paper bioremediasi
TRANSCRIPT
Kemampuan Bioremediasi Sebagai Metode Remediasi dalam
Upaya Penanggulangan Tumpahan Minyak Teori dan Studi
Kasus
Oleh : Muhammad Nur Ali Akbar
Abstrak
Berbagai kasus tumpahan minyak yang bersifat racun dan
berbahaya (B3) dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak
bumi yang terjadi di seluruh dunia memerlukan perhatian yang
lebih serius agar tidak menimbulkan dampak yang berbahaya
terhadap keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengelolaan dan pengolahan terhadap tanah yang
terkontaminasi akibat tumpahan minyak (Oil spill). Pemulihan
lahan tercemar oleh tumpahan minyak tersebut dapat dilakukan
secara kimia, fisika, dan biologi. Namun pada hasil karya ini,
penulis menitikberatkan penelitiannya pada metode biologi
dengan menggunakan kapasitas kemampuan mikroorganisme
yang di kenal dengan metode bioremediasi. Bioremediasi
merupakan metode yang populer dalam menanggulangi
pencemaran akibat tumpahan minyak, sehingga pada laporan ini
akan di sampaikan seputar hasil studi kasus bioremediasi dengan
maksud mengetahui kemampuan bioremediasi dalam
mengendalikan material pencemar yang berbahaya (B3) dari
tumpahan minyak (oil spill) dengan mendegradasi penyusun
utama hidrokarbon dalam rentan waktu tertentu.
Untuk memperoleh data dan informasi yang di butuhkan dalam
memenuhi tujuan penelitian ini dilakukan dengan metode studi
kasus dan pustaka. Dengan mempelajari ilmu bioremediasi
berdasarkan teori-teori yang telah tercantum dalam berbagai
sumber pustaka kemudian di lanjutkan dengan membahas kasus-
kasus yang bersangkutan mengenai tujuan utama pembahasan
maka penulis dapat memahami lebih rinci dan menarik
kesimpulan baru sebagai penguat data-data yang telah ada dari
perpaduan metode tersebut.
Berdasarkan hasil studi kasus yang ada, dapat di jelaskan secara
garis besar bahwa dalam menangani tumpahan minyak (oil spill)
dengan metode bioremediasi, harus dilakukan dengan metode
yang kompleks, tidak hanya menambahkan fertilizer pada daerah
tercemar tetapi juga perlu penambahan hal-hal lain sebagai
pendukung utama dalam mendegradasi jumlah hidrokarbon yang
mencemari lingkungan, seperti surfaktan sebagai biodegradable,
bakteri pengisolasi serta lahan yang mendukung agar proses
pendegradasian dapat berjalan dengan baik. selain itu bahan dasar
dari bioremdiasi sendiri merupakan bahan dasar yang relatif
murah dan mudah untuk diperoleh sehingga metode bioremediasi
sendiri dapat menjadi salah satu hal yang utama dalam menangani
tumpahan minyak dengan efektif dan murah. Selain itu, teknik
bioremediasi juga merupakan metode yang membutuhkan tenaga
pekerja yang sedikit jika di bandingkan dengan mengontrol
tumpahan minyak dengan menggunakan metode fisika dan kimia
yang membutuhkan banyak tenaga pekerja dalam mengkondisikan
kegiatan tersebut.
Pendahuluan
Berbagai kasus pencemaran limbah berbahaya dan beracun (B3)
dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi yang terjadi
di seluruh dunia memerlukan perhatian yang lebih serius. Kasus
pencemaran seperti yang terjadi pada Exxon Valdez oilspill , area
kilang-kilang minyak yang tercemar, Haifa Beach di sekitar
wilayah Israel dan wilayah lainnya seharusnya menjadi catatan
penting bagi para pengelola penambangan minyak akan
pentingnya pengelolaan pencemaran minyak di seluruh dunia.
Eksplorasi dan eksploitasi produksi minyak bumi melibatkan juga
aspek kegiatan yang beresiko menumpahkan minyak antara lain
yaitu distribusi/pengangkutan minyak bumi dengan menggunakan
moda transportasi air, transportasi darat, marine terminal/
pelabuhan khusus minyak bumi, perpipaan dan eksplorasi dan
eksploitasi migas lepas pantai (floating production storage
offloading, floading storage offloading) (Pertamina, 2005). Setiap
tahun kebutuhan minyak bumi terus mengalami peningkatan
seiring dengan tingginya kebutuhan energi sebagai akibat
kemajuan teknologi dan kebutuhan hidup manusia, sehingga
potensi pencemaran oleh minyak bumi juga meningkat. Tumpahan
minyak dan kebocoran pipa dalam jumlah, luas dan kondisi
tertentu, apabila tidak dikendalikan dengan cepat dan tepat dapat
mengakibatkan terjadinya suatu malapetaka “pencemaran
lingkungan”, yaitu kualitas lingkungan tersebut turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan menjadi kurang atau tidak
dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemaran lingkungan oleh minyak telah menimbulkan masalah
serius. Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa 0,5 – 0,75 ton
minyak hilang untuk setiap 1000 ton minyak yang dihasilkan.
Kehilangan tersebut terjadi selama proses produksi dan
pengilangan sebesar 0,1 ton, selama pengangkutan sebanyak 0,1
ton dan kehilangan terbesar 0,4 ton terjadi selama penyimpanan.
Kehilangan minyak ini menyebabkan terjadi pencemaran di
lingkungan sekitarnya.
Tanah yang terkontaminasi minyak tersebut dapat merusak
lingkungan serta menurunkan estetika. Lebih dari itu tanah yang
terkontaminasi limbah minyak dikategorikan sebagai limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3) sesuai dengan Kep. MenLH
128 Tahun 2003. Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan dan
pengolahan terhadap tanah yang terkontaminasi minyak. Hal ini
dilakukan untuk mencegah penyebaran dan penyerapan minyak
kedalam tanah.
Pemulihan lahan tercemar oleh minyak bumi dapat dilakukan
secara biologi dengan menggunakan kapasitas kemampuan
mikroorganisme. Fungsi dari mikroorganisme ini dapat
mendegradasi struktur hidrokarbon yang ada dalam tanah yang
terkontaminasi minyak bumi menjadi mineral-mineral yang lebih
sederhana serta tidak membahayakan terhadap lingkungan. Teknik
seperti ini disebut bioremediasi. Teknik bioremediasi dapat
dilaksanakan secara in-situ maupun cara ex-situ. Teknik
bioremediasi in-situ umumnya diaplikasikan pada lokasi tercemar
ringan, lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik
kontaminan yang volatil. Bioremediasi ex-situ merupakan teknik
bioremediasi dimana lahan atau air yang terkontaminasi diangkat,
kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang disiapkan
untuk proses bioremediasi. Penanganan lahan tercemar minyak
bumi dilakukan dengan cara memanfatkan mikroorganisme untuk
menurunkan konsentrasi atau daya racun bahan pencemar.
Penanganan semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena
agen pendegradasi yang dipergunakan adalah mikroorganisme
yang dapat terurai secara alami.
Metode
Metode yang digunakan adalah Studi kasus dan pustaka karena
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suatu permasalahan yang
ada, kemudian data yang diperoleh akan dibahas lebih rinci dan
menarik kesimpulan baru sebagai penguat data-data yang telah ada.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam mengumpulkan
data adalah Studi kepustakaan.
Hasil
A. Kajian Pustaka dan Teori
1. Minyak Bumi
Minyak bumi adalah cairan kental, berwarna coklat gelap, atau
kehijauan yang mudah terbakar, yang berada di lapisan atas dari
beberapa area di kerak bumi. Minyak Bumi terdiri dari campuran
kompleks dari berbagai hidrokarbon, sebagian besar seri alkana,
tetapi bervariasi dalam penampilan, komposisi, dan
kemurniannya.
2. Limbah Minyak
Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil eksplorasi
produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas
penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak pada
kapal laut. Limbah minyak bersifat mudah meledak, terbakar,
bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan korosif.
Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3),
karena sifatnya, konsentrasi maupun jumlahnya dapat
mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, serta
kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.
Terbuangnya limbah minyak ini akan memberikan efek atau
dampak buruk yang perlu di perhatikan dalam lingkungan agar
tidak merusak keseimbangan pada ekosistem, terutama pada
ekosistem laut (air). Adapun efek yang ditimbulkan dari
pencemaran tumpahan minyak bumi di laut dan di darat adalah:
Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak.
Residu berwarna gelap yang terdampar di pantai akan
menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan. Gumpalan tar
yang terbentuk dalam proses pelapukan minyak akan hanyut
dan terdampar di pantai.
Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek
subletal. Efek letal yaitu reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika
dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel pada
makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian.
Efek subletal yaitu mepengaruhi kerusakan fisiologis dan
perilaku namun tidak mengakibatkan kematian secara
langsung. Terumbu karang akan mengalami efek letal dan
subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama
dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya.
Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat
keberadaan senyawa beracun dalam komponen minyak bumi,
juga senyawa beracun yang terbentuk dari proses
biodegradasi. Jika jumlah fitoplankton menurun, maka
populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun. Padahal
hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki
nilai ekonomi dan kandungan protein yang tinggi.
Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan
racun slick (lapisan minyak di permukaan air). Selain itu,
terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini dikarenakan slick
membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung
untuk hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari
makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan
minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan
isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya
mati.
Kesuburan tanah menurun.
3. Penanggulangan Limbah Minyak (Oil Spill)
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya :
1. In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan
laut, sehingga mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari
permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta
air laut yang terasosiasi. Teknik ini membutuhkan booms
(pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau fireproof
barrier. Namun, pada peristiwa tumpahan minyak dalam
jumlah besar sulit untuk mengumpulkan minyak yang dibakar.
Selain itu, penyebaran api sering tidak terkontrol.
2. Penyisihan minyak secara mekanis melalui 2 tahap, yaitu
melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan
melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan
menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer.
3. Penggunaan sorbent dilakukan dengan menyisihkan minyak
melalui mekanisme absorpsi, yaitu penempelan dan
penyerapan minyak pada permukaan dan masuk ke dalam
sorbent. Sorbent ini berfungsi mengubah fase minyak dari cair
menjadi padat, sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan.
Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik, oleofobik,
mudah disebarkan di permukaan minyak, dapat diambil
kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu
organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji),
anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis
(busa poliuretan, polietilen,polipropilen dan serat nilon).
4. Dispersan kimiawi merupakan teknik memecah lapisan
minyak menjadi tetesan kecil (droplet), sehingga mengurangi
kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan
minyak. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat
aktif yang disebut surfaktan.
5. Washing oil yaitu kegiatan membersihkan minyak dari pantai.
6. Bioremediasi yaitu proses pendaurulangan seluruh material
organik. Bakteri pengurai spesifik dapat diisolasi dengan
menebarkannya pada daerah yang terkontaminasi. Selain itu,
teknik bioremediasi dapat menambahkan nutrisi dan oksigen,
sehingga mempercepat penurunan polutan.
Dengan beberapa metode penanggulangan limbah minyak
tersebut, adapun peralatan yang digunakan untuk mendukung
proses kegiatan penanggulangan secara umum yaitu :
Booms merupakan alat untuk menghambat perluasan
hambatan minyak.
Skimmers yaitu kapal yang mengangkat minyak dari
permukaan air.
Sorbent merupakan spons besar yang digunakan untuk
menyerap minyak.
Vacuums yang khusus untuk mengangkat minyak berlumpur
dari pantai atau permukaan laut.
Sekop yang khusus digunakan untuk memindahkan pasir dan
kerikil dari minyak di pantai.
4. Bioremediasi Limbah Minyak (Oil Spill)
Bioremidiasi merupakan penggunaan mikroorganisme dalam
mengurangi polutan di lingkungan. Pada saat bioremidiasi terjadi,
enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme untuk
memodifikasi polutan di lingkungan dengan mengubah struktur
kimia polutan yang disebut dengan biotransformasi. Adapun
contoh mikroorganisme yang berperan dalam bioremediasi ini
terdapat pada tabel 1. Dalam berbagai kasus biotransformasi
biasanya berujung pada biodegradasi yang dimana polutan
beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks dan
akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak
beracun.
Tabel 1. Mikroorganisme yang manapun memetabolismekan
hidrokarbon aromatik
Biodegradasi sendiri adalah pemecahan cemaran organik oleh
aktivitas mikroba yang melibatkan serangkaian reaksi enzimatik.
Pada umumnya terjadi karena senyawa tersebut di manfaatkan
sebagai sumber makanan. Biodegradasi lengkap disebut juga
sebagai mineralisasi, dengan produk akhirnya berupa
karbondioksida dan air. Proses ini dipakai dalam pengolahan
limbah untuk menjadi karbondioksida dan air.
Ada beberapa pendekatan umum untuk meningkatkan kecepatan
biotransformasi atau biodegradasi antara lain dengan :
Seeding, mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba
indidenous (bioremidiasi intrinsik) atau penambahan
mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi).
Feeding, memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi
(biostimulasi) dan aerasi (bioventing).
Bioremidiasi dapat terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain
adalah
Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, di tambahkan
ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat
pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di
dalam air atau tanah tersebut.
Biougmentasi
Bioaumentasi dapat diartikan sebagai mikrooganisme yang
dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu
ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar.
Penggunaan cara ini sering kali digunakan dalam
menghilangkan kontaminasi di suatu tempat meskipun terdapat
beberapa hambatan dalam penggunaan cara ini seperti sulitnya
mengontrol tempat yang tercemar agar mikroorganisme dapat
berkembang secara optimal.
Bioremidiasi intrinsik
Bioremidiasi intrinsik terjadi secara alami di dalam air atau
tanah yang tercemar.
Selain jenis-jenis bioremidiasi di atas, bioremidiasi dapat
dibedakan pula menjadi bioremidiasi in-situ dan ex-situ.
Bioremidiasi in-situ adalah bioremidiasi di lokasi. Bioremidiasi
ini lebih murah dan lebih mudah sementara bioremidiasiex-situ
dilakukan dengan cara tanah yang tercemar digali dan dipindahkan
ke dalam penampungan yang lebih dikontrol, kemudian diberi
perlakuan khusus dengan menggunakan mikroba.
Bioremidiasi ex-situ dapat berlangsung lebih cepat, mampu
meremidiasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih beragam
dan lebih mudah dikontrol dibandingkan dengan bioremidiasi in-
situ.
Bioremidiasi ex-situ biasanya terdiri dari penggalian tanah yang
tercemar dan kemudian dibawa ke daerah yang aman. Setelah di
daerah aman itu, tanah yang terkontaminasi dapat dibersihkan dari
pencemar. Cara membersihkannya adalah tanah tersebut disimpan
di bak atau tangki yang kedap, kemudian zat pembersih
dipompakan ke bak atau tangki tersebut. Untuk selanjutnya zat
pencemar dapat dipompakan keluar dari bak dan kemudian diolah
dengan instalansi pengolah air limbah. Kekurangan dari
bioremidiasi ini adalah prosesnya lebih rumit dan mahal sementara
kelebihannya adalah proses bisa lebih cepat dan mudah dikontrol,
mampu meremediasi jenis kontaminan dan jenis tanah yang lebih
beragam.
B. Data Studi Kasus
1. Studi Kasus Exxon Valdez oil spill
Pada tanggal 24 Maret 1989, kapal tanker minyak Exxon Valdez
kandas di dekat Pulau Bligh, yang menumpahkan sekitar 40.000
ton minyak mentah ke Prince William Sound, Alaska. Selama
beberapa hari, minyak tersebut menyebar hingga garis pantai
pulau the sound dan Teluk Alaska. Adapun tanggapan langsung
yang dilakukan yaitu dengan meng-offload muatan yang tersisa,
mengumpulkan minyak sebanyak mungkin dengan skimmer dan
melakukan washing oil. Selanjutnya, sekitar 100 mil dari garis
pantai sisa tumpahan tersebut ditangani dengan memberikan
pupuk (fertilizer), hal ini mungkin merupakan proyek
bioremediasi laut terbesar yang pernah dilakukan. Sebagaimana
tersebar sejumlah artikel yang dipublikasikan pada proyek tersebut
(misalnya, Crawford, 1990; Chianelli et al, 1991;. Pritchard &
Costa, 1991; Lindstrom et al, 1991; Mueller et al, 1992;. Pritchard
dkk, 1992 ; Pangeran, 1992; Tombol et al, 1992), namun
pemupukan ini masih sulit untuk mengevaluasi daerah-daerah
yang tercemar tumpahan minyak tersebut, tetapi hal ini masih
lebih baik jika dibandingkan dengan tidak menggunakan metode
pemupukan (bioremediasi).
Pada kasus ini, Perlakuan bioremediasi hanya terdiri dari
penambahan pupuk, sejak percobaan awal menunjukkan tingkat
yang tinggi dari bakteri pengurai hidrokarbon alami dan kadar
oksigen yang memadai sebagai akibat dari pembilasan pasang
surut yang kuat. Pupuk yang dipilih untuk perlakuan tersebut yaitu
Inipol EAP22, yaitu sebuah mikroemulsi urea, asam oleat, fosfat
lauril, 2-butoksi-l-etanol dan air. Inipol dikenal oleh para produsen
sebagai pupuk oleophilic, tetapi setelah diamati pupuk tersebut
sangat cepat tercampur dengan air sehingga menyebabkan
pengemulsian terhenti dan urea tersebar di dalam air.
Hasil awal pada pemulihan ini adalah perubahan visual yang signifikan yang menunjukkan pembersihan tumpahan minyak
(oil spill ) berdasarkan hasil plot uji dalam dua minggu. Foto
udara juga menunjukkan pembersihan yang merata di daerah yang
diberi proses Inipol, serta terdapat daerah yang lebih gelap di
sekitar batuan-batuan akibat terselimuti oleh tumpahan minyak
tersebut. Foto-foto ini digunakan secara luas pada Exxon Public
Relation. Permasalahan dengan pendekatan non-kuantitatif ini
gagal untuk menunjukkan perubahan yang signifikan atas
biodegradasi. Misalnya, perubahan fisik pada permukaan terbuka
yang diakibatkan oleh interaksi dengan pupuk, atau emulsifier
yang dikandungnya yang dapat mengubah tampilan permukaan.
Kemudian juga, jumlah minyak dan aspal yang cukup bayak
masih tetap berada di pasir dan kerikil yang terkontaminasi.
Setelah delapan Minggu, tampak antara daerah yang dirawat dan
dipulihkan mengalami penurunan yang signifikan.
Tabel 2. Data percobaan Keefektifan pemulihan bioremediasi pada
bebatuan di sekitar pantai (Exxon valdez oil spill)
Grafik 1, Perbandingan pengujian residual oil antara Treated dan
control plot pada Exxon Valdez oil spill. (tabel 2)
Grafik 2, Perbandingan pengujian phytane ratio antara Treated
dan control plot pada Exxon Valdez oil spill. (tabel 2)
Pengukuran kuantitatif menunjukkan efektivitas pemulihan
dengan bioremediasi pada sampel bebatuan dari Harbor Snug
yang dirangkum dalam Tabel 2. Terdapat standar deviasi yang
tinggi dalam analisis tersebut terutama disebabkan oleh distribusi
yang sangat heterogen pada minyak di pantai. Rata-rata dari
beberapa determinasi tersajikan di dalam tabel. Data tersebut
harus diambil pada sampel batuan kerikil yang menimbun
sebagian tumpahan minyak tersebut. Pengukuran minyak yang
tersisa mengindikasikan bahwa terjadi pembenersihan sebesar
75% minyak yang tertumpah berdasarkan nilai plot pemulihan
(bioremediasi), jika dibandingkan dengan data plot kontrol bahwa
pengurangan tumpahan minyak yang terjadi hanya 50%, sehingga
pada proses pemupukan ini memberikan pengaruh yang lebih
besar dari pada dengan pengontrolan mekanik selama tiga bulan
pada musim panas tahun 1989. Meskipun efek bioremediasi
secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan (p =
0,05),namun para peneliti menyarankan bahwa perlu pemulihan
oleh bioremeidasi lebih dari 2-3 kali dengan waktu paruh 44 hari
agar penurunan tersebut dapat mencapai nilai yang signifikan. Hal
tersebut jauh lebih baik jika pemulihan dilakukan dengan
mengkontrol penyebaran minyak dengan mekanik yang
menghabisakan waktu hingga 124 hari. Perhitungan ini didasarkan
pada asumsi orde pertama tingkat pembusukan, tentunya
merupakan asumsi yang salah untuk substrat heterogen seperti
minyak mentah.
Rasio residual yang berupa rantai lurus-(C18) hingga rantai
bercabang (phytane) hidrokarbon jelas menunjukkan bahwa
biodegradasi sebagian besar terjadi pada pembersihan permukaan
pantai. Karena berat molekul octadecane dan phytane sama, orang
akan beranggapan bahwa pemindahan hidrokarbon melalui proses
fisik, seperti penguapan dan solubilisasi, akan terjadi pada tingkat
yang sama. Di sisi lain, diketahui bahwa alkana bercabang terurai
lebih lama dari pada n-alkana (Singer & Finnerty, 1984b). Dengan
demikian, penurunan rasio C18/phytane selama musim panas
tahun 1989 menunjukkan bahwa biodegradasi itu terjadi. Namun,
plot kontrol juga menunjukkan penurunan rasio serupa. Dalam
sebuah studi independen yang didukung oleh Alaska Sea Grant
Program (Button dkk., 1992), tidak ada perbedaan dari hasil
observasi secara visibel atau kuantitatif dalam menentukan
minyak atau populasi mikroba yang terpulihkan pada batuan-
batuan pantai, jika di bandingkan dengan plot kontrol.
Kesimpulannya, tampaknya tidak akan ada bukti kuat bahwa
perlakuan pupuk Inipol memiliki efek jangka panjang pada
penghilangan bulk oil pada pantai menyusul tumpahan minyak
Exxon Valdez. Namun, pemulihan tidak mempercepat degradasi
selama beberapa minggu pertama, biodegradasi minyak yang
tertumpah pada batuan permukaan. Interpretasi dari data yang
diterbitkan adalah bahwa urea dan asam oleat yang terdapat di
pupuk memiliki efek langsung dalam mendorong populasi bakteri,
akan tetapi sebagian besar urea tersebut telah hilang oleh
pembilasan pasang surut dalam selang waktu kedepan. Setelah itu,
biodegradasi alami terjadi pada tingkat yang sama dalam plot
pemulihan dan kontrol. Karena hasil yang kurang mencolok dari
pemulihan bioremediasi ini, sehingga masih perlu disempurnakan,
dan mengembangkan studi dan analisis kembali terkait kasus
bioremediasi yang terjadi di Alaska.
2. Studi Kasus Bioremediasi pada Oil-Polluted Refinery Site
Bioremediasi yang dilakukan pada oil-polluted refinery site,
dikutip oleh Balba, Ying & McNeice (1991), adapun eksperimen
laboratorium yang dilakukan sebelum uji coba lapangan
menunjukkan hasil :
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0 20 40 60 80 100
resi
du
al o
il (m
g/g)
Day
Residual Oil
Treated
control
1. Komposisi Hidrokarbon pada tanah yang terkontaminasi yaitu
total 62,5% jenuh (terutama C14-C25), aromatik 25%, 12,5%
resin dan asphaltenes.
2. Tanah yang terdiri atas hidrokarbon yang terdegradasi
mengandung mikroorganisme bakteri Pseudomonas,
Rhodococci, Acinetobacter, Mycobacterium, dan
Arthrobacter. Hanya Mycobacterium yang terisolasi mampu
mendegradasi fraksi aspalten.
3. Setelah penyaringan lebih dari 50 senyawa, Cyanamer P70
(Cyanamid) terpilih sebagai surfaktan untuk digunakan dalam
percobaan, karena dengan ini akan menghilangkan proporsi
yang relatif tinggi pada kandungan berbahaya yang terdapat
pada tanah tercemar (47%) dan tidak bersifat toksik terhadap
bakteri yang terisolasi.
4. Lebih dari 95% hidrokarbon tersebut terdegradasi selama 23
minggu dalam percobaan mikrokosmos tanah (Tabel 2) yang
terkandung tambahan nutrisi tanah , Cyanamer P70, dan
bakteri pengisolasi.
Berdasarkan pada keberhasilan percobaan laboratorium tanah
mikrokosmo, tanah paling banyak terkontaminasi yang digali dari
permukaan yaitu sedalam 2 meter dan dipulihkan melalui cara ex
situ. Tanah ditempatkan pada kolam persegi panjang tertutup dan
kadar airnya di pertahankan pada 15% (b /b). Tanah tersebut di
aerasi dengan mesin spading pertanian. Surfaktan, nutrisi organik,
dan nutrisi anorganik diberikan untuk mempertahankan keadaan
optimum rasio C: N: P (data tidak disajikan). Mikroorganisme
yang terisolasi diinokulasikan ke dalam tanah sebagai suspensi
encer pada lima keadaan terpisah.
Tabel 3. Pendegradasian hidrokarbon pada oil-polluted soil
Grafik 3, Perbandingan pengujian yang berdasarkan tabel 3 pada
Bioremediasi Oil-Polluted Refinery Site.
Awalnya, tanah digali memiliki rata-rata 13 g TPH per kg tanah.
Setelah 34 minggu pemulihan, TPH berkurang sekitar 90% sampai
1,27 g per kg. Kromatografi gas menunjukkan penurunan besar
dalam fraksi alkana. Tidak ada data yang disajikan pada fraksi
aromatik dan PAH. Residu yang tersisa dalam tanah setelah
pemulian yaitu tidak berubah, sebagaimana ditentukan berulang
kali kegiatan washing the soil dengan air tanah dan pengujian
hidrokarbon.
3. Studi Kasus Bioremediasi di Haifa Beach (Rosenberg et al,
1992)
Pada Agustus 1991, diperkirakan sebesar 100 ton heavy crude oil
tertumpah di sekitar 3 km di utara pantai Zvulon, antara Haifa dan
Akko di Israel. Pasir yang terkontaminasi oleh minyak telah
dikumpulkan menjadi tumpukan dan kemudian tersebar di pantai.
Teknologi yang telah dipilih untuk membersihkan pasir
didasarkan pada penggunaan terbaru cuntrolled-release , pupuk
polimer, hidrofobik, Fl, dan bakteri tertentu. Bakteri ini mampu
memanfaatkan hidrokarbon sebagai sumber karbon, sumber energi
dan enzimatis dalam menghidrolisis pupuk untuk memperoleh
senyawa nitrogen dan fosfor yang berguna. Karena bakteri
tersebut mampu mendegradasi hidrokarbon dan hidrolis Fl, maka
bakteri tersebut perlu di suntikkan ke dalam tanah dengan
menggunakan F1 untuk proses bioremediasi. Keuntungan utama
dari sistem ini adalah bahwa nitrogen yang ditambahkan
digunakan secara eksklusif oleh hydrocarbon-degrading bacteria
(bakteri Pendegradasi Hidrokarbon).
Dalam uji coba lapangan plot percobaan diinokulasikan dengan 20
liter campuran tiga bakteri yang dipilih (5 x 108 sel / ml). Pupuk
Fl (38 kg, dalam bentuk bubuk halus) kemudian ditambahkan
sumber nitrogen dan fosfor. Plot eksperimental disiram air yang
berasal dari laut terdekat (suhu air adalah 27 ° C). Plot tersebut
kemudian digarap dengan bantuan garu sederhana sampai
kedalaman sekitar 5 cm. Plot kontrol tersebut kemudian
ditinggalkan dan kemudian di pantau kembali. Data yang disajikan
pada Tabel 3.3 yaitu, pada hari ke 0 (September 1,1991), sampel
inti diambil sebelum perawatan apapun. Pada awal percobaan, plot
eksperimen yang terkandung hidrokarbon secara signifikan lebih
(3.80mg / g pasir) dari plot kontrol (2,30 mg / g pasir). Hanya ada
sedikit penurunan di hari pertama. Namun, pada hari keempat,
30% dari hidrokarbon telah terdegradasi. Biodegradasi terus
berlanjut hingga mencapai 50% pada hari 9 dan 84,5% pada hari
25, berikut data hasil percobaan itu diperoleh. Plot kontrol
menunjukkan penurunan relatif konstan sebesar 18% pada hari ke
9 hingga ke 25.
Analisis gas kromatografi pada reaksi alkana menunjukkan bahwa
fraksi C20-C32, yang sangat melimpah pada hari ke 0, kemudian
terdegradasi sampai batas 94%, sedangkan C14 - C18 dan C36-C40
fraksi yang terdegradasi ke derajat yang lebih rendah, masing-
masing diantaranya 80% dan 75%. Pemantauan visual dari pasir
pantai setelah pemulihan, berdasarkan dengan data analisis
menunjukkan bahwa teknologi F-1/bacteria berlaku untuk
bioremediasi pasir yang tersisa.
Tabel 4. Bioremediation of hydrocarbon-contaminated sand at
Haifa Beach
Grafik 4, Perbandingan pengujian yang berdasarkan tabel 4 pada
Bioremediasi Haifa Beach.
Grafik 5, Perbandingan persentase pengujian yang berdasarkan
tabel 4 pada Bioremediasi Haifa Beach.
Dalam pembersihan 30.000 m2 pemulihan pasir tercemar pada
dasarnya seperti dalam uji coba lapangan, kecuali peralatan
pertanian yang digunakan untuk pemberian bakteri dan pupuk
dalam pengolahan. Karena pembersihan berlangsung di musim
dingin, sehingga tidak perlu air. Perlu dicatat juga bahwa musim
dingin pada tahun 1992 di israel luar biasa ekstrim, dan suhunya
sekitar 5-10°C selama beberapa bulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahkan di bawah kondisi 88% dari minyak itu
terdegradasi setelah 4 bulan, sedangkan tidak ada penurunan yang
signifikan terukur dalam plot kontrol.
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
1. Bioremediasi yang dilakukan pada Exxon Valdez oil spill di
Alaska memang menunjukkan hasil degradasi yang kurang
signifikan, karena pada proses pemulihan dengan bioremediasi
hanya sebagian besar menggunakan pupuk Inipol EAP22 yang
mudah tercampur dengan air dan tersebar, sehingga proses
pengemulsian dan pendegradasian hidrokarbon minyak akan
terhenti dan ureanya akan tersebar di dalam air.
2. Bioremediasi yang dilakukan pada oil-polluted refinery site
menunjukkan hasil pendegradasian yang sangat signifikan, hal
tersebut terjadi karena pada bioremediasi ini selain
menggunakan pupuk yang mengandung berbagai bakteri
spesial pendegradasi hidrokarbon, yaitu Pseudomonas,
Rhodococci, Acinetobacter, Mycobacterium, dan
Arthrobacter, juga di tambahkan surfaktan dan nutrisi tanah
dengan perlakuan proses tertutup, sehingga proses
bioremediasi dapat berjalan dengan baik dan hasil
pendegradasian pun menunjukkan hasil yang sangat
memuaskan dengan penurunan mencapai 95% selama 23
minggu.
3. Bioremediasi yang dilakukan pada Haifa Beach di sekitar
Israel juga menunjukkan hasil pendegradasian yang sangat
signifikan, dengan pemberian pupuk polimer, hidrofobik, Fl,
dan bakteri tertentu, serta diterapkan dengan cara cuntrolled-
release, sehingga hasilnya terjadi pendegradasian sebesar 85%
selama 25 hari pemulihan dari hidrokarbon minyak yang
tertumpah.
4. Salah satu cara untuk meningkatkan keefektifan proses
biodegradasi dengan menggunakan surfaktan yang bersifat
biodegradable sebagai agen pemecahan awal senyawa
kontaminan.
5. Penambahan surfaktan dan mikroorganisme terbukti dapat
mempercepat hasil proses biodegradasi limbah minyak pada
oil-polluted refinery site dibandingkan dengan penerapan
bioremidiasi konvensional yang dilakukan pada Exxon Valdez
oil spill di Alaska .
6. Dalam menangani tumpahan minyak (oil spill) dengan metode
bioremediasi, harus dilakukan dengan metode yang kompleks,
tidak hanya menambahkan fertilizer pada daerah tercemar
tetapi perlu penambahan hal-hal lain sebagai pendukung
utama dalam mendegradasi jumlah hidrokarbon yang
mencemari lingkungan, seperti surfaktan, bakteri pengisolasi
serta lahan yang mendukung agar proses pendegradasian dapat
berjalan dengan baik. selain itu bahan dasar dari bioremediasi
sendiri merupakan bahan dasar yang relatif murah dan mudah
untuk diperoleh sehingga metode bioremediasi sendiri dapat
menjadi salah satu hal yang utama dalam menangani
tumpahan minyak dengan efektif dan murah.
7. Selain berbahan murah, teknik bioremediasi juga merupakan
metode yang membutuhkan tenaga pekerja yang sedikit jika di
bandingkan dengan mengontrol tumpahan minyak dengan
menggunakan metode fisika dan kimia yang membutuhkan
banyak tenaga pekerja dalam mengkondisikan kegiatan
tersebut.
B. Saran
1. Perlunya perhatian khusus dalam menangani tumpahan
minyak (oil spill) baik secara fisika, kimia ataupun biologis
dengan maksud untuk mencegah atau mengurangi dampak
buruk yang menyebabakan hilangnya keseimbangan
ekosistem.
2. Perlunya perkembangan lebih lanjut dalam studi bioremediasi
agar dapat memaksimalkan keampuan mikroorganisme dalam
mendegradasi bahan pencemar pada hidrokarbon minyak
dalam waktu yang singkat.
Referensi
Filler, Dennis M. Ian Snape & David L. Barnes. Bioremediation of
Petroleum Hydrocarbons in Cold Regions. Cambridge
University Press. 2008.
Heipieper, Hermann J. Bioremediation of Soils Contaminated
with Aromatic Compounds.Springer.2007.
Crawford, Ronald L & Don L Crawford. Bioremediation:
Principles and Applications. University of Idaho,
Moscow, Idaho, USA.1996.
U.S. Congress. Office of Technology Assessment.
Bioremediation for Marine Oil Spills—Background
Paper. Washington, DC: U.S. Government Printing
Office.1991.
Anonim. Bioremediation Methods for Oil Spills. 2002.
http://www.pksplipb.or.id/index.php/publication/article/118-multi-
proses-remediasi-didalam-penanganan-tumpahan-
minyak-oil-spill-di-perairan-laut-dan-pesisir.html (akses,
April 2012)
http://en.wikipedia.org/wiki/Bioremediation (Akses, Aprill 2012)
http://en.wikipedia.org/wiki/Oil_spill (Akses, April 2012)
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya ucapkan terima kasih
1. kepada Agung Budiarto, ST atas bantuannya dalam memberikan
ilmu cara menulis karya ilmiah dan memberikan penialian dari
hasil tulisan.
2. Aris Prasetyo, ST.MT atas informasi yang disampaikan tentang
adanya lomba “Oil Spill Paper Competition 2012 oleh PT.OSCT
Indonesia”.
3. Sayyidul Umamus Sholihin yang masih menyimpan data-data
kuliah saya yang telah terhapus sehingga dapat di pergunakan
dalam mendukung penulisan karya ilmiah ini.