partisipasi lansia dalam kelembagaan politik desa:kasus ... · terpaan berita politik dari media...
TRANSCRIPT
PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA
(Kasus : Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor )
Oleh :
GIBTHI IHDA SURYANI
A14202029
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
RINGKASAN GIBTHI IHDA SURYANI. PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA (Kasus Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI)
Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia. Proporsi penduduk Lansia dunia pada tahun 2004 telah mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk dunia. Fenomena ini pun terjadi di Indonesia, proporsi Lansia meningkat hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu 50 tahun, dari 4,5 persen pada tahun 1971 diperkirakan meningkat menjadi 11,3 persen pada 2020. Lebih dari 50 persen Lansia adalah perempuan, dan sekitar tiga perlima (61,7 persen) bertempat tinggal di pedesaan. Peningkatan ini mempunyai konsekuensi terhadap berbagai aspek kehidupan, sosial, ekonomi, kesehatan dan politik; dan yang paling mengkhawatirkan adalah peningkatan jumlah Lansia terlantar dan rawan terlantar.
Resolusi dari United Nations (PBB) dirumuskan untuk hak dan kewajiban lanjut usia yang dirangkum dalam lima hak dan kelompok, yaitu kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat. Namun, hingga kini kesadaran tentang isu Lansia di Indonesia, terlebih lagi kaitannya dengan kehidupan politik, di kalangan pengemban kepentingan (stakeholders) masih minim. Hal ini ironis dengan nilai budaya masyarakat Indonesia yang masih menempatkan Lansia dalam posisi terhormat dalam pengambilan keputusan, terutama dalam masyarakat desa. Pertanyaan besar yang kemudian timbul adalah Lansia yang seperti apakah yang masih menempati posisi penting tersebut. Lalu peran-peran apa sajakah yang ditampilkan oleh para Lansia tersebut, dengan mengintegrasikan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berlaku pada masyarakat pedesaan
Tujuan penelitian ini antara lain: (1) mengidentifikasi karakteristik Lansia di pedesaan. (2) mengidentikasi partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa. (3) menganalisis peranan yang ditampilkan Lansia dalam partisipasinya di kelembagaan politik desa, serta menganalisis berbagai faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Pendekatan kuantitatif digunakan dalam penelitian ini. Lokasi penelitian di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang dilaksanakan pada bulan September-November 2006. Metode penentuan sampling untuk penelitian ini menggunakan metode cluster sampling. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan uji statistik yang relevan.
Lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini mayoritas berada pada rentang umur 60-67 tahun, dengan satu orang responden tertua berusia 90 tahun. Sebanyak 23 orang responden berjenis kelamin perempuan. Hampir setengah dari responden perempuan tersebut mengaku buta huruf. Ditinjau dari aspek ekonomi responden yang berpendapatan di bawah Rp100.000 pun mayoritas adalah perempuan Lansia, dimana 12 orang di antaranya berstatus janda. Lebih dari 90 persen responden tinggal di rumah sendiri, dan 80 persen masih mandiri dalam perawatan. Dari pengalaman berorganisasi ditemukan bahwa mayoritas memiliki tingkat pengalaman organisasi yang sedang, dan terdapat satu orang perempuan Lansia yang memiliki tingkat pengalaman berorganisasi yang tinggi. Situasi ini menggambaran kehidupan sosial kemasyarakatan responden.
Rapat formal desa, para dewan dan pamong desa serta musyawarah desa merupakan institusi dimana warga Situ Udik menyalurkan aspirasi politik serta sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan. Tingkat partisipasi responden dengan dalam rapat formal desa yang tinggi hanya sebesar 25 persen saja. Lebih dari 77 persen responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam dewan desa. Responden dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam musyawarah desa hanya sebesar 15 persen. Hal ini menunjukkan pengambilan keputusan dengan pemakrasa elit memiliki kecenderungan masih adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit desa, dipertegas dengan pengujian keterhubungan dengan uji statistik.
Hasil uji statistik menunjukkan keterhubungan antara tingkat pendapatan dengan kepercayaan terhadap kinerja lembaga politik desa, tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman berorganisasi dengan sikap Lansia terhadap politik. Hasil uji ini menjadi melemah atau bahkan memiliki derajat hubungan yang dapat diabaikan dengan kontrol dari terpaan media massa dan partisipasi dalam Pemilu 2004.
Hasil uji Koefisien Kotingensi menunjukkan hanya terdapat signifikasi hubungan antara faktor sosial ekonomi dari responden Lansia laki- laki dengan sikap terhadap politik. Hasil uji Spearman pun menunjukkan keterhubungan hal terebut antara sikap terhadap politik dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik desa. Hal ini menunjukkan perbedaan perspektif antara perempuan dan laki- laki dalam memandang politik, mempengaruhi partisipasi dalam segala kegiatan kelembagaan politik desa.
Masyarakat Desa Situ Udik berorientasi pada “ketokohan” kyai dalam keseharian termasuk dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik. Keberhasilan politik orang-orang elite desa ini dalam mempertahankan dominasi disebabkan mereka memiliki kebijaksanaan sosial, dan kokohnya pola hubungan ‘kebapakan’ dan ‘saduluran’. Disertai prinsip safety first atau dahulukan selamat yang kemudian melatarbelakangi pengaturan teknis, sosial dan moral pola hubungan sosial masyarakat Desa Situ Udik.
Pola hubungan kekuasaan dan nilai ‘kebapakan’ menjadi etika yang menampilkan tindakan dengan bentuk kesetiaan secara sukarela hormat kepada ‘dununganna’. Gelombang reformasi politik lewat partisipasi dalam Pemilu 2004 dan terpaan berita politik dari media massa pun tidak mampu memberikan dampak yang mendasar terhadap dinamika politik lokal. Kuatnya konstruksi sosial ini menyingkirkan perempuan ‘sepuh’ dari perpolitikan desa. Perempuan masih menghadapi tuntutan dari tradisi sebagai seorang ibu, istri atau bahkan ketika perempuan tua menjadi seorang nenek yang mengurus cucunya.
PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA
(Kasus : Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
Oleh :
Gibthi Ihda Suryani
A14202029
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh :
Nama : Gibthi Ihda Suryani
NRP : A14202029
Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul : Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa (Kasus
Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS NIP. 131 622 687
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian: 10 Mei 2007
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA” BELUM
PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA
LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN
YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2007
Gibthi Ihda Suryani
A14202029
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan dengan nama Gibthi Ihda Suryani pada tanggal 12 Maret
1985, anak pertama dari pasangan Suroso dan Yulinar. Penulis memulai pendidikan
formalnya di SDN Panaragan I Kodya Bogor dan lulus pada bulan Mei 1996. Setelah
itu, penulis melanjutkan pendidikannya pada SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada
bulan Juni 1999. Kemudian penulis melanjutkan di SMU Negeri 5 Bogor dan lulus
pada bulan Juni 2002. Penulis menempuh jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)
untuk melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor, dan diterima sebagai mahasiswa
Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu
Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa penulis telah menjadi asisten dosen untuk Mata
Kuliah Sosiologi Umum pada semester ganjil tahun ajaran 2004/2005, asisten dosen
untuk praktek lapang Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan pada semester ganjil tahun ajaran
2005/2006 dan tahun ajaran 2006/2007, serta asisten dosen untuk Mata Kuliah
Perubahan Sosial semester ganjil tahun ajaran 2006/2007. Sedangkan untuk kegiatan
ekstrakurikuler penulis pernah berpartisipasi dalam beberapa kegiatan dan kepanitiaan
kampus. Kepanitiaan yang pernah diikuti adalah Agro Career 2004 yang
diselenggarakan oleh MISETA, serta Malam Keakraban KPM 2004. Penulis juga
pernah tergabung dalam organisasi mahasiswa IRCyD divisi penelitian.
KATA PENGANTAR
Mengawali Penulisan skripsi ini perkenankan penulis untuk berucap syukur
kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya, karena atas segala karuniaNya
lah kita mendapatkan nikmat hidup, nikmat iman, dan nikmat Islam serta penulis dapat
menyelesaikan penelitian skripsi ini tepat pada waktunya. Salawat serta salam kita
panjatkan kepada junjungan dan suri teladan kita Nabi Muhammad SAW, Sang
revolusioner sejati yang membawa kita pada pencerahan.
Penulisan skripsi ini merupakan suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Topik dari penulisan skripsi ini adalah studi lansia dan kelembagaan desa. Topik ini
dianggap menarik karena mengingat pertumbuhan penduduk dengan usia lanjut pada
abad ini sangat cepat. Proses penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia,
yang tentunya menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus segera ditangani. Adapun
judul dari penulisan skripsi ini adalah “Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik
Desa”
Penulis menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dalam penulisan
skripsi ini masih banyak kekurangannya maka dari itu kritik dan saran sangatlah
diharapkan. Semoga apa yang kita kerjakan mendapat ridho dari-Nya dan memberikan
manfaat bagi dunia pendidikan dan pengembangan serta pemberdayaan masyarakat
pertanian di negara ini.
Bogor, Mei 2007
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu, penulis menghanturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada semua pihak, baik yang secara langsung maupun secara tidak langsung telah
membantu dalam penyelesaian tugas ini, antara lain :
1. Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah sabar membimbing, dan memberi arahan kepada saya dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku dosen selaku dosen penguji utama yang
telah bersedia memberikan waktunya untuk menguji penulis pada skripsi ini.
3. Bapak (Bang) Martua Sihaloho, SP, Msi selaku dosen penguji perwakilan
Departemen yang telah bersedia memberikan waktunya untuk menguji penulis
pada skripsi ini.
4. Mamiku, Papa, Adikku tersayang PITAK, Om Yud, Te’ Melly, Lulu, Ade Luna
dan Bi Ukit yang telah mendoakan dan memberikan dukungan moral serta dana
selama ini.
5. Keluarga Bapak Lamsuni, Ibu Neneng, King, Adik-adikku (Najma, Lula, Ahla,
Azka, Zul, Tria, Fiky) Teh Cicih, Teh Neng, Teh Nining serta Agung, terima
kasih atas bantuannya selama saya penelitian di Desa Situ Udik serta
penerimaannya yang luar biasa baik. Saya sangat beruntung pernah mengenal
mereka.
6. Perangkat Desa Situ Udik, Bapak Kepala Desa H. Miftahullukman, Bapak
Sekdes Saiful Manan, Pak Mista dan Pak Ucok, terima kasih atas bantuannya
selama saya penelitian.
7. Warga Desa Situ Udik, khususnya para bapak-bapak dan ibu- ibu Lansia di
Kampung Al Barokah, Ganda Rasa, Cimanggu, Cikadondong dan Malang
Nengah atas bantuannya.
8. Anandita Puspitasari terima kasih atas dukungan serta persahabatan kita selama
delapan tahun, Sindo Group: Siti Anis Musyarofah, Niken Tiara F.A, Ajipadma
Dhara K., Isnanik Dian A. Teman satu bimbinganku Gina Septania, pembahas
kolokiumku Yohan Budiman dan rekan-rekan sejawat KPM 39 lainnya, semoga
tali silaturahmi yang telah terjalin selama ini tidak akan terputus.
9. Teman-temanku di KPM 40: Rizky Ali Akbar, Lina, Utari, Dipa. Adik-adikku di
KPM 41: Bayu, Nessa, dan kawan-kawan serta adik-adikku di KPM 42 terutama
kelompok Al-Barokah.
10. Anggi Muhammad Adriawan atas bimbingan SPSS dan les singkat statistiknya.
11. Mas Anton dan Mbak Hana yang telah banyak memberi masukan untuk
penulisan Skripsi ini serta buku-bukunya yang telah dipinjamkan.
12. Teman-temanku di LTYC dan Acem atas kebersamaan kita selama ini; Antonius
Jemi atas bantuannya.
13. Pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan
karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................................. 9
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ...................................................................... 10
2.1 Tinjauan Pustaka .................................................................................... 10
2.1.1 Lanjut Usia: Pengertian dan Batasan ............................................ 10
2.1.2 Lanjut Usia: Perkembangan Teori Gerontologi............................ 12
2.1.3 Konsep Successful Aging .............................................................. 15
2.1.4 Kelembagaan Politik Desa............................................................ 18
2.1.5 Peranan, Perilaku dan Partisipasi Politik ...................................... 23
2.1.6 Budaya Masyarakat Sunda: Konsep dan Etos Komunal .............. 29
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi ............................................... 92
2.2 Kerangka Analisis .................................................................................. 33
2.3 Hipotesis ................................................................................................. 37
2.4 Definisi Operasional .............................................................................. 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 42
3.1 Metode Penelitian .................................................................................. 42
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 43
3.3 Metode Penentuan Sampling ................................................................. 43
3.4 Metode Pengumpulan Data.................................................................... 45
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 46
BAB IV KONTEKS LOKASI .................................................................................. 48
4.1 Infrastruktur .......................................................................................... 48
4.1.1 Kondisi dan Letak Geografis ......................................................... 48
4.1.2 Struktur Pemerintahan, Sarana dan Prasarana ............................... 49
4.1.3 Karakteristik Masyarakat ............................................................... 54
4.2. Suprastruktur ........................................................................................ 56
4.2.1 Pengajian: Kelembagaan Sosial, Keagamaan, dan Politik
Masyarakat Desa Situ Udik ........................................................... 56
4.2.2 Lansia dan Kelembagaan Ekonomi Desa ..................................... 60
BAB V PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN DEMOGRAFI LANSIA
DESA SITU UDIK .................................................................................... 62
5.1 Struktur Umur dan Jenis Kelamin .......................................................... 62
5.2 Tingkat Pendidikan ................................................................................. 65
5.3 Tingkat Pendapatan ................................................................................ 69
5.4 Status Pernikahan.................................................................................... 73
5.5 Tempat Tinggal dan Perawatan .............................................................. 75
5.5.1 Tempat Tinggal.............................................................................. 75
5.5.2 Perawatan....................................................................................... 77
5.6 Pengalaman Berorganisasi ...................................................................... 78
5.6.1 Keikutsertaan dalam Organisasi dan Perkumpulan
Masyarakat..................................................................................... 78
5.6.2 Peran dalam Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat................. 80
BAB VI PROFIL SOSIAL POLITIK LANSIA DESA SITU UDIK .................... 85
6.1 Lansia dan Politik ................................................................................... 85
6.1.1 Tingkat Partisipasi Lansia dalam Pemilu 2004 ............................. 85
6.1.2 Tingkat Keterdedahan terhadap Media Massa .............................. 91
6.2 Nilai Sosial dan Budaya Politik Lansia
6.2.1 Sikap terhadap Politik .................................................................... 94
6.2.2 Kepercayaan terhadap Kinerja Lembaga Politik Desa .................. 98
6.2.3 Persepsi: Kriteria Pemimpin .......................................................... 100
BAB VII PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK
DESA........................................................................................................... 102
7.1 Partisipasi Lansia dalam Rapat Formal Desa ......................................... 102
7.2 Partisipasi Lansia dalam Dewan Desa .................................................... 108
7.3 Partisipasi Lansia dalam Musyawarah Desa........................................... 112
BAB VIII PARTISIPASI LANSIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI .................................................................................. 117
8.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Nilai Budaya Masyarakat Desa .................. 117
8.1.1 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan Nilai Budaya
Masyarakat Desa............................................................................ 118
8.1.2 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Faktor Politik dan Nilai
Budaya Masyarakat Desa .............................................................. 121
8.1.3 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Jenis Kelamin dan Nilai
Budaya Masyarakat Desa .............................................................. 123
8.2 Hubungan Nilai Budaya Masyarakat Desa dengan Partisipasi
dalam Kelembagaan Politik Desa ........................................................... 126
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 129
9.1 Kesimpulan ............................................................................................. 129
9.2 Saran ....................................................................................................... 135
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 137
LAMPIRAN ......................................................................................................... ..... 141
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks Halaman
Tabel 1. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut jenis kelamin di Indonesia tahun 2004
2
Tabel 2. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut tipe daerah di Indonesia tahun 2004
2
Tabel 3. Angka harapan hidup menurut jenis kelamin berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000
3
Tabel 4. Jumlah aparat dalam perangkat desa tahun 2005/2006
49
Tabel 5. Jumlah aparat dan kader dalam lembaga- lembaga Desa Situ Udik tahun 2005
50
Tabel 6. Fasilitas pendidikan dan perbandingan tenaga pengajardengan murid Desa Situ Udik tahun 2005/2006
53
Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan mata pencaharian tahun 2005
54
Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan tingkat pendidikan terakhir tahun 2005
55
Tabel 9. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan kelompok umur tahun 2005
55
Tabel 10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur Desa Situ Udik tahun 2006
65
Tabel 11. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan, Desa Situ Udik tahun 2006
66
Tabel 12. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Desa Situ Udik tahun 2006
68
Tabel 13. Sumber pendapatan responden setiap bulan, Desa Situ Udik tahun 2006
70
Tabel 14. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan besar pendapatan, Desa Situ Udik tahun 2006
72
Tabel 15. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status pernikahan 74
dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
Tabel 16. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat tinggal, Desa Situ Udik tahun 2006
75
Tabel 17. Jumlah dan persentase responden berdasarkan caregiving dan status pernikahan, Desa Situ Udik tahun 2006
77
Tabel 18. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis organisasi yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
79
Tabel 19. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis perkumpulan yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
80
Tabel 20. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi/jabatan dalam organisasi/perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
81
Tabel 21. Jumlah dan persentase responden berdasarkan lama keikutsertaan dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
82
Tabel 22.
Jumlah responden berdasarkan tingkat pengalaman berorganisasi dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
83
Tabel 23. Jumlah dan persentase responden berdasarkan partai politik yang dipilih pada Pemilu 2004, Desa Situ Udik
87
Tabel 24. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan yang ditampilkan dalam kampanye Pemilu 2004, Desa Situ Udik
88
Tabel 25. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam partai politik, Desa Situ Udik tahun 2006
89
Tabel 26. Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam penghitungan suara Pemilu legislatif 2004, Desa Situ Udik
90
Tabel 27. Tingkat partisipasi responden dalam Pemilu 2004, Desa Situ Udik
90
Tabel 28. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan dan akses terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
91
Tabel 29. Jumlah responden berdasarkan keterdedahan terhadap berita politik, Desa Situ Udik tahun 2006
93
Tabel 30. Tingkat Keterdedahan responden terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
93
Tabel 31. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan pernyataan politiknya, Desa Situ Udik tahun 2006
95
Tabel 32. Tabulasi silang antara frekuensi sebut pernyataan sikap tentang politik dengan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
96
Tabel 33. Jumlah responden berdasarkan minat keikutsertaan dalam kelembagaan politik dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
97
Tabel 34. Sikap responden terhadap politik Desa Situ Udik berdasarkan jenis kelamin, tahun 2006
98
Tabel 35. Jumlah dan persentase responden bedasarkan penilaian terhadap kinerja perangkat desa, Desa Situ Udik tahun 2006
99
Tabel 36. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
104
Tabel 37. Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk-bentuk rapat formal yang pernah diikuti
105
Tabel 38. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
106
Tabel 39. Tingkat partisipasi responden dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
107
Tabel 40. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi yang ditempati dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
109
Tabel 41. Jumlah dan persentase responden yang menjadi dewan desa berdasarkan proses penempatan posisi dalam Kelembagaan Politik Desa Situ Udik
110
Tabel 42. Tingkat partisipasi Lansia dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
111
Tabel 43. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
113
Tabel 44. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek (jenis) musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
114
Tabel 45. Tingkat partisipasi responden dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
115
Tabel 46 Hubungan faktor sosial ekonomi dengan faktor nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik tahun 2006
118
Tabel 47 Hubungan antara faktor sosial ekonomi, faktor politik dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
121
Tabel 48 Keputusan uji statistik kotingensi hubungan antara faktor sosial ekonomi, jenis kelamin dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
124
Tabel 49 Hubungan antara nilai budaya masyarakat desa dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik Desa Situ Udik, tahun 2006
127
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran.............................................................................41
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abad 21 merupakan abad lanjut usia (era of population aging) karena
pertumbuhan penduduk dengan usia lanjut (Lansia) pada abad ini sangat cepat. Proses
penuaan penduduk menjadi suatu gejala yang mendunia. Proporsi penduduk Lansia
dunia pada tahun 2004 telah mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduk dunia1.
Suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari akibat dari proses transisi demografi yaitu
perubahan tingkat kelahiran, dari tingkat kelahiran tinggi ke tingkat yang lebih rendah
serta perubahan tingkat kematian, dari angka kematian tinggi menjadi angka kematian
yang rendah (Rusli, 1983). Demikian juga yang terjadi di Indonesia, bahkan
diproyeksikan pada beberapa dekade mendatang jumlah penduduk Lansia di Indonesia
akan lebih besar dibandingkan dengan jumlah balita.
Saat ini Indonesia menempati posisi kesepuluh dengan jumlah populasi Lansia
terbanyak didunia, dan menjadi negara terbanyak penduduknya di ASEAN dengan
jumlah absolut Lansia tertinggi. Antara tahun 2010 dan 2020, angka pertumbuhan
populasi Lansia akan menjadi 3,7 persen, berbanding dengan tingkat pertumbuhan
populasi 0,8 persen (Dung Do-Le dan Raharjo, 2002).
Jika dilihat berdasarkan komposisi penduduk menurut umur, struktur penduduk
Indonesia semakin mengarah ke penduduk tua. Suatu negara memasuki era penduduk
struktur tua (aging population) jika proporsi penduduk lanjut usianya telah berada pada
patokan penduduk berstruktur tua yakni tujuh persen dari total populasi. Penduduk
dengan usia 60 tahun keatas mengalami peningkatan, dilihat dari proporsi dari total 1 Lilis Heri Mis Cicih, Karakteristik Penduduk Lanjut Usia Indonesia Masa Kini dalam Warta Demografi,
Tahun 35, No. 3, 2005.
2
penduduk Indonesia, dari sekitar 4,5 persen (5,3 juta jiwa) pada tahun 1971 menjadi 7,2
persen (15.054.877 jiwa) di tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 11,3 persen pada
tahun 20202.
Fenomena yang terjadi dari peningkatan penduduk Lansia di Indonesia, seperti
halnya di negara-negara berkembang lain, jika ditinjau dari perbandingan jenis kelamin
baik di desa maupun di kota, jumlah penduduk Lansia perempuan lebih banyak
dibandingkan penduduk Lansia laki- laki. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut jenis kelamin di Indonesia tahun 2004
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Perempuan 8.687.222 52,58 Laki-laki 7.835.089 47,42 Perempuan+Laki-laki 16.522.311 100,00 Sumber: Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004. Badan Pusat Statistik. 2004.
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dengan usia lanjut (60 tahun
keatas) kini telah mencapai 16,5 juta jiwa. Tabel tersebut juga memberikan gambaran
bahwa sebagian besar jumlah penduduk Lansia di Indonesia sampai tahun 2004 (52,6%)
adalah perempuan. Sejalan dengan proses pembangunan yang disertai dengan
perkembangan sektor industri dan perdagangan khususnya di daerah perkotaan telah
menarik ’orang muda’ dari desa untuk mencari pekerjaan. Akibatnya dari migrasi
tersebut adalah bertambahnya jumlah penduduk Lansia di pedesaan (Lihat Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah dan persentase penduduk lanjut usia (60 tahun keatas) menurut tipe daerah di Indonesia tahun 2004
Tipe Daerah Jumlah Persentase (%)
Perkotaan 6.328.909 38,31 Pedesaan 10.193.402 61,69 Perkotaan+Pedesaan 16.522.311 100,00 Sumber: Survey Sosial Ekonomi Tahun 2004. BPS.
2 Lansia Lebih Banyak dari Balita. http://HarianTerbit.com/2june2004/rubrik/nasional.htm. Diakses tanggal 29 April 2006
3
Berdasarkan Tabel 2, maka nampak bahwa hampir dua pertiga dari jumlah
populasi penduduk Lansia di Indonesia bertempat tinggal di Pedesaan. Indonesia di
masa reformasi tahun 1998 dan desentralisasi, secara administatif, terbagi menjadi 32
provinsi. Terdapat lima provinsi yang memiliki struktur populasi yang menua; termasuk
diantaranya DI Yogyakarta yang memiliki proporsi Lansia tertinggi (13,7 persen).
Beberapa provinsi lain yang telah mengalami proses penuaan penduduk dibandingkan
dengan apa yang terjadi secara nasional yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera
Barat, Sulawesi Utara dan Jawa Barat. Bahkan beberapa propinsi mempunyai persentase
Lansia yang lebih besar dibandingkan dengan negara lain3.
Perbaikan taraf kehidupan dan kesehatan dari suatu masyarakat berdampak pada
bertambah panjang masa hidup seseorang. Indonesia diperkirakan akan terjadi “Silver
Tsunami” yang sangat meningkat jumlah penduduk usia lanjut. Perkembangan jumlah
lanjut usia termasuk sangat cepat disebabkan karena penurunan tingkat fertilitas
penduduk. Harapan hidup penduduk Indonesia mengalami peningkatan jumlah dan
proporsi sejak tahun 1980, dapat dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Angka harapan hidup menurut jenis kelamin berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000
Sensus Penduduk Tahun Laki-laki Perempuan Laki-laki+Perempuan
1971 44,20 47,17 45,73 1980 50,64 53,69 52,21 1990 58,06 61,54 59,80 2000 63,45 67,30 65,43
Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan, http//:www.portal.menegpp.go.id.htm Berdasarkan Tabel 3 di atas, terlihat bahwa harapan hidup perempuan Indonesia
di tahun 2000 mampu bertahan hidup hingga mendekati 70 tahun serta memiliki
harapan hidup yang lebih lama dibandingkan laki- laki. Beberapa tahun mendatang usia
3 Jutaan Lansia Butuh Pelayanan Sosial, http//:www.suarakarya-online.com/wacana_wanita/2004.htm, diakses tanggal 25 Mei 2006.
4
rata-rata penduduk dapat mencapai 100 tahun. Hal inilah yang kemudian akan
menambah peliknya permasalahan peningkatan jumlah penduduk berusia lanjut di
Indonesia. Sejalan dengan proses penuaan, kondisi fisik maupun non-fisik Lansia yang
mengalami penurunan maka dibutuhkan peningkatan pelayanan sosial bagi penduduk
Lansia.
Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Wirakartakusumah et al. (1995)
tentang determinan Lansia bekerja dan bertempat tinggal di Indonesia maupun
Wahyuni (2003) yang mengkaji tentang kesejahteraan Lansia di pedesaan Jawa Barat,
serta Indawati (2003) yang melakukan identifikasi beberapa faktor yang berkaitan
dengan banyaknya Lansia di Kabupaten Lamongan, menunjukkan bahwa perempuan
Lansia dan yang tinggal di pedesaan merupakan Lansia yang yang sangat membutuhkan
bantuan dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini karena perempuan Lansia cenderung
lebih tua, tidak bekerja, hidup sendiri, berstatus tidak kawin (janda), tingkat
pendidikannya rendah, miskin, tinggal di pedesaan dan mayoritas hidup sendiri.
Masyarakat Indonesia pada umumnya menempatkan lanjut usia (Lansia) pada
posisi yang dihormati. Hal ini bukan saja karena sesuai dengan nilai-nilai budaya yang
hidup dan berkembang di masyarakat, tetapi juga karena Lansia tergolong ke dalam
kelompok rentan. Penghormatan itu antara lain, berupa pemberian fasilitas dan
pelayanan khusus dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka. Pada
mulanya program pemerintah dalam penanganan terhadap penduduk Lansia lebih
menekankan pemberian santunan kepada mereka yang terlantar, sesuai dengan Undang-
Undang (UU) No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Kemudian untuk
dapat mempunyai sasaran yang lebih luas dengan memberikan dorongan untuk
memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan Lansia kepada keluarga dan
5
masyarakat agar dapat mendukung terwujudnya Lansia yang berguna, berkualitas dan
mandiri, maka diatur Pasal 8 UU No.39/1999.
Meskipun perhatian mulai diberikan kepada Lansia, namun hingga saat ini
masih terdapat sekitar 3,7 juta lanjut usia (Lansia) di Indonesia yang memerlukan
pelayanan sosial. Sebagian besar di antara mereka dalam keadaan terlantar dan
memerlukan upaya perlindungan khusus. Pada tahun 1998, jumlah Lansia yang terlantar
sebanyak 3.485.066 orang dan rawan terlantar 4.975.942 orang. Sedangkan pada tahun
2002, jumlah Lansia telantar 3.754.569 orang dan rawan terlantar menjadi 5.102.800
orang (www.suarakaryaonline.htm/wanita.htm). Namun, bentuk perhatian dan
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah selama inipun masih terbatas dikarenakan
mereka miskin bukan karena mereka Lansia. Pemusatan perhatian masih terbatas pada
masalah sosial ekonomi, belum menyentuh pada hak Lansia dalam kehidupan
berpolitiknya.
Padahal isu kesetaraan perempuan Lansia baru mulai mengemuka dan diakui
dunia sejak Konferensi Dunia I tentang Perempuan tahun 1975. Kemudian
ditindaklanjuti dengan mulai berperspektif gender pada Konferensi Dunia III tentang
perempuan tahun 1985 yang mengidentifikasi ”perempuan Lansia” sebagai salah satu
dari 14 isu yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini dimaksudkan agar perempuan
Lansia tidak hanya diperlakukan sebagai objek yang rawan dan memerlukan berbagai
bantuan, pelayanan dan perawatan, tetapi juga sebagai subjek yang mempunyai berbagai
kemampuan dan memberikan sumbangan bagi pembangunan4. Kemudian dilakukan
evaluasi pelaksanaan hasil-hasil Konferensi Dunia tentang Lansia (1982) yang
menghasilkan United Nation Principles for Older Persons, yang dicetuskan pada 1991
4 Perempuan Lanjut Usia dan Politik. Media Perempuan, edisi No.3.2003
6
dengan Resolusi No 46/91 menghimbau negara-negara anggota PBB tentang hak dan
kewajiban lanjut usia yang dirangkum dalam lima hak dan kelompok, yaitu
kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat5.
Konsepsi tersebut berkembang hingga kemudian dalam pertemuan Sidang
Lanjut Usia kedua di Madrid tahun 2002 menghasilkan kesepakatan Rencana Aksi
Internasional Lanjut Usia (Madrid International Plan of Action of Ageing). Tindak
lanjut dari rencana aksi yakni dilaksanakannya seminar di Shanghai September 2002
yang menghasilkan strategi implementasi bagi para lanjut usia (Shanghai
Implementation Strategy)6. Hasil Strategi tersebut memberikan gambaran orang lanjut
usia bukanlah suatu beban, melainkan suatu keberhasilan tidak saja menyangkut
kesejahteraan sosial, akan tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan dalam
pembangunan, termasuk bidang politik.
Walaupun konsep successful aging tersebut diformulasikan dari pengalaman dan
penelitian negara maju. Tetapi dalam praktek pembinaan usia lanjut, harus
mengakomodasi faktor-faktor kultural, subkultural, nilai agama dan nilai sosial
setempat. Hingga kini kesadaran tentang isu Lansia di Indonesia, terlebih lagi kaitannya
dengan kehidupan politik, dikalangan pengemban kepentingan (stakeholders) belum
ada. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang urgensi dan kompleksnya isu
Lansia ini menjadi salah satu penyebabnya
Hal ini menunjukkan pentingnya penelitian maupun studi-studi tentang Lansia
khususnya partisipasi Lansia dalam politik. Kelembagaan politik desa menjadi fokus
penelitian ini dengan mengintegrasikan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin
yang berlaku pada masyarakat pedesaan.
5 Lansia Indonesia Tercepat. www.suaramerdeka.com/Sabtu/290504.htm. Diakses tanggal 5 Mei 2006. 6 Loc.cit.
7
1.2 Perumusan Masalah
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik, biologis, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Menua adalah juga proses kehilangan, mulai dari kehilangan peran sosial (misalnya
karena pensiun), kehilangan pendapatan, hingga kehilangan teman dan keluarga karena
kematian. Keadaan itu cenderung berpotensi tidak saja menimbulkan bagi masalah bagi
kondisi fisik Lansia namun juga kondisi mentalnya.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita lebih terobsesi dengan aspek negatif
daripada positif dalam hal pertambahan usia. Tapi bukti yang terdapat dalam berbagai
bukti ilmiah jelas-jelas menunjukkan hal-hal yang berbeda dari stereotipe yang ada.
Bahkan membaiknya teknologi kesehatan dan gaya hidup sehat yang dianut sebagian
masyarakat menunjukkan peningkatan angka harapan hidup manusia. Maka sama
seperti yang diungkapkan oleh penulis Theodore Rozak, "Masa depan di tangan orang-
orang dewasa". Meskipun sebagian dari penduduk Lansia dianggap menjadi beban bagi
penduduk produktif karena kondisi fisik, mental, sosial yang menurun sehingga tidak
memungkinkan mereka berperan dalam pembangunan. Namun di sisi lain Lansia
memiliki pengalaman, kearifan, keahlian, semangat kejuangan dan kekayaan
pengetahuan yang tidak dimiliki oleh generasi yang lebih muda. Khususnya pada
masyarakat pedesaan yang erat kaitannya dengan nilai-nilai ketradisionalan.
Ketradisionalan masyarakat desa diidentifikasi melalui pandangan bahwa segala
kegiatan dianggap baik bila sesuai dengan norma-norma yang telah diwariskan nenek
moyang secara turun temurun (Prijono dan Prijono, 1983).
Pola pikir ini pulalah yang mendasari nilai-nilai masyarakat desa dalam
menentukan pemimpin maupun orang-orang yang memegang peranan penting di
8
masyarakat. Seorang lurah misalnya, dipilih bukan hanya latar belakang pendidikannya
tapi juga karena usia dan kebijaksanaannya. Hal ini disebabkan seorang lurah bukan
hanya semata-mata kepala desa saja, tapi juga sebagai “bapak” bagi semua penduduk
desa. Demikian pula dengan para pamong desa, biasanya terdiri dari orang-orang tua
desa, yang umumnya menjadi anggota masyarakat terpenting karena pengetahuannya
akan adat istiadat. Pertanyaan besar yang kemudian timbul adalah Lansia yang seperti
apakah yang masih menempati posisi penting tersebut. Lalu peran-peran apa sajakah
yang ditampilkan oleh para Lansia tersebut. Jika kelembagaan politik desa identik
dengan istilah maskulinitas dan atribut ‘kebapakan’ seorang pemimpin desa, maka
apakah perempuan Lansia juga memiliki tempat didalamnya.
Berdasarkan hasil pemaparan di atas serta pemaparan sebelumnya pada latar
belakang, ingin diteliti lebih lanjut beberapa aspek yang terkait dengan masalah
tersebut, yaitu :
1. Bagaimana karakteristik Lansia di pedesaan?
2. Bagaimanakah partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi partisipasi Lansia dalam
kelembagaan politik desa?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan,
penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta membuat suatu analisis terhadap
partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Hal ini dilakukan guna
mengakomodasi faktor- faktor kultural, subkultural, nilai agama dan nilai sosial di
pedesaan (khususnya Desa Situ Udik) dalam kaitannya dengan konsep successful aging
9
dan teori aktivitas sebagai landasan teoritisnya. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai
berikut ini:
1. mengidentifikasi karakteristik Lansia di pedesaan
2. mengidentikasi partisipasi Lansia terhadap kelembagaan politik desa
3. menganalisis peranan yang ditampilkan Lansia dalam partisipasinya di
kelembagaan politik desa
4. menganalisis berbagai faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi Lansia
dalam kelembagaan politik desa.
1.4 Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini, terdapat beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan
pada berbagai pihak, yaitu :
1. Dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan terkait
dengan isu- isu Lansia secara lebih mendalam.
2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dalam
mengambil keputusan yang berkaitan dengan Lansia khususnya perempuan.
3. Menambah khasanah pengetahuan tentang kajian kependudukan khususnya studi
tentang Lansia dengan melakukan perbandingan antara laki- laki lansia dan
perempuan lansia ditinjau dari berbagai aspek baik sosial, ekonomi, religi-
kultural yang berkaitan erat dengan kehidupan berpolitik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendekatan Teoritis
2.1.1 Lanjut Usia: Pengertian dan Batasan
Lanjut usia adalah setiap warga negara Indonesia pria atau wanita yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas, baik potensial maupun tidak potensial. Batasan lanjut
usia menurut WHO South East Asia Regional Office (Organisasi Kesehatan Dunia untuk
Regional Asia Selatan dan Timur) adalah usia usia lebih dari 60 tahun. Dilihat dari ciri-
ciri fisiknya, manusia lanjut usia memang mempunyai karakteristik yang spesifik.
Secara alamiah, maka manusia yang mulai menjadi tua akan mengalami berbagai
perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik maupun mentalnya (Rully, 2003).
Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan untuk membuat suatu batasan
penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yaitu
aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN, 1998). Secara biologis
penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus
menerus, yakni ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Jika
ditinjau secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumberdaya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi
memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan
masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan
masyarakat.
11
Penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat,
penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari
keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan
keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di
Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus
dihormati oleh warga muda.
Mendefinisikan lanjut usia dapat ditinjau dari pendekatan kronologis. Menurut
Supardjo (1982) dalam Suhartini (2004) usia kronologis merupakan usia seseorang
ditinjau dari hitungan umur dalam angka. Berbagai aspek pengelompokan lanjut usia
yang paling mudah digunakan adalah usia kronologis, karena batasan usia ini mudah
untuk diimplementasikan, karena informasi tentang usia hampir selalu tersedia pada
berbagai sumber data kependudukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu :
1. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun,
2. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,
3. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan
4. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Saparinah (1983) dalam Suhartini (2004) berpendapat bahwa pada usia 55
sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap prapensiun pada
tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai
tekanan psikologis. Hal ini akan menimbulkan perubahan-perubahan dalam hidupnya.
Demikian juga batasan lanjut usia yang tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun
1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, bahwa yang berhak
mendapatkan bantuan adalah mereka yang berusia 56 tahun ke atas. Sedangkan dalam
12
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dengan tegas
dinyatakan bahwa yang disebut sebagai lanjut usia adalah laki- laki ataupun perempuan
yang berusia 60 tahun atau lebih. Merujuk pada hal tersebut maka dalam penelitian ini
batasan lanjut usia adalah individu berusia 60 tahun ke atas.
2.1.2 Lanjut Usia : Perkembangan Teori Gerontologi
Terdapat sejumlah teori yang digunakan dalam menjelaskan fenomena penuaan
(aging) dalam ilmu sosiologi. Penuaan dapat dianalisa menurut ilmu sosiologi sebagai
tiga proses yang mempengaruhi orang-orang ketika mereka menjadi tua: biologis,
psikologis, dan sosial; Tiga proses tersebut mengusulkan tiga metafor waktu
perkembang yang berbeda, walaupun saling terkait satu sama lainnya
1. Penuaan biologis secara khas berarti berkurangnya penglihatan, kehilangan
pendengaran, kerutan, suatu kemunduran kekuatan otot dan disertai penimbunan
lemak, dan penurunan efisiensi kardiovaskuler.
2. Tua menurut psikologis diasumsikan bahwa memori, pelajaran,
kecerdasan/inteligensi, keterampilan, dan motivasi untuk belajar cenderung
untuk merosot karena umur.
3. Penuaan sosial terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, dan peran yang secara
kultural dihubungkan dengan umur secara kronologis tertentu .
Sosial gerontologi adalah bidang studi multidisipliner dan merupakan instrumen
teoritis utama kaum ortodoks yang berkenaan dengan lanjut usia terutama di Amerika
Serikat, Inggris dan akademisi Australia (Phillipson 1998; Biggs dalam Powell 2001).
Berikut ini penjelasan singkat mengenai teori-teori tersebut yang merupakan ikhtisar
dari buku ”Sosiologi Wanita”, Ollenburger dan Moore (1996). Teori- teori tersebut
dibagi dalam tiga tipe dasar yakni teori-teori fungsionalis yang memfokuskan pada
13
diskontinuitas dalam proses penuaan dan hilangnya status; teori-teori yang
memfokuskan pada penuaan individu dan interaksinya dengan masyarakat serta
lingkunganya; dan teori-teori kritis yang memperhatikan faktor-faktor struktural yang
mempengaruhi kaum Lansia.
Teori Fungsionalis, terdiri dari beberapa teori yang membangun diantaranya:
1. Teori peran, komponen utama teori ini adalah hilangnya peran dan penyesuaian
diri atau ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan peran-peran baru dalam
usia tua. Perubahan peran yang terjadi setelah pensiun, ketika peran kerja yang
bebas digantikan oleh bentuk-bentuk hubungan sosial yang tergantung. Salah
satu premisnya, wanita lebih mudah menyesuaikan diri dengan peran-peran usia
tua, karena mereka mengalami transisi yang lebih lancar kedalam peran-peran
ketergantungan pada umumnya. Teori ini cenderung melestarikan nilai-nilai
kultural yang dominan, dan melukiskan suatu gambaran wanita dalam
masyarakat yang strereotipe.
2. Teori aktivitas, mengemukakan bahwa terdapat suatu hubungan positif antara
aktifitas sosial dan kepuasan hidup. Lebih jauh teori ini menjelaskan bahwa
orang yang masa mudanya sangat aktif dan terus juga memelihara keaktifannya
setelah dia menua. Ahli jiwa mengatakan bahwa “sense of integrity” dibangun
semasa muda dan akan tetap terpelihara sampai tua. Ericson, membuat suatu
ringkasan tentang fase-fase perkembangan manusia sejak bayi sampai tua, yang
mana tiap fase menerangkan tentang adanya krisis-krisis untuk memilih antara
ke arah mana seseorang akan berkembang. Fase terakhir disebut bahwa ada
pilihan antara: “sense of integrity” dan “sense of despair” karena adanya rasa
takut akan kematian. Pada masa tua terjadi krisis antara deferensiasi egonya (ego
14
differentitation) melawan preokupasi peranannya dalam bekerja (work role
preoccupation). Hal ini dipengaruhi oleh pikiran-pikiran tentang pensiun. Juga
ditambahkan bahwa pada masa ini ada krisis, seseorang itu dapat membangun
suatu hubungan-hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan
mengembangkan aktivitas-aktivitas yang kreatif untuk melawan pikiran-pikiran
yang terpusat kepada kemunduran-kemunduran fisiknya (Powell, 2001). Namun,
teori ini menganggap bahwa individu mempunyai suatu elemen kontrol terhadap
dunia sosial mereka, dan mengabaikan persoalan kemiskinan, gender, dan
diskriminasi ras.
3. Teori keterlepasan, mengemukakan bahwa pengurangan interaksi sosial
diharapkan oleh individu- individu Lansia, terjadi saling menarik diri antara
Lansia dan non-Lansia di dalam sistem sosial.
4. Teori lingkungan sosial, memfokuskan pada pengaruh lingkungan sosial dan
fisik kaum Lansia terhadap aktivitas-aktivitas sosial, pola-pola interaksi Lansia
dengan tetangga dan keluarga, dan kepuasan hidup mereka yang terlihat dari
persepsi dan makna yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Lansia. Hal ini
dikembangkan dalam suatu tipologi dengan memperhatikan lingkungan berusia
sama dan lingkungan beragam usia.
5. Teori pertukaran, fokusnya adalah pada individu- individu, karena mereka
berinteraksi dan berupaya mempertahankan suatu keseimbangan ketika mereka
mempertukarkan imbalan- imbalan, hukuman dan persahabatan. Norma
pertukaran ini merujuk pada bagaimana orang di sekitar Lansia membantu
mereka, dan mereka juga memberikan dukungan kepada orang lain. Bagi wanita
15
Lansia, pertukaran ini seringkali dinegosiasikan dalam arti kesukarelawanan
atau bentuk-bentuk pekerjaan yang tidak dibayar.
Teori-teori kritis dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor struktural dalam
menjelaskan fenomena penuaan populasi ini:
1. stratifikasi umur, teori ini menganalisis lapisan- lapisan sosial berdasarkan kelas,
yang membagi individu- individu dan kelompok-kelompok dalam beberapa
golongan sosial, yang memiliki akses yang berbeda pada imbalan, sumber-
sumber dan kekuasaan.
2. Ekonomi politik penuaan, bahwa perbedaan ancaman dan diskriminasi terhadap
kaum Lansia, mencerminkan distribusi kekuasaan, pendapat, dan pemilikan
dalam keseluruhan struktur sosial. Kebutuhan kaum Lansia menjadi prioritas
yang rendah dalam suatu sistem berdasarkan kapitalisme dan pencarian
keuntungan. Kemiskinan kaum tua sekarang, merupakan fungsi dari
ketidakmampuan sistem kapitalis untuk mengontrol institusi- institusi politik,
ekonomi, dan sosial.
2.1.3 Konsep Successful Aging
Perkembangan teori-teori tersebut kemudian melahirkan bagan atau kerangka
konseptual untuk menguraikan hasil/akibat yang ideal dari proses penuaan. Salah satu
dari terminologi yang paling umum digunakan untuk menguraikan suatu masa tua yang
sukses adalah "succesful aging", yang pertama kali dikemukakan oleh R. J. Havighurst
pada tahun 1961. Konsep dari sukses di usia lanjut merupakan pusat dari ilmu usia
lanjut (gerontologi), dan artikel oleh Havighurst muncul sebagai konsep dalam isu
pertama tentang publikasi Gerontologis (Bearon, 1996).
16
Definisi konsep sukses ini sendiri menimbulkan kerancuan tidak ada definisi
yang dengan baik diterima atau model tentang successful aging yang telah teruji selama
ini. Havighurst (1961) mendefinisikannya sebagai "adding life to the years" dan
"memperoleh kepuasan hidup". Palmore (1995) dalam ensiklopedi tentang proses
penuaan, mengemukakan bahwa suatu definisi yang komprehensif tentang successful
aging yang berkombinasi dengan survival (umur panjang), kesehatan (ketiadaan cacat),
dan kepuasan hidup (kebahagiaan). Rowe dan Kahn (1987) mendefinisikannya dalam
kaitan dengan berbagai variabel fisiologis dan psikologis (Bearon, 1996).
Terdapat tiga teori gerontologi sosial yang dijadikan dasar dari munculnya
konsep successful aging ini, diantaranya teori aging yang pertama, Cumming dan Henry
dengan "teori keterlepasan" (1961), yang mengemukakan pada proses/rangkaian
penuaan yang normal, seseorang secara berangsur-angsur menarik atau melepaskan dari
peranan sosial sebagai tanggapan alami untuk mengurangi kemampuan dan mengurangi
minat, dan untuk kurangnya dorongan untuk partisipasi bermasyarakat. Di dalam model
ini, orang yang sukses di masa tuanya dengan sepenuh hati mengundurkan diri dari
pekerjaan atau kehidupan berkeluarga dan dengan puas berada di kursi goyang, atau
mengucilkan diri, aktivitas pasif yang bersiap-siap menghadapi kematian (Bearon,
1996).
Teori utama aging yang kedua, dikenal sebagai "teori aktivitas", yang
mengemukakan bahwa orang berumur lebih sukses ketika mereka mengambil bagian
dalam suatu aktivitas satu harian penuh, artinya, tetap sibuk (Lemon, Bengtson dan
Peterson, 1972 dalam Bearon, 1996). Kini, teori-teori tersebut tidak lagi digunakan oleh
gerontologis yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang terlalu membatasi dalam
anjuran dari suatu gaya hidup tertentu. Riset empiris menunjukkan heterogenitas para
17
Lansia, mencakup orang-orang yang memilih kehidupan sedikit terstruktur tersusun atau
tidak memperhatikan kesehatan atau berarti untuk mengejar suatu jadwal aktivitas
penuh. Meskipun demikian, aktivitas secara luas diakui oleh para Lansia sendiri sebagai
kunci mereka menuju sukses diusia tuanya, sehingga gerontologis sudah menggelari
filosofi ini "etnis yang sibuk" (Powell, 2001).
Teori ketiga tentang penuaan yang telah dipandang dengan memiliki banyak
kelebihan di tahun terakhir disebut "teori kesinambungan”. Teori ini mengusulkan
bahwa orang berumur paling sukses sukses adalah mereka yang memindahkan
kebiasaan, pilihan, gaya hidup dan hubungan dari paruh baya hingga akhir hidup
(Bearon, 1996).
Kriteria sukses dalam pembinaan kelompok usia lanjut, cukup kompleks seperti
indikator subyektif dan obyektif. Indikator subyektif di antaranya meliputi kepuasan
batin (makna hidup). Sedang indikator obyektif berupa usia yang panjang, kesehatan
mental dan produktif sosial. Itu akan bisa tercapai jika seseorang bisa melakukan
kontrol personal.
Konsep succesful aging sebagai perspektif yang berorientasi pada proses
merupakan mekanisme dengan modal selektif, optimalisasi dan kompensasi. Hal ini,
yang dimaksud selektif adalah membatasi aktivitas sehari-hari secara proaktif sesuai
dengan motivasi dan kemampuan yang dimiliki. Model kedua adalah kompensasi,
model ini tidak hanya mengandung adaptasi terhadap aktivitas yang selama ini
dilakukan tetapi juga menciptakan aktivitas baru sesuai dengan kondisi Lansia. Agar
hasilnya bisa maksimal di samping dua hal tersebut, perlu diimbangi dengan
optimalisasi. Sebab dengan adanya optimalisasi secara tidak langsung memberikan
18
kesempatan pada Lansia untuk melakukan praktek dan latihan dengan menciptakan
kondisi lingkungan yang kondusif.
Di Indonesia umumnya memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka
cukup aman karena anak atau saudara-saudara yang lainnya masih merupakan jaminan
yang baik bagi orang tuanya. Anak berkewajiban menyantuni orang tua yang sudah
tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Nilai ini masih berlaku, memang anak wajib
memberikan kasih sayangnya kepada orang tua sebagaimana mereka dapatkan ketika
mereka masih kecil. Para usia lanjut mempunyai peranan yang menonjol sebagai
seorang yang “dituakan”, bijak dan berpengalaman, pembuat keputusan, dan kaya
pengetahuan. Mereka sering berperan sebagai model bagi generasi muda, walaupun
pada kenyataannya banyak diantara mereka tidak mempunyai pendidikan formal
Pengalaman hidup lanjut usia merupakan pewaris nilai-nilai sosal budaya sehingga
dapat menjadi panutan bagi kesinambungan kehidupan bermasyarakat dan berbudaya.
Walaupun sangat sulit untuk mengukur berapa besar produktivitas budaya yang dimiliki
orang lanjut usia, tetapi produktivitas tersebut dapat dirasakan manfaatnya oleh para
generasi penerus mereka (Yasa, 1999 dalam Suhartini, 2004).
2.1.4 Kelembagaan Politik Desa
Penggunaan kata kelembagaan disini mengacu pada istilah kelembagaan sosial
yang berasal dari istilah social institution. Namun, Koentjaraningrat dalam Soekanto
(1990) menggunakan istilah pranata sosial yang didefinisikan sebagai suatu sistem tata
kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi
kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat, dalam menggambarkan dan
menjelaskan istilah social institution tersebut. Penekanan diberikan pada sistem tata
kelakuan atau norma dalam memenuhi kebutuhan. Coward dalam Cernea (1988) juga
19
menggunakan konsep pranata sosial untuk menperjelas perspektif sosiologi dalam
kelembagaan irigasi, hanya saja hal ini juga dikaitkannya dengan konsep organisasi
sosial. Konsep pranata ini menurutnya banyak dipakai dalam sosiologi, yang menunjuk
pada perilaku ideal dan harapan peranan sebagai suatu konsep umum berbagai aturan
yang menyokong pola perilaku sosial: norma, cara-cara rakyat, adat kebiasaan dan
hukum.
Istilah ‘Social Institution’ oleh Soemardjan (1964) diterjemahkan dengan istilah
lembaga kemasyarakatan. Hal ini dengan maksud istilah lembaga, kecuali menunjuk
pada suatu bentuk, juga mengandung pengertian yang abstrak tentang adanya norma-
norma dan peraturan-peraturan tertentu yang merupakan ciri dari lembaga itu.
Kelembagaan yang dipaparkan Schmid (1977) dalam Tonny (2004), adalah
seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan
kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang
dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lain. Hak-hak tersebut mengatur
hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya pemanfaatan
sumberdaya tertentu. Ahli ekonomi memakai konsep yang sama dalam mendefinisikan
lembaga sebagai suatu peraturan perilaku. Pola perilaku sosial pada setiap kelompok
penduduk dan interaksi dapat disebut sebagai organisasi sosial. Organisasi sosial ini
terdiri dari pola kelompok-kelompok yang kurang resmi, bertujuan, ataupun mapan
seperti rapat antara badan yang berwenang dengan kelompok musyawarah masyarakat.
Konsep kelembagaan sosial ini bukanlah istilah ‘lembaga’ (yang berasal dari
kata institute) yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari (Tonny, 2003).
Umumnya, kelembagaan sering diartikan sebagai organisasi, dalam banyak hal dapat
merancukan pengertian yang sebenarnya dari kelembagaan tersebut. Lebih lanjut Tonny
20
(2003) menjelaskan bahwa istilah lembaga biasanya merujuk pada suatu ‘badan’, seperti
organisasi ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai organisasi yang memiliki beragam
tujuan. Sehingga disimpulkan bahwa kelembagaan sosial merupakan suatu kompleks
atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang
penting. Esensinya, menurut Polak (1966), kelembagaan itu memiliki tujuan yang
mengatur antarhubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang
paling penting (Tonny, 2003).
Setiap masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu yang
apabila dikelompokan akan terhimpun menjadi suatu kelembagaan sosial. Berdasarkan
hal tersebut, sebagai suatu batasan, dapat dikatakan kelembagaan adalah himpunan
norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok didalam
masyarakat. Wujud kongkrit dari kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi
(Soekanto, 1990), hal ini diperkuat oleh Mc Iver dan Page dalam Soemardjan (1964)
yang membandingkan istilah kelembagaan dengan istilah association--asosiasi.
Sedangkan kelembagaan merupakan tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup,
organisasi, dan sistem sosial lainnya (Bertrand, 1974 dalam Tonny, 2003).
Kelembagaan sosial yang merupakan seperangkat aturan dan perilaku yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia, dapat dikategorikan berdasarkan jenis-jenis
kebutuhan tersebut. Koenjtaraningrat dalam Soekanto (1990) mengkategorikannya
menjadi kelembagaan kekerabatan atau domestik, ekonomi, pendidikan, ilmiah,
keagamaan, somatik, estetika dan rekreasi serta kelembagaan politik.
Kelembagaan politik merupakan kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran yakni
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengertian dari politik itu sendiri
21
adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan tersebut. Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh anggota masyarakat, dan bukan tujuan pribadi seseorang.
Politik ini juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk dalam hal ini partai
politik dan kegiatan perorangan (Budiarjo, 1972).
Rush dan Althoff (2003) mengemukakan bahwa perhatian sentral dari politik
adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana masyarakat
membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu;
atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu; atau
berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa esensi dari politik tergantung pada opini maupun pendapat masing-masing.
Lebih lanjut Rush dan Althoff (2003) menerangkan bahwa pada banyak segi, kekuasaan
merupakan titik sentral dari suatu studi politik. Hal ini kemudian menjuruskan kita pada
esensi dari politik, yakni sarana-sarana dengan mana manusia memecahkan
permasalahannya bersama-sama dengan manusia lain. Pada aspek ini kajian politik
mencakup juga studi mengenai permasalahan manusia, mengenai perlengkapan yang
dikembangkan manusia untuk memecahkan masalah tersebut, mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi manusia untuk mengarasi permaslahan yang ada. Permasalahan
tersebut menyangkut pemerintahan dalam pengertian ”aktivitas menjaga ketentraman” .
Konsepsi politik merupakan istilah yang diberikan oleh pengamat terhadap tipe-
tipe kegiatan tertentu, Adrain dalam Fadhilah (2005) kemudian mengkategorikannya
kedalam beberapa pola, yaitu: pertama, politik sebagai pengajaran kepentingan umum.
Kedua, politik sebagai pengoperasian negara. Ketiga, politik sebagai perumusan dan
pelaksanaan kebijakan.
22
Berdasarkan beberapa konsepsi tersebut diatas, sebagai suatu kegiatan, politik
itu beraneka ragam dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain dan dari suatu
individu ke individu yang lain. Sehingga, politik tidak hanya menunjuk pada suatu
kebijakan tertentu melainkan pada aspek yang berkaitan dengan perumusan dan
penerapan kebijakan-kebijakan yang mengikat bagi suatu masyarakat.
Kelembagaan politik pada dasarnya merupakan sistem suatu hubungan penguasa
yang dikuasai (rakyat) dalam bentuk pemerintahan, pengunaan kekuasaan tersebut,
orang mengenal negara, kepartaian, demokrasi, kehakiman, dan sebagainya. Lembaga
politik kemasyarakatan merupakan lembaga yang bersangkut paut dengan
pengelompokkan anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang biasa
disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam sistem kemasyarakatan (Sastroatmodjo,
1995). Coward dalam Cernea (1988) menyebutkan terdapat tiga elemen yang
membentuk suatu kelembagaan dan organisasi sosial, diantaranya:
1. Aturan-aturan kunci, seperti sanksi-sanksi dan sarana-sarana lain dalam upaya
pengendalian sosial
2. Peranan-peranan yang penting; Suatu sistem sosial terdiri dari anggota-anggota
dengan status-status dan peranan-peranan yang kemudian membentuk suatu
struktur sosial. Terdapat tokoh-tokoh tertentu yang mempunyai peranan dan
status yang menonjol, mereka inilah disebut pemimpin. Kepemimpinan menjadi
menjadi salah satu penyusun dari elemen ini
3. kelompok-kelompok sosial yang penting
Berdasarkan adat istiadat Jawa, desa memiliki tiga institusi atau kelembagaan sebagai
tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding,
sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa (baik formal
23
maupun informal), badan musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan
para pamong desa (Prijono dan Prijono, 1983).
2.1.5 Peranan, Perilaku dan Partisipasi Politik
Suatu sistem sosial tersusun atas dua unsur yakni kedudukan (status) dan
peranan (role). Kedua unsur tersebut merupakan unsur pokok dalam sistem sosial.
Sistem sosial oleh Soekanto (1990) diartikan sebagai suatu pola-pola perilaku yang
mengatur hubungan antara individu, masyarakat, dan individu dengan masyarakatnya,
dimana kedudukan dan peran memiliki arti yang penting. Kedudukan merupakan
tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial tertentu, tetapi jika
dipisahkan dari individu yang memilikinya maka status-status tersebut merupakan
kumpulan hak dan kewajiban. Seseorang dalam masyarakat biasanya memiliki
beberapa kedudukan sekaligus dan selalu terdapat suatu kedudukan yang
menonjol/utama yang kemudian mendasari penggolongan masyarakat ke dalam kelas-
kelas sosial. Apabila seseorang menjalankan suatu hak dan kewajiban sesuai dengan
kedudukannya maka dapat dikatakan ia telah menjalankan suatu peranan.
Suatu peranan berasal dari pola-pola yang ada dalam sistem sosial, dan diatur
oleh norma-norma yang berlaku dan terbentuk dari pola tersebut. Sehingga peran
menentukan apa yang diperbuat seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-
kesempatan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Soekanto (1990)
menyimpulkan peranan mencakup tiga hal, yakni:
1. norma-norma yang dikaitkan dengan status sosial sehingga merupakan
rangkaian aturan yang mengarahkan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat.
2. konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat
3. perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
24
Timbulnya peran adalah apabila ada harapan, baik dari pemegang peran
maupun lingkungan yang memberi peran kepadanya. Pareek dalam Rohmad (1998)
mengemukakan peran merupakan sekumpulan fungsi yang dilakukan oleh seseorang
sebagai tanggapan terhadap harapan-harapan dari para anggota penting sistem sosial
yang bersangkutan dan harapan-harapan dari para anggota penting sistem sosial yang
bersangkutan dan harapan-harapannya sendiri dari jabatan (posisi) yang ia duduki
dalam sistem sosial itu. Berdasarkan pengertian tersebut, peran dapat dibedakan
menjadi tiga yakni (Berlo dan Berry dalam Rohmad, 1998):
1. Presicription role atau peran tertentukan, yaitu harapan-harapan yang
dinyatakan secara formal dan eksplisit tentang perilaku yang harus dilakukan
menurut posisi tertentu.
2. Expectation role atau peran harapan, yaitu gambaran atau kesan (images) yang
ada dalam diri orang tentang perilaku yang dilakukan oleh orang dalam peran
tertentu,
3. Performances role atau sering disebut description role atau peran aktual, yaitu
suatu laporan perilaku yang secara nyata dilakukan oleh orang dalam peran
tertentu.
Jika dikaitkan dengan suatu kegiatan pembangunan masyarakat, maka peran
harus dikaji berdasarkan pada prinsip, misi dan tugas atau pekerjaan peran tersebut.
Rohmad (1998) menjelaskan peran-peran dalam suatu pembangunan masyarakat dapat
dibedakan menjadi tiga peran, yakni: (1) peran interpersonal; (2) peran informasional;
(3) peran memutuskan. Ketiga peran tersebut saling mempengaruhi, sehingga menjadi
satu-kesatuan.
25
Berdasarkan penjelasan tersebut maka peran merupakan perilaku yang
diharapkan sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Perilaku politik ini merupakan
salah satu aspek dari perilaku secara umum yang menyangkut persoalan politik, maka
perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Sastroadmodjo, 1995). Interaksi sosial
dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik ini
adalah esensi dari perilaku politik tersebut.
Perilaku ini berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk
mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu
otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut.
perilaku ini merupakan hasil pengaruh dari beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal, yang menyangkut lingkungan alam maupun lingkungan sosial budayanya.
Terkait dengan perilaku ini, maka sikap politik merupakan suatu kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik sebagai suatu bentuk penghayatan
terhadap objek tersebut (Sastroadmodjo, 1995). Munculnya sikap politik tertentu akan
dapat diperkirakan perilaku politik apa yang sekiranya akan muncul atau sekurang-
kurangnya kecenderungan untuk berperilaku. Salah satu bentuk perilaku individu yang
dapat diamati (overt behavior) dalam kehidupan berpolitik adalah partisipasi politik.
Partis ipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini
mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan
warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau
kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi
maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan
warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai
26
dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan
keputusan. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering
mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang
sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan7.
Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi-politik, yang
dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks
governance, yakni relasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat
kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-
barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Sedangkan didalam masyarakat terdapat
hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan hidup, dan lain- lain. Dengan demikian,
partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan
barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being8.
Makna terdalam partisipasi adalah suara (voice), akses dan kontrol masyarakat
terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-
hari, dengan uraian sebagai berikut 9:
Pertama, voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan
aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya
maupun kebijakan pemerintah.
Kedua, Akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena
governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif
mengelola barang-barang publik. Ada dua hal penting dalam akses: keterlibatan secara
terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan
7 Definisi Partisipasi Politik dalam Ensiklopedia Digital, http//:www.wikipedia.org/partisipasi_politik/wiki.htm, diakses tanggal 19 Mei 2006 8 Suara, Akses dan Kontrol Masyarakat. LESUNG Edisi 3 Tahap II, April 2003.
http://www.fppm.org/Lesung/Edisi%203%20tahun%202003/perspektif.htm. 9 Ibid.
27
tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa yang terlibat, sedangkan
involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti
ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik,
terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan dan lain- lain.
Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah
wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga,
terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama
proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan
gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah
wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama
dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan.
Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun
proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-
control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja mencakup kapasitas
masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi
dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan
penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka.
Pola kontrol (penguasaan) yang ada dalam masyarakat juga dapat dikaji dari
analisis pola pengambilan keputusan dalam keluarga maupun masyarakat. Analisis pola
pengambilan keputusan dalam keluarga dilakukan untuk melihat : (a) siapa bertanggung
jawab, untuk apa; (b) siapa memperoleh manfaat, apa; (c) siapa bisa dijadikan mitra
untuk kegiatan program pembangunan yang menyangkut perubahan sikap dan perilaku
(Sugiarti & Handayani, 2002).
28
Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan
bentuknya. Sebagai suatu bentuk kegiatan maka partisipasi dibedakan menjadi
partisipasi aktif dan pasif. Orientasi partisipasi aktif terletak pada masukan dan keluran
politik, sementara partisipasi pasif hanya terletak pada keluaran politik saja
(Sastroatmodjo, 1995). Partisipasi aktif mencakup kegiatan mengajukan usul,
menyalurkan aspirasi politik, mengajukan kritik dan saran, membayar pajak, ikut serta
dalam pemilihan umum. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati,
menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan yang dibuat oleh pemimpin.
Terdapat sekelompok orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik
yang ada dinilai telah menyimpang dari apa yang telah dicita-citakan. Hal ini
diaktualisasikan oleh mereka dalam suatu sikap apatis. Kategori orang yang apatis ini
diterjemahkan oleh Milbarth dan Goel (Sastroadmodjo, 1995) sebagai suatu sikap
dimana seseorang yang menarik diri dari proses politik. Terdapat beberapa alasan yang
menyebabkan seseorang bersikap apatis, pertama, mereka beranggapan bahwa dengan
mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan
dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai politik tertentu. Alasan kedua,
karena individu menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan sia-sia belaka serta ia
tidak mungkin mengubah keadaan dan melakukan kontrol politik. Argumen ketiga
adalah atas pemikiran bahwa politik hanyalah memberi kepuasan sedikit dan tidak
langsung, sedang hasil yang diterimanya sangat sedikit. Dengan kata lain, partisipasi
politik baginya bukanlah hal yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Rush
dan Althoff, 2003)
Fachrozy (2002) menggunakan beberapa indikator untuk mengukur tingkat
partisipasi politik masyarakat nelayan, diantaranya:
29
1. Keikutsertaan dalam kampanye pemilihan umum
2. Keikutsertaan dalam kegiatan pemungutan suara untuk memilih perwakilan
rakyat
3. Keikutsertaan secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah
4. Ikut serta dan keanggotaan dalam organisasi atau kelompok berkepentingan
5. Frekuensi mengikuti diskusi informal mengenai masalah yang terjadi di desa
6. Frekuensi berkomunikasi dengan pihak berwenang dalam menyelesaikan
permasalahan
Rush dan Althoff (2003) berusaha menempatkan bentuk-bentuk partisipasi
politik dalam suatu hirearki partisipasi politik, yang dapat dilihat pada gambar berikut
ini. Dijelaskan juga bahwa partisipasi pada satu tingkatan hierarki tidak merupakan
prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkatan yang lebih tinggi.
Menduduki jabatan politik atau administratif
Mencari jabatan politik atau administratif
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi political)
Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi political)
Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya
Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum dalam
politik
Voting (pemberian suara)
Apathi total
2.1.6 Budaya Masyarakat Sunda: Konsep dan Etos Komunal
Kebudayaan Sunda, ya itu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di
kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata
30
kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di
samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia,
kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari
kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda,
sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini
tampak sebagaimana dalam pameo "silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling
mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di
samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan
(handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau
kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu
luhur, nyaah ka nu leutik ); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam
kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dan sebagainya. Prinsip egaliter ini
kemudian melahirkan etos musyawarah, ta’awun (kerjasama) dan sikap untuk
senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur,
dinamis dan harmonis 10.
Etos menurut Koentjaraningrat (1994) dalam memaknai hakekat hidup terdapat
perbedaan antara masyarakat di desa dengan di kota. Masyarakat desa mempunyai
kecenderungan memaknai hidup sebagai nasib yang harus diterima. Hal dapat dilihat
dari ungkapan yang sering dikemukakan, seperti “setiap orang harus ingkang nrimah“
yang artinya harus dapat menerima keadaan dalam hidupnya. Ungkapan lain yang juga
sering dikemukakan adalah “pasrah lan sumarah“ yang maknanya adalah menyerah dan
menerima keadaan. Hal ini berbeda dengan masyarakat kota, meskipun memaknai hidup
sebagai sebuah nasib yang harus diterima, akan tetapi diwajibkan untuk berusaha
10 Kahmad, Dadang. Agama Islam Dalam Perkembangan Budaya Sunda. http://www.dilibrary.net/images/topics/Islam%20dan%20Budaya.pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2007
31
memperbaiki kehidupan. Konsep berusaha untuk memperbaiki kehidupan inilah yang
dikenal dengan “ikhtiar“.
Mengenai hakekat karya atau etos kerja, bagi masyarakat desa yang awam
(kurang terpelajar) hakekat karya atau etos kerja tidak terlalu berarti. Mereka memaknai
pekerjaan sebagai sesuatu yang memang harus dilakukan jika ingin bertahan hidup. Hal
ini sedikit berbeda dengan masyarakat desa yang terpelajar, bagi mereka hakekat
tentang karya dan etos kerja dikaitkan dengan konsep pahala dalam agam Islam.
Artinya, setiap pekerjaan yang dilakukan akan mendapatkan balasan atau hasil. Konteks
tersebut juga dimiliki oleh masyarakat Jawa di kota. Hanya saja pemaknaan terhadap
pahala bagi masyarakat kota dikontekskan sebagai sesuatu pencapaian yang bersifat
konkrit. Bagi masyarakat priyayi, yang menjadi representasi masyarakat kota,
pencapaian konkrit yang dimaksudkan adalah kedudukan dan kekuasaan, akan lambang-
lambang lahiriah dari kekayaan, serta hubungan dengan orang-orang yang mempunyai
jabatan tinggi (Koentjaraningrat, 1994).
Soetarto (1998) mengaitkan etos komunal dengan bentuk partisipasi aktif dalam
politik desa yang antara lain mengajukan kritik-kritik sosial. Lebihlanjut diuraikan
bahwa etos komunal merupakan sejumlah perangai budaya, karakteristik yang
membedakan satu sifat etos yang dianut suatu kelompok sehingga etos tidak terlepas
dari lingkungan dan kelompok. Ritus agama dan kepercayaan pada gilirannya akan
menguatkan pemberian sangsi yang lebih tinggi, sehigga orang takut untuk berperilaku
menyimpang.
Dihubungkan dengan masyarakat desa di daerah Jawa Barat yang erat kaitannya
dengan kehidupan komunitas tani. Scott (1983) menyatakan bahwa kebanyakan
komunitas khususnya yang bersifat pra-kapitalis, kekhawatiran kekurangan pangan
32
telah menyebabkan timbulnya apa yang dinamakan etika subsistensi. Etika ini
menimbulkan prinsip safety first atau dahulukan selamat yang kemudian
melatarbelakangi pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-
kapitalis. Satu asumsi yang kritis dari prinsip safety first itu adalah bahwa pekerjaan
rutin subsitensi memberikan hasil yang memuaskan. Berdasarkan konteks ekonomi
etika subsistensi yang tak ingin mengambil resiko ini mempunyai implikasi- implikasi
sosial dan politik yang sama pentingnya seperti sikap masyarakat di pedesaan Sunda
yang biasa, yakni hati-hati dan skeptis.
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Kemampuan dan tingkat partisipasi seseorang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini berhubungan dengan latar belakang karakteristik individu yang
bersangkutan. Madrie (1986) menyatakan bahwa tingkat pendidikan, umur,
kekosmopolitan, dan kesesuaian dengan kebutuhan merupakan faktor yang
mempengaruhi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan.
Partisipasi merupakan bentuk dari perilaku, kegiatan berpartisipasi akan
dipengaruhi oleh unsur-unsur kepribadian tertentu, misalnya sikap, minat, keterampilan,
ambisi, dan juga dipengaruhi oleh suasana lingkungan. Selain itu, partisipasi juga
merupakan suatu bentuk khusus didalam pembagian kekuasaan, tugas dan tanggung
jawab dalam komunitasnya. Tjondronegoro dalam Madrie (1986) mengungkapkan
bahwa partisipasi akan dipengaruhi oleh needs, motivasi, struktur sosial, startifikasi
sosial didalam masyarakat, dan orang akan berpartisipasi menyangkut adanya
kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan serta akan meningkatkan statusnya.
Purwatiningsih (2003) mengungkapkan sejumlah faktor yang mempengaruhi
partisipasi politik Lansia dalam kelembagaan masyarakat diantaranya:
33
1. Faktor Sosial Ekonomi; Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan dan jumlah keluarga.
2. Faktor Politik, yakni peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk
menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang
terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan
sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah
kenegaraan dan atau pembangunan
b. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan. Pengetahuan
meliputi Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan
menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil. Pengetahuan
disini merupakan informasi yang diketahui seseorang yang akan diperoleh
melalui proses belajar maupun pengalaman.
3. Faktor lingkungan, adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi
dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara
berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya. Hal ini terkait dengan lokasi
tempat tinggal dan sarana serta prasarana.
4. Faktor Nilai Budaya, nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang
membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik
atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan,
sikap, dan kepercayaan politik.
2.2 Kerangka Analisis
Keberhasilan pembangunan di bidang kependudukan, pendidikan, kesehatan dan
program-program yang terkait, berdampak pada menurunnya angka kelahiran dan
34
meningkatnya usia harapan hidup. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
penduduk berusia lanjut. Proses penuaan populasi ini membawa berbagai konsekuensi
baik dari aspek sosial, ekonomi maupun politik.
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Penuaan dapat
dianalisa menurut ilmu sosiologi sebagai tiga proses yang mempengaruhi orang-orang
ketika mereka menjadi tua: biologis, psikologis, dan sosial. Penuaan biologis secara
khas berarti berkurangnya penglihatan, kehilangan pendengaran, kerutan, suatu
kemunduran kekuatan otot dan disertai penimbunan lemak, dan penurunan efisiensi
kardiovaskuler. Tua menurut psikologis diasumsikan bahwa memori, pelajaran,
kecerdasan/inteligensi, ketrampilan, dan motivasi untuk belajar cenderung untuk
merosot karena umur. Penuaan sosial terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, dan peran
yang secara kultural dihubungkan dengan umur secara kronologis tertentu.
Fenomena penuaan ini menyebabkan berkembangnya bagan atau kerangka
konseptual untuk menguraikan hasil/akibat yang ideal dari proses penuaan. Salah satu
dari terminologi yang paling umum digunakan untuk menguraikan suatu masa tua yang
sukses yakni "successful aging”, yang diformulasikan dari pengalaman dan penelitian
negara maju. Konsep ini lalu diintegrasikan dalam suatu prinsip-prinsip PBB tahun
1991 untuk Lansia yang memberikan pengarahan yang meliputi yaitu kemandirian,
partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat.
Konsep ini berkembang menyertai perkembangan di dalam teori sosial dan
aspek-aspek psikologis penuaan, sebab gagasan tentang apa yang mendasari sukses di
usia lanjut secara implisit dimasukkan pada setiap teori. Salah satu teori gerontologi
sosial yang dijadikan dasar dari munculnya konsep successful aging ini adalah " teori
aktivitas", yang mengemukakan bahwa orang berumur lebih sukses ketika mereka
35
mengambil bagian dalam suatu aktivitas satu harian penuh, artinya, tetap sibuk (Lemon,
Bengtson& Peterson ( 1972) dalam Bearon (1996)).
Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum
muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumberdaya ekonomi, pengaruh
terhadap pengambilan keputusan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun.
Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang
harus dihormati oleh warga muda. Sehingga Lansia khususnya di daerah pedesaan
masih memiliki peran aktif.
Timbulnya peran adalah apabila ada harapan, baik dari pemegang peran
maupun lingkungan yang memberi peran kepadanya. peran dapat dibedakan menjadi
tiga yakni (Berlo dan Berry dalam Rohmad, 1998) yakni: (1) presicription role atau
peran tertentukan, yaitu harapan-harapan yang dinyatakan secara formal dan eksplisit
tentang perilaku yang harus dilakukan menurut posisi tertentu; (2) expectation role
atau peran harapan, yaitu gambaran atau kesan (images) yang ada dalam diri orang
tentang perilaku yang dilakukan oleh orang dalam peran tertentu; (3) performances
role atau sering disebut description role atau peran aktual, yaitu suatu laporan perilaku
yang secara nyata dilakukan oleh orang dalam peran tertentu.
Perilaku politik ini merupakan salah satu aspek dari perilaku secara umum yang
menyangkut persoalan politik, maka perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik
(Sastroadmodjo, 1995). Salah satu bentuk perilaku individu yang dapat diamati (overt
behavior) dalam kehidupan berpolitik adalah partisipasi politik. Partisipasi politik
adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan
36
keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta
dalam pelaksanaan keputusan.
Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan
bentuknya. Sebagai suatu bentuk kegiatan maka partisipasi dibedakan menjadi
partisipasi aktif dan pasif. Orientasi partisipasi aktif terletak pada masukan dan keluaran
politik, sementara partisipasi pasif hanya terletak pada keluaran politik saja.
Pengkategorian ini bukan hanya meliputi itu saja, tetapi terdapat sekelompok orang
yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyimpang
dari apa yang telah dicita-citakan. Hal ini diaktualisasikan oleh mereka dalam suatu
sikap apatis.
Kemampuan dan tingkat partisipasi seseorang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini berhubungan dengan latar belakang karakteristik individu yang
bersangkutan khususnya status sosial ekonomi yang dapat dilihat dari
kekosmopolitannya, tingkat pendidikan serta berdasarkan hitungan ekonomi
(pendapatan). Status sosial ekonomi ini akan menentukan sikap, minat, keterampilan,
serta ambisi dipengaruhi oleh suasana lingkungan. Unsur ini tidak hanya
menggambarkan psikologis seseorang tapi juga menyangkut ideologis, nilai serta
budaya yang terdapat dalam masyarakat. Partisipasi merupakan bentuk dari perilaku,
kegiatan berpartisipasi akan dipengaruhi oleh unsur-unsur ini.
Soekanto (1990) menjelaskan bahwa masyarakat biasanya memberikan
fasilitas-fasilitas pada individu untuk dapat menjalankan peranan. Kelembagaan
merupakan bagian dari masyarakat yang menyediakan peluang dan kesempatan untuk
melaksanakan peran. Namun, seringkali didalam proses sosial, kedudukan seringkali
lebih dipentingkan, sehingga terjadi hubungan-hubungan yang timpang yang kemudian
37
cenderung mementingkan suatu pihak hanya mempunyai hak saja sedangkan pihak lain
mempunyai kewajiban belaka.
Kelembagaan politik pada dasarnya merupakan sistem suatu hubungan penguasa
yang dikuasai (rakyat) dalam bentuk pemerintahan, penggunaan kekuasaan tersebut,
orang mengenal negara, kepartaian, demokrasi, kehakiman, dan sebagainya.
Berdasarkan adat istiadat jawa, desa memiliki tiga institusi atau kelembagaan sebagai
tempat atau wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding,
sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa (baik formal
maupun informal), badan musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan
para pamong desa (Prijono dan Prijono, 1983).
2.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan
sebelumnya maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diduga faktor sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan serta tingkat pengalaman berorganisasi mempengaruhi sikap,
persepsi serta kepercayaan terhadap kelembagaan politik desa.
2. Diduga faktor nilai budaya yang terdiri dari persepsi, sikap, pengetahuan dan
kepercayaan politik berpengaruh terhadap partisipasi Lansia dalam kelembagaan
politik desa .
2.4 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah petunjuk untuk pelaksanaan bagaimana caranya
mengukur suatu variabel. Hal ini dimaksudkan untuk kemudahan dalam penelitian,
38
maka peneliti mengembangkan beberapa definisi operasional, diantaranya sebagai
berikut:
Definisi operasional adalah petunjuk untuk pelaksanaan bagaimana caranya
mengukur suatu variabel serta mengaitkannya.
1. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai
dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga
peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Hal tersebut diukur dengan
sejauhmana Lansia baik laki- laki maupun perempuan mendapatkan kesempatan
untuk dapat terlibat dalam kegiatan dalam kelembagaan politik desa. Partisipasi
politik Lansia terhadap kelembagaan politik desa dapat dibedakan menjadi:
a. Partisipasi aktif atau tingkat partisipasi tinggi yakni jika skor keikutsertaan Lansia
dalam kegiatan rapat desa, musyawarah desa, serta dewan desa yang terdiri dari
lurah dan para pamong desa, termasuk dalam kategori skor tinggi.
b. Partisipasi pasif atau tingkat partisipasi rendah yakni jika skor keikutsertaan
Lansia termasuk dalam kategori sedang dalam kegiatan rapat desa, musyawarah
desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa.
c. Apatis yakni tingkat partisipasi dengan skor keikutsertaan dalam kegiatan rapat
desa, musyawarah, serta dewan desa termasuk dalam kategori rendah.
2. Pendidikan adalah jenjang atau tingkat pendidikan formal terakhir yang telah diikuti
oleh responden. Tingkat pendidikan dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah
berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:
- Tidak pernah sekolah, tidak lulus dan SD Lulus SD, digolongkan dalam
kategori tingkat pendidikan rendah
39
- Tidak lulus SMP, lulus SMP, Tidak lulus SMA, lulus SMA dan digolongkan
dalam kategori tingkat pendidikan sedang
- Sarjana dan diploma digolongkan dalam kategori pendidikan tinggi.
3. Pendapatan adalah total pendapatan per bulan yang diperoleh baik yang berasal dari
bekerja, hasil pensiun maupun yang berasal dari pemberian santunan kepada Lansia.
Besar pendapatan ini digolongkan menjadi tinggi, sedang dan rendah dengan
klasifikasi sebagai berikut:
- Tingkat pendapatan tinggi, dengan total pendapatan per bulan kurang dari Rp
100.000
- Tingkat pendapatan sedang, dengan total pendapatan per bulan Rp 100.000-Rp
500.000
- Tingkat pendapatan tinggi, dengan total pendapatan per bulan lebih dari Rp
500.000
4. Pengalaman berorganisasi adalah keikutsertaan Lansia dalam suatu organisasi formal
maupun perkumpulan informal dalam masyarakat yang dilihat berdasarkan skor
yang diaktegorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi.
6. Caregiving adalah perawatan yang diberikan atau dilakukan bagi individu Lansia
baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain (anak/kerabat).
7. Faktor Nilai Budaya, nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang
membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik
atau peradaban masyarakat. Faktor nilai budaya dalam penelitian ini dilihat lewat
persepsi menyangkut kriteria terhadap pemimpin dan Lansia yang masih aktif
(negatif dan positif), pernyataan sikap politik (positif dan negatif), dan kepercayaan
terhadap perangkat desa(percaya dan tidak percaya).
40
8. Faktor Politik, yakni peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk
menentukan suatu produk akhir, meliputi :
a. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang
terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan
sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah
kenegaraan dan atau pembangunan. Diukur berdasarkan keikutsertaan dalam
Pemilu 2004 yang meliputi keikutsertaan, peran dalam kampanye serta
keikutsertaan dalam penghitungan suara pemilu.
b. Pengetahuan terhadap proses pengambilan keputusan politik, merupakan
informasi yang diketahui seseorang yang akan diperoleh melalui proses belajar
atau pengalaman.Diukur berdasarkan keterdedahan terhadap media massa
khususnya berita politik.
9. Lansia adalah setiap individu yang berusia 60 tahun ke atas.
10. Usia adalah umur dari individu lanjut usia (Lansia) yang digolongkan menjadi tiga
bagian yaitu :
* Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun,
* Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan
* Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
11. Kelembagaan politik desa adalah institusi atau kelembagaan sebagai tempat atau
wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding, sekaligus
mempunyai fungsi pencapaian keputusan yakni rapat desa (formal), musyawarah
desa, serta dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa.
41
PPrroosseess PPeennggaammbbiillaann KKeeppuuttuussaann
PPoolliittiikk
Kelembagaan Politik Desa:
1. Rapat formal desa,
2 Musyawarah desa,
3 Dewan desa yang terdiri dari lurah dan para pamong desa
KKaarr aakktteerrii ssttii kk LLaannssii aa:: 11.. UUssii aa 22.. SSttaatt uuss
PPeerrnnii kkaahhaann 33.. TTee mmppaatt ttii nnggggaall 44.. CCaarreeggiivviinngg
FFaakkttoorr ssoossii aall eekkoonnoommii ::
55.. PPeennddii ddii kkaann 66.. PPeennggaall aammaann
BBeerroorrggaannii ssaassii 77.. BBeessaarr
ppeennddaappaattaann
SSuucccceessssffuull AAggiinngg
KKee mmaannddii rrii aann
PPeell aayyaannaann
PPeemmeennuuhhaann ddiirrii
BBeerrmmaarrttaabbaatt
SSpprrii ttuuaall
PPaarrttiissii ppaassii
FFaakkttoorr ppooll iitt iikk::
11.. KKeess aaddaarraann ppoolliittiikk
22 PPeennggeettaahhuu aann ppoolliittiikk
33 JJee nniiss KKee llaammiinn
FFaakkttoorr nnii ll aaii bbuuddaayyaa::
11.. SSii kkaapp tteerrhhaaddaapp ppoollii ttii kk
22 PPeerrsseeppssii tteerrhhaaddaapp ppeemmii mmppii nn
33 KKee ppeerrccaayyaaaann tteerrhhaaddaapp kkii nneerrjjaa ll eemmbbaaggaa ppoollii ttii kk ddeessaa
KKeetteerraanngg aann:: MMeemmppeennggaarruuhh ii:: VVaarr iiaabbee ll kkoonnttrrooll:: KKeetteerr lliibbaattaann ddaa llaamm :: MMeemmppeennggaarruuhh ii hhuubbuunnggaann::
Gambar 2. Kerangka pemikiran ”Partisipasi Lansia dalam Kelembagaan Politik Desa”.
42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif,
yang berusaha mengidentifikasi keterlibatan dan peran Lansia dalam kehidupan politik
di daerah pedesaan melalui metode survey. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk
mengetahui kondisi tentang permasalahan penelitian yang didasarkan pada pemahaman
pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan penafsiran peneliti.
Metode survey diartikan sebagai penelitian yang mengambil sampel dari satu
populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok (Singarimbun
dan Effendi, 1989). Metode ini dipilih dengan beberapa pertimbangan, diantaranya:
1. Topik kajian penelitian ini mengenai partisipasi Lansia terhadap kelembagaan
politik desa, sehingga penggunaan metode ini dianggap tepat.
2. Penggunaan metode ini memungkinkan untuk mengumpulkan data dari
responden dalam jumlah besar, dengan waktu yang relatif singkat.
3. Metode ini dapat digunakan untuk mengeneralisasi temuan dari sampel kepada
populasi yang lebih luas.
Penelitian ini dilakukan tidak hanya untuk menggambarkan karakteristik sebuah
populasi, melainkan juga disusun dengan tujuan untuk memberikan penjelasan
(explanatory research) mengenai hubungan antar variabel yang dihipotesiskan.
Sementara itu, terkait dengan faktor- faktor yang mempengaruhi partisipasi Lansia
dalam kelembagaan politik, maka ditambahkan pula data kualitatif yang mendukung
penjelasan jawaban. Adapun pengertian data kualitatif dalam hal ini adalah data
43
deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang
diamati (Sitorus, 1998).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposif), yaitu di Desa
Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Desa Situ Udik dipilih sebagai
lokasi penelitian berdasarkan kesesuaian dengan fokus penelitian, serta mengingat pada
kedekatan lokasi penelitian dengan Kampus IPB Dramaga, kemudahan akses untuk
sampai ke Desa Situ Udik, peneliti memiliki hubungan baik dengan aparat desa
sehingga dapat memudahkan dalam pengumpulan data, selain itu desa ini bukan
merupakan desa pemekaran sehingga memiliki kesesuaian dengan kajian penelitian.
Penelitian dimulai pada tanggal 15 September sampai dengan 24 Oktober 2006.
Penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti intensif berada di
lapangan, sehingga studi penjajakan tidak tercakup dalam periode waktu tersebut.
Pilihan waktu tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan waktu yang diperlukan
untuk mempersiapkan perencanaan penelitian, sehingga peneliti pada saat penelitian di
lapang dapat bekerja secara optimal.
3.3. Penentuan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan unit analisis yang akan diselidiki
karakteristik dan ciri-cirinya. Populasi sampling dalam penelitian ini adalah seluruh
masyarakat Desa Situ Udik yang berjenis kelamin perempuan dan laki- laki serta berusia
lanjut (Lansia). Berfokus pada populasi sasaran adalah Lansia yang aktif terlibat dalam
kegiatan politik desa dan Lansia yang cenderung tidak terlibat dalam kegiatan politik
desa. Penentuan ini terkait dengan konteks dan fokus penelitian dalam usaha untuk
44
membuat perbandingan antara Lansia yang memiliki peran aktif dalam kelembagaan
politik desa dengan Lansia yang cenderung pasif. Kerangka sampling diperoleh dari
data monografi desa serta informasi yang diperoleh dari informan.
Besarnya sampel suatu penelitian bergantung pada: (1) keragaman karakteristik
populasi; (2) tingkat presisi yang dikehendaki; (3) rencana analisis; (4) tenaga, waktu,
dan biaya (Muljono, 2003). Sampel dalam penelitian ini diambil secara acak
proposional dengan jumlah 40 orang dari laki- laki dan perempuan masyarakat Desa Situ
Udik yang dilakukan dengan teknik pengambilan sampel gugus sederhana atau "Simple
Cluster Sampling". Alasan pengambilan sampel dengan teknik ini karena dihadapkan
kenyataan dimana kerangka sampel yang dijadikan dasar untuk pemilihan sampel tidak
tersedia atau tidak lengkap. Khususnya data mengenai jumlah penduduk berusia 60
tahun keatas yang bertempat tinggal di lokasi penelitian. Guna mengatasi hal tersebut,
maka unit-unit analisa dalam populasi digolongkan dalam suatu gugus yakni dalam
suatu dusun.
Desa Situ Udik terbagi atas tiga Dusun, 12 RW, dan 43 RT. Dusun 2 yang terdiri
lima RW dipilih menjadi gugus sampel. Sampel ini diambil dengan pertimbangan
informasi dari aparat Desa Situ Udik bahwa diperkirakan dusun tersebut memiliki
penduduk yang berusia diatas 60 tahun terbanyak. Selain itu dusun tersebut memiliki
jumlah RW terbanyak dibandingkan dusun lainnya, RW 09 dipilih sebagai gugus
sampel karena merupakan pusat dari dusun 2 (ketua dusun dan berberapa aparat desa
bertempat tinggal di RW ini). Kemudian dari RW tersebut diambil dua RT secara acak
sebagai gugus sampel.
Sampel dalam hal ini merupakan responden yakni pihak yang akan memberi
keterangan mengenai dirinya terkait dengan topik penelitian. Individu yang akan
45
menjadi responden dalam penelitian ini dipilih dengan sengaja atau purposive. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan responden yang menjadi sasaran merupakan Lansia
yang kebanyakan memiliki keterbatasan fisik. Mengatasi hal tesebut maka akan dipilih
individu Lansia yang berumur 60 tahun keatas, tidak mengalami dimensia atau
kepikunan, masih dapat berkomunikasi dengan baik serta tidak mengalami gangguan
kesehatan lainnya.
Selain itu dipilih sejumlah informan yang terdiri dari kepala desa, sekretaris
desa, pemimpin perempuan, kader-kader PKK dan posyandu, tokoh-tokoh agama dan
tokoh masyarakat (kepala dusun, ketua tani, dan sebagainya). Hal ini dilakukan guna
memberikan informasi yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai segala sesuatu
yang berhubungan dengan topik penelitian. Informan merupakan pihak yang akan
memberi keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya. Informan ini kemudian akan
membantu peneliti dalam memilih responden yang valid atau memberi keterangan
tambahan tentang topik kajian.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui metode survey. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui kajian
dokumen dan literatur.
Kajian literatur yang peneliti lakukan berasal dari monografi desa untuk
mengetahui gambaran umum di daerah penelitian, seperti keadaan lokasi (topografi) dan
karakteristik masyarakatnya. Peneliti juga melakukan penelaahan pada literatur lain
seperti buku teks yang berisi rujukan teori dan hasil penelitian yang berhubungan
dengan fokus penelitian, artikel, jurnal, data-data statistik dari Badan Pusat Statistik
46
(BPS), dan juga internet. Kajian literatur ini kemudian akan menjadi data sekunder
dalam penelitian ini.
Survey dilakukan dengan melakukan wawancara dengan alat bantu berupa
kuesioner yang terdiri dari pertanyaan terbuka dan tertutup. Pengisian kuesioner ini
dipandu oleh peneliti mengingat subyek penelitian merupakan berusia Lansia yang
umumnya memiliki berbagai keterbatasan fisik.
3.4. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan program SPSS
12 dan program Microsoft Excel 2003 . Tabel frekuensi dan tabulasi silang digunakan
untuk menyajikan deskripsi tentang karakteristik individu, tingkat partisipasi dalam
kelembagaan politik desa serta faktor- faktor yang mempengaruhinya. Uji Spearman
digunakan untuk menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan, tingkat pengalaman
berorganisasi, dan tingkat pendapatan yang menjadi ciri dari karakteristik sosial
ekonomi Lansia. Rumus yang digunakan untuk uji Spearman berdasarkan buku
Statistika NonParametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial oleh Sidney Siegel (1997), adalah
sebagai berikut :
rs = 1 - NN
dN
ii
−
∑=31
26
Keterangan :
rs = koefisien korelasi Speraman
di = selisih peringkat antara dua variabel yang berkorelasi
n = banyaknya pasangan data
47
Analisis uji korelasi parsial digunakan untuk menguji hubungan variabel (dua
variabel) dengan variabel lain yang berpengaruh terhadap korelasi kedua variabel pokok
(variabel dependen dan independen). Analisis ini dilakukan dengan melihat besar nilai
korelasi. Kategori nilai korelasi menurut Young dalam Trihendrardi (2002) sebagai
berikut:
0,7-1,00 : Baik dengan tanda positif atau negatif, menunjukkan derajat
hubungan yang tinggi
0,4-0,7 : Baik dengan tanda positif maupun negatif, menunjukkan
derajat hubungan yang substansial
0,2-0,4 : Baik dengan tanda positif maupun negatif, menunjukkan
derajat hubungan yang rendah
Kurang dari 0,2 : Baik dengan tanda positif maupun negatif, menunjukkan
derajat hubungan yang dapat diabaikan.
Analisis juga menggunakan uji Koefisien Kontingensi dilakukan untuk
memperoleh pemahaman tentang keterkaitan antar variabel sosial ekonomi dan variabel
nilai budaya masyarakat desa dengan memasukkan variabel jenis kelamin sebagai
variabel kontrol. Hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana konsepsi pembagian
gender mempengaruhi hubungan kedua variabel pokok. Adapun rumus untuk Koefisien
Kontingensi berdasarkan kutipan dari Walsh (1999) adalah sebagai berikut:
C =NX
X+2
2
48
BAB IV
KONTEKS LOKASI
4.1 Infrastruktur
4.1.1 Kondisi dan Lokasi Geografis
Penelitian yang dilakukan berlokasi di RW 09 Desa Situ Udik, yang secara
administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Desa Situ Udik secara keseluruhan adalah seluas
tersebut 370,150 Ha. Pemanfaatan luas lahan tersebut mayoritas dipergunakan menjadi
perumahan/pemukiman dan pekarangan (70 Ha) dan areal persawahan (170 Ha).
Jarak dari Desa Situ Udik ke pusat pemerintahan kecamatan Cibungbulang
adalah 5 km, sedangkan jarak ke pusat pemerintahan Kabupaten Bogor adalah 40 km,
serta berjarak 145 km dari ibu kota Provinsi Jawa Barat. Letak desa ini berbatasan
langsung dengan Desa Situ Ilir di sebelah utara, Desa Pasarean di sebelah selatan, di
sebelah barat berbatasan dengan Desa Cimayang, serta berbatasan dengan Desa Karacak
di sebelah timur.
Dilihat dari letak geografisnya, Desa Situ Udik berada pada ketinggian 460
meter diatas permukaan laut. Berada dengan topografi yang sedang, sehingga jumlah
curah hujan di desa ini rata-rata 3000-4000 mm pertahun. Sedangkan suhu rata-rata
sepanjang tahun di Desa Situ Udik adalah 19°C hingga 29°C.
Letak topografi dan geografi ini menjadikan Desa Situ Udik sebagai daerah
pertanian. Didukung pula kondisi fisik tanah yang subur dan irigasi yang berasal dari
sumber mata air yang ada. Meski demikian, beberapa daerah di Desa Situ Udik kerap
mengalami kekeringan, khususnya pada daerah yang lebih tinggi. Hal ini karena Desa
Situ Udik terletak di kaki Gunung Salak sehingga sebagian daerah berkontur tanah
berbukit dan terjal.
49
4.1.2 Struktur Pemerintahan, Sarana dan Prasarana
Desa Situ Udik terdiri atas tiga Dusun, 12 Rukun Warga (RW), dan 43 Rukun
Tetangga (RT), dan dipimpin oleh seorang kepala desa yang merupakan hasil pemilihan
masyarakat Desa Situ Udik bulan Maret 2003 yakni H. Miftahullukman. Menurut
pembagian wilayah administrasi terkecilnya, tiap dusun terbagi menjadi tiga RW
(Dusun Dua terdiri atas lima RW), dan umumnya tiap RW terdiri atas tiga sampai lima
RT (Rukun Tetangga) yang umumnya dibatasi oleh jalan, sungai atau area persawahan.
Tiap RT di Desa Situ Udik merupakan representasi dari satu kampung tertentu.
Struktur organisasi pemerintahan Desa Situ Udik saat ini disusun dengan
berlandaskan Perda nomor 29 tahun 2004. Berdasarkan peraturan tersebut terdapat dua
bentuk pola dalam penyusunan suatu struktur keorganisasian pemerintahan desa, yakni
pola minimal dan pola maksimal. Perbedaan dalam kedua pola tersebut adalah jumlah
aparatur pada subbidang keorganisasian yang berada dalam garis instruksi kepala desa,
baik unsur teknis dan unsur wilayah. Pola yang dipergunakan Desa Situ Udik dalam
penyusunan struktur organisasi pemerintahan adalah pola maksimal, dengan enam orang
aparat pada subbidang organisasi desa. Unsur teknis yang menjadi subbidang organisasi
pemerintah desa adalah subbidang pertanian (pamong tani), perairan (ulu-ulu) serta
keamanan. Unsur wilayah yang terdiri kepala dusun yang terdapat di Desa Situ Udik.
Selain terdiri atas kedua unsur tersebut, kepala desa dibantu oleh sekretaris desa dan
sejumlah perangkat desa, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah aparat dalam perangkat desa tahun 2005/2006
No. Jabatan Jumlah 1. Kepala Urusan 5 orang 2. Kepala Dusun (Unsur wilayah) dan pelaksana 6 orang 3. Staf administrasi desa 2 orang 4. Ketua RT 43 orang 5. Ketua RW 12 orang 6. Anggota Linmas 15 orang Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
50
Kepala desa dalam menjalankan tugas berkoordinasi dengan tokoh-tokoh
masyarakat yang menjadi dewan desa dalam suatu Badan Permusyawaratan Desa
(BPD). Anggota BPD dipilih langsung oleh masyarakat Desa Situ Udik dalam suatu
pemilihan umum. Saat ini terdapat 12 orang yang menjadi anggota BPD dari 13 anggota
terpilih, satu orang mengundurkan diri. Pemilihan ketua BPD didasarkan musyawarah
antara tokoh-tokoh masyarakat yang terpilih menjadi anggota BPD dalam pemilihan
umum, kepala desa maupun beberapa elemen masyarakat dari lembaga- lembaga desa,
seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah aparat dan kader dalam lembaga-lembaga Desa Situ Udik tahun 2005
No Lembaga Jumlah 1. Anggota LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) 18 orang 2. Anggota BPD 12 orang 3. TP PKK Desa 22 orang 4. Kader PKK dan Posyandu 50 orang
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006 Rumah-rumah penduduk yang terdapat di Desa Situ Udik secara keseluruhan
sudah berupa bangunan yang permanen. Pola pemukiman di Desa Situ Udik sebagian
masih mengelompok berdasarkan kampung-kampung dengan dikelilingi oleh lahan
garapan pertanian, sedangkan pemukiman yang berdekatan dengan Jalan Raya
Cemplang mulai mengikuti pola memanjang dan menyebar disepanjang jalan tersebut.
Fasilitas permukiman yang ada di Desa Situ Udik secara umum belum memadai. Hal
ini karena banyak fasilitas umum maupun sosial, seperti fasilitas kepengurusan desa,
sarana ibadah, kesehatan, olahraga dan fasilitas jasa lainnya tidak dimiliki atau bahkan
berada dalam kondisi yang membutuhkan perbaikan. Balai Desa sebagai pusat
pemerintahan desa pun belum memiliki sarana maupun prasarana yang memadai.
Upaya perbaikan sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Situ Udik sudah
dilakukan sejak tahun 2002 dengan dana bantuan yang berasal dari Pemerintah Daerah
51
Kabupaten Bogor maupun swadaya masyarakat. Aula desa merupakan sarana
pemerintahan desa yang biasa dipergunakan untuk mengadakan rapat-rapat formal desa,
sosialisasi program pembangunan, penyuluhan, maupun sebagai tempat berkumpul
masyarakat Desa Situ Udik. Namun, sejak awal tahun 2006 Aula Desa tersebut kini
dijadikan sebagai studio musik. Studio musik ini merupakan milik salah satu kerabat
kepala desa yang sebagian pendapatannya menjadi pemasukan bagi kas desa.
Fasilitas jalan yang terdapat di Desa Situ Udik hanya sebagian saja yang
memiliki kondisi yang baik yakni terbuat dari aspal maupun semen dengan lebar 3-4
meter. Fasilitas inipun dibangun sebagai sarana penunjang proyek-proyek pembangunan
yang pernah dicanangkan bagi Desa Situ Udik. Jalan beraspal mulai dibangun sejak
tahun 1995, saat itu jalan dibangun sebagai penunjang pelaksanaan proyek kawasan
usaha ternak. KPS (Kawasan Peternakan Sapi Ternak) merupakan daerah pengelolaan
susu sapi perah yang mulai dicanangkan di Desa Situ Udik sejak tahun 1997. Lokasi
proyek Kunak (Kawasan Usaha Ternak Sapi) ini di Gunung Sarengseng dan sekitarnya.
Sehingga, sebagian jalan lain yang terdapat di Desa Situ Udik yang menghubungkan
antar RT atau RW masih berupa jalan setapak ataupun jalan yang berbatu, yang sulit
untuk dapat diakses dengan kendaraan bermotor. Terutama di kampung-kampung
terpencil, serta daerah di Desa Situ Udik dengan kontur yang terjal.
Awal tahun 1999, perbaikan fasilitas jalan mulai dilakukan baik dengan swadaya
dan swadana masyarakat, maupun bantuan dari partai politik yang berkampanye saat
pemilu maupun dari pemerintah. Perbaikan fasilitas jalan ini kemudian memperbesar
akses masyarakat dalam bertransportasi. Motor kemudian menjadi pilihan alat
transportasi bagi warga Desa Situ Udik. Hal ini mengingat fasilitas jalan yang sempit
dan berkontur terjal, sehingga motor mampu menjangkau daerah-daerah terpencil di
52
Desa Situ Udik. Kini, sekitar 40 persen warga Desa Situ Udik memiliki motor, baik
sebagai alat transportasi untuk kepentingan pribadi maupun umum yakni sewa ojek.
Fasilitas listrik mulai masuk ke Desa Situ Udik sejak tahun 1987. Namun, saat
itu hanya sebagian masyarakat saja yang dapat memanfaatkannya. Hal ini karena biaya
pemasangan instalansinya yang mahal, dan baru sekitar tahun 1994 listrik mulai masuk
secara merata ke kampung-kampung yang ada di Desa Situ Udik menyertai dan
menyukseskan proyek KPS (Kawasan Peternakan Sapi Ternak). Membaiknya fasilitas
jalan serta masuknya listrik membuka akses penduduk Desa Situ Udik untuk melakukan
migrasi ke luar desa dan juga mempelancar arus masuknya teknologi. Khususnya
teknologi informasi, telekomunikasi dan media massa. Hal ini ditunjukkan dengan
meningkatnya kepemilikan pesawat televisi, telepon, radio, serta mulai tersedianya
fasilitas telepon umum dan warung telekomunikasi (wartel). Tahun 2005, sekitar 973
KK memiliki pesawat televisi, 329 buah pesawat radio dimiliki oleh penduduk Desa
Situ Udik, dan 116 buah pesawat telepon sudah terpasang. Saat ini pun terdapat dua
warung telekomunikasi dan telepon umum yang beroperasi di Desa Situ Udik.
PUSKESMAS merupakan sarana kesehatan yang banyak dimanfaatkan oleh
warga Desa Situ Udik. Namun, kondisi Puskesmas pun belum memadai. Hal ini
mengingat terbatasnya prasarana kesehatan yang menunjang. Tenaga dokter yang
bertugas di Puskesmas Situ Udik hanya dua orang dibantu dengan delapan orang
perawat dan tiga orang bidan. Sementara jumlah penduduk yang berobat sepanjang
tahun 2005 sebanyak 3238 orang. Sarana maupun prasarana kesehatan lain yang
terdapat di Desa Situ Udik adalah Posyandu. Saat ini terdapat 12 Posyandu yang berada
di tiap RW, dan hanya terdapat dua Posbindu (Posyandu Lansia). Pelayanan Posyandu
saat ini dibantu oleh 50 orang kader yang juga termasuk dalam kader PKK.
53
Sarana pendidikan di Desa Situ Udik hingga saat ini masih dalam kondisi yang
belum memadai. Fasilitas pendidikan formal seperti Sekolah Dasar maupun Sekolah
Menengah yang adapun terbatas. Saat ini terdapat dua sekolah dasar negeri, satu sekolah
menengah tingkat pertama dan satu sekolah menengah tingkat atas serta empat
madrasah ibtidaiyah. Fasilitas pendidikan informal lain yang menunjang di Desa Situ
Udik antara lain Taman Kanak-kanak sebanyak satu sekolah, dan 15 pondok pesantren
yang didirikan menyebar hampir disetiap RW. Prasarana pendidikan terutama berkaitan
dengan tenaga pengajar jauh dari memadai, hal ini berdasarkan perbandingan jumlah
tenaga guru dengan murid. Terdapat 25 tenaga pengajar di sekolah dasar negeri yang
harus mengajar 825 murid. Begitupula dengan madrasah ibtidaiyah, hanya terdapat 41
tenaga pengajar yang harus menangani 1316 murid. Perbandingan jumlah tenaga
pengajar dan siswa sekolah di Desa Situ Udik sampai tahun 2005-2006 ditunjukkan
dalam Tabel 6.
Tabel 6. Fasilitas pendidikan dan perbandingan tenaga pengajardengan murid Desa Situ Udik tahun 2005/2006
No Fasilitas Jumlah
(buah) Jumlah Tenaga Pengajar
(orang) Jumlah Murid
(orang) 1. Sekolah Dasar Negeri 2 25 875 2. Madrasah Ibtidaiyah 4 41 1316 3. Sekolah Menengah Pertama 1 26 546 4. Sekolah Menengah Atas 1 23 367 5. Pondok Pesantren 15 30 1525 6. Taman Kanak-kanak 1 45 85 Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
Beberapa fasilitas umum yang terdapat di Desa Situ Udik baik yang berupa
bangunan fisik, tempat usaha dan sarana ekonomi, sarana olahraga maupun sarana
sosial lainnya mulai meningkat meski dalam belum dalam kondisi yang memadai.
Masyarakat Desa Situ Udik harus mengaksesnya untuk beberapa fasilitas sosial
ekonomi ke tingkat kecamatan atau kota Bogor.
54
4.1.3 Karakteristik Masyarakat
Menurut data kependudukan yang didapat dari Data Monografi Desa Situ
Udik tahun 2004, total penduduk Desa Situ Udik adalah 14.097 jiwa dengan
proporsi laki- laki sejumlah 7.052 jiwa (49 persen) dan perempuan 7.418 jiwa (51
persen) atau 3.410 Kepala Keluarga (KK). Sebagian besar penduduk beragama
Islam dan hanya lima orang yang memeluk agama Kristen. Berdasarkan suku
bangsa, mayoritas warga Desa Situ Udik berasal dari suku Sunda
Dilihat dari struktur mata pencaharian, sebagian besar warga Desa Situ Udik
bekerja di bidang pertanian yakni sekitar 65 persen bermatapencaharian sebagai
petani dan buruh tani. Umumnya, masyarakat di desa ini memiliki pola nafkah
ganda yakni pada sektor pertanian dan sektor non pertanian ketika migrasi ke kota.
Jika dilihat berdasarkan data monografi desa hal ini tidak tergambar jelas, seperti
dalam Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan mata pencaharian tahun 2005
Mata Pencaharian Jumlah
(orang)
Petani 715
Buruh tani 918
Pegawai Negeri Sipil 105
TNI/Polisi 5
Pegawai Swasta 235
Wirausaha 421
Pertukangan 315
Pensiunan 65
Pemulung 7
Jasa 365
Total 3151
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
55
Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir yang ditamatkan, sebagian besar
penduduk Desa Situ Udik adalah tamatan pendidikan setingkat SD (2205 orang atau
60 persen), secara lebih terperinci jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan
tingkat pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan tingkat pendidikan terakhir tahun 2005
Tingkat Pendidikan Terakhir Jumlah
(orang)
Tamatan SD/MI 2.205
Tamatan SLP atau sederajat 750
Tamatan SLA atau sederajat 584
Tamatan Diploma 101
Tamatan Strata satu (S1) 36
Tamatan Strata dua (S2) 2
Total 3.678
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
Berdasarkan kelompok umur, sebagian besar warga adalah kelompok umur
dewasa (diatas 20 tahun hingga 59 tahun, yakni sekitar 58 persen atau sebanyak 8.258
jiwa. Meski demikian hal ini dalam sepuluh tahun mendatang dengan perbaikan dalam
berbagai sarana dan prasarana yang tersedia khususnya sarana kesehatan struktur
penduduk Desa Situ Udik menuju struktur tua dimana terdapat kecenderungan terjadi
penambahan jumlah penduduk pada kelompok umur diatas 60 tahun.
Tabel 9. Jumlah penduduk Desa Situ Udik berdasarkan kelompok umur tahun 2005
Kelompok Umur(tahun) Jumlah
(orang)
0-4 1313
5-9 2084
56
10-14 1183
15-19 580
20-24 1025
25-29 1254
30-34 1100
35-39 1060
40-44 1031
45-49 1257
50-54 841
55-59 690
60-64 306
65-69 298
70+ 178
Sumber: Data monografi Desa Situ Udik tahun 2005/2006
Saat ini terdapat sekitar 782 orang berusia diatas 60 tahun atau sekitar 5,6
persen. Distribusi penduduk dengan usia diatas 60 tahun paling banyak yakni pada
rentang umur 60-69 tahun, 604 orang atau sekitar 4,3 persen dari keseluruhan jumlah
penduduk yang ada di Desa Situ Udik. Data pada Tabel 9 tidak dapat memberikan
gambaran yang jelas perbandingan keadaan penduduk jika ditinjau berdasarkan jenis
kelamin, karena tidak tersedianya data kependudukan yang memadai tentang Desa Situ
Udik selain data monografi desa.
Berdasarkan sebaran jumlah penduduk di atas, Desa Situ Udik seperti halnya
Provinsi Jawa Barat belum dapat dikategorikan sebagai daerah dengan struktur
penduduk tua. Berdasarkan data statistik dari BPS tahun 2000 proporsi penduduk
Lansia di Jawa Barat mencapai 6,61 persen dan diperkirakan akan terus meningkat.
4.2 Suprastruktur
4.2.1 Pengajian: Kelembagaan Sosial, Politik dan Keagamaan di Masyarakat
57
Masyarakat Desa Situ Udik mayoritas beragama Islam, sehingga budaya islami
sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Pengajian bagi masyarakat Desa Situ Udik
tidak hanya sebagai kelembagaan keagamaan namun juga sebagai kelembagaan sosial
politik. Hal ini disebabkan hampir setiap kegiatan sosial politik di Desa Situ Udik
berpusat pada kegiatan pengajian.
Pengajian sebagai suatu kelembagaan keagamaan berfungsi sebagai wadah
proses pengajaran nilai-nilai agama Islam. Pengajian sebagai suatu kegiatan
diselenggarakan baik ditiap kampung, RW, dusun maupun tingkat desa. Namun,
pembagian kegiatan pengajian ini tidak membatasi setiap warga desa yang hendak
mengikutinya. Pengajian di Kampung Al Barokah misalnya, diikuti juga oleh warga
dari Kampung Cikadondong, serta kampung disekitarnya.
Pengajian di tingkat kampung diselenggarakan rutin setiap satu minggu sekali,
yang terbagi menjadi pengajian Ibu- ibu maupun pengajian Bapak-bapak. Pengajian di
tingkat RW, Dusun ataupun Desa diadakan untuk memperingati hari besar Islam seperti
Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj, 1 Muharram, dan sebagainya. Pengajian
ibu- ibu biasanya diselenggarakan pada pagi hari, sedangkan pengajian bapak-bapak
diadakan pada malam hari diakhir pekan. Pengajian remaja biasanya diadakan diakhir
bulan dan pada sore atau malam hari.
Pada pengajian rutin diselenggarakan dengan membaca kalimat-kalimat dzikir,
sholawat Nabi Muhammad, Sholawat Nariyah, 10 surat Juzz Amma atau 10 surat
pendek terakhir dalam Al-Quran, sholawat pada sahabat-sahabat Nabi Muhammad serta
sholawat bagi tokoh-tokoh yang berjasa dalam syiar Islam yang digelari syeikh. Jika
terdapat permintaan dari seorang warga yang ingin mendoakan kerabatnya yang telah
meninggal maka akan dibacakan doa khususon disertai dengan satu kendi air yang
58
nantinya akan dipergunakan untuk siraman bagi makamnya. Setelah itu, kegiatan
dilanjutkan dengan mendengarkan ceramah atau tausiyah dari ustadz atau ustadzah.
Biasanya tausiyah ini berisikan anjuran-anjuran dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat yang berlandaskan Al-Quran, Al-Hadits serta sunnah Rasul.
Bahasa yang digunakan dalam penyampaian ceramah adalah bahasa sunda
secara lisan, jika ustadz atau ustadzah memberikan ‘tuntunan’ maka akan dituliskan
dengan menggunakan huruf arab gundul-sunda. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
penyampaian kepada para peserta penggajian yang sebagian besar berusia diatas 40
tahun. Penggajian pemuda hanya diselenggarakan satu bulan sekali, biasanya diakhiri
dengan latihan rebana (alat musik perkusi).
Pengajian sebagai fungsi sosial, memiliki pengorganisasian sederhana dalam
suatu kepanitiaan pengajian. Kepanitiaan ini diketuai oleh ustadz atau ustadzah dan
dibantu oleh beberapa pengurus yang bertugas sebagai pemimpin doa dan pemandu
acara serta pengumpul sumbangan perelek berupa beras atau uang yang sebagian
diberikan kepada ustadz atau ustadzah serta sebagian lagi disimpan untuk keperluan
masyarakat seperti beras untuk tahlilan jika ada anggota masyarakat yang meninggal
serta untuk keperluan pengurusan mayat (kain kafan, dan sebagainya). Selain itu setiap
bulannya anggota pengajian ini mengumpulkan satu liter beras yang dikumpulkan
sebagai dana anak yatim, jompo serta janda.
Pengajian juga berfungsi sebagai sarana komunikasi dan informasi masyarakat
Desa Situ Udik. Biasanya stelah pengajian pemimpin lokal baik kepala desa, kepala
dusun, ketua RT/RW maupun ketua kampung menyampaikan segala informasi yang
berkaitan dengan pemerintahan desa. Contoh sosialisasi program pembangunan desa
59
atau kegiatan-kegiatan yang akan diselenggarakan seperti gotong royong, perayaan hari-
hari besar, dan sebagainya.
Pengajian merupakan satu-satunya lembaga yang dapat dengan bebas diakses
oleh semua warga Desa Situ Udik yang beragama Islam. Bagi perempuan di Desa Situ
Udik, pengajian merupakan satu-satunya kelembagaan yang menjadi pertemuan
sekaligus perkumpulan, dimana perempuan memiliki kontrol yang besar pada kegiatan
pengajian yang diperuntukkan bagi Ibu-ibu. Kelompok pengajian ini tidak berhubungan
langsung dengan kelompok pengajian lain seperti pengajian bapak-bapak atau pengajian
pemuda.
Pengajian sebagai suatu fungsi politik, dimana proses pengambilan keputusan
politik serta sebagai wadah atau tempat musyawarah untuk suatu konsensus
diselenggarakan seusai pengajian rutin bapak-bapak dilaksanakan. Selain itu pengajian
juga berfungsi sebagai wadah pengendalian sosial dimana aspirasi politik disalurkan.
Setiap satu bulan sekali pengajian keliling ke tiap dusun dilakukan oleh BPD untuk
menampung aspirasi dari masyarakat. Sehingga pengajian sebagai suatu sarana yang
fungsional dan efektif untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan kelompok sosial.
Namun, sejak setahun belakangan kegiatan pengajian keliling anggota BPD ditiap
kampung ini tidak lagi berjalan. Berdasarkan informasi hasil wawancara dengan kepala
desa, vakumnya pengajian ini sejak H. Aib sebagai tokoh alim ulama yang paling
dihormati yang juga merupakan ketua BPD wafat. Kegiatan ini baru akan digalakkan
setelah bulan haji (dzulhijjah) dimulai dengan pengajian di tiap dusun setiap tiga
minggu sekali.
Bagi penduduk Lansia, pengajian merupakan kelembagaan dimana mereka
memiliki keluasaan akses serta kontrol yang besar. Keikutsertaan Lansia dalam
60
kelembagaan pengajian ini ditandai dengan munculnya Lansia baik laki- laki maupun
perempuan sebagai pemimpin atau bagian dari struktur organisasi kelembagaan
tersebut. Sebagian besar pengurus dari pengajian kelompok Ibu- ibu atau Bapak-bapak
adalah Lansia, khususnya para ustadz maupun ustadzah yang menjadi pemimpinnya.
Guru agama ditempatkan pada posisi terhormat. Khususnya kyai, yang menjadi
pusat orientasi dan sosialisasi nilai-nilai sosial, religi-kultural dan politik. Kyai hampir
selalu menempati status yang tinggi baik jika ditinjau dari aspek sosial maupun politik
dengan dukungan status ekonomi yang ‘berada’ di masyarakat. Kepatuhan terhadap
guru agama khususnya kyai ini berpengaruh dalam setiap fungsi pengambilan keputusan
dalam masyarakat. Label kyai ini butuh pengakuan dari masyarakat dan pengaruhnya
akan lebih besar jika label ini ditambah dengan usia tua, serta kebijaksanaan sosial
dengan kedermawanan.
4.2.2 Lansia dan Kelembagaan Ekonomi Desa
Mata pencaharian utama masyarakat Desa Situ Udik adalah bertani, sehingga
kehidupan perekonomian berpusat pada sektor pertanian khususnya sawah. Hal ini
didukung ekologi dari Desa Situ Udik yang sebagian besar merupakan lahan
persawahan, sehingga sistem kelembagaan ekonomi di Desa Situ Udik adalah sistem
perekonomian pertanian sawah. Sistem produksi di desa ini mengalami perubahan sejak
program Bimas-Inmas dilaksanakan. Pergeseran pola-pola produksi pun terjadi,
terutama dalam penggunaan pupuk buatan, obat pengendali hama, bibit unggul padi
serta penggunaan alat-alat, dilihat dari pergantian pemakaian etem atau ani-ani menjadi
sabit. Tekanan teknologi revolusi hijau ini kemudian berdampak pada munculnya petani
gurem dan fragmentasi lahan pertanian. Kini, sebagian besar lahan pertanian tidak lagi
61
dimiliki oleh warga Desa Situ Udik, tetapi orang-orang kaya desa yang kemudian
mempekerjakan penduduk sekitar sebagai buruh tani.
Sistem bagi hasil pertanian kemudian mengalami pergeseran, terutama dalam
sistem upah yang semula dengan menggunakan upah natura digantikan dengan upah
berupa uang bagi para buruh tani. Jika petani yang masih berlahan ‘cukup luas’
beraktualisasi dengan membentuk kelompok tani, maka buruh-buruh tani tergabung
dalam suatu kelompok-kelompok kerja seperti kelompok penandur dan pembabut serta
panen. Kelompok ini bekerja pada pemilik-pemilik lahan yang cukup luas yang
biasanya tergabung dalam kelompok tani tersebut.
Kelompok penandur ini biasanya terdiri dari 5-20 orang, berusia diatas 50 tahun
yang memiliki pembagian tugas sendiri. Ibu- ibu dalam kelompok ini bertugas untuk
menandur, ngoyos, ngababut, memotong padi serta ngagebot/menumbuk padi.
Sedangkan laki- laki bertugas untuk ngabajak, ngagaru serta mencangkul. Rata-rata
upah perorang yang diterima ibu-ibu dalam kelompok ini untuk setengah hari kerja
(mulai dari pukul 06.00-12.00 WIB) sebesar Rp 8.000, sedangkan upah laki- laki untuk
setengah hari kerja juga sebesar Rp 12.500-Rp 15.000.
Lansia di desa ini biasanya dapat mengakses kelompok ini dengan mudah serta
memiliki kontrol karena anggota kelompok penandur serta ngagaru ini adalah tetangga
mereka. Kebanyakan para Lansia ini mencari nafkah hanya untuk memenuhi kebutuhan
sendiri, tanpa target tertentu. Sedangkan petani yang masih berusia muda tapi tidak
berlahan biasanya bekerja sebagai penggarap dan mereka umumnya melakukan migrasi
ketika musim sepi dan kembali saat musim panen dan musim tanam. Saat ditinggal oleh
penggarapnya, biasanya sawah diusahakan oleh istri, kerabat (saudara, tetangga, atau
orang tuanya).
62
Kelembagaan ekonomi lainnya yang menunjang kebutuhan hidup penduduk
Desa Situ Udik pada umumnya maupun Lansia adalah bank keliling sebagai lembaga
swasta tempat simpan pinjam, koperasi simpan pinjam, pedagang keliling dan kredit
barang rumah tangga serta beberapa kelompok usaha produktif seperti industri kecil
rumah tangga (arkilik, pemasangan mute atau manik-manik untuk jilbab atau baju
muslim).
BAB V
PROFIL SOSIAL EKONOMI DAN DEMOGRAFI LANSIA
5.1 Struktur Umur dan Jenis Kelamin
Berdasarkan pemaparan data distribusi penduduk kelompok umur pada Tabel 9
menunjukkan bahwa jumlah Lansia di Desa Situ Udik hanya 5,6 persen dari
keseluruhan populasi penduduk. Namun, berdasarkan pengamatan selama di Desa Situ
Udik, khususnya di RW 09 justru penduduk yang berusia lanjut, anak-anak serta
perempuanlah yang terbanyak. Hal ini disebabkan banyaknya penduduk berusia
produktif (15-55 tahun) bermigrasi untuk bekerja di kota. Mereka hanya kembali ke
desa saat musim tanam, musim panen, akhir pekan, hari-hari raya Islam (Iedul Fitri,
Iedul Adha, Maulid Nabi Muhammad, dan Tahun Baru Islam 1 Muharram) dan hari
besar serta hari libur nasional (peringatan kemerdekaan 17 Agustus dan tahun baru).
Responden dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Situ Udik yang
bertempat tinggal di Dusun 2, RW 09 dan didefinisikan lanjut us ia ditinjau dari
pendekatan kronologis. Usia kronologis merupakan usia seseorang ditinjau dari
hitungan umur dalam angka, dalam hal ini responden berusia kronologis 60 tahun
keatas. Lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini berada pada rentang umur
60-67 tahun sebanyak 31 orang, responden berusia 70 tahun sebanyak tiga orang,
berusia 75 tahun sebanyak satu orang, berusia 78 tahun sebanyak dua orang, berusia 80
tahun sebanyak dua orang dan responden dengan usia paling tua yakni 90 tahun
sebanyak 90 tahun.
Berdasarkan hasil kuesioner, sebanyak 34 orang atau 84 persen responden
berada pada kelompok umur 60 tahun sampai 74 tahun, sebanyak lima orang atau 13
persen responden berada pada kelompok umur 75 tahun sampai 90 tahun. Jumlah
responden terkecil berada pada kelompok dengan kisaran umur di atas 90 tahun
sebanyak satu orang atau tiga persen.
Kecenderungan penduduk Lansia di Desa Situ Udik yang masih didominasi oleh
penduduk Lansia ’muda’, disebabkan responden banyak terdistribusi pada usia 60
tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Hal ini menjadi gambaran dampak ‘silver tsunami’ di
pedesaan. Salah satu kenyataan dari usia harapan hidup penduduk Indonesia yang
meningkat mencapai 65 tahun saat memasuki abad 21.
Faktor penyebab lain adalah responden tidak mengetahui dengan tepat umur
kronologisnya. Selain itu tidak terdapat data atau catatan kependudukan yang dapat
digunakan sebagai acuan. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa, data umur
pada catatan kependudukan desa sebagian besar merupakan umur perkiraan saja. Lebih
lanjut dikemukakan oleh aparat desa, Bapak Mi, bahwa dahulu warga jarang
melaporkan informasi tentang kelahiran bayi, sehingga menyulitkan pencatatan sipil.
“Kalo jaman dulu mah, orang melahirkan masih di paraji (dukun beranak) dan tidak ada posyandu kayak sekarang. Orang-orang yang udah tua disini jarang yang punya akte kelahiran mah.” (Bapak Mi, 34 tahun).
Demikian juga seperti yang dikemukakan oleh seorang responden ketika ditanyakan
tahun kelahirannya
“Duka atuh neng tahun sabaraha, pokoknya pas PKI saya udah nikah dan punya anak satu. Lamun dikira-kira mah saya udah umur 65-an lah” (Bapak Id, 65 tahun).
Sampai kini, di Indonesia seperti halnya di banyak negara-negara berkembang lain,
disamping sistem regristrasi penduduk belum dilaksanakan secara menyeluruh, data dari
regristrasi penduduk (jumlah kelahiran, kematian, dan migrasi) sering tidak lengkap dan
kurang dapat dipercaya.
Masyarakat Desa Situ Udik memiliki anggapan bahwa usia lanjut adalah usia ‘ekstra’,
seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sho (80 tahun) berikut ini (dalam terjemahan
bebas):
“Bila seseorang mencapai usia 80 tahun, dan ia beriman, Allah menghapuskan seluruh dosa sebelumnya dan dia dikembali ke keadaan seperti anak -anak yang suci. Artinya Allah memberi umur ekstra agar saya bisa beribadah, serta terus berguna bagi keluarga dan orang disekitar saya”.
Seseorang dianggap sebagai Lansia atau sepuh adalah mereka yang secara fisik
memiliki keterbatasan seperti berkurangnya pendengaran, siwer (penglihatan yang
mulai kabur), mulai sakit-sakitan. Bapak Idi (65 tahun) misalnya, meski sudah termasuk
dalam usia lanjut sesuai batasan penelitian ini, namun beliau tidak merasa termasuk
Lansia, seperti yang dikemukakannya berikut:
“Ah masa iya saya udah Lansia, soalnya saya mah masih kuat kemana-mana. Walau rambut sudah ubanan. Lansia mah yang cuma bisa diem dirumah ajah, sok poho wae alias pikun, kos budak leutik deui (seperti anak kecil lagi)”
Fenomena yang terjadi baik di desa maupun di kota, jumlah perempuan berusia
lanjut lebih banyak. Demikian juga dengan responden Lansia di Desa Situ Udik, jika
ditinjau dari perbandingan jenis kelamin, jumlah penduduk Lansia perempuan yang
lebih banyak dibandingkan penduduk Lansia laki- laki. Sebanyak 23 orang atau 57,5
persen responden berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 17 orang atau 42,5 persen
responden adalah laki- laki. Terdapat 19 orang responden dan 15 orang responden laki-
laki berusia antara 60-74 tahun. Gambaran responden jika ditinjau dari kelompok umur
serta jenis kelamin ditunjukkan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur Desa Situ Udik tahun 2006
Kelompok Umur Jenis kelamin Total
Laki-laki Perempuan 60-74 tahun 15
(88,2%) 19
(82,6%) 34
(85,0%) 75-90 tahun 2
(11,8%) 3
(13,0%) 5
(12,5%) Di atas 90 tahun 0
(0%) 1
(4,3%) 1
(2,5%) Total 17
(100,0%) 23
(100,0%) 40
(100,0%) Tabel 10 juga memberikan gambaran bahwa harapan hidup responden
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki- laki. Hal ini ditunjukkan terdapat satu orang
responden perempuan berusia 90 tahun. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
responden, Ibu Neng (60 tahun) terdapat perempuan di Kampung Batu Belah berusia
mencapai 108 tahun. Pola ini memang terlihat baik di daerah perkotaan maupun di
daerah pedesaan, dimana persentase penduduk Lansianya cukup tinggi (di atas 6 persen)
ada kecenderungan jumlah penduduk Lansia perempuan lebih tinggi daripada laki- laki
(Wahyuni, 2003). Penduduk Lansia di Desa Situ Udik saat ini mencapai 5,6 persen
sehingga hal ini memperkuat kecenderungan tersebut.
5.2 Tingkat Pendidikan
Informasi tentang tingkat pendidikan Lansia menjadi sangat penting karena tidak
saja menjadi determinan penting dari cara berfikir rasional dan sistematis seseorang tapi
juga terhadap kesejahteraan Lansia. Rasionalitas seseorang tentunya akan
mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Dikaitkan dengan partisipasi sebagai suatu
bentuk tindakan, rasionalitas tentunya akan mempengaruhi kualitas partisipasi
seseorang.
Tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi
tidak sekolah, tidak lulus Sekolah Dasar, dan tamatan Sekolah Dasar (SD) ke dalam
kategori tingkat pendidikan rendah. Selanjutnya tidak lulus Sekolah Menengah baik
tingkat pertama (SMP) maupun tingkat atas serta tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP), tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dikategorikan dalam
tingkat pendidikan rendah. Sedangkan tamatan Akademi/D1/D3, dan tamatan Perguruan
Tinggi dikategorikan dalam tingkat pendidikan tinggi. Berikut ini tabel yang
menunjukkan tingkat pendidikan responden.
Tabel 11. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan, Desa Situ Udik tahun 2006
Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak sekolah 13 32,5 Tidak lulus SD 17 42,5 Lulus SD 9 22,5 Lulus SMA 1 2,5 Total 40 100,0
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa tingkat pendidikan responden Lansia
rendah. Secara rata-rata tiga perempat responden Lansia tidak pernah sekolah maupun
tidak lulus Sekolah Dasar (SD). Bahkan terdapat 10 orang diantara para responden
Lansia tersebut mengaku buta huruf, delapan orang diantaranya adalah perempuan
Lansia. Masyarakat Desa Situ Udik memiliki pandangan yang berbeda tentang
pendidikan tinggi, hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah satu responden berikut
ini:
"Orang yang memiliki pendidikan di atas S1 disini dianggap sebagai orang yang tercabut dari akar budayanya"(Ibu Neng, 60 tahun)
Berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat beberapa faktor yang dianggap
menjadi penyebab rendahnya pendidikan responden Lansia tersebut, yakni faktor
ekonomi, fasilitas (sarana dan prasarana) pendidikan, faktor sosial budaya, serta lokasi
desa. Faktor ekonomi dianggap menjadi determinan utama rendahnya pendidikan
responden Lansia. Hal ini karena para Lansia ini pernah melewati masa usia sekolah
dimana sistem pendidikan yang masih kental warisan zaman kolonialisasi yang
membatasi kesempatan memperoleh pendidikan masyarakat pribumi, serta pasca
kemerdekaan yang sarat akan konflik dan perekonomian mengalami resesi. Beberapa
responden menyatakan bahwa prioritas mereka adalah apa yang mereka makan esok
hari, seperti yang dikemukakan oleh Ibu Njnh (65 tahun) berikut:
“Saya pengen sekali sekolah, tapi kan kalo orang kecil cuma boleh sampe kelas tiga SR. Terus, jangankan untuk sekolah, buat makan saja tidak ada. Baju aja dari gedebog pisang.”
Faktor fasilitas pendidikan yang tersedia juga menjadi faktor penyebab. Menurut
keterangan yang diperoleh dari responden, dahulu di Desa Situ Udik hanya tersedia
madrasah dan sekolah rakyat sebagai lembaga pendidikan yang dapat diakses. Hal ini
karena letak sekolah lain yang jauh dari desa. Jarak sarana dan prasarana pendidikan
yang jauh ini juga memiliki pertimbangan ekonomi, karena selain biaya pendidikan
yang dinilai mahal harus ditambah dengan biaya untuk transportasi ke luar desa. Hal ini
dikemukakan oleh M. Nas (61 tahun) yang merupakan satu-satunya responden Lansia
yang lulus sekolah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni Pendidikan Guru
Agama (PGA).
“Dulu, jika ingin meneruskan sekolah, orang harus keluar desa dulu. Butuh waktu, tenaga, dan biaya yang banyak karena di Bogor cuma ada satu PGA”.
Bapak M. Nas (61 tahun) lebih jauh menjelaskan bahwa dahulu akses
masyarakat untuk keluar desa sangatlah sulit, karena belum adanya fasilitas jalan.
Fasilitas jalan yang ada adalah jalan setapak atau bahkan pematang sawah, sehingga
untuk mencapai pasar atau sarana umum yang ada di tingkat kecamatan membutuhkan
waktu hingga setengah hari perjalanan. Ibu Neng (61 tahun) juga menjelaskan jika
hendak keluar dari desa, perempuan haruslah ditemani oleh bapak, suami atau saudara
lelakinya. Hal ini karena banyak hambatan selama diperjalanan.
Faktor penyebab lainnya adalah faktor sosial budaya, dimana terdapat anggapan
bahwa dengan bersekolah menjadikan seseorang justru menjadi miskin. Hal ini karena
uang yang seharusnya untuk makan sehari-hari harus dialokasikan ke biaya pendidikan.
Selain itu, mengakarnya budaya patriarki pada masyarakat membuat perempuan Lansia
khususnya berpendidikan sangat rendah, ditunjukkan dalam Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan tingkat pendidikan dan jenis kelamin Desa Situ Udik tahun 2006
Jenjang Pendidikan Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan Tidak sekolah 2
5,0% 11
27,5% 13
32,5% tidak lulus SD 7
17,5% 10
25,0% 17
42,5% lulus SD 7
17,5% 2
5,0% 9
22,5% lulus SMA 1
2,5% 0
0% 1
2,5% Total 17
42,5% 23
57,5% 40
100,0% Gambaran rendahnya pendidikan perempuan yang diperoleh dari tabel tersebut
akibat faktor sosial budaya diperkuat oleh adanya anggapan dalam masyarakat bahwa
anak perempuan pasti akan pergi ke dapur juga, stigma masyarakat bahwa sekolah
menjadikan perempuan sebagai perawan tua dan tidak ada yang mau menjadikan istri
jika pendidikannya terlalu tinggi. Di lain pihak, laki- laki Lansia berpendidikan rendah
disebabkan juga oleh faktor sosial budaya dimana terdapat keharusan membantu
kebutuhan finansial orang tua. Sekolah tidak penting bagi laki- laki karena yang paling
terpenting adalah menghasilkan uang dengan segera untuk menunjang kebutuhan hidup
sehari-hari keluarga.
Pendidikan non formal di pesantren menjadi pilihan masyarakat Desa Situ Udik,
karena keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan formal. Sehingga meski
banyak dari para Lansia buta huruf latin, namun para Lansia ini justru melek huruf arab
gundul dan Al-Quran serta mampu menulis huruf arab gundul ini dengan baik. Hingga
kini huruf arab gundul ini masih digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan tertulis.
Namun, huruf arab gundul ini punya sedikit perbedaan, sebab ini digunakan untuk
bahasa sehari-hari mereka yakni bahasa sunda. Hal ini ditunjukkan saat pengajian ibu-
ibu di Kampung Al-Barokah, dimana panitia pengajian memberikan materi pengajian
yang ditulis dengan menggunakan huruf arab gundul. Menurut mereka ini
mempermudah dalam penyampaiannya, khususnya bagi ibu- ibu berusia lanjut.
Program Keaksaraan Fungsional pernah digalakkan di Desa Situ Udik. Namun
program ini tidak berkelanjutan. Hal ini karena ketiadaan sarana serta prasarana, sebab
kegiatan program ini dinilai tumpang tindih dengan kegiatan PKK. Sehingga yang
dominan justru kegiatan PKK bukan program KF.
5.3 Tingkat Pendapatan
Masa tua merupakan masa kemunduran, kemuduran fisik karena penurunan
fungsi organ tubuh kemudian berdampak lanjut juga pada penurunan pendapatan
seseorang. Penurunan ini selain karena penurunan produktifitas namun juga disebabkan
karena penurunan motivasi seseorang dalam memperoleh hasil dari pekerjaannya. Hal
ini diperkuat oleh pendapat responden Lansia di Desa Situ Udik, bahwa idealnya masa
tua adalah masa menikmati hasil kerja keras semasa mereka muda. Investasi dimasa tua
yang mereka nikmati tidak hanya diperoleh dari tabungan namun juga dari anak mereka.
Pendapatan disini merupakan jumlah uang yang diperoleh setiap bulannya baik
yang didapat individu maupun rumah tangga, karena beberapa responden merupakan
pasangan suami istri. Sumber atau asal pendapatan yang diperoleh oleh responden
Lansia setiap bulannya, dapat dilihat dari Tabel 13.
Tabel 13. Sumber pendapatan responden setiap bulan, Desa Situ Udik tahun 2006
Asal Pendapatan Frekuensi (orang) Persentase Total (Laki-laki+Perempuan)
(%) Laki-laki Perempuan
Uang Pensiun 1 4 5,4 Dana BLT BBM 10 19 39,2 Anak 5 8 17,6 Bekerja 14 7 28,4 Sumbangan/Santunan 2 5 9,5
Total 100,0 Tabel tersebut memberikan gambaran bahwa hampir 40 persen responden
menerima dana BLT BBM sebagai sumber pendapatannya. Hal ini juga menunjukkan
bahwa sebanyak 40 persen responden Lansia tersebut berasal dari keluarga miskin.
Namun, menurut keterangan ketua RT 02, Kampung Al Barokah memiliki kebijakan
mengenai pembagian dana BLT BBM ini. Dana yang diperoleh setiap rumah tangga
miskin dipotong RP 50.000 setiap triwulan penerimaan dana tersebut. Potongan tersebut
kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mendapatkan dana BLT-BBM ini. Hal ini
bertujuan untuk mencegah kecemburuan, konflik dan pemerataan bagi semua warga
Kampung Al Barokah yang menghendaki mendapatkan dana tersebut. Namun, di
kampung lain tidak memiliki kebijakan seperti itu maka banyak Lansia yang seharusnya
mendapatkan dana tersebut tidak memperolehnya tapi justru anak atau cucunya yan
memperoleh.
Tabel 13 juga menunjukkan terdapat 21 orang atau 28,4 persen Lansia masih
bekerja. Umumnya, Lansia ini masih bekerja di sektor pertanian, kebanyakan dari
mereka bekerja sebagai buruh tani. Perempuan Lansia biasanya menjadi buruh tani
untuk pekerjaan-pekerjaan seperti ngababut, nandur, ngarambet. Sedangkan panen,
nyangkul dan ngagaru merupakan pekerjaan-pekerjaan dimana Lansia laki- laki menjadi
buruh tani. Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya Lansia ini bekerja
sebagai buruh tani, yakni: mereka tidak berlahan lagi karena proses pewarisan kepada
anak-anak mereka dan fragmentasi lahan, selain itu beruh tani merupakan satu-satunya
pekerjaan yang dapat diakses oleh para Lansia dan mendapatkan upah yang setara
dengan buruh tani ‘muda’.
Data mengenai sumber pendapatan pada tabel di atas memberikan gambaran
bahwa ketiadaan jaminan sosial di hari tua yakni berupa pensiun (hanya empat
responden mempunyai dana pensiun) menyebabkan para Lansia ini harus tetap bekerja
baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun kebutuhan anak maupun
cucu. Ibu Ali (66 tahun) misalnya, beliau masih bekerja dengan berdagang makanan
keliling disekitar kampung tempatnya tinggal untuk menghidupi empat orang cucunya
yang ditinggalkan orangtua yang bercerai.
Bekerja dalam hal ini merupakan suatu strategi responden Lansia untuk
‘produktif’, dimana bekerja dinilai oleh para Lansia ini sebagai kegiatan untuk mengisi
hari tua. Artinya bekerja merupakan suatu kegiatan sampingan yang tidak memiliki
target tertentu kecuali untuk mengisi waktu luang. Tidak sedikit dari para responden
masih melakukan aktivitas dalam keluarga meski dalam kontribusi yang kecil. Sehingga
hasil yang dicapai dengan bekerja sendiri dianggap sebagai hasil tambahan atau
minimal pendapatan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Tingkat pendapatan dalam penelitian ini digolongkan dalam tiga kategori
berdasarkan besarnya uang yang diterima setiap bulannya yakni tinggi, rendah dan
sedang. Batasan rendah yakni dibawah Rp 100.000 ditentukan berdasarkan jumlah uang
yang diterima jika Lansia hanya memperoleh pendapatan dari dana BLT BBM.
Sedangkan batasan lebih dari Rp 500.000 untuk mengkategorikan tingkat pendapatan
rendah didasarkan pada besarnya nilai uang pensiun PNS.
Informasi yang diperoleh dari kuesioner bahwa lebih dari 52 persen responden
berpendapatan sedang dan 30 persen diantaranya berpendapatan dibawah Rp 100.000.
Responden yang berpendapatan dibawah Rp100.000 ini mayoritas adalah perempuan
Lansia. Tingkat pendapatan berdasarkan jenis kelamin, ditunjukkan dalam Tabel 14.
Tabel 14. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan besar pendapatan, Desa Situ Udik tahun 2006
Jenis kelamin Besar Pendapatan Total
< Rp 100.000 Rp 100.000-Rp 500.000
Lebih dari Rp 500.000
Laki-laki 3 (7,5%) 9 (22,5%) 5 (12,5%) 17 (42,5%) Perempuan 9 (22,5%) 12 (30,0%) 2 (5,0%) 23 (57,5%) Total 12 21 7 40
30,0% 52,5% 17,5% 100,0% Informasi yang ditunjukkan dalam Tabel 14 membawa pada kesimpulan bahwa
sebagian dari responden merupakan perempuan dari rumah tangga miskin. Sebanyak
sembilan orang perempuan berpendapatan dibawah Rp 100.000 menyatakan bahwa
pendapatan itupun diperoleh dari dana BLT-BBM maupun dana anak yatim dan janda
yang dikumpulkan warga dalam paguyuban dan perelek. Dana yatim, jompo dan janda
ini dibagikan setiap satu tahun sekali menjelang hari raya Iedul Fitri. Setiap bulannya
warga masyarakat memberikan sumbangan berupa 1 liter beras atau dalam bentuk uang
sebesar RP 2.500. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat desa ini memiliki suatu
sistem yang dapat menunjang kesejahteraan Lansia khususnya bagi Lansia janda dan
jompo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan puasa ramadhan dan bertepatan dengan
diturunkannya dana BLT BBM tahap keempat serta pembagian zakat bagi orang yang
membutuhkan (mustahiq).
Masa tua merupakan masa kemunduran, baik fisik maupun finansial seseorang.
Data hasil kuisioner menunjukkan bahwa tidak terdapat responden di atas usia 67 tahun
yang memperoleh pendapatan di atas Rp 500.000. Terdapat satu orang perempuan
berusia 90 tahun, Ibu Hal, memperoleh pendapatan antara Rp 100.000-Rp 500.000,
yang mana diperoleh dari pensiun suaminya. Namun, uang tersebut dipergunakan juga
untuk menopang kehidupan anak serta cucunya, seperti yang dikemukakannya sebagai
berikut:
“Uang dari pensiunan suami mah habis buat makan, sama berobat saya. Berobat juga ke Puskesmas aja. Gak mau ah ngebebanin anak.”
Hal ini juga menunjukkan bahwa masih memiliki penghasilan merupakan suatu
kebanggan tersendiri bagi Lansia, karena dengan demikian masih merasa dibutuhkan
atau diperlukan bagi keluarganya bukan dipandang sebagai beban. Hal ini tentunya akan
berdampak positif bagi perkembangan diri para Lansia ini, mereka akan merasa
diperhatikan kehadirannya sehingga secara psikologis ini dapat memenuhi kebutuhan
bereksistensi mereka dan mereka tidak merasa memperoleh perlakuan yang ‘berbeda’
yang dapat menimbulkan mereka merasa tersisih dari lingkungan sosialnya.
5.4 Status Pernikahan
Status pernikahan Lansia menjadi salah satu faktor yang penting karena ini
kemudian akan berhubungan dengan perawatan serta kemandirian Lansia terutama
Lansia laki- laki. Menurut Waerness (Wahyuni, 2003), suatu kenyataan bahwa secara
tradisional mengasuh/memberi perawatan adalah pekerjaan seorang perempuan, oleh
karena itu fungsi perkawinan sebagai suatu institusi untuk mendapatkan perawatan
hanya berlaku bagi Lansia laki- laki.
Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh informasi bahwa lebih dari dua pertiga
responden (67,5 %) masih berstatus menikah dan sisanya yakni 32,5 persen atau
sebanyak 13 orang yang berstatus janda/duda. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan
Lansia di pedesaan masih berstatus menikah. Namun yang perlu dicermati adalah
bagaimana proporsi Lansia yang masih menikah berdasarkan jenis kelaminnya, guna
memperkuat dugaan di atas, lihat Tabel 15.
Tabel 15. Jumlah dan persentase responden berdasarkan status pernikahan dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
Jenis Kelamin Status Pernikahan Total
Menikah Janda/Duda Laki-laki 16
40,0% 1
2,5% 17
42,5% Perempuan 11
27,5% 12
30,0% 23
57,5% Total 27
67,5% 13
32,5% 40
100,0% Proporsi Lansia perempuan yang tidak lagi berstatus menikah atau janda lebih
tinggi dibandingkan laki- laki. Hal ini ditunjukkan dari Tabel 15, hanya satu orang
responden laki- laki yang berstatus duda. Ini berhubungan dengan perbedaan umur
antara suami dan istri. Kebiasaan yang ada di masyarakat, umur suami lebih tua
dibandingkan istrinya. Selain itu, perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih
tinggi dibandingkan laki- laki. Lansia laki- laki cenderung memperoleh perawatan dari
istri sedangkan Lansia perempuan tidak mendapatkan ini karena kematian suami.
Perempuan Lansia masih distreotipekan pada peran-peran melayani kebutuhan
suami, anak-anak, cucu maupun mengurus dan mengatur keseharian rumah tangga.
Sehingga yang terjadi adalah ketergantungan laki- laki terhadap perempuan sebagai
sosok seorang ibu yang sangat tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa laki- laki lebih tergantung dibandingkan perempuan.
Perempuan meskipun berusia lanjut masih mampu merawat dirinya sendiri, yakni
dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestiknya. Mak Uha (80 tahun) misalnya,
masih mengerjakan pekerjaan domestik seperti mencuci, menyapu halaman, memasak
atau untuk sekedar memperoleh sedikit uang dari upah dengan menjahit kasur kapuk
atau menisik manik-manik.
Berbeda dengan laki- laki Lansia yang lebih dahulu kehilangan pasangannya,
mereka cenderung menikah lagi agar memperoleh perawatan dari istri yang biasanya
berumur lebih muda atau bahkan tidak bisa bertahan lebih lama. Bapak Nur (75 tahun)
misalnya, saat ini beliau tidak lagi mampu bekerja karena keterbatasan fisiknya.
Sehingga untuk menghidupi keluarganya, istri Bapak Nur yang lebih muda 20 tahun,
bekerja sebagai tukang jahit, buruh tani atau kadangkala menjadi tukang pijat. Bahkan
Lansia perempuan di pedesaan seperti di Desa Situ Udik kebanyakan ikut merawat cucu
sementara orangtuanya bekerja di kota.
5.5 Tempat Tinggal dan Perawatan
5.5.1 Tempat Tinggal
Penelitian Suhartini (2004) menunjukkan bahwa Lansia di perkotaan secara
umum lebih cenderung ikut dengan anak daripada Lansia di pedesaan. Living
arrangements atau tempat tinggal yang dibahas dalam penelitian ini dibagi atas tiga
jenis yakni tinggal dirumah sendiri, ikut dengan anak, maupun menumpang pada sanak
saudara. Tempat tinggal di panti jompo tidak termasuk, karena tidak terdapat fasilitas
tersebut. Data pada Tabel 16 menujukkan bentuk pengaturan tempat tinggal bagi
responden Lansia di Desa Situ Udik.
Tabel 16. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tempat tinggal, Desa Situ Udik tahun 2006
Tempat Tinggal Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rumah sendiri 37 92,5 Menumpang pada anak 2 5,0 Menumpang pada sanak saudara 1 2,5 Total 40 100,0
Persentase tertinggi adalah Lansia yang tinggal di rumah sendiri, lebih dari 90
persen responden tinggal di rumah sendiri. Bahkan, meski telah menikah, kebanyakan
anak masih tinggal di rumah orangtuanya. Hal ini didasarkan oleh sistem pewarisan,
berdasarkan adat istiadat masyarakat sunda bahwa bungsu baik laki- laki maupun
perempuan selalu berhak mewarisi rumah yang sekarang ditempati orang tuanya.
Sehingga dalam susunan hak waris anak bungsu selalu mendapat rumah, tetapi untuk
anak sulung sesuai aturan islam yang ditetapkan. Hal ini dimaksudkan agar anak tetap
menjalankan fungsi keluarganya dalam memberikan perawatan terhadap orang tua yang
telah Lansia (care of age).
Tabel 16 menunjukkan terdapat dua orang responden yang bertempat tinggal di
rumah anak atau cucu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Nurj (65 tahun), yang
menjadi alasannya adalah karena beliau sudah berstatus janda, tidak lagi bekerja, tidak
memiliki rumah lagi karena sudah dijual. Berdasarkan hasil kuesioner juga diperoleh
data terdapat 10 orang responden yang sudah berstatus janda atau duda namun masih
tinggal dirumahnya sendiri. Hal disebabkan beberapa responden masih mengurus anak
atau cucu maupun cicitnya, hal ini menunjukkan bahwa tinggal bersama cucu atau cicit
dan merupakan salah satu bentuk perawatan yang diberikan.
5. 5.2 Caregiving (Perawatan)
Perawatan memiliki keterkaitan dengan tempat tinggal Lansia, hal ini kemudian
menunjukan kemandirian dari Lansia. Kemandirian kemudian berkaitan juga dengan
kemampuannya untuk berpartisipasi dalam kelembagaan politik desa. Di Indonesia
umumnya memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka cukup aman karena anak
atau saudara-saudara yang lainnya masih merupakan jaminan yang baik bagi orang
tuanya. Anak berkewajiban menyantuni orang tua yang sudah tidak dapat mengurus
dirinya sendiri. Nilai ini masih berlaku, memang anak wajib memberikan kasih
sayangnya kepada orang tua sebagaimana mereka dapatkan ketika mereka masih kecil.
Data dari kuesioner diperoleh gambaran bahwa kebanyakan Lansia (80 persen) masih
mandiri. Hanya tiga orang yang dirawat oleh anaknya. Hal ini disebabkan beberapa
faktor, pertama anak dari para Lansia yang menurut adat seharusnya merawat orang
tuanya melakukan migrasi baik sirkuler maupun migrasi permanen. Kedua, ditunjukkan
dari Tabel 15 bahwa lebih dari dua per tiga responden masih berstatus menikah
sehingga perawatan masih diberikan oleh pasangannya. Gambaran caregiving yang
diberikan jika dikaitkan dengan status pernikahan responden dapat dilihat di Tabel 17.
Tabel 17. Jumlah dan persentase responden berdasarkan caregiving dan status pernikahan, Desa Situ Udik tahun 2006
Caregiving Status Pernikahan Total
Menikah Janda/Duda Mandiri/Istri atau suami
26 (65,0%)
6 (15,0%)
32 (80,0%)
Sanak saudara 0 (0%)
5 (12,5%)
5 (12,5%)
Anak 1 (2,5%)
2 (5,0%)
3 (7,5%)
Total 27 67,5%
13 32,5%
40 100,0%
Tabel 17 memberikan juga memberikan gambaran bahwa perawatan bagi
responden Lansia masih diberikan oleh pasangan baik oleh suami atau istri (65 persen).
Perawatan oleh kerabat atau sanak saudara lebih banyak dilakukan bagi responden yang
memiliki status pernikahan janda atau duda dibandingkan dengan perawatan yang
diberikan oleh anak. Hal ini dikarenakan mayoritas responden Lansia ini masih
bertempat tinggal di rumah sendiri, meski demikian anak mereka umumnya bertempat
tinggal tidak terlalu jauh. Bapak Lam (61 tahun) misalnya, ketiga anaknya yang telah
menikah masih bertempat tinggal di kampung yang sama, sehingga ini merupakan salah
satu bentuk perawatan bagi Lansia.
5.6 Pengalaman Berorganisasi
5.6.1 Keikutsertaan dalam Organisasi Formal atau Perkumpulan Masyarakat
Pengalaman berorganisasi merupakan faktor penting dari karakteristik sosial
ekonomi Lansia yang kemudian dapat dilihat bagaimana keterhubungannya dengan
partisipasi dalam kelembagaan politik. Pengalaman berorganisasi dalam penelitian ini
diukur berdasarkan keikutsertaan responden dalam organisasi/perkumpulan, jabatan
atau posisi maupun peran yang pernah ditampilkan dalam organisasi yang pernah diikuti
tersebut serta lama keikutsertaan dalam organisasi/ perkumpulan.
Berdasarkan data yang diperoleh hasil dari kuesioner mayoritas responden
pernah mengikuti perkumpulan maupun organisasi kemasyarakatan baik yang terdapat
di Desa Situ Udik maupun diluar desa. Keikutsertaan responden dalam organisasi
maupun perkumpulan bahwa hampir seluruh responden memiliki pengalaman ikutserta
dalam organisasi, perkumpulan maupun kegiatan kemasyarakatan.
Hanya terdapat lima orang (13 persen) saja yang tidak pernah memiliki
keikutsertaan dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat. Beberapa responden
yang tidak memiliki pengalaman ini menyatakan bahwa semasa muda mereka
disibukkan untuk mencari uang, sedangkan ketika tua mereka jarang memiliki
kesempatan. Hal ini disebabkan sebagian dari mereka masih bekerja. Terlebih lagi
responden perempuan Lansia yang tidak pernah tergabung mereka menyatakan bahwa
ketika muda mereka harus mengurus anak serta rumah tangga. Ketika mereka beranjak
tua, mereka harus mengurus cucu.
Hal yang kemudian harus dicermati adalah jenis-jenis organisasi apa saja yang
dapat diakses untuk kemudian dapat dilihat kecenderungan terhadap partisipasi politk
serta pembagian ruang serta peran bagi individu dalam masyarakat. Jenis-jenis
organisasi yang pernah diikuti oleh Lansia di Desa Situ Udik pada Tabel 18
menunjukkan pengembangan hubungan sosial dalam masyarakat.
Tabel 18. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis organisasi yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
Jenis Organisasi Frekuensi
(orang) Persentase (%)
Partai Politik 4 19,0 Koperasi 5 23,8 Organisasi Kepemudaan 6 28,6 Organisasi Perempuan 3 14,3 Sosial/Yayasan 2 9,5 Pertanian 1 4,8
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa organisasi kepemudaan serta koperasi
yang banyak diikuti. Terdapat tiga orang responden yang pernah mengikuti organisasi
perempuan, antara lain PKK dan IWAPI. Namun berdasarkan hasil kuesioner hanya 10
responden yang menyatakan memiliki pengalaman dalam organisasi. Hal ini disebabkan
jika mereka ingin tergabung dalam suatu organisasi formal mereka harus berafiliasi
dengan orang luar desa, minimal tingkat kecamatan. Kebijakan orba yang tidak
memperbolehkan organisasi ada di tingkat desa menyebabkan sedikitnya responden
Lansia yang pernah mengikuti organisasi formal.
Di antara kesepuluh responden yang mengikuti organisasi formal tersebut adalah
mereka yang berstatus sosial ekonomi tinggi dalam masyarakat. Sisanya lebih banyak
memiliki keikutsertaan dalam perkumpulan, kelompok maupun kegiatan sosial
kemasyarakatan, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 19. Lebih dari 55 persen Lansia
masih tergabung dalam kegiatan pengajian serta lebih dari sepertiga responden masih
aktif dalam kegiatan perairan atau yang disebut dengan ulu-ulu.
Tabel 19. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis perkumpulan yang pernah diikuti, Desa Situ Udik tahun 2006
Jenis Perkumpulan Jumlah
(orang) Persentase
(%) Pengajian 33 55,9 Kelompok Tani 6 10,2 Ulu-ulu 18 30,5 Paguyuban (Kematian, anak yatim, perelek) 2 3,4
Total 100,0 Tabel 19 memberikan informasi bahwa Lansia memiliki akses yang lebih tinggi
terhadap perkumpulan yang lebih bersifat informal dibandingkan organisasi formal.
Ditunjukkan bahwa hampir seluruh Lansia ini ikut serta dalam pengajian. Meski
terdapat dua kelompok tani di RW 09, namun responden menyatakan terbatasnya akses
ke kelompok tani (Bapak Lam (61 tahun), Bapak Han (62 tahun). Hal ini karena
sebagian besar petani yang ada di Desa Situ Udik adalah buruh tani atau petani
penggarap. Biasanya yang dapat mengikuti kelompok tersebut adalah petani pemilik
lahan atau petani penggarap dari pemilik lahannya atau bahkan buruh tani tetapi
memiliki ikatan kekerabatan atau hubungan tetangga yang erat dengan ketua kelompok
tani.
5.6.2 Peran dalam Organisasi atau Perkumpulan Masyarakat
Peran yang ditampilkan akan menunjukkan kualitas dari partisipasi Lansia
dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat. Sayogjo seperti yang dikutip oleh
Farida (2005) sebagai dasar teorinya untuk mengungkapkan keikutsertaan perempuan
dalam organisasi yakni bahwa lembaga yang memungkinkan peran serta perempuan
maupun pedesaan sunda, baik dalam pengambilan keputusan pada tahap perencanaan
dan pelaksanaannya adalah kelembagaan pengajian, arisan, paguyuban, perelek yang
umumnya berkembang di tingkat RT atau RK (Rukun Kampung).
Hasil penelitian di Desa Situ Udik ini juga menemukan kecenderungan yang
serupa dengan hal tersebut, dimana Lansia memiliki peranan penting dalam
perkumpulan maupun lembaga informal masyarakat khususnya pengajian. Hal ini
karena mereka dihormati dan dianggap memiliki pengetahuan akan agama Islam lebih
baik. Contohnya, dalam terdapat kegiatan pengajian rema ja dan anak-anak, juga
dikelola oleh seorang ustadz atau ustadzah Lansia sebagai guru mengaji, penitia
penyelenggara pengajian. Panitia penyelenggara pengajian biasanya juga merupakan
orang-orang yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan lainnya seperti paguyuban dana
kematian, dana anak yatim, serta perelek yang umumnya berkembang di tingkat RT atau
RK (Rukun Kampung). Penempatan Lansia pada posisi ini sekaligus menunjukkan
bahwa Lansia memiliki peran dalam sosialisasi baik di tingkat keluarga maupun
komunitasnya. Hal ini diperjelas dengan Tabel 20.
Tabel 20. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi/jabatan dalam organisasi/perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
Posisi/Jabatan Frekuensi
(orang) Persentase (%)
Ketua/Pemimpin/Kepala/Ustadz 7 15,2 Pengurus/Panitia 5 10,9 Anggota 34 73,9
Tabel 20 menunjukkan sebagian besar hanya menempati posisi sebagai anggota
saja. Menurut mereka, jika harus menempati posisi sebagai ketua atau pemimpin dalam
organisasi maupun perkumpulan di masyarakat menuntut alokasi waktu yang lebih
besar, tenaga serta harus ‘rela berkorban’ materi. Hal ini juga dikemukakan oleh salah
seorang responden yang aktif dalam organisasi serta kegiatan kemasyarakatan Ibu Neng
(61 tahun):
“Kalo mau ikutan jadi kader, atau panitia pengajian, ngurus perelek mah harus banyak berkorban. Makanya jarang yang mau, mana gak dibayar. Dibayarpun juga uangnya gak gede-gede amat.”
Lansia, khususnya laki- laki lebih akses di perkumpulan informal masyarakat karena
mereka saat muda tidak atau jarang berada di desa dan bermigrasi untuk mencari
pekerjaan di kota. Kalaupun ikutserta dalam perkumpulan mereka jarang menghadiri.
Saat usia mereka mencapai usia 50 tahun mereka baru aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan karena mereka memiliki banyak waktu luang. Hal ini diperlihatkan dari
lamanya mereka tergabung dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat (Tabel 21).
Tabel 21. Jumlah dan persentase responden berdasarkan lama keikutsertaan dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat, Desa Situ Udik tahun 2006
Lama Tergabung dalam Organisasi/Perkumpulan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Tidak pernah ikut 5 2,6 1-5 tahun 0 0 5-10 tahun 7 17,5 Lebih dari 10 tahun 28 70,0
Total 40 100,0 Tabel 21 menunjukkan bahwa kebanyakan Lansia di Desa Situ Udik tergabung
dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat dalam kurun waktu lebih dari 10
tahun. Hal ini ditunjukkan dari data bahwa 70 persen responden Lansia tergabung dalam
organisasi maupun perkumpulan masyarakat lebih dari 10 tahun. Selain ketersediaan
waktu luang, menampilkan peran dalam perkumpulan masyarakat di usia tua disini
dapat merepresentasikan kepada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan psikologis dalam
kapasitas yang lebih besar. Memiliki peran dalam organisasi maka secara psikologis
akan dapat memenuhi kebutuhan psikologis yang semakin besar pula, misal kebutuhan
untuk bereksistensi, berkomunikasi dan beraktualisasi
Berdasarkan data tentang keikutsertaan responden Lansia yang telah
dikemukakan di atas dapat disimpulkan tingkat pengalaman berorganisasi responden
Lansia, bahwa mayoritas (70 persen) responden memiliki tingkat pengalaman organisasi
yang sedang artinya mereka tergabung atau ikutserta dalam organisasi maupun
perkumpulan dalam masyarakat, namun berperan hanya sebagai anggota saja, atau
mereka ikutserta dalam organisasi maupun perkumpulan masyarakat, berperan sebagai
pengurus atau panitia namun lama keikutsertaan mereka antara 5-10 tahun.
Terdapat 12,5 persen responden yang memiliki tingkat pengalaman organisasi
yang rendah artinya mereka tidak pernah tergabung sama sekali dalam organisasi
maupu perkumpulan di masyarakat. Responden Lansia yang memiliki tingkat
pengalaman organisasi yang tinggi artinya mereka ikutserta dalam organisasi maupun
perkumpulan masyarakat, berperan sebagai pemimpin maupun pengurus atau panitia
serta mereka tergabung dalam organisasi atau perkumpulan masyarakat dalam kurun
waktu lebih dari 10 tahun.
Jika pengalaman berorganisasi dilihat berdasarkan perbedaan jenis kelamin akan
dapat menunjukkan bagaimana pembagian peran dalam suatu masyarakat. Hasil
kuesioner menunjukkan bahwa meski berusia ‘sepuh’ dan dianggap memiliki waktu
yang lebih banyak untuk tampil dalam perkumpulan namun perempuan memiliki tingkat
pengalaman berorganisasi yang minim, seperti yang terlihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Jumlah responden berdasarkan tingkat pengalaman berorganisasi dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
Tingkat Pengalaman Beroganisasi Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan Rendah 0 5 5 Sedang 10 17 27 Tinggi 7 1 8 Total 17 23 40
Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa hanya satu orang saja yang memiliki
tingkat pengalaman berorganisasi yang tinggi dan mayoritas responden memiliki tingkat
pengalaman berorganisasi yang sedang. Artinya, meski mereka punya akses dalam
perkumpulan maupun organisasi namun mereka tidak memiliki kontrol didalamnya. Hal
ini disebabkan keikutsertaan responden perempuan dalam kelembagaan tersebut hanya
sebagai anggota atau peserta saja. Kepemimpinan perempuan sebagai tanda bentuk
peran aktif perempuan hanya terdapat pada organisasi atau perkumpulan perempuan
saja seperti perkumpulan pengajian ibu- ibu atau PKK, sehingga perempuan Lansia di
Desa Situ Udik memiliki partisipasi yang pasif dalam bidang publik baik formal
maupun informal.
BAB VI
PROFIL SOSIAL POLITIK LANSIA DESA SITU UDIK
6.1 Lansia dan Politik
6.1.1 Tingkat Partisipasi Lansia dalam Pemilu 2004
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan suatu ‘hajatan’ besar bagi rakyat
Indonesia dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Terlebih lagi dalam Pemilu 2004,
dimana diakui membuka banyak peluang partisipasi politik masyarakat. Semakin besar
peluang partisipasi politik masyarakat, akan memberi ruang kepada masyarakat untuk
menyuarakan kepentingannya. Tidak saja menyuarakan tetapi masyarakat juga dapat
mengontrol legislatif baik tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten untuk selalu
berpihak kepada kepentingan masyarakat karena dengan Pemilu legislatif rakyatlah
yang memberi mandat langsung kepada calon-calon yang akan duduk di DPR, DPRD
tingkat I maupun DPRD tingkat II.
Bagi masyarakat Desa Situ Udik, Pemilu merupakan momen penting dalam
kehidupan berpolitik. Bahkan warga yang melakukan migrasi untuk bekerja di kota
menyempatkan diri ‘mudik’ ke Desa Situ Udik agar dapat memberikan suaranya untuk
memilih anggota legislatif yang dinilai mampu menyuarakan aspirasi politiknya. Bagi
Lansia di Desa Situ Udik, mengikuti Pemilu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan.
Hal ini dikemukakan oleh Bapak Ahd TOP (63 tahun):
“Ikut Pemilu itu juga ibadah neng. Sabab miluan Pemilu aya pautanana jeung manusa disakitaran. Jadi ikut Pemilu mah wajib hukumnya”
Informasi yang diperoleh dari hasil kuesioner menunjukkan bahwa 100 persen
responden Lansia mengikuti Pemliu 2004. Partai politik pemenang Pemilu legislatif
tahun 2004 di lokasi yang menjadi sampel penelitian, RW 09, adalah Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), diikuti dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat,
dan Golongan Karya (Golkar).
Hal yang menarik berdasarkan hasil wawancara, responden Lans ia ini tidak
mengetahui dengan pasti apa nama partai yang menjadi pilihan mereka. Mereka
mengidentifikasi partai yang dipilih berdasarkan warna, asosiasi pada tokoh pentingnya
serta gambar atau lambang dari partainya. Seperti saat ditanyakan partai apa yang
dipilih sebagian besar responden tidak dapat menyebutkan nama partai, yang mereka
sebutkan adalah sebagai berikut:
Cau (pisang) emas : PKS
Centong tibalik (panci terbalik) : Golongan Karya
Ka’bah : PPP
Megawati : PDI-P
Gusdur/NU : PKB
Bulan Bintang : PBB
SBY : Partai Demokrat
Menurut responden Lansia terlalu sulit untuk menghapalkan nama partai,
mengingat keterbatasan fisik, memori, serta terdapat Lansia yang buta huruf. Selain itu
juga mereka lebih memperhatikan gambar serta nama partai dibandingkan siapa yang
mereka pilih sebagai wakil dalam lembaga legislatif. Beberapa responden juga
menyatakan tidak begitu mengerti dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 2004.
Hal menjadi pertimbangan para responden ini dalam memilih partai politik dalam
Pemilu 2004 adalah seberapa besar kontribusi partai tersebut khususnya dalam
pembangunan infrastruktur dan memberikan perubahan kesejahteraan bagi masyarakat
Desa Situ Udik. Hal ini terlihat dalam partai politik yang dipilih oleh responden pada
Pemilu 2004, yang ditunjukkan dalam Tabel 23.
Tabel 23. Jumlah dan persentase responden berdasarkan partai politik yang dipilih pada Pemilu 2004, Desa Situ Udik
Partai Jumlah Persentase
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 18 45,0 Golongan Karya (Golkar) 2 5,0 PPP (Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 6 15,0 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 1 2,5 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 1 2,5 Partai Demokrat 7 17,5 Partai Bulan Bintang 4 10,0 Lainnya 1 2,5 Total 40 100,0
Hal yang perlu dicermati dari Tabel 23 adalah lima dari delapan partai yang
disebutkan responden sebagai partai yang dipilih dalam Pemilu 2004 adalah partai yang
memiliki landasan agama Islam. Hanya Partai Demokrat yang cukup banyak dipilih
(17,5 persen) yang tidak berlandaskan agama Islam. Hal ini secara umum, membawa
kesimpulan bahwa sosial budaya mempengaruhi partisipasi responden dalam Pemilu
legislatif tahun 2004.
Tingkat partisipasi dalam Pemilu 2004 dalam penelitian ini tidak hanya diukur
berdasarkan kuantitasnya saja tapi juga kualitasnya, yakni keikutsertaan dan peranan
dalam kampanye, peran dalam partai politik, serta kehadiran dalam penghitungan suara.
Tingkat partisipasi dalam Pemilu 2004 menjadi faktor penting yang memiliki
keterhubungan dengan partisipasi dalam kelembagaan politik desa. Hal ini karena
menyangkut pengetahuan serta kesadaran politik seseorang dapat dilihat dari
partisipasinya dalam Pemilu.
Kampanye merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan menjelang
Pemilu 2004. Bentuk dari kampanye yang diukur disini adalah berbagai bentuk
kampanye aktif mulai dari pawai keliling, debat terbuka lewat media massa, maupun
kampanye pada suatu tempat. Berdasarkan informasi dari hasil kuesioner diketahui
bahwa jumlah responden yang mengikuti kampanye sebanyak 19 orang (47,5 persen),
dan hanya 21 orang saja yang menyatakan tidak pernah mengikuti kampanye politik
selama Pemilu 2004.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan responden yang merupakan juru
kampanye salah satu partai politik menyebutkan bahwa keikutsertaan warga dalam
kampanye pada dasarnya bukan sebagai bentuk aktif dalam mengikuti rangkaian
kegiatan Pemilu, namun lebih kepada mobilisasi saja. Hal ini dikemukakan oleh Bapak
Ud (65 tahun):
“Saya udah lama jadi kader dan kalo kampanye saya jadi juru kampanye partai. Biasanya, warga disini mau ikutan kampanye (pawai) kalo dikasih dulu baik berupa barang (atribut partai: topi, kaos, payung) ataupun uang.”
Terkait dengan hal tersebut Tabel 24 menjadi fakta dari jumlah responden berdasarkan
peranan yang ditampilkan dalam kegiatan kampanye Pemilu 2004.
Tabel 24. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan yang ditampilkan dalam kampanye Pemilu 2004, Desa Situ Udik
Peranan Jumlah Persentase
Hanya ikut pawai keliling (jadi peserta saja) 16 84,21 Juru Kampanye 2 10,52 Tidak ikut pawai keliling tapi ikut kumpul di kantor desa 1 5,26 Total 19 100
Tabel 24 memberi gambaran dan memperkuat pernyataan Bapak Ud (65 tahun)
tentang peranan yang ditampilkan responden dalam keikutsertaannya pada kampanye
Pemilu tahun 2004. Hampir seluruh responden (84 persen) hanya mengikuti pawai
keliling dalam rangkaian kampanye. Biasanya dalam rangkaian kegiatan pawai keliling
tersebut mereka berkumpul di lapangan dekat dengan pusat-pusat pemerintahan desa,
kecamatan atau kabupaten untuk mengikuti orasi dari juru kampanye. Namun, hiburan
berupa orkes dangdut merupakan faktor yang menarik mereka mau ikutserta dalam
pawai keliling.
Keikutsertaan dalam Pemilu terkait juga dengan peranan yang ditampilkan
dalam suatu partai politik. Hal ini akan menentukan derajat keaktifan seseorang dalam
Pemilu. Keaktifan responden Lansia dalam partai politik ditunjukkan dalam Tabel 25.
Tabel 25. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam partai politik, Desa Situ Udik tahun 2006
Peranan Jumlah Persentase Simpatisan 37 92,5 Kader 3 7,5 Pengurus 0 0 Total 40 100
Terlihat bahwa hanya tiga orang responden yang menjadi kader dalam partai
politik sedangkan pada Tabel 24 hanya dua orang saja yang menjadi juru kampanye.
Responden yang menjadi kader namun tidak menjadi juru kampanye menyatakan bahwa
saat itu ia tidak bersedia untuk ikut serta menjadi juru kampanye secara langsung dan
hanya membantu anaknya menjadi juru kampanye suatu partai politik (Bapak Lam, 61
tahun). Namun beliau menyatakan ia menjadi panitia penyelenggara Pemilu di
Kampung Al Barokah, karena beliau merupakan ketua RW dan ketua RK. Hal ini
dilakukan agar Pemilu tetap berjalan sesuai asasnya luber (langsung, bebas, rahasia) dan
jurdil (jujur, adil).
Peran para Lansia ini sebagai juru kampanye formal tergantikan dengan yag
lebih muda. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Bapak Lam (61 tahun) dan Bapak
Nas (61 tahun), para sesepuh memiliki peran dalam menggerakkan pilihan terhadap
partai politik tertentu. Jumlah responden berdasarkan keikutsertaannya dalam
penghitungan suara, ditunjukkan dalam Tabel 26.
Tabel 26. Jumlah dan persentase responden berdasarkan keikutsertaan dalam penghitungan suara Pemilu legislatif 2004, Desa Situ Udik
Keikutsertaan Jumlah Persentase
Ikut 18 45,0 Tidak ikut 22 55,0 Total 40 100,0
Tabel 26 memperlihatkan sebagian besar (55 persen) responden menyatakan
tidak mengikuti proses penghitungan suara yang masuk di TPS (Tempat Pemungutan
Suara) masing-masing. Menurut mereka yang tidak mengikuti proses penghitungan
suara menjadi tidak terlalu penting. Hal ini karena sudah bisa dipastikan transparansi-
nya, sebagian juga menyatakan tidak punya waktu untuk ikut dalam penghitungan suara
karena harus kembali bekerja di sawah sedangkan proses penghitungan suara
membutuhkan waktu yang lama. Mengingat yang dihitung tidak hanya suara untuk
partai tetapi juga suara untuk calon anggota legislatif dari tingkat nasional hingga ke
tingkat provinsi dan kabupaten.
Informasi tentang keikutsertaan dalam kampanye, peranan dalam partai serta
keikutsertaan dalam proses penghitungan suara yang telah dikemukakan sebelumnya,
sehingga dapat diidentifikasi tingkat partisipasi Lansia dalam Pemilu 2004. Tingkat
partisipasi dikategorikan menjadi rendah dengan memberikan skor 2, kategori sedang
dengan memberikan skor 4-9, dan tinggi dengan memberikan skor 10-15. Tabel 27
merangkum gambaran tentang tingkat partisipasi responden dalam Pemilu 2004.
Tabel 27. Tingkat partisipasi responden dalam Pemilu 2004, Desa Situ Udik
Tingkat Partisipasi Pemilu 2004 Jumlah Persentase Sedang (skor: 4-9) 37 92,5 Tinggi (skor: 10-15) 3 7,5 Total 40 100,0
Tabel 27 memberikan informasi bahwa hampir seluruh (92,5 persen) responden
memiliki tingkat partisipasi yang sedang. Tingkat partisipasi sedang disini berarti bahwa
para responden Lansia tidak hanya memberikan suara dalam Pemilu 2004 tetapi juga
ikut terlibat aktif dalam rangkaian kegiatannya seperti kampanye politik (pawai keliling)
serta penghitungan suara. Tabel 27 juga menunjukkan terdapat responden yang
memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam Pemilu 2004 meski hanya 3 orang.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa responden Lansia di Desa Situ Udik masih tetap
berpartisipasi aktif dalam Pemilu 2004.
6.1.2 Tingkat Keterdedahan terhadap Media Massa
Keterdedahan terhadap media massa merupakan komponen penting yang
kemudian dapat mendorong partisipasi politik seseorang. Lerner membuktikannya
dengan penelitiannya pada masyarakat Turki11. Disini ia mengungkapkan bahwa akses
terhadap media massa merupakan salah satu rekomendasi yang diajukan untuk
melepaskan masyarakat Turki dari keterbelakangan dan ketradisionalan yang dianggap
membelenggu.
Tingkat keterdedahan atau akses terhadap media massa dalam penelitian ini
diukur berdasarkan kepemilikan akan media massa (televisi, radio, media cetak) serta
mengikuti perkembangan berita politik di media massa. Pada bab konteks lokasi telah
dikemukakan bahwa kepemilikan sarana media massa masyarakat Desa Situ Udik
khususnya televisi termasuk tinggi. Hal ini diperkuat dari informasi pada Tabel 28.
Tabel 28. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan dan akses terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006
Akses dan Kepemilikan terhadap Media Massa Jumlah Persentase Televisi 31 77,5 Membeli secara eceran Koran 1 2,5 Tidak punya 8 20 Total 40 100,0 11 Daniel Lerner. 1958. The Passing of Tradition Society dalam Kumpulan Bahan Bacaan Praktikum Mata Kuliah Perubahan Sosial Tahun Ajaran 2006/2007. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
Tabel 28 memberikan gambaran bahwa hampir seluruh responden (77,5 persen)
akses terhadap televisi. Seperti yang telah dikemukakan pada bab konteks lokasi bahwa
peningkatan kepemilikan televisi mulai meningkat sejak masuknya listrik ke Desa Situ
Udik, yakni sekitar tahun 1988 dan 1994. Pada tahun 1994, listrik mulai masuk secara
merata ke seluruh pelosok Desa Situ Udik. Radio sudah jarang diakses masyarakat Desa
Situ Udik., semenjak masuknya televisi. Namun, menurut salah satu responden, Ibu
Neng (60 tahun) bukan hanya hal tersebut yang menjadi sebab radio tidak lagi diakses.
Menurutnya, acara radio sekarang tidak lagi seperti acara radio ’zaman dulu’. Saat ini,
acara radio hanya berisikan iklan, kirim-kirim salam serta musik-musik dangdut.
Sedangkan acara-acara di radio ’zaman dulu’ lebih bervariasi seperti drama seri,
penyuluhan, berita. Sebelum listrik masuk radio tidak hanya sebagai media infromasi
bagi warga Desa Situ Udik tetapi juga media hiburan serta kelembagaan informasi. Ibu
Neng mengemukakan bahwa dulu ’para sepuh’ sering berkumpul bersama untuk
mendengarkan radio. Sehingga mendengarkan radio merupakan kebiasaan ’khas’ para
sesepuh di kampung tersebut.
Kebiasaan berkumpul bersama mendengarkan radio maupun menonton televisi
secara bersama luntur sejak masuknya listrik. Hal ini dikemukakan oleh Ibu Neng (60
tahun):
”Sebelum ada TV, pada ngumpul didepan rumah sini buat dengerin radio bareng-bareng. Pas masuk TV item putih, yang punya TV kan Cuma disini jadi pada miluan nonton disini. Pada ngumpulnya sore, abis ashar. Apalagi kalo bulan puasa sambil ngabuburit.”
Saat ini, televisi lebih dimanfaatkan sebagai media hiburan dibandingkan media
informasi bagi masyarakat Desa Situ Udik. Hampir dua per tiga responden (62,5 persen)
mengikuti perkembangan berita politik di media massa. Media massa yang banyak
diakses adalah televisi karena dinilai lebih praktis, serta dapat diterima baik dengan
antena. Berdasarkan wawancara dengan respoden pagi hari dan sore hari merupakan
waktu yang biasanya mereka pergunakan untuk menonton berita politik di televisi.
Berdasarkan informasi dari hasil kuesioner diperoleh bahwa mayoritas
responden laki- laki yang memiliki keterdedahan terhadap berita politik di media massa,
seperti ditunjukkan pada Tabel 29.
Tabel 29. Jumlah responden berdasarkan keterdedahan terhadap berita politik, Desa Situ Udik tahun 2006
Keterdedahan terhadap berita politik Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan Ya, sering mengikuti 15 10 25 Tidak pernah mengikuti 2 13 15
Total 17 23 40
Tabel 29 memberi gambaran bahwa 15 dari 17 responden laki- laki memiliki
keterdedahan terhadap berita politik di media televisi. Sedangkan hanya 10 dari 23
responden perempuan yang tertarik untuk mengikuti perkembangan berita politik di
media massa. Seluruh responden perempuan yang tidak pernah mengikuti berita politik
bahwa mereka lebih tertarik menonton infotaiment, sinetron, atau acara-acara hiburan.
Berdasarkan kepemilikan dan akses terhadap media massa serta keterdedahan
terhadap berita-berita politik dapat diidentifikasi tingkat keterdedahan responden Lansia
terhadap media massa dengan mengkategorikannya pada tingkat rendah dengan
pemberian skor kurang dari dua, serta tingkat tinggi dengan pemberian skor 3-5.
Informasi tingkat keterdedahan responden terhadap media massa dapat dilihat pada
Tabel 30
Tabel 30. Tingkat Keterdedahan responden terhadap media massa, Desa Situ Udik tahun 2006 Tingkat keterdedahan terhadap media massa Jumlah Persentase Rendah 15 37,5 Tinggi 25 62,5 Total 40 100,0
Tabel 30 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen responden memiliki tingkat
keterdedahan terhadap media massa yang tinggi. Mengacu pada rekomendasi Lerner di
atas maka dengan tingkat keterdedahan yang tinggi terhadap media massa maka hal ini
akan mendorong pada tingkat partisipasi politik yang tinggi juga, karena media massa
meningkatkan juga kesadaran serta pengetahuan masyarakat terhadap politik.
Bergulirnya reformasi serta keterdedahan terhadap media massa membuat sikap
masyarakat desa kian kritis seperti yang dikemukakan oleh Bapak H.Zae (55 tahun)
yang merupakan anggota BPD yang menyebutkan semenjak reformasi setidaknya
terjadi beberapa kali protes langsung yang disampaikan kepada kepala desa. Terutama
yang terjadi berkenaan dengan penyaluran dana BLT BBM. Masyarakat yang merasa
layak menerima dana tersebut tapi tidak terdaftar mengajukan protes secara langsung.
6.2 Nilai Sosial dan Budaya Politik Lansia
6.2.1 Sikap terhadap Politik
Sikap merupakan manifestasi dari pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain
yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga
agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Sikap bukan perilaku, tetapi sikap adalah
kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek,
ide, situasi dan nilai. Variabel sikap terhadap politik dapat diketahui melalui asosiasi
atau top of mind dari responden Lansia, artinya apa yang terlintas pertama kali ketika
mendengar kata politik, mencerminkan sikap seseorang terhadap politik. Berikut ini
adalah sejumlah pernyataan yang dilontarkan oleh responden ketika ditanyakan asosiasi
atau top of mind ketika mendengar kata politik:
1. Saya enggan/ merasa risih jika harus membicarakan tentang politik
2. Politik itu tabu untuk dibicarakan
3. Politik itu jahat, penuh intrik, saling menjatuhkan, mencari keuntungan.
4. saya mau/tertarik/ingin selalu terlibat dalam dunia politik
5. politik itu dibutuhkan karena menyangkut pencapaian tujuan bersama
6. politik itu menyangkut tata cara dalam mengatur masyarakat
7. Saya tidak tahu, tidak mengerti apa itu politik karena saya ‘orang kecil’
8. politik itu partai politik dan Pemilu
Tabel 31 berikut menunjukkan kecenderungan sikap responden Lansia terhadap
politik yang tercermin lewat pernyataan. Pernyataan sikap yang diambil menjadi data
hanyalah tiga pernyataan sikap yang pertama kali disebutkan oleh responden. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam membuat pengelompokkan jawaban,
karena pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner adalah bentuk pertanyaan terbuka.
Tabel 31. Jumlah dan persentase responden Lansia berdasarkan pernyataan politiknya, Desa Situ Udik tahun 2006
Pernyataan Sikap Frekuensi Sebut Persentase
1 12 16,9 2 8 11,7 3 10 13,0 4 3 3,9 5 10 13,0 6 9 11,7 7 15 19,5 8 8 10,4
Total 100,0 Tabel 38 memberikan informasi bahwa pernyataan nomor tujuh serta nomor satu
yang paling banyak disebut sebagai asosiasi mereka tentang politik. Jika dikategorikan
pernyataan nomor satu tersebut termasuk ke dalam pernyataan yang menunjukkan
pernyataan sikap negatif. Pernyataan sikap yang cenderung netral ditunjukkan dari
pernyataan nomor tujuh. Jika pernyataan tersebut dikelompokkan menjadi kategori
pernyataan sikap yang negatif untuk pernyataan 1, 2, dan 3; pernyataan sikap yang
netral untuk pernyataan 7 dan 8 sedangkan pernyataan sikap yang positif untuk
pernyataan 4, 5, dan 6; maka dapat dilihat bahwa yang mengasosiasikan politik dengan
sesuatu yang negatif lebih banyak (frekuensi sebut: 30) dibandingkan yang
mengasosiasikan politik dengan sesuatu yang positif (frekuensi sebut: 22) maupun yang
cenderung netral (frekuensi sebut: 23).
Hal ini kemudian menunjukkan bahwa terdapat keengganan responden masuk ke
dunia politik praktis karena sosialisasi yang diterimanya dan konstruksi sosial
memandang politik identik dengan sesuatu yang kotor, bukan tempat yang ’aman’,
politik adalah dunia maskulin, keras, penuh intrik, dan didominasi logika kalah
menang. Anggapan seperti ini pun menyebabkan perempuan ’tersingkir’ secara politis.
Terlebih lagi jika perempuan itu adalah perempuan Lansia, tersirat dalam Tabel 32.
Tabel 32. Tabulasi silang antara frekuensi sebut pernyataan sikap tentang politik dengan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
Pernyataan Sikap Jenis Kelamin
Perempuan Laki-laki
Negatif 11 9 Netral 17 4 Positif 5 10
Tabel 32 menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menyebut pernyataan
sikap tentang politik sebagai sesuatu yang negatif dibandingkan laki- laki. Sedangkan
laki- laki lebih menyebutkan politik sebagai sesuatu yang positif lewat pernyataan
sikapnya dibandingkan perempuan. Namun, mayoritas perempuan Lansia lebih
menyebutkan pernyataan tentang politik lewat pernyataan yang lebih bersifat netral.
Wujud dari sikap terhadap politik dapat dilihat dari minat politik seseorang. Guna
melihat hal tersebut, ditanyakan kepada responden berkenaan dengan minat mereka
untuk ikut tergabung atau ikutserta dalam kelembagaan politik desa terutama untuk
menjadi perangkat desa seperti pamong desa, kader maupun dewan desa seperti BPD.
Berdasarkan informasi dari hasil kuesioner, lebih dari 42 persen Lansia respoden
berminat ikutserta dalam kelembagaan politik desa.
Hal tersebut memberikan gambaran bahwa sebagian besar responden Lansia
menyatakan tidak lagi berminat untuk ikutserta dalam kelembagaan politik desa (lebih
dari 50 persen). Responden yang menyatakan masih berminat ikutserta dalam
menyalurkan aspirasi politiknya di tingkat desa mayoritas laki- laki Lansia. Lansia
perempuan mayoritas memilih tidak ingin terjun dalam kelembagaan politik yang dapat
menyalurkan aspirasi mereka, seperti yang terlihat dalam Tabel 33.
Tabel 33. Jumlah responden berdasarkan minat keikutsertaan dalam kelembagaan politik dan jenis kelamin, Desa Situ Udik tahun 2006
Minat Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Masih berminat 11 6 Tidak berminat 6 17 Total 17 23
Hasil tabulasi silang dalam Tabel 33 menunjukkan bahwa hampir seluruh
responden yang menyatakan tidak berminat untuk ikutserta dalam kelembagaan politik
adalah perempuan. Demikian juga sebaliknya, responden yang menyatakan masih
berminat untuk ikutserta dalam kelembagaan politik desa hampir seluruhnya adalah
laki- laki.
Data mengenai minat serta pernyataan sikap di atas meberikan gambaran tentang
kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek tertentu yang bersifat politik, sebagai
suatu penghayatan terhadap nilai-nilai budaya dalam masyarakat pedesaan. Munculnya
sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang akan muncul12.
Variabel sikap terhadap politik yang dikuantifikasi lewat pernyataan tentang sikap
terhadap politik dan minat akan keterlibatan dalam politik desa ini akan menjadi suatu
variabel antara dalam analisis lebih lanjut dalam penelitian ini. Hasil skoring dari sikap
12 Sudijono Sastroadmodjo, 1995, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Press.
terhadap politik yang kemudian mengkategorikan sikap responden dalam sikap yang
positif, netral maupun negatif (nilai skoring dapat dilihat dalam lampiran 2).
Hail skoring dari data kuesioner memperlihatkan bahwa mayoritas responden
Lansia di Desa Situ Udik memiliki sikap terhadap politik desa yang netral (47,5 persen).
Namun, terdapat sebagian besar lagi yakni 37,5 persen para Lansia ini memiliki sikap
yang positif dan hanya enam orang dari total keseluruhan responden bersikap negatif.
Salah satu penyebab sikap yang lebih banyak netral ini adalah karena mayoritas
responden adalah perempuan. Hal ini digambarkan dalam Tabel 34.
Tabel 34. Sikap responden terhadap politik Desa Situ Udik berdasarkan jenis kelamin, tahun 2006
Jenis Kelamin Jenis Kelamin Total
Positif Netral Negatif Laki-laki 10 3 4 17 Perempuan 5 16 2 23 Total 15 19 6 40
Tabel 34 memberikan gambaran yang jelas bahwa laki- laki lebih menunjukkan
sikap yang lebih positif dibandingkan perempuan. Perempuan Lansia di Desa Situ Udik
lebih memilih bersikap netral dalam kehidupan politik pedesaan. Sikap ini, berdasarkan
tabel, dipilih karena sebagian besar responden ini menyatakan enggan untuk terlibat
langsung dalam parktek politik desa. Namun, berdasarkan wawancara dengan beberapa
responden Ibu Oon (60 tahun), Ibu Uum (67 tahun), Ibu Neng (60 tahun), dan Ibu Mas
(61 tahun) menyatakan ingin mengetahui perkembangan politik pedesaan terutama
berkaitan dengan kinerja perangkat desa.
6.2.2. Kepercayaan terhadap Kinerja Perangkat Desa
Sikap dan minat yang ditunjukkan oleh responden pada Tabel 33 dan 34
kemudian memiliki keterhubungan dengan kepercayaan terhadap kelembagaan politik
desa. Hal ini dapat dilihat berdasarkan pandangan responden Lansia terhadap
kelembagaan politik desa baik aksesibilitas dalam rapat-rapat formalnya, serta kinerja
dewan desa baik kepala desa, para pamongnya maupun BPD dalam menampung
aspirasi masyarakat.
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar responden (52,5 persen)
menyatakan bahwa rapat-rapat formal yang diselenggarakan di desa sulit untuk mereka
dari golongan Lansia mengaksesnya apalagi mempunyai kontrol terhadap rapat-rapat
tersebut. Hanya 15 persen yang menyatakan pandangan bahwa rapat-rapat formal desa
mudah untuk diakses serta mempunyai kontrol dalam penyelenggaraannya. Responden
yang menyatakan bahwa mereka bisa akses terhadap rapat desa namun mereka
diikutsertakan untuk sosialisasi program dan pelaksanaan saja, sehingga mereka tidak
mempunyai kontrol terhadap rapat-rapat formal yang mendahuluinya (data lebih
lengkap lihat Lampiran 4).
Pandangan tentang aksesibilitas terhadap rapat-rapat formal desa tersebut
memiliki keterhubungan dengan penilaian terhadap kinerja perangkat kelembagaan
politik desa seperti kepala desa, para pamong, serta dewan desa di BPD. Wujud dari
penilaian ini adalah pernyataan puas/ sukses atau tidak puas/ tidak sukses terhadap
kinerja perangkat desa dalam kelembagaan politik desa selama ini. Informasi yang
diperoleh dari hasil kuesioner mengenai pandangan terhadap kinerja perangkat
kelembagaan politik desa dapat terlihat dalam Tabel 35.
Tabel 35. Jumlah dan persentase responden bedasarkan penilaian terhadap kinerja perangkat desa, Desa Situ Udik tahun 2006
Pandangan terhadap kinerja perangkat desa Jumlah Persentase Puas/ sukses 27 67,5 Tidak puas/ tidak sukses 13 32,5 Total 40 100,0
Tabel 35 menunjukkan bahwa lebih dari dua per tiga reponden menyatakan puas
terhadap kinerja perangkat desa dalam kelembagaan politik desa. Hal ini karena
kebanyakan dari mereka menilai, sukses ini tidak terlepas dari peran RT, RW maupun
RK yang aktif. Ketua RT dan RW serta tokoh masyarakat merupakan penyalur aspirasi
politik responden. Elite desa di tingkat kampung (RT) ini justru menyatakan tidak puas
terhadap kinerja kepala desa yang tidak pernah ‘turun’ ke bawah. Hal ini ditunjukkan
lewat pernyataan Bapak Ahd (63 tahun):
“Sukses atau tidak seorang kepala desa di Situ Udik itu diniliainya dari sering tidaknya dia hadir di pengajian ke tiap-tiap kampung. Kalo hadir di pengajian pasti dia dengerin masalah dari rakyatnya. Tapi selama ini kepala desa yang sekarang mah belum pernah ‘turun’ ke bawah. Pamong serta BPD juga kurang ‘membumi”.
Tokoh masyarakat, RK, RT dan RW dianggap memiliki peranan yang lebih dominan
dalam menyalurkan aspirasi politik.
6.2.3 Persepsi: Kriteria Pemimpin
Kepercayaan terhadap perangkat desa kemudian menjadi faktor yang
mempengaruhi persepsi responden Lansia terhadap pemimpin yang ada di Desa Situ
Udik. Hal ini dapat dilihat dari kriteria mereka terhadap pemimpin yang cocok bagi para
responden adalah yang berusia tua. Hal ini karena menurut mereka dengan berusia tua,
pemimpin lebih memiliki kearifan, bijaksana, pengalaman serta pengetahuan tentang
masyarakat lebih baik dibandingkan kepada pemimpin dari golongan muda yang
dianggap masih belum punya pengalaman (lihat Lampiran 5). Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Bapak H.Zae, (50 tahun):
“Seorang pemimpin bagi masyarakat disini yang paling penting itu pendidikan agamanya tinggi, berpengaruh, cukup dituakan, dermawan, masih sanggup fisiknya untuk mengurus, mau berkorban.”
Pengalaman merupakan sesuatu yang bernilai tinggi dalam masyarakat Desa
Situ Udik, hal ini karena jarang warga desa yang berpendidikan formal tinggi.
Ketokohan maupun kepemimpinan pun kemudian didasarkan pada pengalaman dan
pengetahuan akan ilmu-ilmu agamanya. Seorang kyai atau ustadz menempati posisi
yang dihormati dalam masyarakat. Namun, kyai lebih memiliki pengaruh dibandingkan
hanya seorang ustadz.
Kriteria untuk seorang pemimpin yang dikemukakan oleh responden yang
sebaiknya dimiliki oleh seorang pemimpin adalah pemimpin tersebut mempunyai
tingkat kekosmopolitan yang tinggi, artinya pemimpin haruslah orang yang pernah
merantau atau bermigrasi ke luar desa. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa hampir seluruh
ketua RT maupun RW serta perangkat desa yang lain adalah orang yang pernah migrasi
ke luar desa. Seseorang yang pernah bekerja di luar desa khususnya pergi ke ibukota
memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Bekerja di Jakarta dapat
meningkatkan status seseorang di masyarakat meski hanya sebagai buruh bangunan,
pedagang kaki lima, ataupun pembantu rumah tangga. Menurut pendapat responden,
dengan pergi ke Jakarta seseorang akan mempunyai orientasi kota yang lebih maju
dibandingkan jika hanya menetap di desa sebagai buruh tani atau petani penggarap.
Selain itu, melakukan pola pekerjaan ganda dalam upaya mempertahankan
kelangsungan hidupnya telah lama dilakukan masyarakat Desa Situ Udik. Pekerjaan
tersebut seringkali merupakan kombinasi dari pekerjaan di sektor pertanian dan di luar
pertanian.
Mereka juga menganggap bertani itu tidak bisa lagi dijadikan tumpuan hidup
dan adanya gengsi di antara masyarakat dikarenakan ada suatu penilaian bagi orang
yang bekerja di kota bahwa mereka pasti mempunyai materi lebih dibandingkan dengan
yang hanya bekerja sebagai buruh tani. Hal ini menimbulkan suatu kebiasaan di Desa
ini masalah siapa yang mengerjakan lahan pertanian. Pada saat menggarap yang bekerja
itu adalah akuannya tetapi hanya suami yang bekerja sedangkan untuk babut, nandur,
ngarambet sampai pada saat waktu panen yang bekerja itu adalah para istri. Suami tidak
ikut bekerja karena mereka bekerja di kota sebagai kuli bangunan atau berdagang.
Setelah seseorang mencapai usia lanjut, biasanya mereka ‘kembali’ lagi untuk
menggarap lahan pertanian serta ‘mengurus’ masyarakat. Hal ini ditunjukkan dari
persepsi responden terhadap posisi atau jabatan yang pantas bagi Lansia yang masih
aktif dalam kegiatan politik serta sosial kemasyarakatan responden menempatkan
seseorang yang masih aktif dalam kegiatan sosial politik pada posisi yang terhormat
(lihat Lampiran 6). Hal ini terlihat dari pendapat responden (75 persen) yang
menyatakan menempatkan Lansia aktif dalam posisi pemimpin atau
penasihat/pembimbing dalam kegiatan sosial politik di Desa Situ Udik. Selain itu,
responden juga menyatakan lebih mempercayakan posisi untuk dewan desa serta
pamong desa kepada mereka yang telah berumur lanjut. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa responden: Bapak M. Nas, Bapak Nur, dan Ibu Mas, diperolah
keterangan meski memiliki keterbatasn dengan fisiknya namun para Lansia ini dianggap
lebih mampu menjalankan pemerintahan berdasarkan nilai-nilai serta tradisi Desa Situ
Udik. Artinya, dengan demikian seorang Lansia yang aktif akan memiliki peranan yang
sentral dalam pengambilan keputusan politik di desa. Meski dalam kelembagaan politik
formal (struktur pemerintahan desa, dewan desa) mulai berkurang keterwakilannya.
Namun, pengaruh mereka dalam masyarakat belum mampu digeser oleh para anggota
dewan desa yang lebih muda.
BAB VII
PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA
7.1 Partisipasi Lansia dalam Rapat Formal Desa
Proses demokrasi desa dapat terlihat secara jelas dalam pencapaian keputusan.
Proses pencapaian keputusan dalam masyarakat desa diartikan sebagai proses menuntun
masyarakat ke persetujuan atau pertentangan dengan usulan yang diberikan oleh
masyarakatnya. Rapat formal desa merupakan salah satu kelembagaan dimana
masyarakat desa menyalurkan aspirasi politiknya. Pencapaian keputusan secara bersama
seharusnya terjadi dalam rapat-rapat desa yang dihadiri oleh semua penduduk dewasa
dari masyarakat itu (Prijono, 1986). Lansia sebagai penduduk dewasa dalam masyarakat
desa seharusnya menjadi bagian dalam proses pencapaian dan pengambilan keputusan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dua per tiga (65 persen) responden
pernah mengikuti rapat-rapat formal desa, dan sepertiganya (35 persen) tidak pernah
mengikuti rapat formal desa. Berdasarkan tabel tersebut juga menunjukkan 14 orang
tidak pernah mengikuti rapat, dan dari jumlah tersebut 12 orang diantaranya adalah
perempuan. Hanya dua orang laki- laki yang tidak pernah mengikuti rapat formal di
desa. Ibu Oon (60 tahun) mengemukakan sebagai berikut:
“Kalau disuruh ikut rapat ke kantor desa biasanya diajak ama Pak RK, atau ibunya. Kalau saya, suka males ikut yang kaya gituan, diwakilin ajah sama suami atau anak”
Informasi ini diperkuat dengan data frekuensi keikutsertaan Lansia di Desa Situ Udik
yang mayoritas memiliki frekuensi yang tinggi dalam rapat-rapat formal, pada Tabel 36.
Tabel 36 memberikan informasi bahwa rata-rata responden Lansia rata-rata
mengikuti rapat formal desa lebih dari dua kali. Ditunjukkan lebih dari 60 persen
responden pernah mengikuti rapat formal desa dalam satu tahun terakhir ini.
Tabel 36. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
Frekuensi keikutsertaan dalam rapat formal desa Jumlah Persentase 1-2 kali 10 38,46 Lebih dari dua kali 16 61,54 Total 26 100,0
Berdasarkan keterangan dari Bapak Lam (61 tahun) yang merupakan ketua RW
09, biasanya jika kantor desa hendak menyelenggarakan suatu rapat formal, undangan
disampaikan baik secara tertulis (undangan resmi) maupun secara informal. Undangan
rapat secara formal biasanya untuk kegiatan-kegiatan yang dihadiri oleh para pemuka
desa seperti tokoh pemuda, ketua kelompok tani, maupun pamong desa. Undangan rapat
yang disampaikan secara informal, biasanya untuk menggalang kehadiran warga untuk
suatu kegiatan. Undangan ini disampaikan melalui ketua RW, RT atau ketua kampung
untuk kemudian disampaikan kepada seluruh warga masyarakat. Pamong desa (pegawai
administrasi desa) bertugas menyampaikannya kepada jajaran pemimpin wilayah
dibawah desa.
Proses pencapaian keputusan dalam penelitian ini adalah dengan
mempertimbangkan tiga aspek yaitu perencanaan, pengambilan keputusan serta
pelaksanaan. Perencanaan merupakan suatu proses permulaan atau prakarsa dimana
dirumuskan usulan-usulan dari masyarakat untuk menyusun rencana pelaksanaan
program/proyek maupun kegiatan pembangunan desa juga berhubungan dengan
kehendak untuk melaksanakannya. Perencanaan ini juga menunjukkan apakah
program/proyek maupun kegiatan ini merupakan keperluan, kebutuhan serta keinginan
dari semua pendudukdesa atau hanya merupakan tekanan dari suatu golongan untuk
memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Pengambilan keputusan mencakup baik pertimbangan persiapan sebelum rapat
dan pertimbangan yang muncul saat rapat. Pelaksanaan berarti semua kegiatan yang
diarahkan kepada realisasi apa yang telah dirumuskan dalam perencanaan serta yang
dalam pengambilan keputusan. Pelaksanaan mencakup pengkomunikasiannya dalam
bentuk sosialisasi maupun penyuluhan serta penjelasan prosedur proyek/program
pembagunan serta kegiatan kemasyarakatan, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 37.
Tabel 37. Jumlah dan persentase responden berdasarkan bentuk-bentuk rapat formal yang pernah diikuti
Bentuk-bentuk rapat formal Jumlah Persentase Sosialisasi/penyuluhan program/proyek/kegiatan 14 53,84 Penyusunan atau perencanaan 6 23,08 Pengambilan Keputusan/Mengikuti semua 6 23,08 Total 26 100,0
Tabel 37 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden hanya mengikuti
rapat formal desa berupa sosialisasi proyek/program/kegiatan guna pelaksanaannya.
Hanya enam orang atau 23 persen yang mengikuti penyusunan/perencanaan
kegiatan/proyek/program maupun pengambilan keputusan. Artinya bentuk keikutsertaan
dari responden Lansia ini mayoritas hanyalah mobilisasi dari para pemuka atau
pemimpinnya. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa meski Lansia ini memiliki akses
terhadap rapat-rapat formal desa namun mereka hampir tidak memiliki kontrol dalam
rapat formal yang diselenggarakan dalam satu tahun terakhir ini.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan salah
seorang pamong desa, Bapak Mi (35 Tahun), biasanya suatu usulan diajukan oleh
kepala desa, pemimpin formal atau informal lainnya, ataupun kepala rumah tangga lain
yang ada di desa. Begitu pula dengan pertimbangan atau pengambilan keputusan hanya
terjadi antara pemimpin formal (kepala desa, ketua BPD, ketua PKK serta kepala/ketua
lembaga formal desa) dan pemimpin informal desa (tokoh masyarakat yang terdiri dari
ketua kampung, tokoh pemuda, tokoh agama) yang kemudian memainkan peran penting
dalam proses pelaksanaannya. Namun, yang paling sering dilakukan adalah
perencanaan dilakukan seluruhnya secara terperinci oleh administrasi desa, baru
dirapatkan untuk pengambilan keputusan. Hasil tersebut kemudian diintruksikan ke
administrasi desa pada tingkat yang lebih rendah (ketua RW dan RT) dan
disosialisasikan kepada seluruh warga Desa Situ Udik. Informasi dari Bapak Mi (35
tahun) serta data dari Tabel 37 mengenai peran dalam penyelenggaraan rapat formal
desa diperkuat dalam Tabel 38.
Tabel 38. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peranan dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
Peranan dalam Rapat Formal Jumlah Persentase Peserta/Anggota Rapat 16 61,54 Ikut memberikan usulan/informasi, mengajukan pendapat 5 19,23 Pengambil keputusan 5 19,23 Total 26 100,0
Informasi dari Tabel 38 menunjukkan bahwa sebagian besar responden peranan
dalam rapat desa yang pernah diikuti hanya sebagai peserta maupun anggota rapat saja.
Hal ini terkait dengan bentuk rapat desa yang diikuti berupa sosialisasi proyek/program
serta kegiatan. Hanya lima orang atau 19 persen yang berperan sebagai pengambil
keputusan maupun memberikan pendapat, saran serta usulan dalam perencanaan. Data
yang diperoleh juga menunjukkan hanya dua orang responden perempuan yang pernah
memberikan usul atau mengajukan pendapatnya. Selain itu, tidak ada seorangpun dari
responden perempuan yang pernah ikut dalam pengambilan keputusan dari rapat-rapat
formal yang diselenggarakan.
Kepala Desa Situ Udik juga mengemukakan, dalam rapat penetapan ADRT,
hanya ketua (Ibu Ken, 58 tahun) atau pengurus PKK saja yang diikutsertakan. Hal
tersebut menunjukkan perempuan khususnya Lansia tidak memiliki kontrol, meskipun
memiliki kontrol namun terbatas dalam proses pengambilan keputusan lewat rapat
formal desa. Selain itu dikemukakan oleh Bapak Mif selaku Kepala Desa bahwa hal
yang disampaikan oleh perwakilan perempuan dalam rapat ADRT biasanya berkenaan
dengan kegiatan-kegiatan sosial, keluarga maupun pendidikan.
Tingkat partisipasi Lansia dalam rapat formal desa dalam penelitian ini
diidentifikasi melalui skoring dari keikutsertaan, frekuensi, bentuk-bentuk rapat serta
peranan yang ditampilkan dalam rapat tersebut. Berdasarkan data pada tabel 36, 37 dan
38 telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini adalah tingkat partisipasi
responden Lansia dalam rapat formal desa.
Tabel 39. Tingkat partisipasi responden dalam rapat formal Desa Situ Udik, tahun 2006
Tingkat partisipasi dalam rapat formal desa Jumlah Persentase Rendah 14 35,0 Sedang 16 40,0 Tinggi 10 25,0 Total 40 100,0
Tabel 39 menunjukkan bahwa 40 persen responden Lansia memiliki tingkat
partisipasi yang sedang, artinya responden pada tingkat partisipasi ini pernah mengikuti
rapat formal desa, bentuk rapat desa yang diikuti berupa sosialisasi atau penyuluhan
program/proyek/kegiatan pembangunan atau kemasyarakatan, bisa juga mengikuti
perencanaan atau penyusunan namun perannya hanya sebagai peserta atau anggota rapat
saja. Sisanya, 35 persen responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam rapat
formal desa, artinya tidak pernah sama sekali mengikuti rapat formal desa. Responden
dengan tingkat partisipasi yang tinggi hanya sebesar 25 persen saja. Responden pada
tingkat ini mengikuti rapat formal desa dengan frekuensi lebih dari dua kali, terlibat
dalam hampir keseluruhan tahapan proses pengambilan keputusan serta menampilkan
peranan yang penting dalam proses tersebut.
7.2 Partisipasi Lansia dalam Dewan Desa
Dewan desa dalam penelitian ini mencakup pemimpin-pemimpin di Desa Situ
Udik. Hofsteede (1990) mengidentifikasikan pemimpin sebagai orang yang memberikan
pengaruh pada lingkungannya. Terdapat tiga kategori tokoh yang merupakan pemimpin
di Desa Situ Udik, yakni tokoh formal, tokoh informal, dan tokoh kader. Tokoh formal
adalah tokoh pemerintahan desa, seperti kepala desa, para pamong desa, kepala dusun,
ketua lembaga formal yang ada di desa seperti BPD, LPM, Hansip serta para ketua RT
dan RW. Sementara tokoh informal terdiri dari para pemimpin desa diberbagai bidang
kehidupan, tetapi tidak mempunyai jabatan resmi.
Kepemimpinan informal terlihat dalam kegiatan-kegiatan seperti perayaan hari
nasional dan keagamaan, pelaksanaan proyek desa, musyawarah desa, serta berbagai
upacara adat di lingkungan desa. Mereka adalah petani kaya, petani menengah, petani
miskin yang tergabung dalam suatu kelompok maupun perkumpulan petani, lebe,
ustadz, kyai, pegawai, bekas pamong desa, guru, pensiunan, veteran, orang desa yang
lama migran sehingga dianggap punya banyak pengalaman, pedagang, bidan, perawat,
istri pejabat, pengurus organisasi wanita, maupun tokoh pemuda yang mempunyai
pengaruh.
Tokoh kader merupakan penduduk desa yang dibina oleh Dinas/Instansi tertentu
dalam implementasi program pembangunan. Tokoh kader yang saat ini terdapat di Desa
Situ Udik diantaranya kader PKK, Posyandu, serta KB. Kebanyakan tokoh kader ini
adalah perempuan, karena kader ini dikhususkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.
Kader-kader partai politik di Desa Situ Udik biasanya merupakan tokoh masyarakat
baik formal maupun informal. Tokoh dari kader partai politik ini baru memiliki peranan
dalam kelembagaan politik di Desa Situ Udik saat era reformasi. Hal ini mengingat pada
era orde baru tokoh-tokoh partai politik tidak begitu berfungsi karena usaha-usaha
golkarisasi.
Pergeseran yang ada di masyarakat Desa Situ Udik adalah pemimpin formal saat
ini merupakan orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi, dan berusia muda
(dibawah 50 tahun). Jumlah dan persentase responden yang pernah atau saat ini
tergabung dalam dewan desa dapat dilihat lebih dari tiga per empat responden tidak
pernah tergabung dalam dewan desa, dan hanya sembilan orang atau 22,5 persen yang
pernah atau saat ini menjadi dewan desa. Hal ini dapat menunjukkan kecenderungan
bahwa perekrutan maupun akses terhadap posisi penting di kelembagaan politik desa
bagi para responden Lansia ini terbatas. Terdapat pula kecenderungan mulai tergeser
posisinya dalam dewan desa diperkuat dari data Tabel 40.
Tabel 40. Jumlah dan persentase responden berdasarkan posisi yang ditempati dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
Posisi di Dewan Desa Jumlah Persentase Tidak pernah menjadi dewan desa 31 77,5 Kader, tokoh informal, ketua RT/RW 8 20,0 Kepala desa, kepala dusun, BPD, pamong desa 1 2,5 Total 40 100,0
Tabel 40 menunjukkan bahwa lebih dari tiga per empat responden tidak pernah
menempati posisi-posisi penting dalam kelembagaan politik yang ada di Desa Situ
Udik. Hanya satu orang saja yang menempati posisi kepala dusun yakni Bapak Ud (65
tahun). Artinya para Lansia di Desa Situ Udik dalam struktur pemerintahan desa hanya
menempati tingkatan administrasi yang rendah. Tabel 40 memperkuat gambaran bahwa
kebanyakan responden yang menjadi dewan desa merupakan tokoh infomal, kader
partai politik serta ketua RT/RW. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pamong
desa, Bapak Man (34 tahun), saat ini Lansia yang menempati posisi formal di
pemerintahan Desa Situ Udik hanya lima orang. Hal ini disebabkan juga adanya
kebijakan yang menjadi prasyarat jika hendak menempati posisi-posisi formal desa
haruslah berusia maksimal 60 tahun dan berpendidikan minimum tamatan SD. Hal ini
jika melalui proses pemilihan oleh masyarakat namun jika melalui proses penunjukkan
tidak ada batasan mengenai usia maupun pendidikan. Sehingga kebanyakan Lansia
tergabung atau menjadi dewan desa melalui proses penunjukkan dari kepala desa,
ditunjukkan pada Tabel 41.
Tabel 41. Jumlah dan persentase responden yang menjadi dewan desa berdasarkan proses penempatan posisi dalam Kelembagaan Politik Desa Situ Udik
Proses penempatan Jumlah Persentase Ditunjuk oleh kepala desa 4 44,44 Ditunjuk dan dipilih oleh tokoh masyarakat 4 44,44
Dipilih oleh masyarakat 1 11,11 Total 9 100,0
Tabel 41 menunjukkan bahwa Lansia menjadi dewan desa lebih banyak melalui
proses penunjukkan dibandingkan melalui proses pemilihan. Disimpulkan bahwa
kepemimpinan di Desa Situ Udik merupakan kepemimpinan para elit. Kepala desa yang
menjabat sekarang memiliki hubungan kekerabatan dengan ketua BPD saat itu yang
merupakan tokoh paling berpengaruh di Desa Situ Udik, Alm. KH. Aib.
Tingkat partisipasi dalam dewan desa dapat diidentifikasi berdasarkan skoring
dari keikutsertaan, posisi atau jabatannya serta proses penempatannya dalam dewan
desa. Hasil skoring ini kemudian membagi responden menjadi responden dengan
tingkat partisipasi yang tinggi dan rendah dalam dewan desa. Berdasarkan data pada
Tabel 40 dan Tabel 41 yang telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini adalah
tingkat partisipasi responden Lansia dalam dewan desa.
Tabel 42. Tingkat partisipasi Lansia dalam dewan Desa Situ Udik, tahun 2006
Tingkat partisipasi dalam dewan desa Jumlah Persentase Rendah 31 77,5 Tinggi 9 22,5 Total 40 100,0
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tabel 42 lebih dari 77 persen
responden Lansia memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam dewan desa. Artinya
lebih dari tiga per empat responden ini tidak pernah terlibat menjadi dewan desa. Hanya
terdapat sembilan orang dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam dewan desa. Pada
tingkat partisipasi yang tinggi dalam dewan desa, responden pernah menjadi
kader/pamong desa/kepengurusan RT/RW baik ditunjuk, dipilih masyarakat maupun
inisiatif pribadi serta pernah menjadi kepala desa, dan anggota BPD baik ditunjuk,
inisiatif pribadi maupun dipilih oleh masyarakat.
Berdasarkan data yang telah dikemukakan dalam Tabel 42 yang berkenaan
dengan partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa menunjukkan bahwa dasar
kehidupan komunitas desa setempat masih ditopang dengan kokoh oleh bentuk-bentuk
pengelompokan sosial yang menjalin warganya saling kenal mengenal yaitu ikatan
kekerabatan.
Sistem kekerabatan membentuk suatu solidaritas sosial antar kekerabatan yang
terbina erat dalam siklus kehidupan masyarakat. Faktor pengutamaan kerabat dekat
untuk mengisi peluang, disusul kemudian dari kerabat luas dan baru kepada orang lain
jika masih ada sisa peluang. Bapak Lam (61 tahun) misalnya, menjadi ketua RK karena
merupakan salah satu kerabat dekat dari dengan kepala desa sebelumnya. Begitu pula
dengan anaknya yang menjadi anggota BPD, Bapak Tao (48 tahun).
Faktor pengutamaan kaum kerabat dekat untuk mengisi peluang, disusul
kemudian dari kerabat luas baru kemudian kepada orang lain jika masih ada sisa
peluang. Hubungan ini kian menyentuh ke dimensi politik khususnya kekuasaan lokal.
Lansia yang merupakan pemuka masyarakat memiliki andil dalam ’penurunan’
kekuasaan pada kerabat dekat ini.
7.3 Partisipasi Lansia dalam Musyawarah Desa
Pola-pola demokrasi tradisional yang dilambangkan oleh musyawarah dalam
pencapaian atau pengambilan keputusan dan gotong royong dalam pelaksanaan
keputusan tersebut merupakan dasar dari sistem sosial ekonomi serta politik di pedesaan
(Prijono, 1983). Musyawarah inilah yang menjadi dasar pembangunan desa.
Musyawarah dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai pertemuan secara informal di
tingkat RT/RT atau kampung.
Hal ini karena di Desa Situ Udik, musyawarah di tingkat RT, RW maupun
kampung inilah yang kemudian menjadi dasar pengambilan keputusan politik di tingkat
desa. Namun, tidak selalu pengambilan keputusan politik di tingkat desa menjadi dasar
pengambilan keputusan di tingkat kampung. Secara umum, hal ini dapat dilihat dari
keikutsertaan responden dalam musyawarah di tingkat RT/RW maupun kampung
memberikan gambaran hampir seluruh responden yakni 80 persen pernah mengikuti
musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung. Hanya terdapat delapan orang atau 20
persen saja yang menyatakan tidak pernah mengikuti musyawarah yang pernah
diselenggarakan di tingkat RT/RW atau kampung. Besarnya persentase ini karena
musyawarah biasanya diselenggarakan setelah pengajian. Pengajian merupakan
kelembagaan yang paling sering diakses oleh Lansia. Sehingga keikutsertaan responden
dalam musyawarah pun tinggi. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi dari keikusertaan
dalam musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung dalan Tabel 43
Tabel 43. Jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi keikutsertaan dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
Frekuensi Keikutsertaan Jumlah Persentase Tidak pernah 8 20 1-2 kali 2 5,0 Lebih dari dua kali 30 75,0 Total 40 100,0
Tabel 43 menunjukkan bahwa tiga per empat responden memiliki frekuensi
kehadiran dalam musyawarah di tingkat RT/RW atau kampung lebih dari dua kali.
Keikutsertaan ini dapat juga menunjukkan frekuensi responden dalam menghadiri
pengajian. Hanya dua orang saja yang frekuensi kehadirannya dalam musyawarah
sebanyak 1-2 kali. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara, kedua orang
tersebut rendah frekuensi kehadirannya dikarenakan kondisi fisiknya yang melemah.
Namun, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah aspek dari musyawarah yang
dilakukan, karena ini akan menunjukkan sejauhmana akses serta kontrol Lansia dalam
musyawarah tersebut.
Aspek-aspek dari musyawarah diantaranya berkenaan dengan kegiatan
keagamaan, perencanaan kegiatan dan gotong royong pembangunan infrastruktur
kampung, penyelesaian konflik, pemilihan ketua RT/RW atau kampungserta pengaturan
pemanfaatan sumberdaya/fasilitas umum. Tabel 44 menunjukkan aspek dari
musyawarah yang diselenggarakan.
Tabel 44 memberikan informasi bahwa responden Lansia lebih akses dalam
musyawarah-musyawarah yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal
ini ditunjukkan 33 responden menyatakan ikutserta dalam musyawarah yang membahas
tentang kegiatan keagamaan, maupun persoalan-persoalan yang berkenaan dengan
keagamaan, misal tentang hukum penggunaan alat kontrasepsi serta siapa yang berhak
mendapatkan BLT BBM jika didasarkan pada aturan siapa yang berhak menerima
zakat, musyawarah penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan.
Tabel 44. Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek (jenis) musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
Bentuk-bentuk musyawarah Jumlah Persentase
Kegiatan keagamaan 33 34,4
Perencanaan kegaiatan kemasyarakatan/pembangunan 28 29,2 Penyelesaian masalah/konflik 10 10,4
Pemilihan/penunjukkan calon/ketua RT/RW 12 12,5
Pengaturan pemanfaatan SDA atau fasilitas umum serta norma-norma
13 13,5
Lansia perempuan memiliki akses yang tinggi dalam musyawarah yang berkenaan
dengan kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Akses yang terbatas bahkan
tertutup bagi perempuan Lansia untuk musyawarah yang berkenaan dengan
pendistribusian kekuasaan dalam pemilihan pemimpin atau pengalokasian sumberdaya
alam dan fasilitas publik. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara, Bapak
Lam (61 tahun), mengatakan bahwa untuk musyawarah yang berkenaan dengan
penyelesaian konflik atau pemilihan ketua RT/RW atau kampung, perempuan sudah
‘diwakili’ oleh kehadiran suami-suami mereka.
“Perempuan mah kalo untuk urusan milih RT/RW diwakili saja lewat suaminya, nanti juga kalo dirumah dikasih tau hasil rapatnya jadi buat apa harus ikutan dateng juga”, (Bapak Lam, 61 tahun).
Informasi tersebut juga menunjukkan bahwa keikutsertaan responden Lansia
dalam musyawarah di RT/RW atau kampung diselenggarakan oleh para tokoh
masyarakatnya. Tokoh yang merupakan pemimpin di tingkat kampung ini secara moral
mereka diharuskan memelihara kerukunan dengan orang lain dan norma bagi pemimpin
adalah menjaga pengikutnya. Oleh karena itu cara-cara pencapaian tujuan di masyarakat
masih bergantung pada pemimpinnya. Hal ini ditunjukkan bahwa musyawarah
diprakarsai oleh para tokohnya.
Masyarakat Desa Situ Udik membedakan jenis pertemuan-pertemuan dalam
kelembagaan politik desa khususnya terkait dengan fungsi pengambilan keputusan.
Rapat dipandang sebagai sesuatu yang formal sedangkan musyawarah merupakan ajang
informal dalam proses pengambilan politik. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Uj (60
tahun) sebagai berikut:
“ Rapat itu asal katanya dari kata rapet, jadi cuma sedikit orang aja yang bisa ikutan. Biasanya untuk yang lebih resmi-resmian. Jadi, sebenernya keputusan udah dibuat duluan tapi biar lebih kuat putusannya diadain rapat. Kalo musyawarah itu semua warga duduk bareng untuk bicara, tuker pendapat untuk mecahin masalah bersama juga.”
Tingkat partisipasi dalam musyawarah dapat diidentifikasi berdasarkan skoring
dari keikutsertaan, frekuensi keikutsertaan, serta peran sebagai pemrakarsa. Hasil
skoring ini kemudian membagi responden menjadi responden dengan tingkat partisipasi
yang rendah, sedang dan tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 43 dan 44 yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini adalah tingkat partisipasi responden Lansia
dalam musyawarah.
Tabel 45. Tingkat partisipasi responden dalam musyawarah Desa Situ Udik, tahun 2006
Tingkat partisipasi Jumlah Persentase Rendah 7 17,5 Sedang 27 67,5 Tinggi 6 15,0 Total 40 100,0
Tabel 45 menunjukkan bahwa 67,5 persen responden Lansia memiliki tingkat
partisipasi yang sedang, artinya responden pada tingkat partisipasi ini pernah mengikuti
musyawarah desa, dengan frekuensi lebih dari dua kali tetapi tidak pernah menjadi
pemrakarsa diadakan musyawarah. Sisanya, 17,5 persen responden memiliki tingkat
partisipasi yang rendah dalam musyawarah desa, artinya tidak pernah sama sekali
mengikuti rapat formal desa. Sedangkan responden dengan tingkat partisipasi yang
tinggi hanya sebesar 15 persen saja. Responden pada tingkat ini mengikuti musyawarah
desa dengan frekuensi lebih dari dua kali, terlibat dalam hampir keseluruhan tahapan
proses pengambilan keputusan serta pernah menampilkan peranan menjadi pemrakarsa
diadakan musyawarah.
Pengambilan keputusan dengan pemakrasa elit memiliki kecenderungan masih
adanya manipulasi aspirasi masyarakat dengan kepentingan kelompok elit desa.
Sehingga nasib rakyat menjadi tergantung pada jasa baik mereka. Selain itu hubungan
kekuasaan dalam musyawarah sebagai suatu ajang penyaluran aspirasi politik
masyarakat adalah hubungan yang paternalisasi. Meskipun Lansia khususnya Lansia
laki- laki dari golongan masyarakat kebanyakan akses terhadap musyawarah yang
diselenggarakan dalam suatu ajang penggajian bapak-bapak ini mereka tidak memiliki
kontrol. Kalaupun memiliki kontrol, masih sangat terbatas.
Elit desa yang umumnya golongan kaya dianggap menempati posisi yang ’luhur’
atau tinggi sehingga penghormatan harus selalu diberikan dan sulit untuk bisa
melangkahi atau mengabaikan hal tersebut. Keikutsertaan dalam organisasi sosial sering
didasari kedekatan seseorang yang telah terjalin erat sebelumnya di luar organisasi
formal maupun lembaga formal yang ada di desa, misal kekerabatan atau ketetanggaan.
BAB VIII
PARTISIPASI LANSIA DALAM KELEMBAGAAN POLITIK DESA DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
8.1 Faktor Sosial Ekonomi dan Nilai Budaya Masyarakat desa
Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk
menunjukkan kondisi sosial ekonomi responden Lansia antara lain adalah besar
pendapatan yang digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan kondisi ekonomi
Lansia. Indikator pendidikan dan pengalaman berorganisasi digunakan untuk
menggambarkan kondisi sosial responden Lansia.
Berikut ini adalah keterhubungan karakteristik sosial ekonomi responden Lansia
dengan nilai-nilai dalam budaya masyarakat desa dalam aspek kehidupan berpolitik
dengan menggunakan variabel sikap terhadap politik, persepsi terhadap pemimpin dan
kepercayaan terhadap kinerja kelembagaan politik desa sebagai indikator. Variabel nilai
budaya ini merupakan variabel antara dalam menganalisis keterhubungan status sosial
ekonomi dengan partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Dimana kemudian
digunakan variabel faktor politik dengan indikatornya adalah keikutsertaan dalam
Pemilu 2004 dan keterdedahan terhadap berita politik di media massa sebagai variabel
kontrol.
Hal ini dilakukan untuk memperjelas hubungan antar variabel pokok, sebab pada
dasarnya fenomena sosial dipengaruhi oleh serangkaian sebab akibat. Sehingga pada
akhirnya diharapkan hubungan yang semula nampak antara kedua variabel pokok dapat
menjadi lebih kuat, atau lebih lemah atau bahkan tidak terdapat hubungan sama sekali.
8.1.1 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan Partisipasi Lansia Dalam
Kelembagaan Politik Desa
Hubungan antara faktor sosial ekonomi Lansia dengan nilai budaya masyarakat
desa dapat dianalisis dengan uji Spearman, karena tingkat pendapatan, tingkat
pendidikan serta tingkat pengalaman berorganisasi dikategorikan menjadi suatu
tingkatan atau ranking tertentu (tinggi, sedang, dan rendah) merupakan data dengan
skala ordinal. Demikian juga dengan variabel-variabel dari nilai budaya masyarakat
desa yang termasuk data ordinal. Variabel sikap terhadap politik dikategorikan menjadi
sikap positif, netral dan negatif. Variabel kepercayaan terhadap kinerja perangkat desa
dalam lembaga politik desa dikategorikan menjadi percaya dan tidak percaya. Variabel
persepsi terhadap pemimpin dikategorikan menjadi persepsi positif dan negatif. Analisis
data dari hasil uji statistik Spearman disajikan dalam Tabel 46.
Tabel 46. Hubungan faktor sosial ekonomi dengan faktor nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik tahun 2006
Signifikasi Hubungan Nilai Budaya Masyarakat
Sikap terhadap politik Kepercayaan terhadap kinerja lembaga politik desa
Persepsi terhadap pemimpin
Tingkat Pendapatan
Koefisien Korelasi -0,135 -0,461 -0,028
Probabilitas 0,406 0,003(**) 0,864
Keputusan Tidak terdapat hubungan Ada hubungan Tidak terdapat hubungan
Tingkat Pendidikan
Koefisien Korelasi
-0,463(**) -0,101 -0,072
Probabilitas 0,003 0,534 0,661
Keputusan Ada Hubungan Tidak terdapat hubungan Tidak terdapat hubungan
Tingkat Pengalaman Berorganisasi
Koefisien Korelasi -0,573(**) -0,188 -0,003
Probabilitas 0,000 0,246 0,986
Keputusan Ada hubungan Tidak terdapat hubungan Tidak terdapat hubungan
Berdasarkan Tabel 46 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara tingkat
pendapatan dengan tingkat kepercayaan responden terhadap kinerja perangkat desa
dalam lembaga politik desa. Demikian juga terdapat korelasi antara tingkat pendidikan
serta tingkat tingkat pengalaman berorganisasi dengan sikap responden terhadap politik.
Hal ini ditunjukkan dari nilai probabilitas yang lebih kecil dari taraf nyata yang
ditetapkan yaitu α = 0.10, berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kedua
variabel tersebut. Namun, tidak terdapat hubungan antara variabel faktor sosial ekonomi
dengan persepsi responden terhadap pemimpin yang daam hal ini menyangkut kriteria
terhadap pemimpinnya. Ketiadaan korelasi juga nampak pada hubungan antara tingkat
pendapatan dengan sikap responden terhadap politik maupun tingkat pendidikan dan
tingkat pengalaman berorganisasi dengan tingkat kepercayaan terhadap kinerja
perangkat desa dalam lembaga politik desa.
Analisis terhadap tanda dari koefisien yang ditunjukkan dalam Tabel 46 yakni
semua angka koefisien korelasi bertanda negatif. Tanda ini menunjukkan adanya
hubungan yang berlawanan arah antar variabel, atau dengan kata lain semakin tinggi
status sosial ekonomi seorang responden maka akan semakin rendah tingkat
keterpengaruhannya terhadap nilai-nilai budaya masyarakat desa dalam kehidupan
berpolitik. Artinya responden dengan tingkat pendapatan, pendidikan serta pengalaman
berorganisasi yang tinggi memiliki kecenderungan bersikap lebih negatif terhadap
politik, memiliki ketidakpercayaan terhadap kinerja perangkat desa, serta lebih
cenderung berpersepsi negatif terhadap pemimpinnya.
Analisis terhadap hasil uji statistik tersebut memberikan penguatan bahwa status
sosial ekonomi menentukan keseluruhan hidup seseorang karena akan cenderung untuk
meniru nilai-nilai, norma-norma serta perilaku sosial yang menjadi subkultur
berdasarkan posisinya dalam masyarakat. Posisi yang rendah dalam ekonomi
menyebabkan seseorang lebih memiliki keikutsertaan yang minim dalam perkumpulan
dan hubungan sosialnya. Kesibukan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi, disertai
rendahnya pendidikan membentuk mereka untuk lebih menarik diri dari kehidupan
berpolitik. Hal ini kemudian menjadikan beberapa responden menunjukkan sikap yang
apathi terhadap politik. Salah satunya terlihat bahwa mereka cenderung merasa bahwa
politik bukanlah urusan ‘orang kecil’, meski mereka memiliki ketidakpuasan terhadap
kinerja perangkat desa.
Hal ini menjadikan penggolongan status sosial dan kesenjangan yang terjadi
karenanya menjadi sesuatu gejala yang tidak dapat dihindari. Masyarakat pada dasarnya
tersusun atas pelbagai pekerjaan yang membutuhkan suatu alokasi peranan dan
kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lebih memberi jaminan bagi terisinya
jabatan-jabatan pentig oleh orang-orang yang cakap. Pekerjaan atas jabatan penting
tersebut, dalam hal ini untuk pengaturan masyarakat dalam kelembagaan politik desa,
diberikan imbalan yang lebih tinggi karena alasan tingginya tingkat kesulitan dan
kepentingannya, sehingga memerlukan bakat dan pendidikan yang lebih tinggi pula
(Moore dalam Horton dan Hunt, 1999).
Cara pandang tersebutlah menjadi dasar atas penempatan seorang kyai maupun
elite politik Lansia melalui peranan yang sentral dalam politik desa. Kyai memenuhi
kriteria masyarakat baik dari bakat serta pendidikan yang tinggi dalam ilmu agama
Islam untuk mengatur masyarakat desa menjadi suatu masyarakat yang lebih harmonis.
Selaras dengan ajaran dan nilai dalam Islam dan menjadi tauladan masyarakat.
8.1.2 Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Faktor Politik dan Nilai Budaya Masyarakat Desa
Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan
suatu produk akhir. Partisipasi dalam Pemilu 2004 dan keterdedahan terhadap berita
politik dalam media massa mencerminkan bentuk komunikasi, pengetahuan serta
kesadaran terhadap politik yang akan memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai, norma-
norma dalam budaya politik masyarakat desa. Jika dilakukan kontrol terhadap
keterhubungan antara faktor sosial ekonomi dengan nilai budaya masyarakat desa, hasil
uji korelasi parsial menunjukkan suatu pergeseran (lihat Tabel 47).
Tabel 47. Hubungan antara faktor sosial ekonomi, faktor politik dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
Nilai budaya masyarakat desa
Sikap terhadap politik
Kepercayaan terhadap kinerja
lembaga politik desa
Persepsi terhadap pemimpin
Tingkat pendapatan Tingkat partisipasi dalam pemilu 2004
-0,361 -0,194 -0,128
Tingkat keterdedahan terhadap berita politik di media massa
-0,342 -0,147 -,027
Tingkat pendidikan Tingkat partisipasi dalam pemilu 2004 -0,270 -0,198 -0,297
Tingkat keterdedahan terhadap berita politik di media massa
-0,230 -0,119 -0,121
Tingkat pengalaman berorganisasi
Tingkat partisipasi dalam pemilu 2004
-0,455 -0,246 -0,126
Tingkat keterdedahan terhadap berita politik di media massa
-0,367 -0,196 0,012
Jika koefisien korelasi pada Tabel 47 dibandingkan dengan koefisien dalam
tabel yang menunjukkan signifikasi hubungan tanpa pengaruh dari faktor politik maka
terlihat bahwa derajat keterhubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap terhadap
politik serta memiliki kekuatan hubungan yang lebih menguat. Namun, justru kekuatan
hubungan antara tingkat pendapatan dengan kepercayaan terhadap kinerja perangkat
desa dalam lembaga politik desa menjadi lebih lemah bahkan menjadi suatu hubungan
yang dapat diabaikan.
Pengaruh dari kedua variabel dari faktor politik ini semakin nampak pada
keterhubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman berorganisasi dengan
nilai budaya yang ada pada masyarakat Desa Situ Udik. Kekuatan hubungan antara
variabel pokok menjadi lebih lemah, jika dibandingkan dengan hasil nilai koefisien
korelasi tanpa pengaruh dari variabel faktor politik sebagai variabel kontrol. Derajat
hubungan tersebut melemah menjadi suatu kekuatan hubungan pada tingkat yang lebih
rendah atau bahkan menjadi hubungan yang dapat diabaikan atau hilang pengaruhnya.
Ketersentuhan yang meningkat terhadap media massa dari para Lansia di Desa
Situ Udik menjadikan mereka lebih ‘melek’ terhadap politik. Reformasi pada struktur
pemerintahan memberikan ‘hawa yang lebih segar’ terhadap kehidupan berpolitik
masyarakat desa. Kebijakan politik yang banyak berubah disertai dengan berkurangnya
tekanan dari pemegang kekuasaan terhadap masyarakat. Akses bagi masyarakat
kebanyakan dibuka lebar dengan harapan mampu memberikan kontrol terhadap
dijalankannya kekuasaan dan berdasarkan keabsahannya. Minat terhadap politik pun
semakin meningkat. Hal ini kemudian ditunjukkan dengan menangnya partai-partai
yang lebih progresif dalam Pemilu 2004 yang mampu menggeser pengaruh golkarisasi
di masa orde baru.
Keprogresifan ini tidak terlepas dari figur seorang tokoh masyarakat terutama
tokoh agama masih kuat. Hal ini terlihat dari kepatuhan warga atas apa yang diucapkan
oleh para pemuka agama, khususnya kyai. Kyai merupakan sumberdaya yang cukup
langka sebab perlu pemahaman agama yang baik serta sikap yang dapat menjadi suri
tauladan bagi mayarakatnya. Seorang guru agama akan menempati posisi yang
terhormat dan memperoleh hak-hak istimewa dari masyarakat. Dana perelek misalnya
sebagian besar dialokasikan sebagai ‘bayaran’ untuk para ustadz. Kapasitas seorang
kyai juga menjadi kontrol sosial dalam masyarakat melalui teguran-teguran atau sanksi
moral yang diberikan pada kasus-kasus yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat
desa. Dominannya peran Kyai sebagai orientasi keseharian masyarakat Desa Situ Udik
dapat dilihat dari keberadaannya yang dianggap sangat penting dalam mengambil segala
keputusan, termasuk keputusan politik.
Kahmad (2000) mengemukakan bagi masyarakat berkembang, agama selalu
menjadi komoditas politikuntuk menarik massa dan sumber isu- isu untuk menarik
simpati dan suara politik. Setiap partai politik kerap mendekati pemimpin kelompok
agama tertentu untuk menarik simpati anggotanya demi meraih dukungan dalam
pemilihan umum.
8.1.3 Hubungan Antara Faktor Sosial Ekonomi, Jenis Kelamin dan Nilai Budaya Masyarakat Desa
Situasi sosial yang ada yakni budaya, struktur sosial dan tentunya menyangkut
tentang interaksi sosial serta relasi gender. Jika dikaitkan dalam kehidupan politik di
desa, peran serta posisi perempuan selalu terpinggirkan. Konstruksi sosial menyebabkan
politik seolah-olah hanya urusan laki- laki, yang diperbolehakan mengurusi sektor publik
semata, sementara sektor domestik tidak memiliki korelasi sama sekali. Usaha untuk
melihat hal tersebut dilakukan dengan melakukan uji analisis dengan uji korelasi
kontingensi guna melihat keterkaitan tersebut dengan memasukkan variabel jenis
kelamin sebagai suatu variabel yang mempengaruhi. Keputusan analisis terhadap uji
statistik ditunjukkan pada Tabel 48.
Tabel 48. Keputusan uji statistik kotingensi hubungan antara faktor sosial ekonomi, jenis kelamin dan nilai budaya masyarakat Desa Situ Udik, tahun 2006
Nilai budaya masyarakat desa
Sikap terhadap politik
Kepercayaan terhadap kinerja
lembaga politik desa
Persepsi terhadap pemimpin
Tingkat pendapatan
Perempuan Ada hubungan Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Laki-laki Ada hubungan Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Tingkat pendidikan
Perempuan Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Laki-laki Ada hubungan Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Tingkat pengalaman
berorganisasi
Perempuan Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Laki-laki Ada hubungan Tidak terdapat hubungan
Tidak terdapat hubungan
Keputusan hasil uji statistik yang ditunjukkan dalam Tabel 48 nampak bahwa
signifikasi hubungan hanya nampak pada responden laki- laki. Signifikasi hubungan
hanya nampak bagi responden perempuan jika ditinjau berdasar tingkat pendapatan.
Hasil statistik ini menunjukkan betapa mapannya budaya patriarki dalam kehidupan
politik masyarakat Desa Situ Udik. Laki- laki dipandang lebih bisa untuk menjadi
pemimpin dibandingkan perempuan, karena menurut pandangan mereka kaum pria
mempunyai figur yang lebih kuat untuk bisa dijadikan seorang pemimpin dalam
membimbing kaum wanita dan anak-anak di kesehariannya.
Nilai agama diterapkan dengan pengaruh besar dari konstruksi sosial yang ada
bahwa kaum pria lebih kuat dibandingkan kaum wanita, kemudian lebih memberikan
ruang yang lebih besar bagi laki- laki khususnya Lansia dalam kelembagaan politik desa.
Kebiasaan laki- laki yang lebih sering shalat di masjid dibandingkan perempuan maka
laki- laki lebih cepat menerima informasi- informasi penting yang disampaikan di masjid,
baik disampaikan secara langsung (dari mimbar masjid) oleh kyai maupun dari
interaksinya dengan orang lain ketika berada di lingkungan masjid.
Munculnya perempuan sebagai pemuka masyarakat tidak terlepas dari posisi
sosial ekonomi dari suami, keluarga luasnya atau relasi sosialnya dalam kelompok
penting di masyarakat seperti kelompok tani. Istri seorang pemuka masyarakat seperti
Ibu Neng (60 tahun) bertugas untuk menjalankan fungsi sosial kemasyarakatan dari
posisi politik suaminya sebagai ketua RW dan ketua kelompok tani yang berpengaruh di
Desa Situ Udik. Ibu Neng menjadi pengurus dana perelek, ustdzah dalam pengajian ibu-
ibu, menjadi pengurus zakat serta menjadi ketua kelompok wanita tani. Namun, dalam
keseharian pemuka perempuan ini juga menjalankan fungsi komunikasi politik bagi
suami, atau anak lelakinya.
Keleluasaan dalam akses dan memiliki kontrol terhadap kelembagaan sosial
dalam masyarakat ini karena mereka lebih memiliki keluangan waktu sehingga mereka
mampu untuk mengembangkan hubungan sosialnya dalam perkumpulan dan mampu
berpartisipasi dalam organisasi. Hal ini kemudian mempengaruhi sikap mereka terhadap
politik, meski masih dibatasi oleh budaya ‘ketokohan’ yang kental akan maskulinitas
yang menyebabkan mereka pasif memberikan kontrol terhadap dijalankannya
kekuasaan dalam kelembagaan politik desa. Kepercayaan dan persepsi mereka terhadap
pemimpin desa menjadi salah satu cerminan dari relasi gender yang ada dalam
masyarakat Desa Situ Udik.
8.2 Hubungan antara Nilai Budaya Masyarakat dengan Tingkat Partisipasi dalam Kelembagaan Politik Desa
Partisipasi merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat diamati (overt
behavior). Perilaku tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi mengandung
keterkaitan dengan hal-hal lain. Sikap, persepsi dan kepercayaan tidak hanya dapat
memberikan gambaran kondisi internal seorang individu tetapi juga kondisi eksternal
masyarakat yakni menyangkut nilai-nilai sosial budaya yang terdapat dalam masyarakat.
Hal ini karena pada dasarnya sikap, persepsi serta kepercayaan seseorang ditentukan
oleh nilai-nilai, norma-norma serta budaya yang ada di sekitarnya. Sikap, persepsi dan
kepercayaan merupakan serangkaian kecenderungan yang menunjukkan gejala untuk
berperilaku. Khususnya dalam suatu perilaku dalam menentukan segala keputusan yang
menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.
Nilai budaya yang difokuskan pada nilai budaya politik merupakan masalah
keterlibatan secara psikologis, ideologis bukan secara konkret. Keterhubungan antara
nilai budaya politik sebagai sesuatu yang abstrak dengan partisipasi sebagai suatu
keterlibatan yang lebih konkret dalam penelitian ini dikaji dengan menggunakan uji
statistik. Uji Spearman digunakan sebagai alat uji yang dianggap mampu menjembatani
permasalahan tersebut. Pemilihan uji ini sebagai salah satu alat analisis didasari
pertimbangan variabel-variabel tersebut termasuk dalam skala pengukuran ordinal.
Analisis dari hasil uji statistik tersebut terlihat dalam Tabel 49.
Berdasarkan Tabel 49 dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara tingkat
partisipasi dalam kelembagaan politik desa dengan sikap terhadap politik. Hal ini dapat
dilihat dari nilai probabilitasnya yang sebesar 0,002 yang lebih kecil dari taraf nyata
yang ditetapkan yaitu α = 0,10 yang berarti kedua variabel memiliki korelasi dan
hubungannya signifikan secara statistik. Namun, tidak terdapat keterhubungan antara
tingkat partisipasi dengan kepercayaan serta persepsi Lansia di Desa Situ Udik . Hal ini
ditunjukkan dengan nilai probabilitasnnya yang lebih besar dari taraf nyata yang telah
ditetapkan.
Tabel 49. Hubungan antara nilai budaya masyarakat desa dengan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik Desa Situ Udik, tahun 2006
Hubungan tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik
desa
Nilai budaya masyarakat desa
Sikap terhadap politik
Kepercayaan terhadap kinerja lembaga politik desa
Persepsi terhadap pemimpin
Koefisien Korelasi -0,479(**) -0,131 0,040
Probabilitas 0,002 0,421 0,805
Keputusan Ada hubungan Tidak terdapat hubungan Tidak terdapat hubungan
Tabel 49 juga menunjukkan bahwa hubungan antara variabel-variabel nilai
budaya masyarakat dengan tingkat partisipasi memiliki koefisien korelasi yang bertanda
negatif. Tanda ini menunjukkan adanya hubungan yang berlawanan arah antara kedua
variabel atau dengan kata lain hal ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat partisipasi
responden disebabkankan besarnya pengaruh nilai-nilai dan budaya yang berlaku pada
masyarakat Desa Situ Udik.
Kuatnya pengaruh budaya ‘ketokohan’ dan pola hubungan ‘saduluran pada
masyarakat Desa Situ Udik tercermin dalam pemilihan kepala desa dan perekrutan para
pamong serta perangkat desa. Dukungan tokoh kyai berpengaruh menjadi syarat utama
untuk dapat menggalang suara masyarakat. Dukungan ini akan menjadi ‘fatwa’ atau
semacam himbauan yang mampu memobilisasi suara massa. Kepala desa sekarang juga
dipilih karena beliau adalah anak seorang tokoh masyarakat yang memiliki banyak
pengikut dan memberikan kontribusi langsung (dana) kepada masyarakat. Hal ini adalah
sebagai wujud dari kedermawanan untuk mengayomi masyarakat.
Bentuk partisipasi Lansia secara aktif muncul ketika berkenaan dengan
penyaluran dana BLT-BBM. Dimana mereka yang merasa termasuk dalam keluarga
miskin dan tidak memperoleh aliran dana tersebut melakukan aksi protes secara
berkelompok untuk mempengaruhi keputusan pemerintahan desa yang dinilai lebih
mementingkan ikatan- ikatan relasi untuk menentukan penerima dana.
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Usia tua menempatkan seseorang pada posisi yang terhormat dalam masyarakat
Desa Situ Udik yang menggolongkan orang yang dianggap lebih tua itu kepada kaum
sesepuh yang patut untuk banyak didengarkan nasihat-nasihat dari mereka serta
pengalaman hidup yang lebih banyak dibandingkan dengan kaum yang masih muda.
Meski terhormat tidak semua Lansia memiliki pengaruh dalam kelembagaan politik
desa. Kondisi sosial ekonomi Lansia yang menjadi determinan utama partisipasi mereka
dalam kelembagaan yang menjalankan fungsi penyaluran aspirasi, pengambilan
keputusan serta pendistribusian kekuasaan pada masyarakat desa.
Lansia di Desa Situ Udik dicirikan dengan mayoritas berusia yang tergolong
dalam kategori lanjut usia (elderly—yakni antara 60-75 tahun), dimana perempuan
Lansia lebih tua dari laki- laki Lansia. Ditinjau secara sosial Lansia ini berpendidikan
rendah, bahkan banyak yang masih buta huruf. Meski mayoritas Lansia perempuan
lebih banyak berstatus janda dan tidak memiliki jaminan pensiun atau fasilitas rumah
jompo namun komunitas menyediakan sistem pendukung dalam perawatan Lansia ini
baik secara sosial (ikatan sosial kekerabatan) maupun secara ekonomi. Perkumpulan
yang ada di masyarakat seperti pengajian, ulu-ulu, dana perelek dan paguyuban menjadi
institusi dimana mayoritas Lansia pada umumnya di Desa Situ Udik masih ikuserta.
Kehidupan politik Lansia di pedesaan ditunjukkan dari partisipasi dalam Pemilu
2004. Menangnya Partai Keadilan Sejahtera menunjukkan dinamika politik di
pedesaaan yang tengah progresif sejalan dengan era reformasi. Demikian juga dengan
ketersentuhan terhadap berita politik yang tinggi sebagai cermin meningkatnya minat
terhadap politik. Meski keprogresifan tersebut hanya di permukaan saja, karena baik
pilihan terhadap partai politik maupun keikutsertaan dalam kampanye politik lebih
merupakan mobilisasi politik dari pemimpin lokal terutama kyai sebagai panutan.
Nilai Budaya Masyarakat Desa Situ Udik dan Partisipasi Semu
Gambaran dari nilai-nilai, norma serta budaya politik masyarakat Desa Situ
Udik tercermin dari sikap terhadap politik, kepercayaan terhadap kinerja perangkat desa
serta persepsi terhadap pemimpin. Masyarakat Desa Situ Udik cenderung berorientasi
“ketokohan”, artinya peran-peran politik desa pada umumnya ditanggungjawabkan atau
dipercayakan pada orang-orang yang ditokohkan dalam masyarakat. Nilai ini terikat
pula dengan nilai religi yang menempatkan guru-guru agama sebagai tokoh yang
dipatuhi dan ditempatkan pada posisi elite. Kyai sebagai tokoh sentral yang menjadi
panutan karena kharisma yang dimilikinya. Kyai sebagai orientasi keseharian
masyarakat termasuk dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik. Elite
diposisikan sebagai seorang ‘bapak’ yang mengayomi dan melindungi masyarakat
sebagai anaknya.
Hal ini juga mempengaruhi persepsi dan kriteria masyarakat tentang pemimpin
yang berpengaruh dengan yang berusia tua atau berusia matang (middle age); memiliki
pengalaman (pernah migrasi ke Jakarta) dan pengetahuan yang akan ilmu-ilmu agama
(kyai, ustadz/ustadzah) serta terhadap norma, nilai serta tradisi; serta dermawan.
Keberhasilan politik orang-orang elite desa disebabkan mereka memiliki kebijaksanaan
sosial dalam hal ini kedermawanan yang seringkali menguntungkan golongan sosial
ekonomi bawah (massa). Keberhasilan politik ini membuktikan bahwa massa bisa
menerima pemimpin dari golongan elite, jika pemimpin tersebut ternyata peka terhadap
kebutuhan golongan sosial ekonomi bawah, sehingga membuat massa percaya akan
legitimasi para elite.
Prinsip ini memiliki keterkaitan dengan etika komunitas petani yang menjadi inti
kehidupan masyarakat Desa Situ Udik. Prinsip safety first atau dahulukan selamat
kemudian mejadi latar belakang pegaturan teknis, sosial, dan moral pola hubungan
‘kebapakan’. Pola ini memiliki hubungan yang lebih ‘halus’ dibandingkan hubungan
patron client yang memberikan tekanan pada aspek material saja. Sikap yang netral,
hati-hati, skeptis serta cenderung menghindarkan diri dari konflik dengan pihak yang
elite membentuk pola perilaku yang dianggap wajar. Soetarto (1999) menyatakan ini
sebagai suatu bentuk pengendalian sosial, yang berwujud pada pembatasan minat,
antusias serta ambisi.
Pembatasan ini mempengaruhi kelembagaan politik desa sebagai institusi atau
sebagai wadah dalam menyalurkan aspirasi politik masyarakat, tempat berunding,
mempunyai fungsi pencapaian keputusan dan pendistribusian kekuasaan. Kharisma kyai
yang memudar saat dunia sosial kehilangan tokoh yang kekuasaan dan pengaruh yang
besar. Dominasi kemudian berlanjut dengan penguasa yang melanjutkan tradisi yang
telah ditegakkan oleh pemimpin kharismatis. Keabsahan didasarkan pada tradisi, serta
‘administrasi’ tradisional, yang para ‘pejabat’-nya merupakan kerabat dekat, disusul
dengan kerabat luas baru kemudian ruang diberikan kepada orang lain jika masih ada
sisa peluang.
Keputusan-keputusan disini berkaitan dengan kepentingan orang banyak,
sebagian besar diinisiasi atau diprakarsai oleh tokoh tersebut. Masyarakat kampung
biasanya ”patuh” terhadap keputusan-keputusan tersebut. Pola hubungan kekuasaan dan
nilai ‘kebapakan’ menjadi etika yang menampilkan tindakan dengan bentuk kesetiaan
secara sukarela hormat kepada ‘dununganna’.
Musyawarah di tingkat kampung dalam kegiatan pengajian merupakan
kelembagaan penyaluran aspirasi yang mampu diakses oleh para Lansia dengan budaya
‘titip’ aspirasi yang masih kental diterapkan. Terutama bagi perempuan Lansia yang
jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi maupun musyawarah politik desa. Hal ini
menunjukkan meski memiliki akses namun ‘mutu’ partisipasi yang minimal karena
kontrol yang hampir tertutup dalam fungsi pengambilan keputusan, menampilkan
kesemuan dari keterlibatan dalam kelembagaan politik desa. Dimana Lansia tidak dapat
berperan secara efektif dan penuh. Namun, ketika hal ini menyentuh kebutuhan mereka
untuk bertahan hidup, mendorong mereka untuk melakukan bentuk partisipasi yang
lebih aktif untuk mempengaruhi kebijakan politik desa.
Pengaruh Terpaan Media Massa dan Pemilu 2004
Hasil uji statistik menunjukkan keterhubungan antara status sosial ekonomi
dengan sikap dan kepercayaan yang menjadi cermin nilai budaya masyarakat. Hal ini ini
menunjukkan bahwa identifikasi terhadap status atau posisi seseorang secara sosial
maupun ekonomi akan menentukan keseluruhan hidup seseorang. Hal ini karena pada
dasarnya seseorang akan meniru nilai, norma maupun perilaku sosial sesuai dengan
posisinya dalam masyarakat. Lansia dengan status sosial ekonomi yang tinggi
menganggap keterlibatan dalam politik merupakan suatu tugas fungsional untuk tampil
sebagai pemimpin dan penguasa dari atas posisinya tersebut. Mereka dianggap lebih
memiliki kecakapan untuk mengemukakan pendapat dan menyampaikan apa yang
menjadi aspirasi orang lain. Lansia elite ini kemudian memiliki akses untuk menjalin
hubungan pada politik atas desa yang lebih progresif seperti tergabung dalam partai
politik yang berada di tingkat kecamatan dan menjadi kader di desa atau kampungnya.
Tidak demikian dengan Lansia dengan status sosial ekonomi bawah, yang masih harus
berjuang untuk memperjuangkan subsistensi hidupnya, sehingga mereka menganggap
politik bukan urusan penting bagi hidup mereka.
Nilai ini mulai meluntur lewat sikap yang lebih terbuka pada politik yang
mempengaruhi kepercayaan mereka terhadap dijalankannya dominasi dalam
kelembagaan politik desa. Hasil uji statistik korelasi secara parsial menunjukkan bahwa
gelombang reformasi politik lewat partisipasi dalam Pemilu 2004 dan ketersentuhan
terhadap berita politik di media massa memberikan dampak yang signifikan terhadap
dinamika politik lokal namun dapat dikatakan tidak begitu memberikan dampak yang
mendasar. Dimungkinkan hal ini disebabkan oleh ikatan-ikatan tradisional atau
primordialisme yang masih kuat mengakar di masyarakat. Di sisi lain faktor pendidikan
dan pengalaman berorganisasi yang rendah menjadi salah satu hal yang mempengaruhi
kurangnya proses adopsi terhadap perubahan-perubahan dari luar termasuk dinamika
politik di tingkat supra lokal.
Wujud dari hal ini terlihat dari partisipasi dalam kelembagaan politik desa,
meski berpartisipasi Lansia kebanyakan ini hanya mampu mengembangkan hubungan
sosial politiknya dalam kelembagaan informal desa dengan memberikan dan
mempersiapkan generasi yang lebih muda—middle age untuk menjalankan dominasi
formal desa. Hal ini dilakukan sebagai upaya mengurangi penarikan dunia politik
formal reformasi yang lebih progresif dengan menggeser orang-orang yang tua yang
dinilai konservatif.
Perspektif Politik Perempuan Lansia di Pedesaan
Pembedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial menunjukkan relasi
gender yang berlaku di masyarakat. Relasi ini merupakan bagian dari nilai-nilai budaya
masyarakat desa yang memiliki pengaruh dalam hubungan antara status sosial ekonomi
dengan partisipasi Lansia dalam kelembagaan politik desa. Hasil uji statistik koefisiesn
kontigensi menunjukkan bagaimana nilai-nilai gender mempengaruhi sikap seseorang
terhadap politik. Laki- laki yang diposisikan secara sosial maupun ekonomi lebih tinggi
dibandingkan perempuan mempengaruhi juga partisipasi dalam kelembagaan politik
desa.
Hal ini menunjukkan apa yang oleh Murniarti (2004) bahwa perkembangan
pengertian politik didasari cara pandang yang biner patriarki, yang akhirnya
menciptakan pengertian politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan
kekuasaan yang sudah mapan dalam masyarakat. Pengaburan pengertian politik (klasik)
seperti yang dikemukakan oleh Rush dan Althoff (2003) bahwa perhatian sentral dari
politik adalah penyelesaian dari konflik-konflik manusia; atau proses dengan mana
masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan
tertentul; atau secara otoritatif mengalokasi sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu; telah
berubah menjadi pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh yang hanya bisa dan mampu
diakses dan dikontrol laki- laki yang dianggap lebih mampu bertahan.
Pengertian politik yang demikian makin menyingkirkan perempuan terlebih lagi
perempuan Lansia dalam kehidupan politik. Perempuan Lansia dalam masyarakat,
masih menentukan posisi sosialnya berdasarkan posisi/status dari suami maupun anak
laki- lakinya. Meski tergolong sepuh namun hambatan untuk melakukan mobilitas dalam
kegiatan politik dengan modal penghormatan karena usianya. Salah satu sebab
perempuan untuk bisa terjun dalam kegiatan yang politik yang dinilai penuh resiko
sementara ada tuntutan dari tradisi sebagai seorang ibu, istri atau bahkan ketika
perempuan tua menjadi seorang nenek yang mengurus cucunya.
Perbedaan perspektif antara perempuan dan laki- laki dalam memandang politik,
mempengaruhi partisipasi dalam segala kegiatan kelembagaan politik desa. Anggapan
bahwa politik hanya mengurusi sektor publik semata, sementara sektor domestik tidak
memiliki korelasi sama sekali. Pembagian peran gender yang hanya memberikan
perempuan Lansia bisa ‘bergerak’ bebas di bidang sosial, serta pendidikan namun tidak
keterlibatan dalam politik. Fungsi pengambilan keputusan pun menjadi bias
kepentingan, karena permasalahannya yang ‘banyak bicara’ adalah laki- laki. Perempuan
Lansia cenderung tidak dihiraukan atau bahkan pengalaman yang dimiliki ‘dipukul rata’
dengan generasi muda yang dinilai lebih awam. Hasil keputusan pun jika diterapkan
akan gagal mengakomodir kepentingan perempuan Lansia.
9.2 Saran
Konsepsi tentang kesuksesan di masa tua ini, khususnya dalam pemahaman
bangsa Indonesia tidak terlepas dari konstruksi sosial yang ada. Atas dasar banyak
aspek yang membentuk pribadi, kemudian hidup dalam masyarakat, hal ini tidak hanya
dapat diartikan sebagai kebahagian secara material. Konsepsi successful aging ini
haruslah menyangkut segala sesuatu yang berguna dan dibutuhkan masyarakat terkait
dengan kesejahteraan hidupnya secara keseluruhan . Baik bersifat rohani maupun
jasmani, agar setiap anggota masyarakat maupun golongan dapat mengusahakan
kesejahteraan, terutama untuk di masa tuanya, tanpa menghalangi usaha sesamanya.
Pengembangan aktivitas sosial di hari tua dari konsepsi ini hendaknya
meperhatikan hambatan rendahya pendidikan, ketiadaan jaminan pensiun sehingga
masih harus tetap produktif untuk memenuhi kebutuhan hidup meski tanpa target
tertentu. Pengembangan kelembagaan dan jejaring pengajian ibu-ibu mejadi suatu
kelembagaan politik untuk menyalurkan aspirasi politik. Pelibatan PKK untuk
mengembangkan keterampilan rumah tangga tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran
gender dengan mengadakan pelatihan. Peningkatan kesadaran gender diharapkan
mampu meningkatkan kesadaran perempuan Lansia untuk menyalurkan aspirasi
politiknya secara penuh dan efektif dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik.
Kelemahan dari penelitian ini adalah penggunaan indikator- indikator untuk
mengukur variabel-variabel sikap, persepsi dan kepercayaan. Penulis mendorong
penelitian terkait selanjutnya dalam penggunaan ukuran yang lebih valid dan reliabel.
Salah satu permasalahan yang masih menggantung dari penelitian ini yang tidak mampu
memberikan gambaran yang jelas bagaimana interaksi antara secara sosial politik antara
Lansia dengan generasi muda khususnya elite Lansia dalam menggerakkan partisipasi
politik. Hal ini sekaligus mengarahkan penelitian selanjutnya untuk mengkaji tentang
bagaimana jaringan politik kyai dan keterkaitannya dengan budaya religi-kultural pada
masyarakat sunda. Guna mengembangkan konsepsi tentang successful aging peneliti
juga menyarankan untuk mengkaji lebih jauh tentang bagaimana peran Lansia dalam
menjalankan voluntary work dalam kelembagaan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2005. Survey Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2004. Jakarta: BPS.
Bearon, Lucille B. Successful Aging: What does the "good life" look like?. The Forum Journal. Vol. 1, No. 3, Summer 1996.
Budiarjo, Miriam.1972. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Dung Do-Le, Kim and Yulfita Raharjo. Community-Based Support for the Elderly in Indonesia: The Case of PUSAKA. Paper presented at the 2002 IUSSP Regional Population Conference on “Southeast Asia’s Population in A Changing Asian Context”. Bangkok, Thailand, 10-14 June 2002.
Cernea, Michael. 1988. Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Desa. Jakarta: UI Press.
Fachrozy, Afdhal. 2002. Tingkat Partisipasi Masyarakat Nelayan Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Farida, Rokhila. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Perempuan Sunda terhadap Kepemimpinan Perempuan (Kasus Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2001. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan. Universitas Muhammadiyah Malang.
Horton, dan Paul Hunt. 1999. Sosiologi: Jilid 2. Alih bahasa: Amiruddin Ram. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hofsteede, W. 1994. Pembangunan Masyarakat: Kumpulan Karangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Indawati, Rachmah. Identifikasi Beberapa Faktor yang Berkaitan dengan Banyaknya Lansia Di Kabupaten Lamongan (Studi Eksplorasi Data). Laporan Penelitian. Airlangga University Library Online.
Jutaan Lansia Butuh Pelayanan Sosial.http://www.suarakaryaonline.htm/wanita.htm Diakses tanggal 29 Mei 2006.
Lansia Lebih Banyak Daripada Balita. 2004. www.harianterbit.com/02062004/15:16.htm. Diakses tanggal 29 Mei 2006.
Madrie. 1986. Beberapa Faktor Penentu Partisipasi Anggota Masyarakat dalam Pembangunan Pedesaan (Kasus: Desa-desa di Kecamatan Palas, Lampung). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Muljono, Pudji. 2003. Bahan Ajar Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender; Buku Pertama [Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM]. Magelang: Indonesiatera
Ollenburger, Jane C., Helen A. Moore. 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Powell, Jason Powell L. 2001.Theorising Social Gerontology: The Case Of Social Philosophies Of Age. The Internet Journal of Internal Medicine. Volume 2 Number 1.
Prijono, Tjiptoherijanto, Yumiko M. Prijono. 1983. Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Purwatiningsih, Annisa. 2003. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Suatu Kajian Dalam Kebijakan Program Dana Pembangunan Desa Wringin Anom Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang). http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/Annisa-%20partisipasi%20politik%20dalam%20pembangunan%20desa.pdf. Diakses tanggal 2 Juni 2006.
Rahmi, Elfi. 1998. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Ibu-ibu Lansia dalam Kegiatan Bina Keluarga Lansia (Kasus: Kelompok Bina Keluarga Lansia di Kotamadya Bogor, Jawa Barat). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Rohmad, Zaini. 1998. Peran Pemuda dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan (Kasus Penelitian Desa-desa Wilayah Perkotaan, Pinggiran dan Pedesaan di Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Rusli, Said. 1984. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES.
Rush, Michael, Phillip Althoff. 2003. Pengantar Sosiologi Politik. Alih bahasa: Kartini Kartono. Edisi 1 Cetakan 10. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Rully, R. 2003. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di Rumah Sakit Umum dalam Perspektif HAM.
http://www.balitbangham.go.id/JURNAL/Jurnal%20HAM%20I%20RULLY.doc. Diakses tanggal 5 Mei 2006.
Sastroadmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Press.
Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Siegel, Sidney. 1990. Statistik NonParametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (editor). 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Soemardjan, Selo. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Soetarto, Endriatmo. 1999. Dialog Kritis anatara Golongan Elite dan Warga Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa (Studi Kasus: Desa Situ Raja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat). Disertasi.Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Suhartini, Ratna. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketergantungan Lansia. (http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartiniunair.pdf. Diakses tanggal 20 Juni 2006.
Tonny, Fredian. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy (Studi Desentraliasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam). Project Working Paper Series No.4. Pusat Studi Pembangunan. Institut Pertanian Bogor.
_____________. 2003. Diktat Kuliah Pengembangan Masyarakat. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
UlHaq, M. Zia. 2002. Kelembagaan, Modal Sosial, dan Pola Adaptasi Ekologi dalam Masyarakat Pesisir dan Lautan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Wahyuni, Ekawati Sri. 2003. Kajian terhadap Kesejahteraan Penduduk Lanjut Usia di Pedesaan (Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu Tahun 2003). Kementerian Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Walsh, Anthony. 1990. Statistics for The Social Sciences; With Computer Applications. New York: Harper & Row, Publisher, Inc.
LAMPIRAN
Lampiran 2. Pengkategorian variabel, ukuran, batasan gambaran pertanyaan dan penilaian No Variabel Ukuran Batasan Pertanyaan Nilai
1. Tingkat pendidikan
Rendah 1. Tidak sekolah 2. Tidak lulus SD 3. Lulus SD
Sedang 4. Tidak lulus SMP 5. Lulus SMP 6. Tidak lulus SMA 7. Lulus SMA
Tinggi 8. Diploma/akademi 9. S-1/ S-2/ S-3
2. Pengalaman Berorganisasi
Rendah (skor: 1)
Tidak pernah mengikuti organisasi, kelompok maupun perkumpulan dalam masyarakat
Keikutsertaan dalam organisasi/kelompok atau perkumpulan:
1. Ya 2. Tidak
2 1
Sedang (skor: 5-9)
Ikut organisasi, kelompok, maupun perkumpulan dalam masyarakat; lama keikutsertaan lebih dari 5 tahun; hanya menjadi anggota saja
Banyak organisasi/kelompok atau perkumpulan yang pernah diikuti:
1. 1-2 organisasi/perkumpulan
2. lebih dari dua organisasi atau perkumpulan
1 2
Tinggi (skor: 10-13)
Ikut organisasi, kelompok atau perkumpulan masyarakat; pernah menjabat sebagai pengurus, pemimpin, ketua, atau kepala; lama keikutsertaan lebih dari 5 tahun
Jabatan/posisi dalam organisasi/kelompok atau perkumpulan:
1. anggota 2. pengurus/panitia 3. ketua/pemimpin/kepala
1 2 3
Lama keikutsertaan dalam organisasi/kelompok/perkumpulan:
1. kurang dari lima tahun 2. lebih dari lima tahun
1 2
3. Pendapatan Rendah Masih memperoleh pendapatan tiap bulan; kurang dari Rp 100.000; Pendapatan baik berasal dari santunan/ sumbangan/dana BLT, dari anak/kerabat
Berasal dari manakah pendapatan yang diperoleh setiap bulannya :
1. Uang Pensiun 2. Uang santunan dari
anak/kerabat 3. Uang
santunan/BLT_BBM 4. Bekerja 5. Lainnya
Sedang
Masih memperoleh pendapatan dari bekerja
Besar pendapatan yang diperoleh setiap bulannya:
atau uang pensiun maupun dari uang santunan/sumbangan; besar pendapatan antara Rp 100.000 sampai Rp 500.000
1. kurang dari Rp 100.000 2. Rp 100.000-Rp 500.000 3. lebih dari Rp 500.000
Tinggi Memperoleh pendapatan dari bekerja atau uang pensiun maupun uang santunan atau sumbangan; besar pendapatan lebih dari Rp 500.000
4. Tempat tinggal dan care giving
Mandiri
Tinggal dirumah sendiri; tidak dirawat orang lain (mandiri)
Tempat tinggal saat ini: 1. Rumah sendiri 2. Menumpang dirumah
anak 3. Menumpang dirumah
kerabat/saudara
Tergantung
Menumpang di rumah anak/kerabat; dirawat oleh anak, kerabat/sanak saudara atau orang lain
Caregiving: 1. mandiri/tinggal sendiri/
suami atau istri 2. dirawat anak 3. dirawat kerabat/saudara
5. Status pernikahan
1. Menikah
2. Duda atau Janda
3. Tidak Menikah/selibat permanen
6. Jenis Kelamin
1. Laki-laki
2. Perempuan
7. Usia 1. Lanjut usia
Usia 60-74 tahun
2. Lanjut usia tua
Usia 75-90 tahun
3. Usia sangat tua
Usia lebih dari 90 tahun
8. Tingkat Partisipasi
Rendah (skor: 1)
Tidak pernah mengikuti rapat formal desa
Keikutsertaan dalam rapat formal desa:
dalam rapat formal desa
1. pernah 2 2. tidak pernah 1
Frekuensi keikutsertaan: 1. 1-2 kali
1
2. lebih dari dua kali 2 Sedang (skor 5-9)
Pernah mengikuti rapat formal desa, bentuk rapat desa yang diikuti berupa sosialisasi atau penyuluhan program/proyek/kegiatan pembangunan atau kemasyarakatan, bisa juga mengikuti perencanaan atau penyusunan namun perannya hanya sebagai peserta saja;
Bentuk rapat desa yang diikuti: 1. sosialisasi/penyuluhan
proyek/program/kegiatan pembangunan maupun kemasyarakatan untuk pelaksanaannya
1
2. perencanaan, penyusunan, dan perencanaan
2
3. pengambilan keputusan 3
4. mengikuti semua 4 Tinggi (skor 10-16)
Pernah mengikuti rapat formal desa; frekuensi keikutsertaan lebih dari dua kali; mengikuti rapat penyusunan atau perencanaan maupun ikut dalam pengambilan keputusan; berperan sebagai pemberi masukan maupun pengambil keputusan
Peranan yang ditampilkan 1. peserta saja
1
2. ikut memberikan usulan/pendapat
2
3. ikut dalam pengambilan keputusan
3
9. Tingkat partisipasi dalam dewan desa (pamong desa, kader, kepala desa, BPD)
Rendah (skor 1)
Tidak pernah aktif menjadi pamong/kader
Keikutsertaan dalam dewan desa:
1. pernah
2
2. tidak pernah 1 Pernah menjadi kader/pamong desa/kepengurusan RT/RW baik ditunjuk, dipilih masyarakat maupun inisiatif pribadi
Posisi atau jabatan yang pernah ditempati: 1. Pamong desa/
kader/kepengurusan RT/RW
1
2. Kepala desa atau BPD
2
Keikutsertaan berdasarkan: 1. Ditunjuk oleh pihak desa
atau pihak atas desa 2. Dipilih masyarakat 3. Inisiatif Pribadi
1 2 3
Tinggi (skor 4-7)
Pernah menjadi kepala desa, dan anggota BPD baik ditunjuk, inisiatif pribadi maupun dipilih oleh masyarakat
10 Tingkat Rendah Tidak pernah mengikuti Keikutsertaan dalam
partisipasi dalam musyawarah informal desa
(skor: 1) musyawarah musyawarah informal desa: 1. pernah
2 Sedang
(skor: >2=5)
Pernah mengikuti musyawarah informal desa; frekuensinya rendah; tidak pernah menjadi pemrakarsa diadakan musyawarah
2. tidak pernah 1 Frekuensi keikutsertaan musyawarah informal desa:
1. 1-2 kali
1
2. lebih dari dua kali 2 Tinggi (skor > 5)
Pernah mengikuti musyawarah informal desa; frekuensi tinggi; menjadi pemrakarsa atau penyelenggara kegiatan
Bentuk kegiatan musyawarah informal yang sering diikuti: 1. kegiatan keagamaan 2. perencanaan kegaiatan
kemasyarakatan/pembangunan
3. penyelesaian masalah/konflik
4. pemilihan/penunjukkan calon/ketua RT/RW
5. pengaturan pemanfaatan SDA atau fasilitas umum serta norma-norma
Pemrakarsa musyawarah: 1. para pemimpin desa
(kepala desa, pamong, kader, ketua RT/RW, tokoh masyarat)
1
2. pribadi 2 11. Tingkat
partisipasi dalam Pemilu 2004 dan partai politik
Rendah (skor 1-6)
Hanya memilih saja dalam Pemilu 2004
Keikutsertaan dalam Pemilu 2004:
1. Ya
2
2. Tidak 1 Sedang (skor 7-10)
Ikut Pemilu 2004; tapi berperan minimal dalam partai politik, kampanye politik.
Partai yang dipilih: 1. PKS 2. Golkar 3. PPP 4. PDI-P 5. Partai Demokrat 6. PBB 7. PKB 8. Lainnya
Peran dalam partai politik: 1. Simpatisan
1
Tinggi (skor 11-14)
Ikut Pemilu 2004; menjadi juru kampanye Pemilu; kader maupun pengurus partai; mengikuti penghitungan
2. Kader 2 3. Pengurus 3
Peran dalam kampanye
suara Pemilu: 1. Tidak ikut
1
2. Ikut pawai kampanye
2
3. Juru Kampanye 3 Keikutsertaan dalam penghitungan suara Pemilu 2004:
1. Tidak ikut 2. Ikut
1 2
12 Tingkat keterdedahan terhadap media massa
Rendah (skor : =2)
Tidak memiliki akses terhadap media massa (tidak memiliki sarana), tidak pernah mengikuti perkembangan berita politik
Kepemilikan sarana media massa:
1. Televisi
1
2. Radio 1 3. Media cetak 1 4. Tidak punya 0
Mengikuti perkembangan berita politik di media massa:
1. Ya
2
Memiliki sarana untuk mengakses media massa, tapi tidak pernah mengikuti perkembangan berita politik
2. Tidak 1
Tinggi (skor 3-5)
Memiliki sarana untuk mengakses media massa serta selalu mengikuti perkembangan berita politik
13. Sikap terhadap politik
Positif (skor 2-5)
Menganggap bahwa politik menyangkut pencapaian tujuan bersama, tata cara dalam mengatur masyarakat dan tertarik untuk terjun dan terlibat dalam politik; menyatakan masih berminat berpartisipasi aktif dalam politik desa
Pernyataan sikap tentang politik: 1. Saya enggan dan merasa
risih jika harus membicarakan segala sesuatu yang ’berbau’ politik
-1
2. politik itu tabu untuk dibicarakan
-1
3. politik itu jahat, penuh intrik, dan saling menjatuhkan
-1
4. Saya mau/tertarik/ingin selalu terlibat dalam dunia politik
1 Netral
(skor 0-1) Menyatakan bahwa tidak mengerti dan tidak tahu apa itu politik karena merasa ’orang kecil’ jadi tidak perlu mengetahui apa itu politik; menganggap bahwa
5. politik itu diperlukan untuk pencapaian tujuan bersama
1
6. politik itu menyangkut tata cara dalam
1
politik itu hanya menyangkut partai politik dan pemilu. Cenderung masih berminat terlibat dalam kegiatan politik desa.
mengatur kehidupan masyarakat
7. saya tidak tahu dan mengerti apa itu politik, karena saya ’orang kecil’ jadi tidak perlu tahu
0
Negatif (skor -3 s/d -1)
Menganggap bahwa politik itu tabu untuk dibicarakan dan enggan untuk berbicara politik, tidak tahu dan tidak mau tahu tentang politik; menyatakan tidak berminat lagi untuk terlibat atau berpartisipasi dalam politik desa
8. politik itu partai dan pemilu
0
Minat berpartisipasi dalam kelembagaan politik desa
1. berminat
2
2. tidak berminat 1
14. Kepercayaan terhadap kelembagaan politik desa
Percaya (skor 3-5)
Menganggap bahwa rapat desa mudah untuk diakses dan memiliki kontrol terhadapnya; menganggap bahwa kinerja perangkat desa baik atau sukses serta puas terhadap kinerjanya
Anggapan terhadap aksesibilitas rapat serta musyawarah desa:
1. Sulit diakses serta tidak memiliki kontrol
1
2. dapat diakses tetapi tidak memiliki kontrol
2
3. dapat diakses serta memiliki kontrol
3 Tidak percaya (skor 2)
Menganggap bahwa rapat desa sulit untuk diakses dan tidak memiliki kontrol maupun dapat diakses tetapi tidak memiliki kontrol; menyatakan kinerja perangkat desa tidak baik dan tidak puas terhadap kinerjanya.
Penilaian terhadap kinerja perangkat desa:
1. puas/baik/sukses 2. tidak puas/belum
sukses/buruk
2 1
15. Persepsi terhadap lansia aktif
Positif (skor: 1-3)
Menganggap lansia lebih dapat memenuhi kriteria sebagai pemimpin desa; menganggap lansia yang aktif masih dibutuhkan dan masih layak berperan dalam kelembagaan desa
Yang lebih memenuhi kriteria sebagai pemimpin atau orang-orang yang terlibat dalam kelembagaan politik desa:
1. golongan tua (lansia)
3
2. sama saja 2 3. golongan muda 1
Negatif (skor : 4-6)
Menganggap bahwa golongan muda lebih memenuhi kriteria sebagai pemimpin desa; menganggap bahwa lansia tidak perlu berpartisipasi.
Anggapan terhadap lansia yang masih berpartisipasi aktif dalam kelembagaan politik desa:
1. tidak cocok/pensiun saja
1
2. boleh, tapi lebih baik yang muda
2
3. boleh, tidak masalah
3
16. Tingkat partisipasi dalam kelembagaan politik desa
Rendah
Skor total dari keikutsertaan dalam rapat desa, musyawarah serta dewan desa yakni 3-5
Sedang Skor total dari keikutsertaan dalam rapat desa, musyawarah serta dewan desa yakni 6-15
Tinggi Skor total dari keikutsertaan dalam kelembagaan politik desa yakni 16-26
Lampiran 3. Kuesioner. Nama Pewawancara: Tanggal Wawancara: Berikan tanda silang [ X ] pada kotak yang telah disediakan ataupun pilihan yang sesuai dengan pilihan anda. A. Karakteristik Pribadi Lansia
I. Identitas Diri 1. Nama : 2. Tempat Tanggal Lahir : 3. Alamat : 4. Jenis Kelamin : ? Laki- laki ? Perempuan
II. Tingkat Pendidikan : Tidak Sekolah ? SD : ? Tidak Lulus ? Lulus SMP : ? Tidak Lulus ? Lulus SMA : ? Tidak Lulus ? Lulus Perguruan Tinggi : ? Sarjana (S1) ? Diploma
/Akademi III. Pengalaman Berorganisasi
5. Apakah Bapak/Ibu saat ini atau pernah mengikuti organisasi atau perkumpulan dalam masyarakat? ? Ya/Pernah, ? Tidak/Tidak Pernah (langsung ke
pertanyaan no.8 6. Jika Ya/Pernah, berapa banyak organisasi atau perkumpulan yang diikuti? Sebutkan!
? 1-2 organisasi : ______________________________________________ ? Lebih dari 2 : ______________________________________________
7. Apa jabatan/posisi Bapak/Ibu dalam kepengurusan organisasi maupun perkumpulan dalam masyarakat tersebut? Berapa lamakah Bapak/Ibu menduduki jabatan atau posisi tersebut?
No. Nama Organisasi/Perkumpulan Jabatan/Posisi Lama (Tahun)
IV. Pendapatan
8. Apakah Ibu/Bapak setiap bulannya memperoleh pendapatan? ? Ya ? Tidak
9. Berasal dar imanakah pendapatan yang diperoleh setiap bulannya? ? Uang Pensiun ? Uang santunan/sumbangan
? Anak ? Bekerja/Usaha ? Lainnya (sebutkan),____________
10. Berapa besar pendapatan yang Bapak/Ibu peroleh setiap bulannya?
? Kurang dari Rp 100.000 ? Rp 100.000 sampai Rp 500.000 ? Lebih dari Rp 500.000 V. Tempat tinggal dan Caregiving
11. Dimanakah Bapak/Ibu saat ini bertempat tinggal? ? Rumah Sendiri ? Menumpang di rumah anak ? Menumpang di rumah sanak saudara 12. Siapa yang merawat Bapak/Ibu? ? Mandiri/tinggal sendiri ? Sanak saudara (adik, keponakan, sepupu,
dsb.) ? Anak ? Cucu/Cicit ? Orang lain, sebutkan hubungannya______________________
VI. Status Pernikahan 13. Saat ini, bagaimanakah status pernikahan Bapak/Ibu? ? Menikah ? Tidak menik ah (selibat permanen) ? Janda/Duda B. Partisipasi dalam Kelembagaan Politik Desa 14. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti rapat atau pertemuan yang diadakan oleh pemerintah desa (Kelurahan)? ? Pernah ? Tidak Pernah, (langsung ke pertanyaan no.
18) 15. Berapa kali Bapak/Ibu mengikuti rapat atau pertemuan yang diadakan oleh
pemerintah desa (Kelurahan)? ? 1-2 kali ? Lebih dari 2 kali 16. Rapat atau pertemuan tersebut diadakan dalam rangka kegiatan apa? Sebutkan!
___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________
17. Peranan apa sajakah yang Bapak/Ibu tampilkan dalam mengikuti rapat atau pertemuan tersebut?__________________________________________________________ _________________________________________________________________
18. Apakah Bapak/Ibu pernah atau saat ini menjadi lurah, pamong ataupun kader desa? ? Ya/Pernah, sebutkan menjadi apa?
______________________________ ? Tidak/Tidak pernah (langsung ke
pertanyaan no.19) 19. Jika ya/pernah, bagaimanakah Bapak/Ibu dapat menjadi lurah, pamong atau kader
desa? ? Ditunjuk oleh pemerintah desa/pemerintah atas desa ? Dipilih oleh warga masyarakat ? Inisiatif sendiri
20. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti rapat atau musyawarah yang diadakan oleh masyarakat (diadakan secara informal)?
? Pernah ? Tidak pernah (langsung ke pertanyaan no.24) 21. Berapa kali Bapak/Ibu mengikutinya? ? 1-2 kali ? lebih dari 2 22. Musyawarah tersebut diadakan dalam rangka kegiatan apa? Sebutkan!
__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________
23. Siapa yang memprakarsai kegiatan tersebut?_______________________________ 24. 1. Apakah Bapak/Ibu mengikuti Pemilu tahun 2004? ( ) Ya ( ) Tidak
2. Partai apa yang Bapak/Ibu pilih pada Pemilu 2004?_______________________ 25. Apa peran Bapak/Ibu dalam partai tersebut? ? Simpatisan ? Kader Parpol ? Pengurus 26. Bagaimana dengan pelaksanaan kampanye, apa peran Bapak/Ibu? ? Hanya ikut pawai ? Juru kampanye ? Tidak mengikuti 27. Apakah Bapak/Ibu ikut saat penghitungan suara? ? Ya ? Tidak 28. Apakah Bapak/Ibu masih mengikuti perkembangan berita politik di media massa? ? Ya, (sebutkan medianya________________________) ? Tidak, (Alasan,_______________________________________________________) 29. Apa yang terlintas pertama kali dibenak bapak/ibu ketika mendengar kata ’politik’? 30. Apakah Bapak/Ibu masih berminat untuk berpartisipasi dalam politik di desa? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 31. Menurut Bapak/Ibu orang yang seperti apakah yang masih pantas terjun dalam dunia politik? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 32. Bagaimana gambaran masa tua yang ideal/sukses menurut pendapat Bapak/Ibu? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 33. Apa pandangan Bapak/Ibu mengenai kelembagaan politik yang terdapat di Desa ini? a. Rapat-rapat desa ? Bisa diakses, tapi tidak punya kontrol ? Bisa diakses, dan punya kontrol ? Sulit untuk diakses, dan tidak punya kontrol b. Kinerja Kepala Desa dan Pamong Desa
? Sukses/Baik ? Belum Sukses/Buruk ? Tidak tahu 34. Apakah sarana dan prasarana politik yang terdapat di Desa ini sudah cukup menunjang partisipasi bagi semua warga desa? Sebutkan alasannya! a. Jarak ? Dekat dan bisa diakses dengan berjalan kaki ? Jauh, tapi masih bisa diakses drngan alat transportasi (contoh: ojek) ? Jauh, tidak bisa diakses 35. Posisi apakah yang layak diberikan bagi para lansia yang aktif dalam kelembagaan politik di desa ini? Alasannya? ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________
*Terima Kasih*
Lampiran 3. Panduan pertanyaan 1. Kapan terpilih menjadi kepala desa? Alasan mengapa ingin menjadi kepala
desa?(coba gali soal adanya kecenderungan hubungan kekerabatan dalam hal ini)
2. bagaimana proses untuk dapat terpilih menjadi kepala desa? Persyaratannya apa
saja, ceritakan tentang proses pencalonan? Adakah kampanye, jika iya bagaimana
prosesnya?
3. mana yang lebih diselenggarakan lebih dahulu, pemilihan BPD atau pemilihan
kepala desa?
4. Apa saja tugas, wewenang serta tanggung jawab seorang kepala desa Situ Udik baik
secara formal maupun informal?
5. Dalam menjalankan pemerintahan kepala desa dibantu oleh perangkat desa, apa saja
peranan yang dijalankan oleh perangkat desa ini? Bagaimana proses pemilihan para
pamong atau perangkat desa?
6. Rapat-rapat formal apa saja yang diselenggarakan di Desa Situ Udik? Bentuk
kegiatannya seperti apa? Siapa saja yang dapat mengikuti rapat formal desa? Rapat
yang seperti apa yang bisa diikuti oleh seluruh warga?
7. Bagaimana proses pengambilan keputusan politik dilakukan?
8. Bagaimana pola hubungan antara BPD dengan kepala desa?
9. Siapa ketua BPD sekarang? Apa syarat (formal dan informal—individu yang seperti
apa menurut masyarakat Desa Situ Udik) jadi BPD? Bagaimana penilaian anda
tentang lembaga ini?
10. Seberapa sering diskusi-diskusi informal diselenggarakan? Siapa saja yang kerap
berdiskusi secara informal? Dimana diskusi ini seringkali dilakukan? Topik apa saja
yang menjadi bahan pembicaraan dalam diskusi-diskusi tersebut?
11. Bagaimanakah posisi, peran serta status lansia dalam kelembagaan politik desa?
Dalam hal atau permasalahan apa lansia biasanya dilibatkan? Lansia seperti apa
yang sering dilibatkan kaitannya dengan politik desa?
12. Sulitkah menggalang partisipasi masyarakat Desa Situ Udik khususnya dari aspek
politiknya?
13. Apa saja bentuk-bentuk pelayanan yang diberikan bagi lansia?
14. Apa suka dan duka seorang kepala desa?
15. Upaya apa sajakah yang dilakukan untuk menampung aspirasi dari masyarakat?
16. Menurut anda apakah sarana serta prasarana yang ada sudah mampu menunjang
partisipasi masyarakat dalam kelembagaan politik desa?
Panduan pertanyaan untuk Pamong Desa
1. Sejak kapan jadi pamong desa? Mengapa menjadi pamong desa?
2. Bagaimana prasyarat (formal dan informal) untuk dapat menjadi seorang pamong
desa?
3. Apa saja tugas, tanggung jawab serta wewenang pamong desa?
4. Jika ada rapat-rapat formal apa peranan yang ditampilkan?
5. Bagaimana bentuk pelayanan yang diberikan bagi lansia? Dibedakankah dari orang
yang lebih muda?
6. Menurut anda apakah sarana dan prasarana yang ada sudah mampu menunjang
partisipasi masyarakat?
7. Apa yang menjadi suka dan duka seorang pamong desa?
8. Sulitkah menggalang partisipasi masyarakat dalam politik desa?
9. Siapa aja yang biasanya memiliki akses dan kontrol dalam kelembagaan politik
desa?
10. Apa pandangan anda tentang lansia yang masih aktif dalam kelembagaan politik
desa?
11. Bagaimanakah konsep sukses di masa tua menurut anda?
Lampiran 4. Pandangan lansia tentang aksesibilitas dalam rapat-rapat formal desa, Desa Situ Udik tahun 2006
Pandangan Jumlah Persentase 1: sulit untuk diakses serta tidak punya kontrol 21 52,5 2: bisa diakses tapi tetap tidak bisa punya kontrol 13 32,5 3: mudah untuk diakses serta mempunyai kontrol 6 15,0 Total 40 100,0
Lampiran 5. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kriteria terhadap pemimpin, Desa Situ Udik tahun 2006
Kriteria berdasarkan usia Jumlah Persentase Pemimpin adalah yang berusia tua 16 40,0 Pemimpin seharusnya adalah yang muda 16 40,0 Sama saja baik tua atau muda 8 20,0 Total 40 100,0
Lampiran 6. Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi terhadap posisi atau jabatan yang pantas bagi lansia yang masih aktif, Desa Situ Udik tahun 2006
Posisi atau jabatan yang pantas Jumlah Persentase Pengikut 9 22,5 Pengurus, kader, tokoh masyarakat, serta pamong desa 1 2,5 Penasihat atau pembimbing 15 37,5 Pemimpin, dewan desa 15 37,5 Total 40 100,0