penanganan reaksi anafilaksis dalam tindakan injeksi

Upload: muhammad-farid

Post on 09-Jul-2015

133 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Penanganan Reaksi Anafilaksis dengan Tindakan InjeksiMUHAMMAD FARID 1010312041 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas 1. Pendahuluan Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistemik akut yang terjadi setelah seseorang yang peka terpapar oleh alergen. Anafilaksis umumnya dapat mengakibatkan kematian atau reaksi subletal dan timbul beberapa menit setelah terpapar suatu alergen berupa protein asing, antibiotik, hormon, obat-obatan lainnya, makanan, bisa serangga, dan alergen-alergen lain yang belum dapat terspesifikasi. Parish dan Oakley (1940: 294295) juga melaporkan bahwa anafilaksis dapat terjadi setelah penyuntikan vaksin tetanus toksoid (TT). Buruknya pengenalan akan gejala dan penatalaksanaan anafilaksis akibat cepatnya manifestasi klinis yang ditimbulkan, prevelansi kasus yang rendah, serta kurangnya pengetahuan klinis dalam merespon reaksi hipersensitivitas tipe I menyebabkan rendahnya prognosis anafilaksis. Selain itu, susahnya identifikasi pasien yang menderita hipersensitivitas tipe I mengakibatkan gejala anafilaksis susah dikenal dan dianggap sepele. Mengingat reaksinya yang fatal dan berlangsung cepat serta tingginya angka kematian yang diakibatkan oleh reaksi anafilaksis, diperlukan suatu upaya untuk menanggulangi reaksi subletal pada respons alergi anafilaktik secara cepat dan efisien. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mendeskripsikan metode penanganan yang tepat terhadap reaksi anafilaktik. Anafilaksis digolongkan ke dalam reaksi hipersensitivitas tipe I karena reaksinya yang berlangsung cepat, terjadi setelah kombinasi antigen dengan antibodi IgE yang terikat pada selsel mast yang akan melepaskan granul-granul berisi mediator yang akan menyebabkan respon imunitas akut pada jaringan. Pada reaksi anafilaktik, pelepasan mediator ini akan mengakibatkan edema laring, bronkospasme, hipetensi akut, disritmia jantung, dan kram pada daerah gastrointestinal dan genitourinaria yang bersifat fatal (Price dan Wilson, 2003: 166). Penelitian akan dilakukan melalui studi literatur. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan berbagai data mengenai anafilaksis berupa patogenesis, epidemiologi dan prognosis kasus, macam tindakan klinis yang dapat dilakukan, serta efektivitas tindakan tersebut dalam merespon reaksi anafilaktik yang didapatkan dari buku dan jurnal ilmiah kedokteran. 2. Pembahasan The American College of Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis Working Group, dalam publikasinya mengenai studi epidemiologi internasional, menyatakan frekuensi keseluruhan dari respon anafilaktik berada pada kisaran 30 hingga 950 kasus per 100.000 orang per tahunnya (Lieberman et al. 2006: 596602). Lebih dari 1 juta kasus anafilaksis terjadi akibat memakan kacang dan sekitar 400.000 kasus anafilaksis akibat bisa serangga setiap tahunnya di seluruh dunia (Working Group on Resuscitation Council, 2008: 9). Prognosis respon anafilaksis secara umum tergolong baik, dengan rasio mortalitas kurang dari 1%. Akan tetapi, resiko kematian akibat respon anafilaksis tetap tinggi dan akan meningkat pada penderita asma atau jika penanganan tidak dilakukan secara cepat. Selain itu, kesalahan responder dalam mendiagnosis gejala respon anafilaksis juga turut meningkatkan resiko kematian. Anafilaksis klinis melibatkan suatu reaksi alergen multifokal yang terjadi mendadak yang terikat pada sel mast, IgE spesifik, diikuti respon jaringan yang tersebar luas terhadap pelepasan zatzat mediator, seperti histamin dan leukotrien. Anafilaksis dapat disebabkan oleh berbagai macam alergen, diantaranya: protein heterolog dalam bentuk hormon (insulin, vasopressin /ADH, parathormone), enzim (tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase), ekstrak serbuk sari, partikel kecil selain serbuk sari (bulu kucing, anjing, surai kuda), makanan (kacang, susu, telur, seafood, serealia, gelatin pada kapsul), antibodi monoklonal, produk industri (produk karet lateks), bisa Hymenoptera (lebah madu, semut api), polisakarida sebagai pengawet vaksin (dekstran, thiomersal), obat-obatan protamin, antibiotik (penisilin, sefalosporin, amfotericin B, nitrofurantoin, quilonon), agen kemoterapi (carboplatin, paclitaxel, doxorubicin), anestetik lokal (procaine, lidocaine), relaksan otot (suxamethonium, gallamine, pancuronium), vitamin (tiamin, asam folat), agen diagnostik (natrium dehidrokolat, sulfobromoftalein), dan produk

samping industri (etilen oksida). Banyak gambaran respon ini dapat ditimbulkan oleh penyuntikan analgetik narkotik, dekstran, antibiotik tertentu dan agen-agen lainnya yang secara langsung melepaskan mediator dari sel mast in vivo, walaupun tidak hanya oleh penyuntikan histamin. Reaksi sistemik terhadap agen tertentu yang diinjeksikanseperti media kontras radiologi dapat menunjukkan sekresi sel mast nonimunologik, karena adanya peningkatan kadar mediator dalam plasma dan pengaktifan komponen komplemen (Fauci, 2008). Terdapat perbedaan onset gejala dan tandatanda spesifik respon anafilaksis antara satu individu dengan individu lainnya, tetapi tanda umumnyaonset beberapa manifestasi klinis pada waktu beberapa menit setelah paparan antigen yang biasanya masuk ke tubuh melalui tindakan injeksi dapat dikenali. Individu yang terpapar alergen akan merasa gelisah, diikuti rasa ringan pada kepala yang dapat menyebabkan sinkop (kehilangan kesadaran). Rasa gatal di telapak tangan dan kulit kepala dapat menjadi urtikaria yang menutupi sebagian besar permukaan kulit. Angiodema dapat timbul dalam beberapa menit dan secara khusus akan mengubah bentuk kelopak mata, bibir, lidah, tangan, kaki, dan genitalia. Obstruksi jalur napas atas dan bawah dapat diasosiasikan dengan perasaan sesak pada dada dan mengi (wheezing) yang terdengar serta stridor yang terdengar mirip asma spontan. Edema laring dapat dilihat melalui benjolan di leher dan dapat menyebabkan gangguan kekuatan bicara serta batuk seperti gonggongan anjing. Berdasarkan hasil yang didapatkan dari studi literatur, dapat diindikasikan bahwa reaksi anafilaksis kebanyakan terjadi pada pemaparan alergen secara langsung ke dalam tubuh penderita dan berlangsung cepat. Oleh karena itu, penanganan harus dilakukan melalui tindakan injeksi dan kateterisasi intravena karena laju absorpsinya yang cepat. Salah satu obat yang dapat diinjeksikan secara aman pada kasus anafilaksis adalah epinefrin/adrenalin. Epinefrin terbukti dapat membalikkan proses anafilaksis karena kerjanya sebagai vasokonstriktor. Gejala ringan anafilaksis dapat dikontrol dengan injeksi 0.3 hingga 0.5 mL epinefrin 1:1000 secara subkutan atau intramuskular dengan pengulangan dosis dalam interval waktu 5 -20 menit jika dibutuhkan (Fauci, 2008 dan Gunawan, 2007: 8082). Pada hipotensi berat, penyerapan epinefrin dari jaringan subkutan berjalan lambat dan epinfrin harus diencerkan menjadi 1:10.000 dan diberikan secara intravena 2.

Akan tetapi, tanpa disertai penggantian volume darah yang memadai akibat kebocoran cairan intravaskular dan pembebasan jalur napas untuk mempertahankan konsentrasi oksigen darah, tindakan akan sia-sia dan efeknya akan terbatas. 3. Penutup Melalui studi literatur ini, dapat disimpulkan bahwa anafilaksis harus direspon secara tepat dan efektif karena onset gejalanya yang berlangsung cepat dan sifat reaksinya yang variatif. Penanganan dapat dilakukan melalui injeksi dan kateterisasi intravena. Karena penyebab anafilaksis belum dapat dispesifikkan dan sifatnya yang letal, diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab spesifik dan penanganan anafilaksis yang tepat dan efektif. 4. Daftar Pustaka Fauci, Anthony S. (ed). 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies. Gunawan, Sulistia Gan (ed). 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Lieberman, Phil, Carlos A. Camargo, Kari Bohlke, Hershel Jick, Rachel L. Miller, et al. Epidemiology of anaphylaxis: findings of the American College of Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis Working Group. Annals of Allergy, Asthma, and Immunology, 97:5, 596-602 (New York, November 2006). Parish, H.J., C.L. Oakley. Anaphylaxis After Injection of Tetanus Toxoid. British Medical Journal, 294295 (London, 24 Februari 1940) . Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, terj. Brahm U. Pendit. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran EGC. Working Group of the Resuscitation Council (UK). 2008. Emergency Treatment of Anaphylactic Reactions. London: Resuscitation Council (UK).