penegakan hukum pidana terhadap pengguna …

158
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN TESIS OLEH VICTOR ZILIWU NIM. 117005106/HK PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN

TESIS

OLEH

VICTOR ZILIWU NIM. 117005106/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

Universitas Sumatera Utara

Page 2: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

VICTOR ZILIWU NIM. 117005106/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

Universitas Sumatera Utara

Page 3: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN

Nama Mahasiswa : VICTOR ZILIWU Nomor Pokok : 117005106/HK Program Studi : ILMU HUKUM

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. SYAFRUDDIN KALO, SH., M.HumK e t u a

)

(Dr. MAHMUD MULYADI, SH., M.HumA n g g o t a

)

(Dr. MADIASA ABLISAR, SH., M.HumA n g g o t a

)

Ketua Program Studi Ilmu Hukum, D e k a n,

(Prof. Dr. SUHAIDI, SH., MH

)

(Prof. Dr. RUNTUNG, SH., M.Hum

)

Lulus tanggal : 13 Agustus 2015 Telah diuji pada

Universitas Sumatera Utara

Page 4: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Tanggal : 13 Agustus 2015 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. SYAFRUDDIN KALO, SH., M.Hum. Anggota : 1. Dr. MAHMUD MULYADI, SH., M.Hum. 2. Dr. MADIASA ABLISAR, SH., M.Hum. 3. Dr. HAMDAN, SH., M.Hum. 4. Dr. MARLINA, SH., M.Hum.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

PERNYATAAN

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.-

Medan, Agustus 2015

Yang Membuat Pernyataan,

Penulis,

NIM. 117005106

VICTOR ZILIWU

Universitas Sumatera Utara

Page 6: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

DI POLRESTA MEDAN Oleh :

Victor Ziliwu *

Syafruddin Kalo ) **

Mahmud Mulyadi **) )

Madiasa Ablisar **)

ABSTRAK UU Narkotika dan UU Psikotropika mengamanatkan kewajiban untuk menjalani

perawatan dan pengobatan atau rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Ketentuan mengenai “kewajiban” untuk menjalani rehabilitasi bagi pengguna yang mengalami kecanduan, dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36 s/d Pasal 39 dan pada UU Narkotika diatur dalam Pasal 45. Pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban, dengan berdasarkan pada Pasal 103 UU Narkotika, Mahkamah Agung RI mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan beberapa surat edaran, antara lain : Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang dituangkan ke dalam Surat No. 07/BUA.6/HS/SP/III/2009 tertanggal 17 Maret 2009 (selanjutnya disingkat SEMA No. 07 Tahun 2009); dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (selanjutnya disingkat SEMA No. 04 Tahun 2010). Akibat dari SEMA No. 07 Tahun 2009 dan dilanjutkan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010 dikaitkan dengan penegakan hukum pidana terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan, bagi Penyidik kesulitan menentukan apakah seseorang yang tertangkap tangan dengan barang bukti dibawah SEMA No. 07 Tahun 2009 termasuk ke dalam kategori pengguna ataukah pecandu. Karena kedua-duanya adalah selaku korban kejahatan tindak pidana narkotika. Kesulitan tersebut terjadi, karena banyaknya pelaku yang tertangkap tangan membawa barang bukti narkoba sebanyak yang ditentukan dalam SEMA No. 07 Tahun 2009 adalah seorang residivis, dan lebih parah lagi, malahan pelaku tersebut adalah seorang bandar narkoba kelas kakap. Hambatan-hambatan lain juga dihadapi oleh Penyidik Polresta Medan dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana narkotika.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat penelitian deskriptif analisis. Menggunakan metode pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan yaitu menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika. Wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder. Sumber data menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum

*) Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Lalu dianalisa dengan menggunakan metode analisa kualitatif, abstraktif, interpretatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi Satres Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika, sebagai berikut : SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, namun, SEMA tersebut mengikat para hakim yang menjatuhkan hukuman, karena pengadilan merupakan salah satu unsur dalam Sistem Peradilan Pidana; Keterbatasan personil, anggaran, dan kemampuan penyidik Satres Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika. Personil yang ada hanya berjumlah 81 orang, namun, tidak kesemuanya dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan karena sudah termasuk pimpinan-pimpinan yang disebut dengan Kepala Satuan maupun Kepala Unit. Anggaran yang diberikan oleh Polda Sumut juga sangat minim, hanya dapat menyelesaikan + 15 (Kurang Lebih Lima Belas) perkara tindak pidana narkotika, sedangkan perkara yang masuk berjumlah + 1.000 (Kurang Lebih Seribu) perkara tindak pidana narkotika yang dilaporkan dan ditangani oleh Satres Narkoba Polresta Medan. Belum lagi ditambah dengan kemampuan penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap peredaran narkotika; SEMA No. 04 Tahun 2010 sering digunakan Penyidik untuk melepaskan Pecandu Narkotika, hal ini dikarenakan anggaran yang disediakan oleh pemerintah tidaklah cukup untuk melakukan penyidikan. Sehingga sangat rentan sekali suap terjadi kepada Penyidik; Adapun solusi-solusi yang didapat untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan terhadap tindak pidana narkoba dikaitkan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010, yaitu : Melakukan peninjauan ulang/review terhadap SEMA No. 04 Tahun 2010 dan membuat aturan pelaksanaan dan aturan teknis dalam hal rehabilitasi sebagai pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat berupa Peraturan Pemerintah; Menambah personil, anggaran, dan peningkatan kemampuan Penyidik Polresta Medan; Memberikan penyuluhan dan sosialisasi terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang baru kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi tahu tentang adanya peraturan perundang-undangan yang baru disahkan dan tidak menjadi buta hukum. Sebaiknya penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Satres Narkoba Polresta Medan didukung dalam hal personil, anggaran, dan peningkatan kemampuan penyidik oleh Polda Sumut dengan melakukan penambahan personil, penambahan anggaran, dan meningkatkan kemampuan penyidik. Kata Kunci : - Penegakan Hukum Pidana

- Pengguna Narkotika - Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Polresta Medan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

CRIMINAL LAW ENFORCEMENT AGAINST NARCOTICS USERS ACTORS AS CRIME OF NARCOTICS POLICE IN MEDAN

By :

Victor Ziliwu *

Syafruddin Kalo ) **

Mahmud Mulyadi **) )

Madiasa Ablisar **)

ABSTRACT Law on Narcotics and Psychotropic Substances Act mandates an obligation to

undergo treatment and the treatment and rehabilitation of drug addicts. The provisions concerning the "obligation" to undergo rehabilitation for users who experience addiction, in the Psychotropic Law stipulated in Article 36 s / d of Article 39 and the Narcotics Act under Article 45. Users of narcotics as criminals and at the same time as the victim, based on Article 103 Narcotics Act, the Supreme Court issued a breakthrough by issuing several circulars, among others: Circular of the Supreme Court (SEMA) No. 07 Year 2009 concerning the Placing to Drug Users In Nursing and Rehabilitation Therapy poured into Letter No. 07 / BUA.6 / HS / SP / III / 2009 dated March 17, 2009 (hereinafter referred to as SEMA No. 07 of 2009); and Circular of the Supreme Court (SEMA) No. 04 Year 2010 concerning the Stipulation of abuse, and to the Narcotic Addict Rehabilitation In the Institute of Medical and Social Rehabilitation (hereinafter referred to as SEMA No. 04 of 2010). As a result of SEMA No. 07 in 2009 and continued with the SEMA No. 04 The year 2010 is associated with criminal law enforcement against drug users as criminals narcotics in Medan Police, the Investigator difficulty determining whether a person is caught red-handed with evidence under SEMA No. 07 The year 2009 belongs to the category of users or addicts. Because both are victims of crime as narcotic crime. The difficulty occurs because many actors are caught with evidence of drugs as defined in the SEMA No. 07 The year 2009 was a recidivist, and worse, even the perpetrator is a high profile drug dealer. Other constraints are also faced by the Police investigator in the field of law enforcement narcotic crime.

This research is legal normative descriptive analysis. Using the method of data collection by the research literature that collect data derived from books, legislation, scientific journals, and magazines relating to the rehabilitation for drug abuser. Interviews were also conducted to obtain secondary data. Source data using secondary data consists of primary legal materials, secondary law, and tertiary legal materials. Then analyzed using qualitative analysis method, abstractive, interpretive.

The results showed that: The obstacles faced by drug Satres Medan Police in conducting an investigation into the crime of narcotics, as follows: SEMA No. 04 Year 2010 can not be categorized as legislation, however, the SEMA binding on the judge who sentenced him, because the court is one element in the Criminal Justice System;

*) Students Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra **) Lecturer of Master of Law, Faculty of Law, University of North Sumatra

Universitas Sumatera Utara

Page 9: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Limitations of personnel, budget, and the ability of field investigators Satres Drug Police in the investigation and criminal investigations of narcotics. Existing personnel amounted to only 81 people, however, not all of which can conduct an inquiry and investigation because it includes leaders called the Head of Unit and the Head Unit. Budget provided by the North Sumatra Police also very minimal, can only resolve +15 (Approximately Fifteen) narcotic crime cases, while cases that go totaling + 1,000 (Less More Thousand) narcotic crime cases reported and handled by the Police Drug Satres field. Not to mention the ability of investigators to conduct investigations against drug trafficking; SEMA No. 04 The year 2010 is often used to release Addicts Narcotics Investigator, this is because the budget provided by the government is not enough to conduct an investigation. So it is very susceptible to bribery occurred Investigator; The solutions are obtained to complete the obstacles faced by the Police Narcotics Investigator Satres field against the crime of drug is associated with SEMA No. 04 Year 2010, namely: Doing reconsideration / review of the SEMA No. 04 in 2010 and made the implementation rules and technical rules in terms of rehabilitation as the implementation of Article 103 of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics, can be government regulation; Add personnel, budgets, and increase the ability of Medan Police Investigator; Provide education and socialization of the Draft Regulation on the implementation of Article 103 of Law No. 35 of 2009 that are new to the community so that the community becomes aware of the existence of legislation recently passed and do not become legally blind. Should the investigation and the investigations conducted by the Police Drug Satres Medan supported in terms of personnel, budget, and increased capacity by the North Sumatra Police investigators by providing additional personnel, additional budget, and improve the ability of investigators. Keywords : - Criminal Law Enforcement - Users Narcotics - Actors in the Police Narcotics Crime Medan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya kepada penulis hingga penulis masih diberikan kesehatan dan

kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan tesis ini.

Pada penulisan tesis ini, penulis dengan ketulusan hati, mengucapkan terima kasih

sebesaar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian

penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Bapak AKBP. Mardiaz Kusin Dwihananto, S.Ik, M.Hum. sebagai Kapolresta

Medan yang telah memberikan kesempatan dan Motivasi mengikuti studi di

Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Sumatera Utara.

2. Prof. Subhilhar, Ph.D, sebagai Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Program Magister (S2)

dan Doktor (S3) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Sekretaris Program Magister

(S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I

pada saat penulis menjalani studi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis dan

mengajarkan serta membimbing penulis untuk menulis dengan benar agar

menghasilkan karya tulis yang baik.

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang

memberikan pengarahan kepada penulis sehingga penulis dapat mengejar waktu

wisuda tepat pada waktunya.

8. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing III yang

juga memberikan masukan kepada penulis tentang penulisan penelitian yang baik.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

9. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji I juga telah

memberikan kritikan dan sarannya dalam penulisan penelitian ini menjadi lebih

baik.

10. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Penguji II yang telah memberikan

masukan yang sangat baik demi penulisan penelitian ini.

11. Para Dosen dan Tata Usaha Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah membantu selama penulis menjalani studi di Sekolah

Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Terima kasih yang sangat besar kepada kedua orang tua saya Ayahanda B.

Ziliwu dan Ibunda T. Br. Sihombing, yang selalu mendoakan, mencurahkan

segenap kasih sayangnya dan segala pengorbanannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini.

13. Terima kasih penulis kepada isteri saya Raminalai Dakhi serta anak-anakku,

Natascha Adeline Ziliwu dan Clairine Isabelle Ziliwu yang sangat memberikan

motivasi kepada penulis dan doanya sehingga dapat menyelesaikan studi di

Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. Tidak ketinggalan terima kasih kepada sahabat-sahabatku rekan mahasiswa, sudah

membantu selama penyelesaian tesis, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya

satu-persatu.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak

yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di

Indonesia.

Medan, Agustus 2015

Hormat Saya,

Penulis,

NIM. 117005106

VICTOR ZILIWU

Universitas Sumatera Utara

Page 12: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI NAMA : VICTOR ZILIWU TMPT /TGL LAHIR : GUNUNG SITOLI 14 MARET 1982 PANGKAT/NRP : AJUN KOMISARIS POLISI/ NRP 82031263 JABATAN : WAKASAT RESKRIM POLRESTA

MEDAN KESATUAN : KEPOLISIAN RESOR KOTA MEDAN AGAMA : KATOLIK NAMA AYAH : B. ZILIWU NAMA IBU : T. BR SIHOMBING NAMA ISTERI : RAMINALAI DAKHI ANAK PERTAMA : NATASCHA ADELINE ZILIWU ANAK KEDUA : CLAIRINE ISABELLE ZILIWU SUKU / BANGSA : NIAS / INDONESIA E-MAIL : [email protected]

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1. PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH UMUM

a. SD : SD NEGERI 1, GUNUNG SITOLI lulus tahun : 1994

b. SMP : SMP NEGERI 1, GUNUNG SITOLI lulus tahun : 1997

c. SMA : SMU SANTA MARIA, MEDAN lulus tahun : 2000

2. PENDIDIKAN TINGGI

a. S1 : FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN, (2007 – 2009)

b. S2 : PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN, (2011 – 2015)

3. PENDIDIKAN KEPOLISIAN

a. AKADEMI KEPOLISIAN, (2001 – 2004); b. PERGURUAN TINGGI ILMU KEPOLISIAN JAKARTA, (2009 – 2011)

Universitas Sumatera Utara

Page 13: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

III. RIWAYAT JABATAN : a. KA. SPK POLRES SIMALUNGUN, IPDA, 2005; b. KANIT IDIK SAT NARKOBA POLRES SIMALUNGUN, IPDA, 2005; c. KANIT RESKRIM POLSEK BANGUN, POLRES SIMALUNGUN,

IPDA, 2006; d. KANIT 1 SAT RESKRIM POLRES SIMALUNGUN, IPDA, 2007; e. DANTONTAR AKPOL, IPTU, 2008; f. PAMA POLDA SUMUT/LULUSAN PTIKA ANGK. LVI, AKP, 2011; g. KANIT RESKRIM POLSEKTA MEDAN SUNGGAL, AKP, 2012; h. KASAT NARKOBA POLRES TEBING TINGGI PANGKAT : AKP,

2012; i. WAKASAT NARKOBA POLRESTA MEDAN PANGKAT : AKP 2013; j. WAKASAT RESKRIM POLRESTA MEDAN PANGKAT : AKP 2014.

VI. TANDA JASA :

- SATYA LENCANA WIDIASISTHA; - SATYA LENCANA KESETIAAN 8 TAHUN.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

DAFTAR ISI Lembar Pengesahan .................................................................................................... ii Pernyataan ................................................................................................................... v Abstrak ......................................................................................................................... vi Abstract ......................................................................................................................... viii Kata Pengantar ........................................................................................................... x Daftar Riwayat Hidup ................................................................................................ xiii Daftar Isi ...................................................................................................................... xv Daftar Tabel ................................................................................................................. xix BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................... 14 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 15 D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 15 E. Keaslian Penelitian ......................................................................... 16 F. Kerangka Teori dan Konsep ........................................................... 17

1. Kerangka Teori ........................................................................ 17 a. Teori Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice

System (CJS) ..................................................................... 18 b. Teori Sistem Hukum ........................................................ 22

2. Kerangka Konsep .................................................................... 30 G. Metode Penelitian ........................................................................... 32

1. Jenis Penelitian ........................................................................ 34 2. Sumber Data ............................................................................ 35 3. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 37 4. Analisis Data ........................................................................... 38

BAB II : PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN

TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA .................................................... 39 A. Penyelidikan ................................................................................... 39

1. Pengertian Penyelidikan ........................................................... 39 a. Penyelidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana ....................................................................... 39 b. Penyelidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun

2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana ........ 41 2. Fungsi dan Wewenang Penyelidik ........................................... 45

a. Menerima Laporan dan Pengaduan .................................... 46 b. Mencari Keterangan dan Barang Bukti .............................. 48 c. Menyuruh Berhenti Orang Yang Dicurigai ........................ 48 d. Tindakan Lain Menurut Hukum ......................................... 49

3. Jenis-jenis Tindakan Dalam Penyelidikan ............................... 50 B. Penyidikan ...................................................................................... 54

Universitas Sumatera Utara

Page 15: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

1. Pengertian Penyidikan .............................................................. 54 a. Penyidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) ................................................................ 54 b. Penyidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012

tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana ................. 63 2. Fungsi dan Wewenang Penyidikan .......................................... 64 3. Upaya Paksa Dalam Penyidikan ............................................... 66

C. Dasar Hukum Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika .................................................... 69

D. Proses Penyidikan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika ..................... 74 1. Proses Penyidikan Oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan

Dalam Mengungkap Kasus Tindak Pidana Narkotika ............. 77 a. Menerima Laporan ............................................................. 77 b. Melakukan Tindakan Pertama ............................................ 78 c. Melakukan Penangkapan .................................................... 79 d. Melakukan Penggeledahan ................................................. 80 e. Melakukan Penyitaan ......................................................... 80 f. Melakukan Pemeriksaan Tersangka dan Saksi .................. 81 g. Melakukan Penahanan ........................................................ 83 h. Melakukan Pelimpahan Berkas Perkara Berikut Tersangkanya

Kepada Kejaksaan .............................................................. 84 2. Proses Penyidikan Oleh Penyidik BNN RI Dalam Mengungkap

Kasus Tindak Pidana Narkotika ............................................... 85 E. Proses Penyidikan Terhadap Pengguna Narkotika Yang Tertangkap

Tangan Dihubungkan Dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial ......................................................................................................... 90

BAB III : HAMBATAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP

PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN .......................................... 93 A. Hambatan Substansi Hukum ........................................................ 96

1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi … ......................................................................... 100

2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial ....................... 106

B. Hambatan Struktur Hukum Bagi Penyidik Polresta Medan Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Narkotika ....................... 111 1. Hambatan Keterbatasan Personil Penyidik Polresta Medan .. 112 2. Hambatan Keterbatasan Anggaran Polresta Medan ............... 117

Universitas Sumatera Utara

Page 16: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

3. Hambatan Kemampuan Penyidik Dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika ....................................... 122

C. Hambatan Budaya Hukum Berupa Suap Kepada Petugas ........... 124 BAB IV : UPAYA UNTUK MENANGANI HAMBATAN DALAM

PENYIDIKAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN ................................................................................................ 129 A. Meninjau Kembali Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 07

Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 .............................................................................................. 129

B. Menambah Personil, Anggaran, dan Peningkatan Kemampuan Penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan ..................... 132

C. Mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Terkait Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ......................................... 133

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 135

A. Kesimpulan .................................................................................. 135 B. Saran ............................................................................................. 137

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 139

Universitas Sumatera Utara

Page 17: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

DAFTAR TABEL Tabel 1. Penelitian Terdahulu .................................................................................. 16 Tabel 2. Perbedaan Laporan dan Pengaduan ........................................................... 46 Tabel 3. Data Personel Satres Narkoba Polresta Medan Bulan Desember 2014.... .. 114 Tabel 4. Pendistribusian Anggaran DIPA-RKA K/L T.A. 2013 Polresta Medan .... 118 Tabel 5. Pendistribusian Anggaran DIPA-RKA K/L T.A. 2014 Polresta Medan .... 119 Tabel 6. Data Kasus Narkoba Jajaran Polresta Medan Tahun 2013 ........................ 120 Tabel 7. Data Kasus Narkoba Jajaran Polresta Medan Tahun 2014 ........................ 121

Universitas Sumatera Utara

Page 18: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap kejahatan pasti ada pelakunya, dan kejahatan yang dilakukan juga ada

korbannya. Setiap terjadinya suatu kejahatan akan menimbulkan kerugian yang sangat

besar pada korbannya, baik kerugian bersifat materil maupun bersifat immateril.

Sedangkan, penderitaan yang dialami korban kejahatan sangat relevan untuk dijadikan

instrumen atau pertimbangan bagi penjatuhan pidana kepada pelaku, akan tetapi,

sebenarnya penderitaan-penderitaan yang dialami oleh pelaku karena dipidana tidak ada

hubungannya dengan penderitaan korban kejahatan.1

Tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dahulu diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika (selanjutnya disingkat UU Narkotika), sedangkan tindak pidana psikotropika

diatur dalam Undang-Undang No. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika (selanjutnya disingkat UU Psikotropika).

Dalam kaitannya dengan tindak pidana narkotika, korban kejahatan tindak pidana

narkotika adalah pengguna narkotika, sedangkan pelaku kejahatan tindak pidana

narkotika tersebut adalah pengedar dan produsen narkotika. Dalam ketentuan UU

Narkotika, “pengguna narkotika” diatur dalam Pasal 116, Pasal 121, Pasal 126, Pasal 127,

1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 24, menyatakan bahwa : “Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastika akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak memperleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Kaibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak dipedulikan”.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Pasal 128, Pasal 134, dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36, 37, Pasal 38,

Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 59 ayat (1) huruf a, b dan Pasal 62.

Implikasi yuridis ketentuan Pasal 4 huruf d, Pasal 54 dan Pasal 127 UU Narkotika

digunakan untuk menentukan pengguna narkotika korban atau pelaku, yaitu pengguna

narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban. Pada dasarnya,

“pengedar” narkotika dalam terminologi hukum dikategorikan sebagai pelaku (dader),

akan tetapi, “pengguna” dapat dikategorikan baik sebagai “pelaku dan/atau korban”.

Selaku korban, maka “pengguna” narkotika adalah warga negara yang harus dilindungi

serta dihormati hak-haknya baik dalam proses hukum maupun dimensi kesehatan dan

sosial.2

Adapun tujuan diterapkannya UU Narkotika dapat dilihat pada Pasal 4, yang

menyatakan bahwa :

Bagaimana menentukan seorang pelaku tindak pidana narkotika tersebut sebagai

seorang pelaku dan/atau korban merupakan permasalahan utama yang dihadapi penegak

hukum.

“Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan : a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

penyalahgunaan Narkotika; c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah

Guna dan Pecandu Narkotika”.

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang

pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi

2 Satrio Putra Kolopita, “Penegakan Hukum Atas Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika”, Jurnal Lex Crimen, Vol. II, No. 4, Agustus 2013, hal. 66.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila

disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan

seksama.3 Adapun jenis-jenis kejahatan tindak pidana narkotika, yaitu : mengimpor,

mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau

menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yan gketat dan seksama

serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena sangat merugikan dan

merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan

negara serta ketahanan nasional Indonesia.4

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah sampai kepada titik yang

mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional

(selanjutnya disingkat BNN)

5 bekerjasama dengan Puslitkes Universitas Indonesia Tahun

2014 tentang Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia,

diketahui bahwa angka prevalensi penyalahguna narkoba di Indonesia telah mencapai

2,18% atau sekitar 4.022.702 orang dari total populasi penduduk (berusia 10 s/d 59

tahun). Hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa adanya penurunan prevalensi

penyalahguna narkoba di Indonesia dari 2,23% pada tahun 2011 menjadi 2,18% pada

tahun 2014.6

3 Bagian Menimbang huruf c. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Sedangkan jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia mengalami

4 Bagian Menimbang huruf d. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 5 Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian

(LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN dipimpin oleh seorang Kepala yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Dasar hukum BNN adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga non-struktural yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2007.

6 Badan Narkotika Nasional RI, “Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional Tahun 2014”, Jakarta, Februari 2015, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

peningkatan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian tahun 2008, jumlah penyalahguna

narkoba mencapai + 3,3 juta orang. Kemudian tahun 2011 menjadi + 3,8 juta orang dan

pada tahun 2013 mencapai lebih dari + 4 juta orang.7

Menurut data terakhir yang dihimpun BNN dan Direktorat Tindak Pidana

Narkoba Bareskrim Polri terjadi peningkatan kasus pada 5 (lima) tahun terakhir yaitu dari

tahun 2008-2012 jumlah kasus kejahatan tindak pidana narkotika sebanyak 77.256 kasus,

sedangkan, kasus tindak pidana psikotropika sebanyak 23.073 kasus dan bahan adiktif

lainnya sebanyak 46.120 kasus.

8

Sementara itu, perkembangan kasus penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun

terus meningkat. Berdasarkan data yang dilaporkan, sebanyak 13.985 laporan masyarakat

terkait tindak pidana masuk ke Polresta Medan sepanjang tahun 2013. Sedangkan untuk

kasus narkoba, pada tahun 2012 personil Sat Res Narkoba berhasil mengungkap 789

kasus, pada tahun 2013 berhasil mengungkap 1010 kasus.

9

Di dalam menanggulangi peredaran dan penyalahgunaan narkotika yang cukup

tinggi tersebut, maka telah diberlakukan berbagai regulasi tentang pemberantasan

kejahatan narkotika. Regulasi tersebut, antara lain :

1. Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonantie) Stbl. 1927 No. 278 Jo.

No. 536 yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius;10

7 Media Online Okezone.com, “BNN Khawatir Dengan Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia”, diakses Selasa, 14 April 2015.

8 Badan Narkotika Nasional RI, “Sosialisasi Penelitian BNN Tahun 2012”, dilaksanakan di Denpasar, Bali, 10 April 2013.

9 Harian Andalas, “Laporan Masuk ke Polresta Medan Selama 2013”, diterbitkan Selasa, 31 Desember 2013.

10 I Nyaman Nurjana, “Penanggulangan Kejahatan Narkotika : Eksekusi Hak Perspektif Sosiologi Hukum”, Jurnal Legality, 2010, hal. 5, menyatakan bahwa : “Sebelum Indonesia merdeka, pada masa pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan Ordonansi Obat Bius yang disebut Verdoovende Middellen

Universitas Sumatera Utara

Page 22: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

2. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika;

3. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Selain itu, ada berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang

melaksanakan dan memperjelas aturan-aturan UU Narkotika tersebut, yaitu :

1. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

2. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor

Pecandu Narkotika;

3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu Penyalahguna, dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh

Pengadilan;

4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415/MENKES/PER/XII/2011 tentang

Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahguna Narkotika;

5. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2010 dan Surat Edaran Mahkamah

Agung No. 03 Tahun 2011.

Lahirnya, UU Narkotika dan UU Psikotropika, telah terjadi kriminalisasi terhadap

penyalahguna narkoba.11

Ordonantie (Staatsblad 1927 No. 278 Jo. 536). Selain itu, juga diberlakukan ketentuan pembungkusan candu yang disebut Opium Verpakkings Beppalingen (Staatsblad 1927 No. 514). Setelah Indonesia merdeka, kedua instrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945”.

Ketentuan pidana pada UU Psikotropika diatur dalam Pasal 59

11 Dit.Bimmas Polri, “Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkotika”, Jakarta, Dit.Bimmas Polri, 2000. Lebih lanjut lihat : A. Hadiyanto, “Model Alternatif Pembinaan Narapidana Narkotika Dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 23: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

s/d Pasal 64, sedangkan pada UU Narkotika diatur dalam Pasal 78 s/d Pasal 99.

Pengelompokan kejahatan pada UU Narkotika dan UU Psikotropika pada dasarnya tidak

berbeda, yaitu kejahatna yang menyangkut produksi, peredaran, penguasaan,

penggunaan, dan kejahatan lain misalnya menyangkut pengobatan dan rehabilitasi, label

dan iklan, transito, pelaporan kejahatan, dan pemusnahan.

UU Narkotika dan UU Psikotropika mengamanatkan kewajiban untuk menjalani

perawatan dan pengobatan atau rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Ketentuan mengenai

“kewajiban” untuk menjalani rehabilitasi bagi pengguna yang mengalami kecanduan,

dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36 s/d Pasal 39 dan pada UU Narkotika diatur

dalam Pasal 45.

Pemakai atau pecandu narkotika dalam perspektif hukum merupakan seorang

pelaku pidana. Namun, apabila dicermati dengan lebih seksama, banyak kalangan

berpendapat bahwa sebenarnya mereka merupakan korban dari sindikat atau mata rantai

peredaran dan perdagangan narkotika, psikotropika dan obat terlarang. Pecandu

merupakan pangsa pasar utama sebagai “pelanggan tetap”. Secara psikologis, mereka

sulit melepaskan diri dari ketergantungan, walaupun mungkin, sebenarnya mereka ingin

lepas dari jeratan narkotika yang membelitnya. Pecandu memerlukan penanganan yang

berbeda dalam proses pemidanaannya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka

“penghukumannya” pun pelru dilakukan tersendiri, dengan pola penanganan, pembinaan,

dan perlakuan yang berbeda pula.

Pembangunan Nasional Studi Pelaksanaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Kendal”, (Yogjakarta : Tesis, Program Pascasarjana Undip, 2014), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana dan sekaligus sebagai korban,

dengan berdasarkan pada Pasal 103 UU Narkotika, Mahkamah Agung RI mengeluarkan

terobosan dengan mengeluarkan beberapa surat edaran, antara lain :

1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 07 Tahun 2009 tentang

Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang

dituangkan ke dalam Surat No. 07/BUA.6/HS/SP/III/2009 tertanggal 17 Maret

2009 (selanjutnya disingkat SEMA No. 07 Tahun 2009);

2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No. 04 Tahun 2010 tentang

Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga

Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (selanjutnya disingkat SEMA No. 04

Tahun 2010).

Adapun SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke

Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, bagi pecandu dan pengguna narkotika sebagai

pelaku tindak pidana narkotika harus dimasukkan ke dalam Panti Rehabilitasi yang ada di

seluruh Indonesia. Tetapi Surat Edaran ini tidak mewajibkan kepada setiap hakim untuk

menjatuhkan sanksi tindakan melainkan hanya tuntunan kepada pecandu dan pengguna

narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika agar dimasukkan ke

dalam panti rehabilitasi.12

12 Dasar pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) adalah sebagai perintah Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung. SEMA dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan dan memiliki kekuatan hukum mengikat seperti yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Dari segi kewenangan SEMA dibentuk berdasarkan kewenangan pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung. Pengaturan tersebut berkaitan dengan fungsi lainnya yaitu administrasi, nasehat, pengawasan, dan peradilan.

Isi dari Surat Edaran tersebut, adalah sebagai berikut:

Dilihat dari subjek penggunaannya, SEMA dapat digolongkan ke dalam aturan kebijakan (bleidsregel), karena SEMA sendiri biasanya ditujukan kepada hakim, panitera, dan jabatan lain di

Universitas Sumatera Utara

Page 25: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

1. “Memperhatikan bahwa sebagian besar dari Narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan;

2. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) pada saat ini tidak mendukung

karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat.

Oleh karena itu diharapkan para Hakim sedapat mungkin menerapkan pemidanaan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 41 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dikutip sebagai berikut: a) Pasal 41 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika :

Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan.

b) Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika :

(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat : a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani

pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

3. Penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Undang-

Undang No. 5 Tahun 1997 dan Pasal 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:

pengadilan. Selain itu, bentuk formal SEMA sendiri lebih mendekati peraturan kebijakan ketimbang peraturan perundang-undangan pada umumnya. Namun, jika dilihat lebih dalam lagi dari segi isi, tidak semua SEMA dapat begitu saja digolongkan sebagai aturan kebijakan (bleidsregel). Faktanya dari 369 SEMA yang dapat diinventarisir dengan mengenyampingkan keberlakuan tiap-tiap SEMA tersebut, terdapat 25 SEMA yang dapat dikategorikan berfungsi sebagai peraturan atau regel dan 344 lainnya berfungsi sebagai peraturan kebijakan atau beleidsregel. Lebih lanjut lihat : Irwan Adi Cahyadi, “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dalam Hukum Positif di Indonesia”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014, hal. 16-19.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan;

2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir 1 di atas, ditemukan barang bukti satu kali pakai. Contoh : - Heroin/Putauw : maksimal 0,15 gram - Kokain : maksimal 0,15 gram - Morphin : maksimal 0,15 gram - Ganja : maks 1 linting rokok dan/atau 0,05 gr - Ekstacy : maksimal 1 butir/tablet - Shabu : maksimal 0,25 gram - Dan lain-lain termasuk dalam narkotika Golongan I s/d III dan

Psikotropika Golongan I s/d IV; 3. Surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba berdasarkan

permintaan Penyidik; 4. Bukan residivis kasus narkoba; 5. Perlu surat keterangan dari Dokter Jiwa/Psikiater (Pemerintah) yang

ditunjuk oleh Hakim; 6. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi

pengedar/produsen gelap narkoba.

4. Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi terdekat, dalam amar putusannya tempat-tempat rehabilitasi dimaksud adalah: 1. Unit Pelaksana Teknis T&R BNN Lido Bogor; 2. Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Cibubur Jakarta dan di Seluruh

Indonesia (Departemen Kesehatan RI); 3. Panti Rehabilitasi Depsos RI dan UPTD; 4. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia; atau 5. Tempat-tempat rujukan panti rehabilitasi yang diselenggarakan oleh

masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial (dengan biaya sendiri);

5. Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus dengan

sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan Terdakwa sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah sebagai berikut: a. Detoxifikasi lamanya 1 (satu) bulan; b. Primary program lamanya 6 (enam) bulan; c. Re-entry program lamanya 6 (enam) bulan”.13

13 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Secara tidak langsung Surat Edaran ini juga membenarkan penjatuhan sanksi

tindakan oleh Hakim. Tetapi masih juga tidak mewajibkan dan masih memberikan ruang

kepada Hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana karena surat edaran hanyalah himbauan

Hakim Agung kepada seluruh Hakim di seluruh Pengadilan jadi tidak ada daya hukum

yang mengikat untuk melaksanakannya. Penjatuhan hukuman berupa sanksi tindakan

memang merupakan sarana alternatif untuk penanggulangan kejahatan narkotika dan

psikotropika karena kemanfaatan hukum dapat dicapai untuk itu, tetapi sarana dan

prasarananya juga harus disediakan Pemerintah. Pemerintah tidak bisa menyerahkan

panti-panti sosial maupun panti rehabilitasi kepada pihak swasta ataupun yayasan.14

Adapun SEMA No. 04 Tahun 2010, angka 3 (a) diatur bahwa :

“Dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilaksanakan tindakan berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, Majelis Hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya. Tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah : a. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan

diawasi oleh Badan Narkotika Nasional; b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta; c. Rumah Sakit Jiwa di Seluruh Indonesia (Depkes RI); d. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksanaan Teknis Daerah

(UPTD); e. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh

masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial (dengan biaya sendiri)”.15

SEMA No. 04 Tahun 2010 merupakan himbauan kepada hakim-hakim yang

menangani berkas perkara kasus narkoba agar menetapkan langsung kemana terdakwa

14 Anggoro Wicaksono, “Sanksi Tindakan Sebagai Sarana Alternatif Penanggulangan Kejahatan Psikotropika Bagi Pecandu dan Pelaku Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana”, (Medan : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2015), hal. 131.

15 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

direhabilitasi. Sedangkan, SEMA No. 07 Tahun 2009 mengatur tentang batasan pengguna

di dalam tindak pidana narkotika, atau dengan kata lain, barang bukti yang ditemukan

oleh Penyidik Kepolisian, apabila ditemukan barang bukti berupa narkotika tidak lebih

dari berapa berat yang diatur oleh SEMA No. 07 Tahun 2009, maka dapat dikategorikan

sebagai pengguna. Terminologi pecandu dan pengguna sangat berbeda. Pecandu

narkotika sudah jelas pengguna narkotika, akan tetapi, pengguna narkotika belum tentu

pecandu narkotika.16 Karena, pengguna narkotika secara legal (misalnya bagian dari

resep dokter) tidak semestinya dipandang sebagai abnormalitas, sehingga dimasukkan ke

dalam kelompok yang sama dengan para penyalahguna. Adapun untuk menentukan

seseorang pelaku tindak pidana narkotika tersebut termasuk ke dalam kategori pecandu

atau pengguna dapat dilakukan pengamatan terhadap kondisi individu, akan lebih

sempurna apabila penanganan juga dilakukan ke lingkup keluarga dan lingkungan

terdekat individu tersebut.17

SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010 ditujukan kepada

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk menempatkan

pecandu narkotika di panti rehabilitasi. SEMA No. 04 Tahun 2010 merupakan revisi dari

SEMA No. 07 Tahun 2009. Tentunya, Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan

langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau

dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan

16 Benny Ardjil, “Peningkatan Sarana Rehabilitasi”, Majalah SINAR BNN, Edisi 3, 2010, hal. 24-25, menyatakan bahwa : “Setiap kali aparat kepolisian menemukan seseorang atau sekelompok orang sedang menggunakan narkoba, pikiran cepat sekali menyimpulkan bahwa orang tersebut adalah pecandu narkoba. Padahal tidak selalu demikian, pecandu memang menggunakan narkoba. Sedangkan yang menggunakan narkoba tidak selalu pecandu. Sebab kalau dia baru sekali itu menggunakan, baru mencoba saja, dia disebut pengguna narkoba coba-coba atau experimental user”

17 Reza Indragiri Amriel, Psikologi Kaum Muda Pengguna Narkoba, (Jakarta : Salemba Humanika, 2007), hal. 66.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana

menjadi perilaku biasa. Hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak

dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika.18

Akibat dari SEMA No. 07 Tahun 2009 dan dilanjutkan dengan SEMA No. 04

Tahun 2010 dikaitkan dengan penegakan hukum pidana terhadap pengguna narkotika

sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan, bagi Penyidik kesulitan

menentukan apakah seseorang yang tertangkap tangan dengan barang bukti dibawah

SEMA No. 07 Tahun 2009 termasuk ke dalam kategori pengguna ataukah pecandu.

Karena kedua-duanya adalah selaku korban kejahatan tindak pidana narkotika. Kesulitan

tersebut terjadi, karena banyaknya pelaku yang tertangkap tangan membawa barang bukti

narkoba sebanyak yang ditentukan dalam SEMA No. 07 Tahun 2009 adalah seorang

residivis, dan lebih parah lagi, malahan pelaku tersebut adalah seorang bandar narkoba

kelas kakap. Hambatan-hambatan lain juga dihadapi oleh Penyidik Polresta Medan dalam

melakukan penegakan hukum tindak pidana narkotika.

Penggunaan SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010 oleh

Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan, sangat berhubungan erat dengan penyidikan

yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian. Hubungan tersebut terjalin dalam Criminal

18 Megawati Marcos, “Tinjauan Yuridis Tentang Pemidanaan Terhadap Pecandu Narkotika”, Jurnal Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum, Universitas Atma Jaya Jogyakarta, 2014, hal. 4, terkait dengan dekriminalisasi pengguna narkoba, menurut Megawati Marcos, menyatakan bahwa : “Salah satu contoh kasus yang dapat dilihat yaitu kasus Roy Marten yang sudah diputus pidana penjara yang sama, hal ini jelas membuktikan ketidak-efektifan pemidanaan bagi seseorang yang telah menjadi pecandu, oleh sebab itu, pengguna narkotika yang sudah menjadi pecandu alangkah baiknya apabila diberi tindakan perawatan dan pengobatan rehabilitasi, selain tidak adanya jaminan akan menjadi lebih baik, maka bukan tidak mungkin akan membawa pengaruh atau dampak yang lebih buruk terhadap para pengguna (pecandu) narkotika tersebut, disebabkan di dalam penjara mereka dapat bertukar pengalaman tentang kejahatan, tidak jarang pula bahwa di dalam penjara justru menjadi tempat transaksi narkotikabahkan ada pabrik pembuatan narkotika”.

Lihat juga : Tommy Daud, “Pelaksanaan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkotika di Makassar”, Universitas Hasanuddin, 2012.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Justice System (Sistem Peradilan Pidana).19 Criminal Justice System (CJS) atau Sistem

Peradilan Pidana (SPP) terdiri dari Kepolisian sebagai Penyidik dan Penyelidik,

Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, Pengadilan sebagai Pemutus, dan Lembaga

Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan para narapidana.20

Penyidik Kepolisian yang diangkat dalam penelitian ini adalah Penyidik Polresta

Medan, khususnya Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan (Sat Res Narkoba Polresta

Medan) yang merupakan pelaksana utama Polresta Medan yang bertugas membina dan

menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika termasuk

penyuluhan dan pembinaan dalam rangka P4GN (Pencegahan, Pemberantasan,

Penyalahgunaan, Peredaran Gelap Narkoba).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penelitian berjudul : “PENEGAKAN

HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU

TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN” sangat penting dilakukan.

Penelitian ini penting dilakukan karena data-data maupun informasi-informasi dari

Penyidik Polresta Medan khususnya Sat Res Narkoba Polresta Medan akan mudah

didapatkan, sehingga mendukung penulisan penelitian ini.

19 Diktat Akpol, Sisdil di Indonesia, (Semarang : Markas Besar Kepolisian RI, 2005), hal. 46. 20 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang : UMM Press, 2005), hal. 2,

menyatakan bahwa : “Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa”.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penelitian ini, antara lain :

1. Bagaimana proses penyidikan terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak

pidana narkotika?

2. Apa hambatan dalam proses penyidikan terhadap pengguna narkotika sebagai

pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan?

3. Bagaimana upaya untuk menangani hambatan dalam penyidikan terhadap

pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama yang hendak dicapai dalam melakukan penelitian ini,

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penyidikan terhadap pengguna

narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika;

2. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dalam proses penyidikan terhadap

pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan;

3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya dalam menangani hambatan

penyidikan terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika

di Polresta Medan.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian lanjutan.

b. Memperkaya khasanah kepustakaan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Penyidik Polresta Medan, khususnya Sat Res

Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak

pidana narkotika.

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat agar mengetahui bagaimana

Penyidik Sat Res Narkoba Polresta Medan melakukan upaya preventif,

pre-emptif maupun represif dalam penegakan hukum tindak pidana

narkotika.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya lingkungan

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, maupun Perpustakaan Cabang Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “PENEGAKAN

HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU

TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN” belum pernah dilakukan.

Namun, ada beberapa penelitian yang tema penelitian sama tetapi objek berbeda dan

lokasi penelitian juga berbeda, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 33: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Tabel 1 Penelitian Terdahulu

No.

Judul Penelitian

Permasalahan Nama Mahasiswa

1.

SANKSI TINDAKAN SEBAGAI SARANA ALTERNATIF PENANGGULANGAN KEJAHATAN PSIKOTROPIKA BAGI PECANDU DAN PELAKU ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Tesis ditulis pada tahun 2015

- Penerapan sanksi tindakan kepada anak

pelaku tindak pidana psikotropika;

- Pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi tindakan terhadap pecandu anak pelaku tindak pidana psikotropika; dan

- Sanksi tindakan sebagai sarana alternatif penanggulangan tindak pidana psikotropika dalam perspektif kebijakan hukum pidana.

Anggoro Wicaksono

107005150/HK

2.

PERANAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA Tesis ditulis pada tahun 2013

- Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

putusan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika;

- Putusan hakim dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika; dan

- Tujuan pemidanaan terhadap putusan hakim bagi anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika.

Nur Sari Dewi M.

107005040/HK

3.

TINJAUAN KRIMINOLOGIS DAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENANGANI PELAKU TINDAK PIDANA AKIBAT PENGARUH NARKOBA SUNTIK DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN) Tesis ditulis pada tahun 2011

- Kajian hukum pidana (secara kriminologis)

terhadap pelaku tindak pidana yang disebabkan oleh penggunaan narkoba suntik;

- Peranan kepolisian dalam menangani tindak pidana yang disebabkan penggunaan narkoba suntik, khususnya yang berada di wilayah hukum Kepolisian Resort Kota Medan.

Eddy Purwono 080221005/HK

Sumber : Website Resmi Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Program Magister Ilmu Hukum, http://repository.usu.ac.id/., diakses pada 29 Maret 2015.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, penelitian yang meneliti tentang penegakan hukum

pidana terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta

Medan belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama.

Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya

dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari

pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau

landasan untuk memecahkan dan mambahas masalahnya. Untuk itu perlu disusun

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana

masalah tersebut diamati.21

Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian, dengan adanya kerangka

teori akan memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, susunan dari

beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang

logis yang menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam

penelitian. Mengungkap teori yang digunakan berarti mengemukakan teori-teori yang

relevan yang memang benar-benar digunakan untuk membantu menganalisis fenomena

sosial yang diteliti.

Adapun teori hukum yang dapat digunakan berkenaan dengan judul penelitian di

atas, antara lain :

1. Teori yang berkenaan dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dikemukakan

oleh Mardjono Reksodiputro;

2. Teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman.

21 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press,2003), hal. 39-40.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

a. Teori Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System (CJS)

Pelaksanaan sistem peradilan pidana masih memiliki banyak kelemahan dalam

berbagai aspek. Kelemahan tersebut salah satunya bersumber dari perangkat hukum

positif yang belum sepenuhnya mendukung terciptanya sistem peradilan pidana yang

transparan, akuntabel. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat turut mempengaruhi

kegagalan sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya. Pada gilirannya, akan

menghambat upaya pengendalian kejahatan di masyarakat karena pada dasarnya, menurut

Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat

untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas toleransi yang dapat

diterimanya.22

Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal Justice

System (ICJS) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam kerangka

penegakan hukum pidana materil.

Philip P. Purpura menyatakan bahwa23

“Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa”.

:

Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Muladi dapat dikategorikan, sebagai

berikut24

22 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 140.

:

23 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang : UMM Press, 2005), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

“1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;

2. Dikategorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju

lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (criminal policy);

3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan

masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (social policy).”

Sedangkan fungsi dan tujuan dari sistem peradilan pidana seperti yang

digambarakan oleh Davies, Croall, dan Tyrer, sebagai berikut25

1. “Protecting the public by preventing and dettering crime, by rehabilitating offenders in incapacitating others who continue a persistant threat to the community;

:

2. Upholding and promoting the rule of law and respect for the law, by

ensuring due process and proper treatment of suspect, arrestees, defendand and those held in custody, successfully prosecuting criminal and acquitting innoncent people accused of a crime;

3. Maintaining law and order;

4. Punishing criminals with regard to the principles of just deserts;

5. Registering social disapproval of censured behaviour by punishing criminals;

6. Aiding;and

7. Advising the victims of crime”.

24 Muladi dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 54.

25 Davies, Croall, dan Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and Wales, (London : Longman, 1995), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Dengan bahasa yang lebih sederhana Loebby Loqman berpendapat tujuan sistem

peradilan pidana adalah menghilangkan kejahatan (bukan penjahatnya) untuk mencapai

suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan.26 Selanjutnya menurut Bassiouni27

“Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi, yaitu :

:

1. Pemeliharaan tertib masyarakat;

2. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya

yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

3. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

4. Memelihara atau mempertahankan intergritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan social, marabat kemanuaisaan dan keadilan”.

Menurut Roeslan Saleh : “Pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana

kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk

sementara waktu”.28

Barda Nawawi Arief menyatakan

29

“Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat negatif itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dari seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan terpidana”.

:

Terampasnya kemerdekaan seseorang juga berarti terampasnya kemerdekaan

berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat serius bagi kehidupan sosial

26 Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana, (Jakarta : Datacom, 2002), hal. 22-23.

27 M. Cherif Bassiouni, Subtantive Criminal Law, (Spingfield, Illionis, USA : Charles Thomas Publisher, 1978), hal.78.

28 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1987), hal. 62. 29 Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 44.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

ekonomi keluarganya.Terlebih pidana penjara itu dikatakan dapat memberikan cap jahat

(stigma) yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan

kejahatan. Akibat lain yang juga sering disoroti ialah bahwa pengalaman penjara dapat

menyebabkan terjadinya degradasi atau penurunan derajat dan harga diri manusia.

Sistem Kepenjaraan sebagai suatu cara pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan,

yang diatur dalam Gestichten Reglemen Penjara (Stb. 1917-708) sebagai pelaksanaan

dari Pasal 29 KUHP, sudah tidak sesuai dengan Pancasila, karena berasal dari pandangan

individualisme yang memandang dan memperlakukan narapidana tidak sebagai anggota

masyarakat.30

Sistem Pemasyarakatan adalah satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana,

oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi

umum mengenai pemidanaan.

31

Dikaitkan dengan penelitian ini yang akan menitikberatkan kepada pembahasan

penerapan SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam

Panti Terapi dan Rehabilitasi dan disempurnakan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010

yang mengatur hal yang sama. Walaupun SEMA tersebut berlaku untuk kalangan

pengadilan, akan tetapi, dikarenakan Pengadilan termasuk ke dalam Criminal Justice

System (CJS), maka pengadilan sebagai hulu dari penyidikan yang dilakukan oleh

Penyidik Polri diharapkan dapat seiring sejalan mewujudkan tujuan pemidanaan.

30 H.R. Soegondo, Sistem Pembinaan Napi, (Yogyakarta : Insania Citra, 2006), hal. 2. 31 Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung : Refika

Aditama, 2006), hal. 103.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

b. Teori Sistem Hukum

Penyidik Polri dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika bagi pengguna

narkotika sebagai pelaku tindak pidana, tidak dapat dipungkiri pastilah memiliki

hambatan-hambatan yang dihadapinya. Untuk menjawab permasalahan tentang

hambatan-hambatan yang dihadapi penyidik tersebut, akan digunakan teori sistem hukum

yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman.

Teori yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tentang “interchange-

interaction”, menyatakan bahwa32

“Dalam pertukaran (interchange-interaction) dengan masyarakat atau lingkungannya ternyata polisi memperlihatkan suatu karakteristik yang menonjol dibandingkan dengan yang lain (hakim, jaksa, dan advokat). Polisi adalah hukum yang hidup atau ujung tombak dalam penegakan hukum pidana. Dalam melakukan penangkapan dan penahanan misalnya polisi menghadapi atau mempunyai permasalahan sendiri. Pada saat memutuskan untuk melakukan penangkapan dan penahanan polisi sudah menjalankan pekerjaan yang multifungsi yaitu tidak hanya sebagai polisi tetapi sebagai jaksa dan hakim sekaligus. Penyidikan tersebut sangat rawan dan potensial untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penyimpangan polisi (police deviation) baik dalam bentuk police corruption maupun police burality. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar laporan atau pemberitaan menyangkut pencitraan Polri yang tidak baik adalah berkaitan dengan persoalan sikap dan perilaku petugas Polri di bidang penyidikan.

:

Berkaitan dengan menyediakan aparatur penegak hukum guna menunjang hukum

yang berkeadilan, B.M. Taverne, seorang pakar hukum negeri Belanda, yang terkenal

dengan kata-katanya yang berbunyi : “geef me goede rechter, goede rechter

commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met

een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken”, artinya : “Berikan aku

32 Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil : Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, Cet. Ke-2, (Jakarta : Kompas, 2007), hal. xxv.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun

tanpa secarik undang-undang pun”. Dengan kata lain lagi, “Berikan padaku hakim dan

jaksa yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun saya bisa mendatangkan

keadilan.33 Artinya, bagaimanapun lengkapnya suatu rumusan undang-undang tanpa

didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas yang

tinggi, maka hasilnya akan buruk.34

Dengan demikian, untuk mengukur seorang penyidik yang melakukan penyidikan

apakah dirinya seseorang yang adil dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah,

dapat dilihat berdasarkan Kode Etik Profesi Kepolisian yang sudah ditetapkan dan

dituangkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia pada Pasal 34 dan Pasal 35.

Pasal 34 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, menyatakan bahwa :

(1) “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.

(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri”

Ketentuan yang mengatur tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diamanatkan untuk membuat Keputusan Kapolri berdasarkan Pasal 34

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut di atas, telah dikeluarkan dengan Peraturan

33 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta : Kompas, 2007), hal. 6. 34 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan

Hukum, (Jakarta : Kompas, 2007), hal. 103.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Adapun dasar pertimbangan diterbitkannya Peraturan Kapolri tersebut, adalah

sebagai berikut35

1. “Bahwa pelaksanaan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus dijalankan secara profesional, proporsional, dan prosedural yang didukung oleh nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya dijabarkan dalam kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai norma berperilaku yang patut dan tidak patut;

:

2. Bahwa Penegakan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

harus dilaksanakan secara objektif, akuntabel, menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate), serta hak asasi manusia dengan memperhatikan jasa pengabdian anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diduga melanggar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Selanjutnya, Pasal 35 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa :

(1) “Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri”.

Peraturan yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diamanatkan untuk membuat Keputusan

Kapolri berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut, telah

dikeluarkan Peraturan Kapolri No. 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

35 Bagian Menimbang Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Setelah mengetahui Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

(selanjutnya disingkat KEPP), maka barulah mengukur penyidik apakah dirinya

seseorang yang adil dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah berdasarkan tiga

kriteria yaitu : Profesional, Proporsional, dan Prosedural. Apabila seorang Penyidik

melanggar salah satu dari tiga kriteria tersebut, maka dapat diduga Penyidik tersebut

melakukan kesalahan pelanggaran KEPP.

Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan tersebut, dalam penelitian ini, akan

menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman

mengenai hukum yang baik harus mengandung substance, structure, dan legal culture

yang baik pula. Dengan kata lain, Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif

dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni :

struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of the law), dan budaya

hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi

hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum

yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.

Mengenai struktur hukum, Lawrence M. Friedman menjelaskan36

“To begin with, the legal system has the structure of a legal system consists of elements of this kind : the number and size of courts; their jurisdiction... Structure also means how the legislature is organized ...what procedures the police department follow, and so on. Structure, in way, is a kind of cross section of the legal system... a kind of still photograph, with freezes the action”.

:

Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran

pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka periksa), dan

36 Lawrence M. Friedman, American Law : An Introduction, (New York : W.W. Norton & Company, 1984), hal. 5-6.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti

bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh

Presiden, prosedur ada yang diikuti oleh Kepolisian dan sebagainya. Jadi, struktur (legal

structure) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan

seperangkat hukum yang ada atau yang dikenal dengan Criminal Justice System (CJS).

CJS terdiri dari 4 (empat) lembaga, yaitu : Penyidik (Kepolisian), Penuntut Umum

(Kejaksaan), Pengadilan (Hakim), Lembaga Pemasyarakatan (Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), dan Advokat. Seluruh

struktur hukum tersebut saling bekerja mendukung satu sama lain.37

Struktur adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan

menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana

pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan.

Di Indonesia misalnya jika berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka

termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti Kepolisian,

Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, Pengadilan, dan Advokat.

38

37 Dikaji dari perspektif Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), maka di Indonesia dikenal 5 (lima) institusi yang merupakan sub sistem peradilan pidana. Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa Penegak Hukum. Meurut Mardjono Reksodiputro, maka Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Sumber : Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana : Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994), hal. 84-85.

38 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, Cet. Ke-2, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2004), hal. 36, menyatakan bahwa : “Jika kita ingin melihat hukum secara lebih utuh, maka hendaknya hukum tidak sekedar dipandang sebagai kumpulan asas-asas dan aturan-aturan, melainkan hendaknya kita memandang hukum dalam wujudnya sebagai tatanan yang utuh, yang mencakup tatanan sosial dan tatanan politik. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan hukum gaya lama hanya mempelajari hukum sebagai tatanan politik yaitu hukum positif, hukum negara yang oleh Roberto M. Unger diistilahkan sebagai hukum birokrat. Kalangan hukum positif mengatakan bahwa di luar hukum positif (hukum negara) tidak ada lagi hukum”.

Universitas Sumatera Utara

Page 44: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Dikaitkan dengan penelitian ini, maka struktur hukum yang terdapat pada

Criminal Justice System (CJS) adalah Polisi, Jaksa, Advokat selaku penasehat hukum

(mendampingi Kliennya selaku Terdakwa), dan Hakim. Polisi sebagai penyidik selaku

ujung tombak dari SEMA No. 07 Tahun 2009 agar dapat diterapkan dengan baik. Lalu,

Jaksa Penuntut juga sebagai atasan Polisi dalam penyidikan yang mana, apabila Penyidik

Polri salah dalam melakukan penyidikan, maka Jaksa akan memberikan arahan dan

masukan untuk melakukan penyidikan tersebut. Setelah berkas perkara diterima oleh

Jaksa Peneliti, maka selanjutnya akan dilakukan pelimpahan perkara kepada Jaksa

Penuntut untuk dilakukan penuntutan di pengadilan. Di pengadilan yang berperan dalam

penerapan SEMA No. 07 Tahun 2009 tersebut adalah Hakim. Hakim bertugas mencari

dan menemukan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam suatu perkara yang diterimanya

sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang

dierapkan kepada pelaku kejahatan inilah yang disebut oleh Lawrence M. Frieman

sebagai substansi hukumnya. Selanjutnya, advokat disini berfungsi untuk melakukan

pembelaan-pembelaan kepada kliennya yaitu Terdakwa agar dihukum sesuai dengan

perbuatannya.

Substansi hukum menurut Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa : “Anoher

aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and

behavioral patterns of people inside the system ...the stress here is on living law, not just

rules in law books”.39

39 Lawrence M. Friedman, Loc.cit., hal. 5-6.

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Adapun yang

dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia

yang berada dalam sistem itu. Jadi, substansi hukum menyangkut peraturan perundang-

Universitas Sumatera Utara

Page 45: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman

bagi aparat penegak hukum.

Substansi hukum di dalam penelitian ini adalah SEMA No. 07 Tahun 2009 yang

telah disempurnakan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010. Sebagai pendukungnya KUHP

dan KUHAP juga digunakan sebagai acuan (das sollen) untuk menjatuhkan hukuman.40

Penjatuhan hukuman dengan menerapkan peraturan perundang-undangan perlu dicari dan

ditemukan fakta-fakta hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan

tersebut (das sein).41

Sedangkan mengenai budaya hukum, Lawrence M. Friedman, berpendapat : “The

third component of legal system, of legal culture. By this we mean people’s attitudes

toward law and legal system their belief ...in other word, is the climinate of social

thought and social force which determines how law is used, avoided, or abused”.

Apakah memenuhi unsur tindak pidana atau tidak, diperlukan

penyidikan yang mempunyai dan menjunjung tinggi KEPP (Kode Etik Profesi Polri)

yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

42

40 Das Sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan untuk berfikir dan bersikap. Contoh : norma dunia, kaidah-kaidah, dan sebagainya. Dapat diartikan bahwa das sollen merupakan kaidah dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan.

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk

budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik

apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan

sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh

41 Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat dipahami bahwa das sein merupakan peristiwa konkrit yang terjadi.

42 Lawrence M. Friedman, Op.cit., hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 46: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat, maka penegakan hukum tidak

akan berjalan secara efektif.

Mengenai budaya hukum yang dikemukakan di atas, dikaitkan dengan penelitian

ini adalah untuk melihat bagaimana suatu legal culture Penyidik Polri khususnya Sat Res

Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkotika bagi

pengguna sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Apakah melakukan penyidikan

tersebut dengan profesional, proporsional, dan prosedural, atau tidak. Hal inilah yang

nantinya diukur dengan penyidikan-penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri

tersebut.

2. Kerangka Konsep

Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep yang

dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi operasional dari

konsep-konsep yang dipergunakan :

1. Penegakan Hukum adalah proses dilaksanakannya upaya untuk memfungsikan

norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau

hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.43

2. Hukum Pidana, menurut R. Soesilo, adalah perasaan tidak enak/sengsara yang

dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-

43 Jimly Asshiddiqie, “Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada acara seminar “Menyoal Moral Penegakan Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakulta Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2006, hal. 15.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Undang Hukum Pidana.44 Sedangkan, menurut E. Moeljatno, hukum pidana

adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang

mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk45

a. “Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut;

:

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut”.

Menurut Soedarsono, pada prinsipnya, hukum pidana adalah yang mengatur

tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan

tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Dengan

demikian, hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan

sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan

ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.46

3. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

44 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap, (Bogor : Politea, 1994), hal. 87.

45 E. Moeljatno, Asas-Asas Ilmu Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2005), hal. 84. 46 Soedarsono dalam Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Prestasi Pustaka,

2005), hal. 216-217.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika.47

4. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,

yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat

yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

48

5. Pecandu Narkotika atau Pengguna Narkotika adalah orang yang menggunakan

atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada

Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

49

6. Tindak Pidana Narkotika adalah ketentuan sanksi pidana yang terdapat pada UU

Narkotika yaitu Pasal 111 sampai dengan Pasal 148.

7. Pelaku Tindak Pidana Narkotika adalah orang yang melanggar ketentuan Pasal

111 sampai dengan Pasal 148 UU Narkotika.

8. Polresta Medan adalah satuan kepolisian yang berada di bawah Kepolisian Daerah

Sumatera Utara (Polda Sumut), yang mempunyai yurisdiksi Kota Medan.

G. Metode Penelitian

Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-

hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan penelitian

bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah. Pengetahuan

47 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 48 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 49 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian termasuk ilmu-

ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.50

Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat dalam

penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan pada cakupan

ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun masing-masing terdapat

karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan penelitian, akan tetapi terdapat

prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh semua peneliti seperti pemahaman yang

sama terhadap validitas dari hasil capaian termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran

ilmiah.

51 Kejujuran ilmiah adalah kode etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu52

1. “Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;

:

2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat; 3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan

cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan; 4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan

penghubung dengan pembaca; 5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan

sebagainya; 6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting; 7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak

menutupi kelemahan diri; 8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak

mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri; 9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan

plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain”.

50 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan Penulisan Hukum”, Universitas Balikpapan, Balikpapan, 2010, hal. 2.

51 Ibid., hal. 2. 52 Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah yang

diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 01 April 2015.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan

pendekatan juridis normatif.53

Dengan demikian objek penelitian adalah norma hukum

yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam

sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang terkait secara langsung

dengan tindak pidana narkotika yang dilanggar oleh pengguna narkotika dikaitkan

dengan SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.

Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat

kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu

pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.54

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Tujuannya adalah untuk

mendeskripsikan dengan tepat, akurat, dan sistematis terkait gejala-gejala hukum

mengenai penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri dalam tindak pidana narkotika

Metode

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute

approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian yuridis normatif

yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang

mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum.

53 Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.

54 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.14.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

yang diduga dilakukan oleh pengguna dan/atau pecandu narkotika dikaitkan dengan

SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Data Primer, yaitu data yang didapat di lapangan. Dalam hal ini, penelitian

berfokus di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Medan (Polresta Medan) yang

beralamat di Jalan HM. Said No. 1, Medan, oleh sebab itu, data primer didapatkan

dari Penyidik Polresta Medan khususnya Sat Res Narkoba Polresta Medan.

2. Data Sekunder, penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian

library research adalah berdasarkan pada data sekunder, maka data sekunder yang

digunakan terdiri dari 3 (tiga) jenis bahan hukum, masing-masing, yaitu :

a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :

1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya;

2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP);

4) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia;

5) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

6) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

Universitas Sumatera Utara

Page 52: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

7) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

8) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 46 Tahun 2012 tentang Petunjuk

Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu;

9) Surat Edaran Mahkamah Agung No. 07 Tahun 2009 tentang

Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan

Rehabilitasi;

10) Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia;

11) Peraturan Kapolri No. 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, digunakan untuk membantu memahami berbagai

konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer

dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik

jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang

relevan.

c. Bahan hukum tertier, diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal

penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum

primer, khususnya kamus-kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI). Kamus hukum yang digunakan adalah Black’s Law Dictionary.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitan ini menggunakan teknik studi dokumen, artinya

data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi

yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang

relevan dengan objek penelitian. Selain itu, untuk melengkapi data pustaka, juga

dilakukan analisis terhadap beberapa penanganan kasus tindak pidana narkotika yang

pelakunya adalah pengguna dan pecandu narkotika. Penyidikannya dilakukan oleh

Penyidik Polresta Medan khususnya Penyidik Sat Res Narkoba Polresta Medan dan juga

data dari pelaku dan pecandu narkotika. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk

menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat

atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun

melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.

Wawancara juga dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain

bahan hukum yang dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan

sejumlah informan yang dipandang relevan dengan menggunakan metode wawancara

mendalam (indepth interview).55

55 Indepth Interview atau wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.

Adapun para informan yang diwawancarai dalam

penelitian ini, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 54: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

1. Penyidik Polresta Medan khususnya Penyidik Sat Res Narkoba Polresta

Medan, yaitu : Kasat Res Narkoba Polresta Medan dan Wakasat Res Narkoba

Polresta Medan;

2. Pelaku Tindak Pidana Narkotika;

3. Pecandu Narkotika.

4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara

kualitatif. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian

yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya

semua data diseleksi dan diolah kemudian diuraikan secara deskriptif analisis, sehingga,

selain menggambarkan dan mengungkapkan jawaban terhadap permasalahan yang

dikemukakan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian

ini.56

56 Dilihat dari tujuan analisis, maka ada 2 (dua) hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena. Sumber : Ibid., hal. 153.

Universitas Sumatera Utara

Page 55: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

BAB II

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU

TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Penyelidikan

1. Pengertian Penyelidikan

a. Penyelidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat

atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.57

Fungsi penyidik dilakukan sebelum dilakukan penyelidikan hanya bertugas untuk

mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas

membuat berita acara serta laporannya nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.

Penyelidikan dilakukan berdasarkan :

1. “Informasi atau laporan yang diterima maupun diketahui langsung oleh

penyelidik/penyidik.

2. Laporan polisi.

3. Berita Acara pemeriksaan tersangka dan atau saksi”.58

Proses penyidikan tindak pidana penyelidikan dilakukan untuk :

57 M. Husein Harun, Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hal. 56.

58 Ibid., hal. 57. 39

Universitas Sumatera Utara

Page 56: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

1. Mencari keterangan-keterangan dan bukti guna menentukan suatu peristiwa yang

dilaporkan atau diadukan, apakah merupakan tindak pidana atau bukan.

2. Persiapan pelaksanaan penindakan dan atau pemeriksaan.

Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, melainkan hanya merupakan

salah satu metode atau sub dari fungsi penyidikan.59 Penyelidikan merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Tindakan penyelidikan lebih dapat

dikategorikan sebagai tindakan pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak

berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak

pidana. Sedangkan yang melakukan tugas penyelidikan adalah penyelidik yang diatur

dalam KUHAP yaitu Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang

diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.60

Pengertian penyelidikan menurut KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa

dalam proses penyelidikan ini tujuannya adalah untuk mencari tahu dan memastikan

apakah dalam suatu peristiwa hukum tertentu telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak.

Sebab tidak semua peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah

suatu tindak pidana. Suatu peristiwa hukum baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak

pidana hanya apabila telah terpenuhi unsur-unsur pidananya. Apabila unsur-unsur

pidananya tidak terpenuhi, maka peristiwa tersebut dianggap sebagai peristiwa biasa dan

tak mempunyai implikasi apa-apa.

59 Himpunan Bujuklak, Bujuklap, Bujukmin. Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta, 1990, hal. 17.

60 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Universitas Sumatera Utara

Page 57: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

b. Penyelidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat

atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.61

Penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

melakukan penyelidikan.62

Dalam Peraturan Kapolri No.14 Tahun 2012, diatur mengenai administrasi

penyelidikan, yaitu meliputi

63

1. “Surat perintah tugas.

:

2. Surat perintah penyelidikan, dan

3. Laporan Hasil Penyelidikan (LHP)”.

Kegiatan penyelidikan dilakukan sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan dan

sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam rangka penyidikan.64 Kegiatan

penyelidikan tersebut dilakukan untuk mencari dan menemukan tindak pidana.65

Kegiatan penyelidikan tersebut, merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan

penyidikan untuk66

61 Pasal 1 ayat (9) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

:

62 Pasal 1 ayat (8) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

63 Pasal 9 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

64 Pasal 11 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

65 Pasal 11 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

66 Pasal 11 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 58: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

1. “Menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau

bukan.

2. Membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya.

3. Dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa”.

Kegiatan penyelidikan dimaksud meliputi :

1. “Pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP)67

2. Pengamatan (observasi)..

68

3. Wawancara (interview).

4. Pembuntutan (surveillance). 5. Penyamaran (under cover). 6. Pelacakan (tracking) 7. Penelitian dan analisis dokumen”.

Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat dimana suatu tindak pidana

dilakukan atau terjadi dan tempat-tempat lain dimana tersangka dan/atau korban dan/atau

barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.69

Sasaran dari dilakukannya penyelidikan yaitu meliputi orang, benda atau barang,

tempat, peristiwa/kejadian dan kegiatan.

70

67 Pasal 12 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,

petugas penyelidik wajib dilengkapi dengan surat perintah penyelidikan yang

ditandatangani oleh atasan penyelidik dan wajib membuat laporan hasil penyelidikan

kepada pejabat pemberi perintah. Laporan hasil penyelidikan tersebut disampaikan secara

68 Pasal 12 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

69 Pasal 1 ayat (19) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

70 Pasal 12 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

tertulis, atau lisan yang ditindaklanjuti dengan laporan secara tertulis paling lambat 2 x 24

jam.71

Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik wajib membuat rencana

penyelidikan.

72 Rencana penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-

kurangnya memuat73

1. “Surat perintah penyelidikan.

:

2. Jumlah dan identitas penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan penyelidikan.

3. Objek, sasaran dan target hasil penyelidikan. 4. Kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelidikan dengan metode sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Peralatan, perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan

penyelidikan. 6. Waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan, dan 7. Kebutuhan anggaran penyelidikan”.

Tim penyelidik terdiri dari ketua, wakil ketua dan anggota. Personel yang ditunjuk

dalam tim penyidik harus memiliki kompetensi, integritas dan kapabilitas, sesuai dengan

perkara yang ditangani. Pembentukan tim penyelidik tersebut dibentuk dengan surat

perintah.74

Penyelidikan dilaksanakan melalui kegiatan

75

1. “Pengolahan TKP, yaitu :

:

1. Mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas tersangka, dan Saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya.

71 Pasal 13 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

72 Pasal 16 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

73 Pasal 16 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

74 Pasal 22 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

75 Pasal 24 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

2. Mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti. 3. Memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi.

2. Pengamatan (observasi), yaitu : 1. Melakukan pengawasan terhadap objek, tempat, dan lingkungan tertentu

untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan. 2. Mendapatkan kejelasan atau melengkapi informasi yang sudah ada

berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya.

3. Wawancara (interview), yaitu : 1. Mendapatkan keterangan dari pihak-pihak tertentu melalui teknik

wawancara secara tertutup maupun terbuka. 2. Mendapatkan kejelasan tindak pidana yang terjadi dengan cara mencari

jawaban atas pertanyaan siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana, dan bilamana.

4. Pembuntutan (surveillance), yaitu :

1. Mengikuti seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana atau orang lain yang dapat mengarahkan kepada pelaku tindak pidana.

2. Mencari tahu aktivitas, kebiasaan, lingkungan, atau jaringan pelaku tindak pidana.

3. Mengikuti distribusi barang atau tempat penyimpanan barang hasil kejahatan.

5. Pelacakan (tracking), yaitu :

1. Mencari dan mengikuti keberadaan pelaku tindak pidana dengan menggunakan teknologi informasi.

2. Melakukan pelacakan melalui kerjasama dengan Interpol, kementrian/lembaga/badan/komisi/instansi terkait.

3. Melakukan pelacakan aliran dana yang diduga dari hasil kejahatan.

6. Penyamaran (under cover), yaitu : 1. Menyusup ke dalam lingkungan tertentu tanpa diketahui identitasnya

untuk memperoleh bahan keterangan atau informasi. 2. Menyatu dengan kelompok tertentu untuk memperoleh peran dari

kelompok tersebut, guna mengetahui aktivitas para pelaku tindak pidana. 3. Khusus kasus peredaran narkoba, dapat digunakan teknik penyamaran

sebagai calon pembeli (under cover buy), penyamaran untuk dapat melibatkan diri dalam distribusi narkoba sampai tempat tertentu (controlled delivery), penyamaran disertai penindakan/pemberantasan (raid planning execution).

7. Penelitian dan analisis dokumen, yang dilakukan terhadap kasus-kasus

tertentu dengan cara : 1. Mengkompulir dokumen yang diduga ada kaitan dengan tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 61: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

2. Meneliti dan menganalisis dokumen yang diperoleh guna menyusun anatomi perkara tindak pidana serat modus operandinya”.

Pada intinya, penyelidikan dilakukan pada saat sebelum ditentukan tersangkanya

sebagai pelaku kejahatan. Sedangkan, penyidikan dilakukan setelah diketahui

tersangkanya sebagai pelaku kejahatan tersebut.

2. Fungsi dan Wewenang Penyelidik

Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang diperinci pada Pasal 5

KUHAP. Dalam buku Yahya Harahap, SH., beliau membagi dan menjelaskan fungsi dan

wewenang aparat penyelidik dari dua sudut pandang yang berbeda sesuai dengan bunyi

paal tersebut, yaitu berdasarkan hukum dan perintah penyidik.76

Pertama, fungsi dan wewenang berdasarkan hukum sebagaimana pada Pasal 5

KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini yang lahir dari sumber undang-undang, fungsi dan

wewenang aparat penyelidik terbagi menjadi 4 bagian, yaitu

77

:

a. Menerima Laporan dan Pengaduan

Berangkat dari adanya laporan atau pengaduan atas tindak pidana kepada pihak

yang berwenang melakukan penyelidikan, perlu dijelaskan lebih lanjut berkaitan dengan

hal tersebut. Dalam Pasal 1 angka 24-25 KUHAP dikemukakan tentang pengertian

laporan dan pengaduan. Sepintas lalu tidak nampak perbedaan antara laporan dan

76 “Penyelidikan dan Penyidikan”, https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/penyelidikan-dan-penyidikan-oleh-rahmat-yudistiawan/, diakses pada hari Senin tanggal 22 Juni 2015 pukul 16.40 WIB.

77 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 62: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

pengaduan tersebut, apakah ada persamaan dan perbedaan antara kedua pengertian

tersebut? Jawabannya adalah jelas adanya persamaan dan perbedaan antara keduanya.

Titik persamaannya ialah bahwa baik laporan maupun pengaduan keduanya sama-sama

berisi pemberitahuan dari seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang suatu

peristiwa yang diduga suatu tindak pidana yang telah atau sedang dan akan terjadi.

Sedangkan perbedaan antara laporan dan pengaduan tersebut antara lain adalah sebagai

berikut :

Tabel 2 Perbedaan Laporan dan Pengaduan

KATEGORI

LAPORAN

PENGADUAN

Tindak Pidana

Diajukan dalam tindak pidana biasa

Diajukan dalam hal tindak pidana aduan (Klacht delict)

Syarat penuntutan

Tidak menjadi syarat penuntutan

Menjadi syarat penuntutan, artinya tanpa pengaduan tidak dapat dilakukan penuntutan

Orang yang berhak melakukan pemberitahuan

Pemberitahuan yang dapat diajukan oleh setiap orang

Pemberitahuan yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 72 KUHAP

Batasan waktu pemberitahuan

Pemberitahuan yang bersifat tidak terikat pada waktu tertentu

Pemberitahuan yang bersifat dibatasi oleh tenggang waktu tertentu, sebagaimana terdapat dalam Pasal 74 KUHAP

Proses pemberitahuan setelah diajukan

Pemberitahuan yang telah diajukan tidak dapat dicabut kembali

Pemberitahuan yang dapat ditarik kembali, dalam tempo 3 (tiga) bulan sejak diajukannya pemberitahuan tersebut

Universitas Sumatera Utara

Page 63: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penegasan penjatuhan hukuman atas pelaku

Tidak perlu adanya penegasan terkait diambilnya tindakan hukum atas pelaku

Perlu ditegaskan dengan adanya sebuah permintaan, agar terhadap pelaku tindak pidana itu diambil tindakan hukum

Sumber : SPKT Polresta Medan.

Proses selanjutnya, apabila pejabat yang berwenang (melakukan penyelidikan)

menerima pemberitahuan (baik berupa pengaduan ataupun laporan), maka ia wajib segera

melakukan langkah-langkah guna mengetahui sejauh mana kebenaran atas pemberitahuan

tersebut.78

b. Mencari Keterangan dan Barang Bukti

Setelah diketahui, bahwa peristiwa yang diberitahukan kepadanya itu memang

benar-benar telah terjadi, maka penyelidik harus mengumpulkan segala data dan fakta

yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut. Berdasarkan data dan fakta yang

diperolehnya penyelidik dapat menentukan apakah peristiwa itu benar merupakan tindak

pidana dan apakah terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan. Hasil

yang diperoleh dengan dilaksanakannya penyelidikan tersebut menjadi bahan yang

diperlukan penyidik atau penyidik pembantu dalam melaksanakan penyidikan.79

78 Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal.18.

79 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cet. Ke-2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal. 99.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

c. Menyuruh Berhenti Orang Yang Dicurigai

Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan Pasal 5 kepada penyelidik,

menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda

pengenal diri. Dari apa yang dipahami, bahwa untuk melakukan hal ini aparat tidak perlu

untuk meminta surat perintah khusus atau dengan surat apapun. Karena sebagaimana

dalam Pasal 4 menegaskan bahwa Polisi Negara RI adalah penyelidik, maka sudah

menjadi wajar dan haknya untuk polisi bila ada sesuatu yang dicurigai melakukan

tindakan tersebut.

Akan tetapi jika mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan tersebut diatas,

maka satu-satunya jalan yang dapat dibenarkan hukum, penjabat penyelidik harus cepat-

cepat mendatangi penjabat penyidik atau lebih efisiensinya penyelidik mempersiapkan

kian “surat perintah” penangkapan atau surat perintah “membawa dan menghadapkan”

orang yang dicurigai ke muka penyidik.80

d. Tindakan Lain Menurut Hukum

Yang dimaksud dengan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidik dengan syarat81

1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

:

2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan

jabatannya.

80 Ibid, hal. 104. 81 Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 65: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya.

4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa.

Kedua, Kewenangan berdasarkan perintah penyidik. Tindakan yang dilakukan

penyelidik dalam hal ini, tepatnya merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik,

yaitu berupa :

1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.

2) Pemeriksaan dan penyitaan surat.

3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

4) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

3. Jenis-Jenis Tindakan Dalam Penyelidikan

Untuk mengetahui pada tahap awal, apakah peristiwa itu merupakan peristiwa

pidana atau bukan merupakan peristiwa pidana, harus terlebih dahulu dilakukan tindakan

hukum yang berupa penyelidikan. Penyelidikan yang dilakukan antara lain dapat berupa

tindakan mendengarkan informasi yang beredar di masyarakat, atau keterangan-

keterangan apa saja yang diucapkan atau disampaikan oleh masyarakat tentang peristiwa

yang sedang terjadi dan melakukan pengecekan secara langsung terhadap objek yang

diduga ada hubungannya dengan peristiwa yang sedang terjadi. Tindakan-tindakan itu

Universitas Sumatera Utara

Page 66: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

dimaksudkan untuk mensinkronkan dengan aturan hukum mana yang cocok dengan

peristiwa itu.82

Proses penyelidikan dinamakan dengan tindakan hukum karena dalam

penyelidikan itu terdapat tindakan-tindakan yang ditujukan untuk pengungkapan

peristiwa hukumnya, yang ditandai dengan adanya surat perintah dari penyidik yang di

dalamnya juga terdapat kewenangan yang harus dihormati oleh setiap orang. Dalam

penyelidikan, untuk mengindentifikasikan apakah peristiwa itu merupakan peristiwa

pidana atau bukan merupakan peristiwa pidana, antara lain dengan cara sebagai berikut

83

1. Menentukan Siapa Pelapor atau Pengadunya.

:

Untuk menentukan siapa pelapor atau pengadu dalam perkara pidana biasanya relatif tidak mengalami kesulitan, karena pelapor atau pengadu akan datang ke kantor polisi untuk melaporkan atau mengadukan peristiwa yang diduga merupakan peristiwa pidana. Pengaduan yang sudah dilakukan itu adalah bagian dari yang menyebabkan hukum sudah mulai dapat dioperasionalkan.

2. Menentukan Peristiwa Apa yang Dilaporkan.

Untuk mengidentifikasikan apakah peristiwa itu merupakan peristiwa pelanggaran hukum tertentu, perlu dilakukan upaya penyelidikan, artinya upaya atau tindakan penyelidikan itu untuk mengumpulkan keterangan tertentu dari berbagai pihak yang dianggap mengerti karena melihat, mendengarkan, dan mengerti secara langsung peristiwa itu. Mengerti dapat diartikan bahwa seseorang itu dianggap mengetahui karena ia adalah yang menangani bidang pekerjaan itu.84

Apabila sudah terkumpul cukup keterangan sebagai alat bukti yang diduga kuat terkait dengan peristiwa hukum itu, kemudian dilakukan upaya mencari

82 Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Cetakan II, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal. 26.

83 Bagus Adi Wijaya “Impelementasi Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika oleh BNNP Jawa Timur”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Jawa Timur, 2014, hal. 31.

84 Hartono, Op.cit, hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

Page 67: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

landasan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan tentang kepidanaan. Landasan hukum atau dapat juga dikatakan sebagai landasan peraturan perundang-undangan itu hanya dipakai untuk membuka kunci suatu peristiwa yang dianggap merupakan peristiwa hukum itu, apakah peristiwa itu sinkron atau cocok dengan ketentuan peraturan pidana tertentu. Apabila peristiwa itu sama dengan kehendak dari peristiwa yang diatur dalam ketentuan pidana, maka proses selanjutnya adalah melakukan tindakan hukum yang berupa penyidikan. Penyidikan itu harus dilakukan secara teliti, cermat, dan akirat, atau dengan kata lain bahwa mindset penyidik harus mampu mengungkap secara sempurna peristiwa yang diduga sebagai peristiwa pidana itu. Pedoman sempurna itu antara lain dengan berpedoman kepada waktu-waktu secara berurutan.

3. Dimana Perisitiwa Itu Terjadi

Tindakan selanjutnya masih dalam rangka penyelidikan terhadap peristiwa hukum itu untuk menentukan tempat perkara itu terjadi (locus delicty). Apabila peristiwa yang terjadi seperti kejahatan terhadap jiwa, maka akan sangat mudah menentukannya, sedangkan apabila kejahatan terhadap sifat kebendaan misalnya penipuan, maka agak sedikit perlu kehati-hatian terutama apabila peristiwa itu sudah lama terjadi dan baru dilaporkan, pelapor juga ragu-ragu dimana peristiwa itu terjadi, peeristiwa ini yang perlu betul-betul didalami, sehingga didapati kepastian tentang locus delicty-nya.85

4. Kapan Peristiwa Itu Terjadi

Dalam peristiwa tertentu, waktu kejadian (tempus delicty) yang mendekati ketepatan waktunya sangat penting untuk mengungkap peristiwa hukum itu dan waktu kejadiannya haruslah masuk akal dan dipahami oleh siapa pun. Unsur ini sangatlah penting dalam proses penegakan hukumnya.86

5. Menentukan Siapa Pelaku dan Korban atau Pihak yang Dirugikan

Tindakan selanjutnya adalah menentukan atau mengidentifikasi siapa pelaku dan siapa korbannya. Dalam perkara tertentu seperti kasus penipuan, penggelapan, dan pencemaran nama baik, menentukan pelaku tidak banyak mengalami masalah karena biasanya antara pelaku tidak banyak mengalami masalah karena biasanya antara pelaku dan korban sudah saling kenal. Namun, dalam perkara lain misalnya perkara pencurian atau perampokan,

85 Ibid, hal. 28. 86 Ibid, hal. 29.

Universitas Sumatera Utara

Page 68: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

untuk menentukan siapa pelakunya mengalami kesulitan dikarenakan korban rata-rata tidak mengenal pelakunya. Selain itu, dalam perkara lain karena sifat tertutupnya korban utamanya seperti dalam perkara perkosaan, korban tidak mau mengungkap perkara ini karena takut aibnya akan tersebar, kondisi ini yang mempersulit proses penegakan hukum. Adapun dalam peristiwa lainnya, misalnya dalam peristiwa yang diatur dalam undang-undang psikotropika, untuk mengetahui siapa sebenarnya pelaku dari peristiwa itu, perlu dilakukan pendalaman secara sungguh-sungguh terhadap peristiwa yang sesungguhnya terjadi, tidak ada jaminan yang hanya mendasari kepada didapatnya barang bukti itu menyebabkan yang kedapatan adalah tersangkanya. Hal ini perlu disikapi secara hati-hati karena banyak permainan dalam perkara ini dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Oleh karena, hukum harus diperankan secara baik, agar tidak salah dalam menerapkan stigma negatif terhadap seseorang secara sederhana saja.87

6. Bagaimana Peristiwa Itu Terjadi.

Tugas selanjutnya masih dalam rangka penyelidikan, adalah mencari tahu bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi, artinya dengan cara bagaimana pelaku kejahatan itu melakukan aksinya. Tujuan dari mengumpulkan bahan keterangan ini adalah dalam rangka mencari persesuaian antara perbuatan melawan aturan hukum dengan aturan hukum yang ada. Apabila ada kesesuaian dalam perkara ini secara benar, maka huku harus mulai digerakkan melalui upaya penyidikan . persesuaian harus dicermati dengan benar bahwa memang benar terdapat persesuaian antara peristiwa dengan kelakuan yang sesungguhnya, bukan semata-mata bahwa antara keadaan yang terjadi itu dibuat bersesuaian dengan peraturan yang ada. Karena hanya secara lahiriah saja sesuai belum tentu peristiwa itu betul-betul merupakan peristiwa pelanggaran hukum, mengingat banyak perilaku oknum yang berwenang mengolah situasi sedemikian, seolah-olah peristiwa itu benar adanya, padahal sesungguhnya peristiwa itu adalah rekaan saja.88

Untuk menentukan bagaimana peristiwa pidana itu terjadi, sudah saatnya aparat

penegak hukum untuk berpikir bahwa ia adalah benar-benar aparat penegak hukum,

bukan aparat penegak peraturan perundang-undangan, sehingga mulai bergerak untuk

87 Ibid, hal. 30. 88 Ibid, hal. 31.

Universitas Sumatera Utara

Page 69: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

berpikir menemukan peristiwa hukum yang sesungguhnya, dengan cara berpikir hukum

yang progresiflah peristiwa hukum itu dapat benar-benar diletakkan pada posisi yang

sebenarnya. Banyak peristiwa hukum yang mengalami kekacauan posisi, dikarenakan

cara pandang dalam penegakan hukum yang sempit. Penegak hukum yang terdiri atas

penyidik, penyelidik, dan hakim diberi peluang dan kepercayaan untuk menggali

peristiwa itu dari sudut pandang hukum, bukan dari sudut pandang peraturan perundang-

undangan. Apabila hukum hanya dikaji dari sudut pandang peraturan perundang-

undangan semata, kemungkinan dapat saja penegakan hukum akan salah arah, tetapi

apabila penegakan hukum menggunakan pola penegakan progresif, besar kemungkinan

hukum dapat didudukkan pada porsinya.

Sudut pandang progresif ini dalam kasus tertentu misalnya dalam kasus pada

Pasal 170 KUHP, yaitu tentang kasus kekerasan terahdap orang atau barang akan sangat

mungkin diterapkan. Demikian juga penerapannya dalam kasus status kepemilikan akan

kebendaan, kasus hukum lingkungan hidup, kasus korupsi, atau kasus-kasus yang

melibatkan organisasi atau birokrasi.

B. Penyidikan

1. Pengertian Penyidikan

a. Penyidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Istilah penyidikan dipakai sebagai istilah hukum pada tahun 1961, yaitu sejak

dimuatnya dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian.

Sebelumnya dipakai istilah pengusutan yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Universitas Sumatera Utara

Page 70: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

yaitu opsporin. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni

dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu : “Penyidikan adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

untjuk mencari serta mengumpulkan bukti yang ada dengan bukti itu membuat terang

tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.89

Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan

dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai masalah yang telah dilakukannya.

Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun keterangan dengan

fakta atau peristiwa-peristiwa tertentu.

90

Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung

dalam pengertian penyidikan adalah :

a. “Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan.

b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik. c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan. d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan

bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya”.

Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum

penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang

dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang

itu diketahui dari penyelidikannya.91

89 Pasal 1 butir 2 KUHAP.

90 M. Husein Harun, Op.cit., hal. 58. 91 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang :

Bayumedia Publishing, April 2005), hal. 380-381.

Universitas Sumatera Utara

Page 71: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan

keterangan-keterangan tentang :

1. Tindak pidana apa yang telah dilakukan.

2. Kapan tindak pidana itu dilakukan.

3. Dimana tindak pidana itu dilakukan.

4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan.

5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan.

6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan.

7. Siapa pembuatnya.

Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara

Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. KUHAP lebih jauh lagi

mengatur tentang penyidik dalam Pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik

dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan tersebut adalah

pejabat penyidik POLRI dan pejabat penyidik negeri sipil.92

Disamping yang diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6 KUHAP,

terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu disamping

penyidik.

93

92 Pasal 6 ayat (1) KUHAP.

Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai

penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6

KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat

93 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 110.

Universitas Sumatera Utara

Page 72: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 KUHAP yang dimaksud, yang berhak

diangkat sebagai pejabat penyidik antara lain adalah :

a. Pejabat Penyidik Polri

Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka

harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat

(2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 2, kedudukan dan kepangkatan yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan

kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang

mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah berupa Peraturan Pemerintah No. 27

Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidikan antara lain adalah

sebagai berikut :

1. “Pejabat Penyidik Penuh Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan, yaitu : a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan dua Polisi. b. Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua apabila

dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua.

c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

2. Penyidik Pembantu Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur dengan peraturan pemerintah.94

Pejabat polisi yang diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur di dalam Pasal 3 PP Nomor 27 tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu95

94 Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, dan Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana Bagian Umum dan Penyidikan, (Yogyakarta : Liberty), hal. 19.

:

95 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 111-112.

Universitas Sumatera Utara

Page 73: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi. b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan

syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a). c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul

komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing”.

b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu

pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada

dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada undang-undang pidana khusus,

yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.96

Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya

terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-

undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan

dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : “Penyidik pegawai negeri sipil

sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan

undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan

tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”.

Adapun tugas Penyidik itu sendiri antara lain adalah :

1. Membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan.97

2. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

98

96 Ibid, hal. 113.

97 Pasal 8 ayat (1) KUHAP. 98 Pasal 8 ayat (2) KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 74: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

3. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya

suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana korupsi wajib segera

melakukan penyidikan yang diperlukan.99

4. Menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut

umum.

100

5. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang

merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut

umum.

101

6. Wajib segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum,

jika penyidikan dianggap telah selesai.

102

7. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi,

penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk

dari penuntut umum.

103

8. Setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib melakukan pemeriksaan

dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.

104

9. Sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepada orang

yang disangka melakukan suatu tindak pidana korupsi, tentang haknya untuk

mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib

didampingi oleh penasihat hukum.

105

99 Pasal 106 KUHAP.

100 Pasal 8 ayat (3) KUHAP. 101 Pasal 109 ayat (1) KUHAP. 102 Pasal 110 ayat (1) KUHAP. 103 Pasal 110 ayat (3) KUHAP. 104 Pasal 112 ayat (2) KUHAP. 105 Pasal 114 KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 75: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

10. Wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka.106

11. Wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh

tersangka.

107

12. Wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka dan atau saksi, setelah

mereka menyetujui isinya.

108

13. Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan

dijalankan, penyidik harus mulai melakukan pemeriksaan.

109

14. Dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib terlebih dahulu

menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya.

110

15. Membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah.

111

16. Membacakan terlebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada

yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatanganinya, tersangka

atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang

saksi.

112

17. Wajib menunjukkan tanda pengenalnya terlebih dahulu dalam hal melakukan

penyitaan.

113

18. Memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan dapat minta

keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh Kepala

Desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

114

106 Pasal 116 ayat (4) KUHAP.

107 Pasal 117 ayat (2) KUHAP. 108 Pasal 118 ayat (2) KUHAP. 109 Pasal 122 KUHAP. 110 Pasal 125 KUHAP. 111 Pasal 126 ayat (1) KUHAP. 112 Pasal 126 ayat (2) KUHAP. 113 Pasal 128 KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 76: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

19. Penyidik membuat berita acara penyitaan.115

20. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada atasannya, keluarganya dan

Kepala Desa.

116

21. Menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus.

117

Sedangkan kewenangan dari penyidik yaitu antara lain :

1. Sesuai dengan KUHAP, penyidik berwenang untuk118

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana.

:

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi.119

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

114 Pasal 129 ayat (1) KUHAP. 115 Pasal 129 ayat (2) KUHAP. 116 Pasal 129 ayat (4) KUHAP. 117 Pasal 130 ayat (1) KUHAP. 118 Pasal 7 ayat (1) KUHAP. 119 Pasal 112 ayat (1) KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 77: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli atau orang yang

memiliki keahlian khusus.120

3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau penasihat hukum

tersangka atas penahanan tersangka.

121

4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau rumah yang

digeledah demi keamanan dan ketertiban.

122

5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidaknya

meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.

123

6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik

dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada

pejabat penyimpanan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli

yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai sebagai bahan perbandingan.

124

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum

yang berlaku. Untuk itu Penyidik membuat berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75

KUHAP) tentang125

1. “Pemeriksaan tersangka.

:

2. Penangkapan. 3. Penahanan. 4. Penggeledahan. 5. Pemasukan rumah. 6. Pemeriksaan surat. 7. Pemeriksaan saksi.

120 Pasal 120 jo. Pasal 113 ayat (1) KUHAP. 121 Pasal 123 ayat (2) KUHAP. 122 Pasal 127 ayat (1) KUHAP. 123 Pasal 126 ayat (2) KUHAP. 124 Pasal 132 ayat (2) KUHAP. 125 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta : Djambatan, 1989), hal. 92-

93.

Universitas Sumatera Utara

Page 78: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

8. Pemeriksaan tempat kejadian. 9. Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan. 10. Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP”.

b. Penyidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.126 Penyidik adalah Pejabat Polri yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan.127 Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri

yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan.128

Dalam melakukan penyidikan, juga dilakukan administrasi penyidikan, yang

mana administrasi penyidikan yang dimaksud adalah merupakan penatausahaan dan

segala kelengkapan yang disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi

pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untk menjamin

ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan,

operasional maupun pengawasan penyidikan.

129

126 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

127 Pasal 1 ayat (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

128 Pasal 1 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

129 Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 79: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan laporan polisi dan surat

perintah penyidikan.130 Selanjutnya memulai kegiatan penyidikan yang dilaksanakan

secara bertahap meliputi penyelidikan, pengiriman SPDP, upaya paksa, pemeriksaan,

gelar perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke penuntut

umum, penyerahan dan barang bukti, dan penghentian penyidikan.131

Sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan

132

yang diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat

jumlah dan identitas penyidik, sasaran/target penyidikan, kegiatan yang akan dilakukan

sesuai tahap penyidikan, karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik, waktu

penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara, kebutuhan anggaran penyidikan, dan

kelengkapan administrasi penyidikan.133

2. Fungsi dan Wewenang Penyidikan

Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara pidana ialah

mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang

sebenarnya. Abdul Mun’in Idris dan Agung Legowo Tjiptomartono mengemukakan

mengenai fungsi penyidikan sebagai berikut : “Fungsi penyidikan adalah merupakan

fungsi teknis reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi

130 Pasal 14 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

131 Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

132 Pasal 17 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

133 Pasal 17 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 80: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

jelas, yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-

lengkapnya mengenai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang terjadi”.134

Sedangkan R. Soesilo menyamakan fungsi penyidikan dengan tugas penyidikan

sebagai berikut : “Sejalan dengan tugas Hukum Acara Pidana maka tugas penyidikan

perkara adalah mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang sebenar-

benarnya”135

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi penyidikan adalah untuk

mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya untuk mencapai suatu

kebenaran materiil yang diharapkan dan untuk meyakinkan bahwa suatu tindak pidana

tertentu telah dilakukan.

136

Polri berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI

mengatur secara khusus, fungsi Kepolisian terdiri dari : fungsi preventif dan represif.

Mengetahui wewenang pejabat penyidik yang terbagi menjadi pejabat penyidik dan

penyidik pembantu, dapat dilihat dalam aturan Pasal 7 ayat 1. Wewenang kedua pejabat

ini semua terperinci secara umum dalam pasal tersebut, dimana oleh M. Yahya Harahap

dipaparkan sebagai berikut :

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

2. Melakukan tindak pertama pada saat di tempat kejadian.

134 “Fungsi Penyidikan”, http://jurnalapapun.blogspot.com/2014/11/fungsi-penyidikan.html, diakses Selasa tanggal 23 Juni 2015 pukul 10.45 WIB.

135 Ibid. 136 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 81: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka.

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan saat perkara.

9. Mengadakan penghentian penyidikan.

10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

3. Upaya Paksa Dalam Penyidikan

Dalam melakukan penyidikan, dapat dilakukan upaya paksa yang meliputi

pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan

surat.137 Pemanggilan dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas

dasar laporan polisi, laporan hasil penyelidikan, dan pengembangan hasil pemeriksaan

yang tertuan dalam berita acara.138 Surat panggilan tersebut ditandatangani oleh penyidik

atau atasan penyidik selaku penyidik.139

137 Pasal 26 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Surat panggilan disampaikan dengan

memperhitungkan tenggang waktu yang cukup paling lambat 3 (tiga) hari sudah diterima

138 Pasal 27 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

139 Pasal 27 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 82: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

sebelum waktu untuk datang memenuhi panggilan.140 Surat panggilan sedapat mungkin

diserahkan kepada yang bersangkutan disertai dengan tanda terima, kecuali dalam hal141

a. “Yang bersangkutan tidak ada di tempat, surat panggilan diserahkan melalui keluarganya, kuasa hukum, ketua RT/RW lingkungan, atau kepala desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut segera akan disampaikan kepada yang bersangkutan.

:

b. Seseorang yang dipanggil berada di wilayah hukum kesatuan Polri yang

memanggil, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui kesatuan Polri tempat tinggal yang bersangkutan atau dikirimkan melalui pos/jasa pengiriman surat dengan disertai bukti penerimaan pengiriman”.

Apabila yang dipanggil tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang sah, maka

penyidik membuat surat panggilan kedua.142 Dan bila panggilan kedua tidak datang

sesuai waktu yang telah ditetapkan, penyidik menerbitkan surat perintah membawa.143

Penangkapan dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang

yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Penangkapan tersebut wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang

ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik. Tembusan surat perintah

penangkapan wajib disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum

setelah tersangka ditangkap.

144

140 Pasal 27 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

141 Pasal 27 ayat (4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

142 Pasal 27 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

143 Pasal 27 ayat (6) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

144 Pasal 33 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 83: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan penangkapan atas permintaan

bantuan dari kesatuan Polri dari luar kesatuannya berdasarkan DPO, instansi lain yang

berwenang, dan permintaan Negara anggota International Criminal Police Organization

(ICPO) – Interpol. Permintaan bantuan penangkapan tersebut harus mencantumkan

identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan

yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa. Penyidik wajib segera

menyerahkan orang yang ditangkap kepada instansi yang meminta bantuan penangkapan

disertai dengan berita acara penyerahan tersangka. Terhadap tersangka yang diduga

berada di luar negeri, Penyidik dapat berkoordinasi dengan Interpol (Divhubinter Polri)

untuk meminta dibuatkan red notice.145

Penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan adanya bukti

permulaan yang cukup, dan tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak

hadir tanpa alasan yang patut dan wajar. Surat perintah penangkapan hanya dapat dibuat

berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup, dan hanya berlaku terhadap satu orang

tersangka yang identitasnya tersebut dalam surat perintah penangkapan. Dalam hal

membantu penangkapan terhadap seseorang yang terdaftar di dalam DPO, setiap pejabat

yang berwenang di suatu kesatuan membuat surat perintah penangkapan.

146

Dalam hal melakukan penangkapan, setiap penyidik wajib

147

a. “Memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri.

:

b. Menunjukkan surat perintah penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan.

145 Pasal 35 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

146 Pasal 36 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

147 Pasal 37 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Universitas Sumatera Utara

Page 84: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

c. Memberitahukan alasan penangkapan dan hak-hak tersangka. d. Menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman

kepada tersangka pada saat penangkapan. e. Menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan

memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan”.

Dengan demikian, dalam hal Penyidikan dilakukan oleh Penyidik Polri, maka

terhadap Tersangka dan Saksi-saksi yang dipanggil untuk diambil keterangannya.

Keterangan yang diambil tersebut harus dituangkan dalam suatu Berita Acara

Pemeriksaan (BAP), maka Penyidik dapat melakukan upaya-upaya paksa, seperti :

penangkapan, penahanan, penggeledahan, maupun penyitaan dengan mempertimbangkan

Berita Acara Pemeriksaan yang telah dibuat tersebut.

C. Dasar Hukum Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Dewasa ini penyalahgunaan narkotika tidak lagi merupakan kejahatan tanpa

korban (victimless crime), melainkan sudah merupakan kejahatan yang memakan banyak

korban dan bencana berkepanjangan kepada seluruh umat manusia di dunia.148

Di Indonesia hukum yang mengawasi dan mengendalikan penggunaan narkotika

serta menanggulangi penyalahgunaan narkotika dan perawatan para korbannya dikenal

Pada dua

dasawarsa terakhir, penggunaan dan pengedaran narkotika secara illegal diseluruh dunia

menunjukkan peningkatan yang tajam serta mewabah merasuki semua bangsa, serta

meminta banyak korban.

148 BNN RI, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, (Jakarta : BNN RI, 2011), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 85: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

dengan hukum narkotika.149

Penegakan hukum yang paling diutamakan di Indonesia adalah penegakan hukum

secara pidana dimana pidana mengatur melarang dan memberikan sanksi terhadap pelaku

hukum, Penegakan hukum secara pidana ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal

terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkotika, tapi dalam kenyataannya justru

semakin intensif penegakan hukum semakin meningkat pula peredaran perdagangan

narkotika dan psikotropika tersebut,

Hukum yang mengatur tentang Narkotika ini sangatlah

diperlukan mengingat penyebarannya yang semakin meningkat di berbagai daerah baik

secara nasional maupun transnasional. Hukum yang mengatur mengenai penggunaan

narkotika diawali dengan dibuatnya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976. Kemudian

seiring dengan perkembangannya kemudian pengaturan mengenai pengawasan

penggunaan narkotika ini diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang

narkotika yang kemudian diperbaharui dan diganti lagi menjadi Undang-Undang Nomor

34 tahun 2009 karena Undang-undang yang lama tersebut dianggap tidak cukup lagi

dalam menangani penyebaran dan peredaran gelap narkotika.

150

Agar tindak pidana narkotika dapat dikendalikan, maka dibuatlah Undang-undang

dan berbagai peraturan untuk dapat mengendalikan tindak pidana narkotika, yaitu :

yang berarti perlu adanya perhatian khusus pada

tindak pidana narkotika.

1. Kitab Hukum Undang-Undang Pidana.

2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

149 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal. 4.

150 Siswanto Sumarto, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004), hal. 7.

Universitas Sumatera Utara

Page 86: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

3. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, dan

4. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang BNN.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur mengenai

proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana

narkotika, tepatnya di Pasal 73 sampai dengan Pasal 103. Di dalam setiap rangkaian

penanganan kasus narkotika, proses penyidikan adalah proses yang paling utama dalam

memberantas penyalahgunaan narkotika. 151

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, penyidikan dapat dilakukan

oleh Badan Narkotika Nasional (selanjutnya disingkat BNN), Kepolisian Republik

Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil. Hal ini berarti selain Badan Narkotika Nasional,

Kepolisian Negara Republik Indonesia juga memiliki peranan penting dalam melakukan

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan Pasal 5 Undang-

Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai alat

Negara, polisi memiliki peranan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan penganyom kepada masyarakat,

sehingga peranan kepolisian disini sangat penting dalam mencegah penyebaran dan

penyalahgunaan narkotika.

152

KUHAP tidak mengatur mengenai kewenangan penyidik BNN, akan tetapi karena

dalam Pasal 75 dan Pasal 80 UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika berlaku asas lex

151 Tanggung Priyanggo Tri Saputro, “Kajian Yuridis Penyidikan Tindak PIdana Narkotika Melalui Teknik Pembelian Terselubung oleh Penyidik Polri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, hal. 5.

152 Ibid, hal. 5-6.

Universitas Sumatera Utara

Page 87: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

specialis derogate legi generalis, maka Badan Narkotika Nasional (selanjutnya disingkat

BNN) mempunyai kewenangan dalam penyidikan tindak pidana narkotika.

Dalam menjalankan proses penyidikan tindak pidana narkotika, kepolisian

diberikan kewenangan yang sama dengan Badan Narkotika Nasional oleh Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pada

Pasal 81 yang menyatakan : “Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

Penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-undang ini”.153

Polisi sebagai penyidik dalam melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana

narkotika dan psikotropika dapat melakukan tugas sebagaimana yang diatur dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa :

154

(1) Pada waktu penangkapan tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawa serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka terdapat benda yang dapat disita.

(2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) di bawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.

Dengan adanya ketentuan yang diatur di dalam Kitab undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), maka langkah aparat kepolisian baik dalam penggrebekan

maupun dalam penangkapan pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika sesuai

dengan KUHAP. Hal tersebut dilakukan oleh aparat kepolisian juga untuk menjaga diri

agar dalam proses penangkapan tindak pidana narkotika dan psikotropika tidak

menyalahi aturan, sehingga tidak menimbulkan tuntutan hukum bagi aparat kepolisian

153 Ibid., hal 6. 154 Pasal 37 KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 88: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

yang melakukan penangkapan pelaku tindak pidana untuk kepentingan penyelidikan

tindak pidana narkotika dan psikotropika.155

Berdasarkan KUHAP menyatakan bahwa

156

(1) “Untuk kepentingan penyelidikan, penyidik atas perintah penyidik berwenang

melakukan penangkapan.

:

(2) Untuk kepentingan penyelidikan, penyidik dan penyidik pembantu

berwenang melakukan penangkapan”.

Dengan ketentuan pasal tersebut, maka penyelidik melakukan penyelidikan atas

perintah penyidik, yang mana tindakan penyelidikan yang dilakukan penyelidik bertujuan

untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa, yang diduga sebagai tindak pidana

narkotika dan psikotropika, yang mana hal ini bertujuan untuk menentukan dapat atau

tidaknya dilakukan penyidikan. Apabila suatu peristiwa tersebut masuk kategori tindak

pidana, maka aparat kepolisian melakukan penyidikan.157

Dengan demikian apabila ada sangkaan bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan,

maka penyidik wajib melakukan penyidikan dan pemeriksaan dengan seksama, apakah

perbuatan yang telah dilakukan itu betul-betul merupakan tindak pidana narkotika dan

psikotropika, maksudnya adalah apakah perbuatan tersebut melanggar suatu aturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Apabila

155 Ade Saputra, Proses Penyelidikan dan Penyidikan Tindak PIdana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Direktorat Reserse Narkoba Polda DIY), Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013, hal. 16

156 Pasal 16 KUHAP. 157 Ade Saputra, Loc.cit., hal. 17.

Universitas Sumatera Utara

Page 89: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

melanggar suatu peraturan perundang-undangan maka dilakukan pencarian siapakah yang

melakukan perbuatan tindak pidana tersebut.158

D. Proses Penyidikan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pengguna Narkotika Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Penyidikan merupakan kegiatan pemeriksaan pendahuluan/awal (vooronderzoek)

yang seyogyanya dititikberatkan pada upaya pencarian atau pengumpulan bukti faktual

penangkapan dan penggeledahan, bahkan jika perlu dapat diikuti dengan tindakan

penahanan terhadap tersangka dan penyitaan terhadap barang atau bahan yang diduga erat

kaitannya dengan tindak pidana yang terjadi.159

Penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyidikan dengan adanya

persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah

pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang

patut diduga merupakan tindak pidana.

160

Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing.

Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat

yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun

mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran

hukum.

161

158 Ibid.

159 Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana, (Jakarta : Galaxy Puspa Mega, 2002), hal. 15.

160 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 99. 161 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal. 118.

Universitas Sumatera Utara

Page 90: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Istilah lain yang dipakai untuk menyebut istilah penyidikan adalah mencari

kejahatan dan pelanggaran yang merupakan aksi atau tindakan pertama dari penegak

hukum yang diberi wewenang untuk itu, dilakukan setelah diketahuinya akan terjadi atau

diduga terjadinya suatu tindak pidana. Penyidikan merupakan tindakan yang dapat dan

harus segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi

suatu tindak pidana. Apabila ada persangkaan telah dilakukan kejahatan atau pelanggaran

maka harus diusahakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah

dilakukan suatu tindak pidana dan jika benar demikian siapakah pelakunya.162

Penyidikan itu dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang

pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya masih

sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang

tindak pidana apa yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Penyidikan dilakukan

untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk

menentukan dapat atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan itu dilakukan penuntutan.

Secara konkrit tindak itu disebut penyidikan dapat diperinci sebagai tindakan yang

dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang163

1. “Tindak pidana apa yang telah dilakukan.

:

2. Kapan tindak pidana itu dilakukan. 3. Dimana tindak pidana itu dilakukan. 4. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan. 5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan. 6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan, dan 7. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu”.

162 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, (Jakarta : Djambatan, 1998), hal. 8. 163 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 91: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara Pidana yang pada

pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam

persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam

Hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk

menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari

tindakan yang seharusnya dibebankan padanya. Oleh karena tersebut sering kali proses

penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama,

melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari

penghentian penyidikan.

Rangkaian tindakan penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang

dilakukan oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan,

penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam ketentuan hukum,

perundang-undangan yang berlaku hingga proses penyidikan itu dinyatakan selesai.

Secara konkret tindak itu disebut penyidikan

Penegakan hukum tindak pidana narkotika, dimulai dari penyelidikan kemudian

dilanjutkan penyidikan sebelum dilaksanakan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

Penyidikan dilakukan oleh Penyidik Polri ataupun Penyidik BNN untuk memperoleh

kejelasan tentang kebenaran tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Apabila dalam

proses penyidikan itu telah didapat hasil yang meyakinkan menurut hukum, dilanjutkan

pada tingkat penuntutan yang menjadi wewenang lembaga Kejaksaan. Dalam

hubungannya dengan penyidikan terhadap tindak pidana, maka Penyidik Polri dalam

melaksanakan tugasnya harus memperhatikan asas praduga tiak bersalah sebagaimana

tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Universitas Sumatera Utara

Page 92: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Kehakiman. Penyidikan meliputi kegiatan penggeledahan dan penyitaan, demikian

halnya penyidikan yang dilakukan terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika yang

ditangani oleh penyidik Polresta Medan.

1. Proses Penyidikan Oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan Dalam Mengungkap Kasus Tindak Pidana Narkotika

Adapun proses penyidikan yang dilakukan Satres Narkoba Polresta Medan dalam

penegakan hukum terhadap pengguna narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika,

yaitu :

a. Menerima Laporan

Karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan

dari seorang tentang adanya tindak pidana.164 Laporan adalah pemberitahuan yang

disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada

pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa

pidana.165

Dalam hal, tindak pidana narkotika tidak menganut delik aduan, oleh karena

itu, cukup dengan adanya laporan dari masyarakat saja, maka Penyidik Satres Narkoba

Polresta Medan dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan.

b. Melakukan Tindakan Pertama

Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang melakukan tindakan

pertama pada saat di tempat kejadian.166

164 Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1 jo. Pasal 7 ayat (1) huruf a. KUHAP.

Setelah menerima laporan dari seseorang maka

165 Pasal 1 ayat (24) KUHAP. 166 Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1. Jo. Pasal 7 ayat (1) huruf b. KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 93: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

penyidik mengecek kebenaran laporan atau pengaduan tersebut dengan memeriksa di

tempat kejadian. Jika laporan atau pengaduan itu benar telah terjadi peristiwa pidana,

maka apabila si tersangka masih berada di tempat tersebut, penyidik dapat melarang si

tersangka meninggalkan tempat kejadian. Selanjutnya penyidik mengadakan pemeriksaan

seperlunya termasuk memeriksa identitas tersangka atau menyuruh berhenti orang-orang

yang dicurigai melakukan tindak pidana dan melarang orang-orang keluar masuk tempat

kejadian. Kemudian penyidik harus berusaha mencari dan mengumpulkan bahan-bahan

keterangan dan bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan.

Apabila pemeriksaan di tempat kejadian selesai dilakukan dan barang-barang

bukti telah pula dikumpulkan maka selanjutnya harus disusun suatu kesimpulan

sementara. Setelah kejadian tersebut telah dapat disimpulkan, maka petugas penyidik

mencocokkan barang-barang bukti yang telah dikumpulkan itu satu sama lainnya,

misalnya antara barang bukti yang didapatkan di tempat kejadian dengan keterangan para

saksi yang melihat sendiri kejadian tersebut. Pencocokan barang-barang bukti ini sangat

penting, karena barang-barang bukti tersebut sangat menentukan pembuktian perbuatan si

tersangka dalam persidangan. Kalau alat-alat bukti yang telah dikumpulkan itu tidak

sesuai dengan keterangan tersangka atau para saksi, maka barang-barang bukti itu tidak

bernilai.

c. Melakukan Penangkapan

Universitas Sumatera Utara

Page 94: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang melakukan

penangkapan.167 Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna

kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara

yang diatur dalam undang-undang.168

Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang

melakukan penangkapan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik

pembantu berwenang melakukan penangkapan.

169 Perintah penangkapan dilakukan

terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti

permulaan yang cukup.170

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara

Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada

tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan

menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang

dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan

dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera

menyerahkan tertangkap beserta barang-barang bukti yang ada kepada penyidik atau

penyidik pembantu terdekat. Tembusan surat perintah penangkapan tersebut harus

diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

171

167 Pasal 7 ayat (1) huruf d. KUHAP.

168 Pasal 1 ayat (20) KUHAP. 169 Pasal 16 KUHAP. 170 Pasal 17 KUHAP. 171 Pasal 18 KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 95: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Terhadap tersangka

pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil

secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.172

d. Melakukan Penggeledahan

Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa penggeledahan.173

Penggeledahan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 32 sampai dengan

Pasal 37 KUHAP, untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang untuk melakukan

penggeledahan terhadap rumah, pakaian dan badan. Adapun tujuan dilakukan

penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti, dan sekaligus untuk melakukan

penangkapan terhadap tersangka.

e. Melakukan Penyitaan

Setelah melakukan penggeledahan, maka Penyidik dapat melakukan penyitaan

yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah

penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk

kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.174

Dalam pelaksanaan penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana

dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang yaitu adanya

suatu pembatasan-pembatasan dalam penyitaan, antara lain keharusan adanya izin ketua

Pengadilan Negeri setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak

172 Pasal 19 KUHAP. 173 Pasal 5 ayat (1) huruf b angka 1 jo. Pasal 7 ayat (1) huruf d. KUHAP. 174 Pasal 1 ayat (17) KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 96: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat

izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak, dan

untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna

mendapat persetujuannya.175

Penyitaan terhadap barang bukti diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46

KUHAP dimana penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik hanya dapat

dilakukan dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

f. Melakukan Pemeriksaan Tersangka dan Saksi

Pemeriksaan tersangka dan saksi merupakan bagian atau tahap yang paling

penting dalam proses penyidikan. Bedasarkan keterangan tersangka dan saksi akan

diperoleh keterangan-keterangan yang akan dapat mengungkap akan segala sesuatu

tentang tindak pidana yang terjadi. Akan tetapi, terhadap seorang tersangka, dirinya

memiliki hak sangkal yang dijamin oleh KUHAP. Hak sangkal tersebut, memberikan

keleluasaan kepada seorang tersangka untuk memberikan keterangan di hadapan

penyidik.

Dalam rangka melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, maka penyidik harus

memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 51, Pasal 53, Pasal 114, Pasal

115 dan Pasal 133 KUHAP. Tersangka yang telah ditangkap atau dilakukan penahanan,

maka dalam waktu 1 x 24 jam setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai

diperiksa. Untuk memeriksa tersangka oleh penyidik dilihat dari kasus tindak pidana

yaitu:

175 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Op.cit., hal. 145.

Universitas Sumatera Utara

Page 97: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

1) Karena tertangkap tangan, maka si tersangka dapat langsung diperiksa.

2) Karena laporan, sitersangka dipanggil oleh penyidik secara sah.

Dalam hal tersangka dipanggil, maka harus memperhatikan tenggang waktu yang

wajar antara diterimanya panggilan dan hari pemeriksaan. Orang yang dipanggil apakah

akan didengar keterangannya sebagai tersangka atau saksi wajib datang. Bila tidak datang

akan dipanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas atau penyidik untuk dibawa

kepadanya.176

Bagi tersangka sebelum terhadap dirinya dimulai pemeriksaan, kewajiban

penyidik memberitahukan kepadanya hak untuk mendapat bantuan hukum.

177 Tersangka

didengar keterangannya tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.178

Saksi merupakan suatu alat bukti yang sangat menentukan dalam proses

peradilan. Karena Saksi itu adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendir dan ia alami sendiri.

179 Saksi diperiksa secara tersendiri,

tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan

keterangan yang sebenarnya.180

g. Melakukan Penahanan

176 Pasal 112 KUHAP. 177 Pasal 114 KUHAP. 178 Pasal 117 KUHAP. 179 Pasal 1 ayat (26) KUHAP. 180 Pasal 116 ayat (2) KUHAP.

Universitas Sumatera Utara

Page 98: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh

penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut

cara yang diatur dalam undang-undang.181

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak

seseorang. Jadi disini terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang

yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan

ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau

masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.

182

Pertimbangan dan ketentuan mengenai

penahanan yang dilakukan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal

31 KUHAP, yaitu : dikhawatirkan Tersangka dapat menghilangkan barang bukti dan

dapat melarikan diri.

h. Melakukan Pelimpahan Berkas Perkara Berikut Tersangkanya Kepada Kejaksaan

Menurut Pasal 8 KUHAP, jika penyidik telah selesai melakukan penyidikan,

penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyelesaian

dan penyerahan berkas perkara terdiri dari dua tahap dimana pada tahap pertama penyidik

menyerahkan berkas perkara, apabila telah dianggap lengkap maka penyidik

menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Kegiatan ini merupakan

akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik.

Setelah selesainya proses penyidikan, maka penyidik menyerahkan berkas perkara

hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan

181 Pasal 1 ayat (21) KUHAP. 182 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Op.cit., hal. 127.

Universitas Sumatera Utara

Page 99: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila

belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk

dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum

dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak

mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa

berkas tersebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dilanjutkan prosesnya ke

persidangan.

Keseluruhan proses penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik Polri tersebut

kemudian akan dilanjutkan oleh kejaksaan dalam hal mempersiapkan penuntutan yang

akan diajukan dalam sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada

terdakwa yang kesemuanya itu berlangsung dalam suatu sistem peradilan pidana dalam

rangka penegakan hukum pidana.

2. Proses Penyidikan Oleh Penyidik BNN RI Dalam Mengungkap Kasus Tindak Pidana Narkotika

Penyidikan terhadap tindak pidana narkotika oleh penyidik Badan Narkotika

Nasional Provinsi diatur dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika,

diman BNN mempunyai tugas, yaitu183

a. “Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

:

b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

c. Berkordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

183 Pasal 70 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 100: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

g. Melakukan kerja sama bilateral dan multiteral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

h. Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika. i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang”.

Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan

penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.184

Selanjutnya, menurut Pasal 72 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, menyatakan bahwa :

(1) “Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.

(2) Penyidik BNN sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN”.

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan

184 Pasal 71 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 101: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-

undang.185

Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,

termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna

penyelesaian secepatnya. Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak

pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan

eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

186

Dalam rangka melakukan penyidikan, Penyidik BNN berwenang

187

a. “Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

:

b. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

c. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi. d. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

e. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

f. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

g. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

h. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiks nasional.

i. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup.

j. Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan.

k. Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

185 Pasal 73 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 186 Pasal 74 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 187 Pasal 75 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 102: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

l. Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya.

m. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka. n. Melakjukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman. o. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat

perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

p. Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita.

q. Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika,

r. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan

s. Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”.

Kewenangan BNN melakukan penangkapan juga diatur dalam Undang-Undang

No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu188

(1) “Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x24 jam (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.

:

(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam”.

Mengenai kewenangan BNN melakukan penyadapan, dapat dilihat sebagai

berikut189

(1) “Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.

:

(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.

(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

(4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

188 Pasal 76 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 189 Pasal 77 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 103: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan penyadapan,

penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri terlebih

dahulu. Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib

meminta izin tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri mengenai penyadapan

dimaksud.190

Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan

terhadap kewenangan BNN untuk melakukan penyidikan pembelian terselubung dan

penyerahan di bawah pengawasan, dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari

pimpinan.

191

Kewenangan lain Penyidik BNN, yaitu

192

a. “Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum.

:

b. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait.

c. Untuk mendapatkan keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa.

d. Untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

e. Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri.

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait. g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan

perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa, dan

190 Pasal 78 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 191 Pasal 79 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 192 Pasal 80 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 104: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri”.

Dengan demikian, Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan maupun Penyidik

BNN RI Propinsi Sumatera Utara dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap

tindak pidana narkotika ataupun tindak pidana prekursor narkotika. Penyelidikan dan

penyidikan dimulai tidak selau dimulai dari adanya laporan pengaduan, akan tetapi, bisa

juga dilakukan tanpa ada laporan, apabila ada kecurigaan oleh penyidik, maka dapat

dilakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika. Hal ini dikarenakan

tindak pidana narkotika tidak menganut delik aduan, maka hanya dengan adanya laporan

saja, penyidik dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan. Oleh karena itu, tindak

pidana narkotika adalah tindak pidana khusus, maka harus diperlakukan secara khusus.

E. Proses Penyidikan Terhadap Pengguna Narkotika Yang Tertangkap Tangan Dihubungkan Dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penetapan

Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan

Rehabilitasi Sosial (SEMA No. 04 Tahun 2010) diterbitkan pada tanggal 07 April 2010

yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi dan seluruh Ketua Pengadilan

Negeri di Indonesia. Tujuan SEMA ini dikeluarkan adalah untuk mengadakan revisi

SEMA No. 07 Tahun 2009 tertanggal 17 Maret 2009 tentang Menempatkan Pemakai

Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Tujuan selanjutnya untuk mengisi

Universitas Sumatera Utara

Page 105: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

kekosongan hukum terkait petunjuk teknis dan pelaksanaan Pasal 103 huruf a dan b

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Kaitannya dengan Penyidik adalah bahwa Penyidik juga terikut menerapkan

SEMA No. 04 Tahun 2010 ini karena Penyidik merupakan salah satu unsur di dalam

Criminal Justice Sistem (Sistem Peradilan Pidana). Hulu dari sebuah peradilan pidana

adalah penyidikan. Jadi, SEMA No. 04 Tahun 2010 diterapkan juga oleh Penyidik.

Adapun tata cara prosedural penerapan SEMA No. 04 Tahun 2010, bagi Penyidik,

yaitu193

a. “Terdakwa pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan;

:

b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian, antara lain sebagai berikut :

1. Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram 2. Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir 3. Kelompok Heroin : 1,8 gram 4. Kelompok Kokain : 1,8 gram 5. Kelompok Ganja : 5 gram 6. Daun Koka : 5 gram 7. Meskalin : 5 gram 8. Kelompok Psilosybin : 3 gram 9. Kelompok LSD (d-lsergic acid diethlamide) : 2 gram 10. Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram 11. Kelompok Fentanil : 1 gram 12. Kelompok Metadon : 0,5 gram 13. Kelompok Morfin : 1,8 gram 14. Kelompok Petidin : 0,96 gram 15. Kelompok Kodein : 72 gram 16. Kelompok Bufrenorfin : 32 mg

c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan penyidik.

d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim.

e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap Narkotika”.

193 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04/Bua.6/HS/Sp/IV/2010 tertanggal 07 April 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 106: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Dikaitkan dengan Penyidikan yang dilakukan oleh Sat.Res Narkoba Polresta

Medan, maka adapun prosedural yang ditempuh Penyidik Sat.Res Narkoba apabila

melakukan penangkapan terhadap pihak yang tertangkap tangan, adalah sebagai

berikut194

1. “Meneliti pemberkasan Laporan Pengaduan masyarakat apakah Tersangka sudah Target Operasi (TO) atau bukan, hal ini dilakukan berdasarkan informasi penyelidikan;

:

2. Meneliti daftar narapidana yang dikirimkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas

I Tanjung Gusta Medan ataupun dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Propinsi Sumatera Utara;

3. Meneliti Daftar Pencarian Orang (DPO) berdasarkan penunjukan oleh Tersangka lain yang sudah ditangkap terlebih dahulu, bisa dari Polsek-polsek dibawah Polresta Medan ataupun Polres-polres lainnya di bawah wilayah hukum Polda Sumut, pencarian DPO ini dilakukan dengan cara horizontal dan vertikal;

4. Melakukan penilaian (assessment) terhadap Tersangka apakah tersangka yang tertangkap tangan tersebut pemakai aktif atau tidak. Apabila pemakai aktif, dirinya memakai narkoba setiap hari, adanya kecenderungan pemakaian yang meningkat. Sedangkan, pemakai pasif, hanya memakai narkoba seminggu sekali. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah tersangka yang tertangkap tangan tersebut adalah pelaku peredaran gelap narkoba ataukah pemakai narkoba”.

Prosedural tersebut di atas penting dilaksanakan dengan pertimbangan agar para

tersangka yang tertangkap tangan, Penyidik tidak salah dalam menerapkan surat edaran

tentang rehabilitasi ini. Setelah diketahui bahwa tersangka yang tertangkap tangan

tersebut adalah pelaku peredaran gelap narkoba, maka SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak

diberlakukan kepadanya, dengan catatan walaupun dirinya membawa barang bukti

dibawah yang ditentukan oleh surat edaran tersebut. Akan tetapi, apabila setelah

194 Wawancara dengan Donny Alexander, Kasat Res.Narkoba Polresta Medan, melalui telepon, pada hari Kamis, tanggal 30 Juli 2015.

Universitas Sumatera Utara

Page 107: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

dilakukan prosedural di atas, diketahui bahwa tersangka yang tertangkap tangan tersebut

adalah bukan seorang pelaku peredaran gelap narkotika, berarti dirinya adalah sebagai

pemakai, barulah surat edaran rehabilitasi tersebut dapat diterapkan.

Universitas Sumatera Utara

Page 108: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

BAB III

HAMBATAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI

POLRESTA MEDAN

Dalam membahas permasalahan mengenai hambatan-hambatan dalam upaya

penanggulangan tindak pidana narkotika dapat digunakan teori sistem hukum yang

dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Sistem hukum meliputi : Struktur Hukum

(legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem

atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem. Misalnya kepolisian, kejaksaan,

pengadilan; Substansi Hukum (legal substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh

sistem hukum, misal putusan hakim berdasarkan undang-undang; Budaya Hukum (Legal

Culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang

mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan

bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik

masyarakat.195

Dengan demikian untuk dapat beroperasinya hukum dengan baik, hukum itu

merupakan satu kesatuan (sistem) yang dapat dipertegas sebagai berikut :

1. Struktural mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang mencakup

tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antar lembaga-lembaga

tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajiban.

2. Substansi mencakup isi norma-norma hukum serta perumusannya maupun cara

penegakannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan.

195 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : Refika Aditama, 2004), hal. 153.

93 Universitas Sumatera Utara

Page 109: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

3. Kultur pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,

nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang

dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai yang mencerminkan dua

keadaan ekstrim yang harus diserasikan.

Terkait dengan sistem hukum tersebut, menurut Otje Salman mengatakan perlu

ada suatu mekanisme pengintergrasian hukum, bahwa pembangunan hukum harus

mencakup tiga askpek di atas, yang secara ilmuan berjalan melalui langkah-langkah

strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan (Legislation Planing). Proses

pembuatannya (law making process), sampai kepada penegakan hukum (law

enforcement) yang dibangun melaui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.196

Implementasi penegakan hukum Soerjono Soekanto juga mengatakan ada

beberapa faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum. Faktor-faktor tersebut adalah

sebagai berikut

197

1. “Faktor hukumnya sendiri.

:

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup”.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan

esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan

196 Ibid., hal. 154. 197 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 2004), hal. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 110: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

hukum. Berdasarkan dengan faktor-faktor tersebut, Gunnar Myrdal sebagaimana dikutip

oleh Soerjono Soekanto, menulis sebagai Sof Development dimana hukum-hukum

tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejal semacam itu

akan timbul. Apabila ada faktor-faktor tertentu menjadi halangan faktor-faktor tersebut

dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak huku, para pencari keadilan (Jastitabeken)

maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.198

Agar sisten hukum dapat berfungsi dengan baik, Parson mempunyai gagasan,

yang nampaknya dapat menjadi semacam alternatif, beliau menyebut ada 4 (empat) hal

yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu

199

1. “Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi penataan kepada aturan-aturan).

:

2. Masalah interprestasi (yang menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu).

3. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya).

4. Masalah yuridis yang menetapkan garis kewenangan bagi yang berkuasa menegakkan norma hukum dan golongan apa yang berhak diatur oleh perangkat norma itu”.

Berpijak pada pendapat Parson ini maka untuk menanggulangi dan memberantas

tindak pidana narkotika maka masalah legitimasi, interprestasi, sanksi dan kewenangan

ini harus diselesaikan terlebih dahulu.

A. Hambatan Substansi Hukum

Di Indonesia saat ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana.

Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal,

198 Ibid., hal. 127. 199 Ibid., hal. 15.

Universitas Sumatera Utara

Page 111: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

hukum pidana materiil dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut

bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam

pelaksanaannya.200 Salah satu yang menjadi pemicu terhadap perubahan hukum pidana

adalah kemajuan teknologi dan informasi.201 Sebagai bagian dari kebijakan hukum

pidana, maka pembaharuan hukum pidana hakikatnya bertujuan untuk menjadikan

hukum pidana lebih baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.202

Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat

dilihat dari203

1. “Sudut pendekatan kebijakan

:

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan criminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2. Sudut pendekatan nilai Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filosofis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantive hukum pidana yang dicita-citakan”.

Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti

atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut

200 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, (Jakarta : Djambatan, 2007), hal. 38.

201 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Grafindo, 2008), hal. 1. 202 Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta :

Djambatan, 2002), hal. 20. 203 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana Prenada,

2008), hal. 31-32.

Universitas Sumatera Utara

Page 112: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku. Pidana itu pada hakikatnya

merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.204

Hakim dapat mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk kasus

tertentu dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana. Untuk pemidanaan yang

sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat. Ini memerlukan

informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi juga tentang

keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan. Digunakannya pidana

sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang tidak akan begitu saja

berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang yang menjadi objeknya. Hal

yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah mencegah si pembuat untuk

mengulangi perbuatannya.

Landasan pemikiran pembaharuan

terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan

masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.

205

Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini

pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Disamping itu, melalui

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan adanya penyebaran narkotika

yang juga telah menjangkau hamper ke semua wilayah Indonesia. Daerah yang

sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi

sosok pecandu yang sukar dilepaskan ketergantungannya.

204 Niniek Supami, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal. 3.

205 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 2006), hal. 86.

Universitas Sumatera Utara

Page 113: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana

yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga Negara

Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hamper di

segala bidang. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan

suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban,

bukan pelaku kejahatan.

Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasikan menurut keadaan dan status

korban, yaitu206

a. “Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku

:

b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.

c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah menyebabkan ia menjadi korban.

f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri”.

Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu

narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang

dilakukannya sendiri. Hal yang menarik dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika adalah kewenangan hakim untuk menjatuhkan vonis bagi seseorang

yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi.207

206 Moh. Taufik Makarao, Suhasril, dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005), hal. 49-50.

Secara

207 Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyatakan bahwa : (1) “Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat : a. Memutus untuk memerintahkan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 114: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

tersirat, kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku

tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut

viktimologi kerap disebut dengan self victimization atau victimless crime.

Setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Narkotika berjalan hampir

selama 12 tahun, pada tahun 2009 telah dikeluarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dan Mahkamah Agung juga mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA

No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan

Rehabilitasi) yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Seluruh

Indonesia untuk menempatkan Pecandu Narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru

adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2010

tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke

dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari

SEMA No. 07 tahun 2009. Tentunya Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan

langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau

dekriminalisasi terhadap Pecandu Narkotika.208

bresangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jik Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”.

208 Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa. Hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 115: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi

Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika disebutkan bahwa :

“Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang

berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas dan perilaku”.209

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis

maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir

dalam undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri

Kesehatan.

210 Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik

secara fisik maupun psikis.211

Mengenai tindak pidana terhadap Narkotika Golongan I diatur dalam Pasal 111

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memuat ketentuan bahwa :

(1) “Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, atau menyimpan atau menguasai Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).

209 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 210 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 211 Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 116: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.

Berkaitan dengan Pasal 111 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, apabila dilakukan secara terorganisasi dipidana penjara dan pidana denda

maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).212 Selanjutya, apabila dilakukan oleh korporasi,

maka pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan

terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana

denda.213

Berkaitan dengan tindak pidana terhadap Narkotika Golongan II, diatur dalam

Pasal 117 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan

bahwa :

(1) “Setiap orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.

212 Pasal 132 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 213 Pasal 130 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 117: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Dalam hal, Narkotika Golongan III, diatur dalam Pasal 122 Undang-Undang No.

35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan bahwa :

(1) “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.

Pada Pasal 113 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur

tentang orang yang memproduksi, melakukan ekspor import ataupun menyalurkan

Narkotika Golongan I, yang bunyinya, sebagai berikut :

(1) “Setiap orang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengeskpor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.

Pada Pasal 118 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur

tentang orang yang memproduksi, melakukan ekspor import ataupun menyalurkan

Narkotika Golongan II, yang bunyinya, sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Page 118: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

(1) “Setiap orang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengeskpor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.

Pada Pasal 123 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diatur

tentang orang yang memproduksi, melakukan ekspor import ataupun menyalurkan

Narkotika Golongan III, yang bunyinya, sebagai berikut :

(1) “Setiap orang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengeskpor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman melebihi melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”.

Apabila dikaitkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang penempatan

pemakai narkoba ke dalam panti terapi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam

SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti

Terapi dan Rehabilitasi, disebutkan bahwa : “Sebagian besar dari Narapidana dan tahanan

kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahakan sebagai korban yang jika

Universitas Sumatera Utara

Page 119: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit,

oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena

telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.214

Dengan kata lain, adapun maksud dan tujuan dari SEMA No. 07 Tahun 2009

tersebut adalah agar pecandu narkotika jangan dihukum penjara akan tetapi

memerintahkan dan menetapkan pecandu narkotika tersebut untuk menjalani pengobatan

dan/atau perawatan.

Adapun yang menjadi persyaratan agar Pecandu Narkotika diperintahkan atau

ditetapkan menjalani pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Surat

Edaran Mahkamah Agung No. 07 tahun 2009 adalah215

1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan;

:

2. Pada saat tertangkap tangan, ditemukan barang bukti satu kali pakai. Contoh : • Heroin/Putaw : maksimal 0,15 gram • Kokain : maksimal 0,15 gram. • Morphin : maksimal 0,15 gram • Ganja : maksimal 1 linting rokok dan/atau 0,05 gram • Ekstacy : maksimal 1 butir/tablet • Shabu : maksimal 0,25 gram • Dan lain-lain termasuk dalam narkotika Golongan I s/d III dan

psikotropika Golongan I s/d. IV 3. Surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba berdasarkan

permintaan Penyidik; 4. Bukan residivis kasus narkoba; 5. Perlu surat keterangan dari Dokter Jiwa/Psikiater (Pemerintah) yang ditunjuk

oleh Hakim; 6. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi

pengedar/produsen gelap narkoba”.

214 Angka 1 SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.

215 Angka 3 SEMA No. 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 120: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Kerancuan mengenai kedudukan pecandu narkotika menimbulkan hambatan yaitu

bagaimana dengan penyidik dan penuntut terhadap implikasi hukum kepada individu

yang dikategorikan pengguna atau Pecandu Narkotika yang tertangkap tangan memiliki

narkotika dengan batasan yang sesuai dengan SEMA No. 07 tahun 2009 tentang

Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, apakah

Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menuntut dengan tindak pidana dengan

kategori dakwaan tunggal atas kepemilikan dan penguasaan barang berupa narkotika

tersebut.

Pengedar, penjual dan/atau bandar narkotika juga memanfaatkan SEMA No. 07

Tahun 2009 ini, karena pada saat mereka tertangkap tangan, barang bukti yang ditemukan

oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan, adalah barang bukti hanya untuk satu kali

pakai dan beratnya dibawah dari batas maksimal yang diatur dalam SEMA No. 07 tahun

2009 dikarenakan Pelaku Tindak Pidana Narkotika dalam hal ini pengedar, penjual

dan/atau bandar narkotika hanya mengantongi barang bukti di bawah 0,5 gram. Padahal,

diketahui bahwa Pelaku tersebut merupakan target operasi.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial

Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika untuk menggantikan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika

karena Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan

memberantas tindak pidana narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 121: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat ketentuan bahwa

:

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.216

Sehingga meskipun seseorang dikategorikan sebagai korban dari penyalahgunaan

narkotika harus menghadapi ancaman pidana yang lebih berat (Pasal 112 UU Narkotika),

karena memiliki, menyimpan dan menguasai narkotika untuk digunakan sendiri.

Sehingga secara tidak langsung menggugurkan adagium mengenai korban

penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Sebab tidak akan mungkin seseorang menggunakan

dan kecanduan akan narkotika tanpa membeli dan memiliki narkotika secara melawan

hukum.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ditegaskan bahwa dalam rangka

melindungi masyarakat dari peredaran gelap dan dampak buruk narkotika, maka pecandu

narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial.

Untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka

Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun

2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu

Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

216 Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 122: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Adapun yang menjadi persyaratan agar pecandu narkotika diperintahkan atau

ditetapkan menjalani pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam

SEMA No. 04 tahun 2010 adalah217

a. “Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan;

:

b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut : 1. Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram 2. Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir 3. Kelompok Heroin : 1,8 gram 4. Kelompok Kokain : 1,8 gram 5. Kelompok Ganja : 5 gram 6. Daun Koka : 5 gram 7. Meskalin : 5 gram 8. Kelompok Psilosybin : 3 gram 9. Kelompok LSD (d-lsergic acid diethlamide) : 2 gram 10. Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram 11. Kelompok Fentanil : 1 gram 12. Kelompok Metadon : 0,5 gram 13. Kelompok Morfin : 1,8 gram 14. Kelompok Petidin : 0,96 gram 15. Kelompok Kodein : 72 gram 16. Kelompok Bufrenorfin : 32 mg

c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan permintaan penyidik.

d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim.

e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap Narkotika”.

Rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan

dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang

bersangkutan. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu

217 Angka 2 SEMA No. 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Universitas Sumatera Utara

Page 123: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.218 Rehabilitasi Sosial adalah

suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar

mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan

bermasyarakat.219

Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh

Menteri. Selain itu lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi

pemerintah seperti Lapas Narkotika dan Pemerintah Daerah dapat melakukan rehabilitasi

medis terhadap penyalahguna narkotika setelah mendapat persetujuan menteri. Dengan

demikian untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat

diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan antara lain penularan HIV/AIDS

melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Kementrian Kesehatan. Demikian pula

bagi masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat

persetujuan dari menteri.

Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu

narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui

pendekatan keagamaan dan tradisional. Sedangkan rehabilitasi sosial bagi manta pecandu

narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, diatur mengenai

sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana denda bagi orang tua atau wali dari

pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor, pecandu narkotika yang

218 , Pasal 1 butir 6 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

219 Pasal 1 butir 7 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 124: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri, dan juga bagi keluarga

pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika yang sudah

cukup.

Bagi pecandu narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat

ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial yang

merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat

pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari tim dokter.

Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku juga

bagi pecandu narkotika yang diperintahkan berdasarkan putusan pengadilan jika pecandu

narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, atau penetapan

pengadilan jika pecandu narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana

narkotika.

Prosedur penerimaan pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan atau

putusan pengadilan dalam program rehabilitasi ditentukan sebagai berikut220

a. “Pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan atau putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, diserahkan oleh pihak kejaksaan ke sarana rehabilitasi medis terpidana narkotika yang ditunjuk.

:

b. Penyerahan dilakukan pada jam kerja administratif rumah sakit yang ditunjuk. c. Penyerahan pecandu narkotika yang telah mendapatkan penetapan dari

pengadilan untuk menjalani rehabilitasi dilakukan oleh pihak kejaksaan dengan disertai berita acara penetapan pengadilan, dengan melampirkan salinan/petikan surat penetapan pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan dari pasien untuk menjalani rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang ditetapkan oleh tim asesmen yang ditandatangani oleh pasien dan keluarga/wali.

220 Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rehabilitasi medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang dalam Proses atau yang Telah Diputus oleh Pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

Page 125: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

d. Penyerahan pecandu narkotika yang telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan untuk menjalani rehabilitasi, penyerahan oleh kejaksaan disertai dengan surat perintah pelaksanaan putusan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan, dengan melampirkan salinan/petikan surat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan surat pernyataan kesanggupan dari pasien untuk menjalani rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang ditetapkan oleh tim asesmen yang ditandatangani oleh pasien dan keluarga wali.

e. Berita acara ditandatangani oleh petugas kejaksaan, pasien yang bersangkutan dan tenaga kesehatan pada sarana rehabilitasi medis terpidana narkotika yang menerima pasien.

f. Pelaksanaan program rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang disusun”.

SEMA No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban

Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan

Rehabilitasi Sosial juga menjadi hambatan dalam proses penyidikan terhadap pengguna

narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika yaitu sama halnya dengan yang menjadi

hambatan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 tahun 2009 tentang

Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yaitu, Pengedar,

penjual dan/atau bandar narkotika juga memanfaatkan SEMA No. 04 Tahun 2010 ini,

karena pada saat mereka tertangkap tangan, barang bukti yang ditemukan oleh Penyidik

Satres Narkoba Polresta Medan, adalah barang bukti hanya untuk satu kali pakai dan

beratnya dibawah dari batas maksimal yang diatur dalam SEMA No. 04 tahun 2010,

padahal pelaku adalah pengedar dan penjual narkotika kelas kakap.

B. Hambatan Struktur Hukum Bagi Penyidik Polresta Medan Dalam

Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan

melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat

Universitas Sumatera Utara

Page 126: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia

baik di tingkat nasional maupun internasional.

Optimalisasi tindakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin

canggih dilakukan dengan pengaturan mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan

(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan

yang diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan

mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki

jaringan yang luas melampaui batas Negara, dalam Undang-undang ini diatur mengenai

kerjasama, baik bilateral, regional, maupun internasional.

Ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam menanggulangi tindak pidana

narkotika yaitu hambatan keterbatasan personil penyidik, hambatan keterbatasan

anggaran, dan hambatan kemampuan penyidik dalam proses penyidikan terhadap tindak

pidana narkotika.

1. Hambatan Keterbatasan Personil Penyidik Polresta Medan

Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum perlu

dijadikan lebih lengkap dan utuh, dalam hal perlu dijadikannya memiliki struktur politik

pula.221

221 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), hal. 8. (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I).

Hukum hanya merupakan sebuah teks mati jika tidak ada lembaga yang

Universitas Sumatera Utara

Page 127: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

menegakkannya. Oleh sebab itu, dibentuklah penegak hukum yang bertugaskan untuk

menerapkan hukum. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat dipaksakan daya berlakunya

oleh aparatur Negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil.

Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusisa supaya melakukan perbuatan

yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam

masyarakat Negara.222 Mengenai penegak hukum, Zainuddin Ali berpendapat223

“Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seyoggiayanya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya”.

:

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan

berdasarkan peraturan perundang-undangan, keculai ditentukan lain dalam Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009.

Perkara penyalahgunaan dan peredaran Narkotika dan Prekursor Narkotika,

termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna

penyelesaian secepatnya. Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan

Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan

eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

222 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 76.

223 H. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

Page 128: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Efektivitas hukum dalam menanggulangi tindak pidana narkotika sangat

ditentukan oleh penegak hukum. Hal ini sesuai dengan pemikiran Achmad Ali yang

mengatakan bahwa efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung pada

optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya

aturan hukum tersebut, mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan

hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum,

interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret. Efektif atau

tidaknya aturan hukum juga mensyaratkan adanya standard hidup sosio-ekonomi yang

minimal di dalam masyarakat.224

Hambatan dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan narkotika, terjadi

karena kurangnya sumber daya di tubuh Polri umumnya khususnya Polresta Medan baik

secara kualitas maupun kuantitas. Untuk Data Personel Sat Res Narkoba Polresta Medan

dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini :

Tabel 3 Data Personel Satres Narkoba Polresta Medan

Bulan Desember 2014

NO NAMA PKT/NRP JABATAN Urut Sat

1 3 3 4 5 UNSUR PIMPINAN

1 1 Dony Alexander, S.Ik. Kompol/79040894 Kasat UNSUR STAFF WAKA

2 1 Rosyid Hartanto, SH, S.Ik. AKP/84020989 Wakasat URBIN OPS

3 1 Rusiyati Iptu/59040644 Kaur Mintu BINLUH

4 1 Irianto Wijaya Aiptu/6304055 Ba Bin Ops 5 2 Amron Naibaho Aipda/62120590 Ba Bin Ops

224 Achmad Ali, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)”, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 378.

Universitas Sumatera Utara

Page 129: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

6 3 Jhoni Lumban Tobing Aiptu/64060090 Ba Bin Ops 7 4 Sori Tua Hasibuan Aipda/64108175 Ba Bin Ops

URMINTU 8 1 Dison Barus Aiptu/62110239 Kaur Mintu 9 2 Ahmad Sayadi Aiptu/67060179 Ba Tahti 10 3 Sri Asri Simbolon Bripka/80010058 Ba Mintu 11 4 Sri Wulandari Brigpol/82081438 Ba Mintu 12 5 Suzanolo Zebua Brigpol/83030779 Ba Mintu 13 6 Insar Pengatur/197408102006041008 Banum Min Tu 14 7 Syamsul Kamal, SH Pengda I/197411122007011005 Banum Min Tu

UNSUR PELAKSANA UNIT I SAT NARKOBA

15 1 Jama K. Purba, SH, MH AKP/77100093 Kanit Idik I 16 2 Budiman, SE Ipda/72080142 Kasubnit I Unit I 17 3 Nanang Ariatmaja Aiptu/66060576 Katim 1 Unit I 18 4 Mahyudin Bripka/80020687 Anggota 19 5 Arofiq Briptu/73120266 Anggota 20 6 M. Arifin Lubis Bripda/59040500 Anggota 21 7 Azhari Aiptu/59030373 Penyidik 22 8 Irwan Aipda/73080564 Penyidik 23 9 Rianto Situmorang Aiptu/75010108 Katim 2 Unit I 24 10 Tangie H. Sitanggang Aipda/72100604 Ba Sat Narkoba 25 11 Wahyu Ari Permana, SE Bripka/79020437 Ba Sat Narkoba 26 12 Feri Judo Susanto H. Brigpol/84040491 Anggota 27 13 Dorthy Ulini Silalahi, SH Brigpol/87120167 Anggota 28 14 Jopiter Sembiring Aiptu/66090009 Penyidik 29 15 S. Togatorop Aiptu/64100290 Penyidik 30 16 Ramlan Purba Aiptu/64040420 Penyidik 31 17 Kelly Wahyudi Bripka/78090289 Katim 3 Unit I 32 18 Yudi Prayetno Bripka/79010514 Ba Sat Narkoba 33 19 Heriyadi Bripka/79100285 Anggota 34 20 Munizar Brigpol/73040138 Anggota 35 21 Afriyanto Maha Brigpol/84040566 Ba Sat Narkoba 36 22 Dekora Siregar Aiptu/69090044 Penyidik 37 23 Evie Damaiyanti Aipda/78010027 Penyidik 38 24 Raja Kaya Haloho Brigadir/84100637 Penyidik 39 25 Gindo K.Manurung, SH Ipda/64040220 Kasubnit 2 Unit I 40 26 Suherman Aiptu/670909191 Katim 4 Unit I 41 27 Hendrianto Siahaan Bripka/78050282 Anggota 42 28 Budi Ramadhana, SH Brigpol/80071427 Anggota 43 29 Khairul Rahmadani Brigpol/86051397 Anggota 44 30 Hery Kurnia Riyadi Bripka/76120384 Katim 5 Unit I 45 31 Suheri Darwin Berutu Bripka/65110062 Anggota 46 32 Ismail Bripka/80060286 Anggota 47 33 Sorimuda Siregar Bripka/79040180 Anggota 48 34 Suwarno Aiptu/65100431 Katim 6 Unit I 49 35 Maruli Sihotang Aipda/73040395 Anggota 50 36 Syamsu Rizal Bripka/79030916 Anggota 51 37 Pietera Karokaro Bripka/80041046 Anggota 52 38 Nikolas Hutagalung Brigpol/80010998 Anggota 53 39 Bostang Andi S. Aipda/75080472 Penyidik

Universitas Sumatera Utara

Page 130: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

54 40 Mathias Manjorang Bripka/77100273 Penyidik UNIT II SAT NARKOBA

55 1 Eliakim Sembiring, SH Iptu/77090065 Kanit II 56 2 MK. Daulay, SH Ipda/68010043 Kasubnit 1 Idik II 57 3 Suharto Aiptu/67020247 Katim 1 Unit II 58 4 M. Hendri Silaen Aipda/76070268 Anggota 59 5 Hendrik Nababan Brigpol/84120289 Anggota 60 6 Ahmad Dermawan Bripka/77050004 Anggota 61 7 Muslim Buchari Brigpol/82060741 Anggota 62 8 Suhendri Aipda/74080190 Penyidik 63 9 Aidil Hadi Bripka/80090521 Penyidik 64 10 Juspen Purba Aipda/75120400 Katim 2 Unit II 65 11 Frisma E. Ginting Bripka/82120383 Anggota 66 12 Irfan Yuyun Brigpol/80020980 Anggota 67 13 Chandra Permana Brigpol/87110068 Anggota 68 14 AK. Tanjung Aiptu/58020344 Penyidik 69 15 Berman Sitanggang Brigpol/83010866 Penyidik 70 16 RT. Sitepu Aipda/71060102 Katim 3 Unit II 71 17 Jaspin Nainggolan Aipda/77050043 Anggota 72 18 Ardiansyah Gultom Bripka/78030816 Anggota 73 19 Said Fauzi Bripka/77050021 Anggota 74 20 Syafril Brigpol/85041836 Anggota 75 21 BS. Meliala Aiptu/64050352 Penyidik 76 22 Nani Mulyani Bripka/80020568 Penyidik 77 23 Ricardo Siahaan Iptu/73020150 Kasubnit 2 Unit II 78 24 Alpi Zulkarnaen Aiptu/64070377 Katim 4 Unit II 79 25 Chandra Sitepu Aiptu/71110322 Anggota 80 26 Maisirfan Ruzana Aipda/78050091 Anggota 81 27 Eko Priya Brigpol/84120395 Anggota 82 28 AM. Tarigan Brigpol/85052060 Anggota 83 29 Puji Tarigan Aiptu/59080097 Penyidik 84 30 Ervan Lian Siahaan Bripka/80050698 Penyidik 85 31 Siswoyo Bripka/78070581 Katim 5 Unit II 86 32 Ruspian Bripka/81060466 Anggota 87 33 Indra Syahputra Brigpol/81020970 Anggota 88 34 Rosteti, SE. Brigpol/80080885 Anggota 89 35 Heri Suhardi Aiptu/66050033 Katim 6 Unit II 90 36 Ratno Timur Aiptu/68100112 Anggota 91 37 Budi Hidayat Aipda/74090168 Anggota 92 38 Teuku M. Chairur Riza Briptu/86080706 Anggota 93 39 David Juliandi Briptu/83070172 Anggota 94 40 Maruli T. Sitanggang Bripka/78060219 Ba Sat Narkoba 95 41 Sri Stina Dewi Brigpol/83070424 Ba Sat Narkoba

Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, 2015.

Kurangnya Sumber Daya Manusia (personil) Penyidik Satres Narkoba Polresta

Medan menjadi salah satu hambatan dalam mengungkap kasus peredaran tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

Page 131: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

narkotika khususnya dengan teknik baru. Karena semakin meningkatnya angka kasus

narkotika setiap tahunnya di Kota Medan, maka hal ini sangat tidak sebanding dengan

personil Penyidik yang dimiliki oleh Satres Narkoba Polresta Medan.

2. Hambatan Keterbatasan Anggaran Polresta Medan

Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan

melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat

yang terorganisasi dengan jaringan yang luas bekerja secara rapi dan sangat rahasia, baik

di tingkat nasional, maupun internasional.

Optimalisasi tindakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan serta

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin

canggih dilakukan dengan pengaturan mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan

(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), serta teknik penyidikan

lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi

dan memiliki jaringan yang luas yang melampaui batas Negara, dalam Undang-Undang

No. 35 Tahun 2009 diatur mengenai kerjasama, baik bilateral, regional, maupun

internasional.

Dalam menanggulangi tindak pidana narkotika di wilayah hukum Polresta Medan

ada beberapa hambatan, salah satunya adalah keterbatasan anggaran Polresta Medan yaitu

dana operasional dalam melaksanakan penyidikan. Jaringan peredaran narkotika yang

tertutup dan tertutup mutlak memerlukan proses penyelidikan yang panjang. Proses

Universitas Sumatera Utara

Page 132: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

tersebut dilakukan sejak pengintaian sampai menemukan barang bukti. Proses ini tentu

membutuhkan dana yang cukup besar, sayangnya dana tersebut sangat terbatas bahkan

nyaris tidak ada.

Selama ini dana yang digunakan berasal dari dana DIPA yang sifatnya hanya

membantu, padahal pengungkapan kasus memerlukan dana-dana untuk membayar mata-

mata, akomodasi dan transportasi hingga untuk membeli narkotika (dalam penyamaran

sebagai pengguna). Keterbatasan dana ini mengharuskan petugas untuk rela tidur di

Mesjid untuk menangkap pelaku yang diikuti ke luar kota.

Tabel 4 Pendistribusian Anggaran DIPA-RKA K/L TA. 2013 Polresta Medan

NO.

BULAN

KEGIATAN DAN SUB

KEGIATAN

KUAT PERS

JUMLAH

HARI

JUMLAH

ANGGARAN

RENCANA

PENDISTRIBUSIAN ANGGARAN (Rp.)

1 Januari

ULP Non Organik/

Jaga Fungsi

Lidik dan Sidik T. Pidana

Narkoba

3 0

365 Giat

16 kss

16.425.000,-

220.800.000,-

1.350.000,- 18.400.000,-

2 Februari 1.350.000,-

18.400.000,-

3 Maret 1.350.000,-

18.400.000,-

4 April 1.350.000,-

18.400.000,-

5 Mei 1.395.000,-

18.400.000,-

6 Juni 1.350.000,-

18.400.000,-

7 Juli 1.395.000,-

18.400.000,-

8 Agustus 1.350.000,-

18.400.000,-

9 September 1.395.000,-

18.400.000,-

10 Oktober 1.350.000,-

18.400.000,-

11 November 1.395.000,-

18.400.000,-

12 Desember 1.350.000,-

18.400.000,- JUMLAH 237.225.000

Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, 04 Januari 2013

Universitas Sumatera Utara

Page 133: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Berdasarkan Tabel 4 di atas, Satres Narkoba Polresta Medan hanya diberikan

anggaran untuk dapat menyelesaikan 16 (enam belas) kasus. Sementara jumlah kasus

yang ditangani lebih besar dari yang dianggarkan.

Tabel 5 Pendistribusian Anggaran DIPA-RKA K/L TA. 2014 Polresta Medan

NO.

BULAN

KEGIATAN DAN SUB

KEGIATAN

KUAT PERS

JUMLAH

HARI

JUMLAH

ANGGARAN

RENCANA

PENDISTRIBUSIAN ANGGARAN (Rp.)

1 Januari

ULP Non Organik/

Jaga Fungsi

Lidik dan Sidik T. Pidana

Narkoba

3 0

365 Giat

14 kss

16.425.000,-

219.758.000,-

1.395.000,- 18.400.000,-

2 Februari 1.260.000,-

18.400.000,-

3 Maret 1.395.000,-

18.400.000,-

4 April 1.350.000,-

18.400.000,-

5 Mei 1.395.000,-

18.400.000,-

6 Juni 1.350.000,-

18.400.000,-

7 Juli 1.395.000,-

18.400.000,-

8 Agustus 1.395.000,-

18.400.000,-

9 September 1.350.000,-

18.400.000,-

10 Oktober 1.350.000,-

18.400.000,-

11 November 1.395.000,-

18.400.000,-

12 Desember 1.350.000,-

18.400.000,- JUMLAH 236.183.000

Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, Januari 2014

Berdasarkan Tabel 5 di atas, anggaran untuk tahun 2014, hanya dapat digunakan

untuk menyelesaikan 14 (empat belas) kasus. Dibandingkan dengan tahun 2013,

bukannya anggaran ditingkatkan, malahan dikurangi 2 (dua) kasus, sehingga pada tahun

2014, Satres Narkoba Polresta Medan hanya dapat menyelesaikan 14 (empat belas) kasus.

Universitas Sumatera Utara

Page 134: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Apabila dibandingkan dengan kasus yang ditangani, maka Satres Narkoba

Polresta Medan jelas mengalami kekurangan anggaran dalam penyidikan. Hal ini

menyebabkan Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan rentan terhadap suap.

Tabel 6 Data Kasus Narkoba

Jajaran Polresta Medan Tahun 2013

NO. BULAN JTP JPTP

1 Januari 58 81

2 Februari 72 52

3 Maret 45 55

4 April 80 70

5 Mei 104 69

6 Juni 82 90

7 Juli 121 132

8 Agustus 79 60

9 September 93 119

10 Oktober 120 112

11 November 72 104

12 Desember 86 94

JUMLAH 1.012 1.038 Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, Desember 2013.

Dapat dilihat pada Tabel 6 di atas, diketahui Jumlah Tindak Pidana (JTP) yang

masuk adalah 1.012 (Seribu Dua Belas) kasus, sedangkan terhadap Jumlah Penyelesaian

Tindak Pidana (JPTP) yaitu sejumlah 1.038 (Seribu Tiga Puluh Delapan) kasus.

Dikaitkan dengan anggaran yang disediakan, maka sangat tidak sebanding terhadap

anggaran yang disediakan dengan kasus yang masuk.

Tabel 7 Data Kasus Narkoba

Universitas Sumatera Utara

Page 135: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Jajaran Polresta Medan Tahun 2014

NO. BULAN JTP JPTP

1 Januari 88 68

2 Februari 92 119

3 Maret 91 81

4 April 80 81

5 Mei 153 117

6 Juni 135 105

7 Juli 77 123

8 Agustus 71 79

9 September 105 123

10 Oktober 106 92

11 November 87 93

12 Desember 86 101

JUMLAH 1171 1182 Sumber : Satres Narkoba Polresta Medan, Desember 2014.

Dilihat pada Tabel 7 di atas, pada tahun 2014 terjadi peningkatan Jumlah Tindak

Pidana (JTP) dan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP) bila dibandingkan dengan

tahun 2013, yaitu Jumlah Tindak Pidana (JTP) yang masuk pada tahun 2014 adalah 1.171

(Seribu Seratus Tujuh Puluh Satu), dan Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP)

adalah 1.182 (Seribu Seratus Delapan Puluh Dua), akan tetapi, bila dikaitkan dengan

anggaran yang disediakan, maka pada anggaran pada tahun 2014 mengalami penurunan,

dimana pada tahun 2013 sejumlah Rp. 237.225.000,- (Dua Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta

Dua Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah), sedangkan anggaran untuk tahun 2014 adalah

sejumlah Rp. 236.183.000,- (Dua Ratus Tiga Puluh Enam Juta Seratus Delapan Puluh

Tiga Ribu Rupiah).

Universitas Sumatera Utara

Page 136: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Peredaran gelap narkotika yang menggunakan teknologi yang canggih sayangnya

tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang canggih dalam membongkar kegiatan

pelaku tersebut. Sarana dan prasarana tersebut salah satunya adalah detektor atau alat

sadap telepon.

Minimnya anggaran menjadi salah satu faktor utama kendala penyidik dalam

mengungkap teknik baru peredaran tindak pidana narkotika. Anggaran sangat penting

disini karena apabila tidak mempunyai anggaran maka pengejaran dan penangkapan

pelaku tindak pidana narkotika tidak akan berjalan dengan maksimal.

3. Hambatan Kemampuan Penyidik Dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika

Dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkoba banyak hambatan-hambatan

yang ditemui Polri selaku Penyidik untuk mengungkapkan kasus-kasus tindak pidana

narkotika, diantaranya hambatan kemampuan penyidik dalam proses penyidikan terhadap

tindak pidana narkotika yaitu kurangnya pendidikan khusus yang diperoleh, yang mana

seyogiyanya penyidik minimal pernah mendapatkan pendidikan mengenai penyidikan

kasus narkotika.225

Pendidikan khusus ini diadakan oleh Mabes Polri bekerjasama dengan

Departemen Pertahanan dan Keamanan maupun dari pihak luar negeri. Kedua lembaga

inilah yang sering bekerjasama dengan Polri dalam menyelenggarakan pendidikan

khusus, tetapi penyelenggaraan pendidikan khusus ini sangat terbatas dengan jenjang

waktu yang cukup lama. Dengan demikian, kesempatan-kesempatan untuk mengikuti

225 Wawancara dengan Waka Satres Narkoba Polresta Medan, Rosyid Hartanto, pada hari Minggu, tanggal 05 Juli 2015.

Universitas Sumatera Utara

Page 137: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

pendidikan khusus ini sangat terbatas. Dengan adanya pendidikan khusus diharapkan

penyidik tindak pidana narkotika dapat meningkatkan kemampuan mengenai kasus-kasus

narkotika.226

Hambatan dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan narkotika, terjadi

karena kurangnya kualitas atau kemampuan penyidik. Dalam mengungkap pelaku yang

terlibat dalam jaringan internasional, polisi harus berhadapan dengan Warga Negara

Asing. Sementara penguasaan bahasa asing oleh Penyidik Polri masih sangat terbatas.

227

Kurangnya sumber daya aparat penegak hukum juga dapat dilihat dari rendahnya

pengetahuan tentang pemberantasan tindak pidana narkotika dan ketidaktahuan dalam

mengungkap pelaku yang telah menggunakan modus-modus yang semakin canggih.

C. Hambatan Budaya Hukum Berupa Suap Kepada Petugas

Budaya hukum (Legal Culture) adalah sikap publik atau nilai-nilai komitmen

moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor

yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan

bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik

masyarakat.228

Aspek kebudayaan merupakan suatu garis pokok tentang perikelakuan atau

blueprint for behavior yang menetapkan peraturan-peraturan mengenai apa yang

226 Wawancara dengan Waka Satres Narkoba Polresta Medan, Rosyid Hartanto, pada hari Minggu, tanggal 05 Juli 2015.

227 Wawancara dengan Waka Satres Narkoba Polresta Medan, Rosyid Hartanto, pada hari Minggu, tanggal 05 Juli 2015.

228 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Op.cit, hal. 153

Universitas Sumatera Utara

Page 138: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

seharusnya dilakukan, apa yang selayaknya dilakukan dan seterusnya.229 Aspek-aspek

budaya telah masuk sejak perumusan ketentuan hukum hingga penerapan hukum. Untuk

mewujudkan generasi yang sehat dan bebas dari penyalahgunaan serta peredaran gelap

narkotika, maka diperlukan ketentuan di bidang narkotika yang dapat mewujudkan hal

tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang menganggap bahwa

hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu. Selanjutnya dikatakan “Apabila memulai

berbicara tentang nilai-nilai, maka telah termasuk pula kegiatan menilai dan memilih.

Keadaan tersebut memberikan arah-arah tertentu pada jalannya hukum di suatu

Negara”230

Soerjono Soekanto memandang bahwa kebudayaan hukum pada dasarnya

mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang

dianggap buruk (sehingga dihindari).

231

Masuknya budaya barat dengan gaya hidup yang bebas memperbesar celah dari

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Hal ini dapat dilihat dari locus delicti

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang rata-rata terjadi di usaha jasa

pariwisata seperti hotel dan tempat hiburan malam. Persoalan ini tidak lepas dari adanya

pengaruh budaya hukum di Negara barat yang melegalisasi penggunaan narkotika selain

Budaya hukum yang dimiliki masyarakat

menunjukkan derajat ketaatan hukum yakni memperjelas kuantitas adanya

penyalahgunaan dan peredaran narkotika atau tidak.

229 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 204.

230 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2009), hal. 137.

231 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 139: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

untuk terapi dan pengembangan ilmu pengatahuan. Belanda adalah salah satu Negara

yang melegalkan penggunaan narkotika. Budaya hukum masyarakat Belanda memandang

bahwa narkotika sebagai alat bersenang-senang saat liburan seperti halnya rekreasi.

Budaya hukum masyarakat Belanda tersebut tidak sepenuhnya salah, apalagi jika

diterapkan di negaranya. Warga Belanda dapat memilah-milah antara waktu bekerja

dengan waktu bersenang-senang sehingga mereka tidak akan mengkonsumsi narkotika

saat bekerja. Namun hal tersebut tentu tidak cocok jika diterapkan di Indonesia yang

masyarakatnya cenderung belum menunjukkan kedisiplinan. Dalam kondisi seperti ini

penggunaan narkotika di Indonesia (selain untuk terapi dan pengembangan ilmu

pengetahuan) justru akan merusak derajat kesehatan masyarakat. Hal ini menunjukkan

adanya perbedaan sistem nilai dari masing-masing Negara.

Sistem nilai yang dianut masyarakat itu menjadi tolak ukur kebenaran dan

kebaikan cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan. Sistem nilai tersebut

berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata kehidupan pribadi dan menata hubungan

manusia dan manusia serta alam di sekitarnya. Sistem nilai yang menjadi dasar kesadaran

masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan.232 Problema yang dihadapi

oleh bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bahwa nilai-nilai yang ada dalam hukum yang

mereka pakai, yaitu hukum modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam

masyarakat. Perilaku substantif mereka diresapi dan dituntun oleh sistem nilai yang

berbeda.233

232 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 8.

233 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta : Kompas, 2010), hal. 212.

Universitas Sumatera Utara

Page 140: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia hendaknya

ditangkal dengan moral bangsa. Dalam faktor moral terhimpun antara lain agama, adat-

istiadat, kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir serta suasana yang tercipta

di pengadilan.234 Packer menyatakan “the proponents of the behavioural position often

seem oddly obtuse in the face of modern knowledge”.235

Faktor ekonomi merupakan akar dari permasalahan dari setiap tindak kejahatan

termasuk dalam tindak pidana narkotika. Seseorang akan melakukan hal-hal yang

melanggar hukum jika tidak terpenuhinya kebutuhan hidup mereka, termasuk oknum

polisi sekalipun. Tingginya kebutuhan hidup memaksa polisi untuk mencari pendapatan

tambahan melalui berbagai cara termasuk menyalahgunakan kewenangan mereka untuk

hal-hal yang seharusnya mereka berantas seperti : menerima suap, melindungi pengedar

narkotika bahkan ikut menggunakan dan mengedarkan narkotika. Hal ini dikarenakan

anggaran yang dibuat untuk Satres Narkoba Polresta Medan hanya untuk menangani 14

s/d 16 kasus.

Pandangan holistic dari sudut

pandang agama, adat-istiadat, kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir

mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat menjadi upaya

untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.

Berdasarkan data pendistribusian anggaran DIPA-RKA K/L T.A. 2013 dan 2014

di Polresta Medan pada halaman 117 s/d 118 di dalam penelitian ini dan kasus yang

hanya dapat ditangani oleh Sat.Res Narkoba Polresta Medan adalah sebanyak 14 s/d 16

234 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010), hal. 81-82.

235 Herbert Packer, The Limits of the Criminal Sanction, California, Stanford University Press, tanpa tahun, hal. 60.

Universitas Sumatera Utara

Page 141: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

kasus, maka timbul pertanyaan, bagaimana Penyidik membagi anggaran yang didapat

tersebut untuk menangani perkara yang masuk lebih dari yang dianggarkan. Menurut

Penyidik Sat.Res Narkoba Polresta Medan, mengatakan bahwa236

“Anggaran yang kami dapatkan itu dibagi untuk 12 (Dua Belas) bulan lalu, setiap bulannya dibagi kepada 18 (Delapan Belas) orang Penyidik, sehingga anggaran yang didapati setiap Penyidik hanya dapat membeli tinta printer dan kertas saja, jadi, kami sebenarnya bertugas demi pengabdian kepada Negara tanpa pamrih, dan terhadap Penyidik-penyidik yang diduga menerima suap tersebut hanyalah oknum bukan kesatuannya”.

:

Dengan demikian, dikarenakan Penyelidik dan Penyidik Sat.Res Narkoba tidak

mendapatkan anggaran yang cukup untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, maka

benar penyelidik dan penyidik tersebut rentan terhadap suap oleh pelaku tindak pidana

narkotika karena disodorkan uang yang sangat banyak, apalagi pelaku tindak pidana

narkotika tersebut seorang bandar narkoba. Namun, adapun pihak yang melakukan itu

hanyalah oknum-oknum saja bukan kesatuannya yang melakukan hal tersebut.

Selain faktor ekonomi, faktor mental dari polisi juga mempengaruhi terjadinya

penyalahgunaan narkotika. Seorang polisi yang mempunyai mental yang kuat akan

mampu menahan keinginan untuk tidak menyalahgunakan wewenang dalam

pemberantasan dan penanggulangan narkotika. Polisi yang mempunyai mental yang kuat

tidak akan mau menerima suap dari pelaku tindak pidana narkotika baik itu pemakai,

pengedar maupun bandar narkotika.

236 Wawancara dengan Donny Alexander, Kasat Res.Narkoba Polresta Medan, melalui telepon, pada hari Kamis, tanggal 30 Juli 2015.

Universitas Sumatera Utara

Page 142: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

BAB IV

UPAYA UNTUK MENANGANI HAMBATAN DALAM PENYIDIKAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DI POLRESTA MEDAN

Bab ini merupakan bab yang berisi solusi-solusi terkait dengan hambatan-

hambatan yang dihadapi Satres Narkoba Polresta Medan yang sudah diuraikan pada bab

sebelumnya.

A. Meninjau Kembali Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 07 Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010

Pada dasarnya SEMA No. 07 Tahun 2009 dan SEMA No. 04 Tahun 2010 yang

mengatur tentang anjuran kepada setiap majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara tindak pidana narkotika, bagi pengguna narkotika dianjurkan untuk

memberikan putusan ditempatkan ke panti terapi dan panti rehabilitasi yang ada di

Indonesia. Aturan ini sebenarnya sudah ada dan terdapat pada Undang-Undang No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, pada Pasal 103, menyatakan bahwa :

(1) “Hakim yang memerksa perkara Pecandu Narkotika, dapat : a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan

dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman”.

129 Universitas Sumatera Utara

Page 143: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Pada Penjelasan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, menyebutkan bahwa :

“Ayat (1) Huruf a Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Huruf b Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecndu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberkan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan. Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota”.

Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dikaitkan dengan

SEMA No. 04 Tahun 2010, maka surat edaran tersebut hanya digunakan sebagai

petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan untuk menempatkan pecandu narkotika agar

ditempatkan ke dalam panti terapi maupun panti rehabilitasi.

Dengan adanya SEMA No. 04 Tahun 2010 hanya dapat menguntungkan bagi

Pemakai Narkotika yang mempunyai uang banyak. Hal ini disebabkan untuk proses

Universitas Sumatera Utara

Page 144: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

pemeriksaan ketergantungan pada dokter membutuhkan biaya yang sangat besar dan bagi

pemakai yang tidak mempunyai banyak uang akan tetap merasakan hukuman yang sama

dengan para pengedar narkotika. Pertanyaan selanjutnya, apakah proses rehabilitasi

tersebut benar-benar berjalan membuat seorang pemakai narkotika itu benar-benar

berhenti. Sebaiknya masa waktu untuk rehabilitasi tidak diperhitungkan untuk masa

menjalani hukuman, biarlah para pemakai juga merasakan efek jera dan bisa untuk benar-

benar berhenti dari barang haram tersebut.

Bahwa orang yang memiliki uang mampu membeli hukum bukan semata ada di

peraturan ini, tetapi ada hampir selalu di peraturan yang dibuat manusia. Pecandu tidak

mampu pun berhak rehabilitasi, seyogyanya melaporkan diri pada pihak-pihak yang

ditunjuk UU (Puskesmas, Kepolisian, dan atau BNK/BNP/BNN), maka mereka bisa

memperoleh rehabilitasi dengan dijamin negara. Bila dia dalam proses hukum, maka ada

lembaga Forum Advokasi bagi Korban Narkoba yang dibentuk oleh Kementrian Sosial

salah satu bidangnya untuk memberikan bantuan hukum kepada pecandu sebagai korban

narkoba. Berhenti atau tidak pecandu tidak ditentukan oleh berapa lama dia direhabilitasi.

Tidak ada satu modalitas rehabilitasi yang bisa memberikan jaminan sembuh. Semua

kembali pada pecandu dan dukungan keluarganya. Soal efek jera, masing-masing

tergantung dari kepribadian si pecandu.

SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak bisa berlaku otomatis menyebutkan bahwa

Terdakwa dengan barang bukti di bawah standard SEMA wajib divonis pengguna dan

menjalani rehabilitasi. Apabila di dalam persidangan, ada indikasi bahwa Terdakwa

tersebut adalah pengedar, maka majelis hakim sah memvonis berat.

Universitas Sumatera Utara

Page 145: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Dengan demikian, selayaknya SEMA No. 04 Tahun 2010 ini ditinjau ulang atau

diganti dengan aturan hukum lainnya. Aturan mana dapat berupa Peraturan Pemerintah

yang mengatur tentang petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk melaksanakan

Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

B. Menambah Personil, Anggaran dan Peningkatan Kemampuan Penyidik Satuan Reserse Narkoba Polresta Medan

Berangkat dari Bab III Sub-Bahasan hambatan keterbatasan personil penyidik

Satres Narkoba Polresta Medan yang tidak sebanding dengan perkara yang ditangani dan

hambatan keterbatasan serta kemampuan penyidik, maka diharapkan sebaiknya

Kepolisian RI khususnya Polda Sumut melakukan penambahan personil, anggaran,

maupun melakukan peningkatan kemampuan Satres Narkoba Polresta Medan.

Penambahan personil dalam hal ini dilakukan pada setiap unit yang ada pada

Satres Narkoba Polresta Medan. Adapun unit-unit yang telah ada pada Satres Narkoba

Polresta Medan, yaitu : Unit I Sat Narkoba (40 orang); dan Unit II Sat Narkoba (41

orang). Pada setiap unit Satres Narkoba Polresta Medan agar dapat dilakukan

penambahan personil yang tadinya berjumlah 40 s/d 41 orang setiap unit, ditambah 20

(Dua Puluh) orang untuk tiap-tiap unitnya. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan

Jumlah Penyelesaian Tindak Pidana (JPTP) yang dilakukan oleh Penyidik dan

Penyelidik.

Mengenai anggaran, Polda Sumut kiranya dapat menambahkan anggaran yang

ada sekarang pada Polresta Medan dikarenakan kebutuhan terhadap anggaran tersebut

sangat urgent. Anggaran yang diberikan kepada Polresta Medan khususnya Penyidik pada

Universitas Sumatera Utara

Page 146: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

kesatuan Sat.Res. Narkoba Polresta Medan untuk melakukan penyelidikan dan

penyidikan hanyalah untuk + 15 (Kurang Lebih Lima Belas) kasus, sedangkan perkara

yang masuk dalam 1 (satu) tahun sekitar 1.000 (Seribu) laporan pengaduan yang harus

diselesaikan penyelidikan dan penyidikannya. Hal mana diselesaikan guna tidak terjadi

penumpukan perkara secara terus menerus sehingga Polresta Medan menjadi bekerja

tidak memenuhi keinginan masyarakat.

Untuk peningkatan kemampuan Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan, Polda

Sumut sebaiknya melakukan seminar-seminar ataupun pelatihan-pelatihan terhadap

penyelidikan dan penyidikan agar bawahannya mengerti terhadap seluruh peraturan

perundang-undangan yang baru keluar ataupun peraturan perundang-undangan yang akan

keluar. Sehingga tidak menimbulkan kebutaan terhadap peraturan perundang-undangan

bagi Penyelidik dan Penyidik tersebut.

C. Mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Terkait Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Setelah RPP yang baru disahkan, Pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi

kepada setiap lapisan masyarakat. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memberikan

pemahaman yang lebih baik lagi kepada masyarakat agar tidak buta hukum, khususnya

hukum pidana. Saat sekarang ini, Pemerintah setiap mengesahkan sebuah peraturan

perundang-undangan hanyalah mengumumkan pada Lembaran Negara Republik

Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, yang mana masyarakat

Indonesia yang buta hukum tidak tahu menahu apa itu Lembaran Negara Republik

Indonesia apalagi Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Page 147: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Penyuluhan dan sosialisasi dilakukan dengan bertujuan memberitahukan kepada

masyarakat bahwa ada Peraturan Pemerintah yang baru dan telah diberlakukan. Sehingga

membuat masyarakat sadar akan hukum.

Universitas Sumatera Utara

Page 148: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah bab terakhir yang merupakan kesimpulan dan saran dari penulisan

tesis ini. Dimana dalam bab ini ditemukan jawaban atas permasalahan yang telah

diuraikan sebelumnya.

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penelitian ini

mempunyai kesimpulan sebagai berikut :

1. Penegakan hukum pidana dalam proses penyidikan terhadap pengguna narkotika

sebagai pelaku tindak pidana narkotika di Polresta Medan dimulai dari

penerimaan laporan, melakukan tindakan pertama, penangkapan, penggeledahan,

penyitaan, pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi, penahanan, dan pelimpahan

berkas perkara berikut tersangkanya kepada kejaksaan. Keseluruhan proses

penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik Polri tersebut kemudian akan

dilanjutkan oleh kejaksaan dalam hal mempersiapkan penuntutan yang akan

diajukan dalam sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan vonis kepada

terdakwa yang kesemuanya itu berlangsung dalam suatu Sistem Peradilan Pidana

dalam rangka penegakan hukum pidana.

2. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi Satres Narkoba Polresta Medan dalam

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika, sebagai berikut :

135 Universitas Sumatera Utara

Page 149: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

a. SEMA No. 04 Tahun 2010 tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan

perundang-undangan, namun, SEMA tersebut mengikat para hakim yang

menjatuhkan hukuman, karena pengadilan merupakan salah satu unsur

dalam Sistem Peradilan Pidana.

b. Keterbatasan personil, anggaran, dan kemampuan penyidik Satres

Narkoba Polresta Medan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan

tindak pidana narkotika. Personil yang ada hanya berjumlah 81 orang,

namun, tidak kesemuanya dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan

karena sudah termasuk pimpinan-pimpinan yang disebut dengan Kepala

Satuan maupun Kepala Unit. Anggaran yang diberikan oleh Polda Sumut

juga sangat minim, hanya dapat menyelesaikan + 15 (Kurang Lebih Lima

Belas) perkara tindak pidana narkotika, sedangkan perkara yang masuk

berjumlah + 1.000 (Kurang Lebih Seribu) perkara tindak pidana narkotika

yang dilaporkan dan ditangani oleh Satres Narkoba Polresta Medan.

Belum lagi ditambah dengan kemampuan penyidik dalam melakukan

penyidikan terhadap peredaran narkotika.

c. SEMA No. 04 Tahun 2010 sering digunakan Penyidik untuk melepaskan

Pecandu Narkotika, hal ini dikarenakan anggaran yang disediakan oleh

pemerintah tidaklah cukup untuk melakukan penyidikan. Sehingga sangat

rentan sekali suap terjadi kepada Penyidik.

3. Adapun solusi-solusi yang didapat untuk menyelesaikan hambatan-hambatan

yang dihadapi oleh Penyidik Satres Narkoba Polresta Medan terhadap tindak

pidana narkoba dikaitkan dengan SEMA No. 04 Tahun 2010, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Page 150: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

a. Melakukan peninjauan ulang/review terhadap SEMA No. 04 Tahun 2010

dan membuat aturan pelaksanaan dan aturan teknis dalam hal rehabilitasi

sebagai pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, dapat berupa Peraturan Pemerintah;

b. Menambah personil, anggaran, dan peningkatan kemampuan Penyidik

Polresta Medan;

c. Memberikan penyuluhan dan sosialisasi terhadap Rancangan Peraturan

Pemerintah tentang pelaksanaan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun

2009 yang baru kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi tahu

tentang adanya peraturan perundang-undangan yang baru disahkan dan

tidak menjadi buta hukum.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan rekomendasi berupa saran

dalam penelitian ini, antara lain :

1. Sebaiknya Pemerintah membuat aturan-aturan main atau dinamakan Petunjuk

Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis dalam hal pelaksanaan Pasal 103 Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, agar tidak terjadi kekosongan

hukum.

2. Sebaiknya penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Satres Narkoba

Polresta Medan didukung dalam hal personil, anggaran, dan peningkatan

Universitas Sumatera Utara

Page 151: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

kemampuan penyidik oleh Polda Sumut dengan melakukan penambahan personil,

penambahan anggaran, dan meningkatkan kemampuan penyidik.

Universitas Sumatera Utara

Page 152: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Ali, Achmad., Keterpurukan Hukum di Indonesia : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, Cet. Ke-2, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2004.

-----------------., Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009.

Ali, H. Zainuddin., Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali

Press, 2010. Amriel, Reza Indragiri., Psikologi Kaum Muda Pengguna Narkoba, Jakarta : Salemba

Humanika, 2007. Anwar, Yesmil., dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta : Grafindo, 2008. Arief, Barda Nawawi., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta : Kencana

Prenada, 2008. Bassiouni, M. Cherif., Subtantive Criminal Law, Spingfield, Illionis, USA : Charles

Thomas Publisher, 1978. BNN RI, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, Jakarta : BNN

RI, 2011. Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan

Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana, 2009. Chazawi, Adami., Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Malang :

Bayumedia Publishing, April 2005. Davies, Croall, dan Tyrer, An Introduction the Criminal Justice System in England and

Wales, London : Longman, 1995. Diktat Akpol, Sisdil di Indonesia, Semarang : Markas Besar Kepolisian RI, 2005.

139

Universitas Sumatera Utara

Page 153: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Friedman, Lawrence M., American Law : An Introduction, New York : W.W. Norton & Company, 1984.

Hamid, Hamrat., dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang

Penyidikan, Jakarta : Sinar Grafika, 1992. Hamzah, Andi., Hukum Acara Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2002. Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta :

Sinar Grafika, 2002. Hartono, Penyidikan & Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif,

Cet. Ke-2, Jakarta : Sinar Grafika, 2012. Harun, M. Husein., Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana, Jakarta : Rineka Cipta,

1991. Himpunan Bujuklak, Bujuklap, Bujukmin. Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta,

1990. Loqman, Loebby., Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Acara Pidana, Jakarta : Datacom,

2002. Ngani, Nico., I Nyoman Budi Jaya, dan Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana

Bagian Umum dan Penyidikan, Yogyakarta : Liberty. Makarao, Moh. Taufik., Suhasril, dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika,

Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005. Mansur, Dikdik M. Arief., dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. Moeljatno, E., Asas-Asas Ilmu Hukum, Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2005. Muhammad, Abdulkadir., Etika Profesi Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006. Mulyadi, Lilik., Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, Jakarta :

Djambatan, 2007. Nawawi, Hadari., Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Press,2003. P, Petrus Irawan., dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam

Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Universitas Sumatera Utara

Page 154: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Packer, Herbert., The Limits of the Criminal Sanction, California, Stanford University Press, tanpa tahun.

Prinst, Darwan., Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta : Djambatan, 1989. --------------------., Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Jakarta : Djambatan, 1998. Priyanto, Dwidja., Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung : Refika

Aditama, 2006. Rahardjo, Satjipto., Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis Tentang Pergulatan

Manusia dan Hukum, Jakarta : Kompas, 2007. ----------------------., Membangun Polisi Sipil : Perspektif Hukum, Sosial, dan

Kemasyarakatan, Cet. Ke-2, Jakarta : Kompas, 2007. ----------------------., Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Kompas, 2007. ----------------------., Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta :

Genta Publishing, 2009. ----------------------., Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas, 2010. ----------------------., Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta

Publishing, 2009. Reksodiputro, Mardjono., Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana :

Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994.

------------------------------., Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994. Saleh, Roeslan., Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara Baru, 1987. Salman, Otje., dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, Bandung : Refika Aditama, 2004. Sasangka, Hari., Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung : Mandar

Maju, 2003. Soegondo, H.R., Sistem Pembinaan Napi, Yogyakarta : Insania Citra, 2006. Soekanto, Soerjono., Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004.

Universitas Sumatera Utara

Page 155: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

---------------------------., Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta :

Raja Grafindo Persada, 2004. ---------------------------., Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada,

2009. Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap,

Bogor : Politea, 1994. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 2006. Sumarto, Siswanto., Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum,

Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2004. Sunaryo, Sidik., Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang : UMM Press, 2005. Supami, Niniek., Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,

Jakarta : Sinar Grafika, 1996. Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2010.

Thaib, Dahlan., Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta :

Raja Grafindo Persada, 1999. Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta :

Djambatan, 2002. Tutik, Titik Triwulan., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2005. Wisnubroto, Ali., Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana,

Jakarta, Galaxy Puspa Mega, 2002.

II. Karya Tulis Ilmiah

Ardjil, Benny., “Peningkatan Sarana Rehabilitasi”, Majalah SINAR BNN, Edisi 3, 2010. Asshiddiqie, Jimly., “Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia”,

Makalah disampaikan pada acara seminar “Menyoal Moral Penegakan Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakulta Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2006.

Universitas Sumatera Utara

Page 156: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Badan Narkotika Nasional RI, “Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional Tahun 2014”, Jakarta, Februari 2015.

----------------------------------., “Sosialisasi Penelitian BNN Tahun 2012”, dilaksanakan di

Denpasar, Bali, 10 April 2013. Cahyadi, Irwan Adi., “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Dalam

Hukum Positif di Indonesia”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014.

Daud, Tommy., “Pelaksanaan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Narkotika di

Makassar”, Universitas Hasanuddin, 2012. Dit.Bimmas Polri, “Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkotika”, Jakarta,

Dit.Bimmas Polri, 2000. Hadiyanto, A., “Model Alternatif Pembinaan Narapidana Narkotika Dalam Pembangunan

Nasional Studi Pelaksanaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Kendal”, Yogjakarta : Tesis, Program Pascasarjana Undip, 2014.

Kolopita, Satrio Putra., “Penegakan Hukum Atas Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Narkotika”, Jurnal Lex Crimen, Vol. II, No. 4, Agustus 2013. Marcos, Megawati., “Tinjauan Yuridis Tentang Pemidanaan Terhadap Pecandu

Narkotika”, Jurnal Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum, Universitas Atma Jaya Jogyakarta, 2014.

Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan

Penulisan Hukum”, Universitas Balikpapan, Balikpapan, 2010. Nurjana, I Nyaman., “Penanggulangan Kejahatan Narkotika : Eksekusi Hak Perspektif

Sosiologi Hukum”, Jurnal Legality, 2010. Saputra, Ade., “Proses Penyelidikan dan Penyidikan Tindak PIdana Penyalahgunaan

Narkotika (Studi Kasus Direktorat Reserse Narkoba Polda DIY)”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013.

Saputro, Tanggung Priyanggo Tri., “Kajian Yuridis Penyidikan Tindak PIdana Narkotika

Melalui Teknik Pembelian Terselubung oleh Penyidik Polri Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Wicaksono, Anggoro., “Sanksi Tindakan Sebagai Sarana Alternatif Penanggulangan

Kejahatan Psikotropika Bagi Pecandu dan Pelaku Anak Dalam Perspektif Hukum

Universitas Sumatera Utara

Page 157: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Pidana”, Medan : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2015.

Wijaya, Bagus Adi, “Impelementasi Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika oleh BNNP Jawa Timur”, Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Jawa Timur, 2014.

III. Internet dan Media Massa

“Etika Penulisan Ilmiah”, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 01 April 2015.

“Fungsi Penyidikan”, http://jurnalapapun.blogspot.com/2014/11/fungsi-penyidikan.html,

diakses Selasa, 23 Juni 2015. “Penyelidikan dan Penyidikan”,

https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/penyelidikan-dan-penyidikan-oleh-rahmat-yudistiawan/, diakses Senin tanggal 22 Juni 2015.

Harian Andalas, “Laporan Masuk ke Polresta Medan Selama 2013”, diterbitkan Selasa,

31 Desember 2013. Media Online Okezone.com, “BNN Khawatir Dengan Jumlah Pengguna Narkoba di

Indonesia”, diakses Selasa, 14 April 2015.

IV. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2012 tentang

Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Rehabilitasi medis bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses atau yang Telah Diputus oleh Pengadilan.

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu

Narkotika.

Universitas Sumatera Utara

Page 158: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGGUNA …

Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2007. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 04 Tahun 2010 tentang

Penetapan Penyalahguna, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 07 Tahun 2009 tentang

Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Universitas Sumatera Utara