pandai baca tulis al-quran sebagai perasyarat...
TRANSCRIPT
PANDAI BACA TULIS AL-QURAN SEBAGAI PERASYARAT
UNTUK NIKAH PERDA BULUKUMBA DAN MANDAILING
NATAL DALAM PERSFEKTIF KOMPARATIF HUKUM ISLAM
(Analisis Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal
No 5 Tahun 2003)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Guna Memperolah Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
RAMDANI
NIM: 1110043200015
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/ 2015 M
iii
ABSTRAK
RAMDANI. NIM 1110043200015. Pandai Baca Tulis Al-Quran sebagai prasyarat
untuk nikah Perda Bulukumba dan Perda Mandailing Natal Dalam Persfektif Komparatif
Hukum Islam (Analisis Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No
5 Tahun 2003). Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan
Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakrta, 1436H/2015M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai pemberlakuan Peraturan
Daerah (Perda) yang berbasis syariah di Indonesia. Banyak Perda-perda yang sengaja dirancang
oleh Partai Politik (Parpol) tertentu untuk memenangkan partai mereka yang seolah-olah
memberikan fasilitas atau langkah baru bagi mayoritas kelompok masyarakat yang ada dalam
suatu daerah tertentu. Padahal kalau diteliti lebih jauh, banyak dari Perda berbasis syariah
tersebut yang melanggar Undang-undang terutama HAM dan hukum Islam. Seperti halnya yang
terjadi di Bulukumba dan Mandailing Natal yaitu Perda tentang pandai baca tulis Al-Quran bagi
siswa dan calon pengantin untuk nikah. Padahal dalam rukun dan syarat nikah tidak ada
kewajiban tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian terhadap
efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, terutama dalam hukum Islam dan HAM. Dengan
pendekatan kualitatif yaitu bersumber pada data skunder dan primer dengan pengumpulan data
melalui studi pustaka (library research). Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif.
Yaitu upaya yang dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data, memilihnya menjadi
satuan yang sistematis dan sempurna, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat
dipelajari, memutuskan apa yang dapat dibaca dan mudah difahami serta menginformasikannya
kepada pembaca.
Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat memahami sah atau tidaknya suatu aturan
dalam masyarakat walaupun yang merancangnya adalah Pemerintah Daerah. Bertentangan atau
tidak kah suatu peratutan pemerintah dengan hukum Islam dan HAM yang memang dijunjung
tinggi oleh mayoritas masyarakat Muslim.
iv
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan taufik dan hidayahNYA, ridho dan „inayahNYA kepada
penulis, sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi yang insyallah dengan
keridhoaanNYA memberi manfaat kepada penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umunya. Amin
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada junjungan
alam, uswatun hasanan kita, Nabi besar Muhammad SAW.,yang dengan wasilah
ilmu-ilmunya lewat para pengikutnya, kemudian sampai kepada penulis, memberi
peranan penting bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur
yang tiada terhingga yang menunjukan betapa Allah telah memberikan rasa kasih
dan sayang-NYA kepada penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis dan
ilmu pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pandai
Baca Tulis Al-Quran Sebagai Prasyarat Untuk Nikah Perda Bulukumba dan
Perda Mandailing Natal Dalam Persfektif Komparatif Hukum Islam
(Analisis Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal
No 5 Tahun 2003).”
Penulis sangat menyadari selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan beberapa pihak, baik berupa semangat, tukar pikiran maupun berupa
finansial, sehingga penulisan ini selesai. Adapaun penulis, tidak dapat melukiskan
degan untaian kata-kata, ungkapan yang pantas penulis haturkan kepada mereka.
Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada:
iv
1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga menjadi pemimpin yang memberikan teladan dan integritas yang
lebih baik.
2. Dr. Khamami, MA selaku Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum
(PMH), yang telah memberikan pelayanan dan bantuan kepada penulis.
Kepada ibu Siti Hanna, MA selaku Sekretaris Prodi yang sudah membantu
menyelesaikan penilaian penulis dari awal hingga akhir.
3. Bapak Arskal Salim GP, MA, Ph. D. yang telah membimbing, memberi
ilmu, memotivasi penulis dengan penuh keihklasan selama melakukan
penulisan skripsi sampai dapat diselesaikan dengan hasil yang
memuaskan.
4. Dosen penguji Dr. yang telah menguji penulis dalam ujian skripsi ini, dan
telah memberikan kritik maupun saran serta arahan masukannya untuk
kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Ibu dosen yang telah memberikan tenaga dan pikirannya, untuk
mendidik penulis agar kelak menjadi manusia yag berguna bagi agama,
dunia dan akhirat. Semoga doa dan didikannya menjadi berkah dan dapat
menuntun penulis untuk memasuki kehidupan yang lebih baik.
6. Ayah dan ibuku yang senantiasa mendukung, membimbing, mendidik
penulis dan beramat berjasa, arif mendidik, tiada hentinya mendoakan
anaknya agar menjadi manusia yang shaleh yang berbakti kepada
keduanya dan berguna bagi bangsa dan negara terlebih untuk agama.
iv
”Doaku selalu ada untukmu bu”. Serta adikku “Maulana” yang selalu
memberikan semangat dan doa kepada penulis.
7. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si yang selalu memberi masukan
saran dan kritiknya dalam penulisan skripsi ini. Semoga apa yang abah
berikan ke penulis, menjadi uswatun hasanah bagi penulis dan diberikan
balasan dengan sebaik-baiknya balasan. Amin.
8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah menyediakan bahan-bahan yang menjadikan referensi dalam
penulisan skripsi ini.
9. Kepada My big family, paman-pamanku yang telah memberi semangat,
kepada penulis agar bisa menyelesikan skripsi dengan cepat dan baik .
10. Kepada sahabat PH 2010 Aidz, Wiwin, Rafika, Fani, Winda, Ilyas, Tedi,
Laka, Muzi, Bambang, Ridwan, Sandi, Rianzani, Apri, Dayat, sofa, Fajrin,
Amel, Ipul, Anjo, Ucup, fathur, Bagas, Fathin, Rudhi, sa‟ban (PMF), dan
mutmainah (Fidkom) serta teman-temanku semua yang menjadi guru,
teman diskusi, seperjuangan dalam penulisan skripsi, semoga persahabatan
ini selalu dalam RidhoNYA dan apa yang dicita-citakan akan tercapai.
amin
11. Kepada Berliantika Setyoningrum dan ibu yang memberi kecerian dalam
kehidupan penulis. Dengan do‟a, perhatian serta suportnya menjadi
penyemangat dalam penulisan skripsi ini, moga tetap menjadi pemberi
kecerian bagi penulis.
iv
12. Kepada sahabat/i Alumni Pondok Pesantren Qotrun Nada (GALAXY) 608
angkatan 2008, Fauzan, Mujtaba, Mahrus, Dzu Falhain, Nurul Anbiya,
Fadhil dan semua sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam studi dan selalu
memberikan kenangan tak terlupakan. “Sindiran kalian menjadi
penyemangat bagi penulis, terimakasih”
Akhirnya, kepada semua pihak yang membantu penulisan skripsi ini,
penulis berdoa semoga Allah SWT, senantiasa mencurahkan rahmat dan
hidayahNYA kepada kita semua. Harapan terakhir penulis agar skripsi ini
bermanfaat buat pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, 1 April 2015 M
27 Jumaditsaniah 1436 H
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
SURAT PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi
Bab I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .............................................. 8
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12
Bab II TINJAUAN UMUM TENTANG PRINSIP KEBEBASAN MENIKAH
MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ................. 14
A. Keabsahan Pernikahan ........................................................................ 14
B. Persyaratan Pernikahan........................................................................ 17
C. Kelengkapan Administrasi Pernikahan ............................................... 22
Bab III ANALISIS PERBANDINGAN PERDA BULUKUMBA NO 6 TAHUN
2003 DAN MANDAILING NATAL NO 5 TAHUN 2003. .................. 29
A. Proses Pembentukan Perda .................................................................. 29
B. Isi Perda ............................................................................................... 40
C. Nama atau Titel Perda ........................................................................ 45
D. Jumlah Pasal dalam Perda ................................................................... 46
E. Struktur Perda ..................................................................................... 47
F. Partai Pengusung Perda ....................................................................... 53
G. Respon Masyarakat terhadap Perda ..................................................... 56
Bab IV ANALISIS PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERDA
BULUKUMBA DAN MANDAILING NATAL .................................... 58
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Perda ............................................. ..58
B. Tinjauan Peraturan HAM terhadap Perda ........................................... 65
Bab V PENUTUP ............................................................................................... 73
A. Kesimpulan .......................................................................................... 73
B. Saran .................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 77
LAMPIRAN 82
A. Peta Kabupaten Bulukumba
B. Peta Kabupaten Mandailing Natal
C. Perda Kabupaten Bulukumba
D. Perda Kabupaten Mandailing Natal
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Indonesia bukanlah negara Islam walaupun mayoritas penduduknya adalah
beragama Islam. Tetapi Indonesia menyatukan kepentingan umat beragama
dengan landasan yang kuat, yaitu pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dan dalam Pasal 29 dari UUD 1945 bahwa negara menjamin umat beragama
untuk memeluk dan menjalankan ajaran Agama1 dan kepercayaannya masing-
masing.
Pemerintahan Indonesia tidak membatasi, bahkan memberikan kebijakan
serta kesempatan kepada umat Islam untuk mengembangkan dan mengamalkan
agamanya baik melalui pendidikan, budaya maupun pembuatan perundang-
undangan yang bernilai Islami. Seperti UU No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan2,
UU 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan UU lainnya yang berhubungan dengan
pengamalan agama Islam. Serta adanya Impres No 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menginstruksikan kepada Menteri Agama
1Agama adalah suatu ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya serta dengan lingkungan sekitarnya.
lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Gramedia Pustaka Agama, Jakarta, 2008), h. 15. 2Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat UU RI No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 1.
Perkawinan adalah penikahan yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqon Gholidhan) untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Lihat Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 2.
2
untuk melakukan dua langkah hal: pertama, untuk menyebarluaskan KHI yang
akan digunakan oleh instansi-instansi pemerintah yang membutuhkan, dan yang
kedua, untuk menjalankan instansi ini dengan sebaik-baiknya dengan rasa
pertanggung jawaban yang penuh. Kemudian dengan kebijakan negara RI, maka
lahirlah UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 yang kemudian
diamandemenkan melalui UU No 32 Tahun 2004, tentang Otonomi Daerah.
Otonomi daerah ini ternyata memberikan peluang yang lebih luas kepadadaerah
Kabupaten dan Provinsi dalam melaksanakan pemerintahannya secara mandiri.
Mereka hanya tidak otonomi dalam sejumlah sektor tertentu seperti hubungan luar
negeri, pertahanan keamanan, hukum, moneter, dan kebijakan fiskal serta agama.
Kebijakan dalam aspek kehidupan beragama sengaja tidak diserahkan
kepada masing-masing daerah. Pertimbangannya adalah bahwa masalah agama
merupakan hal yang sensitif dan rawan yang dapat menimbulkan ancaman
disintegrasi bangsa. Termasuk kekhawatiran munculnya daerah-daerah tertentu
yang akan lebih menampilkan identitas keagamaan mayoritas diwilayahnya
ketimbang sebagai bagian dari negara kesatuan Indonesia.3 Namun pada
kenyataannya, di daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, dapat
menerapkan Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa Islami, yang kemudian
dikenal dengan nama Perda berbasis syariah yang kemudian mengawali lahirnya
Perda-Perda yang berasis syariah diberbagai daerah lainnya.
UUD No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan berdasarkan
atas kuatnya tuntutan masyarakat akan perlunya mengatur diri sendiri (wilayah
3 Arskal Salim, “Perda Berbasis Syariah dan Perlindungan Konstitusiaonal Penegakan
HAM”,Jurnal Perempuan 60, (2008),h. 9.
3
sendiri). Oleh karena tuntutan masyarakat begitu mendesak dan harus direspon
dalam waktu singkat, maka pemerintah dengan persetujuan DPR-RI
mengeluarkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Namun sesuai
dengan prosesnya yang begitu mendesak, tentu saja materi, isi dan substansinya
masih banyak kekurangan atau kelemahan dan perlu diantisipasi oleh daerah.
Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengatasi kekurangan dan
kelemahan itu4.
UU No 22/1999 ini, juga menyerahkan setidaknya 11 kewenangan
pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah. Ada lima bidang yang tetap menjadi
wewenang pemerintah pusat antara lain adalah urusan agama. Dalam UU tersebut
dinyatakan bahwa proses legislasi dalam bentuk Perda tidak lagi harus disahkan
oleh pemerintah pusat asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundangan yang lebih tinggi. Akan tetapi UU No 32/2004 yang
diterbitkan belakangan, menyatakan bahwa sebuah Perda harus mendapatkan
pengesahan pusat atau bagi Perda ditingkat Kabupaten harus mendapatkan
pengesahan pemerintah tingkat Provinsi. Dalam hal ini, Nangroe Aceh Darusalam
(NAD) dikecualikan sebagaimana dibenarkan UU No 44/1999, UU No 18/2001
dan UU No 11/2006 tentang Pemerintah Aceh.
Dalam negara demokratis, setiap kebijakan publik lumrahnya melibatkan
partisipasi publik secara luas. Publik tidak saja berhak mengetahuinya, tetapi
berhak diikutsertakan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut secara
partisifatif. Ini dianggap penting untuk meningkatkan penerimaan publik terhadap
4 Haw Wijaya, Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, (Rajawali Pers, Jakarta 2003) , h. 35.
4
kebijakan yang dibuat. Bahkan, partisipasi juga mencerminkan kebijakan yang
dibuat pemerintah benar-benar untuk kepentingan masyarakat luas. Terkait
dengan Perda syariah, tidak seluruh masyarakat mengetahui adanya Perda.
Contohnya di Kabupaten Bulukumba, terdapat Perda syariah yang mencangkup
keharusan berbusana muslim, pengelolaan ZIS (zakat, infak dan sedekah),
larangan peredaran minuman keras, dan keharusan dapat membaca Al-Quran bagi
pasangan calon pengantin sebelum keduanya dapat dinikahkan, yang ramai
dibincangkan karena terkait dengan praktik bahwa pasangan pengantin yang tidak
dapat membaca Al-Quran, maka dapat ditunda bahkan tidak dapat dinikahkan. 5
Kewenangan membuat Peraturan Daerah6, merupakan wujud nyata
pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah. Sebaliknya, Peraturan
Daerah merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama
DPRD, untuk penyelenggaran otonomi yang dimiliki oleh
Provinsi/Kabupaten/Kota, serta tugas pembantuan. Perda pada dasarnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda yang dibuat
oleh suatu daerah, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau
perturan perudang-undangan yang lebih tinggi dan baru memiliki kekuatan
5 Syukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda
Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan No-Muslim, (CSRC Uin Jakarta .
2007), h. 119. 6 Perda adalah peratuan perudang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Lihat (Pasal 1 angka 8 UU Tentang
Peraturan Perundang-undangan (UUP3).
5
mengikat setelah diundangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah.7
Terdapat perbedaan konsepsi perkawinan antara BW dan UU Perkawinan.
BW menganut konsepsi Perkawinan Perdata. Artinya bahwa suatu perkawinan itu
adalah sah bila mana telah dilangsungkan berdasarkan ketentuan undang-undang
dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang
(Pasal 26 BW “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata”). Sedangkan konsepsi menurut UU perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan adalah :
1) Ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri.
2) Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8
Pernikahan merupakan sunnatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh
Allah yang antara lain tujuan penciptaannya adalah untuk melanjutkan keturunan
dan tujuan-tujuan lainya. Allah menciptakan makhlukNya bukan tanpa tujuan,
tetapi didalamnya terkandung rahasia yang sangat dalam agar kehidupan
makhlukNya di dunia ini menjadi tentram. Sebagaimana firmanNya :
يايها الناس ان خلقناكم من ذكروانثي وجعلناكم شعىبا وقبائل لتعارفىا “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal mengenal”. (Al-Hujurat 49:13)9
Perkawinan mempunyai asas kebebasan antara calon mempelai dengan
7 Rojali Abdullah. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilih Kepala Daerah secara
Langsung,(Raja Grafindo Persada 2005), h. 132. 8 Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Citra Grafika Desain,
Jakarta 2007), h. 4. 9 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Cakrawala Publishing, 2009 jilid 3. ), h. 196.
6
batasan-batasan yang sudah diatur oleh syariat. Para ulama mazhab sepakat bahwa
pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad yang mencangkup ijab
dan qobul antara wanita yang dilamar dan lelaki yang melamar, atau antara pihak
yang menggantikannya seperti wakil. Pernikahan dianggap tidak sah hanya
semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad10
.
Skripsi ini membahas tentang prasyarat baca tulis Al-Quran bagi calon
pengantin untuk menikah. Prasyarat baca tulis Al-Quran ini pada dasarnya
merupakan hal yang privat bagi setiap individu manusia karena termasuk
keterampilan seseorang dalam keagamaan. Namun, di Bulukumba dan Mandailing
Natal, hal yang bersifat privat ini dimasukan kedalam ranah urusan publik berupa
pembentukan sebuah Peraturan Daerah (Perda). Ternyata selain menjadi syarat
pernikahan, pandai baca tulis Al –Quran ini juga menjadi syarat politik dibeberapa
daerah seperti di Aceh. Oleh sebab itu, maka skripsi ini mencoba membahas
bagaimana hal yang privat ini bisa diangkat menjadi hal yang sifatnya urusan
publik yang diterapkan dalam Perda Bulukumba dan Mandailing Natal.
Maka penulis ingin membahas tentang “ Pandai Baca Tulis Al-Quran
Sebagai Prasyarat Untuk NikahPerda Bulukumba dan Perda Mandailing
Natal Dalam Persfektif Komparatif Hukum Islam (Analisis Perda
Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun
2003).”
10
Muhamad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Lentera Jakarta 1999), h. 40. Lihat
juga Wahbah Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. (Gema Insani, Jakarta 2011, jilid 90, h. 106.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan luasnya permasalahan diatas, maka penulis membatasi
permasalahan hanya pada masalah Perda Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan dan Perda Mandailing Natal, Sumatra Utara, tentang Pandai Baca Tulis
Al-Quran sebagai prasyarat untuk nikah menurut peraturan perundang-undangan
khususnya HAM dan hukum Islam. Maka Pokok permasalahan dalam skripsi ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pembentukan Perda Bulukumba dan Perda Mandailing
Natal tentang pandai baca tulis Al-Quran sebagai prasyarat untuk nikah
dan konsekuensi Perda tersebut secara politik?
2. Bagaimana isi Perda Bulukumba dan Perda Mandailing Natal dalam teori
persfektif hukum Islam dan HAM tentang pandai baca tulis Al Quran
sebagai prasyarat untuk nikah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan, tentu harus mempunyai tujuan dan
manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan
penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Perda
pandai baca tulis Al-Quran sebagai prasyarat untuk nikah di Perda
Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun
2003.
8
b. Untuk mengetahui proses pembentukan Perda BulukumbaNo 6 Tahun
2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun 2003.
c. Untuk mengetahui bagaimana pandangan peraturan perundang-undangan
khusunya HAM terhadap Pandai Baca Tulis Al-Quran sebagai prasyarat
untuk nikah Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing
Natal No 5 Tahun 2003
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini diharapkan dapat mampu menyumbangkan wacana ilmu
pengetahuan yang diperlukan serta menambah khazanah kepustakaan
untuk kepentingan akademik.
b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti
c. Memberikan informasi pada masyarakat umum tentang Perda Bulukumba
Nomor 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 Tahun 2003
Tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran sebagai prasyarat untuk nikah yang
bersifat privat dapat diangkat keranah urusan publik. Dalam hal ini Perda
Kabupaten Bulukumba dan Perda Kabupaten Mandailing Natal.
D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kajian ilmu hukum
normatif yaitu pendekatan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang
terdapat dalam hukum syariat, dengan memuat deskripsimasalah yang
9
diteliti berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan secara cermat dan
mendalam.
2. Metode Pengumpulan
Metode yang digunakan untuk bahan hukum bersifat Library
Researchguna memperoleh landasan teoritis yang diperoleh dari literatur
dan referensi yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas. Adapun data
ynag digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah:
a. Data primer meliputi buku-buku, dan Perda Kabupaten Bulukumba,
Sulsel Nomor 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal, Sumatra
Utara No 5 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran sebagai
prasyarat untuk nikah.
b. Data skunder terdiri dari buku-buku hukum, peraturan perundang-
undangan, UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam, media cetak, artikel, jurnal data dari internet (website)
yang ada hubungannya dengan materi yang menjadi pokok
permasalahan yang akan dibahas.
c. Data tersier, yakni berupa kamus-kamus sebagai bahan penunjang
dalam penulisan skripsi ini.
3. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengukur dan menilai sebuah
perundang-undangan Indonesia. Dalam hal ini adalah Perda Kabupaten
Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Kabupaten Mandailing Natal No
5 Tahun 2003 sehingga penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian
10
kualitatif yaitu data dinyatakan dengan pernyataan dan tidak dinyatakan
dengan angka.
4. Metode Analisis Data
Setelah data tersebut terkumpul, penulis akan menyajikan dan
menganalisisnya secara deduktif. Dimaksudkan untuk memberikan
gambaran secara jelas, sistematis, objektif dan kritis yang dipaparkan
melalui hukum Islam. Perda Bulukumba Nomor 6 tahun 2003 dan Perda
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003 mengenai fakta-fakta yang bersifat
normatif tentang permasalahan yang dibahas, dengan berusaha menyajikan
bahan yang relevan dan mendukung.
5. Teknik Penulisan
Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada
Prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skiripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013-2014.
E. Tinjauan Pustaka
Judul skripsi ini, memang sebuah wacana kontemporer yang terus menarik
dikaji. Memang ada sarjana yang sudah membahasnya, seperti Adi Sori, dalam
karyanya yang berjudul , “Prasyarat Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Calon
Pengantin Menurut UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Perda No 5 Tahun
2003 Kabupanten Mandailing Natal.”
Dalam penulisan skripsinya, terdapat kekurangan dari apa yang telah di
bahas olehnya karena hanya membahas tentang Perda Mandailing Natal saja,
11
dantidak membandingkannya dengan Perda Bulukumba11
. Sedangkan dalam
skripsi yang penulis sajikan ini, tidak hanya membahas tentang Perda Mandailing
Natal, akan tetapi juga membandingkan antara Perda Mandailing Natal dan Perda
Bulukumba. Kedua Perda tersebut hampir sama dan hanya penyebutannya yang
berbeda. Oleh karena itu, penulis dalam skripsi ini ingin menjelaskan persamaan
dan perbedaan antara Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Mandailing
Natal No 5 Tahun 2003 Tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Dan
Calon Pengantin.
Muhammad Syarif S.Sy, dalam karyanya yang berjudul “Larangan
Melangkahi Kakak Dalam Perkawinan Adat Mandailing Natal (Desa Sirambas
Kecamatan Panyabungan Barat, Mandailing Natal),yang menurutnya hukum adat
Mandailing Natal tergolong unik, bila dibandingkan dengan daerah lain.
Contohnya: “Mamodomi Boru” (menemani calon istri) artinya ada seorang gadis
dari keluarga perempuan yang menemani calon istri tersebut tidur di rumah calon
suami sebelum dilangsungkannya perkawinan, hal ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya zina. “Malangkai” (melangkahi) kakak perempuan bagi
seorang adik perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan.
Suatu tradisi seorang perempuan yang ingin menikah, namun masih ada
kakak perempuan yang masih belum menikah maka lamaran yang datangpun akan
ditolak oleh pihak keluarga. Menurut pemahaman masyarakat Madina apabila ada
seorang anak gadis yang dilangkahi adik perempuan untuk menikah, maka
kemungkinan sang kakak tersebut sulit untuk mendapatkan jodoh bahkan dapat
11
Adi Sori Hasibuan. Persyaratan Pandai Membaca Al-Quran Bagi Calon Pengantin
Menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan KHI (Analisis Peraturan Daerah Kabupaten
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003). Jakarta 2009.
12
diasumsikan kakak tersebut tidak laku. Hal inilah yang mengakibatkan kawin lari
sebagai jalan pintas untuk menghidari penolakan itu. Namun ada juga yang
mempraktekkan tetap menerima lamaran tetapi dengan prasyarat membayar uang
pelangkah kepada kakaknya. Dalam KHI dan literatur fiqih klasik tidak ditemukan
adanya larangan bagi perkawinan melangkahi karena hal ini hanya lah praktek
perkawinan yang menggunakan hukum adat.
Tidak sedikit mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
menghasilkan penelitiannya seperti diatas, seperti mengenai prasyarat pandai baca
tulis Al-Quran yang ditinjau secara umum dari HAM. Akan tetapi, dalam
penelitian ini penulis mempunyai fokus yang berbeda karena mengkaji khusus
terhadap Peraturan Perundang-undangan dan hukum Islam serta membandingkan
alasan Perda-Perda itu diterapkan. Permasalahan ini belum pernah dikupas secara
cermat oleh para sarjana yang disebutkan diatas, lebih-lebih penelitian ini
memiliki wilayah yang berbeda (setiap daerah memiliki latar belakang yang
berbeda dalam membuat suatu peraturannya). Atas pertimbangan di atas penulis
merasa perlu, untuk memaparkan persoalan tersebut dalam skripsi ini dengan
pengkajian komparatif.
Dalam karya ini, penulis mencoba mamaparkan topik yang sangat menarik
ini sebagai kontribusi penelitian yang akan memberi penjelasan atas permasalahan
ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab. Tehnik penulisan mengacu
kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayutullah Jakarta dengan perincian sebagai berikut:
13
Bab I Membahas tentang pendahuluan meliputi: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika
penulisan.Dengan berangkat dari pendahuluan kita sudah
mengetahui garis besar penelitian bab pertama ini adalah sebagai
pengantar. Adapun isi penelitian seluruhnya tertuang dalam bab II,
III, IV. Inti dari penelitian seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi
kesimpulan dan saran.
Bab II Membahas tentang tinjauan umum tentang prinsip kebebasan
menikah menurut peraturan perundang-undangan, keabsahan
pernikahan, persyaratan pernikahan, kelengkapan dalam
administrasi pernikahan.
Bab III Membahas tentang analisis perbandingan Perda Bulukumba No 6
tahun 2003 dan Perda Mandailing Natal No 5 tahun 2003, proses
pembentukan Perda, isi Perda, nama dan titel Perda, jumlah pasal
dalam Perda, struktur Perda, Partai pengusung Perda dan respon
masyarakat terhadapPerda.
Bab IV Membahas tentang analisis hukum Islam terhadap Perda
Bulukumba dan Perda Mandailing Natal, tinjauan hukum Islam
terhadap Perda dan Tinjauan Peraturan HAM terhadap Perda.
Bab V Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PRINSIP KEBEBASAN MENIKAH
MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam bab II ini, penulis ingin menjelaskan tentang: Tinjauan umum
tentang prinsip kebebasan menikah menurut peraturan perundang-Undangan yang
berisikan: keabsahan pernikahan, persyaratan pernikahan, dan kelengkapan
administrasi pernikahan.
A. Keabsahan Pernikahan
Setelah ditetapkannya Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka dasar berlakunya hukum Islam dibidang perkawinan, talak, dan
rujuk tentulah Undang-undang No 1 t
Tahun 1974, tepatnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) yang menetapkan
sebagai berikiut:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku guna memperoleh akta nikah
sebagai bukti bahwa perkawinan tersebut adalah sah.”1
Sah dan tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh terpenuhi atau tidak
nya semua rukun dan syarat dalam perkawinan itu sendiri. Rukun dan syarat
dalam sebuah hukum fiqih merupakan hasil ijtihad ulama yang diformulasikan
1 Amir Martosedono, Apa dan bagaimana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974. (Effhar dan Dahara Prize, Semarang 1992), h. 43.
15
dari dalil-dalil (nash) serta kondisi objektif masyarakat setempat.2 Jadi, tidak bisa
disah kan apabila pernikahan dilakukan hanya dasar suka sama suka tanpa
memperhitungkan hal-hal yang lain yang berkaitan dengan pernikahan itu sendiri.
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Al Quran dan
Alhadits, dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tahun 1991
mengandung tujuh asas atau kaidah hukum, yaitu:
1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2. Asas keabsahan pernikahan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan bagi pihak yang melakukan pernikahan dan harus dicatatkan
oleh petugas yang berwenang.
3. Asas monogamy terbukua. Artinya jika suami tidak mampu berbuat adil
terhadap hak-hak istri bila lebih dari seorang maka cukup seorang saja.
4. Asas calon suami istri telah matang jiwa dan raganya untuk
melangsungkan pernikahan.
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh
karena itu, segala sesuatu maslah dalam keluarga dapat dimusyawarahkan
dan diputuskan bersama oleh suami istri.
7. Asas pencatatan perkawinan. Mempermudah mengetahui manusia yang
sudah menikah atau melakukan pernikahan karena terdaftar dalam akta
2 Yayan Sopian, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (UIN Jakarta 2011), h. 125.
16
pernikahan3
Hukum perkawinan menurut Imam Syafi‟i4 adalah mubah yang
berarti itu dalam rangka memperoleh kenikmatan dan kelezatan yang
hukumnya mubah5. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad, perkawinan adalah perkara sunah berdasarkan pada penggalan
surat An-Nisa ayat 3:
“jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa 3).
Menurut Imam Abu Hanifah6 dan Imam Ahmad
7, ayat diatas
menjelaskan bahwa dasar hukum pernikahan adalah sunah. Walaupun ayat
tersebut mengandung pengertian berpoligami tapi dalam penggalan akhir ayat
tersebut menganjurkan umat Muslim untuk menikah. Alasannya adalah selain
untuk menjalankan sunahnya Rasululah, namun juga untuk mendapatkan
keturunan yang nantinya meneruskan kelestarian umat Islam yang akan datang.
Dengan demikian, Perda yang mewajibkan pandai baca tulis Al-Quran
untuk melangsungkan pernikahan menurut pandangan Islam, boleh diberlakukan.
3 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta, 2006), h. 7.
4 Abu Abdillah Muhamad bin Idris bin Abbas bin Asyafi‟i bin Said bin Ubaid bin Yazid
bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Manaf bin Qusay. Lahir di Gazah (150 H/767 M) dan wafat di
Mesir (204 H/819 M).
Huzaemah Tahodi Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Logos Wacana Ilmu, Ciputat
2003), h. 120. 55
Abdurahman A- Jazirri, Al-Fiqhu „Ala Al Mazhabi Al Arba‟ah, Fiqih Empat Mazhab,
(Darul Hadts 2004), h. 12. 6 Abu Hanifah An-Nu‟man bin Tsabit bin Zutha al-Taimy. Lahir Kufah (80 H/699 M) dan
wafat di Bagdhad 150 H/767 M).
Huzaemah Tahido Yanggo,Pengantar Perbandingan Mazha,h. 95. 7 Ahmad bin Muhamad bin Hanbal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan AS-
Syaibani. Lahir di Bagdhad (164 H/780 M) .
Huzaemah Tahido Yanggo. Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 136.
17
Dengan alasan bahwa dalam ajaran Islam sendiri tidak hanya membatasi suatu
permasalahan melalui satu konsep saja. Namun,terdapat sebuah konsep pemikiran
mujtahid-mujtahid terdahulu, terutama ijtihadnya Imam Malik8 yang dijadikan
sandaran bagi sebagian umat Islam dalam mengambil istinbat dalam menentukan
hukum, yaitu Maslahah Mursalah.9 Dengan tidak bertentangan pada aturan
Maqasid Al-Syari‟ah (tujuan-tujuan syari‟ah)10
selama tujuan pembentukan kedua
Perda tersebut adalah kemaslahatan untuk masyarakat yang akan mewujudkan
suatu lingkungan hidup yang hasanah fi al-dunia dan hasanah fi al-akhirah.
B. Persyaratan Pernikahan
Undang-undang Perkawinan Nasional menjadi pegangan dan telah berlaku
bagi berbagai golongan masyarakat. Bagi umat Islam harus diperlakukan hukum
perkawinan Islam seperti yang ditetapkan oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan syahnya perkawinan menurut hukum Islam harus memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat11
sebagai berikut:
8 Abu Abdillah Malik bin Annas bin Malik bin Abu „Amir bin Al-Harits. Lahir di Madina
(93H/12M) Hijaz dan wafat (179H/798 M) Madina pada pemerintahan Harun Ar_Rasyid.
Huzaemah Tahido Yanggo,Pengantar Perbandingan Mazhab,h. 103. 9 Maslahah Mursalah menurut bahasa adalah mutlak/hakiki, sedangkan istilahnya adalah
kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak disyari‟atkan hukum untuk ditetapkan dan tidak ada dalil
tertentu untuk mempertimbangkan atau mengabaikannya, dengan kata lain, hanya untuk
menetapkan kemaslahatan masyarakat bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari‟ah (Maqasid Al-
Syari‟ah)
Surahman Hidayat, Al-Madkhil li Dirosaty-Syari‟aty-Islamiyyati, Pengantar Studi Syariah
Mengenal Syari‟ah Islam Lebih Dalam. (Robbani Press Jakarta 2008), h. 35.
Syekh Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, (Raja Grafindo
Persada,Jakarta 2002), h. 123. 10
a) Keselamatan Keyakinan Agama, 2) Keselamatan Jiwa, 3) Keselamatan Akal, 4)
Keselamatan Keluarga/Keturunan dan 5) Keselamatan Harta benda.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus dan P3M,( Pejaten Barat 1997), h. 20. 11
KHI Bab IV tentang Rukun dan Syarat-Syarat Perkawinan, Pasal IV
18
a. Syarat Umum
Perkawinan itu tidak dilakukan dengan bertentangan kepada larangan-
larangan yang termaktub dalam ketentuan Al-Quran yaitu larangan perkawinan
karena perbedaan agama. Namun, dalam pengecualinnya dalam surat al-Maidah
ayat 5 yaitu khusus lelaki dalam Islam boleh menikahi perempuan ahli kitab
kemudian tidak bertentangan dengan ketentuan surat Al Nisa ayat 22 dan 23
(wanita-wanita yang dilarang untuk dinikahi).
b. Syarat Khusus
1. Adanya calon laki-laki dan calon perempuan.
2. Kedua calon tersebut harus Islam, akil baligh (dewasa dan berakal)
sehat baik rohani maupun jasmani.
3. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin dengan
demikian tidak boleh perkawinan itu dipaksakan.12
4. Harus ada wali nikah13
Menurut Imam Syafi‟i berdasarkan suatu hadits dari Aisyah, Rasul
mengatakan, bahwa tidak ada pernikahan tanpa adanya wali. Tetapi
menurut Imam Hanafi wanita dewasa tidak perlu pakai wali ketika
hendak menikah.
5. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil.
6. Adanya mas kawin (mahar)14
. Hendaknya suami membayar
12
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, UIN Jakarta Press.
2007.( Pasal 28 BW), h. 7. 13
Syarat-syarat wali nikah adalah; Islam, adil, baligh, berakal, tidak terganggu
pendengarannya, bukan orang yang sedang pailit dan tidak dalam keadaan Ihram atau haji.
Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (CV Pamulang 2005), h. 6. 14
Mahar adalah harta yang menjadi hak isteri dari suaminya dengan adanya akad atau
dukhul.Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (UIN Jakarta Press.
2007), h 30
19
maharnya kepada sang istri walaupun permasalahan mahar ini
bukanlah termasuk kedalam rukun dari sebuah perkawinan.
7. Adanya proses akad15
nikah yaitu pernyataan ijab dan qobul antar
kedua belah pihak (ijab dari wali calon mempelai wanita dan qobul
dari calon mempelai laki-laki).16
Syarat-syarat perkawinan menurut undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Didasarkan kepada asas kebebasan, tidak ada paksaan dalam perkawinan.
2. Berasaskan monogami. Kecuali mendapat dispensasi dari Pengadilan
Agama dengan syarat-syaratnya yang berat untuk beristri lebih dari satu
dan harus ada izin dari istri pertama. Adanya kepastian dari pihak suami
bahwa mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak dan berlaku
adil dengan meraka. UU No 1 Tahun 19 Pasal 3 ayat (2),” Pengadilan
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”17
3. Pria harus telah berumur 18 (sembilan belas) tahun dan wanita berumur 15
(enam belas) tahun.18
4. Harus mendapat izin dari orang tua masing-masing. Kecuali dalam hal-hal
tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umurnya kurang
15
Akad adalah apa yang dikaitkan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan oleh
dirinya sendiri atau orang lain dikarenakan berlakunya suatu ketetapan padanya.
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan. (Raja Grafindo Persada, Jakarta 1995), h. 3. 16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Kencana Jakarta 2006), h. 59.
17
Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, (Raja Grafindo Persada Jakarta 2002), h. 10. 18
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (UIN Jakarta Press.
2007), h. 7.
20
dari 18 dan 15 tahun.
5. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali
dispensasi pengadilan.
6. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah
lampau tenggang waktu tunggu.
7. Seorang yang telah cerai untuk yang kedua kalinya. Maka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agama
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
8. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang
diatur oleh Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 jo, Peraturan Mentri
Agama N0 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
9. Tidak termasuk dalam larangan-larangan pihak perkawinan, yaitu:
Menurut KHI dalam firman Allah surat Annisa ayat 22-23, tentang
larangan abadi adalah sebagai berikut:
1) Karena pertalian nasab
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibunya.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.19
2) Karena pertalian kekerabatan semenda
a. Dengan seorang wanita yang dilahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
19
„Abdul Al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita Segala Hal Yang ingin Anda
Ketahui Tentang Perempuan Dalam Hukum Islam. (Zaman Jakarta 2009), h. 32.
21
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istri. Kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla
dhukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas keturunannya.
3) Karena pertalian sesusuan
a. Karena wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis
lurus keatas dan kebawah.
b. Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan
ke bawah.
c. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke
atas.
d. Dengan anak yang disusui dengan istrinya dan keturunannya.
e. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.20
Adapun larangan perkawinan yang sewaktu-waktu dapat berubah
(muaqqat) menurut KHI adalah: (1) karena wanita bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan lelaki lain, (2) seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain, (3) seorang wanita dengan seorang yang beragama
Islam.21
.
Pada dasarnya setiap laki-laki muslim dapat saja menikah dengan siapapun
yang disukainya. Tetapi prinsip itu tidak mutlak karena ada batasan-batasanya
20
M. Idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa pasal UU No 1 Thaun 1974 Dari segi Hukum
Perkawinan Islam, (IND-Hill co Jakarta 1990), h. 38. 21
H. Abdul Manan S.H. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Kencana
Jakarta 2006), h. 28.
22
yang telah dijelaskan dalam Al-Quran. Penggolongan larangan itu adalah:
1. Larangan perkawinan karena perbedaan agama
2. Larangan perkawinan karena pertalian sedarah
3. Larangan perkawinan karena persusuan
4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda
5. Larangan perkawinan dengan perempuan bersuami.22
Dari semua persyaratan di atas, tidak ada satupun ada ketentuan yang
mengatur bahwa calon pengantin laki-laki maupun calon pengantin perempuan
diwajibkan memiliki kepandaian atau keterampilan dalam hal membaca Al-Quran.
C. Kelengkapan Administrasi Pernikahan
1. Pelaksanaan Pencatatan
Adapun yang menyangkut sahnya perkawinan dan pencatatannya adalah
berdasarkan Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang di sahkan pada tanggal 10 Juli 1991, berisikan pedoman bagi orang-
orang Islam mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan. Dengan demikian
pada dasarnya perkawinan di Indonesia bersumber kepada:
1. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI),
3. Peraturan Perundang-undangan lain sepanjang tidak diatur oleh UU
Perkawinan23
.
22
Muhamad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Raja
Grafindo Persada 2007), h. 7. Lihat juga M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Tentang Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam. (IND_HILL,Co. 1985), h. 45. 23
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (UIN Jakarta Press.
2007), h. 1.
23
Sahnya sebuah perkawinan dan pencatatannya, ditentukan juga, bahwa:
a. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Ketentuan ini dimuat di dalam Pasal 2 UU No 1/197 tentang Perkawinan.
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945.
Penjelasan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, termasuk
juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan
kepercayaannya, itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang diatas. Maka Pasal 2 menunjuk paling pertama,bahwa
perkawinan harus sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan
bagi masing-masing pemeluknya. Oleh karena itu, penjelasan atas Pasal 2 ayat (1)
“tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”
jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
“hukum agamanya sendiri”.24
Sedangkan penjelasan tentang ketentuan pencatatan perkawinan adalah:
a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang No. 32 Tahun 1945 Tentang Pencatatan,
24
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Rineka Cipta Jakarta 2005), h. 15.
24
Talak dan Rujuk.
b. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatat
perkawinan.
Dengan ketentuan tersebut dalam pasal ini maka pencatatan perkawinan
dilakukan oleh dua instansi. Yakni Pegawai Pencatat Nikah, Kantor Urusan
Agama untuk NTR (Nikah, Talak dan Rujuk)25
dan Kantor Catatan Sipil atau
instansi/pejabat yang membantunya.26
.
Sejak disahkannya UU No 1/1974, Departemen agama RI (Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam) telah mengambil peranan secara langsung
dan aktif untuk melaksanakan UU tersebut. Melibatkan dua direktorat yakni
Direktorat Urusan Agama Islam dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam berdasarkan KMA No 18/1975. Masalah pencatatan pernikahan
menjadi tugas Direktorat Urusan Agama Islam. Sesuai dengan UU No 9/1975 dan
Peraturan Menteri Agama No 1/1975. Maka Departemen Agama melaksanakan
secara vertikal sampai dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan melaksanakan
tugas-tugas sebagai pencatat perkawinan atau pecatat nikah.
25
Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bukan
Bintang Jakarta 1975), h. 35. 26
Ibid. hal 18. Baca juga: M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam. (IND_HILL,Co. 1985), h. 131.
25
Dalam undang-undang No 22/1946 dikenal istilah Pegawai Pencatat27
Nikah, Talak dan Rujuk yang lazim disingkat PPN. Untuk diluar Jawa Madura
dibantu oleh tokoh-tokoh agamawan di desa-desa yang dianggap mampu atau
cakap melaksanakan pencatatan perkawianan. Walaupun mereka itu bukan
pegawai negeri, namun diangkat menjadi pembantu Pegawai Pencatat Nikah,
Talak dan Rujuk hal ini diatur dengan surat penetapan Menteri Agama No
14/1955 tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk yang
disingkat menjadi P3NTR.
2. Pencatatan Perkawinan
Pelaksanaan pencatatan perkawinan, diatur dalam PP No 9/1975 dan
Peraturan Menteri Agama No 3 dan 4/1975. Bab II Pasal 2 (1) PP No 9/1975
pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinananya
menurut Agama Islam dilakukan oleh pegawai sebagaimana dimaskud dalam UU
No 32/1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.
Sebagaimana diketahui pelaksanaan perkawinan itu didahului kegiatan-
kegiatan, baik yang dilakukan oleh calon mempelai maupun oleh pegawai
pencatat perkawinan. Calon mempelai atau orang tuanya atau wakilnya
memberitahukan kehendak melangsungkan perakawinan kepada pegawai pencatat
perkawinan (Pasal 3dan 4 PP). Selanjutnya pegawai tersebut meneliti apakah
syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan
menurut undang-undang. Demikian pula meneliti surat-surat yang diperlukan
(Pasal 5 dan 6 PP).
27
Pegawai pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian, Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 1d, (sinar Grafika, Jakarta, 2000), h. 32.
26
Apabila ternyata dari hasil penelitian itu terdapat halangan perkawinan
atau belum terpenuhinya syarat-syarat yang diperlukan, maka keadaan itu segera
diberitahukan kepada calon kedua mempelai atau kepada orang tua atau ke
wakilnya (Pasal 7 ayat (2) PP). Bila pemberitahuan itu dipandang cukup dan
memenuhi syarat yang diperlukan serta tidak terdapat halangan untuk nikah, maka
pegawai pencatat membuat pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, menurut formulir yang telah ditetapkan, dan
menempelkannya di Kantor Pencatatan yang mudah di baca oleh umum.
Pegumuman serupa, juga dilakukan di Kantor Pencatatan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman masing-masing calon mempelai (Pasal 8 dan Penjelasan
Pasal 9 PP).
Adapun pelaksanaan perkawinannya baru dapat dilangsungkan setelah hari
kesepuluh sejak pengumuman tersebut (Pasal 10 PP). Ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga guna mengajukan keberatan dan
memohon pencegahan perkawian itu apabila ia berpendapat bahwa perkawinan
tersebut tidak dapat dilangsungkan karena terdapatnya halangan atau bahwa salah
satu pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 13,14,
15 dan 16 UU). Pencegahan itu sendiri harus diajukan kepada pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawian itu akan dilangsungkan dengan memberitahukan
hal itu kepada Pegawai Pencatat yang pada gilirannya memberitahukan hal itu
kepada calon pelai (Pasal 17 UU).
Dengan memperhatikan tatacara dan ketentuan perkawinan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka perkawinan
27
dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan dan di hadiri oleh dua
orang saksi (Pasal 10 PP). Dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, maka akad nikahnya dilakukan oleh wali nikah atau yang
mewakilkan.
Sesaat sesudah berlangsungnya perkawinan tersebut, maka kedua
mempelai menanda-tangani Akta Perkawinan28
yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, yang kemudian diikuti oleh kedua orang saksi dan oleh wali
nikah dalam hal perkawinan dilakukan menurut agama Islam. Penanda tanganan
tersebut juga dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bersangkutan. Dengan
selesainya penanda tanganan tersebut maka perkawinan telah tercatat secara resmi
dalam catatan sipil29
(Pasal 11 PP).30
Uraian di atas, dalam hal kelengkapan administrasi perkawinan sedikitpun
tidak ada yang menyinggung bagi kedua calon pengantin laki-laki dan perempuan
untuk memiliki kepandaian atau keahlian dalam membaca Al-Quran. Dengan
mempertimbangkan bahwa persyaratan dan kelengkapan administrasi yang tidak
28
Akta Perkawinan adalah sebuah daftar besar (dahulu register perkawinan) yang
memuat antara lain:
a. nama, tempat tanggal lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman dari
suami istri, wali nikah, orang tua dari suami istri, saksi-saksi, wakil/kuasa bila
perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
b. Surat-surat yang diperlukan seperti, izin kawin (Pasal 6 UU), dispensasi kawin (Pasal 7
UU), izin poligami (Pasal 4), izin dari Menteri Hankam/Pangabbagi ABRI, perjanjian
sebagai dimaksud Pasal 29 UU.
c. Lain-lain.
Arso Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bukan Bintang
Jakarta 1975), h. 25. 29
Catatan sipil adalah catatan tentang peristiwa penting mengenai keperdataan seseorang
seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian dan lain sebagainya. Lihat Soeroso,
Perbandingan Hukum Perdata, (Sinar Grafika, Jakarta, 2003), h. 154. 30
M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Hukum Perkawinan Islam. (IND_HILL,Co. 1985), h. 133. Lihat juga Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 1d, (Sinar Grafika Jakarta 2000), h. 36.
28
mewajibkan bagi calon pengantin baik laki-laki maupun perempuan untuk
memiliki kemampuan atau keahlian membaca Al-Quran, maka apakah Perda
dapat dibenarkan menurut perspektif HAM dan hukum Islam? pertanyaan ini akan
penulis jawab dalam bab yang akan datang.
29
BAB III
ANALISIS PERBANDINGAN PERDA BULUKUMBA NOMOR 6 TAHUN
2003 DAN PERDA MANDAILING NATAL NOMOR 5 TAHUN 2003
Dalam bab III ini, penulis ingin menjelaskan tentang: analisis
perbandingan antara Perda Bulukumba Nomor 6 Tahun 2003 dan Perda
Mandailing Natal Nomor 5 Tahun 2003. Pembahasan ini mencakup proses
pembentukan Perda, isi Perda, nama atau titel Perda, jumlah pasal dalam Perda,
struktur Perda, partai pengusung perda dan respon masyarakat terhadap kedua
Perda tersebut.1
A. Proses Pembentukan Perda
1. Kabupaten Bulukumba
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Bulukumba.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan berpenduduk sebanyak
394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010). Kabupaten Bulukumba
mempunyai 10 kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa. Berdasarkan referensi-
refernsi yang telah penulis kaji, mayoritas penduduk Kabupaten Bulukumba
adalah 99% beragama Islam2, oleh karena itu wajar kiranya apabila Pemerintah
1Hanya saja patut digaris bawahi sebelumnya, penulis hanya sedikit sekali mendapat
keterangan sejarah dari Perda-perda ini. Terutama keterangan yang membahas tentang Perda
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003. Harus diakui, penulis mengalami keterbatasan karena tidak
turun langsung ke lapangan (yaitu Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan dan Mandailing
Natal di Sumatra Utara). Untuk meneliti lebih detail asal muasal terbentuknya kedua Perda
tersebut secara kronologis. 2 Anwar Razak, dkk, Menilai Tanggug Jawab Sosial Peraturan daerah Studi Kasus,
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumatra Barat, (Pusataka Study
Hukum Dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), h. 81.
30
Daerah/Kabupaten Bulukumba mengharapkan terciptanya lingkungan yang
agamis dalam masyarakat yang dipimpinnya. Tentu saja dengan sosialisasi yang
sangat baik kepada masyarakat sehingga menimbulkan penerimaan dan kesadaran
untuk patuh terhadap Perda tersebut terlebih dengan aturan-aturan yang bersumber
pada agama.
Salah satu Perda yang berbasiskan syariah di Kabupaten Bulukumba ini
adalah Perda No 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan
Calon Pengantin. Beberapa Perda didaerah ini dibentuk karena adanya gejala
sosial yang terjadi di tengah masyarakat Kabupaten Bulukumba, khususnya
Perda-Perda tentang keagamaan. Sejarah singkat terbentukanya Perda ini adalah
karena pada tahun 2001 masyarakat Bulukumba diresahkan dengan berbagai
penyakit sosial seperti pencurian dan prostitusi. Bahkan, salah satu obyek wisata
di Bulukumba sudah dianggap masyarakat sebagai tempat prostitusi yang
terselubung3.
Menanggapi penyakit sosial tersebut, kaum agamawan memandang
fenomena terkait sebagai penyimpangan terhadap ajaran Agama, sehingga mereka
merasa bertanggungjawab untuk menanggulanginya. Langkah yang diambil kaum
agamawan adalah dengan mencari dukungan dari Pemerintah Daerah yang
kemudian diakomodir dalam format kebijakan daerah4. Misalnya dengan
membentuk Perda-Perda yang bernuansa amar ma’ruf nahi munkar. Langkah ini
mendapat respon positif dari masyarakat dan cukup efektif dalam mempengaruhi
3 Saifuddin Faturusi, Peran Dan Sumbangan Pemuda-Pemuda Bulukumba Dalam
Revolusi kemerdekaan Indonesia, (Lembaga Syariah Hankam Jakarta 1967), h. 25. 4 Otonomi daerah/ kebijakan daerah dipersepsi sebagai “ajang pelanggaran HAM”.
Pakar Hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, Penegakan Hukum di
Indonesia. (Prestasi Pustaka 2006), h. 20.
31
perilaku keseharian masyarakat, termasuk perlindungan keselamatan dari
ketentraman masyarakat Bulukumba. Alasan itulah dibentuk Perda yang
berimplikasi terhadap agama, termasuk Perda No 6 Tahun 2003 tentang Pandai
Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin.
Formalisasi atas berbagai aspirasi masyarakat Muslim di Bulukumba
dilakukan oleh Bupati Patabai Pabokori pada masa pemerintahannya (1999-2004)
dengan menjalankan crash program keagamaan dengan memprioritaskan delapan
aspek kegiatan, yaitu:
1. Pembinaan dan pengembangan pemuda remaja masjid
2. Pembinaan dan pengembangan TK dan TPA
3. Pembinaan dan pengembangan majlis ta’lim
4. Pembinaan dan pengembangan perfustakaan masjid
5. Pembinaan dan pengembangan hifzil Quran
6. Pembinaan dan pengembangan seni bernuansa islami.
7. Pemberdayaan zakat, infak, dan shadaqoh
8. Pelestarian keluarga sakinah mawadah wa rohmah5
MenurutLembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) (dalam
laporannya “Pemantauan terhadap Implementasi Perda-Perda Bermasalah bulan
Oktober 2008 di Bulukumba”), konteks lahirnya Perda No 6/2003 tentang baca
tulis Al-Qur’an bagi murid dan calon pengantin tidak terlepas dari usulan
beberapa pejabat daerah yang ingin membuat payung hukum bagi efektivitas
pelaksanaan program Pemerintah Daerah yang disebut dengan Crash
5 Anwar Razak, dkk, Menilai Tanggug Jawab Sosial Peraturan daerah Studi Kasus,
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumatra Barat, (Pusataka Study
Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), h. 80.
32
ProgramKeagamaan. Proses yang diusulkan oleh Tjamiruddin, salah satu
penggagas Perda yang saat itu menjabat Ketua Tanfidziah NU (Nahdhotul Ulama)
dan Kepala DEPAG (Departement Agama) Bulukumba kepada Bupati Patabai
Pabokori, ternyata mendapat dorongan dari kelompok KPPSI (Komite Persiapan
Pergerakan Syariat Islam) dan Jundullah. Kamaluddin Jaya, selaku ketua
Muhammadiyah yang juga ketua dewan syuro KPPSI Bulukumba mengatakan
bahwa “pembuatan Perda-Perda ini merupakan kebutuhan masyarakat dan
direspon dengan baik karena masyarakat Bulukumba adalah mayoritas Muslim.”6
Seiring dengan crash program tersebut, Perda-Perda lainya yang bernuansa
keagamaan pun muncul, antara lain:
1. Perda No 3 Tahun 2002 tentang minuman alkohol
2. Perda No 2 Tahun 2003 tentang pengelolaan zakat, infak dan shodaqoh
3. Perda No 5 Tahun 2003 tenang berpakaian muslim dan muslimah
4. Perda No 6 Taun 2003 tengang pandai baca tulis Al-Quran bagi siswa dan
calon pengantin.
Oleh banyak kalangan, Perda-Perda tersebut dianggap sebagai Perda
syariat Islam. Namun, menurut Pusat Study Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK), mengatakan bahwa keseluruhan Perda-Perda tersebut tak satupun yang
menyebut syariat Islam. Demikian pula dalam sanksi atas pelanggaran Perda ini,
tidak ada yang berdasarkan pada Syariat Islam. Pada intinya, tidak ada perbedaan
6Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Pemantauan terhadap
Implementasi Perda-perda Bermasalah Bulan Oktober 2008 di Bulukumba, (Pusataka Study
Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), diakses pada tanggal 4 Januari 2015 dari
http://www.hiburdunia.com/2012/01/arti-dan-sejarah-bulukumba.html.
33
Perda tersebut dengan Perda sejenis di daerah Kabupaten yang lain.7
Perda-Perda diatas dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal, yaitu: (1)
ketertiban masyarakat seperti pelanggaran pelacuran dan pendistribusian minuman
keras. (2) kewajiban dan keterampilan keagamaan, seperti pembayaran zakat,
kemampuan baca tulis Al-Quran, dan (3) simbolisme keagamaan berupa pakaian
busana muslim.8
Masyarakat Bulukumba sebelum diberlakukannya Perda tersebut
diresahkan dengan berbagai penyakit sosial seperti pencurian dan prostitusi.
Dengan kata lain, telah jauhnya manusia dengan tuhannya terutama yang dialami
oleh masyarakat Muslim. Hal inilah yang melatar belakangi terciptanya Perda
Bulukumba No 6 Tahun 2003 tersebut.
Sebagai realisasi pemberlakuan Perda No 6/2003 di Kabupaten
Bulukumba, terjadi beberapa kecenderungan dan fakta-fakta yang menarik,
khususnya yang ditemukan di beberapa Desa Muslim di Bulukumba, di antaranya:
a. Pembentukan TK, TPA setiap Masjid/Mushalla
b. Pembentukan TPA orang tua disetiap RT/RW /Dasawisma
c. Mengadakan penataran guru mengaji
d. Pengadaan Al-Qur’an melalui gerakan waqaf Al-Qur’an
e. Mengadakan lomba baca tulis Al-Qur’an setiap Pelaksanaan Hari Besar
Islam (PHBI).
7 Anwar Razak, dkk, Menilai Tanggug Jawab Sosial Peraturan daerah Studi Kasus,
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumatra Barat, (Pusat Study
Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), h. 81
8 Arskal Salim, “Perda Berbasis Syariah dan Perlindungan Konstitusional Penegakan
HAM,”Jurnal Perempuan 60. (Jakarta 2008), h. 11.
34
Disamping itu juga diadakan pembinaan guru-guru mengaji dengan cara sebagai
berikut :
a. Mengadakan pelatihan guru mengaji metode Iqra dan metode albarqi
b. Memberikan tunjangan bulanan melalui sumbangan tetap pelanggan
listrik
c. Membagikan zakat setiap 6 (enam) bulan
d. Menerima sumbangan wajib dari santri setiap selesai panen
e. Menerima biaya pembinaan guru TK-TPA setiap tahun dari Pemerintah
Desa
Di Desa Tamaona, kecamatan Kindang, proses pembelajaran TPA pada
waktu pemerintahan Patabai juga berlangsung dengan ketat. Seperti dijelaskan
oleh Siti Sulistiwati, salah satu guru TPA Masjid Al-Jamiah dan TPA SD 302
LATTAE, bahwa di desa itu juga setiap TPA membebankan kepada santrinya
pembayaran bulanan. Menurut ketetapan BKPRMI (Badan Koordinasi Pemuda-
Remaja Masjid Indonesia) biaya yang dibebankan kepada santri adalah Rp.10.000
perbulan. Namun, karena orang tua santri merasa berat, maka pembayaran
bulanan khususnya di TPA yang dia bina diturunkan menjadi Rp.3.500 perbulan.
Proses pelaksanaan belajar mengaji ini diakui oleh Siti, (salah satu staf pengajar).
Meski berlangsung dengan cukup disiplin, tapi murid-murid senang datang,
mereka berlomba-lomba ikut mengaji. Apalagi biasanya yang lulus dengan baik
akan mendapat hadiah pada saat wisuda. Biasanya juga Bupati saat itu Patabai
35
Pabokori, datang untuk menghadiri acara wisuda tersebut.9
Di beberapa TPA, proses belajar mengaji bahkan diawali dengan
penandatanganan surat perjanjian antara santri dengan pihak TKA/TPA. Misalnya
di TPA Al-Amanat, Desa Tamaona, Kecamatan Kidang, santri harus
menandatangani kesepakatan yang isinya :
a. Akan tetap rajin mengaji sampai mengkhatamkan 30 juz Al-Qur’an
b. Bila dikemudian hari, berhenti sebelum mengkhatamkan Al-Qur’an,
maka SANGAT SETUJU bila tidak diberikan sertifikat.
Seiring diberlakukannya Perda Bulukumba No 6 Tahun 2003, ada
beberapa persoalan yang muncul. Pertama, persoalan yang dialami oleh guru-guru
mengaji yang dikontrak. Menurut pengakuan salah satu guru ngaji kontrak
Nurbaya, gaji yang diberikan tidak semuanya, karena sudah mengalami
pemotongan. Sebelumnya diberitahukan bahwa gaji para guru mengaji yang sudah
dikontrak oleh Pemda sekitar Rp.300.000,. Namun biasanya yang sampai ke guru-
guru mengaji hanya Rp.150.000.00.Kedua , keinginan beberapa santri untuk
mengaji lebih didasarkan pada ketakutan tidak bisa melanjutkan sekolah pada
jenjang yang lebih tinggi. Sehingga banyak terjadi pula pembelian sertifikat dari
TPA oleh orangtua santri sebagai bukti kelulusan mengaji.
Hal ini diakui oleh Nurmala R, S.Ag, Kepala Sekolah TPA, Al-Amanat
(masih dalam lingkungan Desa Kecamatan Sindang). Menurutnya beberapa
pejabat mendatangi TPA-nya meminta agar bisa diberikan sertifikat. Bahkan ada
yang mau membayar tinggi yang penting sertifikatnya keluar. TPA-nya tidak mau
9Diakses tanggal 4 Januari 2015 darihttp://www.hiburdunia.com/2012/01/arti-dan-
sejarah-bulukumba.html..
36
memberikan sertifikat, jika seorang santri belum pernah belajar mengaji
ditempatnya. Namun dia mengakui bahwa ada juga TPA di Bulukumba yang mau
mengeluarkan sertifikat palsu, bila dibayar. Menurutnya sertifikat mengaji itu
akhirnya menjadi alat untuk mencari keuntungan.Ketiga, dengan munculnya
TKA/TPA ini membuat tradisi pengajian-pengajian kampung hilang.
Tradisi pengajian kampung yang telah berjalan sekian lama di tiap-tiap
desa mulai meredup. Kebiasaan mengaji di kampung dimana seorang guru
mengaji didatangi santrinya di rumah untuk belajar mengaji di sore hari, dan
sebagai balas jasanya santri membawakan hasil kebun, atau mengangkatkan air
untuk gurunya. Berlanjut dengan acara khatam Al-Qur’an yang disebut dengan
mappatamma atau anganre tamma, juga mulai surut.10
Secara umum proses pembentukan Perda Kabupaten Bulukumba telah
diatur dalam PP No 25 Tahun 2004 Pasal 97 ayat (2)11
. Melihat dari latar belakang
terbentunya Perda Kabupaten Bulukumba, dengan inisiatif dan desakan dari
kelompok-kelompok Islam, maka Kepala Daerah/Bupati Kabupaten Bulukumba
menyetujui terbentuknya Perda tersebut. Dengan melihat tujuannya yakni agar
terciptanya lingkungan yang amar ma’ruf hani munkar yang dapat mecerdaskan
masyarakat tentang pentingnya pandai dalam membaca Al-Quran dan lebih
mendekatkan kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Oleh sebab itu Kepala
Daerah (Bupati) Bulukumba mengesahkan Perda No 6 Tahun 2003 tentang Pandai
Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin sebagai Peraturan Daerah
10
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Pemantauan terhadap
Implementasi Perda-perda Bermasalah Oktober 2008 di Bulukumba, diakses tanggal 4 Januari
2015 darihttp://www.hiburdunia.com/2012/01/arti-dan-sejarah-bulukumba.html 11
PP No 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
37
yang diberlakukan di masyarakat Kabupaten Bulukumba.
Memasuki tahun kelima, pemberlakuan Perda bidang keagamaan di
Kabupaten bulukumba, mengalami kemunduran. Meskipun secara normatif
pemerintah Kabupaten Bulukumba tetap memberlakukan Perda ini, masyarakat
menganggap bahwa ruh yang melatarbelakangi lahirnya Perda ini mulai redup.
Kegiatan-kegiatan keagamaan tidak lagi menjadi perhatian serius Pemerintah.
Paling tidak hal ini yang dirasakan oleh masyarakat pasca pergantian Bupati
Patabai Pabokori kepada Bupati Sukri Sappewali12
2. Kabupaten Mandailing Natal
Sebelum menjadi sebuah kabupaten, Kabupaten Mandailing Natal adalah
wilayah yang masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi
pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang
Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada
tanggal 9 Maret 199913
.
Kabupaten Mandailing Natal terletak berbatasan dengan Sumatera Barat,
bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara. Merupakan daerah yang
secara langsung berbatasandengan Kabupaten Tapanuli Selatan (Kabupaten
induk) dan Propinsi Sumatera Barat. Sejauh initidak ada konflik perbatasan yang
terjadi di antara Propinsi dan Kabupaten yang berbatasanlangsung dengan
kabupaten ini. Dalam hal menjaga tapal batas, Pemerintah KabupatenMandailing
Natal telah melakukan tapal batas Kabupaten di Desa Sampuran dengan
12
Anwar Razak, dkk, Menilai Tanggug Jawab Sosial Peraturan Daerah Studi Kasus,
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumatra Barat. (Pusat Study
Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), h. 81. 13
Diakses pada tanggal 6 Januari dari http://www.madina.go.id/index.php/selayang-
pandang/gambaran-umum
38
KabupatenPasaman Barat, Propinsi Sumatera Barat. Dan telah dilakukan
sosialisasi tentang 10 titik tapal batas antara Kabupaten ini dengan Propinsi dan
Kabupaten lain yang berbatasan langsung.14
Kabupaten Mandailing Natal adalah Kabupaten yang mayoritas
masyarakatnya beragama Islam, sehingga Kabupaten ini dijuluki dengan “Kota
Beriman”. Kabupaten Mandailing Natal juga sering disebut dengan Madina.15
.
Namun, mengutip dari perkataan Adi Sori, dalam skripsinya yang berjudul
“Prasyarat Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Calon Pengantin Menurut UU No 39
Tahun 1999 Tentang HAM, Perda No 5 Tahun 2003 Kabupanten Mandailing
Natal,” mengatakan bahwa seiring berkembangnya zaman, banyak masyarakat
Mandailing Natal yang mengalami ketidak mampuan dalam membaca Al-Quran
dan tidak dapat mengenali huruf hijaiyah,sehingga mengundang perhatian dari
kalangan ulama-ulama Mandailing Natal untuk berinisiatif melakukan terobosan
baru untuk mengembalikan identitas Kabupaten Mandailing Natal sebagai “Kota
Beriman”.
Inisiatif ini mendapat tanggapan dari pemerintah Mandailing Natal yang
pada akhirnya merealisasikannya lewat kebijakan Pemerintah Daerah yang
berbentuk Peraturan Daerah (Perda) yaitu Perda Kabupaten Mandailing Natal No
5 Tahun 2003 yang telah ditetapkan dan diundangkan sebagai sebuah Perda pada
14
Kajian terhadap pemekaran Kabupaten Mandailing Natal, Toba Samosir, Samosir Dan
Pak-Pak Harat Sebagai Hasil Pemekaran. 15
Diakses pada tanggal 4 Januari
2015dari:http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Mandailing_Natal
39
tanggal 4 Agustus 2003.16
Inilah yang melatar belakangi proses terebentuknya
Perda Mandailing Natal tersebut.
Perda ini sangat berpengaruh dalam meningkatkan kualitas Pendidikan
ajaran agama Islam, terutama peningkatan kemampuan baca aksara Arab di
kalangan masyarakat Madina pada umunya dan khususnya pada kalangan
pelajar17
.
Ada 4 UU yang menjadi dasar Perda Nomor 5 Tahun 2003 Tentang
Pandai Membaca Huruf Al Qur’an Bagi Murid Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama dan Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas serta Calon Pengantin
ini, yaitu: UU No. 12/1998, UU No. 1/1974, UU No. 2/1998 dan UU No. 22/1999
; dua Peraturan Pemerintah ialah: No. 28/1990 dan No. 29/1990 ; Kepres No.
44/1999 ; dua SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ialah: No.
128/1982 dan No. 44/1982 ; dan Perda Kabupaten Madina No. 1 Tahun 2001.
Pasal 4 Perda No. 5 Tahun 2003 itu menyebutkan bahwa fungsi pandai membaca
Al Qur’an dengan baik dan benar adalah sebagai wahana menanamkan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah SWT bagi murid SD, siswa SLTP dan SLTA serta
calon pengantin dan masyarakat adalah dalam rangka membentuk keluarga yang
sakinah, mawaddah warahmah.18
16
Adi sori, “Prasyarat Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Calon Pengantin Menurut UU
No 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Perda No 5 Tahun 2003 Kabupanten Mandailing Natal,” hasil
wawancara dengan H. Mahmudin Pasaribu, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Mandailing Natal, 2003. 17
Diakses pada tanggal 5 Januari 2015 dari: http://www.waspada.co.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=6324:urgensi-peraturan-daerah-syariah&catid=33:artikel-
jumat. 18
Diakses pada tanggal 6 Januari 2015 dari : http://gapensi.org/modules/artikel.php?ID_
Artikel=397&ID_Kategori_Artikel=8. Baca juga “Basyril Hamid Harahap, Madina Yang Madani,
pemerintah Kabupaten Madina ,( Panyabungan 2004), h 25.
40
Empat Undang-Undang yang menjadi dasar Perda Mandailing Natal No 5
Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Murid Sekolah dan Calon
Pengantin diatas, menjadi alasan bagi Pemerintah Daerah Mandailing Natal
(Bupati) untuk membuat, mengesahkan dan mensosialisasikan Perda tersebut
kepada masyarakat Kabupaten Mandailing Natal.
Informasi yang dapat diakses oleh publik terkait dengan Perda No. 5
Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Murid Sekolah Dasar,
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Dan Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas serta Calon Pengantin Kabupaten Mandailing Natal tidaklah banyak.
Misalnya, hanya ditemukan sedikit adanyapemberitaan pada media online terkait
Perda pandai baca tulis Al-Quran. Terlebih sulit lagi mencari buku referensi yang
benar-benar membahas tentang Perda Mandailing Natal ini, baik dari sisi sejarah,
proses pembentukan dan hal-hal yang dianggap penting dalam penulisan skripsi
ini.19
Perda di Madina itu, hampir sama dengan peraturan yang dikeluarkan
oleh Kabupaten Bulukumba. Oleh sebab itu, penulis akan menjelaskan kesesuian
dan perbedaan diantara kedua Perda tersebut dalam pembahasan berikut.
B. Isi Peraturan Daerah (Perda)
Isi Perda merupakan penjelasan baik dari bab-bab maupun pasal-pasal
yang terdapat dalam Perda tersebut. Untuk diketahui, setelah penulis teliti, isi
Perda dalam Perda Bulukumba terdapat beberapa kekurangan karena ada
19
Diakses pada tanggal 4 Januari 2015
darihttp://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Mandailing_Natal
41
beberapa pasal yang tidak dituliskan (dituliskan dari Pasal 7, langsung Pasal 10),
dalam draf pasal-pasalnya. Selebihnya penulis akan jelaskan pada penjelasan
dibawah ini.
Sedangkan Perda bernuansa syariah yang ada di provinsi Sumatra
Utara.Antara lain berisi: agar setiap pemeluk agama Islam wajib fasih membaca
Al Qur’an, setiap warga Muslim wajib menutup auratnya sesuai dengan perintah
yang ada di dalam Al Qur’an. Beberapa pasal Perda yang diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal, diantarannya adalahPerda
Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pandai Membaca Huruf Al Qur’an Bagi Murid
Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Siswa Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas serta Calon Pengantin.
Selanjutnya, isi Perda pada Kabupaten Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan
Perda Mandailing Natal No 5 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Tulis Al-Quran
Bagi Siswa Dan Calon Pengantin adalah sebagai berikut:
Bab tentang “Ketentuan Umum”dalamPerda Bulukumba, terdapat satu bab
yang berisikan dua pasal, yang tersusun dari: Pengertian daerah diberlakukannya
peraturan tersebut, Pemerintahan Daerah, pandai baca, Al-Quran, pandai baca
huruf Al-Quran, pandai baca Al-Quran yang baik dan benar, murid SD, siswa,
calon pegantin, masyarakat, dan fungsi pandai baca Al-Quran yang baik dan yang
benar. Sedangkan pada Perda Mandailing Natal bab ini hanya ada satu pasal.
Namun lebih bersifat menyeluruh karena selain membahas hal yang sama dengan
Perda Bulukumba diatas, Perda Mandailing Natal pun membahas juga tentang
guru agama dan Kepala Sekolah, Pengawas Pendidikan Agama Islam disingkat
42
dengan pengawasPENDAIS, danKantor Departemen Agama Penyidik Pegawai
Negeri Sipil yang disingkat PPNS.
Bab tentang “Maksud, Tujuan dan Fungsi” dalamPerda Bulukumba, tidak
memiliki bab khusus yang membahas tentang maksud dan tujuan Perda tersebut
diberlakukan. Perda Bulukumba ini hanya memiliki satu pasal yang hanya
menjelaskan fungsi diberlakukannya Perda, yakni pasal 2 pada bab 1. Sedangkan
Perda Mandailing Natal mempunyai sub bab khusus untuk penjelasan maksud,
tujuan dan fungsi Perda tersebut. Berisikan tiga pasal, terdiri dari: Maksud pandai
baca Al-Qur’an bagi murid SD, siswa SLTP dan SLTA serta calon pengantin,
tujuan pandai baca Al-Qur’an bagi murid SD, SLTP dan SLTA serta calon
pengantin dan masyarakat, danFungsi pandai baca Al-Qur’an dengan baik dan
benar .
Bab tentang “Kewajiban dan Penyelenggaraan Kegiatan” dalam Perda
Bulukumba terdiri dari empat pasal, yaitu: kewajiban bagi siswa SD, SLTP dan
SLTA pandai baca Al-Quran yang baik dan benar sebelum yang akan
menamatkan pendidikan, mewajibkan bagi siswa SD mengenal dasar Ilmu jadwid,
siswa SLTP lancar membaca Al-Qur'an ditambah dengan mengenal ilmutajwid
dan irama dasar, siswa SLTA pandai dan fasih membaca Al-Qur'an sesuai
denganilmu tajwid dan mempunyai irama/seni yang baik sesuai dengan
Makhorijul Huruf nya, mewajibkan setiap sekolah dari SD, SLTP dan SMU untuk
menambah jam pelajaran agama, kepada setiap siswanya yang belum pandai baca
Al-Quran untuk belajar pada institusi lembaga, memberikan sertivikasi kepada
siswa SD,SLTP dan SMU setelah evaluasi sekolah, kewajiban bagi calon
43
pengantin pandai baca Al-Quran, dan kemampuan bacanya dibuktikan dihadapan
PPN (Pegawai Pencatat Nikah).
Sedangkan pada Perda Mandailing Natal memiliki peratutan yang lebih
luas karena adanya lima pasal pada bab ini. Menambahkan dengan tambahan
ketentuan penyelenggaraan kegiatan pada Perda Bulukumba diatas, yaitu: Kepada
Pemerintah Desa dan tokoh masyarakat serta orang tuamurid atau siswa agar
mendukung, membantu dan memotivasi pelajar, mengikuti kurikulum TPA atau
TPSA, AL-Quran sebagai mata pelajaran baru, kurikulum yang dikembangkan
khususnya untuk membaca Al- Qur’an sebagai mata pelajaran baru, tenaga guru
untuk melaksanakan pendidikan pandai baca Al-Qur’an, sarana dan prasarana,
proses belajar mengajar secara operasional, penilaian atas pandai baca Al-Qur’an
dititik beratkan padakemampuan membaca huruf Al-Qur’an dengan baik dan
benar, penilaian bagi murid yang mengikuti pendidikan pandai baca hurufAl-
Qur’an melalui TPA/MDA sepenuhnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada
TPA/MDA setempat.
Bab tentang “Sanksi/ Hukuman /Denda” dalamPerda Bulukumba hanya
terdapat satu pasal yang menjelaskan tentang sanksi bagi tamatan SD, SLTP dan
SMU yang tidak memiliki sertifikat pandai baca Al-Quran. Pengecualian siswa
yang bersangkutan sanggup mengikuti program khusus balajar Al-Quran.
Sedangkan Perda Mandailing Natal memiliki dua pasal pada bab ini. Yaitu
menambahkan sebagaimana Perda Bulukumba diatas dengan tambahan: sanksi
bagi calon pengantin yang tidak mempunyai bukti pandai baca Al-Quran dari
44
PPN, sanksi memalsukan surat rekomendasi dan sanksi bagi pelanggar dengan
hukuman yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bab tentang “Ketentuan Pidana dan Penyidikan” dalamPerda Bulukumba
tidak memiliki bab maupun pasal yang membahas tentang nominal denda/sanksi
bagi pelanggar Perda. Hanya membahas tentang sanksi pada umumnya
sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas. Sedangkan Perda Mandailing
Natal membahasnya pada pasal 13 bab V angka (1) dan (2) tentang Ketentuan
Pidana dan Penyidikan “Barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuanPeraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan 6 (enam)bulan
dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- (lima jutarupiah); (1) “ Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal inimerupakan tindakan pidana
pelanggaran” (2).
Bab tentang “Ketentuan Peralihan”hanya Perda Bulukumba yang memiliki
sub bab seperti ini. Berisikan satu pasal yakni pasal 10 bab IVyang berbunyi
“Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka ketentuan yang mengatur hal
yang sama wajib menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Daerah ini”. Tidak ada keterangan tentang ketentuan peralihan dalam Perda
Mandailing Natal.
Bab PenutupdalamPerda Bulukumba memiliki dua pasal. Pada bab
penutup yang berisikan keterangan tentang hal-hal yang belum diatur dalam Perda
mengenai pelaksaannya akan ditetapkan dengan Keputusan Bupati dan tanggal
diberlakukannya Perda Bulukumba tersebut. Sedangkan Perda Mandailing Natal
tidak memiliki bab penutup. Namun dalam pasal-pasal terakhirnya membahas hal
45
yang sama pada bab penutup. Seperti: hal-hal yang belum diatur dalam Perda
mengenai pelaksaannya akan ditetapkan dengan Keputusan Bupati dan tanggal
diberlakukannya Perda Mandailing Natal tersebut.
C. Nama Atau Titel Perda
Adapun nama atau titel yang dipakai oleh Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten Bulukumba dalam Perdanya adalah Lembar Daerah Kabupaten
Bulukumba Tahun 2003 Nomor 06 seri C Nomor 4 Peraturan Daerah kabupaten
Bulukumba Nomor 6 Tahun 2003 “PERATURAN DAERAH KABUPATEN
BULUKUMBA TENTANG PANDAI BACA AL’QURAN BAGI SISWA DAN
CALON PENGANTIN DALAM KABUPATEN BULUKUMBA”.
Sedangkan nama atau titel yang di pakai oleh Peraturan Daerah (Perda)
pada Kabupaten Mandailing Natal dalam peraturannya adalah Pemerintahan
Kabupaten Mandailing Natal Peraturan Daerah Kabupaten Mandailing Natal
nomor 5 Tahun 2003 “PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANDAILING
NATAL TENTANG PANDAI BACA AL-QUR’AN BAGI MURID SEKOLAH
DASAR, SISWA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA DANSISWA
SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT ATAS SERTA CALON PENGANTIN”
Dengan demikian, kalau dicermati, penggunaan nama atau titel dalam
Peraturan Daerah (Perda) antara Kabupaten Bulukumba dan Mandailing Natal
tidaklah jauh berbeda. Hanya saja pada Perda Kabupaten Bulukumba memakai
kata yang lebih umum dalam penamaannya khususnya dalam kata “siswa”.
Sedangkan pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Mandailing Natal
penggunaan kata “siswa” disebutkan secara lebih rinci. Dengan menyebutkan “
46
MURID SEKOLAH DASAR, SISWA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT
PERTAMA DANSISWA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT ATAS”.
Walaupun dalam kedua Perda tersebut memiliki nama dan titel yang berbeda,
namun sama-sama memiliki tujuan dan fungsi yang hampir sama dalam peraturan
Perda tersebut. Dari persamaan dan perbedaan nama atau titel kedua Perda diatas,
maka tidaklah memberikan banyak berpengaruh.
D. Jumlah Pasal Dalam Perda.
Perda Kabupaten Bulukumba memiliki lebih sedikit pasal dari pada Perda
Kabupaten Mandailing Natal meskipun masing-masing memilki lima bab dalam
Perdanya. Adapun pasal-pasal dalam Peraturan Daerah (Perda) Bulukumba, terdiri
dari lima bab dan dua belas Pasal, yaitu:
Bab I tentang Ketentuan Umum, terdiri dari dua pasal. Pasal satu
berisikan sepuluh butir, dua rincian dan pasal dua terdiri dari satu pasal. Bab II
tentang Kewajiban dan Penyelenggaraan Kegiatan, terdiri dari empat pasal. Pasal
satu terdiri dari dua angka dan tiga butir, pasal dua terdiri dari tiga angka, pasal
tiga terdiri dari satu pasal, pasal empat terdiri dari dua angka. Bab III tentang
Sanksi, terdiri dari satu pasal dan dua angka. Bab IV tentang Ketentuan Peralihan
hanya terdiri dari satu pasal. Bab V Penutup, terdiri dari dua Pasal 20
Sedangkan jumlah pasal yang terdapat dalam Peraturan Daerah (Perda)
Mandailing Natal, adalah lima bab dan lima belas pasal, yaitu:
20
Diakses pada tanggal 13 Desember 2015 dari http://medan.bpk.go.id/wp-
content/uploads/2011/12/Perda-No.05-Th-2003-Pandai-baca-huruf-Al-Quran-Bagi-murid-SD.-
SMP.SMA-serta-calon-pengantin.pdf.
Kedua Perda terlampir dalam skripsi ini.
47
Bab I tentang Ketentuan umum, terdiri dari satu pasal. Pasal satu berisikan
empat belas butir. Bab II tentang Maksud, Tujuan dan Fungsi, terdiri dari tiga
pasal. Pasal satu terdiri dari satu pasal, pasal dua terdiri dari dua butir: butir
pertama terdiri dari tiga angka dan butir kedua terdiri dari dua angka. dan pasal
tiga terdiri dari satu pasal. Bab III tentang Kewajiban dan Menyelenggarakan
Kegiatan, terdiri dari enam pasal. Pasal pertama terdiri dari dua angka dan tiga
butir, pasal kedua terdiri dari tiga angka, pasal ketiga terdiri dari empat butir,
pasal keempat terdiri dari empat angka, pasal kelima terdiri dari dua angka dan
pasal keenam terdiri dari dua angka. Bab IV tentang Sanksi, terdiri dari dua pasal.
Pasal pertama terdiri dari tiga angka dan pasal kedua terdiri dari dua angka. Bab V
tentang Ketentuan Pidana dan Penyidikan, terdiri dari tiga pasal. Pasal pertama
terdiri dari dua angka, pasal kedua terdiri dari satu pasal dan pasal ketiga terdiri
dari satu pasal.21
E. Struktur Perda
Struktur Perda adalah tatanan atau sistem yang mencakup susunan isi
Perda yang berkaitan dengan ketentuan umum, kewajiban dan larangan
penyelenggaraan kegiatan, sanksi/hukuman, dan ketentuan peralihan/penutup.
Terdapat perbedaan dan persamaan dalam stuktur Perda Bulukumba
dan Perda Mandailing Natal, berikut penjelasan yang penulis ingin sampaikan.
Adapun Struktur Peraturan Daerah pada Perda Kabupaten Bulukumba,
yaitu;
21
Diakses pada tanggal 15 Desember 2015 dari
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0CD0QFjAF&url
=http%3A%2F%2Fwww.madina.go.id%2Findex.
48
Bab Iyaitu tentang Ketentuan Umum yang berisikan dua pasal:Pasal
1menjelaskan tentang Daerah, Pemerintahan Daerah, pandai baca, Al-Quran,
pandai baca huruf Al-Qur'an, pandai baca huruf Al-Qur'an dengan baik dan benar,
murid SD, Siswa, calon pengantin, dan tujuan diberlakukannya Perda tersebut
pada masyarakat Kabupaten Bulukumba.Pasal 2 mengenai fungsi pandai baca Al-
Qur'an dengan baik dan benar.
Bab IIyaitu tentang Kewajiban dan Penyelenggaraan Kegiatan, yang
berisikan empat pasal:Pasal 3menjelaskan kewajiban setiap siswa baik SD, SMP
maupun SMA pandai baca tulis Al-Quran yang baik dan benar, baik dari ilmu
tajwid, mengenal huruf hijaiyah dan seni irama dasar membaca Al-Quran.Pasal
4menyarankan setiap sekolah menambah jam pelajaran agama dan memberi nilai
tersendiri untuk mata pelajaran tersebut.Pasal 5memberikan sertifikat kepala siswa
setelah lulus ujian yang dikeluarkan oleh sekolah atau lembaga yang
bersangkutan.Pasal 6kewajiban calon pengantin memiliki kemampuan baca tulis
Al-Quran sebelum pernikahannya, yang kemudian dibuktikan dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN).
Bab III yaitu tentang Sanksi yang terdiri dari satu pasal:Pasal 7Bagi setiap
tamatan SD dan/atau SLTP yang akan melanjutkan pendidikan pada jenjang
pendidikan berikutnya, tetapi tidak memiliki sertifikat kelulusan baca Al-Quran,
maka ditangguhkan dahulu sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan
berikutnya. Namun, ada pengecualian apabila siswa tersebut menyatakan
kesanggupan untuk mengikuti program khusus baca Al-Quran yang diketahui oleh
kedua orang tuanya.
49
Bab IV tentang Ketentuan Peralihan, yang terdiri dari satu pasal:Pasal
10memberlakukan ketentuan yang mengatur hal yang sama wajib menyesuaikan
dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Bab V tentang Penutup yang berdiri dari dua pasal: Pasal 11 menjelaskan
tentang pelaksanaan penetapan peraturan tersebut oleh keputusan Bupati. Pasal 12
pemberlakuan Peraturan Daerah tersebut dan himbauan kepada masyarakat
Kabupaten Bulukumba untuk mentaatinya.
Sedangkan struktur Perda pada Perda Kabupaten Mandailing Natal adalah:
Bab 1 tentang Ketentuan Umum yang terdiri dari satu pasal:Pasal
1menjelaskan tentang Daerah, Pemerintahan daerah, pandai baca, Al-Quran,
pandai baca huruf Al-Qur'an, pandai baca huruf Al-Qur'an dengan baik dan benar,
murid SD, siswa sekolah lanjutan, calon pengantin, masyarakat, guru Agama dan
Kepala Sekolah, pengawas pendidikan Agama Islam disingkat dengan pengawas
PENDAIS, Kantor Departemen Agama, Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang
disingkat adalah PPNS yang diangkat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Bab 2 tentang Maksud, tujuan dan Fungsi yang terdiri dari tiga
pasal:Pasal 2membahas tentang: Maksud pandai baca Al-Qur’an bagi murid SD,
siswa SLTP dan SLTAserta calon pengantin.Pasal 3membahas tetang: Tujuan
pandai baca Al-Qur’an bagi murid SD, SLTP dan SLTA serta calon pengantin dan
masyarakat. Pasal 4membahas tentang: Fungsi pandai baca Al-Qur’an dengan
baik dan benar.
50
Bab III tentang Kewajiban dan Menyelenggarakan Kegiatan yang terdiri
dari enam pasal:Pasal 5mewajibkan semua murid menamatkan jenjang pendidikan
Al-Quran baik dari pengenalan huruf hijaiyah, ilmu tajwid, dan seni baca Al-
Quran yang baik dan benar.Pasal 6menginstruksikan kepada setiap sekolah untuk
menambah jam pelajaran Agama khususnya belajar Al-Quran, mewajibkan semua
murid pandai baca tulis Al-Quran, dan anjuran kepada Pemerintahan Desa dan
orang tua agar mendukung dan memotivasi pelajar. Pasal 7mengikuti
penyelenggaraan kegiatan baik di TPA atau disekolah khususnya untuk
mempelajari Al-Quran, menjelaskan tentang tenaga guru pendidik dan sarana dan
prasarana yang diperlukan. Pasal 8menjelaskan tentang proses belajar mengajar
secara operasional, menitik beratkan penilaian pada kemampuan baca huruf Al-
Quran yang baik dan benar, penilaian itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dimasing-masing tempat dan penilaian tersebut harus menjadi penilaian tersendiri
sebagai satu mata pelajaran. Pasal 9memberikan sertifikat bagi murid yang telah
lulus ujian Al-Quran. Sertifikat yang dikeluarkan langsung oleh Bupati atau
pejabat yang ditunjuk.Pasal 10mewajibkan bagi calon pengantin mampu membaca
Al-Quran dengan baik dan benar, yang dibuktikan di depan Pejabat Pencatat
Nikah (PPN).
Bab IV tentang Sanksi yang terdiri dari dua pasal:Pasal 11tidak
memberikan sertifikat kepada semua murid yang tidak lulus ujian baca Al-Quran,
kecuali yang bersangkutan bersedia untuk mengikuti program khusus baca Al-
Quran yang diadakan sekolah atau lembaga bersangkutan. Bagi calon pengantin
yang tidak dapat menunjukan bukti pandai baca Al-Quran, maka pernikahannya
51
ditangguhkan sampai yang bersangkutan pandai baca Al-Quran.Pasal 12apabila
sertifikat pandai baca Al-Quran terbukti palsu, maka dapat dikenakan sanksi
sesuai dengan hukum dan ketentuan yang berlaku
Bab V tentang Ketentuan Pidana Dan Penyidikan yang terdiri dari tiga
pasal:Pasal 13menjelaskan sanksi bagi yang melanggar Perda tersebut baik sanksi
denda maupun kurungan.Pasal 14Hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur
kemudian oleh Bupati.Pasal 15pemberlakuan Perda sejak diundangkan, agar dapat
dipatuhi oleh setiap orang (masyarakat Mandailing Natal).
Dari kedua struktur Perda diatas dapat disimpulkan bahwa stuktur Perda
Kabupaten Bulukumba dan Perda Kabupaten Mandailing Natal sama-sama
memiliki lima struktur namun berbeda dalam bilangan pasal. Nampaknya
penyusunan pada Perda Bulukumba, kalau dicermati hanya ada sepuluh Pasal
walaupun tertulis dengan duabelas pasal, karna ada bilangan pasal yang
melongkap (dari pasal 7 langsung Pasal 10) yang menandakan kekurang
telitiannya para pembuat Perda tersebut. Sedangkan pada perda Mandailing Natal,
sempurna dalam bilangan Pasal dan ketentuan-ketentuannya, yakni limabelas
pasal.
Adapun yang menjadi inti persamaan dan perbedaan struktural antara
kedua Perda tersebut, adalah:
Bab Itentang Ketentuan Umum yaitu: Kedua Perda tersebut masing-
masing menyebutkan daerah diberlakukan Perda, Pemerintah Daerah masing-
masing, pandai baca, Al-Quran, pandai baca huruf Alquran, murid SD, SLTP dan
52
SMU, calon pengantin, dan masyarakat.
Bab IIada perbedaan antara kedua Perda tersebut, Perda Bulukumba hanya
menjelaskan tentang fungsi diberlakukannya Perda No 6 tahun 2003 dan pasal
tentang Fungsi pemberlakuan Perda itu pun, dijelaskan pada bab satu. Sedangkan
pada Perda Mandailing Natal tidak hanya membahas tentang fungsi diberlakukan
Perdanya saja, bahkan juga menjelaskan maksud dan tujuan pemberlakuan Perda
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003.
Bab III dalam Kewajiban dan Penyelenggaraan Kegiatan sama diantara
kedua Perda tersebut, sama-sama memiliki empat pasal yang sama pula dalam
tujuannya dan dijelaskan semuanya dalam Pasal dan butiran-butiran pasalnya.
Hanya saja pada Perda Bulukumba menempatkan bab ini (kewajiban dan
penyelenggaraan kegiatan) diletakkan pada bab keduanya.
Bab IV yaitu tentang sanksi. Perda Bulukumba hanya membahas tentang
sanksi bagi setiap tamatan SD dan/atau SLTP dan tidak membahas tentang sanksi
bagi calon pengantin. Dan menepatkan bab ini (sanksi) pada bagian bab
ketiganya. Sedangkan Perda Mandailing Natal dipandang lebih sempurna karna
membahas sanksi untuk calon pengantinnya sesuai dengan nama atau titel yang
dipakai dalam Perdanya (Pandai Baca Tulis Al-Quran Bagi Murid Sekolah Dasar
Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Calon Pengantin).
Bab V pada Perda Bulukumba adalah penutup sebagaimana ketentuan
pemberlakuan Perda yang terhitung mulai Perda tersebut disahkan tanpa
menjelaskan tentang bilangan nominal denda sanksi atau hukuman kurungan
penjara yang diterima oleh pelanggar, sedangkan pada Perda Mandailing Natal
53
disebutkan bilangan nominal denda sanksi atau hukuman kurungan penjara yang
diterima oleh pelanggar aturan Perda tersebut, dan bab penutupnya terdapat dalam
Pasal 15 dalam bab lima (Ketentuan Pidana dan Penyidik). Dengan demikian,
Perda Mandiling Natal dinilai lebih layak/ lebih sesuai dengan perspektif legal
drafting (susunan peraturan Perundang-undangan).
F. Partai Pengusung Perda
Hasil dua kali pemilihan umum 1999-2004 yang berlangsung di
Kabupaten Bulukumba, masih memperlihatkan eksistensi kekuatan polotik lama.
Dari tiga besar partai pemenang pemilu 1999-2004, Partai Golkar merupakan
kekuatan terbesar di Bulukumba. Kemudian disusul Partai Persatuan
pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Hanya saja pada pemilu
2004, posisi PAN tergantikan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Sebagai catatan, kekuasaan Golkar hanya dapat disaingi oleh beberapa
partai yang mengandalkan basis massanya dikalangan masyarakat khususnya
umat Islam, yang kebetulan direpresentasikan oleh PPP, PAN dan PKS.
Keberhasilan PKS menjadi tiga besar partai pemenang pemilu 2004, tidak terlepas
dari kemampuan partai mengandalkan perolehan suara dari masyarakat perkotaan
yang sejak 2002 mengalami peningkatan. Sedangkan partai Golkar,
keberhasilannya menempatkan diri sebagai pemenang dalam percaturan politik di
Kabupaten Bulukumba, tidak terlepas dari perhatian dan kemampuan mereka
meraup suara dari kelompok masyarakat Bulukumba yang sebagian besar latar
belakang pendidikan tidak tamat SD (46,60 %) dan bermata pencaharian di bidang
54
pertanian, kehutanan, perburuhan, dan perikanan (102.210 orang tahun 2005).22
Sedangkan Kabupaten Mandailing Natal, resmi terbentuk pada tanggal 23
Nopember 1998 berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1998 tanggal 23
Nopember 1998 Tentang Pembentukan Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten
Mandailing Natal.
Selanjutnya Kabupaten Mandailing Natal diresmikan oleh Menteri Dalam
Negeri Syarwan Hamid pada tanggal 9 Maret 1999 di Kantor Gubernur Sumatera
Utara Medan dan pejabat Bupati Mandailing Natal pada masa itu adalah H. Amru
Daulay, SH yang diusung oleh Partai Demokrat,23
dan Drs Hasim Nasution,
selaku wakit bupati Madina yang diusung oleh Partai golkar. Selain dua partai
tersebut, ada pula partai-partai yang mecalonkan angggotanya untuk menjadi
bupati Madina. Diantaranya adalah Partai Partai Amanat Nasional (PAN), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).24
Sedangkan peresmian gedung
sementara kantor pemerintahan Mandailing Natal di Panyabungan dilakukan oleh
Gubernur Sumatera Utara, Alm. Tengku Rizal Nurdin, pada tanggal 11 Maret
1999, di komplek bekas perkantoran Proyek Pembangunan Irigasi Batang Gadis
di daerah Dalan Lidang Kecamatan Panyabungan yang kemudian dioperasikan
22
Anwar Razak, dkk, Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah Studi Kasus,
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumatra Barat. (Pusataka Study
Hukum Dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009), h. 74. 23
Amrun Daulay adalah politisi Partai Demokrat kelahiran Sibolga, Sumatera Utara pada
20 Juli 1946. Ia terpilih menjadi anggota DPR dari Dapil II Sumatera Utara yang meliputi Kab.
Labuhan Batu, Kab. Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kab. Mandailing Natal, Kab.
Nias, Kab. Nias Selatan, Kota Sibolga, Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Tapanuli Utara, Kab.
Humbang Hasundutan, Kab. Toba Samosir, Kab. Samosir, Kab. Padang Lawas Utara, Kab.
Padang Lawas. Diakses pada tanggal 7 Januari 2015 dari
http://profil.merdeka.com/indonesia/a/amrun-daulay/ 24
Diakses pada tanggal 7 April 2015 dari
https://litsuscaleg2014.wordpress.com/category/sumatra-utara/serdang-bedagai/
55
sebagai komplek perkantoran pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal dan
sekarang lebih dikenal dengan komplek perkantoran Bupati lama.
Istilah Mandailing Natal sendiri pada mulanya sudah dikenal sejak tahun
1365 berdasarkan karya sejarah Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu
Prapanca. Kemudian setelah Kabupaten Mandailing Natal resmi terbentuk, istilah
tersebut disosialisasikan oleh H. Amru Daulay, SH., selaku Pejabat Bupati
Mandailing Natal berdasarkan Surat Keputusan Nomor 100/253.TU/1999 yang
menyebutkan bahwa akronim nama Kabupaten Mandailing Natal adalah
Kabupaten Madina yang Madani.
Selanjutnya pada tahun 2000 Pejabat Bupati Mandailing Natal H. Amru
Daulay, SH, diangkat menjadi Bupati Mandailing Natal defenitip untuk periode
tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Melalui pemilihan Kepala Daerah
(PILKADA) secara langsung pada tahun 2005, bapak H. Amru Daulay, SH
kembali terpilih untuk memimpin pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal
untuk periode yang kedua sampai dengan tahun 2010.25
Meski baru berusia sebelas tahun Kabupaten Mandailing Natal dipimpin
Bupati H Amru Daulay,SH bersama Wakil Bupati Drs Hasim Nasution, dalam
gerak langkahnya tidak kalah dengan Kabupaten lainnya yang sudah cukup
dewasa, termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai induknya.
Daerah ini sudah banyak membawa perubahan ke arah kemajuan termasuk
pertumbuhan ekonominya yang semakin menggeliat. Berkat tekad dan tangan
25
https://salambue.wordpress.com/sejarah-terbentuk-kab-madina/, diakses pada tanggal 1
Februari 2015.
56
dingin Bupati Amru Daulay, SH mencurahkan seluruh tenaga, pikiran dan
kreativitasnya untuk membangun dan menjadikan Madina sebagai kabupaten yang
diperhitungkan di Sumatra utara.
Amru Daulay selaku bupati pertama dan memimpin Madina dua priode
sudah banyak berbuat dan membangun kabupaten itu dengan luar biasa dan sangat
membanggakan. Pembangunan komplek perkantoran di perbukitan Payaloting
Panyabungan adalah awal keberhasilan dan kebangkitan pembangunan di
Madina.26
G. Respon Masyarakat Terhadap Perda.
Kabupaten Bulukumba terdapat empat jenis Perda berbasis syariah yang
mencangkup keharusan berbusana Muslim, pengelolaan ZIS (zakat, infak dan
sedekah), larangan peredaran minuman keras dan keharusan dapat membaca Al-
Quran. Karena mayoritas masyarakat mengetahui seluruh Perda yang ada,
tampaknya proses sosialisasi pelaksanaan Perda cukup intensif, bahkan untuk
Perda tentang keharusan mampu membaca Al-Quran bagi pasangan pengantin
baru sebelum keduanya melangsungkan pernikahan, di anggap popular karena
ramai dibincangkan masyarakat. Hal ini terkait dengan praktik bahwa pasangan
pengantin yang tidak mampu membaca Al-Quran dapat ditunda dan bahkan tidak
dapat dinikahkan.27
Perda ini mendapat respon yang cepat dari masyarakat saat
disosialisasikan apalagi jumlah penduduk Bulukumba 99% beragama Islam.
26
http://apakabarsidimpuan.com/2010/03/amru-daulay-dan-madina/, diakses pada tanggal
24 Januari 2015. 27
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM Dampak Perda
Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan No-Muslim.(CSRC UIN Jakarta
2007),h. 116.
57
Sehingga implementasi Perda dapat dengan cepat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat Bulukumba. Dampaknya pun dapat terukur, misalnya saja, kalangan
masyarakat yang beragama Islam menjadi sadar terhadap perlunya mematuhi
Perda apalagi aturan-aturan yang bersumber pada agama. Selain itu, simbol-
simbol keagaman menjadi semangkin marak di mana masyarakat secara individu
maupun kolektif menggunakan simbol-simbol tersebut.28
Para responden menilai,
sistem pemerintahan otonomi tidak menjadi halangan untuk pelaksanaan syariat
Islam bagi penganutnya di Sulawesi Selatan (Bulukumba).29
Hanya saja, penulis tidak dapat menyajikan respon masyarakat Kabupaten
Mandailing Natal terhadap Perda No 5 Tahun 2003, karena keterbatasan data dan
referensi yang penulis alami. Harus diakui bahwa penulis sama sekali tidak
menemukan keterangan yang membahas respon masyarakat Mandailing Natal
terhadap pemberlakuan Perda tentang kewajiban memiliki kemampuan baca tulis
Al-Quran bagi siswa yang ingin melangsungkan pendidikannya dan calon
pengantin yang ingin melangsungkan pernikahannya.
28
Ibid, h. 74. 29
A. Rahmat Rosadi dan M Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam Dalam Persfektif
Tata Hukum Indonesia, (Ghalia Indonesia 2006), h. 37.
58
BAB IV
ANALISIS PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERDA
BULUKUMBA DAN PERDA MANDAILING NATAL
Pada bab ini, penulis mencoba memaparkan tentang: Analisis hukum
Islam dan HAM terhadap Perda-perda Tersebut. Terdiri dari: tinjauan hukum
Islam terhadap Perda dan tinjauan HAM terhadap Perda.
A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perda
Islam adalah agama yang sempurna diturunkan. Sehingga dari hal yang
terkecil sampai yang terbesarpun dijelaskan dalam ajarannya baik dalam segi
„ubudiah, mu‟amalah maupun munakahah. Dalam masalah munakahah, Indonesia
memiliki kitab rujukan selain UU perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu KHI
(Kompilasi Hukum Islam) yang diperuntukan hanya untuk masyarakat yang
beragama Islam ketika menghadapi masalah dalam bidang
munakahah/pernikahan.
Disamping itu, Islam merupakan sebuah agama yang selalu menjunjung
tinggi kebebasan, dengan batasan pada ajaran syariatnya. Oleh karenanya tidak
ada paksaan untuk memeluk agama ini1, sesuai dengan Pasal 22 No 39 Tahun
1999 tentang Hak Atas Kebebasan Pribadi.2 Namun, ketika seseorang telah
masuk kedalam agama Islam, (mukalaf) maka orang tersebut mau tidak mau harus
mengikuti ajaran agama tersebut (taklif). Walaupun Islam menghormati
1 Pasal 28 UUD, bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya. 2 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, (Sinar Grafika, Jakarta, 2000), h. 10.
59
kebebasan, namun ada batasan-batasan yang sudah diatur dalam ajaran agama ini.
Seperti pembatasan-pembatasan yang terdapat dalam masalah perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam yang disingkat KHI menjelaskan semua hal-hal yang
membahas tentang pernikahan, perwakafan dan kewarisan.
Walaupun perkawinan memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi,
namun pada pokoknya rukun perkawinan yang disepakati oleh ulama fikih adalah
“ijab” dan “qobul”. Implementasi dari ijab dan qobul ini, akan melahirkan
hubungan-hubungan hukum antara kedua belah pihak. Pengucapannya merupakan
simbol dan bukti persetujuan secara lahir oleh kedua belah pihak sebagai tanda
kerelaan mereka secara bathin. Karena itu, ia harus diucapkan dengan bahasa yang
mudah dimengerti. Oleh karena itu dengan alasan tertentu, ijab qobul boleh
berupa tulisan atau isyarat. Lafaz ijab qobul yang disepaki oleh ulama fikih adalah
an-nikah atau at-tazwij (pernikahan atau perkawinan).3
Selain ijab dan qobul, mayoritas ulama menetapkan bahwa adanya calon
suami, calon istri dan wali sebagai rukun perkawinan.4Namun, para ulama
berbeda pendapat tentang penentuan rukun dan syarat nikah. Menurut Hanafiyah,
rukun nikah hanya terdiri dari ijab dan qobul saja. Menurut Syafi’iyah syarat
perkawinan itu terdiri dari calon mempelai laki, calon mempelai perempuan,
seorang wali, dua orang saksi dan ijab qobul. Sedang menurut Malikiyah,
berpendapat bahwa yang termasuk rukun nikah adalah wali, mahar suami istri dan
3 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Rajawali Pers, Jakarta, 2011), h. 190. 4 Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, h. 91.
60
shighat ijab qobul.5Malikiyah tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan
Syafi’iyah menjadikan dua orang saksi sebagai rukun.6
Sementara yang dipakai oleh penduduk Indonesia yang mayoritas
bermazhab Syafi’i, rukun perkawinannya ada lima macam, yaitu: 1) calon
mempelai laki-laki, 2) calon mempelai perempuan, 3)dua orang saksi, 4) wali dan
5) ijab qobul7. Rukun adalah sesuatu yang ada dalam hakekat dan merupakan
bagian atau unsur yang mensyahkan suatu perbuatan. Sedangkan syarat adalah
sesuatu yang berada diluar hakikat dan tidak termasuk unsur dari suatu perbuatan.
Sebagai catatan, bahwa permasalah mahar menurut sebagian ulama adalah
sesuatu yang harus ada dalam setiap pernikahan, tetapi tidak termasuk ke dalam
rukun. Karena mahar tersebut, tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan
tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian,
mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan.8
Keterangan rukun dan syarat perkawinan ini adalah mutlak adanya dalam
KHI (kompilasi hukum Islam) pada bab IV pasal 14 tentang rukun dan syarat
perkawinan yang didasarkan kepada Al-Quran dan Hadist. Jika dikaitkan dengan
kedua Perda (Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Mandailing Natal), yang
sama-sama mewajibkan pandai baca tulis Al-Quran bagi siswa dan calon
pengantin yang ingin melangsungkan pernikahannya, maka tidak ada keterangan
5 Yayan Sopian, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dan hukum
Nasional, (Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat 2011), h. 125. 6 Kamarusdiana dan Jaenal aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (UIN Jakarta Press,
2007), h.3. 7 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Elsas Jakarta
2008), h 14. 8 Amir syarifudiin, Hukum Perkawinan Islam Di indonsia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Kencana Jakarta 2006), h. 23.
61
dalam KHI maupun ajaran agama Islam yang menjelaskan bahwa pandai baca
tulis Al-Quran bagi calon mempelai baik laki-laki maupun calon mempelai
perempuan wajib memiliki kepandaian baca tulis Al-Quran.
Secara tidak langsung, penjelasan menurut Perda tersebut, bahwa
seseorang yang ingin menikah, namun tidak pandai baca tulis Al-Quran, maka
pernikahannya di tangguhkan bahkan dapat dibatalkan. Hal ini tentu bertentangan
karena menikah merupakan ibadah yang dapat menyempurnakan agama seorang
Muslim dan dapat menghadap Allah dengan kondisi yang paling baik dan suci.
Sesuai dengan sabda Rasulullah “Siapa yang diberi karunia Allah berupa istri
yang sholehah, sungguh dia telah menolongnya untuk (menyempurnakan)
sebagian agamanya. Maka hendaklah bertaqwa kepada Allah pada sebagian yang
lain (HR Thabrani dan Hakim dengan sanad yang shoheh)9.
Menanggapi fenomena ini, hukum Islam sangatlah fleksibel, karena tidak
hanya membatasi masalah tersebut pada hakekat rukun dan syarat pernikahan
saja. Namun, ada sebuah pemikiran ulama mazhab tentang konsep “Maslahah
Mursalah” yang diijtihadkan oleh Imam Malik. Maslahah mursalah secara bahasa
tersusun dari dua kata “maslahah” dan mursalah”. Maslahah berasal dari kata
sholaha yasluhu mashalatanyang artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan.
Sedangkan mursalah berasal dari kata arsala yursilu mursalan yang artinya
diutus, dikirim atau digunakan. Jadi, penggabungan dari kedua kata tersebut
(maslahatil mursalah) yaitu prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan
untuk menetapkan suatu hukum Islam, juga dapat dikatakan suatu perbuatan yang
9 Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, (Cakrawala Jakarta 2011), h. 50.
62
mengandung nilai kebaikan (manfaat).10
Imam Al Ghazali mendefinisikan maslahah mursalah yaitu sesuatu yang
mendatangkan manfaat (kemaslahatan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan).
Namun hakekat dari kemaslahatan adalah memelihara tujuan syara’ (dalam
menetapkan hukum)11
yaitu maqosidu as syariah. Tujuan umum dari
pemberlakuan hukum syariat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hidup
manusia dengan mendatangkan manfaah (kebaikan) dan menghindari mudharat
(kejelekan). Kemaslahatan yang hakiki berorientasi kepada terpeliharanya lima
perkara, yaitu agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.12
Dengan demikian, Perda-Perda yang mewajibkan pandai baca tulis Al-
Quran bagi setiap siswa/murid dan calon pengantin sebelum melangsungkan
pernikahannya, menurut penulis, memiliki legalitas atau legitimasi dengan tujuan
yang benar-benar untuk kemasahatan (dalam hal ini adalah termasuk dalam
kemaslahatan memelihara agama dan keturunan) sebagaimana dengan penjelasan
diatas. Penting dicatat, bahwa maslahah mursalahyang diterapkan harus
memenuhi persyaratannya. Para ulama terdahulu seperti As-Syatibi telah
memberikan persyaratan penggunaaan maslahah mursalah. Persyaratan-
persyaratan tesebut dipertegas oleh Abd Wahab Khalaff yaitu:
1. Maslahah mursalah tidak boleh bertentangan dengan maqosidu as-
syariah, dalil-dalil kulli, semangat ajaran Islam dan dalil-dalil juz‟i yang
qothi‟ wurud dan dilalahnya
10
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Diaglektika Pemikiran Hukum
Islam, (Pena Ilahi Bogor 2012), h. 23. 11
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Prenada Media Group Jakarta 2009), h. 322. 12
Saifuddin Sidiq, Ushul Fiqh, (Prenada Media Group, Jakarta 2011), h . 15.
63
2. Kemaslahatan tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada
pembahasan dan penelitian yang rasional dan mendalam sehingga kita
yakin bahwa hal tersebut memberikan manfaat atau menolak
kemudharatan
3. Kemaslahatan tersebut bersifat umum
4. Pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.13
Oleh karena itu tidaklah main-main ketika umat Islam mencita-citakan
tegaknya masyarakat Negara yang adil dan terampuni, keyakinan perlunya
persiapan hukum bersandarkan syariat (Al-Quran dan Hadits) menjadi bagian
yang vital idiologis masyarakat Islam yang bergantung kepada pemahaman umat
Islam terhadap ajaran Islam dan stuktur Negara modern.14
Agar tercipta keharmonisan dalam hubungan antar umat dalam suatu
daerah, para ulama mengadakan penelitian terhadap sejumlah aturan yang ada
yang kemudian dikembalikan kepada Al-Quran dan Hadits yang akhirnya
melahirkan kaidah: “al-ashlu fi al-„alaqah al-salm” hukum asal dalam hubungan
(sosialisasi) itu adalah kedamaian15
.
Dengan demikian, ketika menerapkan suatu konsep maslahah mursalah,
penegak hukum (dalam hal ini adalah Bupati Bulukumba dan Mandailing Natal)
harus memperhatikan syarat-syarat tersebut, agar Perda tersebut mempunyai
landasan yang kokoh menurut teori Hukum Islam.
13
Ahmad Dzajuli, Ilmu fiqih Penggalian, perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
Kencana Jakarta 2006. 14
Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum Esai-Esai Ilmiah Untuk Pembaruan.
(Madya Press Yogyakarta 2002), h. 17. 15
A Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu
Syariah. (Kencana Bogor 2003), h. 18.
64
Dengan penjelasan diatas, Perda yang mewajibkan masyarakatnya pandai
baca tulis Al-Quran sebagai ketentuan kenaikan kelas (bagi siswa) dan
melangsungkan pernikahan (bagi calon pengantin), dipandang bersifat legalitas
dengan tujuan agar terciptanya kemaslahatan yang baik bagi yang
menjalankannya. Bagi siswa yang ingin naik kelas, agar lebih bisa mendalami
ajaran Islam terutama tentang baca tulis Al-Quran dan bagi calon pengantin, agar
menjadi keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah dengan bekal pandai baca
tulis Al-Quran yang dimilikinya sebelum pernikahan.
B. Tinjauan HAM Terhadap Perda
Dalam ajaran Islam, bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia
berdasar kepada tujuan diturunkannya syariat Islam, yaitu untuk melindungi dan
memelihara kepentingan hidup manusia baik materiil maupun spiritual, individual
maupun sosial.16
Oleh karenanya, terdapat dua kewajiban yang diperintahkan
kepada umat manusia dibawah petunjuk ilahi, yaitu: Huququllah (hak-hak Allah)
yaitu: kewajiban manusia terhadap Allah dan Huququl „ibad (hak-hak manusia)
merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap
makhluk Allah lainnya.
Dari konsep ajaran ini, lahirnya HAM (Hak Asasi Manusia). Ada dua
macam HAM jika dilihat dari kategori Huququl „Ibad. Pertama, HAM yang
keberadaannya dapat diselenggarakan oleh suatu Negara (Islam). Kedua adalah
HAM yang keberadaannya tidak secara langsung dapat dilaksanakan oleh suatu
16
Ridwan HR. Fiqih Politik Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Fh UII press
Yogyakarta 2007), h. 31.
65
Negara. Hak-hak yang pertama dapat disebut sebagai hak-hak legal, sedangkan
hak-hak yang kedua disebut dengan hak-hak moral.17
Jenis HAM yang kedua
inilah yang tanpa disadari sering dilanggar oleh orang kebanyakan.
Abdullah Ahmad An-Naim18
menyatakan lebih jauh, bahwa Negara tidak
dapat memaksakan penerapan syariat Islam bagi warganya, tetapi justru harus
memberi jaminan perlindungan terhadap warganya yang beragama Islam untuk
melaksanakan perintah-perintah ajaran Islam sesuai dengan keyakinan dan
pandangan keagamaan yang mereka pilih secara sukarela, dan bukannya sebagai
kewajiban keagamaan yang diintruksikan oleh Negara.
Apabila dipaksakan, jelas akan berbenturan dengan tiga aspek HAM,
yaitu: Kebebasa Individual Muslim, Ancaman Terhadap Hak Perempuan19
, dan
Hak Kelompok MinoritasNon Muslim. Ia berpendapat bahwa penerapan formal
syariah di era modern sesungguhnya tidak selaras dengan tata hubungan
internasional dan prinsip-prinsip HAM, khususnya atas tiga hal:
a. Kebebasan Individual Muslim
Salah satu aspek utama yang tampak dalam penerapan format syariat Islam
melalui Perda adalah upaya perangkat negara memperkecil hak individual Muslim
untuk memiliki pandangan dan tafsiran sendiri mengenai suatu ajaran keagamaan.
17
Syeikh Saukat Husain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Gema insani Jakarta 1996),
h. 55. 18
Professor Olof Palme pada university of ushala (1991-1992). Direktur ekskutif Afrika
Watch , Washington D.C (juli 1993). Lahir di Sudan, belajar hukum di Khartoum, Cambridge
(Inggris), dan Edinburg (Ph. D 1976), banyak sekali menulis tentang topik yang berkaitan dengan
status, aplikasi dan pembaharuan internal hukum islam. Karya Utamanya Toward In Islamic
Reformation.
Abdullah Ahmad An Naim dan Mohammed Arkoun, Dekontruksi Syariah II Kritik Konsep
Penjelajahan Lain. (printing Cemerlang 2009), h. 80. 19
Mawlana Abul A’la Mawdudi, HAM dalam Islam Konvensi Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Wanita, (Sinar Grafika Offiset, 1995), h. 45.
66
Perda-perda yang berbasis syariah dianggap merupakan rujukan dalam
menentukan satu-satunya model standar pelaksanaan praktek keagamaan yang
dapat diterima dan dipandang sah secara hukum di sebuah daerah. Ketika Perda
macam ini diberlakukan oleh penguasa ekskutif daerah, tak heran seluruh
masyarakat daerah bersangkutan diminta secara sukarela maupun terpaksa untuk
menyesuaikan diri dan mematuhi sepenuhnya ketentuan perintah dari Perda itu.
Menurut Ifdhal Kasim, kenyataan seperti ini jelas-jelas telah membatasi
hak individual muslim yang dilindungi oleh konstitusi RI bahwa setiap orang
bebas memeluk Agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28E:1) dan
setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E:2).20
b. Ancaman Terhadap Hak Perempuan21
Moeslim Abdurrahman pernah menyatakan bahwa korban pertama sebagai
akibat penerapan format syariah Islam adalah perempuan. Jika
mempertimbangkan fakta bahwa beberapa Perda berbasis syariah yang diterapkan
oleh sebagian Kabupaten/Kota di Indonesia, secara nyata telah menghambat hak
perempuan. Seperti hak untuk bergerak dan kesempatan untuk mengakses sesuatu
mencakup perjalanan di waktu malam, kunjungan ke suatu tempat, penggunaan
busana tertentu sampai akses ke masalah posisi jabatan tertentu.
20
Ifdhal Kasim, Hak Sipil Dan Politik esau-Esai Pilihan. Buku 1. Lembaga study dan
advokat masyrakat (ELSAM), Jakarta 2001, diakses pada tanggal 4 Januari 2015 dari
http://www.hiburdunia.com/2012/01/arti-dan-sejarah-bulukumba.html.
21 Konvensi tentang penghapusan segala bentuk dikriminasi terhadap kaum wanita, 1979
yang disahkan oleh Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979).
Maulana Abdul A’la Maududi, Hak- Hak Manusia Dalam Islam, (Sinar Grafika Offiset, 1995), h.
15.
67
Perda-perda itu dirumuskan secara umum tanpa mencantumkan secara
tegas jenis kelamin perempuan, tetapi secara praktisnya mengancam terhadap hak
perempuan. Contohnya Perda Tangerang N0 8/2005 tentang pelarangan
pelacuran, “Setiap orang yang sikap dan prilakunya mencurigakan, sehingga
menimbulkan anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan
umum, di lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah,
kontrakan, warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut
jalan atau lorong tempat lain di daerah”.
Satu hal yang menjadi akibat buruk dari diberlakukannya perda-perda
bernuansa syariat Islam, pada umumnya perempuan yang menjadi sasaran
sekaligus korban. Hal itu, dinilai wajar karena Perda-perda tersebut obyeknya
lebih mengarah pada perempuan. Seperti keharusan perempuan memakai jilbab,
pemberlakuan jam malam, dan lain-lain.
Sementara itu, menurut Rumadi (intelektual muda NU yang juga aktivis
Wahid Institute) mengkategorikan kecenderungan sejumlah perda syariat Islam
pada tiga kelompok. Kecenderungan pertama, adalah bersifat mengatur isu-isu
moral yang secara umum tidak terkait dengan agama, misalkan tentang kesusilaan
atau pelacuran. Kecenderungan kedua, berkarakter mengatur tentang
“keterampilan” beragama seseorang muslim. Contohnya Perda di Bulukumba
(Sulawesi Selatan) ada perda yang mengatur keharusan seorang bisa baca tulis al-
Qur’an dengan baik dan benar. Sedangkan kecenderungan berikutnya adalah
perda yang mengatur tentang fashion atau cara berpakaian seseorang.
68
Perda tersebut bermaksud mengarahkan masyarakat untuk berpakaian
dengan model tertentu, pakaian khas seorang “muslim”. Sehingga pernah terjadi
di Bulukumba juga, ada cerita seorang biarawati yang diundang oleh kepala desa.
Karena tidak ingin bermasalah, si biarawati ini menyesuaikan pakaiannya dengan
menggunakan jilbab.22
Walaupun bunyi pasal diatas tidak menyebutkan satu katapun mengenai
perempuan, dengan mudah ditemukan bahwa kandungan pengertian pasal
tersebut, nyatanya berdampak pada pembatasan hak perempuan untuk melakukan
aktivitas di malam hari.
c. Hak Kelompok Minoritas23
Non Muslim
Salah satu pendorong Perda berbasis syariah yang berlaku di beberapa
Kabupaten/Kota adalah tingkat populasi di daerah tersebut yang mayoritas
beragama Islam. Hal ini mengandung makna bahwa berhubung Muslim adalah
mayoritas penduduk, maka kepentingan ekslusif mereka mendapat prioritas utama
ketimbang kelompok minoritas non-Muslim yang juga berdiam di daerah tersebut.
Pendapat ini lebih jauh menyatakan bahwa kelompok mayoritas keagamaan boleh
memasukan pandangan-pandangan keagamaannya ke dalam regulasi negara dan
memberlakukannya untuk seluruh warga setempat. Hal ini dapat membawa akibat
negatif bagi jaminan-jaminan hak-hak kelompok minoritas keagamaan yang ada
22
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved=0CCYQ
FjAC&url=http%3A%2F%2Fwww.nu.or.id%2Fa%2Cpublic-m%2Cdinamic-s%2Cpdf-ids%2C1-
id%2C5142-lang%2Cid-diakses pada tanggal 7 april 2015. 23
“Semua ras manusia adalah sama di muka hukum. Tidak boleh seorangpun
diperlakukan berbeda karena warna kulit, darah, bahasa, agama, atau sebab-sebab lain”.
Rafsanjani, Keadilan Sosial Pandangan Islam Tentang HAM Hegemoni Barat dan Solusi Dunia
Modern. (Yayasan Nusantara Cendikia, 2001), h. 33.
69
dalam daerah tersebut.24
Salah satu bentuk HAM dalam Al Quran dan Sunnah adalah hak untuk
menikah dan berumah tanggga. Hak ini ditandai dengan kebebasan melakukan
perkawinan. Setiap orang berhak memilih pasangan yang cocok dengan nya untuk
membangun rumah tangga. Dengan perkawinan itu seseorang dapat melanjutkan
keturunannnya sehingga manusia akan berkembang biak dan bertambah banyak.
Mengenai kebebasan untuk menikah ini, ketentuan Agama Islam sedikit berbeda
dengan ketentuan yang tercantum dalam Universal Declaration Of Human
Rights(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Perbedaan agama yang
dipandang tidak menjadi halangan perkawinan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-
Bangsa) itu, justru dalam Islam menjadi salah satu hal yang bisa menjadi
penghalang dilangsungkannya suatu perkawinan.25
Mengutip pendapat Denny Indrayana (kompleksitas Peraturan, hlm 6),
bahwa beberapa Perda berbasis syariah secara sengaja telah dibuat sedemikian
rupa agar dapat disahkan oleh DPRD dan terhindar dari kemungkinan pembatalan
oleh Departemen Dalam Negeri melalui proses eksekutif rivew (peninjauan
ulang). Rujukan yang sering digunakan adalah UU No 22/1999/dan UU No
32/2004 (Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah). Sebuah Undang-undang
yang memberi kewenangan mengatur pengelolaan daerah secara otonom dalam
beberapa sektor tertentu.
Pengujian terhadap peraturan kebijakan tersebut, tentu saja dilakukan
24
Arskal Salim, “Perda Berbasis Syariah dan perlindungan Konstitusional Penegakan
HAM,” Jurnal Perempuan 60 (2008), h. 23. 25
Ahmad Chaeruddin, “Hak Asasi Manusia Dalam Islam dan Per-UU_an Indonesia”, Jurnal
Ahkam FSH,(1999), h. 55.
70
dalam rangka pengawasan kekuasaan yudisial terhadap kekuasaan pemerintah
yang besifat bebas. Dengan kata lain, lembaga peradilan (kekuasaan yudisial)
memiliki kewenangan untuk menilai dan menguji kebijakan yang digariskan oleh
pemerintah atau pejabat administrasi negara. Pengujian tersebut, mutlak dilakukan
demi pencegahan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk memenuhi
tuntutan perkembangan zaman yang semangkin memberikan perhatian dan
perlindungan yang mengikat terhadap hak-hak asasi manusia.26
Dengan demikian, walaupun urusan keagamaan bukanlah kewenangan
daerah, Perda-Perda berbasis syariat dianggap absah karena merupakan peraturan
lokal yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah sosial dan memelihara
ketertiban publik disuatu wilayah Pemerintahan Daerah. Perda-Perda tersebut
berusaha agar penampilannya tidak terlihat mencantumkan sedikitpun persoalan
pelaksanaan syariat bagi Umat Islam, melainkan masalah sosial kemasyarakatan.
Dengan cara seperti ini, Perda-Perda itu dapat terhindar dari benturan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya, padahal fakta
dilapangan menunjukan bahwa Perda-Perda itu secara materiel bertentangan
dengan hak-hak asasi manusia yang telah ditetapkan secara tegas oleh konstitusi
RI.27
Walaupun Perda-perda berbasis syariah ini dapat diloloskan dengan
pertimbangan sama dengan pembentukan Perda pada umumnya yang didasarkan
atas otonomi daerah, namun, permasalahan tentang keagamaan belum diturunkan
26
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas Hukum
Pemerintahan Yang Baik, (Erlangga, ciracas, Jakarta, 2010), h. 146. 27
Arskal Salim, “Perda Berbasis Syariah dan Perlindungan Konstitusional Penegakan
HAM,” Jurnal perempuan 60, (2008), h. 16.
71
oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, dengan kata lain, urusan
keagamaan adalah wewenang Pemerintah Pusat. Begitu juga, keagamaan adalah
sebuah hak pribadi, hak privat yang dimiliki oleh seseorang. Sebagaimana
penjelasan pada UU 1945 Pasal 29 ayat 2 tentang agama. (“Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”). Penjelasan dari
Pasal 29 ayat 2 tersebut adalah bahwa setiap warga negara memiliki agama dan
kepercayaanya sendiri tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun. Tidak ada
yang bisa melarang orang untuk memilih agama yang diyakininya. Setiap agama
memiliki cara dan proses ibadah yang bermacam-macam, oleh karena itu setiap
warga negara tidak boleh untuk melarang orang beribadah. Supaya tidak banyak
konflik-konflik yang muncul di Indonesia28
.
Penjelasan diatas ketika dikaitkan dengan kedua Perda (Perda Bulukumba dan
Perda Mandailing Natal), ternyata menimbulkan sebuah diskriminasi terhadap
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Dengan secara tidak langsung kedua
Perda tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang tidak dapat baca tulis Al-
Quran, maka tidak dapat melangsungkan pernikahannya. Dengan arti yang sama
bahwa seseorang tersebut tidak memenuhi syarat-syarat perundang-undangan
ketika ingin melangsungkan pernikahannya. Oleh sebab itu pencegahan atau
pembatalan perkawinan dalam Perda ini sangatlah mungkin adanya.
Pencegahan perkawinan itu sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam
KHI Pasal 60 ayat 2 “Pencegahan perkawinan dapat dapat dilakukan bila calon
28
http://budhivensius.blogspot.com/2013/10/penjelasan-dari-isi-uud-1945-pasal-29.html,
diakses pada tanggal 7 April 2015.
72
suami atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan”. Sedangkan Tujuan pencegahan ini adalah agar
terhindar dari perkawinan yang terlarang.29
Berkenaan dengan penjelasan dari hukum Islam dan HAM diatas, ternyata
tidak sedikitpun dari kedua penjelasan tersebut, yang mencantumkan pandai baca
tulis Al-Quran sebagai syarat atau rukun untuk sebuah pernikahan.
29
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih UU No 1/1974 Sampai KHI, (Kencana, Jakarta,
2006), h. 97.
73
BAB V
PENUTUP
Bab V ini merupakan bab penutup dari rangkaian bab-bab sebelumnya.
Penulis mencoba menyajikan kesimpulan dari apa yang telah penulis kumpulkan
baik dari data-data atau keterangan-keterangan yang mencakup isi dalam
penulisan skripsi ini. Selain itu penulis juga ingin memberi saran sebagai
himbauan, harapan dan pertimbangan kepada setiap Kepala Daerah khususnya,
dan seluruh masyarakat pada umumnya mengenai kesadaran dan pengetahuan
tentang penerapan Perda yang berbasis syariah
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari seluruh pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab
sebelumnya, pada akhirnya penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Peraturan Perundang-undangan khususnya Undang-undang
tentang HAM, (Pasal 39 Tahun 1999), kedua Perda tesebut (Perda
Kabupaten Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Kabupaten
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003) dipandang tidak sesuai dengan apa
yang menjadi kebebasan seseorang dalam menentukan jalan hidup. Isi
pokok kedua Perda tersebut adalah mewajibkan pandai baca tulis Al-
Quran bagi siswa dan calon pengantin sebagai syarat diberlangsungkannya
sebuah pernikahan. Dengan kata lain, jika salah seorang calon pengantin
tidak memiliki kepandaian dalam membaca dan menulis Al-Quran maka
74
bisa dikatakan orang tersebut terhambat, bahkan batal dalam
melangsungkan pernikahannya.
2. Menikah adalah hak seseorang dalam menjalani hidupnya demi
kelangsungan keturunannya di masa depan. Dengan adanya Peraturan
Daerah yang mewajibkan pandai baca tulis Al-Quran sebagai syarat
pernikahan, secara otomatis ada hak seseorang yang kelihatannya
dipersulit bahkan dikekang dengan peraturan tersebut. Selain itu, didalam
undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak ada
keterangan atau penjelasan sedikit pun yang menjelaskan bahwa pandai
baca tulis Al-Quran adalah syarat untuk diberlangsungkannya pernikahan.
3. Perda Kabupaten Bulukumba No 6 Tahun 2003 dan Perda Kabupaten
Mandailing Natal No 5 Tahun 2003, sama-sama memiliki peraturan
mewajibkan pandai baca tulis Al-Quran sebagai syarat melangsungkan
pernikahan. Sebagaimana telah diketahui bahwa rukun dalam pernikahan
menurut Agama Islam hanya ada 5, yaitu: 1) calon mempelai laki-laki, 2)
calon mempelai perempuan, 3) dua orang saksi, 4) wali dari mempelai
perempuan, dan 5) ijab qobul. Dengan demikian kedua Perda itu
bertentangan dengan keterangan dalam KHI maupun ajaran agama Islam
yang tidak sedikit pun menjelaskan bahwa pandai baca tulis al-Quran bagi
seseorang baik calon mempelai laki-laki atau calon mempelai perempuan
dalam melangsungkan pernikahannya adalah sebuah kewajiban.
4. Namun demikian, dalam ajaran Islam terdapat sebuah konsep pemikiran
mujtahid-mujtahid terdahulu terutama ijtihadnya Imam Malik. dijadikan
75
juga sandaran bagi sebagian umat Islam dalam mengambil istinbat dengan
menentukan hukum, yaitu Maslahah Mursalah, Sepanjang tidak
bertentangan pada aturan Maqasid Al-Syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah).
Apabila tujuan pembentukan kedua Perda tersebut termasuk mewujudkan
kemaslahatan untuk masyarakat, maka Perda tersebut boleh diberlakukan.
Namun, penerapan konsep maslahah mursalah pun harus memiliki
landasan yang pasti. Karena konsep ini memiliki prasyarat yang harus di
penuhi. Berdasarkan hal ini, hemat penulis, keberadaan kedua Perda
tersebut tidak bermasalah dari segi prosedur dan tujuan yang berdasarkan
kepada kemaslahatan masyarakat. Namun dari sudut pandangan-
pandangan HAM, kedua Perda tersebut dipandang bermasalah oleh
sebagian kalangan.
B. Saran- saran
1. Bagi setiap Kepala Daerah seyogyanya bermusyawarah terlebih dahulu
dengan kaum Agamawan atau orang yang paham masalah agama di daerah
tersebut, mengenai pemikiran/ide sebuah peraturan sebelum perencanaan
pemberlakuannya.Memberikan sosialisasi kepada masyarakat yang
dipimpinnya terlebih mengenai peraturan yang dibuat di daerahnya agar
tidak ada salah paham atau ketidaktahuan masyarakat tentang
pemberlakuan Perda tersebut, yang berujung pada pandangan diskriminasi
oleh masyarakat.
2. Sosialisasi dinilai sangat penting didalam menjalankan sebuah rancangan
peraturan perundang-undangan.Karena dengan adanya sosialisasi
76
masyarakat dapat menilai baik atau tidaknya peraturan yang dibentuk oleh
Kepala Daerah tersebut. Alhasil Peraturan Daerah tersebut mendapatkan
respon yang positif sekaligus dukungan penuh dari masyarakat sehingga
peraturan tersebut berjalan sebagaimana yang diharapkan.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rojali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilih Kepala Daerah
secara Langsung,Rajagrafindo Persada 2005.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus dan P3M, Pejatan Barat
1997.
Aji, Ahmad Mukri, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Diaglektika Pemikiran
Hukum Islam, Pena Ilahi Bogor 2012.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqhu ‘Ala Al-Mazahibi Al- Arba’ah, Fiqih Emapat
Mazhab, Darul Hadits 2004.
A’la Maududi, Maulana Abdul, Hak- Hak Manusia Dalam Islam, Sinar Grafika
Offiset, 1995.
A’la Mawdudi, Mawlana Abul, HAM dalam Islam Konvensi Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Wanita, Grafindo
Persada1979.
Ali ,Muhamad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
Raja Garfindo Persada 2007.
An Naim, Ahmad dan Mohammed Arkoun, Dekontruksi Syariah II Kritik Konsep
Penjelajahan Lain, printing Cemerlang 2009.
Arifin, Jaenal dan Kamarusdiana, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Grafika
Desain, Jakarta 2007.
Chaeruddin, Ahmad, “Hak Asasi Manusia Dalam Islam Dan Per-UU_an
Indonesia”, Jurnal Ahkam FSH, 1998.
Djazuli, Ahmad, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-
Rambu Syariah, Kencana Bogor 2003.
Fakultas Hukum, Pakar Hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga, Penegakan
Hukum Di Indonesia, Prestasi Pustaka 2006.
Faturusi, Saifuddin, Peran dan Sumbangan Pemuda-Pemuda Bulukumba Dalam
Revolusi kemerdekaan Indonesia, Lembaga Syariah Hankam Jakarta 1967.
78
Harahap, Basyril Hamid, Madina Yang Madani, pemerintah Kabupaten Madina ,
Panyabungan 2004.
Hasibuan, Adi Sori, Persyaratan Pandai Membaca Al-Quran Bagi Calon
Pengantin Menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan KHI
(Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Mandailing Natal No 5 Tahun
2003), Skripsi PMH UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2009.
Hidayat, Surahman, Al-Madkhil li Dirosaty-Syari’aty-Islamiyyati, Pengantar Studi
Syariah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam, Robbani Press Jakarta
2008.
Kamil, Syukron dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM Dampak
Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan No-
Muslim, CSRC Uin Jakarta, 2007.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kasim, Ifdhal, Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan. Buku 1. Lembaga study
dan advokat masyrakat (ELSAM), (Jakarta 2001). Diakses 4 Januari 2015
dari http://www.hiburdunia.com/2012/01/arti-dan-sejarah-
bulukumba.html..
Khalaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu ushul Fiqih, Rineca Cipta Jakarta 2005.
KHI Bab IV tentang Rukun dan Syarat-Syarat Perkawinan, Pasal IV
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2.
Kuzari Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta 19950.
Kitab Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus
Untuk ABRI,Polri, Pegawi Kejaksaan, PNS,Sinar Grafika Jakarta 2000.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Pemantauan terhadap
Implementasi Perda-perda Bermasalah Bulan Oktober 2008 di
Bulukumba
Manan, Abdul S.H dan M. fauzan, S.H, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada Jakarta 2002.
79
Manshur, Abd Al-Qadir, Buku Pintar Fikih Wanita Segala Hal Yang ingin Anda
Ketahui Tentang Perempuan Dalam Hukum Islam, Zaman Jakarta 2009.
Martosedon, Amir , Apa dan bagaimana Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Effhar dan Dahara Prize, Semarang 1992.
Mugniyah, Muhamad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, (Lentera Jakarta 1999), h….
Nuruddin, H. Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Kencana Jakarta 2006.
PP No 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
Rafsanjani, Keadialn Sisoal Pandangan Islam Tentang HAM Hegemoni Barat dan
Solusi Dunia Modern, Yayasan Nusantara Cendikia, 2001.
Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa pasal UU No 1 TaHun 1974 Dari segi
Hukum Perkawinan Islam, IND-Hill co Jakarta 1990.
Ramulyo, H. Abdul Manan S.H. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Kencana Jakarta 2006.
Ramulyo, M. Idris. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Hukum Perkawinan Islam. IND_HILL,Co. 1985.
Razak, Anwar, dkk, Menilai Tanggug Jawab Sosial Peraturan daerah Studi Kasus,
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sumatra
Barat. Pusat Study Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) 2009
Rosadi, Rahmat dan M Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam Dalam Persfektif
Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia 2006Terhadap Kebebasan Sipil,
Hak-hak Perempuan, dan No-Muslim,CSRC UIN Jakarta 2007.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, jilid 3, Publisihing 2004.
Salim, Arskal. Perda Berbasis Syariah dan Perlindungan Konstitusiaonal
Penegakan HAM. Jurnal Perempuan 60, 2008.
Sopian, Yayan, Islam Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional, Uin Jakarta 2011.
80
Sostroatmodjo, H. Arso. S.H dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bukan Bintang Jakarta 1975.
Sudarsono. S.H, M,Si, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta Jakarta 2005.
Surkalam, Lutfi, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, CV Pamulang
2005.
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Elsas
Jakarta 2008.
Syarifudiin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di indonsia Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana Jakarta 2006.
Thontowi, Jawahir, Islam, Politik, dan Hukum Esai-Esai Ilmiah Untuk Pembaruan,
Madya Press Yogyakarta 2002.
Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk
ABRI, Polri, Pegawi Kejaksaan, PNS, Pasal 1d. tentang pegawai pencatat
nikah.
UU HAM No 39 Tahun 1999.
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Logos Wacana
Ilmu Ciputat 2003.
Zuhaili, Wahbah . Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Gema Insani, Jakarta 2011, jilid 9.
Diakses pada tanggal 24 Januari 2015 dari
http://apakabarsidimpuan.com/2010/03/amru-daulay-dan madina/
Diakses pada tanggal 6 Januari 2015 dari
http://gapensi.org/modules/artikel.php?ID_Artikel=397&ID_Kategori_Artikel=8
Diakses pada tanggal 4 Januari 2015 dari
http://www.hiburdunia.com/2012/01/arti-dan-sejarah-bulukumba.html
Diakses pada tanggal 4 Januari 2015 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Mandailing_Natal
Diakses pada tanggal 7 Januari 2015 dari
http://profil.merdeka.com/indonesia/a/amrun-daulay/
81
Diakses pada tanggal 13 Desember 2015 dari http://medan.bpk.go.id/wp-
content/uploads/2011/12/Perda-No.05-Th-2003-Pandai-baca-huruf-Al-Quran-
Bagi-murid-SD.-SMP.SMA-serta-calon-pengantin.pdf.
Diakses pada tanggal 1 Februari 2015 dari
https://salambue.wordpress.com/sejarah-terbentuk-kab-madina/
Diakses pada tanggal 6 Januari dari http://www.madina.go.id/index.php/selayang-
pandang/gambaran-umum
Diakses pada tanggal 15 Desember 2015 dari
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0
CD0QFjAF&url=http%3A%2F%2Fwww.madina.go.id%2Findex.
Diakses pada tanggal 5 Januari 2015 dari
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=632
4:urgensi-peraturan-daerah-syariah&catid=33:artikel-jumat.
86
PETA KABUPATEN BULUKUMBA
1
1 http://bulukumba.wikimapia.org/id/map/
87
PETA KABUPATEN MANDAILING NATAL
1
1 https://bpbdmadina.files.wordpress.com/2011/05/madina.jpg
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA
TAHUN 2003 NOMOR 06 SERI C NOMOR 04
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA
NOMOR 06 TAHUN 2003
TENTANG
PANDAI BACA AL-QUR'AN BAGI SISWA DAN CALON PENGANTIN DALAM KABUPATEN
BULUKUMBA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BULUKUMBA,
Menimbang : a. bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
b. bahwa Pendidikan Agama Islam di Indonesia sebagai Sub Sistim Pendidikan
berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan
Nasional, bercita-cita untuk terwujudnya Insan Islami atau Muslim Paripurna
yang mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia seutuhnya.
c. bahwa kemampuan baca Alqur'an bagi setiap murid Sekolah Dasar dan Siswa
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, serta Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
merupakan bagian dari Pendidikan Agama Islam yang memiliki arti Strategis
untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya dalam rangka
menanamkan nilai-nilai iman dan taqwa bagi generasi muda dan masyarakat
pada umumnya. bahwa untuk memenuhi maksud huruf a, b dan c diatas perlu
mengatur tentang Pandai Baca Al Qur'an Bagi Siswa dan Calon Pengantin
dalam Kabupaten Bulukumba.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembetukan Daerah-Daerah
Tingkat II di Sulawesi (lembaran Negara Nomor 74 Tahun 1959, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1822)
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
72 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
4. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom i Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3953);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi
Perangkat Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4022);
8. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknis Penyusunan
Peraturan Perundang - undangan dan Bentuk Rancangan Undang - undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden;
9. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 6 Tahun 1988 tentang
Penyidik Sipil dalam Lingkup Pemerintah Tk.II Bulukumba (Lembaran
Daerah Tahun 1988 Nomor 1 Seri D Nomor 8).
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TENTANG PANDAI
BACA AL’QURAN BAGI SISWA DAN CALON PENGANTIN DALAM
KABUPATEN BULUKUMBA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Kabupaten Bulukumba
b. Pcmerintah Daerah adalah Pemerinlah Kabupaten Bulukumba.
c. Pandai Baca adalah kemampuan seseorang untuk membaca huruf| atau lambang baik huruf
arab atau latin dan sebagainya
d. Al-Qur'an adalah Kitab Suci bagi umat islam yang berisi wahyu Allah SWT yang
diturunkannya melalui Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan perantaraan Malaikat
Jibril dan membacanya menjadi ibadah.
e. Pandai baca huruf Al-Qur'an adalah kemampuan seseorang muslim/muslimah untuk
membaca huruf Al-Qur'an dengan baik dan benar;
f. Pandai baca huruf Al-Qur'an dengan baik dan benar kemampuanj seseorang membaca Al-
Qufan dengan fasih dengan Ilmu Tajwid;
g. Murid SD yang beragama islam termasuk Madrasah Ibtidaiyah (Ml) dan sederajat se
Kabupaten Bulukumba.
h. Siswa adalah Siswa SLTP dan SMU yang beragama islam atau yang sederajat se Kabupaten
Bulukumba
i. Calon Pengantin adalah seorang laki-laki dan atau perempuan beragama islam yang akan
melangsungkan pernikahan.
j. Masyarakat adalah masyarkat Kabupaten Bulukumba.
1) Dapat/mampu membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar serta terbiasa membaca dan
mencintai Al-Qur'an dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
2) Dapat/mampu memahami dan menghapal ayat-ayat Al-Qur'an untuk bacaan shalat
sekaligus dalam rangka memakmurkan dan mencintai mesjid, mushalla dan surau, serta
dapat menjadi imam yang baik dalam shalat.
Pasal 2
Fungsi Pandai baca Al-Qur'an dengan baik dan benar adalah sebagai wa.hana menanamkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahuwata'ala kepada murid SD, sis\va SLTP dan
siswa SLTA serta calon pengantian dan masyarakat dalam rangka membentuk keluarga sakinah
mawaddah Warrahmaah.
BAB II
KEWAJIBAN DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN
Pasal 3
(1) Setiap Siswa SD, SLTP dan Siswa SLTA yang akan menamatkan jenjang pendidikan wajib
pandai baca Al-Qufan dengan baik dan benar
(2) Pandai baca huruf Al-Qur'an dengan baik dan benar sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah:
a. Siswa SD lancar membaca huruf Al-Qur'an dengan mengenal tajwid dasar.
b. Siswa SLTP lancar membaca Al-Qur'an dengan mengenal ilmu tajwid dan irama dasar.
c. Siswa SLTA pandai dan fasih membaca Al-Qur'an sesuai dengan ilmu tajwid dan
mempunyai irama / seni yang baik sesuai dengan fitrahnya.
Pasal 4
(1) Setiap Sekolah mulai tingkat SD, SLTP dan SMU agar menambah jam pelajaran Agama
yang digunakan khusus untuk mempelajari Al-Qur'an melalui muatan lokal.
(2) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap Sekolah agar mewajibkan
kepada setiap siswanya yang belum pandai baca belajar pada institusi lembaga.
(3) Penilaian hasil pelajar bagi murid SD Siswa SLTP/SMU yang mcngikuti I pendidikan pandai
baca huruf Al-Qufan sebagai mata pelajaran baru ( ditulis sebagai mata pelajaran tersendiri
dan memiliki nilai tersendiri.
Pasal 5
Hasil penilaian pendidikan pandai baca huruf Al-Qur"an sebagaimana dimaksud pada pasal 4
pada akhir pendidikan kepada setiap murid SD dan Siswa SLTP/SLTA diberikan sertifikat
setelah dilaksanakan pengujian / evaluasi oleh sckolah / lembaga lain yang bersangkutan.
Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikeluarkan oleh Bupati atau pejabat yang
ditunjuk berdasarkan rekomendasi dan sekolah yanu bersangkutan dan pengawas pendidikan
Agama Islam.
Pasal 6
(1) Setiap pasangan calon pengantin yang akan melaksanakan pernikahan wajib mampun
membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar.
(2) Kemampuan membaca huruf Al-Qur’an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
(P3N) yang bertugasi membimbing acara pernikahan tersebut.
BAB III
SANKSI
Pasal 7
(1) Bagi setiap tamatan SD dan/atau SLTP yang akan melanjutkan pendidikan pada jenjang
pendidikan berikutnya, ternyata tidak mampu membaca huruf Al-Qur'an dengan baik
dan/atau tidak memilik sertifikat pandai baca huruf Al-Qur'an maka yang bersangkutan tidak
belum dapat diterima pada jenjang pendidikan tersebut.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada aval (1) adalah apabila siswa
yang bersangkutan yang diketahui oleh orang tua walinya menyatakan kesanggupannya
untuk mengikutkan program khusus belajar baca huruf Al-Qur’an baik yang diadakan
disekoiah tersebut atau pada tern pat lain.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Dengan berlakunva Peraturan Daerah ini maka ketentuan yang mengatur hal yang saina wajib
memesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
BAB V
PENUTUP
Pasal 11
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan
ditetapkan dengan Keputusan Bupati
Pasal 12
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Bulukumba.
Disahkan di Bulukumba
pada tanggal 25 Agustus 2003
BUPATI BULUKUMBA
ttd.
H. ANDI PATABAI PABOKORI
Disetujui oleh:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Dengan Keputusan Nomor :05 KPTS DPRD-BLK VIII 2003
Pada tanggal 25 Agustus 2003.
Diundangkan di : Bulukumba
pada tanggal : 1 September 2003
SEKRETARIS DAERAH
ttd
Drs. H. MAPPIGAU SAMMA, MSi, MBA
Pangkat Pembina Utama Muda
NIP : 010 071 921
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA
TAHUN 2003 NOOR 06 SERI C NOMOR 04.
PEMERINTAH KABUPATEN MANDAILING NATAL
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANDAILING NATAL
NOMOR 05 TAHUN 2003
TENTANG
PANDAI BACA HURUF AL-QUR’AN BAGI MURID SEKOLAH DASAR, SISWA
SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA DAN SISWA SEKOLAH LANJUTAN
TINGKAT ATAS SERTA CALON PENGANTIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI MANDAILING NATAL
Menimbang : a. bahwa alqurana adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhamad SAW, seabagi salah satu rahmat yang tiada tara bagi alam semsta,
didalamnya terkumpul wahyu Ilahi yang menjadi dasar hukum, petunjuk
pedoaman dan pelajaran serta ibadah bagi orang yang mmembaca, mempelajari,
mengimani serta mengamalkannya.
b. bahwa pendidiakn nasioanal bertujuan mencerdaskan bkehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia seutuhnya. Yaitu manusia beriman dan bertaqwa
kepada terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memilki
pengetahuan yang mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
keterampilan sehat jasmani dan rohani, keperibadian yang mantap dan
berkebangsaan;
c. bahwa Pendidikan Agama Islam di Indonesia sebagai sub sistem pendidikan
berdasarkan undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional, cita-cita mewujudkan insan kamil atau muslim paripurna yang
mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia seutuhnya;
d. bahwa kemampuan baca Al-Qur’an bagi setiap murid sekolah dasar dan siswa
sekolah lanjutan tingkat pertama, serta sekolah lanjutan tingkat atas merupakan
bagian pendidikan agama islam yang memiliki arti strategis untuk ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya dalam rangka menanamkan nilai
nilai iman dan taqwa bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya;
e. bahwa berdasarkan terhadap kemampuan baca Al-Qur’an bagi murid sekolah
dasar, siswa lanjutan tingkat pertama dan siswa lanjutan tingkat atas di
Kabupaten Mandailing Natal ternyata masih banyak yang tidak mampu;
f. bahwa dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman serta
pengalaman Al-Qur’an oleh seluruh lapisan masyarakat, sesuai dengan falsafah
adat maka dipandang perlu menetapkan peraturan tentang pandai baca Al-
Qur’an;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1998 tentang Pembentukan Kebupaten Daerah
Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);
4. Undang – undang Nomor 22, tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3829 );
5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (
Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3412 );
6. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah (
Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3413 );
7. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan dan bentuk rancangan undang-undang rancangan peraturan
pemerintah, rancangan keputusan presiden ( Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 70 );
8. Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 128
Tahun 1982 dan Nomor 44 Tahun 1982 tentang usaha meningkatkan
kemampuan membaca tulis huruf Al-Qur’an bagi umat islam dan dalam rangka
penghayatan dan pengamalan Al-Qur’an dalam kehidupan seharihari;
9. Peraturan Daerah Kabupaten Mandailing Natal Nomor 1 tahun 2001 tentang
Pembentukan Susunan Organisasi Tata Kerja Sekretariat Kabupaten Mandailing
Natal;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MANDAILING NATAl
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANDAILING NATAL TENTANG
PANDAI BACA AL-QUR’AN BAGI MURID SEKOLAH DASAR, SISWA
SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA DAN SISWA SEKOLAH
LANJUTAN TINGKAT ATAS SERTA CALON PENGANTIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Kabupaten Mandailing Natal;
b. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing
Natal;
c. Pandai baca adalah kemampuan seorang untuk membaca huruf atau
lambang, baik huruf arab atau huruf latin dan sebagainya;
d. Al-Qur’an adalah kitab suci yang berisi wahyu Allah SWT yang
diturunkannya melalui nabi Muhammad SAW dengan perantara
Malaikat Jibril dan membacanya menjadi ibadah;
e. Pandai baca Al-Qur’an adalah kemampuan untuk membaca huruf Al-
Qur’an dengan baik dan benar;
f. Murid sekolah dasar dan selanjutnya disingkat dengan murid SD adalah
murid SD termasuk Madrasyah Ibtidaiyah ( MI ) dan sederajat se-
Kabupaten Mandailing Natal.
g. Siswa sekolah lanjutan tingkat pertama selanjutnya disingkat dengan
SLTP adalah siswa SLTP termasuk Tsanawiyah ( MTs ) dan sederajat
se-Kabupaten Mandailing Natal;
h. Siswa sekolah lanjutan tingkat atas selanjutnya disingkat dengan SLTA
adalah siswa SMU, SMK, Madrasyah Aliayah dan sederajat se-
Kabupaten Mandailing Natal;
i. Calon pengantin adalah seorang laki-laki atau perempuan yang akan
melangsungkan pernikahan;
j. Masyarakat adalah masyarakat Kabupaten Mandailing Natal;
k. Guru Agama dan Kepala Sekolah adalah guru agama dan kepala
sekolah dasar, SLTP dan SLTA se-Kabupaten Mandailing Natal;
l. Pengawas pendidikan Agama Islam disingkat dengan pengawas
PENDAIS adalah pengawas Pendidikan Agama Islam di Kabupaten
Mandailing Natal;
m. Kantor Departemen Agama adalah kantor Departemen Agama
Kabupaten Mandailing Natal;
n. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang disingkat adalah PPNS adalah
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Kabupaten
Mandailing Natal yang diangkat berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;Natal yang diangkat berdasarkan Peraturan
Perundangundangan yang berlaku;
BAB II
MAKSUD, TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 2
Maksud pandai baca Al-Qur’an bagi murid SD, siswa SLTP dan SLTA
serta calon pengantin adalah untuk membentuk insan kaum dan muslim /
muslimah yang sempurna dan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia
seutuhnya sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’an;
Pasal 3
Tujuan pandai baca Al-Qur’an bagi murid SD, SLTP dan SLTA serta calon
pengantin dan masyarakat adalah :
a. Tujuan Umum;
Tujuan Umum adalah agar setiap murid SD, Siswa SLTP dan SLTA serta
calon pengantin dan masyarakat :
1). Memiliki sikap sebagai orang muslim / muslimah yang baik dan berakhlak
mulia;
2). Memiliki sikap sebagai warga Negara Indonesia dan masyarakat yang baik,
berbudi luhur, berdisiplin dan bertaqwa kepada ALLAH SWT;
3). Mempunyai pengetahuan tentang dasar-dasar hidup beragama islam serta
terampil dan taat melaksanakan Ibadah;
b. Tujuan Khusus;
Tujuan Khusus pandai baca Al-Qur’an adalah agar setiap murid SD, siswa SLTP
dan SLTA serta calon pengantin dan masyarakat :
1). Dapat / mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar serta terbiasa
membaca dan mencintai Al-Qur’an dan mengaflikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari;
2). Dapat / mampu memahami dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an untuk
bacaan sholat sekaligus dalam rangka memakmurkan dan mencintai mesjid,
mushallah dan surau serta dapat menjadi imam yang baik dalam shalat;
Pasal 4
Fungsi pandai baca Al-Qur’an dengan baik dan benar adalah sebagai wahana
menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada ALLAH SWT bagi murid SD,
siswa SLTP dan SLTA serta calon pengantin dan masyarakat adalah dalam
rangka membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah.
BAB III
KEWAJIBAN DAN MENYELENGGARAKAN KEGIATAN
Pasal 5
(1) Setiap murid SD, siswa SLTP dan SLTA yang akan menamatkan jenjang
pendidikan wajib baca Al-Qur’an dengan baik dan benar;
(2) Pandai baca Al-Qur’an sengan baik dan benar sebagaimana dimaksud ayat (1)
adalah :
a. Murid SD lancar membaca Al-Qur’an dengan mengenal tajwid dasar;
b. Siswa SLTP lancar membaca Al-Qur’an dengan mengenal ilmu Tajwid dan
irama dasar;
c. Siswa SLTA pandai dan fasih baca Al-Qur’an sesuai dengan ilmu tajwid
dan mempunyai irama / seni yang baik sesuai dengan fitranya.
Pasal 6
(1) Setiap sekolah mulai dari SD, SLTP dan SLTA agar menambah jam pelajaran
Agama yang dipergunakan khusus untuk mempelajari Al-Qur’an melalui dari
intrakulikuler;
(2) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap sekolah agar
mewajibkan kepada setiap murid atau siswanya yang belum pandai baca Al-
Qur’an di MDA / MBW / MBU atau TPA dan TPSA, mesjid surau dan
sebagainya;
(3) Kepada Pemerintah Desa dan tokoh masyarakat serta orang tua murid dan atau
siswa agar mendukung, membantu dan memotovasi relajar sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (2);
Pasal 7
Ketentuan penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1)
adalah sebagai berikut :
a. Mengikuti kurikulum TPA atau TPSA dan atau mengikuti kurikulum yang di
tetapkan instansi terkait;
b. Kurikulum yang dikembangkan khususnya untuk membaca Al- Qur’an sebagai
mata pelajaran baru;
c. Tenaga Guru untuk melaksanakan pendidikan pandai baca Al- Qur’an adalah
guru pendidikan agama Islam di sekolah yang bersangkutan dan atau dari guru
yang ditunjuk oleh pemerintah daerah atau guru pembimbing TPA / TPSA /
MDA atau dari guru menggaji atau dari tokoh setempat;
d. Sarana dan Prasarana yang diperlukan diutamakan dari Sekolah yang
bersangkuta;
Pasal 8
(1) Proses belajar mengajar secara opearsional adalah tanggung jawab guru atau
tenaga pendidikan, sedangkan pembinaannya secara umum adalah teknis
adalah tanggung jawab Departemen Agama, Dinas Pendidikan dan Kekayaan
dan Lembaga Informasi lainnya;
(2) Penilaian atas pandai baca Al-Qur’an dititik beratkan pada kemampuan
membaca huruf Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan tingkat
pendidikannya;
(3) Penilaian bagi murid yang mengikuti pendidikan pandai baca huruf Al-Qur’an
melalui TPA / MDA sepenuhnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada TPA
/ MDA setempat;
(4) Penilaian hasil belajar bagi murid SD dan siswa SLTP / SLTA yang
mengikuti pendidikan pandai baca huruf Al-Qur’an sebagai mata pelajaran
baru, di tulis sebagai mata pelajaran tersendiri dan memiliki nilai tersendiri;
Pasal 9
(1) Hasil penilaian pendidikan pandai baca huruf Al-Qu’ran sebagaimana
dimaksud pada pasal (8) pada akhir pendidikan kepada setiap murid SD dan
siswa SLTP / SLTA diberikan sertifikat setelah dilaksanakan pengujian /
evaluasi oleh sekolah yang bersangkutan;
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Bupati atau
pejabat yang ditunjuk berdasarkan rekomendasi dari sekolah yang
bersangkutan dan pengawas Pendidikan Agama Islam;
Pasal 10
(1) Setiap pasangan calon pengantin yang akan melaksanakan pernikahan wajib
mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar;
(2) Kemampuan membaca Al-Qur’an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
buktikan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah ( PPN ) atau dihadapan
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah ( P3N ) yang bertugas membimbing acara
pernikahan tersebut;
BAB IV
SANKSI
Pasal 11
(1) Bagi setiap yang tamat SD dan atau SLTP yang akan melanjutkan pendidikan
pada jenjang pendidikan berikutnya ternyata tidak mampu membaca Al-
Qur’an dengan baik dan benar atau tidak memiliki sertifikat pandai baca
huruf Al-Qur’an, maka yang bersangkutan tidak / belum dapat diterima pada
jenjang pendidikan tersebut;
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
apabila siswa yang bersangkutan diketahui orang tua atau walinya
mengatakan kesanggupannya untuk mengikuti program khusus belajar baca
huruf Al-Qur’an, baik yang diadakan di sekolah tersebut atau ditempat lain;
(3) Bagi calon pengantin yang tidak dapat membuktikan pandai baca huruf Al-
Qur’an dengan baik dan benar dihadapan PPN atau P3N sebagaimana
dimaksud pada pasal 10 ayat (2) maka pelaksanaan Nikahnya ditangguhkan
sampai yang bersangkutan pandai baca Al- Qur’an;
Pasal 12
(1) Apabila sertifikat yang dikeluarkan berdasarkan rekomendasi dari sekolah dan
pengawas Pendidikan Agama Islam sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat
(2) ternyata mengundang ke palsuan maka kepada yang memberikan
rekomendasi dapat dikenakan sanksi;
(2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Pegawai Negeri Sipil dapat
dikenkan sanksi / hokum disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan
Peraturan Negeri Sipil sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980 atau peraturan disiplin lainnya yang berlaku, sedangkan bagi yang bukan
Pegawai Negeri Sipil dapat dikenakan sanksi / hukuman sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
BAB V
KETENTUAN PIDANA DAN PENYIDIKAN
Pasal 13
(1) Barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan
Daerah ini diancam dengan pidana kurungan 6 ( enam ) bulan dan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- ( lima juta rupiah );
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini merupakan
tindakan pidana pelanggaran;
Pasal 14
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang
mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur kemudian oleh Bupati.
Pasal 15
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak Tanggal diundangkan. Agar supaya
setiap orang dapat mengetahuainya, memerintahkan pengundangan peraturan
Daerah ini dengan menempatkannya dalam lembaran Daerah kabupaten
Mandailing Natal.
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MANDAILING NATAL
TAHUN 2003 NOMOR 5 SERI D1,2
1 http://medan.bpk.go.id/wp-content/uploads/2011/12/Perda-No.05-Th-2003-Pandai-baca-huruf-Al-Quran-Bagi-
murid-SD.-SMP.SMA-serta-calon-pengantin.pdf... 2http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0CD0QFjAF&
url=http%3A%2F%2Fwww.madina.go.id%2Findex.