pengaruh pendidikan dalam peradaban manusia.docx
DESCRIPTION
artikelTRANSCRIPT
PENGARUH PENDIDIKAN DALAM PERADABAN MANUSIA
Pendidikan, selain sandang, pangan, dan papan, adalah kebutuhan primer yang
harus dimiliki manusia. Suatu bangsa yang ingin mencapai kemajuan menganggap
pendidikan sebagai salah satu dari berbagai kebutuhan vital. Bangsa Indonesia telah melihat
bahwa dunia pendidikan adalah salah satu pilar kunci dalam membangun fondasi bangsa
yang kuat untuk menyongsong era globalisasi. Hal ini ditandai dengan memberikan porsi
budget (anggaran) sekitar 20% untuk pembangunan pendidikan Indonesia.
Untuk mengatahui definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah
memiliki rumusan formal dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20
Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yakni:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah
sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual). Oleh
karena itu, di setiap level manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan,
baik dalam tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi dan kabupaten kota
(messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun operasional (proses
pembelajaran oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas), pada dasarnya setiap
kegiatan pembelajaran pun harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan
dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007. Menurut Permediknas ini bahwa
perencanaan proses pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK),
kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar,
alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan
sumber belajar.
2. Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya
Pada pokok pikiran yang kedua ini penulismelihat adanya pengerucutan istilah pendidikan
menjadi pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan lebih
dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan). Terlepas dari benar-
tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran kedua ini, penulismenangkap pesan
bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak pengembangan
(developmental) dan humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap potensi didik,
bukan bercorak pembentukan yang bergaya behavioristik. Selain itu, penulisjuga melihat
ada dua kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan suasana belajar, dan
(b) mewujudkan proses pembelajaran.
a. Mewujudkan suasana belajar
Berbicara tentang mewujudkan suasana pembelajaran, tidak dapat dilepaskan dari upaya
menciptakan lingkungan belajar, diantaranya mencakup: (a) lingkungan fisik, seperti:
bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru,
ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan sosio-psikologis
(iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja sama, ekspektasi prestasi,
kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan dan aspek-aspek sosio–emosional lainnya,
yang memungkinkan peserta didik untuk melakukan aktivitas belajar.
Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, keduanya didesan agar peserta
didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran
yang dilakukan guru, di sini tampak jelas bahwa keterampilan guru dalam mengelola kelas
(classroom management) menjadi amat penting. Dan di sini pula, tampak bahwa peran
guru lebih diutamakan sebagai fasilitator belajar siswa .
b. Mewujudkan Proses Pembelajaran
Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan untuk menciptakan kondisi dan
pra kondisi agar siswa belajar, sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada
upaya bagaimana mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam
konteks pembelajaran yang dilakukan guru, maka guru dituntut untuk dapat mengelola
pembelajaran (learning management), yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian pembelajaran (lihat Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar
Proses). Di sini, guru lebih berperan sebagai agen pembelajaran (Lihat penjelasan PP 19
tahun 2005), tetapi dalam hal ini penulislebih suka menggunakan istilah manajer
pembelajaran, dimana guru bertindak sebagai seorang planner, organizer dan evaluator
pembelajaran)
Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran, proses pembelajaran pun
seyogyanya didesain agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap
potensi yang dimilikinya, dengan mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student-centered) dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning),
ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator belajar.
3. Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yang ketiga ini, selain merupakan bagian dari definisi pendidikan
sekaligus menggambarkan pula tujuan pendidikan nasional kita , yang menurut hemat
penulissudah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an,
pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler,
bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan
yang mencari keseimbangan diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter, dengan melihat pokok
pikiran yang ketiga dari definisi pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan karakter
sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru.
Selanjutnya tujuan-tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan
di bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan dioperasionalkan melalui tujuan
pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian
tujuan – tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang strategis bagi pencapaian
tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian di atas, kita melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang
tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya tidak hanya sekedar menggambarkan
apa pendidikan itu, tetapi memiliki makna dan implikasi yang luas tentang
siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya
mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.
Mengapa pendidikan begitu penting? Karena pendidikan adalah kata kunci untuk
memutus mata rantai kebodohan, ketertinggalan, dan keterbelakangan, dengan bangsa
yang terdidik akan menjadikan sebuah bangsa menjadi bangsa mandiri dan maju. Namun
dilain hal, ada beberapa permasalahan yang perlu menjadi perhatian kita bersama
berkenaan dengan dunia pendidikan Indonesia.
Pertama, sudahkah sistem pendidikan yang telah dirancang pemerintah mampu
memutus rantai kemiskinan masyarakat Indonesia? Kedua, apakah konsep pendidikan yang
sesuai dengan kesejatian bangsa Indonesia yang juga akan mengentaskan kemiskinan
bangsa ini? Ketiga, bagaimanakah konsep pendikan yang baik sesuai dengan nurani dan nilai
luhur bangsa ini?
Oleh karena itu, pertanyaan diatas menjadi landasan penulis dalam memaparkan
karya ilmiah ini. Berikut beberapa paparan konsep penulis untuk memberikan eksposisi dari
rumusan masalah diatas.
B. Pendidikan Harus Berasal dari Nilai Luhur Bangsa
Dewasa ini banyak fenomena yang menerpa dan menampar dunia pendidikan
Indonesia sekaligus mencoreng hakikat pendidikan itu sendiri, betapa tidak pendidikan yang
hakikatnya adalah memanusiakan manusia dan sebagai sarana internalisasi peradaban
manusia tiba-tiba ditohok dengan banyaknya aksi anarkisme yang notabene dilakukan oleh
insan pendidikan itu sendiri. Tawuran antar pelajar, tawuran antar mahasiswa baik dengan
sesama atau antar universitas, pelecehan seksual, video porno, aksi bullying (penindasan),
merupakan segelintir bentuk peradaban yang bukan harapan dari proses mengedukasi
peserta didik dan bukan output (hasil keluaran) yang diidamkan oleh dunia pendidikan.
Fenomena-fenomena di dunia pendidikan diatas mirisnya dilakukan oleh beberapa
oknum insan pendidikan baik siswa, mahasiswa, guru, dosen, maupun pejabat di
departemen pendidikan. Selain itu pendidikan Indonesia sekarang ini belum mampu
menginternilasasi (menanamkan) nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Lebih parahnya lagi,
para koruptor yang menjarah uang yang diperuntukkan untuk mensejahterkan rakyat
ternyata berasal dari insan yang terdidik dan memiliki gelar pendidikan tinggi.
Apa yang salah dari sistem pendidikan Indonesia? Tampaknya, dengan begitu
gencarnya kebudayaan asing yang masuk lewat media elektronika (dominannya) maupun
media cetak membuat generasi terdidik Indonesia lupa memfilter sampah-sampah budaya
asing tersebut. Budaya asing yang datang dilahap bulat-bulat tanpa melihat apakah budaya
tersebut sesuai dengan kesejatian nilai luhur budaya bangsa Indonesia.
Nilai gotong royong tidak lagi menjadi nilai luhur yang dipraktekkan sebagian besar
masyarkat Indonesia. Nilai individualis menjadi trend yang mengalahkan nilai gotong royong,
masyarakat cenderung bersikap individualis dengan menafikan dan lebih memprioritaskan
kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. Sebagai contoh kecil, banyak pengendara
sepeda motor atau mobil tanpa merasa bersalah menerobos rambu lalulintas yang tentunya
akan sangat membahayakan pengguna kendaraan lainnya dengan alasan sudah telat datang
ke kantor, sekolah dan sebagainya.
Kemudian bangsa Indonesia ini dari dahulu terkenal dengan bangsa yang ramah.
Banyak warga Negara asing yang datang ke Indonesia baik dengan tujuan berdermawisata,
bisnis, atau yang lainnya memiliki asumsi positif dengan keramah-tamahan masyarakat
Indonesia. Namun kerusuhan horizontal (perang antar suku, tawuran masyarakat,
demonstrasi yang anarkis, anarkisme massa, dan sebagainya) seakan mencoreng wajah
cantik maysrakat Indonesia dan bahkan sempat menempatkan Indonesia dalam blacklist
(daftar hitam) negara yang berbahaya untuk dikunjungi lewat pernyataan beberapa
pemerintah luar negeri melalu travel warning mereka.
Hal diatas terefleksi dari peran siswa atau mahasiswa yang melakukan demonstrasi
dan tawuran yang anarkis. Mereka menganggap arti liberalisme (paham kebebasan) dalam
mengungkapkan pendapat secara kebablasan. Kebebasan memang merupakan hak asasi
manusia tetapi apakah hak kebebasan tersebut harus juga mencederai kebebasan dan
kenyamanan, dan ketentraman orang lain. Karena demonstrasi yang tidak tertib dan
menjurus anarkis tentunya akan mengganggu aktifitas orang lain sebagai contoh efek kontra
produktifnya antara lain menyebabkan kemacatan parah, kerusakan fasilitas umum maupun
pribadi, huru hara dan cedera fisik yang mengakibatkan kerugian material maupun non
material yang cukup besar.
Oleh karena itu, demokrasi anarkis tidak lagi menjadi solusi strategis bagi mahasiswa
atau masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya dan bukan menjadi satu-satunya way
out (jalan keluar). Tentunya ada tahapan yang bisa dilaksanakan, umpamanya lewat
mediasi, penyampaian aspirasi melalui surat, menyebarkan isu lewat media sosial. Betapa
kita bisa melihat kasus cicak vs buaya dan koin untuk prita lewat isu media sosial jauh lebih
efektif dan tidak menyebabkan chaos atau kerugian material lainnya ketimbang aksi
demokrasi anarkis. Mahasiswa sebagai elemen masyarakat yang digelari dengan agent of
change (agen perubahan) mestinya tidak mau disematkan dengan gelar baru yakni agent of
destructor (agen penghancur).
Selanjutnya, pendidikan juga menanamkan nilai toleransi dan menghargai pendapat
orang lain dan pilihan orang lain. Nilai ini sejalan dengan nilai luhur pancasila pada sila
keempat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Akan tetapi dewasa ini kita bisa melihat tontonan
pertikaian antara elit-elit pimpinan negara yang seharusnya jadi tauladan malah
memperlihatkan ketidakharmonisan dan menjurus pada ubungan yang tidak sehat karena
berbeda partai para elit negara tersebut saling mengolok-olok satu sama lain. Selanjutnya
ternyata nilai yang kurang baik ini juga ditiru oleh masyrakat bawah yang mudah tersulut
emosi oleh perkara kecil. Betapa banyak kita melihat berita tawuran antar warga, bahkan
ada yang menjurus pada konflik horizontal. Nilai toleransi dan menghargai pendapat yang
selama ini diagung-agungkankan sudah aus terkikis dengan nilai egoisme tidak lagi mau
menghargai pendapat orang lain.
Akhirnya, pendidikan Indonesia harus kembali pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia
yang diwariskan oleh the founding fathers (pendiri-pendiri bangsa) ini. Bangsa Indonesia
terlahir dari bangsa yang menghargai nilai gotong royong, menebarkan keramah-tamahan,
menghargai pendapat orang lain, memiliki toleransi yang baik. Jadi, mari kembali kepada
nilai luhur bangsa Indonesia.