pdph
DESCRIPTION
Post Dural Puncture HeadacheTRANSCRIPT
POST DURAL PUNCTURE HEADACHE (PDPH)
Jean Francis Melanny Kassiuw*, Purwito Nugroho**
ABSTRACT
Post dural puncture headache is one of most common complication associated with spinal and epidural
anesthesia. Despite advances in equipment and regional anesthetic techniques, post dural puncture headache
remains a persistent problem. In many cases, the headache is mild in intensity and brief in duration, without
significant sequelae. However, this is not always the case. Post dural puncture headache is occasionally
severe enough to leave patient bedridden and often delay hospital discharge.
Keywords : PDHP, headache, spinal anesthesia, epidural anesthesia
ABSTRAK
Post dural puncture headache (PDPH) adalah salah satu komplikasi yang paling umum terjadi pada anestesi
spinal dan epidural. Meskipun telah banyak kemajuan dalam peralatan dan teknik regional anestesi, post
dural puncture headache masih menjadi masalah yang menetap. Pada berbagai kasus, sakit kepala ini
memiliki intensitas yang sedang dengan durasi yang singkat. Namun yang terjadi tidak selalu seprti itu. Sakit
kepala yang dirasakan bisa cukup berat sehingga pasien harus beristirahat di tempat tidur dan memperpanjang
masa rawat di rumah sakit.
Kata kunci : PDPH, sakit kepala, anestesi spinal, anestesi epidural
PENDAHULUAN
Post dural puncture headache (PDPH) adalah sakit kepala yang sering berlokasi di daerah frontal dan
oksipital, terjadi akibat adanya kebocoran dari cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat
tembusan jarum anestesi. Ini merupakan komplikasi yang umum terjadi pada anestesi spinal dan epidural.1
* Coassistant Anestesi FK Untar 2 Februari 2015 – 21 Februari 2015
** Dokter Spesialis Anestesiologi RSUD Kota Semarang
1
Sampai saat ini ada dua teori mengenai terjadinya PDPH. Teori pertama menyebutkan bahwa kebocoran
yang kontinyu dari cairan serebrospinal menyebabkan berkurangnya cairan dari kompartmen intrakranial.
Karena cairan serebrospinal berfungsi sebagai bantalan dari otak, maka pengurangan cairan ini menyebabkan
posisi dari otak jatuh sehingga menyebabkan tarikan pada meningen yang sensitif terhadap nyeri. Nyeri ini
menjalar sepanjang nervus trigeminus ke daerah frontal. Juga melalui nervus vagus dan glossopharyngeal ke
daerah occipital dan leher. Nyeri lebih terasa terutama pada posisi tegak.
Teori yang kedua menyebutkan bahwa kebocoran cairan serebrospinal menyebabkan terjadinya hipotensi
intrakranial, yang menyebabkan tubuh berkompensasi dengan melakukan vasodilatasi. 2
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Cairan serebrospinal (CSS) merupakan hasil ultrafiltrasi plasma yang jernih tidak berwarna, tidak berbau dan
berada dalan ventrikel otak, sisterna otak, dan ruang subarakhnoid sekitar otak dan medula spinalis. Volume
CSS pada orang dewasa rata-rata memproduksi sekitar 500 ml CSS/hari, atau 21 ml/jam (0,3 ml/kgBB/jam),
dengan 90 % berasal dari pleksus koroid di ventrikel lateral, dan 10% dari substansi otak itu sendiri. Dengan
berat jenis CSS1.002 – 1.009, pH 7,32 dan 50 ml berada dalam ruang intrakranial.3
Cairan ini mengalir melalui foramina interventrikular masuk ke ventrikel ketiga, dan dari tempat ini akan
masuk ke ventrikel keempat melalui aquaduktus. CSS kemudian bersirkulasi melalui foramen Luschka dan
Magendi menuju ruang subarakhnoid dan vili arakhnoid dari sinus dura mater (badan Pacchionian), dan dari
tempat ini akan masuk ke dalam sinus venosus.4
Aliran CSS melalui sistem ini dipermudah oleh faktor-faktor sirkulasi dan postural yang menimbulkan
tekanan SSP sebesar 10 mmHg. Penurunan tekanan akibat pengeluaran hanya beberapa ml CSS selama
pungsi lumbal untuk analisis laboratorium dapat menimbulkan nyeri kepala yang hebat. Melalui proses
pembentukan, sirkulasi dan reabsorpsi yang terus menerus, seluruh volume CSS digantikan lebih dari tiga kali
sehari.
Menings spinalis terdiri atas 3 lapis, yaitu : dari lapisan terluar sampai terdalam, dura mater, arakhnoid, pia
mater. Ruang antara lapisan arakhnoid dan pia mater di bawahnya disebut ruang subarakhnoid, terisi oleh
CSS. 5
Secara anatomis, dura mater spinalis memanjang dari foramen magnum ke segmen kedua sakrum. Ini terdiri
dari matriks jaringan ikat padat kolagen dan serat elastis. Sebanyak sekitar 150 ml CSS beredar pada satu
waktu dan diserap oleh vili arakhnoid. 6
2
Gambar 1. Potongan sagital vertebra lumbal
(Diambil dari referensi no.7)
KLASIFIKASI
Naulty et al membagi PDPH menjadi dua fase. Yang pertama adalah PDPH yang relatif ringan. Biasanya
timbul 36 – 48 jam setelah anestesi. Fase kedua, atau yang disebut juga sebagai PDPH klasik, timbul 3 – 4 hari
setelah anestesi, dengan nyeri kepala berat yang tidak bisa hilang dengan analgesik. Sedangkan Lybecker et al
membagi PDPH menjadi ringan, moderat dan berat.8
Klasifikasi Post Dural Puncture Headache menurut Lybecker et al :
1. Mild PDPH
Sakit kepala sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak perlu beristirahat total di
tempat tidur .
Tidak ditemukan gejala yang berhubugan dengan PDPH.
2. Moderat PDPH
Sakit kepala yang mengganggu aktivitas sehari-hari dengan signifikan. Pasien mnghabiskan
sebagian besar waktu di tempat tidur.
Dapat ditemukan gejala yang berhubungan dengan PDPH.
3. Severe PDPH
Sakit kepala yang sangat berat. Pasien tidak dapat beraktivitas.
Ada gejala yang berhubungan dengan PDPH.
3
Gejala yang berhubungan dengan PDPH :
Gejala vestibular : mual, muntah, vertigo
Gejala cochlear : hilang pendengaran, hiperakusis, tinitus
Gejala okular : fotofobia diplopia, kesulitan akomodasi
Gejala muskuloskletal : kaku di area leher, nyeri skapular
PATOFISIOLOGI
Penyebab PDPH tidak sepenuhnya pasti. Penjelasan terbaik adalah bahwa hasil tekanan rendah CSS dari
kebocoran CSS melalui robekan dural dan arakhnoid, sebuah kebocoran melebihi tingkat produksi dari CSS.
Sedikitnya hilang 10% volume CSS dapat menyebabkan sakit kepala ortostatik. Ada dua mekanisme dasar
teoritis untuk menjelaskan PDPH. Salah satunya adalah refleks vasodilatasi dari pembuluh meningeal karena
menurunnya tekanan CSS. 7
Monroe-Kelly menyatakan bahwa total volume elemen dari rongga intrakranial (darah, CSS, dan jaringan
otak) tetap konstan. Konsekuensi kehilangan CSS adalah vasodilatasi yang mengkompensasi hilangnya
volume dalam rongga intrakranial, sehingga sakit kepala dialami oleh paien setelah kebocoran CSS mungkin
sebagian disebabkan vasodilatasi intrakranial. Efek menguntungkan dari obat vasokontriktor otak termasuk
kafein, teofilin, dan sumatriptan mendukung etiologi vaskuler untuk PDPH. Ganggguan visual terjadi di mana
tercatat bahwa mereka yang menerima anestesi spinal terjadi penurunan tekanan intrakranial. Diplopia adalah
gejala mata yang paling umum diakibatkan dari penurunan tekanan intrakranial dan disebabkan oleh traksi
pada saraf abducens (saraf kranial keenam), yang memiliki jalan terpanjang dalam rongga intrakranial.
Gejala yang berhubungan dengan pendengaran, disebabkan disfungsi saraf kedelapan, juga kadang-kadang
dapat terjadi, yang mengalami ketulian unilateral atau bilateral. Insiden kehilangan pendengaran berkorelasi
dengan ukuran dan jenis jarum yang digunakan dan telah didokumentasikan untuk dihilangkan dengan patch
darah epidural. Efek pada pendengaran adalah resultan dari perubahan tekanan CSS, yang ditransmisikan ke
sirkulasi getah bening endocochlear dalam kanalis semisirkularis, dan hasil dalam kondisi sementara mirip
dengan hidrops pada penyakit Meniere. 2
Teori yang lainnya adalah traksi pada struktur sensitif nyeri intrakranial dalam posisi tegak. Traksi pada nervus
servikal seperti C1, C2, C3 yang menyebabkan nyeri pada leher dan bahu. Traksi pada saraf kranial kelima
menyebabkan sakit kepala frontal. Nyeri di daerah oksipital ini disebabkan oleh traksi pada saraf kranial
kesembilan dan kesepuluh.6
4
INSIDENSI PDPH
Insiden PDPH diperkirakan 30 – 50% pada diagnostik atau terapi pungsi lumbal, 0 – 5% anestesi spinal dan
81% kejadian pungsi dural selama insersi epidural pada wanita hamil. PDPH sering terjadi pada dewasa muda
termasuk pasien obstetri dengan insiden sebanyak 14%, dibanding dengan pasien yang berusia lebih dari 70
tahun. Kejadian PDPH meningkat dengan penggunaan jarum spinal yang berukuran besar dan komplikasi
berkurang dengan penggunaan jarum pencil – tripped needles.9
Gambar 2. Jarum Sprotte, Whitracre, dan Quinckle
( Diambil dari referensi no.10)
Insiden PDPH secara langsung berkaitan dengan diameter jarum yang menembus duramater. Meskipun
tusukan jarum diameternya kecil digunakan untuk blok subarakhnoid mengurangi resiko PDPH, jarum ini
secara teknis sulit untuk digunakan dan berkaitan dengan tingkat keberhasilan lebih rendah dari anestesi spinal,
terutama di tangan yang kurang berpegalaman. Hal ini disebabkan kegagalan dalam mengenali pungsi dural
sekunder untuk memperlambat aliran melalui jarum kecil, menyebabkan tusukan berganda dan berulang.
Insiden dari PDPH dengan jarum Whitacre 25-gauge (tidak tajam) kurang daripada jarum Quincke 27-gauge
(tajam). Morbiditas terkait dengan pungsi lumbal dapat dikurangi dengan pemilihan yang tepat dari sebuah
pengukur jarum yang tepat dan konfigurasi ujung jarum.6
FAKTOR RESIKO
Sejumlah faktor dilaporkan turut mempengaruhi kejadian PDPH, dan informasi ini didasarkan pada laporan
kasus klinis dan studi sebelumnya, ada hubungan kuat antara timbulnya sakit kepala dan ukuran jarum, usia,
jenis kelamin, kehamilan, desain bevel dan arah penusukan bevel. Perempuan, khususnya selama kehamilan
dan terutama setelah post partus spontan, dianggap memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami
5
PDPH. Insiden PDPH tertinggi antara usia 18 – 30 tahun dan menurun pada anak-anak muda usia kurang
dari 13 tahun dan dewasa yang lebih tua dari 60 tahun. Kejadian lebih besar pada pasien dengan indeks masa
tubuh lebih rendah. Wanita yang mengalami obesitas sebenarnya memiliki insiden PDPH yang lebih rendah.
Ini mungkin karena peningkatan tekanan intraabdomen dapat bertindak sebagai pengikat perut yang
membantu untuk menutup kerusakan pada dura dan mengurangi hilangnya CSS. Wanita yang lebih muda
mungkin berada pada resiko yang lebih besar karena elastisitas serat dura meningkat yang menjaga kerusakan
paten dura dibandingkan dengan dura yang kurang elastis pada pasien lebih tua. Pasien dengan sakit kepala
sebelum pungsi lumbal dan riwayat PDPH juga lebih beresiko. Tidak ada hubungan yang diketahui antara
diagnosis sakit kepala migrain dan peningkatan kejadian PDPH setelah anestesi regional. Mungkin ada
beberapa korelasi antara sejarah dari motion sickness dan PDPH. Faktor lain yang penting adalah pengalaman
orang yang melakukan prosedur yang mengarah pada tusukan ke dura. Spinal secara kontinu mengurangi
kejadian PDPH bila dibandingkan dengan spinal suntikan tunggal. 6
Lybecker menyarankan bahwa orientasi bevel mungkin bahkan lebih penting daripada ukuran jarum dan
tidak bisa menunjukkan perbedaan ketika menggunakan jarum 22 dan jarum 25-gauge, saat bevel itu
berorientasi vertikal. Read et al menyarankan bahwa arah miring jarum akan mengurangi kejadian PDPH.
Arakhnoid erat melekat dengan dura, dan ketika jarum maju tegak lurus, lubang yanng dibuat oleh bevel di
daerah dura dan arakhnoid ecara langsung sejalan satu sama lain. Ketika jarum diarahkan miring, pungsi dural
tidak membatasi pada lapisan arakhnoid, sehingga menghalangi kebocoran CSS.2
TANDA DAN GEJALA
PDPH biasanya bermanifestasi sebagai sakit kepala, postural frontal, frontotemporal, atau oksipial, diperparah
dengan ambulasi dan ditingkatkan dengan posisi dekubitus, terjadi dalam 48 jam setelah pungsi dural. Gejala-
gejala yang menyertai biasanya mual, muntah dan leher kaku. Gejala lainnya yaitu keluhan mata seperti
fotofobia dan diplopia, dan keluhan pendengaran seperti tinitus dan hiperakusis. Kasus pertama diplopia
setetlah pungsi dural dilaporkan oleh Quincke lebih dari 100 tahun yang lalu. Diplopia atau kelumpuhan otot
luar mata (EOMP) setelah pungsi dural telah dilaporkan, terutama dalam literatur neurologi dan oftalmologi.
Karena tampaknya ada periode jendela sebelum diplopia bermanifestasi setelah pungsi dural. Diplopia
biasanya terjadi 4 – 10 hari setelah pungsi dural tetapi dapat bermanifestasi sampai akhir minggu ketiga.
Kendali pemulihan secara umum dapat diharapkan dalam dua minggu sampai delapan bulan, meskipun kasus
permanen jarang dilaporkan.6
6
PENGOBATAN
Konservatif / Terapi simtomatik
Para dokter yang merawat harus memberikan dukugan emosional dan jamiinan kepada pasien PDPH.
Istirahat telah dianjurkan dalam kasus pungsi dural oleh beberapa dokter. Namun, metaanalisis terbaru gagal
menunjukkan bahwa istirahat setelah pungsi dural lebih baik dari mobilisasi langsung dalam mengurangi
kejadian PDPH. Istirahat dapat dikaitkan dengan insiden PDPH yang lebih tinggi dalam kelompok pasien
tertentu. Istirahat di tempat tidur dapat menunda terjadinya sakit kepala namun tidak mencegahnya.6
FARMAKOTERAPI
Obat oral dan obat intravena
Hidrasi oral tetap menjadi terapi populer untuk PDPH, tetap tidak ada bukti bahwa hidrasi kuat memiliki
manfaat terapeutik, atau yang mendorong peningkatan produksi cairan serebrospinal. Namun, pasien dengan
PDPH tidak diperbolehkan mengalami dehidrasi. Efektivitas kafein oral untuk pengobatan PDPH dievaluasi
pada 40 pasien postpartum. Sebuah dosis oral tunggal terbukti aman, efektif dan harus dipertimbangkan dalam
pengobatan awal PDPH ringan. Pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoat 500 mg IV atau IM,
dapat digunakan untuk mengobati PDPH. Efektivitas kafein dalam pengobatan awal PDPH berkisar 75 –
80%, namun tidak lanjut 48 jam kemudian mengungkapkan bahwa semua pasien dapat mngalami kembali
sakit kepala. Metylxanthines dapat menghalangi reseptor adenosin otak, yang menyebabkan vasokontriksi
pembuluh darah otak, tetapi efeknya bersifat sementara.
Cosyntropin, bentuk sintesis dari hormon adrenokortikotropik, telah digunakan dalam pengobatan PDPH
refraktori. Hormon adrenokortikotropik diyakni bekerja dengan merangsang kelenjar adrenal untuk
meningkatkan produksi CSS dan produksi -endorfin. Harus hati-hati digunakan pada pasien diabetes. Jenis
serotonin 1-d reseptor agonis (sumatriptan) efektif dalam pengobatan PDPH, dengan gejala lengkap. Obat ini
mahal dan efek samping termasuk rasa sakit di tempat suntikan dan dada terasa sesak. Pasien yang menerima
sumatriptan 6 mg melalui rute subkutan, selama satu jam berikut harus dilakukan pemantauan terhadap
elektrokardiografi, tekanan darah dan pulse oxymetri . Pengobatan menggunakan sumatriptan pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik harus mendapat perhatian. Percobaan terkontrol diperlukan untuk
mengevaluasi lebih lanjut penggunaan sumatriptan untuk pengobatan PDPH. Tren dari manajemen
konservatif untuk blood patch telah mncul dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini didasarkan pada
7
ketidakefektifan relatif dari pengobatan konservatif. Sebagai contoh lebih dari 80% pasien postpartum yang
konservatif diobati masih akan merasakan sakit kepala dalam satu minggu.6
AUTOLOGOUS EPIDURAL BLOOD PATCH (AEBP)
AEBP pertama kali dijelaskan oleh Gormley tahun 1960 untuk digunakan dalam PDPH dan kemudian
dipopulerkan oleh Crul dkk dan DiGiovanni dan Dunbar. Mekanisme dugaan tindakan AEBP adalah
tamponade dari kebocoran dural sekaligus meningkatkan tekanan subarakhnoid. Peningkatan tekanan
subarakhnoid dan epidural tetap hanya selama 20 menit. Bukti MRI menegaskan efek massa setelah injeksi
darah epidural, dengan ketetapan bertahap selama sekitar 7 jam. Tidak seperti NaCl, dekstran atau cairan lain,
darah tidak dikeluarkan dengan cepat dari ruang epidural, dan berpotensi memberikan suatu efek tamponade
untuk waktu yang jauh lebih lama. Darah autologous diperkirakan membentuk gumpalan fibrin pada robekan
dural, sehingga volume CSS dan menormalkan tkanan seperti CSS baru dihasilkan.
AEBP telah menjadi “standar emas” dalam pengobatan PDPH. Karena ada beberapa resiko infeksi ketika
menyuntikan darah ke dalam ruang epidural, kita akan membahas efektivitas beberapa agen cair lainnya yang
telah disuntikkan ke dalam ruang epidural untuk mengobati PDPH. Sebelum mempertimbangkan
pengguanaan suntikan epidural darah atau zat lain untuk meringankan gejala PDPH, perlu ada sejarah yang
jelas negatif dari sepsis dan koagulopati. Infeksi HIV bukan merupakan kontraindikasi dari AEBP.
Dekstran dan NaCl 0,9% diberikan secara bolus 30 – 60 ml diberikan 6 jam untuk 4 dosis disuntikan ke
dalam ruang epidural yang sementara meningkatkan tekanan dalam ruang epidural, yang kemudian
mengurangi kebocoran CSS dan mengembalikan tekanan subarakhnoid. Tidak hanya tingkat keberhasilan
rata-rata, tetapi juga anafilaksis telah dilaporkan setelah penggunaan dekstran untuk tujuan ini. Patch epidural
dengan zat bukan darah, misalnya saline atau koloid, tidak efektif untuk digunakan dalam jangka panjang.
Komplikasi setelah AEBP meliputi : sakit punggung (35%), nyeri leher (0,9%), dan peningkatan suhu
transien (5%) yang berlangsung 24 – 48 jam. Perdarahan, infeksi, arakhnoiditis dari darah yang disuntikkan ke
dalam ruang subarakhnoid telah dilaporkan. Ada setidaknya dua kasus kelumpuhan saraf wajah dilaporkan
setelah AEBP, keduanya dapat sembuh secara spontan.6
PROFILAKSIS EPIDURAL BLOOD PATCH
8
Beberapa praktisi menganjurkan penggunaan EBP “profilaksis” untuk mencegah PDPH, terutama pada
mereka yang berisiko tinggi. Praktik ini cenderung tidak memiliki banyak dampak pada pencegahan dari
PDPH. 10
Tabel 1. Penatalaksanaan PDPH
( Diambil dari referensi no. 10)
DIAGNOSIS BANDING
Sebuah riwayat komprehensif dan pemeriksaan fisik harus dilakukan sebelum membuat diagnosis PDPH.
Spinal abses, hematoma tulang belakang, meningitis septik atau aseptik, lesi masa intrakranial, aneurisma
serebral, edema serebral, sindrom myofascial, arakhnoiditis yang disebabkan oleh steroid intratekal, sindrom
neurologis sementara atau gejala terkait, pungsi lumbalgia tidak spesifik postdural, toksisitas obat saraf, dan
anterior spinal artery syndrome semua harus disingkirkan. Pengujian tambahan seperti Magnetic Resonance
Imaging dapat dilakukan pada kasus dengan gejala atipikal tusukan postdural, untuk menyingkirkan
kemungkinan terkena komplikasi serius.6
9
PROGNOSIS
Meskipun PDPH biasanya dapat sembuh secara spontan, tetapi sangat tidak menyenangkan, dan dapat
memperpanjang masa rawat di rumah sakit. Pengobatan yang efektif terbatas sehingga tindakan termasuk
penggunaan jarum yang cocok dan perolehan ketrampilan yang tepat dalam melakukan pungsi spinal dan
epidural sangat penting untuk mengurangi kejadian PDPH.9
KESIMPULAN
Meski tidak mengancam jiwa, PDPH membawa morbiditas yang membatasi aktivitas sehari-hari.
Pengobatan simtomatik seperti istirahat, cairan, analgesik, kafein, dan sumatriptan hanya menunda
ketidaknyamanan. Epidural blood patch tetap menjadi pengobatan invasif pilihan, sekitar 70% keberhasilan
dalam jangka lama setelah injeksi awal. Manfaat dari profilaksis blood patching tidak begitu jelas tapi layak
dipertimbangkan bagi mereka yang pling beresiko terkena PDPH, seperti pada pasien postpartum dan perforsi
dural akibat pengguanaan jarum Touchy.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bready LL, Dilman D, Noorily SH. Decision Making in Anesthesiology : an Algorithmic Approach.
India : Elsevier Publisher; 2007 : 602-5
2. Finucane BT. Complications of Regional Anesthesia. Canada : Springer Science; 2007 : 177-80
3. Latief SA, Suryadi KA, Dechlan MR. Petunjk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009 : 17
4. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC; 2013 : 356
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2001 : 111-12
6. Ghaleb A. Postdural Puncture Headache. Anesthesiology Research and Practice Vol. 2010 (Last update :
2 Juli 2010). Available from : http://www.hindawi.com/journals/arp/2010/102967/ Diunduh pada tanggal
14 Februari 2015
7. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology 4th ed. New York : Lange Medical Book;
2006 : 298-312
8. Dureja. Regional Anesthesia and Pain Management : Current Perspectives. India : Elsevier; 2007 : 163-4
9. Campbell NJ. Effective Managemen of The Post Dural Puncture Headache. Anesthesia Tutorial of The
Week 181 (Last update : 31 May 2010). Available from :
10
http://www.frca.co.uk/Documents/181%20Post%20dural%20puncture%20headache.pdf Diuduh pada
tanggal 15 Februari 2015
10. Frank RL. Lumbar Puncture and Post Dural Puncture Headache. Impliations for The Emergncy
Physician. (Last update : 8 December 2008). Available from
http://www.medscape.com/viewarticle/578254_print Diunduh pada tanggal 15 Februari 2015
11