pengaruh jenis tepung
TRANSCRIPT
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
1/130
PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA PEMASAKAN
TERHADAP MUTU BAKSO DARI SURIMIIKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)
Oleh :
Elvina Fuji Astuti
C34104016
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
2/130
RINGKASAN
ELVINA FUJI ASTUTI. C34104016. Pengaruh Jenis Tepung dan Cara
Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan
(HTS). Dibimbing oleh JOKO SANTOSOdan WINI TRILAKSANI.
Pemanfaatan ikan Hasil Tangkap sampingan (HTS) belum dilakukan secara
optimal padahal kelompok ikan ini memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi. Ikan HTS cukup potensial untuk diolah menjadi surimi, yaitu bahan bakuuntuk produk-produkfish jellyseperti bakso ikan, namun ikan HTS ini umumnya
jarang ditemukan dalam kondisi yang sangat segar karena jenis ini tertangkap
bersama-sama dengan ikan hasil tangkapan utama (target) sehingga
penanganannya kurang diperhatikan. Untuk memperbaiki mutu surimi ikan HTS
yang akan dijadikan sebagai bahan baku bakso ikan, dilakukan teknik pencucian
dengan penambahan hidrogen peroksida (H2O2) yang berfungsi sebagai oxidizing
agent.
Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk membuat surimi campuran ikanhasil tangkap samping (HTS) dengan teknik pencucian menggunakan H2O2.
Tujuan penelitian utama adalah mempelajari pengaruh penggunaan surimi
campuran ikan HTS terbaik dengan penambahan tepung tapioka dan tepung sagu
secara tunggal maupun kombinasi keduanya dalam pembuatan bakso ikan serta
pengaruh metode pemasakan (perebusan dan pengukusan).
Nilai kekuatan gel tertinggi sebesar 457,5 g.cm yang diperoleh dari surimi
dengan frekuensi pencucian 2 kali tanpa penambahan H2O2 dan surimi dengan
frekuensi pencucian 1 kali dengan penambahan H2O2 10 ppm. Surimi dengan
frekuensi pencucian 2 kali tanpa penambahan H2O2 dijadikan sebagai surimiterbaik karena mampu menghasilkan kekuatan gel tertinggi melalui pencucian
hanya dengan air dan dinilai lebih aman.
Bakso D atau bakso ikan dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung
sagu 7,5% merupakan bakso ikan terbaik untuk bakso yang dimasak dengan cara
perebusan dengan nilai karakteristik organoleptik rasa (6,83), tekstur (7,57); dan
nilai karakteristik fisik seperti kekuatan gel (505,5 g.cm), uji lipat (4,03), uji gigit
(7,23); serta memperoleh karakteristik kimia yang sesuai standar mutu bakso ikan
(SNI 01-3819-1995) dengan air (73,90%), abu (1,85%), protein (9,70%), lemak(0,50%), dan karbohidrat (14,05%). Bakso ikan terbaik yang dimasak dengan
cara pengukusan didapatkan dari bakso C (tepung tapioka 5% dan tepung sagu
5%) dengan karakteristik organoleptik penampakan (7,37), aroma (7,53), rasa
(7,00), tekstur (7,73); dan karakteristik fisik meliputi kekuatan gel (371,25 g.cm),
uji gigit (7,13); serta memperoleh karakteristik kimia yang sesuai
SNI 01 3819 1995 d i (73 45%) b (1 99%) i (10 07%) l k
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
3/130
PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA PEMASAKAN
TERHADAP MUTU BAKSO DARI SURIMIIKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :Elvina Fuji Astuti
C43104016
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
4/130
Judul : PENGARUH JENIS TEPUNG DAN CARA
PEMASAKAN TERHADAP MUTU BAKSO DARI
SURIMI IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN
(HTS)
Nama Mahasiswa : Elvina Fuji Astuti
NRP : C34104016
Menyetujui,
Pembimbing I
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si
NIP 131 999 592
Pembimbing II
Ir. Wini Trilaksani, M.Sc
NIP 131 578 851
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
5/130
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Jenis Tepung dan Cara
Pemasakan terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap
Sampingan (HTS) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Elvina Fuji Astuti
NRP : C34104016
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
6/130
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 19
Januari 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara
pasangan Bapak Aang Mulya Sukmana dan Ibu Iis Idah.
Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1992
di SDN II Sukarame, kemudian tahun 1998 dilanjutkan keSLTPN 3 Singaparna dan SMUN 1 Singaparna sampai
dinyatakan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Hasil
Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi dan kepanitiaan.
Organisasi yang pernah diikuti antara lain: Club Teater Asrama Tingkat Persiapan
Bersama (TPB) (2004-2005), Himpunan Mahasiswa Hasil Perikanan
(HIMASILKAN) periode 2006-2007 dan Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya
(HIMALAYA) dari tahun 2004 hingga sekarang. Kegiatan kepanitiaan yangpernah diikuti diantaranya Gemar Makan Ikan (GMI), SANITASI, pelatihan
pembuatan produk perikanan dan berbagai seminar lainnya. Penulis juga pernah
tercatat sebagai asisten mata kuliah Penanganan Hasil Perairan (2006/2007) dan
Ilmu dan Teknologi Surimi (2008/2009).
Sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana, penulis melakukan penelitian
yang berjudul Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan terhadap Mutu
Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS). Di bawah
bimbingan Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ir. Wini Trilaksani, M.Sc.
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
7/130
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala
karunia, limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul Pengaruh Jenis Tepung dan Cara Pemasakan
terhadap Mutu Bakso dari Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS).
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjanapada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mendapat banyak dukungan, baik moral maupun materi untuk dapat
menyelesaikan tugas ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu, diantaranya
adalah:
1. Ayahanda Aang Mulya Sukmana dan Ibunda Iis Aisyah serta Umi Iis idah
dan bapak Paryaman, terima kasih untuk doa yang tidak terputus, kasih
sayang, restu, dukungan moral dan materi sehingga penulis mampu
menjalankan amanah untuk belajar di IPB dan menghasilkan karya ini.
2. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc sebagaidosen-dosen pembimbing yang telah sabar mengajarkan, membimbing dan
memberi masukan pada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan banyak nasehat, petunjuk dan bimbingan kepada penulis
selama menjadi mahasiswa THP.
4. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si
sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam
menyempurnakan tugas akhir penulis.
5. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl Biol sebagai komisi pendidikan
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
8/130
8. Teman-temanku satu bimbingan Luh Putu Ari Widiani, Marya Ulfah dan
Deslina Zahra Nauli, terima kasih atas solidaritas, kerjasama, usaha dansemangatnya.
9. Yayandi Gushagia, Yudha Adi Pradana, Sereli Pia, Nia DH, Eka A, Enifia
DK, Ardilla P, Anang F, Rijal NH, Ika P, Dede S, terima kasih banyak atas
pengorbanan waktu dan tenaganya.
10.Teman THPku satu tempat tinggal Tri Septiarini di Wahda Indah tercinta
yang sudah bersama selama lebih dari 3 tahun, serta teman-teman WI yang
lain seperti mba Acen, Simaw, Mada, Icha, mba Ressy, Ony dan mba Roza,
terima kasih sudah mau berbagi segala hal denganku tentang pentingnya
barbagi, memahami, mengingatkan, menjaga hati, dan semua hal yang indah
lainnya.
11.Teman-teman THP 41 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu,terima kasih banyak atas bantuannya, kebersamaaan, keceriaan, kekompakan,
persahabatan dan pengalaman berharga selama kita belajar bersama di THP
tercinta serta memberi arti bahwa hidup penuh dengan warna karena setiap
orang punya cara pandang, sifat, kebiasaan dan sikap hidup yang berbeda.
12.Bu Ema, Mba Icha, dan Mas Zaki yang banyak membantu segala sesuatu yang
berkaitan dengan kegiatan penelitian.
13.Adik-adik THP 42 yang banyak membantu dalam penelitian ini baik sebagai
panelis maupun dorongan semangatnya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih ada
kekurangannya, meskipun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Januari 2009
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
9/130
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ xii
1. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5
2.1 Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS) .......................................... 5
2.2 Protein Daging Ikan ...................................................................... 6
2.2.1 Protein sarkoplasma .......... .................................................... 7
2.2.2 Protein miofibril ................................................................... 8
2.2.3 Protein stroma ...................................................................... 9
2.3 Surimi ........................................................................................... 9
2.3.1 Definisi surimi ...................................................................... 10
2.3.2 Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi ............................ 11
2.3.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi ............................ 122.3.4 Pembentukan gel .................................................................. 14
2.4 Bakso Ikan .................................................................................... 15
2.4.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan ................... ...... 16
2.4.2 Pembuatan bakso ikan .......................................................... 23
2.4.3 Mutu bakso ..................................................................... ...... 25
2.5 Proses Pemasakan ......................................................................... 25
2.5.1 Perebusan ............................................................................. 26
2.5.2 Pengukusan .......................................................................... 26
2.5.3 Pengaruh pemasakan terhadap komponen gizi ...................... 27
2.6 Hubungan antara Bahan Pengisi danAshi...................................... 28
3. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 30
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
10/130
3.3 Tahapan Penelitian .................... .................................................... 31
3.3.1 Penelitian pendahuluan .......................................................... 313.3.2 Penelitian utama .................................................................... 33
3.4 Prosedur Analisis ..................................................................... ...... 35
3.4.1 Analisis organoleptik (uji skoring)( Rahayu 1998) ........... ...... 35
3.4.2 Analisis fisik ......................................................................... 36
(1) Uji kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah
dimodifikasi) ................................................................... 36
(2) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) ............................... 36
(3) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) ....................... 37
(4) Uji derajat putih (Whiteness) (Park 1994 diacu dalam
Chaijan et al. 2004) .......................................................... 37
(5) Water holding capacity(WHC) (Grau dan Hamm 1972
diacu dalam Faridah et al. 2006) ...................................... 38
3.4.3 Analisis kimia .................... .................................................... 38
(1) Kadar air (AOAC 1995) .................... ............................. 39(2) Kadar abu (AOAC 1995) .................... ............................. 39
(3) Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995) .............. 39
(4) Kadar lemak (AOAC 1995) ............................................. 40
(5) Kadar karbohidrat (by difference) .................................... 40
(6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964
diacu dalam Eryanto 2006) ........................................ ...... 41
(7) Nilai pH (Suzuki 1981) ................................................... 41
(8) Total volatile base(TVB) (BSN 1998) ............................ 41
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data .......... ............................. 42
4. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 46
4.1 Karakteristik Bahan Baku Ikan Hasil Tangkap Samping (HTS) ..... 46
4.2 Karakteristik Surimi Ikan HTS ...................................................... 47
4.2.1 Karakteristik fisik surimi ikan HTS................................. ...... 48
(1) Kekuatan gel ................................................................... 48
(2) Derajat putih ................................................................... 49
(3) Water Holding Capacity (WHC) ..................................... 51
4.2.2 Karakteristik kimia surimi ikan HTS ..................................... 53
(1) Kadar air 53
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
11/130
(2) Aroma ............................................................................. 60
(3) Rasa ................................................................................ 63
(4) Tekstur ............................................................................ 64
4.3.2 Karakteristik fisik bakso ikan HTS .......... ............................. 66
(1) Kekutan gel .................................................................... 67
(2) Uji lipat ..................................................................... ...... 69
(3) Uji gigit .......................................................................... 71
(4) Derajat putih ................................................................... 73
(6) Water holding capacity (WHC) .......... ............................. 74
4.3.3 Karakteristik kimia bakso ikan HTS ..................................... 76
(1) Kadar air ......................................................................... 76
(2) Kadar abu .................... .................................................... 78
(3) Kadar protein .................................................................. 80
(4) Kadar lemak .................................................................... 81
(5) Kadar karbohidrat .............................. ............................. 83
5. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 85
5.1 Kesimpulan ................................................................................... 85
5.2 Saran ............................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 86
LAMPIRAN............................................................................................. 94
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
12/130
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Rendemen surimi dari beberapa jenis ikan hasil tangkap samping ........ 6
2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 ...................... 18
3. Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 01-3729-1995 ..................... ...... 20
4.
Sifat fisik pati tapioka dan sagu ............................................................ 205. Komposisi kimia pati tapioka dan sagu ................... ............................. 21
6. Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) ........... ............................. 25
7. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang
digunakan dalam pembuatan bakso ikan ................... ............................. 33
8. Komposisi kimia daging ikan HTS .................................................. ...... 46
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
13/130
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram alir proses pembuatan surimi ................... ............................. 32
2. Diagram alir prosedur pembuatan bakso ikan ...................................... 34
3. Diagram batang nilai kekuatan gel surimi ikan HTS ............................ 48
4. Diagram batang nilai derajat putih surimi ikan HTS ............................ 50
5. Diagram batang nilai WHC surimi ikan HTS ...................................... 52
6. Diagram batang kadar air surimi ikan HTS .......................................... 54
7. Diagram batang kadar protein surimi ikan HTS ................................... 55
8. Diagram batang nilai pH surimi ikan HTS ........................................... 56
9. Diagram batang penampakan bakso ikan HTS ..................................... 59
10. Diagram batang aroma bakso ikan HTS ........................................ ...... 61
11. Diagram batang rasa bakso ikan HTS .................................................. 63
12. Diagram batang tekstur bakso ikan HTS ............................................. 65
13. Diagram batang kekuatan gel Bakso ikan HTS .............................. ...... 67
14. Diagram batang uji lipat bakso ikan HTS ............................................ 70
15. Diagram batang uji gigit bakso ikan HTS ............................................ 72
16. Diagram batang derajat putih bakso ikan HTS..................................... 74
17. Diagram batang water holding capacity(WHC) bakso ikan HTS ........ 75
18. Diagram batang kadar air bakso ikan HTS .......................................... 77
19. Diagram batang kadar abu bakso ikan HTS ......................................... 79
20. Diagram batang kadar protein bakso ikan HTS ................................... 80
21. Diagram batang kadar lemak bakso ikan HTS ..................................... 82
22. Diagram batang kadar karbohidrat bakso ikan HTS ............................. 83
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
14/130
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lembar penilaian (score sheet) organoleptik bakso ikan ...................... 95
2. Data hasil uji analisis fisik surimi ikan HTS ........... ............................. 96
3. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan
konsentrasi H2O2terhadap nilai kekuatan gel ...................................... 96
4. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan
konsentrasi H2O2terhadap nilai derajat putih .......... ............................. 96
5. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi
pencucian surimi dan konsentrasi H2O2terhadap nilaiWaterHolding
Capacity(WHC) ................................................................................. 96
6. Data hasil uji analisis kimia surimi ikan HTS ...................................... 97
7. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensipencucian surimi dan konsentrasi H2O2terhadap nilai kadar air .......... 97
8. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian surimi dan
konsentrasi H2O2terhadap nilai kadar protein ..................................... 98
9. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh frekuensi
pencucian surimi dan konsentrasi H2O2terhadap nilai pH ................... 98
10. Data hasil uji organoleptik bakso dari surimi ikan HTS yang direbus .. 99
11. Data hasil uji organoleptik bakso dari surimi ikan HTS yang dikukus . 100
12. Hasil uji Kruskal-Wallisterhadap penampakan dari setiap formula
bakso ikan HTS yang direbus .......... .................................................... 101
13. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjutMultiple Comparisonsterhadap
penampakan dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus ........... 101
14. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjutMultipleComparisonsterhadap
aroma dari setiap formula baksoikan HTS yang direbus ..................... 10215. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjutMultiple Comparisonsterhadap
aroma dari setiap formula bakso ikan HTS yang dikukus .................... 102
16. Hasil uji Kruskal-Wallisterhadap rasa dari setiap formula bakso ikan
HTS yang direbus ................................................. ............................. 103
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
15/130
20. Data hasil uji analisis fisik bakso dari surimi ikan HTS ....................... 105
21.
Data hasil uji lipat dan uji gigit bakso dari surimi ikan HTS yangdirebus dan dikukus ............................................................................ 106
22. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuatan gel
bakso ikan HTS yang direbus .......... .................................................... 107
23. Hasil analisis ragam terhadap kekuatan gel bakso ikan HTS yang
dikukus ......................................................................................... ...... 107
24. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjut terhadap uji lipat dari setiap
formula bakso ikan HTS yang direbus .................... ............................. 107
25. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjut terhadap uji lipat dari setiap
formula bakso ikan HTS yang dikukus ................... ............................. 108
26. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjut terhadap uji gigit dari setiap
formula bakso ikan HTS yang direbus .................... ............................. 109
27. Hasil uji Kruskal-Wallisdan uji lanjut terhadap uji gigit dari setiap
formula bakso ikan HTS yang dikukus ................... ............................. 109
28. Hasil analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan HTS yang
direbus ................................................................................................ 110
29. Hasil analisis ragam terhadap derajat putih bakso ikan HTS yang
dikukus ......................................................................................... ...... 110
30. Hasil analisis ragam terhadapWater Holding Capacity(WHC) bakso
ikan HTS yang direbus .................... .................................................... 110
31. Hasil analisis ragam terhadapWater Holding Capacity(WHC) baksoikan HTS yang dikukus ................... .................................................... 110
32. Data hasil uji analisis kimia bakso dari surimi ikan HTS ..................... 111
33. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar air bakso
ikan HTS yang direbus .................... .................................................... 111
34. Hasil analisis ragam terhadap kadar air bakso ikan HTS
yang dikukus ....................................................................................... 111
35. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar abu bakso
ikan HTS yang direbus .................... .................................................... 112
36. Hasil analisis ragam terhadap kadar abu bakso ikan HTS
yang dikukus ....................................................................................... 112
37 Hasil analisis ragam terhadap kadar protein bakso ikan HTS yang
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
16/130
40. Hasil analisis ragam terhadap kadar lemak bakso ikan HTS yang
dikukus ......................................................................................... ...... 113
41. Hasil analisis ragam terhadap kadar karbohidrat bakso ikan HTS yang
direbus ................................................................................................ 113
42. Hasil analisis ragam terhadap kadar karbohidrat bakso ikan HTS yang
dikukus ......................................................................................... ...... 113
43. Gambar bakso ikan dari surimi ikan HTSyang direbus ....................... 114
44. Gambar bakso ikan dari surimi ikan HTSyang dikukus ...................... 114
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
17/130
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekayaan sumberdaya laut Indonesia sangat berlimpah, mengingat dua per
tiga wilayah Indonesia terdiri dari laut, potensi perikanan sebesar 6,26 juta
ton/tahun namun belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun
2005, total produksi perikanan 4,71 juta ton, sekitar 75% (3,5 juta ton) berasal
dari tangkapan laut dan 25% berasal dari tangkapan budidaya (DKP 2007).
Tingkat pemanfaatan hasil tangkapan laut terutama untuk ikan-ikan non-ekonomis
belum dilakukan secara optimal. Hal ini disebabkan pemanfaatannya masih
terbatas dalam bentuk olahan tradisional dan konsumsi segar. Akibatnya ikan-
ikan tidak ditangani dengan baik di kapal, sehingga ikan yang didaratkan bermutu
rendah (2030%), sehingga berdampak pada tingginya tingkat kehilangan (losses)
sekitar 30-40%. Lebih jauh lagi, ekspor hasil perikanan Indonesia hingga saat ini
masih didominasi oleh ikan dalam bentuk gelondongan dan belum diolah.
Sebagai konsekuensinya, usaha pengolahan produk hasil perikanan di Indonesia
belum bergairah.
Produksi tangkapan laut yang melimpah dimanfaatkan dalam bentuk basah
sebesar 57,05%; bentuk olahan tradisional sebesar 30,19%; bentuk olahan modern
sebesar 10,90% dan olahan lainnya 1,86% (DKP 2007). Disisi lain ikan hasil
tangkap sampingan (HTS/by catch) pukat udang dan sisa olahan (by product)
industri perikanan juga belum dimanfaatkan secara optimal sehingga ikan HTS
khususnya ikan-ikan non-ekonomis yang tidak termanfaatkan dibuang ke laut
dengan demikian terjadi kehilangan nilai jual ikan.
Hasil penelitian Purbayanto et al. (2004) menunjukkan bahwa jumlah HTS
pada perikanan pukat udang yang melimpah merupakan potensi sangat besar bagi
pengembangan industri perikanan. Sebagai contoh, di wilayah perairan Laut
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
18/130
teknologi tepat guna yang efisien, efektif, dan terjangkau. Teknologi tersebut
berupa mesin pemisah daging dan tulang ikan HTS menjadi surimi. MenurutNakai dan Modler (2000), surimi merupakan istilah dalam Bahasa Jepang untuk
daging lumat dan jaringan ikan yang dicuci. Produksi surimi secara komersial
dibuat dengan menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging
lumat ikan dari tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali)
dengan air atau larutan garam. Proses pencucian menghilangkan sebagian besar
komponen yang larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak.
Setelah pencucian terakhir, daging lumat diperas dan dicampur dengan
cryoprotectant yang tepat untuk mencegah denaturasi protein selama
penyimpanan beku.
Hasil tangkap sampingan (HTS) yang bisa dimanfaatkan hanya 37% dari
jumlah total, sedangkan selebihnya dibuang ke laut (63%). Pemanfaatan ini masih
dikelola oleh anak buah kapal (ABK) dalam bentuk produk beku maupun kering
(salted fish). Penanganan HTS dalam bentuk ikan beku masih dilakukan dengan
cara sederhana, ikan-ikan ini dimasukkan ke dalam pan untuk proses pembekuan
selama 3-4 jam. Setelah beku, ikan-ikan ini kemudian dimasukkan ke dalam
karung dan setiap karungnya berisi 3-4 pan. Penanganan seperti ini menyebabkan
penurunan mutu ikan dan ikan berada dalam kondisi kurang segar. Oleh karena
itu, diperlukan suatu teknik pengolahan yang dapat mengurangi tingkat kerusakan
pada ikan terutama nilai gizi protein. Salah satu solusinya adalah dengan
penggunaan oksidator pada saat proses pencucian ikan menjadi surimi. Menurut
Liu dan Xiong (2000) diacu dalam Patcharat et al. (2005), oksidator dapat
menyebabkan oksidasi pada protein, terutama melalui formasi disulfida (ikatan
penting dalam proses pembentukan gel), fragmen-fragmen protein yang
didegradasi dari protein daging membentuk ikatan silang dan agregat protein
dibentuk lebih besar sehingga dapat memperbaiki kemampuan membentuk gel.
Salah satu oksidator yang aman digunakan adalah hidrogen peroksida (H2O2)
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
19/130
dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diijinkan
(BSN 1995a).
Pemanfaatan ikan HTS menjadi produk bakso adalah karena potensi pasar
bakso di Indonesia yang berpenduduk sangat besar ini sangat tinggi, dapat
dibayangkan betapa besar potensi pasar bakso di Indonesia jika lebih dari 50%
remaja, terutama di kota besar merupakan bakso mania. Belum lagi usia anak-
anak dan dewasa. Karena itu, tidak heran jika beberapa pengusaha mancanegara
seperti Malaysia dan Singapura mulai melirik kota-kota besar Indonesia seperti
Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta dan Medan untuk memasarkan baksonya
(Wibowo 2006). Selain itu, dari produk olahan ikan segar dan beku yang terdapat
dipasaran saat ini, yang berasal dari produk lokal seperti otak-otak, nugget dan
aneka bakso kebanyakan, ternyata pengunjung supermarket masih lebih menyukai
bakso ikan/udang/cumi-cumi dan otak-otak. Hal tersebut dapat dilihat dari urutan
volume penjualan produk olahan ikan di beberapa pasar modern, dimana bakso
ikan tetap berada pada urutan pertama, diikuti oleh otak-otak dan nugget ikan,
dengan urutan persentase 40%, 30%, dan 20%, sedangkan 10% merupakan
produk lainnya, termasuk produk impor (Anonim 2007).
Dalam penelitian kali ini, digunakan tepung tapioka dan tepung sagu sebagai
bahan pengisi untuk formulasi bakso ikan dari surimi campuran beberapa ikan
HTS. Tepung tapioka memiliki banyak kelebihan yaitu harganya relatif murah,
memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang
terang, dan daya lekatnya yang baik (Radley 1976). Begitu pula dengan tepung
sagu yang memiliki ukuran granula yang lebih besar dari tepung tapioka (16-25,4
m) sehingga sifat kedua tepung tersebut mampu memperbaiki kualitas bakso
ikan yang dihasilkan. Selama ini, proses pemasakan yang umum digunakan pada
bakso ikan adalah perebusan. Surimi atau produk-produk berbasis surimi
menggunakan cara perebusan atau pengukusan untuk proses cooking-nya agar
terbentuk gel yang elastis Oleh karena itu dalam penelitian ini proses
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
20/130
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
(1) membuat surimi campuran ikan hasil tangkap samping (HTS) dengan teknik
pencucian menggunakan H2O2 serta menganalisis karakteristik fisik dan
kimianya untuk menentukan surimi yang terbaik;
(2) mempelajari pengaruh penggunaan surimi campuran ikan HTS terbaik
dengan penambahan tepung tapioka dan tepung sagu secara tunggal maupun
kombinasi keduanya dalam pembuatan bakso ikan serta pengaruh metode
pemasakan (perebusan dan pengukusan) dengan menganalisis karakteristik
fisik, kimia dan organoleptik bakso ikan untuk menentukan formulasi
tepung terbaik dari masing-masing cara pemasakan yang dipakai.
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
21/130
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Hasil Tangkap sampingan (HTS)
Potensi sumber daya laut Indonesia dapat memberikan manfaat yang besar
bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, produksi perikanan
Indonesia didominasi oleh perikanan tangkap. Sebagian dari hasil tangkapan
perikanan tropis adalah ikan dengan nilai ekonomis rendah. Organisme laut atau
ikan-ikan yang tidak termasuk ke dalam tujuan penangkapan utama merupakan by
catch (hasil tangkap sampingan) yang biasanya terdiri dari berbagai jenis dan
ukuran (Purbayanto et al.2004).
Ikan hasil tangkap sampingan (by catch) adalah ikan yang ikut tertangkap
dalam suatu operasi penangkapan ikan tertentu (biasanya udang) yang sebenarnya
tidak ditujukan untuk menangkap ikan tersebut. Jenis ikan tersebut pada
umumnya kurang memiliki nilai ekonomis dan seringkali tidak dibawa ke daratan.
Masalah yang menyebabkan rendahnya nilai ekonomis ikan tersebut adalah
bentuk dan ukuran yang tidak menarik (Moeljanto 1994).
Usaha-usaha pemanfaatan ikan hasil tangkap sampingan tersebut lebih
banyak diarahkan pada pemanfaatan ikan yang berukuran besar. Padahal pada
tahun 2004, total hasil tangkapan sebesar 4.320.241 ton, sekitar 76% merupakan
ikan hasil tangkap sampingan (Departemen Kelautan dan Perikanan 2006).
Sebagai gambaran produksi udang di Indonesia bagian timur pada tahun 2000
sebesar 70.021 ton dan dengan prediksi perbandingan udang dan ikan (spesies
nontarget) 1:4, maka akan ada sekitar 300.000 ton ikan by catchyang tertangkap,
dari jumlah tersebut hanya sekitar 46% (128.938 ton) ikan saja yang dibawa ke
daratan dan sisanya yang sebesar 54% (156.847 ton) dibuang kembali ke laut
(Budiyanto dan Djazuli 2003).
Hasil tangkapan trawl/pukat udang terdiri dari udang sebagai target
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
22/130
(Pomadasys), pepetek (Leiognatus sp.) dan spesies lainnya (Purbayanto et al.
2004).
Ikan-ikan HTS didominasi oleh spesies ikan berdaging putih (white
muscle). Daging ikan jenis berkadar protein tinggi sehingga sangat tepat dibuat
produk olahan yang memanfaatkan karakteristik fisiko-kimia protein ikan,
terutama sifat gel-nya sebagai surimi. Rendemen surimi dari beberapa ikan HTS
di Laut Arafuru, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen surimi dari beberapa jenis ikan hasil tangkap samping
Jenis-jenis ikan Rendemen surimi (%)
Alu-alu (Sphyraena sp) 40-45
Beloso (Saurida tumbil) 35-40
Ikan kurisi (Nemiphterus sp) 30-35Ikan paperek (Leiognathus sp) 25-30
Gulamah (Pseudociena anoyensis) 25-30
Pisang-pisang (Caesio chrysozomus) 25-30
Ikan nomei (Harpodon sp) 20-25
Ikan layur (Trichiurus sp) 20-25
Layang (Sardinella sp) 20-25
Swanggi (Priacanthus tayenus) 20-25
Biji Nangka (Upeneus sulphureus) 20-25
Tiga waja (Jonius dusscemieri) 20-25
Kurisi (Nemipterus nematophorus) 20-25
Gerot-gerot (Pomadasys sp) 20-25
Sumber : BPPMHP, Ditjen PT DKP (2002) diacu dalam Wahyuni (2007)
2.2 Protein Daging Ikan
Menurut Junianto (2003), protein ikan menyediakan lebih kurang 2/3 dari
kebutuhan protein hewani yang diperlukan oleh manusia. Kandungan protein ikan
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
23/130
Kandungan protein kasar ikan berkisar 17-20%. Protein sarkoplasma
berjumlah sekitar 16-22% dari total protein jaringan daging. Protein kontraktil
atau protein miofibril sekitar 75% dari total protein. Protein jaringan ikat pada
teleostei berkisar 3%, dan pada elasmobranchia seperti hiu dan pari mencapai
10% (Belitz dan Grosch 1987). Menurut Alasalvar dan Taylor (2002), protein
daging ikan terdiri dari 3 kelompok utama, yaitu : protein sarkoplasma (18-28%),
protein miofibril (70-80%), protein jaringan ikat (stroma) (2-3%).
Protein ikan banyak mengandung asam amino esensial. Kandungan asam
amino dalam daging ikan sangat bervariasi, tergantung pada jenis ikan. Pada
umumnya, kandungan asam amino dalam daging ikan kaya akan lisin, tetapi
kurang akan kandungan triptofan (Junianto 2003).
2.2.1 Protein sarkoplasma
Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan terutama terdiri
dari enzim-enzim yang berhubungan dengan metabolisme sel. Protein ini terdiri
dari mioglobin, enzim dan albumin lainnya (Shahidi 1994). Protein sarkoplasma
disebut juga miogen. Kandungan miogen dalam daging ikan bervariasi, selain
tergantung dari jenis ikannya, juga tergantung habitat hewan tersebut. Pada
umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan protein sarkoplasma lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan demersal (Suzuki 1981).
Protein sarkoplasma berjumlah sekitar 30% dari total protein daging.
Protein sarkoplasma termasuk sebagian besar enzim melibatkan energi
metabolisme seperti glikolisis. Sebagian besar protein sarkoplasma mempunyai
sifat kimia yaitu berat molekul yang kecil, pH isoelektrik tinggi, dan berstrukturglobular. Karakteristik fisiknya sebagian besar bertanggung jawab untuk
kelarutan yang tinggi protein ini pada air. Satu bagian dari protein sarkoplasma
yang penting dalam menentukan kualitas daging adalah mioglobin. Mioglobin
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
24/130
miofibril. Protein sarkoplasma akan mengganggu cross-linking miosin selama
pembentukan matriks gel karena protein ini tidak dapat membentuk gel
(Haard et al. 1994).
2.2.2 Protein miofibril
Jumlah protein miofibril, miosin dan aktin berkisar 70-80% dari total
protein tergantung pada spesies ikan (Alasalvar dan Taylor 2002). Protein
miofibril merupakan bagian terbesar dalam protein daging ikan, yaitu protein yang
larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin serta protein
regulasi, yaitu gabungan dari aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin.
Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi
terutama dari fraksi aktomisin (Suzuki 1981).
Miosin adalah protein yang paling penting dari semua protein otot, bukanhanya karena jumlahnya yang besar (50-60%) dari total miofibril (Shahidi 1994),
tetapi juga karena mempunyai sifat biologis khusus. Dengan adanya aktivitas
enzim ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi, miosin dapat
bergabung dengan aktin membentuk kompleks aktomiosin. Sifat kontraksi pada
proses pembentukan aktomiosin inilah yang menyebabkan terjadinya gerakan otot
sewaktu ikan hidup dan selama terjadinya kekejangan setelah ikan mati. Aktin
merupakan protein miofibril terbesar kedua setelah miosin di dalam daging ikan,
yaitu sekitar 20 % dari total protein miofibril (Shahidi 1994).
Protein otot sebagian besar dalam bentuk koloid, baik berupa sol maupun
gel. Kemampuan untuk mengekstrak protein miosin lebih besar pada pH agak
tinggi, tetapi kekuatan gel daging ikan pada produk akhir lebih rendah meskipunjumlah miosin yang diekstrak lebih banyak (Junianto 2003).
Menurut Junianto (2003), pada umumnya protein yang larut dalam larutan
garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
25/130
2.2.3 Protein stroma
Protein stroma atau protein jaringan ikat tersusun dari kolagen dan elastin.
Jumlahnya sekitar 3% dari total protein otot pada ikan teleostei dan sekitar 10%
dalam ikan elasmobranchii, sedangkan pada mamalia sekitar 17% (Hush 1988).
Sama seperti protein miofibril, protein jaringan ikat juga merupakan protein
struktural dan terdiri dari sel-sel otot jaringan pengikat, berkas serat dan otot.
Protein jaringan ikat ini memelihara struktur bentuk pada tulang, ligamen dan
tendon. Jaringan ikat pada tempat interstitial sel otot terdiri dari 3 protein
ekstraselular (kolagen, retikulin dan elastin) dan substansi dasar penyangga
(Nakai dan Modler 2000).
Protein stroma ini tidak dapat diekstrak oleh larutan asam, alkali atau
garam berkekuatan ion tinggi. Menurut Hall dan Ahmad (1992), pada pengolahan
surimi protein stroma tidak dapat oleh panas dan merupakan komponen netralpada produk akhir.
Pada daging mamalia, kolagen berikatan silang secara kimia dengan
jumlah yang bervariasi, kadang-kadang mengharuskan pemasakan yang ekstensif
untuk melunakkan daging. Pada kenyataannya, daging ikan memiliki melting
point atau suhu untuk melunakkan daging yang lebih rendah dan dapat dengan
mudah diubah menjadi gelatin melalui pemasakan (Alasalvar dan Taylor 2002).
2.3 Surimi
Surimi merupakan istilah dalam Bahasa Jepang untuk daging lumat dan
jaringan ikan yang dicuci. Produksi surimi secara komersial dibuat dengan
menggunakan alat pemisah mekanik untuk memisahkan daging lumat ikan dari
tulang dan kulit, diikuti dengan pencucian (sampai dengan 3 kali) dengan air atau
larutan garam. Proses pencucian menghilangkan sebagian besar komponen yang
larut dalam air, darah (pigmen), penyebab bau dan lemak. Setelah pencucian
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
26/130
(1) jenis ikan di daerah tropis terdiri dari banyak jenis, namun untuk setiap jenis
mempunyai populasi sedikit;
(2) hampir semua jenis dan ukuran ikan dapat dibuat sebagai bahan baku surimi;
(3) surimi dapat disimpan jangka panjang sebagai bahan baku produk berbasis
fish-gel;
(4) surimi mempunyai volume lebih kecil dari ikan utuh;
(5) surimi dan produk lanjutannya dapat memberikan nilai tambah untuk nelayan
serta perbaikan gizi masyarakat;
(6) dapat memperluas bentuk-bentuk diversifikasi olahan hasil perikanan
sehingga akan meningkatkan daya terima konsumen;
(7) memiliki jangkauan pemasaran yang luas karena mudah diterima konsumen
segala lapisan dan bersifat global;
(8) memiliki daya simpan yang panjang pada kondisi beku.
2.3.1
Definisi surimi
Surimi adalah daging lumat yang telah dicuci yang stabil dalam waktu
yang lama pada penyimpanan beku dengan penambahan cryoprotectant. Surimi
merupakan produk antara yang dibuat dari daging ikan atau seafood. Pengolahan
surimi sebagai suatu cara yang terfokus pada protein miofibril daging ikan.
Protein miofibril daging ikan mempunyai karakteristik pembentukan gel yang
unik yang dapat digunakan untuk dijadikan surimi dasar pembuatan produk
seafoodseperti crab analog(Pearson and Dutson 1997).
Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang
berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak berbau amis serta mempunyaikemampuan membentuk gel yang bagus yang akan memberikan hasil (surimi)
yang lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain:
ikan cunang/remang, tenggiri, kakap, tigawaja, beloso, cucut (Peranginangin et al.
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
27/130
daging ikan yang telah dicuci dan dicampur dengan gula dan garam (NaCl) dan
telah mengalami proses pembekuan. Disamping surimi beku, terdapat tipe lain
yang disebutNama Surimi(rawsurimi) yaitu surimi yang tidak mengalami proses
pembekuan.
2.3.2
Pengaruh pencucian terhadap mutu surimi
Pencucian merupakan tahap yang penting dalam proses pengolahan surimi.
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan materi larut air, seperti darah, protein
sarkoplasma, enzim pencernaan (terutama protease), lemak, garam-garam
inorganik (Ca2+
dan Mg2+
), dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti
trimetilamin oksida (TMAO). Protein sarkoplasma perlu dihilangkan selama
proses pencucian karena dapat menghambat pembentukan gel surimi. Pencucian
selain dapat meningkatkan gel surimi juga dapat meningkatkan kualitas warna dan
aroma surimi (Matsumoto dan Noguchi 1992; Suzuki 1981).
Kemampuan membentuk gel surimi dan aktivitas ATP-ase selama
penyimpanan beku dipengaruhi oleh tingkat leaching atau pencucian. Kekuatan
gel akan meningkat secara nyata dengan bertambahnya jumlah pencucian.
Dengan pencucian berulang (maksimal 3 kali) akan meningkatkan kemampuan
pembentukan gel surimi dan mencegah denaturasi protein miofibril surimi selama
penyimpanan beku (Matsumoto dan Noguchi 1992).
Efisiensi proses pencucian dipengaruhi oleh faktor banyaknya pencucian
dan waktu pencucian. Pencucian sebanyak dua kali dengan perbandingan air dan
ikan 3:1 akan meningkatkan kekuatan gel, yang berarti meningkatkan kandungan
protein miofibril dan menurunkan protein sarkoplasma. Waktu pencucian 9-12
menit dengan pengadukan merupakan waktu yang cukup untuk meningkatkan
protein yang terekstrak pada semua rasio air dan daging ikan (3:1; 4:1; 5:1 dan
6:1), karena jika terlalu lama daging ikan akan menyerap air dalam jumlah yang
besar dan akan menyulitkan pada saat pembuangan air/pengepresan (Toyoda et al
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
28/130
(1981) kisaran suhu air yang digunakan untuk pencucian adalah 5-10oC.
Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena dapat
menunjang kemampuan membentuk gel (ashi) dan menghambat denaturasi
protein akibat pembekuan. Walaupun pencucian ini pada dasarnya dapat
meningkatkan sifat elastis daging ikan, tetapi perlu juga diperhatikan pengaruhnya
terhadap nilai gizi ikan secara keseluruhan. Protein yang hilang selama proses
pencucian dapat mencapai 25%. Air pencuci yang memiliki tingkat kesadahan
tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat terjadinya degradasi lemak,
sedangkan bila digunakan air laut atau air garam kehilangan proteinnya akan
semakin tinggi.
2.3.3
Bahan tambahan dalam pembuatan surimi
Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan
dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi,
nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk,
tekstur dan rupa. Bahan tambahan meliputi pewarna, penyedap rasa dan aroma,
pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat dan
pengental (Winarno 1997). Bahan tambahan yang digunakan dalam proses
pembuatan surimi adalah hidrogen peroksida (H2O2) dan cryoprotectant.
(1) Hidrogen peroksida (H2O2)
Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 ditemukan oleh Louis
Jacques Thenard di tahun 1818. Hidrogen peroksida merupakan bahan kimia
anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Hidrogen peroksida tidak berwarna
dan memiliki bau yang khas agak keasaman. Hidrogen peroksida larut dengan
sangat baik dalam air. Dalam kondisi normal hidrogen peroksida sangat stabil,
dengan laju dekomposisi yang sangat rendah yaitu kira-kira kurang dari 1% per
tahun (Skuler 2007) Pada saat mengalami dekomposisi hidrogen peroksida
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
29/130
residu, hanya air dan oksigen. Kekuatan oksidatornya juga dapat diatur sesuai
dengan kebutuhan (Skuler 2007). Sebagai oksidator kuat, H2O2 dimanfaatkan
manusia sebagai bahan pemutih (bleach), disinfektan, oksidator, dan bahan bakar
roket.
Oksidator dapat menyebabkan oksidasi pada protein, terutama melalui
formasi disulfida, fragmen-fragmen protein yang didegradasi dari protein daging
membentuk ikatan silang dan agregat protein dibentuk lebih besar sehingga dapat
memperbaiki kemampuan membentuk gel (Liu dan Xiong 2000 diacu dalam
Patcharat et al. 2005). Patcharat et al. (2005) menggunakan H2O2sebagai bahan
pengoksidasi dalam pembuatan surimi ikan bigeye snapper (Priachantus tayenus).
Penambahan H2O2dengan konsentrasi 10-40 ppm mampu meningkatkan kekuatan
gel surimi dari ikan berkualitas rendah.
(2) Cryoprotectant (antidenaturan)
Cryoprotectant adalah komponen yang dapat memperpanjang daya awet
suatu makanan yang dibekukan. Istilah cryoprotectantdiartikan secara luas yaitu
semua komponen yang membantu mencegah hal yang menyebabkan perubahan
(biasanya merusak komponen zat gizi) pada makanan atau komposisi makanan
oleh pembekuan, penyimpanan beku atau pelelehan setelah dibekukan. Pada
surimi mentah, penambahan cryoprotectantdibutuhkan untuk menstabilkan salah
satu komponen penting yaitu protein miofibril (MacDonald et al. 2000).
Umumnya surimi yang dibuat ditambahkan sukrosa (4%) dan sorbitol (4-5%)
sebagai cryoprotectantdan polifosfat (0,3%) untuk meningkatkan water holding
capacity (Morrissey et al. 1993 diacu dalam Pearson dan Dutson 1997).
Namun, sekarang ini komponen-komponen yang digunakan sebagai
cryoprotectant untuk melindungi protein yang labil selama pembekuan banyak
macamnya yaitu : gula, asam amino, poliol, metil amina, polimer karbohidrat,
polimer sintetik (seperti polietilen glikol PEG) protein lain (seperti bovine serum
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
30/130
digunakan pada konsentrasi kurang dari 1% (b/v) yang sepenuhnya melindungi
enzim yang sensitif. Antioksidan dan pengikat logam, seperti komponen fosfat,
dapat juga dipakai untuk memperpanjang daya awet surimi dan protein makanan
yang lain, berguna sebagai pembantu cryoprotective (MacDonald et al. 2000).
2.3.4
Pembentukan gel
Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada
kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari
interaksi antara protein-protein dan protein-air. Air berfungsi untuk mencegah
hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak. Menurut Baier dan
Mc Clements (2005), kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan
sebuah polimer menyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking)
dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Terdapat empat tipe ikatan utama yangberkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari
pasta surimi, yaitu : ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi
hidrofobik (Niwa 1992).
Asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin dan treonin tergabung
dalam grup hidroksil, dan prolin serta hidroksiprolin yang tergabung dalam grup
imino, keduanya bertindak sebagai donor dan aseptor proton, sedangkan glutamin
dan asparagin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai
aseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan
karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang
akan memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan
(Niwa 1992).Hudson (1992) membagi proses gelasi menjadi tiga bagian yang diawali
dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat.
Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
31/130
mendekati 40oC (Niwa 1992). Menurut Jaczynski dan Park (2004) interaksi
hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilkan
sistem protein.
Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini
menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul
disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida
lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80oC).
Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika
pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan
hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel
(Hudson 1992).
Suzuki (1981) menambahkan bahwa ketika pasta surimi yang dibuat
dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging
tersebut berubah menjadi gel suwari. Gel suwari tidak hanya terbentuk melalui
hidrasi molekul protein saja, tetapi juga pembentukan struktur jaringan oleh ikatan
hidrogen dan hidrofobik pada molekul protein miofibril. Gel suwari terbentuk
dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk ikatan
hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwariterjadi pada pemanasan
dengan suhu mencapai 50o
C. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga
50-60oC, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan
modori. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim
tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah
terbentuk sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Gel
kamaboko yang elastis terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati
zona suhu modori. Dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi
yang lebih besar yang disebut gel ashi.
2 4 Bakso Ikan
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
32/130
emulsi daging bakso dibuat dari daging yang digiling halus ditambah bahan
pengisi pati atau tepung terigu dan bumbu-bumbu. Daging yang baik untuk
membuat bakso adalah daging yang segar yang belum mengalami rigormortis
karena daya ikat air pada daging ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging
rigormortis maupun pascarigor (Pearson dan Tauber 1984).
Pada prinsipnya pembuatan bakso terdiri atas empat tahap yaitu : (1)
penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso; dan (4)
pemasakan. Pada proses penggilingan daging harus diperhatikan kenaikan suhu
akibat panas saat proses penggilingan karena suhu yang diperlukan untuk
mempertahankan stabilitas emulsi adalah di bawah 20oC. Pemasakan bakso
setelah dicetak dilakukan dengan cara perebusan dalam air mendidih atau dapat
juga dikukus (Bakar dan Usmiati 2007).
Bakso ikan merupakan produk perikanan olahan yang sangat penting di
Cina, Taiwan, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Bakso ikan dapat
dibuat dari ikan bersirip, udang dan sotong. Salah satu sifat penting dalam
menentukan kualitas bakso ikan adalah elastisitas. Sifat ini sangat diperhatikan
oleh orang Cina, namun hal tersebut tidak disukai oleh konsumen barat (Ang et al.
1999).
2.4.1 Bahan baku dan bahan tambahan bakso ikan
Bahan yang diperlukan untuk membuat bakso ikan yaitu bahan utama
(daging ikan) dan bahan tambahan (bahan pengisi, es atau air es, dan bumbu-
bumbu).
(1)
Daging ikan atau surimi
Bahan utama untuk bakso ikan adalah daging ikan dari satu jenis ikan atau
campuran daging beberapa jenis ikan. Daging ikan yang cocok untuk pembuatan
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
33/130
merahnya, misalnya tuna, cakalang, tongkol dan kembung. Selain itu, jenis ikan
yang digunakan juga menentukan tekstur dan rendemen bakso yang diperoleh.
Jenis ikan gemuk dan sedikit berduri menghasilkan rendemen yang tinggi
(Wibowo 2006).
Daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku bakso lebih baik berupa
surimi, karena menghasilkan tekstur bakso yang lebih kenyal dan warna yang
lebih putih. Kriteria mutu utama dari bakso sebagai produk fish jelly adalah
kelenturan dan kekenyalannya (BBPMHP 2001).
(2) Bahan pengisi
Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasa ditambahkan
dalam pembuatan bakso. Adapun penambahan pengisi bertujuan untuk
mengurangi biaya produksi, meningkatkan citarasa dan memperkecil penyusutanselama proses pemasakan (Kramlich et al. 1971).
Bahan pengisi yang umumnya digunakan pada pembuatan bakso adalah
tepung pati singkong (tapioka) dan tepung sagu. Bahan tersebut memiliki kadar
karbohidrat yang tinggi, namun kadar proteinnya rendah (Tarwotjo et al. 1971).
Agar rasa bakso lezat, tekstur bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang
digunakan sebaiknya sekitar 10-15% dari berat daging (Wibowo 2006).
a)
Tepung tapioka
Menurut SNI 01-3451-1994, tapioka adalah pati (amilum) yang diperoleh
dari umbi kayu segar (Manihot utilissima/Manihot esculenta Crantz) setelah
melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan. Proses ekstraksi
umbi kayu relatif mudah, karena kandungan protein dan lemaknya yang rendah.
Jika proses pembuatannya dilakukan dengan baik, pati yang dihasilkan akan
berwarna putih bersih (Moorthy 2004).
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
34/130
yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dalam air panas dan
membentuk kekentalan yang dikehendaki (Sumaatmaja 1984). Selain itu, tapioka
memiliki banyak kelebihan sebagai bahan baku karena harganya relatif murah,
memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna yang
terang, dan daya lekatnya yang baik (Radley 1976).
Tepung tapioka memiliki kadar amilosa 17% dan amilopektin 83% dengan
ukuran granula 10,1-20 m dan memiliki berat molekul 32 x 104
39 x 104g/mol.
Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994
No. Jenis ujiPersyaratan
Mutu I Mutu II Mutu III
1. KeadaanSehat, tidak berbau apek atau masam, murni,tidak kelihatan ampas dan/atau bahan asing
2. Kadar air maksimum (%) 15 15 15
3. Kadar abu maksimum (%) 0,60 0,60 0,60
4. Serat dan benda asingmaksimum (%)
0,60 0,60 0,60
5. Derajat putih minimum(BaSO4=100%) (%)
94,5 92 92
6. Kekentalan (Engler) 3-4 2,5-3
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
35/130
b) Tepung sagu
Sagu merupakan tumbuhan monokotil dari keluarga (famili) Palmae.
Tepung sagu diekstrak dari tanaman sagu (Metroxylon sago Rottb) yang diperoleh
dari isi batang (empulur) melalui pengolahan yang sederhana. Setelah pohon
ditebang, batang dipotong menjadi potongan-potongan sekitar 2-3 meter
tergantung besar kecilnya garis tengah batang tersebut. Kemudian batang dibelah
dua, empulur ditokok atau dipukul, hasil penokokan adalah tepung yang masih
bercampur dengan serat. Kemudian pada tepung tersebut dilakukan ekstraksi,
maka akan diperoleh pati sagu (Haryanto dan Pangloli 1992). Tepung sagu
memiliki berat molekul 12,4x104gram/mol. Sifat fisik dan komposisi kimia pati
sagu memiliki sifat tergantung pada panjang rantai karbonnya dan bercabang atau
lurusnya rantai molekulnya. Pati sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin
73% (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
Tepung sagu kaya dengan karbohidrat (pati) namun sangat miskin gizi
lainnya. Ini terjadi akibat kandungan tinggi pati di dalam teras batang maupun
proses pemanenannya. Seratus gram sagu kering setara dengan 355 kilo kalori.
Di dalamnya rata-rata terkandung 94 g karbohidrat, 0,2 g protein, 0,5 g serat, 10
mg kalsium, 1,2 mg besi, dan lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam
jumlah sangat kecil (Wikipedia 2008a
). Pati sagu berbentuk elips (prolate
ellipsoidal), mirip pati kentang dengan ukuran 5-80 mm dan relatif lebih besar
daripada pati serelia (Wirakartakusumah et al. 1984).
Kandungan amilopektin dalam tepung sagu berguna untuk memperbaiki
tingkat mutu penampilan produk, tidak mudah menggumpal, dan memiliki daya
rekat yang tinggi. Kandungan amilopektin tepung sagu dapat mempengaruhi
kelarutan dan derajat gelatinisasi, semakin banyak kandungan amilopektin, maka
pati akan bersifat tidak kering dan lengket, sedangkan kandungan amilosa
menyebabkan pati bersifat kering dan kurang lengket serta cenderung menyerap
air lebih banyak (Wirakartakusumah et al 1984) Sagu terdapat di Maluku Irian
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
36/130
Tabel 3. Syarat mutu tepung sagu menurut SNI 01-3729-1995
No. Jenis uji Persyaratan
1. Keadaana. Bau
b. Warnac. Rasa
Normal
Normal
Normal
2. Benda asing tidak boleh ada
3. Serangga (bentuk stadia dan potongannya) tidak boleh ada
4. Jenis pati selain pati sagu tidak boleh ada
5. Air (%) maksimum 13
6. Abu (%) maksimum 0,5
7. Serat kasar (%) maksimum 0,1
8. Derajat asam (ml NaOH 1N/100 gram) maksimum 4
9. SO2(mg/kg) maksimum 30
10. Bahan tambahan makanan (bahan pemutih) sesuai SNI 01-0222-1995
11. Kehalusan,lolos ayakan 100 mesh (%) minimum 95
12. Cemaran logam
a. Timbal (Pb) (mg/kg )
b. Tembaga (Cu) (mg/kg)
c. Seng (Zn) (mg/kg)
d. Raksa (Hg) (mg/kg)
maksimum 1,0
maksimum 10,0
maksimum 40,0
maksimum 0,05
13. Cemaran arsen (As)Mg/kg maksimum 0,5
14. Cemaran mikroba
a. Angka lempengan total (koloni/gram)
b.E. coli(APM/gram)
c. Kapang (koloni/gram)
maksimum 106
maksimum 10maksimum 104
Sumber : BSN (1995b)
Tabel 4. Sifat fisik pati tapioka dan sagu
Parameter Tapioka Sagu
Kandungan amilosa (%) 17 27
Kandungan amilopektin (%) 83 73
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
37/130
Tabel 5. Komposisi kimia pati tapioka dan sagu
Komposisi zat gizi Tapioka
Sagu
Air (mg) 12 14
Amilosa (mg) 17 27
Karbohidrat (g) 86,9 84,7
Protein (g) 0,5 0,7
Lemak (g) 0,3 0,2
Kadar abu (g) 0,19 0,4
Kalsium (mg) - 11
Magnesium (mg) 4 1,5
Sodium (mg) 5 43
Fosfor (mg) - 12,7
Thiamin (mg) - 0,01
Besi (mg) - 1,5
Kalium (mg) 1 1,2
Sumber : Departemen Kesehatan RI (1979) diacu dalam Haryanto dan Pangloli (1992)
(3) Bumbu-bumbu
Bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso berupa garam dapur
halus, sedangkan bumbu penyedap dibuat dari campuran bawang putih dan
merica. Garam dapur yang digunakan sekitar 2,5% dan bumbu penyedapnya
sekitar 2% dari berat daging. Sebagai bumbu penyedap dapat juga digunakan
bumbu campuran bawang merah, bawang putih, dan jahe dengan perbandingan
15:3:1. Sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan monosodium glutamat
atau vetsin (Wibowo 1999).
a)
Garam
Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
38/130
b) Bawang merah dan bawang putih
Bawang merah sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein
1,5%, lemak 0,3%, dan karbohidrat 9,2%. Selain itu, umbi bawang merah juga
terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asama amino yang tidak berbau,
tidak berwarna dan dapat larut dalam air (Wibowo 1999). Bawang merah
mengandung cukup banyak vitamin B dan C dan biasanya bawang merah
digunakan sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional.
Bawang putih termasuk salah satu familia Liliaceae yang populer di dunia
ini dengan nama ilmiahnyaAllium sativumLinn. Kandungan bawang putih antara
lain air mencapai 60,9-67,8%, protein 3,5-7%, lemak 0,3%, karbohidrat
24,0-27,4 % dan serat 0,7 %, juga mengandung mineral penting dan beberapa
vitamin dalam jumlah tidak besar (Wibowo 1999). Bawang putih telah dikenal
sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional.
c)
Lada
Lada atau merica (Piper nigrumLinn) adalah tumbuhan penghasil rempah-
rempah yang berasal dari bijinya. Lada sangat penting dalam komponen masakan
dunia. Di Indonesia, lada terutama dihasilkan di Pulau Bangka (Wikipedia 2008b).
Lada (Piper nigrumLinn) merupakan tanaman serba guna dimana buahnya dapatdimanfaatkan sebagai bumbu dalam berbagai masakan. Tujuan penambahan lada
adalah sebagai pemberi aroma sedap, menambah kelezatan, dan memperpanjang
daya awet makanan.
d)
Telur
Telur merupakan salah satu bahan pangan yang paling lengkap gizinya,
selain itu bahan pangan ini juga bersifat serbaguna karena dapat dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan baku untuk membuat kue.
Bahan makanan ini mengandung protein sekitar 13% dan lemak sekitar 12% juga
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
39/130
e) Gula
Gula lebih banyak berperan memberikan citarasa daripada mengawetkan
produk. Meskipun demikian pemakaian gula akan menyebabkan bakteri-bakteri
asam berkembang terutama bakteri-bakteri yang dapat memfermentasi gula
menjadi asam dan alkohol. Dengan timbulnya asam dan alkohol diharapkan akan
dapat memperbaiki citarasa produk (Hadiwiyoto 1993).
(4)
Es atau air es
Bahan penting lainnya dalam pembuatan bakso adalah es atau air es. Es
yang digunakan sebaiknya berupa es batu. Bahan ini berfungsi membantu
pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es
berfungsi meningkatkan air ke dalam adonan kering selama pembentukan adonan
maupun selama perebusan. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap
rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin
penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Untuk itu, dalam adonan
bakso, dapat ditambahkan es sebanyak 15-20% atau bahkan 30% dari berat daging
(Wibowo 2006).
2.4.2 Pembuatan bakso ikan
Proses pembuatan bakso ikan pada prinsipnya terdapat 4 tahap yaitu: (1)
penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencetakan bakso; dan (4)
pemasakan.
(1) Penghancuran daging
Tahap ini bertujuan untuk memperluas permukaan daging sehingga protein
yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian jaringan lunak akan
berubah menjadi mikro partikel (Wong 1989 diacu dalam Nurfianti 2007). Proses
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
40/130
(2) Pembuatan adonan
Setelah daging lumat dicuci dan dibersihkan menjadi surimi, daging ikan
dicampur dengan garam dapur dan bumbu secukupnya. Setelah tercampur merata,
ke dalam surimi tersebut ditambahkan tepung tapioka sedikit demi sedikit sambil
diaduk dan dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pada saat
pembentukan adonan bakso ikan ditambahkan es batu sekitar sekitar 15-20% atau
bahkan 30% dari berat daging ikan lumat. Es ini berfungsi mempertahankan suhu
dan menambah air ke dalam adonan agar adonan tidak kering dan rendemennya
tinggi (Wibowo 2006).
(3) Pencetakan
Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap
direbus atau dikukus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan
dengan menggunakan tangan, caranya adalah adonan diambil dengan sendok
makan kemudian diputar-putar dengan menggunakan tangan sehingga terbentuk
bola bakso. Bagi mereka yang sudah mahir, untuk membuat bola bakso ini cukup
dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas dan ditekan ke arah ibu
jari. Adonan yang keluar dari lubang antara ibu jari dan telunjuk membentuk
bulatan kemudian bulatan tersebut diambil dengan sendok (Wibowo 2006).
(4) Pemasakan
Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul
membentuk suatu jaring-jaring. Kondisi optimum untuk pembentukan gel adalah
pada kadar garam 0,6 M, pH 6, dan suhu 65 oC (Pomeranz 1991). Untuk
mendapatkan kekuatan gel yang maksimum, bakso harus dijendalkan dengan cara
direndam dengan air dengan suhu 28-30oC selama 1-2 jam atau pada suhu air
45oC selama 20-30 menit.
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
41/130
bakso yang direbus sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah
matang dan dapat diangkat. Kematangan bakso juga dapat dilihat dengan melihat
bagian dalam bakso. Biasanya perebusan bakso ini memerlukan waktu sekitar 15
menit. Jika diiris, bekas irisan bakso yang sudah matang tampak mengilap agak
transparan, tidak keruh seperti adonan lagi. Setelah cukup matang, bakso
diangkat dan ditiriskan sambil didinginkan pada suhu ruang. Agar lebih cepat
dingin, dapat dibantu dengan kipas angin asal dijaga dengan benar agar tidak
terjadi kontaminasi kotoran setelah dingin, bakso dikemas dalam kantong plastikdan ditutup rapat. Sebaiknya bakso yang telah dikemas disimpan dalam lemari
pendingin pada suhu yang terjaga sekitar 5oC.
2.4.3 Mutu Bakso
Mutu didefinisikan sebagai sekelompok sifat atau faktor pada komoditas
yang membedakan tingkat pemuas atau daya terima (acceptability) dari suatu
komoditas bagi konsumen atau pembeli. Unsur mutu yaitu segala sesuatu yang
ada pada komoditas yang berlangsung mempengaruhi nilai pemuas atau nilai
manfaat pada komoditas (Soekarto 1990). Syarat mutu bakso berdasarkan
SNI 01-3819-1995 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal, khas ikan
1.2 Rasa - Gurih
1.3 Warna - Normal
1.4 Tekstur - Kenyal2 Air %b/b Maks 80,0
3 Abu %b/b Maks 3,0
4 Protein %b/b Min 9,0
5 Lemak - Maks 1,0
6 Boraks - Tidak boleh ada
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
42/130
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, seperti mempertahankan
mutu ikan, perbaikan terhadap cita rasa dan tekstur, nilai gizi dan daya cerna
(Harikedua 1992).
2.5.1 Perebusan
Perebusan adalah salah satu cara pemasakan dimana bahan yang akan
dimasak menerima panas melalui media air atau cara memasak makanan dalam air
mendidih cepat dan bergolak, pada temperatur 212 oF (100 oC). Merebus ini
biasanya dipakai dalam pengolahan makanan, sayuran, atau bahan yang
bertepung. Temperatur yang tinggi akan mengeraskan (membuat liat) protein
daging, ikan, dan telur. Air yang mendidih dengan cepat akan mengurai
kehalusan makanan (delicated food) (Widyati 2001).
Proses perebusan pada produk yang menggunakan pati bertujuan agar pati
mengalami proses gelatinisasi, sehingga granula pati mengembang dan protein
terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini disebabkan molekul-molekul air
melakukan penetrasi ke dalam granula dan terperangkap dalam susunan molekul-
molekul amilosa dan amilopektin (Muchtadi 1988). Kekuatan gel yang terbentuk
setelah pemanasan dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan (Tanikawa 1985).
2.5.2 Pengukusan
Pengukusan merupakan salah satu cara pemasakan bahan dengan uap air
secara langsung. Suhu atau panas yang didapat dari uap biasanya lebih panas,
oleh karena itu jika memasak dengan cara pengukusan akan lebih cepat
dibandingkan dengan cara perebusan (Widyati 2004).Prinsip pengolahan dengan cara pengukusan adalah dengan menggunakan
uap air dengan air panas bersuhu 100oC dengan lama yang bervariasi sesuai
dengan sifat bahan. Kisaran waktu untuk pengukusan umumnya 1-11 menit
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
43/130
kokoh, protein akan mengeras karena mengalami koagulasi. Kadar air akan
mengalami perubahan yang relatif sama.
Pada waktu pengukusan, penyerapan air atau uap air oleh bahan yang
berukuran besar lebih cepat sehingga kadar air bahan bertambah besar. Bahan
yang dikukus pada waktu yang lebih lama akan memberikan kesempatan kepada
bahan tersebut untuk kontak dan menyerap uap air lebih besar sehingga
mengakibatkan peningkatan kadar air bahan (Lukman 1992 diacu dalam Sulistiyo
2002).
2.5.3 Pengaruh pemasakan terhadap komponen gizi
Proses pemanfaatan panas seperti pemasakan dapat mengakibatkan
perubahan pada penampakan secara umum, citarasa, bau dan tekstur ikan. Pada
waktu proses pemasakan atau pengukusan sedang berlangsung, kebanyakan
daging ikan dapat mengalami pengurangan kadar air. Bersamaan dengan
keluarmya air tersebut, ikut pula terbawa komponen zat gizi yang lain seperti
vitamin C (asam askorbat), riboflavin, tiamin, karoten, niasin, vitamin B-6, Co,
Mg, Mn, Ca, P asam amino dan protein (Harikedua 1992; Harris 1989). Faktor-
faktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air selama pengukusan,
yaitu luas permukaaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan
air (Harris 1989).
Perubahan yang terjadi akibat pemanasan ini diperlukan untuk
meningkatkan daya cerna atau untuk memanfaatkan perubahan warna atau cita
rasa yang timbul pada makanan tersebut. Selain itu dapat terjadi perubahan yang
tidak diinginkan, yang ditandai dengan menurunnya daya ekstraksi dan kelarutan
protein, kehilangan kemampuan dalam membentuk gel, penurunan daya pengikat
air dan daya emulsi lemak, serta sifat fungsional lain yang berperan terhadap
pengembangan mutu produk perikanan (Suwandi 1990). Penyusutan daging
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
44/130
2.6 Hubungan antara Bahan Pengisi danAshi
Penambahan pati ke dalam daging ikan giling pada pembuatan gel
kamaboko bertujuan untuk memperkuat ashi, terutama pada daging ikan yang
memiliki ashi yang lemah, disamping itu juga untuk memodifikasi tekstur dan
menurunkan biaya. Pati berperan sebagai bahan pengisi gel protein miofibril yang
sederhana, tidak berinteraksi langsung dengan matriks protein surimi maupun
mempengaruhi formasi protein tersebut karena pada proses pemasakan yang
terjadi lebih dulu adalah gelasi protein diikuti dengan mengembangnya pati (Wu
et al. 1985).
Proses mengembangnya granula pati pada gel protein selama proses
pemanasan dijelaskan oleh Lee dan Kim (1985) yang dikutip oleh Wu et al.
(1985) sebagai berikut: selama proses pemanasan, pati mengalami gelatinisasi,
granula mengembang dan memerlukan air. Selama perubahan ini granula pati
mengembang pada tingkat tertentu dan menyebar melewati struktur jala protein
ikan. Mengembangnya granula pati tersebut menyebabkan tekanan yang kuat
pada matriks protein disertai dengan penarikan air yang berada di sekitar matriks
protein sehingga menghasilkan gel yang lebih kuat dan kohesif. Wu et al. (1985)
menegaskan bahwa efek meningkatnya kekuatan gel oleh pati tidak terjadi jika
gelatinisasi tidak terjadi dalam pasta ikan.
Menurut Okada (1973) yang dikutip oleh Suzuki (1981), agar pati
menunjukkan pengaruhnya membangun ashi dibutuhkan suhu yang spesifik
selama pemanasan. Wu et al. (1985) melaporkan bahwa setiap pati memiliki suhu
gelatinisasi yang berbeda, seperti pati kentang 65oC, tapioka 69
oC dan maizena
73 o
C. Suhu gelatinisasi juga tergantung pada konsentrasi pati, makin kental
larutan, suhu gelatinisasi semakin lambat tercapai, sampai suhu tertentu
kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun (Winarno 1997).
Menurut Wu et al. (1985) pada proses pengolahan gel, saat pati dicampur
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
45/130
Garam menghambat opening daerah kristal di dalam granula pati (Ganz 1965
diacu dalam Fitrial 2000). Di dalam tepung, protein membentuk kompleks
dengan pati pada permukaan granula sehingga menghambat pembebasan eksudat
pati (Olkku dan Rha 1978 diacu dalam Wu et al. 1985).
Menurut Okada (1973) dalam Suzuki (1981), penambahan pati akan
berpengaruh terhadap sifat ashikamaboko jika hal dibawah ini terjadi:
(1) granula pati harus tergelatinisasi;
(2) pada saat terjadi gelatinisasi, granula pati menyerap air dan menjadi elastissehingga membantu pembentukan tekstur ashi;
(3) granula pati yang telah tergelatinisasi lebih tahan terhadap kekuatan mekanis
sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel protein daging.
Penambahan pati optimum untuk mendapatkan kekuatan gel maksimum
menurut Lee et al. (1992), sangat tergantung pada tipe pati yang ditambahkan.
Menurut Wu et al. (1985) pati yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi untuk
memperkuat ashi adalah pati kentang, tapioka dan maizena. Diantara pati-pati
tersebut, pati kentang mempunyai pengaruh yang paling baik untuk menguatkan
gel karena pati tersebut memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah besar air
dan mengembang dengan diameter yang besar. Menurut Swinkels (1985)
diameter granula pati kentang adalah sekitar 33 m, sedangkan granula tapiokasekitar 20 m dan pati jagung sekitar 15 m.
Pengaruh fraksi yang terdapat pada pati terhadap ashigel telah dilaporkan
oleh Suzuki (1981). Fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel
dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat
gel. Pati kentang mengandung 21% (b/b) amilosa dan 79% (b/b) amilopektin,
sedangkan tapioka 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin (Swinkels
1985).
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
46/130
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September
2008. Pelaksanaan penelitian berlangsung di beberapa laboratorium yaitu
Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan pada Balai Besar Pengembangan dan
Pengendalian Hasil Perikanan (BPP2HP) Jakarta untuk kegiatan preparasi bahan
baku dan pembuatan surimi, Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk kegiatan pembuatan bakso ikan,
Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB untuk analisis Total Volatile Base (TVB), Laboratorium Biokimia
Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk analisis
proksimat, Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian untuk
analisis derajat putih, kekuatan gel dan Water Holding Capacity (WHC).
Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) IPB untuk uji pH, dan protein larut
garam serta Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB untuk uji lipat, uji gigit dan uji organoleptik.
3.2 Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan-bahan
untuk pembuatan surimi dan bakso ikan, serta bahan-bahan untuk analisis
karakteristik surimi dan bakso ikan. Bahan-bahan yang digunakan untuk
pembuatan surimi adalah ikan HTS (kurisi, beloso, gulamah dan mata goyang),
garam, air dan es. Bahan-bahan untuk pembuatan bakso ikan adalah surimi ikan
HTS, tepung tapioka Alini, tepung sagu Alini,air es dan bumbu-bumbu
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
47/130
3.2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi
peralatan yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan, serta peralatan
yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi dan bakso ikan. Peralatan
yang digunakan untuk pembuatan surimi dan bakso ikan meliputi: cool box,
wadah air bersih (teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone
separator) Muika Equipment MS-120, pelumat daging (grinder) elektrik, alat
pengepres hidrolik, kain kasa saring, food processor, plastik, kompor gas, panci
perebusan, refrigerator dan timbangan digital. Peralatan yang digunakan untuk
analisis karakteristik surimi dan bakso ikan meliputi labu Kjeldahl, perangkat alat
destilasi, perangkat alat ekstraksi soxhlet, oven, desikator, cawan conway dan
tutup cawan, tanur pengabuan, pH meter, sentrifus dingin, Rheoner RE 3305,
coloring measuring and difference calculating digital display system, kertas
saring, pipet volumetrik, inkubator dan peralatan jenis lainnya.
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap proses yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan
penentuan surimi dengan faktor perlakuan frekuensi pencucian dan penggunaan
hidrogen peroksida (H2O2). Pada penelitian utama dilakukan penentuan bakso
dengan faktor perlakuan formulasi jenis tepung pati (tapioka dan sagu) dari
masing-masing cara pemasakan (perebusan dan pengukusan).
3.3.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan diawali dengan pembuatan daging lumat dengan
menggunakan alat meat-bone separator. Masing-masing daging lumat sebelum
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
48/130
pencucian serta penambahan 0, 10, 20 dan 30 ppm H2O2. Proses pencucian surimi
ini dilakukan pada suhu 010oC yang yang disertai dengan pengadukan selama
kurang lebih 10 menit. Selanjutnya, daging lumat yang telah dicuci, dipressuntuk
dibuang airnya serta ditambahkan sukrosa (4%) dan sorbitol (4%) sebagai
cryprotectant. Surimi yang telah dibuat dianalisis karakteristik fisik dan kimianya
yang meliputi kadar air, kadar protein, nilai pH, WHC, derajat putih, dan kekuatan
gel, sehingga diketahui mutu surimi yang dihasilkan. Diagram alir penelitian
tahap pertama disajikan pada Gambar 1.
Pencucian
Penyiangan (kepala, sisik dan jeroan)
Pencucian
Pemisahan daging dari tulang dan kulit denganMeat Bone Separator
Pengepresan
Pencucian
daging ikan: air =1:3
(suhu 0-10oC, selama 10 menit)
Analisis :
proksimat, pH,
TVB dan PLG
Ikan HTS
1 kali
2 kali3 kali
Daging lumat ikan
H2O20 ppmH2O210 ppm
H2O220 ppmH2O230 ppm
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
49/130
3.3.2 Penelitian Utama
Penelitian utama merupakan aplikasi surimi terbaik hasil penelitian
pendahuluan pada pembuatan bakso ikan HTS. Bakso ini dibuat dengan
formulasi dua macam tepung yaitu tepung tapioka dan tepung sagu dengan
perbandingan 10%:0%; 7,5%:2,5%; 5%:5%; 2,5%:7,5% dan 0%:10%; dan
dilakukan dengan dua cara pemasakan yaitu perebusan atau pengukusan. Jenis
dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan
bakso ikan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Jenis dan komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan
dalam pembuatan bakso ikan
Jenis bahan baku dan bahan tambahan Komposisi
Surimi ikan HTS (gram)
Tepung tapioka
Tepung saguEs atau air dingin
Telur
Bawang merah
Bawang putih
Garam
Lada bubuk
A
x% A
y% A5-10% A
10% A
2,5% A
2,5% A
2,5% A
0,5% A
Keterangan:
x = 10%; 7,5%; 5%; 2,5% dan 0%y = 0%; 2,5%; 5%; 7,5% dan 10%
Proses pembuatan bakso ikan diawali dengan mencampurkan surimi
terbaik dengan komposisi bahan tambahan lainnya (tepung tapioka, tepung sagu,
air dingin, telur, bawang merah, bawang putih, gara dan lada bubuk) dengan
menggunakan food processor agar adonan tercampur merata. Kemudian
dilakukan pembentukan adonan menjadi bola bakso dengan menggunakan tangan,
caranya adalah dengan mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas dan
ditekan ke arah ibu jari. Adonan yang keluar dari lubang antara ibu jari dan
telunjuk membentuk bulatan kemudian diambil dengan sendok. Selanjutnya
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
50/130
tepung sagu). Untuk menentukan karakteristik bakso yang diinginkan, maka pada
setiap perlakuan bakso dianalisis karakteristik fisik dan organoleptiknya dengan
menganalisis derajat putih, kekuatan gel, WHC, uji lipat, uji gigit dan uji
organoleptik. Diagram alir penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengadonan
Pengadukan dan pencetakan
dengan tangan
Perendaman air hangat (20-40oC)
30-60 menit
Pengujian :
Organoleptik, fisik (gel stength, derajat putih, uji
lipat, uji gigit dan WHC) dan kimia (proksimat)
Perebusan
(85-100oC sampai
bakso mengapung)
Pengukusan
7 menit
Formulasi tepung :- Tapioka 10%
- Tapioka 7,5% +
sagu 2,5%
- Tapioka 5% +
sagu 5%
- Tapioka 2,5% +
sagu 7,5%
- Sagu 10%
- Garam 2,5%- Telur 10%
- Lada 0,5%
- Bawang
merah 2,5%- Bawang
putih 2,5%
Ikan HTS
Surimi
Bakso ikan
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
51/130
3.4 Prosedur Analisis
Analisis yang dilakukan dalam penelitian meliputi fisik, kimia, dan
sensori/organoleptik. Analisis karakteristik fisik terdiri dari kekuatan gel dan
derajat putih untuk surimi dan bakso ikan. Analisis karakteristik kimia daging
ikan terdiri dari kadar proksimat, nilai pH dan TVB; untuk surimi terdiri dari
kadar air, kadar protein, pH, WHC dan protein larut garam; sedangkan untuk
bakso terdiri dari kadar proksimat dan WHC. Analisis karakteristik
sensori/organoleptik untuk surimi terdiri dari uji lipat dan uji gigit, sedangkanuntuk bakso ikan terdiri dari uji gigit, uji lipat dan uji skoring (skor mutu).
3.4.1 Analisis organoleptik (uji skoring) (Rahayu 1998)
Penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan metode
penilaian yang sering digunakan karena dapat digunakan secara cepat dan
langsung. Penerapan penilaian organoleptik dalam praktek nyata disebut uji
organoleptik yang dilakukan sesuai prosedur tertentu. Sistem penilaian
organoleptik telah dibakukan dan telah dijadikan alat penilaian di dalam
laboratorium. Dalam hal ini, prosedur penilaian memerlukan pembakuan baik
dalam cara penginderaan maupun dalam melakukan analisis data.
Dalam uji organoleptik, indera yang berperan dalam pengujian yaitu indera
penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Selain itu, untuk
melakukan uji ini diperlukan panelis. Panelis dapat digolongkan menjadi
beberapa golongan, yaitu panelis terbatas, panelis terlatih, panelis agak terlatih,
panelis tidak terlatih, dan panelis konsumen.
Uji organoleptik dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu
berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji ini
diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji
ini adalah pemberian sutu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu,
-
8/10/2019 pengaruh jenis tepung
52/130
Metode ini menggunakan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan
angka 9 (sembilan) untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk ini adalah
5 (lima) artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai yang sama
atau lebih kecil dari lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standar dan
tidak bisa memperoleh Sertifikat Mutu Ekspor. Skala a