pembahasan gc fix

Upload: deriven-teweng

Post on 05-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

njhgfy

TRANSCRIPT

G. PEMBAHASANTujuan dari praktikum ini adalah menetapkan kadar eugenol dalam bunga kering atau daun Eugenia caryophyllata L. Merr. & Perry (Myrtaceae) secara destilasi uap (steam distillation).Pada percobaan ini dilakukan penambahan standar adisi yaitu penambahan baku eugenol sebanyak 100 mg pada masing-masing sampel (sampel A, B, C dan D) kecuali E yang berfungsi sebagai blanko. Pada sampel A diakukan penambahan eugenol pada saat sebelum dilakukan destilasi, penambahan eugenol pada sampel B dilakukan pada saat sebelum akan di partisi, sampel C dilakukan penambahan eugenol pada saat sebelum pemekatan, dan sampel D ditambahka eugenol sebelum akan di determinasi. Sedangkan sampel E tidak diberi penambahan standar eugenol karena sampel E yang akan dijadikan pembanding dengan hasil kadar eugenol dengan sampel yang dilakukan penambahan.Tujuan dari penambahan standar eugenol pada sampel adalah untuk mengetahui akurasi dari hasil yang didapat berkaitan dengan persen recovery, serta untuk mengetahui tahapan proses kerja yang memiliki kesalahan terbesar dalam pengerjaan.Langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum ini adalah :

1. Destilasi UapDestilasi adalah suatu metode pemisahan dua atau lebih senyawa yang tidak bercampur, berdasarkan perbedaan titik didihnya serta tekanan uapnya, sehingga dapat digunakan dalam proses pemurnian suatu senyawa dari campurannya. Dalam destilasi, campuran zat dididihkan sehingga menguap dan uap ini kemudian didinginkan kembali dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dahulu. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa suatu larutan, masing-masing komponennya akan menguap pada titik didihnya.Destilasi uap merupakan istilah yang umum digunakan untuk destilasi campuran air dengan senyawa yang tidak larut dalam air, dengan cara mengalirkan uap air ke dalam campuran sehingga seyawa yang dapat menguap akan berubah menjadi uap pada temperatur yang lebih rendah. Dengan adanya tekanan uap campuran dari 2 senyawa, titik didih senyawa akan menjadi lebih rendah sehingga waktu yang diperlukan untuk mendapat destilat yang diinginkan menjadi lebih cepat. Pada percobaan ini digunakan destilasi uap karena eugenol yang akan diisolasi dari daun cengkeh memiliki titik didih yang tinggi yakni sekitar 253,2 oC, sehingga apabila digunakan destilasi biasa dikhawatirkan dapat merusak analit yang digunakan.Eugenol yang terkandung dalam minyak cengkeh dapat dipisahkan dengan teknik destilasi uap karena eugenol dapat berikatan dengan uap air sehingga akan ikut terkondensasi pada destilat bersama uap air yang mengikatnya. Selain itu, sifat eugeol yang sedikit larut dalam air karena sifatnya yang cenderung nonpolar dapat memudahkan pemisahannya dengan air.Prinsip kerja destilasi uap ialah secara termodinamika, dimana suatu larutan zat yang tidak dapat bercampur dengan air dipanaskan, pendidihannya akan mulai tampak bila tekanan uap totalnya sama dengan tekanan udara luar. Dalam hal ini, tekanan uap total merupakan jumlah dari tekanan uap masing-masing komponen. Oleh karena itu, tekanan uap campuran selalu akan lebih besar dari tekanan uap yang diberikan oleh masing-masing komponen dalam campuran. Hal ini akan menyebabkan titik didih campuran akan lebih rendah dibandingkan titik didih masing-masing senyawa dalam campuran tersebut. Air mendidih pada suhu 100oC pada tekanan 760 mmHg, sedangkan eugenol akan menguap pada suhu 100oC pada tekanan 4 mmHg. Sehingga suhu destilasi uap pada umumnya lebih rendah dari 100oC.Langkah awal yaitu menimbang lima sampel cengkeh yang akan diberi perlakuan yang berbeda, dengan tujuan untuk mengamati kesalahan pada setiap tahap. Serbuk cengkeh yang telah dihomogenkan dimasukkan ke dalam labu alas bulat, ditambah aquadest dan batu didih. Aquadest digunakan sebagai pembawa eugenol karena tekanannya lebih tinggi dari eugenol sehingga eugenol akan terbawa bersama dengan aquadest ke dalam erlenmeyer pada saat proses destilasi. Batu didih ditambahkan dengan tujuan agar pemanasan saat destilasi merata. Adanya uap air yang dihasilkan akan meningkatkan tekanan uap campuran dimana jumlah tekanan uap senyawa organic dengan tekanan uap air akan sama dengan 1 atm, saat itulah akan terjadi proses pendidihan. Selain itu, dengan adanya tekanan uap air maka senyawa atau komponen yang terlarutkan oleh uap air akan berikatan dengan uap air dan ikut terkondensasi dengan adanya pendinginan dari pendingin liebig.Air dialirkan pada pendingin Liebig dengan tujuan agar uap yang dihasilkan dari proses pemanasan dapat mengalami pendinginan sempurna sehingga menjadi cairan yang akan ditampung dalam erlenmeyer, di mana zat yang tertampung adalah aquadest bersama analit yang diharapkan. Beberapa keuntungan dai destilasi uap adalah kemudahan uap air untuk berpenetrasi ke dalam jaringan untuk membawa keluar zat aktif yang diinginkan, pebebasan minyak yang lebih mudah serta mampu melindungi minyak dari proses oksidasi. Sedangkan kekurangan dari destilasi uap ialah peralatannya yang rumit, serta ketel penghasil uap yang memerlukan kontruksi yang kuat serta alat pengaman yang baik dibandingkan metode penyulingan yang lain.Destilasi dilakukan sampai tidak tercium bau eugenol pada uap air yang menandakan semua eugenol sudah terdestilasi dan tertampung dalam destilat. Kemudian dilakukan penambahan NaCl yang berfungsi untuk mengurangi kelarutan eugenol dalam air karena kelarutan NaCl yang lebih larut dengan air dibanding eugenol, sehingga NaCl dapat mendesak eugenol untuk keluar dari air dan jumlah eugenol terlarut diklorometan menjadi lebih banyak, proses ini juga dapat disebut salting out.Destilat kemudan dipindahkan ke corong pisah untuk dilakukan proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan metode pemisahan yang melibatkan perpindahan senyawa dari satu fase ke fase yang lain. Jika cairan dari dua fase tersebut tidak saling bercampur, maka metode pemisahan tersebut dinamakan ekstraksi cair-cair. Pada metode ekstraksi cair-cair digunakan pelarut dengan beberapa syarat yaitu pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan analit, serta antara pelarut 1 dan pelarut 2 tidak boleh saling bercampur. Pada percobaan ini, pelarut yang digunakan adalah aquadest dan diklorometan (CH2Cl2). Diklorometan merupakan pelarut organik yang tidak dapat larut dalam air karena sifat nonpolarnya yang sangat tinggi. Dalam hal ini, minyak eugenol yang didapatkan akan larut pada pelarut diklorometan. Pada corong pisah, terbentuklah dua lapisan dimana lapisan diklorometan akan berada di atas karena memiliki berat jenis yang lebih rendah dari air (massa jenis eugenol 0,9994 g/ml pada suhu 30oC).Kedua lapisan kemudian dipisahkan kemudian ekstraksi diulangi sebanyak dua kali, diklormetan hasil ekstraksi digabungkan. Lapisan diklormetan hasil ekstraksi ini ditambahkan natrium sulfat exicc yang berfungsi untuk mengikat air yang masih ada pada campuran eugenol dan diklorometan. Natrium sulfat yang digunakan terlebih dahulu dikeringkan dalam oven untuk menguapkan air dari udara yang telah diserap oleh natrium sulfat sehingga natrium sulfat tidak jenuh dan dapat menyerap air pada sampel eugenol dengan optimal. Pada saat pengojokan pada proses ini rawan untuk terbentuk emulsi dan menimbulkan busa. Hal ini disebabkan adanya kandungan saponin pada cengkeh yang apabila tercampur dan membentuk emulsi dapat menimbulkan busa karena sifat saponin yang bila terkena air akan menimbulkan busa.

2. PartisiPada sampel B, ditambahkan 100 mg eugenol, dan karena diketahui massa jenis eugenol adalah 0,9994 g/ml, 100 mg eugenol setara dengan 0,1 ml eugenol. Penambahan eugenol berfungsi sebagai standar adisi untuk proses partisi.Tujuan dilakukan partisi adalah melihat distribusi dari eugenol pada dua fase yang berbeda kepolarannya. Larutan diklorometan yang mengandung eugenol ditambahkan larutan 5% KOH dengan tujuan agar eugenol menjadi garam dan terlarut dalam fase air di mana pengotor yang bersifat basa akan terlarut ke dalam diklormetan. Reaksi yang terjadi antara eugenol dan KOH yaitu :

Eugenolkalium hidroksidakalium eugenolatair(Guether, 1990).Proses ini dimaksudkan untuk memisahkan pengotor-pengotor yang dapat larut dalam dikorometan karena masih ada kemungkinan pengotor yang nonpolar dan pengotor basa lain yang terdapat dalam lapisan diklorometan. Pada saat penambahan KOH terjadi reaksi eksotermis.Lapisan diklormetan dan lapisan air dipisahkan, kemudian lapisan diklormetan dimasukkan ke dalam corong pisah dan diekstrak kembali dengan larutan 5% KOH sebanyak dua kali untuk memastikan semua garam kalium eugenolat yang terdapat di dalam lapisan diklorometan telah diisolasi secara maksimal. Lapisan air yang diperoleh digabungkan, sedangkan lapisan diklorometan yang sudah diekstrak dengan 5% KOH tadi dibuang karena diasumsikan bahwa garam eugeol seluruhnya telah masuk ke lapisan air. Lapisan air kemudian diasamkan dengan HCl 6 M hingga pH larutan menjadi 1 sehingga garam eugenolat akan kembali menjadi bentuk molekul eugenol dan kemudian saat ditambahkan diklormetan, eugenol dapat terlarut ke dalam diklormetan. Reaksinya:

Kalium eugenolat asam kloridaeugenolkalium klorida

Pengasaman dengan HCl mengubah bentuk garam eugenol (bentuk ionnya) menjadi bentuk molekul eugenolnya kembali dimana perbandingan konsentrasi ion dan molekulnya dapat diketahui dengan persamaan Handerson-Hasselbaach yaitu :pH = pKa + log Kemudian lapisan diklorometan yang mengandung eugenol tersebut diambil. Dilakukan ekstraksi dua kali dengan diklormetan untuk memaksimalkan jumlah eugenol yang terlarut di dalam diklormetan. Penggojogan pada saat ekstraksi dilakukan dengan kekuatan sedang dan searah. Tujuannya yaitu untuk menarik eugenol dari fase air tanpa menimbulkan emulsi pada larutan, karena apabila terbentuk emulsi maka akan mempersulit pemisahan antara fase air dengan fase diklorometan.Terbentuknya emulsi dapat diatasi dengan penambahan NaCl untuk memecah emulsi karena NaCl dapat menarik fase airnya dan mengumpulkannya menjadi satu. Selain itu juga dapat dilakukan pemanasan ataupun elektrodialisis, tetapi kedua cara ini dapat mengganggu atau merusak stabilitas eugenol. Dalam percobaan, tidak terbentuk emulsi, sehingga pemisahan dapat langsung dilakukan. Lapisan diklormetan yang diperoleh, digabung dan dicuci dengan aquadest dengan tujuan untuk menghilangkan pengotor-pengotor polar yang larut dalam fase air yang mungkin masih terbawa dalam fase diklorometan. Fase diklorometan yang sudah dipisahkan dari fase air tersebut kemudian ditambah dengan larutan setengah jenuh natrium klorida yang dibuat dengan mencampurkan NaCl jenuh dengan aquadest. Pencucian dengan larutan NaCl setengah jenuh dapat mengikat sisa kotoran dan menurunkan kelarutan eugenol dalam air sehingga tidak terdapat fase air yang tertinggal dalam lapisan diklormetan. Setelah itu, ditambahkan natrium sulfat anhidrat untuk mengikat sisa-sisa fase air yang terdapat dalam larutan diklorometan. Natrium sulfat anhidrat dibuat dengan cara mengeringkan serbuk natrium sulfat dalam oven pada suhu 100oC supaya benar-benar dapat membebaskan senyawa tersebut dari air.

3. PemekatanSetelah dipartisi larutan yang didapatkan dari hasil partisi dipekatkan dengan menggunakan vaccum rotary evaporator. Sebelum proses pemekatan, hasil destilasi C ditambah dengan 100 mg eugenol atau sama dengan 0,1 ml eugenol sebagai standar adisi. Tujuan dari pemekatan ini yaitu untuk menghilangkan pelarut (diklorometan) agar didapatkan senyawa yang murni, dalam praktikum ini yaitu eugenol. Prinsip dari vaccum rotary evaporator yaitu menurunkan tekanan sistem sehingga titik didih pelarut akan turun dan pelarut akan menguap dengan lebih cepat. Hal ini dapatmemungkinkan penguapan solven tanpa menimbulkan keruakan dalam pemansan suhu tinggi. Labu alas bulat diputar untuk memungkinkan penguapan yang lebi optimal (Ledgard, 2006).Selain itu dengan di rotary maka luas permukaan penguapan juga semakin luas sehingga pemekatan dapat dilakukan dalam waktu yang cukup singkat. Keuntungan lain dari penggunaan vaccum rotary evaporator ini yaitu akan didapatkan kembali pelarut yang diuapkan sehingga nantinya dapat digunakan lagi. Destilasi dihentikan ketika di dalam labu alas bulat tinggal tersisa sedikit cairan bewarna kuning (eugenol pekat). Hal ini berarti pelarut diklorometan sudah diuapkan. Hasil pemekatan ini menghasilkan eugenol yang lebih murni dibandingkan hasil partisi. Setelah dipekatkan eugenol yang didapat dimasukkan dalam labu takar 10ml, ditambahkan heksan hingga batas tanda kemudian siap dideterminasi dengan kromatografi gas.Berdasarkan terjadinya destilasi, proses ini menggunakan hukum Roult yang menyatakan Tekanan uap larutan ideal dipengaruhi oleh tekanan uap pelarut dan fraksi mol zat terlarut yang terkandung dalam larutan tersebut. Secara matematis ditulis dengan rumus :Plarut = Xterlarut . PterlarutTekanan total campuran gas merupakan jumlah tekanan parsial masing-masing komponen sesuai dengan hukum Roult.4. DeterminasiSelanjutnya dilakukan determinasi, tujuan dari determinasi adalah untuk mengetahui keakuratan hasil senyawa yang telah di ekstraksi. Karena hasil ekstraksi tidak pernah terbebas dari pengotor.Teknik kuantifikasi ada 4 yaitu standar eksternal, standar internal, standar adisi dan normalisasi internal. Pada standar eksternal senyawa yang digunakan sama dengan senyawa yang dianalisis dalam sampel. Standar eksternal digunakan dalam praktikum ini untuk mendapatkan kurva baku sehingga didapat persamaan baku untuk menghitung kadar sampel. Pada standar internal senyawa yang digunakan berbeda dengan senyawa yang dianalisis dalam sampel. Harus dapat terpisah sempurna pada proses komatografi. Syarat standar internal struktur yang mirip analit yaitu memiiki waktu retensi mirip analit, tidak terdapat dalam sampel awal dan dapat me-mimic analit di setiap tahapan preparasi sampel. Pada standar adisi senyawa yang ditambahkan sama dengan senyawa analit yang ada pada matriks. Pada praktikum digunakan standar adisi.Parameter validasi metode menurut ICH (International Conference on Harmonization) : 1. Ketepatan (akurasi)Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau nilai rujukan. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada suatu pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu sampel. Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan membandingkan hasil pengukuran dengan bahan rujukan standar (standard reference material, SRM).Untuk mendokumentasikan akurasi, ICH merekomendasikan pengumpulan data dari 9 kali penetapan kadar dengan 3 konsentrasi yang berbeda (misal 3 konsentrasi dengan 3 kali replikasi). Data harus dilaporkan sebagai persentase perolehan kembali.Pada percobaan kali ini akurasi didapatkan dari perhitungan persen recovery tiap-tiap tahap yang dilakukan.2. PresisiPresisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda signifikan secara statistik. Sesuai dengan ICH, presisi harus dilakukan pada 3 tingkatan yang berbeda yaitu: keterulangan (repeatibility), presisi antara (intermediate precision) dan ketertiruan (reproducibility)a. Keterulangan yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang sama (berulang) baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya.b. Presisi antara yaitu ketepatan (precision) pada kondisi percobaan yang berbeda, baik orangnya, peralatannya, tempatnya, maupun waktunya.c. Ketertiruan merujuk pada hasil-hasil dari laboratorium yang lain.Dokumentasi presisi seharusnya mencakup: simpangan baku, simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (CV), dan kisaran kepercayaan.Pengujian presisi pada saat awal validasi metode seringkali hanya menggunakan 2 parameter yang pertama, yaitu: keterulangan dan presisi antara. Reprodusibilitas biasanya dilakukan ketika akan melakukan uji banding antar laboratorium. Presisi seringkali diekspresikan dengan SD atau standar deviasi relatif (RSD) dari serangkaian data. Nilai RSD dirumuskan dengan :RSD = ; yang mana x merupakan rata-rata data dan SD adalah standar deviasi serangkaian data.Data untuk menguji presisi seringkali dikumpulkan sebagai bagian kajian-kajian lain yang berkaitan dengan presisi seperti linieritas atau akurasi. Biasanya replikasi 6-15 dilakukan pada sampel tunggal untuk tiap-tiap konsentrasi. Pada pengujian dengan KCKT, nilai RSD antara 1 - 2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa aktif dalam jumlah yang banyak; sedangkan untuk senyawa-senyawa dengan kadar sekelumit, RSD berkisar antara 5 - 15%.Pada praktikum kali ini tidak diketahui presisi nya karena praktikan tidak melakukan replikasi untuk sampel yang dianalisis.3. SpesifitasSpesifitas adalah kemampuan untuk mengukur analit yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya komponen-komponen lain dalam matriks sampel seperti ketidakmurnian, produk degradasi, dan komponen matriks.ICH membagi spesifitas dalam 2 kategori, yakni uji identifikasi dan uji kemurnian atau pengukuran. Untuk tujuan identifikasi, spesifitas ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang mempunyai struktur molekul yang hampir sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan (sebagaimana dalam kromatografi). Senyawa-senyawa tersebut biasanya adalah komponen utama atau komponen aktif dan atau satu pengotor. Jika dalam suatu uji terdapat suatu pengotor (impurities) maka metode uji harus tidak terpengaruh dengan adanya pengotor ini.Penentuan spesifitas metode dapat diperoleh dengan 2 jalan. Yang pertama (dan yang paling diharapkan), adalah dengan melakukan optimasi sehingga diperoleh senyawa yang dituju terpisah secara sempurna dari senyawa senyawa lain (resolusi senyawa yang dituju 2). Cara kedua untuk memperoleh spesifisitas adalah dengan menggunakan detektor selektif, terutama untuk senyawa senyawa yang terelusi secara bersama sama. Sebagai contoh, detektor elektrokimia atau detektor flouresen hanya akan mendeteksi senyawa tertentu, sementara senyawa yang lain tidak terdeteksi.

4. Batas Deteksi (limit of detection, LOD)Merupakan parameter sensitivitas untuk validasi metode analisis yang menunjukkan konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi dan memberikan respon yang sama dengan respon blanko ditambah dengan 3 simpangan baku blanko. Batas deteksi juga dapat didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah yang masih dapat dideteksi namun tidak selalu dapat dikuantifikasi, artinya batas deteksi hanya dapat menentukan ada atau tidaknya suatu senyawa dalam komponen-komponen hasil pemisahan (secara kualitatif), kalaupun didapat data kuantitatif kemungkinan kesalahannya lebih besar dibandingkan dengan sampel yang konsentrasinya dianalisis diatas batas kuantifikasi (LOQ). Nilai LOD didapat dari persamaan kurva baku seri larutan standar eugenol, dengan nilai y merupakan hasil penjumlahan intersep (A) dan 3 simpangan baku blanko. Simpangan baku (Sb) sendiri diperoleh dari rumus berikut :

y :nilai AUC pada masing-masing konsentrasi:nilai y untuk masing-masing konsentrasin :banyaknya konsentrasi yang digunakanNilai LOD yang diperoleh dari percobaan ini adalah -2.2209 x 10-3 g/ml, dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode yang digunakan dapat mendeteksi ada tidak nya analit dalam sampel dengan konsentrasi terendah sebesar -2.2209 x 10-3 g/ml.LOD seringkali diekspresikan sebagai suatu konsentrasi pada rasio signal terhadap derau (signal to noise ratio) yang biasanya rasionya 2 atau 3 dibanding 1. ICH mengenalkan suatu konvensi metode signal to noise ratio ini, meskipun demikian ICH juga menggunakan 2 metode pilihan lain untuk menentukan LOD yakni : metode non instrumental visual dan dengan metode perhitungan. Metode non instrumental visual digunakan pada teknik kromatografi lapis tipis dan pada metode titimetri. LOD juga dapat dihitung berdasarkan pada standar deviasi (SD) respon dan kemiringan (slope, S) kurva baku pada level yang mendekati LOD sesuai dengan rumus, LOD = 3,3 (SD/S). Standar deviasi respon dapat ditentukan berdasarkan pada standar deviasi blanko, pada standar deviasi residual dari garis regresi, atau standar deviasi intersep y pada garis regresi.

5. Batas Kuantifikasi (limit of quantification, LOQ)LOQ juga merupakan parameter sensitivitas, sama seperti LOD. Batas kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. Sebagaimana LOD, LOQ juga diekspresikan sebagai konsentrasi (dengan akurasi dan presisi juga dilaporkan). Kadang kadang rasio signal to noise 10 : 1 digunakan untuk menentukan LOQ. Perhitungan LOQ dengan rasio signal to noise 10 : 1 merupakan suatu kompromi antara konsentrasi dengan presisi dan akurasi yang dipersyaratkan. Jadi, jika konsentrasi LOQ menurun maka presisi juga menurun, jika presisi tinggi dipersyaratkan, maka konsentrasi LOQ lebih tinggi harus dilaporkan.ICH mengenalkan metode rasio signal to noise ini, meskipun demikian sebagaimana dalam perhitungan LOD, ICH juga menggunakan 2 metode pilihan lain untuk menentukan LOQ yaitu: (1) metode non instrumental visual dan (2) metode perhitungan. Sekali lagi, metode perhitungan didasarkan pada standar deviasi respon (SD) dan slope (S) kurva baku sesuai dengan rumus : LOQ = 10 (SD/S). Standar deviasi respon dapat ditentukan berdasarkan standar deviasi blanko pada standar deviasi residual garis regresi linier atau dengan standar deviasi intersep y pada garis regresi. Dari hasil perhitungan, didapatkan nilai LOQ sebesar 0.0283 g/ml, artinya batas kadar terendah yang dapat dideteksi dan dikuantifikasi oleh metode yang digunakan adalah 0.0283 g/ml.6. LinieritasLinieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Linieritas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi yang menghubungkan antara respon (y) dengan konsentrasi (x). Linieritas dapat diukur dengan melakukan pengukuran tunggal pada konsentrasi yang berbeda beda. Data yang diperoleh selanjutnya diproses dengan metode kuadrat terkecil, untuk selanjutnya dapat ditentukan nilai kemiringan (slope), intersep, dan koefisien korelasinya. Linear atau tidaknya data yang diperoleh dapat ditunjukkan dengan nilai rhitung yang diperoleh sebesar 0,999. Pada percobaan kali ini, diperoleh persamaan kurva baku seri larutan standar eugenol dengan respon berupa luas area bawah kurva/AUC (y) yaitu y = 0,00602x 0,0153 dengan nilai r hitung 0,9972 sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis telah memenuhi parameter linearitas.

7. Kisaran (range)Kisaran suatu metode didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analisis menunjukkan akurasi, presisi, dan linieritas yang mencukupi. Kisaran kisaran konsentrasi yang diuji tergantung pada jenis metode dan kegunaannya. Untuk pengujian komponen utama (mayor), maka konsentrasi baku harus diukur di dekat atau sama dengan konsentrasi kandungan analit yang diharapkan.

Pada praktikum ini penambahan standar yaitu standar adisi yang bertujuan untuk mengetahui persen recovery dari empat tahap yaitu destilasi, partisi, pemekatan, dan determinasi. Untuk mengetahui persen recovery dari setiap tahap dilakukan perhitungan dari determinasi terlebih dahulu. Dari setiap tahap dicari % recovery dengan rumus :

Dari hasil tersebut dapat ditentukan % kesalahan yang terjadi dari tahap determinasi dengan cara mengurangkan 100% dengan hasil recovery yang didapat. Untuk mencari % recovery yang terjadi pada pemekatan, partisi dan destilasi dilakukan dengan cara mengurangkan 100% dengan % kesalahan dari masing-masing tahap (pemekatan, partisi, dan destilasi). Persen kesalahan masing-masing tahap didapat dari 100% dikurangkan dengan jumlah % kesalahan dari tahap sebelumnya dengan % recovery dari masing-masing sampel (A, B, C, D, dan E).Selain standar adisi, pada praktikum ini juga digunakan standar eksternal yaitu baku eugenol. Dibuat seri larutan standar dari baku eugenol dengan 5 level konsentrasi kemudian dihitung AUC yang didapat dengan kromatografi gas, sehingga didapatkan persamaan regresi linear nya yaitu y = 0,00602x 0,0153. Dari persamaan ini bisa didapatkan konsentrasi sampel yang diuji dengan memasukan AUC sampel sebagai y dan didapat x yang merupakan konsentrasi sampel.Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solute solute yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solute akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solute dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solute dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detector. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada kisaran 500C 3500C) bertujuan untuk menjamin bahwa solute akan menguap dan karenanya akan lebih cepat terelusi (Gandjar, 2013).Kegunaan umum kromatografi gas yaitu untuk melakukan pemisahan dinamis dan diidentifikasi semua jenis senyawa organik yang mudah menguap dan juga untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran.Ada 2 jenis kromatografi gas : Kromatografi gas cair (KGC), dimana fase diam yang digunakan adalah cairan yang diikatkan pada suatu pendukung sehingga solut akan terlarut dalam fase diam. Mekanisme sorpsinya adalah partisi. Kromatografi gas padat (KGP), digunakan fase diam padatan. Mekanisme sorpsinya adalah absorpsi.Dalam praktikum ini digunakan kromatografi gas padat (KGP).Proses pelebaran pita solut dalam sistem kromatografi dapat dijelaskan dengan teori kinetik. Dalam teori tersebut, difusi solut dalam sistem kromatografi sangat berpengaruh dalam proses pelebaran pita.Penyebab pelebaran puncak : Difusi EddyPenyebaran molekul analit dalam kolom karena paking kolom yang tidak seragam, sehingga analit mengambil jalan yang tidak sama panjangnya. Difusi LongitudinalDifusi kesamping solut dalam kolom. Jadi solut bergerak tidak searah dengan fase gerak namun bergerak ke samping dari arah gerakan fase gerak. Efek transfer massaPenyebaran analit karena laju alir fase gerak tidak sama di semua bagian.Faktor yang memengaruhi pelebaran pita : Memperkecil difusi Eddy : memperkecil ukuran partikel dan menyeragamkan ukurannya ; menggunakan kolom dengan packing density tinggi dan homogen. Memperkecil longitudinal difusion : memperkecil ukuran partikel dan menyeragamkan ukurannya ; menggunakan kolom dengan packing density tinggi dan homogen ; menurunkan suhu ; menaikkan kecepatan alir fase gerak. Efek transfer massa : memperkecil ukuran partikel dan menyeragamkan ukurannya ; menggunakan kolom dengan packing density tinggi dan homogen ; menurunkan suhu ; kecepatan fase gerak diperlambat ; mengecilkan diameter kolom ; lapisan fase gerak dibuat tipis.(Day dan Underwood, 2002)Kromatografi gas, baik tipe kromatografi gas cair (KGC) maupun kromatografi gas padat (KGP) memiliki beberapa komponen peralatan utama, yaitu pengontrol dan penyedia gas pembawa; ruang injeksi sampel; kolom, detector dan rekorder. Susunan komponen komponen tersebut dapat digambarkan melalui diagaram di bawah ini :(Meyers, 2009).

1. Gas pembawaDisebut juga sebagai fase gerak dalam system kromatografi gas. Fase gerak hanya digunakan untuk membawa solute dalam sampel menuju ke kolom, sehingga sifatnya tidak berpengaruh pada selektifitas. Syarat dari fase gerak yaitu inert, murni dan dapat disimpan dalam tangki tegangan tinggi. Jenis gas pembawa yang biasa digunakan adalah helium, hydrogen dan nitrogen, pada percobaan kali ini gas pembawa yang digunakan adalah nitrogen (N2). Pemilihan gas pembawa sendiri disesuaikan dengan detector yang digunakan, karena pada percobaan ini dipakai detektor FID (ionisasi nyala), maka digunakan gas N2 sebagai fase geraknya. Gas pembawa biasanya disimpan dalam suatu tangki bertekanan tinggi yang dihubungkan dengan alat pengontrol laju alir gas, karena laju alir dipengaruhi oleh factor suhu dan tekanan dan disesuaikan dengan diameter kolom yang digunakan. Pada tekanan yang tetap, naiknya suhu akan diikuti oleh kenaikan laju alir sehingga perlu dilakukan pengaturan suhu untuk menjaga kestabilan aliran gas ke dalam kolom. Masing- masing gas pembawa bekerja dengan efisien pada laju alir yang berbeda, untuk gas N2 akan bekerja efisien pada laju alir 10mL/menit (Gandjar,2007).2. InjektorMerupakan tempat untuk menghantarkan sampel ke dalam aliran gas pembawa. Metode penginjeksian sampel dapat dilakukan secara otomatis ataupun manual, seperti yang digunakan pada percobaan ini. Injeksi sampel menggunakan syringe mikroliter kedalam inlet yang suhunya sudah diatur, biasanya lebih tinggi dari suhu kolom sehingga setelah sampel diinjeksikan dapat segera menguap dan bergabung dengan gas pembawa menuju kolom. Jumlah sampel yang diinjeksikan sesuai dengan kolom yang dipakai, pada kolom kapiler sampel yang diinjeksikan 0,01 L sedangkan kolom kemas 1-100 L (Gandjar,2007).3. KolomKolom merupakan komponen sentral dalam kromatografi gas, dimana proses pemisahan terjadi. Efisiensi pemisahan ditentukan oleh diameter kolom, dimana makin kecil diameter kolom makin efisien pemisahan yang terjadi sehingga puncak kromatogram yang dihasilkan makin tajam. GC didasarkan pada 2 sifat senyawa yang dipisahkan yaitu kelarutan senyawa dalam cairan tertentu dan tekanan uapnya. Karena tekanan uap berbanding langsung dengan suhu, maka suhu merupakan faktor utama pada GC. Pengaturan suhu kolom dilakukan dengan memperhatikan kestabilan fase diam yang ada di dalamnya, sehingga tidak mempengaruhi pemisahan. Pengaturan suhu selama pemisahan dilakukan dengan 2 cara, yakni pemisahan isotermal, yaitu penggunaan suhu kolom yang tetap selama pemisahan, dan pemisahan suhu terprogram, menggunakan suhu yang berubah secara terkendali. Pemisahan suhu terprogram lebih menguntungkan karena mampu meningkatkan resolusi komponen-komponen dalam campuran yang memiliki kisaran titik didih yang luas, selain itu senyawa-senyawa dengan titik didih tinggi lebih cepat terelusi sehingga analisis berjalan lebih cepat. Pada percobaan ini menggunakan pemisahan isotermal karena suhu dijaga tetap dari awal hingga akhir pemisahan.Pemisahan isotermal paling baik digunakan pada analisis rutin atau bila banyak sifat sampel yang akan dipisahkan. Pemisahan isotermal digunakan bila suhu yang digunakan beberapa derajat dibawah titik didih komponen utama. 2 hal penting yang perlu diperhatikan terkait dengan penggunaan pemisahan isotermal, yaitu :1. Bila suhu yang digunakan terlalu tinggi maka komponen akan terelusi tanpa terpisah. Jika suhu terlalu rendah maka komponen yang bertitik didih tinggi akan keluar sangat lambat atau malah tertinggal dalam kolom2. Makin lama sampel dalam kolom maka makin lebar alas puncaknya.Terdapat 2 jenis kolom kromatografi gas, yaitu : Kolom kemas (packing coloumn), fase diam hanya dilapiskan pada penyangga atau berikatan secara kovalen pada penyangga untuk menghasilkan fase terikat. Kolom kapiler (capillary coloumn), memiliki diameter lebih kecil dari pada kolom kemas. Fase diam dapat dilapiskan pada dinding kolom pada jenis WCOT (Wall Coated Open Tube); pelapisan fase diam berupa butiran-butiran kecil pada dinding kolom SCOT; pelapisan fase diam berupa butiran-kecil berpori pada dinding kolom PLOT (Gandjar,2007).Hal lain yang tidak kalah pentingnya pada kolom adalah regenerasi kolom. Terlalu banyak dipakai maka akan ada kemungkinan terjadi penyumbatan pada kolom, terutama pada kolom kapiler. Apabila terjadi penyumbatan pada kolom, maka peru digunakan regenerasi kolom untuk mengembalikan kinerja kolom pada kondisi semula.Ada 3 cara regenerasi kolom, yaitu :1. Pemotongan kolomDilakukan bila terjadi penyumbatan pada ujung depan kolom. Pengatasannya adalah dengan cara dilakukan pemotongan kolom. Biasanya dilakukan dengan pemotong intan yang ujungnya tajam.2. Pengkondisian (Conditioning)Bersifat memelihara kolom agar memiliki life time yang cukup lama. Dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum dan sesudah dianaisis. Suhu yang dipakai pada pengkondisian sebaiknya terprogram dengan kenaikan 5oC/menit sampai suhu operasional. Pada praktikum ini conditioning dilakukan selama 1 jam dengan suhu yang telah ditentukan.3. Pencucian kolomDigunakan untuk mencuci meterial-meterial pengotor pada kolom.

4. Detektor dan RekorderMerupakan komponen yang berfungsi untuk mendeteksi sinyal gas pembawa yang membawa komponen-komponen hasil pemisahan, kemudian mengubahnya menjadi sinyal elektronik yang digunakan sebagai data kualitatif dan kuantitatif. Respon/sinyal yang dihasilkan detector merupakan hubungan yang linier terhadap kadar komponen yang teresolusi. Hasil pemisahan disajikan dalam bentuk kromatogram yang terdiri dari deretan luas puncak terhadap waktu. Terdapat beberapa jenis detector kromatografi gas, diantaranya detector hantar panas (TCD), detector ionisasi nyala (FID), detector tangkap elektron (ECD), dan detektor nitrogen fosfor (NPD). Detektor yang digunakan kali ini adalah FID, komponen-komponennya dapat ditunjukkan melalui gambar berikut :

Gambar :Komponendetektor FIDPada detektor FID, prinsipnya adalah penguraian senyawa organic sampel yang terbawa oleh gas menjadi ion-ion melalui pembakaran, berupa nyala hidrogen yang terbakar di udara. Ion-ion ini biasanya terdiri atas satu karbon (C) yang dapat meningkatkan daya hantar serta arus listrik yang mengalir diantara 2 elektroda. Peningkatan arus listrik kemudian akan diukur dan direkam oleh rekorder. Pengaturan suhu detector juga perlu diperhatikan dimana suhunya harus diatur di atas 1000 C untuk mencegah kondensasi uap air yang dapat menyebabkan munculnya karat serta mengurangi sensitifitas detektor (Gandjar,2007).Kolom yang digunakan pada percobaan kali ini adalah jenis kolom DB 17 50%- phenyl methyl polysiloxanes. Polysiloxanes adalah jenis kolom yang paling umum digunakan. Jenis kolom ini lebih stabil, mampu mendeteksi banyak jenis senyawa (lebih serba guna) serta memiliki ketahanan yang kuat. 50% - phenyl methyl berarti polysiloxanes yang memiliki cabang 50% phenyl dan 50% methyl. Fase diam ini termasuk golongan semi polar. Kolom DB-17 polysiloxanes menggunakan teknik bonded dan cross linked. Teknik cross-linked adalah fase diam yang terikat secara individual terhadap rantai polimer melalui ikatan kovalen. Teknik bonded adalah fase diam yang berikatan secara kovalen terhadap permukaan pipa/kolom. Kedua teknik tersebut mengakibatkan kenaikkan suhu dan meningkatkan stabilitas pelarut terhadap fase diam. Fase diam dapat dibilas menggunakan pelarut untuk dibersihkan dari pengotor. Fase gerak jenis 50%-phenyl methyl polysiloxanes biasanya digunakan untuk memisahkan senyawa dengan gugus fenil yang dominan dan memiliki stabilitas suhu yang tinggi (Anonim, 2014).Instrumen GC memiliki kelebihan yaitu :1. Cepat, akurat dan reprodusibel2. Sampel yang dibutuhkan sedikit3. Sensitif dan selektif4. Hasil pemisahan relatif baik5. Banyak piliha detektor dan kolom6. Temperatur dapat diukurInstrumen GC juga memiliki kekurangan yaitu :1. Tidak dapat menganalisis senyawa yang termolabil2. Hanya untuk analit yang bersifat mudah menguap3. Alat mahal dan tidak sederhanaBerdasarkan hasil yang diperoleh, didapatkan kurva baku . Dengan nilai LOD -2.2209 x 10-3 g/ml dan juga nilai LOQ 0.0283 g/ml. Nilai AUC yang didapatkan pada sampel A, B, C, D, E1 dan E2 secara berurutan adalah 0,047 ; 0,097 ; 0,146 ; 0.032 ; 0,097 ; 0,133, sehingga kadar dari sampel A, B, C, D, E1 dan E2 adalah 2.58721 ppm, 1.86545 ppm, 74.43373 ppm, 39.2855 ppm, 1.86545 ppm, dan 12.31728 ppm. Jumlah eugenol dalam sampel tersebut sebesar 0.01294 mg, 0.02123 mg, 0.37217 mg, 0.19643 mg, 0.01103 mg, 0.06159 mg.Seharusnya pada sampel A mengandung eugenol yang lebih sedikit dari sampel B, C, dan D. Karena sampel A diadisi dengan standar eugenol pada awal destilasi, sehingga kemungkinan hilangnya eugenol jauh lebih banyak dibandingkan sampel B, C, dan D. Tetapi pada praktikum kali ini diperoleh jumlah eugenol sampel A lebih banyak daripada sampel B. Hal ini disebabkan karena pada tahap partisi, sampel A terkontaminasi oleh pengotor. Seharusnya sampel D mengandung kadar eugenol tertinggi karena penambahan standar eugenol sebagai standar adisi dilakukan sebelum determinasi. Namun, pada praktikum didapat hasil bahwa sampel D memiliki kadar lebih kecil dari sampel C. Nilai dari % kesalahan yang didapatkan berdasarkan hasil percobaan pada tahap destilasi, pemekatan, partisi, dan determinasi secara berurutan adalah -0.009898 % , 3.5094 x10-3 % , -1.7574x10-3 % , -1.854x10-3 %. Nilai % kesalahan total yang didapatkan adalah sebesar 99,99%. Berdasarkan data yang didapatkan maka masih terdapat kesalahan yang cukup besar pada metode pemekatan (56,726%) dan partisi (26,548%). Sehingga perlu dilakukan optimasi metode pada bagian pemekatan dan partisi sehingga pada akhirnya akan didapatkan nilai % kesalahan yang relatif kecil dan total dari % recovery yang didapatkan relatif akan lebih besar.Beberapa faktor yang dapat meningkatkan ketidaktepatan dan ketidaktelitian dalam pengukuran adalah : Penimbangan yang tidak benar, demikian juga pemindahan analit dan baku yang tidak sesuai Ekstraksi analit dari suatu matriks yang tidak efisien Penggunaan alat yang tidak benar Pengukuran menggunakan alat yang tidak terkalibrasi Kegagalan dalam melakukan analisis blanko Pemilihan kondisi pengukuran yang menyebabkan kerusakan analit Kegagalan untuk menghilangkan gangguan oleh bahan tambahan dalam pengukuran analit(Gandjar, 2007).

H. KESIMPULANKadar eugenol yang didapatkan dalam percobaan kali ini untuk sampel A, B, C, D, E1 dan E2 adalah 2.58721 ppm, 1.86545 ppm, 74.43373 ppm, 39.2855 ppm, 1.86545 ppm, dan 12.31728 ppm. Nilai LOD dan LOQ yang didapat adalah -2.2209 x 10-3 g/ml dan 0.0283 g/ml dengan % kesalahan total 99.99%.

Daftar PustakaAnonim, 2014, Columnphases-GC, http://www2.unine.ch/files/content/sites/saf/files/shared/ documents/ColumnPhases-GC.pdf, diakses pada tanggal 2/3/2015.Day, R. A., Underwood, A. L., 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi 6, Erlangga, Jakarta, hal. 497.Gandjar, I.G., danRohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 421, 437, 48, 49.Guether, E., 1990, Minyak Atsiri, Jilid III, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 242.Ledgard, Jared, B., 2006, Prinsip-prinsip Kimia Modern, Erlangga, Jakarta, hal. 177-178.Meyers, R.A., 2009, Encyclopedia of Analytical Chemistry, John Wiley & Sons Ltd, Chicester, p.40.