pasang-surut hubungan buton voc: studi masa …
TRANSCRIPT
PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON – VOC: STUDI MASA SULTAN
HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI
(1751-1752, DAN 1760-1763)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)
Disusun Oleh :
Muliadin Iwan
NIM : 1111022000004
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON – VOC: STUDI MASA SULTAN
HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI
(1751-1752, DAN 1760-1763)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana (S1) Humaniora (S.Hum)
Oleh :
Muliadin Iwan
NIM : 1111022000004
Pembimbing :
Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A
NIP. 19560817 198603 1 006
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON –
VOC: STUDI MASA SULTAN HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI
(1751-1752, DAN 1760-1763)”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 25 April
2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Ciputat, 25 April 2016
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
H. Nurhasan, M.A Shol i kat us Sa’ di yah,
M.Pd
NIP. 19690724 199703 1 001 NIP. 19750417 200501 2 007
Anggota
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum Dr. Saidun Derani, MA
NIP: 19541010 198803 1 001 NIP: 19570227 199203 1 001
Pembimbing
Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.A
NIP. 19560817 198603 1 006
Jl. Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat 15412, Jakarta, Indonesia Telp. (021) 7443329,
Fax. (021) 7493364
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI(UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muliadin Iwan
NIM : 111102200004
Program Studi : Sejarah dan Kebudayaan Islam
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang
merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan
merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang
lain.
Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi
dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi
baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudian hari
menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 22 April 2016
Muliadin Iwan
i
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pasang-Surut Hubungan Buton – VOC: Studi Masa
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (1751-1752, dan 1760-1763)”. Skripsi ini
membahas mengenai dinamika hubungan Buton – VOC yang telah mengalami
pasang-surut sejak tahun 1613, tepatnya masa pemerintahan Sultan Dayanu
Ikhsanuddin atau La Elangi (1578-1615) sampai dengan masa pemerintahan
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi. Permasalahan utama yang ingin dijawab
dalam penelitian ini adalah mengenai pertentangan Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi terhadap VOC. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode historis yang bersifat deskriptif analitis, dengan pendekatan
politikologis yang menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan,
pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya. Sumber data yang digunakan adalah
arsip, artikel, buku, jurnal, majalah, tesis dan disertasi. Teknik pengumpulan
sumber melalui beberapa tahapan, yaitu: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan
historiografi.
Temuan penulis menunjukan, bahwa penyebab Sultan Himayatuddin
menentang VOC adalah semakin besarnya ruang intervensi VOC dalam persoalan
politik maupun ekonomi di Kesultanan Buton. Hal ini berdampak pada
memuncaknya ketegangan hubungan antargolongan bangsawan Buton serta
timbulnya ‘kekacauan’ dan kemelaratan di kalangan masyarakat Buton akibat
kebijakan ekstirpasi pohon rempah-rempah di seluruh wilayah Kesultanan Buton,
kebijakan pembatasan aktifitas berlayar dan berdagang orang-orang Buton dan
lain sebagainya. Dalam kontrak-kontrak juga telah menunjukan adanya pergeseran
kedudukan Buton – VOC yang awalnya menunjukan kedudukan yang setara
menjadi ke tahap ketundukkan yang menunjukan dominasi VOC. Pada tahapan
ini, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi telah menganggap VOC sebagai
ancaman baru terhadap eksistensi Kesultanan Buton, sehingga harus terus
dilawan.
Kata kunci: Buton, VOC, Kontrak, Pertentangan, Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, berkat limpahan rahmat, karunia, taufik serta hidayah Allah
SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pasang-Surut
Hubungan Buton – VOC: Studi Masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi
(1751-1752, dan 1760-1763)”. Meski dari segi teknis maupun kandungan isi
masih jauh dari kata sempurna dan memuaskan, penulis menyadari bahwa
selesainya skripsi ini bukan berdasarkan usaha penulis semata, melainkan ada
beberapa pihak yang sedikit banyaknya telah berkontribusi membantu penulis,
baik dalam bentuk moril maupun materil. Oleh karenanya, perkenankanlah
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.
2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag.
3. Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI), H. Nurhasan, M.A.,
yang tidak henti-hentinya mensupport dan motivasi seluruh mahasiswa SKI
untuk menyelesaikan studi tepat waktu.
4. Sekretaris Jurusan SKI, Sholikatus Sa'diyah, M.Pd., yang senantiasa
memberikan kemudahan dalam mengurusi administrasi.
5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag.,
yang telah meluangkan banyak waktunya untuk membimbing penulis
hingga skripsi ini selesai. Termasuk dosen penguji skripsi (I dan II) Prof.
Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum., dan Dr. Saidun Derani, MA., yang telah
memberikan banyak masukan untuk perbaikan skripsi ini.
iii
6. Seluruh dosen Jurusan SKI UIN Syarif Hidayatullah yang telah mengisi
kekosongan jiwa kami (mahasiswa SKI) dengan ilmu yang bermamfaat.
7. Pimpinan dan seluruh staff pegawai Perpustakaan Utama (PU) dan
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan pelayanan dengan baik. Termasuk berbagai
instansi maupun pihak luar yang telah memfasilitasi penulis selama
melakukan penelusuran sumber, baik di Jakarta maupun di Buton.
8. Kedua orang tua penulis, La Iwan (ayah) dan Jalinal (ibu) yang selalu
konsisten dalam memperjuangkan penulis melaui hamparan doa yang
khusyu’ dan usaha yang maksimal. Juga kepada seluruh adik kandung
penulis: Munaf, Rahmah, Akhsan, Halimah, dan Nabil yang meskipun
cukup bandel tapi masih mau membantu penulis dalam banyak hal.
9. Seluruh keluarga penulis yang sekarang ada di Desa Nepa-Mekar maupun di
perantauan (Kakek, Nenek, Paman, Bibi dan lain sebagainya) yang tidak
sempat penulis sebutkan satu persatu namanya. Terkhusus buat Kak Safar
yang telah banyak mencurahkan pikiran, tenaga, dan materi kepada penulis
selama menempuh studi di Jakarta. Tak lupa pulah kepada Ust. Rasid
(Ocid), dan Ust. Ilyas yang telah banyak membantu penulis selama berada
di Jakarta.
10. Ust. Falah yang sudah bermurah hati meminjamkan hampir seluruh koleksi
bukunya yang relevan dengan kajian penulis serta memberikan banyak
kritikan dan masukan yang sangat berharga buat skripsi ini. Wahyu
Woliyono yang telah membantu penulis selama menelusuri sumber di
iv
Perpustakaan Universitas Indonesia (UI). Bapak Wawan (Ketua Media
Center Baubau), dan Bapak H. La Ode M. Razinuddin, S.E, M.Si (Dinas
Pariwisata Baubau) yang telah banyak mengarahkan dan menemani penulis
menelusuri sumber di kota Baubau.
11. Seluruh kawan-kawan di Kampus: Egi, Ucok, Ilham, Taqi, Rahmat, Habib,
Dirga, Ririn, Azizah, Eva, dan lain sebagainya yang telah meluangkan
banyak waktunya untuk berjumpa muka, pikiran, dan jiwa dengan penulis
guna mengkaji skripsi ini.
12. Seluruh kawan-kawan yang namanya tidak sempat penulis sebutkan satu
persatu mulai dari SKI angkatan 2011, Himpunan Pemuda Pelajar
Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB Bersatu – Jakarta), Dewan
Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah 2015, serta BJ-Community
yang tidak henti-hentinya mensupport dan memberikan kesempatan kepada
penulis untuk berproses.
Akhirnya, penulis hanya bisa berdoa agar semua amal dan itikad baik semua
pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini mendapatkan balasan dari Allah
SWT. Amin ya Rabbal alamin. Sebagai penutup, penulis mengharapkan masukan
dan kritikan yang membangun untuk perbaikan skripsi ini kedepannya.
Jakarta, 28 April 2016
Muliadin Iwan
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
BAB 1 : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 8
E. Metode Penelitian........................................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 12
BAB II : PROFIL KESULTANAN BUTON
A. Asal-Usul Penamaan Buton/Wolio ............................................................ 14
B. Berdirinya Kerajaan Buton ......................................................................... 23
C. Transformasi Kerajaan Buton Menjadi Kesultanan ................................... 28
D. Wilayah Kekuasaan dan Struktur Pemerintahan Kesultanan Buton ........... 32
E. Kehidupan Masyarakat Buton Masa Kesultanan ........................................ 38
1. Asal-Usul Penduduk ............................................................................ 38
2. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya ............................................ 43
2.1. Perdagangan Sebagai Sumber Kehidupan Perekonomian .......... 43
2.2. Sosial-Budaya ............................................................................. 47
BAB III : PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON – VOC (TAHUN 1613-
1751)
A. Kedatangan VOC dan Terbentuknya Persekutuan Abadi Buton - VOC .... 49
vi
B. Masa Keretakan Hubungan Buton – VOC ................................................. 62
C. Normalisasi Kembali Hubungan Buton – VOC ......................................... 66
D. Terbentuknya Aliansi Militer Buton – VOC .............................................. 69
BAB IV : HUBUNGAN BUTON – VOC MASA PEMERINTAHAN SULTAN
HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI (TAHUN 1751-1752,
DAN 1760-1763)
A. Kondisi Internal Kesultanan Buton Masa Pemerintahan Sultan
Himayatuddin Muhammad Saidi ............................................................... 84
B. Konflik Buton - VOC ................................................................................. 89
1. Masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi .................................... 89
2. Masa Sultan Hamim ............................................................................ 103
C. Dampak Konflik Buton – VOC Terhadap Kehidupan Masyarakat Buton.. 110
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 113
B. Saran ........................................................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 118
LAMPIRAN .......................................................................................................... 126
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama berabad-abad lamanya kerajaan-kerajaan di Nusantara menjalin
interaksi, komunikasi dan hubungan kerjasama. Menurut Budiono, suatu
hubungan dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan suatu kepentingan
bersama untuk mencapai kesejahteraan kerajaan demi tercapainya tingkat
kemakmuran pada kerajaan tersebut. Hubungan ini dapat berlangsung dalam
berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan lain
sebagainya.1 Hubungan dalam bidang politik menurut J. Keuning seringkali
memusatkan perhatian pada aspek keamanan, perang, persenjataan, aliansi dan
lain sebagainya. Demikian juga dalam bidang ekonomi dengan bertitik tolak pada
rasa saling bergantung secara ekonomis yang melahirkan hubungan antarbangsa.
Kondisi ketergantungan tersebut menyebabkan situasi politik dan ekonomi suatu
negara tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari bangsa lainya, karenah
merupakan suatu arah dasar dari hubungan antarbangsa atau kerajaan.2
Kerajaan/Kesultanan Buton yang menurut cerita rakyat setempat didirikan
oleh pendatang dari Johor dan Sumatra3 telah lama menjalin kontak kekuasaan
dengan daerah atau kerajaan-kerajaan lain disekitarnya. Sebelum akhirnya
membangun hubungan kerjasama dengan bangsa-bangsa Eropa khususnya bangsa
1 Budiono Kusumohamidjojo, Hubungan Internasional-Kerangka Studi Analitik,
(Bandung: Bina Cipta, 1987), hal. 3. 2 J. Keuning, Sejarah Ambon Sampai pada Akhir Abad Ke-XII, (Jakarta: Bhatara, 1973),
hal. 45. 3 Para imigran itu terdiri dari Sipajonga, Simalui, Sitamananjo, dan Sijawangkati. Dalam
masyarakat Buton mereka biasa dikenal dengan sebutan “mia patamiana”, yang berarti “yang
empat orang”.
2
Belanda, Buton telah lebih awal membangun hubungan interaksi dan komunikasi
dengan kerajaan-kerajaan tetangganya, seperti Kerajaan Ternate, Gowa, Bone
serta beberapa kerajaan kecil lainnya di sekitar perairan Buton. Menurut Susanto
Zuhdi, terbentuknya hubungan Buton dengan beberapa kerajaan tersebut sebagai
upaya Buton untuk menjaga kelangsungan hidup kerajaan. Beberapa faktor yang
mendorong Buton dengan mudah berinteraksi dengan beberapa kerajaan tersebut
adalah budaya maritim masyarakat Buton, posisi strategis wilayah Kesultanan
Buton, serta kekayaan alam Kesultanan Buton.4
Meski beberapa kerajaan tersebut merupakan sahabat bagi Buton, tapi tak
jarang suatu waktu beberapa kerajaan tersebut dapat berbalik menjadi ancaman
bagi Buton, khususnya Kerajaan Ternate dan Gowa. Pada abad ke-16 dan ke-17,
kedua kerajaan ini tampil sebagai kerajaan Islam terkuat dan terbesar di kawasan
timur Nusantara.5 Kekuatan dan kebesaran Ternate pada masa itu ditandai dengan
keberhasilannya menaklukkan 72 pulau di bawah pemerintahan Sultan Babullah
(1570-1583) yang wilayah kekuasaannya terbentang luas dari Mindanao di utara
sampai Bima di selatan.6 Sementara kebesaran Gowa pada saat itu ditandai
dengan supremasinya terhadap Kerajaan Wajo, Soppeng, dan Bone di Sulawesi
Selatan serta beberapa kawasan lain di Nusa Tenggara bahkan Kalimantan.7
Sebagai kerajaan terbesar dan terkuat, Ternate dan Gowa selalu terlibat
aktif dalam kontestasi perebutan wilayah kekuasaan di berbagai kawasan timur
Nusantara. Ekspansi Gowa ke timur sering kali berbenturan dengan ekspansi
4 Susanto Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), hal. 63-64. 5 Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke-19, (Jakarta: INIS, 1995), hal. 38 6 Paramita R. Abdurachman, Bunga angin Portugis di Nusantara: jejak-jejak kebudayaan
Portugis di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2008), hal. 99 7 Abdul Rasjid dan Restu Gunawan, Makassar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hal. 35
3
Ternate ke barat dan selatan. Kedua pasukan kerajaan ini kerap kali berhadap-
hadapan di beberapa tempat, seperti di Sulawesi Utara dan Minahasa. Di bagian
timur mereka berhadap-hadapan di Banggai, di bagian tenggara bertemu di
Kepulauan Buton, di selatan berjumpa di Selayar, dan bahkan sampai di Bima.
Akibat kontestasi perebutan wilayah kekuasaan ini, semua kerajaan di kecil di
kawasan tersebut merasa teracam eksistensinya, khususnya Buton yang wilayah
kekuasaanya terletak diantara kedua kerajaan tersebut.
Sumber sejarah Buton mencatat, bahwa selama kurun abad ke-16 dan 17,
Buton selalu terombang ambing akibat pertarungan politik antara Ternate dan
Gowa yang kemudian melibatkan VOC. Pim Schoorl dalam bukunya yang
berjudul “Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton” menganalogikan posisi Buton
pada waktu itu seperti shuttle cock atau bola bulu yang dimainkan oleh Makassar,
Ternate, dan VOC, khususnya pada abad ke-17.8 Adapun sumber lokal Buton
“Ajonga Inda Malusa”9 menggambarkan Buton pada waktu itu seperti “perahu”
yang menghadap ke barat. Dalam posisinya sebagai “perahu”, Buton tentu saja
memiliki bagian yang disebut haluan (rope) dan buritan (wana). Dari kedua arah
itu, “perahu” Buton selalu menghadapi ancaman dan bahaya yang sewaktu-waktu
datang dari timur, yaitu Ternate dan Gowa dari barat.10
Seiring meningkatnya ancaman terhadap Buton baik yang disebabkan oleh
ekspansi perluasan wilayah Kerajaan Ternate, Gowa maupun kelompok bajak
laut, Buton harus mencari “Sahabat” yang kuat dan mampu melindungi
8 J.W. (Pim) Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, (Jakarta: Djambatan,
2003), hal. 75 9 Anjonga Inda Malusa artinya pakaian yang tidak luntur. Naskah ini merupakan naskah
kabanti atau syair-syair yang dinyanyikan, yang ditulis oleh Haji Abdul Ganiu pada abad ke-19,
dan kemudian diterjemahkan oleh Sejarawan Buton Abdul Mulku Zahari tahun 1980-an. 10
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan: labu rope labu wana, hal. 87
4
kedaulatan Kesultanan Buton. Hasilnya, pada tahun 1613 telah tercetus kontrak
“Persekutuan Abadi” antara Buton dengan VOC, yang mana Buton diwakili oleh
Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi (memerintah: 1578-1615) dan VOC
oleh Apollonius Schotte. 11
Sepanjang sejarahnya, kontrak ini telah menghasilkan
berbagai intrik sosial politik baik dari dalam maupun luar pemerintahan
Kesultanan Buton. Dalam kontrak tersebut, kedua belah pihak baik Buton maupun
VOC sepakat untuk saling melindungi dan tidak saling menyerang, sebab musuh-
musuh Kesultanan Buton juga adalah musuh VOC. Hubungan kerjasama ini
berlangsung dalam politik dan ekonomi yang mencakup pembentukan aliansi
militer, dan perdagangan.
Dengan terbentuknya hubungan Buton – VOC yang semakin intens, Buton
tampil sebagai kerajaan yang cukup stabil di kawasan timur Nusantara, khususnya
perairan Sulawesi Tenggara. Hal ini berkat semakin kuatnya pertahanan Buton
berkat bantuan VOC, serta faktor jatuhnya Kerajaan Gowa tahun 1667 yang
kemudian disusul semakin menurunnya dominasi Ternate di kawasan timur
Nusantara akibat semakin meningkatnya pengaruh VOC di kawasan tersebut.
Dengan demikian, posisi Buton yang awalnya selalu terombang-ambing dalam
pertarungan politik antara Gowa dan Ternate telah berakhir, dan berubah menjadi
kerajaan yang stabil yang dalam ungkapan Haji Abdul Ganiu dikenal dengan
istilah “labu rope labu wana” atau “berlabuh haluan, berlabuh buritan”. Maksud
dari ungkapan ini adalah akhir dari proses panjang yang dialami Buton untuk
melepaskan diri dari ancaman Ternate dan Gowa. Dengan perkataan lain adalah
11
Husein A. Chalik dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme
di Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,
1983/1984), hal. 11.
5
kondisi Buton yang sudah aman, ibarat perahu yang dengan tenang dapat
menempatkan sauhnya, baik yang di bagian buritan, maupun di haluan.12
Meskipun cukup besar mamfaat kerjasama antara Buton dengan VOC,
nampaknya tidak serta merta membuat semua Sultan Buton terpikat untuk
melanjutkan hubungan dengan VOC. Adalah Sultan Himayatuddin Muhammad
Saidi atau La Karambau yang memerintah tahun 1751-1752 sebagai Sultan Buton
ke-21, dan 1760-1763 sebagai Sultan Buton ke-23 yang berani memutus mata
rantai hubungan Buton – VOC yang telah dibentuk oleh para pendahulunya.
Semua kontrak Buton – VOC yang selama ini telah dianggap oleh semua
kalangan sebagai pusaka adat yang wajib dijaga, ditaati, dan dijalankan secara
maksimal nyatanya diputuskan dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Sultan
Himayatuddin.
Akibat tindakan pertentangan Sultan Himayatuddin dengan VOC ini telah
membawa Buton ke dalam jurang konflik berupa perang raya antara Buton dengan
VOC yang berlangsung dari masanya hingga masa setelanya, khususnya pada
masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin atau Hamim (memerintah: 1752-1759).
Ligtvoet dalam bukunya menulis“Onder deregesring van deze voerat gebaurde er
iest, waardoor Boeton later in ernstige verwikkelingen met de Compagnie
geraakte,”13
bahwa pada masa pemerintahan raja ini (Himayatuddin) terjadi
sesuatu yang membawa Kerajaan Buton ke dalam pertentangan yang keras dengan
VOC.
Jika mengacu pada kontrak awal antara Buton dengan VOC yang terbina
sebelum masa pemerintahan Sultan Himayatuddin, setiap sultan yang memerintah
12 Zuhdi, disertasi hal. 1-2. 13
Selengkapnya, lihat: A. Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, BKI, 1878,
hal. 73.
6
di Kesultanan Buton patutnya wajib menjaga hubungan baik dengan VOC. Bagi
sebagian besar pembesar kerajaan, khususnya Dewan Sara’, sikap menentang
VOC adalah sikap yang patut dihindari, dan melanggarnya termasuk dalam
kategori penghianatan. Namun hal ini nampaknya tidak dihiraukan oleh Sultan
Himayatuddin yang selama pemerintahannya bahkan terus mengobarkan perang
terhadap VOC.
Kajian mengenai pasang-surut hubungan Buton – VOC pada umumnya,
dan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi pada khususnya masih sangat minim
dan sering kali terabaikan. Beberapa literatur lebih banyak menonjolkan Buton
dengan VOC sebagai sekutu abadi. Padahal jika dilihat lebih jauh, perjalanan
hubungan Buton – VOC telah mengalami pasang-surut. Dalam skripsi ini, penulis
ingin melihat lebih jauh dinamika hubungan Buton – VOC yang telah mengalami
pasang-surut, dengan fokus kajian pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Hubungan Buton – VOC sesungguhnya mempunyai sejarah yang panjang.
Masa awal terbentuknya hubungan keduanya adalah sejak tercetusnya kontrak
persekutuan abadi La Elangi – Schotte tahun 1613, dan berakhir setelah runtuhnya
hegemoni Hindia – Belanda di Nusantara tahun 1942. Kajian penulis ini terbatas
sampai dengan pertengahan abad ke-18 dengan fokus kajian pada pertentangan
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi terhadap VOC (1751-1752, dan 1760-
1763).
Adapun rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut:
7
1. Mengapa terjadi konflik antara Buton dengan VOC pada masa
pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi?
2. Mengapa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi menentang VOC?
3. Bagaimanakah peran Sultan Himayatuddin dalam konflik Buton –
VOC masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin atau Hamim?
4. Apa respon VOC terhadap pertentangan Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi?
5. Apa dampak konflik Buton – VOC terhadap masyarakat Buton?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami pertentangan dan konflik Buton
– VOC masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (1751-1752,
dan 1760-1763). Diharapkan penelitian ini mempunyai kegunaan:
1. Sebagai bahan informasi yang didedikasikan kepada masyarakat Buton
maupun masyarakat Indonesia secara umum.
2. Sebagai bahan bacaan bagi masyarakat khususnya kaum terpelajar,
guna menambah wawasan dan memperluas khazanah keilmuan.
3. Sebagai referensi untuk penulisan-penulisan selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka
Meskipun pembahasan mengenai judul penulis belum dilakukan secara
rinci oleh penulis-penulis sebelumnya, tetapi penulis menyadari, bahwa penulisan
skripsi ini tidak terlepas dari tulisan-tulisan sebelumnya yang diantaranya adalah:
8
Buku “Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton” oleh
Susanto Zuhdi dkk, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI 1996.
Dalam buku tersebut Zuhdi dkk menjelaskan mengenai dinamika eksistensi
Kesultanan Buton sebagai kerajaan tradisional. Ia melihat, bahwa pengaruh
intervensi VOC di Kesultanan Buton telah mengikis unsur-unsur tradisionalisme
Kesultanan Buton khususnya pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, dimana
kerajaan tradisional Buton sudah memudar dan keberadaan serta peran yang
dimainkan sudah sebagian besar telah ditentukan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Demikianlah, meskipun banyak menyinggung hubungan Buton – VOC,
tetapi tulisan tersebut lebih menitik beratkan pada pengaruh intervensi VOC
terhadap eksistensi Buton sebagai kerajaan tradisional.
Buku “Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana” oleh
Susanto Zuhdi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Dalam tulisan ini, Zuhdi
menggambarkan pola ketidakstabilan politik Kesultanan Buton akibat berbagai
ancaman, baik internal maupun eksternal. Zuhdi memperlihatkan Buton sebagai
wilayah pertarungan politik antara Gowa, Ternate dan VOC. Akibat pertarungan
politik tersebut, Buton harus memilih secara bergantian antara sekutu dan seteru,
termasuk dalam hal ini dengan VOC. Dalam kaitanya dengan Sultan
Himayatuddin Muhammad Saidi, Zuhdi memperlihatkan kondisi Buton pada
masanya yang sangat mengkhawatirkan, akibat petentanganya dengan VOC.
Meskipun demikian, penggambaran seputar Sultan Himayatuddin Muhammad
Saidi masih cukup umum, sehingga perluh pengkajian yang lebih mendalam.
Buku: Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, oleh Dr. J.W. (Pim)
Schoorl, Jakarta – KITLV: Djambatan, 2003. Dalam tulisannya ini, Schoorl
9
menggambarkan masyarakat, sejarah, agama, budaya hingga kekuasaan
Kesultanan Buton. Schrool melihat semakin melemahnya peran yang dimainkan
Kesultanan Buton, seiring semakin menguatnya intervensi politik maupun
ekonomi VOC di Kesultanan Buton, khususnya pasca runtuhnya Kerajaan Gowa
tahun 1666. Meskipun demikian, Schrool dalam pembahasan mengenai tentang
hubungan Buton – VOC tersebut masih lemah, dikarenakan penggambaranya
mengenai hubungan Buton – VOC pasca runtuhnya Kerajaan Gowa 1666 sebagai
hubungan penjajah dengan daerah jajahan, dengan pernyataanya bahwa Buton
telah masuk dalam Pax Neerlandica.
Buku: Sejarah dan Adat fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I, II dan III oleh
Abdul Mulku Zahari, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Dalam karyanya ini, Zahari menulis tentang sejarah elit penguasa
Kerajaan/Kesultanan Buton, sejak Raja Buton pertama Wa Kaa Kaa hingga Sultan
Buton terakhir atau ke-38 La Ode Muhammad Falihi. Meskipun demikian,
penggambaran mengenai Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi masih secara
general.
Buku: Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
Daerah Sulawesi Tenggara oleh Husein A. Chalik dkk, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984. Tulisan ini
menggambarkan mengenai perjuangan masyarakat Sulawesi Tenggara dalam
menentang kolonialisme Hindia – Belanda di Sulawesi Tenggara, yang salah satu
pejuangnya adalah Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi. Buku tersebut
menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan Sultan Himayatuddin Saidi dalam
10
menentang hegemoni Belanda (VOC) di Kesultanan Buton. Meskipun demikian,
penggambaran Chalik dkk tentang Himayatuddin masih berdasarkan perspektif
masyarakat Sulawesi saja.
Demikianlah, beberapa buku yang penulis anggap relevan dengan tema
kajian penulis. Meski ada persamaan, namun dalam tulisan ini terdapat sisi yang
berbeda dengan tulisan-tulisan di atas. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba
menganalisis lebih dalam dan terperinci terkait pasang-surut hubungan Buton –
VOC khususnya pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad
Saidi.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode historis yang bersifat deskriptif
analitis dengan pendekatan politikologis. Pendekatan politikologis Menurut
Sartono Kartodirdjo menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki
sosial, pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya.14
Tahapan yang ditempuh
dalam penelitian ini, yakni: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
Heuristik, yaitu kegiatan atau keterampilan dalam mencari, menemukan
dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah.15
Kegiatan mencari dan
mengumpulkan sumber yang terkait dengan judul penulis dilakukan di berbagai
tempat seperti; Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), Perpustakaan
14 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 4. 15
Imas Emalia, Historiografi Indonesia Sejak Masa Awal Sampai Kontemporer, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006), hal. 8.
11
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) Jakarta, Keraton Kesultanan Buton kota Baubau Sulawesi
Tenggara, Pusat Kebudayaan Wolio kota Baubau, dan Media Center Baubau. Dari
hasil penelusuran tersebut, penulis menemukan berbagai sumber yang meliputi
buku, artikel, jurnal dan arsip.
Setelah semua sumber terkumpul, tahapan berikutnya adalah kritik
sumber, yaitu kegiatan menyaring atau menyeleksi setiap sumber sejarah yang
berkaitan dengan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi. Kritik sumber ini
dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu; kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern
dilakukan untuk menguji otentitas atau keaslian suatu sumber, yang meliputi
waktu penulisan, jenis kertas, penulisnya, dan lain sebagainya. Adapun kritik
intern untuk mendapatkan sumber yang memiliki tingkat validitas atau keakuratan
yang tinggi, khususnya terkait isi atau kandungan suatu sumber. Melalui tahapan
kritik inilah penulis menetapkan sumber yang dianggap kredibel terkait pokok
bahasan penulis, khususnya terkait dengan Sultan Himayatuddin Muhammad
Saidi.
Tahapan selanjutnya, yaitu Interpretasi (penafsiran). Pada tahapan ini
penulis menyimpulkan sejumlah sumber yang dapat dipercaya mengenai bahan-
bahan yang otentik. Melalui tahapan ini, penulis mencoba menghubungkan
beberapa sumber terkait informasi seputar Sultan Himayatuddin Muhammad
Saidi.
Setelah melalui beberapa tahapan tersebut, tahapan terakhir adalah
historiografi. Pada tahapan terakhir ini penulis menyajikan hasil penelitian sesuai
dengan ketentuan penelitian sejarah dan penulisan yang berlaku, sehingga dapat
12
memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal
(fase perencanaan) sampai terakhir (penarikan kesimpulan).
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan skripsi ini terdiri atas lima (5) bab yang tersusun
sebagai berikut:
BAB 1 Pendahuluan, yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah,
Permasalahan, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan
BAB II Profil Kesultanan Buton, berisi tentang Asal-Usul Penamaan
Buton/Wolio, Sejarah Berdirinya Kerajaan Buton, Transformasi Kerajaan
Buton Menjadi Kesultanan, Wilayah Kekuasaan dan Struktur
Pemerintahan Kesultanan Buton, Kehidupan Masyarakat Buton Masa
Kesultanan, yang meliputi Asal-Usul Penduduk, Kehidupan Ekonomi,
Sosial maupun kebudayaan.
BAB III Pasang-surut Hubungan Buton – VOC Hingga Pertengahan Abad Ke-18,
berisi tentang Sejarah Kedatangan VOC dan Terbentuknya Persekutuan
Abadi Buton – VOC, Masa Keretakan Hubungan Buton – VOC,
Normalisasi Kembali Hubungan Buton – VOC, dan Terbentuknya
Aliansi Militer Buton – VOC.
BAB IV Hubungan Buton – VOC Masa Pemerintahan Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi, berisi tentang Riwayat Hidup Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi, Kondisi Politik Buton Masa Pemerintahan Sultan
Himayatuddin Muhammad Saidi, Konflik Buton – VOC, yang meliputi
13
Masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi dan Masa Sultan
Sakiyuddin atau Hamim, serta Dampak Konflik Buton – VOC Terhadap
Kehidupan Masyarakat Buton.
BAB V Penutup, berisi kesimpulan dan Saran
14
BAB II
PROFIL KESULTANAN BUTON
A. Asal-Usul Penamaan Buton/Wolio
Buton bukanlah istilah baru. Istilah Buton sudah dikenal sejak lama.
Sumber tertulis paling tua yang menyebut keberadaan Buton adalah naskah
Kakawin Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1364.
Dalam naskah tersebut, Butun (Buton) bersama beberapa daerah lain, seperti
Makassar, Banggai, Selayar, Solor, Galiyao, Seram, dan pulau-pulau lainya
dibagian Timur dikatakan sebagai daerah vassal Majapahit.1 Naskah tersebut
berbunyi sebagai berikut:
“Ingkang sakasanusa Makasar Butun Banggawi Kuni Ggaliyao Mwang i
(ng) Salaya Sumba Solot Muar muwah tikang i Wandan Ambwan athawa
Maloko Ewaning ri Sran in Timur makadi ning angeka nusatutur.”2
Kata “Buton” yang dimaksud Prapanca dalam tulisan tersebut, bukanlah
sebuah nama suku, melainkan nama sebuah negeri, yakni negeri Buton,
sebagaimana halnya negeri Makassar, Banggawi (Banggai), Salaya (Selayar),
Sumba, Solot (Solor) dan lain sebagainya.3 Slamet Mulyana dalam tafsirnya
mengatakan, bahwa penggambaran Buton dalam naskah tersebut adalah sebagai
sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran
air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.4
1 R. H. Barnes, “The Majapahit Dependency Galiyao,” dalam Journal of the Humanities
and Social Sciences of Southeast Asia, Vol. 138, Issue 4, pages 407 – 412, 1982: hal. 407. 2 Muhammad Yamin, Gadjah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1948), hal. 58. 3 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan gowa (Abad XVI sampai Abad VII), (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 16. 4 Slamet Mulyana, Tafsir Sejarah Negara Kretagama, (Yogyakarta: LkiS, 2006), hal.
346.
15
Selain kitab Negarakertagama sebagai sumber sejarah pertama yang
menyebut nama Buton, seorang pelaut Portugal Tome Pires melalui sebuah
catatanya yang berjudul Suma Oriental juga menyebut nama Buton dengan
sebutan “Butum” ketika ia menceritakan pelayarannya di perairan Nusantara pada
tahun 1512-1515 M. Menurutnya, ia berangkat dari Sumatera ke Maluku melalui
Jawa, Makassar dan Buton.5 Informasi ini menunjukan bahwa saat itu Buton telah
dikenal oleh pelaut-pelaut yang melintasi perairan Nusantara, termasuk orang
Asing.
Adapun dalam sumber Ternate, Buton disebutkan sebagai salah satu
Kerajaan yang berdaulat, dimana pada tahun 1580 Kesultanan Ternate yang di
pimpin oleh Sultan Baabullah menyerang Kesultanan Buton dengan dalih
menyebarkan Agama Islam, namun sumber lokal Buton menyatakan bahwa ketika
Ternate datang masyarakat Buton telah menerima Islam.
Selain itu, dalam sumber manuskrip/naskah kuno Buton, kata Buton juga
dipakai oleh orang dahulu (Sultan, Pejabat Kesultanan) dalam menyatakan
keberadaanya dengan menisbatkan kata Arab di akhir namanya dengan kata “al-
Butuni” yang berarti orang Butun/Buton. Beberapa diantaranya, seperti
Muhammad Idrus Qaimuddin Ibn Badaruddin Al-Butuni, Abdul Khaliq bin
Abdullah al-Butuni dan lain sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa orang Buton
terdahulu menyebut diri dan negerinya dengan sebutan Butun.6 Sementara dalam
5 Catatan Tome Pires ini merupakan karya yang monumental, khususnya dalam sejarah
perdagangan dan kelautan yang meliputi wilayah Timur Tengah, Nusantara, hingga Cina. Seperti
yang dikatakan oleh penyunting asli buku ini yang juga berkebangsaan Portugal Armando
Cortesao, bahwa karya Tome Pires ini sebagai catatan paling penting dan lengkap mengenai Timur
yang dibuat pada paruh awal abad XVI. Selangkapnya, lihat: Tome Pires, Suma Oriental:
Perjalanan Dari Laut Merah ke China & Buku Fransisco Rodrigues. Penerjemah Adrian Perkasa
dan Anggita Pramesti, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, Edisi Revisi 2015), hal. 311. 6 Falah Sabirin, “Tarekat Sammaniyah di Kesultanan Buton: Kajian Naskah-Naskah
Buton,” (Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 55.
16
sumber Belanda, Buton disebut dengan Bouton atau Boeton. Hal ini dapat dilihat
dari kontrak-kontrak Buton – VOC. Oleh karenanya diduga orang Belanda-lah
yang menyebut dan mempopulerkan kata Buton sebagaimana yang dikenal
sekarang.7
Demikianlah mengenai penyebutan kata Buton yang beragam. Penulis
berkesimpulan, bahwa penyebutan kata Buton yang beragam di atas disesuaikan
dengan dialek bahasa tertentu. Untuk penggunaan kata Buton sendiri sebagaimana
yang kita kenal sekarang dimungkinkan untuk mempermudah pelafalan dan lebih
akrab di telinga.
Mengenai asal-usul penamaan Buton belum diketahui secara pasti dari
mana kata tersebut diambil. Namun, ada beberapa pandangan yang berkembang
hingga saat ini mengenai asal-usul penamaan Buton, yaitu:
Pertama, Istilah nama Buton diambil dari nama pohon yang banyak
tumbuh dipesisir pantai bagian selatan pulau tersebut, yakni Pohon Butun. Orang
Buton menyebutnya “Pohon Butu” yang dalam dunia ilmiah tumbuhan ini
dikenal dengan Baringtonia Asiatica. Orang Bugis dan Makassar menyebutnya
dengan istilah Butung dengan tambahan “ng” untuk kata yang berakhiran “n”.8
Kata tersebut diperkuat dengan adanya bukti nama tempat di Makassar – Sulawesi
Selatan, seperti Kampung Butun, Pasar Butun, dan Jalan Butun.9
7 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan: labu rope labu wana, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), hal. 11 8 Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke-19, (Jakarta: INIS, 1995), hal. 11. 9 Terbentuknya kampung, jalan maupun pasar Buton tidak terlepas dari keberadaan
orang-orang Buton disana. Cikal-bakal perkampungan ini telah dibentuk sejak abad ke-17 oleh
sisa-sisa pasukan Kesultanan Buton yang dikirim oleh Sultan La Simbata untuk membantu VOC
dalam perang Makassar tahun 1666. Pasca perang Makassar, sebagian pasukan yang berjumlah 50
orang ini kemudian memilih untuk hidup menetap di Makassar dan membentuk perkampungan
Butun sebagaimana yang kita kenal sekarang. Selengkapnya, lihat: Abdul Mulku Zahari, Sejarah
17
Kedua, Buton dianggap berasal dari bahasa Arab butn atau bathni atau
bathin yang berarti “perut” atau “kandungan”. Anggapan tersebut sebagaimana
yang terdapat dalam kabanti (syair yang dinyanyikan) yang berjudul Kanturuna
Mohelana10
yang kental dengan nuansa keislamanya. Dalam bait tersebut
berbunyi:
Tuamo si iaku kupatindamo
Ikompona incema uyincana
Kaapaaka upeelu butuuni
Kuma anaia butuuni kokompu
Metodikana inuncana kuruani
Itumo duka nabita akooni
Apaincana sababuna tana siy
Tuamo siy awwalina wolio
Inda kumandoa kupetula-tula’a keya
So kudingki awwalina tia siy
Taoakana akosaro butuuni
Ambo’orosimo pangkati kalangaana
Demikian itu saya bertanya minta
kejelasan
Di perut siapa engkau tampak/nyata
Karena engkau suka butuuni
Kuartikan butuuni “mengandung”
Yang terdapat dalam Qur’an
Disitulah pula nabi kita bersabda
Menyatakan sebabnya tanah ini
Demikian ini awalnya Wolio
Tidak selesai kuceritakan semua
Hanya kusinggung awalnya seperti ini
Sebabnya bernama butuuni
Menempati pangkatnya yang
tertinggi11
Menurut Syair di atas, nama Pulau Buton diambil dari kata dalam al-
Qur’an yang berarti mengandung. Dinamai demikian karena negeri Buton
diyakini mengandung banyak isi sebaimana halnya perut atau butun yang berisi
makanan.12
Menurut masyarakat setempat, “isi” dimaksud adalah berupa hikmah,
ilmu dan kekayaaan alam yang terpendam di dalamnya.
dan Adat fiy Darul Butuni (Buton) Jilid II, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1977), hal. 60-61. 10
Kanturuna Mohelana artinya “lampu bagi mereka yang berlayar” ditulis pada
pertengahan abad ke-19 oleh Anonim, berisi tamsil tentang pelayaran dalam menggambarkan
aturan-aturan etika; dan sarana juru bahasa yang berisi seperangkat aturan dan menjadi pedoman
bagi para jurubahasa dalam menjalankan tugasnya. Selengkapnya, lihat: La Malihu, “Buton dan
Tradisi Maritim: Kajian Sejarah Tentang Pelayaran Tradisional di Buton Timur,” (Tesis S2
Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) tahun 1998), hal. 29. 11
Achadiati Ikram dkk, Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001), hal. 2. 12
Yunus, Posisi Tasawuf, hal. 12.
18
Sementara mengenai siapa yang pertama kali memberikan nama Buton
belum diketahui secara pasti. Akan tetapi beberapa sumber mengindikasikan,
bahwa yang pertama kali memberi nama demikian adalah orang Melayu. Hal ini
sebagaimana diriwayatkan oleh La Ode Bosa, bahwa sebelum kerajaan Buton atau
Wolio berdiri ada beberapa perahu asing mendekat ke pantai dan menghampiri
sampan nelayan yang sedang mengail. Nelayan yang dihampiri dikejutkan oleh
suara teriakan dari arah iringan perahu tersebut. teriakan awak perahu tidak
dimengerti oleh nelayan itu. Namun hanya menduga kemungkinan menanyakan
tempat berlabuh yang aman, sehingga nelayan tersebut berteriak menjawab butu
kaina (berlabulah disini) menunjuk ke arah pantai yang banyak ditumbuhi
pepohonan. Ternyata pepohonan tersebut adalah jenis kayu butun, seperti yang
ada pada negeri mereka, karena diselimuti perasaan gembira mendapatkan tempat
berlabuh yang aman, para awak perahu tersebut berkali-kali melantunkan pantun
yang tidak dimengerti oleh sang nelayan, salah satu bait yang ditangkap oleh
nelayan tersebut adalah: “pulo butun kau ini” ketika salah seorang dari nelayan
tersebut menghampiri ingin mengetahui dari mana asal mereaka, salah satu
diantara mereka berkata “Melayu”.
Berawal dari peristiwa berlabuhnya perahu dari negeri Melayu tersebut,
muncullah tradisi yang dianut oleh penduduk setempat, yaitu apabila musim angin
kencang dan mengganas, maka penduduk setempat mengadakan selamatan di
pantai menirukan cara-cara awak perahu Melayu itu. Selamatan tersebut
kemudian dikenal dengan istilah haroana kaepa (upacara memohon pertolongan
arwah untuk mengusir segala bencana yang bersumber dari laut). Semenjak
kejadian itu, tempat ini (pantai yang banyak ditumbuhi pohon butun) oleh para
19
pelaut yang melintasi jalur tersebut dijadikan sebagai tempat berlindung dan
transit sementara ketika cuaca buruk, dan kemudian berlayar disaat cuaca teduh.
Karenah letaknya yang sangat strategis, maka lokasi ini oleh para pelaut dikenal
sebagai tempat aman untuk berlabuh pada cuaca buruk sehingga terkenallah pulau
ini dengan nama Butun.13
Anggapan di atas didukung oleh Abdul Rahim Yunus. Yunus
menghubungkan pemberian nama ini dengan riwayat yang diturunkan secara lisan
bahwa perkampungan Wolio yang merupakan pusat kesultanan didirikan oleh
imigran dari kawasan Malaka. Bahkan menurut Yunus, kata “butun” sendiri
sebagaimana jenis pohon, juga terdapat dalam bahasa Melayu. Namun, mengenai
asal-usul penamaan Buton, Yunus lebih condong pada kata butun yang diambil
dari nama pohon butun bukan dari bahasa Arab ataupun Melayu. Hal ini
dikarenakan didukung oleh data historis dan antropologis yang kuat. Data
historisnya adalah sebelum kedatangan Islam, Buton telah disebut dalam naskah
Kakawin Negarakartagama (1365), sementara Islam masuk di Buton pada
pertengahan abad ke-16. Oleh karenanya, menurut Yunus anggapan bahwa kata
Butun (Buton) berasal dari bahasa Arab tidak terlepas dari tradisi keberagaman
masyarakat Buton yang cenderung berafiliasi pada nilai-nilai sufistik khususnya
abad ke-19. Adapun data antropologisnya adalah adanya tradisi masyarakat
setempat yang menunjukan keterkaitan masyarakat Buton dengan pohon Butun.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah akrab dengan jenis pohon tersebut
sehingga dapat dipastikan bahwa wilayah ini banyak ditumbuhi jenis tumbuhan
13
La Ode Abu Bakar, “Pemahaman Tentang Sejarah yang Bernama Wolio-Butuni,”
dalam Wolio Molagi, Edisi I, 1999, Kendari: Yayasan Wolio Molagi, hal. 24-26, dalam
Muhammad Alifuddin, Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007), hal. 31-32.
20
tersebut. Tidak mengherankan kemudian nama pulau tersebut dikenal dengan
pulau Butun atau Buton dalam istilah sekarang. 14
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Alifuddin, bahwa
pengertian Buton yang disandarkan pada jenis buah yang banyak tumbuh
diperairan Buton atau dengan kata lain mereka bersandar pada realitas empiris
yang di tunjang oleh bukti-bukti materil seperti pohon butun, maka pengertian
kedua umumnya diakitkan dengan hal-hal yang bersifat metafisis simbolis.15
Selain Buton, kata Wolio juga sering digunakan oleh penduduk setempat
untuk merujuk kerajaan yang sama. Tidak diketahui secara pasti darimana kata
Wolio berasal. Abdul Mulku Zahari berpendapat,bahwa kata Wolio kemungkinan
diambil dari bahasa setempat, yakni Welia yang artinya merintis. Ini dihubungkan
dengan kedatangan rombongan imigran yang berasal dari Johor yang dikenal
dengan sebutan Mia Patamiana (yang empat orang). Para imigran ini kemudian
menebas semak-belukar dan menebangi kayu-kayu untuk dijadikan pemukiman.
Kegiatan menebas atau menebang inilah yang dinamakan welia.16
Pendapat lain mengatakan bahwa Wolio berasal dari kata Waliyullah.
Pendapat ini didasarkan pada legenda setempat yang menceritakan tentang
kedatangan seorang musafir Arab yang diperintah Rasulullah Muhammad untuk
berlayar ke timur mendapatkan sebuah pulau yang sudah lama merindukan
kedatangan Islam. Setiba di pulau itu, musafir menaruh jubahnya di suatu tempat.
Maka jubah itu segera menjadi pusat perhatian penduduk. Untuk sekian lama
mereka mengintai jubah, siapakah gerangan pemiliknya. Sementara itu di cabang
pohon bertengger tujuh burung sambil beterbangan satu per satu menyuarakan
14
Yunus, Posisi tasawuf, hal. 13. 15
Alifuddin, Islam Buton, hal. 32. 16
Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 27.
21
“butuni”. Maka bersujudlah penduduk setempat setelah melihat si pemilik jubah
yang dianggap sebagai “waliyullah” (“pesuruh Allah”). Dari kata waliullah inilah
kemudian dikenal kata Wolio.17
Sementara menurut Hazirun Kudus, kata Wolio berasal dari kata Waliu
(Arab = wali). Untuk menguatkan pandanganya Hazirun berdalil dengan mengutip
sebuah dokumen sejarah yang terdapat dalam naskah Kakawin Negarakartagama
sebagaimana yang di kutip oleh Slamet Muljana. Dalam buku tersebut dinyatakan
bahwa Buton adalah salah satu dari bagian kekuasaan Majapahit dan merupakan
daerah keresian. Atas dasar pernyataan tersebut Hazirun berkesimpulan, bahwa
kata wolio memang berasal dari kata waliu yang berarti wali. Alasan ini
digunakan untuk menyebut bahwa Wolio adalah daerah para wali.18
Sementara
itu, beberapa pendapat lain menghubungkan kata “Wolio” dengan “Waliyu” yang
merupakan suatu kerajaan di Kecamatan Lasalimu yang dianggap sudah ada jauh
sebelum Kerajaan Wolio lahir.19
Demikianlah penamaan Buton dan Wolio yang beragam. Dalam penulisan
ini, penulis tidak punya kapasitas untuk mengklaim pendapat mana yang benar
atau salah. Akan tetapi jika merujuk pada pendapat yang lebih kuat, penulis lebih
sepakat jika kata Buton berasal dari nama tumbuhan (butun) dan kata Wolio dari
kata welia (menebas). Hal ini sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya,
bahwa pendapat ini lebih dapat dipertanggung jawabkan karena mempunyai data
historis yang kuat, jika dibandingkan dengan pendapat yang lain.
17
Susanto Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana Sejarah Butun Abad XVII – XVIII,” (Disertasi
S3 Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 1999), hal. 26, Yunus, Posisi tasawuf, hal.
14. 18
Alifuddin, Islam Buton, hal. 36. 19
Tony Rudyansjah, “Kaomu, Walaka dan Papara: Satu kajian mengenai Struktur Sosial
dan Ideologi Kekuasaaan di Kesultanan Wolio,” Berita Antropologi 52 (1997), hal. 45.
22
Demikian halnya sebagai sebuah negeri, Buton dan Wolio merupakan
nama yang kerap dipertukarkan untuk mengacu pada kerajaan atau kesultanan
yang sama. Padahal dalam arti tertentu keduanya berbeda. Rusdyansyah dalam
penelitianya tentang Buton mendefinisaikan Buton dalam empat pengertian.20
Pertama sebagai nama pulau, maka kata ini mengacu kepada satu pulau dengan
panjang sekitar 100 Km yang terletak di dalam kepulauan Jazirah Tenggara pulau
Sulawesi. Kedua sebagai nama untuk menyebut orang Buton, maka kata ini
mengacu kepada penduduk yang tinggal di Pulau Buton. Ketiga sebagai nama
sebuah kabupaten, yang terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang
dari utara ke selatan di antara 4, 960– 6,25
0 Lintang Selatan, dan membentang dari
barat ke timur diantara 120,000 – 123,34
0 Bujur Timur. Keempat Buton adalah
istilah yang digunakan untuk mengacu kepada nama kesultanan yang pernah
hidup di Pulau Buton.21
Sementara Wolio dalam konteks masa lampau merupakan ibukota atau
pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Buton yang dikelilingi benteng. Di
Wolio inilah cikal-bakal berdirinya Kerajaan/Kesultanan Buton dimulai. Dalam
konteks masa kini, Wolio merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota Bau-
Bau. Di Wolio inilah terdapat berbagai peninggalan historis Kesultanan Buton
yang masih bisa disaksikan hingga sekarang, seperti benteng tua (terluas di
dunia), istana para sultan dan kuburanya, masjid tua, alat-alat kelengkapan
20
Satu hal yang dilupakan Tony adalah Buton sebagai nama selat. Selat Buton adalah
selat yang menghubungkan antara pulau Buton dan pulau Muna di provinsi Sulawesi Tenggara.
Kota pelabuhan utama di selat ini adalah Baubau yang terletak di pulau Buton. “Selat Buton,”
Diakses pada 10 November 2015 dari http://www.geographic.org/geographic_names/name.
php?uni=696309&fid=2494&c=indonesia, dan https://id.wikipedia.org/wiki/Selat_Buton. 21
Tony Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang
Lanskap Budaya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 58, Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan,
hal. 35.
23
kesultanan, arsip-arsip kesultanan, dan lain-lain.22
Dalam penulisan ini, penulis
lebih memilih menggunakan nama Kesultanan Buton daripada Wolio. Oleh
karenanya, yang akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah Buton
sebagai nama kesultanan.
B. Berdirinya Kerajaan Buton
Secara umum sumber-sumber sejarah Buton menjelaskan, bahwa cikal-
bakal berdirinya Kerajaan Buton dirintis oleh empat kelompok imigran yang
diduga berasal dari negeri Johor.23
Mereka diperkirakan datang ke Buton pada
akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14. Keempat kelompok ini dalam tradisi
masyarakat Buton dikenal dengan istilah Mia Patamiana (Mia = orang,
Patamiana = yang empat orang). Mereka terdiri dari Sipanjonga, Sijawangkati,
Simalui, dan Sitamanajo.
Kedatangan rombongan ini tidaklah bersamaan dan mendarat di tempat
yang berbeda-beda. Rombongan ini datang dalam dua jurusan, yang terdiri dari
dua kelompok. Menurut Susanto Zuhdi, kedatangan rombongan ini melalui jalur
yang umumnya digunakan oleh para pedagang Nusantara. Yang pertama
kelompok dari Sipanjonga mendarat di Kalampa dengan temanya Simalui.
Mereka masuk ke Buton melalui perairan Flores, ke perairan Buton Selatan
bagian Barat. dan yang kedua Sitamanajo dengan Sijawangkati mendarat di
Walalogusi (sekarang daerah Kapontori). Mereka masuk melaui perairan Buton
Utara bagian Barat kemudian menyusuri Selat Buton, masuk di daerah Buton
22
Yunus, Posisi tasawuf, hal. 15. 23
Truman Simanjuntak dkk (ed), Archaeology: Indonesian Perspective R.P. Soejono's
Festschrift, (Jakarta: LIPI Press, 2006), hal. 511
24
Tengah bagian Barat dan akhirnya memilih tempat pendaratanya di Welagusi.24
Pada waktu mendarat, Sipanjonga mengibarkan bendera pelambang kebesaranya.
Dimana bendera itu dikibarkan dikenal kemudian dengan “Sula”.25
Menurut La Ode Haziroen, kedua rombongan ini meninggalkan daerah
asalnya Johor karenah masalah-masalah politik dalam negeri di kerajaanya.
Mereka berangkat secara terpisah, bersama para pengikutnya masing-masing yang
akhirnya bertemu dalam pengembaraan, lalu mereka menetap bersama-sama di
Kalampa.26
Di tempat itulah mereka membangun tempat kediaman yang akhirnya
lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar dan ramai.
Perkampungan mereka awalnya berada di tepi pantai sekitar kota Baubau,
kemudian ditinggalkan oleh penghuninya ke tempat yang lebih tinggi dan aman,
yakni sekitar 5 km ke arah barat. Perpindahan ini dilakukan untuk menghindari
serangan bajak laut yang pada saat itu seringkali menyerang daerah-daerah pantai
di kawasan perairan Sulawesi, khususnya Sulawesi Tenggara. Kawasan yang baru
itu kemudian diberi nama Welia (Wolio). Diberi nama demikian, karenah pada
saat mereka bermukim disitu, didapatinya tempat tersebut yang masih dipenuhi
hutan belukar, maka untuk dapat membangun tempat kediaman ditebasnya
belukar-belukar itu.27
Kegiatan menebas ini dinamakan welia. Oleh karenanya,
perkampungan tersebut kemudian dinamakan Wolio.28
24
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 12. 25
Bendera Sipanjonga inilah yang kemudian menjadi lambang kebesaran raja-raja Buton.
Oleh Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin, bendera ini dinamai “Tombi Pagi”. Selengkapnya,
lihat: Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 26. 26
La Ode Haziroen, dalam Zuhdi, Kerajaan Tradisional, hal. 12. 27
Diriwayatkan bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-temanya menebas hutan
belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau, terlebih di atas sebuah bukit yang bernama
“Rahantulu” yang kemudian mashur dengan “Lelemangura”. Salah seorang teman dari Sipanjonga
yang bernama Sijawangkati mendapat enau. Dengan diam-diam ia menyadap enau itu. Ketika
yang empunya enau bernama “Dungkucangia” yang kemudian dikenal dengan raja Tobe-Tobe
datang menyadap enaunya. Didapatinya enaunya sudah disadap orang. Setelah berulang kali ia
25
Perkampungan ini awalnya hanya terdiri dari dua kampung yaitu Gundu-
gundu yang dikepalai Sijawangkati dan Barangkatopa yang dikepalai oleh
Sitamanajo. Seiring bertambahnya penduduk, pada masa kemudian wilayah ini
berkembang menjadi empat perkampungan dengan dua kampung tambahan, yakni
Baluwu dikepalai oleh Sangariarana dan Peropa dikepalai oleh Betoambari.29
Dalam istilah setempat keempat kampung ini kemudian dikenal dengan istilah
patalimbona (empat kampung) dan setiap kampung dipimpin oleh seorang menteri
atau bonto.30
Seiring berjalanya waktu, keempat kampung tersebut kemudian semakin
berkembang menjadi sembilan kampung, dengan tambahan lima kampung baru,
yaitu Kampung Sambali, Melai, Gama, Wandailolo dan Rakia. Sembilan
kampung tersebut kemudian dikenal dengan istilah siolimbona.31
Selain beberapa kampung di atas, pada waktu itu di Pulau Buton juga telah
berdiri beberapa kerajaan kecil, yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Tondanga,
dan Batauga. Berkat jasa-jasa Dewan Patalimbona, kerajaan-kerajaan kecil dan
dapati enaunya telah disadap orang yang tidak diketahuinya, timbullah marahnya. Dipotonglah
sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan kayu yang besar itu, timbul dalam pemikiranya
betapa besar dan kuat orang yang memotong kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut dalam
diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotonglah rotan yang panjangnya satu
jengkal yang cukup besar, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karenah kekuatan simpulan
pada rotan itu hampir tidak kelihatan, kemudian diletakanya di atas bekas sadapan itu, keesokan
harinya, datang lagi Dungkungcangia menyadap enaunya, dilihatnya simpulan rotan yang
menakjubkan itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin
bukan manusia biasa. Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka
terjadilah perkelahian yang sengit yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah.
Pada akhirnya karena keduanya sudah kepayahan, maka mereka sepakat untuk berdamai.
Bermufakatlah keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka di
kemudian akan hidup di dalam alam persatuan dan kesatuan. Dengan adanya perdamaian
Sijawangkati dengan Dungkungcangia itu maka negeri Tobe-Tobe masuk dan bersatu dengan
Wolio. 28
Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 27. 29
Betoambari merupakan anak dari hasil perkawinan Sipanjonga dengan Sibaana
(saudara Simalui). Sementara Sangariarana merupakan anak dari hasil perkawinan Betoambari
dengan Wa Guntu (putri Raja Kamaru) 30
La Ode Rabani, Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara: Perubahan dan
Kelangsunganya, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hal. 51-52, Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 28-29. 31
La Ode Zaenu, Buton Dalam Sejarah Kebudayaan, (Surabaya: Suradipa, 1984), hal. 24.
26
sembilan kampung tersebut kemudian diintegrasikan dan disatukan dalam tatanan
sosial politik yang baru, yaitu Kerajaan Buton. Berdasarkan hasil musyawarah
dari menteri Betoambari dan menteri lainya, maka diangkatlah seorang kepala
dari negeri Wolio (Buton) untuk pertama kalinya yang bernama Raja Wa Kaa
Kaa.32
Mengenai asal-usul Wakaa-kaa33
dalam tradisi lisan menyebutkan, bahwa
putri Wa Kaa Kaa berasal dari Cina. Adapun mengenai motif kedatanganya di
Buton belum diketahui secara jelas. La Ode Manarfa berpendapat, bahwa dia
adalah putri Kubilai Khan, yang konon dikirim ke Persia untuk menjadi raja
menyusul jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu Khan pada tahun 1258. Dalam
perjalanan ke Baghdad putri Wa Kaa Kaa bersama rombongannya singgah di
Jawa. Karena Kerajaan Singosari waktu itu sedang kurang aman, maka Wa Kaa
Kaa di bawa ke Buton oleh Panglima Kao-Cing, yang memimpin perjalanan. Di
Buton, putri ini disambut hangat masyarakat setempat. Bahkan dia dijadikan raja
(ratu) oleh masyarakat tanah Semenanjung yang telah lebih dulu bermukim di
32
Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 33. 33
Dalam mitologi masyarakat Buton, Wa Kaa Kaa diyakini berasal dari dalam bulu
gading (bambu kuning) atau dikenal dengan “mobetena yi tombula” artinya yang muncul dari
bambu. Ceritanya demikian: suatu hari seorang pemburu rusa yang bernama “Sangia Langkuru”.
Pada suatu hari Sangia Langkuru pergi berburu rusa disertai oleh seekor anjingnya. Ketika Sangia
Langkuru berada di kali Bau-Bau yaitu di sekitar keraton sekarang maka ia jauh ketinggalan,
ditinggalkan oleh anjingnya. Anjing tersebut sudah berada di atas bukit Lelemangura dan sedang
menggong-gong seakan-akan sedang menyerang musuhnya. Karenah itu Sangia Langkuru berlari
mendapatkan anjingnya dan sampai di Bukit Lelemangura. Tetapi alangkah kecewanya Sangia
Langkuru karena bukanlah rusa yang sedang di serang oleh anjingnya, tetapi serumpun buluh
gading yang tumbuh di atas sebuah batu. Sedang ia tercengang menyaksikan yang demikian itu.
Maka iapun segera meninggalkan tempat itu dan mencari seorang ahli nujum untuk menerangkan
kepadanya peristiwa. Oleh ahli nujum diterangkan bahwa dalam buluh gading tersebut ada seorang
manusia. Kabar kejadian itu tersiarlah di kalangan penduduk diantaranya sampai ke telinga kepala
suku yaitu Betoambari menteri Peropa I dan anaknya serta anaknya Sangariana menteri Baluwu I.
rakyatnya pun banyak berdatangan di tempat itu menyaksikan kejadian yang aneh itu setelah
beberapa pemuka masyarakat dan kepala suku bermusyawarah maka diputuskanlah bahwa buluh
gadingitu akan di potong dan dibawah ke sebuah batu di muka halaman Masjid Keraton sekarang
untuk di belah supaya manusia yang di dalam bambu itu bisa dikeluarkan. Selengkapnya, lihat:
Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 33-34. Lihat pulah: La Ode Syukur, Hikayat Negeri Buton (Sastra
Sejarah), (Kendari: FKIP Unhalu, 2009), hal. 19-20.
27
pulau tersebut. Buton pada masa itu dikatakan telah berada di bawah kekuasaan
Majapahit. Putri Wa Kaa Kaa kemudian kawin dengan Sibatara, salah seorang
pangeran dari Majapahit yang sedang berada di Buton. Dari perkawinan ini lahir
seorang34
putri jelita yang diberi nama Bulawambona yang berarti bulan purnama.
Tak lama setelah melahirkan, Wa kaa Kaa kemudian meneruskan perjalanan ke
Baghdad. Namun, sebelum menuju Bagdad, ia terlebih dahulu singgah di Jawa
bersama suaminya Sibarata. Setelah kepergian Wa Kaa Kaa, tahta kepemimpinan
kemudian diserahkan kepada Bulawambona. Bulawambona inilah yang menjadi
leluhur para raja dan sultan Buton hingga sekarang.35
Setelah Bulawambona, raja
selanjutnya yang memerintah di Kerajaan Buton berturut-turut adalah Bataraguru,
Tuarade (Tuan Raden), Mulae, dan Lakilaponto yang merupakan raja terakhir
Kerajaan Buton, sekaligus Sultan Buton pertama.
Beranjak dari penjelasan di atas mengenai asal-usul berdirinya Kerajaan
Buton, penulis berkesimpulan bahwa Kerajaan Buton dibentuk oleh beberapa
kelompok besar. Pertama, kelompok Mia Patamiana yang berasal dari Melayu.
Kedua, kelompok asli masyarakat Buton, seperti kerajaan Tobe-Tobe, Kamaru,
Ambuau, dan lain-lain. Ketiga, kelompok yang berasal dari Cina (Wa Kaa Kaa),
dan keempat adalah kelompok yang berasal dari Jawa (Sibarata). Akan tetapi,
kelompok Mia Patamiana sebagai kelompok imigran asal Melayu mempunyai
34
Dalam naskah Silsilah Bangsawan Buton maupun Hikayat Negeri Buton, Wa Kaa Kaa
dan Sibarata mempunyai tujuh (7) orang anak, yang enam orang diantaranya kemudian pergi
meninggalkan tanah Buton bersama ayah dan ibunya menuju tanah Jawa. Mekipun demikian,
dalam naskah tersebut tidak disebutkan nama-nama keenam orang tersebut kecuali hanya
Bulawambona. Selengkapnya: La Niampe dan La Ode Syukur, Silsilah Bangsawan Buton
(Pengantar dan Suntingan Teks), (Kendari: FKIP Unhalu, 2009), hal. 81, lihat pulah: La Ode
Syukur, Hikayat Negeri Buton, hal. 36-37. 35
La Ode Manarfa, “Raja Buton Keturunan Cina.” Artikel diakses pada 23 September
2015 dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/10/01/0029.html
28
kontribusi besar dalam menyatukan beberapa kelompok masyarakat tersebut ke
dalam satu tatanan sosial-politik baru, yaitu Kerajaan Buton.
C. Transformasi Kerajaan Buton Menjadi Kesultanan
Perkiraan jalur Islamisasi di Indonesia yang mengatakan mula-mula dari
Sumatera, kemudian ke Jawa, seterusnya ke Kalimantan, Sulawesi dan Maluku
perlu penelitian yang lebih cermat. Nampaknya rute penyebaran Islam ke
Indonesia bagian Timur cukup unik, terlebih mengenai masuknya Islam di
Sulawesi ataupun Buton secara khusus. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa
Ternate lebih dahulu menerima Islam (abad ke-15 M)36
, kemudian Buton
(pertengahan abad ke-16) dan Sulawesi Selatan (awal abad ke-17 M)37
.
36
Diperkirakan Islam masuk di Ternate disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari
Arab, Persia, Gujarat, Melayu dan Jawa. Dalam catatan Tome Pires (1511) maupun Galvao (1540
– 1545) menjelaskan, bahwa masyarakat Ternate telah menerima Islam sejak tahun 1460 – 1463.
Sementara dalam sumber sejarah lisan setempat (oral history) menjelaskan, bahwa Islam telah
masuk di Maluku Utara pada abad ke-13 M, yang disebarkan oleh ulama-ulama yang berasal dari
Iraq yang datang ke daerah tersebut pada pertengahan abad ke-13 M. Ulama-ulama tersebut, yaitu;
Syaikh Mansur, Syaikh Ya’qub, Syaikh Amin, dan Syaikh Umar. Sementara dalam catatan
Kesultanan Ternate, Islam dikatakan masuk pada pertengahan Abad ke-13, tepatnya tahun 6
Muharram 643 H (5 Juni 1245 M) yang disebarkan oleh seorang keturunan Nabi Muhammad,
yang bernama Ja’far Shadik, yang kemudian menikah dengan putri raja (kolano) setempat bernama
Nur Sifa. Anak-anak mereka yang beragama Islam, kemudian menjadi pemimpin kolano-kolano
setempat. Kelompok-kelompok pemerintahan masyarakat tradisional yang semula terdiri dari
empat kolano dalam konfederasi Moloku Kie Raha (persekutuan empat kerajaan), yaitu Ternate,
Tidore, Bacan dan Jailolo kemudian beralih menjadi kesultanan. Ternate menjadi kerajaan pertama
yang menggunakan gelar sultan, dengan sultan pertamanya adalah Zainal Abidin (1486 – 1500).
Selengkapnya, lihat: R.Z. Leirissa dan Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku,
(Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1999), hal.14, Marwati Djoenoed dan Nugroho
Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia III: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 75, M. Saleh Putuhena,
Historiografi haji Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hal. 24-25, hal. 99-101. 37
Penerimaan agama Islam di Sulawesi Selatan mula-mula oleh Kerajaan Luwu pada
tahun 1603 M, kemudian disusul oleh Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1605 M. Islamisasi ini
dilakukan oleh tiga ulama besar yang berasal dari Minangkabau (Sumatera Barat), yang dalam
masyarakat setempat dikenal dengan Dato’Tallu (Makassar), atau Dato’Tellu (Bugis). Ketiga
ulama itu adalah; Dato’ri Bandang (namanya adalah Abdul Makmur dan panggilanya Khatib
Tunggal), Dato’ri Pattimang (Khatib Sulaiman alias Khatib Sulung), dan Dato’ri Tiro (Abdul
Jawab alias Khatib Bungsu). Baik sumber lokal maupun sumber luar menjelaskan, bahwa motif
kedatangan tiga ulama ini adalah untuk mengimbangi misionaris katolik, dimana para Missionaris
Kristen telah berusaha meluaskan pengaruhnya ke dalam istana Kerajaan Gowa. Selengkapnya,
lihat: Uka Tjandra Sasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 27-28,
29
Sejauh menyangkut penerimaan Islam di Buton, semua sejarawan sepakat
bahwa peristiwa penerimaan Islam ini terjadi pada masa pemerintahan raja Buton
keenam sekaligus sultan Buton pertama, yaitu La Kilaponto atau Murhum. Akan
tetapi jika menyangkut kapan pertama kali Islam datang di Buton atau masyarakat
Buton bersentuhan dengan Islam nampaknya masih menjadi perdebatan di
kalangan Sejarawan.38
A.M Zahari memperkirakan Islam telah masuk ke Buton bahkan
masyarakat Buton telah melakukan konversi ke dalam Islam jauh sebelum raja
Buton keenam La Kilaponto memeluk dan mendeklarasikan Islam sebagai agama
resmi kerajaan. Namun menurutnya, Islam yang dianut oleh masyarakat sebelum
La Kilaponto masih secara sporadis, dimana pengaruh Hindu masih kuat dalam
masyarakat. Baru setelah konversinya La Kilaponto kedalam Islam sekaligus
diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan, Islam kemudian dianut secara
mayoritas oleh masyarakat Buton.39
Diperkirakan Islam masuk di Buton pada abad ke-15, tepatnya pada masa
pemerintahan raja Buton kelima Mulae. Pada saat itu raja Mulae mengundang
seorang ulama bernama Sayyid Jamaluddin al-Kubra untuk datang di Buton. Di
Buton, ulama tersebut kemudian mengajak raja Mulae untuk memeluk Islam. Raja
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII, hal. 89-91. Andi
Rasdiyanah Amir (ed), Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi Indonesia, Makassar: IAIN
Alauddin, 1982, hal. 29-30. 38
Hal ini tentunya sudah menjadi permasalahan umum dalam menjelaskan kedatangan
Islam di Nusantara. Tiga permasalahan yang umumnya menjadi perdebatan mengenai kedatangan
Islam di Nusantara menurut Azyumardi Azra, yaitu mengenai tempat asal kedatangan, para
pembawanya dan waktu kedatanganya. Menurut Azra kebanyakan sejarawan hanya mampu
menjelaskan satu diantara tiga permasalahan tersebut. Selengkapnya, lihat: Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VVII & XVIII, (Jakarta: Kencana,
cet. III, 2007), hal. 2 39
Abdul Mulku Zahari, Islam di Buton, Sejarah dan Perkembangannya, 1982, hal. 45.
Lihat pulah: Muhammad Abdullah, “Manuskrip Keagamaan dan Islamisasi di Buton Abad 14-19”,
Sari 25 (2007) 107-117, hal. 109, Daniel Johnson, “Butonese Culture and the Gospel (a Case
Study),” Melanesian Journal of Theology 19 – 2 (2003), hal. 101.
30
yang kemudian tertarik dengan ajaran Islam dengan suka rela menyatakan
keislamanya.40
Meskipun demikian, pada saat itu Islam belum diterima secara
mayoritas oleh pejabat kerajaan maupun masyarakat Buton secara umum.
Mengenai informasi tersebut dijelaskan dalam manuskrip Wan
Muhammad Sagir yang memberitakan bahwa pada tahun 1412 M seorang ulama
Patani berada di Buton menyebarkan agama Islam di bagian timur pulau ini.
Hanya saja, waktu itu Islam belum diterima di Kerajaan Buton sebagai agama
kerajaan. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dakwah Islam dilanjutkan oleh
Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari
Johor.41
Beliau kemudian berhasil mengislamkan Raja Buton yang keenam La
Kilaponto sekitar tahun 948 H/ 1540 M.42
Mengenai kedatangan Syekh abdul Wahid di Buton diriwayatkan sebagai
berikut;
“Sekembali dari Ternate melalui Adonara menuju Johor, Syaikh Abdul
Wahid berpapasan dengan gurunya Imam Pasai bernama Ahmad bin Qois
al-Aydrus di Perairan Flores (dekat Pulau Batuatas). Sang guru
menugaskan muridnya untuk tidak segera kembali ke Johor malainkan
terlabih dahulu menuju ke utara, ke Negeri Buton. Berbeloklah perahu
yang ditumpangi Syekh Abdul Wahid ke utara dan berlabuh di Burangasi,
di Rampea bagian selatan Pulau Buton. Kehadiranya menimbulkan
kecurigaan penduduk sekitar pantai yang selalu bersiaga menghadapi
40
Bambang Budi Utomo dkk, Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam, (Jakarta: Kharisma
Ilmu, 2012), hal. 183. 41
Melalui asal-usul beliau ada yang mengatakan dari Johor dan adapula yang mengatakan
dari Pattani. Pendapat dari Pattani dikatakan oleh Ahmadi. Selengkapnya, lihat: Abd. Rahman al-
Ahmadi, “Sejarah Hubungan Kelantan/Patani dengan Sulawesi Selatan”, hal. 70, dalam Yunus,
Posisi tasawuf, hal. 19. 42
Menurut La Ode Mizan, masuk Islamnya La Kilaponto setelah mendengar kabar bahwa
kerajaan-kerajaan di Jawa, Solor, dan Bone juga telah menerima Islam. Namun berdasarkan data
sejarah yang yang terdapat dalam berbagai literatur menunjukkan, bahwa Kerajaan Buton lebih
awal menerima Islam daripada Kerajaan Bone, sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya.
Dengan demikian, pernyataan bahwa masuk Islamnya La Kilaponto karena mendengar dari
kerajaan tetangganya Bone tentu tidaklah tepat. Selengkapnya tentang pendapat La Ode Mizan: La
Ode Mizan, “Kort Overzicht van de Geschiedenis der Islam op Boeton en Moena,” dalam Yunus,
Posisi Tasawuf, hal. 19.
31
segala kemungkinan datangnya pasukan La Bolontio pemimpin bajak laut
dari Tobelo. Oleh karenanya, untuk sementara waktu mereka tidak
diperbolehkan mendarat”.43
Sementara dalam tradisi lokal yang dihimpun oleh Abu Bakar, peristiwa
itu dikisahkan demikian:
“ketika fajar menyingsing dan manakala matahari akan tenggelam,
seseorang diantara mereka meraung-raung di atas perahunya, lalu
berbanjarlah orang-orang, sedang di muka berdiri seorang kemudian
membungkuk, menundukkan kepalanya di atas papan geladak perahu dan
diakhiri dengan menengok ke kanan dan ke kiri lalu bersalam-salaman.
Melihat perilaku yang dianggap aneh itu, penduduk setempat kemudian
melaporkan kepada raja. Mendengar laporan mengenai peristiwa itu Raja
Buton justru memerintahkan agar mereka dibawah ke istana. Raja secara
langsung menyatakan keinginanya untuk mengikuti ajaran dari pendatang
itu”.44
Demikianlah sekilas mengenai proses Islamisasi di Buton. Meskipun data
konkrit mengenai penerimaan Islam di Buton terjadi pada masa Sultan Murhum,
namun pernyataan bahwa masyarakat Buton telah lebih awal mengenal Islam
bahkan telah melakukan konversi ke dalam Islam jauh sebelum diterimanya Islam
sebagai agama kerajaan bisa dikatakan cukup rasional. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muhammad Alifuddin maupun Miftah Arifin, bahwa faktor
budaya maritim masyarakat Buton serta letak geografis Kerajaan Buton yang
berada ditengah-tengah lalu lintas pelayaran dan pernigaan Nusantara
memungkinkanya untuk melakukan interaksi dengan para pedagang Muslim.45
Dengan konversinya La Kilaponto ke dalam agama Islam dan diterimanya
Islam sebagai agama resmi kerajaan telah menandai beralihnya sistem
43
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 100. 44
Pendapat La Ode Abu bakar, dalam Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 101. 45
Alifuddin, Islam Buton, hal. 90. Lihat pulah: Miftah Arifin, Wujudiyah di Nusantara
Kontinuitas dan Perubahan, (Yogyakarta: STAIN Jember Press, 2015), hal. 280-281.
32
pemerintahan Buton dari Kerajaan menjadi Kesultanan. Meskipun demikian,
menurut Abd Rahim Yunus penerimaan Islam di Buton pada masa Raja La
Kilaponto masih pada tahap terbentuknya suatu komunitas pemeluk yang bertolak
dari pengakuan iman dan menyadari ada “batas” antara dunia kini yang haqq dan
dunia lama yang batil. Pengaruh Islam yang lebih jauh terjadi nanti setelah
kesultanan ini memasuki abad ke-17, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan
Sultan Dayyanu Ihsanuddin atau La Elangi (1597-1631). Ia merupakan peletak
Undang-Undang Kerajaan, yang disebut dengan “Martabat Tujuh”. Disebut
demikian karena berisi ajaran “Martabat Tujuh”, suatu ajaran yang dikenal dalam
dunia tasawuf.46
Beranjak dari pemaparan di atas tentang proses Islamisasi di Kesultanan
Buton, penulis berkesimpulan bahwa proses Islamisasi di Kesultanan Buton
melalui tiga tahapan, yaitu; pertama adalah tahap kedatangan Islam yang
diperkirakan awal abad ke-15 atau masa pemerintahan raja Mulae. Tahapan kedua
adalah tahap penerimaan Islam, yang terjadi pada masa pemerintahan La
Kilaponto atau Murhum, dan tahap ketiga adalah tahap implementasi ajaran Islam
dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton yang terjadi pada masa Sultan
Dayanu Iksanuddin.
D. Wilayah Kekuasaan dan Struktur Pemerintahan Kesultanan Buton
Membahas kaitan antara keadaan geografi dengan wilayah kekuasaan
suatu kerajaan di Indonesia, pada masa lampau dengan sumber lokal tidaklah
mudah. Sumber lokal tidak menerangkan batas-batas kekuasaan secara jelas.
46
Yunus, Posisi Tasawuf, hal. 20.
33
Susanto Zuhdi dalam menjelaskan wilayah kekuasaan Kesultanan Buton
berlandaskan sumber lokal, yaitu Ajonga dan Kanturuna. Dalam sumber tersebut
wilayah kekuasaan Kesultanan Buton dihubungkan dengan penduduk.47
Menurut
Zuhdi, membahas wilayah kekuasaan kerajaan maritim seperti Buton tidak
berguna tanpa penduduk yang mendiaminya.
Zuhdi menguraikan tahap-tahap perkembangan wilayah kekuasaan
Kesultanan Buton melalui proses bertambahnya/perkembangan rakyat (papara).
Pertambahan penduduk di mulai dengan kedatangan kelompok Pertama, yakni
papara yang dibawa oleh La Kilaponto kemudian ditetapkan oleh sara (undang-
undang kerajaan). Rakyat yang dibawa La Kilaponto ini disebut rakyat pertama
Kesultanan Buton. Rakyat ini secara umum dibawa oleh La Kilaponto dari
Bombawanulu dan Lakudo dua daerah di Muna bagian selatan.
Tahap perkembangan kedua adalah rakyat pusaka yang disebut talubirana,
yaitu golongan ketiga dalam masyarakat Buton. Mereka berasal dari daerah yang
ditaklukkan atau budak belian atau penduduk di sebuah negeri yang terhukum.
Dalam perkembangan terakhir, pertambahan penduduk berasal dari siolipuna
sebagai kategori ketiga. Siolipuna harfiah “kampung yang sembilan”, yang secara
sukarela bergabung dengan Kesultanan Wolio. Kesembilan kampung itu adalah
Peropa, Baluwu, Tobe-Tobe, Gundu-Gundu, Kadatua, Rakia, Gama, Wandailolo
47
Penduduk yang dimaksud Zuhdi adalah golongan papara, kaomu, walaka, dan batua
(budak). Papara merupakan orang yang mendiami komunitas yang disebut kadie, suatu wilayah
hukum yang kecil dalam tata negara tradisional. Papara merupakan “orang jauh” atau “orang yang
tidak diketahui asal-usulnya”. Kaomu dan walaka mempunyai nenek moyang yang sama, yakni
“yang empat orang” (Mia Patamiana) yang dianggap pendiri Kerajaan Buton yang dalam tradisi
lokal mereka dikatakan datang dari Johor. Lapis keempat adalah batua atau budak. Mulanya batua
berasal dari golongan papara juga karena tidak mampu membayar utang atau melanggar adat,
maka mereka ditetapkan sebagai budak. Kantinale adalah budak yang asalnya dari orang merdeka
kemudian ditempatkan di suatu kampung tertentu. Adapun paraka adalah orang yang dirampas
dari tangan musuh. Selengkapnya, lihat: Tony Rudyansjah, “Kaomu, Walaka dan Papara: Satu
kajian mengenai Struktur Sosial dan Ideologi Kekuasaaan di Kesultanan Wolio,” dalam Berita
Antropologi 52 (1997), hal. 42.
34
dan Barangkatopa. Perluasan wilayah bertambah lagi dengan masuknya empat
kampung, yaitu Lapandewa, Wabula, Mawasangka dan Watumotobe. Kemudian
masuk lagi empat kerajaan vassal ke dalam wilayah kekuasaan Buton, yang terdiri
dari Muna bagian selatan, yaitu Lakudo dan Mawasangka. Kemudian Kaledupa
yang merupakan gugus kepulauan Tukang Besi dan Kalesusu terletak di bagian
utara Pulau Buton. Demikianlah menurut Zuhdi kerajaan tradisional seperti
Buton, konsep tentang wilayah dapat dipahami tidak dalam arti ruang, tetapi yang
terpenting adalah rakyat atau dalam hal ini papara.48
Luas wilayah kekuasaan Kesultanan Buton dapat diketahui melalui catatan
Ligtvoet, Sekretaris Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda di Makassar. Ketika
berkunjung di Buton pada tahun 1873, ia mencatat bahwa wilayah kekuasaan
Kesultanan Buton meliputi gugusan kepulauan di kawasan bagian tenggara
Jazirah Sulawesi Tenggara, yang terdiri atas:
a. Pulau Buton, yaitu sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Jazirah
Sulawesi Tenggara yang dibatasi oleh Selat Buton;
b. Pulau Muna atau Woena, yang disebut dalam dokumen Belanda dengan
Pancano, yaitu sebuah pulau yang terletak di antara Pulau Buton dan
Jazirah Sulawesi Tenggara;
c. Pulau Kabaena, sebuah pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Muna
atau di sebelah selatan Jazirah Sulawesi Tenggara;
d. Sejumlah pulau-pulau kecil di dekat Pulau Buton dan Muna. Pulau-pulau
ini adalah Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil yang
terletak di Selat Tiworo; Pulau Makassar atau Liwotu yang terletak di
48
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal.79-81.
35
Selat Buton; Pulau Kadatua, Masiring dan Siompu yang terletak di sebelah
barat-daya Pulau Buton; Pulau Talaga Besar dan Talaga Kecil yang
terletak di sebelah selatan Pulau Buton;
e. Sejumlah pulau yang berjejer di sebelah tenggara Pulau Buton yang
dikenal dengan Kepulauan Tukang Besi yang terdiri atas Pulau Wangi-
Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko;
f. Poleang dan Rumbia yang terletak di daratan Jazirah Sulawesi bagian
Tenggara, berhadapan dengan Pulau Kabaena;
g. Pulau Wawoni yang terletak di sebelah utara Pulau Buton;
h. Selain itu masih terdapat sejumlah gugusan pulau-pulau kecil yang terletak
di sela-sela pulau-pulau tersebut di atas yang kurang populer namanya dan
tidak tampak di peta yang merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan
Buton.49
Dengan wilayah kekuasaan seperti tersebut di atas maka dapat ditentukan
bahwa batas-batas Kerajaan/Kesultanan Buton adalah:
- Di Utara berbatasan dengan Kerajaan Luwu, Laiwui dan Pulau Wawoni
yang merupakan daerah pengaruh Kerajaan Ternate;
- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda/Selat Maluku;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores;
- Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Bone.
Dengan demikian, wilayah Kesultanan Buton tersebut terletak pada
121,400 Bujur Timur dan 124,50
0 Bujur Timur serta 4,2
0 Lintang Selatan dan 6,20
0
Lintang Selatan.50
49
Albertus Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, BKI, 1878, hal. 1-5. 50
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 6.
36
Dengan bertambah luasnya wilayah kekuasaan Kesultanan Buton yang
mencakup hampir seluruh pulau-pulau di selatan Sulawesi Tenggara, maka
wilayah pemerintahan kerajaan tersebut dapat dibedakan atas:
a) Wilayah inti. Wilayah inti atau biasa disebut sebagai “Sarana Walio”, di
wilayah ini didiami oleh Sultan, Badan Sarana Wolio, semua staf khusus
pemerintahan. Wilayah Inti terbagi atas dua jenis, yaitu wilayah Bonto dan
wilayah bobato. Wilayah Bonto yaitu wilayah-wilayah yang diperintah
oleh kaum Walaka yang berjumlah tiga puluh negeri yang disebut kadie.
Ketiga puluh Kadie ini berasal dari pengembangan wilayah Bonto yang
empat (Mia Patamiana) pada awal kemunculan Kerajaan Buton. Para
Bonto (tiga puluh orang) mempunyai tugas-tugas khusus di pusat kerajaan.
Sedang wilayah bobato adalah pengembangan dari Sembilan kampung
yang menjadi 40 kadie masing-masing dikepalai seorang lakina (penguasa
kadie). Lakina (Bobato) mempunyai tugas dalam mempertahankan dan
menjaga keamanan kerajaan baik dari dalam maupun dari luar. Kadie-
kadie tersebut akhirnya berjumlah 72 kadie. Mereka ini adalah dari
turunan Kaomu (bangsawan). Masing-masing kadie disamping kepalanya
(Bonto/Lakina) mempunyai dewan pemerintahan sendiri yang disebut
Sarana Kadie. Secara keseluruhan jenis jabatan Sarana Kadie itu adalah
Bonto, Pangalasa, Kaosa, Tunggu, Parabela, Anakamia, Wati. Daerah
dari wilayah inti yang tujuh puluh kadi ini meliputi Pulau Buton kecuali
Kalisusu dan Pulau Muna bagian selatan.
b) Wilayah Moronene terdiri dari Pulau Kabaena, Poleang, dan Rumbia, dan
merupakan penopang ekonomi utama bagi kerajaan Buton. Ketiga daerah
37
ini merupakan daerah yang diperintah langsung secara adat (de jure) tetapi
tidak langsung dalam pemerintahan. Kepala daerah di Kabaena di sebut
Sapati, sedang di Poleang, dan Rumbia disebut Mokole. Kedua wilayah ini
berada di bawah pimpinan Bontona Wandailalo dan Bontona Somba
marusu.
c) Wilayah Barata berarti cadik (perahu), yaitu daerah yang dianggap dan
diharapkan dapat menjaga keamanan dan kestabilan kerajaan dari
kekuasaan asing atau serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Adapun
wilayah Barata tersebut adalah Barata Muna, pusatnya di Raha, Barata
Tiworo pusatnya di Pulau Tiworo, Barata Kulingsusu pusatnya di pesisir
timur bagian utara pulau Buton, dan Barata Kaledupa pusatnya di pulau
Kaledupa. Semua daerah ini merupakan wilayah otonom karenan
mempunyai struktur pemerintahan sendiri, yang mirip dengan sistem
pemerintahan pusat. Masing-masing wilayah di pimpin oleh seorang Raja.
Di bawah raja terdapat pejabat-pejabat yang strukturnya berbeda antara
satu dengan yang lainya. Sebagai pejabat tinggi mereka, selain raja, Muna
mempunyai dua kapitan laut dan dua bonto ogena (menteri besar), Tiworo
mempunyai sapati, Kalingsusu mempunyai kanepulu, Kaledupa
mempunyai dua bonto ogena.51
Berdasarkan undang-undang kerajaan yang dibuat pada masa Sultan
Muhammad ‘Aidrus (1834-1861), dipahami bahwa jabatan-jabatan yang ada
dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton adalah: sultan, sapati, kanepulu,
kapitan laut (matanayo dan sukanayo), lakina Sorawolio, 72 menteri, 31
51
B. Bhurhanuddin dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara, hal.
17-18, Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 8.
38
diantaranya bergelar bonto, 41 bergelar bobato, 9 dari 31 bonto disebut
siolimbona dan 9 dari 41 bobato disebut siolipuna, bonto ogena atau menteri
besar. Menurut Zahari, struktur pemerintahan tersebut diwarisi dari masa Sultan
Dayanu Ihsanuddin (1597-1631), kecuali jabatan lakina sorawolio, karena jabatan
ini diadakan oleh Sultan Saparagau (1645-1647). Selain itu, jumlah 31 jabatan
bonto dan 41 bobato adalah jumlah yang tidak tetap, tetapi mengalami perubahan
sesuai perkembangan wilayah yang dikuasai.52
E. Kehidupan Masyarakat Buton Masa Kesultanan
1. Asal-Usul Penduduk
Penyebutan Buton sebagai hal yang umum sebagai sebuah kelompok
sosial sebenarnya tidak tepat, karena Penduduk yang tinggal di dalam wilayah
Buton memiliki heteroginas entisitas. Berbagai suku yang berkumpul tidak lain
dari ramainya aktifitas perdagangan di Buton. Mereka terdiri dari berbagai etnis,
bahasa dan adat istiadat. Namun secara garis besar penduduk Buton ini dapat
diklasifikasikan menjadi lima kelompok besar, yaitu orang Moronene yang
mendiami Poleang dan Rumbia, orang Muna yang mendiami Pulau Muna53
,
penduduk yang mendiami Pulau Kabaena, dan Orang yang mendiami wilayah
Kepulauan Tukang Besi.
Berlandaskan pada deskripsi Sarasin, kelompok penduduk Buton dapat
dikatakan sebagai perkembangan dari Proto-Melayu (Melayu Tua) dan Deutro-
52
Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 106-132. 53
Dewasa ini, orang Muna menolak menyebut diri mereka sebagai Orang Buton. Orang
Muna yang tinggal di Pulau Muna menyebut diri mereka sebagai orang tomuna, mereka asli dari
Kabupaten Muna. Jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya, mereka ini lebih mirip rumpun orang Ambon
atau orang Nusa Tenggara atau percampuran diantara keduanya. Selengkapnya, lihat: Kimi Batoa,
Sejarah Kerajaan Daerah Muna, (Raha: Jaya Press Raha, 1991), hal. 3.
39
Melayu (Melayu Muda). Sarasin menjelaskan, bahwa hampir seluruh penduduk
bangsa Indonesia kini (kecuali Papua dan sekitarnya) merupakan perkembangan
kedua bangsa tersebut yang berasal dari Cina Selatan (sekarang Propinsi
Yunan).54
Kedatangan bangsa ini secara bergelombang, diawali bangsa Proto-
Melayu sekitar 1500 SM dan kemudian Deutro-Melayu sekitar 300 SM. Mereka
datang melalui dua rute; jalan barat dan jalan timur. Jalan barat adalah dari Yunan
kemudian berangkat ke Indocina dan Siam menuju Malaysia, kemudian ke
Sumatera dan selanjutnya menyebar ke wilayah Indonesia lain, termasuk di
Sulawesi. Sementara jalan timur adalah dari Yunan kemudian ke Formosa
(Taiwan) dan diteruskan ke Jepang kemudian Kepulauan Filipina dan kemudian
masuk ke Sulawesi dan tersebar ke seluruh Indonesia termasuk di Buton.55
Lebih rinci dijelaskan Zuhdi, bahwa penyebaran penduduk di Sulawesi
Tengah, Timur dan Tenggara dimulai dari sentral gelombang penyebaranya di
sekitar danau Metana di Sulawesi Tengah. Gelombang penyebaran tersebut boleh
jadi akibat peperangan antarsuku dan penyakit menular yang mewabah. Penduduk
yang menyebar ke arah selatan secara berangsur-angsur, dengan melalui sungai
Lasolo dan Konawe Eha di Jazirah Sulawesi Tenggara dan terus melalui
pelayaran-pelayaran lokal yang membawa suku-suku Tolaki, Moronene, Buton
dan Muna ke daerah-daerah tempat tinggal mereka sekarang ini.56
Deskripsi diatas tentunya dapat dihubungkan dengan anggapan masyarakat
Buton sendiri, bahwa asal-usul nenek moyang mereka yakni dari Bugis,
54
Bernard Hubertus Maria Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2008), hal. 10. 55
Profil Propinsi Republik Indonesia: Sulawesi Tenggara, (Jakarta: Yayasan Bhakti
Wawasan Nusantara, 1992), hal. 10 56
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 9, La Ode Sirajudin
Djarudju, “Naskah dan Sejarah Kerajaan Buton dan Muna,” dalam Yusran Darmawan, ed., Naskah
Buton Naskah Dunia, (Bau-Bau: Respect, 2009), hal. 113.
40
Makassar, maupun Toraja.57
Begitupun dengan cerita-cerita rakyat yang tentunya
didukung oleh data sejarah, yang mengisahkan asal-usul nenek moyang mereka
dari Melayu, khususnya masyarakat Wolio yang merupakan turunan dari empat
orang tokoh (Mia Patamiana). Meskipun demikian, sebelum kedatangan
kedatangan kelompok tersebut diatas telah berdiam suku-suku bangsa lainya
merupakan penduduk asli atau unsur dari Proto-Melayu. Mereka itu adalah orang
Katobengke, orang Waara di Buton, orang Labora di Muna dan orang Moronene
dan Toare di daratan Sulawesi Tenggara.
Penduduk Buton kini memiliki sebutan-sebutan yang beragam. Orang
wolio di kota Bau-Bau menyebut penduduk yang tinggal di sepanjang pantai
dekat kota Bau-bau sebagai orang Pancana58
yang awalnya berasal dari penduduk
Lakudo dan Bombonawulu di bagian selatan pulau Muna yang menjadi hamba
dari Murhum, sehingga, dalam tradisi Wolio bahwa orang pancana itu dibawah
oleh Raja Murhum dari Pulau Muna ketika ia menjadi Raja Buton. Disamping itu,
ada juga orang Bajo atau Wajo dalam istilah Wolio, yang pemukimanya tersebar,
baik diperairan sekitar Buton maupun berada di Pasar Wajo (yang sekarang
menjadi satu Kecamatan di dalam Kabupaten Buton). Di dalam masa kesultanan,
orang Bajo ini bertugas menyediakan pemasokan ikan bagi keperluan keluarga
Sultan dan pejabat tinggi kesultanan lainya. Selain itu, orang Bajo juga tersebar di
pulau-pulau lain di Buton. Mereka mendiami wilayah pantai di Pulau Kabaena,
Poleang, Muna Timur, Kepulauan Tukang Besi terutama di Kaledupa dan Tiworo.
57
Adapun penduduk Toraja menurut Vlekke berasal dari turunan Proto-Melayu.
Selengkapnya, lihat: B.H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, hal. 10. Lihat pulah:
Rudyansjah, Kekuasaan Sejarah dan Tindakan, hal. 90. 58
Pancana secara harfiah berarti “Daerah caplokan”. orang Katobengke yang juga tinggal
di sepanjang pantai dekat keraton Wolio, juga sering disebut oleh orang Wolio dengan istilah
orang Pancana.
41
Selain itu mereka juga terdapat di Pasar Wajo di bagian selatan Buton. Mengenai
keberadaan orang Bajo ini bukanlah suatu kebetulan. Mereka tampaknya
mempunyai peran tersendiri bagi Kesultanan Buton. Pada salah satu pintu
sebanyak 12 di benteng keraton Buton terdapat nama Lawana Wajo (Lawa =
pintu, na = nya), sedang wajo adalah Bajo. Jadi itu dapat berarti “pintu orang
Bajo”. Pintu yang dijaga atau bagi keperluan keluar masuknya orang Bajo ke
keraton. Dalam konteks ini dapatlah dipahami jika diaspora maupun interaksi
pelayaran orang Buton menjelajah ke bagian-bagian dari kepulauan ini.59
Kemudian ada orang Cia-Cia atau Wabula60
yang bermukim dibagian
paling selatan dari pulau Buton, diyakini oleh orang wolio berasal dari Cina, dan
secara fisik mereka memang memiliki raut muka dan kulit seperti orang Cina.
Dalam tradisi wolio mereka dihubungkan dengan Dungkung Cangia yang berasal
dari tentara armada Cina yang terdampar di Nusantara dan kemudian tinggal di
pulau Buton. Mereka mengatakan bahwa penduduk Wabula ini merupakan
keturunan dari putri Cina yang dibawa oleh panglima Dungkung Cangia dalam
rombonganya. Pada zaman dulu, orang Wabula ini ditakuti sebagai perompak
yang ulung, karena mereka memiliki benteng pertahanan yang kokoh disepanjang
perkampungan mereka di pantai timur Buton.61
Selanjutnya, di Pulau Buton ada komunitas yang juga dianggap berasal
dari Jawa. Dalam tradisi lisan Wolio, mereka dianggap sebagai pengikut patih
Gajah Mada dari Majapahit yang datang dan kemudian menetap di Pulau Buton.
Sampai sekarang kita masih dapat menemukan desa dengan nama ini di Pulau
59
Rusdiyansyah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, hal. 91. 60
Wa Bula berasal dari 2 kata, yakni Wa adalah sebutan untuk menyebut wanita dalam
bahasa Wolio dan Bula berarti Putih. 61
Rudyansjah, Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, hal. 92.
42
Buton, yakni Desa Majapahit di Kecamatan Batauga. Disamping Batauga,
pemukiman orang Majapahit dinyatakan berada juga di Kamaru, tepatnya
disebuah Gunung yang bernama Kambubuna Majapai.
Munculnya pemukiman Jawa atau majapahit sesungguhnya tidak terlalu
mengherankan, mengingat bahwa Batauga dan Kamaru di pulau Buton merupakan
dua pelabuhan penting di Buton saat itu. Broersma (1930) pernah mengemukakan
dugaan bahwa pada saat itu, jika pembesar Majapahit hendak berlayar menuju ke
Ternate, selalu menggunakan pelabuhan Batauga pada saat mau kembali ke Jawa.
Untuk keperluan jalur pelayaran ke Ternate yang bersifat cukup permanen itu
sudah pasti dibutuhkan adanya sekelompok orang Majapahit yang di tempatkan
dan tinggal di kedua pelabuhan tersebut. Salah satu yang menarik dalam kaitan ini
adalah dihikayatkanya dalam tradisi yang berkembang di wilayah Sulawesi
Selatan dan Tengah bahwa salah satu musuh di laut yang diperangi oleh
Sawerigading disifatkan sebagai Jawa Wolio.62
Lebih lanjut mengenai keanekaragaman penduduk yang ada di Buton
dapat di kemukakan lagi mengenai orang Lolibo di kecamatan GU yang pada
zaman dahulu ditakuti orang kampong dalam wilayah Kesultanan Wolio sebagai
perompak yang banyak mengganggu pemukiman penduduk setempat yang
berdiam di sepanjang pantai. Perompak lain yang ditakuti adalah orang Tobelo di
kepulauan Maluku.
Orang Laporo dan orang Kaongkeongkea adalah komunitas penduduk
yang juga ada di Pulau Buton.63
Percampuran antara suku-suku bangsa tersebut
dan suku-suku lainya yang mungkin singgah disana dalam pelayaran-pelayaran
62
Ibid., hal. 93. 63
Ibid., hal. 94.
43
mereka, telah membentuk orang-orang Buton sekarang ini dengan beraneka ciri
fisik dan antropologisnya. Orang-orang Kaledupa dan Tomia misalnya memiliki
ciri-ciri Kaukasia yang masih dominan. Mereka memiliki bentuk kepala yang
memanjang, wajah oval dengan dagu yang menggantung agak ke depan, hidung
mancung, mata bulat, rambut ikal dan tinggi badan yang lumayan. Sementara
orang Wolio terutama keluarga Keraton Wolio, lebih menampakkan ciri-ciri
Deutro-Melayu dan Mongoloid. Diantaranya kulit kuning, mata ada yang sipit ada
yang bulat, rambut kejur (lurus), tinggi sedang, bentuk wajah bulat dan bulat telur.
Disamping kedua ciri itu, orang Buton maupun penduduk Kesultanan Buton
memiliki beberapa kesamaan dengan penduduk atau orang-orang di Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah bahkan Sulawesi Selatan. Mereka adalah orang-orang
yang kreatif dan penuh fitalitas, ulet dan pemberani dengan jalinan kekerabatan
yang kuat dan akrab. Kekerabatan itu diperkuat lagi dengan komunikasi antara
penduduk yang tersebar di berbagai pulau dengan menggunakan satu lingua
franca atau bahasa pengantar, yaitu “Bahasa Wolio”. Padahal di daerah eks
Kesultanan Buton itu dewasa ini, dikenal beberapa bahasa dengan dialek-dialek
yang berbeda diantaranya, bahasa Muna (Wuna), Bahasa Wolio (Buton), Bahasa
Pancana, Bahasa Cia-Cia dan Bahasa Suai.64
2. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya
2.1. Perdagangan Sebagai Sumber Kehidupan Perekonomian
Keadaan alam di Buton pada umumnya tidak subur karena sebagian besar
wilayahnya terdiri dari batu karang. Yang dapat tumbuh di wilayah ini adalah
64
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 11.
44
jenis tanaman umbi-umbian dan jagung. Oleh karenahnya, perdagangan laut
menjadi urat nadi ekonomi Buton. Selain karena wilayahnya yang memang
kepulauan, kondisi itu juga dimungkinkan karena letak geografis Buton di tengah
lalu lintas pelayaran dan perniagaan Nusantara timur.65
Dokumen barat
menjelaskan bahwa Buton terletak di titik strategis pada rute dari Jawa dan
Makassar ke Maluku, pusat produksi rempah-rempah Indonesia, yaitu:
1) Jalur Makassar – (selat) Tiworo – Wawonii – Bungku (Tombuku) –
Banggai – Ternate, dengan kemungkinan singgah di Selayar, Sinjai,
Kabaena, Poleang/Rumbia, Tinaggea, Moramo Kendari.
2) Jalur Makassar – Bau-Bau – Lohia, Muna – Wawonii – seterusnya
Bungku, Banggai, Ternate.
3) Jalu Makassar – Bau-Bau – Wakatobi (P.P.Tukang Besi) – Buru –
Ambon – Banda.66
Bagi masyarakat Buton, pelayaran dan perniagaan tidak hanya terbatas di
Sulawesi Tenggara, tetapi juga sampai ke negeri Cina dan sebagai bukti terdapat
suatu tempat di Kepulauan Natuna yang bernama Tanjung Buton. Di tempat inilah
pera pelayar Buton yang akan berlayar ke daratan Asia singgah berpangkalan
sementara sebelum melanjutkan pelayarannya yang sampai ke Cina dengan
membawa barang dagangan berupa kopra, damar, hasil laut dan kulit, sebaliknya
barang dagangan dibawa pulang berbagai jenis dan ukuran keramik Cina, dan
barang-barang tekstil.
65
Abdul Rahman Hamid, Spirit Bahari Orang Buton, (Makassar: Rayhan Intermedia,
2010), hal. 81. 66
La Malihu, “Buton dan Tradisi Maritim,” hal. 21, Burhanuddin, dkk., Sejarah
Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1978/1979), hal. 50.
45
Pada masa itu, dalam bidang pelayaran dan perdagangan, Buton
disandingkan dengan Bugis dan Makassar. Tiga kekuatan ini biasa dikenal dengan
sebutan BBM (Bugis-Buton-Makassar). Ketiga etnis pelayar itu menjelajahi
seluruh wilayah pantai Sulawesi Tenggara dan segenap pelabuhan Nusantara
bahkan sampai ke Mancanegara. Ketiga etnik itu memiliki peran yang cukup
besar dalam pelayaran niaga di Kawasan Timur Indonesia dan membuka jaringan
kekerabatan antaretnik.
Sejak abad ke-10 sampai abad ke-13 masyarakat Buton telah mempunyai
hubungan dagang dengan Cina, Campa, dan Borneo (Kalimantan). Perdagangan
keramik pada abad ke-10 melalui perairan timur Sulawesi terus ke selatan di Selat
Tiworo menuju Sulawesi Selatan. Para pelayar niaga etnis Buton ikut ambil
bagian dalam pelayaran ke negeri Cina melalui jalur Buton, Selat Malaka, Laut
Cina Selatan dan berlabuh di Pelabuhan Kanton, Shanghai (Cina). Setelah tinggal
selama 4-6 bulan menunggu perubahan angin, selanjutnya mereka kembali
melalui jalur utara dari Cina, Kepulauan Jepang, Kepulauan Filipina, laut
Sulawesi, Kepulauan Maluku, pesisir timur Sulawesi akhirnya sampai kembali ke
Buton.67
Dalam dunia pelayaran dan perdagangan, orang Buton memegang peranan
penting sebagai pengangkut barang dapat anak buah kapal, termasuk pendayung
yang cekatan. Ada dua akibat dalam gerak orang Buton di perairan Riau dan Selat
Karimata; diukirnya nama Buton pada tempat atau daerah tertentu dan komunitas
orang Buton di pesisir pulau-pulau kecil. Adapun nama yang melekat pada suatu
67
Anwar,“Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan. No. 027, tahun ke-6 November 2000, hal. 694-710.
46
tempat seperti pada pulau Buton, pelabuhan Buton di Siak, dan pangkalan Buton
di Sukadana Kalimantan Barat.
Sejauh pengamatan singkat, nama-nama Buton hanya mengingatkan
bahwa dahulu pernah ada kegiatan orang Buton yang umumnya pembawa barang
dengan perahu. Sedangkan jenis kedua meskipun tidak disebut sebagai nama
tempat, orang Buton banyak mengambil peran sebagai nelayan, buruh atau
pekerja di tingkat bawah di pulau-pulau di perairan Riau. Sebut misalnya
masyarakat pesisir di kawal Gunung Kijang yang berpenduduk orang berasal dari
Buton.
Gejala lain yang menarik mengenai penyebaran orang-orang dari perairan
Selat Malaka dan Riau. Tome Pires mencampuradukkan pedagang Bugis yang
datang dari Makassar dengan orang Bajo yang ia katakan sebagai bajak laut.
Tampaknya ada pengaruh setelah Malaka berada di bawah Portugis terhadap
pengembaraan orang Bajo. Meskipun hidup terpencar, dan terkesan tertutup,
sesungguhnya mereka berinteraksi luas. Mereka sangat aktif dalam kegiatan
perdagangan berbagai jenis barang yang diperlukan bagi pasar-pasar antarbangsa,
baik produk-produk laut (induk mutiara, kerang laut, kulit penyu) maupun hasil
yang digali dari pantai tempat mereka tinggal atau yang mereka kunjungi, seperti
akar-akar pohon hutan pantai, madu, sarang burung.68
Dalam negeri Buton sendiri saat itu telah berkembang sebuah sistem
perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang
memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti. Dalam perkembangnya,
kemudian terjadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto
68
Christian Pelras, The Bugis: The People of Southeast Asia and the Pasific, (Oxford:
Blackwell, 1996), hal. 17.
47
Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam
urusan perpajakan, tetapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat
itu). Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang
yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm,
terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara
tradisional.69
2.2. Sosial Budaya
Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di
Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan
Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan,
dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak
dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan
naskah Buton sangat berarti untuk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi
lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah
berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum,
sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, dan lain sebagainya.70
Setelah kedatangan Islam, kehidupan sosial budaya masyarakat Buton-pun
kian berubah karenah makin menguatnya pengaruh Islam, hal ini terjadi setelah
beralihnya kerajaan Buton menjai kesultanan. Sebagaimana yang terdapat dalam
falsafah hidup masyarakat Buton, yaitu:
69
Melayu Online, “Kerajaan Buton.” Artikel diakses pada 20 September 2015 dari
http://melayuonline.com/ind/history/dig/329/kerajaan-buton 70
Periode awal tradisi tulis menulis di Kesultanan Buton dimulai pada masa pemerintahan
Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi yang dimulai dengan penyusunan Undang-Undang
Dasar Kesultanan Buton yang disebut dengan Martabat Tujuh. Selengkapnya, lihat: Sabirin,
Tarekat Sammaniyah Di Kesultanan Buton, hal. 13, Hasaruddin dan Andi Tenri Machmud,
“Peranan Sultan Dalam Pengembangan Tradisi Tulis di Kesultanan Buton.” Majalah Jumantara,
Vol. 3 No. 2 – Oktober 2012, hal. 92.
48
- Yinda Yindamo Arata Somanamo Karo (korbankan harta demi
keselamatan diri),
- Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu (korbankan diri demi
keselamatan negeri)
- Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara (korbankan negeri demi
keselamatan pemerintah)
- Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama (korbankan pemerintah demi
keselamatan Agama.
49
BAB III
PASANG-SURUT HUBUNGAN BUTON – VOC (TAHUN 1613-1751)
A. Kedatangan VOC di Buton dan Terbentuknya Persekutuan Abadi
Belanda tiba pertama kali di Kepulauan Nusantara untuk melakukan
perdagangan pada tahun 1596. Sebelum datang dan berdagang langsung di
Nusantara, Belanda aktif sebagai pedagang perantara untuk memasarkan rempah-
rempah di Eropa. Barang-barang itu didatangkan oleh Portugis ke Lisboa dari
Asia kemudian dijual pada pedagang-pedagang Belanda. Perdagangan itu
berlangsung sampai tahun 1580, yaitu ketika Portugal dan Spanyol berhasil
dipersatukan. Belanda yang sudah sejak lama bermusuhan dengan Spanyol merasa
dirugikan dengan penyatuan ini, sehingga Belanda mengambil keputusan untuk
bisa sampai ke daerah rempah-rempah Asia. orang-orang Portugis berusaha
merahasiakan rincian-rincian jalur pelayaranya, tetapi Jan Huygen van
Linschoten, seorang Belanda yang bekerja pada mereka, mengetahui rahasia itu.
Pada tahun 1595-1596, Linschoten menerbitkan bukunya yang berjudul
“Itenerarium naer Oost ofte Potugaels Indien” atau Catatan Perjalanan ke Timur
atau Hindia Portugis. Buku ini memuat peta dan deskripsi tentang penemuan-
penemuan Portugis dalam perjalananya ke Timur. Dengan bantuan buku tersebut,
orang-orang Belanda tidak hanya mengetahui kekayaan Asia yang melimpah ruah,
tetapi juga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh orang-orang Portugis disana.
Oleh karenah itu, orang-orang Belanda menyempurnakan konstruksi kapal dan
persenjataan mereka, untuk menyaingi orang-orang Portugis, Spanyol, Inggris
maupun pedagang-pedagang lain di Asia.
50
Pada tahun 1595, pedagang-pedagang Belanda yang berada dibawah
pimpinan Cornelis de Hotman berangkat menuju Kepulauan Nusantara melalui
Tanjung Harapan, Afrika Selatan dan tiba pertama kali di Pelabuhan Banten1 pada
tahun 1596. Berbeda dengan bangsa Portugis yang motif kedatanganya untuk
mendapatkan kekayaan (gold), melakukan petualangan (glory) dan menyebarkan
agama Kristen (gospel).2 Motif kedatangan pedagang Belanda ini awalnya lebih
kepada motif ekonomi, yakni melakukan perdagangan dan mendapatkan rempah-
rempah dengan harga murah.3
Pada awal kedatangannya pedagang-pedagang Belanda ini mendapatkan
sambutan positif dari penguasa dan rakyat Banten sehingga Belanda dapat
berdagang dengan baik di Banten. Keadaan menjadi berubah ketika pedagang
Belanda mulai menunjukkan keserakahan dan sifat sewenang-wenangnya,
sehingga menimbulkan kebencian rakyat Banten yang berujung pada pengusiran
mereka dari tanah Banten.4
De Houtman meninggalkan Banten dan berlayar ke timur dengan
menyusuri pantai utara Pulau Jawa, sambil melakukan banyak penghinaan dan
menyebabkan kerugian besar di setiap pelabuhan yang dikunjunginya. Di Sidayu,
dia kehilangan dua belas anak buahnya yang tewas dalam suatu serangan yang
dilakukan oleh orang-orang Jawa. Di lepas pantai Madura, orang-orang Belanda
1 Pada abad 16-17 Masehi Banten merupakan salah satu kota pusat perdagangan rempah-
rempah yang sejajar dengan wilayah bawah angin lainya seperti Pegu, Ayutthaya, Pnomphenh,
Hoi An (Foifo), Melaka, Patani, Brunei, Pasai, Aceh, Jepara, Gresik, dan Makassar. Selengkapnya,
lihat: Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan Perdagangan
Global Jilid 2 (terj.), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, cet.2, 2011), hal. 3. 2 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., Sejarah Nasional
Indonesia III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1981/1982), hal. 31. 3 John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848, (Sydney: Oughtershaw Press, 1982),
hal. 1. 4 M. Junaedi Al-Anshori, Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa
Proklamasi Kemerdekaan, (Jakarta: PT. Aksara Panaitan), hal. 66.
51
itu membunuh seorang penguasa lokal pada waktu orang tersebut mendayung
perahunya mendekati kapal Belanda untuk berbicara dengan mereka. Akhirnya
pada tahun 1597, sisa-sisa ekspedisi itu kembali ke negeri Belanda dengan
membawa cukup banyak rempah-rempah di atas kapal mereka untuk menunjukan
bahwa mereka mendapatkan keuntungan.5
Setahun kemudian (tahun 1598), 22 kapal milik lima perusahaan yang
berbeda mengadakan pelayaran, dan 14 diantaranya akhirnya kembali. Armada
yang berada di bawah pimpinan Jacob van Neck-lah yang pertama tiba di
“kepulauan rempah” Maluku pada bulan Maret 1599, dimana rombongan diterima
dengan baik; kapal-kapalnya kembali ke Belanda pada tahun 1599-1600 dengan
mengangkut cukup banyak rempah-rempah yang menghasilkan keuntungan 400
persen. Dengan diperolehnya banyak keuntungan dari sebagian besar pelayaran
pada tahun 1598 itu, maka pada tahun 1601 empat belas buah ekspedisi yang
berbeda diberangkatkan dari Belanda.
Kuatnya persaingan diantara para pedagang Belanda maupun dengan
pedagang bangsa lain, seperti Spanyol, Portugis, Inggris bahkan juga dengan
Prancis, dan terlebih pula dengan para pedagang Melayu, Bugis, India dan Cina,6
Sehingga tahun 1598 parlemen Belanda (staten generaal) mengajukan sebuah
usulan supaya perseroan-perseroan milik Belanda sebaiknya menggabungkan
kepentingan mereka ke dalam suatu kesatuan. Akhirnya, pada tanggal 20 Maret
1602, perseroan-perseroan Belanda yang saling bersaing itu bergabung
membentuk Perserikatan Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenigde Oost
5 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), hal.
50. 6 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas-
batas Pembaratan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet.II 2010), hal. 61.
52
Indische Compagnie). Kepentingan-kepentingan yang bersaing itu diwakili oleh
sistem majelis (kamer) untuk masing-masing dari enam wilayah di negeri
Belanda. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui, yang
seluruhnya berjumlah tujuh belas orang dan disebut sebagai Heeren XVII (Tuan-
tuan Tujuh Belas).
Sebagai wakil dari Kerajaan Belanda, maka VOC mendapatkan berbagai
hak istimewa (octroi) sebagaimana layaknya suatu pemerintahan negara. Hak-hak
tersebut adalah; hak mengadakan perjanjian dengan negara lain, hak untuk
memerintah daerah-daerah di luar Belanda, hak mendirikan badan-badan
pengadilan, hak membentuk tentara dan mendirikan benteng, hak untuk
mengeluarkan dan mengedarkan mata uang.7 Dilain pihak, VOC mempunyai
kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pemerintah Kerajaan Belanda, yaitu;
bertanggung jawab kepada Staten Generaal (Parlemen Belanda), dan kewajiban
membantu pemerintah dengan uang dan angkatan perang apabila terjadi perang
antara Kerajaan Belanda dengan bangsa lain.
Pada tahun 1602, VOC mulai membuka kantor perwakilanya di beberapa
daerah di Nusantara seperti Banten (1602), Makassar (1603), dan juga beberapa
daerah lain. Pada tahun 1613 sejumlah kapal dagang VOC yang berada dibawah
komando Apolonius Scotte tiba di Buton, dan singgah pertama kali di Pelabuhan
Bau-Bau.8 Sejak awal kedatanganya, VOC melihat bahwa pelayaran antara
Batavia sebagai pusat pemerintahan VOC dengan Maluku sebagai pusat penghasil
rempah-rempah masih memakan waktu banyak. Karena itu, diperlukan
7 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20, Jilid 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hal.16.
8 J.W. (Pim) Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, (Jakarta: Djambatan,
2003), hal. 19.
53
pelabuhan-pelabuhan persinggahan.9 Buton yang letak geografisnya sangat
strategis dalam jalur lalu lintas pelayaran dan perniagaan Nusantara pada saat itu
mulai memikat hati pedagang VOC. Oleh karenanya, pada kesempatan tersebut
Scotte kemudian melakukan kunjungan di istana Kesultanan Buton untuk
menawarkan hubungan kerjasama.10
Lain halnya dengan daerah lain seperti
Banten, Makassar dan lain sebagainya, yang tampaknya cukup was-was dengan
kehadiran dan tawaran kerjasama yang dilakukan VOC terhadap mereka. Di
Buton justru kedatangan dan tawaran kerjasama dari VOC ini langsung
mendapatkan sambutan hangat dari para pembesar kerajaan, khususnya Sultan
Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi. Berlandaskan dari berbagai sumber,
setidaknya hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu;
Pertama, faktor internal, yaitu adanya kepentingan pribadi Sultan La
Elangi, dimana kehadiran VOC ini dianggap dapat memperkuat posisinya sebagai
sultan, sehingga kedepanya tahta kepemimpinan dapat diwariskan juga kepada
anak cucunya. Kedua, faktor eksternal, yaitu adanya keinginan sultan untuk
mewujudkan Buton sebagai imperium besar yang relatif stabil dan aman
khususnya di kawasan Sulawesi Tenggara. Sebagaimana diketahui bahwa letak
geografis Kesultanan Buton yang berada di tengah-tengah lalu lintas pelayaran
dan perniagaan Nusantara menjadikanya sebagai kawasan yang relatif tidak aman
dari berbagai ancaman, baik ancaman bajak laut, Kerajaan Ternate di timur,
maupun Gowa di barat.
9 Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII), Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 62. 10
J.W. (Pim) Schroorl, “Power, Ideologi and Change In The Early State Of Buton,”
dalam G.J. Schutte, ed., State and Trade In The Indonesian Archipelago, (Leiden: KITLV Press),
hal. 17.
54
Tercatat sejak abad ke-15, kelompok bajak laut yang dikatakan berasal
dari Tobelo kerap kali melakukan aksi perompakkan di sejumlah pesisir pantai
wilayah Kesultanan Buton.11
Kehadiran orang-orang Tobelo ini dikaitkan dengan
ekspedisi maritim Kesultanan Ternate dan Tidore yang saat itu sedang gencar-
gencarnya melakukan ekspansi ke berbagai kawasan timur Nusantara, termasuk
dalam hal ini Buton. Ekspedisi ini dilakukan bersama bangsa-bangsa yang lain,
seperti orang-orang Galela, Maba, Weda, Patani, dan suku-suku bangsa lainya.12
Pangkalan bajak laut Tobelo ini terletak di daerah yang sekarang disebut
Labuan Tobelo (persinggahan Tobelo), yang sekarang terletak di Kecamatan
Wakorumba Utara, Kabupaten Buton Utara. Pimpinan kelompok tersebut dikenal
dalam masyarakat Buton dengan sebutan La Bolontio. Ia mempunyai ciri-ciri fisik
antara lain; berbadan tinggi dan kekar, berkulit hitam pekat, berambut ikal, dan
bermata satu, serta dikenal dengan karakternya yang kejam dan bengis. Kehadiran
kelompok bajak laut ini sesungguhnya sangat meresahkan masyarakat Buton
sebab mereka kerap kali menebar ancaman teror.13
Tak heran kemudian banyak
masyarakat Buton yang sebelumnya tinggal di daerah pesisir kemudian
menyingkir ke daerah-daerah pedalaman utamanya daerah pegunungan untuk
mencari perlindungan.
Dikatakan bahwa pada saat itu Buton yang berada di bawah pemerintahan
raja kelima Mulae sangat kewalahan dalam menghalau pergerakan bajak laut ini.
Oleh karenanya, raja kemudian mengadakan sayembara untuk menumpas
11
Abdul Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2013), hal. 213-214, 12
Adrian B. Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX, hal. 183. 13
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni I, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hal. 47-48, Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, hal. 208.
55
kelompok bajak laut ini. Akhirnya berkat jasa La Kilaponto yang dibantu pasukan
Kerajaan Buton, dan Raja Selayar Opu Manjawari, kelompok bajak laut ini
berhasil ditumpas termasuk La Bolontio yang tewas di tangan La Kilaponto dalam
sebuah pertempuran di Pantai Boneatiro atau sekarang terletak di depan Selat
Kapontori. Atas jasanya ini, La Kilaponto kemudian dinikahkan dengan putri Raja
Mulae dan diangkat menjadi Raja Buton keenam menggantikan Mulae.14
Selain gangguan dan ancaman bajak laut Tobelo, Kesultanan Ternate di
Timur dan Gowa di barat juga menjadi ancaman nyata bagi eksistensi Kesultanan
Buton. Hal ini terutama setelah tampilnya Ternate dan Gowa sebagai kekuatan
baru yang terpandang kuat dan besar pada abad ke-16 dan ke-17. Dibawah
pemerintahan Sultan Baabullah (1570-1583) Ternate tampil sebagai kerajaan
Islam terkuat dan terbesar di kawasan timur Nusantara, di samping Aceh dan
Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Semenjak
naik tahta pada tahun 1570, Sultan Babullah langsung mengkoordinasikan seluruh
armada Kerajaan Ternate untuk mengusir bangsa Portugis di Maluku sebagai
balasan atas pembunuhan ayahnya Sultan Khairun (memerintah 1535-1570).
Disamping itu, hal ini dilakukan Sultan Baabullah untuk membendung laju
kristenisasi di Maluku serta untuk menyebarkan agama Islam di seluruh kawasan
timur Nusantara.15
Selain itu, sebagai penghasil rempah-rempah terbesar, Ternate
selalu berusaha untuk mengontrol, mengamankan, serta menguasai jalur-jalur
penting dalam pelayaran dan perdagangan di kawasan timur Nusantara, khususnya
Buton.
14
Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni I, hal. 49. 15
Muridan Widjojo, Pemberontakan Nuku (Persekutuan Lintas Budaya di Maluku –
Papua Sekitar 1780-1810, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hal. 14-17.
56
Dengan didukung oleh kekuatan armada yang menurut Paramita R.
Abdurachman mencapai 130.000 personil, Ternate berhasil mengusir bangsa
Portugis di Maluku, serta mampuh mengkonsolidasikan wilayah kekuasaannya
yang mencakup 72 pulau besar maupun kecil yang membentang luas dari
Mindanao di utara sampai Bima di selatan.16
Menurut Abdul Rahim Hamid,
keberhasilan Ternate ini didukung oleh aspek geografis dan penduduknya.
Kondisi wilayahnya yang sebagian besar laut, tersedianya sejumlah jenis armada
laut (berukuran besar dan kecil), dan kebijakan penguasanya terhadap laut dalam
kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim menjadikan Ternate tumbuh dan
berkembang sebagai kekuatan bercorak maritim. Produksi hasil bumi Maluku,
khususnya cengkeh dan pala, yang dikenal luas di pasaran dunia, dimanfaatkan
dengan baik oleh para penguasa di Maluku untuk membangun negerinya. Dengan
surplus perdagangan maritim dan kendali politik terhadap negeri dan kerajaan-
kerajaan kecil di Maluku, Kesultanan Ternate dan Tidore mampu tampil sebagai
kekuatan politik yang unggul, dengan fokus perhatian pada sektor kelautan. Hal
ini didukung pulah oleh keberadaan dan peran pelaut pribumi terutama orang
Tobelo dari Halmahera dan orang Papua dari Kepualauan Raja Ampat menjadikan
Ternate sebagai kekuatan yang sangat sulit ditandingi pada waktu itu, khususnya
di kawasan timur Nusantara.17
Pada tahun 1580 angkatan perang Kesultanan Ternate yang berada di
bawah pimpinan Sultan Baabullah bersama Calapaya menyerang Kesultanan
16
Paramita R. Abdurachman, Bunga angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak
Kebudayaan Portugis di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2008), hal. 99. 17
Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, hal. 219-220.
57
Buton dengan dalih untuk menyebarkan agama Islam.18
Dalam serangan ini,
Ternate berhasil menganeksasi wilayah Tiworo, dan kemudian Wolio yang
merupakan ibukota Kesultanan Buton. Sejak saat itulah kedudukan Buton telah
berada di bawah pengaruh kekuasaan Ternate.19
Meskipun demikian, tampilnya
Kerajaan Gowa sebagai kerajaan terbesar di kawasan barat juga menjadi ancaman
bagi kekuasaan Ternate, termasuk dalam hal ini Buton.
Tampilnya Gowa sebagai kerajaan terbesar pada waktu itu setelah
keberhasilanya menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti;
Wajo, Soppeng dan Bone.20
Adalah Sultan Alauddin (memerintah 1593 – 1639)
yang menjadi aktor keberhasilan Gowa dalam melakukan ekspansi ke berbagai
kawasan. Pada masa pemerintahanya, Sultan Alaudin mengirimkan armada
perangnya dalam jumlah besar ke luar wilayah Sulawesi untuk menyebarkan
Islam serta memperkuat pengaruhnya di Nusantara. Ekspansi Gowa ke timur ini
kemudian berhadapan dengan ekspansi Kerajaan Ternate ke barat dan selatan.
Kedua pasukan kerajaan itu berhadap-hadapan di beberapa tempat, yaitu di
Sulawesi Utara dan Minahasa. Dibagian timur mereka berhadap-hadapan di
Banggai, di bagian tenggara bertemu di Kepulauan Buton, di selatan berjumpa di
Selayar, dan bahkan sampai di Bima. Kedua kerajaan itu akhirnya mengadakan
kesepakatan pada tahun 1607 untuk mengakhiri pertikaian, dan akhirnya
18
Keterangan mengenai tahun tersebut ditunjang dengan tulisan Ligtvoet, yang
menjelaskan bahwa “Het eerste, dat ons omtrent de geschiedenis Van Boeton bekendis, is de
verovering van dat rijk en den invoering van den Islam aldaar door de vorst van Ternate
Baabullah in 1580, enz.” Selengkapnya, lihat: 19
Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hal. 115. 20
Abdul Rasjid dan Restu Gunawan, Makassar Sebagai Kota Maritim, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hal. 35.
58
ditetapkan bahwa Selayar berada di bawah pengaruh Gowa, sedangkan Buton
berada di bawah pengaruh Ternate.21
Demikianlah, sejak saat itu Kesultanan Buton selalu terombang ambing
oleh pertarungan politik Kerajaan Ternate dan Gowa. Oleh karenanya, dengan
kehadiran dan tawaran kerjasama dari VOC seolah membawa angin segar bagi
Buton. Kerjasama dengan VOC ini dianggap Buton dapat meminimalisir dan
mencegah berbagai macam ancaman yang suatu waktu datang, baik dari dalam
(internal) maupun dari luar (eksternal).22
Sementara bagi VOC, Buton dibutuhkan
untuk membantunya dalam menghadapi musuh-musuhnya, khususnya Portugis,
Gowa, Ternate dan lain sebagainya. VOC pun menganggap kerjasama dengan
Buton ini sebagai langkah awal untuk mendapatkan pijakan politik dalam
mendukung kelancaran pelayaran dan perdagangannya dengan Maluku.23
Menganggap hubungan kerjasama ini mewakili kepentingan kedua belah
pihak, maka diadakanlah kesepakatan melalui kontrak “Persekutuan Abadi”
antara Buton – VOC, yang mana Buton diwakili oleh Sultan La Elangi, sementara
VOC diwakili oleh Schot. Kontrak La Elangi – Scotte ini dikenal dengan nama
“janji baana”, atau “kontrak pertama”. Adapun bunyi kontrak tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Pihak Appolonius Schot:
1. Memberikan bantuan dan perlindungan kepada Kerajaan Buton bila
mendapat serangan dari kerajaan lain ataupun pertentangan yang
terjadi di dalam Kerajaan Buton. Untuk itu, akan dibangun dua buah
21
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 148. 22
Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan Di Kesultanan Buton
Pada Abad Ke – 19, (Jakarta: INIS, 1995), hal. 44. 23
Susanto Zuhdi dkk, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), hal. 97.
59
kubu pertahanan yang diwakili oleh beberapa orang Belanda yang
dipersenjatai dengan empat buah meriam.
2. Tidak mengganggu dan menyulitkan rakyat Buton beserta rajanya dan
pembesar kerajaan di dalam kepercayaannya atau jelasnya agamanya.
3. Berjanji secepat-cepatnya menjadi penengah pada raja Makassar, agar
mau meniadakan semua permusuhan terhadap Buton
4. Mendesak raja Ternate agar memberikan peringatan kepada warganya
yang datang di Buton dalam berbagai urusan kerajaan untuk tidak
mempersulit Kerajaan Buton dan dalam setiap utusan diberikan surat
keterangan yang jelas disertai dengan cap kerajaan yang resmi.
5. Pemasukan uang logam VOC yang berlaku pula di dalam Kerajaan
Buton sebagai mata uang yang sama nilainya dengan uang kerajaan
sendiri.
b. Pihak La Elangi:
1. Memerangi musuh-musuh Kerajaan Ternate dan juga VOC;
2. Memberikan tentara bantuan kepada VOC bila nanti berangkat ke
Solor sesudah perjanjian ini selesai ditandatangani, dengan tumpangan
di atas kora-kora;
3. Pengawasan penetapan harga atas kebutuhan bahan pokok sehari-hari
yang dimufakati supaya dipegang teguh;
4. Tidak menjalin hubungan perdagangan serta tidak mengizinkan
bangsa lain berdagang atau berlalu-lalang di dalam wilayah Kerajaan
Buton, jika hal ini merugikan orang-orang Belanda;
60
5. Orang-orang Belanda boleh berdagang dimana-mana tanpa dipungut
upeti atau bea. Mereka juga boleh menanam tanaman, asal raja diberi
tahu;
6. Raja berjanji selanjutnya akan menyuruh warganya menanam padi
untuk kebutuhan di Maluku;
7. Tentara VOC dapat mengawini perempuan asal kaula Kerajaan Buton
yang tidak ada sangkutanya dalam arti ada ikatan nikahnya dan atas
kemauanya bersama dan perempuan itu menurut agama suaminya;
8. Demikian pula pembelian budak oleh VOC dengan ketentuan bahwa
pelarian budak dari salah satu pihak harus dikembalikan kepada
pemiliknya;
9. Kontrak perjanjian ini juga dimaksudkan dengan perdamaian dan
persahabatan dengan Banda, kecuali bila pecah perang antara VOC
dengan orang-orang Banda, maka semua orang Buton yang tinggal di
Banda dipanggil kembali.24
Untuk mengukuhkan kontrak itu, pada bulan Agustus 1613 Gubernur
Jenderal Pieter Both berkunjung ke Buton untuk membubuhkan tanda tangannya.
Dalam kesempatan itu, masih ditambahkan pula beberapa kesepakatan baru antara
Pieter Both dan Sultan La Elangi.25
Tambahan isi kontrak yang dibuat oleh Pieter
Both tersebut dikenal dengan “janji ruaanguna” atau “kontrak yang kedua”.
Pasal tambahan dalam kontrak tersebut berbunyi;
1. Bila Sultan wafat, maka sebagai calon penggantinya yang pertama
adalah Kamaruddin dan kedua Syamsuddin;
24
Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 69, Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton,
hal. 20. 25
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 187.
61
2. Semua bangsa Asing seperti Spanyol dan Portugis seta yang lain dapat
bebas berada di Buton bila mendapat persetujuan pihak; inipun terbatas
pada keadaan yang luar biasa seperti dibutuhkan tenaganya dan lain-
lain;
3. Dimana musuh biasa membawa barang dengan perahu dari Surabaya
dibongkar di Makassar, dengan pemberitahuan dari Sultan Buton dan
atas hasil pemeriksaan VOC perahu itu dapat dirampas beserta seluruh
muatanya. Dan barang-barang yang disita itu sebagian diserahkan
kepada Raja Buton dan sebagian sisanya kepada VOC.26
Demikianlah, selama pemerintahan Sultan La Elangi telah terjadi dua kali
penutupan kontrak persahabatan dengan VOC. Secara keseluruhan isi kontrak di
atas merupakan konsensi yang tidak seimbang dalam hubungan kepentingan
antara kerajaan Buton dan VOC. VOC lebih untung dibandingkan dengan apa
yang diperoleh Buton dari VOC. Namun bagi Buton tampaknya bukan konsesi
materi yang penting, melainkan memperolah jaminan perlindungan keamanan dari
VOC untuk menghadapi bangsa-bangsa asing dan khususnya Gowa dan Ternate,
itulah yang paling hakiki. Yang lain adalah soal kebiasaan, dalam hal menjalankan
ajaran agama, dimana VOC menyatakan tidak akan melakukan campur tangan.27
Keberhasilan VOC menjalin persekutuan dengan Buton ini dianggap
sebagai langkah taktis dalam mengalahkan dua pesaing utamanya yang juga
berusaha menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Buton, yaitu Gowa dan
Ternate. Disini penulis melihat, pendekatan diplomatis yang dilakukan VOC lebih
26
Tambahan kontrak perjanjian ini menurut Zahari hanya ditanda tangani oleh Pieter
Both. Adapun naskah asli perjanjian tambahan ini tidak ditemukan, yang mana diperkirakan hilang
bersama karamnya kapal tumpangan Pieter Both di pantai Mauritius tahun 1614, yang hendak
kembali ke negeri Belanda. Zahari, Sejarah dan Adat I, hal. 69. 27
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 186.
62
efektif untuk merangkul Buton sebagai sekutunya, dibandingkan Ternate maupun
Gowa yang kerap kali menggunakan pendekatan kekerasan.
B. Masa Keretakan Hubungan Buton – VOC
Setelah Sultan La Elangi wafat, ia kemudian digantikan oleh Sultan Abdul
Wahhab atau La Balawo (1617-1619) yang tidak lain adalah anak dari Sultan La
Elangi. Karakter kepemimpinan Sultan La Balawo yang dianggap lemah dan tidak
mampu meneruskan kebijakan ayahnya Sultan La Elangi, sehingga ia diturunkan
dari tahta pada tahun 1619.28
Karena terjadinya kekosongan kekuasaan di
Kesultanan Buton selama sebelas tahun, maka diangkatlah La Buke sebagai sultan
dengan gelar Sultan Gafurul Wadudu. Pada masa pemerintahan Sultan Gafurul
(1632-1645), hubungan Buton – VOC berlangsung kurang baik.29
Bahkan
menurut Schrool, hubungan Buton – VOC pada masa Sultan Gafurul
memperlihatkan titik terendah.30
Berbagai isi kontrak sebelumnya tidak dapat diteruskan pada masa
pemerintahan Sultan Gafurul. Hal ini disebabkan kegagalan VOC dalam
melindungi Buton dari serangan Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan
Alauddin pada Pada tahun 1624, sehingga pada tahun 1634 Buton telah menjadi
daerah taklukan Kerajaan Gowa.31
Masuknya Buton ke dalam wilayah pengaruh
Kerajaan Gowa membawa dampak negatif terhadap hubungan Buton – VOC,
dikarenakan Buton ikut membantu Gowa dalam melakukan perlawanan terhadap
28
Ibid., hal. 200. 29
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 155. 30
Schrool, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 32. 31
Ahmad Massiara Daeng Rapi, Menyingkap tabir sejarah budaya di Sulawesi Selatan,
(Makassar: Lembaga Penelitian & Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan Tomanurung,
Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, 1988), hal. 56.
63
VOC.32
Zuhdi mencatat beberapa peristiwa penyerangan terhadap VOC yang
menyebabkan keretakan hubungan Buton – VOC yang kemudian berujung pada
konflik, yaitu:
Pertama, adanya perlawanan Kakiali33
yang mendapat bantuan orang
Makassar dan orang Buton di Wowoni, Hitu terhadap VOC pada tahun 1634.
Peristiwa yang akhirnya dapat di tumpas itu, terdapat tiga puluh orang Buton
pendukung perlawanan. Kedua, peristiwa penyerangan kapal VOC bernama
“Batavia” pada 30 Maret 1634. Peristiwa penyerangan itu dilakukan oleh dua
ratus sampai tiga ratus orang Makassar di Pelabuhan Bau-Bau. Ketiga, peristiwa
perampokan dan pembunuhan awak perahu (fluit) Velzean pada Januari 1635,
yang terdampar di Pulau Wowoni. Keempat, pada tahun 1636 kapal (jacht) Sasker
Douwensen milik VOC dirampok dan dibakar di Pelabuhan Buton. Pemiliknya
beserta enam orang lainya dibunuh penduduk berdasarkan perintah sultan.
Sementara itu, janda Jansen dan delapan orang pengikutnya di tawan di Buton.34
Akibat beberapa peristiwa di atas, hubungan Buton dengan VOC menjadi
retak. Pada tanggal 13 Juni 1637, Pejabat Gubernur VOC Van Diemen datang di
Buton. Kedatanganya untuk bertemu dan meminta pertanggung jawaban Sultan
Buton berupa ganti rugi atas perompakan dan pembunuhan awak kapal VOC. Van
Diemen memberikan dua pilihan kepada Sultan, membayar ganti rugi atau kota
Buton akan diserang dan dibakar secara terus-menerus sampai tuntutan tersebut
32
Yunus, Posisi Tasawuf, hal. 44. Lihat pulah: Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa, hal.
64-66. 33
Kakiali berasal dari Hitu dan perna menjadi salah satu murid Sunan Giri (Wali Songo)
di Jawa. Semasa hidup, ia telah berkontribusi besar dalam memimpin masyarakat Hitu untuk
melakukan perlawanan terhadap VOC Maluku. Selengkapnya, lihat: Ricklefs, Sejarah Indonesia
Moderen, hal. 124. 34
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 200-201.
64
terpenuhi. Namun beratnya tuntutan tersebut membuat Sultan tidak dapat secara
langsung melakukan pembayaran ganti rugi.35
Mendengar pernyataan tersebut, Van Diemen menganggapnya sebagai
tindakan permusuhan Buton terhadap VOC. Van Diemen yang sudah siap siaga
bersama pasukanya di perairan Buton dengan segera melancarkan agresi militer
terhadap Buton dengan melepaskan 10 sampai 12 kali tembakan yang diarahkan
ke prajurit Buton di pantai. Adapun kapal Bommel yang merupakan kapal terbesar
kedua dalam armada itu menembakkan meriam sebanyak tiga kali. Sementara itu
pasukan Buton yang berjumlah 600 orang yang juga terdapat orang-orang
Makassar telah bersiap dipesisir Buton. Akhirnya, pertempuranpun tak dapat
terhindarkan.
Pada tanggal 15 Juni, Van Diemen berhasil memukul mundur seluruh
pasukan Buton serta memusnahkan semua yang masih tersisa di pesisir pantai
kota Buton. Akhirnya, pada tanggal 16 Juni pasukan Van Diemen mengarahkan
serangan ke jantung ibukota Kesultanan Buton di Wolio. Akan tetapi kuatnya
benteng pertahanan Kesultanan Buton tidak mampu ditembus oleh pasukan VOC.
Akhirnya, pada tanggal 18 Juni 1637, armada VOC yang merasa putus asa
memilih meninggalkan pelabuhan Buton menuju Batavia melaui pelabuhan
Makassar.36
Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Januari 1638, 12 armada
VOC yang berasal dari Batavia tiba kembali dan berlabuh di sebelah barat kota
Buton dengan tujuan untuk menggempur Kesultanan Buton. Kali ini VOC tiba
dengan jumlah pasukan yang lebih besar, yakni sebanyak 1.200 sampai 1.650
35
Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 32. 36
Ibid., hal. 33.
65
orang dibawah komando E. Antonio Coen. Dengan jumlah pasukan yang begitu
besar, Coen menyerang dan berhasil melululantakkan wilayah pesisir kota Buton.
Semua yang ditemukan di pantai dirusak dan dibakar. Dalam catatan Coen,
sejumlah barang-barang yang dibakar dan dihancurkan tersebut meliputi: pohon
nyiur, pohon buah-buahan, perahu, alat penangkap ikan, rumah dan seluruh
desa.37
Setelah berhasil menggempur wilayah pesisir Kota Buton, Coen dan
pasukanya kemudian mengarahkan seranganya ke jantung pertahanan Kesultanan
Buton, yaitu Wolio. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat
menerobos masuk benteng. Akan tetapi, kuatnya pertahanan benteng Kesultanan
Buton membuat Coen dan pasukanya kewalahan. Akhirnya, mereka memutuskan
untuk menghentikan serangan.
Karena ekspedisi militernya selalu menuai kegagalan, VOC pun akhirnya
menemui sekutunya Sultan Mandarsyah (Ternate) untuk menjadi penengah dalam
penyelesai permasalahannya dengan Buton. Karena Ternate yang saat itu juga
bersahabat dengan Buton, maka Sultan Mandarsyah mengususulkan agar
penyelesaian permasalahan ini ditempuh secara damai. Usul inipun akhirnya
diterima oleh kedua pihak (Buton dan VOC). Pada tahun 1643, diutuslah
perwakilan VOC Komandan Jacob Jacobsen van der Muelen untuk bertemu
Sultan Buton dalam rangka penyelesaian permasalahan ini. Sayangnya, Jacob
tidak mampu menyelesaikan tugas ini hingga tahun 1644. Oleh karenanya, hingga
masa akhir pemerintahan Sultan La Buke, penyelesaian hubungan Buton – VOC
tidak menemui titik temu.38
Kegagalan normalisasi hubungan kedua negara
37
Ibid., hal. 36. 38
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 201.
66
tersebut menurut penulis dimungkinkan juga oleh kuatnya pengaruh Makassar di
Buton.
C. Normalisasi Kembali Hubungan Buton – VOC
Setelah Sultan La Buke turun tahta pada tahun 1645, ia digantikan oleh
Saparagau (1645-1646). Pada masa pemerintahan Sultan Saparagau, usaha
normalisasi hubungan Buton – VOC mulai dilakukan. Usaha ini dilakukan dengan
penandatanganan kontrak antara Buton dengan VOC yang dikenal dengan “janji
taluanguna” atau “kontrak yang ketiga”. Kontrak ini diwakili oleh La Cila yang
merupakan komandan tentara bantuan Buton dalam menumpas pemberontakan
Kakiali di gunung Wawani Hitu.39
Isi kontrak ini tidak bertentangan dengan
kontrak La Elangi – Schoot.40
Setelah Sultan Saparagau wafat tahun 1645, ia kemudian digantikan oleh
La Cila atau yang bergelar Sultan Mardan Ali.41
Pada masa pemerintahan Sultan
Mardan Ali (1647 – 1654), telah terjadi pemulihan hubungan antara Buton dengan
VOC melalui perantara Ternate. Berbagai ganti rugi yang selama ini menjadi
tuntutan VOC telah dilunasi oleh sultan. Dengan demikian, VOC menyatakan
kesediaanya untuk berdamai dengan Buton.42
Pada Maret 1650, kapal VOC yang sementara dalam pelayaran menuju
Ternate karam di Sagori dekat Kabaena. Kapal tersebut masing-masing adalah: de
Tijger, Bergen op Zoon, Aagte Kerk, de Luipard, dan de Juffer. Barang-barang
dan penumpang kapal yang berjumlah 581 orang dapat tertolong. Sebagian dari
39
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 15. 40
Penulis tidak menemukan isi ataupun redaksi dari kontrak ini dalam berbagai
sumber/literatur. 41
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 18. 42
Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 39.
67
barang-barang itu dimuat kembali dalam kapal “Concordia” yang berangkat
Ternate serta sisanya dan penumpang kapal 581 orang itu ditinggalkan sementara
di Buton. Para ningrat Buton meminta kepada Sultan Ali agar para awak itu
dibunuh dan barang-barangnya diambil sebagai hasil rampasan. Akan tetapi,
sultan tidak menuruti nasehat mereka, dan sebaliknya memberi pertolongan
kepada pelaut VOC yang karam itu.43
Atas jasa sultan ini, pada bulan Agustus 1650, Gubernur Amboina, de
Flaming, dalam sebuah perjalanan ke Batavia terlebih dahulu singgah di Bau-Bau
dan bernegosiasi dengan Sultan Buton. Dalam pembicaraan itu de Flaming
memberikan apresiasinya terhadap jasa sultan Mardan Ali yang telah
menyelamatkan kapal-kapal VOC yang karam di Sagori. De Flaming sendiri
menyatakan melanjutkan hubungan persahabatan keduanya.44
Untuk
mengukuhkan hubungan ini, pada tahun 1651 dilakukan pembaharuan kontrak
persahabatan antara Buton dengan VOC. Buton diwakili oleh Sultan Mardan Ali
dan VOC oleh Gubernur Jenderal Amboina de Flaming. Kontrak ini disebut
dengan “janji pataaguna” atau “kontrak yang keempat”.45
Sebagai realisasi dari kontrak ini, baik Buton maupun VOC saling
membantu dalam berbagai hal. Zahari mecatat beberapa kali VOC memberikan
bantuan kepada Buton selama masa pemerintahan Mardan Ali, yaitu: memberikan
bantuan pengawal kepada Sultan Mardan Ali yang totalnya berjumlah 13 orang
disertai obat pasang 100 pond. Pembangunan 2 buah loji sebagai benteng
pertahanan pantai di tepi kali Bau-Bau. Penempatan Sultan Mandarsyah (Sultan
43
Horst H. Liebner, “Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di
Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650,” Jurnal Seri 25 (2007), hal. 54, Zahari, Sejarah dan Adat II, hal.
27. 44
Schroorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 40. 45
Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) II, hal. 24.
68
Ternate) dan pasukanya untuk menentramkan keadaan internal Kesultanan Buton.
Sementara bantuan Buton kepada VOC adalah penyelamatan awak dan
penumpang kapal VOC yang karam Pulau Sagori, memberikan bantuan pasukan
dalam menumpas pemberontakan di Pulau Ambulau, serta mengirimkan tentara
bantuan ke Amboina.46
De Flaming sendiri dalam perjalananya baik dari Ternate
ke Jakarta atau dari Jakarta ke Ternate selalu menyempatkan diri untuk singgah
terlebih dahulu di Buton.47
Meskipun hubungan Buton – VOC masa sultan Mardan Ali berlangsung
sangat harmonis, akan tetapi sikap Mardan Ali yang sering kali melanggar adat,
agama dan melakukan kontrak sepihak dengan VOC telah membawa
kekhawatiran bagi masyarakat Buton khususnya dewan syarat kerajaan. Akhirnya
melalui musyawarah panjang, dewan syarat memutuskan agar Sultan Mardan Ali
dipecat dari jabatanya sebagai sultan, dan dijatuhi hukuman mati. Namun,
eksekusi mati terhadap Sultan Mardan Ali bukanlah langkah mudah, mengingat
kuatnya dukungan sultan. Oleh karenanya, Dewan Syarah kerajaan mengusung
taktik dengan menyingkirkan orang-orang terdekat sultan yang dianggap sebagai
penghalang, diantaranya Kapitaraja atau Gogoli Mbela-Mbela yang tidak lain
adalah paman Ali sendiri. Kemudian disusul pembunuhan terhadap 13 orang VOC
yang ditempatkan oleh de Flaming sebagai pengawal Ali. Dengan disingkirkanya
pasukan-pasukan Sultan ini, eksekusi mati terhadap sultan pun dapat dilaksanakan
46
Ibid., hal. 23-30. 47
Tercatat, jumlah kunjungan de Flaming di Buton pada masa Sultan Mardan Ali (La
Cila) adalah sebanyak tujuh kali, yaitu pada Agustus 1650, Desember 1650, tahun 1651, 1652,
Oktober 1653, Oktober 1654, dan Desember 1654. Terkhusus pada bulan Desember 1654, ketika
de Flaming berkunjung di Buton ia mendapati Sultan Mardan Ali sudah dipecat dari jabatanya.
Zahari, Ibid., hal. 28.
69
tanpa menuai kesulitan. Eksekusi mati ini sendiri dilakukan di sebuah pulau di
muka Bau-Bau, yang sekarang dikenal dengan Pulau Makassar.
Keputusan yang diambil Dewan Syarah kerajaan ini rupanya mendapatkan
reaksi keras dari VOC. Berselang beberapa waktu setelah peristiwa ini, pasukan
VOC di bawah komando de Flaming tiba di Buton dan melakukan serangan
mendadak, dimana dalam seranganya pasukan VOC berhasil menghancurkan satu
diantara loji yang menjadi tempat penyimpanan mesiu bersama alat persenjataan
perang lainya. Penyerangan VOC ini dilakukan dengan kekuatan 23 orang
Belanda dan 12 orang Ternate. Namun, atas permintaan pihak Buton kepada de
Flamming untuk berunding terlebih dahulu, pada akhirnya kedua belah pihak
sepakat untuk kembali berdamai dan bersahabat.48
D. Terbentuknya Aliansi Militer Buton – VOC
Aliansi militer merupakan sebuah koalisi negara-negara yang
mengkoordinasikan tindakan mereka untuk sejumlah tujuan tertentu. Menurut
Joseph Nye, aliansi militer merupakan bentuk kesepakatan formal maupun
informal yang dibentuk oleh beberapa negara dalam hal pertahanan keamanan
(security issues) dengan tujuan melindungi diri dari ancaman kekuatan lain.49
Bagi
Buton dan VOC, pembentukan aliansi militer dilakukan sebagai usaha untuk
melindungi kepentingan masing-masing dari ancaman kekuatan kekuasaan lain,
seperti bajak laut, Kerajaan Ternate, dan Gowa.
Pembentukan aliansi militer antara Buton dengan VOC telah terjalin sejak
tercetusnya kotrak pertama antara Buton dengan VOC masa pemerintahan Sultan
48
Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) II, hal. 29-30. 49
Joseph Nye, Understanding International Conflict, (New York: Pearson Longman,
2009), hal. 289.
70
Dayanu Ikhsanuddin. Dalam salah satu pasal kontrak tersebut dinyatakan bahwa
musuh ataupun sahabat VOC dan Ternate juga menjadi musuh ataupun sahabat
Buton. Oleh karenanya, sesaat setelah kontrak tersebut VOC melakukan
pembangunan 2 buah loji di Buton sebagai benteng pertahanan.50
Kemudian pada
tahun 1613 koalisi pasukan Buton, VOC dan Ternate bekerjasama dalam
mengusir pasukan Portugis di Solor.51
Hal inipun berlangsung pada masa
pemerintahan Sultan Saparagau, dimana saat itu Buton mengirimkan tentara
bantuannya kepada VOC dibawah komando La Cila untuk menumpas
pemberontakan Kakiali di gunung Wawani Hitu.52
Pada masa pemerintahan Sultan Mardan Ali tepatnya tahun 1652 Buton,
VOC, dan Ternate melakukan kerjasama dalam menumpas pemberontakan
Sangaji Motir dan pasukanya di Pulau Ambulau. Kemudian disusul penumpasan
pemberontakan Majira yang dibantu Kerajaan Gowa di Amboina tahun 1655.53
Sebagai bentuk penghargaan VOC terhadap Buton, VOC kemudian memberikan
bantuan pasukan keamanan kepada Sultan Mardan Ali, berupa 13 orang Belanda
disertai pembangunan 2 buah loji untuk memperkuat benteng pertahanan
Kesultanan Buton di tepi pantai kali Baubau. Selain itu, untuk menentramkan
keadaan internal Kesultanan Buton, VOC menempatkan Sultan Mandarsyah
(Ternate) dan pasukanya di Kesultanan Buton.
50
Mengenai pembangunan benteng tersebut, Pieter Both sangat takjup dengan rupa
benteng yang indah, kokoh dan megah. Berikut pernyataan Both; “Dua benteng kecil atas
permintaan raja dibuat begitu sempurna dari batu yang tersusun dan karya seindah ini belum
pernah saya lihat; dan benteng itu ditunjang oleh balok-balok keras yang sangat kuat serta
diatasnya masing-masing terdapat dua potong besi”. Schrool, Masyarakat, Sejarah dan Budaya
Buton, hal. 22. 51
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) I, hal. 68. 52
Ibid., hal. 15. 53
Ibid., hal. 23-30.
71
Pada bulan April 1655 Kerajaan Tiworo yang merupakan vassal Kerajaan
Buton kembali mendapatkan serangan dari Gowa yang dalam jangka waktu yang
relatif singkat, Tiworo dapat ditaklukkan. Berlanjut setelah serangan tersebut,
jantung pertahanan Kesultanan Buton di Wolio mendapatkan serangan dahsyat
dari Kerajaan Gowa yang dipimpin lansung oleh Sultan Hasanuddin.54
Hanya
dalam jangka waktu 2 bulan, seluruh wilayah Kesultanan Buton telah berhasil
ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa.55
Susanto Zuhdi melihat serangan Gowa ini
sebagai usaha untuk menguasai Buton yang merupakan jalur penghubung dalam
pelayaran dan perniagaan di Nusantara.56
Sementara Sagimun M.D melihat
serangan Gowa ini sebagai usaha untuk menyerang dan menghancurkan sejumlah
armada VOC diseluruh perairan Buton, serta menarik Buton sebagai sekutunya.57
Peristiwa taklukknya Buton ini ternyata segera terdengar VOC. VOC yang
sejak lama membangun persekutuan dengan Buton langsung mengirimkan
delegasinya ke Buton untuk menyelidiki peristiwa ini. Pada tahun 17 September
1655 de Flaming tiba di Buton, yang kemudian berangkat ke Makassar untuk
54
Sultan Hasanuddin merupakan Sultan Gowa yang ke – 6. Ia terkenal sebagai sultan yang paling
tangguh dan terkenal paling gigi dalam melakukan perlawanan terhadap VOC. Tak heran
kemudian Kompeni Belanda menjulukinya “de haantjes van het Oesten” yang berarti “Ayam
Jantan (jago) dari Timur.” Selengkapnya, lihat: Sagimun M.D, Sultan Hasanuddin Menentang
VOC, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Buku Terpadu, 1985), hal. 146. 55
Rasjid dan Gunawan, Makassar Sebagai Kota Maritim, hal. 44, Zahari, Sejarah dan
Adat II, hal. 33. 56
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 71 57
Tampak adanya perbedaan pendapat antara Zuhdi dan Sagimun. Zuhdi melihat motif
serangan Gowa di Buton lebih kepada motif ekonomi dan kekuasaan, sementara Sagimun lebih
pada motif balas dendam Gowa kepada VOC. Penulis sendiri tidak mendikotomikan antara
pendapat keduanya. Bagi penulis, pandangan keduanya cukup relevan. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa letak geografis Kesultanan Buton yang berada di tengah-tengah
lalu-lintas pelayaran dan perniagaan Nusantara menjadikanya sebagai tempat yang sangat
menguntungkan dari segi ekonomis sehingga banyak kekuatan asing selalu mencoba menguasai
Kesultanan Buton, baik melalui jalan konfrontasi maupun diplomasi. Adapun motif balas dendam
Kerajaan Gowa terhadap VOC berakar dari sikap benci rakyat Gowa terhadap sikap sewenang-
wenang VOC yang kerap kali memaksakan hak monopolinya di Kerajaan Gowa. Oleh karenanya,
masyarakat Gowa selalu melakukan pertentangan terhadap VOC. Sagimun M.D, Sultan
Hasanuddin Menentang VOC, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Buku
Terpadu, 1985), hal. 125.
72
menyelesaikan persoalan Buton dengan Gowa. Pada tanggal 28 Desember 1655
telah tercapai kesepakatan antara Gubernur Amboina Van der Beek dengan
Kerajaan Gowa. Akan tetapi, perjanjian ini berulang kali dilanggar oleh kedua
belah pihak, baik Makassar maupun VOC yang berujung pada perang antara VOC
dengan Gowa tanggal 6 Juni 1660, sehingga Benteng Panakkukang jatuh di
tangan VOC. Atas kekalahan ini, Kerajaan Gowa terpaksa harus menandatangani
perjanjian baru dengan VOC Pada tanggal 29 Juli 1660,58
yang mana dalam salah
satu pasal perjanjian tersebut, Gowa diharuskan untuk tidak lagi melakukan
intervensi serta menarik kembali pasukanya dari Buton.59
Kembalinya Buton ke dalam pangkuan VOC menginisiasi Buton maupun
VOC untuk kembali membangun persekutuan yang lebih besar antara Buton,
VOC, Ternate maupun Bone untuk membangun persekutuan militer yang lebih
besar, dan ini khususnya pada masa pemerintahan Sultan Malik Sirullah (La
Awu). Hal ini tentunya dilakukan sebagai usaha untuk membendung laju ekspansi
Kerajaan Gowa di sejumlah wilayah Kesultanan Buton maupun wilayah Indonesia
Timur secara umum.
Terbentuknya persekutuan militer yang lebih besar tersebut nyatanya tidak
juga membuat Buton serta-merta aman dari bayang-bayang ekspansi Kerajaan
Gowa. Tepat beberapa saat pasca lengsernya Sultan La Awu, khususnya pada
masa pemerintahan Sultan Aidil Rakhim, Buton kembali mendapatkan serangan
besar-besaran dari Kerajaan Gowa. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Oktober
1666,60
dimana Gowa yang dibantu oleh Kerajaan Luwu, Sumbawa, Bima, dan
58
Mukhlis P dkk, Sejarah Kebudayaan Sulawesi, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan, 1995), hal. 112. 59
Sagimun, Sultan Hasanuddin Menentang VOC, hal. 140. 60
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara, hal. 73.
73
Wajo memberangkatkan pasukan penyerangnya dibawah kesatuan armada yang
berkekuatan 20.000 orang lengkap dengan persenjataanya. Dalam berbagai
literatur menjelaskan, bahwa serangan Gowa kali ini merupakan serangan terbesar
sepanjang sejarah peperangan Kerajaan Gowa. Dilakukanya serangan Gowa ini
setelah Sultan Hasanuddin mengetahui, bahwa Aru Palakka61
dan pengikutnya
yang merupakan buronan politik Kerajaan Gowa melarikan diri, bersembunyi, dan
mendapatkan suaka politik dari Sultan Buton.
Armada Gowa ini dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu, seorang putra
bangsawan Makassar. Adapun pasukan bantuan dari Bone di pimpin oleh Arung
Amali, dan dari Soppeng berada dibawah pimpinan La Tenri Tuppa to-Walenae
Arung Ujung-pulu.62
Setelah Karaeng Bontomarannu berada di Buton, pasukan
dibagi menjadi dua rombongan. Rombongan pertama mendarat di Kalisusu bagian
timur Buton, yang dipimpin oleh La Tenrituppa to Walanae Arung Ujung Pulu
dan pimpinan pasukan dikordinasikan oleh “Daeng Mangaga”. Sedang
rombongan kedua mendarat di bagian Barat (Selat Buton) dipimpin langsung oleh
Karaeng Bontomarannu.
Pada akhir tahun 1666 perang antara Buton dengan Gowa pun pecah.
Benteng Keraton Buton yang menjadi basis pertahanan akhir Kesultanan Buton
61
Aru Palakka ini bukanlah nama aslinya, melainkan sebuah gelar yang artinya Raja
Palakka. Nama kecilnya adalah La Tenritata Towappatunru, yang artinya tidak dapat dibatasi
kemauanya dan orang yang menundukkan. Nama panggilanya adalah Daeng Serang. Semasa
menjalani pengasingan di Gowa, ia mendapatkan gelar “Datu Mario Riwawo”, yang tidak lain
adalah pemberian ibunya (We Tenri Sui Datu Mario Riwano). Sementara di kalangan masyarakat
Bone, ia masyhur dengan gelar “Malampee Gemmekna Petta Torisompae”, yang artinya yang
panjang rambutnya dan raja yang disembah. Ia merupakan sultan Bone ke-16 dengan gelar Sultan
Saaduddin (memerintah: 1672-1696). Ia memilih hijrah ke Buton 1660 bersama pasukanya
dikarenakan tidak ingin tunduk terhadap Kerajaan Gowa. Ia tinggal di Buton selama tiga tahun
sebelum akhirnya hijrah ke Batavia tahun 1663 dengan maksud meminta bantuan VOC untuk
melawan Kerajaan Gowa. Selengkapnya, lihat: A. Sultan Kasim, Aru Palakka Dalam Perjuangan
Kemerdekaan Kerajaan Bone, (Makassar: CV. Walanae, 2002), hal. 68-69, dan hal. 73-91 62
Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Bututni (Buton) II, hal.
74
sangat kewalahan menghadapi gempuran pasukan Gowa yang begitu dahsyat.
Namun, peristiwa penyerangan Gowa ini segera diketahui oleh Kompeni di
Batavia (Jakarta). Pada tanggal 24 November 1666, angkatan perang gabungan
Kompeni Belanda yang berada dibawah pimpinan Speelman berangkat dari
Batavia menuju Sulawesi untuk membantu Kesultanan Buton. Kekuatan armada
ini terdiri dari 21 kapal perang dengan 600 tentara Belanda dan beberapa orang
tentara Bugis dan Ambon dibawah komando Aru Palakka dan Kapten Jonker yang
berasal dari Ambon.63
Mengenai hal ini, Stapel menulis sebagai berikut;
“behalve het scheepsvolk bevonden zich aan boord bijna 600 Nederlandse
soldaten, benevens de Boegineszen an Amboneszen die bodden
deelgenemen an de expeditie naar de Weskust. Tot de “auto niteiten”
behoorden, be halve Speelman, Cok Maximillan de Jong, benoemd
kommandeur van Ternate, de secundepersoon. Dankaert van der Straten
Kapitain Christian Poleman, de Boeginese vorsten w.o. vooral Radja
Palacca en Radja Soppeng, benavens de Ambonese Kapitain Jonker”.64
(Kecuali awak kapal maka di atas kapal juga terdapat hampir 600 orang
serdadu Belanda beserta orang Bugis dan Ambon yang ikut ambil bagian
pada ekspedisi ini. diantara para pejabat terdapat selain Speelman juga
Maximilian de Jong, yang diangkat sebagai keamanan di Ternate dan
petugas wakilnya Dankaert van Straten, Kapten Christian Poleman, raja-
raja Bugis diantaranya Raja Palakka dan Raja Soppeng, juga orang
Ambon, Kapten Jonker)65
Pada tanggal 17 Desember 1666 angkatan perang Bone dan Kompeni tiba
di perairan Somba Opu dan berlabuh di depan pulau Tanakeke. Kedatangan
armada Kompeni ini membuat khawatir Sultan Hasanuddin. Oleh karenanya,
Sultan Hasanuddin melalui utusanya mengajak Kompeni untuk berunding terlebih
dahulu, bahkan sultan berusaha membujuk dengan menawarkan sejumlah uang
63
Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, hal. 189. 64
F.W. Stapel, Het Bongaais Verdrag, (U.M. Groningen: Den Haag, 1922), hal. 98. 65
Kasim, Aru Palakka, hal. 103-104.
75
dan emas dengan harapan agar VOC tidak menyerang Kerajaan Gowa. Akan
tetapi, usaha itu sia-sia karena keputusan Speelman dan Aru Palakka untuk
menyerang Gowa sudah bulat. Speelman kemudian melepaskan tiga kali
tembakan meriam dan mengibarkan bendera merah sebagai pernyataan perang
terhadap Gowa.66
Adapun yang menjadi fokus pertama serangan ini adalah
membebaskan Buton dari kepungan pasukan Kerajaan Gowa.67
Pada tanggal 21 Desember 1666, armada Speelman berangkat menuju
Buton. Dalam perjalananya, armada Speelman dan Aru Palakka
membumihanguskan setiap perkampungan orang-orang Makassar yang
dijumpainya. Bahkan 10 perkampungan yang berada di pinggir pantai di Teluk
Langkiang yang selama ini menjadi lumbung padi Kerajaan Gowa tak luput dari
amukan pasukan Speelman dan Aru Palakka. Atas peristiwa ini, pihak Kerajaan
Gowa mengalami tekanan psikologis yang hebat, dan sebaliknya membangkitkan
semangat juang bagi Bone.68
Pada tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman dan Aru Palakka tiba di
Perairan Bau-Bau. Kedatangan pasukan Speelman dan Aru Palakka ini membawa
angin segar bagi Buton yang nyaris frustasi akibat gempuran dahsyat armada
Kerajaan Gowa selama 38 hari.69
Armada Aru Palakka dan Speelman yang sejak
kedatanganya kemudian langsung melakukan serangan terhadap pos-pos induk
pasukan Gowa pimpinan Karaeng Bontomarannu dan berhasil merebut dua pos
pengawal laskar Gowa. Pada tanggal 2 Januari 1667, Aru Palakka menerobos
66
Kasim, Aru Palakka, hal. 106. 67
Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, hal. 189. 68
Kasim, Aru Palakka, hal. 108. 69
Penulis berasumsi, kalau saja Buton tidak mendapatkan bantuan militer dari VOC dan
Aru Palakka, kemungkinan besar Buton akan menyerah untuk menghindari resiko ancaman
kelaparan dan rasa takut yang mencekam di lingkungan istana maupun di kalangan masyarakat.
76
garis belakang front pertempuran untuk melakukan kontak dengan Sultan Buton.
job description serangan bersama antara Buton, Speelman dan Aru Palakka
menetapkan, bahwa sebagian laskar Buton mempertahankan Kota Wolio, dan
sebagian harus menggabungkan diri dengan Aru Palakka dan Speelman untuk
bersama-sama menyerang armada perang Gowa. Pasukan tempur Aru Palakka
dan Speelman menyerang dari arah barat dan selatan. Sementara pasukan Buton
menyerang dari arah timur dengan dukungan tembakan meriam dari benteng Kota
Wolio. Dengan formasi serang seperti itu, armada pasukan Gowa berhasil
dikepung.70
Dalam keadaan kewalahan dan terjepit, sekitar 300 pasukan Karaeng
Bontomarannu, khususnya yang terdiri dari orang-orang Bugis, Bone dan
Soppeng akhirnya membelot ke kubu Aru Palakka, sehingga kekuatan militer
Karaeng Bontomarannu di medan perang menjadi lumpuh.71
Akibatnya, banyak
korban jiwa berjatuhan dari kubu Gowa. Sementara armada gabungan Buton,
Speelman dan Aru Palakka yang didukung jumlah pasukan yang mencapai 5.000
orang berhasil memenangkan pertempuran ini, meskipun juga banyak menelan
korban jiwa.72
Akan tetapi, sebagai pihak yang kalah Gowa lebih rugi
dibandingkan pasukan gabungan Buton, Speelman dan Aru Palakka. besarnya
jumlah kerugian tersebut dilukiskan dalam Tijdshift Voor Nederlandsche Indie,
oleh Dr. W.R. Van Hoenell Zolt Bommel, jah. Nomonen soon 1875. De
70
Ibid., hal.109. 71
Membelotnya pasukan Karaeng Bontomarannu tersebut kemungkinan karena dua hal.
pertama, adanya keputusasaan, oleh karena bertambah kuatnya pasukan Buton. sehingga, bagi
mereka tak ada lagi pilihan, selain bergabung dengan Aru Palakka atau mati. Kedua, kemungkinan
hal ini dilakukan setelah mereka mengetahui bahwa dalam peristiwa tersebut ada Aru Palakka
yang merupakan pimpinan perjuangan Kerajaan Bone. 72
Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan, hal. 73.
77
Levenschiedenis van Aru Palakka, yang sudah diterjemahkan oleh M.D. Sagimun
sebagai berikut;
“…bahwa akibat pertempuran laut itu pihak Gowa mengalami kerugian;
300 buah perahu perang dihancurkan, 86 buah perahu dirampas Aru
Palakka, 10 buah perahu besar dirampas oleh Belanda, 30 buah perahu
kecil, 2 jung perang, 5000 orang Soppeng menggabungkan diri, 5500
orang Makassar ditawan dan ditempatkan disebuah pulau kecil di teluk
Bau-Bau tanpa diberi makan, 400 orang laki-laki dan perempuan dijadikan
budak.”73
Data tersebut menunjukan betapa besarnya kerugian yang diderita oleh
pihak Gowa, baik dalam bentuk riil maupun materil. Atas kekalahan ini, Gowa
kemudian diharuskan melepaskan berbagai daerah kekuasaanya, seperti Bone dan
Soppeng termasuk menghentikan intervensi politiknya di Kesultanan Buton.
Dilain pihak, keberhasilan Speelman membantu Buton ini diikuti oleh
adanya penandatangan kontrak antara Buton yang diwakili oleh Sultan La
Simbata dengan VOC yang diwakili Speelman, pada tanggal 31 Januari 1667, di
atas kapal “Thertolen” sebuah kapal pemburu dari VOC. Pokok kontrak tersebut
adalah di seluruh Kepulauan Tukang Besi terutama di Kaledupa dan Wangi-
Wangi, dinyatakan semua pohon cengkeh dan pala harus ditebang dan sekaligus
dimusnahkan di bawah pengawasan VOC. Atas gantinya, VOC membayar kepada
Buton setiap tahun 100 ringgit sebagai pengganti kerugian yang di Buton dikenal
dengan namanya “timpu pala” artinya potong pala. Kontrak La Simbata-
Speelman ini dikenal dengan “janji limaanguna” artinya “kontrak yang kelima.74
Kontrak ini kemudian dilanjutkan dengan kontrak pada tanggal 25 Juni 1667 di
atas kapal Thoff van Zeeland yang disaksikan oleh Sultan Ternate Mandar Syah.
73
Sagimun, “Naskah laporan lengkap adegan pahlawan Sultan Hasanuddin,” Tim Peneliti
Museum Sejarah Tugu Nasional, hal. 42, dalam Kasim, Aru Palakka, hal. 112. 74
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 53
78
Ketentuan dalam kontrak ini seluruhnya sesuai dengan apa yang sudah
dirundingkan pada tanggal 31 Januari 1667 dan perbedaanya hanya penempatan
perwakilan VOC yang tetap tinggal di Buton.75
Kontrak tersebut secara
keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
1. Semua pohon cengkeh dan pala yang terdapat di Kesultanan Buton
harus ditebang dan diusnahkan, khususnya di Kepulauan Tukang Besi,
Wangi-Wangi, Kaledupa dan Binongko. VOC kemudian membayar
kepada Buton tiap tahun 100 ringgit sebagai ganti rugi dan akan berlaku
pada akhir tahun 1667.
2. Pedagang-pedagang yang biasa datang di Buton seperti dari Batavia,
Jawa, Patani, Johor dan Palembang boleh diterima di Buton asal tetap
hidup berdamai dengan VOC dan Ternate. Pedagang-pedagang yang
berasal dari Makassar termasuk orang dari Kerajaan Gowa tidak
diperbolehkan apabila tidak dengan surat keterangan dan cap dari VOC
di Makassar.
3. Utusan-utusan dari bangsa tersebut boleh diterima di Buton, tetapi tidak
boleh mengadakan kontrak tanpa sepengetahuan dan persetujuan VOC
dan Ternate.
4. Bila VOC berada di dalam perang dengan sebuah negeri, maka negeri
itu juga menjadi musuh dari Kerajaan Buton dan memberikan bantuan
kepada VOC serta tidak boleh melakukan kontrak tersendiri, kecuali
VOC yang melakukanya.
75
Ibid., hal. 55.
79
5. Utusan musuh-musuh VOC harus ditangkap dan diserahkan kepada
VOC.
6. Bahwa seorang raja baru tidak akan dikukuhkan tanpa persetujuan VOC
dan Ternate, dan tanpa mengucapkan sumpah akan menjaga kontrak ini.
juga petinggi-petinggi kerajaan, tanpa persetujuan VOC dan Ternate
tidak boleh diganti, sedangkan petinggi kerajaan baru yang akan
diangkat, juga harus mengucapkan sumpah demikian.
7. Bahwa Raja Buton tetap boleh mengirimkan kapal dagang ke Batavia,
Ambon, Ternate, serta ke tanah orang Bugis, selama ia dilindungi oleh
VOC. Dengan Makassar tidak boleh begitu saja, tanpa lisensi VOC
diadakan hubungan dagang.
8. Bahwa jika VOC lebih baik demikian, demi memastikan penetapan
kontrak, mereka boleh menuntut agar tokoh-tokoh terkemuka, selama
dianggap perluh, diharuskan tinggal di Batavia.
9. Bahwa dimana mereka dianggap perlu, VOC boleh menyuruh
membangun kubu-kubu yang cocok, dan raja harus menyediakan bahan
bangunan serta tenaga untuk membangun kubu bersangkutan.
10. Bahwa orang Belanda dan petugas-petugas VOC yang lain yang
menyingkir ke Buton dan untuk memeluk agama Islam, harus langsung
diserahkan; menyembunyikan mereka akan dihukum berat.
11. Orang-orang Buton yang melakukan perbuatan yang tidak patut
terhadap orang-orang VOC dapat ditahan dan diserahkan kepada VOC
untuk diadili dan dihukum sesuai dengan tingkat kesalahanya.76
76
Schoorl, Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, hal. 61- 63, Zahari, Sejarah dan Adat
II, hal. 55-57.
80
Setelah kontrak di atas, VOC kemudian menempatkan 1 detasemen tentara
Belanda yang terdiri dari 4 orang di pulau-pulau Tukang Besi untuk mengawasi
penebangan pohon cengkeh dan pala. Petugas ini di Buton disebut “Kometer yang
keempat”.77
Penempatan serdadu VOC di Buton ini sebagai realisasi dari kontrak
Sultan La Simbata dan Speelman di atas.
Setelah pasukan gabungan Buton, Speelman dan Aru Palakka berhasil
mengalahkan pasukan Gowa di perairan Buton, misi selanjutnya adalah
melakukan serangan besar-besaran yang diarahkan di benteng-benteng pertahanan
Kerajaan Gowa, yang meliputi; Benteng Panakkukang, Benteng Barombong,
Benteng Galesong, dan terakhir adalah Benteng Somba Opu yang merupakan
jantung pertahanan akhir sekaligus ibu kota Kerajaan Gowa. Ketiga belah pihak
menyadari, bahwa untuk mengalahkan Kerajaan Gowa bukanlah perkara mudah,
mengingat kuatnya pertahanan Kerajaan Gowa. Untuk itu, dibentuklah aliansi
militer yang lebih kuat, dengan mengajak Ternate untuk terlibat dalam ekspedisi
militer ini.78
Sebelum melakukan serangan ke Gowa, baik Speelman, Buton,
Ternate dan Aru Palakka terlebih dahulu menyusun strategi dan mengumpulkan
pasukanya masing-masing di Buton.
Speelman dengan bantuan dari Ternate, Tidore, dan Bacan kemudian
mendaratkan pasukanya di Buton pada tanggal 19 Juni 1667. Disaat yang sama,
Aru Palakka memberangkatkan pasukanya terlebih dahulu menuju Bone dengan
kekuatan 2.000 pasukan di bawah pimpinan Arung Bila dan Arung Kaju untuk
meminta bantuan pasukan tambahan dari Bone dan Soppeng. Kemudian berselang
77
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 53. 78
Kasim, Aru Palakka, hal.115.
81
beberapa hari, pasukan Speelman diberangkatkan dari Buton menuju Makassar
dan tiba terlebih dahulu di Bantaeng pada tanggal 3 Juli 1667.79
Pada tanggal 21 Juli 1667, Buton mengirimkan armada perangnya untuk
membantu Speelman dan sekutunya di Makassar, dengan kekuatan 24 perahu
dengan pasukan 1.000 personil, dan kemudian tiba di Makassar pada tanggal 27
Juli 1667.80
Setelah itu, menyusul pasukan Aru Palakka yang berkekuatan 10.000
pasukan yang terdiri dari pasukan Bantaeng 1.000 orang dan kemudian Bone
7.000 orang.81
Pada tanggal 4 Agustus 1667, pasukan gabungan ini kemudian
melakukan serangan dan berhasil merebut Benteng Galesong pada tanggal 22
Agustus 1667. Berselang beberapa waktu setelah serangan ini, datang pula
pasukan bantuan dari Soppeng sebanyak 5.000 orang di bawah komando Arung
Pancana dan dari Luwu 20.000 pasukan di bawah komando Daeng Pabila.
Sementara pada tanggal 2 September 1667, tiba pula pasukan bantuan dari
Ternate sebanyak 28 buah kapal perang. Dengan jumlah pasukan yang besar ini,
dengan mudah mereka menghancurkan Benteng Barombong pada tanggal 26
September 1667, kemudian menyusul Benteng Panakkukang dan Sombaopu pada
tanggal 7 November 1667.82
Dengan perang yang memakan waktu sekitar 4 (empat) bulan ini, akhirnya
Kerajaan Gowa yang dibantu sebagian kecil pasukan Portugis dan Denmark
kemudian harus mengakui kekalahanya.83
Dengan terpaksa Gowa harus
menandatangani perjanjian perdamaian di Bungaya yang dikenal dengan
79
Ibid., hal. 122-123. 80
Ibid., hal. 124. 81
Abdurrazak Daeng Patunru, dkk., Sejarah Gowa, (Makassar: Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1993), hal. 180. 82
Ibid., hal. 182. 83
Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, hal. 190.
82
perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667. Perjanjian ini berisi perintah
VOC agar semua pasukan Makassar dengan segala peralatanya, perahu, senjata,
mesiu, mas dan perak serta lain-lainya dengan tidak ada pengecualian diserahkan
kepada Speelman sebagai pihak yang menang dalam perang. VOC juga telah
menjadi penguasa tunggal atas Makassar dan sekutu-sekutunya serta memiliki hak
monopoli perdagangan di Makassar.84
Terkait Buton, Gowa diharuskan menarik
pasukanya dari Buton.85
Raja Gowa bersama orang-orang besarnya menyatakan
kesediaanya untuk mengembalikan semua orang-orang Buton yang dalam perang
terakhir diculik oleh pasukan Makassar dan dibawa serta dari Buton ke
Makassar.86
Demikianlah hubungan Buton – VOC masa sultan La Simbata yang
dipenuhi oleh kontrak-kontrak dengan VOC. Zahari mencatat La Simbata sebagai
Sultan Buton yang memiliki catatan terbayak sepanjang pemerintahanya dengan
melakukan enam kali penandatanganan kontrak dengan VOC.87
Setelah La Simbata melepaskan jabatanya, ia kemudian digantikan oleh La
Tangkaraja atau dikenal dengan gelar Sultan Kaimuddin (1669-1680). Pada masa
Sultan La Tangkaraja, hubungan Buton – VOC berjalan normal. Kontrak
sebelumya antara La Simbata-Speelman dapat dijalankan dengan baik pada masa
Sultan La Tangkaraja. Hal ini terlihat ketika pada tahun 1667 VOC menempatkan
detasemen tentaranya di Buton untuk pengawasan dan penyelidikan lebih lanjut
pohon cengkeh dan pala di Kepulauan Tukang Besi untuk pertama kalinya.
84
Adrian B. Lapian, ed., Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan),
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, ), hal. 10, G. J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah, (Depok:
Komunitas Bambu, 2013), hal. 42-44. 85
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 52. 86
Ibid., hal. 60. 87
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 61, Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan, hal. 191,
83
Untuk memudahkan langkah ini, Buton kerap kali memberikan bantuan
perahu tumpangan kepada VOC dalam memberikan pengawasan di Kepulauan
Tukang Besi maupun di Kaledupa dan Wangi-Wangi. Hal ini berlangsung hingga
masa Sultan Lang kariri atau Sultan Sakyuddin Duurul Aalam yang merupakan
Sultan Kesembilan belas, yang memerintah dari tahun 1712-1750. Pada tahun
1733 atau awal 1734, Gubernur “Sautijn” dari VOC meminta persetujuan Buton
untuk dapat memasukkan kayu jati kepada VOC tiap tahun, tetapi hal ini hanya
hanya berjalan beberapa kali saja. Kemudian dalam perang Gowa – VOC yang
dikenal dengan peristiwa Karaeng Bonto Langkassa, atas permintaan dari VOC
Buton juga mengirim bantuan.88
Demikianlah, hubungan Buton – VOC dari masa
Sultan La Tangkaraja (sultan kesebelas) hingga masa Sultan Lang Kariri (Sultan
kesembilan belas).
Demikianlah sekilas hubungan Buton – VOC yang berlangsung dari masa
Sultan La Elangi atau Dayanu Ikhsanuddin yang merupakan Sultan Buton
keempat hingga masa Sultan Lang Kariri atau Sultan Sakiuddin Duurul Aalam,
yang merupakan Sultan Buton kesembilan belas. Dalam kurun waktu tersebut,
hubungan Buton – VOC telah mengalami pasang-surut. Pasang-surut hubungan
Buton-VOC ini dapat dilihat dari adanya konflik dan diplomasi.
88
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 91
84
BAB IV
HUBUNGAN BUTON – VOC MASA PEMERINTAHAN
SULTAN HIMAYATUDDIN MUHAMMAD SAIDI
(TAHUN 1751-1752, DAN 1760-1763)
A. Kondisi Internal Kesultanan Buton Masa Pemerintahan Sultan
Himayatuddin Muhammad Saidi
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi Ibnu Sultani Liyauddin Ismail
Muhammad Sayidi atau biasa disingkat Himayatuddin adalah Sultan Buton yang
ke-20 (1751-1752) dan ke-23 (1760-1763). Ia lahir di Wolio (Buton) sekitar tahun
1690-an, dan meninggal di puncak gunung Siontapina (Lasalimu Selatan) pada
tahun 1776 dalam usianya yang ±86 tahun.1 Nama kiasannya adalah La
2
Karambau, yang berarti kerbau. Diberi nama demikian karena konon ia dikenal
sebagai orang yang sangat kuat, berperawakan tinggi dan besar, layaknya kerbau.
Kelak saat memimpin perang gerilya melawan VOC, Himayatuddin kemudian
masyhur dengan sebutan Oputa Mosabuna I Koo atau Oputa yi Koo, yang berarti
sultan yang tinggal di hutan.
Himayatuddin merupakan keturunan bangsawan Kaomu golongan
Tanailandu, yaitu golongan bangsawan yang merupakan keturunan atau keluarga
Sultan Buton keempat Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi.3 Ayahnya La Umati
1 La Ode Abdul Munafi dan Andi Tenri, Dinamika Tanah Wolio, Sejarah, Kontinuitas,
dan Perubahan, (Makassar: Fahmis Pustaka, 2014), hal. 13. 2 Dalam bahasa Wolio dan Muna, bentuk “La” diartikan sebagai bentuk nomina (kata
benda) yang merujuk pada jenis kelamin laki-laki. Sementara kata “Wa” merujuk pada jenis
kelamin perempuan. 3 Selain Tanailandu, dua golongan bangsawan Kaomu lainya adalah Tapi-Tapi dan
Kumbewaha. Tapi-Tapi merupakan cabang Kaomu dari keluarga La Singa, sedangkan
Kumbewaha dari golongan keluarga La Bula. Ketiga cabang Kaomu ini dikenal dengan
“Kamboru-mboru Talupalena”, yang secara harfiah berarti “Tiga Tiang Penyangga”. Pembagian
85
atau Liyauddin Ismail merupakan Sultan Buton ketiga belas. Adapun kakeknya
Gogoli Mbela-Mbela4 berasal dari Sangia La Balawa La Sinuru, bersaudara
dengan Sultan Buton kedelapan Mardan Ali atau La Cila yang tidak lain adalah
putra Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi. Pada masa pemerintahan Sultan
Mardan Ali, Gogoli Mbela-Mbela menjabat sebagai Kapitaraja, namun kemudian
disingkirkan dan dihukum mati di pulau Mbela-Mbela atas perintah Sultan
Mardan Ali sendiri. Sementara nenek Himayatuddin Sangia Labalawa pernah
memimpin pasukan Buton ke Amboina bersama La Cila pada masa pemerintahan
Sultan Gafurul Wadudu atau La Buke, dan kembali pada masa pemerintahan
Sultan Saparagau.5
Mengenai nama ibu Himayatuddin tidak diketahui secara pasti, baik dari
sumber lisan maupun tulisan. Yang jelas Himayatuddin mempunyai tiga orang
saudara kandung, yaitu; (1) La Ibi atau Sultan Nasraruddin (1709 – 1711), yang
juga dikenal dengan sebutan La Woelangke, Mosabuna I Lawangke dan Oputa
golongan Kaomu ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin melalui
kesepakatan yang dilakukanya dengan Sapati La Singa dan Kenepulu La Bula, dan didukung oleh
Gubernur Jenderal Pieter Both (VOC). Tujuan pembagian golongan bangsawan ini dengan
harapan agar kelak jabatan sultan dapat dijabat oleh anak cucu La Elangi. Adapun golongan Tapi-
Tapi hanya berhak menduduki jabatan Sapati, sementara Kumbewaha menduduki jabatan
Kenepulu. Meskipun demikian, perkembangan selanjutnya jabatan sultan tidak hanya dijabat oleh
golongan Tanailandu saja, tetapi juga oleh golongan Tapi-Tapi dan Kumbewaha, yang proses
pemilihanya dilakukan oleh Dewan Siolimbona (lembaga legislatif). 4 Gogoli Mbela-Mbela ini bukanlah nama aslinya. Gogoli sendiri berarti lilit, sedangkan
Mbela-Mbela merujuk pada nama pulau, yaitu pulau Mbela-Mbela. Penyebutan yang demikian
karena ia wafat dihukum mati dengan cara lehernya dililitkan tali di Pulau Mbela-Mbela.
Keputusan hukuman mati ini berdasarkan perintah Sultan Mardan Ali karena Gogoli Mbela-Mbela
dituduh melakukan tindakan yang dianggap mengancam kedudukan Sultan Mardan Ali. Namun
dibalik semua itu, ternyata hanya sebuah taktik yang diusung Dewan Syarah Kesultanan Buton
untuk menyingkirkan Sultan Mardan Ali dari kedudukanya, yang salah satu cara untuk
memuluskan langkah tersebut adalah dengan menyingkirkan orang terkuat Sultan Mardan Ali,
yaitu Gogoli Mbela-Mbela. Selengkapnya, lihat: Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat fiy Darul
Butuni (Buton) II, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hal. 19-20. 5 Ibid., hal. 70.
86
Momambelana. (2) Permaisuri Sultan Buton kedelapan belas La Tumparasi, dan
(3) Wa Ode Tumada.6
Sejak kecil Himayatuddin sudah memperlihatkan tanda-tandanya sebagai
orang besar. Keberhasilannya menjalani pendidikan agama, bela diri, ilmu
pemerintahan dan kepemimpinan yang berlangsung di lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun keraton telah menjadikannya sebagai pemuda yang tangguh
dan berjiwa kesatria. Dalam pergaulan sehari-hari, ia dikenal dengan tutur kata
dan tegur sapanya yang ramah dan santun sehingga membuatnya begitu disenangi,
dihormati, dan disegani oleh kawan-kawan maupun lawan-lawannya. Hal ini
pulalah yang menurut Zahari membuat Himayatuddin memiliki banyak teman.
Dalam hal belajar, Himayatuddin dikenal sebagai orang yang cerdas dan
ulet, sehingga ia selalu tampil lebih unggul dan dominan dari teman-temannya,
baik dari segi fisik maupun pengetahuan. Hal inilah yang kemudian mengundang
banyak simpati dari kalangan masyarakat, khususnya kalangan orang tua. Mereka
meramalkan, bahwa kelak Himayatuddin akan menjadi orang besar, yang akan
mempunyai kedudukan tinggi dalam kesultanan. Demikianlah ramalan orang tua
yang kemudian dijawab oleh sejarah setelah diangkatnya Himayatuddin sebagai
Sultan Buton yang ke-20 dan ke-23.7
Himayatuddin menikah dengan putri Sultan Lang Kariri bernama Balu I
Koo8. Dari hasil pernikahan ini, ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu: (1) La Ode
6 Ibid., hal. 83.
7 Ibid.,hal. 116.
8 Ini bukanlah nama aslinya. Nama aslinya tidak ditemukan dalam silsilah juga dalam
bahan lisan dari kalangan orang tua, selain dengan nama pengganti tersebut. Umumnya dalam
sejarah Buton terlebih orang-orang besar kerajaan lagi keramat tidak disebut-sebut dengan
namanya yang sebenarnya menlainkan nama jabatan atau nama pengganti lainya. “Balu I Koo” itu
sendiri artinya janda di hutan, yaitu sebagai gelar yang ditujukan kepadanya sebagai janda dari
Sultan Himayatuddin yang tinggal dan menetap di hutan, tepatnya di Gunung Siontapina. Zahari,
Ibid., hal. 91.
87
Harikiama, (2) La Ode Pepago, dan (3) Wa Ode Wakato. Sayangnya, Wa Ode
Wakato yang merupakan putri bungsu Himayatuddin yang saat itu sedang dalam
buaian menjadi tawanan VOC bersama cucunya Wa Ode Kamali ketika terjadi
perang antara Buton – VOC pada masa pemerintahan Sultan Sakiyudin. Keduanya
kemudian dikenal dengan nama “i-lingkaakana walanda” artinya “yang dibawa
pergi oleh Belanda”.
Himayatuddin pertama kali terjun dalam dunia politik Kesultanan Buton
ketika menjabat Lakina Kambowa sebagai jabatan kepala wilayah pemerintahan
bawahan, dan kemudian diangkat menjadi Kapitalau Matanayo (Panglima
Pertahanan Keamanan Wilayah Timur). Selama menjalani penugasannya sebagai
Kapitalao Matanayo, ia berhasil mengkoordinasikan pembangunan benteng-
benteng pertahanan dihampir seluruh wilayah Kesultanan Buton. Atas berbagai
prestasi dan kecakapannya dalam memimpin, Himayatuddin akhirnya diangkat
menjadi Sultan Buton yang ke-20, menggantikan bapak mertuanya Sultan Lang
Kariri. Diriwayatkan oleh Lam Bia Ma Hadia dan La Adi Ma Faoka melalui
Zahari, bahwa diangkatnya Himayatuddin sebagai sultan berdasarkan
rekomendasi dari Sultan Lang Kariri kepada anak-anaknya, khususnya Hamim
agar mendahulukan Himayatuddin sebagai sultan.9 Hal tersebut dilakukan Lang
Kariri sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayangnya terhadap Himayatuddin,
berkat pribadi maupun prestasinya yang gemilang.
Himayatuddin naik tahta pada 1750 sebagai Sultan Buton ke-20
menggantikan Sultan Saqiuddin Duurul Alam (Lang Kariri/Oputa Sangia).
Sebelum menjadi sultan, ia menjabat Kapitalau Matanaeo (Panglima Kawasan
9 Ibid., hal. 94.
88
Timur) yang selama penugasannya berhasil mengkoordinasikan pembangunan
benteng-benteng pertahanan dihampir seluruh wilayah Kesultanan Buton. Dari 37
orang Sultan Buton yang memerintah selama 38 masa pemerintahan yang
berlangsung ±4 abad (1541-1960), Himayatuddinlah satu-satunya sultan yang
menjabat dua kali, yaitu sebagai Sultan Buton ke-20, dan ke-23 (1751-1752, dan
1760-1763). Ciri menonjol dalam dua masa pemerintahannya bahkan setelah tidak
menjabat lagi sebagai sultan hingga wafatnya adalah rentetan konflik dan perang
yang dikobarkannya melawan VOC.
Sebelum masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi,
Buton kerap dilanda konflik antargolongan bangsawan. Konflik yang terjadi
dalam Kesultanan Buton umumnya disebabkan oleh persaingan tiga golongan
bangsawan Kaomu, yaitu Tanailandu, Tapi-Tapi, dan Kumbewaha. Masing-
masing golongan ini merasa berhak untuk menempatkan golongannya pada
jabatan-jabatan strategis dalam kesultanan, khususnya jabatan sultan. Selain itu,
pertikaian tersebut didasari juga oleh perbedaan paham tasawuf yang kemudian
berkembang di Buton, khususnya elit penguasa, yakni wujudiyyah seperti
tercermin di dalam ajaran “martabat tujuh” yang sangat berpengaruh bagi
Kesultanan Buton. Pertikaian ini sering kali menyulut konflik-konflik pribadi
yang sangat mendalam dan akhirnya terpolarisasi menjadi pertentangan yang
diikuti oleh rakyat dengan keberpihakan pada golongan-golongan tertentu dengan
menggunakan cara-cara kekerasan yang berakhir dengan terjadinya pertumpahan
darah. Keadaaan seperti ini sering kali terjadi dalam Kesultanan Buton.10
10
Susanto Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), hal. 95.
89
Pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin, konflik-konflik internal
lebih bisa diatasi, dan menjadikan Buton lebih stabil.11
Akan tetapi, tantangan
terbesar justru datang dari luar, yaitu VOC. Hal ini disebabkan oleh pertentangan
yang dilakukan oleh sultan Himayatuddin, yang dianggap VOC sebagai
pembangkang. Pada masanya pula, kekuatan internal Kesultanan Buton terpecah
menjadi dua, yaitu kalangan moderat yang menghendaki menjalankan ultimatum
VOC secara bertahap, dan penganut garis keras (pengikut Himayatuddin) yang
menentang VOC.
B. Konflik Buton – VOC
1. Masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi
Sepanjang abad ke-17 hingga ke-18 telah terjadi banyak pergolakan dan
konflik antara penguasa lokal Nusantara dengan VOC.12
Beberapa kerajaan yang
meskipun pada awalnya mempunyai kontak hubungan yang harmonis dengan
VOC mulai bersikap kritis. Dalam tahapan yang lebih ekstrim, mereka
menganggap perlunya melakukan perlawanan terhadap VOC. Menurut Saleh
Putuhena, lahirnya pertentangan atau perlawanan terhadap VOC umumnya
disebabkan oleh kepentingan ekonomi dan eksistensi kerajaan/kesultanan yang
semakin terancam dikarenakan monopoli perdagangan VOC terhadap rempah-
rempah serta intervensi VOC dalam soal politik kesultanan.13
Di Buton, reaksi-reaksi berupa pertentangan atau perlawanan terhadap
VOC menurut sumber sejarah lisan sesungguhnya telah dimulai sejak awal
11
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional, hal. 93. 12
A. Kardiyat Wiharyanto, Sejarah Indonesia Madya abad XVI-XIX, (Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2006), hal. 56. 13
M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji di Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal.
262.
90
kehadiran VOC di Buton tahun 1613. Timbulnya perlawanan tersebut karena
adanya anggapan bahwa dibalik kehadiran dan tawaran kerjasama VOC terdapat
niat mencari keuntungan politik dan ekonomi semata. Namun jika dipresentase
masih lebih banyak yang setuju menerima kerjasama tersebut karena alasan
besarnya ancaman eksternal khususnya yang berasal dari Ternate dan Gowa
sehingga tidak ada pilihan lain selain bekerjasama dengan VOC.14
Meskipun demikian, jika ditelusuri lebih jauh khususnya berdasarkan pada
sumber-sumber sejarah tertulis, sangat sulit untuk menemukan sumber data yang
dapat menjelaskan apakah memang terjadi pertentangan-pertentangan masyarakat
maupun pejabat Kesultanan Buton pada fase awal. Kecuali pada masa
pemerintahan Sultan Aidil Rakhim atau La Simbata (1664-1669), di mana mulai
muncul sejumlah reaksi-reaksi keras berupa pertentangan-pertentangan terhadap
VOC baik berupa gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan protes hingga
perlawanan secara fisik. Perlawanan ini berlangsung terus menerus, dan mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi.
Pangkal yang menjadi permasalahan adalah perubahan kedudukan Buton dengan
VOC dalam kontrak La Simbata – Speelman tahun 1667 yang semula berdasar
pada kesetaraan yang menyatakan sebagai “satu kesatuan” menjadi ke tahap
ketundukan dan dominasi VOC15
yang dalam ungkapan Cense dikenal dengan
istilah ‘saya bicara, anda setuju’ atau ‘musuh kami adalah musuh anda’.16
14
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional hal. 110. 15
Ibid.,hal.111. 16
Saya yang dimaksud Cense merujuk pada VOC, sedangkan Anda merujuk pada
kerajaan-kerajaan lokal. Ungkapan di atas adalah tentang keharusan bagi kerajaan-kerajaan lokal
untuk tunduk dan patuh terhadap VOC. Di Buton sebagaimana yang terdapat dalam kontrak tahun
1667 terdapat keharusan untuk melakukan ekstirpasi pohon rempah-rempah, membatasi pelayaran
dan perdagangan orang-orang Buton, dan lain sebagainya. Selengkapnya, lihat: Cense,
“Aantekeningen,” hal. 48, dalam G. J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah, (Depok: Komunitas
Bambu, 2013), hal. 32-33.
91
Sebagaimana diketahui, bahwa pada awalnya kontrak-kontrak Buton –
VOC hanya mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk saling
membantu dalam memerangi musuh-musuh bersama, memasok barang-barang
yang menjadi kebutuhan bersama, dan lain sebagainya. Namun dalam
perkembangan selanjutnya, kontrak-kontrak tersebut telah mengalami pergeseran,
di mana terdapat beberapa pasal tambahan yang menunjukan besarnya ruang
intervensi VOC dalam urusan internal Kesultanan Buton. Beberapa pasal
tambahan yang dimaksud meliputi perintah ekstirpasi pohon rempah-rempah atau
timpu pala di seluruh wilayah Kesultanan Buton, pembatasan aktifitas berlayar
dan berdagang orang-orang Buton, pembatasan kapal-kapal dagang yang datang
di Buton, dan sebagainya.17
Selain itu, dalam setiap pergantian pejabat kesultanan
pun harus berdasarkan persetujuan VOC dan Ternate. Mengenai bagian isi
kontrak yang menyatakan perintah ekstirpasi pohon rempah-rempah, terdapat
dalam pasal satu (1), yang berbunyi sebagai berikut:
“Alle onder zijn gezag staande Toekangbësi eilanden, voornamelijk op
Kaledoepa en Wantji-wantji (Wangi-wangi), en voorts op alle andere
eilanden, al behoorden die niet tot de Toekang-bësi eilanden, ook op
Binongko, ten overstaan van door de Compagnie daartoe te zenden
personen alle nagel en notenmuskaatboomen te zullen doen omvellen en
uitroeien, welke uitroeiing jaarlijks zou herhaald worden. Hiervoor zou de
Compagnie hem jaarlijks, te beginnen met het einde van 1667, honderd
rijksdaalders uitbetalen, als zijnde dit het bedrag, dat hij, volgens zijn
verklaring, jaarlijks van die boomen getrokken had.”
“Semua yang berada di Kepulauan Tukang Besi terlebih Kaledupa dan
Wangi-Wangi dan semua pulau apapun namanya meski tidak dibilang
berada di Kepulauan Tukang Besi juga Binongko akan dipotong dan
dimusnahkan dihadapan VOC semua pohon cengkeh dan pala, yang akan
dimulai akhir tahun 1667, dengan pembayaran ganti rugi 100 ringgit setiap
tahun.”
17
Munafi dan Andi Tenri, Dinamika Tanah Wolio, hal. 14
92
Terkait pergantian pejabat kerajaan terdapat dalam pasal tujuh (7), yang
berbunyi sebagai berikut:
“Bij overlijden van den koning moeten de rijksraden daarvan zoo spoedig
mogelijk kennis geven aan den koning van Ternate en de Compagnie, die
alsdan gecommitteerden zullen zenden om met de rijksgrooten een
opvolger te verkiezen. Deze opvolger moet, alvorens als vorst te worden
bevestigt, den koning van Ternate en de Compagnie trouw zweren, waarna
de rijksgrooten het hem moeten doen. De rijksgrooten mogen nimmer hun
vorst afzetten zonder toestemming van Ternate en de Compagnie, gelijk de
koning en rijksgrooten den goegoegoe (sapati) of andere hooge beambten.
Ook niet ontslaan mogen, maar de tegen hen gerezen klagten ter keunis
van den koning van Ternade en de Compagnie moeten brengen, die alsdan
in overeenstemming met hen daarin zullen beschikken. Terwijl alle nieuw
aangestelde rijksgrooten, van hoogen zoowel als van lagen rang, het
kontrakt moeten bezweren. Zoo de koning dit kontrakt overtreedt, mogen
de koning van Ternate en de Compagnie in overleg met de rijksgrooten
van Boeton hem afzetten, en een ander in zijn plaats verkiezen.”
“Bila raja wafat, orang-orang besar kerajaan segera memberitahukannya
kepada raja Ternate dan VOC, di mana keduanya akan mengirim
penguasanya untuk bersama-sama dengan orang-orang besar Kerajaan
Buton memilih penggantinya raja yang baru. Raja yang baru ini sebelum
diangkat, lebih dahulu menyatakan setia kepada Ternate dan VOC yang
dinyatakan dihadapan orang-orang besar kerajaannya. Orang-orang besar
kerajaan tidak boleh menurunkan rajanya dari tahta kedudukannya tanpa
melalui pemberitahuan kepada Ternate dan VOC. Juga orang-orang besar
kerajaan tidak boleh dilepaskan tetapi lebih dahulu memberitahukan
kesalahan dan perbuatannya yang menjadi sebab kelepasannya kepada
Ternate dan VOC yang selanjutnya bersama-sama mengambil keputusan.
Semua orang-orang besar kerajaan yang baru diangkat maupun pejabat
rendahan harus sebelumnya diangkat menyatakan kepatuhannya atas
kontrak perjanjian ini. Bila raja melanggar kontrak ini raja Ternate dan
VOC bersama-sama dengan orang-orang besar Kerajaan Buton
melepaskan raja yang dimaksud itu kemudian mengangkat
penggantinya.”18
Meski cukup besar ruang intervensi VOC di dalam internal Kesultanan
Buton, VOC menyatakan masih mengakui kedaulatan Kesultanan Buton,
meskipun pada hakekatnya pengakuan yang dimaksud adalah pengakuan atas
18
Isi kontrak Berbahasa Belanda diambil dari tulisan A. Ligtvoet sementara
terjemahannya diambil dari tulisan Zahari. Selengkapnya mengenai kontrak tersebut, lihat: A.
Ligtvoet, “Beschrijving en Geschiedenis van Boeton,” BKI, 1878, hal. 57-60, Zahari, Sejarah dan
Adat II, hal. 55-59.
93
kedaulatan tunggal sultan. Mengenai pengakuan VOC tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh Zuhdi terdapat dalam pasal sebelas (11) kontrak tersebut, yang
berbunyi:”… aller wegen op de landen onder het Bouton gebied, daar zij het komt
goet te vinden…in dien se komen onder de Butonse jurisdictie, sullen ter stont
gevat en in verseeckeringe gestelt…”. Bagi pembesar Kesultanan Buton,
penambahan beberapa pasal dalam kontrak di atas merupakan ancaman nyata bagi
kedaulatan Kesultanan Buton. Terlebih lagi dalam intervensinya VOC melibatkan
Ternate yang selama ini dianggap Buton sebagai ancaman eksternal yang berasal
dari arah timur. Oleh karenanya, kontrak tersebut menimbulkan pertentangan-
pertentangan setidaknya diantara para pembesar Kesultanan Buton sendiri antara
pihak yang setuju dengan yang tidak setuju dengan kontrak tersebut. Sumber
sejarah Buton menggambarkan apiknya pertentangan terhadap kontrak tersebut
yang hingga proses pembahasan dan penandatanganannya pun memakan waktu
sampai dengan dua puluh hari. Berikut bunyinya:
“Syahdan perkara perjanjian di dalam cara Walanda seperti di dalam cara
Melayu syahdan antara raja Butun dengan Kumpeni apa yang dua puluh
hari ini sudah bermufakat dihadapan raja Ternate karena dia punya masuk
berantang juga disitu syahdan bunyinya seperti bagimana dibawah ini
boleh mengetahui dan lagi di dalam ini atawa tidak menaruh perjanjian
dengan Ternate karena di dalam bicara kami kepada lima hari bulan April
di dalam ini tahun sudah tertulis.”19
Meski terdapat pertentangan-pertentangan, kontrak tersebut akhirnya dapat
disetujui dan ditandatangani juga pada tanggal 25 Juni 1667 di atas kapal Thoff
van Zeeland yang disaksikan oleh Sultan Ternate Mandarsyah yang didampingi
oleh kapitan lautnya bernama Rinti.20
Adanya ancaman VOC dan terdapatnya
19
Zahari, “Janjia I Walanda,” dalam Susanto Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana Sejarah
Butun Abad XVII – XVIII,” (Disertasi S3 Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia
Tahun 1999), hal. 20 Zahari, Sejarah dan adat II, hal. 58.
94
pengakuan kedaulatan Sultan Buton menjadi alasan utama diterimanya kontrak
tersebut, meskipun dalam perkembangannya isi kontrak tersebut khususnya yang
berkaitan dengan pergantian penguasa Buton tidak sepenuhnya dijalankan oleh
penguasa Buton. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan VOC
menyerang Kesultanan Buton tahun 1755 karena tidak mentaati dan menjalankan
kontrak tahun 1667.“Men zal niet slipt letten op het bepaalde in art.7 van het
contract met Bouton van met 25 Juni 1667, maar men radt de hoofden aan niet zo
lichtvaardig hun koning door en ander te vervangen.”21
Meskipun demikian,
ditandatanganinya kontrak tersebut semakin memperjelas status ikatan dan
kedudukan Buton dengan VOC. VOC menjadi schut en beschermheer, pelindung
Buton. Sejak saat itu, dalam kaitannya dengan pengendalian cengkeh dan pala
serta perpolitikan lokal, VOC memiliki dasar ‘legal’ untuk berurusan dengan para
sultan Buton sesuai kepentingan terbaik VOC. Di atas kertas, paling sedikit
produksi cengkeh dan pala yang berada di bawah kekuasaan Buton dapat diatur
dan dimusnahkan sepenuhnya. Sisanya adalah mengontrol dan memaksa kerajaan
ini untuk mentaati kontrak:“…Terwijl alle nieuw aangestelde rijksgrooten, van
hoogen zoowel als van lagen rang, het kontrakt moeten bezweren. Zoo de koning
dit kontrakt overtreedt, mogen de koning van Ternate en de Compagnie in overleg
met de rijksgrooten van Boeton hem afzetten, en een ander in zijn plaats
verkiezen…”.22
Perombakan isi kontrak Buton – VOC di atas erat kaitannya dengan
kekalahan Gowa dalam perang di perairan Buton Januari 1667.23
VOC yang
akhirnya merasa keluar sebagai pemenang dalam pertarungan perebutan hegemoni
21 Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana.,”hal. 151. 22
Ligtvoet, “Beschrijving en Geschiedenis van Boeton,” hal. 60. 23
Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana,” hal. 143.
95
dengan Gowa mencoba menekan Kesultanan Buton melalui kontrak-kontrak yang
isinya lebih banyak menguntungkan pihak VOC.24
Tidak hanya Buton, beberapa
kerajaan lain pun mempunyai kewajiban yang sama untuk menandatangani
kontrak. Gowa sebagai kerajaan yang kalah perang di perairan Buton yang
kemudian disusul dengan kekalahannya secara menyeluruh dalam perang di
perairan Makassar November 1667 dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya
tahun 1667 sebagai bentuk pengukuhan kekuasaan VOC atas daerah tersebut.25
Kerajaan Tidore yang ditinggalkan sekutunya Spanyol yang kalah perang dengan
VOC pun dipaksa menandatangani kontrak 29 Maret 1667 yang isinya kurang
lebih sama dengan Buton, seperti perintah ekstirpasi seluruh tanaman rempah-
rempah, larangan berdagang dengan pihak asing, larangan pergantian penguasa
tanpa persetujuan VOC, dan lain sebagainya.26
Demikian halnya dengan Ternate
yang kemudian menandatangani kontrak tahun 1683 yang juga menandai
pengukuhan kekuasaan VOC di daerah tersebut.27
Sejak saat itu, seluruh aktifitas
ekonomi maupun politik beberapa kerajaan tersebut telah jatuh di tangan VOC.
Sejak menurunnya pengaruh Ternate di kawasan timur Nusantara, semua hal yang
berkaitan dengan urusan internal Kesultanan Buton pun telah berada di bawah
kendali VOC. Dalam hal pemberhentian atau pengangkatan pembesar Kesultanan
Buton misalnya, tidak wajib lagi ditujukan kepada Ternate, tetapi langsung
kepada VOC. Berikut pernyataan VOC:
24
Ibid., hal. 144. 25
Adrian B. Lapian, ed., Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan Kebangsaan),
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia), hal. 10. 26
Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto, ed., Sejarah nasional Indonesia III:
Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), hal. 34. 27
Muridan Widjojo, Pemberontakan Nuku, Persekutuan Lintas Budaya di Maluku-Papua
Sekitar 1780-1810, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hal. 31-36.
96
“Perkara perjanjian apabila mangkat atawa mengeluarkan raja atawa
menaikkan raja hendaklah dengan seyogyanya memberi khabar kepada
Kompeni (VOC) ke Betawi atawa ke Mangkasar meminta komenter yang
akan mengadap melekatkan malu atas pilihnya segala menteri-menteri dan
bobato itu adanya”.28
Jika ditelusuri lebih jauh, pemaksaan dominasi VOC di Buton dengan
wilayah lain mengikuti jalur yang berbeda. Di Makassar, struktur kekuasaan
tradisional serta organisasi perdagangan dan perpolitikan lokal hampir seluruhnya
dimusnahkan oleh VOC. Terlebih lagi di Banda, di mana struktur kekuasaan
tradisional serta organisasi perdagangan dimusnahkan seluruhnya. Sehingga
dalam perkembangannya, tidak perluh lagi dibuat traktat atau perundingan dengan
pemimpin lokal. Banda menjadi ‘koloni perkebunan’ dalam konteks kata menurut
orang Amerika. Di Ambon, VOC menerapkan pemerintahan langsung kepada
Pribumi. Awalnya sulit dan berdarah-darah, namun setelah pertarungan 60 tahun,
akhirnya daerah tersebut dapat ditenangkan.29
Di Buton, kekuasaan VOC
diterapkan melalui para Sultan, kepada mereka VOC mendiktekan arahan-
arahannya. Taktik utama adalah mengarahkan sultan yang berkuasa dan
mengontrol suksesinya. Namun sampai dengan akhir abad ke-19, VOC yang
dikemudian hari berganti menjadi pemerintah Hindia-Belanda tidak pernah
berhasil sepenuhnya dalam mengontrol dan mengendalikan Kesultanan Buton
melalui kontrak-kontraknya. Baru setelah diadakanya perjanjanjian antara Sultan
Muhammad Asyikin-Brugman pada tahun 1906 kekuasaan Kesultanan Buton
sepenuhnya telah berada di bawah kendali pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Tidak terkecuali dengan perintah ekstirpasi pohon rempah-rempah yang memang
sejak ditandatanganinya kontrak tahun 1667 telah diterapkan sepenuhnya.
28
Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana,” hal. 137. 29 Widjojo, Pemberontakan Nuku., hal. 37.
97
Tidak diragukan lagi bahwa kesuksesan VOC dalam menerapkan
monopoli dan ekstirpasi pohon rempah-rempah di seluruh wilayah Kesultanan
Buton terjadi dengan korban kemerdekaan dan kesejahteraan komunitas-
komunitas Pribumi. Oleh karenanya, muncul kerusuhan-kerusuhan yang
dilakukan oleh rakyat. Terkhusus masyarakat Kepulauan Tukang Besi yang sejak
awal diberlakukannya kebijakan ekstirpasi rempah-rempah serta pembatasan
perdagangan dengan daerah lain masa pemerintahan Sultan La Simbata telah
memunculkan reaksi perlawanan. Masyarakat yang telah sekian lama
menggantungkan kehidupannya pada pelayaran dan perdagangan rempah-rempah
dengan daerah lain, merasa sangat dirugikan dan menderita akibat kebijakan ini.
Oleh karenanya, mereka secara mati-matian menentang pemberlakuan kontrak
tersebut. Namun, perlawanan masyarakat yang masih sporadis dan tidak didukung
perlengkapan sebagaimana VOC, berhasil ditumpas VOC tanpa kesulitan.
Berdasarkan laporan VOC, semenjak awal abad ke-18 kondisi dibanyak
kawasan Buton sudah mulai tenang. Perlawanan-perlawanan masyarakat sudah
dapat dipadamkan. Pada tahun 1718 dilaporkan tidak terdapat lagi pohon pala dan
cengkeh. Adapun sekitar 500 orang penduduk Kepulauan Tukang Besi telah
mengungsi ke pulau Kalao dekat Selayar. Di pengungsian sebanyak kira-kira 160
orang Tomea malah bertambah buruk keadaanya, karena mereka diberlakukan
sebagai “barang” rampasan, diperebutkan oleh orang-orang disana.30
Kondisi kehidupan masyarakat Buton yang kian memburuk, serta konflik
dalam internal Kesultanan Buton yang berkepanjangan ternyata tidak luput dari
pengamatan Sultan Himayatuddin yang naik tahta tahun 1751. Sebagai seorang
30
Ibid., 147.
98
mantan Kapitalau Matanaeo (Panglima Kawasan Timur), Sultan Himayatuddin
sedari awal telah turut menyaksikan sendiri bagaimana buruknya kondisi
kehidupan masyarakat Buton akibat intervensi VOC melalui kontrak tahun 1667.
Ia melihat banyaknya masyarakat Buton yang semakin melarat kehidupannya
akibat kehilangan mata pencahariannya. Ditambah lagi pasal kontrak yang
menyatakan agar setiap pergantian pejabat kerajaan harus berdasarkan izin atau
persetujuan VOC telah berimbas pada semakin memanasnya konflik
antargolongan bangsawan Buton yang selama ini berkecamuk. Jika dulu konflik
di dalam internal Kesultanan Buton karena perbedaan paham tasawuf, dan
perebutan kekuasaan antargolongan bagsawan, maka dengan kontrak tahun 1667,
konflik di dalam internal Buton telah meluas kepada konflik antara golongan yang
setuju dan kontra terhadap VOC. Oleh karenanya, kontrak tersebut kemudian
diputuskan oleh Himayatuddin dan dianggap tidak berlaku lagi pada masa
pemerintahannya.31
Bagi Himayatuddin, diberlakukannya kontrak tersebut
merupakan upaya sistematis VOC meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian
Kesultanan Buton, serta bentuk penghinaan atas bangsanya.32
Pasca diputuskannya kontrak tersebut, Himayatuddin mulai
memberlakukan kebijakan baru, seperti pemberhentian ekstirpasi pohon rempah-
rempah di seluruh wilayah Kesultanan Buton, serta diterapkannya wajib pajak
bagi semua kapal asing yang singgah ataupun berdagang di Buton, termasuk
dalam hal ini VOC. Pada tahun 1752, sebuah kapal dagang VOC “Rust en Werk”
yang melakukan persinggahan di Pelabuhan Baubau ditahan untuk beberapa
31
Tamburaka, dkk., Sejarah Sulawesi Tenggara, hal. 85. 32
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 116.
99
waktu lamanya lantaran menolak untuk membayar pajak.33
Namun tak berselang
beberapa lama peristiwa naas menimpa kapal tersebut, di mana semua barang
berharga kapal dirampok, sementara awak kapal dibunuh dan ditawan oleh
seorang tahanan politik VOC Frans Frans dan pengikutnya yang melarikan diri
dari penjara Bulukumba tanggal 1 November 1750 dan tinggal di Buton dibawah
perlindungan sultan. Pasca peristiwa tersebut, Frans dan para pengikutnya
kemudian melarikan diri ke Kabaena dan membangun benteng pertahanan
disana.34
Tidak diketahui secara pasti bagaimana Frans dan para pengikutnya bisa
berhasil melakukan perompakan di tengah para Syahbandar Buton yang sedang
berjaga di pelabuhan. Sejumlah sumber menyebutkan keberhasilan tersebut berkat
dukungan Sultan Himayatuddin yang selama ini selalu menunjukan
permusuhannya terhadap VOC.35
Atas tragedi yang menimpa kapal VOC tersebut, petinggi VOC di
Makasar menimpakan kesalahan terhadap Buton. Sultan Himayatuddin dianggap
sebagai orang yang paling bertanggungjawab karena membiarkan penyerangan
atau setidaknya tidak memberi perlindungan terhadap kapal VOC sebagaimana
kesepakatan kontrak tahun 1667.36
Namun bagi Sultan Himayatuddin, peristiwa
tersebut hanyalah persoalan intern sesama orang Belanda dan tidak ada kaitannya
dengan Buton.37
Melihat tidak adanya tindakan penyelesaian dari pihak Buton,
33
Para awak kapal ini menolak membayar pajak lantaran menganggap kebijakan tersebut
bertentangan dengan kontrak-kontrak Buton – VOC sebelumnya yang menyatakan kebebasan
kapal-kapal dagang VOC untuk berlayar, berdagang, ataupun singgah di berbagai pelabuhan di
Kesultanan Buton tanpa dikenakan biaya. 34
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 118. 35
E. B. Kielstra, “Het Sultanaat van Boeton: Onze Eeuw,” artikel diakses pada 24 Mei
2016 dari http://www.dbnl.org/tekst/_onz001190801_01/_onz001190801_01_0079.php 36
Munafi dan Andi Tenri, Dinamika Tanah Wolio, hal. 15. 37
Chalik, Sejarah Perlawanan, hal. 14.
100
VOC mengancam akan melakukan serangan ke Buton tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu.
Mengutip tulisan Chalik, nampaknya Sultan Himayatuddin sendiri
menyakini konsekuensi dari tindakan pertentangannya terhadap VOC, yaitu akan
adanya serangan VOC. Oleh karenanya, Sultan Himayatuddin mulai
mempersiapkan berbagai tindakan antisipasi terhadap serangan VOC, seperti
memerintahkan seluruh aparat kerajaan untuk membangun dan memperkuat
benteng-benteng pertahanan yang ada di seluruh Kadie (wilayah), membangun
benteng pertahanan alternatif di sebelah tenggara Benteng Keraton Buton sekitar 6
km di atas puncak bukit Wakausua, memerintahkan seluruh rakyat untuk
mempersiapkan dan mengumpulkan senjata api, mesiu dan peluru.38
Meski tindakan Sultan Himayatuddin tersebut dianggap baik dan didukung
sepenuhnya oleh rakyat, tetapi nyatanya tidak mendapatkan restu dari Dewan
Sara’ kerajaan. Dewan Sara’ menganggap tindakan perlawanan yang dilakukan
oleh Sultan Himayatuddin tersebut hanya akan menyeret Buton ke dalam konflik
besar dengan VOC. Untuk menghindari hal ini, para pembesar kerajaan kemudian
membahas jalan keluar terbaik untuk mengatasi kesulitan. Maka diputuskanlah
agar Sultan Himayatuddin segera diturunkan dari tahtanya, dan kemudian secara
resmi digantikan oleh Hamim atau Sultan Sakiyuddin pada tahun 1752.39
Tepat beberapa bulan setelah pemakzulan Himayatuddin, pasukan VOC
dibawah komando Onderkoopman Johan Benelius tiba di Buton pada tahun 1753,
dengan kapal “Kaaskooper” dan “Carolina” untuk mengambil penyelesaian atas
peristiwa kapal Rust en Werk serta menangkap Frans dan pengikutnya. Dalam
38
Ibid., hal. 15. 39
Rustam Tamburaka, Sejarah Sulawesi Tenggara, hal. 84.
101
ekspedisi militer Bonelius ini, turut serta para pembesar tentara VOC Kapten
Artilerie “Jan Babtiste de Morquit” dan Letnan Laut “Laurens Moutepen”.
Tentara bantuan turut mengawal adalah dari orang-orang Melayu yang berdiam di
Ujung Pandang dan berada dibawah pimpinan Abdul Kadir sedangkan dari
Tanette dan Bima berada langsung dibawah komando Jan Baptiste.
Beruntunglah pada waktu kedatangan armada VOC Sultan Himayatuddin
telah dimakzulkan. Jika tidak, maka perang antara Buton dengan VOC tidak akan
terhindarkan. Oleh karenanya, berkat tindakan cepat yang diambil oleh Dewan
Sara’ kerajaan untuk memberhentikan Himayatuddin, Buton dapat terhindar dari
perang besar dengan VOC. VOC hanya meminta Buton untuk memberikan ganti
rugi terkait kerugian yang dialaminya atas penyerangan kapal Rust en Werk.
Terkait Himayatuddin, Dewan Sara’ kerajaan menjelaskan kepada Bonelius
tentang sebab-sebab pemakzulannya yang utama yaitu karena tidak mematuhi lagi
kontrak 25 Juni 1667.40
Demikianlah, sekitar hubungan Buton – VOC masa pertama pemerintahan
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi. Meski tidak terjadi kontak dan konflik
langsung dengan VOC, akan tetapi setelah Himayatuddin kembali naik tahta
menggantikan Sultan La Seha tahun 1760, ia tetap menunjukkan konsistensi tidak
mau tunduk kepada VOC. Tuntutan ganti kerugian VOC, baik terhadap kapal
Rust en Werk maupun biaya perangnya di Buton tidak diindahkan. Berkali-kali
surat maupun perutusan VOC dikirim ke Buton membujuk Himayatuddin
memulihkan hubungan diplomatik, akan tetapi sultan malah menjawab dengan
mengobarkan api peperangan.
40
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 120-121.
102
Penulis sendiri tidak menemukan dokumen primer untuk menjabarkan
lebih luas terkait hubungan Buton – VOC masa Sultan Himayatuddin yang kedua
ini (1760-1763), melainkan hanya melalui sumber-sumber sekunder yang itupun
hanya berisi gambaran umum, bahwa hubungan Buton – VOC yang kedua ini
lagi-lagi diwarnai konflik dan pertentangan dengan VOC.41
Oleh karena sikap
pertentanganya dengan VOC, Himayatuddin kemudian kembali dimakzulkan dari
jabatanya tahun 1763. Himayatuddin kemudian digantikan oleh Sultan Kaimuddin
atau La Jampi.
Pasca dimakzulkan dari jabatannya, Himayatuddin berusaha
mengorganisir masyarakat Buton untuk melakukan perang gerilya terhadap VOC
yang ia sebut sebagai jihad fisabilillah. Pesisir timur dan selatan pantai Buton
sering kali dikuasai pasukan gerilyanya yang kerap melakukan serangan
mendadak terhadap kapal-kapal VOC. Atas peristiwa ini, VOC kemudian
mengirimkan pasukan untuk melakukan pengejaran dan menumpas pergerakan
Himayatuddin dan pasukannya. Pasukan VOC ini berhasil memukul mundur
pasukan Himayatuddin hingga 20 km dari keraton Buton. Akan tetapi, pasukan
VOC selalu menuai kegagalan tatkala berusaha menangkap Himayatuddin. Tidak
sedikit dari pasukan VOC ini yang tewas akibat sulitnya medan yang ditempuh.
Sisa pasukan VOC ini kemudian mengundurkan diri dan kembali ke kapal yang
berlabuh di pelabuhan Kamaru. Demikianlah penjelasan tentang perlawanan
Sultan Himayatuddin dan pasukannya, yang kemudian memilih hidup dan
41
Ibid., hal. 156.
103
bertahan dalam perang gerilya di puncak gunung Siontapina hingga akhir
hayatnya.42
2. Masa Sultan Hamim
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa pemakzulan
Himayatuddin dari jabatannya sebagai taktik yang dilakukan oleh Dewan Sara’
kerajaan untuk mencegah terjadinya konflik atau perang raya dengan VOC. Oleh
karenanya, diangkatnya Hamim yang bergelar Sultan Sakiyuddin dengan harapan
mampu memperbaiki hubungan Buton – VOC. Akan tetapi, pada kenyataannya
lengsernya Himayatuddin tidaklah mengubah keadaan bahkan semakin
mengarahkan Buton ke dalam konflik besar dengan VOC. Hal ini dikarenakan
besarnya pengaruh Himayatuddin dalam pemerintahan Sultan Sakiyuddin. Zahari
mencatat, bahwa pada masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin, Himayatuddin
selalu berusaha untuk mempengaruhi Sultan Hamim untuk tidak tunduk kepada
VOC. Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan Hamim banyak mendapat
bahan-bahan pemikiran dari Himayatuddin. Dalam persoalan keamanan,
Himayatuddin memegang posisi yang sangat menentukan sebagai penasehat
Sultan Sakiyuddin.43
Baru beberapa saat Sultan Sakiyuddin naik tahta, VOC segera
menyodorkan dua perjanjian. Pertama, mengenai pengukuhan terhadap kontrak
tahun 1667, dan yang kedua berisi tentang pembayaran ganti rugi kapal Rust en
42
Zuhdi, dkk., Kerajaan Tradisional, hal. 114-115. 43
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 119-120.
104
Werk dengan 1.000 orang budak.44
Tentang permintaan VOC tersebut, berikut
bunyinya:
“… dan lagi itu kontrak yang telah dipersumpahkan oleh utusan Buton itu
dan lagi ada suatu surat perjanjian yang Kompeni minta budak kepada
tanah Buton dari hal kapal yang bernama “Rust en Werk” yang diamuk di
Buton.”
Sultan Buton sendiri sudah merespon permintaan VOC tersebut, dan
memberi kabar mengenai kesanggupan membayar budak dan mengukuhkan
kontrak. Tidak hanya itu, sultan juga telah mengirim utusan ke Batavia (Jakarta),
setelah adanya hubungan surat-menyurat yang berlangsung sebanyak tiga kali.
Tentang hal tersebut, sumber VOC mencatat sebagai berikut:
“bersama-sama dengan surat itu sebagaimana lagi tanah Buton telah sudah
menyahut dan memberitahu kepada Kompeni di dalam dia ampunya surat
yang tersurat pada lima belas hari jumadilawal tahun seribu delapan puluh
tahun (15 Jumadilawal 1080) akan mengatakan kami telah sudah
menerima itu kontrak kemudiannya lagi telah sudah ia berulang-ulang tiga
kali berkirim-kiriman surat dengan tuan Gurnadur di sini, maka baharu ia
menyuruh utusan pergi ke Betawi dari hal itu”.45
Meskipun demikian, Sultan Sakiyuddin tidak begitu saja menuruti
keinginan VOC. Nampaknya disinilah dilihat bagaimana besarnya peran
Himayatuddin dalam pemerintahan Sultan Sakiyuddin. Chalik menulis bahwa
Sultan Sakiyuddin menganggap setiap tindakan Himayatuddin adalah benar.
Setiap sumbangan pemikiran Himayatuddin dianggap Sakiyuddin sebagai
pedoman dalam perjuangan melepaskan diri dari ikatan kontrak yang tampak
kukuh dan merugikan Buton, sehingga perjuangan Himayatuddin harus diteruskan
44
Mengenai naskah asli kontrak tersebut tidak ditemukan dalam berbagai sumber. Namun
dalam catatan Ligtvoet maupun Zahari, kontrak tersebut pada intinya berisi tentang ganti rugi
kapal “Rust en Werk” dengan 1.000 orang budak. Selengkapnya, lihat: Ligtvoet, Beschijving en
Geschiedenis, hal. 76, Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 121. 45 Zuhdi, “Labu Rope Labu Wana,” hal. 51-52.
105
demi kebesaran dan kehormatan kerajaan.46
Tentang pernyataan Chalik akan
tindakan Sultan Sakiyuddin yang tidak menjalankan kontrak bisa dikuatkan
dengan laporan seorang mata-mata VOC yang yang dikirim di Buton pada bulan
Januari 1755 yang benama Petzol. Petzol melaporkan bahwa penebangan cengkeh
dan pala tidak dilakukan sebagaimana mestinya karena masih adanya tempat
cengkeh dan pala yang disembunyikan. Selain itu, tampak pulah keengganan
Buton dalam memberikan bantuan Detasemen VOC yang mengawasi penebangan
cengkeh dan pala serta perdagangan gelap. Lebih dari itu Petzol menyatakan,
tampak olehnya sewaktu berada di Buton adanya tanda-tanda persiapan perang
dari Kesultanan Buton.
Tentang keterangan dari Petzol di atas semakin meyakinkan VOC tentang
besarnya peran Himayatuddin dalam pemerintahan Sultan Sakiyuddin. Terlebih
lagi muncul laporan tentang kontrak perjanjian ganti rugi kapal “Rust en Werk”
yang berupa pengiriman 1.000 orang budak hanya ditebus dengan 80 orang, yang
itupun sebagian besar adalah anak-anak dan orang tua yang sudah renta dan sakit-
sakitan. Mengenai rincian 80 budak yang dikirim Buton itu terdiri dari 26 budak
laki-laki dan 20 budak perempuan yang sudah sangat tua, 24 budak anak laki, dan
10 anak perempuan. Hal ini dianggap VOC sangat merugikan karena menambah
beban pembiayaan yang harus dikeluarkan VOC. Bagi VOC, semua tindakan
tersebut merupakan bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap VOC.47
Akan
sikap Buton itu, VOC menganggapnya di luar kebiasaan. Hal tersebut tampak
dalam ungkapan VOC berikut ini
46
Chalik, dkk., Sejarah Perlawanan, hal. 47
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 122.
106
“Maka kepada pikir kira-kira kami sekalian adapun Raja Buton dan segala
wazir-wazir menteri-menterinya itu waktu tiada ia melakukan adat
biasanya…maka kami katakan tiada sekali-kali kamu ketahui pekerjaan itu
adanya.” 48
Melihat kenyataan ini, VOC melihat tidak adanya kesungguhan Buton
untuk menyelesaikan persoalan. Atas tindakan tersebut, rencana serangan VOC di
Buton tidak dapat ditangguhkan lagi.
Pada tanggal 31 Januari 1755, sejumlah kapal dan pasukan dipersiapkan
oleh VOC dibawah komando tertinggi Kapten Johan Casper Rijsweber tiba di
Bontain dengan kapal pemburu Adriana dari Ujung Pandang (Makassar). Di
dalam kesatuan itu terdapatlah kapal-kapal: Saamslag dan Ouwerkerk, dan
beberapa kapal kecil yang dikenal dengan nama “Chaloepen”, masing-masing
adalah de Meerma, het Fortun, dan de Arnoldna. Kapal Saamslag dan Ouwerkerk
memuat tentara bantuan dari Jawa yang turut mengambil bagian dalam
penyerangan Buton.49
Pada tanggal 19 Februari 1755 Rijsweber berangkat meninggalkan
Bulukumba menuju Buton dengan kesatuan armada yang besar, terdiri dari kapal-
kapal; Huis te Mapad, de Paarl (Chaloep), Gligis (Pancallangas), Triston
(Pancallangas), Ouwerkerk, de Meermin (Chaloep), het Fortuin (Chaloep), de
Arnoldina (Chaloep).50
Adapun jumlah pasukan VOC yang dikirim ke Buton
dalam ekspedisi ini mencapai 152 orang dengan rincian; 4 sersan, 4 kopral, 4
penabuh tambur dan peniup trompet serta 140 serdadu.51
48
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 215. 49
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 123-124. 50
Ibid., hal. 124. 51
Jumlah ini berdasarkan catatan Rijsweber yang ditandatanganinya di Bulukumba tahun
1755 pasca penyerangannya di Buton. Dikutip dari Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 216.
107
Dalam pelayaran itu, kapal de Paarl dan Gligis tiba lebih awal di Buton,
sedangkan yang lainya baru tiba pada tanggal 23 Februari 1755 pukul 16.00 sore
di perairan Bau-Bau. Di benteng Wolio berkibar bendera Belanda. Begitu jangkar
dilepaskan, VOC seperti biasanya memberikan tembakan penghormatan
(saluutschoten), tetapi tidak mendapatkan balasan dari darat. Hal ini menimbulkan
kecurigaan dari pihak VOC, terlebih lagi di benteng pesisir sampai perbukitan
telah dipasang pagar runcing terbuat dari batang pohon kelapa.
Sementara dari pihak Kesultanan Buton juga mulai curiga terhadap
kedatangan VOC dengan armada yang begitu besar. Penasaran dengan hal ini,
Sultan Hamim mengutus beberapa orang juru bahasa untuk menanyakan maksud
kedatangan kapal-kapal perang VOC tersebut. Namun, kedatangan juru bahasa
tersebut segera diketahui oleh pihak VOC. Berbagai perlengkapan perang seperti
meriam, amunisi, senjata dan berbagai perlengkapan perang lainya disembunyikan
oleh VOC agar maksud penyerangan tersebut tidak diketahui oleh pihak Buton.
Dalam keteranganya kepada juru bahasa tersebut, Rijsweber menyatakan
bahwa maksud kedatangan mereka hanyalah untuk mengambil air minum karena
kehabisan selama dalam perjalanan menuju Maluku. Dalam kesempatan yang
sama, Rijsweber menyampaikan salam hormat VOC kepada sultan dan orang-
orang besar kerajaannya dan mengirimkan hadiah untuk sultan. Setelah juru
bahasa kembali, Rijsweber naik ke darat dengan berpakaian sebagai matros kapal,
dan pergi melihat kekuatan pertahanan Buton di benteng untuk menyelidiki
kekuatan yang ada pada pihak Buton. Di dalam keraton tampak oleh Rijsweber
banyak rakyat yang berkumpul lengkap dengan persenjataan. Ligtvoet (1887)
menulis, jumlah pasukan ini lebih dari 5000 orang yang berada dibawah komando
108
Himayatuddin. Akan tetapi, Rijsweber melihat tidak ada persenjataan yang luar
biasa. Melihat kenyataan ini, Rijsweber kembali ke kapal untuk mengatur strategi
penyerangan.52
Tengah malam pukul 12.00 Rijsweber memerintahkan pasukanya untuk
melakukan pendaratan dan tepat pada pukul 15.30 semuanya sudah berada dalam
barisan, satu demi satu pasukan menuju benteng Keraton yang menjadi tempat
pertahanan dan ibu kota kerajaan. Setibanya pada kaki lereng bukit dekat pintu
gerbang benteng, Rijsweber membagi pasukanya dalam dua jurusan di mana
masing-masing diperintahkan masuk melalui pintu gerbang yang telah ditentukan
yaitu di “lawana Lanto” dan Wandailolo (lawana Labunta).53
Tepat pukul 06.00 pagi pasukan VOC telah berada di depan pintu gerbang
yang telah dijanjikan dan tinggal menunggu pintu-pintu terbuka untuk memulai
gerakan penyerbuan. Begitu pintu-pintu terbuka oleh petugas penjaga pintu
gerbang, pasukan VOC segera menyerbu dengan melepaskan tembakan-
tembakan. Penjaga pintu gerbang yang bersenjatakan keris, tombak, badik, dan
parang tidak dapat berbuat banyak. Mereka kemudian ditawan oleh pasukan VOC.
Tak jauh dari pintu gerbang, pasukan VOC kemudian mendapatkan serangan
balasan dari Kapitalao yang berpangkal dari dalam tempat kediamanya dengan
melepaskan tembakan, yang disusul dengan tembakan dari rumah-rumah di
sekitarnya, sehingga disana sini kedengaran letusan-letusan. Perkelahian terjadi
dimana-mana di dalam benteng. Rumah-rumah terbakar, sementara ratap tangis
dari pada anak-anak yang berteriak mengharapkan pertolongan dan orang tua laki-
laki maupun perempuan berlari mencari keselamatanya. Kuatnya pertempuran
52
Ibid., hal. 125. 53
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 216.
109
dari Kapitalao dan pasukanya akhirnya dapat dipukul mundul oleh pasukan VOC.
Kapitalao sendiri kemudian gugur dalam peristiwa ini. Sisa pasukan Kapitalao
yang masih bertahan kemudian berhasil ditawan dan sebagian lain melarikan diri.
Di tempat lain, Bontogena dan Sapati yang melakukan perlawanan gugur
setelah di tembak oleh VOC. Kurangnya kordinasi dan persenjataan yang tidak
seimbang, membuat VOC dengan mudah mematahkan perlawanan Buton.
Pasukan VOC kemudian menuju istana kediaman Himayatuddin dengan maksud
menangkapnya hidup atau mati. Meletuslah pertempuran antara pasukan VOC
dengan Himayatuddin di pendopo istana Himayatuddin. Perlawanan
Himayatuddin dan pasukanya sangat kuat, sehingga mampu menewaskan banyak
pasukan VOC. Menurut orang tua, pada saat itu Himayatuddin telah
mempertunjukkan keperkasaanya. Sekali ia mengayunkan kerisnya dua tiga orang
pasukan VOC jatuh tersungkur di atas tanah. Meskipun demikian, kekuatan
persenjataan yang tidak seimbang membuat Himayatuddin dan pasukanya
kemudian dapat dipukul mundur oleh VOC. Beberapa orang pengawal istana yang
berusaha menyelamatkan keluarga istana yang telah terkurung musuh terpaksa
menjadi korban peluru pasukan VOC. Selain itu, Beberapa keluarga
Himayatuddin terdiri dari anaknya Wa Ode Wakato dan cucunya Wa Ode Kamili
yang sementara dalam buaian tidak berhasil diselamatkan dan menjadi tawanan
VOC.54
Sementara Sultan Hamim mengambil kesempatan menyelamatkan diri
bersama permaisuri dan anggota keluarganya, serta dokumen-dokumen kerajaan
yang penting, alat kelengkapan kebesaran sultan menuju ke kampung Sorawolio
yang seterusnya dari kampung ini ke Kaesabu.55
54
Chalik, dkk., Sejarah Perlawanan, hal.18. 55
Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 127.
110
Dengan dipukul mundurnya pasukan Buton ini, KompeniVOC kemudian
berhasil menguasai benteng Keraton Buton. beberapa hari setelah penyerangan
ini, kapal het Huis te Mapad dan Ouwerkerk meneruskan perjalananya ke Maluku
sedangkan Rijsweber dengan kapal-kapalnya yang lain tinggal di Buton beberapa
bulan lamanya untuk mengantisipasi adanya serangan balasan dari Buton. Baru
pada tanggal 6 Mei 1755, Rijsweber dan pasukanya kemudian meninggalkan
Buton menuju Ujung Pandang dan tiba disana pada tanggal 11 Mei 1755.56
C. Dampak Konflik Buton – VOC Terhadap Kesultanan Buton
Setiap konflik yang dimanifestasikan dalam realitas perang umumnya
membawa dampak negatif. Sebagaimana yang terjadi di Buton, di mana konflik
yang terjadi antara Buton dengan VOC pada masa pemerintahan Sultan
Himayatuddin Muhammad Saidi hingga masa Sultan Sakiuddin telah membawa
dampak kerugian yang besar bagi kedua belah pihak.
Kapten de Jong dalam memorinya, mencatat jumlah pasukan VOC yang
tewas dalam konflik tersebut adalah 9 orang, korban luka-luka 36 orang, serta 39
orang lainya dinyatakan hilang. Sementara itu, total anggaran yang terkuras akibat
ekspedisi ini adalah 108,19½ rijksdaalders. 57
Meskipun demikian, Buton sebagai
pihak yang kalah dalam perang tersebut nampaknya lebih banyak menderita
kerugian. Kerugian ini bukan hanya pada tataran yang sifatnya meteri, tetapi juga
non-materi. Zahari mencatat beberapa pembesar Kesultanan Buton yang tewas
dan ditawan dalam perang tersebut, yaitu: Sapati (perdana menteri), Kapitalao
(kapiten laut), Bontogena (menteri besar), Lakina Labalawa, Yarona Rakia,
56
Ibid., hal. 128. 57
Memorie Kapten de Jong, dalam Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat II, hal. 128.
111
Lakina Tondanga, Sabandara, I-ngapa (ditawan), Wa Ode Wakato (ditawan), Wa
Ode Kamali (ditawan). Jumlah ini tentunya belum termasuk rakyat biasa yang
jumlahnya jauh lebih besar.
Selain tewasnya beberapa pembesar kerajaan serta masyarakat
sebagaimana yang disebutkan Zahari di atas, konflik Buton – VOC ini telah
menghancurkan infrastruktur kerajaan, perekonomian masyarakat, serta membawa
trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat Buton. Peristiwa tersebut telah
menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat Buton yang hingga saat ini
dikenal sebagai Zamani Kaherumua Walanda atau zaman huru-hara Belanda. Hal
ini sebagaimana yang dikisahkan oleh Abdul Ghaniyu dalam syair Anjonga, yang
berbunyi sebagai berikut:
Inda urangoya tongko bungana
Walanda
Apopasiki sabara manusia
Sumbere sumbere apeelo palaisa
Apoboli-boli indaa pataku taku
Hengga anana miarakana abolia
Inuncana koo makaa pokawa-pokawa
Mokokampana akoana irumpu
Momapiyna soa kolemo itana
Bontogena samia tee sapati
Tee samia kapitalao amate
Tee sakia miya bari momatena
Tee torakona incana sayeyo siytu
Laki Wolio yumane tee bawine
Tee malingu sabara mangga nana
Aposa lapa soomo arataana
Mobinasana inda teyi poolina
Tidak kamu dengar waktu keributan
Belanda
Berhamburan semua manusia
Masing-masing mencari perlindungan
Tercerai-berai tunggang-langgang
Sampai anak istrinya ditinggalkan
Di dalam hutan baru bertemu satu sama
lain
Yang hamil beranak di rerumputan
Yang sakit tidur saja di tanah
Menteri besar dan sapati
Dan seorang kapitalao mati
Dan sekian banyak rakyat yang korban
Dan yang ditangkap dalam sehari itu
Raja Wolio laki-laki dan permaisuri
Dan segala anggota keluarganya
Semua tinggal hanyalah hartanya
Yang binasa tak ada yang didapatnya58
58
Abdul Ghaniyu, Anjonga Inda Malusa, hal. 107, dalam Zahari, Sejarah dan Adat II,
hal.126.
112
Begitu dahsyatnya peristiwa di atas, hingga penggambarannya pun
menurut Susanto Zuhdi seperti kiamat saja.59
Besarnya dampak yang ditimbulkan
peristiwa konflik Buton – VOC di atas, nampaknya telah menjadi pembelajaran
dan patokan bagi sultan-sultan Buton selanjutnya agar terus membina hubungan
baik dengan VOC. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari beberapa bait syair
Kanturuna Mohelana (Lampu Bagi yang Berlayar) yang ditulis oleh Anonim,
berikut:
Pengkenisiya kafaka baabaana
Kontaratina sazamani-sazamani
Tontomayeka adati tee fe eli
Malinguaka kambotu imuruhumu
Kahormati noombo bali-baliy
Osiytumo betao imalapeyaka
Osytumo kainawana polipu
Teguhkan perjanjian awal
Kontraknya masing-masing zaman
Camkan betul adat dan perilaku
Segala keputusan di zamannya Murhum
Penghormatan jangan sampai berubah
Itulah untuk kebaikan
Itulah penenang lampunya negeri.
Syair di atas setidaknya mengingatkan kepada orang Buton khususnya
para penguasa agar meneguhkan kembali perjanjian dengan VOC, sebagaimana
yang telah dilakukan oleh sultan-sultan terdahulu. Adapun setiap kontrak yang
telah dibuat harus selalu dijaga, ditaati, dan dijalankan secara konsisten demi
keselamatan negeri Buton dari berbagai rongrongan kekuatan asing.
59
Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan, hal. 217.
113
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Buton merupakan salah satu kerajaan tertua yang paling awal dan paling
banyak menjalin hubungan kerjasama dengan VOC. Hubungan keduanya telah
terbentuk sejak dicetuskannya kontrak persekutuan abadi La Elangi (Buton) –
Schotte (VOC) tahun 1613, dan berakhir seiring runtuhnya hegemoni Hindia –
Belanda di Nusantara tahun 1942. Bagi Buton, terbentuknya hubungan ini adalah
untuk menjaga kestabilan eksistensi kerajaan dari berbagai ancaman, baik yang
berasal dari internal seperti konflik antargolongan bangsawan, maupun eksternal
seperti ancaman bajak laut, Kerajaan Ternate, maupun Gowa. Adapun bagi VOC,
terbentuknya hubungan ini untuk mengamankan pelayaran dan perdagangannya
dengan pusat rempah-rempah di Maluku, serta untuk mengalahkan pesaing-
pesaingnya, seperti Kerajaan Gowa, Portugis, Spanyol, dan lain sebagainya.
Rentang panjang hubungan Buton – VOC tidak selalu berjalan harmonis.
Sejak masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi sampai
dengan masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau La
Karambau, hubungan Buton – VOC telah mengalami pasang-surut. Masa
meningkatnya hubungan keduanya terlihat dari adanya berbagai macam kerjasama
dalam bidang politik dan ekonomi, melalui pembentukan aliansi militer dan
perdagangan. Sedangkan masa surut hubungan keduanya terlihat dari adanya
rentetan konflik dan perang. Pada masa pemerintahan Sultan La Buke, hubungan
Buton – VOC mengalami keretakan. Hal ini disebabkan masuknya Buton ke
114
dalam wilayah pengaruh Kerajaan Gowa, sehingga kontrak-kontrak Buton – VOC
tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Demikian halnya dengan masa
pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, di mana hubungan Buton –
VOC mengalami keretakan akibat pertentangannya dengan VOC. Bedasarkan
hasil kajian penulis menunjukan bahwa, penyebab Sultan Himayatuddin
menentang VOC adalah:
1. Pandangan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi terhadap VOC yang
dianggapnya sebagai ancaman baru bagi eksistensi Kesultanan Buton. Hal
ini terjadi setelah berakhirnya ancaman Kerajaan Gowa tahun 1667, yang
diikuti dengan menurunnya pengaruh Kerajaan Ternate di kawasan timur
Nusantara.
2. Faktor terjadinya pergeseran kedudukan Buton – VOC dalam setiap
kontrak yang awalnya menunjukan kedudukan yang setara menjadi ke
tahap ketundukkan yang menunjukan dominasi VOC.
3. Dampak buruk intervensi VOC dalam persoalan politik maupun ekonomi
di Kesultanan Buton, seperti memuncaknya ketegangan hubungan
antargolongan bangsawan Buton, serta timbulnya banyak „kekacauan‟ dan
kemelaratan di kalangan masyarakat Buton akibat kebijakan ekstirpasi
pohon rempah-rempah di seluruh wilayah Kesultanan Buton, pembatasan
aktivitas berlayar dan berdagang orang-orang Buton, dan lain sebagainya.
Akibat pertentangan Sultan Himayatuddin tersebut, hubungan Buton –
VOC mengalami keretakan, dan puncaknya adalah terjadinya konflik raya antara
antara Buton dengan VOC pada masa pemerintahan Sultan Sakiyuddin atau
Hamim. Konflik tersebut membawa dampak negatif khususnya bagi Buton. Selain
115
menelan korban jiwa, konflik tersebut telah menghancurkan infrastruktur
kerajaan, perekonomian masyarakat, serta membawa trauma yang berkepanjangan
bagi masyarakat Buton. Hingga saat ini peristiwa tersebut dikenal sebagai Zamani
Kaherumua Walanda atau zaman huru-hara Belanda. Besarnya dampak yang
ditimbulkan peristiwa konflik Buton – VOC di atas kemudian dijadikan
pembelajaran atau patokan bagi sultan-sultan Buton selanjutnya untuk terus
membina hubungan baik dengan VOC atau kemudian Belanda.
B. SARAN
Kajian ini dilakukan dalam rangka menggiatkan kajian kesejarahan Buton
yang nampaknya masih terabaikan dalam panggung sejarah Nasional. Dalam
berbagai literatur kesejarahan khususnya Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang
sebagaimana kita ketahui, Buton belum mendapatkan tempat sama sekali
sebagaimana kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Padahal Buton sebagai salah
satu kerajaan Islam tertua juga ikut mewarnai perjalanan sejarah bangsa
Indonesia.
Keterabaian Buton dalam panggung sejarah Nasional juga membuatnya
seolah tenggelam dalam ingatan banyak orang. Hingga saat ini jika kebanyakan
orang mendengar kata Buton, yang terlintas dibenak mereka adalah aspal. Ya bagi
mereka Buton tidak lebih dari penghasil semata. Padahal jika coba dikaji lebih
mendalam, Buton mempunyai kekayaan yang tidak ternilai harganya, yaitu
kekayaan sejarah. Orang-orang yang mengidentikkan Buton dengan aspal
sebenarnya tidak bisa dipersalahkan juga, toh itulah yang mereka baca dalam
buku-buku pelajaran sekolah. Sudah menjadi tugas kitalah sebagai kalangan
116
akademisi, untuk meluruskan mindset banyak orang Indonesia, melalui
rekonstrusi sejarah Indonesia yang objektif dan tidak diskriminatif.
Selain diidentikkan dengan penghasil aspal, Buton juga diidentikan
sebagai sekutu abadi VOC. Ini merupakan fakta yang penulis sendiri pernah
dengar dalam sebuah seminar di salah satu kampus di Jakarta, yang membahas
tentang “Indonesia masa kolonial.” Salah satu pemateri menyebutkan salah satu
kerajaan di Nusantara yang hingga runtuhnya dikatakan sebagai sekutu abadi
Belanda yaitu Buton. Beranjak dari seminar tersebutlah, sehingga penulis ingin
mencari data dan fakta apakah memang Buton dengan Belanda merupakan sekutu
abadi? Dan melalui hasil kajian inilah, penulis menemukan, bahwa tidak
selamanya hubungan Buton – VOC berjalan harmonis, atau tidak semua sultan
Buton menginginkan persekutuan dengan VOC. Adalah Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi yang selama hidupnya menentang VOC, yang berujung pada
memburuknya hubungan Buton VOC.
Meskipun demikian, penulis sendiri yang didasari kesadaran tinggi
mengakui bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam karya ini akibat
terkendala oleh banyak aspek, mulai dari minimnya sumber, biaya penelitian,
waktu penelitian serta rentang waktu kajian yang terlalu tua sehingga sangat sulit
untuk mencari dan menemukan sumber-sumber historis yang sezaman. Adapun
sumber yang sezaman mungkin hanya akan ditemukan melalui catatan-catatan
Kolonial yang rupanya banyak tersimpan di Perpustakaan Leiden. Hal inilah yang
kemudian memaksa penulis untuk menggunakan atau mengandalkan sumber-
sumber sekunder, meskipun dalam penulisan sejarah yang diprioritaskan adalah
sumber-sumber primer.
117
Penulis menyarankan kepada penulis-penulis selanjutnya yang mengkaji
hubungan Buton – VOC khususnya masa Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi
untuk membantu menyempurnahkan tulisan ini yang meskipun melalui metode
dan pendekatan yang berbeda. Salah satu yang belum mampu penulis jawab
secara maksimal dalam penelitian ini adalah apakah pertentangan yang dilakukan
olehh Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi dijiwai oleh semangat
keagamaannya? Demikianlah penulis kembali menginginkan kontribusi dari
penulis-penulis selanjutnya untuk membantu menjawab pertanyaan tersebut.
Wallahu’alam Bishawwab.
118
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdurachman, Paramita R. Bunga angin Portugis di Nusantara: jejak-jejak
kebudayaan Portugis di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2008.
Al-Anshori, M. Junaedi. Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai
Masa Proklamasi Kemerdekaan, Jakarta: Aksara Panaitan, 2010.
Alifuddin, Muhammad. Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal,
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007.
Amir, Andi Rasdiyanah (ed). Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi
Indonesia, Makassar: IAIN Alauddin, 1982.
Arifin, Miftah. Wujudiyah di Nusantara Kontinuitas dan Perubahan,
Yogyakarta: STAIN Jember Press, 2015.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad VVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007.
Ball, John. Indonesian Legal History 1602-1848, Sydney: Oughtershaw Press,
1982.
Batoa, Kimi. Sejarah Kerajaan Daerah Muna, Raha: Jaya Press, 1991.
B. Bhurhanuddin dkk. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
Tenggara, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Chalik, Husein dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan
Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983.
119
Darmawan, M. Yusran (ed). Menyibak Kabut di Keraton Buton (Bau-Bau:
Past, Present, and Future), Bau-Bau: Respect, 2008.
………...……….…… (ed). Naskah Buton Naskah Dunia, Baubau: Respect, 2009.
Djoenoed, Marwati dan Nugroho Notosusanto (ed). Sejarah nasional
Indonesia III: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
G. Moedjanto. Indonesia Abad ke-20, Jilid 1, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Hamid, Abd Rahman. Spirit Bahari Orang Buton, Makassar: Rayhan
Intermedia, 2010.
…………………….…. Sejarah Maritim Indonesia,Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013.
Ikram, Achadiati dkk. Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
J. Keuning. Sejarah Ambon Sampai pada Akhir Abad Ke-XII, Jakarta:
Bhatara, 1973.
Kasim, Sultan. Aru Palakka Dalam Perjuangan Kemerdekaan Kerajaan Bone,
Makassar: CV. Walanae, 2002.
Kusumohamidjojo, Budiono. Hubungan Internasional-Kerangka Studi
Analitik, Bandung: Bina Cipta, 1987.
Lapian, Adrian B. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut
Sulawesi Abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.
…..………. dkk (ed). Indonesia Dalam Arus Sejarah (Masa Pergerakan
Kebangsaan), Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Bekerjasama dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2013.
120
Leirissa, R.Z. dan Djuariah Latuconsina. Sejarah Kebudayaan Maluku,
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1999.
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian I:
Batas-batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
M. D, Sagimun. Sultan Hasanuddin Menentang VOC, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Buku Terpadu, 1985.
Mukhlis P dkk. Sejarah Kebudayaan Sulawesi, Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan, 1995.
Mulyana, Slamet. Tafsir Sejarah Negara Kretagama, Yogyakarta: LkiS, 2006.
Munafi, La Ode Abdul dan Andi Tenri. Dinamika Tanah Wolio: Sejarah,
Kontinuitas, dan Perubahan, Makassar: Fahmis Pustaka, 2014.
Niampe, La dan La Ode Syukur. Silsilah Bangsawan Buton (Pengantar dan
Suntingan Teks), Kendari: FKIP Unhalu, 2009.
Nye, Joseph. Understanding International Conflict, New York: Pearson
Longman, 2009.
Patunru, Abdurrazak Daeng dkk. Sejarah Gowa, Makassar: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1993.
Pelras, Christian. The Bugis: The People of Southeast Asia and the Pasific,
Oxford: Blackwell, 1996.
Perkasa, Adrian dan Anggita Pramesti. Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut
Merah ke China & Buku Fransisco Rodrigues, Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2015.
Putuhena, M. Saleh. Historiografi haji Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2007.
Profil Propinsi Republik Indonesia: Sulawesi Tenggara, Jakarta: Yayasan Bhakti
Wawasan Nusantara, 1992.
121
Rabani, La Ode. Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara: Perubahan dan
Kelangsunganya, Yogyakarta: Ombak, 2010.
Rapi, Ahmad Massiara Daeng. Menyingkap tabir sejarah budaya di
Sulawesi Selatan, Makassar: Lembaga Penelitian & Pelestarian Sejarah
dan Budaya Sulawesi Selatan Tomanurung, Yayasan Bhinneka Tunggal
Ika, 1988.
Rasyid, Abdul. Cerita rakyat Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.
Rasjid, Abdul dan Restu Gunawan. Makassar Sebagai Kota Maritim,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2000.
Reid, Anthony. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan
Perdagangan Global Jilid 2 (terj.), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2011.
Resink, G. J. Bukan 350 Tahun Dijajah, Depok: Komunitas Bambu, 2013.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Moderen 1200 – 2008, Jakarta: Serambi, 2008.
Rudyansjah, Tony. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan: Sebuah Kajian
Tentang Lanskap Budaya, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sasmita, Uka Tjandra. Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Gramedia, 2009.
Schoorl, J.W. Pim. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton, Jakarta:
Djambatan, 2003.
Schutte, G.J (ed). State and Trade In The Indonesian Archipelago, Leiden:
KITLV Press.
Sewang, Ahmad M. Islamisasi Kerajaan gowa (Abad XVI sampai Abad VII),
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
122
Simanjuntak, Truman (ed). Archaeology: Indonesian Perspective R.P.
Soejono's Festschrift, Jakarta: LIPI Press, 2006.
Syukur, La Ode. Hikayat Negeri Buton (Sastra Sejarah), Kendari: FKIP
Unhalu, 2009.
Tamburaka, Rustam. Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra
Membangun, 2003.
Utomo, Bambang Budi dkk. Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam, Jakarta:
Kharisma Ilmu, 2012.
Vlekke, Bernard Hubertus Maria. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta:
Gramedia, 2008.
Widjojo, Muridjan. Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di
Maluku-Papua Sekitar 1780-1810, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.
Wiharyanto, A. Kardiyat. Sejarah Indonesia Madya abad XVI-XIX,
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2006.
Yamin, Muhammad. Gadjah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara,
Jakarta: Balai Pustaka, 1948.
Yunus, Abdul Rahim. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan
Buton Pada Abad Ke-19, Jakarta: INIS, 1995, 1995.
Zaenu, La Ode. Buton Dalam Sejarah Kebudayaan, Surabaya: Suradipa, 1984.
Zahari, Abdul Mulku. Sejarah dan Adat fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I, II,
dan III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Zuhdi, Susanto dkk. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan
Buton, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996.
123
…………………… Sejarah Buton yang terabaikan: labu rope labu wana,
Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
ANRI Jakarta
Heeres, J. E. Corpus Diplomaticum: Verzameeling van Politieke Contracten
en Verdere Verdragen door de Nederlanders in het Oosten Gesloten, van
Privilegebrieven, aan hen Verleen 1596-1650 (eerste deel), Leiden:
KITLV, 1907.
Makasser Bijlagen Resolutien No. 74, 1770-1774.
Roever, Arend de & Bea Brommer, Grote Atlas de Verenigde Oost-Indische
Compagnie, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tt.
ARTIKEL
Kielstra, E. B, “Het Sultanaat van Boeton: Onze Eeuw,” diakses pada 24 Mei
2016 dari http://www.dbnl.org/tekst/_onz001190801_01/_onz001190801_
01_0079.php
Manarfa, La Ode, “Raja Buton Keturunan Cina,” diakses pada 23 September 2015
dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/10/01/0029.html
“Kerajaan Buton,” diakses pada 20 September 2015 dari http://melayuonline.com
/ind/history/dig/329/kerajaan-buton
124
JURNAL
Abdullah, Muhammad, “Manuskrip Keagamaan dan Islamisasi di Buton Abad
14-19,” Dalam Sari, International Journal of Malay World Studies No. 25,
2007.
Anwar, “Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan. No. 027, Tahun ke-6 November 2000.
Barnes, R. H. “The Majapahit Dependency Galiyao,” dalam Journal of the
Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Vol. 138, Issue 4,
pages 407-412, 1982.
Johnson, Daniel, “Butonese Culture and the Gospel (a Case Study),” Dalam
Melanesian Journal of Theology 19 – 2 (2003).
Liebner, Horst H, “Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada
VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650,” Dalam Sari, International
Journal of Malay World Studies No. 25, 2007.
Ligtvoet, Albertus, “Beschrijving en Geschiedenis van Boeton,” BKI, 1878.
Rudyansjah, Tony, “Kaomu, Walaka dan Papara: Satu kajian mengenai
Struktur Sosial dan Ideologi Kekuasaaan di Kesultanan Wolio”, dalam
Jurnal Berita Antropologi 52, tahun 1997.
Suryadi, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I,”
Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda, dalam Jurnal
Humaniora Volume 19 No. 3 Oktober 2007.
125
MAJALAH
Hasaruddin dan Andi Tenri Machmud, “Peranan Sultan Dalam
Pengembangan Tradisi Tulis di Kesultanan Buton,” Dalam Majalah
Jumantara, Vol. 3 No. 2 – Oktober 2012.
TESIS DAN DISERTASI
Malihu, La, “Buton dan Tradisi Maritim: Kajian Sejarah Tentang Pelayaran
Tradisional di Buton Timur,” Tesis S2 Program Studi Ilmu Sejarah
Universitas Indonesia, 1998.
Rudyansyah, Tony, “Landskap Budaya Kekuasaan Pada Masyarakat Buton Satu
Kajian Mengenai Historisitas dan Tindakan,” Disertasi S3 Antropologi
Universitas Indonesia, 2008.
Sabirin, Falah, “Tarekat Sammaniyah di Kesultanan Buton: Kajian Naskah-
Naskah Buton,” Tesis S2 Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
Zuhdi, Susanto, “Labu Rope Labu Wana Sejarah Butun Abad XVII – XVIII,”
Disertasi S3 Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 1999.
126
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
1.1. Letak Kesultanan Buton dilihat dalam peta Nasional (Indonesia)
(Sumber: dokumen pribadi penulis)
1.2. Peta wilayah kekuasaan Kesultanan Buton tahun 1878
(Sumber: A. Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, BKI, 1878)
127
Lampiran 2
2.1 Skema kawasan Benteng Keraton Buton dekade 1920-an.
(Sumber: Novesty Noor Azizu, dkk.,“Pelestarian Kawasan Benteng Keraton
Buton,” dalam Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 3, Nomor 1, Juli 2011)
128
Lampiran 3
3.1. Peta pertempuran Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi dalam melawan
VOC (1751-1763)
(Sumber: Koleksi Susanto Zuhdi)
129
Lampiran 4
4.1. Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi (Oputa yi Koo)1
(Sumber foto: Media Center keraton Buton, Baubau)
4.2. Makam Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi di puncak gunung
Siontapina
(Sumber foto: Media Center keraton
Buton, Baubau)
4.3. Makam Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi setelah dipindahkan
di bukit Lele Mangura, Wolio.
(Sumber foto: Media Center keraton
Buton, Baubau)
1 Foto di atas masih diperdebatkan oleh para Sejarawan. Ada yang meyakini bahwa foto
tersebut adalah Sultan Himayatuddin, namun sebagian lainya masih meragukan. Adapun mengenai
makam Sultan Himayatuddin dapat dijumpai di tiga tempat, yaitu di puncak gunung Siontapina,
Lawele, dan di bukit Lele Mangura, Wolio.
130
Lampiran 5
5.1. Ilustrasi mengenai kedatangan VOC di Baubau (Buton) tahun 1613,
dibuat oleh Johannes Vingboons (1665-1670).
(Sumber foto: Arend de Roever dan Bea Brommer, Grote Atlas de Verenigde
Oost-Indische Compagnie, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tt.)
5.2. Meriam dan Jangkar peninggalan VOC di Kepulauan Besi
(Sumber foto: KITLV-Media)
131
5.3. Meriam VOC di Keraton Buton (Wolio)
5.4. Meriam Portugis di Keraton Buton (Wolio)
5.5. Sejumlah meriam yang ditempatkan di berbagai sudut Benteng
Keraton Buton (Wolio) dalam posisi menghadap ke laut
(Sumber foto: KITLV-Media)
133
Lampiran 7
7.1. Sebuah senjata dan topi Sultan Buton
(Sumber foto: KITLV-Media)
7.2. Malige (Istana) Sultan Buton 7.3. Masjid Agung Kesultanan Buton
(Sumber foto: Google) (Sumber foto: Google)
134
7.4. Longa-Longa, Bendera Kesultanan Buton
(Sumber foto: Google dan Media Center Baubau)
7.5. Kampua, uang kertas Kesultanan Buton
(Sumber foto: Koleksi Museum Bank Indonesia, diakses melalui
http://inaguide.com/listings/bank-indonesia-museum/)
135
Lampiran 8
Daftar Raja-Raja dan Sultan-Sultan Buton
Raja-Raja Buton:
Nama
1 Wa Kaa Kaa
2 Bulawambona
3 Bataraguru
4 Tuarade (Tuan Raden)
5 Mulae
6 La Kilaponto
Sultan-Sultan Buton:
Nama Gelar Kesultanan Masa
Jabatan
Aliran Bangsawan
1 La Kilaponto/
Timbang-
Timbangan
Qaimuddin
Khalifatul
Khamis/Murhum
1491-1537
-
2 La Tumparasi Qaimuddin 1545-1552 -
3 La Sangaji Qaimuddin 1566-1570 -
4 La Elangi Dayanu Ikhsanuddin 1578-1615 Tanailandu ke-1
5 La Balawo Abdul Wahab 1617-1619 Tanailandu ke-2
6 La Buke Gafurul Wadudu 1632-1645 Kumbewaha ke-1
7 La Saparagau - 1645-1646 Tanailandu ke-3
8 La Cila Mardan Ali 1647-1654 Tanailandu ke-4
9 La Awu Malik Sirullah 1654-1664 Tanailandu ke-5
10 La Simbata Aidil Rakhim 1664-1669 Tanailandu ke-6
11 La Tangkaraja Kaimudin 1669-1680 Tanailandu ke-7
12 La Tumpamana Zainuddin 1680-1689 Tanailandu ke-8
13 La Umati Liyaudin Ismail 1689-1697 Tanailandu ke-9
14 La Dini Syaifuddin 1697-1704 Kumbewaha ke-2
15 La Rabaenga Syaiful Rijaali 1704
(7 hari)
Tapi-Tapi ke-1
16 La Sadaha Syamsuddin 1704-1709 Tanailandu ke-10
17 La Ibi Nasraruddin 1709-1711 Tanailandu ke-11
18 La Tumparasi Muluhiruddin Abdul
Rasyid
1711-1712 Tanailandu ke-12
19 La Ngkariry Sakiyuddin Daarul
Alam
1712-1750 Kumbewaha ke-3
20 La Karambau Himayatuddin
Muhammad Saidi
1751-1752 Tanailandu ke-13
21 La Hamim Sakiyuddin 1752-1759 Kumbewaha ke-4
22 La Seha Rafiuddin 1759-1760 Kumbewaha ke-5
23 La Karambau Himayatuddin
Muhammad Saidi
1760-1763 Tanailandu ke-13
136
24 La Jampi Kaimuddin 1763-1788 Kumbewaha ke-6
25 La Masalumu Alimuddin 1788-1791 Tapi-Tapi ke-2
26 La Kopuru Muhyiuddin Abdul
Ghafur
1791-1799 Tanailandu ke-14
27 La Badaru Dayanu Asraruddin 1799-1822 Kumbewaha ke-7
28 La Dani Muhammad
Anharuddin
1822-1823 Tapi-Tapi ke-3
29 Muhammad
Idrus
Kaimuddin I 1824-1851 Kumbewaha ke-8
30 Muhammad Isa Kaimuddin II 1851-1871 Kumbewaha ke-9
31 Muhammad
Salihi
Kaimuddin III 1871-1885 Kumbewaha ke-10
32 Muhammad
Umar
Kaimuddin IV 1885-1904 Tanailandu ke-15
33 Muhammad
Asyikin
Adilil Rakhiym 1906-1911 Tapi-Tapi ke-4
34 Muhammad
Husein
Bayanu Ikhsanu
Kaimuddin
1914
(3 bulan)
Tanailandu ke-16
35 Muhammad Ali Muhammad Ali
Kaimuddin
1918-1921 Tapi-Tapi ke-5
36 Muhammad
Saifu
Muhammad Syafiul
Anaami
1922-1924 Kumbewaha ke-11
37 Muhammad
Hamidi
Muhammad Hamidi
Kaimuddin
1928-1937 Kumbewaha ke-12
38 Muhammad
Falihi
Muhammad Falihi
Kaimuddin
1938-1960 Kumbewaha ke-13
Sumber: Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I,
II, dan III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
138
Lampiran 10
10.1. Kontrak La Elangi (Buton) – Schotte (VOC) Tahun 1613
Art.1
De onderzaten en het land van den koning te helpen beschermen tegen alle andere
natiën, waartoe hij twee door de Boetonneezen op het strand te bouwen bolwerken
voorloopig met vier stukken geschut bewapenen en met eenige Hollanders tot
bediening van dat geschut bezetten zou
Art.2
Zijn tusschenkomst bij den koning van Makassar te verleenen, om dezen te doen
afzien van alle vijandelijkheden tegen Boeton
Art.3
Den koning en zijn onderdanen niet in de uitoefening van hun godsdienst en
bestuur te bemoeielijken
Art.4
Den koning van Ternate te verzoeken om te beletten, dat zijn onderdanen den
koning van Boeton en zijn onderdanen overlast aandeden, en om zijn zaken met
den koning van Boeton behoorlijk te behandelen, hetzij met gevolmachtigde
gezanten of door brieven, voorzien van het koninklijk zegel, daar somtijds zijn
naam en gezag misbruikt waven
Art.5
Koperen munt aan te voeren
Terwijl de koning van Boeton van zijn kant aannam:
Art.1
Defensieven oorlog te voeren tegen de vijanden van den koning van Ternate, met
wien hij in vriendschap en eenigheid zou blijven leven, en tegen alle vijanden van
de Hollanders,
Art.2
De Hollanders in den op handen zijnden tocht naar Solor met welbemande
korrakorra's bij te staan,
Art.3
Aan geen andere natie eenigen handel of bedrijf ten nadeele van de Hollanders toe
te staan, maar aan hen als beschermers van het rijk de voorkeur te geven,
139
Art.4
De prijzen van de koopmanschappen en levensmiddelen, die het land voortbracht,
te bepalen en te handhaven,
Art.5
Van de Hollanders geen tollen te heffen en hun den vrijen handel in zijn geheele
gebied toe te staan,
Art.6
Den rijstbouw in te voeren, voornamelijk met het oog op de behoefte aan dat
artikel in de Molukken,
Art.7
Toe te laten, dat de soldaten of andere personen, die zich van wege de Hollanders
in Boeton mochten ophouden, met vrije vrouwen in het huwelijk traden, en dat
deze vrouwen het christelijk geloof aannamen,
Art.8
Hun evenzoo het koopen van slaven toe te staan, met bepaling dat weggeloopen
slaven van wederszijden zouden worden teruggegeven,
Art.9
Van dit kontrakt mededeeling te doen aan de Bandaneezen, hen tot het sluiten van
vrede en bondgenootschap te vermanen, en, zoo zij met de Hollanders in oorlog
geraakten, zijn broeder en alle Boetonneezen, die zich op Banda bevonden, van
daar terug te roepen.
Sumber: A. Ligtvoet, Beschrijving en Geschiedenis van Boeton, BKI, 1878. J. E.
Heeres, Corpus Diplomaticum: Verzameeling van Politieke Contracten en
Verdere Verdragen door de Nederlanders in het Oosten Gesloten, van
Privilegebrieven, aan hen Verleen 1596-1650 (eerste deel), (Leiden: KITLV,
1907).
140
10.2. Kontrak La Simbata (Buton) – Speelman (VOC) 31 Januari 1667
Het op 31 Januari 1667 Tusschen den Admiraal Speelman en den
Koning van Boeton Gekontrakteerde
Art.1
Alle onder zijn gezag staande Toekangbësi eilanden, voornamelijk op Kaledoepa
en Wantji-wantji (Wangi-wangi), en voorts op alle andere eilanden, al behoorden
die niet tot de Toekang-bësi eilanden, ook op Binongko, ten overstaan van door de
Compagnie daartoe te zenden personen alle nagel en notenmuskaatboomen te
zullen doen omvellen en uitroeien, welke uitroeiing jaarlijks zou herhaald worden.
Hiervoor zou de Compagnie hem jaarlijks, te beginnen met het einde van 1667,
honderd rijksdaalders uitbetalen, als zijnde dit het bedrag, dat hij, volgens zijn
verklaring, jaarlijks van die boomen getrokken had.
Art.2
Ook op geen andere landen van den koning, zoowel die reeds onder hem staan, als
die hij later wellicht zal verkrijgen, mogen nagel of notenboomen wassen, maar
moeten die boomen steeds worden uitgeroeid.
Art.3
Zoodanige inlanders als gewoon zijn, hier met rijst en andere eetbare waren te
komen, zooals die van Batavia, de kust van Java, Patani, Djohor en Palembang,
mogen, zoolang zij met de Compagnie en den koning van Ternate in vrede zijn,
op Boeton ten handel worden toegelaten: maar de Makassaren, zelfs als zij in
vrede met de Compagnie leven, alleen dan, wanneer zij voorzien zijn van een pas
van het opperhoofd te Makassar.
Art.4
Gezanten van naburige, met de Compagnie en den koning van Ternate in vrede
levende vorsten, mogen op Boeton worden ontvangen; maar er mag niets met hen
besloten worden, dan na verkregen toe & temming van de Compagnie en den
vorst van Ternate, aan wie ook van de aankomst van zulke gezanten en hun
verlangen dadelijk kennis moet worden gegeven; maar van de Makassaren mogen
zelfs in vredestijd geen gezanten of brieven ontvangen woiden.
Art.5
Wanneer de Compagnie met eenige van die natiën in vijandschap geraakt, moeten
de koning en zijn grooten zich ook tot hun vijanden verklaren, de Compagnie
tegen hen bijstaan, en mogen zij geen afzonderlijke vredes-onderhandelingen met
hen aanknoopen, noch eenig verbond met hen sluiten, hetgeen de Compagnie van
haar kant evenmin zal doen.
Art.6
Gezanten van vijanden moeten gevangen genomen of aan de Compagnie
overgeleverd worden; maar uit hoofde van den grooten afstand tusschen Boeton
141
en de naaste Compagnie's vestiging moeten zoodanige gezanten op Boeton in
verzekerde bewaring gehouden worden tot er gelegenheid bestaat om hen over te
leveren.
Art.7
Bij overlijden van den koning moeten de rijksraden daarvan zoo spoedig mogelijk
kennis geven aan den koning van Ternate en de Compagnie, die alsdan
gecommitteerden zullen zenden om met de rijksgrooten een opvolger te verkiezen.
Deze opvolger moet, alvorens als vorst te worden bevestigt, den koning van
Ternate en de Compagnie trouw zweren, waarna de rijksgrooten het hem moeten
doen. De rijksgrooten mogen nimmer hun vorst afzetten zonder toestemming van
Ternate en de Compagnie, gelijk de koning en rijksgrooten den goegoegoe
(sapati) of andere hooge beambten. Ook niet ontslaan mogen, maar de tegen hen
gerezen klagten ter keunis van den koning van Ternade en de Compagnie moeten
brengen, die alsdan in overeenstemming met hen daarin zullen beschikken.
Terwijl alle nieuw aangestelde rijksgrooten, van hoogen zoowel als van lagen
rang, het kontrakt moeten bezweren. Zoo de koning dit kontrakt overtreedt,
mogen de koning van Ternate en de Compagnie in overleg met de rijksgrooten
van Boeton hem afzetten, en een ander in zijn plaats verkiezen.
Art.8
De koning van Boeton mag gezanten zenden naar Batavia, Amboina en Ternate,
en ook naar het land der Boegies, zoolang zij onder de bescherming van de
Compagnie blijven; maar niet zonder toestemming van de Compagnie naar
Makassar (Gowa), zelfs in vredestijd.
Art.9
De Compagnie kan tot meerdere verzekering van het kontrakt personen van
aanzien als gijzelaars vorderen, en zoolang in het kasteel te Ternate of te Batavia
aanhouden, als noodig is; deze gijzelaars zullen echter niet in hun geloof
belemmerd worden.
Art.10
De Compagnie mag overal in het gebied van Boeton, waar zij het zal goedvinden,
versterkingen oprigten, waartoe de koning door het leveren van materialen en
arbeidsvolk zal medewerken, ook zal zij zulke versterkingen weder mogen
intrekken.
Art.11
Europeesche of inlandsche Compagnie's dienaren, vrijburgers, Mardijkers, slaven
of andere onderdanen van de Compagnie, die om eenige misdaad of boos opzet de
vlucht nemen, zullen, zoo zij in het gebied van Boeton komen, terstond gevat en
bij de eerste gelegenheid aan de Compagnie uitgeleverd worden, en
Boetonneezen, die zoodanige personen verborgen houden, zullen daarvoor
gestraft worden.
142
Art.12
Overloopers, die het christelijk geloof afzweren, en den Islam willem omhelzen,
moeten aan de Compagnie worden overgeleverd, en door haar wederkeerig aan
den koning de Boetonneezen, die overloopen en het christendom willen om-
helzen.
Art.13
Boetonneezen die dienaren of onderdanen van de Compagnie beleedigen, of op
een andere wijze jegens hen misdrijven, mogen door haar officieren in de ijzers
gesloten worden, waarvan echter dadelijk kennis zal worden gegeven aan den
koning, die daarna de zaak door gecommitteerden zal doen onderzoeken, en de
schuldigen straffen zal. daarentegen mogen ook dienaren en onderdanen van de
Compagnie, die Boetonneezen benadeelen of jegens hen misdrijven, gearresteerd
worden; maar dadelijk daarna moeten zij aan de Compagnie worden overgeleverd,
die hen naar bevinding van zaken straffen zal.