pemahaman hadis tentang larangan membaca dan...
TRANSCRIPT
PEMAHAMAN HADIS TENTANG LARANGAN
MEMBACA DAN MENYENTUH MUSHAFAL-QUR’AN
SAAT HAID (STUDI KASUS MAHASISWI PESANTREN
TAKHASSUS IIQ JAKARTA)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S.Ag)
OLEH:
TUTI ATIANTI
NIM: 1113034000196
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
ḏ de dengan garis bawah ض
ṯ te dengan garis bawah ط
ẕ zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap kanan ´ ع
gh ge dan ha غ
f ef ؼ
q ki ؽ
k ka ؾ
l el ؿ
m em ـ
n en ف
w we و
ػه h ha
apostrof ` ء
y ye ي
iv
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah ـ
i Kasrah ـ
u ḏammah ـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ـ
ai a dan i
و ـ
au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ػػػػػػػػػػػػػػا
î i dengan topi di atas ـــي
û u dengan topi di atas ـــو
D. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu اؿ, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
v
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-Rijâl bukan ar-Rijâl, al-
Diwân bukan ad-Diwân.
E. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda (ـ) dalam alih aksara ini dilambangkan
dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah
itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya, kata ,tidak ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah الضرورة
demikian seterusnya.
F. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na´t) (lihat contoh 2). Namun, jika
huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريػقة 1
ميةالجاملة اإلسل 2 Al-Jâmilah al-Islâmiyyah
Wahdat al-Wujûd وحدة الوجود 3
vii
ABSTRAK
Tuti Atianti
Pemahaman Hadis Tentang Larangan Membaca dan Menyentuh Mushaf al-
Qur’an Saat Haid (Studi Kasus Mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ
Jakarta)
Pelarangan bagi perempuan haid membaca dan menyentuh mushaf al-
Qur’an adalah bentuk adanya adab dalam berinteraksi dengan al-Qur’an, tentunya
ini dikarenakan al-Qur’an yang sifatnya suci, yang mana jika dikaitkan dengan
permasalahan haid tentu hal ini akan selaras karena sifat haid yang kotor dan
berupa hadas besar yang dialami setiap bulannya oleh perempuan haid. Namun
dewasa ini, dalam aplikasi kesehariannya masyarakat berbeda-beda, contohnya
saja pada lembaga seperti pesantren yang backgroundnya adalah al-Qur’an,
kadangkala dalam aplikasinya memilih adanya rukhsoh atau keringanan
dibolehkannya perempuan haid tetap belajar al-Qur’an.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian field research (penelitian
lapangan) dengan pendekatan kuantitatif. Sedangkan pada pengambilan
sampelmenggunakan metode purposive sampling sehingga pada penelitian ini
yang menjadi koresponden penelitian adalah mahasiswi IIQ semester II prodi
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, dengan jumlah sampel 80 mahasiswi yang diambil dari
100 populasi. Adapun penyelesaiannya menggunakan perhitungan skala likert
yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.
Hasil penemuan pada penelitian ini bahwasanya pada tingkat pengetahuan
mahasiswi IIQ terkait hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf al-Qur’an
tidak sejalan dengan pemahaman nya, artinya mereka mengetahui terdapat hadis
yang melarang perempuan haid membaca dan menyentuh mushaf al-Qur’an akan
tetapi pada tingkat pemahaman hadis mereka cenderung memilih pada pendapat
yang membolehkan. Terlebih di Pesantren takhassus IIQ Jakarta yang sistem
menghafal al-Qur’annya adalah sistem kejar target hafalan, sehingga pada
penelitian ini ditemukan bahwa sebagian mahasiswi tetap membaca dan
menyentuh mushaf al-Qur’an karna adanya keterpaksaan berupa peraturan yang
diterapkan di IIQ, hal ini sejalan dengan adanya doktrin atau arahan dari pihak
lembaga IIQ Jakarta.
Kata kunci : Membaca al-Qur’an, Menyentuh Mushaf al-Qur’an, Haid,
Purposive Sampling, Skala Likert, Pesantren Takhassus IIQ
Jakarta
viii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Dengan mengucap rasa puji dan syukur kepada ALLAH SWT berkat
limpahan rahmat, curahan kasih sayang, kesehatan dan keistiqomahan serta
kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul :
Pemahaman Hadis Tentang Larangan Membaca Dan Menyentuh Mushaf
Al- Qur’an Saat Haid ( Studi Kasus Mahasiswi Pesantren Takhassus Iiq
Jakarta) . Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW sang penegak kebenaran, sang pejuang , sang guru besar
peradaban, serta replika kesempurnaan akhlak teladan bagi umat manusia hingga
akhir zaman.
Selanjutnya penulis menyadari bahawasanya skripsi ini tidak akan selesai
tanpa dukungan, bantuan, dorongan serta semangat dari berbagai pihak, maka dari
itu penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Bapak
Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta jajarannya, dan bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA.
Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum,
MA. Selaku ketua Jurusan Ilmu al- Qur’an dan Tafsir. Serta Ibu Dra.
ix
Banun Binaningrum, M.Pd selaku sekretaris jurusan Ilmu al- Qur’an
dan Tafsir.
2. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag, selaku dosen pembimbing penulis
yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang
telah meluangkan waktunya, memberikan saran, arahan, dan motivasi
kepada penulis. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses
bimbingan banyak merepotkan dan semoga Allah senantiasa memberi
kesehatan dan melindungi bapak dan keluarga.
3. Bapak Dr. Mafri Amir, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis dari semester satu hingga selesai.
4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya dosen program studi
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, terimakasih atas ilmu, wawasan,
pengalaman serta motivasi yang dibserikan, semoga Allah mengganti
dengan pahala yang berlipat ganda. Serta seluruh staf karyawan
Fakultas Ushuluddin.
5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Umum, dan
Perpustakaan fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teruntuk kedua orang tua ku tercinta dan tersayang ayahanda Alm.
H.M. Thahir Ta’at , terimakasih atas cinta dan perjuangannya selama
hidup mu telah mendidik dan mengajarkan banyak hal, telah
menanamkan banyak kebaikan sehingga mengantarkan ananda sampai
ke titik ini, semoga Allah mengampuni segala dosa dan khilaf dan
menjadikan setiap tetes kebaikan menjadi amal jariyah yang menemani
perjalanan mu. Ibunda terkasih Siti Soleha yang selalu ku rindu
x
senyum dan belaian tangannya, terimakasih sudah memberikan banyak
cinta, telah memberikan sebanyak-banyaknya doa, semoga Allah
menjaga, dan memberkahi usia tua mu dengan selalu istiqomah
beribadah kepada Nya.
7. Teruntuk kekasih halal yang senantiasa setia menemani, senantiasa
memberikan semangat dan kasih sayang yang mampu membuat jatuh
cinta berkali-kali, selamat menanti buah hati...! semoga Allah
anugerahkan dzurriyat yang menjadi penyejuk pandangan mata, dan
menjadi generasi qur’ani penolong kelak diakhirat. Amiin
8. Kepada saudara-saudara kakak Tawakkal dan abang Mahyul Ulum
tersayang , adik-adik terkasih Maulida dan Ihsan, terimakasih atas doa-
doa dan persaudaraan yang senantiasa membuat rindu ingin pulang.
9. Kepada guru-guru khususnya pengasuh Pesantren al- Qur’an Al Falah
(Alm) KH. Q Ahmad Syahid, Ph.D, semoga Allah menempatkan
diantara para syuhada dan keberkahan ilmu nya senantiasa mengiringi
santri-santrinya. Dan juga Pengasuh Pesantren al-Qur’an Nur Medina
KH. Endang Husna dan Ibu Nyai Hj. Arbiyah Mahfudz, berkat doa,
dan kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan segala target
hafalan selama di pesantren, semoga Allah selalu memberikan
kesehatan sehingga semakin banyak yang merasakan mutiara ilmu dari
beliau.
10. Teman-teman mahasantri Pesantren al-Qur’an Nurmedina, khususnya
tim ewer-ewer (Wawah, Puput, Izza, Halimah, Bunda Laila dll.. yang
tidak penulis sebutkan satu-satu) terimakasih sudah mewarnai
xi
perjalanan kehidupan ini kurang lebih 4 tahun, semoga persahabatan
ini sampai ke jannahNya.
11. Teman-teman seperjuangan seluruh angkatan Tafsir Hadis 2013
khususnya kelas TH F (Puput, Arimah, Maya, Mak Rusnul, Faza, Mba
Khuzaimah, Lukman dan lain-lain) mohon maaf tidak penulis sebutkan
satu-satu tapi tidak mengurangi rasa sayang dan bangga ini kepada
kalian, semoga ilmu yang kita dapatkan selama menempuh pendidikan
manfaat dan berguna dimasyarakat.
12. Teman-teman KKN Gempita terimakasih atas satu bulan kebersamaan
yang memberikan banyak pengalaman dan pelajaran.
13. Dan kepada seluruh teman-teman yang tidak penulis cantumkan
namanya satu persatu, dan seluruh pihak yang telah membantu
memberikan semangat dan dorongan sampai karya ilmiah ini selesai.
Jazakumullah Ahsanal Jaza’..
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan
penulis semoga skripsi ini memberikan banyak manfaat khususnya untuk penulis
dan bagi para pembaca sekalian.
Jakarta, 27 Mei 2018
Hormat saya
Tuti Atianti
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. . Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
B. . Identifikasi Masalah ...................................................................................... 13
C. . Pembatasan Masalah ...................................................................................... 13
D. . Perumusan Masalah ....................................................................................... 13
E. . Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 14
F. . Tinjauan Pustaka............................................................................................ 14
G. . Metodologi Penelitian.................................................................................... 17
H. . Sistematika Penulisan .................................................................................... 23
BAB II : HADIST-HADIST SEPUTAR LARANGAN PEREMPUAN HAID ......... 25
1. . Hadist Larangan Perempuan Haid Melaksanakan Sholat Dan Puasa ............ 25
2. . Hadist Larangan Perempuan Haid Melaksanakan Tawaf .............................. 28
3. . Hadist Larangan Perempuan Haid Masuk Masjid ......................................... 31
4. . Hadist Larangan Perempuan Haid Berjima’ .................................................. 34
A. . Hadist Yang Melarangan Membaca al qur’an Saat Haid .............................. 37
1. . Redaksi Hadis Larangan Perempuan Haid membaca al Qur’an .................... 38
2. . Takhrij Hadist ................................................................................................ 39
xiii
3. . Penjelasan Sanad Hadis ................................................................................. 42
4. . Penjelasan Hadis Larangan Perempuan Haid Membaca Alqur’an ................ 49
B. . Hadist Yang Melarang Membawa Mushaf al qur’an Saat Haid .................... 54
1. Redaksi Hadis Larangan membawa mushaf al Qur’an Saat Haid ............... 54
2. Takhrij Hadist ................................................................................................ 54
3. Penjelasan Sanad Hadis ................................................................................. 57
4. Penjelasan Hadis Larangan Menyentuh Mushaf Alqur’an ............................ 65
BAB III: PESANTREN TAKHASSUS IIQ JAKARTA ............................................. 70
A. . Sejarah dan Perkembangan Pesantren Takhassus IIQ Jakarta ....................... 70
B. . Tujuan Didirikan IIQ ..................................................................................... 75
C. . Visi dan Misi ................................................................................................. 75
D. . Sarana dan Fasilitas Pesantren ....................................................................... 76
E. . Struktur Organisasi Pesantren ....................................................................... 76
F. . Kegiatan Di Pesantren IIQ Jakarta ................................................................ 77
BAB IV: PEMAHAMAN HADIS TENTANG LARANGAN MEMBACA
DAN MENYENTUH MUSHAF AL QUR’AN DALAM KEADAAN HAID ............ 79
A. . Analisis Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Profil
Santri ............................................................................................................ 80
B. . Analisis Data Mengenai Pemahaman Hadis Tentang Larangan
Membaca Dan Menyentuh Mushaf Al Qur’an ............................................ 84
C. . Hasil Analisa Pemahaman Menyeluruh Mahasiswi IIQ terhadap
hadis Larangan Membaca dan Menyentuh al-Qur’an Saat haid ................ 101
xiv
D. Penerapan Hadis Larangan Membaca dan Menyentuh Mushaf Al
Qur’an Dalam Keseharian Mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ
Jakarta .................................................................................................... 105
BAB V: PENUTUP ....................................................................................................... 111
A. Kesimpulan ............................................................................................ 111
B. Saran-saran ............................................................................................ 112
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 113
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................... 121
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara kasat mata perbedaan antara laki-laki dan perempuan jelas sekali
terlihat secara fisik. Bagi seorang perempuan memiliki pematangan payudara,
ovarium dan juga rahim yang tidak dimiliki oleh seorang pria , sedangkan pria
mempunyai jakun yang juga tidak dimiliki oleh perempuan. Selanjutnya laki-laki
masa baligh nya ditandai dengan mimpi dan sebaliknya perempuan ditandai
dengan datang nya menstruasi yang menjadi kodrat nya dan sangat erat kaitannya
dengan aktifitas ibadah nya sehari-hari. Dalam hadis nabi :
عت عبد الرحن بن القاسم، قال ث نا سفيان، قال: س ث نا علي بن عبد اللو، قال: حد عت حد : سعت عائشة ت قول: خرج د ، ي قول: س ا كنا بسرف حضت، القاسم بن مم ، ف لم نا ال ن رى إال احلج
ق لت: ن عم، «. ما لك أنفست؟»فدخل علي رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم وأنا أبكي، قال: 1)رواه البخاري( ...بو اللو على ب نات آدمقال: إن ىذا أمر كت
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Al Qasim dari bapaknya dari Aisyah
radliallahu 'anha, ia berkata; Kami pergi bersama-sama Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, tiada lain niat kami selain haji. Setelah kami sampai dekat Sarif, tiba-
tiba aku haid. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam kemahku,
didapatinya aku sedang menangis. Lalu beliau bertanya: "Apakah kamu haid?"
jawabku, "Benar ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Haid adalah hal yang lumrah
bagi putera-puteri anak Adam...” (HR. Al- Bukhari)
Perkara Menstruasi ini pun sudah ada pada masa jahiliyyah, yang mana
haid dianggap sesuatu yang menjijikkan dan harus dipikul kaum wanita. bahkan
1Abi „Abdillah Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim Al Bukhari, Sahîh Al Bukhârî,
(Beirut: Dar Al Fikr,t.t), kitab haid, bab Wanita yang sedang haid melaksanakan seluruh manasik
haji kecuali tawaf di Baitullah, juz.1, no. 249 hlm. 490
2
seringkali hal ini dijadikan bahan untuk merendahkan kaum wanita, dalam cerita
tradisi keagamaan, pandangan filsuf, budayawan, bahkan biomedis barat
perempuan yang sedang menstruasi banyak dicerca, seperti yang dirangkum
dalam buku Natural History karya Pliny mengungkapkan bahwasanya perempuan
menstruasi jika mereka menyentuh anggur maka anggur tersebut akan menjadi
busuk, tanaman yang akan panen akan menjadi gabuk dan gagal panen, serta
banyak lagi ungkapan yang seolah-olah menganggap bahwasanya menstruasi bagi
seorang perempuan adalah kutukan.1
Bagi kaum yahudi, wanita haid diperlakukan secara tidak manusiawi dan
wanita yang haid diusir dari rumah, tidak diajak tidur dan makan bersama.
Sedangkan kaum nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya ketika haid.
Hal ini kemudian mendorong para sahabat menanyakan tentang haid sehingga
turun lah firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 222 yang merupakan
gambaran sebagian jawaban tentang hukum-hukum yang terkait dengan masalah
haid.
ذا تط ويسألوهك عن ساء ف المحيض ول تقربوهن حتى يطهرن فا هرن المحيض قل هو أذى فاعتلوا الن
ب المتطهرين ابي وي ب التو ي ن اللى ا ( ٢٢٢ البقراة :) فأتوهن من حيث أمرك اللى
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.2
1 Zaitunah Subhan, Al- Qur‟an dan Perempuan ; Menuju Kesetaraan Gender Dalam
Penafsiran, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 241 2Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Al Quran dan Terjemahnya,
(Departemen Agama: 2004) hlm. 36
3
Atas pertanyaan para sahabat Rasulullah menyatakan “lakukan lah segala
sesuatu (kepada istri yang sedang haid) kecuali bersetubuh” kemudian sampai
pada kalangan orang-orang yahudi dan mantan penganut yahudi merasa terkejut
dengan penyataan tersebut sehingga mereka menentang dengan mengatakan
bahwasanya apa yang menjadi pernyataan rasulullah tersebut merupakan hal yang
menentang tradisi besar orang yang yahudi, karena haid dikalangan mereka
merupakan sesuatu yang dianggap tabu akan tetapi tiba-tiba dianggap seperti
sesuatu hal yang lumrah seperti halnya adzan. Lalu kemudian Usayd bin Hudayr
dan Ubbad bin Basyr melaporkan hal ini kepada Rasulullah SAW, seketika raut
wajah Rasulullah berubah karena merasa tidak enak dengan reaksi tersebut Usayd
bin Hudayr dan Ubbad bin Basyar mengira bahwasanya Rasulullah Marah kepada
mereka berdua, lalu mereka keluar dan sebelumnya memberikan hadiah air susu
kepada beliau, lalu diutus lah seseorang untuk mengejar mereka berdua dan
memberikan mereka minum air susu sehingga mereka berdua tau bahwasanya
Rasulullah SAW tidak marah kepada mereka.3
Secara bahasa Haid berarti mengalir, berasal dari ucapan orang-orang arab
Hâḏa Al Wâdi (lembah itu megalir), ada beberapa istilah yang serupa dengan kata
haid didalam bahasa arab yakni tamas,berarti darah kotor; ikbar berarti darah
yang kental; I‟sar, berarti tetesan darah; dan ḏahak berarti darah yang mengalir.4
Oleh para dokter definisi haid (menstruasi) secara ilmiah adalah siklus
bulanan yang memakan waktu selama dua puluh delapan hari. Hari pertama dari
siklus itu dimulai dengan rasa lemas (karena keluarnya darah). Pada hari kelima,
3Abu Hasan Ali bin Hamid al Wahdi al Naisaburi, Asbabun Nuzul, (Beirut: Dar al Fikr,
1986) hlm.46 4 Luthfi Rahmatullah dkk,” Haid (Menstruasi) Dalam Tinjauan Hadis”, Jurnal Palastren,
Vol .6, No. 1, 2013
4
ketika rasa lemasnya telah pudar, mulailah putaran yang dahsyat dalam
pertumbuhan akibat aktifitas hormon-hormon yang berasal dari kelenjer otak.
Sedangkan pada hari keempat belas dari siklus bulanan, rahim telah
mempersiapkan diri untuk menyambut sel telur (ovum) yang membuahkan
kehamilan, dan standarnya menurun seperti pada masa awal siklus. Setelah itu ada
hormon lain yang menempati posisi hormon-hormon hingga pada masa terjadinya
kehamilan. Keberadaan hormon ini akan menurun , bilamana kehamilan tidak
terjadi dan darah didalam rahim jadi mengalir sehingga menyebabkan haid.
Sebaliknya, jika kehamilan terjadi, haid tidak akan terjadi.5
Dalam tinjauan fiqih, haid berarti merupakan darah yang keluar dari vagina
seorang perempuan pada saat usia haid yaitu menurut kesepakatan para ulama
ketika seorang perempuan mencapai usia minimal 9 tahun atau lebih , dan darah
tersebut keluar secara alami, perempuan tersebut dalam keadaan sehat, dan bukan
karena melahirkan, maksimal masa haid adalah 15 hari jika darah keluar melebihi
masa tersebut maka itu tidak lagi disebut dengan darah haid melainkan darah
istihâḏah.6
Ulama mengelompokkan kondisi haid pada kelompok kondisi janabah
seperti nifas maupun junub, dan hal yang diharamkan karena sebab janabah juga
diharamkan bagi orang haid, diantaranya adalah perempuan haid dilarang untuk
mengerjakan shalat, puasa, sujud tilawah, thawaf, masuk masjid dan i‟tikaf ,
menyentuh mushaf al- Qur‟an dan membaca al- Qur‟an. Namun terkait pada boleh
5 Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka
Azzam),2009, h. 446 6 M. Hamim HR,Terjemah Fathul Qorib, (Kediri Jawa Timur : Snatri Salaf Press, 2014)
juz 1, hlm 77
5
atau tidaknya pada perkara membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an ulama
berbeda pendapat mengenai hal ini.7
Pada kelompok yang membolehkan hal ini tentu dikarenakan adanya kaitan
antara sifat dari najis pada haid yang identik dengan kotor dengan adab dan
kemuliaan al- Qur‟an itu sendiri. Mengingat yang disampai kan Yusuf Qardhawi
didalam bukunya Bagaimana berinteraksi dengan al- Qur‟an ? yang mana beliau
di sana memaparkan adab seseorang ketika berinterkasi dengan Al- Qur‟an.8
Begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Jalaluddin al-Suyuti didalam
karya nya al- Itqân Fî „Ulûm al-Qur‟an bahwasanya beliau memaparkan salah
satu tekhnis yang perlu dilakukan oleh seorang ketika akan berinteraksi dengan al-
Qur‟an hendaklah berwudhu 9.
Didalam kitab al Tibyân fî Adab Hamalat al- Qur‟an, Imam haramain
mengatakan bahwasanya mengenai perkara suci dari najis tidak dikatakan makruh
akan tetapi meninggalkan yang utama10
مكروىا, با ىو تارك لألفضل, فان مل جيد ادلاء تيممقال امام احلرمني: وال يقال ارتكب Dalam kata lain pesan yang dapat kita ambil terkait dengan adab-adab
terhadap al- Qur‟an hendaklah seseorang yang berinterkasi dengan al- Qur‟an
harus terjaga dari najis. Dari pendapat ulama ini kemudian dapat kita tangkap
7 Wahbah al-Zuhaily, Fikih Thaharah Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: CV. Pustaka
Media Utama), h. 401 8 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Berinterkasi Dengan Al- Qur‟an?, Terj. Kathur
Suhardi(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 135-206 9 Jalaluddin al-Suyuti, al- Itqân Fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dar al- Fikri, 1951), j.1, h.
99-111 10
Abu Zakariyya Yahya bin Sarf al-Din al-Nawawi, al-Tibyân Fî Adâb Hamalat al-
Qur‟ân, (Beirut: Dar An-Nafa‟is, 1984) h. 73
6
sebuah pesan hendaklah ketika berinteraksi dengan al- Qur‟an dalam keadaan suci
dari najis.
Pendapat di atas kemudian didukung di dalam hadis tentang ketidakbolehan
seorang perempuan membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an ketika dalam
keadaan haid.
ث نا إساعيل بن عياش عن موسى بن عقب ة حد ث نا علي بن حجر و احلسن بن عرفة قاال حد ال م ل س و و ي ل ى اهلل ع ل ص بي الن ن ع عن نافع عن ابن عمر )رواه ن آر الق ن م أ ي ش اجلنب ال و ت قرأاحلائ
11الرتمذي(“Dari nabi SAW beliau bersabda, jangan lah kalian membaca dari al- Qur‟an
sedikitpun bagi yang haid dan junub.” (HR. Tirmidzî)
ب ت ك م ل س و و ي ل ع ى اهلل ل ص اهلل ول س ر ن أ ه دي ج ن ع و ي ب أ ن ع م ز ح ن و ب ر م ع ن ب د م م ن ب ر ك ب ب أ ن ع )رواه دار القط ي ر اى ال ا رآن الق س ي ال و ي ف ان ك ف ا اب ت ك ن م ال ي ل ى أ ل ا
)12
“Dari Abu Bakar bin Muhammad bin „Amru bin Hazm dari ayahnya dari
kakeknya bahawasanya Rasulullah SAW menulis sebuah surat kepada penduduk
Yaman yang isinya tidaklah menyentuh al- Qur‟an kecuali orang yang suci” (HR.
Dâr al- Quṯni)
Kemudia kedua hadis di atas, dikuatkan oleh firman Allah SWT didalam surah
al Wâqi‟ah ayat 79:
(97)الواقعة : ون ر ه مط ال ال ا و س ي ال Artinya: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan”
Dari hadis dan firman Allah SWT diatas tentu menimbulkan
probelamatika tersendiri terhadap kaum perempuan yang setiap bulan senantiasa
didatangi tamu bulanan (Haid/ menstruasi), karena perkara haid ini tentu akan
11
Imam Tirmidzi, Sunan Al- Tirmidzî, ( Beirut: Dar al- Fikr,1994) kitab Thaharah, Bab
Haid dan Junub : Keduanya Tidak Membaca al- Qur‟an, j.1, no.131, h. 182 12
„Alî bin „Umara Dâr al- Quṯni, Sunan Dâr al- Quṯni, (Beirut: Dâr al- Ma‟ârifah, 1422H/
2001 M), Bab Hadis Larangan Menyentuh Mushaf, j.1, h. 121,
7
mengurangi porsi ibadah bagi seorang perempuan dibandingkan seorang laki-laki
yang senantiasa bisa beribadah tanpa ada halangan apapun, sehingga beberapa
kalangan menyebutkan bahwasanya kurangnya ibadah seorang perempuan ini
seringkali dikaitkan dengan hadis Rasulullah SAW tentang perempuan adalah
seorang yang kurang agamanya:
د بن جعف ث نا سعيد بن أب مري، قال: أخب رنا مم ر، قال: أخب رن زيد ىو ابن أسلم، عن عياض حد، قال: خرج رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم ف أضح ى أو فطر بن عبد اللو، عن أب سعيد اخلدريي
صلى، فمر على النيساء،
...( ما رأيت من ناقصات عقل ودين )... يا معشر النيساء ف قال: إل ادل 13)رواه البخاري(
“ ...Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya...”
Sehingga ini menimbulkan pandangan streotip terhadap kaum perempuan
haid, sebagian Para fuqaha cenderung masih memposisikan perempuan tidak
setara. Karena sirkulasi haid yang dialami perempuan dianggap mengakibatkan
adanya anggapan bahwa perempuan kurang akal dan kurang agamanya.14
Tentu
persepsi ini muncul karena adanya kesalahan manusia dalam memahami hadis ini
sehingga menimbulkan anggapan bahwasanya hadis ini mengandung kesan
kebencian terhadap kaum perempuan15
.
Padahal maksud yang disampaikan pada hadis ini ialah berkaitan dengan
persaksian laki-laki yang diberikan otoritas lebih dari pada perempuan karena
laki-laki pada masa Rasulullah SAW fungsi dan figur publik diberikan kepada
pundak laki-laki, sedangkan anggapan kekurangan agama pada perempuan karena
memang hanya perempuanlah yang mengalami menstruasi yang mana keadaan ini
13
Abi „Abdillah Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim Al Bukhari, Sahîh al Bukharî,
Kitab Haid, Bab Tark al- Hâiḏ wa al- Saum, j.1 No. 2484, h. 178 14
Nasarudin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, (Jakarta: Kompas Gramedia,
2014),h. 52 15
Ahmad Fudhaili, Perempuan Di Lembaran Suci Kritik Atas Hadis-Hadis Shahih,
(Jakarta: Transpustaka), h,137
8
menuntut seorang perempuan untuk tidak melakukan ibadah-ibadah wajib ketika
haid 16
. Namun kekurangan bagi wanita yang dimaksud di sini adalah bukan aib
bagi mereka, justru merupakan sebuah rahmat yang harus disyukuri karena pada
yang demikian itu terdapat banyak hikmah yang tidak semuanya dapat ditangkap
oleh manusia.17
Tidak terlepas dari itu semua, aktivitas yang menyangkut tentang ke al-
Qur‟an-an merupakan sebuah rutinitas yang sudah sangat fenomenal dikalangan
umat Islam terlebih negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, al-
Qur‟an banyak dikaji baik dari segi bacaan, hukum maupun makna-makna yang
terkandung di dalamnya di forum-forum pengajian seperti majlis taklim, forum-
forum seminar bahkan sudah menjadi lembaga resmi yang ada di segala penjuru
baik di pelosok maupun ibukota. Contohnya saja seperti yang banyak populer di
indonesia terdapat banyak lembaga atau pesantren-pesantren yang berbasis al-
Qur‟an seperti Pesantren Tahfidz al- Qur‟an, yang mana tentunya aktivitas yang
ada di pesantren seperti ini tidak lepas dari hal-hal yang menyangkut tentang al-
Qur‟an itu sendiri seperti menambah hafalan, menyetor kan hafalan dan
memuraja‟ah atau mengulang hafalan yang sudah dihafal.
Jika seluruh aktivitas di pesantren ini dikaitkan dengan perihal harus
terhindarnya seseorang dari najis ketika hendak berinteraksi dengan al-Qur‟an,
tentu ini menjadi masalah yang cukup sulit bagi seorang perempuan yang sedang
menempuh proses menghafal al-Qur‟an, Karena jika ia sedang datang bulan atau
16
Husein Muhammad dan Mamang Muhammad Haerudin, Mencintai Tuhan, Mencintai
Kesetaraan : Inspirasi Dari Islam dan Perempuan, (Jakarta: Kompas Gramedia,2014), h. 178 17
Ibnu hajar asqalany, bulughul maram terj. Bulughu maram min adhillatil ahkam
(Damaskus: darul fikr)2008. H.78
9
haid ia tidak diperbolehkan membaca dan menyentuh al-Q ur‟an, dan jika hafalan
al-Qur‟an tersebut tidak diulang maka hafalan tersebut pasti akan hilang atau jika
seorang yang sedang proses menyelesaikan hafal al-Qur‟annya tidak selalu
berinteraksi dengan al-Qur‟an tentu hafalan al-Qur‟an nya tidak akan bertambah
dan ini akan berdampak pada tidak akan selesai nya hafalan 30 juz sesuai dengan
target yang sudah ditentukan. Hal ini pun sejalan dengan sabda Rasulullah
bahwasanya hafalan al-Qur‟an itu lebih cepat terlepas dari pada onta yang terikat
dari ikatan nya. Sesuai sabda Rasulullah SAW dibahwah ini:
ث نا د حد ث نا العلء بن مم اللو صلى النبي عن موسى أب عن ب ردة أب عن ب ريد عن أسامة أبو حدد بيده ذلو أشد ت فلتا من اإلبل ف عقله وسل عليو ا قال ت عاىدوا ىذا القرآن ف والذي ن فس مم
18)رواه البخاري( ولفظ احلديث البن ب راد Selain dari pada itu renggang waktu antara masa haid dengan tidak yang
terkadang setiap wanita berbeda-beda lama haidnya, bisa saja menyebabkan
datang nya rasa malas ketika sudah kembali suci dari haidh. Sedang kan didalam
sebuah hadis Rasulullah juga menjelaskan tentang bahwasanya tidak ada dosa
yang lebih besar dari pada dosa orang yang mengetahui ayat atau surat al- Qur‟an
kemudian ia melupakannya.
جيد عبد العزيز بن أب رواد
اب بن عبد احلكم اخلزاز أخب رنا عبد ادل ث نا عبد الوى عن ابن جريج حدبن حنطب عن أنس بن مالك قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم عن ادلطلليب بن عبداللو
ت سجد وعرضت علي ذنوب أم
ت حت القذاة يرجها الرجل من ادل ف لم أر عرضت علي أجور أم 19ن سورة من القرآن أو آية من أوتيها رجل ث نسيها )رواه الرتمذي(ذن با أعظم م
18
Al- Bukhari, Sahîh Bukhârî, Kitab Fadâil al Qur‟ân, Bab Mengingat-ingat Al Qur‟an
dan Menjaganya, No. 4711, h.35 19
Abu „Isa Muhammad Ibnu Mûsa al Ḏahaq al Sulamî al Bughi, Sunan al-Tirmidzî,
(Kairo: Dar Al-Hadist, 2005), kitab Faḏail al-Qur‟an,Bab 19, No. 2916, j.5, h.25
10
“telah diperlihatkan kepadaku semua pahala amalan ummatku hingga kotoran
yang dikeluarkan dari mesjid. Aku juga telah ditunjukkan dosa-dosa umatku,maka
tidka aku lihat dosa yang lebih besar dari orang yang mengetahui ayat atau surat
al- Qur‟an kemudian melupakannya”. Ini lah kemudia yang menjadi salah satu fokus ulama dalam meneliti dan
merumuskan hukum-hukum mengenai permasalahan haid ini adalah tentang adab-
adab dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid,
dengan merujuk kepada hadis diatas dapat kita artikan bahwasanya seorang
perempuan haid tidak diperkenankan membaca al-Qur‟an dan menyentuhnya
ketika dalam keadaan tidak suci.
Namun beberapa pendapat menyebutkan bahwasanya hadis-hadis yang
berkaitan dengan ketidakbolehan seorang perempuan haid membaca dan
menyentuh mushaf al-Qur‟an tidak ada yang bisa dijadikan hujjah karena status
kualitas hadisnya adalah ḏaif (lemah), hal ini disebabkan karena ada kecacatan
pada periwayat hadis tersebut. Begitu juga dengan firman Allah didalam al-
Qur‟an yang menjadi penguat pernyataan ini, ulama berbeda-beda pendapat
terhadap penafsiran mengenai ayat ini, seperti pendapat Ibnu Abbas yang
menafsirkan bahwasanya yang dimaksud almuṯahharûn (orang-orang yang
disucikan) di sini bukanlah ditujukan kepada manusia melainkan adalah malaikat
hal ini dilihat dari ayat sebelumnya yang berbunyi kitâbun maknûn (kitab yang
ada dilangit)20
.
Akan tetapi imam an nawawi didalam kitab Al Tibyân Fî Adab Hamalatil
Qur‟an menyatakan bahwasanya para ulama telah berijma‟ tentang
20
Ibnu Katsir, tafsirul qur‟anil adzhim, jilid 4, hal 298
11
ketidakbolehan seorang perempuan yang haid menyengaja membaca kan al-
Qur‟an guna menghormati kesucian al- Qur‟an21
Dari beberapa persoalan di atas, terlihat jelas permasalahan yang dihadapi
oleh perempuan yang setiap bulan nya mengalami menstruasi, terlebih perempuan
yang sedang menempuh proses menghafal al-Qur‟an atau yang sedang mengejar
target dalam penyelesaian menghafalkan al-Qur‟an. Apakah mengabaikan hadis
tersebut diatas agar hafalan al-Qur‟an yang sedang ditempuh tidak hilang/lupa?
Atau pada lembaga yang background al-Qur‟an mempunyai fatwa tersendiri yang
memberikan rukhshoh (keringanan) terkait mengenai haid ini? Mengingat
beberapa pesantren ada yang menerapkan bolehnya seorang perempuan tetap
melanjutkan hafalan mereka ketika dalam keadaan haid, seperti di Pesantren An-
Nur, Ngerukem, Sewon, Bantul dan Yogyakarta.22
Kendati demikian ada juga
pesantren yang ketat menerapkan adab dalam membaca dan menyentuh mushaf
al-Qur‟an.
Dari permasalahan di atas penulis tertarik untuk membahas serta mengkaji
lebih lanjut mengenai permasalahan perempuan haid yang membaca dan
menyentuh mushaf al-Qur‟an berdasarkan hadis larangan seorang perempuan haid
membaca dan membawa mushaf al-Qur‟an di atas. Meskipun pembahasan ini
bukanlah sesuatu yang baru, dalam artian terkait hukum membaca dan menyentuh
mushaf al-Qur‟an sudah dibahas dan dikaji oleh ulama-ulama terdahulu, begitu
juga dengan dalil-dalil yang terkait dengan hal tersebut. Namun hal yang paling
mendasar penulis kembali mengangkat tema ini ialah terkait bagaimana penerapan
21
Abu Zakariyya Yahya bin Sarf al-Din al-Nawawi, al-Tibyân Fî Adab Hamalat al-
Qur‟an, (Beirut: Dar An-Nafa‟is, 1984) 22
M.Saiful Bahri, “Problematika Hukum Membaca Al- Qur‟an Bagi Wanita Haid Dalam
Proses Tahfidz”,(Skripsi S1 Syari‟ah, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2007)
12
hadis ini dikalangan masyarakat, yang mana terkadang sebagian masyarakat
menjadikan hadis ini sebagai dasar atau alasan tidak belajar al-Qur‟an jika sedang
dalam keadaan menstruasi atau bagi seorang penghafal al-Qur‟an hadis ini
dijadikan sebagai alasan untuk bermalas-malasan sehingga tidak perlu mengulang
dan menambah hafalan ketika menstruasi, hal ini pula yang menjadi pembeda
antara penelitian yang lain yang mengkaji seputar keshahihan dalil sehingga dapat
ditetapkan bahwa dalil terkait membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an bisa
dijadikan dalil atau tidak.
Maka dari itu fokus penulis pada penelitian ini menyangkut bagaimana
hadis ini dipahami dan diterapkan oleh masyarakat terutama yang setiap harinya
berkecimpung dengan al-Qur‟an seperti kegiatan menghafal al-Qur‟an di sebuah
pesantren. Dalam hal ini penulis memusatkan penelitian di kalangan mahasiswi
pesantren takhassus al- Qur‟an IIQ Jakarta. Yang mana pesantren Institut Ilmu al-
Qur‟an (IIQ) Jakarta ini adalah sebuah pesantren yang memadukan antara
kegiatan kepesantrenan seperti menghafal al- Qur‟an dengan lembaga pendidikan
resmi perguruan tinggi (Institusi), yang mana yang menjadi syarat wajibnya
seorang mahasantri yang juga mahasiswi ini lulus ke semester selanjutnya jika ia
mampu menyelesaikan target hafalan yang diterapkan di kampus tersebut sesuai
dengan kategori yang diambil oleh si mahasiswi. Jika pada akhir semester
mahasiswi tersebut tidak bisa menyelesaikan target hafalan al-Qur‟an nya, maka
mahasiwi tersebut dianggap gagal dan harus mengulang pada semester
berikutnya.23
23
Wawancara langsung antara penulis dengan mahasiswi IIQ Jakarta pada tanggal 16-
november-2017
13
B. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan latar belakang masalah diatas, tentu nya banyak
ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan perempuan haid yang mana
permasalahan tersebut berkaitan dengan seputar ibadah sehari-hari seorang
perempuan seperti:
1. Larangan melaksanakan sholat dan puasa
2. Larangan melaksanakan tawaf dibaitullah
3. Larangan masuk masjid ketika haid
4. Larangan berjima‟ bagi suami istri
5. Larangan membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an. Dll
C. Pembatasan Masalah
Melihat luasnya bahasan masalah terkait persoalan perempuan haid ini
maka di sini penulis membatasi penelitian yang akan diteliti hanya pada larangan
bagi perempuan haid membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an, yang mana
penulis akan memaparkan hadis yang sebelumnya sudah penulis sebutkan di atas
sebagai tolak ukur adanya larangan membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an
dengan fakta yang ada dilapangan.
Sehingga fokus penulis pada penelitian ini yaitu bagaimana hadis ini
dipahami oleh santri Pesantren Takhassus IIQ Jakarta, serta penerapan hadis ini
pada keseharian mahasantri IIQ, yang mana setiap mahasantri nya di bebankan
target penyelesaian hafalan sampai batas waktu yang di tentukan,.
D. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pemahaman hadis tentang larangan membaca dan menyentuh
mushaf al-Qur‟an di kalangan mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta?
14
2. Bagaimana penerapan hadis tersebut jika dikaitkan dengan keseharian
mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ Jakarta?
E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari ada penenlitian ini, adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat menyikapi larangan dan
kebolehan hadis tesebut serta bagaimana mengaplikasikan hadis tesebut ,
khususnya pada lingkungan yang background nya adalah al- Qur‟an
seperti pesantren. Dalam penelitian ini penulis memilih pesantren
takhassus IIQ Jakarta sebagai obyek penelitian.
Adapun Manfaat dari penelitian ini, adalah:
1. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan sekaligus sebagai syarat untuk
memperoleh gelar sarjana program studi tafsir al- Qur‟an dan hadits di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Sebagai bahan masukan guna menambah wawasan keilmuan khususnya
penulis dan umumnya kepada para pembaca sebagai bahan rujukan bagi
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah ini.
F. Tinjauan Pustaka
Imam Al-Nawawi salah satu ulama di kalangan madzhab syafii
berpendapat di dalam kitabnya Al-Majmû‟ Syarah Al- Muhadzdzab bahwasanya
para ulama madzhab berpendapat hukum bagi seorang wanita haid yang membaca
al- Qur‟an adalah haram, sebagaimana pendapat ini masyhur dikalangan syafii.24
24
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf Al- Nawawi, Al- majmu‟ syarah al
Muhadzdzab,(Beirut: Dar Al- Fikr, 1994) jilid 2, hal 357
15
Syekh Kamil dalam bukunya yang berjudul Fiqih Wanita bahwasanya
wanita diperbolehkan membaca Al- Qur‟an, akan tetapi terlarang dalam
menyentuh mushafnya.25
Dalam kajian ilmiah penulis menemukan penelitian ilmiah yang serupa
dengan penelitian yang penulis lakukan:
1. Fauziatul Akmal, ”Pengetahuan jamaah majelis taklim kecmatan Ciputat
Timur terhadap hadis membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an bagi
wanita haid dan junub” (Skripsi, 2009), bahawasanya dari segi
keseluruhan sanad hadis tentang larangan membaca al- Qur‟an bagi
perempuan haid adalah hasan, dan pemahaman mayoritas jamaah majlis
taklim ciputat tentang hadis tersebut adalah haram membaca al- Qur‟an
ketika haid.26
2. Ahmad Zainunnashih, “Pandangan Ulama Terhadap Kebolehan Wanita
Haid Dalam Membaca dan Menyentuh Al Qur‟an” (Skripsi, 2013),
bahwasanya terkait masalah hukum boleh atau tidaknya seorang
perempuan haid membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an Nabi SAW
tidak melarang secara jelas, dan belum dtemukan hadis yang shahih, maka
persoalan ini masih kental dengan ikhtilafiyah. Adapun adanya sebagaian
pendapat yang membolehkan hal itu dijadikan dalil sebagai solusi bagi
25
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita : Edisi Lengkap (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2008), 77. 26
Fauziatul Akmal, “Pengetahuan Jamaah Majelis Taklim Kecamatan Ciputat Timur
Terhadap Hadis Membaca dan Menyentuh Al- Qur‟an Bagi Wanita Haid dan Junub,”(Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, 2009)
16
wanita haid yang mengikuti Musabaqah Tilawah Al Qur‟an (MTQ) atau
wanita haid yang hendak mengulang-ulang hafalan al- Qur‟annya.27
3. Sapnah, “Menstruasi Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah :
Studi Atas Surat Al Baqarah Ayat 222” (Skripsi, 2009), bahwasanya darah
Haid mencegah seorang perempuan dalam melakukan ibadah seperti
berjima‟ antara suami dan istri, shalat, membaca atau menyentuh al-
Qur‟an, haji, thawaf, puasa dll.28
4. Syarif Rahmat, “Berwudu untuk memegang mushaf al- Qur‟an” (Jurnal,
Buletin Jum‟at Qum, 2005), bahwasanya ulama madzhab empat (Abu
Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad bin Hanbal) sepakat bahwasanya orang
yang tidak memiliki wudu tidak diperkenankan untuk memegang mushaf
al-Qur‟an, hal ini juga disampaikan oleh oleh mantan rektor Universitas Al
Azhar Mesir, Syekh Jadul Haq bahwa seornag muslim tidak boleh
menyentuh mushaf al-Qur‟an atau membawanya kecuali dalam keadaan
berwudu sebagai bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap al-
Qur‟an.29
Dari beberapa pembahasan diatas yang serupa dengan penenlitian yang
penulis lakukan perbedaan nya terletak pada tempat penelitian dan pembahasan
yang dikaji yaitu melalui kritis sanad hadis nya.
27
Ahmad Zainunnashih, “Pandangan Ulama Terhadap Kebolehan Wanita Haid Dalam
Membaca dan Menyentuh Al Qur‟an,”(Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta, 2013) 28
Sapnah, “Menstruasi Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah : Studi Atas
Surat Al Baqarah Ayat 222,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2009) 29
Syarif Rahmat, “Berwudu Untuk Menyentuh Mushaf al- Qur’an”, Buletin Jum’at Qum , No. 209 (Desember 2005)
17
G. Metodologi Penelitian
1. Metode penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian lapangan
(field research) yaitu dengan cara langsung meneiliti objek yang akan diteliti guna
mendapatkan data yang akurat. Penelitian lapangan ini pada hakikatnya
merupakan metode spesifik tentang apa yang terjadi pada objek penelitian.30
Dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif yaitu metode yang digunakan
untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antara variabel,
sehingga data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedur
statistik. Dan analisa data yang penulis gunakan di sini adalah statistik deskriptif
yaitu penyajian data statistik yang sudah diproses melalui program SPSS
kemudian data tersebut dijabarkan dan diuraikan berupa keterangan-keterangan
yang diperoleh dari keadaan, gejala, atau fenomena dan persoalan yang didapat di
lapangan. penyajian data statistik deskriptif biasanya tersaji dalam bentuk tabel,
diagram dsb.31
Dalam prosesnya penulis menggambarkan langsung dan
mengumpulkan data tentang pemahaman mahasiswi IIQ terhadap hadis larangan
membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an di Pesantren Takhassus IIQ Jakarta
sebagai tempat penelitian. Dengan menyertakan sumber data-data pendukung
seperti buku, kitab, karya ilmiyah dan sumber-sumber data yang relevan dengan
penelitian.
30
Emriz, Metodologi Penelitian Pendidikan: kualitatif dan kuantitatif,(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 169. 31
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Kara
Ilmiah,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 38
18
2. Sumber Data
Dalam proses pengumpulan data, penulis mengumpulkan sebanyak-
banyak nya data yang di peroleh mengenai masalah yang berkaitan dengan
penelitian ini, diantara nya dengan menggunakan data primer dan data sekunder.32
a. Data primer adalah sumber data utama atau pokok yang menjadi
data utama dalam objek penelitian ini yang dianataranya diperoleh melalui
responden melalui angket yang disebarkan. Dalam hal ini responden yang penulis
maksud adalah mahasiswi semester II IIQ prodi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir.
b. Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh dari sumber
yang berkaitan dengan penelitian ini diantaranya melalui wawancara kepada pihak
lembaga terkait Pesantren Takhassus IIQ Jakarta dan kajian pustaka berupa kitab-
kitab takhrij, buku, skripsi, tesis dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.33
3. Populasi dan Sampel
Populasi mempunyai arti yang bervariasi , menurut Babbie (1983), tidak
lain adalah elemen penelitian yang hidup dan tinggal bersama-sama dan secara
teoritis menjadi target hasil penelitian. Jadi, populasi adalah semua anggota
kelompok manusia, yang tinggal bersama dalam satu tempat dan secara terencana
menjadi target kesimpulan dari hasil akhir suatu penelitian.34
dalam hal ini adalah
mahasiswi semester II IIQ Jakarta.
Sedangkan sampel adalah, sebagian dari jumlah populasi yang dipilih
untuk sumber data tersebut. Dengan kata lain sampel adalah sejumlah anggota
yang dipilih dari populasi, Kemudian syarat yang paling penting untuk
32
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Kara Ilmiah,h.
137 33
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,
(Bandung: al- Fabeta, 2010)h. 193 34
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), h. 53
19
diperhatikan dalam pengambilan sampel ada dua macam, yaitu jumlah sampel
yang mencukupi dan profil sampel yang dipilih harus mewakili keadaan populasi
yang sesungguhnya.35
Tekhnik pengambilan sampel yang penulis terapkan pada penelitian ini
dengan menggunakan tekhnik purposive sampling36
, yaitu tekhnik pengambilan
sampel dengan cara memperhatikan karakteristik tertentu dari populasi atau
dengan pertimbangan tertentu. Dalam penelitian ini penentuan jumlah sampel
yang diambil dari populasi yang ada dengan mempertimbangkan pertama
bahwasanya di Pesantren Takhassus IIQ Jakarta yang diwajibkan untuk bermukim
adalah satu tahun sehingga yang menjadi target sampel dalam penelitian ini
adalah Mahasiswi semester II IIQ, sedangkan mahasisiwi semester IV dan
seterusnya tidak dianggap sebagai mahasantri dikarenakan sudah tidak bermukim
di area pesantren. Kedua dalam penelitian ini sasaran penelitian yang dijadikan
sampel adalah mahasiswi prodi Ilmu al- Qur‟an dan Tafsir dengan melihat
pertimbangan latar belakang pendidikan mahasiswi Ilmu al- Qur‟an dan Tafsir
adalah dominan lulusan dari pesantren sehingga tentu ini akan berpengaruh pada
pembahasan pada penelitian ini.
Adapun jumlah populasi keseluruhan Mahasiswi Semester II IIQ Prodi Ilmu
al- Qur‟an dan Tafsir berjumlah 100 orang, dan sampel yang diambil berjumlah
80 orang.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Interview(Wawancara)
35
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, h. 54 36
Yaitu merupakan tekhnik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga
layak untuk dijadikan sampel, (Baca Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis,
Disertasi dan Karya Ilmiah, h. 155)
20
yaitu mengumpulkan data dan informasi melalui Tanya jawab langsung
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak terstruktur maksudnya
susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat berubah
pada saat wawancara sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wawancara.37
b. Kuisioner (Angket)
Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan seperangkat
pertanyaan tertulis yang telah dipersiapkankan sebelumnya untuk memperoleh
informasi dari informan.38
Angket di sini diperlukan untuk memperoleh informasi
dari mahasantri takhassus IIQ Jakarta khususnya mahasiswi Prodi Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir terkait pemahaman nya mengenai larangan hadis membaca dan
menyentuh mushaf al-qur‟an dalam keadaan haid.
5. Analisa Data
Dalam analisis data penulis menggunakan analisis statistik deskriptif.
Dimana peneliti mengungkapkan data dan fakta secara ilmiah tanpa mengurangi
sedikitpun subjek dan objek penelitian. Dalam pengolahan tersebut peneliti
menggabungkan antara data primer yaitu data hasil penyebaran angket dengan
data sekunder berupa hasil wawancara dan juga kajian kepustakaan yang mana
kedua data tersebut menjadi sebuah data yang bisa saling melengkapi sehingga
bisa di deskripsikan. Setelah itu, penulis akan menafsirkan hasil dari
penggabungan dua data tersebut menjadi sebuah narasi deskriptif yang diuraikan
kedalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti.
37
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan,(Jakarta: PT Bumi Aksara,
2005), h. 179 38
Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 24
21
Sedangkan perhitungan angket pemahaman tentang hadis larangan
membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an dengan menggunakan pengukuran
skala model Likert, untuk mengukur pengetahuan, sikap dan pendapat seseorang
atau sekelompok orang terhadap fenomena sosial. Skala sikap digunakan untuk
mengungkapkan sikap pro dan kontra, positif dan negatif, serta setuju dan tidak
setuju terhadap suatu objek sosial. Skala model likert disediakan 5 alternatif
jawaban, yang mana setiap item instrument nya mempunyai gradasi dari sangat
setuju sampai sangat tidak setuju dengan penilaian 5 untuk point sangat setuju,
dan 1 untuk point sangat tidak setuju.39
Skala pemahaman tentang hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf
al-Qur‟an terdiri dari 20 pertanyaan. Data yang sudah dikumpulkan kemudian
disusun dalam bentuk distribusi sesuai dengan frekuensinyan dan dimasukkan
dalam bentuk tabel yang disebut dengan tabel distribusi. Tabel distribusi frekuensi
dibagi menjadi dua, yaitu distribusi frekuensi tunggal dan distribusi frekuensi
kelompok. Dan pada penelitian ini penulis menggunakan tabel distribusi frekuensi
kelompok. Adapun langkah-langkah perhitungannya sebagai berikut:
Mengurutkan data dari yang terkecil sampai ke yang terbesar
Menentukan rentang (R); skor tertinggi - skor terendah
Menentukan jumlah kelas interval dengan rumus: Kriterium Sturges;
K=1 + 3,322 Log N, dimana k adalah banyaknya kelas dan n adalah
banyaknya nilai observasi
Menentukan panjang kelas interval (i) dengan rumus i=R/K
39
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2006), h. 137
22
23
Sedangkan data tanggapan responden terhadap kuesioner penelitian
dianalisis menggunakan program komputer excel dan SPSS dan didapatkan
hasil skor dari masing-masing responden.
6. Tekhnik penulisan
Adapun tekhnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada panduan buku
pedoman akademik 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta41
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tersebut dimaksudkan sebagai gambaran yang akan
menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan
dalam memahami dan masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika
penulisan tersebut, adalah sebagai berikut:
Bab I, merupakan pendahuluan yang berisi uraian secara global, kemudian
dirinci ke dalam bab yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah , batasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,
tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.
Bab II, pada bab ini berisi tentang hal-hal yang terkait dengan hadis-hadis
yang membahas seputar apa saja yang di larang bagi perempuan haid (hadis
tentang sholat, hadis puasa, hadis mengenai haji, hadis masuk masjid, hadis
berjima‟ dengan istri), kemudian kritik hadis
Bab III, pada bab ini berisi tentang profil pesantren IIQ Jakarta (sejarah,
Visi Misi, Tujuan dan kebijakan target hafalan IIQ Jakarta) bagaimana pendapat
dewan pengasuh mengenai hadis larangan dan kebolehan perempuan haid
membaca dan membawa mushaf al-Qur‟an.
41
Pedoman akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-
2014
24
Bab IV, pada bab ini berisi tentang pemahaman hadis tersebut sebagai
fakta ilmiyah dengan praktek realita zlapangan dikalangan para mahasiswi ,
berikut juga aplikasi hadis tersebut dengan kebijakan yang berlaku di lingkungan
pesantren.
25
BAB II
HADIS – HADIS SEPUTAR LARANGAN BAGI WANITA
HAID
1. Hadis Larangan Perempuan Haid Melaksanakan Sholat dan Puasa
Salah satu syarat sahnya salat ialah suci dari najis, karena sholat nya
seseorang yang tanpa wudhu tidak akan diterima, hal ini jelas tertera di dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitabnya.
ث نا بن هام عن معمر أخب رنا قال الرزاق عبد أخب رنا قال احلنظلي إب راىيم بن إسحاق حدع أبا ىري رة ي قول قال رسول اهلل صلى اهلل منب عليو وسلم ال ت قبل صلة من أحدث حت س
)رواه البخاري( ي ت وضأ قال رجل من حضر موت ما احلدث يا أبا ىري رة قال فساء او ضراط Di riwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah telah bersabda, “
Salat orang yang berhadas tidak diterima sebelum dia berwudhu”. Seorang laki-
laki dari hadhramaut bertanya,” Hai Abu Hurairah, apa hadas itu? Abu Hurairah
menjawab, “kentut , bersuara ataupn tidak”
Namun pada hadis di atas yang dimaksud adalah hadas kecil, berbeda
dengan haid yang tergolong kepada hadas besar, yang mana diwajibkan untuk
mandi ketika sudah suci dari haid. Jika syarat diterimanya salat adalah suci dari
hadas kecil maupun besar, maka syarat diterimanya puasa ialah bersih dari hadas
besar seperti haid ataupun nifas.
Di samping itu, pelarangan puasa bagi orang haid ini sifatnya tegas,
berbeda dengan pengecualian yang lain seperti tidak berpuasa bagi orang yang
sakit, atau tidak berpuasa bagi orang yang sudah renta/tua yang sifat pembolehan
tidak berpuasanya adalah bentuk keringanan. Sedangkan perempuan yang haid itu
kondisi kesehatannya menurun, kurang fit, dan emosi yang kadang tidak stabil.
Oleh karena itu, Islam memberikan keringanan tidak wajib berpuasa, bahkan
diharamkan melaksanakannya. Pelarangan ini juga bukan merupakan rukhshah
26
yang berlebihan akan tetapi merupakan bentuk kasih sayang Allah untuk menjaga
kesehatan fisik dan saraf wanita, baik itu jiwa maupun raganya. 1
Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah RA
د ث نا مم ث نا ىشام بن عروة، عن أبيو، عن حد ث نا أبو معاوية، حد ىو ابن سلم قال: حدمة بنت أب حب يش إل النبي صلى اهلل عليو وسلم ف قالت: يا ر سول اللو عائشة قالت: جاءت فا
هر أفأدع الصلة؟ ف قال رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم: إني ا ا ذلك »مرأة أستحاض فل أ ال، إن، فإذا أق ب لت حيضتك فدعي الصلة، وإذا أدب رت فاغسلي عنك الد « م ث صلييعرق، وليس بي
يء ذلك الوقت » -قال: وقال أب: - )رواه البخاري( «ث ت وضئي لكلي صلة، حت جي
“dari 'Aisyah berkata, "Fatimah binti Abu Hubaisyi datang menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah seorang
wanita yang keluar darah istihâḏah (darah penyakit) hingga aku tidak suci.
Apakah aku boleh meninggalkan salat?" Rasulullah SAW lalu menjawab:
"Jangan, sebab itu hanyalah semisal keringat dan bukan darah haid. Jika datang
haidmu maka tinggalkan salat, dan jika telah terhenti maka bersihkanlah sisa
darahnya lalu salat." Hisyam berkata, "Bapakku (Urwah) menyebutkan,
"Berwudulah kamu setiap akan salat hingga waktu itu tiba.”2
Di dalam riwayat Ibnu Majah ada penambahan “dan jika ada darah
menetes keatas tikar”. Dari teks hadis ini dijelaskan bahwasanya jika darah
mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya, itu merupakan darah haid
melainkan istihâḏah, sebab keluar bukan dari dalam rahim. Dalam riwayat lain
Rasulullah SAW menjelaskan: Darah haid dapat dikenal, warnanya adalah hitam.
Jika dalam keadaan demikian maka tinggalkan lah salat.3
Di dalam hadis lain Rasulullah bersabda:
ث نا سعيد بن أب د بن جعفر قال أخب رن زيد ىو ابن أسلم عن عياض حد مري قال أخب رنا ممأليس إذا حاضت )... بن عبد اللو عن أب سعيد اخلدريي قال خرج رسول اللو صلى اللو عليو وسلم
...( )رواه البخاري(مل تصلي ومل تصم
1 Yusuf Qardhawi, Tirulah Puasa Nabi: Resep Ilahi Agar Sehat Jasmani-Ruhani.
Penerjemah Danis Wijaksana (Bandung: PT Mizan Pustaka,2011), h. 63 2 Al- Bukhârî, Sahîh Bukhârî, Kitab Haid, Bab Mencuci Darah, j.1, no. 221
3 Ibnu Hazm Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud 1, Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, terj. Suwarta Wijaya, (Jakarta: Kalam Mulia,2011), h. 38-
39
27
“Dan bukankah apabila kalian haid tidak bisa berpuasa dan tidak bisa salat?” 4
Hadis ini menjadi landasan wanita yang sedang haid tidak berdosa karna
meninggalkan salat, dan meninggalkan puasa. Meski di dalam hadis tersebut
mengandung pernyataan terkait keringanan bagi perempuan haid tidak
menjalankan ibadah puasa dan salat akan tetapi Perempuan haid wajib mengqada‟
(mengganti) puasa nya ketika ia telah suci dari haid berbeda dengan salat, tidak
wajib menqaḏa‟ salatnya bahkan diharamkan. Akan tetapi dikalangan syafi‟iyah
menyatakan bahwa mengqada‟ salat hukumnya makruh dan menjadi salat sunnah
mutlak yang tidak mendapatkan pahala.5
Hal ini termaktub di dalam sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Muslim:
ث نا عبد بن حيد أخب رنا عبد الرزاق أخب رنا معمر عن عاصم عن معاذة قالت سأل ت عائشة حد ت قضي الصوم وال ت قضي الصلة ف قالت أحرورية أنت ق لت لست برورية ف قلت ما بال احلائ
لة )رواه مسلم( ولكيي أسأل قالت كان يصيب نا ذلك ف ن ؤمر بقضاء الصوم وال ن ؤمر بقضاء الص“Dan telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah mengabarkan
kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Ashim
dari Mu'adzah dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, 'Kenapa
gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' salat? ' Maka
Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah? “Aku menjawab,
“Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya”. Dia menjawab, “Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqada' puasa
dan tidak diperintahkan untuk mengqada' salat'." (HR. Muslim) 6
Adapun alasan yang disebutkan oleh para ulama untuk membedakan antara
puasa dan salat adalah bahwa salat adalah ibadah yang berulang-ulang, maka tidak
wajib diganti karna hal itu akan menyusahkan.7 Dan ini merupakan rahmat Allah
4 Abi „Abdillah Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim Al Bukhari, Sahîh al- Bukhârî,
Kitab Al Syahadah, Bab Syahadah Al Nisa‟, No. 2484, h. 178 5 Wahbah Az-Zuhaili, Al- Fiqhul Islâmî Wa Adilatuhû, terj. Masdar Hilmy, ( Bandung:
Pustaka Media Utama) h.402 6 Muslim bin Hajjaj Abu al Hasan al Qusyairi al Naisabûrî, Sahîh Muslim, (Kairo:
Maktabah Al Islamiyah, 1432 H/ 2011 M), Kitab Haid, Bab Wajib Mengganti Puasa, No.69, h. 78 7 Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bâri Syarah: sâhih Bukhârî, terj. Gazirah Abdi Ummah,
(Jakarta: Pustaka Azzam), 2002, h. 553
28
SWT, karna jika salat harus diqaḏa‟, tentu akan sangat memberatkan karena
banyaknya jumlah salat yang ditinggalkan pada hari-hari haid. Berbeda dengan
puasa yang hanya dilakukan sekali setahun , yaitu pada bulan ramadhan. Dan hari-
hari haid seorang perempuan normal berlaku 6-7 hari, sehingga tidak akan
memberatkan dan menyusahkan jika dikerjakan oleh seorang wanita.8
2. Hadis Larangan Perempuan Haid Melaksanakan Tawaf
Sejumlah rangkaian ibadah haji yang tidak diperkenankan oleh ulama untuk
dilakukan ketika haid adalah tawaf dan sai. Namun perkara seorang perempuan
harus suci ketika tawaf mayoritas ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama
menganggap bahwasanya tawaf dikategorikan sama dengan salat, hanya saja
pelaksanaan tawaf dibolehkan berbicara. Sebagaimana yang tertera dalam sebuah
hadis Nabi SAW.
ان، د بن صالح اذلمدان، ثنا عبد الصمد بن حس ث نا علي بن حشاذ العدل، ثنا مم ثنا حده ائب، عن اوس، عن ابن عباس، رضي اللو عن ، عن عطاء بن الس ما، قال: قال سفيان الث وري
الطواف بالب يت صلة إال أن اللو أحل لكم فيو الكلم، فمن »رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم: )رواه احلاكم( «ي تكلم فل ي تكلم إال بي
“Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah Saw bersabda;” tawaf dibaitullah adalah
sebagaimana salat, kecuali melaksanakannya diperbolehkan berbicara, maka
barang siapa berbicara, maka janganlah berbicara kecuali berupa perkataan
/ucapan yang baik”.9
Di dalam hadis lain yang menjadi dalil perempuan harus suci ketika tawaf
adalah ketika Aisyah melaksanakan umroh, lalu ia menangis dikarenakan haid,
lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk tidak tawaf mengelilingi ka‟bah.
8 Hendrik, Problema Haid: Tinjauan Syariat Islam dan Medis, (Solo: Tiga
Serangkai,2006), h.192 9Abu Abdillah Al Hakîm muhammad bin Abdullah bin Na‟im bin Al Hakam Al- Ḏabi
Al- Aṯahmani Al Naisabûri, Mustadrak „Alâ sahîhain, (Beirut: Dar Al Kutub Al‟ilmiyah, 1411 H/
1995 M), Kitab Manasik, J.1, No. 1686, h.630
29
قال سعت القاسم بن الرحن عبد سفيان قال: سعتحدثنا علي بن عبد هلل قال: حدثنا ها اللو رضي عائشة القاسم يقول سعت حضت بسرف كنا فلما احلج إال رىن ال خرجنا تقول عن
ىذا إن قال ن عم ق لت :قالت ؟أنفست ف قال أبكي وأنا وسلم عليو اللو صلى النب علي فدخل ر احلاج ي قضي ما فاقضي آدم ب نات على اللو كتبو شيء ى قالت بالب يت تطوف ال أن غي وضح
)رواه البخاري( بالب قر نسائو عن وسلم عليو اللو صلى اللو رسول “dari 'Abdurrahman bin 'Abdullah Al Qasim dari Al Qasim bin Muhammad
dari 'Aisyah ia berkata, "Kami keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan hajji. Ketika kami
sampai di suatu tempat bernama Sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau
bertanya: "Apa yang membuatmu menangis?" Aku jawab, "Demi Allah, pada
tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji!" Beliau berkata: "Barangkali kamu
mengalami haid?" Aku jawab, "Benar." Beliau pun bersabda: "Yang demikian itu
adalah perkara yang sudah Allah tetapkan buat puteri-puteri keturunan Adam.
Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali tawaf di Ka'bah
hingga kamu suci.”10
Namun beberapa menganggap bahwa hadis tentang tawaf sama dengan salat
ini tertolak seperti Ibnu Taimiyah dan ulama yang lain sepakat bahwasanya
wudhu ketika ingin tawaf tidak wajib, dikarenakan hadis tersebut mauquf,
kemudian adanya pelarangan mengenai tawaf ketika haid, hal ini bukan karna
tawaf harus berwudhu akan tetapi karna tawaf dilakukan di masjid11
, Begitu juga
yang diungkapkan oleh syaikhul Islam di dalam kitab majmû‟ fatawâ bahwasanya
bersuci dari hadas tidaklah diwajibkan di dalam tawaf, meski dianjurkan untuk
ṯaharah kecil (berwudhu), namun itu juga tidak terdapat dalil syar‟i yang
mewajibkan taharah kecil ketika tawaf. Pendapat ini juga dikutip oleh Ibnu Hazm
di dalam kitabnya Al Muhalla. 12
Dan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan tidak boleh seorang
perempuan haid tawaf adalah karna masjidnya, terlebih masjidil haram adalah
10
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al Bukhari, Sâhîh Bukhâri,
(Kairo: Darul Fikr,tt), Kitab Haid, j.1, no. 294, h. 76 11
„Adil Sa‟di, Fiqh Al Nisa, Thaharah Salat, terj. Abdurrahim, (Jakarta : PT Mizan
Publika, 2006) H. 47 12
Abu Malik Kamil Ibn Sayyid salim, Fikih Sunnah Wanita: Referensi Fikih Wanita
Terlengkap, terj. Firdaus, (Jakarta: Qisti Press, 2013),h.47
30
sebaik-baik masjid, sebagaimana firman allah SWT kepada Nabi Ibrahim dalam
QS. Al- Baqarah: 125
د و ج الس ع ك الر و ني ف اك ع ال و ني ف ئ آلط ل ت ي ب ر هي ن أ “Sucikan lah rumah-Ku untuk orang-orang yang melaksanakan tawaf,
i‟tikaf, rukuk dan sujud” Ayat ini menunjukkan bersucinya wanita bukan syarat melaksanakan tawaf,
sama seperti bersucinya seorang wanita untuk melaksanakan salat. Akan tetapi,
Allah menjadikan termasuk dalam perkara-perkara yang menyebabkan tidak
bolehnya wanita untuk melakukan iktikaf di dalam masjidil haram ketika dalam
keadaan haid. Karena itulah wanita yang sedang dalam keadaan haid tidak
dilarang untuk melakukan berbagai macam kegiatan manasik haji. 13
Sedangkan di dalam kitab Al-majmu‟, Al- Nawawi berkata, para ulama
sepakat tentang tidak ada halangan bagai perempuan haid dan nifas untuk
melakukan rangkaian ritual ibadah haji kecuali tawaf dan salat dua rakaat untuk
tawaf. baik itu wajib maupun sunnah. Ijma‟ ini pun kemudian disepakati oleh Ibnu
Jarir al-Tabari dan yang lainnya.14
Para imam mazhab empat telah sepakat melarang orang haid dan nifas karna
hadis ini, selanjutnya jika dia menyalahi ketentuan di atas dan melakukan tawaf
rukun, maka tidak sah tawafnya dan tidak bisa di ganti dengan dam (denda),
Menurut golongan hanafiyah, tawafnya sah dan wajib membayar unta dan tidak
sah sainya yang dilakukan setelah tawaf, tapi harus dganti dengan kambing.15
Dalam riwayat lain diceritakan bahwasanya ketika itu Asma‟ binti Umais
sedang mengalami nifas karna baru saja melahirkan Muhammad bin Abu Bakar,
13
Ibnu Taimiyah, Fatawa Al-Nisa, terj. Khairun Naim, (Jakarta: Ailah, 2005), h. 44-45 14
Syeikh Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, terj. Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2005),h. 81 15
Siti Choiriyah, “ Tawaf Bagi Wanita Haid Menurut Ibnu Mas‟ud al Kasani”, (Skripsi
S1, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2012), h. 56
31
lalu Rasulullah SAW memerintahkan Abu Bakar, agar Asma‟ mandi dan
mengucapkan talbiyah. Kemudian ia mengucapkan talbiyah dan melakukan apa
yang dikerjakan oleh orang-orang kecuali tawaf di kakbah, hal itu terjadi sewaktu
haji wada‟, Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu „Umar. Dengan demikian wanita haid
harus melakukan kegiatan sebagaimana orang yang sedang berhaji, hanya saja ia
tidak melakukan tawaf qudum dan tawaf wada‟.16
Bagi seorang perempuan yang sedang haid, tidak diwajibkan untuk tawaf
wada‟, mereka cukup menggantinya dengan berdiri sambil berdoa didepan pintu
masjidil haram17
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
ث نا سعيد بن منصور، وأبو بكر بن أب شيبة، واللفظ لسعيد، قاال: ث نا سفيان، عن ابن حد حدف »اوس، عن أبيو، عن ابن عباس، قال: أمر الناس أن يكون آخر عهدىم بالب يت، إال أنو خفي
)رواه مسلم( «عن المرأة احلائ “Rasulullah memerintahkan manusia (yang berhaji) agar akhir yang
dilakukannya adalah tawaf dibaitullah, namun beliau memberikan keringanan
bagi perempuan haid” (HR. Muslim).18
3. Hadis Larangan Perempuan Haid Masuk Masjid
Di antara pelarangan berikutnya yang berlaku bagi perempuan haid adalah
masuk kedalam masjid, akan tetapi ulama berbeda pendapat mengenai hal ini ,
dikarenakan ada beberapa redaksi hadis yang membolehkan dan ada yang tidak,
sehingga di sini terlihat antara redaksi hadis yang satu dengan yang lain seolah-
olah terdapat pertentangan.
Awal mula munculnya pelarangan ini berdasarkan hadis berikut ini:
16
As-Sayyid Muhammad Shiddiq Khan, Al-qur‟an dan As-Sunnah Bicara Wanita
,(Jakarta: Darul Falah,2001), h. 263-264 17
Nasaruddin Umar dan Indriya R. Dani, 100+ Kesalahan Dalam Haji dan
Umroh,(Jakarta: Qultum Media,2008),
h. 40-41 18
Muslim bin Hajjaj Abu al Hasan al Qusyairi al Naisaburi, Sahih Muslim, Kitab Haji,
Bab Wajibnya Tawaf Wada‟ dan Terbebasnya Wanita Haid Melakukannya, No.2351
32
د حدث نا ث نا مسد فة بن األف لت حدث نا زياد بن الواحد عبد حد ث تي قال خلي بنت جسرة حدعت قالت دجاجة ها اهلل رضي عائشة س ب يوت ووجوه وسلم عليو اهلل صل اللو رسول جاء ت قول عن
سجد ف شارعة أصحابو
هوا ف قال ادل عليو اهلل صلى النب دخل ث ادلسجد عن البيوت ىذه وجي البيوت ىذه وجهوا فقال بعد إليهم فخرج رخصة فيهم تنزل أن رجاء شيئا القوم يصنع ومل وسلم
سجد أحل ال إني ف ادلسجد عن
ادل (داود ابو )رواه جنب وال حلائ“Musaddad telah menceritakan kepadaku, menceritakan kepadaku Abd al-
Wahid bin Ziyad, telah meneritakan kepadaku al- Aflat bin khalifah
berkata: telah menceritakan kepadaku Jasrah binti Dajajah ia berkata:
“Saya mendengar Aisyah r.a bercerita bahwa Rasulullah saw, pernah
datang ketika itu bagian depan rumah sahabat Nabi berhadapan dengan
masjid. Maka Nabi bersabda: Palingkan! Bagian depan rumah kalian dari
amasjid . Akan tetatpi para sahabat tidak melakukan apa-apa berharap
adanya keringanan. Maka Rasulullah saw keluar menuju mereka dan
bersabda: palingkan bagian depan rumah kalian dari masjid sesungguhnya
saya tidak menghalalkan masjid untuk (dimasuki) orang junub dan haid”.19
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Sahabat Aisyah
ulama hadis memberikan penilaian yang berbeda-beda, ada yang menta‟dil dan
menjarh, akan tetapi kebanyakan memberi penilaian jarh, karna berdasarkan
kaidah ilmu hadis jarh harus didahulukan dari pada ta‟dil, Dengan demikian hadis
ini juga dikategorikan sebagai hadis ḏa„if .20
Sedangkan hadis yang membolehkan wanita haid masuk masjid
ث نا يي بن يي وأبو بكر بن أب شيبة وأبو كريب قال يي أخب رنا ث نا أبو حد وقال الخران حدد عن عائشة قالت قال ل رسو ل اللو معاوية عن األعمش عن ثابت بن عب يد عن القاسم بن مم
ف قال إن حيضتك ليست صلى اللو عليو وسلم ناوليي اخلمرة من المسجد قالت ف قلت إني حائ )رواه مسلم( ف يدك
“Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar
bin Abu Syaibah serta Abu Kuraib, Yahya berkata, telah mengabarkan kepada
kami, sedangkan dua orang lainnya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu'awiyah dari al-A'masy dari Tsabit bin Ubaid dari al-Qasim bin Muhammad
dari Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata
19
Abu Dâwud Sulaimân bin al- Asy‟âsy bin Ishâq bin Basyîr bin Syadad al- Azdi al-
Sijistâni, Sunan Abi Dâwud, (Beirut: Dar al- Fikr,tt), Bab fî Al-Junubi Yadkhulu al- Masjida J.1, h.
207 20
Ahmad Hidayat shaufi, “Studi Kritik Hadis Wanita Haid Masuk Masjid; Analisa Sanad
dan Matan”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2007), h. 72-74
33
kepadaku: "Ambillah untukku minyak wangi dari masjid." Aisyah lalu menjawab,
"Sesungguhnya aku sedang haid!" Beliau pun bersabda: "Sesungguhnya haidmu
tidak terletak pada tanganmu (maksudnya tidak akan mengotori)." (HR. Muslim)21
Diketahui hadis yang menjadi rujukan bolehnya perempuan haid masuk
masjid ini sanad nya sahih dan mempunyai banyak jalur periwayatan yaitu lima
dari enam penulis kutub al- sittah. Berbeda dengan hadis yang melarang wanita
haid masuk masjid hanya mempunyai dua jalur yang terdapat dalam kutub al-
sittah.22
Dari dua teks hadis di atas, terdapat beberapa kesimpulan bahwasanya
hadis pelarangan seorang perempuan haid masuk masjid yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dari sahabat Aisyah merupakan hadis qauliy yang menunjukkan tidak
diperkenankan nya seorang perempuan haid melakukan aktifitas dan berdiam diri
di dalam masjid, Kemudian hadis yang menjadi dasar pembolehan wanita haid
masuk masjid ini keduanya dikategorikan sebagai hadis fi‟liy, yang berasal dari
maimunah yang mana mengandung makna bahwasanya seorang perempuan haid
boleh menginjakkan kaki di dalam masjid , yang berarti tidak mengapa seorang
perempuan haid melakukan aktifitas dimasjid jika ada suatu keperluan yang
penting tanpa bermaksud berdiam diri.23
Selain itu, berdasarkan pendapat-pendapat ulama pelarangan ini terjadi
berdasarkan firman Allah SWT di dalam surah Al-Nisa‟(4): 43, yakni “lâ taqrabû
al shalâta wa antum sukara.. dan seterusnya“(“ jangan lah kamu mendekati salat,
sedangkan kalian dalam keadaan mabuk” dan seterusnya), yang mana masing-
21
Abi Al Husain Muslim bin Al Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Ma‟afat, tt), Bab
Bolehnya Wanita Haid Membasuh Kepala Suaminya, Menyisir dan Menggunakan Bekas Airnya,
cet 1,j.3. h. 200 22
Ahmad Hidayat shaufi, “Studi Kritik Hadis Wanita Haid Masuk Masjid; Analisa Sanad
dan Matan”, h.74-75 23
Duhriah, “Larangan Bagi Perempuan Haid Melakukan Aktifitas di Masjid dan
Membaca al- Qur‟an”, Kaffah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender V, No.1(2015): h. 65
34
masing memberikan penafsiran berbeda terhadap makna dari kata lâ taqrabû al
shalâta dan makna dari kalimat selanjutnya wa lâ junuban illâ „âbirî sabîlin24
,
dan kesimpulan dari masing-masing pendapat menunjukkan adanya pelarangan
tersebut karna dikhawatirkan menetes nya darah haid, sehingga dapat mengotori
masjid. Hal ini sejalan dengan sebuah hadis yang diceritakan oleh Abu Hurairah
ketika tengah bersama dengan Rasulullah SAW, lalu melintaslah seorang wanita
kemudian ia terpeleset dan terpelanting sehingga pakaian nya sedikit tersingkap,
sehingga membuat Rasulullah berpaling, kemudian dikatakan oleh orang yang
melihatnya bahwa ia bercelana.25
Sehingga ditarik lah kesimpulan bahwa kultur masyarakat pada waktu itu,
masih banyak perempuan yang tidak memakai celana. Sehingga sangat wajar jika
Rasulullah melarang perempuan memasuki masjid karna jika darah keluar pasti
langsung menetes di dalam masjid.26
Dan zaman modern seperti ini kekhawatiran
akan menetesnya darah haid itu terbantah kan karna telah adanya pembalut yang
bisa dipakai oleh perempuan yang sedang haid.
4. Hadis Larangan Perempuan Haid Berjima’
Pada masa pra Islam, perkara tentang berjima‟ bagi perempuan haid belum
diatur sebagaimana sekarang ini, kemudian datanglah Islam yang mengatur
bahwasanya haram menggumuli bagian yang kotor dan memubahkan bagian yang
24
Lebih jelas baca (Abdul Halim hasan, Tafsir al- Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.
1, cet. 1, h. 271) 25
Ibnu hamzah al- Husaini, Asbabul Wurud, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-
Hadis Rasul, terj. H.M Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), juz.2,
h.370 26
Ningsih Sri Rahayu, “ Studi Kritik hadis Larangan dan Kebolehan Perempuan Haid
Masuk Masjid”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo, 2012), h. 121
35
selainnya.27
Hingga kemudian Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan
bolehnya melakukan kontak sosial dengan perempuan haid. Rasulullah
menegaskan bahwa: (“segala sesuatu boleh dilakukan untuknya, kecuali
kemaluannya (faraj)”) dalam artian, segala sesuatu boleh untuknya, kecuali
bersetubuh / berjima‟.28
Bahkan pada praktik sehari-hari Rasulullah banyak sekali memberikan
tuntunan yang menunjukkan bahwa boleh melakukan aktifitas bersama dengan
istri yang sedang haid, dan Beliau sama sekali tidak menunjukkan sikap tabu
dalam perlakuan terhadap istri-istrinya.29
Seperti yang dijelaskan di dalam hadis
riwayat Muslim30
, tentang bagaimana cari menggauli istri ketika haid yaitu
dengan memakai izar atau kain penutup dari pusar sampai ke lutut dan potongan
hadis في فىر حيضتها , maksudnya ketika Rasulullah jika ingin bersenggama atau
menggauli istrinya pada saat puncak masa menstruasi yang banyak mengeluarkan
darah beliau menggauli dengan memakai penutup dibagian kemaluan. 31
Menurut pendapat mayoritas ulama dan termasyhur mutlak
mengharamkan berdasarkan nash al qur‟an dan hadis, kemudian ada yang
berpendapat tidak diharamkan, tetapi makruh tanzih. Asy-Syafi‟i sendiri
menetapkan bahwasanya seandainya seorang muslim berkeyakinan bahwa
bersenggama dengan istri yang sedang haid adalah halal atau diperbolehkan, maka
ia telah kafir dan murtad. Terlebih apabila ia mengetahui keharaman tersebut dan
27
Abdurrahman bin Nasir Al- Sa‟di, Syarah Umdatul Ahkâm, terj. Suharlan dan
Suratman, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015) cet.2, h. 85 28
Nasarudin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, h.51 29
Nasarudin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, h. 51 30
رسىل هللا صلى هللا عليه وسلم أن تأتزر في فىر حيضتها، ثم كان إحداوا إذا كاوت حائضا أمرها »عه عائشة قالت:
«وأيكم يملك إربه كما كان رسىل هللا صلى هللا عليه وسلم يملك إربه »قالت: « يباشرها 31
Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, terj. Agus Ma‟mun dkk, (Jakarta: Darus Sunnah
Press, 2015), cet.4, h. 668-671
36
sengaja melakukannya untuk melapiaskan hasrat seksualnya Maka ia telah
melakukan suatu kemaksiatan besar. Adapun tentang membayar kafarat pendapat
Asy-Syafi‟i yang paling benar tidak wajib baginya kafarat.32
Namun di dalam
hadis dikatakan bahwasanya laki-laki yang menggauli istrinya dalam keadaan
haid, Rasul bersabda “ia harus bersedekah setengah dinar”33
Di sisi lain, ketika kedatangan tamu bulanan itu mengakibatkan hawa
nafsu seorang perempuan menurun dan emosinya sering kali tidak terkontrol.
Hubungan seks ketika itu tidak melahirkan hubungan intim antara pasangan,
apalagi dengan darah yang selalu siap keluar, dengan aroma yang kurang sedap
serta sesuatu yang tidak menyenangkan untuk dilihat, tentu ini menjadi salah satu
aspek yang mengganggu bagi seorang pria. Pada masa haid juga sel telur yang
keluar belum ada gantinya, sampai beberapa lama setelah wanita sampai pada
masa suci, sehingga pembuahan yang merupakan salah satu tujuan hubungan seks
tidak mungkin akan terjadi pada masa haid.34
Lagi pula berlakunya pelarangan berjima‟ dengan seorang istri yang
sedang haid di dalam Islam ini , pada hakikatnya demi untuk menjaga organ
reproduksi perempuan itu sendiri. Secara klinis terbukti bahwa berhubungan intim
ketika haid sangat merugikan bagi kesehatan, baik bagi perempuan maupun laki-
laki.35
Misalnya seperti radang rahim pada indung telur bagi perempuan,
kemudian sifilis karna masuknya unsur darah haid kedalam organ reproduksi laki-
32
Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, terj. Agus Ma‟mun dkk, h. 671 33
Muhammad nasirudin Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, terj. Ahmad Yuswaji, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h. 125 34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002),h. 478-479 35
Siti Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2014), h. 63
37
laki. Secara ringkas melakukan senggama ketika perempuan sedang dalam masa
haid, akan menyebabkan kemandulan bagi perempuan atau laki-laki.36
A. Hadis Yang Melarang Seorang Perempuan Haid Membaca Al-
Qur’an
Hadis terbagi dalam beberapa bagian, berdasarkan sampainya hadis
tersebut kepada kita, yakni hadis mutawatir37
, dan hadis ahad38
. Sedangkan
khabar ahad dilihat dari kuat dan lemahnya hadis terbagi menjadi tiga, yaitu
hadis shahih39
, hadis hasan40
, dan hadis dhoif41
Untuk mengetahui sebuah hadis maqbul atau tidaknya harus memenuhi
syarat hadis sahih42
dan diperlukan penelitian lebih lanjut yaitu dengan cara
melakukan penelusuran terhadap sanad hadis maupun matan hadis tersebut
dengan cara takhrîj al hadîts. Takhrij secara bahasa adalah berkumpulnya dua
hal yang bertentangan dalam satu masalah. Selain itu pengertian takhrij secara
36
Lebih jelas baca Mahmud Mahdi al- Istanbuli, Tuhfatul Arûsyî, terj. Sholihin,
(Jakarta: Qitshi Press, 2012), h. 120 37
Hadis mutawatir merupakan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap
thabaqat (tingkatan) nya, sehingga sangat tidak dimungkinkan bahwa perawi-perawi hadis tersebut
sepakat untuk berdusta. 38
Manna Al- Qaṯan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 112-113 39
Hadis sahih adalah hadis maqbul yang dapat dijadikan hujjah, karna di dalamnya
terdapat syarat-syarat tertentu yang menjadikan hadis tersebut dapat diterima dan bisa dijadikan
hujjah 40
Hadis hasan adalah hadis maqbul yang dapat diterima kehujjahan nya, hanya saja
tingkatan nya berada dibawah hadis shahih, karna terdapat kekurangan pada hadis tersebut, dan
kekurangan tersebut bukan termasuk pada kekurangan yang fatal yang dapat menyebabkan hadis
itu tertolak.
41 Sedangkan hadis dhoif adalah hadis yang masuk dalam kategori tertolak, karna ia
termasuk hadis yang lemah dan di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis yang menjadi sebab
hadis tersebut diterima. Dengan kata lain, hadis yang menjadi sumber rujukan hukum dalah hadis
yang maqbul atau hadis sahih.(penjelasan lebih lanjut mengenai hadis shahih, hadis hasan, hadis
dhaif, lihat Manna Al- Qaṯan, “ Pengantar Studi Ilmu Hadis”, h. 116-125) 42
syarat-syarat hadis sahih yaitu pertama ittisal al-sanad (bersambungnya sanad), „adâlat
al-ruwah (periwayat yang adil), dabtu al-ruwah ( periwayat yang dhabt ), „adam asyuzdudz (tidak
ada kejanggalan, dan „adam al-illah (tidak ada cacat).
38
bahasa yang populer adalah :al-istinbât(mengeluarkan), al-tadrîb (melatih atau
membiasakan), al-taujîh (memperhadapkan).43
Setelah melakukan takhrij, proses selanjutnya adalah Kritik sanad hadis
yaitu penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu
perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan
berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad hadis
untuk menemukan kebenaran yaitu kualitas hadis.44
Maka pada pembahasan ini penulis ingin meneliti sebuah hadis yang sudah
populer dikalangan masyarakat yaitu tentang larangan seorang perempuan haid
membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an.
1. Redaksi Hadis
Potongan hadis yang pertama yang akan penulis teliti adalah tentang
larangan seorang perempuan haid membaca al-Qur‟an :
ال يقرأ القرآن اجلنب وال احلائ - Pada langkah awal penelitian ini, penulis akan meneliti potongan hadis
tersebut dengan cara mentakhrij hadis tersebut melalui tiga metode yaitu
pertama kata-kata fiil yang terdapat pada hadis, kedua melalui awal matan
hadis, ketiga melalui tema hadis. Metode yang pertama penulis menggunakan
kitab mu‟jam mufahras45
dengan menggunakan kata kunci haid dan junub,
pada penelusuran ini penulis menemukan dua hadis yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi dan Ibnu Majah. Metode kedua, penulis melakukan pencarian dengan
43
Mahmud al-Ṯahhan, Usul al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Riyadh: Maktabah al-
Ma‟arif, 1412 H/1991 M), h.7 44
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metode Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 7 45
A.J Wensinck, Mu‟jam Mufahras Li Alfadz Al-Hadis Al- Nabawî, (Leiden : E.J Brill,
1995), j. 1, h. 382
39
menggunakan kamus Miftâh al-Kunûz46
dengan menggunakan tema haid dan
al-Qur‟an dan di sini penulis menemukan empat hadis yang diriwayatkan oleh
Tirmidzî, al- Nasâi, Ibnu Mâjah dan al-Darimî. Kemudian metode yang ketiga
penulis menggunakan Mausû‟ah Aṯrâf al- Hadîs al-Nabawî al- Syarîf47
dengan
memakai awal matan hadis, di sini penulis menemukan beberapa di dalam
kitab hadis namun penulis hanya mencantumkan empat hadis sebelumnya dan
ditambah dengan hadis yang diriwayatkan oleh Dar Al-Quṯni dan Al-Baihâqî.
2. Takhrij Hadis tentang larangan seorang perempuan haid membaca
al-Qur’an
Setelah melakukan beberapa metode penelusuran di atas, langkah
selanjutnya adalah mencari dan melacak hadis tersebut ke sumber aslinya
sesuai keterangan yang sudah diperoleh, berikut adalah hasil penelusuran ke
kitab-kitab hadis aslinya:
79ت هارة
(79)السنن الرتمذي: كتاب الطهارة / باب رقم
باب ما جاء ف اجلنب واحلائ : أهنما ال يقرآن القرآن -79
ث نا إساعيل بن عياش، عن -131 ث نا علي بن حجر، واحلسن بن عرفة، قاال: حد حدموسى بن عقبة، عن نافع، عن ابن عمر، عن النبي صلى اللو عليو وسلم قال: ال ت قرأ
، وال اجلنب شيئا من القرآن 48)رواه الرتمذي( .احلائ
105جو هارة
46 A.J Wensinck, Miftâh al- Kunûz al- Sunnah, (Kairo: Dar al- Hadis, 1411 H/ 1991 M),
h. 170 47
Âbu Hajar Muhammad al-Sâ‟îd Ibn Basyunî Zaghlûl, “Mausu‟âh Aṯrâf al-Hadîs al-
Nabawî al-Syarîf”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1989 M), j. 7, h. 440 48
Abi „Îsa Muhammad bin „Îsa bin Saurah, Jami‟ al- sahih Wa Huwa Sunan Tirmidzi,
(Beirut: Dar Al- Kutub al- Ilmiyah,1995/ 1415), Kitab Ṯaharah, j.1, no. 131, h. 236
40
(105)السنن إبن ماجو / كتاب الطهارة / باب رقم ما جاء ف قرأة القرآن على غي هارةباب -ث نا موسى بن عقبة، عن - ث نا إساعيل بن عياش قال: حد ار قال: حد ث نا ىشام بن عم حد
قرأ القرآن ال ي »نافع، عن ابن عمر قال: قال رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم: 49)رواه إبن ماجو( «اجلنب، وال احلائ
An- Nasai, kitab thaharah bab 170 (hadis tidak ditemukan)
)سنن الدارمي /كتاب الطهارة / باب احلائ تذكر اهلل وال تقرأ القرآن(
اجلنب واحلائ ال يقرآن أخربنا ممد بن يزد البزار, حدثنا شريك , عن فراسو عن عامر : - القرآن
اهلل عنو أخربنا أبو الواليد, حدثنا شعبة , حدثنا احلكم , عن إبراىيم قال : كان عمر رضي - أو ينهى أن يقرأ اجلنب, قال شعبة : وحديثو ف الكتاب : واحلائ يكره
اج، عن حاد بن سلمة، عن عاصم األح - قال: أخب رنا حج ول، عن أب العالية، ف احلائ « ال ت قرأ القرآن »
ث نا شعبة، عن سيار، عن أب وائل، قال: كان ي قال: " ال ي قرأ - أخب رنا سهل بن حاد، حد، وال ي قرأ ف ام، وحاالن ال يذكر العبد فيهما اللو: عند اخللء اجلنب، وال احلائ احلم
ى اللو " 50وعند اجلماع، إال أن الرجل إذا أتى أىلو، بدأ فسم سنن الدار القطي / كتاب الطهارة و كتاب احلائ/ باب ف النهي للجنب واحلائ, باب(
ختفيف قرآة حلاجة(د بن عبد العزيز , نا داود بن رشيد , نا إساعيل بن عياش , - ث نا عبد اللو بن مم عن حد
عليو وسلم: موسى بن عقبة , عن نافع , عن ابن عمر , قال: قال رسول اللو صلى اهلل وال اجلنب شيئا من القرآن » «.ال ي قرأ احلائ
ث نا ي عقوب بن إب راىيم الب زاز , وابن ملد , وآخرون , قالوا: نا احلسن بن عرفة , نا - حدبن عقبة , عن نافع , عن ابن عمر , عن النبي صلى اهلل إساعيل بن عياش , عن موسى
عليو وسلم.
49 Al Hafiẕ Abi „Abdillah Muhammad bin Yazîd Al- Qazwînî, Sunan Ibnu Majah, (Beirut
: Dar Al-Fikri, 1995/1415), Kitab Ṯaharah , j.1, h. 195 50
Abu Muhammad „Abdullah bin „Abdul Rahman bin Faḏl bin Bahram al- Darimî,
Sunan Al Darimî, (Kairo: Dar al-Fikr, 1398 H/ 1978 M), Kitab Ṯaharah, j. 1, h. 235
41
د بن إسحاق بن إب راىيم الث قفي , نا سعيد - د بن يي , نا مم ث نا إب راىيم بن مم بن حد , نا إساعيل بن عياش , عن موسى بن عقبة , وعب يد اللو بن عمر , ي عقوب الطالقان
علء عن نافع , عن ابن عمر , عن النبي صلى اهلل عليو وسلم , مث لو. تاب عو إب راىيم بن ال إساعيل.ب يدي , عن الز
د بن جعفر بن رزين , نا إب را - د بن عبد اللو بن صالح األب هري , نا مم ث نا مم ىيم بن وحد, عن نافع , العلء , نا إساعيل بن عياش , عن عب يد اللو بن عمر , وموسى بن عقبة
عن ابن عمر , عن النبي صلى اهلل عليو وسلم , مث لو ان , عن رجل , عن أب معشر , عن - د بن إساعيل احلس د بن ملد , نا مم ث نا مم حد
ع , عن ابن عمر , عن النبي صلى اهلل عليو وسلم قال: موسى بن عقبة , عن ناف واجلنب ال ي قرآن من القرآن شيئا» «احلائ
عثاء - د بن زياد , نا أحد بن علي األبار , نا أبو الش ث نا أحد بن مم علي بن احلسن حدال ي قرأ »الواسطيي , ثنا سليمان أبو خالد , عن يي , عن ابن الزب ي , عن جابر , قال:
فساء القرآن وال اجلنب وال الن 51يي ىو ابن أب أن يسة ضعيف «. احلائث نا عبد الصمد بن علي , ثنا إب راىيم بن أحد بن مروان , ثنا عمر بن عثمان بن عا - صم حد
د بن الفضل , عن أبيو , عن اوس , عن جابر , قال: قال رسول اللو صلى اهلل , ثنا ممفساء من القرآن شيئا»و وسلم: علي وال الن 52«ال ت قرأ احلائ
/ ( باب احلائ ال متس ادلصحف)سنن الكبي البيهقي
ار - ف ، أنا وأخب رنا أبو عبد اللو احلسني بن عمر بن ب رىان، ف آخرين قالوا: أنا إساعيل الصاحلسن بن عرفة، نا إساعيل بن عياش، عن موسى بن عقبة، عن نافع، عن ابن عمر، عن
شيئا من القرآن »سول اللو صلى اهلل عليو وسلم قال: ر « ال ي قرأ اجلنب وال احلائ
ري - ك د عبد اهلل بن يي بن عبد اجلبار الس ، وأبو مم أنا إساعيل قال: أخب رنا أبو علي الروذباريار، ثنا احلسن بن عرفة، ثنا إساعيل بن عياش، عن موسى بن عقبة، عن ناف ف د الص ع، بن مم
وال اجل نب شيئا من عن ابن عمر، عن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: ال ت قرأ احلائ القرآن " ليس ىذا بالقويي
51
„Ali bin „Umâra Dar Al-Quṯni, Sunan Dâr al-Quṯnî, (Beirut: Dar al-Ma‟arifah, 1422 H/
2001 M), j. 1, h. 210-218 52
„Ali bin „Umâra Dar Al-Quṯni, Sunan Dâr al-Quṯnî, j.2, h. 462 (dikatakan hadis ini
dhaif, bahkan dikatakan bahwa hadis ini adalah maudhu‟ dikarenakan ada periwayat yang bernama
Muhammad bin Fadhl)
42
د بن - د بن حبان، ثنا إب راىيم بن مم احلسن، وأخب رنا أبو بكر بن احلارث الفقيو، أنا أبو ممبو عمرو ىو األوزاعي قال: سئل الزىري عن اجلنب أنبأ أبو عامر، ثنا الوليد بن مسلم، ثنا أ
ص ذلم أن ي قرءوا من القرآن شيئا " ، ف قال: " مل ي رخ فساء، واحلائ يناه عن جابر والن وروي ال ت قرأ القرآن بن عبد اهلل، ث عن عطاء وأب ال 53عالية والنخعيي وسعيد بن جب ي ف احلائ
3. Penjelasan Sanad
Setelah melakukan takhrij hadis, langkah selanjutnya adalah jarh wa
ta‟dil54
,kata jarh dan ta‟dil adalah dua komponen yang berbeda, akan tetapi
mayoritas ulama menganggapnya satu jenis. Dengan ilmu ini maka dapat
diketahui bahwa apakah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tersebut layak
diterima atau ditolak. Lafaz-lafaz dalam ta‟dil yang paling tinggi adalah
pertama Tsiqah tsiqah atau Imam hujjah dan sejenisnya, kedua tingkatan
dibawahnya menggunakan lafaz yang di atas namun dalam bentuk tunggal,
Misalnya tsiqah atau imam saja. Ketiga lafaz shadûq atau lâ ba‟sa bih, keempat
lafaz mahaluhû ash-shidq, atau lafaz mereka meriwayatkan lafaz darinya,
kemudian lafaz shâlih al hadîs.55
Adapun lafaz jarh yang paling jelek tingkatan nya adalah pertama
Kadzdzâb (pendusta), atau Wadhdha (pembuat hadis maudhu‟/palsu), atau
dajjal dan lafaz yang semakna dengannya. Kedua Muttaham (tertuduh), atau
halik (celaka/binasa), atau saqith (gugur). Ketiga Dha‘îf jiddan (lemah sekali),
atau wahin bi marrah (lemah sekali). Pada hadis yang diriwayatkan oleh tiga
53
Abi Bakar Ahmad bin Husain bin „Ali al-Baihâqi, Sunan Al-Kubrâ, (Beirut: Dar Al-
Kitab Al-Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M), j.1, h. 461 54
yaitu ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi
dan tentang penta‟dilannya (memandang lurus perangan para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.)lihat Manna Al- Qaṯan, “
Pengantar Studi Ilmu Hadis”, h. 82) 55
Ibnu Nasirudin al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis, terj. Faisal
Saleh dan Khorul Amru Harahap, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), h. 206-209
43
tingkatan ini tidak boleh dijadikan hujjah atau dalil. Selanjutnya tingkatan yang
berada di bawahnya, yang tetap boleh ditulis untuk dijadikan sebagai
perbandingan. Pertama lafaz Ḏa‘îf (lemah) atau mungkar al hadîs (hadis yang
diriwayatkan adalah hadis mungkar), dan sejenisnya. Kedua fihi maqal (ada
kritik pada dirinya), atau laisa bi qawî (tidak kuat), atau huwa layyin al- hadîs
(hadis riwayatnya lemah), dan sejenisnya.56
Pada penelitian ini penulis hanya menelusuri hadis yang diriwayatkan dari
jalur Tirmidzi dan Ibnu Majah. Adapun perawi yang termasuk dalam riwayat
dari jalur tirmidzi adalah: (1) Ibnu „Umar, (2) Nâfi‟, (3) Mûsa Ibnu „Uqbah, (4)
Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy, (5) Hasan Ibnu „Arafah, (6) „Ali Ibnu Hujrin, (7)
Tirmidzi. Kemudian dari jalur riwayat Ibnu Mâjah adalah: (1) Ibnu „Umar , (2)
Nâfi‟, (3) Mûsa Ibnu „Uqbah, (4) Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy, (5) Hisyâm Ibnu
„Ammâr, (6) Abu Hâtim, (7) Abu Hasan.
a. Para Periwayat Jalur Tirmidzi
1) Ibnu Umar, nama asli beliau adalah „Abdullah bin „Umar ibn al-
Khattâb al- Qurâisyi, beliau merupakan salah seorang sahabat yang tinggal di
Madinah dan hidup serta bertemu dengan Nabi SAW, beliau dikenal dengan
nama sebutan Abu „Abdirrahman, diketahui bahwa beliau wafat pada tahun 74
H, dan diantara murid yang berguru kepada beliau adalah Nâfi‟, „Abdullah
Ibnu Dînar dll 57
Beliau adalah anak dari „Umar bin Khattâb sahabat yang hidup semasa
dengan Rasulullah Saw, sekaligus menjadi salah satu khalifah yang kedua.
Ibnu Umar adalah sahabat yang juga sempat hidup bersama dengan Nabi,
56
Ibnu Nasirudin ad-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar:Kitab Klasifikasi Hadis , h. 209 57
Jamaluddin al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, (Beirut: Dar al- Fikr,
1994), j.10, h. 350
44
sebagaimana kaidah yang sudah disepakati oleh para muhadditsin tentang
keadilan sahabat yaitu al- shahâbah kulluhum „udul (setiap sahabat adil) ,
karna pada masa Rasulullah Saw dan masa khulafaurrasyidin dapat dikatakan
masa berkumpulnya para periwayat hadis yang adil.58
maka Ibnu „Umar juga
tidak diragukan lagi ketsiqahanya dan keadilannya dalam meriwayatkan hadis.
Ia menduduki urutan kedua setelah Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis
5.364 hadis, beliau salah satu dari yang terbanyak yang meriwayatkan hadis,
sedagkan ibnu umar meriwayatkan 2.630 hadis.59
2) Nâfi‟, nama asli beliau adalah Nâfi‟ „Abdullah Al Madâni, beliau
adalah budak sekaligus murid dari „Abdullah bin „Umar, dan tinggal di
Madinah beliau dikenal dengan sebutan Abu „Abdillah, tidak diketahui jelas
tentang pastinya kapan beliau wafat, maisng-masing berbeda pendapat antara
117H, 119H, dan 120H. Beliau termasuk dalam tingkat tabi‟in pertengahan
adapun yang berguru pada beliau diantara nya Mûsa Ibnu „Uqbah, Zaid bin
„Abdullah bin „Umar, dll. Ulama berpendapat seperti Al Bukhari mengatakan
beliau Ashahhul Asânid60
, Al „Ijlî mengatakan beliau Tsiqah, „Utsmân Ibnu
Sa‟id Al Darimi mengatakan Tsiqah Walam Yufadhadhal, dan Ibnu Khirâsyî
menilai Tsiqah, Nabîl. 61
3) Mûsa Ibnu „Uqbah, nama asli beliau adalah Mûsa Ibnu „Uqbah Ibn
Abi „Ayyâsyi al- Asâdî al- Miṯrâfî , beliau berdomisili di Madinah yaitu bagian
dari negri Hijaz dan wafat pada tahun 141 H, beliau dikenal dengan sebutan
58
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam,Metode Kritik Hadis, h. 7 59
Ibnu Hajar Al-Asqalany, Al Isâbah Fi Tamyîz al-sahabah”, (Beirut: Dar Al- Kutub al-
Ilmiyah, 1415 H), cet.1, j.8, h. 60
Rutbah atau martabat paling tinggi di dalam shahih berdasarkan sanad (lihat penjelasan
T.M. Hasbi Al- siddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h.
118 61
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 19, h. 32-37
45
Abu Muhammad al-Madânî, beliau termasuk dari pada golongan tabi‟in kecil.
Salah satu dari guru Mûsa Ibnu „Uqbah adalah Nâfi‟ budak dari pada
„Abdullah bin‟Umar, adapun orang yang berguru dengan beliau disebutkan
salah satunya adalah Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsyi. Ulama berpendapat di dalam kitab
“Al- Kabîr bahwa beliau adalah tsiqah, begitu juga Ahmad bin Hanbal ketika
bertanya kepada ayahnya menilai bahwa Mûsa Ibnu „Uqbah adalah orang yang
Tsiqah. Yahya bin Ma‟în, Al „Ijlî dan Al Nasâi juga menyebut demikian, dan
abu Hatim menambahkan dengan menilai beliau tsiqah, shalih 62
4) Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy bin Sulaim al Insi, dikenal dengan sebutan Abu
„Utbah al-Himsy, beliau bertempat tinggal di Syam, dan wafat antara tahun 181
H/ 182 H, beliau termasuk pada golongan tabi‟in pertengahan, dan disebutkan
salah satu dari guru Ismâ‟îl bin Ayyâsyi adalah Musa bin „Uqbah, dan salah
satu murid beliau adalah Hasan bin „Arafah al-„Abdi. 63
Ulama berbeda
pendapat mengenai pribadi Ismâ‟îl Ibnu „Ayyâsyi, ulama „Abbâs al- Dauri dari
Yahya bin Ma‟în menilai Tsiqah, Ya‟qûb bin sufyân tsiqah adil, Abu Bakar bin
abi Khaysimah menilai laisa bihi ba‟sa„, dan „Utsmân bin Sa‟id al- Darimî dari
Yahya bin Ma‟în arjû an la yakûna bihi ba‟sa.
Sedangkan Menurut Yahya bin Ma‟în Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsyi adalah
Tsiqah jika ia meriwayatkan dari guru yang berasal dari Syam, sedangkan jika
dari Hijaz kemungkinan lemah karna orang-orang Hijaz lemah dalam menjaga
hafalan64
, Abu „Abdurrahman bin Abi Hatim beliau menilai layyin (setara
dengan lemah), begitu juga ketika Abu Zar‟ah ditanya tentang Ismâ‟il Ibnu
62
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 18, h. 492 63
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 2, h. 207-218 64
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, h. 174
46
„Ayyâsy, ia menjawab shadûq kecuali jika hadis yang ia riwayatkan dari orang-
orang Hijaz dan Iraq.65
5) Hasan bin „Arafah Ibn Yazîd Al-„Abdi, dikenal dengan sebutan Abu
„Ali Al Baghdâdi, tinggal dan wafat di Baghdad pada tahun 275 H, beliau
termasuk dari pada golongan Tabi‟ Tabi‟in, salah satu gurunya adalah Ismâ‟il
Ibnu „Ayyâsyi, dan disebutkan salah satu dari guurnya adalah Tirmidzî.
Menruut Yahya bin Ma‟în ia berkata kepada „Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
ia adalah periwayat yang Tsiqah, „Abdurrahman bin hatim menilai shadûq, dan
Al Nasâi mengatakan menta‟dil beliau lâ ba‟sa bih. 66
6) „Alî Ibn Hujrin Ibn Iyâs al- Sa‟di, dikenal dengan sebutan Abu
Hasan Al Marûzi, „Ali Ibn Hujrin berdomisili di Baghdad dan wafat pada tahun
244 H, diketahui bahwa beliau satu perguruan dengan Hasan bin „Arafah yang
berguru kepada Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy, dan salah satu murid juga disebutkan
adalah Tirmidzî. Menurut „Abu „Ali Muhammad Ibn „Ali Ibn Hamzah al-
Marwâzi beliau adalah faḏlan hâfidzhan, dan Al Nasâi mengatakan beliau
tsiqah, ma‟mûn, hâfidz 67
.
7) Tirmidzî nama asli beliau adalah Muhammad Ibn „Îsa Ibn Saurah
Ibn Mûsa Ibn Ḏahâk al- Sulamî , yang dikenal dengan Abu „Îsa Al Tirmidzî,
beliau lahir pada tahun 200 H dan bertempat tinggal di Tirmidz , dan wafat di
Bashrah pada tahun 279 H. Disebutkan bahwasanya „Ali Ibn Hujrin dan Hasan
bin „Arafah adalah guru Imam Tirmidzî, dan telah diketahui bahwa beliau
memiliki kitab Sunan Tirmidzi yang masuk ke dalam Kutub Al Sittah. Menurut
65
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl,h. 178 66
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 4, h. 362 67
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 4, h. 362
47
Abu Hatim beliau adalah orang yang shâlih hadîs (benar dalam meriwayatkan
hadis), shadûq, dan Ibnu Hibban menyebutkan di dalam kitab nya bahwa beliau
adalah tsiqah. 68
b. Periwayat jalur Ibnu Mâjah
1) Ibnu „Umar (telah disebutkan sebelumnya)
2) Nâfi‟ (telah disebutkan sebelumnya)
3) Mûsa Ibnu „Uqbah (telah disebutkan sebelumnya)
4) Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsyi (telah disebutkan sebelumnya)
5) Hisyâm Ibn „Ammâr bin Nusâir Ibn Maysarah Ibnu Abân al-
Sulâmiy, beliau dikenal dengan sebutan Abu Al Wâlid, wafat di Damsyiq pada
tahun 245 H, salah satu dari guru beliau adalah Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy, dan salah
satu muridnya adalah Ibnu Mâjah. Menurut Mu‟âwiyah bin sâlih bin Junâid,
dan Al „Ijlî beliau adlah tsiqah, dan Al Nasâi mengatakan lâ ba‟sa bih, serta Al
Dâruquṯni mengatakan ia sadûq.69
6) Ibnu Mâjah nama asli beliau adalah Abu „Abdullah Muhammad Ibn
Yazîd Ibn „Abdullah Ibn Mâjah al- Râbi‟î al- Qazwîni, beliau lahir pada tahun
209 H dan wafat pada tahun 273 H, salah satu guru beliau adalah Hisyâm Ibn
„Ammâr, menurut Al Hafîz abu Ya‟la al Khalîl Ibn „Abdullah al Khalîl al-
Qazwîni beliau adalah tsiqah kabîr dan memiliki kitab Sunan, Tafsîr dan
Târikh70
Setelah melakukan penelusuran terhadap sanad hadis larangan
perempuan haid dan junub membaca al-Qur‟an di atas dapat kita lihat
68
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 35, h. 103 69
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 19, h. 271 70
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j
48
bahwasanya sanad dari hadis tersebut seluruh sanadnya bersambung, hal ini
dapat dilihat dari pengakuan antara guru dan murid, begitu juga dengan tahun
wafat dari masing-masing perawi. Begitu juga jika ditinjau dari penilaian dari
para kritikus hadis tentang pribadi dari maisng-masing perawi, para ulama
hadis di sini memberikan penilaian berupa ta‟dil (pujian) seperti tsiqah, bukan
memberi penilaian berupa jarh kepada para perawi hadis di atas.
Meski demikian hadis ini dianggap lemah, sebagaimana yang
disampaikan oleh Imam Syauqani bahwa sebagian ulama seperti Imam Bukhâri
dan Imam Baihaqî mendhaifkan hadis Ibnu „Umar tersebut. Karna di dalam
nya terdapat periwayat Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy yang riwayat hadisnya dari ulama
hijaz dinilai lemah, dan hadis Ibnu „Umar ini adalah salah satunya.71
Muhammad bin Ismâ‟il berkata sesungguhnya Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsyi
meriwayatkan beberapa hadis mungkar dari penduduk hijaz dan irak. Seakan-
akan ia menganggap bahwa riwayat dari mereka adalah dhaif.72
Sebenarnya
dalam hal ini periwayat Ismâ‟îl Ibnu „Ayyâsyi telah dinilai tsiqah oleh imam-
imam hadis sebagai penduduk Syam, munculnya anggapan dhaif karna hadis
ini diriwayatkan dari Mûsa Ibnu „Uqbah dan ia adalah penduduk Hijaz73
.
Kemudian dikatakan oleh Al Baihaqi bahwa hadis ini hanya diriwayatkan dari
satu jalur yakni dari Ismâ‟îl Ibnu „Ayyâsyi yang periwayatannya dari penduduk
Hijaz, sehingga dianggap dhaif karna tidak ada jalur lain yang menguatkan.74
71
Muhammad bin „Ali Al Syauqani, Nailu al-Auṯar Min Asrâri Muntaqa al-Akhbar, (j.1,
h. 284 72
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwâdzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, terj. Shafaul Qalbi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), j.2, h. 11 73
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwadzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, j.2, h. 14 74
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwadzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, j.2, h. 14
49
4. Penjelasan Hadis Larangan Membaca Al-Qur’an Saat Haid
Membaca al-Qur‟an merupakan suatu perkara yang baik dan berpahala,
sedangkan seorang wanita yang sedang haid berada dalam kondisi yang sedang
berhadas atau kotor. Maka dengan demikian apabila ada pembolehan membaca
al-Qur‟an bagi perempuan haid mesti disertai dengan dalil dan alasan yang
kuat untuk dijadikan pegangan. Beberapa pendapat yang bersebrangan
mengenai hal ini pula bermacam-macam.
Adanya perbedaan Pendapat mengenai perempuan haid membaca al-
Qur‟an ini tidak lepas dari banyaknya perbedaan pendapat antara ulama
mengenai keshahihah hadis tesebut, pendapat kelompok pertama menyatakan
bahwasanya orang yang dalam kondisi junub dan haid tidak boleh membaca al-
Qur‟an, pendapat seperti ini dari kelompok jumhur ulama adalah ulama
madzhab Hanafiyah, Imam Ahmad serta Imam syafi‟i, sementara dari kalangan
sahabat Umar bin Khaththab, Ali bin Abu Thalib dan Jabir.75
Ada juga yang
meriwayatkan hukumnya makruh bahwa pendapat ini dianut oleh Hasan Al
Basri, Qatadah, An Nakha‟i, Al Zuhri, Asy Syafi‟i dan yang lain.76
Pendapat
yang kedua menyatakan bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca al-
Qur‟an tanpa ada batas.77
Pendapat ini didasari oleh hadis nabi yang seolah-
olah mengatakan bahwasanya boleh membaca al-Qur‟an dalam keadaan
apapun kecuali ketika junub.
كان رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم ال يجبو عن القرآن شيئ ليس جلنابة
75 Ahmad Zainunnashih, “Pandangan Ulama Terhadap Kebolehan Wanita Haid Dalam
Membaca dan Menyentuh Al Qur‟an,”(Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta, 2013), h. 22-23 76
Ibnu Qudamah, Al Mughni, terj. Ahmad Hotib dan Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka
Azzam,2007), j. 1, h. 248 77
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazm, Al- Muhalla, terj. Ahmad Rijali
Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), j.1, h. 166
50
“Rasulullah Saw tidak melarang (membaca) sesuatu dari al-Qur‟an
kecuali orang yang junub.” HR. Ashabus Sunan
Hadis ini dianggap shahih oleh al-Tirmidzi dan Ibnu Hibban, namun
dianggap dha‟if sebagian riwayatnya oleh sebagian ahli hadis. Adapun hadis
Ibnu „Umar yang mengatakan tidak boleh membaca al-Qur‟an bagi orang haid
dan junub merupakan hadis marfu‟ dan dhaif seluruh sanadnya.78
Di dalam riwayat hadis lain dari Ali RA, disebutkan
ث نا حفص بن غياث، وع ، قال: حد ث نا أبو سعيد األشج ث نا األعمش، حد قبة بن خالد، قاال: حد، قال: كان رسول اهلل ص لى، عن عمرو بن مرة، عن عبد اهلل بن سلمة، عن علي لى اللو وابن أب لي
حديث علي حديث )رواه الرتمذي( يكن جنبا.عليو وسلم ي قرئ نا القرآن على كلي حال ما مل حسن صحيح.
“Nabi Saw membacakan kami al-Qur‟an selama beliau tidak dalam
keadaan junub” (HR. Tirmidzi) 79
Hadis ini adalah hadis shahih, dikatakan di dalam kitab Al-Talkhis hadis
ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al Bazzar, Ad-Daruquthni, dan Al Baihaqi,
redaksi hadis ini berbeda-beda. Al Tirmidzi , Ibnu As-Sakan, Abdul Haq, dan
Al Baghwi menilainya shahih. Ibnu Khuzaimah mengatakan “Hadis ini
sepertiga dari modalku”, begitu juga dengan Syu‟bah menganggap tidak ada
yang lebih hasan dari hadis ini.80
Dan hadis yang diriwayatkan „Ali di atas juga kemudian dijadikan
landasan oleh banyak ahli hadis dari kalangan sahabat Nabi SAW dan Tabi‟in
tentang bolehnya seorang perempuan haid membaca al-Qur‟an karna adanya
78
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwâdzi : Syarah Jâmi‟ Tirmidzî, j.2, h. 16-17 79
Abi „Îsa Muhammad bin „Îsa bin Saurah, Sunan Tirmidzî, (Semarang : Maktabah Wa
Matba‟ah,tt), Kitab Thaharah, Bab Membaca al-Qur‟an Dalam Setiap Keadaan, j.1, no. 146, h. 98 80
„Abdullah bin „Abdurrahman Al Bassam, Tauḏih Ahkâm Min Bulugh Al Marâm, terj.
Thahirin Supatra,dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam,2006), j.1, h. 399
51
pernyataan yang mengatakan bahwasanya tidak ada yang menghalangi
membaca al-Qur‟an selain junub. Dan Imam Malik berkata bahwasanya wanita
haid boleh membaca al-Qur‟an sedangkan yang junub tidak boleh, dikarenakan
masa haid itu panjang sehingga apabila ia tidak membaca al-Qur‟an ia kan
lupa, sedangkan masa junub itu sebentar.81
Sedangkan menurut Ibnu Qudamah jika dikiaskan status antara orang haid
dan junub adalah sama tentu di sini orang yang haid lebih utama keharamannya
karna haid lebih besar dan lebih kuat hadas nya dibandingkan dengan orang
yang junub. Karna itulah wanita yang sedang haid diharamkan berhubungan
badan, dilarang berpuasa, digugurkan kewajiban salatnya, dan ia pun
menyamai orang yang sedang junub pada seluruh hukumnya.82
Maka dengan demikian Ibnu Qudamah salah satu ulama dikalangan
madzhab Hanbali mengatakan bahwasanya orang yang junub, wanita haid dan
nifas diharamkan membaca ayat al-Qur‟an, adapun membaca sebagian ayat
yang tidak hanya terdapat di dalam al-Qur‟an saja, seperti basmallah,
hamdalah, doa-doa yang berasal dari ayat al-Qur‟an dan dzikir lainnya yang
tidak dimaksudkan membaca al-Qur‟an. Maka yang demikian tidak mengapa.
Hal ini berlandaskan kepada hadis Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw berdzikir disetiap keadaan, dan mengenai mengingat Allah berarti
mengagungkanNya tidak ada perselisihan pendapat mengenai hal ini.83
Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat para ulama dikalangan
madzhab Syafi‟i dengan pendapat yang masyhur dikalangan mereka yaitu
81
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwâdzi : Syarah Jâmi‟ Tirmidzî,, j.2, h. 13 dan 14 82
Ibnu Qudamah, Al Mughni, j. 1, 250 83
Ibnu Qudamah, Al Mughni, j. 1, 250
52
mengharamkan membaca al-Qur‟an walau hanya sebagian ayat. Hal ini
ditujukan agar manusia lebih menghormati dan mengagungkan al-Qur‟an.
Boleh juga membaca al-Qur‟an di dalam hati dengan tanpa menggerakkan bibir
dengan syarat dirinya tidak mendengar bacaannya. Adapun anggapan yang
mengatakan kekhawatiran akan lupanya hafalan al-Qur‟an maka hal itu sangat
jarang terjadi dikarenakan batas normal waktu terjadi nya haid biasanya 7-8
hari dan dalam rentan waktu ini seseorang tidak akan lupa hapalannya, meski
demikian kekhawatiran tersebut bisa ditanggulangi dengan tetap mengulang
hapalannya di dalam hati.84
Pendapat ulama yang membolehkan seorang perempuan haid membaca al-
Qur‟an kemudian didukung dan dikuat kan oleh sebuah hadis lain yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya.
ث نا عبد اللو بن يوسف، أخب رنا مالك، عن عبد الرحن بن القاسم، عن أبيو، عن عائشة حدفا و ف بالب يت وال ب ني الص ، ومل أ ة وأنا حائ ها أن ها قالت: قدمت مك روة رضي اللو عن
ادل
ر »لك إل رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم، قال: قالت: فشكوت ذ اف علي كما ي فعل احلاج غي )رواه البخاري( «أن ال تطوف بالب يت حت تطهري
“Dari „Aisyah RA, dia berkata, “ Aku datang ke Mekkah sedang aku
dalam keadaan haid. Aku tidak tawaf di Ka‟bah dan tidak pula (sa‟i) diantara
Shafa dan Marwah.” Aisyah berkata, “ Aku mengadukan hal ini kepada
Rasulullah Saw”, maka Beliau bersabda, “lakukanlah seperti yang dilakukan
orang yang mengerjakan haji, tetapi janganlah engkau tawaf di Baitullah
(ka‟bah) hingga kau suci”.85
Ibnu Hajar al-Asqalany menyebutkan di dalam Fath Al Bâri‟ bahwa Al
Bukhari, dan Imam lainnya seperti Al Ṯabari, Ibnu Al Mundzir, dan Abu
Daud berpegang dengan hadis ini yang membolehkan membaca al-Qur‟an
ketika haid. Karna Rasulullah tidak mengecualikan semua amalan haji kecuali
84
Abi Zakariya Mahyudin bin Syarif Al Nawawi, Al Majmu‟ Syarah Al Muhadzdzab”,
j.2, h 357 85
53
tawaf. Dan membaca al-Qur‟an merupakan salah satu rangkaian ibadah yang
biasa dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, dan membaca al-Qur‟an
sebagai alasan untuk dzikir kepada Allah.86
Jadi, kesimpulan tentang adanya larangan membaca al-Qur‟an ketika
haid tidak bisa dijadikan sebuah dalil, pertama dari segi sanad hadis tersebut,
secara pribadi para perawi hadis nya dinilai tidak bermasalah, jika pun ada
kekurangan itu tidak sampai kepada mungkar ataupun tertuduh pendusta
(bukan berupa kekurangan yang berat) hanya saja menurut penulis yang
menyebabkan hadis ini dinilai dhaif karna driwayatkan hanya satu jalur, dan
tidak ada jalur lain yang menguatkan. Dan satu jalur tersebut hanya melalui
Ismâ‟îl bin „Aiyâsyi yang dinilai mungkar apabila meriwayatkan hadis dari
selain orang syam, sedangkan jalur riwayat hadis ini dari Musa bin „Uqbah
merupakan orang hijaz. Kedua dengan melihat hadis lain yang di nilai shahih
dan mempunyai indikasi makna yang sama seperti hadis yang menyatakan
bahwa Rasulullah SAW berdzikir dalam setiap keadaan, kemudian hadis
ketika „Aisyah melaksanakan haji kemudian ia haid dan oleh Rasulullah
diperbolehkan melakukan rangkaian ibadah haji kecuali tawaf, maka di sini
dapat kita katakan bahwa salah satu ibadah yang lumrah dilakukan ketika
berhaji salah satunya adalah memperbanyak membaca al-Qur‟an dan itu tidak
termasuk dikatakan dilarang untuk dilakukan ketika melakukan ibadah haji.
Ditambah lagi bahwasanya sebaik-baik dzikir ialah membaca al-Qur‟an.
86
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwâdzi : Syarah Jâmi‟ Tirmidzî, j.2, h. 16
54
B. Hadis tentang larangan seorang perempuan haid menyentuh
mushaf al-Qur’an
1. Redaksi Hadis
Potongan hadis kedua yang akan penulis teliti adalah :
أن ال يس القرآن إال اىرPada penelusuran ini, penulis juga menggunakan pencarian melalui 3 metode
seperti sebelumnya, yang pertama melalui kamus mu‟jam mufahras dengan
lafaz matan "طهر", dengan hasil penelusuran dua hadis dari Al- Darimi dan
Malik87
. Kemudian penelusuran yang kedua penulis mengambil tema tentang “al
qur‟an dan haid” dengan hasil penelusuran satu kitab hadis dari Al- Darimi88
.
Kemudian pada penelusuran ketiga penulis menggunakan awal matan dengan
hasil penelusuran sembilan hadis, namun di sini penulis hanya mencantumkan
beberapa, yaitu Muwaṯa‟ Mâlik, Al- Darimî, Abu Dâud di dalam kitab Marâsil li
Abî Dâud, Al- Ṯabrâni di dalam kitab Mu‟jam Shaghîr Al- Ṯabrâni dan Mu‟jam
Kabîr Al- Ṯabrâni, Dâr Al-Quṯni di dalam Sunannya.89
2. Takhrij Hadis Larangan Perempuan Haid membawa Mushaf
Al Qur’an
Dan hasil penelusuran tersebut ditemukan dalam kitab hadis aslinya sebagai
berikut:
2دي لق 1ط مس القرآن
87
A.J Wensinck, Mu‟jam Mufahras Li Alfadz Al-Hadis Al- Nabawi, j. 4, h. 20 88
A.J Wensinck, Miftâh al- Kûnuz al- Sunnah, h. 170 dan 893 89
Abu Hajar Muhammad al-Sa‟id Ibn Basyunî Zaghlûl, Mausu‟ah Aṯraf al-Hadîs al-
Nabawi al-Syarîf, h. 458 dan 459
55
أ مالك / باب ال يس القرآن إال اىر ما جاء ف الطهر من قراءة القرآن/ االجزاء - )مو1)
ث نا مالك، عن عبد اللو بن أب - ث نا أبو مصعب، قال: حد بكر بن ممد بن عمرو بن حدحزم، أن ف الكتاب الذي كتبو رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم لعمرو بن حزم: أن ال
يس القرآن إال اىر. أمر الوضوء دلن مس القرآنباب
ثي يي، عن مالك، عن عبد - اللو بن أب بكر بن حزم، أن ف الكتاب الذي كتبو حدقال « أن ال يس القرآن إال اىر »رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم لعمرو بن حزم:
.اىر وال على وسادة إال وىو وال يمل أحد المصحف بعلقتو »مالك: باب: الرجل يس القرآن وىو جنب
د بن عمرو بن حزم، قال: إن ف - أخب رنا مالك، أخب رنا عبد اللو بن أب بكر بن ممال يس القرآن إال »اللو عليو وسلم لعمرو بن حزم: الكتاب الذي كتبو رسول اللو صلى
90«اىر باب ف الغسل ادلستحاضة(94)الدارمي : كتاب الطهارة / باب رقم /
ث نا سفيان، عن منصور، عن إب راىيم، قال: - د بن يوسف، حد تلس »المستحاضة أخب رنا ممل العش ر المغرب، وت عجي اء، وذلك ف أيام أق رائها، ث ت غتسل للظهر، والعصر غسل واحدا، وت ؤخي
91«جها، وال متس المصحف وقت العشاء، وللفجر غسل واحدا، وال تصوم، وال يأتيها زو
باب ف الغسل ادلستحاضة( 87 )الدارمي : كتاب الطهارة / باب رقم / ث نا سفيان، عن منصور، عن إب راىيم، قال - د بن يوسف، حد : المستحاضة ال يأتا أخب رنا مم
92تصم, وال متس المصحف.زوجها, وال 2قبل النكاح / االجزاء ال لق باب -
- ، ثي الزىري ث نا يي بن حزة، عن سليمان بن داود، حد عن أب بكر أخب رنا احلكم بن موسى، حدد بن عمرو بن حزم، ه، قال احلكم: قال ل يي بن حزة أفصل بن مم عن أبيو، عن جدي
90
Malik bin Anas bin Malik bin „Âmir Al-Asbahi Al-Madani, Muwaṯa‟ Imam Mâlik”,
(T.tp: Muassasah al- Risalah, 1412 H), J. 1, H. 90 91
Abu Muhammad „Abdullah bin abdurrahman bin Faḏil bin Bahram Al- Darimî, Sunan
Al-Darimi, (Kairo: Dar Al-Fikr, 1398 H/ 1978 M), h. 611 92
Abu Muhammad „Abdullah bin abdurrahman bin Faḏil bin Bahram Ad-Darimi, Sunan
Al-Darimi, h. 621
56
أن ال يس القرآن إال اىر، وال »أن رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم كتب إل أىل اليمن د: عن سليمان، قال: أحسب كاتبا « تاق حت ي بتاع لق ق بل إملك، وال ع سئل أبو مم
93.من كتاب عمر بن عبد العزيز ادلراسيل ألب داود / باب جامع الصلة
د بن العلء، أخب رنا ابن إدريس، أخب رنا - ث نا مم د حد د بن عمارة، عن أب بكر بن مم ممال »أنو -ي عي ىذا -بن حزم، قال: كان ف كتاب رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم،
«يس القرآن إال اىر د بن يي، - ث نا مم ، قال: ق رأت صحيفة حد ث نا أبو اليمان، أخب رنا شعيب، عن الزىريي حد
د بن عمرو بن حزم ذكر أن رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم كتب ها عند آل أب بكر بن ممره على نران، وساق احلديث فيو: لعمرو بن حزم، ح احلج األصغر العمرة، وال يس »ني أم
قال: أبو داود: روي ىذا احلديث، مسندا وال يصح « القرآن إال اىر
معجم الصغي الطربن / باب إسو يي ث نا مم - ، قال: ق رأت صحيفة حد ث نا أبو اليمان، أخب رنا شعيب، عن الزىريي د بن يي، حد
د بن عمرو بن حزم ذكر أن رسول اللو صلى اهلل عليو وسلم كتب ها عند آل أب بكر بن ممره على نران، وساق احلديث فيو: لعمر احلج األصغر العمرة، وال يس »و بن حزم، حني أم
قال: أبو داود: روي ىذا احلديث، مسندا وال يصح « القرآن إال اىر عمرمعجم الكبي الطربن / باب إسو إبن
، ثنا أبو عا - د بن ث واب احلصري ، ثنا سعيد بن مم ين وري البصري ث نا أبو زكريا الدي صم، حدث عن عت سامل بن عبد اهلل بن عمر يدي عن ابن جريج، عن سليمان بن موسى، قال: س
«ال يس القرآن إال اىر »بيو أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال: أ / باب ف هنى احملدث عن مس القرآنسنن الدار القطي
د بن يي , ]ص: - يسابوري , نا مم ث نا أبو بكر الن بن إساعيل , [ ح وثنا احلسني 220حدنا إب راىيم بن ىانئ , قاال: نا احلكم بن موسى , نا يي بن حزة , عن سليمان بن داود ,
د بن عمرو بن حزم , عن أبيو , عن جدي ثي الزىري , عن أب بكر بن مم ه , أن رسول حد
93
Abu Muhammad „Abdullah bin abdurrahman bin Faḏil bin Bahram Ad-Darimi, Sunan
Al-Darimi, j.1-2, h. 1455
57
ال يس القرآن إال »اللو صلى اهلل عليو وسلم كتب إل أىل اليمن كتابا فكان فيو: 94«اىر
سنن الكرب / باب هنى احملدث عن مس ادلصحف أبو عمرو بن مطر, ثنا أحد بن حسن بن عبد أخب رنا عمر بن عبد العزيز بن ق تادة, أنا -
ثي ن اجلبار الصوف,ث ا احلكم بن موسى , نا يي بن حزة , عن سليمان بن داود , حدد بن عمرو بن حزم , ه , أن رسول اللو الزىري , عن أب بكر بن مم عن أبيو , عن جدي
فيو الفرائ والسنن والديات، وبعث بو تاب ك بصلى اهلل عليو وسلم كتب إل أىل اليمن 95«ال يس القرآن إال اىر : »قال فيو مع عمرو بن حزم فذكر احلديث،و
3. Penjelasan Sanad Hadis
Setelah mengumpulkan hadis dengan metode tersebut di atas, penulis akan
menelusuri jalur yang diriwayatkan Al- Darimi dan Abu Daud. Berikut adalah
jalur periwayatan dari Al- Darimi : (1) „Amru bin Hazm, (2) Muhammad bin
„Amru, (3) Abu Bakar bin Muhammad bin „Amru bin Hazm, (4) Al- Zuhrî, (5)
Sulaiman bin Dâud, (6) Yahya bin Hamzah, (7) Hakam bin Mûsa, (8) Al- Darimî.
Kemudian jalur Abu Dâud juga terdapat dua jalur periwayatan, yaitu jalur
pertama melalui : (1) Abi Bakar bin Muhammad bin Hazm, (2) Muhammad bin
„Umâra, (3) Ibnu Idrîs, (4) Muhammad bin Al- A‟la, (5) Abu Dâud. Jalur yang
kedua melalui: (1) Al- Zuhrî, (2) Syu‟aib, (3) Abu Al- Yamân, (4) Muhammad bin
yahya, (5) Abu Dâud.
94
Al- Imam Hafidz „Ali bin „Umara Dar Al-Qutni, Sunan Dar al-Quthni, 95
Al Imam Abi Bakar Ahmad bin Husain bin „Alî al-Baihâqi, Sunan Al-Kubra, j. 1, h.
461
58
Jalur Riwayat Al- Darimi
1) „Amrû bin Hazm bin Yazîd bin Lauẕân al- Ansâri al- Khizrîji , beliau
adalah salah satu dari sahabat yang langsung berguru kepada Nabi SAW ,
beliau dikenal dengan sebutan Abu Ḏahâk atau Abu Muhammad, beliau wafat
pada tahun 50 H, adapun murid yang berguru kepada beliau tak lain adalah
anaknya sendiri yang bernama Muhammad bin „Amrû bin Hazm, dan
keponakan beliau yang bernama Abu Bakar bin Muhammad bin „Amrû,
menurut Ibnu Hâjr beliau adalah salah satu sahabat yang masyhur,
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya tentang kredibilitas sahabat dalam
meriwayatkan hadis adalah kullu shahabah „udul 96
.
2) Muhammad bin „Amrû al- Ansârî al- Najâri, beliau dikenal dengan
nama Abu „Abdul Mâlik, beliau wafat dimadinah pada tahun 63 H, beliau
berguru kepada ayahnya yaitu „Amrû bin Hazm, kemudian salah satu dari
murid beliau adalah Abu Bakar bin Muhammad bin „Amrû yang tak lain adalah
anak dari beliau sendiri. Menurut Al Nasâi beliau adalah orang yang tsiqah, dan
Al Hâfiẕ mengatakan di dalam kitab Taqrîb Al Tadzhîb bahwa beliau adalah
seornag periwayat yang tidak mendengar hadis kecuali dari sahabat.97
3) Abu Bakar bin Muhammad bin „Amrû Hazm al- Anshârî al- Hizrijî ,
beliau dikenal dengan nama Abu Muhammad, beliau wafat pada tahun 120 H,
beliau termasuk di dalam kalangan tabi‟in kecil. Adapun guru beliau adalah
Muhammad bin „Amrû, Salîm bin „Abdullah bin „Umar, dan murid yang
berguru kepada beliau adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab Al Zuhrî, dan
96
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j. 21, h. 585 97
Abi Al Faḏl Ahmad bin Hajar Al „Asqalany, Tahdzib Al Tahdzib, (Beirut: Dar El
Fikr,t.t)
59
„Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin hazm, selain itu Muhammad bin
„Umâra bin „Amrû, dll. Ulama kritikus hadis seperti Al Waqdî, Muhammad bin
Sa‟îd, Yahya bin Ma‟în, Ibnu Kharâsyî, menilai beliau adalah orang yang
tsiqah, dan Ibnu Hâjar menambahkan dengan „âbid.98
4) Al- Zuhrî nama asli beliau adalah Muhammad bin Muslim bin
„Ubaidillah bin „Abdullah bin Syihâb bin „Abdullah bin Hârits bin Zahrah al-
Qurâsyi al- Zuhrî, beliau dikenal dengan sebutan Abu Al Madâni, beliau wafat
pada tahun 125 H. Salah satu guru beliau adalah Abu Bakar bin Muhammad
bin „Amrû bin Hazm, dan murid yang berguru kepada beliau salah satunya
Sulaiman bin Dâud al Khaulânî, dan Syu‟aib bin Abi hamzah , menurut Ibnu
„Ammâd bahwa Al-Zuhrî adalah salah satu fuqaha yang mashur, dan „Amr bin
Dînâr, „Amr bin „Abdul „Azîz, Al- Lais bin Sa‟ad mengatakan tidak ada yang
lebih mengetahui hadis kecuali Al Zuhrî.99
5) Sulaimân bin Dâwud al- Khaulânî, beliau terkenal dengan sebutan
Abu Dâwud, beliau bertempat tinggal di Damaskus, untuk tahun wafat nya
tidak dtemukan. Adapun guru beliau disebutkan adalah Muhammad bin
Muslîm bin Syihâb Al Zuhrî, dan salah satu dari murid beliau adalah Yahya bin
Hamzah Al Haḏrâmî. Menurut Abu Hatim memberi penilaian lâ ba‟sa bih, Ibnu
Hibbân menilai tsiqah ma‟mûn, dan Abu al- Hasan bin al- Bara‟ dari „Ali ibn
al- Madânî menilai munkar al hadîs, dan ḏa‟îf. 100
6) Yahya bin Hamzah al Waqdi al Haḏrâmî, beliau dikenal dengan Abu
„Abdul Rahmân Al Dimasyqî, diketahui bahwa beliau lahir pada tahun 103 H,
dan wafat pada tahun 183 H, salah satu dari guru beliau adalah Sulaimân bin
98
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j. 33, h. 137 99
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j. 35, h. 104 100
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j.11, h. 416
60
Dâwud Al Khaulânî, dan salah satu murid beliau adalah Al Hakam bin Mûsa
Al Qanṯârî. Menurut ulama Shâlih bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya menilai
lâ ba‟sa bih, „Abdullah bin Syu‟aib Al- Shabûni dan Al Nasâi menilai tsiqah,
sedangkan Abu Hatim menilai shadûq.
7) Hakam bin Mûsa bin Abi Zuhayr, dikenal dengan sebutan Abu Shâlih
Al Qanṯârî, beliau wafat pada tahun 232 H, salah satu guru beliau adalah Yahya
bin Hamzah Al Hadhrâmî, dan murid beliau adalah „Abdullah bin „Abdul
Rahmân Al Darimî. Menurut „Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Yahya bin
Ma‟în beliau laysa bihi ba‟sa, „Utsmân bin Sa‟îd Al Darimî dari Yahya bin
Ma‟în mengatakan tsiqah, dan Abu Hatim menilai shadûq. 101
8) Al- Darimî, nama asli beliau adalah „Abdullah bin Abdul Rahmân bin
Faḏl bin Bahrâm Al-Darimî al-Tamîmî, beliau dikenal dengan sebutan Abu
Muhammad Al samarkandî. Diketahui bahwa beliau lahir pada tahun 181 H,
dan wafat pada tahun 255 H. beliau berguru kepada Hakam bin Mûsa. Seperti
diketahui bahwasanya beliau masyhur dengan kitab sunan nya yaitu kitab
Sunan Al Darimî.102
Jalur Riwayat Abu Daud I
1) Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (sudah disebutkan sebelumnya)
2) Muhammad bin „Umâra bin „Amrû bin Hazm al- Anshârî al- Hazmî
Al Madânî, banyak yang tidak diketahui mengenai profil beliau termasuk tahun
wafatnya. Salah satu Guru beliau adalah Abu Bakar bin Muhammad bin
„Amrû, dan Murid beliau adalah „Abdullah bin Idrîs. Menurut ulama Ishâq bin
101
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j. 7, h. 136 102
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j. 15, h. 210
61
Manshûr dari Yahya bin Ma‟în beliau adalah orang yang tsiqah, dan Abu
Hatim menilai beliau adalah orang yang shâlih.103
3) „Abdullah bin Idrîs bin Yazîd bin Abdul Rahmân bin Al- Aswâd,
beliau dikenal dengan nama Abu Muhammad Al Kufî, beliau wafat pada tahun
192 H. Adapun guru-guru beliau salah satunya Muhammad bin „Umâra bin
„Amrû, „Abdul Mâlik bin „Abdul „Azîz bin Jurâij, dan murid beliau adalah Abu
Kurâyb Muhammad bin Al A‟la. Menurut Abu Hatim beliau adalah seorang
Imam dan orang yang tsiqah, Al Nasâi, AL „Ijlî juga menyebutkan yang
demikian beliau adalah orang yang tsiqah tsabit, dan Al Khalîl menambahkan
dengan penilaian mutafaq „Alaih.104
4) Muhammad bin Al- „Ala bin Kurâyb Al Hamdâni, beliau dikenal
dengan sebutan Abu Kurâyb Al Kufî, diketahui bahwa beliau lahir pada tahun
160 H dan wafat pada tahun 247 H. salah satu guru beliau adalah „Abdullah bin
Idrîs, dan ulama-ulama yang berguru kepada beliau salah satunya adalah Abu
Dâwud, Muslim, Tirmidzî dll. Abu Hatim menilai bahwa beliau adalah orang
yang shadûq, dan Al Nasâi menilai dengan penilaian lâ ba‟sa bih.
Jalur riwayat Abu Daud II
1) Al Zuhrî (sudah disebutkan sebelumnya)
2) Syu‟aib bin Abi Hamzah, beliau terkenal dengan sebutan Abu Basyar
Al Hamshî, beliau wafat pada tahun 162 H. Salah satu dari guru beliau adalah
Muhammad bin Muslim bin Syihâb Al Zuhrî, dan banyak yang berguru kepada
beliau salah satunya Abu Al Yamân bin Hakam bin Nâfi‟. Menurut „Abdullah
bin Syu‟aib al- Shabûni dari Yahya bin Ma‟în beliau adalah orang yang tsiqah,
103
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j. 21, h. 254 104
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j. 14, h. 293
62
begitu juga pendapat ulama Ahmad bin „Abdullah al-„Ijlî, Ya‟qûb bin Syibah,
Abu Hâtim, dan Al Nasâi menyebutkan bahwa beliau tsiqah, Al „Ijlî
menambahkan bahwa beliau tsiqah tsabit dan Al Khalîl mengatakan beliau
Hâfidz.105
3) Abu Al Yaman, nama asli beliau adalah Al Hakam bin Nâfi‟ Al
Bahrâni, dikenal dengan sebutan Abu Al Yaman Al Hamshî, beliau wafat pada
tahun 222 H. beliau banyak berguru dengan ulama salah satunya adalah
Syu‟aib bin Hamzah, begitu juga murid beliau salah satunya Muhammad bin
Yahya Al Dzahli. Menurut „Abdul Rahmân bin Abi Hatim beliau adalah
Tsiqah shadûq dan Ahmad bin „Abdullah Al Ijlî memberi penilaian la ba‟sa
bih.106
4) Muhammad bin Yahya bin „Abdullah bin Khâlid bin Fâris bin
dzuwayb al- Dzuhli, beliau dikenal dengan sebutan Abu „Abdullah Al
Naisabûrî Al Imâm Al Hâfidz. Diketahui bahwa beliau lahir pada tahun 172 H
dan wafat pada tahun 258 H. Salah satu dari guru beliau adalah Abu Al Yaman
Hakam bin Nâfi‟, dan murid beliau adalah Abu Dâwud. Menurut Abu Hâtim
beliau adalah orang yang tsiqah, „Abdul Rahman bin Abi Hâtim menilai
dengan peringkat tsiqah shadûq, serta Al Nasâi menilai beliau tsiqah
ma‟mûn.107
5) Abu Dâwud nama asli beliau adalah Sulaimân bin Al Asy‟Asy bin
Ishâq bin Basyîr bin Syidad Al Azdi Al Sijistâni, nama Abu Dâwud adalah
kunyah atau nama yang populer di tengah masyarakat. Beliau wafat pada tahun
275 H, beliau banyak berguru kepada ulama diantaranya Muhammad bin
105
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,j. 12, h. 516 106
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j. 7, h. 146 107
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j.
63
Yahya bin Fâris Al Dzahlî, Abu Kurâyb Muhammad bin Al A‟la, dan Hakam
bin Mûsa Al Qanṯâri. Menurut Al Hakam Abu „Abdullah adalah seorang Imam
yang hafiẕ, Ibnu Hâjar berpendapat bahwasanya beliau tsiqah, hafiẕ, dan Abu
Hâtim mengatakan bahwasanya beliau faqih, „ilman, hifẕan.108
Setelah melakukan penelusuran melalui tiga jalur di atas, maka dapat dilihat
bahwa dari masing-masing jalur dan periwayat semua sanad nya bersambung,
hal ini dapat dilihat dari pengakuan antara guru dan murid, kemudian tahun
wafat dari masing-masing perawi. Adapun kritikus hadis masing-masing
mempunyai penilaian berbeda-beda terhadap masing-masing perawi, namun
sebagian memberi penilaian dengan lafaz-lafaz ta‟dil (memuji), seperti kata
tsiqah, tsiqah tsabit, hâfiẕ, dsb. Meskipun ada juga yang memberi penilaian
dibawah itu seperti kata shadûq, lâ ba‟sa bih,dll. Namun dari beberapa
penilaian ta‟dil yang diberikan oleh para ulama kritikus hadis ada satu
periwayat yang dinilai munkar al hadîs dan ḏa‟îf oleh Abu Al Hasan Al Bara‟
yaitu Sulaimân bin Dâwud. Akan tetapi oleh Abu Hâtim (kritikus yang
mutasyaddid/ketat) dinilai lâ ba‟sa bih.
Ulama berbeda-beda pendapat mengenai kesahihan sanad hadis ini,
sebagaian ulama berpendapat bahwasanya sanad hadis ini lemah dengan
berbagai macam kekurangan terhadap perawinya, dan hadis yang diriwayatkan
oleh Malik ini adalah mursal, dan dianggap bersambung oleh Al Nasai dan
Ibnu Hibban, akan tetapi dijelaskan di dalam kitab Subul Al Salâm bahwa
hadis ini adalah ma‟lul109
karna termasuk dari riwayat Sulaimân bin Dâwud,
yang mana disepakati bahwa hadis nya matruk (tidak terpakai), sebagaimana
108
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j.11, h.355 109
Hadis yang diketahui ada keraguan di dalamnya, (umtuk penjelasan lebih lanjut baca
Subul Al Salam, h. 167)
64
yang dikatakan oleh Ibnu Hazm, tetapi dalam hal itu ia keliru karna mengira
Sulaiman yang di maksud adalah Sulaimân bin Dâwud Al Yamâni, padahal
yang dimaksud adalah Sulaimân bin Dâwud Al Khaulâny. Menurut Abu
Zur‟ah, Abu Hâtim, „Ustmân bin Sa‟îd ia dipuji sebagai periwayat yang tsiqah
serta termasuk dalam kelmpok para hafiẕ.110
Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa hadis ini menyerupai hadis mutawatir
karna diriwayatkan berupa hadis bersanad dari jalan shalih, yaitu yang terkenal
menurut ahli sejarah dan ahli hadis sehingga tidak perlu disiarkan sanad nya.
Dan orang-oarang yang menjadi syahid atas hadis tersebut tentu menerimanya,
karna mereka tidak mungkin menerima hadis yang tidak shahih.111
Dikatakan bahwasanya semua jalur hadis tersebut memang tak satupun yang
luput dari kelemahan, hanya saja kelemahan yang dimaksud adalah ringan
yaitu terletak pada kemursalan dan kelemahan terhadap hafalan, tidak ada
seorang pun diantara perawinya yang tertuduh berdusta, dan kelemahan yang
seperti demikian dapat menguatkan satu jalau hadis dengan jalur yang lain
sebagaiaman telah ditetapkan oleh Al Nawawi dalam kitab taqribnya dan As
Suyuti di dalam syarahnya.112
Sehingga meskipun hadis ini di dhaifkan oleh sebagian ulama tapi hadis ini
terdapat banyak jalur periwayatan sehingga Al Bani(sebagai ulama modern)
mengatakan setiap darinya saling menguatkan antara satu sama lain sehingga
110
Muhammad bin Ismâ‟îl Al-Amir Al- San‟âni, Subul Al Salâm: Syarah Bulughul
Maram, terj. Muhammad Isnani, dkk, (Jakarta: Darus Sunnah, 2010), j. 1, h. 168 111
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwadzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, terj. Shafaul Qalbi, j.2, h. 105 112
Syarif Rahmat, “Berwudhu Untuk Memegang Mushaf Al Qur‟an”, Kumpulan Buletin
Jum‟at “Qum”, No. 209 (Desember 2005)
65
dapat diangkat ke taraf shahih lighairihi.113
Pengakuan beberapa syahid yang
menyatakan keshahihah surat tersebut turut menguatkan tentang kebenaran
hadis ini seperti Ya‟qûb bin Sufyan ia mengatakan bahwasanya ia tidak pernah
mengetahui surat yang lebih shahih dari pada surat ini, begitu juga dengan
„Umar bin „Abdul „Azîz dan Az-Zuhrî telah menyatakan kesaksian tentang
benarnya surat tersebut.114
Namun pada tingkat penetapan hukum nya tidak mencapai pada tingkat
haram, hanya makruh karna hadis tersebut masih diperdebatkan sanad-sanad
nya, sedangkan maksud-maksud lafaznya tidak jelas mengharamkannya.115
Dan maksud dari pada bersuci pada teks hadis tersebut perlu penelitian lebih
lanjut karna merupakan lafaz yang mengandung banyak makna. Apakah yang
dimaksud adalah suci dari hadas kecil, atau suci dari hadas besar, orang
mukmin atau orang yang tidak ada najis dibadannya. Harus ada qarinah khusus
untuk memahaminya atas makna tertentu.116
4. Penjelasan Hadis Larangan Menyentuh Mushaf Al-Qur’an Bagi
perempuan Haid
Suci di dalam teks hadis yang bercerita tentang surat yang ditulis Rasulullah
kepada „Amrû bin Hazm menjadi perdebatan dikalangan ulama , ada yang
menyatakan bahwasanya hal yang dimaksud itu adalah suci dari hadas besar
sehingga tidak diperbolehkan bagi orang haid, junub ataupun nifas untuk
menyentuhnya, kemudian ada yang menyatakan bahwasanya hal itu ditujukan
113
Muhammad Nashiruddin Al Bani, Irwâ Al Ghalîl, terj. Khairun Na‟im dan Diana
Madzkur, (Jakarta: Najla Press, 2003), j. 1 , h. 158 114
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Mukhtasar Nailul Authar, terj. Amir
Hamzah Fachrudin dan Asep Saefullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 164 115
Muhammad bin Isma‟il Al-Amir Al-San‟âni, Subul Al Salâm: Syarah Bulughul
Maram, j.1, h. 266 116
Muhammad bin Isma‟il Al-Amir Al-San‟âni, Subul Al Salâm: Syarah Bulughul
Maram,, j. 1, h. 168
66
untuk orang-orang kafir yang kotor dan najis sebagaimana firman Allah yang
menyebutkan di dalam Surah Al Taubah/ 9:28 (“ Innamal Musyrikûna
najas..”.), sehingga ditarik kesimpulan bahwa tidak mengapa seorang
perempuan haid menyentuh mushaf dikarenakan hadis Rasulullah yang
menyatakan :
ث نا أبو ب ث نا، ح وحد ث نا يي ي عي ابن سعيد قال: حيد حد ر بن حرب، حد ثي زىي كر حدث نا -واللفظ لو -بن أب شيبة، ث نا إساعيل ابن علية، عن حيد الطويل، قال: حد بكر بن حد
سبحان اهلل »ف قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: )...عبد اهلل، عن أب رافع، عن أب ىري رة، 117...(«إن المؤمن ال ي نجس
Selain dari pada itu hal yang menjadi landasan ulama melarang orang yang
haid menyentuh mushaf al-Qur‟an ialah karna adanya perbedaan penafsiran
terhadap firman Allah SWT di dalam surah Al Waqi‟ah ayat : 79
ون ر ه ط م ال ال إ و س ي ال Artinya : “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan”
Di dalam tafsir Al Thabari dijelaskan bahwa kitab yang terpelihara itu tidak
dapat disentuh kecuali oleh makhluk yang telah disucikan allah dari dosa, sa‟îd
bin Jubair, Abu Al „Alîyah dan Ibnu sa‟îd berpendapat malaikat, Ikrimah
berpendapat dilarang menyentuh bagi orang yahudi dan nashrani, Qatadah
orang suci dari hadas besar dan kecil.118
Sehingga Al-Ṯabari menyimpulkan bahwasanya pemberitahuan pada ayat
ini adalah bersifat umum untuk seluruh makhluk, sehingga pendapat yang
117
Abi Al Husain Muslim bin Al Hajaj, Sahîh Muslim, (Kairo: Maktabah al-
Islamiyah,tt), Kitab Tayammum, Bab Dalil Atas Muslim Tidak Najis, 118
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al Ṯabari, Tafsir Al Ṯabari, terj. Fathurrozi dan
Anshari Taslim, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2009), j. 24, h. 613-615
67
paling tepat adalah yang para malaikat, rasul dan nabi yang telah disucikan
oleh Allah dari perbuatan dosa.119
Pada makna kata lâ yamassuhu di atas, oleh mayoritas ulama kata ganti
nya ditujukan kepada malaikat karna melihat pada ayat sebelumnya yaitu “fî
kitâbin maknûn” (“kitab yang terpelihara”), pada pendapat lain memaknai kata
lâ yamassuhu tersebut menurut al- Biqa‟i kata la di sana bukan bermakna
tidak, melainkan jangan yakni larangan, dan kata ganti hu bukan kembali
kepada manusia atau malaikat melainkan memegang dengan tangan, hal ini
kemudian yang menjadi dasar pendapat Al Qurṯûbi dalam tasfirnya (yang
menganggap yang dimaksud adalah mushaf yang ada ditangan kita sebagai
pendapat yang kuat)120
, Al syafi‟i, Imam Mâlik yang dinisbatkan kepada
Ahmad bin hanbal bahwasanya tidak diperkenankan menyentuh al-Qur‟an
dalam keadaan hadas besar atau kecil. Imam Mâlik memperkuat argumen
tersebut dengan hadis yang berupa surat yang dikirimkan kepada penguasa
melaui „Amrû bin Hazm, selain dari pada itu ini menjadi bentuk pengagungan
terhadap al-Qur‟an yang mesti dijunjung tinggi antara lain dengan kesucian
lahir dan bathin. Sedangkan Abu Hanifah memberi toleransi bagi orang yang
berhadas kecil tidak dalam keadaan berwudhu.121
Ayat ini juga turun sebagai bantahan terhadap dugaan bahwasanya al-
Qur‟an itu diturunkan oleh jin, sebagaimana jin menurunkan kepada dukun,
lalu ayat ini turun membantah dengan mengatakan bahwasanya al-Qur‟an itu
adalah kitab yang terpelihara dan tidak disentuh oleh orang yang suci hatinya,
119
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al Ṯabari, Tafsir Al Ṯabari, j.24, h. 616 120
Muhammad Ali Al Sabuni, Safwat Al Tafâsir: Tafsir Tafsir Pilihan”, terj. KH.Yasin,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011), j.5, h. 213 121
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, j. 13, h. 577
68
dalam arti bersih jiwa tanpa ada keraguan atas keesaan Allah dan kekufuran di
dalamnya, sehingga dengan demikian bila hal itu sudah terjadi maka tidak ada
jarak antara dirinya antara dengan dirinya dengan kitab yang maknun
(terpelihara). Hal ini dtegaskan di dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan
Muslim tentang larangan membawa Al-Qur‟an didaerah musuh, hal ini
dikhawatirkan al-Qur‟an tersebut disentuh oleh orang musyrik.122
Dan
diperlakukan tidak sewajarnya oleh orang-orang non muslim.123
Secara bahasa dijelaskan An Na‟mani di dalam kitabnya Al Lubâb fi „Ulûm
al- Kitâb bahwasanya kata lâ yamassuhu artinya lâ yanzilu yang berarti tidak
turun kecuali dari malaikat yang suci, kalau yang dimaksud adalah orang
bersuci dari hadas maka redaksi nya menjadi al muthṯahhirûn124
. Sebagaimana
firman Allah surah Al Baqarah 2/222 menyebutkan: (“Innallâha yuhibbu al
tawwâbîna wa yuhibbu al mutaṯohhirîn”) Dengan demikian tidak ada indikasi
yang melarang untuk menyentuh al-Qur‟an.
Jadi diakhir kesimpulan tentang perkara menyentuh mushaf al-Qur‟an ini
jika ditinjau dari sanad hadisnya masih terdapat banyak pertentangan,
sebagaimana pernyataan Ibnu Hazm bahwasanya atsar-atsar yang digunakan
oleh orang yang melarang menyentuh mushaf bagi orang yang haid dan junub
tidak bisa dijadikan dalil karna semua atsar itu tidak ada yang shahih, karna
periwayatan hadis itu mursal atau bahkan bermartabat dhaif sehingga tidak bisa
dijadikan landasan hukum.125
122
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al Azhar Juz XXVII, (Jakarta : Pustaka
Panjimas, t.t), h. 256-257 123
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, j. 13, h. 577 124
Abdullahsyah dkk, “Jurnal Kajian Nilai-Nilai KeIslaman”. Al Kaffah vol.3, no 1
(Januari-Juni 2015): h. 21-22 125
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazm, Al- Muhalla, j. 2, h. 172
69
Dan mengenai ayat yang dikutip sebagai penguat akan larangan ini pendapat
yang paling rajih adalah boleh nya menyentuh mushaf al-Qur‟an bagi orang
yang berhadas hal ini dilihat dari beragam nya penafsiran dari ulama mengenai
ayat ini. Pertama dhomir hu pada kalimat la yamassuhu itu kembali kepada
kitab yang ada ditangan malaikat hal ini dlihat dari kata maknun pada ayat
sebelumnya, dan kata al muṯohharun bermakna malaikat, karna tidak ditulis
dengan kata al muṯahhirîn yang berarti manusia yang menyucikan diri. Kedua
ayat ini bukan sebuah perintah atau larangan melainkan suatu khabar yang
menjelaskan tentang bantahan terhadap tuduhan bahwa setan berada dibalik
turunnya al-Qur‟an ke tangan Nabi Muhammad SAW. Ketiga ayat ini
tergolong kepada ayat makiyyah yang mana ayat makiyyah adalah ayat yang
diturunkan sebelum hijrah yang ciri-cirinya merupakan tentang tauhid,
beribadah kepada Allah, argumentasi terhadap orang-orang musyrik, dll.126
Adapun ulama yang melarang menyentuh mushaf al-Qur‟an seperti
Imam syafi‟i menurut Al Razi di dalam tafsirnya bahwasanya sebab adanya
pelarangan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas diambil dari
kesimpulan hadis dan ijtihad dari kesimpulan ayat ini sebagai bentuk
memuliakan al-Qur‟an.127
hal ini juga di utarakan oleh Ali Al Shabuni di dalam
kitabnya bahwa turunnya al-Qur‟an dibawa oleh Malaikat yang suci, justru itu
ia tidak disentuh oleh selain orang yang suci sebagai bentuk pengagungan Al-
Qur‟an.128
126
Manna‟ Khalîl Al Qaṯan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013), h. 87 127
Imam Muhammad Al Razi Fakhruddin, Tafsir Al Kabîr wa Mafâtih Al Ghaib, (Beirut:
Dar El fikr, 1414 H/ 1994 M), j. 29, h. 195 128
Muhammad Ali Al- Sabuni, Terjemahan Tafsir Ahkam Al-Sabuni, h. 968
70
BAB III
PESANTREN TAKHASUS INSTITUT ILMU AL- QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
A. Sejarah Pesantren Takhassus IIQ Jakarta
Pesantren merupakan salah satu wadah atau sarana untuk menunjang
pengembangan diri masyarakat, baik dari segi akhlak maupun kreatifitas.
Maka dari itu perlu adanya sejumlah konsep sebagai penunjang
pengembangan diri, hal ini berguna untuk meningkatkan kualitas pesantren
tersebut dan juga kualitas kehidupan masyarakat.1
Pesantren Takhassus IIQ merupakan salah satu pesantren yang berbasis
perguruan tinggi, lebih uniknya lagi pesantren ini merupakan pesantren
yang dikhususkan untuk wanita saja dengan tujuan utamanya ialah
mencetak ulama wanita, yang hafal al- Qur‟an, intelek dalam bidang ilmu
pengetahuan dan berwawasan luas.2 Bahkan menurut Prof. K.H. Ibrahim
Hosen, LML selaku rektor IIQ (periode 1977-2001) pada masa itu
bahwasanya :
“IIQ adalah merupakan perguruan tinggi khusus wanita yang baru satu-
satunya ada di Indonesia bahkan didunia Islam. Di negara-negara Islam
Timur Tengah baik di Mesir, saudi, Iraq dan lain-lain belum ditemukan
suatu lembaga pendidikan tinggi khusus wanita yang mengadakan
pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu al- Qur‟an sebagaimana IIQ
ini.”3
Berdiri nya IIQ ini didorong oleh beberapa faktor, pertama tentunya
atas dasar kecintaan terhadap al- Qur‟an dan kesadaran akan pentingnya
1 A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2005), h. 3
2 Institut Ilmu Al qur‟an Jakarta, Tentang IIQ Sejarah, artikel diakses pada 2 April 2018
dari http://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&id=15&dm=16 3 Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, Lustrum V IIQ Jakarta, (1423 H/202 M), h. 13
71
memasyarakatkan al- Qur‟an guna untuk menjaga kemurnian dan
keorisinilan al- Qur‟an yang benar-benar terjamin maka perlu dicetak
huffadz al- Qur‟an (penghafal al- Qur‟an) yang bukan hanya sekedar
menghafal isinya tetapi yang tak kalah penting memahami makna al- Qur‟an
itu sendiri dengan menggali, mentelaah, dan mengkaji isi kandungan al-
Qur‟an. Selain dari pada itu para penghafal al- Qur‟an yang sarjana pada
masa itu hampir tidak ada.1
Kedua Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya, telah berlangsung
Musabaqah Tilawatil Qur‟an (MTQ) tingkat nasional di Bandung, dan
kegiatan ini mendapat sambutan yang baik dan sangat menakjubkan dari
setiap muslim, sehingga sejak saat itu sampai kini MTQ menjadi tradisi
yang diselenggarakan oleh setiap lapisan pemerintah.2 Melihat bahwasanya
MTQ dan MHQ ini merupakan sarana yang efektif bagi syi‟ar Islam
sekaligus menjadi wadah da‟wah strategis maka agar MTQ dan MHQ ini
lebih bermakna dan berbobot sehingga mempunyai dampak positif yang
berkepanjangan maka perlu ditopang dengan lembaga ilmiah yang bersifat
khusus.3 Maka tak heran jika IIQ ini menjadi salah satu icon yang mencetak
para qori‟ah dan hafidzhah yang sudah berlaga dikancah nasional bahkan
1 Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 6-7 2 Ahmad Sukardja dkk, IIQ dan Peran Sertanya Dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta
: PT Kabiran Makmur Offset, 1985 M), h. 47 3 Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 12
72
internasional seperti baru-baru ini mahasiswi IIQ yang menjadi delegasi
Indonesia berhasil menjadi juara ke II MHQ Internasional di Yordania.4
Ketiga dikhususkan nya lembaga ini untuk wanita saja guna untuk
mengangkat derajat wanita yang mempunyai hak yang sama dan setara
dengan lelaki salah satunya dibidang pendidikan serta menyadari
bahwasanya peranan wanita begitu sangat penting, keduanya sebagai bentuk
merealisir ajaran Islam yang menjunjung tinggi martabat perempuan
sebagaimana firman Allah SWT dan hadis Nabi SAW yang banyak
menggambarkan tentang tokoh-tokoh wanita.5
Selain dari pada itu, yang menjadi penguat dikhususkan nya IIQ ini
sebagai lembaga untuk wanita saja ialah karna mengingat seorang wanita
adalah tiang negara dalam artian berdirinya sebuah negara pun tidak terlepas
dari peran seorang wanita, dan wanita merupakan ibu pendidik sekaligus
madrasatul ula yang melahirkan dan mempunyai peran yang paling dekat
kepada keluaraga dan anak yang mana merupakan generasi penerus, tentu
wanita juga perlu di bekali dengan harapan kelak ia akan melahirkan
generasi penerus yang berkualitas dan berakhlak qur‟ani, maka sebelum
terjun ke masyarakat, IIQ hadir sebagai wadah untuk memberdayakan
perempuan.6
4 http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/news-iiq/warta/44-warta/513-Rifdah-Farnidah-
mahasiswi-iiq-juara-mhq-internasional, diakses pada hari Minggu, tanggal 22 April 2018 5 Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 59-60 6 Wawancara Pribadi dengan warek III IIQ, Hj. Romlah Widayati, M.A. , pada hari
Kamis 12 April 2018, Jam 11. 17 WIB
73
Selain dilatarbelakangi oleh beberapa faktor diatas hal ini juga didorong
atas adanya desakan dari Mentri Agama pada waktu itu yaitu Prof. Dr.
H.A.Mukti Ali, MA sehubung dengan adanya permintaan dari Daerah
Istimewa Aceh untuk mendirikan perguruan tinggi khusus wanita. Hal ini
sejalan dengan anjuran Presiden RI (bapak Soeharto pada waktu itu) yang
disampaikan pada pembukaan MTQ Nasional ke III di Banjarmasin agar Al-
qur‟an tidak hanya di musabaqahkan bacaannya saja, akan tetapi hendaknya
juga dipelajari dan digali ilmu dan kandungannya serta diamalkan untuk
disumbangkan kepada kepentingan pembangunan nasional.7
Karna terpanggil oleh rasa tanggung jawab, atas gagasan Prof K.H,
Ibrahim Hosen, LML, didirikanlah IIQ Jakarta pada tanggal 12 Rabiul Awal
1397 H atau bertepatan pada tanggal 1 April 1977 M oleh Yayasan Affan
yang diketuai oleh H. Sulaiman Affan. Yang beberapa tahun sebelumnya
telah memprakarsai berdirinya Perguruan Tinggi Al-Qur‟an (PTIQ) khusus
pria melalui Yayasan Ihya‟ Ulumuddin bersama-sama Almarhum Menteri
Agama K.H. Muhammad Dahlan, dan almarhum K.H.A. Zaini Miftah.8
Kemudian sejak tahun 1983 hingga sekarang IIQ diselenggarakan oleh
yayasan IIQ yang diketuai oleh Hj. Harwini Joesoef. Pada mula
terbentuknya IIQ ini perkuliahan pertama kali diadakan di garasi mobil
keluarga H. Harwini Joesoef yang di sulap menjadi ruang kelas belajar,
sekaligus mahasiswi yang ada tersebut diasramakan karna adanya program
tahfidz 30 juz yang ditempuh maka tidak memungkinkan untuk
7 Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 9-10 8 Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 8
74
menyelesaikan hafalan tersebut jika pulang pergi, selain dari pada itu,
mahasiswi yang ada pada masa itu merupakan utusan LPTQ dari berbagai
daerah seperti Sulawesi, Surabaya, kalimantan, dll.9
Adapun kampus IIQ sekarang ini yang berpusat di daerah Tangerang
Selatan tepat nya di jl. Ir. H. Juanda No.70 kecamatan Ciputat10
, dulunya
merupakan gedung LPTQ DKI Jakarta yang kemudian di hibahkan kepada
pihak Yayasan IIQ sebagi mitra untuk di pergunakan sebagai tempat
perkuliahan dan pembinaan calon qori‟ah dan hafidzhah yang nantinya akan
membantu berjalannya kegiatan LPTQ.11
Sebagai lembaga institusi yang memiliki tujuan mencetak para
penghafal al- Qur‟an maka perguruan tingkat institut ini memiliki sebuah
asrama sebagai salah satu sarana untuk mendukung program-program yang
sedang ditempuh di IIQ, Asrama ini juga diharapkan menjadi sebuah
pesantren takhassus yang diharapkan mampu memainkan peran sentral
untuk menunjang keberhasilan pendidikan di IIQ Jakarta terutama dalam
bidang tahfidz, tahsin, dan ulum al-qur‟an.12
Asrama mahasiswi ini
diresmikan pada tanggal 3 april 1985 bertepatan dengan peringatan dies
natalis ke VIII, pada saat itu diatas tanah 2½ hektar baru dibangun sebuah
gedung asrama dan dua buah perumahan pegawai atau pengawas asrama.
Dalam sambutannya selaku ketua umum yayasan IIQ, H.Harwini Yusuf
9 Wawancara Pribadi dengan Hj. Romlah Widayati,
10 Institut Ilmu Al qur‟an Jakarta, “ Tentang IIQ Sejarah,” artikel diakses pada 2 April
2018 dari http://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&id=15&dm=16 11
Wawancara Pribadi dengan Hj. Romlah Widayati, 12
Pesantren IIQ, “profil Pesantren,” artikel diakses pada 2 April 2018 dari
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/profil-iiq
75
mengatakan bahwasanya asrama ini merupakan salah satu sarana untuk
menunjang mahasiswi IIQ yang menghafal al- Qur‟an.13
Dalam pidato Dies IIQ ke VIII ini Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML
menyampaikan sebagai berikut:
“IIQ didirikan sebagai markas perjuangan kaum perempuan,
sekaligus merupakan kawah condrodimuko (tempat penggemblengan
dan penggondokan) srikandi-srikandi Islam yang sanggup tampil
mengibarkan panji-panji dakwah Islamiyyah, membangun masyarakat
dan bangsanya menuju masyarakat yang baik dan diridhoi Allah Swt.
Dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
pancasila. Dari lembaga ini diharapkan dapat diproduksi sarjana-sarjana
muslimah yang berilmu dan berakhlak mulia, yang sanggup berperan
aktif mensukseskan pembangunan nasional sebagai sumbangsih
terhadap agama, bangsa dan negaranya.”14
B. Tujuan Didirikannya IIQ
Dalam statuta IIQ tahun 2001, Bab II Pasal 3 berkenaan dengan
tujuan didirikannya IIQ disebutkan sebagai berikut:
1. Membentuk ulama/sarjana yang hafal al-Qur‟an, yang memiliki
kemampuan akademik dan/ atau profesional dalam bidang ilmu
agama Islam, khususnya ilmu-ilmu al-Qur‟an, serta mempunai
wawasan yang luas dan berakhlak mulia.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu agama Islam,
khususnya ilmu al- Qur‟an , serta mengupayakan penggunaannya
untuk kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dalam negara
Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila.15
C. Visi dan Misi Pesantren Takhassus IIQ Jakarta
Visi
1. Menjadi Pesantren Mahasiswi yang Qur‟ani
Misi
1. Menciptakan lingkungan pesantren yang nyaman dan kondusif
untuk menghafal al-Qur‟an.
13
Ahmad Sukardja dkk, IIQ dan Peran Sertanya Dalam Pembangunan Nasional, h. iv 14
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25
Tahun IIQ Jakarta)”, h. 37-38 15
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25
Tahun IIQ Jakarta)”, h.37
76
2. Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada pembinaan
akhlakul karimah dan pembentukan kepribadian yang disiplin dan
bertanggungjawab.
3. Menyelenggarakan program kajian keilmuan khususnya ilmu-
ilmu al-Qur‟an dalam rangka pengembangan pola pikir kritis.16
D. Sarana dan Fasilitas Pesantren
1) Tiga unit gedung asrama
2) Masjid Raudhatul Qur‟an
3) Aula utama
4) Perpustakaan
5) Laboratorium bahasa
6) Laboratorium komputer
7) Koperasi
8) Kantin
9) Laundry
10) Lapangan olahraga
11) Bus antar jemput mahasiswi
12) Saung qur‟an, dll17
E. Struktur Organisasi Pesantren
16
Pesantren IIQ, “profil Pesantren,” artikel diakses pada 2 April 2018 dari
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/profil-iiq 17
Pesantren IIQ, “profil Pesantren,” artikel diakses pada 2 April 2018 dari
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/profil-iiq
Yayasan IIQ Jakarta
Rektor IIQ Jakarta
Prof. Dr. Hj. Khuzaimah Tahido Yanggo, M.A
Warek I, II, dan Warek III
Dr. Hj. Nadjematul Faizah, SH., M. Hum
Dr. H. M. Dawud Arif Khan, M.Si., AK., CPA
Dr. Hj. Romlah Widayati, M.A
Pengasuh
Dr. KH. Ahmad Fathoni, Lc., M.A.
Kepala Asrama
Ruaedah, M.A.
Wakil Kepala Asrama
Hj. Istiqomah, M.A.
77
F. Kegiatan di Pesantren IIQ Jakarta
Sebagaimana kegiatan pesantren pada umumnya yang tidak terlepas
dari kegiatan agama, begitu juga di IIQ, kegiatan yang wajib diikuti di IIQ
ini adalah tahfiz karna memang dari awal dibentuknya IIQ ini itu menjadi
program unggulan dipesantren ini selain program unggulan lainnya seperti
naghom, Ilmu qiraat, Rasm Utsmani dll. Kegiatan tahfiz di IIQ ini menjadi
salah satu syarat kelulusan menuju semester selanjutnya, jika mahasiswi
terdapat kendala pada tahfiz dalam artian ketika waktu target tahfiz sudah
habis dan mahasiswi tersebut belum juga selesai targetnya maka mahasiswi
tersebut tidak diperkenankan untuk mengikuti ujian semester.18
Pada awal
terbentuknya IIQ ini program tahfiz yang ada di pesantren ini seluruhnya 30
juz, namun setelah melihat ada beberapa kendala, diantaranya kemampuan
menghafal setiap mahasiswi berbeda-beda maka dibuatlah program tahfiz
bertingkat.19
18
Wawancara pribadi dengan warek III IIQ. Tanggal 12 April 2018 19
Wawancara pribadi dengan warek III IIQ tanggal 12 April 2018
Sekretaris
Dliyaul Ula, S.Ud
Bendahara
Salwa Fakhriani, S.Pd.I
Dep. PSDMK
Wakil Kepala
Dep. PDPK Dep. KIP
Khusna Farida, S.Pd.I
Ketua Unit
Asrama I, II, III, IV & Masjid
Mahasantri
78
Program tahfidz di IIQ ini sendiri terbagi menjadi empat tingkat yaitu
pertama program tahfiz 30 juz, kedua program tahfiz 20 juz, ketiga program
tahfiz 10 juz dan keempat program tahfiz 5 juz.20
Masing-masing dari
pelaksanaan program ini terbagi dalam dua jadwal yaitu jam tahfidz wajib
dan jam tahfiz sunnah. Yang wajib itu berlaku pada hari senin, rabu dan
jum‟at sedangkan pada hari selain yang disebutkan tadi merupakan tahfiz
sunnah artinya boleh setoran tahfiz dan boleh tidak.
Selain dari pada itu, program diatas terbagi lagi menjadi dua, pertama
kelas tahfiz yang mana kelompok ini terdiri dari mahasiswi yang mengambil
program 30 juz dan 20 juz. Sedangkan yang kedua adalah kelas madin atau
kitab yang mana kelas ini wajib diikuti oleh mahasiswi yang mengambil
program 10 juz dan 5 juz. Selain dari kegiatan tahfiz di pesantren IIQ, juga
mahasiswi wajib mengikuti kegiatan penunjang seperti kegiatan baghdadi,
amtsilati, dll. Khususnya kepada mahasiswi yang mengambil program 10
juz dan 5 juz juga dibebankan untuk mengikuti kegiatan wajib kitab seperti
hadis, dan kitab-kitab kuning lainnya.21
Di pesantren IIQ juga terdapat banyak kegiatan ekstrakurikuler yang
bisa diambil oleh mahasiswi yang bermukim dipesantren, seperti kelas
jurnalis, kelas bahasa dll. Dan hampir setiap weekend selalu diisi dengan
kegiatan baik itu kegiatan Orda (Organisasi daerah) ataupun kegiatan
seminar-seminar.22
20
Brosur institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, Tahun Ajaran 2018-2019 21
Wawancara pribadi dengan mahasiswi pesantren IIQ, tanggal 23 April 2018 22
Wawancara pribadi dengan mahasiswi pesantren IIQ, tanggal 23 April 2018
79
BAB IV
PEMAHAMAN HADIS TENTANG LARANGAN MEMBACA
DAN MENYENTUH MUSHAF DALAM KEADAAN HAID
Pada penelitian ini penulis memusatkan penelitian di pesantren Takhassus
IIQ Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor. pertama pesantren tersebut adalah
pesantren yang background nya adalah pesantren penghafal al Qur‟an, yang mana
keseharian nya tentu tidak lepas dari pada berinteraksi dengan al Qur‟an berupa
menambah dan mengulang hafalan al Qur‟an mereka. Faktor yang kedua ialah di
dalam pesantren Takhassus IIQ Jakarta tersebut terdapat kebijakan mengenai
waktu target hafalan yang diberikan oleh mahasantri, yang tentunya ketika waktu
target dan waktu haid itu datang bersamaan ini akan menjadi penghambat tertunda
nya mahasantri tersebut menyelesaikan target yang sudah di tentukan dan ini akan
berdampak kepada sanksi yang sudah disiapkan oleh pihak lembaga. Kemudian
yang ketiga adalah karna pesantren tersebut di khususkan untuk perempuan saja,
yang tentunya perempuan akan mengalami menstruasi setiap bulannya, maka
dengan demikian antara pembahasan yang ingin dikaji oleh penulis selaras dengan
objek yang akan diteliti.
Secara keseluruhan santri yang bermukim di pesantren Takhassus IIQ
Jakarta dapat dilihat pada table dibawah ini:
No Angkatan Semester Jumlah Persentase
1 Tahun 2017 II 325 50%
2 Tahun 2016 IV 188 29%
3 Tahun 2015 VI 112 17%
4 Tahun 2014 VIII 30 5%
Total 655 100%
80
Tabel: Data Mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ Jakarta priode 2017-20181
Namun pada penelitian ini penulis membatasi wilayah penelitian hanya
pada mahasiswi semester II IIQ dikarenakan dari informasi yang penulis dapatkan
bahwasanya mahasiswi yang diwajibkan untuk mukim di asrama pesantren hanya
satu tahun, meskipun selain dari semester II masih ada yang mukim namun itu
tidak keseluruhan, karna sebagian sudah ada yang mukim di luar pesantren.2 Dan
penelitian ini penulis persempit lagi dengan menfokuskan penelitian pada
mahasiswi semester II IIQ Fakultas Ushuluddin prodi Ilmu Al Qur‟an dan Tafsir.
A. Analisis karakteristik responden penelitian berdasarkan profil santri
Karakteristik responden penelitian ini terdiri dari usia, asal daerah,
program tahfiz, pendidikan terakhir, sikap mahasiswi ketika haid dan alasan
menambah atau mengurangi hafalan ketika haid. Analisis selengkapnya dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Analisis karakteristik responden berdasarkan usia
Data mengenai karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat
pada tabel 4.1 berikut3:
Tabel 4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No Usia Jumlah Persentase
1 17 Tahun 1 1%
2 18 Tahun 31 39%
3 19 Tahun 25 31%
4 20 Tahun 13 16%
5 21 Tahun 1 1%
6 22 Tahun 2 3%
7 23 Tahun 1 1%
8 Tidak diketahui 6 8%
80 100%
1 Sumber data mahasantri Pesantren Takhassus IIQ Jakarta periode 2017-2018
2 Wawancara pribadi penulis dengan salah satu pengurus Pesantren Takhassus IIQ,
Jakarta 9 April 2018 3 Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
81
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.1 di atas dapat dijelaskan
bahwa responden terbanyak berdasarkan usia adalah responden yang berusia
18 tahun yaitu sebanyak 31 responden atau sebesar 39% dan responden
yang paling sedikit adalah pada usia, 17 tahun, 21 tahun, dan 23 tahun yaitu
masing-masing 1 responden atau sebesar 1%.
2. Analisis karakteristik responden berdasarkan asal daerah
Data mengenai karakteristik responden berdasarkan asal daerah dapat
dilihat pada tabel 4.2 berikut4:
Tabel 4.2
Responden Berdasarkan Asal Daerah
No Asal Daerah Jumlah Jiwa Persentase
1 Jabodetabek 29 36%
2 Jawa (Barat, Timur dan Tengah 27 34%
3 Sumatra 14 18%
4 Kalimantan 1 1%
5 Nusa Tenggara Barat 1 1%
6 Sulawesi 1 1%
7 Tidak diketahui 7 9%
Total 80 100%
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.2 di atas dapat dijelaskan
bahwa responden terbanyak berdasarkan asal daerah adalah responden yang
berasal dari Jabodetabek yaitu sebanyak 29 responden atau sebesar 36% dan
responden yang paling sedikit adalah dari Kalimantan, Nusa Tenggara
Barat, dan Sulawesi yaitu masing-masing 1 responden atau sebesar 1%.
3. Analisis karakteristik responden berdasarkan program tahfiz
Data mengenai karakteristik responden berdasarkan program tahfiz
dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut5:
4 Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
82
Tabel 4.3
Karakteristik Responden Berdasarkan Program Tahfiz
No Program Tahfidz Jumlah Mahasiswi Persentase
1 30 Juz 33 41%
2 20 Juz 11 14%
3 10 Juz 24 30%
4 5 Juz 12 15%
Total 80 100%
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.3 di atas dapat dijelaskan
bahwa responden terbanyak berdasarkan program tahfiz adalah responden
dengan program tahfiz 30 Juz yaitu sebanyak 33 responden atau sebesar
41% dan responden yang paling sedikit adalah pada program tahfiz 20 Juz
yaitu sebanyak 11 responden atau sebesar 14%
4. Analisis karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir
Data mengenai karakteristik responden berdasarkan pendidikan
terakhir dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut6:
Tabel 4.4
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
No Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase
1 Pon-Pes berbasis SMA, MA dan SMK 60 75%
2 Madrasah Aliyah (MA) 15 19%
3 Sekolah Menengah Atas (SMA) 5 6%
Total 80 100%
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.4 di atas dapat dijelaskan
bahwa responden terbanyak berdasarkan pendidikan terakhir adalah pada
Pon-Pes berbasis SMA, MA dan SMK yaitu sebanyak 60 responden atau
sebesar 75% dan responden yang paling sedikit adalah pada Sekolah
Menengah Atas (SMA) yaitu sebanyak 5 responden atau sebesar 6%.
5 Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
6 Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
83
5. Analisis karakteristik responden berdasarkan sikap ketika haid
Data mengenai karakteristik responden berdasarkan sikap ketika haid
dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut7:
Tabel 4.5
Karakteristik Responden Berdasarkan Sikap Ketika Haid
No Sikap Mahasiswi Ketika Menstruasi Jumlah Persentase
1 Menambah dan mengulang hafalan ketika haid 62 78%
2 Menambah Hafalan Saja 2 3%
3 Mengulang Hafalan saja 16 20%
80 100%
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.5 di atas dapat dijelaskan
bahwa responden terbanyak berdasarkan sikap ketika haid adalah
menambah dan mengulang hafalan ketika haid yaitu sebanyak 62
responden atau sebesar 78% dan responden yang paling sedikit adalah
menambah hafalan saja yaitu sebanyak 2 responden atau sebesar 3%.
6. Analisis karakteristik responden berdasarkan alasan menambah atau
mengulang hafalan ketika haid
Data mengenai karakteristik responden berdasarkan alasan
menambah atau mengulang hafalan ketika haid dapat dilihat pada tabel 4.6
berikut8:
Tabel 4.6
Responden Berdasarkan Alasan Menambah Atau Mengurangi Hafalan
Ketika Haid
No Alasan Jumlah Persentase
1 Keterpaksaan(terikat peraturan dan target di IIQ) 40 Orang 50%
2 karna hukum haid itu sendiri 8 Orang 10%
3 kebiasaan pribadi 22 Orang 28%
4 Kebiasaan dari pesantren sebelumnya 10 Orang 13%
Total 80 Orang 100%
7 Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
8 Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
84
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.6 di atas dapat dijelaskan
bahwa responden terbanyak berdasarkan alasan menambah atau
mengurangi hafalan ketika haid adalah karena keterpaksaan (terikat
peraturan dan target di IIQ) yaitu sebanyak 40 responden atau sebesar
50%, Artinya jika di sinkronkan dengan tabel 4.5 maka mahasiswi IIQ
sebagian memang menambah atau mengulang hafalan ketika haid karna
adanya peraturan yang mengharuskan mahasiswi tersebut sampai pada
target hafalan yang sudah ditentukan batas waktunya, meskipun ini juga
sebagian dipengaruhi oleh bawaan diri pribadi yang dari dulu tetap
menambah dan mengulang hafalan ketika haid dengan angka persentase
sebesar 28% atau 22 mahasiswi.
Dan responden yang paling sedikit adalah karena hukum haid itu
sendiri yaitu sebanyak 8 responden atau sebesar 10%. Artinya mahasiswi
tersebut hanya menambah atau mengulang hafalan saja ketika haid dan
sebagian dipengaruhi oleh bawaan ketika dari masa pesantren dulu yang
mana ada beberapa pesantren yang mungkin mengharuskan hanya cukup
menambah atau mengulang hafalan saja ketika haid.
B. Analisis data mengenai pemahaman hadis tentang larangan membaca
dan menyentuh mushaf
Analisis mengenai pemahaman hadis tentang larangan membaca
dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid dilakukan pada data yang
dikumpulkan dari data primer berupa kuesioner yang disebarkan kepada
subjek penelitian yaitu mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta
sebanyak 80 responden. Data penelitian yang telah dikumpulkan akan
85
disajikan meliputi nilai mean (M) dan standar deviasi dan selanjutnya akan
di analisis guna menjelaskan secara komprehensif mengenai pemahaman
hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan
haid.
Pemahaman mengenai hadis tentang larangan membaca dan
menyentuh mushaf dalam keadaan haid yang akan dijelaskan terdiri dari
pengetahuan secara tekstual, pengetahuan secara hukum dan kontekstual,
sikap dan aplikasi mengenai larangan membaca dan menyentuh mushaf
Al-Qur‟an ketika haid. Kuesioner yang disebarkan kepada subjek
penelitian terdiri dari 20 pernyataan dengan menggunakan skala Sangat
Setuju/Sangat Mengetahui (SS/SM), Setuju/Mengetahui (S/M), Ragu-
Ragu (RG), Tidak setuju/Tidak Mengetahui (TS/TM), dan Sangat Tidak
setuju/Sangat Tidak Mengetahui (STS/STM). Skala tersebut diberi rentang
skor dari 5 untuk sangat setuju/sangat mengetahui hingga 1 untuk sangat
tidak setuju/sangat tidak mengetahui.
Data tanggapan responden terhadap kuesioner penelitian dianalisis
menggunakan program komputer excel dan SPSS dan didapatkan hasil
skor dari masing-masing responden. Selanjutnya nilai skor tersebut akan
disajikan untuk mengetahui tingkat pemahaman hadis tentang larangan
membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid pada mahasiswi
pesantren takhassus IIQ Jakarta. Berdasarkan hasil analisis data yang telah
dilakukan didapatkan nilai skor terkecil hingga skor terbesar sebagaimana
yang tertera berikut ini9.
9 Data Penelitian Diolah Dengan SPSS, 2018
86
52, 52, 53, 53, 53, 54, 54, 54, 55, 55, 55, 56, 56, 56, 56, 57, 58, 58,
58, 58, 58, 58, 58, 59, 59, 59, 59, 60, 60, 60, 60, 60, 60, 60, 61, 61, 61, 61,
61, 61, 62, 62, 62, 62, 63, 63, 63, 63, 63, 64, 64, 65, 65, 65, 65, 66, 66, 66,
66, 66, 66, 67, 67, 68, 68, 69, 69, 69, 70, 70, 70, 70, 71, 71, 73, 73, 73, 75,
75, dan 80. Hasil perhitungan skor tanggapan mahasiswi pesantren
takhassus IIQ Jakarta terhadap pemahaman hadis tentang larangan
membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid didapatkan skor
maksimal sebesar 80 dan skor minimal sebesar 52 dan selanjutnya analisis
akan dilakukan dengan pengukuran skala model Likert dengan langkah-
langkah berikut10
.
Mengurutkan data dari yang terkecil sampai ke yang terbesar
Menentukan rentang (R); skor tertinggi - skor terendah
Menentukan jumlah kelas interval dengan rumus: Kriterium Sturges;
K=1 + 3,322 Log N, dimana k adalah banyaknya kelas dan n adalah
banyaknya nilai observasi
Menentukan panjang kelas interval (i) dengan rumus i=R/K
Menentukan skor kelas interval pertama, dan memilih skor terendah
dan tertinggi
Menuliskan frekuensi kelas dalam tally sesuai dengan banyaknya
data11
.
Setelah tabel distribusi tanggapan responden mengenai pemahaman
hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan
10
J. Supranto, Statistik Teori dan Aplikasi,( Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 73 11
Budi Susetyo, Statistika Untuk Analisis Data Penelitian,(Bandung: PT Refika
Aditama, 2012) hlm. 21
87
88
dengan rumus K=1 + 3,322 Log N jadi K=1 + 3,322 Log 80= 7,322 = 7.
Selanjutnya dicari panjang kelas interval (i) dengan rumus i=R/K = 80-
52/7 =28/7 =4. Maka dapat disusun tabel distribusi kelompok seperti yang
dipaparkan di bawah ini15
:
Tabel 4.7
Distribusi Kelompok
No Interval F X Fx X2 FX
2
1 76 - 80 1 78 78 6084 6084
2 72 - 75 5 73,5 367,5 5402,25 27011,25
3 68 - 71 11 69,5 764,5 4830,25 53132,75
4 64 - 67 14 65,5 917 4290,25 60063,5
5 60 – 63 22 61,5 1353 3782,25 83209,5
6 56 - 59 16 57,5 920 3306,25 52900
7 52 - 55 11 53,5 588,5 2862,25 31484,75
Jumlah ∑80 ∑459 ∑4988,5 ∑30557,5 ∑313885,75
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.7 di atas diketahui bahwa
sebagian besar responden mendapatkan nilai di kelas interval 60-63 yaitu
sebanyak 22 responden, diikuti pada interval kelas 56-59 sebanyak 16
responden, selanjutnya pada kelas interval 64 – 67 yaitu sebanyak 14
responden, pada kelas interval 52 – 55 dan 68 – 71 masing-masing
sebanyak 11 responden, pada kelas interval 72 – 75 sebanyak 5 responden,
dan terakhir sisanya pada kelas interval 76 – 80 sebanyak 1 responden.
2. Mencari rata-rata
Rata-rata dicari berdasarkan tabel distribusi kelompok yang telah
dipaparkan diatas. Maka didapatkan rata-rata pemahaman mahasiswi
pesantren takhassus IIQ Jakarta mengenai hadis tentang larangan
membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid sebagai berikut:
14
Budi Susetyo, Statistika Untuk Analisis Data Penelitian.......hlm. 20 15
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS dan Excel, 2018
89
M = ∑fx = 4988,5 = 62,36
N 80
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat dijelaskan bahwa rata-
rata pemahaman mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta mengenai
hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan
haid sebesar 62,36.
3. Mencari standar deviasi
Standar deviasi dari data yang tertera pada tabel distribusi kelompok di
atas dihitung sebagaimana berikut ini:
√
(
∑
)
√
(
)
√
= √
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat dijelaskan bahwa
standar deviasi pemahaman mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta
mengenai hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam
keadaan haid sebesar 5,89.
4. Mencari kategorisasi tingkat pemahaman hadis tentang larangan membaca
dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid
Setelah didapatkan nilai rata-rata (M) dan standar deviasi (SD) di
atas, maka selanjutnya dilakukan analisis kategorisasi pemahaman
mengikuti ketentuan berikut ini:
Tinggi = M + 1.SD ke atas
= 62,36 + (1 x 5,89)
= 68,25 ke atas
Sedang = M - 1.SD sampai M + 1.SD
90
= 62,36 - (1 x 5,89) sampai 62,36 + (1 x 5,89)
= 56,47 sampai 68,25
Rendah = M - 1.SD ke bawah
= 62,36 - (1 x 5,89)
= 56,47 ke bawah
Dasar pengkategorian pemahaman mengenai hadis tentang larangan
membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid di atas dapat dilihat
juga pada tabel 4.8 berikut16
:
Tabel 4.8
Kategori Pemahaman Mengenai Hadis Tentang Larangan Membaca
Dan Menyentuh Mushaf Dalam Keadaan Haid
Skor Nilai Kategori
68,25 – 80 Tinggi
56,47 sampai 68,25 Sedang
52 - 56,47 Rendah
Berdasarkan ketentuan yang ada pada tabel 4.8 di atas, maka
pengkategorian pemahaman mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta
mengenai hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam
keadaan haid adalah apabila responden mendapatkan skor nilai 68,25 – 80
maka dapat disimpulkan masuk kategori tinggi, apabila responden
mendapatkan skor nilai 56,47 sampai 68,25 maka dapat disimpulkan
masuk kategori sedang, dan apabila responden mendapatkan skor nilai 52 -
56,47 maka dapat disimpulkan masuk kategori rendah.
.
16
Data Hasil Penelitian Diolah, 2018
91
Selanjutnya analisis kategorisasi di atas dilakukan dengan
menggunakan bantuan program komputer SPSS. Hasil analisisnya adalah
sebagai berikut17
:
Tabel 4.9
Kategori Hasil Pemahaman Mengenai Hadis Tentang Larangan
Membaca Dan Menyentuh Mushaf Dalam Keadaan Haid
Skor Nilai Kategori Frekuensi Porsentase
68,25 – 80 Rendah 15 18,8
56,47 sampai 68,25 Sedang 50 62,5
52 - 56,47 Tinggi 15 18,8
Total 80 100,0
Berdasarkan hasil pengujian seperti yang tertera pada tabel 4.9 di
atas diketahui bahwa sebagian besar pemahaman mahasiswi pesantren
takhassus IIQ Jakarta mengenai hadis tentang larangan membaca dan
menyentuh mushaf dalam keadaan haid dapat kita lihat pada gambar
dibawah ini:
Kelompok kategori tinggi ialah mahasiswi mengetahui dan
memahami bahwasanya terdapat hadis larangan membaca dan menyentuh
mushaf al- Qur‟an dan dalam prakteknya mahasiswi tersebut mengacu
pada tidak diperbolehkan atau haramnya perempuan haid membaca dan
menyentuh musaf al- Qur‟an ketika haid.
17
Data Hasil Penelitian Diolah, 2018
68,25 – 80
Rendah
19%
56,47 sampai
68,25 Sedang
62%
52 - 56,47
Tinggi
19%
Frekuensi
92
Kelompok kategori sedang ialah mahasiswi mengetahui dan
memahami terdapat hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf al-
Qur‟an ketika haid namun pada prakteknya cenderung pada membolehkan
tetap membaca dan mnyentuh mushaf al-Qur‟an meskipun dalam keadaan
haid. Akan tetapi dengan pertimbangan berada dalam kondisi darurat atau
sedang dalam proses belajar al-Qur‟an.
Sedangkan kategori rendah ialah mahasiswi mengetahui adanya
hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an namun dalam
prakteknya mereka mengabaikan hadis tersebut. Dalam artian mereka tetap
membaca dan menyentuh mushaf alqur‟an seperti biasa ketika dalam
keadaan haid, meskipun tidak dalam keadaan darurat.
Dari tabel frekuensi diatas dapat diartikan bahwasanya tingkat
pemahaman mahasiswi IIQ pada hadis larangan membaca dan menyentuh
mushaf al-Qur‟an masuk ke dalam kategori sedang yaitu 62% dari total 50
mahasiswi atau responden.
Kategori pemahaman mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta
mengenai hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam
keadaan haid yang sebagian besar masuk kategori sedang menunjukkan
bahwa mahasiswi sudah mengetahui bahwa dalam hadis terdapat larangan
membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid, tetapi tidak semua
responden berpegang sepenuhnya pada hadis tersebut dan secara praktek
cenderung memilih menngabaikan hadis tersebut dikarenakan sedang
dalam keadaan proses belajar.
93
Analisis di bawah ini akan menjelaskan secara detail pemahaman
mahasiswi IIQ mengenai larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam
keadaan haid sebagaimana berikut:
1) Pengetahuan mahasiswa IIQ Jakarta terkait hadis larangan membaca
Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara tekstual hadis
Data mengenai pengetahuan mahasiswa IIQ Jakarta terkait hadis
larangan membaca Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara tekstual hadis
dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut18
:
Tabel 4.10
Pengetahuan Mahasiswa IIQ Jakarta Terkait Hadis Larangan Membaca Al-
Qur’an Dalam Keadaan Haid Secara Tekstual
No Pertanyaan
SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM
F % F % F % F % F %
1.
Apakah anda mengetahui
bunyi hadis dibawah ini
عليه وسلم - عن النبي صلى للاقال: ال تقرأ الحائض، وال الجنب
شيئا من القرآن (“orang yang sedang haid
dan junub tidak boleh
membaca alqur‟an”)
7 8,8 43 53,8 13 16,3 17 21,3 0 0
2.
Apakah anda mengerti
mengenai maksud hadis
diatas?
7 8,8 46 57,5 18 22,5 9 11,3 0 0
3.
Menurut anda maksud
hadis diatas secara teks
adalah berisi tentang
larangan perempuan haid
membaca alqur‟an
12 15 46 57,5 9 11,3 11 13,8 2 2,5
Berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan bunyi hadis
diatas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden sudah
mengetahui bunyi hadis tersebut yaitu sebanyak 43 responden atau
sebesar 53,8%. Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar responden
18
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
94
juga sudah mengerti maksud dari hadis tersebut yaitu sebanyak 46
responden atau sebesar 57,5%. hal ini dapat dilihat dari tanggapan
responden yang menyatakan setuju bahwa hadis tersebut berisi tentang
larangan perempuan haid membaca alqur‟an yaitu sebanyak 46 responden atau
sebesar 57,5%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar mahasiswa IIQ Jakarta sudah paham tentang hadis larangan
membaca Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara tekstual.
2) Pengetahuan mahasiswa IIQ terkait hadis larangan membaca Al-
Qur‟an dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual hadis
Data mengenai pengetahuan mahasiswa IIQ terkait hadis larangan
membaca Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual
hadis dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut19
:
Tabel 4.11
Pengetahuan Mahasiswa IIQ Terkait Hadis Larangan Membaca Al-Qur’an
Dalam Keadaan Haid Secara Hukum Dan Kontekstual Hadis
No Pertanyaan
SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM
F % F % F % F % F %
1
Secara pribadi pendapat
anda, perempuan haid itu
haram dan tidak
diperbolehkan membaca
alqur‟an tanpa pengecualian
atau alasan apapun
6 7,5 7 8,8 9 11,3 39 48,8 19 23,8
2
Secara pribadi pendapat
anda, perempuan haid
diperbolehkan membaca
alqur‟an hanya jika dalam
hal yang darurat seperti
belajar dan sejenisnya
(dengann kata lain jika tidak
ada unsur darurat maka tidak
diperbolehkan)
27 33,8 39 48,8 3 3,8 8 10 2 2,5
19
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
95
No Pertanyaan
SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM
F % F % F % F % F %
3
Secara pribadi pendapat
anda, Perempuan
diperbolehkan membaca
alqur‟an ketika haid baik
dalam keadaan darurat
ataupun tidak, karna tidak
ada nash yang menyebutkan
hukumnya secara pasti baik
berupa alqur‟an atau hadis
tentang ketidakbolehan atau
keharaman mengenai hal
tersebut
6 7,5 27 33,8 21 26,3 24 30 2 2,5
Hasil tanggapan mahasiswi IIQ Jakarta terhadap larangan
membaca alqur‟an dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual di
atas menunjukkan bahwa secara pribadi sebagian besar mahasiswi IIQ
Jakarta tidak setuju dengan pernyataan perempuan haid itu haram dan
tidak diperbolehkan membaca alqur‟an tanpa pengecualian atau alasan
apapun yaitu sebanyak 39 responden atau sebesar 48,8%.
Selanjutnya sebagian besar responden yaitu sebanyak 39 responden
atau sebesar 48,8% secara pribadi setuju dengan pertanyaan perempuan
haid diperbolehkan membaca alqur‟an hanya jika dalam hal yang darurat
seperti belajar dan sejenisnya (dengan kata lain jika tidak ada unsur
darurat maka tidak diperbolehkan). Pernyataan tersebut menunjukkan
bahwa mahasiswi IIQ Jakarta memahami hadis tersebut secara
kontekstual dan hukum, akan tetapi mereka mengacu kepada pendapat
yang mentashilkan/memberi keringan pada hal-hal yang darurat seperti
96
para penghafal Al-Qur‟an, pengajar Al-Qur‟an, termasuk juga orang
yang belajar.
Tanggapan responden terhadap pertanyaan terakhir menunjukkan
bahwa secara pribadi sebagian besar responden yaitu sebanyak 27
responden atau sebesar 33,8% juga setuju pada pernyataan bahwa
perempuan diperbolehkan membaca alqur‟an ketika haid baik dalam
keadaan darurat ataupun tidak, karna tidak ada nash yang menyebutkan
hukumnya secara pasti baik berupa alqur‟an atau hadis tentang
ketidakbolehan atau keharaman mengenai hal tersebut.
3) Pengetahuan santri IIQ terkait hadis larangan menyentuh mushaf
dalam keadaan haid secara tekstual hadis.
Data mengenai pengetahuan santri IIQ terkait hadis larangan
menyentuh mushaf dalam keadaan haid secara tekstual hadis dapat dilihat
pada tabel 4.12 berikut20
:
20
Data Penelitian Diolah dengan Program SPSS, 2018
97
Tabel 4.12
Pengetahuan Santri IIQ Terkait Hadis Larangan Menyentuh Mushaf Dalam
Keadaan Haid Secara Tekstual hadis
No Pertanyaan SS/SM M/S RG TS/TM
STS/ST
M
F % F % F % F % F %
1
Apakah anda
mengetahui teks hadis
dibawah ini?
إن ف الكتاب الذي كتبو رسول اللو صلى اللو عليو وسلم لعمرو
ال يس القرآن إال »حزم: بن «اىر
(“bahwasanya salah
satu surat yang ditulis
oleh Rasulullah SAW
kepada „Amru bin
Hazm adalah tidak
menyentuh alqur‟an
kecuali orang yang
suci”)
4 5 36 45 16 20 23 28,8 1 1,3
2
Apakah anda mengerti
mengenai maksud hadis
diatas? 5 6,3 38 47,5 21 26,3 15 18,8 1 1,3
3
Menurut anda hadis
diatas secara teks berisi
tentang larangan
menyentuh mushaf
alqur‟an ketika haid
5 6,3 42 52,5 19 23,8 12 15 2 2,5
Berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan mengenai
teks hadis diatas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden sudah
mengetahui teks hadis tersebut yaitu sebanyak 36 responden atau sebesar
45%. Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar responden juga sudah
mengerti maksud dari hadis tersebut yaitu sebanyak 38 responden atau
sebesar 47,5%. hal ini dapat dilihat dari tanggapan responden yang
98
menyatakan setuju bahwa hadis tersebut berisi tentang larangan perempuan
haid menyentuh mushaf Al-Qur‟an ketika haid yaitu sebanyak 42 responden
atau sebesar 52,5%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa IIQ Jakarta sudah paham tentang hadis larangan menyentuh
mushaf Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara tekstual.
4) Pengetahuan santri IIQ terkait hadis larangan menyentuh mushaf
dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual hadis
Data mengenai pengetahuan santri IIQ terkait hadis larangan
menyentuh mushaf dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual
hadis dapat dilihat pada tabel 4.13 berikut21
:
Tabel 4.13
Pengetahuan Santri IIQ Terkait Hadis Larangan Menyentuh Mushaf Dalam
keadaan Haid Secara Hukum Dan Kontekstual Hadis
No Pertanyaan SS/SM M/S RG TS/TM
STS/ST
M
F % F % F % F % F %
1
Secara pribadi pendapat
anda, bahwasanya
perempuan haid haram
dan tidak diperbolehkan
menyentuh alqur‟an
baik dengan pembatas
atau alas dan baik
dengan mushaf alqur‟an
terjemah terlebih
mushaf alqur‟an yang
bukan terjemah
1 1,3 10 12,5 17 21,3 44 55 8 10
2
Secara pribadi pendapat
anda, perempuan haid
tidak boleh menyentuh
mushaf alqur‟an kecuali
dengan syarat
menggunakan alas atau
pembatas seperti kain
2 2,5 25 31,3 21 26,3 29 36,
3 3 3,8
21
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
99
No Pertanyaan SS/SM M/S RG TS/TM
STS/ST
M
F % F % F % F % F %
dsb
3
Secara pribadi pendapat
anda, diperbolehkan
bagi perempuan haid
menyentuh mushaf
alqur‟an meskipun
tanpa alas/pembatas
dengan syarat mushaf
alqur‟an tersebut adalah
mushaf terjemah
13 16,3 50 62,5 10 12,5 4 5 3 3,8
Berdasarkan data pada tabel 4.13 di atas menunjukkan bahwa
sebanyak 44 responden atau sebesar 55% secara pribadi menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap pertanyaan pertama, yaitu mengenai
bahwasanya perempuan haid haram dan tidak diperbolehkan menyentuh
alqur‟an baik dengan pembatas atau alas dan baik dengan mushaf alqur‟an
terjemah terlebih mushaf alqur‟an yang bukan terjemah.
Namun sebagian besar responden yang menyatakan
ketidaksetujuannya terkait perempuan haid haram dan tidak diperbolehkan
menyentuh alqur‟an baik dengan pembatas atau alas dan baik dengan
mushaf alqur‟an terjemah terlebih mushaf alqur‟an yang bukan terjemah
menunjukkan bahwa mereka tau mengenai hadis larangan menyentuh
mushaf dalam keadaan haid secara teks namun secara hukum dan
pemahaman kontekstual hadis mereka cenderung mempertimbangkan hal-
hal lain seperti mengacu kepada dalil lain yang semakna dengan hadis
tersebut, yaitu berupa firman Allah didalam Al- Qur‟an surah Al Waqi‟ah
ayat 79 yang menunjukkan beberapa penafsiran berbeda mengenai maksud
100
ayat tersebut sehingga muncul beberapa pendapat yang cenderung
membolehkan menyentuh mushaf al-Qur‟an dalam keadaan haid
sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya terkait hal ini.
Selanjutnya sebagian besar responden yaitu sebanyak 29 responden
atau sebesar 36,3% secara pribadi tidak setuju dengan pertanyaan
perempuan haid tidak boleh menyentuh mushaf alqur‟an kecuali dengan
syarat menggunakan alas atau pembatas seperti kain dsb. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka menolak pernyataan hadis larangan
menyentuh mushaf dalam keadaan haid. Akan tetapi dapat dilihat bahwa
yang menolak hal tersebut bahkan tidak mencapai 50% dari responden,
artinya ada kecenderungan jawaban lain yaitu setuju dan ragu-ragu.
Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar responden yaitu
sebanyak 50 responden atau sebesar 62,5% secara pribadi setuju pada
pernyataan bahwa diperbolehkan bagi perempuan haid menyentuh mushaf
alqur‟an meskipun tanpa alas/pembatas dengan syarat mushaf alqur‟an
tersebut adalah mushaf terjemah. Pertanyaan ke-tiga ini menunjukkan
bahwa mahasiswi IIQ menilai dibolehkan menyentuh mushaf terjemahan
dalam keadaan haid. Sebagaimana pendapat pribadi dari mahasiswi IIQ
berikut ini.
“...Sedangkan pendapat kedua dari udztad saya di pesantren juga
bahwasanya alqur‟an boleh disentuh jika itu mushaf terjemah karna
mushaf yang ada terjemah itu bukan mushaf melainkan sama seperti buku
apalagi jika kita dalam keadaan menghafal maka murajaah atau mengulang
hafalan agar tidak lupa itu wajib, bahkan lebih wajib dari pada menambah
hafalan , maka di IIQ ini saya mengikuti pendapat udztad saya yang
kedua....”22
22
Wawancara Pribadi dengan Ainun Nadhrah, Jakarta, 9 April 2018
101
Berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan-pertanyaan
di atas dapat disimpulkan bahwa santri IIQ sudah mengetahui hadis
larangan menyentuh mushaf dalam keadaan haid, namun praktek
kesehariannya mereka cenderung mengabaikan hadis tersebut. Hal ini
tentunya didasari hadis tersebut tidak bisa dijadikan landasan pasti karena
dimungkinkan masih adanya terdapat banyak pertentangan pendapat.
C. Hasil Analisa Pemahaman menyeluruh mahasiswi IIQ terhadap kedua
hadis yaitu larangan perempuan untuk membaca dan menyentuh mushaf
Al-Qur’an ketika sedang haid.
Data mengenai pemahaman menyeluruh terhadap kedua hadis yaitu
larangan perempuan untuk membaca dan menyentuh mushaf Al-Qur‟an
ketika sedang haid dapat dilihat pada tabel 4.14 berikut23
:
Tabel 4.14
Pemahaman Menyeluruh Terhadap Hadis Larangan Perempuan Untuk Membaca
Dan Menyentuh Mushaf Al-Qur’an Ketika Sedang Haid
No Pertanyaan SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM
F % F % F % F % F %
1
Dari kedua teks hadis
diatas, menurut anda
tidak boleh membaca
alqur‟an dan tidak
boleh menyentuh nya
4 5 13 16,3 29 36,3 31 38,8 3 3,8
2
Dari kedua teks hadis
diatas, menurut anda
perempuan haid boleh
membaca alqur‟an dan
boleh menyentuh
mushaf alqur‟an
7 8,8 29 36,3 24 30 18 22,5 2 2,5
3
Dari kedua teks hadis
diatas, menurut anda
perempuan haid boleh
1 1,3 16 20 23 28,8 38 47,5 2 2,5
23
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
102
No Pertanyaan SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM
F % F % F % F % F %
membaca alqur‟an
akan tetapi tidak boleh
menyentuhnya
4
Dari kedua teks hadis
diatas, menurut anda
perempuan haid tidak
boleh membaca
alqur‟an akan tetapi
hanya boleh
menyentuhnya
0 0 1 1,3 28 45 49 61,3 2 2,5
Dari tabel rincian pemahaman kedua hadis tersebut dapat kita
paparkan pada gambar dibawah ini :
Dari gambar di atas berdasarkan tanggapan responden terhadap ke-
empat pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswi IIQ sudah
paham secara menyeluruh kedua hadis larangan membaca dan menyentuh
mushaf al-Qur‟an ketika sedang haid. Akan tetapi pada prakteknya mereka
lebih memilih untuk mengabaikan hadis tersebut, dengan mengikuti
pendapat yang membolehkan, seperti yang tertera pada gambar diatas
21%
52%
26%
1%
persentase pemahaman mahasiswi IIQ terkait hadis
larangan membaca dan menyentuh al-Qur'an
ketika haid
tidak boleh membaca dan menyentuh
boleh membaca dan menyentuh
boleh membaca tapi tidak boleh menyentuh
tidak boleh membaca tapi boleh menyentuh
103
bahwasanya sebagian mahasiswi memilih boleh membaca dan menyentuh
mushaf al-Qur‟an meskipun dalam keadaan haid dengan angka persentase
52%. dan tentunya hasil dari persentase ini menunjukkan keterkaitan dengan
hadis yang dijadikan dalil pelarangan tersebut yaitu masih banyak
terjadinya pertentangan dan dalil-dalil tersebut dianggap lemah sehingga
mereka mengikuti hadis-hadis lain sebagai bahan pertimbangan dalam
pelaksanaan kegiatan sehari-harinya di Pesantren Takhassus IIQ.
Jika disinkronkan persentase pada tabel 4.10 dan pada tabel 4.12
terkait sejauh mana pengetahuan mahasiswi IIQ terkait hadis ini,
bahwasanya sebagian mahasiswi mengetahui akan adanya kedua hadis
tersebut dengan jumlah hampir 60% dengan rincian sebanyak hampir 46
responden atau mahasiswi. Sedangkan pada tingkat kepahaman maksud dari
pada hadis tersebut dapat dilihat pada tabel 4.11 dan pada tabel 4.13,
bahwasanya menurut 40% mahasiswi IIQ perempuan haid boleh saja
membaca alqur‟an karna teks hadis tersebut tidak bisa dijadikan pegangan
karen tidak disebutkan hukumnya secara pasti, meskipun sebagian
menyatakan ketidaksetujuannya. Akan tetapi, memilih dibolehkan karna ada
rukhshah atau keringanan bagi perempuan haid yang sedang belajar atau
mengajar, sebagaimana keterangan yang penulis dapatkan dari salah satu
mahasiswi berikut ini:
“Saya dulu tidak pernah membaca atau menyentuh alqur‟an ketika
haid misalnya seperti menambah atau mengulang hafalan kecuali disaat
saya terlupa akan ayat yang sedang saya bacakan, saya membuka mushaf
tapi dengan memakai lapisan (tidak menyentuh secara langsung). Tapi di
IIQ ini saya menambah dan mengulang hafalan ketika haid karena sedang
proses belajar dan mengejar target semester”.24
24
Wawancara Pribadi dengan Qinta Berliana Valfini, Jakarta, 17 April 2018.
104
Sedangkan persentase untuk kebolehan bagi perempuan haid yang
menyentuh atau membawa mushaf al-Qur‟an ketika haid 60% mahasiswi
menyatakan sikap setuju, sehingga dalam prakteknya mahasiswi IIQ tetap
menyentuh mushaf al-Qur‟an dengan mushaf terjemah.
Dari hasil analisa tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwasanya di
Pesantren Takhassus Iiq Jakarta cenderung memilih pada pendapat yang
menyatakan kelemahan terhadap hadis tersebut, dan cenderung memilih
pendapat yang membolehkan seperti pendapat Imam Malik dan Abu Daud
al- Zhohiri yang membolehkan membaca dan menyentuh mushaf alqur‟an
ketika haid untuk keadaan tertentu seperti sedang dalam keadaan belajar
atau untuk menjaga hafalan al-Qur‟an agar tidak hilang, sebagaimana yang
telah dibahas pada bab sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut di
Pesantren Takhassus IIQ Jakarta mahasiswi tetap membaca dan menyentuh
mushaf al-Qur‟an karna adanya pernyataan secara lisan oleh rektor IIQ
terkait peraturan yang ada di IIQ,
“dijelaskan waktu proses mastama (masa orientasi mahasiswi) oleh
rektor IIQ beliau mengatakan bahwasanya secara teks hadis tidak
diperbolehkan membaca al-Qur‟an ketika haid dan junub seperti ulama
Imam syafii tidak membolehkan kecuali dengan niat ibadah, kemudian
madzhab Maliki memperbolehkan membaca, memegang jika dalam keadaan
belajar, dan al-Qur‟an yang diperbolehkan adalah mushaf terjemah, begitu
juga dengan IIQ yang mana tercapainya target tahfidz merupakan syarat
wajib yang harus di selesaikan...”25
25
Wawancara Pribadi dengan Agustina Erika, Jakarta 16 April 2018
105
D. Penerapan hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf jika
dikaitkan dengan keseharian mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ
Jakarta
1) Sikap mahasiswi IIQ Jakarta terkait hadis larangan membaca Al-Qur‟an
dalam keadaan haid
Data mengenai sikap mahasiswi IIQ Jakarta terkait hadis larangan
membaca Al-Qur‟an dalam keadaan haid dapat dilihat pada tabel 4.15
berikut26
:
Tabel 4.15
Sikap Mahasiswi IIQ Jakarta Terkait Hadis Larangan Membaca Al-Qur’an
Dalam Keadaan Haid
Pertanyaan SS/SM M/S RG TS/TM
STS/ST
M
F % F % F % F % F %
Apakah ketika anda
haid anda membaca
alqur‟an didalam hati
(tanpa bersuara) ?
3 3,8 14 17,5 9 11,3 46 57,5 8 10
Berdasarkan hasil tanggapan mahasiswi IIQ Jakarta seperti yang
tertera pada tabel 4.15 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden
dalam penerapan kesehariannya tidak mengacu pada hadis tersebut hal
ini dapat dilihat dari pernyataan sikap tidak setuju dengan pertanyaan
bahwa apakah ketika anda haid anda membaca alqur‟an didalam hati
(tanpa bersuara) dengan angka persentase 60% atau sebanyak 46
mahasiswi. Hal ini menunjukkan bahwa responden menilai al-Qur‟an
tidak harus dibaca didalam hati (tanpa bersuara) tetapi boleh dibaca
seperti biasanya. Sikap tersebut menunjukkan bahwa walaupun mereka
26
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
106
mengetahui bahwa ada hadis yang melarang membaca al-Qur‟an pada
saat haid akan tetapi mereka tetap mengacu kepada pendapat-pendapat
yang membolehkan membaca al-Qur‟an. Artinya adalah pada kegiatan
sehari-harinya mereka tetap membaca Al-Qur‟an seperti biasa.
Hal ini sesuai dengan sikap mahasiswi ketika ditanya tentang
keseharian mereka ketika haid pada tabel 4.5 pada gambar dibawah ini:
Bahwa 78% atau 62 mahasiswi tetap membaca dan mengulang
hafalan ketika haid. Selain mengabaikan hadis tersebut dalam
prakteknya, Mahasiswi IIQ juga lebih cenderung mengikuti peraturan
yang sudah ditetapkan di IIQ, terkait kebijakan target hafalan yang harus
selesai pada waktu yang ditentukan dengan sanksi tidak bisa melanjutkan
ke semester selanjutnya, atau tidak bisa menyelesaikan studi nya di IIQ,
apabila target hafalan tersebut tidak dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat
pada tabel 4.6 terkait alasan mahasiswi IIQ tetap menambah atau
mengulang hafalan ketika haid, sebagaimana yang terdapat pada gambar
dibawah ini:
0%10%20%30%40%50%60%70%80%
62 Orang 2 Orang 16 Orang
menambah danmengulang
hafalan
menambahhafalan saja
mengulanghafalan saja
Series1 78% 3% 20%
Sikap mahasiswi IIQ ketika haid
107
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwasanya dari 62
orang mahasiswi yang menambah dan mengulang hafalan ketika
haid, 50% atau 40 orang diantaranya dikarenakan adanya sikap
keterpaksaan untuk mengikuti peraturan yang ada di pesantren
Takhassus IIQ yaitu harus tercapainya target hafalan sampai batas
waktu yang ditentukan oleh pihak kampus sebagai syarat kelulusan
semester. Sedangkan 28% atau 22 orang yang lain tetap
menambah dan mengulang hafalan ketika haid karna memang
sudah menjadi kebiasaan pribadi yang mana tetap menambah dan
mengulang hafalan ketika haid.
Jadi , dapat disimpulkan bahwasanya di pesantren takhassus
IIQ Jakarta memang terdapat peraturan khusus yang menjadi
pegangan diperbolehkannya perempuan haid tetap membaca al-
Qur‟an, selain data diatas hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan
mahasiswi IIQ berikut ini:
0%10%20%30%40%50%
40 Orang 8 Orang 22 Orang 10 Orang
Keterpaksaan
(peraturandan
mengejartarget…
Karnahukum Haiditu sendiri
kebiasaanpribadi
kebiasaandari
pesantrensebelumnya
Series1 50% 10% 28% 13%
Alasan mahasiswi IIQ menambah atau mengulang
hafalan ketika haid
108
“...Sedangkan di IIQ diperbolehkan karna sedang proses
belajar menghafal al-Qur‟an, kalau tidak diperbolehkan nanti
hafalan al-Qur‟annya bisa hilang dan target yang di tetapkan di IIQ
tidak tercapai. Karna tahfidz al-Qur‟an merupakan syarat wajib
lulus semester selanjutnya di IIQ, dan ini juga dijelaskan waktu
proses mastama (masa orientasi mahasiswi) oleh rektor IIQ beliau
mengatakan bahwasanya secara teks hadis tidak diperbolehkan
membaca al-Qur‟an ketika haid dan junub seperti ulama Imam
syafii tidak membolehkan kecuali dengan niat ibadah, kemudian
madzhab Maliki memperbolehkan membaca, memegang jika
dalam keadaan belajar, dan al-Qur‟an yang diperbolehkan adalah
mushaf terjemah...”27
2) Sikap dan aplikasi mahasiswi IIQ terkait hadis larangan menyentuh
mushaf dalam keadaan haid.
Data mengenai sikap dan aplikasi mahasiswi IIQ terkait hadis
larangan menyentuh mushaf dalam keadaan haid dapat dilihat pada tabel
4.16 berikut28
:
Tabel 4.16
Sikap Dan Aplikasi Mahasiswi IIQ Terkait Hadis Larangan Menyentuh Mushaf
Dalam Keadaan Haid
No Pertanyaan SS/SM M/S RG TS/TM
STS/ST
M
F % F % F % F % F %
1
Apakah anda ketika
sedang haid
menambah atau
mengulang hafalan
dengan memegang
mushaf seperti biasa
ketika dalam
keadaan tidak haid ?
8 10 52 65 14 17,5 5 6,3 1 1,3
2
Apakah anda ketika
haid mengulang atau
menambah hafalan
tanpa memegang
mushaf ?
5 6,3 18 22,5 14 17,5 40 50 3 3,8
3 Apakah ketika anda
haid menambah atau 5 6,3 23 28,8 14 17,5 32 40 6 7,5
27
Wawancara Pribadi dengan Agustina Erika, Jakarta 16 April 2018 28
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
109
mengulang hafalan
tanpa menggunakan
mushaf akan tetapi
dengan
menggunakan media
elektronik seperti
qur‟an digital dan
sejenisnya
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.16 di atas dapat
digambarkan bahwasanya terkait penerapan hadis larangan menyentuh
mushaf al-Qur‟an dalam keseharian mahasiswi IIQ, sebagai berikut:
Pada diagram di atas dapat dijelaskan bahwasanya sebagian
mahasiswi IIQ dengan jumlah persentase 65% atau 52 orang memilih
tetap memegang mushaf al-Qur‟an ketika haid, artinya mereka
mengetahui adanya hadis tersebut seperti yang dapat kita lihat pada tabel
4.12 sebagian mereka mengetahui maksud dari pada hadis tersebut
dengan angka persentase 52,5% atau 42 mahasiswi, namun dalam
penerapan keseharian mahasiswi IIQ tidak berpegang kepada hadis yang
dijadikan dalil adanya larangan menyentuh mushaf al-Qur‟an ketika
010203040506070
52 Orang 18 Orang 23 Orang
menambah dan
mengulang
hafalan dengan
mushaf
menambah dan
mengulang
hafalan tanpa
mushaf
menambah dan
mnegulang
hafalan dengan
media
elektronik
Series1 65 22.5 28.8
penerapan hadis dalam keseharian mahasiswi
IIQ
110
haid, hal ini dapat dilihat pada tabel 4.13 yaitu 55% atau 44 mahasiswi
tidak setuju pada pernyataan haram bagi perempuan haid menyentuh
mushaf. Dan mahasiswi IIQ ini cenderung memilih menggunakan
mushaf terjemah ketika hendak menambah atau mengulang hafalan
dengan angka persentase 62,5% atau 50 mahasiswi. Selain mengabaikan
hadis tersebut hal ini juga didukung dari pemahaman yang sebelumnya
memang sudah ada pada diri mahasiswi, yang mana pemahaman
tersebut didapatkan dari guru di pesantren sebelum menjadi mahasantri
takhassus IIQ, sebagaimana keterangan yang penulis dapatkan dari
wawancara dengan mahasiswi IIQ, berikut ini:
“...Sedangkan pendapat kedua dari udztad saya di pesantren juga
bahwasanya alqur‟an boleh disentuh jika itu mushaf terjemah karna
mushaf yang ada terjemah itu bukan mushaf melainkan sama seperti
buku apalagi jika kita dalam keadaan menghafal maka murajaah atau
mengulang hafalan agar tidak lupa itu wajib, bahkan lebih wajib dari
pada menambah hafalan...”29
Hal ini semakin memperkuat bentuk sikap dan aplikasi mahasiswi
IIQ terkait hadis larangan menyentuh mushaf dalam keadaan haid yaitu
walaupun terdapat hadis yang melarangnya akan tetapi mereka tetap
yakin dan cenderung mengabaikan hadis tersebut, dengan melihat
beberapa pertimbangan yaitu mereka cenderung berpihak kepada
pendapat ulama yang membolehkan dan dalil lain yang membolehkan,
selain dari hadis dan pendapat para ulama, mereka juga berpatokan pada
peraturan yang ada di IIQ jakarta dan pemahaman yang didapat dari
guru atau udztad mereka dulu.
29
Wawancara Pribadi dengan Ainun Nadhrah
111
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemahaman mahasiswi IIQ terhadap hadis larangan
membaca dan menyentuh mushaf al-Qur’an dapat dikategorikan
sedang dengan angka persentase 62% atau 50 mahasiswi artinya
secara pemahaman mereka mengetahui dan memahami kedua
hadis tersebut, namun pada aplikasi keseharian nya mahasiswi IIQ
cenderung memilih untuk mengabaikann kedua hadis tersebut dan
mengikuti dalil-dalil yang membolehkan bagi perempuan haid
membaca atau pun menyentuh mushaf al-Qur’an, hal ini dapat
dilihat dari jumlah persentase pemahaman mahasiswi terhadap
kedua hadis tersebut sebesar 52%.
Sedangkan pada penerapan kedua hadis tersebut dapat
dilihat dari besarnya angka persentase ketidaksetujuan mahasiswi
IIQ bahwa jika dalam keadaan haid mereka menambah atau
mengulang hafalan dengan cara membaca didalam hati yaitu 60%
atau 46 mahasiswi. Sebaliknya jika kita lihat persentase sikap
mahasiswi ketika haid maka dapat dilihat bahwa sebagian besar
mahasiswi tetap menambah dan mengulang hafalan ketika haid
dengan angka persentase 78% atau 62 mahasiswi.
Begitu juga jika kita lihat pada persentase sikap mahasiswi
yang menyatakan bahwasanya mereka tetap menambah atau
mengulang hafalan dengan memegang mushaf yaitu 65% atau 52
112
mahasiswi tetap memegang mushaf, namun pada hal ini mushaf
yang digunakan mahasiswi IIQ adalah mushaf terjemah.
B. Saran
Setelah melewati penelitian ini, berdasarkan kajian teori dan
lapangan saran yang dapat penulis kemukakan ialah bagi
masyarakat seperti ajelis-majelis taklim, lembaga pesantren kajian
hadis sangat perlu untuk dilakukan pada zaman sekarang ini,
mengingat hadis tidaklah sama dengan alqur’an yang sudah jelas
dan pasti keotentikan nya, terlebih pada kajian yang menyangkut
ibadah-ibadah keseharian, atau amal-amalan yang kadang kala pada
kajian hadis nya terdapat kecacatan, baik dari segi sanad ataupun
matan, sehingga pada implementasinya tetap digunakan dilapangan
seperti majlis taklim, lembaga-lembaga keagamaan dll tanpa
mengetahui status pada hadis tersebut.
Sehingga apabila suatu hadis diimplementasikan dalam
praktek lapangan, bukan hanya mengetahui secara teks saja
melainkan juga mengetahui secara kontekstual hadis tersebut
sehingga dalam mengaplikasikan hadis telah mempunyai dasar
yang kuat.
113
DAFTAR PUSTAKA
„Abdullah bin „Abdurrahman Al Bassam, “ Tauḏih Ahkam Min Bulugh
AlMarâm”, terj. Thahirin Supatra,dkk. Jakarta: Pustaka Azzam,2006
A.J Wensinck. Mu‟jam Mufahras Li Alfadz Al-Hadis Al- Nabawi. Leiden : E.J
Brill, 1995
A.J Wensinck. Miftah al- Kunuz al- Sunnah. Kairo: Dar al- Hadis, 1411 H/ 1991
M.
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah Hamka. Tafsir Al Azhar Juz XXVII. Jakarta
: Pustaka Panjimas, t.t
Abdullahsyah dkk, “Jurnal Kajian Nilai-Nilai Keislaman.”Al Kaffah V.3, no 1
(Januari-Juni 2015)
Abdurrahman Al Bassam, Abdullah. Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka
Azzam,2009.
Abdurrahman Al- Mubarakfuuri, Muhammad. Tuhfatul Ahwadzi syarhu Jaami‟
at- Tirmidzi. Kairo: Darul Hadis.
Abdurrahman bin Nashir As- Sa‟di, Syaikh . Syarah Umdatul Ahkam”, terj.
Suharlan dan Suratman. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazîd Al- Qazwînî, Sunan Ibnu Majah. Beirut :
Dar Al-Fikri, 1415 H/ 1995 M
Abi Al Fadhl Ahmad bin Hajar Al „Asqalany. Tahdzib Al Tahdzib. Beirut: Dar El
Fikr,t.t
Abi Bakar Ahmad bin Husain bin „Ali al-Baihaqi. Sunan Al-Kubra .Beirut: Dar
Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M
Abi Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Jamaludin. Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal. Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1413 H/ 1992 M.
114
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. Jâmi‟ al- Shahîh Wa Huwa Sunan
Tirmidzî. Beirut: Dar Al- Kutub al- Ilmiyah, 1415H/1995 M
Abi Zakariya Mahyudin bin Syarif Al Nawawi. Al Majmu‟ Syarah Al
Muhadzdzab. Beirut: Dar El Fikr, t.t
Abu „Isa Muhammad Ibnu Mûsa al Dahaq al Sulamî al Bughi. Sunan Al-Tirmidzi.
Kairo: Dar Al-Hadist, 2005.
Abu Abdillah Al Hakim muhammad bin Abdullah bin Na‟im. Mustadrak Al
Shahihain. Beirut: Dar Al Kutub Al‟ilmiyah, 1990 M.
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, “
Tuhfatul Ahwadzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, terj. Shafaul Qalbi. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Abu Dâwud Sulaimân bin al- Asy‟asy bin Ishâq bin Basyîr bin Syadad al- Azdi
al- Sijistâni, Sunan Abi Dâwud, Beirut: Dar al- Fikr,t.tp.
Abu Hajar Muhammad al-Sa‟id Ibn Basyuniy Zaghlul. Mausu‟âh Aṯrâf al-Hadîs
al-Nabawi al-Syarîf. Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1989 M.
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al Thabari. Tafsir Al Thabari, terj. Fathurrozi
dan Anshari Taslim. Jakarta : Pustaka Azzam, 2009
Abu Muhammad „Abdullah bin „Abdul Rahman bin Fadl bin Bahram al- Darimi.
Sunan Al Darimi. Kairo: Dar al-Fikr, 1398 H/ 1978 M
Abu Muhammad „Abdullah bin abdurrahman bin Fadhil bin Bahram Ad-Darimi.
Sunan Al-Darimi. Kairo: Dar Al-Fikr, 1398 H/ 1978 M
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazm, “ Al- Muhalla”, terj. Ahmad
Rijali Kadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007
Abu Zakariyya Yahya Sarf al-Din al-Nawawi. al-Tibyân Fî Adab Hamalat al-
Qur’an. Beirut: Dar An-Nafa‟is, 1984.
115
al- Husaini, Ibnu hamzah. Asbabul Wurud, Latar Belakang Historis Timbulnya
Hadis-Hadis Rasul, terj. H.M Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim.
Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Ali Al Shabuni, Muhammad. Shafwatut Tafasir: Tafsir Tafsir Pilihan, terj.
KH.Yasin. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011
Ali Al Shabuni, Muhammad. Terjemahan Tafsir Ahkam Ash-Shabuni, terj.
Mu‟ammal Hamidy, dan Imron A. Manan. Surabaya: PT Bina Ilmu,2008.
Ali bin „Umara Dar Al-Quthni. Sunan Dar al-Quthni. Beirut: Dar al-Ma‟arifah,
1422 H/ 2001 M
Ash- Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta : Bulan
Bintang, 1976
Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarah: Shahih Bukhari, terj. Gazirah Abdi
Ummah. Jakarta: Pustaka Azzam 2002.
Asqalany, Ibnu Hajar. Al Isâbah Fî Tamyîz al- Shahabah”. Beirut: Dar Al- Kutub
al- Ilmiyah, 1415 H
Asqalany, Ibnu hajar. bulughul maram .Damaskus: darl Al fikr, 2008.
Az-Zubaidi, Imam. Ringkasan Shahih Bukhari. Bandung: Jabal, 2012.
Bahri, M. Saiful. “Problematika Hukum Membaca Al- Qur‟an Bagi Wanita Haid
Dalam Proses Tahfidz.” Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2007
Bani, Muhammad Nashiruddin. Irwa Al Ghalil, terj. Khairun Na‟im dan Diana
Madzkur. Jakarta: Najla Press, 2003
Bani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Tirmidzi, terj. Ahmad Yuswaji.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Bustamin dan H.A. Salam, M. Isa. Metode Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
116
Choiriyah, Siti. “Thawaf Bagi Wanita Haid Menurut Ibnu Mas‟ud al Kasani.”
Skripsi S1, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.
Duhriah, “Larangan Bagi Perempuan Haid Melakukan Aktifitas di Masjid dan
Membaca al- Qur‟an.” Kaffah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender V, No.1
,2015.
Emriz, Metodologi Penelitian Pendidikan: kualitatif dan kuantitatif. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2008.
Fakhruddin, Imam Muhammad Al Razi. Tafsir Al Kabir wa Mafatih Al Ghaib.
Beirut: Dar El fikr, 1414 H/ 1994 M
Faridl, Miftah. Puasa, Ibadah Kaya Makna. Jakarta: Gema Insani, 2007.
Fudhaili, Ahmad. Perempuan Di Lembaran Suci Kritik Atas Hadis-Hadis Shahih.
Jakarta: Transpustaka.
Halim hasan, Abdul . Tafsir al- Ahkam. Jakarta: Kencana, 2006
Hamid al Wahdi al Naisaburi, Abu Hasan Ali. Asbabun Nuzul. Beirut: Dar al
Fikr, 1986.
Hamim HR, M. terjemah fathul qorib. Kediri Jawa Timur : Santri Salaf Press,
2014.
Hanafi Ad Damsyiqi, Ibnu Hazm Al Husaini. Asbabul Wurud 1: Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul. Jakarta: Kalam Mulia,2011.
Hendrik. Problema Haid: Tinjauan Syariat Islam dan Medis. Solo: Tiga
Serangkai,2006.
Ibn Sayyid salim, Abu Malik Kamil . Fikih Sunnah Wanita: Referensi Fikih
Wanita Terlengkap”, terj. Firdaus. Jakarta: Qisti Press, 2013
Imam Abi Abdillah Muhammad Ismail bin Ibrahim Al Bukhari. Matan Bukhari
Kairo: Darul Fikr.t.tp
117
Mahdi al- Istanbuli, Mahmud. Tuhfatul Arusy, terj. Sholihin. Jakarta: Qitshi Press,
2012.
Malik bin Anas bin Malik bin „Amir Al-Asbahi Al-Madani. Muwathṯa‟ Imam
Malik. T.tp,: Muassasah al- Risalah, 1412 H
Mizzi, Jamaluddin .Tahdzib al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijal. Beirut: Dar al- Fikr,
1994.
Muhammad „Uwaidah, Syaikh Kamil. Fiqih Wanita : Edisi Lengkap. Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2008.
Muhammad bin „Ali Al Syauqani, “Nailu al-Authar Min Asrari Muntaqa al-
Akhbar”, (j.1, h. 284
Muhammad bin Isma‟il Al-Amir Ash-Shan‟ani. Subulus Salam: Syarah Bulughul
Maram, terj. Muhammad Isnani, dkk. Jakarta: Darus Sunnah, 2010
Muhammad Shiddiq Khan, As-Sayyid. Al-qur‟an dan As-Sunnah Bicara Wanita.
Jakarta: Darul Falah,2001.
Muhammad, Husein dan Haerudin, Mamang Muhammad . Mencintai Tuhan,
Mencintai Kesetaraan : Inspirasi Dari Islam dan Perempuan. Jakarta:
Kompas Gramedia,2014.
Mulia, Siti Musdah. Kemuliaan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2014.
Nashirudin ad-Dimasyqi, Ibnu. “Mutiara Ilmu Atsar(Kitab Klasifikasi Hadis)”,
terj. Faisal Saleh dan Khorul Amru Harahap. Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2008.
Nasution, Siti Nafsiah. “Studi Kualitas Sanad Hadis Membaca al-Qur‟an Bagi
Wanita Junub, Haid dan Nifas Tanpa Menyentuh Mushaf.”, Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN SUSKA Riau, 2015
Nawawi, Imam .Syarah Shahih Muslim, terj. Agus Ma‟mun dkk. Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2015
118
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Pedoman akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2013-2014
Qardhawi, Yusuf . Tirulah Puasa Nabi: Resep Ilahi Agar Sehat Jasmani-Ruhani.
Bandung: PT Mizan Pustaka,2011.
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Berinterkasi dengan alqur‟an . Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2000.
Qattan, Manna‟ Khalil . Studi Ilmu-ilmu Qur‟an. Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2013
Qudamah, Ibnu . Al Mughni. terj. Ahmad Hotib dan Fathurrahman. Jakarta:
Pustaka Azzam,2007
Rahman, Fauzi . Haid Menghalangi Ibadah? No Way!. Bandung :Mizan Pustaka,
2008.
Rahmat, Syarif .“Berwudhu Untuk Memegang Mushaf Al Qur‟an”, Kumpulan
Buletin Jum’at “Qum”, No. 209 (Desember 2005)
Rahmatullah, Luthfi. dkk.” Haid (Menstruasi) Dalam Tinjauan Hadis”. Jurnal
Palastren Vol .6, No. 1 (2013).
Rusyd, Ibnu. Bidâyatul Mujtahid Wa Nihâyatul Muqtasid. Indonesia, Dar Ihya‟ al
Kutub al ArAbiyah,t.th.
Sa‟di, „Adil. Fiqhun Nisa, Thaharah Shalat, terj. Abdurrahim. Jakarta : PT Mizan
Publika, 2006.
Shaufi, Ahmad Hidayat .“Studi Kritik Hadis Wanita Haid Masuk Masjid; Analisa
Sanad dan Matan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al- Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟an.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
119
Sri Rahayu, Ningsih “ Studi Kritik hadis Larangan dan Kebolehan Perempuan
Haid Masuk Masjid.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo,
2012.
Subhan, Zaitunah. Alqur‟an dan Perempuan; Menuju Kesetaraan Gender Dalam
Penafsiran. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Sudijono, Anas Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali, 1989).
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.
Bandung: al- Fabeta, 2010.
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003.
Suyuti, Jalaludin. Al- Itqan Fi „Ulum al-Qur‟an. Beirut: Dar al- Fikri, 1951.
Syafi‟i Hadzami, Muhammad. Fatwa-Fatwa Muallim; Taudhihul Adhillah
Penjelasan Tentang Dalil-Dalil Shalat . Jakarta: Kompas Gramedia,2010.
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak. “Mukhtashar Nailul Authar”, terj.
Amir Hamzah Fachrudin dan Asep Saefullah. Jakarta: Pustaka Azzam,
2011.
Taimiyah, Ibnu “ Fatawa An-Nisa‟”, terj. Khairun Naim, Jakarta: Ailah, 2005.
Thahhan, Mahmud. Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Riyadh: Maktabah al-
Ma‟arif, 1412 H/1991 M.
Turmudzi, Imam. Sunan Al- Tirmidzi. Beirut: Dar al- Fikr,1994.
Umar, Nasarudin dan Dani, Indriya R. 100+ Kesalahan Dalam Haji dan Umroh.
Jakarta: Qultum Media,2008.
Umar, Nasarudin. Ketika Fikih Membela Perempuan. Jakarta:Kompas Gramedia,
2014.
Wawancara pribadi dengan Dhiyaul Ula, salah satu pengurus Pesantren Takhassus
IIQ. Jakarta 9 April 2018
120
Wawancara Pribadi dengan mahasiswi IIQ Jakarta, 16-november-2017.
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran. Al Quran dan
Terjemahnya. Departemen Agama: 2004.
Zaki al-Barudi, Syeikh Imad. Tafsir Wanita”, terj. Samson Rahman. Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2005.
Zuhaili, Wahbah . Al- Fiqhul Islâmî Wa Adilatuhû”, terj. Masdar Hilmy.
Bandung: Pustaka Media Utama.
Zuhaili, Wahbah. Fikih Thaharah Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: CV.
Pustaka Media Utama
Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2005.
121
Lampiran 1
Surat pengantar penelitian
122
Lampiran 2
Surat keterangan telah melakukan penelitian
123
Lampiran 3
Dokumentasi lokasi penelitian
Keterangan: kantor pengurus Pesantren Takhassus IIQ Jakarta
124
Keterangan : Asrama I IIQ Jakarta
Keterangan : Asrama DKI IIQ Jakarta
125
Lampiran 4
Daftar pertanyaan angket penelitian
KUESIONER/ ANGKET
TENTANG PEMAHAMAN MAHASISWI PESANTREN TAKHASSUS IIQ
JAKARATA TERHADAP HADIS LARANGAN MEMBACA DAN
MEMBAWA ATAU MENYENTUH MUSHAF ALQUR’AN SAAT HAID
Judul Penelitian : Pemahaman Hadis tentang Larangan Membaca dan
Menyentuh Mushaf Al Qur‟an Saat Haid (Studi Kasus
Mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ Jakarta)
Tujuan dan Manfaat : Untuk memperoleh data tentang pemahaman mahasiswi
pesantren takhassus IIQ Jakarta terhadap hadis larangan
membaca dan menyentuh mushaf bagi wanita yang sedang
haid
Koresponden : Mahasiswi Semester II Jurusan IAT Pesantren Takhassus
IIQ Jakarta
Cara Pengisian : - pada bagian pertama Pilihlah salah satu jawaban yang
paling sesuai dengan pendapat dan pengetahuan saudari
dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu A,B,C
dan D dibawah ini ! pada bagian kedua pilihlah jawaban
yang menurut anda paling tepat.
- Bacalah dengan cermat setiap butir pertanyaan
sebelum anda menjawab !
Nama :
Usia :
Asal :
Daftar Pertanyaan
Bagian I: Kuesioner
1. Apa jenjang pendidikan terakhir anda sebelum terdaftar sebagai maha santri
pesantren Takhassus IIQ Jakarta?
A. SMA
B. SMK
126
C. MA
D. PON-PES berbasis SMA atau MA
2. Di Pesantren Takhassus IIQ Jakarta anda mengambil program yang berapa
Juz?
A. 30 Juz
B. 20 Juz
C. 10 Juz
D. 5 Juz
3. Ketika anda mengalami menstruasi apakah anda tetap menambah atau
mengulang hafalan? sertakan alasan dengan cara menceklis di kolom
sebelah kanan !
A. Ya, keduanya Karna memang dari dulu
menambah atau mengulang
hafalan ketika menstruasi
Karna mengejar target
hafalan di IIQ
Karna peraturan yang ada
dipesantren takhassus IIQ
B. Hanya menambah saja Karna menurut saya pribadi
ketika menstruasi hanya
boleh menambah hafalan
saja
Karna mengejar target
hafalan di IIQ
Karna peraturan yang ada
dipesantren takhassus IIQ
Karna kebiasaan santri
dipesantren saya yang
sebelumnya hanya
menambah hafalan saja
C. Hanya mengulang saja Karna menurut saya ketika
menstruasi hanya boleh
mengulang hafalan
Karna mengejar target
hafalan di IIQ
Karna peraturan yang ada
dipesantren takhassus IIQ
Karna kebiasaan santri
dipesantren saya yang
sebelumnya hanya
mengulang hafalan saja
127
D. Tidak, keduannya Karna menurut saya ketika
haid tidak boleh sama sekali
menambah atau mengulang
hafalan
Bagian II: kuesioner
No. Pertanyaan SS M/S RG TS STS
1. Apakah anda mengetahui bunyi hadis dibawah
ini
عن النب صلى الله عليه وسلم قال: ال ت قرأ احلائض، وال - اجلنب شيئا من القرآن
(“orang yang sedang haid dan junub tidak boleh
membaca alqur‟an”)
2. Apakah anda mengerti mengenai maksud hadis
diatas?
3. Menurut anda maksud hadis diatas adalah berisi
tentang larangan perempuan haid membaca
alqur‟an
4. Secara pribadi pendapat anda, perempuan haid
itu haram dan tidak diperbolehkan membaca
alqur‟an tanpa pengecualian atau alasan apapun
5. Secara pribadi pendapat anda, perempuan haid
diperbolehkan membaca alqur‟an hanya jika
dalam hal yang darurat seperti belajar dan
sejenisnya
6. Secara pribadi pendapat anda, Perempuan
diperbolehkan membaca alqur‟an ketika haid
karna tidak ada nash yang menyebutkan
hukumnya secara pasti baik berupa alqur‟an
atau hadis tentang ketidakbolehan atau
keharaman mengenai hal tersebut
7. Apakah ketika anda haid anda membaca alqur‟an
didalam hati (tanpa bersuara) ?
128
8. Apakah anda mengetahui teks hadis dibawah
ini?
إن ف الكتاب الذي كتبه رسول الله صلى الله عليه وسلم لعمرو بن «إال طاهر ال يس القرآن »حزم:
(“bahwasanya salah satu surat yang ditulis oleh
Rasulullah SAW kepada „Amru bin Hazm
adalah tidak menyentuh alqur‟an kecuali orang
yang suci”)
9. Apakah anda mengerti mengenai maksud hadis
diatas?
10. Menurut anda hadis diatas berisi tentang
larangan menyentuh mushaf alqur‟an ketika haid
11. Secara pribadi pendapat anda, bahwasanya
perempuan haid haram dan tidak diperbolehkan
menyentuh alqur‟an baik dengan pembatas atau
alas dan baik dengan mushaf alqur‟an terjemah
terlebih mushaf alqur‟an yang bukan terjemah
12. Secara pribadi pendapat anda, perempuan haid
tidak boleh menyentuh mushaf alqur‟an kecuali
dengan syarat menggunakan alas atau pembatas
seperti kain dsb
13. Secara pribadi pendapat anda, diperbolehkan
bagi perempuan haid menyentuh mushaf
alqur‟an meskipun tanpa alas/pembatas dengan
syarat mushaf alqur‟an tersebut adalah mushaf
terjemah
14. Apakah anda ketika sedang haid menambah atau
mengulang hafalan dengan memegang mushaf
seperti biasa ketika dalam keadaan tidak haid ?
15. Apakah anda ketika haid mengulang atau
menambah hafalan tanpa memegang mushaf ?
16. Apakah ketika anda haid menambah atau
mengulang hafalan tanpa menggunakan mushaf
akan tetapi dengan menggunakan media
elektronik seperti qur‟an digital dan sejenisnya
17. Dari kedua teks hadis diatas, menurut anda tidak
boleh membaca alqur‟an dan tidak boleh
menyentuh nya
18. Dari kedua teks hadis diatas, menurut anda
perempuan haid boleh membaca alqur‟an dan
boleh menyentuh mushaf alqur‟an
19. Dari kedua teks hadis diatas, menurut anda
perempuan haid boleh membaca alqur‟an akan
tetapi tidak boleh menyentuhnya
20. Dari kedua teks hadis diatas, menurut anda
perempuan haid tidak boleh membaca alqur‟an
akan tetapi hanya boleh menyentuhnya
129
Keterangan:
- SS /SM : Sangat Setuju / Sangat Mengetahui
- S /M : Setuju / Mengetahui
- RG : Ragu-Ragu
- TS/ TM : Tidak setuju / Tidak Mengetahui
- STS /STM : Sangat Tidak setuju / Sangat Tidak Mengetahui
Jazakallahu Khairan