pengaruh daya saing nasional dan ketimpangan...
TRANSCRIPT
PENGARUH DAYA SAING NASIONAL DAN KETIMPANGAN GENDER
TERHADAP KORUPSI DI BEBERAPA NEGARA ASEAN PERIODE 2010-2017
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
Priska Fatma Anggita
NIM. 11150840000004
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019 M/1440 H
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
1. Nama Lengkap : Priska Fatma Anggita
2. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Juli 1997
3. Alamat : Perum Bukit Sawangan Indah
Blok A8 No. 19 RT 07 RW 05
Kelurahan Duren Mekar Kec. Bojongsari,
Depok – Jawa Barat
4. Telepon : 0857 7999 4838
5. E-mail : [email protected]
II. Pendidikan Formal
1. SD Negeri Durenseribu 04 Tahun 2003-2009
2. SMP Negeri 2 Depok Tahun 2009-2012
3. SMA Negeri 1 Tangerang Selatan Tahun 2012-2015
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2015-2019
III. Pengalaman
1. Anggota Divisi Kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)
Ekonomi Pembangunan Periode 2015-2016.
2. Peserta kompetisi Esai Nasional “National Economics Creative Competition
2017” UIN Alauddin Makassar.
3. Asisten data input dan analisis dalam “Laporan Kinerja Pembangunan Daerah
Tahun 2018” Provinsi Bali, NTB, dan NTT untuk Kementerian PPN/Bappenas.
ii
ABSTRACT
The aims of this research to analyze the influence of national competitiveness and
gender inequality on corruption in several ASEAN countries for 2010-2017 period. This
research aims to find out factors that can influence perceptions of corruption from an
economic perspective, which is represented by national competitiveness and gender
inequality. This research uses panel data analysis with Fixed Effect Model (FEM)
approach and using samples from 6 developing countries in ASEAN these are Indonesia,
Malaysia, Thailand, Philippines, Vietnam, and Cambodia. The results show that
partially, national competitiveness has a significant effect and shows a positive
relationship to perceptions of corruption, meaning that if national competitiveness
increases, perceptions of corruption will also increase (cleaner from corruption). Gender
inequality has a significant effect and shows a negative relationship to perceptions of
corruption, meaning that if the value of gender inequality decreases (illustrates the lower
disparity between men and women), the value of perceptions of corruption will increase
(cleaner from corruption), and vice versa. Simultaneously, national competitiveness
(competitiveness index) and gender inequality (gender inequality index) have a
significant effect on perceptions of corruption (corruption perception index).
Keywords: Perception Corruption, National Competitiveness, Gender Inequality,
Competitiveness Index, Gender Inequality Index, Corruption Perception Index, Fixed
Effect Model (FEM)
iii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh daya saing nasional dan
ketimpangan gender terhadap korupsi di beberapa negara ASEAN periode 2010-2017.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
persepsi korupsi dari sudut pandang ekonomi, yang direpresentasikan dengan daya saing
nasional dan ketimpangan gender. Penelitian ini menggunakan analisis data panel dengan
pendekatan Fixed Effect Model (FEM) menggunakan sampel penelitian 6 negara
berkembang di ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan
Kamboja. Hasil menunjukkan bahwa secara parsial, daya saing nasional berpengaruh
signifikan dan menunjukkan arah hubungan yang positif terhadap persepsi korupsi,
artinya apabila daya saing nasional meningkat maka persepsi korupsi juga akan
mengalami peningkatan (semakin bersih dari korupsi). Ketimpangan gender berpengaruh
signifikan dan menunjukkan arah hubungan yang negatif terhadap persepsi korupsi,
artinya apabila nilai ketimpangan gender menurun (menggambarkan semakin rendahnya
kesenjangan/disparitas antara laki-laki dan perempuan), maka nilai persepsi korupsi akan
meningkat (semakin bersih dari korupsi), dan sebaliknya. Secara simultan, daya saing
nasional (competitiveness index) dan ketimpangan gender (gender inequality index)
berpengaruh signifikan terhadap korupsi (corruption perception index).
Kata Kunci: Persepsi Korupsi, Daya Saing Nasional, Ketimpangan Gender, Indeks Daya
Saing Nasional, Indeks Ketimpangan Gender, Indeks Persepsi Korupsi, Model Efek
Tetap
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Pengaruh Daya Saing Nasional dan Ketimpangan Gender Terhadap Korupsi di Beberapa
Negara ASEAN Periode 2010-2017” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada program studi Ekonomi
Pembangunan.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat dukungan, bimbingan, dan
bantuan berbagai pihak. Maka, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih pada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materiil, yaitu
kepada:
1. Orang tua penulis, yaitu Ayah Gatot Soedarto dan Ibu Arieanty Endang Y. yang
selalu memberikan dukungan, motivasi, serta doa tiada henti.
2. Bapak Dr. M. Hartana I. Putra, M.Si selaku Ketua Program Studi Ekonomi
Pembangunan dan Bapak Deni Pandu Nugraha, S,E., M.Sc selaku Sekretaris
Program Studi Ekonomi Pembangunan.
3. Bapak Dr. Sofyan Rizal, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan
waktu dalam memberikan arahan, dukungan, dan motivasi selama proses
penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si yang telah memberikan arahan dan bimbingan
selama proses perkuliahan.
5. Bapak Zuhairan Yunmi Yunan, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan arahan dan bimbingan selama proses perkuliahan
6. Seluruh jajaran Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu
yang berharga selama proses perkuliahan serta seluruh jajaran karyawan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis yang telah melayani dan membantu selama proses
perkuliahan.
v
7. Teman-teman selama perkuliahan Andini, Azalia Nada B., Diyah Ayu F., Diyah
Ayu S. N., Khairun Nisa, Kurniasih A., Maria Ulfah, Octavira M., Rara Min A.,
Resha Ayu N., Sofi P., dan Tenti A. R. yang selalu menemani selama masa
perkuliahan, memberikan dukungan dan motivasi, serta saling berbagi ilmu yang
berharga.
8. Teman-teman konsentrasi Perencanaan Pembangunan dan seluruh teman-teman
angkatan 2015 program studi Ekonomi Pembangunan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
dan pencapaian yang lebih baik di masa mendatang. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, Juli 2019
Priska Fatma Anggita
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
ABSTRAK ......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Batasan Masalah .............................................................................................. 8
C. Rumusan Masalah ........................................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 10
E. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori .............................................................................................. 12
1. Korupsi...................................................................................................... 12
2. Daya Saing Nasional ................................................................................. 17
3. Ketimpangan Gender ................................................................................. 22
vii
B. Penelitian Terdahulu ...................................................................................... 24
C. Hubungan Antar Variabel .............................................................................. 29
1. Daya Saing Nasional dengan Korupsi ........................................................ 29
2. Ketimpangan Gender dengan Korupsi........................................................ 29
D. Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 30
E. Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 33
B. Populasi dan Sampel...................................................................................... 33
C. Pengumpulan Data dan Sumber Data ............................................................. 34
D. Metode Analisis Data .................................................................................... 34
1. Pendekatan Penelitian ................................................................................ 34
2. Analisis Data Panel .................................................................................... 35
3. Estimasi Model Data Panel ........................................................................ 37
4. Pemilihan Model Data Panel ...................................................................... 39
5. Model Empiris ........................................................................................... 41
E. Uji Asumsi Klasik ......................................................................................... 42
1. Uji Normalitas ........................................................................................... 42
2. Uji Multikolinearitas.................................................................................. 42
3. Uji Heterokedastisitas ................................................................................ 42
F. Uji Hipotesis .................................................................................................. 43
1. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t-statistik) ................................ 43
2. Uji Signifikansi Parameter Simultan (Uji F-statistik) ................................. 44
3. Koefisien Determinasi (R2) ........................................................................ 44
viii
G. Operasional Variabel Penelitian .................................................................... 45
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ............................................................... 48
1. Gambaran Umum Indonesia ....................................................................... 48
2. Gambaran Umum Malaysia....................................................................... 52
3. Gambaran Umum Thailand ....................................................................... 56
4. Gambaran Umum Filipina ......................................................................... 59
5. Gambaran Umum Vietnam ....................................................................... 62
6. Gambaran Umum Kamboja....................................................................... 66
B. Temuan Hasil Penelitian ................................................................................ 69
1. Estimasi Model Data Panel ....................................................................... 69
2. Fixed Effect Model (FEM) ........................................................................ 72
3. Uji Asumsi Klasik ..................................................................................... 77
4. Pengujian Hipotesis .................................................................................. 78
5. Analisis Persepsi Korupsi dengan Variabel Bebas Daya Saing Nasional
dan Ketimpangan Gender .......................................................................... 81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 85
B. Saran ............................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 88
LAMPIRAN ...................................................................................................... 94
ix
DAFTAR TABEL
1.1 Indeks Persepsi Korupsi Negara-Negara ASEAN
Tahun 2010-2017 .......................................................................................... 3
1.2 Indeks Daya Saing Nasional Negara-Negara ASEAN
Tahun 2010-2017 .......................................................................................... 5
1.3 Indeks Ketimpangan Gender Negara-Negara ASEAN
Tahun 2010-2017 .......................................................................................... 7
2.1 Penelitian Terdahulu .................................................................................... 26
3.1 Definisi Operasional Variabel ...................................................................... 45
4.1 Hasil Estimasi Common Effect Model/PLS ................................................... 69
4.2 Hasil Estimasi Fixed Effect Model ................................................................ 70
4.3 Uji Chow ..................................................................................................... 70
4.4 Hasil Estimasi Random Effect Model ............................................................ 71
4.5 Uji Hausman ................................................................................................ 72
4.6 Hasil Estimasi Data Panel ............................................................................ 72
4.7 Interpretasi Fixed Effect Model ..................................................................... 75
4.8 Hasil Uji Multikolinearitas ........................................................................... 77
4.9 Hasil Uji Heterokedastisitas ......................................................................... 78
4.10 Uji t-statistik .............................................................................................. 79
4.11 Uji F-statistik ............................................................................................. 80
4.12 Uji Koefisien Determinasi (R2) ................................................................... 81
x
DAFTAR GAMBAR
2.1 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 31
4.1 Grafik Hasil Uji Normalitas.......................................................................... 76
xi
DAFTAR GRAFIK
4.1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2010-2017 ................................... 49
4.2 Indeks Daya Saing Nasional Indonesia Tahun 2010-2017............................. 49
4.3 Indeks Ketimpangan Gender Indonesia Tahun 2010-2017 ............................ 51
4.4 Indeks Persepsi Korupsi Malaysia Tahun 2010-2017 .................................... 53
4.5 Indeks Daya Saing Nasional Malaysia Tahun 2010-2017 ............................. 54
4.6 Indeks Ketimpangan Gender Malaysia Tahun 2010-2017 ............................. 55
4.7 Indeks Persepsi Korupsi Thailand Tahun 2010-2017 .................................... 57
4.8 Indeks Daya Saing Nasional Thailand Tahun 2010-2017 .............................. 57
4.9 Indeks Ketimpangan Gender Thailand Tahun 2010-2017 ............................. 58
4.10 Indeks Persepsi Korupsi Filipina Tahun 2010-2017 .................................... 60
4.11 Indeks Daya Saing Nasional Filipina Tahun 2010-2017.............................. 61
4.12 Indeks Ketimpangan Gender Filipina Tahun 2010-2017 ............................. 62
4.13 Indeks Persepsi Korupsi Vietnam Tahun 2010-2017 ................................... 63
4.14 Indeks Daya Saing Nasional Vietnam Tahun 2010-2017 ............................ 64
4.15 Indeks Ketimpangan Gender Vietnam Tahun 2010-2017 ............................ 65
4.16 Indeks Persepsi Korupsi Kamboja Tahun 2010-2017 .................................. 66
4.17 Indeks Daya Saing Nasional Kamboja Tahun 2010-2017 ........................... 67
4.18 Indeks Ketimpangan Gender Kamboja Tahun 2010-2017 ........................... 68
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Data Penelitian ................................................................................................... 94
Lampiran 2: Hasil Estimasi Model Data Panel
A. Common Effect Model atau Panel Least Square............................................. 96
B. Fixed Effect Model (FEM) ............................................................................. 97
C. Uji Chow ....................................................................................................... 98
D. Random Effect Model (REM) ........................................................................ 99
E. Uji Hausman ................................................................................................ 100
Lampiran 3: Hasil Uji Asumsi Klasik
A. Hasil Uji Normalitas.................................................................................... 101
B. Hasil Uji Multikolinearitas .......................................................................... 101
C. Hasil Uji Heterokedastisitas ......................................................................... 101
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi merupakan masalah yang serius di banyak negara Asia, terutama
negara-negara kawasan Asia Tenggara. United Nations Development Programme
(UNDP) mendefinisikan korupsi sebagai "Penyalahgunaan kekuasaan publik,
kantor atau kewenangan untuk kepentingan pribadi —melalui penyuapan,
pemerasan, menyalahgunakan pengaruh, nepotisme, dan penggelapan" (Quah,
2003). Sayangnya, korupsi yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara belum
ditangani secara serius, dan bahkan masih dianggap sebagai tabu yang tidak pantas
untuk dibicarakan atau bahkan diteliti (Ibidem, 2003). Fenomena korupsi sangat
dipengaruhi oleh lingkungan politik dan ekonomi. Semakin banyak kegiatan
ekonomi di sebuah negara yang diatur ketat dan terbatas, semakin tinggi otoritas
dan kekuatan pejabat dalam pengambilan keputusan, maka akan semakin besar
kemungkinan korupsi, karena individu bersedia membayar atau menawarkan
pembayaran untuk menghindari adanya pembatasan atau aturan. Potensi besar
untuk korupsi terutama ada di mana para pejabat di bawah peraturan tersebut diberi
kesempatan untuk mengambil keputusan dengan bebas. Penyebab paling umum
korupsi di antaranya adalah lingkungan politik dan ekonomi, etika dan moralitas
profesional, kebiasaan, dan tradisi.
Menurut Šumah (2018), berbagai penelitian telah menemukan dampak
korupsi terhadap ekonomi (dan juga pada masyarakat luas). Di antaranya, korupsi
menghambat pertumbuhan ekonomi dan mempengaruhi operasional bisnis dan
investasi. Selain itu, korupsi juga dapat mengurangi pendapatan pajak dan
efektivitas berbagai program bantuan keuangan. Sedangkan, dampaknya di
masyarakat luas ada dalam hal menurunnya tingkat kepercayaan pada aturan dan
hukum, pendidikan, dan kualitas hidup (akses pada infrastruktur dan layanan
kesehatan).
2
Asia Tenggara, salah satu kawasan di Asia turut andil dalam pengurangan
praktik korupsi. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sebagai
organisasi kerjasama internasional di Asia Tenggara berubah menjadi komunitas
internasional bernama ASEAN Community 2015 pada tahun 2015. ASEAN
Community 2015 berpijak pada tiga pilar utama dalam menyatukan negara-negara
anggota ASEAN. Pilar pertama yaitu Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN,
kedua, Komunitas Ekonomi ASEAN, dan ketiga, Komunitas Sosial-budaya
ASEAN. Korupsi memiliki bagian tersendiri dalam ASEAN Community,
pembahasan mengenai korupsi terdapat pada pilar keamanan, ASEAN Political-
security Community, tepatnya pada bagian Cooperation in Political
Development seperti yang tertera di bawah ini:
“Efforts are underway in laying the groundwork for an institutional framework to
facilitate free flow of information based on each country's national laws and
regulations; preventing and combating corruption; and cooperation to strengthen
the rule of law, judiciary systems and legal infrastructure, and good
governance......”. Artinya, “Upaya sedang dilakukan dalam meletakkan landasan
dari kerangka institusional untuk memfasilitasi arus informasi bebas berdasarkan
hukum dan peraturan nasional masing-masing negara; mencegah dan memberantas
korupsi; dan kerjasama untuk memperkuat supremasi hukum, sistem peradilan dan
infrastruktur hukum, dan tata kelola pemerintahan yang baik…..” (ASEAN
Political Security Community Blueprint, 2015).
Menurut Transparency International di kawasan ASEAN sendiri,
peningkatan kuantitas transaksi ekonomi –lebih banyak barang yang melalui bea
cukai, lebih banyak pabrik baru yang membutuhkan izin, dan lain-lain– dapat
menyebabkan lebih banyak praktik korupsi. Lalu, peningkatan arus barang, uang,
atau lalu lintas orang yang sah menurut hukum dapat disertai dengan peningkatan
perdagangan gelap. Sebagai contoh, mobilitas tenaga kerja yang lebih besar dapat
mempermudah praktik perdagangan manusia; semakin besar transaksi perdagangan
kayu dan hasil hutan lainnya dapat meningkatkan peluang untuk penebangan ilegal;
dan aliran modal yang bebas serta munculnya pasar keuangan regional yang
3
terintegrasi dapat memungkinkan kemudahan praktik pencucian uang (money
laundry) dan penyembunyian aset (Transparency International, 2015).
Tingkat korupsi di suatu negara dapat diukur salah satunya dengan tingkat
persepsi korupsi sebagaimana dilakukan oleh Transparency International (TI).
Lembaga ini mengukur dengan Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption
Perception Index (CPI) dari angka 1–100; semakin mendekati 100 maka korupsi di
negara tersebut memiliki tingkat persepsi korupsi semakin kecil (sangat bersih), dan
sebaliknya. Indeks ini menggambarkan tingkat peluang terjadinya korupsi di negara
tertentu.
Tabel 1.1
Indeks Persepsi Korupsi Negara-Negara ASEAN Tahun 2010-2017
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indonesia 28 30 32 32 34 36 37 37
Malaysia 44 43 49 50 52 50 49 47
Thailand 35 34 37 35 38 38 35 37
Singapura 93 92 87 86 84 85 84 84
Brunei Darussalam 55 52 55 60 - - 58 62
Filipina 24 26 34 36 38 35 35 34
Vietnam 27 29 31 31 31 31 33 35
Lao PDR 21 22 21 26 25 25 30 29
Kamboja 21 21 22 20 21 21 21 21
Myanmar 14 15 15 21 21 22 28 30
Sumber: Transparency International
Berdasarkan tabel 1.1 di atas, diketahui secara global hanya Singapura
sebagai negara yang dapat dikatakan hampir bersih dari korupsi dibanding negara
4
ASEAN lainnya dengan skor di atas 80, disusul Brunei Darussalam dengan skor
rata-rata di atas 50 sepanjang tahun 2010 sampai 2017. Berdasarkan data ini juga
menunjukkan bahwa mayoritas negara ASEAN lainnya, utamanya Indonesia,
Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Lao PDR, Kamboja, dan Myanmar dengan
rata-rata skor di bawah 50 yang artinya negara-negara ini masih perlu pembenahan
dalam setiap aspek kelembagaan dalam upaya pengurangan praktik korupsi.
Korupsi, sebagai bentuk tindakan institusi public dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh hasil ekonomi, yang terwujud dalam penurunan kinerja ekonomi,
kesejahteraan, kesehatan, dan standar hidup. Aspek-aspek ini –di mana
mendefinisikan konsep daya saing nasional– secara empiris terbukti dalam banyak
penelitian bahwa terdapat pengaruh besar di mana korupsi dari lembaga publik
berdampak pada fungsi dari seluruh kegiatan ekonomi (Mauro, 1995; Tanzi dan
Davoodi, 1998).
Stateskeviciute dan Tamosiuniene mengidentifikasi daftar sembilan
determinan daya saing nasional, yang mendasari bahwa suatu negara dikatakan
kompetitif, yaitu ketika memiliki standar hidup yang tinggi, tingkat lapangan kerja
yang tinggi, produktivitas tinggi, keseimbangan komersial, daya tarik nasional yang
tinggi, kemampuan pelaksanaan yang obyektif, politik yang sehat, fleksibilitas yang
tinggi, dan kemampuan mempertahankan pertumbuhan ekonomi (Staskeviciute dan
Tamosiuniene, 2010 dalam Ulman, 2014). Konsep daya saing nasional yang terdiri
dari berbagai aspek ekonomi, institusi, infrastruktur, kesehatan, pendidikan,
manusia, dan teknologi yang kompleks tentu dapat mempengaruhi atau dipengaruhi
tingkat persepsi korupsi pada suatu negara. Hal ini diperkuat dengan berbagai studi
mengenai daya saing nasional dengan korupsi di mana keduanya memiliki korelasi
yang cukup kuat.
Daya saing nasional di suatu negara salah satunya dapat diukur dengan
Indeks Daya Saing atau Competitiveness Index yang dirilis pada Laporan Daya
Saing Global (Global Competitiveness Report) oleh World Economic Forum
(WEF) dengan skala 1–7; semakin mendekati angka 7 maka daya saing di negara
tersebut semakin tinggi (sangat kompetitif) dan sebaliknya. Ada total 98 indikator
dalam indeks ini, berasal dari kombinasi data dari organisasi internasional serta dari
5
Survei Opini Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum). Indeks
ini diatur dalam 12 pilar, yang menggambarkan tingkat dan kompleksitas dari
pendorong produktivitas dan ekosistem daya saing. Pilar ini di antaranya: Institusi;
Infrastruktur; Lingkungan makroekonomi; Kesehatan dan pendidikan dasar;
Pendidikan tinggi dan pelatihan; Efisiensi pasar produk; Efisiensi pasar tenaga
kerja; Perkembangan pasar uang; Kesiapan tekonologi; Ukuran pasar; Kemampuan
bisnis; dan Inovasi (The Global Competitiveness Report, 2017-2018).
Tabel 1.2
Indeks Daya Saing Nasional Negara-Negara ASEAN Tahun 2010-2017
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indonesia 4,43 4,38 4,4 4,53 4,57 4,52 4,52 4,68
Malaysia 4,88 5,08 5,06 5,03 5,16 5,23 5,16 5,17
Thailand 4,51 4,52 4,52 4,54 4,66 4,64 4,64 4.72
Singapura 5,48 5,63 5,67 5,61 5,65 5,68 5,72 5,71
Brunei Darussalam 4,75 4,78 4,87 4,95 - - 4,35 4,52
Filipina 3,96 4,08 4,23 4,29 4,4 4,39 4,36 4,35
Vietnam 4,27 4,24 4,11 4,18 4,23 4,30 4,31 4,36
Lao PDR - - - 4,08 3,91 4 3,93 3,91
Kamboja 3,63 3,85 4,01 4,01 3,89 3,94 3,98 3,93
Myanmar - - - 3,23 3,24 3,32 - -
Sumber: Global Competitiveness Report, World Economic Forum
Berdasarkan tabel 1.2 di atas, dapat diketahui rata-rata daya saing nasional
negara-negara Asia Tenggara dapat dikatakan cukup baik. Negara Singapura
memiliki rata-rata daya saing nasional tertinggi yang kemudian disusul negara
6
Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Sementara itu, ke enam negara lainnya
meskipun tergolong cukup baik, tetap masih butuh banyak pembangunan dan
pengembangan di berbagai sektor guna meningkatkan daya saing nasional,
terutama negara Kamboja, Lao PDR, dan Myanmar.
Perilaku korupsi tidak terlepas dari berbagai faktor yang melibatkan
individu manusia itu sendiri, salah satunya ialah faktor pembangunan manusia.
Konsep pembangunan manusia ini salah satunya membahas mengenai ketimpangan
gender (gender inequality). Menurut World Bank, istilah "gender" mengacu pada
perbedaan yang dibangun secara sosial antara laki-laki dan perempuan yang dapat
mempengaruhi aktivitas sosial dan ekonomi, serta akses mereka pada sumber daya
dan pengambilan keputusan (World Bank, 2016). Studi dalam ilmu perilaku dan
sosial telah menemukan pola sikap dan perilaku yang berbeda antara pria dan
wanita ketika berhadapan dengan masalah sosial, pengambilan resiko, dan perilaku
kriminal.
Berkenaan dengan perilaku korup, ada perbedaan dalam gender bagaimana
pria dan wanita merasakan, mengalami, dan menoleransi korupsi, dan telah
dikonfirmasi secara empiris. Penelitian lain menegaskan, bahwa perempuan dan
laki-laki dipengaruhi secara berbeda oleh korupsi. Beberapa studi menganalisis
hubungan antara indikator sosial, representasi politik, dan korupsi menemukan
bahwa tingkat korupsi lebih tinggi di negara-negara yang menghambat kebebasan
perempuan untuk berpartisipasi dalam ranah publik dan sosial (Rheinbay dan Marie
Chêne, 2016).
Ketimpangan gender di suatu negara salah satunya dapat diukur dengan
Indeks Ketimpangan Gender atau Gender Inequality Index (GII) yang dirilis pada
Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) oleh United
Nations Development Programme (UNDP). Indeks ini mengukur ketimpangan
gender dalam tiga aspek penting dari pembangunan manusia: kesehatan;
pemberdayaan (edukasi); dan status ekonomi (representasi di parlemen dan
ketenagakerjaan) dengan skala 0-1; semakin mendekati angka 1 pada Indeks
Ketimpangan Gender, maka semakin tinggi disparitas antara perempuan dan laki-
laki dan semakin banyak kekurangan dalam pembangunan manusia (UNDP, 2018).
7
Tabel 1.3
Indeks Ketimpangan Gender Negara-Negara ASEAN Tahun 2010-2017
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indonesia 0.508 0.505 0.494 0.5 0.494 0.467 0.462 0.453
Malaysia 0.269 0.286 0.256 0.21 0.209 0.291 0.288 0.287
Thailand 0.379 0.382 0.36 0.364 0.38 0.366 0.378 0.393
Singapura 0.094 0.086 0.101 0.090 0.088 0.068 0.065 0.067
Brunei Darussalam - - - - - - 0.26 0.236
Filipina 0.43 0.427 0.418 0.406 0.42 0.436 0.428 0.427
Vietnam 0.329 0.305 0.299 0.322 0.308 0.337 0.305 0.304
Lao PDR 0.542 0.513 0.483 0.534 0.476 0.468 0.462 0.461
Kamboja 0.494 0.5 0.473 0.505 0.477 0.479 0.473 0.473
Myanmar 0.459 0.492 0.437 0.43 0.413 0.374 0.455 0.456
Sumber: Human Development Report, United Nations Development Programme (UNDP)
Berdasarkan tabel 1.3 di atas, dapat diketahui hanya negara Singapura yang
memiliki angka ketimpangan gender terendah mendekati angka 0, yang artinya
Singapura memiliki disparitas antara perempuan dan laki-laki yang sangat rendah
dan pembangunan manusia yang cukup tinggi. Kemudian, disusul negara Malaysia
dengan rata-rata Indeks Ketimpangan Gender di angka 0,2. Sementara itu, ke
delapan negara lainnya menunjukkan angka ketimpangan gender yang cukup
tinggi, utamanya negara Kamboja, Myanmar, Indonesia, dan Laos PDR.
Ada hipotesis negara-negara yang telah membuat kemajuan dalam
kesetaraan gender pada umumnya mengalami tingkat korupsi yang lebih rendah
(Swamy et al., 2001; Dollar et al., 2001). Konsep ketimpangan gender yaitu
8
disparitas antara laki-laki dan perempuan dalam aktivitas sosial dan ekonomi, serta
akses sumber daya dan pengambilan keputusan pada individu,dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh perilaku korupsi.
B. Batasan Masalah
Penulis membatasi penelitian pada 6 negara berkembang di Asia Tenggara
yang tergabung dalam ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Negara-
negara yang dipilih untuk penelitian ini memiliki skor persepsi korupsi, daya saing
nasional, dan ketimpangan gender yang tidak jauh berbeda satu sama lainnya.
Negara tersebut di antaranya adalah Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina,
Vietnam, dan Kamboja. Tahun penelitian dari 2010 hingga 2017 dipilih
menyesuaikan kesediaan data tiap variabel. Daya saing nasional dan ketimpangan
gender pada negara-negara tersebut digunakan untuk melihat bagaimana
dampaknya terhadap persepsi korupsi dari sudut pandang ekonomi.
C. Rumusan Masalah
Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai dampak korupsi terhadap
perekonomian, serta ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya korupsi
yang sebagian besar berdasarkan perspektif sosial-politik, sehingga strategi
kebijakan dalam upaya mengurangi korupsi seringkali bersifat preventif secara
hukum dan dalam jangka pendek. Oleh karena itu, penelitian ini melakukan
identifikasi terhadap fenomena yang terjadi, yaitu tingkat korupsi negara-negara di
Asia Tenggara yang mayoritas masih tergolong cukup tinggi. Selain itu, dilakukan
identifikasi terhadap faktor-faktor yang memungkinkan dapat mempengaruhi
terjadinya korupsi di suatu negara dari sudut pandang ekonomi yang
direpresentasikan dengan tingkat daya saing nasional dan tingkat ketimpangan
gender, sehingga strategi kebijakan yang dapat dilakukan dalam upaya mengurangi
korupsi dapat berfokus pada perspektif ekonomi dan jangka panjang.
Korupsi memiliki bagian tersendiri dalam ASEAN Community, pembahasan
mengenai korupsi terdapat pada pilar keamanan, ASEAN Political-security
9
Community, tepatnya pada bagian Cooperation in Political Development.
Sementara itu, ketika keterbukaan ekonomi dapat meningkatkan persaingan sehat
yang dapat membantu mengurangi korupsi dari sistem yang ada, integrasi ekonomi
yang lebih besar juga dapat menimbulkan sejumlah resiko yang jika dibiarkan tidak
tertangani, dapat benar-benar membuat masalah korupsi menjadi lebih buruk
(OECD, 2014). Kesejahteraan lebih besar yang diciptakan oleh integrasi ekonomi
regional dapat dengan mudah berakhir dengan terkonsentrasi pada pihak-pihak
tertentu, dan hasilnya dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi serta jaringan
patronase dan kroni yang lebih kuat (Transparency International, 2015).
Berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) tahun
2010-2017, diketahui secara global hanya Singapura sebagai negara di Asia
Tenggara yang dapat dikatakan hampir bersih dari korupsi dibanding negara-negara
lainnya dengan skor di atas 80, disusul Brunei Darussalam dengan skor rata-rata di
atas 50 sepanjang tahun 2010 sampai 2017. Berdasarkan data ini juga menunjukkan
bahwa mayoritas negara Asia Tenggara lainnya memiliki rata-rata skor di bawah
50 yang artinya negara-negara ini masih perlu meningkatkan upaya pengurangan
praktik korupsi.
Korupsi, sebagai bentuk tindakan institusi publik dapat dipengaruhi oleh
hasil ekonomi, yang terwujud dalam kinerja ekonomidan standar hidup, di mana
hal ini dapat digambarkan dengan konsep daya saing nasional. Berdasarkan Indeks
Daya Saing (Competitiveness Index) tahun 2010-2017, diketahui rata-rata daya
saing nasional negara-negara Asia Tenggara dapat dikatakan cukup baik. Negara
Singapura memiliki rata-rata daya saing nasional tertinggi yang kemudian disusul
negara Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Sementara itu, negara lainnya meskipun
tergolong cukup baik, tetap masih harus meningkatkannya, terutama negara
Kamboja, Lao PDR, dan Myanmar. Konsep daya saing nasional yang terdiri dari
berbagai aspek ekonomi yang kompleks memungkinkan dapat mempengaruhi
tingkat korupsi pada suatu negara.
Perilaku korupsi tidak terlepas dari berbagai faktor yang melibatkan
individu manusia itu sendiri, salah satunya terdapat pada konsep pembangunan
manusia, yaitu ketimpangan gender (gender inequality). Berdasarkan data Indeks
10
Ketimpangan Gender (Gender Inequality Index) tahun 2010-2017, diketahui hanya
negara Singapura yang memiliki angka ketimpangan gender terendah mendekati
angka 0 di antara negara Asia Tenggara lainnya, yang artinya Singapura memiliki
disparitas antara perempuan dan laki-laki yang sangat rendah dan pembangunan
manusia yang cukup tinggi. Sementara itu, negara lainnya menunjukkan angka
ketimpangan gender yang cukup tinggi, utamanya negara Kamboja, Myanmar,
Indonesia, dan Lao PDR. Konsep ketimpangan gender yaitu disparitas antara laki-
laki dan perempuan dalam aktivitas sosial dan ekonomi, serta akses sumber daya
dan pengambilan keputusan pada seorang individu, memungkinkan dapat
mempengaruhi perilaku korupsi.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan, maka dirumuskan
ke dalam pertanyaan penelitian berikut:
1. Sejauh mana pengaruh Daya Saing Nasional secara parsial terhadap Korupsi
di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja Periode
2010-2017?
2. Sejauh mana pengaruh Ketimpangan Gender secara parsial terhadap
Korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja
Periode 2010-2017?
3. Sejauh mana pengaruh Daya Saing Nasionaldan Ketimpangan Gender
secara simultan terhadap Korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand,
Filipina, Vietnam, dan Kamboja Periode 2010-2017?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mendapatkan hasil pengaruh Daya Saing Nasional secara parsial terhadap
Korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja
Periode2010-2017.
11
2. Mendapatkan hasil pengaruh Ketimpangan Gender secara parsial terhadap
Korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja
Periode 2010-2017.
3. Mendapatkan hasil pengaruh Daya Saing Nasional dan Ketimpangan
Gender secara simultan terhadap Korupsidi Indonesia, Malaysia, Thailand,
Filipina, Vietnam, dan Kamboja Periode 2010-2017.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka manfaat
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagi Akademisi
Informasi dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
civitas akademika terkait perkembangan korupsi, daya saing nasional, dan
ketimpangan gender diIndonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan
Kamboja periode 2010-2017dari sudut pandang ekonomi.
2. Bagi Pembuat Kebijakan
Informasi dalam penelitian ini diharapkan sebagai bagian dari kontribusi
untuk pembuat kebijakan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan
perencanaan pembangunan yang berhubungan dengan mengurangi praktik
korupsi melalui sudut pandang ekonomi yaitu melalui kebijakan peningkatan
daya saing nasional dan pengurangan ketimpangan gender.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus, yang
selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere,
suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak
bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Belanda, yaitu corruptive
(korruptie), dapat atau patut diduga bahwa istilah korupsi berasal dari bahasa
Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”, yang mengandung arti
perbuatan korup, penyuapan (Ermansjah Djaja, 2010). Definisi korupsi berasal dari
kata corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, dan lain-lain. Menurut Donatella Della
Porta & Alberti Vannucci dalam Corrupt Exchanges: Actors, Resources, and
Mechanisms Of Political Corruption, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tak wajar dan ilegal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Porta, Donatella Della &
Alberto Vannucci, 1999:15).
United Nations Development Programme (UNDP) telah mendefinisikan
korupsi sebagai "Penyalahgunaan kekuasaan publik, kantor atau kewenangan untuk
kepentingan pribadi—melalui penyuapan, pemerasan, menyalahgunakan pengaruh,
nepotisme, dan penggelapan" (Quah, 2003). World Bank (dalam Muladi, 2005)
menyebutkanbahwa korupsi sebagai an abuse of public power for private
gains(penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi), dengan bentuk
antara lain:
a. Political Corruption (Grand Corruption) yang terjadi di tingkat tinggi
(penguasa, politisi, pengambil keputusan) di mana mereka memiliki suatu
13
kewenangan untuk memformulasikan, membentuk, dan melaksanakan
Undang-undang atas nama rakyat, dengan memanipulasi institusi politik,
aturan prosedural, dan distorsi lembaga pemerintahan, dengan tujuan
meningkatkan kekayaan dan kekuasaan;
b. Bureaucratic Corruption (Petty Corruption), yang biasa terjadi dalam
administrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan umum;
c. Electoral Corruption, dengan tujuan untuk memenangkan suatu persaingan
seperti dalam pemilu, pilkada, keputusan pengadilan, jabatan pemerintahan,
dan sebagainya;
d. Private or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas, terjadi
akibat adanya kolusi atau konspirasi antar individu;
e. Collective or Aggregated Corruption, di mana korupsi dinikmati beberapa
orang dalam suatu kelompok seperti dalam suatu organisasi atau lembaga;
f. Active and Passive Corruption dalam bentuk memberi dan menerima suap
(bribery) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atas dasar tugas
dan kewajibannya;
g. Corporate Corruption baik berupa corporate criminal yang dibentuk untuk
menampung hasil korupsi ataupun corruption for corporation di mana
seseorang atau beberapa orang yang memiliki kedudukan penting dalam
suatu perusahaan melakukan korupsi untuk mencari keuntungan bagi
perusahaannya tersebut.
Istilah korupsi mengalami konotasi yang beragam oleh beberapa tokoh.
Machiavelli mengatakan bahwa korupsi merupakan "destruction of citizens
virtue's"; Montesquieu memandang korupsi adalah suatu penyimpangan tatanan
politik dari yang baik menuju yang buruk; Rousseau memandang korupsi sebagai
suatu konsekuensi yang tak terelakkan dari perjuangan dalam kekuasaan; Korupsi
juga dinilai sebagai suatu penyakit dalam setiap sistem pemerintahan (Porta,
Donatella Della & Alberto Vannucci, 1999). Definisi korupsi menurut IMF
(International Monetary of Fund) adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk
keuntungan pribadi atau kelompok (Nawatmi, 2014). Biaya korupsi dapat diringkas
menjadi tiga kategori, yaitu: (1) pemborosan sumber daya; (2) penyimpangan
alokasi; dan (3) kegagalan yang berdampak (Ibidem, 2014). Sedangkan korupsi
14
menurut Joseph S. Nye adalah suatu tindakan yang menyimpang dan juga
pelanggaran aturan oleh para penyelenggara negara untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi maupun status dan hal ini berbentuk penyuapan, nepotisme,
dan penyalahgunaan wewenang (Amalino, 2016).
Menurut teori Jack Bologne (dalam Waluyo, 2014), akar penyebab korupsi
ada empat, yaitu:
a. Greedy (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang
secara potensial ada pada diri setiap orang.
b. Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau
instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka
kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
c. Need (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh
individu-individu untuk menunjang hidupnya.
d. Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan-tindakan atau
hukuman yang tidak memberi efek jera pelaku maupun masyarakat pada
umumnya.
Selain Bologne, Syed Husein Alatas juga menyampaikan beberapa yang menjadi
penyebab terjadinya korupsi ini, antara lain (Hartanti, 2012 dalam Amalino, 2016):
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika;
b. Pengaruh kolonialisme yang membentuk karakter ketidaksetiaan dan juga
ketidakpatuhan untuk membendung korupsi;
c. Kurangnya pendidikan;
d. Kemiskinan;
e. Tidak adanya sanksi yang keras dan membuat jera;
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi;
g. Struktur pemerintahan;
h. Perubahan radikal pada suatu sistem yang ada menjadi salah satu celah
korupsi muncul pada masa transisi; dan
i. Keadaan masyarakat yang tidak baik, di mana terjadinya korupsi di birokasi
mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
15
Pengaruh korupsi terhadap perekonomian menurut Tanzi dan Davoodi
(2000), di antaranya:
a. Dampak korupsi pada bisnis: Dampak korupsi pada bisnis adalah sebagian
besar tergantung pada ukuran perusahaan. Perusahaan besar tidak terlalu
terpengaruh dalam suatu lingkungan yang rentan terhadap korupsi. Namun,
perusahaan kecil (terutama perusahaan pemula) dan menengah, lebih rentan
terkena dampak korupsi terlepas dari pentingnya mereka untuk
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, karena perusahaan kecil lebih
sulit untuk bertahan daripada perusahaan besar.
b. Dampak korupsi pada investasi: Korupsi mempengaruhi (a) total investasi,
(b) ukuran dan bentuk investasi oleh investor asing langsung (foreign direct
investors), (c) ukuran investasi publik dan (d) kualitas keputusan investasi
dan proyek investasi.
c. Dampak korupsi pada pengeluaran publik: Korupsi memiliki dampak
negatif pada pengeluaran publik, di mana memiliki dampak yang sangat
kuat pada pendidikan dan kesehatan. Ada pula indikasi korelasi antara
korupsi dan pengeluaran militer, di mana tingkat korupsi yang tinggi akan
mengurangi pertumbuhan ekonomi karena pengeluaran militer yang tinggi.
d. Dampak korupsi pada pajak: Akibat adanya korupsi, akan lebih sedikit
pemasukan pajak daripada yang seharusnya, karena beberapa pajak berakhir
pada pejabat pajak itu sendiri yang korup. Selain itu, ada pengurangan pajak
yang sering terjadi di negara-negara yang korup, seperti pajak selektif dan
berbagai pajak progresif. Singkatnya, ada jauh lebih sedikit pendapatan
daripada yang seharusnya bisa dimiliki oleh negara, dan seperti korupsi,
melalui defisit keuangan negara, juga mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Hal ini menyimpulkan temuan tentang dampak negatif (baik
langsung maupun tidak langsung) korupsi pada pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Menurut Cavazos-Cepeda, dkk (2010, dalam Šumah, 2018),
salah satu aspek penting dari menurunnya ekonomi global adalah kegagalan negara
dalam melindungi hak cipta dan kekayaan intelektual (copyright and intellectual
property). Negara-negara yang lebih korup cenderung memiliki perlindungan hak
16
cipta dan kekayaan intelektual yang lebih rendah, dan kerugian ekonomi tersebut
dapat berjumlah miliaran dolar. Cavazos-Cepeda, dkk (2010, dalam Šumah, 2018)
menemukan bahwa reformasi, insentif hukum, fiskal dan intelektual untuk
melindungi hak cipta dan paten kekayaan intelektual mendorong masyarakatnya
untuk lebih inovatif dan lebih efektif secara ekonomi. Namun, harus
menggarisbawahi juga pentingnya modal manusia dan investasi pada manusia
sebagai salah satu faktor terpenting untuk mengurang tingkat korupsi di sebuah
negara.
Tingkat korupsi di suatu negara salah satunya dapat diukur dengan tingkat
persepsi korupsi sebagaimana dilakukan oleh Transparency International (TI).
Lembaga ini mengukur Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index)
dengan skala 1–100; di mana semakin mendekati angka 100 maka tingkat korupsi
di negara tersebut semakin kecil (sangat bersih), dan sebaliknya. Indeks Persepsi
Korupsi (Corruption Perception Index) merupakan hasil pengukuran yang pertama
kali dikeluarkan pada tahun 1995.TI membentuk sebuah komite yang bernama
Index Advisory Committee (IAC) pada tahun 1996 untuk memberikan masukan
dengan alat ukur korupsi yang global. Anggota dari komite (anggota IAC) terdiri
ahli ekonomi, statistik, dan ilmu sosial dan politik (TransparencyInternational,
2003). Corruption Perception Indexmerupakan data yang menggambarkan tingkat
peluang terjadinya korupsi di negara tertentu.Indeks Persepsi Korupsi (Corruption
Perception Index) memeringkat negara-negara menurut tingkat korupsi sektor
publik yang dirasakan. Indeks mengacu pada penilaian yang berbeda dan survei
opini bisnis yang dilakukan oleh lembaga independen dan terkemuka. Survei dan
penilaian yang digunakan untuk menyusun indeks mencakup pertanyaan yang
berkaitan dengan penyuapan pejabat publik, suap dalam pengadaan publik,
penggelapan dana publik, dan pertanyaan yang menyelidiki kekuatan dan
efektivitas upaya anti korupsi sektor publik (Transparency International, 2011).
Persepsi digunakan karena korupsi –apakah frekuensi atau jumlah–
sebagian besar merupakan aktivitas tersembunyi yang sulit untuk diukur. Seiring
waktu, persepsi telah terbukti menjadi perkiraan korupsi yang dapat diandalkan.
Indeks Persepsi Korupsi melengkapi banyak alat lain yang mengukur korupsi dan
17
integritas di sektor publik dan swasta di tingkat global, nasional, dan lokal
(Transparency International, 2011). Data Corruption Perception
Indexdikumpulkan dari persepsi para pengusaha dan para ahli tentang kinerja
pemerintah terutama berkaitan dengan pemberian layanan yang bebas korupsi. Data
Corruption Perception Indexyang dikeluarkan tiap tahun oleh TI dipercaya oleh
banyak pihak sebagai data yang valid dalam mengukur praktek korupsi di suatu
negara (Transparency International, 2003).
2. Daya Saing Nasional
World Economic Forum(WEF) dalam Laporan Daya Saing Global (Global
Competitiveness Report) mendefinisikan daya saing nasional sebagai "kumpulan
institusi- institusi, kebijakan-kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat
produktivitas suatu negara (the set of institutions, policies and faktors that
determine the level of productivity of a country)". Definisi ini mengungkapkan
pentingnya lingkungan nasional untuk proses melakukan bisnis; lingkungan yang
ditentukan oleh perilaku lembaga-lembaga dan kebijakan-kebijakan yang
ditetapkan olehnya, dan dengan cara ini, menjadi kompetitif artinya dapat memiliki
hasil positif yang memuaskan pada tingkat makroekonomi (The Global
Competitiveness Report, 2017-2018). Menurut Samanta dan Sanyal, daya saing
nasional dapat didefinisikan sebagai fakta dan kebijakan yang membentuk
kemampuan suatu negara/bangsa untuk menciptakan dan menjaga sebuah
lingkungan yang menopang nilai lebih bagi perusahaan-perusahaannya dan
kesejahteraan bagi rakyatnya (Samanta dan Sanyal, 2010). Sementara itu,
Macerinski dan Sakhanova menganggap bahwa daya saing nasional didefinisikan
sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menciptakan lingkungan yang membantu
perusahaan-perusahaan untuk berinovasi lebih cepat daripada pesaing asing,
menilai perluasan produktivitas sebagai strategi nasional yang paling penting
(Macerinski dan Sakhanova, 2011).
Onsel dan Ulengin menggarisbawahi bahwa meskipun banyak peneliti
menganggap bahwa daya saing nasional adalah sama dengan produktivitas,
sebenarnya kedua konsep terkait ini berbeda satu sama lain. Produktivitas
merepresentasikan fitur dari sebuah negara, sedangkan daya saing nasional
18
mengacu pada posisi suatu negara dibandingkan dengan negara lain (Onsel dan
Ulengin, 2008 dalam Ulman, 2014). Stateskeviciute dan Tamosiuniene
mengidentifikasi daftar sembilan determinan daya saing nasional, yang mendasari
bahwa suatu negara dikatakan kompetitif, yaitu ketika memiliki standar hidup yang
tinggi, tingkat lapangan kerja yang tinggi, produktivitas tinggi, keseimbangan
komersial, daya tarik nasional yang tinggi, kemampuan pelaksanaan yang obyektif,
politik yang sehat, fleksibilitas yang tinggi, dan kemampuan mempertahankan
pertumbuhan ekonomi (Staskeviciute dan Tamosiuniene, 2010 dalam Ulman,
2014). Semua faktor determinan ini mengungkap aspek-aspek yang berbeda dari
kinerja makroekonomi. Dan menurut ide ini, Balkyte dan Tvaronnaciene juga
menegaskan bahwa gagasan daya saing nasional mengacu pada kinerja ekonomi
suatu negara yang diukur sebagai kemampuan untuk menawarkan kepada warga
negaranya standar hidup yang tinggi yang dibangun dengan dasar yang kuat dalam
jangka panjang dan kemungkinan yang besar untuk memilih tempat kerja bagi
mereka yang ingin bekerja (Balkyte dan Tvaronaviciene, 2010 dalam Ulman,
2014).
Berbagai literatur ekonomi mengidentifikasi hal-hal konsisten dari faktor-
faktor determinan yang mempengaruhi daya saing nasional. Infrastruktur sosial,
termasuk pendidikan, kesehatan, jaminan publik, dan lembaga politik, termasuk
kebijakan moneter dan fiskal yang dipromosikan oleh institusi tersebut menentukan
konteks luas di mana kegiatan ekonomi produktif berevolusi (Delago end Porter,
2012; La Porta et. Al., 1998 ; Kaufmann et. Al., 2008; Lorentzen dan McMillan,
2008; Stone, 2006 dalam Ulman, 2013). Lalu, sumber daya nasional, posisi
geografis, ukuran negara, dan budaya nasional juga merupakan faktor determinan
penting yang membuat suatu negara menjadi lebih kompetitif daripada yang lain
(Sachs dan Warner, 2001; Franke dan Nadler, 2008; Hwy-Chang dan Eun-Kyong,
2001; Yu -Shu and Shing-Shiuan, 2009 dalam Ulman, 2013).
Daya saing nasional di suatu negara salah satunya dapat diukur dengan
Indeks Daya Saing atau Competitiveness Index yang dirilis pada Laporan Daya
Saing Global (Global Competitiveness Report) oleh World Economic Forum
(WEF) dengan skala 1–7; di mana semakin mendekati angka 7 maka daya saing
19
nasional di negara tersebut semakin tinggi (sangat kompetitif), dan sebaliknya. Ada
total 114 indikator dalam indeks ini, berasal dari kombinasi data dari organisasi
internasional serta dari Survei Opini Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (World
Economic Forum). Indeks ini terdiri atas 12 pilardengan masing-masing pilar
memiliki subindeks (The Global Competitiveness Report, 2017-2018), yang
menggambarkan tingkat dan kompleksitas dari pendorong produktivitas dan
ekosistem daya saing. Dua belas pilar ini di antaranya:
a. Pilar 1 Institusi, terdiri atas: Hak kekayaan intelektual; Perlindungan
kekayaan intelektual; Pengalihan dana publik; Kepercayaan publik pada
politisi; Pembayaran dan suap yang tidak berketentuan; Independensi
peradilan; Favoritisme dalam keputusan pejabat pemerintah; Efisiensi
pengeluaran pemerintah; Beban peraturan pemerintah; Efisiensi kerangka
hukum dalam menyelesaikan perselisihan; Efisiensi kerangka hukum dalam
tantangan regulasi; Transparansi pembuatan kebijakan pemerintah; Biaya
perkara terorisme; Biaya perkara kejahatan dan kekerasan; Kejahatan
terorganisir; Reliabilitas pelayanan polisi; Perilaku etis perusahaan;
Kekuatan standar audit dan pelaporan; Keberhasilan dewan perusahaan;
Perlindungan kepentingan pemegang saham minoritas; dan Kekuatan
perlindungan investor 0-10 (terbaik).
b. Pilar 2 Infrastruktur, terdiri atas: Kualitas keseluruhan infrastruktur;
Kualitas jalan; Kualitas infrastruktur kereta api; Kualitas infrastruktur
pelabuhan; Kualitas infrastruktur transportasi udara; Ketersediaan kursi
maskapai penerbangan juta kilometer per minggu; Kualitas pasokan listrik;
Pelanggan telepon seluler per 100 populasi; dan Saluran telepon tetap per
100 populasi.
c. Pilar 3 Lingkungan Makroekonomi, terdiri atas: Saldo anggaran pemerintah
% PDB; Tabungan nasional bruto % PDB; Perubahan % inflasi tahunan;
Utang pemerintah % PDB; dan Peringkat kredit negara 0-100 (terbaik).
d. Pilar 4 Kesehatan dan Pendidikan Dasar terdiri atas: Kasus insiden malaria
per 100.000 populasi; Dampak bisnis adanya malaria; Kasus insiden
tuberkulosis per 100.000 populasi; Dampak bisnis adanya tuberkulosis;
Prevalensi HIV % populasi dewasa; Dampak bisnis dari HIV/AIDS; Angka
20
kematian bayi per 1.000 kelahiran; Angka Harapan Hidup; Kualitas
pendidikan dasar; dan Tingkat partisipasi pendidikan dasar bersih %.
e. Pilar 5 Pendidikan Tinggi dan Pelatihan terdiri atas: Tingkat partisipasi
pendidikan menengah kotor %; Tingkat pendaftaran pendidikan tinggi kotor
%; Kualitas sistem Pendidikan; Kualitas pendidikan matematika dan sains;
Kualitas manajemen sekolah; Akses internet di sekolah; Ketersediaan lokal
untuk layanan pelatihan khusus; dan Tingkat pelatihan pegawai.
f. Pilar 6 Efisiensi Pasar Barang terdiri atas: Intensitas kompetisi lokal;
Luasnya dominasi pasar; Efektivitas kebijakan anti-monopoli; Pengaruh
perpajakan pada insentif untuk berinvestasi; Total tingkat pajak % profit;
Jumlah prosedur untuk memulai bisnis; Waktu untuk memulai hari kerja;
Biaya kebijakan pertanian; Prevalensi hambatan non-tarif; Tarif
perdagangan % bea masuk; Prevalensi kepemilikan asing; Dampak bisnis
atas aturan pada FDI (Investasi Asing Langsung); Beban prosedur bea
cukai; Impor % PDB; Tingkat orientasi pelanggan; dan Kemampuan
pembeli.
g. Pilar 7 Efisiensi Pasar Tenaga Kerja terdiri atas: Kerjasama dalam hubungan
tenaga kerja–pimpinan; Fleksibilitas penentuan upah; Praktek perekrutan
dan pemecatan; Redundansi biaya gaji mingguan; Pengaruh perpajakan
pada insentif untuk bekerja; Pembayaran dan produktivitas; Kepercayaan
pada manajemen professional; Kapasitas negara untuk mempertahankan
bakat; Kapasitas negara untuk menarik bakat; dan Partisipasi perempuan
dalam rasio angkatan kerja dibanding laki-laki.
h. Pilar 8 Perkembangan Pasar Uang terdiri atas: Ketersediaan layanan
keuangan; Keterjangkauan layanan keuangan; Pembiayaan melalui pasar
ekuitas lokal; Kemudahan akses pada pinjaman; Ketersediaan modal usaha;
Tingkat kesehatan bank; Peraturan pertukaran efek; dan Indeks hak hukum
0-10 (terbaik).
i. Pilar 9 Kesiapan Teknologi terdiri atas: Ketersediaan teknologi terbaru;
Penyerapan teknologi di tingkat perusahaan; Transfer teknologi dan
investasi asing langsung (FDI); Pengguna internet % populasi; Pelanggan
21
internet broadband tetap per 100 populasi; Bandwidth internet per
kb/detik/pengguna; dan Pelanggan mobile-broadband per 100 populasi.
j. Pilar 10 Ukuran Pasar terdiri atas: Indeks ukuran pasar domestic; Indeks
ukuran pasar asing; PDB (PPP) PPP $ miliar; dan Ekspor % PDB.
k. Pilar 11 Kemampuan Bisnis terdiri atas: Jumlah pemasok lokal; Kualitas
pemasok lokal; Keadaan perkembangan kluster; Sifat keunggulan
kompetitif; Luas rantai nilai; Kontrol distribusi internasional; Kecanggihan
proses produksi; Luas pemasaran; dan Kesediaan untuk melimpahkan
wewenang.
l. Pilar 12 Inovasi terdiri atas: Kapasitas untuk inovasi; Kualitas institusi
penelitian ilmiah; Pengeluaran perusahaan untuk R&D; Kolaborasi
universitas-industri dalam R&D; Pengadaan produk teknologi canggih dari
Pemerintah; Ketersediaan ilmuwan dan insinyur; dan Aplikasi paten
Perjanjian Kerjasama Paten (PCT atau Patent Cooperation Treaty) per juta
populasi.
Lebih khusus lagi, Global Competitiveness Index (GCI) (dalam Rontos et
al, 2015) mengasumsikan bahwa tahap pertama pembangunan ekonomi adalah
faktor pendorong dan persaingan dengan negara-negara berdasarkan faktor
pendukung (faktor endowment). Mempertahankan daya saing nasional pada tahap
pertama pembangunan ini utamanya terletak pada lembaga publik dan swasta yang
berfungsi dengan baik (pilar 1), infrastruktur yang berkembang dengan baik (pilar
2), lingkungan ekonomi makro yang stabil (pilar 3), dan tenaga kerja sehat yang
menerima setidaknya pendidikan dasar (pilar 4). Ketika sebuah negara menjadi
lebih kompetitif, produktivitas akan meningkat. Negara-negara kemudian akan
bergerak ke tahap pembangunan yang bergerak efisiensi. Pada tahap ini, daya saing
semakin didorong oleh pendidikan tinggi dan pelatihan (pilar 5), pasar barang yang
efisien (pilar 6), pasar tenaga kerja yang berfungsi dengan baik (pilar 7), pasar
keuangan yang berkembang (pilar 8), kemampuan untuk meningkatkan keuntungan
dengan teknologi yang ada (pilar 9), dan pasar domestik atau luar negeri yang lebih
besar (pilar 10). Akhirnya, ketika negara-negara bergerak ke tahap yang didorong
inovasi, perusahaan harus bersaing dengan memproduksi barang-barang baru dan
22
berbeda menggunakan proses produksi yang lebih canggih (pilar 11) dan berinovasi
dengan yang baru (pilar 12).
3. Ketimpangan Gender
Menurut World Bank, istilah "gender" mengacu pada perbedaan yang
dibangun secara sosial antara laki-laki dan perempuan yang dapat mempengaruhi
aktivitas sosial dan ekonomi serta akses mereka pada sumber daya, dan
pengambilan keputusan (World Bank, 2016). Peran gender berbeda dari peran
biologis pria dan wanita, meskipun hal itu mungkin tumpang tindih. Sebagai
contoh, peran biologis perempuan dalam melahirkan anak dapat memperluas peran
gender menjadi pengasuhan anak, persiapan makanan, dan pemeliharaan rumah
tangga (Ibidem, 2016).
Ketidaksetaraan gender berarti ada disparitas antara laki-laki dan
perempuan dalam aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum yang berbeda
(Jha, 2015). Kesetaraan gender adalah keadaan bagi perempuan dan laki-laki
menikmati status dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak asasinya secara
penuh dan sama-sama berpotensi dalam menyumbangkannya dalam pembangunan,
dengan demikian kesetaraan gender adalah penilaian yang sama oleh masyarakat
terhadap persamaan dan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam berbagai peran
yang mereka lakukan (KMNPP RI, 2001 dalam Widayani dan Hartati, 2014). Maka,
dapat dikatakan ketidaksetaraan atau ketimpangan gender adalah keadaan bagi
perempuan dan laki-laki ketika berada pada status dan kondisi yang tidak sama
dalam merealisasikan hak asasi dan peran yang mereka lakukan. Secara umum,
ketidaksetaraan gender atau kata diskriminasi digunakan untuk "wanita", karena
mereka dianggap sebagai bagian yang paling buruk dan lemah dari masyarakat
(Shastri, 2014).
Kesetaraan gender yang dimaksud menurut Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) adalah pandangan bahwa semua orang menerima perlakuan yang setara dan
tidak didiskriminasi berdasarkan jenis kelamin mereka (BPS, 2016). Untuk
meningkatkan daya saing negara dan pembangunan, sebuah negara perlu
meningkatkan kesetaraan gender, yaitu meningkatkan hak, tanggung jawab,
23
kapabilitas dan peluang yang sama bagi perempuan dan laki-laki (Ibidem, 2016).
Salah satu alasan mengapa kesetaraan gender menjadi yang utama dalam agenda
kebijakan internasional adalah semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa
meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan terutama pada
perempuan dapat mengarah pada peningkatan gizi anak dan mengurangi angka
kematian, peningkatan pendaftaran sekolah, peningkatan kesehatan ibu dan anak,
dan peningkatan pengelolaan sumber daya alam (Fisher dan Robin, 2016). Maka,
ketidaksetaraan gender dapat meningkatkan angka penurunan gizi dan kematian,
penurunan tingkat partisipasi sekolah, penurunan kesehatan ibu dan anak, serta
penurunan pengelolaan sumber daya alam, di mana dapat berdampak pada standar
dan kelangsungan hidup seseorang.
Ketimpangan gender di suatu negara salah satunya dapat diukur dengan
Indeks Ketimpangan Gender atau Gender Inequality Index (GII) yang dirilis pada
Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) oleh United
Nations Development Programme (UNDP). Nilai GII yang rendah menunjukkan
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, dan sebaliknya. Indeks ini diukur
dengan skala 0-1; di mana semakin mendekati angka 1, maka semakin tinggi
disparitas (ketidaksetaraan) antara perempuan dan laki-laki dan semakin banyak
kekurangan dalam pembangunan manusia (UNDP, 2018). Indeks Ketimpangan
Gendermenyajikan ukuran gabungan ketidaksetaraan gender menggunakan tiga
dimensi: kesehatan; pemberdayaan (edukasi); dan status ekonomi (respresentasi
politik dan ketenagakerjaan). Indikator kesehatan adalah rasio kematian ibu dan
tingkat kelahiran pada remaja. Indikator pemberdayaan adalah bagian dari kursi
parlemen yang diduduki oleh perempuan dan bagian penduduk dengan setidaknya
pendidikan menengah berdasarkan gender. Indikator pasar tenaga kerja adalah
partisipasi dalam angkatan kerja berdasarkan gender.
24
B. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai pengaruh Daya Saing
Nasional dan Ketimpangan Gender terhadap Korupsi, di antaranya yaitu:
1. (Samanta dan Sanyal, 2010) “National Competitiveness and Perception of
Corruption”. Penelitian ini menggunakan variabelDaya Saing
(Competitiveness Index) dan Persepsi Korupsi (Corruption Perception
Index) dengan metode analisis deskriptif dan regresi data panel. Hasil
penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antaravariabel daya
saing nasional dan persepsi korupsi. Negara-negara yang dinilai sangat
kompetitif dianggap kurang korup dan sebaliknya.
2. (Ulman, 2014) “The Impact of the National Competitiveness on the
Perception of Corruption”. Penelitian ini menggunakan variabel Daya
Saing (Competitiveness Index) dan Persepsi Korupsi (Corruption
Perception Index) dengan metode regresi data panel dan Spearman Rank
Correlation test. Penelitian ini menunjukkan tingkat daya saing nasional
berhubungan signifikan dengan tingkat persepsi korupsi dan berkorelasi
positif. Dengan kata lain, negara-negara yang dinilai sangat kompetitif
dianggap kurang korup atau negara-negara yang dinilai memiliki tingkat
daya saing nasional kecil dianggap lebih korup daripada negara yang lebih
kompetitif.
3. (Rontos et al, 2015) “Competitiveness and Corruption: The Case of
Greece”. Penelitian ini menggunakan variabelDaya Saing (Competitiveness
Index); Korupsi (Corruption Perception Index); PDB per kapita; Demokrasi
(Kebebasan politik dan Kebebasan sipil); dan Kapasitas Pemerintahan
(Indeks Efektivitas Pemerintahan dan Kualitas Regulasi) dengan metode
regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan daya saing, yang diukur
dengan Indeks Daya Saing (Competitiveness Index), memiliki korelasi
positif yang kuat dengan korupsi (Corruption Perception Index). Data
menunjukkan, rata-rata, bahwa negara-negara dengan tingkat daya saing
tinggi menunjukkan tingkat korupsi yang lebih rendah.
25
4. (Branisa dan Ziegler, 2011) “Reexamining the Link between Gender and
Corruption: The Role of Social Institutions”. Penelitian ini bersifat
kuantitatif dengan menggunakan variabel Korupsi (Corruption Perception
Index &Corruption in Government Index); Representasi Perempuan
(diparlemen, posisi manajerial, & angkatan kerja); Demokrasi (Indeks
Demokrasi Pemilu, Lembaga, & Pemerintahan); Subindeks kebebasan
sipilyang menunjukkan kebebasan partisipasi sosial perempuan; dan
variabelkontrol menggunakan metode analisis deskriptif dan regresi data
panel. Penelitian ini menguji kembali hubungan antara ketidaksetaraan
gender dan korupsi. Peneliti meninjau tentang hubungan antara representasi
perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik, demokrasi dan korupsi,
memasukkan variabel baru, dan lembaga sosial yang terkait dengan
ketidaksetaraan gender. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korupsi lebih
tinggi di negara-negara yang menghambat kebebasan perempuan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi (di mana hal ini
menunjukkan ketidaksetaraan gender).
5. (Martha dan Hastuti, 2015) “Gender dan Korupsi (Pengaruh Kesetaraan
Gender DPRD dalam Pemberantasan Korupsi di Kota Yogyakarta)”.
Penelitian ini bersifat kualitatif menggunakan variabel Kesetaraan Gender
DPRD dan Korupsi dengan metode analisis deskriptif dan regresi. Hasil
penelitian ini menunjukkan kesetaraan gender mempunyai pengaruh yang
positif terhadap upaya pemberantasan korupsi di legislatif. Hasil penelitian
ini menyatakan bahwa upaya pemberantasan korupsi secara nyata
dipengaruhi oleh kesetaraan gender. Hal ini dibuktikan bahwa baik laki-laki
dan perempuan telah memiliki keunggulan masing-masing dalam aspek
nilai-nilai,aspek etika penyelenggaraan negara, aspek pedoman perilaku,
dan aspek akuntabilitas yang dapat saling melengkapi. Potensi keunggulan
yang ada pada laki-laki maupun perempuan dalam pemberantasan korupsi
di legislatif tidak akan cukup berarti apabila tidak ada kesetaraan gender di
dalam legislatif. Tanpa adanya kesetaraan gender, maka perilaku korupsi
akan menjadi lebih buruk.
26
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No. Nama
Peneliti
Judul
Penelitian
Variabel
Penelitian
Metode
Penelitian Hasil Penelitian
1.
Subarna
K.
Samanta
dan
Rajib N.
Sanyal
(2010)
National
Competitiveness
and Perception
of Corruption
Daya Saing
(Competitiveness
Index);
Persepsi Korupsi
(Corruption
Perception Index)
Analisis
Deskriptif
dan
Regresi
Data Panel
Penelitian ini
menunjukkan hubungan
yang signifikan antara
variabel daya saing
nasional dan persepsi
korupsi. Negara-negara
yang dinilai sangat
kompetitif dianggap
kurang korup dan
sebaliknya.
2.
Simona-
Roxana
Ulman
(2014)
The Impact of
the National
Competitiveness
on the
Perception of
Corruption
Daya Saing
(Competitiveness
Index);
Persepsi Korupsi
(Corruption
Perception Index)
Spearman
Rank
Correlation
test dan
Regresi
Data Panel
Penelitian ini
menunjukkan korelasi
positif antara variabel
daya saing nasional dan
korupsi, bahwa tingkat
daya saing nasional
berhubungan signifikan
dengan tingkat persepsi
korupsi. Dengan kata
lain, negara-negara yang
dinilai sangat kompetitif
dianggap kurang korup
atau negara-negara yang
dinilai memiliki tingkat
daya saing nasional kecil
dianggap lebih korup
daripada negara yang
lebih kompetitif.
3.
Kostas
Rontos,
Maria-
Eleni
Syrmali,
dan
Competitiveness
and
Corruption:
The Case of
Greece
Daya Saing
(Competitiveness
Index);
Korupsi
(Corruption
Perception
Index);
Regresi
Data Panel
Penelitian ini
menunjukkan daya
saing, yang diukur
dengan Indeks Daya
Saing (Competitiveness
Index), memiliki korelasi
positif yang kuat dengan
27
Ioannis
Vavouras
(2015)
PDB per kapita;
Demokrasi
(Kebebasan
politik dan
Kebebasan sipil);
Kapasitas
Pemerintahan
(Indeks
Efektivitas
Pemerintahan dan
Kualitas
Regulasi)
korupsi (Corruption
Perception Index). Data
menunjukkan, rata-rata,
bahwa negara-negara
dengan tingkat daya
saing tinggi
menunjukkan tingkat
korupsi yang lebih
rendah.
4.
Boris
Branisa
dan
Maria
Ziegler
(2011)
Reexamining
the Link
between Gender
and
Corruption:
The Role of
Social
Institutions
Korupsi
(Corruption
Perception Index
&Corruption in
Government
Index);
Representasi
Perempuan (di
parlemen, posisi
manajerial, &
angkatan kerja);
Demokrasi
(Indeks
Demokrasi
Pemilu,
Lembaga, &
Pemerintahan);
Subindeks
kebebasan sipil
yang
menunjukkan
kebebasan
partisipasi sosial
perempuan;
Variabel kontrol
(GDP, letak
wilayah, agama,
etnis,
keterbukaan
ekonomi, pernah
ada kolonisasi, &
tingkat literasi)
Regresi
Data Panel
Penelitian ini menguji
kembali hubungan antara
ketidaksetaraan gender
dan korupsi. Peneliti
meninjau tentang
hubungan antara
representasi perempuan
dalam kehidupan
ekonomi dan politik,
demokrasi dan korupsi,
dan memasukkan
variabel baru yang
sebelumnya dihilangkan,
dan lembaga sosial yang
terkait dengan
ketidaksetaraan gender.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
korupsi lebih tinggi di
negara-negara yang
menghambat kebebasan
perempuan untuk
berpartisipasi dalam
aktifitas sosial dan
ekonomi (di mana hal ini
menunjukkan
ketidaksetaraan gender).
5. Aroma
Elmina
Gender dan
Korupsi
Kesetaraan
Gender di DPRD;
Pendekatan
Analisis
Penelitian ini
menunjukkan kesetaraan
28
Martha
dan Dwi
Hastuti
(2015)
(Pengaruh
Kesetaraan
Gender DPRD
dalam
Pemberantasan
Korupsi di Kota
Yogyakarta)
Korupsi Deskriptif
dan
Regresi
Linear
gender mempunyai
pengaruh yang positif
terhadap upaya
pemberantasan korupsi
di legislatif. Potensi
keunggulan yang ada
pada laki-laki maupun
perempuan dalam
pemberantasan korupsi
di legislatif tidak akan
cukup berarti apabila
tidak ada kesetaraan
gender di dalam
legislatif. Tanpa adanya
kesetaraan gender, maka
perilaku korupsi akan
menjadi lebih buruk.
29
C. Hubungan Antar Variabel
1. Daya Saing dengan Korupsi
Dalam rumusan masalah, telah ditetapkan akan meneliti tentang Pengaruh
Daya Saing Nasional dan Ketimpangan Gender terhadap Korupsi di Beberapa
Negara ASEAN Periode2010-2017. Pada penelitian sebelumnya, yang telah
dilakukan Ulman tahun 2014 dalam “The Impact of the National Competitiveness
on the Perception of Corruption” menunjukkan korelasi positif antara dua variabel
daya saing nasional dan persepsi korupsi, yang berarti bahwa rata-rata tingkat
persepsi korupsi terkait dengan tingkat daya saing nasional. Dengan kata lain,
negara-negara yang dinilai sangat kompetitif dianggap kurang korup atau negara-
negara yang dinilai memiliki tingkat daya saing nasional kecil dianggap lebih korup
daripada negara yang lebih kompetitif. Lalu, penelitian yang dilakukan oleh Rontos,
dkk (2015) dalam “Competitiveness and Corruption: The Case of Greece”
menunjukkan daya saing, yang diukur dengan Indeks Daya Saing (Competitiveness
Index), memiliki korelasi positif yang kuat dengan persepsi korupsi (Corruption
Perception Index). Data menunjukkan, bahwa rata-rata negara-negara dengan
tingkat daya saing tinggi menunjukkan tingkat persepsi korupsi yang lebih rendah.
Sehingga, variabel daya saing nasional (yang digambarkan dengan nilai
Competitiveness Index) denganpersepsi korupsi memiliki keterkaitan atau
hubungan, yaitu semakin meningkatnya atau menurunnya kualitas daya saing
nasional (Competitiveness Index) akan mempengaruhi tingkatpersepsi korupsi, dan
sebaliknya.
2. Ketimpangan Gender dengan Korupsi
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Martha dan Hastuti (2015)
dalam “Gender dan Korupsi (Pengaruh Kesetaraan Gender DPRD dalam
Pemberantasan Korupsi di Kota Yogyakarta)” menunjukkan kesetaraan gender
mempunyai pengaruh yang positif terhadap upaya pemberantasan korupsi di
legislatif. Hasil pengujian tersebut menyatakan potensi keunggulan yang ada pada
laki-laki maupun perempuan dalam pemberantasan korupsi di legislatif tidak akan
cukup berarti apabila tidak ada kesetaraan gender di dalam legislatif. Tanpa adanya
30
kesetaraan gender, maka perilaku korupsi akan menjadi lebih buruk.. Selain itu,
bukti untuk mendukung penelitian ini dilakukan oleh Swamy, dkk (2001) dalam
“Gender and Corruption” dan Dollar, dkk (2001) dalam “Are Women Really the
‘Fairer’ Sex? Corruption and Women in Government”menyatakan negara-negara
yang telah membuat kemajuan dalam kesetaraan gender pada umumnya mengalami
tingkat korupsi yang lebih rendah. Lalu, penelitian oleh Branisa dan Ziegler (2011)
dalam “Reexamining the Link between Gender and Corruption: The Role of Social
Institutions” menemukan bahwa negara-negara di mana lembaga-lembaga sosial
menghambat kebebasan perempuan–di mana hal ini menunjukkan ketidaksetaraan
gender– menjadikan tingkat korupsi lebih tinggi.
Sehingga, variabel ketimpangan gender (yang digambarkan dengan nilai
(Gender Inequality Index) dengan persepsi korupsi memiliki keterkaitan atau
hubungan, yaitu semakin meningkatnya atau menurunnya ketimpangan gender
(Gender Inequality Index) akan mempengaruhi tingkat persepsi korupsi, dan
sebaliknya.
D. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan,
mengenai hubungan variabel independen (X) Daya Saing Nasional dan
Ketimpangan Gender terhadap variabel dependen (Y) Korupsi, maka
dikembangkan menjadi kerangka pemikiran teoritis sebagai gambar berikut:
31
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Pengaruh Daya Saing Nasional dan Ketimpangan Gender terhadap
Korupsi di Beberapa Negara ASEAN Periode 2010-2017
Variabel Independen:
- Daya Saing Nasional (X1)
- Ketimpangan Gender (X2)
Variabel Dependen
Korupsi (Y)
Alat Analisis:
Panel Data
Pemilihan Model:
1. Uji Chow
2. Uji Hausman
Fixed Effect Model (FEM)
Uji Hipotesis:
1. Uji t
2. Uji F
3. Uji Adj R2
Kesimpulan dan Saran
32
E. Hipotesis Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan penelitian ini yaitu mengenai pengaruh
daya saing nasional dan ketimpangan gender terhadap korupsi di beberapa negara
ASEAN periode 2010-2017, perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1) H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara daya saing nasional secara
parsial terhadap korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina,
Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
H1: Ada pengaruh yang signifikan antara daya saing nasional secara parsial
terhadap korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan
Kamboja periode 2010-2017.
2) H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara ketimpangan gender secara
parsial terhadap korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina,
Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
H1: Ada pengaruh yang signifikan antara ketimpangan gender secara parsial
terhadap korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan
Kamboja periode 2010-2017.
3) H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara daya saing nasional dan
ketimpangan gender secara simultan terhadap korupsi di Indonesia,
Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
H1: Ada pengaruh yang signifikan antara daya saing nasional dan
ketimpangan gender secara simultan terhadap korupsi di Indonesia,
Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
33
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisa tentang pengaruh daya saing nasional dan
ketimpangan gender terhadap korupsi di beberapa negara ASEAN. Dalam
penelitian ini, menggunakan satu variabel dependen dan dua variabel independen.
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Korupsi yang
diukur dengan Corruption Perception Index (CPI), sedangkan variabel independen
adalah Daya Saing Nasional diukur dengan Competitiveness Index dan
Ketimpangan Gender diukur dengan Gender Inequality Index.
Penelitian ini menggunakan model data panel dengan fokus kepada enam
negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan
Kamboja. Periode yang digunakan dalam penelitian ini yakni selama tahun 2010-
2017. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahunan yang
mencakup data Korupsi (Corruption Perception Index), data Daya Saing Nasional
(Competitiveness Index), dan data Ketimpangan Gender (Gender Inequality Index).
B. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh negara dalam kawasan Asia
Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Mayoritas negara-negara di ASEAN
masih memiliki persepsi korupsi yang cukup tinggi. Sampel yang ditemukan tidak
selalu memenuhi persyaratan dalam variabel penelitian sehingga diperlukan pula
peluang representatifnya sebuah kelompok sampel dalam populasi penelitian.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah enam negara di ASEAN, yaitu
Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja. Metode
pengambilan sampel yangdigunakan adalah teknik purposive sampling di mana
peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus
34
dengan adanya tujuan tertentu. Enam negara ini dipilih sebagai sampel penelitian
karena selain menjadi menjadi kelompok negara berkembang di Asia Tenggara,
juga dapat dikelompokkan sebagai negara yang memiliki skor persepsi korupsi,
daya saing nasional, dan ketimpangan gender yang tidak jauh berbeda satu sama
lainnya.
C. Pengumpulan Data dan Sumber Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan
dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan metode
pengumpulan data yaitu studi dokumen, di mana peneliti akan mengumpulkan
informasi melalui catatan, literatur, dokumentasi, dan lain-lain yang masih relevan
dengan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder yang diperoleh dari lembaga-lembaga resmi terkait. Informasi yang
digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis korupsi yang diukur dengan
Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI) yang dirilis oleh
Transparency International (TI). Sementara itu, Indeks Daya Saing Nasional atau
Competitiveness Index diperoleh dari Global Competitiveness Report yang dirilis
oleh World Economic Forum (WEF) digunakan untuk mengukur indeks tingkat
daya saing nasional di suatu negara, di mana indeks tersebut memiliki 12 subindeks
yang menggambarkan 12 pilar daya saing nasional. Lalu, untuk menganalisis
ketimpangan gender diukur dengan Indeks Ketimpangan Gender atau Gender
Inequality Index (GII) diperoleh dari Human Development Report yang dirilis oleh
United Nations Development Programme (UNDP).
D. Metode Analisis Data
1. Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan data yang telah diperoleh maka pendekatan yang sesuai
dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Metode penelitian dengan
35
pendekatan kuantitatif merupakan cara yang digunakan untuk menjawab masalah
penelitian yang berkaitan dengan data berupa angka dan program statistik.
2. Analisis Data Panel
Menurut Suliyanto (2011), pada analisis statistik data dapat dikumpulkan
dari waktu ke waktu pada satu obyek yang sering disebut dengan data runtut waktu
(time series). Namun demikian, data juga dapat dikumpulkan dari beberapa obyek
pada satu waktu, disebut sebagai data silang waktu (cross section). Dengan
demikian, data panel dapat didefinisikan sebagai data yang dikumpulkan dari
beberapa obyek dengan beberapa waktu atau merupakan kombinasi dari data time
series dan cross section. Nama lain dari data panel adalah data berkelompok(pooled
data), kombinasi berkala (kombinasi data time series dan cross section),
longitudinal data (studi sekian waktu pada sekelompok obyek penelitian), dan
analisis event history(studi sepanjang waktu dari sekumpulan obyek sampai
mencapai keberhasilan atau kondisi tertentu)(Setiawan dan Kusrini, 2010).
Analisis regresi data panel adalah analisis regresi yang didasarkan pada data
panel untuk mengamati hubungan antara variabel terikat (dependen) dan variabel
bebas (independen). Hal ini sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan
mengenai masalah daya saing nasional dan ketimpangan gender terhadap korupsi
menggunakan studi kasus enam negara ASEAN dengan tahun yang akan diteliti
2010-2017.
Model dengan data cross section:
Yi = α + β Xi + ℇi ; i = 1,2, … , N
N = Banyaknya data cross section
Model dengan data time series:
Yt = α + β Xi + ℇi ; t = 1,2, … , T
T = Banyaknya data time series
36
Melihat data panel merupakan gabungan antara data cross section dan data
time series maka model yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
Yit = α + β Xit + ℇit ; I = 1,2, … , N; t = 1,2, … , T
Di mana:
N : Banyaknya data cross section
T : Banyaknya data time series
NT : Banyaknya data panel
Secara teoritis ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan
menggunakan data panel yaitu yang pertama, semakin banyak jumlah observasi
akan membawa dampak positif terhadap estimasi model, memperbesar degree of
freedom, dan menurunkan kemungkinan kolinieritas antar variabel bebas. Kedua,
dimungkinkannya estimasi masing-masing karakteristik individu maupun
karekteristik menurut waktu secara terpisah. Dengan demikian analisa hasil
estimasi akan lebih komprehensif dan mencakup hal-hal yang lebih mendekati
realita. Selain itu, beberapa kelebihan dari penggunaan data panel dibanding data
time series maupun cross section adalah sebagai berikut (Suliyanto, 2011):
a. Memiliki tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Hal ini karena data
tersebut melibatkan beberapa individu dalam beberapa waktu. Dengan
data panel, dapat mengestimasikan karakteristik untuk setiap individu
berdasarkan heterogenitasnya;
b. Mampu memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, serta
memiliki tingkat kolinearitas yang rendah. Hal ini karena menggabungkan
data time series dan data cross section;
c. Lebih baik untuk studi perubahan dinamis karena data panel pada dasarnya
adalah data cross section yang diulang-ulang (series);
d. Mampu lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur pengaruh yang
tidak dapat diobservasi dengan data time series murni atau data cross
sectionmurni;
e. Mampu menguji dan mempelajari model perilaku yang lebih kompleks.
37
3. Estimasi Model Data Panel
Menurut Setiawan dan Kusrini (2010), beberapa hal yang akan dihadapi saat
menggunakan data panel adalah koefisien slope dan intercept yang berbeda pada
setiap individu dan setiap periode waktu. Oleh karena itu, asumsi yang dibuat
terhadap intercept, slope, dan error-nya ada beberapa kemungkinan yang muncul,
yaitu:
a. Asumsi bahwa koefisien slope dan intercept konstan sepanjang waktu dan
individu, dan residual/error-nya berbeda sepanjang waktu, pada setiap
individu;
b. Asumsi bahwa koefisien slope konstan, tetapi intercept bervariasi pada
setiap individu;
c. Asumsi bahwa koefisien slope konstan, tetapi intercept bervariasi pada
setiap individu dan waktu;
d. Asumsi bahwa semua koefisien (baik slope maupun intercept) bervariasi
pada setiap individu;
e. Asumsi bahwa semua koefisien (baik slope maupun intercept) bervariasi
sepanjang waktu, pada setiap individu.
Beberapa kemungkinan tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak variabel
penjelasnya, semakin kompleks estimasi parameternya sehingga diperlukan
beberapa metode untuk melakukan estimasi parameternya.
Terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam mengestimasi
parameter model data panel, yaitu: 1) Pendekatan OLS biasa (Pooled Least Square
atau Common Effect); 2) Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Method); dan 3)
Pendekatan Efek Acak (Random Effect Method).
a. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) atau Common Effect
Pendekatan ini menggabungkan data cross-section dengan data time
series (pool data), kemudian data gabungan ini diperlakukan sebagai suatu
kesatuan pengamatan untuk mengestimasi model. Sehingga, metodeini dapat
pula disebut sebagai model OLS biasa karena menggunakan kuadrat terkecil,
38
atau dikenal dengan estimasi Common Effect.Akan tetapi, dengan
menggunakan metode ini tidak dapat melihat perbedaan baik antar individu
maupun antar waktu, atau dengan kata lain dalam pendekatan ini tidak
memperhatikan dimensi individu maupun waktu. Diasumsikan bahwa
perilaku data antar individu (negara) sama dalam berbagai kurun waktu
(Munandar, 2017).
b. Pendekatan Fixed Effect Model (FEM)
Regresi data panel memungkinkan untuk dapat mengetahui intercept
masing-masing individu karena adanya perubahan keadaan pada masing-
masing individu, model ini dikenal dengan model regresi Fixed Effect Method
(Model Efek Tetap) (Suliyanto, 2010). Struktur model Fixed Effect
merupakan model yang memperhatikan adanya keberagaman dari variabel
independen menurut individu. Jika menggunakan asumsi slope konstan tetapi
intercept bervariasi antarindividu, maka variasi terletak pada individu yang
faktor waktunya diabaikan sehingga model regresi yang digunakan adalah
model regresi variabel dummy(unit cross sectional). Lalu, jika menggunakan
asumsi slope konstan tetapi intercept bervariasi antarwaktu, maka variasi
terletak pada waktu dan variasi individu diabaikan (Setiawan dan Kusrini,
2010).
Menurut Winarno (2015), keuntungan metode efek tetap ini adalah
dapat membedakan efek individual dan efek waktu dan tidak perlu
mengasumsikan bahwa komponen error tidak berkorelasi dengan variabel
bebas yang mungkin sulit dipenuhi. Kelemahan metode efek tetap ini adalah
ketidaksesuaiaan model dengan keadaan yang sesungguhnya. Kondisi tiap
obyek saling berbeda, bahkan satu obyek pada suatu waktu akan sangat
berbeda dengan kondisi obyek tersebut pada waktu yang lain.
c. Pendekatan Random Effect Model (REM)
Keputusan untuk memasukan variabel berbeda dalam model efek
tetap (fixed effect) tidak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan
konsekuensi (trade off). Penambahan variabel boneka (dummy) ini akan dapat
39
mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada
akhirnya dapat menghalangi untuk mengetahui model aslinya (Setiawan dan
Kusrini, 2010). Model panel data yang didalamnya melibatkan korelasi antar
error term karena berubahnya waktu karena berbedanya observasi dapat
diatasi dengan pendekatan model komponen error (error component model)
atau disebut juga Model Efek Acak (Random Effect Method).Menurut
Winarno, metode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metode efek
tetap yang menggunakan variabel semu, sehingga model mengalami
ketidakpastian. Tanpa menggunakan variabel semu, metode efek
menggunakan residual, yang diduga memiliki hubungan antar waktu dan antar
obyek. Syarat untuk menganalisis efek random yaitu obyek data silang harus
lebih besar dari pada banyaknya koefisien (Winarno, 2015).
Menurut, Nachrowi (dalam Munandar, 2017), pemilihan metode
Fixed Effect atau metode Random Effect dapat dilakukan dengan
pertimbangan tujuan analisis, atau ada pula kemungkinan data yang
digunakan sebagai dasar pembuatan model hanya dapat diolah oleh salah satu
metode saja akibat berbagai persoalan teknis matematis yang melandasi
perhitungan. Selain itu, menurut beberapa ahli Ekonometri dikatakan bahwa,
jika data panel yang dimiliki mempunyai jumlah waktu (t) lebih besar
dibandingkan jumlah individu (i), maka disarankan menggunakan metode
Fixed Effect. Sedangkan jika data panel yang dimiliki mempunyai jumlah
waktu (t) lebih kecil dibandingkan jumlah individu (i), maka disarankan
menggunakan metode Random Effect (Munandar, 2017).
4. Pemilihan Model Data Panel
Ada dua tahap dalam memilih model data panel. Pertama, harus
membandingkan model PLS dengan model FEM terlebih dahulu. Kemudian
dilakukan uji F-test. Jika hasil menunjukan model PLS yang diterima, maka model
PLS yang akan dianalisa. Tapi jika model FEM yang diterima, maka tahap kedua
dijalankan, yakni melakukan perbandingan lagi dengan model REM. Setelah itu
dilakukan pengujian untuk menentukan metode apa yang akan dipakai, apakah
FEM atau REM.
40
a. Uji Chow
Uji ini dilakukan dengan penambahan variabel dummy sehingga
dapat diketahui bahwa intersepnya berbeda dapat diuji dengan uji F-
statistik. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data
panel dengan metode Fixed Effect lebih baik dari regresi model data panel
tanpa variabel dummy atau metode Common Effect (Munandar, 2017).
Untuk mengujinya dapat digunakan restricted F-test, dengan hipotesis
pada uji ini adalah bahwa intersep sama, atau dengan kata lain model yang
tepat untuk regresi data panel adalah Common Effect, dan hipotesis
alternatifnya adalah intersep tidak sama atau model yang tepat untuk
regresi data panel adalah Fixed Effectsebagai berikut:
H0: Model PLS/Common Effect
H1: Model Fixed Effect
Jika nilai probabilitas (P-Value) lebih kecil dari tingkat signifikansi
α= 5% maka menolak 𝐻0, artinya model panel yang baik untuk digunakan
Fixed Effect Model, dan sebaliknya jika 𝐻0 diterima, berarti model
PLS/Common Effect yang dipakai dan dianalisis. Namun, jika 𝐻0 ditolak,
maka model FEM harus diuji kembali untuk memilih apakah akan
memakai model FEM atau REM.
b. Uji Hausman
Uji Hausman ini didasarkan pada ide bahwa Least Squares Dummy
Variabels (LSDV) dalam metode Fixed Effect dan Generalized Least
Squares (GLS) dalam metode Random Effect adalah efisien sedangkan
OLS dalam metode Common Effect tidak efisien. Dilain pihak,
alternatifnya adalah metode OLS efisien dan GLS tidak efisien. Karena
itu, uji hipotesis nol-nya adalah hasil estimasi keduanya tidak berbeda
sehingga uji Hausman bisa dilakukan berdasarkan perbedaan estimasi
tersebut (Munandar, 2017). Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis
sebagai berikut:
41
H0 : Model Random Effect
H1 :Model Fixed Effect
Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi-Squares
dengan derajat kebebasan (df) sebesar jumlah variabel bebas. Hipotesis
nol-nya adalah bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah
model Random Effect dan hipotesis alternatifnya adalah model yang tepat
untuk regresi data panel adalah model Fixed Effect. Apabila nilai statistik
Hausman lebih besar dari nilai kritis Chi-Squares maka hipotesis nol
ditolak yang artinya model yang tepat untuk regresi data panel adalah
model Fixed Effect. Dan sebaliknya, apabila nilai statistik Hausman lebih
kecil dari nilai kritis Chi-Squares maka hipotesis nol diterima yang artinya
model yang tepat untuk regresi data panel adalah model Random Effect.
5. Model Empiris
Model persamaan yang akan diestimasi pada penelitian ini sebagai berikut:
Yit = β0 + β1 Xit + β2 Xit + ℇit
Di mana:
Yit : Korupsi di negara i pada periode t
Xit : Variabel Daya Saing Nasional dan Ketimpangan Gender di
enam negara yang diteliti pada periode 2010-2017
β0 : Intercept/konstanta
β1 –β2 : Koefisien regresi
ℇit : Error term
Setelah model penelitian diestimasi, maka akan diperoleh nilai
dan besaran dari masing-masing parameter dalam model persamaan di
atas. Nilai parameter positif atau negatif selanjutnya akan digunakan
untuk menguji hipotesis penelitian.
42
E. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini ialah uji normalitas,
uji multikolinearitas, dan uji heterokedastisitas.
1. Uji Normalitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu atau residual memiliki distribusi yang normal. Metode yang
digunakan salah satunya dengan Uji Jarque-Bera yaitu mana mengukur apakah
skewness dan kurtosis sampel sesuai dengan distribusi normal. Keputusan
terdistribusi normal atau tidaknya residual secara sederhana dapat dengan
membandingkan nilai probabilitas Jarque-Bera dengan tingkat alpha (α). Jika
nilai probabilitas Jarque-Bera lebih dari tingkat alpha (α), maka data
terdistribusi normal, dan sebaliknya.
2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan
atau korelasi di antara variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya
tidak terjadi kolerasi di antara variabel independen. Mengetahui ada atau
tidaknya multikolinieritas di dalam model regresi dapat dilihat dengan tabel
korelasi yang menunjukkan hasil analisis interkorelasi antar variabel bebas
melalui Uji Pearson. Jika hasil kurang dari 0,8 maka tidak ada gejala
multikolinearitas antar variabel penelitian, dan sebaliknya.
3. Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam suatu
model regresi terdapat persamaan atau perbedaan varians dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual satu
pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika
berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah
homokedastisitas. Mengetahui ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat
dilihat salah satunya menggunakan Uji Glejser. Uji ini dilakukan dengan
membandingkan nilai signifikansi dengan taraf signifikansi. Jika nilai
43
signifikansi lebih besar dari taraf signifikansi, maka tidak terjadi masalah
heterokedastisitas, dan sebaliknya.
F. Uji Hipotesis
Uji hipotesis ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan fungsi regresi
sampel dalam menaksir nilai aktual (dapat diukur dari goodness of fit suatu model
persamaan regresinya). Menurut Munandar (2017), pengukuran goodness of fit
tersebut dapat dilakukan melalui nilai statistik t, nilai statistik F, dan koefisien
determinasi(R2).
1. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t-statistik)
Uji t dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara parsial
mempengaruhi variabel dependen. Uji t dilakukan dengan membandingkan
probabilitas variabel dengan taraf signifikansi (α) atau membandingkan nilait-
statistik dengant-tabeldengan ketentuan:
H0 : β0 = β1=β2= 0, artinya tidak ada pengaruh dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen secara
parsial (individu).
H1 : β0 ≠ β1 ≠ β1 ≠ 0, artinya ada pengaruh dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial
(individu).
Dalam pengujian ini dilakukan dengan uji 2 isi (two tail test) dengan tingkat
kepercayaan 95% atau taraf signifikan α = 5% dan tingkat kepercayaan 90% atau
taraf signifikan α = 10% dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
a. Jika t-hitung > t-tabel, maka H1 diterima dan H0 ditolak berarti ada
pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel
independenterhadap variabel dependen secara parsial (individu).
44
b. Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak berarti tidak ada
pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel
independenterhadap variabel dependen secara parsial (individu).
2. Uji Signifikansi Parameter Simultan (Uji F-statistik)
Uji F digunakan untuk menguji secara statistik apakah koefisien regresi dari
variabel independen secara simultanmempengaruhi variabel dependen dengan
membandingkan probabilitas F-statistik dengan taraf signifikansi (α) atau
membandingkanF-statistikdengan F-tabel, dengan ketentuan:
H0 : β0 = β1 = β2 = 0, artinya tidak ada pengaruh dari variabel independen
terhadap variabel dependen secara simultan
(bersama-sama).
H1 : β0 ≠ β1 ≠ β1 ≠ 0, artinya ada pengaruh dari variabel independen terhadap
variabel dependen secara simultan (bersama-sama).
Dalam pengujian ini dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% atau taraf
signifikan α = 5% dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
a. Jika F-hitung > F-tabel, maka H1 diterima dan H0 ditolak berarti ada
pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel
independenterhadap variabel dependen secara simultan (bersama-sama).
b. Jika F-hitung <F-tabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak berarti tidak ada
pengaruh yang signifikan dari variabel independen terhadap variabel
dependen secara simultan (bersama-sama).
3. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi,
yaitu mengukur seberapa besar kemampuan model (regressor/variabel X) untuk
menerangkan variasi regresan (Y atau variabel dependen). Nilai koefisien
determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil mendekati 0 berarti
kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel
45
dependen amat terbatas, sedangkan apabila nilai R2 mendekati 1 berarti variabel-
variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variabel-variabel dependen (Munandar, 2017)
G. Operasional Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2011), variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat
atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.
Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel dependen (terikat) dan
variabel independen (bebas). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian
ini ialah Korupsi, data yang digunakan berupa Indeks Persepsi Korupsi (Corruption
Perception Index) setiap tahunnya dari negara-negara sampel pada tahun 2010-
2017 dengan satuan indeks. Adapun variabel-variabel independen yang digunakan
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi, yaitu:
1. Daya Saing Nasional, data yang digunakan adalah Indeks Daya Saing
(Competitiveness Index) setiap tahunnya dari negara-negara sampel pada
tahun 2010-2017 dengan satuan indeks.
2. Ketimpangan Gender, data yang digunakan adalah Indeks Ketimpangan
Gender (Gender Inequality Index) setiap tahunnya dari negara-negara sampel
pada tahun 2010-2017 dengan satuan indeks.
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Satuan
Korupsi Tingkat korupsi di suatu negara salah satunya dapat
diukur dengan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption
Perception Index) dengan skala 1–100; di mana
semakin mendekati angka 100 maka tingkat korupsi di
Indeks
46
negara tersebut semakin kecil (sangat bersih), dan
sebaliknya. Indeks Persepsi Korupsi memeringkat
negara-negara menurut tingkat korupsi sektor publik
yang dirasakan. Indeks ini mengacu pada penilaian
yang berbeda dan survei opini bisnis yang dilakukan
oleh lembaga independen dan terkemuka. Survei dan
penilaian yang digunakan untuk menyusun indeks
mencakup pertanyaan yang berkaitan dengan
penyuapan pejabat publik, suap dalam pengadaan
publik, penggelapan dana publik, dan pertanyaan yang
menyelidiki kekuatan dan efektivitas upaya anti
korupsi sektor publik.
Daya Saing
Nasional
Daya saing nasional di suatu negara dapat diukur
dengan Indeks Daya Saing (Competitiveness Index)
dengan skala 1–7; di mana semakin mendekati angka
7 maka daya saing nasional di negara tersebut semakin
tinggi (sangat kompetitif), dan sebaliknya. Ada total
114 indikator dalam indeks ini, berasal dari kombinasi
data organisasi internasional serta dari Survei Opini
Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (World Economic
Forum). Indeks ini terdiri atas 12 pilar dengan masing-
masing pilar memiliki subindeks yang
menggambarkan tingkat dan kompleksitas dari
pendorong produktivitas dan ekosistem daya saing.
Dua belas pilar ini yaitu: 1) Institusi; 2) Infrastruktur;
3) Lingkungan makroekonomi; 4) Kesehatan dan
pendidikan dasar; 5) Pendidikan tinggi dan pelatihan;
6) Efisiensi pasar barang; 7) Efisiensi pasar tenaga
kerja; 8) Perkembangan pasar uang; 9) Kesiapan
teknologi; 10) Ukuran pasar; 11) Kemampuan bisnis;
dan 12) Inovasi.
Indeks
47
Ketimpangan
Gender
Ketimpangan gender di suatu negara dapat diukur
dengan Indeks Ketimpangan Gender(Gender
Inequality Index) dengan skala 0-1; di mana semakin
mendekati angka 1maka semakin tinggi disparitas
(ketidaksetaraan) antara perempuan dan laki-laki dan
semakin banyak kekurangan dalam pembangunan
manusia, dan sebaliknya.Indeks Ketimpangan
Gendermenyajikan ukuran gabungan ketidaksetaraan
gender menggunakan tiga dimensi: kesehatan;
pemberdayaan (edukasi); dan status ekonomi
(respresentasi politik dan ketenagakerjaan). Indikator
kesehatan adalah rasio kematian ibu dan tingkat
kelahiran pada remaja. Indikator pemberdayaan adalah
bagian dari kursi parlemen yang diduduki oleh
perempuan dan bagian penduduk dengan setidaknya
pendidikan menengah berdasarkan gender. Indikator
pasar tenaga kerja adalah partisipasi dalam angkatan
kerja berdasarkan gender.
Indeks
48
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Gambaran Umum Indonesia
Indonesia merupakan negara berbentuk Republik yang tergabung dalam
ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sebagai organisasi kerjasama
internasional di Asia Tenggara. Indonesia dilintasi garis khatulistiwa dengan posisi
terletak pada koordinat 6°LU–11°08'LS dan 95°'BT–141°45'BT, terletak di antara
dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia, serta di antara Samudra Pasifik
dan Samudra Hindia. Indonesia berbatasan darat dengan negara Papua Nugini,
Malaysia, dan Timor Leste. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia
yang terdiri dari 17.504 pulau. Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil
di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dengan luas wilayah 1.922.570 km²
dan luas perairannya 3.257.483 km². Jumlah populasi di Indonesia sekitar
270.054.853 jiwa pada tahun 2018 yang menjadikan Indonesia negara berpenduduk
terbesar keempat di dunia dan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
dengan lebih dari 230 juta jiwa. Negara Indonesia merupakan negara agraris, di
mana kurang lebih 70 % penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani.
Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet.
Kegiatan ekonomi lainnya yaitu perkebunan, pertambangan, perdagangan, dan
industri.PDB Indonesia pada tahun 2017 sekitar US$ 1,016 triliun dengan PDB per
kapita sekitar US$ 3.846.
Korupsi masih menjadi salah satu masalah bagi Indonesia. Berdasarkan
grafik di bawah, diketahui Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index)
Indonesia terus mengalami peningkatan selama kurun waktu delapan tahun
terakhir.
49
Grafik 4.1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2010-2017
Sumber: Transparency International
Indeks pada tahun 2016 dan 2017 ialah sebesar 37, berada pada peringkat 90 dan
96 dari 180 negara. Namun, skor indeks yang rata-rata masih di bawah angka 50 ini
menggambarkan bahwa Indonesia masih tergolong negara yang korup.
Grafik 4.2 Indeks Daya Saing Nasional Indonesia Tahun 2010-2017
Sumber: Global Competitiveness Report, World Economic Forum
Berdasarkan grafik di atas, Indeks Daya Saing Nasional Indonesia terus
mengalami fluktuasi selama delapan tahun terakhir, namun sejak tahun 2015
mengalami sedikit peningkatan. Daya saing nasional Indonesia berada pada
peringkat 37 dari 138 negara pada tahun 2015 dengan skor indeks 4,52 dan namun
tidak merata di berbagai kategori sub-indeks. Indonesia masih menghadapi
2830
32 3234
36 37 37
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Tahun 2010-2017
4,434,38 4,4
4,534,57
4,52 4,52
4,68
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Daya Saing Nasional Indonesia
Tahun 2010-2017
50
tantangan besar di berbagai pilar daya saing nasional, seperti di bidang daya saing
dasar, termasuk infrastruktur (peringkat 62) dan lembaga-lembaga (peringkat 53).
Upaya untuk memberantas korupsi —prioritas pada pemerintahan sebelumnya dan
saat ini— membuahkan hasil, dengan Indonesia meningkatkan hampir semua
tindakan yang berkaitan dengan penyuapan dan etika. Bidang lain yang menjadi
perhatian adalah kesehatan masyarakat (peringkat 96), dengan insiden penyakit
menular dan tingkat kematian bayi yang tertinggi di antara negara di luar sub-
Sahara Afrika. Lalu, kurangnya efisiensi di bidang pasar tenaga kerja merupakan
aspek terlemah dari kinerja daya saing negara (peringkat 115), hasil dari
“kekakuan” dalam penetapan upah dan prosedur perekrutan dan pemberhentian.
Situasi ekonomi makro cukup memuaskan (peringkat 33), karena defisit anggaran
pemerintah sekitar 2 persen dari PDB, tingkat utang yang rendah, dan tingkat
tabungan yang tinggi. Namun, situasi fiskal dapat memburuk, karena penurunan
harga energi menyebabkan penerimaan yang lebih rendah dalam ekspor minyak.
Indonesia pada tahun 2016 peringkat 41 dengan skor indeks tetap di 4,52
dan turun empat peringkat, karena disusul oleh beberapa negara. Meskipun banyak
reformasi pada lingkungan bisnis, kinerja Indonesia tetap menjadi salah satu yang
kontras: Indonesia menempati peringkat 10 untuk ukuran pasar (market size), ke-
30 dalam pilar lingkungan ekonomi makro, dan ke-31 untuk inovasi. Berkinerja
baik dalam hal perkembangan pasar keuangan (42, naik tujuh peringkat). Tetapi,
Indonesia menempati peringkat ke-100 dalam pilar kesehatan, ke-36 dalam
pendidikan dasar (turun 20 peringkat), dan ke-108 di pilar pasar tenaga kerja (naik
tujuh peringkat) sebagai akibat dari berbagai “kekakuan”, biaya redundansi yang
terlalu tinggi yang nilainya setara dengan lebih dari setahun gaji, dan rendahnya
tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan. Indonesia juga menempati peringkat
91 dalam pilar kesiapan teknologi (turun enam peringkat) karena penetrasi
teknologi, informasi, dan komunikasi yang masih rendah —hanya seperlima dari
populasi yang menggunakan internet dan hanya ada satu koneksi broadband untuk
setiap 100 orang—. Namun, penyerapan teknologi oleh perusahaan lebih meluas
dan meningkat (peringkat 53).
51
Daya saing nasional Indonesia tahun 2017 dengan skor 4,68 dan peringkat
36 dari 138 negara, naik lima peringkat sejak tahun 2016. Indonesia telah
meningkatkan kinerjanya di semua pilar daya saing nasional. Meningkatnya
peringkat daya saing tahun 2017 ini didorong terutama oleh ukuran pasar (market
size) yang besar (peringkat 9) dan lingkungan ekonomi makro yang relatif kuat
(peringkat 26). Peringkat ke-31 dan ke-32 dalam inovasi dan kemampuan bisnis,
Indonesia adalah salah satu inovator teratas di antara negara-negara berkembang.
Sebaliknya, negara ini tertinggal jauh di belakang dalam hal kesiapan teknologi
(peringkat 80) meskipun telah membuat kemajuan yang mantap di bidang ini
selama dekade terakhir. Kemajuan yang signifikan juga diperlukan dalam pilar
efisiensi pasar tenaga kerja (peringkat 96), yang diakibatkan oleh biaya redundansi
yang berlebihan, fleksibilitas terbatas dalam penentuan upah, dan representasi
perempuan dalam angkatan kerja yang terbatas.
Grafik 4.3 Indeks Ketimpangan Gender Indonesia Tahun 2010-2017
Sumber: Human Development Report, United Nations Development Programme (UNDP)
Ketimpangan gender adalah salah satu tantangan di Indonesia. Dukungan
dan tujuan pemerintah terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan gender belum
sepenuhnya diaplikasikan ke dalam inisiatif kebijakan untuk mengatasi masalah
ketimpangan gender di Indonesia. Berdasarkan grafik di atas, Indeks Ketimpangan
Gender Indonesia terus mengalami penurunan selama delapan tahun terakhir, yang
artinya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan terus berkurang. Tahun 2017,
Indeks Ketimpangan Gender Indonesia berada di peringkat 104 dengan skor 0,453
0,508 0,505
0,4940,5
0,494
0,4670,462
0,453
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Ketimpangan Gender Indonesia
Tahun 2010-2017
52
dari 160 negara. Namun, angka ini masih cukup tinggi untuk menggambarkan
ketimpangan gender di Indonesia. Perkembangan ekonomi Indonesia yang cukup
pesat telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi
terbesar di ASEAN, tetapi hal itu belum sejalan dengan ketimpangan gender yang
masih cukup tinggi, yaitu dalam partisipasi ekonomi, pemberdayaan politik, dan
pendidikan. Meskipun ekonomi telah membaik dalam sepuluh tahun terakhir,
namun permasalahan ketimpangan gender masih perlu perhatian serius.
Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) terbaru
yang dirilis oleh United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan
bahwa Indonesia masih harus berjuang untuk mengurangi ketimpangan gender.
Pada dasarnya, ketimpangan gender di Indonesia terkait dengan norma sosial,
perbedaan tingkat pendidikan, kurangnya akses ke layanan umum dan layanan
keuangan, serta faktor budaya. Struktur ekonomi dan struktur politik (di Indonesia)
masih didominasi oleh laki-laki. Mengubahnya berkaitan dengan mengubah
persepsi. Jika kesetaraan gender dapat tercapai, maka diharapkan Indeks
Pembangunan Manusia seluruh negara akan naik. Rata-rata skor Indeks
Ketimpangan Gender yang masih berada di angka 0,4 menggambarkan bahwa
ketimpangan gender di Indonesia masih cukup tinggi.
2. Gambaran Umum Malaysia
Malaysia adalah sebuah negara Federal di Asia Tenggara yang tergabung
dalam ASEAN, terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah federal dengan
luas wilayah 329.847 km². Negara ini terpisah menjadi dua kawasan oleh Laut
Tiongkok Selatan yaitu Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Di Malaysia Barat,
Malaysia berbatasan darat dengan Thailand, Selat Malaka, Laut Tiongkok Selatan,
dan Singapura yang dipisahkan oleh Selat Johor. Di Malaysia Timur, Malaysia
berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan, Brunei Darussalam, dan Indonesia.
Jumlah penduduk negara ini sekitar 31,6 juta jiwa pada tahun 2017. Kegiatan
ekonomi utama negara Malaysia terdiri dari pertanian, perkebunan, pertambangan,
perdagangan, dan industri. Beberapa industri penting Malaysia diantaranya seperti
pengolah minyak sawit dan karet, perminyakan dan gas bumi, farmasi, dan produk-
produk elektronika. Ekonomi negara Malaysia bergantung pada ekspor bahan
53
mentah, khususnya minyak bumi, karet, kelapa sawit, dan kayu.PDB Malaysia pada
tahun 2017 sekitar US$ 314,5 miliar dengan PDB per kapita sekitar US$ 9.944.
Grafik 4.4 Indeks Persepsi Korupsi Malaysia Tahun 2010-2017
Sumber: Transparency International
Tingkat korupsi juga masih menjadi salah satu tantangan bagi Malaysia.
Berdasarkan grafik di atas, diketahui Indeks Persepsi Korupsi (Corruption
Perception Index) Malaysia terus mengalami sedikit fluktuasi selama kurun waktu
delapan tahun terakhir namun dengan rata-rata indeks di atas 40. Indeks pada tahun
2016 dan 2017 mengalami penurunan yaitu dengan skor 49 dan 47, berada pada
peringkat 55 dan 62 dari 180 negara. Skor indeks yang rata-rata masih di bawah
angka 50 ini menggambarkan bahwa Malaysia juga masih tergolong negara yang
cukup korup.
Berdasarkan grafik di bawah, daya saing nasional Malaysia berada pada
peringkat 18 tahun 2015 dengan skor 5,23 menjadikan posisinya di antara 20
ekonomi paling kompetitif di dunia dan menempati peringkat tertinggi di antara
negara-negara berkembang di Asia. Malaysia memiliki peringkat 50 besar di
masing-masing 12 pilar, memiliki kinerja paling kuat dalam efisiensi pasar barang
(peringkat 6) dan perkembangan pasar keuangan (peringkat 9, meskipun turun lima
peringkat tahun ini). Malaysia memiliki peningkatan di sebagian besar pilar, namun
kesiapan teknologi (peringkat 47) yang merupakan fitur terlemahnya. Pencapaian
dalam stabilitas ekonomi makro (peringkat 35) yang merupakan hasil dari
44 43
49 50 52 50 49 47
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Persepsi Korupsi Malaysia
Tahun 2010-2017
54
pengurangan defisit anggaran (3,7 persen dari PDB), terendah dalam enam tahun,
meskipun Malaysia belum berhasil menyeimbangkan anggarannya dalam hampir
20 tahun. Di tengah pencapaian umum yang baik, masih ada area spesifik yang
perlu perbaikan, termasuk di dalamnya rendahnya tingkat partisipasi perempuan
dalam angkatan kerja. Rasio ini —59 wanita untuk setiap 100 pria— adalah salah
satu yang terendah (peringkat 118) di luar negara-negara Arab.
Grafik 4.5 Indeks Daya Saing Nasional Malaysia Tahun 2010-2017
Sumber: Global Competitiveness Report, World Economic Forum
Malaysia memiliki peringkat 25 pada tahun 2016 dengan skor 5,16 dan
peringkat 23 dengan skor 5,17 pada tahun 2017 dari 138 negara terus memimpin di
kawasan Asia Tenggara, meskipun mengalami penurunan peringkat di dua tahun
ini setelah enam tahun peningkatan. Malaysia telah mencapai status pendapatan
menengah (middle-income status), dan untuk mempertahankan pertumbuhan perlu
memberi perhatian yang lebih besar pada bidang daya saing yang lebih kompleks,
di mana masih banyak kekurangan. Infrastruktur digital dan penggunaan teknologi,
informasi, dan komunikasi menunjukkan kemajuan yang signifikan, tetapi masih
harus meningkatkan sisi inovatif jika ingin menghindari jebakan pendapatan
menengah (middle-income trap).
4,88
5,08 5,065,03
5,16
5,23
5,16 5,17
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Daya Saing Nasional Malaysia
Tahun 2010-2017
55
Grafik 4.6 Indeks Ketimpangan Gender Malaysia Tahun 2010-2017
Sumber: Human Development Report, United Nations Development Programme (UNDP)
Berdasarkan grafik di atas, Indeks Ketimpangan Gender di Malaysia sejak
tahun 2015 terus mengalami sedikit demi sedikit penurunan, artinya kesenjangan
antara laki-laki dan perempuan di Malaysia semakin berkurang. Ketimpangan
gender di Malaysia berada di peringkat 62 pada tahun 2017 dari 160 negara, turun
tiga peringkat dari sebelumnya peringkat 59 pada tahun 2015. Lingkungan kerja di
Malaysia tercatat sebagai faktor utama penyebab ketimpangan gender di Malaysia.
Ketidaksetaraan upah adalah kasus utama ketimpangan gender dalam lingkungan
kerja di Malaysia. Berdasarkan Laporan Gaji dan Upah 2016 yang dirilis oleh
Departemen Statistik Malaysia, ketidaksetaraan upah rata-rata di Malaysia adalah
21%, yang artinya karyawan wanita pada dasarnya bekerja tanpa dibayar setiap hari
Jumat dalam seminggu. Selain itu, karyawan pria mendapatkan gaji bulanan rata-
rata RM1721, sedangkan karyawan wanita mendapatkan RM1685. Lalu, laki-laki
mendapatkan kesempatan yang lebih dari perempuan di setiap tingkat pendidikan
dan pekerjaan, meskipun ada lebih banyak siswa perempuan di pendidikan tinggi
dibandingkan dengan laki-laki menurut Indeks Paritas Gender (Gender Parity
Index).
Namun, Malaysia telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi
sumber ketimpangan gender. PBB telah mendaftarkan Malaysia sebagai pemimpin
dalam mendorong perempuan untuk berpartisipasi dalam sains, dan setengah dari
0,2690,286
0,256
0,21 0,209
0,291 0,288 0,287
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Ketimpangan Gender Malaysia
Tahun 2010-2017
56
seluruh peneliti di Malaysia adalah perempuan. Selain itu, pada tahun 2004,
pemerintah berkomitmen untuk mengisi setidaknya 30% peran kunci di sektor
publik dengan perempuan, dan pada tahun 2017, perempuan merupakan 36% dari
tenaga kerja sektor publik. Ditambah, pada tahun 2015, pemerintah
mengamanatkan bahwa setidaknya 30% dari dewan perusahaan besar terdiri dari
perempuan pada tahun 2020, menjadika Malaysia satu-satunya negara di ASEAN
dengan arahan tersebut. Terlepas dari langkah-langkah dorongan untuk mengurangi
ketimpangan gender, perempuan di Malaysia masih menghadapi hambatan.
Tantangan yang terus-menerus dihadapi termasuk sikap tradisional terhadap
perempuan, akses yang terbatas pada layanan keuangan, dan keterampilan yang
tidak memadai untuk pasar tenaga kerja modern.
3. Gambaran Umum Thailand
Thailand adalah sebuah negara monarki konstitusional terletak di Asia
Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Luas wilayah Thailand adalah sebesar
513.120 km2 terletak di antara 5°- 21° LU dan 97°- 106° BT. Thailand berbatasan
dengan Laos dan Kamboja di sebelah Timurnya sedangkan disebelah baratnya
berbatasan dengan Myanmar dan Laut Andaman. Di sebelah Selatan, Thailand
berbatasan dengan Malaysia dan Teluk Siam. Jumlah populasi di negara ini sekitar
69,04 juta jiwa pada tahun 2017. Dua pertiga PDB Thailand adalah berasal dari
ekspor komoditas keluar negeri. Produk-produk yang diekspor oleh Thailand
diantaranya seperti produk otomotif, produk elektronik, komoditas agrikultur, dan
produk-produk pengolahan bahan makanan. PDB Thailand pada tahun 2017 sekitar
US$ 455,2 miliar dengan PDB per kapita sekitar US$ 6.593.
Korupsi masih cukup tinggi di Thailand. Berdasarkan grafik di bawah,
diketahui Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Thailand terus
mengalami fluktuasi selama kurun waktu delapan tahun terakhir dengan rata-rata
indeks di bawah 40.
57
Grafik 4.7 Indeks Persepsi Korupsi Thailand Tahun 2010-2017
Sumber: Transparency International
Indeks pada tahun 2016 dan 2017 mengalami peningkatan yaitu dengan skor
35 dan 37, mengalami kenaikan berada pada peringkat 101 dan 96 dari 180 negara.
Namun, skor indeks yang rata-rata masih di bawah angka 50 ini menggambarkan
bahwa Thailand tergolong negara dengan kegiatan korupsi yang cukup aktif dan
tinggi.
Grafik 4.8 Indeks Daya Saing Nasional Thailand Tahun 2010-2017
Sumber: Global Competitiveness Report, World Economic Forum
Daya saing nasional Thailand cenderung mengalami peningkatan selama
kurun waktu delapan tahun terakhir, di mana pada tahun 2015 berada pada
peringkat 32 dengan skor 4,64. Produktivitas sektor manufaktur dengan
35
34
37
35
38 38
35
37
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Persepsi Korupsi Thailand
Tahun 2010-2017
4,51 4,52 4,524,54
4,664,64 4,64
4,72
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Daya Saing Nasional Thailand
Tahun 2010-2017
58
infrastruktur fisik dan digital yang berkembang baik mempengaruhi produktivitas
secara langsung yang dapat menghubungkan agen-agen ekonomi, mengurangi
biaya transaksi, mengurangi efek jarak dan waktu, memfasilitasi aliran informasi,
dan memfasilitasi integrasi pasar ke dalam rantai nilai global.
Tahun 2016 Thailand turun 2 posisi menjadi peringkat ke 34 dengan skor
tetap yaitu 4,64 dan kemudian naik kembali menjadi peringkat 32 dengan skor 4,72
pada tahun 2017 dari 138 negara. Thailand masih perlu mempertahankan
pertumbuhan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada bidang daya saing
yang lebih kompleks, utamanya infrastruktur digital dan penggunaan teknologi,
informasi, dan komunikasi (TIK), serta menjadi lebih inovatif jika ingin
menghindari jebakan pendapatan menengah (middle-income trap).
Grafik 4.9 Indeks Ketimpangan Gender Thailand Tahun 2010-2017
Sumber: Human Development Report, United Nations Development Programme (UNDP)
Berdasarkan grafik di atas, Indeks Ketimpangan Gender di Thailand
mengalami peningkatan sejak tahun 2015, yang artinya kesenjangan antara laki-laki
dan perempuan juga meningkat. Ketimpangan gender di Thailand berada di
peringkat 93 pada tahun 2017 dari 160 negara, turun 14 peringkat dari sebelumnya
peringkat 79 pada tahun 2015. Dalam hal perlindungan hukum dan suara politik,
Thailand tercatat memiliki tingkat ketimpangan gender yang tinggi. Tantangan
ketimpangan gender di Thailand utamanya berada di faktor kurangnya data
pemilahan jenis kelamin, sikap tradisional dan stereotip yang mendukung
0,3790,382
0,360,364
0,38
0,366
0,378
0,393
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Ketimpangan Gender Thailand
Tahun 2010-2017
59
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan, rendahnya
partisipasi perempuan dalam politik dan posisi pengambilan keputusan,
diskriminasi dan kerentanan perempuan etnis dan pedesaan serta perempuan di
sektor informal, serta perdagangandan eksploitasi.
Selama 2016-2017, meskipun Thailand menuju ke arah yang benar dalam
beberapa indikator utama ekonomi, perempuan terus menghasilkan hanya 77% dari
gaji rata-rata laki-laki ketika melakukan pekerjaan yang sama. Perempuan juga
mewakili hanya 6% dari semua anggota parlemen. Posisi kepemimpinan lainnya
terutama dalam bisnis juga diisi oleh sebagian besar laki-laki dalam jumlah yang
tidak proporsional. Institusi pendidikan tinggi di Thailand memiliki lebih banyak
siswa perempuan daripada siswa laki-laki. Tetapi, statistik ini hanya
menggarisbawahi kurangnya tindak lanjut dalam masyarakat; wanita di Thailand
berpendidikan cukup untuk memimpin dalam bisnis dan politik, namun laki-laki
tetap memegang sebagian besar posisi ini. Meskipun perempuan mendapatkan
mayoritas gelar pendidikan tinggi di Thailand, namun perempuan menghasilkan
lebih sedikit pendapatan dan mewakili mayoritas pekerja di sektor informal.Melalui
pemeriksaan mendalam terhadap data negara, laporan yang sama memperkirakan
bahwa Thailand mengalami 38% kehilangan potensi pengembangan manusia
karena adanya ketimpangan gender.
4. Gambaran Umum Filipina
Filipina adalah sebuah negara republik di Asia Tenggara yang tergabung
dalam ASEAN, berada di sebelah utara Indonesia dan Malaysia. Filipina terdiri atas
7.107 pulau dengan luas total daratan diperkirakan 343.448 km². Negara ini terletak
antara 116° 40' – 126° 34' BT, dan 4° 40' – 21° 10' LU. Sebelah timur Filipina
berbatasan dengan Laut Filipina, sebelah barat dengan Laut Tiongkok Selatan, dan
sebelah selatan dengan Laut Sulawesi. Filipina memiliki garis pantai sepanjang
36.289 km (22.549 mil) yang menjadikannya negara dengan garis pantai terpanjang
kelima di dunia. Jumlah penduduk Filipina berada di urutan ke-12 di dunia dengan
jumlah 108.646.200 jiwa pada tahun 2018. Komoditas pertanian/agrikultur yang
dihasilkan oleh Filipina diantaranya adalah tebu, kelapa, beras, jagung, pisang,
mangga, nenas, daging babi, daging sapi, dan telur. Sedangkan di perindustrian,
60
beberapa produk yang dihasilkan adalah garmen, produk perakitan
elektronik,farmasi, bahan kimia, sepatu, bahan makanan, perminyakan, dan
produk-produk kayu.PDB Filipina pada tahun 2017 sekitar US$ 313,6 miliar
dengan PDB per kapita sekitar US$ 2.988.
Grafik 4.10 Indeks Persepsi Korupsi Filipina Tahun 2010-2017
Sumber: Transparency International
Korupsi masih cukup tinggi dan menjadi salah satu tantangan bagi Filipina.
Berdasarkan grafik di atas, diketahui Indeks Persepsi Korupsi (Corruption
Perception Index) Filipina berfluktuasi selama kurun waktu delapan tahun terakhir
dengan rata-rata indeks di bawah 40. Indeks pada tahun 2016 dan 2017 mengalami
sedikit penurunan yaitu dengan skor 35 dan 34, turun dari peringkat 101 menjadi
peringkat 111 dari 180 negara. Skor indeks rata-rata masih di bawah angka 40 ini
menggambarkan bahwa Filipina tergolong negara dengan aktifitas korupsi tinggi.
Berdasarkan grafik di bawah, daya saing nasional Filipina cenderung
mengalami peningkatan sejak tahun 2010, namun menurun pada tahun 2015 hingga
2017. Filipina memiliki peringkat 57 pada tahun 2016 dengan skor 4,36 kemudian
naik satu peringkat menjadi 56 dengan skor 4,35 pada tahun 2017 dari 138 negara.
Selain memprioritaskan peningkatan inovasi dan kecanggihan, Filipina dapat
memperoleh pencapaian besar dalam daya saing dengan biaya yang relatif lebih
rendah melalui peningkatan kinerja dalam infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
2426
3436
3835 35 34
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Persepsi Korupsi Filipina
Tahun 2010-2017
61
Grafik 4.11 Indeks Daya Saing Nasional Filipina Tahun 2010-2017
Sumber: Global Competitiveness Report, World Economic Forum
Selain itu, mulai tahun 2012 Filipina mengkonseptualisasikan Indeks Daya
Saing Kota/Kota Madya dan mulai mengorganisir Komite Daya Saing Regional di
seluruh negara untuk mengawasi peninjauannnya. Meskipun sudah ada upaya
sebelumnya untuk mengukur daya saing sub-nasional, proyek-proyek itu hanya
mencakup beberapa kota (pilihan konvensional) dan hanya dapat dilakukan sekali
setiap tiga tahun. Proyek-proyek awal ini akhirnya memudar. Tujuan proyek Indeks
Daya Saing Kota/Kota Madya ini adalah untuk mengukur pencapaian semua kota
dan kotamadya (kurang lebih 1.634 kota) setiap tahunnya lalu mengumpulkan
seluruh informasi dan data ini untuk kemudian dapat di analisis sehingga setiap kota
dapat menggunakan data tersebut untuk merencanakan masa depan kota mereka.
Hal ini bertujuan agar daya saing lokal akan mengarah pada pemberian layanan dan
pengembangan ekonomi yang lebih baik di kota-kota dan selanjutnya berpengaruh
pada daya saing nasional.
Indeks Ketimpangan Gender di Filipina mengalami penurunan sejak tahun
2015, artinya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan terus berkurang, di mana
Filipina berada di peringkat 97 dengan skor 0,427 pada tahun 2017 dari 160 negara.
3,96
4,08
4,234,29
4,4 4,394,36 4,35
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Daya Saing Nasional Filipina
Tahun 2010-2017
62
Grafik 4.12 Indeks Ketimpangan Gender Filipina Tahun 2010-2017
Sumber: Human Development Report, United Nations Development Programme (UNDP)
Dalam hal perlindungan hukum dan suara politik, semua negara mencatat
tingkatketimpangan gender yang sangat tinggi, kecuali Filipina. Namun,
lingkungan kerja di Filipina tercatat sebagai faktor utama ketimpangan gender di
Filipina. Perempuan yang bekerja dibayar hanya 76% dari apa yang diperoleh rekan
laki-laki mereka, yang menunjukkan bahwa meskipun ada pertumbuhan dan
perkembangan, masih ada kesenjangan signifikan dalam peluang bagi laki-laki dan
perempuan di Filipina.Perempuan di Filipina dibayar lebih rendah dari laki-laki
untuk melakukan pekerjaan yang sama, menghasilkan 76 sen untuk setiap 1 dolar
yang diperoleh laki-laki. Perempuan juga lebih cenderung bekerja di perusahaan
kecil dan sektor informal, dan dalam pekerjaan dengan upah rendah. Rata-rata skor
Indeks Ketimpangan Gender yang masih berada di angka 0,4 menggambarkan
bahwa ketimpangan gender di Filipina masih cukup tinggi.
5. Gambaran Umum Vietnam
Vietnam atau bernama resmi Republik Sosialis Vietnam adalah negara
paling timur di Semenanjung Indo-China di Asia Tenggara yang tergabung dalam
ASEAN. Vietnam berada diantara 8˚ LU – 24˚ LU dan 102˚ BT – 110˚ BT. Vietnam
yang berada di paling timur semenanjung Indo-china Asia Tenggara ini berbatasan
dengan Republik Rakyat Tiongkok di sebelah utara, Laos di sebelah barat laut,
Kamboja di sebelah barat daya, dan di sebelah timur berhadapan dengan Laut China
0,430,427
0,418
0,406
0,42
0,436
0,428 0,427
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Ketimpangan Gender Filipina
Tahun 2010-2017
63
Selatan. Luas wilayah Vietnam kurang lebih 332.698 km². Bagian Vietnam yang
berbatasan dengan batas-batas internasionalnya seluas 4.639 km dan panjang
pantainya adalah 3.444 km dengan jumlah populasi sekitar 96 juta jiwa pada tahun
2018 menjadikan Vietnam sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah
penduduk terbanyak di dunia, yaitu urutan ke-14 di dunia.Industri-industri
penopang ekonomi Vietnam adalah industri-industri yang berkaitan dengan
pertanian seperti beras, kopi, karet, teh, merica, tebu, pisang, kacang kedelai,
unggas, dan perikanan. Selain industri pertanian atau agrikultur, industri-industri
yang penting bagi perekonomian Vietnam adalah industri pertambangan, batu bara,
baja, garmen, pengolahan makanan, sepatu, semen, ban, pupuk kimia, dan produk
elektronik seperti ponsel.PDB Vietnam pada tahun 2017 sekitar US$ 223,9 miliar
dengan PDB per kapita sekitar US$ 2.343.
Grafik 4.13 Indeks Persepsi Korupsi Vietnam Tahun 2010-2017
Sumber: Transparency International
Korupsi juga masih cukup tinggi dan menjadi salah satu tantangan bagi
Vietnam. Berdasarkan grafik di atas, diketahui Indeks Persepsi Korupsi
(Corruption Perception Index) Vietnam terus mengalami peningkatan selama
kurun waktu delapan tahun terakhir dengan rata-rata indeks di bawah 40. Indeks
pada tahun 2016 dan 2017 mengalami peningkatan yaitu dengan skor 33 dan 35,
naik dari peringkat 113 menjadi peringkat 107 dari 180 negara. Namun, skor indeks
rata-rata masih di bawah angka 40 ini menggambarkan bahwa Vietnam masih
tergolong negara dengan aktifitas korupsi yang tinggi.
2729
31 31 31 3133
35
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Persepsi Korupsi Vietnam
Tahun 2010-2017
64
Grafik 4.14 Indeks Daya Saing Nasional Vietnam Tahun 2010-2017
Sumber: Global Competitiveness Report, World Economic Forum
Berdasarkan grafik di atas, daya saing nasional Vietnam terus mengalami
peningkatan sejak tahun 2012. Vietnam memiliki peringkat 55 dengan skor 4,36
pada tahun 2017 dari 138 negara. Hal ini didukung dengan skor IDI (Inclusive
Development Index) yang jauh lebih baik daripada negara-negara lain dengan PDB
per kapita yang lebih tinggi, ini menunjukkan bahwa Vietnam telah melakukan
peningkatan yang relatif baik untuk membuat proses pertumbuhan menjadi lebih
inklusif. Daya saing nasional Vietnam secara signifikan didorong oleh peningkatan
sub-pilar di bidang ukuran pasar (market size) (peringkat 31). Pertumbuhan negara
diproyeksikan tetap kuat dari ekspor yang kuat. Namun, Vietnam masih harus
melakukan peningkatan signifikan di semua pilar, terutama di pendidikan tinggi
(peringkat 84), karena perusahaan-perusahaan memandang bahwa kurangnya
tenaga kerja yang berpendidikan merupakan hambatan yang signifikan untuk
melakukan bisnis. Selain itu, Vietnam masih perlu memprioritaskan menutup
kesenjangan dalam faktor inovasi dan kecanggihan teknologi. Lalu, untuk
memperoleh pencapaian yang lebih tinggi dalam daya saing nasinal, Vietnam masih
perlu meningkatkan kinerja dalam infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
4,274,24
4,11
4,18
4,23
4,3 4,31
4,36
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Daya Saing Nasional Vietnam
Tahun 2010-2017
65
Grafik 4.15 Indeks Ketimpangan Gender Vietnam Tahun 2010-2017
Sumber: Human Development Report, United Nations Development Programme (UNDP)
Berdasarkan grafik di atas, Indeks Ketimpangan Gender di Vietnam
mengalami penurunan sejak tahun 2015 dengan skor 0,337 dan di peringkat 71
menjadi peringkat 67 dengan skor 0,304 pada tahun 2017 dari 160 negara.
Ketimpangan gender di Vietnam berada dalam bidang ekonomi di mana perspektif
dan prasangka sosial tentang peran perempuan dan laki-laki menyebabkan
diskriminasi gender di pasar tenaga kerja.
Selama periode pengembangan ekonomi yang pesat, Vietnam turut
membuat kemajuan untuk mengurangiketimpangan gender di banyak bidang,
seperti kesehatan dan pendidikan. Masih ada beberapa hambatan terutama bagi
perempuan di Vietnam untuk menikmati akses, partisipasi, dan kemajuan yang
sama dengan laki-laki di pasar tenaga kerja.Selain itu, perempuan menghadapi
tantangan pemisahan secara vertikal. Secara umum, peluang bagi perempuan untuk
mencapai posisi kepemimpinan dan memiliki pengaruh cukup terbatas.Segmentasi
gender dari pasar tenaga kerja juga menghasilkan kesenjangan pendapatan gender
yang melebar di Vietnam. Kesenjangan gender dalam upah bulanan rata-rata
pekerja yang dibayar, setara dengan perempuan bekerja tanpa dibayar selama satu
bulan setiap tahunnya.
0,329
0,305
0,299
0,322
0,308
0,337
0,305 0,304
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Ketimpangan Gender Vietnam
Tahun 2010-2017
66
6. Gambaran Umum Kamboja
Kamboja merupakan sebuah negara berbentuk monarki konstitusional di
Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Kamboja berada diantara 10⁰LU –
14⁰LU dan 102⁰BT – 108⁰BT dan berbatasan dengan Thailand disebelah barat dan
utara, Laos disebelah timur laut, Vietnam di sebelah utara dan tenggara, dan Teluk
Thailand di sebelah selatan. Kamboja bersama dengan Vietnam, Laos, Thailand dan
Myanmar merupakan negara yang berada di semenanjung Indo-China dan dialiri
oleh sungai Mekong yaitu salah satu sungai terpanjang di dunia. Luas wilayah
Kamboja kurang lebih 181.035 km² dengan populasi sekitar 16,01 juta jiwa pada
tahun 2017. Sektor pariwisata, pertanian, perikanan, perhutanan, garmen, tekstil
dan pertambangan batu pertama merupakan tulang punggung perekonomian
Kamboja. PDB Kamboja pada tahun 2017 sekitar US$ 22,16 miliar dengan PDB
per kapita sekitar US$ 1.384.
Grafik 4.16 Indeks Persepsi Korupsi Kamboja Tahun 2010-2017
Sumber: Transparency International
Korupsi menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Kamboja. Berdasarkan
grafik di atas, diketahui Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index)
Kamboja cenderung stagnan selama kurun waktu delapan tahun terakhir dengan
rata-rata indeks di angka 21. Indeks pada tahun 2016 dan 2017 masih tetap yaitu
dengan skor 21, berada di peringkat 156 dan 161 dari 180 negara, menjadikan
21 21
22
20
21 21 21 21
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Persepsi Korupsi Kamboja
Tahun 2010-2017
67
Kamboja salah satu negara dengan kegiatan korupsi yang aktif dan tinggi di Asia
Tenggara.
Grafik 4.17 Indeks Daya Saing Nasional Kamboja Tahun 2010-2017
Sumber: Global Competitiveness Report, World Economic Forum
Berdasarkan grafik di atas, daya saing nasional Kamboja terus berfluktuasi
selama delapan tahun terakhir. Kamboja berada pada peringkat 90 dengan skor 3,94
pada tahun 2015. Secara keseluruhan, sub-pilar pada indikator pelanggan telepon
seluler, di mana Kamboja berada di peringkat 19, merupakan keunggulan
kompetitif negara ini. Kamboja berada di peringkat 89 dengan skor 3,98 pada tahun
2016, naik satu posisi dari tahun lalu. Di antara negara-negara Asia, Kamboja
memiliki peningkatan skor GCI terbesar —dari 3,5 menjadi 4,0— sejak 2007.
Meskipun memiliki rata-rata tren positif, Kamboja masih memiliki banyak
tantangan yang signifikan. Kamboja menempati peringkat lebih dari 50 dari sub-
indeks 12 pilar, dengan setengahnya berada di luar peringkat 100. Kamboja
memiliki kinerja yang tidak terlalu signifikan di tiga dari empat bidang yang
merupakan faktor pendorong utama daya saing, yaitu: Institusi (peringkat 104);
Infrastruktur (peringkat 106); dan Kesehatan dan Pendidikan Dasar (peringkat 103).
Selain itu, Kamboja berada di peringkat 124 dalam pilar Pendidikan Tinggi dan
Pelatihan, kinerja yang paling buruk di seluruh pilar. Diperkirakan pendaftaran
pendidikan menengah hanya sekitar 50 persen. Dengan usia rata-rata 23,8 tahun,
Kamboja adalah rumah bagi salah satu populasi termuda di Asia. Kepastian dalam
3,63
3,85
4,01 4,01
3,893,94
3,983,93
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Daya Saing Nasional Kamboja
Tahun 2010-2017
68
akses ke pendidikan berkualitas untuk seluruh kalangan masih harus menjadi
prioritas kebijakan di Kamboja.
Tahun 2017 Kamboja berada di peringkat 94 dengan skor 3,93 dari 138
negara, di mana turun lima peringkat dibanding tahun sebelumnya. Kamboja masih
perlu memprioritaskan menutup kesenjangan dalam faktor inovasi dan kecanggihan
teknologi. Lalu, untuk memperoleh pencapaian yang lebih tinggi dalam daya saing
nasional, Kamboja juga masih perlu meningkatkan kinerja mereka dalam
infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Grafik 4.18 Indeks Ketimpangan Gender Kamboja Tahun 2010-2017
Sumber: Human Development Report, United Nations Development Programme (UNDP)
Berdasarkan grafik di atas, Indeks Ketimpangan Gender di Kamboja
mengalami penurunan sejak tahun 2013 sempat meningkat namun turun kembali
sejak tahun 2015, artinya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan terus
berkurang, di mana Kamboja berada di peringkat 116 pada tahun 2017 dengan skor
0,473 dari 160 negara, turun 4 peringkat dari sebelumnya peringkat 112 pada tahun
2015. Ada sejumlah ketimpangan gender seperti kesenjangan upah layak,
kesenjangan modal manusia, dan kesenjangan perlindungan sosial.
Meskipun tingkat partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja secara
bertahap meningkat, perempuan masih menghadapi kesenjangan upah. Perempuan
Kamboja mewakili 51 persen dari populasi negara itu, namun kemampuan mereka
untuk berpartisipasi sebagai mitra yang setara dalam kehidupan sosial, politik, dan
0,494
0,5
0,473
0,505
0,477 0,479
0,473 0,473
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Indeks Ketimpangan Gender Kamboja
Tahun 2010-2017
69
ekonomi sangat dibatasi. Norma budaya yang secara tidak adil membangun peran
perempuan sebagai ibu rumah tangga masih tetap kuat di lingkungan masyarakat
Kamboja.Masyarakat Kamboja masih berusaha semakin memperkuat kemitraan
multi-pemangku kepentingan di sektor publik, perusahaan swasta, dan organisasi
masyarakat sipil untuk meningkatkan kesetaraan gender. Rata-rata skor Indeks
Ketimpangan Gender yang masih berada di angka 0,4 menggambarkan bahwa
ketimpangan gender di Kamboja masih cukup tinggi.
B. Temuan Hasil Penelitian
1. Estimasi Model Data Panel
Ada dua tahap dalam memilih model data panel. Pertama, harus
membandingkan model PLS (Common Effect Model) dengan Fixed Effect Model
(FEM) terlebih dahulu. Kemudian dilakukan uji F-test. Jika hasil menunjukan
model PLS yang diterima, maka model PLS yang akan dianalisa. Tapi jika model
FEM yang diterima, maka tahap kedua dijalankan, yakni melakukan perbandingan
lagi dengan Random Effect Model (REM). Setelah itu dilakukan pengujian untuk
menentukan metode apa yang akan dipakai, apakah FEM atau REM. Berikut adalah
hasil estimasi model PLS dan FEM:
Tabel 4.1 Hasil Estimasi Common Effect Model/PLS
Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.
C -39.33689 6.798044 -5.786501 0.0000
DAYASAING? 18.17327 1.190128 15.27001 0.0000
GENDER? -19.35435 5.352106 -3.616212 0.0008
R2 0.920511
Adj. R2 0.916978
F-Stat 260.5587 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
70
Tabel 4.2 Hasil Estimasi Fixed Effect Model
Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.
C -14.64714 13.23769 -1.106473 0.2751
DAYASAING? 16.93655 2.599862 6.514401 0.0000
GENDER? -68.50507 15.17126 -4.515450 0.0001
R2 0.958310
Adj. R2 0.951015
F-Stat 131.3528 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
a. Uji Chow
Untuk mengetahui model data panel yang akan digunakan, terlebih
dahulu dilakukan uji F-restricted atau Uji Chow dengan cara melihat nilai
probabilitas (P-Value) F-statistik dibandingkan dengan tingkat
signifikansi α = 5% atau 0,05. Untuk mengujinya, terlebih dahulu dibuat
hipotesisnya, yaitu:
H0: Model PLS/Common Effect
H1: Fixed EffectModel
Dari hasil pengujian antara model Common Effect dengan Fixed
Effect diperoleh nilai probabilitas F-statistik sebagai berikut:
Tabel 4.3 Uji Chow
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 7.253424 (5,40) 0.0001
Cross-section Chi-square 30.977397 5 0.0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
71
Berdasarkan tabel 4.1 di atas diperoleh F-statistik adalah 7.253424
dengan d.f. (5,40) dan nilai probabilitas F-statistik 0.0001, yang
berartinilai probabilitas F-statistik lebih kecil daripada tingkat signifikansi
α= 5% (0.0001 <0,05). Maka H0ditolak, sehingga model data panel yang
digunakan adalah Model Fixed Effect.
b. Uji Hausman
Selanjutnya, untuk mengetahui model data panel yang akan
digunakan, dilakukan Uji Hausman yaitu mengikuti distribusi statistik
Chi-Square dengan nilai probabilitas (P-Value) Chi square-statistik
dibandingkan dengan tingkat signifikansi α= 5% atau 0,05. Untuk
mengujinya, terlebih dahulu dibuat hipotesisnya, yaitu:
H0 : Random Effect Model
H1 : Fixed Effect Model
Berikut adalah hasil estimasi model REM:
Tabel 4.4 Hasil Estimasi Random Effect Model
Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.
C -25.38571 10.28664 -2.467833 0.0175
DAYASAING? 16.41586 1.844416 8.900303 0.0000
GENDER? -35.11419 8.958335 -3.919723 0.0003
R2 0.759002
Adj. R2 0.748291
F-Stat 70.86190 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
Hasil pengolahan Uji Hausman dengan membandingkan Model
Fixed Effect dan Random Effect adalah sebagai berikut:
72
Tabel 4.5 Uji Hausman
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 7.591212 2 0.0225
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
Berdasarkan hasil uji Hausman pada tabel 4.2 di atas diperoleh
Chi-squarestatistic sebesar 7.591212 dengan d.f. (2) dan nilai probabilitas
0.0225. Dikarenakan probabilitas Chi-squarestatistic lebih kecil daripada
tingkat signifikansi α= 5% (0.0225 <0,05) maka H0ditolak. Dapat
disimpulkan bahwa model data panel terbaik yang dapat digunakan untuk
penelitian ini ialah Fixed Effect Model.
2. Fixed Effect Model (FEM)
Berdasarkan uji Chow dan uji Hausman, model dalam penelitian
ini menggunakan pendekatan efek tetap atau Fixed Effect Model. Hasil
estimasi data panel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.6 Hasil Estimasi Data Panel
Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.
C -14.64714 13.23769 -1.106473 0.2751
DAYASAING? 16.93655 2.599862 6.514401 0.0000**
GENDER? -68.50507 15.17126 -4.515450 0.0001**
R2 0.958310
Adj. R2 0.951015
F-Stat 131.3528 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8 ** Signifikansi pada 0,05 atau α = 5%
73
Dari hasil estimasi model data panel yang telah dilakukan, dapat
dijelaskan dengan persamaan regresi berikut:
KORUPSI= -14,64714 + 16,93655DAYASAING - 68.50507GENDER + ℇ
Di mana:
KORUPSI : Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index)
DAYASAING : Daya Saing Nasional (Competitiveness Index)
GENDER : Ketimpangan Gender (Gender Inequality Index)
ℇ : error term
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan bahwa variabel
daya saing nasional sebesar 16,93655 berarti setiap kenaikan daya saing
nasional sebesar 1 satuan, akan menambah nilai persepsi korupsi sebesar
16,93 satuan (negara semakin bersih dari korupsi). Variabel ketimpangan
gender sebesar -68.50507 artinya setiap kenaikan ketimpangan gender
sebesar 1 satuan (yang menandakan semakin besarnya
kesenjangan/disparitas antara perempuan dan laki-laki), maka akan
menurunkan nilai persepsi korupsi sebesar 68,5 satuan (negara semakin
korupsi), dan sebaliknya.
Nilai probabilitas variabel DAYASAING (Daya Saing Nasional)
sebesar 0,0000, nilai tersebut berada di bawah α= 0,05. Hal ini berarti
variabel daya saing nasional berpengaruh signifikan terhadap persepsi
korupsi. Lalu, variabel ini menunjukkan arah hubungan yang positif
terhadap YKORUPSI (Persepsi Korupsi). Hubungan ini memiliki arti apabila
nilai daya saing nasional naik maka nilai persepsi korupsi akan mengalami
kenaikan yang artinya tingkat persepsi korupsi meningkat (semakin bersih
dari korupsi).
Hasil ini sejalan dengan dengan penelitian Subarna K. Samanta dan
Rajib N. Sanyal (2010), Simona-Roxana Ulman (2014), dan Kostas
Rontos, Maria-Eleni Syrmali, dan Ioannis Vavouras (2015) yang
74
menunjukkan bahwa daya saing nasional berpengaruh positif terhadap
korupsi.
Variabel GENDER (Ketimpangan Gender) memiliki nilai
probabilitas 0,0001, yaitu berada di bawah α= 0,05. Artinya, variabel
ketimpangan gender memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi
korupsi. Berbeda dengan variabel daya saing nasional, variabel
ketimpangan Gender menunjukkan arah hubungan yang negatif terhadap
YKORUPSI (Persepsi Korupsi). Hal ini memiliki arti apabila nilai
ketimpangan gender menurun yaitu menggambarkan semakin rendahnya
ketimpangan/disparitas antara laki-laki dan perempuan, maka nilai
persepsi korupsi akan meningkat (semakin bersih dari korupsi), dan
sebaliknya.
Hasil ini sejalan dengan penelitian Boris Branisa &Maria Ziegler
(2011) dan Aroma Elmina Martha & Dwi Hastuti (2015) yang menyatakan
bahwa adanya ketimpangan gender berpengaruh terhadap korupsi. Kedua
penelitian tersebut menyatakan bahwa kesetaraan gender berpengaruh
positif terhadap upaya pengurangan (pemberantasan) korupsi dan korupsi
lebih tinggi di negara-negara yang menghambat kebebasan perempuan
untuk berpartisipasi dalam aktifitas sosial dan ekonomi (di mana hal ini
menunjukkan ketidaksetaraan gender), maka hasil ini dapat dikatakan
sejalan dengan kedua penelitian tersebut bahwa ketimpangan gender yang
semakin menurun (artinya, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan
semakin kecil) maka persepsi korupsi akan semakin meningkat (semakin
bersih dari korupsi).
75
Tabel 4.7 Interpretasi Fixed Effect Model
Variabel Koefisien Individual Effect Prob.
C -14.64714 0.2751
DAYASAING? 16.93655 0.0000**
GENDER? -68.50507 0.0001**
Individual Effect
_INDONESIA—C 4.869819 -9,777321
_MALAYSIA—C -5.717405 -20,364545
_THAILAND—C -1.323591 -15,970731
_FILIPINA—C 4.335945 -10,311195
_VIETNAM—C -4.848278 -19,495418
_KAMBOJA—C 2.683508 -11,963632
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8 ** Signifikansi pada 0,05 atau α = 5%
Dalam penelitian menggunakan Fixed Effect Model, berdasarkan
tabel di atas dapat diperoleh persamaan model masing-masing negara
sebagai berikut:
a. Model Persamaan Indonesia
YKORUPSI= -9,777321 + 16,93655DAYASAING - 68.50507GENDER + ℇ
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan apabila terjadi
perubahan sebesar 1 satuan pada Daya Saing Nasional dan Ketimpangan
Gender, maka Indonesia mendapat pengaruh individu terhadap Persepsi
Korupsi sebesar 9,777321 atau 9,77 satuan.
b. Model Persamaan Malaysia
YKORUPSI= -20,364545 + 16,93655DAYASAING - 68.50507GENDER + ℇ
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan apabila terjadi
perubahan sebesar 1 satuan pada Daya Saing Nasional dan Ketimpangan
76
Gender, maka Malaysia mendapat pengaruh individu terhadap Persepsi
Korupsi sebesar 20,364545 atau 20,36 satuan.
c. Model Persamaan Thailand
YKORUPSI = -15,970731 + 16,93655DAYASAING - 68.50507GENDER + ℇ
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan apabila terjadi
perubahan sebesar 1 satuan pada Daya Saing Nasional dan Ketimpangan
Gender, maka Thailand mendapat pengaruh individu terhadap Persepsi
Korupsi sebesar 15,970731 atau 15,97 satuan.
d. Model Persamaan Filipina
YKORUPSI =-10,311195 + 16,93655DAYASAING - 68.50507GENDER + ℇ
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan apabila terjadi
perubahan sebesar 1 satuan pada Daya Saing Nasional dan Ketimpangan
Gender, maka Filipina mendapat pengaruh individu terhadap Persepsi
Korupsi sebesar 10,311195 atau 10,31 satuan.
e. Model Persamaan Vietnam
YKORUPSI= -19,495418 + 16,93655DAYASAING - 68.50507GENDER + ℇ
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan apabila terjadi
perubahan sebesar 1 satuan pada Daya Saing Nasional dan Ketimpangan
Gender, maka Vietnam mendapat pengaruh individu terhadap Persepsi
Korupsi sebesar 19,495418 atau 19,49 satuan.
f. Model Persamaan Kamboja
YKORUPSI= -11,963632 + 16,93655DAYASAING - 68.50507GENDER + ℇ
Berdasarkan persamaan di atas, dapat dijelaskan apabila terjadi
perubahan sebesar 1 satuan pada Daya Saing Nasional dan Ketimpangan
Gender, maka Kamboja mendapat pengaruh individu terhadap Persepsi
Korupsi sebesar 11,963632 atau 11,96 satuan.
77
3. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui apakah ada
hubungan atau korelasi di antara variabel independen.
Tabel 4.8 Hasil Uji Multikolinearitas
Daya Saing Nasional Ketimpangan Gender
Daya Saing Nasional 1 -0.62798
Ketimpangan Gender -0.62798 1
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
Berdasarkan tabel di atas, diketahui hasil uji memiliki nilai koefisien
tiap variabel sebesar -0.62798 berada di bawah 0,8 yang artinya antara
variabel daya saing nasional dengan variabel ketimpangan gender dalam
model penelitian tidak memiliki korelasi.
b. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi, data memiliki distribusi yang normal atau tidak. Penelitian ini
menggunakan statistik Jarque Berra (JB). Hasil uji dilakukan dengan
membandingkan nilai prob. JB pada output histogram sebelah kanan
dengan α =5% atau 0,05.
Gambar 4.1 Grafik Hasil Uji Normalitas
0
2
4
6
8
10
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Series: Standardized Residuals
Sample 2010 2017
Observations 48
Mean 1.48e-16
Median 0.166187
Maximum 5.325475
Minimum -3.538248
Std. Dev. 1.741291
Skewness 0.069747
Kurtosis 3.604389
Jarque-Bera 0.769489
Probability 0.680625
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
78
Berdasarkan gambar di atas, hasil menunjukkan bahwa nilai
probabilitas sebesar 0,680625 yang lebih dari α =5% atau 0,05. Artinya,
data dalam penelitian ini memiliki distribusi normal.
c. Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam
suatu model regresi terdapat persamaan atau perbedaan varians dari
residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari
residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut
homokedastissitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Penelitian
ini menggunakan uji glejser dengan membandingkan hasil nilai
probabilitas dengan α =5% atau 0,05.
Tabel 4.9 Hasil Uji Heterokedastisitas
Variabel Koefisien Prob.
C -13.19114 0.2769
Daya Saing Nasional 2.646956 0.3096
Ketimpangan Gender 8.857973 0.4477
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
Berdasarkan hasil uji di atas, diketahui variabel daya saing nasional
dan ketimpangan gender masing-masing memiliki nilai probabilitas lebih
dari α =5% atau 0,05. Maka data dalam penelitian ini tidak terindikasi
adanya heterokedastisitas.
4. Pengujian Hipotesis
a. Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji t)
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel independen
(Daya saing Nasional dan Ketimpangan Gender) berpengaruh secara
parsial terhadap variabel dependen (Persepsi Korupsi), yaitu dengan
79
membandingkan probabilitas variabel dengan taraf signifikansi (α). Uji t-
statistik ini dapat membuktikan hipotesis yang telah dibuat, sebagai
berikut:
4) H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara daya saing nasional
secara parsial terhadap korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand,
Filipina, Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
H1: Ada pengaruh yang signifikan antara daya saing nasional secara
parsial terhadap korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina,
Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
5) H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara ketimpangan gender
secara parsial terhadap korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand,
Filipina, Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
H1: Ada pengaruh yang signifikan antara ketimpangan gender secara
parsial terhadap korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina,
Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
Tabel 4.10 Uji t-statistik
Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.
C -14.64714 13.23769 -1.106473 0.2751
DAYASAING? 16.93655 2.599862 6.514401 0.0000**
GENDER? -68.50507 15.17126 -4.515450 0.0001**
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8 ** Signifikansi pada 0,05 atau α = 5%
Tabel 4.7 di atas menunjukkan nilai probabilitas dari tiap variabel
independen sehingga dapat membuktikan hipotesis sebagai berikut:
1) Variabel DAYASAING (Daya Saing Nasional) memiliki probabilitas
sebesar 0,0000 lebih kecil daripada tingkat signifikansi α = 0,05
(0,0000 < 0,05). Sehingga H0 ditolak, yang artinya terdapat pengaruh
80
yang signifikan antara variabel Daya Saing Nasional terhadap variabel
Korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan
Kamboja periode 2010-2017.
2) Variabel GENDER (Ketimpangan Gender) memiliki probabilitas
sebesar 0,0001 lebih kecil daripada tingkat signifikansi α = 0,05
(0,0001 < 0,05). Sehingga H0 ditolak, yang artinya terdapat pengaruh
yang signifikan antara variabel Ketimpangan Gender terhadap variabel
Korupsi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan
Kamboja periode 2010-2017.
b. Uji Signifikansi Parameter Simultan (Uji F)
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel independen
(Daya saing Nasional dan Ketimpangan Gender) berpengaruh secara
simultan terhadap variabel dependen (Korupsi), yaitu dengan
membandingkan probabilitas F-statistik dengan taraf signifikansi (α). Uji
F-statistik ini dapat membuktikan hipotesis yang telah dibuat, sebagai
berikut:
H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan antara daya saing nasional dan
ketimpangan gender secara simultan terhadap korupsi di Indonesia,
Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
H1: Ada pengaruh yang signifikan antara daya saing nasional dan
ketimpangan gender secara simultan terhadap korupsi di Indonesia,
Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja periode 2010-2017.
Tabel 4.11 Uji F-statistik
F-Stat Prob. (F-statistik)
131.3528 0.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
Tabel 4.8 di atas menunjukkan di mana nilai probabilitas F-statistik
sebesar 0,000000 lebih kecil daripada tingkat signifikansi α = 0,05
81
(0,000000 < 0,05). Sehingga H0 ditolak, yang artinya terdapat pengaruh
yang signifikan antara variabel Daya Saing Nasional dan Ketimpangan
Gender secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel Korupsi di
Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja periode
2010-2017.
c. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Pengujian ini dilakukan untuk mengukur seberapa besar kemampuan
model (regressor/variabel X) untuk menjelaskan variasi regresan (Y atau
variabel dependen).
Tabel 4.12 Uji Koefisien Determinasi (R2)
R2 0.958310
Adj. R2 0.951015
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan Eviews 8
Berdasarkan tabel di atas, diketahui nilai koefisien determinasi (Adj.
R2) sebesar 0,951015 atau 95,1%. Hal ini artinya variabel Korupsi di
Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja pada
periode 2010-2017 dapat dijelaskan oleh variabel Daya Saing Nasional
dan Ketimpangan Gender. Sedangkan sisanya (100% - 95,1% = 4,9%)
variabel Persepsi Korupsi dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti
dalam penelitian ini.
5. Analisis Persepsi Korupsi dengan Variabel Bebas Daya Saing Nasional
dan Ketimpangan Gender
a. Daya Saing Nasional Terhadap Persepsi Korupsi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah persepsi
korupsi dipengaruhi oleh daya saing nasional dan untuk menunjukkan sifat dari
pengaruh ini. Ini berarti bahwa standar hidup, kondisi pasar tenaga kerja dan pasar
keuangan, produktivitas, daya tarik nasional, teknologi, ukuran pasar domestik atau
luar negeri, kemampuan bisnis, dan inovasi yang menggambarkan konsep daya
82
saing nasional mempengaruhi cara mempersepsikan tindakan dan perilaku strategis
insititusi-institusi publik yang diwakili oleh pekerja publiknya.
Lindgreen (2004) mempertimbangkan tiga perspektif korupsi sebagai
berikut: perspektif politik, perspektif ekonomi, dan perspektif antropologis.
Perspektif ekonomi mendukung bahwa ketika suatu negara secara ekonomi
berevolusi, korupsi cenderung berkurang atau rendah (Shleifer dan Vishny, 1993,
sebagaimana dirujuk dalam Lindgreen, 2004). Berdasarkan perspektif ekonomi
lainnya, korupsi dapat merugikan hubungan antara pihak berwenang
(pemerintahan), agen ekonomi, dan individu swasta, mengurangi efisiensi alokasi
dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan ketimpangan pendapatan, menurunkan
kepercayaan pada lembaga-lembaga publik, mengurangi keinginan investor untuk
berinvestasi, dan mendorong budaya pelayanan publik yang buruk (Merwe dan
Harris, 2012 dalam Ulman, 2013).
Pendekatan yang biasa dilakukan dalam berbagai penelitian adalah korupsi
atau persepsi korupsi mempengaruhi pembangunan atau pertumbuhan ekonomi,
dan faktor yang mempengaruhi tindakan korupsi sebagian besar merupakan aspek
sosial-politik. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa salah satu faktor penentu
persepsi negatif atau positif korupsi dalam suatu negara adalah daya saing
nasionalnya. Dalam penelitian ini, variabel daya saing nasional berpengaruh
signifikan terhadap persepsi korupsi. Lalu, variabel ini menunjukkan arah
hubungan yang positif terhadap persepsi korupsi. Hubungan ini memiliki arti
apabila nilai daya saing nasional naik maka nilai persepsi korupsi juga mengalami
kenaikan yang artinya tingkat persepsi korupsi meningkat (semakin bersih dari
korupsi). Hasil ini sejalan dengan dengan penelitian Subarna K. Samanta dan Rajib
N. Sanyal (2010), Simona-Roxana Ulman (2014), dan Kostas Rontos, Maria-Eleni
Syrmali, dan Ioannis Vavouras (2015) yang menunjukkan bahwa daya saing
nasional berpengaruh positif terhadap korupsi.
Hasil ini menyiratkan bahwa fokus kebijakan sebaiknya diletakkan pada
hasil ekonomi (economic outcomes). Ketika hasil ekonomi (economic outcomes)
positif dan memuaskan, persepsi korupsi juga mengalami perubahan dan
konsekuensi negatifnya berkurang. Jadi, perhatian utama seharusnya dipusatkan
83
pada strategi yang mampu meningkatkan dua belas pilar daya saing seperti yang
ditetapkan dalam Laporan Daya Saing Global (Global Competitiveness Report).
Ketika unsur-unsur pokok pilar-pilar ini dianalisis dengan cermat dan ditingkatkan
secara nyata, “citra” negara yang dipersepsikan dapat ditingkatkan, di mana “citra”
ini juga menyiratkan masalah korupsi. Pilar-pilar ini merupakan faktor di mana
daya saing mempengaruhi korupsi. Dalam hal ini, pilar daya saing nasional secara
struktural sebagian besar bersifat jangka panjang, yang sangat mungkin
mempengaruhi tingkat korupsi karena perubahan korupsi yang bersifat lambat.
Namun, harus ditekankan bahwa pilar daya saing nasional tidak independen
satu sama lain. Sebaliknya, cenderung saling memperkuat. Sebagai contoh,
peningkatan sederhana dalam pilar institusi tidak cukup untuk mengurangi persepsi
korupsi, karena faktor-faktor lain seperti lingkungan ekonomi makro, yang
berinteraksi langsung dengan institusi, juga harus ditingkatkan. Dalam artian
sederhana, negara-negara dengan persepsi korupsi cukup tinggi seharusnya tidak
hanya terfokus pada reformasi kelembagaan dan hukum tetapi juga perlu
menempatkan kebijakan melalui sudut pandang ekonomi yaitu dengan
memperbaiki atau meningkatkan kedua belas pilar daya saing nasional secara
bersamaan.Kesimpulannya, standar hidup, kondisi pasar tenaga kerja dan pasar
keuangan, produktivitas, daya tarik nasional, teknologi, ukuran pasar domestik atau
luar negeri, kemampuan bisnis, dan inovasi yang menggambarkan konsep daya
saing nasional merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi langsung
persepsi korupsi di sebuah negara.
b. Ketimpangan Gender Terhadap Persepsi Korupsi
Perilaku dan persepsi korupsi tidak terlepas dari berbagai faktor yang
melibatkan individu manusia itu sendiri, salah satunya ialah dalam konsep
pembangunan manusia. Konsep ini salah satunya membahas mengenai
ketimpangan gender (gender inequality). Konsep ketimpangan gender yaitu
disparitas antara laki-laki dan perempuan dalam aktivitas sosial dan ekonomi, serta
akses sumber daya, dan pengambilan keputusan pada individu, dapat
mempengaruhi perilaku korupsi. Pemenuhan kebutuhan dan akses sumber daya
invididu merupakan konsep dasar ekonomi. Apabila terjadi ketidakadilan antara
84
individu perempuan dan laki-laki dalam mengakses sumber daya, pengambilan
keputusan, dan penerimaan hak-hak, kemungkinan besar dapat memicu terjadinya
perilaku korupsi untuk dapat memenuhi akses sumber daya, keputusan, dan
penerimaan hak-hak, baik dalam tingkat mikro maupun makro.
Dalam penelitian ini, variabel ketimpangan gender memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap persepsi korupsi. Berbeda dengan variabel daya saing nasional,
variabel ketimpangan gender menunjukkan arah hubungan yang negatif terhadap
persepsi korupsi. Hal ini memiliki arti apabila nilai ketimpangan gender menurun,
yaitu menggambarkan semakin rendahnya ketimpangan/disparitas antara laki-laki
dan perempuan, maka nilai persepsi korupsi akan meningkat (semakin bersih dari
korupsi) dan sebaliknya. Hasil ini sejalan dengan penelitian Aroma Elmina Martha
dan Dwi Hastuti (2015) yang menyatakan bahwa ketimpangan gender berpengaruh
terhadap korupsi. Jika penelitian tersebut menyatakan bahwa kesetaraan gender
berpengaruh positif terhadap upaya pengurangan (pemberantasan) korupsi, maka
hasil ini dikatakan sejalan dengan penelitian tersebut bahwa ketimpangan gender
yang semakin menurun (artinya, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan
semakin kecil dan kedua gender semakin setara) maka persepsi korupsi akan
semakin meningkat (semakin bersih dari korupsi atau korupsi semakin berkurang).
Hasil ini menyiratkan bahwa kebijakan pengurangan praktik korupsi juga
sebaiknya diperhatikan dari sisi sosial-ekonomi yang terfokus pada individu
manusia itu sendiri, dalam hal ini kesetaraan gender dalam kegiatan sosial dan
ekonomi. Ketika tiap gender individu dapat memenuhi kebutuhannya melalui akses
sumber daya dan pengambilan keputusan secara adil, hal ini dapat berdampak pada
perilaku korupsi individu yang juga mengalami perubahan ke arah yang positif.
Kesimpulannya, kesehatan, pemberdayaan (edukasi), dan status ekonomi
(respresentasi politik dan ketenagakerjaan) dalam konsep ketimpangan gender
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persepsi korupsi di sebuah
negara.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap data-data Daya Saing
Nasional, Ketimpangan Gender, dan Korupsi di beberapa negara ASEAN
(Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Kamboja) periode 2010-
2017, penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Daya saing nasional berpengaruh signifikan dan menunjukkan arah
hubungan yang positif terhadap persepsi korupsi dengan tingkat
kepercayaan 95% di negara-negara yang diteliti. Hubungan ini memiliki arti
apabila daya saing nasional meningkat maka persepsi korupsi juga akan
mengalami peningkatan (artinya, semakin bersih dari korupsi).
2. Ketimpangan Gender berpengaruh signifikan dan menunjukkan arah
hubungan yang negatif terhadap persepsi korupsi dengan tingkat
kepercayaan 95% di negara-negara yang diteliti. Hubungan ini memiliki arti
apabila nilai ketimpangan gender menurun (artinya, menggambarkan
semakin rendahnya kesenjangan/disparitas antara laki-laki dan perempuan),
maka nilai persepsi korupsi akan meningkat (artinya, semakin bersih dari
korupsi), dan sebaliknya.
3. Daya saing nasional dan ketimpangan gender berpengaruh signifikan secara
bersama-sama atau simultan terhadap persepsi korupsi di negara-negara
yang diteliti. Sehingga, jika terjadi perubahan pada daya saing nasional dan
ketimpangan gender di suatu negara secara bersamaan, maka dapat
mempengaruhi dan mengubah persepsi korupsi di negara tersebut.
86
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah
a) Peningkatan daya saing nasional dapat berpengaruh terhadap
penurunan aktifitas korupsi, sehingga diharapkan Pemerintah dalam
menyusun kebijakan menurunkan tingkat korupsi dapat melalui upaya
mempertahankan dan meningkatkan daya saing nasional, utamanya
dalam setiap pilar daya saing nasional. Di antaranya meningkatkan
fungsi institusi atau lembaga-lembaga publik (pilar 1),
mengembangkan infrastruktur (pilar 2), meningkatkan dan
mempertahankan lingkungan ekonomi makro yang stabil (pilar 3),
mengupayakan peningkatan akses kesehatan dan pendidikan dasar
(pilar 4), mengupayakan peningkatan akses pendidikan tinggi dan
pelatihan (pilar 5), mengupayakan pasar barang yang efisien (pilar 6),
mengupayakan pasar tenaga kerja yang berfungsi dengan baik (pilar 7),
mengembangkan pasar keuangan (pilar 8), meningkatkan penggunaan
teknologi (pilar 9), mengembangkan ukuran pasar domestik atau luar
negeri menjadi lebih besar (pilar 10), meningkatkan kemampuan bisnis
(pilar 11), dan upaya meningkatkan inovasi (pilar 12). Melalui upaya-
upaya untuk meningkatkan ke dua belas pilar daya saing nasional ini,
diharapkan dapat menurunkan aktifitas korupsi.
b) Mengurangi ketimpangan gender dapat berpengaruh terhadap
penurunan aktifitas korupsi, sehingga diharapkan Pemerintah dalam
menyusun kebijakan menurunkan tingkat korupsi dapat melalui upaya
mengurangi ketimpangan gender. Di antaranya melalui peningkatan
tiga indikator yaitu, kesehatan, pemberdayaan (edukasi), dan status
ekonomi (respresentasi politik dan ketenagakerjaan). Indikator
kesehatan adalah melalui pengurangan rasio kematian ibu dan tingkat
kelahiran pada remaja. Indikator pemberdayaan adalah bagian dari
meningkatkan dan mendorong akses untuk representasi kursi parlemen
dan akses pendidikan menengah tanpa diskriminasi gender. Indikator
87
pasar tenaga kerja adalah meningkatkan angka partisipasi angkatan
kerja dan mendorong perusahaan/lembaga/institusi memiliki
lingkungan kerja tanpa adanya diskriminasi gender.
2. Bagi Masyarakat
a) Masyarakat dapat lebih menyadari dan berkontribusi aktif dalam upaya
penurunan kegiatan korupsi melalui partisipasi aktif disetiap bidang
dalam pilar daya saing nasional.
b) Masyarakat dapat lebih menyadari dan berkontribusi aktif dalam upaya
penurunan kegiatan korupsi melalui pengurangan diskriminasi antar
gender dalam kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a) Dapat menggunakan tahun penelitian terbaru agar mendapatkan hasil
penelitian yang sesuai dengan kondisi daya saing nasional,
ketimpangan gender, dan persepsi korupsi terbaru.
b) Dapat menggunakan variabel-variabel lain untuk memperluas
wawasan mengenai daya saing nasional, ketimpangan gender, dan
persepsi korupsi.
c) Dapat menggunakan alat analisis lain, untuk mendapatkan pandangan
dan wawasan lain agar dapat menciptakan inovasi baru dalam upaya
penurunan persepsi korupsi melalui sudut pandang ekonomi. Misal,
dengan menggunakan analisis kausalitas agar mengetahui hubungan
sebab-akibat antar variabel dependen dan variabelindependen atau
menggunakan path analysis.
88
DAFTAR PUSTAKA
Amalino, Arwiyanto Jody. 2016. Kepentingan Indonesia dalam Pemberantasan
Korupsi Melalui APSC (ASEAN Political-Security Community). JOM
FIVIP Volume 3 No. 2 Oktober 2016 Universitas Riau.
ASEAN Blueprint. 2015. ASEAN Political-Security Community Blueprint. Diakses
dari http://www.asean.org/archive/5187-18.pdf;
http://www.asean.org/archive/5187-10.pdf;
http://www.asean.org/archive/5187-19.pdfpada 25 Oktober 2018.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2016. Kajian Awal Ketimpangan Gender. Diunduh
pada 23 Oktober 2018 dari
https://www.researchgate.net/publication/319164939.
Blackburn. K., Bose N., and Haque, M.E., (2005), Public Expenditures,
Bureaucratic Corruption and Economic Development. Economic
Discussion Paper EDP- 0530, The University of Manchester.
Branisa, Boris dan Ziegler, Maria. 2011. Reexamining the Link between Gender and
Corruption: The Role of Social Institutions. Proceedings of the German
Development Economics Conference, Berlin 2011, No. 15, ZBW.
Cavazos-Cepeda R.H., D.C. Lippoldt, dan J. Senft. 2010. Policy Complements to
the Strengthening ofIPRs in Developing Countries (No. 104). OECD
Publishing; 2010.
Dollar, D., R. Fisman, and R. Gatti. (2001). Are women really the ‘fairer’ sex?
Corruption and women in government, Journal of Economic Behavior &
Organization 46, 423-429. The World Bank.
Ermansjah Djaja. 2010. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar
Grafika.
89
Fisher, Brendan dan Robin, Naidoo. 2016. The Geography of Gender Inequality.
Reasearch Article - PLoS ONE.
Ghozali, Imam. 2012. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Yogyakarta.
Jha, Priti dan Niti Nagar. 2015. A Study of Gender Inequality in India. The
International Journal of Indian Psychology Volume 2, Issue 3. Creative
Commons Attribution License.
Kabene, Stefane, Said Baadel, Zahra Jiwani, dan Vanessa Lobo. 2017. Women in
Political Positions and Countries’ Level of Happiness. Journal of
International Women's Studies, 18(4), 209-217.
Lindgreen, Adam. 2004. Corruption and Unethical Behavior: Report on a set of
Danish Guidelines. Journal of Business Ethics, 51, 31-39.
Macerinskiene, Irena & Sakhanova, Gaukhar. 2011. National Economy
Competitiveness of Kazakhstan Republic. Journal of Inzinerine Ekonomika-
Engineering Economics 22 (3), pp. 292-299.
Martha, Aroma Elmina dan Hastuti, Dwi. 2015. Gender dan Korupsi (Pengaruh
Kesetaraan Gender DPRD dalam Pemberantasan Korupsi di Kota
Yogyakarta). Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 4 Vol. 20 Oktober
2013: 580 – 601.
Mauro, Paolo. 1995. Corruption and Growth. The Quarterly Journal of Economics,
Vol. 110, No. 3 (Aug., 1995), pp. 681-712.The MIT Press.
Muladi. 2005. Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Lemhanas RI dan ADEKSI-ADKASI.
Munandar, Aris. 2017. Analisis Regresi Data Panel pada Pertumbuhan Ekonomi di
Negara-negara Asia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Global Masa Kini Vol. 8 No.
01ISSN PRINT: 2089-6018 ISSN ONLINE: 2502-2024.
90
Nawatmi, Sri. 2014. Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah.
3rd Economics & Business Research Festival. FEB Universitas Kristen
Satya Wacana.
OECD. 2014. Factsheet on How Competition Policy Affects Macro-economic
Outcomes. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari
www.oecd.org/daf/competition/2014-competition-factsheet-iv-en.pdf.
Pawitan, Gandhi. 2013. Eksplorasi keterkaitan Semangat Entrepreneurial dan
Indeks Daya Saing Global. Jurnal Administrasi Bisnis (2013), Vol.9, No.2.
Porta, Donatella Della dan Alberto Vannucci. 1999. Corrupt Exchanges: Actors,
Resources, and Mechanisms of Political Corruption. New York: Aldine De
Gruyter.
Prasanti, Tyas Ayu, Triastuti Wuryandari, dan Agus Rusgiyono. 2015. Aplikasi
Regresi Data Panel untuk Pemodelan Tingkat Pengangguran Terbuka
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Gaussian Vol. 4 No. 3
Hal. 687-696 ISSN: 2339-2541.
Quah, Jon S T. 2003. Causes and Consequences of Corruption in Southeast Asia:
A Comparative Analysis of Indonesia, the Philippines and Thailand. Asian
Journal of Public Administration, 25:2, 235-266.
Rahmadeni, & Yonesta, Eka. 2016. Analisis Regresi Data Panel pada Pemodelan
Produksi Panen Kelapa Sawit di Kebun Sawit Plasma Kampung Buatan
Baru. Jurnal Sains Matematika dan Statistika, Vol. 2 No. I ISSN 2460 4542.
Rheinbay, Janna dan Marie Chêne. 2016. Gender and Corruption Topic Guide.
Transparency International.
Rontos, Kostas, Maria-Eleni Syrmali, and Ioannis Vavouras. 2015.
Competitiveness and Corruption: The Case of Greece.
Setiawan, & Kusrini, Dwi Endah. 2010. Ekonometrika. Yogyakarta: ANDI.
91
Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan: Teori & Aplikasi dengan SPSS.
Yogyakarta: ANDI.
Shastri, Andrey. 2014. Gender Inequality and Women Discrimination. IOSR
Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS) Volume 19.
Samanta, Subarna K., & Sanyal, Rajib N. 2010. National Competitiveness and
Perception of Corruption. Advances in Competitiveness Research 18
(1/2), pp. 89-101.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Šumah, Š. 2018. Corruption, Causes and Consequences. Trade and Global Market,
IntechOpen.
Swamy, A., S. Knack, Y. Lee dan O. Azfar. 2001. Gender and Corruption. Journal
of Development Economics 64, 25-55. Elsevier Science B.V.
Tanzi, V. dan Davoodi, H. 1998. Roads to Nowhere: How Corruption in Public
Investment Hurts Growth. International Monetary Fund, Washington DC.
The Global Competitiveness Report 2012-2013.
Tanzi, V. dan Davoodi, H.R. 2000. Corruption, growth, and public finances. IMF
Working Paper 2000 pp. 1-27.
Transparency International. 2003. Corruption Perceptions Index. Diunduh pada 25
Oktober 2018 dari dari www.transparency.org.
Transparency International. 2011. Corruption Perceptions Index. Diunduh pada 25
Oktober 2018 dari dari www.transparency.org.
Transparency International, 2014. Gender, Equality, and Corruption: What Are the
Linkages?. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari www.transparency.org.
Transparency International. 2015. ASEAN Integrity Community: A Vision for
Transparent and Accountable Integration. Diunduh pada 23 Oktober 2018
dari www.transparency.org.
92
Ulman, Simona-Roxana. 2013. Corruption and National Competitiveness in
Different Stages of Country Development. International Economic
Conference of Sibiu 2013 Post Crisis Economy: Challenges and
Opportunities, IECS 2013: Elsevier.
Ulman, Simona-Roxana. 2014. The Impact of the National Competitiveness on the
Perception of Corruption. Journal of Emergent Market Queries in Finance
and Business: Elsevier.
United Nations Development Programme (UNDP). 2018. Human Development
Report 2018. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari www.hdr.undp.org.
United Nations Development Programme (UNDP). 2016. Human Development
Report 2016. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari www.hdr.undp.org.
United Nations Development Programme (UNDP). 2015. Human Development
Report 2015. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari www.hdr.undp.org.
United Nations Development Programme (UNDP). 2014. Human Development
Report 2014. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari www.hdr.undp.org.
United Nations Development Programme (UNDP). 2013. Human Development
Report 2013. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari www.hdr.undp.org.
United Nations Development Programme (UNDP). 2011. Human Development
Report 2011. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari www.hdr.undp.org.
United Nations Development Programme (UNDP). 2010. Human Development
Report 2010. Diunduh pada 23 Oktober 2018 dari www.hdr.undp.org.
Waluyo, Bambang. 2014. Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Jurnal Yuridis Vol. 1 No, 2 ISSN 1693448 Kejaksaan Agung RI.
Widayani, Ni Made Diska dan Hartati, Sri. 2014. Kesetaraan dan Keadilan gender
dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis terhadap Penulis
Perempuan Bali. Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014.
93
Winarno, Wing Wahyu. 2015. Analisis Ekonometrika dan Statistik dengan Eviews
Edisi 4. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
World Bank. 2016. Defining Gender. Diakses pada 23 Oktober 2018 dari
http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTGENDE
R/0,,contentMDK:20193040~pagePK:210058~piPK:210062~theSitePK:
336868,00.html.
World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2017-2018. Diunduh
pada 25 Oktober 2018 dari www.weforum.org/gcr.
World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2016-2017. Diunduh
pada 25 Oktober 2018 dari www.weforum.org/gcr.
World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2015-2016. Diunduh
pada 25 Oktober 2018 dari www.weforum.org/gcr.
World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2014-2015. Diunduh
pada 25 Oktober 2018 dari www.weforum.org/gcr.
World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2013-2014. Diunduh
pada 25 Oktober 2018 dari www.weforum.org/gcr.
World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2012-2013. Diunduh
pada 25 Oktober 2018 dari www.weforum.org/gcr.
World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2011-2012. Diunduh
pada 25 Oktober 2018 dari www.weforum.org/gcr.
World Economic Forum. The Global Competitiveness Report 2010-2011. Diunduh
pada 25 Oktober 2018 dari www.weforum.org/gcr.
94
LAMPIRAN
Lampiran 1: Data Penelitian
Negara Tahun Korupsi
(Corruption Perception Index)
Daya Saing Nasional
(Competitiveness Index)
Ketimpangan Gender
(Gender Inequality Index)
Indonesia
2010 28 4.43 0.508
2011 30 4.38 0.505
2012 32 4.4 0.494
2013 32 4.53 0.5
2014 34 4.57 0.494
2015 36 4.52 0.467
2016 37 4.52 0.462
2017 37 4.68 0.453
Malaysia
2010 44 4.88 0.269
2011 43 5.08 0.286
2012 49 5.06 0.256
2013 50 5.03 0.21
2014 52 5.16 0.209
2015 50 5.23 0.291
2016 49 5.16 0.288
2017 47 5.17 0.287
Thailand
2010 35 4.51 0.379
2011 34 4.52 0.382
2012 37 4.52 0.36
2013 35 4.54 0.364
2014 38 4.66 0.38
2015 38 4.64 0.366
2016 35 4.64 0.378
2017 37 4.72 0.393
Filipina
2010 24 3.96 0.43
2011 26 4.08 0.427
2012 34 4.23 0.418
2013 36 4.29 0.406
2014 38 4.4 0.42
2015 35 4.39 0.436
2016 35 4.36 0.428
2017 34 4.35 0.427
Vietnam
2010 27 4.27 0.329
2011 29 4.24 0.305
2012 31 4.11 0.299
2013 31 4.18 0.322
95
2014 31 4.23 0.308
2015 31 4.3 0.337
2016 33 4.31 0.305
2017 35 4.36 0.304
Kamboja
2010 21 3.63 0.494
2011 21 3.85 0.5
2012 22 4.01 0.473
2013 20 4.01 0.505
2014 21 3.89 0.477
2015 21 3.94 0.479
2016 21 3.98 0.473
2017 21 3.93 0.473
96
Lampiran 2: Hasil Estimasi Model Data Panel
A. Common Effect Model atau Panel Least Square
Dependent Variable: Y Method: Panel Least Squares Date: 02/20/19 Time: 19:27 Sample: 2010 2017 Periods included: 8 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 48
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -39.33689 6.798044 -5.786501 0.0000
DAYA_SAING 18.17327 1.190128 15.27001 0.0000 KETIMPANGAN_GENDER -19.35435 5.352106 -3.616212 0.0008
R-squared 0.920511 Mean dependent var 33.68750 Adjusted R-squared 0.916978 S.D. dependent var 8.528192 S.E. of regression 2.457269 Akaike info criterion 4.696439 Sum squared resid 271.7176 Schwarz criterion 4.813390 Log likelihood -109.7145 Hannan-Quinn criter. 4.740635 F-statistic 260.5587 Durbin-Watson stat 0.858622 Prob(F-statistic) 0.000000
97
B. Fixed Effect Model (FEM)
Dependent Variable: KORUPSI? Method: Pooled Least Squares Date: 03/02/19 Time: 20:14 Sample: 2010 2017 Included observations: 8 Cross-sections included: 6 Total pool (balanced) observations: 48
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -14.64714 13.23769 -1.106473 0.2751
DAYASAING? 16.93655 2.599862 6.514401 0.0000 GENDER? -68.50507 15.17126 -4.515450 0.0001
Fixed Effects (Cross) _INDONESIA—C 4.869819 _MALAYSIA—C -5.717405 _THAILAND—C -1.323591 _FILIPINA—C 4.335945 _VIETNAM—C -4.848278 _KAMBOJA—C 2.683508
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.958310 Mean dependent var 33.68750
Adjusted R-squared 0.951015 S.D. dependent var 8.528192 S.E. of regression 1.887514 Akaike info criterion 4.259410 Sum squared resid 142.5084 Schwarz criterion 4.571277 Log likelihood -94.22585 Hannan-Quinn criter. 4.377265 F-statistic 131.3528 Durbin-Watson stat 1.274790 Prob(F-statistic) 0.000000
98
C. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests Pool: COMMON Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 7.253424 (5,40) 0.0001
Cross-section Chi-square 30.977397 5 0.0000
Cross-section fixed effects test equation: Dependent Variable: KORUPSI? Method: Panel Least Squares Date: 03/04/19 Time: 13:35 Sample: 2010 2017 Included observations: 8 Cross-sections included: 6 Total pool (balanced) observations: 48
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -39.33689 6.798044 -5.786501 0.0000
DAYASAING? 18.17327 1.190128 15.27001 0.0000 GENDER? -19.35435 5.352106 -3.616212 0.0008
R-squared 0.920511 Mean dependent var 33.68750
Adjusted R-squared 0.916978 S.D. dependent var 8.528192 S.E. of regression 2.457269 Akaike info criterion 4.696439 Sum squared resid 271.7176 Schwarz criterion 4.813390 Log likelihood -109.7145 Hannan-Quinn criter. 4.740635 F-statistic 260.5587 Durbin-Watson stat 0.858622 Prob(F-statistic) 0.000000
99
D. Random Effect Model (REM)
Dependent Variable: Y Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/20/19 Time: 19:30 Sample: 2010 2017 Periods included: 8 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 48 Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -25.38571 10.28664 -2.467833 0.0175
DAYA_SAING 16.41586 1.844416 8.900303 0.0000 KETIMPANGAN_GENDER -35.11419 8.958335 -3.919723 0.0003
Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 1.792750 0.4743
Idiosyncratic random 1.887514 0.5257 Weighted Statistics R-squared 0.759002 Mean dependent var 11.75210
Adjusted R-squared 0.748291 S.D. dependent var 3.989077 S.E. of regression 2.001343 Sum squared resid 180.2418 F-statistic 70.86190 Durbin-Watson stat 1.087080 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.904790 Mean dependent var 33.68750
Sum squared resid 325.4564 Durbin-Watson stat 0.602038
100
E. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: COMMON Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 7.591212 2 0.0225
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. DAYASAING? 16.936547 16.415860 3.357415 0.7763
GENDER? -68.505068 -35.114195 149.915344 0.0064
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: KORUPSI? Method: Panel Least Squares Date: 03/04/19 Time: 13:37 Sample: 2010 2017 Included observations: 8 Cross-sections included: 6 Total pool (balanced) observations: 48
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -14.64714 13.23769 -1.106473 0.2751
DAYASAING? 16.93655 2.599862 6.514401 0.0000 GENDER? -68.50507 15.17126 -4.515450 0.0001
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.958310 Mean dependent var 33.68750
Adjusted R-squared 0.951015 S.D. dependent var 8.528192 S.E. of regression 1.887514 Akaike info criterion 4.259410 Sum squared resid 142.5084 Schwarz criterion 4.571277 Log likelihood -94.22585 Hannan-Quinn criter. 4.377265 F-statistic 131.3528 Durbin-Watson stat 1.274790 Prob(F-statistic) 0.000000
101
Lampiran 3: Hasil Uji Asumsi Klasik
A. Hasil Uji Normalitas
0
2
4
6
8
10
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
Series: Standardized Residuals
Sample 2010 2017
Observations 48
Mean 1.48e-16
Median 0.166187
Maximum 5.325475
Minimum -3.538248
Std. Dev. 1.741291
Skewness 0.069747
Kurtosis 3.604389
Jarque-Bera 0.769489
Probability 0.680625
B. Hasil Uji Multikolinearitas
DAYA_SAING KETIMPANGAN_GENDER
DAYA_SAING 1 -0.6279881947981646
KETIMPANGAN_GENDER -0.6279881947981646 1
C. Hasil Uji Heterokedastisitas
Dependent Variable: RESABS Method: Panel Least Squares Date: 03/10/19 Time: 13:42 Sample: 2010 2017 Periods included: 8 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 48 White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
KETIMPANGAN_GENDER 8.857973 11.55186 0.766801 0.4477
DAYA_SAING 2.646956 2.572042 1.029127 0.3096 C -13.19114 11.96640 -1.102348 0.2769 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.264650 Mean dependent var 2.007713 Adjusted R-squared 0.135964 S.D. dependent var 1.675688 S.E. of regression 1.557611 Akaike info criterion 3.875196 Sum squared resid 97.04610 Schwarz criterion 4.187062 Log likelihood -85.00469 Hannan-Quinn criter. 3.993050 F-statistic 2.056553 Durbin-Watson stat 1.492374 Prob(F-statistic) 0.071341