pathofisiologi

9

Click here to load reader

Upload: rafikanesia

Post on 14-Aug-2015

12 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Pathofisiologi

TRANSCRIPT

Page 1: Pathofisiologi

PathofisiologiKranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-

spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensi dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelumcedera). Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya CSS dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial aka naik secara tajam.

Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak. Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedar pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran.

1. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative.

2. Edema serebral & herniasi Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 Jam

setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial & menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral & menekan di enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.

3. Defisit Neurologis & PsikologisTanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri

kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).

Page 2: Pathofisiologi

PatofisiologiPada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan didalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipunneuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yangdestruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaranhilang selama blockade reversible berlangsung.Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediatemenimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yangpositif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome.Lesi akselerasi-deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepalatetapi mengenai bagina tubuh yang lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas anar tulang kepala dengan densitas yangtinggi dan jaringan otot yang densitas yang lebih rendah, maka terjadi gayatidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan anatera jaringan otak dan tonjolan tulangkepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa hematom subdural,hematom intra serebral, hematom intravertikal.kontra coup kontusio. Selain itugaya akselerasi dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekanyang menyebabkan lesi diffuse berupa komosio serebri, diffuse axonal injuri.Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darahcerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadirendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisatimbul.

Penatalaksanaan1. Pedoman Resusitasi dan penilaian awala. Menilai jalan nafas: bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu,

pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir, jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.

b. Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan atau tidak. Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen Jika pasien bernafas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.Pasang oksimeter nadi,jika tersedia, dengan tujuan menjaga satutasi oksigen minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95 % ) atau muntah maka pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.

c. Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang alur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa atau dekstrosa dalam salin ) menimbulkan eksaserbasi edema otak pascacedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.

d. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberika intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

e. Menilai tingkat keparahan1. Cedera kepala ringan ( kelompok risiko rendah )a. Skor skala koma Glasgow 15 ( sadar penuh, atentif, dan orientatif )b. Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)c. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarangd. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusinge. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepalaf. Tidak adanya kreteria cedera sedang berat

2. Cedera kepala sedang ( kelompok resiko sedang )a. Skor skala koma Glasgow 9-14 ( konfusi, latergi, atau stupor )b. Konkusi ( tidak terjadi kerusakan struktural )c. Amnesia pasca-traumad. Muntahe. Tanda kemungkinan fraktur kranium ( tanda Battle, hemotimpanum, otorea ( keluar cairan

dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung ) f. Kejang3. Cedra kepala berat ( kelompok risiko berat )

Page 3: Pathofisiologi

a. Skor skala koma Glasgow 3-8 ( koma )b. Penurunan derajat kesadaran secara progresifc. Tanda neurologis fokald. Cedra kepala penetrasi atau terba fraktur depresi karanium

Tabel 1.1 Skala Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS )Buka mata( E )

Respon motorik terbaik( M )

Respon verbal terbaik( V )

4.Spontan3.Dengan perintah2.Dengan rangsangan

nyeri1.Tidak reaksi

6.mengikuti perintah5.melokalisir nyeri4.menghindar nyeri3.fleksi abnormal2.ekstensi abnormal1.Tidak ada gerakan

5.orientasi baik dan sesuai

4.disorienasi tempat dan waktu

3.bicara kacau2.mengerang1.tidak ada suara

( Brunner & Suddart, 2001 )2. Pedoman Penatalaksanaan a. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang

belakang servikal ( proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid ), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.

b. Pada semua pasien dengan cedera kepalasedang dan berat, lakukan prosedur berikut :

1. Pasang jalur interavena dengan larutan salin normal( NaCl 0,9% ) atau larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume

intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan lain tidak menambah edema serebri.2. Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah:

glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.

c. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepada tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, berat, harus dievaluasi adanya:

1. Hematoma epidural2. Darah dalam subaranoid dan intraventrikel3. Kontusio dan perdarahan jaringan otak4. Edema serebri5. Obliterasi sisterna perimesensefalik6. Pergeseran garis tengah7. Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalusd. Pada pasien yang koma ( skor GCS < 8 ) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan

tindakan sebagai berikut:

1. Elevasi kepala 30 derajat2. Hiperventilasi: intubasi dan berikan venlilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-

20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg.Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg.Hipokapnia berat ( pCO2 < 25 mmHg ) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri

3. Berikan manitol 20 % 1 g/kg interavena dalam 20-30 meni. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama

4. Pasang kateter Foley5. Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar,

hematoma, cedera kepala terbuka, dan faktur impresi > 1 diploe )

3. Penatalaksanaan Khususa. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan

kerumah tanpa perlu dilakukan pemerikasaan CT Scan bila memenuhi kreteria berikut:1. Hasil pemeriksaan neurologis ( terutama status mini mental dan gaya berjalan ) dalam

batas normal2. Foto servikal jelas normal3. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama,

dengan intruksi untuk segera kembali kebagian gawat darurat jika timbul gejala perburukanKriteria perawatan di rumah sakit:

1. Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan2. Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun3. Adanya tanda atau dan gejala neurologis fokal4. Intoksikasi obat atau alkohol 5. Adanya penyakti medis komorbid yang nyata6. Tiadak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah.b. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio), dengan skala koma

Glasgow 15 ( sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah ) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi dirumah. meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.

1) Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera ( hematoma intracranial yang berat ). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan diunit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intracranial yang meningkat.

a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dengan stupor atau koma ( tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun ) harus diintubasi

Page 4: Pathofisiologi

untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100 mmHg.

b. Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik ( hipotensi atau hipertensi ), pemantauan paling baik dilakukan dengan keteter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepal akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindarkan hipotensi

( < 70 mmHg ) hipertensi ( > 130 mmHg ). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.

c. Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan

d. Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal atau Ringer laktat ) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salain 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dalam menimbulkan eksaserbasi edema serebri.

e. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100 % lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin ( biasanya hari ke 2 perawatan )

f. Temperatur badan: demam ( temperature > 101 derajat F ) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab ( antibiotik ) diberikan bila perlu.

g. Anti kejang: fenitoin 15-20 mgkg BB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini ( minggu pertama ) dari 14 % menjadi 4 % pada pasien dengan perdarahan intracranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma dikemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karean kadar subtrapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.

h. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terahir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg interavena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam ).

i. Profilaksis thrombosis vena dalam: sepatu bot komprensif pneumatic dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat deberikan setelah cedera kepala pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intracranial.( Arif Mansjoer, 2000 ).

Page 5: Pathofisiologi

1. Manajemen Keperawatan Intensif dan Evaluasi

No

Manajemen Evaluasi

1 Oksigenasi Kaji kondisi awal dan kondisi dasar pasien, serta indikasi bantuan napas yang diperlukan oleh pasien.Awasi klien dengan alat invasif seperti trakeostomi Jackson hindari terjadinya regurgitasi dan aspirasi ke dalam laring.Pasien dapat diposisikan miring atau seperti posisi koma untuk mengurangi aspirasi.Hindari untuk memfleksikan leher karena berpengaruh buruk pada jalan napas dan peningkatan TIK.Perubahan posisi yang teratur dan penggunaan tempat tidur rotokinetik dapat mengurangi penumpukan sekret pada lapang paru dependentSecara rutin dan terus- menerus perawat harus mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan klien, bila diperlukan lakukan pemeriksaan AGD untuk mengetahui efektivitas ventilasi pasien.Bila penghisapan diperlukan maka pasien harus dihiperoksigenasi sebelum, selama dan sesudahnya untuk menghindari cedera otak sekunder akibat hipoksia dan peningkatan TIK. Pada pasien dengan ventilator untuk mengukur pola napas (kemampuan mandiri pasien) dapat digunakan kapnografi

Tidak terdapat suara nafas tambahan (rales, ronchi, wheezing, crakels, snoring)Frekuensi nafas dalam batas normal (RR 16-24x/menit)Irama nafas regularTidak terdapat produksi sekret/sputumEkspansi dada simetris, tidak terdapat penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada retraksi dadaTidak ada dispnea, orthopneaRefleks gag dan reflex menelan (+)Reaksi pupil positif, isokorGCS 9 - 13TTV normal (TD 120 - 90/ 90 - 70 mmHg; Nadi 80 - 100x/menit regular)BGA dalam batas normal (pH 7,35 – 7,40; PaCO2 35-45mmHg; PaO2 95 - 100mmHg) Saturasi O2 : 95 - 100%

2 Mobilisasi Pasien

Berikan posisi yang benar kepada pasien karena hal ini dapat membantu menghambat tonus abnormalPerhatikan bila terjadi postur tubuh

Kepala pasien pada posisi 15o-45o sesuai indikasi/yang dapat ditolerirTidak terjadi atrofi

abnormal : hal ini umum terjadi pada pasien cedera kepala adalah posisi opistotonik. Rotasi batang tubuh dan fleksi ekstremitas bawah akan membantu menghentikan posisi ini. Usahakan untuk merelaksasikan tonus-tonus otot.Hindari terjadinya kontraktur dengan menggerakkan secara rutin atau terapi ROM secara pasif dan reguler pada pasien.Hindari kerusakan kulit karena hilangnya fungsi motorik pasien. Hal ini terjadi karena penekanan, kelembaban, gesekan dan penurunan sensasi. Tempat tidur yang digunakan harus mendistribusikan BB pasien secara merata.Penggunaan bantalan lunak diatas dan dibawah tonjolan tulang.

otot – otot ekstrimitasTidak terdapat dekubitusTidak terdapat suara nafas tambahan (rales, ronchi, wheezing, crakels, snoring)Frekuensi nafas dalam batas normal (RR 16-24x/menit)Irama nafas regularTidak terdapat produksi sekret/sputumEkspansi dada simetris, tidak terdapat penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada retraksi dadaTidak ada dispnea, orthopnea

3 Infeksi Perawat yang bekerja di ICU terutama harus menyadari praktik aseptik. Klien berisiko terhadap infeksi karena alasan sebagai berikut :1) Klien ICU merupakan klien

penyakit kritis dan sering kali memiliki lebih banyak penyakit yang mendasari dibanding klien lainnya.

2) Peralatan invasif seperti selang intravena dan intraarterial lebih banyak digunakan

3) Penggunaan antibiotik spektrum luas secara berlebihan, menimbulkan mikroorganisme resistan yang nantinya menyebabkan infeksi.

Perawat mengkaji mekanisme pertahanan tubuh yang dimiliki oleh klien di ICUPetugas ICU selalu ingat untuk

TTV normal (Tax 36,50

– 37,20C)Hasil pemeriksaan laboratorium normal (Leukosit 5.000 – 10.000/ µl)Tidak terjadi tanda – tanda infeksi pada lesi/ luka (color, dolor, rubor, dan tumor)Tidak terdapat produksi sekret/sputumMulut pasien tampak bersih

Page 6: Pathofisiologi

melakukan standar precauion dan APDMelakukan kontrol dan eliminasi agen infeksius, dengan megindikasikan tempat-tempat yang mungkin menjadi sumber infeksi bagi klien (desinfektan, sterilisasi)Lakukan personal hyigene secara teratur pada klien, terutama klien yang tidak sadar dalam waktu yang lamaLakukan tindakan aseptik untuk tindakan medis dan perawat untuk mengurangi paparan organisme pada klien ICU. Penuhi asupan akan nutrisi dan cairan klien untuk menjaga metabolisme tetap adekuat. Lakukan kontrol dan eliminasi reservoar Awasi dan batasi interaksi klien dan pengunjung yang berisiko.

4 Pemenuhan Nutrisi

Pemberian terapi nutrisi disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan klien, seperti: alat invasif yang terpasang pada tubuh klien.Perawat harus memantau perkembangan kemampuan pasien terhadap penerimaan nutrisi yang diberikan, seperti penghentian parenteral untuk kemudian mengubahnya dalam bentuk enteral dengan pelatihan menelan sebelumnya. Ha l- hal yang harus diperhatikan untuk pemenuhan nutrisi pasien ICU : 1) kemampuan menelan pasien,2) status pernapasan klien,3) kekuatan batuk klien,

Berat badan sesuai dengan berat badan ideal pasienTonus otot pasien dalam batas normalAlbumin 3,0 – 5,5 gr/dLLDL < 100mg/dLHDL > 55 mg/dLTrigliserida < 150 mg/dLGlukosa darah puasa 70 – 115 mg/dLKolesterol 150 – 310 mg/dLNatrium 135 – 145 mEq/LKalium 3,5 – 5,2 mEq/L

5 Farmakologi

Mengkaji kebutuhan pasien terhadap obat-obatan sesuai dengan terapi medis yang diberikanKaji riwayat reaksi sensitifitas pada klienLakukan penyimpanan obat dengan instruksi sebelumnya kepada pasien dan keluarga mengenai indikasi dan efek obatnya, penyimpanan sebaiknya dilakukan secara sentral untuk semua pasien.

Pemberian sesuai dengan prinsip 6 B plus (Benar obat, orang, cara pemberian, waktu, dosis, dokumentasi, efek samping terhadap obat yang lain, dan efek samping terhadap makanan)Tidak terjadi tanda – tanda alergi (sesak, mual, muntah, gatal – gatal, dll)