pembuktian peradilan

18

Click here to load reader

Upload: bobby-faisyal-rakhman

Post on 12-Sep-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pembuktian Peradilan a. Pengertian alat bukti dan pembuktian Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) (1) Bukti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa berupa keterangan nyata atau tanda (surat, dsb), hal yang menjadi tanda perbuatan jahat. (2) Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya) (1) Pembuktian adalah perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan (1) Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian : (1)1. Memberi (memperlihatkan) bukti2. Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya)3. Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar)4. Menyakinkan, menyaksikan Membuktikan adalah memperlihatkan bukti, menyakinkan dengan bukti, menandakan atau menyatakan kebenaran dengan bukti. (2)Menurut Prof. Soebakti, SH, dalam pengertian yuridis mengenai bukti dan alat bukti yakni, bukti adalah sesuatu yang menyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian, adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan, misalnya bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah, dan lain-lain. (1)Menurut Dr. A. Hamzah, SH, bukti yaitu sesuatu untuk menyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Alat-alat bukti adalah upaya pembuktian melalui alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah. (1)Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dalam hal ini membuktikan mengandung tiga pengertian yaitu membuktikan dalam arti logis, membuktikan dalam arti konvensional dan membuktikan dalam arti yuridis. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan dalam arti konvensional artinya juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relative sifatnya. Sedangkan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. (1; 3)Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa alat bukti adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan. Jenis-jenis alat bukti tergantung hukum acara yang digunakan (acara pidana, perdata atau tata usaha Negara). (1)Sedangkan pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku. (1) Pembuktian dibebankan kepada jaksa penuntut umum dibantu oleh penyidik, sedangkan terdakwa pelaku tidak dibebani pembuktian. Biasanya dalam hal ini membutuhkan seorang ahli untuk melakukan pembuktian untuk membuat terang suatu perkara. Pembuktian dilakukan dengan mencari kebenaran yang mendekati kebenaran materiel yang dicari dengan mencari jawaban tentang apa, bagaimana dan mengapa melakukan tindakan tersebut. Jika dilakukan secara sengaja apakah ada faktor pembenar ataukah faktor pemaaf. Bila dilakukan secara tidak sengaja, apakah akibat suatu kelalaian ataukah kecelakaan biasa. (4)Pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Di dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah sedangkan dalam arti terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apabila tidak dibantah itu maka tidak perlu dibuktikan. Kebenaran dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. (3)Barang bukti yang diajukan ke depan sidang pengadilan (pidana) dapat diperoleh atau berasal dari : (1)1. Obyek delik2. Alat yang dipakai untuk melakukan delik3. Hasil dari delik4. Barang-barang tertentu yang mempunyai hubungan langsung dengan delik yang terjadiAlat bukti sah diperlukan dalam membuat putusan hakim. Agar dalam peradilan benar-benar adil, maka bukti yang diajukan di pengadilan harus bukti yang sah secara hukum sehingga dapat disebut sebagai alat bukti yang sah. (4) Barang bukti dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, yakni meliputi : (1; 4; 5)a. Keterangan saksib. Keterangan ahlic. Suratd. Petunjuke. Keterangan terdakwa

A. Keterangan saksiKeterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana berupa keterangan yang merupakan hal-hal yang dialami atau didengar atau dilihat sendiri oleh saksi dengan menyebut alasan dari pengetahuannya (pasal 1 KUHAP Butir 27). (4; 6; 5) Keterangan tidak boleh berupa pendapat atau hasil rekaan saksi, ataupun keterangan dari orang lain (hearsay = secondary information). Ketentuan tentang keterangan saksi diatur dalam pasal 185 KUHAP yang yang menyatakan : (4)1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaaan dapat digunkan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.5. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikana. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainb. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lainc. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentud. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.7. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.Keterangan saksi harus diberikan oleh orang yang kompeten, yaitu orang yang cakap secara hukum. Dapat dikatakan kompeten jika tidak dibawah umur, sadar secara fisik ataupun mental, dan tidak berstatus dalam pengampunan. Keterangan saksi dianggap sah apabila diajukan oleh sedikitnya dua orang saksi, sedangkan bila berasal dari satu orang saja harus didukung oleh alat bukti sah lainnya. (4)B. Keterangan ahliKeterangan ahli harus diberikan oleh seorang ahli yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan berisikan keterangan yang berada dalam lingkup keahliannya (bukan keterangan yang bersifat awam). Kualifikasi seorang ahli dapat dilihat dari almamaternya, spesialisasinya, kesertaan dan aktivitasnya di organisasi profesinya, pengalamannya, jabatan formalnya serta publikasinya. (4)Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi karena dapat memberikan opini/pendapat berdasarkan keilmuannya atau inferensi ilmiah, sepanjang berdasarkan fakta atau data yang adekuat dan secara tehnis dianggap benar. Keterangan ahli dapat diterima apabila : (4)1. Relevans dan material2. Tidak ada sanggahan / keberatan, baik terhadap ahlinya maupun terhadap keterangannya3. Bila berupa surat / dokumen haruslah otentik4. Sahih dan reliable. Dalam hal ini metodologi ataupun penalaran yang digunakannya harus memenuhi aturan keshihan dan reliabilitas ilmiah.5. Diperoleh dengan cara yang tidak melanggar hukum. Bukti yang diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang sah (penyitaan, berita acara, chain of custody, dll) dianggap tidak sah untuk diajukan ke pengadilan.

C. SuratKetentuan alat bukti sah surat diatur di dalam pasal 187 KUHAP yang menyatakan : (4; 5)Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alas an yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya.d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.Surat harus dibuat berdasarkan sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, dapat berupa berita acara pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya, surat yang dibuat berdasarkan tata laksana atau prosedur yang berlaku, surat keterangan ahli yang dibuat atas permintaan resmi, atau surat-surat lain bila ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Rekam medik dapat pula dijadikan alat bukti sah surat. (4)D. PetunjukPetunjuk adalah perbuatan atau kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk dapat ditarik dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa. (4)

E. Keterangan terdakwaKeterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri dan tidak dapat digunakan untuk bukti pada persidangan terdakwa lain pada kasus perbarengan (saksi mahkota). (4) Keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa ia bersalah secara sendiri tidak dapat digunakan untuk menentukan bahwa ia bersalah, kecuali didukung oleh alat bukti sah yang lain. Terdakwa juga tidak dibebani pembuktian, ia tidak wajib mengaku, memberi keterangan yang benar ataupun melakukan upaya-upaya untuk membuktikan kesalahannya, dan bahkan tidak disumpah pada waktu memberikan keterangannya. (4)Penjelasan mengenai alat bukti bisa kita lihat penjelasannya pada pasal 181 ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyatakan : (1)1. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu.2. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.Hal ini menjelaskan bahwa, apabila keterangan barang bukti itu diberikan oleh terdakwa, disebut sebagai keterangan terdakwa. Apabila keterangan mengenai barang bukti itu berasal dari saksi, maka disebut sebagai keterangan saksi. (1)b. Teori-teori (sistem) PembuktianTerdapat tiga teori pembuktian dalam hukum acara perdata menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, yaitu : (1)1. Teori pembuktian bebas2. Teori pembuktian negative3. Teori pembuktian positif

1. Teori pembuktian bebasTeori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya. (1)2. Teori pembuktian negativeMenurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negative, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (pasal 165 HIR, 285 Rbg, 1905 BW). Dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative disyaratkan adanya kenyakinan hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Dalam sistem pembuktian ini alat-alat bukti dan mekanisme pembuktian diatur secara tegas oleh undang-undang. (1; 7)3. Teori pembuktian positifDi samping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (pasal 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW). Undang-undang secara positif dimakudkan untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak bersalah harus tunduk terhadap undang-undang. Dalam sistem ini tidak ada tempat bagi keyakinan hakim. Terdakwa dinyatakan bersalah jika proses pembuktian dan alat-alat bukti telah menunjukkan bahwa terdakwa bersalah. (1; 7)Penjabaran pasal 169 HIR atau 1905 BW dan pasal 165 HIR atau pasal 1870 BW, yaitu : (1) Pasal 169 HIR berbunyi keterangan dari seseorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tiada dapat dipercaya di dalam hukum. Bunyi pasal ini sama dengan bunyi pasal 1905 BW yang dalam istilah hukum lazim disebut unus testis nullus testis yaitu seorang saksi bukan saksi. Dalam kasus demikian maka gugatan harus ditolak, kecuali dikuatkan dengan alat bukti lain, minimal satu alat bukti lagi. Pasal 165 HIR sama dengan pasal 1870 BW yang pada pokoknya menyatakan, suatu akta autentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.Dalam penyelesaian perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak berdasarkan pembuktian. Pembuktian dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan hubungan hukum kedua pihak dan menetapkan putusan berdasarkan hasil pembuktian. (8)Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuai hukum yang berlaku. Mengingat alat-alat bukti dalam hukum acara pidana dan perdata berlainan, maka pembuktiannya pun berbeda dalam arti jika acara pidana kebenaran materiil yang dituju, namun dalam acara perdata tujuannya kebenaran formil. (1)Usaha-usaha yang dilakukan penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang. Hal tersebut di atur dalam Undang-undang RI No.4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : (9) Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.Hukum pidana meteriil itu sendiri merupakan kumpulan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. (10) Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara. Jadi tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada pemeriksaan oleh hakim, sehingga hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau memutuskan melebihi apa yang dituntut/digugat (vide pasal 178 ayat (3) HIR). Hukum pidana formil itu sendiri merupakan kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim. (1; 10)Hal lain yang penting untuk diperhatikan yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (pasal 183 KUHAP). Rumusan pasal ini menganut teori pembuktian negative (negative bewijstheori). Terdapat dua hal penting dalam pembahasan pasal 183 KUHAP yakni : (1)1. Adanya dua alat bukti (minimal) yang sah2. Adanya keyakinan hakimDua alat bukti yang sah tersebut harus dipenuhi oleh penuntut umum, akan tetapi jika hakim tidak mendapat keyakinan akan kesalahan terdakwa maka pidana tidak dapat dijatuhkan. (1)Selain teori pembuktian negative terdapat pula teori pembuktian undang-undang secara positif (positief wettelijik bewijstheori) dimana faktor keyakinan hakim tidak ada, sehingga apabila penuntut umum mengajukan alat-alat bukti sesuai undang-undang dan cocok dengan perbuatan terdakwa maka pidana dapat dijatuhkan oleh hakim. (1)Teori pembuktian lain yakni conviction intime dan La conviction raisonee. Conviction intime adalah pembuktian yang berdasar pada keyakinan hakim saja, sedangkan pembuktian yang berdasar pada keyakinan hakim dengan alasan yang logis disebut La conviction raisonee. Menurut Dr. A. Hamzah menyebutkan bahwa : (1) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim ini didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemindanaan dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. (1) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dengan alasan logis adalah bahwa hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. (1)

Bibliography1. Waluyo, Bambang. Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1996. 979-8061-41-1.2. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI. [Online] Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. [Cited: 07 03, 2015.] KBBI.web.id/bukti.3. Proses Pembuktian dan Penggunaan Alat-Alat Bukti pada Perkara Perdata di Pengadilan. Soeikromo. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi , 2014, Vol. II.4. Sampurna, Budi, Samsu, Zulhasmar and Siswaja, Tjetjep Dwidja. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum. Jakarta: s.n., 2008.5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jakarta: s.n., 1981.6. Peran Dokter sebagai Saksi Ahli di Persidangan. Susanti, Rika. Padang: Jurnal Kesehatan Andalas, 2013, Vol. 2 (2).7. Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.8. Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif serta Relevansinya terhadap Konsep Kebenaran Formal. Wijayanta, Tata, et al. Yogyakarta: MIMBAR HUKUM Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2010, Vol. 22.9. Peranan Visum et Repertum di pengadilan. Syamsuddin, Rahman. Makassar: Al-Risalah, 2011, Vol. 11 Nomor 1 Mei 2011.10. Ilyas, Amir. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Mahakarya Rangkang, 2012.