pemetaan dan analisis daerah rawan...
TRANSCRIPT
PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan,
Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ALHASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemetaan dan Analisis Daerah
Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan,
Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam dafar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2006
Fauziah Alhasanah
ABSTRAK
FAUZIAH ALHASANAH. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan BABA BARUS.
Tanah longsor adalah penyebab terjadinya bencana alam di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Peta bahaya dan risiko tanah longsor yang ada saat ini belum memadai untuk digunakan dalam membuat suatu kebijakan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan peta potensi bahaya dan peta risiko untuk mitigasi daerah-daerah bahaya tanah longsor dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Hasil menunjukkan bahwa separuh wilayah di kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah rawan terhadap tanah longsor, yaitu 8.460 Ha atau 65,51% dan wilayah yang berpotensi sangat rawan tanah longsor sekitar 2.789 Ha (21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%) dan tidak rawan sekitar 85 Ha (0,66%). Penggabungan peta bahaya tanah longsor dan peta properti menghasilkan tingkat risiko tanah longsor. Namun demikian, sebagian besar wilayah masuk dalam kategori kurang berisiko (7.962 Ha/61,67%) dan wilayah yang berisiko tinggi memiliki luasan terkecil yaitu 568 Ha atau 4,4%. Fenomena yang terjadi adalah wilayah yang memiliki tingkat bahaya tanah longsor yang tinggi belum tentu memiliki nilai risiko yang tinggi, karena dalam perhitungn risiko ditentukan oleh nilai properti yang ada seperti infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan lahan, sedangkan tingkat bahaya tanah longsor ditentukan oleh faktor alam meliputi curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi serta penggunaan lahan.
ABSTRACT
FAUZIAH ALHASANAH. Mapping and Analysing of Landslide Hazard Zone and its Mitigation Using Geographic Information System (Case Study in North Sumedang and South Sumedang Subdistric, Sumedang Distric, West Java). Under the direction of MUHAMMAD ARDIANSYAH and BABA BARUS.
Landslide is the natural disaster that most frequently occurred in the study
area of North Sumedang and South Sumedang subdistric. The existing of landslide hazard and risk maps are not yet adequate to be use in policy making. The aim of the research is to provide potential hazard and risk maps to mitigate landslide hazard using geographic information system technology. The result showed that most area in the North Sumedang and South Sumedang subdistrict is moderate landslide hazard covered 8.460 Ha (65,51%), high landslide hazard covered 2.798 Ha (21,67%), low landslide hazard covered 1.570 Ha (12,16%) and very low landslide hazard covered 85 Ha (0,66%). Combining landslide hazard with property value has produced map of landslide risk. Neverthe less most areas are low risk class (7.962 Ha/61,67%) and the high risk areas are only occurred in small places (568 Ha/4,4 %). This phenomena showed that area with high potential class of landslide hazard is not always having a high value of risk. The risk is determined by properties value such as: infrastructure, road network and land use, while the landslide hazardous class is determined by natural factors such as: slope, soil type, geology and land use.
© Hak cipta milik Fauziah Alhasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan,
Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ALHASANAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2006
Judul Tesis : Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)
Nama : Fauziah Alhasanah NRP : P052030141 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua
Dr. Baba Barus, M.Sc. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 11 April 2006 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT pencipta alam
semesta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia -Nya, sehingga karya
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah tanah longsor dengan judul
“Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya
Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang
Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Ardiansyah dan
Dr. Baba Barus, selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam mengekspresikan pikiran ke dalam
sebuah tulisan. Kepada Dr. Ir. S.D. Tarigan selaku penguji, penulis ucapkan
terimakasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Bapak Dr. Ir. Surjono H.
Sutjahjo, M.S. dan seluruh staff pengajar program studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas ilmu-ilmu yang diberikan. Terimakasih
juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Mubekti, M.Sc. dan seluruh rekan-
rekan di P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta.
Khusus kepada Ir. Hartanto Sanjaya, M.Sc. dan Laju Gandharum, S.Si.
penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya telah banyak
membimbing dan membantu dalam penelitian ini. Terimakasih yang tulus penulis
ucapkan untuk kedua orangtuaku tercinta atas do’a dan kesabarannya dalam
mendidik penulis. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada kedua kakak
tercinta, sahabat-sahabat terdekat, rekan-rekan di PS-PSL (2003) serta M. Iqbal,
M.Si., atas kesabarannya dalam mendampingi dan membantu dalam
penyelesaian tesis ini, penulis ucapakan terimakasih yang tak terhingga.
Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini
penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai materi pembanding
dalam pelaksanaan penelitian lanjutan.
Bogor, Juni 2006
Fauziah Alhasanah
RIWAYAT HIDUP
Fauziah Alhasanah dilahirkan di Jakarta pada 3 Februari 1980, putri ketiga dari
tiga bersaudara dari pasangan Fairus Syahdan dan Yulita. Pada tahun 1998,
penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1
Cimanggis. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan
Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta dan lulus pada tahun
2003. Sejak Juni 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai asisten
peneliti pada P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta . Pada Agustus 2003 , penulis
melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang............................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah...................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian............................................................................ 5 1.4. Kegunaan Penelitian...................................................................... 5 1.5. Kerangka Pemikiran....................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 8
2.1. Proses Terjadinya Longsor ........................................................... 8 2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa...................................... 10 2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor.................................................. 14 2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor .................................................. 16 2.5. Mitigasi Bencana Tanah Longsor.................................................. 16 2.6. Sistem Informasi Geografis............................................................ 19
III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 22
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian.......................................................... 22 3.2. Bahan dan Alat Penelitian.............................................................. 22 3.3. Metodologi...................................................................................... 22
3.3.1. Persiapan ........................................................................... 22 3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik ...................... 23 3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis Pembuatan Peta Bahaya Longsor .............................................................................. 23 3.3.4. Validasi Lapangan.............................................................. 26 3.3.5. Analisis Ulang..................................................................... 26 3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan
Peta Risiko ......................................................................... 26 3.3.6.1. Peta Properti ....................................................... 27 3.3.6.2. Peta Risiko Longsor............................................ 27
3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor...................................... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................. 31 4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian.......................................................... 31
4.1.1. Administrasi dan Kependudukan....................................... 31 4.1.2. Curah Hujan ....................................................................... 35 4.1.3. Suhu ................................................................................... 36 4.1.4. Topografi ............................................................................ 36 4.1.5. Hidrologi ............................................................................ 40 4.1.6. Penggunaan Lahan............................................................ 40 4.1.7. Geologi............................................................................... 43 4.1.8. Jenis Tanah........................................................................ 44
4.2. Bencana Longsor........................................................................... 47 4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor.......................... 49 4.4. Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor................................... 51
Halaman
4.4.1. Faktor-faktor Pemicu Bahaya Tanah Longsor................... 51 4.4.2. Kelerengan ......................................................................... 54 4.4.3. Jenis Tanah........................................................................ 54 4.4.4. Geologi............................................................................... 55 4.4.5. Tutupan Lahan................................................................... 56
4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor ........................................ 57 4.5.1. Peta Infrastruktur................................................................ 58 4.5.2. Peta Jaringan Jalan ........................................................... 59 4.5.3. Peta Penggunaan Lahan ................................................... 60 4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor................................................ 63
4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor.......................... 68 V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 74
5.1. Kesimpulan..................................................................................... 74 5.2. Saran.............................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 76 LAMPIRAN....................................................................................................... 78
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor .............................. 16
2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor................................................... 24
3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Potensial) Tanah Longsor............................. 26
4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ................................................................................................ 32
5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan ................................................................. 33
6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang…………………………….......................................................... 35
7. Kelas Lereng dan Luasannya ................................................................... 37
8. Jenis Penggunaan Lahan Luasannya ....................................................... 40
9. Satuan Batuan Beserta Luasannya........................................................... 44
10. Jenis Tanah Beserta Luasannya .............................................................. 46
11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor. 48
12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang Telah Dilakukan .................................................................. 49
13. Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor ..................................................... 50
14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor.......... 50
15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng .................................. 54
16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor ............................................... 55
17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor .......................................... 56
18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor .......................................... 57
19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur......................... 58
20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan.................................... 60
21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan.............................................. 61
22. Matriks Penentuan Nilai Risiko .................................................................. 63
23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya ...................... 65
24. Tingkat Risiko Tanah Longsor Berdasarkan Desa di Kecamatan Sumedang Utara dan Selatan.................................................................... 66
25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ............................. 68
26. Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan Mitigasinya di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan...... 72
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................... 7
2. Diagram Tipe Gerakan Massa................................................................... 14
3. ProsesTerjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya ............................................................................................. 15
4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana ............................................................ 17
5. Manajemen Resiko Bencana Tanah Longsor........................................... 17
6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor........................... 28
7. Diagram Alir Tahap Penelitian................................................................... 30
8. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 31
9. Peta Wilayah Administrasi Kec. Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ....................................................................................................... 34
10. Peta Kontur................................................................................................. 38
11. Peta Kelas Lereng...................................................................................... 39
12. Peta Penggunaan Lahan ........................................................................... 41
13. Citra ASTER tahun 2003............................................................................ 42
14. Peta Geologi............................................................................................... 45
15. Peta Tanah Tinjau ..................................................................................... 46
16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor ............... 52
17. Peta Bahaya Tanah Longsor..................................................................... 53
18. Peta Properti ............................................................................................. 62
19. Peta Risiko Tanah Longsor........................................................................ 64
20. Tahapan Mitigasi Tanah Longsor ............................................................. 69
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Wilayah Rawan Longsor di Provinsi Jawa Barat..................................... 78
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan
yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih
tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya
faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan
lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng
tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut
dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno
1997).
Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi
permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan
kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas
manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian,
pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan.
Tanah longsor dikategorikan sebaga i salah satu penyebab bencana alam,
di samping gempa bumi, banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana
tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia
dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya
tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan
jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam.
Dari data Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak tahun 1998 hingga
pertengahan tahun 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di
Indonesia, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan banjir dan longsor
(Marwanta 2003). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa longsor merupakan
bencana alam yang sangat mengancam dan penting untuk diperhatikan setelah
banjir, karena frekwensi kejadian dan jumlah korban jiwa yang ditimbulkan cukup
signifikan.
Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan
struktur topografi yang berbentuk pengunungan dan perbukitan yang sangat
dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang
merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan -kegiatan
merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan.
2
Salah satu kejadian bencana tanah longsor yang sangat parah dan
menimbulkan korban yang tidak sedikit adalah yang terjadi di Bahorok (Sumatera
Utara) pada 3 November 2003. Bencana tanah longsor di Bahorok tersebut
menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan tempat
usahanya, di samping jumlah korban meninggal dan luka -luka yang mencapai
ratusan jiwa. Pada awal tahun 2006, kejadian tanah longsor di Indonesia yang
sangat parah terjadi di Banjarnegara (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur).
Kejadian tanah longsor di kedua daerah tersebut menyebabkan sebanyak paling
tidak 62 orang tewas, puluhan hilang dan ribuan lainnya harus mengungsi dalam
peristiwa banjir bandang di Jember. Sementara peristiwa tanah longsor di
Banjarnegara mengakibatkan ratusan orang tewas akibat tertimbun tanah.1
Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial
terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar
wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Di samping itu, juga disebabkan
tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga
menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan
cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah
kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang
yang kurang baik.
Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan
rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota,
antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis,
Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002). Wilayah rawan longsor
di Provinsi Jawa Barat secara lengkap dan terperinci disajikan pada Lampiran 1.
Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan
kawasan padat penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak
pada lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang
lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut,
diperlukan upaya -upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat
yang akan ditimbulkan . Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat
kejadian tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material
dan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya.
Mencegah bahaya longsor lebih murah daripada menanggulangi atau
membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Carter (1992)
1 . http://www.penulislepas .com/print.php?id=1713_0_1_0
3
menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai
mitigasi, yang definisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap
suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas
di tempatnya.
Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana
alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah
tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem
peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta
minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi
penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana longsor.
Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen,
antara lain mulai dari penyusunan data base daerah potensi bahaya longsor
hingga pembuatan peta zonasi bencana (hazard map). Menurut Asriningrum
(2003), semua daerah di Indonesia belum memiliki peta rawan longsor yang
memadai sehingga daerah-daerah yang rawan terjadinya longsor belum
terpetakan dengan baik. Akibatnya, daerah-daerah rawan longsor belum dapat
dipantau sehingga ketika longsor terjadi sulit diantisipasi dan sangat potensial
menelan korban jiwa dalam jumlah besar.
Selama ini, peta yang tersedia sangat tidak memadai untuk mendeteksi
titik-titik tertentu yang rawan terkena bencana longsor. Peta yang ada selama ini
dibuat dalam skala 1 : 1.000.0000 . Padahal, idealnya skala yang harus dibuat
adalah 1 : 50.000 supaya titik-titik yang rawan bahaya longsor dapat diketahui
secara detail (Asriningrum 2003).
Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan metode yang tepat
dalam melakukan pembuatan peta zonasi bahaya tanah longsor untuk suatu
cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Penerapan
teknologi SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan
identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak
tanah longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak
akibat tanah longsor (mitigasi) dilakukan dengan cara membuat suatu model
penyusunan SIG, yakni dengan menggabungkan beberapa peta sebagai variabel
untuk memperoleh kawasan yang rentan terhadap bahaya dan risiko tanah
longsor.
4
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suhendar (1994) yang menyatakan
bahwa citra satelit dapat digunakan secara tidak langsung dalam penentuan
potensi tanah longsor, menggambarkan permukaan suatu wilayah , struktur
geologi, dan hubungan pertumbuhan dengan kondisi kelembaban. Selanjutnya,
Suhendar (1994) juga berpendapat bahwa teknik SIG sangat membantu untuk
menganalisis data daerah bahaya tanah longsor dan pendugaan risikonya.
1.2. Perumusan Masalah
Dari keseluruhan wilayah sebaran rawan longsor di Provinsi Jawa Barat
sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini dipilih salah satu wilayah
yang akan dikaji secara mendalam, yaitu Kabupaten Sumedang. Dipilihnya
Kabupaten Sumedang sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan bahwa
daerah ini memiliki potensi yang besar terjadinya tanah longsor dibandingkan
dengan daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat.
Kondisi topografi dan geologi wilayah Kabupaten Sumedang pada
umumnya adalah wilayah perbukitan dan kebanyakannya merupakan lereng
terjal, batuan penyusun berupa endapan vulkanik muda, tanah pelapukan berupa
tanah lempung dan lempung pasiran cukup tebal. Selanjutnya, curah hujan rata-
rata 40 cm per hari pada musim hujan.
Berdasarkan hasil identifikasi Direktorat Geologi Tata Lingkungan diketahui
bahwa terdapat sembilan kecamatan di Kabupaten Sumedang yang memiliki
potensi bahaya longsor relatif besar, yaitu Kecamatan Darmaraja, Cimalaka,
Rancakalong, Wado, Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta, Sumedang
Utara dan Jatigede. Penelitian ini akan difokuskan pada dua kecamatan yaitu
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan.
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah
penyangga (buffer zone) ibukota Kabupaten Sumedang mengingat lokasinya
yang dekat dan berbatasan langsung dengan ibukota kabupaten. Dengan
demikian, perkembangan kedua daerah ini cukup pesat seiring dengan pesatnya
dinamika pembangunan di pusat kota. Hal ini ditandai dengan berkembangnya
kawasan pemukiman penduduk yang telah mencapai ke kawasan lereng
perbukitan di dua kecamatan tersebut. Dengan demikian , beban lereng menjadi
bartambah sehingga kawasan pemukiman di daerah ini sangat rentan terhadap
ancaman tanah longsor. Hal ini mengacu pada pendapat Sutikno (2000) yang
5
menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan tegangan geser yang
memungkinkan terjadinya gerakan tanah.
Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dirumuskan permasalahan-
permasalahan sebagai berikut, yaitu :
a. Bagaimanakah sebaran lokasi yang potensial rawan bahaya tanah longsor
aktif dan longsor pasif di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan
Kecamatan Sumedang Selatan?
b. Bagaiamankah sebaran lokasi yang memiliki potensi risiko tanah longsor?
c. Bagaimanakah mitigasi terhadap daerah rawan longsor dengan
menggunakan teknologi SIG?
1.3. Tujuan Penelitian
a. Menganalisis faktor penyebab potensi bahaya tanah longsor di wilayah
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
b. Memetakan wilayah bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara
dan Sumedang Selatan.
c. Menganalisis tingkat risiko dan memetakan risiko tanah longsor di wilayah
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
d. Menganalisis upaya mitigasi terhadap daerah rawan tanah longsor di
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
1.4. Kegunaan Penelitian
a. Peta potensi bahaya dan peta risiko tanah longsor diharapkan bermanfaat
sebagai bagian dari upaya mitigasi bahaya tanah longsor yang dapat
bermanfaat bagi pemerintah daerah setempat dan masyarakat maupun
instansi terkait lainnya di wilayah Kabupaten Sumedang.
b. Sebagai bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk
mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya
mereka yang tinggal di kawasan rentan longsor dan sekitarnya.
1.5. Kerangka Pemikiran
Quarantelli (1998) diacu dalam Smith (2001) memberikan pengertian
bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial
atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya
merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami
6
kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan
pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar
dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya , jatuhnya korban
manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada
kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak
luar.
Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang
luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi,
batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi.
Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu
seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh
tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti
yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.
Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya
(hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui
faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah
tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau
hazard mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu
periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut.
Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa,
kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan.
Salah satu keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik dari
banyak faktor penyebab bencana lebih disebabkan karena kurang tersedianya
informasi keruangan dan kewilayahan yang detil, komprehensif, dan up to date.
Informasi yang diberikan dapat berupa peta kertas atau sistem informasi. Oleh
karena itu, penguatan sistem pemetaan merupakan salah satu faktor yang perlu
dilakukan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan bencana tanah longsor.
Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan
melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap tanah longsor. Peta zonasi
bahaya tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan
memutuskan tingkat risiko dengan mempertimbangkan penghindaran,
pencegahan atau mitigasi dari bahaya tanah longsor sekarang dan yang akan
datang.
Peta atau basis data yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan untuk proses
mitigasi bencana-bencana alam lainnya seperti banjir, letusan gunung api, dan
7
gempa bumi. Di samping itu, peta ini dapat bermanfaat dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan
secara umum.
Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam
diagram alir berikut.
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Proses Terjadinya Longsor
Cruden (1991) mengemukakan longsoran (landslide) sebagai pergerakan
suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng
(yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Terjadinya
longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan yang terletak
pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan
berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi
sebagai bidang luncur.
Berdasarkan tipe gerakan dan material yang mengalami gerakan, Sutikno
(1994) membedakan gerakan massa tanah/batuan menjadi tiga tipe, yaitu (i) tipe
gerakan lambat (mencakup rayapan tanah, rayapan talus, rayapan batuan,
gletser, dan solifluction); (ii) tipe aliran cepat (mencakup aliran lumpur, aliran
tanah, debris avalance, longsoran (landslide ), nendatan (slump), longsoran
hancuran, batu longsor, dan batu jatuh (rock fall); dan (iii) terban, yakni turunnya
material kulit bumi ke bawah tanpa permukaan bebas dan pergeseran horizontal.
Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi
yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini,
besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh
besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (slope). Semakin
besar slope, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu
juga sebaliknya.
Secara matematis, Pidwirny (1996) dalam Purnomo (2003) merumuskan
persamaan pengaruh gravitasi, sebagai berikut :
αsinWF =
dimana : F : Gaya gravitasi (Kg.m/dt²) W : Berat massa batuan di suatu titik α : Sudut lereng
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan
atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan. Kondisi
tersebut sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari
keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya
9
dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan
tegangan geser tanah (Suryolelono 2005).
Dalam buku Gerakan Tanah di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat
Geologi dan Tata Lingkungan (DGTL) dinyatakan bahwa kemantapan suatu
lereng untuk dapat mengalami gerakan tanah dievaluasi dengan menghitung
faktor keamanan (Factor of safety, disimbolkan dengan Fs). Fs diperoleh dengan
cara membandingkan antara gaya yang menahan dengan gaya yang
meluncurkan. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
Gaya yang menahan Fs = Gaya yang meluncurkan
Apabila gaya yang menahan lebih besar daripada gaya yang meluncurkan
(Fs > 1) maka lereng akan mantap. Sebaliknya, apabila gaya yang menahan
lebih kecil dari gaya yang meluncurkan (Fs < 1) maka lereng tersebut akan
bergerak (tidak mantap). Setiap sesuatu perubahan yang menyebabkan
berkurangnya gaya yang menahan atau memperbesar gaya yang meluncurkan,
akan menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah.
Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga
sebagai kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan
kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut:
a. Komposisi dan tekstur material.
b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan
seragam.
c. Reaksi kimia.
d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung.
e. Pengaruh tekanan air pori.
f. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan.
g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.
Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan
tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan
kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.
10
b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan
diatas lereng, dan genangan air di atas lereng.
c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan.
d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air,
penambangan batuan, pembuatan terowongan, dan eksploitasi air tanah
berlebihan.
e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan
pengembangan tanah.
f. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah
kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan,
patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring.
g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan
vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak.
Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau
kurang kompak.
h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air
yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong
munculnya pergerakan tanah atau longsor.
i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat
kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu
menembus sampai lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan
sangat berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi lain meskipun
tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah
yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng.
Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan
tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong
terjadinya longsor.
2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan
mass wasting. Mass Wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass
movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith dan tanah dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan
lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih
rendah.
11
Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada
beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut
antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air,
gaya kohesi antarmaterial akan semakin lemah, sehingga memungkinkan
partikel-partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan
menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk
menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.
Selanjutnya, pengertian dan batasan masing-masing tipe gerakan massa,
menurut klasifikasi Varnes (1978) dalam Cooke dan Doornkamp (1990), secara
rinci dijelaskan sebagai berikut :
a. Jatuhan (Falls)
Rock Falls adalah gerakan pecahan batuan dan jatuh bebas. Peristiwa ini
sangat umum terjadi pada lereng yang sangat terjal, dimana material lepas tidak
dapat tetap tinggal. Pecahan batuan ini dapat langsung jatuh atau membentur-
bentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Peristiwa rock falls ini
banyak terjadi pada batuan yang mengalami pelapukan fisik karena proses
pemanasan dan pendinginan batuan atau oleh pertumbuhan akar tumbuhan.
Contohnya, pada tebing di pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang
batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan.
Selain rock falls, dalam terminologi jatuhan juga dikenal istilah soil falls,
yaitu gerakan yang terjadi akibat pemotongan pada massa tanah (soil) atau
muka teras. Soil falls ini biasanya terjadi pada bagian yang tidak stabil.
Prosesnya dimulai pada saat massa terpisah dari tebing terjal yang disebabkan
retakan, sebelum lereng terjal tersebut runtuh.
b. Robohan (Topples)
Merupakan gerakan robohan ke arah depan. Topples dapat terjadi pada
batuan maupun tanah, dan biasanya merupakan hasil dari retakan-retakan
setelah terjadinya massa yang jatuh. Selanjutnya material robohan tersebut
bergerak sebagai aliran (flow) atau sebagai longsoran (slide).
c. Longsoran (Slides)
Longsoran (slides) merupakan perpindahan masa batuan atau tanah
melalui suatu permukaan bidang. Permukaan bidang tersebut dapat merupakan
kekar, sesar, atau bidang perlapisan yang searah dengan kemiringan lereng.
12
d. Nendatan (Slump)
Nendatan (slump) merupakan perpindahan massa batuan atau material
lepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur
yang lengkung. Pada proses nendatan, material yang dipindahkan tidak terlalu
besar kecepatannya dan tidak terlalu jauh. Proses ini merupakan sedimen
kohesif yang tebal seperti lempung.
Permukaan retakan blok slump dicirikan oleh bentuk seperti sendok dan
cekung ke arah atas. Pada saat terjadi pergerakan, terbentuk tebing yang
lengkung dan blok yang terletak dipermukaan akan berputar ke belakang.
Umumnya slump terjadi karena kemiringan lereng terlalu terjal, dapat juga terjadi
karena beban pada kemiringan lereng terlalu besar, yang menyebabkan
terjadinya internal stress pada meterial di bawahnya. Slump terjadi pada material
yang lemah dan kaya akan lempung berada di bawah material yang lebih keras
atau resisten seperti batu pasir. Air tanah yang meresap melalui batu pasir akan
melemahkan lempung yang berada di bawahnya.
e. Aliran (Flow)
Aliran pada tanah penting juga untuk diperhatikan, mengingat gerakan
massa jenis ini sering menimbulkan malapetaka. Dalam hal gerakan massa jenis
flow ini, dapat berupa debris flow (aliran bahan rombakan) dengan material
berukuran butir kasar, sampai dengan mudflow (aliran lumpur), yakni aliran
material dengan ukuran butir secara dominan adalah lempung.
Aliran lumpur (mudflow) terjadi apabila material cairan kental bergerak
menuruni lereng dengan cepat. Biasanya materialnya jenuh air dan utamanya
partikel halus (debris). Tipe gerakan massa ini umum terjadi di daerah yang
curah hujannya tinggi, seperti di Indonesia.
Selanjutnya, kecepatan alirnya tidak hanya bergantung pada kecuraman
lereng tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air. Aliran campuran lumpur,
tanah, batuan, dan air ini mampu membawa atau mendorong bongkah yang
besar, pohon-pohon atau bahkan bangunan besar seperti rumah. Di daerah
gunung api aktif, terdapat aliran (flow) dari gerakan massa yang sangat khas,
yakni lahar. Lahar merupakan aliran piroklastik, berukuran dari debu vulkanik
sampai bongkah (bomb), yang jenuh air menuruni lereng.
Komponen utama yang membedakan berbagai macam aliran tersebut,
adalah dalam hal kandungan air dan dapat terlihat pada bentukan akhir lahan
yang mengalami kerusakan akibat flow ini. Apabila bentukan akhir lahannya
13
cenderung berlumpur, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya kandungan air
pada aliran tersebut, begitu juga sebaliknya.
Aliran (flow) berdasarkan kandungan air dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu mudflow dan earthflow. Karena dipengaruhi oleh kandungan air yang ada,
mudflow lebih banyak terjadi di daerah semi arid. Sedangkan earthflow lebih
sering terjadi di daerah bawah (humid) akibat hujan yang terus menerus. Selain
sering terjadi pada lereng perbukitan, earthflow juga sering terjadi berasosiasi
dengan slump .
Selanjutnya, kecepatan earthflow sangat tergantung pada kemiringan
lereng dan konsistensi dari materialnya. Berdasarkan kekentalannya, kecepatan
earthflow dan mudflow jauh berbeda. Karena eartflow agak kental, maka
alirannya tidak secepat mudflow.
f. Kompleks/Campuran (Complex)
Gerakan massa kompleks terjadi bilamana beberapa tipe gerakan terjadi
dalam satu kejadian dan dalam waktu yang sama. Kombinasi yang khas terjadi
adalah gerakan massa berupa rockfalls dengan debris avalanches serta rockfalls
dengan rock flowsides, rotational slides, dan earthflow (atau pada umumnya
mudflows).
g. Avalanches
Gerakan massa tipe avalanches ini biasa terjadi pada salju atau es. Lahan
yang terbentuk mempunyai kategori yang berbeda dari tipe gerakan massa yang
lain, karena dalam media yang ada ikut berperan.
h. Solifluction
Gerakan massa tipe ini te rmasuk lambat dan hanya terjadi pada elevasi
tinggi dan dengan suhu dingin. Pada musim semi dan panas, hanya bagian atas
es atau salju yang mencair, sedangkan tanah di bawahnya masih beku. Air dari
pencairan es ini tidak mengalir dan membuat tanah menjadi jenuh. Kejenuhan
tanah akan air membuatnya mudah bergerak, seperti halnya pada rayapan.
Keseluruhan tipe gerakan massa sebagaimana telah dijelaskan di atas
secara visual disajikan dalam Gambar 2.
14
2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor
Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya
faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti yang
terlihat dalam skema dalam Gambar 3.
Gambar 2. Diagram Tipe Gerakan Massa (menurut Varnes 1978 dalam Cooke dan Doornkamp 1990)
Translational
TOPPLES
SLIDES
Rotational
FLOWS
COMPLEX
Rock Fall
Rock topple
Rotational slump
Rock slide
Rock Avalanche
Rock fragmen flow (flow slide)
Soil fall
Debris topple
Slides
Earth block slide
Debris flow Sand or silt flow
Earth flow
Debris avalanche Sand run
ROCK SOILS coarse fine-grained
Joint opened
Original support removed
FALLS
source area main track
depositional area
rock fall
flow tongue of rock debris
mixed sediments
undercut by river
clay-gravel
clean sand
main scarp
head
graben
slip surface
toe
pressure ridge
failure along faults
dip slope control by bedding planes
scarp face control by
joints
moderate
15
Gambar 3. Proses Terjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya (Karnawati 2004)
Dari gambar di atas, terlihat bahwa faktor-faktor pengontrol gerakan tanah
meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna
lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu
kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng
yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada
lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu
gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat
merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak.
Menurut Goenadi et al. (2003), faktor pemicu terjadinya longsor
dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor yang bersifat tetap (statis), dan faktor
yang bersifat mudah berubah (dinamis). Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini
mempunyai pengaruh yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering
dipicu oleh adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang
bersifat dinamis. Yang termasuk ke dalam kategori faktor pemicu dinamis ini
adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Pada kelompok faktor pemicu yang
bersifat dinamis, sebenarnya ada faktor kegempaan. Namun karena daerah
penelitian tidak terlalu luas, maka seluruh daerah penelitian dapat dianggap
mempunyai tingkat faktor kegempaan yang sama.
Selanjutnya, faktor pemicu terjadinya tanah longsor yang bersifat statis
dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun
dan struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci, faktor-faktor
tersebut di atas disajikan dalam Tabel 1.
16
Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor
No. Faktor Penyebab Parameter
1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan 1. Faktor Pemicu Dinamis 3. Penggunaan Lahan (aktivitas manusia) 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi 5. Kedalaman Solum Tanah 6. Permeabilitas Tanah 2. Faktor Pemicu Statis
7. Tekstur Tanah
Sumber: Goenadi et al. (2003)
2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor
Mikrozoning (risk mapping ) adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian
risiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan -kegiatan
pengumpulan data (sekunder maupun survai di lapangan), analisis, dan
penyajian dalam bentuk peta risiko. Dengan demikian kegiatan mikrozoning
dimaksudkan untuk memberi informasi risiko bencana dalam suatu wilayah agar
pembangunan yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang
aman (Naryanto 2001).
Pembuatan peta risiko tanah longsor dapat dilakukan berdasarkan metode
Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan metode ini, penentuan
tingkat kerentanan tanah di suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih
kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan
pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran (Rengers
dan Soeters 1993 dalam Barus 1999).
2.5. Mitigasi Bencana Tanah longsor
Bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan/atau manusia yang
dapat menimbulkan bahaya (hazard) dan ke rentanan (vulnerability) terhadap
manusia dan lingkungan itu sendiri. Dalam manajemen mitigasi bencana, sebab
dan akibat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (interdependensi) yang
secara skematis disajikan dalam Gambar 4. Dari gambar tersebut, terdapat faktor
umpan balik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem. Umpan
balik (feed back) disini diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi langkah-
langkah yang akan dilakukan dalam manajemen mitigasi termasuk sebab
terjadinya bencana.
17
Gambar 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana (Kotter 2004)
Selanjutnya untuk mengidentifikasi langkah-langkah antisipasi, baik
sebelum dan sesudah terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun
manusia , diperlukan suatu sistem manajemen risiko bencana. Upaya dalam
mengindetifikasi langkah-langkah antisipasi bencana tanah longsor dengan
melibatkan unsur-unsur manajemen risiko digambarkan sebagai berikut.
Gambar 5. Manajemen Risiko Bencana Tanah longsor (Kotter 2004)
18
Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena
sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa
fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability)
komunitas di pihak lain serta (risk ) risiko yang ditimbulkan. Ancaman menjadi
bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari
tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut.
Risiko merupakan gabungan da ri unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya
serta kerentanan (UNDRO 1991). Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya,
bahaya, dan kerentanan secara metematis diformulasikan sebagai berikut :
))(())(( HxVERsERt ==
dimana : Rt : Risiko E : Unsur-unsur dari Risiko H : Bahaya V : Kerentanan
Risiko (Rt) diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan
properti dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu
yang dihasilkan dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun
unsur-unsur dari risiko (E) terdiri dari populasi, bagunan-bangunan, aktivitas
ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas dan infrastruktur, dan lainnya yang
memiliki risiko pada suatu area.
Bahaya (H) adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu
pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam.
Selanjutnya, kerentanan (V) diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsur
risiko dari suatu fenomena alam pada skala tertentu, yaitu dari 0 (tidak ada
kerusakan) sampai 1 (kerusakan total).
Risiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas
dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis risiko
perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi risiko
tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan
disebut dengan rencana mitigasi.
Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
mitigasi struktural dan nonstruktural. Menurut Naryanto (2001), dalam
19
pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersama-
sama dan saling memperkuat.
Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno (2004) memberikan
definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak.
Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan-peraturan,
pengelolaan tata ruang, dan pelatihan.
2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG)
SIG secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan integrasi
data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih
komprehensif. Informasi spasial tersebut nantinya dapat digunakan sebagai
bahan dalam pengambilan keputusan.
SIG merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk
pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, pentransformasian, dan penampilan
data dijital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu (Burrough
1996). Teknologi ini berkembang cukup pesat khususnya untuk penanganan
pekerjaan pemetaan yang dilengkapi dengan data base karena berbagai alasan.
Aronoff (1989) menyebutkan beberapa alasan pentingnya penggunaan SIG
dalam pemetaan, antara lain :
a. Kemampuan untuk pemrosesan dan pengolahan data dalam volume besar,
khususnya dalam peta tematik.
b. Kemampuan untuk penyesuaian dengan perkembangan teknologi komputer.
c. Kemampuan untuk penyesuaian dengan teknologi pemotretan udara dan
remote sensing.
d. Kemampuan untuk mengekstrak dan mengintegrasikan data dari berbagai
media (peta, foto udara, dan citra satelit).
e. Kemampuan untuk melakukan overlay yang dapat menghasilkan kombinasi
informasi dari berbagai peta.
Selanjutnya, SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan.
Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Klasifikasi/Reklasifikasi
Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau data
atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.
20
b. Overlay
Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari
beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang
menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan dari beberapa
peta. Selain itu overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta
yang saling beririsan.
Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan teknologi pemotretan udara
dan remote sensing. Citra satelit merekam objek di permukaan bumi seperti apa
adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat dideteksi
kondisi liputan lahan saat perekaman. Pada dasarnya, teknologi berbasis satelit
ini menyajikan informasi awal kondisi wilayah. Keunggulan utamanya adalah
dapat menyajikan informasi secara aktual dan akurat.2 Teknik penginderaan
jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alternatif yang
tepat untuk dijadikan sebagai penyediaan informasi tentang berbagai parameter
faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya longsor di suatu daerah.
Dengan tersedianya peta daerah rawan bencana, akan mempermudah
penggambaran kondisi daerah yang bersangkutan dan pada domain inilah peran
data satelit teknologi inderaja. Data satelit memiliki keunggulan dibandingkan
dengan peta atau foto udara, karena dapat menyajikan informasi tentang
karakteristik spektral obyek di permukaan bumi yang tidak dapat ditangkap oleh
mata telanjang. Sensor satelit multispektral dapat 'memilah' pantulan gelombang
elektromagnetik yang datang dari permukaan Bumi. Dengan demikian, obyek
yang menurut mata telanjang serupa, akan tampak sangat berbeda pada citra
satelit.
Peta-peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis inderaja
maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Peta
turunan ini dapat berupa zonasi kerentanan banjir, peta zonasi rawan longsor,
dan peta zonasi rawan kebakaran hutan. Proses penggabungan informasi dalam
berbagai peta dengan cara tumpang susun (map overlay) untuk menurunkan
informasi baru disebut dengan pemodelan spasial. Sistem Informasi Geografi
(SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang mampu melakukan pemodelan
spasial.
2 http://www.kompas.com/kompas -cetak/0110/28/iptek/pote22.htm
21
Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data
utamanya. SIG menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk
menurunkan informasi (berupa peta) baru, sedangkan inderaja langsung
membuat peta baru dari suatu citra inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran
proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. Pada berbagai aplikasi
lingkungan, pemodelan melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai
SIG. Sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang berarti karena tidak disertai
informasi terbaru yang akurat.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 . Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2004 sampai dengan Desember
2005. Lokasi penelitiannya terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan
Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat,
sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (P3TISDA BPPT), Jakarta.
3.2 . Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Landsat TM
Kabupaten Sumedang path-row 121-065 akuisisi 18 September tahun 1996,
Landsat ETM7+ path-row 121-065 akuisisi 12 Agustus tahun 2002, dan ASTER
akuisisi 30 Agustus tahun 2003, peta topografi, serta beberapa peta tematik
seperti Peta Geologi, Peta Tutupan Lahan, Peta Kontur, Peta Infrastruktur, Peta
Dasar, dan Peta Tanah. Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.7,
Multispec, Global Mapper 6.05, Arc View 3.3 dan Global Positioning System
(GPS).
3.3 . Metodologi
Secara sistematis, kegiatan penelitian dilaksanakan melalui tahapan-
tahapan berikut, yaitu :
a. Persiapan.
b. Penyusunan peta dasar dan peta tematik.
c. Interpretasi, analisis, dan pembuatan peta bahaya longsor.
d. Validasi lapangan.
e. Analisis ulang.
f. Pengolahan data, penyusunan peta properti, dan peta risiko longsor.
g. Penyajian hasil penelitian.
3.3.1. Persiapan
Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dan peta-peta pendukung,
studi pustaka, dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan dengan
“historical event” tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi ke
instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang tanah longsor.
23
3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik
Peta dasar (format digital) disiapkan untuk penyajian peta-peta tematik
parameter pemicu tanah longso r (peta permeabilitas tanah, kontur, penggunaan
lahan, jaringan jalan, infrastruktur dan geologi).
a. Peta Permeabilitas Tanah (drainase dan tekstur tanah)
Permeabilitas tanah diidentifikasi berdasarkan Peta Tanah Tingkat Tinjau
skala 1:50.000 Provinsi Jawa Barat (Puslittanak), dengan memperhatikan
faktor drainase, tekstur tanah, dan posisinya. Peta ini berguna dalam
penyusunan peta bahaya tanah longsor.
b. Peta Kontur
Kelerengan (tingkat kecuraman) dan geomorfologi dianalisis menggunakan
Peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal) dengan pendekatan garis
kontur. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor.
c. Peta Penggunaan Lahan
Peta Penggunaan Lahan/Land Use , skala 1:25.000 (Bakosurtanal) direvisi
dengan citra Landsat, citra ASTER dan hasil pengamatan lapangan.
d. Peta Geologi
Peta Geologi, skala 1:100.000 (Direktorat Geologi, Bandung, 1994) dijadikan
dasar untuk pengelompokkan kondisi geologi/litologi sebagai faktor
kerawanan terhadap kestabilan tanah dalam kedudukannya dalam suatu
lereng.
e. Peta In frastruktur
Peta Infrastruktur diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000
(Bakosurtanal).
f. Peta Jaringan Jalan
Peta Jaringan Jalan diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000
(Bakosurtanal).
Peta Permeabilitas Tanah, Lereng, Geologi berguna dalam penyusunan
peta bahaya tanah longsor. Adapun Peta Tutupan Lahan berguna untuk
penyusunan bahaya tanah longsor dan risiko longsor. Adapun Peta Infrastruktur
dan Peta Jaringan Jalan berguna untuk pembuatan peta risiko tanah longsor.
3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis, dan Pembuatan Peta Bahaya Longsor
Tahap pertama adalah interpretasi citra Landsat dan citra ASTER (FCC
321) tahun 2003 pada lokasi longsoran. Interpretasi citra adalah penafsiran suatu
24
objek pada citra atau foto udara dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Citra
Landsat dan ASTER digunakan untuk mengupdate peta tutupan lahan, sehingga
akan dihasilkan tutupan lahan terkini.
Adapun cara memperbaharui (up-dating ) Peta Tutupan Lahan dilakukan
dengan menafsirkan objek pada citra ASTER tahun 2003. Hal ini diperlukan
karena Peta Tutupan Lahan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
terkini sehingga dengan proses up-dating akan dihasilkan peta yang lebih baru.
Analisis dan pengolahan data selanjutnya dimulai setelah peta-peta tematik
parameter fisik wilayah (permeabilitas tanah, penggunaan lahan, dsb) tersedia.
Peta-peta tematik ditumpangtindihkan dengan mempertimbangkan skor untuk
mendapatkan kelas sebaran wilayah rawan tanah longsor. Sifat fisik wilayah
yang dijadikan parameter pemicu tanah longsor disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor
No. Parameter Nilai Harkat (Skor )
I Curah hujan (mm/tahun) a. sangat basah (>3000 mm) 5 b. basah (2501 – 3000 mm) 4 c. sedang/lembab (2001 – 2500 mm) 3 d. kering (1501 – 2000 mm) 2 e. sangat kering (> 1500 mm) 1 II Kelerengan (%) a. > 45 5 b. 30 – 45 4 c. 15 – 30 3 d. 8 – 15 2 e. < 8 1 III Permeabilitas tanah a. sangat lambat 5 b. lambat 4 c. agak cepat/sedang 3 d. cepat 2 e. sangat cepat 1
IV Tutupan lahan a. tegalan, sawah 5 b. semak -belukar 4 c. hutan dan perkebunan 3 d. kota/permukiman, bandara, dan lapangan golf 2 e. tambak, waduk, dan perairan 1 V Geologi a. batuan volkanik (tuf, pasir) 3 b. batuan sedimen (liat, napal) 2 c. batuan berbahan resent (aluvial) 1
Keterangan : 1, 2, 3, 4, dan 5 adalah nilai dari parameter. Diacu dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 2004
25
Berdasarkan Tabel 2, tidak terdapat parameter sungai dan jalan yang
dijadikan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena pada
penelitian-penelitian terdahulu, bahwa tanah longsor yang terjadi di Kabupaten
Sumedang pada umumnya disebabkan oleh faktor lereng dan curah hujan .
Dasar penggunaan skor da lam pembuatan peta bahaya tanah longsor
mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Puslittanak
Bogor mengenai Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor di
Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung Berbasis Sistem Informasi
Geografi. Dalam penelitian tersebut, setiap parameter pemicu terjadinya tanah
longsor ditentukan dengan bobot dan skor.
Dalam penelitian ini, telah dilakukan simulasi penggunaan skor dan bobot
serta dengan dan tanpa bobot. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peta bahaya
tanah longsor yang diperoleh dengan dan tanpa bobot relatif sama. Oleh karena
itu penggunaan bobot dalam penelitian ini ditiadakan, sehingga yang digunakan
hanya skor.
Diantara kelima parameter pemicu tanah longsor sebagaimana diuraikan
dalam Tabel 2, terdapat satu parameter yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu
permeabilitas tanah. Untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat lambat,
diberikan skor tertinggi, yaitu 5. Adapun untuk tingkat permeabilitas tanah yang
sangat cepat, diberikan skor terendah, yaitu 1.
Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan
bahaya tanah longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya
tanah longsor. Hal ini dipengaruhi oleh sifat tanah dan kemiringan lereng. Apabila
di bawa h lapisan tanah terdapat lapisan kedap air, maka air yang masuk akan
tertahan dan tanah (pada kemiringan tertentu) akan berpotensi tergelincir
menjadi longsor.
Skor dengan overlay dikerjakan mempergunakan perangkat lunak Sistem
Informasi Geografi ArcView versi 3.3. Pada proses tumpang tindih ini, skor
masing-masing data parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir
analisis diperoleh sejumlah zona (pada perangkat lunak berupa poligon-poligon).
Kemudian, wilayah rawan (potensial) tanah longsor dikelompokkan ke
dalam empat kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; (iii) kurang rawan; dan
(iv) tidak rawan. Klasifikasi wilayah rawan tanah longsor ini mengacu pada
klasifikasi gerakan tanah yang digunakan pada Direktorat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G)
26
Bandung, yaitu (i) Rawan Longsor Tinggi; (ii) Rawan Longsor Menengah; (iii)
Rawan Longsor Rendah; (iv) dan Rawan Longsor Sangat Rendah. Di samping
itu, juga mengacu kepada hasil-hasil penelitian tentang tanah longsor yang telah
dipublikasikan oleh Puslittanak dan BPPT. Secara terperinci, parameter-
parameter yang membentuk klasifikasi wilayah rawan bahaya tanah longsor
disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Potensial) Tanah Longsor
Kelas Parameter
Sangat Rawan - Kelerengan di atas 30% - Permeabilitas tanah agak cepat s.d. sangat lambat - Curah hujan >2.000 mm/tahun
- Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan
perkebunan - Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik
Rawan - Kelerengan di atas 15% - Permeabilitas tanah agak cepat/sedang
- Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan
perkebunan - Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik
Kurang Rawan - Kelerengan di atas 8% - Permeabilitas tanah cepat - Tutupan lahannya perkebunan dan pemukiman
Tidak Rawan - Kelerengan kurang dari 8% - Permeabilitas cepat - Satuan batuan pada umumnya berbahan resent - Penggunaan lahan berupa pemukiman
Sumber : Puslittanak dan BPPT 2004, 2004 (Diolah)
3.3.4. Validasi Lapangan
Validasi lapangan dilakukan untuk mencocokkan hasil analisis peta bahaya
tanah longsor dengan keadaan sebenarnya di lapangan (baik secara langsung
maupun melalui informasi dari instansi-intansi terkait). Hasil dari validasi
lapangan dan data informasi yang terkumpul dijadikan bahan dalam analisis
ulang.
3.3.5. Analisis Ulang
Analisis ulang dilakukan untuk memperbaiki peta bahaya longsor
berdasarkan dari hasil validasi lapangan. Peta bahaya longsor yang telah
dihasilkan pada tahapan awal penelitian, disempurnakan berdasarkan hasil
survai lapangan.
27
3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko
Pada tahap ini dilakukan penyelarasan semua data (baik data sekunder
maupun survai lapangan) dengan peta rawan longsor. Selanjutnya akan
dibangun peta properti dan peta risiko tanah longsor.
3.3.6.1. Peta Properti
Peta properti merupakan gambaran umum keadaan suatu wilayah yang
dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan baik dalam keadaan
terlantar (lahan tidur) maupun dengan berbagai aktivitas ekonomi yang
berlangsung diatasnya (pemukiman, industri, sawah, tegalan, kolam/tambak dan
infrastruktur lainnya).
Peta properti diperoleh dengan “menggabungkan” peta penggunaan lahan
dan peta infrastruktur serta peta jaringan jalan. Nilai properti suatu wilayah dapat
ditentukan apabila di wilayah yang terkena bencana tanah longsor tersebut
menyebabkan kerugian dan kemungkinan hilangnya korban jiwa, kerusakan
lingkungan dan kerugian ekonomi yang cukup tinggi.
3.3.6.2. Peta Risiko Longsor
Peta ini dihasilkan dari penggabungan antara peta bahaya/rawan longsor
dengan peta properti. Peta risiko tanah longsor ini akhirnya akan menghasilkan
informasi wilayah-wilayah yang memerlukan mitigasi bencana. Wilayah yang
memiliki nilai risiko tinggi bukan saja dikarenakan wilayah tersebut memiliki
bahaya longsor tinggi tetapi lebih ditekankan pada wilayah yang memiliki nilai
properti yang tinggi. Langkah kerja pembuatan peta risiko tanah longsor secara
skematis disajikan dalam Gambar 6.
28
Gambar 6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor
Dari Gambar 6 terlihat bahwa dua jenis peta , yaitu peta infrastruktur dan
peta jalan dilakukan proses buffering. Buffering merupakan upaya yang bertujuan
untuk membentuk suatu area, poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang
berfungsi untuk menutupi objek spasial. Buffering tidak dilakukan pada peta
penggunaan lahan dan peta bahaya , karena batasannya sudah diketahui.
Buffering dilakukan pada data titik dan ga ris untuk mendapatkan suatu poligon,
dengan atribut skor yang telah ditentukan.
Proses selanjutnya adalah melakukan griding, yaitu melakukan perubahan
terhadap format data keempat peta tersebut dari bentuk vektor menjadi raster.
Kemudian, data hasil griding dianalisis dengan menggunakan software Global
Mapper untuk mempercepat dan mempermudah dalam pemrosesan data pada
tahapan berikutnya.
Dari gambar di atas juga terlihat bahwa proses ini menggunakan software
SPSS yang berguna untuk membaca titik koordinat (x dan y) dan skor (z) di
setiap pixel pada masing-masing peta. Setelah melalui proses dengan
menggunakan beberapa software, diperoleh hasil penggabungan berupa skor
29
pada masing-masing peta. Nilai skor yang diperoleh tersebut, selanjutnya
dilakukan reklasifikasi (pengelompokan kembali) dengan menggunakan software
ArcView, sehingga menghasilkan nilai risiko sebagai dasar dalam pembuatan
peta risiko tanah longsor.
3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor
Dalam melakukan upaya mitigasi bencana diperlukan tahapan kegiatan
yang dapat memberikan gambaran secara rinci mengenai upaya yang harus
dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi pengkajian potensi bencana,
analisis kerawanan, dan analisis risiko bencana. Setelah dihasilkan Peta Risiko
Tanah Longsor, perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi berbagai
alternatif tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk
mencegah dan mananggulangi bencana tanah longsor.
Tahapan penelitian secara sistematik sebagaimana diuraikan di atas
secara skematik digambarkan dalam diagram alir berikut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian
4.1.1. Administrasi dan Kependudukan
Kabupaten Sumedang terletak pada 06º48 ′25″-06º56 ′50″ Lintang Selatan
dan 107º51′10″-107º58′30″ Bujur Timur serta berada pada ketinggian
25-1.001 m dpl. Bata s-batas administrasi Kabupaten Sumedang sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut, sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Bandung, serta sebelah timur barbatasan dengan Kabupaten
Majalengka. Gambaran spasial lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 .
KAB. S UBANG
#
SUMEDANG UTARA
#
SUMEDANG SELATAN
KAB. I NDRAMAYU
KAB. BANDUNGKAB. GARUT
KAB. MAJALENGKA
7°00
' 7°00'
6°5
0' 6°50'
6°4
0'
6°40'
107°40'
107°40'
107°50'
107°50'
108°00'
108°00'
108°10'
108°10'108
108
-7
-7
PETA KABUPATEN SUMEDANG DAN SEKITARNYA
LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PRO VINSI JAWA BARAT
N
Keterangan :
Batas Kabupaten
Kecamatan-kecamatan di Kab. Sumedang
Sumedang Selatan
Sumedang Utara
4 0 4 8 Km
Gambar 8. Lokasi Penelitian
32
Penyebaran penduduk di Kabupaten Sumedang terkonsentrasi di
Kecamatan Jatinangor, Cimanggung, Tanjungsari, Sumedang Selatan,
Sumedang Utara, dan Cimalaka . Penyebaran yang tidak merata tersebut karena
pusat kegiatan pendidikan , ekonomi, hiburan , pemukiman, dan industri lebih
banyak berada di kecamatan-kecamatan tersebut. Untuk lebih jelasnya, jumlah
penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sumedang disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003
No Kecamatan Jumlah Penduduk
1 Surian 11.330 2 Cisarua 18.500
3 Cibugel 19.910 4 Ganeas 21.870 5 Tomo 22.238
6 Tanjungmedar 23.318 7 Jatigede 23.955 8 Cisitu 25.441 9 Ujungjaya 28.303 10 Sukasari 28.420 11 Conggeang 29.266
12 Buahdua 31.272 13 Tanjungkerta 32.127 14 Situraja 33.426
15 Paseh 35.564 16 Rancakalong 36.227 17 Darmaraja 36.238
18 Jatinunggal 40.330 19 Wado 42.664 20 Pamulihan 48.263
21 Cimalaka 51.725 22 Tanjungsari 63.962 23 Cimanggung 64.421
24 Sumedang Selatan 65.190 25 Sumedang Utara 75.754
26 Jatinangor 87.238
Sumber : BPS Kabupaten Sumedang (2003)
Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa jumlah penduduk Kabupaten
Sumedang per kecamatan pada tahun 2003 sebanyak 996.952 jiwa . Selain itu,
dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa Kecamatan Sumedang Utara dan
Kecamatan Sumedang Selatan termasuk wilayah yang memiliki jumlah penduduk
di atas 60.000 jiwa.
33
Secara geografis, letak kedua kecamatan tersebut berada pada posisi
06º81 -́06º96´ Lintang Selatan dan 107º85 -́107º97´ Bujur Timur. Adapun secara
administrasi pemerintahan, Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan
Sumedang Selatan terdiri dari 24 desa dengan luas wilayah mencapai
±12.914,80 Ha. Peta orientasi lokasi Kecamatan Sumedang Utara dan
Kecamatan Sumedang Selatan disajikan dalam Gambar 9. Adapun pembagian
wilayah (desa) dan luasan dari desa di dua kecamatan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan
Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 1999
No. Nama Kecamatan/Desa Jumlah (Ha)
Sumedang Selatan 1 Baginda 383,16 2 Ciherang 654,56 3 Cipameungpeuk 610,96 4 Cipancar 1.487,17 5 Citengah 1.511,48 6 Gunasari 804,10 7 Pasanggrahan 1.211,16 8 Regol Wetan 642,79 9 Kota Kulon 318,53 10 Meruya Mekar 601,14 11 Sukagalih 117,78 12 Sukajaya 1.404,19
Sumedang Utara 13 Jatihurip 125,20 14 Jatimulya 478,68 15 Kebonjati 43,02 16 Kota Kaler 381,95 17 Girimukti 147,29 18 Margamukti 449,05 19 Mekarjaya 199,32 20 Mulyasari 516,59 21 Padasuka 149,31 22 Sirnamulya 277,04 23 Situ 228,44 24 Talun 171,88
Total 12.914,80
�������������� ������������������� ���������������������������������
���� ������� �
��������������������������������� ������������� ��
�������� ��������
��������
��������
������������
��������
����
���������
���������
�����������
�������
������������
�������������
����������
����������
���������������
����������
���������
���������
��������
���������
���������
���������
����� ��������
������������
������������
��������� ��
�����������
�������������������
������� ��
���������������������
��� !�"�#�$�� ��%&%'���( ��%��)'�*�#�+,�---��).��!�'$������� ����� "�&�+--+�$�+-*+
�!./ )�%�#�� .&!0%�
�
�� !�1��� ��%'/2��"�%�%�!�%
34,35--
6 34,35--6
34,75--
6 34,75--6
34,+5--
6 34,+5--6
34,-5--
6 34,-5--6
34785--
6 34785--6
*-94,+5--6
*-94,+5--6
*-94,75--6
*-94,75--6
*-94,35--6
*-94,35--6
*-94,85--6
*-94,85--6
+ - + ��
35
4.1.2. Curah Hujan
Curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor. Infiltrasi air
hujan ke dalam lapisan tanah akan melemahkan material pembentuk lereng,
sehingga memicu terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi, intensitas, dan
lamanya hujan berperan dalam menentukan longsor tidaknya suatu lereng .
Berdasarkan data Badan Perencanaan Daerah Sumedang, Kabupaten
Sumedang mempunyai curah hujan tahunan rata-rata yang berkisar antara
2000-2500 mm/tahun, yang meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten
Sumedang terutama wilayah Kabupaten Sumedang bagian tengah. Wilayah yang
ada di Kabupaten Sumedang bagian tenggara merupakan daerah dengan curah
hujan yang tinggi, berkisar antara 2500-3000 mm/tahun. Pada beberapa tempat
tertentu , curah hujan ada yang mencapai 3500-4000 mm/tahun. Wilayah
Kabupaten Sumedang bagian utara mempunyai curah hujan tahunan rata -rata
yang berkisar antara 2500 -3500 mm/tahun. Bahkan, di sekitar Gunung
Tampomas curah hujannya sangat tinggi yaitu 4500-5000 mm/tahun.
Pengaruh curah hujan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor ditunjukkan
dari jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Sumedang selama periode
1987-2002. Rincian lengkap mengenai jumlah kejadian longsor di Kabupaten
Sumedang pada tingkat curah hujan yang berbeda disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang
Periode 1987-2002 No. Kecamatan Curah Hujan Rata-rata (mm/th) ∑ Kejadian 1 Buahdua 2221 - 2 Cadasngampar/Jatigede 2643 7 3 Cibugel 1289 - 4 Cikeruh/ Jatinangor 1370 - 5 Cimalaka 2419 2 6 Cimanggung 1724 1 7 Congeang 1968 - 8 Darmaraja 2946 2 9 Paseh 2304 - 10 Rancakalong 2648 6 11 Situraja 2257 1 12 Sumedang Selatan 3100 9 13 Sumedang Utara 2386 6 14 Tanjungkerta 2900 4 15 Tanjungsari 1967 2 16 Tomo 2038 2 17 Ujungjaya 2080 - 18 Wado 1678 3
Jumlah 45
Sumber : Hasil Pengolahan Data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002)
36
Berdasarkan data pada Tabel 6, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu
15 tahun, telah terjadi 45 kejadian longsor pada tingkat curah hujan yang
berbeda. Adapun jumlah kejadian tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara
dan Sumedang Selatan sebanyak 15 kejadian atau sebesar 33,33% dari total
jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Sumedang dalam kurun waktu
tersebut.
Pada penelitian ini, yang berlokasi di Kecamatan Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan, nilai parameter curah hujan dianggap sama untuk seluruh
daerah di dua kecamatan tersebut. Hal ini karena perbedaan jumlah curah hujan
rata-rata pada dua kecamatan tersebut tidak terlalu signifikan atau ekstrem.
4.1.3. Suhu
Suhu udara di Kabupaten Sumedang rata -rata berkisar antara 22,5-23,3ºC.
Suhu maksimum mencapai 23,3ºC terjadi pada bulan Mei, September, dan
Oktober. Adapun suhu minimum sebesar 22 ,5ºC terjadi pada bulan Juli.
4.1.4. Topografi
Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup (SLH) yang dikeluarkan oleh
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, dijelaskan bahwa
bentang alam Kabupaten Sumedang cukup bervariasi, dari dataran sampai
perbukitan. Secara garis besar, ketinggian wilayah di Kabupaten Sumedang
dapat diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu:
a. 25-50 m dpl
Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tomo dan sebagian Kecamatan
Ujungjaya dengan luas ± 5.858,05 Ha.
b. 51-75 m dpl
Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Conggeang, Buahdua, Tomo
dan Ujungjaya dengan luas ± 5 .673,54 Ha.
c. 76-100 m dpl
Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Conggeang, Buahdua, Tomo
dan Ujungjaya dengan luas ± 7 .294,82 Ha.
d. 101-500 m dpl
Meliputi sebagian Kecamatan Sumedang Selatan , Sumedang Utara,
Cimalaka , Tanjungkerta, Conggeang, Buahdua, Tomo, Darmaraja, Situraja,
Wado, Cadasngampar, Paseh, Ujungjaya dan Cibugel dengan luas ±
66.564,55 Ha.
37
e. 501-1001 m dpl
Meliputi sebagian wilayah Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang
Utara, Cimalaka, Tanjungkerta, Tanjungsari, Cikeruh, Rancakalong,
Conggeang, Buahdua, Tomo, Darmaraja, Situraja , Wado, Paseh,
Cimanggung, dan Cibugel dengan luas ± 49.339,71 Ha.
f. Di atas 1001 m dpl
Meliputi sebagian wilayah Kecamatan Sumedang Selatan, Cimalaka,
Situraja, Tanjungsari, Rancakalong , Conggeang, Buahdua, Cibugel,
Darmaraja, Wado, dan Cimanggung dengan luas ± 17.464,78 Ha .
Berdasarkan kelas ketinggian dan sebarannya tersebut, dapat diketahui
bahwa wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terletak
pada ketinggian 100 s.d. di atas 1.001 m dpl. Berdasarkan garis kontur dan titik
tinggi Rupa Bumi Indonesia skala 1:25 .000 yang bersumber dari Bakosurtanal,
dibuatkan kelas lereng dengan menggunakan software Arc View 3.3 ext 3D.
Pada tabel di bawah ini disajikan kelas lereng dan luas wilayahnya pada kedua
kecamatan tersebut. Selanjutnya, peta kontur dan peta kelas lereng wilayah
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat pada
Gambar 10 dan Gambar 11 .
Tabel 7 . Kelas Lereng dan Luasannya
No. Kelas Lereng (%) Jumlah (Ha)
1 0 – 8 2.514 ,27 2 8 – 15 466 ,97 3 15 – 30 2.734 ,44 4 30 – 45 2.118 ,45 5 >45 5.080 ,67
Total 12.914,80
Sumber : Bakosurtanal (Diolah) , 2005
�
����
���� ��������
����
���� ��������
����
���� ��������
����
���� ��������
���
���� �������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
��������
��������
� ��������������
� ������� ����
������������ �!�"�����#$#��%���&����#��'�%��� ���(����)�'*+����,�%"�*-�'+#� ���*$��.#+
)���+�/�0�����,
1���!��������!��(��(��!��(��(��!��1�(��1�(��!��1�(�
�������������
2,���3�%�/*,����4�����5
������������� �������� ��������� ����������
��������(�"����/*,���
����������������������������� ���������������������
� � � /�
����
���� ��������
����
���� ��������
����
���� ��������
����
���� ��������
���
���� �������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
��������
��������
�
� ������������� ����
����� �������� ������!�����"�#�$���������"�������%����&����� ��'�"
���������
��� ���
���� ����
����������� ���
������ ���
���������
������
������������� ������
&�����!���&�����(�)�����'
(*+*#,-�,-
�.� �..� ��.��.� �/�./�.� ���.0��.
�� ��� ������������������������������������������� ���
����� �%������(�"���1� �'�
���������� �����������������������������������������
� � � (�
40
4.1.5. Hidrologi
Pola aliran sungai yang terdapat di Kabupaten Sumedang terbentuk oleh
sungai besar dengan anak-anak sungainya . Secara umum aliran sungai yang
terdapat di wilayah ini dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu aliran
golongan Sungai Cimanuk dan Cipeles. Sebenarnya, aliran Cipeles merupakan
anak sungai Cimanuk. Seluruh aliran sungai di Kabupaten Sumedang
membentuk pola Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terbagi menjadi enam Sub-
DAS, yakni Citarik, Cipeles, Cipunegara , Cipelang, Cimanuk, dan Cilutung .
4.1.6. Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil up-dating peta penggunaan lahan skala 1:25 .000 dari
Bakosurtanal tahun 1999 dengan citra Landsat dan Aster, diketahui bahwa jenis
dan persentase penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan sebagian besar didominasi oleh hutan dan belukar/semak.
Rincian jenis dan persentase penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang
disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Jenis Penggunaan Lahan dan Luasannya
No Keterangan Jumlah (ha) Persentase
1 Air 65,70 1% 2 Belukar/Semak 2.511,65 19% 3 Gedung 0,51 0% 4 Hutan 4.222,35 33% 5 Kebun/Perkebunan 584,54 5% 6 Pemukiman 1.326,58 10% 7 Rumput/Tanah kosong 36,43 0% 8 Sawah Irigasi 981,96 8% 9 Sawah Tadah Hujan 1.679,36 13%
10 Tegalan/Ladang 1.498,73 12% Total 12.914,80 100%
Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 2005
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa penggunaan lahan terluas
adalah hutan (33%) yang sebagian besar terletak di wilayah Kecamatan
Sumedang Selatan. Selanjutnya , berturut-turut adalah belukar/semak (19%).
sawah tadah hujan (13%) , tegalan (12%), pemukiman (10%). Sisanya digunakan
untuk sawah irigasi, kebun, gedung, rumput/tanah kosong, dan air. Gambaran
sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang
Selatan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12 (Peta Penggunaan Lahan)
dan Gambar 13 (Citra Aster tahun 2003).
43
4.1.7. Geologi
Informasi geologi atau satuan batuan diperoleh dari peta Geologi Lembar
Bandung skala 1 : 100 .000 (PH. Silitonga 1973) dan peta Geologi Lembar
Arjowinangun skala 1 : 100 .000 (Djuri 1995). Kedua peta tersebut diperoleh dari
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Berdasarkan stratigrafi
hasil penelitian yang dilakukan Silitonga (1973) dan Djuri (1995), di daerah
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdapat enam satuan batuan, yaitu :
a. Ql (Endapan Danau)
Lempung tufaan , batupasir tufaan, kerikil tufaan . Membentuk bidang-bidang
perlapisan mendatar di beberapa tempat. Mengandung kongkresi-kongkresi
gamping, sisa-sisa tumbuhan, moluska air tawar dan tulang-tulang binatang
bertulang belakang. Setempat mengandung sisipan breksi. Luas endapan
danau ini mencapai 265.24 Ha atau 2% dari luas wilayah Sumedang Utara
dan Sumedang Selatan.
b. Qvb (Hasil Gunungapi Tua -Breksi)
Breksi gunungapi, endapan lahar. Komponen-komponennya terdiri atas
batuan beku bersifat andesit dan basal. Luas hasil gunungapi tua-breksi ini
mencapai 973.70 Ha atau 8% dari luas wilayah Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan .
c. Qvl (Hasil Gunungapi Tua-Lava)
Lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya basal dan
sebagian telah terpropilitisasikan. Luas satuan batuan ini mencapai 536.36
Ha atau 4% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
d. Qvu (Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan)
Breksi gunung api, lahar dan lava berselang-seling. Luas 10.084.47 Ha atau
78% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
e. Qyb (Breksi dan Aglomerat)
Breksi dan aglomerat tufaan terdapat di sebelah tenggara G.Tampomas.
Keratan-keratannya terdiri dari batuan beku bersusunan antara andesit dan
basal, Luas 8.87 Ha.
f. Qyu (Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan)
Pasir tufaan, lapili, breksi, lava, aglomerat. Sebagian berasal dari G.
Tangkubanparahu dan sebagian dari G. Tanpomas. Antara Sumedang dan
Bandung batuan ini membentuk dataran-dataran kecil atau bagian-bagian
rata dan bukit-bukit rendah yang tertutup oleh tanah yang berwarna abu -abu
44
kuning dan kemerah-merahan. Luas satuan batuan ini 1046 ,16 Ha atau 8%
dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .
Di wilayah Kabupaten Sumedang bagian utara , dijumpai adanya sesar dan
lipatan. Sesar naik dijumpai di sekitar Pasir Bengkung yang memanjang ke arah
barat sampai di sekitar Pasir Cengkudu . Sesar ini memisahkan satuan batu pasir
dari satuan batuan lempung serta memotong satuan batuan vulkanik muda.
Sesar turun (sesar normal) dapat dijumpai di Gunung Bongkok yang memanjang
ke arah selatan dan di daerah Gunung Sembul memanjang ke arah timur sampai
Gunung Bangkok pada satuan batu vulkanik.
Secara ringkas jenis satuan batuan di wilayah Kecamatan Sumedang Utara
dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 8. Selanjutnya, gambaran sebaran
geologi wilayah penelitian di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang
Selatan dapat dilihat pada Gambar 14 .
Tabel 9. Satuan Batuan Beserta Luasannya
No Satuan batuan Jumlah (ha) Persentase 1 Ql 265 ,24 2% 2 Qvb 973 ,70 8% 3 Qvl 536 ,36 4% 4 Qvu 10.084,47 78% 5 Qyb 8,87 0% 6 Qyu 1.046 ,15 8%
Total 12.914.80 100%
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Diolah), 2005
4.1.8 Jenis Tanah
Tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang
menantukan terjadinya longsor. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir
merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan
tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut
berada di atas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka tanah tersebut
akan berpotensi mengelincir menjadi longsor.
Jenis tanah di Kabupaten Sumedang terdiri dari beberapa macam,
diantaranya meliputi jenis tanah Aluvial, Regosol, Andosol, Grumosol, Padsolik
merah kuning, Latosol, dan Mediteran Coklat Kemerahan . Gambaran sebaran
jenis tanah di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat
pada Gambar 15.
47
Luasan dengan persentase dari jenis tanah yang terdapat di Kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 10. Pada
Tabel 10, terlihat bahwa jenis tanah latosol coklat tua kemerahan mempunyai
luasan terbesar yaitu 4.344,67 Ha, diikuti jenis tanah kompleks litosol dan latosol
coklat kemerahan dan aluvial kelabu.
Tabel 10. Jenis Tanah Beserta Luasannya
No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase 1 Aluvial Kelabu 2.293 ,55 18% 2 Aluvial Kelabu Tua 877 ,32 7% 3 Asosiasi Latosol Merah dan Regosol 488 ,80 4% 4 Kompleks Litosol dan Latosol Coklat Kemerahan 2.577 ,54 20% 5 Latosol Coklat 511 ,69 4% 6 Latosol Coklat Kemerahan 363 ,19 3% 7 Latosol Coklat Tua Kemerahan 4.344 ,67 34% 8 Latosol Merah 566 ,44 4% 9 Latosol Merah Kekuningan 261 ,12 2%
10 Regosol Coklat 630 ,48 5% Total 1.2914,80 100%
Sumber : Puslittanak (Diolah), 2005
4.2. Bencana Longsor
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Bandung
telah melakukan penelitian tentang kejadian bencana longsor dalam kurun waktu
tahun 2002-2005 di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan.
Kejadian bencana longsor berdasarkan faktor bahaya longsor dan faktor risiko
longsor masing-masing disajikan pada Tabel 11 dan 12 .
Bencana tanah longsor berdasarkan data penelitian tersebut dipicu
beberapa faktor yaitu curah hujan dan tanah. Selain itu , kemiringan yang terjal
dan banyaknya pembukaan lahan pada lereng menjadi kebun campuran turut
memicu terjadinya bencana tanah longsor.
Sebagian besar penyebab terjadinya bencana tanah longsor dapat
diuraikan sebagai berikut yaitu , pada kejadian hujan lebat yang berlangsung
lama, maka kondisi keairan di daerah ini melimpah yang mengakibatkan air
merembes ke dalam tanah melalui pori-pori tanah. Karena air hujan tertahan di
atas bidang luncuran , hal ini menyebabkan bobot massa tanah bertambah,
tekanan air pori meningkat sehingga daya tahan tanah (shear streght) mengecil.
Dalam kondisi ini, lapisan tanah pada lereng yang terjal cenderung bergerak,
sehingga menimbulkan adanya nendatan dan beberapa retakan.
48
Tabel 11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor
Sumber : Direktorat VMBG, 2005
NO. KAMPUNG/DESA LERENG ( º )
BATUAN TATA LAHAN KONDISI KEAIRAN
1.
Cihuni Hilir/Sukajaya
28º
Breksi lahar , lava (Qvu)
Kebun campuran, Pemukiman
Lahan kering
2. Ciloa/Sukajaya 29º Breksi lahar , lava lapuk (Qvu)
Kebun campuran, pemukiman, sawah di bawah
Lahan kering
3.. Cigobang/Gunasari 30º Breksi gunungapi, lava (Qvu)
Kebun bambu dan pemukiman
Lahan kering
4. Babakan Cibungur/ Cikondang
23º Breksi gunungapi, lava (Qvb)
Sawah di lereng bawah, pemukiman dan kebun campuran di lereng atas
Genangan air sawah
5. Batugara/ Tanjungwangi
30º Breksi gunungapi (Qvb)
Kebun campuran, Pemukiman
Lahan kering
6. Citengah/Citengah 30º Breksi gunungapi (Qvb)
Kebun campuran, Pemukiman
Lahan kering
7. Ciawi/Gunasari 25º Breksi gunungapi (Qvb)
Kebun campuran, Pemukiman
Lahan kering
8. Cibungur/Margamekar 20º Breksi lahar . tuva (Qvu)
Kebun campuran, Pemukiman
Genangan air sawah
9. Kebonsereh/ Margamekar
22º Breksi lahar . lava lapuk (Qvu)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
10. Kandangsari/ Pasanggrahan
31º Breksi lahar . lava (Qvu + Qvl)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
11. Banceuy/ Pasanggrahan
30º Breksi lahar (Qvu) Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
12. Kareumbi/ Pasanggrahan
20º Breksi gunungapi (Qvu)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
13. Ciseureuh/ Margamekar X = 1089234 BT Y = 689673 LS
25º Breksi lahar . tuva (Qvu)
Kebun campuran, pemukiman
Lahan kering
14. Pasanggrahan. 8-1-2005. 20-2-2005. dan 27-3-2005
- - - -
15. Jatimulya, 15-2-2005 - - - - 16. Sukajaya, 20-2-2005 - - - - 17. Ciherang, 20-2-2005.
7-3-2005 - - -
18.
Cipameungpeuk, 31-3-2005 dan 22-3-2005 Cihanja dan Cibogol
- - - -
19. Sukaluyu
18º - 32º
Breksi lahar . tuva (Qvu)
Kebun campuran, pesawahan , ladang, Pemukiman
Terdapat saluran irigasi
20.
Nanggerang/ Mekarjaya
15º - 30º Breksi lahar . tuva (Qvu)
Pemukiman
21. Jatimulya, 15-2-2005
49
Tabel 12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang telah Dilakukan
NO. KAMPUNG/DESA STATUS PENANGGULANGAN
1 Cihuni Hilir/ Sukajaya
Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
2 Ciloa/Sukajaya Rawan longsor, mengancam sekitar 120 jiwa
Lereng dis engked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
3 Cigobang/ Gunasari
Rawan longsor, mengancam sekitar 400 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
4 Babakan Cibungur/ Cikondang
Rawan longsor, mengancam sekitar 135 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
5 Batugara/ Tanjungwangi
Rawan longsor, mengancam sekitar 100 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
6 Citengah/Citengah Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
7 Ciawi/Gunasari Rawan longsor, mengancam sekitar 175 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
8 Cibungur/ Margamekar
Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa
Menutup retakan dan memperbaiki drainase, bila retakan berkembang, pemukiman pindah
9 Kebonsereh/ Margamekar
Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
10 Kandangsari/ Pasanggrahan
Rawan longsor, mengancam sekitar 140 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
11 Banceuy/ Pasanggrahan
Rawan longsor, mengancam sekitar 50 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
12 Kareumbi/ Pasanggrahan
Rawan longsor , mengancam sekitar 100 jiwa
Lereng disengked, dibuat dinding penahan , hindari genangan air
Sumber : Direktorat VMBG, 2005
4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor
Pembuatan peta rawan bahaya longsor dilakukan dengan cara
menggabungkan atau menjumlahkan nilai skor keseluruhan dari hasil tumpang
tindih peta penyebab longsor yang disusun, terdiri dari peta penggunaan lahan,
kemiringan lereng, geologi, dan peta jenis tanah. Peta curah hujan tidak
dimasukkan dalam proses tumpang tindih, karena nilai parameter curah hujan
dianggap sama untuk kedua wilayah kecamatan ini.
Analisis tumpang tindih yang telah dilakukan pada keempat peta tersebut
tersebut menghasilkan wilayah-wilayah yang memiliki potensi rawan bahaya
longsor. Nilai tingkat potensi (rawan) tanah longsor dapat dilihat pada Tabel 13
dan hasil analisis wilayah yang memiliki potensi rawan bahaya tanah longsor
berdasarkan nilai tingkat potensi yang dihasilkan disajikan pada Tabel 14.
50
Tabel 13 . Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor
No. Tingkat Potensial (Rawan) Jumlah Nilai Semua Parameter
1. Tidak Rawan 6 – 9 2. Kurang Rawan 10 – 12 3. Rawan 13 – 15 4. Sangat Rawan 16 – 18
Sumber : Data Primer (Diolah), 2005
Pada Tabel 13 terlihat jumlah nilai semua parameter yang dibagi ke dalam
empat tingkat potensial bahaya tanah longsor. Wilayah yang memiliki tingkat
potensi sangat rawan tanah longso r memiliki nilai parameter 16-18. Adapun
untuk tingkat potensi tidak rawan bahaya longsor memiliki nilai parameter 6-9.
Tabel 14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor
No. Desa Tidak Rawan (Ha)
Kurang Rawan (Ha)
Rawan (Ha)
Sangat Rawan (Ha)
1 Baginda 0,36 27,89 162 ,71 192 ,19 2 Ciherang - 6,62 167 ,45 480 ,50 3 Cipameungpeuk - 69,20 346 ,50 195 ,26 4 Cipancar 1,86 20,69 1.358 ,16 106,46 5 Citengah - 7,38 1.232 ,21 271 ,89 6 Girimukti 0,81 46,58 99,90 - 7 Gunasari 13,77 74,11 633 ,53 82,69 8 Jatihurip 0,31 38,58 72,02 14,30 9 Jatimulya 13,25 212 ,82 247 ,22 5,39 10 Kebonjati 5,88 22,85 14,29 - 11 Kota Kaler 2,43 166 ,23 166 ,02 47,28 12 Kota Kulon 8,91 79,58 194 ,20 35,84 13 Margamukti 6,57 99,71 341 ,10 1,67 14 Mekarjaya 4,11 85,05 104 ,69 5,47 15 Meruya Mekar - 7,00 503 ,80 90,34 16 Mulyasari 3,21 121 ,25 266 ,63 125 ,50 17 Padasuka 13,52 40,14 95,51 0,14 18 Pasanggrahan 8,44 159 ,51 683 ,11 360 ,10 19 Regol Wetan 0,90 120 ,39 374 ,59 146 ,91 20 Sirnamulya - 12,38 124 ,21 140 ,44 21 Situ 0,17 75,55 152 ,72 - 22 Sukagalih - 3,55 68,24 46,00 23 Sukajaya - 19,55 967 ,81 416 ,84 24 Talun 1,18 53,64 83,80 33,25
Total (Ha) 85,69 1.570 ,25 8.460 ,41 2.798 ,44 Persentase (%) 0,66 12,16 65,51 21,67
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
51
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa wilayah Kecamatan Sumedang
Utara dan Sumedang Selatan memiliki potensi daerah rawan longsor yang tinggi.
Hal ini terlihat dari luasan wilayah yang termasuk dalam kategori potensi rawan
bahaya sekitar 8.460,41 Ha atau 65 ,51% dari luas wilayah kedua kecamatan
tersebut. Artinya, lebih dari separuh wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan rawan bahaya longsor. Selanjutnya , luas wilayah yang
berpotensi sangat rawan bahaya longsor sekitar 2.798,44 Ha (21,67%), kurang
rawan 1 .570,25 Ha (12 ,16%), dan tidak rawan sekitar 85,69 Ha (0,66%).
Analisis wilayah rawan bahaya longsor juga menghasilkan informasi
mengenai desa -desa yang dinyatakan berpotensi sangat rawan , rawan, kurang
rawan, dan tidak rawan bahaya longsor. Dari Tabel 14 , terlihat bahwa desa-desa
yang memiliki potensi bahaya longsor meliputi Desa Ciherang , Sukajaya,
Pasanggrahan, dan Citengah . Desa Ciherang merupakan daerah terluas yang
tergolong kategori sangat rawan longsor (480,50 Ha), diikuti Sukajaya (416,84
Ha), Pasanggrahan (360,10 Ha), dan Citengah (271 ,89 Ha).
Apabila analisis tersebut dihubungkan dengan beberapa kejadian bencana
longsor di Kabupaten Su medang berdasarkan faktor bahaya dan risiko longsor
sebagaimana disajikan dalam Tabel 11 dan 12 , terlihat ada kesesuaian dari
wilayah-wilayah yang berpotensi terjadinya bahaya longsor. Sebagai contoh,
daerah-daerah yang telah mengalami bencana longsor (pada Tabel 11) adalah
Desa Ciherang , Sukajaya, Citengah, dan Pasanggarahan. Berdasarkan hasil
analisis yang dilakukan, daerah-daerah tersebut juga termasuk dalam wilayah
yang berpotensi rawan bahaya longsor.
4.4. Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor
4.4.1. Faktor-faktor Pemicu Bahaya Tanah Longsor
Secara umum, faktor penyebab bahaya tanah longsor di Kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu
penggunaan lahan, kelerengan, geologi, dan jenis tanah. Namun, berdasarkan
analisis visual terhadap variabel-variabel penyebab bahaya tanah longsor
tersebut, di wilayah penelitian bagian utara, faktor kelerengan dan penggunaan
lahan merupakan dua variabel dominan yang membentuk sebaran potensi
bahaya tanah longsor. Adapun untuk wilayah penelitian bagian selatan, sebaran
potensi bahaya tanah longsor secara dominan dibentuk oleh faktor jenis tanah
dan penggunaan lahan .
52
Hal ini karena pola sebaran kedua jenis variabel tersebut paling
menyerupai pola sebaran potensi rawan bahaya tanah longsor di Kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan (Gambar 16). Adapun peta sebaran
potensi rawan bahaya tanah longsor disajikan dalam Gambar 17 .
Gambar 16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor
54
4.4.2. Kelerengan
Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
analisis gerakan tanah . Pada umumnya, semakin tinggi kemiringan suatu lereng
maka semakin rentan terhadap gerakan tanah. Pada peta potensi rawan bahaya
tanah longsor, dihasilkan potensi bahaya longsor yang terjadi pada beberapa
tingkat kemiringan lereng . Secara rinci, tingkat potensi bahaya longsor
berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng
Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Lereng(%) Tidak
Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat Rawan
Jumlah (Ha)
1. 0 – 8 67,52 937,84 1.508,91 - 2.514 ,27
2. 8 – 15 9,48 186,60 270,90 - 466 ,97 3. 15 – 30 8,25 416,64 1.865,86 443,69 2.734 ,44
4. 30 – 45 0,46 18,26 1.285,64 814,10 2.118 ,45 5. > 45 - 10,93 3.529,10 1.540,64 5.080 ,67
Total 85,70 1.570,26 8.460,42 2.798,43 12.914,80
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pada kelas lereng >45%, luasan
wilayah yang berpotensi rawan dan sangat rawan bahaya longsor masing-
masing seluas 3.529,10 Ha dan 1.540,64 Ha. Wilayah yang berpotensi rawan
dan sangat rawan bahaya longsor pada kelas lereng >45% ini merupakan luasan
terbesar (5.069,74 Ha) dibandingkan dengan kelas lereng lainnya. Kemudian
diikuti oleh kelas lereng 15-30% dan 30-45%, masing-masing seluas 2.309,55 Ha
dan 2 .099,74 Ha.
Meskipun demikian pada kelas lereng <8%, luas wilayah rawan longsor
juga cukup besar,yaitu 1 .508,91 Ha. Hal ini disebabkan daerah yang be rlereng
datar tersebut merupakan batas peralihan litologi. Wilayah ini terdapat pada
sebagian besar Kecamatan Sumedang Utara terutama di daerah perkotaan.
4.4.3. Jenis Tanah
Sebagaimana diketahui bahwa terjadinya bahaya tanah longsor erat
kaitannya dengan kondisi geologi, antara lain jenis tanah dan struktur geologi.
Berdasarkan hasil analisis, pengaruh jenis-jenis tanah terhadap potensi bahaya
longsor yang dapa t terjadi di wilayah penelitian. Jenis tanah di Kecamatan
55
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdiri dari sepuluh macam. Di kedua
kecamatan tersebut, jenis tanah latosol coklat tua kemerahan memiliki luasan
terbesar yaitu 4 .344,68 Ha, kemudian diikuti oleh jenis tanah kompleks litosol dan
latosol coklat kemerahan, dan aluvial kelabu, masing-masing seluas
2.577 ,54 Ha dan 2.293,53 Ha. Secara rinci jenis tanah dan potensi bahaya
longsor disajikan dalam Tabel 16.
Tabel 16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor
Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Jenis Tanah Tidak
Rawan Kurang Rawan
Rawan Sangat Rawan
Jumlah (Ha)
1. Aluvial Kelabu 236,05 863,01 1.194,47 2.293,53 2. Aluvial Kelabu Tua 15,37 278,12 583,83 877,32 3. Asosiasi Latosol Merah dan
Regosol 0,70 14,93 458,75 14,42 488,81
4. Kompleks Litosol dan Latosol Coklat Kemerahan
7,27 57,35 2,327,52 185,41 2.577,54
5. Latosol Coklat 14,32 145,47 343,72 8,18 511,69 6. Latosol Coklat Kemerahan 6,18 142,91 197,49 16,62 363,19 7. Latosol Coklat Tua
Kemerahan 22,57 638,46 3.022,20 661,45 4.344,68
8. Latosol Merah 10,45 79,14 342,80 134,05 566,44 9. Latosol Merah Kekuningan - - 261,12 - 261,12
10. Regosol Coklat 24,21 240,57 365,70 - 630,48
Total 85,70 1.570,26 8.460,42 2.798,43 12.914,80
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
Berdasarkan data pada Tabel 16 , dapat dijelaskan bahwa tingkat potensi
bahaya tanah longsor tertinggi (sangat rawan) terdapat pada jenis tanah aluvial
kelabu seluas 1.194,47 Ha. Besarnya luasan jenis tanah ini yang termasuk dalam
kategori sangat rawan karena hasil tersebut diperoleh dari agregasi ketiga faktor
penyebab tanah longsor lainnya yang dianalisis secara bersamaan .
4.4.4. Geologi
Jenis batuan yang menyusun suatu daerah mempunyai tingkat bahaya
longsor yang berbeda satu sama lain . Berdasarkan besar butirnya , batuan yang
berbutir halus pada umumnya mempunyai potensi yang lebih tinggi terhadap
tejadinya bahaya longsor. Apabila dilihat dari kekompakannya, maka batuan
yang kompak dan masif lebih kecil kemungkinan terjadinya potensi tanah
longsor.
56
Berdasarkan peta geologi yang digunakan, geologi daerah penelitian
tersusun oleh enam satuan batuan . Hasil analisis yang memiliki potensi bahaya
longsor pada berbagai satuan batuan dapat dilihat pada Tabel 17 .
Tabel 17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
Dari Tabel 17, terlihat bahwa batuan produk dari gunung api mudah lapuk,
sehingga batuan jenis ini memiliki potensi sangat rawan terhadap bahaya tanah
longsor. Dari tabel di atas, juga terlihat bahwa jenis satuan batuan hasil gunung
api tua tak teruraikan memiliki luasan wilayah terbesar dan potensi bahaya
longsor tertinggi pada wilayah penelitian .
4.4.5. Tutupan Lahan
Tutupan lahan di wilayah penelitian terdiri dari beberapa jenis penggunaan
lahan. Pada lereng bagian atas sebagian besar wilayah berupa hutan; lereng
bagian tengah; pemukiman , jalur jalan, perkebunan, tegalan , dan persawahan;
serta pada lereng bagian bawah berupa persawahan dan pemukiman.
Pengolahan lahan terutama pada daerah -daerah yang mempunyai kemiringan
lereng terjal dapat mengakibatkan tanah menjadi gembur, sehingga
mengakibatkan tanah menjadi tidak stabil.
Pengaruh tataguna lahan terhadap kestabilan lereng sangat kompleks
karena tergantung pada ketebalan tanah setempat, jenis tanaman, dan
kemiringan lereng . Secara rinci, tutupan lahan wilayah penelitian dan potensi
bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 18.
Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Satuan Batuan Tidak
Rawan Kurang Rawan
Rawan Sangat Rawan
Jumlah (Ha)
1. Endapan Danau (Ql) 43,80 160 ,73 60,71 265 ,24 2. Hasil Gunungapi Tua Breksi (Qvb) 8,48 140 ,79 706 ,17 118 ,27 973 ,70 3. Hasil Gunungapi Tua Lava (Qvl) 13,92 492 ,62 29,82 536 ,36 4. Hasil Gunungapi Tua Tak
Teruraikan (Qvu) 28,90 1.104 ,09 6.636 ,45 2.315 ,03 10.084,47
5. Breksi dan Aglomerat (Qyb) 0,44 2,85 5,58 8,87 6. Hasil Gunungapi Muda Tak
Teruraikan (Qyu) 4,52 150 ,29 561 ,62 329 ,72 1.046 ,16
Total 85,70 1.570 ,26 8.460 ,42 2.798 ,43 12.914,80
57
Tabel 18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor
Tingkat Potensi Bahaya Longsor (Ha) No. Tutupan Lahan Tidak
Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat
Rawan
Jumlah (Ha)
1 Air 36,37 27,55 1,77 65,70 2 Belukar/Semak 1,80 257 ,32 1.229,89 1.022,64 2.511,64 3 Gedung 0,40 0,11 0,51 4 Hutan 40,48 3.929,91 258,97 4.229,35 5 Kebun/Perkebunan 3,58 99,64 469,52 11,80 584,54 6 Pemukiman 38,23 1.020 ,75 267,60 - 1.326,58 7 Rumput/Tanah kosong 13,60 22,83 - 36,43 8 Sawah Irigasi 5,33 28,87 899,76 47,99 981,95 9 Sawah Tadah Hujan 0,39 62,05 1.054,03 562,89 1.679,36 10 Tegalan/Ladang 19,59 585,01 894,15 1.498,74 Total 85,70 1.570 ,26 8.460,42 2.798,43 12.914,80
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tutupan lahan berupa semak belukar
memiliki potensi wilayah sangat rawan bahaya longsor tertinggi yaitu sekitar
1.022 ,64 Ha. Selanjutnya , luasan lahan yang memiliki potensi tingkat rawan
longsor adalah pada tutupan lahan berupa hutan, yaitu seluas 3.929,91 Ha.
4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor
Dalam membuat peta risiko tanah longsor, harus diawali dengan membuat
peta properti. Peta properti merupakan gambaran umum dari keadaan suatu
wilayah. Peta properti dibangun dari penggabungan beberapa peta , antara lain
peta infrastruktur (point), peta jaringan jalan (line), dan peta penggunaan lahan
(poligon ).
Dalam peta properti, harus memuat nilai properti dari suatu wilayah yang
menggambarkan nilai ekonominya , baik yang tidak digunakan (seperti lahan
tidur) maupun berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung di atasnya, seperti
pemukiman, industri, sawah, tegalan , kolam/tambak, dan infrastruktur lainnya.
Nilai properti tersebut dapat ditentukan dengan memberikan skor untuk masing-
masing unsur dari setiap peta.
Selain memberikan skor, unsur-unsur dari peta -peta tersebut juga
dilakukan buffering. Dengan buffering akan membentuk suatu area , poligon,
atau zona baru dalam jarak tertentu yang berfungsi untuk menutupi atau
melindungi objek spasial. Buffering hanya dilakukan pada dua peta , yaitu peta
infrastruktur dan jaringan jalan, sedangkan peta penggunaan lahan tidak
dilakukan buffering karena batasan dari masing -masing penggunaan lahan
58
sudah diketahui. Buffering dilakukan pada data titik dan garis untuk mendapatkan
suatu poligon, dengan atribut skor yang telah ditentukan, yang akan digunakan
untuk melakukan analisis keruangan selanjutnya.
4.5.1. Peta Infrastruktur
Peta Infrastruktur diperoleh dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala
1:25.000 yang diterbitkan oleh Bakosurtanal pada tahun 1999. Berdasarkan peta
Peta RBI tersebut, infrastruktur yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara
dan Sumedang Selatan terdiri atas 17 jenis.
Untuk mengetahui nilai dari masing-masing jenis infrastruktur tersebut guna
menentukan nilai propertinya, diberikan skor berdasarkan kriteria penilaian
tertentu . Dalam penelitian ini, kriteria penilaian yang dipakai adalah fisik,
manusia , dan manfaat (utilitas). Skor dinyatakan dalam angka tertentu
berdasarkan nilai kegunaan yang dimilikinya. Skor dari masing-masing jenis
infrastruktur secara terperinci disajikan dalam Tabel 19 .
Tabel 19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur
No Jenis Infrastruktur Fisik Manusia Manfaat Total Buffering (m)
1 Bangunan Terpencar 3 2 2 7 50 2 Gereja 2 2 2 6 20 3 Kantor Camat 2 2 2 6 20 4 Kantor Desa 2 2 2 6 20 5 Kantor Lurah 2 2 2 6 20 6 Kantor Polisi 2 2 2 6 20 7 Masjid 2 2 2 6 20 8 PLTD 3 1 2 6 50 9 Pasar 3 3 3 9 100 10 Pelayanan Pos 2 2 2 6 20 11 Pelayanan Telepon 2 2 2 6 20 12 Rumah Sakit/Puskesmas 3 3 3 9 50 13 Sekolah 3 3 3 9 50
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi
Terdapat empat jenis infrastruktur yang tidak dimasukkan dalam penilaian,
sehingga jumlah infrastruktur dalam Tabel 19 hanya berjumlah 13 jenis.
Keempat jenis insfratruktur tersebut adalah Kuburan Islam, Kuburan Kristen,
Talang, dan Tonggak Kilometer. Hal ini karena diasumsikan keempat jenis
59
infrastruktur tersebut memiliki agregasi nilai fisik, manusia, dan manfaat yang
sangat kecil.
Kriteria penilaian yang meliputi fisik, manusia, dan manfaat (utilitas)
ditentukan berdasarkan nilai atau atribut yang dimiliki. Semakin tinggi nilai atau
atribut yang dimiliki, semakin tinggi nilai yang diberikan , begitu pula sebaliknya.
Untuk kriteria fisik, atribut yang dipertimbangkan adalah nilai keberadaan
dan moneternya. Kriteria manusia dinilai dengan melihat kemungkinan jumlah
manusia yang terlibat/beraktivitas atau berada dalam dan atau di berbagai jenis
infrastruktur yang ada. Adapun kriteria penilaian untuk manfaat dipertimbangkan
berdasarkan utilitas yang dapat diperoleh dari jenis infrastruktur tersebut.
Pemberian jarak buffering dari masing-masing infrastruktur sebagaimana
disajikan dalam Tabel 19 berbeda-beda meskipun beberapa diantaranya
ditentukan pada jarak yang sama . Jarak buffering diperoleh dari pengamatan
langsung di lapangan selama survai. Dasar penentuan jarak buffering adalah
luasan dari suatu jen is infrastruktur. Semakin luas area suatu infrastruktur, maka
jarak buffering yang ditentukan akan semakin jauh. Sebagai contoh, pasar
diberikan jarak buffering yang lebih jauh dibandingkan sekolah karena luasan
area pasar yang lebih luas.
4.5.2. Peta Jaringan Jalan
Jaringan jalan yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan diperoleh dari Peta RBI skala 1:25 .000 tahun 1999
(Bakosurtanal) dan infomasi yang dikumpulkan dari Bappeda Kabupaten
Sumedang. Berdasarkan dua sumber informasi tersebut, jenis jalan yang
teridentifikasi meliputi arteri primer, kolektor primer, lokal primer, kolektor, lokal,
dan setapak. Skor jenis jalan ditentukan berdasarkan fungsi dan peranannya.
Semakin berarti dan besar peranan dari suatu jenis jalan , nilai yang diberikan
akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya.
Kriteria penilaian dalam memberikan skor dari masing -masing jenis jalan
meliputi fisik dan manfaat, minus manusia. Manusia tidak dimasukkan sebagai
kriteria penilaian karena jalan hanya berfungsi sebagai prasarana bagi manusia
dalam melakukan berbagai aktivitasnya , sehingga keberadaan manusia di jalan
(untuk semua jenis) bersifat dinamis. Artinya , tidak berada di jalan dalam jangka
waktu yang lama atau tidak menetap.
Sebagaimana dalam penilaian risiko terhadap jenis-jenis infrastruktur,
buffering juga dilakukan untuk jenis jalan, yang ditentukan berdasarkan lebar dan
60
fungsinya. Skor dan jarak buffering dari masing-masing jenis jalan secara
lengkap dan terperinci disajikan dalam Tabel 20 .
Tabel 20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan
No. Jenis Jalan Fisik Manfaat Total Buffering (m)
1 Arteri Primer 3 3 6 100 2 Kolektor Primer 3 2 5 80 3 Lokal Primer 3 2 5 80 4 Kolektor 3 2 5 80 5 Lokal 2 2 4 50 6 Setapak 1 1 2 20
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi
Berdasarkan data dalam Tabel 20 , terlihat bahwa nilai dan jarak buffering
tertinggi terdapat pada jenis jalan arteri primer, masing-masing diberikan Skor 6
dan jarak 100 meter. Hal ini mengingat fungsi dan peranan jenis jalan ini yang
lebih penting diantara jenis-jenis jalan lainnya .
Jalan setapak diberikan skor terendah 2 dengan jarak buffering 20 meter
karena secara fisik dan manfaat, jenis jalan ini kurang menentukan risiko dari
bahaya longsor. Keberadaan jenis jalan ini pada dasarnya adalah tidak termasuk
dalam rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah serta muncul dengan
sendirinya akibat perlintasan masyarakat. Frekuensi lintasan di jalan ini pun
sangat rendah dan relatif hampir tidak ada kerugian apa -apa secara material
kalau jalan jenis ini rusak karena longsor.
4.5.3. Peta Penggunaan Lahan
Berbeda dengan dua peta sebelumnya dimana masing -masing jenis
infrastruktur dan jalan diberikan skor yang dilanjutkan dengan pemberian
buffering, dalam penilaian jenis penggunaan lahan tidak dilakukan. Hal ini
karena dalam Peta Penggunaan Lahan, jenis penggunaan lahan sudah
tergambar berupa poligon-poligon dan batas-batas tertentu , sehingga tidak perlu
dilakukan buffering. Penetapan skor berdasarkan kriteria fisik, manusia, dan
manfaat untuk setiap jenis penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara
dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 21.
61
Tabel 21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan
No. Penggunaan Lahan Fisik Manusia Manfaat Total
1 Air 1 1 3 5 2 Belukar/Semak 1 1 1 3 3 Gedung 3 2 2 7 4 Hutan 1 1 1 3 5 Kebun/Perkebunan 2 1 2 5 6 Pemukiman 3 3 3 9 7 Rumput/Tanah kosong 1 1 1 3 8 Sawah Irigasi 3 1 3 7 9 Sawah Tadah Hujan 2 1 2 5
10 Tegalan/Ladang 1 1 1 3
Sumber : Data Primer (Diolah), 2005 Keterangan : 1 = rendah 2 = sedang 3 = tinggi
Berdasarkan data dalam Tabel 21 , tiga jenis penggunaan lahan yang
diberikan total skor tertinggi adalah pemukiman, gedung, dan sawah irigasi
masing-masing sebesar 9, 7, dan 7. Hal ini sangat beralasan mengingat dari
ketiga kriteria yang digunakan, yaitu fisik, manusia , dan manfaat. Ketiga jenis
penggunaan lahan ini memiliki risiko kerugian materil dan non-materil yang paling
tinggi apabila terjadi tanah longsor.
Berdasarkan kriteria fisik, nilai ekonomi yang dimiliki oleh pemukiman,
gedung, dan sawah irigasi lebih besar dari tujuh jenis penggunaan lahan lainnya,
sehingga diberikan skor 3 karena nilai propertinya tinggi. Adapun untuk kriteria
manusia , ketiga jenis penggunaan lahan diberikan skor yang berbeda, yaitu skor
3 untuk pemukiman, skor 2 untuk gedung, dan skor 1 untuk sawah irigasi.
Penentuan skor untuk kriteria manusia didasarkan pada frekuensi aktivitas
manusia di ketiga jenis penggunaan lahan tersebut.
Selanjutnya untuk kriteria manfaat, seluruh jenis penggunaan lahan memiliki
manfaat yang cukup penting kecuali untuk tiga jenis hutan, rumput/tanah kosong,
dan tegalan/ladang. Jenis penggunaan lahan untuk pemukiman, gedung, dan
sawah irigasi bersasarkan kriteria manfaat masing-masing diberikan 3, 2, dan 3.
Penentuan skor untuk kriteria manfaat didasarkan aspek kegunaan atau utilitas
dari masing-masing jenis penggunaan lahan.
Selanjutnya, berdasarkan uraian di atas, diperoleh peta properti yang
dihasilkan dari penggabungan peta infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan
lahan. Peta properti dapat dilihat pada Gambar 18.
63
4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor
Penyusunan Peta Risiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara
dan Sumedang Selatan didasarkan pada Peta Properti dan Peta Bahaya Tanah
Longsor. Adapun Peta Properti merupakan penggabungan dari tiga peta, yaitu
infrastruktur, jaringan jalan, dan peta penggunaan lahan. Selanjutnya, dilakukan
analisis keruangan terhadap keempat peta tersebut. Analisis ini dilakukan untuk
menentukan wilayah-wilayah yang memiliki risiko tanah longsor melalui buffer
(kecuali untuk peta bahaya dan penggunaan lahan). Setelah dilakukan buffer,
keempat peta tersebut diubah ke dalam format raster atau grid .
Nilai risiko tanah longsor dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya dan skor
dari properti (jalan, infrastruktur, dan penggunaan lahan). Secara matematis,
nilai risiko tanah longsor dihitung dengan persamaan berikut :
PHR +=
dimana : R = risiko H = hazard (bahaya) P = properti
Perhitungan berdasarkan persamaan matematis di atas, menghasilkan nilai
risiko untuk menentukan kelas risikonya. Matrik perhitungannya secara lengkap
disajikan dalam Tabel 22 berikut.
Tabel 22. Matrik Penentuan Nilai Risiko Tanah Longsor
Nilai Properti Ting kat Potensi Bahaya
1 2 3 4 Kurang Rawan 1 2 3 4 5 Tidak Rawan 2 3 4 5 6 Rawan 3 4 5 6 7 Sangat Rawan 4 5 6 7 8
Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, diperoleh luasan wilayah
risiko tanah longsor yang terdiri atas empat kelas, yaitu tidak berisiko, kurang
berisiko , berisiko, dan sangat berisiko. Sebaran wilayah yang memiliki tingkat
risiko tanah longsor dapat dilihat dalam Gambar 19. Adapun kelas risiko dan
luasan tanah longsor yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 23.
�������� ��������
�������� ��������
�������� ��������
�������� ��������
������� �������
���������
���������
���������
���������
���������
���������
��������
��������
���������������� ������
�� ���
���� ��� �
�� ������ �
��������� �������
��������
��������
� �������
���������
���������
��������
���������
� �������
����������
���������������
�������� �
����������
���� ���� ��
� ������ ���
�������
� ����! ���
���������
���������
����
�� ����
������������
��������
��������
���� �� �� ����
��������
������������ ���� ������������� �������� ��������� ������� � � ������
�"#$%&'(�)��%#*"+,('
�+-*+.��%"('(&#�%"('(&#�/"+-*��%"('(&#�(0+&��%"('(&#
�+.+'��%1+2+.+-�+.+'��%'+ �
�+23+"�45��%.+��('(&#��+-+6��#-*'#"
�� ��� ������
�������� ������ �������� ������ ������� �����������
� � � �2
65
Tabel 23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya
Kelas Risiko Nilai Risiko Jumlah (Ha) Persentase (%)
Tidak Berisiko 2 – 3 883,62 6.84 Kurang Berisiko 4 7.962,27 61.67 Berisiko 5 3.496,85 27.08 Sangat Berisiko 6 – 8 568,2 9 4.40
Sumber : Data Primer (Diolah), 2006
Berdasarkan data dalam Tabel 23 dan Gambar 19, diketahui bahwa luasan
wilayah yang kurang berisiko terhadap tanah longsor seluas 7.962,27 Ha atau
61,67% dari total luas wilayah. Luasan wilayah yang termasuk dalam kategori
berisiko seluas 3.495,85 Ha atau 27,08% dari total luas wilayah Kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Selanjutnya, seluas 883,62 Ha
(6,84%) termasuk wilayah yang tidak berisiko tanah longsor, serta sisanya seluas
568,29 Ha (4,40%) adalah wilayah yang sangat berisiko terhadap tanah longsor.
Berdasarkan administrasi wilayah, jumlah desa /kelurahan di Kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan yang termasuk dalam kategori sangat
berisiko terhadap tanah longsor sebanyak 24 desa/kelurahan. Informasi ini
menunjukkan bahwa seluruh wilayah di kedua kecamatan memiliki daerah yang
termasuk dalam kategori sangat berisiko terhadap tanah longsor. Rincian wilayah
dan luasannya berdasarkan kelas risiko tanah longsor di Kecamatan Sumedang
Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 24 .
Berdasarkan data dalam Tabel 24, terlihat bahwa Kecamatan Sumedang
Selatan (401,17 Ha) memiliki luas wilayah sangat berisiko terhadap tanah
longsor yang lebih luas dibandingkan dengan Kecamatan Sumedang Utara
(167,12 Ha). Wilayah yang sangat berisiko tanah longsor di Kecamatan
Sumedang Selatan secara dominan tersebar di enam desa/kelurahan, yaitu
Ciherang, Pasanggrahan, Kota Kulon , Regol Wetan, dan Cipameungpeuk,
masing-masing seluas 94,70 Ha, 94,49 Ha, 40,04 Ha, 36,07 Ha, dan 30,69 Ha.
Selebihnya, enam desa/kelurahan lainnya hanya memiliki luasan wilayah yang
sangat berisiko tanah longsor rata-rata sekitar 12 Ha.
Selanjutnya, wilayah di Kecamatan Sumedang Utara yang sangat berisiko
tanah longsor seluas 167,12 Ha, yang sebagian besarnya tersebar di enam
desa/kelurahan, yaitu Sirnamulya, Mulyasari, Situ, Kota Keler, Girimukti, dan
Margamukti, masing -masing seluas 36,36 Ha, 35,87 Ha, 18,28 Ha, 16,83 Ha,
66
15,66 Ha, dan 12,97 Ha. Adapun enam desa/kelurahan lainnya, hanya memiliki
wilayah yang sangat berisiko tanah longsor rata-rata sekitar 5 Ha.
Tabel 24. Tingkat Risiko Tanah Longsor dan Luasannya serta Jumlah Kejadian Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan
No Kecamatan/Desa Tidak
Berisiko (ha) Kurang
Berisiko (ha) Berisiko
(ha) Sangat
Berisiko (ha) S Kejadian Longsor
Sumedang Selatan 1 Baginda 17.43 134.68 217.53 13.53 - 2 Ciherang 1.68 105.64 451.63 94.70 1 3 Cipameungpeuk 32.05 329.48 218.75 30.69 1 4 Cipancar 19.96 1,314.00 142.93 10.06 - 5 Citengah 10.78 1,226.60 271.79 4.97 1 6 Gunasari 53.01 594.82 122.57 33.18 2 7 Pasanggrahan 76.91 603.89 435.39 94.49 5 8 Regol Wetan 50.98 374.80 180.96 36.07 - 9 Kota Kulon 37.54 160.94 80.01 40.04 -
10 Meruya Mekar 6.74 502.51 90.39 1.10 - 11 Sukagalih 2.39 44.18 49.94 21.27 - 12 Sukajaya 9.05 916.41 456.94 21.09 -
Sumedang Utara 1 Jatihurip 24.00 65.29 25.22 10.61 - 2 Jatimulya 144.42 254.10 74.30 5.26 2 3 Kebonjati 19.13 16.05 7.29 0.08 - 4 Kota Kaler 59.89 191.05 113.60 16.83 - 5 Girimukti 8.36 93.67 29.59 15.66 - 6 Margamukti 62.82 317.67 55.36 12.97 - 7 Mekarjaya 76.54 90.58 26.75 4.86 1 8 Mulyasari 81.14 241.29 158.08 35.87 - 9 Padasuka 27.33 85.48 33.37 3.09 -
10 Sirnamulya 10.51 89.31 140.49 36.36 - 11 Situ 30.89 116.12 63.14 18.28 - 12 Talun 20.09 93.71 50.81 7.26 - Jumlah 883.62 7,962.27 3,496.85 568.29 Persentase (%) 6.84 61.67 27.08 4.40
Sumber : Data Primer (Diolah) , 2006
Secara umum, berdasarkan pengamatan lapangan dan hasil analisis risiko
tanah longsor sebagaimana tercantum dalam Tabel 24, menunjukkan bahwa
sebagian besar wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan
termasuk dalam kelas kurang berisiko terhadap tanah longsor, yaitu seluas
7.962,27 Ha . Luasan ini merupakan 61,67% dari luas wilayah total kedua
kecamatan tersebut.
Selain menyajikan data kelas risiko dan luasan wilayah risiko tanah
longsor, Tabel 24 juga memuat data mengenai jumlah kejadian longsor
67
berdasarkan desa/kelurahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang
Selatan. Jumlah kejadian tanah longsor tersebut terjadi dalam periode 2002-
2005. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa dari 24 desa/kelurahan di
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, hanya tujuh desa/
kelurahan yang memiliki riwayat kejadian tanah longsor, yaitu Pasanggrahan
(5 kali), Gunasari dan Jatimulya (2 kali), serta Ciherang, Cipameungpeuk,
Citengah, dan Mekarjaya (masing-masing 1 kali).
Luas wilayah yang sangat berisiko terhadap tanah longsor dan jumlah
kejadian tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan
berguna untuk upaya mitigasi. Hal ini dimaksudkan agar wilayah yang memiliki
jumlah kejadian tanah longsor tertinggi dengan luas wilayah terbesar, perlu
prioritas dalam penanganannya, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat
diminimalisir apabila di wilayah tersebut terjadi tanah longsor.
Tingkat risiko longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang
Selatan ditentukan oleh tingkat rawan bahaya dan sebaran properti yang ada di
wilayah tersebut. Analisis terhadap daerah yang rawan tanah longsor dan yang
berisiko tanah longsor, diperoleh informasi bahwa terdapat hubungan diantara
keduanya. Artinya, daerah yang rawan tanah longsor akan memiliki risiko apabila
daerah tersebut terjadinya tanah longsor. Hal ini terlihat untuk wilayah yang
sangat rawan tanah longsor, juga merupakan daerah yang sangat berisiko tanah
longsor. Fenomena ini berlaku untuk beberapa desa/kelurahan sebagaimana
disajikan dalam Tabel 25.
68
Tabel 25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan
No Desa/Kelurahan Sangat Rawan (Ha) Sangat Berisiko (Ha) 1 Baginda 192.19 13.53 2 Ciherang 480.50 94.70 3 Cipameungpeuk 195.26 30.69 4 Cipancar 106.46 10.06 6 Gunasari 82.69 33.18 7 Pasanggrahan 360.10 94.49 8 Regol Wetan 146.91 36.07 9 Kota Kulon 35.84 40.04
11 Sukagalih 46.00 21.27 12 Sukajaya 416.84 21.09 13 Jatihurip 14.30 10.61 14 Jatimulya 5.39 5.26 16 Kota Kaler 47.28 16.83 18 Margamukti 1.67 12.97 19 Mekarjaya 5.47 4.86 20 Mulyasari 125.50 35.87 22 Sirnamulya 140.44 36.36 24 Talun 33.25 7.26
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor
Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, kejadian tanah longsor di
Indonesia telah menimbulkan kerugian yang tak terhitung nilainya , mulai dari
hilangnya harta benda, rumah, dan tempat usaha, sampai dengan korban
meninggal yang mencapai angka puluhan bahkan ratusan jiwa. Kelemahan
utama dalam menghadapi kejadian tanah longsor pada umumnya adalah
ketidaksiapan dan tidak adanya data mengenai wilayah-wilayah yang rawan
terhadap bahaya tanah longsor. Tindakan baru dilakukan ketika kejadian tanah
longsor telah terjadi tanpa ada upaya pencegahan sama sekali.
Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu kiranya melakukan upaya mitigasi
sebagai bagian dari rangkaian sistematis penanggulangan kejadian tanah
longsor. Anwar (2003) menyatakan bahwa mitigasi merupakan suatu siklus
kegiatan yang secara umum dimulai dari tahap pencegahan terjadinya longsor,
kemudian tahap waspada, evakuasi jika longsor terjadi dan rehabilitasi,
kemudian kembali lagi ke tahap yang pertama. Pencegahan dan waspada adalah
merupakan bagian yang sangat penting dalam siklus mitigasi ini. Secara
skematis, mitigasi penanggulangan tanah longsor sebagaimana konsep di atas
dapat dilihat dalam Gambar 20.
69
Gambar 20. Tahapan Mitigasi Tanah Longsor
Dalam konteks tahapan mitigasi di atas, penelitian yang dilakukan di
Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ini termasuk tahap
pencegahan dan waspada. Hal ini karena penelitian ini menganalisis wilayah
yang rawan terhadap bahaya tanah longsor untuk selanjutnya menetapkan
sebaran wilayah yang memiliki tingkat risiko apabila terjadi tanah longsor. Oleh
karena itu, mitigasi akan dilakukan terhadap kedua hasil analisis di atas, yaitu
untuk wilayah yang memiliki bahaya dan risiko tanah longsor. Dengan adanya
mitigasi ini, diharapkan dapat menjadi dasar untuk mengurangi bahaya dan risiko
tanah longsor.
Berdasarkan hasil analisis terhadap wilayah yang rawan terhadap bahaya
tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, diketahui
bahwa kedua kecamatan tersebut memiliki potensi daerah rawan longsor yang
tinggi. Hal ini terlihat dari luasan wilayah yang termasuk dalam kategori potensi
rawan bahaya sekitar 8.460,41 Ha (65,51%) dan kategori sangat rawan seluas
2.7 98,44 Ha (21,67%). Artinya, lebih dari dua pertiga wilayah Kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan rawan terhadap bahaya tanah longsor.
Secara administrasi wilayah, daerah yang memiliki rawan bahaya terhadap tanah
70
longsor terdapat di Kelurahan Ciherang, Cipancar, Citengah, Pasanggrahan, dan
Sukajaya.
Dalam melakukan upaya mitigasi di kedua kecamatan tersebut terutama
untuk empat kelurahan di atas, harus lebih mendapatkan prioritas dalam
pengawasan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya tanah longsor. Mitigasi
harus mempertimbangkan faktor yang menyebabkan kerawanan tanah longsor,
yaitu kelerengan, jenis tanah, geologi, dan penggunaan lahan. Dari keempat
faktor penyebab tersebut, penggunaan lahan dan ke lerengan merupakan dua
variabel dominan yang membentuk sebaran potensi bahaya tanah longsor di
kedua kecamatan tersebut. Oleh karena itu, upaya mitigasi yang dilakukan
sebaiknya mengacu kepada kedua faktor tersebut. Pada Tabel 26 dapat dilihat
rincian wilayah dengan faktor penyebab bahaya, potensi bahaya, tingkat risiko,
dan upaya penanggulannya secara umum.
Untuk faktor penggunaan lahan, upaya mitigasi yang dapat dilakukan
adalah penataan tata ruang wilayah dengan memperhatikan wilayah-wilayah
yang berpotensi terhadap bahaya tanah longsor. Selain itu, hal lain yang perlu
mendapat perhatian adalah perubahan penggunaan lahan, terutama lahan
pertanian menjadi pemukiman, dan industri.
Untuk faktor kelerengan, terutama di daerah Kecamatan Sumedang
Selatan yang sebagian wilayahnya memiliki kelerengan cukup terjal, upaya
mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mengembalikan fungsi hutan dan
hutan lindung di lereng-lereng bukit yang telah digunakan sebagai daerah
tegalan atau pertanian. Hal ini telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Sumedang dengan menanami kembali hutan di sekitar Gunung Palasari yang
telah mengalami kerusakan dalam rangka pengembalian fungsi hutan. Selain itu,
perlu membatasi pembangunan pemukiman di daerah yang rawan tanah longsor.
Berdasarkan hasil analisis terhadap wilayah yang memiliki risiko tanah
longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, diketahui bahwa
luas wilayah yang memiliki risiko (berisiko dan sangat berisiko) sekitar
4.065,14 Ha atau 31.48% dari luas wilayah kedua kecamatan tersebut. Dari
seluruh desa/kelurahan di kedua kecamatan tersebut, delapan desa/kelurahan
memiliki luas wilayah yang sangat berisiko, yaitu Ciherang, Pasanggrahan, Kota
Kulon, Regol Wetan, Gunasari, Sirnamulya, Mulyasari, dan Cipeumengpeuk.
Kedelapan desa/kelurahan tersebut memiliki rata-rata luasan wilayah yang
sangat berisiko tanah longsor sekitar 50 Ha.
71
Luasan dan sebaran wilayah yang memilki risiko tanah longsor ditentukan
oleh faktor adanya properti yang terkonsentrasi pada suatu area. Dalam
penelitian ini, sebagian besar wilayah yang termasuk dalam kelas berisiko dan
sangat berisiko terhadap tanah longsor merupakan wilayah perkotaan yang
memiliki kelengkapan properti dibandingkan dengan wilayah bukan perkotaan.
Upaya mitigasi terhadap wilayah yang memiliki risiko dilakukan dengan
mengurangi tingkat kerawanan tanah longsor pada wilayah yang berbatasan/
berdekatan dengan wilayah yang memiliki risiko tanah longsor. Artinya, upaya
mitigasi yang dilakukan adalah mitigasi terhadap daerah rawan terhadap bahaya
tanah longsor, karena pada dasarnya risiko tanah longsor ditimbulkan akibat
adanya bahaya tanah longsor.
Selain itu, mitigasi risiko tanah longsor pada wilayah -wilayah yang sangat
berisiko dilakukan dengan mengendalikan pembangunan (properti) sesuai
dengan daya dukung lingkungan. Pengendalian pembagunan (properti) pada
dasarnya bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko yang lebih besar apabila
terjadi tanah longsor. Hal ini karena properti yang sudah ada tidak mungkin
dikurang i atau dihilangkan untuk mengurangi risiko.
Pemanfaatan lahan juga merupakan salah satu parameter dalam
perhitungan risiko tanah longsor. Perubahan tata guna lahan yang tidak
terkontrol merupakan bentuk campur tangan manusia yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya longsor. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman,
kegiatan ekonomi, atau infrastruktur akibat bertambahnya jumlah penduduk
dapat pula meningkatkan risiko apabila terjadi tanah longsor.
72
Tabel 26 . Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan Mitigasinya di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan
No. Kecamatan/Desa Lereng (%) Penggunaan Lahan Potensi Bahaya Tingkat Risiko Mitigasi
Sumedang Selatan 1 Baginda > 15 Semak/belukar,
sawah, tegalan, pemukiman
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian (persawahan). Sosialisakan daerah yang memiliki tingkat kerawan tanah longsor kepada masyarakat
2 Ciherang > 15 Sawah,tegalan, pemukiman
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Idem
3 Cipameungpeuk > 15 Semak, sawah, tegalan,pemukiman
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Idem
4 Cipancar > 30 Hutan Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Mengembalikan fungsi hutan yang telah digunakan sebagai daerah pertanian, karena daerah ini memiliki kemiringan cukup terjal sehingga rentan terhadap tanah longsor
5 Citengah > 30 Hutan, semak/belukar
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Mengembalikan fungsi hutan dan hutan lindung
6 Gunasari > 8 Hutan,semak/belukar, sawah, pemukiman
Rawan Kurang berisiko dan berisiko
Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian (persawahan).
7 Pasanggrahan 0 > 45 Semak/belukar, sawah, tegalan, pemukiman
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Idem. Pembangunan properti disesuakan dengan tata ruang wilayah dengan memperhatikan wilayah yang memiliki tingkat kerawan terrhadap tanah longsor.
8 Regol Wetan 0 > 45 Semak, sawah, tegalan,pemukiman
Kurang rawan -sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Idem
9 Kota Kulon 0 > 45 Sawah, pemukiman Kurang rawan -sangat rawan
Kurang berisiko Idem
10 Meruya Mekar > 30 Hutan, semak/ Belukar, tegalan
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko Mempertahankan fungsi hutan dan membatasi aktivitas penggunaan lahan un tuk tegalan/ladang.
11 Sukagalih > 15 Semak/belukar, sawah, tegalan, pemukiman
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15% dari aktivitas penggunaan lahan seperti pemukiman dan membuat terasering pada lahan pertanian.
12 Sukajaya > 15 Hutan, semak/ Belukar
Rawan dan sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Mempertahankan fungsi hutan dan membatasi aktivitas penggunaan lahan untuk tegalan/ladang.
73
No. Kecamatan/Desa
Lereng (°) Penggunaan lahan Potensi Bahaya Tingkat Risiko Mitigasi
Sumedang Utara 1 Jatihurip > 15 Kebun, sawah,
pemukiman Kurang rawan -sangat rawan
Kurang berisiko Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas pe nggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian.
2 Jatimulya 0 – 15 Kebun, sawah, pemukiman
Kurang rawan dan rawan
Tidak berisiko dan kurang berisiko
Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah.
3 Kebonjati 0 – 8 Semak/belukar, sawah, pemukiman
Tidak rawan - rawan
Tidak berisiko Idem
4 Kota Kaler 0 – 8 Sawah dan pemukiman
Kurang rawan dan rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Idem. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor.
5 Girimukti 0 – 8 Sawah dan pemukiman
Kurang rawan dan rawan
Kurang berisiko Idem
6 Margamukti 0 – 15 Sawah,pemukiman,semak/belukar
Kurang rawan dan rawan
Kurang berisiko Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah.
7 Mekarjaya > 15 Semak/belukar, sawah, pemukiman
Kurang rawan dan rawan
Kurang berisiko Idem
8 Mulyasari > 15 Sawah,pemukiman,semak/belukar
Kurang rawan -sangat rawan
Kurang berisiko dan berisiko
Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas penggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor.
9 Padasuka 0 - 30 Sawah,pemukiman,semak/belukar
Rawan Kurang berisiko Idem
10 Sirnamulya > 15 Tegalan/ladang, semak/belukar
Rawan dan sangat rawan
Berisiko Idem
11 Situ 0 - 8 Sawah dan pemukiman
Rawan Kurang berisiko Dibuat dinding penahan dan pembangunan wilayah disesuaika dengan tata ruang wilayah.
12 Talun 0 - 45 Pemukiman, sawah, tegalan
Kurang rawan dan rawan
Kurang berisiko Dibuat dinding penahan, mengurangi beban lereng pada kemiringan >15° dari aktivitas penggunaan lahan seperti: pemukiman dan pertanian. Sosialisasikan daerah yang memiliki tingkat kerawanan dan berisiko terhadap tanah longsor.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Penyebab utama pemicu terjadinya tanah longsor di Kecamatan Sumedang
Utara dan Sumedang Selatan terdiri atas tiga faktor, yaitu kelerengan, jenis
tanah, dan penggunaan lahan. Selain itu, faktor pemicu utama lainnya adalah
curah hujan, namun dalam penelitian ini tidak dimasukkan dalam analisis
bahaya tanah longsor karena keterbatasan data dan cakupan wilayah
penelitian yang tidak terlalu luas.
2. Perhitungan risiko tanah longsor ditentukan dengan menggabungkan nilai
properti yang ada (infrastruktur, jaringan jalan, dan jenis penggunaan lahan)
dan tingkat bahaya tanah longsor.
3. Lebih dari separuh wilayah di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang
Selatan merupakan daerah yang rawan terhadap tanah longsor, yaitu seluas
8.460 Ha atau sekitar 65,51% dari luas wilayah. Adapun luas wilayah yang
berpotensi sangat rawan terhadap bahaya tanah longsor sekitar 2.789 Ha
(21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%), dan tidak rawan sekitar 85 Ha
(0,66%).
4. Wilayah desa/kelurahan yang memiliki potensi bahaya longsor pada tingkat
sangat rawan paling luas adalah Desa Ciherang (480 Ha), Sukajaya
(416 Ha), Pasanggrahan (360 Ha), dan Citengah (271 Ha).
5. Sekitar 7.962 Ha atau 61,67% dari total luas wilayah Kecamatan Sumedang
Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah yang kurang berisiko
terhadap tanah longsor. Selanjutnya, luas wilayah yang berisiko adalah
3.496 Ha (27,08%), tidak berisiko seluas 883 Ha (6,84%), dan sangat
berisiko seluas 568 Ha (4,40%). Tingkat risiko tanah longsor ditentukan
berdasarkan nilai risikonya yang dihasilkan dari penjumlahan nilai bahaya
dan skor dari properti (jalan, infrastruktur, dan penggunaan lahan).
6. Upaya mitigasi terhadap wilayah yang memiliki risiko tanah longsor dapat
dilakukan dengan mengurangi tingkat kerawaan tanah lngsor dengan
memperhatikan faktor utama pemicu bahaya tanah longsor.
75
5.2. Saran
1. Selain faktor bahaya dan nilai properti, perlu me masukkan faktor curah hujan
dalam penentuan tingkat risiko tanah longsor.
2. Untuk meminimalkan risiko yang diakibatkan oleh tanah longsor,
pembangunan sarana dan prasarana serta penggunaan lahan di Kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan tidak dilakukan pada daerah-
daerah yang memiliki bahaya tanah longsor. Hal ini dapat dilakukan melalui
penetapan tata ruang wilayah yang didasarkan pada peta rawan bahaya
longsor.
3. Untuk menghindari dan mengurangi tingkat risiko tanah longsor pada
wilayah-wilayah yang sangat berisiko, harus dilakukan pengendalian
pembangunan (properti) sesuai dengan daya dukung lingkungan.
4. Perlu kearifan dari manusia untuk meminimalkan bahaya tanah longsor
karena selain faktor alam, penyebab terjadinya bahaya tanah longsor juga
dapat dipicu oleh campur tangan manusia seperti pengundulan hutan, dan
pembangunan di lereng -lereng.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Laporan Singkat Hasil Pemeriksaan Bencana Gerakan Tanah di Kabupaten Sumedang,1985-2002. Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Lingkungan, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.
Anwar, H.Z. 2003. Mengurangi Dampak Bencana Longsor.
http://www.unisosdem.org/ekopol detail.php?aid=5426&coid=2&caid=40 [03 Mei 2006]
Asriningrum, W. 2003. Indonesia Tidak Punya Peta Rawan Longsor.
http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=5426. [14 Agustus 2005]
Aronoff. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective . Ottawa, Canada: WDL Publications.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Kabupaten Sumedang Dalam Angka 2003. Sumedang : BPS.
Barus, B. 1999. Pemetaan bahaya longsoran berdasarkan klasifikasi statistik peubah tunggal menggunakan SIG. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2:7-16.
Burrough , P.A. 1986. Principle of Geographical Information Syistem for Land Resources Assessment. Clarendon Press. Oxford.
Carter, W.N. 1992. Disaster Management: A disaster manager’s handbook. Asian Development Bank. Manila.
Cooke and Doornkamp. 1990. Geomorphology in Environmental Management: A New Introduction. Clarendon Press. United Kingdom.
Cruden. 1991. A simple definition of landslide. Bulettin Int. Assoc. for Engineering Geology. 43:27 -29.
Danoedoro, P. 2001. Potensi Satelit untuk Kajian Banjir. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/28/iptek/pote22.html. [23 Januari 2006]
Goenadi, S.J., Sartohadi, H.C. Hardiyatmo ., D.S. Hadmoko ., dan S.R Giyarsih. 2003. Konservasi Lahan Terpadu Daerah Rawan Bencana Longsoran di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Pusat Studi Bencana Alam (PSBA)-Lembaga Penelitian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Karnawati, D. 2004. Bencana Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Indonesia; Evaluasi dan Rekomendasi, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. P3 -TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.
Kotter, T. 2004. Disaster management and e-land management. GIM Int. 18:12-15.
77
Marwanta, B. 2003. Fenomena Bencana Banjir dan Longsor di Indonesia pada tahun 2003. Bagaimana Penanggulangannya?. Year Book Mitigasi bencana 2003 P3TPSLK BPP-Teknologi. Jakarta.
Naryanto, H.S. 2001. Prinsip Dasar Bencana, Mitigasi dan Penanggulangan Bencana, Dalam Penanganan Bencana. Forum LPPS 43. LPPS-KWI Caritas Indonesia-CORDAID. Jakarta.
Nurhadi. 2005. Urgensi Sistem Mitigasi Bencana. http://www.penulislepas.com/print.php?id=1713_0_1_0 [23 Januari 2006].
Paripurno, E.T. 2004. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana Longsor, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta
Purnomo, Y.D.W. 2003. Pola Sebaran Wilayah Rawan Longsor di Kabupaten Sumedang [Tesis]. Universitas Indonesia. Depok.
[Puslittanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Laporan akhir Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir dan Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung, Jawa Barat Bagian Barat Berbasis Sistem Informasi Geografi. Bogor.
[UNDRO] Office of The United Nations Disaster Relief Co-Ordinator. 1991. Mitigating Natural Disasters Phenomena, Effect, and Options : A Manual for Policy Makers and Planners. United Nations. New York.
Smith, K. 2001. Environmental Hazards : Assessing Risk and Reducing Disaster. Routledge. London.
Suhendar, R. 1994. Terrain Maping Approach for Slope Instability Hazard and Risk Assessment Using Remote Sensing Techniques and GIS; A Case Study of North East Bandung and Lembang, West Java, Indonesia [Thesis]. ITC, Enscede, The Netherlands.
Suryolelono, K.B. 2005. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik. http://lib.ugm.ac.id/data/download/1079402588_bencana.doc. [01 Maret 2005]
Sutikno. 1994. Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat Gerakan Massa Tanah/Batuan. Prosiding Seminar Mitigasi Bencana Alam 16-17 September 1994. Kerjasama Fakultas Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana RI. Yogyakarta.
Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. [tidak dipublikasikan]
Sutikno. 2000. Penyuluhan Bencana Alam Gerakan TanahDirektorat Geologi Tata Lingkungan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.