pengaruh ekstrak etanol teh hijau (camellia ) dalam

65
i PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEH HIJAU (Camellia sinensis) DALAM MENINGKATKAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI AMOXICILLIN TERHADAP METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus (MRSA) THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF GREEN TEA (Camellia sinensis) IN IMPROVING AMOXICILLIN ANTIBIOTIC ACTIVITY AGAINST METHICILLIN- RESISTANT Staphylococcus aureus (MRSA) ROHANIAH N111 14 081 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Upload: others

Post on 01-Dec-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEH HIJAU (Camellia sinensis) DALAM MENINGKATKAN AKTIVITAS

ANTIBAKTERI AMOXICILLIN TERHADAP METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus

(MRSA)

THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF GREEN TEA (Camellia sinensis) IN IMPROVING AMOXICILLIN ANTIBIOTIC ACTIVITY AGAINST METHICILLIN-

RESISTANT Staphylococcus aureus (MRSA)

ROHANIAH N111 14 081

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

ii

PENGARUH EKSTRAK ETANOL TEH HIJAU (Camellia sinensis) DALAM MENINGKATKAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI AMOXICILLIN TERHADAP

METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus (MRSA)

THE EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF GREEN TEA (Camellia sinensis) IN IMPROVING AMOXICILLIN ANTIBIOTIC ACTIVITY AGAINST

METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus (MRSA)

SKRIPSI

untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar sarjana

ROHANIAH

N111 14 081

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

iii

iv

vi

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah swt, atas berkat dan rahmat-

Nya, penulis mampu merampungkan penyusunan skripsi ini sebagai salah

satu syarat dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada Program Studi

Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Salam dan shalawat

kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para

pengikutnya yang senantiasa istiqomah dalam sunnahnya hingga akhir

zaman.

Sungguh banyak kendala yang penulis hadapi dalam rangka

penyusunan skripsi ini. Namun berkat dukungan dan bantuan berbagai pihak,

akhirnya penulis dapat melewati kendala-kendala tersebut. Oleh karena itu,

penulis dengan tulus menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada Ibu Dr. Hj. Sartini, M.Si., Apt. selaku

pembimbing utama, Ibu Dr. Herlina Rante, S.Si., M.Si., Apt. selaku

pembimbing pertama dan kepada Ibu Dr. Mufidah, S.Si., M.Si., Apt. selaku

pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dalam memberi petunjuk

dan menyumbangkan pikiran dan tenaganya dalam membimbing mulai saat

perencanaan penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini.

Semua ini tidak akan berarti tanpa dukungan moril maupun materi dari

kedua orang tua penulis, Abd. Rahman dan Nurjannah, adik-adik tercinta

serta keluarga besar penulis, terima kasih atas setiap cinta yang terpancar

serta doa dan restu yang selalu mengiringi tiap langkah penulis. Ayahanda

terhormat dan Ibunda tercinta, yang telah membesarkan dan mendidik

vii

penulis, atas segala pengorbanan, kasih sayang, motivasi, serta ketulusan

hati mendoakan sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah sampai saat

ini.

Pada kesempataan kali ini pula, penulis menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Hasanuddin.

2. Ibu Dr. Latifah Rahman, DESS, Apt. selaku penasehat akademik penulis.

3. Bapak Prof. Dr. M. Natsir Djide, MS., Apt. dan Ibu Sumarheni, S.Si.,

M.Sc., Apt. serta Bapak Muh. Aswad, S.Si., M.Si., Ph.D., Apt. selaku

penguji.

4. Staf Dosen, dan Pegawai Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

atas bantuan serta motivasi-motivasi yang diberikan selama perkuliahan

hingga penelitian selesai.

5. M. Rihaldy Utama, S.Si. yang senantiasa memberikan dukungan,

melantunkan doa serta mengusahakan segala macam bantuan terkait

penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas semua yang telah dilakukan,

terima kasih atas segala kasih sayang dan senantiasa menguatkan di

kala penulis terpuruk.

6. Sahabat seasrama penulis terkhusus Sumi, Dalaratmi dan Nurdiah

Lestari yang menjadi teman hidup penulis. Terima kasih atas segala

canda tawa, tangisan haru serta kebahagiaan yang telah dibagi dan turut

dirasa. Terima kasih atas rasa kekeluargaan yang begitu besar meski

viii

tanpa ikatan darah.

7. Seluruh sahabat-sahabat penulis terutama Syahriani, S.Ked., Nutfatun

Khasanah, Sartika Rantekata, Dike Dandari dan teman farmasi

angkatan 2014 (HIOS14MIN) atas segala bantuan, doa, dukungan,

kebahagiaan, waktu, dan menjadi tempat keluh kesah penulis.

8. Teman seperjuangan selama penelitian ini berlangsung, kepada Nur

Ainiah, Haeriah, Sabrina, Amalia, Juwinda, dan Nur Alfitarayani atas

segala bantuan dan kerjasamanya selama ini.

9. Teman-teman asisten Mikrobiologi serta Kak Lia selaku laboran Lab.

Mikrobiologi.

10. Warga KEMAFAR UH.

11. Pihak yang tidak sempat disebut namanya satu persatu. Penulis

menghaturkan terima kasih secara tulus.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini sangat jauh dari

kesempurnaan. Karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi terciptanya suatu karya yang lebih bermutu. Akhirnya,

semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan di masa yang akan datang.

Makassar, 26 April 2018

Rohaniah

ix

ABSTRAK

ROHANIAH. Pengaruh Ekstrak Etanol Teh Hijau (Camellia sinensis) Dalam Meningkatkan Aktivitas Antibakteri Amoxicillin Terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (dibimbing oleh Sartini, Herlina Rante dan Mufidah)

Teh Hijau (Camellia sinensis) merupakan bahan alam yang dapat bersifat antibakteri dan mampu mengurangi resistensi bakteri tehadap antibiotika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan ekstrak etanol teh hijau dalam meningkatkan efek antibakteri dari amoksisilin terhadap MRSA. Penelitian ini dimulai dari tahap ekstraksi teh hijau, penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak teh hijau serta penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak teh hijau terhadap bakteri MRSA. Penentuan KHM ekstrak teh hijau dilakukan dengan metode dilusi agar sedangkan pengujian daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak teh hijau dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan disk amoksisilin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol teh hijau memiliki nilai KHM sebesar 0,05%. Penambahan ekstrak etanol teh hijau 1/4 dan 1/8 nilai KHM meningkatkan diameter zona hambat amoksisilin sebesar 30,06 mm dibandingkan dengan diameter zona hambat amoksisilin tanpa ekstrak sebesar 24,45 mm. Kata Kunci: Amoksisilin, Antibakteri, Ekstrak Etanol Teh Hijau, MRSA..

x

ABSTRACT

ROHANIAH. The Effect Of Ethanol Extract Of Green Tea (Camellia sinensis) In Improving Amoxicillin Antibiotic Activity Against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (supervised by Sartini, Herlina Rante and Mufidah)

Green Tea (Camellia sinensis) is a natural product that can be used as antibacterial and be able to reduce the resistance of bacteria to an antibiotics. The aim of this study was to determine the ability of green tea ethanol extract in improving of the antibacterial effect of amoxicillin to MRSA. The study was started from the extraction of green tea followed by determination of Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of green tea extract then determination of amoxicillin inhibition in combination with green tea extract on MRSA bacteria. MIC Determination of green tea extract was conducted by dilution method while the determination of amoxicillin inhibiton with green tea extract was performed by diffusion method using paper disk. The results showed that green tea ethanol extract had MIC value of 0.05%. The addition of green tea ethanol extracts 1/4 and 1/8 of MIC values increased the diameter of the amoxicillin inhibition zone by 30.06 mm compared to the amoxicillin inhibitory zone diameter without extract of 24.45 mm. Keywords : Amoxicillin, Antibacterial, Green Tea Ethanol Extract, MRSA.

xi

DAFTAR ISI

halaman

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang 1

I.2 Rumusan Masalah 3

I.3 Tujuan 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

II.1 Teh Hijau (Camellia sinensis) 4

II.1.1 Taksonomi teh hijau 4

II.1.2 Komposisi teh hijau 4

II.1.3 Manfaat teh hijau 7

II.2. Macam-macam Ekstraksi 7

II.3. Prinsip Maserasi 9

II.4. Infeksi 10

II.5 Methicillin Resistant Staphylococccus auresu (MRSA) 11

xii

II.6 Antimikroba 13

II.7 Antibiotika 15

II.7.1 Amoksisilin 16

II.8 Metode Pengujian 18

II.8.1 Metode pengujian aktivitas antibakteri 18

II.8.2 Metode pengujian konsentrasi hambat minimum (KHM) 18

BAB III METODE PENELITIAN 20

III.1 Alat dan Bahan 20

III.2 Metode Kerja 20

III.2.1 Pembuatan ekstrak etanol teh hijau 20

III.2.2 Analisis kadar total polifenol 21

III.2.3 Analisis kadar kafein 21

III.2.4 Sterilisasi alat dan bahan 22

III.2.5 Pembuatan medium MHA 23

III.2.6 Penyiapan bakteri uji 23

III.2.7 Pembuatan larutan uji ekstrak etanol teh hijau 23

III.2.8 Penentuan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak teh hijau 24

III.2.9 Penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak teh hijau 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 25

VI.1 Hasil Ekstraksi dan Penentuan Kadar Polifenol dan Kadar Kafein 25

VI.2 Hasil Penentuan KHM Ekstrak Etanol Teh Hijau 26

VI.3 Hasil Penentuan Daya Hambat Amoksisilin dengan Adanya Ekstrak Etanol Teh Hijau 27

xiii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 30

V.1 Kesimpulan 30

V.2 Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 35

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Komposisi teh hijau 5

2. Hasil ekstraksi dan penentuan kadar ekstrak teh hijau 25

3. Hasil penentuan KHM ekstrak etanol teh hijau terhadap MRSA 26

4. Hasil penentuan zona hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak etanol teh hijau terhadap MRSA 27

5. Hasil pengukuran diameter zona hambatan pada penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak teh hijau 41

6. Hasil pengukuran baku asam galat 43

7. Kadar total polifenol ekstrak teh hijau 43

8. Hasil pengukuran baku kafein 45

9. Konsentrasi dan absorbansi ekstrak Teh Hijau 45

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Struktur amoksisilin 16

2. Grafik diameter rata-rata zona hambat pada penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ektrak teh hijau terhadap MRSA 27

3. Skema kerja penelitian 35

4. Skema proses ektraksi teh hijau 36

5. Skema penentuan konsentrasi hambat minimum ekstrak 36 etanol teh hijau

6. Skema pengujian daya hambat amoksisilin dengan adanya 37 ekstrak etanol teh hijau 7. Isolat bakteri MRSA 38

8. Suspensi bakteri MRSA sesuai kekeruhan Mc Farland 0,5 38

9. Hasil pengamatan penentuan KHM ekstrak teh hijau terhadap bakteri uji MRSA 39

10. Hasil pengamatan penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak etanol teh hijau terhadap bakteri uji MRSA 40

11. Kurva baku asam galat 43

12. Kurva baku kafein 45

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Skema kerja 35

2. Dokumentasi penelitian 38

3. Data hasil pengamatan 41

4. Perhitungan rendamen ekstrak teh hijau 42

5. Perhitungan kadar polifenol total ekstrak teh hijau berdasarkan baku pembanding asam galat 43

6. Perhitungan kadar alkaloid ekstrak teh hijau berdasarkan baku pembanding kafein 45

7. Komposisi medium 47

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama kematian di dunia

terutama di negara berkembang seperti halnya Indonesia. Menurut WHO

pada tahun 2011 tercatat sebanyak 25 juta kematian di seluruh dunia dan

sepertiganya disebabkan oleh infeksi. Infeksi adalah suatu penyakit yang

disebakan oleh adanya mikroorganisme seperti bakteri, virus dan jamur

(James dkk, 2008).

Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri patogen yang

dapat menyebabkan infeksi. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh

S. aureus adalah bisul, impetigo, pneumonia, mastitis, plebitis dan infeksi

luka. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial,

keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Astuti dan Kusuma, 2009;

Syahrurachman dkk, 1993). Menurut Rosalina (2010) Staphylococcus aureus

merupakan bakteri penyebab tersering infeksi sekunder pada semua erosi

kulit dermatosis vesikobulosa. Saat ini, S. aureus menjadi masalah yang

serius karena bakteri tersebut memiliki kemampuan adaptasi yang baik

terhadap berbagai antibiotik terutama golongan penisilin (Syahrurachman dkk,

1993).

Amoksisilin (turunan penisilin) adalah antibiotik golongan β-laktam yang

sangat efektif dan sering digunakan pada kasus infeksi S. aureus karena

2

absorbsi per oral yang baik (Appelbalum, 2007). Namun, pada tahun 1942

mulai ditemukan kasus resistensi S. aureus di rumah sakit (Deleo dan

Chambers, 2009). Kasus resistensi S. aureus terhadap golongan penisilin

terjadi pada lebih dari 86% kasus sehingga hal inilah yang menyebabkan

kegagalan terapi menggunakan amoksisilin pada infeksi S. aureus (Shituu

dkk, 2011). S. aureus yang telah resisten terhadap antibiotika methicillin

(golongan penisilin) kemudian disebut Methicillin-Resistant Staphylococcus

aureus (MRSA) (Lencastre dan Oliveira, 2007). Erma (2017) melaporkan

bahwa MRSA telah resisten terhadap antibiotik amoksisilin.

Resistensi antibiotik dipengaruhi oleh berbagai mekanisme seperti

degradasi dan modifikasi antibiotik, perubahan target bakteri dari antibiotik,

perubahan permeabilitas dinding sel dan yang paling populer adalah

kemampuan bakteri mengeluarkan (efflux) antibiotik dari dalam sel (Costa

dkk, 2013). Kemampuan efflux pump yang dimiliki oleh MRSA dipengaruhi

oleh ekspresi Penicillin Binding Protein 2a (PBP-2a) yang dapat

mengeluarkan senyawa golongan penisilin yang masuk ke dalam sel

(Lencastre, 2007).

Teh hijau (Camellia sinensis) merupakan bahan alam dengan

kandungan utama flavanol dan flavonol. Katekin merupakan flavonoid kelas

flavanol (Hartoyo dan Arif, 2003). Dua katekin, (-) - epigallocatechingallate

(EGCg) dan (-) - epicatechingallate (ECG) yang terkandung di dalam daun teh

segar atau teh hijau adalah komponen yang diketahui memiliki efek

antimikroba dan dapat mengurangi resistensi antibiotik golongan β-laktam

3

(Reygaert, 2014; Pujar, 2011). Catechin gallate merupakan metabolik fenolik

yang yang mampu mengurangi resistensi methicillin pada MRSA (Hamilton-

Miller and Shah, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Roccaro dkk (2004)

menunjukkan bahwa katekin dalam teh hijau mampu menghambat aktivitas

efflux pump Tet(K) pada Staphylococcus sp. yang resisten terhadap antibiotik

tetrasiklin. Selain senyawa katekin, teh hijau juga mengandung senyawa

alkaloid kafein dimana senyawa kafein memiliki sifat antimikroba dan dapat

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (Muhammed dan

Al-bayati, 2008).

I.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh ekstrak etanol daun teh hijau (Camellia sinensis)

dalam meningkatkan aktivitas antibakteri dari amoksisilin terhadap Methicillin-

Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ?.

I.3 Tujuan

Mengetahui kemampuan ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) dalam

meningkatkan aktivitas antibakteri amoksisilin terhadap bakteri Methicillin-

Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teh Hijau (Camellia sinensis)

II.1.1. Taksonomi teh hijau

Menurut Graham (1984) dan Steenis (1987), tanaman teh dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji)

Sub divisi : Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)

Kelas : Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah)

Sub Kelas : Dialypetalae

Ordo(bangsa) : Guttiferales (Clusiales)

Familia(suku) : Camelliaceae (Theaceae)

Genus(marga) : Camellia

Spesies : Camellia sinensis L.

Varietas : Assamica

II.1.2. Komposisi teh hijau

Teh hijau terdiri atas kandungan kimia yang kompleks. Teh mengandung

alkaloid, saponin, tanin, katekin polifenol 15-20% protein dan 1-4% asam

amino seperti asam glutamat, triptopan, glycine, serin, tirosin, valin, leucine,

threonin dan arginin (Pujar dkk, 2011; Archana dan Abraham, 2011). Selain

itu, terdapat unsur karbohidrat seperti selulosa, glukosa, pektin dan fruktosa.

Teh hijau juga mengandung berbagai macam mineral dan vitamin (B, C dan

5

E), lipid, pigmen berupa klorofil dan enzim-enzim yang berperan sebagai

katalisator contohnya enzim amilase, protease, peroksidase dan polifenol

oksidase. Daun teh mengandung zat-zat yang larut dalam air, seperti katekin,

kafein, asam amino, dan berbagai gula. Setiap 100 gram daun teh

mempunyai kalori 17 kj dan mengandung 75-80% air, 16-30% katekin, 20%

protein, 4% karbohidrat, 2,5-4,5% kafein, 27% serat, dan 6% pectin (Amelia

dkk, 2012; Cabrera, 2006).

Persentase kandungan kimia yang ada pada teh hijau dapat dilihat pada

tabel di bawah ini :

Tabel 1. Komposisi teh hijau

Komposisi teh hijau Persentase (%)

Protein 15

Asam amino 4

Fiber 26

Karbohidrat 7

Lipid 7

Pigmen 2

Mineral 5

Substansi fenol 30

Senyawa fenol oksida 0

Sumber : Jigisha dkk. Persentase Jumlah Senyawa Kimia dalam Teh Hijau. International Research Journal of Pharmacy. 2012.

Kandungan kimiawi teh hijau sama seperti yang terkandung dalam daun

teh segar, yaitu senyawa polifenol (flavonol, flavanol, flavone, flavavone,

isoflavone, antocyanin), teofilin, teobromin, vitamin C, vitamin E, vitamin B

kompleks, serta sejumlah mineral seperti fluor, fosfor, kalsium, stronsium, Fe,

Zn, Mg, dan Mo. Polifenol yang paling banyak ditemukan dalam teh hijau

6

adalah flavanol, yaitu katekin. Katekin dalam teh hijau terdiri atas

epigallocatechin-3-gallate (EGCG), epigallatocatechin (EGC), epicatechin-3-

gallate (ECG), dan epicatechin (EC) (Anwar dkk, 2007).

Zat kimia yang terkandung dalam teh hijau adalah polifenol 30%, kafein

4%, gula dan getah 3%, asam amino 7%, mineral 4%, protein 16%, lemak

8%, klorofil dan pigmen lain 1,5%, pati 0,5%, serat kasar, lignin, dan lain-lain

22%. Kandungan zat kimia yang paling banyak dalam daun teh hijau adalah

polifenol atau katekin sekitar 30%. Katekin yang terkandung dalam teh hijau

dapat bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung konsentrasinya.

Sebagai senyawa fenol, catechins dapat bekerja dengan cara merusak

dinding sel bakteri dan membran sitoplasmanya sehingga menyebabkan

denaturasi protein. Teh hijau mempunyai fungsi ganda yaitu kandungan

katekin yang mempunyai daya antimikroba terhadap Streptococcus mutans

dan fluor merupakan komponen anorganik yang dapat memperkuat struktur

gigi. Disamping itu, teh hijau juga mempunyai efek terapeutik terhadap disentri

(Handayani, 2002).

Tiga puluh sampai empat puluh persentase dari daun teh mengandung

polifenol dimana kandungan utamanya adalah katekin. Katekin merupakan

senyawa larut air, tidak berwarna dan memiliki rasa yang pahit. Di samping

itu, katekin adalah komponen utama dari teh hijau yang paling berpengaruh

terhadap seluruh komponen teh (rasa, aroma dan warna). Kandungan katekin

teh hijau terdiri atas senyawa katekin (C), 50%(-)-epigallatocatechin-3-gallate

(EGCg), 19%(-)–epigallatocatechin (EGC), 13.6%(-)-epicatechin-3-gallate

7

(ECG) dan sekitar 6.4%(-)-epicatechin (EC) (Kumar dkk, 2012). Konsentrasi

katekin pada teh hijau tergantung dari umur daun, lokasi geografis, kondisi

saat pertumbuhan (iklim, tanah) dan varietas tanaman tehnya. Teh hijau juga

mengandung gallic acid (GA) dan polifenol lainnya seperti asam klorogenik

dan flavonol yaitu kaempferol, myricetin dan quercetin yang bersifat sebagai

antioksidan alami (Axelrod dkk).

II.1.3. Manfaat teh hijau

Teh hijau memiliki berbagai manfaat, antara lain mengurangi resiko

kanker (kanker perut, kanker payudara, kanker kandungan, kanker prostat,

kanker rongga mulut), menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah

tekanan darah tinggi, membunuh bakteri, membunuh virus-virus influenza,

mengurangi stress, menurunkan berat badan, meningkatkan kemampuan

belajar, menurunkan kadar gula darah, mencegah pengeroposan gigi,

antioksidan dan mencegah penuaan dini, mengatasi penyakit jantung koroner,

menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler, meningkatkan

kekebalan tubuh, mencegah penyakit ginjal, mencegah penyakit parkinson,

mencegah nafas tidak sedap, dan antiosteoporosis (Widyaningrum, 2013).

II.2 Macam-macam Ekstraksi

Adapun metode dari ekstraksi dibagi menjadi dua, yaitu (Mukhriani,

2014):

1. Cara dingin

a. Maserasi

8

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke

dalam rongga sel yangmengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya

perbedaan konsentrasiantara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel

maka larutan terpekat didesak keluar.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri

dari tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). Cara

perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:

a) Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang

terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga

meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.

b) Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat

mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka

kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat

meningkatkan perbedaan konsentrasi.

2. Cara panas

a. Refluks

9

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu

baru dan yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi

ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya

pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-500C.

d. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya dilakukan untuk

menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.

Proses ini dilakukan pada suhu 900C selama 15 menit.

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai

titik didih air, yakni 30 menit pada suhu 90-1000C.

II.3. Prinsip Maserasi

Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk

simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperature kamar,

10

terlindung dari cahaya.Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati

dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara

larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi

akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi

rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.

Keuntungan dari metode maserasi adalah peralatan yang digunakan

sederhana. Sedangkan kerugiannya adalah waktu yang diperlukan untuk

mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih

banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur

keras seperti benzoin, tiraksdanlilin (Mukhriani, 2014).

II.4. Infeksi

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu obat

andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain

antibakteri/antibiotika, antijamur, antivirus, antiprotozoa (PerMenKes, 2011).

Infeksi adalah invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan

beasosiasi dengan jaringan inang. Adapun proses infeksi yaitu dengan cara

mikroorganisme (bakteri, jamur, virus) masuk kedalam tubuh dan melekat

atau menempel pada sel inang. Setelah menempati tempat infeksi primer,

mikroorganisme tersebut memperbanyak diri dan menyebar langsung ke

aliran darah melalui jaringan atau sistem limfatik. Infeksi tersebut dapat

bersifat sementara atau persisten (Djide dan Sartini, 2014).

11

Infeksi merupakan suatu keadaan masuknya mikroorganisme kedalam

tubuh, berkembang biak dan disertsi suatu gejala klinis baik lokal maupun

sistemik. Penyakit infeksi ini disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat

sangat dinamis. Salah satu penyakit infeksi yang merupakan penyebab

meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di

rumah sakit adalah infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).

Infeksi dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh atau

yang biasa disebut dengan infeksi endogen dan eksogen. Infeksi endogen

disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam

tubuh dan berpindah ke tempat baru yang disebut self infection atau auto

infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh

mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien

yang lainnya (Djide dan Sartini, 2014).

Intensitas penggunaan antibiotika yang relatif tinggi menimbulkan

berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan

terutama resistensi bakteri terhadap antibiotika. Selain berdampak pada

morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi

dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah

sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat,

khususnya Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan

Escherichia coli (PerMenKes, 2011)

II.5. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

12

Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah galur

Staphylococcus aureus yang telah resisten terhadap antibiotika jenis

meticillin yaitu bakteri MRSA. Menurut berbagai penelitian, bakteri patogen

penyebab infeksi nosokomial yang paling umum salah satunya adalah

Staphylococcus aureus (Tennant dan Harding, 2005; Prabhu, 2006).

Kingdom : Monera

Divisio : Protophyta

Class : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Famili : Micrococcaceae

Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif, berbentuk bulat

seperti anggur dengan diameter sekitar 1 µm, tidak mempunyai alat gerak dan

tidak tahan asam. Bakteri Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu

10-45° C dengan suhu optimum yaitu 37° C. Pada tubuh biasanya terdapat

pada permukaan kulit, saluran pernapasan bagian atas, saluran kemih, mulut,

hidung, luka yang terinfeksi, selaput lendir, dan tempat-tempat lainnya (Dewi,

2014; Plata dkk, 2009).

Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan galur

spesifik dari bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap

antimikroba semua turunan penicillin dan methicillin serta antimikroba

spektrum luas betalactamase resisten penicillin. Resistensi MRSA terhadap

13

antibiotik disebabkan oleh kemampuan efflux pump yang dimiliki oleh MRSA

dipengaruhi oleh ekspresi Penicillin Binding Protein 2a (PBP-2a) yang dapat

mengeluarkan senyawa golongan penisilin yang masuk ke dalam sel

(Lencastre, 2007).

Menurut data sistem nosocomial surveilence rumah sakit Dr. Kariadi,

pada bulan juli-desember 2007 ditemukan kuman MRSA pada 30 kasus

infeksi luka operasi di bangsal A2 dan A3 sebanyak 18 kasus (60%), dan

periode Januari-mei 2008 sebanyak 16 kasus (67%) dari 24 kasus. MRSA

telah menjadi sebuah masalah besar bagi para klinisi di rumah sakit selama

bertahun-tahun sebagai penyebab infeksi nosokomial yang angka

kejadiannya meningkat 10-20 % (Fitriani dkk, 2011)

Pada awalnya, Staphylococcus aureus dikenal sebagai suatu penyebab

penyakit yang penting di seluruh dunia dan menjadi suatu patogen utama

yang terkait dengan infeksi, baik yang didapat di rumah sakit (Hospital-

Aquired MRSA/HA-MRSA) maupun di komunitas (Community-Acquired

MRSA/CA-MRSA) (DepKes RI, 1995).

Hospital-Aquired MRSA (HA-MRSA) disebabkan oleh beberapa faktor,

yaitu pemakaian antibiotika yang tidak rasional (baik dari segi ketidak

sesuaian indikasi, dosis, maupun durasinya yang lama), transmisi penyakit

dan tindakan invasive (seperti pemasangan infus, selang nasogastrik, CVP/

Central Venous Pressure) (DepKes RI, 1995).

Community-Acquired MRSA (CA-MRSA) terjadi pada penderita dengan

riwayat rawat inap rumah sakit maupun tidak. Tempat pelayanan umum,

14

sekolah, penjara, dan tempat yang penduduknya padat mudah ditemukan

bakteri tersebut. Abses, luka bakar ataupun luka gigitan serangga dapat

dijadikan CA-MRSA tempat berkembang. Sekitar 75% infeksinya terjadi pada

kulit dan jaringan lunak (DepKes RI, 1995).

II.6 Antimikroba

Antimikroba adalah bahan-bahan atau obat-obat yang digunakan untuk

memberantas infeksi mikroba pada manusia, termasuk golongan ini yang

berhubungan dengan bidang farmasi antara lain antibiotika,

antiseptika, disinfektansia, preservatif. Antimikroba dapat bersifat: (Djide dan

Sartini, 2014)

1. Bakteriostatika, yaitu zat atau bahan yang dapat menghambat atau

menghentikan pertumbuhan mikroorganisme (bakteri), Fungistatika yaitu

zat atau bahan yang dapat menghentikan pertumbuhan fungi, sitostatika

terhadap kanker. Dalam keadaan seperti ini jumlah mikroorganisme

menjadi stasioner, tidak dapat lagi multiplikasi dan berkembang biak.

2. Bakteriosida, yaitu zat atau bahan yang dapat membunuh

mikroorganisme (bakteri). Dalam hal ini jumlah mikroorganisme (bakteri)

akan berkurang atau bahkan habis, tidak dapat lagi melakukan

multiplikasi atau berkembang biak.

Antimikroba mempunyai mekanisme kerja utama antara lain

sebagai berikut: (Djide dan Sartini, 2014)

1. Penginaktifan enzim tertentu

2. Denaturasi protein

15

3. Mengubah permeabilitas membran sitoplasma bakteri

4. Interkalasi ke dalam DNA

5. Pembentukan khelat

6. Bersifat sebagai antimetabolit

7. Penghambatan terhadap sintesis dinding sel

8. Penghambatan fungsi permeabilitas membrane sel.

9. Penghambatan sintesis protein

10. Penghambatan asam nukleat

II.7 Antibiotika

Menurut Benedict dan Langlyke, antibiotika adalah suatu senyawa

kimia diturunkan dari atau diproduksi oleh organisme hidup, yang dalam

konsentrasi kecil mempunyai kemampuan untuk menghimbisi proses

kehidupan mikroorganisme lain. (Djide dan Sartini, 2014)

Penggolongan antibiotika berdasarkan atas spektrum aktivitasnya

dapat dibagi atas beberapa golongan yaitu (Djide dan Sartini, 2014):

1. Antibiotika dengan spektrum luas, efektif baik terhadap gram positif

maupun gram negatif. Sebagai contohnya adalah turunan tetrasiklin,

turunan amfenikol, turunan aminoglikosida, turunan makrolida, rifampisin,

beberapa turunan penisilin.

2. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri gram

positif. Sebagai contohnya adalah basitrasin, eritromisin, sebagian besar

turunan penisilin seperti benzil penisilin, kloksasilin, penisilin G prokain

16

dan beberapa turunan sefalosporin.

3. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri gram

negatif. Sebagai contohnya adalah kolistin, polimiksin B sulfat, dan

sulfomisin.

4. Antibiotika yang aktivitasnya dominan pada Mycobacteriae. Sebagai

contohnya adalah streptomisin, kanamisin, sikloserin, vimisin dan lain-

lain.

5. Antibiotika yang aktif terhadap jamur. Sebagai contohnya adalah

grisofulvin, antibiotika polien (nistatin dan amfoterisin B).

6. Antibiotika yang aktif terhadap neoplasma (antikanker). Sebagai

contohnya adalah aktinomisin, bleomisin, mitomisin, mitramisin, dan lain-

lain.

II.7.1 Amoksisilin

Gambar 1. Struktur Amoksisilin (Yakuji and Nippo, Japanese Pharmacopeia, 2011)

Nama Senyawa : Amoksisilin trihidrat

Rumus Molekul : C16H19N3O5S.3H2O

Berat Molekul : 419,45

Pemerian : Serbuk hablur, putih, praktis tidak berbau.

17

Kelarutan : Sedikit larut dalam air, sangat sedikit larut dalam

alkohol, praktis tidak larut dalam minyak, tidak larut

dalam benzena, dalam karbon tetraklorida dan dalam

kloroform

pH : 3,5-6,0

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, pada suhu kamar terkendali

(Yakuji dan Nippo, 2011; Gan dkk, 2007).

Amoksisilin merupakan salah satu antibiotika golongan penisilin.

Penisilin merupakan kelompok antibiotika β-laktam yang telah lama dikenal.

Mekanisme kerja dari penisilin adalah dengan menghambat sintesis

mukopeptida yang diperlukan untuk pembentukan dinding sel bakteri (Unal

dkk, 2008).

Amoksisilin merupakan antibotik spektrum luas yang digunakan untuk

mengobati infeksi bakteri yang disebabkan oleh bakteri patogen. Beberapa

penyakit umum yang diperlakukan menggunakan amoksisilin meliputi: sakit

tenggorokan, infeksi telinga dan sinus, infeksi bakteri pneumonia, bronkitis,

tonsilitis, dan infeksi saluran kemih. Amoksisilin adalah antibiotika yang aktif

terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Amoksisilin bertindak

dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Menghambat cross-linking

antara rantai polimer peptidoglikan linear yang membentuk komponen utama

dari sel dinding bakteri. Obat ini biasa digunakan diantara antibiotika kelas

lainnya karena absorbsinya yang lebih baik, dilihat dari sediaan oralnya

dibandingkan dengan golongan bektalaktam lainnya. Namun amoksisilin

18

dapat dirusak oleh beta-laktamase sehingga amoksisilin tidak efektif untuk

melawan bakteri yang memproduksi betalaktamase (Frynkewicz dkk, 2013;

Chudlori dkk, 2012).

Proses resistensi bakteri Staphylococcus aureus terhadap amoksisilin

disebabkan karena bakteri Staphylococcus aureus dapat menghasilkan enzim

β-laktamase yang menyerang cincin β-laktam pada molekul penisilin. Enzim

ini bertanggung jawab dalam peningkatan perlawanan terhadap penisilin.

Enzim β-laktamase melindungi bakteri Gram positif dan Gram negatif. Dalam

Gram positif, enzim dibebaskan kedalam medium dan menghancurkan

antibiotika sebelum mencapai sel. Dalam Gram negatif enzim secara strategis

terlokasi pada rute dimana antibiotika harus berjalan untuk mencapai

targetnya (Adwan dkk, 2009).

II.8 Metode Pengujian

I.8.1 Metode pengujian aktivitas antibakteri

Penentuan aktivitas antibakteri secara in vitro dapat dikelompokkan

dalam dua metode, yaitu : (Rostinawati, 2009)

1. Metode turbidimetri (metode tabung)

`Pada cara turbidimetri, digunakan medium agar cair dalam tabung

reaksi. Pengamatan dengan melihat kekeruhan yang terjadi akibat

pertumbuhan bakteri. Kadar antibakteri ditentukan dengan menggunakan

spektrofotometer. Kelebihan cara ini adalah lebih cepat dari cara difusi agar

karena hasil dapat dibaca setelah 3 atau 4 jam setelah inkubasi.

2. Metode difusi (metode lempeng)

19

Pada cara difusi agar digunakan media agar padat dan reservoir yang

dapat berupa cakram kertas, silinder atau cekungan yang dibuat pada media

padat. Larutan uji akan berdifusi dari pencadang ke permukaan media

agar padat yang telah diinokulasi bakteri. Bakteri akan terhambat

pertumbuhannya dengan pengamatan berupa lingkaran atau zona

disekeliling pencadang.

I.8.2 Metode Pengujian Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

Aktivitas antibakteri ditentukan oleh spektrum kerja, cara kerja

dan ditentukan pula oleh konsentrasi hambat minimum (KHM). Konsentrasi

Hambat minimum (KHM) adalah konsentrasi minimum dari suatu zat yang

mempunyai efek daya hambat pertumbuhan mikroorganisme. Penetapan

KHM dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : (Rostinawati, 2009)

1. Cara cair

Pada cara ini digunakan media cair yang telah ditambahkan zat yang

dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau jamur dengan

pengenceran tertentu kemudian diinokulasikan biakan bakteri atau jamur

dalam jumlah yang sama. Respon zat uji ditandai dengan kejernihan atau

kekeruhan pada tabung setelah diinkubasi.

2. Cara padat

Pada cara ini digunakan media padat yang telah dicampur dengan

larutan zat uji dengan berbagai konsentrasi. Dengan cara ini satu

cawan petri dapat digores lebih dari satu jenis mikroba untuk memperoleh

nilai KHM.

20

21

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah enkas, Laminar Air

Flow (LAF), inkubator (Memmert®), spektrofotometri UV-VIS, autoklaf

(Hirayama®), oven, timbangan analitik (Sartorius®), mikropipet, ose bulat, ose

lurus, pinset, spoit (OneMed®), lampu spiritus, jangka sorong, sendok tanduk,

alat-alat gelas, alat semprot, mangkok, vial, cawan petri, cawan porselen, labu

Erlenmeyer (Pyrex®), bunsen dan tabung reaksi.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hijau (Camellia

sinensis) produksi PT. Gunung Subur Sejahtera, etanol 70% (E-Merck®),

heksan, air suling, Disk Amoksisilin (Difco®) , NaCl 0,9% steril, Dimethyl

Sulfoxide (DMSO), medium Mueller Hinton Agar (MHA) (Acumedia®), standar

Mc Farland 0,5 (Difco®) dan bakteri uji Methicillin-Resistant Staphylococcus

aureus (MRSA) koleksi laboratorium mikrobiologi di RS Pendidikan

Universitas Hasanuddin.

III.2 Metode Kerja

III.2.1 Pembuatan ekstrak etanol teh hijau

Daun teh hijau sebanyak 100,2 g dimaserasi menggunakan pelarut

heksan dengan rasio perbandingan 1 : 5 selama 24 jam kemudian disaring

menggunakan kertas saring. Ampas hasil saringan kemudian dikeringkan dan

ditimbang. Ampas diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut

22

etanol 70% dengan rasio 1 : 5 selama 2-3 hari, kemudian disaring dan

dilakukan remaserasi menggunakan pelarut etanol 70 % dengan rasio 1 : 5.

Setelah dimaserasi, disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat

dikumpulkan kemudian diuapkan pelarutnya hingga diperoleh ekstrak kering.

III.2.2 Analisis kadar total polifenol

Pembuatan larutan standar : Dilarutkan 10 mg asam gallat dalam

metanol hingga 100 ml (100 ppm). Dibuat seri pengenceran 0,5, 1,5, 3, 5 dan

7 ppm dengan mengambil 2,5, 7,5, 15, 25 dan 35 µl dari larutan stok

kemudian ditambahkan 2,5 ml reagen Folim-Ciocalteau dan 2 ml larutan

natrium karbonat 7,5% kemudian dicukupkan dengan aquadest hingga 5 ml.

Diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruangan lalu diukur absorbansi

dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang

648,0 nm.

Pengukuran kadar total polifenol : Dilarutkan 10 mg ekstrak teh hijau

dalam metanol hingga volume mencapai 10 ml. Diambil sebanyak 0,1 ml dari

larutan stok dan ditambahkan 2,5 ml reagen Folin – Ciocalteau dan 2 ml

larutan natrium karbonat 7,5% kemudian dicukupkan dengan aquadest hingga

5 ml. Diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruangan lalu diukur absorbansi

sampel menggunakan spektrofotometer UV – Visible pada panjang

gelombang 648,0 nm.

III.2.3 Analisis kadar kafein

23

Pembuatan larutan induk baku kafein : Ditimbang kafein sebanyak 10

mg, dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml, dilarutkan dengan etanol 96%

sampai tanda batas dan dihomogenkan.

Penentuan panjang gelombang maksimum: Deteksi absorbansi

larutan standar pada rentang panjang gelombang 200-400 nm dengan

menggunakan instrument spektrofotometer UV-Vis.

Pembuatan kurva baku : Dibuat larutan baku kafein dengan

konsentrasi 12, 14, 16, 18 dan 20 ppm yaitu dengan mengambil masing-

masing 60, 70, 80, 90 dan 100 µl dari laruan induk baku kafein kemudian

dimasukkan ke dalam labu tentukur 5 ml dan ditambahkan etanol 96% sampai

garis tanda dan dihomogenkan. Selanjutnya diukur serapannya dengan

spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 271 nm.

Penetapan kadar sampel : Ekstrak teh hijau ditimbang sebanyak 10

mg, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml, lalu ditambahkan

etanol 96% hingga tanda batas dan dihomogenkan sehingga diperoleh kadar

1000 ppm sebagai stok. Diambil sebanyak 250 µl dari stok kemudian

dimasukkan ke dalam labu takar 5 ml dan ditambahkan etanol 96% sampai

garis tanda dan dihomogenkan. Kemudian diukur serapannya dengan

spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 271 nm.

III.2.4 Sterilisasi alat dan bahan

Seluruh alat yang akan digunakan dicuci bersih dan dikeringkan. Cawan

petri dan alat-alat gelas lainnya disterilisasi menggunakan oven pada suhu

170° C selama 2 jam. Alat-alat berskala dan alat-alat yang tidak tahan

24

pemanasan disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121° C selama 15

menit. Media pembenihan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121° C

selama 15 menit.

III.2.5 Pembuatan medium MHA

Sebanyak 3,8 medium disuspensikan ke dalam 100 ml akuades dan

dicek pH medium yaitu 7. Medium dipanaskan sampai larut kemudian

disterilkan menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121° C.

III.2.6 Penyiapan bakteri uji

Bakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah Methicllin Resistant

Staphylococus aureus (MRSA) yang diperoleh dari laboratorium mikrobiologi

di RS. Pendidikan Universitas Hasanuddin. Bakteri uji MRSA diremajakan

dengan menggoreskan bakteri menggunakan jarum ose pada media agar

miring MHA dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.

Bakteri MRSA disuspensikan dalam larutan NaCl steril 0,9 % yang

disesuaikan dengan kekeruhan standar Mac Farland 0,5 (1,5 x 108 CFU/ml)

dan selanjutnya digunakan sebagai bakteri uji.

III.2.7 Pembuatan larutan uji ekstrak etanol teh hijau

Ekstrak etanol teh hijau ditimbang sebanyak 0,1 g dilarutkan kedalam

DMSO 10 ml sehingga diperoleh konsentrasi ekstrak 1 % sebagai stok awal

kemudian dilakukan pengenceran bertingkat untuk memperoleh konsentrasi

0,5 %, 0,25 % dan 0,125 %. Masing-masing larutan eksrak dipipet sebanyak

25

1 ml kemudian dimasukkan ke media MHA 9 ml sehingga diperoleh

konsentrasi uji 0,1 %, 0,05 %, 0,025 % dan 0,0125 %.

III.2.8 Penentuan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak teh hijau

Penentuan KHM ekstrak teh hijau dilakukan dengan metode dilusi padat.

Ekstrak ditimbang kemudian dibuat konsentrasi 0,1%, 0,05%, 0,025 dan

0,0125% dalam media MHA dengan volume total dalam cawan petri adalah

10 ml dan dibiarkan memadat. Suspensi bakteri uji MRSA yang setara

dengan Mc Farland 0,5 (1.5 × 108 CFU/mL) disebar diatas media yang telah

memadat menggunakan cotton swab steril. Kontrol terdiri dari kontrol positif

(media + ekstrak), kontrol pelarut (media + DMSO+ MRSA), dan kontrol

negatif (media MHA + MRSA). Diinkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu 37°C

dan amati pertumbuhan bakteri.

III.2.9 Penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak teh hijau

Pengujian ini dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan

medium MHA. Konsentrasi ekstrak dibuat 1/2, 1/4 dan 1/8 nilai KHM yaitu

konsentrasi 0,025%, 0,0125% dan 0,00625% dalam cawan petri yang berisi

media MHA dengan volume total dalam cawan petri adalah 10 ml dan

dibiarkan memadat. Suspensi bakteri uji MRSA yang setara dengan Mc

Farland 0,5 (1.5 × 108 CFU/mL) disebar merata diatas medium padat

menggunakan alat spreader, kemudian paper disk yang berisi antibiotik

26

amoksisilin 25 µg diletakkan diatasnya. Kontrol terdiri dari kontrol pelarut

(media + DMSO+ MRSA) dan kontrol ruang. Diinkubasi selama 1 x 24 jam

pada suhu 37° C dan diamati zona hambat yang terbentuk.

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Ekstraksi, Penentuan Kadar Polifenol dan Kadar Kafein

Ekstraksi teh hijau dilakukan dengan metode maserasi menggunakan

etanol 70 % dan diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 2. Hasil ekstraksi teh hijau

Bobot simplisia (g) Bobot ekstrak (g) Rendamen

(%)

Total Polifenol

(%b/b±SD)

Kadar Kafein

(%b/b)

100,2 30,1 30,04 `32,14±0.16 31,11

Menurut Farmakope herbal (2010) nilai rendamen untuk ekstrak teh hijau

adalah tidak kurang dari 7,8% sehingga nilai rendamen yang diperoleh dari

ekstrak teh hijau melalui proses maserasi menggunakan alkohol 70% telah

memenuhi syarat. Hasil penelitian Perva Uzunalic dkk (2006) bahwa ekstrak

etanol 80% dari teh hijau memiliki rendamen sebesar 34.5%. Besar kecilnya

persen rendamen dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan sebagai

penyari, ukuran pertikel simplisia, metode dan lamanya ektraksi (Mukhriani,

2014).

Pengukuran kadar total polifenol di dalam ekstrak teh hijau adalah

sebesar 32,14%. Dalam Farmakope Herbal (2010) dipersyaratkan kadar total

polifenol ekstrak teh hijau tidak kurang dari 1,83% sehingga kadar total

polifenol yang diperoleh telah memenuhi syarat. Sartini dkk (2007)

melaporkan bahwa kadar total polifenol dari ekstrak teh hijau yang dimaserasi

28

menggunakan etanol 80% adalah sebesar 21,96%. Hasil tersebut dapat

diketahui bahwa cairan penyari yang digunakan dalam mengekstraksi

simplisia dapat mempengaruhi kadar senyawa yang terkandung di dalam

ekstrak. Selain itu hasil pengukuran kadar kafein dalam ekstrak teh hijau

diperoleh kadar sebesar 31,112%.

IV.2 Hasil Penentuan KHM Ekstrak Etanol Teh Hijau

Penentuan KHM ekstrak etanol teh hijau dilakukan pada konsentrasi

ekstrak 0,1 %, 0,05 %, 0,025 % dan 0,0125 % dengan metode dilusi padat

menggunakan medium MHA. Hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 3. Hasil penentuan KHM ekstrak etanol teh hijau terhadap MRSA

Konsentrasi (%) Pertumbuhan bakteri MRSA

0,1 -

0,05 -

0,025 +

0,0125 +

Keterangan : (-) : tidak ada pertumbuhan bakteri (+) : ada pertumbuhan bakteri

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dalam menentukan

konsentrasi hambat minimum ekstrak etanol teh hijau pada konsentrasi 0,1 %

dan 0,05 % menunjukkan tidak ada koloni bakteri yang tumbuh dan pada

konsentrasi 0,025 % dan 0,0125 % menunjukkan adanya koloni bakteri yang

tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

ekstrak teh hijau terhadap bakteri MRSA terdapat pada konsentrasi 0,05%.

Semakin rendah nilai KHM yang diperoleh maka sensitivitasnya semakin

besar. Sartini, dkk (2007) melaporkan bahwa ekstrak teh hijau yang

dimaserasi menggunakan etanol 80% memiliki nilai KHM sebesar 0,03%

B

29

menggunakan metode mikrodilusi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode

yang digunakan dapat mempengaruhi nilai KHM yang diperoleh.

IV.3 Hasil Penentuan Daya Hambat Amoksisilin dengan Adanya Ekstrak

Etanol Teh Hijau

Penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak etanol teh

hijau dilakukan pada konsentrasi ekstrak ½ ,¼ dan 1/8 nilai KHM dimana

KHM ekstrak etanol teh hijau yang telah diperoleh adalah 0,05 % sehingga

konsentrasi yang digunakan pada pengujian ini adalah 0,025 %, 0,0125 %

dan 0,00625%. Hasilnya dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut.

Tabel 4. Hasil penentuan zona hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak etanol teh hijau terhadap MRSA

Sampel Diameter (mm) Standar Interpretasi

Diameter (mm)

Amoksisilin 24,45

S ≥ 29 dan R ≤28

Amoksisilin + 0.0125%

(¼ KHM ) 30,06

Amoksisilin + 0,00625%

(1/8 KHM) 30,06

Keterangan : S = Sensitif R = Resisten

Gambar 2. Grafik diameter rata-rata zona hambat pada penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ektrak teh hijau terhadap MRSA

0

5

10

15

20

25

30

35

Amoksisilin Amoksisilin + 1/4 KHM Amoksisilin+ 1/8 KHM

Dia

me

ter

(mm

)

30

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dalam penentuan zona

hambat amoksisilin dengan adanya ektrak etanol teh hijau terhadap bakteri uji

MRSA diperoleh bahwa ekstrak etanol teh hijau yang ditambahkan ke dalam

media dapat meningkatkan aktivitas dari antibiotika amoksisilin dalam

menghambat pertumbuhan bakteri MRSA. Hal ini dibuktikan pada konsentrasi

1/4 KHM (0,0125 %) dan 1/8 KHM (0,00625 %) ekstrak teh hijau yang

ditambahkan ke dalam media diperoleh zona hambat amoksisilin yaitu

sebesar 30,06 mm. Hasil pengukuran tersebut lebih besar jika dibandingkan

dengan daya hambat amoksisilin tanpa ekstrak yakni sebesar 24,45 mm.

Menurut CLSI (2015), standar interpretasi zona hambat untuk antibiotika

golongan penicillin terhadap bakteri Staphylococcus aureus dikatakan resisten

apabila diameter zona hambatnya ≤28 mm. Diameter zona hambat yang

diperoleh sudah berada jauh dari zona hambat yang dikatakan resisten

sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan penambahan ekstrak etanol teh

hijau dibawah nilai KHM dapat meningkatkan sensitivitas dari amoksisilin.

Pada konsentrasi 1/2 KHM (0,025%) diperoleh zona hambat yang sangat

besar yang menyebabkan pengukuran diameter zona hambatan tidak dapat

dilakukan.

Menurut Lencastre (2007) resistensi Staphylococcus aureus disebabkan

oleh mekanisme pertahanan efflux pump yang dapat mengefflux antibiotik

yang masuk ke dalam sel yang dipengaruhi oleh ekspresi Penicillin Binding

Protein 2a (PBP-2a).

31

Oleh karena itu, peningkatan sensitivitas amoksisilin dari resisten

menjadi sensitif oleh ekstrak etanol teh hijau kemungkinan disebabkan oleh

kandungan katekin dan alkaloid yang sangat tinggi dalam ekstrak teh hijau

dimana kedua senyawa tersebut memiliki kemampuan sebagai efflux pump

inhibitor (EPI). Penelitian yang dilakukan oleh Roccaro dkk (2004)

menunjukkan bahwa katekin dalam teh hijau mampu menghambat aktivitas

efflux pump Tet(K) pada Staphylococcus sp. yang resisten terhadap antibiotik

tetrasiklin. Hal yang sama juga dapat berlaku terhadap Methicillin Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA) yang telah resisten terhadap antibiotik

amoksisilin bahwa katekin dalam teh hijau mampu menghambat aktivitas

efflux pump pada MRSA sehingga meningkatkan efektivitas antibiotik dalam

membunuh bakteri.

32

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat

disimpulkan bahwa penambahan ekstrak etanol teh hijau 0,0125% (1/4 KHM)

dan 0,00625% (1/8 KHM) mampu meningkatkan aktivitas antibakteri dari

amoksisilin terhadap bakteri MRSA yang telah resisten terhadap antibiotika

amoksisilin dengan diameter zona hambatan dari amoksisilin sebesar 24,45

mm menjadi 30,06 mm.

V.2 Saran

Peneliti mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai

bagaimana mekanisme teh hijau dalam mencegah resitensi MRSA dalam hal

ini sebagai Efflux Pump Inhibitor.

33

DAFTAR PUSTAKA

Adwan, G., Abu-Shanab, B., and Adwan, K. 2009. In vitro Interaction of Certain Antimicrobial Agents in Combination with Plant Extracts Against Multidrug-resistant Pseudomonas aeruginosa Strains, Middle-East Journal of Scientific Research. 4 (3). Hal 158-162.

Amelia, R., Sudomo, P., dan Widasari, L. 2012. Perbandingan uji efektivitas

ekstrak teh hijau(Camellia sinensis) sebagai anti bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli secara in vitro. Jurnal; 23(4): 177-182.

Anwar, D.A., Supartinah, A., dan Handajani, J. 2007. Efek kumur ekstrak teh hijau (Camellia sinensis) terhadap derajat keasaman dan volume saliva penderita gingivitis. Indonesia Journal of Dentistry. 14(1): 22-6.

Appelbaum, P.C. 2007. Microbiology resistance in Staphylococcus aureus. CID Supplement 3. 45: S166-S170.

Archana, S. and Abraham, J. 2011. Comparative analysis of antimicrobial

activity of leaf extracts from fresh green tea, commercial green tea and black tea on pathogens. Journal Of Appied Pharmaceutical Science; 1(8):149-52.

Astuti dan Kusuma, E. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Axelrod, M., Berkowitz, S., Dhir, R., Gould, V., Gupta, A., and Li, E. The

inhibitory effects of green tea (Camellia sinensis) on the growth andproliferation of oral bacteria.

Cabrera, C., Artacho, R., and Giménez, R. 2006. Beneficial effects of green tea. Journal of The American College of Nutrition. 25(2): 79-99.

Chudlori, B., Kuswandi, M., dan Indrayudha, P. 2012. Pola Kuman Dan Resistensinya Terhadap Antibiotika Dari Spesimen PUS Di RSUD Dr. Moewardi Tahun 2012. Pharmaceitical Journal Of Indonesia ISSN. 13(2). 70-76.

Clinical Laboratory Standar Institute. 2015. M100S Performance Standar For

Antimicrobial Susceptibility Testing 26th edition. Costa, S.S., Viveiros, M., Amaral, L., and Couto, I. 2013. Multidrug Efflux

Pumps in MRSA: an Update. The Open Microbiology Journal, Volume 7. Bentham Open. 7, (Suppl 1-M5) 59-7.

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan pengendaliannya.

Salemba Medika. Jakarta.

34

DeLeo, F.R., and Chambers, H.F. 2009. Reemergence of antibiotic resistant Staphylococcus aureus in the genomics area. 119(9): 2464- 2474.

Dewi, C.A.D. 2014. Pengaruh Sumber Karbon Dan Nitrogen Pada Produksi

Senyawa Antimikroba Dari Fungi Endofit Tanaman Ongkea (Mezzettia Parviflora Becc.). Skripsi tidak diterbitkan. Makassar. Universitas Hasanuddin.

DitJen POM DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Djide, M.N. dan Sartini. 2014. Dasar-Dasar Mikrobiologi Farmasi. Penerbit

Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Fitriani, D.A.R., Noorhamdani, A.S., dan Setyawati, S.K. 2011. Efektivitas Ekstrak Daun Ceplukan sebagai Antimikroba terhadap Methicillin-

Resistant Staphylococcus aureus In Vitro. Malang : Jurnal Kedokteran

Universitas Brawijaya. 26(4). 212-215.

Frynkewicz, H., Feezle, H., and Richardson, M. 2013. Thermostability Determination of Broad Spectrum Antibiotikas at High Temperatures by Liquid Chromatography-Mass Spectrometry. University of Wisconsin La Cross. NCUR.

Gan, G.S., Setiabudy, R.N., dan Elysabeth. 2007. Farmakologi Dan Terapi.

Edisi 5. Balai Penerbitan FKUI. Jakarta. Graham, H.N. 1984. Tea : The Plant and Its Manufacture : Chemistry and

Consumption of the Beverage. In Liss AR. The Methylxanthine Beverages and Foods : Chemistry, Consumption, and Health Effects. Prog Clin Biol Rev. 29-74.

Handajani, J. 2002. Daya imunomodulasi daun teh hijau (Camellia sinensis).

Majalah Ilmu Kedokteran Gigi Indonesia. 4(7): 175.

Hartoyo dan Arif. 2003. Teh dan Khasiatnya Bagi Kesehatan : Sebuah Tinjauan Ilmiah. Kanisius. Yogyakarta.

James, J., Baker, C., dan Swain, H. 2008. Prinsip – Prinsip Sains Untuk

Keperawatan. Terjemahan oleh Indah Reno Wardhani. Erlangga Medical Series. 49, 66-67.

Kumar, A., Thakur, P.,Patil, S., and Payal, C. 2012. Antibacterial activity of

green tea (Camellia sinensis) extracts against various bacteria isolated from environmental sources. Recent Research in Science and Technology; 4(1): 19-23.

35

Lencastre, H. and Oliveira, D. 2007. Antibiotic resistant Staphylococcus aureus: a paradigm of adaptive power. Curr Opin Microbiol. 10(5): 428- 435.

Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa

Aktif. Jurnal Kesehatan. Voume VII. (2) : 361-363.

Hamilton-Miller, J.M.T and Shah, S. 2000. Activity of the tea component epicatechin gallate and analogues against methicillin-resistant Staphylococcus aureus. J Antimicrob Chemother. 46:852–3.

Muhammed, M.J. and Al-Bayati, A.F. 2008. Isolation, identification and

purification of caffeine from Coffea Arabica L. and Camellia sinensis L.: A

combination antibacterial study. International Journal of Green Pharmacy.

52-57.

Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang pedoman umum penggunaan antibiotika. 2011. Jakarta. Mentri Kesehatan Republik Indonesia.

Perva-Uzunalic, A., Skerget, M., Knez, Z., Weinreich, B., Otto, F., and Gruner, S. 2006. Extraction of active ingredients from green tea (Camellia sinensis): Extraction efficiency of major catechins and caffeine. Food Chemistry. 96(4), 597-605.

Plata, K., Adrian, E.R., and Wegrzyn, G. 2009. Staphylococcus aureus as an infection agent : overview of biochemistry and molecular genetics of its pathogenicity. Acta Biochimica Polonica. 56(4). 597-612.

Prabhu, N., Sangeetha, M., Chinnaswamy, P., and Joseph, P.I. 2006. A rapid

method of evaluation microbial load in health care industy and application of alcohol to reduce nosocomial infection. Journal of the academy of hospital dministration. Ind medica. 18(1).

Pujar, M., Patil, C., and Kaam, A. 2011. Comparison of antimicrobial efficacy

of triphala, (GTP) Green Tea Polyphenols and 3% of sodium hypochlorite on Enterococcus faecalisbiofilms formed on tooth substrate in vitro. Int Oral Health J. 3.

Reygaert C W. Teh antimicrobial possibilities of green tea. Department of

Biomedical Sciences, 2014. 5:1-8 Roccaro, S.A., Blanco, A.R., Giuliano, F., Rusciano, D., and Enea, V. 2004.

Epigallocatechin-gallate enhances the activity of tetracycline in staphylococci by inhibiting its efflux from bacterial cells. Antimcrob Agents Chemother. 48, 1968-1973.

36

Sartini, Djide, N.M., dan Nainu, F. 2017. Potensi Ekstrak Kaya Polifenol Dalam Memodulasi Aktivitas Antibakteri Beberapa Antibiotika Terhadap Meticillin Resistance Staphylococcus Aureus (MRSA). Universitas Hasanuddin.

Shituu, A.O., Okon, K., Adesida, S., Oyedara, O., Witte, W., Strommrnenger,

B., Layer, F., and Nubel, U. 2011. Antibiotic Resistance and Molecular Epidemiology of Staphylococcus aureus in Nigeria. BMC Microbiology. 11: 92.

Steenis, C.G.G.J. Van. 1987. Flora untuk Sekolah di Indonesia. Terjemahan oleh Moeso Surjowinoto. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. cet ke-4. 1-495.

Syahrurachman, A., Chatim, A., Soebandrio, A., dan Karuniawati, A. 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi. Binarupa Aksara.

Tennant, I. and Harding, H. 2005. Microbial Isolates from Patients in An

Intensive Care Unit, and Associated Risk Factors. West Indian Medical Journal. 54 (4).

Tjitrosoepomo G. 1989. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). UGM Press.

Yogyakarta. Cet ke-2. 1-477. Unal, K., Murat, I.P., Karacan, E., and Onur F. 2008. Spectrofotometric

Determination Of Amoxicillin In Pharmaceutical Formulation. Turk J Pharm. Sci. 6(1). Hal 1-16.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi kelima. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta. Widyaningrum, N. 2013. Epigallocatechin-3-gallate (EGCG) pada daun teh

hijau sebagai anti jerawat. Majalah Farmasi dan Farmakologi. 17(3): 95 Yakuji and Nippo, Ltd. (Editors). 2011. Japanese Pharmacopoeia, 16th edition.

Japan. Available as PDF file.

37

LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja

Gambar 3. Skema kerja penelitian

Ekstrak Etanol

Teh Hijau

Nilai KHM

Ekstrak Teh Hijau terhadap

MRSA

Sampel Teh Hijau

Daya Hambat Amoksisilin setelah ditambahkan

Ekstrak Teh Hijau 1/2 1/4 dan 1/8 nilai KHM terhadap

bakteri MRSA

Pembahasan

Kesimpulan

Pengujian Daya Hambat Amoksisilin Dengan AdanyaEkstrak Teh Hijau terhadap MRSA

Penetuan KHM Ekstrak Teh Hijau terhadap MRSA

Ekstraksi

Kadar Polifenol Kadar Kafein

38

Gambar 4. Skema proses ektraksi teh hijau

Gambar 5. Skema penentuan konsentrasi hambat minimum ekstrak etanol teh hijau

5 ml

1 ml

10 ml

5 ml

ad 10 ml MHA

0,0125 % 0,05 % 0,025 % 0,1 %

1 ml 1 ml 1 ml

5 ml

Ekstrak

0,1 g

5 ml 5 ml 5 ml

1 % 0,5 % 0,25% 0,125%

Residu

Sampel Teh Hijau

Maserasi menggunakan etanol 70% 1:5 selama 3 hari, remaserasi

Maserasi menggunakan heksan 1:5 selama 1x24 jam

Filtrat

Residu Ekstrak Etanol

Ekstrak Kering

Diuapkan

39

Gambar 6. Skema pengujian daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak etanol

teh hijau

5 ml

1 ml

10 ml

5 ml

ad 10 ml MHA

0,00625 % 0,025 % 0,0125 %

1 ml 1 ml

5 ml

Ekstrak

0,05 g

5 ml 5 ml 5 ml

0,5 % 0,25

%

0,125% 0,0625%

Ax 25

0,1 ml suspensi MRSA

40

Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian

Gambar 7. Isolat bakteri MRSA

Gambar 8. Suspensi bakteri MRSA sesuai kekeruhan Mc Farland 0,5

MRSA Mc Farland 0,5

41

(A) (B)

(C ) (D)

(E ) (F)

Gambar 9. hasil pengamatan penentuan KHM ekstrak teh hijau terhadap bakteri uji MRSA (A. 0,1%, B. 0,05%, C. 0,025%, D. 0,0125%, E. Kontrol DMSO, F. Kontrol Positif)

A B

42

(A) (B)

(C ) (D)

(E )

Gambar 10. hasil pengamatan penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya

ekstrak etanol teh hijau terhadap bakteri uji MRSA (A. tanpa ekstrak, B. ½ KHM, C. ¼

KHM, D. 1/8 KHM, E. Kontrol Ruang)

43

Lampiran 3. Data hasil pengamatan

Tabel 5. Hasil pengukuran diameter zona hambatan pada penentuan daya hambat amoksisilin dengan adanya ekstrak teh hijau

N0 Perlakuan

Diameter (mm)

1 2 3 Rata-rata ±

SD

1 Amoksisilin

26,06 20,19 26,36

24.44±3,24 26,24 20,38 26,81

25,92 21,56 26,51

rata-rata ± SD 26,07 ± 0,16 20,71±0,74 26,56±0,22

2

Amoksisilin +

¼ KHM ekstrak

(0.0125%)

31,74 30,25 31,33

30.06±1,26 30,71 27,29 29,05

32,06 29,91 28,26

rata-rata ± SD 31,50±0,70 29,15±1,61 29,54±1,59

3

amoksisilin +

1/8 KHM ekstrak

(0.00625%)

29,41 29,01 29,77

30.06±0,52 31,05 29,55 30,42

30,14 29,93 31,31

rata-rata ± SD 30,2±0,82 29,49±0,46 30,5±0,77

44

Lampiran 4. Perhitungan Rendamen Ekstrak Teh Hijau

Bobot simplisia = 100,2 g

Bobot Ekstrak = 30,1 g

% rendamen =

% rendamen =

% rendamen = 30,04 %

45

Lampiran 5. Perhitungan Kadar Polifenol Total Ekstrak Teh Hijau Berdasarkan Baku Pembanding Asam Galat

Tabel 6. Hasil pengukuran baku asam Galat

Gambar 11. Kurva Baku Asam galat

Tabel 7. Kadar total polifenol ekstrak teh hijau

Sampel Konsentrasi Absorbansi Kadar Total Polifenol

(mg/g EAG)

Kadar Total

polifenol

(%±SD)

1 6.392 0.437 319,6 31,96±0.1637

2 6.436 0.440 321,8 32,18±0.1637

3 6.456 0.442 322,8 32,28±0.1637

y = 0.0776x - 0.0698 R² = 0.9965

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Kurva Baku Asam Galat

Konsentrasi (x) Absorbansi (y)

1,5 0,053

3 0,174

7 0,471

10 0,665

15 1,119

46

Perhitungan

Sampel 1 =

=

= 319.6 mg/g EAG

= g x 100 %

= 0.3196 x 100 %

= 31.96 %

Sampel 2 =

=

= 321.8 mg/g EAG

= g x 100 %

= 0.3218 x 100 %

= 32.18 %

Sampel 1 =

=

= 322.8 mg/g EAG

= g x 100 %

= 0.3228 x 100 %

= 32.28 %

= 32.14 %

47

Lampiran 6. Perhitungan Kadar Alkaloid Ekstrak Teh Hijau Berdasarkan Baku Pembanding Kafein

Tabel 8. Hasil pengukuran baku kafein

Gambar 12. Kurva Baku Kafein

Tabel 9. Konsentrasi dan Absorbansi Sampel Teh Hijau

Sampel Konsentrasi Absorbansi

1 50 ppm 0.42261

2 50 ppm 0.42203

3 50 ppm 0.42224

y = 0.0386x - 0.1782 R² = 0.988

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0 5 10 15 20 25

Kurva Baku Kafein

Konsentrasi (ppm) Absorbansi

12 0,26923

14 0,38226

16 0,44081

18 0,52073

20 0,58629

48

Perhitungan

0.42229 = - 0.1782 + 0.0386 x

0.0386 x = 0.60049

x = 15.556

49

Lampiran 7. Komposisi Medium

1. Medium MHA (Mueller Hinton Agar)

Beef dehydrated infusion 300 gram

casein hydrolysate 17.5 gram

starch 1.5 gram

agar-agar 17 gram

Aquadest 1000 ml