para penguasa warung kopi
TRANSCRIPT
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
1/25
Para Penguasa warung Kopi 0
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
2/25
Para Penguasa warung Kopi 1
Komposisi kopi :
1. Komposisi 12. Pengantar Kopi 23. Para Penguasa Warung Kopi [1] 34. Para Penguasa Warung Kopi [2] 55. Para Penguasa Warung Kopi [3] 116. Para Penguasa Warung Kopi [4] 137. Para Penguasa Warung Kopi [5] 198. Peracik Kopi 24
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
3/25
Para Penguasa warung Kopi 2
PENGANTAR KOPI
Menulis, bagi sebagian orang, bisa lahir setelah diawali oleh beberapa pengantar ide dan imajinasi.
Ada yang menulis setelah membaca buku, setelah melakukan perjalanan jauh, setelah menonton
film, melihat peristiwa yang mengguncang, diserbu perasaan aneh, jatuh cinta beda kelamin, atau
hanya sekedar menggali dari obrolan karib antar dua sahabat. Dan masih banyak lagi pemantik
gagasan yang berserakan di setiap jenak kehidupan. Tentu tidak semua renik peristiwa bisa kita
fosilkan dalam kata-kata, tapi membiarkan semua yang terjadi di kehidupan sehari-hari atau di lalu
lintas pikiran dan kontemplasi tanpa diikat dengan catatan juga sangat disayangkan. Menulis bukan
berarti ingin terus hidup di masalalu, tapi sebuah sikap tentang sadar kemampuan, bahwa kita tidak
bisa menuturkan semuanya dengan lisan.
Tulisan di bawah ini saya ambil dari sebuah obrolan dengan seorang kawan. Dari kata-kata yang dia
hamburkan, terlihat bahwa dia sedang resah, sedang mencari jalan eksistensi. Malam itu, jejentik
jam tengah bersiap menyongsong fajar 1 Syawal. Udara tercium syahdu oleh suara takbir yang
menggema dari seluruh pengeras suara mesjid. Begini kira-kira keluh kesahnya itu :
Kawan, kita telah tahu mana jalan kebenaran itu, namun kita pun kerap tidak sanggup untuk
menempuhnya. Hati kita ibarat matahari yang setiap hari terbit dan terbenam. Sampai kapan kita
akan begini terus?. Kita seperti orang yang bekerja shift. Jadwal posisi hati kita kerap berganti-
ganti. Alangkah tidak mudah berdiri tegar dalam istiqomah. Kita tidak pernah bertahan lama tegak
berdiri dalam kebenaran. Sebegitu rapuhkan iman kita?. Kita telah berpeluh dalam mengeja kata-
kata. Menggali nasehat dari buku-buku agama dan sastra, namun setiap kali kita mendapatkan
mutiara, setiap itu pula dia cepat menguap dari titik kesadaran kita. Seperti menuangkan spirtus
dalam piring lebar, petuah-petuah itu tidak pernah bertahan lama. Sampai kapan kita akan begini
terus?. Sangat tidak enak hidup menjadi bunglon. Berganti warna, menyesuaikan dengan tempat
berpijak. Sementara untuk jujur pun kita tidak pernah berani. Melindungi sayap rapuh ini dari
jangkauan sorot mata manusia. Kita seperti yoyo, ke bawah untuk kemudian naik lagi.
Kawan, apakah kau kerap merasakan hal ini juga?. Menghabiskan kesenangan dalam durasi yang
sangat pendek, lalu jeda kosong yang panjang dan mencemaskan menawanmu. Kemudian duduk
sendirian dalam sepi di kamarmu. Mengkalkulasi waktu dan kesempatan yang semakin sempit,
sementara scenario sejarah telah jauh-jauh hari kita gantungkan di dinding kamar, dia sedang
menagih masadepan. Kawan, kita telah bosan berbicara tentang pilihan, karena sesungguhnya
kita tidak pernah mampu untuk memilih. kita terseret oleh angan-angan pendek, dibawa arus
absurditas yang sering kita kagumi.
Ketika cigarette sudah habis empat batang, dia akhirnya pamit pulang. Saya bergegas mencari buku
catatan. Tak lama datang lagi seorang kawan, yang ini aroma bicaranya dipenuhi oleh kegembiraan,
mukanya cerah seperti seorang menantu yang baru dapat pujian dari mertua. Type seperti ini pasti
cepat berlalu, betul saja, belum ada sepuluh menit dia sudah pamit. Dan saya mencari buku catatan
lagi. [ ]
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
4/25
Para Penguasa warung Kopi 3
Para Penguasa Warung Kopi [1]
Kira-kira usianya 19 tahun, abang saya, Bisma, mulai masuk kuliah. Tiga bulan dari pertama kali masuk kampus,rambutnya sudah terlihat gondrong. Hampir setiap sore, sepulang kuliah, dia pergi ke warung kopi Bu Risna di ujung
gang. Saya tidak boleh turut dengannya. Sebagai alat pengusir, kadang-kadang dia memberi saya uang lima ribu agar
saya tidak ikut-ikutan nongkrong dengannya dan kawan-kawannya. Sepengetahuanku, kawannya tak banyak, di
warung kopi itu yang paling sering ku lihat adalah Bang Joni dan Bang Erlan. Dua-duanya mahasiswa rantau, tapi entah
dari daerah mana, saya tidak tahu. Kadang-kadang saya melihat abang saya itu membakar cigarette, itu mungkin
alasannya kenapa saya tidak boleh turut. Antara sebentar, kulihat juga mereka sedang mantap betul membicarakan
banyak hal, tapi entah mengenai apa, jarak saya terlalu jauh untuk bisa dengan jelas mendengarkan isi
pembicaraannya.
Warung kopi itu persis di ujung gang, di pinggir jalan gang yang banyak di lalui orang, terutama oleh para mahasiswa
dan mahasiswi, karena itulah salah satu akses untuk mencapai kampus tempat Bang Bisma dan kawan-kawannya
kuliah. Kalau ada mahasiswi lewat, sendirian ataupun bergerombol, cantik ataupun lumayan cantik, mereka; abang
saya dan kawan-kawannya, seperti tidak berminat untuk menggoda, ataupun sekedar untuk mengeluarkan suara batukyang dibuat-buat. Mereka asyik saja dengan kopi, cigarette, pembicaraannya. Kadang-kadang saya berpikir,
mungkinkah abang saya itu belum puber?, ah, tapi bagaimana mungkin?, saya saja yang baru duduk di kelas dua SMP
sudah sering merasa deg-degan kalau berdekatan dengan teman-teman saya yang cantik dan roknya di atas lutut.
Orang-orang dewasa, atau mereka yang beranjak dewasa, kadang-kadang susah dimengerti, dunia mereka terlihat
serius, dan itu menurut saya tidak menarik.
Karena tidak menarik, makanya saya jarang memperhatikan apa yang dibicarakan oleh abang saya dan kawan-
kawannya. Saya lebih sering bermain dengan teman-teman sebaya di lapangan kecil dekat rumah Pak Eka. Kata ibu,
dia adalah seorang professor, seorang sangat cerdas yang mengajar di kampus terkenal di kota kami. Setiap kali aku
bermain sepeda atau hanya ngobrol-ngobrol saja, Pak Eka selalu terlihat duduk sendirian di teras rumahnya, membaca
koran atau mungkin jurnal-jurnal penelitian. Kacamatanya sudah agak merolot ke bawah, melewati garis normal tempat
biasanya sepasang lensa itu nyangkut di hidung. Kalau saya dan anak-anak mulai bermain bola, dia selalu mengusir
kami, sebab bermain bola terlalu ribut katanya, mengganggu konsentrasinya sebagai seorang cerdas yang selalu haus
akan penelitian. Kalau jendela rumahnya kebetulan terbuka lebar, terlihat barisan buku dalam rak kayu yang sangat
kuat, bukunya banyak sekali dan tebal-tebal. Menurut saya dan juga kawan-kawan sebaya, Pak Eka termasuk orangtua
yang rating menyebalkannya cukup tinggi, orangtua seperti itu tidak pernah menarik simpati anak-anak seusia saya
yang mulai banyak dialiri adrenalin.
Tapi sikap menyebalkan Pak Eka masih kalah oleh Bu Nina. Dia adalah istri seorang juragan besi yang kaya raya, tapi
pelitnya nomor wahid. Rumahnya dikelilingi oleh halaman yang luas ditumbuhi pohon-pohon buah. Ada rambutan,
mangga, jambu, belimbing, dan alpukat, tapi kini pohon alpukatnya sudah habis ditebang karena sering dihinggapi ulat
bulu yang menggelikan. Setiap kali pohon-pohon itu berbuah, kami; anak-anak tetangganya yang mulai pandai
melempar, hanya dapat melihatnya dari luar pagar dengan air liur yang kadang-kadang seperti ingin menetes,
membayangkan betapa manisnya rambutan merah itu, atau betapa enaknya mangga aromanis itu, atau betapa
segarnya belimbing kuning itu. Tapi apa boleh buat, Bu Nina tak pernah membagi kami buah-buahan yang dilimpahkankepadanya oleh Tuhan. Maka kami pun bersiasat, kalau rumahnya terlihat sepi, kami membagi tugas; dua orang
melempar buah dengan kayu, dua orang mengawasi keadaan, dan saya bertugas sebagai pengambil buah yang
berhasil kami jatuhkan dengan cara mengendap-ngendap dan menyelinap masuk ke halaman rumahnya, dan untung
saja rumahnya tidak dilengkapi dengan anjing penjaga yang selalu bikin ribut.
Saya dan kawan-kawan sebaya, atau orang-orang tua menyebalkan menyebut kami dengan istilah gerombolan
pengacau, memang sering merepotkan orang-orang tua yang tidak kooperatif dengan rencana-rencana hebat kami.
Seperti siang itu, waktu kami berencana mengadakan lomba balap sepeda di sebuah kebun kosong yang tidak terurus,
tidak jauh dari rumahnya Bu Makie. Acara belum dimulai tapi Bu Makie sudah mengusir kami, dia tidak bisa mendengar
suara berisik anak-anak puber pertama, karena mau tidur siang. Karena kesal, waktu dia sudah terlelap dalam tidur
siang, kami kembali lagi dan mencoret-coret dinding belakang rumahnya dengan spidol, arang, dan pilok sisa yang
dipungut dari bengkel dekat jalan raya. Sore hari, tetangga dekatnya dibuat heboh, sebab Bu Makie muntab, marahbercampur jengkel, sebab para tersangka sudah tidak ada di tempat.
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
5/25
Para Penguasa warung Kopi 4
Bang Bisma bukan tidak tahu kelakuan saya dan kawan-kawan, begitu juga dengan kawan-kawannya yang suka
ngumpul di warung kopi Bu Risna. Mereka tahu, tapi sudah saya bilang, orang-orang dewasa dan yang beranjak
dewasa kadang-kadang susah dimengerti, mereka diam saja, tak pernah memarahi kami para gerombolan pengacau.
Ah, lagi pula mereka mungkin sibuk dengan dunianya sendiri yang mungkin saja lebih menarik daripada dunia saya
yang baru kelas dua SMP ini.
Tapi sebagai mahasiswa, kelakuan abang saya dan kawan-kawannya berbeda dengan mahasiswa yang lain, setidaknya
dalam beberapa hal. Selain tidak doyan menggoda perempuan yang cantik dan yang lumayan cantik, mereka juga tidak
suka keluyuran jauh malam-malam, paling jauh ya di warung kopi Bu Risna itu. Bang Bisma rute malam harinya sudah
saya hapal : selepas maghrib dia akan naik jemuran, mengambil baju yang sudah kering, lalu pergi ke dapur menghajar
menu malam. Waktu isya datang dia akan pergi ke mesjid memakai sarung dan tanpa peci sebab rambutnya sudah
terlalu mengembang dan gondrong. Setelah kewajiban tunai, dia akan pulang dulu ke rumah mengganti sarung dengan
celana pendek selutut, mengambil uang dari dompet dan pergi ke warung kopi. Ibu tak pernah banyak cakap dengan
aktivitas malam bang Bisma yang monoton seperti itu, beliau hanya sesekali berucap : kurangi merokoknya!, oh, ibu
ternyata sudah tahu kalau Bang Bisma sering membakar cigarette, tapi kok kenapa tidak marah ya??.
Sedang dua orang kawannya, bang Joni dan Bang Erlan, meskipun saya tidak tahu persis rute malamnya, tapi mereka
juga sama-sama akan berlabuh di warung kopi Bu Risna, menikmati kopi dan cigarette, sesekali makan mie rebus, danbanyak membicarakan entah apa. Saya rasa pemuda-pemuda seperti mereka patut dicurigai, pemuda-pemuda seperti
itu terlihat kehilangan gejolak darah mudanya yang seharusnya sedang mendidih, yang seharusnya seperti yang lain,
yang doyan menggoda perempuan-perempuan cantik, suka keluyuran ke tempat-tempat hiburan, lesehan di depan
Circle K, atau minimal ngobrolnya di kafe-kafe yang ada life music. Sebagai pemuda, mereka terlihat terlalu misterius.
Tapi saya menjadi penasaran. Dan saya pikir, saya harus mulai melakukan penyelidikan dari Bang Bisma, dari kakak
saya sendiri. Tiba-tiba saya merasa menjadi detektif Mouri. Ya, Kogoro Mouri. [ ]
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
6/25
Para Penguasa warung Kopi 5
Para Penguasa Warung Kopi [2]
Memang pada awalnya, sebelum saya mendeklarasikan diri untuk menjadi detektif, saya jarang sekalimemperhatikan aktivitas bang Bisma. Walaupun kami kakak beradik, dan hidup di bawah atap yang sama, tapi saya
pikir tidak penting betul untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh abang saya itu. Suka-suka dialah mau berbuat
apapun, saya tak punya urusan. Tapi itu dulu, sebelum saya menyadari bahwa bang Bisma dan dua orang kawannya;
bang Joni dan Bang Erlan, adalah semacam anak muda yang mempunyai gelagat berbeda jika dibandingkan dengan
para pemuda kebanyakan. Arus darah muda mereka entah mengalir ke mana, yang jelas tidak mengalir ke Circle K,
Caf dengan live music, menggoda perempuan-perempuan cantik, atau sekedar mencicipi local wine untuk mengusir
dingin. Tidak, darah muda mereka tidak mengalir ke hal-hal seperti itu. Lalu ke mana?, itulah yang sedang saya selidiki.
Terberkatilah dia yang punya warung kopi di ujung gang, sebab pelanggannya akan bertambah satu orang. Ya, saya
akan mulai menjadi pelanggan tetapnya. Penyelidikan harus dimulai dari base camp mereka. Walaupun bang Bisma
seringkali melarangku untuk turut ke warung kopi bu Risna, tapi selalu saya jawab, Siapa yang ikut?, orang mau
makan mie rebus!. Dan dia akhirnya bungkam, tak banyak cakap lagi. Kawan-kawannya yang jumlahnya dua orang itu
awalnya bertanya juga, kenapa saya sekarang jadi sering makan mie rebus di warung bu Risna, tapi ini adalah
pertanyaan paling mudah sedunia, lebih mudah daripada soal bahasa Inggris yang ada di ulangan, kujawab saja, Lagi
banyak duit bang, sekali-kali makan di warung, bolehlah. Mereka hanya tertawa saja dan sedikit berucap manis,
Balaga siah!!.
Bu Risna tahu kombinasi seperti apa mie rebus yang sering saya pesan; Indomie rasa kari ayam, telornya setengah
matang, pakai sayur, dan airnya agak banyak karena saya pasti menghiasinya dengan dua potong bakwan yang
tersedia di meja. Tak lupa saya tambahkan sedikit saus, kecap, lada halus, dan kalau kebetulan turun hujan, air
tampias hujan menampar-nampar kaki sehingga sensasi dingin terasa mantap, maka saya tambahkan juga beberapa
irisan cabe rawit untuk melawannya. Kalau cabe rawitnya kebanyakan, biasanya saya akan berlama-lama di kamar
mandi, merasakan derita sakit perut, bencana selalu datang dari tingkah manusia. Cilaka kupolah sorangan, begituungkapan orang Jerman.
Tapi yang saya lakukan bukan sekedar makan mie rebus, bahwa saya menikmati sensasi kari ayamnya memang iya,
tapi ketahuilah bahwa yang saya lakukan adalah semata-semata demi kepentingan penyelidikan, demi mendeteksi ke
mana darah muda mereka dialirkan. Saya sengaja tidak membawa semacam catatan kecil yang biasa dilakukan oleh
para kuli tinta, saya hanya merekam pembicaraan bang Bisma dan kawan-kawannya dengan bantuan kuping saja lalu
diendapkan di lereng ingatan. Lagi pula, tak elok rasanya makan mie rebus sambil sibuk mencatat, terdengarnya saja
cukup merepotkan.
Tentu tak cukup hanya sekali dua kali untuk mengetahui arah pembicaraan mereka, sebab kadang-kadang apa yang
mereka bicarakan tidak dapat saya mengerti, seperti malam itu, pada sebuah malam yang basah, ketika hujan baru
saja menyelesaikan tugasnya. Bu Risna sedang menuangkan bumbu Indomie ke dalam mangkuk, tiba-tiba terdengar
bunyi cigarette kretek dibakar dan asap seketika mengambang di ruangan yang agak terasa hangat oleh hawa kompor.
Bang Joni melepas obrolan, Bung, malam kemarin akhirnya saya selesai baca Negeri 5 Menara, apa kata Fuadi, man
jadda wajada, jadi tak usahlah kita ragu-ragu, kalau kita orang bekerja keras, melebihkan usaha, insyaAllah rencana
kita akan berhasil. Bang Erlan terlihat menghirup kopi hitamnya, mendekatkan gelas ke hidung, lalu kemudian
memindahkan ke mulut, dan terdengar suara merdu orang menyeruput. Dia lalu b erucap, Wah ente baru khatam
rupanya Bung, kalau hal itu saya juga sudah tahu, tapi persoalannya harus dari mana kita mulai bergerak?!. Bang Joni
terdiam sesaat, lalu mulutnya mulai terbuka lagi, tapi tiba-tiba bang Bisma melancarkan manuver, Bung, kalau kita
mau bergerak, kita tentunya harus punya peta dulu, harus mempertegas tujuan-tujuan dari rencana kita, bukan hanya
mengumpulkan lintasan ide saja dan mengucapkannya. Kita harus mulai maping, membuat rute, dan membagi tugas
dengan jelas.
Bukan main, saya meraba-raba makna pada obrolan awal itu. Dari sudut mata terlihat, bang Bisma kemudian
mengeluarkan sebuah pena dan kertas agak lusuh dari kantong celana sontognya, dia lalu menulis, atau mungkinmenggambar, saya kurang begitu jelas melihatnya. Dua orang kawannya masih tetap pada posisi sedap betul; duduk di
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
7/25
Para Penguasa warung Kopi 6
kursi kayu yang memanjang, satu kakinya diangkat ke atas kursi, dan cigarette berkarib dengan kopi panas, sementara
gorengan hangat tersaji di atas meja, kombinasi yang memikat. Melihat gaya mereka, membuat saya kadang-kadang
ingin cepat besar, ingin segera bisa menikmati cigarette seperti bang Bisma dan kawan-kawannya. Ternyata kebiasaan
merokok bisa menular kepada oranglain yang tidak merokok, setidaknya itu yang terjadi pada saya. Bang Bisma terus
saja menulis, atau mungkin menggambar, sesekali dia menghisap cigarettenya, rupanya dia sudah tidak takut lagi kalau
kebiasaan buruknya itu saya laporkan pada ibu. Tak terasa mie rebus pesanan saya sudah siap saji, siap berpindah ke
lambung seorang anak kelas dua SMP.
Bung, coba perhatikan ini, bang Bisma tiba-tiba berhenti menulis, atau mungkin berhenti menggambar, dia
mengangkat hasil karyanya. Saya ingin sekali melihat hasil karyanya itu, tapi takut tidak boleh sama bang Bisma,
takut dianggap pipilueun urusan kolot, akhirnya saya berkonsentrasi saja pada mie rebus dan memasang kuping
setajam mungkin seperti radar. Tapi ternyata dia tidak berbicara lagi, malah menyerahkan kertas lusuh itu kepada dua
orang kawan karibnya. Lalu hening, radar tidak menangkap suara apapun kecuali hujan yang masih titik-titik turun, dan
suara bang Iwan Fals yang dari tadi bernyanyi pelan, volume radio butut milik bu Risna bagai disengaja untuk tidak
bersuara keras, tapi aku masih bisa mendengar lirik penyanyi legendaris itu :
Pernah kita sama sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalananDigilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah
Lelah
Bang Joni dan bang Erlan terlihat khusyu melihat catatan bang Bisma, keduanya belum mengeluarkan komentar.
Hening masih mengusai. Lalu hujan yang tadi mulai reda, kini menjadi deras kembali, dari jendela warung saya lihat
langit, oh gelap betul. Angin mulai berhembus kencang, tampias air hujan mulai menyerbu ke dalam warung, saya
bergeser agak ke dalam. Mestakung, semesta mendukung. Hujan seperti tahu bahwa saya harus berlama-lama di
warung kopi itu demi kepentingan penyelidikan, maka dia pun turun lagi dengan deras untuk menahan saya. Mie rebus
sudah hampir habis, tapi dua kawan bang Bisma masih saja membisu. Demi padu padan dengan suhu di luar yang
semakin turun, maka saya memesan air jeruk panas. Dan lihatlah bu Risna bersicepat menjalankan tugasnya.
Ha..ha..ha.., naon maneh rek ngadongeng?!, tiba-tiba bang Joni tertawa dan berkicau. Bang Bisma diam saja dengan
tenang, dia seperti tidak merasa terganggu dengan sikap bang Joni yang jelas-jelas menertawakannya. Lalu bang Joni
berkicau lagi, Tapi bung, bagus juga ente punya ide, bolehlah saya kasih jempol, macam like this di
facebook,ha..ha..ha.. lagi-lagi dia tertawa, dan kali ini bang Erlan pun ikut tertawa, tawa mereka berderai-derai, dan
bang Bisma hanya tersenyum. Gimana?, edan kan ide urang mah?, kali ini giliran bang Bisma yang berkicau.
Bolehlah bung, tapi tunggu dulu, nanti yang bakalan bermain di lini keagamaan siapa?, kita orang kan tahu sendiri,
kalau Andrea bilang, Islam kita mah masih berantakan, itu suara bang Erlan. Oh iya ya, siapa ya kira -kira?, kalau ada
mah harus perempuan euy, bang Bisma seperti tersadar bahwa ada kekurangan sumber daya manusia dalam rencana
yang dia tulis di kertas lusuh itu.
Sudah dua kata yang saya kumpulkan; dongeng dan keagamaan. Sepertinya dua kata ini adalah kata-kata kunci yang
akan membantu saya dalam mengembangkan penyelidikan, tapi mungkin akan ada kata-kata lain yang nantinya
semacam akan menjadi benang merah yang berjejalin, berkaitan satu sama lain, dan ke mana darah muda anak-anakmuda misterius ini mengalir, tentu nanti akan semakin terang.
Mereka kemudian tak banyak cakap, hanya bergiat minum kopi dan menghisap cigarette. Bang Joni mulai pesan mie
rebus, porsinya lumayan jumbo, dia pesan dua mie dalam satu mangkok besar plus dua telor, dan bu Risna tentu
punya mangkok seperti itu, disediakan khusus buat para pelanggannya yang bertype macam kantong nasi alias RW 06
alias rakus. Edan kamu Jon, porsi belum berubah juga, pastas saja perut kau macam Semar, maju perut pantat
mundur," nada bicara bang Bisma beraroma serangan balik setelah tadi dia yang ditertawakan oleh bang Joni. Ta k
apalah bung, biar begini, biar terlihatnya kurang seksi, tapi setidaknya saya semacam sudah laku, amboi, dia mengelak
dengan sebuah jurus sakti, membuat bang Bisma mati kutu. Tapi tunggu dulu, laku?, apakah maksudnya dia sudah
punya pacar?, saya kurang percaya, saya pasang lagi radar dengan posisi siaga. Bang Bisma terlihat mengambil nafas
cukup dalam, lalu berkicau lagi, nampaknya ini sebuah pembelaan terhadap dirinya sendiri, Bung, bukan salah saya
kalau tidak ada satupun perempuan yang tahu, bahwa saya ini sebenarnya ganteng dan keren. Ini hanya soal waktusaja bung, nanti ketika mereka tersadar, jangankan satu, tiga perempuan pun bolehlah mengejar-ngejar saya.
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
8/25
Para Penguasa warung Kopi 7
Nah, betul, ternyata mereka sedang membicarakan perempuan, dan yang dimaksud oleh bang Joni laku, tentu adalah
bahwa dia semacam sudah punya pacar, posisinya berseberangan dengan kakak saya, bang Bisma, yang karena tidak
ada satupun perempuan yang tahu bahwa dia sebenarnya ganteng dan keren (klaim seperti ini membuat selera makan
saya hilang), maka dia masih oke untuk dibilang jomblo. Bang Erlan hanya tersenyum saja, kalau membicarakan
perempuan, dia terlihat semacam cool, hanya saja di wajahnya terbit juga rona yang aneh. Rona yang pernah saya
lihat di cermin kamar, itulah dia wajah saya sendiri, waktu saya merasa senang oleh kedatangan murid baru yang barupindah dari Jakarta, perempuan tentu saja, rambutnya kira-kira sebahu, tapi dia ikat dua seperti Shizuka temannya
Nobita, namanya terdengar cukup manis : Olva.
***
Kostannya persis di sebelah mesjid komplek. Jilbabnya panjang, dan setahu saya, kalau pergi kuliah, dia tidak pernah
memakai celana panjang, dia selalu mengenakan rok panjang. Kata ibu, namanya Regina, panggilannya Ina, seperti
singkatan untuk Indonesia, kalau saya tentu harus memakai kata Kak di depan namanya jika mau memanggilnya.
Nah, perempuan inilah yang ternyata diincar oleh bang Bisma dan kawan-kawan warung kopinya untuk ditempatkan di
lini keagamaan. Kontras memang, jika kakak yang anggun ini mau bergaul dengan bang Bisma dan kawan-kawannya
yang jelas-jelas cerobong asap semua dan penampilannya terkesan abstrak alias tidak jelas. Tapi saya ingat sebuah
percakapan di warung kopi yang entah malam ke berapa dalam operasi penyelidikan saya ini, waktu itu bang Bismasempat bicara, Bung, tapi saya sedikit ragu, mungkinkah dia mau kita ajak dalam rencana kita?, bung kan tahu sendiri,
dia itu seorang akhwat, seorang yang menjaga betul hijab, akhlaknya bagus, dan membenci rokok, ingat ya :
membenci rokok!!.
Bang Erlan dengan tenang menjawab, setenang asap cigarette yang berhamburan dari mulutnya, Bung, semua itu tak
jadi soal. Dia orang memang akhwat, menjaga hijab, akhlaknya bagus, dan membenci rokok, lalu kenapa dengan
semua itu?. Begini bung, asal kita juga bersikap baik, tidak kurang ajar, dan tidak merokok di depannya, saya yakin dia
mau bantu kita. Lagi pula, ini bisa kita jadikan sebagai pembuktian, apakah orang-orang yang sholeh secara pribadi
adalah dia yang juga sholeh secara sosial?, tentu bung sudah tahu belaka dalilnya, hablum minAllah hablum minannas.
Kita lihat saja nanti, yang penting kita usaha dulu, kita sampaikan tujuan dari rencana-rencana kita, dan ingat bung,
kita harus tetap mengedepankan prasangka baik. Bang Joni yang dari tadi hanya diam saja tiba -tiba ikut bicara, Ya,
betul bung, kita harus mengedepankan husnudzon, lalu disambung dengan cepat oleh bang Erlan, Tahbener eta
pisan.
Maka pada sebuah sore yang lumayan cerah, waktu saya dan kawan-kawan gerombolan pengacau main sepeda di
depan mesjid, bang Bisma, bang Joni, dan Bang Erlan terlihat sedang berdiri di depan kostan kak Ina, tumben
penampilan mereka agak rapi, mereka serempak berucap Assalamualaikum, setelah ucapan salam diulang sebanyak
tiga kali, barulah ada sosok berkerudung keluar dari balik pintu. Saya tidak tahu apa yang mereka perbincangkan, juga
tidak tahu bagaimana sikap bang Bisma dan kawan-kawannya di depan kak Ina yang anggun itu, sebab si Ajat, kawan
saya mengajak pergi ke perkebunan, Pez, hayu ah kita ke perkebunan, banyak mangga yang sudah matang tuh,
saatnya kita panen. Jelas itu adalah ajakan untuk mencuri mangga di halaman belakang rumah bu Nina yang terkenal
pelit. Oh, siaplets go!!, dan kami meluncur ke TKP. Tapi sebelum pergi sempat juga saya lihat bang Bisma
kepalanya manggut-manggut, pandangannya menunduk, dan tidak ada tawa kelakar dari tiga orang pemuda cerobong
asap itu. Saya kira mereka sedang berusaha untuk bersikap sopan di depan seorang perempuan berjilbab panjang itu.
***
Di pojok lapangan komplek, tidak jauh dari rumah pak Eka sang professor tua menyebalkan, di situ ada sebuah
bangunan yang tidak terlalu besar, luasnya sekira 3,5x4,5 meter, bentuknya persegi panjang, itulah dia kantor RT. Di
depannya tumbuh sebuah pohon mangga yang jarang berbuah tapi daunnya rimbun sehingga memberikan efek teduh
ke kantor dan halaman bangunan tersebut. Di bawah pohon itu terdapat dua buah kursi kayu yang memanjang dan
ada sandarannya, tempat para pemuda dan orang-orang tua setiap sore asyik bermain kerambol, catur, dan domino.
Dan kopi serta cigarette rupanya telah menjadi Tuhan bagi para lelaki yang doyan berkumpul, nongkrong, dan
berbanyak ngobrol. Di warung kopi ataupun di depan kantor RT, tetap saja kedua benda itu yang menjadi primadona.
Sesekali suka ada yang membawa gitar, kalau yang mainnya orantua pasti yang terdengar adalah lagu-lagu zaman
purbakala macam Kisah Sedih di Hari Minggu, Cinta Hampa, Kisah Seorang Pramuria, Fatwa Pujangga, dan Semalam di
Malaysia. Sendu betul suaranya, seperti di acara Zona Memori yang ditayangkan Metro tv. Tapi kalau kebetulan anakmuda yang main, lagu-lagunya lumayan up to date, mereka sering membawakan lagu dari band-band mendayu-dayu
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
9/25
Para Penguasa warung Kopi 8
seperti ST12, Armada, Ungu, Bagindas, dan Kangen Band. Tapi tetap saja tidak cocok dengan kuping saya yang sehari-
hari, kalau sedang di rumah, terlalu banyak mendengarkan music yang bang Bisma putar dari kamarnya dengan
kencang. Dia suka sekali mendengarkan Monkey to Millionare, Nudist Island, Alone At Least, Van De Brews, dan
Homogenic.
Anggota tetap alias yang tiap hari hadir untuk nongkrong di depan kantor RT adalah kang Agus, atau lebih populer
dengan nama Agus Godeg. Rambut agak tebal tumbuh subur dari cambang sampai dagunya, sambung menyambungsampai bertemu dengan jenggotnya yang tidak terlalu panjang. Sekilas mukanya tidak jauh berbeda dengan para laskar
mujahidin Afganistan. Senyumnya sering mengembang kalau dia menang catur. Usianya ada sekira 40 tahun, istrinya
satu, anaknya juga satu. Dia pandai bercerita, apalagi cerita yang nyerempet-nyerempet porno. Kalu dia mulai
bercerita, yang main gitar tiba-tiba berhenti, yang main kerambol menjauh dari papan permainan, yang main catur
kehilangan konsentrasi, semuanya bagai ditarik oleh pesona cerita kang Agus Godeg. Awal cerita biasanya para
pendengar hening, tapi di tengah dan di akhir cerita, tawa nikmat berderai-derai. Gaya bicara kang Agus Godeg agak
mirip dengan Komeng, kosa kata kocaknya berloncatan dengan cepat, mulutnya seperti mesin otomatis yang
memproduksi banyolan-banyolan segar. Kalau ada perempuan cantik nan seksi lewat di jalan yang tidak jauh dari
kantor RT itu, kang Agus Godeg pasti akan berbicara setengah bergumam, Aduh, si eneng cantik kuda euy... Awalnya
yang nongkrong di sana tidak tahu apa itu cantik kuda, tapi kang Agus Godeg lalu menjelaskan, Iya, cantik kuda.
Kalau dari jauh cantik, kalau dari dekat kepengen dinaikin, dan tawa pun pecah berderai -derai, Ah, gelo euy si kang
Agus mahha.ha.ha..,. Saya, walaupun masih kelas 2 SMP dan belum menjadi pemuda, tapi sering nongkrong di situ,sehingga tahu kelakuannya.
Walapun pintar membanyol, suka menggoda perempuan-perempuan yang lewat, dan mukanya tidak terlalu jelek,
bahkan masuk kategori lumayan, tapi kang Agus Godeg tak goyah dari satu istri. Dia tak mau ikut-ikutan seperti para
pelawak yang di sering muncul di televisi, yang beberapa diantaranya mempunyai istri lebih dari satu. Selain setia
dengan istrinya, dia juga setia dengan pekerjaannya, sudah hampir 12 tahun dia menjadi sales berbagai macam
produk, mau apa? : sales raket pembasmi nyamuk, sandal berduri untuk kesehatan, pembalut wanita, multivitamin
berenergi, bumbu penyedap rasa, susu permentasi, rokok kretek, jas hujan, obat sembelit, balsem panas berganda,
pakan burung, salep gata-gatal, panci anti karat, dan masih banyak lagi. Tapi dia tidak pernah tertarik untuk menjadi
sales gelang Power Balance.
Bang Bisma dan dua orang kawannya jarang nongkrong di kantor RT itu, mereka lebih betah berlama-lama di warung
kopi bu Risna, hampir setiap hari mereka duduk di sana, ada saja yang mereka obrolkan, mulai dari pelajaran kuliah
sampai film terbaru Natalie Portman, dari novel Pramoedya Ananta Toer sampai tulisan di mading jurusan, dari album
terbaru The Sigit sampai lagu campur sari yang sering diputar mas Joko di rumah kontrakannya, meraka doyan betul
membahas banyak hal, semuanya mereka perbincangkan di warung kopi bu Risna, mereka benar-benar para penguasa
warung kopi. Saya kadang-kadang frustasi untuk menyambungkan terlalu banyak benang merah dari obrolan mereka.
Rupanya minat mereka sangat luas, dari masalah musik sampai masalah politik, sedangkan saya baru kelas 2 SMP,
tahu apa tentang politik?, saya meraba-raba jalan pikiran mereka, abang-abang mahasiswa itu.
Merkipun di tempat kuliah, jurusan dan program studi mereka berbeda-beda, tapi minat mereka di luar hal-hal
akademik sepertinya sama. Bang Bisma kuliah di program studi (prodi) Teknik Sipil, bang Joni prodi Administrasi Bisnis,
dan bang Erlan prodi Keuangan dan Perbankan. Baru-baru saya tahu, bahwa kak Ina, yang mereka ajak untuk
bergabung untuk menjalankan rencana-rencana mereka (yang belum sepenuhnya saya ketahui), adalah mahasiswi
prodi Refrigerasi dan Tata Udara. Mereka semuanya kuliah pada satu kampus yang sama; Politeknik Gajah Duduk.Kalau sudah besar saya tidak mau kuliah di kampus itu, soalnya terlalu dekat dengan rumah, lagi pula kalau saya
perhatikan, jarang sekali mahasiswinya yang cantik, hanya beberapa saja yang terlihat lumayan.
Akhir-akhir ini saya lihat bang Bisma dan kawan-kawannya mulai rajin datang ke depan kantor RT, mereka mulai ikut
main kerambol, main catur, main domino dan sesekali main gitar. Para penguasa warung kopi itu sepertinya mulai
mencari base camp baru, semacam base camp cadangan. Di sana, di depan kantor RT itu, segala hal yang sering
mereka bicarakan ketika nongkrong di warung kopi bu Risna, tiba-tiba lenyap. Di sana mereka tidak pernah lagi
membicarakan soal film, buku, musik, dan tulisan. Mereka melebur dan menikmati tema-tema obrolan yang mengalir
begitu saja, mereka juga mulai akrab dengan kang Agus Godeg si Raja Goda. Melihat kenyataan ini, insting detektifku
kembali menyala. Apa hal ini?, kenapa mereka seperti sedang melupakan dunianya?. Belum selesai otakku bergerak,
tiba-tiba mereka menjadi sering ngobrol dengan pak Ajo (ketua DKM mesjid komplek), dengan pak RT, dan bahkan
dengan ibu-ibu penghuni komplek. Mereka juga mulai sering terlihat bercanda dengan anak-anak kecil, dengan paraababil, dan dengan pemuda-pemuda sebaya. Setahu saya, dulu mereka hanya pandai duduk di warung kopi, tapi
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
10/25
Para Penguasa warung Kopi 9
sekarang mereka keluyuran dan banyak berinteraksi dengan hampir seluruh warga komplek. Ada apa ini?, para
penguasa warung kopi seperti sedang melakukan gerakan semesta. Saya harus melakukan penyelidikan dengan lebih
cermat.
***
Sore, cuaca cerah, langit gilang gemilang. Bang Joni duduk di tepi lapangan komplek. Rambutnya sudah agakgondrong, berkibar ditiup angin, maklum mahasiswa. Tumben dia tidak terlihat sedang menghisap cigarette. Gitar
berada di pangkuannya. Segerombol anak kecil tampak berdiri di dekatnya, wajah mereka cerah ceria. Oke, sekarang
coba tebak, siapa penyanyinya, setiap tebakan lagu yang benar berhadiah satu permen fox, tapi nanti permennya
jangan rebutan, jangan khawatir abang punya banyaksekali, demikian ucapnya pada anak-anak kecil itu, tentu saja
anak-anak itu senang. Siap?, sebuah aba-aba. Siaaap!!, anak-anak kecil berteriak penuh semangat. Gitar berbunyi,
semacam intro, lalu nadanya berubah menjadi seperti reff, Aku tak mau bicara, sebelum kau cerita semuaaa /
Waliii.., anak kecil hafal betul lagu ini, permen fox keluar dari kantongnya. Bang Joni mulai bersiap dengan lagu
kedua, Andai ku tahu, kapan tiba,/ Unguuu.., anak kecil memang jago menghafal, permen kedua melayang ke
tangan anak-anak. Bang Joni seperti mulai mencari lagu yang agak susah. Setelah batuk, dia mulai mainkan gitar lagi,
Kau bawa diriku ke dalam hidupmu/ Gigiii.., oh rupanya anak-anak kecil itu tahu juga lagu Gigi, permen fox
warna biru dan tentu saja transparan, keluar dari kantongnya.
Saya yang memperhatikan mereka dari jarak yang tidak terlalu dekat, dapat melihat dengan jelas bahwa tiba-tiba dari
muka bang Joni terbit sebuah senyum yang bagai disengaja untuk ditahan, dia seperti mendapatkan sebuah ide bagus
untuk menaklukkan anak-anak kecil ini, agar mereka tidak bisa menjawab lagu yang akan dia nyanyikan, agar dia bisa
menghemat permen yang ada di kantongnya. Kemudian dia batuk kecil lagi, dan gitar mulai berbunyi, intronya lumayan
panjang, dan, Eh ujan gerimis aje, ikan teridiasinin, eh jangan menangis aje, yang pergi jangan dipikirin., kali ini
anak-anak itu bungkam, tapi ada lagi teriak penuh kemenangan karena bisa menebak si penyanyi. Bang Joni tersenyum
puas, lalu meneruskan lagu, Ehujan gerimis aje, ikan lele ada kumisnye, eh jangan menangisaje, kalo boleh cari
gantinye, anak-anak tetap saja bungkam. Ayo ada yang tahu gak?, anak-anak semuanya geleng kepala. Lagu
barusan penyanyinya adalah Bang Bens, alias Benyamin. S, alias Benyamin Sueb, bang Joni mencoba menjelaskan,
sementara anak-anak itu masih saja membisu.
Kemudian bang Joni memulai lagi, Mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukkan dunia,berlarilah tanpa lelah, sampai
engkau meraihnya/ Nidjiii.., kali ini bang Joni KO lagi, fox merah melayang. Sore belum juga dijemput malam,
beberapa burung gereja bermanuver di atas tanah lapang, dan bang Joni mulai lagi dengan lagunya, Bertahan satu
cinta, bertahan satu C.I.N.T.A,/ Bagindaaas.., edan, skor menjadi 5-1, bang Joni kalah telak, fox hijau menjadi
korban. Tapi pertandingan belum selesai, bang Joni belum menyerah, dia langsung memetik gitar lagi, dan, Aduh ema
asyiknye, nonton dua-duaan, kayak nyonya dan tuan di gedongan, anak-anak kembali bungkam, dan bang Joni
langsung menjelaskan lagi, Penyanyinya adalah Bang Bens, sama seperti yang tadi. Ooohh, anak-anak serempak
membulatkan mulutnya. Bang Joni semakin bersemangat, berhasil memperkecil skor sementara menjadi 5-2.
Lalu bang Joni menarik nafas panjang, mukanya mulai gilang gemilang, sementara anak-anak masih menanti lagu
selanjutnya, masih ada satu orang yang belum kebagian permen, dan dengarlah ini, Do you hear me, Im talking to
you, across the water across the deep blueocean, under the open sky, oh my, baby Im trying, anak-anak terdiam,
tapi rupanya mereka sudah belajar, bahwa setiap lagu yang tidak mereka ketahui penyanyinya pasti Bang Bens, maka
dengan serempak mereka menjawab, Bang Beeens!!, / Ha.ha.ha, bang Joni tertawa keras, anak-anak salingberpandangan, mereka mungkin sadar bahawa tebakannya salah. Kemudian sore perlahan mulai temaram, sebentar
lagi maghrib, udara mulai turun, fox kuning keluar dari kantongnya karena masih ada satu anak yang belum kebagian.
Bang Joni pulang, anak-anak juga pulang. Sebelum berpisah, anak-anak itu berucap dengan agak keras, Terimakasih
Bang Beens!.
***
Walking on the edge of an empty pool
That we thought it was cool
We lower down our voices
Were holding our laughs
Cos the moon are standingThere without a noise
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
11/25
Para Penguasa warung Kopi 10
(Strange In The Song In Our Conversation : Monkey To Millionare)
Ahad. Dari tadi, dari jam delapan pagi, sampai sekarang ketika jarum pendek jam sudah duduk di angka sembilan, lagu
itu terus aja menjadi penghuni tetap playlist bang Bisma, lalu berturut-turut lagu yang lain, yang hampir setiap hari
daftarnya jarang berubah. Pintu kamarnya sedikit terbuka, saya tengok ke dalam, bang Bisma sedang duduk di lantai
dan masyaAlloh di depannya berserak beberapa mainan anak-anak dan beberapa topeng dari plastic. Rencana apalagi ini?. Bang, itu mainan buat apaan?, dia hanya menggerakkan tangan kirinya menyuruh saya menjauh dari
kamarnya. Dasar orang aneh, sudah kuliah masih saja doyan mainan bocah. Saya banting pintu kamarnya dan pergi
main sepeda.
Sekitar jam 12 saya pulang ke rumah karena perut minta jatah. Lagi pula cuaca panas sekali, matahari bersinar garang,
saya berleleran keringat, dan akhirnya mengundang kaki untuk melangkah mengunjungi lemasi es. Kali ini kamar bang
Bisma tertutup rapat. Kata ibu, bang Bisma sedang banyak membaca buku cerita anak-anak, jangan diganggu katanya.
Buku cerita anak-anak?, apa lagi ini?. Tapi sebentar..mainan anak-anak, topeng, buku cerita anak-anak.ooohh, saya
tahu sekarang, bang Bisma pasti akan menjalankan rencananya : mendongeng.
Dan setiap kali sehabis makan, perut selalu saja menggoda mata, apalagi angin bertiup manja dan hari panas sekali.
Duduk di sofa mata mulai lima watt, kepala saya mulai sedikit miring, asli ngantuk sekali. Saya ambil bantal dandengarlah, ini pasti suara ibu, Jangan tidur dulu, sholat dzuhur heula!!. Oh, baiklah ibu, dan saya pergi ke kamar
mandi. Saya melewati lagi kamar bang Bisma, masih tertutup. Saya intip dia lewat lubang kunci yang lumayan besar,
hanya terlihat tangannya yang sedang memegang buku tipis. Tiba- tiba kuping saya ada yang menjewer, Ayo sholat
dulu, jangan suka mengintip!!, ini pasti suara ibu. Andai saja ibu tahu kalau saya sesungguhnya sedang melakukan
penyelidikan, pasti beliau tidak akan melarang saya untuk mengintip kamar bang Bisma.
Bangun sudah sore, sholat ashar heula!!, saya buka mata, ibu sudah berdiri di pinggir sofa. Saya lirik jam dinding,
sudah jam setengah lima. Aduh, saya masih ngantuk, cape sekali hari ini. Ini pasti gara-gara si Ajat yang tadi siang
ngajak saya dan kawan-kawan untuk panen rambutan di rumah bu Nina. Dan sialnya, tanpa sepengetahuan kami, bu
Nina ternyata sudah memelihara seekor anjing penjaga. Tadi siang, waktu saya menyelinap lewat pintu pagar yang
tidak dikunci, untuk mengambil rambutan yang berhasil dijatuhkan oleh si Ajat, tanpa sepengetahuan saya tiba-tiba
dari arah halaman depan, seekor anjing herder berlari kencang sambil menyalak keras, edan, bikin saya kaget. Dengan
reflek saya langsung lari menuju ke arah pintu, sial pintu yang tadi tidak terkunci tiba-tiba menjadi susah dibuka,
sementara anjing semakin dekat, suaranya terdengar sangat keras, jantung saya hampir copot. Tapi untunglah di
tengah situasi panik seperti itu akal saya masih berjalan. Saya panjat pagar besi yang lumayan tinggi, anjing herder
tinggal beberapa langkah lagi dari pantat, saya sampai di puncak pagar, anjing menyalak keras sekali, saya loncat ke
luar pagar, anjing gila telah gagal menangkap tersangka pencurian, dia masih perlu penataran, dan saya berlari dengan
nafas yang hampir tamat.
Sehabis sholat saya tengok langit, oh sudah lumayan teduh. Matahari sudah tergelincir ke barat, angin musim kemarau
menyapu jalan gang. Ibu sedang menggoreng pisang di dapur, ada enam potong yang sudah matang tapi masih panas,
saya comot dua potong dengan menggunakan kertas, lalu bersiap dengan tunggangan, sepeda berwarna biru
kesayangan, dan meluncur ke lapangan komplek. Di sana, di pinggir lapangan, anak-anak kecil terlihat sedang
berkerumun, di tengahnya terlihat ada seorang pemuda yang rambutnya gondrong mengembang, tapi mukanya tidak
begitu jelas, dia seperti memakai topeng. Saya dekati mereka, ternyata yang berdiri di tengah anak-anak itu adalahGorgom. [ ]
Itp, 11/2/11
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
12/25
Para Penguasa warung Kopi 11
Para Penguasa Warung Kopi [3]
Sudah beberapa tahun ini cuaca tidak bisa lagi ditakar oleh ramalan BMG. Memprediksi cuaca sama susahnyadengan membongkar kasus Century dan mafia pajak. Pagi-pagi langit cerah, udara gilang gemilang, bulir-bulir embun
menciut digoda sinar matahari yang datang pelan-pelan, kabut perlahan menghilang digantikan jarak pandang
maksimal, alam terkembang menjadi semangat. Mbak-mbak pegawai kantoran bergegas ke tempat kerja dengan
rambut setengah basah, mungkin habis keramas. Kalau mereka lewat di depan rumah, aromanya tercium seperti
campuran puluhan permen, mungkin minyak wanginya sengaja dioplos. Kakak-kakak mahasiswi berangkat ke kampus
dengan ceria, hanya beberapa orang saja yang terlihat layu, mungkin tugasnya belum selesai atau uang kiriman dari
kampung belum datang. Mereka, para mahasiswi yang ceria itu, pasti merasa dirinya adalah tunas-tunas pilihan
bangsa, hanya karena tugas dari dosen sudah selesai, uang saku masih cukup, tidak terdeteksi mempunyai penyakit
kulit, dan punya pacar yang keren. Ibu-ibu rumah tangga berhamburan keluar dari rumah, suami dan anak-anak
mereka sudah berangkat, mereka mengerumuni tukang sayur keliling sambil tebar gossip. Pagi selalu menjadi saksi,
bagaimana aktivitas sosial banyak dimulai.
Tapi alam kemudian berubah terlalu cepat, matahari tiba-tiba disaput awan, mendung menggantung di langit, mengusir
warna biru yang tadi sempat berkuasa. Suhu perlahan menjadi turun, angin berhembus kencang, dan serbuk hujan
mulai berhamburan. Rasakan itu. Mbak-mbak pegawai kantor menyesali diri karena tak membawa payung, rambutnya
yang hampir kering menjadi basah kembali. Kakak-kakak mahasiswi berebut masuk ke angkot, dan ibu-ibu mengakhiri
pesta gosipnya. Hujan kadang-kadang bersikap seperti pencuri; mengendap-ngendap, beraksi, dan membuat kalang
kabut. Sementara kemarau kini tabiatnya mulai menyerupai para politikus; sering ingkar janji dan tak pernah lama
memegang pendirian. Tukang es kelapa, tukang gorengan, dan ojeg payung tahu benar pahit manisnya hidup akibat
cuaca yang cepat berubah ini. Tapi buat saya, semenjak ada murid baru yang pindah dari Jakarta, semenjak ada Olva,
cuaca seperti apapun tak pernah terasa pahit, semuanya manis melulu.
***
Saya tidak tahu, kenapa saya yang baru kelas dua SMP sudah dihinggapi perasaan suka kepada lawan jenis. Suara saya
mulai agak berat, terdengar seperti suara bass tetapi bukan, belum pernah mimpi basah tapi mulai suka berlama-lama
di depan cermin. Apakah ini yang disebut masa puber?, saya kurang yakin, tapi biarlah para psikolog yang bertugas
untuk menjawab semuanya.
Sekarang saya hanya ingin mendengar bel istirahat berbunyi, dan segera menuju ke sana, ke tempat duduk Olva. Ini
hari ke lima dia di sekolahnya yang baru. Teman perempuannya baru satu orang, teman sebangkunya yang hari ini
tidak masuk karena sakit. Dan saya siapanya dia?. Kemarin dan hari sebelum kemarin, waktu pulang sekolah, saya satu
mobil dengannya, satu angkot jurusan Station Hall - Sarijadi. Dia diam saja, maklum anak baru, belum berani menyapapenghuni lama. Matanya melihat buku yang berada di tangan, dan mata saya melihat wajahnya yang berada di depan,
kami memang berhadap-hadapan. Masa sih tidak kenal?, kan saya teman sekelasnya.
Olva, turunnya di mana?, pandangannya meninggalkan buku, dan tiba-tiba saya dihantam tatapannya. Sekarang baru
jelas, dari jarak tidak kurang dari satu meter, ternyata matanya sangat bagus. Dia tersenyum malu, mungkin grogi
disapa seorang laki-laki keren, Eh, Ivankirain siapa, euh.., aku turun di Soerya Soemantri Oh, tetangga rupanya,
lumayanlah tidak terlalu jauh dari Sarijadi. Kalau kamu turun di mana Van?, dia telah menutup bukunya, selintas saya
lihat covernya; Robohnya Surau Kami A.A. Navis. Di Sarijadi, di ujung rute angkot. Sebelum turun, dia berucap,
Aku duluan ya. Itu adalah percakapan super pendek pada hari sebelum kemarin, dan di hari kemarin
percakapannya mulai agak panjang, dia sudah tidak lagi membaca buku, hanya memegangnya saja, matanya sudah
sepenuhnya beralih kepada laki-laki from Sarijadi. Sama seperti hari sebelumnya, sebelum turun dari angkot, dia
berucap lagi, Aku duluan ya Van Dan langsung saya jawab, Iya, hati -hati ya cantik, tentu kata cantik saya
ucapkan dalam hati, saya belum berani untuk berkata seperti itu.
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
13/25
Para Penguasa warung Kopi 12
Dan bel istirahat benar-benar berbunyi, saya dekati mejanya, anak-anak telah berhambur ke luar kelas. Tinggal Olva,
saya, dan Dian; anak perempuan berkerudung. Tahu saya datang, dia hanya tersenyum. Wajahnya cerah, terutama
matanya. Kami ngobrol sebentar, tapi saya tak ingin demonstrative dengan mengajaknya makan bareng, maka saya
panggil Dian untuk menemaninya makan. Dan mereka berlalu, meninggalkan saya yang masih tersenyum di dalam
kelas yang kosong, entah kenapa. Para psikolog harus bertanggungjawab untuk menjelaskan semuanya.
***
Pohon mangga berdaun rimbun tumbuh di depan rumahnya. Beberapa ekor burung membuat sarang di tempat yang
agak gelap itu, tapi sayang pohonnya jarang berbuah, hal ini membuat saya belum bisa meninggalkan kegiatan
memanen mangga di rumahnya bu Nina. Walaupun kini sudah ada anjing penjaga, tapi semangat saya dan kawan-
kawan tak pernah surut, apalagi si Ajat, pemimpin gerombolan pengacau yang nyali dan nakalnya nomor wahid. Selain
pohon mangga, tumbuh juga pohon jambu batu, melinjo, jeruk limau, dan tanaman-tanaman apotek berdaya khasiat
lumayan, untuk mengobati mereka yang berpenyakit tapi segan ke rumah sakit. Pagar halaman rumahnya pun terbuat
dari tanaman tanaman obat macam baluntas dan ki beling. Ibunya rajin betul merawat tanaman-tanaman itu.
Kalau ada kurikulum paling bagus dalam dunia pendidikan di negeri ini, tak lain dan tak bukan itu pasti disematkan
kepada tugas kerja kelompok. Tugas ini membuat saya bisa tahu dan berlama-lama di rumahnya Olva. Kami berenam,laki-laki dua, perempuan empat. Saya dan si Ajat dikelilingi empat perempuan, tapi dari yang empat itu, di mata saya,
yang istimewa hanyalah Olva, entah bagi si Ajat. Dan sedap betul, ibunya selalu punya sirup dan kue-kue enak untuk
dihidangkan di tengah kerja kelompok yang bagiku, sangat menyenangkan. Kami biasanya duduk berkeliling di teras
depan, di atas sebuah karpet berwarna biru bermotif kembang kol. Kalau anak-anak konsentrasi pada tugas, saya
malah konsentrasi pada Olva. Memperhatikan caranya mengemukakan pendapat, menggigit ujung pulpen, minum
sirup, dan cara dia menahan gigitan kue karena ada sesuatu yang mau diungkapkan; menggemaskan.
Semenjak ada Olva, dan kalau dia tak berhalangan untuk hadir, maka saya tak pernah absen kalau ada tugas kerja
kelompok. Acara panen buah dan lomba balap sepeda di belakang rumah bu Makie yang dinding temboknya sering
kami kotori, kalau kebetulan waktunya sama dengan tugas kerja kelompok, maka acara-acara tersebut akan saya
korbankan. Ini bukan soal rajin belajar atau haus ilmu pengetahuan, tapi tentang sisi lain yang lebih mendebarkan. Hal
ini tentu saja menyulut semacam gegar sosial, apa pasal?. Sebenarnya saya paling malas mengerjakan tugas kelompok,
apalagi jika tempatnya di rumah kawan yang jauh, yang mengharuskan naik angkot. Maka tak heran jika kemudian
banyak komentar-komentar miring berdesingan di kuping saya.
Hujan deras, petir menyambar-nyambar, angin bertiup kencang, menunggu angkot lama, tapi saya tetap datang untuk
mengerjakan tugas kelompok, maka Dian, kawan saya yang berkerudung akan berucap manis, Kamu salah minum
obat ya?. Panas terik, matahari seperti sedang badai, debu beterbangan ditiup angin, jalanan dikuasai fatamorgana,
dan kantuk bergelantungan di pelupuk mata, tapi saya tetap hadir di rumah Olva untuk mengerjakan tugas kelompok,
maka ibunya Olva akan menambahan es batu yang cukup banyak pada sirup yang disuguhkan, kemudian Dwi, kawan
perempuan saya yang masih satu kelompok akan berkicau, Ini bukan mimpi kan?, sambil mencubit tangannya sendiri,
dan sorot matanya penuh heran melihat saya. Gerimis, langit pucat, badan sedikit meriang, tenggorokan tak enak, di
bawah lindungan payung, saya tetap datang pada sebuah sore untuk mengerjakan tugas kelompok, maka Melda,
kawan saya yang agak cerewet akan berkata, Puji Tuhan, kamu rajin sekali!, matanya berbinar bagai kagum kepada
saya, tapi kekaguman yang aneh, kagum bercampur dengan tidak percaya. Sementara Olva, ini dia yang saya tunggu-tunggu, tangannya memegang kening saya sambil berucap, Kamu seharusnya tak usah memaksakan diri sayang,
tentu di ujungnya dia tidak mengucapkan kata sayang, karena itu hanyalah harapan saya. Anjing herder milik bu Nina
mati, pohon rambutan, mangga, jambu, dan belimbing siap panen, pasukan penjarah sudah bersiap dengan semangat
tinggi, dan si Ajat berada pada kondisi terbaiknya sebagai seorang leader, tapi saya tak menghiraukan semuanya demi
datang ke rumah Olva untuk mengerjakan tugas kelompok, maka si Ajat akan berdoa, Mudah-mudahan kamu cepat
sembuh, dan berlalu dengan muka disesaki kecewa.
Mereka, kawan-kawan saya yang berkomentar itu, semuanya tidak tahu, atau lebih tepatnya belum tahu, bahwa cinta,
sesuatu yang nantinya juga akan datang menyerang perasaan mereka, adalah semacam motor penggerak, adalah
semacam roh yang membuat orang malas menjadi rajin, yang membuat orang lemah menjadi kuat, yang membuat
orang penakut menadi berani, yang membuat orang putus asa akan kembali menabur bibit harapan, adalah dia yang
membuat saya menjadi begini, menjadi ketagihan akan tugas kelompok; sesuatu yang dulu pernah saya benci.
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
14/25
Para Penguasa warung Kopi 13
Orang rumah; bang Bisma, ibu, dan bapak, tak pernah banyak cakap dengan perubahan ini. Setiap kali pamit untuk
pergi kerja kelompok, ibu hanya berkata, hati-hati di jalan. Sementara bapak hanya diam saja, karena sedang serius
mendengarkan murotal Al Quran yang diputar dengan MP4, kupingnya tertutup suara yang memancar dari airphone,
jadi saya pamit beliau tidak mendengar. Dan bang Bisma, kadang-kadang dia menyindir, Pulangnya jangan lupa bawa
rambutan ya. Walaupun selama ini tak pernah banyak cakap, tapi rupanya dia tahu bahwa saya sering mencuri
buah-buahan di halaman rumahnya bu Nina. Ketika pergi ke rumah Olva, sebelum sampai di jalan raya untuk
menunggu angkot, kadang-kadang saya bertemu dengan bang Joni atau dengan bang Erlan, Mau kemana kau, sudahsiang masih bawa-bawa tas?, saya jawab dengan takjim, Mau les bahasa Korea bang. Mereka hanya tertawa sambil
mengacak-ngacak rambut saya, Ha.ha.ha..gaya siah!.
***
Kalau saja beliau bukan guru, tentu sudah saya labrak. Pak wawan memang menyebalkan. Guru pelajaran bahasa
Indonesia itu, kalau sedang mengajar, selalu saja berjalan ke arah meja Olva dan berlama-lama berdiri di sana, di
sebelah Olva. Beliau selalu saja menyuruh Olva, ada saja tugasnya, kadang-kadang menyuruh membacakan puisi,
kadang-kadang cerpen, kadang-kadang penggalan novel, sambil tangannya menepuk-nepuk bahu Olva, beliau berkata,
yang dalam pendengaran saya terdengar genit, Ayo Nak, bacakan dengan lantang, kabarkan pada teman-temanmu
tentang indahnya sastra!. Memang bukan Olva saja yang disuruh oleh beliau, anak-anak yang lain juga pernah
kebagian tugas, termasuk saya, tapi yang paling sering adalah Olva, entah kenapa, dan ini buat saya terasamenyebalkan.
Usianya belum terlalu tua, juga tidak terlalu muda, ada sekira 40 tahunan, mungkin seangkatan dengan kang Agus
Godeg alias Si Raja Goda. Jalannya tegap, suaranya agak berat, dan beberapa helai rambutnya berwarna agak putih
mirip uban. Pak Wawan memanggil semua murid laki-laki dengan panggilan Bung, entah kenapa, tapi beliau sempat
mengemukakan alasan yang menurut saya kurang masuk akal. Sengaja bapak memanggil Bung kepada semua murid
laki-laki, biar jiwa kalian disesaki oleh semangat, biar kalian tidak loyo, melainkan penuh gairah belaka, penuh
semangat pergerakan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Tomo. Bapak tidak mau melihat kalian
lembek dan tak berdaya!!. Apa maksudnya coba?, bukankah setiap generas i punya sejarahnya masing-masing?,
apakah anak-anak muda sekarang tidak bisa bergerak dan bersemangat seperti para pahlawan yang disebutkan oleh
Pak wawan?, ah masa sih?, saya kurang yakin.
Tapi tunggu dulu, Bung, kata itu sepertinya sering saya dengar, tapi di mana?. Oh, saya ingat, kata itu sering dipakai
oleh bang Bisma dan kawan-kawannya yang suka nongkrong di warung kopi. Apakah mereka juga mantan muridnya
pak Wawan?, ah mana mungkin. Bang Joni dan bang Erlan jelas bukan orang Bandung, buktinya mereka sekarang
menyewa kamar kost-kostan, lagi pula tampang mereka tidak mewakili orang Bandung kebanyakan, mereka pasti
orang-orang daerah. Bang Bisma juga tidak mungkin, sebab dia beda almamater dengan saya. Jadi kenapa mereka
bertiga berkelakuan macam pak Wawan, memanggil orang dengan kata Bung, apakah alasan mereka sama seperti
yang pernah diungkapkan pak Wawan?, apakah mereka juga ingin meniru semangatnya Bung karno, Bung Hatta, Bung
Sjahrir, dan Bung Tomo?, ini juga harus saya selidiki, siapa tahu ada hubungannya dengan kegiatan mereka akhir-akhir
ini yang cukup menarik perhatian anak-anak komplek.
Lupakan dulu hal itu. Kenyataannya, Olva memang selalu terlihat paling jago dan paling luas wawasannya kalau sudah
berhubungan dengan bahasa dan sastra. Waktu pak Wawan memberi tugas untuk mencari dan membacakan sebuah
puisi karangan para penyair terkenal, ternyata puisi yang dibacakan oleh anak-anak, semuanya adalah karya ChairilAnwar. Puisi dikuasai oleh;Aku, Krawang-Bekasi, Doa, Diponegoro, dan Derai-derai Cemara.
Anak-anak yang pengetahuan puisinya sangat purba, dan kemungkinan besar waktu balitanya pernah cacingan, hanya
tahu puisi Krawang-Bekasi. Anak-anak yang pengetahuan puisinya lumayan purba, belajar membacanya dari sobekan
koran bekas bungkus gorengan, sudah mulai tahu, bahwa karya Chairil Anwar bukan hanya satu, melainkan lebih dari
satu, maka mereka pun mengenal yang berjudulAku dan Diponegoro. Anak-anak yang mulai meninggalkan jaman
kegelapan, kemungkinan besar orangtuanya seorang penjaga perpustakaan, sudah benar-benar tahu, bahwa ternyata
Chairil Anwar pernah menulis puisi yang berjudul Doa. Anak-anak yang sudah melambaikan tangan dan mengucapkan
selamat tinggal kepada jaman kegelapan, sudah tersentuh akses internet, sudah sangat tahu, Chairil Anwar juga
ternyata dengan sangat bagus pernah menulis puisi yang berjudul Derai-derai Cemara.
Dan saya, walaupun pengetahuan puisi saya tidak memalukan, tapi tetap memilih puisi Chairil Anwar. Bagi saya, diatetap tak tergantikan, dia masih menjadi raja kata-kata, tapi saya sedikit berbeda, walaupun masih karya Chairil Anwar,
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
15/25
Para Penguasa warung Kopi 14
tapi puisi yang saya bacakan tidak sama dengan kawan-kawan sekelas, saya memilih yang berjudul Nisan. Dari
semenjak absen pertama, dinding kelas yang berwarna putih kusam, sudah terlihat bosan dengan suara anak-anak
yang membacakan puisi yang itu-itu juga, hanya waktu saya maju saja dia terlihat tenang. Tapi dia, dinding kelas itu
terlihat kaget waktu seorang anak perempuan dengan nama depan berawalan O maju ke depan kelas. Kecuali pak
Wawan, tak seorang tahu dan pernah mendengar puisi yang dibacakannya, termasuk saya. Olva membacakan sebuah
puisi karya Joko Pinurbo. Nama penyair ini sangat asing di telinga saya dan anak-anak. Tapi, oh, saya sangat suka
dengan puisinya, juga dengan orang yang membacakan puisinya di depan kelas itu, perpanduan yang indah, lihat dandengarlah, dan Olva memulainya:
Kepada Cium
Karya : Joko Pinurbo
Seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,
Seperti gelandangan kecil menenggaksebotol mimpi di bawah rindang matahari,Malam ini aku mau minum dari bibirmu.
Seperti mulut kata mendapatkan susu sepiyang masih hangat dan murni,Seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.
Sementara anak-anak masih terdiam setelah Olva selesai membacakan puisi itu, pak Wawan langsung tepuk tangan
seperti sebuah komando, maka kelas pun menjadi ramai oleh tepuk tangan, dan Olva hanya tersenyum sambil,
pandangannya menunduk seperti malu.
Jauh sebelum pak Wawan memberi kami tugas untuk mencari, membaca, dan memberikan komentar pada sebuah
cerpen, Olva sudah sering membawa buku kumpulan cerpen ke sekolah. Waktu kami bertemu di angkot, dia sedang
membaca buku Robohnya Surau Kamikarya A.A. Navis, lalu berturut-turut setelah itu dia membawa buku kumpulan
cerpen karya Hamsad Rangkuti, Budi Darma, Joni Ariadinata, Helvy Tiana Rosa, Pramoedya Ananta Toer, Asma Nadia,
dan kumpulan cerpen terbaik koran Kompas. Maka waktu tugas itu datang, anak-anak sekelas langsung sibuk
mendekatinya, kecuali saya. Sudah saya bilang, walaupun Olva yang paling jago dan paling luas wawasan sastranya,tapi saya ini bukanlah seorang siswa yang memalukan, saya tidak ikut-ikutan meminjam buku Olva. Sehari sebelum
tugas itu dikumpulkan, saya mendatangi kostan bang Joni dan meminjam buku karangan Leo Tolstoy; Tuhan Maha
Tahu, Tapi Dia Menunggu. [ ]
itp, 23/2/2011
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
16/25
Para Penguasa warung Kopi 15
Para Penguasa Warung Kopi [4]
Sehari sebelumnya, sebelum tugas cerpen itu dikumpulkan, saya berdiri di balik pintu yang tertutup, pintu yang
dipenuhi oleh tempelan stiker, coretan spidol, dan sebuah poster. Di dalam terdengar suara orang tengah mengobrol
menggunakan ponsel. Saya ketuk pintu sambil menghantamnya dengan ucapan keselamatan, Assalamualaikum.
Pintu tak bergeming, yang berbicara masih terdengar. Saya ulangi sampai tiga kali, pintu belum juga terbuka. Saya
hantam dengan ucapan yang lain, Sepadaa, tetap tak ada perubahan. Akhirnya saya duduk di depan pintu itu dan
membelakanginya sambil mulai bertanya-tanya, Sejak kapan bang Joni berubah menjadi Bolot?, apakah kamarnya
yang kedap suara?. Tak lama, tiba-tiba saya mendengar suara di belakang, Sudah lama ente duduk di sini?, saya
lihat ke belakang, bang Joni sudah berdiri di ambang pintu dengan penampilan dalam kondisinya yang sangat
memprihatinkan. Tak ada yang lebih mengenaskan selain seorang mahasiswa yang belum mandi, rambutnya acak-
acakan, mukanya lengket oleh minyak alami, berjerawat, bibirnya menghitam karena cigarette, dan perutnya tidak
simetris karena terlalu sering dijejali mie instant. Dan sekarang, di depan saya, makhluk seperti itu tengah berdiri.
Lumayanlah bang sudah satu jam menunggu, kata saya sambil mulai berdiri. Kenapa tidak kamu ketuk sajapintunya?, atau teriak ucapkan salam?, ini dia salah satu penyakit orang budeg, dia selalu menanyakan hal yang
sebenarnya telah oranglain ucapkan. Saya tak mau berlama-lama dengan menjelaskan secara detail apa yang telah
saya lakukan tadi, saya hanya mau pinjam buku kumpulan cerpen. Bang, punya buku kumpulan cerpen ga?, dia tidak
menjawab malah masuk lagi ke kamarnya dan mengambil ponselnya yang berbunyi. Kalau dilihat dari muka dan cara
bicaranya, dia pasti bukan sedang berbicara dengan laki-laki, karena dia terkesan melembut-lembutkan suara dan
seperti ada senyum yang tertahan. Ayo masuk, jangan di luar saja, cari tuh di rak buku?, ponselnya agak dijauhkan
dari kuping waktu dia menyuruh saya masuk. Dia duduk di ambang pintu waktu saya mengacak-ngacak rak bukunya.
Koleksi bukunya lumayan banyak, tapi anehnya, dari yang banyak itu, sangat sedikit saya temui buku-buku yang
berhubungan dengan pelajaran kuliah. Bang Joni kuliah di program studi Administrasi Bisnis, tapi bukunya hampir 99
persen didominasi oleh novel, memoar, biography, catatan perjalanan, cerpen, sejarah, dan puisi. Buku yang
berhubungan dengan mata kuliah hanya ada karangan The Liang Gie untuk mata kuliah kearsipan , dan. Lalu sayamenemukan sebuah buku bersampul coklat bergambar seorang kakek berjenggot lebat yang sedang menulis, saya
buka secara acak dan berhenti pada sebuah cerita berjudul Matinya Ivan Ilych. Sementara bang Joni masih bicara di
telepon dengan suara yang dilembut-lembutkan, dan masih dengan senyum yang tertahan tanda ada kebahagiaan di
pedalaman dirinya, saya hanyut dalam cerita yang ditulis oleh pengarang buku bersampul coklat itu.
Alangkah tragis kisah hidup Ivan Ilych. Tanpa melihat lagi buku cerita yang lain, saya langsung putuskan, bahwa buku
yang covernya berwarna coklat ini, yang pengarangnya adalah ternyata Leo Tolstoy, adalah buku yang akan saya
pinjam buat memnuhi tugas pelajaran bahasa Indonesia. Sambil membereskan lagi buku yang tadi sempat keluar dari
rak, saya mulai berpikir, tiba-tiba seperti ada yang menyalakan pemantik lalu membakar dan mengingatkan saya,
bahwa penyelidikan saya terhadap bang Bisma, bang Joni, dan bang Erlan belumlah berakhir, bahkan sesungguhnya
baru dimulai. Maka demi ingat misi tersebut, saya langsung memasang radar dan memutar otak, dan sebuah lampu
berwatt tinggi langsung menyala terang di kepala saya.
Pengamatan saya yang dulu, yang meyakini bahwa bang Joni adalah bertype seorang pemuda misterius karena tidak
pernah menggoda perempuan-perempuan cantik yang lewat di depan warung kopi bu Risna, yang menyebabkan saya
menarik semacam kesimpulan sementara, bahwa bang Joni belum puber, belum suka dengan makhluk yang bernama
perempuan, saat ini keyakinan itu goyah. Kalau bicara dengan seorang laki-laki, mana mungkin tutur bicaranya halus
dan lembut?, pasti kata-kata seperti aing, maneh, lo, urangdan sia akan berhamburan dari mulutnya. Tapi kali ini, oh
bukan main, untuk kata ganti diri sendiri dia pakai kata aku, dan untuk kata ganti orang yang berbicara di ujung
ponsel, dia pakai kata kamu. Ini sangat tidak lazim, pasti sesuatu telah terjadi. Mungkinkah hati bang Joni sedang
ditawan ranger pink?. Siapa pula perempuan malang yang berhasil dirayunya?.
***
Lapangan komplek, kalau sore, semenjak trio penguasa warung kopi sering nongkrong di sana, sudah hampirmenyerupai taman kanak-kanak. Dua kali seminggu, bang Bisma akan duduk atau berdiri di pinggir lapang sambil
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
17/25
Para Penguasa warung Kopi 16
membawa topeng dan beberapa mainan anak, dan yang paling sering dia bawa, apalagi kalau bukan topeng Gorgom.
Lalu anak-anak akan berkumpul di dekatnya, mendengarkan dongeng yang diceritakan oleh bang Bisma. Saya tidak
pernah sekali pun mendekati kerumunan yang diciptakan bang Bisma itu, saya sudah besar, masa harus bergabung
dengan bocah-bocah SD?. Lagipula, saya yakin, dongeng bang Bisma itu pasti garing alias tidak menarik, pasti akan
terdengar kaku, seperti dirinya yang sering berlama-lama di kamar dan di warung kopi.
Bang Joni tidak mau kalah, dua kali seminggu dia akan membawa gitarnya yang ramai ditempeli stiker ke lapangankomplek, dia selalu mengadakan semacam kuis tebak judul lagu, tebak penyanyi, atau tebak lirik. Tebak-tebakan yang
diciptakan bang Joni itu sudah menyerupai macam acara Kuis Dangdut yang disiarkan TPI yang pembawa acaranya
Djadja Miharja. Anak-anak senang dengan apa yang dilakukan oleh bang Bisma dan bang Joni, sebab selama ini
mereka hanya bisa bermain bola, main sepeda, dan main gundu. Sementara anak-anak perempuannya hanya tahu
permainan loncat tali dan petak umpet.
Pernah sekali waktu saya ikut nimbrung dalam kerumunan anak-anak yang sedang main tebak lagu dengan bang Joni.
Tentu saya tidak ikut menebak, sebab saya bukan bocah SD lagi, sudah tidak doyan permen, lagipula semua lagu yang
dibawakan bang Joni, saya tahu belaka. Waktu itu saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, bang Joni terlihat kaget
waktu seorang anak bertanya mengenai arti sebuah tulisan berbahasa Inggris yang ada pada stiker yang menempel
pada gitar bang Joni. Stiker itu memang tidak terlalu besar, tapi karena bentuknya yang menyerupai bercak air dan
berwarna dasar biru, maka telihat jelas menempel pada gitar yang berwarna krem. Tulisannya terdengar prokokatif:Onani is not acrime. Ditanya arti tulisan seperti itu, tentu saja bang Joni kaget sebab yang bertanyanya anak kecil,
bahkan masih dalam fase ingusan. Dia garuk-garuk kepala sebentar, menarik nafas, lalu berkata, Euh.., itu artinya :
Jangan meludah sembarangan. Beberapa hari setelah itu, saya melihat lagi gitarnya, dan stiker itu telah tidak ada.
Bang Joni tidak ingin terperosok dua kali pada lubang yang sama, karena yang berhak melakukan hal seperti itu adalah
keledai.
Tapi yang agak aneh, dari trio penguasa warung kopi itu hanya bang Erlan yang belum terlihat beraksi. Hampir setiap
sore, dia terlihat hanya duduk-duduk saja di depan kantor RT; mendengarkan cerita kang Agus Godeg, tertawa nikmat,
menghisap cigarette, main domino, main kerambol, main catur, dan ngobrol dengan orang-orang yang nongkrong di
sana. Jika dibandingkan dengan dua kawannya, bang Erlan terlihat kurang ada kontribusinya dalam gerakan semesta
yang mereka lakukan. Tapi kemudian pengamatan saya ini terbukti tidak benar, sebab pada sebuah malam yang
kering, ketika mereka kembali berkumpul di warung kopi bu Risna, saat jalan gang tidak disinari cahaya bulan, sebab
dia sedang berbentuk sabit, dan waktu saya memesan segelas susu coklat panas, strategi mereka sedikit terungkap.
Mereka ternyata sengaja membagi kerja seperti itu. Bang Erlan yang terlihat santai-santai saja ternyata sedang
melaksanakan tugas yang sangat keren, dia berlaku macam intel sekaligus diplomat yang bergerak menyusup ke dalam
denyut nadi pergaulan sosial, berbaur, mencoba mewarnai tema pembicaraan, dan sekaligus menjadi juru bicara kalau
ada yang bertanya, Apa sih yang sedang dilakukan oleh si Joni sama si Bisma?.
Meskipun begitu, sampai saat ini, saya belum benar-benar paham apa sesungguhnya tujuan di balik semua yang
mereka lakukan. Tapi saksikanlah, saya tidak menyerah untuk itu, saya akan terus mencoba menyambungkan semua
benang merah kegiatan mereka. Semenjak saya berjanji pada diri sendiri, bahwa saya akan menyelidiki semuanya
dengan mendeklarasikan diri menjadi detektif Kogoro Mori, maka lebih baik saya harakiri dari pada mundur dari arena
penyelidikan ini. Saya harus menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Siapa memulai tidak boleh melarikan diri, sebab
melarikan diri hanya pantas dilakukan oleh para criminal, dan karena saya bukan seorang criminal, maka saya akan
jalan terus.
Dan ketika saya jalan terus, saya menemukan kembali kenyataan lain yang membuat keyakinan saya kembali goyah,
keyakinan tentang pemuda-pemuda misterius yang belum dihinggapi masa puber itu. Setelah mendapati bang Joni
berbicara di ponselnya dengan suara sengaja dilembut-lembutkan, yang terdengar seperti sedang merayu seorang
perempuan, kini saya mendapati bang Bisma berpindah aliran. Music yang dia dengarkan setiap hari kini mengalami
perubahan. Biasanya setiap pagi, sesudah mandi dan sebelum pergi kuliah, dia akan memutar The Sigit dengan volume
keras, tapi sekarang dia malah menggantinya dengan Mocca. Kalau sore, sesudah pulang kuliah dan sebelum mandi,
dia biasanya akan mendengarkan Nudist Island dan Alone At Least, tapi kini malah sering mendengarkan Ten2five.
Sampai larut malam, kadang-kadang lagu-lagu bersuara perempuan itu masih terdengar dari kamarnya dengan volume
yang sangat sopan. Meskipun lirik lagu Mocca dan Ten2five yang didengarkan bang Bisma berbahasa Inggris, tapi
jangan sepelekan saya, meskipun saya akui, saya ini suka mencuri rambutan, mangga, dan belimbing, tapi di kelas,
Alhamdulillah saya paling keren dalam mata pelajaran English. Maka waktu Arina, vokalis Mocca benyanyi, saya denganotomatis tahu artinya. Alangkan mudahnya menterjemahkan lirik lagu seperti ini :
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
18/25
Para Penguasa warung Kopi 17
What if I give you my smile?
Are you gonna stay for a while?
What if I put you in my dreams tonight?
Are you gonna stay till its bright?
What if I give you my story?
Are you gonna listen to me?What if I give you my heart?Are we never gonna be apart?Tidak saya sangka sebelumnya, ternyata darah muda bang Bisma tetap mengalir dengan lancar, hanya saja dia
sembunyikan arusnya itu dengan rapi dalam lirik-lirik lagu, dalam hening malam, dan mungkin juga dalam pisau cukur
yang berhasil menggugurkan kumis tipisnya yang terlihat menyerupai lele. Ya, dia sekarang terlihat lebih rapi dengan
penampilan tanpa akar bibir walaupun rambutnya masih eksis bergaya sarang burung. Siapakah gerangan perempuan
kurang beruntung yang telah berhasil menawan hatinya bang Bisma?, ini menambah daftar panjang poin penyelidikan
saya selanjutnya.
Dua orang sudah diketahui kondisi arus darah mudanya, setidaknya dalam gelanggang eceng gondok, kondisi dua
orang pemuda itu, walaupun masih bersifat kesimpulan sementara, namun sudah mulai dapat saya deteksi. Kini tinggalmenyelidiki bang Erlan, apakah hati dia juga sudah mulai tertawan oleh ranger pink?, apakah dia juga menyimpan
semacam misteri seperti tugasnya yang bersifat macam intel dan diplomat dalam kegiatan trio penguasa watung kopi
tersebut?. Dan lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan saya itu akhirnya dapat terjawab, di mana lagi kalau bukan di warung
kopinya bu Risna.
Malam itu cuacanya sedang lembab, sore; beberapa jam sebelumnya, hujan baru saja menyelesaikan tugasnya dengan
sempurna. Apakah laki-laki diciptakan untuk menghisap cigarette?, karena hei lihatlah, ketiga penguasa kopi itu sedang
nikmat betul membakar tembakau yang berkolaborasi dengan cengkeh dari merek yang berbeda-beda. Bang Bisma
menghisap cigarette bermerek benda tajam yang sangat kecil, bang Joni bermerek alphabet urutan pertama, dan bang
Erlan menghisap cigarette legendaris bermerek deret hitung dengan susunan yang konstan. Sementara saya belum
cukup umur untuk diijinkan berani mengotori paru-paru. Saya hanya serius meniup susu putih cap bendera yang masih
panas di gelas bening.
Perbincangan kali ini sedikit beraroma infotainment, sebab virus ranger pink dilemparkan dalam wacana yang masih
abu-abu, masih butuh klarifikasi. Bang Bisma angkat bicara sambil menepuk-nepuk lutut bang Joni yang sengaja
diangkat ke atas kursi panjang, Amboi Bung, apakah tadi siang saya tak salah lihat ya?, rupanya kawan kita ini, kawan
calon manager bank ini, sudah ambil start duluan ternyata. Bang Joni langsung menyambar bagai bensin mencium api,
Apa yang telah terjadi Bung?. Lalu bang Bisma bercerita bahwa tadi siang, waktu dia makan di kantin kampus, dia
melihat bang Erlan makan bersama seorang perempuan, yang kalau dalam pandangan bang Bisma, perempuan itu
bukan hanya teman, tapi teman kuadrat, artinya sudah setara dengan pangkat ranger pink yang sering dia rindukan
lewat lagu Mocca. Tafsir sederhananya, bang Erlan divonis telah punya pacar. Dan bang Erlan hanya senyum kecil saja
sambil menghembuskan asap cigarette yang kemudian menyesaki warung kopi.
Ente tahu siapa perempuan itu bung?, bang Joni geleng kepala, lalu bang Bisma bicara lagi, Dia tak lain adalah
kawan satu program studi dengan saya bung, anak Teknik Sipil. Kagum saya pada pergerakan bung Erlan ini, takpernah saya lihat dia nongkrong di gedung saya, tapi tiba-tiba sudah berhasil menawan seorang ranger pink made in
Teknik Sipil. Bang Erlan tak bergeming, dia tetap tidak berkicau, memang kadang -kadang dia semacam suka tampil
cool. Siapa namanya bung?, lalu bang Bisma menjawab, Syafitri. Wajah bang Joni tiba -tiba sedikit berubah,
mungkin ada yang kurang beres dengan nama yang disebutkan oleh bang Bisma tersebut. Kenapa muka ente jadi
berubah begitu bung?, bang Joni tidak langsung menjawab, tapi hanya menghisap cigarette dan menghembuskan
asapnya ke atas. Dan dengarlah ini, bang Joni mulai berkicau, Bung, nama perempuan seperti ini, menurut saya,
adalah nama yang kurang bagus untuk dipanggil. Bang Bismamengkerutkan dahi, Maksud bung?. Lalu bang Joni
berkicau lagi, kali ini cukup panjang, Coba bung bayangkan, kalau dia dipanggil dengan nama lengkap, dengan nama
Syafitri, akan terdengar terlalu panjang dan repot mengucapkannya. Terus misalkan saja dia dipanggi Pipit, oh, ini akan
sangat beraroma sawah menjelang panen padi. Dan bung harus ingat, burung pipit itu bertabiat agak oportunis. Waktu
padi masih hijau dan buahnya masih belum berisi, dia jarang menyatroni padi, tapi ketika padi mulai menguning, dia
akan mengganggu para petani, sehingga dia harus ditakut-takuti oleh orang-orangan sawah. Terus kalau sosokmanusia tipuan itu sudah tidak membuat mereka takut, terpaksa bapak tani harus berjaga sepanjang hari dengan
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
19/25
Para Penguasa warung Kopi 18
menarik-narik tali yang dibentangkan sampai ke tengah sawah, oh, pengganggu yang sejati. Lagipula bung, menurut
saya, di dunia ini, yang namanya Pipit dan terdengar tidak janggal hanyalah Pipit Senja, itulah dia sang penulis
produktif, yang telah melahirkan puluhan bahkan ratusan novel, yang royaltynya dia gunakan untuk membiayai cuci
darah yang harus dia lakukan setiap minggu. Bukan main Pipit Senja ini, penyakit yang menggerogotinya tak membuat
dia mundur sejengkal pun dari aktivitas menulis.
Iya juga ya, bang Bisma rupanya setuju dengan kicauan bang Joni, tapi kemudian bang Bisma berkata lagi, Tapi
bung, bukankah dia juga bisa dipanggil Syasya atau Sasa, atau mungkin Riri?. Demi mendengar perkataan bang
Bisma, bang Joni langsung tertawa keras dan terdengar nikmat betul. Setelah tawanya reda, dia langsung berkicau lagi,
Bung..bung, kalau dia dipanggil Syasya, akan terdengar terlalu mendesis, persis seperti suara orang sedang
mengusir ayam. Kalau dia dipanggil Sasa, apakah bung tidak ingat dengan merek dagang sebuah pruduk MSG?, ah,
akan buruk terdengarnya bung. Dan apa satu lagi, Riri?, ah ini juga berat, sebab yang pantas dipanggil Riri, di kolong
langit ini hanya dua orang; DJ Riri dan Riri Riza.
Bang Bisma belum menyerah, dia lemparkan lagi alternatif terakhir, Kenapa dari tidak kita susah-susah mencari nama
panggilannya, bukankah dia bisa dipanggil Fitri?!. Tapi bang Joni ternyata tidak tinggal diam, dia mengelus dadanya
lalu menepuk bahu bang Bisma, Bung, janganlah kita termasuk ke dalam golongan orang -orang yang mendukung
sinetron bersekuel-sekuel yang membuat perut kita mulas, apakah bung lupa dengan sinetron Cinta Fitri?, saya kira,
cukuplah perut kita saja yang dibikin mulas, jangan kita tularkan juga pada nama panggilan girlfriend-nya bung Erlanini.
Dari tadi, dari semenjak bang Bisma dan bang Joni asyik membahas nama panggilkan Syafitri, bang Erlan tak
mengeluarkan komentar sedikit pun, dia tetap terlihat syahdu dengan kopi hitam dan cigarette kreteknya, dan saya
tetap pura-pura fokus pada susu panas cap bendera, dan di luar, malam semakin gelap dan udara masih lembab,
dingin mulai berkuasa. Kemudian terdengarlah lagi sebuah kicauan, Bung, saya kira, tak usahlah kita terlampau
banyak cakap mengenai nama panggilan ini, lebih baik kita serahkan saja pada bung Erlan, karena dia yang lebih
berhak, demikian kata bang Joni, dia rupanya insyaf, bahwa nama yang tadi dia jelek-jelekkan itu adalah sebuah nama
yang sangat berarti bagi kawannya yang agak pendiam, bagi bang Erlan.
Diam. Tak ada suara. Bang Erlan tidak merespon perkataan bang Joni. Dia hanya tersenyum kecil. Dua orang
kawannya kembali bertanya, Siapa panggilan bung?, bagaimana kau bisa memanggilnya?, kata bang Bisma dan bang
Joni serempak. Saya memasang kuping dengan awas, menunggu jawaban bang Erlan. Warung kopi masih tersandera
aroma kopi dan asap cigarette. Bu Risna duduk di pojok sedang sibuk mengisi TTS, wajahnya belum terlihat ngantuk,
maklum saja masih di bawah jam sepuluh malam. Saya fokuskan pandangan pada bang Erlan, dia menghisap
cigarettenya yang hampir habis, bara api sudah mendekati bibirnya yang tidak estetik. Akhirnya, setelah meneguk
kopinya yang habis, dan menghisap cigarettenya yang sudah semakin pendek, dia dengan setengah berbisik berkata,
Saya biasa memanggilnya.Bintang Jatuh. [ ]
itp, 27/2/2011
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
20/25
Para Penguasa warung Kopi 19
Para Penguasa Warung Kopi [5]
Maka mereka, para penguasa warung kopi itu---ini masih kesimpulan sementara, sesungguhnya adalah para
pemuda yang sama seperti orang kebanyakan; ada yang berdenyut ngilu di pedalamannya, ada getar-getar halus yang
merambat di langit jiwanya, ada saat-saat ketika mereka ingin menikam waktu dan jarak, ada perasaan yang tidak bisa
mereka dijalani sendirian.
***
Pada beberapa hal tertentu, bunuh diri adalah ketika kita membenamkan pendapat, tidak berani bersuara, dan hanya
membebek mengikuti pendapat oranglain. Sekalipun itu orang yang kamu cintai, kalau kamu tidak setuju, maka tidak
ada alasan untuk diam. Hanya ada satu kata, "Lawan!!", begitu kata Wiji Thukul. Dan begitulah, maka pada sebuah
siang yang terik, ketika bayangan pohon di luar kelas terlihat seperti sketsa wajah monster, pak Wawan duduk di
kursinya yang berwarna coklat tua. Kali ini beliau ingin kembali menggali keberanian murid-muridnya untuk belajar
menyampaikan pendapat di dalam kelas. Sebulan yang lalu, beliau memberi tugas untuk membaca novel karanganAhmad Fuadi yang berjudul Negeri 5 Menara, dan kami disuruh untuk memberikan tanggapan kepada novel tersebut.
Cara pak Wawan mengajar, terlepas dari dia sering menepuk-nepuk bahu Olva, menurut saya, sangat mengesankan.
Beliau tidak pernah menyembunyikan karya sastra seperti yang biasa dilakukan oleh buku -buku pelajaran bahasa
Indonesia. Kami murid-muridnya, tahu para sastrawan dan karyanya bukan dari buku pelajaran bahasa Indonesia yang
peredarannya diwajibkan, tapi dari pak Wawan, dari koran, dan dari internet. Beliau mewajibkan kami untuk menabung
minimal 500 rupiah setiap hari, dan setiap tiga bulan sekali beliau pasti mewajibkan kami untuk membeli sebuah novel
yang harganya sekitar lima puluh ribuan, dengan judul yang telah beliau tentukan. Dengan asumsi bahwa setiap bulan
dipukul rata menjadi 30 hari, maka setelah tiga bulan, dengan simpanan minimal 500 rupiah per hari, maka uang
tabungan kami akan terkumpul sebesar 45,000 rupiah.
Negeri 5 Menara adalah novel wajib kedua yang kami beli, sebelumnya kami telah membeli novel Laskar Pelangikarangan Andrea Hirata. Waktu itu, waktu saya dan teman-teman sekelas secara bergiliran mengemukakan pendapat
dan tanggapan terhadap novel Laskar Pelangi, serta sesekali berdebat, Olva belum hadir, dia masih di Jakarta, masih
belum bertemu dengan seseorang yang diam-diam mencintainya. Selain hal itu, sebulan sekali kami disuruh membuat
cerpen, dan dua minggu sekali disuruh membuat puisi. Pak Wawan sering berkata, Bacalah karya sastra, karena akan
memperhalus jiwamu. Kata anak-anak kelas tiga yang pernah diajar oleh pak Wawan, dulu novel wajib mereka adalah
Bukan Pasar Malam (Paramoedya Ananta Toer), Burung-burung Manyar (Romo Mangunwijaya),Orang-orang Proyek
(Ahmad Tohari), dan The Old and The Sea(Ernest Hamingway). Kata mereka, dari empat novel yang wajib dibeli dan
dibaca dalam kurun waktu satu tahun, pak Wawan pasti akan menyelipkan satu buah novel karya satrawan asing.
Sekarang tibalah waktunya, seperti ketika membahas novel Laskar Pelangi, sekarang juga setiap murid harus berbicara,
harus berani memberikan tanggapan dan mengungkapkan pendapat. Anak-anak yang namanya berinisial alphabet awal
terlihat tenang saja, sebab kali ini pak Wawan mengacak nama semau dia, dan yang namanya dipanggil pertama kali
adalah Dian, teman saya yang berkerudung. Silahkan Nak, bagaimana tanggapanmu terhadap novel Negeri 5
Menara?, Dian lalu berdiri, tapi tetap di tempatnya. Menurut saya, ini adalah novel yang sangat bagus. Mantra Man
Jadda Wajadayang dijalankan oleh si penulis sangat menawan. Siapa saja yang membaca novel ini, pasti akan dialiri
oleh semangat yang lebih mencerahkan, ada motivasi yang menggigit, bahwa nasib buruk tidak akan pernah berpihak
kepada orang-orang yang melebihkan usahanya, kepada orang-orang yang berusaha di atas rata-rata. Selain itu, novel
ini juga seperti sebuah sikap perlawanan terhadap anggapan orang kebanyakan, yang seringkali menyepelekan
lembaga pendidikan agama yang bernama pesantren. Ahmad Fuadi membuktikan bahwa alumni pesantren pun bisa
bersaing, bisa bersosialisasi, dan yang lebih penting adalah bisa bermanfaat bagi orang lain. Saya kira, itu yang saya
tangkap dari novel ini. Kemudian Dian duduk kembali, dan pak Wawan memanggil nama yang lain untuk
menyampaikan pendapatnya. Kesempatan kedua diberikan kepada Ajat, kawan saya sebangku, juga kawan saya dalam
urusan mencuri buah milik bu Nina.
Ajat berdiri, teman-teman sekelas banyak yang tersenyum. Selama ini, kalau ada guru, Ajat dikenal sebagai siswa yangjarang berbicara di depan kelas. Hal tersebut bukan berarti dia pendiam, tapi dia malas berbicara secara formal. Waktu
-
7/31/2019 Para Penguasa Warung Kopi
21/25
Para Penguasa warung Kopi 20
berdiri, tangannya memegang bibir meja, kemudian dia mulai berbicara, Euh, kalau kata saya sih novel ini biasa
saja. Dian terlihat langsung memasang muka tidak setuju, tapi pak Wawan malah bertanya dengan nada penuh
simpati dan ingin tahu, Ini terdengar mantap sekali, coba jelaskan bung, bagaimana sampai bisa mengatakan bahwa
novel ini biasa saja?. Kemudian Ajat melanjutkan, Jiwa dari novel ini hanyalah satu kalimat, yang tadi sempat
disinggung oleh Dian, hanya kalimat Man jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil. Dan
menurut saya, ungkapan tersebut tidak istimewa, bahkan sangat biasa. Bukankah setiap hari kita terbiasa dituntut
untuk mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh?. Orangtua kita, guru-guru kita, saudara-saudara kita, bahkanteman-teman kita pun seringkali mengungkapkan hal tersebut. Nenek saya sering bilang, Sing soson-soson jang diajar
teh, mh gancang pinter!. Jadi apanya yang istimewa?, tapi memang harus diakui bahwa semangat belajar keras yang
ditulis oleh Ahmad Fuadi cukup bisa membangunkan siapa saja yang selama ini ditawan oleh malas atau siapa saja
yang selama ini belajar dengan gaya minimalis alias alakadarnya.
Dian langsung mengangkat tangan dan berdiri, dia kemudian mendebat pendapatnya Ajat. Pak wawan
mempersilahkan, lalu kelas mulai menjadi ramai, karena ternyata Ajat pun tidak tinggal diam, dia bertahan dengan
pendapatnya disertai argument-argument yang kuat. Anak-anak yang tadi sempat tersenyum karena meragukan Ajat,
kini terlihat pucat, mereka menjadi ragu dengan pendapat mereka sendiri, mereka dibungkam dengan kenyataan. Kalau
saja pak Wawan tidak menengahi, debat pendapat antara Dian dan Ajat pasti tidak akan berakahir. Anak-anak yang
lain kemudian secara bergantian dan acak dipanggil namanya dan disuruh menyampaikan pendapatnya masing-masing,
tapi setelah perseteruan antara Dian dan Ajat, kelas tidak terlalu rama i karena tidak ada lagi perdebatan, sebelumakhirnya nama Olva dipanggil.
Semua sudah tahu, Olva pasti akan memberikan kejutan, dia diyakini akan menyampaikan pendapat yang tidak biasa,
yang tidak sama dengan pendapat anak-anak yang cenderung seragam. S ilahkan Nak, sampaikan pendapatmu dengan
lantang, kata pak Wawan pada Olva, tapi kali ini tidak sambil dengan menepuk-nepuk bahu, beliau tetap duduk di
kursinya yang berwarna coklat tua. Olva berdiri dan mulai menyampaikan pendapatnya, dan pandangan saya lekat,
tidak lepas dari dirinya, Mengenai semangat dan pesan yang diusung oleh novel ini saya kira teman -teman sudah
banyak yang membahasnya, oleh karena itu saya akan menyampaikan pendapat lain. Dalam novel ini penokohan yang
ditulis oleh Ahmad Fuadi sangat menarik, dia membangun karakter tokoh-tokoh ceritanya dengan sangat jelas, tidak
abu-abu, sehingga pembaca dapat mengingat dengan kuat mana tokoh A dan mana tokoh B, ini sangat membantu
pembaca dalam memahami cerita dan menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Sebuah cerita, menurut
saya, memang seharusnya seperti ini, seperti apa yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, harus jelas karakter setiap tokohnya,
karena kalau ada yang karakter yang tidak kuat, maka cerita akan terasa buyar dan membingungkan. Seperti yang
sudah diduga oleh semuanya, Olva keluar dari pembicaraan mayoritas yang dari tadi tidak beranjak dari pembahasan
kalimat Man Jadda Wajada.
Entah kenapa, saya yang dari tadi lekat memandanginya, memandangi Olva, tiba-tiba diserbu oleh keinginana untuk
mendebat pendapatnya, dan belum sempat saya menimbang, tiba-tiba saya sudah mengacungkan tangan sambil
berdiri. Silahkan Bung, kata pak Wawan, yang artinya lampu hijau buat saya untuk mulai mendebat pendapat Olva.
Apa yang diutarakan Olva adalah anggapan umum, pandangan apa yang seharusnya, tapi apakah setiap cerita harus
seperti itu?, apakah harus membangun perbedaan karakter setiap tokohnya dengan jelas?, saya tidak setuju. Saya
punya contoh nyata. Kakak saya punya kawan dua orang, semuanya laki-laki. Mereka berteman sangat dekat, dan
merek