pemikiran soekarno tentang keadilan dan kemerdekaan bagi...
TRANSCRIPT
79
BAB IV
ANALISA PEMIKIRAN KEADILAN SOEKARNO DITINJAU
DARI TEORI KEADILAN SUSAN MOLLER OKIN
Bab empat adalah bab yang berisikan pandangan penulis tentang pokok-pokok
pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya. Pada bab ini penulis
akan mengulas dan menganalisa tentang Okin dan keadilan menurut konteksnya,
Sekarno dan keadilan menurut konteksnya, pencerahan terhadap konsep keadilan
Soekarno ditinjau dari teori Okin, Relevansi dari pandangan Soekarno dan Okin
tentang keadilan dan kemerdekaan bagi Perempuan Indonesia Sekarang Ini, dan
diakhiri dengan Refleksi Teo-Politik terhadap keadilan bagi kaum perempuan.
A. Okin dan Keadilan Menurut Konteksnya
Susan Moller Okin berangkat dari konteks Amerika Serikat yang sangat liberal
dan masyarakat yang sangat independen. Melalui konteks ini, maka dianalisis bahwa
Amerika Serikat merupakan sebuah negara yang sadar akan nilai-nilai kebebasan yang
seharusnya menjadi hak setiap masyarakat yang hidup di dalam kebangsaannya.
Kebebasan yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat menghadirkan kualitas hidup
yang dikelilingi dengan kemerdekaan sehingga semua individu yang hidup pada
situasi yang seperti itu akan menjunjung tinggi kemerdekaan secara indidvidu. Okin
melihat pemberian kebebasan yang berdampak pada individualisme sebagai sebuah
masalah yang sangat urgen yang sewaktu-waktu dapat menurunkan kualitas hidup
masyarakat yang pada awalnya sangat berorientasi di dalam keluarga tetapi secara
perlahan mulai memudar bahkan hilang. Kehidupan bersama yang pada awalnya
ditentukan dari dalam hubungan-hubungan kekerabatan di dalam keluarga kemudian
80
semakin bergeser kepada pementingan kualitas hidup dari masing-masing individu.
Kondisi semacam ini yang dikhawatirkan oleh Okin. Jika semua orang mengalihkan
perhatiannya dari hubungan keluarga kepada individualisme maka pada akhirnya
kebersamaan dan solidaritas yang telah terbentuk di dalam hubungan keluarga akan
mengalami pergeseran dan digantikan dengan penonjolan diri dari masing-masing
individu sehingga semua orang akan menjadi insan yang sangat individualistis.
Karena itu, melalui teori keadilan yang dikemukakan olehnya maka Okin hendak
mengembalikan kembali pemaknaan terhadap peran dan fungsi yang terkandung di
dalam keluarga dan hendak menegakkan kembali nilai-nilai keadilan yang seharusnya
bermuara dari dalam keluarga. Untuk itu pertama-tama Okin melihat teori-teori
keadilan yang hadir pada zaman klasik hingga modern yang baginya tidak membahas
tentang keadilan yang seharusnya terjamah di dalam hubungan keluarga dan juga
mengabaikan keadilan bagi kaum perempuan. Sebuah kemungkinan yang
melatarbelakangi tidak terjamahnya nilai-nilai keadilan di dalam hubungan keluarga
ialah adanya konsep patriaki yang dianggap benar dan baik untuk diterapkan dalam
hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Penulis mencurigai bahwa sebagian
besar dari teoritikus yang hadir pada zaman klasik dan modern masih terjebak bahkan
menganut paham patriaki sehingga tidak mengembangkan nilai-nilai keadilan di
dalam hubungan keluarga yang berpusat pada eksistensi laki-laki dan perempuan.
Di dalam konteks Amerika yang merupakan objek dari pengembangan teori
keadilannya, Okin melihat bahwa walaupun Amerika telah mengalami kemajuan di
dalam berbagai bidang, tetapi masih mengalami sebuah kendala dalam menghadirkan
keadilan bagi semua warga masyarakat. Amerika masih terpasung di dalam paham
patriaki yang sangat memegahkan posisi kaum laki-laki, mengunggulkan kemampuan
laki-laki, bahkan kaum laki-laki sendiri masih sangat egois untuk memberikan
81
kesempatan bagi kaum perempuan di dalam mengemukakan pendapatnya, kaum laki-
laki masih sangat egois dan tidak memberikan kesempatan bagi kaum perempuan
untuk dapat bergerak pada wilayah publik yang sejatinya merupakan wilayah bagi
kaum laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan semua kemampuan dan talenta
yang dimiliki. Kaum perempuan masih dijerat dalam ketidakadilan dan penindasan
sehingga tidak menemukan kemerdekaan yang seharusnya membawa mereka keluar
dari ketidakadilan itu sendiri.
Dalam ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh kaum perempuan,
perempuan diberikan kesempatan untuk melangkah dan berkarya pada wilayah
publik. Sayangnya, kesempatan yang diberikan tidak sepenuhnya mengarahkan kaum
perempuan pada sebuah kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya karena
masih dibayang-bayangi dengan tugas-tugas pada ranah domestik. Sifat-sifat
kelembutan dan merawat yang disinyalir merupakan sifat-sifat dari seorang
perempuan kemudian dijadikan sebagai sebuah landasan bahwa walaupun kaum
perempuan telah diberikan kesempatan untuk bergerak pada wilayah publik namun
posisi dan peran perempuan tidak bisa dipisahkan dari hal-hal domestik.
Kondisi ini kemudian menggiring kita untuk kembali pada konsep keadilan
yang seharusnya ditinjau dari dalam hubungan keluarga. Keluarga yang adalah dasar
dari terbentuknya keadilan pada wilayah publik seharusnya meletakkan dasar yang
kuat sehingga tidak goyah ketika bersentuhan dengan berbagai macam konsep yang
diterapkan pada dunia publik. Ini merupakan sebuah solusi yang ditawarkan oleh
Okin bahwa ketika sebuah bangsa telah mengalami perkembangan dalam berbagai
bidang kehidupan yang mengakibatkan banyak orang berambisi untuk mementingkan
kehidupan pribadinya sendiri maka seharusnya setiap individu tidak menjadi lupa
dengan kearifan-kearifan lokal yang terdapat di dalam hubungan keluarga.
82
Seharusnya setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan tetap memaknai nilai-
nilai kearifan yang terkandung di dalam sebuah keluarga. Laki-laki dan perempuan
hendaknya tidak terlena dan memanjakan diri dengan paham individualisme yang
pada akhirnya akan mengabaikan tugas dan tanggung jawab yang terdapat di dalam
keluarga.
Okin tidak hanya melihat ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan
dari kacamata paham patriaki, tetapi ia juga melihat bahwa sebenarnya kaum
perempuan yang hadir pada zamannya juga mengalami ketidakadilan dalam
hubungan-hubungan politik yang dalam hal ini perempuan tidak mendapatkan
kebebasan secara penuh dalam berkarya pada wilayah publik khususnya dalam
pemerintahan negara, selain itu ia juga melihat bahwa ternyata kehidupan domestik
yang di dalamnya kaum perempuan mengabdikan seluruh kehidupannya bagi suami
dan anak-anak dipolitisasi sehingga walaupun perempuan berada di dalam kehidupan
keluarga tetapi masih juga dikendalikan dengan unsur-unsur politik. Artinya bahwa
kaum laki-laki yang walaupun bekerja di wilayah publik tetapi ketika berada di dalam
kehidupan keluarga tetap menjadi penentu di dalam keluarga selayaknya mereka
(kaum laki-laki) sementara mengambil keputusan di dalam wilayah politik. Tidak
hanya itu, kehidupan keluarga juga diibaratkan sama seperti organisasi-organisasi
yang dibentuk di dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak membutuhkan nilai-nilai
yang adil tetapi hanya dibutuhkan pengembangan unsur-unsur kasih sayang dan
kemurahan hati. Okin pun melihat bahwa salah satu unsur politik yang terjamah di
dalam kehidupan keluarga adalah adanya campur tangan negara terhadap kehidupan
keluarga.
B. Soekarno dan Keadilan Menurut Konteksnya
83
Soekarno adalah seorang pejuang yang hadir dalam konteks revolusi yang
mengangkat isu politik sebagai perwujudan dari adanya ketidakadilan bagi kaum
perempuan. Dengan tegas ia mengatakan bahwa “tiada kemenangan revolusioner, jika
tiada wanita revolusioner”. Ungkapan ini merupakan sebuah ekspresi yang
ditunjukkan olehnya dalam menghargai keberadaan kaum perempuan, dan juga
merupakan sebuah ungkapan di mana ia mengakui bahwa kaum perempuan memiliki
kemampuan dan keunggulan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, merupakan suatu hal yang sangat wajar bahkan diharuskan untuk
mengikutsertakan kaum perempuan dalam wilayah politik pada masa itu.
Keikutsertaan kaum perempuan terlihat ketika mereka diberikan kesempatan untuk
berdiri di barisan depan dalam menghalau musuh, selain itu turut merumuskan hal-hal
yang berkaitan dengan politik. Situasi yang melatarbelakangi sehingga perempuan
diberikan kesempatan untuk bergabung pada wilayah publik adalah karena bangsa
Indonesia sementara berjuang melawan penjajah. Sayangnya, ketika laki-laki dan
perempuan pribumi yang pada masa itu berjuang melawan penjajah, kaum perempuan
pun tetap mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak adil dari laki-laki baik dari
penjajah maupun sesama rakyat pribumi. Dari kaum penjajah (kaum laki-laki),
banyak perempuan yang dilecehkan, dipukul, disiksa, dan jika adanya perlawanan
yang dilakukan oleh kaum perempuan maka tidak segan-segan diperkosa bahkan
perempuan-perempuan muda dijadikan sebagai perempuan penghibur yang bertujuan
untuk melayani kebirahian mereka. Tindakan-tindakan seperti ini tidak hanya
berakibat pada kondisi fisik tetapi juga pada kondisi psikis seorang perempuan.
Sedangkan dari kaum laki-laki pribumi, perempuan dianggap sebagai kaum yang
lemah. Kaum yang tidak layak berada ditengah-tengah wilayah yang sementara
84
berkonflik. Ketika berada di tengah situasi peperangan, perempuan hanya akan
menjadi penghalang bagi kaum laki-laki.
Contoh ketidakadilan yang dilakukan kaum laki-laki pribumi tehadap
perempuan adalah pada peristiwa Lubang Buaya, di mana banyak perempuan anggota
Gerwani yang dituduh telah turut andil berserta dengan PKI untuk melakukan
penyiksaan terhadap jenderal-jenderal yang ditawan dan dibunuh oleh PKI. Di waktu
peristiwa itu terjadi, kaum perempuan anggota Gerwani tidak diberi kesempatan untuk
mengklarifikasikan keterlibatan mereka di dalam peristiwa tersebut. Suara mereka
dibungkan dan mereka ditawan. Namun, ketika terjadi peristiwa Reformasi, para
perempuan ini kemudian menceritakan bagaimana mereka dijadikan kambing hitam
dan semua tuduhan mereka tidak berdasar sama sekali. Di sini, perjuangan kaum
perempuan dinodai dan dikhianati oleh kaum lelaki yang melihat mereka sebagai
sosok lemah yang keberadaannya tidak berarti.1
Perlakuan tidak adil yang dialami oleh kaum perempuan pada masa itu tidak
terlepas dari kentalnya pemahaman akan budaya patriaki yang sementara berkembang
di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Budaya patriaki merupakan sebuah budaya
yang membatasi, menghalangi, mematahkan, dan melumpuhkan aktifitas yang
dilakukan oleh kaum perempuan sehingga potensi yang ada pada kaum perempuan
tidak tersalurkan dengan baik. Soekarno melihat bahwa ini merupakan sebuah
masalah yang akan menjadi penghalang untuk terwujudnya kemerdekaan Indonesia.
Baginya, kaum perempuan juga memiliki kesempatan untuk berkecimpung pada
wilayah publik karena itu ia menggerakkan kaum perempuan untuk bersama-sama
dengan kaum laki-laki dalam mengupayakan kemerdekaan Indonesia yang merupakan
1 Saskia Wieringa Eleonora, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. ( Jakarta: Garba
Budaya, 1999), 498.
85
kemerdekaan bersama bagi laki-laki dan perempuan Indonesia. Soekarno secara
langsung bertumpu pada skala yang lebih luas yaitu kenegaraan. Dia memperhatikan
bahwa dalam sebuah negara, keadilan bagi kaum perempuan merupakan sebuah
kewajiban dan sekaligus merupakan bentuk terwujudnya kesejahteraan rakyat. Jika
dalam sebuah negara, praktek-praktek keadilan terakumulasi dengan baik dan benar
bagi semua lapisan masyarakat dalam hal ini juga kaum perempuan maka semua
kaum perempuan akan mengalamai kesejahteraan dan terbebas dari tekanan bahkan
tidak hanya kaum perempuan yang mendapatkan kesejahteraan tetapi kaum laki-laki
juga memperoleh kesejahteraan yang sama. Dengan begitu tidak adanya gangguan
dalam mengusahakan serta memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Bagi penulis, hal tersebut merupakan kontribusi yang akan diperoleh ketika keadilan
benar-benar tersampaikan secara merata.
C. PencerahanTerhadap Konsep Keadilan Soekarno Ditinjau dari Teori Okin
Dalam mengembangkan pemahamannya, Soekarno dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain; pengalaman masa kecilnya, didikan dari kakeknya, pengalaman
ketertindasan dan ketidakadilan dari penjajah, dan pengamatannya terhadap
kedudukan dan peran laki-laki maupun perempuan pada wilayah publik-domestik.
Hal-hal semacam ini yang telah memacunya dalam memikirkan bahkan bertindak atas
nama keadilan bagi setiap warga masyarakat Indonesia.
Pengalaman masa kecilnya yang diwarnai dengan dunia pewayangan yang
menghadirkan sosok ksatrya tangguh, kuat, gagah, memiliki hati yang tulus untuk
menolong orang lain, jujur, serta berjuang mengedepankan nilai-nilai keadilan
membentuk ia tumbuh menjadi seorang yang memiliki wawasan luas tentang nilai-
nilai kebaikan. Wayang yang adalah ciri khas kebudayaan masyarakat Jawa tidak
86
hanya dipandangnya sebagai sebuah tontonan yang menghibur tetapi lebih daripada
itu wayang telah menjadi sarana dalam membantunya menjadi sosok yang tidak hanya
pandai berbicara tetapi pandai bertindak. Dapat dikatakan pula bahwa peran yang
dimainkan oleh dalang2 dalam cerita pewayangan juga hendak ia terapkan dalam
kenyataan. Karena itu dapat dikatakan bahwa ia laksana ksatrya yang datang dalam
masa genting yang dihadapi banyak orang. Selain itu, pengajaran yang diberikan oleh
kakeknya antara lain; menghargai orang yang lemah dan tidak berdaya, bersikap jujur,
dan bertindak adil turut membantunya dalam membentuk cara pikir dan tindakannya
bagi orang lain.
Soekarno menoreh sejarah panjang yang diikuti dengan perjuangan yang tiada
hentinya. Perjuangan yang dilakukannya semakin terlihat ketika bangsa Indonesia
berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang yang mengakibatkan
Indonesia menjadi bangsa yang sangat tertindas baik dari segi fisik, psikis, geografis,
sumber daya manusia, dan sumber daya alam. Ketidakadilan menjadi barang yang
mudah ditemui manakala bangsa Indonesia berada di bawah kedua kekuasaan ini serta
banyaknya batasan, aturan, dan perintah yang dikeluarkan untuk mengutamakan
kepentingan penjajah menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh rakyat
Indonesia.
Keadaan ini menghadirkan sebuah kenyataan bahwa dalam konteks Indonesia
ketidakadilan terhadap kaum perempuan bukanlah barang baru, melainkan telah
berlangsung sejak lama yakni sejak masa-masa di mana bangsa ini sementara
bergumul dengan kemerdekaan. Soekarno menggagas tiga hal (nasionalisme,
islamisme, sosialisme) yang menjadi pilar utama untuk berdirinya negeri ini. Baginya,
sosialisme yang dicita-citakan tidak akan terwujud dengan sempurna jika perempuan
2 Dalam pemahaman penulis, Dalang adalah orang yang berada dibalik layar pewayangan yang
sekaligus menjadi juru kunci dari proses pewayangan atau proses penceritaan.
87
tidak mengambil bagian di dalamnya dan jika tidak adanya sikap netral/sikap adil
yang didapatkan oleh perempuan-perempuan pada zaman itu. Hal ini semakin
menandakan bahwa peran perempuan tidak kalah pentingnya untuk mengembangkan
atau menghasilkan suatu kehidupan bersama yang luhur. Pesan yang hendak dicapai
melalui apa yang dikatakan Soekarno ialah, perempuan juga adalah makhluk Tuhan
yang mulia. Perempuan memiliki harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia.
Oleh karena itu, kemanusiaannya patut dihargai.
Bagi Soekarno, keadilan yang sebenar-benarnya ialah ketika seluruh anak
bangsa Indonesia diperlakukan secara adil, tidak mengalami penindasan, tidak
mengalami buta huruf, tidak terdiskriminasi, dan sebagainya. Untuk menghadirkan
kemerdekaan bangsa, Soekarno melibatkan sosok perempuan sebagai tanda bahwa
perempuan mampu menjadi yang terdepan untuk membela bangsa dan negara, serta
menjadi motor penggerak bagi perempuan-perempuan lainnya. Bersama dengan laki-
laki, perempuan bersikap profesional untuk merebut kemerdekaan bersama. Hal ini
mengakibatkan banyaknya kaum perempuan yang tidak hanya menjadi aktor dalam
wilayah domestik, tetapi juga pada wilayah publik. Jika dibandingkan dengan laki-
laki, perempuan adalah kaum yang sangat tertindas dan banyak mengalami ketidak-
adilan pada masa penjajahan. Karena itu, sangatlah tepat jika perempuan turut berada
di depan dalam perjuangan. Senada dengan yang dikatakan oleh Soekarno bahwa
perempuan adalah elemen mutlak dalam perjuangan bahkan perempuan adalah
separuh tenaga dari laki-laki dalam memperjuangkan kemerdekaan, maka secara tidak
terbatas perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam
negara Indonesia.
Untuk meresponi penjelasan-penjelasan yang telah dijelaskan di atas maka
penulis membuat skema yang akan membantu memahami bahkan mengkritisi konsep
88
kemerdekaan yang diusung oleh Soekarno. Adapun skema yang dimaksud sebagai
berikut:
Skema di atas hendak menjelaskan bahwa Soekarno yang hadir pada masa itu
tidak hanya berhadapan dengan kenyataan dijajahnya bangsa Indonesia oleh Belanda
maupun Jepang. Tetapi ia juga berhadapan dengan konteks bangsanya sendiri yang
sangat terikat dengan peraturan-peraturan yang berlaku di dalam kehidupan tiap-tiap
keluarga yang menyatakan bahwa baik anak-anak perempuan maupun kaum
perempuan yang telah dewasa tidak diperbolehkan untuk berada pada wilayah publik
yang diyakini sebagai wilayah pertuanan kaum laki-laki. Perempuan dilarang untuk
bergabung dengan kaum laki-laki karena dianggap sebagai sebuah penghinaan
terhadap posisi kaum laki-laki. Karena itu perempuan hanya diwajibkan untuk
Perempuan pada
jaman Soekarno
Masa
penjajahan
Berkembangnya budaya patriaki/peraturan
keluarga yang mengikat perempuan di ranah
domestik
Mengupayakan
pembebasan kaum
perempuan
Kemerdekaan
Nasional
89
menyalurkan semua pemikiran dan tenaganya pada wilayah domestik. Hal ini juga
dipengaruhi oleh pemahaman bahwa kaum perempuan tidak memiliki kualitas yang
sama dengan kaum laki-laki sehingga terjadinya pengurungan terhadap kaum
perempuan.
Pengurungan terhadap kaum perempuan tidak terlepas dari berkembangnya
paham/budaya patriaki pada kalangan masyarakat. Dengan kata lain, paham patriaki
telah meracuni sistim berpikir laki-laki dan perempuan sehingga tidak adanya
kesempatan bagi kaum perempuan baik untuk memperbaiki dirinya maupun untuk
berjuang bagi kemerdekaan bangsanya sendiri. Kaum perempuan menjadi kaum yang
sangat terisolasi dari perkembangan dunia luar. Ketidakadilan dan penindasan yang
berawal dari dalam keluarga inti kemudian semakin menyudutkan posisi kaum
perempuan di dalam masyarakat. Kondisi seperti inilah yang hendak dibongkar oleh
Soekarno. Ia menyerukan kaum perempuan untuk berani membongkar dan
meruntuhkan peraturan-peraturan yang pada akhirnya tidak akan membawa
kemerdekaan bagi bangsa. Soekarno yang pada saat itu menjadi tulang punggung
terwujudnya kemerdekaan bangsa, kemudian membuat sebuah perubahan bahwa
kaum perempuan juga diperbolehkan untuk berjuang melawan penjajah, perempuan
diperbolehkan untuk keluar dari wilayah domestik menuju wilayah publik. Pernyataan
ini berkaitan dengan paham patriaki yang sekaligus hendak menyarankan bahwa tidak
hanya kaum perempuan yang harus meninggalkan paham patriaki, tetapi kaum laki-
laki juga diharapkan untuk menanggalkan paham patriaki yang selama ini menjadi
tiang penentu terhadap otoritasnya. Dengan kata lain, semua rakyat harus
meninggalkan pemahaman patriaki yang memegahkan kaum laki-laki dan
mengucilkan kaum perempuan. Dengan begitu kaum perempuan akan terbebas dari
ketidakadilan dan penindasan yang berasal dari dalam keluarganya dan secara
90
bersama-sama berjuang dengan kaum laki-laki untuk memukul mundur musuh
bersama yang adalah kaum penjajah dan menghancurkan semua antek-antek bahkan
paham kolonialisme yang dikembangkan oleh pihak penjajah demi mewujudkan
kemerdekaan bersama yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di sini, penulis melihat bahwa Soekarno memiliki pemahaman yang sangat
ideal untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa. Sayangnya, pemahaman yang
ideal itu sendiri pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh perempuan-perempuan Indonesia yang hadir dan berjuang pada masa
itu. Perjuangan perempuan Indonesia tidak hanya terfokus untuk memukul mundur
kaum penjajah, tetapi sebenarnya perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan
ialah memukul mundur semua tindakan-tindakan yang tidak adil yang dilakukan oleh
kaum penjajah maupun kaum pribumi (kaum laki-laki) terhadap kaum perempuan.
Perjuangan Soekarno untuk mengupayakan pembebasan bagi kaum perempuan tidak
semata-mata ia lakukan karena benar-benar memperhatikan akan kebebasan bagi
kaum perempuan. Dengan kata lain upaya yang dilakukannya tidak murni didasari
oleh keprihatinanya terhadap posisi kaum perempuan yang ditindas dan disiksa.
Semua upaya yang dilakukan olehnya hanya semata-mata untuk membebaskan
bangsa dari tangan penjajah. Ia memperbolehkan kaum perempuan bergerak keluar
untuk menggabungkan seluruh kekuatan yang ada pada diri perempuan bersama
dengan laki-laki karena baginya ketika kaum laki-laki dan perempuan menyatukan
semua kekuatan maka akan segera terwujudnya kemerdekaan bangsa.
Praktek poligami yang dilakukan oleh Soekarno merupakan alat ukur yang
dipakai oleh penulis untuk menyimpulkan bahwa sebenarnya upaya yang dilakukan
oleh Soekarno untuk membebaskan kaum perempuan hanyalah sebatas kepentingan
kemerdekaan bangsa karena berlandaskan pada tuntutan yang ada pada zaman itu
91
yakni harus keluar dari lingkaran penindasan dan kesengsaraan yang dihadirkan oleh
penjajah. Adapun praktek poligami yang dilakukan oleh Soekarno menghadirkan
protes dari berbagai pihak organisasi politik perempuan yang hadir pada masa itu
salah satunya ialah Gerwani. Gerwani merupakan organisasi massa perempuan yang
suaranya sangat keras dalam membela hak-hak perempuan dan anak-anak sesuai
dengan keadaan zamannya. Penggalangan massa ditempuh untuk revolusi sosialis
demi mewujudkan pembebasan kaum perempuan dari elemen-elemen penindasan
diantaranya kekerasan fisik, psikis, dan praktek poligami. Pada medan politik
nasional, organisasi ini mendukung politik Soekarno terutama ketika ia hadir dengan
politik anti-neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme. Namun, pada akhirnya
ketika adanya pengingkaran yang dilakukan oleh Soekarno karena mempraktekkan
poligami maka hal tersebut bagaikan pukulan besar bagi organisasi-organisasi
perempuan yang hadir pada saat itu salah satunya ialah Gerwani.3 Tindakan ini
hendak menjelaskan bahwa Soekarno sendiri masih terjebak bahkan masih
menjunjung paham patriaki yang mengklaim bahwa kaum laki-laki adalah kaum yang
berkuasa atas kaum perempuan dan kaum perempuan seharusnya menjadi kaum
“nrima” terhadap semua keputusan yang diputuskan oleh kaum laki-laki. Soekarno
tidak melihat bahwa sebenarnya penjajahan dari kedua kekuatan besar yakni Belanda
dan Jepang maupun paham patriaki sama-sama merupakan pusat dari terbentuknya
tindakan-tindakan yang tidak adil dan tindakan-tindakan penindasan bagi kaum
perempuan. Bagi penulis, praktek poligami yang dilakukan oleh Soekarno merupakan
sebuah model penjajahan yang dihadirkan oleh Soekarno sendiri terhadap kaum
perempuan yang pada saat itu sementara mencari, menuntut, bahkan berjuang untuk
keadilan bagi kaum perempuan. Di sini kembali lagi kaum perempuan diperhadapkan
3 Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya,
1999), xxviii-xxxi.
92
dengan masa-masa kelam yakni harus berjuang untuk kembali keluar dari tindakan-
tindakan yang tidak adil, kaum perempuan masih harus berjuang melawan
kolonialisasi yang dihadirkan dari paham patriaki, dan berjuang untuk memutuskan
lingkaran patriaki yang hadir di tengah-tengah masyarakat serta harus berjuang untuk
menemukan kemerdekaan yang benar-benar memerdekakan yakni bukan
kemerdekaan yang bersifat temporer tetapi kemerdekaan yang nantinya harus
dinikmati oleh generasi-generasi penerus kaum perempuan. Pendek kata, setelah
memperjuangkan kemerdekaan nasional, perempuan harus kembali memperjuangkan
kemerdekaannya. Perempuan harus kembali berjuang untuk memenuhi haknya
sebagai perempuan yang merdeka. Dengan kata lain perempuan harus menempuh dua
tahap perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan sebagai pribadi
yang benar-benar merdeka. Berkaca dari tindakan yang dilakukan olehnya maka
penulis mengatakan bahwa Soekarno belum sepenuhnya berhasil membereskan semua
bentuk-bentuk yang tidak adil yang dialami oleh kaum perempuan.
Melalui skema di atas juga, penulis melihat bahwa ternyata masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan pada pandangan yang dikemukakan oleh Bung Karno
dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa. Ia tidak melihat dan tidak
membenahi peran keluarga inti sebagai sarana untuk memperjuangkan ketidakadilan
yang dialami oleh kaum perempuan. Memang benar bahwa konteks utama yang hadir
pada masa itu ialah konteks kemerdekaan sehingga seluruh rakyat Indonesia harus
keluar untuk berjuang dan membela Tanah Air dalam rangka merebut kemerdekaan
bersama sehingga keadilan di dalam kehidupan keluarga bukanlah merupakan suatu
kebutuhan mendasar bagi terwujudnya kemerdekaan bangsa, bukan pula menjadi
fokus utama bagi Soekarno dalam melihat tentang inti dari kemerdekaan itu sendiri.
Tetapi semestinya di sinilah perjuangan Soekarno untuk terbentuknya keadilan
93
bersama yang harus dibawa pada pemahaman tentang keadilan yang holistik bahwa
perempuan tidak hanya dijadikan sebagai objek untuk mencapai Indonesia merdeka
melainkan keadilan dan kesejahteraan serta partisipasinya di ranah publik benar-benar
diperhatikan secara adil. Karena itu, kita yang hadir pada masa sekarang sementara
melanjutkan kehidupan dan semua peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau
dan demikian memiliki beban moral yang harus dikerjakan untuk membenahi hal-hal
yang masih menghadirkan ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang diwarisi dari masa lampau hingga masa sekarang misalnya ketidakadilan gender
yang pertama-tama harus dibenahi dari dalam lingkup keluarga dalam hal pembagian
kerja, kesempatan yang merata bagi laki-laki dan perempuan dalam mengembangkan
kemampuannya, dan sebagainya. Karena itu kembali lagi penulis akan membuat
skema mengenai pandangan yang dikemukakan oleh Susan Okin yang akan sangat
membantu memahami juga membenahi pemikiran kita tentang peran keluarga sebagai
jalan pembuka terwujudnya nilai dan tindakan yang adil dan yang memerdekakan di
dalam masyarakat. Skema ini sekaligus akan mengkritisi dan mencerahkan konsep
yang diusung oleh Soekarno. Adapun skema yang dimaksud sebagai berikut;
94
Skema di atas menginformasikan bahwa Susan Moller Okin berpijak dari
konteks kenegaraan Amerika Serikat. Dia melihat bahwa pada awalnya tatanan moral
yang berlaku di dalam keluarga menjadi dasar dalam perwujudan nilai-nilai yang
tertuang di dalam kehidupan bernegara. Namun secara perlahan peran keluarga
digantikan dengan paham liberalisme dan independen yang menjamin kebebasandan
kemerdekaan setiap warga negara untuk mengembangkan dirinya (telah dijelaskan
pada poin Okin dan keadilan menurut konteksnya). Namun bagi Okin, pada akhirnya
akan timbul masalah yang sangat kompleks ketika keluarga tidak lagi berperan
penting. Banyak orang akan berambisi untuk menonjolkan kemampuannya masing-
Susan Moller Okin
Konteks
Amerika Serikat
Keluarga
(penanaman nilai-
nilai moral )
Menganut paham
Liberalis, Independen dan
Patriaki
Masyarakat
Individualis
Laki-laki Perempuan
Ketidakadilan
Keadilan Dalam Ranah Domestik Dan
Publik
95
masing dan mementingkan kepribadiannya (mementingkan kehidupan individu)
dibandingkan dengan mementingkan penerapan nilai-nilai yang adil bagi seluruh umat
manusia.
Disamping itu, Amerika Serikat yang telah maju dalam berbagai bidang
kehidupan pun masih menganut sistim patriaki yang mengakibatkan munculnya
ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi penentu dan
mendominasi wilayah publik bahkan memegang kendali pada wilayah domestik.
Akibatnya kaum perempuan mengalami tindakan ketidakadilan. Bagi Okin, hal
semacam ini merupakan dampak dari adanya pengabaian terhadap peran penting
keluarga. Amerika terlalu mengutamakan sifat-sifat individualisme dan tidak
memperhatikan peran penting keluarga yang merupakan dasar terbentuknya keadilan.
Karena itu, Okin mengusulkan bahwa semua lapisan masyarakat harus kembali lagi
kepada kearifan-kearifan lokal yang berada di dalam keluarga. Semua manusia harus
membenahi kembali komponen-komponen yang menghadirkan ketidakadilan yang
dimulai dari dalam kehidupan keluarga. Ketika banyak orang mengharapkan dan
bermimpi untuk terwujudnya keadilan pada ranah publik maka hal utama yang harus
diperhatikan ialah penerapan nilai-nilai moral dan pencapaian keadilan di dalam
keluarga inti. Artinya, harus memupuk kembali kesadaran akan pentingnya keadilan
yang dimulai dari dalam keluarga karena akan berdampak pada keadilan pada ranah
publik.
Pemahaman yang dibentuk oleh Susan Okin menyadarkan kerangka berpikir
kita yang hadir pada masa kini bahwa pada dasarnya keluarga merupakan unit terkecil
yang berperan penting bagi perkembangan masyarakat bahkan negara. Karena itu
yang menjadi tugas kita sekarang ialah harus bercermin dari pemahaman yang
dikemukakan oleh Okin mengenai pentingnya kesadaran dalam menumbuhkan
96
pendidikan yang berbasis gender di dalam keluarga karena jika telah terjadinya
kesetaraan dan keadilan di dalam keluarga inti maka praktek kesetaraan dan keadilan
pun akan terjamah pada kehidupan luar yakni masyarakat bahkan negara. Dengan kata
lain, keadilan dapat bertumbuh dengan subur di dalam sebuah negara jika keadilan itu
sendiri diawali dan dibenahi dari dalam hubungan keluarga. Di sinilah ruang publik
dan privat harus dilebur karena kedua-duanya sama-sama merupakan unsur yang
sangat penting bagi pengembangan nilai-nilai yang setara dan adil bagi laki-laki dan
perempuan. Merupakan sebuah kekurangan karena Soekarno yang pada saat itu hanya
berdiri pada pemahaman bahwa ketika perempuan telah diberikan kesempatan untuk
bergabung pada wilayah publik maka merupakan tanda tercapainya keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia, padahal unsur-unsur dan tindakan-tindakan tidak adil
sementara terjadi di dalam hubungan keluarga. Tidaklah salah jika pada zaman
Soekarno, perempuan harus keluar dari ranah domestik ke ranah publik. Namun, di
sini Soekarno terlalu fokus pada kolonoalisme dan imperialisme yang dihadirkan oleh
bangsa penjajah, sehingga tidak peka terhadap kolonialisme dan imperialisme yang
sebenarnya sedang terjadi di dalam kehidupan keluarga.
Dengan demikian betapa lemahnya jika perjuangan untuk mempertahankan
hak-hak kaum perempuan kemudian mengabaikan unsur keluarga sebagai tempat
yang pertama dan terutama untuk belajar dan menghasilkan calon-calon pemimpin
yang benar-benar berpihak terhadap pencapaian keadilan bagi seluruh umat manusia
tanpa adanya pengecualian. Melalui pernyataan ini maka kita yang hadir pada zaman
ini dituntut untuk lebih memperkuat fondasi dari dalam ranah intim sehingga dengan
begitu kita dituntun pada kehidupan baru yaitu kehidupan bersama yang benar-benar
adil. Hanya dengan cara yang seperti itu maka kaum perempuan tidak dijadikan
sebagai objek penindasan dan korban ketidakadilan tetapi menjadi subjek penerapan
97
nilai-nilai moral dan nilai-nilai yang adil. Selain itu, hanya dengan kembali pada
kearifan-kearifan lokal yang terdapat di dalam keluarga maka masyarakat Indonesia
tidak akan menjadi masyarakat yang individualistis tetapi mengutamakan kehidupan
bersama yang bermartabat dan berkeadilan sosial. Pada akhirnya, masyarakat harus
kembali pada kearifan-kearifan lokal yang terdapat di dalam keluarga sehingga dapat
terwujudnya kesetaraan dan keadilan mulai dari dalam keluarga dan masyarakat, juga
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu Okin menyatakan bahwa pada prinsipnya untuk mencapai
kebebasan dan kesetaraan perempuan sangat diperlukan pemikiran ulang terhadap
perbedaan yang dilakukan antara ruang pribadi (rumah tangga) dan ruang publik.
Pandangan ini didasarkan pada asumsi yang dikembangkan oleh filsuf politik bahwa
secara alami keluarga atau ranah privat benar-benar merupakan milik perempuan yang
memiliki tanggung jawab utama untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga dan membesarkan anak. Sebaliknya, kaum laki-laki mewakili kepentingan
keluarga pada ruang publik baik sebagai pencari nafkah dan sebagai warga negara
yaitu peserta dalam sistem politik. Oleh karena itu Okin berpendapat bahwa dalam
kehidupan sosial, garis antara ruang privat dan publik perlu digambarkan ulang untuk
memastikan kesetaraan bagi kaum perempuan pada kedua ranah (publik-privat).4
Okin berpendapat bahwa untuk mewujudkan keadilan yang benar-benar adil di
dalam masyarakat maka dalam hal ini juga struktur yang ada di dalam keluarga pun
harus diperhitungkan. Struktur anggota keluarga yang dominan (dalam hal ini suami,
ayah) pada prinsipnya memiliki otoritas untuk menentukan peran bagi anggota
keluarga menurut jenis kelamin. Akibatnya, secara signifikan membatasi kebebasan
4 Blain Neufeld, Susan Okin (USA: Departement of Philosophy, College of Letters and Science,
University of Wisconsin - Milwaukee, 2011), 1.
98
perempuan sehubungan dengan kemampuan yang dimilikinya untuk bersaing secara
adil pada ranah publik. Selama rasa kebergantungan dan dominasi masih bertumbuh
subur dalam keluarga dan masyarakat maka esensi dari keadilan itu sendiri tidak
mampu berkembang dengan baik. Karena itu ia menawarkan bahwa penerapan
prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan keluarga sangat membutuhkan tiga jenis
kebijakan antara lain: Pertama, tipe kebijakan publik mendorong laki-laki dan
perempuan untuk saling membagi peran baik di ranah publik maupun domestik
sehingga tidak ada yang dirugikan atau kemampuannya dibatasi untuk berpartisipasi
dalam berbagai ruang sosial seperti dalam kehidupan rumah tangga, bermasyarakat,
pekerjaan dan tanggung jawab politik. Kedua, kebijakan terhadap perlindungan
khususnya bagi kaum perempuan yang memiliki jam-jam kerja tanpa bayaran yang
membuat mereka rentan dan tergantung sebagai subjek pekerjaan. Ketiga, kebijakan
yang berfokus pada pendidikan bagi masyarakat. Sistem pendidikan dari sebuah
masyarakat yang adil akan menjamin semua anak didik memperoleh pengetahuan dan
kemampuan yang dibutuhkan oleh mereka untuk menjadi orang dewasa yang bebas
dan adil. Pendidikan tersebut antara lain akan memastikan bahwa semua siswa
mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kebebasan mereka secara efektif
sebagai warga negara. Melalui hal ini juga maka Okin mengarahkan cara pandangnya
terhadap kesetaraan bagi kaum perempuan yang difokuskan pada isu-isu keadilan
global. Isu-isu keadilan global ini didasarkan pada hak asasi manusia yang secara
universal bertujuan untuk melindungi kepentingan mendasar seorang perempuan dari
tindakan kekerasan dan pelecehan serta ketidakadilan dalam lingkup pribadi dari
aktor-aktor non-negara, seperti suami dan ayah. Menurut Okin, mengakui hak-hak
perempuan sebagai hak asasi manusia sangatlah penting untuk mempromosikan
keadilan global. Karena itu, praktek budaya dan agama harus direvisi untuk
99
mengakomodasi hak-hak asasi perempuan pada skala global sehingga tidak terjadinya
pemiskinan kaum perempuan secara global. Oleh karena itu ia merekomendasikan
bahwa isu-isu keadilan global hanya dapat terwujud jika adanya kebebasan bagi
perempuan untuk mengakses pendidikan, dan secara efektif berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan di dalam masyarakat, dan sebagainya. Dengan
pendekatan-pendekatan seperti ini maka eksistensi seorang perempuan dapat
diperhitungkan untuk bergabung pada wilayah publik.5
Rekonstruksi pemahaman antara publik dan privat merupakan kebutuhan agar
terbentuknya kesetaraan bagi kaum laki-laki dan perempuan. Adapun rekonstruksi
pemahaman yang dimaksudkan ialah supaya masyarakat beranjak dari kerangka
berpikir klasik yang telah tertanam dengan pemahaman budaya maupun agama yang
pada dasarnya juga menentukan serta meminggirkan keberadaan perempuan sebagai
kaum yang berkualitas dan menuju pada pencerahan kerangka berpikir yang lebih
maju. Namun di sini Okin tidak hanya serta-merta melepaskan pandangannya bahwa
keadilan antara laki-laki dan perempuan hanya cukup didasarkan pada hasil
rekonstruksi ulang antara ranah publik dan domestik. Sebaliknya ia memperkuat
pemahamannya dengan melihat realita yang terjadi di dalam masyarakat yang
cenderung menonjolkan otoritas suami atau ayah untuk menentukan peran yang tepat
bagi laki-laki maupun perempuan.
Berdasarkan argumen yang dikembangkan di atas kemudian Okin
merumuskan tiga aspek yang diantaranya menghendaki adanya pembagian kerja yang
baik antara laki-laki dan perempuan serta mengakui bahwa keduanya adalah makhluk
publik dan privat dan dengan demikian mampu bersikap adil pada kedua wilayah
tersebut. Karena itu ruang privat tidak hanya merupakan ruang khusus bagi kaum
5 Ibid.,
100
perempuan dan sebaliknya ruang publik pun tidak hanya menjadi ruang yang
dikhususkan bagi kaum laki-laki untuk mengembangkan kemampuannya. Tetapi
ruang publik dan ruang privat sama-sama merupakan ruang di mana insan laki-laki
dan perempuan menghadirkan semua kemampuannya secara bersama-sama dan
keduanya memiliki tanggung jawab yang sama untuk menghadirkan kesetaraan pada
kedua wilayah tersebut. Singkat kata, laki-laki diberikan tanggung jawab untuk
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik dan perempuan pun diberikan kesempatan
untuk bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan pada wilayah publik
yang pada akhirnya akan menghantarkan keduanya pada keuntungan dalam
berpartisipasi pada ruang-ruang sosial. Aspek pertama yang ditawarkan oleh Okin ini
memiliki kaitan dengan aspek kedua yang mendukung bahwa adanya jaminan
perlindungan bagi laki-laki dan khususnya bagi perempuan yang rentan terhadap
berbagai problem yang timbul di sekitar ruang-ruang sosial. Aspek yang terkahir yaitu
pendidikan di mana merupakan aspek yang paling penting untuk menumbuhkan
kesadaran keadilan sebagai warga masyarakat. Penulis mengandaikan pendidikan
sebagai satu set perlombaan lari di mana jauh sebelum waktu perlombaan, para atlit
harus giat berlatih untuk mempersiapkan kondisi fisik, tenaga, serta kemampuannya
dan hal-hal lain yang akan menunjangnya dalam perlombaan. Ketika berada pada
arena perlombaan maka garis start merupakan hal pertama yang harus dilewati
sekaligus juga yang menjadi penentu ketika berada dalam proses menuju garis finis.
Demikian juga pendidikan merupakan awal yang sangat penting untuk pembentukan
karakter yang bermoral yang di dalamnya seorang manusia diproses/ditempa dalam
waktu yang panjang sehingga pada akhirnya akan menuai kehidupan yang bermakna
dan berkeadilan.
101
Jika dilihat dari konteks perjuangan Indonesia merdeka maka ketiga aspek
yang diusulkan oleh Susan Okin merupakan hal penting terlebih bagi keikutsertaan
kaum perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indoesia. Artinya bahwa
ketika Soekarno menarik perempuan keluar dari ranah domestik untuk terlibat di
dalam kancah politik di ranah publik maka semestinya perempuan tidak hanya
dibiarkan untuk keluar begitu saja tanpa adanya persiapan yang lengkap untuk
membantu mereka berkiprah pada ranah publik. Penulis mengibaratkan persiapan
yang diperlukan oleh kaum perempuan layaknya anak-anak yang menempuh
pendidikan pada Taman Kanak-kanak yang pada akhirnya akan beranjak pada jenjang
Sekolah Dasar dan jenjang yang lainnya. Artinya, mereka membutuhkan landasan
yang kuat untuk menentukan keberadaan mereka pada tingkat selanjutnya. Sama
halnya juga dengan kaum perempuan yang hendak melangkah dari ranah domestik ke
ranah publik harus diperlengkapi dengan berbagai bentuk persiapan. Adapun
persiapan-persiapan yang harus diberikan bagi kaum perempuan dapat berupa
persiapan soft skill yang terdiri dari kemampuan berinteraksi dengan orang lain,
kemampuan mengelola emosi dan mental, serta kemampuan dalam berorganisasi, dan
Hard Skill berupa kemampuan akademik yang memadai yang ditempuh melalui jalur
pendidikan formal dan non formal. Persiapan soft skill dan Hard Skill diyakini dapat
membantu kaum perempuan untuk tidak hanya memperlihatkan bagi dunia luar
bahwa mereka mampu untuk bergabung pada wilayah publik tetapi untuk menyatakan
dengan lantang dan tegas bahwa kaum perempuan telah menjadi kaum yang matang
sehingga siap keluar pada wilayah publik dan siap menunjukkan esensi dari
keberadaan kaum perempuan. Khususnya persiapan Hard Skill yang menjadi penentu
yang dominan dalam memperlengkapi mereka dengan kemampuan kognitif yang
memadai sehingga mampu mempertahankan kehadirannya di tengah-tengah wilayah
102
publik. Ketiga aspek ini seharusnya diperhatikan dan dijadikan sebagai pelengkap
agar perempuan tidak hanya keluar dengan kekosongan yang pada akhirnya
kehadirannya di ranah publik hanya berfungsi sebagai simbol emansipasi perempuan
namun dalam realitas tidak demikian. Dengan ini penulis mengartikan ketiga aspek
beserta manfaatnya sebagai platform yang menegaskan esensi dari kehadiran kaum
perempuan pada ranah publik. Di samping itu, melalui pendidikan baik perempuan
dan laki-laki diberikan bekal kemampuan dan ketrampilan yang setara agar mereka
dapat bersama-sama mengkontribusikan daya dan cipta mereka di masyarakat.
Terutama bagi perempuan, pendidikan yang cukup akan memberikan mereka rasa
percaya diri yang mereka butuhkan untuk berdiri sejajar dengan kaum laki-laki di
dalam membangun bangsa dan negaranya.
Berkaitan dengan rekomendasi yang diberikan oleh Okin mengenai isu-isu
keadilan global, seharusnya Indonesia pun memberikan kontribusi bagi dunia luar
melalui perjuangan perempuannya yang hadir pada fase penjajahan. Kontribusi yang
semestinya diberikan bagi dunia luar ialah perempuan Indonesia mampu keluar dari
lingkaran kemiskinan (tidak hanya kemiskinan dari sudut pandang ekonomi semata
tetapi keluar dari kemiskinan akibat terbatasnya hubungan dengan orang-orang yang
berada pada wilayah publik, dan sebagainya). Sayangnya, kekayaan6 yang dinikmati
oleh perempuan Indonesia pra-kemerdekaan hanyalah bersifat sementara saja yaitu
ketika sangat dibutuhkannya kaum perempuan untuk sama-sama berjuang bagi
Indonesia merdeka. Pasca kemerdekaan Indonesia, kaum perempuan kembali lagi
pada kemiskina dan bahkan dikembalikan pada ranah domestik. Terbatasnya
kesempatan yang diberikan bagi kaum perempuan untuk mengembangkan diri pada
wilayah publik pada masa itu menjadikan kaum perempuan sebagai kaum yang
6 Dalam hal ini “Kekayaan” yang dimaksudkan oleh penulis ialah kebebasan yang dikantongi oleh
kaum perempuan pada masa itu untuk bergabung pada wilayah publik.
103
tergolong miskin. Kenyataan ini menggambarkan bahwa kaum perempuan sangat
rentan terhadap yang namanya kemiskinan. Namun, jika platform yang telah
dijelaskan di atas dikembangkan secara memadai maka Indonesia pun dapat
memberikan kontribusinya bagi kemanusiaan yang ada pada tataran global yang
dilandasi dengan hak-hak asasi manusia.
Dengan begitu skema yang tepat untuk terwujudnya keadilan bagi seluruh
manusia tanpa pengecualian ialah sebagai berikut:
Manusia
(Laki-laki dan
Perempuan)
Keluarga: Wilayah
Domestik (Belajar
tentang nilai-nilai
moral)
Masyarakat, Negara
(Wilayah Publik)
Menerapkan nilai-
nilai moral
diantaranya adalah
KEADILAN
104
D. Relevansi dari Pemikiran Soekarno dan Susan Moller Okin berkaitan dengan
Keadilan dan Kemerdekaan Bagi Perempuan Indonesia Sekarang Ini
Bagi penulis, pemikiran dari kedua tokoh yakni Soekarno dan Okin relevan
dengan konteks Indonesia dan lebih tepatnya konteks perempuan Indonesia yang ada
pada zaman ini. Contoh-contoh ketidakadilan yang dialami oleh banyak perempuan di
Indonesia berawal dari dalam hubungan keluarga yang kemudian merambat pada
struktur organisasi di dalam masyarakat. Ketika masa kanak-kanak, seorang anak
telah diajarkan untuk melakonkan perannya sebagai perempuan maupun laki-laki
melalui jenis permainan yang dimainkan. Anak perempuan diajarkan untuk bermain
dengan alat-alat permainan yang bernada feminim yaitu alat masak-memasak dan
anak laki-laki dengan permainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya yakni perang-
perangan, dan sebagainya. Dan hal tersebut tidak hanya sebatas pola permainan bagi
kedua jenis kelamin tetapi sebaliknya, melalui pola permainan yang seperti itu, anak-
anak akan bertumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang mereka mainkan sejak
masa kecil. Jika salah satu jenis kelamin dari anak-anak ini menyentuh permainan
yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, maka orang tua akan melarang bahkan
memarahi anak tersebut untuk tidak menyentuh permainan yang tidak sesuai dengan
jenis kelaminnya. Pola yang seperti itu secara otomatis akan merangsang sistim
berpikir seorang anak bahkan tindakan mereka dalam melakukan tugas atau pekerjaan
mereka ketika beranjak dewasa sehingga sangat dimungkinkan munculnya
ketidakadilan dari dalam keluarga. Mengapa dikatakan demikian? Ini dikarenakan
ketika pada masa kecil seorang anak diperbiasakan berhubungan secara langsung dan
terus-menerus dengan permainan yang sesuai dengan jenis kelaminnya maka akan
terbentuk pemahaman bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan
kelihatannya tidak mengeluarkan banyak tenaga dan tidak memerlukan proses
105
berpikir yang mendalam. Sebaliknya, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh kaum
laki-laki bertumpu pada proses berpikir yang mendalam dan banyak mengeluarkan
energi. Dengan begitu akan memicu terbentuknya pembagian kerja yang tidak adil
antara laki-laki dan perempuan yang berawal dari dalam keluarga bahkan adanya
ketimpangan dalam memberikan penghargaan terhadap jenis pekerjaan yang
dilakukan oleh keduanya terkhususnya perempuan. Hal ini berdampak dalam
masyarakat bahkan dalam struktur-stuktur organisasi yang dibentuk dalam
masyarakat. Laki-laki dipercayakan dalam memimpin organisasi karena mengacu
pada sifat-sifat tegas, berwibawa, dan sebagainya yang digeneralisasikan sebagai
sifat-sifat yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan
ditempatkan dan dilibatkan sebagai pekerja bawahan.
Adapun contoh-contoh ketidakadilan yang terjadi di Indonesia ialah sebagai
berikut: minimnya peluang yang diberikan kepada kaum perempuan untuk bergabung
dalam pemerintahan kota, propinsi, bahkan negara. Tidak hanya itu, sebagian besar
jabatan kepemimpinan dikuasai oleh kaum laki-laki bahkan presentasi keberadaan
kaum perempuan sebagai wakil rakyat pada legislatif dan dunia politik sangatlah
memprihatinkan. Keadaan ini dilatar belakangi oleh pemahaman bahwa kaum
perempuan belum mampu bersaing, beragumentasi, dan mengemukakan pendapat
dengan kaum laki-laki dan tidak mampu menghadirkan kemajuan bagi bangsa dan
negara. Contoh lain ialah minimnya penegakan nilai-nilai keadilan bagi kesempatan
kerja terhadap perempuan sehingga banyak perempuan yang bekerja sebagai tenaga
ilegal dan mendapatkan tindakan-tindakan penyiksaan dan penindasan yang berujung
pada kematian. Banyak pula perempuan-perempuan paruh baya dan juga perempuan-
perempuan muda yang sebelum matahari keluar dari porosnya sampai terbenam,
bekerja di pasar bahkan ketika kembali ke rumah masih tetap wajib mengerjakan
106
pekerjaan rumah. Dan masih banyak wanita karir yang karena adanya tekanan sosial
dari masyarakat, dengan terpaksa harus mengorbankan karirnya untuk mengurus
suami dan anak-anak.
Dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Okin mengenai keluarga dan
keadilan maka sudah seharus keluarga menjadi produsen nilai-nilai keadilan bagi
masyarakat luas. Namun, jika dari dalam keluarga tidak memiliki dasar yang kuat
untuk menekankan tentang nilai-nilai yang adil bagi anak sejak dini maka dalam
perkembangannya ketidakadilan akan bertumbuh subur dalam masyarakat.
Ketidakadilan tidak hanya berhubungan dengan tidak diberikannya kesempatan bagi
kaum perempuan untuk bergabung maupun mengambil bagian pada wilayah publik
tetapi selebihnya berhubungan dengan hak kaum perempuan yang seringkali
diabaikan oleh keluarga dan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Ketidakadilan juga
berkaitan dengan banyaknya aturan-aturan yang ditetapkan oleh berbagai pihak yang
dalam hal ini juga kaum laki-laki khususnya suami terhadap isterinya. Perempuan
memiliki hak untuk mengembangkan bakat dan talenta yang dimilikinya tanpa harus
dikelilingi oleh banyaknya aturan yang ditetapkan hanya untuk membatasi ruang
gerak kaum perempuan. Inilah yang menjadi tujuan Soekarno mengemukakan
pandangannya tentang keadilan bagi kaum perempuan.
Pada jurnal Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat dikatakan bahwa
perempuan diciptakan bukan hanya untuk menjadi isteri dan ibu rumah tangga, tetapi
ia adalah seorang yang dapat berpartisipasi secara politik menentukan jalannya
pemerintahan untuk berbicara dan menulis atau kesadaran yang penuh bahwa peran
perempuan di dalam kehidupan tidaklah terbatas di rumah saja. Hal ini memiliki
hubungan erat dengan sisi kemanusiaan seseorang. Kemanusiaan seorang perempuan
seharusnya menjadi tujuan utama kemerdekaannya. Artinya, seorang perempuan
107
bebas untuk menentukan jalannya, bebas mengemukakan haknya sebagai insan yang
merdeka. Selebihnya, kemanusiaan merupakan suatu realitas yang mencakup kaum
pria maupun kaum wanita, sehingga kaum pria tidak mempunyai tingkat yang lebih
tinggi daripada kaum wanita dalam hal kemanusiaan.7
Bagi penulis, relevansi dari pemikiran Okin dan Soekarno tidak hanya terbatas
pada bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan pada masa
lampau, tetapi juga berlaku pada pergeseran perkembangan dunia yaitu globalisasi.
Globalisasi merupakan sebuah proyek yang mengarahkan dunia pada kapitalisme
global yang di dalamnya realita eksploitasi dan peminggiran hak-hak sosial, ekonomi,
dan politik perempuan masih terus berkelanjutan.8 Berkaca dari teori yang dibangun
oleh Okin, maka seharusnya dalam dunia global, keluarga tetap berperan penting
karena bagaimanapun juga keluarga adalah basis dari terbentuknya masyarakat.
Ketika keluarga tetap memainkan perannya dengan benar dan adil maka ketika
anggota keluarga ataupun anggota masyarakat (laki-laki dan perempuan) bertemu
dalam dunia global maka pengaruh-pengaruh globalisasi yang memungkinkan
terjadinya tindakan-tindakan yang tidak adil bahkan tindakan-tindakan penindasan,
eksploitasi, dan sebagainya dapat diatasi. Dengan begitu juga nilai ekonomis aktivitas
kerja perempuan yang digolongkan dalam sektor informal masih dapat diakui atau
dihitung sebagai sebuah “pekerjaan” sehingga pemiskinan perempuan dapat
diminimalisir. Selain itu, kaum perempuan mendapatkan kesempatan dalam
mengembangkan talenta dan bakatnya pada wilayah publik walaupun telah dikelilingi
dengan sistim global yang menuntut setiap orang hadir dengan kemampuan yang
dimilikinya.
7 Putnawati, Waskita: Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. I, No. 2, November 2004 (Salatiga:
Program Pascasarjana Sosiologi Agama, UKSW), 158, 159. 8 Einar M. Sitompul (Editor), Globalisasi, Kebangsaan dan Agama-agama di Indonesia (-------: Badan
Penelitian dan Pengembangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 2004), 88.
108
Menurut penulis, di sinilah titik temu antara teori yang dikemukakan oleh
Susan Okin dan pandangan Soekarno tentang nilai-nilai keadilan. Untuk mewujudkan
keadilan dan kemerdekaan bagi kaum perempuan Indonesia sekarang ini maka
dibutuhkan pemahaman yang benar dari kaum laki-laki dan perempuan tentang
konsep keadilan dan kemerdekaan yang diawali dari dalam keluarga dan diimbangi
dengan praktek-praktek keadilan yang benar di dalam keluarga, serta didukung oleh
kebijakan-kebijakan publik yang menghadirkan nilai-nilai moral juga kebijakan
pendidikan. Dapat dipastikan bahwa praktek nilai-nilai keadilan yang dilakonkan di
dalam keluarga dapat merasuk hingga ke dunia publik. Dengan kata lain keluarga
harus menjadi agen-agen keadilan bagi dunia luas/dunia publik.
E. Refleksi Teo-Politik terhadap Keadilan bagi Kaum Perempuan
Pada bagian ini, penulis akan merefleksikan tentang keadilan bagi kaum
perempuan yang dilihat dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang politik dan
agama. Adapun sudut pandang politik ditinjau dari konsep pancasila yang merupakan
dasar negara Indonesia. Sedangkan refleksi dari sudut pandang agama akan ditinjau
dari Kejadian 1:27.
E.1. Refleksi Politik
Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang diyakini dapat menghadirkan
nilai-nilai keadilan, menjunjung harkat dan martabat manusia, membebaskan rakyat
dari penindasan secara fisik maupun psikis, memberikan kesetaraan, kebebasan, serta
kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Pancasila sebagai ideologi merupakan ideologi terbuka dan merupakan
ideologi murni yang luhur dan harus diperjuangkan. Ideologi murni Pancasila tertuang
dalam pembukaannya, yakni menghargai keragaman, mencerdaskan bangsa, dan
109
memakmurkan bangsa Indonesia dalam landasan kemerdekaan.9 Bagi Soekarno,
negara Indonesia didirikan bukan untuk satu orang dan bukan untuk satu golongan,
tetapi didirikan “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Negara
Indonesia yang didirikan harus ditujukan agar tidak ada kemiskinan dan
ketidaksejahteraan.10 Adapun kelima sila yang tercantum dalam Pancasila memiliki
nilai-nilai yang bermuatkan keadilan, persatuan, kebebasan, dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Nilai-nilai ini juga
diyakini memiliki kesaktian dalam mewujudkan Indonesia yang satu dalam
keberagaman.
Jika Pancasila dilihat dari kacamata kesetaraan dan keadilan bagi kaum
perempuan, maka sesungguhnya setiap sila turut berbicara tentang warga negara
perempuan. Pertama, warga negara perempuan adalah individu utuh yang mampu
membuat keputusan tentang agama atau keyakinan yang ingin dipercayainya.
Perempuan bebas memilih keyakinannya tanpa adanya paksaan ataupun intimidasi
dari pihak lain. Kedua, Pancasila mengajarkan tentang nilai-nilai keadilan dan
keberadaban. Adil berarti melarang segala bentuk diskriminasi yang berbasis suku,
agama, keyakinan politik, jenis kelamin, dan identitas gender. Beradab artinya
memiliki rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan tentunya menolak segala macam
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, praktek kekerasan dalam rumah
tangga merupakan perbuatan tidak beradab yang bertentangan dengan sila kedua.11
9 Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme, Dialog dan Keadilan: Tantangan Berdemokrasi Dalam Negara
Republik Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2011), 7-8. 10 Dr. Rini Yuniarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2003), 24. 11 Informasi terhadap keadilan bagi kaum perempuan yang dilihat dari perspektif pancasila diperoleh
dari http://www.theorgasm-project.com/2011/06/09/pancasila-lahir-untuk-perempuan/, (diunduh pada
tanggal 7 April 2014).
110
Ketiga, Persatuan Indonesia memberi makna pemahaman gender yang lebih
luas. Analisis gender tidak hanya analisis kebutuhan berdasarkan jenis kelamin,
namun analisis kebutuhan berbasis kepentingan personal atas kelompok yang paling
membutuhkan. Sehingga analisis gender menurut Pancasila memperhitungkan
perbedaan kebutuhan karena kapasitas tubuh, geografis, suku, dan agama.
Implikasinya, melalui Pancasila maka negara harus memperhatikan kebutuhan khusus
perempuan di kepulauan, perempuan pada tiap agama, perempuan pada tiap etnis,
perempuan di wilayah pasca konflik, dan sebagainya. Keempat, sila keempat
memerintahkan adanya perwakilan perempuan di parlemen untuk kebijakan adil
gender. Kenyataannya partisipasi kaum perempuan di parlemen masih jauh dari yang
ditentukan. Pancasila belum teramalkan sepenuhnya jika 30% untuk keterwakilan
perempuan di parlemen belum tercapai. Kelima, keadilan sosial bagi seluruh warga
indonesia. Artinya warga negara perempuan harus mendapat keadilan yang sama
dengan warga negara laki-laki dalam hal akses ekonomi, pendidikan, kesehatan,
kesempatan bekerja, pendapatan upah yang adil, dan sebagainya. Secara kasat mata
terlihat bahwa persoalan angka buta huruf perempuan, diskriminasi upah pada buruh
perempuan adalah persoalan penerapan sila kelima yang belum berhasil diterapkan
secara adil.12
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa hak asasi manusia selalu
didasarkan pada keselaran, keserasian, dan keseimbangan yang dilandaskan pada
persatuan dan kesatuan bangsa dan Pancasila merupakan tolok ukur bagi setiap insan
(tanpa pengecualian) yang hidup di bumi Indonesia untuk dapat menjunjung tinggi
hak asasinya. Hak untuk memperoleh kebebasan, kesetaraan, dan keadilan tidak hanya
difokuskan pada pribadi seorang perempuan, tetapi juga melibatkan kebebasan,
12 Ibid
111
kesetaraan, dan keadilan secara sosial (bagi semua perempuan Indonesia yang berada
pada tiap suku dan budaya, tiap agama, bahkan juga bagi setiap perempuan yang
berada pada wilayah konflik). Namun, kenyataan yang terjadi memperlihatkan adanya
sikap yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang terkandung pada tiap sila.
Maraknya praktik diskriminasi dan kekerasan fisik maupun non-fisik bagi kaum
perempuan menunjukkan hilangnya pemaknaan terhadap nilai-nilai yang termuat di
dalam Pancasila bahkan membunuh semangat pengamalan Pancasila itu sendiri. Jika
makna Pancasila adalah keadilan dan kesetaraan, maka Pancasila harus digunakan
untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
E.2. Refleksi Teologis
Setiap manusia dilahirkan merdeka, mempunyai martabat dan hak yang sama.
Sama halnya dengan seorang perempuan, dimana hak-hak yang melekat pada dirinya
merupakan bagian dari hak asasi manusia. Perempuan berhak untuk hidup,
memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan atas seksualitasnya, berhak untuk
bergabung dalam dunia publik, dan memiliki hak untuk menyatakan pandangannya
secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi kehidupannya. Ironisnya,
kebebasan dan kemerdekaan yang seharusnya dimiliki oleh perempuan masih langka
untuk ditemui sehingga kaum perempuan masih terus berjuang dan berupaya untuk
membebaskan dirinya dari paradigma maupun tindakan-tindakan ketidakadilan.
Relasi “kepemilikan” laki-laki atas perempuan yang masih subur pun hendak
membuka peluang besar untuk tindakan, perlakuan serta kebijakan semena-mena
terhadap perempuan. Tidak heran, banyak laki-laki bersikap antagonistik terhadap
pembebasan kaum perempuan sebab mereka tidak memahami bahwa hal itu juga
112
merupakan pembebasan manusia yang juga termasuk pembebasan kaum laki-laki.13
Banawiratma mengatakan bahwa tanpa keadilan bagi kaum perempuan yang diawali
dari dalam keluarga, tidak akan terjadi keadilan bagi semua orang.14
Pada banyak kasus yang terjadi di dalam hubungan keluarga, seorang isteri
dipandang sebagai kaum yang harus mengabdi bagi keluarga dengan cara menyiapkan
kebutuhan suami, melayani suami, menjaga dan membesarkan anak, mengerjakan
pekerjaan rumah tangga, dan lain sebagainya. Semua pekerjaan ini dikerjakan oleh
seorang isteri dengan penuh ketekunan dan tanpa dibayar. Keadaan seperti ini
kemudian dipandang sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian yang sudah
seharusnya dilakukan oleh seorang isteri bagi keluarga (tugas wajib seorang isteri).
Dengan adanya pemahaman yang demikian maka terdapat pembenaran yang sering
dilakukan sebagai jembatan untuk mendukung atau membenarkan bahkan melegalkan
pandangan tersebut. Sedangkan suami adalah kepala keluarga yang berkewenangan
penuh untuk membuat keputusan dan tidak memiliki keharusan atau tidak
berkewajiban dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Dari pemahaman ini
maka terlihat dilakukannya pembedaan dalam sistim pembagian kerja hanya untuk
menegaskan bahwa terdapat pihak yang kesehariannya berhubungan dengan ranah
domestik maupun pihak yang dalam kesehariannya berhubungan dengan ranah publik.
Dalam pemahaman umum, keluarga adalah anugerah yang diberikan oleh
Tuhan bagi setiap manusia sehingga kesan pertama yang dijumpai dari kata keluarga
adalah nyaman, indah, damai, tenang, dan masih banyak lagi kesan positif yang akan
diungkapkan ketika seseorang mendengar kata tersebut. Sayangnya, semua hal positif
yang sering dikatakan dan diungkapkan tidaklah menjamin terciptanya keluarga yang
13 Marianne Katoppo, Compassionate And Free (Tersentuh dan Bebas); Teologi Seorang Perempuan
Asia. (Jakarta: Aksara Karunia, 2007).vii, 10. 14 J. B. Banawiratma, Sepuluh Agenda Pastoral Transformatif: Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin
dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 55.
113
harmonis dan bebas dari ketidakadilan. Artinya, masih banyak keluarga yang berlaku
tidak adil terhadap anggota keluarganya. Harus disadari bahwa konsep keluarga yang
merupakan anugerah dari Tuhan memiliki tanggung jawab moral untuk mengajarkan
dan mempraktekkan nilai-nilai yang adil yang dimulai dari hubungan antara suami
isteri bahkan orang tua dan anak-anak.
Keluarga tidak bisa disamakan dengan sebuah wilayah pertandingan dimana
terdapat banyak tim yang hendak bertanding sehingga terkadang timbul keegoisan dan
tindakan-tindakan yang tidak adil untuk memperoleh satu tujuan kemenangan.
Keluarga adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan karena itu kehidupan yang
seharusnya ditonjolkan ialah kehidupan yang saling menyayangi dan saling
menghargai antara suami dan isteri maupun antara orang tua dan anak-anak. Suami
yang adalah kepala keluarga harus menunjukkan sikap yang patut dicontohi oleh
seluruh anggota keluarganya. Suami dan isteri yang ada di dalam keluarga tidak hanya
hadir sebagai satu pribadi tetapi hadir sebagai rekan kerja yang sudah seharusnya
saling membangun dan saling menghormati. Dengan otoritas sebagai kepala keluarga
yang melekat pada seorang suami, hendaknya tidak bertindak semena-mena terhadap
isteri dan anak-anak. Menghormati dan mengasihi merupakan mandat yang harus
dilakukan oleh seorang suami. Mengasihi bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan
seluruh perbuatan. Begitupun isteri, harus menghormati suami. Ditunjukkan sikap
hormat seorang isteri terhadap suaminya, bukanlah berarti suami juga dapat bertindak
semena-mena terhadap isteri. Penerapan rasa kasih sayang dan saling menghargai
tidak hanya diberikan antara suami dan isteri tetapi juga bagi anak-anak yang hadir di
dalam keluarga dan dilandasi dengan pemahaman bahwa semuanya dilakukan
selayaknya kita menghargai, menghormati, mengasihi, dan menaati Tuhan.
114
Di samping kehidupan keluarga, manusia laki-laki dan perempuan juga
berdampingan dengan kenyataan kehidupan yang ada di luar keluarga yaitu
masyarakat. Pada kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam hasil buah pikir
manusia yang terkadang mendarah daging sehingga menjadi tradisi yang dilakonkan
secara terus-menerus dalam lingkup masyarakat. Pembagian kerja dan peran
merupakan salah satu contoh dari hasil konstruksi masyarakat yang kemudian
menentukan bentuk-bentuk pekerjaan dan peran yang seharusnya dilakukan oleh laki-
laki dan perempuan. Kesempatan kerja yang diberikan bagi kaum perempuan jauh
lebih sedikit/kecil dibandingkan dengan yang diberikan bagi laki-laki. Hal ini
didukung dengan pemahaman bahwa laki-laki adalah kaum yang lebih unggul dari
kaum perempuan sehingga laki-laki mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
berkarya pada dunia publik dan sebaliknya kaum perempuan tidak berkesempatan
besar untuk berkarya pada dunia publik. Dalam situasi yang demikian maka
perempuan dilema untuk memposisikan diri sesuai hasil konstruksi masyarakat
ataukah mengembangkan diri dalam masyarakat. Perempuan kemudian menjadi
makhluk yang tertindas, tidak bebas, terdiskriminasi karena adanya hasil konstruksi
masyarakat. Sadar ataupun tidak, hal-hal yang telah disebutkan sedang dan sementara
dialami oleh banyak perempuan pada banyak lingkup masyarakat.
Manusia baik laki-laki maupun perempuan pada prinsipnya sebagai suatu
wadah dari imago dei yakni segambar dan serupa dengan Allah. Kejadian 1 : 27
secara tegas menyatakan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-
Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-
Nya mereka”. Di sinilah keluarga yang paling pertama diciptakan di dunia yaitu
keluarga yang setara, di mana laki-laki dan perempuan diciptakan sama dengan
gambaran sang Pencipta mereka. Di sini juga menjadi sebuah penegasan bahwa
115
manusia menjadi cermin ciptaan termulia, suatu gambaran dari manusia baru yang
diaplikasikan dalam pengertian “makhluk berkarya dan beribadah, serta makhluk yang
sadar akan kehendak pencipta.” Gambaran manusia sebagai cermin Sang Pencipta
terekspresi di dalam karya-karya manusia dalam seluruh kesehariannya melalui relasi
manusia dengan Tuhan, relasi manusia dengan manusia, bahkan relasi manusia
dengan alam merupakan suatu arena untuk mewujudkan manusia sebagai imago dei.
Dengan kata lain, tindakan manusia adalah ekspresi penghayatan manusia terhadap
Sang Pencipta.15 Sedikit diinformasikan bahwa cerita penciptaan dalam kitab
Kejadian pasal 1 merupakan bagian dari penceritaan pada sumber P (Priestly). Cerita
penciptaan sangat menekankan tentang tema ketertiban ciptaan di tempatnya masing-
masing. Tema ketertiban ini dimaksudkan untuk mengatur kehidupan pasca
pembuangan dari Babilonia supaya menjadi tertib.16
Kembali pada konsep imago dei, Gerrit Singgih mengatakan bahwa manusia
diciptakan menurut gambar (tselem) dan rupa (demuth) Allah. Baginya, kedua kata ini
adalah sinonim. Tselem adalah patung atau citra dari tokoh tertentu, yang mewakili
dia di suatu tempat. Demuth lebih bersifat umum, sesuatu yang menunjukkan
keserupaan. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa Gambar Allah = manusia. Jadi,
manusia adalah Gambar Allah, tetapi juga sebaliknya, gambar Allah adalah manusia.
Gambar Allah tidak bermakna abstrak tetapi konkret, yakni manusia. Manusia itu
terdiri dari laki-laki dan perempuan; gambar Allah adalah laki-laki dan perempuan.
Jika Gambar Allah adalah manusia, dan manusia adalah laki-laki dan perempuan,
maka baik laki-laki dan perempuan adalah manusia. Laki-laki adalah keseluruhannya
15 Yuberlian Padele, Agustina Lumentut: Pikiran dan Tindakannya dalam Kajian Gender Justice
(Salatiga: Program Doktor Sosiologi Agama – Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2012), 129-
130. 16 Robert B. Coote & David Robert Ord. Diterjemahkan oleh Jessica C. Pattinasarany; Kata Pengantar
oleh Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D, Pada Mulanya: Penciptaan & Sejarah Keimaman, (Jakarta:BPK Gunung
Mulia diterbitkan dalam kerja sama dengan Universitas Kristen Satya Wacana, 2011), xviii.
116
manusia, demikian juga perempuan adalah keseluruhannya manusia. Keduanya (laki-
laki dan perempuan) adalah setara karena mereka adalah gambar Allah.17
Landasan ini sejajar dengan konsep keadilan yang dikemukakan oleh Okin
yaitu tentang konsep keadilan yang humanis. Jika laki-laki dan perempuan adalah
gambar Allah maka semestinya gambar Allah = manusia harus menjadi fokus utama
dari penerapan nilai-nilai keadilan. Karena manusia baik laki-laki maupun perempuan
adalah setara maka perlakuan yang semestinya terjadi ialah perlakuan yang sama
antara keduanya. Artinya, yang satu tidak didahulukan dan yang lain ditinggalkan.
Sebagai gambaran Allah, manusia memiliki tanggung jawab untuk
menyatakan tindakan-tindakan yang memuliakan Allah. Jadi, segala bentuk perlakuan
yang dilakukan kepada manusia lainnya merupakan perwujudan tindakan yang
dilakukan bagi Tuhan. Artinya, ketika seorang laki-laki bertindak sewenang-wenang
terhadap seorang perempuan maupun seorang perempuan melakukan tindakan yang
tidak benar terhadap seorang laki-laki maka hal tersebut merupakan wujud perlakuan
manusia bagi Tuhan. Segambar dan serupa dengan Tuhan Allah maka manusia
dituntut untuk selalu sadar dalam melakukan tindakan-tindakan yang adil dan yang
memuliakan-Nya. Dengan kata lain, manusia harus mampu melawan berbagai
tindakan yang cenderung merugikan bahkan menyakiti manusia lainnya. Di sinilah
esensi dari tindakan manusia, suatu tindakan yang bertanggung jawab, bertindak
sesuai dengan yang dikehendaki oleh Tuhan Allah, melakukan tindakan-tindakan
yang bermoral, bahkan lebih dari pada itu manusia harus mampu mewujudkan
kualitasnya sebagai ciptaan yang paling mulia. Perempuan adalah mitra sejajar bagi
laki-laki. Artinya perempuan memiliki kualitas yang sama dengan laki-laki sehingga
harus diperlakukan dengan baik. Perempuan tidak memiliki harkat dan martabat yang
17 Emanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel: Sebuah Tafsir Kejadian 1-11 (Yogyakarta: Kanisius,
2011), 66-69.
117
lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kedua-duanya yakni laki-laki dan
perempuan merupakan subjek penyelamatan Allah karena itu laki-laki dan perempuan
harus bertindak yang adil baik di dalam hubungan keluarga maupun di dalam
hubungan bermasyarakat untuk saling membangun dan saling menyelamatkan.
Untuk lebih memperjelas maka penulis membuat skema sederhana dalam
rangka menggambarkan hubungan-hubungan yang seharusnya terjalin di dalam
keluarga yang pada akhirnya berdampak bagi kehidupan bermasyarakat. Pada
awalnya kita memahami bahwa hubungan yang seharusnya terjalin di dalam sebuah
keluarga ialah yang seperti skema berikut ini:
Pandangan awal ialah
adanya Hierarki di dalam
Keluarga. Suami/Ayah
memiliki otoritas atas
Isteri dan Anak.
Namun, ketika manusia memahami bahwa sebenarnya semua manusia adalah
sama/setara, karena itu tidak seharusnya membeda-bedakan antara manusia laki-laki
dan perempuan. Artinya, harus bertindak yang adil antara laki-laki dan perempuan
yang ada di dalam kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga tidaklah dibangun atas
hierarki yang diciptakan oleh pemahaman masyarakat. Namun di atas semua
perkataan, tindakan, dan perbuatan yang dilakukan terhadap manusia harus didasari
Suami/Ayah
Isteri/ Ibu
Anak-anak
118
oleh rasa hormat, cinta kasih, dan ketaatan kepada Tuhan maka hubungan yang
seharusnya terjalin di dalam keluarga ialah seperti skema berikut ini.
Lingkup Masyarakat
Dengan demikian penulis akan mengakhiri pembahasan yang terdapat pada
bab empat dengan membuat kesimpulan sederhana yang menyatakan bahwa pada
dasarnya kemampuan dan talenta yang dimiliki oleh kaum perempuan merupakan
suatu pembuktian bahwa kaum perempuan bukanlah kaum yang lemah tetapi
diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai kemampuan yanng terkadang juga tidak
dimiliki oleh kaum laki-laki. Karena itu harus dinjunjung harkat insaninya dan
stereotip negatif yang seringkali dilekatkan pada pribadi seorang perempuan haruslah
dikaji ulang sehingga semua manusia baik laki-laki maupun perempuan dicerahkan
jalan pemikirannya dan tindakannya dituntun untuk selalu mengarah pada tindakan-
tindakan yang adil yang diawali dari dalam hubungan yang paling intim sehingga
berdampak pada hubungan-hubungan kemasyarakatan maupun kenegaraan.
TUHAN
Laki-laki/
Suami
Perempuan/
Isteri
Anak