pemberdayaan kaum awam gereja kristen injili (gki) di ... · gereja kristen injili di tanah papua...

25
48 BAB III PEMBERDAYAAN KAUM AWAM DALAM GEREJA KRISTEN INJILI (GKI) DI TANAH PAPUA MELALUI SEKOLAH ALKITAB MALAM (SAM) Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang tujuan utama dari penelitian yaitu bagaimana pelaksanaan Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua, sebagai suatu bentuk pemberdayaan kaum awam atau orang dewasa lewat pendidikan yang diadakan dalam GKI di Tanah Papua. Namun diawali dengan melihat bagaimana konteks sosial GKI dan permasalahannya. III. 1. Konteks Sosial Gereja Kristen Injili di Tanah Papua dan Permasalaannya Gereja Kristen Injili di Tanah Papua disingkat GKI Papua, yang berdiri pada tanggal 26 Oktober 1956, merupakan gereja terbesar yang ada di Tanah Papua, dengan wilayah pelayanan yang begitu luas. Hal ini terlihat dalam struktur organisasi GKI Papua dimana dalam melaksanakan tugas-tugas rutin kehidupan bergereja dibentuk dan diangkat Badan Pekerja Am Sinode (yang terdiri dari 5 orang), yang berdomisili di Argapura, Jayapura dan dibantu oleh 10 orang anggota Badan Pekerja Am Wilayah, dimana wilayah-wilayah pelayanan GKI di Tanah Papua sebagai berikut 82 : 1) Wilayah I, meliputi Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Kerom. 2) Wilayah II, meliputi Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Mamberamo. 3) Wilayah III, meliputi Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori. 82 Yoku., Alberth., Membangun dan Menata “RUMAH BESAR” Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua. (Jayapura : Yayasan Emereuw, 2014)., 50-52

Upload: others

Post on 14-Feb-2021

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 48

    BAB III

    PEMBERDAYAAN KAUM AWAM

    DALAM GEREJA KRISTEN INJILI (GKI) DI TANAH PAPUA

    MELALUI SEKOLAH ALKITAB MALAM (SAM)

    Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang tujuan utama dari penelitian yaitu

    bagaimana pelaksanaan Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua,

    sebagai suatu bentuk pemberdayaan kaum awam atau orang dewasa lewat pendidikan

    yang diadakan dalam GKI di Tanah Papua. Namun diawali dengan melihat

    bagaimana konteks sosial GKI dan permasalahannya.

    III. 1. Konteks Sosial Gereja Kristen Injili di Tanah Papua dan Permasalaannya

    Gereja Kristen Injili di Tanah Papua disingkat GKI Papua, yang berdiri pada

    tanggal 26 Oktober 1956, merupakan gereja terbesar yang ada di Tanah Papua,

    dengan wilayah pelayanan yang begitu luas. Hal ini terlihat dalam struktur organisasi

    GKI Papua dimana dalam melaksanakan tugas-tugas rutin kehidupan bergereja

    dibentuk dan diangkat Badan Pekerja Am Sinode (yang terdiri dari 5 orang), yang

    berdomisili di Argapura, Jayapura dan dibantu oleh 10 orang anggota Badan Pekerja

    Am Wilayah, dimana wilayah-wilayah pelayanan GKI di Tanah Papua sebagai

    berikut82

    :

    1) Wilayah I, meliputi Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Kerom.

    2) Wilayah II, meliputi Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Mamberamo.

    3) Wilayah III, meliputi Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori.

    82

    Yoku., Alberth., Membangun dan Menata “RUMAH BESAR” Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua.

    (Jayapura : Yayasan Emereuw, 2014)., 50-52

  • 49

    4) Wilayah IV meliputi Kabupaten Yapen dan Kabupaten Waropen.

    5) Wilayah V, meliputi Kabupaten Paniai.

    6) Wilayah VI, meliputi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Wondama, dan

    Kabupaten Teluk Bintuni.

    7) Wilayah VII, meliputi Kabupaten Sorong, Kabupaten Teminabuan, Kabupaten

    Meibrat, dan Kabupaten Raja Empat.

    8) Wilayah VIII, meliputi Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten

    Timika

    9) Wilayah IX, meliputi Kabupaten Merauke

    10) Wilayah V, meliputi Jayawijaya.

    Dengan Wilayah pelayanan GKI di Tanah Papua yang begitu luas yang

    meliputi 2 provinsi baik itu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sampai pada

    tahun 2013 terdapat 54 Klasis, 12 Bakal Klasis dan 2.054 jemaat. Jumlah Anggota

    jemaat 800.000, yang dilayani oleh 944 Pendeta, 278 Guru Jemaat dan 170

    Penginjil.83

    (dimana tidak semua guru jemaat dan penginjil hasil dari pendidikan

    teologi, mereka biasanya diangkat dan diteguhkan karena kesetiaan dalam melayani

    Tuhan di jemaatnya sebagai majelis dan tidak ada tenaga pelayan yang bertugas).

    Tantangan dan kompleksitas persoalan GKI Papua baik dari segi internal

    maupun eksternal semakin bertambah. Lihat saja bagaimana beban pelayanan yang

    begitu berat harus dijalani oleh para Pendeta dan Majelis dalam sebuah jemaat.

    Jumlah Pendeta yang tidak sebanding dengan jumlah gedung gereja yang ada dan

    ketidak sanggupan para Pendeta dan Majelis melayani setiap anggota jemaat, baik

    yang di kota maupun yang jauh di kampung-kampung (SDM GKI yang rendah). Hal

    83

    Yoku., Albert, Arahan Ketua Sinode bagi semua pegawai GKI di Klasis Teluk Bintuni, (Bintuni, 8

    Mei 2013).

  • 50

    ini semakin diperparah bila melihat begitu banyak warga jemaat atau kaum awam

    yang hampir 99 % tidak dapat berbuat apa-apa baik dalam gereja maupun di tempat

    kerja dan di lingkungan masyarakat.

    Tanah Papua yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, ternyata

    memiliki persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan hukum, politik, ekonomi

    dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan mendasar seperti pelanggaran Hak Azasi

    Manusia (HAM) dengan kehadiran militer dan indikasi pengingkaran hak hidup

    sejahtera, makmur dan pengakuan akan hak-hak dasar masyarakat Papua, yang belum

    juga diselesaikan secara adil dan bermartabat84

    . Bilamana ekspresi ketidak puasan ini

    dinyatakan selalu dihadapi dengan menggunakan kekuatan militer secara berlebihan

    dari pihak yang berkuasa. Ada juga ketidak adilan dan diskriminasi kepada kaum

    perempuan. Maraknya tempat prostitusi, panti pijat, dan tempat hiburan malam,

    berdampak pada peningkatan pengidap Hiv Aids, free seks, minuman keras dan

    narkoba. Belum lagi transmigrasi spontan, yang melihat adanya peluang bisnis dan

    berseragam pegawai negeri di wilayah Papua. Kedatangan penduduk dari daerah lain

    yang begitu drastis mengejutkan penduduk asli papua dan warga GKI yang belum

    dipersiapkan untuk berkompetisi dalam segala bidang. Dengan sendirinya masyarakat

    Papua dan warga GKI hanya menjadi penonton dalam pembangunan. Ekonomi

    masyarakat Papua dan warga GKI terus ada dalam kemiskinan. Intensitas rekayasa

    sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dari pemerintah puasat. Lihat saja

    bagaimana kekayaan alam tanah Papua yang melimpah-limpah diambil untuk

    kepentingan pusat dan masyarakat Papua hidup dalam kemiskinan dan kebodohan.

    84

    Team Gubernur Papua : Pokok-Pokok Yang melatar belakangi Penyusunan Rancangan Undang-

    Undang Otonomi Khusus … (Jayapura, Setwilda TK I Irja), 11

  • 51

    Disamping itu GKI Papau juga diperhadapkan persoalan antar dedominasi

    gereja yang ada. Bermunculan gereja-gereja kharismatik yang begitu cepat

    membangun jemaatnya, dengan menarik anggota-anggota GKI dan juga umat

    Khatolik. Tindakan ini mengakibatkan terjadinya perselisihan dan permusuhan.

    Ternyata GKI di Tanah Papua belum mempunyai strategi yang menyeluruh

    dalam upaya memberdayaakan kaum awam atau orang-orang dewasa dalam gereja

    yang adalah juga warga masyarakat, di tengah-tengah persoalan yang ada di Tanah

    Papua. Meskipun GKI memiliki paham Calvinis dan sistem pemerintahan Gereja

    Presbiterial Sinodal (fungsi imamat am orang percaya). Kaum awam dalam GKI di

    Tanah Papua seolah-olah ada dalam pembiaran oleh pihak gereja dengan kecerdasan

    dan kemampuan sendiri. Padahal kaum awam ini hidup dalam beban persoalan yang

    tidak ringan dalam profesinya dengan membawa jati dirinya sebagai seorang Kristen.

    Kaum awam gereja sebenarnya membutuhkan pendidikan yang akan

    memberdayakan hidupnya. Sehingga mampu untuk melihat sikap dan arah iman

    dalam kehidupan yang nyata melalui profesinya. Mereka dapat dibantu untuk

    mentaati kehendak Allah dalam tugas panggilannya sebagaai imamat am orang

    percaya di dalam tekanan-tekanan dan persoalan-persoalan kehidupan yang setiap saat

    menjadi bagian pengalaman.

    Dari fenomena kurangnya pemberdayaan kaum awam dalam kehidupan

    pelayanan GKI Papua dan ketidak berdayaan dalam menghadapi persoalan-persoalan

    konkrit sosial kemasyarakatan di atas. Salah satu upaya yang dilakukan adalah

    mendirikan apa yang kemudian dikenal Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah

    Papua.

    Dalam bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang SAM dan sejarahnya serta

    bagaimana pelaksanaan pemberdayaan kaum awam lewat program ini.

  • 52

    III. 2. Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua dan Sejarahnya

    III.2.1 Dasar Pemikiran Badan Pekerja Am Sinode GKI Terkait

    Pembukaan Sekolah Alkitab Malam (SAM).

    Sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu aspek penting yang yang

    mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua adalah keterbukaan Badan Pekerja

    Am Sinode GKI di Tanah Papua untuk melihat pentingnya program ini. Kemudian

    ditindak lanjuti dengan di terbitkan surat Keputusan BP Am Sinode Nomor

    333/PERS/16/IX/2000 mensahkan berdirinya SAM GKI di Tanah Papua.

    Dalam wawancara, Pdt. Herman Saud, MTh., mantan ketua BP Am Sinode ke

    VIII tahun 1996 – 2005, yang mengeluarkan surat keputusan mendirikan SAM GKI

    Papua, mengatakan bahwa konsep pemberdayaan kaum awam dipahami dengan

    melihat sejarah gereja Jerman yang mana kaum awamnya begitu diberdayakan di

    tengah-tengah situasi dan kondisi Jerman waktu itu. Baginya pemberdayaan itu begitu

    penting dan harus dibuat oleh GKI meskipun waktu itu tidak semua pendeta memiliki

    pemahaman akan pentingnya pemberdayaan kaum awam. Kurangnya pemahaman

    sebagian pendeta akan roh Tata Gereja GKI yang sebenarnya dan terlalu menekankan

    suatu pemahaman jabatan gerejawi yang sempit. Waktu itu Sinode sungguh melihat

    pentingnya kaum awam gereja diberdayakan agar dapat melayani dengan baik di

    jemaat dan sebagai orang-orang yang bekerja dapat menunjukan etika serta etos kerja

    di tempat tugasnya masing-masing. Akibatnya GKI di Tanah Papua akan menjadi

    gereja yang bertumbuh dan missioner. Sebagaimana visi GKI yaitu Teologi Kerajaan

    Allah dan misinya adalah menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah.85

    85

    Wawancara dilakukan pada bulan Oktober – November 2014.

  • 53

    III.2.2. Mengenal Sosok Pdt Dr. Rainer Scheunemann dalam Sekolah

    Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah Papua.

    Pdt. Dr. Rayner Scheunemann dilahirkan di Turen, Kabupaten Malang, Jawa

    Timur, pada tanggal 17 Januari 1966. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah

    Umum (SMU) di Malang, kemudian melanjutkan studi di “German Theological

    Seminary” di Giessen, Jerman dan meraih gelar M.Div. Studinya kemudian

    dilanjutkan di “Evangelical Theological Faculty” di Leuven (Belgia) dan meraih

    gelar Doktor (Th.D), dengan disertasi mengenai “Misi dan Penginjilan dari sudut

    pandang teolog-teolog Protestan Indonesia, yang diterima pada tahun 1995, dengan

    predikat “magna cum laude”.

    Sejak tahun 1996 mengajar sebagai dosen di STT “Izaak Samuel Kijne” di

    Jayapura, Papua, dalam bidang Biblika, Misiologi, Pertumbuhan Jemaat dan Sejarah

    Filsafat Barat. Disamping itu Pdt. Dr. Rayner Scheunemann, juga melayani jemaat-

    jemaat sebagai pendeta GKI yang di Tahbiskan oleh Sinode GKI di Tanah Papua.

    Pdt. Dr. Rayner Scheunemann, pada tahun 1999 mendirikan Sekolah Alkitab

    Malam (SAM) GKI di Tanah Papua (program 1 tahun) bagi majelis dan warga jemaat

    di 15 kota di Tanah Papua, yang telah meluluskan 80 angkatan dan 2.320 lulusan.

    SAM GKI di dirikan untuk meningkatkan pemahaman Iman Kristiani dan

    kemampuan dalam pelayanan di tengah gereja dan masyarakat. Bersama dengan

    beberapa pengajar menulis buku-buku seri pembinaan yang dipakai baik dalam SAM

    GKI di Tanah Papua dan juga Sekolah-Sekolah Teologi yang ada di Indonesia.

    Menikah dengan Heidi Scheunemann, MBA dan dikarunia tiga orang anak : Julia

    Kathina, Jan Samuel dan Benjamin Tobias.

  • 54

    III.2.3 Latar Belakang Berdirinya SAM GKI di Tanah Papua

    SAM GKI di Tanah Papua didirikan pada tanggal 13 September 1999 dengan

    diadakannya Ibadah Pembukaan SAM angkatan I Abepura sebagai kelas pilot project

    (uji coba) di jemaat GKI “Sion” Padang Bulan – Abepura. Lahirnya SAM GKI di

    Tanah Papua berkaitan dengan lima (5) aspek atau faktor yang mendasar yang

    berjalan secara hampir serentak dan saling berkaitan serta kemudian mendorong

    terwujudnya pendirian SAM GKI di Tanah Papua. Kelima (5) faktor ini akan

    dijelaskan secara singkat di bawah ini.86

    1) Aspek penting yang pertama yan mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua

    adalah kerinduan warga jemaat (kaum awam) untuk mendapatkan pemahaman akan

    Firman Tuhan yang lebih mendalam dan pembekalan (dilengkapi) dalam pelayanan di

    tengah jemaat dan masyarakat yang lebih baik. Dalam hal ini Bapak Drs. John

    Heumassy dan Bapak Yoppie Mustamu SH (alm) mewakili kerinduan seluruh warga

    jemaat untuk mencetuskan kerinduan ini dengan membentuk dan menyelenggarakan

    suatu kelompok pengajaran/pemuridan.

    2) Aspek penting yang kedua yang mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua

    adalah sekelompok pemuridan yang telah berjalan di rumah Pdt Dr. Rainer

    Scheunemann selama kurang lebih satu (1) tahun mulai tahun 1998 –1999.

    Kelompok pemuridan ini dimotori oleh Bapak Drs. John Heumassy dan Bapak

    Yoppie Mustamu SH (alm) yang datang meminta Pdt Dr. Rainer Scheunemann untuk

    memberikan dasar-dasar pemahaman iman Kristen dalam bentuk pengajaran, diskusi

    dan persekutuan doa dengan pertemuan seminggu sekali. Kelompok ini berkembang

    dari sekitar sepuluh orang (10) menjadi sekitar tiga puluh orang (30) peserta. Para

    peserta merasakan bahwa pemahaman yang mereka miliki selama ini masih sangat

    86

    Scheunemann, Rainer., GEREJA DAN MISI (Jayapura : SAM GKI Papua, 2012)., 117-118

  • 55

    kurang dan mereka sangat merindukan pengajaran secara berkelanjutan. Langkah

    awal dengan kelompok pengajaran ini kemudian dikembangkan dalam bentuk yang

    lebih teratur, terarah, terstruktur dan terkoordinir dalam wadah SAM GKI di Tanah

    Papua yang kemudian memiliki organisasi dan kurikulum yang terfokus kepada

    pemahaman iman Kristen dan pembekalan warga jemaat bagi pelayanan di tengah

    jemaat dan masyarakat.

    3)Aspek penting ketiga yang mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua adalah

    pengalaman pelayanan, pengajaran dan pembinaan majelis jemaat dari Pdt. Dr. Rainer

    Scheunemann, mengamati adanya kekurangan yang cukup besar di dalam GKI di

    Tanah Papua (Irian Jaya) dari tahun 1955-1999. Secara khusus Pdt.Dr.Rainer

    Scheunemann mengamati adanya kekurangan yang cukup besar di dalam GKI di

    Tanah Papua dalam bidang pengajaran dan pembekalan para majelis, unsur dan warga

    jemaat. Seringkali majelis jemaat hanya disiapkan dalam beberapa kali pertemuan

    saja dan kemudian ditugaskan dan diberikan tanggungjawab melayani dalam jemaat

    selama 5 tahun tanpa bekal pemahaman dan kemampuan praktis yang memadai.

    Berdasarkan pengamatan inilah Pdt.Dr.Rainer Scheunemann kemudian mengarahkan

    segala pemikirannya bersama dengan Bpk.Drs.John Heumassy dan Bpk.Yapie

    Mustamu SH (alm.) untuk menciptakan dan mengembangkan suatu pola pembinaan

    yang bersifat berkualitas, efektif, murah dan berdampak luas. Tuhan menanamkan

    suatu Visi yang kuat dalam hati mereka untuk ikut berkarya menciptakan warga

    jemaat yang dewasa dalam iman, mandiri dan missioner. Selain itu juga visi warga

    jemaat yang mengenal dan menggunakan karunia yang telah diberikan Tuhan kepada

    mereka secara bertanggungjawab di dalam pelayanan ditengah jemmaat dan

    masyarakat.

  • 56

    4).Aspek penting keempat yang mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua

    adalah pergumulan pribadi Pdt.Dr.Rainer Scheunemann yang berdoa meminta Tuhan

    untuk menunjukkan kepadanya pelayanan apa yang harus dilakukan secara Khusus di

    Tanah Papua yang sesuai dengan karunia yang Tuhan telah berikan kepadanya dan

    yang sesuai juga dengan kebutuhan jemaat. Tuhan kemudian memberikan suatu

    jawaban dan kepastian dalam diri Pdt Dr. Rainer Scheunemann untuk memfokuskan

    pelayanannya untuk menyiapakan, membekali,dan memampukan warga jemaat dalam

    pemahaman Firman Tuhan dan pelayanan secara praktis di tengah jemaat. Selain itu

    juga untuk membagikan visi pengajaran yang melanda Tanah Papua ini kepada para

    pendeta, guru jemaat dan penginjil, serta merekrut para pengajar yang telah diberikan

    karunia oleh Tuhan untuk menjalankan tugas pengajaran ini. Hal itu harus menjadi

    nyata di tengah-tengah jemaat demi pertumbuhan jemaat dan perluasan kerajaan Allah

    di Tanah Papua.

    5)Aspek penting yang kelima yang mendorong lahirnya SAM GKI di Tanah Papua

    adalah keterbukaan BP Am Sinode Di Tanah Papua untuk melihat pentingnya

    program ini dan kemudian dengan surat Keputusan BP Am Sinode Nomor

    333/PERS/16/IX/2000 mensahkan berdirinya SAM GKI di Tanah Papua.

    Keterbukaan dan keputusan BP Am Sinode yang melihat jauh ke depan akan

    kebutuhan pembekalan majelis dan warga jemaat untuk pertumbuhan jemaat secara

    keseluruhan ini sungguh merupakan suatu waktu Tuhan yang khusus (“Kairos”). Hal

    ini dapat dikatakan , karena adanya sikap kontra sebagian pendeta yang tidak

    memahami tugas pembinaan dan konsep “persekutuan pelayanan” yang diamanatkan

    oleh Perjanjian Baru, tetapi lebih “menakuti” adanya “persaingan” yang dikatakan

    akan terjadi, apabila warga jemaat diberikan pendidikan yang bermutu serta

    kurangnya pemahaman sebagian pendeta akan roh Tata Gereja GKI yang sebenarnya

  • 57

    dan terlalu menekankan suatu pemahaman jabatan gerejawi yang sempit. BP Am

    Sinode kemudian secara bijaksana memahami, bahwa warga jemaat harus semakin

    mampu dan sejalan dengan itu para pelayaan juga harus meningkatkan kualitas

    pemahaman dan pelayanannya. Dipahami pula bahwa jemaat hanya akan berkembang

    apabila warga jemaat menjadi mampu dan mandiri. Selain itu seharusnya segala jenis

    kepentingan kekuasaan pribadi dalam jemaat harus dihilangkan. Sebaliknya perluasan

    serta mutu pelayanan GKI di Tanah Papua secara keseluruhan haruslah menjadi fokus

    perhatian.

    Pada awal berdirinya SAM GKI di Tanah Papua, tujuan yang ditekankan

    adalah bagaimana warga jemaat dewasa yang adalah para majelis jemaat ini mendapat

    pengajaran dan pembinaan untuk semakin memahami Firman Tuhan secara dalam

    guna pembekalan (dilengkapi) dalam pelayanan di tengah jemaat dan masyarakat

    yang lebih baik. Bagaimana seorang majelis belajar dan mendapat pemahaman

    Firman agar dapat melayani.Hal ini dibuktikan pada waktu itu begitu banyak majelis

    yang mendaftar dan mengikutinya kelas SAM di wilayah Abepura, dan kelas-kelas

    berikut yang di buka kembali.

    III.2.4. Perkembangan SAM GKI di Tanah Papua

    Perkembangan SAM GKI di Tanah Papua dapat dikatakan adalah perlahan

    tapi pasti. Kelas pertama yang diadakan di SMP YPK Hedam, Padang Bulan,

    Abepura sebagai “pilot project” adalah berdasarkan ijin bapak guru Fouw, para

    pengajar pertama adalah Pdt Hosea Wally MTh, Dr Hetharia, MTh, M.Hum,

    Ingeborg Kusch, M.Ed, Pdt Dr. Rainer Scheunemann. Saat itu pengurus sekaligus

    sebagai siswa (bapak Drs John Heumassy, bapak Yapie Mustamu dan ibu Erari).

    Sedangkan bahan waktu itu masih berupa lembaran foto copi dengan papan tulis

  • 58

    sederhana, tetapi dengan semangat tinggi dan bercirikan banyak diskusi dan Tanya

    jawab. Hal ini dilakukan sesuai dengan motto : berdiskusi panas tentang GKI tetapi

    mencintai GKI dengan panas pula; bukan sekedar kritik, tetapi membangun karena

    mengasihi dan ingin memajukan GKI dengan mencari solusi yang realistis. Latar

    belakang para siswapun beragam dari sarjana sampai ibu rumah tangga yang lulus SD

    atau SMP tetapi dengan semangat mereka kemudian berkembang maju87

    .

    Sampai dengan bulan November 2014, SAM GKI telah menyelesaikan 80

    angkatan di 15 kota dengan 2.320 lulusan. Saat ini ada 7 kelas yang sedang

    berlangsung (data yang diberikan oleh Badan Pengurus Pusat SAM).88

    Dalam suatu penelitian angket menjadi nyata bahwa para lulusan SAM GKI

    sangat mensyukuri pembinaan yang dapat mereka peroleh lewat SAM GKI dan

    mayoritas besar dari mereka terlibat aktif dalam pelayanan di berbagai jemaat dan

    berbagai bidang.

    Hal inilah yang sejalan dengan pemikiran Abineno dalam bukunya Pokok-

    Pokok Penting dari Iman Kristen di halaman 189 – 199 dimana Gereja haruslah

    difungsikan secara maksimal dimana kehadirannya sebagai suatu persekutuan umat

    Allah di dunia untuk melayani.

    III.2.5. Kendala-Kendala Yang Dihadapi SAM GKI di Tanah Papua

    Ketika mewancarai Pdt Dr. Rainer Scheunemann, mengenai kendala-kendala

    yang ditemui dalam 15 tahun perjalanan SAM GKI di Tanah Papua89

    . Belia

    mengatakan dalam perkembangan SAM GKI di Tanah Papua tidak luput dari

    kendala-kendala yang ada, antara lain :

    1). Kendala pertama berhubungan dengan kurang respek dan belum adanya

    87

    Scheunemann, Rainer., GEREJA DAN MISI (Jayapura : SAM GKI Papua, 2012)., 122-123 88

    Data diambil saat penelitian lapangan pada bulan Oktober – November 2014 89

    Wawancara dengan nara sumber dilakukan pada bulan Oktober – November 2014

  • 59

    dukungan yang sepenuhnya dari kaum rohaniawan dalam program SAM.

    Dalam penelitian lapangan ditemukan bahwa yang menyebabkan kaum

    rahoniawan tidak respek dan mendukung program SAM, oleh karena mereka belum

    memahami sistem pemerintahan gereja yang menganut sistem Presbiterial Sinodal

    dan memahami Tata Gereja, yang memberi tempat utama kepada kaum awam untuk

    berperan dalam tugas dan tanggung jawabnya sebagi seorang percaya. Hal ini

    membuat mereka diliputi ketakutan dan kecemburuan terhadap kaum awam yang

    telah diperlengkapi dan siap menjadi SDA GKI yang siap dipakai baik dalam gereja,

    di tempat kerja dan dalam masyarakat. Suatu ketakutan dan kecemburuan yang

    sebenarnya tidak beralasan, dan tidak bisa dipertanggung jawabkan.

    2) Terbatasnya tenaga pengajar yang berkualitas dan berkompeten dalam bidang

    pengajaran dan memahami tentang pendidikan bagi orang dewasa.

    Bidang pengajaran SAM di Tanah Papua sungguh menyadari kendala ini,

    karena memang tidak semua pengajar yang dilibatkan mememenuhi kualifikasi dan

    berkompeten. Para pengajar dari pusat di jayapura tidak menjadi masalah, namun bagi

    para pengajar lokal di daerah, masih sangat terbatas kemampuannya. Para pendeta

    yang terbatas ini terkadang oleh Badan Pekerja Klasis di mana program SAM

    dijalankan, diminta untuk harus juga dilibatkan dalam mengajar.

    3) Beraneka ragam latar belakang peserta SAM berdampak pada kemampuan

    mereka dalam mengikuti program SAM.

    Dalam penerimaan peserta untuk program SAM dibatasi kepada peserta yang

    lulus SMA ke atas, namun oleh karena kerinduan kaum awam atau orang-orang

    dewasa yang hanya lulusan SMP, dan ada juga yang SD untuk belajar maka Badan

    Pengurus SAM membolehkan mereka ini menjadi peserta. Latar belakang ini

    menyebabkan tingkat pemahaman peserta juga berbeda-beda dan berpengaruh dalam

  • 60

    proses pembelajaran di kelas. Bila pengajar yang berkualitas tidak ada masalah namun

    bagi pengajar lokal sebagai mana diungkapkan salah seorang peserta, Pdt A, belum

    dapat mengajar sebab dia tidak memahami kami sebagai peserta dengan baik. Masa

    dia hanya membaca buku pelajaran dan tidak memberi kesempatan kepada kami

    untuk bertanya dan berdiskusi.90

    4) Kendala yang juga dialami adalah masalah waktu belajar yang terbatas.

    Terkadang dalam proses pembelajaran di kelas, peserta masih rindu untuk

    belajar dan berdiskusi namun oleh karena waktu yang terbatas, maka biasanya ada

    beberapa peserta yang tidak dapat mengungkapkan apa yang sedang dia gumuli dalam

    kelas. Bilamana pengajar berdiskusi untuk menambah waktu lagi, peserta tidak

    bersedia karena kesibukan lain yang telah menanti.

    III.2.6. Motto dan Tujuan SAM GKI di Tanah Papua91

    III.2.6.1 Motto SAM GKI di Tanah Papua

    Landasan bagi motto SAM GKI di Tanah Papua adalah fakta kesaksian

    Perjanjian Baru yang dengan jelas memberikan pengertian, bahwa jemaat merupakan

    suatu “Persekutuan Pelayanan”, dimana warga jemaat secara keseluruhan

    diamanatkan untuk terlibat dalam pelayanan sesuai dengan masing-masing karunia

    yang telah Tuhan berikan. Pelaksanaan pelayanan ini dimengerti pula dalam

    Perjanjian Baru sebagai berjalan dalam suatu kesatuan tim (dengan saling

    menghormati antara satu karunia dengan karunia yang lain) dan bukan secara sendiri-

    sendiri dan secara teratur dan terarah dengan adanya kepemimpinan dalam jemaat

    yang mengatur dan mengkoordinir pelayanan, tetapi bukan memonopoli pelayanan.

    Hanya dengan memahami dan melaksanakan “Persekutuan Pelayanan” inilah jemaat

    90

    Nara sumber adalah bpk Drs F. Awak, MM, peserta SAM Bintuni yang bekerja sebagai PNS (As I,

    Bupati) 91

    Op.Cit., p. 119-120

  • 61

    bersifat setia kepada Firman Tuhan, dapat melayani secara efektif dan dapat memiliki

    pengaruh pelayanan yang luas di tengah masyarakat di mana jemaat itu berada.

    Perjanjian Baru dengan tegas mengaris bawahi bahwa status orang percaya adalah

    sama, akan tetapi fungsi dan jabatan dapatlah berbeda-beda. Motto SAM GKI

    terambil dari I Petrus 2 : 9 dan II Timotius 4 : 2.

    Selain itu Tata Gereja GKI di Tanah Papua dalam pasal 12 dengan jelas dan

    tegas mengamanatkan pelayanan kepada seluruh warga jemaat. Baru di pasal 13

    kemudian dijelaskan mengenai fungsi kemajelisan dalam mengatur atau

    mengkoordinir pelayanan dan bukan dalam pengertian memonopoli peleyanan.

    Disamping itu perlu ditekankan bahwa hasil penelitian pertumbuhan jemaat sedunia

    menunjukkan bahwa keterlibatan warga jemaat yang aktif merupakan faktor utama

    yang membawa pertumbuhan jemaat. Dengan demikian keaktifan seluruh warga

    jemaat merupakan hal yang membedakan jemaat yang bertumbuh dan yang tidak

    bertumbuh. Jelaslah bahwa pemberdayaan dan pengikutsertaan warga jemaat dalam

    pelayanan adalah hal yang mutlak harus dilakukan oleh sebuah gereja yang missioner.

    III.2.6.2. Tujuan Sekolah Alkitab Malam (SAM) GKI di Tanah

    Terbentuknya SAM GKI di Tanah Papua merupakan konsekuensi logis dari

    Tripanggilan gereja yaitu marturia (kesaksian); koinonia (pesekutuan) dan diakonia

    (pelayanan kasih). Terlebih apabila menyimak lima (5) fungsi pelayanan gereja

    seperti yang disebutkan dibawah ini :

    1) Marturia (Kesaksian)

    a) Kelahiran : Pelayanan Pekabaran Injil

    b) Mendewasakan : Pelayanan Pengajaran

    2) Koinonia (Persekutuan)

  • 62

    c) Mengisi Kehidupan : Pelayanan Ibadah

    3) Diakonia (Pelayanan Kasih)

    d) Pemecahan Masalah Rohani : Pelayanan Pastoral

    e) Pemecahan Masalah Jasmani : Pelayanan Sosial

    Dengan demikian jelaslah bahwa kehadiran SAM GKI turut menolong

    terwujudnya pelayanan pengajaran dalam gereja. Tujuan SAM GKI di Tanah Papua

    adalah memberikan bekal tentang landasan pemahaman teologis dan kehidupan iman

    Kristiani yang memadai dan praktis kepada kaum awam, untuk dibentuk menjadi

    SDM Awam GKI yang “siap pakai” sesuai dengan karunia masing-masing dalam

    membantu pelaksanaan tugas para pendeta dalam pelayanan di dalam jemaat dan di

    tengah kehidupan masyarakat. SAM GKI merupakan wadah pendidikan dan

    pembinaan jemaat yang bersifat informal. Meskipun SAM GKI memberikan

    penekanan yang sangat kuat terhadapa kualitas bahan, para pengajar dan proses

    belajar, akan tetapi lulusan SAM GKI yang diberikan ijazah yang bersifat informal,

    tidak memiliki hak apapun untuk suatu jabatan formal apapun dalam gereja.

    Tujuan SAM GKI bukanlah menciptakan pendeta-pendeta kecil, tetapi

    menciptakan majelis-majelis dan warga jemaat yang besar, dalam pengertian mampu

    dalam pemahaman dan melaksanakan pelayanan secara berkualitas dalam jemaat dan

    di tengah masyarakat. Para lulusan SAM GKI diutus kembali ke dalam jemaat asal

    masing-masing. Dengan demikian SAM GKI tidak membentuk suatu kelompok

    khusus ikatan tersendiri, tetapi sebagai lembaga yang hanya melengkapi majelis dan

    warga jemaat untuk pelayanan di jemaat asal masing-masing warga jemaat.

    Sinode GKI di Tanah Papua, melalui Badan Pengurus Pusat SAM telah

    berupaya melakukan pemberdayaan kaum awam lewat program SAM yang telah

  • 63

    berlangsung selama 15 tahun. Ada banyak hal yang telah dilaksanakan dan menjadi

    berkat tidak hanya kaum awam gereja, para pengajar, badan pengurus, dan Sinode.

    Namun demikian ada hal-hal yang perlu dikritisi dalam perspektif andragogi. Ini

    dilakukan untuk melihat apakah tujuan dari berdirinya SAM GKI di Tanah Papua

    sudah tercapai atau belum.

    III.2.7. Pelaksanaan SAM GKI di Tanah Papua

    III.2.7.1 Penentuan Kurikulum SAM GKI di Tanah Papua.

    Pelaksanaan program pemberdayaan kaum awam melalui SAM GKI yang

    durasi waktunya 1 tahun setiap angkatannya menggunakan kurikulum dan bahan-

    bahan pelajaran yang telah disiapkan oleh Badan Pengurus Pusat SAM GKI di

    Jayapura.

    Dalam penelitian lapangan dan studi kepustakan terlihat adanya peran penting

    dari Pdt Rainer Scheunemann, selaku penanggungjawab bidang pengajaran SAM

    dalam penyusunan kurikulum SAM. Dalam wawancara Pdt Dr. Rainer

    Scheunemann mengatakan yang menjadi pedoman utama dalam menyusun

    kurikulum pengajaran SAM adalah apa yang menjadi kebutuhan peserta dan juga apa

    yang ditentukan oleh Badan Pengurus Pusat SAM GKI di Tanah Papua.

    Berbicara tentang kebutuhan peserta dalam hal ini Bapak Drs. John Heumassy

    dan Bapak Yoppie Mustamu SH (alm) mewakili kerinduan seluruh warga jemaat

    untuk mencetuskan kerinduan ini kepada Pdt Dr. Rainer Scheunemann bahwa

    pemahaman yang mereka miliki selama ini masih sangat kurang dan mereka sangat

    merindukan pengajaran secara berkelanjutan. Selanjutnya Pdt Dr. Rainer

    Scheunemann mengatakan ada juga peserta (warga jemaat) yang katakan mereka

    maunya yang pertama-tama yang praktis. Misalnya bisa langsung memimpin

  • 64

    khotbah, pastoral umum, pastoral khusus, dapat melakukan penginjilan dan lain

    sebagainya. Apa yang menjadi kebutuhan peserta didengar. Namun pada sisi yang

    lain ada hal-hal yang belum dipahami peserta berkaitan dengan kurangnya pengajaran

    dalam gereja GKI di Tanah Papua, yang searah dengan pendapat Pdt Herman Saud

    MTh (mantan ketua Sinode ke VII) ketika diwawancarai. Hal inilah yang

    menyebabkan peserta tidak mempunyai pemahaman yang memadai. Ibaratnya seperti

    mempunya truk tetapi tidak mengetahui muatannya apa. Jadi isi muatan sangat

    diperlukan peserta harus diberikan sekalipun mereka belum menyadari pada awalnya

    namun pada akhirnya peserta sadar bahwa hal itu begitu penting. Ini dikatakan dalam

    konteks GKI di Tanah Papua yang memang lemah dalam pengajaran.

    Sedangkan peran dari badan pengurus pusat SAM dalam menyusun

    kurikulum, berkaitan dengan pengalaman pelayanan, pengajaran dan pembinaan

    majelis jemaat dari Pdt. Dr. Rainer Scheunemann yang mengamati adanya

    kekurangan yang cukup besar di dalam GKI di Tanah Papua (Irian Jaya) dari tahun

    1955-1999. Adanya kekurangan yang cukup besar di dalam GKI di Tanah Papua

    dalam bidang pengajaran dan pembekalan para majelis, unsur dan warga jemaat.

    Di samping itu ada juga pergumulan pribadi Pdt.Dr.Rainer Scheunemann yang

    berdoa meminta Tuhan untuk menunjukkan kepadanya pelayanan apa yang harus

    dilakukan secara Khusus di Tanah Papua yang sesuai dengan karunia yang Tuhan

    telah berikan kepadanya dan yang sesuai juga dengan kebutuhan jemaat. Tuhan

    kemudian memberikan suatu jawaban dan kepastian dalam diri Pdt Dr.Rainer

    Scheunemannn untuk memfokuskan pelayanannya untuk menyiapakan, membekali,

    dan memampukan warga jemaat dalam pemahaman Firman Tuhan dan pelayanan

    secara praktis di tengah jemaat. Selain itu juga untuk membagikan visi pengajaran

    yang melanda Tanah Papua ini kepada para pendeta, guru jemaat dan penginjil, serta

  • 65

    merekrut para pengajar yang telah diberikan karunia oleh Tuhan untuk menjalankan

    tugas pengajaran ini.

    Dari sinilah kemudian Pdt. Dr.Rainer Scheunemann menyusun kurikulum

    yang lebih mengarah kepada bagaimana membangun pemahaman yang menyeluruh

    (holistik) yang nampak dalam 15 mata pelajaran sehingga peserta mengerti dan

    memahami ada banyak bidang dan jenis pelayanan bukan sepotong-potong. Bila

    pemahaman tidak lengkap akan berakibat peserta ada dalam bahaya, dalam arti bisa

    menjadi ekstrim. Bilamana peserta memahami secara menyeluruh itu berarti akan

    semakin matang dan akan bertindak lebih hati-hati` dan bisa menghargai orang

    dengan karunia yang berbeda. Pada akhirnya apa yang menjadi tujuan dari SAM akan

    tercapai. Intinya dalam kurikulum hal-hal utama secara holistik tercaver dalam

    seluruh pelajaran. Dimana ada yang datang dari peserta dan ada yang datang dari

    badan pengurus pusat SAM. Faktanya semua lulusan SAM mengatakan bahwa selama

    ini mereka hanya dapat kulit dan bukan isi. Setelah mengikuti SAM baru tahu isinya.

    Hal ini banyak dikatakan mereka yang sudah lama jadi majelis kepada pengurus dan

    para pengajar SAM.92

    Hal berikut yang perlu diketahui adalah apa yang diajarkan dalam kurikulum

    SAM GKI di Tanah Papua ini hanya dasar yang masih harus di bangun yang lebih

    spesifik lagi di atasnya. Jadi SAM adalah program dasar yang kemudian perlu

    dilengkapi dengan keahlian pelayanan khusus sesuai dengan karunia dalam kursus-

    kursus pembinaan lanjutan. Contoh peserta yang rindu menjadi guru sekolah minggu

    dapat mengikuti SAM setelah lulus harus meningkatkan diri secara spesifik lewat

    kursus sekolah minggu, begitu juga dengan bidang yang lainnya.

    92

    Hasil wawancara dengan Badan Pengurus Pusat SAM, dan beberapa pengajar di Bintuni (Pdt

    P.Solisa; Pdt F. Tulus dan Ibu Pdt) dan Jayapura (Pdt Alex Siahaan; Pdt Caroll Huwae; Pdt G.Sodanding; Pdt F.

    Fouw; Pdt Rainer S) bulan Oktober - November 2014.

  • 66

    Itulah sebabnya dalam kurikulum SAM ada 15 mata pelajaran yang diberikan.

    Kualitas bahan merupakan prioritas SAM GKI. Oleh karena itu sejak tahun 2003 telah

    diterbitkan sebanyak dua belas (12) buku pegangan dengan judul-judul :

    1) Pengantar Perjanjian Lama (Dr Rainer Scheunemann)

    2) Sepuluh Tema Utama Perjanjian Lama (Traugott Boeker & Dr

    Rainer Scheunemann)

    3) Pengantar Perjanjian Baru (Dr Rainer Scheunemann)

    4) Rangkuman Tema-Tema Perjanjian Baru (Dr Rainer

    Scheunemann)

    5) Pokok – Pokok Iman Kristiani (Dr Sostenes Sumihe)

    6) Metode Pelayanan Pastoral Konseling (Carol Huwae & Dr Rainer

    Scheunemann)

    7) Menuju Jemaat Yang Misioner (Dr Rainer Scheunemann)

    8) Misi dan Penginjilan (Carol Huwae & Dr Rainer Scheunemann)

    9) Dasar-dasar Penafsiran, Penataan Isi Alkitab dalam Khotbah dan

    Renungan (Hosea Wally)

    10) Metode Penelaahan Alkitab Secara Praktis (Ingeborg Kusch,

    Sientje Loupatty, Dr.Rainer Scheunemann)

    11) Bebas Dari Kuasa Kegelapan (Detmar Scheunemann dan Dr.Rainer

    Scheunemann)

    12) Panduan Lengkap Penafsiran Alkitab (Dr. Rainer Scheunemann)

    Dalam kurikulum pengajaran SAM terdapat 15 mata pelajaran yang masing-

    masing diajarkan dengan pola 5 x 3 jam pelajaran dan 1 kali ujian. Dengan demikian

  • 67

    jumlah total adalah 270 jam pelajaran. Jangka waktu satu angkatan biasanya adalah

    selama 1 tahun dengan 2 kali pertemuan @ 3 jam dalam satu minggu.

    Bilamana berdasar pada andragogi atau bagaimana menolong orang dewasa

    belajar. Yang terpenting adalah bagaimana partisipasi atau keterlibatan orang dewasa

    dalam penyusunan kurikulum dan seterusnya. Terlihat Pdt. Dr. Rainer Scheunemann

    begitu berperan. Memang betul orang dewasa di dengar kebutuhannya namun tidak

    terlibat dalam langsung dalam penyusunan kurikulum, menetapkan tujuan,

    mengumpulkan bahan, menentukan metode dan evaluasi.

    III.2.7.2 Pengajar dan Metode SAM GKI di Tanah Papua

    Tenaga pengajar atau pendidik yang dilibatkan dalam proses pembelajaran

    SAM GKI di Tanah Papua, menurut Badan Pengurus Pusat SAM, yang berada di

    Jayapura, terdiri dari para pengajar dari pusat (maksudnya dari Jayapura) dan para

    pengajar lokal yang ada di daerah-daerah. Latar belakang pengajar ada yang dari STT

    “Izaak Samuel Kijne” dan para pendeta di jemaat. Dikatakan untuk pengajar dari

    pusat perekrutan biasanya dengan melihat kualifikasi dan kompetensi dari pengajar

    dalam bidang yang dikuasai, punya karunia mengajar dan memiliki hati yang penuh

    kasih. Sedangkan para pengajar SAM di daerah-daerah direkrut dan dilibatkan

    sebagai pengajar di SAM, dengan melihat bagaimana pengajar yang bersangkutan

    dalam menyampaikan khotbah dan juga memiliki hati untuk warga jemaatnya serta

    memiliki karunia mengajar.

    Menurut Pdt Dr. Rainer Scheunemann, yang menangani bidang pengajaran

    dalam Badan Pengurus Pusat SAM, untuk para pengajar lokal sering kali masih harus

    diberikan penjelasan tentang materi dan lain sebagainya. Para pengajar dari pusat,

    sudah biasa mengajar namun para pengajar dari daerah-daerah belum terbiasa

  • 68

    mengajar namun tetap dilibatkan. Hal itu dikerenakan, Badan Pengurus Pusat SAM

    hendak mendorong dan melengkapi para pendeta agar dapat juga mengajar atau

    memahami betapa pentingnya pengajaran dalam gereja. Badan pengurus pusat SAM

    belum memiliki team atau staf khusus untuk mengembangkan tenaga-tenaga pengajar

    yang dilibatkan cukup besar 70 orang dan bersifat honorer. Selama SAM berjalan

    15 tahun para pengajar diberikan out line atau bahan untuk kelas dewasa, sehingga

    pengajar yang cakap dan berkarunia serta punya hati pasti dapat mengajar. Hal ini

    diungkapkan oleh Pdt Caroll Huwae dan Pdt Grace Sodanding sebagai pengajar SAM

    bidang pastoral ocultisme yang begitu tertantang ketika melihat peserta begitu haus

    dan aktif dalam kelas diskusi serta pada akhirnya peserta minta pelayanan khusus93

    .

    Sedangkan Metode yang dipakai dalam proses pembelajaran menurut peserta

    yang diwawancarai94

    berjalan dalam dua arah dimana ada saatnya pengajar

    menjelaskan dulu bagian-bagian yang belum dipahami baru kemudian terjadi diskusi.

    Setiap peserta diberikan kesempatan untuk berdiskusi untuk memecahkan masalah

    atau pertanyaan yang ada.

    Menurut Pdt Dr. Rainer Scheunemann hal ini juga bergantung dengan

    pengajar yang ada dan materi yang diberikan serta karakter dari peserta. Maksudnya

    di SAM seorang pengajar yang dilibatkan adalah yang sungguh-sungguh dan yang

    dapat mengajar. Ini yang penting dimana mempunyai pengajar yang tepat baru

    metode akan diterapkan dengan baik. Dengan keadaan GKI di Tanah Papua maka

    menurut Pdt Dr. Rayner Scheunemann harus ada juga sedikit kebebasan untuk

    pengajar kembangkan dirinya dalam mengajar. Intinya bagaimana seorang pengajar

    memberikan pemahaman, dengan mengolah bahan yang ada untuk siap diterima

    dengan mudah melalui metode yang tepat.

    93

    Wawancara dengan nara sumber, pada bulan Oktober- November 2014 94

    Wawancara Ibu Pnt Griapon, Pnt Awak, Pnt Matias Mansumbauw, Pnt Rume, Pnt Mapipi, Bpk/IbuTandi, Sdr

    Debora, bulan Okt – Nov 2014

  • 69

    Dalam wawancara kepada para lulusan SAM diakui bahwa memang waktu

    yang ada begitu terbatas namun dengan metode diskusi yang ada, mereka dapat

    belajar dari pengalaman peserta yang lain dan semakin dilengkapi.95

    Bilamana

    pengajar SAM yang memiliki karunia mengajar dan hati yang mengasihi peserta

    maka biasanya peserta puas dan diberkati namun bisa terjadi sebaliknya. Dalam

    evaluasi akhir setiap pelajaran yang diberikan kedua hal itu terjadi.

    Proses pembelajaran dalam kelas dibagi dalam 2 sesi dimana masing-masing

    sesi waktunya 1,5 jam diselingi dengan waktu istirahat 15 menit. Pada sesi pertama

    biasanya para pengajar menjelaskan dulu bagian-bagian yang dirasa penting dan

    berguna bagi peserta. Pada sesi kedua, pengajar memberikan waktu dan kesempatan

    untuk peserta bertanya disinilah biasanya terjadi diskusi yang panjang. Memang

    diakui suasana pembelajaran di kelas masih tergantung pada pengajar dan materi

    yang disampaikan. Ada materi pelajaran seperti pastoral umum maupun khusus, para

    peserta bisa terlibat aktif dari awal pembelajaran tetapi bila pelajaran tentang

    dokmatika, atau tema-tema Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, suasananya tidak

    sehidup pelajaran-pelajaran praktika. Memang pada sesi kedua ini, para pengajar

    memberikan waktu untuk diskusi namun karena isi pembelajaran yang bagi peserta

    baru didengar dan diikuti membuat peserta berusaha memahami dulu. Namun bagi

    peserta yang telah mengetahui lewat pengalamanya biasanya mereka akan bertanya

    dan terjadi diskusi yang dalam.

    Dalam sesi kedua ini, biasanya para pengajar tidak membatasi bahan yang

    akan didiskusikan sebab biasanya peserta datang dengan begitu banyak hal yang

    selama ini digumulkan dan belum mendapat jawaban. Pdt Ferdinand Tulus96

    sebagai

    salah satu pengajar di Klasis GKI Biak dan sekarang di Klasis GKI Teluk Bintuni,

    95

    Wawancara dengan lulusan kelas SAM di Bintuni dan Jayapura, bulan Okt – Nov 2014. 96

    Nara sumber adalah Ketua Jemaat GKI Viadolorosa, Bintuni yang dilibatkan sebagai pengajar SAM

  • 70

    yang diwawancarai mengatakan adanya akumulasi persoalan yang ada pada para

    peserta yang selalu ingin dicarikan jalan keluar yang sesuai dengan kehendak Tuhan,

    yang mana semuanya ini akan menolong peserta dalam tugas dan tanggung jawabnya

    sebagai kaum awam di tempat kerjanya.

    Pdt Grace Sodanding97

    , yang adalah seorang pengajar bidang pastoral

    okultisme pun mengakui bahwa peserta harus dijelaskan dulu atau mereka harus tahu

    isi dulu baru bisa berdiskusi bersama. Intinya peserta mau belajar dulu, peserta mau

    membaca buku dan mendengar penjelasan dulu, baru bisa diskusi (konteks GKI lemah

    dalam pengajaran). Jadi dalam kelas SAM biasanya pengajar memakai metode

    ceramah dan diskusi. Hal ini yang ditanyakan kepada para peserta SAM, mereka

    mengatakan pembelajaran berlangsung dalam dua arah dalam artian di atas.98

    Peserta diharuskan mengikuti kelas SAM, paling tidak 3 pertemua dari 5

    pertemuan yang diharapkan baru boleh mengikuti ujian dalam pelajaran yang

    disampaikan. Ujian ini bersifat ingin mengetahui sampai sejauh mana tingkat

    pemahaman peserta dan bagaimana penerapan dalam kehidupan baik di gereja, kantor

    dan di dalam masyarakat. Bilamana peserta tidak mengikuti kelas sesuai dengan

    ketentuan akan diminta untuk mengikutinya tahun berikut, baru bisa diluluskan.

    Jadi dapat disimpulkan metode yang dipakai dalam proses pembelajaran di

    SAM di serahkan semua kepada pengajar dan tidak melibatkan peserta dewasa yang

    self-directed.

    97

    Nara sumber adalah ketua jemaat GKI Immanuel, APO Jayapura, yang dilibatkan dalam mengajar

    SAM 98

    Wawancara mantan peserta SAM di kelas Bintuni, kelas Jayapura, dan Kelas Abepura pada bulan

    Oktober – November 2014.

  • 71

    III.2.7.3 Evaluasi dalam SAM GKI di Tanah Papua

    Badan pengurus pusat SAM GKI di Tanah Papua dalam mengadakan evaluasi

    interen baik kepada peserta, pengajar dan pengurus kelas lokal ditiap daerah yang

    dilaksanakan pada akhir proses pembelajaran dengan memberikan angket untuk

    dijawab sebagai bahan evaluasi.

    Hasil evaluasi ini menjadi acuan bagi Badan Pengurus Pusat SAM untuk

    dalam melihat tingkat pemahaman dan seberapa jauh peserta telah diperlengkapi

    selama mengikuti kelas SAM. Disamping itu para pengajar juga dievaluasi melalui

    peserta untuk menentukan apakah pengajar masih dilibatkan atau tidak dalam

    kegiatan SAM. Hal itu dimungkinkan bilamana pengajar tidak mempunyai hati untuk

    mengajar (sering terlambat, tidak siap mengajar, tidak menghargai peserta).

    Pdt Herman Saud ketika diwawancarai mengatakan bahwa Sinode GKI di

    Tanah Papua telah memanggil badan pengurus pusat SAM untuk menjelaskan dan

    melaporkan program yang telah dijalankan serta mengadakan evaluasi dalam Sidang

    Sinode tahun 2006 di Kabupaten Wamena dan tahun 2011 di Kabupaten Jayapura

    dimana program ini di terima dan kembali dimasukan menjadi program tingkat

    Sinode yang harus dilaksanakan di tingkat Klasis dan jemaat.

    Itu sebabnya badan pengurus pusat maupun badan pengurus local di daerah

    selalu terbuka dengan masukan-masukan dari peserta. Ada juga dalam evaluasi

    dimana pengurus pusat kompromi dengan pengajar local, sering mendapat

    dikomplein dari peserta dimana kadang terjadi pengajar lokal ada yang tidak serius,

    tdk komitmen dengan waktu dan ada yg angkuh terhadap peserta (menganggap diri

    lebih dari peserta). Dalam evaluasi terjadi juga bahwa gereja kurang belum

    memahami potensi dalam jemaat dimana ada anggota jemaat yang telah mengikuti

    SAM dan siap untuk membantu pelayanan namun kurang dilibatkan oleh para

  • 72

    petugas gereja. Mereka ini karena telah memahami dan diperlengkapi jadi tidak putus

    asa atau kecewa, tetapi terus berkarya bagi Tuhan di kantor dan di masyarakat.

    Program SAM intinya untuk menyiapkan kaum awam untuk kembali dalam tugasnya

    entah menjadi majelis, warga jemaat saja, atau guru sekolah, pegawai dan lain

    sebagainya sesuai profesi masing – masing peserta.

    Dalam suatu penelitian angket menjadi nyata bahwa para lulusan SAM GKI

    sangat mensyukuri pembinaan yang dapat mereka peroleh lewat SAM GKI dan

    mayoritas besar dari mereka terlibat aktif dalam pelayanan di dalam jemaat dan

    berbagai bidang profesi dimana Tuhan menempatkan mereka serta dalam kehidupan

    bermasyarakat. Ibu Pnt Griapon, seorang mantan peserta SAM, tahun 2000 yang

    adalah seorang majelis dan guru mengatakan bahwa ia sangat bersyukur dapat

    mengikuti program SAM, dimana apa yang dimiliki selama di SAM begitu

    bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan dalam kehidupan pelayanan di gereja, juga

    sebagai seorang guru, dia sungguh mengasihi anak-anak muridnya (yang sebelumnya

    tidak demikian) dan menjadi berkat dalam kehidupan masyarakat.99

    Hal yang sama juga terlihat dalam evaluasi yang diadakan oleh BP Am Sinode

    GKI di Tanah Papua dan Badan Pengurus Pusat SAM, dimana memang evaluasi

    diadakan namun tidak melibatkan peserta dewasa dalam menyusun instrumen

    evaluasi.

    99

    Wawancara dengan nara sumber, Ibu Pnt Griapon, bulan Oktober – November 2014.