pdph

16
POST DURAL PUNCTURE HEADACHE (PDPH) Jean Francis Melanny Kassiuw*, Purwito Nugroho** ABSTRACT Post dural puncture headache is one of most common complication associated with spinal and epidural anesthesia. Despite advances in equipment and regional anesthetic techniques, post dural puncture headache remains a persistent problem. In many cases, the headache is mild in intensity and brief in duration, without significant sequelae. However, this is not always the case. Post dural puncture headache is occasionally severe enough to leave patient bedridden and often delay hospital discharge. Keywords : PDHP, headache, spinal anesthesia, epidural anesthesia ABSTRAK Post dural puncture headache (PDPH) adalah salah satu komplikasi yang paling umum terjadi pada anestesi spinal dan epidural. Meskipun telah banyak kemajuan dalam peralatan dan teknik regional anestesi, post dural puncture headache masih menjadi masalah yang menetap. Pada berbagai kasus, sakit kepala ini memiliki intensitas yang sedang dengan durasi yang singkat. Namun yang terjadi tidak selalu seprti itu. Sakit kepala yang dirasakan bisa cukup berat sehingga pasien harus beristirahat di tempat tidur dan memperpanjang masa rawat di rumah sakit. Kata kunci : PDPH, sakit kepala, anestesi spinal, anestesi epidural PENDAHULUAN 1

Upload: ramaadityak

Post on 24-Dec-2015

62 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Post Dural Puncture Headache

TRANSCRIPT

Page 1: PDPH

POST DURAL PUNCTURE HEADACHE (PDPH)

Jean Francis Melanny Kassiuw*, Purwito Nugroho**

ABSTRACT

Post dural puncture headache is one of most common complication associated with spinal and epidural

anesthesia. Despite advances in equipment and regional anesthetic techniques, post dural puncture headache

remains a persistent problem. In many cases, the headache is mild in intensity and brief in duration, without

significant sequelae. However, this is not always the case. Post dural puncture headache is occasionally

severe enough to leave patient bedridden and often delay hospital discharge.

Keywords : PDHP, headache, spinal anesthesia, epidural anesthesia

ABSTRAK

Post dural puncture headache (PDPH) adalah salah satu komplikasi yang paling umum terjadi pada anestesi

spinal dan epidural. Meskipun telah banyak kemajuan dalam peralatan dan teknik regional anestesi, post

dural puncture headache masih menjadi masalah yang menetap. Pada berbagai kasus, sakit kepala ini

memiliki intensitas yang sedang dengan durasi yang singkat. Namun yang terjadi tidak selalu seprti itu. Sakit

kepala yang dirasakan bisa cukup berat sehingga pasien harus beristirahat di tempat tidur dan memperpanjang

masa rawat di rumah sakit.

Kata kunci : PDPH, sakit kepala, anestesi spinal, anestesi epidural

PENDAHULUAN

Post dural puncture headache (PDPH) adalah sakit kepala yang sering berlokasi di daerah frontal dan

oksipital, terjadi akibat adanya kebocoran dari cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat

tembusan jarum anestesi. Ini merupakan komplikasi yang umum terjadi pada anestesi spinal dan epidural.1

* Coassistant Anestesi FK Untar 2 Februari 2015 – 21 Februari 2015

** Dokter Spesialis Anestesiologi RSUD Kota Semarang

1

Page 2: PDPH

Sampai saat ini ada dua teori mengenai terjadinya PDPH. Teori pertama menyebutkan bahwa kebocoran

yang kontinyu dari cairan serebrospinal menyebabkan berkurangnya cairan dari kompartmen intrakranial.

Karena cairan serebrospinal berfungsi sebagai bantalan dari otak, maka pengurangan cairan ini menyebabkan

posisi dari otak jatuh sehingga menyebabkan tarikan pada meningen yang sensitif terhadap nyeri. Nyeri ini

menjalar sepanjang nervus trigeminus ke daerah frontal. Juga melalui nervus vagus dan glossopharyngeal ke

daerah occipital dan leher. Nyeri lebih terasa terutama pada posisi tegak.

Teori yang kedua menyebutkan bahwa kebocoran cairan serebrospinal menyebabkan terjadinya hipotensi

intrakranial, yang menyebabkan tubuh berkompensasi dengan melakukan vasodilatasi. 2

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Cairan serebrospinal (CSS) merupakan hasil ultrafiltrasi plasma yang jernih tidak berwarna, tidak berbau dan

berada dalan ventrikel otak, sisterna otak, dan ruang subarakhnoid sekitar otak dan medula spinalis. Volume

CSS pada orang dewasa rata-rata memproduksi sekitar 500 ml CSS/hari, atau 21 ml/jam (0,3 ml/kgBB/jam),

dengan 90 % berasal dari pleksus koroid di ventrikel lateral, dan 10% dari substansi otak itu sendiri. Dengan

berat jenis CSS1.002 – 1.009, pH 7,32 dan 50 ml berada dalam ruang intrakranial.3

Cairan ini mengalir melalui foramina interventrikular masuk ke ventrikel ketiga, dan dari tempat ini akan

masuk ke ventrikel keempat melalui aquaduktus. CSS kemudian bersirkulasi melalui foramen Luschka dan

Magendi menuju ruang subarakhnoid dan vili arakhnoid dari sinus dura mater (badan Pacchionian), dan dari

tempat ini akan masuk ke dalam sinus venosus.4

Aliran CSS melalui sistem ini dipermudah oleh faktor-faktor sirkulasi dan postural yang menimbulkan

tekanan SSP sebesar 10 mmHg. Penurunan tekanan akibat pengeluaran hanya beberapa ml CSS selama

pungsi lumbal untuk analisis laboratorium dapat menimbulkan nyeri kepala yang hebat. Melalui proses

pembentukan, sirkulasi dan reabsorpsi yang terus menerus, seluruh volume CSS digantikan lebih dari tiga kali

sehari.

Menings spinalis terdiri atas 3 lapis, yaitu : dari lapisan terluar sampai terdalam, dura mater, arakhnoid, pia

mater. Ruang antara lapisan arakhnoid dan pia mater di bawahnya disebut ruang subarakhnoid, terisi oleh

CSS. 5

Secara anatomis, dura mater spinalis memanjang dari foramen magnum ke segmen kedua sakrum. Ini terdiri

dari matriks jaringan ikat padat kolagen dan serat elastis. Sebanyak sekitar 150 ml CSS beredar pada satu

waktu dan diserap oleh vili arakhnoid. 6

2

Page 3: PDPH

Gambar 1. Potongan sagital vertebra lumbal

(Diambil dari referensi no.7)

KLASIFIKASI

Naulty et al membagi PDPH menjadi dua fase. Yang pertama adalah PDPH yang relatif ringan. Biasanya

timbul 36 – 48 jam setelah anestesi. Fase kedua, atau yang disebut juga sebagai PDPH klasik, timbul 3 – 4 hari

setelah anestesi, dengan nyeri kepala berat yang tidak bisa hilang dengan analgesik. Sedangkan Lybecker et al

membagi PDPH menjadi ringan, moderat dan berat.8

Klasifikasi Post Dural Puncture Headache menurut Lybecker et al :

1. Mild PDPH

Sakit kepala sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak perlu beristirahat total di

tempat tidur .

Tidak ditemukan gejala yang berhubugan dengan PDPH.

2. Moderat PDPH

Sakit kepala yang mengganggu aktivitas sehari-hari dengan signifikan. Pasien mnghabiskan

sebagian besar waktu di tempat tidur.

Dapat ditemukan gejala yang berhubungan dengan PDPH.

3. Severe PDPH

Sakit kepala yang sangat berat. Pasien tidak dapat beraktivitas.

Ada gejala yang berhubungan dengan PDPH.

3

Page 4: PDPH

Gejala yang berhubungan dengan PDPH :

Gejala vestibular : mual, muntah, vertigo

Gejala cochlear : hilang pendengaran, hiperakusis, tinitus

Gejala okular : fotofobia diplopia, kesulitan akomodasi

Gejala muskuloskletal : kaku di area leher, nyeri skapular

PATOFISIOLOGI

Penyebab PDPH tidak sepenuhnya pasti. Penjelasan terbaik adalah bahwa hasil tekanan rendah CSS dari

kebocoran CSS melalui robekan dural dan arakhnoid, sebuah kebocoran melebihi tingkat produksi dari CSS.

Sedikitnya hilang 10% volume CSS dapat menyebabkan sakit kepala ortostatik. Ada dua mekanisme dasar

teoritis untuk menjelaskan PDPH. Salah satunya adalah refleks vasodilatasi dari pembuluh meningeal karena

menurunnya tekanan CSS. 7

Monroe-Kelly menyatakan bahwa total volume elemen dari rongga intrakranial (darah, CSS, dan jaringan

otak) tetap konstan. Konsekuensi kehilangan CSS adalah vasodilatasi yang mengkompensasi hilangnya

volume dalam rongga intrakranial, sehingga sakit kepala dialami oleh paien setelah kebocoran CSS mungkin

sebagian disebabkan vasodilatasi intrakranial. Efek menguntungkan dari obat vasokontriktor otak termasuk

kafein, teofilin, dan sumatriptan mendukung etiologi vaskuler untuk PDPH. Ganggguan visual terjadi di mana

tercatat bahwa mereka yang menerima anestesi spinal terjadi penurunan tekanan intrakranial. Diplopia adalah

gejala mata yang paling umum diakibatkan dari penurunan tekanan intrakranial dan disebabkan oleh traksi

pada saraf abducens (saraf kranial keenam), yang memiliki jalan terpanjang dalam rongga intrakranial.

Gejala yang berhubungan dengan pendengaran, disebabkan disfungsi saraf kedelapan, juga kadang-kadang

dapat terjadi, yang mengalami ketulian unilateral atau bilateral. Insiden kehilangan pendengaran berkorelasi

dengan ukuran dan jenis jarum yang digunakan dan telah didokumentasikan untuk dihilangkan dengan patch

darah epidural. Efek pada pendengaran adalah resultan dari perubahan tekanan CSS, yang ditransmisikan ke

sirkulasi getah bening endocochlear dalam kanalis semisirkularis, dan hasil dalam kondisi sementara mirip

dengan hidrops pada penyakit Meniere. 2

Teori yang lainnya adalah traksi pada struktur sensitif nyeri intrakranial dalam posisi tegak. Traksi pada nervus

servikal seperti C1, C2, C3 yang menyebabkan nyeri pada leher dan bahu. Traksi pada saraf kranial kelima

menyebabkan sakit kepala frontal. Nyeri di daerah oksipital ini disebabkan oleh traksi pada saraf kranial

kesembilan dan kesepuluh.6

4

Page 5: PDPH

INSIDENSI PDPH

Insiden PDPH diperkirakan 30 – 50% pada diagnostik atau terapi pungsi lumbal, 0 – 5% anestesi spinal dan

81% kejadian pungsi dural selama insersi epidural pada wanita hamil. PDPH sering terjadi pada dewasa muda

termasuk pasien obstetri dengan insiden sebanyak 14%, dibanding dengan pasien yang berusia lebih dari 70

tahun. Kejadian PDPH meningkat dengan penggunaan jarum spinal yang berukuran besar dan komplikasi

berkurang dengan penggunaan jarum pencil – tripped needles.9

Gambar 2. Jarum Sprotte, Whitracre, dan Quinckle

( Diambil dari referensi no.10)

Insiden PDPH secara langsung berkaitan dengan diameter jarum yang menembus duramater. Meskipun

tusukan jarum diameternya kecil digunakan untuk blok subarakhnoid mengurangi resiko PDPH, jarum ini

secara teknis sulit untuk digunakan dan berkaitan dengan tingkat keberhasilan lebih rendah dari anestesi spinal,

terutama di tangan yang kurang berpegalaman. Hal ini disebabkan kegagalan dalam mengenali pungsi dural

sekunder untuk memperlambat aliran melalui jarum kecil, menyebabkan tusukan berganda dan berulang.

Insiden dari PDPH dengan jarum Whitacre 25-gauge (tidak tajam) kurang daripada jarum Quincke 27-gauge

(tajam). Morbiditas terkait dengan pungsi lumbal dapat dikurangi dengan pemilihan yang tepat dari sebuah

pengukur jarum yang tepat dan konfigurasi ujung jarum.6

FAKTOR RESIKO

Sejumlah faktor dilaporkan turut mempengaruhi kejadian PDPH, dan informasi ini didasarkan pada laporan

kasus klinis dan studi sebelumnya, ada hubungan kuat antara timbulnya sakit kepala dan ukuran jarum, usia,

jenis kelamin, kehamilan, desain bevel dan arah penusukan bevel. Perempuan, khususnya selama kehamilan

dan terutama setelah post partus spontan, dianggap memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami

5

Page 6: PDPH

PDPH. Insiden PDPH tertinggi antara usia 18 – 30 tahun dan menurun pada anak-anak muda usia kurang

dari 13 tahun dan dewasa yang lebih tua dari 60 tahun. Kejadian lebih besar pada pasien dengan indeks masa

tubuh lebih rendah. Wanita yang mengalami obesitas sebenarnya memiliki insiden PDPH yang lebih rendah.

Ini mungkin karena peningkatan tekanan intraabdomen dapat bertindak sebagai pengikat perut yang

membantu untuk menutup kerusakan pada dura dan mengurangi hilangnya CSS. Wanita yang lebih muda

mungkin berada pada resiko yang lebih besar karena elastisitas serat dura meningkat yang menjaga kerusakan

paten dura dibandingkan dengan dura yang kurang elastis pada pasien lebih tua. Pasien dengan sakit kepala

sebelum pungsi lumbal dan riwayat PDPH juga lebih beresiko. Tidak ada hubungan yang diketahui antara

diagnosis sakit kepala migrain dan peningkatan kejadian PDPH setelah anestesi regional. Mungkin ada

beberapa korelasi antara sejarah dari motion sickness dan PDPH. Faktor lain yang penting adalah pengalaman

orang yang melakukan prosedur yang mengarah pada tusukan ke dura. Spinal secara kontinu mengurangi

kejadian PDPH bila dibandingkan dengan spinal suntikan tunggal. 6

Lybecker menyarankan bahwa orientasi bevel mungkin bahkan lebih penting daripada ukuran jarum dan

tidak bisa menunjukkan perbedaan ketika menggunakan jarum 22 dan jarum 25-gauge, saat bevel itu

berorientasi vertikal. Read et al menyarankan bahwa arah miring jarum akan mengurangi kejadian PDPH.

Arakhnoid erat melekat dengan dura, dan ketika jarum maju tegak lurus, lubang yanng dibuat oleh bevel di

daerah dura dan arakhnoid ecara langsung sejalan satu sama lain. Ketika jarum diarahkan miring, pungsi dural

tidak membatasi pada lapisan arakhnoid, sehingga menghalangi kebocoran CSS.2

TANDA DAN GEJALA

PDPH biasanya bermanifestasi sebagai sakit kepala, postural frontal, frontotemporal, atau oksipial, diperparah

dengan ambulasi dan ditingkatkan dengan posisi dekubitus, terjadi dalam 48 jam setelah pungsi dural. Gejala-

gejala yang menyertai biasanya mual, muntah dan leher kaku. Gejala lainnya yaitu keluhan mata seperti

fotofobia dan diplopia, dan keluhan pendengaran seperti tinitus dan hiperakusis. Kasus pertama diplopia

setetlah pungsi dural dilaporkan oleh Quincke lebih dari 100 tahun yang lalu. Diplopia atau kelumpuhan otot

luar mata (EOMP) setelah pungsi dural telah dilaporkan, terutama dalam literatur neurologi dan oftalmologi.

Karena tampaknya ada periode jendela sebelum diplopia bermanifestasi setelah pungsi dural. Diplopia

biasanya terjadi 4 – 10 hari setelah pungsi dural tetapi dapat bermanifestasi sampai akhir minggu ketiga.

Kendali pemulihan secara umum dapat diharapkan dalam dua minggu sampai delapan bulan, meskipun kasus

permanen jarang dilaporkan.6

6

Page 7: PDPH

PENGOBATAN

Konservatif / Terapi simtomatik

Para dokter yang merawat harus memberikan dukugan emosional dan jamiinan kepada pasien PDPH.

Istirahat telah dianjurkan dalam kasus pungsi dural oleh beberapa dokter. Namun, metaanalisis terbaru gagal

menunjukkan bahwa istirahat setelah pungsi dural lebih baik dari mobilisasi langsung dalam mengurangi

kejadian PDPH. Istirahat dapat dikaitkan dengan insiden PDPH yang lebih tinggi dalam kelompok pasien

tertentu. Istirahat di tempat tidur dapat menunda terjadinya sakit kepala namun tidak mencegahnya.6

FARMAKOTERAPI

Obat oral dan obat intravena

Hidrasi oral tetap menjadi terapi populer untuk PDPH, tetap tidak ada bukti bahwa hidrasi kuat memiliki

manfaat terapeutik, atau yang mendorong peningkatan produksi cairan serebrospinal. Namun, pasien dengan

PDPH tidak diperbolehkan mengalami dehidrasi. Efektivitas kafein oral untuk pengobatan PDPH dievaluasi

pada 40 pasien postpartum. Sebuah dosis oral tunggal terbukti aman, efektif dan harus dipertimbangkan dalam

pengobatan awal PDPH ringan. Pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoat 500 mg IV atau IM,

dapat digunakan untuk mengobati PDPH. Efektivitas kafein dalam pengobatan awal PDPH berkisar 75 –

80%, namun tidak lanjut 48 jam kemudian mengungkapkan bahwa semua pasien dapat mngalami kembali

sakit kepala. Metylxanthines dapat menghalangi reseptor adenosin otak, yang menyebabkan vasokontriksi

pembuluh darah otak, tetapi efeknya bersifat sementara.

Cosyntropin, bentuk sintesis dari hormon adrenokortikotropik, telah digunakan dalam pengobatan PDPH

refraktori. Hormon adrenokortikotropik diyakni bekerja dengan merangsang kelenjar adrenal untuk

meningkatkan produksi CSS dan produksi -endorfin. Harus hati-hati digunakan pada pasien diabetes. Jenis

serotonin 1-d reseptor agonis (sumatriptan) efektif dalam pengobatan PDPH, dengan gejala lengkap. Obat ini

mahal dan efek samping termasuk rasa sakit di tempat suntikan dan dada terasa sesak. Pasien yang menerima

sumatriptan 6 mg melalui rute subkutan, selama satu jam berikut harus dilakukan pemantauan terhadap

elektrokardiografi, tekanan darah dan pulse oxymetri . Pengobatan menggunakan sumatriptan pada pasien

dengan penyakit jantung iskemik harus mendapat perhatian. Percobaan terkontrol diperlukan untuk

mengevaluasi lebih lanjut penggunaan sumatriptan untuk pengobatan PDPH. Tren dari manajemen

konservatif untuk blood patch telah mncul dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini didasarkan pada

7

Page 8: PDPH

ketidakefektifan relatif dari pengobatan konservatif. Sebagai contoh lebih dari 80% pasien postpartum yang

konservatif diobati masih akan merasakan sakit kepala dalam satu minggu.6

AUTOLOGOUS EPIDURAL BLOOD PATCH (AEBP)

AEBP pertama kali dijelaskan oleh Gormley tahun 1960 untuk digunakan dalam PDPH dan kemudian

dipopulerkan oleh Crul dkk dan DiGiovanni dan Dunbar. Mekanisme dugaan tindakan AEBP adalah

tamponade dari kebocoran dural sekaligus meningkatkan tekanan subarakhnoid. Peningkatan tekanan

subarakhnoid dan epidural tetap hanya selama 20 menit. Bukti MRI menegaskan efek massa setelah injeksi

darah epidural, dengan ketetapan bertahap selama sekitar 7 jam. Tidak seperti NaCl, dekstran atau cairan lain,

darah tidak dikeluarkan dengan cepat dari ruang epidural, dan berpotensi memberikan suatu efek tamponade

untuk waktu yang jauh lebih lama. Darah autologous diperkirakan membentuk gumpalan fibrin pada robekan

dural, sehingga volume CSS dan menormalkan tkanan seperti CSS baru dihasilkan.

AEBP telah menjadi “standar emas” dalam pengobatan PDPH. Karena ada beberapa resiko infeksi ketika

menyuntikan darah ke dalam ruang epidural, kita akan membahas efektivitas beberapa agen cair lainnya yang

telah disuntikkan ke dalam ruang epidural untuk mengobati PDPH. Sebelum mempertimbangkan

pengguanaan suntikan epidural darah atau zat lain untuk meringankan gejala PDPH, perlu ada sejarah yang

jelas negatif dari sepsis dan koagulopati. Infeksi HIV bukan merupakan kontraindikasi dari AEBP.

Dekstran dan NaCl 0,9% diberikan secara bolus 30 – 60 ml diberikan 6 jam untuk 4 dosis disuntikan ke

dalam ruang epidural yang sementara meningkatkan tekanan dalam ruang epidural, yang kemudian

mengurangi kebocoran CSS dan mengembalikan tekanan subarakhnoid. Tidak hanya tingkat keberhasilan

rata-rata, tetapi juga anafilaksis telah dilaporkan setelah penggunaan dekstran untuk tujuan ini. Patch epidural

dengan zat bukan darah, misalnya saline atau koloid, tidak efektif untuk digunakan dalam jangka panjang.

Komplikasi setelah AEBP meliputi : sakit punggung (35%), nyeri leher (0,9%), dan peningkatan suhu

transien (5%) yang berlangsung 24 – 48 jam. Perdarahan, infeksi, arakhnoiditis dari darah yang disuntikkan ke

dalam ruang subarakhnoid telah dilaporkan. Ada setidaknya dua kasus kelumpuhan saraf wajah dilaporkan

setelah AEBP, keduanya dapat sembuh secara spontan.6

PROFILAKSIS EPIDURAL BLOOD PATCH

8

Page 9: PDPH

Beberapa praktisi menganjurkan penggunaan EBP “profilaksis” untuk mencegah PDPH, terutama pada

mereka yang berisiko tinggi. Praktik ini cenderung tidak memiliki banyak dampak pada pencegahan dari

PDPH. 10

Tabel 1. Penatalaksanaan PDPH

( Diambil dari referensi no. 10)

DIAGNOSIS BANDING

Sebuah riwayat komprehensif dan pemeriksaan fisik harus dilakukan sebelum membuat diagnosis PDPH.

Spinal abses, hematoma tulang belakang, meningitis septik atau aseptik, lesi masa intrakranial, aneurisma

serebral, edema serebral, sindrom myofascial, arakhnoiditis yang disebabkan oleh steroid intratekal, sindrom

neurologis sementara atau gejala terkait, pungsi lumbalgia tidak spesifik postdural, toksisitas obat saraf, dan

anterior spinal artery syndrome semua harus disingkirkan. Pengujian tambahan seperti Magnetic Resonance

Imaging dapat dilakukan pada kasus dengan gejala atipikal tusukan postdural, untuk menyingkirkan

kemungkinan terkena komplikasi serius.6

9

Page 10: PDPH

PROGNOSIS

Meskipun PDPH biasanya dapat sembuh secara spontan, tetapi sangat tidak menyenangkan, dan dapat

memperpanjang masa rawat di rumah sakit. Pengobatan yang efektif terbatas sehingga tindakan termasuk

penggunaan jarum yang cocok dan perolehan ketrampilan yang tepat dalam melakukan pungsi spinal dan

epidural sangat penting untuk mengurangi kejadian PDPH.9

KESIMPULAN

Meski tidak mengancam jiwa, PDPH membawa morbiditas yang membatasi aktivitas sehari-hari.

Pengobatan simtomatik seperti istirahat, cairan, analgesik, kafein, dan sumatriptan hanya menunda

ketidaknyamanan. Epidural blood patch tetap menjadi pengobatan invasif pilihan, sekitar 70% keberhasilan

dalam jangka lama setelah injeksi awal. Manfaat dari profilaksis blood patching tidak begitu jelas tapi layak

dipertimbangkan bagi mereka yang pling beresiko terkena PDPH, seperti pada pasien postpartum dan perforsi

dural akibat pengguanaan jarum Touchy.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bready LL, Dilman D, Noorily SH. Decision Making in Anesthesiology : an Algorithmic Approach.

India : Elsevier Publisher; 2007 : 602-5

2. Finucane BT. Complications of Regional Anesthesia. Canada : Springer Science; 2007 : 177-80

3. Latief SA, Suryadi KA, Dechlan MR. Petunjk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009 : 17

4. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC; 2013 : 356

5. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2001 : 111-12

6. Ghaleb A. Postdural Puncture Headache. Anesthesiology Research and Practice Vol. 2010 (Last update :

2 Juli 2010). Available from : http://www.hindawi.com/journals/arp/2010/102967/ Diunduh pada tanggal

14 Februari 2015

7. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 4th ed. New York : Lange Medical Book;

2006 : 298-312

8. Dureja. Regional Anesthesia and Pain Management : Current Perspectives. India : Elsevier; 2007 : 163-4

9. Campbell NJ. Effective Managemen of The Post Dural Puncture Headache. Anesthesia Tutorial of The

Week 181 (Last update : 31 May 2010). Available from :

10

Page 11: PDPH

http://www.frca.co.uk/Documents/181%20Post%20dural%20puncture%20headache.pdf Diuduh pada

tanggal 15 Februari 2015

10. Frank RL. Lumbar Puncture and Post Dural Puncture Headache. Impliations for The Emergncy

Physician. (Last update : 8 December 2008). Available from

http://www.medscape.com/viewarticle/578254_print Diunduh pada tanggal 15 Februari 2015

11