penegakan hukum di laut dalam zona ekonomi eksklusif

16
o I o - PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA *) _________ Oleh: Suwardi M., S.H. ________ _ UMUM Masalah penegakan hukum di laut _ suatu kasus yang timbul sebagai aki- - tidak dapat dilepaskan dari masalah bat terjadinya pelanggaran di laut penegakan kedaulatan di laut. atas ketentuan hukum yang berlaku Pengertian penegakan hukum di baik ketentuan hukum Internasional . laut pada satu pihak dan penegakan maupun nasional. kedaulatan di laut pada pihak lain da- Tetapi in concrete penegakan hu- pat dibedakan namun demikian kedua- kum di laut meliputi kegiatan penang- nya tidak dapat dipisahkan. kapan dan penyidikan, sedangkan pe- Penegakan kedaulatan di laut men- nyelesaian lebih lanjut yaitu penun- cakup penegakan hukum di laut, de- tutan dan mengadili dilaksanakan di ngan demikian· pengertian penegakan daratan dalam hal ini dilaksanakan kedaulatan lebih luas dari pada pene- oleh Kejaksaan dan Pengadilan : gakan hukum. Adapun jenis pelanggaran ° hukum Penegakan kedaulatan di laut dapat yang terjadi adalah pelanggaran terha- dilaksanakan tidak hanya di dalam dap ketentuan hukum tertentu yang lingkup wilayah negara, melainkan da- merupakan tindak pidana tertentu pat juga menjangkau ke luar batas wi- yang tercantum dalam Undang-undang layah negara yang bersangkutan. tertentu di luar Kitab Undang-undang Dalam pengertian umum penegakan hukum diartikan sebagai suatu kegiat- an untuk melaksanakan atau member- lakukan ketentuan hukum. Dalam pengertian yustitieel pene- gakan hukum diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari ke- giatan: penyelidikan, penyidikan, pe- nuntutan pengadilan dan pelaksanaan putusan, dan bertujuan menjamin ke- tertiban hukum dan masyarakat. Apabila mengikuti pengertian yusti - tieel maka yang dimaksudkan dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam penyelesaian .0 ______ -- *) Makalah untuk Lokakarya Hukum Laut kerjasama P.P. PERSAHI - Seknas LAW ASIA - LBHL, 26 - 27 Maret 1984. - ° hukum pidana umum dan yang meru- pakan ketentuan hukum khusus. lex specialis) +) Namun demikian perlu kiranya di- sadari bahwa berbeda dengan pelang- garan hukum yang terjadi di daratan, pelanggaran hukum di laut tidak se- lalu murni bersifat pelanggaran hukum dalam arti berkualifikasi tindak pida- na. Dalam ' banyak hal untuk menen- tukan apakah suatu pelanggaran telah terjadi didasarkan . pada pertimbangan apakah kepentingan nasional negara pantai dirugikan atau tidak. +) Lihat Pasill 17 Peraturan Pemennt'lh No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pi- dana, berikut penjelasannya. Pebruari 1985

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

o

I o

-

PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA *)

_________ Oleh: Suwardi M., S.H. ________ _

UMUM Masalah penegakan hukum di laut _suatu kasus yang timbul sebagai aki--

tidak dapat dilepaskan dari masalah bat terjadinya pelanggaran di laut penegakan kedaulatan di laut. atas ketentuan hukum yang berlaku

Pengertian penegakan hukum di baik ketentuan hukum Internasional . laut pada satu pihak dan penegakan maupun nasional. kedaulatan di laut pada pihak lain da- Tetapi in concrete penegakan hu-pat dibedakan namun demikian kedua- kum di laut meliputi kegiatan penang-nya tidak dapat dipisahkan. kapan dan penyidikan, sedangkan pe-

Penegakan kedaulatan di laut men- nyelesaian lebih lanjut yaitu penun-cakup penegakan hukum di laut, de- tutan dan mengadili dilaksanakan di ngan demikian · pengertian penegakan daratan dalam hal ini dilaksanakan kedaulatan lebih luas dari pada pene- oleh Kejaksaan dan Pengadilan : gakan hukum. Adapun jenis pelanggaran °hukum

Penegakan kedaulatan di laut dapat yang terjadi adalah pelanggaran terha-dilaksanakan tidak hanya di dalam dap ketentuan hukum tertentu yang lingkup wilayah negara, melainkan da- merupakan tindak pidana tertentu pat juga menjangkau ke luar batas wi- yang tercantum dalam Undang-undang layah negara yang bersangkutan. tertentu di luar Kitab Undang-undang

Dalam pengertian umum penegakan hukum diartikan sebagai suatu kegiat­an untuk melaksanakan atau member­lakukan ketentuan hukum.

Dalam pengertian yustitieel pene­gakan hukum diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari ke­giatan: penyelidikan, penyidikan, pe­nuntutan pengadilan dan pelaksanaan putusan, dan bertujuan menjamin ke­tertiban hukum dan masyarakat. Apabila mengikuti pengertian yusti­tieel maka yang dimaksudkan dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam penyelesaian

.0 ______ --

*) Makalah untuk Lokakarya Hukum Laut kerjasama P.P. PERSAHI - Seknas LAW ASIA - LBHL, 26 - 27 Maret 1984. -

°

hukum pidana umum dan yang meru-pakan ketentuan hukum khusus. lex specialis) +)

Namun demikian perlu kiranya di-• •

sadari bahwa berbeda dengan pelang-garan hukum yang terjadi di daratan, pelanggaran hukum di laut tidak se­lalu murni bersifat pelanggaran hukum dalam arti berkualifikasi tindak pida­na. Dalam ' banyak hal untuk menen­tukan apakah suatu pelanggaran telah terjadi didasarkan . pada pertimbangan apakah kepentingan nasional negara pantai dirugikan atau tidak.

+) Lihat Pasill 17 Peraturan Pemennt'lh No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pi­dana, berikut penjelasannya.

Pebruari 1985

Page 2: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

2

Oleh karena itu pengertian pene­gakan hukum di laut harus dalam arti luas, tidak hanya sekedar sebagai suatu proses peradilan dan bertujuan menja­min ketertiban ·hukum dan masyara­kat, tetapi sekaligus juga dalam rangka membela dan melindungi kepentingan nasional di dan atau lewat laut baik di

\ ' dalam maupun di luar jangkauan wi-layah negara.

Kepentingan nasional yang dimak­sudkan di sini tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana dalam arti umum tetapi juga meliputi bidang-bi­dang: keamanan dan keselamatan ne­gara (.pelanggaran wilayah), pemanfa­atan sumber kekayaan alam di laut , keselamatan pelayaran, penelitian il­miah kelautan, lingkungan laut dan pencemaran dan sebagainya. Hal mana berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum Internasional. Dengan demi­kian maka pelaksanaan penegakan hu­kum di laut mengandung baik aspek kesejahteraan maupun aspek security.

Adapun pelaksanaan penegakan hu­kum di laut disesuaJl<an dengan re-gim hukumnya yang dapat dibeda-

kan dalam: pelaksanaan penegakan hu­kum diperairan pedalaman , perairan nusaritara (perarran kepulauan), laut . wilayah, zona tambahan, landas konti­nen , zona ekonomi ekskl~sif dan laut lepas.

Bagi Indonesia penegakan hukum di laut dimaksudkan terutama untuk menjamin terselenggaranya azas negara nusantara dalam rangka pelaksanaan wawasan nusantara, yang mencakup perwujudan kepulauan Nusantara seba­gai satu kesatuan politik, sosial dan budaya, ekonomi dan pertahanan - ke­amanan .

Selain daripada itu penegakan hu­kum di laut dilaksanakan sejalan de­ngan perkemb&ngan huktim laut Inter­nasional dewasa ini, di mana dalam lingkup Internasional ditandai c1 ~ngan

-

Hukum dan Pembangunan

telah ditandatangani Konvensi PBB ten tang Hukum Laut ke-III pada tang­gal 10 Desember 1982 di Montego Bay oleh 117 negara termasuk Indo­nesia di mana dalam Konvensi terse­but diatur secara menyeluruh regiem­regiem hukum laut termasuk regiem negara kepulauan yang mempunyai arti dan peranan penting bagi kepen­tingan nasional untuk memantapkan kedudukan Indonesia sebagai Negara Nusantara dalam rangka inelaksanakan Wawasan Nusantara; dan dalam ling­kup nasional, dengan telah diundang­kannya Undang-undang No . 5 tahun 1983 pada tanggal 18 Oktober 1983 ten tang Zona Ekonomi Eksklusif Indo-

• neSla.

RUANG LINGKUP Bertitik tolak pada pengertian pene­

gakan hukum di laut tersebut di atas maka ruang lingkup permasalahan pe­negakan hukum di laut meliputi baik aspek kesejahteraan maupun aspek ke­amanan.

Adapun ruang - lingkup dari keten­tuan hukum yang harus ditegakkan meliputi berbagai peraturan perun­undang-undangan yang merupakan peraturan perundang-undangan khusus

(lex speciaUs).

PERMASALAHAN Situasi, kondisi dan bentuk geografi

negara Indonesia sebagai kepulauan serta letaknya dalam posisi silang an­tara dua samudra (Pasifik dan Hindia) dan dua benua (AsIa dan Australia) serta yang secara tradisional perairan­nya menjadi pusat persimpangan jalan bagi pelayaran dan perdagangan inter­nasional dan yang dalam konstelasi politik dan strategi dunia secara so­sial-politis terletak dalam apitan sis­tem-sistem so sial politik yang berbe­dit-beda , menempatkan Indonesia da-

lam posisi yang strategis ' baik dari as-

Page 3: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

P~n~gakan Hukum di !Aut • •

pek pertahanan-keamanan maupun as­pek kesejahteraan.

Di dalam lingkup internasional te­lah pula terjadi perkembangan hukum laut yang melahirkan regiem-regiem hukum baru seperti ZEE, Archipelagic sea lanes passage (lintas alur laut Nu­santara), negara kepulauan , yang un­tuk penerapannyaperlu ·dibuat per­aturan perundang-undangan di lingkup nasional , selama hal itu belum ada maka hal ini berpengaruh pula terha­dap pelaksanaan penegakan hukum di

laut.

PELAKSANAAN PENEGAKAN HU­KUM DI LAUT

Bertitik tolak pada pengertian pene­gakan hukum sebagaimana telah dike­mukakan di atas maka aparat penegak­an hukum di laut tidak hanya meng­emban tugas untuk tujuan menjamin ketertiban hukum dan masyarakat te­tapi sekaligus juga dalam rangka mem­bela dan melindungi kepentingan na­sional lainnya.

Oleh karena itu kepada aparat pe­negak hukum di laut dituntut untuk mengembangkan kemampuan yang da­pat menjamin tugas pokoknya secara berhasil dan berdaya guna. Kemam­puan-kemampuan terse but adalah ke­mampuan yang sanggup melaksanakan fungsi-fungsi dari aspek penegakan hu­kum di laut yang meliputi:

1. 2. 3. 4. 5.

Fungsi pengarnatan laut. Fungsi anti terror. T'ungsi anti pelanggaran wilayah. Fungsi pengarnanan kekayaan hiut. Fungsi pencairan dan penyelamatan di laut.

6. Fungsi anti penyelundupan. 7. Fungsi anti pembajakan. 8. Fungsi anti imigrasi gelap/perdagang­

an budak dan wanita. 9. Fungsi pengaturan dan pengamanan

lalu-lintas laut. 10. Fungsi pengawasan dan pencegahan

pencemaran laut.

3

II. Fungsi pengarnanan penelitian laut.

Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa dalam melaksanakan fungsi pe­negakan hukum terse but di atas ber­kaitan dengan tindak pidana khusus yang tercantum dalam peraturan per­undang-undangan tertentu sebagai lex specialis seperti:

a. Territoriale Zee en Maritieme Kringen ord. (T Z M K 0) 1939.

b. Undang-undang No. 19 Tahun 1961 tentang Konvensi Jenewa Tahun 1958 tentang Laut Lepas yang berkenaan de­ngan pemberantasan pembajakan di laut lepas dan pemberantasan penjualan bu­dak belian dan wanita.

c. Ordonantie Bea Stbl. 1882 No. 240 yang kemudian diubah dan ditambah, yang terakhir dengan Lembaran Negara Tahun 1954 No. 11.

.

d. Undang-undang No. 7 Drt. 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

e. Undang-undang No. 8 Drt. 1955 tentang tindak pidana imigrasi dan ordonansi 1949 tentang lalu-lintas orang di dan le­wat laut.

f. Ordonansi 1916 tentang Perikanan, Mu­tiara dan Bunga Karang dan Ordonansi 1927 ten tang Perikanan Pantai.

g. Undang-undang No.5 Tahun 1983 ten­tang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pasal16, 17 dan 18.

h. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

i. Undang-undang No.1 Tahun 1973 ten­tang Landas Kontinen Indonesia, pasal 10.

j. Peraturan perundang-undangan nasional lainnya di bidang hukum laut dan ke­tentuan-ketentuan Hukum laut interna­sional lainnya seperti Konvensi PBB ten-•

tang Hukum Laut ke-III Tahun 1982 dan peIjanjian-peIjanjian dan persetujuan­persetujuan internasional yang telah di­buat oleh Indonesia dengan negara lain.

Sedangkan dalam kaitannya dengan tindak pidana umum (yang tercantum dalam KUHPid) maka aparat penegak hukum di laut mempunyai kewenang-

Pebruari 1985

Page 4: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

4

an sebagai penindak awal yang selan­jutnya diselesaikan oleh instansi yang

. .

memiliki kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam rangka penegakan hukum di laut pada Tahun 1972 berdasarkan Ke­putusan Bersama MENHANKAM, MENHUB, MENKEU, MENKEH dan JAKGUNG telah dibentuk Badan Ko­ordinasi Keamanan Laut (BAKOR­KAMLA).

Sebagai badan koordinasi terdiri da­ri unsur-unsur: TNI-AL, POLRII AI­RUD, KPLP, Bea dan Cukai, Imigrasi dan Kejaksaan.

Namun demikian sistem koordinasi ini sesudah berjalan beberapa tahun dirasakan kurang man tap dan sukar mencapai efisiensi dan efektivitas yang diharapkan.

Sehingga Bakorkamla sebagai apa­rat penegak hukum di laut belum da­pat mencapai kemampuan untuk me­laksanakan fungsi-fungsi seperti terse­but di atas. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang mempenga­ruhi pelaksanaan tugas penegakan hu­kum Bakorkamla, yaitu:

a. Masalah landasan hukum

I) Masalah ini merupakan masalah yang perlu diatasi. Instansi-instansi maupun Angkatan yang tergabung di dalam ' Bakorkamla dan yang melak­sanakan kegiatan patroli di laut, pa­da dasarnya telah mempunyai landasan hukum untuk mendasari kewenangan masing-masing di antaranya:

(a) TNI-AL dengan TZMKO Tahun 1939.

(b) KPLP dengan TZMKO Tahun 1939.

(c) Bea Cukai dengan Ordonnantie Bea, Staatsblad 1941 Nomor 471 Pasal 9 sid 12.

.

(d) Polri dengan Undang-undang No. 13

• Hukum dan hmbtmpnan

Ordonansi dan perundang-undangan terse but oleh Instansi yang bersang­kutan sampai sa at ini masihberlaku dan belum dicabut.

Karena Interpretasi masing-masing In~ stansi terhadap landasan hukum terse­but antara yang satu dengan yang lain tidak saling bertemu, maka pelaksana­an di lapangan saling tumpang-tindih, sehingga tujuan pokok Bakorkamla un­tuk meningkatkan efisiensi operasi se­nantiasa terhambat. Sehingga masing­masing Instansi masih berpatroli di luar garis Bakorkamla. Semua unsur yang dimiliki oleh Instansi-instansi ha­nya sebagian kecildikerahkan untuk memperkuat kemampuan Bakorkamla, lainnya sebagian besar dipertahankan untuk mendukung keperluan adminis­trasi Instansi yang bersangkutan.

2) Undang-undang Pelayaran Indone­sia Staatsblad Tahun 1936 Nomor 700 jo. Staatsblad Tahun 1948 Nomor 224 telah cukup mengatur masalah-masalah yang berkaitan erat dengan perigaturan tata tertib pelayaran , halinipun harus ditaati dan diakui oleh pengem ban hukum yang lain.

3) Ordonansi-ordonansi tentang keimi­grasian yang terdiri dari: Staatsblad Tahun 1949 Nomor 331, Staatsblad Tahun 1949 Nomor 332, Staatsblad Tahun 1949 Nomor 330, Undang-un­dang Nomor 8 Tahun 1955 tentang tindak pidana imigrasi, kesemua ini harus ditegakkan di laut.

Sudah dapat dibayangkan betapa tum­pang tindihnya tugas penegakan hu­kum di laut bila tiap-tiap Instansi ma­sing-masing tolrun ke .Japangan, dan akan terasa tidak efisien bila tidak di­bina tunggal untuk diarahkan sesuai kebutuhannya. Karena itu dirasakan perlunya untuk diadakan peninjauan terhadap hukum-hukum produk lama tersebut yang tidak sesuai lagi, untuk dicabut dan diganti dengan satu hu-

,

Page 5: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Penegakan Hukum di Laut •

kum yang konprehensip dan menca­kup semua kebutuhan dan yang cocok untuk diterapkan dalam rangka tugas patroli keamanan di laut.

h. Masalah Komando dan Pengenda-Iian

1) Masalah Pengorganisasian dan Ko­mando Pengendalian merupakan fak­tor penting untuk mendukung kelan­caran fungsi-fungsi penegakan hukum di laut. Dengan Sistem Koordinasi ma­sih dirasakan kurang man tap dan sukar mencapai efisiensi. karena kenyataan dalam pelaksanaan tugas-tugas masih sangat dipengaruhi oleh kepentingan situasi dan kondisi masing-masing in­stansi yang bersangkutan. -2) Status BKO kapal-kapal untuk ber-patrali, tidak menjamin kemampuan pengerahan semua kapal-kapal dapat beroperasi untuk mendukung Bakor­kamla, kenyataannya jumlah kapal yang di-BKO-kan ke Bakorkamla lebih

• •

sedikit daripada kapal-kapal yang ma-sih beroperasi sendiri-sendiri di luar Bakorkamla. Hal ini berarti tidak men­dukung saran a patroli secara efisien.

3) Komposisi Staf yang ex offisio di­jabat oleh Staf Komando, Dinas, Ja­watan dari instansi dirasakan sangat tidak mendukung efisiensi, karena pe­tugas-petugas yang bersangkutan yang sehari-hari sudah disibukkan dengan tugas pokoknya masih harus menye- ' lesaikan pekerjaan-pekerjaan pada urusan Bakorkamla.

c. Masalah Personil dan Dukungan Lo-gistik

I) Personil yang langsung teIjun di la­pangan tidak seragam basis pengeta­huannya dalam penyelenggaraan pene­gakan hukum di laut.

2) Dukungan logistik juga belum bisa dilaksanakan secara terpadu, karena tiap-tiap unsur yang beroperasi masih menggunakan norma-norma yang di-

5

anut Departemen masing-masing. De­mikian juga jadwal oleh perbaikan be­lum sesuai dengan jadwal Pem-BKO­an.

3) Dukungan terhadap tahanan masih belum jelas diatur. Instansi yang satu melemparkan tanggungjawab kepada .Instansi yang lain .

Demikianlah masalah-masalah yang merupakan kelemahan dari Bakorkam­la yang perlu disempurnakan.

Untuk meningkatkan kemampuan di dalam melaksanakan fungsi-fungsi penegakan hukum di laut perlu diper-. hatikan pula faktor-faktor teknis ope­rasional daripada kapal-kapal patroli dan sistem komando serta pengenda­liannya yang merupakan piranti keras (hard - ware) daripada pelaksanaan ' tugas di lapangan yang sangat mem­pengaruhi kemantapan, efisiensi dan efektifitas dari pelaksanaan tugas apa­rat penegakan hukum di laut.

Adapun faktor-faktor teknis terse­but ialah sebagai berikut :

a) Mobilitas , yaitu daya gerak unsur yang diukur an tara lain oleh:

I) Kecepatan reaksi 2) Jarak Jelajah 3 ) Kelayakan Laut.

b) Daya cepat , yaitu daya sergap un­sur yang diukur antara lain oleh :

1) Jarak tangkap radar (deteksi) 2) Kecepatan identifikasi/pengenal­

an.

c) Kecepatan kehadiran di daerah pe­langgaran hukum, yaitu kecepatan dan ketepatan kehadiran unsur di daerah pelanggaran dalam kaitan­nya dengan kegiatan aksi penin­dakan, yang diukur antara lain oleh: I ) Kecepatan pengam bilan keputus­

an . 2) Kecepatan pengembangan ope-

• rasl.

Pebruari 1985

Page 6: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

6

d) Penampakan, yaitu kemampuan ke­h:.diran unsur di laut yang mempu­nyai dampak penangkalan terhadap pelanggaran hukum, dapat diukur antara lain oleh:

I) Kecepatan penilaian di daenih rawan. ,

2) Pengamatan daerah operasi.

e) Kemandirian logistik, yaitu kemam­puan untuk mandiri di bidang 10-gistik dalam kaitannya dengan 10-gistik sebagai fungsi komando, yang

• ,

• •

dapat diukur an tara lain oleh:

1) Kelengkapan bekal sesuai norma bekalkapal.

2) Kemampuan melaksanakan pe­meliharaan dan perbaikan ting­kat organik unsur dan tingkat mencegah.

3) Kecepatan dan ketepatan du­kungan logistik dan pangkalan.

.

'f) Komando, kendali, komunikasi dan informasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan Komando dan Pe­ngendalian yang dapat diukur oleh kecepatan dan ketepatan informasi di dalam:

1) Pendetekslan 2) Pengt:nalan 3) Penerusan 4) Penilaian 5) Penindakan 6) Pengkomandoan.

Untuk dapatnya melaksanakan . fungsi-fungsi Gakkum, dipersyaratkan adanya sasaran kemampuan yang harus dicapai sesuai dengan perkembangan situasi y<.'.g dihadapi. Adapun variable sasaran kemampuan ialah:

a) Struktur kekuatan

Pertimbangan pada struktur kekuatan ialah :

1) Jumlah unsur yang tersedia/dimiliki dalam satu kurun waktu, terorganisir dan mampu melaksanakan tugas Gak­kum di laut.

. Hukum dan Pembangunan •

2) Di dalam menentukan struktur ke­kuatan Gakkum di laut pem.bobotan­nya adalah pada pendekatan tugas den~an mempertimb~ngkan faktor an-caman dan geografis. .

• . , 3) Struktur kekuatan yang dikembang-kan adalah untuk menciptakan ke­mampuan operasi-operasi Gakkum se bagai beriku t:

(a) Operasi Pengawasan. ,

(b) Operasi Pencegahan. (c) Operasi Penindakan .

b) Kesiagaan

Tingkat kesiagaan yang harus dica­pai adalah secepat mungkin berada di daerah pelanggaran hukum dengan per­timbangan bahwa hal tersebut dapat dipenuhi karena telah tersedianya un­sur pengawasan udara serta sejumlah unsur yang selalu berada di laut.

c) Tingkat kemutakhiran teknologi

Tingkat kemutakhiran teknologi •

yang harus dimiliki unsur-unsur .Gak- · kum di laut ialah diutamakan kepada

• alat sensor, komunikasi dan platform.

d) Ketahanan lama Operasi

Ketahanan/keberadaan unsur di da­erah operasi dalam suatu kurun waktu yang direncanakan. •

Di sam ping faktor-faktor pengorga­nisasian dan manajemen serta faktor teknis operasional sebagaimana telah dikemukakan di atas , perlu kiranya diperhatikan perkembangan daripada perundang-undangan nasional lainnya yang berkaitan dengan penegakan hu­kum di laut yang dapat menjadi lan­dasan hukum bagi pelaksanaan tugas penegakan hukum di laut. .

,

Adapun peraturan perundang-un-dangan yang dimaksudkan itu ialah:

a. Undang-undang No .20 Tilhun 1982 tentang \ Ketentuan-ketentuan Po­kok Pertahanan Keaamanan Negara. Dalam pasal 30 (2) dinyatakan

Page 7: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Penegakan Hukum di Laut

a. Selaku penegak kedaulatan nega­ra di laut mempertahankan ke­utuhan seluruh perairan dalam yurisdiksi nasional serta melin­dungi kepentingan nasional di dan atau lewat laut bersama-sa­rna dengan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya.

Dan dalam penjelasannya dinyata­kan:

"Yang dimaksud dengan tugas pe­negakan kedaulatan negara di laut mencakup pengertian penegakan hukum di laut sesuai dengan ke­wenangan yang diatur dengan per­aturan perundang-undangan, baik dalam lingkup nasional maupun dalam kaitannya dengan keten­tuan-ketentuan hukum internasio­nal"

b . Peraturan Pemerintah No . 27 Ta­hun 1983 ten tang Pelaksanaan KUHAP, yang dalam Pasal 17 diten­tukan :

"Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang ter­tentu sebagaimana dimaksud da­lam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwe­nang lainnya berdasarkan peratur­an perundang-undangan"

dan dalam penjelasannya dinyata­kan:

"Wewenang penyidikan dalam tin­dak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang­undangan. Bagi penyidik dalam Perairan In­donesia, zona tambahan, Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eks-

7

klusif Indonesia, penyidikan dila­kukan oleh perwira Tentara Nasio­nal Indonesia Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang di­tentukan oleh undang-undang yang mengaturnya."

c. Undang-undang No . 5 Tahun 1983 ten tang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang dalam pasal 14 (1) ditentukan:

"Aparatur penegak hukum di bi­dang penyidikan di Zona Eko­nomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indone­sia Angkatan Laut yang ditun­juk oleh Panglima Angkatan Ber­senjata Republik Indonesia ."

Dengan mempertimbangkan hal-hal terse but di atas maka aparat penegak­an hukum di laut yang dapat menja­min pencapaian sasaran kemampuan adalah:

a. Suatu Komando yang disebut Ko­mando Keamanan Laut (Kokamla) yang mempunyai wewenang ko­mando penuh, sehingga masalah pe­rencanaan, pelaksanaan dan- peng­awasan dalam menyelenggarakan kegiatan di laut dapat diharapkan akanberjalan lebih berdaya dan berhasil guna.

b. Kedudukan atau status unsur baik kapal laut maupun pesawat udara , bersifat organik. Dengan bersifat organik maka pim­pinan komando dapat memiliki jangkauan pengendalian lebih ter­arah, dipatuhi serta dapat dijamin keseragaman tindakan.

c. Personil pimpinan dapat dirangkap, namun personil Staf dan pelaksa­naan harus berkedudukan organik Kokamla. Sehingga dengan demi­kian maka para personil dapat me­laksanakan tugasnya secara penuh.

Adapun Kokamla yang merupakan badan tunggal itu berada di bawah

Page 8: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

8

Departemen Hankam dan dilaksanakan oleh salah satu unsur Angkatan yang sesuai dengan kematraannya.

Demikianlah uraian secara umum mengenai pelaksanaan dan permasalah­an penegakan hukum di laut. Untuk selanjutnya akan diuraikan mengenai pelaksanaan penegakan hukum di laut sesuai dengan regiem hukumnya.

PENEGAKAN HUKUM DI PER­AIRAN PEDALAMAN

Di dalam pelaksanaan penegakan hukum di perairan pedalaman tidak dike tern uk an permasalahan karena per­

. airan pedalaman sepenuhnya berada di bawah kedaulatan negara pantai dan dalam perairan pedalaman tidak ber­laku hak lintas damai bagi kendaraan

• • arr asmg. Kapal asing yang berlayar di per­

airan pedalaman adalah atas izin ter­lebih dahulu dari negara pantai, dan tunduk dalam yurisdiksi negara pantai.

Yang dimaksudkan dengan perairan pedalaman terdiri dari sungai-sungai, danau-danau, terusan-terusan dan per­airan yang berada pada sisi dalam ga­ris-garis air rendah yang merupakan wilayah daratan Indonesia dan meli­puti pula p~labuhan, muara sungai, kuala-sungai, muara terusan, . teluk, anak laut dan perairan di antara gu­gusan pulau-pulau (vide art. 9, 10, II dan 50 Konvensi Hukum Laut III 1982 dan penjelasan pasal 2 P.P. No.8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas laut damai Kendaraan air asing dalam per­airan Indonesia).

Yang perlu diperhatikan bahwa is­tilah perairan pedalaman (Internal wa­ters) yang digunakan di sini dan dalam Konvensi Hukum Laut III Tahun 1982 berbeda dengan istilah perairan peda­laman yang digunakan dalam Undang­undang No. 4 Prp. Tahun 1960 ten­tang Perairan Indonesia.

;

Istilah perairan pedalaman yang di-gunakan dalam Undang-undang No.4

Hukum dan Pembangunan

Prp. 1960 pengertiannya sarna dengan archipelagic waters (perairan Nusan­tara) da1am Konvensi. Sedangkan is­tilah perairan pedalaman dalam Kon­vensi pengertiannya kurang lebih sarna dengan "perairan daratan" sebagaima­ria tercantum dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1962.

PENEGAKAN HUKUM DI PERAIR­AIR AN KEPULAUAN/NUSANTARA

Perkembangan dalam · hukum laut dewasa ini yang terpenting dan ber­kaitan dengan kepentingan Indonesia yang utama adalah dengan diterima­nya ketentuan ten tang Archipelagic States (Negara Kepulauan). Walaupun konsepsi negara kepulauan yang telah dianut dan dilaksanakan oleh Negara dan bangsa Indonesia selama ini tidak tergantung pada ada at au tidaknya ke­tentuan t'entang negara kepulauan da­lam Konvensi Hukum Laut III Tahun 1982 (Pasal46 sid 54) .

.

Hanya ketentuan tersebut sejalan dengan keputusan politik negara dan bangsa Indonesia yang telah ditetap­kan sejak dikeluarkan Deklarasi Peme­rintah R.I. tanggal 13 Desember 1957 tentang Perairan Indonesia,. yang ke- . mudian dikukuhkan dengan Undang­undang No.4 Prp. 1960.

Adapun faktor-faktor yang mendo­rong pemerintah R.I. mengeluarkan deklarasi pada waktu itu adalah ter­utama karena alas an-alas an pettahanan dan keamanan bahkan . merupakan sa­lah satu sendi pokok daripada kebi­jaksanaan Pemerintah R.I. mengenai Perairan Indonesia. Alasan-alasan terse­but masih tetap berlaku hingga dewasa ini di dalam menyoroti konsepsi ne­gar a kepulauan yang tercantum dalam . Konvensi Hukum Laut III ini, lebih­lebih bila diingat bahwa ketentuan­ketentuan ini pada hakekatnya sebagai hasH kompromi.

Hal ini dapat terlihat bahwa keten­tuan ten tang negara kepulauan ini ti-

Page 9: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Penegakan Hukum di Laut

dak hanya berkaitan dengan hak-hak negara pantai tapi juga kewajiban ne- . gara pantai untuk kepentingan inter­nasional (pelayaran internasional) serta hak-hak negara lain (internasional) , de­ngan adanya berbagai regiem hukum yang berlaku dalam perairan kepulau­an (perairan nusantara) seperti antara lain: hak lintas laut damai (Right of innocent passage) dan hak \intas laut alur-alur Nusantara (Right of archipel­agic sea lanes passage). - Sebagaimana diketahui dengan ada­nya negara kepulauan maka terdapat perairan kepulauan (perairan nusanta­ra) di dalam negara kepulauan terse but yang sepenuhnya berada di bawah ke­daulatan negara yang bersangkutan.

Yang dimaksudkan dengan perairan kepulauanadalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis dasar Nu­san tara (Archipelagic baselines) .

Namun demikian berdasarkan ke­tentuan Konvensi Hukum Laut Indo­nesia sebagai negara kepulauan masih tetap harus memberikan akomodasi bagi kepentingan internasional atau ke­pentingan negara lain untuk memanfa­atkan perairan kepulauan terse but me­lalui regiem hukum hak \intas laut da­mai dan hak lintas laut alur-alur Nu­santara.

Dalam Undang-undang No. 4 Prp . 1960 (Pasal 3) jo . Peraturan Pemerin­tah No.8 Tahun 1962 telah diatur me­ngenai lintas laut damai bagi kendara­an air asing pada umumnya, kendaraan air penangkap ikan asing dan kendara­an air penyelidik ilmiah asing melalui perairan pedalaman (atau perairan ke­pulauan menurut pengertian Konvensi Hukum Laut ke-III ini) yang merupa­kan keionggaran yang diberikan oleh Negara R.I. Stdangkan untuk kapal perang dan kapal pemerintah bukan kapal niaga asing dalam pasal 7 Per­aturan Pemerintah terse but ditetapkan sebagai berikut :

9

(I) Sebelum mengadakan lalu-lintas damai dalam laut wilayah at au perairan pedalaman Indonesia kapal perang dan kapal pemerin­tah bukan kapal niaga asing ha­rus memberitahukan lebih dahu­lu kepada MenterijKepala Staf Angkatan Laut, kecuali kalau lintas laut itu melalui alur-alur yang telah atau akan ditetapkan oleh Menteri/Kepala Stat Ang­katan Laut.

(2 ) Pada waktu melintasi perairan Indonesia kapal-selam asing ha­rus berlayar di permukaan air.

Dalam Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 tersebut belum diatur Hak Lintas Laut alur-alur Nusantara tetapi sudah aaa landasannya bagi pengaturan mengenai hal terse but ya­itu dalam pasal 7 ayat (I).

Hanya dalam Konvensi Hukum Laut III ini semua kapal yang meng­gunakan hak lintas laut alur-alur Nu­santara berlayar dalam keadaan normal mode, berarti bagi kapal selam dapat berlayar di bawah permukaan air.

Hal inilah yang berbeda dengan ke­tentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 (Pasal 7 ayat (2).

Namurt demikian karena ketentuan mengenai Hak Lintas laut alur-alur Nu­santara ini merupakan hasil kompromi maka langkah pengamanan yang perlu diambil bagi keselamatan dan untuk

menjamin ked aula tan negara Indonesia ialah perlunya ada peraturan pelaksa­naan lebih lanjut daripada Undang-un­dang ratifikasi Konvensi Hukum Laut • • 1m.

PENEGAKAN HUKUM DI LAUT WI­LAYAH DAN ZONA TAMBAHAN

Konvensi PBB tentang Hukum Laut berhasil menetapkan lebar laut wilayah hingga 12 mil. Negara-negara pantai berdaulat penuh baik terhadap kekaya­an alam maupun untuk mengatur ken-

Pebruari 1985

,

, • ,

,

Page 10: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

10

daraan air asing yang berlayar melalui laut wilayah terse but dengan mem­berlakukan regiem lalu-lintas damai (innocent passage) .

Dalam artikel 2 Konvensi Hukum Laut diten tukan:

1. The sovereignity of a coastal State ex­tends, beyond its land territory and in­ternal waters and, in the case of an ar­chipelagic State, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea.

2. This sovereignty extends to the. air space over the territorial sea as well as to its bed and sub so il.

3. The sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this Convention and to other rules of international law.

Dalam artikel 3 ditentukan:

Every State has the right to establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical miles, measured from baaselines determined in accordance with this Convention.

DaJam Undang-undang No.4 Prp . 1960 Pa­sall ayat 2 ditetapkan:

(2) Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar duabelas mil-laut yang

garis-luasnya diukur tegak lurus atas garis-dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar. pada garis air-rendah daripada pulau­pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia de­ngan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi duapu­luh empat mil-laut dan negara Indo­nesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi maka garis-garis laut wi­layah Indonesia ditarik pada tengah selat.

Demikian pula Konvensi PBB ten­tang Hukum Laut telah mengakui Zona Tambahan selebar maksimum 24 mil yang ditarik dari garis dasar di mana lebar laut wilayah diukur. Ne­gara-negara Jiantai dapat menegakkan hak berdaulat dan hukumnya di laut, terutama dalam menerapkan antara

_ Hukum dan Pembangunan

lain bea cukai. fiskal, imigrasi dan kesehatan (sanitary).

Pengakuan masyarakat internasio­nal atas azas negara kepulauan. meng­akibatkan adanyC! perubahan prinsip at as sifat dan kedudukan laut wilayah yang semula mengelilingi setiap pulau kini menjadi satu kesatuan laut wila­yah yang mengelilingi seluruh kepu­lauan Indonesia.

Negara-negara maritim besar pada hakekatnya memerlukan kebebasart yang seluas mungkin di laut, baik un-

tuk kepentingan pelayaran maupun untuk kekayaan alam, oleh karena itu mereka menuntut agar laut wilayah ditetapkan sekecil mungkin .

Sebaliknya Indonesia serta negara­negara lain yang belum besar ke­mampuan maritimnya menuntut lebar laut wilayah untuk penyelenggaraan kedaulatan at as wilayah serta peng­amanan kekayaan alamnya.

Zona tam bahan di mana negara pantai mempunyai wewenang tertentu untuk mencegah dan menindak pelang­garan di bidang bea cukai, fiskal, imi­grasi at au sanitari sejauh 12 mil dari garis dasar laut wilayah yang selama ini telah ada dalam hukum internasional

dan dikodifikasikan dalam Konvensi Genewa 1958 , tidak lagi merupakan masalah sehingga akan lebih memper­kuat kedudukan negara pantai.

Di laut wilayah IndoneSia mempu-•

nyai kedaulatan penuh atas kolom air dan isinya, udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya.

Dalam penyelenggaraan lin tas da­mai di laut wilayah. negara lain tidak boleh melakukan ancaman atau peng­gunaan kekerasan terhadap kedaulat­an, integritas wilayah atau kemerde­kaan negara pantai. Demikian pula tidak boleh melakukan kegiatan survai at au penelitian, mengganggu sistem ko­munikasi , melakukan pencemaran

Page 11: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Penegakan Hukum di Laut

serta meiakukan kegiatan lain yang tidak ada huhungan langsung dengan lintas damai.

Pelayaran lintas damai tersebut ha-. rus dilakukan secara terus-menerus, tu­juan tetap, langsung serta secepatnya sedangkan berhenti dan mem buang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi, keadaan memaksa atau keadaan bahaya. Sebagai negara pantai Indonesia berhak mengeluarkan peraturan ten tang lintas damai, kese­lamatan pelayaran, perlindungan kabe1 dan pipa di bawah laut, konservasi kekayaan alam, serta perlindungan Iingkungan laut.

Mengenai ketentuan tentang lintas damai sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1962 tetapi mengenai yang lain belum diatur atau sudah ada pengaturannya tetapi belum lengkap.

Dengan dimungkinkannya penetap­an lebar laut wilayah 12 mil menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut, banyak selat-selat yang tadinya meru­pakan laut bebas kini menjadi laut wi­layah atau ZEE dari negara-negara yang bcrbatasan dengan selat tersebut.

Konvensi PBB tentang Hukum Laut rmenetapkan bahwa kapallaut maupun pesawat udara dari semua negara pe­serta Konvensi diizinkan untuk mela­kukan lintas transit (transit passage) melalui selat-selat yang lazim diper­gunakan untuk pelayaran atau pener­bangan internasional sepanjang mereka melalui selat-selat tersebut secara lang­sung tanpa membahayakan negara pan­tai tesebut . Begitu pula kepada negara­negara sepanj ang selat diberi wewe­nang untuk niengatur pelayaran atau

penerhangan internasional sehu bungan dengan lintas transit tersebut.

Transit passage ini mcrupakan kon­sep hukum laut baru dan merupakan suatu kombinasi kompromi antara lin­tas transit bebas (free transit passage)

11

dan lintas damai dengan memberikan wewenang tertentu kepada negara pan­tai untuk mengatur selat terse but.

Kedudukan hukum laut wilayah dan ZEE lainnya , yang berkenaan de­ngan pengelolaan dan pemanfaatan se­mua sumber yang terdapat di kolam air dan di dasar laut serta tanah di bawahnya, tetapi tidak boleh me­ngurangi fungsi selat terse but sebagai jalur pelayaran internasional.

Sebagai jalur pelayaran internasio­nal, tanggungjawab pengaturan lintas transit dan pemeliharaan keselamatan pelayaran di selat tetap menjadi wewe­nang dan tanggungjawab dari negara­negara yang berbatasan yang dilaksa­nakan secara bersama dengan memper­hatikan peraturan dan praktek inter­nasional yang lazim berlaku, Bagi ne­gara kita Selat Malaka yang secara fisik merupakan laut wilayah dan ZEE dari negara-negara Indonesia serta Malaysia adalah salah satu selat yang dipakai se­bagai jalur pelayaran internasional, yang menghubungkan samudra Hindia dengan Laut Cina Selatan dan Samu­dra Pasifik, Walaupun Konvensi PBB tentang Hukum Laut belum berlaku tetapi ketentuan yang termuat di da­lamnya, terutama Bab III telah sesuai dengan kehendak dan pengaturan ber­sama yang telah ada dewasa ini antara Indonesia , Malaysia dan Singapura yang lebih dikenal dengan Tripartite Meeting tentang Peningkatan Kesela­matan Pelayaran dan Usaha-usaha Pen­cegahan dan Penanggulangan dan Pen­cemaran laut di kedua Selat tersebut.

J adi di Selat Malaka bagi kendaraan air asing berlaku hak !intas transit me­lalui laut wilayah y ang merupakan ba­gian dari selat yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional. Dalam hal ini negara-negara pantai yangber­batasan sebetulnya tidak dapat ·sepe­nuhnya me1aksanakan penegakan hu­kum di selat itu , walaupun ada kewe-

Pebruari 1985

Page 12: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

12

nangan mengatur tetapi kenyataanya terbatas, dan tetap tidak dapat mela­rang lewatnya kapal-kapal asing. Le­bih-lebih bila selat itu dianggap mem­punyai nilai strategis bagi kepentingan strategi global dari negara-negara su­per-power. Di sinilah suatu bukti bah­wa masalah penegakan hukum di laut tidak dapat dipisahkan dari penegakan kedaulatan di laut.

PENEGAKAN HUKUM DI ZONA . EKONOMI EKSKLUSIF

Konvensi PBB tentang Hukum Laut mengakui adanya suatu regiem zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di mana ke­pada negara pantai diberi hak berdau­lat dan yurisdiksi atas kekayaan alam­nya dan beberapa kegiatan ekonomi tertentu serta yurisdiksi untuk . men­dirikan dan menggunakan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangun­an-bangunan, melaksanakan penelitian ilmiah kelautan dan pelestarian ling­kungan laut.

Kepada negara-negara lain diberi ke­bebasan untuk pelayaran dan pener­bangan !intas di wilayah terse but, de­mikiah pula kebebasan untuk mele­takkan kabel-kabel dan pipa-pipa di dasar laut.

Kepada Negara-negara tidak berpan­tai dan negara-negara yang memiliki sifat-sifat geografis tertentu, dapat di­berikan hak untuk turut serta meng­eksploitasikan sebagian daripada keka­yaan hayati di ZEE tersebut dalam hal negara pantai tidak dapat mengeks­ploitasi sendiri keseluruhannya.

Penentuan zona ekonomi eksklusif yang bert urn pang tindih dapat dise­lesaikan dengan persetujuan berdasar­kan hukum internasional untuk mem­peroleh penyelesaian secara adil.

Terhadap jenis-jenis ikan dan jenis binatang laut yang berupaya disepa­kati untuk diadakan perlindungan se­cara khusus .

Hukum dan Pembangunan

Konvensi PBB tentang Hukum Laut menetapkan laut lEE 200 mil. diukur dari garis pangkal.

Didorong oleh keperluan untuk me-o •

lakukan penegakan hukum. serta berh-tik tolak pada usaha untuk melindungi dan memanfaatkan sumber daya alam hayati maupun non hayati yang ter­dapat di dasar laut dan tanah di ba­wahnya serta . air di atasnya. maka Pe­merintah R.I. pada tanggal 21 Maret 1980 mengeluarkan Pengumuman Pe­merintah ten tang Zona Ekonomi Eks­klusif Indonesia. Ketentuan-keten­tuan yang mengatur ten tang ZEE da­lam Konvensi Hukum Laut 1982 ke­mudian dituangkan dalam Undang-un­dang No.5 Tahun 1983 ten tang Zona Ekonomi Ekskluskf.

Dalam Undang-undang NO.5 Tahun 1983 tersebut diatur hak-hak dan ke­wajiban R.I. sehubungan dengan ZEE yakni antara lain:

a. R.I. mempunyai dan melaksanakan: •

1) hak-hak berdaulat untuk kan eksplorasi dan eksploitasi, ponge­lolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non-hayati di dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya, dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eks­ploitasi ekonomi zona tersebut se­perti pembangkitan tenaga air, arus dan angin'

2) yurisdiksi jang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulauu­pulau buatait, instalasi-instalasi dan bangunan-b~gunan lainnya, peneli­tian ilmiah dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut;

3) hak-hak berdaulat dan yuIisdiksi In­donesia dilaksanakan menurut per­a turan perundang-undangan I.andas Kontinen;

4) persetujuan-persetujuan antara R.l. dengan negara tetangga sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku antara lain mengenai mas­alah delimitasi/batas ZEE.

Page 13: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Penegakan IJukum di Laut

h , Kewajihan-kewaj ihan yang harus dipenu hi oleh R,t. antara lain:

1) memberikan kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional di lEE;

2) mem berikan izin bagi pemasangan ka­bel/pipa dasar laUl menurut prinsip­prinsip hllkum laut internasional yang berlakll;

3) dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam hayati di ZEE, Pemerin­tah R.l. mempunyai kewajiban untuk mengusahakan tercapainya pemanfa­atan slimber alam hayati secara op­timal.

Mengenai penegakan huku!11 di ZEE . IndonesIa diatur dalam Bab V I pada

Pasal 13 Undang-undang NO.5 Tahun 1983 yang berbunyi sebagai berikut:

"Dalarn rangka melaksanakan hak berdau­lat, hak-h ak lain, yurisdiksi dan kewajib­an-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (l), aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-undang No. 8 Tahun 198 J ten tang Kitab Undang-un­dang Hukum Acara Pidana, dengan penge­cualian sebagai berikut:

(a) Penangkapan terhadap kapal dan/ atau orang-orang yang diduga mela­kukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia meliputi tindak­an penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang­orang tersebut di pelabuhan di mana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut ;

,

(b) Pcnyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebu t harus dilakukan sece­pat mungkin dan tidak bolch mele­bihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, ke­cuali apabila terdapat kcadaan forse

, majeure;

(c) Untuk kepentingan pcnahanan, tin­dak pidana yang diatur dalarn Pasal 16 dan Pasal 17 termasuk dalam go­longan tindak pidana sebagaimana di­maksud dalarn Pasal 21 ayat (4) hu­ruf b Undang-undang Nomor 8 Ta-

13

hun 1981 tentang Kitab Undang-un­dang Hukum Acara Pidana."

Dalam Pasal 14 ditentukan sebagai be-ril< u t :

(1) Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklu­sif Indonesia adalah Perwira Tentara

Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Ang­katan Bersenjata Republik Indonesia.

(2) Penuntut umum adalah jaksa pada pengadilan negeri sebagaimana di­maksud dalam ayat (3);

(3) Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan un­dang-undang ini adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meli­pu ti pelabuhan di mana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a.

Dari perumusan pasal 13 dan 14 RUU lEE Indonesia dapat ditarik ke­simpu lan bahwa pengertian penegakan hukum di sini meliputi kegiatan: pe­nyidikan di lau t, penuntutan dan pe­

meriksaan di Pengadilan,

Adapun pengertian penyidikan se­perti yang dirum uskan dalam pasal 13 m encakup kegiatan: penangkapan ter­hadap kapaJ dan atau orang-orang . . .. dan seteru snya (sub, a), penyerahan kapal dan atau orang-orang ... dan se­terusnya (sub. b) dan penahanan .... dan seterusnya (sub. c).

Ketentuan terse but di atas adalah ketentuan yang berkenaan dengan hu­kum acara pidana dan dalam RUU lEE Indonesia ini merupakan keten­

tuan khusus acara pidana (di samping k etentu an hukum acara pidana umum yang tercantum dalam KUHAP), di mana R UU lEE Indonesia ini mem­beri kewenangan penyidikan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk PANG­AB , J adi berdasarkan ketentuan ini Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh PANGAB

Pebruari 1985

Page 14: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

14

terse but adalah aparat penegak hukum di laut di bidang penyidikan. Sedangkan menurut ketentuan hukum acara pidana umum sebagaimana ter­cantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) aparat penyidik hanya terbatas pada:

. a. pejabat polisi negara Republik In­donesia;

b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.

Jika dikaitkan dengan tugas TNI AL maka ketentuan pasal 14 RUU ZEE Indonesia merupakan penjabaran atau pelaksanaan Pasal 30 ayat (2) Un­dang-undang No. 20 Tahun 1982 ten-. ,

tang "Ketentuan-ketentuan Pokok Per-tahanan Keamanan Negara Republik Indonesia". (lihat halaman 16 dan 17).

Ketentuan pasal 14 RUU ZEE In­donesia ini juga sesuai dengan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Ta­hun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab, Undang-undang Hukum Acara Pidana berikut penjelasannya. (lihat halaman 17 dan 18)

Dari ketentuan pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 berikut penjelasan tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan penegakan hukum di laut hanya berhubungan dengan tindak pi­dana tertentu yang diatur negara khu­sus oleh Undang-undang tertentu. Yang dimaksudkan dengan Undang-un-• dang tertentu itu antara lain RUU ZEE Indonesia ini.

Selanjutnya perlu kiranya masalah penegakan hukum di ZEE Indonesia dilihat pula dari hukum internasional.

Dalam pasal 2 RUU ZEE Indonesia dinyatakan bahwa:

"Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dertgan laut wi­layah Indonesia sebagaimana 'ditetapkan berdasarkan undang-undang yang bedaku ten tang Perairan Indonesia yang meliputi

Hukum dan Pembangunan

dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas 200 (dua ra­tus) millaut diukur dari garis pangkallaut wilayah Indonesia".

Dalam pasaJ 4 RUU RUU ZEE In­donesia dinyatakan bahwa:

,

"(1) Di Zona Ekonomi Eksklusif, Repu­blik Indonesia mempunyai dan me­laksanakan :

a. Hak-hak berdaulat untuk melaku­kan eksplorasi dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya, dan kegiatan-kegiatan lainnya un­tuk eksplorasi dan eksploitasi eko­nomis zona tersebut seperti pem­bangkitan tenaga dari air, arus dan

• angm.

b. Yurisdiksi yang berhubungan de­ngan:

1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi­instalasi dan bangunan-ba­ngunan lainnya;

2. Penelitian ilmiah mengenai ke­lautan;

3. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

c. Hak-hak dah kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional.

(2) Sepanjang ....... . dan seterusnya.

(3) Di dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan in ternasional serta kebe­basan pemasangan kabel dan pipa di bawah permukaan laut diakui sesuai dengah prinsip-prinsip hukum laut in­ternasional yang berlaku".

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka ZEE Indonesia berada di luar wilayah Indonesia. Dilihat dari hukum laut internasional (publik) . hal ini kiranya sejalan pula dengan legaJ status daripada regiem ZEE yang merupakan regiem khusus (Sui generis) yaitu suatu perairan laut yang bukan lau t wilayah dan bukan laut bebas, tetapi merupakan kawasan

Page 15: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Penegakan Hukum di Laut

perairan yang berada di luar dan ber­batasan dengan laut wilayah negara pantai (dalam hal ini Indonesia) clan yang di dalamnya pad a satu pihak terdapat hak-hak berdulat dan yuris­diksi negara pantai (vide pasal 4 RUU) dan di lain pihak masih berlaku ke­giatan-kegiatan lain yang tunduk ke­pada ketentuan-ketentuan hukum laut internasional tentang Laut Bebas, se­perti kebebasan pelayaran, penerbang­an internasional dan pemasangan kabel dan pipa di bawah permukaan laut (vide pasal 4 ayat (3) RUU)

Walaupun RUU ZEE Indonesia me­muat ketentuan khusus acara pidana namun pengertian penyidikan di laut masih tetap didasarkan pada KUHAP (Undang-undang NO.8 Tahun 1981) tetapi dengan kekhususan tertentu yang disesuaikan dengan ' situasi dan kondisi di laut, di mana:

a. Penangkapan tidak hanya terhadap orang tetapi juga kapal yang diduga melakukan pelanggaran. Adapun yang diartikan penangkap­an meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan atau orang-orang di pe­labuhan di mana perkara terse but dapat diproses. Dalam pasal 73 Konvensi III Hu­kum Laut 1982 ayat (1) ditentukan sebagai berikut:

"(1) The coastal state may, in the exer­cise of its sovereign Right to ex­plore, exploit, conserve and ma­nage the living resources in the exclusive economic Zone, take such measures, including board­ing, inspection, arrest and judicial

d · " procee mgs. .. .

b. Pelaksanaan penangkapan tanpa su­rat perintah penangkapan yang di­keluarkan lebih dulu dengan men­cantumkan identitas tersangka dan menyebut alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan

15

yang dipersanaltakan. karena kapal perang R.I. yang berpatroli pada saat berangkat belum mengetahui siapa yang akan ditangkap.

Ketentuan ini mirip dengan keten­tuan mengenai tertangkap tangan, hanya proses penyerahannya tidak harus segera.

Proses penyerahan kapal dan atau orang-orang di laut tidak boleh mele­bihi 7 (tujuh) hari, berbeda dengan di darat menurut KUHAP jangka waktu­nya hanya 1 (satu) hari.

Dalam penjelasan pasal 13 RUU di­nyatakan:

"Jangka waktu maksimum tujuh hari diang­gap sebagai jangka waktu maksimal untuk menarik/menyeret suatu kapal dari jarak yang terjauh di/Zona Ekonomi Eksklusif sampai ke suatu pelabuhan atau pangkal-an ".

Dalam pasal 14 RUU juga diatur mengenai tahap penuntutan dan meng­adili, di mana masalah kewenangan mengadili didasarkan pada daerah hu­kUJ!1 pengadilan-negeri yang meliputi pelabuhan di mana dilakukan penahan­an terhadap kapal dan atau orang­orang yang ditangkap.

Bukan didasarkan di mana tempat pelanggaran hukum itu dilakukan dan tempat itu termasuk dalam suatu da­erah hukum pengadilan negeri.

Ketentuan seperti tercantum dalam pasal 14 (3) RUU terse but dapat di­pahami karena wilayah laut tidak ter­bagi-bagi dalam daerah administratif pemerintah daerah at au instansi-instan­si pengadilan.

Lebih-lebih di ZEE yang merupa­kan kawasan perairan di luar wilayah negara pantai. Jadi dalam penyelesai­an perkara tindak pidana tertentu di laut tidak dikenal kompetensi relatif sebagaimana lazimnya terdapat di da­·ratan.

Pebruari 1985

Page 16: PENEGAKAN HUKUM DI LAUT DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

.

16

a. Di dalarn rnenangani penegakan hu­kurn di laut perlu kiranya diperhati­kan situasi, kondisi , posisi dan po­tensi geografi daripada negara kepu-

lauan Indonesia, dengan pengertian bahwa perairan Indonesia dan per­airan sekitarnya sangat rawan terha­dap kernungkinan terjadinya pe­langgaran di bidang pertahanan dan kearnanan yang dapat terjadi sewak­tu-waktu tanpa dapat diperkirakan lebih dulu dan rnernpunyai penga­ruh yang luas terhadap stabilitas nasional.

b. Oleh karena itu di dalarn rnenangani rnasalah penegakan hukurn di laut tidak hanya berdasarkan pendekat­an secara yuridis tetapi juga hams dikilitkan dengan rnasalah pertahan­an-kearnanan nasional di laut.

c. Ketentuan bahwa Perwira TNI Ang­katan Laut adalah aparatur penegak hukurn di bidang penyidikan di Zo­na Ekonorni Eksklusif Indonesia rnempakan lex specialis terhadap KUHP dan sesuai dengan pasal 30 ayat 2 beserta penjelasannya dari Undang-undang Nornor 20 Tahun 1982 ten tang "Ketentuan-keten­tuan Pokok Pertahanan-Kearnanan Negara RI" dan Pasal 17 beserta penjelasannya dari Peraturan Perne­rintah Nornor 27 Tahun 1983 ten-

Hukum dan Pembangunan

tang "Pelaksanaan Kitab Undang-•

undang Hukurn Acara Pidana".

d. Ketentuan khusus acara pidana yang diatur dalarn RUU ZEE Indo­nesia tersebut rnerupakan keten­tuan hukurn bam yang sebelurnnya tidak ada dan pada hakekatnya rne­rupakan pengernbangan dari KU­HAP.

e. Masalah penegakan hukurn di laut khususnya di ZEE Indonesia tidak hanya dilihat dari segi hukurn saja tetapi juga hams dikaitkan dengan rnasalah pertahanan-kearnanan di laut dalarn rangka sistern nasional di laut dengan rnernberikan juga peranan kepada TNI-AL sebagai aparatur penegak hukurn (penyidik). Dilihat dari segi pertahanan-kea­rnanan RUU ZEE Indonesia ini su­dah rnernberikan pengarnanan bagi kepentingan nasional dan sesuai de­ngan ketentuan hukurn internasio­nal rnaupun nasional.

f. Untuk pentahapan jangka panjang perlu adanya suatu Kornando Tung­gal di bidang penegakan hukum di laut yang disebut Kornando Kea­rnanan Laut (Kokarnla) yang diben­tuk berdasarkan suatu perundang-

undangan dan berada di bawah De-parternen Hankarn dan dilaksana­kan oleh salah satu unsur Angkatan yang sesuai dengan kernatraannya.

,