juga menunjukkanpenurunan yang serupa, yakni dari 88,89% untukkelompok kedua dan 61,86% untuk kelompok ke-tiga pada 2007 ke 42,93% untuk kelompok keduadan 50,85% untuk kelompok ketiga pada 2012.
Grafik 2 dan Lampiran 3 juga menunjukkan trenindikasi penggelapan pajak yang terdeteksi melaluiproses pemeriksaan/audit pajak pada nilai peng-hasilan kena pajak yang understated berdasarkankelompok bracket penghasilan kena pajak yang ber-laku sebelum tahun pajak 2009. Kelompok pertamadengan penghasilan kena pajak hingga Rp50 jutamengalami tren penurunan dari tahun 2007 sebesar78,94% ke tahun 2012 sebesar 62,37%. Kelompokkedua dengan penghasilan kena pajak lebih dariRp50 juta hingga Rp150 juta juga menunjukkantren penurunan indikasi penggelapan pajak daritahun 2007 sebesar 100% ke tahun 2012 sebesar76,92%. Kelompok ketiga dengan penghasilan kenapajak lebih dari Rp150 juta cenderung stabil apabi-la dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya,meskipun terdapat penurunan sedikit sekali yak-ni dari tahun 2007 sebesar 95,76% ke tahun 2012sebesar 95,09%.
Sementara itu, Lampiran 4 menunjukkan trenindikasi penggelapan pajak yang terdeteksi melaluiproses pemeriksaan/audit pajak pada nilai pengha-silan bruto dan penghasilan kena pajak per pulaudomisili usaha WP. Sampel penelitian ini paling ba-
nyak mencakup WP Badan yang memiliki domisiliusaha di Pulau Jawa dan paling sedikit berada diKepulauan Maluku dan Papua Barat serta NusaTenggara. Di pulau-pulau besar seperti Jawa, Bali,Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, tren indikasipenggelapan pajak mengalami penurunan dari ta-hun pajak 2007 hingga 2012, baik yang diidentifikasimelalui nilai penghasilan bruto maupun pengha-silan kena pajak, sedangkan di Kepulauan Malukudan Papua Barat serta Nusa Tenggara tidak dapatmenunjukkan tren indikasi penggelapan pajak kare-na jumlah WP Badan pada sampel penelitian yangberdomisili usaha di pulau-pulau tersebut terlalusedikit.
Hasil Estimasi
Penelitian ini menggunakan model estimasi ana-lisis regresi dengan model Tobit karena terdapatbanyak data indikasi penggelapan pajak yang ter-sensor pada jumlah penghasilan bruto dan jumlahpenghasilan kena pajak dengan nilai nol. Selainitu, penelitian ini mengabaikan adanya indikasipenggelapan pajak yang tidak terdeteksi selamaproses pemeriksaan/audit pajak yang hanya dapatdiestimasi dengan model DCE karena data yangmendukung penggunaan model tersebut bersifatsensitif dan rahasia. Oleh karena itu, hasil estimasipenelitian ini cenderung bias ke bawah (downwardbiased) (Feinstein, 1990). Namun, hasil estimasi pene-litian ini dapat menggambarkan adanya pengaruhpenerapan tarif tunggal terhadap indikasi pengge-lapan pajak yang diidentifikasi menggunakan hasilpemeriksaan/audit pajak.
Tabel 2 menyajikan hasil estimasi model Tobit
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...108
Gambar 1: Tren Indikasi Penggelapan Pajak yang Terdeteksi pada Penghasilan Bruto Berdasarkan Kelompok BraketPenghasilan
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
Gambar 2: Tren Indikasi Penggelapan Pajak yang Terdeteksi pada Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan KelompokBraket Penghasilan
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
dengan dua pendekatan identifikasi indikasi peng-gelapan pajak berupa jumlah penghasilan bruto danjumlah penghasilan kena pajak. Selain itu, Tabel 2juga menyajikan dua model estimasi yakni modelTobit dasar (a) dan model Tobit yang memasukkanbeberapa variabel kontrol guna memperhitungkanefek tetap yang potensial (b). Variabel utama, dum-my penerapan tarif tunggal terhadap PPh Badan,menunjukkan korelasi negatif terhadap indikasipenggelapan pajak pada kedua pendekatan identi-fikasi dan signifikan pada taraf 5%. Pada model (b),terdapat beberapa variabel kontrol yang signifikanmemengaruhi variabel dependen. Pada model 1(b),penerapan tarif tunggal menyebabkan penurunanindikasi penggelapan pajak melalui nilai prediktif
penghasilan bruto yang tidak dilaporkan sebesarRp17,13 miliar. Sementara di model 2(b), penerap-an tarif tunggal menyebabkan penurunan indikasipenggelapan pajak melalui nilai prediktif peng-hasilan kena pajak yang tidak dilaporkan sebesarRp38,89 miliar. Hasil estimasi terhadap variabeldummy penerapan tarif tunggal ini sesuai ekspek-tasi penelitian bahwa penerapan tarif tunggal me-nyebabkan tendensi melakukan penggelapan pajaklebih rendah dan sesuai dengan hasil penelitiansebelumnya tentang reformasi pajak penghasilandi Rusia (Gorodnichenko et al., 2009).
Hasil estimasi juga menunjukkan tarif pajak mar-ginal berkorelasi positif dan signifikan pada taraf5% terhadap indikasi penggelapan pajak pada ke-
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 109
Tabel 2: Hasil Estimasi Model Tobit
(1) (2)Variabel Independen Penghasilan Bruto Understated Penghasilan Kena Pajak Understated
(a) (b) (a) (b)Dummy penerapan tarif tunggal (FLT) -16.976,1** -17.133,6** -34.146,3** -38.885,3**
(2172,5) (3231,5) (7141,7) (10367,7)Tarif pajak marginal (%) (MTR) 715,4** 739,6** 2570,3** 2578,0**
(149,8) (144,8) (495,7) (497,2)Penghasilan bersih per jutaan (NI) 1,029** 1,030** 0,0729** 0,0637**
(0,00308) (0,00307) (0,0110) (0,0108)Dummy tahun pajak a
2008 -1.031,3 -9.506,8(3.040,2) (9.944,3)
2009 -5002,0 -18.742,7(3.246,3) (10.221,7)
2010 677,4 6.958,6(3.064,9) (9.719,3)
2011 513,4 5.348,3(2.961,8) (9.359,1)
Dummy pulau tempat domisili usaha a
Jawa -1.545,5 31.638,2(6.111,2) (18.894,3)
Kalimantan -5.869,1 -44.544,5(8.609,5) (27.959,4)
Maluku dan Papua -9.856,4 21.195,6(26.894,3) (79.427,2)
Nusa Tenggara -24.222,5 -70.578,2(23.284,7) (76.770,1)
Sulawesi -489,5 -59.957,0**(7.923,7) (25.589,9)
Sumatera 219.1 29.391,7(6.580,9) (20.551,3)
Dummy kategori usaha b Tidak Ya Tidak Ya
Konstan -31.293,5** -37.669,2** -50.188,4** -72.552,2**(3.119,7) (8.747,3) (10.300,8) (27.161,5)
Log Likelihood -39.888,0 -39.787,4 -66.153,1 -66.030,6Nilai Chi-square 11.242,4 11.443,6 76,82 321,8Jumlah observasi 6.006 6.006 6.006 6.006Jumlah perusahaan 2.136 2.136 2.136 2.136
Keterangan: Nilai standard error di dalam kurung** signifikan pada taraf 5%a Pulau Bali sebagai baseline (dummy)b Terdapat 21 kategori usaha dan hasil koefisien per kategori usaha dapat dilihat di Lampiran 5
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
dua pendekatan identifikasi. Hal ini menunjukkanbahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki tarifpajak marginal yang lebih tinggi memiliki indikasilevel ketidakpatuhan yang lebih tinggi pula. Padamodel 1(b), tiap kenaikan 1% tarif pajak marginalmenyebabkan peningkatan indikasi penggelapanpajak pada nilai prediktif penghasilan bruto yangtidak dilaporkan sebesar Rp739,6 juta. Pada model2(b), tiap kenaikan 1% tarif pajak marginal menye-babkan peningkatan indikasi penggelapan pajak
pada nilai prediktif penghasilan kena pajak yangtidak dilaporkan sebesar Rp2,58 miliar. Hasil esti-masi tersebut sesuai dengan hipotesis awal bahwasemakin tinggi tarif pajak, semakin tinggi pula indi-kasi penggelapan pajak, meskipun hasil estimasi initidak sesuai dengan kerangka teoretis yang digagasoleh Yitzhaki (1974) yang memodelkan penalti dike-nakan terhadap jumlah pajak yang tidak dilaporkansesuai dengan keadaan di Indonesia.
Untuk variabel penghasilan bersih, dari hasil
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...110
estimasi model 1(b), penghasilan bersih berkore-lasi positif dan signifikan pada taraf 5% terhadapindikasi penggelapan pajak. Koefisien penghasil-an bersih sebesar 1,03 mengimplikasikan bahwasetiap kenaikan Rp1 juta penghasilan bersih me-nyebabkan kenaikan indikasi penggelapan pajakpada nilai prediktif penghasilan bruto yang tidakdilaporkan sebesar Rp1,03 juta. Berdasarkan hasilestimasi model 2(b), penghasilan bersih berkore-lasi positif dan signifikan juga terhadap indikasipenggelapan pajak. Setiap kenaikan penghasilanbersih sebesar Rp1 juta menyebabkan peningkat-an indikasi penggelapan pajak pada nilai prediktifpenghasilan kena pajak sebesar Rp63,7 ribu. Haltersebut sesuai dengan gagasan awal bahwa sema-kin tinggi pendapatan bersih WP, semakin tinggipula indikasi penggelapan pajak.
Variabel kontrol berupa dummy tahun pajak padamodel (1) dan (2) tidak signifikan, yang kemung-kinan juga menunjukkan tidak adanya pengaruhdari lamanya adopsi tarif tunggal ini terhadap indi-kasi penggelapan pajak. Sementara, untuk variabeldummy pulau tempat domisili usaha, juga terlihattidak ada perbedaan yang signifikan dari lokasiwilayah domisili terhadap indikasi penggelapanpajak dari WP Badan. Hanya di model (2), koefisiendummy Pulau Sulawesi signifikan pada taraf 5% dannegatif. Indikasi penggelapan pajak berdasarkannilai penghasilan kena pajak yang tidak dilaporkancenderung lebih rendah bagi WP Badan yang ber-domisili di Pulau Sulawesi, dibandingkan denganbaseline yaitu Pulau Bali. Selain itu, hasil estima-si di model (1) dan (2), juga menunjukkan tidakadanya perbedaan yang signifikan untuk sebagianbesar kategori usaha, terkait dengan indikasi peng-gelapan pajak (lihat Lampiran 5). Hanya kategoriusaha pengadaan listrik, gas, uap, dan udara sertajasa keuangan dan asuransi yang memiliki tingkatindikasi penggelapan pajak yang cenderung lebihtinggi dibandingkan dengan baseline kategori usaha(signifikan pada taraf 5%), dan kategori usaha real
estat cenderung memiliki tingkat indikasi pengge-lapan pajak lebih rendah (signifikan pada tingkat5%) dibandingkan dengan baseline kategori usahapertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Kesimpulan
Penelitian ini menginvestigasi pengaruh perubah-an tarif pajak penghasilan dari tarif progresif ketarif tunggal terhadap indikasi penggelapan pajakdengan unit analisis perusahaan. Indikasi peng-gelapan pajak diukur melalui jumlah penghasilanbruto dan jumlah penghasilan kena pajak berdasar-kan hasil pemeriksaan/audit pajak oleh DJP selakuotoritas pajak di Indonesia. Hasil estimasi menun-jukkan bahwa penerapan tarif tunggal pada pajakpenghasilan cenderung menyebabkan penurunanindikasi penggelapan pajak dan tarif pajak yangtinggi dapat memberikan insentif bagi perusahaanuntuk semakin tidak patuh.
Hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadappenentuan kebijakan publik yang bersifat strategis.Penentuan tarif pajak penghasilan yang bersifat pro-gresif dan terlalu tinggi kemungkinan memberikaninsentif untuk meningkatkan tendensi melakukanindikasi penggelapan pajak. Sementara itu, terkaitdengan pengembangan strategi pemeriksaan/auditpajak, tidak ada variasi yang signifikan antarwila-yah maupun kategori usaha, sehingga yang perludikembangkan untuk strategi pemeriksaan/auditpajak adalah aspek netralitas dan acak untuk setiapWP Badan.
Daftar Pustaka
[1] Abdixhiku, L., Krasniqi, B., Pugh, G., & Hashi, I.(2017). Firm-level determinants of tax evasion in tran-sition economies. Economic Systems, 41(3), 354–366.doi:doi.org/10.1016/j.ecosys.2016.12.004.
[2] Allingham, M., & Sandmo, A. (1972). Income tax evasion:A theoretical analysis. Journal of Public Economics, 1(3–4),323–338. doi:10.1016/0047-2727(72)90010-2.
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 111
[3] Alm, J., Bahl, R., & Murray, M. N. (1990). Tax structure andtax compliance. The Review of Economics and Statistics, 72(4),603–613.
[4] Alm, J., Bahl, R., & Murray, M. (1993). Audit selection andincome tax underreporting in the tax compliance game.Journal of Development Economics, 42, 1–33. doi:10.1016/0304-3878(93)90070-4.
[5] Andreoni, J., Erard, B., & Feinstein, J. (1998). Tax compliance.Journal of Economic Literature, 36(2), 818–860. doi:10.3732/ajb.
[6] Ardyaksa, T., & Kiswanto. (2014). Pengaruh keadilan, tarifpajak, ketepatan pengalokasian, kecurangan, teknologi daninformasi perpajakan terhadap tax evasion. AccountingAnalysis Journal, 3(4), 475–484.
[7] Becker, W., Buchner, H. J., & Sleeking, S. (1987). The Impactof Public Transfer Expenditures on Tax Evasion. Journalof Public Economics, 34, 243-252. doi:doi.org/10.1016/0047-2727(87)90022-3
[8] Cai, H., & Liu, Q. (2009). Competition and corporate taxavoidance: Evidence from Chinese industrial firms. TheEconomic Journal, 119(537), 764–795.
[9] Clotfelter, C. T. (1983). Tax evasion and tax rate – An analysisof individual returns. The Review of Economics and Statistics,65(3), 363–373.
[10] Crane, S., & Nourzad, F. (1990). Tax rates and tax evasion:Evidence from California amnesty data. National Tax Journal,43(2), 189–199.
[11] Crocker, K., & Slemrod, J. (2005). Corporate tax evasionwith agency cost. Journal of Public Economics, 89, 1593–1610.doi:10.1016/j.jpubeco.2004.08.003.
[12] Dalamagas, B. (2011). A dynamic approach totax evasion. Public Finance Review, 39(2), 309–326.doi:10.1177/1091142110386213.
[13] DJP. (2009). Laporan tahunan. Jakarta: Direktorat JenderalPajak - Kementerian Keuangan RI.
[14] DJP. (2016). Laporan kinerja. Jakarta: Direktorat JenderalPajak - Kementerian Keuangan RI.
[15] Feinstein, J. S. (1990). Detection controlled estimation. TheJournal of Law and Economics, 33(1), 233–276.
[16] Feinstein, J. S. (1991). An econometric analysis of income taxevasion and its detection. The RAND Journal of Economics,22(1), 14–35.
[17] Fortin, B., Lacroix, G., & Villeal, M. C. (2007). Tax evasionand social interactions. Journal of Public Economics, 91, 2089–2112. doi:10.1016/j.jpubeco.2007.03.005
[18] Fougere 1, M., & Ruggeri, G. (1998). Flat taxes and distri-butional justice. Review of Social Economy, 56(3), 277-294.doi:https://doi.org/10.1080/00346769800000028.
[19] Gahramanov, E. (2009). The theoretical analysis of incometax evasion revisited. Economic Issues, 14(1), 35–41.
[20] Gokalp, O., Lee, S. H., & Peng, M. (2017). Com-petition and corporate tax evasion: An institution-based view. Journal of World Business, 52(2), 258–269.
doi:doi.org/10.1016/j.jwb.2016.12.006[21] Gorodnichenko, Y., Martinez-Vazquez, J., & Peter, K.
S. (2009). Myth and reality of flat tax reform: Microestimates of tax evasion response and welfare effectsin Russia. Journal of Political Economy, 117(3), 504–554.doi:https://doi.org/10.1086/599760.
[22] Internal Revenue Services. (2016). Enforcement: Examinations.https://www.irs.gov/statistics/enforcement-examinations.[1 Oktober 2016].
[23] Ivanova, A., Keen, M., & Klemm, A. (2005). The Russian‘flat tax’reform. Economic Policy, 20(43), 397–444.
[24] Joulfaian, D. (2000). Corporate income tax evasion and ma-nagerial preferences. Review of Economics and Statistics, 82(4),698–701. doi:https://doi.org/10.1162/rest.2000.82.4.698.
[25] Kurniawati, M., & Toly, A. (2014). Analisis keadilan pajak,biaya kepatuhan, dan tarif pajak terhadap persepsi wajibpajak mengenai penggelapan pajak di Surabaya Barat. Tax& Accounting Review, 4(2), 1–12.
[26] Levaggi, R., & Menoncin, F. (2013). Optimal dynamic taxevasion. Journal of Economic Dynamics and Control, 37, 2157–2167. doi:10.1016/j.jedc.2013.06.007
[27] Paulus, A., & Peichl, A. (2009). Effects of flat tax reforms inWestern Europe. Journal of Policy Modeling, 31(5), 620–636.doi:10.1016/j.jpolmod.2009.06.001.
[28] Peichl, A. (2014). Flat-rate tax systems and their effect on la-bor markets. IZA World of Labor, 61. doi:10.15185/izawol.61.
[29] Permatasari, I., & Laksito, H. (2013). Minimalisasi tax eva-sion melalui tarif pajak, teknologi dan informasi perpajakan,keadilan sistem perpajakan, dan ketepatan pengalokasianpengeluaran pemerintah. Diponegoro Journal of Accounting,2(2), 1–10.
[30] Pommerehne, W. W., & Weck-Hannemann, H. (1996).Tax rates, tax administration and income tax eva-sion in Switzerland. Public Choice, 88(1–2), 161–170.doi:https://doi.org/10.1007/BF00130416.
[31] Poterba, J. M. (1987). Tax evasion and capital gains taxation.The American Economic Review, 77(2), 234–239.
[32] Richardson, G. (2006). Determinants of tax evasion:A cross-country investigation. Journal of Internatio-nal Accounting, Auditing and Taxation, 15(2), 150–169.doi:10.1016/j.intaccaudtax.2006.08.005.
[33] Salam, N., & Rahim, S. (2016). Pengaruh ketentuan tarifpajak badan, ketepatan pemanfaatan pajak, dan sanksipajak terhadap penggelapan pajak. ASSETS - Jurnal Ekonomi,Manajemen, dan Akuntansi, 6(1), 127–137.
[34] Sandmo, A. (2005). The theory of tax evasion - A retrospe-ctive view. National Tax Journal, 58(4), 643–663.
[35] Skipper, D. W., & Burton, H. (2008). Ramifications ofa flat tax - Shifting the burden to the middle class. In-ternational Advances in Economic Research, 14(4), 460–471.doi:10.1007/s11294-008-9168-5.
[36] Slemrod, J. (1985). An empirical test for tax evasion.
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...112
The Review of Economics and Statistics, 67(2), 232–238.doi:10.2307/1924722.
[37] Slemrod, J. (2004). The economics of corporatetax selfishness. National Tax Journal, 57(4), 877–899.doi:dx.doi.org/10.17310/ntj.2004.4.06.
[38] Slemrod, J., & Yitzhaki, S. (2002). Tax Avoidance, Evasionand Administration. In A. J. Auerbach, & M. Feldstein(Eds.), Handbook of Public Economics (pp. 1423–1470). NorthHolland: Elsevier Science B. V.
[39] Spicer, M., & Becker, L. (1980). Fiscal inequity and taxevasion: An experimental approach. National Tax Journal,33(2), 171–175.
[40] Wang, Y. (2012). Competition and tax evasion: A crosscountry study. Economic Analysis and Policy, 42(2), 189–208.doi:https://doi.org/10.1016/S0313-5926(12)50020-2.
[41] Yaniv, G. (2013). Tax evasion, conspicuous consumption,and the income tax rate. Public Finance Review, 41(3), 302–316.doi:10.1177/1091142112465544.
[42] Yitzhaki, S. (1974). A note on income tax evasion: A the-oritical analysis. Journal of Public Economics, 3(2), 201–202.doi:https://doi.org/10.1016/0047-2727(74) 90037-1.
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 113
Lampiran 1. Statistik Deskriptif Data Penelitian
Variabel N Maksimum Minimum Rata-Rata Standar DeviasiPerusahaan sebagai WP Badan 19.059 4.114 1Tahun pajak 19.059 2012 2007Kategori usaha 19.059 21 1Penghasilan bruto understated per jutaan 6.006 19.319.483,98 0,00 10.673,24 260.955,72Penghasilan kena pajak understated per jutaan 6.006 5.908.574,50 0,00 22.565,58 189.179,10Pajak terutang understated per jutaan 6.006 1.772.572,25 0,00 4.246,56 44.368,07Dummy penerapan tarif pajak tunggal 6.006 1,00 0,00 0,72 0,45Tarif pajak penghasilan marginal 6.006 30,00 10,00 23,92 6,13Penghasilan bersih per jutaan 6.006 18.979.165,29 0,00 8.159,06 251.222,68Tarif penalti efektif 6.006 100,00 0,00 14,33 21,34Ukuran perusahaan berdasar omzet per jutaan 6.006 545.071.331,44 0,00 1.437.116,86 15.075.655,84
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...114
Lam
pira
n2.
Stat
isti
kD
eskr
ipti
fD
ata
Pene
liti
anB
erda
sark
anK
ateg
oriU
saha
Kat
egor
iSP
TSP
TD
iaud
itPe
ngha
sila
nBr
uto
Peng
hasi
lan
Ken
aPa
jak
Paja
kTe
ruta
ngU
saha
Ket
eran
gan
Dila
pork
anD
iper
iksa
(Und
erst
ated
)Ev
ade
(Und
erst
ated
)Ev
ade
(Und
erst
ated
)Ev
ade
Evad
eN
otEv
ade
Evad
eN
otEv
ade
Evad
eN
otEv
ade
APe
rtan
ian,
Keh
utan
an,d
anPe
rika
nan
606
199
32,8
485
114
42,7
115
841
79,4
011
188
55,7
8B
Pert
amba
ngan
dan
Peng
galia
n68
349
973
,06
182
317
36,4
737
212
774
,55
227
272
45,4
9C
Indu
stri
Peng
olah
an6.
839
2.38
234
,83
1.54
883
464
,99
1.97
940
383
,08
1.39
998
358
,73
DPe
ngad
aan
List
rik,
Gas
,U
ap/A
irPa
nas
dan
Uda
raD
ingi
n38
2257
,89
616
27,2
716
672
,73
1210
54,5
5
EPe
ngad
aan
Air,
Peng
elol
aan
Sam
pah
dan
Da-
urU
lang
,Pe
mbu
anga
nda
nPe
mbe
rsih
anLi
mba
hda
nSa
mpa
h
146
4228
,77
1725
40,4
834
880
,95
2517
59,5
2
FK
onst
ruks
i2.
092
366
17,5
016
819
845
,90
247
119
67,4
919
816
854
,10
GPe
rdag
anga
nBe
sar
dan
Ecer
an;R
epar
asid
anPe
raw
atan
Mob
ilda
nSe
peda
Mot
or4.
259
1.06
525
,01
561
504
52,6
892
014
586
,38
724
341
67,9
8
HTr
ansp
orta
sida
nPe
rgud
anga
n86
117
219
,98
7210
041
,86
131
4176
,16
9082
52,3
3I
Peny
edia
anA
kom
odas
ida
nPe
nyed
iaan
Mak
anM
inum
395
111
28,1
052
5946
,85
8130
72,9
753
5847
,75
JIn
form
asid
anK
omun
ikas
i23
710
443
,88
4064
38,4
684
2080
,77
4856
46,1
5K
Jasa
Keu
anga
nda
nA
sura
nsi
700
294
42,0
088
206
29,9
325
242
85,7
118
910
564
,29
LR
ealE
stat
509
267
52,4
688
179
32,9
614
612
154
,68
107
160
40,0
7M
Jasa
Prof
esio
nal,
Ilm
iah,
dan
Tekn
is84
827
832
,78
104
174
37,4
120
870
74,8
213
514
348
,56
NJa
saPe
rsew
aan,
Ket
enag
aker
jaan
,Age
nPe
r-ja
lana
n,da
nPe
nunj
ang
Usa
haLa
inny
a39
110
526
,85
4956
46,6
776
2972
,38
5946
56,1
9
OA
dmin
istr
asi
Pem
erin
taha
nda
nJa
min
anSo
-si
alW
ajib
116
54,5
5-
6-
15
16,6
7-
6-
PJa
saPe
ndid
ikan
101
1110
,89
47
36,3
66
554
,55
47
36,3
6Q
Jasa
Kes
ehat
anda
nK
egia
tan
Sosi
al16
837
22,0
29
2824
,32
2116
56,7
618
1948
,65
RK
ebud
ayaa
n,H
ibur
an,d
anR
ekre
asi
132
4131
,06
1526
36,5
936
587
,80
2021
48,7
8S
Keg
iata
nJa
saLa
inny
a35
514
,29
32
60,0
05
-10
0,00
14
20,0
0T
Jasa
Pero
rang
anya
ngM
elay
aniR
umah
Tang
-ga
;Keg
iata
nya
ngM
engh
asilk
anBa
rang
dan
Jasa
oleh
Rum
ahTa
ngga
yang
Dig
unak
anSe
n-di
riun
tuk
Mem
enuh
iKeb
utuh
an
4-
--
--
--
--
--
UK
egia
tan
Bada
nIn
tern
asio
nald
anBa
dan
Eks-
tra
Inte
rnas
iona
lLai
nnya
4-
--
--
--
--
--
Jum
lah
Sam
pelP
enel
itia
n19
.059
6.00
631
,51
3.09
12.
915
51,4
74.
773
1.23
379
,47
3.42
02.
586
56,9
4Su
mbe
r:H
asil
Peng
olah
anPe
nulis
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 115
Lampiran 3. Statistik Deskriptif Data Penelitian Berdasarkan Kelompok Braket Penghasilan SebelumTahun Pajak 2009
Tahun Penghasilan Bruto Penghasilan Kena Pajak Pajak TerutangKelompok Braket Pajak Diperiksa Understated Understated Understated
Terdeteksi % Terdeteksi % Terdeteksi %1 2007 565 311 55,04 446 78,94 157 27,79
(y ≤ Rp 50 juta) 2008 590 332 56,27 447 75,76 172 29,152009 543 238 43,83 363 66,85 143 26,342010 535 252 47,10 341 63,74 153 28,602011 598 275 45,99 374 62,54 178 29,772012 566 243 42,93 353 62,37 174 30,74
2 2007 18 16 88,89 18 100,00 18 100,00(Rp 50 juta < y ≤ Rp 150 juta) 2008 16 12 75,00 14 87,50 14 87,50
2009 13 5 38,46 12 92,31 12 92,312010 26 17 65,38 23 88,46 23 88,462011 29 8 27,59 23 79,31 22 75,862012 26 14 53,85 20 76,92 21 80,77
3 2007 354 219 61,86 339 95,76 337 95,20(y > Rp 150 juta) 2008 358 226 63,13 334 93,30 335 93,58
2009 312 163 52,24 295 94,55 292 93,592010 450 246 54,67 423 94,00 419 93,112011 539 276 51,21 503 93,32 502 93,142012 468 238 50,85 445 95,09 448 95,73
Keterangan: y merupakan nilai penghasilan kena pajakSumber: Hasil Pengolahan Penulis
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Pengaruh Penerapan Tarif Tunggal Pajak...116
Lam
pira
n4.
Stat
isti
kD
eskr
ipti
fD
ata
Pene
liti
anB
erda
sark
anPu
lau
Dom
isil
iUsa
ha
Peng
hasi
lan
Brut
oPe
ngha
sila
nK
ena
Paja
kPa
jak
Teru
tang
No.
Nam
aPu
lau
Dom
isili
Tahu
nSP
TSP
T%
Und
erst
ated
%Ev
ade
Und
erst
ated
%Ev
ade
Und
erst
ated
%Ev
ade
Usa
haPa
jak
Dila
pork
anD
iper
iksa
Dia
udit
Evad
eN
otEv
ade
Evad
eN
otEv
ade
Evad
eN
otEv
ade
1Ba
li20
0711
025
22,7
312
1348
,00
232
92,0
016
964
,00
2008
6824
35,2
913
1154
,17
222
91,6
719
579
,17
2009
125
1814
,40
711
38,8
918
010
0,00
117
61,1
120
1012
119
15,7
09
1047
,37
181
94,7
413
668
,42
2011
127
3527
,56
1916
54,2
926
974
,29
2114
60,0
020
1213
128
21,3
710
1835
,71
226
78,5
718
1064
,29
2Ja
wa
2007
1913
765
39,9
944
332
257
,91
655
110
85,6
241
235
353
,86
2008
2023
787
38,9
047
031
759
,72
662
125
84,1
242
935
854
,51
2009
2288
692
30,2
431
637
645
,66
538
154
77,7
535
533
751
,30
2010
2327
843
36,2
342
441
950
,30
661
182
78,4
149
734
658
,96
2011
2730
932
34,1
443
749
546
,89
739
193
79,2
956
137
160
,19
2012
2814
837
29,7
439
444
347
,07
670
167
80,0
551
032
760
,93
3K
alim
anta
n20
0762
1320
,97
76
53,8
57
653
,85
58
38,4
620
0886
2023
,26
137
65,0
012
860
,00
911
45,0
020
0987
1416
,09
86
57,1
411
378
,57
86
57,1
420
1093
2324
,73
1013
43,4
815
865
,22
914
39,1
320
1194
2728
,72
1314
48,1
515
1255
,56
1215
44,4
420
1211
134
30,6
39
2526
,47
1222
35,2
911
2332
,35
4M
aluk
uda
nPa
pua
2007
11
100,
00-
1-
1-
100,
00-
1-
2008
22
100,
001
150
,00
2-
100,
001
150
,00
2009
11
100,
00-
1-
1-
100,
00-
1-
2010
11
100,
00-
1-
-1
--
1-
2011
21
50,0
0-
1-
1-
100,
001
-10
0,00
2012
22
100,
002
-10
0,00
2-
100,
002
-10
0,00
5N
usa
Teng
gara
2007
21
50,0
0-
1-
1-
100,
00-
1-
2008
32
66,6
7-
2-
11
50,0
0-
2-
2009
32
66,6
71
150
,00
11
50,0
0-
2-
2010
32
66,6
71
150
,00
11
50,0
0-
2-
2011
52
40,0
01
150
,00
11
50,0
0-
2-
2012
52
40,0
01
150
,00
-2
--
2-
6Su
law
esi
2007
121
3730
,58
2512
67,5
729
878
,38
2413
64,8
620
0816
427
16,4
611
1640
,74
1314
48,1
512
1544
,44
2009
172
2011
,63
1010
50,0
010
1050
,00
812
40,0
020
1015
020
13,3
38
1240
,00
911
45,0
09
1145
,00
2011
157
3723
,57
1423
37,8
420
1754
,05
1918
51,3
520
1218
743
22,9
916
2737
,21
1528
34,8
815
2834
,88
7Su
mat
era
2007
347
9527
,38
5936
62,1
187
891
,58
5540
57,8
920
0844
710
222
,82
6240
60,7
883
1981
,37
5151
50,0
020
0951
212
123
,63
6457
52,8
991
3075
,21
6556
53,7
220
1043
110
323
,90
6340
61,1
783
2080
,58
6736
65,0
520
1151
913
225
,43
7557
56,8
298
3474
,24
8844
66,6
720
1251
211
422
,27
6351
55,2
697
1785
,09
8727
76,3
2Ju
mla
h19
.059
6.00
631
,51
3.09
12.
915
51,4
74.
773
1.23
379
,47
3.42
02.
586
56,9
4Su
mbe
r:H
asil
Peng
olah
anPe
nulis
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117
Putra, B. C. & Qibthiyyah, R. M. 117
Lampiran 5. Koefisien Kategori Usahaa - Hasil Estimasi Analisis Regresi dengan Model Tobit
Variabel Independen (1) (2)Penghasilan Bruto Understated Penghasilan Kena Pajak Understated
Pertambangan dan penggalian -6.194,2 -27.797,5(6.124,1) (18.819,3)
Industri pengolahan 20.481,1** 7.047,2(5.285,6) (16.422,3)
Pengadaan listrik, gas, uap, dan udara -19.475,8 254.778,9**(17.701,2) (48.577,4)
Pengadaan air dan pengelolaan sampah -2.330,5 11.894,5(12.668,3) (39.066,2)
Konstruksi -1.443,0 -32.524,3(6.345,8) (19.900,2)
Perdagangan besar dan eceran 7.589,8 1.137,8(5.543,2) (17.217,1)
Transportasi dan pergudangan -2.481,7 -95.00,2(7.467,4) (23.072,0)
Penyediaan akomodasi, makan & minum 1.370,8 -24.680,2(8.368,8) (26.397,9)
Informasi dan komunikasi -4.400,1 5.969,2(8.816,1) (26.721,5)
Jasa keuangan dan asuransi -14.814,7** 138.477,7**(69.10,1) (20.415,8)
Real estat -10.126,3 -64.479,4*(6.930,9) (21.541,3)
Jasa profesional, ilmiah, dan teknis -7.368,4 -17612,0(6.812,9) (20850,1)
Jasa persewaan dan ketenagakerjaan 1.142,5 -27.708,5(8.552,9) (27.005,5)
Administrasi pemerintahan -327.698,5 54.296,9(109.148,9)
Jasa pendidikan -5.497,2 -74.987,2(22.812,4) (72.937,8)
Jasa kesehatan dan kegiatan sosial 23.616,3 -62.797,7(14.464,0) (41.932,2)
Kebudayaan, hiburan, dan rekreasi -7.964,7 9.012,6(12.667,4) (37.248,5)
Kegiatan jasa lainnya 11.843,9 32.707,5(30.039,1) (95.772,5)
Keterangan: Nilai standard error berada dalam kurung** signifikan pada taraf 5%aKategori usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai kategori usaha dasar serta kategori usaha jasaperorangan yang melayani rumah tangga dan kegiatan badan internasional tidak masuk dalam proses estimasikarena tidak terdapat hasil pemeriksaan/audit pajak pada kedua kategori usaha tersebut.
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis
JEPI Vol. 19 No. 1 Januari 2019, hlm. 96–117