pengaruh jenis tepung

Upload: jessica-freed

Post on 02-Jun-2018

245 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    1/130

    PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA PEMASAKAN

    TERHADAP MUTU BAKSO DARI SURIMIIKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)

    Oleh :

    Elvina Fuji Astuti

    C34104016

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    2/130

    RINGKASAN

    ELVINA FUJI ASTUTI. C34104016. Pengaruh Jenis Tepung dan Cara

    Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan

    (HTS). Dibimbing oleh JOKO SANTOSOdan WINI TRILAKSANI.

    Pemanfaatan ikan Hasil Tangkap sampingan (HTS) belum dilakukan secara

    optimal padahal kelompok ikan ini memiliki kandungan protein yang cukup

    tinggi. Ikan HTS cukup potensial untuk diolah menjadi surimi, yaitu bahan bakuuntuk produk-produkfish jellyseperti bakso ikan, namun ikan HTS ini umumnya

    jarang ditemukan dalam kondisi yang sangat segar karena jenis ini tertangkap

    bersama-sama dengan ikan hasil tangkapan utama (target) sehingga

    penanganannya kurang diperhatikan. Untuk memperbaiki mutu surimi ikan HTS

    yang akan dijadikan sebagai bahan baku bakso ikan, dilakukan teknik pencucian

    dengan penambahan hidrogen peroksida (H2O2) yang berfungsi sebagai oxidizing

    agent.

    Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk membuat surimi campuran ikanhasil tangkap samping (HTS) dengan teknik pencucian menggunakan H2O2.

    Tujuan penelitian utama adalah mempelajari pengaruh penggunaan surimi

    campuran ikan HTS terbaik dengan penambahan tepung tapioka dan tepung sagu

    secara tunggal maupun kombinasi keduanya dalam pembuatan bakso ikan serta

    pengaruh metode pemasakan (perebusan dan pengukusan).

    Nilai kekuatan gel tertinggi sebesar 457,5 g.cm yang diperoleh dari surimi

    dengan frekuensi pencucian 2 kali tanpa penambahan H2O2 dan surimi dengan

    frekuensi pencucian 1 kali dengan penambahan H2O2 10 ppm. Surimi dengan

    frekuensi pencucian 2 kali tanpa penambahan H2O2 dijadikan sebagai surimiterbaik karena mampu menghasilkan kekuatan gel tertinggi melalui pencucian

    hanya dengan air dan dinilai lebih aman.

    Bakso D atau bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung

    sagu 7,5% merupakan bakso ikan terbaik untuk bakso yang dimasak dengan cara

    perebusan dengan nilai karakteristik organoleptik rasa (6,83), tekstur (7,57); dan

    nilai karakteristik fisik seperti kekuatan gel (505,5 g.cm), uji lipat (4,03), uji gigit

    (7,23); serta memperoleh karakteristik kimia yang sesuai standar mutu bakso ikan

    (SNI 01-3819-1995) dengan air (73,90%), abu (1,85%), protein (9,70%), lemak(0,50%), dan karbohidrat (14,05%). Bakso ikan terbaik yang dimasak dengan

    cara pengukusan didapatkan dari bakso C (tepung tapioka 5% dan tepung sagu

    5%) dengan karakteristik organoleptik penampakan (7,37), aroma (7,53), rasa

    (7,00), tekstur (7,73); dan karakteristik fisik meliputi kekuatan gel (371,25 g.cm),

    uji gigit (7,13); serta memperoleh karakteristik kimia yang sesuai

    SNI 01 3819 1995 d i (73 45%) b (1 99%) i (10 07%) l k

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    3/130

    PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA PEMASAKAN

    TERHADAP MUTU BAKSO DARI SURIMIIKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)

    Skripsi

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

    pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh :Elvina Fuji Astuti

    C43104016

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    4/130

    Judul : PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA

    PEMASAKAN TERHADAP MUTU BAKSO DARI

    SURIMI IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN

    (HTS)

    Nama Mahasiswa : Elvina Fuji Astuti

    NRP : C34104016

    Menyetujui,

    Pembimbing I

    Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si

    NIP 131 999 592

    Pembimbing II

    Ir. Wini Trilaksani, M.Sc

    NIP 131 578 851

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    5/130

    PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Jenis Tepung dan Cara

    Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap

    Sampingan (HTS) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

    dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

    Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari

    penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di

    bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, Januari 2009

    Elvina Fuji Astuti

    NRP : C34104016

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    6/130

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 19

    Januari 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara

    pasangan Bapak Aang Mulya Sukmana dan Ibu Iis Idah.

    Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1992

    di SDN II Sukarame, kemudian tahun 1998 dilanjutkan keSLTPN 3 Singaparna dan SMUN 1 Singaparna sampai

    dinyatakan lulus pada tahun 2004.

    Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui

    jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Hasil

    Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan.

    Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi dan kepanitiaan.

    Organisasi yang pernah diikuti antara lain: Club Teater Asrama Tingkat Persiapan

    Bersama (TPB) (2004-2005), Himpunan Mahasiswa Hasil Perikanan

    (HIMASILKAN) periode 2006-2007 dan Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya

    (HIMALAYA) dari tahun 2004 hingga sekarang. Kegiatan kepanitiaan yangpernah diikuti diantaranya Gemar Makan Ikan (GMI), SANITASI, pelatihan

    pembuatan produk perikanan dan berbagai seminar lainnya. Penulis juga pernah

    tercatat sebagai asisten mata kuliah Penanganan Hasil Perairan (2006/2007) dan

    Ilmu dan Teknologi Surimi (2008/2009).

    Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian

    yang berjudul Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan terhadap Mutu

    Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS). Di bawah

    bimbingan Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ir. Wini Trilaksani, M.Sc.

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    7/130

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala

    karunia, limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

    penulisan skripsi yang berjudul Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan

    terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS).

    Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjanapada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

    Penulis mendapat banyak dukungan, baik moral maupun materi untuk dapat

    menyelesaikan tugas ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

    sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu, diantaranya

    adalah:

    1. Ayahanda Aang Mulya Sukmana dan Ibunda Iis Aisyah serta Umi Iis idah

    dan bapak Paryaman, terima kasih untuk doa yang tidak terputus, kasih

    sayang, restu, dukungan moral dan materi sehingga penulis mampu

    menjalankan amanah untuk belajar di IPB dan menghasilkan karya ini.

    2. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc sebagaidosen-dosen pembimbing yang telah sabar mengajarkan, membimbing dan

    memberi masukan pada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

    3. Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang

    telah memberikan banyak nasehat, petunjuk dan bimbingan kepada penulis

    selama menjadi mahasiswa THP.

    4. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si

    sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam

    menyempurnakan tugas akhir penulis.

    5. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl Biol sebagai komisi pendidikan

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    8/130

    8. Teman-temanku satu bimbingan Luh Putu Ari Widiani, Marya Ulfah dan

    Deslina Zahra Nauli, terima kasih atas solidaritas, kerjasama, usaha dansemangatnya.

    9. Yayandi Gushagia, Yudha Adi Pradana, Sereli Pia, Nia DH, Eka A, Enifia

    DK, Ardilla P, Anang F, Rijal NH, Ika P, Dede S, terima kasih banyak atas

    pengorbanan waktu dan tenaganya.

    10.Teman THPku satu tempat tinggal Tri Septiarini di Wahda Indah tercinta

    yang sudah bersama selama lebih dari 3 tahun, serta teman-teman WI yang

    lain seperti mba Acen, Simaw, Mada, Icha, mba Ressy, Ony dan mba Roza,

    terima kasih sudah mau berbagi segala hal denganku tentang pentingnya

    barbagi, memahami, mengingatkan, menjaga hati, dan semua hal yang indah

    lainnya.

    11.Teman-teman THP 41 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu,terima kasih banyak atas bantuannya, kebersamaaan, keceriaan, kekompakan,

    persahabatan dan pengalaman berharga selama kita belajar bersama di THP

    tercinta serta memberi arti bahwa hidup penuh dengan warna karena setiap

    orang punya cara pandang, sifat, kebiasaan dan sikap hidup yang berbeda.

    12.Bu Ema, Mba Icha, dan Mas Zaki yang banyak membantu segala sesuatu yang

    berkaitan dengan kegiatan penelitian.

    13.Adik-adik THP 42 yang banyak membantu dalam penelitian ini baik sebagai

    panelis maupun dorongan semangatnya.

    Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih ada

    kekurangannya, meskipun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat

    bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

    Bogor, Januari 2009

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    9/130

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL.................................................................................... x

    DAFTAR GAMBAR................................................................................ xi

    DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ xii

    1. PENDAHULUAN.............................................................................. 1

    1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

    1.2 Tujuan ......................................................................................... 4

    2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5

    2.1 Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS) .......................................... 5

    2.2 Protein Daging Ikan ...................................................................... 6

    2.2.1 Protein sarkoplasma .......... .................................................... 7

    2.2.2 Protein miofibril ................................................................... 8

    2.2.3 Protein stroma ...................................................................... 9

    2.3 Surimi ........................................................................................... 9

    2.3.1 Definisi surimi ...................................................................... 10

    2.3.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi ............................ 11

    2.3.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi ............................ 122.3.4 Pembentukan gel .................................................................. 14

    2.4 Bakso Ikan .................................................................................... 15

    2.4.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan ................... ...... 16

    2.4.2 Pembuatan bakso ikan .......................................................... 23

    2.4.3 Mutu bakso ..................................................................... ...... 25

    2.5 Proses Pemasakan ......................................................................... 25

    2.5.1 Perebusan ............................................................................. 26

    2.5.2 Pengukusan .......................................................................... 26

    2.5.3 Pengaruh pemasakan terhadap komponen gizi ...................... 27

    2.6 Hubungan antara Bahan Pengisi danAshi...................................... 28

    3. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 30

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    10/130

    3.3 Tahapan Penelitian .................... .................................................... 31

    3.3.1 Penelitian pendahuluan .......................................................... 313.3.2 Penelitian utama .................................................................... 33

    3.4 Prosedur Analisis ..................................................................... ...... 35

    3.4.1 Analisis organoleptik (uji skoring)( Rahayu 1998) ........... ...... 35

    3.4.2 Analisis fisik ......................................................................... 36

    (1) Uji kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah

    dimodifikasi) ................................................................... 36

    (2) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) ............................... 36

    (3) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) ....................... 37

    (4) Uji derajat putih (Whiteness) (Park 1994 diacu dalam

    Chaijan et al. 2004) .......................................................... 37

    (5) Water holding capacity(WHC) (Grau dan Hamm 1972

    diacu dalam Faridah et al. 2006) ...................................... 38

    3.4.3 Analisis kimia .................... .................................................... 38

    (1) Kadar air (AOAC 1995) .................... ............................. 39(2) Kadar abu (AOAC 1995) .................... ............................. 39

    (3) Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995) .............. 39

    (4) Kadar lemak (AOAC 1995) ............................................. 40

    (5) Kadar karbohidrat (by difference) .................................... 40

    (6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964

    diacu dalam Eryanto 2006) ........................................ ...... 41

    (7) Nilai pH (Suzuki 1981) ................................................... 41

    (8) Total volatile base(TVB) (BSN 1998) ............................ 41

    3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data .......... ............................. 42

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 46

    4.1 Karakteristik Bahan Baku Ikan Hasil Tangkap Samping (HTS) ..... 46

    4.2 Karakteristik Surimi Ikan HTS ...................................................... 47

    4.2.1 Karakteristik fisik surimi ikan HTS................................. ...... 48

    (1) Kekuatan gel ................................................................... 48

    (2) Derajat putih ................................................................... 49

    (3) Water Holding Capacity (WHC) ..................................... 51

    4.2.2 Karakteristik kimia surimi ikan HTS ..................................... 53

    (1) Kadar air 53

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    11/130

    (2) Aroma ............................................................................. 60

    (3) Rasa ................................................................................ 63

    (4) Tekstur ............................................................................ 64

    4.3.2 Karakteristik fisik bakso ikan HTS .......... ............................. 66

    (1) Kekutan gel .................................................................... 67

    (2) Uji lipat ..................................................................... ...... 69

    (3) Uji gigit .......................................................................... 71

    (4) Derajat putih ................................................................... 73

    (6) Water holding capacity (WHC) .......... ............................. 74

    4.3.3 Karakteristik kimia bakso ikan HTS ..................................... 76

    (1) Kadar air ......................................................................... 76

    (2) Kadar abu .................... .................................................... 78

    (3) Kadar protein .................................................................. 80

    (4) Kadar lemak .................................................................... 81

    (5) Kadar karbohidrat .............................. ............................. 83

    5. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 85

    5.1 Kesimpulan ................................................................................... 85

    5.2 Saran ............................................................................................. 85

    DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 86

    LAMPIRAN............................................................................................. 94

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    12/130

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    1. Rendemen surimi dari beberapa jenis ikan hasil tangkap samping ........ 6

    2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 ...................... 18

    3. Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 01-3729-1995 ..................... ...... 20

    4.

    Sifat fisik pati tapioka dan sagu ............................................................ 205. Komposisi kimia pati tapioka dan sagu ................... ............................. 21

    6. Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) ........... ............................. 25

    7. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang

    digunakan dalam pembuatan bakso ikan ................... ............................. 33

    8. Komposisi kimia daging ikan HTS .................................................. ...... 46

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    13/130

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    1. Diagram alir proses pembuatan surimi ................... ............................. 32

    2. Diagram alir prosedur pembuatan bakso ikan ...................................... 34

    3. Diagram batang nilai kekuatan gel surimi ikan HTS ............................ 48

    4. Diagram batang nilai derajat putih surimi ikan HTS ............................ 50

    5. Diagram batang nilai WHC surimi ikan HTS ...................................... 52

    6. Diagram batang kadar air surimi ikan HTS .......................................... 54

    7. Diagram batang kadar protein surimi ikan HTS ................................... 55

    8. Diagram batang nilai pH surimi ikan HTS ........................................... 56

    9. Diagram batang penampakan bakso ikan HTS ..................................... 59

    10. Diagram batang aroma bakso ikan HTS ........................................ ...... 61

    11. Diagram batang rasa bakso ikan HTS .................................................. 63

    12. Diagram batang tekstur bakso ikan HTS ............................................. 65

    13. Diagram batang kekuatan gel Bakso ikan HTS .............................. ...... 67

    14. Diagram batang uji lipat bakso ikan HTS ............................................ 70

    15. Diagram batang uji gigit bakso ikan HTS ............................................ 72

    16. Diagram batang derajat putih bakso ikan HTS..................................... 74

    17. Diagram batang water holding capacity(WHC) bakso ikan HTS ........ 75

    18. Diagram batang kadar air bakso ikan HTS .......................................... 77

    19. Diagram batang kadar abu bakso ikan HTS ......................................... 79

    20. Diagram batang kadar protein bakso ikan HTS ................................... 80

    21. Diagram batang kadar lemak bakso ikan HTS ..................................... 82

    22. Diagram batang kadar karbohidrat bakso ikan HTS ............................. 83

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    14/130

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1. Lembar penilaian (score sheet) organoleptik bakso ikan ...................... 95

    2. Data hasil uji analisis fisik surimi ikan HTS ........... ............................. 96

    3. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan

    konsentrasi H2O2terhadap nilai kekuatan gel ...................................... 96

    4. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan

    konsentrasi H2O2terhadap nilai derajat putih .......... ............................. 96

    5. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi

    pencucian surimi dan konsentrasi H2O2terhadap nilaiWaterHolding

    Capacity(WHC) ................................................................................. 96

    6. Data hasil uji analisis kimia surimi ikan HTS ...................................... 97

    7. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensipencucian surimi dan konsentrasi H2O2terhadap nilai kadar air .......... 97

    8. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan

    konsentrasi H2O2terhadap nilai kadar protein ..................................... 98

    9. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi

    pencucian surimi dan konsentrasi H2O2terhadap nilai pH ................... 98

    10. Data hasil uji organoleptik bakso dari surimi ikan HTS yang direbus .. 99

    11. Data hasil uji organoleptik bakso dari surimi ikan HTS yang dikukus . 100

    12. Hasil uji Kruskal-Wallisterhadap penampakan dari setiap formula

    bakso ikan HTS yang direbus .......... .................................................... 101

    13. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjutMultiple Comparisonsterhadap

    penampakan dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus ........... 101

    14. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjutMultipleComparisonsterhadap

    aroma dari setiap formula baksoikan HTS yang direbus ..................... 10215. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjutMultiple Comparisonsterhadap

    aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus .................... 102

    16. Hasil uji Kruskal-Wallisterhadap rasa dari setiap formula bakso ikan

    HTS yang direbus ................................................. ............................. 103

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    15/130

    20. Data hasil uji analisis fisik bakso dari surimi ikan HTS ....................... 105

    21.

    Data hasil uji lipat dan uji gigit bakso dari surimi ikan HTS yangdirebus dan dikukus ............................................................................ 106

    22. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuatan gel

    bakso ikan HTS yang direbus .......... .................................................... 107

    23. Hasil analisis ragam terhadap kekuatan gel bakso ikan HTS yang

    dikukus ......................................................................................... ...... 107

    24. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjut terhadap uji lipat dari setiap

    formula bakso ikan HTS yang direbus .................... ............................. 107

    25. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjut terhadap uji lipat dari setiap

    formula bakso ikan HTS yang dikukus ................... ............................. 108

    26. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjut terhadap uji gigit dari setiap

    formula bakso ikan HTS yang direbus .................... ............................. 109

    27. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjut terhadap uji gigit dari setiap

    formula bakso ikan HTS yang dikukus ................... ............................. 109

    28. Hasil analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan HTS yang

    direbus ................................................................................................ 110

    29. Hasil analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan HTS yang

    dikukus ......................................................................................... ...... 110

    30. Hasil analisis ragam terhadapWater Holding Capacity(WHC) bakso

    ikan HTS yang direbus .................... .................................................... 110

    31. Hasil analisis ragam terhadapWater Holding Capacity(WHC) baksoikan HTS yang dikukus ................... .................................................... 110

    32. Data hasil uji analisis kimia bakso dari surimi ikan HTS ..................... 111

    33. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar air bakso

    ikan HTS yang direbus .................... .................................................... 111

    34. Hasil analisis ragam terhadap kadar air bakso ikan HTS

    yang dikukus ....................................................................................... 111

    35. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar abu bakso

    ikan HTS yang direbus .................... .................................................... 112

    36. Hasil analisis ragam terhadap kadar abu bakso ikan HTS

    yang dikukus ....................................................................................... 112

    37 Hasil analisis ragam terhadap kadar protein bakso ikan HTS yang

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    16/130

    40. Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak bakso ikan HTS yang

    dikukus ......................................................................................... ...... 113

    41. Hasil analisis ragam terhadap kadar karbohidrat bakso ikan HTS yang

    direbus ................................................................................................ 113

    42. Hasil analisis ragam terhadap kadar karbohidrat bakso ikan HTS yang

    dikukus ......................................................................................... ...... 113

    43. Gambar bakso ikan dari surimi ikan HTSyang direbus ....................... 114

    44. Gambar bakso ikan dari surimi ikan HTSyang dikukus ...................... 114

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    17/130

    1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kekayaan sumberdaya laut Indonesia sangat berlimpah, mengingat dua per

    tiga wilayah Indonesia terdiri dari laut, potensi perikanan sebesar 6,26 juta

    ton/tahun namun belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun

    2005, total produksi perikanan 4,71 juta ton, sekitar 75% (3,5 juta ton) berasal

    dari tangkapan laut dan 25% berasal dari tangkapan budidaya (DKP 2007).

    Tingkat pemanfaatan hasil tangkapan laut terutama untuk ikan-ikan non-ekonomis

    belum dilakukan secara optimal. Hal ini disebabkan pemanfaatannya masih

    terbatas dalam bentuk olahan tradisional dan konsumsi segar. Akibatnya ikan-

    ikan tidak ditangani dengan baik di kapal, sehingga ikan yang didaratkan bermutu

    rendah (2030%), sehingga berdampak pada tingginya tingkat kehilangan (losses)

    sekitar 30-40%. Lebih jauh lagi, ekspor hasil perikanan Indonesia hingga saat ini

    masih didominasi oleh ikan dalam bentuk gelondongan dan belum diolah.

    Sebagai konsekuensinya, usaha pengolahan produk hasil perikanan di Indonesia

    belum bergairah.

    Produksi tangkapan laut yang melimpah dimanfaatkan dalam bentuk basah

    sebesar 57,05%; bentuk olahan tradisional sebesar 30,19%; bentuk olahan modern

    sebesar 10,90% dan olahan lainnya 1,86% (DKP 2007). Disisi lain ikan hasil

    tangkap sampingan (HTS/by catch) pukat udang dan sisa olahan (by product)

    industri perikanan juga belum dimanfaatkan secara optimal sehingga ikan HTS

    khususnya ikan-ikan non-ekonomis yang tidak termanfaatkan dibuang ke laut

    dengan demikian terjadi kehilangan nilai jual ikan.

    Hasil penelitian Purbayanto et al. (2004) menunjukkan bahwa jumlah HTS

    pada perikanan pukat udang yang melimpah merupakan potensi sangat besar bagi

    pengembangan industri perikanan. Sebagai contoh, di wilayah perairan Laut

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    18/130

    teknologi tepat guna yang efisien, efektif, dan terjangkau. Teknologi tersebut

    berupa mesin pemisah daging dan tulang ikan HTS menjadi surimi. MenurutNakai dan Modler (2000), surimi merupakan istilah dalam Bahasa Jepang untuk

    daging lumat dan jaringan ikan yang dicuci. Produksi surimi secara komersial

    dibuat dengan menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging

    lumat ikan dari tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali)

    dengan air atau larutan garam. Proses pencucian menghilangkan sebagian besar

    komponen yang larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak.

    Setelah pencucian terakhir, daging lumat diperas dan dicampur dengan

    cryoprotectant yang tepat untuk mencegah denaturasi protein selama

    penyimpanan beku.

    Hasil tangkap sampingan (HTS) yang bisa dimanfaatkan hanya 37% dari

    jumlah total, sedangkan selebihnya dibuang ke laut (63%). Pemanfaatan ini masih

    dikelola oleh anak buah kapal (ABK) dalam bentuk produk beku maupun kering

    (salted fish). Penanganan HTS dalam bentuk ikan beku masih dilakukan dengan

    cara sederhana, ikan-ikan ini dimasukkan ke dalam pan untuk proses pembekuan

    selama 3-4 jam. Setelah beku, ikan-ikan ini kemudian dimasukkan ke dalam

    karung dan setiap karungnya berisi 3-4 pan. Penanganan seperti ini menyebabkan

    penurunan mutu ikan dan ikan berada dalam kondisi kurang segar. Oleh karena

    itu, diperlukan suatu teknik pengolahan yang dapat mengurangi tingkat kerusakan

    pada ikan terutama nilai gizi protein. Salah satu solusinya adalah dengan

    penggunaan oksidator pada saat proses pencucian ikan menjadi surimi. Menurut

    Liu dan Xiong (2000) diacu dalam Patcharat et al. (2005), oksidator dapat

    menyebabkan oksidasi pada protein, terutama melalui formasi disulfida (ikatan

    penting dalam proses pembentukan gel), fragmen-fragmen protein yang

    didegradasi dari protein daging membentuk ikatan silang dan agregat protein

    dibentuk lebih besar sehingga dapat memperbaiki kemampuan membentuk gel.

    Salah satu oksidator yang aman digunakan adalah hidrogen peroksida (H2O2)

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    19/130

    dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diijinkan

    (BSN 1995a).

    Pemanfaatan ikan HTS menjadi produk bakso adalah karena potensi pasar

    bakso di Indonesia yang berpenduduk sangat besar ini sangat tinggi, dapat

    dibayangkan betapa besar potensi pasar bakso di Indonesia jika lebih dari 50%

    remaja, terutama di kota besar merupakan bakso mania. Belum lagi usia anak-

    anak dan dewasa. Karena itu, tidak heran jika beberapa pengusaha mancanegara

    seperti Malaysia dan Singapura mulai melirik kota-kota besar Indonesia seperti

    Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta dan Medan untuk memasarkan baksonya

    (Wibowo 2006). Selain itu, dari produk olahan ikan segar dan beku yang terdapat

    dipasaran saat ini, yang berasal dari produk lokal seperti otak-otak, nugget dan

    aneka bakso kebanyakan, ternyata pengunjung supermarket masih lebih menyukai

    bakso ikan/udang/cumi-cumi dan otak-otak. Hal tersebut dapat dilihat dari urutan

    volume penjualan produk olahan ikan di beberapa pasar modern, dimana bakso

    ikan tetap berada pada urutan pertama, diikuti oleh otak-otak dan nugget ikan,

    dengan urutan persentase 40%, 30%, dan 20%, sedangkan 10% merupakan

    produk lainnya, termasuk produk impor (Anonim 2007).

    Dalam penelitian kali ini, digunakan tepung tapioka dan tepung sagu sebagai

    bahan pengisi untuk formulasi bakso ikan dari surimi campuran beberapa ikan

    HTS. Tepung tapioka memiliki banyak kelebihan yaitu harganya relatif murah,

    memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang

    terang, dan daya lekatnya yang baik (Radley 1976). Begitu pula dengan tepung

    sagu yang memiliki ukuran granula yang lebih besar dari tepung tapioka (16-25,4

    m) sehingga sifat kedua tepung tersebut mampu memperbaiki kualitas bakso

    ikan yang dihasilkan. Selama ini, proses pemasakan yang umum digunakan pada

    bakso ikan adalah perebusan. Surimi atau produk-produk berbasis surimi

    menggunakan cara perebusan atau pengukusan untuk proses cooking-nya agar

    terbentuk gel yang elastis Oleh karena itu dalam penelitian ini proses

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    20/130

    1.2 Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah :

    (1) membuat surimi campuran ikan hasil tangkap samping (HTS) dengan teknik

    pencucian menggunakan H2O2 serta menganalisis karakteristik fisik dan

    kimianya untuk menentukan surimi yang terbaik;

    (2) mempelajari pengaruh penggunaan surimi campuran ikan HTS terbaik

    dengan penambahan tepung tapioka dan tepung sagu secara tunggal maupun

    kombinasi keduanya dalam pembuatan bakso ikan serta pengaruh metode

    pemasakan (perebusan dan pengukusan) dengan menganalisis karakteristik

    fisik, kimia dan organoleptik bakso ikan untuk menentukan formulasi

    tepung terbaik dari masing-masing cara pemasakan yang dipakai.

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    21/130

    2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Ikan Hasil Tangkap sampingan (HTS)

    Potensi sumber daya laut Indonesia dapat memberikan manfaat yang besar

    bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, produksi perikanan

    Indonesia didominasi oleh perikanan tangkap. Sebagian dari hasil tangkapan

    perikanan tropis adalah ikan dengan nilai ekonomis rendah. Organisme laut atau

    ikan-ikan yang tidak termasuk ke dalam tujuan penangkapan utama merupakan by

    catch (hasil tangkap sampingan) yang biasanya terdiri dari berbagai jenis dan

    ukuran (Purbayanto et al.2004).

    Ikan hasil tangkap sampingan (by catch) adalah ikan yang ikut tertangkap

    dalam suatu operasi penangkapan ikan tertentu (biasanya udang) yang sebenarnya

    tidak ditujukan untuk menangkap ikan tersebut. Jenis ikan tersebut pada

    umumnya kurang memiliki nilai ekonomis dan seringkali tidak dibawa ke daratan.

    Masalah yang menyebabkan rendahnya nilai ekonomis ikan tersebut adalah

    bentuk dan ukuran yang tidak menarik (Moeljanto 1994).

    Usaha-usaha pemanfaatan ikan hasil tangkap sampingan tersebut lebih

    banyak diarahkan pada pemanfaatan ikan yang berukuran besar. Padahal pada

    tahun 2004, total hasil tangkapan sebesar 4.320.241 ton, sekitar 76% merupakan

    ikan hasil tangkap sampingan (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006).

    Sebagai gambaran produksi udang di Indonesia bagian timur pada tahun 2000

    sebesar 70.021 ton dan dengan prediksi perbandingan udang dan ikan (spesies

    nontarget) 1:4, maka akan ada sekitar 300.000 ton ikan by catchyang tertangkap,

    dari jumlah tersebut hanya sekitar 46% (128.938 ton) ikan saja yang dibawa ke

    daratan dan sisanya yang sebesar 54% (156.847 ton) dibuang kembali ke laut

    (Budiyanto dan Djazuli 2003).

    Hasil tangkapan trawl/pukat udang terdiri dari udang sebagai target

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    22/130

    (Pomadasys), pepetek (Leiognatus sp.) dan spesies lainnya (Purbayanto et al.

    2004).

    Ikan-ikan HTS didominasi oleh spesies ikan berdaging putih (white

    muscle). Daging ikan jenis berkadar protein tinggi sehingga sangat tepat dibuat

    produk olahan yang memanfaatkan karakteristik fisiko-kimia protein ikan,

    terutama sifat gel-nya sebagai surimi. Rendemen surimi dari beberapa ikan HTS

    di Laut Arafuru, disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Rendemen surimi dari beberapa jenis ikan hasil tangkap samping

    Jenis-jenis ikan Rendemen surimi (%)

    Alu-alu (Sphyraena sp) 40-45

    Beloso (Saurida tumbil) 35-40

    Ikan kurisi (Nemiphterus sp) 30-35Ikan paperek (Leiognathus sp) 25-30

    Gulamah (Pseudociena anoyensis) 25-30

    Pisang-pisang (Caesio chrysozomus) 25-30

    Ikan nomei (Harpodon sp) 20-25

    Ikan layur (Trichiurus sp) 20-25

    Layang (Sardinella sp) 20-25

    Swanggi (Priacanthus tayenus) 20-25

    Biji Nangka (Upeneus sulphureus) 20-25

    Tiga waja (Jonius dusscemieri) 20-25

    Kurisi (Nemipterus nematophorus) 20-25

    Gerot-gerot (Pomadasys sp) 20-25

    Sumber : BPPMHP, Ditjen PT DKP (2002) diacu dalam Wahyuni (2007)

    2.2 Protein Daging Ikan

    Menurut Junianto (2003), protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari

    kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Kandungan protein ikan

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    23/130

    Kandungan protein kasar ikan berkisar 17-20%. Protein sarkoplasma

    berjumlah sekitar 16-22% dari total protein jaringan daging. Protein kontraktil

    atau protein miofibril sekitar 75% dari total protein. Protein jaringan ikat pada

    teleostei berkisar 3%, dan pada elasmobranchia seperti hiu dan pari mencapai

    10% (Belitz dan Grosch 1987). Menurut Alasalvar dan Taylor (2002), protein

    daging ikan terdiri dari 3 kelompok utama, yaitu : protein sarkoplasma (18-28%),

    protein miofibril (70-80%), protein jaringan ikat (stroma) (2-3%).

    Protein ikan banyak mengandung asam amino esensial. Kandungan asam

    amino dalam daging ikan sangat bervariasi, tergantung pada jenis ikan. Pada

    umumnya, kandungan asam amino dalam daging ikan kaya akan lisin, tetapi

    kurang akan kandungan triptofan (Junianto 2003).

    2.2.1 Protein sarkoplasma

    Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan terutama terdiri

    dari enzim-enzim yang berhubungan dengan metabolisme sel. Protein ini terdiri

    dari mioglobin, enzim dan albumin lainnya (Shahidi 1994). Protein sarkoplasma

    disebut juga miogen. Kandungan miogen dalam daging ikan bervariasi, selain

    tergantung dari jenis ikannya, juga tergantung habitat hewan tersebut. Pada

    umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan protein sarkoplasma lebih tinggi

    dibandingkan dengan ikan demersal (Suzuki 1981).

    Protein sarkoplasma berjumlah sekitar 30% dari total protein daging.

    Protein sarkoplasma termasuk sebagian besar enzim melibatkan energi

    metabolisme seperti glikolisis. Sebagian besar protein sarkoplasma mempunyai

    sifat kimia yaitu berat molekul yang kecil, pH isoelektrik tinggi, dan berstrukturglobular. Karakteristik fisiknya sebagian besar bertanggung jawab untuk

    kelarutan yang tinggi protein ini pada air. Satu bagian dari protein sarkoplasma

    yang penting dalam menentukan kualitas daging adalah mioglobin. Mioglobin

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    24/130

    miofibril. Protein sarkoplasma akan mengganggu cross-linking miosin selama

    pembentukan matriks gel karena protein ini tidak dapat membentuk gel

    (Haard et al. 1994).

    2.2.2 Protein miofibril

    Jumlah protein miofibril, miosin dan aktin berkisar 70-80% dari total

    protein tergantung pada spesies ikan (Alasalvar dan Taylor 2002). Protein

    miofibril merupakan bagian terbesar dalam protein daging ikan, yaitu protein yang

    larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin serta protein

    regulasi, yaitu gabungan dari aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin.

    Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi

    terutama dari fraksi aktomisin (Suzuki 1981).

    Miosin adalah protein yang paling penting dari semua protein otot, bukanhanya karena jumlahnya yang besar (50-60%) dari total miofibril (Shahidi 1994),

    tetapi juga karena mempunyai sifat biologis khusus. Dengan adanya aktivitas

    enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi, miosin dapat

    bergabung dengan aktin membentuk kompleks aktomiosin. Sifat kontraksi pada

    proses pembentukan aktomiosin inilah yang menyebabkan terjadinya gerakan otot

    sewaktu ikan hidup dan selama terjadinya kekejangan setelah ikan mati. Aktin

    merupakan protein miofibril terbesar kedua setelah miosin di dalam daging ikan,

    yaitu sekitar 20 % dari total protein miofibril (Shahidi 1994).

    Protein otot sebagian besar dalam bentuk koloid, baik berupa sol maupun

    gel. Kemampuan untuk mengekstrak protein miosin lebih besar pada pH agak

    tinggi, tetapi kekuatan gel daging ikan pada produk akhir lebih rendah meskipunjumlah miosin yang diekstrak lebih banyak (Junianto 2003).

    Menurut Junianto (2003), pada umumnya protein yang larut dalam larutan

    garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    25/130

    2.2.3 Protein stroma

    Protein stroma atau protein jaringan ikat tersusun dari kolagen dan elastin.

    Jumlahnya sekitar 3% dari total protein otot pada ikan teleostei dan sekitar 10%

    dalam ikan elasmobranchii, sedangkan pada mamalia sekitar 17% (Hush 1988).

    Sama seperti protein miofibril, protein jaringan ikat juga merupakan protein

    struktural dan terdiri dari sel-sel otot jaringan pengikat, berkas serat dan otot.

    Protein jaringan ikat ini memelihara struktur bentuk pada tulang, ligamen dan

    tendon. Jaringan ikat pada tempat interstitial sel otot terdiri dari 3 protein

    ekstraselular (kolagen, retikulin dan elastin) dan substansi dasar penyangga

    (Nakai dan Modler 2000).

    Protein stroma ini tidak dapat diekstrak oleh larutan asam, alkali atau

    garam berkekuatan ion tinggi. Menurut Hall dan Ahmad (1992), pada pengolahan

    surimi protein stroma tidak dapat oleh panas dan merupakan komponen netralpada produk akhir.

    Pada daging mamalia, kolagen berikatan silang secara kimia dengan

    jumlah yang bervariasi, kadang-kadang mengharuskan pemasakan yang ekstensif

    untuk melunakkan daging. Pada kenyataannya, daging ikan memiliki melting

    point atau suhu untuk melunakkan daging yang lebih rendah dan dapat dengan

    mudah diubah menjadi gelatin melalui pemasakan (Alasalvar dan Taylor 2002).

    2.3 Surimi

    Surimi merupakan istilah dalam Bahasa Jepang untuk daging lumat dan

    jaringan ikan yang dicuci. Produksi surimi secara komersial dibuat dengan

    menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari

    tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali) dengan air atau

    larutan garam. Proses pencucian menghilangkan sebagian besar komponen yang

    larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak. Setelah pencucian

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    26/130

    (1) jenis ikan di daerah tropis terdiri dari banyak jenis, namun untuk setiap jenis

    mempunyai populasi sedikit;

    (2) hampir semua jenis dan ukuran ikan dapat dibuat sebagai bahan baku surimi;

    (3) surimi dapat disimpan jangka panjang sebagai bahan baku produk berbasis

    fish-gel;

    (4) surimi mempunyai volume lebih kecil dari ikan utuh;

    (5) surimi dan produk lanjutannya dapat memberikan nilai tambah untuk nelayan

    serta perbaikan gizi masyarakat;

    (6) dapat memperluas bentuk-bentuk diversifikasi olahan hasil perikanan

    sehingga akan meningkatkan daya terima konsumen;

    (7) memiliki jangkauan pemasaran yang luas karena mudah diterima konsumen

    segala lapisan dan bersifat global;

    (8) memiliki daya simpan yang panjang pada kondisi beku.

    2.3.1

    Definisi surimi

    Surimi adalah daging lumat yang telah dicuci yang stabil dalam waktu

    yang lama pada penyimpanan beku dengan penambahan cryoprotectant. Surimi

    merupakan produk antara yang dibuat dari daging ikan atau seafood. Pengolahan

    surimi sebagai suatu cara yang terfokus pada protein miofibril daging ikan.

    Protein miofibril daging ikan mempunyai karakteristik pembentukan gel yang

    unik yang dapat digunakan untuk dijadikan surimi dasar pembuatan produk

    seafoodseperti crab analog(Pearson and Dutson 1997).

    Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang

    berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak berbau amis serta mempunyaikemampuan membentuk gel yang bagus yang akan memberikan hasil (surimi)

    yang lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain:

    ikan cunang/remang, tenggiri, kakap, tigawaja, beloso, cucut (Peranginangin et al.

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    27/130

    daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam (NaCl) dan

    telah mengalami proses pembekuan. Disamping surimi beku, terdapat tipe lain

    yang disebutNama Surimi(rawsurimi) yaitu surimi yang tidak mengalami proses

    pembekuan.

    2.3.2

    Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi

    Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan surimi.

    Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, seperti darah, protein

    sarkoplasma, enzim pencernaan (terutama protease), lemak, garam-garam

    inorganik (Ca2+

    dan Mg2+

    ), dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti

    trimetilamin oksida (TMAO). Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama

    proses pencucian karena dapat menghambat pembentukan gel surimi. Pencucian

    selain dapat meningkatkan gel surimi juga dapat meningkatkan kualitas warna dan

    aroma surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992; Suzuki 1981).

    Kemampuan membentuk gel surimi dan aktivitas ATP-ase selama

    penyimpanan beku dipengaruhi oleh tingkat leaching atau pencucian. Kekuatan

    gel akan meningkat secara nyata dengan bertambahnya jumlah pencucian.

    Dengan pencucian berulang (maksimal 3 kali) akan meningkatkan kemampuan

    pembentukan gel surimi dan mencegah denaturasi protein miofibril surimi selama

    penyimpanan beku (Matsumoto dan Noguchi 1992).

    Efisiensi proses pencucian dipengaruhi oleh faktor banyaknya pencucian

    dan waktu pencucian. Pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan

    ikan 3:1 akan meningkatkan kekuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan

    protein miofibril dan menurunkan protein sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12

    menit dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan

    protein yang terekstrak pada semua rasio air dan daging ikan (3:1; 4:1; 5:1 dan

    6:1), karena jika terlalu lama daging ikan akan menyerap air dalam jumlah yang

    besar dan akan menyulitkan pada saat pembuangan air/pengepresan (Toyoda et al

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    28/130

    (1981) kisaran suhu air yang digunakan untuk pencucian adalah 5-10oC.

    Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena dapat

    menunjang kemampuan membentuk gel (ashi) dan menghambat denaturasi

    protein akibat pembekuan. Walaupun pencucian ini pada dasarnya dapat

    meningkatkan sifat elastis daging ikan, tetapi perlu juga diperhatikan pengaruhnya

    terhadap nilai gizi ikan secara keseluruhan. Protein yang hilang selama proses

    pencucian dapat mencapai 25%. Air pencuci yang memiliki tingkat kesadahan

    tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak,

    sedangkan bila digunakan air laut atau air garam kehilangan proteinnya akan

    semakin tinggi.

    2.3.3

    Bahan tambahan dalam pembuatan surimi

    Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan

    dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi,

    nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk,

    tekstur dan rupa. Bahan tambahan meliputi pewarna, penyedap rasa dan aroma,

    pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat dan

    pengental (Winarno 1997). Bahan tambahan yang digunakan dalam proses

    pembuatan surimi adalah hidrogen peroksida (H2O2) dan cryoprotectant.

    (1) Hidrogen peroksida (H2O2)

    Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 ditemukan oleh Louis

    Jacques Thenard di tahun 1818. Hidrogen peroksida merupakan bahan kimia

    anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Hidrogen peroksida tidak berwarna

    dan memiliki bau yang khas agak keasaman. Hidrogen peroksida larut dengan

    sangat baik dalam air. Dalam kondisi normal hidrogen peroksida sangat stabil,

    dengan laju dekomposisi yang sangat rendah yaitu kira-kira kurang dari 1% per

    tahun (Skuler 2007) Pada saat mengalami dekomposisi hidrogen peroksida

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    29/130

    residu, hanya air dan oksigen. Kekuatan oksidatornya juga dapat diatur sesuai

    dengan kebutuhan (Skuler 2007). Sebagai oksidator kuat, H2O2 dimanfaatkan

    manusia sebagai bahan pemutih (bleach), disinfektan, oksidator, dan bahan bakar

    roket.

    Oksidator dapat menyebabkan oksidasi pada protein, terutama melalui

    formasi disulfida, fragmen-fragmen protein yang didegradasi dari protein daging

    membentuk ikatan silang dan agregat protein dibentuk lebih besar sehingga dapat

    memperbaiki kemampuan membentuk gel (Liu dan Xiong 2000 diacu dalam

    Patcharat et al. 2005). Patcharat et al. (2005) menggunakan H2O2sebagai bahan

    pengoksidasi dalam pembuatan surimi ikan bigeye snapper (Priachantus tayenus).

    Penambahan H2O2dengan konsentrasi 10-40 ppm mampu meningkatkan kekuatan

    gel surimi dari ikan berkualitas rendah.

    (2) Cryoprotectant (antidenaturan)

    Cryoprotectant adalah komponen yang dapat memperpanjang daya awet

    suatu makanan yang dibekukan. Istilah cryoprotectantdiartikan secara luas yaitu

    semua komponen yang membantu mencegah hal yang menyebabkan perubahan

    (biasanya merusak komponen zat gizi) pada makanan atau komposisi makanan

    oleh pembekuan, penyimpanan beku atau pelelehan setelah dibekukan. Pada

    surimi mentah, penambahan cryoprotectantdibutuhkan untuk menstabilkan salah

    satu komponen penting yaitu protein miofibril (MacDonald et al. 2000).

    Umumnya surimi yang dibuat ditambahkan sukrosa (4%) dan sorbitol (4-5%)

    sebagai cryoprotectantdan polifosfat (0,3%) untuk meningkatkan water holding

    capacity (Morrissey et al. 1993 diacu dalam Pearson dan Dutson 1997).

    Namun, sekarang ini komponen-komponen yang digunakan sebagai

    cryoprotectant untuk melindungi protein yang labil selama pembekuan banyak

    macamnya yaitu : gula, asam amino, poliol, metil amina, polimer karbohidrat,

    polimer sintetik (seperti polietilen glikol PEG) protein lain (seperti bovine serum

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    30/130

    digunakan pada konsentrasi kurang dari 1% (b/v) yang sepenuhnya melindungi

    enzim yang sensitif. Antioksidan dan pengikat logam, seperti komponen fosfat,

    dapat juga dipakai untuk memperpanjang daya awet surimi dan protein makanan

    yang lain, berguna sebagai pembantu cryoprotective (MacDonald et al. 2000).

    2.3.4

    Pembentukan gel

    Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada

    kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari

    interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah

    hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak. Menurut Baier dan

    Mc Clements (2005), kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan

    sebuah polimer menyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking)

    dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Terdapat empat tipe ikatan utama yangberkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari

    pasta surimi, yaitu : ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi

    hidrofobik (Niwa 1992).

    Asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin dan treonin tergabung

    dalam grup hidroksil, dan prolin serta hidroksiprolin yang tergabung dalam grup

    imino, keduanya bertindak sebagai donor dan aseptor proton, sedangkan glutamin

    dan asparagin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai

    aseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan

    karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang

    akan memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan

    (Niwa 1992).Hudson (1992) membagi proses gelasi menjadi tiga bagian yang diawali

    dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat.

    Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    31/130

    mendekati 40oC (Niwa 1992). Menurut Jaczynski dan Park (2004) interaksi

    hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilkan

    sistem protein.

    Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini

    menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul

    disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida

    lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80oC).

    Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika

    pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan

    hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel

    (Hudson 1992).

    Suzuki (1981) menambahkan bahwa ketika pasta surimi yang dibuat

    dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging

    tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari tidak hanya terbentuk melalui

    hidrasi molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan

    hidrogen dan hidrofobik pada molekul protein miofibril. Gel suwari terbentuk

    dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk ikatan

    hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwariterjadi pada pemanasan

    dengan suhu mencapai 50o

    C. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga

    50-60oC, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan

    modori. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim

    tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah

    terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Gel

    kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati

    zona suhu modori. Dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi

    yang lebih besar yang disebut gel ashi.

    2 4 Bakso Ikan

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    32/130

    emulsi daging bakso dibuat dari daging yang digiling halus ditambah bahan

    pengisi pati atau tepung terigu dan bumbu-bumbu. Daging yang baik untuk

    membuat bakso adalah daging yang segar yang belum mengalami rigormortis

    karena daya ikat air pada daging ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging

    rigormortis maupun pascarigor (Pearson dan Tauber 1984).

    Pada prinsipnya pembuatan bakso terdiri atas empat tahap yaitu : (1)

    penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso; dan (4)

    pemasakan. Pada proses penggilingan daging harus diperhatikan kenaikan suhu

    akibat panas saat proses penggilingan karena suhu yang diperlukan untuk

    mempertahankan stabilitas emulsi adalah di bawah 20oC. Pemasakan bakso

    setelah dicetak dilakukan dengan cara perebusan dalam air mendidih atau dapat

    juga dikukus (Bakar dan Usmiati 2007).

    Bakso ikan merupakan produk perikanan olahan yang sangat penting di

    Cina, Taiwan, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Bakso ikan dapat

    dibuat dari ikan bersirip, udang dan sotong. Salah satu sifat penting dalam

    menentukan kualitas bakso ikan adalah elastisitas. Sifat ini sangat diperhatikan

    oleh orang Cina, namun hal tersebut tidak disukai oleh konsumen barat (Ang et al.

    1999).

    2.4.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan

    Bahan yang diperlukan untuk membuat bakso ikan yaitu bahan utama

    (daging ikan) dan bahan tambahan (bahan pengisi, es atau air es, dan bumbu-

    bumbu).

    (1)

    Daging ikan atau surimi

    Bahan utama untuk bakso ikan adalah daging ikan dari satu jenis ikan atau

    campuran daging beberapa jenis ikan. Daging ikan yang cocok untuk pembuatan

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    33/130

    merahnya, misalnya tuna, cakalang, tongkol dan kembung. Selain itu, jenis ikan

    yang digunakan juga menentukan tekstur dan rendemen bakso yang diperoleh.

    Jenis ikan gemuk dan sedikit berduri menghasilkan rendemen yang tinggi

    (Wibowo 2006).

    Daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso lebih baik berupa

    surimi, karena menghasilkan tekstur bakso yang lebih kenyal dan warna yang

    lebih putih. Kriteria mutu utama dari bakso sebagai produk fish jelly adalah

    kelenturan dan kekenyalannya (BBPMHP 2001).

    (2) Bahan pengisi

    Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan

    dalam pembuatan bakso. Adapun penambahan pengisi bertujuan untuk

    mengurangi biaya produksi, meningkatkan citarasa dan memperkecil penyusutanselama proses pemasakan (Kramlich et al. 1971).

    Bahan pengisi yang umumnya digunakan pada pembuatan bakso adalah

    tepung pati singkong (tapioka) dan tepung sagu. Bahan tersebut memiliki kadar

    karbohidrat yang tinggi, namun kadar proteinnya rendah (Tarwotjo et al. 1971).

    Agar rasa bakso lezat, tekstur bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang

    digunakan sebaiknya sekitar 10-15% dari berat daging (Wibowo 2006).

    a)

    Tepung tapioka

    Menurut SNI 01-3451-1994, tapioka adalah pati (amilum) yang diperoleh

    dari umbi kayu segar (Manihot utilissima/Manihot esculenta Crantz) setelah

    melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Proses ekstraksi

    umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah.

    Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan

    berwarna putih bersih (Moorthy 2004).

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    34/130

    yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dalam air panas dan

    membentuk kekentalan yang dikehendaki (Sumaatmaja 1984). Selain itu, tapioka

    memiliki banyak kelebihan sebagai bahan baku karena harganya relatif murah,

    memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang

    terang, dan daya lekatnya yang baik (Radley 1976).

    Tepung tapioka memiliki kadar amilosa 17% dan amilopektin 83% dengan

    ukuran granula 10,1-20 m dan memiliki berat molekul 32 x 104

    39 x 104g/mol.

    Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 dapat dilihat pada Tabel

    2.

    Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994

    No. Jenis ujiPersyaratan

    Mutu I Mutu II Mutu III

    1. KeadaanSehat, tidak berbau apek atau masam, murni,tidak kelihatan ampas dan/atau bahan asing

    2. Kadar air maksimum (%) 15 15 15

    3. Kadar abu maksimum (%) 0,60 0,60 0,60

    4. Serat dan benda asingmaksimum (%)

    0,60 0,60 0,60

    5. Derajat putih minimum(BaSO4=100%) (%)

    94,5 92 92

    6. Kekentalan (Engler) 3-4 2,5-3

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    35/130

    b) Tepung sagu

    Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari keluarga (famili) Palmae.

    Tepung sagu diekstrak dari tanaman sagu (Metroxylon sago Rottb) yang diperoleh

    dari isi batang (empulur) melalui pengolahan yang sederhana. Setelah pohon

    ditebang, batang dipotong menjadi potongan-potongan sekitar 2-3 meter

    tergantung besar kecilnya garis tengah batang tersebut. Kemudian batang dibelah

    dua, empulur ditokok atau dipukul, hasil penokokan adalah tepung yang masih

    bercampur dengan serat. Kemudian pada tepung tersebut dilakukan ekstraksi,

    maka akan diperoleh pati sagu (Haryanto dan Pangloli 1992). Tepung sagu

    memiliki berat molekul 12,4x104gram/mol. Sifat fisik dan komposisi kimia pati

    sagu memiliki sifat tergantung pada panjang rantai karbonnya dan bercabang atau

    lurusnya rantai molekulnya. Pati sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin

    73% (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).

    Tepung sagu kaya dengan karbohidrat (pati) namun sangat miskin gizi

    lainnya. Ini terjadi akibat kandungan tinggi pati di dalam teras batang maupun

    proses pemanenannya. Seratus gram sagu kering setara dengan 355 kilo kalori.

    Di dalamnya rata-rata terkandung 94 g karbohidrat, 0,2 g protein, 0,5 g serat, 10

    mg kalsium, 1,2 mg besi, dan lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam

    jumlah sangat kecil (Wikipedia 2008a

    ). Pati sagu berbentuk elips (prolate

    ellipsoidal), mirip pati kentang dengan ukuran 5-80 mm dan relatif lebih besar

    daripada pati serelia (Wirakartakusumah et al. 1984).

    Kandungan amilopektin dalam tepung sagu berguna untuk memperbaiki

    tingkat mutu penampilan produk, tidak mudah menggumpal, dan memiliki daya

    rekat yang tinggi. Kandungan amilopektin tepung sagu dapat mempengaruhi

    kelarutan dan derajat gelatinisasi, semakin banyak kandungan amilopektin, maka

    pati akan bersifat tidak kering dan lengket, sedangkan kandungan amilosa

    menyebabkan pati bersifat kering dan kurang lengket serta cenderung menyerap

    air lebih banyak (Wirakartakusumah et al 1984) Sagu terdapat di Maluku Irian

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    36/130

    Tabel 3. Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 01-3729-1995

    No. Jenis uji Persyaratan

    1. Keadaana. Bau

    b. Warnac. Rasa

    Normal

    Normal

    Normal

    2. Benda asing tidak boleh ada

    3. Serangga (bentuk stadia dan potongannya) tidak boleh ada

    4. Jenis pati selain pati sagu tidak boleh ada

    5. Air (%) maksimum 13

    6. Abu (%) maksimum 0,5

    7. Serat kasar (%) maksimum 0,1

    8. Derajat asam (ml NaOH 1N/100 gram) maksimum 4

    9. SO2(mg/kg) maksimum 30

    10. Bahan tambahan makanan (bahan pemutih) sesuai SNI 01-0222-1995

    11. Kehalusan,lolos ayakan 100 mesh (%) minimum 95

    12. Cemaran logam

    a. Timbal (Pb) (mg/kg )

    b. Tembaga (Cu) (mg/kg)

    c. Seng (Zn) (mg/kg)

    d. Raksa (Hg) (mg/kg)

    maksimum 1,0

    maksimum 10,0

    maksimum 40,0

    maksimum 0,05

    13. Cemaran arsen (As)Mg/kg maksimum 0,5

    14. Cemaran mikroba

    a. Angka lempengan total (koloni/gram)

    b.E. coli(APM/gram)

    c. Kapang (koloni/gram)

    maksimum 106

    maksimum 10maksimum 104

    Sumber : BSN (1995b)

    Tabel 4. Sifat fisik pati tapioka dan sagu

    Parameter Tapioka Sagu

    Kandungan amilosa (%) 17 27

    Kandungan amilopektin (%) 83 73

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    37/130

    Tabel 5. Komposisi kimia pati tapioka dan sagu

    Komposisi zat gizi Tapioka

    Sagu

    Air (mg) 12 14

    Amilosa (mg) 17 27

    Karbohidrat (g) 86,9 84,7

    Protein (g) 0,5 0,7

    Lemak (g) 0,3 0,2

    Kadar abu (g) 0,19 0,4

    Kalsium (mg) - 11

    Magnesium (mg) 4 1,5

    Sodium (mg) 5 43

    Fosfor (mg) - 12,7

    Thiamin (mg) - 0,01

    Besi (mg) - 1,5

    Kalium (mg) 1 1,2

    Sumber : Departemen Kesehatan RI (1979) diacu dalam Haryanto dan Pangloli (1992)

    (3) Bumbu-bumbu

    Bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso berupa garam dapur

    halus, sedangkan bumbu penyedap dibuat dari campuran bawang putih dan

    merica. Garam dapur yang digunakan sekitar 2,5% dan bumbu penyedapnya

    sekitar 2% dari berat daging. Sebagai bumbu penyedap dapat juga digunakan

    bumbu campuran bawang merah, bawang putih, dan jahe dengan perbandingan

    15:3:1. Sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan monosodium glutamat

    atau vetsin (Wibowo 1999).

    a)

    Garam

    Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    38/130

    b) Bawang merah dan bawang putih

    Bawang merah sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein

    1,5%, lemak 0,3%, dan karbohidrat 9,2%. Selain itu, umbi bawang merah juga

    terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asama amino yang tidak berbau,

    tidak berwarna dan dapat larut dalam air (Wibowo 1999). Bawang merah

    mengandung cukup banyak vitamin B dan C dan biasanya bawang merah

    digunakan sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional.

    Bawang putih termasuk salah satu familia Liliaceae yang populer di dunia

    ini dengan nama ilmiahnyaAllium sativumLinn. Kandungan bawang putih antara

    lain air mencapai 60,9-67,8%, protein 3,5-7%, lemak 0,3%, karbohidrat

    24,0-27,4 % dan serat 0,7 %, juga mengandung mineral penting dan beberapa

    vitamin dalam jumlah tidak besar (Wibowo 1999). Bawang putih telah dikenal

    sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional.

    c)

    Lada

    Lada atau merica (Piper nigrumLinn) adalah tumbuhan penghasil rempah-

    rempah yang berasal dari bijinya. Lada sangat penting dalam komponen masakan

    dunia. Di Indonesia, lada terutama dihasilkan di Pulau Bangka (Wikipedia 2008b).

    Lada (Piper nigrumLinn) merupakan tanaman serba guna dimana buahnya dapatdimanfaatkan sebagai bumbu dalam berbagai masakan. Tujuan penambahan lada

    adalah sebagai pemberi aroma sedap, menambah kelezatan, dan memperpanjang

    daya awet makanan.

    d)

    Telur

    Telur merupakan salah satu bahan pangan yang paling lengkap gizinya,

    selain itu bahan pangan ini juga bersifat serbaguna karena dapat dimanfaatkan

    untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan baku untuk membuat kue.

    Bahan makanan ini mengandung protein sekitar 13% dan lemak sekitar 12% juga

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    39/130

    e) Gula

    Gula lebih banyak berperan memberikan citarasa daripada mengawetkan

    produk. Meskipun demikian pemakaian gula akan menyebabkan bakteri-bakteri

    asam berkembang terutama bakteri-bakteri yang dapat memfermentasi gula

    menjadi asam dan alkohol. Dengan timbulnya asam dan alkohol diharapkan akan

    dapat memperbaiki citarasa produk (Hadiwiyoto 1993).

    (4)

    Es atau air es

    Bahan penting lainnya dalam pembuatan bakso adalah es atau air es. Es

    yang digunakan sebaiknya berupa es batu. Bahan ini berfungsi membantu

    pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es

    berfungsi meningkatkan air ke dalam adonan kering selama pembentukan adonan

    maupun selama perebusan. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap

    rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin

    penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Untuk itu, dalam adonan

    bakso, dapat ditambahkan es sebanyak 15-20% atau bahkan 30% dari berat daging

    (Wibowo 2006).

    2.4.2 Pembuatan bakso ikan

    Proses pembuatan bakso ikan pada prinsipnya terdapat 4 tahap yaitu: (1)

    penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso; dan (4)

    pemasakan.

    (1) Penghancuran daging

    Tahap ini bertujuan untuk memperluas permukaan daging sehingga protein

    yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian jaringan lunak akan

    berubah menjadi mikro partikel (Wong 1989 diacu dalam Nurfianti 2007). Proses

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    40/130

    (2) Pembuatan adonan

    Setelah daging lumat dicuci dan dibersihkan menjadi surimi, daging ikan

    dicampur dengan garam dapur dan bumbu secukupnya. Setelah tercampur merata,

    ke dalam surimi tersebut ditambahkan tepung tapioka sedikit demi sedikit sambil

    diaduk dan dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pada saat

    pembentukan adonan bakso ikan ditambahkan es batu sekitar sekitar 15-20% atau

    bahkan 30% dari berat daging ikan lumat. Es ini berfungsi mempertahankan suhu

    dan menambah air ke dalam adonan agar adonan tidak kering dan rendemennya

    tinggi (Wibowo 2006).

    (3) Pencetakan

    Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap

    direbus atau dikukus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan

    dengan menggunakan tangan, caranya adalah adonan diambil dengan sendok

    makan kemudian diputar-putar dengan menggunakan tangan sehingga terbentuk

    bola bakso. Bagi mereka yang sudah mahir, untuk membuat bola bakso ini cukup

    dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas dan ditekan ke arah ibu

    jari. Adonan yang keluar dari lubang antara ibu jari dan telunjuk membentuk

    bulatan kemudian bulatan tersebut diambil dengan sendok (Wibowo 2006).

    (4) Pemasakan

    Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul

    membentuk suatu jaring-jaring. Kondisi optimum untuk pembentukan gel adalah

    pada kadar garam 0,6 M, pH 6, dan suhu 65 oC (Pomeranz 1991). Untuk

    mendapatkan kekuatan gel yang maksimum, bakso harus dijendalkan dengan cara

    direndam dengan air dengan suhu 28-30oC selama 1-2 jam atau pada suhu air

    45oC selama 20-30 menit.

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    41/130

    bakso yang direbus sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah

    matang dan dapat diangkat. Kematangan bakso juga dapat dilihat dengan melihat

    bagian dalam bakso. Biasanya perebusan bakso ini memerlukan waktu sekitar 15

    menit. Jika diiris, bekas irisan bakso yang sudah matang tampak mengilap agak

    transparan, tidak keruh seperti adonan lagi. Setelah cukup matang, bakso

    diangkat dan ditiriskan sambil didinginkan pada suhu ruang. Agar lebih cepat

    dingin, dapat dibantu dengan kipas angin asal dijaga dengan benar agar tidak

    terjadi kontaminasi kotoran setelah dingin, bakso dikemas dalam kantong plastikdan ditutup rapat. Sebaiknya bakso yang telah dikemas disimpan dalam lemari

    pendingin pada suhu yang terjaga sekitar 5oC.

    2.4.3 Mutu Bakso

    Mutu didefinisikan sebagai sekelompok sifat atau faktor pada komoditas

    yang membedakan tingkat pemuas atau daya terima (acceptability) dari suatu

    komoditas bagi konsumen atau pembeli. Unsur mutu yaitu segala sesuatu yang

    ada pada komoditas yang berlangsung mempengaruhi nilai pemuas atau nilai

    manfaat pada komoditas (Soekarto 1990). Syarat mutu bakso berdasarkan

    SNI 01-3819-1995 dapat dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6. Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)

    No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

    1 Keadaan

    1.1 Bau - Normal, khas ikan

    1.2 Rasa - Gurih

    1.3 Warna - Normal

    1.4 Tekstur - Kenyal2 Air %b/b Maks 80,0

    3 Abu %b/b Maks 3,0

    4 Protein %b/b Min 9,0

    5 Lemak - Maks 1,0

    6 Boraks - Tidak boleh ada

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    42/130

    untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, seperti mempertahankan

    mutu ikan, perbaikan terhadap cita rasa dan tekstur, nilai gizi dan daya cerna

    (Harikedua 1992).

    2.5.1 Perebusan

    Perebusan adalah salah satu cara pemasakan dimana bahan yang akan

    dimasak menerima panas melalui media air atau cara memasak makanan dalam air

    mendidih cepat dan bergolak, pada temperatur 212 oF (100 oC). Merebus ini

    biasanya dipakai dalam pengolahan makanan, sayuran, atau bahan yang

    bertepung. Temperatur yang tinggi akan mengeraskan (membuat liat) protein

    daging, ikan, dan telur. Air yang mendidih dengan cepat akan mengurai

    kehalusan makanan (delicated food) (Widyati 2001).

    Proses perebusan pada produk yang menggunakan pati bertujuan agar pati

    mengalami proses gelatinisasi, sehingga granula pati mengembang dan protein

    terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini disebabkan molekul-molekul air

    melakukan penetrasi ke dalam granula dan terperangkap dalam susunan molekul-

    molekul amilosa dan amilopektin (Muchtadi 1988). Kekuatan gel yang terbentuk

    setelah pemanasan dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan (Tanikawa 1985).

    2.5.2 Pengukusan

    Pengukusan merupakan salah satu cara pemasakan bahan dengan uap air

    secara langsung. Suhu atau panas yang didapat dari uap biasanya lebih panas,

    oleh karena itu jika memasak dengan cara pengukusan akan lebih cepat

    dibandingkan dengan cara perebusan (Widyati 2004).Prinsip pengolahan dengan cara pengukusan adalah dengan menggunakan

    uap air dengan air panas bersuhu 100oC dengan lama yang bervariasi sesuai

    dengan sifat bahan. Kisaran waktu untuk pengukusan umumnya 1-11 menit

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    43/130

    kokoh, protein akan mengeras karena mengalami koagulasi. Kadar air akan

    mengalami perubahan yang relatif sama.

    Pada waktu pengukusan, penyerapan air atau uap air oleh bahan yang

    berukuran besar lebih cepat sehingga kadar air bahan bertambah besar. Bahan

    yang dikukus pada waktu yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada

    bahan tersebut untuk kontak dan menyerap uap air lebih besar sehingga

    mengakibatkan peningkatan kadar air bahan (Lukman 1992 diacu dalam Sulistiyo

    2002).

    2.5.3 Pengaruh pemasakan terhadap komponen gizi

    Proses pemanfaatan panas seperti pemasakan dapat mengakibatkan

    perubahan pada penampakan secara umum, citarasa, bau dan tekstur ikan. Pada

    waktu proses pemasakan atau pengukusan sedang berlangsung, kebanyakan

    daging ikan dapat mengalami pengurangan kadar air. Bersamaan dengan

    keluarmya air tersebut, ikut pula terbawa komponen zat gizi yang lain seperti

    vitamin C (asam askorbat), riboflavin, tiamin, karoten, niasin, vitamin B-6, Co,

    Mg, Mn, Ca, P asam amino dan protein (Harikedua 1992; Harris 1989). Faktor-

    faktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air selama pengukusan,

    yaitu luas permukaaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan

    air (Harris 1989).

    Perubahan yang terjadi akibat pemanasan ini diperlukan untuk

    meningkatkan daya cerna atau untuk memanfaatkan perubahan warna atau cita

    rasa yang timbul pada makanan tersebut. Selain itu dapat terjadi perubahan yang

    tidak diinginkan, yang ditandai dengan menurunnya daya ekstraksi dan kelarutan

    protein, kehilangan kemampuan dalam membentuk gel, penurunan daya pengikat

    air dan daya emulsi lemak, serta sifat fungsional lain yang berperan terhadap

    pengembangan mutu produk perikanan (Suwandi 1990). Penyusutan daging

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    44/130

    2.6 Hubungan antara Bahan Pengisi danAshi

    Penambahan pati ke dalam daging ikan giling pada pembuatan gel

    kamaboko bertujuan untuk memperkuat ashi, terutama pada daging ikan yang

    memiliki ashi yang lemah, disamping itu juga untuk memodifikasi tekstur dan

    menurunkan biaya. Pati berperan sebagai bahan pengisi gel protein miofibril yang

    sederhana, tidak berinteraksi langsung dengan matriks protein surimi maupun

    mempengaruhi formasi protein tersebut karena pada proses pemasakan yang

    terjadi lebih dulu adalah gelasi protein diikuti dengan mengembangnya pati (Wu

    et al. 1985).

    Proses mengembangnya granula pati pada gel protein selama proses

    pemanasan dijelaskan oleh Lee dan Kim (1985) yang dikutip oleh Wu et al.

    (1985) sebagai berikut: selama proses pemanasan, pati mengalami gelatinisasi,

    granula mengembang dan memerlukan air. Selama perubahan ini granula pati

    mengembang pada tingkat tertentu dan menyebar melewati struktur jala protein

    ikan. Mengembangnya granula pati tersebut menyebabkan tekanan yang kuat

    pada matriks protein disertai dengan penarikan air yang berada di sekitar matriks

    protein sehingga menghasilkan gel yang lebih kuat dan kohesif. Wu et al. (1985)

    menegaskan bahwa efek meningkatnya kekuatan gel oleh pati tidak terjadi jika

    gelatinisasi tidak terjadi dalam pasta ikan.

    Menurut Okada (1973) yang dikutip oleh Suzuki (1981), agar pati

    menunjukkan pengaruhnya membangun ashi dibutuhkan suhu yang spesifik

    selama pemanasan. Wu et al. (1985) melaporkan bahwa setiap pati memiliki suhu

    gelatinisasi yang berbeda, seperti pati kentang 65oC, tapioka 69

    oC dan maizena

    73 o

    C. Suhu gelatinisasi juga tergantung pada konsentrasi pati, makin kental

    larutan, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai, sampai suhu tertentu

    kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun (Winarno 1997).

    Menurut Wu et al. (1985) pada proses pengolahan gel, saat pati dicampur

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    45/130

    Garam menghambat opening daerah kristal di dalam granula pati (Ganz 1965

    diacu dalam Fitrial 2000). Di dalam tepung, protein membentuk kompleks

    dengan pati pada permukaan granula sehingga menghambat pembebasan eksudat

    pati (Olkku dan Rha 1978 diacu dalam Wu et al. 1985).

    Menurut Okada (1973) dalam Suzuki (1981), penambahan pati akan

    berpengaruh terhadap sifat ashikamaboko jika hal dibawah ini terjadi:

    (1) granula pati harus tergelatinisasi;

    (2) pada saat terjadi gelatinisasi, granula pati menyerap air dan menjadi elastissehingga membantu pembentukan tekstur ashi;

    (3) granula pati yang telah tergelatinisasi lebih tahan terhadap kekuatan mekanis

    sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel protein daging.

    Penambahan pati optimum untuk mendapatkan kekuatan gel maksimum

    menurut Lee et al. (1992), sangat tergantung pada tipe pati yang ditambahkan.

    Menurut Wu et al. (1985) pati yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi untuk

    memperkuat ashi adalah pati kentang, tapioka dan maizena. Diantara pati-pati

    tersebut, pati kentang mempunyai pengaruh yang paling baik untuk menguatkan

    gel karena pati tersebut memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah besar air

    dan mengembang dengan diameter yang besar. Menurut Swinkels (1985)

    diameter granula pati kentang adalah sekitar 33 m, sedangkan granula tapiokasekitar 20 m dan pati jagung sekitar 15 m.

    Pengaruh fraksi yang terdapat pada pati terhadap ashigel telah dilaporkan

    oleh Suzuki (1981). Fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel

    dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat

    gel. Pati kentang mengandung 21% (b/b) amilosa dan 79% (b/b) amilopektin,

    sedangkan tapioka 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin (Swinkels

    1985).

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    46/130

    3. METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Waktu dan Tempat

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September

    2008. Pelaksanaan penelitian berlangsung di beberapa laboratorium yaitu

    Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan pada Balai Besar Pengembangan dan

    Pengendalian Hasil Perikanan (BPP2HP) Jakarta untuk kegiatan preparasi bahan

    baku dan pembuatan surimi, Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk kegiatan pembuatan bakso ikan,

    Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan IPB untuk analisis Total Volatile Base (TVB), Laboratorium Biokimia

    Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk analisis

    proksimat, Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian untuk

    analisis derajat putih, kekuatan gel dan Water Holding Capacity (WHC).

    Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB untuk uji pH, dan protein larut

    garam serta Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    IPB untuk uji lipat, uji gigit dan uji organoleptik.

    3.2 Bahan dan Alat

    3.2.1 Bahan

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan-bahan

    untuk pembuatan surimi dan bakso ikan, serta bahan-bahan untuk analisis

    karakteristik surimi dan bakso ikan. Bahan-bahan yang digunakan untuk

    pembuatan surimi adalah ikan HTS (kurisi, beloso, gulamah dan mata goyang),

    garam, air dan es. Bahan-bahan untuk pembuatan bakso ikan adalah surimi ikan

    HTS, tepung tapioka Alini, tepung sagu Alini,air es dan bumbu-bumbu

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    47/130

    3.2.2 Alat

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi

    peralatan yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan, serta peralatan

    yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan. Peralatan

    yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan meliputi: cool box,

    wadah air bersih (teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone

    separator) Muika Equipment MS-120, pelumat daging (grinder) elektrik, alat

    pengepres hidrolik, kain kasa saring, food processor, plastik, kompor gas, panci

    perebusan, refrigerator dan timbangan digital. Peralatan yang digunakan untuk

    analisis karakteristik surimi dan bakso ikan meliputi labu Kjeldahl, perangkat alat

    destilasi, perangkat alat ekstraksi soxhlet, oven, desikator, cawan conway dan

    tutup cawan, tanur pengabuan, pH meter, sentrifus dingin, Rheoner RE 3305,

    coloring measuring and difference calculating digital display system, kertas

    saring, pipet volumetrik, inkubator dan peralatan jenis lainnya.

    3.3 Tahapan Penelitian

    Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap proses yaitu penelitian

    pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan

    penentuan surimi dengan faktor perlakuan frekuensi pencucian dan penggunaan

    hidrogen peroksida (H2O2). Pada penelitian utama dilakukan penentuan bakso

    dengan faktor perlakuan formulasi jenis tepung pati (tapioka dan sagu) dari

    masing-masing cara pemasakan (perebusan dan pengukusan).

    3.3.1 Penelitian Pendahuluan

    Penelitian pendahuluan diawali dengan pembuatan daging lumat dengan

    menggunakan alat meat-bone separator. Masing-masing daging lumat sebelum

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    48/130

    pencucian serta penambahan 0, 10, 20 dan 30 ppm H2O2. Proses pencucian surimi

    ini dilakukan pada suhu 010oC yang yang disertai dengan pengadukan selama

    kurang lebih 10 menit. Selanjutnya, daging lumat yang telah dicuci, dipressuntuk

    dibuang airnya serta ditambahkan sukrosa (4%) dan sorbitol (4%) sebagai

    cryprotectant. Surimi yang telah dibuat dianalisis karakteristik fisik dan kimianya

    yang meliputi kadar air, kadar protein, nilai pH, WHC, derajat putih, dan kekuatan

    gel, sehingga diketahui mutu surimi yang dihasilkan. Diagram alir penelitian

    tahap pertama disajikan pada Gambar 1.

    Pencucian

    Penyiangan (kepala, sisik dan jeroan)

    Pencucian

    Pemisahan daging dari tulang dan kulit denganMeat Bone Separator

    Pengepresan

    Pencucian

    daging ikan: air =1:3

    (suhu 0-10oC, selama 10 menit)

    Analisis :

    proksimat, pH,

    TVB dan PLG

    Ikan HTS

    1 kali

    2 kali3 kali

    Daging lumat ikan

    H2O20 ppmH2O210 ppm

    H2O220 ppmH2O230 ppm

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    49/130

    3.3.2 Penelitian Utama

    Penelitian utama merupakan aplikasi surimi terbaik hasil penelitian

    pendahuluan pada pembuatan bakso ikan HTS. Bakso ini dibuat dengan

    formulasi dua macam tepung yaitu tepung tapioka dan tepung sagu dengan

    perbandingan 10%:0%; 7,5%:2,5%; 5%:5%; 2,5%:7,5% dan 0%:10%; dan

    dilakukan dengan dua cara pemasakan yaitu perebusan atau pengukusan. Jenis

    dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan

    bakso ikan disajikan pada Tabel 7.

    Tabel 7. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan

    dalam pembuatan bakso ikan

    Jenis bahan baku dan bahan tambahan Komposisi

    Surimi ikan HTS (gram)

    Tepung tapioka

    Tepung saguEs atau air dingin

    Telur

    Bawang merah

    Bawang putih

    Garam

    Lada bubuk

    A

    x% A

    y% A5-10% A

    10% A

    2,5% A

    2,5% A

    2,5% A

    0,5% A

    Keterangan:

    x = 10%; 7,5%; 5%; 2,5% dan 0%y = 0%; 2,5%; 5%; 7,5% dan 10%

    Proses pembuatan bakso ikan diawali dengan mencampurkan surimi

    terbaik dengan komposisi bahan tambahan lainnya (tepung tapioka, tepung sagu,

    air dingin, telur, bawang merah, bawang putih, gara dan lada bubuk) dengan

    menggunakan food processor agar adonan tercampur merata. Kemudian

    dilakukan pembentukan adonan menjadi bola bakso dengan menggunakan tangan,

    caranya adalah dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas dan

    ditekan ke arah ibu jari. Adonan yang keluar dari lubang antara ibu jari dan

    telunjuk membentuk bulatan kemudian diambil dengan sendok. Selanjutnya

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    50/130

    tepung sagu). Untuk menentukan karakteristik bakso yang diinginkan, maka pada

    setiap perlakuan bakso dianalisis karakteristik fisik dan organoleptiknya dengan

    menganalisis derajat putih, kekuatan gel, WHC, uji lipat, uji gigit dan uji

    organoleptik. Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 2.

    Pengadonan

    Pengadukan dan pencetakan

    dengan tangan

    Perendaman air hangat (20-40oC)

    30-60 menit

    Pengujian :

    Organoleptik, fisik (gel stength, derajat putih, uji

    lipat, uji gigit dan WHC) dan kimia (proksimat)

    Perebusan

    (85-100oC sampai

    bakso mengapung)

    Pengukusan

    7 menit

    Formulasi tepung :- Tapioka 10%

    - Tapioka 7,5% +

    sagu 2,5%

    - Tapioka 5% +

    sagu 5%

    - Tapioka 2,5% +

    sagu 7,5%

    - Sagu 10%

    - Garam 2,5%- Telur 10%

    - Lada 0,5%

    - Bawang

    merah 2,5%- Bawang

    putih 2,5%

    Ikan HTS

    Surimi

    Bakso ikan

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    51/130

    3.4 Prosedur Analisis

    Analisis yang dilakukan dalam penelitian meliputi fisik, kimia, dan

    sensori/organoleptik. Analisis karakteristik fisik terdiri dari kekuatan gel dan

    derajat putih untuk surimi dan bakso ikan. Analisis karakteristik kimia daging

    ikan terdiri dari kadar proksimat, nilai pH dan TVB; untuk surimi terdiri dari

    kadar air, kadar protein, pH, WHC dan protein larut garam; sedangkan untuk

    bakso terdiri dari kadar proksimat dan WHC. Analisis karakteristik

    sensori/organoleptik untuk surimi terdiri dari uji lipat dan uji gigit, sedangkanuntuk bakso ikan terdiri dari uji gigit, uji lipat dan uji skoring (skor mutu).

    3.4.1 Analisis organoleptik (uji skoring) (Rahayu 1998)

    Penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan metode

    penilaian yang sering digunakan karena dapat digunakan secara cepat dan

    langsung. Penerapan penilaian organoleptik dalam praktek nyata disebut uji

    organoleptik yang dilakukan sesuai prosedur tertentu. Sistem penilaian

    organoleptik telah dibakukan dan telah dijadikan alat penilaian di dalam

    laboratorium. Dalam hal ini, prosedur penilaian memerlukan pembakuan baik

    dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisis data.

    Dalam uji organoleptik, indera yang berperan dalam pengujian yaitu indera

    penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Selain itu, untuk

    melakukan uji ini diperlukan panelis. Panelis dapat digolongkan menjadi

    beberapa golongan, yaitu panelis terbatas, panelis terlatih, panelis agak terlatih,

    panelis tidak terlatih, dan panelis konsumen.

    Uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu

    berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji ini

    diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji

    ini adalah pemberian sutu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu,

  • 8/10/2019 pengaruh jenis tepung

    52/130

    Metode ini menggunakan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan

    angka 9 (sembilan) untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk ini adalah

    5 (lima) artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai yang sama

    atau lebih kecil dari lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar dan

    tidak bisa memperoleh Sertifikat Mutu Ekspor. Skala a