pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan …
TRANSCRIPT
PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL
DALAM MASA TRANSISI POLITIK: SUATU TINJAUAN HUKUM
INTERNASIONAL DAN PENGATURANNYA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka memenuhi tugas akhir
Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Disusun oleh:
Muhammad Ajisatria Suleiman
Nomor Pokok Mahasiswa: 050400718Y
PROGRAM KEKHUSUSAN VI
(HUKUM TENTANG HUBUNGAN TRANSNASIONAL)
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Depok, 2008
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
ABSTRAK Muhammad Ajisatria Suleiman, NPM: 050400718Y, Hukum tentang Hubungan Transnasional (Program Kekhususan VI), Judul: Pemberian Amnesti terhadap Pelaku Kejahatan Internasional dalam Masa Transisi Politik: Suatu Tinjauan Hukum Internasional dan Pengaturannya di Indonesia Pemerintahan pada masa transisi politik dari rejim otoritarianisme menuju demokrasi harus menghadapi tantangan besar untuk menyelesaikan segala tindakan yang dilakukan oleh rejim terdahulunya, terutama yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang tergolong sebagai kejahatan internasional. Pemberian amnesti menjadi salah satu mekanisme alternatif yang dapat dilakukan untuk menjamin perdamaian dan kelancaran proses rekonsiliasi. Di Indonesia, ketentuan mengenai amnesti ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Kerangka Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Namun demikian, legalitas amnesti dalam pandangan hukum internasional masih mengundang banyak perdebatan. Atas dasar ini, penelitian ini dilakukan dan menghasilkan tiga kesimpulan pokok. Pertama, meskipun pemberian amnesti merupakan hak yang dimiliki suatu negara berdaulat, namun khusus menyangkut kejahatan internasional, amnesti tidak boleh menciptakan impunitas sehingga harus dilarang. Kedua, dalam masa transisi politik, pemberian amnesti secara menyeluruh dapat melanggar “Right to Know” masyarakat karena menutup dan menghentikan akses masyarakat terhadap kebenaran. Namun demikian, terdapat kemungkinan justifikasi pemberian amnesti sepanjang “Right to Know” terpenuhi. Ketiga, mekanisme pemberian amnesti dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Kerangka Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia Timor Leste bertentangan dengan hukum internasional.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
i
BIDANG STUDI HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
NAMA : Muhammad Ajisatria Suleiman NPM : 050400718Y Program Kekhususan : VI (Hukum tentang Hubungan Trans- Nasional) Judul Skripsi : Pemberian Amnesti terhadap Pelaku Kejahatan Internasional dalam Masa Transisi Politik: Suatu Tinjauan Hukum Internasional dan Pengaturannya di Indonesia
DAFTAR ISI
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI i
ABSTRAK ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan 1
B. Rumusan Permasalahan 18
C. Tujuan Penelitan 18
D. Kerangka Konsepsional 19
E. Metode Penelitian 23
F. Kegunaan Praktis dan Teoritis 25
G. Sistematika Penulisan 26
BAB II TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
ii
AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL
A. Tinjauan Umum Mengenai Kejahatan Internasional 28
B. Sejarah Pemberian Amnesti 33
C. Kewajiban Negara Melakukan Penindakan atas Pelaku Kejahatan Internasional 38
1. Geneva Convention 1949 (Konvensi Geneva 1949) 40
2. Genocide Convention (Konvensi Genosida) 42
3. Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Anti Penyiksaan) 44
4. International Covenant for Civil and Political
Rights 47
5. Hukum Kebiasaan Internasional 51
6. Dokumen-Dokumen Lain 52
D. Hak Korban Kejahatan Internasional dalam Hukum Internasional dan Kaitannya dengan
Pemberian Amnesti 54
1. Perlindungan Normatif dan Praktek Negara 56
2. Kaitan antara Perlindungan Korban dan
Pemberian Amnesti 59
BAB III PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN
INTERNASIONAL PADA MASA TRANSISI POLITIK
A. Keadilan Transisional Sebagai Mekanisme Pencarian Keadilan di Masa Transisi Politik 65
1. Pengertian Umum Keadilan Transisional 65
2. Peran Konsep Keadilan Transisional pada
Negara Transisi 68
3. “Right to Know” sebagai Perkembangan Hak
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
iii
Untuk Mengetahui Kebenaran dalam Konteks
Keadilan Transisional 73
B. Legalitas Pemberian Amnesti dalam Masa Transisi Politik di Amerika Latin Melalui
Penafsiran Mekanisme Penegakkan HAM Regional
di Amerika Latin 79
1. Praktek Pemberian Amnesti di Cile dan
Argentina 80
2. Penafsiran Mekanisme Penegakkan HAM Regional
Amerika Latin Mengenai Pemberian Amnesti 86
C. Legalitas Amnesti dalam Hukum Internasional
yang Berkaitan Ekstradisi Pinochet dari Inggris 99
D. Hubungan Antara Pemberian Amnesti dengan Komisi
Kebenaran: Praktek di Afrika Selatan dan
Sierra Leone 105
1. Hubungan antara Right to Know dengan
Pembentukan Komisi Kebenaran 105
2. Permasalahan Hukum Internasional dalam Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan 110
3. Amnesti Sebagai Bagian dari Kompromi Politik
Di Sierra Leone yang Didukung oleh Masyarakat
Internasional 119
4. Mekanisme Pemberian Amnesti di Pengadilan
Khusus dan Komisi Kebenaran di Sierra Leone 125
BAB IV TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI
TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL DI INDONESIA
I. Mekanisme Pemberian Amnesti dalam Undang-Undang
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
iv
A. Latar Belakang Pembentukan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 133
B. Berbagai Kelemahan Konsepsi dalam Undang-undang Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 140
1. Jenis Kejahatan yang Dapat Masuk ke dalam
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bergantung
Kepada Jenis Kejahatan dalam Pengadilan HAM 140
2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bersifat
Substitutif dengan Pengadilan HAM dan Tidak
Bersifat Komplementer 142
3. UU tentang KKR memiliki Kelemahan yang Mendasar
Mengenai Mekanisme Pemberian Amnesti 143
C. Pendapat Ahli Hukum Internasional Mengenai Amnesti beserta Mekanisme Pemberiannya dalam
Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi 145
1. Pendapat Douglass Cassel 146
2. Pendapat Naomi Roht-Arriaza 151
3. Pendapat Paul Van Zyl 154
D. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Indonesia Mengenai Konstitusionalitas
Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi 155
E. Permasalahan Hukum Internasional yang Timbul dalam Pengujian Undang-undang tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi 159
1. Kedudukan Hukum Internasional dalam
Konstitusi Indonesia 159
2. Analisis Hukum Internasional terhadap UU
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
v
Tentang KKR Khususnya yang Berkaitan dengan
Pemberian Amnesti 163
II. Mekanisme Pemberian Amnesti dalam Komisi Kebenaran
Dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste
A. Sejarah Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste 169
1. Konflik dalam Penentuan Jajak Pendapat
Di Timor Timur 170
2. Pembentukan Komisi Penyelidikan (Commission
Of Inquiry) PBB 172
3. Pengadilan HAM di Indonesia dan Pengadilan
Kejahatan Berat di Timor Leste 172
4. Komisi Ahli (Commission of Expert) PBB 176
B. Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia- Timor Leste 177
1. Impunitas sebagai Semangat Pembentukan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan 177
2. Kewenangan Komisi Kebenaran dan Persahabatan
Berdasarkan Kerangka Acuan 179
C. Permasalahan Hukum Internasional dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan
Menyangkut Kewenangan Pemberian Amnesti 181
BAB V PENUTUP
A. Simpulan 193
B. Rekomendasi 201
DAFTAR PUSTAKA
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pada sekitar awal tahun 1970an hanya ada sekitar dua
puluh negara demokratis di seluruh dunia.1 Selain di
wilayah Amerika Utara dan Eropa Barat, kekuasaan negara
umumnya didominasi oleh rezim-rezim otoritarianisme,
totalitarianisme, atau komunisme yang anti terhadap
demokrasi liberal. Namun demikian, mulai sekitar tahun
1980an akhir, perubahan terjadi di hampir seluruh dunia.
Rezim-rezim tersebut tumbang dan mulai berjatuhan satu per
satu. Dimulai dari negara-negara di Eropa Tengah seperti
Spanyol dan Portugal, Negara-negara Asia seperti Filipina
1 Namun demikian, Amos J Peaslee dalam penelitiannya tahun 1950,
menyatakan bahwa 90 persen negara di dunia dengan tegas mencantumkan dalam konstitusinya bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat, dan pemerintah bersumber kepada kehendak rakyat. Lihat Constitutions of Nations, vol. I, Concord, (New Haven: The Rumford Press, 1950), sebagaimana dikutip dari Jimly Ashhidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 12.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
2
dan Korea Selatan, Amerika Latin (contohnya Argentina dan
Cile), hingga yang paling siginifikan adalah tumbangnya
rezim sosialis di Eropa Timur yang dimulai sejak 1980an
akhir dan mencapai puncaknya pada tahun 1991 dengan
bubarnya Uni Soviet.2
Keruntuhan dan disintegrasi Uni soviet menandakan
kemenangan mutlak dari demokrasi yang selalu dikampanyekan
oleh kebudayaan Barat.3 Hampir seluruh negara-negara modern
berubah menjadi negara demokrasi, atau setidak-tidaknya
mengklaim telah menerapkan demokrasi. Francis Fukuyama
bahkan mengatakan bahwa proses ini menandai ”akhir dari
sejarah.”4 Huntington menamakan periode ini sebagai
2 Lihat buku Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization
in The Late Twentieh Century, (Norman and London: University of Oaklahoma Press, 1991).
3 Lihat pengertian “barat” (western civilization) menurut Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, (New York: Simon and Schuster, 1996), hal. 46 yang menyatakan, “[w]estern civilization is usually dated as emerging about A.D. 700 or 800. It is generally viewed by scholars as having three major components, in Europe, North America, and Latin America… Latin America, however has a distinct identity which differentiates it from the West. Although an offspring of European civilization, Latin America has evolved along every different path from Europe and North America. … The West, then, includes Europe, North America plus other European settler countries such as Australia and New Zealand.”
4 Tesis ini merupakan buah pemikiran terkenal dari Francis
Fukuyama sebagaimana tercantum dalam bukunya, The End of History and The Last Man, Diterjemahkan oleh MH Amrullah, The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, (Yogyakarta: Qalam, 1999). Dengan menggunakan model filsafat Hegel,
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
3
“revolusi putih” yang menandai “gelombang ketiga dari
proses demokratisasi” yang menandai dimulainya masa
transisi politik.5
Pemerintahan pada masa transisi politik dari rejim
otoritarianisme menuju demokrasi harus menghadapi tantangan
besar untuk menyelesaikan segala tindakan yang dilakukan
oleh rejim terdahulunya, terutama yang berkaitan dengan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat (gross violations
of human rights) sebagai salah satu kejahatan
internasional.6 Selain itu, menurut Kaplan, proses
demokratisasi demikian cenderung memunculkan tantangan
instabilitas, ditandai antara lain dengan perang saudara,
tribalism, bahkan hingga pembantaian etnis.7
Tantangan ini tidak mudah untuk dijawab karena sistem
peradilan domestik di negara transisi tersebut tidak
Kant, dan pemikiran kritis atas teori Marx, ia mengemukakan tesis yang terkenalnya, yaitu bahwa runtuhnya Uni Soviet dan ambruknya tembok Berlin secara akurat telah menggambarkan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh dunia.
5 Huntington, op. cit.
6 Jeremy Sarkin and Erin Daly, “Too Many Questions, Too Few Answers: Reconciliation in Transnational Societies,” Columbia Human Rights Law Review (Summer 2004): 661.
7 Robert D. Kaplan, The Coming of Anarchy: Shattering Dreams of
the Post Cold War, (New York: Vintage Books, 2000).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
4
selamanya memadai dan efektif untuk menghasilkan keputusan
yang adil. Berbagai alasan dapat diberikan, mulai dari
korupsi sistematik, kurangnya sumber daya manusia yang
memadai, hingga sulitnya melepaskan diri dari kekuasaan
rejim sebelumnya yang masih memiliki pendukung atau
kekuatan politik.8 Permasalahan demikian adalah hal yang
secara umum terjadi pada negara-negara pada masa transisi
politik.9
Terlebih lagi, tantangan utama dari pemerintahan baru
sebenarnya adalah menciptakan perdamaian untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi rakyatnya.10 Proses penciptaan perdamaian
8 Jane E. Stromseth, “Pursuing Accountability For Atrocities
After Conflict: What Impact On Building Rule of Law?” Georgetown Journal of International Law (Winter 2007): 252.
9 Lebih lanjut lagi, lihat David Tolbert and Andrew Solomon,
“United Nations Reform and Supporting Rule Of Law in Post Conflict Society,” Harvard Human Rights Journal (Spring 2006), yang menyatakan “while post-conflict societies differ from each other in significant respects, they all encounter common problems, including addressing crimes committed during the conflict, reestablishing a functioning government, and healing residual animosities and divisions within the society. In addition to post-conflict issues, these societies must also address problems such as poverty, corruption, and the lack of a legal infrastructure--problems that confront other underdeveloped countries.”
10 Lihat Andi Widjajanto, “Kuadran Perdamaian Demokratik:
Integrasi Instalasi Demokrasi dan Trajektori Perdamaian,” Global Jurnal Politik Internasional 2 (Mei 2005): 10. Dalam kuadran yang disusun oleh penulis, penciptaan “ekonomi dan kesejahteraan” berada pada prioritas ketiga setelah “pengelolaan kekerasan” dan “kekuasaan sebagai determinan.” Setelah ketiga fase ini dilewati, proses transisi politik baru beranjak ke tahap berikutnya, yaitu penciptaan human security, Hak Asasi Manusia, dan kebebasan sipil. Penulis mengutip pernyataan Ted
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
5
tidak selamanya memiliki korelasi yang positif dengan
pencarian keadilan oleh korban-korban pelanggaran masa
lalu.11 Seringkali terjadi proses pencarian keadilan dapat
mengganggu stabilitas politik yang diperlukan dalam
pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan negara menuju
masa mendatang harus diutamakan daripada menyelesaikan
perkara pelanggaran yang terjadi di masa lalu.12
Dalam konteks demikian, tergagas suatu teori yang
dinamakan ”keadilan transisional.” Keadilan transisional
mengandung arti bahwa diperlukan suatu rumusan keadilan
yang terjadi pada masa transisi politik yang bersifat luar
biasa dan konstruktif.13 Permasalahan utama yang hendak
dijawab dalam kerangka berpikir demikian adalah bagaimana
Robert Gurr bahwa “pengingkaran terhadap HAM ipso facto dengan pengingkaran terhadap harmoni sosial dan perdamaian.”
11 Milena Sterio, “Rethinking Amnesty,” Denver Journal of International Law and Policy (Spring 2006): 373.
12 Aeyal M. Gross, “The Constitution, Reconciliation, and
Transitional Justice: Lessons From South Africa and Israel,” Stanford Journal of International Law (Winter 2004): 47. Dikatakan, “[t]he main question in transitional justice literature is how a new government can address the atrocities and human rights violations of the previous period. The dilemma centers around the reconciliation of two needs: the need to look backward so as not to allow human rights violations to go unnoticed; and the need to look forward, enabling all sides to participate in the new peace process or the new democracy.”
13 Ruri G. Teitel, Transitional Justice, (Oxford: Oxford
University Press, 2000), hal. 3.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
6
masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi
di masa lalu, yang mencakup hal-hal berikut:14
a. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen rejim
baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkan oleh
rejim lama?
b. Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki
signifikansi transformatif?
c. Apakah (jika ada) terdapat kaitan antara
pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya
yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu
tata pemerintahan yang ideal?
d. Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah
liberalisasi?
Apabila dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat sebagai
bentuk kejahatan internasional, HAM telah menjadi pusat
dari revolusi demokratis yang telah menyentuh setiap bagian
dari dunia sejak lama.15 Sejak awal prinsip demokrasi mulai
14 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal. 36.
15 Asal-usul konsepsi HAM dapat ditelusuri hingga ke masa Yunani
dan Romawi Kuno, termasuk kaum stoisme seperti Plato dan Aristoteles.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
7
berkembang dari filsafat barat hingga kemudian menjadi
bagian integral dari konsep negara hukum (rule of law atau
dikenal pula dengan rechtstaat), perlindungan terhadap HAM
adalah elemen utama yang tidak dapat dilepaskan.16 Prinsip
HAM terus dijunjung tinggi hingga memasuki era globalisasi
yang meningkatkan kesadaran global atas pentingnya
penegakan supremasi hukum di setiap negara di dunia dan
menjadikan diseminasi nilai HAM sebagai agenda
internasional.17
Namun demikian, perkembangan HAM dalam wacana demokrasi dan kenegeraan dimulai pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Berbagai filsuf kenegaraan hingga saat ini terus dikutip setiap membicarakan pemikiran klasik mengenai negara, hukum, demokrasi, dan HAM. Mereka antara lain Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, dan Jean-Jacques Rousseau. Thomas Jefferson dalam Declaration of Independence Amerika Serikat tertanggal 4 Juli 1776 merangkai satu kalimat indah yang berbunyi, “we hold these thruths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights that among these are Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness.” Lihat Arinanto, ibid., hal. 76.
16 Lihat Marjanne Termorshuizen-Artz, “The Concept of Rule of
Law,” Jurnal Hukum Jentera 3 (November 2004): 98-100. Baik dalam konsep rule of law yang digagas oleg A.V. Dicey dalam tradisi anglo-saxon, maupun etat de droit dan rechtstaat yang bersumber dari tradisi Eropa Kontinental mengakui keberadaan HAM sebagai elemen utamanya.
17 Lihat Jareed Levinson, “Indonesia’s Odyssey: A Nation’s Long,
Perilous Journey to the Rule of Law and Democracy,” Arizona Journal of International and Comparative Law (Spring, 2001).
Lihat pula Randall Peerenboom, “Human Rights and Rule of Law: What’s The Relationship,” Goergetown Journal of International Law, (Spring 2005).
Sebagai bahan pengayaan, lihat Joel M. Ngungi, “Policing Neo-Liberal Reforms: the Rule of Law as an Enabling and Restrictive Discourse,” University of Pennsylvania Journal of International Economic Law (Fall 2005): 523.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
8
Walaupun demokratisasi berjalan dengan cepat, belum
terdapat jaminan hukum yang memadai bagi proses
penyelesaian perkara kejahatan internasional.18 Pemerintahan
baru yang demokratis seringkali merupakan pewaris dari
rejim diktator yang mempraktekan berbagai kejahatan
internasional seperti kejahatan terhadap kemanusiaan,
pemerkosaan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan berbagai
tindakan lain yang merendahkan derajat manusia yang bahkan
tidak pernah terbayangkan bahwa perbuatan kejam tersebut
sanggup dilakukan oleh manusia untuk kepentingan politik.19
Menyikapi fakta demikian, hukum internasional memiliki
peran yang sangat penting dalam proses demokratisasi
18 Tinjau pernyataan Pereenbom, Ibid. Dikatakan bahwa “Rule of
law is central to efforts to hold former leaders accountable and to establish a rights-respecting regime. However, transitional justice and nation-building create special challenges from a rule of law perspective. As we have seen in Somalia, Bosnia, East Timor, Liberia, Afghanistan, Iraq, the former Soviet Republics and now Haiti (again), regime change is the relatively easy part. The difficult task is the post-regime construction of a new state capable of good governance, implementing rule of law and democracy and respecting human rights.”
19 Sarkin and Daly, op. cit., hal. 662, mengatakan “[U]nderstanding reconciliation in times of political transition raises fundamental and ultimately unanswerable questions about the human condition. Talk of reconciliation invariably comes after there has been some gross violation of norms, including widespread disappearances, killings, torture, and rape. Reconciliation necessarily conjures its antecedents and forces us to ask how men (and sometimes women) can visit such horrors upon one another. When we look at the face of evil, are we, as many people contend, seeing ourselves, or, on the contrary, are some people capable of evil in a way that others would never approach?”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
9
ataupun pembangunan perdamaian (peace-building)20 yang
berbasiskan prinsip-prinsip HAM. Sejak berakhirnya Perang
Dunia ke II, perkembangan nilai-nilai Hak Asasi Manusia
(HAM) telah menjadi fokus yang luar biasa dari masyarakat
internasional.21 Tonggak monumental gerakan HAM
internasional (international human rights movement) adalah
Piagam PBB (UN Charter) dan Deklarasi Umum HAM PBB (DUHAM/
Universal Declaration of Human Rights). Sejak saat itu,
gerakan HAM internasional terus berevolusi menghasilkan
beragam perangkat hukum HAM internasional (international
human rights law).22
20 Menurut Galtung, fokus utama dari proses peacebuilding adalah
“the practical implementation of peaceful social change through socio-economic reconstruction and development.” Lihat Johan Galtung, ed, Peace, War, and Defense -Essay in Peace Research, (Copenhagen: Christian Ejlers, 1975) sebagaimana dikutip oleh Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution, (London: Polity Press, 1999), hal. 1987 dalam Aleksius Jemadu, “Proses Peacebuliding di Aceh: Dari MoU Helsinki menuju Undang-undang Tentang Pemerintahan Aceh,” Jurnal Hukum Internasional 4 (Juli 2006): 527-552.
21 Martin Dixon, Textbook on International Law, (London:
Blackstone Press, 1990), hal. 310. Rebecca M.M. Wallace, International Law, 2nd Edition, (London: Street & Maxwell, 1992), hal 195.
22 Perangkat hukum HAM internasional ini antara lain Convention Relating to the Status of Refugees, International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, dsb. Kemudian dapat ditambahkan dengan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Rwanda dan Yugoslavia, dan International Criminal Court Statute 1998. Martin Dixon, Ibid, hal. 312-139, Rebecca M.M. Wallace, Ibid, hal. 197-206., Henry J. Steiner
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
10
Evolusi dalam hukum HAM internasional tersebut
menyebabkan hukum internasional tidak hanya mengatur
hubungan antar-negara, namun juga mengenal
pertanggungjawaban individu yang melaksanakan kejahatan
yang dianggap sebagai kejahatan internasional.23 Semenjak
Peradilan Internasional dilaksanakan di Nurenberg dan Tokyo
untuk mengadili penjahat Perang Dunia-II, hukum pidana
internasional mengalami perkembangan yang pesat. Peran
masyarakat internasional dalam mengadili kejahatan
internasional semakin gencar antara lain dengan pembentukan
International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY) dan
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang
diprakarsai oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa.24 Selain itu, terdapat pula peradilan hibrid yang
dibentuk di Sierra Leone,25 upaya masyarakat internasional
dalam menciptakan perdamaian dan keadilan di Irak pasca
and Phillip Alston, International Human Rights in Context Law, Politics, Morals, 2nd ed, (Oxford: Oxford University Press, 2000).
23 Mark D. Kielsgard, “War On the International Criminal Court,”
New York City Law Review (Summer 2005): 10.
24 Ibid., hal. 10. 25 Ambassador Richard S. Williamson, “Transitional Justice: The
UN and The Sierra Leone Special Court,” Cardozo Public Law, Policy and Ethics Journal (December 2003): 3.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
11
serangan Amerika Serikat,26 dan yang terpenting adalah
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) sebagai forum untuk mengadili pelaku
pelanggaran HAM berat.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana menegakan
prinsip-prinsip HAM yang diakui oleh masyarakat
internasional dalam negara yang sedang mengalami masa
transisi politik? Apakah hukum internasional memiliki suatu
ketentuan khusus yang mengatur mengenai penyelesaian
perkara pelanggaran HAM berat dalam masa transisi politik?
Berbagai metode dapat diungkapkan berdasarkan praktek-
praktek empiris negara-negara di dunia. Metode yang
konvensional adalah pencarian keadilan melalui mekanisme
yudisial. Dalam hal ini, mekanisme peradilan merupakan
instrumen utama yang perlu dikaji penerapannya agar dapat
berlaku efektif. Namun demikian, Peerenboom mengatakan
bahwa penggunaan mekanisme yudisial/peradilan yang terlalu
besar dalam situasi transisi politik sebagai konsep
keadilan transisional dapat menghambat pengembangan proses
politik yang dibutuhkan untuk konsolidasi dan ketahanan
26 Anna Triponel, “Can The Iraqi Special Tribunal Further
Reconciliation in Iraq,” Cardozo Journal of International and Comparative Law (Fall 2007): 277.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
12
sistem demokrasi.27 Terlebih, demokratisasi membutuhkan
stabilitas agar mampu bertahan. Di sisi lain, pengadilan
merupakan proses “win-lose,” artinya akan ada pihak yang
menang dan pihak yang kalah, apakah itu penuntut umum atau
terdakwa. Padahal, proses rekonsiliasi menuju perdamaian
membutuhkan solusi “win-win” berupa kompromi politik,
ekonomi, dan budaya agar kepentingan setiap pihak dapat
terpenuhi.28
Dalam kondisi demikian, ketika tujuan transisi politik
bertentangan dengan penyediaan mekanisme pertanggungjawaban
atas kejahatan masa lalu, amnesti dapat dianggap sebagai
suatu jawaban. Pada satu sisi, banyak mantan penguasa rejim
atau diktator yang tidak mau meninggalkan kekuasaannya
apabila tidak ada jaminan bahwa ia dan rejimnya akan
dihadapkan dengan tuntutan pidana. Di sisi lain, kelompok
masyarakat, termasuk komunitas internasional, menginginkan
pertanggungjawaban atas tindakan masa lalu, sekaligus
27 Peerenboom, op. cit., mengatakan “the expanding role of the
courts in transitional states raises questions about the preferred form of constitutional review and whether relying too heavily on the judiciary may hinder the development of political processes needed to consolidate and sustain democracy. Courts are increasingly being called on to decide controversial issues that plunge the judiciary into the middle of political disputes.”
28 Stromseth, op. cit., hal. 251.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
13
pengunduran diri dari rejim yang berkuasa.29 Legislasi
mengenai amnesti bertujuan untuk mengatasi dilema30 ini di
berbagai negara, mulai dari Cile, Bosnia, Afrika Selatan,
hingga Bosnia dengan memberikan amnesti bagi diktator dan
segenap rejim di masa lalu, baik dari pertanggungjawaban
pidana maupun perdata.31 Dengan pemberian amnesti, suatu
negara dianggap menghapus segala masa lalunya yang kelam
dan memulai proses bernegara dengan lembaran baru yang
jernih.32
Amnesti dianggap sebagai instrumen yang tepat dalam
mempercepat dan memperlancar proses transisi politik karena
mampu memfasilitasi penyerahan diri secara damai (non-
violent surrender) dari kekuasaan para mantan diktator.
29 William W. Burke-White, “Reframing Impunity: Appling Liberal
International Law Theory to an Analysis of Amnesty Legislation,” Harvard International Law Journal (Summer 2001): 467.
30 Adapun dilema yang dimaksud dilukiskan dengan tepat oleh
Sterio, op.cit., hal. 372, yang mengatakan, “[T]he more difficult question however entails defining when - despite a country's treaty and customary obligations - amnesties and truth commissions are legal. For example, if instituting criminal prosecutions would cause a serious threat to a country's political and social stability, can a government then substitute its duty to punish human rights abuses by implementing amnesty laws and establishing truth commissions? “
31 Burke-White, op. cit., hal. 467. 32 Anita Fröhlich, “Reconciling Peace With Justice: a Cooperative
Division of Labor,” Suffolk Transnational Law Review (Summer 2007): 271.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
14
Amnesti juga dianggap mampu mengurangi kerusuhan sosial di
tingkat domestik maupun tuntutan masyarakat internasional
yang dapat berujung pada intervensi, misalnya dengan
pembentukan peradilan ad-hoc internasional.33
Namun demikian, terdapat beberapa permasalahan dalam
pemberian amnesti. Pertama, dalam beberapa negara,
legislasi tentang pemberian amnesti diberlakukan oleh
mantan diktator itu sendiri sebelum ia turun dari
kekuasaan. Pemberlakuan legislasi amnesti dilakukan untuk
memastikan bahwa dirinya tidak akan dituntut setelah ia
mundur dari kekuasaan. Kedua, amnesti juga dapat
menimbulkan konflik dengan konstitusi atau hukum nasional
dari negara tersebut. Ketiga, amnesti dianggap melanggar
kewajiban negara dalam hukum internasional untuk menuntut
pelaku beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan
internasional, selain juga kewajiban negara untuk memenuhi
hak-hak korban dari kejahatan.34
Permasalahan hukum internasional mengenai pemberian
amnesti bagi pelaku kejahatan internasional juga dialami
33 Burke-White, op. cit., hal. 467. 34 Burke-White, op. cit., hal. 467. Lihat pula Stromseth, op.
cit., hal. 251.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
15
oleh Indonesia. Indonesia sebagai negara yang mengalami
masa transisi politik dari rejim otoritarianisme Orde Baru
menuju demokratisasi Era Reformasi membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu
instrumen dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di
masa lalunya.35
Kewenangan KKR yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 27 tahun 2004 secara garis besar antara lain adalah
menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau
keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; melakukan
penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; memberikan rekomendasi kepada presiden
dalam hal permohonan amnesti; dan menyampaikan rekomendasi
kepada pemerintah dalam hal pemberian kompensasi dan/ atau
rehabilitasi.36 Perdebatan timbul ketika Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia membatalkan UU mengenai KKR dengan
35 Kajian pembentukan KKR di Indonesia, lihat Satya Arinanto,
”Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Permasalahan dan Prospek Pembentukannya di Indonesia,” (Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003). Lihat juga Usman Hamid, ”Menjajaki Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” Teropong 4 (Januari 2004).
36 Republik Indonesia, Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No. 27 tahun 2004, LN No. 114 tahun 2004, TLN No. 4425, Pasal 6.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
16
pertimbangan bahwa mekanisme pemberian amnesti dalam KKR
dianggap melanggar hukum internasional. 37
Lembaga lain yang memiliki kewenangan dalam
memberikan rekomendasi amnesti adalah Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP), suatu lembaga yang dibentuk atas
inisiatif bersama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Timor Leste. Komisi ini bertujuan untuk menentukan
kebenaran yang konklusif terhadap segala kejadian yang
berkaitan dengan jajak pendapat di Timor Timur pada 1999,
mendukung rekonsiliasi dan persahabatan di antara kedua
negara, dan mencegah perbuatan yang sama terjadi kembali.38
Rekomendasi pemberian amnesti menjadi salah satu kewenangan
yang dimiliki oleh KKP dalam mencapai tujuan tersebut.39
Sebagai suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan kesepakatan
dua negara, kewenangan pemberian rekomendasi amnesti yang
dimiliki oleh KKP juga menarik untuk dikaji dalam segi
hukum internasional.
37 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. VI/PUU-IV/2006 tentang
pengujian UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 38 Lihat “Terms of Reference for The Commission of Truth and
Friendship Established by The Republic of Indonesia and The Democratic Republic of Timor-Leste,” http://www.ctf-ri-tl.org/ctf1/index.php? option=com_content&task=view&id=61&Itemid=44 (10 Maret 2008).
39 Ibid.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
17
Kedua permasalahan tersebut sangat terkait dengan
komitmen Indonesia dalam menyelesaikan perkara kejahatan
internasional di masa lampau. Pemberian amnesti terhadap
pelaku kejahatan internasional di satu sisi dapat mendukung
proses rekonsiliasi, sementara di sisi lain dapat
menciptakan impunitas dengan dampak lebih jauh
ketidakpercayaan publik terjadap supremasi hukum. Proses
bernegara dan membangun bangsa (nation-building) memang
merupakan keniscayaan, namun akan sangat sulit tercapai
apabila negara tersebut tidak mampu menyelesaikan, atau
setidak-tidaknya menentukan sikap, atas pelanggaran HAM
berat yang terjadi pada masa lalunya. Atas dasar ini,
perumusan mengenai legalitas pemberian amnesti dalam hukum
internasional maupun penerapannya di Indonesia menjadi
salah satu pijakan utama yang perlu diperkuat guna
memperlancar proses pembangunan Indonesia di masa mendatang
tanpa menjadikan negara dan masyarakatnya seolah mengalami
“amnesia kolektif” atas segala pelanggaran HAM berat yang
terjadi di masa lalu.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
18
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan
pokok permasalahan sebagai berikut.
1. Apa ketentuan hukum internasional yang mengatur
mengenai pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan
internasional?
2. Apakah dalam hukum internasional dimungkinkan
pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan
internasional yang terjadi dalam masa transisi
politik?
3. Bagaimana penerapan hukum internasional mengenai
pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan
internasional di Indonesia pada era reformasi?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran
komprehensif dan memperluas kajian mengenai masalah
pemberian amnesti bagi pelaku kejahatan internasional dalam
hukum internasional dan pengaturannya di Indonesia.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
19
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum tersebut, dapat dirumuskan
menjadi tujuan khusus yaitu:
1. Memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai
ketentuan hukum internasional yang mengatur
mengenai pemberian amnesti terhadap pelaku
kejahatan internasional;
2. Mengkaji ketentuan hukum internasional yang
mengatur mengenai pemberian amnesti terhadap pelaku
kejahatan internasional dalam masa transisi
politik;
3. Mengkaji implikasi hukum internasional pemberian
amnesti terhadap pelaku kejahatan internasional di
Indonesia
D. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang
ingin atau akan diteliti.40 Di dalam penelitian ini,
40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI
Press, 2005), hal.132.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
20
dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai
berikut.
1. Amnesti
Pemberian maaf yang diberikan oleh pemerintah kepada
suatu kelompok atau seseorang, lazimnya karena
kejahatan politik; tindakan dari kekuasaan yang
berdaulat untuk memaafkan sekelompok orang yang
seharusnya diadili namun belum pernah diputus oleh
pengadilan.41
2. Hak Asasi Manusia
Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
41 Black’s Law Dictionary (8th ed 2004) mengatakan, “[A] pardon
extended by the government to a group or class of persons, usu. for a political offense; the act of a sovereign power officially forgiving certain classes of persons who are subject to trial but have not yet been convicted.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
21
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.42
3. Kejahatan Internasional
Kejahatan internasional merupakan kejahatan yang
paling serius dalam perhatian masyarakat internasional
secara keseluruhan berupa pelanggaran berat dari
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia sehingga dapat
dihukum berdasarkan perjanjian internasional atau
hukum kebiasaan internasional. Dalam Statuta Mahkamah
Pidana Internasional (MPI), kejahatan internasional
diidentifikasikan sebagai kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan
kejahatan agresi.43
42 Republik Indonesia, Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia,
UU Nol 39 tahun 1999, LN No. 165 tahun 1999, TLN No. 3886, Pasal 1 ayat (1).
43 Dalam Preamble Statuta MPI, dikatakan “Affirming that the most
serious crimes of concern to the international community as a whole must not go unpunished and that their effective prosecution must be ensured by taking measures at the national level and by enhancing international cooperation,” (huruf tebal dari penulis).
Sementara Pasal 5 menyatakan “The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes:
(a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes;
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
22
4. Keadilan Transisional
Konsepsi keadilan yang diasosiasikan dengan periode
perubahan politik dan memiliki karakter terkait dengan
respons hukum dalam menghadapi segala kejahatan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh rejim represif
terdahulu.44
5. Impunitas
Impunitas adalah ketidakmungkinan, secara de jure
maupun de facto, untuk membawa pelaku pelanggaran HAM
baik secara pidana, perdata, administratif, atau
sanksi disipliner karena pelaku tersebut tidak menjadi
bagian dari pemeriksaan yang dapat membuat mereka
dituduh, ditahan, diadili, atau dipidana.45
(d) The crime of aggression.”
44 Ruri G. Teitel dalam Dana Michael Hollywood, “The Search for
Post-Conflict Justice in Iraq: A Comparative Study of Transitional Justice Mechanisms and Their Applicability to Post-Saddam Iraq,” Brooklyn Journal of International Law (2007). Dinyatakan bahwa "the conception of justice associated with periods of political change, characterized by legal responses to confront the wrongdoings of repressive predecessor regimes."
45 Christopher C. Joyner, “Redressing Impunity for Human Rights
Violations: The Universal Declaration and the Search for Accountability,” 26 Denver Journal of International Law and Policy (1998): 595, dalam Sterio, op. cit., hal. 397. Dikatakan, “the impossibility, de jure or de facto, of bringing the perpetrators of
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
23
6. Transisi Politik
Peralihan atau perubahan pemerintahan yang terjadi di
berbagai negara.46
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kepustakaan. Tipologi penelitian yang
digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif,
menurut bentuknya adalah penelitian preskriptif, menurut
tujuannya ialah penelitian problem identification, menurut
penerapannya ialah penelitian berfokus masalah, dan menurut
ilmu yang dipergunakan ialah penelitian monodisipliner.
Penelitian ini dirancang menggunakan menggunakan
pendekatan yang bertujuan mempertahankan keutuhan dari
gejala yang diteliti,47 yaitu permasalahan hukum
internasional dalam pemberian amnesti. Jenis pengambilan
human rights violations to account - whether in criminal, civil, administrative or disciplinary proceedings - since they are not subject to any inquiry that might lead to them being accused, arrested, tried and if found guilty, convicted.”
46 Arinanto, op. cit., hal. 54. 47 Soerjono Soekanto, op. cit., hal.132.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
24
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
mencakup:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat. Dalam penelitian ini digunakan
peraturan perundang-undangan nasional dan perangkat
lain yang menjadi sumber hukum internasional.48
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat
kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum
primer, yang antara lain adalah teori atau pendapat
para sarjana, hasil karya dari kalangan hukum, atau
penelusuran internet.
Mengenai alat pengumpulan data, peneliti memakai studi
pustaka (studi dokumen). Metode pendekatan analisis data
48 Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional,
sumber hukum internasional adalah: 1. Konvensi internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus,
dengan menunjuk ketentuan-ketentuan yang jelas diakui oleh negara yang sedang berselisih;
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari praktek umum yang diterima sebagai hukum;
3. Prinsip-prinsip hukum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
4. Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 59, keputusan hakim dan ajaran ahli hukum yang terpandang di berbagai negara, sebagai bahan pelengkap untuk penentuan peraturan hukum.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
25
yang dipergunakan adalah metode kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif analitis. Data yang disajikan
dalam bentuk kalimat, tidak dalam bentuk data statistik.
Uraian yang dilakukan peneliti terhadap data yang terkumpul
dengan tidak menggunakan angka-angka, tetapi berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan, putusan peradilan
internasional dan nasional, pandangan para pakar termasuk
yurisprudensi yang ada. Adapun bentuk penelitian ini adalah
berbentuk penelitian deskriptif-analitis.
F. Kegunaan Teoritis dan Praktis
1. Kegunaan Teoritis
Dalam tinjauan teoretis, penelitian ini berguna untuk
memperkaya literatur ilmu hukum hak asasi manusia
internasional yang semakin berkembang, terutama yang
berkaitan dengan masalah pemberian amnesti bagi pelaku
kejahatan internasional.
2. Kegunaan Praktis
Dalam tataran praktis, penelitian ini berguna sebagai
pedoman bagi advokat, hakim, aparatur pemerintah, diplomat,
serta pembuat peraturan perundang-undangan dalam menghadapi
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
26
permasalahan yang berkaitan dengan pemberian amnesti bagi
pelaku kejahatan internasional.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab yang mana masing-
masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Bab pertama
merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang
permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan penelitian,
kerangka konsepsional, metode penelitian, kegunaan teoritis
dan praktis, serta sistematika penulisan.
Bab kedua membahas mengenai tinjauan hukum
internasional terhadap pemberian amnesti terhadap pelaku
kejahatan internasional yang mana akan dijelaskan mengenai
konsep dasar kejahatan internasional, amnesti, kewajiban
untuk melakuka penindakan atas kejahatan internasional
dalam hukum internasional, hak korban kejahatan
internasional, serta hubungan antara pemberian amnesti
dengan proses penyelesaian perkara kejahatan internasional
pada Mahkamah Pidana Internasional.
Bab ketiga memberikan penjelasan mengenai pemberian
amnesti terhadap pelaku kejahatan internasional yang
terjadi pada masa transisi politik. Dalam bab ini akan
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
27
dibahas mengenai konsep keadilan transisional, praktek
pemberian amnesti di berbagai negara, serta permasalahan
hukum internasional yang terkait dengan pemberian amnesti
bagi pelaku kejahatan internasional.
Bab keempat akan menganalisis kerangka hukum pemberian
amnesti bagi pelaku kejahatan internasional di Indonesia
ditinjau dalam perspektif hukum internasional. Bab kelima,
yang merupakan bab penutup, akan memberikan simpulan dan
rekomendasi atas penelitian yang dilakukan.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
28
BAB II
TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI
TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL
A. Tinjauan Umum Mengenai Kejahatan Internasional
Suatu kejahatan dikualifikasi sebagai kejahatan
internasional apabila dianggap oleh masyarakat
internasional sebagai perbuatan jahat.49 Black memberikan
tiga persyaratan suatu kejahatan dianggap sebagai kejahatan
internasional.50 Pertama, kejahatan tersebut diatur dalam
perjanjian internasional atau termaktub dalam hukum
kebiasaan internasional, yang mana ketentuan hukum tersebut
harus dapat menimbulkan hak dan kewajiban langsung kepada
49 Lihat kembali catatan kaki nomor 43 yang membahas rumusan
dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (MPI) yang menggunakan terminologi “the most serious crime to the concern of the international community.” Untuk tinjauan historis mengenai kejahatan internasional yang tunduk pada rejim hukum pidana internasional, lihat Geoffrey Robertson, “Ending Impunity: How International Criminal Law Can Put Tyrants on Trial,” Cornell International Law Journal (Fall 2005): 655.
50 Black’s Law Dictionary (8th ed, 2004), op. cit. Kata kunci:
“international crime.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
29
individu tanpa melalui hukum domestik.51 Kedua, ketentuan
hukum tersebut harus dapat diterapkan berdasarkan prinsip
yurisdiksi universal. Ketiga, perjanjian internasional yang
membentuk suatu tindak kejahatan internasional tersebut
harus mengikat mayoritas negara-negara di dunia.
Pada awalnya, prinsip yurisdiksi universal terhadap
kejahatan internasional diterapkan terhadap kejahatan bajak
laut (piracy) di laut bebas karena dilakukan di wilayah
yang tidak berada di dalam kedaulatan negara mana pun. Oleh
karena itu, awal perkembangan yuridiksi universal diarahkan
untuk menghukum pelaku kejahatan yang tidak mampu dijangkau
oleh hukum domestik, bukan karena kejahatan tersebut
dianggap oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan
yang sangat serius.52 Namun dalam perkembangannya, beberapa
51 Pertanggungjawaban individu dalam hukum internasional
berkembang pesat pasca Pengadilan Militer Internasional Nuremberg. Bahkan dalam Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional, para pemimpin, organisator, instigator, dan pembantu yang berpartisipasi untuk merencanakan atau berkonspirasi untuk melakukan kejahatan tersebut di atas, bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing orang yang melaksanakan. Lihat Mark D. Kielsgard, “War on the International Criminal Court,” New York City Law Review (Summer 2005): 1-5.
52 Geoffrey Robertson, Crimes Against Humanity: The Struggle for
Global Justice, (London: Penguin Group, 2006), hal. 274. Bandingkan dengan Pembukaan Statuta MPI yang jelas menggambarkan
penerapan yurisdiksi universal atas dasar perhatian bersama masyarakat internasional mengenai kejahatan yang paling serius. Dikatakan,
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
30
ahli mengungkapkan bahwa logika yang serupa dapat digunakan
untuk menerapkan yuridiksi universal ke dalam kejahatan
internasional lainnya.53 Dengan logika ini, penindakan atas
kejahatan internasional berada pada yurisdiksi universal
karena negara yang sebenarnya memiliki yurisdiksi atas
kejahatan tersebut tidak mampu atau tidak mau untuk
menuntaskan kejahatan tersebut.54
Berlandaskan atas prinsip yurisdiksi universal ini,
setiap negara sebagai satu bagian dari masyarakat
internasional memiliki kewajiban bersama, atau kewajiban
erga omnes, untuk menindak pelaku kejahatan internasional.55
Prinsip ini sudah dianut sejak lama berdasarkan kebiasaan
internasional atas dasar adanya praktik negara-negara di
dunia dan didukung oleh opinio juris.56 Kewajiban orga omnes
“the most serious crimes of concern to the international community as a whole must not go unpunished and that their effective prosecution must be ensured by taking measures at the national level and by enhancing international cooperation.” 53 Robertson, Ibid., hal. 274. 54 Lihat Pasal 17 Statuta MPI. Prinsip demikian erat kaitannya
dengan tanggung jawab komplementaris Mahkamah Pidana Internasional dan bertujuan untuk mencegah impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Penjelasan lebih lengkap, lihat James Paul Benoit, “The Evolution of Universal Jurisdiction Over War Crimes,” Naval Law Review (2006): 292.
55 Lihat Gabriel Bottini, “Universal Jurisdiction After the
Creation of The International Criminal Court,” New York University Journal of International Law and Politics (Winter-Spring 2004): 518.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
31
atas kejahatan internasional dapat dilihat dalam putusan
Mahkamah Internasional dalam Barcelona Traction Case yang
mengatakan,
”such erga omnes obligations derive, for example, in contemporary international law, from the outlawing of acts of aggression, and of genocide, as also from the principles and rules concerning basic rights of the human persons, including protection from slavery and racial discrimination.”57
Beberapa ahli berpendapat bahwa kewajiban erga omnes
demikian timbul karena kejahatan internasional mengandung
karakter jus cogens,58 didefinisikan dalam Pasal 53 Konvensi
Wina mengenai Perjanjian Internasional sebagai ”accepted
and recognized by the international community of States as
a whole from which no derogation is permitted.”59 Namun
56 Opinio juris merupakan suatu konsep hukum yang penting dalam
menentukan keberadaan hukum kebiasaan internasional. Opinio juris berarti adanya kebutuhan (necessity) dari negara-negara untuk menjadikan praktek negara-negara tersebut menjadi suatu hukum yang mana setiap negara wajib untuk mematuhinya. Lihat Nicaragua Case, (Military and Paramilitary Activities In and Against Nicaragua) (Nicaragua v. the United States) Case (Merits) ICJ Rep. 1986, hal. 1 dalam Wallace, op. cit., hal. 16.
57 Barcelona Traction Case (1970), ICJ Reports 3, hal. 32. 58 Robertson, op. cit., hal. 95 dan hal. 266. Dalam literatur
ini, dijelaskan beberapa putusan pengadilan yang menyatakan pelanggaran HAM berat sebagai pelanggaran terhadap norma jus cogens, termasuk di dalam perkara Augusto Pinochet yang disidangkan di Inggris.
59 United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties,
Pasal 5.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
32
demikian, pendapat ini masih menimbulkan banyak perdebatan
karena tidak semua kejahatan internasional dapat
dikategorikan mengandung karakter jus cogens.60 Menurut
Bassiouni, suatu kejahatan internasional yang mengandung
karakter jus cogens memberikan implikasi bahwa terdapat
kewajiban untuk menuntut atau mengekstradisi kejahatan
tersebut, tidak dimungkinkan diadakan pembatasan, dan
berlakunya prinsip yurisdiksi universal terlepas dari
lokasi kejahatan, pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan
konteks terjadinya kejahatan (pada masa damai ataupun
perang).61
Perkembangan mengenai bentuk kejahatan internasional
saat ini sendiri sangat pesat. Pada awalnya, Prinsip
Nuremberg memberikan pedoman mengenai kejahatan
internasional, yaitu terdiri dari kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.62 Sementara saat ini, yang dianggap sebagai
kejahatan internasional adalah kejahatan bajak laut dan
60 Bottini, op. cit., hal. 158. 61 M. Cherif Bassiouni (a), Introduction to International
Criminal Law, (2003), hal. 167. 62 Mengenai sejarah macam kejahatan ini, lihat juga Benoit, op.
cit., hal. 271.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
33
empat jenis kejahatan yang tercantum dalam Statuta
pendirian Mahkamah Pidana Internasional (MPI), yaitu
genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan
kejahatan melancarkan perang agresi (the crime of
aggression).63
B. Sejarah Pemberian Amnesti
Berdasarkan prinsip kedaulatan, setiap negara memiliki
kekuasaan untuk memberikan pengampunan (pardon) terhadap
63 Dalam literatur hukum internasional dikenal juga istilah
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat (gross violation of human rights). Dalam Maastricht Seminar on the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms tahun 1992, disimpulkan bahwa,
"The notion of gross violations of human rights and fundamental freedoms includes at least the following practices: genocide, slavery and slavery-like practices, summary or arbitrary executions, torture, disappearances, arbitrary and prolonged detention, and systematic discrimination" Lihat Stanislav Chernichenko, Definition of Gross and Large Scale
Violations of Human Rights as an International Crime, United Nations Economic and Social Council Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities E/CN.4/Sub.2/1993/10, 8 Juni 1999
http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/TestFrame/fbfa353eea4c65d802567620054f3d0?Opendocument)(2 Maret 2008).
Selanjutnya, Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 827 tahun 1993 yang membentuk International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), dikatakan bahwa bentuk pelanggaran HAM berat adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, secara yuridis dua kejahatan ini lah yang dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM berat.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
34
siapapun yang melanggar hukum domestiknya.64 Pengampunan
yang diberikan terhadap keseluruhan anggota dari satu kelas
tertentu disebut juga dengan amnesti. Amnesti telah
digunakan sejak lama, baik atas dasar kasih (memaafkan
mereka yang telah menjalani hukuman atas kejahatan yang
dilakukan), politik (untuk mengakhiri suatu perang atau
pemberontakan), yuridis (untuk merehabilitasi terpidana
yang ternyata tidak bersalah), dan bahkan seremonial
(misalnya dalam rangka peringatan hari kenegaraan).65
Sejarah amnesti pertama dikenal dalam tradisi common
law, yakni ketika Inggris membentuk suatu mekanisme
pengampunan bagi pelaku kejahatan yang berperan sebagai
”informan” untuk kepentingan pemerintah. Pengampunan dapat
dibatalkan kemudian apabila terbukti terdapat pemalsuan
informasi, tidak dibukanya semua informasi yang diperlukan,
atau kegagalan untuk memenuhi persyaratan yang diberikan
oleh pemerintah.66 Dalam praktek awal ini, amnesti
dimaksudkan untuk membersihkan seseorang dari catatan
64 Prinsip kedaulatan dari negara-bangsa (nation-state) merupakan
landasan utama dalam perkembangan hukum internasional. Wallace, op. cit., hal. 4.
65 Robertson, op. cit., hal. 297. 66 Robertson, op. cit., hal. 298.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
35
kejahatan. Amnesti membuat seseorang seolah-oleh menjadi
”orang baru,” meskipun tidak menghapuskan status bahwa
orang tersebut pernah melakukan kejahatan.67
Legislasi amnesti sejak awal sejarahnya selalu identik
dengan situasi masa konflik. Salah satu legislasi amnesti
terpenting adalah pada tahun 1660 dalam masa perang sipil
di Inggris, ketika parlemen Inggris dan Raja Charles II
mengeluarkan legislasi untuk mengampuni pendukungnya,
sementara pihak oposisi yang kalah dalam perang saudara
tersebut diadili dan dihukum.68 Dalam tradisi common law
pula, Presiden Abraham Lincoln pada masa perang saudara di
Amerika Serikat (AS) mengeluarkan legislasi amnesti, yang
kemudian didukung oleh Mahkamah Agung AS, untuk menarik
kaum konfederasi membelot ke sisinya.69
Sejarah pemberian amnesti juga kerap diasosiasikan
dengan intervensi politik terhadap proses hukum untuk
67 Amnesti dikatakan “to clear the person from all infamy… it
makes him, as it were, a new man although it did not create the legal fiction that the beneficiary never committed the crime in the first place.” Robertson, op. cit., hal. 297.
68 “Charles II, 1660: An Act of Free and Generall Pardon
Indempnity and Oblivion,” Statutes of the Realm: volume 5: 1628-80 (1819), hal. 226-234. http://www.british-history.ac.uk/report.aspx? compid=47259 (16 Maret 2008).
69 Lihat “Confederate Amnesty,” http://www.sonofthesouth.net/
leefoundation/civil-war/1865/May/confederate-amnesty.htm (16 Maret 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
36
kepentingan golongan tertentu saja. Atas nama kepentingan
publik, amnesti dapat disalahgunakan misalnya untuk
digunakan sendiri oleh pelaku kejahatan itu sendiri dalam
membebaskan dirinya.
Menurut Robertson, putusan Privy Council70 dalam kasus
Attorney-General of Trinidad and Tobago v. Lennox Phillips
memberikan dasar pemahaman mengenai amnesti di masa modern
terutama dalam kaitannya dengan penyalahgunaannya.
Berdasarkan putusan ini, amnesti dapat diberikan terhadap
kejahatan masa lalu, namun tidak dapat digunakan untuk
terbebas dari hukuman atas kejahatan yang belum dilakukan
di masa mendatang.71 Hal ini untuk menghindari pemberian
atas amnesti untuk menyingkirkan aturan hukum yang berlaku
70 Privy council merupakan lembaga peradilan tingkat akhir yang
berkedudukan di Inggris Raya bagi negara-negara persemakmuran. Oleh karena itu, meskipun merupakan peradilan domestik, privy council mengadili kasus-kasus di negara lain. Pasal 38 Statuta MI tidak melarang putusan peradilan domestik sebagai sumber hukum internasional sepanjang kekuatan dan kualitasnya diakui masyarakat internasional. Wallace, op. cit., hal. 27.
71 Dalam perkara ini, teroris menuntut diberikan amnesti dengan
melakukan penyanderaan. Ketika amnesti disepakati, sandera tidak segera disepakati. Akibatnya, para penyandera tetap diadili dan dihukum dengan alasan periode setelah amnesti disepakati, para penyadera tetap melakukan kejahatan dengan tidak melepas para sandera. Pelaku diadili atas perbuatan yang dilakukan pada periode tersebut. A-G of Trinidad v. Lennox Lewis (No. 2) (1995), I AC 396, dalam Robertson, op. cit., hal. 299.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
37
sehingga menciptakan impunitas.72 Dalam putusan ini,
dikatakan pula bahwa amnesti harus dibatalkan apabila
diberikan dalam keadaan tertekan (duress). Namun demikian,
keadaan tertekan ini tidak tercipta apabila pemberi amnesti
(kepala negara) masih memiliki pilihan dalam
mempertimbangkan baik-buruknya amnesti yang akan ia
berikan.73
Selain itu, pemberian amnesti terhadap pelaku
kejahatan baru berlaku apabila pelaku segera menyerah
segera setelah amnesti diberikan (”either promptly or as
soon as practicable”).74 Pertimbangan-pertimbangan yang
diberikan dalam putusan ini dikatakan sebagai dasar konsep
amnesti modern dalam tradisi common law: bahwa amnesti
72 Dikatakan, “The state cannot be allowed to use a power to pardon to enable the law to be set aside by permitting it to be contravened with impunity” dalam Robertson, op. cit., 299.
73 Dalam kasus Attorney General of Trinidad and Tobago v. Lennox
Lewis, situasi dimulai ketika sekelompok terroris menyandera Perdana Menteri Trinidad and Tobago dan mengancam akan membunuhnya apabila mereka tidak diberikan amnesti atas teror yang mereka lakukan. Amnesti pun diberikan, namun mereka tetap menyandera sang Perdana Menteri untuk beberapa hari ke depan. Privy Council memutus bahwa amnesti tidak diberikan di bawah tekanan, meskipun terdapat sandera, karena Kepala Negara masih memiliki pilihan untuk tidak memberikan amnesti tersebut. Namun, pemberian amnesti itu dibatalkan atas landasan bahwa ketika amnesti diberikan, para teroris tidak segera melepaskan sandera. Akibatnya, amnesti tidak diberlakukan atas kejahatan yang dilakukan setelah pemberian amnesti tersebut. A-G of Trinidad v. Lennox Lewis (No. 2) (1995), I AC 396, dalam Robertson, op. cit., hal. 299..
74 A-G of Trinidad v. Lennox Lewis (No. 2) (1995), I AC 396, dalam Robertson, op. cit., hal. 299.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
38
mengandung unsur kompromistis untuk mengatasi keterbatasan
dalam proses hukum yang normal, misalnya tanggung jawab
moral untuk menyelamatkan nyawa yang banyak apabila amnesti
diberikan.
Konsep pemberian amnesti dalam kasus di atas memang
disusun berdasarkan atas latar belakang terjadinya
penyanderaan terhadap petinggi negara dan amnesti yang
diberikan merupakan suatu wujud tekanan dari penyandera.
Namun logika hukum yang digunakan dalam pertimbangannya
dapat pula digunakan untuk menganalisis mekanisme pemberian
amnesti yang terjadi pada masa transisi politik.
C. Kewajiban Negara Melakukan Penindakan atas Pelaku
Kejahatan Internasional
Legalitas pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan
internasional kerap dipertentangkan dengan kewajiban negara
dalam melakukan penyidikan (investigation) dan penuntutan
(prosecution) terhadap kejahatan internasional. Hukum
internasional memang tidak secara eksplisit membebankan
kewajiban tersebut, namun tercantum dalam beberapa
ketentuan. Kewajiban ini dapat pula dikaitkan dengan
penerapan yurisdiksi universal terhadap kejahatan
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
39
internasional. Dengan demikian, setiap negara wajib
melakukan menindak pelaku kejahatan internasional.75
Beberapa ketentuan dalam perjanjian internasional
dapat menjadi landasan untuk melarang pemberian amnesti
terhadap pelaku kejahatan internasional. Amnesti sebagai
salah satu bentuk tindakan domestik tidak dapat dijadikan
alasan untuk melanggar kewajiban negara dalam perjanjian
internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Vienna
Convention on the Law of Treaties, dikatakan bahwa, “a
party may not invoke the provisions of its internal law as
justification for failure to perform a treaty."76 Pemberian
amnesti terhadap pelaku kejahatan internasional, dengan
demikian, merupakan bentuk pelanggaran atas kewajiban
negara.77
Menurut Fröhlich, perjanjian internasional memberikan
kewajiban negara untuk melakukan penindakah terhadap pelaku
pelanggaran HAM berat melalui tiga mekanisme. Pertama,
kewajiban tersebut tercantum dalam traktat. Kedua,
75 Robertson, op. cit., hal. 288. 76 United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties,
Pasal 53. 77 "Thus, an amnesty law or an exercise of prosecutorial
discretion that is valid under domestic law may nonetheless breach a state's international obligations." Sterio, op. cit., hal. 387.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
40
penafsiran terhadap traktat hak asasi manusia umum
menyatakan implisit bahwa tidak dilakukaannya penyidikan
atau penuntutan pelaku pelanggaran HAM berarti kegagalan
dalam memastikan (ensure) dan menghormati (respect) hak
atas integritas fisik seseorang. Ketiga, kewajiban demikian
tercantum secara implisit dalam hak untuk mendapatkan
pemulihan (right to remedy).78 Berdasarkan pendapat ini,
berikut diberikan beberapa ketentuan dalam traktat
internasional yang memuat kewajiban negara untuk melakukan
penindakan terhadap pelaku kejahatan internasional.
1. Geneva Convention 1949 (Konvensi Jenewa 1949)
Empat Konvensi Jenewa 1949 dimaksudkan untuk
mengkodifikasi ketentuan mengenai perlakuan terhadap
tawanan perang (prisoners of war) dan penduduk sipil dalam
wilayah okupasi.79 Setiap Konvensi memberikan penjelasan
78 Fröhlich, op. cit., hal. 280. 79 Keempat Konvensi tersebut adalah: (I) Geneva Convention For the Amelioration of the Condition of
the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field; Aug. 12, 1949.
(II) Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, Aug. 12, 1949;
(III) Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War, Aug. 12, 1949;
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
41
mengenai “pelanggaran berat” (grave breach) yang
dikategorikan sebagai kejahatan internasional.
Termasuk dalam pelanggaran berat tersebut adalah
pembunuhan dengan sengaja (willful killing), penyiksaan,
perlakuan tidak manusiawi, dan penahanan warga sipil yang
bertentangan dengan hukum.80 Negara peserta memiliki
kewajiban absolut untuk menuntut dan menghukum pihak yang
bertanggung jawab terhadap pelanggaran Konvensi, kecuali
mereka memilih untuk mengekstradisi pelaku kejahatan
tersebut ke negara lain.81 Sebagaimana digarisbawahi oleh
Sterio, "state parties can under no circumstances grant
perpetrators immunity or amnesty..."82 Permasalahannya,
terdapat ketentuan dalam Pasal 6 ayat (5) Protocol II
Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949 yang
mengatur mengenai pemberian amnesti bagi konflik bersenjata
(IV) Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian
Persons in Time of War, Aug. 12, 1949; 80 Lihat Pasal 50 Konvensi Jenewa (I), Pasal 51 Konvensi Jenewa
(II), Pasal 130 Konvensi Jenewa (III), dan Pasal 147 Konvensi Jenewa (IV).
81 Keempat Konvensi tersebut mengatur secara tegas mengenai
pelarangan pemberian amnesti, yang mana dalam satu pasal setelah pasal yang mengatur mengenai pelanggaran beratk dikatakan bahwa “No High Contracting Party shall be allowed to absolve itself or any other High Contracting Party of any liability incurred by itself or by another High Contracting Party in respect of breaches referred to in the preceding Article.”
82 Sterio, op. cit., hal. 387.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
42
non-internasional.83 Namun demikian, pasal ini dianggap
tidak dapat diterapkan terhadap pelanggaran berat karena
sudah dikategorikan sebagai kejahatan internasional.
2. Genocide Convention (Konvensi Genosida)
Konvensi Genosida diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
9 Desember 1948 dan berlaku (entered into force) pada tahun
1951.84 Konvensi ini memberikan landasan hukum untuk
menyatakan bahwa genosida merupakan kejahatan
internasional,85 dan selanjutnya membebankan kewajiban
83 Dikatakan, “At the end of hostilities, the authorities in
power shall endeavour to grant the broadest possible amnesty to persons who have participated in the armed conflict, or those deprived of their liberty for reasons related to the armed conflict, whether they are interned or detained.“ Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 1977, entered into force Dec.7, 1978.
84 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide, Dec. 9, 1948, 102 Stat. 3045, 78 U.N.T.S. 277 [Selanjutnya disebut Konvensi Genosida].
85 Dalam Pasal I Konvensi Genosida dikatakan bahwa, “genocide,
whether committed in time of peace or time of war, is a crime under international law.”
Konsep ini diperkuat oleh Mahkamah Internasional dalam Reservations to the Convention on Genocide Case (Reservations to the Convention of the Prevention and Punsihment of the crime of Genocide, Advisory Opinion, ICJ Reports 1951.), bahwa,
“The origins of the Convention show that it was the intention of the UN to condemn and punish genocide as “a crime under international law”… involving a denial of righ of existence of entire human groups, a denial which shocks the conscience of
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
43
absolut dari negara peserta untuk menuntut pelaku
genosida.86 Karena Konvensi ini tidak membentuk suatu
peradilan untuk penuntutan tersebut, dalam ketentuan juga
dinyatakan bahwa proses peradilan dilakukan oleh ‘competent
tribunal of the State in the territory of which the act was
committed.’87 Konvensi Genosida juga memberikan yurisdiksi
universal untuk melakukan menuntutan terhadap pelakunya dan
tidak dimungkinkan adanya derogasi dari ketentuan-ketentuan
substantif.88
mandking and results in great losses to humanity, and which is contrary to moral law and to the spirit and aims of the UN.” 86 “Contracting states agree that 'persons committing genocide
... shall be punished, whether they are constitutionally responsible rulers, public officials or private individuals.” Pasal 4 Konvensi Genosida.
87 Pasal 6 Konvensi Genosida. Pemberlakuan yurisdiksi universal
terhadap genosida sudah diterapkan dalam Eichmann Case yang diadili di pengadilan Israel dan Demjanjuk Case di pengadilan Amerika Serikat.
88 Sterio, op. cit., hal. 388. Dalam Konvensi Genosida, negara
peserta diwajibkan untuk: memberlakukan legislasi yang melarang genosida, baik untuk menghukum pelakunya, mengekstradisi ke negara lain, atau diadili dalam peradilan pidana internasional yang memiliki yurisdiksi.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
44
3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (“Konvensi Anti
Penyiksaan”)
Konvensi Anti Penyiksaan berlaku (entered into force)
pada 1987.89 Konvensi ini mewajibkan negara untuk menetapkan
penyiksaan sebagai kejahatan dalam hukum domestik,
menyediakan yurisdiksi untuk menindak pelaku penyiksaan,
menyediakan mekanisme ekstradisi bagi pelaku kejahatan, dan
melaksanakan proses peradilan di lembaga yang berwenang.90
Dalam Pasal 4 Konvensi Anti Penyiksaan, dikatakan bahwa,
"1. Each State Party shall ensure that all acts of torture are offences under its criminal law . . . . Each State Party shall make these offences punishable by appropriate penalties which take into account their grave nature."
Dalam Konvensi Penyiksaan, dikenal suatu formula “aut
dedere aut judicare” yang berarti suatu negara dapat
mengekstradisi tersangka penyiksaan atau menuntutnya sesuai
89 Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, Dec. 10, 1984, S. Treaty Doc. No. 100-20 (1988), 1465 U.N.T.S. 85 (entered into force June 26, 1987) [selanjutnya disebut “Konvensi Anti Penyiksaan”].
90 Lihat Pasal 2, 4, 5, dan 7 Konvensi Anti Penyiksaan.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
45
dengan hukum domestik.91 Ketentuan tersebut memberikan
kewajiban dan pertanggungjawaban yang tegas bagi pelaku
penyiksaan.92 Konvensi ini juga tidak memberikan pasal
derogasi sehingga dengan demikian pemberian amnesti yang
memberikan kekebalan penuntutan bagi pelaku penuntutan
adalah dilarang.93 Dalam forum ICTY, penyiksaan juga sudah
dianggap sebagai kejahatan dengan karakteristik jus cogens
sehingga tidak dapat diberikan amnesti. Dikatakan bahwa,
“It would be senseless to argue, on the one hand, that on account of the jus cogens value of the prohibition against torture, treaty or customary rules providing torture would be null and void ab initio, and then be undmindful of a state say, taking national measures authorizing or condoning torture or resolving its perpetrators through an amnesty law. If such situation were to arise, the national measures, violating the general principle and any relevant treaty provision, would produce the legal effects discussed above and would not be accorded international legal recoginition… What is even more important is that perpetrators of torture acting upon of benefiting from
91 Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan. 92 Bottini, op. cit., hal. 516. Lihat juga Burke-White, op. cit.,
hal. 478. 93 Menurut pembuat Konvensi, '[i]n applying article 4
[requirement to make torture punishable by severe penalties 'which take into account their grave nature'] it seems reasonable to require, however, that the punishment for torture should be close to the penalties applied to the most serious offenses under the domestic legal system.' J. Herman Burgers & Hans Danelius, The United Nations Convention Against Torture: A Handbook on the Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 129 (1988) dalam Sterio, op. cit., hal. 389.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
46
these national measures may nevertheless be held criminally responsible for torture, whether in a foreign state, or in their own state under a subsequent regime.”94
Ketentuan dalam Konvensi Anti Penyiksaan dipertegas
oleh The Committee Against Torture, lembaga yang dibentuk
dalam Konvensi ini untuk mengawasi penaatan tiap negara
terhadap Konvensi.95 Dalam kasus yang dibawa oleh keluarga
tiga warga Argentina yang dibunuh oleh militer, dinyatakan
bahwa pemberian amnesti terhadap aparat negara pelaku
penyiksaan tersebut bertentangan dengan tujuan dan semangat
Konvensi. Dengan melakukan pemberian amnesti tersebut,
Argentina telah melanggar kewajibannya dalam perjanjian
internasional.96 Komite mendasari laporannya bahwa terdapat
kewajiban dalam hukum internasional untuk menuntut pelaku
penyiksaan.97
94 Prosecutor v. Anto Furundzija, Case No. IT-95-17/1-T,
Judgement, 10 Dec. 1998. 95 Committe Against Torture, Report of the Committee Against
Torture, Annex V U.N. Doc. A/45/44 (23 November 1989) dalam Annex V: Decisions of the Committee Against Torture under article 22 of the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment concerning Communications Nos. 1/1988, 2/1988 and 3/1988, at 111, U.N. Doc. A/45/44 (1990) Sterio, op. cit., hal. 389.
96 Fröhlich, op. cit., hal. 280.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
47
4. International Covenant for Civil and Political Rights
Berbagai perjanjian internasional sebagaimana
dijelaskan di atas membebankan kewajiban kepada negara
untuk menyidik dan menuntut pelaku pelaku kejahatan
internasional. Negara hanya dapat bebas dari kewajibannya
tersebut apabila memenuhi pengecualian yang diakui oleh
konvensi-konvensi HAM seperti International Covenant for
Civil and Political Rights (ICCPR). ICCPR memuat pasal-
pasal yang memperbolehkan pengenyampingan beberapa hak
asasi manusia dalam situasi tertentu. Salah satunya adalah
keadaan darurat umum (“public emergency”) sebagaimana
tercantum dalam Pasal 4:
“In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officialy proclaimed, the State Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigiences of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their obligations under international law.”98
97 Committe Against Torture, dalam Sterio op. cit, hal. 389.
Dalam diktum, dinyatakan bahwa "there existed a general rule of international law which should oblige all states to take effective measures to prevent torture and to punish acts of torture.”
98 United Nations, International Covenant on Civil and Political
Rights, Dec. 16, 1966, entered into force March, 23. 1976.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
48
Permasalahan hukum timbul bahwa ketentuan tersebut
berlaku bagi semua pelanggaran HAM. Sementara itu,
kejahatan internasional adalah suatu bentuk pelanggaran HAM
berat yang berbeda dengan pelanggaran HAM biasa.99 Apakah
ketentuan tersebut dapat berlaku untuk menyampingkan
kewajiban bagi pelaku kejahatan internasional?
Hal ini ditambah dengan substansi pasal tersebut yang
menyatakan bahwa pengecualian dapat dilakukan sepanjang
konsisten dengan kewajiban lain dalam hukum
internasional.100 Instrumen internasional seperti Konvensi
Penyiksaan secara khusus melarang penyimpangan pasal-pasal
Konvensi di bawah situasi apa pun.101 Dengan menggunakan
konstruksi demikian, ketentuan keadaan darurat umum
99 Lihat perbedaannya dalam Chernichenko, loc. cit. 100 United Nations, International Covenant on Civil and Political
Rights, Pasal 4. 101 Robertson, op. cit., hal. 289 mencoba mengaitkan hal ini
dengan Pasal 2 ayat (3) a ICCPR. Dalam Pasal tersebut, dinyatakan bahwa, “Each State Party to the present Covenant undertakes … To ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity;” Pasal ini sangat terkait dengan kejahatan seperti penyiksaan dan genosida yang dilakukan oleh aparat negara. Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh Human Rights Commission (HRC)bahwa Pasal 2 ayat (3) tidak memberikan hak bagi individu untuk memaksa negara melakukan penuntutan, namun memberikan negara kewajiban untuk menyidik tersangka yang diduga kuat melakukan pelanggaran HAM.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
49
seharusnya tidak menyampingkan kewajiban negara untuk
menyidik dan menuntut pelaku kejahatan internasional.
Kemudian, dapat dikatakan bahwa ketentuan dalam ICCPR
secara implisit melarang pemberian amnesti. Pasal 2 ayat
(3) ICCPR memberikan tiga kewajiban bagi negara peserta:
menjamin (ensure) bahwa orang yang haknya dilanggar
mendapat pemulihan efektif, menjamin bahwa pemulihan
tersebut ditentukan oleh lembaga yudisial, administratif,
dan legislatif yang berkompeten, dan menjamin bahwa lembaga
demikian dapat menegakan pemulihan yang sudah diputuskan.102
Ketentuan ini mengatur hal yang sangat luas karena tidak
hanya mengatur kejahatan internasional dan mekanisme
pemulihan dalam konteks hukum pidana saja.103
Namun demikian, dalam Laporan Human Rights Committee,
suatu lembaga yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan
ICCPR, kewajiban negara untuk menjamin (ensure) HAM tidak
termasuk pemberian amnesti.104 Dalam laporan Komite terhadap
102 United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights, Pasal 2 ayat (3).
103 Sterio, op. cit., hal. 389. 104 Sterio, op, cit., hal. 390.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
50
negara Zaire,105 Suriname,106 dan Uruguay,107 diharapkan agar
negara tersebut melakukan penindakan terhadap pelaku
kejahatan internasional. Pada akhirnya, dalam Komentar Umum
(General Comment) Komite, dinyatakan bahwa pemberian
amnesti terhadap penyiksaan secara umum bertentangan dengan
kewajiban negara untuk menyidik tindakan tersebut; untuk
menjamin bahwa yurisdiksi negara bebas dari penyiksaan; dan
untuk menjamin bahwa tindakan serupa tidak boleh terjadi
lagi di masa depan.108
105 Human Rights Committee menyatakan bahwa Zaire “under a duty to
... punish those found guilty of torture and to take steps to ensure that similar violations do not occur in the future.” Report of the Human Rights Committee, U.N. GAOR, 39th Session, Supp. No. 40, Annex XIII, 13, U.N. Doc.A/39/40 (1984), dalam Sterio, op. cit., hal. 389.
106 Pemerintah Suriname didorong “to bring to justice any persons
found to be responsible.” Report of the Human Rights Committee, U.N. GAOR, 40th Sess., Supp. No. 40, Annex X, 16, U.N. Doc. A/40/40 (1985), dalam Sterio, op. cit., hal. 389.
107 “The government of Uruguay should take immediate and effective
steps ... to bring to justice any persons found to be responsible.” Lihat Report of the Human Rights Committee, U.N. GAOR, 38th Sess., Supp. No. 40, Annex XXII, 16, U.N. Doc. A/38/40 (1983), dalam Sterio, op. cit., hal. 389.
108 Amnetsi terhadap pelaku penyiksaan dikatakan "are generally
incompatible with the duty of State to investigate such acts; to guarantee freedom from such acts within their jurisdiction; and to ensure that they do not occur in the future." Human Rights Committee, General Comment No. 20 (44) (article 7), para. 15, U.N. Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.3 (1992).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
51
5. Hukum Kebiasaan Internasional
Selain perjanjian internasional di atas, kewajiban
negara untuk menindak pelaku kejahatan internasional dapat
bersumber dari hukum kebiasaan internasional.109 Instrumen
internasional yang telah diterima secara luas dapat
membantu penciptaan hukum kebiasaan internasional karena
mencerminkan praktek negara-negara di dunia.110 Mahkamah
Internasional (MI) telah mengakui bahwa perjanjian
internasional dapat menciptakan kewajiban yang mengikat
bagi negara non-anggota apabila telah mencerminkan hukum
kebiasaan internasional.111
Salah satu contohnya adalah kebiasaan internasional
yang memberikan yurisdiksi universal terhadap genosida. MI
dalam Advisory Opinion telah menyatakan bahwa prinsip-
prinsip yang mendasari Konvensi Genosida “telah diakui oleh
negara-negara beradab sebagai mengikat semua negara, bahkan
109 Lihat catatan kaki nomor 56 mengenai hukum kebiasaan
internasional.
110 North Sea Continental Shelf Cases (1969), ICJ Reports. 111 Ibid.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
52
tanpa kewajiban Konvensi.”112 Dengan demikian, ketentuan
dalam Konvensi Genosida merupakan hukum kebiasaan
internasional yang mengikat semua negara sehingga semua
negara diharuskan untuk menghukum orang-orang yang
melakukan genosida dalam yurisdiksi territorial mereka.113
6. Dokumen-Dokumen Lain
Selain perjanjian internasional dan hukum perjanjian
internasional, terdapat beberapa dokumen yang mewajiban
penindakan terhadap pelaku kejahatan internasional.
Meskipun tidak mengikat sebagai sumber hukum internasional,
dokumen demikian merefleksikan kepedulian masyarakat
internasional atas pelanggaran HAM yang terjadi berikut
dengan mekanisme pertanggungjawaban pelakunya. Dokumen
demikian pun pada dasarnya memberikan kesimpulan yang
seragam: bahwa penyidikan dan penuntutan perlu dilakukan,
pemberian amnesti secara penuh harus dilarang, dan
kompensasi bagi korban perlu diberikan.114
112 Reservations to the Convention of the Prevention and
Punsihment of the crime of Genocide, Advisory Opinion, ICJ Reports 1951.
113 Ibid.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
53
Pada tahun 1967, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
resolusi untuk mendorong negara tidak memberikan suaka dan
amnesti bagi tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan, dan
bagi mereka yang pergi ke pengasingan harus diekstradisi ke
negaranya kembali.115 Majelis Umum PBB pada tahun 1973
mengadopsi Principles of International Co-operation in the
Detection, Arrest, Extradition, and Punishment of Persons
Gulity of War Crimes and Crimes Against Humanity, yang mana
dalam Prinsip I menyatakan bahwa pelaku kejahatan terhadap
kemanusiaan wajib disidik, dituntut, dan diadili.116 Pada
tahun 1989, laporan UN Human Rights Commission menyimpulkan
bahwa reparasi terhadap pelanggaran HAM berat yang
tergolong kejahatan internasional meliputi pula kewajiban
untuk menuntut dan menghukum pelakunya.117 PBB pada tahun
1992 kemudian mengeluarkan Declaration on the Protection of
All Persons From Enforced Disappearances and the Principles
114 Sterio, op. cit., hal. 389. 115 UN Doc. A/6716 (1967) dalam Sterio, op, cit., hal. 390. 116 Lihat dalam Robertson, op. cit., hal. 291. 117 Lihat “Study Concerning The Right to Restitution, Compensation
And Rehabilitation For Victims Of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms,” U.N. Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities, U.N. ESCOR, 45th sess., Agenda Item 4, at para. 137(5), U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1993/8. <http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/TestFrame/d54b00c78f25b5dfc1256b3e0049da83?Opendocument> (12 Maret 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
54
on the Effective Prevention and Investigation of Extra-
Legal, Arbitrary, and Summary Executions.118 Dewan Keamanan
PBB juga telah beberapa kali mengeluarkan resolusi untuk
segera mengadili pelaku kejahatan internasional dalam
beberapa kasus.119
D. Hak Korban Kejahatan Internasional dalam Hukum
Internasional dan Kaitannya dengan Pemberian Amnesti
Pemulihan bagi korban pelanggaran merupakan prinsip
hukum yang fundamental, baik dalam hukum nasional maupun
hukum kebiasaan internasional dan diterapkan di semua
sistem hukum.120 Pada awal perkembangannya, hukum
internasional hanya mewajibkan negara untuk memberlakukan
118 UN General Assembly, A/RES/47/133, Dec. 18 1992. <http://
www.un.org/documents/ga/res/47/a47r133.htm> (12 Maret 2008). 119 Sebagai contoh, Resolution 748 (1992) mengharuskan Libya untuk
menyerahkan dia warganya yang diduga melakukan pemboman atas Pan Am Flight di Inggris Raya. Sementara itu, terdapat pula Resolution 837 (1993) yang memerintahkan penahanan Mohamed Farrah Aidid, warga Somalia yang diduga membunuh 24 Pasukan Perdamaian PBB.
120 Timothy K. Kuhner, “The Status of Victims in the Enforcement
of International Criminal Law,” Oregon Review of International Law (Spring 2004): 95.
Lihat pula M. Cherif Bassiouni (b), “International Recognition of Victim’s Rights,” Human Rights Law Review (2006): 207. Dikatakan, “redress of wrongs is a fundamental legal principle that constitutes both a general principle of law and a customary rule of law recognised and applied in all legal systems… Providing remedies to victims of crimes finds its roots in the earliest societies and in many early religious traditions. Legal systems throughout history have provided different fora for the adjudication of claims…”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
55
perlindungan bagi korban pelanggaran HAM dalam hukum
domestik.121 Seiiring dengan berkembanganya pertanggung-
jawaban individu pelaku kejahatan dalam hukum
internasional, begitupula hak pemulihan bagi korban atas
kejahatan yang diatur dalam hukum internasional.122
Terlebih, sebagaimana disimpulkan oleh Fröhlich,
perlindungan bagi korban kejahatan internasional merupakan
bagian dari kewajiban negara dalam menjamin, melindungi,
menghargai, dan menegakkan HAM, yang mana termasuk di
dalamnya pula kewajiban negara untuk mencegah, menuntut,
dan menghukum pelaku kejahatan internasional.123
Perlindungan tersebut mencakup penyediaan mekanisme akses
terhadap keadilan (access to justice) bagi korban dan
fasilitasi bagi korban antara lain berupa akses,
keterbukaan, kompensasi, reparasi, dan juga “pengakuan
simbolik” dalam bentuk peradilan pidana.124 Berikut akan
dijelaskan ketentuan yang terkait dengan perlindungan
korban kejahatan internasional.
121 Lihat Pasal 2 ayat (3) ICCPR. 122 Bassiouni (b), op. cit., hal. 208. 123 Fröhlich, op. cit., hal. 280 124 Bassiouni (b), op. cit., hal. 209.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
56
1. Perlindungan Normatif dan Praktek Negara
Konvensi Den Haag tahun 1899125 dan 1907126 merupakan
perjanjian internasional yang mengkodifikasi hukum
kebiasaan internasional dalam konflik bersenjata.
Berdasarkan konvensi ini, negara yang terlibat konflik
bersenjata internasional yang menyebabkan kerugian fisik
bagi penduduk sipil atau properti sipil mewajibkan negara
tersebut memberikan kompensasi bagi negara yang
warganegaranya dirugikan.127 Begitupula konvensi yang
membebankan kewajiban negara pelanggar memberikan
kompensasi antara lain Geneva Convention Relative to the
Treatment of Prisoners of War; Geneva Convention Relative
to the Protection of Civilian Persons in Time of War, dan
Protocol I Additional to the Geneva Convention.128
125 United Nations, Convention (II) with Respect to the Laws and
Customs of War on Land berikut dengan lampirannya: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land 1899.
126 United Nations, Convention (IV) Respecting the Laws and
Customs of War on Land 1907, (1908). 127 Lihat Pasal 3 Konvensi Den Haag 1907 yang memberikan kewajiban
bagi negara untuk membayar ganti rugi dalam hal terhadap pelanggaran HAM akibat kebijakan yang dkeluarkannya.
128 Hal ini terkait dengan pelanggaran berat (grave breach)
terhadap Konvensi Geneva. Lihat catatan kaki nomor 30 tentang empat Konvensi Geneva. Selain itu Pasal I Protokol Tambahan I membebankan
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
57
Dalam perspektif HAM, Deklarasi Umum HAM telah
memberikan acuan yang tegas mengenai perlindungan korban.129
Pasal 2 ayat (3) ICCPR juga memberikan ketentuan yang rinci
mengenai korban pelanggaran HAM130 yang mana dijabarkan
lebih rinci dalam laporan Human Rights Commission.131
Ketentuan yang eksplisit juga termaktub dalam International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination 1965 (ICERD).132 Wujud perlindungan korban
negara untuk bertanggung jawab membayar kompensasi atas pelanggaran dari Konvensi.
129 Dikatakan bahwa, “everyone has the right to an effective
remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law.”
130 Pasal 2 ayat (3) ayat ICCPR memberikan kewajiban kepada negara
peserta untuk: (a) “ensure that any person whose rights or freedoms as herein
recognised are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity;
(b) ensure that any person claiming such a remedy shall have his right thereto determined by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the State, and to develop the possibilities of judicial remedy;
(c) ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when granted.”
131 Lihat Rodriquez v. Uruguay (322/88), CCPR/C/51/D/322/1988
(1994); 2 IHRR 12 (1995). Dikatakan bahwa “the State Party's failure to conduct an investigation into human rights violations constituted a considerable impediment to the pursuit of civil remedies, for example compensation, and declaring that the adoption of amnesty laws in cases of gross human rights violations to be incompatible with the obligations of states arising under Article 2(3)” dalam Bassiouni (b), op. cit., hal. 210.
132 Lihat Pasal 6 ICERD.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
58
semakin komprehensif ketika menjadi satu bagian dalam
Statuta MPI.133
Dalam prakteknya, terdapat beberapa contoh negara yang
aktif memberikan kompensasi bagi korban, misalnya Jerman
terhadap korban kejahatan Nazi dan Holocaust. Amerika
Serikat juga memberikan kompensasi bagi warga negara AS
keturunan Jepang yang dievakuasi dan direlokasi pada masa
Perang Dunia II. Sebaliknya, Jepang, meskipun memberikan
bantuan pembangunan dan moneter bagi negara yang
diserangnya, hingga kini tidak menerima tanggung jawab
moral atas kejahatan yang dilakukan di masa lalunya,
termasuk tidak pernah mengabuli gugatan dari mantan budak
perang di pengadilan domestiknya.134
Perkembangan terjadi pada tahun 2005 ketika Majelis
Umum PBB mengadopsi The Basic Principles and Guidelines on
the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross
Violations of International Human Rights Law and Serious
Violations of International Humanitarian Law (Selanjutnya
133 Lihat Statuta MPI Pasal 57, 68 ayat (3) dan 75 (partisipasi
korban dalam proses peradilan); Pasal 43 dan 68 (perlindungan saksi dan korban); Pasal 75 dan 85 (hak mendapatkan ganti kerugian dan kompensasi. Pembahasan mendalam lihat J. Alex Little, “Balancing Accountability and Victim Autonomy at the International Criminal Court,” Georgetown Journal of International Law (Winter 2007): 363
134 Bassiouni (b), op. cit., hal. 222.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
59
“Basic Principle”).135 Basic Principle tidak dimaksudkan
untuk menciptakan norma yang memberikan kewajiban baru
dalam hukum internasional, melainkan memberikan “mekanisme,
modalitas, prosedur, dan metode dalam implementasi
kewajiban hukum yang sudah ada dalam hukum HAM
internasional dan hukum humaniter internasional.”136
2. Kaitan Antara Perlindungan Korban dengan Pemberian
Amnesti
Basic Principle memberikan penjabaran mengenai tiga
hak dasar korban kejahatan internasional: hak untuk
mendapatkan akses yang setara dan efektif terhadap
keadilan; hak untuk mendapatkan pemulihan yang cukup,
efektif, dan cepat (adequate, prompt, effective); serta hak
untuk mengetahui kebenaran.137 Ketiga hak untuk sangat
berkaitan erat dengan legalitas pemberian amnesti.
135 Bassiouni (b), op. cit., hal. 246. 136 Dalam Second Consultative Meeting Report (Explanatory
Comments), hal. 26, dalam Bassiouni, op. cit., hal. 251. 137 Lihat Prinsip 11 Basic Principle.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
60
Pertama, hak untuk mendapatkan akses yang setara dan
efektif terhadap keadilan tercantum dalam prinsip 12.138
Dalam hak korban untuk mendapatkan akses terhadap keadilan,
tercakup pula kewajiban negara untuk melakukan penuntutan
terhadap pelaku kejahatan internasional sebagaimana
tercantum dalam Prinsip 4 Basic Principle.139 Hal ini karena
hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan meliputi hak
korban untuk memberikan keterangan di pengadilan dan hak
138 Prinsip 12 Basic Principle menyatakan bahwa, “A victim of a gross violation of international human rights law or a serious violation of international humanitarian law shall have equal access to an effective judicial remedy as provided for under international law… Obligations arising under international law to secure the right to access justice and fair and impartial proceedings shall be reflected in domestic laws. To that end, States should:
(a) Disseminate, through public and private mechanisms, information about all available remedies for gross violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law;
(b) Take measures to minimize the inconvenience to victims and their representatives, protect against unlawful interference with their privacy as appropriate and ensure their safety from intimidation and retaliation, as well as that of their families and witnesses, before, during, and after judicial, administrative, or other proceedings that affect the interests of victims;
(c) Provide proper assistance to victims seeking access to justice;
(d) Make available all appropriate legal, diplomatic and consular means to ensure that victims can exercise their rights to a remedy for gross violations of international human rights or serious violations of international humanitarian law.”
139 Bassiouni (b), op. cit., hal. 264.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
61
untuk mendapatkan pemulihan yang efektif. Kegagalan negara
untuk melakukan penuntutan terhadap korban kejahatan
internasional melanggar tidak hanya kewajiban negara untuk
menegakkan HAM, melainkan juga hak korban untuk mendapatkan
pemulihan.140 Dengan demikian, pemberian amnesti terhadap
pelaku kejahatan internasional menyebabkan dilanggarnya hak
korban dalam hukum internasional.
Kedua, hak korban kejahatan internasional untuk
mendapatkan pemulihan bertujuan untuk “promote justice by
redressing gross violations of international human rights
or serious violations of humanitarian law.”141 Pemulihan ini
diberikan baik kepada korban ataupun keluarganya,142
terutama melalui putusan pengadilan.143 Pemulihan dapat
berupa restitusi (pengembalian ke keadaan yang sama sebelum
kejahatan terjadi),144 kompensasi ekonomi,145 rehabilitasi
140 Bassiouni (b), op. cit., hal. 265. 141 Lihat Prinsip 15. Basic Principle.
142 Ketentuan hukum internasional yang membahas mengenai ini
antara lain adalah Pasal 9 ayat (5) ICCPR; Pasal 14 ayat (1) and 14 ayat (2) Konvensi Anti Penyiksaan; Pasal 75 ayat (1) dan 85; Statuta MPI; Rule 106, ICTY Rules of Procedure and Evidence dan Rule 106, ICTR Rules of Procedure and Evidence; Pasal 68, Konvensi Jenewa III (Tawanan Perang); Pasal 91. Protokol Tambahan I untuk Konvensi Jenewa (Tawanan Perang).
143 Prinsip 18. Basic Principle.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
62
(misalnya melalui pelayanan medis, psikologis, dan bantuan
hukum),146 dan jaminan bahwa kejadian yang sama tidak akan
terulang (non-repetisi).147 Pemulihan non-repetisi antara
lain dapat meliputi gencatan senjata, keterbukaan fakta
dari kejahatan, pencarian (jenazah) korban, atau permintaan
maaf kepada publik.148 Pemberian amnesti yang tidak diikuti
dengan hal-hal tersebut dapat dianggap bertentangan dengan
hukum internasional.
Ketiga, hak korban untuk mengetahui kebenaran, yang
sebenarnya masih merupakan bagian dari jaminan non-
repetisi. Pengungkapan kebenaran kepada publik sangat
penting bagi korban karena: (1) dapat meringankan beban
korban, (2) mempertegas status korban dalam sejarah
nasional, (3) mendorong negara untuk menyelesaikan masa
lalunya, sehingga (4) proses pembangunan di masa depan
dapat berjalan dengan lancar.149 Pengungkapan kebenaran
144 Prinsip 19 Basic Principle. 145 Prinsip 20 Basic Principle. 146 Prinsip 21 Basic Principle. 147 Prinsip 25 Basic Principle. 148 Bassiouni (b), op. cit., hal. 271.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
63
adalah keharusan yang tidak dapat disubstitusikan karena
melaluinya, dapat dilakukan pencatatan sejarah, pendidikan
publik, mendorong pemberian maaf, dan mencegah kejahatan
terulang kembali.150 Selain dapat terungkap di pengadilan
(melalui keterangan saksi dan terdakwa), kebenaran juga
dapat diungkap melalui mekanisme komisi kebenaran yang ada
berbagai negara pada masa transisi politik. Dengan
demikian, pemberian amnesti tanpa diikuti pengungkapan
kebenaran dapat dianggap bertentangan dengan hukum
internasional.
Setelah membahas mengenai hak korban kejahatan
internasional di atas, Bassiouni menyimpulkan bahwa hak
korban (termasuk ahli warisnya) adalah inherent (melekat)
dan inalienable (tidak dapat disimpangi) sehingga harus
diikuti oleh suatu mekanisme penghukuman. Hal demikian
berarti prinsip-prinsip yang tercantum dalam hak korban
tidak dapat diabaikan oleh siapapun, termasuk pemegang
kekuasaan dalam suatu negara.151 Implikasinya, impunitas,
149 Lihat Thomas M. Antkowiak, “Truth as Right and Remedy in
International Human Rights Experience,” Michigan Journal of International Law (Summer 2002): 977.
150 Ibid., hal. 996. 151 Bassiouni (a), op. cit., hal. 729.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
64
baik secara de jure maupun de facto, termasuk hak negara
untuk memberikan amnesti secara menyeluruh, tidak dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan internasional yang
mengandung karakteristik jus cogens.152
152 Secara tegas dikatakan, “states do not have the right to
provide blanket amnesty to transgressors of jus cogens international crimes, particularly leaders and senior executives.” Bassiouni (a), op. cit., hal. 729.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
65
BAB III
PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL
PADA MASA TRANSISI POLITIK
A. Keadilan Transisional Sebagai Mekanisme Pencarian
Keadilan Pada Masa Transisi Politik
1. Pengertian Umum Keadilan Transisional
Para ahli sepakat bahwa fokus keadilan transisional
adalah sikap pemerintahan pada masa transisi politik dalam
kerangka hukum (rule of law) untuk menghadapi ketidakadilan
dari pemerintahan sebelumnya, dengan tetap menjunjung
tinggi supremasi hukum dan imparsialitas.153 Salah satu
permasalahan terbesar pada masa transisi politik adalah
konflik antara perdamaian (berfokus pada pembangunan di
masa depan) dengan keadilan (dengan tujuan akhir pembalasan
153 Lihat Teitel, op. cit., Huntington, op. cit., dan Hollywood,
op. cit., hal. 63.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
66
dan efek jera dari kejahatan masa lampau).154 Sementara itu,
beberapa ahli menganggap bahwa keduanya tidak bertentangan,
karena hanya dengan membuka dan mengakui segala kesalahan
yang terjadi di masa lampau, suatu negara baru mampu untuk
membangun masa depan.155
Dalam konteks ini, keadilan transisional keluar dari
konstruksi dasar hukum pidana yang memiliki prinsip
keadilan retributif.156 Gagasan dari keadilan retributif
tidak secara serta merta sesuai dengan kondisi masyarakat
dalam transisi politik yang ingin menyelesaikan pelanggaran
HAM yang terjadi di masa lalunya karena setidaknya dua hal.
154 Hollywood, op. cit., hal. 64. Lihat pula Simon Chesterman,
“Rough Justice: Establishing the Rule of Law in Post-Conflict Territories,” Ohio State Journal on Dispute Resolution (2005): 71.
155 Lihat laporan South Africa Truh and Reconciliation Commission (SATRC) dalam Hollywood, op. cit., yang menyatakan “[W]e could not make the journey from a past marked by conflict, injustice, oppression, and exploitation to a new and democratic dispensation characterised by a culture of respect for human rights without coming face to face with our recent history."
156 Adil Ahmad Haque, “Group Violence and Group Vengeance: Toward
a Retributivist Theory of International Criminal Law,” Buffalo Criminal Law Review (2005): 277-78.
Dalam teori keadilan retributif, pelaku kejahatan tidak melakukan kejahatan terhadap satu individu saja, melainkan terhadap negara. Oleh karena itu, negara menghukum para pelaku tersebut apa yang seharusnya mereka terima (“just desserts”) untuk mengembalikan keseimbangan norma yang dirusak oleh tindakan pidana dari pelaku kejahatan. Dalam kaitannya, dengan korban, keadilan retributif memberikan rasa keadilan kepada korban dengan melampiaskan rasa marah dan dendam korban. Lihat Ellen A. Waldman, Healing Hearts or Righting Wrongs?: A Mediation on the Goals of “Restorative Justice,” Hamline Journal of Public Law and Policy (Spring 2004): 357-359.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
67
Pertama, sifat dari ketidakadilan yang terjadi di masa lalu
belum tentu sesuai untuk ditindak melalui mekanisme
penghukuman atau retribusi (pembalasan). Kedua, kebutuhan
akan keadilan dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan,
bukan hanya sekelompok orang tertentu yang menjadi
korban.157
Oleh karena itu, keadilan transisional lebih cenderung
untuk menganut prinsip keadilan restoratif (restorative
justice), yang mengandung arti bahwa keadilan harus
memperbaiki keadaan sosial masyarakat, melampaui sekedar
penuntutan pidana.158 Keadilan restoratif lebih terfokus
pada upaya pemenuhan hak korban, yakni hak atas informasi
dari kejahatan terhadapnya, hak untuk menceritakan kisah
dalam perspektifnya, hak untuk terlibat dalam proses
penuntutan, dan hak atas pemulihan (baik simbolik maupun
aktual).159
157 Erin Daly, “Transformative Justice: Charting a Path to
Reconciliation,” International Legal Perspectives (Fall 2001-Spring 2002): 79.
158 Waldman, op. cit., hal. 359. Dalam keadilan restoratif, pelaku
kejahatan melakukan tindakan yang merugikan, bukan terhadap negara, melainkan terhadap masyarakat dan interaksi di antaranya
159 Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice (2002)
hal. 14-15 dalam Waldman, op. cit., hal. 359.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
68
2. Peran Konsep Keadilan Transisional pada Negara
Transisi
Dalam upaya melakukan restorasi sosial dalam situasi
transisi politik, setidaknya terdapat dua peran penting
perumusan konsep keadilan transisional.
Pertama, keadilan transisional sebagai instrumen
pengungkapan kebenaran. Menurut Teitel, apa yang
dipertimbangkan sebagai sesuatu yang “adil” bersifat tidak
pasti dan dapat dikaitkan dengan masa yang akan datang
karena hal ini didasarkan atas informasi dari ketidakadilan
yang terjadi sebelumnya.160 Informasi yang dimaksud adalah
kebenaran akan fakta-fakta yang terjadi di masa lalu,
terlepas dari sudut pandang yang digunakan kemudian dalam
menginterpretasikan fakta. Oleh karena itu, tujuan utama
keadilan transisional adalah untuk mengetahui kebenaran
yang sebenar-benarnya. Dalam laporan Chilean National
Commission on Truth and Reconciliation, dikatakan bahwa:
“The truth was considered as an absolute, un-renounceable value for many reasons: In order to provide for measures of reparation and prevention, it must be clearly known what it is that ought to be repaired and prevented. Further, society cannot simply
160 Teitel, op. cit., hal. 6 dalam Arinanto, op. cit., hal. 56.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
69
black out a chapter of its history, however differently the facts may be interpreted. The void would be filled with lies or with conflicting versions. The unity of a nation depends on a shared identity, which, in turn, depends largely on a shared memory. The truth also brings a measure of social catharsis and helps to prevent the past from re-occurring .... But although the truth cannot really in itself dispense justice, it does put an end to many a continued injustice--it does not bring the dead back to life, but it brings them out from silence; for the families of the "disappeared," the truth about their fate would mean, at last, the end to an anguishing, endless search ....”161 (huruf tebal dari penulis).
Dalam kerangka keadilan transisional, mencatat
kebenaran merupakan syarat mutlak dalam upaya pemulihan hak
individu dan masyarakat dalam rangka menciptakan kehidupan
sosial yang kondusif.162 Masa lalu harus ditinggalkan untuk
menggapai masa depan bangsa yang lebih baik, namun tidak
dapat begitu saja dilupakan. Dalam upaya mencari kebenaran,
setiap korban, pelaku, dan segala dokumentasi sejarah yang
161 José Zalaquett, Introduction to NAT'L COMM'N ON TRUTH AND
RECONCILIATION, 1 REPORT OF THE CHILEAN NATIONAL COMMISSION ON TRUTH AND RECONCILIATION (1993) dalam Anne Orford, “Commissioning the Truth,” Columbia Journal of Gender and Law (2006): 855.
162 Orford, Ibid., hal. 855. Dikatakan, "[f]acing the truth of its past is a necessary condition to enable a wounded community--a community of perpetrators and victims--to recreate the conditions of viable social life."
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
70
tersedia harus diungkapkan agar tidak ada lagi kenyataan
yang disembunyikan.163
Upaya pengungkapan kebenaran dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Penegakan hukum pidana internasional,
melalui berbagai instrumen termasuk pengadilan
internasional ataupun pembentukan komisi kebenaran,
dianggap sebagai sarana yang tepat untuk mengungkapkan
kebenaran. Sebagaimana pendapat Martti Koskenniemi,
“international criminal law is often represented as an
instrument of truth and memory."164 Peradilan internasional
berperan untuk mengungkapkan kebenaran dan menciptakan
rekonsiliasi (misalnya dengan pencatatan fakta-fakta yang
terungkap di persidangan), selain untuk menghukum pelaku
kejahatan.165 Sementara itu, pembentukan komisi kebenaran
163 Lihat Thomas M. Antkowiak, “Truth As Right and Remedy in
International Human Rights Experience,” Michigan Journal of International Law (Summer 2002): 979.
164 Martti Koskenniemi, Between Impunity and Show Trials, 6 MAX PLANCK YEARBOOK OF UNITED NATIONS LAW 1, 4 (2002) dalam Orford, Ibid., hal. 858.
165 “The ad hoc international criminal tribunals were the first
tribunals to aim at enhancing reconciliation in addition to the traditional criminal law goals of punishment and deterrence. Indeed, the Security Council Resolution creating the ICTR stated that prosecutions will contribute to "the process of national reconciliation . . . and [to] the restoration and maintenance of peace." Similarly, one of the goals of the ICTY was to "assist in reconciliation." Lihat International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, Office of
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
71
(truth commission) memang sejak awal dimaksudkan untuk
memfasilitasi proses penemuan kebenaran.
Kedua, keadilan transisional memfasilitasi
rekonsiliasi dan kesatuan nasional. Dalam suatu negara yang
mengalami transisi politik, apalagi apabila transisi
tersebut terjadi dengan kekerasan massal, tidak jarang
masyarakatnya terpecah-belah dan mengalami konflik sosial.
Rekonsiliasi diperlukan untuk memulihkan kondisi masyarakat
untuk mencapai kesepakatan mengenai syarat penyelesaian
konflik yang terjadi.166 Dalam beberapa kondisi, perpecahan
yang terjadi dalam masyarakat terjadi akibat adanya
distorsi sejarah yang sejak awal sudah dikonstruksikan
untuk menimbulkan perpecahan. Dalam hal ini, rekonsiliasi
dan persatuan nasional juga terkait dengan proses pencarian
kebenaran.167
the President, Outreach Program Proposal (1999) (unpublished report on file with the Berkeley Journal of International Law) sebagaimana dikutip oleh Triponel, op. cit., hal. 283.
166 Arinanto, op. cit., hal. 156. 167 Lihat pernyataan seorang guru sejarah di Rwanda yang
mengatakan, “History in Rwanda comes in two versions: Hutu and Tutsi. Ever since the colonial period, the cycle of violence has been fed by a victim psychology on both sides. Every round of perpetrators has justified the use of violence as the only effective guarantee against being victimized yet again. For the unreconciled victim of yesterday's violence, the struggle continues. The continuing
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
72
Oleh karena itu, keadilan yang dicoba dicapai pada
masa transisi politik harus memiliki dimensi
transformasional, yakni untuk mengubah perilaku sosial dan
budaya hukum masyarakat yang lebih menghormati keadilan itu
sendiri dan agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang
sama di masa mendatang. Penghapusan budaya ketidakadilan
dan kekerasan akibat situasi politik di masa lalu melalui
metamorfosis dari setiap tingkatan masyarakat merupakan
tantangan terbesar dalam pencarian keadilan transisional.168
Dengan demikian, transformasi dilihat sebagai suatu
tragedy of Rwanda is that each round of violence gives us yet another set of victims-turned-perpetrators… the identification of both perpetrator and survivor is contingent on one's historical perspective. This is why it is not possible to think of reconciliation between Hutu and Tutsi in Rwanda without a prior reconciliation with history… In order to "break the stranglehold of Hutu Power and Tutsi Power," it is first necessary to "break their stranglehold on Rwanda's history writing, and thus history making. This exercise requires putting the truth of the genocide, the truth of mass killings, in a historical context.” (huruf tebal dari penulis, ed). Dikutip dari Ariel Meyerstein, “Transitional Justice and Post-
Conflict Israel/Palestine: Assessing the Applicability of the Truth Commission Paradigm,” Case Western Reserve Journal of International Law (2006-2007): 287.
168 Daly, op. cit., hal. 82-83. Dikatakan bahwa, “[T]ransformative
justice requires metamorphosis at all levels of society. Victims become survivors; perpetrators become good neighbors; powerful people learn to wield their authority responsibly or become less powerful.”
Sebagai contoh, pada masyarakat yang sudah bertransformasi, adanya mekanisme demokrasi seperti pemilihan presiden langsung atau adanya konstitusi yang menjamin HAM bukan hanya sekedar persyaratan formil, namun segenap rakyat secara sungguh-sungguh mempercayai nilai-nilai demokrasi, HAM, dan prinsip konstitusionalisme.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
73
aktivitas terintegrasi dan holistik dalam mengubah
perilaku, kesadaran, mental, budaya, dan kondisi riil dari
suatu masyarakat melalui suatu mekanisme yang mencerminkan
nilai-nilai yang diperjuangkan oleh masyarakat tersebut
ketika proses transisi politik pada awalnya terjadi.169
3. “Right” to Know sebagai Perkembangan atas Hak untuk
Mengetahui Kebenaran dalam Konteks Keadilan
Transisional
Perkembangan dalam konsep keadilan transisional
melahirkan suatu gagasan baru yang dinamakan sebagai Right
to Know (dalam huruf kapital). Disesuaikan dengan konteks
suatu negara yang mengalami masa transisi politik, Right to
Know berbeda dengan hak untuk mengetahui kebenaran (right
to know the truth –dalam huruf kecil-).170 Menurut Joinet
dalam Report on Question of the Impunity of 1997,171 Right
169 Daly, op. cit., hal 82-83. 170 Penulis tidak menemukan terminologi yang sesuai untuk
menerjemahkan Right to Know. Penulis cenderung menggunakan terminologi “hak untuk mengetahui kebenaran kolektif,” namun karena tidak pernah digunakan oleh ahli hukum internasional di Indonesia, maka tetap digunakan frase dalam bahasa aslinya.
171 “The Administration of Justice and the Human Rights of Detainees: the Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil and Political).” Revised Final Report Prepared by Mr.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
74
to Know bukan merupakan hak korban secara individu untuk
mengetahui kebenaran, melainkan hak kolektif suatu
masyarakat mengenai kebenaran sejarah. Dikatakan secara
lengkap bahwa,
“This is not simply the right of any individual victim or closely related persons to know what happened, a right to the truth. The right to know is also a collective right, drawing upon history to prevent violations from recurring in the future. Its corollary is a “duty to remember,” which the State must assume, in order to guard against the perversions of history that go under the names of revisionism or negationism; the knowledge of the oppression it has lived through is part of a people’s national heritage and as such must be preserved. These, then, are the main objectives of the right to know as a collective right.”172
Dalam konteks ini, Right to Know terkait dengan segala
tindakan untuk mencegah impunitas yang bersumber dari
konsep “hak korban untuk mengetahui kebenaran.”173 Pada
Joinet pursuant to Sub-Comission Decision 1996/119, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1997/20/Rev. 1,2 Oktober 2007 at Annex II (for the Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity), <http://www.unhcr.ch/huridocda/huridocda. nsf/(Symbol)/E.CN.4.sub.2.1997.20.Rev.1.En>
Lhat juga Brian F. Havel, “In Search of a Theory of Public Memory: The State, The Individual, and Marcel Proust,” Indiana Law Journal (Summer 2005):687.
172 Ibid., paragraph 17. 173 Lihat Taufik Basari, “In Searching for Transitional Justice:
Can the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia Reveal “The Real Truth” for Reconciliation?” (Graduate Thesis Northwestern University School of Law) (2005).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
75
awalnya, hak korban untuk mengetahui kebenaran merupakan
hak dari korban atau keluarga korban untuk mengetahui
segala kejadian yang menimpa mereka/sanak saudara mereka,
terutama menyangkut kasus penghilangan paksa dan kemudian
berkembang ke berbagai pelanggaran HAM lainnya, termasuk
hak atas kehidupan, hak atas perlakuan manusiawi (humane
treatment), dan hak untuk mendapatkan peradilan yang
adil.174 Apabila ditinjau dari perspektif keadilan
transisional, pendekatan kolektif-komunitas yang digunakan
merupakan wujud keadilan restoratif yang mencoba untuk
memulihkan “luka sosial” masyarakat.175
Right to Know dijabarkan secara komprehensif dalam
Update Set of Principles for the Protection and Promotion
of Human Rights through Action to Combat Impunity of 2005
(untuk selanjutnya disebut sebagai Update Set of Principles
to Combat Impunity 2005).176 Ketentuan demikian dimaksudkan
174 Ibid. 175 Lihat Waldman, op. cit., hal. 359. Lihat juga Daly, op. cit.,
hal. 79. 176 Diane Orentlicher (a), “Promotion and Protection of Human
Rights,” Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Addendum Update Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity,” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights, UN. Doc. E/CN.4/2005/102.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
76
untuk memperbarui Set of Principles for the Protection and
Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity
of 1997 (selanjutnya disebut Set of Principles to Combat
Impunity of 1997).177 Menurut Diane Orentlicher, Set of
Principles tidak dimaksudkan untuk menciptakan norma hukum
internasional yang baru, melainkan merefleksikan
perkembangan dalam hukum internasional.178 Artinya, dokumen
Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005 memang
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (non-legally
binding effect), namun prinsip-prinsip yang terkandung di
dalamnya dipraktekan di berbagai negara di dunia sehingga
dapat dikatakan sebagai hukum kebiasaan internasional.179
Dalam perjalanannya, prinsip ini juga memiliki peran yang
penting dalam menentukan arah perkembangan hukum
internasional yang berkaitan dengan impunitas.180 Dengan
177 Lihat Ibid.
178 Diane Orentlicher (b), “Promotion and Protection of Human
Rights,” Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity,” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights, UN. Doc. E/CN.4/2005/102. Dikatakan, “to reflect recent developments in international law and practice, including international jurisprudence and State practice, and taking into account the independent study,” paragraph 1, 2, dan 4.
179 Lihat Commission of Human Right (CHR) Resolution 2004/72,
Impunity, E/CN.4/RES/2004/72. 21 April 2004, (ap.ohchr.org/documents/ E/CHR/resolutions/E-CN_4-RES-2004-7.doc) (13 Maret 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
77
kata lain, Set of Principles tidak hanya berfungsi sebagai
kodifikasi, melainkan juga melakukan modifikasi dalam hukum
internasional.
Dalam 38 Prinsip yang termuat dalam Update Set of
Principles to Combat Impunity 2005, Right to Know tercantum
dalam Prinsip 1-17, selain juga terkandung dalam dokumen
tersebut adalah “Right to Justice” dan “Right to
Reparation.”181 Right to Know dalam Prinsip ini dibagi
menjadi beberapa ketentuan sebagai berikut:
(a) General provision: terdiri dari inalienable right
to the truth, the duty to preserve memory, the
victim’s right to know, guarantees to give effect
to the right to know;182
(b) Commission of inquiry: terdiri dari the
establishment and the role of truth commissions,
guarantees of independence, impartiality and
180 Orentlicher (b), op. cit. Update Set of Principles to Combat
Impunity merupakan hasil kajian dari berbagai ketentuan hukum dan praktek negara dalam upaya pencarian keadilan dan kebenaran pada masa transisi politik.
181 Untuk pembahasan mengenai ketiga hak ini, dapat dilihat pula
Note by Secretary General, “Promotion and Protection of Human Rights, Impunity,” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights, UN Doc. E/CN.4/2004/88.
182 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip 2-5.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
78
competence, definition of a commission’s terms of
reference, guarantees for persons implicated,
guarantees for victims and witnesses testifying
on their behalf, adequate resources for
commissions, advisory functions of the
commissions, publicizing the commission’s
reports;183
(c) Preservation of and access to archives bearing
witness to violations: terdiri dari measures for
the preservation of archives, measures for
facilitating access to archives, cooperation
between archive departmens and the courts and
non-judicial commissions of inquiry, specific
measures relating to archives containing names,
specific measures related to the restoration of
or transition to democracy and/or peace.184
Berdasarkan penjabaran Prinsip “Right to Know” di
atas, terlihat bahwa dalam masa transisi politik, kulminasi
183 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip
6-13. 184 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip
14-18.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
79
dari hak korban untuk mengetahui kebenaran membentuk satu
hak baru yang dimiliki oleh masyarakat keseluruhan dan di-
ejawantah-kan secara “best practice” melalui pembentukan
komisi kebenaran.185 Prinsip ini memiliki keterkaitan erat
dengan legalitas pemberian amnesti, karena memberikan
panduan sekaligus batasan tentang sejauh mana amnesti dapat
diberikan tanpa melanggar Right to Know suatu masyarakat
dalam negara transisi.186 Konsep Right to Know juga
merupakan dasar pemikiran dalam berbagai pertimbangan hukum
dari putusan peradilan internasional yang mengadili
pemberian amnesti sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab
berikut ini.
B. Legalitas Pemberian Amnesti dalam Masa Transisi
Politik di Amerika Latin Melalui Penafsiran Mekanisme
Penegakkan HAM Regional di Amerika Latin
Berdasarkan prinsip keadilan retributif, amnesti hanya
dapat diberikan apabila dimaksudkan untuk memperbaiki
185 Lihat Note by Secretary General, op. cit. 186 Ronald C. Slye, “The Legitimacy of Amnesties Under
International Law and General Principles of Anglo-American Law: Is A Legitimate Amnesty Possible?” Virginia Journal of International Law (Fall 2002): 193.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
80
ketidakadilan.187 Kondisi demikian tidak akan tercapai
apabila amnesti diberikan oleh rejim politik yang melakukan
kejahatan itu sendiri. Impunitas seperti itu yang menjadi
ciri pemberian amnesti di kawasan Amerika Latin. Masa
transisi politik di Amerika Latin pada masa Perang Dingin,
yang ditandai dengan revolusi dan perubahan rejim
melahirkan berbagai pelanggaran HAM yang tergolong sebagai
kejahatan internasional.188 Pada masa ini, Cassel mencatat
setidaknya terdapat 11 negara yang memberlakukan legislasi
amnesti untuk membebaskan rejimnya sendiri dari
penghukuman.189 Berikut diberikan ilustrasi dari dua negara,
yakni Cile dan Argentina.
1. Praktek Pemberian Amnesti di Cile dan Argentina
Cile merupakan negara pertama di kawasan Amerika Latin
yang memberlakukan legislasi amnesti dan diikuti oleh
negara tetangganya. Pada April 1978, pemerintahan Jenderal
187 Bassiouni (a), op. cit., hal. 731. 188 Brian D. Tittemore, “Ending Impunity in the Americas: The Role
of the Inter-American Human Rights System in Advancing Accountability for Serious Crimes Under International Law,” Southwestern Journal of Law and Trade in the Americas (2006): 429.
189 Douglas Cassel, “Lessons from the Americas: Guidelines for
International Response to Amnesties for Atrocities,” 59 Law and Contemporary Problems 205 (Autum 1996).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
81
Pinochet mengeluarkan Decree Law No. 2191.190 Undang-undang
ini memberikan amnesti menyeluruh (blanket amnesty) atas
tindakan "murder, mayhem, batteries, unlawful detention,
kidnappings, disappearances, and torture" yang dilakukan
oleh agen negara Cile dalam kurun waktu 1975-1978 saat
negara dalam “keadaan darurat” pada masa perang.191
Legislasi ini dianggap sebagai “tameng” impunitas dalam
menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM berat, termasuk
pembunuhan dan penghilangan paksa lebih dari 3000 orang,
yang dilakukan oleh rejim Pinochet.192
Pada tahun 1988, Jenderal Pinochet tidak lagi menjadi
pemimpin Cile, digantikan oleh Patricio Aylwyn sebagai
Presiden Cile. Pinochet, meskipun demikian, menjabat
sebagai Panglima dari tentara nasional Cile sehingga tetap
memiliki pengaruh yang besar.193 Oleh karena itu,
pemerintahan yang baru tidak mampu mengubah pemberlakuan
190 Fröhlich, op. cit., hal. 272. 191 Fröhlich, op. cit., hal. 273. 192 Phillipe Sands, Lawless World The Whistle-blowing Account of
How Bush and Blair are Taking the Law into Their Own Hands,(London: Penguin Books, 2005), hal. 23.
193 Terence Coonan, “Rescuing History: Legal and Theological
Reflections on the Task of Making Former Torturers Accountable,” Fordham International Law Journal (1996).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
82
amnesti yang dilakukan oleh rejim Pinochet terhadap anggota
kelompoknya sendiri.194
Namun demikian, Menghadapi tuntutan masyarakat Cile,
Presiden Aylwin akhirnya membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Nasional untuk menyelidiki berbagai
pelanggaran HAM berat.195 Komisi ini berhasil membeberkan
kepada publik fakta seputar kejahatan yang dilakukan oleh
rejim Pinochet dan membawanya ke pengadilan. Presiden saat
itu membentuk suatu konsep hukum yang dikenal dengan
“Aylwin doctrine,” mengandung pengertian bahwa legislasi
amnesti memang melarang pemberian hukuman, namun tidak
melarang investigasi dan pemeriksaan di sidang
pengadilan.196
194 Kristin Bohl, Breaking the Rules of Transitional Justice,”
Wisconsin International Law Journal (Spring 2006): 63 195 Lihat Decree Establishing the National Commission on Truth and
Reconciliation, Supreme Decree No. 355. Cile, 25 April 1990, dalam Fröhlich, op. cit., hal. 308.
196 Bohl, op. cit., hal. 563. Sebagai contoh, sekelompok militer
Cile yang dibawa ke pengadilan karena melakukan penghilangan paksa dinyatakan bersalah, namun tidak dapat dihukum karena legislasi amnesti yang berlaku.
Kasus di Cile merupakan contoh klasik dari keadilan transisional. Pemerintahan yang baru harus menghadapi tuntutan dari masyarakat, sementara di sisi lain rejim yang berkuasa terdahulu tetap memiliki pengaruh politik yang sangat kuat. Oleh karena itu, pemerintahan baru terpaksa melakukan kompromi untuk menjamin bahwa penegakan hukum dilakukan, tetapi tidak menyentuh kejahatan yang dilakukan oleh rejim Pinochet.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
83
Perkembangan mulai terjadi signifikan ketika Mahkamah
Agung Cile menyatakan bahwa legislasi amnesti tidak berlaku
terhadap pelaku penyiksaan. Pada tahun 2005 Pinochet
akhirnya dinyatakan bertanggungjawab atas penghilangan
paksa yang terjadi pada masa pemerintahannya, dan diberikan
hukuman tahanan rumah.197 Pada tahun 2006, keputusan
penahanan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung yang menyatakan
Pinochet bersalah telah melakukan pelanggaran HAM berat.198
Kasus yang serupa terjadi di Argentina. Dalam kudeta
militer yang dilakukan pada tahun 1976, rejim militer
berkuasa memberlakukan “Proceso de Reorganizacion Nacional”
yang memberikan kewenangan bagi militer melakukan berbagai
pelanggaran HAM berat. Sebelum jatuh oleh pemerintahan
Alfonsin yang dipilih secara demokratis, militer Argentina
memberlakukan legislasi amnesti.199 Presiden Alfonsin segera
melakukan penyelidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM
197 Heather Walsh, “Chile's Pinochet Charged in Six Disappearances
(Update 2)” (Nov. 24, 2005), http://www.bloomberg.com (11 Januari 2008).
198 Lihat High Court Upholds Stripping Pinochet of Legal Immunity,
Chicago Tribune, 23 April 2006, dalam Fröhlich, op. cit., hal. 311. 199 Lihat “Argentina Legal Memorandum: The Full Stop and Due
Obedience Laws,” AMR 13/018/2003 (Amnesty International December 2003), http://web.amnesty.org/library/pdf/AMR130182003ENGLISH/$File/AMR1301803.pdf. (10 Februari 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
84
berat di masa junta militer, namun sesuai dengan prinsip
hukum pidana, hakim harus memberlakukan hukum yang
menguntungkan bagi terdakwa. Dalam hal ini, legislasi
amnesti harus dinyatakan berlaku bagi militer yang dibawa
ke pengadilan.200
Di bawah kepemimpinan Alfonsin, legislasi amnesti
dibatalkan dengan menggunakan prinsip hukum alam, bahwa
legislasi tersebut tidak sesuai dengan cita hukum
Argentina.201 Selain itu, dibentuk Comisión Nacional sobre
Desaparición de Personas (CONADEP), dianggap sebagai komisi
kebenaran pertama di dunia, yang mampu memberikan laporan
bernama “Nunca Mas” yang disambut baik oleh publik. Laporan
ini kemudian dijadikan bahan bagi jaksa untuk melakukan
penuntutan. Argentina menjadi negara Amerika Latin pertama
yang mengadili aparat militer atas tuduhan pelanggaran HAM
dengan hasil beberapa jenderal junta militer dipidana.
Namun demikian, untuk menciptakan ketentraman sosial
di masa transisi, diberlakukan “full stop law” (ley de
punto final).202 Ketentuan ini memberikan tenggat waktu enam
200 Ibid. 201 Fröhlich, op. cit., hal. 275.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
85
puluh hari untuk melakukan penuntutan terhadap aparat
militer yang terjadi pada masa Proceso de Reorganizacion
Nacional. Selain itu, diberlakukan pula “due obedience law”
(obidienca debida) yang mengeluarkan aparat junior dari
tanggung jawab hukum dengan alasan bahwa mereka hanya
mengikuti perintah.203
Sayangnya, pada tahun 1989 dan 1990, Presiden Menem
yang menggantikan Alfonsin mengabulkan permohonan maaf
(pardon) bagi aparat militer yang dinyatakan bersalah oleh
pengadilan. Perkembangan terakhir baru terjadi pada tahun
2005 ketika Mahkamah Agung Argentina akhirnya menyatakan
bahwa full stop law dan due disobedience law adalah
inkonstitusional karena menciptakan amnesti yang berujung
pada impunitas.204 Ketentuan tersebut dianggap tidak sesuai
dengan American Convention on Human Rights dan
International Covenant on Civil and Political Rights.205
202 Lihat Law No. 23492, Argentina 24 Desember 1986, dalam
Fröhlich, op. cit., hal. 311. 203 Lihat Law No. 23521, Argentina, 4 Juni 1987, dalam Fröhlich,
op. cit., hal. 312. 204 Corte Suprema de Justicia,14/6/2005, "Simón, Julio Héctor y
otros s/ privación ilegítima de la libertad, etc./recurso de hecho," http://www.csjn.gov.ar/ (25 Februari 2008).
205 Ibid.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
86
2. Penafsiran Mekanisme Penegakkan HAM Regional
Amerika Latin Mengenai Pemberian Amnesti
Berdasarkan dua contoh kasus, di atas, dapat dilihat
bahwa negara-negara di Amerika Latin banyak mengalami masa
transisi politik dalam sejarah kenegaraannya yang mana
dalam masa tersebut pemberian amnesti kerap diberikan. Oleh
karena itu, perkembangan hukum HAM regional di wilayah ini
memunculkan banyak prinsip-prinsip hukum internasional
mengenai legalitas amnesti.206 Namun demikian, mengingat
kondisi transisi politik di Amerika Latin cenderung tidak
stabil dan kerap menimbulkan gerakan-gerakan kontra-
revolusi lanjutan,207 pemberian amnesti di negara-negara
tersebut cenderung gagal dalam mengatasi konflik dan
menciptakan perdamaian.208 Implikasinya, prinsip-prinsip
hukum internasional yang dikemukakan dalam mekanisme
206 Cassel, op. cit., hal. 198-199.
207 Lihat juga Claudia Martin, “Catching Up with the Past: Recent
Decisions of the Inter-American Court of Human Rights Addressing Gross Human Rights Violations Perpetrated During the 1970-1980s,” Human Rights Law Review (2007): 774.
208 Robertson, op. cit., hal. 109, menyatakan bahwa “the real
purpose of an amnesty statute in times of transition is not to promote ‘national reconciliation’ or to diminish in a new democratic society deliberating desire for revenge, it is to enable government officials, military and police officers, to escape responsibility for the crimes against humanity which they ordered committed.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
87
penegakkan HAM di Amerika Latin memperkuat pelarangan
pemberian amnesti.
Banyak kasus pelanggaran HAM yang tergolong sebagai
kejahatan internasional diadili dalam mekanisme penegakkan
HAM di Amerika Latin. Mekanisme ini didasarkan atas The
American Convention on Human Rights,209 dan ditegakan
melalui Inter-American Court of Human Rights (“Inter-
American Court”) dan Inter-American Commission on Human
Rights (“Inter American Commission”). Dalam sistem ini,
individu dapat mengajukan aplikasi baik kepada Inter-
American Commission ataupun Inter-American Court210 untuk
memutus apakah negara peserta dianggap melanggar konvensi
dan hukum internasional.211 Setidaknya terdapat perkembangan
dan penguatan atas tiga prinsip hukum internasional dalam
mekanisme ini.
209 Dibuka untuk ditandatangani bagi seluruh anggota Organisation
of American States –OAS- (yang mana Amerika Serikat bukan negara peserta) dan berlaku (entered into force) pada tahun 1978.
210 Inter-American Court memiliki kewenangan dalam hal negara
yang digugat mengakui yurisdiksi peradilan regional tersebut. Hanya Inter-American Commission dan negara yang bersangkutan yang memiliki kompetensi untuk menerima (invoke) yurisdiksi dari Inter-American Court.
211 Wallace, op. cit., hal. 216.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
88
Pertama, menyangkut kewajiban negara dalam hukum
internasional untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku
kejahatan internasional. Causae célèbre dalam Inter-
American Court yang selalu dikutip dalam literatur hukum
internasional adalah Velásquez-Rodríguez v. Honduras
(1988).212 Perkara ini menyangkut pemberian amnesti yang
diberikan kepada aparat militer Honduras akibat tindakannya
yang melakukan penghilangan paksa aktivis mahasiswa yang
secara meluas dan sistematik.213 Dikatakan dalam putusan
perkara ini bahwa,
“The State is obligated to investigate every situation involving a violation of the rights protected by the Convention. If the State apparatus acts in such a way that the violation goes unpunished and the victim's full enjoyment of such rights [to life and physical integrity of the person in the instant case] is not restored as soon as possible, the State has failed to comply with its duty to ensure the free and full exercise of those rights to the persons within its jurisdiction.”214
212 Fernando Felipe Basch, “The Doctrine of the Inter-American
Court of Human Rights Regarding State’s Duty to Punish Human Rights Violations and Its Dangers,” Academy on Human Rights and Humanitarian Law (2007): 196.
213 Lihat Cassel, op. cit., hal. 210. Robertson, op. cit., hal.
292. 214 Velásquez-Rodríguez v. Honduras, 1988 Inter-Am. Ct. H.R. (ser.
C) No. 4, p. 134 (July 29, 1988).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
89
Kasus ini menafsirkan perkara kewajiban negara
melakukan penuntutan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) American
Convention on Human Rights (ACHR). Berdasarkan
yurisprudensi perkara ini, dinyatakan bahwa terdapat dua
kewajiban yang timbul dari Pasal tersebut. Pertama, negara
peserta wajib menghormati (respect) segala hak dan
kebebasan yang terkandung di dalam Konvensi.215 Kedua,
negara peserta wajib memastikan (ensure) pelaksanaan hak
tersebut secara bebas dan penuh kepada setiap orang sesuai
dengan yurisdiksinya,216 yang mana dijabarkan sebagai
berikut,
“This obligation implies the duty of the States Parties to organize the governmental apparatus and, in general, all the structures through which public power is exercised, so that they are capable of juridically ensuring the free and full enjoyment of human rights. As a consequence of this obligation, the States must prevent, investigate and punish any violation of the rights recognized by the Convention…”
Menurut Cassel,217 putusan ini melengkapi Guidelines
yang dikeluarkan oleh Inter-American Commission sebelumnya
215 Velásquez-Rodríguez v. Honduras, op. cit., p. 165. 216 Velásquez-Rodríguez v. Honduras, op. cit., p. 165. 217 Cassel, op. cit . , hal. 209.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
90
menyangkut pemberian amnesti dalam masa transisi politik.
Guidelines tersebut menyatakan bahwa amnesti tidak sah
apabila diberikan oleh rejim pelaku pelanggaran HAM
sendiri, dan meskipun amnesti diberikan oleh otoritas yang
terpilih secara demokratis, fakta demikian tidak menghapus
kewajiban negara untuk menuntut pelaku kejahatan
internasional.218 Namun demikian, walaupun Inter-American
Court menekankan kepada kewajiban negara, pengadilan
ternyata tidak memerintahkan Honduras untuk melaksanakan
proses peradilan yang diperlukan,219 melainkan hanya
mengharuskan Honduras membayar kompensasi yang wajar bagi
keluarga dekat korban.220 Sejak perkara ini, semangat Inter-
American Court untuk menghilangkan impunitas semakin
menguat.221
218 Annual Reports Inter-American Commission on Human Rights
(1986), hal. 191-193. Lihat bagian “Areas in which Steps Need to be Taken Towards Full Observance of the Human Rights Set Forth in the American Declaration on the Rights and Duties of Man and the American Convention on Human Rights.” Dapat diakses dalam http:// www.cidh.oas.org/annualrep/86.87eng/toc.htm (1 Juni 2008).
219 Ibid., hal. 174 dan 194. 220 Ibid., hal. 194.
221 Cermati “the State has the obligation to use all the legal
means at its disposal to combat that situation, since impunity fosters chronic recidivism of human rights violations, and total defenselessness of victims and their relatives.” Paniagua-Morales v.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
91
Dalam salah satu kasus paling baru pada Inter-American
Court, perkara Barios Altos v. Peru (menyangkut praktek
pembunuhan yang dilakukan oleh skuadron penembak dari
aparat militer Peru dalam menghadapi pemberontakan Sendero
Luminoso), secara tegas pemberian amnesti dilarang karena
bertentangan dengan hukum internasional.222 Dikatakan bahwa,
“[A]ll amnesty provisions, provisions on prescription and the establishment of measures designed to eliminate responsibility are inadmissible, because they are intended to prevent the investigation and punishment of those responsible for serious human rights violations such as torture, extrajudicial, summary or arbitrary execution and forced disappearance, all of them prohibited because they violate non-derogable rights recognized by international human rights law.“223
Kedua, menyangkut perlindungan hak bagi korban
kejahatan internasional. Menurut Inter-American Court,
salah satu perlindungan bagi korban kejahatan internasional
Guatemala, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 37, hal. 4-12 (Mar. 8, 1998).
Kasus berikutnya setelah Velásquez-Rodríguez v. Honduras yang membahas pemberian amnesti adalah Aloeboetoe v. Suriname mengenai penyiksaan terhadap sekelompok nelayan India oleh tentara. Dalam perkara ini, Inter-American Court memerintahkan Suriname untuk membayar kompensasi baik untuk mengganti kerugian actual (actual damage) dan kerugian moral (moral damage). Lihat Robertson, op. cit., hal. 293.
222 Basch, op. cit. 223 Barrios Altos v. Peru, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.
83, p. 14 (Sept. 3, 2001).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
92
adalah fair trial dalam masa penuntutan bagi si pelaku.224
Keberadaan proses peradilan dengan demikian tidak hanya
penting untuk mengadili pelaku, melainkan pula memenuhi hak
korban.225 Dalam proses peradilan, korban akan mendapatkan
reparasi (pemulihan) atas kejadian yang menimpanya.
Reparasi ini yang tidak didapatkan apabila amnesti terhadap
pelaku diberikan. Perlindungan bagi hak korban ini
ditafsirkan dari Pasal 8 ayat (1)226 dan Pasal 25227 American
224 “…the American Convention obliges the State to guarantee to
every individual access to the administration of justice and, in particular, to simple and prompt recourse, so that, inter alia, those responsible for human rights violations may be prosecuted and reparations obtained for the damages suffered.” Loayza-Tamayo v. Peru, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 42, p. 168 (Nov. 27, 1998).
Lihat juga Lincoleo v. Chile, Case 11.711, Inter-Am. C.H.R. 61, OEA/ser. L./V./II.111, doc. 20 (2001), __ 58-65.
225 Bulacio v. Argentina, 2003 Inter-Am. Ct. H.R. (sec. C) No.
100, p. 162 (Sept. 18, 2003). 226 “Article 8(1) of the Convention must be given a broad
interpretation. . . . Thus interpreted, the aforementioned Article 8(1) of the Convention also includes the rights of the victim's relatives to judicial guarantees . . . [and] recognizes the right . . . to have [the crimes] effectively investigated, . . . those responsible prosecuted for committing said unlawful acts; [and] to have the relevant punishment, where appropriate, meted out.” Blake v. Guatemala, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 36, p. 96- 97 (Jan. 24, 1998). Las Palmeras v. Colombia, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 90, p. 59-67 (Dec. 6, 2001).
227 Ignacio Ellacuria, S.J.y Otros v. El Salvador, Case 10.488,
Report No. 136/99, OEA/Ser.L/V/II.106 Doc. 3 rev. at 608 (1999). Dikatakan “the right to an effective recourse for protection of fundamental rights enshrined in Article 25 obligates a state to prosecute those responsible for a crime, to "apply to them the corresponding legal penalties," and to pursue the prosecution to its "ultimate conclusion.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
93
Convention on Human Rights. Dalam perkara Espinoza v. Cile,
dikatakan bahwa,
"Amnesties...cannot deprive victims...[of]...the right to obtain, at a minimum, adequate reparations for human rights violations enshrined [sic] in the American Convention… the manner in which the amnesty was applied by the courts affected the right to obtain reparations within the civil courts, given the impossibility of individualizing or identifying those responsible for the disappearance, torture, and extrajudicial execution of Carmelo Soria.” 228
Perlindungan atas hak korban merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dari kewajiban negara untuk
melakukan penuntutan atas kejahatan internasional.229 Dalam
laporan Inter-American Commision atas perkara pembantaian
Las Hojas misalnya,230 dikatakan bahwa amnesti dalam masa
transisi politik setidaknya melanggar tiga prinsip dasar
HAM: kewajiban negara untuk menjamin penegakan HAM,
228 Lihat Carmelo Espinoza v. Chile, Case 11.725, Report No.
19/03, Inter-Am. C.H.R., OEA/Ser.L/V/II.118 Doc. 70 rev. 2 p. 588.
229 Lihat kembali Ibid. Dikatakan bahwa, “amnesty violates victim's right to justice by preventing the identification of perpetrators, establishing their responsibility, imposing the corresponding punishment, and providing judicial reparations.”
Lihat juga Garay Hermosilla et al. v. Chile, Case 10.843, Report No. 36/96, Inter-Am.C.H.R.,OEA/Ser.L/V/II.95 Doc. 7 rev. p. 111 (1997).
230 Las Hojas Massacre Case, case no. 10.287, 1992-1993 Annual Reports Inter-American Commission on Human Rights, 88 p. 1 (1993) (Spanish). Dapat diakses dalam http://www.cidh.oas.org/annualrep/ 92eng/TOC.htm (1 Juni 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
94
kewajiban negara dalam menjamin hak korban untuk
berpartisipasi dalam proses peradilan pidana (hak korban
untuk mendapatkan fair trial), dan hak korban untuk
mendapatkan kompensasi yang wajar sesuai dengan prinsip hak
untuk mendapatkan perlindungan peradilan (judicial
protection).231
Ketiga, menegaskan keberlakuan asas “Right to Know”
dalam negara pada masa transisi politik sebagai landasan
pelarangan pemberian amnesti. Sistem HAM regional Amerika
Latin telah secara konsisten mengembangkan gagasan hak
masyarakat secara keseluruhan (society as a whole) untuk
mengetahui kebenaran, yang berasal dari hak korban (saja)
untuk mendapatkan kebenaran.232 Dalam Guidelines yang
dibentuk oleh Inter-American Commission, sudah diberikan
pernyataan mengenai hak masyarakat secara kolektif atas
kebenaran. Dikatakan bahwa,
“every society has the inalienable right to know the truth about past events, as well as the motives and
231 Cassel, op. cit., hal. 212 dalam membahas Las Hojas Massacre
Case. 232 Judith Schönsteiner, “Dissuasive Measures and the “Society as
a WholeP: A Working Theory of Reparations in the Inter-American Court of Human Rights,” American University International Law Review (2007): 127.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
95
circumstances in which aberrant crimes came to be committed, in order to prevent repetition of such acts in the future. Moreover, the family members of the victims are entitled to information as to on what happened to their relatives.”233
Dalam sistem peradilan HAM regional Amerika Latin
pula, gagasan baru ini dikonkretisasi melalui laporan
Komisi maupun Pengadilan setelah sebelumnya hanya mengemuka
sebagai wacana dan tidak memberikan reparasi menyeluruh
kepada satu negara-bangsa.234 Dalam perkara Aloeboetoe v.
Suriname misalnya, reparasi diberikan kepada suku nelayan
Saramaka yang dirugikan atas pelanggaran HAM yang terjadi
karena suku ditafsirkan sebagai “keluarga” dari korban,
namun belum diberikan kepada seluruh masyarakat di
Suriname. Baru kemudian dalam perkara Caballero-Delgado v.
Colombia, Inter-American Commission mengakui salah satu
bagian dari tanggung jawab negara adalah memberikan
permohonan maaf secara terbuka (public apology) kepada
233 Lihat catatan kaki nomor 218. 234 Berbagai wacana mengenai konsep hak kolektif masyarakat ini
ditemui dalam berbagai pertimbangan hukum, antara lain dalam kasus Plan de Sánchez Massacre v. Guatemala, Moiwana Community v. Suriname, Yakye Axá Indigenous Community v. Paraguay, and Sawhoyamaxa Indigenous Community v. Paraguay. Dalam kasus tersebut, reparasi diberikan tidak kepada individu, tetapi kepada kesatuan masyarakat asli (indigenous people) yang dilanggar HAM-nya. Lihat Schönsteiner, op. cit., hal. 135.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
96
keluarga korban dan kepada seluruh masyarakat.235 Langkah
besar berikutnya adalah pertimbangan Inter-American Court
dalam Trujillo-Oroza v. Bolivia, dimana dikatakan,
"Finally, according to the general obligation established in Article 1(1) of the [ACHR], the State has the obligation to take all necessary steps to ensure that these grave violations are not repeated, an obligation whose fulfillment benefits society as a whole…. the right of the victim's next of kin to know what has happened to the him [sic] and, when appropriate, where the mortal remains are, constitute a measure of reparation and, therefore, an expectation that the State should satisfy for the next of kin and society as a whole."236 (huruf tebal dari penulis).
Setelah ditegaskan dalam Vargas-Areco v. Paraguay
bahwa tanggung jawab kepada seluruh masyarakat termasuk
juga hak untuk mengetahui kebenaran,237 Konsep ini semakin
menemukan bentuknya dalam konteks impunitas dan pemberian
amnesti misalnya dalam perkara Mack Chang v. Guatemala.238
235 Caballero-Delgado v. Colombia, 1997 Inter-Am. Ct. H.R. (ser.
C) No. 31, p. 21 (Jan. 21, 1997).
236 Trujillo-Oroza v. Bolivia, 2002 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 92, hal. 110 dan p. 231-232. (Feb. 27, 2002).
237 Vargas-Areco v. Paraguay, 2006 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.
155, p. 81 (Sept. 26, 2006) ("[T]he imperious need to avoid repetition can only be satisfied by fighting impunity and by respecting the right of victims and society as a whole to know the truth ....");
238 Mack Chang v. Guatemala, 2003 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.
101, p. 275 (Nov. 25, 2003) ("The outcome of the proceeding must be made known to the public, for Guatemalan society to know the truth.")
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
97
Pemberian amnesti dalam hal ini melanggar tanggung jawab
negara untuk memberikan akses kepada seluruh masyarakat
untuk mengetahui kebenaran dalam suatu pelanggaran HAM.239
Selanjutnya, Inter-American Court secara konsisten
memperkuat doktrin bahwa impunitas, termasuk pemberian
amnesti, merupakan pelanggaran terhadap hak kolektif
masyarakat untuk mengetahui kebenaran (“Right to Know”).240
Dalam perkembangan terbaru Inter-American Court of
Human Rights, terdapat terobosan yang penting dalam Barrios
Altos Case.241 Dalam perkara ini, Right to Know tidak hanya
saja diakui dan dijadikan landasan untuk memberikan
kompensasi kepada korban, namun pula peradilan
memerintahkan negara untuk mengubah hukum domestik dari
negara (Peru) yang memberikan amnesti kepada pelaku
kejahatan internasional.242
239 Lihat juga Romero v. El Salvador, Case 11.481, Inter-Am.
C.H.R. 37, OEA/ser. L/V./II.106, __ p. 5-8. Dikatakan "The right to the truth is a collective right that enables society to have access to information essential to the development of democracies."
240 Misalnya dalam Bulacio v. Argentina, 2003 Inter-Am. Ct. H.R.
(ser. C) No. 100, p. 120-121 (Sept. 18, 2003), dikatakan “combating impunity demands that society knows the truth about past violations.”
241 Barrios Altos v. Peru, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.
83, p. 14 (Sept. 3, 2001).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
98
Dapat disimpulkan bahwa praktek peradilan regional di
Amerika Latin menentang keras pemberian amnesti, tanpa
terkecuali. Kalaupun situasi dalam masa transisi politik
tidak memungkinkan adanya penuntutan atau peradilan
terhadap pelaku kejahatan internasional, kondisi demikian
tidak memberikan hak kepada negara untuk memberi amnesti.243
Menurut penafsiran Robertson, dalam hal ini, hukum
internasional memang memberikan keleluasaan bagi negara
tersebut untuk tidak melakukan proses hukum sebelum negara
berada dalam kondisi yang stabil, namun hukum internasional
segera berlaku segera sesaat bahaya yang mengancam negara
sudah berlalu.244
C. Legalitas Amnesti dalam Hukum Internasional yang
Berkaitan Ekstradisi Pinochet dari Inggris
242 Ibid. Lihat Margaret Popkin, “The Serrano Sisters: El Salvador
in the Inter-American Court of Human Rights.” http://www.derechos.org/ nizkor/salvador/doc/serrano.html (12 April 2008).
243 Lihat juga UN Human Rights Commission, General Comment no. 20
(Pasal 7), 44th session (2002) yang membahas mengenai kemutlakan pemulihan yang efektif bagi korban pelanggaran HAM.
244 Robertson, op. cit., hal. 303. Dikatakan, “since a grant of
amnesty can under most constitutional arrangements be revoked by whichever body has plenary power in the State, a duty to do so may retrospectively arise under international law once the danger of reprisals has passed.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
99
Meskipun kasus penahanan mantan diktator Cile,
Jenderal Pinochet, di Inggris merupakan kasus yang diadili
di peradilan domestik Inggris, kasus ini banyak mengungkap
permasalahan-permasalahan hukum internasional dan menarik
perhatian banyak ahli hukum internasional.245 Telah
dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya bahwa kepemimpinan
Pinochet melakukan berbagai praktek pelanggaran HAM berat
yang tergolong sebagai kejahatan internasional.246 Praktek
ini dilakukan sejak rejimnya menggulingkan pemerintahan
Salvador Allende yang dipilih secara demokratis dan sangat
intensif pada masa awal berkuasanya rejim Pinochet.247
Sebelum ia turun dari jabatannya, Pinochet memberikan
amnesti menyeluruh kepada segenap aparat militer yang
melakukan tindakan-tindakan tersebut.248
Mayoritas teror, penyiksaan, penghilangan paksa,
penahanan di luar hukum, dan berbagai praktek pelanggaran
HAM lain dilakukan oleh Intelejen Cile, DINA, yang dipimpin
245 Lihat Sands, op. cit., hal. 23; Steiner dan Alston, op. cit.,
hal. 1198; Robertson, op. cit., hal. 332. 246 Lihat catatan kaki no. 38-39; Fröhlich, op. cit., hal. 272;
Sands, op. cit., hal. 23. 247 Robertson, op. cit., hal. 332. 248 Lihat catatan kaki no. 38-39; Fröhlich, op. cit., hal. 272;
Sands, op. cit., hal. 23.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
100
oleh tangan kanan Pinochet, Manuel Contreras Sepuvelda.249
Contreras menyatakan bahwa segala tindakan “anti-terorisme”
yang ia lakukan merupakan perintah langsung dari Jenderal
Pinochet, dan ia melapor langsung kepada sang Jenderal.
Dalam masa penahanannya, Contreras membeberkan segala
detail atas tindakan DINA tersebut.250 Salah satu kejahatan
yang dibeberkan adalah “Operation Condor,” operasi militer
yang ditujukan untuk memberantas “teroris” musuh Cile di
seluruh dunia. Termasuk di dalam korban Operation Condor
tersebut adalah warga negara Inggris dan Spanyol.251
Pada 22 September 1998, Pinochet yang sudah turun dari
jabatannya, namun mendapatkan jabatan Senator di Cile,
berkunjung ke London untuk melakukan pemeriksaan kesehatan
yang ia lakukan secara berkala secara teratur. Pada 16
Oktober 1998, Hakim Spanyol, Baltasar Garzon mengeluarkan
249 “Manuel Contreras and the Birth of Dina,” http://www.remember-
chile.org.uk/beginners/contdina.htm (2 April 2008). 250 Dalam upaya untuk mengurangi hukuman yang akan diberikan
terhadapnya dalam berbagai perkara penghilangan paksa di Mahkamah Agung Cile, Kepada DINA, Manuel Contreras, menyatakan bahwa tindakan tersebut dan berbagai tindakan pelanggaran HAM lain dilakukan atas perintah dari Jenderal Pinochet. Jonathan Frankin and Monte Reel, “Former Secret Police Chief Blames Pinochet for Abuses,” http://www.washingtonpost. com/wp-dyn/content/article/2005/05/14/AR2005051401013. html (2 April 2008).
251 Sands, op. cit., hal. 24.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
101
perintah penahanan untuk menahan Pinochet atas dasar
tindakan genosida dan terorisme yang, berdasarkan kesaksian
Contreras dalam Operation Condor pada masa 1976-1983,
mengakibatkan korban warga negara Spanyol.252
Kasus mengenai legalitas surat perintah penahanan
(aresst warrant) ini kemudian diadili di Pengadilan
Inggris, yang mana Spanyol (dalam perkara diwakili oleh
Crown Prosecution Service) dianggap tidak berhak untuk
menahan dan mengekstradisi Jenderal Pinochet atas alasan
imunitas yang dimiliki oleh kepala negara (state
immunity),253 terlebih tindakan yang dituduhkan terhadapnya
dilakukan pada saat Pinochet menjadi kepala negara dan
dilakukan dalam kapasitas resmi kenegaraan.254
Selain topik utama tersebut, kasus ini juga memberikan
pedoman mengenai legalitas pemberian amnesti dalam hukum
internasional. Setidaknya terdapat tiga prinsip yang dapat
ditarik dalam kasus ini.
252 Human Rights News, “Cile: Pinochet Indicted for Human Rights
Crimes,” http://www.hrw.org/english/docs/2004/12/13/chile9840.htm (2 April 2008); Lihat juga Sands, op. cit., hal. 25.
253 Untuk pendalaman mengenai doktrin state immunity, lihat
Wallace, op. cit., hal. 115-118. 254 Regina v. Bartle, House of Lords, 24 March 1999, 2 All ER 97,
(1999) 2 WLR 827.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
102
Pertama, terhadap kejahatan yang memiliki
karakteristik jus cogens, terdapat kewajiban erga omnes
untuk memeriksa, menuntut, dan mengadili pelakunya.255
Prinsip sebenarnya sudah diakui sejak lama dalam hukum
internasional.256 Namun catatan penting dalam perkara ini
adalah semakin diakui bahwa penyiksaan, sebagai tindakan
yang dilakukan oleh rejim Pinochet, mengandung
karakteristik jus cogens sehingga tidak dapat disimpangi
dalam keadaan apapun, termasuk apabila negara berada dalam
masa transisi politik.257
Kedua, dalam hal suatu negara tidak mau untuk
mengadili perkara tersebut melalui pemberian amnesti
terhadap pelaku kejahatan dengan alasan seperti “untuk
menciptakan perdamaian” atau karena “negara berada dalam
255 Lihat kembali bab II penelitian ini dalam sub-bab “Tinjauan
Umum Mengenai Kejahatan Internasional.” 256 Bassiouni (a), op. cit., hal. 167. 257 Robertson, op. cit., hal. 95 dan hal. 266. Dalam perkara
Augusto Pinochet yang disidangkan di Inggris, dikatakan bahwa, “ever since 1945, torture on a large scale has featured as one of the crimes against humanity ….[which]… has the character of jus cogens …[which]… justifies states in taking universal jurisdiction over torture wherever committed. International law provides that offences jus cogens may be punished by any state because the offenders are ‘common enemies of mandking and all nations jave an equal interest in their apprehension and prosecution…” (huruf tebal dari penulis).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
103
masa transisi politik,” maka kewajiban untuk memeriksa,
menuntut, dan mengadili tidak hilang, melainkan beralih
kepada forum lain yang kompeten.258 Negara yang mana
wilayahnya terjadi kejahatan internasional pun tidak
memiliki alasan untuk tidak mengadili pelakunya, kecuali
negara tersebut memilih untuk mengekstradisi pelaku
(dikenal juga dengan istilah aut dedere, aut judicare).259
Kesimpulan ini dapat ditindaklanjuti dengan berbagai
perbuatan, misalnya dengan pengambilalihan perkara oleh
Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan prinsip
komplementaritas,260 atau diadili oleh forum pengadilan dari
negara lain.261
258 Ian Brownlie, Public International Law, 6th ed, (Oxford: Oxford
University Press, 2003), hal.303. Dikatakan, “if perpetrators of crimes against humanity cannot be prosecuted
or even sued for damages in their home state –because they remain in power or have been granted amnesties –then a secondary duty may devolve upon another state to bring or permit proceedings should they come within its jurisdiction, on the principle that crimes against international law ‘may be punished by any state which obtains custody of persons suspected of responsibility.” (huruf tebal dari penulis).
Teori ini berhasil dipraktekan dalam perkara Pinochet. 259 Lihat kembali Pasal 7 Konvensi Anti Penyiksaan. 260 Terdapat tiga situasi berdasarkan Statuta Mahkamah Pidana
Internasional (MPI) yang berkaitan dengan pemberian amnesti. Pertama, dalam hal penuntut tidak melaksanakan atau menghentikan penyidikan atau penuntutan berdasarkan Pasal 53 ayat (3). Kedua, dalam konteks putusan penerimaan perkara (admissibility) berdasarkan Pasal 18 dan Pasal 19. Ketiga, dalam kasus penundaan penyidikan atau penuntutan atas permohonan Dewan Keamanan PBB berdasarkan Pasal 16.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
104
Ketiga, amnesti yang diberikan oleh suatu negara
kepada pelaku kejahatan internasional memang merupakan
tindakan berdaulat dari negara tersebut, namun hanya
memiliki kekuatan hukum domestik, yang artinya hanya
berlaku di yurisdiksi negara yang memberikan. 262 Artinya,
suatu negara dalam masa transisi politik dapat saja
melandaskan argumennya pada permasalahan domestik (misalnya
keadaan “darurat umum” sesuai pasal 4 ICCPR atau prinsip
necessity dalam hukum kebiasaan internasional yang
memperbolehkan dilakukannya derogasi terhadap prinsip HAM),
namun pemberian amnesti tersebut tidak mengikat negara
lain, yang memiliki yurisdiksi universal dalam mengadili
pelaku kejahatan internasional yang sedang berada di
wilayahnya. 263 Oleh karena itu, dalam perkara Pinochet,
pengadilan Inggris tidak terikat terhadap amnesti yang
Lihat Carsten Stahn, “Complementarity, Amnesty, and Alternative
Forms of Justice: Some Interpretative Guidelines for the International Criminal Court,” Journal of International Criminal Justice (July 2005): 695.
261 Lihat kembali Brownlie, op. cit., hal. 303. 262 Robertson, op. cit., hal. 303. 263 Lihat Robertson, op. cit., hal. 303. Dikatakan, “The amnesty may be valid under domestic law, and the action
justified in international law either under Article 4 of the Civil Covenant (a derogation taken in time of public emergency)… or under the accepted customary law notions of necessity… But such amnesties are not binding on other states, which may take universal jurisdiction to try a torturer who come within their borders.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
105
diberikan oleh Pinochet di Cile. Pengadilan Inggris,
sebaliknya, terikat dengan prinsip yurisdiksi universal
untuk mengadili kejahatan internasional, termasuk
penyiksaan yang dilakukan oleh Pinochet.
D. Hubungan Antara Pemberian Amnesti dengan Komisi
Kebenaran: Praktek di Afrika Selatan dan Sierra Leone
1. Hubungan antara Right to Know dengan Pembentukan
Komisi Kebenaran
Dalam perkembangannya, di berbagai negara yang
mengalami masa transisi politik, pemberian amnesti
dikembangkan dengan penggabungan mekanisme tersebut dengan
suatu komisi kebenaran.264 Komisi ini merupakan suatu
lembaga independen yang didirikan untuk mencari dan
menyatakan kebenaran atas segala permasalahan HAM yang
terjadi pada rejim sebelumnya.265 Komisi ini tidak melakukan
penuntutan, namun (secara umum) mencatat dan mengkompilasi
segala kejadian yang terjadi di masa lalu, siapa
264 Steiner dan Alston, op. cit., hal. 1216.
265 Declan Roche, “Truth Commission and the International Criminal
Court,” British Journal of Criminology (July 2005): 567.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
106
pelakunya,266 dan motivasi (politik) apa di belakangnya.
Komisi kebenaran merupakan kontradiksi dari proses
penuntutan yang dilakukan karena beberapa alasan, terutama
karena instabilitas iklim demokrasi dan banyaknya pelaku
kejahatan yang harus diadili.
Bassiouni mencoba meninjau keberadaan komisi kebenaran
berdasarkan hak korban. Menurutnya, pilihan untuk membuat
komisi kebenaran adalah lebih baik dibandingkan memberikan
amnesti secara menyeluruh untuk kepentingan politik melalui
mekanisme yang tidak mengakomodasi kepentingan korban
secara demokratis.267 Selanjutnya dikatakan, pertanggung-
jawaban pelaku kejahatan internasional dapat diberikan
secara alternatif, sepanjang tetap diikuti dengan adanya
hukuman, atau setidak-tidaknya hukuman alternatif.268
Dengan memberikan kesempatan baik bagi para korban dan
pelaku kejahatan untuk menyuarakan aspirasinya dan
memberikan rekomendasi dalam menyelesaikan permasalahan di
masa lalu, komisi kebenaran diperkenalkan untuk pertama
kalinya di negara Amerika Selatan untuk memeriksa
266 Steiner dan Alston, op. cit., hal. 1226-1233. 267 Bassiouni (a), op. cit., hal. 731. 268 Bassiouni, op. cit., hal. 730.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
107
pelanggaran HAM yang dilakukan diktator militer di
Argentina, Cile, El Savador, dan Guatemala dan dianggap
berhasil dalam prakteknya di Afrika Selatan.269
Ditinjau dari segi hukum internasional, keberadaan
komisi kebenaran merupakan pengejawantahan dari Right to
Know, atau hak kolektif masyarakat untuk mengetahui
kebenaran. Hal ini antara lain tergambar dalam Update Set
of Principles of 2005 yang banyak mengatur mengenai
mekanisme kerja dari komisi kebenaran.270 Komisi kebenaran
dalam prinsip ini diartikan sebagai ”official, temporary,
non-judicial fact-finding bodies that investigate a pattern
of abuses of human rights or humanitarian law, usually
committed over a number of years.”271 Agar suatu komisi
kebenaran diakui legalitasnya oleh masyarakat
internasional, lembaga ini harus selaras dengan kewajiban
umum negara untuk melakukan langkah efektif dalam mencegah
impunitas.272
269 Roche, op. cit., hal. 567. 270 Lihat kembali Sub-bab “Tinjauan Umum Mengenai Keadilan
Transisional” poin 3. 271 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005,
Definitions point D.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
108
Secara struktural, bagian pertama dari Right to Know
adalah mengatur mengenai ketentuan dari hak tersebut,273
sedangkan pada bagian kedua (commission of inquiry)
mengatur mengenai secara rinci aspek hukum yang perlu
diperhatikan dalam komisi kebenaran, yaitu:274 pembentukan
komisi kebenaran, tugas komisi kebenaran, jaminan yang
dibutuhkan, dan tindak lanjut dari laporan yang
dihasilkan.275 Satu hal penting yang harus diperhatikan
dalam kaitannya dengan pemberian amnesti adalah bahwa
pembentukan komisi kebenaran tidak boleh dimaksudkan untuk
menggantikan (substitusi) peradilan, baik perdata,
administrasi, maupun pidana.276
Selain itu, Naomi Roht-Arriaza, ahli hukum
internasional dan keadilan transisional, menyimpulkan bahwa
hukum internasional memberikan tiga hak mendasar bagi
272 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip
I. Lihat Basari, op. cit., hal. 57.
273 Update Set of Principles to Combat Impunity 2005, Prinsip 2-5, yaitu inalienable right to the truth, the duty to preserve memory, the victim’s right to know, dan guarantees to give effect to the right to know.
274 Basari, op. cit., hal. 58. 275 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip
6-13. 276 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip
8.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
109
korban kejahatan internasional: hak untuk mendapatkan
kebenaran, keadilan, dan reparasi.277 Ketiga hak tersebut
adalah saling independen antara satu sama lain. Dengan
demikian, pemenuhan salah satu hak tersebut tidak berari
menyebabkan hak lainnya tidak perlu dipenuhi.278 Dalam
perspektif ini, pun suatu komisi kebenaran berhasil
memenuhi Right to Know suatu masyarakat, tidak berarti hak
untuk memperoleh keadilan bagi korban harus dihilangkan.279
Dengan demikian, keberadaan komisi kebenaran di suatu
negara memang dapat menjustifikasi pemberian amnesti, namun
hanya sebatas kejahatan minor,280 dan bukan kejahatan yang
277 Written Testimony of Naomi Roht-Arriaza, Professor of Law,
University of California, Hastings College of the Law, before the Indonesian Constitutional Court, 2 Agustus 2006. Diakses berdasarkan surat elektronik pribadi dengan Naomi Roht-Arriaza.
278 Ibid. 279 Ibid. Dikatakan, “International law and practice recognize
three separate, independent but interrelated obligations of states, and corresponding rights of victims: the right to truth, justice and reparation. Fulfillment of one does not mean the others can be ignored, nor can one be tied to and dependent upon others.”
280 Kesimpulan ini didapatkan berdasarkan perkembangan doktrin
yang menyatakan bahwa penuntutan dan peradilan dapat saja difokuskan kepada “the most serious crimes” dan “the most responsible perpetrators.” Artinya, untuk kejahatan tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, pelaku yang bertindak hanya atas dasar perintah dapat diberikan amnesti.
Lihat Pasal 1 dan Pasa 7(1) Statuta International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia dan International Criminal Tribunal for Rwanda. Lihat juga Security Council Res. 1329 of 30 November 2000, yang mana memperhatikan “of the position expressed by the International
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
110
tergolong sebagai kejahatan internasional karena itu tipe
kejahatan tersebut, hak korban baru dapat dipenuhi apabila
pelaku diperiksa, dituntut, dan diadili dalam proses
peradilan.
2. Permasalahan Hukum Internasional dalam Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan
Banyak pihak yang menganggap bahwa keberhasilan komisi
kebenaran yang patut dijadikan contoh adalah South Africa
Truth and Reconciliation Commissions (SATRC) yang dibentuk
menyusul pemilihan presiden demokratis pertama pada tahun
1994, yang diketuai oleh tokoh karismatik mantan Uskup
Agung dan peraih Nobel, Desmond Tutu.281 Dipimpin oleh figur
seperti Mandela dan Uskup Tutu, SATRC dianggap berhasil
memberikan kontribusi maksimal bagi proses transisi politik
di Afrika Selatan secara damai dalam kerangka negara
demokratis, sehingga menjadi negara tersebut sebagai model
Tribunals that civilian, military and paramilitary leaders should be tried before them in preference to minor actors.”
281 Lihat Mary Burton, “Custodians of Memory: South Africa’s Truth
and Reconciliation Commission,” International Journal of Legal Information (Summer 2004): 417. Dikatakan, “South Africa is widely admired for its peaceful transition from a period of discrimination and oppression to a legitimate functioning democracy in which human rights are recognized and protected by the Constitution and the courts.“
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
111
bagi negara lain yang juga berada dalam masa transisi
politik.282
Langkah pertama Presiden Nelson Mandela setelah
memenangi pemilihan adalah mendorong pembentukan Promotion
of National Unity and Reconciliation Act (1995) yang
membentuk SATRC.283 Dalam enam tahun perjalanannya, SATRC
memiliki tiga fungsi utama, yaitu:
1. Pengumpulan bukti-bukti dan kesaksian menyangkut
pelanggaran HAM berat yang pernah dilakukan
(dilakukan oleh Komisi Pelanggaran HAM),
2. Memberikan amnesti kepada setiap individu yang
melakukan pengakuan publik secara penuh telah
melakukan kejahatan politik (dilakukan oleh
Komisi Amnesti),
3. Memberikan reparasi dan rehabilitasi kepada
Presiden menyangkut pemulihan hak para korban dan
melakukan reformasi institusi kenegaraan
282 Roche, op. cit., hal. 567. 283 Promotion of National Unity and Reconciliation Act, No. 34 of
1995.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
112
(dilakukan oleh Komisi Reparasi dan
Rehabilitasi),284
Komisi Amnesti dalam SATRC memiliki kewenangan untuk
memberikan amnesti terhadap setiap tindakan, kealpaan atau
kesengajaan, sepanjang pelakunya memberikan pengakuan penuh
(full disclosure) terhadap semua fakta yang relevan.
Tindakan tersebut harus memiliki motif politik sebagaimana
diatur dalam act mengenai SATRC.285 Setelah seseorang
diberikan amnesti, orang tersebut tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana atas tindakan tersebut, termasuk
dilakukan penuntutan terhadapnya.286 Ia juga tidak dapat
diminta untuk memberikan reparasi bagi korban, ataupun
dimintai pertanggungjawaban perdata.287 Terhitung hingga
284 Ibid. Chapter 3. Lihat juga Roche, op. cit., hal. 567. Dikatakan, “[O]ver the next
six years, the Commission's work was done by three main committees: a Human Rights Violation Committee, responsible for collecting evidence from victims; an Amnesty Committee, responsible for handing out amnesties to individuals who made full, public confessions to political crimes; and a Reparation and Rehabilitation Committee, charged with making recommendations to the President about matters such as victim reparation and institutional reform. In 1998, the commission issued a five-volume report (and then a further report in 2001 upon the conclusion of its amnesty hearings).”
285 Promotion of National Unity and Reconciliation Act, ch. 4, P
20(1). 286 Promotion of National Unity and Reconciliation Act, P
20(7)(a).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
113
Maret 2002, setelah Komite Amnesti benar-benar menjalankan
seluruh tugasnya dan menyelesaikan laporan akhirnya,
tercatat terdapat 7.112 permohonan amnesti, dan 1.146
diantaranya dikabulkan.288 Kewenangan SATRC untuk memberikan
amnesti adalah suatu terobosan karena tidak dimiliki oleh
komisi serupa di negara lain, namun kewenangan ini diikuti
pula dengan hak untuk memanggil saksi atau terdakwa
(subpoena), melakukan penggeledahan dan penyitaan, serta
dilengkapi dengan anggaran yang memadai.289
Pertanyaannya kemudian adalah, jika memang SATRC
dianggap berhasil memuluskan transisi politik di Afrika
Selatan, apakah dengan demikian amnesti yang diberikan
kepada pelanggar HAM di negara tersebut dianggap sesuai
dengan hukum internasional? Atau justru terjadi konflik di
antara hukum internasional dengan praktek di Afrika
Selatan?
287 Ibid. 288 Sherrie L. Russell-Brown, “Out of the Crooked Timber of
Humanity: The Conflict Between South Africa’s Truth and Reconciliation Commission and International Human Rights Norms Regarding ‘Effective Remedy’” Hastings International and Comparative Law Review (Winter 2003): 259.
289 Report of Truth and Reconciliation Commission of South Africa,
5 vol., 1998, Vol. I Chapter 4: The Mandate, <http://www.info.gov.za/ otherdocs/2003/trc/> (1 Juni 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
114
Secara eksplisit sebenarnya sudah dapat terlihat bahwa
pemberian amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM berat
yang tergolong sebagai kejahatan internasional di Afrika
Selatan sudah seharusnya bertentangan dengan hukum
internasional.290 Namun demikian, dalam prakteknya pemberian
amnesti tersebut tetap dilaksanakan, meskipun bukannya
tanpa hambatan hukum. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan
beberapa kali menerima permohonan untuk menguji
konstitusionalitas klausul pemberian amnesti tersebut.
Dalam perkara Azanian Peoples Organisation (AZAPO) v.
President of the Republic of South Africa, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan hukum di Afrika
Selatan menyediakan mekanisme pemulihan hak bagi korban.291
Di sisi lain, pengadilan telah berjalan efektif untuk
mengadili pelaku yang tidak meminta atau tidak mendapatkan
amnesti. Mahkamah juga berpendapat bahwa klausul amnesti
290 Termasuk dalam ketentuan hukum internasional yang dilanggar
adalah kewajiban untuk menuntut pelaku kejahatan internasional, dan hak korban kejahatan internasional untuk mendapatkan pemulihan atas tindakan yang menimpa dirinya. Lihat Russel-Brown, op. cit., hal. 262. (South African Government's establishment of the TRC does not appear to constitute an "effective remedy" and indeed appears to have been in conflict with international human rights "effective remedy" norms for those gross human rights violations).
291 Steiner and Alston, op. cit., hal. 1244.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
115
tidak bertentangan dengan hukum internasional.292 Dalam
bahasa Robertson, pemberian amnesti tidak mengadopsi
mekanisme di Cile yang dilakukan oleh rejim pelaku
kejahatan itu sendiri.293 Dalam hal ini, kewenangan SATRC
yang sangat kuat, melebihi komisi kebenaran di negara lain,
memang sudah sangat mengakomodasi prinsip-prinsip Update
Sets of Principle of 2005 dengan menjunjung pemenuhan
”Right to Know” masyarakat Afrika Selatan secara
keseluruhan. Keunggulan SATRC memang berada pada
keberhasilannya untuk membeberkan fakta sejarah mengenai
kejahatan apartheid yang terjadi.294
Pendapat ini sedikit berbeda dengan pertimbangan
Mahkamah Konstitusi ketika mengadili permohonan untuk
menolak klausul pemberian amnesti oleh janda Steven Biko,
aktivis kulit hitam karismatik yang dibunuh.295 Mahkamah
mengakui bahwa impunitas dapat terjadi dengan pemberian
amnesti, namun tanpa ”mechanism for providing amnesty... a
292 Steiner and Alston, op. cit., hal. 1244. 293 Robertson, op. cit., hal. 320. 294 Robertson, op. cit., hal. 320. 295 Lihat Carla Hesse and Robert Post, ed, Human Rights in
Political Transitions: Gettysburg to Bosnia, (New York: Zone Books, 1999), hal. 13.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
116
peaceful transition to a democratic society based on
freedom and equality” tidak akan terwujud.296 Bahkan
pemberian amnesti terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan
dapat dijustifikasi demi kebutuhan untuk memperoleh
kebenaran. Di sisi lain, Mahkamah juga mengakui bahwa
argumen tersebut memang bertentangan dengan hukum
internasional. Namun, hukum internasional harus diletakan
di bawah (subordinasi) dari hukum nasional Afrika
Selatan.297 Meskipun permohonannya ditolak oleh Mahkamah
Konstitusi, keluarga korban Steven Biko masih memperoleh
keadilan karena permohonan amnesti dari pelaku ditolak oleh
SATRC.298
Paul Van Zyl, ahli hukum internasional yang juga
Sekretaris Eksekutif SATRC mengakui bahwa ketentuan amnesti
dalam SATRC bertentangan dengan hukum internasional.299
296 Ibid. Lihat juga Aeyal M. Gross, “The Constitution,
Reconciliation, and Transitional Justice: Lessons From South Africa and Israel,” Stanford Journal of International Law (Winter 2004): 75.
297 Ibid. 298 Ibid. Dalam perkembangannya, penuntutan dihentikan karena
alasan kurangnya bukti yang mendukung. Gross, op. cit., hal. 75. 299 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang Perkara
Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V), (http://www.mahkamahkonstitusi. go.id) (3 April 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
117
Satu-satunya alasan mengapa ketentuan tersebut tidak
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan adalah
karena Konstitusi itu sendiri yang memperbolehkan pemberian
amnesti.300 Seandainya Konstitusi Afrika Selatan tidak
mencantumkan klausul amnesti, sangat besar kemungkinan
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan akan membatalkan
pemberian amnesti karena dianggap bertentangan dengan hukum
internasional.301
300 Ziyad Motala, “The Use of the Truth Commission in South Africa
as an Alternative Dispute Resolution Mechanism Versus International Law Obligations,” Santa Clara Law Review (2005): 920. Konstitusi Afrika Selatan yang disusun pada tahun 1993 merupakan “Konstitusi Transisi,” yang mana di dalamnya terkandung berbagai pertimbangan politik dan ekonomi. Keberadaan ketentuan amnesti dalam konstitusi merupakan wujud tarik ulur kepentingan antara para reformis (Mandela) dengan kaum apartheid yang membutuhkan jaminan bagi rejimnya akan kebebasan.
301 Mahkamah Konstitusi, op. cit. Selengkapnya pernyataan Paul Van
Zyl adalah “The only truth commission after more than thirty two commission that have operated in the world that has granted amnesty for gross violation of human rights has been the South African Commission. So I want to straight to Your Honor that the South African approach were the truth commission grant amnesty for gross violation is the exception not the rules. The reason why South African truth commission granted amnesty has to do with the particular nature of negotiation which brought apartheid to an end. During those negotiations the apartheid government indicated it would not lead the democracy came to South African unless there was an amnesty. And they made Nelson Mandela and the leader of the South African human rights movement make constitutional promise to grant amnesty. So South Africa constitution has a clause on it which obligates the new government to grant amnesty. And the principle reason why the South Africa constitutional court upheld the amnesty in South African truth commission was because it arouse from constitutional provision in South Africa constitution. If that amnesty was not in South African constitution, Constitutional Court would be very likely not upheld the amnesty.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
118
Namun demikian, Van Zyl menganggap SATRC berhasil
karena mampu menjalankan penegakan hukum yang efektif dan
berjalan seiiringan dengan pemberian oleh SATRC. Van Zyl
memberikan contoh bahwa pengadilan Afrika Selatan mampu
menghukum pimpinan senior kepolisian atas kejahatan
apartheid. Konsekuensinya, banyak sekali polisi yang
mengajukan permohonan amnesti ke SATRC agar terhindar dari
pemidanaan.302 Sebaliknya, ketika pengadilan menyatakan
bebas seorang senior militer, aparat militer bawahannya
tidak ada satupun yang mengajukan permohonan karena
menganggap mereka tidak akan dihukum, sehingga tidak perlu
mengajukan permohonan amnesti.303
Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan amnesti di Afrika
Selatan sangat bergantung pada pengadilan yang berhasil
“menakuti” pelaku kejahatan untuk segera memberikan
kesaksian pada SATRC ketimbang harus menghadapi hukuman.
Sebagaimana diformulasikan oleh pernyataan analogis Hesse
dan Post, penuntutan internasional melalui ICTY tidak akan
sendirinya menegakan aturan hukum di Bosnia, melainkan
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang Bosnia melalui
302 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op. cit.
303 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op. cit.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
119
institusi-institusi Bosnia.304 Dalam hal ini, meskipun
ketentuan hukum internasional sudah memberikan pedoman yang
tegas, efektivitas mekanisme keadilan transisional sangat
bergantung pada budaya hukum dari suatu masyarakat secara
lokal.305
3. Amnesti sebagai Bagian dari Kompromi Politik di Sierra
Leone yang Didukung oleh Masyarakat Internasional
Sejak tiga puluh tahun terakhir, PBB sebagai lembaga
yang bertugas menjaga perdamaian internasional memiliki
peran besar dalam menciptakan perjanjian perdamaian di
berbagai negara yang sedang mengalami konflik bersenjata.306
Dalam beberapa negara seperti Kamboja, El Salvador, Haiti,
Sierra Leone, dan Afrika Selatan, PBB sendiri yang
mendorong, membantu negosiasi, dan mendukung pemberian
304 Hesse and Post, dalam Hesse and Post, ed, op. cit. 305 Lars Waldorf, “Mass Justice for Mass Atrocity: Rethinking
Local Justice as Transitional Justice,” Temple Law Review (Spring 2006): 1.
306 Untuk melihat peran PBB dalam penjagaan perdamaian, lihat Richard M. Price and Mark W. Zacher, United Nations and Global Security, ed, (New York: Palgrave McMillan, 2004).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
120
amnesti sebagai salah satu mekanisme untuk menciptakan
perdamaian dan pemerintahan yang demokratis.307
Dikatakan oleh Akhavam, penasehat hukum bagi ICTY,
bahwa kecuali masyarakat internasional bersedia untuk
menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan suatu rejim,
kerjasama di antara pemimpin (negara dan pemberontak)
dibutuhkan untuk menghentikan krisis humaniter. Sangat
tidak realistis untuk mengharapkan suatu rejim menyerah
dalam perjanjian perdamaian apabila mereka dan kelompoknya
harus menghadapi ancaman penjara seumur hidup.308 Namun
demikian, ditegaskan oleh Bassiouni bahwa pertukaran
(barter) antara pertanggungjawaban pelaku dalam hukum
pidana internasional dengan penyelesaian politik (misalnya
dengan perjanjian perdamaian) tidak dapat menghilangkan
kewajiban internasional.309
Sierra Leone merupakan contoh klasik dari bentuk
kompromi politik dalam menyelesaikan konflik di suatu
negara dengan bantuan masyarakat internasional. Pada
1990an, perang saudara antara Revolutionary United Front
307 Scharf, op. cit., hal. 343.
308 Scharf, op. cit., hal. 343. 309 Bassiouni (a), op. cit., hal. 731.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
121
(RUF) melawan pemerintah berlangsung tragis dengan korban
puluhan ribu jiwa. RUF juga didukung oleh Presiden Liberia,
Charles Taylor.310 Dalam rangka mengekstraksi kekayaan alam
berupa emas dan berlian, RUF melakukan berbagai kejahatan
termasuk penculikan, mutilasi, pembunuhan sistematis,
pemerkosaan, dan perekrutan tentara anak.311
Pada 7 Juli 1999, dicapai kesepakatan Lome Peace
Agreement antara Pemerintah Sierra Leone dengan pemimpin
RUF, Foday Sankoh.312 Beberapa pihak luar yang terlibat
antara lain Jesse Jakson (utusan AS untuk perdamaian),
Charles Taylor, dan bahkan perwakilan dari Sekretariat
Jenderal PBB yang ikut menandatangai perjanjian
tersebut).313
Dalam perjanjian tersebut, amnesti diberikan berupa
“absolute and free pardon” untuk semua “kombatan dan
kolaborator” berupa “no official or judicial action” untuk
310 Williamson, op. cit. 311 Payam Akhavan, “Beyond Impunity: Can International Criminal
Justice Prevent Future Atrocities,” American Journal of International Law (January 2001): 28.
312 Peace Agreement Between the Government of Sierra Leone and the
Revolutionary United Front of Sierra Leone, July 7, 1999, <http:// www.sc-sl.org/lomeratificationact.html> (15 Februari 2008).
313 Robertson, op. cit., hal. 302.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
122
segala tindakan yang dilakukan untuk kepentingan mereka
masing-masing.314 Serupa dengan situasi di Afrika Selatan,
secara umum pemberian amnesti didukung oleh masyarakat yang
sudah lelah dengan konflik berkepanjangan.315 Secara
mengejutkan, PBB yang terlibat dalam pembentukan perjanjian
ini dari awal, mengeluarkan reservasi di detik-detik akhir
penandatanganan. PBB mengubah pendirian sebelumnya yang
mendukung pemberian amnesti bagi pelaku kejahatan di Sierra
Leone, menjadi menentang mekanisme impunitas tersebut.
Setelah mendapat arahan dari Kofi Annan, perwakilan PBB
yang menandatangani perjanjian Lome menyatakan bahwa,
“The United Nations interprets that the amnesty shall not apply to international crimes of genocide, crimes
314 Pasal IX Lome Agreement berbunyi: “(2) After the signing of the present Agreement, the Government
of Sierra Leone shall also grant absolute and free pardon and reprieve to all combatants and collaborators in respect of anything done by them in pursuit of their objectives, up to the time of the signing of the present Agreement.
(3) To consolidate the peace and promote the cause of national reconciliation, the Government of Sierra Leone shall ensure that no official or judicial action is taken against any member of the RUF/SL, ex-SLA, or CDF in respect of anything done by them in pursuit of their objectives as members of those organizations, since March 1991, up to the time of the signing of the present Agreement...“
Lihat juga Daniel J. Macaluso, “Note, Absolute, and Free Pardon: The Effect of the Amnesty Provision in the Lome Agreement on the Jurisdiction of the Special Court of Sierra Leone,” Brooklyn Journal of International Law (2001): 363.
315 Karen Gallagher, “No Justice, No Peace: The Legalities and
Realities of Amnesty in Sierra Leone,” Thomas Jefferson Law Review (Fall 2000): 192.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
123
against humanity, war crimes, and other serious violations of international law.”316
Pernyataan tersebut sejalan dengan penafsiran atas
Pasal 6 ayat (5) Protokol II Konvensi Jenewa yang mengatur
pemberian amnesti. Menurut International Committee of the
Red Cross (ICRC) ketika memberikan pendapat kepada Penuntut
dalam ICTY tahun 1997, dikatakan bahwa,
“Article 6(5) of Protocol II is the only and very limited equivalent in the law of non international armed conflict of what is known in the law of international armed conflict as “combatant immunity”, i.e., the fact that a combatant may not be punished for acts of hostility, including killing enemy combatants, as long as he respected international humanitarian law, and that he has to be repatriated at the end of active hostilities. In non-international armed conflicts, no such principle exists, and those who fight may be punished, under national legislation, for the mere fact of having fought, even if they respected international humanitarian law. The “travaux préparatoires” of [article] 6(5) indicate that this provision aims at encouraging amnesty, i.e., a sort of release at the end of hostilities, for those detained or punished for the mere fact of having participated in hostilities. It does not aim at an amnesty for those having violated international humanitarian law.”317 (huruf tebal dari penulis).
316 Robertson, op. cit., hal. 302. Harus diakui, pernyataan PBB
demikian terkesan hipokrit karena sebenarnya PBB juga terlibat dan mendukung penuh pembentukan Abidjan Peace Agreement tahun 1996 antara Pemerintah Sierra Leone dengan RUF. Perjanjian damai tersebut juga mengandung pasal “broad amnesty.” Lihat Schabas, op. cit., hal. 154-57.
317 Pernyataan dari Dr. Toni Pfanner, Head of the Legal Division,
ICRC Headquarters, Geneva, dalam Cassel, op. cit., hal. 218.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
124
Lome Agreement ini juga dilengkapi dengan dua lembaga
HAM, yakni “autonomous quasi-national” Human Rights
Commission (HRC) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR). HRC berwenang untuk melakukan investigasi terhadap
pelanggaran HAM yang terjadi setelah perjanjian Lome dan
memberikan rekomendasi terhadap rehabilitasi korban.318
Sementara itu, KKR Sierra Leone bertujuan untuk “address
impunity ... and facilitate genuine healing and
reconciliation.”319 Meskipun demikian, perjanjian ini tidak
memberikan modalitas atau mandat apapun bagi KKR Sierra
Leone dalam menjalankan tugasnya sehingga kewenangannya
terkesan sangat ambigu.320
Selanjutnya, Sankoh secara personal mendapatkan
amnesti321 dan sebagai pemimpin RUF mendapatkan posisi
sebagai Wakil Presiden Sierra Leone dan Ketua Komisi
Pengembangan Sumber Daya Mineral Strategis sebagai bentuk
318 Pasal XXV dan XXVI ayat (2) dan (3) Lome Agreement. 319 Pasal XXVI ayat (1) Lome Agreement. 320 Gallagher, op. cit., hal. 189. 321 Pasal IX ayat (1) Lome Agreement.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
125
pembagian kekuasaan dengan Presiden Kabbah.322 Dalam
perkembangannya, Sankoh ternyata melakukan maneuver
politik. Lome Agreement tidak memperbaiki situasi konflik,
pembantaian tetap terus terjadi, dan ekstraksi berlebihan
atas emas dan berlian terus dilakukan. RUF bahkan
menyandera ratusan pasukan penjaga perdamaian dari UN
Assistance Mission in Sierra Leone. Sankoh mencoba kabur
dari negaranya, namun akhirnya ditahan dan dihadapkan pada
tuntutan pidana.323
4. Mekanisme Pemberian Amnesti Dalam Pengadilan Khusus
dan Komisi Kebenaran di Sierra Leone
Dalam bagian ini akan dibahas dua instrumen di Sierra
Leone, KKR dan pengadilan khusus, dan hubungan di antara
keduanya yang saling koeksisten menjadikan Sierra Leone
sebagai “best practice” pemberian amnesti bagi negara yang
mengalami masa transisi politik.
322 Pemanfaatan berlian untuk membiayai perang dikenal juga dengan istilah “blood diamond.” Lihat Joseph Stiglitz, Making Globalization Work the Next Step to Global Justice, (London: Penguin Books, 2006), hal. 133 dalam bab “Lifting the Resource Curse.”
323 William A. Schabas, “Amnesty, The Sierra Leone Truth and
Reconciliation Commission and the Special Court for the Sierra Leone,” UC Davis Journal of International Law and Policy (Fall 2004): 145.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
126
Menindaklanjuti Lome Agreement, KKR Sierra Leone
dibentuk berdasarkan “Truth and Reconciliation Act of
2000,” yang meskipun merupakan institusi domestik, namun
didukung penuh oleh PBB dari segi pendanaan, personal, dan
bantuan teknis lainnya.324 Tujuan KKR ini adalah untuk
menciptakan catatan sejarah yang imparsial mengenai
pelanggaran HAM dan hukum humaniter internasional terkait
dengan konflik bersenjata di Sierra Leone sejak tahun 1991
hingga penandatanganan Lome Agreement, merespons kebutuhan
korban, dan mendukung pemulihan dan rekonsiliasi untuk
mencegah pelanggaran dan penderitaan yang sama terulang
kembali.325 Secara spesifik, KKR Sierra Leone menyediakan
mekanisme agar korban dan pelaku memiliki forum untuk
mengutarakan suaranya326 melalui berbagai sistem secara umum
dipraktekan oleh KKR di berbagai negara di dunia (seperti
pengumpulan dokumen, aliansi dengan pemimpin masyarakat,
324 Michael Nesbitt, “Lessons from the Sam Hinga Norman Decision
of the Special Court for Sierra Leone: How Trials and Truth Commission Can Co-Exist,” German Law Journal (Oktober 2007)” 989.
325 The Truth and Reconciliation Act of 2000, Part III -
"Functions of the Commission", paragraf 6(1). 326 Nesbitt, op. cit., hal. 990.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
127
dengar pendapat umum , dan lainnya). Laporan akhir KKR akan
memberikan rekomendasi bagi pemerintah Sierra Leone.327
Setelah Lome Agreement mengalami kegagalan, pada Mei
2000, Dewan Keamanan PBB memberikan mandat bagi peluncuran
pasukan penjaga perdamaian (peacekeeping) PBB di Sierra
Leone dengan dukungan utama dari Inggris. Pada akhirnya RUF
dapat dikalahkan dan peluang perdamaian kembali terbuka.328
Kemudian, pada Juni 2002, Presiden Kabbah, menulis
surat kepada Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, untuk
meminta masyarakat internasional mengadili pelaku yang
bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi pada masa
konflik. Presiden Kabbah berpendapat bahwa kejahatan
tersebut berlangsung sangat berat sehingga membutuhkan
327 The Truth and Reconciliation Act of 2000, Part III -
"Functions of the Commission". 328 Pada 7 Februari 2000, Dewan Keamaman PBB mengeluarkan Resolusi
1289 yang menambah jumlah pasukan perdamaian mencapai 11,100 personil. Lihat SCOR Res. 1289, U.N. SCOR, 4099th mtg., U.N. Doc S/RES/1289 (2000), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/283/50/PDF/N002835 0.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).
Pada 19 Mei 2000, Dewan Keamanan PBB semakin agresif dengan menambah jumlah pasukan mencapai 13,600.Lihat SCOR Res. 1299, U.N. SCOR, 4145th mtg., U.N. Doc S/RES/1299 (2000), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/439/60/PDF/N0043960.pdf?OpenElement> (23 januari 2003).
Pada 4 Agustus 2000, mandat dari pasukan perdamaian diubah, sehingga menjadi “tasks as deterring and countering the threat of [Revolutionary United Front] attack by responding robustly." SCOR Res. 1313, U.N. SCOR, 4184th mtg., U.N. Doc S/RES/1313 (2000), <http:ods-dds ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/439/60/PDF/N0043960.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
128
perhatian seluruh komunitas internasional.329 Segera sesudah
itu, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1415 tahun
2000 yang meminta Sekretaris Jenderal PBB memulai negosiasi
untuk membentuk peradilan khusus.330 Pada akhirnya, dibentuk
“Sierra Leone Special Court” (SLSC), suatu lembaga
internasional yang merupakan campuran (hibrid) antara
peradilan nasional dan peradilan internasional atas
kesepakatan antara Pemerintah Sierra Leone dan PBB.331
Pembentukan peradilan khusus ini disetujui oleh parlemen
dan diratifikasi sehingga membuat peradilan tersebut tunduk
di bawah hukum Sierra Leone.332
329 Letter from Alhaji Ahmed Tejan Kabbah, President of The
Republic of Sierra Leone, to Kofi Annan, Secretary General, United Nations (June 12, 2000) (on file with the Cardozo School of Law Public Law, Policy and Ethics Journal) dalam Williamson, op. cit.
330 SCOR Res. 1415, U.N. SCOR, 4546th mtg., U.N. Doc S/RES/1415
(2002), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N02/404/63/PDF/N024 0463.pdf?OpenElement (23 Januari 2008). Lihat juga Press Release, United Nations, Council Asks Secretary-General, Sierra Leone to Negotiate Agreement for Creation of Independent Special Court, SC/6910, (Aug. 14, 2000), http:// www.un.org/News/Press/docs/2000/20000814. sc6910.doc.html (23 Januari 2008).
331 Nesbitt, op. cit., hal. 991. Lihat juga The Government of Sierra Leone, Agreement between the
United Nations and the Government of Sierra Leone on the Establishment of a Special Court for Sierra Leone appending the Statute of the Special Court, signed in Freetown on 16 January 2002.
332 Lihat the Statute of the Special Court of Sierra Leone of
2002.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
129
SCSL akan mengadili “those who bear greatest
responsibility”333 atas kejahatan yang dilakukan sejak 30
November 1996, yakni ketika perjanjian perdamaian pertama
ditandatangani antara pemerintah dengan RUF. Peradilan akan
mengadili pelaku kejahatan yang tergolong sebagai kejahatan
perang dalam hukum humaniter internasional, kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran HAM berat dalam hukum
internasional seperti pemanfaatan anak sebagai tentara.
Dalam beberapa kasus, hukum domestik Sierra Leone juga
digunakan. Statuta SCSL secara tegas menyebutkan bahwa
tidak ada pemberian amnesti bagi pelaku kejahatan
internasional tersebut.334
Berdasarkan prinsip ini, SCSL melakukan terobosan
dengan mengeluarkan putusan yang menyatakan tidak
berlakunya ketentuan mengenai amnesti dalam Lome Agreement.
Dalam perkara Kondewa, amnesti yang diberikan kepada Allieu
Kondewa selaku komandan Civil Defense Force Sierra Leone
dibatalkan oleh pengadilan.335 Argumentasi hukum yang
333 Ibid., Pasal 1. 334 Untuk melihat persinggungan antara kewenangan SCSL dengan
pasal-pasal pada Lome Agreement, lihat Schabas, op. cit., hal 159.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
130
diberikan oleh SCSL serupa dengan argumentasi pada perkara
Pinochet: ketentuan hukum domestik dapat mengatur,
membatasi, melarang, atau bahkan memberikan amnesti, namun
hukum internasional bekerja pada dimensi yang berbeda.336
Artinya, hukum internasional, sepanjang diakomodasi dalam
forum yang kompeten, dapat membatalkan suatu ketentuan
amnesti yang diberikan terhadap pelaku yang paling
bertanggung jawab atas suatu kejahatan internasional (dalam
SCSL kejahatan terhadap kemanusiaan).337
Kesimpulan ini diperkuat dalam kasus Prosecutor v.
Morris Kallon and Brima Bazzy Kamara.338 Dalam perkara ini,
disimpulkan bahwa Perjanjian Lome yang memuat klausul
amnesti bukan merupakan perjanjian internasional sehingga
tidak menciptakan hak dan kewajiban dalam hukum
internasional.339 Oleh karena itu, penafsiran dan
pelaksanaan klausul amnesti harus diterapkan secara
335 Prosecutor v. Kondewa, SCSL-04-14 AR 72, decision on Amnesty
Provided by the Lome Accord, 25 Mei 2004. 336 Ibid. 337 Robertson, op. cit., hal. 317-318. 338 Prosecutor v. Morris Kalon, SCSL-2004-15-AR72 (E) dan
Prosecutor v. Brima Bazzy Kamara, SCSL-2004-16-AR72 (E), Decision on Challenge to Jurisdiction: Lome Accord Amnesty, 13 Maret 2004.
339 Ibid.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
131
domestik dan hanya berlaku untuk pengadilan domestik. SCSL
tidak dapat digolongkan sebagai pengadilan domestik karena
lembaga tersebut mengadili kejahatan yang dapat digolongkan
sebagai kejahatan internasional, sehingga dengan demikian,
pemberian amnesti yang dilarang dalam hukum internasional
dapat dibatalkan oleh SCSL.340
Dalam kaitannya dengan mekanisme pencarian kebenaran,
mekanisme KKR pada Sierra Leone juga dianggap sangat lemah
dan tidak memiliki insentif yang kuat. Hal ini karena
berbeda dengan mekanisme SATRC di Afrika Selatan yang mana
amnesti hanya diberikan bagi mereka yang mengaku telah
melakukan kejahatan, amnesti di Sierra Leone sudah
diberikan sejak awal kepada seluruh pelaku kejahatan
melalui perjanjian Lome.341 Oleh karena itu, pelaku
kejahatan tidak memiliki dorongan untuk hadir dalam forum-
forum publik yang diadakan oleh KKR Sierra Leone.342 Bahkan
mekanisme kerja di antara SCSL dengan KKR Sierra Leone
tidak saling beriiringan dan terkoordinasi, sebagaimana
340 Ibid. 341 Beth K. Dougherty, “Searching for Answers: Sierra Leone’s
Truth and Reconciliation Commission,” African Studies Quarterly (Fall 2004): 47.
342 Ibid.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
132
terlihat dalam kekacauan proses pembagian informasi dalam
kasus Sam Hinga Norman.343
Dengan demikian, klausul pemberian amnesti dalam
Perjanjian Lome tidak saja melanggar kewajiban negara dalam
melakukan penuntutan atas pelaku kejahatan internasional
dan pemenuhan hak korban atas keadilan, reparasi, dan
kebenaran, melainkan melanggar juga hak masyarakat secara
keseluruhan (Right to Know) untuk mengetahui kebenaran.
“Pembatalan secara tidak langsung” klausul amnesti melalui
SCSL (dengan menyatakan bahwa mekanisme amnesti hanya
berlaku domestik sehingga tidak berlaku dalam peradilan
hibrid-internasional) merupakan satu langkah konkret Sierra
Leone dalam menjunjung hukum internasional.
343 http://www.sc-sl.org/norman.html (5 April 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
133
BAB IV
TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI
TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL DI INDONESIA
I. Mekanisme Pemberian Amnesti dalam Undang-Undang
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia
A. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Masa transisi politik menuju demokrasi di Indonesia
berlangsung sejak bergulirnya era reformasi pada tahun
1998. Tonggak dimulainya era ini adalah ketika Jenderal
(Purn) Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden
Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Mei 1998, menyusul
tuntutan mundur dari berbagai pihak di tengah terpuruknya
keadaan sosial dan ekonomi.344 Penegakkan HAM pada rejim
344 Kajian transisi mengenai Indonesia pasca soeharto dapat
dilihat antara lain dalam Chris Manning dan Peter Van Diemmen, eds, Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis, (Singapore: ISEAS, 2000). Stanley, eds, Indonesia di Tengah Transisi,
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
134
Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dianggap
mengecewakan oleh berbagai kalangan.345 Berbagai praktek
Pelanggaran HAM diduga berhubungan dengan penyalahgunaan
kekuasaan negara, terutama oleh militer.346 Oleh karena itu,
era reformasi dipandang sebagai titik terang dalam
menyelesaikan berbagai perkara yang lama terpendam. Seluruh
Presiden yang memimpin RI beserta lembaga tinggi negara
lainnya pasca reformasi dihadapkan pada tuntutan berbagai
pihak yang terfokus pada penyelesaian perkara pelanggaran
HAM yang selama ini terjadi mengendap.347
Upaya lembaga-lembaga negara dalam merespons tuntutan
masyarakat untuk segera menyelesaikan segala pelanggaran
HAM yang pernah terjadi dilakukan dengan berbagai cara.
Setelah melakukan perubahan besar-besaran dalam ketentuan
(Jakarta: Propatria, 2000), William Liddle, eds, Crafting Indonesian Democracy, (Bandung: Mizan bekerjasama dengan LIPI dan Ford Foundation, 2001).
345 Hikmahanto Juwana (a), “Assessing Indonesia’s Human Rights
Practise in Post Soeharto Era: 1998-2003,” Singapore Journal of International and Comparative Law (2003).
346 Untuk melihat tipologi praktek pelanggaran HAM yang terjadi selama ini di Indonesia, lihat M.M. Billah, Tipologi dan Praktik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003. Lihat juga Kombespol Susno Duaji, Praktik-Praktik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003.
347 Hikmahanto Juwana, op. cit. Lihat juga Arinanto, op. cit.,
hal. 247-336.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
135
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 melalui perubahan kedua,348
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga melakukan
pembahasan terhadap Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara yang tertuang dalam Ketetapan MPR VIII/MPR/2000
tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2000. Dalam Ketetapan ini, diberikan suatu
pandangan khusus mengenai HAM, yakni,
”c. Penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Penyelesaian Kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia terkesan lamban, diskriminatif, dan belum tuntas sementara praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia tetap berlangsung bahkan seringkali terjadi penyalahgunaan upaya penegakan Hak Asasi Manusia.” 349
Sehubungan dengan penilaian tersebut, MPR menugaskan
Presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM secara serius dan adil.350 Berkaitan dengan penyelesaian
348 Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia: 2002).
349 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7-18 Agustus 2000, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000), hal. 100.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
136
kasus-kasus pelanggaran HAM, MPR juga menugaskan kepada
Presiden melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang
”Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional” agar dibentuk
suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.351 Adapun penugasan
tersebut secara rinci dinyatakan sebagai berikut.
”...membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk mengungkapkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran dapat dilakukan melalui pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegaskan persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.”352 (huruf tebal dari penulis).
Selanjutnya, pada 23 November 2000, sebagai pengganti
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun
1999, ditetapkanlah UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
350 Ibid. 351 Ibid., hal. 67. 352 Ibid., hal. 67.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
137
Hak Asasi Manusia.353 Salah satu latar belakang pembentukan
Pengadilan HAM adalah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM
yang berat, sebagaimana telah diupayakan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 1 tahun 1999, namun dianggap tidak
memadai.354 Dalam Pasal 47 UU tentang Pengadilan HAM,
dinyatakan bahwa,
“(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.”355
Penjelasan Pasal 47 kemudian menyatakan bahwa,
”Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk
memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dilakukan diluar Pengadilan HAM.”356 (huruf tebal dari penulis).
Dalam pelaksanaan sidang tahunan MPR tahun 2001,
masalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM kembali
353 Republik Indonesia (a), Undang-undang tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, UU Nomor 26 tahun 2000, LN Nomor 208 tahun 2000, TLN No. 4012.
354 Ibid., bagian Menimbang” butir c. 355 Ibid., Pasal 47. 356 Ibid., Penjelasan Pasal 47.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
138
menjadi perhatian serius. Kembali MPR menilai bahwa
penyelesaian kasus pelanggaran HAM belum dilaksanakan
secara cepat, adil, dan tuntas, bahkan masih terkesan
lamban dan diskriminatif sehingga belum memenuhi rasa
keadilan masyarakat.357 Ketetapan MPR yang ditetapkan pada
tahun 2000 dianggap belum direalisasikan oleh pemerintah,
khususnya mengenai pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Oleh karena itu, MPR menugaskan agar Presiden
bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar membentuk UU
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.358 Seolah menjadi
sekedar retorika, pada tahun 2002, MPR dalam ketetapannya
kembali merekomendasikan, dengan bahasa yang relatif sama,
agar Presiden dan DPR segera membentuk UU tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.359
Setelah mengalami perdebatan yang cukup panjang,360
akhirnya disahkan Undang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang
357 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000), hal. 90.
358 Ibid. 359 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2002, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000), hal. 62.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
139
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi361 (UU tentang KKR), yang
menjadi landasan berjalannya Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) Indonesia.
Pembentukan UU tentang KKR tidak diiringi dengan
komitmen politik pemerintah untuk segera membentuk dan
menjalankan lembaga tersebut. Hal demikian dapat terlihat
dari lambatnya proses seleksi, yang sebenarnya sudah
dimulai sejak 28 Maret 2005 ketika Presiden Yudhoyono
membentuk Panitia Seleksi Calon Anggota KKR dengan
Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2005.362 Proses seleksi
tidak kunjung membuahkan hasil hingga pada akhirnya UU
tentang KKR dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.363
360 Lihat Basari, op. cit., hal. 1-10. 361 Indonesia (b), Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, UU No. 27 tahun 2004, LN No. 114 Tahun 2004, TLN No. 4425.
362 “Mou Helsinki Momentum Baru untuk KKR,” Harian Kompas (26
Oktober 2006) yang menjabarkan kronologis pembentukan KKR. 363 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
140
B. Berbagai Kelemahan Konsepsi dalam Undang-Undang
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
KKR Indonesia sebagaimana diatur dalam UU tentang KKR
memiliki kelemahan-kelemahan yang sifatnya mendasar
(fundamen) yang menyebabkan KKR apabila mulai
diimplementasikan akan mengalami berbagai hambatan yang
sangat signifikan.
1. Jenis Kejahatan yang Dapat Masuk ke Dalam Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Bergantung Kepada Jenis
Kejahatan dalam Pengadilan HAM
Kelemahan yang paling mendasar dari UU tentang KKR
adalah bahwa UU tersebut merupakan “amanat” dari UU Nomor
26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.364 Oleh karena itu,
secara logika, maka kasus-kasus yang dapat diungkap
kebenarannya dan kemudian dicoba ditemukan rekonsiliasi
hanyalah kasus yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan
sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pengadilan HAM, yakni
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.365 Hal ini
364 Lihat kembali Pasal 47 UU tentang Pengadilan HAM dalam
Indonesia (a), op. cit.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
141
kemudian kembali ditegaskan dalam UU tentang KKR yang
mengkonfirmasi hubungannya dengan UU tentang Pengadilan
HAM.”366
Konsepsi demikian bertentangan dengan praktek-praktek
komisi kebenaran lain di berbagai negara di dunia.
Sebagaimana termuat dalam Updated Set of Principles to
Combat Impunity, komisi kebenaran dimaksudkan untuk
menemukan kebenaran dari semua pelanggaran HAM yang terjadi
di suatu negara, tidak hanya pelanggaran HAM yang tergolong
sebagai kejahatan internasional.367 Kerancuan mendasar ini
semakin memperkuat dugaan bahwa semangat UU tentang
Pengadilan HAM yang menjadi landasan UU tentang KKR dibuat
bukan untuk mengadili pelaku kejahatan, melainkan untuk
melepaskan diri dari yurisdiksi pengadilan internasional
365 Lihat kembali Pasal 7 UU tentang Pengadilan HAM dalam
Indonesia (a), op. cit. 366 Indonesia (b), op. cit., dalam butir Menimbang huruf a
dikatakan,“Bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional;”
367 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005,
Definitions point D. Lihat catatan kaki nomor 272.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
142
dalam beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di
Indonesia.368
2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Bersifat Substitutif
dengan Pengadilan HAM dan Tidak Bersifat Komplementer
Ditegaskan secara terang dalam Penjelasan Pasal 47 UU
tentang Pengadilan HAM bahwa KKR memang dimaksudkan sebagai
alternatif dari Pengadilan HAM.369 Begitupula dalam Pasal 44
UU KKR dikatakan bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia yang
berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi,
perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak
asasi manusia ad-hoc.”370 Ketentuan ini jelas bertentangan
dengan Updated Set of Principles yang menyatakan bahwa
pembentukan komisi kebenaran tidak boleh dimaksudkan untuk
menggantikan (substitusi) peradilan, baik perdata,
administrasi, maupun pidana,371 karena hal ini dapat
368 Tentang semangat pembentukan Pengadilan HAM ini, lihat
Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional sebagai Instrumen Politik: Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai Studi Kasus,” Jurnal Hukum Internasional (Oktober 2003): 93.
369 Lihat kembali Penjelasan Pasal 47 UU tentang Pengadilan HAM
dalam Indonesia (a), op. cit. 370 Indonesia (b), op. cit., Pasal 44.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
143
mengurangi akses terhadap keadilan bagi korban kejahatan
internasional dan gagal merumuskan mekanisme disinsentif
bagi mereka yang tidak mau membuka seluruh kebenaran.
3. UU tentang KKR Memiliki Kelemahan yang Mendasar
Mengenai Mekanisme Pemberian Amnesti
Dalam kaitannya dengan pemberian amnesti, terdapat
beberapa ketentuan dalam UU tentang KKR yang mengundang
perdebatan. Pertama, Pasal 1 ayat (9) yang berbunyi,
“Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”372
Kedua, Pasal 27-29 mengenai mekanisme pemberian
amnesti yang berbunyi,
“Pasal 27 Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Pasal 28 (1) dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya undang-undang nomor 26
371 Update Set of Principles to Combat Impunity of 2005, Prinsip
8. Lihat kembali catatan kaki nomor 277. 372 Indonesia (b), op. cit., Pasal 1 ayat (9).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
144
tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian maka komisi dapat memberikan rekomendasi kepada presiden untuk memberikan amnesti.
(2) … (3) pernyataan perdamaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan ketua komisi.
Pasal 29 (1) dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan,
rekomendasi pertimbangan amnesti wajib diputuskan oleh komisi.”373
Ketentuan mengenai amnesti tersebut menimbulkan
beberapa pertanyaan yang terkait dengan prinsip-prinsip
hukum internasional, yakni antara lain:
1. Bukankah pemberian amnesti terhadap pelanggaran HAM
berat yang tergolong sebagai kejahatan internasional
dilarang dalam hukum internasional?;
2. Apakah mekanisme dalam UU tentang KKR, khususnya
pemberian reparasi yang bergantung pada faktor
eksternal korban seperti pemberian amnesti dan faktor-
faktor lainnya, bertentangan dengan prinsip
perlindungan korban dalam hukum internasional?;
373 Indonesia (b), op. cit., Pasal 27-29.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
145
3. Apabila pemberian amnesti dianggap sangat diperlukan
dalam melakukan rekonsiliasi di Indonesia, apakah
mekanisme dalam UU tentang KKR telah memadai dalam
mengungkapkan kebenaran yang hakiki, termasuk memenuhi
“Right to Know” masyarakat Indonesia?
Permasalahan ini lah yang harus dijawab oleh Mahkamah
Konstitusi Indonesia dalam persidangan pengujian UU tentang
KKR ini.
C. Pendapat Ahli Hukum Internasional Mengenai Amnesti
beserta Mekanisme Pemberiannya dalam Undang-Undang
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Dalam persidangan pengujian UU No. 27 tahun 2004 di
hadapan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, terdapat
empat ahli hukum internasional yang memberikan pandangannya
mengenai legalitas KKR Indonesia dalam hukum
internasional.374 Seluruh ahli hukum internasional tersebut
sepakat bahwa terdapat kerancuan mekanisme pemberian
amnesti dalam UU KKR yang menyebabkan pelanggaran atas
374Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang
Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V) dan (VI), (http://www. mahkamahkonstitusi. go.id) (3 April 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
146
prinsip-prinsip hukum internasional. Berikut adalah
pemikiran dari para ahli tersebut.375
1. Pendapat Douglass Cassel
Douglass Cassel adalah guru besar hukum internasional
di Notre Dame Law School dan Northwestern University,
Amerika Serikat.376 Dalam keterangan tertulis yang
diberikannya sebagai ahli pada Mahkamah Konstitusi
Indonesia, beliau memberikan pendapat bahwa UU KKR
Indonesia bertentangan dengan hukum internasional, terutama
apabila ditinjau dari tiga prinsip dasar: (1) kewajiban
untuk melakukan investigasi dan pengungkapan kebenaran
kepada publik, (2) hak korban kejahatan internasional, dan
(3) penuntutan pidana dan penghukuman bagi kejahatan yang
tergolong sebagai kejahatan internasional.377
375 Berikutnya hanya akan dijabarkan tiga pemikiran ahli, yaitu Douglass Cassel, Naomi-Roht Arriaza, dan Paul Van Zyl. Ahli Rudy Rizky tidak dijabarkan karena memberikan penjelasan yang serupa dengan ahli lainnya.
376 Douglass Cassel, “http://www.nd.edu/~kellogg/faculty/fellows/
cassel.shtml (11 April 2008). 377 “WRITTEN TESTIMONY OF PROFESSOR DOUGLASS CASSEL BEFORE THE
CONSTITUTIONAL COURT OF INDONESIA,” JULY 6, 2006, dalam email pribadi dengan kolega penulis.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
147
Pertama, UU KKR tidak memenuhi kewajiban internasional
suatu negara (Indonesia) untuk melakukan investigasi
terhadap suatu perkara kejahatan internasional dan
pengungkapan kebenarannya. kepada publik. Cassel
menyimpulkan pendapat ini atas pertimbangan bahwa:
• Batas waktu 90 hari untuk melakukan investigasi harus
dianggap sangat sempit untuk menyelidiki dan menyidik
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, mengingat
kejahatan tersebut dilakukan di suatu wilayah negara
yang luas dan dalam periode yang sangat lama hingga
beberapa dekade.378
• Definisi UU KKR mengenai kebenaran yang diartikan
sebagai “kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat di
ungkapan berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, baik mengenai korban, tempat, maupun waktu”
dianggap tidak selaras dengan konteks yang lebih luas
dari “kebenaran sosial.” Kebenaran, dalam hal ini
tercakup pula “Right to Know” seharusnya meliputi pula
378 Indonesia (b), op. cit., Pasal 24, yang berbunyi, “Dalam hal
komisi telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, komisi wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 9sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
148
penyebab dan pola pelanggaran, latar belakang dan
konteks terjadinya pelanggaran tersebut, dan pelajaran
yang dapat diambil dari kejadian masa lalu tersebut
sehingga dapat tidak terulang lagi di masa depan,
khususnya untuk genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.379
• Tidak ada insentif bagi pelaku pelanggaran HAM yang
berat untuk memberikan keterangannya mengenai suatu
kebenaran dan kemudian memohon amnesti, karena tidak
ada ancaman yang berarti bagi pelaku, misalnya akan
menghadapi tuntutan pidana, apabila ia tidak memberikan
keterangannya.
• Tidak ada persyaratan yang jelas dan tegas untuk
menentukan apakah suatu keterangan pelaku kejahatan
telah diberikan secara lengkap dan dijabarkan
seluruhnya pengetahuan yang ia miliki sehingga pelaku
tersebut layak untuk diberikan amnesti.380
• Korban dapat merasa tertekan/terpaksa untuk memberikan
permohonan maaf, bahkan apabila kebenaran tidak
379 Indonesia (b), op. cit., Pasal 1 ayat (1). 380 Lihat Indonesia (b), op. cit., Pasal 23 dan Pasal 28 ayat (2).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
149
sepenuhnya diungkap, karena sang korban sangat
menginginkan diberikan reparasi terhadap dirinya. Dalam
UU KKR, jika seorang pelaku kejahatan tidak mendapatkan
amnesti, maka korban tidak akan mendapatkan reparasi.381
Kedua, UU KKR tidak memenuhi kewajiban dalam hukum
internasional yang memberikan perlindungan dan pemulihan
berupa reparasi bagi korban kejahatan internasional. Cassel
mengungkapkan pemikiran ini berlandaskan pemikiran bahwa:
• Kompensasi dan rehabilitasi bagi korban hanya dapat
diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.382
Dengan demikian, kompensasi dan rehabilitas hanya dapat
diberikan dalam situasi-situasi tertentu saja. Dalam
kondisi ketika pelaku kejahatan tidak teridentifikasi,
atau pelaku tersebut tidak diberikan amnesti oleh
Presiden atas pertimbangan DPR, atau tidak dimaafkan
oleh korban, maka korban tidak mendapatkan kompensasi
dan rehabilitasi.383
381 Indonesia (b), op. cit., Pasal 27, 28 dan 29. 382 Indonesia (b), op. cit., Pasal 27. 383 Indonesia (b), op. cit., Pasal 25-27.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
150
• Tidak ada mekanisme yang jelas mengenai pemberian
restitusi bagi para korban.384
• Kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi dapat ditunda
hingga tiga tahun, meskipun tidak ada alasan atau
justifikasi yang signifikan untuk melakukan penundaan
tersebut.385
• Tidak ada ketentuan yang dapat mengukur penerimaan
(acceptance) pemerintah atau negara mengenai
penyimpangan yang terjadi di masa lalunya, misalnya
melalui penerimaan atas segala fakta yang terjadi,
permintaan maaf secara resmi oleh negara, ataupun
memorial bagi para korban.386
• Tidak ada ketentuan yang dapat menjamin tidak akan
terjadi tindakan yang sama terulang lagi di masa depan
(non-repetition), misalnya dengan adanya perlindungan
terhadap aktivis HAM.387
384 Indonesia (b), op. cit., Pasal 27. 385 Indonesia (b), op. cit., Pasal 21 ayat (1). 386 Indonesia (b), op. cit., Pasal 1 ayat (6), (7), dan (8). 387 Indonesia (b), op. cit., Pasal 1 ayat (6), (7), dan (8).
Bandingkan dengan Basic Principles, Prinsip IX butir 23. Lihat kembali catatan kaki nomor 135.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
151
Ketiga, Cassel juga berpendapat bahwa UU KKR
bertentangan dengan hukum internasional karena UU tersebut
mengijinkan pemberian amnesti bagi kejahatan yang tergolong
sebagai kejahatan internasional, yakni genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana tercantum dalam
Pasal 24-29.388 Telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya
bahwa hukum internasional mengijinkan pemberian amnesti
bagi berbagai bentuk kejahatan, namun tidak bagi yang
tergolong sebagai kejahatan internasional.389
2. Pendapat Naomi-Roht Arriaza
Naomi-Roht Arriaza adalah guru besar hukum
internasional dan keadilan transisional di University of
California (UCLA).390 Dalam keterangan tertulis yang
diberikannya sebagai ahli pada Mahkamah Konstitusi
Indonesia, beliau memberikan pendapat bahwa setidaknya UU
388 Hal ini merupakan implikasi dari dependensi UU tentang KKR
terhadap UU tentang Pengadilan HAM sebagaimana tercantum dalam Pasal 47 UU tentang Pengadilan HAM.
389 Lihat kembali Bab II mengenai “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL.”
390 Naomi-Roht Arriaza, http://www.uchastings.edu/?pid=746, (11 April 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
152
KKR bertentangan dengan hukum internasional jika ditinjau
dari empat perspektif.391
Pertama, tidak ada ketentuan untuk menyimpulkan dan
menyatukan segala kebenaran yang terkumpul mengenai
penyebab, latar belakang, konteks, dan pola pelanggaran HAM
yang terjadi sehingga didapatkan satu “catatan sejarah
nasional.” UU KKR hanya mengatur bahwa kebenaran
diungkapkan berdasarkan situasi spesifik/tertentu saja,
namun tidak diungkap apakah diantara kejadian dan
pelanggaran tersebut saling berkaitan. Hal ini terkait
dengan pemenuhan “Right to Know” dalam situasi masyarakat
yang berada pada masa transisi politik.392
Kedua, tidak ada persyaratan bagi KKR untuk memberikan
rekomendasi yang bertujuan untuk mencegah pelanggaran yang
sama terulang kembali di masa depan.
Ketiga, reparasi yang diberikan kepada korban sangat
bergantung pada faktor-faktor eksternal dari korban itu
sendiri. Pemberian amnesti yang dikaitkan dengan reparasi
391 “Testimony of Naomi Roht-Arriaza, Professor of Law, University of California, Hastings College of the Law, before the Constitutional Court,” diakses melalui email pribadi dengan kolega penulis.
392 Lihat kembali hubungan antara “Right to Know” dengan
pembentukan Komisi Kebenaran dalam catatan kaki nomor 271.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
153
korban memang telah menjadi praktek internasional di
berbagai negara transisi. SATRC di Afrika Selatan misalnya,
memiliki dua komite yang terpisah untuk memberikan
rekomendasi bagi reparasi korban dan pemberian amnesti bagi
pelaku kejahatan. Namun keduanya berjalan dengan
independen, yang mana tidak diberikannya amnesti bagi
pelaku kejahatan atau tidak lengkapnya informasi yang
diberikan pelaku untuk mengungkapkan kebenaran tidak berati
reparasi tidak diberikan kepada korbannya.393 Dengan
demikian, selain melanggar hukum internasional, Pasal 27 UU
KKR juga bertentangan dengan praktek di berbagai negara
lain.394
Keempat, amnesti diberikan kepada kejahatan yang tidak
dapat diberikan amnesti berdasarkan hukum internasional.395
Kembali jika berkaca pada praktek internasional, komisi
kebenaran di Afrika Selatan juga memberikan amnesti dengan
persyaratan (conditional amnesty) apabila pelaku membuka
informasi secara lengkap. Terlepas dari segala
kontroversinya, SATRC Afrika Selatan setidaknya memberikan
393 Testimony of Naomi Roht-Arriaza, op. cit. 394 Testimony of Naomi Roht-Arriaza, op. cit. 395 Testimony of Naomi Roht-Arriaza, op. cit.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
154
mekanisme yang tegas bahwa bagi pelaku yang tidak diberikan
amnesti atau terbukti tidak memberikan informasi secara
menyeluruh harus menghadapi tuntutan pidana. Begitupula di
negara seperti Sierra Leone, Timor Leste, atau Rwanda mampu
merumuskan konsep pemberian amnesti yang berkeadilan dalam
komisi kebenarannya.396 KKR Indonesia di lain sisi, justru
dianggap memberikan impunitas bagi pelaku kejahatan
internasional.
3. Pendapat Paul Van Zyl
Paul Van Zyl adalah guru besar hukum internasional dan
keadilan transisional yang juga mantan Sekretatis Eksekutif
SATRC dan sekarang bekerja pada International Center for
Transitional Justice (ICTJ). Dalam keterangan tertulis yang
diberikannya sebagai ahli pada Mahkamah Konstitusi
Indonesia, beliau memberikan pendapat mewakili ICTJ sebagai
berikut.397
396 Testimony of Naomi Roht-Arriaza, op. cit. 397 Pendapat Van Zyl merupakan Amicus Brief ICTJ kepada Mahkamah
Konstitusi Indonesia. Lihat ICTJ Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court, “Pernyataan Tertulis ICTJ: Keabsahan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” www.ictj.org/static/Asia/Indonesia/ testimony.bah.pdf (11 April 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
155
ICTJ berpendapat bahwa ketentuan dalam UU KKR,
terutama yang berkaitan dengan pemberian amnesti (Pasal 1
ayat (9) UU KKR) dan kondisi pemberian reparasi yang
tergantung dengan amnesti (Pasal 27 UU KKR) bertentangan
terutama dengan Pasal 2(3), 6(1), 7, 9(5) and 14(6) dari
ICCPR.398 Ketentuan pemberian amnesti dalam Pasal 1 ayat (9)
UU KKR juga harus dianggap bertentangan dengan Pasal 14
Konvensi Anti Penyiksaan.399
D. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Indonesia
Mengenai Konstitusionalitas Undang-Undang tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Dalam memberikan putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK)
menganalisis kesesuaian UU tentang KKR dengan UUD 1945 dan
hukum internasional, khususnya Pasal 27, Pasal 44, dan
Pasal 1 ayat (9). Dalam kaitannya dengan legalitas amnesti,
pertimbangan hukum yang layak dikaji adalah ketika memutus
konstitusionalitas Pasal 27 dan Pasal 1 ayat (9).
398 ICTJ Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court, op.
cit. 399 ICTJ Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court, op.
cit.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
156
Pertama, menyangkut Pasal 27.400 MK melihat adanya
inkonsistensi landasan pemikiran dalam pasal tersebut. Hal
ini karena penekanan atas pemberian reparasi bagi korban
dan amnesti bagi pelaku menekankan pada individual criminal
responsibility, padahal pelanggaran HAM yang terjadi di
masa lalu sangat sulit untuk dilacak secara lengkap. Oleh
karena itu, MK berpendapat,
“Mestinya dengan pendekatan demikian, yang digantungkan pada amnesti hanyalah restitusi, yang merupakan ganti rugi yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga. Di pihak lain, jika tujuannya adalah rekonsiliasi, dengan pendekatan yang tidak bersifat individual, maka yang menjadi titik tolak adalah adanya pelanggaran HAM berat dan adanya korban yang menjadi ukuran untuk rekonsiliasi dengan memberikan kompensasi dan rehabilitasi. Kedua pendekatan tersebut, dalam hubungan dengan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi tidak dapat digantungkan pada satu pokok masalah yang tidak mempunyai keterkaitan. Karena, amnesti merupakan hak prerogatif Presiden,
400 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Pasal 27 tersebut
menentukan bahwa kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19, yaitu pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi, diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan. Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa, apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban sebagai ahli warisnya, pelaku pelanggaran HAM berat dapat mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Apabila permohonan beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan korban diberikan kompensasi dan/atau rehabilitasi. Sedangkan apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi dan rehabilitasi tidak diberikan negara, dan perkaranya ditindak lanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Pengadilan HAM.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
157
yang pengabulan atau penolakannya tergantung kepada Presiden.401 (huruf tebal dari penulis).
Selain itu, apabila terjadi pelanggaran HAM, hal
tersebut merupakan tanggung jawab negara untuk memberikan
pemulihan bagi korbannya. Penentuan adanya amnesti sebagai
syarat merupakan hal yang menyampingkan perlindungan hukum
dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945 dan hukum kebiasaan
internasional serta praktek universal sebagaimana termuat
dalam Basic Principles.402 Basic Principles menetapkan
adanya adequate, effective and prompt reparation for harm
sufferred, yang dimaksudkan untuk memajukan keadilan dalam
penanganan pelanggaran HAM berat, dengan memberikan
reparation yang proporsional sesuai dengan bobot
pelanggaran dan kerugian yang dialami.403
Kedua, menyangkut pemberian amnesti bagi pelaku
pelanggaran HAM yang berat sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 ayat (9) UU tentang KKR. Menurut MK, Praktek
401 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 121.
402 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 122.
403 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 122.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
158
internasional maupun General Comment Komisi HAM PBB umumnya
berpendapat bahwa amnesti tidak diperkenankan dalam
pelanggaran HAM berat (yang tergolong sebagai kejahatan
internasional).404 Dikatakan bahwa meskipun KKR dimaksudkan
untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi keberadaan
perdamaian dan rekonsiliasi nasional, tapi perlu upaya yang
menentukan batasan terhadap amnesti, yaitu pelaku tidak
boleh diuntungkan oleh amnesti tersebut. Amnesti seyogianya
tidak mempunyai akibat hukum sepanjang menyangkut hak
korban untuk memperoleh pemulihan (reparation), dan
lagipula amnesti tidak boleh diberikan kepada mereka yang
melakukan pelanggaran hak asasi dan hukum humaniter
internasional yang merupakan kejahatan internasional yang
tidak memperbolehkan pemberian amnesti ataupun kekebalan
dalam bentuk lainnya.405
Meskipun General Comment, Laporan Sekretaris Jenderal
PBB, atau Prinsip-Prinsip yang tercantum dalam berbagai
dokumen internasional belum diterima sebagai hukum
404 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
405 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 124.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
159
(internasional) yang mengikat, MK melihat bahwa pengertian
demikian merupakan muatan UUD 1945 yang mengatur tentang
prinsip-prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia yang
dimuat dalam Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk
bebas dari penyiksaan, Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 yaitu
hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, Pasal 28 Ayat
(4) dan Ayat (5) UUD 1945 yaitu perlindungan, pemajuan dan
pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab
negara.406
E. Permasalahan Hukum Internasional yang Timbul dalam
Pengujian Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi
1. Kedudukan Hukum Internasional dalam Konstitusi
Indonesia
Dalam putusannya, MK berpendapat bahwa pemberian
amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat yang
tergolong sebagai kejahatan internasional bertentangan
dengan UUD 1945. Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal
406 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 124.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
160
tersebut, patut dicermati apakah MK memiliki kewenangan
untuk memutus perkara dengan menggunakan landasan hukum
internasional.
Jika dikaitkan dengan teori hubungan antara hukum
nasional dan hukum internasional, perlu diketahui apakah
Indonesia menganut aliran monisme atau dualisme.407 Sejauh
ini, sikap Indonesia dalam dua aliran tersebut masih belum
cukup konsisten untuk mencapai suatu kesimpulan aliran mana
yang dianut.408
Sementara itu, Prof. Jimly Asshidiqie, Guru Besar
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia yang juga Ketua MK,
berpendapat bahwa hukum internasional yang digunakan oleh
MK dalam memberikan pertimbangan hukum adalah hukum
kebiasaan internasional dan praktek-praktek universal yang
sudah dianggap sebagai prinsip hukum umum yang diakui oleh
negara beradab.409 Perkembangan hukum konstitusi dewasa ini
mengarah pada konvergensi prinsip-prinsip dasar, terutama
dalam bidang HAM yang memiliki nilai-nilai universal,
407 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum
Internasional,(Bandung: PT Alumni, 2003). 408 Ibid. 409 Wawancara dengan Prof. Jimly Asshidiqie di Gedung Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 16 April 2008.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
161
meskipun mungkin instrumen internasional yang memuat
prinsip tersebut belum diratifikasi.410
Terlebih lagi, ketentuan UUD 1945 di bidang HAM
mengadopsi prinsip-prinsip HAM yang termuat dalam
perjanjian-perjanjian internasional dan sudah dipraktekan
di berbagai negara. Oleh karena itu, MK Indonesia, dan
begitu juga Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain di
dunia, sangat lazim untuk menggunakan ketentuan hukum
internasional sebagai landasan pertimbangan hukumnya. Hal
ini diperkuat oleh Rudi Rizky, ahli hukum internasional
yang juga Hakim Pengadilan HAM ad-hoc Indonesia. Dalam
keterangannya di hadapan sidang MK, ia mengatakan bahwa,
“Saya berpendapat bahwa memang itu berlaku di Indonesia, Universal Declarations of Human Rights itu bukan instrumen hukum yang untuk diratifikasi, tetapi dia hanya common standards of achievement tetapi fakta membuktikan bahwa hampir semua konstitusi itu juga memuat hal-hal yang sama, bukankah itu bisa kita katakan sebagai customary international law… Kemudian kalau berkaitan dengan ICCPR jelas sudah kita ratifikasi, tapi sebelum ratifikasi pun sebetulnya banyak ketentuan-ketentuan yang kita adopsi ke dalam Undang-undang No.39 tahun 1999, jadi itu juga penerimaan dari norma internasional sebelum kita ratifikasi… Convention Against Torture juga sama itu juga sudah diratifikasi bahkan oleh Indonesia itu
410 Ibid.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
162
adalah mengikat kepada Indonesia…”411 (huruf tebal dari penulis).
Ketika berbicara spesifik mengenai pemanfaatan Updated
Set of Principles dan Basic Principles dalam pertimbangan
MK untuk memutus konstitusionalitas UU tentang KKR, Rizky
menyatakan bahwa,
“ICCPR tentu termasuk hak korban atas remedy yang efektif itu adalah yang mengikat terhadap Indonesia. Mungkin permasalahan ketika menyebut Updated Set of Principles tadi ada Guidelines... Kalau kita lihat bahwa ketika kita menyatakan terikat dengan ICCPR kita terikat kepada ketentuan tentang bahwa korban berhak atas remedy yang efektif. Tentunya diperlukan guidelines. Guidelines itu bukan instrumen yang mengikat, tetapi ketika kita ingin melaksanakan konvensi itu, maka sebetulnya acuan itulah yang harus diikuti walaupun itu bukan instrument hukum yang mengikat. Banyak Guidelines, Standards, Code of conduct tapi itu bukan susunan hukum yang mengikat, tapi kalau tekad kita, komitmen kita yang diwujudkan dalam peratifikasian itu hendak dilaksanakan, kita harus mengikuti Guidelines dan semua susunan hukum internasional seperti itu.”412 (dengan saduran penulis).
411 Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang
Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V), hal. 80.
412 Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang
Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V), hal. 80.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
163
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkembangan
modern dari ilmu hukum menyebabkan terjadinya konvergensi
antara hukum internasional dan hukum konstitusi, khususnya
yang berkaitan dengan hukum HAM. Pemanfaatan hukum
internasional, termasuk traktat dan hukum kebiasaan
internasional menjadi suatu hal yang tidak dapat
dihindarkan dalam pembahasan konstitusi negara. Sementara
itu, ketentuan dan dokumen internasional yang sifatnya
tidak mengikat pun juga dapat menjadi landasan hukum
sepanjang diperlukan untuk menafsirkan komitmen negara
dalam menjalankan hukum internasional dan sepanjang prinsip
yang terkandung di dalamnya merupakan postulat dari
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara
beradab.413
2. Analisis Hukum Internasional terhadap UU tentang
KKR Khususnya yang berkaitan dengan Pemberian
Amnesti
Terdapat tiga hal yang patut dielaborasi dari
pengujian UU tentang KKR ini. Dua hal pertama, legalitas
413 Lihat catatan kaki nomor 48 yang menjabarkan mengenai Pasal 38
ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang menjadi pedoman sumber hukum internasional.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
164
pemberian amnesti dalam hukum internasional dan amnesti
sebagai alasan pemberian reparasi, sudah secara tegas
dijawab oleh MK. Sementara itu, relevansi amnesti dengan
pemenuhan “Right to Know” belum dielaborasi lebih jauh
sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam.
Pertama, bahwa amnesti yang diberikan kepada pelaku
kejahatan internasional adalah bertentangan dengan hukum
internasional. Tidak banyaknya pembahasan MK mengenai
legalitas pemberian amnesti menunjukan kepercayaan MK
terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional yang
disampaikan, sehingga prinsip pelarangan ini secara mutlak
diterima dalam sistem hukum di Indonesia. Pendapat berbeda
(dissenting opinion) Hakim I Dewa Gede Palguna yang mencoba
meninjau amnesti sebagai perwujudan kedaulatan negara tidak
mampu mengalahkan penerimaan prinsip yurisdiksi universal
dari kejahatan yang tergolong sebagai kejahatan
internasional.414
Kedua, bahwa pemberian amnesti tidak dapat dijadikan
alasan untuk memberikan reparasi kepada korban kejahatan
internasional telah secara tepat diputus oleh MK. Salah
414 Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 tentang
Pengujian atas UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal. 137.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
165
satu esensi dasar dari pelarangan amnesti adalah untuk
melindungi hak korban dalam mencapai keadilan, memperoleh
reparasi, dan mengetahui kebenaran.415 Argumentasi utama
model pemberian amnesti melalui komisi kebenaran adalah
bahwa mekanisme tersebut tetap menjamin ketiga hak korban
tersebut, tidak seperti amnesti menyeluruh yang lazim
dilakukan oleh rejim diktator di Amerika Latin.416 Apabila
dalam pemberian amnesti di komisi kebenaran ternyata korban
masih terhalang dalam mendapatkan reparasi, maka hal
demikian menjadi sangat ironis dan tidak lain merupakan
pengkhianatan dari eksistensi suatu komisi kebenaran itu
sendiri.
Ketiga, bahwa kalaupun diberikan, amnesti harus
disusun sedemikian rupa sehingga mampu memenuhi “Right to
Know” masyarakat Indonesia yang sedang berada di dalam masa
transisi politik. Konsep “Right to Know” merupakan panduan
internasional yang sangat penting dalam merumuskan konsepsi
keadilan transisional di suatu negara.417 Keberhasilan
415 Lihat kembali catatan kaki nomor 120 dan 137. Lihat pula
Bassiouni (b), op. cit., hal. 207. 416 Cassel, op. cit., dalam catatan kaki nomor 189. Lihat pula
Tittemore, op. cit., hal. 429 dalam catatan kaki nomor 188.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
166
Afrika Selatan dengan SATRC-nya, meskipun di satu sisi
melanggar kewajiban negara untuk menuntut dan mengadili
pelaku kejahatan internasional, di sisi lain mampu memenuhi
“Right to Know” masyarakatnya secara keseluruhan mengenai
kebenaran yang sesungguhnya di negara tersebut.418
Bagaimana perwujudan konsep ini dalam UU tentang KKR
memang tidak diangkat dalam pengujian di MK karena sangat
sulit pula menemukan relevansinya dengan UUD 1945. Namun
demikian, berdasarkan pernyataan tertulis dari Cassel,
beberapa konsep “Right to Know” yang ia angkat dapat
dijadikan pedoman untuk mengungkapkan kebenaran dan
mencapai rekonsiliasi di Indonesia.419 Beberapa poin penting
yang dapat dijadikan pelajaran oleh Indonesia antara lain:
apakah yang dimaksud dengan kebenaran sosial, bagaimana
merumuskan jangka waktu bagi proses pengungkapan kebenaran,
bagaimana menentukan validitas suatu kebenaran, dan
417 Lihat kembali Orentlicher (b), op. cit., dalam catatan kaki
nomor 178. 418 Lihat Burton, op. cit., hal. 417, dalam catatan kaki nomor
282. 419 “WRITTEN TESTIMONY OF PROFESSOR DOUGLASS CASSEL BEFORE THE
CONSTITUTIONAL COURT OF INDONESIA,” op. cit.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
167
bagaimana memberikan insentif bagi para pengungkap
kebenaran.420
Sebagai contoh dalam kaitannya dengan amnesti,
pemenuhan “Right to Know” di Afrika Selatan sangat
bergantung pada mekanisme amnesti yang sukses menjadi
insentif bagi pelaku kejahatan untuk mengungkapkan
pengetahuan yang dimilikinya. Sementara itu, penuntutan dan
peradilan berjalan efektif sehingga mampu menjadi pendorong
yang “menakuti” pelaku kejahatan yang tidak mau mengakui
kejahatannya.421 Namun demikian, apabila tetap ingin
berlandaskan kepada prinsip hukum internasional yang secara
tegas menolak pemberian amnesti kepada pelaku kejahatan
internasional, maka “best practice” di Afrika Selatan hanya
dapat diterapkan pada kejahatan yang tidak tergolong
sebagai kejahatan internasional.422
420 Ibid. 421 Lihat kembali “WRITTEN TESTIMONY OF PROFESSOR DOUGLASS CASSEL
BEFORE THE CONSTITUTIONAL COURT OF INDONESIA,” op. cit., Robertson, op. cit.
422 Lihat kembali “Testimony of Naomi Roht-Arriaza, Professor of
Law, University of California, Hastings College of the Law, before the Constitutional Court.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
168
Jika kembali berkaca kepada situasi transisi politik
di Indonesia,423 pemberian amnesti bagi pelaku kejahatan
internasional tidak seharusnya secara serta merta ditolak
karena bertentangan dengan hukum internasional. Sesuai
dengan prinsip bahwa “transitional justice is a local
justice,”424 seharusnya Indonesia mampu merumuskan konsep
amnesti-nya sendiri tanpa menciptakan impunitas bagi
pelaku.
Penulis berpendapat bahwa disamping terdapat mekanisme
pemberian amnesti yang mengedepankan prinsip “insentif dan
disinsentif” (stick and carrot) bagi pelaku kejahatan
internasional, beberapa prasyarat yang perlu diperhatikan
dalam merumuskan mekanisme amnesti di masa transisi politik
di Indonesia adalah: (1) adanya figur kepemimpinan nasional
yang mampu meraih simpati masyarakat, dan (2) adanya
423 Situasi di Indonesia sebenarnya berbeda dengan negara-negara
lain yang juga mengalami masa transisi politik. Di Afrika Selatan, Sierra Leone, negara bekas Yugoslavia, atau beberapa negara di Amerika Latin, jatuhnya suatu rejim otoritarian diikuti pula dengan hancurnya struktur rejim tersebut. Sementara di Indonesia, jatuhnya pemimpin Orde Baru tidak serta merta diikuti oleh jatuhnya perangkat rejim Orde Baru tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan masih berkuasanya infrastruktur utama penopang kekuasaan Orde Baru, yakni partai politik dan militer dalam mempengaruhi peta kekuasaan di Indonesia, meskipun sudah beralih menjadi bentuk yang berbeda.
424 Lihat Waldorf, op. cit., hal. 1 serta Hesse and Post, dalam
Hesse and Post, ed, op. cit.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
169
kepercayaan kolektif dari segenap masyarakat Indonesia
mengenai upaya penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang
terjadi di masa lalu yang ditandai dengan meningkatkan
kepercayaan publik terhadap kinerja penegakan hukum.425
Selama kedua prasyarat tersebut belum dicapai, “Right to
Know” akan selamanya tidak mampu dipenuhi dan tidak akan
ada satu alasan pun yang dapat memperbolehkan pemberian
amnesti bagi pelaku kejahatan internasional di Indonesia.
II. Mekanisme Pemberian Amnesti dalam Komisi Kebenaran dan
Persahabatan Indonesia-Timor Leste
A. Sejarah Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan
Indonesia-Timor Leste
Satu lembaga lain yang memiliki kewenangan pemberian
amnesti dalam konteks pelanggaran HAM berat yang tergolong
sebagai kejahatan internasional adalah Komisi Kebenaran dan
Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste. Komisi ini
dibentuk berdasarkan kesepakatan bilateral antara Indonesia
425 Lihat Daniel Sparringa, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi:
Penyelesaian atas Warisan Rejim Otoritarian dan Penyelamatan Masa Depan di Indonesia,” Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII Badan Pembinaan Hukum Nasional, Denpasar Bali, 14-18 Juli 2003.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
170
dan Timor Leste untuk menuntaskan berbagai permasalahan
pelanggaran HAM yang tergolong sebagai kejahatan
internasional dalam konteks masa transisi politik pasca
kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia pada tahun 1999.426
Berikut ini diberikan kronologi historis mengenai
berbagai perkembangan yang berujung pada pembentukan
lembaga ini dalam perspektif keadilan transisional di Timor
Leste.
1. Konflik dalam Penentuan Jajak Pendapat di Timor Timur
Pasca dekolonialisasi Timor Timur dari Portugal tahun
1974, terjadi perang saudara di antara faksi-faksi di
wilayah tersebut. Kesempatan ini digunakan oleh Indonesia
dengan melakukan berbagai operasi intelejen dan mencapai
puncaknya pada 7 Desember 1975 ketika invasi ke Timor Timur
dilakukan.427 Semenjak masa tersebut, Timor-Timur dianggap
menjadi bagian dari wilayah Indonesia, meskipun berbagai
426 Lihat Kerangka Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan, 9 Maret 2005. (untuk selanjutnya disebut Kerangka Acuan).
427 Sekilas mengenai konflik Timor Timur dalam perspektif hukum
internasional, lihat Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional, (Jakarta: PT Tatanusa, 2007), hal. 91-114, dalam Bab “Penyelesaian Masalah Timor Timur dalam Kerangka PBB.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
171
pelanggaran HAM yang terjadi kerap dilaporkan oleh LSM-LSM
lokal dan internasional.428
Dengan jatuhnya rejim Orde Baru pada 1998, Presiden
Habibie sebagai pengganti Presiden Soeharto mengajukan
suatu solusi politik dengan menawarkan kepada masyarakat
Timor-Timur untuk memilih antara merdeka atau otonomi
khusus.429 Pada bulan Mei 1999, dicapai kesepakatan antara
Indonesia, Portugal, dan PBB untuk menyiapkan suatu “jajak
pendapat” yang akan dikelola oleh Misi PBB di Timor-Timur
(UN Mission in East Timor- UNAMET), dengan tanggung jawab
keamanan berada pada Indonesia.430 Pada 30 Agustus 1999,
mayoritas masyarakat Timor-Timur akhirnya memilih untuk
merdeka. Namun demikian, periode sebelum dan sesudah jajak
pendapat dipenuhi dengan kekerasan dan berbagai praktek
pelanggaran HAM berat.431
428 Megan Hirst, Meraih Persahabatan, Melepas Kebenaran: Laporan
Pemantauan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste,(Jakarta: International Center for Transitional Justice, 2008), hal. 5.
429 Suryokusumo, op. cit., hal. 98-99. 430 Suryokusumo, op. cit., hal. 101. 431 Hirst, op. cit., hal. 6.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
172
2. Pembentukan Komisi Penyelidikan (Commission of
Inquiry) PBB
Respon awal terhadap kekerasan yang terjadi di Timor
Timur dituangkan dalam dua laporan Komisi Penyelidikan
(Commission of Inquiry in East Timor) PBB, yang
menyimpulkan bahwa tentara Indonesia (TNI) terlibat dalam
pengorganisasian milisi yang melakukan kekerasan di Timor
Timur pada sekitar tahun 1999, sehingga harus bertanggung
jawab terhadap pelanggaran HAM yang terjadi.432 Komisi ini
merekomendasikan, apabila peradilan yang kredibel gagal
digelar di Indonesia, sebuah pengadilan internasional harus
dibentuk.433
3. Pengadilan HAM di Indonesia dan Pengadilan Kejahatan
Berat di Timor-Leste
Pada tahun 1999, Komnas HAM Indonesia mendirikan
sebuah Komite Penyelidikan Khusus (KPP-HAM) untuk
mengumpulkan informasi tentang pelanggaran HAM di Timor
Timur. Laporan KPP HAM menyebutkan keterlibatan tentara dan
432 Report of the United Nations Independent Special Commissions
of Inquiry for Timor Leste, http://www.ohchr.org/Documents/ Countries/COITimorLeste.pdf (1 Juni 2008).
433 Ibid.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
173
pejabat Indonesia dalam pelanggaran HAM yang sistematis,
merujuk 33 nama yang diduga mempunyai pertanggungjawaban
individu, dan merekomendasikan pembentukan suatu pengadilan
HAM yang dapat mengadili tindak kejahatan internasional di
Timor-Timur.434
Menanggapi laporan tersebut dan tekanan internasional,
Pengadilan HAM ad hoc dibentuk pada tahun 2001 untuk
mengadili tindak kejahatan di Timor Leste.435 Kejaksaan
Agung melakukan penyelidikan dan mengeluarkan dakwaan
terhadap 18 orang. Sidang dilangsungkan antara bulan Maret
2002 hingga Agustus 2003. Enam terdakwa dinyatakan bersalah
pada tingkat pertama, dan hanya dua yang tidak dibebaskan
di tingkat banding, yaitu Jose Abilio Suares dan Eurico
Guiterres. Keduanyapun pada akhirnya dibebaskan pada
tingkat Peninjauan Kembali (PK).436 Namun demikian, proses
penuntutan dan peradilan tersebut dianggap cacat oleh
434 Lihat “Ringkasan Eksekutif Laporan KPP HAM,” http://
www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/08/06/0102.html (1 Juni 2008). 435 Pengadilan HAM Ad-Hoc dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 53 tahun 2001, 23 April 2001 dan Keputusan Presiden Nomor 96 tahun 2001, 1 Agustus 2001.
436 Lihat “Mahkamah Agung Kabulkan PK Abilio,” http://www.
tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/04/brk,20041104-62,id.html (1 Juni 2008); “Eurico Gutteres Bebas,” http://www.tempointeraktif.com/ hg/nasional/2008/04/04/brk,20080404-120491,id.html (1 Juni 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
174
berbagai pihak, antara lain karena: kurangnya perlindungan
saksi, kelemahan institusi peradilan, dan kurangnya niat
Kejaksaan Agung dalam melakukan penyidikan dan pengumpulan
bukti-bukti.437
Sementara itu, pada tahun 2000, PBB mendirikan Panel
Khusus untuk Kejahatan Berat (Special Penal for Serious
Crimes) dalam Pengadilan Distrik Dili dengan kewenangan
untuk mengadili tindak kejahatan berat (genosida, kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan,
kekerasan seksual, dan penyiksaan).438 PBB juga mendirikan
Unit Kejahatan Berat (Serious Crimes Unit) pada Kejaksaan
Timor Leste untuk melakukan penuntutan atas kejahatan
berat. Setelah mandatnya dihentikan oleh DK PBB Mei 2005,
Unit ini telah mendakwa 391 orang, dengan 84 putusan
bersalah dan 3 putusan bebas.439 Unit ini pun dikritik
437 UNTAET/REG/2000/15, 6 June 2000, [Regulation 2000/15],
http://www.un.org/peace/etimor/untaetR/Reg0015E.pdf (23 Maret 2008). 438 Section 1, para 1.1. dari Regulation 2000/15. 439 Carl DeFaria, “ET’s Quest for Justice-The Srious Crimes File,”
(Pencarian Keadilan Timor Timur), (makalah dipaparkan dalam UNMISET-Simposium Internasional dalam Operasi Perdamaian PBB Pascakonflik Timor Leste: Pencapaian dan Pembelajaran, 28 April 2005), sebagaimana dikutip oleh Hirst, op. cit., hal. 7.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
175
karena tidak memiliki strategi penuntutan yang jelas dan
kekurangan fasilitas pendukung.440
Sebagai pendukung kinerja mekanisme peradilan, Timor
Leste juga mendirikan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan
Rekonsiliasi Timor Leste (disingkat dalam bahasa Portugis
CAVR).441 Mandat komisi ini secara garis besar adalah
mencari kebenaran atas pelanggaran HAM dalam kurun wakti
1975-1999, melakukan rekonsiliasi di tingkat komunitas atas
kejahatan yang tidak berat, melakukan rehabilitasi korban,
serta melakukan rekomendasi.442 Dalam rekomendasi ini, CAVR
menyatakan bahwa perlu perbaikan proses peradilan atas
kejahatan internasional, dan pembentukan pengadilan
internasional apabila keadilan tetap gagal ditegakan.443
440 Hirst, op. cit., hal. 7. 441 Untuk seluruh informasi lengkap terkait CAVR, lihat situs
resmi CAVR (yang merupakan singkatan dari Commisao de Alcohimento, Verdade e Reconcilicao) dalam http://www.cavr-timorleste.org (1 Juni 2008).
442 Ibid. 443 Laporan resmi CAVR adalah “Chega! The Report of the Commission
of Reception, Truth, and Reconciliation in Timor Leste,” http://www.cavr-timorleste.org/en/chegaReport.htm (1 Juni 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
176
4. Komisi Ahli (Commission of Expert) PBB
Pada Februari 2005, Komisi Ahli dibentuk oleh Sekjen
PBB untuk menanggapi kegagalan Pengadilan HAM ad hoc di
Indonesia.444 Komisi ini bertugas melakukan penilaian
kinerja Pengadilan HAM ad hoc Indonesia dan Panel Khusus di
Dili, merekomendasikan tindakan untuk memastikan
akuntabilitas, rekonsiliasi, dan keadilan bagi para korban,
dan mempertimbangkan analisisnya dapat membantu KKP.445
Dalam laporannya pada 26 Mei 2005, disimpulkan bahwa
terdapat kegagalan dalam proses Pengadilan HAM di
Indonesia, mengkritik peradilan kejahatan berat di Timor
Leste, dan menuntut adanya sebuah pengadilan internasional,
jika tidak ada perbaikan mendasar dalam kedua mekanisme
keadilan domestik dalam waktu enam bulan.446
444 Untuk laporan lengkap Komisi Ahli PBB, lihat “Letter dated 24
June 2005 from the Secretary General Addressed to the President of the Security Council,” (UN. Doc. S/2005/458) http://daccessdds.un.org/ doc/UNDOC/GEN/N05/426/17/PDF/N0542617.pdf?OpenElement (1 Juni 2008).
445 Komisi Ahli menjalankan tugasnya hingga awal tahun 2005,
ketika ToR KKP sudah ditandatangani namun KKP belum menjalankan tugasnya.
446 “Letter dated 24 June 2005 from the Secretary General
Addressed to the President of the Security Council,” op. cit.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
177
B. Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor
Leste
1. Impunitas sebagai Semangat Pembentukan Komisi
Kebenaran dan Persahabatan
Meskipun proses peradilan sudah dilakukan baik di
Indonesia maupun Timor Leste, tidak kredibelnya proses-
proses tersebut menyebabkan tekanan internasional untuk
menuntut pertanggungjawaban dalam pelanggaran HAM yang
terjadi tidak berhenti.447 Hal ini misalnya dapat dilihat
dari pembentukan Komisi Ahli oleh DK PBB, yang dianggap
sebagai ancaman terhadap pendekatan “rekonsiliasi” yang
dijalankan oleh kedua negara. Dari pihak Timor Leste pun,
para pemimpinnya tidak menyetujui pembentukan pengadilan
internasional dengan alasan menjaga hubungan persahabatan
yang baik dengan Indonesia.448
Dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa semangat
utama pembentukan KKP adalah untuk mencegah pembentukan
pengadilan internasional yang kemungkinan besar akan
direkomendasikan oleh Komisi Ahli PBB (yang memang pada
447 Lihat kembali laporan Commission of Expert, “Letter dated 24
June 2005 from the Secretary General Addressed to the President of the Security Council,” op. cit.
448 Hirst, op. cit., hal. 10-12.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
178
akhirnya direkomendasikan demikian). Kesimpulan ini juga
dapat dilihat dari pernyataan publik dari perwakilan kedua
negara tersebut.449 Dengan demikian, dilihat dari perspektif
PBB (yang mana Komisi Ahlinya menyimpulkan terjadinya
kegagalan dalam peradilan atas pelanggar HAM di Indonesia
dan Timor Leste), keberadaan KKP tidak lain bertujuan untuk
mengulur waktu450 penuntasan pertanggungjawaban atas
pelanggaran HAM, sehingga menyebabkan impunitas.
Setelah melalui serangkaian negosiasi yang dimulai
oleh Presiden Megawati (Indonesia) dan Presiden Xanana
Gusmao (Timor Leste), disepakati pembentukan suatu “komisi
kebenaran dan rekonsiliasi internasional.” Konsep ini
berkembang dari suatu komisi internasional menjadi komisi
bilateral bernama Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP).
Begitupula terdapat perbedaan yang pada awalnya diusulkan
dibentuk berdasarkan resolusi DK PBB, ternyata hanya
449 Hirst, op. cit., hal. 12. 450 Jika DK PBB menyetujui laporan Komisi Ahli PBB, maka sejak
saat itu durasi 6 bulan mulai berlaku bagi Indonesia maupun Timor Leste untuk meninjau ulang proses peradilan domestiknya. Apabila kemudian setelah lewat masa tersebut tidak terdapat perkembangan yang signifikan, pengadilan internasional dapat dibentuk. Hingga saat ini, laporan Komisi Ahli tetap belum dibahas oleh DK PBB karena menunggu hasil kerja KKP.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
179
dibentuk melalui kesepakatan bilateral.451 Pada akhirnya,
Kerangka Acuan (Term of Reference) dari KKP difinalisasi
dan diluncurkan pada 9 Maret 2005. Kerangka Acuan tersebut
ditandatangani di Jakarta oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (Indonesia) dan Presiden Xanana Gusmao (Timor
Leste).
2. Kewenangan Komisi Kebenaran dan Persahabatan
berdasarkan Kerangka Acuan
Berdasarkan Kerangka Acuan, KKP memiliki beberapa
kewenangan (dalam bentuk mandat), yang secara garis besar
terdiri dari: (1) memeriksa dokumen-dokumen dari empat
mekanisme keadilan transisional yang terjadi di Indonesia
dan Timor Leste (yakni Laporan KPP-HAM, Pengadilan HAM Ad-
Hoc untuk Timor Timur, CAVR, dan Panel Khusus Kejahatan
Berat) untuk kemudian mengungkapkan kebenaran mengenai
pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1999 di Timor
Timur, (2) mengeluarkan laporan akhir yang disebarluaskan
kepada publik, serta (3) memberikan rekomendasi yang
bertujuan untuk memulihkan luka masa lalu dan memulihkan
451 Hirst, op. cit., hal. 12.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
180
harkat dan martabat manusia. Secara lebih lengkap, paragraf
14 Kerangka Acuan KKP menyebutkan bahwa:
a. Reveal the factual truth of the nature, causes, and
the extent of reported violations of human rights that occurred in the period leading up to and immediately following the popular consultation in Timor-Leste in August 1999: i. review all the existing materials documented by
the Indonesian National Commission of Inquiry on Human Rights Violations in East Timor in 1999 (KPP HAM) and the Ad-hoc Human Rights Court on East Timor, as well as the Special Panels for Serious Crimes, and the Commission of Reception, Truth and Reconciliation in Timor-Leste;
ii. examine and establish the truth concerning reported human rights violations including patterns of behavior, documented by the relevant Indonesian institutions and the Special Panels for Serious Crimes (as contained in its indictment letters) with a view to recommending follow-up measures in the context of promoting reconciliation and friendship among peoples of the two countries.
b. Issue a report, to be made available to the public,
… , establishing the shared historical record of the reported human rights violations that took place in the period leading up to and immediately following the popular consultation in Timor-Leste in August 1999.
c. Devise ways and means as well as recommend
appropriate measures to heal the wounds of the past, to rehabilitate and restore human dignity, inter alia: i. recommend amnesty for those involved in human
rights violations who cooperate fully in revealing the truth;
ii. recommend rehabilitation measures for those wrongly accused of human rights violations;
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
181
iii. recommend ways to promote reconciliation between peoples based on customs and religious values;
iv. recommend innovative people-to-people contacts and cooperation to further enhance peace and stability.452 (garis bawah dan huruf tebal dari penulis).
Hingga penelitian ini disusun, terdapat banyak
permasalahan dan kritik terhadap kinerja KKP, terutama
dalam pelaksanaan mekanisme konsultasi publik. Saat ini,
KKP telah menyelesaikan mandatnya pada awal bulan Februari
2008, setelah mengalami dua kali perpanjangan mandat. Namun
demikian, berhubungan penelitian ini merupakan studi
normatif, analisis berikutnya berlandaskan kesesuaian
Kerangka Acuan KKP dengan hukum internasional.
C. Permasalahan Hukum Internasional dalam Komisi
Kebenaran dan Persahabatan Menyangkut Kewenangan
Pemberian Amnesti
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditemukan
permasalahan mendasar dalam perspektif hukum internasional,
452 Lihat “Terms of Reference for the Commission of Truth and
Friendship Established by the Republic of Indonesia and the Democratic Republic of Timor-Leste,” [selanjutnya disebut Kerangka Acuan KKP], paragraf 14, http://etan.org/et2005/march/06/10tor.htm (1 Juni 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
182
terutama yang berkaitan dengan pemberian amnesti terhadap
pelaku kejahatan internasional, yaitu: apakah mekanisme
kerja KKP, khususnya menyangkut pemberian amnesti, telah
memadai berdasarkan prinsip-prinsip HAM dan hukum
internasional?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Kerangka
Acuan KKP mengandung klausul yang memberikan kewenangan
bagi KKP untuk merekomendasikan pemberian amnesti terhadap
pelaku pelanggar HAM yang kooperatif untuk mengungkapkan
seluruh kebenaran.453 Dalam Kerangka Acuan memang tidak
dijelaskan mengenai pelaku pelanggaran HAM apa saja yang
dapat diberikan amnesti. Namun demikian, jika melihat
dokumen yang dianalisis oleh KKP, yakni Laporan KPP-HAM,
Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk Timor Timur, CAVR, dan Panel
Khusus Kejahatan Berat, maka dapat disimpulkan bahwa
pemberian amnesti dalam mekanisme KKP lebih diarahkan
kepada pelaku pelanggaran HAM yang tergolong sebagai
kejahatan internasional.
Permasalahan dalam klausula pemberian amnesti tersebut
juga semakin kompleks apabila dikaitkan dengan ketentuan-
453 Kerangka Acuan KKP, Paragraf 14 butir (c) 1.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
183
ketentuan lain dalam Kerangka Acuan. Terdapat kemungkinan
pelanggaran prinsip-prinsip hukum internasional dalam
Kerangka Acuan. Dalam Paragraf 3, dijabarkan lima prinsip
yang melandasi kerja KKP, yang mana dua diantaranya adalah:
1. Berdasarkan semangat untuk melihat ke masa mendatang
dan pendekatan rekonsiliatif, proses KKP tidak akan
mengarah kepada penuntutan dan lebih menekankan kepada
pertanggungjawaban institusi;454
2. Tidak akan mendahului proses peradilan atas
pelanggaran HAM di Timor Leste pada tahun 1999, dan
pula tidak akan merekomendasikan pembentukan lembaga
peradilan apapun.455
Berdasarkan kedua prinsip tersebut, laporan akhir KKP
memang sejak awal dimaksudkan sebagai penyelesaian akhir
terhadap segala kasus pelanggaran HAM tanpa adanya proses
peradilan. Pelaksanaan prinsip tersebut juga berarti
menghilangkan kemungkinan pembentukan peradilan
internasional dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM
di Timor Leste. Dikaitkan dengan prinsip-prinsip tersebut,
pembentukan Kerangka Acuan KKP dikritik karena “designed to
454 Kerangka Acuan KKP, Paragraf 13 butir (c). 455 Kerangka Acuan KKP, Paragraf 13 butir (e).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
184
shield from prosecution those who bear primary
responsibility for crimes committed in Timor Leste under
the guise of a truth and reconciliation function whose
fulfilment is uncertain.”456
Amnesti sendiri (telah dibahas dalam Bab II dan Bab
III sebelumnya) dilarang dalam hukum internasional. Namun
demikian, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang
ada, pemberian amnesti itu sendiri sebenarnya tidak
bertentangan secara langsung dengan hukum internasional,
melainkan yang bertentangan adalah implikasi-implikasi
hukum yang ditimbulkan. Dalam konteks mekanisme KKP,
implikasi tersebut adalah gugurnya kewajiban menyidik,
menuntut, dan mengadili pelaku kejahatan internasional,457
diabaikannya hak korban kejahatan internasional,458 dan
456 Lihat, Judicial System Monitoring Programme, “Commission of
Truth and Friendship” Seeks to End the Search for Justice whilst “Commission of Experts” Keeps it Alive, press release on March 14, 2005, http://www.jsmp.minihub.org/Press%20Release/CTF&CoF/ComparingCTF andCoE(e).pdf (1 Juni 2008).
457 Lihat kembali Bab II Sub C. Instrumen hukum internasional yang
digunakan untuk menerapkan prinsip ini adalah Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Genosida, Konvensi Anti Penyiksaan, Kovenan Hak Sipil dan Politik, hukum kebiasaan internasional, dan berbagai pernyataan resmi dalam berbagai dokumen internasional.
458 Lihat kembali Bassiouni (b), op. cit., hal. 246, dan The Basic
Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
185
khusus dalam masa transisi politik, tidak dipenuhinya
“Right to Know” suatu masyarakat dalam transisi.459
Berdasarkan pandangan demikian, mekanisme pemberian amnesti
pada KKP melanggar hukum internasional atas beberapa
pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, pemberian amnesti tidak memberikan insentif
maupun disinsentif apapun kepada pelaku pelanggaran HAM
karena sejak awal Kerangka Acuan sudah menegaskan tidak
akan membuka pertanggungjawaban individu terhadap
pelanggaran HAM di Timor-Timur dan memfokuskan kepada
pertanggungjawaban institusi. Paragraf 10 Kerangka Acuan
KKP sudah menyatakan bahwa,
“Indonesia and Timor-Leste have opted to seek truth and promote friendship as a new and unique approach rather than the prosecutorial process. True justice can be served with truth and acknowledgement of responsibility. The prosecutorial system of justice can certainly achieve one objective, which is to punish the perpetrators; but it might not necessarily lead to the truth and promote reconciliation.”460 (huruf tebal dari penulis).
Serious Violations of International Humanitarian Law yang diadopsi oleh PBB.
459 Lihat kembali Bab IV Sub A poin 3, dan Update Set of
Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity of 2005.
460 Kerangka Acuan KKP, Paragraf 10.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
186
Hal ini kemudian kembali ditegaskan dalam paragraf 12
tentang prisip kerja KKR yang sekali lagi menyatakan bahwa
melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan
internasional di Timor Leste bukan merupakan suatu
pilihan.461 Klausula tersebut sudah secara nyata melanggar
kewajiban hukum internasional untuk menyidik, menuntut, dan
mengadili pelaku kejahatan internasional.462
Jika memang sejak awal proses penuntutan untuk mencari
pertanggungjawaban individu atas kasus kejahatan
internasional sudah diabaikan, lantas apakah fungsi amnesti
dalam Kerangka Acuan KKP ini? Pelaku kejahatan
internasional tidak akan mendapatkan “manfaat pribadi”
dengan mengakui kesalahannya dan memohon amnesti, karena
sejak awal “manfaat” tersebut sudah melekat tanpa adanya
pemberian amnesti. Begitupula tidak ada “hukuman” bagi sang
pelaku (dengan diadili di hadapan sidang pengadilan)
apabila ia tidak berniat untuk mengungkapkan kebenaran.
Dengan demikian, mekanisme amnesti dalam Kerangka Acuan KKP
461 Kerangka Acuan KKP, Paragraf 13 butir (c). 462 Lihat kembali Bab II Sub C.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
187
tidak lain dari suatu instrumen hukum yang memiliki
semangat impunitas.
Kedua, pemberian amnesti tidak diikuti dengan adanya
pemulihan tiga hak dasar korban dalam hukum internasional,
yaitu hak untuk mendapatkan keadilan, hak untuk mendapatkan
pemulihan yang efektif, serta hak untuk mengetahui
kebenaran. Kerangka Acuan KKP tidak sekalipun menyebut
istilah “korban” (victim), sehingga perlu dikritik
keberpihakan Kerangka Acuan tersebut terhadap korban
pelanggaran HAM, khususnya yang tergolong sebagai kejahatan
internasional. Dalam perspektif ini, mekanisme pemberian
amnesti melanggar beberapa prinsip dasar hak korban.
Akses korban terhadap keadilan terhalang karena
pemberian amnesti tidak diiringi dengan proses penuntutan
dan peradilan, sehingga tidak ada kesempatan bagi korban
untuk menyuarakan pandangannya di hadapan pengadilan.463
Kerangka Acuan KKP juga tidak menjabarkan dampak pemberian
amnesti terhadap pemulihan hak-hak korban. Telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya bahwa korban memiliki hak untuk
463 Hak korban untuk mendapatkan akses terhadap keadilan, tercakup
pula kewajiban negara untuk melakukan penuntutan. Hal ini karena hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan meliputi hak korban untuk memberikan keterangan di pengadilan dan hak untuk mendapatkan pemulihan yang efektif. Bassiouni (b), op. cit., hal. 265.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
188
pemulihan,464 dan hak tersebut harus dipenuhi seandainya
amnesti memang pada akhirnya diberikan. Sebaliknya,
Kerangka Acuan memilih untuk membisu mengenai mekanisme
ini, sehingga tidak ada jaminan bahwa hak korban akan
dipenuhi jika amnesti diberikan.465 Termasuk dalam hak
korban tersebut adalah hak untuk mengetahui kebenaran, yang
sebenarnya dapat dipenuhi dalam proses peradilan. Dengan
demikian, terdapat pelanggaran yang nyata terhadap hak
korban dalam hukum internasional.
Ketiga, pemberian amnesti tidak memberikan jaminan
terpenuhinya “Right to Know” masyarakat Indonesia maupun
Timor Leste. “Right to Know” dapat terpenuhi apabila
terdapat suatu sistem yang mendorong para pihak, termasuk
pemerintah, pelaku, maupun korban, untuk mengungkapkan
kebenaran yang hakiki.466 Amnesti, jika digunakan dengan
tepat, dapat menjadi “reward” bagi pelaku pelanggaran HAM
464 Hak untuk mendapatkan pemulihan yang efektif terdiri dari hak
untuk mendapatkan restitusi, kompensasi ekonomi, rehabilitasi, dan jaminan non-repetisi. Lihat kembali Prinsip 19-25 Basic Principle.
465 Lihat Amara Paripurna, “Victim’s Rights to Remedy and the Role
of CTF,” http://amiraparipurna.wordpress.com/2008/05/31/victims-right-to-remedy-and-the-role-of-ctf/ (3 Juni 2008).
466 Lihat Orentchelier (a), op. cit., mengenai “Update Set of
Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity of 2005.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
189
yang mengungkapkan kebenaran, sepanjang tersedia mekanisme
“punishment” bagi mereka yang menolak bekerjasama.467 Dengan
Prinsip dan Mandat KKP sebagaimana tercantum di Kerangka
Acuan, “kebenaran yang hakiki” tidak akan dapat terungkap
Karena gagal menciptakan suatu kondisi yang mendorong
setiap pihak yang terlibat untuk menceritakan setiap
kejadian.
Sebagian besar pelaku yang diduga melakukan kejahatan
internasional telah dinyatakan tidak bersalah oleh
Pengadilan HAM ad-hoc di Indonesia. Saat ini mereka
dilindungi dari proses peradilan selanjutnya, setidaknya di
Indonesia, oleh prinsip ne bis in idem.468 Sementara itu,
yang belum dituntut ataupun diadili, pun juga terlindungi
karena sudah terdapat jaminan bahwa proses pengungkapan
kebenaran di KKP tidak akan berujung pada penuntutan.
Absennya mekanisme pertanggungjawaban pidana secara
individu ini membuat para tertuduh tidak menghadapi ancaman
pidana dalam bentuk apapun.
467 Pola ini merupakan pondasi utama keberhasilan KKR di Afrika
Selatan untuk selamat dari kritik internasional karena memberikan amnesti bagi pelaku pelanggar HAM.
468 Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang yang terlibat dalam
tindak pidana kejahatan tidak bisa segera dituntut lagi atas tuduhan yang sama. Konsep ini tertuang dalam Pasal 76 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dan Pasal 14 (7) ICCPR.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
190
Selain itu, laporan ICTJ juga mencatat beberapa
kelemahan Kerangka Acuan KKP mengenai amnesti, khususnya
dalam menyusun mekanisme “amnesti untuk kebenaran.”
Kelemahan tersebut adalah:
a. Rekomendasi pemberian amnesti hanya diberikan kepada
orang-orang yang didekati oleh KKP sebagai saksi,
tidak dibuka untuk umum sebagaimana dilakukan dalam
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan.469
b. Tidak adanya mekanisme investigasi untuk menguji
kesaksian dari mereka yang memohon rekomendasi
amnesti, termasuk mekanisme investigasi silang (cross
examination) dengan para korban.470
c. Tidak adanya publikasi mengenai kriteria subyek
(pelaku) ataupun obyek (jenis kejahatan) yang dapat
diberikan amnesti.471
d. Tidak adanya kemungkinan penuntutan dan peradilan.
Dari beberapa kelemahan tersebut, poin terakhir
merupakan kelemahan utama KKP, karena seharusnya ancaman
469 Di Afrika Selatan, permohonan amnesti terbuka bagi siapapun, dan formulir permohonan amnesti disebarkan ke seluruh wilayah negara. Lihat Hirst, op. cit., hal. 28.
470 Hirst, op. cit., hal. 28-29. 471 Hirst, op. cit., hal. 28-29.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
191
penuntutan adalah “pancingan” utama bagi pelaku untuk
mengungkapkan kebenaran. Dengan kegagalan mekanisme
“insentif-disinsentif” semacam ini dalam KKP, proses
pencarian kebenaran dalam rangka memenuhi “Right to Know”
pun bukan merupakan keniscayaan dan kemungkinan besar akan
berujung pada kegagalan.
Pada akhirnya, dengan memperhatikan segala kelemahan
pada KKP, perlu diingat bahwa KKP belum tentu menjadi akhir
dari segala penyelesaian. Tentu kemungkinan bahwa laporan
akhir KKP akan mengungkapkan suatu hal (baca: kebenaran)
yang baru selain informasi pada CAVR, SCU Timor Leste, KPP-
HAM Indonesia, ataupun dokumen-dokumen pada Pengadilan HAM
ad-hoc Indonesia sangat kecil. Jika kredibilitas laporan
KKP diragukan oleh komunitas internasional, terutama oleh
laporan Komisi Ahli PBB yang bertugas untuk melaporkan
langsung ke DK PBB, proses pengungkapan kebenaran akan
kejadian di Timor Timur tahun 1999 masih jauh dari selesai.
Satu-satunya cara bagi Indonesia dan Timor Leste untuk
menghindari tekanan internasional dan nasional (terutama
dari para korban) bukanlah lari dari kenyataan, melainkan
menghadapinya dengan mengungkapkan kebenaran. Sepanjang
negara melaksanakan kewajibannya untuk melakukan penuntutan
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
192
dan peradilan, hak korban dilindungi, dan hak masyarakat
untuk mengetahui kebenaran dipenuhi, mekanisme apapun
(termasuk amnesti) merupakan suatu keniscayaan di tengah
situasi transisi politik di Timor Leste, setidaknya untuk
mencegah terjadinya amnesia sejarah bahwa disana pernah
terjadi kekerasan yang melukai rasa kemanusiaan.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
193
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Uraian sebelumnya telah menjelaskan berbagai aspek
hukum internasional mengenai legalitas pemberian amnesti
terhadap pelaku kejahatan internasional, khususnya yang
dilakukan dalam konteks situasi transisi politik di suatu
negara. Dapat disimpulkan beberapa poin penting dalam
uraian tersebut, yaitu bahwa:
1. Adanya karakteristik khusus dari kejahatan internasional
(timbulnya kewajiban bersama (erga omnes) untuk
memberikan pertanggungjawaban individu dan penerapan
prinsip yurisdiksi universal) memberikan perlakuan yang
khusus pula menyangkut pemberian amnesti terhadap
pelakunya. Meskipun pemberian amnesti merupakan hak yang
dimiliki suatu negara berdaulat, namun khusus menyangkut
kejahatan internasional, amnesti tidak boleh menciptakan
impunitas sehingga harus dilarang. Beberapa prinsip yang
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
194
digunakan sebagai landasan untuk melarang pemberian
amnesti terhadap kejahatan internasional adalah:
a. Kewajiban negara melakukan penindakan atas pelaku
kejahatan internasional. Kewajiban negara melakukan
penindakan tersebut mengharuskan negara untuk membawa
pelaku kejahatan internasional ke peradilan, sehingga
tidak dapat diberikan amnesti karena berarti merupakan
intervensi terhadap proses peradilan. Prinsip ini
terkandung antara lain dalam: (1) Empat Konvensi
Jenewa tahun 1949, (2) Konvensi Genosida, (3) Konvensi
Anti Penyiksaan, (4) Kovenan Internasional mengenai
Hak Sipil dan Politik, (5) hukum kebiasaan
internasional, dan (6) berbagai dokumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
b. Perlindungan hak atas korban kejahatan internasional.
Dalam hukum kebiasaan internasional, sebagaimana
termuat dalam The Basic Principles and Guidelines on
the Right to a Remedy and Reparation for Victims of
Gross Violations of International Human Rights Law and
Serious Violations of International Humanitarian Law
(Selanjutnya “Basic Principle”), terdapat tiga hak
korban kejahatan internasional: (1) hak untuk
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
195
mendapatkan akses terhadap keadilan, (2) hak untuk
mendapatkan pemulihan yang efektif (terdiri dari
restitusi, kompensasi ekonomi, rehabilitasi, dan
jaminan non-repetisi), serta (3) hak untuk mengetahui
kebenaran. Pemberian amnesti melanggar hak tersebut
karena menghilangkan proses peradilan, yang mana di
forum tersebut korban seharusnya dapat mengungkapkan
suaranya, mencari kebenaran, serta mendapatkan
pemulihan.
2. Sementara itu, khusus dalam situasi transisi politik,
hukum kebiasaan internasional merespons dengan membentuk
prinsip “Right to Know.” Sebagai pengakuan atas hak
kolektif masyarakat transisi untuk mengetahui kebenaran
akan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, prinsip
ini termaktub dalam Update Set of Principles for the
Protection and Promotion of Human Rights through Action
to Combat Impunity of 2005. Pemberian amnesti secara
menyeluruh dapat melanggar hak ini karena menutup dan
menghentikan akses masyarakat terhadap kebenaran. Namun
demikian, terdapat kemungkinan justifikasi pemberian
amnesti sepanjang Right to Know terpenuhi. Beberapa
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
196
contoh pemberian amnesti dalam masa transisi politik
antara lain:
a. Praktek di Amerika Latin: secara umum, yurisprudensi
Inter-American Court of Human Rights (IACHR) dan
pedoman yang disusun oleh Inter-American Commission of
Human Rights mengarah pada pelarangan amnesti secara
mutlak. Referensi utama pelarangan amnesti adalah
kasus Velásquez-Rodríguez v. Honduras (1988) dan kasus
Barios Altos v. Peru (2001).
b. Kasus peradilan Pinochet di Inggris: penangkapan
mantan pemimpin Cile, Agusto Pinochet, di Inggris
memperkuat pelarangan pemberian amnesti. Pinochet
sebenarnya sudah memperoleh amnesti, namun peradilan
Inggris menyatakan amnesti tersebut tidak berlaku
karena dianggap hanya berlaku secara domestik
(teritorial Cile), sehingga tidak dapat menderogasi
penindakan kejahatan-kejahatan internasional yang
memiliki yurisdiksi universal.
c. Pemberian amnesti di Afrika Selatan: SATRC (Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan) memiliki
kewenangan pemberian amnesti sehingga banyak dikritik
karena dianggap melanggar hukum internasional. Alasan
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
197
utama masyarakat internasional tidak mempermasalah-
kannya adalah karena mekanisme amnesti di SATRC
dijadikan sebagai insentif bagi pelaku kejahatan untuk
mengaku dan mengungkapkan kebenaran, sementara amnesti
juga diiringi dengan ancaman peradilan sebagai
disinsentif bagi mereka yang tidak rela maju ke SATRC.
d. Pemberian amnesti di Sierra Leone: Amnesti di Sierra
Leone pada awalnya tercantum dalam Lome Agreement,
suatu kesepakatan perdamaian antara pemerintah dan
pemberontak RUF yang difasilitasi oleh PBB. Setelah
Lome Agreement mengalami kegagalan, dibentuk Special
Court of Sierra Leone (SCSL), yang mana di forum
tersebut, klausul amnesti pada Lome Agreement
dibatalkan oleh pengadilan. Hal ini terlihat dalam
Prosecutor v. Morris Kallon and Brima Bazzy Kamara
(2004) dan Prosecutor v. Kondewa (2004).
3. Indonesia juga memiliki mekanisme pemberian amnesti
terhadap pelaku kejahatan internasional dalam konteks
transisi politik yang terjadi di Indonesia pasca
reformasi tahun 1998, yakni dalam Undang-undang tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Kerangka
Acuan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
198
Leste (KKP). Dapat disimpulkan bahwa mekanisme pemberian
rekomendasi amnesti pada UU KKR bertentangan dengan
hukum internasional karena:
a. KKR yang memiliki kewenangan pemberian rekomendasi
amnesti merupakan mekanisme substitusi dari Pengadilan
HAM, artinya pelaku yang tidak diadili di Pengadilan
HAM akan memberikan kesaksiannya pada KKR.
b. Pemulihan hak korban bergantung pada dikabulkan atau
tidak suatu permohonan amnesti. Padahal, hak korban
adalah suatu kewajiban negara yang wajib diberikan
tanpa syarat apapun.
Sementara itu, dalam Kerangka Acuan KKP, dikatakan
bahwa KKP memiliki mandat untuk memberikan rekomendasi
amnesti. Namun demikian, mandat tersebut harus
dianggap bertentangan dengan hukum internasional
karena:
a. Dengan semangat KKP yang mengarah kepada impunitas
karena tidak tidak melanjutkan proses peradilan,
mekanisme amnesti tidak akan memberi manfaat
(insentif) bagi pelaku yang mengaku, dan tidak akan
menjadi ancaman (disinsentif) bagi pelaku yang
tidak mengaku. Mekanisme demikian juga tidak
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
199
berpengaruh apapun terhadap pemenuhan “Right to
Know” masyarakat Indonesia dan Timor Leste.
b. Tidak ada mekanisme yang jelas mengenai implikasi
pemberian amnesti terhadap hak para korban, yakni
hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan, hak
mendapatkan reparasi, maupun hak mengetahui
kebenaran.
Jika dikonstruksikan dengan format yang berbeda dan
disusun ke dalam satu paragraf, inti sari dari hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bahwa pada prinsipnya terdapat dua pendekatan dalam
meninjau legalitas pemberian amnesti terhadap pelaku
kejahatan internasional dalam masa transisi politik.
Pendekatan pertama menggunakan prinsip HAM internasional,
yang mana menentang secara mutlak pemberian amnesti.
Kalaupun situasi dalam masa transisi politik tidak
memungkinkan adanya penuntutan atau peradilan terhadap
pelaku kejahatan internasional, kondisi demikian tidak
memberikan hak kepada negara untuk memberi amnesti. Dalam
hal ini, hukum internasional memang memberikan keleluasaan
bagi negara tersebut untuk tidak melakukan proses hukum
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
200
sebelum negara berada dalam kondisi yang stabil, namun
hukum internasional segera berlaku segera sesaat bahaya
yang mengancam negara sudah berlalu. Pendekatan kedua
adalah melihat kenyataan terhadap situasi transisi politik
yang terjadi di suatu negara, yakni meninjau sejauh mana
amnesti dapat bermanfaat bagi pengungkapan kebenaran dan
rekonsiliasi. Dengan kata lain, hukum merupakan instrumen
politik. Dengan pendekatan ini, amnesti bukan tidak
dilarang dalam hukum internasional, melainkan akibat dari
amnesti itulah yang harus diantisipasi oleh instrumen
hukum. Sepanjang amnesti diikuti dengan pemenuhan hak
korban kejahatan internasional, memperhatikan mekanisme
penuntutan dan peradilan, serta mendorong pengungkapan
kebenaran sejarah terhadap praktek kejahatan yang dilakukan
oleh rejim masa lalu, maka mekanisme tersebut
diperbolehkan.
Pada akhirnya, berikut ini diberikan suatu diagram
yang diharapkan mampu merangkum gagasan-gagasan utama yang
dihasilkan dari penelitian ini.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
201
Masa Transisi Politik
B. Rekomendasi
Masyarakat internasional telah melahirkan berbagai
ketentuan hukum dan standar yang berkaitan mengenai
amnesti, termasuk dalam konteks transisi politik. Konvensi,
putusan peradilan internasional, standar, pedoman, maupun
berbagai dokumen tersebar dan dapat dimanfaatkan oleh
negara-negara di dunia untuk merumuskan konsep dan amnesti
AMNESTI Pendekatan hukum sebagai instrumen
politik
Pendekatan hukum HAM internasional
- Yurisdiski universal - Kewajiban erga omnes - Kewajiban menindak - Norma jus cogens - Aut dedere aut
judicare - Hak korban kejahatan
internasional - Right to Know
- Peradilan HAM Regional Amerika Latin
- Special Court for Sierra Leone
- Kasus Pinochet di Inggris
Hambatan riil dalam: - Menciptakan
rekonsiliasi - Memantapkan
persatuan nasional - Mengungkapkan
kebenaran hakiki - Menentukan
pertanggungjawaban
- Mekanisme SATRC di Afrika Selatan
SOLUSI
Sifat komplementer dan “stick and
carrot”: Amnesti sebagai
insentif, melengkapi
peradilan sebagai disinsentif untuk
mengungkap kebenaran
Pemenuhan hak
korban
Kegagalan = Impunitas KKR Indonesia
KKP Indonesia Timor Leste
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
202
yang tepat sesuai dengan situasi transisi politik di
negaranya masing-masing dengan mengacu kepada “best
practice” berbagai negara lain.
Kurangnya pedoman dan acuan seharusnya tidak dapat
dijadikan alasan bagi Indonesia atas kegagalannya dalam
menciptakan konstruksi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
serta Komisi Kebenaran dan Persahabatan dengan Timor Leste
yang sesuai dengan hukum internasional. Tidak adanya
kemauan politik, khususnya dari pemerintah, menjadi alasan
utama yang harus segera ditingkatkan.
Indonesia tidak dapat menghindari kenyataan atas
kekerasan dan kejahatan yang terjadi di wilayahnya, telebih
yang mendapat perhatian dari segenap masyarakat
internasional. Kebenaran bukan untuk dihindari, melainkan
untuk diterima, disadari, dan dijadikan pelajaran untuk
menatap masa depan yang lebih baik. Impunitas tidak
menyelesaikan permasalahan, melainkan hanya mengulur waktu
sebelum ledakan kemarahan sejarah menjadi kenyataan.
Atas dasar pemikiran tersebut, rekomendasi konsep
amnesti bagi pelaku kejahatan internasional di Indonesia
adalah sebagai berikut.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
203
a. Amnesti seharusnya menjadi bagian dari “stick and
carrot” dari pencarian kebenaran. Amnesti harus
menjadi insentif bagi pelaku yang mengungkapkan
kebenaran secara penuh (full disclosure). Sementara
itu, pemberian amnesti hanya menjadi instrumen
pelengkap (kompelementer) dari peradilan yang juga
berfungsi sebagai disinsentif bagi mereka yang tidak
ingin mengaku, memberikan keterangan palsu, atau tidak
mengungkapkan kebenaran secara penuh.
b. Pemberian amnesti harus mempertimbangkan sejauh mana
hak korban sudah dipenuhi, khususnya hak atas
pemulihan dan hak untuk mengetahui kebenaran. Hak
mendapatkan pemulihan termasuk hak mendapatkan
restitusi, kompensasi ekonomi, rehabilitasi, dan
jaminan non-repetisi. Dalam situasi transisi politik,
penghargaan publik terhadap korban (misalnya dengan
diberikan gelar “pahlawan,” pendirian monumen,
peringatan hari besar, atau kegiatan seremonial
lainnya) adalah hal yang tidak boleh dilupakan,
apalagi dalam konteks penciptaan rekonsiliasi.
Mekanisme amnesti sebagaimana direkomendasikan dalam
penelitian ini adalah solusi yang jika diintegrasikan
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
204
dengan berbagai formula keadilan transisional lainnya,
dapat menjadi jawaban untuk menyeimbangkan antara kepatuhan
terhadap prinsip HAM dan hukum internasional, dengan
praktek riil dan politik yang mengekang negara, pemerintah,
dan masyarakat dalam menyelesaikan pelanggaran HAM yang
tergolong sebagai kejahatan internasional.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan Jurnal Ilmiah Antkowiak, Thomas M. “Truth as Right and Remedy in
International Human Rights Experience.” Michigan Journal of International Law (Summer 2002).
Akhavan, Payam. “Beyond Impunity: Can International
Criminal Justice Prevent Future Atrocities.” American Journal of International Law (January 2001).
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik
di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005.
Ashhidiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam
Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Asshidiqie, Jimly. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah
Perubahan Keempat. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia: 2002.
Basch, Fernando Felipe. “The Doctrine of the Inter-American
Court of Human Rights Regarding State’s Duty to Punish Human Rights Violations and Its Dangers.” Academy on Human Rights and Humanitarian Law (2007).
Bassiouni, M. Cherif. “International Recognition of
Victim’s Rights.” Human Rights Law Review (2006). Bassiouni, M. Cherif. Introduction to International
Criminal Law, (2003).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Benoit, James Paul. “The Evolution of Universal Jurisdiction Over War Crimes.” Naval Law Review (2006).
Bohl, Kristin. “Breaking the Rules of Transitional
Justice,” Wisconsin International Law Journal (Spring 2006).
Bottini, Gabriel. “Universal Jurisdiction After the
Creation of The International Criminal Court.” New York University Journal of International Law and Politics (Winter-Spring 2004).
Brownlie, Ian. Public International Law. 6th ed. Oxford:
Oxford University Press, 2003. Burke-White, William W. “Reframing Impunity: Appling
Liberal International Law Theory to an Analysis of Amnesty Legislation.” Harvard International Law Journal (Summer 2001).
Burton, Mary. “Custodians of Memory: South Africa’s Truth
and Reconciliation Commission.” International Journal of Legal Information (Summer 2004).
Cassel, Douglas. “Lessons from the Americas: Guidelines for
International Response to Amnesties for Atrocities.” 59 Law and Contemporary Problems 205 (Autumn 1996).
Chesterman, Simon. “Rough Justice: Establishing the Rule of
Law in Post-Conflict Territories.” Ohio State Journal on Dispute Resolution (2005).
Coonan, Terence. “Rescuing History: Legal and Theological
Reflections on the Task of Making Former Torturers Accountable.” Fordham International Law Journal (1996).
Daly, Erin. “Transformative Justice: Charting a Path to
Reconciliation.” International Legal Perspectives (Fall 2001-Spring 2002).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Dixon, Martin. Textbook on International Law. London: Blackstone Press, 1990.
Dougherty, Beth K. “Searching for Answers: Sierra Leone’s
Truth and Reconciliation Commission.” African Studies Quarterly (Fall 2004).
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man.
Diterjemahkan oleh MH Amrullah, The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, (Yogyakarta: Qalam, 1999).
Fröhlich, Anita. “Reconciling Peace With Justice: a
Cooperative Division of Labor.” Suffolk Transnational Law Review (Summer 2007).
Gallagher, Karen. “No Justice, No Peace: The Legalities and
Realities of Amnesty in Sierra Leone.” Thomas Jefferson Law Review (Fall 2000).
Gross, Aeyal M. “The Constitution, Reconciliation, and
Transitional Justice: Lessons From South Africa and Israel.” Stanford Journal of International Law (Winter 2004)
Hamid, Usman. ”Menjajaki Pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi,” Teropong 4 (Januari 2004). Haque, Adil Ahmad. “Group Violence and Group Vengeance:
Toward a Retributivist Theory of International Criminal Law.” Buffalo Criminal Law Review (2005).
Havel, Brian F. “In Search of a Theory of Public Memory:
The State, The Individual, and Marcel Proust.” Indiana Law Journal (Summer 2005).
Hirst, Megan. Meraih Persahabatan, Melepas Kebenaran:
Laporan Pemantauan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Jakarta: International Center for Transitional Justice, 2008.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Hesse, Carla and Robert Post. Ed. Human Rights in Political Transitions: Gettysburg to Bosnia. New York: Zone Books, 1999.
Hollywood, Dana Michael. “The Search for Post-Conflict
Justice in Iraq: A Comparative Study of Transitional Justice Mechanisms and Their Applicability to Post-Saddam Iraq.” Brooklyn Journal of International Law (2007).
Huntington, Samuel. The Clash of Civilizations and The
Remaking of World Order. New York: Simon and Schuster, 1996.
Huntington, Samuel. The Third Wave: Democratization in The
Late Twentieh Century. Norman and London: University of Oaklahoma Press, 1991.
Jemadu, Aleksius. “Proses Peacebuliding di Aceh: Dari MoU
Helsinki menuju Undang-undang Tentang Pemerintahan Aceh.” Jurnal Hukum Internasional 4 (Juli 2006).
Joyner, Christopher C. “Redressing Impunity for Human
Rights Violations: The Universal Declaration and the Search for Accountability.” 26 Denver Journal of International Law and Policy (1998).
Juwana, Hikmahanto. “Assessing Indonesia’s Human Rights
Practise in Post Soeharto Era: 1998-2003.” Singapore Journal of International and Comparative Law (2003).
Juwana, Hikmahanto. “Hukum Internasional sebagai Instrumen
Politik: Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai Studi Kasus.” Jurnal Hukum Internasional (Oktober 2003).
Kaplan, Robert D. The Coming of Anarchy: Shattering Dreams
of the Post Cold War. New York: Vintage Books, 2000. Kielsgard, Mark D. “War On the International Criminal
Court.” New York City Law Review (Summer 2005).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Kuhner, Timothy K. “The Status of Victims in the Enforcement of International Criminal Law.” Oregon Review of International Law (Spring 2004).
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum
Internasional. Bandung: PT Alumni, 2003. Levinson, Jareed. “Indonesia’s Odyssey: A Nation’s Long,
Perilous Journey to the Rule of Law and Democracy.” Arizona Journal of International and Comparative Law (Spring, 2001).
Liddle, William. Eds. Crafting Indonesian Democracy.
Bandung: Mizan bekerjasama dengan LIPI dan Ford Foundation, 2001.
Little, J. Alex. “Balancing Accountability and Victim
Autonomy at the International Criminal Court.” Georgetown Journal of International Law (Winter 2007).
Macaluso, Daniel J. “Note, Absolute, and Free Pardon: The
Effect of the Amnesty Provision in the Lome Agreement on the Jurisdiction of the Special Court of Sierra Leone.” Brooklyn Journal of International Law (2001).
Manning, Chris and Peter Van Diemmen. eds. Indonesia in
Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: ISEAS, 2000.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7-18 Agustus 2000. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Putusan
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001. (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000).
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Indonesia tahun 2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI: 2000.
Martin, Claudia. “Catching Up with the Past: Recent
Decisions of the Inter-American Court of Human Rights Addressing Gross Human Rights Violations Perpetrated During the 1970-1980s.” Human Rights Law Review (2007).
Meyerstein, Ariel. “Transitional Justice and Post-Conflict
Israel/Palestine: Assessing the Applicability of the Truth Commission Paradigm.” Case Western Reserve Journal of International Law (2006-2007).
Motala, Ziyad. “The Use of the Truth Commission in South
Africa as an Alternative Dispute Resolution Mechanism Versus International Law Obligations.” Santa Clara Law Review (2005).
Nesbitt, Michael. “Lessons from the Sam Hinga Norman
Decision of the Special Court for Sierra Leone: How Trials and Truth Commission Can Co-Exist.” German Law Journal (Oktober 2007).
Ngungi, Joel M. “Policing Neo-Liberal Reforms: the Rule of
Law as an Enabling and Restrictive Discourse.” University of Pennsylvania Journal of International Economic Law (Fall 2005).
Orford, Anne. “Commissioning the Truth.” Columbia Journal
of Gender and Law (2006): 855. Peerenboom, Randall. “Human Rights and Rule of Law: What’s
The Relationship.” Goergetown Journal of International Law, (Spring 2005).
Robertson, Geoffrey. Crimes Against Humanity: The Struggle
for Global Justice. London: Penguin Group, 2006. Robertson, Geoffrey. “Ending Impunity: How International
Criminal Law Can Put Tyrants on Trial.” Cornell International Law Journal (Fall 2005).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Roche, Declan. “Truth Commission and the International Criminal Court.” British Journal of Criminology (July 2005).
Russell-Brown, Sherrie L. “Out of the Crooked Timber of
Humanity: The Conflict Between South Africa’s Truth and Reconciliation Commission and International Human Rights Norms Regarding ‘Effective Remedy.’” Hastings International and Comparative Law Review (Winter 2003.
Schabas, William A. “Amnesty, The Sierra Leone Truth and
Reconciliation Commission and the Special Court for the Sierra Leone.” UC Davis Journal of International Law and Policy (Fall 2004).
Sands, Phillipe. Lawless World The Whistle-blowing Account
of How Bush and Blair are Taking the Law into Their Own Hands.London: Penguin Books, 2005.
Sarkin, Jeremy and Erin Daly. “Too Many Questions, Too Few
Answers: Reconciliation in Transnational Societies.” Columbia Human Rights Law Review (Summer 2004).
Schönsteiner, Judith. “Dissuasive Measures and the “Society
as a Whole: A Working Theory of Reparations in the Inter-American Court of Human Rights.” American University International Law Review (2007).
Slye, Ronald C. “The Legitimacy of Amnesties Under
International Law and General Principles of Anglo-American Law: Is A Legitimate Amnesty Possible.” Virginia Journal of International Law (Fall 2002).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI
Press, 2005. Stahn, Carsten. “Complementarity, Amnesty, and Alternative
Forms of Justice: Some Interpretative Guidelines for the International Criminal Court.” Journal of International Criminal Justice (July 2005).
Stanley. Eds. Indonesia di Tengah Transisi, Jakarta:
Propatria, 2000.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Steiner, Henry J. and Phillip Alston. International Human
Rights in Context Law, Politics, Morals. 2nd ed.Oxford: Oxford University Press, 2000.
Sterio, Milena. “Rethinking Amnesty.” Denver Journal of
International Law and Policy (Spring 2006). Stiglitz, Joseph. Making Globalization Work the Next Step
to Global Justice. London: Penguin Books, 2006. Stromseth, Jane E. “Pursuing Accountability For Atrocities
After Conflict: What Impact On Building Rule of Law?” Georgetown Journal of International Law (Winter 2007).
Suryokusumo, Sumaryo. Studi Kasus Hukum Internasional,
Jakarta: PT Tatanusa, 2007. Tittemore, Brian D. “Ending Impunity in the Americas: The
Role of the Inter-American Human Rights System in Advancing Accountability for Serious Crimes Under International Law.” Southwestern Journal of Law and Trade in the Americas (2006).
Teitel, Ruri G. Transitional Justice. Oxford: Oxford
University Press, 2000. Termorshuizen-Artz, Marjanne. “The Concept of Rule of Law.”
Jurnal Hukum Jentera 3 (November 2004). Tolbert, David and Andrew Solomon. “United Nations Reform
and Supporting Rule Of Law in Post Conflict Society.” Harvard Human Rights Journal (Spring 2006)
Triponel, Anna. “Can The Iraqi Special Tribunal Further
Reconciliation in Iraq.” Cardozo Journal of International and Comparative Law (Fall 2007).
Waldman, Ellen A. “Healing Hearts or Righting Wrongs?: A
Mediation on the Goals of “Restorative Justice.” Hamline Journal of Public Law and Policy (Spring 2004).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Waldorf, Lars. “Mass Justice for Mass Atrocity: Rethinking Local Justice as Transitional Justice.” Temple Law Review (Spring 2006).
Wallace, Rebecca M.M International Law. 2nd Edition.
(London: Sweet & Maxwell, 1992). Widjajanto, Andi. “Kuadran Perdamaian Demokratik: Integrasi
Instalasi Demokrasi dan Trajektori Perdamaian.” Global Jurnal Politik Internasional 2 (Mei 2005)
Williamson, Ambassador Richard S. “Transitional Justice:
The UN and The Sierra Leone Special Court.” Cardozo Public Law, Policy and Ethics Journal (December 2003).
B. Dokumen-Dokumen Arinanto, Satya. ”Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi:
Permasalahan dan Prospek Pembentukannya di Indonesia.” (Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003).
Basari, Taufik. “In Searching for Transitional Justice: Can
the Truth and Reconciliation Commission in Indonesia Reveal “The Real Truth” for Reconciliation?” (Graduate Thesis Northwestern University School of Law) (2005).
Billah, M.M. Tipologi dan Praktik Pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003.
Committe Against Torture. Report of the Committee Against
Torture. Annex V U.N. Doc. A/45/44 (23 November 1989) dalam Annex V: Decisions of the Committee Against Torture under article 22 of the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment concerning Communications Nos. 1/1988, 2/1988 and 3/1988, at 111, U.N. Doc. A/45/44 (1990).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Duaji, Kombespol Susno. Praktik-Praktik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Bali 14-18 Juli 2003.
Human Rights Committee. General Comment No. 20 (44). U.N.
Doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add.3 (1992). Note by Secretary General. “Promotion and Protection of
Human Rights, Impunity.” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights, UN Doc. E/CN.4/2004/88.
Report of the Human Rights Committee. U.N. GAOR, 38th
Sess., Supp. No. 40, Annex XXII, 16, U.N. Doc. A/38/40 (1983).
Report of the Human Rights Committee. U.N. GAOR, 39th
Session, Supp. No. 40, Annex XIII, 13, U.N. Doc.A/39/40 (1984).
Report of the Human Rights Committee. U.N. GAOR, 40th
Sess., Supp. No. 40, Annex X, 16, U.N. Doc. A/40/40 (1985).
Sparringa, Daniel. “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi:
Penyelesaian atas Warisan Rejim Otoritarian dan Penyelamatan Masa Depan di Indonesia,” Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII Badan Pembinaan Hukum Nasional, Denpasar Bali, 14-18 Juli 2003.
Orentlicher, Diane. “Promotion and Protection of Human
Rights,” Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Addendum Update Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity.” UN Economic and Social Council Commission on Human Rights. UN. Doc. E/CN.4/2005/102.
Orentlicher, Diane. “Promotion and Protection of Human
Rights,” Report of the Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity.” UN Economic
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
and Social Council Commission on Human Rights. UN. Doc. E/CN.4/2005/102.
UN Human Rights Commission. General Comment no. 20 (Article
7), 44th session (2002). Written Testimony of Naomi Roht-Arriaza, Professor of Law,
University of California, Hastings College of the Law, before the Indonesian Constitutional Court, 2 Agustus 2006.
WRITTEN TESTIMONY OF PROFESSOR DOUGLASS CASSEL BEFORE THE
CONSTITUTIONAL COURT OF INDONESIA. JULY 6, 2006.
C. Internet dan Surat Kabar Chernichenko, Stanislav. “Definition of Gross and Large
Scale Violations of Human Rights as an International Crime, United Nations Economic and Social Council Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities E/CN.4/Sub.2/1993/10, 8 Juni 1999.” http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/ TestFrame/fbfa353eea4c65d802567620054f3d0?Opendocument(2 Maret 2008).
Commission of Human Right (CHR) Resolution 2004/72,
“Impunity,” E/CN.4/RES/2004/72. 21 April 2004, (ap.ohchr.org/documents/ E/CHR/resolutions/E-CN_4-RES-2004-7.doc) (13 Maret 2008).
Frankin, Jonathan and Monte Reel. “Former Secret Police
Chief Blames Pinochet for Abuses.” http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2005/05/14/AR2005051401013. html (2 April 2008).
Human Rights News. “Cile: Pinochet Indicted for Human
Rights Crimes.” http://www.hrw.org/english/docs/2004/ 12/13/chile9840.htm (2 April 2008).
ICTJ Amicus Brief to the Indonesian Constitutional Court.
“Pernyataan Tertulis ICTJ: Keabsahan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.”
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
www.ictj.org/static/Asia/Indonesia/ testimony.bah.pdf (11 April 2008).
Judicial System Monitoring Programme. “Commission of Truth
and Friendship” Seeks to End the Search for Justice whilst “Commission of Experts” Keeps it Alive, press release on March 14, 2005.” http://www.jsmp.minihub.org/Press%20Release/CTF&CoF/ComparingCTF andCoE(e).pdf (1 Juni 2008).
Paripurna, Amara. “Victim’s Rights to Remedy and the Role
of CTF.” http://amiraparipurna.wordpress.com/2008/ 05/31/victims-right-to-remedy-and-the-role-of-ctf/ (3 Juni 2008).
Popkin, Margaret. “The Serrano Sisters: El Salvador in the
Inter-American Court of Human Rights.” http://www.derechos.org/nizkor/salvador/doc/serrano.html (12 April 2008).
Press Release, United Nations. “Council Asks Secretary-
General, Sierra Leone to Negotiate Agreement for Creation of Independent Special Court, SC/6910.” (Aug. 14, 2000), http:// www.un.org/News/Press/docs/ 2000/20000814. sc6910.doc.html (23 Januari 2008).
SCOR Res. 1289, U.N. SCOR, 4099th mtg., U.N. Doc S/RES/1289
(2000), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/ 283/50/PDF/N002835 0.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).
SCOR Res. 1299, U.N. SCOR, 4145th mtg., U.N. Doc S/RES/1299
(2000), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/ 439/60/PDF/N0043960.pdf?OpenElement> (23 januari 2003).
SCOR Res. 1313, U.N. SCOR, 4184th mtg., U.N. Doc S/RES/1313
(2000), <http:ods-dds ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/ 439/60/PDF/N0043960.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).
SCOR Res. 1415, U.N. SCOR, 4546th mtg., U.N. Doc S/RES/1415
(2002), <http://ods-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N02/
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
404/63/PDF/N024 0463.pdf?OpenElement> (23 Januari 2008).
UN General Assembly, A/RES/47/133, Dec. 18 1992. <http://
www.un.org/documents/ga/res/47/a47r133.htm> (12 Maret 2008).
Walsh, Heather. “Chile's Pinochet Charged in Six
Disappearances (Update 2).” (Nov. 24, 2005), http://www.bloomberg.com (11 Januari 2008).
“Annual Reports Inter-American Commission on Human Rights
(1986).” http://www.cidh.oas.org/annualrep/86.87eng/ toc.htm (1 Juni 2008).
“Annual Reports Inter-American Commission on Human Rights,
88 p. 1 (1993) (Spanish).” http://www.cidh.oas.org/ annualrep/ 92eng/TOC.htm (1 Juni 2008).
“Argentina Legal Memorandum: The Full Stop and Due
Obedience Laws,” AMR 13/018/2003 (Amnesty International December 2003), http://web.amnesty.org/library/pdf/AMR130182003ENGLISH/$File/AMR1301803.pdf. (10 Februari 2008).
“Charles II, 1660: An Act of Free and Generall Pardon
Indempnity and Oblivion,” Statutes of the Realm: volume 5: 1628-80 (1819), hal. 226-234. http://www.british-history.ac.uk/report.aspx?compid =47259 (16 Maret 2008).
“Chega! The Report of the Commission of Reception, Truth,
and Reconciliation in Timor Leste,” http://www.cavr-timorleste.org/en/chegaReport.htm (1 Juni 2008).
“Commisao de Alcohimento, Verdade e Reconcilicao,”
http://www.cavr-timorleste.org (1 Juni 2008). “Confederate Amnesty,” http://www.sonofthesouth.net/
leefoundation/civil-war/1865/May/confederate amnesty.htm (16 Maret 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
“Corte Suprema de Justicia,” 14/6/2005, "Simón, Julio Héctor y otros s/ privación ilegítima de la libertad, etc./recurso de hecho," http://www.csjn.gov.ar/ (25 Februari 2008).
“Douglass Cassel,” <http://www.nd.edu/~kellogg/faculty/
fellows/cassel.shtml> (11 April 2008). “Eurico Gutteres Bebas,” http://www.tempointeraktif.com/
hg/nasional/2008/04/04/brk,20080404-120491,id.html (1 Juni 2008).
“Mahkamah Agung Kabulkan PK Abilio,” http://www.
tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/11/04/brk,20041104-62,id.html (1 Juni 2008)
“Manuel Contreras and the Birth of Dina,”
http://www.rememberchile.org.uk/beginners/contdina.htm (2 April 2008).
“Mou Helsinki Momentum Baru untuk KKR,” Harian Kompas (26
Oktober 2006). “Naomi-Roht Arriaza,” http://www.uchastings.edu/?pid=746,
(11 April 2008). “Letter dated 24 June 2005 from the Secretary General
Addressed to the President of the Security Council,” (UN. Doc. S/2005/458) http://daccessdds.un.org/ doc/UNDOC/GEN/N05/426/17/PDF/N0542617.pdf?OpenElement (1 Juni 2008).
“Peace Agreement Between the Government of Sierra Leone and
the Revolutionary United Front of Sierra Leone, July 7, 1999.” <http:// www.sc-sl.org/lomeratificationact.html> (15 Februari 2008).
“Report of the United Nations Independent Special
Commissions of Inquiry for Timor Leste,” http://www.ohchr.org/Documents/Countries/COITimorLeste.pdf (1 Juni 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
“Report of Truth and Reconciliation Commission of South Africa, 5 vol., 1998, Vol. I Chapter 4: The Mandate.” <http://www.info.gov.za/ otherdocs/2003/trc/> (1 Juni 2008).
“Ringkasan Eksekutif Laporan KPP HAM,” http://
www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/08/06/0102.html (1 Juni 2008).
“Special Court for Sierra Leone,” <http://www.scsl.org/
norman.html> (5 April 2008). “Study Concerning The Right to Restitution, Compensation
And Rehabilitation For Victims Of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms,” U.N. Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities, U.N. ESCOR, 45th sess., Agenda Item 4, at para. 137(5), U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1993/8. <http://www.unhchr.ch/Huridocda/Huridoca.nsf/TestFrame/d54b00c78f25b5dfc1256b3e0049da83?Opendocument> (12 Maret 2008).
“Terms of Reference for The Commission of Truth and
Friendship Established by The Republic of Indonesia and The Democratic Republic of Timor-Leste,” http://www.ctf-ri-tl.org/ctf1/index.php?option=com_ content&task=view&id=61&Itemid=44 (10 Maret 2008).
“The Administration of Justice and the Human Rights of
Detainees: the Question of the Impunity of Perpetrators of Human Rights Violations (Civil and Political).” Revised Final Report Prepared by Mr. Joinet pursuant to Sub-Comission Decision 1996/119, UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1997/20/Rev. 1,2 Oktober 2007 at Annex II (for the Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity), <http://www.unhcr.ch/huridocda/huridocda. nsf/(Symbol)/E.CN.4.sub.2.1997.20.Rev.1.En
“UNTAET/REG/2000/15,” 6 June 2000, [Regulation 2000/15],
http://www.un.org/peace/etimor/untaetR/Reg0015E.pdf (23 Maret 2008).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
D. Legislasi Internasional dan Peraturan Perundang-
undangan Domestik Republik Indonesia. Undang-undang tentang Hak Asasi
Manusia. UU Nol 39 tahun 1999, LN No. 165 tahun 1999, TLN No. 3886.
Republik Indonesia. Undang-undang tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi. UU No. 27 tahun 2004, LN No. 114 tahun 2004, TLN No. 4425.
Republik Indonesia. Undang-undang tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. UU Nomor 26 tahun 2000, LN Nomor 208 tahun 2000, TLN No. 4012.
United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties. Geneva Convention For the Amelioration of the Condition of
the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field; Aug. 12, 1949.
Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of
the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, Aug. 12, 1949.
Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of
War, Aug. 12, 1949. Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian
Persons in Time of War, Aug. 12, 1949. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August
1949, and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 1977.
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide, Dec. 9, 1948, 102 Stat. 3045, 78 U.N.T.S. 277
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment, Dec. 10, 1984, S. Treaty Doc. No. 100-20 (1988), 1465 U.N.T.S. 85.
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
United Nations, International Covenant on Civil and
Political Rights, Dec. 16, 1966. United Nations, Convention (II) with Respect to the Laws
and Customs of War on Land berikut dengan lampirannya: Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land 1899.
United Nations, Convention (IV) Respecting the Laws and
Customs of War on Land 1907, (1908). Promotion of National Unity and Reconciliation Act, No. 34
of 1995 South Africa. The Truth and Reconciliation Act of 2000, Sierra Leone. The Government of Sierra Leone, Agreement between the
United Nations and the Government of Sierra Leone on the Establishment of a Special Court for Sierra Leone appending the Statute of the Special Court, signed in Freetown on 16 January 2002.
The Statute of the Special Court of Sierra Leone of 2002.
E. Kasus Barcelona Traction Case (1970), ICJ Reports 3, hal. 32. Barrios Altos v. Peru, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.
83, hal. 14 (Sept. 3, 2001). Blake v. Guatemala, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.
36, hal. 96- 97 (Jan. 24, 1998).
Bulacio v. Argentina, 2003 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 100, hal. 120-121 (Sept. 18, 2003.
Caballero-Delgado v. Colombia, 1997 Inter-Am. Ct. H.R.
(ser. C) No. 31, p. 21 (Jan. 21, 1997).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
Carmelo Espinoza v. Chile, Case 11.725, Report No. 19/03, Inter-Am. C.H.R., OEA/Ser.L/V/II.118 Doc. 70 rev. 2 p. 588.
Garay Hermosilla et al. v. Chile, Case 10.843, Report No.
36/96, Inter-Am.C.H.R.,OEA/Ser.L/V/II.95 Doc. 7 rev. p. 111 (1997).
Ignacio Ellacuria, S.J.y Otros v. El Salvador, Case 10.488,
Report No. 136/99, OEA/Ser.L/V/II.106 Doc. 3 rev. at 608 (1999).
Las Hojas Massacre Case, case no. 10.287, 1992-1993 Annual
Reports Inter-American Commission on Human Rights, 88 p. 1 (1993) (Spanish).
Las Palmeras v. Colombia, 2001 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C)
No. 90, hal. 59-67 (Dec. 6, 2001). Lincoleo v. Chile, Case 11.711, Inter-Am. C.H.R. 61,
OEA/ser. L./V./II.111, doc. 20 (2001), __ 58-65. Loayza-Tamayo v. Peru, 1998 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No.
42, hal. 168 (Nov. 27, 1998). Mack Chang v. Guatemala, 2003 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C)
No. 101, hal. 275 (Nov. 25, 2003). Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang
Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (V), 4 Juli 2006.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Risalah Sidang
Perkara Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945, Acara Mendengar Keterangan Saksi/Ahli Dari Pemohon (VI), 2 Agustus 2006.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Perkara
Nomor 006/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian UU Nomor 27
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008
tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap UUD 1945.
Nicaragua Case, (Military and Paramilitary Activities In
and Against Nicaragua) (Nicaragua v. the United States) Case (Merits) ICJ Rep. 1986.
North Sea Continental Shelf Cases (1969), ICJ Reports. Paniagua-Morales v. Guatemala, 1998 Inter-Am. Ct. H.R.
(ser. C) No. 37, hal. 4-12 (Mar. 8, 1998). Prosecutor v. Anto Furundzija, Case No. IT-95-17/1-T,
Judgement, 10 Dec. 1998. Prosecutor v. Kondewa, SCSL-04-14 AR 72, decision on
Amnesty Provided by the Lome Accord, 25 Mei 2004. Prosecutor v. Morris Kalon, SCSL-2004-15-AR72 (E) dan
Prosecutor v. Brima Bazzy Kamara, SCSL-2004-16-AR72 (E), Decision on Challenge to Jurisdiction: Lome Accord Amnesty, 13 Maret 2004.
Regina v. Bartle, House of Lords, 24 March 1999, 2 All ER
97, (1999) 2 WLR 827. Reservations to the Convention on Genocide Case
(Reservations to the Convention of the Prevention and Punsihment of the crime of Genocide, Advisory Opinion, ICJ Reports 1951.)
Romero v. El Salvador, Case 11.481, Inter-Am. C.H.R. 37,
OEA/ser. L/V./II.106, __ hal. 5-8. Trujillo-Oroza v. Bolivia, 2002 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C)
No. 92, hal. 110 dan p. 231-232. (Feb. 27, 2002). Vargas-Areco v. Paraguay, 2006 Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C)
No. 155, hal. 81 (Sept. 26, 2006). Velásquez-Rodríguez v. Honduras, 1988 Inter-Am. Ct. H.R.
(ser. C) No. 4, hal. 134 (July 29, 1988).
Pemberian amnesti..., Muhammad Ajisatria Suleiman, FH UI, 2008