penampilan peternakan kambing dan potensi bahan

7
Lokakarya Nasional Kambing Potong 157 PENAMPILAN PETERNAKAN KAMBING DAN POTENSI BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI KOMPONEN PENDUKUNGNYA DI WILAYAH PROPINSI JAWA TENGAH S. PRAWIRODIGDO, T. HERAWATI DAN B. UTOMO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah PENDAHULUAN Kambing adalah ternak penting sebagai penopang ketahanan kehidupan petani miskin. Informasi dari pustaka klasik (HEMMER et al.; 1991) menyatakan, bahwa selama periode 1981- 1990 negara-negara tropis yang semula mengabaikan pentingnya peranan ternak kambing bangkit dari kondisi dorman tersebut. Pada periode itu semangat dan tindakan pengembangan maupun aktivitas ilmiah telah diintensifkan pada sasaran meningkatkan produksi dan memperluas landasan pengetahuan terapan tentang pakan, pemuliabiakan, dan pengendalian penyakit) untuk usaha ternak kambing (HEMMER et al., 1991) Dari sisi ilmiah, pada dekade tersebut para peneliti di Indonesia (BASUKI et al., 1982; OBST et al., 1982; THOMAS, 1982; AMSAR et al., 1989; ISROLI et al., 1989; MARYANTO dan NOERDJITO, 1989; MATHIUS, 1989; SETIADI, 1989; SUSILO et al., 1989; TRIWULANINGSIH, 1989) juga peduli terhadap upaya peningkatan produksi ternak kambing. Walaupun demikian karena terjadi krisis kompleks di Indonesia, maka semangat kebangkitan dalam meningkatan budidaya ternak kambing tersebut melemah. Menurut KNIPSCHEER et al. (1994), konsumsi/ kapita daging merah (red meat, termasuk diantara- nya daging sapi, kambing dan domba) di Indonesia sangat rendah yaitu 2 kg/tahun, karena ketersediaan daging ini tidak dapat memenuhi kebutuhan. Pada tahun yang sama, SOEDJANA (1994) berpendapat bahwa meskipun masih mengimpor daging merah, sebenarnya Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi negara pengekspor daging ternak ruminansia kecil ke negara-negara Asia dan Timur- Tengah. Pada tahun 2004 DINAS PERTANIAN KABUPATEN TEMANGGUNG (komunikasi langsung) menyatakan informasi serupa bahwa Pemerintah Daerah Temanggung pernah mendapat permintaan menyediakan 2500 ekor/bulan ternak kambing atau domba untuk diekspor ke negara-negara Timur Tengah. Tetapi Pemda Temanggung belum dapat menanggapi permintaan tersebut karena stock ternak dimaksud di Temanggung tidak dapat mencukupi permintaan secara rutin. KNIPSCHEER et al. (1994) menambahkan bahwa introduksi ternak kambing/domba dalam skala kecil terhadap sistem usaha tani pada suatu keluarga petani miskin, umumnya mampu meningkatkan 30% lebih dari pendapatan mereka. NOLAN et al. (1994) mendukung pernyataan DEVENDRA (1980) bahwa kambing/domba adalah ternak yang biasanya dikaitkan dengan kehidupan petani miskin di negara-negara sedang berkembang. Meskipun budidaya ternak kambing dapat meningkatkan pendapatan petani namun umumnya usaha ternak ini masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan pakan seadanya (KNIPSCHEER et al., 1994). Tentu saja untuk berhasil guna, sistem pemeliharaan kambing tradisional ini harus ditingkatkan menjadi sistem budidaya intensif yang berorientasi agribisnis. Masalah ini sampai sekarang belum mendapat solusi yang memuaskan. DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH (2003) melaporkan bahwa populasi kambing di propinsi ini pada tahun 2002 adalah 2.971.257 ekor. Makalah ini difokuskan untuk mengulas penampilan peternakan kambing dan potensi pakan lokal di pedesaan di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Tujuan penyajian makalah ini adalah untuk menginformasikan perspektif peternakan kambing di Jawa Tengah sebagai bahan dasar pertimbangan dalam perencanaan penelitian dan pengembangan ternak tersebut di pedesaan. ILUSTRASI PERKEMBANGAN PETERNAKAN KAMBING DI PEDESAAN Ilustrasi perkembangan peternakan kambing yang disampaikan dalam makalah ini adalah penjabaran dari data statistik peternakan Propinsi Jawa Tengah (DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH, 2003) dan ringkasan keadaan riil yang terlihat di pedesaan secara langsung. Hal-hal yang terutama berkaitan dengan kondisi rill peternakan kambing tertutama adalah perbibitan, pakan, perkandangan, dan pengelolaannya. Berdasarkan sifat atau pola usaha ternak, maka pengertian petani ternak kambing di Jawa Tengah pada makalah ini didefinisikan sebagai peternak

Upload: yusuf-rahim

Post on 19-Jan-2016

105 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

done

TRANSCRIPT

Page 1: Penampilan Peternakan Kambing Dan Potensi Bahan

Lokakarya Nasional Kambing Potong

157

PENAMPILAN PETERNAKAN KAMBING DAN POTENSI BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI KOMPONEN PENDUKUNGNYA DI

WILAYAH PROPINSI JAWA TENGAH

S. PRAWIRODIGDO, T. HERAWATI DAN B. UTOMO

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

PENDAHULUAN

Kambing adalah ternak penting sebagai penopang ketahanan kehidupan petani miskin. Informasi dari pustaka klasik (HEMMER et al.; 1991) menyatakan, bahwa selama periode 1981-1990 negara-negara tropis yang semula mengabaikan pentingnya peranan ternak kambing bangkit dari kondisi dorman tersebut. Pada periode itu semangat dan tindakan pengembangan maupun aktivitas ilmiah telah diintensifkan pada sasaran meningkatkan produksi dan memperluas landasan pengetahuan terapan tentang pakan, pemuliabiakan, dan pengendalian penyakit) untuk usaha ternak kambing (HEMMER et al., 1991) Dari sisi ilmiah, pada dekade tersebut para peneliti di Indonesia (BASUKI et al., 1982; OBST et al., 1982; THOMAS, 1982; AMSAR et al., 1989; ISROLI et al., 1989; MARYANTO dan NOERDJITO, 1989; MATHIUS, 1989; SETIADI, 1989; SUSILO et al., 1989; TRIWULANINGSIH, 1989) juga peduli terhadap upaya peningkatan produksi ternak kambing. Walaupun demikian karena terjadi krisis kompleks di Indonesia, maka semangat kebangkitan dalam meningkatan budidaya ternak kambing tersebut melemah.

Menurut KNIPSCHEER et al. (1994), konsumsi/ kapita daging merah (red meat, termasuk diantara-nya daging sapi, kambing dan domba) di Indonesia sangat rendah yaitu 2 kg/tahun, karena ketersediaan daging ini tidak dapat memenuhi kebutuhan. Pada tahun yang sama, SOEDJANA (1994) berpendapat bahwa meskipun masih mengimpor daging merah, sebenarnya Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi negara pengekspor daging ternak ruminansia kecil ke negara-negara Asia dan Timur-Tengah. Pada tahun 2004 DINAS PERTANIAN KABUPATEN TEMANGGUNG (komunikasi langsung) menyatakan informasi serupa bahwa Pemerintah Daerah Temanggung pernah mendapat permintaan menyediakan 2500 ekor/bulan ternak kambing atau domba untuk diekspor ke negara-negara Timur Tengah. Tetapi Pemda Temanggung belum dapat menanggapi permintaan tersebut karena stock ternak dimaksud di Temanggung tidak dapat mencukupi permintaan secara rutin. KNIPSCHEER et

al. (1994) menambahkan bahwa introduksi ternak kambing/domba dalam skala kecil terhadap sistem usaha tani pada suatu keluarga petani miskin, umumnya mampu meningkatkan 30% lebih dari pendapatan mereka. NOLAN et al. (1994) mendukung pernyataan DEVENDRA (1980) bahwa kambing/domba adalah ternak yang biasanya dikaitkan dengan kehidupan petani miskin di negara-negara sedang berkembang. Meskipun budidaya ternak kambing dapat meningkatkan pendapatan petani namun umumnya usaha ternak ini masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan pakan seadanya (KNIPSCHEER et al., 1994). Tentu saja untuk berhasil guna, sistem pemeliharaan kambing tradisional ini harus ditingkatkan menjadi sistem budidaya intensif yang berorientasi agribisnis. Masalah ini sampai sekarang belum mendapat solusi yang memuaskan.

DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH (2003) melaporkan bahwa populasi kambing di propinsi ini pada tahun 2002 adalah 2.971.257 ekor. Makalah ini difokuskan untuk mengulas penampilan peternakan kambing dan potensi pakan lokal di pedesaan di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Tujuan penyajian makalah ini adalah untuk menginformasikan perspektif peternakan kambing di Jawa Tengah sebagai bahan dasar pertimbangan dalam perencanaan penelitian dan pengembangan ternak tersebut di pedesaan.

ILUSTRASI PERKEMBANGAN PETERNAKAN KAMBING DI PEDESAAN

Ilustrasi perkembangan peternakan kambing yang disampaikan dalam makalah ini adalah penjabaran dari data statistik peternakan Propinsi Jawa Tengah (DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH, 2003) dan ringkasan keadaan riil yang terlihat di pedesaan secara langsung. Hal-hal yang terutama berkaitan dengan kondisi rill peternakan kambing tertutama adalah perbibitan, pakan, perkandangan, dan pengelolaannya.

Berdasarkan sifat atau pola usaha ternak, maka pengertian petani ternak kambing di Jawa Tengah pada makalah ini didefinisikan sebagai peternak

Page 2: Penampilan Peternakan Kambing Dan Potensi Bahan

Lokakarya Nasional Kambing Potong

158

dan pemelihara ternak. Dalam hal ini, yang dimaksud peternak kambing adalah petani yang melakukan budidaya ternak kambing yang sudah menerapkan pertimbangan ekonomis. Di lain pihak, pemelihara ternak kambing adalah petani yang melakukan budidaya ternak kambing, tetapi belum begitu intensif dalam mempertimbangkan keuntungan-kerugian secara finansial.

Perkembangan Populasi Ternak Kambing

Data dari 29 kabupaten di wilayah Propinsi JawaTengah menunjukkan bahwa populasi ternak kambing dimasing-masing kabupaten bervariasi (Tabel1). Populasi ternak kambing pada tahun 2002 terbanyak terdapat di Wonogiri yaitu 14,7% dari total populasi Jawa Tengah (DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH, 2003), sedangkan yang terendah di daerah Kabupaten Kudus (0,6%). Di samping Wonogiri, daerah kabupaten-kabupaten lainnya yang menjadi sepuluh besar kantong (sentra) ternak kambing adalah Brebes (6,1%), Purworejo (5,7 %), Banyumas (5,3%), Purbalingga (5,0%), Grobogan (4,9%), Kebumen (4,9%), Pemalang (4,1%), Boyolali (4,1%) dan Banjarnegara (4,0%).

Berdasarkan populasi ternak kambing pada tahun 1998-2002, populasi ternak kambing di 17 kabupaten mengalami pertumbuhan (Tabel 1), tetapi nilai pertumbuhannya selama kurun waktu lima tahun tersebut sangat rendah. Persentase perkembangan populasi yang paling tinggi terjadi di Daerah Kabupaten Temanggung (bertambah 31612 ekor), kemudian diikuti oleh Wonogiri (79064 ekor), Wonosobo (16176 ekor), Rembang (10807), Kebumen (18148 ekor), dan Purbalingga (14218 ekor) (Tabel 1). Tetapi di 12 kabupaten lainnya justru mengalami penurunan. Rendahnya perkembangan populasi ternak kambing ini diduga karena adanya empat faktor penyebab sebagai berikut :

Perhatian dan bahkan pengetahuan petani terhadap perbibitan ternak kambing rendah. Pada sistem pengelolaan usaha di mana petani masih bersifat sebagai pemelihara ternak, umumnya petani kurang atau bahkan tidak memperhatikan masalah perbibitan ternaknya secara intensif. Pada sistem demikian umumnya petani kurang memperhatikan perkawinan dan kelahiran anak kambing mereka, sehingga wajar kalau petani mengeluh bahwa kambing tidak mau bunting dan mortalitas anak kambing yang baru di lahirkan tinggi.

Terjadi kematian pada anak dan induk yang cukup tinggi karena gangguan penyakit sebagai akibat pemberian pakan dan higien sanitasi/sistem perkandangan yang tidak sesuai. Meskipun sudah banyak inovasi teknologi budidaya ternak kambing yang dilakukan oleh Departemen Pertanian maupun Perguruan Tinggi, namun umumnya petani kurang memperhatikan proporsi bahan pakan yang diberikan pada ternak kambing setiap hari. Di samping itu masih banyak petani yang menerapkan sistem perkandangan lemprak yaitu bukan panggung (WILOETO et al., 2000), dan pembersihan kandang umumnya hanya dilakukan setiap 35 hari atau bahkan tiga bulan sekali. Dalam sistem pengelolaan kandang ini umumnya petani lebih mengutamakan produksi pupuk kandang dari pada perkembangan ternaknya sendiri atau hasil ternak lainnya. Sistem pemeliharaan demikian tentu saja akan mengakibatkan ternak kambing menjadi rentan terhadap gangguan penyakit dan konsekuensinya tidak dapat menghasilkan penampilan reproduksi maupun produksi yang memuaskan.

Berkurangnya minat petani terhadap usaha ternak kambing. Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa umumnya minat petani untuk beternak kambing berkurang karena keengganan dalam mengatasi kendala pada budidaya ternak ini. Kendala utama yang sering dikeluhkan adalah kesulitan mengatasi penyakit kudis (Scabies), penyakit mata (Orf), kesulitan mendapatkan pakan kesukaan kambing yang sangat berbeda dengan kesukaan domba, dan kematian kambing muda karena sakit kembung.

Meningkatnya konsumsi daging kambing. Pada Tabel 1 tercantum bahwa selama lima tahun secara keseluruhan terjadi kenaikan produksi daging kambing 1328 ton. Data produksi ini merupakan hasil kalkulasi dari jumlah ternak kambing yang dipotong di Jawa Tengah selama lima tahun (DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH, 2003). Meskipun data ini tidak memberikan refleksi sebenarnya tentang perkembangan populasi ternak kambing di Jawa Tengah, namun paling tidak menunjukkan perspektif tentang minat konsumen di Jawa Tengah terhadap daging kambing. Secara meluas telah diterima bahwa untuk hewan korban pada Hari Raya Idul Adha, ternak kambing mempunyai nilai jual lebih tinggi dari pada ternak domba. Sejalan dengan itu dapat dimengerti bahwa bersama-sama dengan ketiga faktor lainnya, faktor meningkatnya konsumsi daging kambing secara simultan menekan laju pertumbuhan populasi ternak kambing di Jawa Tengah.

Page 3: Penampilan Peternakan Kambing Dan Potensi Bahan

Lokakarya Nasional Kambing Potong

159

Tabel 1. Perkembangan populasi dan produksi daging kambing di Jawa Tengah

Populasi (ekor) Produksi daging (kg)

Kabupaten 1998 2002 Perkembangan (%)

1998 2002 Perkembangan (%)

Banjarnegara 159336 120016 -24,7 151491 559560 269,4

Banyumas 158146 156481 -1,1 351731 784182 122,9

Batang 52485 49475 -5,7 86128 57765 -32,9

Blora 90181 89090 -1,2 287373 140395 -51,1

Boyolali 121918 120702 -1,0 90788 90041 -0,8

Brebes 164449 179794 9,3 702271 447346 -36,3

Cilacap 91225 90442 -0,9 242202 898367 270,9

Demak 42762 38018 -11,1 48584 137716 183,5

Grobogan 139635 146651 5 286329 293786 2,6

Jepara 42502 44870 5,6 92574 279204 201,6

Karanganyar 38078 21331 -44,0 78660 65585 -16,6

Kebumen 128488 146636 14,1 873355 348644 -60,1

Kendal 64457 56720 -12,0 204919 589326 187,6

Klaten 61844 65685 6,2 310904 854067 174,7

Kudus 42280 18834 -55,5 125016 114617 -8,3

Magelang 58057 58552 0,9 44589 4577 -89,7

Pati 99025 107578 8,6 804863 438877 -45,5

Pekalongan 43934 44761 1,9 103264 136863 32,5

Pemalang 133322 121691 -8,7 161668 65296 -59,6

Purbalingga 132963 147181 10,7 110500 108311 -2,0

Purworejo 165915 168495 1,6 279189 1037452 271,6

Rembang 70801 81608 15,3 59165 137139 131,8

Semarang 111537 114615 2,8 tad tad Tad

Sragen 64090 67359 5,1 140004 79074 -43,5

Sukoharjo 31923 32312 1,2 87254 399707 358,1

Tegal 50757 45194 -11,0 1104989 421592 -61,8

Temanggung 54089 85701 68,4 23688 104840 342,6

Wonogiri 359186 438250 22,0 1484240 950823 35,9

Wonosobo 97039 113215 16,7 102456 239504 133,0

Total 2870424 2971257 3,5 8456643 9784656 15,7

tad = tidak ada data

Sumber: DINAS PETERNAKAN PROPINBSI JATENG (2003)

Page 4: Penampilan Peternakan Kambing Dan Potensi Bahan

Lokakarya Nasional Kambing Potong

160

Jenis Ternak Kambing Yang Berkembang

Di wilayah Propinsi Jawa Tengah terdapat empat jenis ternak kambing yang dibudidayakan oleh masyarakat. Jenis kambing ini menjadi ternak andalan Pemda Jawa Tengah. Namun untuk memastikan apakah ke-empat jenis kambing ini dapat dideterminasi sebagai empat macam bangsa kambing yang mempunyai karakter (standard of perfection) berbeda perlu penelitian lebih lanjut. Adapun karakter phenotypic ringkas dari ke-empat jenis kambing tersebut adalah sebagai berikut:

Kambing Peranakan Etawah

Kambing Peranakan Etawah yang sudah terkenal dengan sebutan kambing PE adalah kambing tipe penghasil susu. Ternak ini bertubuh ramping. Yang jantan berpenampilan lebih kokoh dan dalam keadaan tegak dapat mencapai ketinggian ± 1,5 m. Kambing ini terutama terdapat di Kaligesing, Daerah Kabupaten Purworejo.

Kambing Kacang

Ternak kambing ini merupakan tipe ternak pedaging. Tubuhnya kecil dengan bobot dewasa ± 20 kg. Umumnya warna kulitnya merah kecoklatan dan hitam, beranak tunggal atau kembar. Daerah basis jenis Kambing Kacang ini adalah Kabupaten Grobogan dan Blora.

Kambing Jawarandu

Kambing Jawarandu meskipun berpotensi sebagai tipe kambing dwi guna (perah dan pedaging), pemanfaatannya lebih dominan sebagai kambing tipe potong. Ternak ini merupakan hasil persilangan antara kambing Kacang dan kambing Etawah. Kambing Jawarandu ini banyak dibudidayakan di daerah pesisir pantai utara. Contohnya di Brebes, Tegal, dan Pekalongan.

Kambing Kejobong

Kambing Kejobong adalah tipe kambing pedaging. Ternak ini mirip kambing Kacang, tetapi lebih besar. Oleh karena itu untuk memastikan bedanya dengan kambing Kacang perlu dilakukan diterminasi lebih mendalam. Lokasi utama kambing Kejobong ini adalah Daerah Kabupaten Purbalingga.

Perkembangan Pola Usaha

Pola usaha ternak kambing di Jawa Tengah sebenarnya pernah mulai bergeser dari usaha pemeliharaan menjadi usaha peternakan yang berwawasan agribisnis, tetapi karena Indonesia mengalami krisis moneter, perubahan tersebut tidak berkelanjutan. Sebagai contoh di Daerah Kotamadya Semarang pernah terdapat perusahaan peternakan kambing intensif cukup besar, tetapi karena pemerintah kurang berdaya dalam mengendalikan kebrutalan masyarakat yang timbul sebagai dampak krisis moneter, maka perusahaan ini bubar. Sementara ini di pedesaanmemang masih dapat dijumpai petani yang melakukan pengggemukan kambing secara tradisional untuk dipasarkan pada hari-hari besar. Tetapi, pada usaha yang demikian jumlah ternak kambing yang digemukkan tidak begitu banyak, dan pertimbangan keuntungan finansial juga belum dikalkulasi secara benar. Pada umumnya peternakan kambing tipe pedaging masih menggunakan sistem kandang lemprak, dan pemberian pakan hanya berdasarkan asal ternak kenyang. Fakta di pedesaan menunjukkan bahwa umumnya petani memberikan leguminosa secara berlebihan, bahkan kadang total berupa daun leguminosa (100% leucaena leucochephala). Meskipun ternak ruminansia kecil di Indonesia toleran terhadap racun yang terkandung dalam pakan leguminosa, pemberian pakan yang kandungan nutriennya tidak seimbang tentu saja pemanfaatannya tidak efisien. Oleh karena itu perlu pendekatan intensif kepada petani di pedesaan agar mau merubah kultur budidaya ternaknya sehingga keuntungan yang diperoleh maksimal.

Selain itu, pada pola usaha yang masih bersifat pemeliharaan umumnya petani hanya memiliki 3–5 ekor kambing. Jumlah pemilikan ini menurut DJAJANEGARA (komunikasi langsung) tidak ekonomis. Lebih lanjut disarankan bahwa untuk lebih berhasilguna seharusnya petani minimal mengusahakan 8 ekor kambing betina dengan seekor pejantan. Oleh karena di Indonesia tidak terdapat kompetisi pasar dengan daging kambing/ domba impor, maka seharusnya pola usaha ternak kambing secara tradisional di pedesaan dapat dikembangkan menjadi pola usaha berwawasan agribisnis dengan tetap berpedoman pada filosopi kelestarian lingkungan. Sampai saat ini perkembangan usaha kambing PE belum begitu nyata. Pemasaran susu kambing PE memang sudah mulai dipromosikan di Jawa Tengah, tetapi hasilnya belum memuaskan. Umumnya dalam pemasaran produksi kambing PE petani masih berpola pikir

Page 5: Penampilan Peternakan Kambing Dan Potensi Bahan

Lokakarya Nasional Kambing Potong

161

untuk dapat memasarkan kambing sebagai bibit ternak unggul. Petani bahkan telah menentukan tingkat harga bibit sesuai dengan klas kualitas kambing menurut kriteria yang dibuat oleh kelompok tani. Hal ini logis karena harga jual ternak sebagai bibit sangat tinggi, tetapi masalahnya permintaan bibit ternak kambing tidak rutin terus-menerus. Oleh karena itu diperlukan solusi nyata untuk pemasaran susu kambing, sehingga pola usaha produksi susu kambing ini berkembang pesat.

POTENSI BAHAN PAKAN LOKAL

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha ternak kambing. Meskipun dapat memanfaatkan pakan kasar seperti ternak domba, namun pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan ternak kambing dapat mengakibatkan pemanfaatan zat gizi pakan tidak efisien. Pemberian pakan yang tidak mencukupi kebutuhan nutrien ternak mengakibatkan depresi pada pertumbuhan dan penampilan reproduksi. Sebaliknya, pemberian pakan berlebihan tidak hanya akan menimbulkan pemanfaatan pakan yang tidak efisien, tetapi juga akan mempercepat pengurasan sumberdaya alam yang tersedia. Selanjutnya pemberian pakan yang berlebihan ini juga akan menimbulkan pemborosan tenaga kerja. Sebagai contoh para petani di Desa Ngrawoh, Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora mengeluh bahwa pada musim kemarau untuk mendapatkan pakan yang cukup bagi ternak kambing yang diusahakan, mereka harus menempuh perjalanan beberapa kilometer dari rumah tinggalnya. Kondisi demikian ternyata mempengaruhi semangat petani dalam budidaya ternak kambing. Oleh karena itu untuk usaha peternakan kambing yang berwawasan agribisnis, maka perhatian perlu diarahkan pada kualitas pakan dan pengelolaan pemberiannya. Sehubungan dengan itu, petani perlu inovasi pengaturan proporsi bahan pakan sebagai komponen dalam suatu formula pakan (diet) agar dapat menyediakan pakan yang memenuhi kebutuhan nutrien ternak. Selain itu, petani juga memerlukan penjelasan tentang tata cara pemberian pakan yang benar.

Sebenarnya di Jawa Tengah terdapat berbagai jenis bahan pakan lokal yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk bahan pakan kambing, tetapi evaluasi profil dan karakter bahan pakan tersebut sebagai komponen diet kambing baru sebagian yang dilakukan. Orskov (komunikasi langsung) menyatakan bahwa selama kunjungannya di Indonesia melihat berbagai bahan pakan lokal

berlimpah yang dapat berfungsi untuk pakan ternak belum digunakan secara maksimal. Akhir-akhir ini WAHYONO et al. (2002) dalam percobaannya telah berhasil memproduksi complete feed (pakan bebas rumput segar) untuk pakan ternak kambing/domba dengan mencampur berbagai limbah pertanian yang kurang dimanfaatkan.

DINAS PERTANIAN TEMANGGUNG (komunikasi langsung) menyatakan bahwa di daerah Temanggung setiap tahun tersedia limbah pertanian 1,2 juta ton. Walaupun demikian jenis atau klasifikasi limbah pertanian tersebut tidak dirinci. Menurut estimasi SYAMSU et al. (2003) produksi bahan kering (BK) limbah pertanian di Jawa Tengah adalah sebagai berikut: 6.370.043 ton BK jerami padi, 500.428 ton BK jerami jagung, 234.215 ton BK jerami kedelai, 307.214,1 ton jerami kacang tanah, 208.705,7 ton pucuk ubi kayu, dan 22.871,2 ton jerami ubi jalar. Selanjutnya diinformasikan bahwa produksi limbah pertanian di Jawa Tengah mengandung 34.532.342 ton nutrien tercerna total (total digestible nutriens, TDN) dengan protein kasar 4.284.119 ton (SYAMSU et al., 2003).

Selain bahan pakan yang diulas oleh SYAMSU et al., (2003) di Jawa Tengah masih terdapat berbagai jenis bahan pakan lokal berupa limbah pertanian lainnya dan limbah industri pangan (Tabel 2). Pencatatan potensi produksi bahan-bahan pada Tabel 2 ini belum pernah dilakukan Oleh karena itu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah merencanakan melakukan pendataan potensi bahan pakan lokal tersebut untuk kepentingan pertimbangan daya dukung pakan ternak di Jawa Tengah.

PENELITIAN YANG DIPERLUKAN

Guna mendukung program dalam inovasi teknologi budidaya ternak kambing di pedesaan, maka BPTP Jawa Tengah mengharapkan hasil-hasil penelitian dasar dari Balai maupun Pusat Penelitian Ternak di Bogor dan Perguruan Tinggi. Adapun penelitian-penelitian yang diperlukan antara lain:

Evaluasi sifat genetik untuk klasifikasi kualitas Kambing PE, dan untuk mempromosikan bahwa Kambing Kejobong merupakan plasma nutfah kambing khas Purbalingga Evaluasi kebutuhan nutrien kambing baik untuk tipe pedaging maupun tipe penghasil susu. Untuk tipe penghasil susu sebagian sudah dilaksanakan oleh MATHIUS et al. (2003).

Evaluasi profil dan karakter nutrien bahan pakan lokal yang tersedia di Jawa Tengah sehingga kami dapat menyusun formula pakan spesifik lokasi yang berhasil guna.

Page 6: Penampilan Peternakan Kambing Dan Potensi Bahan

Lokakarya Nasional Kambing Potong

162

Tabel 2. Berbagai bahan pakan potensial untuk ternak kambing di Jawa Tengah

Klasifikasi limbah Nama limbah Lokasi potensial

Limbah perkebunan Kulit kopi Wonosobo, Temanggung Kulit buah kakao Semarang, Temanggung Daging buah jambu mente Wonogiri Limbah industri pangan Ampas tahu Hampir di semua daerah Dedak padi Banjarnegara, Demak, Grobogan,

Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, dll. Onggok singkong Banjarnegara, Batang, Pati, Purbalingga,

Semarang, Temanggung, dan Wonogiri Kulit singkong Banjarnegara, Batang Magelang, Pati,

Purwoker-to, Semarang, Temanggung, dan Wonogiri

Kulit telur Semarang Ampas kecap Cilacap, Grobogan, Magelang, Pati,

Juwono, Semarang, Surakarta dan Wonosobo

Bungkil minyak kelapa Purbalingga Limbah tanaman pangan Daun dan batang sayuran Banjarnegara, Karanganyar, dan

Semarang, Ubi talas (Cocoyam) Temanggung

DAFTAR PUSTAKA

AMSAR, SOEDJADI dan RISMANIAH, I. 1989. Konformasi tubuh kambing lokal di daerah Banyumas. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 146-151. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO dan W.K. SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

BASUKI, P. HARDJOSUBROTO, W., KUSTONO dan NGADIONO, N. 1982. Performnas produksi dan reproduksi kambing Peranakan Etawah (PE) dan Bligon. Pros. Seminar Penelitian Peternakan. Hlm. 104-108. P. RONOHARDJO, I. P. KOMPIANG, M. RANGKUTI, P.SITORUS, M.E. SIREGAR, SOETIONO, E. DJAMALUDIN dan S. WAHYUNI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

DEVENDRA, C. 1980. Potential od sheep and goats in less-developed countries. Journal of Animal Science, 51: 461-479 DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH. 2003. Statistik Peternakan Propinsi Jawa Tengah. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah, Semarang.

HEMMER, H.R., HORST, P. and MUKHERJEE, T.K. 1991. Goat husbandry and breeding in the tropics (J.M. Panandam, S. Sivaraj, T.K. Mukherjee, and Horst, P. Editors). Deutsche Stifung für Internationale Entwicklung, Zentraistelle für Emährung und Landwirtschaft.

ISROLI, SUDARMOYO, B dan YASE MAS, K.G. 1989. Hubungan antara bobot badan dan pertumbuhan nisbi alat pencernaan kambing kacang jantan. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 238-242. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO dan W.K. SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

KNIPSCHEER, H.C., SHWU-ENG, H.W. and MULYADI, A. 1994. Opportunities for commercialization of small ruminant production in Indonesia. In Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and The Pacific. Proc. of a symposium held in conjunction with 7th Asian-Australasian Association of Animal Production Societies Congress, pp. 157-170. SUBANDRIYO and R.M. GATENBY (Eds.). Small Ruminant-Collaborative Research Support Program, University of California Davis, USA.

MARYANTO, I. dan NOERDJITO, M. 1989. Memelihara ternak dalam jumlah kecil sebagai mata pencaharian tambahan atau pilihan terakhir: Studi kasus Kecamatan Purwodadi, Pasuruan dan Kecamatan Ampelgading, Malang. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 14-18. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO, dan W.K. SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Page 7: Penampilan Peternakan Kambing Dan Potensi Bahan

Lokakarya Nasional Kambing Potong

163

MATHIUS, I-W. 1989. Jenis dan nilai gizi hijauan makanan domba dan kambing di pedesaaan Jawa Barat. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 71-77. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO dan W.K. SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

MATHIUS, I-W., GAGA, I.B, dan SUTAMA, I-K. 2003. Kebutuhan kambing PE jantan muda akan energi dan protein kasar: Konsumsi, kecernaan, ketersediaan dan pemanfaatan nutrien. JITV, 7 (2): 99-109.

NOLAN, M.F., C. VALDIVIA, S.W. HANDAYANI and R. FLOYD. 1994. Agriculture, population and the environment: A look at commercialization of small ruminant production in southeast asia. In Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and The Pacific. Proc. of a symposium held in conjunction with 7th Asian-Australasian Association of Animal Production Societies Congress, pp. 137-155. SUBANDRIYO and R.M. GATENBY (Eds.). Small Ruminant-Collaborative Research Support Program, University of California Davis, USA.

OBST, J.M., CHANIAGO, T dan BOYES, T. 1982. Survai mengenai domba dan kambing yang dipotong di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Pros. Seminar Penelitian Peternakan. Hlm. 123-144. P. RONOHARDJO, I.P. KOMPIANG, M. RANGKUTI, P.SITORUS, M.E. SIREGAR, SOETIONO, E. DJAMALUDIN dan S. WAHYUNI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

SETIADI, B. 1989. Beberapa faktor yang mempengaruhi bobot badan anak kambing periode pra-sapih pada kondisi pedesaan. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 140-145. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO dan W.K. SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

SOEDJANA, T.D. 1994. Market opportunities for small ruminant sector of Asia. In Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and The Pacific. Proc. of a symposium held in conjunction with 7th Asian-Australasian Association of Animal Production Societies Congress, pp. 101-124.

SUBANDRIYO and R.M. GATENBY (Eds.). Small Ruminant-Collaborative Research Support Program, University of California Davis, USA.

SUSILO, F.X., PRABOWO, H., CHOTIAH, S. dan ASTUTI, S. 1989. Penyidikan penyakit dan cara pemeliharaan kambing Peranakan Etawah di Kabupaten Lampung Selatan. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 129-134. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO dan W.K. SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor

SYAMSU, J.A., L.A. SOFYAN, K. MUDIKDJO dan E.G. SA’ID,. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa, 13: 30-37.

THOMAS, N. 1982. Small ruminat production in the small-farm perspective. Pros. Seminar Penelitian Peternakan. Hlm. 156-163. P. RONOHARDJO, I.P. KOMPIANG, M. RANGKUTI, P. SITORUS, M.E. SIREGAR, SOETIONO, E. DJAMALUDIN dan S. WAHYUNI. (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

TRIWULANINGSIH. 1989. Pertumbuhan kambing Peranakan Etawah (PE) sampai dengan umur satu tahun. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 152-157. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO, dan W.K. SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

WAHYONO, D.E., R. HARDIANTO, C. ANAM, SUYAMTO, G. KARTONO dan S.R. SOEMARSONO. 2002. Kajian teknologi pakan lengkap (Complete feed) sebagai peluang agribisnis bernilai komersial di pedesaan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Karangploso, Malang.

WILOETO, D., I-K. SUTAMA, SUMADI, S. PRAWIRODIGDO, U. NUSCHATI, ERNAWATI, B. BUDIHARTO, A. PRASETYO, J. SUSILO, N. PRAWOTO dan F.L. MARYONO. 2000. Laporan hasil pengkajian: Kajian teknologi sistem usaha tani produksi ternak ruminansia kecil sebagai komoditas unggulan Jawa Tengah. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran.