pendeta -...

81

Upload: dangnguyet

Post on 03-Mar-2018

231 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Julianto Simanjuntak

Pendeta: Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Copyright © Julianto Simanjuntak

Penulis : Julianto Simanjuntak

Editor : Roswitha Ndraha

Penata letak : Tiyo W. Prasetyo

Desain sampul : Tiyo W. Prasetyo

Cetakan pertama, 2014

Dilarang memperbanyak sebagian atau

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari

Penulis/Penerbit sesuai dengan Undang-undang

Hak Cipta dan moral kristiani.

Alamat : Ruko Paramount Centre blok D10

Gading Serpong, Tangerang 15333

Email : [email protected]

Web : www.PelikanIndonesia.com

i

Buku ini dipersembahkan untuk:

Dari:

Pada tanggal:

ii

daftar IsI

Daftar Isi

Pengantar

ii

iii

1.

Pendeta:

Panggilan, Keluarga, dan Kepribadiannya

1

2.

Masalah Kepribadian Dalam Pelayanan

9

3.

Upah Hamba Tuhan

19

4.

Motivasi Pelayanan

31

5.

Cakap Bekerjasama

39

6.

Kedewasaan Rohani

51

7.

Kemalangan Pemimpin

59

Daftar Bacaan

65

Tentang Penulis 67

Testimonial 70

Visi Pelikan 74

S

iii

Pengantar

aya pernah memimpin jemaat selama

kurang lebih 5 tahun. Itu adalah masa

yang berat untuk saya. Tambahan

lagi, waktu itu saya baru menikah dan relasi

dengan istri kurang baik. Saya tenggelam

dalam pekerjaan yang berat, menyita waktu,

emosi, dan tenaga saya.

Ketika itu saya menganggap pelayanan

di atas segala-galanya. Kalau saya melayani

Tuhan dengan baik di gereja, maka Dia akan

membereskan segala sesuatunya untuk saya.

Belakangan saya baru menyadari, banyak pe-

mahaman keliru yang saya adopsi di masa

awal pelayanan adalah karena saya terlalu

sibuk melayani serta kurang waktu untuk

merenungkan maksud Bapa di surga untuk

hidup saya.

iv

Dalam pelayanan saya memenuhi undang-

an ke sejumlah gereja di tanah air, saya banyak

berkomunikasi dengan kolega saya, para

Pendeta, asisten Pendeta, Majelis, dan hamba

Tuhan dengan berbagai jabatan gerejawi.

Ternyata pergumulan mereka tidak berbeda

jauh dengan saya dulu. Dari merekalah saya

terinspirasi menulis buku ini.

Saya sudah berhasil keluar dari jebakan

pelayanan yang nyaris membuat keluarga saya

menjadi korban. Maka saya menulis buku ini.

Saya rindu agar Pembaca mewaspadai berbagai

hal dalam pelayanan, yang nampaknya baik,

tetapi sebenarnya berpotensi menjerumuskan

kita.

Selamat membaca. Kiranya buku ringkas

ini bermanfaat dan menjadi berkat.

Julianto Simanjuntak

P

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 1

I

Pendeta PanggIlan,

KePrIbadIan, dan

Keluarganya

endeta itu jabatan mulia. Dia adalah

pemimpin umat yang posisinya ter-

hormat. Pernah suatu ketika saya ber-

tanya pada seorang calon Pendeta yang masih

kuliah, "Apa alasan Anda masuk sekolah

Teologi?"

Jawabnya, "Jadi Pendeta itu enak, semua

tersedia dan terhormat pula." Mahasiswa

ini begitu lugu dalam mengungkapkan ke-

inginannya menjadi seorang Pendeta.

2 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Terlepas dari benar atau salah motivasi

seseorang menjadi Pendeta, jabatan ini

memang terhormat. Terutama dalam suku

atau kebudayaan tertentu yang memberi

tempat yang tinggi secara sosial pada seorang

Pendeta. Misalnya, lihat saja dalam perayaan

keagamaan dan kemasyarakatan misalnya,

Pendeta biasanya mendapat tempat duduk

istimewa.

Panggilan dan KelengKaPan diri

Lepas dari pandangan sosial budaya apa

pun, menjadi Pendeta adalah suatu panggilan

mulia. Sangat khusus. Tidak semua orang

mendapat panggilan ini. Yang dimaksud pang-

gilan adalah paduan antara anugerah (talenta)

dengan persiapan yang matang dari individu

masuk dalam pelayanan penuh waktu di

gereja.

Saat dipanggil menjadi rasul, Paulus se-

orang yang sudah cukup matang, baik dalam

pengetahuan maupun secara sosial dan mental.

Artinya dia sadar, yang perlu dilakukannya

setelah mendapat visi itu adalah melengkapi

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 3

diri secara rohani dan melatih kedekatan diri

dengan Tuhan. Jika keduanya diintegrasikan

maka hamba Tuhan menjadi matang. Bakat

tidak bisa mengabaikan panggilan (visi yang

jelas), dan panggilan tidak boleh mengabaikan

pentingnya pembentukan. Pembentukan yang

dimaksud adalah kelengkapan pengetahuan,

skill, dan kematangan kepribadian. Mereka

yang hanya mengandalkan panggilan, malas

belajar (sekolah) cepat atau lambat akan di-

tinggalkan umat. Sebaliknya mereka yang

hanya mengandalkan skill dan gelar, tanpa

visi atau panggilan yang jelas, akan mudah

bosan dan tergoda melakukan karir yang

menghasilkan lebih banyak uang.

Fungsi Pendeta

Ada tiga fungsi Pendeta yang khusus dan

membuatnya menjadi penting dalam jemaat.

Pertama, ia menyampaikan Firman Tuhan

atau berkotbah. Ia mengajarkan kebenaran

Firman Tuhan dalam berbagai komisi dan

acara. Dalam hal ini Pendeta berfungsi layaknya

seorang Nabi, menjadi perantara antara Tuhan

4 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

dan manusia, serta menyampaikan kebenaran

Firman Tuhan.

Kedua, Pendeta menjadi tempat curhat

(konseling) dan meminta doa. Kadang, Pendeta

juga menjadi tempat jemaat mengadukan

kegagalannya dan minta didoakan.

Ketiga, dalam sistem pemerintahan gereja

tertentu, ada di antara Pendeta menjadi Ketua

Majelis Jemaat. Ini berarti bertugas juga sebagai

organisator, pemimpin umum dari seluruh

organisasi gereja. Tak jarang pula dalam sistem

Sinode gereja tertentu Pendeta dipercaya

mengelola keuangan gereja, layaknya sebagai

owner atau pendiri. Dalam kondisi seperti

ini kematangan dan integritas hamba Tuhan

diperlukan. Kalau tidak, dia terjebak ke dalam

dosa memperkaya diri sendiri secara tidak

halal.

Mitos tentang Pendeta

Tanpa disadari, sebagian umat menghormati

Pendeta dilatarbelakangi unsur magis. Ini bisa

dimengerti karena sebagian orang Kristen

berasal dari agama suku. Mereka menganggap

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 5

Pendeta bisa memberi doa berkat hingga doa

pengusiran setan. Doa Pendeta dianggap lebih

berkhasiat daripada doa majelis apalagi jemaat

biasa. Ini adalah hasil pendidikan Teologi yang

salah, tapi masih banyak dihidupi jemat.

Tak heran, jemaat senang bisa memberi

persembahan uang atau barang. Konsepnya,

dengan memberi uang pada hamba Tuhan nanti

mereka akan mendapat berkat berlipat ganda.

Tapi ada juga yang memberi dengan konsep

yang benar. Dia memberi kepada Tuhan, salah

satunya adalah dengan menyejahterakan

Pendeta. Bukan supaya diberkati Tuhan, tapi

karena merasa sudah diberkati dan ingin

menjadi berkat bagi hamba Tuhan.

Kadang Pendeta menjadi obyek belas

kasihan umat. Karena mereka melihat Pendeta

itu terhormat, tapi gajinya tak seberapa.

Akibatnya saat belanja di toko atau berobat

di Rumah Sakit mereka digratiskan. Apakah

ini bijak atau tidak, masing-masing individu

punya alasan. Ada yang suka tapi ada juga

yang merasa tidak nyaman. Jadi tetap memilih

membayar, atau setidaknya cukup nyaman

6 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

mendapat keringanan harga.

Dalam kondisi seperti ini Pendeta perlu

mengajarkan umatnya pemahaman teologi

yang benar tentang bagaimana memandang

Pendeta. Bahwa setiap orang itu adalah hamba

Tuhan karena penebusan Kristus. Perbedaan

posisi tidak membuat Pendeta lebih tinggi

dari lainnya. Tetapi setiap orang diberi talenta

yang digunakan bersama untuk membangun

jemaat.

disorot

Namun di sisi lain, Pendeta, apalagi

Gembala, mendapat banyak sorotan dan

tuntutan dari jemaat. Setiap perilaku dan

tutur kata Pendeta diperhatikan. Sebagian

jemaat yang kurang dewasa kadang ter-

sandung melihat kekurangan Pendeta atau

keluarganya. Mereka ini adalah kelompok

yang menuntut kehidupan Pendeta tidak

boleh salah. Kekurangan mereka akan menjadi

bahan pembicaraan di antara jemaat. Tetapi

yang matang secara emosi dan rohani tidak

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 7

akan terjebak pada gosip demikian. Mereka

lebih memilih saluran yang benar seperti

membicarakan dalam rapat majelis.

Intinya, kehidupan Pendeta seperti etalase

toko yang dilihat secara jernih dan terang

benderang oleh jemaat. Atau seperti ikan

yang hidup dalam aquarium yang ditonton

banyak orang. Akibatnya, mau tidak mau, dari

Gembala dituntut kematangan dan kesiapan

seluruh anggota keluarga menjadi teladan bagi

jemaat. Sebab kritik dan rasa tidak suka akan

selalu ada dari anggota jemaat. Kedewasaan

Pendeta dan sistem keluarga yang sehat akan

tetap membuat si Pendeta dan keluarganya

kuat.

Penulis sendiri merasa beruntung (baca:

bersyukur) dipanggil menjadi Pendeta. Keba-

hagiaan itu selalu saya ungkapkan kepada

anak-anak dan banyak orang. Itu hak istimewa

yang diberikan Tuhan kepada orang-orang

tertentu. Meskipun banyak tantangan, unsur

panggilan ini bisa menjadi stabilizer atau

penyeimbang, agar tetap bertahan dalam

pelayanan di jemaat.*

8 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

K

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 9

II

Masalah KePrIbadIan

dalaM Pelayanan

eberhasilan seseorang dalam pela-

yanan tidak melulu karena faktor

spiritualitas. Juga tidak hanya ber-

gantung pada iman atau kerohanian individu

semata. Tapi berkaitan erat juga dengan

kepribadiannya. Ini adalah unsur penting yang

menentukan keberhasilan dalam teamwork.

Jika kepribadian Anda tidak matang, Anda bisa

mengganggu rekan kerja lainnya, atau menjadi

penghambat berkat Tuhan dalam kelompok

saudara atau menghalangi semangat orang

yang melayani dengan baik di kelompok

10 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Anda. Dalam Mazmur 133 ditegaskan, dalam

komunitas yang rukun berkat turun.

Ingat, saat seseorang bekerja di komunitas

sosial atau keagamaan, ia tidak selalu (mampu)

hanya melihat Tuhan. Ia juga memandang

manusia dengan siapa dia bekerja sama. Setiap

orang dalam kelompok punya persepsi, cara

berpikir, perasaan, dan keyakinan berbeda.

Jika kesalahpahaman atau perbedaan pendapat

tidak dikelola dengan baik, maka seseorang

bisa merasa terganggu dan merasa tidak nya-

man. Bila situasi demikian berlangsung lama

dan berulangulang dapat menghilangkan se-

mangat bagi individu tertentu melayani di

komunitas. Apalagi jika ini berkaitan dengan

pelayanaan sosial yang semuanya bekerja

secara sukarela.

Orang tersebut dapat mundur teratur,

dengan segala alasannya. Bahkan bisa meng-

hilang begitu saja tanpa pamit. Bagi individu

tertentu, memberi waktu melayani Tuhan

dan sesama di lembaga keagamaan tanpa di-

bayar sudah merupakan satu pengorbanan.

Dia memberi diri secara sukarela. Tapi jika ia

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 11

kemudian merasa "dikorbankan" seseorang

yang kepribadiannya tidak matang, peristiwa

ini bisa mementahkan motivasinya.

Tidak semua orang cakap mengelola kon-

flik. Tidak semua individu yang bersama kita

matang secara emosi. Hal inilah membuat in-

dividu tertentu sensitif dengan konflik. Sebut

saja contoh, mereka yang dibesarkan dalam

keluarga yang broken home, terbiasa melihat

orang tuanya bertengkar. Individu ini akan

sensitif berada di satu lembaga atau organisasi

yang sarat konflik. Terutama konflik antar

pemimpin yang ia hormati. Ia akan mudah

teringat pada orang tuanya yang sering ribut.

Ini membuatnya menjadi tidak nyaman.

Lalu kepribadian apa saja yang dapat men-

jadi penghambat dalam pelayanan bersama?

1. Kaku, merasa paling benar sendiri.

Orang seperti ini biasanya sangat doktrinal,

berpikiran sempit, dan berwawasan ku-

rang luas. Jika ada perdebatan, dia suka me-

nyerang pendapat teman, maunya menang

sendiri dan cenderung keras kepala.

2. Curigaan, suka berprasangka buruk.

12 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Individu yang curigaan sensitif jika tidak

dilibatkan dalam berbagai aktifitas, mudah

merasa disingkirkan. Dia juga suka me-

nuduh seseorang tanpa dasar yang jelas.

3. Minder.

Pribadi yang inferior biasanya mudah

tersinggung dan enggan menyelesaikan

masalah. Dia pendendam dan lama me-

maafkan teman.

4. Pribadi yang kasar dan pemarah.

Ini adalah seseorang yang penuh luka di

masa lalu tapi tak pernah selesai. Emosi

yang penuh kemarahan tersembunyi ini

mudah meledak sewaktu-waktu. Apalagi

jika disertai self esteem yang rendah, mem-

buat kemarahan makin parah. Kalau marah

ia suka mengeluarkan katakata kasar dan

menyakitkan, termasuk memaki.

5. Sindrom "anak sulung".

Di rumah dia diandalkan orang tua, diang-

gap jadi pengganti ayah atau ibu di hadapan

adik-adiknya. Dia berjasa di rumah atau

terbiasa menjadi Direktur dan pemimpin di

kantor. Saat berada di komunitas gereja atau

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 13

sosial lainnya, ia cenderung selalu mau jadi

Ketua. Kalau sudah jadi pemimpin, enggan

turun jabatan. Dia selamanya ingin jadi

orang yang mengatur. Kalau pendapatnya

diabaikan, ia bakalan marah besar.

6. Sindrom sinterklas.

Mereka yang terlalu berjasa di sebuah

lembaga sosial. Sebut saja donatur gereja

terbesar atau orang yang kaya dan suka

nyumbang. Ia merasa diri banyak berkorban.

Sayangnya kebaikannya tidak seimbang

dengan kematangan emosinya. Orang de-

mikian cenderung sok ngatur. Kadang-

kadang dengan terus terang (kelihatan)

atau pun diam-diam. Kalau dia tidak di-

dengarkan, dia akan mudah tersinggung.

Lalu kalau ia mulai tidak senang dengan

seseorang, maka ia malas menyumbang

dan mundur dari pelayanan.

7. Merasa insecure.

Ini adalah pribadi yang kurang kasih sayang

di masa kecilnya dan mengalami banyak

tekanan dan trauma dalam keluarga. Mi-

salnya ia dibeda-bedakan dari kakaknya.

14 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Saat dewasa dan menjadi sukses karena

pintar, cenderung ia tidak mau disaingi.

Dia mudah merasa tertekan ketika ada

seseorang yang melebihi dirinya. Maka ia

cenderung mau menyingkirkan siapa saja

yang dapat mengancam jabatannya, bahkan

dengan alasan-alasan yang dicari-cari atau

rohani.

MengeMbangKan Kecerdasan eMosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan

individu untuk dapat menyelesaikan secara

efektif dan efisien situasi hidup yang berubah-

ubah. Stenberg mengartikannya sebagai

“kapasitas untuk belajar dari pengalaman,

dan kemampuan mengadaptasi terhadap ling-

kungan.”

Menurut Goleman, kecakapan atau kesuk-

sesan manusia lebih ditentukan oleh EQ

daripada IQ (80:20). Ketrampilan emosional

menentukan seberapa baik kita menggunakan

kterampilan atau talenta yang kita miliki,

termasuk intelektual yang belum terasah.

Emotional Intteligence dipelajari dan di-

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 15

kembangkan sejak kanak-kanak. Keluarga

adalah basis utama pembentukan kecerdasan

emosional. Mendidik anak agar memiliki

kecerdasan emosi ini menurut Lawrence

Shapiro dalam buku “Mengajarkan Emotional

Intelligence Pada Anak” adalah melalui kasih

sayang dan disiplin afirmatif.

unsur-unsur Kecerdasan eMosi

1. Mengenali emosi diri: mengenali perasaan

sewaktu peristiwa terjadi. Dia mampu

mengakuinya secara tepat, kepada orang

yang tepat dan pada waktu yang tepat.

2. Mengelola emosi: individu mengungkapkan

perasaannya dengan pas, baik emosi

negatif maupun positif. Ada tiga emosi

negatif utama: marah, sedih, dan kecewa.

Kemampuan mengelola emosi ini membuat

seseorang mampu mengatasi kemarahan,

tanpa merusak baik dirinya maupun orang

lain.

3. Memotivasi diri sendiri: menata emosi

agar mencapai tujuan ( punya kendali diri

emosional). Ia mampu menyesuaikan diri

16 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

dalam berbagai situasi dan memanfaat-

kannya untuk mendapatkan hasil yang

lebih baik.

4. Mengenali emosi orang lain (empati):

dia mampu menangkap sinyal sosial yang

tersembunyi yang mengisyaratkan apa apa

yang dibutuhkan atau dikehendaki orang

lain. Dia cakap bersukacita dengan mereka

yang bersukacita, menangis dengan mereka

yang menangis.

5. Membina hubungan dan bekerja sama:

dia memiliki ketrampilan yang menunjang

keberhasilan antarpribadi dan mampu

mengelola konflik dengan baik. Kecerdasan

emosional menambahkan jauh lebih

banyak sifat yang membuat seseorang

lebih manusiawi, punya kemampuan

berpikir analitis, yang digunakan untuk

memecahkan problem. Dia dapat berpikir

kreatif yang digunakan untuk memutuskan

problem. Juga mampu berpikir praktis,

cakap menemukan jalan keluar, dari konflik

menjadi efektif. Orang demikian tahu kapan

dan bagaimana menggunakan kemampuan

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 17

mereka, tidak untuk mencari keuntungan

diri. Mereka memiliki identitas diri yang

unik dan mampu belajar dari kegagalan

atau kekurangan orang lain. Mereka tahu

bagaimana membuat pekerjaan mereka

dengan baik dan menemukan cara men-

capainya di tengah keterbatasan, serta ca-

kap mengelola konflik.

Mengubah cara Pandang

Masalah-masalah yang muncul dalam

pelayanan juga dipengaruhi oleh relasi

hamba Tuhan dengan istri atau suaminya.

Untuk mengelola pelbagai perbedaan yang

berpotensi menimbulkan konflik mereka

perlu belajar menyamakan persepsi dan nilai

terhadap sesuatu hal. Apakah itu memandang

iman atau keyakinan, soal benar-salah. Juga

memandang uang atau harta.

Pertama, masing-masing perlu menyadari

bahwa kebenaran manusia itu relatif. Hanya

kebenaran Tuhan yang absolut. Masing-masing

yakin bahwa manusia itu terbatas, dan tidak

mungkin pernah memiliki kebenaran yang tak

18 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

terbantah. Artinya masing-masing tidak boleh

merasa benar sendiri.

Kedua, Anda perlu menyadari bahwa cara

memandang satu peristiwa bisa dengan sudut

pandang yang berbeda. Karenanya perlu me-

miliki dan menumbuhkan empati, dan diawali

dengan belajar saling mendengarkan.

Ketiga, membuang sifat yang suka meng-

hakimi, menyalahkan dan menyerang motif

orang lain. Masing-masing perlu menumbuh-

kan keyakinan bahwa orang lain mempunyai

motivasi yang sehat dan patut dihargai.

Keempat, mengembangkan kecerdasan so-

sial dan membuang sifat cemburu.

Yang terakhir, mengembangkan persekutu-

an iman dan kehidupan doa yang baik.*

L

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 19

III

uPah haMba tuhan

Anak cucunya akan perkasa di bumi;

angkatan orang benar akan diberkati.

Harta dan kekayaan ada dalam rumahnya,

kebajikannya tetap untuk selamanya.

(Mazmur 112:13)

ewi adalah suku yang dikhususkan un-

tuk melayani di rumah ibadat umat

Israel. Mereka hidup dari persembahan

umat Tuhan. Masa kini kita mengenal istilah

"hamba Tuhan", yang menunjuk kepada

mereka yang bekerja secara penuh waktu di

gereja atau lembaga gerejawi.

Banyak dilema yang kita dengar dari kehi-

20 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

dupan pribadi dan keluarga hamba Tuhan.

Tulisan ini khususnya membahas sisi per-

gumulan dan rezeki anak-anak yang orang

tuanya bekerja sebagai pengerja penuh waktu

di Gereja, yaitu keluarga Pendeta, penginjil

atau pengerja gereja. Dalam bahasa gaul

Perjanjian Lama, anak-anak hamba Tuhan

disebut juga "keturunan Lewi".

Terkadang di ruang konseling atau seminar

kami menjumpai anak hamba Tuhan atau

Pendeta (Gembala Jemaat) trauma melihat

kehidupan orang tuanya. Kehidupan keluarga

mereka penuh dinamika, tantangan, kesulitan,

termasuk kekurangan finansial. Tapi yang

lebih menekan perasaan adalah saat melihat

jemaat terlalu banyak menuntut ayah atau

ibunya. Waktu mereka dikuras habis untuk

mengurus jemaat, sampai untuk anak-anaknya

hanya tinggal sisasisa waktu saja. Berlibur jadi

barang mewah bagi keluarga hamba Tuhan.

Lebih menyakitkan lagi, saat mendengar

orang tua yang sudah berkorban banyak bagi

umat, digunjingkan ke sana-sini. Kesalahan

mereka dicari-cari. Seolah-olah hamba Tuhan

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 21

tak boleh salah. Terpeleset sedikit langsung

masuk "Dunia Dalam Berita", digosipkan. Ke-

tika kabarnya sampai ke telinga anak, mereka

terpukul sedih melihat ayah atau ibu mereka

mendapat cobaan berat.

Kami juga menemukan, anak-anak yang

tertekan akibat pengalaman di atas, setelah

dewasa menjadi sadar, bahwa itulah risiko

pekerjaan orang tua mereka. Anak-anak itu

lantas belajar mengambil hikmahnya. Tak

jarang mereka malah menyatakan, bahwa

mereka sungguh bangga dan bersyukur

melihat perjuangan dan dedikasi orang tua

mereka.

Anak-anak hamba Tuhan yang lain me-

nyaksikan keindahan menjadi keluarga ham-

ba Tuhan. Ada beberapa pengalaman kami

bergaul dengan mereka yang ayah dan ibunya

bekerja sebagai Pendeta penuh waktu di

gereja.

Pertama, dihormati. Firman Tuhan berkata,

"betapa indahnya kedatangan pembawa

kabar baik." Umumnya Pendeta atau Gembala

punya strata sosial yang tinggi di masyarakat.

22 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Karena sang ayah atau ibu dihormati karena

panggilan dan pengabdian, maka anak-anak

ikut menikmati "cipratan"-nya. Mereka ikut

dihargai.

Kedua, dipelihara lewat jemaat. Meski

penghasilan sebagian Gembala Jemaat ter-

batas atau pas-pasan, hidup mereka re-

latif cukup, baik untuk pangan, papan,

pendidikan hingga kebutuhan rekreasi. Sebab

ada saja berkat yang mereka terima. Baik

lewat persembahan khusus di gereja atau saat

mengadakan pelayanan di rumah umat. Tak

jarang kebutuhan rumah sehari-hari mereka

diperhatikan jemaat. Di desa misalnya, sudah

biasa jemaat mengirim makanan atau sayur

dan beras hasil ladang. Mereka yang melayani

dengan baik biasanya diperhatikan pula

dengan baik.

Ketiga, mendapat apresiasi. Ibu mertua

saya seorang penginjil dan guru agama.

Meski bukan pengerja penuh waktu di gereja,

nenek Joseph dan Moze rutin memberitakan

Firman, berkotbah dari satu tempat ke tempat

lain di seantero Jakarta hingga keluar kota.

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 23

Setidaknya para mahasiswa ayah mertua di

salah satu instansi Kementrian Dalam Negeri,

rutin mendapat siraman rohani dari ibu

mertua.

Penulis rutin berkeliling memberi seminar

dan mengajar. Sudah ke-25 propinsi dan 80

kota kami jalani. Tak jarang kami bertemu

mantan murid dari ayah mertua, dan mereka

yang dilayani ibu mertua memberi apresiasi,

bentuknya bukan hanya dengan pujian dan

kata-kata, tapi juga mereka melayani kami.

Tahun 2004 mereka yang pernah dilayani

mama dan diajar papa, membantu kami

sekeluarga keliling dan berlibur di Pulau Bali,

hampir seluruh kabupaten yang ada di Bali.

Puji Tuhan!

Keempat, mengalami berkat janji Firman.

Mereka yang setia melayani, dijanjikan Tuhan

berkat khusus hingga keturunannya. Seperti

Tuhan berjanji kepada Abraham, demikianlah

keturunan hamba Tuhan diberkati. Tidak saja

secara finansial, tapi juga kesehatan mental,

sosial dan spiritual. Anak dari keluarga hamba

Tuhan, biasanya yang pertama mendapat

24 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

taburan firman di rumah. Sehingga mendapat

kekuatan dari janji-Nya. Buahnya ialah mereka

dibentuk menjadi keturunan yang beriman

dan berpengharapan kepada Janji Tuhan.

Kelima, mendapatkan komunitas yang re-

latif sehat. Anak-anak Pendeta menyaksikan

bahwa mereka menikmati lingkungan yang

relatif sehat. Mulai dari Sekolah Minggu

hingga komunitas pemuda dengan aktifitas

yang melindungi mereka dari pergaulan yang

salah. Mereka terbiasa aktif melayani di gereja

mendukung ayah dan ibunya.

Keenam, mendapat kemudahan dan fasi-

litas khusus. Tak jarang karena dihormati,

keluarga hamba Tuhan menikmati fasilitas

khusus. Kami pernah berkali-kali mendapat

pinjaman rumah, wisma hingga hotel untuk

menginap secara gratis. Mendapat harga

khusus atau diskon karena mereka mengenal

kami dengan baik, hingga voucher khusus

untuk berlibur, dan pendidikan anak-anak.

Tak jarang umat yang kami kenal merasa

berbahagia bisa memberi kepada hamba

Tuhan dan keluarganya.

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 25

tidaK bersandarKan gaji,

taPi berKat tuhan

Gaji yang minim di kalangan Pendeta, Peng-

injil dan Pengerja gereja umumnya fenomena

yang menarik perhatian saya selama 10 tahun

terakhir ini. Saya sendiri pernah bekerja se-

bagai Gembala sebelum memilih karir sebagai

konselor. Juga pernah menjadi Wakil Sekretaris

Umum Sinode gereja kami.

Minim atau tidak memang sesuatu yang

relatif. Sebab gaji yang diberikan tergantung

banyak hal, terutama aturan gereja. Yang

menarik, beberapa gereja enggan meng-

gunakan istilah gaji atau salary kepada hamba

Tuhan di gereja. Mereka lebih suka memakai

istilah persembahan kasih.

Pertimbangan besaran gaji atau salary

hamba Tuhan biasanya berdasarkan: geografi,

kondisi keuangan jemaat, strata pendidikan,

jabatan, dan fungsi yang diberikan. Fenomena

ini menarik karena ada ketimpangan atau gap.

Beberapa gereja mampu memberikan salary

di atas sepuluh juta rupiah per bulan. Bahkan

di beberapa denominasi gereja sang Gembala

26 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

bisa mendapat ratusan juta rupiah per bulan

sebab kebijakan gerejanya mengizinkan selu-

ruh persepuluhan untuk sang Gembala. Gere-

ja lain, terutama di desa dan gereja kecil hanya

mampu memberikan salary dari ratusan ribu

hingga satu juta rupiah. Selama pemberian

salary sesuai kesepakatan, tidak ada yang

salah.

Tetapi ada beberapa fenomena menarik

ingin saya sharing-kan, khususnya kasus

yang kami jumpai dalam percakapan pribadi

dengan para pengerja gereja.

Pertama, gaji yang minim ikut mempe-

ngaruhi harga diri. Apalagi jika cukup banyak

jemaat gereja tersebut tergolong berpunya.

Ini mempengaruhi kepemimpinan sang

Gembala. Bisa timbul keraguan saat majelis

atau pengurus memutuskan sesuatu yang

penting. Mereka cenderung membiarkan

anggota majelis yang kaya dan berpengaruh

untuk memutuskan. Padahal mereka tahu itu

keputusan yang salah.

Kedua, ada jemaat mengritik Gembala/

pengerjanya. Gembala dituding lebih sering

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 27

mengunjungi keluarga jemaatnya yang kaya.

Padahal sebenarnya tidak demikian. Meski

ada kasus, tentu tidak bisa digeneralisasikan.

Akibatnya hamba Tuhan akan hati-hati mene-

rima undangan, khusus dari jemaat yang

berpunya.

Ketiga, sulit mengembangkan diri, terutama

jika terpaksa membeli buku atau mengikuti

seminar bermutu. Tentu ini mempengaruhi

kualitas kotbah dan kapasitas pembinaan para

pengerja.

Keempat, ada fenomena Gembala (atau

pejabat gereja di tingkat yang lebih tinggi)

suka dekat dengan pejabat daerah (camat

hingga gubernur) atau anggota dewan karena

dianggap sumber persembahan utama gereja.

Akibatnya ada rasa sungkan menegur saat

yang bersangkutan terlibat korupsi atau pe-

langgaran moral lain. Para pejabat ini biasanya

diminta jadi panitia pembangunan gereja atau

lainnya.

Kelima, di beberapa daerah ada pengerja

gereja keluar dan berhenti menjadi Gembala.

Mereka kemudian memilih menjadi pegawai

28 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

negeri, anggota dewan atau berbisnis. Tentu

kita tidak boleh menghakimi atau menya-

lahkan, sebab kita tidak tahu persis situasi dan

panggilan mereka.

Keenam, sulit menyekolahkan anak di

tempat yang baik. Hamba Tuhan tentunya

ingin anak-anaknya punya masa depan yang

baik. Bagaimana kalau di daerah itu tidak ada

sekolah lanjutan? Apakah ini tidak dipikirkan

oleh pemimpin gereja regional atau sinodal?

Ketujuh, pergumulan istri hamba Tuhan

yang harus mampu mengelola keuangan yang

minim agar cukup. Jangankan memikirkan

investasi (menabung), untuk membeli perias

wajah atau ke salon saja tidak cukup. Padahal

itu salah satu kebutuhan perempuan, agar

tetap menarik bagi suaminya. Demikian juga

kebutuhan rekreasi, masih jauh dari harapan.

Padahal itu kebutuhan mendasar keluarga

pemimpin gereja.

Kedelapan, di beberapa gereja lokal suami

dan istri yang sama-sama Pendeta terpaksa

berpisah dengan alasan penempatan oleh

atasan. Hal ini dikeluhkan beberapa Pendeta

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 29

yang hadir di seminar kami. Mereka heran,

mengapa pimpinan Sinode tidak paham

bahwa hal ini merusak sistem keluarga mereka.

Namun di sisi lain mereka tidak berdaya

membantah atasan. Situasi ini membuat ayah

berpisah dengan anak, istri berpisah dengan

suami. Menyedihkan sekali. Di sisi lain, me-

reka tidak berani mundur atau keluar dari

kependetaan, karena masih perlu gaji untuk

membiayai kehidupan dan sekolah anak-anak.

Sungguh dilematis.

Dalam situasi ini, Penulis menyarankan agar

salah satu dari mereka berani menggumuli

pelayanan dalam bentuk lain, tidak harus di

penggembalaan. Misalnya, mengajar di se-

kolah, mengembangkan kemampuan memberi

training atau seminar. Atau barangkali ada

talenta menulis, dan sebagainya. Bisa juga

keluar dari penggembalaan, kemudian mem-

buka yayasan pelayanan sosial yang dibutuhkan

masyarakat, seperti pusat konseling. Tentu

sebelumnya mereka perlu studi lanjut bidang

konseling. Jadi ada banyak cara menyiasati

masalah ini.

30 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Ini hanya beberapa fenomena yang saya

amati sepintas. Mungkin baik dikaji oleh

para pengurus dan pemimpin gereja. Hal

yang penting ini perlu dibicarakan secara

terbuka. Semoga ini menjadi pertimbangan

para pemimpin Sinode/Wilayah/Daerah dalam

menyusun kebijakan keuangan gereja. Juga

baik untuk para majelis gereja yang berwenang

dalam memutuskan besaran kesejahteraan

pengerja gereja.*

D

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 31

IV

MotIVasI Pelayanan

i ruang konseling tak jarang klien

mengeluhkan pasangannya, seorang

yang sangat aktif beribadah dan

melayani di gereja bahkan menjadi Pendeta

Jemaat, tapi jabatan dan aktifitas itu sama

sekali tidak mengubah kepribadiannya. Lalu

apa yang salah? Tulisan ini ingin menjawab

sebagian pergumulan di atas.

Dalam perjalanan ke beberapa kota saya

melihat satu fenomena. Banyak brosur ter-

pampang di gereja atau toko buku rohani

berisi undangan ibadah yang dikemas dengan

banyak artis dan testimoni yang hebat dan

menarik. Saya sendiri kadang hadir di sana.

32 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Tentu tidak ada masalah jika artis dan

kesaksian tersebut disediakan sebagai pen-

dukung acara. Namun dalam realita yang

terjadi sebaliknya. Jemaat lebih tertarik kepada

artis, dan orang yang bersaksi. Bahkan, panitia

memberikan waktu lebih banyak untuk artis

dan pembawa kesaksian daripada kotbahnya.

Tak heran umat yang hadir membludak.

Namun dalam acara yang minus artis atau

kesaksian spektakuler, pengunjung gereja

kembali normal.

Kebaktian atau seremoni ibadah akhirnya

berubah menjadi tontonan, bukan lagi tun-

tunan. Seharusnya umat dituntun mengenal

Tuhan dan kebenaran-Nya, serta datang

kepada-Nya. Namun kenyataannya ibadah

disuguhkan sebagai tontonan. Fokus bukan

lagi Tuhan, tetapi pada berkat dan kesaksian.

Ibadah berubah tidak bedanya seperti ajang

hiburan, tempat manusia melepaskan katarsis,

melupakan beban hidup atau menghilangkan

kelelahan. Jemaat senang karena bisa me-

lampiaskan emosi saat bernyanyi bersama sang

artis. Mereka gembira karena dapat bertemu

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 33

dengan "teman senasib", yakni mereka yang

membawa kesaksian.

Umat tanpa sadar memperlakukan gereja

layaknya mal. Mereka ke gereja seperti meng-

unjungi sarana hiburan. Mana gereja yang

besar dan lengkap serta nyaman, mereka ke

sana. Konsep bergereja yang kabur membuat

beberapa orang merasa oke-oke saja berpin-

dah-pindah gereja. Ibadah menjadi sarana

mencari kenyamanan dan penerimaan, bukan

lagi persekutuan dan pelayanan. Juga tidak

lagi bersandarkan Firman.

Firman Tuhan berkata, Allah akan mena-

rik hati banyak orang jika Dia menjadi pu-

sat perayaan ibadah, bukan manusia dan

seremoni. Jika Yesus ditinggikan, Ia akan

menarik semua.

Kebaktian yang benar menjadikan Tuhan

dan Firman sebagai sentral. Persekutuan

dan ibadah menjadi tuntunan, sarana meng-

antarkan umat mengenal kebenaran-Nya.

Jikalau tidak, maka proses mencuri ke-

muliaan Allah sedang terjadi. Ibadah hanya

tontonan, Tuhan diperlakukan seperti artis

34 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

yang kerap mendapat tepukan tangan yang

tidak berarti apa pun mengubah hati umat.

Liturgi dikemas untuk menyenangkan orang

yang memimpin acara. Semua ini lebih banyak

di alam bawah sadar, sehingga selalu terlambat

menyadarinya.

ibadah yang salugeniK dan

PatogeniK

Ada dua jenis sifat agama ataupun ibadah

yang berkembang di sekitar kita. Pertama,

agama salugenik. Ini sejenis agama yang di-

hayati secara batiniah oleh pengikutnya, dan

menghasilkan kesehatan mental dan per-

tumbuhan iman. Agama ini disebut intrinsik,

karena nilai-nilainya dihayati dan diresapi

hingga terwujud dalam hidup sesehari, bukan

sekedar seremoni. Ibadah dalam agama ini

tidak saja fokus pada ritual tapi mengubah

hidup pengikutnya. Ibadah ini membangun

penganutnya dan mempengaruhi orang di

sekitarnya ke arah yang lebih baik. Agama

yang menjadi berkat.

Agama batiniah ini mempengaruhi keluarga

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 35

dan karir menjadi lebih baik. Membuat orang

yang menghayatinya hidup harmonis dan

sehat baik bagi individu dan sekitarnya. Sehat

secara fisik, moral dan mental. Sifat ibadah

intrinsik umumnya tidak menonjolkan ritual

semata tapi terasa garamnya bagi masyarakat.

Beberapa hasil penelitian di barat membuk-

tikan, bahwa penghayatan agama salugenik

sangat signifikan terhadap masalah kesehatan

mental. Juga terhadap rendahnya angka

bunuh diri, terhindar dari penggunaan drugs

dan alkohol, dan kepuasan pernikahan.

Sebaliknya ada jenis keagamaan yang,

penghayatannya bersifat patogenik. Agama

yang dihayati secara tidak seimbang (ekstrem).

Ini justru menghambat pertumbuhan. Peng-

hayatan lebih menekankan pada doktrin, ritual

dan kurang peduli pada aplikasi kehidupan

sehari-hari. Yang penting hanya pemuasan

rohani secara individual. Jemaat merasa senang

jika kebutuhan katarsis emosinya terpenuhi.

Kewajiban agamanya bisa dijalankan secara

teratur, apakah itu doa, baca firman, memberi

persembahan, dan lainnya. Soal apakah kehi-

36 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

dupan ibadah menyatu dengan perilaku sosial,

tidaklah penting.

Model keberagamaan seperti ini mudah

ditunggangi oknum-oknum tertentu seperti:

a. Mempolitisasi agama untuk kepentingan

politik tertentu.

b. Memajukan bisnis dan memperkaya pri-

badi.

c. Menutupi kejahatan korupsi, dan lainnya.

Jangan heran, pengikutnya sulit menyadari

bahwa gereja sudah dijadikan lahan bisnis

dan mencari keuntungan oleh pemimpin me-

rangkap owner. Aset gereja tidak lagi milik

kolektif umat, tapi menjadi milik pribadi dan

bisnis keluarga. Ini jauh dari tujuan bergereja

menurut Kitab Suci.

Penghayatan beragama yang mengandung

sifat patogenik menumbuhkan sikap memen-

tingkan diri sendiri. Mereka mengutamakan

kelompok agamanya, dan memandang ren-

dah sesamanya. Lihat saja sejarah konflik antar

agama di pelbagai tempat. Tak jarang juga ter-

jadi konflik antarkelompok gereja, saling “curi

domba” dan mengklaim diri ajarannya paling

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 37

benar.

Sebenarnya dipandang dari sudut ilmu so-

sial, agama adalah sebagai salah satu lembaga

yang paling kuat untuk mempengaruhi peri-

laku masyarakat. Namun sayangnya perilaku

sebagian pemimpin agama justru tidak men-

jadi panutan bagi pengikutnya.*

38 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

M

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 39

V

CaKaP beKerjasaMa

anusia itu unik karena ia berbeda.

Perbedaan itu terjadi karena punya

latar belakang tertentu: sistem ke-

luarga, pendidikan, ekonomi, minat, moral,

iman, kapasitas, dan sebagainya. Oleh karena

itu, untuk dapat bekerja sama kita perlu mema-

hami latar belakang orang yang menjadi rekan

kerja kita.

Karena kita berbeda maka konflik tak bi-

sa dihindarkan. Konflik itu sehat, dinamis

dan membuat relasi bertumbuh asal kita ca-

kap mengelolanya. Untuk memahami latar

belakang rekan sepelayanan, kita perlu sedikit

banyak memahami psikologi perkembangan,

40 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

latar belakang dan sistem keluarga yang mem-

besarkan mereka. Termasuk di sini mengerti

visi dan aspirasi mereka dalam bekerja atau

melayani. Tanpa mengenal dengan baik, maka

cepat atau lambat konflik bisa merusak relasi.

suMber KonFliK

Ada banyak sumber konflik dalam sebuah

organisasi pelayanan. Tapi tak jarang sifat

cuek dan egoisme pemimpinlah yang menjadi

pemicu konflik karena kurang tahu latar bela-

kang dan aspirasi team kerja mereka.

Minimnya evaluasi dan fokus yang ber-

lebihan pada program ( proyek) membuat tak

jarang pemimpin mengabaikan orang-orang

yang dia pimpin. Kepuasan pemimpin lebih

didasarkan pada program dan keberhasilan

( prestasi). Negeri kita kaya dengan pemimpin,

formal maupun informal. Di gereja juga banyak

tokoh yang mumpuni, pemimpin yang baik

dan berkualitas. Namun apa sih yang menjadi

ukuran kepuasan seorang pemimpin?

Tidak sedikit orang berpuas diri karena

bisa menjadi pemimpin sekelompok umat

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 41

yang besar atau menjadi ketua ini dan pe-

mimpin organisasi itu. Mereka puas dengan

program dan keberhasilan setiap program

tahunannya.

Pemimpin sejati tidaklah berpuas diri

dengan prestasinya sendiri. Tidak pula hanya

bermegah atas tuntutan organisasi. Pemimpin

yang baik, puas dan bangga karena mereka

yang dipimpinnya. Dia mampu dan cakap

melipatgandakan pemimpin. Inilah pemimpin

yang membuat sejarah.

Pemuridan adalah 'amanat agung' dalam

leadership yang dilupakan para pemimpin

yang terobsesi dengan jabatan dan uang.

Obsesi yang membuat mereka lupa diri di

puncak kekuasaan, enggan turun meski su-

dah uzur. Obsesi membuat mereka enggan

mendelegasikan jabatan kepada orang yang

cakap memimpin. Tak jarang organisasi gereja

dijadikan seperti perusahaan, menjadi milik

keluarga.

Kadang status pendiri atau berjasa telah

membiusdanmembutakansebagianpemimpin

dalam menjalankan kepemimpinannya. Bah-

42 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

kan para pengikutnya pun tak jarang ikut

menjadi buta, terpesona oleh kharismanya.

Sehingga mereka membiarkan pemimpin

jatuh dalam kesalahan, menjadi tiran atau

otoriter.

Pemimpin yang baik bahagia ketika anggo-

tanya sukses melebihi dirinya. Pada waktunya

ia rela mundur, bahkan saat di puncak keja-

yaan sekali pun. Ia siap melakukan regenerasi

kepemimpinan di saat dirinya paling dibutuh-

kan organisasi. Pemimpin demikian akan

dikagumi dan dikenang sebagai pemimpin

sejati. Ia tak hanya rela berbagi pengetahuan,

pengalaman, kemampuan, tapi juga otoritas

dengan mereka yang telah ia didik.

Yesus menjadi contoh klasik pemimpin

yang sukses dan siap melepas kepemimpinan-

Nya setelah tiga tahun mendidik murid-

Nya. Soeharto menjadi contoh buruk dalam

kepemimpinannya, karena tak rela turun

dari kursi kepresidenan lebih dari 30 tahun.

Akhirnya dia tidak turun tapi diturunkan.

Ironis.

Tentu tak semua orang terpanggil men-

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 43

jadi pemimpin. Saya sendiri merasa tidak

berkarunia di bidang ini. Namun bersyukur

boleh bertemu dan belajar dengan banyak

pemimpin yang sarat pengalaman, serta melihat

langsung teladan dari para pemimpin yang

mendidik saya di "Universitas Kehidupan".

Satu diantara pemimpin yang saya kagumi

adalah alm. Prof. T. Ndraha. Beliau adalah

mertua Penulis yang telah mengajar ribuan

Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, para

Jenderal Polisi dan TNI hingga para Menteri,

lewat institusi yang ia dirikan, Institut Ilmu

Pemerintahan. Meski sebagai pendiri dia

rela tidak menjadi pemimpin tertinggi. Dia

rela menjadi orang kedua bahkan ketiga di

organisasi. Dia merasa puas dengan Menjadi

dosen. Selama lebih 50 tahun, ia meng-

hasilkan pemimpin. Meski sebagai salah

satu founder sekolah, dia rela mundur dan

menyerahkan tongkat kepemimpinan pada

mantan muridnya. Ia rela menjadi anak buah

dan mengabdi kepada organisasi yang lahir

dari visinya.

Penulis senang bertemu ribuan pemimpin

44 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

di 24 propinsi dan 80 kota di 200 lembaga

gereja dan organisasi pendidikan, karena rutin

memberi seminar dan pelatihan konseling.

Mereka yang sukses jadi pemimpin umumnya

punya tiga ciri ini: mempunyai visi yang jelas,

konsisten dalam visinya, dan melatih orang

cakap mengerjakan visinya ( pelipatgandaan).

Sebaliknya ada satu kesalahan umum se-

bagian pemimpin. Mereka senang digantungi,

sehingga banyak tanggung jawab dan ke-

giatan dilimpahkan kepadanya. Akibatnya

yang dipimpin tidak maju, tidak bertumbuh.

Misalnya, di gereja tertentu ada gejala "Pen-

deta-sentris", yaitu Pendeta melakukan ba-

nyak hal. Apa saja, mulai dari bersihkan gereja

hingga main musik, dan berkotbah.

Ironisnya ketika si pemimpin pindah, pen-

siun atau meninggal dunia, penggantinya di-

banding-bandingkan dengan pemimpin yang

"hebat" tadi. Tapi sesungguhnya itu contoh

pemimpin yang gagal. Dia tidak berhasil me-

lipatgandakan pemimpin. Dia tidak member-

dayakan jemaatnya mengerjakan apa yang ia

kerjakan.

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 45

Sebagai Konselor saya sendiri banyak men-

dampingi para pemimpin yang menangisi

pelayanan dan keluarganya. Mereka meng-

alami putus asa, kepahitan, kemarahan hingga

kelelahan fisik maupun psikis hingga masalah

rumah tangga dan kejatuhannya dalam dosa.

Tak sedikit pula menemukan kasus pemimpin

yang cakar-cakaran dengan pemimpin lain-

nya. Organisasi gereja pecah bukan hanya jadi

dua, tapi tiga, bahkan empat. Mereka berfokus

pada ambisi pribadi bukan pada visi Ilahi.

Lewat pengalaman di atas, Penulis makin

sadar betapa tidak mudah menjadi pemimpin.

Apalagi mengelola organisasi yang besar

dengan fasilitas yang wah. Tidak mudah pula

menjadi pejabat gereja dengan otoritas yang

melimpah. Banyak godaan mempertahankan

kekuasaan hingga menyalahgunakannya.

Apakah saat ini saudara dipercayakan seba-

gai pemimpin? Jabatan itu sungguh mulia.

Punya ambisi jadi pemimpin sungguh amat

sangat baik, asal saat mendapatkan jabatan

itu menggunakannya sesuai kehendak Tuhan.

Kiranya rekan-rekan pemimpin nantinya di-

46 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

kenang oleh generasi penerus sebagai pe-

mimpin yang memberdayakan bukan mem-

perdayakan. Sebagai pemimpin yang dinamis

bukan oportunis. Sebagai pemimpin pelayan

dan bukan menjadi pelayan penguasa.

KebersaMaan yang sehat

Kebersamaan yang sehat itu dinamis dan

menumbuhkan. Dinamika yang terjadi dalam

sebuah organisasi bukan saja mengubah sistem

dan program organisasi dari waktu ke waktu,

tetapi terutama menumbuhkan (growing up)

orang-orang yang ada di dalam organisasi

tersebut. Salah satu hal penting dalam budaya

organisasi sehat ialah mendorong orang

yang kita pimpin menuju perubahan yang

lebih baik. Pemimpin, sistem, serta program

membuat orang di dalam lembaga itu nyaman,

sekaligus berubah. Bukan saja pemimpin yang

maju tapi terutama mereka yang dipimpin.

Jika tidak demikian, maka jangan heran

"orang-orang potensial" akan memilih keluar

dan membentuk organisasi baru.

Budaya organisasi sehat itu juga harmonis.

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 47

Bukan tanpa perbedaan tapi ada saling meng-

hargai dan hidup harmoni. Ada sikap rela

menanggung kekurangan anggota team dan

tidak mempermalukan teman yang berbuat

salah. Pemimpin justru menguatkan anggota

saat nmreka gagal mengerjakan tugas. Pemim-

pin yang baik tidak hanya peduli pada anggota

yang baik dan penurut, tetapi juga pada mereka

yang terkesan mbalelo dan menjengkelkan.

Dalam organisasi yang baik ada pembinaan

dan pastoral yang baik.

Organisasi bisa menjadi harmonis dengan

cara masing-masing menjalankan fungsi se-

suai jabatan dengan sebaik-baiknya. Namun

tetap ada waktu dan suasana ngobrol atau

bercanda. Ada rekreasi serta fasilitas hidup

memadai. Jangan sampai anggota diminta

beriman tapi pemimpinnya malah "bermain”

alias hanya memperkaya diri sendiri.

Idealnya, pemimpin juga bisa menjadi

tempat curhat anggota. Pemimpin memberi

telinga untuk mendengarkan anggota yang

lelah melayani, terutama saat muncul friksi

dan konflik. Pemimpin bisa menjadi fasilitator

48 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

dan mediator, serta menjadi tempat katarsis.

Anggotanya boleh bicara atau curhat apa saja

yang mengganggu emosi mereka. Karena itu

pemimpin yang baik, perlu belajar menjadi

pendengar yang baik dan bersedia menjadi

"keranjang sampah". Jika tidak, jangan heran

staf Anda akan mencarinya di tempat lain alias

bergosip. Organisasi sehat juga menciptakan

keseimbangan di mana setiap anggota bisa

menjalani kehidupan karir dan keluarga se-

cara seimbang.

Mengelola KonFliK dan Perbedaan

Untuk mengelola konflik setiap kita per-

lu punya sifat lentur. Kelenturan adalah daya

adaptasi, sifat yang rela beradaptasi (me-

nyesuaikan) dengan sifat anggota lainnya.

Kelenturan adalah kecakapan pribadi dalam

menyesuaikan diri dengan situasi ( pribadi)

rekan kerja yang tidak Anda harapkan.

Kelenturan dimiliki mereka yang cerdas

emosi. Mereka memiliki kesadaran diri yang

jernih dan empati. Mereka mudah memahami

orang lain tanpa ngotot ingin mengubah pribadi

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 49

rekan sekerja. Sebaliknya, rela menyesuaikan

diri di mana perlu. Pemimpin yang baik

belajar menerima sifat anggotanya, sambil

menjadikan dirinya pribadi yang enak diajak

bicara. Seorang yang lentur biasanya pemaaf.

Dia tidak mudah tersinggung, dan kalaupun

menjadi marah tidak suka menyimpan

kesalahan teman atau menyebar gosip dan

kebencian. Ia lebih suka membicarakannya se-

cara asertif. Firman Tuhan berkata, kasih tidak

menyimpan kesalahan.

Selain kelenturan, untuk sebuah organisasi

sehat dibutuhkan skil dasar mengelola konflik,

di antaranya: Menunjukkan penghargaan satu

sama lain. Meskipun sedang ada perbedaan

pendapat, mereka sepakat saling menghargai

dan belajar memahami pasangan dari sudut

pandang teman kerja.

Jika akhirnya harus berpisah karena ber-

beda visi, misalnya, maka pemimpin yang

matang secara emosi rela berpisah baik-baik

dengan tetap menghargai. Tanpa menyimpan

rasa kemarahan tersembunyi apalagi benci.

Mereka sadar bahwa Tuhan bisa memakai siapa

50 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

pun lewat lembaga apapun. Kedua belah pihak

tidak saling merendahkan, apalagi menghina

meski pelayanan mereka yang memisahkan

diri itu lebih kecil. Sukses tidak bisa diukur

hanya dari besarnya organisasi, tetapi besarnya

hati menerima dan menghargai sukses orang

lain.

Tak jarang, setelah memisahkan diri ang-

gota yang tadinya biasa saja jadi jauh lebih

berkembang. Sebab sebelumnya ia hanya

jadi "kernet", tapi kini jadi "supir" lembaga.

Siapapun yang menjadi pemimpin hendaknya

menyadari bahwa kita jangan puas menghidupi

visi orang lain, kita harus berani mengikuti visi

atau menghidupi mimpi pribadi. Kalau tidak,

kita akan sungguh menyesal di hari tua.

Akhirnya, mari merajut hati, meski bekerja

dalam lembaga dan visi berbeda, kita bertekad

saling menghargai. Luasnya ladang pelayanan

tidak bisa dikerjakan dengan satu model

atau satu lembaga. Juga tidak bisa dikerjakan

karena kharisma seseorang. Meski berbeda,

kita adalah satu tubuh, satu Roh, dan satu

iman.*

K

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 51

VI

Kedewasaan rohanI

onsep yang keliru tentang Allah

telah mengakibatkan banyak orang

Kristen berdoa hanya karena adanya

kebutuhan tertentu, bukan karena mengasihi

atau merindukan Tuhan. Tidak demikian hal-

nya dengan mereka yang dewasa rohani. Salah

satu ciri dari orang dewasa rohani adalah orang

itu senang bergaul, bercakap-cakap secara

pribadi dengan Tuhan. Mereka memberikan

waktu khusus dengan Tuhan, sehingga

hati mereka limpah dengan syukur dan ke-

terbukaan. Dalam hal ini kita perlu melatih

batin untuk mencari dan membutuhkan Dia

siang dan malam.

52 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Kekeliruan lain adalah menganggap Allah

hanya ditemukan di gereja, atau dalam ke-

giatan rohani di gereja. Banyak orang Kristen

mempunyai konsep bahwa religiusitas (tingkah

laku agama) sama pengertiannya dengan

mengenal Allah. Mereka pikir tingkah laku

agama yang baik adalah ibadah kepada Allah.

Tetapi apakah demikian? Tidak. Kekristenan

tidak sama dengan agama. Kekristenan lebih

dari sekedar agama.

Fritz Ridenour (1996: 12) dalam bukunya

How to be a Christian Without Being Religious

mendefinisikan kekristenan sebagai:

“Kekristenan lebih dari sekadar agama,

karena setiap agama memiliki satu

karakter dasar. Para pengikutnya mencoba

menjangkau Allah, menemukan Allah,

menyenangkan Allah melalui usaha mereka

sendiri. Agama mencoba menanggapi Allah.

Kekristenan adalah Allah yang menjangkau

manusia. Kekristenan menyatakan bahwa

manusia tidak menemukan Allah, tetapi

Allah yang menemukan mereka.”

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 53

Apa implikasinya jika kita beranggapan

bahwa kekristenan sama dengan tingkah laku

agama?

Pertama, manusia cenderung berpikir bah-

wa Tuhan itu sama dengan berkat. Seharusnya

tidak demikian. Jika buah pelayanan kita

nampak hebat, itu tidak sama dengan berkat

Allah. Hal ini jelas terlihat dari teguran Allah

yang keras kepada jemaat di Efesus ( Wahyu

2). Dari segi ritual dan ibadah mereka sangat

aktif dan efektif. Namun mengapa Allah men-

cela mereka? Justru karena mereka telah me-

ninggalkan Allah dan esensi daripada ibadah

itu sendiri.

Kedua, mereka cenderung menyamakan

antara melayani dan mengasihi. Banyak orang

yang melayani, namun itu hanya karena

mereka punya talenta dan pengalaman, dan

bukan karena didorong oleh cinta kasih. Kita

harus sadar bahwa siapapun dapat melayani

tanpa kasih, namun tidak seorang pun yang

dapat mengasihi tanpa melayani.

Ketiga,jikakekristenansamadengantingkah

laku beragama saja, akan menghasilkan orang

54 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Kristen yang memiliki ‘agama’ yang ekstrinsik,

dan bukan intrinsic, agama yang lahiriah,

bukan batiniah. Agama yang mementingkan

kemasan daripada kehidupan nyata yang

menjadi berkat bagi sesama.

FanatisMe seMPit

Dalam bukunya yang lain, “The Newborn

Christian”, J.B. Philips (1978: 18) memberi

istilah the spirit of churchiness, bagi orang

yang mengotak-kotakkan atau membatasi

Tuhan yang hanya ada hadir dalam tembok

gereja. Spirit ini justru telah menjadi batu

sandungan bagi orang yang belum percaya

karena hanya menghasilkan orang Kristen

yang fanatik dan munafik.

Fanatisme sempit inilah membuat orang

non-Kristen membenci gereja sampai hari ini.

Mengapa banyak orang menjauh dari gereja?

Mengapa mereka menuduh orang Kristen

munafik? Karena agama membuat orang Kris-

ten sombong dan merasa benar sendiri, atau

merendahkan agama lain. Ini salah. Agama

yang sehat seharusnya membuat kita menjadi

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 55

orang yang baik, jujur, rendah hati dan penuh

kasih.

Di sinilah para pemimpin gereja perlu

menyadari dan mengajarkan kepada jemaat,

agar menghindari bahaya itu. Namun iro-

nisnya, realitanya justru para pemimpin

gerejalah yang mudah terjebak dalam spirit

itu. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya

waktu untuk merenung, belajar Firman

Tuhan dan memiliki hubungan pribadi yang

intim dengan Tuhan. Kekristenan cenderung

menjadi sesuatu yang lahiriah dan ritual

semata.

Hal ini saya amati disebabkan oleh dua hal

yang saling mendukung. Pertama, tuntutan

jemaat terlalu banyak (tidak realistis) terhadap

hamba Tuhan. Hanya sedikit yang sungguh

mengerti bahwa mereka juga manusia biasa.

Kedua, hamba Tuhan itu sendiri kurang

menyadari keterbatasannya. Kepribadian yang

kurang matang mudah menjebak hamba Tuhan

itu pada pemberhalaan diri sendiri. Sebagai

contoh kehidupan pelayanan di gereja yang

berpusat pada pendeta. Dalam situasi ini tidak

56 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

sedikit pelayan Tuhan tanpa sadar kehilangan

identitasnya sebagai manusia biasa.

Jay Kesler (1988) dalam bukunya, “Being

Holy Being Human”, hamba Tuhan kerap

diperlakukan seolah-olah Superman bahkan

seperti malaikat kudus. Akibatnya adalah

mereka menjadi kurang bijaksana dalam

meresponi tuntutan jemaat yang tidak realistis

itu. Akhirnya hamba Tuhan terjebak dalam

rutinitas dan mudah mengalami depresi.

Sebagai contoh kita belajar dari pengalaman

seorang pengkotbah Inggris yang terkenal pada

abad lalu bernama Charles Haddon Spurgeon.

Dr. Archibald Hart (1995), dalam tulisannya

When Healer Hurt menuliskan pengalaman

depresi dari pengkotbah yang terkenal itu.

Spurgeon mulai pelayanannya pada usia 18

tahun menjadi Pendeta di gereja yang besar di

London. Keefektifan dan kehebatannya dalam

mengajar menjadikan dia seorang yang sangat

terkenal. Namun untuk itu ia harus membayar

harga yang mahal. Ia seringkali harus berjuang

dengan depresi. Spurgeon sering sakit dan

menghabiskan waktu berminggu-minggu di

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 57

tempat tidur. Ia juga tidak luput dari kekuatiran

perihal kehidupan keuangannya. Menurut

Hart, Spurgeon akhirnya menyadari bahwa

hal ini bukanlah depresi yang bersifat rohani

semata, tapi justru sesuatu yang sangat natural.

Lewat pengalaman ini Spurgeon menyadari

bahwa banyak pelayan Tuhan seperti dirinya

cenderung mengalami depresi karena mereka

kurang mengenali diri dan kebutuhannya

sendiri dengan benar.

Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk

menyimpulkan karakter dan kebenaran

Allah yang dinyatakan-Nya melalui pribadi

Yesus Kristus. Sering kita mencoba mengerti

dan menjelaskan tentang Tuhan dari latar

belakang pemahaman yang pernah kita miliki

mengenai Dia ( pemahaman agamawi). Ini

mungkin saja menolong. Namun semuanya

perlu dipahami ulang dengan mengerti apa

yang sesungguhnya Kristus ajarkan dalam

Kitab Suci. Kebenaran yang sejati diajarkan

oleh Kristus. Itulah Jalan Kehidupan. Ini tidak

sama dengan agama.

Allah telah menjelaskan mengenai diri-Nya

58 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

dengan istilah-istilah yang dapat dipahami ma-

nusia. Jika kita gagal memahami bahwa Kristus

sajalah yang memberikan hidup yang sejati,

maka kehidupan agama kita sesungguhnya

akan gagal total.*

P

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 59

VII

KeMalangan PeMIMPIn

emimpin adalah jabatan mulia. Siapa

pun wajar menginginkannya. Bahkan

orang yang bijak sadar, dia perlu

jabatan yang baik jika ingin menyebarkan

pengaruh yang baik dengan kapasitas atau

talentanya yang baik pula.

Hanya sayang sebagian pemimpin yang

awalnya punya hati yang tulus dan visi mulia,

di tengah jalan digerogoti nafsu pribadi. Selain

itu dirusak oleh sebagian trauma masa lalunya

yang tak pernah selesai. Masa lalu yang buruk

itu antara lain, pernah dibesarkan dengan

kurang kasih sayang, mengalami kekerasan

orang tua, atau pernah didera kemiskinan

60 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

yang parah di masa lalu yang secara tidak

sadar membentuk harga diri yang buruk.

Namun itu semua berhasil ditutupi dengan

kemampuan berkotbah yang baik, talenta

mengajar yang luar biasa, hingga memiliki

gelar yang tinggi. Sementara, ia merasa tidak

perlu konseling untuk mengatasi masalah

dalam kepribadiannya. Karena jabatannya, ia

gengsi mencari bantuan atau nasihat.

Di awal pelayanannya, motivasinya masih

murni. Kelakuannya belum banyak disorot.

Gaya hidupnya tidak begitu dilihat orang

banyak, jemaat atau komunitasnya. Namun

yang tahu pasti adalah keluarganya, yang diam-

diam menderita karena perilaku sesehari sang

pemimpin tadi. Saya memberi konseling di

antara keluarga-keluarga pemimpin dengan

kasus ini.

Setelah memimpin cukup lama, barulah

majelis jemaat mencium sifat yang tidak

sedap dari si gembala. Teman sejawat dalam

organisasi mulai merasakan emosi negatif

pemimpinnya. Sifat egois dan merasa benar

sendiri mulai menjadi duri dalam diri bawahan

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 61

atau staf. Keangkuhan yang dikemas dengan

mengutip ayat-ayat Firman Tuhan makin mem-

buat karyawan gerah.

Salah satu sifat menonjol dari pemimpin

yang punya jabatan tinggi dengan masa lalu

yang buruk adalah rasa tidak aman. Ia selalu

mencemaskan kedudukannya. Ia mulai gelisah

saat melihat bawahannya le-bih populer dari

dirinya. Ia merasa tidak nyaman saat sadar ada

Asisten Gembala yang lebih disayang jemaat

daripada dirinya. Dia menjadi mudah marah,

menyalahkan situasi dan orang lain tanpa

alasan yang jelas. Misalnya dalam kotbah ia

menyerang individu tertentu dengan ilustrasi

yang disamarkan. Mimbar disalahgunakan

untuk kepentingan pribadinya. Tetapi orang

yang dekat dirinya tahu siapa yang dimaksud-

kannya.

Jika masa jabatannya akan berakhir, dia

gelisah dan berjuang untuk mempertahan-

kannya. Untuk itu apa pun ia akan lakukan.

Jika perlu menggeser keluar saingannya. Ia

tidak akan pernah merasa sedih untuk itu.

Sebab, sekali dia ada di posisi puncak, maka

62 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

sulit baginya menjadi bawahan. Jikalau di

jemaat ada tim penggembalaan, maka ia selalu

ingin jadi Gembala Sidang, sulit jadi anggota.

Firman Tuhan yang diajarkannya, bahwa yang

terbesar adalah yang melayani, hanya sekadar

bahan kotbah atau orasi ilmiah.

Inilah kemalangan pemimpin yang paling

menyedihkan. Ia tidak menyadari apa yang

terjadi, tidak punya self-awareness yang baik.

Selain itu ia tidak mampu memahami apa

yang dirasakan oleh mereka yang dia pimpin.

Miskin empati. Ia merasa semua oke-oke saja,

padahal sebenarnya tidak. Banyak orang yang

merasa susah dan merasa terpaksa menurut

kemauannya yang terkadang aneh. Kerjasama

yang baik hanya mimpi bagi bawahannya,

sebab semua keputusan ada di tangan satu

orang. Selain itu jika ada masalah atau konflik,

ia akan selesaikan dengan mengumbar kema-

rahan. Sebab sekali ia marah, semua akan

menjadi "baik-baik" saja.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini disebabkan

rendahnya kecerdasan emosi sang pemimpin

tadi. IQ, gelar, dan jabatannya boleh tinggi,

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 63

tapi jika kecerdasan emosinya (EQ) rendah ya

begini jadinya.

Mereka yang miskin kecerdasan emosi sulit

menyadari apa yang terjadi dalam emosinya

sendiri, termasuk sulit mengelola emosi

negatifnya. Ia juga sulit menyadari, apalagi

mengakui kelemahan atau kekurangannya

sendiri. Sebagai contoh, kata maaf sulit keluar

dari mulutnya. Dia lebih suka menyalahkan

atau mengambinghitamkan pihak lain jika ada

masalah.Itulahcaranyamelindungidiri.Banyak

kontradiksi antara apa yang diajarkan dengan

yang dihidupi. Jangan heran saat memimpin

rapat, meski dia melakukan kesalahan, tak ada

bawahan yang berani bicara. Semua memilih

diam seribu bahasa. Sebab siapa yang berani

menegur, bakal dimarahi.

Ironisnya, ada pemimpin yang hingga tu-

run dari jabatan hingga ke liang kubur tidak

menyadari kesalahannya ini. Lebih mengerikan

lagi, penggantinya mewarisi nilai dan sifatnya

yang buruk tadi, karena kesalahan yang lama

tidak pernah dikoreksi. Apalagi jika yang

mewarisi posisi anaknya sendiri.*

64 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 65

daftar baCaan

Archibald Hart. “When Healer Hurt”,

Christian Counseling Today (Fall 1995).

David Atkinson (Ed.). New Dictionary of

Christian Ethics and Pastoral Theolog y.

Leicester, England: Inter-Varsity Press,

1995.

Fritz Ridenour. How To Be A Christian

Without Being Religious, Edisi Indonesia.

( Yogjakarta: Yayasan Gloria, 1996).

Gary Collins, Konseling Kristen yang Efektif.

(Malang: SAAT, 1990)

J.B. Philips, The Newborn Christian. (New

York: Macmillan Publishing Company,

1978)

Jay Kesler, Being Holy Being Human

(Minnesota: Bethany House Publisher,

1988)

66 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Norman Wright, Menjadi Orang Tua yang

Bijaksana ( Yogjakarta: Yayasan Andi, 1996)

William & Candace Backus. Menjadi Orang

Tua yang Berwibawa. Jakarta: YPI

Imanuel, 1996)

Yakub Susabda. Pastoral Konseling Jilid 2.

(Malang: Gandum Mas)

J

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 67

tentang PenulIs

ulianto Simanjuntak menikah dengan Roswitha

Ndraha dan dikaruniai dua putra, Josephus

(21) dan Moze (17). Saat ini Julianto bekerja

sebagai terapis untuk masalah-masalah keluarga

dan kesehatan mental. Juga menjadi tenaga

pengajar bidang konseling dan rutin memberikan

seminar pemberdayaan di bidang konseling dan

pen-didikan di lebih 80 kota.

Mereka mendirikan Yayasan LK3 (Layanan

Konseling Keluarga dan Karir) dan Yayasan Pelikan

(Peduli Konseling Nusantara), dengan visi: rindu

melihat berdirinya pusat konseling di setiap kota

di Indonesia serta tersedianya secara merata

tenaga psikolog, psikiater dan konselor di seluruh

tanah air.

Untuk itu Julianto Simanjuntak dan tim me-

lakukan kampanye lewat seminar konseling di

pelbagai kota, serta mengajar Program Strata-2

Konseling di beberapa tempat. Selain itu memberi

konseling edukasi dengan menulis buku-buku

konseling yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka

Utama, Penerbit Visi dan Andi Offset.

68 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

Judul buku-buku mereka antara lain:

1. Seni Merayakan Hidup yang Sulit (Pelikan)

2. Mencinta Hingga Terluka (Gramedia)

3. Kesehatan Mental dan Masa Depan Anak

(Gramedia)

4. Perlengkapan Seorang Konselor (Pelikan)

5. Transformasi Perilaku Seksual

6. Mendisiplin Anak Dengan Cerita

7. Tidak Ada Anak yang Sulit

8. Bersahabat Dengan Remaja (Pelikan)

9. Mengubah Pasangan Tanpa Perkataan ( Visi)

10. Membangun Harga Diri Anak (Pelikan)

11. Mendidik Anak Utuh Menuai Keturunan

Tangguh (editor)

12. Banyak Cocok Sedikit Cekcok ( Visi)

13. Ketrampilan Perkawinan (Pelikan)

14. Mengenali Monster Pribadi: Seni pemulihan

diri dari trauma, emosi negatif dan kebiasaan

buruk (Pelikan)

15. Konseling dan Amanat Agung: Dari konseling

intervensi ke edukasi

16. Alat Peraga di Tangan Tuhan: Mengapa hal

buruk menimpa keluarga baik-baik? (Pelikan)

17. Perlengkapan Seorang Konselor (Pelikan)

18. Hidup Berguna Mati Bahagia (Pelikan)

19. Ayah yang Hilang: Membawa kembali hati

ayah kepada keluarganya (Pelikan)

Apresiasi terhadap buku Julianto dan Roswitha

datang dari Jakob Oetama (Preskom Kelompok

Kompas Gramedia), Agung Adiprasetyo (CEO Ke-

lompok Kompas Gramedia), Prof. Yohanes Surya

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 69

(Fisikawan), Prof. Irwanto (Guru Besar Psikologi

Unika Atma Jaya), Andrias Harefa, James Riady

(CEO Lippo Group), Jonathan Parapak (Rektor

UPH), Prof. Dr. Wimpie Pangkahila, Prof. Taliziduhu

Ndraha, Prof. Mesach Krisetya, Pdt. Paul Gunadi,

dan lain-lain.

Julianto mendapat piagam penghagaan dari

Ketua Badan Narkotika Nasional (BNN) di Den-

pasar pada tahun 2006 atas kiprah pelayanan di

antara keluarga pecandu narkoba. Sejak 2004

Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha rutin

memberikan pelatihan konseling keluarga dan

kesehatan mental di pelbagai kota dan negara.

KontaK

Website : http:// JuliantoSimanjuntak.com

Appstore : http:// JuliantoBooks.mahoni.com

Twitter : @PeduliKeluarga

@DrJSimanjuntak

70 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

testIMonIal

jaKob oetaMa

Preskom Kelompok Kompas-Gramedia

Sungguh suatu paradoks yang menggetarkan:

Tuhan hadir justru ketika pencobaan hidup

menimpa kita. Buku "Seni Merayakan Hidup

yang Sulit" berisi kisah nyata tentang akrabnya

penderitaan dan kehadiran Tuhan.

agung adiPraset yo

CEO Kelompok Kompas-Gramedia

Buku "Mencinta Hingga Terluka" mengajarkan

kekuatan cinta dalam pengampunan yang

memulihkan dan menghidupkan.

ProF. yohanes surya, Phd Fisikawan, Pelopor TOFI

Tanpa masalah dunia ini terasa hambar dan tidak

akan muncul penemuan dan orang-orang besar.

Sdr. Julianto & Roswitha dalam bukunya "Seni

Merayakan Hidup yang Sulit", telah begitu jeli

melihat masalah dari sisi positifnya dan

menyadarkan kita bahwa Tuhan selalu bersama

kita saat menghadapi masalah.

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 71

Paul gunadi, Phd Gembala Sidang, Dosen, dan Konselor

Saya menikmati buku "Banyak Cocok Sedikit

Cekcok". Tuhan melengkapi Julianto dan

Roswitha bukan saja dengan pengetahuan

yang dalam tentang dinamika pernikahan dan

persiapannya, tetapi juga pengalaman yang kaya

dalam menangani masalah keluarga. Buku ini

sangat baik digunakan sebagai panduan pranikah,

dan bahkan bagi yang sudah menikah. Kisah-

kisah pribadi ini menyentuh dan menambah

pemahaman kita akan dinamika pernikahan.

ProF. irwanto, Phd Guru Besar Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta

Buku "Mencinta Hingga Terluka" tidak sekadar

berteori tetapi bertutur tentang hidup, contoh

nyata, dan keimanan yang berakar pada rasa yang

dapat kita maknai bersama.

ProF. dr. Fg winarno

Rektor Unika Atma Jaya Jakarta

Buku "Seni Pemulihan Diri" karya Julianto meski

sederhana tetapi sangat menyentuh hati saya.

jonathan ParaPaK

Rektor Universitas Pelita Harapan

Buku "Seni Merayakan Hidup yang Sulit"

memberikan kita inspirasi untuk selalu

berpengharapan dalam mengarungi berbagai

tantangan kehidupan.

72 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

jaMes riady

CEO Lippo Group

Tuhan punya tujuan untuk setiap kesulitan kita.

Dia yang Maha Kasih tidak mungkin mengizinkan

kesulitan tanpa maksud baik. Buku "Seni

Merayakan Hidup yang Sulit" memberikan kita

wawasan bagaimana kita menjalani penderitaan

dari perspektif Tuhan.

anne ParaPaK, Ma Praktisi Pelayanan Keluarga

Membina anak adalah misi yang berdampak

kekal. Alangkah pentingnya kita mempunyai visi

yang jelas dan membekali diri mengemban tugas

yang mulia ini. Buku "Tidak Ada Anak yang Sulit"

mengajar kita banyak hal tentang mendidik anak.

dr. dwidjo saPutro, sPKj Psikiater

Buku "Bebas dari Gangguan Jiwa" karya Julianto

sangat bermanfaat bagi para Konselor di

Indonesia dalam melakukan konseling, terutama

masalah gangguan jiwa.

ProF. dr. Mesach Kriset ya

Guru Besar Emeritus Bidang Konseling - UKSW

Karunia membedakan roh, merupakan salah

satu karunia rohani yang kita butuhkan untuk

mendiagnosa gangguan jiwa. Buku "Bebas

dari Gangguan Jiwa" ini menolong pembaca

bagaimana melaksanakannya.

Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya 73

ProF. dr. taliziduhu ndraha

Kybernolog

Buku "Seni Merayakan Hidup yang Sulit"

sungguh bernilai karena isinya tidak sekadar

pengetahuan tetapi pengalaman jatuh-

bangun hidup penulis sendiri. Di sini Penulis

membagikan nilai-nilai hidup yang bermakna

bagi sesama ”pengembara” agar dapat merayakan

hidup yang sulit.

ProF. irwanto, Phd Dalam buku "Seni Pemulihan Diri" ini Anda

akan berkenalan dengan teman-teman Penulis

yang berbagi pengalaman hidup. Pengalaman

yang dapat membawa para pembaca ke dalam

proses belajar untuk mengenal diri sendiri

dan menggunakan pengetahuan itu untuk

menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang

menggelayuti Anda bertahun-tahun.”

andrias hareFa

Penulis

Buku "Seni Merayakan Hidup Yang Sulit" sarat

dengan kesaksian-kesaksian dari orang-orang

yang diterpa badai-badai kehidupan. Penulis

menantang pembaca untuk mendefinisikan

ulang makna kesulitan dan masalah-masalah

kehidupan, agar dapat tetap merayakan dan

mensyukuri hidup itu sendiri sebagai anugerah

dan rahmat besar.

74 Pendeta Panggilan, Kepribadian, dan Keluarganya

VIsI PelIKan

Kami rindu melihat hadirnya minimal satu

pusat konseling di setiap kota dan tersedianya

tenaga Psikolog, Psikiater, dan Konselor secara

merata di Indonesia (tahun 2030).

Jika Saudara terbeban untuk mendukung

pelayanan konseling ini, silakan mengirim

donasi sukarela ke rekening:

Bank : BCA Supermal Karawaci

No. Rek. : 7610 487 887

Atas nama : Yayasan Pelikan

Terimakasih atas doa dan dukungan yang

Saudara berikan terhadap Visi Pelikan. Nama

Tuhan terus dipermuliakan melalui pelayanan

kita. Tuhan Yesus memberkati.

Alamat : Ruko Paramount Centre blok D10

Gading Serpong, Tangerang 15333

Email : [email protected]

Web : www.PelikanIndonesia.com