pendahuluan evgiz
TRANSCRIPT
![Page 1: Pendahuluan evgiz](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022081810/577c7c5e1a28abe0549a503e/html5/thumbnails/1.jpg)
Pendahuluan
Di Indonesia, kacang tanah merupakan jenis kacang-kacangan yang penting kedua
setelah kedelai. Kacang tanah dapat dimanfaatkan secara luas, baik untuk diolah lebih lanjut
atau dikonsumsi secara langsung. Hasil olahannya dapat berupa kacang goreng, kacang rebus,
bumbu pecel, bumbu sate, dan berbagai macam kue. Kacang tanah juga dapat digunakan
sebagai bahan pembuat minyak goreng dan ampas hasil minyaknya dapat dijadikan pakan
ternak yang kaya akan protein (Somaatmadja, 1993). Penyimpanan kacang tanah sangat peka
terhadap serangan jamur, hama, dan rayap. Tingkat kerusakan dalam penyimpanan ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya ialah cara penanganan pasca panen
(pengeringan, perontokan, dan penyimpanan). Penanganan pasca panen tersebut sangat
berpengaruh terhadap mutu awal kacang tanah seperti : kadar air, tingkat kerusakan, dan
kematangan biji sebelum disimpan. Faktor lain adalah cara dan kondisi lingkungan, seperti
suhu dan kelembaban, serta sirkulasi udara dalam ruang penyimpanan. Indonesia yang
memiliki iklim tropis-basah, ternyata memberi peluang besar terhadap tumbuh-suburnya
berbagai jenis kapang pada komoditi pertanian. Beberapa jenis kapang mampu memproduksi
racun yang disebut mikotoksin dan racun yang secara khusus diproduksi oleh kapang
Aspergillus flavus disebut aflatoksin. Substrat (bahan) yang paling baik bagi kapang yang
memproduksi aflatoksin adalah produk yang berasal dari kacang tanah.
maka diperlukan terobosan dalam mencegah Bahaya gangguan kesehatan oleh
dikonsumsinya kacang tanah terkontaminasi aflatoxin dengan cara menetapkan kebijakan
tentang penanganan produk terkontaminasi aflatoxin dan teknologi anjuran proses produksi
kacang tanah bebas aflatoxin. melalui penerapan inovasi teknologi. Salah satu inovasi
teknologi yang diperlukan dalam peningkatan produksi dan meminimalisir adanya aflatoksin
kacang tanah adalah penggunaan varietas unggul dalam proses budidaya serta penanganan
pasca panen salah satunya danya fermentasi. Adanya teknologi baru tentunya diharapkan
memberikan pengaruh terhadap kandungan gizi dari produk yang dihasilkan. Oleh karena itu,
perlunya kita mengetahui seberapa besar perubahan zat gizi yang terjadi pada suatu produk
yang dihasilkan baik sebelum maupun sesudah pengolahan pada tanaman kacang tanah.
Rumusan masalah
Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang mudah mengalami kerusakan di daerah
tropis dengan kelembaban tinggi akibat ditumbuhi jamur, diantaranya Aspergillus flavus dan
![Page 2: Pendahuluan evgiz](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022081810/577c7c5e1a28abe0549a503e/html5/thumbnails/2.jpg)
Aspergillus parasiticus yang dapat menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin merupakan
mikotoksin yang bersifat karsinogenik. Pengolahan pasca panen merupakan salah satu tahap
yang menentukan kualitas kacang tanah. perlakuan yang kurang tepat akan menyebabkan
kualitas kacang tanah tidak baik.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Pengaruh pengolahan kacang tanah terhadap kualitas maupun kuantitas panen yang
dihasilkan khususnya dari segi seberapa bebas kacang tanah dari kandungan aflatoksin
sehingga dapat memberikan dampak pada proses selanjutnya sebelum di pasarkan dan
dikonsumsi.
Rumusan masalah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengolahan kacang tanah
yang baik sehingga kacang tanah dapat disimpan dengan kualitas yang terjaga, khususnya
dari cemaran jamur penghasil aflatoksin.
![Page 3: Pendahuluan evgiz](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022081810/577c7c5e1a28abe0549a503e/html5/thumbnails/3.jpg)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kacang Tanah
Kacang tanah merupakan tanaman pangan berupa semak yang berasal dari Amerika
Selatan, tepatnya berasal dari Brazilia. Kacang Tanah ini pertama kali masuk ke Indonesia
pada awal abad ke-17, dibawa oleh pedagang Cina dan Portugis. (Adisarwanto, 2000).
Menurut (Marzuki, 2010), Sistematika kacang tanah adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae atau tumbuh-tumbuhan
Divisi : Spermatophyta atau tumbuhan berbiji
Sub Divisi : Angiospermae atau berbiji tertutup
Klas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua
Ordo : Leguminales
Famili : Papilionaceae
Genus : Arachis
Spesies : Arachis hypogeae L
Varietas-varietas kacang tanah unggul yang dibudidayakan para petani biasanya bertipe tegak
dan berumur pendek (genjah). Menurut AAK (1989) pertumbuhan kacang tanah secara garis
besar dapat dibedakan menjadi dua macam tipe, yaitu tipe tegak (Bunch type, Erect type,
Fastigiate) dan tipe menjalar (Runner type, Prostrate type, Procumbent). Pada umumnya
percabangan tanaman kacang tanah tipe tegak sedikit banyak melurus atau hanya agak miring
ke atas. Batang utama tanaman kacang tanah tipe menjalar lebih panjang daripada batang
utama tipe tegak, biasanya panjang batang utama antara 33-50 cm. Kacang tanah tipe tegak
lebih disukai daripada tipe menjalar, karena umurnya lebih genjah, yakni antara 100-120 hari,
sedangkan umur tanaman kacang tanah tipe menjalar kira-kira 150-180 hari.
Berbagai industri yang menggunakan kacang tanah sebagai bahan baku utama antara lain
industri kacang (kacang kulit, kacang garing, kacang bawang, kacang atom, dan kacang
telor), industri komersil, industri selai (peanut butter), industri bumbu-bumbuan (bumbu
gado-gado, bumbu pecel, dan bumbu sate) serta industri makanan rumahan (Darmawan,
2003). Disamping banyaknya keunggulan, kelemahan kacang tanah adalah mudah
terkontaminasi aflatoksin, karena tanaman ini rentan terhadap jamur A. flavus yang
menghasilkan mikotoksin jenis aflatoksin. Mikotoksin ini banyak ditemukan mencemari
komoditas kacang tanah dan jagung (Fardiaz, 1995).
![Page 4: Pendahuluan evgiz](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022081810/577c7c5e1a28abe0549a503e/html5/thumbnails/4.jpg)
2.2 Penyakit Busuk Biji Kacang Tanah (Seed Rot) atau Karnel Rot
Penyakit benih dan bibit kacang tanah disebabkan oleh beberapa jamur diantaranya Pythium,
Rhizoctonia, Fusarium, A. flavus, A. niger, Rhizopus, dan Sclerotium rolfsii. Dalam semua
kasus yang ditimbulkan oleh patogen diatas mempengaruhi dan menimbulkan kerusakan
tinggi baik pada benih atau bibit baik sebelum berkecambah (biji) atau setelah berkecambah
(tanaman). Namun pathogen yang tergolong penyakit busuk benih diantaranya A. flavus, A
niger, Rhizopus arrhizus, dan Sclerotium rolfsii.
Penyakit akibat A. flavus atau yang sering disebut penyakit kapang aflaroot. Gejala yang
ditimbulkan yaitu kecambah yang terinfeksi layu, ditutupi spora berwarna kuning kehijauan,
kotiledon menunjukkan gejala nekrosis jika sudah mulai muncul. Busuk mahkota (crown rot)
atau busuk kerah akibat jamur A. niger dengan gejala perkecamban awal ditutupi oleh spora
berwarna hitam. Bagian awal muncul kecambah (kerah) sepenuhnya menghitam. Jamur
Rhizopus
arrhizus, dan Sclerotium rolfsii menyebabkan bibit atau tanaman yang baru tumbuh layu
mendadak dan dipenuhi misellium berwarna putih (Sudarma, 2014).
2.3 Jamur Aspergillus flavus
Menurut Alexopoulos dan Mim’s (1979) jamur Aspergillus flavus memiliki identifikasi :
Kingdom : Mycetae
Divisi : Amastigomycota
Subdivisi : Ascomycotina
Kelas : Ascomycetes
Ordo : Eurotiales
Famili : Eurotiaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus
A. flavus merupakan jamur patogen yang sering ditemukan sebagai kontaminan pada
komiditas kacang-kacangan dan sereal. Makanan olahan berbahan baku kacang-kacangan,
daging, jagung, ikan, gandum, biji-bijian, buah, dan sereal juga sangat rentan terhadap
kontaminasi jamur A. flavus. Kontaminasi dapat terjadi mulai dari penyiapan bahan baku,
pengolahan, penyimpanan, pemasaran sampai kepada konsumen (Kasno, 2004). Kondisi
![Page 5: Pendahuluan evgiz](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022081810/577c7c5e1a28abe0549a503e/html5/thumbnails/5.jpg)
optimum jamur A. flavus untuk menghasilkan aflatoksin adalah pada suhu 25-35 o C,
kelembaban relatif 85% dan kadar air 16%, serta pH 6. Kontaminasi aflatoksin pada bahan
pangan terjadi bila strain aflatoxigenic berhasil tumbuh dan membentuk koloni serta
selanjutnya memproduksi aflatoksin. Jamur A. flavus akan menghasilkan 50% strain
aflatoxigenic (Kasno, 2004) Koloni jamur A. flavus mula-mula seperti benang putih,
kemudian menjadi butiran-butiran datar yang berwarna kuning. Selanjutnya koloni yang
berwarna kuning terang menjadi kuning gelap. Kepala konidia menyebar secara khusus.
Kebanyakan konidia berdiameter 300-400 µm (Suriawiria, 2002). Konidiofor tidak berwarna
(hialin) dan sangat kasar. Bagian atas berbentuk bulat, melebar dan panjangnya dapat
mencapai 1,0 mm. Vesikel berbentuk bulat sampai batang diameternya mencapai 25-45 µm
(Makfoed, 1993). Koloni dari A. flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai
diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari
A. flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang dapat tersebar
melalui udara (air-borne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi atmosfer juga
memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan jamur dengan kelembaban sebagai
variabel yang paling penting. Gejala penyakit busuk biji akibat A. flavus yaitu benih yang
mulai layu dan kering, ditutupi oleh spora kuning dan kehijauan. Kotiledon menunjukkan
lesio nekrosis dengan warna coklat kemerahan (Sudarma, 2014). Tingkat penyebaran A.
flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang
keras sehingga jamur tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam
mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman A. flavus merupakan jamur yang
menghasilkan toksin atau racun berupa aflatoksin.
2. 4 Aflatoksin
Aflatoxin adalah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus.
Senyawa ini bersifat toksik yang mengganggu kesehatan manusia dan ternak, antara lain
melalui gangguan fungsi hati. Aflatoksin terdiri atas sebuah kelompok kira-kira 20 metabolit
fungal terkait, walaupun hanya aflatoksin B1, B2, G2 dan M1 secara normal ditemukan.
Struktur kimia aflatoksin-aflatoksin yang paling penting dan turunannya diperlihatkan dalam
Gambar 2.2. Aflatoksin B2 dan G2 adalah derivatif dihidro dari senyawa asal (Watson,
1998). Aflatoksin B1 (AFB1) adalah aflatoksin yang paling kuat daya racunnya diikuti
![Page 6: Pendahuluan evgiz](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022081810/577c7c5e1a28abe0549a503e/html5/thumbnails/6.jpg)
berturut-turut oleh G1, B2, G2 dan sering mengkontaminasi makanan dan pakan.
Menimbulkan masalah kesehatan dan ekonomi, pada dosis tinggi adalah toksin akut. Dalam
dosis lebih rendah, AFB1 merupakan hepatokarsinogen, mutagen, teratogen dan
imunosupresor potensial. Aflatoksin B1 adalah karsinogenik untuk banyak organ. Satu dari
yang paling berpotensi hepatokarsinogen pada hewan dan manusia. Hubungan yang sangat
kuat ada antara asupan makanan harian AFB1 dan kejadian kanker hati utama pada manusia
(Droby and Wilson, 2000).
Aflatoksin menjadi masalah bagi kesehatan manusia maupun hewan terutama di negara-
negara sedang berkembang. Hasil penelitian mencatat kondisi terbentuknya aflatoksin adalah
pada interval suhu 10-40o C dengan RH > 80% (Syarief, 1993). Iklim Indonesia yang
termasuk dalam iklim tropik, dimana suhu tinggi dan RH tinggi terjadi sepanjang tahun
menyebabkan komoditas kacang tanah sangat mudah terkontaminasi aflatoksin. Untuk
meminimalkan kontaminasi aflatoksin, perlu dilakukan proses pascapanen yang
memungkinkan kadar air kacang tanah diturunkan hingga aman dalam waktu yang relatif
singkat (Paramawati, 2006).
![Page 7: Pendahuluan evgiz](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022081810/577c7c5e1a28abe0549a503e/html5/thumbnails/7.jpg)
Penanganan Pasca Panen Kacang Tanah
Perlakuan pasca panen berkaitan dengan pertumbuhan jamur dan kontaminasi aflatoksin pada
kacang tanah. Pengeringan, pengemasan yang baik sebelum penyimpanan dan penyimpanan
pada kondisi atmosfer terkendali dapat menurunkan kontaminasi jamur yang menghasilkan
aflatoksin. Tingkat aflatoksin total berkisar antara 1,1 sampai 200,4 ng/g terdapat dalam
kacang tanah yang
dikondisikan pada nilai aw lebih tinggi (aw 0,94-0,84) (Passone et al., 2010).
Uraguchi dan Yamazaki (1978) dalam Makfoeld (1993) menyebutkan terdapat beberapa
faktor pokok yang akan mempengaruhi perkembangan fungi pada bahan pangan yang
disimpan, antara lain: 1) Kandungan air bijian yang disimpan, 2) suhu ruang penyimpanan, 3)
periode penyimpanan, 4) derajat awal serangan oleh fungi sebelum sampai tempat
penyimpanan, 5) banyaknya bendabenda asing (bukan bahan sejenisnya) dan 6) terdapatnya
aktivitas serangga dan kutu dalam ruang simpan. Penanganan pasca panen kacang tanah
harus mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan perkembangan fungi diatas.
Daftar Pustaka
Bommakanti, A.S., and F. Waliyar. Importance of Aflatoxins in Human and
Livestock Health. (http://www.icrisat.org/aflatoxin/health.asp) [diunduh Juli 2011]
William, J.H., et al. Human aflatoxicosis in developing countries: a review of
toxicology, exposure, potensial health consequences, and intervention. The American
Journal of Clinical Nutrition. Vol. 80. No. 5, p. 1106-1122, November 2004. (http://ajcn.org)
[diunduh Agustus 2011]
_______________. Foodborne Pathogenic Microorganisms and Natural Toxins
Handbook: Aflatoxins. (www.fda.gov) [diunduh Juli 2010]
_______________. Aflatoxins in Your Food – and Their Effect on Your Health.
Environmental, Health and Safety Online. (http://www.ehso.com) [diunduh Juli 2011]
_______________. Aflatoxins: Essential Data. CBWInfo.com. 1999.
(http://www.cbwinfo.com) [diunduh Juli 2011]
![Page 8: Pendahuluan evgiz](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022081810/577c7c5e1a28abe0549a503e/html5/thumbnails/8.jpg)
Dharmaputra, O.S, I. Retnowati, S. Ambarwati, and E. Maysra. 2005b. Aspergillus flavus
infection and aflatoxin contamination in imported peanuts at various stages of the delivery
chain in West Java, Indonesia. Paper presented at the 1st International Conference of Crop
Security 2005. Malang, Indonesia 20-27 September 2005.
Fardiaz, D. 1997. Mycotoxin contamination of grains – a review of research in Indonesia.
Proc. of the 17th ASEAN technical seminar on Grain Post-harvest Technology in Lumut,
Perak Malaysia AGPP. Bangkok. p 112-119.
Ginting, E. 2006. Mutu dan kandungan aflatoksin biji kacang tanah varietas Kancil dan
Mahesa yang disimpan dalam beberapa jenis bahan pengemas. Jurnal Agrikultura, 17(3):165-
172.