pembentukan perundang undangan
DESCRIPTION
Pembentukan perundang undanganTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kekuasaan negara pada tingkat perdaban dunia yang di sebut modern telah
merumuskan pemisahan ke tiga fungsi besar menampilkan kekuasaan membentuk
undang – undang (Legislation), pemerintah (executive), dan peradilan (yudiciary).
Khusus pada kekuasaan pembentukan undang – undang mempunyai asas akan
mengatur seluruh aspek kehidupan bernegara dalam melaksanakan seluruh
aktifitasnya. Oleh karena itu tugas berat sang legislator yang akan menjabarkan
setiap kebutuhan masyarakat kedalam rumusan undang – undang dan selalu
mengalami perubahan setiap saat.
Jeremy Bentham, menyatakan bahwa pembuatan undang – undang adalah
suatu seni yaitu seni menemukan cara – cara mewujudkan “ The True Good of
The Comunity”. Kajian Bentham mengenai pembuatan undang – undang harus
keluar dari analisis teknis legislasi kepada pembahasannya di dalam kerangka
yang lebih besar. Ukuran – ukuran serta format yang di gunakan juga bukan lagi
rasional, logika, prosedural, melainkan entri – entri sosiologis berupa :
1. Asal – usul undang – undang,
2. Mengungkap motif di belakang pembuatan undang – undang,
3. Pembuatan undang – undang sebagai endapan konflik kekuatan dan
kepentingan dalam masyarakatnya,
4. Susunan badan pembuatan undang – undang dan implikasi sosiologis,
5. Membahas hubungan kualitas dan jumlah undang – undang yang di
buat dengan lingkungan sosialnya dalam suatu periode tertentu,
6. Sasaran prilaku yang ingin di atur atau di rubah,
7. Akibat – akibat baik yang di kehendaki maupun tidak.
Pada bagian lain Roscoe menyarankan untuk memperhatikan efektivitas
undang – undang dari pada membicarakan legalitas dan struktur logisnya semata.
Pembicaraan mengenai efektivitas undang – undang akan terkait hukum sebagai
instrument kebijaksanaan dari suatu badan atau satuan politik tertentu.
Menurutnya medan pembuatan undang – undang akan menjadi pembenturan
kepentingan.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asas dan teori dalam pembentukan perundang-undangan ?
2. Bagaimana proses pembentukan perundang-undangan ?
3. Bagaimana hubungan antara susunan pembentukan undang – undang
dengan undang – undang yang dihasilkan ?
3. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui asas dan teori dalam pembentukan perundang-
undangan
2. Untuk mengetahui proses pembentukan perundang-undangan
3. Untuk mengetahui hubungan antara susunan pembentukan undang –
undang dengan undang – undang yang dihasilkan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Dan Asas-Asas Pembentukan Perundang-Undangan
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlu berpedoman
pada asas-asas pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang - undangan yang baik
menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek
Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu:
a. Asas-asas formil:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan
manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau
organ pembentuk peraturan perundagundagan yang berwenang; peraturan
perundangundangan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar)atau batal
demi hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ
yang tidak berwenang;
3. Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel);
4. Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel van
uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan
yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena
telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis
sejak tahap penyusunannya;
5. Asas konsensus (het beginsel van de consensus).
b. Asas-asas materiil:
1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke
terminologie en duidelijke systematiek);
2. asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel
van de individuele rechtsbedeling).
Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengingatkan kepada
pembentuk undang-undang agar selalu memperhatikan asas pembentukan
peraturan perundang - undangan yang baik dan asas materi muatan. Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan
pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1. “asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2. “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” , bahwa setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara
atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang,
Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang;
3. “asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan” , bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan;
4. “asas dapat dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis;
5. “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap Peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
6. “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang
jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya;
7. “asas keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
2.1.1 Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Harus Mencerminkan
Asas:
1. “asas pengayoman”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk
menciptakan ketentraman masyarakat;
2. “asas kemanusiaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan
hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional;
3. “asas kebangsaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
4. “asas kekeluargaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
5. “asas kenusantaraan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan Materi muatan Peraturan Perundang-undangan
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
6. “asas bhinneka tunggal ika”, bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
7. “asas keadilan” , bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara;
8. “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” , bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat
hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
9. “asas ketertiban dan kepastian hukum”, bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian;
10. “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara;
11. “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,
asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan
perundang-undangan dan penentu kebijakan dalam membentuk peraturan
perundang-undangan. Semua asas di atas, harus terpateri dalam diri penentu
kebijakan yang akan membentuk peraturan perundang-undangan yang biasanya
diwujudkan dalam bentuk-bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang
ditempuh.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, ada beberapa teori
yang perlu dipahami oleh perancang yakni teori jenjang norma. Hans Nawiasky,
salah satu murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori
jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam
bukunya “Allgemeine Rechtslehre” mengemukakan bahwa sesuai dengan
teori Hans Kelsen, suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang
yakni norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang
lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang
disebut norma dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa
selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-
kelompok. Nawiasky mengelompokkan menjadi 4 kelompok besar yakni :
1. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);
2. Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);
3. Formell Gezetz (undang-undang formal);
4. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).
Kelompok norma di atas hampir selalu ada dalam tata susunan norma
hukum di setiap negara, walaupun istilahnya dan jumlah norma yang berbeda
dalam setiap kelompoknya.
Di Indonesia, norma fundamental negara adalah Pancasila dan norma ini
harus dijadikan bintang pemandu bagi perancang dalam membentuk peraturan
perundang-undangan. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
2.2 Proses Pembentukan Perundang-Undangan
Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU PPP terbagi
menjadi beberapa tahapan, yaitu :
1. Perencanaan ,
2. Persiapan ,
3. Teknik penyusunan,
4. Perumusan dan pembahasan,
5. Pengesahan ,
6. Pengundangan dan
7. Penyebarluasan
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 proses pembentukan Undang-
Undang dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Persiapan Pembentukan Undang-Undang
Dalam pembentukan UU, Rancangan Undang-Undang (RUU)
dapatberasal dariPresiden, DPR, maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah),
namun untuk RUU yangdiajukan oleh DPD hanya diperkenankan RUUberkaitan
dengan:
1. Otonomi Daerah;
2. Hubunganpusat dengan daerah;
3. Pembentukandan pemekaran serta penggabungan daerah;
4. Pengelolaansumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
5. Perimbangankeuangan pusat dan daerah.
1. Persiapan Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Pemerintah.
a. Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh presidendisiapkan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen, sesuai dengan
lingkup tugasnya masing-masing.
b. Konsepsi RUU tersebut dikoordinasikan oleh menteri yang tugasdan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan.
c. RUU yang sudah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan suratPresiden
kepada Pimpinan DPR.
d. Dalam surat Presiden tersebut disebutkan menteri yang akanditugasi
mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUUdi DPR.
e. DPR mulai membahas RUU tersebut dalam jangka waktu palinglambat 60
hari sejak surat Presiden diterima.
f. Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.
2. Persiapan Rancangan Undang-Undang yang diajukan olehDPR (hak
inisiatif) dan DPD
a. Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR diusulkanoleh DPR
(RUU tersebut dapat juga dari DPD yang diajukankepada DPR).
b. RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan suratpimpinan
DPR kepada Presiden
c. Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahasRUU bersama
DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak suratpimpinan DPR diterima.
d. Menteri yang ditugasi oleh Presiden dalam pembahasan di
DPRmengkoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yangtugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundangundangan.
e. Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh Sekretariat JenderalDPR.
b. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-Undang
1. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presidenatau
menteri yang ditugasi, dan atau dengan DPD apabila RUU yangdibahas
mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,pembentukan
pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaansumber daya alam dan
sumber daya ekonomilainnya, dan perimbangankeuangan pusat dan
daerah.
2. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sampai padatahap
rapat komisi/panitiaalat kelengkapan DPR yang khususmenangani bidang
legislasi.
3. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU diwakili oleh komisiyang
membidangi materi muatan RUU yang dibahas.
4. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan,
yaitu:
a. Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat paripurna.
Padatingkatpertama ini apabila RUU diajukan oleh Presiden.
Makayang memberi penjelasan adalah Pemerintah (Presiden)
ataumenteri yang ditugasi. Tetapi apabila RUU datang dari
DPRpenjelasan dilakukan oleh pimpinan komisi atau rapat
gabungankomisi atau rapat panitia khusus.
b. Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna.
Padapembicaraan tingkat II, apabila RUU dari pemerintah,
makadilakukan pemandangan umum dari anggota DPR yangmembawa
suara fraksinya masing-masing terhadap RUU.Pemerintah kemudian
menyampaikan tanggapan terhadappemandangan umum tersebut.
Apabila RUU dari DPR, makadiadakan tanggapan pemerintah
terhadap RUU tersebut. Setelahitu DPR memberikan tanggapan dan
penjelasan yang disampaikanoleh pimpinan komisi, gabungan komisi,
atau panitia khusus atasnama DPR.
c. Pembicaraan Tingkat III dilakukan dalam rapat komisi/rapatgabungan
komisi/rapat panitia khusus.Dalam pembicaraan tingkat ini dilakukan
rapat komisi/rapatgabungan komisi/rapat panitia khusus bersama
pemerintahmembahas RUU tersebut secara keseluruhan mulai
daripembukaan, pasal-pasal, sampai bagian akhir
rancanganundangundang tersebut.
d. Pembicaraan Tingkat IV dilakukan dalam rapat paripurna. Padatingkat
yang terakhir ini dilakukan laporan hasil pembicaraan ditingkat
komisi/gabungan komisi/rapat panitia khusus.Penyampaian pendapat
terakhir dari fraksi-fraksi yang disampaikan oleh anggota-angotanya
dan dilakukan pengambilan keputusan.Pada tingkat ini pemerintah
juga diberi kesempatan untuk memberikan sambutan terhadap
pengambilan keputusan tersebut.
e. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presidendisampaikan
oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkanmenjadi UU.
f. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu
palinglambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
g. RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan
tandatangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RUU
tersebutdisetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
h. Dalam hal RUU tidak dapat ditanda tangani oleh Presiden dalamwaktu
paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama,maka
RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
c. Pengundangan dan Penyebarluasan UU
1. Setelah RUU disahkan oleh Presiden menjadi UU maka UU tersebutharus
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
2. Pengundangan dalam Lembaran Negara RI dilaksanakan olehmenteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundang-undangan.
3. Undang-Undang tersebut mulai berlaku dan mempunyai kekuatanmengikat
pada tanggal diundangkan.
4. Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang tersebut
dalamLembaran Negara Republik Indonesia.
Sedangkan proses pembentukan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-
Undang (Perpu) adalah sebagai berikut.
a. Persiapan Pembentukan Perpu
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang di
keluarkanPresiden harus diajukan ke DPR dalam persidangan
berikutnya.
2. Pengajuan Perpu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU
tentangpenetapan Perpu menjadi Undang-Undang.
3. Dalam hal Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut harus dicabut.
4. Dalam hal Perpu ditolak oleh DPR, maka Presiden mengajukan
RUUtentang pencabutan Perpu tersebut.
b. Pembahasan dan Pengesahan Perpu
Sesuai dengan Pasal 36 ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakanbahwa
pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang
dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasanRUU. Dengan
demikian prosedur pembahasan Perpu di DPR sama denganpembahasan RUU di
DPR, sehingga paparan pembahasan RUL: di atassudah memberikan gambaran
yang jelas bagi pembahasan dan pengesahanPerpu menjadi UU.
c. Pengundangan dan Penyebarluasan Perpu
Pada tahap ini juga mempunyai prosedur yang sama seperti
padapengundangan dan penyebarluasan UU.
Proses Pembentukan Peraturan Daerah
a. Persiapan Pembentukan Peraturan Daerah (Perda)
1. Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau gubernur, atau bupati/
walikota.
2. Rancangan Perda dapat disampaikan oleh anggota, komisi,
gabungankomisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani
legislasi.
3. Rancangan Perda yang sudah dipersiapkan oleh gubernur, bupatilwalikota
disampaikan dengan surat pengantar gubernur, bupati/walikota kepada
DPRD oleh gubernur, bupati/walikota.
4. Rancangan Perda yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada gubernur, bupati/walikota.
5. Penyebarluasan Rancangan Perda yang berasal dari DPRDdilaksanakan
oleh seketariat DPRD, sedangkan yang berasal darigubernur,
bupati/walikota dilaksanakan oleh sekretaris daerah.
b. Pembahasan dan Pengesahan Perda
1. Pembahasan rancangan Perda di DPRD dilakukan oleh DPRDbersama
gubernur, bupati/walikota.
2. Pembahasan bersama tersebut dilakukan dengan melalui
tingkattingkatpembicaraan seperti pada pembahasan RUU.
3. Rancangan Perpu dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersamaDPRD
dan gubernur, bupati/walikota.
4. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dangubernur,
bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepadagubernur atau
bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Perda.
5. Penyampaian rancangan Perda dilakukan dalam jangka waktu
palinglambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
6. Rancangan Perda ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikotadengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu 30 hari sejakrancangan
Perda tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan gubernuratau
bupati/walikota.
7. Dalam hal rancangan Perda tidak dapat ditandatangani oleh gubernuratau
bupati/walikota dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancanganPerda
tersebut disetujui bersama, maka rancangan tersebut sah menjadiPeraturan
Daerah dan wajib diundangkan.Pembahasan RUU tentang
penetapanPerpu menjadi Undang-Undang dilaksanakan
melaluimekanisme yang sama denganpembahasan RUU.
c. Pengundangan dan Penyebarluasan
1. Peraturan Daerah yang telah dinyatakan sah hams diundangkan
dalamLembaran Daerah.
2. Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telahdiundangkan
dalam Lembaran Daerah tersebut.
3. Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dilakukan olehsekretaris
daerah.
2.3 Hubungan Antara Pembentuk Undang – Undang Dan Produk Undang –
Undang
Pembentukan undang-undang di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini
dilakukan oleh bicameral parlement yaitu DPR-RI dan DPD-RI bersama-sama
dengan presiden. Dengan demikian pembentukan undang-undang tersebut
terdapat keunikan karena legislative dan eksekutif secara bersama-sama
menyusun pembentukan undang-undang.
Menurut Satjipto Rahardjo legislator seperti diuraikan tersebut diatas
dianggap sebagai lembaga masyarakat atau lembaga sosial, karena terdapat
hubungan timbal balik antara DPR-RI, DPD-RI, dan Presiden dan masyarakat
yang menjadi lingkungannya. Hubungan erat tersebut akan membentuk “Begitu
masyarakat begitu pula lembaganya” masyarakat merupakan sumber daya bagi
lembaga sosial pembentuk undang-undang, tanpa dukungan sumber daya
masyarakat maka lembaga sosial pembentuk undang-undang akan ambruk.
Sinyalemen dari Satjipto Rahardjo bahwa komposisi keanggotaan legislator
sangat mempengaruhi produk hukum yang dihasilkan. Sebagai contoh di negara
bagian Amerika Serikat terdiri dari lawyer, insourance, business executive,
education, labour union, agriculture homemaker/student etc. Sedangkan, di
Indonesia para politisi dalam legislator tidak bisa dianggap mewakili komponen
tersebut diatas karena merupakan wakil partai politik maupun independen dan
birokrat. Oleh sebab itu, di Indonesia ada kecenderungan lebih mengutamakan
partisan politik disatu pihak dan berfikir berdasarkan konfigurasi kepentingan
nyata dipihak lain. Optik sosiologis melihat adanya kecenderungan keanggotaan
parlemen diisi oleh golongan menengah keatas-menyebabkan produk hukum berat
sebelah. Akibatnya obyektifitas dari semboyan bahwa suatu undang-undang itu
berdiri diatas semua golongan hanya merupakan suatu cita-cita yang tidak akan
datang dengan sendirinya, tetapi harus terus diperjuangkan.
Undang-undang No. 14 tahun 1992 yang di kenal sebagai “ Undang-Undang
Lalu Lintas ” telah memasukan beberapa azas yaitu :
1. Manfaat,
2. Usaha bersama kekeluargaan,
3. Adil dan merata,
4. Keseimbangan,
5. Kepentingan umum,
6. Keterpaduan,
7. Hukum,
8. Percaya pada diri sendiri.
Menurut Satjipto Rahardjo azas-azas tersebut untuk kehidupan mayarakat
yang baik, tetapi bukan khusus untuk berprilaku yang benar dalam berlalu lintas.
Dalam berlalu lintas terdapat komunitas pejalan kaki, sepeda, motor, mobil, truk,
bus yang membutuhkan pegangan nilai yang mampu menyelaraskan pertemuan
antara kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga tercapai perilaku berlalu lintas yang
berkualitas. Satjipto Rahardjo menyarankan beberapa azas dalam mengatur lalu
lintas yaitu “azas memperhatikan orang lain”, “azas memperhatikan orang lain”
atau “azas tidak merugikan oran lain”. Azas tersebut akan memberi nutrisi
berprilaku dalam berlalu lintas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan perlu berpedoman pada asas-asas
pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma.
Suatu undang-undang harus dibangun berdasarkan azas-azas sebagaimana
yang termuat dalam undang-undang dasar adanya azas kekeluargaan. Azas
tersebut menjadi landasan orientasi dalam pembentukan undang-undang yang
merupakan suatu nutrisi atau vitamin, sehingga bagunan undang-undang
merupakan bangunan yang erat dengan nilai dan filosofi. Azas-azas itu harus bisa
operasional menggerakan aktivitas undang-undang dalam pelaksanaan gerak di
masyarakat.
Hubungan antara pembentuk perundang-undangan dan produk perundang-
undangan juga harus di kaitkan dalam pembentukkan perundang-undangan,
karena terdapat hubungan timbal balik antara DPR-RI, DPD-RI, dan Presiden dan
masyarakat yang menjadi lingkungannya. Hubungan erat tersebut akan
membentuk “Begitu masyarakat begitu pula lembaganya” masyarakat merupakan
sumber daya bagi lembaga sosial pembentuk undang-undang, tanpa dukungan
sumber daya masyarakat maka lembaga sosial pembentuk undang-undang akan
ambruk, sehingga undang-undang yang dihasilkan pun tidak akan sempurna.
3.2 Saran
Dari pembahasan di atas dapat disarankan bahwa dalam suatu
pembentukan perundang-undangan harus diimbangi dengan hubungan yang baik
antara DPR-RI, DPD-RI, dan Presiden dan masyarakat yang menjadi
lingkungannya agar undang-undang yang dihasilkan dapat digunakan sebaik-
baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://bem-umk13.blogspot.com/2012/07/makalah-proses-pembentukan-
undang.html
https://zalirais.wordpress.com/2013/09/12/asas-asas-dan-teori-pembentukan-
perundang- undangan/
PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN
Disusun Oleh:
KELOMPOK 6 :JEMMY PRAYOGO
YESI WIGIARTI
WAHYU DWINUARI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014/2015