penegasan dan penguatan sistem...
TRANSCRIPT
1
PENEGASAN DAN PENGUATAN
SISTEM PRESIDENSIAL
PROF. DR. IBRAHIM R, SH. MH.
Makalah disampaikan pada Focus Group Discussin
Badan Pengkajian MPR RI Kerjasama Dengan
Fakultas Hukum UNUD,
Di Hotel Ramada Bintang Kuta Bali
Pada Tanggal 21 Juli 2017
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
2
KATA PENGANTAR
Focus Group Discussin Badan Pengkajian MPR RI Kerjasama Dengan Fakultas
Hukum UNUD, Di Hotel Ramada Bintang Kuta Bali Pada Tanggal 21 Juli 2017.
Mengharapkan bagai mana “Penegasan dan Penguatan Sistem Presidensial”. Tetapi,
BP-MPR, tidak menyebut Model dan Unsur Sistem Pemerintahan Presidensial
Indonesia yang harus ditegaskan dan kuatkan.
Perlukah Perubahan UUD yang ke-5, untuk mengoreksi dan penataan sistem
ketatanegaraan Indonesia. Sangat perlu perubahan yang ke-5 UUD, karena banyak
persoalan yang bercampur baur, normanya kosong, normanya konflik, dan normanya
kabur, dan UUD NRI 1945 belum full disebut sebagai Fundamental Negara.
Perhatikan:
1. Pasal 1 ayat (1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik, dari kalimat ini menunjukkan tidak bisa membedakan Bentuk Negara
dengan Bentuk Pemerintahan.
2. Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum, ketentuan ayat ini
masih dari ditegaskan negara hukum model mana yang kita anut: Rechtstaat,
Rule of Law, Negara Hukum Demokratis, jika pilihan yang mana, lalu unsurnya
apa saja negara hukum, untuk sebuah kepastian
3
3. Pasal 8 ayat (1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatanya, ia digantikan oleh Wakil
Presiden samapai habis masa jabatannya, jika dihubungkan pemilihan presiden
berikut di hubungkan dengan ketentuan Pasal 7
4. Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untukmsatu
kali masa jabatan.
Hasil amandemen ke 1, 2,3, dan 4 bahwa ada pasal yang sudah diamandemen
pada amademen ke-1, diamandemen lagi pada amandemen ke-2, yaitu, Pasal 20
UUD 1945, telah diubah pada amandemen ke-1 tahun 1999, kemudian diubah
kembali pada amandemen ke-2 tahun 2000.
Denpasar, 21 Juli 2017
Prof. Dr. Ibrahim R, SH. MH.
4
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................... 2
Daftar Isi .............................................................................................. 4
1.1. Tern of Reference ...................................................................................... 5
1.2. Titik TITIK Simpul Tata Negara Indonesia ....................... 6
1.2.1. Pancasila Ideologi Negara .......................................... 6
1.2.2. Struktur Bangun Negara ............................................ 7
1.2.3. Negara Hukum Demokratis .................................................. 10
1.2.4. Demokrasi .................................................................... 11
1.2.5. Darma Hukum dan Doktrin Kekuasaan Kehakiman 14
1.2.6. Kewenangan Attributie ............................................... 15
1.2.7. Konstitusi ...................................................................... 17
1.3. Hasik Kajian Problema Yang Diberikan BP-MPR RI ...................... 20
1.4. Daftar Pustaka ....................................................................................... 26
1.5. Curricullun Vitea ................................................................................. 28
5
1.1. Tern of Reference.
Focus Group Discussion mengambil tema sebagai bahan pengkajian, yaitu
Penegasan dan Penguatan Sistem Presidensial, dengan materi, sebagai berikut:
1. Berdasarkan praktik penyelenggara negara, capaian, bagaimanakan efektivitas
implementasi sistem presidensial dewasa ini ? Bila dipandang belum efektif
dan optimal, aspek manakan yang dipandang penting untuk dilakukan
pembenahan terhadap sistem presidensial ?.
2. Perlu upaya penyederhanaan partai politik dan bagaimanakah konsekuensinya
terhadap pembentukan fraksi di DPR.
3. Pelaksanaan fungsi legislasi, apakah penambahan dan persetujuan RUU oleh
Presiden dan DPR sudah tepat ?. Apakah akan lebih tepat apabila pembahasan
RUU oleh DPR saja, dan Presiden diberikan Hak Veto ?
4. Dalam fungsi pengawasan, DPR memiliki hak angket, hak interplasi, dan hak
menyatakan pendapat, apakah hak-hak tersebut menjadi faktor yang
menguatkan sistem presidensial atau melemahkan sistem presidensial ?.
5. DPR diberikan kewenangan untuk pertimbangan dan persetujuan terhadap hak
yang dimiliki oleh Presiden dalam hal pengangkatan pejabat negara seperti
Panglima TNI dan Kapolri, Pemberian Amnesti dan Abolisi, Pengangkatan
Duta. Apakah kewenangan tersebut sesuai dengan prinsip sistem presidensual
6. Kedudukan dan Peran DPD dalam fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
6
Ada enam pertanyaan yang diberikan oleh BP-MPR yang akan dikaji dalam
FGD. Jika, diteliti dan dikaji secara total, maka, kita mengkaji dan membuat
GRAND DESIGN TATANEGARA NEGARA KESATUAN INDONESIA
1.2. Titik Simpul Sistem Tata Negara Indonesia
Untuk mengkaji dan analisis pertanyaan yang diberikan BP-MPR RI, untuk
menjawabnya dibutuhkan kesepakatan pada TITIK SIMPUL SUB-SISTEM
YANG AKAN MENJADI KOMPONEN DALAM SISTEM.
Adapun titik simpul yang harus kita sepakati, sebagai standar kajian dan
standar kepastian, sehingga menghasilkan yang maksimal, yaitu:
1. Pancasila sebagai Dasar dan Falsafah, negara Kesatuan Republik Indonesia,
2. UUD sebagai fundamental negara, apakah UUD yang ada sekarang sudah
termasuk UUD Derajat Tinggi,
3. Negara Hukum Demokrtis dengan prinsip dan unsurnya,
4. Sturktur Bangun Negara, yaitu Bentuk Negara, Bentuk Pemerintahan, Sistem
Pemerintahan, dan Sifat Pemerintahan,
5. Demokrasi, dimana letak beda demokrasi pola Barat dengan Demokrasi
Pancasila,
6. Darma Hukum dan Doktrin Kekuasan Kehakiman
7. Kewenangan Attributie
Dari tujuh titik simpul tersebut di atas, diolah dan dikaji secara koperhensip,
yang melahirkan PAKEM yang disebut GRAND UNIFIED THEORY NEGARA
7
KESATUAN REPUBLIK INDOESIA. Pada kesempatan berikut akan diuraikan
secara singkat, sesuai dengan waktu yang singkat, pokok pokok titik simpul tersebut.
1.2.1. Pancasila Ideologi Negara
Sila Pancasila: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan
beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Jiwa Pancasila, adalah Statik Lekstar Dinamik, untuk memahaminya, dapat
dijelaskan, berikut:
(1). Sila ke-1, hakekatnya ada pada: “Allah/Tuhan Yang Maha Esa”,
direfleksikan pada realitas kebenaran yang terakhir, ada pada Allah/Tuhan
Yang Maha Esa.
(2). Sila ke-2, hakekatnya ada pada “Manusia”, direfleksikan oleh Manusia
Indonesia, yaitu manusia yang wajib ber-Tuhan.
(3). Sila ke-3, hakekatnya ada pada “Satu”, direfleksikan dalam satu wadah, yaitu
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4). Sila ke-4, hakekatnya “Rakyat”, direfleksikan oleh demokrasi, dalam prinsip:
“the governement fron the people, by the people, for the people”.
(5). Sila ke-5, hakekatnya pada “ Adil”, direfleksikan untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
8
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Sila ke-5 ini bisa dilaksanakan secara baik dan benar, jika sila ke-1, sila ke-2, sila
ke-3, dan sila ke-4 dapat diaktualisasikan dalam diri dan masyarakat, jika tidak, maka
Pancasila itu, hanya sebuah selokan saja dan tidak bermakna apa-apa.
1.2.2. Struktur Bangun Negara.
Struktur Bangun Negara, selama ini kurang mendapatkan perhatian dan
dianggap tidak penting dan dirumuskan secara serampangan, misalnya Pasal 1 ayat
(1) UUD NRI 1945: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik. Perumus pasal ini sepertinya tidak mengerti Bentuk negara dan Bentuk
Pemerintahan. Bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, dan sifat
pemerintahan. Struktur Bangun Negara ini, berkorelasi dialam dan dalam demokrasi,
sehingga, lahirlah budaya politik, budaya hukum, budaya birokrat, yang jati diri anak
bangsa. Sekarang ini, masyarakat kita sedang galau nan gelisah, dan mengelisahkan.
Kemana bangsa ini akan dibawa, kalaupun bangsa Indoesia tidak punya masa depan,
yang ada adalah masa lalu, yang dianggap masa depan tadi, adalah bayang-bayang
masa depan bangsa Indonesia.
1.2.2.1. Bentuk Negara, berkaitan dengan kesatuan suatu negara dan hubungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dibedakan antara negara Kesatuan
versus negara Federal, sebagai patokan bahwa pemerintah pusat
9
mendelegasikan pemerintahan kepada daerah (kesatuan), Negara Bagian
mendelegasikan kewenangan kepada pemerintahan federal (federal)..
1.2.2.2. Bentuk Pemerintahan, berhubungan dengan bagiamana pemerintah
(penguasa) itu diangkat, dan diberhentikan, dibedakan antara Kerajaan
versus Republik. Sistem kerajaan dengan turun temurun, sedangkan
Republik dipilih secara demokratis
1.2.2.3. Sistem Pemerintahan, berkaitan dengan mekanisme demokrasi, pembagian
kekuasaan, pelaksanaannya, dan beban tanggungjawab pemerintahan,
dibedakan antara: sistem pemerintahan Parlementer model Inggris, sistem
pemerintahan Presidensial Model Amerika Serikat, dan sistem pemerintahan
Semi-Presidensial model Prancis.
1.2.2.4. Sifat Pemerintahan, berkaitan dengan pola dan mekanisme pengambilan
keputusan, dibedakan antara: Demokratis versus Otoriter. Otoriter adalah
kekuasan dipegang oleh seorang dan memerintah berdasarkan kehendaknya.
Pemilihan demokratis, apabila terpilihan seseorang jadi pemimpin, dipilih
oleh 50 persen tambah satu (50%+1) atau 50 persen plus. Pemilihan
Presiden Indonesia dan Pemilihan Gubernur DKI, adalah demokratis, diluar
itu, tidak demokratis, kalaupun ada yang terpilih dengan dengan 50 persen
plus, itu hanya kebetulan saja.
10
1.2.3. Negara Hukum Demokratis
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum.
Dari pasal ini bisa menimbulkan pertanyaannya, yaitu Apa dan bagaimana
memaknai, negara hukum berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) tersebut. Untuk
menjawab pertanyaan itu, memerlukan pendekatan sejarah ketatanegaraan, melalui
referensi perdebatan sidang BPUPKI dan PPKI yang mengacu pada rechtstaat dan
rule of law.
Soepomo, mencoba mengkonstruksikan, tapi, belum selesai dikonstruksi,
kecepetan Indonesia merdeka. Hasil pengkajian, Soepomo memberikan makna
negara hukum menjadi “negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),” . Suatu
keanehan rechtsstaat diartikan Soepomo menjadi “negara berdasarkan atas hukum”,
pemikiran Soepomo tersebut direkonstruksikan kembali oleh Ibrahim R,1 unsur-
unsurnya sebagai berikut dan berasal dari:
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (unsur dari rechtstaat)
2. Supremacy of Law (unsur dari rule of law)
3. Equality Before the Law ( unsur dari rule of law)
4. Adanya pembagian kekuasaan negara berdasarkan Trias Politika (unsur dari
rechtstaat).
5. Setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas undang-undang (unsur dari
rechtstaat).
1 Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan
Eksekutif Dalam Pembaruan UUD 1945, Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
11
6. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka ( unsur dari rechtstaat).
Pada kesempatan yang sama, Ibrahim R merekonseptualisasikan Rechtstaat,
Rule of Law, dan Pancasila, dalam Teori Negara Hukum Demokratis, yang
memiliki unsur-unsurnya, sebagai berikut:
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia berdasarkan ideologi,
2. Pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politika,
3. Kedudukan yang sama dalam hukum bagi setiap warga negara,
4. Tindakan pemerintah berdasarkan konstitusi, dilaksanakan dengan undang-
undang,
5. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka, dan
6. Adanya kode moral/akhlak, melahirkan budaya bangsa dan negara.
Teori Negara Hukum Demokratis, yang menjadi standar dan dasar,
membangun Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dan sebagai acuan focus group
discussion
1.3. Demokratis
Perkembangan nilai dan kelembagaan demokrasi modern, dimulai dari
Perjanjian Aqabah Pertama tahun 620 dan Perjanjian Aqabah Kedua Tahun 621,
antara Orang Islam, Kristen, dan Yahudi di Madinah, yang melahirkan Piagam
Madinah Tahun 622 (Konstitusi Madinah Tahun 622), Nabi Muhamad sebagai
Nabi dan Rasul sekaligus Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Kemudian
12
dilanjutkan oleh Khalifah Empat. Abu Bakar Ash Shiddiq (573-634), Umar Ibn
Al-Khattab (586-644), Utsman bin Affan (574-656), Ali bin Abi Thalib (599-
661). Periode keemasan Islam, berlangsung selama 500 tahun, kemudian tenggelam,
dan muncul kembali abad ke-17 dalam versi berbeda, maka Sumber Hukum Islam
dan khirarkinya:
1. Al Qur’an (30 Juz, 114 Surah, 6236 Ayat),
2. Hadis Nabi Muhammad saw,
3. Piagam Madinah Tahun 622 (Konstitusi Madinah Tahun 622)
4. Ijmak (mazhab, ulama, ahli hukum Islam).
Abad ke-17, dari revolusi Inggris, yaitu: the fundamental orders of onnecticut,
yang disetujui warga kota Hartford sebagai dan merupakan konstitusi dari
demokrasi.2 Demokrasi, sebagai kehendak rakyat (the will of the people) dan
kebaikan bersama (the common good). Kemudian, terumuskan secara yuridis,
berikut:
1. Government from the people, by the people, for the people.
2. Nilainya adalah one person, one vote, and one value.
Maka, keputusan yang disebut demokratis, adalah keputusan yang diambil
berdasarkan suara mayoritas mutlak, artinya setengan ditambah satu atau lima puluh
persen plus. Menurut Schumpeter, demokrasi sebagai metode adalah prosedur
kelembagaan untuk mencapai keputusan politik, di mana para individu memperoleh
kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan sangat kompetitif dalam
2G. P. Gooch, 1959, English Democratic Ideas in the Seventeenth Century, Harper, New York, hlm. 71
13
rangka memperoleh suara dan dukungan rakyat.3 Setiap negara punya aturan sistem
untuk melaksanakan aturan normatif, aturan sistem diperlukan untuk memecahkan
konflik diantara aturan normatif dan memastikan bahwa aturan normatif diterapkan
dan untuk mengatur pembuatan aturan baru, serta kedudukan aturan baru dalam
kaitannya dengan aturan yang lain.4
Oleh karena hukum, memberikan kepada kita sebuah instrumen untuk
mempengaruhi masyarakat lewat perumusannya, sebab, ia berada dalam satu sistem,
karena sistem akan menjadi suatu alat yang penting untuk mengontrol dan
mendorong transfer prinsip dari suatu bidang ke bidang lainnya sebagai pola
komunikasi dan kontrol. Pola pengaturan dan struktur dalam sistem apapun adalah
konfigurasi hubungan diantara komponen sistem yang menetukan karakteristik
utama sistemnya.
Dalam hal aturan sistem, menggunakan Teori Sistem Hukum Sibernetik
Norbert Wiener, yang menempatkan hukum sebagai pusat kekuatan, pengendalian,
dan pengikat keseluruhan sistem sosial.5 Aturan hukum dalam analoginya dapat
diartikan perangkat aturan hukum yang mengatur tatanan hukum, artinya meletakkan
norma-norma dalam perilaku. Hal ini penting artinya, dalam sistem hukum dan
konstitusi, dimana pembentukannya dipengaruhi perkembangan sejarah suatu negara
dan memperlihatkan ciri universal disamping ciri khususnya. Diskripsi pola
3Samuel P. Hungtington, 1997, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 5 4Hanc Van Maarseveen dan Ger Van der Tang, 1978, Written Constitutions A Computerized
Comparative Study, Oceana Publication Inc, New York, hlm. 14 5Norbert Wiener, 1954, The Human Use of Human Beings Cybernetics and Society,Doubeday &
Company Inc Garden City, New York, hlm. 105
14
pengaturannya mencakup pemetaan abstrak hubungan dan hubungan, sedangkan
struktur mencakup pelukisan komponen yang aktual, bentuk, dan komposisi.
1.2.5. Darma Hukum dan Doktrin Kekuasan Kehakiman
Darma Hukum, yang dibaca dalam beberapa literatur, adalah
Kebenaran dan Keadilan. Penetapan darma hukum “Kebenaran dan
Keadilan”, adalah suatu kekeliruan yang patal sebagai pakal pikir ilmu
hukum dalam kontek kekuasaan kehakiman. Seharusnya, darma hukum,
adalah KEPASTIAN dan KEADILAN. Kata “kepastian” berasal dari
logika dan prinsip alas hak hukum alam atau hukum sebab akibat, semua
mahluk yang hidup, pasti mati, dan tidak ada yang bisa mengingkari, hal
itu, merupakan standar sebagai sebuah kepastian, karena standar, maka ia
menjadi pasti. Kata “keadilan” berasal dari logika dan prinsip
“demokrasi”,6 lihat uraian tentang demokrasi, poin 1.2.3. Perhatikan Pasal
24 ayat (1) UUD NRI 1945, Kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan “hukum dan keadilan”,
dalam arti Kepastian dan Keadilan.
6 Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif dan
Eksekutif Dalam Pembaruan UUD 1945, Pascasarjana UNPAD, Bandung
15
Doktrin Kekuasan Kehakiman, bahwa penyelesaian sengketa
dibawah kekuasaan yudisial, tidak boleh difinal, harus ada upaya hukum
berikutnya, apabila ada para pihak yang tidak puas. Jika, difinal, berarti
mengingkari kodratnya, pada saat terjadi pengingkaran kodrat, akan
terjadi kegalauan dan kekacauan. Contoh pengingkaran kodrat dibawah
kekuasaan yudisial dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 24C ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengdili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undsng Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. (perhatikan kata yang dicetak miring).
1.2.6. Kewenangan Attributie
Setiap jabatan ketatanegraan pada sistem pemerintahan, sistem pemerintahan
apa yang dianut, kemudian pembagian kekuasaan negara tersebutlah yang memiliki
kewenangan attributie, penentuan kewenangan sekaligus batas tanggungjawab, dari
masing–masing lembaga negara. Prinsip dan dasar pembagian kekuasan negara,
sebagai berikut:
(1). Setiap kekuasaan, wajib dipertanggungjawabkan.
(2). Setiap pemberian kekuasaan, harus dipikirkan beban tangungjawab, bagi
penerima kekuasaan.
16
(3). Kesediaan untuk melaksanakan tanggungjawab, harus secara inklusif sudah
diterima pada saat menerima kekuasaan.
(4). Tiap kekuasaan ditentukan batas kewenangan dan sekaligus beban
tanggungjawab.
(5). Kewenangan dan beban tanggungjawab, ditentukan oleh bentuk dan struktur
pembagian kekuasaan negara.
Teori Kewenangan, adalah menentukan dan cara kekuasaan itu diperoleh,
pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie (oorspronkelijk dalam arti
aseli), setelah itu dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan melalui delegatie,
dan mandaat mengikuti dan melekat pada attributie dan delegatie.
Kewenangan attributie diperoleh dan dimulai dari sistem pembagian
kekuasaan, pada sistem pemerintahan yang dianut suatu negara, diluar itu tidak ada
kewenangan yang disebut attributie, ketentuan kewenangan dan beban
tanggungjawab ditetapkan pada Konstitusi, kecuali negara yang tidak mempunyai
konstitusi, seperti Inggris, diatur dalam undang-undang. Delegatie dilakukan oleh
pemegang wewenang attributie dan dalam waktu tertentu, penerima bertindak atas
nama diri sendiri dan bertanggungjawab secara eksternal. Penerima kewenangan
attributie oleh Henc Van Maarseveen, disebut, bahwa setiap konstitusi sebagai
Reglement van Attributie. Banyak literatur bicara teori kewenangan, terjadi
kekeliruan alur pikir dan bisa menyesatkan para pihak. Penerapan Teori
Kewenangan, dalam sistem pemerintahan Indonesia, berdasarkan UUD NRI 1945,
sebagai berikut:
17
1. Lembaga yang mendapat kewenangan attributie, yaitu: MPR, DPR, DPD,
PRESIDEN, BPK, MA, dan MK.
2. Lembaga yang mendapat kewenangan delegatie, yaitu: Menteri, Pangab TNI,
Kapolri, Pejabat Tinggi Negara Setingkat Menteri, dan Gubernur (Gubernur
karena Negara Kesatuan)
3. Lembaga yang mendapat kewenangan sub-delegatie, yaitu: Eselon Satu
Kementerian; Bupati/Walikota, Kantor Wilayah, Rektor Perguruan Tinggi
Negeri.
1.2.7. Konstitusi
Konstitusi sebagai dasar fundamentel negara, merupakan ciri negara modern,
lahir abad ke-7, berkembang pada zaman aufklarung (renaisance atau abad
pertengahan) dan dipandang sebagai rumusan hukum dari cita-cita politik dan
ideologi yang dicapai melalui proses demokrasi, berdiri di atas semua golongan.
Konstitusi sebagai rumusan dari suatu cita-cita politik tertinggi dan merupakan
fundamen bagi penyelenggara negara dan sekaligus sebagai instrumen kontrol,
dimana pemerintah dapat dibatasi, diawasi, dan dikontrol.7 Seiring dengan itu,
menurut Struycken, bahwa konstitusi adalah undang-undang yang memuat garis-
garis besar dan asas tentang organisasi negara
Hakekat, makna, dan arti penting konstitusi, pendapat para ahli:
7K.C. Wheare, 1975, Moderns Constitutions, Oxford University Press, New York
18
1. Menurut John Locke (1632-1704) menyebutnya sebagai batas pemakaian
kekuasaan negara dan prasyarat keabsahan negara modern
2. Montesquieu ( 1689-1755) menjadikan konstitusi sebagai jimat
3. K.C. Wheare menyebutnya sebagai instrumen di mana pemerintah dapat
diawasi,
4. Hans Kelsen (1881-1973) menyebutnya konstitusi sebagai grundnorm.
5. Amerika Serikat menyebutnya, konstitusi sebagai kitab suci negara,8 sebab,
dan mutlak merupakan kata akhir dari perwujudan legitimasi, melanggar
konstitusi berarti melampau batas mandat politik.9
Konstitusi adalah buatan manusia yang mencerminkan nilai, kaidah, harapan,
dan perkiraan the founding fathers tentang berbagai tatanan dan kompromi antar
mereka. Selama para penyusun konstitusi itu berusaha menjadikan konstitusi mereka
tanggap terhadap kebutuhan dan kondisi setempat dan menghindari konsekuensi
negatif. Maka, hubungan antara konstitusi dan pelaksanaan demokrasi dapat
mencerminkan usaha awal. Selama konstitusi mewujudkan nilai yang dipegang
secara luas dalam suatu bangsa. Maka, konstitusi dan pola pelaksanaan demokrasi
bisa merupakan produk dari kebudayaan politik, konfigurasi sikap dan keyakinan
yang dipegang oleh masyarakat dan kelompok elit dalam suatu masyarakat, bukan
konfigurasi yang menyebabkan konfigurasi lain. Dengan demikian, hubungan antara
8Earl R. Kruschke, 1968, An Introduction to The Constitution of The United State, American Book
Company, New York 9David E. Apter, 1996, Pengantar Analisis Politik, LP3ES, Jakarta
19
latar belakang budaya dan nilai konstitusional atau pemerintahan adalah sangat erat.
Sebab, konstitusi mencerminkan norma dasar dan cara berpikit yuridik bangsa.
Menurut Soekarno adalah Undang Undang Dasar Sementara, Undang
Undang Dasar Kilat, Revolutie Grondwet,10
menurut Iwa Koesoema Soemantri,
UUD 1945 hanya baik untuk masa revolusi. Pidato Soekarno 1 Juni 1945 dalam
sidang BPUPKI, menyebutkan negara Indonesia merdeka disusun berdasarkan
kerangka philosofische grondslag (Belanda), weltanschauung (Jerman), yaitu
Pancasila, lima asasnya termuat dalam Pembukaan UUD 1945.
Menurut Soekarno, konstitusi adalah alat, arah, dinamika, sumber bagi semua
undang-undang yang dibentuk, menjamin keselamatan, dan kesejahteraan seluruh
rakyat.11
Sedangkan, menurut Muhamad Yamin merupakan percikan pikiran
sesuatu bangsa atau cetusan nasional yang menjadi hak milik dan berlaku pada
bangsa yang membuatnya.12
Ketentuan UUD 1945 (sebelum amandemen), kedaulatan di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Oleh sebab itu, MPR merupakan organ penjelmaan
seluruh rakyat dan organ yang menggantikan kedudukan rakyat dalam menyatakan
kehendaknya (vertretungsorgan des willens des staatsvolkes. Kata vertretung disini
berarti penggantian atau (plaatsvervanging, bukan perwakilan atau
vertegenwoordiging). Dengan demikian, MPR merupakan lembaga penjelmaan
rakyat yang berkedaulatan, citoyen, citizen, burger. Maka, apabila dikatakan
10Muhamad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta. 11J.C.T. Simorangkir, 1984, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia,
Gunung Agung, Jakarta
20
Presiden adalah Mandataris MPR, hal itu berarti bahwa Presiden adalah Mandataris
rakyat yang memiliki kedaulatan.
Secara fakta, tradisi demokrasi memiliki sumber asli dari bangsa Indonesia
sendiri, tetapi dalam praktik menggunakan teori barat dan retorika rule of law,
kendati UUD 1945 disusun berdasarkan prinsip rechtsstaat dan yurisprudensi,
dipengaruhi oleh hukum Belanda dan Perancis. Menurut Muhamad Yamin ketiga
konstitusi Indonesia (UUD 1945, KRIS 1949, dan UUDS 1950) selalu disusun atas
ajaran trias politika, sehingga pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku.
1.3. Hasil Kajian Problema Yang Diberikan BP-MPR
Berdasarkan titik titik simpul yang telah dipaparkan di atas, akan
melakukan pengkajian dan analisis, pertanyaan yang diberikan BP-MPR
RI.
1.3.1. Bagaimana efektifitas implementasi pelaksanaan sistem presidensial
dan Berdasarkan praktik penyelenggara negara, capaian,
bagaimanakan efektivitas implementasi sistem presidensial dewasa ini ?
Bila dipandang belum efektif dan optimal, aspek manakan yang
dipandang penting untuk dilakukan pembenahan terhadap sistem
presidensial ?.
12Muhamad Yamin, 1956, Konstituante Indonesia Dalam Gelanggang Demokrasi, Jambatan, Jakarta.
21
Kita bicara Efektifitas, apa, konsep apa, ketentuan yang dilaksanakan dengan
baik, maka, dapat dikatakan efektif. Apa saja yang menjadi Standar Konten Sistem
Pemerintahan Presidensial Indonesia.Kalau kita ambil contoh, misalnya
menggunakan parameter sistem pemerintahan presidensial. model Douglas V.
Verney,13
sebagai berikut:
1. The Assembly Remains an Assembly Only,
2. The Executive is Not Divided But is a President Elected by The People For
a Definite Term at The Time of Assembly Elections
3. The Head of The Government is Heas of Sate,
4. The President Appoints Heads of Departments Who Are His Subordinates,
5. The President is Sole Executive,
6. Members of The Assembly Are Not Eligible For Ofice in The
Administration and Vice Versa,
7. The Executive is Responsible to The Constitution,
8. The President Cannot Dissolve or Coerce The Assembly,
9. The Assembly is Ultimately Supreme Over The Other Branches of
Government and There is Not Fusion of The Executive and Legislative
Branches as in a Parliament,
10. The Executive is Directly Responsible to The Electorate,
11. There is No Focus of Power in The Political System.
Terjemahannya:
1. Majelis tetap sebagai Majelis,
2. Eksekutif tidak dibagi, hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh
rakyat untuk masa jabatan tertentu,
3. Kepala pemerintahan adalah kepala Negara,
4. Presiden mengangkat kepala departemen yang merupakan bawahannya,
5. Presiden adalah eksekutif tunggal,
6. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan
sebaliknya,
7. Eksekutif bertanggungjawab pada konstitusi,
8. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis,
9. Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain
dan tidak ada peleburan sebagaian eksekutif dan legislatif seperti dalam
sebuah parlemen,
13Arend Lijphart, Edited, 1992, Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press,
New York, hlm. 32-47 .
22
10. Eksekutif bertanggungjawab langsung kepada pemilih, dan
11. Tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik.
Indonesia sendiri, belum ada kesepakatan bahwa titik titik simpul sub-sistem
yang menjadi Sistem, kita sebut sebagai GRAND UNIFIED THEORY
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDOESIA. Jika, hal itu belum ada
kesepakatan, akan selalu terjadi perselisihan, baik pada tataran teoritik maupun
praktik. Kegamangan teoritik dan berakibat kegamangan dalam praktik, perhatikan
skema berikut, asal muasal kegamangan:
Inggris Indonesia Amerika Serikat
Parlementer Presidensial Presidensial
Pembagian. K. Pembagian K Pembagian K
Percampuran K Percampuran K Pembagian K.
Trias Politik Lembaga Negara Trias Politika
Mosi Tidak Percaya ---- APA ....... Checks and Balances dan
Checkking Power With Power
23
1.3.2. Perlu upaya penyederhanaan partai politik dan bagaimanakah
konsekuensinya terhadap pembentukan fraksi di DPR.
Partai politik perlu disederhanakan, tetapi dengan jalam pedekatan sistem
dan akan sederhana secara alami, model penyederhanaan partai seperti pada masa :
Orla, Orba, Orre, tidak akan bisa disederhanakan, sekali lagi tidak mungkin bisa
disederhanakan dengan sistem model itu, kecuali dimulai dengan pemilihan anggota
legislatif sistim distrik tunggal atau triple dalam satu distrik, masa pengisian jabatan
anggota legislatif tidak habis secara bersamaan, tetapi, sepertiga dipilih setiap dua
tahun sekali. Pencalon presiden oleh partai politik yang kurang pas, membuat para
tokoh ingin jadi Presiden, lalu bentuk partai, contoh: Susilo Bambang Yudhoyono,
bentuk partai Demokrat dan sukses jadi presiden; Prabowo Subianto bentuk paratai
Gerinda, belum sukses jadi presiden; Sutiyoso bentuk partai PKPI tidak berhasil
jadi presiden; Wiranto buat partai Hanura belum berhasil jadi presiden, Surya
Paloh buat partai Nasdem belum. Para pemimpin Indonesia yang sudah tidak
menjadi, menjadi oposisi mengkritik presiden yang sedang berkuasa. Berarti
berbangsa dan bernegara selama ini, menghasilkan akhlak bangsa yang galau ?.
1.3.3. Pelaksanaan fungsi legislasi, apakah penambahan dan persetujuan
RUU oleh Presiden dan DPR sudah tepat ?. Apakah akan lebih tepat
apabila pembahasan RUU oleh DPR saja, dan Presiden diberikan Hak
Veto ?
24
Pertanyaannya, siapa atau lembaga mana yang memegang kekuasaan
legislatif, pada Presidensial Amerka Serikat jelas ada pada Kongres (Senat dan DPR
dalam sistem bikameral), Parlementer Inggris dicampur karena sistem parlementer.
Lalu, Presidesial Indonesia, badang legislatifnya masih monokameral, kalaupun ada
DPD, terlibat full adalah Pemerintah dan DPR, sedangkan DPD terbatas dan tidak
tuntas dan tidak punya otoritas kekuasaan legislatif.
Kalau menggunakan sistem Veto oleh Presiden, akan muncul pertanyaan,
apakah sistem tata negara Indonesia telah meliki perangkat: cheks and balances dan
punya chekking power with power. Kenapa kedua ini belum sinkron, konflik antar
lembaga selama ini, tidak bisa diselesaikan dengan chekking power with power
dalam cheks and balancessystem.
1.3.4. Dalam fungsi pengawasan, DPR memiliki hak angket, hak interplasi,
dan hak menyatakan pendapat, apakah hak-hak tersebut menjadi
faktor yang menguatkan sistem presidensial atau melemahkan sistem
presidensial ?.
Tugas dan wewenag DPR, adalah hak budget, legislatif, dan pengawasan.
Semua hak itu boleh dimiliki oleh DPR, tinggal mengatur batasan dan ruang
lingkup, seperti Pansus Hak Angket DPR. DPR bisa melakukan hak angket kepada
semua lembaga negara (prinsip), berikutnya muncul pertanyaan, bidang dan materi
apa saja yang bisa di angket DPR. DPR melakukan hak angket pada Mahkamah
Agung, yang menyangkut bidang keuangan, sistem pembinaan hakim, tetapi proses
25
yudisial tidak boleh di angket, misalnya perkara yang sudah mulai diproses sesuai
dengan hukum acarannya, tidak boleh dilakukan angket, dengan dalil apapun,
karena proses pengadilan yang sudah berjalan juga terbuka untuk umum, dan
nantinya pengadilan juga akan memutus slah atau tidak salah. Demikian juga
dengan angket DPR untuk KPK, proses Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
oleh KPK berdasarkan undang-undang, tidak boleh dilakukan hak angket. Kalau itu
yang dilakukan menguatkan sistem presidesial dalam negara hukum demokratis,
jika proses yudisial jadi objek hak angket, akan mengganggu sistem pemerintahan
apapun.
1.3.5. DPR diberikan kewenangan untuk pertimbangan dan persetujuan
terhadap hak yang dimiliki oleh Presiden dalam hal pengangkatan
pejabat negara seperti Panglima TNI dan Kapolri, Pemberian Amnesti
dan Abolisi, Pengangkatan Duta. Apakah kewenangan tersebut sesuai
dengan prinsip sistem presidensual.
Persetujuan DPR terhadap pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri,
sebaiknya, tidak meminta atau persetujuan DPR, jika itu yang akan terjadi, pada saat
hubungan DPR dengan Presiden, kurang harmonis, bisa jadi permaainan politik,
karena ada diel-diel tertentu, saat fit and proper test. Untuk menteri tertentu bisa
dimintakan klarifikasi DPR, bukan persetujuan, klarifikasi untuk menentukan calon
bersih atau tidak dari masa lalunya, sehingga, tidak ada beban dalam melaksanakan
26
tugasnya. Hasil klarifikasi DPR, bisa membatalkan, bahwa cacat itu bisa dibuktikan
secara fakta dan atau hukum, bukan isu atau asumsi.
1.3.6. Kedudukan dan Peran DPD dalam fungsi legislasi dan fungsi anggaran.
Kedudukan DPD, kalau DPD diberi kedudukan dan tugas seperti yang ada
sekarang, sebaiknya dihapus saja DPD. Kalau mau mempertahankan DPD, jadikan
lembaga legislatif bikameral, pemerintah tidak lagi diberi kewenangan dalam
bidang legislatif, baru bisa Hak Veto dijalankan dalam bentuk checkking power with
power.
1.4. Daftar Pustaka
Arend Lijphart (Edited), 1992, Parliamentary Versus Presidential Government,
Oxford University Press, New York.
Dicey, A.V, 1971, An Introduction to the Study of the Law Constitution, English
Language Book Society, London.
Donald A. Rumokoy, 1998, Arti Konvensi Ketatanegaraan Dan Fungsi Dalam
Mengembangkan Hukum Tata Negara Indonesia, Pascasarjana, Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Earl R. Kruschke, 1968, An Introduction to The Constitution of The United State,
American Book Company, New York.
Gooch, G.P, 1959, English Democratic Ideas in the Seventeenth Century, Harper,
New York.
Hanc Van Maarseveen dan Ger Van der Tang, 1978, Written Constitutions A
Computerized Comparative Study, Oceana Publication Inc, New York.
Herman Finer, 1962, The Major Government of Modern Europe, Harper & Row
Publishers, London.
27
Horvey, J dan L. Bather, 1984, The British Constitution and Politics, Macmillan
Education Limited, London.
Ibrahim R, 2003, Sistem Pengawasan Konstitusional Antara Kekuasaan Legislatif
dan Eksekutif Dalam Pembaruan UUD 1945, Program Pascasarjana
UNPAD, Bandung.
..................., 2008, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional Dalam
Hukum Nasional: Permasalah Teoritik dan Praktek, Makalah Seminar
Nasional Kersama Deplu dan Fakultas Hukum Unair di Surabaya, 18
Oktober 2008.
.................., 2009, Refleksi Satu Dekade Reformasi Indonesia: Sektor Politik, Hukum,
Pemikiran dan Agenda Berikutnya, Makalah Seminar Nasional Dalam
rangka Dies Natalis ke-47 UNUD dan Kerjasama dengan Deplu, 7-8
September 2009.
..................., 2013, Kedudukan Filafat Ilmu Pada Bidang Ilmu, Materi kuliah umum
pada program Magister dan Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Mataram, Mataram.
..................., 2015, Kebijakan Pemerintah dan Negara Hukum, Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Jokosutono, 1982, Ilmu Negara, Dihimpun Oleh Harun Al Rasid, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Lionel Crocker, 1956, Public Speaking for College Studens, American Book
Company, New York.
Montesquieu, 1949, The Spirit of The Laws, (Translated by Tomas Nugent), Hafner
Press A Division of Macmillan Publishing, Ner York.
Muhamad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, Prapantja,
Jakarta.
Norbert Wiener, 1954, The Human Use of Human Beings Cybernetics and
Society,Doubeday & Company Inc Garden City, New York.
Simorangkir, J.C.T, 1984, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata
Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta.
28
Sri Soemantri M, 1976, Sistem Sistem Pemerintahan Negara Negara Asean, Tarsito,
Bandung.
.................., 1999, Perubahan UUD 1945 Prosedur, Sistem Dan Substansinya,
Makalah Diskusi Panel Pembaharuan UUD 1945, Fakultas Hukum Unpad,
Bandung.
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis Dan Yuridis
Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wheare, K.C, 1975, Moderns Constitutions, Oxford University Press, New York-
Toronto.
1.5. CURRICULLUM VITEA
Nama : Prof. Dr. Ibrahim R, SH, MH.
Alamat : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Email : [email protected]
HP : 08123815993 dan 081239655505
Pendidikan: S1 FH Unud; S2 Pascasarjana UNPAD; S3 Pascasarjana
UNPAD; Guru Besar Fakultas Hukum UNUD.