pengangkatan anak tanpa penetapan...

97
PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILAN ( Implementasi PP Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak ) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Muhammad Kasyful Anwar Budi NIM: 11140440000087 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 / 2020

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

18 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN

PENGADILAN

( Implementasi PP Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak )

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhammad Kasyful Anwar Budi

NIM: 11140440000087

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 / 2020

Page 2: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

i

Page 3: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

ii

Page 4: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

iii

Page 5: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

iv

ABSTRAK

Muhammad Kasyful Anwar Budi. NIM 11140440000087.

PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILAN

(Implementasi PP Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, 1441 H/2020 M.

(62 Halaman dan 20 Halaman Lampiran).

Studi ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana praktik

pengangkatan anak yang dilakukan tanpa penetapan pengadilan serta faktor

masyarakarat Desa Bojong melakukan pengangkatan anak tanpa penetapan

pengadilan, mengetahui pemenuhan hak anak angkat terhadap orang tua

angkatnya, dan mengetahui kesadaran masyarakat terhadap Peraturan Pererintah

Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini

menggunakan pendekatan hukum normatif empiris, yaitu untuk mengetahui

bagaimana hukum yang tertulis PP Nomor 54 Tahun 2007 dijalankan dalam

pelaksanaan pengangkatan anak. Teknik pengumpulan data dengan metode riset

kepustakaan dan riset lapangan yang meliputi obeservasi dan wawancara.

Wawancara dilakukan dengan beberapa pihak terkait yaitu masyarakat Desa

Bojong yang mengangkat anak tanpa penetapan pengadilan dan tokoh masyarakat

atau pemerintah setempat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pengangkatan anak yang

dilakukan masyarakat Desa Bojong tidak melalui proses penetapan pengadilan

sehingga akibatnya anak angkat tidak sepenuhnya menerima hak seorang anak

angkat dari orang tua angkatnya karena sebab minimnya pengetahuan masyarakat

tentang peraturan perundang-undangan khususnya dalam pelaksanaan

pengangkatan anak yang tertuang dalam PP Nomor 54 Tahun 2007. Oleh karena

itu implementasi peraturan tersebut belum terpenuhi dan teredukasi sehingga

banyak masyarakat yang belum mengetahui peraturan tersebut.

Kata Kunci : Pengangkatan Anak, Penetapan Pengadilan, PP Nomor

54 Tahun 2007

Pembimbing : Ali Mansur, MA.

Daftar Pustaka : 1977 s.d 2013

.

Page 6: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

v

KATA PENGANTAR

الرحمن الرحيمبسم الله

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Swt, yang

telah memberikan. Atas segala nikmatNya, nikmat kesehatan, kekuatan,

kesempatan dan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan setiap tahapan dalam

skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi

Muhammad Saw yang telah membimbing umatnya untuk menempuh kepada

agama yang diridhai oleh Allah Swt. dan kepada jalan yang benar, guna meraih

kebahagiaan dunia dan akhirat.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program studi Hukum Keluarga Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam

proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari berbagai pihak,

sehingga dapat terselesaikan atas izin Allah Swt. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak

yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MH, MA. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta

Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. Mesraini, M.Ag. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga beserta Sekretaris

Program Studi Hukum Keluarga, Ahmad Chairul Hadi, MA. yang senantiasa

memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan

perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

3. Ali Mansur, MA. Dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan

terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses

penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Azizah, MA. Dosen penasehat akademik penulis, yang telah sabar

mendampingi hingga akhir perkuliahan dan telah membantu penulis dalam

menyusun proposal penelitian skripsi ini.

Page 7: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

vi

5. Seluruh dosen dan sivitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis

selama masa perkuliahan, yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa

mengurangi rasa hormat dan cinta penulis.

6. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Staf Perpustakaan Utama

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan

fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Wahyudin, sekertaris Desa Bojong yang telah bersedia diwawancarai

dan memberikan informasi kepada penulis. Serta Bapak Ahmad, Bapak

Soprin, Ibu Fatmawati, Ibu Ifa Ningsih, Ibu Sumarni yang telah bersedia

untuk diwawancarai dan terbuka memberikan informasi yang dibutuhkan

penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Terima kasih kepada Ibunda Hj. Yayah Khoeriyah dan Ayahanda H. Mad

Budi yang telah memberikan pendidikan terbaik untuk penulis serta telah

banyak mendo‟akan dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan

skripsi ini.

9. Terima kasih kepada Ayah mertua H. Tarmizi Hambali dan Ibu mertua Nurul

Badriyah yang selalu mengingatkan dan memotivasi penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi.

10. Terima kasih kepada Istriku tercinta Ziyaadaturrahmah yang telah

mendo‟akan, membantu, mendorong, mengingatkan dan memotivasi penulis

untuk segera menuntaskan skripsi ini.

11. Muhammad Nadhir Syah dan Muhammad Danish Abqory kedua anak-anakku

dengan keluguan dan tingkah lucu mereka telah menjadi penyemangat

penulis.

12. Nabilah Marwah, Ahmad Mikail, dan ketiga adik-adik penulis yang lain yang

telah menjadi penyemangat penulis.

13. Teman-Teman seperjuangan Hukum Keluarga B 2014 (Hilman Fauzi, Aris

Muzayyin, Arifin, Rifki Akbari, Ahmad Luthfi, dkk) dan Hukum Keluarga

2014 (Fitrah Fanani, Rizki APU, Nida Sri Widiyanti, dkk).

Page 8: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

vii

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca, khususnya

mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 05 Juni 2020

Muhammad Kasyful Anwar Budi

Page 9: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

viii

DAFTAR ISI

PERSERUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................. iii

ABSTRAK ......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

DAFTAR ISI .................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................ 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6

D. Review Kajian Terdahulu .................................................................. 6

E. Metode Penelitian ............................................................................... 8

1. Jenis Penelitian ....................................................................... 8

2. Pendekatan Penelitian ............................................................ 8

3. Teknik Penulisan .................................................................... 9

4. Jenis dan Sumber Data ........................................................... 9

5. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 9

6. Analisis Data ........................................................................ 10

F. Sistematika Pembahasan .................................................................. 11

BAB II TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK TANPA

PENETAPAN PENGADILAN ..................................................... 13

A. Tinjauan Umum Pengangkatan Anak dan Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2007 .................................................................... 13

B. Teori Kepastian dan Kesadaran Hukum Dalam Praktik

Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan .......................... 19

C. Konsep Hak Anak Angkat Yang Diangkat Tanpa Penetapan

Pengadilan ....................................................................................... 20

D. Sejarah Pengangkatan Anak ............................................................ 23

E. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam ...................................... 26

Page 10: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

ix

F. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat ....................................... 29

BAB III PROFIL MASYARAKAT DESA BOJONG, KECAMATAN

KEMANG, KABUPATEN BOGOR ........................................... 33

A. Gambaran Umum dan Letak Geografis Desa Bojong ..................... 33

B. Gambaran Umum Praktik Pengangkatan Anak oleh Masyarakat

Desa Bojong .................................................................................... 34

C. Struktur Masyarakat Desa Bojong .................................................. 36

D. Kondisi Sosial Keagamaan .............................................................. 39

BAB IV ANALISIS PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN

PENGADILAN (IMPLEMENTASI PP NOMOR 54 TAHUN 2007

TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK) ......... 41

A. Praktik Pengangkatan Anak di Desa Bojong ................................... 41

B. Pemenuhan Hak dalam Pengangkatan Anak .................................... 49

C. Eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak ..................................................... 58

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 61

A. Kesimpulan ...................................................................................... 61

B. Rekomendasi .................................................................................... 62

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 64

LAMPIRAN

Page 11: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum yang sering

terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk pengangkatan anak yang terjadi di

Indonesia. Pengangkatan anak bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia

karena hal tersebut sudah membudaya dikalangan masyarakat Indonesia.

Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan

adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah yang bersangkutan. Pengangkatan

anak yang lazimnya merupakan suatu usaha yang dilakukan pasangan suami

istri untuk mendapatkan hak pengasuhan anak, yang biasanya mereka

melakukan pengangkatan anak salah satunya sebagai solusi untuk

menyelematkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga

yang lebih besar karena tujuan berumah tangga adalah memperoleh keturunan

yang baik.

Pengertian pengangkatan anak menurut Arief Gosita adalah “suatu

tindakan pengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlukan sebagai

anak turunannya sendiri, berdasarkan ketentuan – ketentuan yang disepakati

bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang

bersangkutan”1.

Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat

dan menjadi bagian dari sistem hukum keluarga, karena menyangkut

kepentingan orang perorangan dalam keluarga2. Oleh karena itu, lembaga

pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian budaya masyarakat,

akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat

kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri.

1 Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika Presindo,

1985, Cet. Pertama), h., 44. 2 Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:

Kencana, 2008), h., 3.

Page 12: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

2

Dalam rangka menjaga kemurnian nasab, Islam tidak hanya melarang

perzinahan, tetapi juga menolak konsep adopsi (pengangkatan anak) secara

mutlak3, yaitu maksudnya adopsi yang menyebabkan putusnya nasab seorang

anak dengan ayah kandungnya.

Menurut M. Budiarto pengangkatan anak dalam hukum islam hanya

dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan – ketentuan sebagai berikut:

1. Tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan

orangtua kandung dan keluarganya.

2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua

angkatnya, melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya,

demikian juga orang tua angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris

dari anak angkatnya.

3. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara

langsung, kecuali sekedar sebagai alamat atau tanda pengenal diatas.

4. Orang tua angkatnya tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak

angkatnya.4

Tingginya angka perceraian, poligami, dan pengangkatan anak yang

dilakukan masyarakat, bahkan ketidak harmonisan dalam keluarga salah

satunya disebabkan karena belum memiliki keturunan. Jadi, mayoritas

masyarakat beranggapan bahwa tujuan perkawinan menjadi tidak tercapai

karena perkawinan tersebut tidak menghasilkan keturunan. Dengan demikian,

apabila didalam perkawinan telah memiliki keturunan, maka tujuan

perkawinan dianggap telah tercapai dan proses keberlanjutan generasi dapat

berjalan5.

Pengangkatan anak bukan hanya berlaku untuk pasangan suami istri

yang ingin mempunyai anak saja, tetapi orang tua tunggal (single parent) pun

berhak melakukan pengangkatan anak dengan syarat harus memiliki motivasi

3 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,

2012), h., 11. 4 M. budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta:

Akademika presindo, 1985), h., 24. 5 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, h., 12.

Page 13: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

3

yang kuat untuk mengasuh seorang anak. Sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang

pelaksanaan pengangkatan anak, Angka 1 berbunyi “Anak angkat adalah anak

yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali

yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,

dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua

angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”. Pada undang –

undang tersebut berbunyi bahwa anak angkat merupakan anak yang hak

keluarga kandung serta lingkungannya sepenuhnya dialihkan ke dalam

lingkungan keluarga orang tua angkat yang sudah ditentukan dalam penetapan

pengadilan. Sehingga anak angkat menerima hak sepenuhnya sebagai seorang

anak dan orang tua angkat dapat melakukan kewajibannya sebagai orang tua

Tetapi, contoh faktualnya yaitu khususnya pada masyarakat di desa

Bojong ada saja anak yang diangkat tidak sepenuhnya masuk ke dalam

lingkungan keluarga orang tua angkatnya. Salah satu kepala keluarga di desa

Bojong bernama pak Ahmad yang mengangkat anak dari tetangga dan

mengambil alih pengasuhan serta biaya dan kebutuhan anak angkat. Akan

tetapi anak yang diangkatnya itu tidak tinggal bersama beliau melainkan

masih bertempat tinggal di kediaman ibu kandungnya. Namun setelah

ditanyakan kepada pak Ahmad perihal proses pengangkatan anak, dan pada

kenyataannya proses pengangkan anak yang telah dilakukan tidak melalui

penetapan pengadilan melainkan dengan melalui kesepakatan antara keluarga

pak Ahmad dengan keluarga orang tua kandung anak yang diangkatnya. Tentu

saja hal ini sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun

2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.

Pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia harus berdasarkan

peraturan perundang- undangan yang belaku. Pengangkatan anak yang

dilakukan melalui proses adat istiadat setempat memang diperbolehkan, tetapi

alangkah baiknya pengangkatan anak harus melalui penetapan pengadilan agar

pengangkatan anak yang dilakukan menjadi sah dimata hukum, agar anak

yang diangkat menjadi terlindungi dengan adanya penetapan pengadilan.

Page 14: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

4

Namun pada tatanan empiris sebagian besar masyarakat tidak melakukan

pengangkatan melalui proses penetapan pengadilan.

Hal ini bertentangan dengan peraturan perundang - undangan yang

terdapat dalam pasal 20 Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2007 tentang

pengangkatan anak, yang berbunyi, “permohonan pengangkatan anak yang

telah memenuhi persyaratan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan

penetapan Pengadilan.” Penetapan pengadilan ini sangat penting dalam

mengatur masalah hukum, seperti yang diketahui bahwa hal ini dapat

memberikan kepastian hukum secara penuh kepada status anak angkat apabila

tata cara pengangkatan anaknya dilakukan melalui penetapan pengadilan. Dari

pernyataan tersebut maka disinilah peran dan tanggung jawab orangtua angkat

dipertanyakan, bagaimana tanggung jawab orang tua angkat yang notabene

harus menjadi tempat perlindungan bagi anak yang diangkat sedangkan cara

mengangkat anaknya saja tidak melalui tata cara yang benar.

Dari pernyataan diatas, maka penulis termotivasi untuk mengangkat

permasalahan ini untuk diteliti yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang

berjudul : “Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan Implementasi

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak (Studi Kasus di Desa Bojong Kecamatan Kemang

Kabupaten Bogor”).

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang

berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan

muncul berdasarkan latar belakang, akan penulis paparkan beberapa

diantaranya yaitu:

a. Praktik pengangkatan anak serta faktor mengangkat anak tanpa

penetapan pengadilan yang dilakukan masyarakat desa Bojong.

b. Pemenuhan hak dan kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat.

c. Kesadaran masyarakat terhadap Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun

2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.

Page 15: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

5

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dan pembahasan agar menjadi

lebih terarah dengan baik, maka penulis hanya membatasi penelitian ini

dengan mengidentifikasi pelaksanaan pengangkatan anak tanpa penetapan

pengadilan yang akan menitikberatkan terhadap praktik pengangkatan

anak serta faktor yang menyebabkan mayoritas masyarakat Desa Bojong

melakukan pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan yang tentunya

sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Untuk teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan ini maka

penulis menggunakan teori kesadaran hukum yang dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto bahwa yang menjadi tolak ukur tingkat kesadaran

masyarakat ada empat yaitu, pengetahuan hukum, pemahaman hukum,

sikap hukum dan pola perilaku hukum. Kemudian penulis juga

menggunakan teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Bachsan

Mustafa bahwasanya kepastian hukum dapat disimpulkan pada tiga makna

yaitu, pasti mengenai peraturan hukumnya, pasti dengan kedudukan

hukum dari objek dan subjek hukum, dan mencegah adanya perbuatan

melawan hukum.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, penulis akan merumuskan

permasalahan penelitian yang akan penulis susun dalam bentuk skripsi.

Beberapa rumusan masalah akan penulis cantumkan sebagai berikut :

1. Bagaimana praktik pengangkatan anak serta faktor masyarakat Desa

Bojong mengangkat anak tanpa penetapan pengadilan?

2. Bagaimana pemenuhan hak dan kewajiban orang tua angkat terhadap

anak angkat?

3. Bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan

Anak?

Page 16: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:

1. Mengetahui praktik serta faktor mengangkat anak tanpa penetapan

pengadilan di Desa Bojong.

2. Mengetahui bagaimana pemenuhan hak dan kewajiban orang tua

angkat terhadap anak angkatnya.

3. Mengetahui tingkat kesadaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor

54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat pelaksanaan penelitian ini

1. Secara teoritis, untuk memberikan wawasan penulis agar lebih

memahami tentang pentingnya melakukan pengangkatan anak melalui

penetapan pengadilan. Serta eksistensi peraturan pemerintah tentang

pelaksanaan pengangkatan anak yang menjadi rujukan keharusan

pengangkatan anak melalui proses penetapan pengadilan.

2. Secara Praktis, diharapkan dapat dijadikan acuan serta memperluas

pemahaman masyarakat umumnya terhadap pengaplikasian peraturan

perundang – undangan yang telah ada tentang pengangkatan anak yang

sebaiknya dilakukan melalui proses penetapan pengadilan. Serta untuk

menyadarkan masyarakat bahwa pengangkatan anak dengan melalui

proses penetapan pengadilan akan membuat pengangkatan anak yang

dilakukan telah sah dimata hukum yang berlaku di Indonesia.

Untuk para akademisi, penelitian ini akan sangat membantu dalam

menambah referensi untuk penelitian hukum keluarga yang

bertemakan pengangkatan anak khususnya tentang permasalahan

pengangkatan anak tanpa melalui proses penetapan pengadilan.

D. Review Kajian Terdahulu

1. Judul : “Praktik Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan Dan

Dampak Hukumnya (Studi Kasus di Desa Bantarjati, Klapanunggal,

Bogor)

Page 17: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

7

Penulis : Nadia Nur Syahidah / P.A / ASS / 2015

Skripsi ini membahas tentang praktik pengangkatan anak tanpa

penetapan pengadilan baik itu melalui pengadilan agama maupun

pengadilan negeri yang membatasi wilayah penelitiannya di Desa

Bantarjadi dan menyertakan dampak hukum yang diakibatkan dari

pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan dengan metodologi

penelitiannya yaitu kualitatif. berbeda dengan apa yang penulis teliti

yang tidak hanya membahas pengangkatan anak tanpa proses penetapan

pengadilan saja, tetapi penulis membahas pula eksistensi peraturan

pemerintah nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan

anak dan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif

dengan pendekatan penelitian normatif-empiris.

2. Judul : “Pengangkatan Anak dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 dan

Akibat Hukumnya”

Penulis : Reyza Amalia / HK / 2007

Skripsi ini menganalisa dan menitik beratkan terhadap prosedur

pengangkatan anak yang berlaku di Pengadilan Negeri dengan melihat

sebelum dan sesudah adanya Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006,

bahwasanya pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk

menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan anak

berdasarkan hukum Islam serta metode penelitiannya menggunakan

metode kualitatif. Perbedaan dengan penelitian penulis yakni

menganalisa permasalahan praktik pengangkatan anak tanpa melaui

proses penetapan pengadilan yang juga membahas tentang eksistensi

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan

pengangkatan anak dengan metode kualitatif dengan pendekatan

normatif-empiris.

3. Judul : “Praktik Ngukut Anak Pada Masyarakat Desa Cikatomas

Cilograng Lebak”

Penulis : Nida Sriwidiyanti/HK/2018

Page 18: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

8

Skripsi ini menganalisa perbuatan hukum yakni pengangkatan

anak yang terjadi di Desa Cikatomas Cilogram Lebak, bahwa dalam

penelitiannya tersebut membahas tentang praktik tradisi ngukut anak

(Pengangkatan anak), kedudukan anak pada aspek perwalian maupun

kewarisan, serta pratik yang terjadi sesuai apa tidak dengan hukum

Islam, hukum positif, maupun hukum adat. Tema skripsi ini secara

umum sama seperti apa yang akan penulis teliti, tetapi perbedaannya

yakni dalam penelitian penulis lebih membahas tentang praktik

pengangkatan anak yang dilakukan tanpa penetapan pengadilan dan

praktik dalam masyarakat sesuai atau tidak dengan PP Nomor 54 Tahun

2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,

penelitian kualitatif merupakan upaya yang mendalam dan memakan

waktu berhubungan dengan lapangan dan situasi nyata6. Maksudnya ialah

meneliti suatu peristiwa pada masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan

yang berlaku. Yang mengharuskan peneliti mencari informasi yang

mendalam bagaimana permasalahan yang berkembang ditengah

masyarakat tersebut bisa terjadi dan perbuatan hukum yang dilakukan

masyarakat tentang pengangkatan anak yang tidak sesuai hukum Islam

dan peraturan perundang-undangan berlaku.

2. Pendekatan Penelitian

Sementara metode penulisan yang digunakan ialah pendekatan

hukum normatif-empiris yaitu penelitian hukum yang mengkaji

pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-

undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum

tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah

6 Boy S. Sabar Guna, Analisis Data Pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: UI-

Press, 2008), h., 4.

Page 19: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

9

ditentukan7, dengan begitu jikalau penelitian hukum normatif berupaya

untuk melihat hukum dari perspektif norma-norma atau aturan yang

tertulis, maka penelitian hukum empiris untuk melihat bagaimana hukum

tersebut dijalankan8.

3. Teknik Penulisan

Serta teknik penulisan ini berpedoman menggunakan buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta”.

4. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang penulis gunakan yaitu :

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh penulis secara langsung dari

hasil wawancara dari pihak-pihak terkait dan berkaitan langsung

dengan penelitian ini di Desa Bojong serta beberapa tokoh dan

anggota masyarakat di wilayah Desa Bojong Kecamatan Kemang

Kabupaten Bogor.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara

membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan

permasalahan yang diajukan, serta memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum atau dokumen-dokumen pada data hukum primer9.

Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadits, Buku-

buku ilmiah, Undang-undang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum

Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan erat

dengan permasalahan penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data ini merupakan salah satu langkah yang

paling strategis, karena jenis penelitian ini sangat memerlukan data

7 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian : Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian

Gabungan (Jakarta : Kencana, 2014), h., 329. 8 Fahmi Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta :

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet. 1, h., 47. 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. 13, h,. 13.

Page 20: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

10

berkaitan dengan penelitian ini. Bila dilihat dari sumber data yang

dibutuhkan, maka penulis mengumpulkan data menggunakan:

a. Riset kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan bantuan

materi-materi dari berbagai buku yang berhubungan dengan penelitian

ini.

b. Riset Lapangan, yakni penulis terjun langsung ke lapangan guna

mendapatkan data-data yang dibutuhkan, dengan menggunakan alat

pengumpulan data sebagai berikut:

a) Observasi atau pengamatan, yakni pengumpulan data melalui

pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala

yang tampak pada obyek penelitian10

. Di sini penulis

mengamati penelitian pada masyarakat yang menjadi objek

penelitian yaitu Desa Bojong serta melakukan observasi di

tempat penelitian.

b) Interview, yakni metode pengumpulan data atau informasi

dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk

dijawab secara lisan pula11

. Dalam interview ini akan

melibatkan beberapa masyarakat setempat khususnya

masyarakat yang melakukan pengangkatan anak tanpa

penetapan pengadilan sebagai informan/responden yang

kiranya dapat memberikan data yang peneliti butuhkan.

6. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif yaitu pendekatan

penelitian yang menekankan analisis proses dari proses berfikir secara

induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan antar fenomena yang

diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah12

. Maksudnya bahwa

penelitian kualitatif bukan berarti tidak membutuhkan dukungan dari

10 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2007), Cet. 12, h., 106. 11

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, h., 118. 12

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Praktik, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2013), Cet. 1, h,. 80.

Page 21: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

11

penelitian kuantitatif, tetapi lebih ditekankan kepada kedalaman berfikir

formal peneliti dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Jadi

penulis menganalisa dan menjabarkan data-data yang telah diperoleh dari

penelitian terhadap keluarga yang mengangkat anak.

F. Sistematika Pembahasan

Secara sistematis, dalam penyusunan skripsi ini penulis membaginya

kedalam lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab.

Oleh karena itu penulis mengklarifikasikan permasalahan dengan sistematika

penulisan sebagai berikut :

1. Bab pertama tentang pendahuluan

Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang masalah,

pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab kedua tentang teori serta konsep dasar pengangkatan anak

Dalam bab ini penulis akan menguraikan konsep dasar pengangkatan

anak yang akan memberikan gambaran tentang: pengertian

pengangkatan anak dan dasar hukumnya, proses pengangkatan anak

sesuai peraturan perundang–undangan yang berlaku, sebab akibat

terjadinya pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan, serta

memuat kajian review terdahulu.

3. Bab ketiga kondisi sosial kemasyarakatan di Desa Bojong

Dalam bab ini penulis menjelaskan sejarah singkat Desa Bojong,

kondisi kemasyarakatannya baik itu perekonomian maupun kehidupan

sosialnya, serta kondisi kebudayaan di Desa Bojong

4. Bab keempat temuan dan analisis

Menjelaskan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak di masyarakat

Desa Bojong ; prosedur pengangkatan anak yang dipraktikkan di Desa

Bojong, alasan dan faktor pengangkatan anak, urgensi pengangkatan

anak dan pengetahuan masyarakat tentang pelaksanaan pengangkatan

anak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Serta bagaimana masyarakat

Page 22: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

12

desa Bojong yang telah melakukan pengangkatan anak memenuhi

semua hak anak angkatnya. Lalu alasan masyarakat Desa Bojong

mengangkat anak tanpa melalui penetapan pengadilan serta akibat

hukumnya. Kemudian disertakan analisis penulis.

5. Bab kelima penutup

Bab ini merupakan bab yang terakhir yang terdiri dari kesimpulan dari

penelitian dan rekomendasi-rekomendasi serta daftar pustaka, dan

tidak lupa pula penulis mencantumkan lampiran yang diperlukan.

Page 23: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

13

BAB II

TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN

PENGADILAN

(IMPLEMENTASI PP NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK)

A. TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK DAN PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2007

1. Secara etimologis

Secara bahasa istilah pengangkatan anak sering disebut dengan kata

adopsi yang merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris “adoption” yang

berarti pengangkatan, pemungutan, dan dalam istilah pengangkatan anak

disebut adoption of child.13

Dalam bahasa Belanda disebut

“adoptie/adopteren” artinya “mengambil anak orang lain untuk dijadikan

anak sendiri”14

atau dalam bahasa latin disebut “adoptio, adopto” yang

artinya mengangkat sebagai anak15

.

Dalam kamus bahasa Arab kata adopsi atau pengangkatan anak

berasal dari kata (تبني).16

Dari pengertian pengangkatan anak (adopsi)

menurut bahasa, dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak (adopsi)

merupakan perbuatan hukum dengan cara mengambil anak orang lain untuk

dijadikan anak sendiri (dipelihara) seperti halnya dengan anak kandung

sendiri.

2. Secara terminologis

Beberapa para ahli memberikan pengertian seputar pengangkatan

anak atau adopsi sebagaimana berikut :

13

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2005), h., 13. 14

Yaswirman, Hukum Keluarga : Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan

Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), h.,

251. 15

Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve,

1989), h.,84. 16

Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia,

(Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 2003), h., 402.

Page 24: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

14

a. Menurut Soerdaryo Soimin, Pengangkatan anak atau adopsi adalah

suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarganya

sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang mengambil

anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan hukum17

.

b. Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya „Pengantar dan Azaz-Azaz

Hukum Adat‟, memberikan batasan sebagai berikut: “Adopsi

(mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang

lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara

orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu

hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua

dengan anak kandungnya sendiri”18

.

c. Mahmud Syaltut, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua

pengertian “pengangkatan anak.” Pertama, mengambil anak orang

lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih

sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya; Cuma ia

diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua,

mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status

sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama

keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta

peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak

angkat dan orang tua angkatnya itu19

.

d. Amir martosedono, dalam bukunya “Tanya jawab pengangkatan

anak dan masalahnya” bahwa : Anak angkat adalah anak yang

diambil oleh seseorang sebagai anaknya, dipelihara, diberi makan,

kalau sakit diobati, diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Dan bila

17

Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),

h., 35. 18

Muderis Zaini, Adopsi : Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2002), h., 5. 19

Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di

Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h., 97.

Page 25: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

15

nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas warisan

orang yang mengangkatnya20

.

e. Menurut Hilman Hadikusuma, Menyebutkan bahwa anak angkat

adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua

angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan

tujuannya untuk melangsungkan keturunan dan atau pemeliharaan

atas harta kekayaan rumah tangga21

.

Pendapat-pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut,

bahwa secara umum yang dimaksud dengan pengangkatan anak adalah

tindakan mengambil anak orang lain ke dalam keluarga sendiri yang diasuh

dan dipelihara seperti anak kandung. Sehingga segala kebutuhan hidup yang

dibutuhkan anak angkat telah menjadi tanggung jawab sepenuhnya terhadap

orang tua angkatnya baik itu dalam hal kebutuhan materil atau non materil

demi masa depan anak angkat tersebut.

Dalam hal pengertian pengangkatan anak dan adopsi terdapat

perbedaan yang terletak dalam prinsip hukumnya, bahwasanya kata adopsi

yang sudah ada di Indonesia merupakan hasil revisi dari sistem Eropa yang

menjadikan anak angkat terputus hubungan kekeluargaannya serta hak-

haknya dengan orang tua kandungnya. Sedangkan dalam hukum Islam,

tindakan pengangkatan anak tidak akan memutuskan hubungan kekeluargaan

terhadap orang tua kandungnya serta tidak bisa saling mewarisi antara anak

angkat dengan orang tua angkatnya.

3. Menurut Peraturan Perundang-undangan

Untuk mengetahui pengertian pengangkatan anak menurut peraturan

perundang-undangan Republik Indonesia terlebih dahulu melihat undang-

undang perkawinan, karena pengangkatan anak termasuk dalam hukum

keluarga atau bidang perkawinan. Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974

yang mengatur tentang perkawinan dalam pasal-pasalnya tidak menyinggung

20

Amir Martosedono, Tanya jawab pengangkatan anak dan masalahnya,

(Semarang: Effhar Offset dan Dahara Prize, 1990) h., 15. 21

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan,

(Bandung: Alfabeta, 2013), h., 215.

Page 26: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

16

anak angkat atau pengangkatan anak. Berikut merupakan beberapa peraturan

perundang-undangan yang mendefinisikan mengenai pengangkatan anak :

a. Pengertian pengangkatan anak yang terdapat dalam Penjelasan Pasal

47 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan. Penjelasan Undang-undang tersebut

memberi pengertian bahwa yang dimaksud pengangkatan anak adalah

perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan

kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan

anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya

berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan22

.

b. Anak angkat berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah anak yang haknya

dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang

sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan

keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan

pengadilan23

.

c. Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf (h) yang

berbunyi bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal

pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan

sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada

orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan24

.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak

Peraturan pemerintah ini merupakan peraturan untuk melaksanakan

ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagaimana yang diatur dalam

22

Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta :

Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. 1 h., 17. 23

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 angka 9 24

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum

Indonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994), Cet. 1 h., 130.

Page 27: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

17

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk

itu undang-undang tersebut perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Mengenai permasalahan pengangkatan anak, tentu hal yang pertama

harus diketahui yaitu tentang proses pengangkatan anaknya yang harus

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal utama tersebut yaitu

melakukan pengangkatan anak harus melalui proses penetapan pengadilan

sebagaimana yang tertuang dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang

berbunyi, “Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan

yaitu dilakukan melalui penetapan pengadilan”. Berikut beberapa hal yang

harus diperhatikan dalam proses pengangkatan anak;

a. Pengangkatan anak harus melalui penetapan pengadilan

Pengangkatan anak yang sah menurut hukum positif yaitu dengan

cara lewat penetapan pengadilan. Pasal 1 Angka 1 telah mengatur bahwa

“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan

kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak

tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan

keputusan atau penetapan pengadilan”.

Pengangkatan anak yang sudah dilakukan dengan proses yang

dilakukan sesuai adat setempat, maka dapat dilakukan mengajukan

permohonan pengangkatan anak ke pengadilan. Pasal 9 ayat (2)

“pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat

dimohonkan melalui penetapan pengadilan”.

b. Syarat-syarat pengangkatan anak

Syarat calon anak yang akan diangkat sebagaimana yang tertuang

pada Pasal 12 Ayat (1) yang berbunyi :

“Syarat anak yang akan diangkat, meliputi : a. Belum berusia 18

(delapan belas) tahun; b. merupakan anak yang terlantar atau

Page 28: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

18

ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga

pengasuhan anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus”.

Syarat calon orang tua angkat. Pasal 13 yang berbunyi :

“Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:

1. Sehat jasmani dan rohani;

2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi

55 (lima puluh lima) tahun;

3. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;

4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan

tindak kejahatan;

5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;

6. Tidak merupakan pasangan sejenis;

7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu

orang anak;

8. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;

9. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau

wali anak;

10. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah

demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan

perlindungan anak;

11. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;

12. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam)

bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan

13. Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.”

c. Tata cara pengangkatan anak

Pasal 20 Ayat (1) “Permohonan pengangkatan anak yang telah

memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan

penetapan pengadilan”

Pasal 20 Ayat (2) “Pengadilan menyampaikan salinan penetapan

pengangkatan anak ke instansi terkait”

Page 29: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

19

Pasal 21 Ayat (1) “Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2

(dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun”

Pasal 21 Ayat (2) “Dalam hal calon anak angkat adalah kembar,

pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara

kembarnya oleh calon orang tua angkat”

B. TEORI KEPASTIAN DAN KESADARAN HUKUM DALAM

PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN

PENGADILAN

1. Teori Kepastian Hukum sebagaimana yang telah dikemukakan oleh

Bachsan Mustafa merupakan administrasi hukum negara positif yang

menjamin kepastian hukum untuk seluruh masyarakat. Teori ini dibagi

menjadi beberapa makna yaitu pasti mengenai peraturan hukumnya, pasti

dengan kedudukan hukum dari objek dan subjek hukum, dan mencegah

adanya perbuatan melawan hukum25

. Dalam praktik pengangkatan anak

yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentu harus melihat terlebih

dahulu beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Salah satu aspek tersebut

yaitu kesejahteraan terhadap anak yang diangkat. Anak angkat bukan

hanya membutuhkan kasih sayang, pemeliharaan, dan perhatian saja,

tetapi mereka juga membutuhkan perlindungan serta kepastian dimata

hukum yang ditandai dengan penetapan pengadilan. Oleh karena itu teori

kepastian hukum sangat berguna dalam penelitian tentang pelaksanaan

pengangkatan anak.

2. Teori Kesadaran Hukum yang telah dikemukakan oleh Soerjono

Soekanto bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai

yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang

hukum yang diharapkan ada. Pada penekanan ini adalah nilai-niai tentang

fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-

25

Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung:

Cipta Aditya Bakti, 2001), h., 53.

Page 30: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

20

kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan26

.

Masyarakat harus menyadari betapa pentingnya mematuhi peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Mematuhi pearturan perundang-

undangan bukan hanya untuk kepentingan pemerintah tetapi untuk

menertibkan tatanan kesejahteraan yang merupakan hak seluruh

masyarakat Indonesia. Begitu pula pada proses pengangkatan anak yang

harus melalui penetapan pengadilan, oleh karena itu untuk

membangkitkan kesadaran hukum pada masyarakat khususnya dalam

pelaksanaan pengangkatan anak tentu harus dibantu pula oleh pemerintah

setempat agar seluruh masyarakat sadar akan hukum yang telah

ditetapkan. Dari permasalahan tersebut, maka teori kesadaran hukum

akan berguna dalam penelitian ini.

C. HAK ANAK ANGKAT YANG DIANGKAT TANPA PENETAPAN

PENGADILAN

1. Hak anak angkat dalam hal kewarisan

Dalam permasalahan pengangkatan anak, sangat erat kaitannya

dengan subjek dan objek hukum yang dalam hal ini yaitu antara orang tua

angkat dan anak angkat. Pengangkatan anak sudah menjadi perbuatan hukum

yang sering dilakukan di lingkungan masyarakat di belahan dunia manapun,

khususnya di Indonesia. Tetapi pengangkatan anak ini bukan hanya untuk

kepentingan orang tua angkatnya saja yang ingin mempunyai anak angkat,

justru yang yang harus diperhatikan dalam pengangkatan anak ini adalah hak

anak yang diangkat.

Hak antara anak kandung dan anak angkat itu tidak jauh berbeda,

hanya saja perbedaannya terdapat dalam beberapa hal tertentu saja. Contoh

salah satu perbedaannya yaitu dalam hal kewarisan bahwa anak angkat tidak

bisa saling waris mewarisi dengan orang tua angkat. Menurut yurisprudensi

Mahkamah Agung, seorang dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari kedua

orang tua angkatnya, bilamana ia telah dibesarkan, dikhitankan, dikawinkan,

26

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV.

Rajawali, 1982), h., 154.

Page 31: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

21

bertempat tinggal bersama, dan telah mendapatkan hibah dari orang tuanya

(orang tua angkatnya)27

.

Pengangkatan anak dalam permasalahan kewarisan harus

diperhatikan. Jangan sampai masyarakat salah kaprah tentang anak angkat

yang seharusnya tidak bisa saling mewarisi dengan orang tua angkat. Anak

angkat mempunyai hak dalam hal kewarisan hanya melalui wasiat wajibah

dengan 1/3 harta dari orang tua angkatnya. Sebagaimana didalam Kompilasi

Hukum Islam pasal 209 ayat (2) tentang hak anak dari orang tua angkat yang

sudah meninggal, yang berbunyi : “Terhadap anak angkat yang tidak

menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta

warisan orang tua angkatnya”28

.

Pengangkatan anak yang dilakukan dengan tata cara dan motivasi

yang salah dari orang tua angkat yang minim pengetahuan tentang

pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum yang dapat

mempengaruhi kehidupan antara anak angkat dan orang tua angkat. Dalam

pengangkatan anak berarti adanya orang lain yang masuk ke dalam anggota

keluarga orang tua angkat, yang apabila dilakukan dengan motivasi yang

salah akan menimbulkan permusuhan antar keturunan dalam keluarga

tersebut.

Akibat hukum yang bisa menimbulkan permusuhan antar keturunan

di dalam keluarga yang melakukan pengangkatan anak tanpa pengetahuan

tentang tata cara pengangkatan anak yang baik, salah satu contohnya yaitu

dalam hal kewarisan, yang seharusnya anak angkat tidak mendapatkan

warisan tetapi masuk kedalam anggota ahli waris, sehingga anggota ahli

waris yang seharusnya mendapat warisan akan menutup bagian ahli waris

yang seharusnya.

27

Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga (Perspektif Hukum Perdata/BW

Hukum Islam dan Hukum Adat), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.,.37. 28

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:Dirjen Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), h., 90.

Page 32: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

22

2. Hak anak angkat dalam perwalian pernikahan

Anak angkat pada hakikatnya mempunyai hak yang sama dengan

anak kandung, khususnya untuk anak angkat perempuan yang salah satunya

memiliki hak adanya wali dalam pernikahan. Wali dalam pernikahan untuk

anak angkat, wali nikahnya tetap harus ayah kandungnya. Tetapi apabila

tidak ada ayah kandungnya, maka yang menjadi wali nikah yaitu wali nasab

dari ayahnya seperti kakak, kakek, atau pamannya.

3. Hak anak angkat dalam legalitas hukum

Pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum yang sudah ada

aturannya dalam perundang-undangan, sehingga semua masyarakat yang

melakukan pengangkatan anak harus sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. tetapi dewasa ini sering sekali melakukan pengangkatan anak

yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu

contohnya yaitu mengangkat anak tanpa penetapan pengadilan.

Menurut Soedaryo Soimin, dalam bukunya Himpunan Dasar Hukum

Pengangkatan Anak, mengatakan bahwa “Untuk menjamin kebutuhan

masyarakat semakin tinggi dalam memiliki seorang anak maka untuk

menjamin kepastian hukum terhadap orang tua yang mengangkat dan anak

yang diangkat hanya akan didapat setelah memperoleh penetapan dan / atau

putusan pengadilan”29

.

Seorang anak angkat berhak mempunyai legalitas hukum yang

memayungi anak angkat tersebut apakah ia diangkat sesuai perundang-

undangan yang berlaku atau tidak. Sehingga apabila anak tersebut

mendapatkan kepastian hukum, maka apabila ada gugatan atau

persengketaan di pengadilan antara anak angkat dan orang tua angkat dapat

di selesaikan di muka pengadilan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang

pelaksanaan pengangkatan anak, yang berbunyi :

29

Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2004), h., 28.

Page 33: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

23

Pasal 1 Angka 1 “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan

dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau

orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan

membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua

angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.

Pasal 9 ayat (2) “pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan

setempat dapat dimohonkan melalui penetapan pengadilan”Dari

Peraturan Pemerintah diatas, sudah seharusnya pengangkatan anak

dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Demi terwujudnya hak anak angkat yang mendapatkan perlindungan

hukum dan untuk terwujudnya kewajiban serta kasih sayang orang tua

angkat yang peduli terhadap anak angkatnya dengan melakukan

pengangkatan anak yang legal serta mendapat kepastian dimata hukum.

D. Sejarah Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak yang dilakukan masyarakat Indonesia maupun di

dunia sejak zaman dahulu sudah sering dipratekkan dikehidupan sehari-hari

dalam usaha mereka untuk mencapai tujuan yang beragam. Bahkan jauh

sebelum Islam berkembang sudah mengenal adanya pengangkatan anak.

Adopsi atau pengangkatan anak sudah banyak dikenal oleh masyarakat di

seluruh penjuru dunia sehingga sudah bukan hal yang aneh lagi masalah

pengangkatan anak dilakukan oleh sebagian masyarakat di seluruh dunia. Hal

ini bahkan sudah menjadi tradisi dan dipraktikkan oleh masyarakat dan

bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan

bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno.30

1. Pengangkatan anak pada masa bangsa Romawi dan Mesir kuno

Pada masa beberapa bangsa zaman kuno, sudah banyak yang

melakukan praktik pengangkatan anak. Contoh halnya yang telah terjadi

pada masa bangsa Romawi dan Mesir kuno. Pengangkatan anak yang

dilakukan pada bangsa Romawi kuno yang memiliki upacara pengangkatan

30

Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif

Islam,(Jakarta : Kencana, 2008), Cet. 1, h., 22.

Page 34: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

24

anak yang bervariasi. Seperti pengangkatan Heraclius oleh Hera, yang

diceritakan Diadorus, masih terus berlangsung seperti kini dilakukan oleh

penduduk Romawi, dimana anak yang diangkat di bawah ke istana dan

melewati BH (BH dilewatkan di atas kepala anak) ibu yang mengangkatnya.

Maka ia pun telah sah menjadi anak kesayangan ibu angkatnya31

.

Begitu pula yang terjadi pada bangsa Mesir kuno yang telah

diabadikan dalam Al-Qur‟an. Dikisahkan pada masa mesir kuno, terdapat

seorang bayi yang hanyut terbawa arus air Sungai Nil hingga masuk ke

dalam taman pemandian permaisuri raja. Karena permaisuri dan sang raja

tidak mempunyai keturunan, berkenanlah baginda raja mengambil bocah

yang hanyut tersebut untuk dijadikan anak angkat. Dididik dan dipeliharalah

anak itu dalam istana kerajaan, sehingga menjadi manusia yang cerdas.

Namun akhirnya anak angkat yang dalam perjalanan hidupnya meneruskan

agama nenek moyangnya Nabi Ibrahim, sedangkan Ramses II bertahan

dengan ambisinya, bahwa ia adalah tuhan. Maka terjadilah permusuhan

antara anak dan orang tua angkatnya yang berakhir kematian ayah angkatnya

secara tragis. Itulah penggalan kisah yang diabadikan Allah SWT dalam

kitab suci Al-Qur‟an32

.

2. Pengangkatan anak pada masa Rasulullah SAW

Pengangkatan anak dalam sejarah agama Islam sudah ada sejak masa

Rasulullah SAW. Ketika itu beliau mengangkat seorang anak yang telah

dimerdekakan dari status sebelumnya sebagai budak. Rasulullah SAW

terlebih dahulu memerdekakannya dan kemudian mengangkat anak tersebut,

dalam beberapa riwayat beliau memperoleh anak tersebut berkat hadiah dari

istri Rasulullah SAW yaitu Khadijah binti Khuwailid ketika anak itu masih

berstatus sebagai budak.

Zaid bin Haritsah adalah mantan budak Rasulullah SAW yang

kemudian diangkat menjadi anak angkatnya. Dikisahkan bahwa Hakim bin

31

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2002), Cet ke-4., h., 39 32

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, h., 69

Page 35: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

25

Hisyam bin Khuwailid tiba di Syam dengan membawa budak-budak

diantaranya Zaid bin Haritsah dan seorang anak yang belum baligh.

Kemudian bibi Hakim, Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah SAW

bertandang ke rumahnya. Hakim berkata kepada Khadijah, „Bibi, pilihlah

mana diantara dua orang tersebut yang engkau sukai, maka ia jadi milikmu‟.

Khadijah memilih zaid kemudian mengambilnya. Rasulullah SAW

mengetahui Khadijah mempunyai Zaid, lalu beliau meminta Khadijah

menghadiahkan Zaid kepada beliau. Khadijah pun menghadiahkan Zaid

kepada Rasulullah SAW kemudian beliau memerdekakan Zaid dan

mengadopsinya. Ini terjadi sebelum wahyu turun kepada beliau33

. Demikian

pula pengangkatan anak pernah dilakukan oleh salah satu sahabat nabi

bernama Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim dan

hal itu mendapat persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.34

3. Pengangkatan anak pada masa penjajahan Belanda di Indonesia

Pengangkatan anak di Indonesia pada masa pemerintahan Hindia

Belanda sudah banyak terjadi di Indonesia, khususnya yang terjadi pada

masyarakat keturunan Cina di Jawa dan sekitarnya. Pengangkatan anak yang

dilakukan orang-orang keturunan cina yang hidup di Indonesia khususnya

daerah Jawa dan sekitarnya, dengan dasar hukum adat yang telah berlaku di

daerah Cina selatan tanpa melihat pada peraturan pengangkatan anak dalam

Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah

Hindia Belanda. Dalam praktiknya, mereka yang berhak mengangkat anak

tidak ada batasannya sehingga seorang laki-laki yang mempunyai banyak

anak dari istri tuanya, boleh melakukan pengangkatan anak terhadap anak

keturunan Cina ataupun keturunan asli Indonesia35

.

Adanya pengangkatan anak sejak zaman dahulu sudah menjadi bukti

nyata bahwa pesan historis yang terdapat di masa lalu sudah tersampaikan

33

Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri, As-Sirah An-

Nabawiyah li Ibni Hisyam. Penerjemah Fadhil Bahri, Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid

I, (Bekasi: Darul Falah, 2013), h., 211. 34

Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h., 37 35

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak

di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008), h., 20

Page 36: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

26

kepada seluruh masyarakat di dunia saat ini. Bukti nyata tersebut sejatinya

sudah sering dilakukan oleh sebagian keluarga dipenjuru dunia yang pada

umumnya bertujuan untuk melanjutkan keturunan dan untuk kepentingan

kesejahteraan anak tersebut atau keluarga anak yang diangkat.

E. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam

Pengambilan atau pengangkatan anak angkat artinya menghubungkan

keturunan seorang anak dengan seorang bapak, baik anak itu sudah diketahui

keturunannya atau tidak diketahui. Bapak itu berterus terang mengatakan

bahwa anak itu adalah anak angkatnya, bukan anak kandungnya. Cara yang

demikian itu sudah berlaku dikalangan masyarakat pada Zaman Jahiliyah atau

Zaman Pra-Islam. Anak angkat itu sama derajatnya dengan anak kandung36

.

Dan kebiasaan itu terus berlanjut dan berlaku sampai pada masa Permulaan

Islam, dan baru berakhir setelah turunnya firman Allah SWT Q.S. Al-Ahzab

(33): 4:

و لرجل من ق لب ي ف جوفو هن تظهرون ال ي ازواجكم جعل وما ما جعل الل من

تكم لكم اب نا ءكم ادعيا ءكم جعل وما ام ه و باف واىكم ق ولكم ذ وىو الق ي قول والل

ل الس بي ي هدى

Artinya: “Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam

rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzihar itu

sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak

kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja, dan

Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang lurus”.

Dari penggalan ayat diatas, Allah telah menegaskan dan memberikan

pemahaman bahwa anak yang telah diangkat itu sama sekali tidak boleh

disamakan posisinya sebagai anak kandung. Tidak diperbolehkan bagi orang

tua angkat menjadikan anak angkat menjadi anak kandung dan serta dapat

saling mewarisi antara anak dan orang tua angkat. Hukum Islam sangat

36

Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam, (Jakarta : Bulan

Bintang, 1977), Cet. 1, h., 31.

Page 37: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

27

melarang pengangkatan anak seperti itu sebagaimana praktik pengangkatan

anak yang dikenal oleh hukum Barat/hukum sekuler dan praktik masyarakat

jahiliyah.

Dalam hukum pengangkatan anak, salah satunya bahwa pengangkatan

anak tidak dapat memutus hubungan nasab seorang anak angkat dengan orang

tua kandungnya. Serta anak angkat tidak bisa memakai nasab orang tua

angkatnya dengan tidak menambahkan nama ayah angkatnya di dalam nama

anak angkat tersebut. Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah Q.S.

Al-Ahzab (33): 5:

ين آءاب آ ت علوو ل ٱلل و فإن ئهم ىو أقسط عند آب ل ٱدعوىم نكم ف ٱلد ءىم فإخو

ليكم ول كم وكان ٱلل و غفورا ولكن م ا ت عو دت ق لوب ۦأخطأت بو آيس عليكم جناح فيو ومو

ر حيوا

Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama

bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu

tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai

saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu

terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang

disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang”.

Ayat diatas menyampaikan pesan kepada keluarga muslim bahwa

Allah tidak membolehkan anak angkat memakai nama ayah angkatnya.

Sebagaimana yang dikisahkan sahabat nabi yakni Zaid bin Haritsah yang

tidak memakai nama nabi Muhammad SAW sebagai ayah angkatnya,

melainkan tetap memakai nama ayah kandungnya yakni Haritsah. Sebelum

ayat tersebut diturunkan, para sahabat nabi memanggil Zaid dengan nama

Zaid bin ayah angkatnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW.

dalam Hadits Riwayat Bukhari

Page 38: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

28

عت الن ب صل ى الله عليو و سل م ي قول : من عن سعد رضي الل و عنو قال : س

ر أبيو, فالن ة عليو حرم .)رواه البخاري( اد عى إل غي أبيو, وىو ي علم أن و غي

Artinya: “Barang siapa yang memanggil (Mendakwakan) dirinya sebagai

anak dari seseorang yang bukan ayahnya, yang sudah diketahui bahwa dia

bukanlah ayahnya, kelak (Allah SWT) akan mengharamkan baginya surga

(H.R Bukhari)37

.

Masalah kewarisan dalam kaitannya dengan pengangkatan anak sudah

sering menjadi prolematika yang harus diselesaikan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam hukum Islam, anak angkat

tidak ada hubungan mahram dengan orang tua angkat, begitupun sebaliknya.

Secara otomatis disebabkan tidak adanya hubungan mahram antara orang tua

angkat dan anak angkat maka antara orang tua angkat dengan anak angkat

tidak bisa saling mewarisi satu sama lain.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), telah diatur tentang

permasalahan bahwa anak angkat dan orang tua angkat tidak bisa saling

mewarisi. Yang telah diatur dalam KHI pasal 209 ayat (2) tentang hak anak

dari orang tua angkat yang sudah meninggal, yang berbunyi : “Terhadap anak

angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-

banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”38

.

Dengan adanya peraturan yang terdapat dalam KHI diatas, telah jelas

bahwa antara anak dan orang tua angkat tidak bisa saling mewarisi.

Sedangkan anak angkat mendapatkan harta orang tua angkatnya yang sudah

meninggal dengan melalui wasiat wajibah yang hanya mendapatkan 1/3 dari

harta orang tua angkatnya. Serta disini juga menjadi jelas bahwa anak angkat

hanya mendapatkan hak dan kewajiban dari orang tua angkat dalam hal

pemeliharaan dan pendidikan saja. Sedangkan untuk masalah perwalian

37

Imam Abi Abdullah Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari,

(Beirut: Dar ibn Katsir littaba‟ah wa al-Nasyri wa al-Tauzi, 2002), hadits ke 2766, h.,

326. 38

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Dirjen Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), h., 90.

Page 39: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

29

dalam pernikahan dan kewarisan, anak angkat tetap berhubungan dengan

orang tua kandung.

F. Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat

Pengangkatan anak sudah bukan masalah yang baru lagi di kehidupan

masyarakat di seluruh Negara di dunia, khususnya di Indonesia.

Pengangkatan anak sejak zaman dahulu sudah banyak dilakukan oleh

masyarakat Indonesia, bahkan sebelum adanya hukum positif yang mengatur,

masyarakat di Indonesia sudah melakukan pengangkatan anak dengan cara

dan motivasi yang berbeda-beda dan dengan berlandaskan hukum adat yang

berlaku di setiap daerah di Indonesia. Pengangkatan anak dalam hukum Adat

sering di definisikan sebagai upaya mengangkat anak orang lain untuk diasuh,

dididik, dan diperlakukan seperti anak sendiri.

Dalam hukum adat sendiri apabila istilah pengangkatan anak atau

adopsi ini disandingkan dengan hukum Islam, maka pengertian dan

prinsipnya terdapat perbedaan definisi yang saling bertentangan. Perbedaan

tersebut salah satunya yaitu hukum adat lebih mengenal adopsi yang dapat

menimbulkan hak mewaris bagi anak angkat, sedangkan dalam hukum Islam

tidak mengenal hal tersebut39

.

Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adat adalah terang

dan tunai. Terang, ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan

hukum itu dilakukan dihadapan dan diumumkan di depan orang banyak,

dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang mengetahuinya.

Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan selesai seketika pada saat itu

juga, tidak mungkin ditarik kembali.40

1. Praktik pengangkatan anak di beberapa daerah

Terdapat berbagai macam tata cara pengangkatan anak atau adopsi di

beberapa daerah di Indonesia. Banyaknya suku dan budaya di Indonesia itu

bisa menjadi pengaruh adanya perbedaan tata cara pengangkatan anak di

39

Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat: Serta Akibat

Hukumnya di Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali, 1989), Cet. 2 h., 17. 40

Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta : Pradnya Paramita,

1981), h., 29.

Page 40: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

30

suatu daerah dengan daerah yang lainnya. Pengangkatan anak atau adopsi di

dalam masyarakat adat ada yang melakukannya dengan tertulis maupun tidak

tertulis, sesuai kesepakatan bersama antara kedua belah pihak.

Contoh praktik pengangkatan anak di desa Banjaragung (kabupaten

serang), di kota Pandeglang, di desa Menes (kabupaten Pandeglang), di kota

Jakarta, Jatinegara, dan Cianjur, di desa Cibinong dan Jasinga (kabupaten

Bogor), desa Cipanas (kabupaten Cianjur), desa Panjalu (kabupaten Ciamis),

desa Tuk dan Luwuk (kabupaten Cirebon) melakukan pengangkatan anak

atau adopsi dengan cara penyerahan anak oleh orang tuanya kepada yang

mengangkatnya, tanpa disaksikan orang-orang yang khusus dipanggil untuk

keperluan itu, tanpa upacara, tanpa surat, pendek kata tanpa bentuk tertentu.

Tetapi pengangkatan anak itu cepat diketahui diantara para tetangga41

.

Selanjutnya contoh pengangkatan anak di Lampung yang

melakukannya dengan mengadakan upacara pemotongan kerbau yang

dihadiri oleh anggota keluarga. Kemudian di Lahat (Palembang),

pegangkatan anak dilakukan dengan dihadiri oleh Keiro, khotib, dan

keluarga sedusun. Adopsi adakalanya dilakukan secara tertulis dan adapula

yang tidak, sesuai dengan permintaan keluarga, asalkan semua itu

diumumkan kepada masyarakat sekitar dan dilanjutkan dengan adanya

sedekahan. Begitu pula di kecamatan Lembung Utara dan Selatan,

Kepahiyang dan Curup (Sumatera Selatan), pengangkatan anak dilakukan

dengan mengadakan suatu penjamuan dengan mengundang Kutai, yaitu

ketua adat di marga yang bersangkutan (pasirah) dengan cara memotong

kambing dan memasak Serawa, yaitu beras ketan yang dicampur dengan

kelapa dan gula merah42

.

Didalam praktik pengangkatan anak yang terdapat di lingkungan

masyarakat adat motivasinya beragam. Tetapi motivasi masyarakat adat

berbeda dengan motivasi pengangkatan anak yang terdapat pada undang-

41

Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, (Jakarta : PT. Penerbit

Djambatan), h., 24. 42

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2002), h., 46.

Page 41: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

31

undang perlindungan anak yang menitik beratkan bahwa mengangkat anak

harus disertai dorongan motivasi semata-mata hanya untuk masa depan anak

yang diangkat. Dalam hukum adat, motivasi dalam mengangkat anak

dikarenakan oleh kekhawatiran calon orang tua angkat akan kepunahan

(tidak memiliki anak), Oleh sebab itu mereka berupaya untuk mengangkat

anak dari lingkungan kerabatnya dengan proses kekerabatan. Dengan begitu

anak yang diangkat memiliki hak penuh dari orang tua angkatnya sama

halnya seperti anak kandung, serta melepaskan haknya terhadap keluarganya

yang semula. Cara pengangkatan anak ini biasanya dipandu oleh pemuka

adat atau tokoh agama dengan dihadiri pihak keluarga besar atau dihadiri

oleh khalayak ramai.

Di Indonesia, praktik adopsi masyhur dilakukan di kalangan keluarga

di beberapa daerah secara umum, terutama Jawa. Meskipun pelaksanaannya

di satu masyarakat berbeda dengan masyarakat lainnya, terdapat beberapa

prinsip yang dianut secara sama terkait praktik adopsi di Jawa. Prinsip-

prinsip ini mengatur, pertama, bahwa anak yang diadopsi secara otomatis

dianggap dan dimasukkan dalam lingkaran keluarga yang mengadopsi.

Kedua, bahwa hubungan anak yang diadopsi dan orang tua biologisnya

terputus, dan ketiga bahwa kedudukan anak yang diadopsi sama dengan

kedudukan anak biologis43

.

Seluruh daerah di Indonesia memiliki padangan yang sama terhadap

masalah keturunan serta berpendapat bahwa keturunan dalam suatu clan

(suku) sebaiknya tidak boleh terputus. Karena keturunan adalah merupakan

unsur esensial serta mutlak bagi suatu klan (suku) atau kerabat yang

menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi

penerusnya44

.

Oleh sebab itu, apabila ada suatu klan atau suku yang merasa

khawatir tidak memiliki keturunan yang akan mewarisi suatu klan atau

43

Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga Pidana dan Bisnis, (Jakarta:

Kencana, 2013), h., 88. 44

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2013), h.,

207.

Page 42: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

32

kerabat, maka klan tersebut atau kerabat biasanya melakukan pemungutan

anak atau adopsi kepada kerabat yang lain, atau bahkan melakukan

perjanjian serta meminta persetujuan istri agar diizinkan untuk menikah lagi

yang bertujuan untuk mendapatkan keturunan.

Page 43: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

33

BAB III

PROFIL MASYARAKAT DESA BOJONG, KECAMATAN KEMANG,

KABUPATEN BOGOR

A. Gambaran Umum dan Letak Geografis Desa Bojong

Desa Bojong adalah salah satu desa di kecamatan Kemang Kabupaten

Bogor Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 287.12 Ha. Orbitrase jarak ke

kecamatan 4 km, lama jarak tempuh dengan kendaraan bermotor ¼ jam. Jarak

ke kabupaten / kota 16 km lama jarak tempuh dengan kendaraan bermotor

kurang lebih 30 menit. Jarak ke provinsi 120 km, dan lama jarak tempuh

dengan kendaraan bermotor 5,5 jam.

Berdasarkan angka pelaksanaan pengangkatan anak tahun 2015 yang

dilansir kecamatan Kemang menunjukkan secara agregat jumlah

pengangkatan anak di kecamatan Kemang tahun 2015 mencapai 34 kasus.

Dari jumlah tersebut (20 kasus), 7 kasus diantaranya terdapat di desa Bojong.

Berdasarkan data tersebut desa Bojong masuk dalam kelompok desa dengan

jumlah kasus pengangkatan anak paling banyak. Meski demikian,

berdasarkan informasi dari beberapa pihak kemungkinan terdapat kasus-kasus

pengangkatan anak lain yang belum terhimpun dan tercatat secara resmi oleh

pemerintah kecamatan Kemang.

Tabel 3.1 Jumlah Pengangkatan Anak di Kecamatan Kemang

No Nama Desa Jumlah Pengangkatan

Anak

1 Kemang 2

2 Bojong 7

3 Jampang 2

4 Tegal 3

5 Pabuaran 4

6 Atang Sanjaya 3

Page 44: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

34

7 Pondok Udik 5

8 Semplak Barat 4

9 Parakan Jaya 4

Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk

No Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-laki 7000

2 Perempuan 6519

Jumlah 13.519

Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

Tabel 3.3 Jumlah Pemeluk Agama

No. Pemeluk Agama Laki-laki Perempuan

1 Islam 6912 6407

2 Kristen 53 70

3 Budha 10 7

4 Katholik 12 18

5 Hindu 8 12

6 Konghucu 5 5

Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

B. Gambaran Umum Praktik Pengangkatan Anak oleh Masyarakat Desa

Bojong

Pengangkatan anak sudah lazim dilakukan oleh masyarakat Desa

Bojong yang belum memiliki keturunan didalam pernikahannya. Perbuatan

hukum ini sudah sering dilakukan karena beranggapan bahwa hal tersebut

menjadi solusi bagi pasangan suami istri yang mendambakan keturunan untuk

melengkapi suasana rumah tangga yang bahagia. Tentu perbuatan hukum ini

menjadi salah satu faktor bagi keluarga yang belum memiliki keturunan untuk

melakukan pengangkatan anak. Praktik pengangkatan anak khususnya yang

terjadi di Desa Bojong yaitu dilakukan dengan tata cara adat istiadat saja,

Page 45: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

35

artinya pegangkatan anak yang dilakukan hanya sebatas kesepakatan antara

keluarga orang tua kandung dengan keluarga orang tua kandung sang anak,

serta tidak sama sekali melanjutkan prosesnya dengan memohonkan

permohonan pengangkatan anak ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan

pengadilan.

Pengangkatan anak yang dilakukan tanpa melalui proses penetapan

pengadilan oleh masyarakat Desa Bojong tentu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang tertuang pada Pasal 20 Peraturan

Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak,

yang berbunyi, “permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi

persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan

pengadilan”. Peraturan tersebut seharusnya menjadi rujukan bagi masyarakat

yang ingin memutuskan untuk melakukan pengangkatan anak agar proses

pengangkatan anaknya sah dimata hukum, serta anak yang diangkat akan

mendapatkan jaminan dan kepastian hukum mengenai kedudukannya sebagai

seorang anak angkat.

Dalam aspek pernikahan tentunya seorang anak perempuan akan

dinikahkan oleh orang tuanya, dan seorang bapak dari anak perempuan itulah

yang menjadi wali dari anak perempuannya. Masyarakat Desa Bojong yang

mengangkat seorang anak perempuan menjadikan wali hakim sebagai wali

dari anak angkatnya karena sebagian besar masyarakat Desa Bojong yang

mengangkat anak perempuan sedikit memahami bahwasanya seorang ayah

angkat tidak bisa menjadi wali pernikahan dari anak angkat perempuannya

karena yang berhak menjadi wali pernikahan adalah ayah kandung, saudara

kandung, dan atau wali hakim45

.

Sedangkan dari aspek kewarisan, masyarakat Desa Bojong yang

mengangkat anak menyerahkan harta warisannya kepada ahli waris termasuk

pula anak angkat yang mereka pahami berhak menerima warisan. Bahkan

beberapa masyarakat Desa Bojong yang mengangkat anak berniat apabila

45

Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Interview Pribadi, Bojong, 23 Oktober

2019, Pukul 15.14.

Page 46: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

36

kelak meninggalkan harta warisan, maka akan memberikan warisan tersebut

kepada anak angkatnya sebagaimana memberikan warisan kepada anak

kandung. Tentunya hal tersebut sangat menyalahi aturan hukum kewarisan

Agama Islam maupun peraturan perundang-undangan, karena seorang anak

angkat hanya berhak mendapatkan wasiat wajibah dengan jumlah 1/3 dari

harta orang tua angkatnya.

C. Struktur Masyarakat Desa Bojong

Perkembangan kependudukan Desa Bojong tahun 2015 berjumlah

13.435 dan pada tahun 2017 adalah 13.519 orang, penduduk perempuan

berjumlah 6519 dan pemduduk laki-laki berjumlah 7000 orang, dengan

jumlah kepala keluarga 4.971 KK dengan kepadatan penduduk 7,5 km.

Mayoritas penduduk memeluk Agama Islam dengan jumlah perempuan 6407

sedangkan jumlah penduduk laki-laki berjumlah 6912. Etnis penduduk desa

Bojong adalah suku sunda, adat istiadat yang masih aktif di desa Bojong yaitu

adat dalam perkawinan dan penyembuhan penyakit dengan cara tradisional,

akan tetapi untuk pengobatan dengan cara tradisional sudah jarang dipakai

dan hanya sebagai alternatif saja karena hampir seluruh masyarakat memilih

pengobatan dengan berobat ke dokter.46

Mayoritas penduduk laki-laki tamat SD/sederajat mencapai 750 orang,

tamat SMP/sederajat 150 orang, tamat SMA/sederajat 250 orang, tamat

S1/sederajat 20 orang, tamat S2/sederajat 2 orang dan mayoritas penduduk

perempuan tamat SD/sederajat mencapai 850 orang, tamat SMP/sederajat 250

orang tamat SMA/sederajat 354, tamat S1/sederajat 4 orang.

Tabel 3.4 Tingkat Pendidikan

No. Pendidikan Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 SD/sederajat 750 850

2 SMP/sederajat 150 250

3 SMA/sederajat 250 354

46

Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Interview Pribadi, Bojong, 26 Juli 2019.

Page 47: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

37

4 S1/sederajat 9 8

5 S2 2 0

Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

Sebagian besar masyarakat desa Bojong berprofesi sebagai buruh

pabrik yang berjumlah 750 laki-laki dan 150 perempuan. Berikut data

tabel pekerjaan masyarakat desa Bojong.

Tabel 3.5 Pekerjaan

No. Jenis Pekerjaan Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 Petani 15 5

2 Buruh Tani 712 137

3 Guru 45 55

4 Dosen 2 2

5 PNS 68 80

6 Pedagang Keliling 15 5

7 Pensiunan PNS 15 5

8 Karyawan Swasta 750 250

9 Artis - -

10 Dukun Kampung 1 1

11 Pembantu Rumah Tangga 0 125

12 Pengusaha Kecil/Menengah - -

13 Bidan Swasta - 4

14 Perawat Swasta 15 20

15 Dokter - -

16 Sopir 45 -

17 Tukang Ojek 85 -

18 Buruh Bangunan 450 -

19 TNI/Polri 5 -

20 Buruh Pabrik 750 150

Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

Page 48: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

38

Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan pelestarian hasil

pembangunan, masyarakat turut berpartisipasi dalam pelaksanaan

pembangunan fisik di desa, dan juga penduduk yang terlibat dalam

pelaksanaan proyek padat karya oleh pengelola proyek yang ditunjuk

pemerintah desa atau kabupaten / kota, serta adanya gotong royong

membantu masyarakat tidak mampu atau gotong royong dalam

pembangunan desa.

Adapun kondisi sosial budaya masyarakat Bojong meliputi :

1. Pendidikan

2. Mata Pencaharian

3. Kualitas Keagamaan

Pembagian wilayah administrasi dan bidang pemerintahan desa

Bojong menjadi 10 kampung, 40 RT, dan 14 RW dipimpin oleh seorang

kepala desa dan sekertaris.

Untuk mempermudah melihat fasilitas umum sarana lembaga

kemasyarakatan yang ada di desa Bojong yaitu antara sarana peribadatan,

sarana olah raga, sarana kesehatan, sarana pendidikan, prasarana energi

dan penerangan, serta prasarana dan sarana kebersihan dapat dilihat dari

tabel berikut ini :

Tabel 3.6 Sarana Peribadatan

No. Sarana Jumlah

1 Masjid 14 Buah

2 Musholla 16 Buah

3 Gereja Kristen Protestan -

4 Gereja Katholik 1 Buah

5 Vihara -

6 Pura -

7 Klenteng -

Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

Page 49: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

39

Tabel 3.7 Sarana Pendidikan

No. Sarana Jumlah

1 Gedung SMA/sederajat 1 Buah

2 Gedung SMP/sederajat 2 Buah

3 Gedung SD/sederajat 6 Buah

4 Gedung TK 8 Buah

5 Gedung Tempat Bermain Anak -

6 Jumlah Lembaga Pendidikan Agama 2 Buah

7 Jumlah Perpustakaan Keliling -

8 Perpustakaan Desa -

9 Taman Baca -

Sumber : Kantor Desa Bojong Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

D. Kondisi Sosial Keagamaan

Kondisi keagamaan pada sebagian keluarga miskin yang ada di desa

Bojong dapat digolongkan sebagai kelompok yang mengaktualisasikan nilai-

nilai sosial keagamaan secara baik. Terbukti kehidupan sehari-hari rukun

antar sesama. Sifat gotong royong sangat menonjol sekali, apabila diantara

mereka melaksanakan hajatan / acara pernikahan atau musibah kematian,

dengan sukarela mereka gotong royong membantu sesamanya. Untuk

pelaksanaan ritual keagamaan seperti sholat lima waktu, sholat jum‟at dan

sholat hari raya, sarana peribadatan di desa Bojong sangat mencukupi. Baik

itu sarana peribadatan seperti masjid, mushola, ataupun gereja yang sudah

dibangun cukup lama dengan gotong royong dan bantuan dana dari warga

masyarakat desa Bojong.

Dari segi kegiatan keagamaan kondisinya cukup beragama di desa

Bojong, berdasarkan pengamatan di lapangan, warga masyarakat desa Bojong

senantiasa aktif menghadiri kegiatan keagamaan rutin seperti pengajian,

pengajian rutin ataupun yang tidak, seperti kegiatan Peringatan Hari Besar

Islam (PHBI), Isra Mi‟raj, Tahun Baru Islam dan sebagainya. Diantara

kegiatan keagamaan yang secara rutin diikuti masyarakat desa Bojong yaitu

sekolah pendidikan agama Islam anak-anak di madrasah / TPA, pengajian

Page 50: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

40

ibu-ibu seminggu tiga kali, pengajian bapak-bapak dan remaja. Dari adanya

kegiatan keagamaan yang sangat baik ini, sangat disayangkan tidak sejalan

dengan peningkatan pengetahuan keagamaan masyarakat desa Bojong, bahwa

bahasan kajian di setiap tempat pengajian hanya sebatas membahas masalah

keagamaan yang mendasar seperti sholat, zakat, ataupun puasa, tetapi tidak

membahas hal-hal keagamaan yang lebih terperinci47

.

47

Hasil Observasi.

Page 51: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

41

BAB IV

PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILAN

(IMPLEMENTASI PP NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK)

A. Praktik Pengangkatan Anak Di Desa Bojong

1. Proses Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak adalah perpindahan hak asuh anak, pendidikan

dan tanggung jawab dari keluarga kandung sang anak kepada keluarga yang

mengangkat anak tersebut dengan tata cara adat setempat serta memohonkan

pengangkatan anak tersebut ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan

pengadilan. Dan pengangkatan anak juga merupakan suatu perbuatan hukum

yang sangat bermanfaat bagi sebagian pasangan suami istri, karena hal ini

menjadi solusi bagi pasangan suami istri yang ingin mempunyai seorang anak

untuk hadir ditengah-tengah keluarga mereka. Dan juga pengangkatan anak

akan menjadi berkah bagi sang anak yang nasibnya tidak mendapatkan kasih

sayang dari orang tua ataupun yang tidak mendapatkan pendidikan yang baik

untuk bisa melanjutkan kehidupan yang lebih baik.

Indonesia merupakan negara hukum yang mengatur dan memaksa

masyarakat yang melakukan perbuatan hukum untuk senantiasa mematuhi

peraturan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Perbuatan hukum yang dilakukan semua kalangan masyarakat di Indonesia

harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan,

karena tentunya itu merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat

Indonesia, sehingga tidak menimbulkan perbuatan melanggar hukum yang

bisa merugikan diri sendiri ataupun orang-orang di sekitarnya. Salah satu

perbuatan hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan

yaitu pelakasanaan pengangkatan anak, yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang pelaksanaan pengangkatan anak.

Page 52: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

42

Dalam PP No.54 Tahun 2007 terdapat peraturan yang mengatur

tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Dalam peraturan tersebut yang

terdapat pada Pasal 2 mengatur bahwa praktik pengangkatan anak dapat

dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat. Sebagaimana data

wawancara yang penulis peroleh di desa Bojong bahwa hampir semua

masyarakat desa Bojong mengangkat anak dengan cara adat setempat yang

hanya mengangkat anak secara kekeluargaan, yaitu hanya dilakukan dengan

kesepakatan antara orang tua kandung dan orang tua angkat sebagai tanda

bahwa seluruh tanggung jawab pemeliharaan, kesejahteraan, dan

perlindungan sang anak beralih seluruhnya kepada orang tua angkat.

Pelaksanaan pengangkatan anak di desa Bojong pada praktiknya

hanya dilakukan dengan cara kekeluargaan antara orang tua kandung si anak

dengan orang tua angkat, dan proses tersebut tanpa melalui penetapan

pengadilan48

. Hal ini justru sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, sebagaimana yang

tercantum pada Pasal 9 ayat (2) yang berbunyi “Pengangkatan anak

berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan

pengadilan”. Akan tetapi mayoritas masyarakat khususnya masyarakat desa

Bojong melakukan pengangkatan anak hanya dilakukan sesuai adat setempat,

tidak ada keinginan untuk memohonkan penetapan pengadilan.

Perbuatan hukum tentang pengangkatan anak yang dilakukan

masyarakat Desa Bojong dengan tidak memohonkan pengangkatan anak

tersebut ke pengadilan merupakan hal yang tidak sesuai dengan hukum positif

di Indonesia. Kasus seperti ini merupakan bukti dari lemahnya kesadaran

masyarakat terhadap hukum. Kesadaran hukum sangat penting kedudukannya

dalam membantu masyarakat taat terhadap hukum. Sebagaimana teori

kesadaran hukum yang dikemukakan oleh Soejono Soekanto berpendapat

bahwa kesadaran hukum dianggap merupakan mediator antara hukum dan

48

Hasil wawancara informan.

Page 53: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

43

perilaku manusia baik secara individu maupun kolektif49

. Karena kesadaran

hukum diharapkan dapat mendorong seseorang dalam mematuhi dan

melaksanakan apa yang diperintahkan hukum dan tidak melaksanakan apa

yang dilarang oleh hukum.

Dalam proses pelaksanaan pengangkatan anak melalui penetapan

pengadilan, terdapat batas akibat hukum pengangkatan anak produk

Pengadilan Agama dengan produk Pengadilan Negeri. Perbedaan prinsip

hukum pengangkatan anak yang dimohon dan diputus Pengadilan Agama

dengan Pengadilan Negeri tentu akan menimbulkan perbedaan pemahaman

khususnya dalam hukum Islam. Untuk mengetahui perbedaan positif dan

negatif akibat hukum pengangkatan anak yang dilakukan antara Pengadilan

Agama dengan Pengadilan Negeri dalam pandangan Hukum Islam, dijelaskan

perbedaanya dalam bentuk tabel berikut50

:

No Aspek/Unsur Penetapan Pengadilan

Agama

Penetapan Pengadilan

Negeri

1. Hubungan

Nasab

- Nasab anak angkat tidak

putus dengan nasab

orang tua kandung dan

saudara-saudaranya.

- Yang beralih dari anak

angkat terhadap orang

tua angkatnya hanyalah

tanggung jawab

kewajiban pemeliharaan,

nafkah, pendidikan, dan

lain-lain.

- Nasab anak angkat

putus dengan nasab

orang tua kandung dan

saudara-saudaranya,

serta akibat-akibat

hukumnya.

- Nasab anak angkat

beralih menjadi nasab

orang tua angkat dan

saudara serta anaknya.

Dengan segala akibat-

49

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV.

Rajawali, 1982), h. 154. 50

Ahmad Kamil dan H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan

Anak di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), h. 9.

Page 54: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

44

- Anak angkat tetap

dipanggil dengan

bin/binti orang tua

kandung.

akibat hukumnya.

- Anak angkat dipanggil

dengan bin/binti orang

tua angkatnya

2. Perwalian

- Orang tua angkat hanya

menjadi terbatas

terhadap diri, harta,

tindakan hukum, dan

tidak masuk wali nikah

jika anak angkat ini

perempuan.

- Orang tua angkat

menjadi wali penuh

terhadap diri, harta,

tindakan hukum, dan

wali nikah atas anak

angkatnya.

3. Hubungan

Mahrom

- Anak angkat boleh

dinikahkan dengan orang

tua angkatnya, juga

boleh dinikahkan dengan

anak kandung atau anak

angkat lain dari orang

tua angkatnya.

- Anak angkat tidak

boleh dinikahkan

dengan orang tua

angkatnya, juga tidak

boleh dinikahkan

dengan anak kandung

atau anak angkat dari

orang tua angkat.

4. Hak Waris

- Anak angkat tidak boleh

menjadi ahli waris orang

tua angkatnya. Tapi anak

angkat dapat

memperoleh harta

warisan orang tua

angkatnya melalui wasiat

wajibah.

- Anak angkat dapat

menjadi ahli waris

terhadap harta warisan

orang tua angkatnya,

sebagaimana hak-hak

dan kedudukan yang

dimiliki anak kandung.

Dari kelima informan yang telah diwawancara, dalam hal tata cara

pengangkatan anak sebagaimana penuturan dari bapak Soprin, pengangkatan

anak yang dilakukan oleh bapak Soprin yaitu dengan proses kekeluargaan

Page 55: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

45

yakni hanya sebatas pertemuan antara keluarga kandung sang anak angkat

dengan keluarga bapak Soprin. Ketika anak tersebut lahir, bapak Soprin

datang ke rumah orangtua kandungnya dan menjelaskan kepada mereka akan

siap mengurus segalanya untuk sang anak dan menjadikan anak tersebut

menjadi anak angkatnya, sebagaimana yang telah disepakati sebelum anak

tersebut lahir51

.

Sementara proses pengangkatan anak yang dilakukan keluarga Ibu

Sumarni yaitu dengan cara kekeluargaan sesuai wasiat dari Ibu kandungnya,

tidak seperti bapak soprin yang mengangkat anak dengan keluarga yang

belum dikenal sebelumnya, tetapi anak yang diangkat Ibu Sumarni

merupakan keponakannya dari mendiang adik kandung Ibu Sumarni yang

meninggal ketika melahirkan anak tersebut52

. Sama halnya seperti yang

dilakukan keluarga Ibu Fatmawati yakni mengangkat anak dengan proses

kekeluargaan dan anak yang diangkatnya pula masih merupakan

keponakannya dari kakak kandung Ibu Fatmawati. Dalam prosesnya ketika

anak tersebut lahir, oleh orang tua kandungnya diantarkan ke rumah Ibu

Fatmawati dan memintanya untuk merawat dan memelihara seperti anak

sendiri53

.

Pengangkatan anak yang dilakukan dengan orang tua kandung sang

anak yang masih ada hubungan kekerabatan yaitu pengangkatan anak yang

dilakukan oleh Ibu Ifa Ningsih yang mengangkat anak dari orang tua kandung

sang anak yang mana ibu kandungnya masih ada hubungan sepupu dengan

Ibu Ifa. Dalam proses pengangkatan anaknya, bukan ibu ifa yang

menawarkan diri untuk mengambil anak tersebut agar dijadikan anak angkat,

51

Soprin, Keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13

Oktober 2019, Pukul 17.06. 52

Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14

Oktober 2019, Pukul 16.15. 53

Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15

Oktober 2019, Pukul 11.53.

Page 56: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

46

melainkan orang tua kandung sang anak yang mengantarkan anak tersebut

kepada Ibu Ifa untuk dirawat oleh Ibu Ifa54

.

Responden yang terakhir yakni pengangkatan anak yang dilakukan

oleh keluarga Bapak Ahmad, dengan proses yang sama seperti keempat

responden lainnya yaitu mengangkat anak dengan adanya kesepakatan antara

dua belah pihak yakni antara keluarga Bapak Ahmad dengan orang tua

kandung dari anak yang diangkatnya. Pada prosesnya Bapak Ahmad

menawarkan diri kepada orang tua kandungnya untuk mengurus dan

menjadikan anaknya sebagai anak angkat Bapak Ahmad55

. Dari hasil

wawancara yang telah dilakukan kepada kelima responden tersebut,

disimpulkan bahwa pengangkatan anak yang dipraktikkan oleh masyarakat

Desa Bojong dilakukan dengan tata cara adat setempat yaitu hanya sebatas

kesepakatan antara orang tua kandung dan orang tua angkat dengan tujuan

yang beragam. Tentu saja yang dipraktikkan oleh masyarakat Desa Bojong

yang mengangkat anak dengan cara adat setempat tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana pada

Pasal 2 PP No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang

menerangkan bahwa pelaksanaan pengangkatan anak dapat dilaksanakan

berdasarkan adat kebiasaan setempat56

. Permasalahan ini dapat mengacu pada

teori kesadaran hukum bahwasanya masyarakat Desa Bojong kesadaran

terhadap hukum masih tergolong lemah, padahal dengan kesadaran hukum

akan dapat membuat masyarakat menjadi termotivasi dan mentaati peraturan

perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara.

2. Faktor Serta Urgensi Pelaksanaan Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bojong

sudah tentu disebabkan karena adanya faktor yang melatar belakangi

terjadinya pengangkatan anak di Desa Bojong. Berdasarkan hasil wawancara

54

Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14

Oktober 2019, Pukul 16.43. 55

Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 11

Oktober 2019, Pukul 17.05 56

Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan

Anak.

Page 57: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

47

kepada keluarga yang melakukan pengangkatan anak, beberapa menuturkan

bahwa faktor melakukan pengangkatan anak yakni karena faktor biologis,

faktor kekeluargaan, dan faktor penelantaran anak. Berikut beberapa

penjelasan faktor yang mendorong masyarakat Desa Bojong melakukan

pengangkatan anak :

a. Faktor biologis, faktor yang pertama yang membuat sebuah keluarga

melakukan pengangkatan anak adalah faktor biologis. Faktor ini sudah

menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat yang sudah berkeluarga

tetapi belum dikarunai anak, maka solusi yang dilakukan yakni

mengangkat anak dari kerabat dekat atau orang lain yang ingin

anaknya diadopsi. Praktik ini dalam adat masyarakat disebut mancing

karena beranggapan akan mendapatkan anak kandung jika

mengadopsi anak orang lain57

. Hal itu menjadi dasar keluarga Ibu Ifa

dan Ibu Fatmawati melakukan pengangkatan anak. Adapun alasan Ibu

Fatmawati mengangkat anak selain untuk melakuan adat mancing

menurut kepercayaan masyarakat setempat, Ibu Fatmawati merasa

bersyukur melalukan pengangkatan anak karena tidak merasa kesepian

setelah ditinggal pergi oleh suaminya58

.

b. Faktor kekeluargaan, faktor yang kedua ini juga dijadikan masyarakat

untuk melakukan pengangkatan anak. Faktor kekeluargaan ini juga

dijadikan alasan oleh masyarakat melakukan pengangkatan anak

dikarenakan orang tua kandungnya yang kurang mampu memenuhi

kebutuhan sang anak baik pendidikan ataupun hak asuh anak. faktor

inilah yang membuat keluarga Bapak Ahmad mengadopsi seorang

anak yatim59

.

c. Faktor penelantaran anak, faktor ini dijadikan sebab melakukan

pengangkatan anak dikarenakan ibu dari anak tersebut meninggal dan

57

Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14

Oktober 2019, Pukul 16.43. 58

Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15

Oktober 2019. 59

Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 11

Oktober 2019.

Page 58: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

48

ayahnya meninggalkan sang anak tanpa sebab sehingga anak tersebut

tidak ada yang mengurusnya. Itulah yang menjadi sebab keluarga Ibu

Sumarni mengangkat anak tersebut yang masih ada hubungan

kekerabatan60

.

Ketiga faktor itu yang menjadi garis besar yang menyebabkan

sebagian masyarakat Desa Bojong berani memutuskan untuk melakukan

pengangkatan anak. Disamping ketiga faktor tersebut, tentu saja tujuan utama

melakukan pengangkatan anak tidak lain yaitu demi kepentingan yang terbaik

bagi sang anak. Menurut hemat penulis, sebagaimana hasil wawancara yang

telah dilakukan kepada kelima informan, meskipun sebagian dari mereka

merupakan keluarga pra sejahtera tetapi mereka berusaha untuk bisa

memenuhi kebutuhan sang anak seperti anak kandungnya sendiri dengan

sebaik-baiknya.

Sebagaimana yang tertuang dalam Undang – undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 39 ayat (1) yang berbunyi :

“Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan hanya dapat dilakukan untuk

kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan

setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”61

.

Dalam Undang-undang tersebut, motivasi dasar dalam pengangkatan anak

yaitu demi kepentingan sang anak baik itu dalam pemeliharaannya,

kebahagiaaannya, maupun pendidikannya. Selain itu, pengangkatan anak

dapat dilakukan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di tempat

berlangsungnya perbuatan hukum mengangkat anak. Undang-undang tersebut

juga menjelaskan bahwa pengangkatan anak selain dengan tata cara adat

setempat, tetapi juga harus sesuai undang-undang yang berlaku salah satunya

yaitu dengan melalui penetapan pengadilan.

60

Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14

Oktober 2019. 61

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Page 59: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

49

B. Pemenuhan Hak dalam Pengangkatan Anak

Terjadinya pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum yang

baru karena masuknya objek hukum yang baru dalam hal ini yaitu anak

angkat. Secara otomatis dengan masuknya anak angkat dalam suatu keluarga,

maka akan menimbulkan akibat hukum yang baru yakni adanya hak dan

kewajiban yang harus terpenuhi antara anak angkat dengan keluarga dan

orang tua angkatnya. Dalam ilmu fiqih, hak yang harus terpenuhi ini disebut

dengan Hak Syahshi yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara‟ terhadap

seseorang untuk kepentingan orang lain. Dalam hak syakhshi terdapat 2 pihak

yang saling berhadapan, yang pertama pihak yang mempunyai kewajiban

(multazim) dan kedua yakni pihak yang mempunyai hak (multazam lahu) 62

.

Hak syakhshi ini bisa lahir karena ketetapan syara‟ (undang-undang)

misalnya hubungan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.

1. Hak anak angkat dalam hal kewarisan

Kewarisan merupakan suatu perbuatan hukum yang sudah menjadi

adat kebiasaan pada masyarakat umum bahkan sejak zaman dahulu sudah

menjadi kebiasaan untuk melanjutkan pemeliharaan harta kepada

keturunannya. Akan tetapi dalam praktiknya berbeda dengan peraturan

kewarisan dalam hukum Islam, yang mana mereka memberikan harta warisan

sepenuhnya kepada sang anak meskipun anak itu berstatus anak angkat

maupun anak kandung. Dalam hukum Islam kewarisan sudah menjadi hukum

mutlak bahkan telah diatur secara rinci dalam Al-Qur‟an tentang pembagian

hartanya, siapa saja yang berhak menerima ataupun yang tidak. Sehingga tidak

begitu saja mewariskan harta warisan kepada siapa saja yang dianggap sebagai

keturunanya.

Warisan yang dimiliki sang anak tidak bisa diwariskan kepada orang

tua angkat karena anak angkat tidak ada hubungan darah dengan orang tua

angkat. Tetapi orang tua angkat hanya bisa mendapatkan harta sang anak

angkat melalui wasiat wajibah. Sama halnya dengan anak angkat yang juga

62

Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),

Cet. 1, h., 39.

Page 60: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

50

tidak bisa menjadi ahli waris dari orang tua angkat dan hanya mendapatkan

1/3 harta melalui wasiat wajibah, sebagaimana yang telah diatur dalam KHI

pasal 209 baik ayat (1) maupun (2)63

. Tetapi yang terjadi di berbagai daerah di

Indonesia yang masyarakat adatnya menganut agama Islam, masih terdapat

dan belaku pengangkatan anak dimana antara anak angkat dan orang tua

angkat bisa saling mewarisi. Bahkan karena terlalu sayang orang tua kepada

anak angkatnya, warisan sudah berlangsung ketika pewaris masih hidup64

.

Khususnya yang terjadi pada masyarakat Desa Bojong yang bahkan

membagikan secara rata harta warisannya kepada anak-anaknya dengan tidak

memandang apakah yang mendapatkan bagian tersebut merupakan anak

angkat atau anak kandung.

Pembagian harta warisan pada masyarakat Desa Bojong yang

mayoritas beragama Islam, dalam praktiknya tidak berdasar hukum Islam.

Kebanyakan dari mereka hanya membagi sesuai kesepakatan bersama selama

dalam pembagian harta warisan tidak menimbulkan permasalahan dan tidak

memandang apakah ahli waris tersebut anak angkat atau anak kandung65

.

Sebagaimana wawancara kepada keluarga Ibu Sumarni yang akan mewariskan

seluruh hartanya kepada anak angkatnya, dengan alasan karena keluarga Ibu

Sumarni belum memiliki anak kandung dan hanya mempunyai anak angkat

tersebut66

. Sama halnya seperti keluarga ibu Fatmawati yang kelak akan

mewariskan seluruh hartanya kepada anak angkatnya yang sudah berkeluarga,

dikarenakan ibu Fatmawati tidak punya anak kandung atau ahli waris dan

hidup sendiri sehingga tidak ada lagi yang bisa meneruskan harta

peninggalannya67

. Keluarga ibu Ifa Ningsih pun kelak akan membagikan

63

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h., 139. 64

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Penerbit Alumni, 1983),

h., 89. 65

Hasil Observasi 66

Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14

Oktober 2019. 67

Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15

Oktober 2019.

Page 61: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

51

secara rata harta warisan kepada ahli warisnya baik anak kandung ataupun

anak angkat68

.

Berbeda dengan keluarga bapak Soprin dalam pembagian harta

warisan. Yang mana keluarga bapak Soprin mempunyai dua anak kandung

dan satu orang anak angkat. Keluarga bapak Soprin kelak apabila

meninggalkan harta warisan akan membagikan secara rata kepada anak-

anaknya dengan catatan ada perbedaan bagian harta kepada anak angkatnya

dengan jumlah yang tidak bisa ditentukan69

. Pembagian harta warisan yang

kelak akan dilakukan oleh keluarga bapak Soprin memang tidak sesuai dengan

ketentuan pembagian warisan dalam hukum Islam, terlebih anak angkat bapak

Soprin dimasukkan menjadi ahli warisnya setara kedudukan anak angkat

tersebut dengan anak kandungnya meskipun ada perbedaan dalam persentase

pembagian harta warisannya. Pembagian harta warisan keluarga bapak Soprin

sama dengan pembagian yang kelak akan dilakukan keluarga bapak Ahmad

yang akan membagikan hartanya kepada anak angkatnya tetapi jumlah

hartanya dibedakan dengan anak kandungnya70

.

Dalam praktik pembagian harta warisan di Desa Bojong sebagaimana

dari hasil wawancara kelima responden, dalam praktiknya tidak bisa

dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dari kelima responden tersebut telah menjadikan

anak angkat sebagai ahli waris mutlak seperti anak angkat. Seorang anak

angkat tidak dapat menerima harta warisan orang tua angkatnya sebab pada

hakikatnya anak angkat kedudukannya bukan sebagai ahli waris karena tidak

mempunyai hubungan darah. Sebagaimana definisi ahli waris yang tertuang

dalam KHI pasal 171 huruf c yang menyebutkan bahwa : “Ahli waris adalah

orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang

68

Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14

Oktober 2019. 69

Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13

Oktober 2019. 70

Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 11

Oktober 2019.

Page 62: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

52

karena hukum untuk menjadi pewaris”71

. Dalam KHI tersebut secara

gamblang menjelaskan bahwa yang berhak menjadi ahli waris atau yang

mendapatkan bagian warisan hanya yang memiliki hubungan darah dengan

pewaris. Dalam permasalahan pengangkatan anak, orang tua atau anak angkat

tidak berhak menjadi ahli waris. Karena dalam hukum Islam anak angkat tidak

diakui untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok

dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arhaam72

Peraturan hukum Islam yang telah tertuang dalam KHI pasal 171 huruf

c tidak serta merta memaksa orang tua angkat atau anak angkat khususnya

tidak mendapatkan harta peninggalan orang tua angkatnya. Meskipun sang

anak tidak menjadi ahli waris, anak tersebut bisa mendapatkan harta

peninggalan orang tua angkatnya melalui wasiat. Akan tetapi apabila pewaris

tidak sempat memberikan warisat kepada anak angkatnya, maka dapat berlaku

ketentuan dalam KHI pasal 209 ayat (2) yaitu “Terhadap anak angkat yang

tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari

harta warisan orang tua angkatnya”73

. Ketentuan tersebut dapat menjadi dasar

hukum untuk memenuhi hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua

angkatnya, meskipun mendapatkanya dengan ukuran yang dibatasi yaitu

jumlahnya tidak lebih dari 1/3 dari harta peninggalan orang tua angkatnya.

Dengan ketentuan tersebut lebih baik dilakukan karena sesuai dengan

peraturan perundang-undangan atau hukum Islam yang telah ditentukan.

Seyogyanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

dan hukum Islam yang tidak membolehkan anak angkat menjadi ahli waris

ataupun mendapatkan harta yang lebih dari ukuran jumlah harta yang berhak

didapatkan oleh anak angkat.

71

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h., 129. 72

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, h., 88. 73

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h., 139.

Page 63: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

53

2. Hak anak angkat dalam perwalian pernikahan

Hak anak angkat yang berhak didapatkan dari orangtua angkat adalah

hak perwalian bagi anak angkat perempuan khususnya ketika anak tersebut

menikah. Hak tersebut tidak terpenuhi oleh anak angkat ibu Fatmawati ketika

menikah. Sebagaimana yang dilakukan ibu Fatmawati yang tidak menjadikan

bapak kandung anak tersebut menjadi wali nikah, tetapi wali hakim yang

menjadi wali pernikahan anak angkatnya. Meskipun bapak kandung anak

tersebut hadir ketika akad berlangsung74

. Permasalahan yang terjadi pada

keluarga ibu Fatmawati yaitu diakibatkan karena kurangnya pemahaman

dalam pengangkatan anak yang seharusnya bapak kandung yang masih ada

berhak untuk menjadi wali nikah anak kandungnya meskipun anak tersebut

berstatus anak angkat orang lain. Tetapi keluarga ibu Fatmawati beranggapan

bahwa anak angkatnya sudah tidak bisa dapat perwalian dari bapak

kandungnya75

.

Mengenai permasalahan dalam perwalian pernikahan, alasan yang

berbeda disampaikan dari keluarga bapak Soprin yang kelak tidak akan

menjadikan bapak kandung dari anak angkatnya menjadi wali nikah, tetapi

menjadikan wali hakim sebagai wali untuk anak angkatnya. Alasan keluarga

bapak Soprin tersebut dikarenakan memiliki pemahaman bahwa anak angkat

yang ia angakt sudah terputus hubungan dengan orang tua angkatnya sehingga

tidak berhak untuk menjadi wali anak angkatnya sehingga keluarga bapak

Soprin memutuskan wali hakim yang akan menjadi wali dari anak

angkatnya76

. Dari kedua permasalahan diatas disimpulkan bahwa kedua

keluarga tersebut dengan jelas sangat bertentangan dengan Hukum Islam

karena telah membatasi hak perwalian anak angkatnya yang tidak menjadikan

bapak kandung untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka. Dari kedua

keluarga tersebut terlihat memang tidak ingin keluarga kandung dari anak

74

Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15

Oktober 2019. 75

Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15

Oktober 2019. 76

Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13

Oktober 2019.

Page 64: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

54

angkatnya menjadi wali dalam pernikahan anaknya. Hal ini terlihat dari

pernyataan keluarga bapak Soprin dan ibu Fatmawati. Yang mana sampai saat

ini ibu Fatmawati enggan memberitahukan anaknya mengenai orang tua

kandungnya77

. Begitu juga keluarga bapak Soprin yang belum berkeinginan

untuk memberitahukan perihal keluarga kandung dari anak angkatnya, dengan

alasan sewaktu-waktu akan memberitahukannya ketika anak tersebut beranjak

dewasa78

.

Sikap yang dilakukan oleh keluarga bapak Soprin dan ibu Fatmawati

dalam praktik pengangkatan anak tentu tidak sesuai dengan peraturan

pemerintah tentang pelaksanaan pengangkatan anak yang tertuang dalam Pasal

6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan

pengangkatan anak yang berbunyi : “Orang tua angkat wajib memberitahukan

kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya”.

Peraturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak tersebut sering kali tidak

dipraktikkan dimasyarakat, khususnya pada masyarakat desa Bojong. Padahal

dalam peraturan tersebut mewajibkan atas orang tua angkat menjelaskan asal-

usulnya serta memberitahukan orang tua kandungnya agar tidak menimbulkan

kesalahpahaman dikemudian hari antara orang tua angkat dengan anak

angkatnya. Bahkan keluarga ibu Fatmawati memang sengaja tidak

memberitahukan dengan alasan bahwa anak angkatnya akan mengetahui

dengan sendirinya79

. Hal ini justru akan menyakiti sang anak apabila

mengetahui kenyataan tanpa terlebih dahulu diberitahukan asal-usulnya oleh

orang tua angkatnya. Sehingga keharmonisan dalam rumah tangga tidak

tumbuh antara anak angkat dan orang tua angkatnya.

3. Hak anak angkat perihal legalitas hukum

Setiap perbuatan hukum yang dilakukan tentunya ada aturan yang

telah mengatur bagaimana cara menjalankan suatu perbuatan hukum tersebut,

77

Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15

Oktober 2019. 78

Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13

Oktober 2019. 79

Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15

Oktober 2019.

Page 65: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

55

dengan peraturan itulah menjadikan perbuatan hukum yang telah dilakukan

tersebut menjadi sah dan legal dimata hukum. salah satunya perbuatan hukum

yaitu pengangkatan anak yang mana telah menjadi budaya masyarakat salah

satunya yaitu yang belum mempunyai keturunan agar segera memiliki anak

melaui proses pengangkatan anak.

Pengangkatan anak sebagaimana yang sudah diatur dalam peraturan

perundang-undangan yaitu harus dilakukan melalui proses penetapan

pengadilan. Pengangkatan anak yang sudah dilakukan melalui adat setempat

dapat dimohonkan penetapan pengadilan sebagaimana yang telah di atur pada

pasal 20 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan

pengangkatan anak. Yang merupakan upaya pemerintah agar pelaksanaan

pengangkatan anak legal dan sah dimata hukum agar terhindar dari upaya

Trafficking (perdagangan) anak yang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak

bertanggung jawab yang menutupi perbuatannya dengan dalih pengangkatan

anak.

Seorang anak angkat mempunyai hak yang tidak ada bedanya dengan

anak kandung. Seorang anak angkat membutuhkan perlindungan serta

membutuhkan haknya untuk mengetahui asal-usulnya agar tidak

menimbulkan kekecewaan dikemudian hari. Salah satu bentuk perlindungan

orang tua angkat kepada anak angkat yaitu melakukan pengangkatan anak

melalui penetapan pengadilan. Untuk memperoleh penetapan pengadilan,

calon orang tua angkat bisa mengajukan permohonan dan nantinya akan

ditetapkan oleh pengadilan tentang penetapan hak asuh anak angkat di

Pengadilan Agama untuk orang Islam dan Pengadilan Negeri untuk

masyarakat non Islam. Mengharuskan proses pengangkatan anak melalui

pengadilan ini telah diatur dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 54

Tahun 2007 yang berbunyi “permohonan pengangkatan anak yang telah

memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan

pengadilan”80

.

80

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan

Pengangkatan Anak.

Page 66: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

56

Penetapan pengadilan sangatlah penting dalam proses pengangkatan

anak karena hal tersebut untuk memastikan bahwa pengangkatan anak yang

telah dilakukan terbukti sah dimata hukum dan dapat dipertanggung

jawabkan dengan adanya bukti otentik yakni penetapan pengadilan. Oleh

karena itu, penetapan pengadilan mengadung kepastian hukum terhadap anak

angkat didalam keluarga angkatnya dan juga akan memberikan perlindungan

untuk sang anak angkat.

Teori kepastian hukum ini menurut Bachsan Mustafa merupakan

hukum administrasi negara positif yang harus dapat menjamin kepastian

hukum kepada masyarakat. Berikut ini merupakan tiga arti dari kepastian

hukum : 81

a. Pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah pemerintah

tertentu yang abstrak.

b. Pasti mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam

pelaksanaan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara.

c. Mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang

(eigenricting) dari pihak manapun, juga tidak dari pemerintah.

Ketiga arti teori kepastian hukum diatas dapat menjadi alasan

mengapa pengangkatan anak harus melalui proses penetapan pengadilan.

Disini dapat disimpulkan bahwa peraturan perundang undang memberikan

kepastian hukum dan mengatur kewenangan pengadilan untuk menetapkan

pengadilan dalam proses pengangkatan anak, memberikan kepastian

kedudukan anak angkat sebagai subjek hukum dengan membuatkan

penetapan pengadilan agar pengangkatan anak yang dilakukan sah dimata

hukum, dan harus ada upaya dari pemerintah dalam hal ini Dinas pencatatan

sipil untuk mencegah terjadinya sewenang-wenang pada masyarakat yang

tidak memiliki kesadaran dan kejujuran dalam proses pengangkatan anak

yang tentunya harus dibantu oleh pemerintah yang lebih dekat dengan

masyarakat yakni pemerintah desa dalam upaya menanggulangi

81

Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung:

Cipta Aditya Bakti, 2001), h., 53.

Page 67: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

57

pengangkatan anak yang tidak sesuai dan sejalan secara praktik dengan

peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Pemerintah desa Bojong memberi pernyataan bahwa mereka telah

berupaya menangani permasalahan pengangkatan anak, tetapi yang menjadi

pantauan khusus mereka bukan proses pengangkatan anaknya melainkan

hanya mengantisipasi adanya permasalahan rumah tangga masyarakat yang

telah melakukan pengangkatan anak kelak di masa yang akan datang82

.

Menurut penulis ada permasalahan dalam upaya pemerintahan desa yang

seharusnya mereka membenahi masyarakat yang mempraktikkan

pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan diikuti dengan pantauan

khusus dari pemerintah kepada masyarakat yang mengangkat anak sesuai

peraturan perundang-undangan. Tetapi pada faktanya pemerintah desa tidak

melakukan itu dan membiarkan masyarakat melakukan pengangkatan anak

hanya sesuai adat setempat dan kemudian mereka hanya memantau dan

mengantisipasi adanya permasalahan atau sengketa di dalam keluarga yang

mengangkat anak tanpa penetapan pengadilan. Meskipun pemerintah desa

tidak setuju dengan pengangkatan anak yang dilakukan masyarakatnya yang

tanpa memohonkan penetapan pengadilan, tetapi pemerintah desa tidak

menjadikan praktik pengangkatan anak tersebut sebagai suatu permasalahan

yang harus dibenahi, alasan pemerintah desa yaitu dikarenakan mayoritas

masyarakat yang mengangkat anak hanya berniat untuk benar-benar merawat,

mengasuh, dan mendidik demi kesejahteraan sang anak angkat bukan untuk

menyakiti anak tersebut83

.

Peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan pengangkatan anak

yang dilakukan tanpa melalui penetapan pengadilan khususnya pemerintah

desa sebaiknya harus secara intensif memberikan penyuluhan kepada

masyarakat untuk memberikan mereka kesadaran dan pengetahuan agar

pengangkatan anak dilakukan melalui proses penetapan pengadilan. Sehingga

82

Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Interview Pribadi, Bojong, 23 Oktober

2019, Pukul 15.14. 83

Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Interview Pribadi, Bojong, 23 Oktober

2019.

Page 68: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

58

tidak ada masyarakat yang mengangkat anak yang hanya sebatas adat istiadat

atau secara kekeluargaan saja, tetapi menyadarkan masyarakat yang telah

mengangkat anak secara adat istiadat memohonkan permohonan

pengangkatan anak agar ditetapkan melalui penetapan pengadilan. Dengan

proses yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka anak yang

diangkat akan terpenuhi hak legalitasnya dimata hukum, karena seorang anak

angkat memiliki hak yang sama dengan anak-anak yang lainnya yaitu

memiliki hak kepastian hukum dan kesejahteraan dari orang tua angkatnya.

Oleh karena itu, legalitas dimata hukum untuk sang anak angkat sangatlah

penting begitu pula sama pentingnya bagi orang tua yang mengangkat anak,

sehingga apabila terjadi suatu permasalahan atau persengketaan antara orang

tua angkat dan anak angkat dikemudian hari, maka akan dapat diselesaikan di

muka pengadilan.

C. Eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak

1. Pengetahuan masyarakat tentang PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang

pelaksanaan pengangkatan anak.

Mayoritas masyarakat desa Bojong sebagaimana yang telah penulis

observasi bahwa mereka melakukan pengangkatan anak dilakukan tanpa

melalui proses penetapan pengadilan dengan alasan yang beragam, oleh

sebab itu maka perlu diketahui seberapa cakapnya masyarakat desa Bojong

dalam memahami peraturan pelaksanaan pengangkatan anak yang terdapat

pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yang telah menjadi

rujukan masyarakat dalam melaksanakan pengangkatan anak. Hal tersebut

dapat diketahui berdasarkan penuturan beberapa informan yang telah

melakukan pengangkatan anak di desa Bojong.

Sebagaimana penuturan dari bapak Soprin yang sebenarnya

mengetahui peraturan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak tetapi tidak

melakukan pengangkatan dengan melalui proses penetapan pengadilan

dengan alasan karena merasa sudah tidak perlu lagi mengangkat anak

Page 69: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

59

melalui pengadilan84

. Begitu pula keluarga bapak Ahmad yang juga merasa

proses pengangkatan anak yang dilakukannya sudah cukup dan sudah bisa

memasukkan anak angkatnya kedalam kartu keluarga milik bapak ahmad

meskipun dalam akta tertulis sebagai anak kandung bapak Ahmad85

.

Pemahaman yang tidak tepat tersebut telah membuat mereka melakukan

perbuatan hukum yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan, sudah

pasti hal tersebut bertentangan dengan teori kepastian hukum yang akan

mengakibatkan kedudukan anak angkat sebagai subyek hukum tidak

mendapatkan kepastian hukum yang sah karena disebabkan adanya

perbuatan orang tua angkat yang sewenang-wenang melakukan proses

pengangkatan anak dengan tidak melalui penetapan pengadilan.

Berbeda dengan keluarga Ibu Sumarni yang sama sekali tidak

mengetahui peraturan perundang-undangan tentang pelaksanaan

pengangkatan anak, yang mana Ibu Sumarni hanya beranggapan praktik

pengangkatan anaknya sudah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan86

. Sama halnya seperti keluarga Ibu Fatmawati yang tidak

mengetahui peraturan yang mengatur pengangkatan anak, dengan alasan

karena pada saat mengangkat anak belum ada peraturan perundang-undangan

yang mengatur87

. Begitupun sama dengan Ibu Ifa Ningsih yang tidak tahu

dengan PP Nomor 54 Tahun 2007 serta tidak ada niat untuk melakukan

permohonan penetapan pengangkatan anak ke pengadilan, alasannya karena

anak yang diangkat merupakan anak dari saudara kandungnya88

.

Sebagaimana penuturan di atas memang sangat memperihatinkan dengan

84

Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 13

Oktober 2019. 85

Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 11

Oktober 2019. 86

Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14

Oktober 2019. 87

Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 15

Oktober 2019. 88

Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Interview Pribadi, Bojong, 14

Oktober 2019.

Page 70: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

60

kesadaran masyarakat terhadap hukum yang telah diatur. Tentu harus ada

upaya khusus bagi pemerintah desa menyelesaikan permasalahan ini.

Kasus di atas merupakan bentuk dari lemahnya kesadaran masyarakat

terhadap hukum, sebagaimana dalam teori kesadaran yang dikemukakan oleh

soerjono soekanto salah satu indikatornya yaitu indikator pengetahuan

tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness)89

. Indikator tersebut

yang menjadikan masyarakat Desa Bojong tidak mematuhi peraturan yang

sudah diatur secara tertulis oleh pemerintah. Karena lemahnya pengetahuan

mereka terhadap hukum, mereka tidak menyadari bahwa perbuatan hukum

yang dilakukan oleh mereka sangat tidak sesuai dengan peraturan tertulis

yang tertuang dalam peraturan perundangan.

89

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV.

Rajawali, 1982), h., 159.

Page 71: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengangkatan anak yang dilakukan masyarakat Desa Bojong pada

praktiknya tidak melalui proses penetapan pengadilan, mereka yang

mengangkat anak hanya melakukannya dengan proses adat istiadat yaitu

secara kekeluargaan atas kesepakatan antara keluarga kandung dengan calon

keluarga angkat anak yang akan diangkat. Praktik pengangkatan anak yang

dilakukan dengan cara kekeluargaan saja dan tidak memohonkan ke

pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan disebabkan karena

berbagai faktor yaitu faktor yang menganggap birokrasi yang rumit ketika

mengajukan permohonan ke pengadilan, faktor ketidak tahuan masyarakat

mengenai peraturan yang mengatur proses pengangkatan anak, dan

menganggap pengangkatan anak dapat dilakukan cukup dengan proses

kekeluargaan saja. Tentunya faktor-faktor tersebut muncul akibat rendahnya

kesadaran masyarakat terhadap hukum.

Pemenuhan Hak dan kewajiban antara orang tua angkat dan anak

angkat dalam praktik pengangkatan anak khusunya di Desa Bojong

disimpulkan pada tiga aspek pemenuhan hak dan kewajiban seorang anak

angkat. Pada pemenuhan hak perwalian dalam pernikahan terhadap anak

perempuan yang diangkat dalam masyarakat Desa Bojong tidak menjadikan

ayah angkatnya sebagai walinya melainkan menyerahkan perwaliannya

kepada wali hakim. Adapun pemenuhan hak kewarisan, dalam temuan ini

masyarakat Desa Bojong menjadikan anak angkatnya sebagai angota keluarga

yang berhak menerima warisan meskipun dengan jumlah yang dibedakan

dengan anggota keluarga yang lainnya. Hal tersebut sangat bententangan

karena dalam peraturan perundang-undangan dan hukum Islam, anak angkat

tidak bisa menjadi ahli waris dan mendapatkan harta peninggalan orang tua

angkatnya hanya dapat melalui wasiat wajibah. Kemudian dalam temuan

selanjutnya, untuk penuhan hak legalitas anak angkat di Desa Bojong terbukti

Page 72: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

62

tidak terpenuhi karena mereka diangkat oleh orang tua angkatnya tidak

melalui proses penetapan pengadilan.

Tingkat kesadaran hukum masyarakat Desa Bojong terhadap

peraturan pengangkatan anak sangat lemah. Hal tersebut terbukti dari

beberapa temuan pada penelitian ini yang menunjukkan bahwa masyarakat

Desa Bojong benar-benar tidak mengetahui peraturan pelaksanaan

pengangkatan anak yang sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54

Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Masyarakat Desa

Bojong hanya sebatas mengetahui bahwa pengangkatan anak diperbolehkan

dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum Islam dan tidak

mengetahui peraturan pelaksanan pengangkatan anak yang sudah diatur

dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu dalam temuan ini

alasan masyarakat Desa Bojong tidak melakukan pengangkatan melalui

penetapan pengadilan disebabkan karena adanya indikator pengetahuan

tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness) sebagaimana teori

kesadaran hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah diutarakan di

atas, maka perlu penulis rekomendasikan beberapa hal untuk mengatasi

permasalahan pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan. Beberapa hal

tersebut antara lain :

1. Hendaknya keluarga yang ingin mengangkat anak sudah mempersiapkan

suatu upaya agar bisa memenuhi hak calon anak angkat ketika kelak

sudah mengangkat anak. Satu hak yang harus terpenuhi yaitu hak

legalitas hukum sang anak angkat. Yang mengharuskan orangtua angkat

melakukan proses pengangkatan anak melalui penetapan pengadilan.

2. Hendaknya pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat yakni

pemerintah desa mengupayakan bukan hanya memantau masyarakat

yang sudah mengangkat anak, tetapi harus mengupayakan bagaimana

praktik pengangkatan anak tanpa melalui proses penetapan pengadilan

yang dilakukan masyarakat desa Bojong tidak terjadi lagi. Serta dengan

Page 73: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

63

mengadakan penyuluhan demi menyadarkan masyarakat desa Bojong

sadar hukum agar mengetahui tata cara mengangkat anak yang sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Penelitian tentang permasalahan pengangkatan anak tanpa penetapan

pengadilan ini tentu yang berperan penting untuk menyadarkan

masyarakat atas aturan hukum pengangkatan anak yaitu pemerintah

setempat. Dalam penelitian ini penulis hanya terfokus pada upaya

pemerintah desa menanggulangi permasalahan pengangkatan anak yang

tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu bagi

akademisi yang ingin meneliti tentang pengangkatan anak tanpa melalui

penetapan pengadilan, perlu juga diteliti terhadap apa yang dilakukan

pemerintah daerah atau Disdukcapil dalam mencegah adanya

pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan.

Page 74: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

64

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum

Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Al Barry, Zakariya Ahmad. Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Cet.1. Jakarta:

Bulan Bintang, 1977.

Al-Bukhari, Imam Abi Abdullah Muhammad ibn Ismail. Shahih Al-Bukhari.

Beirut: Dar ibn Katsir littaba‟ah wa al-Nasyri wa al-Tauzi, 2002.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab – Indonesia.

Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 2003.

Al-Muafiri, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam. As-Sirah An-Nabawiyah li

Ibni Hisyam. Penerjemah Fadhil Bahri. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam

Jilid I. Bekasi: Darul Falah, 2013.

Budiarto, M. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum. Jakarta: Akademika

presindo, 1985.

Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam. 1997/1998.

Echols, Jhon M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Fauzan dan Alam. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Jakarta:

Kencana, 2008.

Gosita, Arief. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademika Presindo, 1985.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: Penerbit Alumni, 1983.

Irfan, M. Nurul. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Amzah,

2012.

Jahar, Asep Saepudin, dkk. Hukum Keluarga Pidana dan Bisnis. Jakarta:

Kencana, 2013.

Kamil, Ahmad dan M.Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di

Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Page 75: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

65

Lathif, Ah. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Cet. 1. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.

Martosedono, Amir. Tanya jawab pengangkatan anak dan masalahnya.

Semarang: Effhar Offset dan Dahara Prize, 1990.

Muhammad, Bushar. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1981.

Mustafa, Bachsan. Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Bandung: Cipta

Aditya Bakti, 2001.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. 2007.

S. Sabarguna, Boy. Analisis Data Pada Penelitian Kualitatif. Jakarta: UI-Press,

2008.

Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan.

Bandung: Alfabeta, 2013.

Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1989.

Soekanto, Soerjono. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: CV.

Rajawali, 1982.

Soepomo. Hukum Perdata Adat Jawa Barat. Cet. 2. Jakarta: PT. Penerbit

Djambatan, 1982.

Soimin, Soedaryo. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar

Grafika, 2004.

______________. Hukum Orang dan Keluarga (Perspektif Hukum Perdata/BW

Hukum Islam dan Hukum Adat). Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004.

Sy, Musthofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2008.

Syamsu, Andi dan Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Cet.1.

Jakarta: Kencana, 2008.

Tafal, Bastian. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat: Serta Akibat

Hukumnya di Kemudian Hari. Cet. 2. Jakarta: Rajawali, 1989.

Page 76: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

66

Yaswirman. Hukum Keluarga : Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan

Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Rajawali Pers,

2013.

Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Cet ke-4.

Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

2. Wawancara

Interview Pribadi dengan Ahmad, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 11

Oktober 2019.

Interview Pribadi dengan Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 15

Oktober 2019.

Interview Pribadi dengan Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 14

Oktober 2019.

Interview Pribadi dengan Sumarni, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 14

Oktober 2019.

Interview Pribadi dengan Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong, Bogor, 23 Oktober

2019.

Interview Pribadi dengan Soprin, keluarga yang mengangkat anak, Bogor, 13

Oktober 2019.

3. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perindungan Anak.

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan

Anak.

Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Page 77: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 78: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat
Page 79: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat
Page 80: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat
Page 81: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT

Nama : Wahyudin

Jabatan : Sekertaris Desa Bojong

Hari / Tgl : Rabu, 23 Oktober 2019.

Tempat : Kantor Desa Bojong

1. Bagaimana praktik pengangkatan anak di Desa Bojong?

Jawab: Untuk masalah pengangkatan anak memang sudah sering terjadi di

wilayah Desa Bojong, dan prosesnya melalui kekeluargaan dengan

kesepakatan bahwa calon orang tua angkat tidak akan menyakiti,

memperkerjakan dan menelantarkan anak yang akan diangkat tersebut. Dan

praktik pengangkatan anak di Desa Bojong ada juga yang mengangkat anak

melalui lembaga panti asuhan dengan prosedur yang khusus, tetapi untuk

pengangkatan anak yang secara langsung antara calon orang tua angkat dan

orang tua kandung sang anak tidak ada prosedur khusus maupun dokumen

khusus dari desa dan hanya kesepakatan kedua belah pihak.

2. Bagaimana tanggapan bapak dengan praktik pengangkatan yang tidak melalui

proses Penetapan Pengadilan?

Jawab: Kalau memang seperti itu kita kembali kepada kesadaran masyarakat

yang mengangkat anak tidak melalui penetapan pengadilan. Disini kami

menyikapinya dengan siaga, dikarenakan pengangkatan anak yang tidak

melalui penetapan pengadilan tidak bisa dipertanggung jawabkan, dan kami

tetap siaga apabila terjadi permasalahan antara orang tua angkat dan anak

angkat maka kami akan siap menjadi penengah untuk menyelesaikan

permasalahan mereka.

3. Bagaimana solusi yang dilakukan pemerintah desa menangani masalah

pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan?

Jawab: Kami sudah bermusyawarah dengan perangkat desa, babinsa, tokoh

masyarakat untuk memantau dan siap siaga untuk menjadi penengah apabila

terjadi permasalahan antara anak angkat dan orang tua angkat yang tidak

melalui penetapan pengadilan.

Page 82: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

4. Apakah bapak setuju dengan praktik pengangkatan anak yang tanpa

penetapan pengadilan?

Jawab: Saya sangat tidak setuju, karena pengangkatan anak tanpa penetapan

pengadilan akan membuat perbuatan hukum tersebut tidak ada jaminan

hukumnya.

5. Bagaimana bapak menyikapi masyarakat yang mengangkat anak dengan

memasukkan anak angkatnya kedalam KK atau Akta Lahir sebagai anak

kandung?

Jawab: untuk itu kami tidak mempermasalahkannya karena niat mereka baik

dalam mengangkat anak tersebut dan akan merawat serta menyayangin anak

angkat tersebut seperti anak kandung.

6. Apakah bapak tahu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak?

Jawab : Saya belum tahu, tapi saya pernah mendengar peraturan tersebut.

Page 83: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

WAWANCARA DENGAN KELUARGA YANG MENGANGKAT ANAK

HASIL WAWANCARA I

Nama : Ahmad

Pendidikan Terakhir : SMA

Hari / Tgl : Jum‟at, 11 Oktober 2019.

Tempat : Rumah Bapak Ahmad di Desa Bojong

1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Bapak

Ahmad dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?

Jawab : Pengangkatan anak yang telah saya lakukan dengan proses

kekeluargaan saja, yakni hanya kesepakatan perpindahan pengasuhan antara

keluarga saya dengan keluarga anak tersebut. Prosesnya tidak susah karena

keluarga yang bersangkutan merupakan tetangga dekat saya. Dan saya

mengangkat anak tidak melalui penetapan pengadilan karena prosesnya ribet.

2. Apa faktor penyebab Bapak Ahmad memutuskan untuk mengangkat anak

tersebut?

Jawab : Saya memutuskan untuk mengangkat anak tersebut karena saya

merasa kasihan dan iba. Anak tersebut merupakan anak yatim dan saya

khawatir anak tersebut terlantar dan pendidikannya terabaikan karena

keluarganya yang tergolong kurang mampu.

3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?

Jawab: Anak tersebut akan mendapatkan bagian harta warisan tetapi

ukurannya berbeda dengan anak kandung saya.

4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat Bapak Ahmad?

Jawab: Karena anak angkat saya laki-laki, jadi untuk perwalian anak tersebut

saya hanya menjadi wali dalam administrasi dan pendidikannya saja.

5. Kapan bapak akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung

Pak Ahmad?

Jawab: Alhamdulillah anak tersebut sudah mengetahuinya, meskipun saya

belum memberitahukan kepadanya.

Page 84: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

6. Pada usia berapa bapak mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan

anak tersebut dengan orang tua kandungnya?

Jawab: saya mengangkat anak ketika ia berumur 1,5 tahun dan hubungan

dengan orang tua kandungnya baik-baik saja bahkan terkadang sering main

ke rumah orang tua nya.

7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat bapak?

Jawab: untuk akta lahir dan KK masuk kedalam keluarga saya dengan status

anak kandung.

8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?

Jawab: saya tidak tahu.

Page 85: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

HASIL WAWANCARA II

Nama : Soprin

Pendidikan Terakhir : SMA

Hari / Tgl : Minggu, 13 Oktober 2019.

Tempat : Rumah Bapak Soprin di Desa Bojong

1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Bapak

Soprin dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?

Jawab : tata caranya yakni dengan kekeluargaan kesepakatan antara keluarga

saya dan keluarga yang bersangkutan sebelum anak tersebut lahir. Ketika

anak tersebut lahir, saya menjemputnya dengan meyakinkan keluarga yang

bersangkutan bahwa saya siap mengurus dan membesarkan anak tersebut.

Untuk melalui penetapan pengadilan saya tidak melalui proses tersebut.

2. Apa faktor penyebab Bapak Soprin memutuskan untuk mengangkat anak

tersebut?

Jawab : karena anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu,

sehingga saya memutuskan siap untuk mengangkat anak tersebut.

3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?

Jawab: mendapatkan warisan tetapi jumlahnya tidak sama dengan anak

kandung saya.

4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat Bapak ?

Jawab: untuk perwalian dalam pernikahan saya akan menjadikan wali hakim

sebagai walinya karena saya tidak berhak menjadi wali nikahnya. Tetapi saya

menjadi wali dalam pendidikan dan administrasi lainnya saja.

5. Kapan bapak akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung

Pak Soprin?

Jawab: saya akan memberitahukannya ketika anak tersebut sudah dewasa,

tetapi tidak bisa menentukan kapan itu akan terjadi.

6. Pada usia berapa bapak mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan

anak tersebut dengan orang tua kandungnya?

Page 86: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

Jawab: ketika usia 1 bulan dan hubungan anak tersebut dengan orang tua

kandungnya sudah tidak terjalin karena jaraknya jauh dan diluar kota.

7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat bapak?

Jawab: untuk administrasi kependudukannya masuk kedalam keluarga saya

dengan status anak kandung agar mempermudah ketika sekolah dan

kepentingan yang lain.

8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?

Jawab: saya tidak tahu sama sekali

Page 87: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

HASIL WAWANCARA III

Nama : Sumarni

Pendidikan Terakhir : SMP

Hari / Tgl : Senin, 14 Oktober 2019.

Tempat : Rumah Ibu Sumarni di Desa Bojong

1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Ibu

Sumarni dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?

Jawab : tata cara pengangkatan anak yang saya lakukan hanya cara

kekeluargaan saja, sedangkan untuk prosesnya tidak melalui pengadilan

karena anak yang saya angkat merupakan anak dari mendiang adik saya dan

saya fikir proses ini tidak salah dan cukup kekeluargaan saja.

2. Apa faktor penyebab Ibu Sumarni memutuskan untuk mengangkat anak

tersebut?

Jawab : faktor penyebabnya karena ingin mewujudkan wasiat mendiang adik

saya yang meninggal karena melahirkan untuk mengurus anaknya. Dan saya

juga memutuskan untuk mengangkat anak karena anak tersebut ditinggal

pergi oleh bapak kandungnya.

3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?

Jawab: iya, anak angkat akan mendapatkan warisan sepenuhnya karena saya

belum mempunyai anak.

4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat ?

Jawab: untuk perwalian, saya siap menjadi walinya dalam pendidikan

maupun dalam administrasi lainnya.

5. Kapan ibu akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung

bu Sumarni?

Jawab: InsyaAllah ketika dewasa akan saya beritahukan

6. Pada usia berapa ibu mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan

anak tersebut dengan orang tua kandungnya?

Page 88: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

Jawab: saya mengangkat anak ketika anak tersebut berusia 1 minggu dan

hubungan dengan orang tua kandungnya terputus karena bapak dari anak

tersebut telah pergi dan tidak ada kabar sama sekali.

7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat ibu?

Jawab: status administrasi kependudukannya masuk kedalam keluarga saya

dan tertulis sebagai anak kandung.

8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?

Jawab: saya tidak tahu peratuan itu sama sekali

Page 89: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

HASIL WAWANCARA IV

Nama : IfaNingsih

Pendidikan Terakhir : SMA

Hari / Tgl : Senin, 14 Oktober 2019.

Tempat : Rumah Ibu Ifa Ningsih di Desa Bojong

1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Ibu Ifa

Ningsih dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?

Jawab : cara pengangkatan anak yang saya lakukan dengan kekeluargaan saja

dan anak tersebut diantar oleh kedua orang tua kandungnya kepada saya

dengan meminta anak tersebut untuk dirawat oleh saya. Dan prosesnya tidak

melalui pengadilan karena keluarga anak tersebut masih ada ikatan sepupu

dengan saya.

2. Apa faktor penyebab memutuskan untuk mengangkat anak tersebut?

Jawab : penyebabnya karena saya belum mempunyai anak dan kebetulan

anak tersebut merupakan anak dari sepupu saya.

3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?

Jawab: akan mendapatkan warisan seperti anak kandung.

4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat Ibu Ifa Ningsih?

Jawab: perwaliannya saya dan suami saya yang bertanggung jawab.

5. Kapan ibu akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung

Ibu Ifa Ningsih?

Jawab: ketika sudah dewasa akan saya beri tahu tentang orang tua

kandungnya.

6. Pada usia berapa ibu mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan

anak tersebut dengan orang tua kandungnya?

Jawab: ketika usia 8 bulan dan hubungan dengan orang tua kandungnya

masih baik-baik saja serta sering dipertemukan dengan orang tua

kandungnya.

7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat ibu?

Page 90: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

Jawab: untuk status administrasinya masuk kedalam keluarga saya dan

tercatat sebagai anak kandung.

8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?

Jawab: saya tidak mengetahuinya sama sekali.

Page 91: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

HASIL WAWANCARA V

Nama : Fatmawati

Pendidikan Terakhir : SD

Hari / Tgl : Selasa, 15 Oktober 2019.

Tempat : Rumah Ibu Fatmawati di Desa Bojong

1. Bagaimana tata cara pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh Ibu

Fatmawati dan apakah prosesnya melalui penetapan pengadian?

Jawab : tata cara saya mengangkat anak dengan kekeluargaan saja. Prosesnya

tidak melalui penetapan pengadilan karena yang diangkat merupakan masih

keponakan saya.

2. Apa faktor penyebab Ibu Fatmawati memutuskan untuk mengangkat anak

tersebut?

Jawab : faktor penyebabnya karena saya belum mempunyai anak.

3. Mengenai waris, apakah anak tersebut mendapatkan warisan?

Jawab: iya akan mendapatkan warisan.

4. Bagaimana hak perwalian untuk anak angkat Ibu Fatmawati?

Jawab: untuk perwalian dalam pernikahan yaitu bapak kandungnya tetapi

untuk wali dalam pendidikan dan administrasi lainnya adalah saya sendiri.

5. Kapan Ibu akan memberitahukan bahwa anak tersebut bukan anak kandung

Ibu Fatmawati?

Jawab: anak angkat saya sepertinya sudah mengetahui orang tua kandungnya.

6. Pada usia berapa bapak mengangkat anak tersebut dan bagaimana hubungan

anak tersebut dengan orang tua kandungnya?

Jawab: ketika usia 1 bulan dan hubungannya dengan orang tua kandung baik-

baik saja.

7. Bagaimana status administrasi kependudukan anak angkat bapak?

Jawab: untuk status administrasi kependudukannya masuk kedalam keluarga

saya.

8. Apakah bapak mengetahui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak?

Page 92: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

Jawab: saya tidak tahu.

Page 93: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

DOKUMENTASI WAWANCARA

Gambar 1 : Foto dengan Bapak Wahyudin, Sekertaris Desa Bojong.

Page 94: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

Gambar 2 : Foto dengan Bapak Ahmad, keluarga yang mengangkat anak.

Gambar 3: Foto dengan Bapak Soprin, keluarga yang mengangkat anak.

Page 95: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

Gambar 4: Foto dengan Ibu Ifa Ningsih, keluarga yang mengangkat anak.

Page 96: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

Gambar 5: Foto dengan Ibu Fatmawati, keluarga yang mengangkat anak.

Page 97: PENGANGKATAN ANAK TANPA PENETAPAN PENGADILANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51600...Hanya saja tata cara serta motivasinya yang berbeda – beda sesuai dengan adat

Gambar 6: Foto dengan Ibu Sumarni, keluarga yang mengangkat anak.