penanganan cedera kepala anastesi.docx
DESCRIPTION
penanganan cidera kepalaTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan
trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada
kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian
dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif,
dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang
tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang
terlambat.
Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien
yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 %
termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa
yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT
Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif.
Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri,
Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
1
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera
kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera
kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan,
peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan
fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala
harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai
berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale nilai ai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
2
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk
garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak
biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign),
ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan
paresis nervus fasialis.
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater.
Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak
bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada
populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang
sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
3
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien
pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal
namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan
klinis.
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek
atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural
akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg
lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung
dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk
and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula
interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying
lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila
meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas.
4
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah
perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih
sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan
sinus draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura
tengkorak mungkin ada atau tidak.
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%,
namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom
seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga
menunjukan adanya hematom subdural.
5
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang
disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu.
Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom
subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun,
sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus
frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan
batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)
otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut.
Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
6
e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera
ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang
paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali. Cedera komosio
yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan
amnesia antegrad.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita
dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-
gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh
suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat,
itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom
seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera
aksonal difus dan cedera otak kerena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang
dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA DI IGD
1. Cedera Kepala Ringan ( GCS 13-15)
a. Pasien dalam keadaan sadar
• Tanpa deficit neurology perawatan luka
• Pemeriksaan radiology hanya atas indikasi
7
• Pasien dipulangkan & keluarga diminta observasi kesadaran bila curiga
kesadaran menurun , segera kembali ke RS
b. Kesadaran terganggu sesaat
• Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
sadar kembali saat diperiksa.
• Dibuat foto kepala.
• Rawat luka
• Pasien pulang observasi bila curiga kesadaran menurun segera
kembali ke RS
c. Keasadaran menurun
• Perubahan orientasi tanpa deficit fokal
• Dilakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala
• Istrahat baring mobilisasi bertahap terapi simptomatik
• Observasi minimal 24 jam di RS bila curiga hematoma skrennigOtak
Kriteria Rawat:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-
jawabkan
10. CT scan abnormal
8
2. Cedera Kepala Sedang
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk
mengikuti perintah sederhana (SKG 9-12).
1. Periksa & atasi gangguan Airway, Breathing, Circulation.
2. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan ke-
sadaran, amnesia, nyeri kepala
3. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
4. Pemeriksaan neurologis
5. Radiograf tengkorak
6. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila
ada indikasi
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap jam
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan
neurologis.
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat akan
memperburuk pasien
4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan
bila perlu 1 tahun setelah cedera
3. Cedera Kepala Berat
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena
gangguan kesadaran.
Di Unit Gawat Darurat
1. Riwayat:
Usia, jenis dan saat kecelakaan
9
Penggunaan alkohol atau obat-obatan
Perjalanan neurologis
Perjalanan tanda-tanda vital
Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang
Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan
yang dipakai serta alergi
2. Stabilisasi Kardiopulmoner:
Jalan nafas, intubasi dini
Tekanan darah, normalkan segera dengan Salin
normal atau darah
Foley, tube nasogastrik kateter
Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen,
pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras
3. Pemeriksaan Umum
4. Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai:
Trakheostomi
Tube dada
Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells
dan traksi
Parasentesis abdominal
5. Pemeriksaan Neurologis:
Kemampuan membuka mata
Respons motor
Respons verbal
Reaksi cahaya pupil
6. Obat-obat Terapeutik:
Bikarbonat sodium
Fenitoin
Steroid
Mannitol
Hiperventilasi
7. Tes Diagnostik
CT scan
PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA
10
1 . Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan riwayat kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua
dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar
mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh
darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan
kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu
sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :
1. Sifat kecelakaan.
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peris tiwanya
sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk
mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan
oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan
(hilang/ turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran
berubah)
2. Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status kesadaran
pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang
teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah:
a.Jalan nafas airway
b.Pernafasan breathing
c.Nadi dan tekanan darah circulation
11
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu
segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi
leher harus berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal(whiplash injury),
jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk.
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa :
a.Pernafasan Cheyne Stokes.
b.Pernafasan Biot/hiperventilasi.
c.Pernafasan ataksik.
yang menggambarkan makin memburuknya tingkat kesadaran. Pemantauan fungsi
sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma
di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain
itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat
merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase
akut disebabkan oleh hematoma epidural.
3. Pemeriksaan Umum
Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum secara
cepat untuk mencari cedera lain. Perhatian khusus diberikan pada:
1. Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea, rhinorrhea,
mata racoon (ekkhimosis periorbital).
2. Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks atau hemotoraks, tamponad
kardiak, (dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan hipotensi),
aspirasi, atau ARDS.
3. Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan biasanya
berakibat tenderness,guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-tanda ini
mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada pasien koma. Adanya
bising usus biasanya pertanda tenang.
12
4. Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara
klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin
berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan darah tersembunyi
dalam jumlah besar.
5. Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan,
dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga 5%
dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang leher paling sering dikenai.
6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak (otot,
saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera untuk
mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan. Tindakan definitif pada
kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah tindakan
terhadap masalah yang mengancam nyawa.
4. Pemeriksaan Neurologis
Tabel 4. Pemeriksaan neurologis awal pada cedera kepala
-------------------------------------------------------
1. Skala Koma Glasgow
2. Respons pupil terhadap cahaya
3. Gerakan mata
4. Kekuatan motor
5. Pemeriksaan sensori sederhana
-------------------------------------------------------
1. Glasgow Coma Seale (GCS)
2. Pupil
Pemeriksaan teliti ukuran pupil serta reaksinya terhadap cahaya adalah paling
penting pada pemeriksaan pertama. Tanda dini herniasi lobus temporal yang
diketahui dengan baik adalah dilatasi ringan pupil serta respons cahaya pupil yang
lambat. Baik kompresi maupun distorsi saraf okulomotor saat herniasi tentorial-unkal
mengganggu fungsi akson parasimpatetik yang menghantarkan sinyal eferen untuk
konstriksi pupil, berakibat dilatasi pupil ringan.
Mencari kelainan pupil lain yang dapat terjadi pada pasien tidak sadar sangat
perlu pada pasien cedera kepala.Pupil kecil bilateral menunjukkan pasien
13
menggunakan obat tertentu, terutama opiat, atau mengalami satu atau beberapa
ensefalopati metabolik atau lesi destruktif dari pons. Dalam hal ini refleks cahaya
pupil. Akhirnya, pupil yang berdilatasi dan fixed bilateral pada pasien dengan
cedera kepala mungkin akibat perfusi vaskular serebral yang inadekuat. Keadaan
ini mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap kehilangan darah atau oleh
peninggian tekanan intrakranial pada tingkat yang mengganggu aliran darah serebral.
Kembalinya respons pupil mungkin terjadi segera setelah perbaikan aliran darah bila
masa perfusi yang inadekuat tidak terlalu lama.
3. Gerakan Mata
Gerakan bola mata merupakan indeks yang paling penting untuk penilaian
aktivitas fungsional batang otak (formatio retikularis). Penderita yang sadar penuh,
dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorik
okuler di batang otak.
4. Fungsi Motor
Pemeriksaan dasar dilengkapi dengan pemeriksaan motor sederhana karena
pasien dengan cedera kepala berat tidak cukup responsif terhadap setiap nilai
pemeriksaan hingga dapat dipercaya. Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai
dengan skala berikut yang digunakan secara internasional:
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
5. Fungsi sensorik
Tujuan pemeriksaan sensorik
– Menetapkan adanya gangguan sensorik.
– Mengetahui modalitasnya.
14
– Menetapkan polanya.
– Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensorik
yang akhirnya dinilai bersama sama dengan pemeriksaan motorik
Pemeriksaan Tambahan
A. RONTGEN
Peranan foto rontgen tengkorak banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun
beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto
Rontgen tengkorak dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto Rô
tengkorak biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan pada keadaan :
Defisit neurologik fokal.
Liquorrhoe.
Dugaan trauma tembus/fraktur impresi.
Hematoma luas di daerah kepala.
Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi tangensial pada
dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path dugaan fraktur basis dan proyeksi khusus
lain pada dugaan fraktur tulang wajah.
B. CT SCAN
CT scanning jelas merupakan prosedur pilihan dalam mengevaluasi pasien
cedera kepala dan kemungkinan memperbaiki secara jelas outcome pasien dengan
cedera kepala. Setiap kali muncul scanner generasi baru, selalu disertai dengan
perbaikan informasi yang diberikan. Dianjurkan sekali bahwa CT scan emergensi
harus dilakukan sesegera mungkin (dalam setengah jam) setelah pasien dengan
cedera kepala berat datang. Lesi densitas tinggi (hematoma epidural, subdural,
intraserebral) dianggap memerlukan tindakan operasi dekompresi bila menyebabkan
pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Dengan kata lain, dasar pemikiran
ditekankan pada derajat pergeseran garis tengah dalam menentukan pasien mana
yang harus dioperasi. Pergeseran garis tengah yang bermakna pada pasien cedera
kepala sudah dibuktikan ada kaitannya dengan tingkat kesadaran.
15
Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah. Edema mungkin
fokal, multi fokal atau diffusa. Dengan edema serebral difusa, mungkin sulit untuk
memastikan densitas yang lebih rendah karena tidak ada area otak normal sebagai
pembandingnya.
Kontusi serebral tampak sebagai area densitas tinggi yang tak homogen
yang tersebar diantara area densitas rendah. Walau tidak selalu mungkin
membedakan antara hematoma subdural dan epidural pada CT scan, yang terakhir ini
khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, karena perlekatan yang erat antara
dura dengan tabula interna mencegah hematoma mengalami penyebaran.
Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi lebih difus dibanding
hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang mengikuti permukaan
otak. Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak pasti.
Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi dilobus frontal dan
temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja.
Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area densitas rendah
dibanding otak sekitarnya. Infarksi dapat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari
onsetnya, dan lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh.
Pembedahan
Yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah
pendarahan ulang.
Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
• Status neurologis
• Status radiologis
• Pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
• Massa hematoma kira-kira 40 cc
• Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
16
• EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah dengan GCS 8
atau kurang.
• Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran
garis tengah lebih dari 5 mm.
• Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai berkembangnya
tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.
Indikasi BWT hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat :
• Dilatasi pupil ipsilateral
• Hemiparese kontralateral
• Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.
• Indikasi operasi pada faktur depres :
• Lebih dari satu tabula
• Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya
• LCS leakage
• Fraktur depres terbuka
• Preventif growing fracture pada anak.
Hasil :
1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10%
2. SDH:
Serlig et al : operasi dalam 4 jam pertama mortality 30%
operasi setelah 4 jam mortality 90%
Hasselberger et al :
• pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47%
• pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%
17
2. ICH: mortality 27% -50%
Terapi konservatif
Cairan intravena. Pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan
menggunakan cairan hipotonis / glukosa. Cairan garam hipertonis : cairan NaCl 0,9 %, 3%-
27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro
trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial,
mempertahankan volume intravaskular euvolume. Dengan akses vena sentral diberikan NaCl
3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan monitor
pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl
fisiologis sampai 4-5 hari
Hiperventilasi fase akut. Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial,
hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus
dicegah. Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak
traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis
akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap
sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.
Terapi hiperosmoler –manitol. Merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma,
menghasilkan gradient osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan
efek optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah,
meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi
serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan efek samping reboun
peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak terjadi skuestrasi serebral,
overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml
osmol/L.) Manitol diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi
dengan atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif
dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,25- 1
g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan mempertahankan osmolalitas
serum < 320 ml osmol/L.
18
Barbiturat. Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi
intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah
untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi
penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik
secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital
diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam
untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi.
menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral,
merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi
burst.
Kortikosteroid. Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan
tekanan intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan
Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan pada
tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang signifikan. Efek
samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus gastrointestinal (85%).
Nutrisi. Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang
lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan
meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari
dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat
mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
Kebutuhan Nutrisi:
• Kalori 25 – 30 Kcal/KgBB/Hr
• Protein 1,5 – 2 gr/KgBB/Hr
• Karbohidrat 75 – 100 gr/Hr (7,2 gr/KgBB/Hr)
• Lipid 10 – 40 % kebutuhan kalori / hari
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral berat meningkat rata-rata
40%.
19
Terapi prevensi kejang. Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan
TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah
berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis
dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-
faktor yang lain misalnya: hipoglikemi, gangguan elektrolit, infeksi.
KOMPLIKASI CEDERA KEPALA
1.Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25%
(dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya
adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium,
kontusio serebri, GCS <10.
2.Demam dan mengigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk
“outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan
dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik,
koma barbiturat, asetazolamid.
3.Hidrosefalus
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.
Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala
klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia,
gangguan miksi.
4.Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.
Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa
20
penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur,
Bantuan dalam posisioning. Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi
sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum,
benzodiasepin
5. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium,
agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan
penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan
menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin
dan terapi modifikasi lingkungan.
6. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera
kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala
masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada
74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan
Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan
kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan
perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat
memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan
tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko
depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan
tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.
7. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan
pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap
21
suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori, Afektif: iritabel, cemas, depresi,
emosi labil.
PROGNOSIS
Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama
perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh belas
persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun
pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.
Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:
Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30
menit, penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam. William, 2001 meneliti 215
cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat
gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan. Rontgen tulang tidak direkomendasikan
untuk evaluasi cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya
lesi intrakranial.
Faktor-faktor yang dapat menjadikan ”Predictor outcome” cedera kepala adalah:
lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme
cedera dan umur.
Pengukuran outcome: Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang
sering digunakan:
Glasgow Outcome Scale (GOS)
Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan
sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya),
kembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah)
KESIMPULAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.
22
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Cedera sekunder merupakan cedera
yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan RY, et al. Satyanegara : Ilmu Bedah Saraf. Edisi 4. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama; 2010.hlm.7-15.
2. Sidharta P. Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2006.
3. http://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview . 15 Juni 2013.
4. Sugiharto, et al. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC: 2006.hlm.740-59.
5. Gerard M. Current Surgical Diagnosis & Treatment. Ed 11. 2003. Hlm.837-43.
6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th ed.
McGraw-Hill;2005. 1615-20.
7. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Oxford Textbook of Surgery 2nd ed. Volume 3.
Oxford Press;2000
8. Charles, F. Schwartz’s Principles of Surgery. Ed 9. USA: The McGraw Hill; 2010.
9. Kaye A. Textbook of Surgery. Ed 3. USA: Blackwell Publishing; 2006. Hlm.417-25.
23
10. Tim Neurotrauma. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Surabaya : FK UNAIR; 2007.
24